Indonesian - German Technical Cooperation
Ministry of Forestry and Estate Crops in Cooperation with Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ)
PETUNJUK TEKNIS REHABILITASI HUTAN BEKAS TERBAKAR DI AREAL HPH
Dephutbun Kanwil Propinsi Kalimantan Timur Balai Penelitian Kehutanan - Samarinda Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman GTZ-SFMP SFMP Document No. 6a (1999)
Promotion of Sustainable Forest Management Systems (SFMP) In East Kalimantan July 1999
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
Tim Penyusun : Kantor Wilaya Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Timur Ir. Herry Purnomo Ir. Kaspuraji Balai Penelitian Kehutanan Samarinda Ir. Daud Lepe, MSc. Universitas Mulawarman Dr. Ir. Maman Sutisna, MSc. Dr. Ir. Deddy Hadriyaanto, MSc. Dr. Ir. Daddy Ruhiyat, MSc. SFMP Dephutbun GTZ Gottfried von Gemmingen Ir. Herryadi
Samarinda, Juli 1999
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
KATA PENGANTAR Kebakaran pada kawasan hutan produksi di Propinsi Kalimantan Timur terjadi hampir setiap tahun dengan intensitas dan luas berbeda-beda. Kejadian tahun 1997/98 merupakan yang terburuk selama 15 tahun terakhir. Guna mendukung upaya pembangunan kehutanan berkelanjutan diperlukan upaya serius untuk merehabilitasi kembali potensi kawasan hutan produksi yang terintegrasi dengan upaya pencegahan kebakaran ulang. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen PHP Dephutbun No. 259/IV-BPH/1999 dan 1200/IVBPH/1999 pengelola hak pengusahaan hutan (HPH) diwajibkan melaksanakan rehabilitasi pada areal hutan yang terbakar di areal pengusahaannya. Dengan demikian, perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi sudah seharusnya dilakukan oleh pengelola HPH pada areal unit pengusahaan hutannya. Kebakaran hutan 1997/1998 mengakibatkan perubahan mendasar pada kondisi hutan sehingga dalam pengelolaan rehabilitasi oleh HPH membutuhkan suatu petunjuk teknis khusus. Sampai pada saat ini belum ada petunjuk teknis resmi dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Oleh karena itu, kami menyusun petunjuk teknis dengan maksud untuk memberi arahan sementara. Tujuan diterbitkannya petunjuk teknis (sementara) tersebut adalah untuk mempercepat pengelola HPH memulai pelaksanaan rehabilitasi dengan terlebih dahulu membuat Project Proposal. Materi utama adalah pemilihan sistem silvikultur yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi hutan, kondisi lahan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Materi lainnya adalah pencegahan resiko kebakaran ulang, jaminan tercapainya tujuan managemen hutan lestari, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH disusun oleh Tim Penyusun yang terdiri dari Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur, Balai Penelitian Kehutanan – Samarinda, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan GTZ-SFMP (Proyek Pengembangan Sistem Manajemen Hutan Lestari). Petunjuk teknis ini tidak menyusun semua aspek operasional teknis secara rinci karena sebagian telah diketahui pelaksana di lapangan berdasar petunjuk teknis yang telah diterbitkan. Pengelola mempunyai keleluasaan untuk pengembangan konsep teknis rehabilitasi secara kreatif berdasarkan spesifik kondisi arealnya dan pengalaman lapangan. Pengembangan konsep tersebut tentunya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Kami menyadari bahwa petunjuk teknis ini masih memerlukan perbaikan agar menjadi lengkap dan memadai, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dan saran perbaikan dari berbagai pihak yang relevan dan kompeten dengan upaya rehabilitasi hutan bekas terbakar. Kami sangat berterimakasih kepada semua pihak yang membantu terbitnya petunjuk teknis (sementara) ini.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kepala Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur
Ir. H. Uuh Aliyudin, MM NIP. 080026959
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
DAFTAR ISI 1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................................... 1 1.1 1.2
2
LATAR BELAKANG..................................................................................................................................................1 M AKSUD DAN TUJUAN ...........................................................................................................................................2
INVENTARISASI AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR............................................................................. 2 2.1 2.2
IDENTIFIKASI A REAL HUTAN BEKAS TERBAKAR...............................................................................................2 INVENTARISASI TINGKAT KERUSAKAN HUTAN AKIBAT KEBAKARAN...........................................................3
3
PENETAPAN AREAL DAN PRIORITASI AREAL REHABILITASI........................................................ 8
4
PENATAAN AREAL KERJ A................................................................................................................................... 8
5
KOMPARTEMENISASI..........................................................................................................................................10
6
PERUMUSAN SISTEM S ILVIKULTUR ............................................................................................................11 6.1 6.2 6.3
TARGET DAN PROSPEK A REAL REHABILITASI ............................................................................................11 PENENTUAN SISTEM SILVIKULTUR...................................................................................................................122 PEMILIHAN JENIS.................................................................................................................................................133
7
PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN...................................................................................................................188
818
PENATAAN ULANG DAN INVENTARISASI NET AREA PENANAMAN.........................................188
9
PENYIAPAN LAHAN...............................................................................................................................................20
10
PENGADAAN BIBIT ................................................................................................................................................21
11
PEREMAJAAN ...........................................................................................................................................................23 11.1 PERLAKUAN PEREMAJAAN ..................................................................................................................................23 11.2 PENGATURAN JARAK TANAM..............................................................................................................................24 11.3 POLA CAMPURAN JENIS POHON........................................................................................................................255
12
PEMBUATAN SEKAT BAKAR ..........................................................................................................................288
13
PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA..............................................................................................................30
14
PEMBEBASAN TAJUK ...........................................................................................................................................31
15
PENJARANGAN ........................................................................................................................................................32
16
PERLINDUNGAN HUTAN.....................................................................................................................................33
17
ORGANISASI..............................................................................................................................................................35
18
KETERLIBATAN MASYARAKAT .....................................................................................................................36
19
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ............................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
1
SFMP Document No. 6a (1999)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebakaran pada hutan dan kawasan non-hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun intensitas dan luasnya berbeda-beda. Kejadian tahun 1997/98 merupakan yang terburuk selama 15 tahun terakhir. Dengan melihat kenyataan bencana besar sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan upaya serius untuk memulihkan kembali potensi kawasan hutan dan non-hutan serta mencegah terulangnya kembali kebakaran. Pengelola hak pengusahaan hutan (HPH) sebagai bagian yang berperan besar dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia, diwajibkan untuk melaksanakan perlindungan hutan. Dan atas dasar kewajiban tersebut, pengelola HPH diwajibkan melaksanakan Rehabilitasi pada areal hutan yang terbakar di areal pengusahaannya. Dengan demikian, kegiatan perencanaan dan pelaksanaan Rehabilitasi sudah seharusnya dilakukan oleh pengelola HPH pada areal unit pengusahaan hutannya. Rehabilitasi dilakukan dengan menerapkan prinsip pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) berorientasi pada sistem yang telah distandarisasi oleh Badan Standarisasi Nasional dalam rancangan Standar Nasional Indonesia seri SNI 5000-1998 dan digunakan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dalam Sertifikasi PHPL untuk unit pengelolaan hutan. Prinsip-prinsip utama dalam PHPL yang sangat perlu diterapkan dalam pelaksanaan Rehabilitasi hutan pada areal HPH meliputi : a. Kelestarian kawasan hutan: Kawasan hutan tidak diubah. b. Kelestarian pengelolaan sumber daya hutan: Perlakuan silvikultur dilaksanakan untuk mencapai target pengelolaan dengan efektif dan efisien. Target pengelolaan disusun dan disepakati dengan operasional dan memperhatikan kondisi dan fungsi hutan setempat. c. Kelestarian ekologis: Target pengelolaan mengarah pada hutan yang menyerupai hutan alam setempat. Perlakuan silvikultur harus meminimalkan dampak negatif terhadap tegakan tinggal dan tanah dan mengutamakan: 1. pengelolaan tegakan tinggal, 2. peremajaan alami, 3. tanaman campuran dengan jenis lokal yang sesuai dengan tempat tumbuh. d. Perlindungan hutan: Hutan merupakan aset utama sehingga harus dilindungi terhadap hama-penyakit, penebangan liar, kebakaran dan gangguan hutan lainnya. e. Keterlibatan masyarakat: merupakan salah satu dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, nilai sumberdaya hutan dan menunjang upaya perlindungan hutan.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-1-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
1.2
SFMP Document No. 6a (1999)
Maksud dan Tujuan Berdasarkan pemikiran di atas maka petunjuk ini disusun dengan maksud untuk memberi arahan agar pengelola HPH dapat melaksanakan Rehabilitasi dengan cara yang benar dan efisien, terhindar dari resiko kebakaran ulang serta menjamin tercapainya tujuan managemen hutan secara lestari. Petunjuk ini tidak menyusun aspek teknis secara rinci dari segi teknis karena aspek teknis sebagian besar telah diketahui oleh pelaksana di lapangan berdasar beberapa petunjuk teknis yang telah diterbitkan.
2.
INVENTARISASI AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR
2.1
Identifikasi Areal Hutan Bekas Terbakar Tujuan identifikasi adalah agar seluruh areal tebakar dalam unit pengelolaan hutan dapat didelineasi dari hasil interpretasi menggunakan citra landsat atau citra radar (lihat IFFM/SFMP, 1999) dikombinasikan dengan radar. Pada areal terbakar, untuk mendapatkan akurasi yang lebih tinggi dilakukan pengecekan lapangan (ground check) secara random sampling menggunakan GPS. Dengan demikian bagian lokasi areal HPH yang terbakar beserta perhitungan luasnya dapat dengan mudah dan tidak membutuhkan biaya besar untuk dilaksanakan. Areal kebakaran yang telah didelineasi perlu disurvey dengan metoda sampling plot jalur sistematik dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai tingkat kerusakan akibat kebakaran (lihat butir 2.b.2) dan SFMP, 1998/8). Langkah berikutnya adalah mempelajari sejarah kegiatan pengelolaan hutan yang meliputi pergerakan blok RKT dan RKL, lokasi dan peta, waktu penebangan dan teknik operasional. Dalam rangka Rehabilitasi dan tebang penyelamatan, hutan bekas terbakar bisa dikelompokkan menjadi : 1) areal hutan primer, 2) areal bekas tebangan baru (< 5 tahun yang lalu), dan 3) areal bekas tebangan lama (> 5 tahun yang lalu). Informasi teknik operasional yang diperlukan adalah batas-batas blok, jaringan jalan yang telah dibuat, dan kegiatan pembinaan yang sedang dilaksanakan. Informasi hasil interpretasi dan informasi sejarah pengelolaan hutan dipadukan untuk memperoleh gambaran persebaran ruang areal kebakaran dalam blok-blok RKT, jaringan jalan yang telah ada, dan lokasi-lokasi yang masih ada kegiatan (pembinaan hutan). Paduan informasi tersebut disajikan pada peta hasil overlay (peta kerja / blok, peta jaringan jalan, peta pembinaan hutan dan peta areal tebakar) dengan skala sekurang-kurangnya 1 : 100.000.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-2-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
2.2
SFMP Document No. 6a (1999)
Inventarisasi Tingkat Kerusakan Hutan akibat Kebakaran Inventarisasi bertujuan untuk penentuan delineasi batas areal hutan terbakar, penghitungan detail luas areal hutan terbakar, dan klasifikasi tingkat kerusakan tegakan tinggal (tidak terbakar, terbakar ringan, sedang, berat). Inventarisasi pohon yang masih hidup dilakukan pada areal terbakar pada setiap tingkat dalam hal distribusi, jenis, jumlah dan volume. Sedangkan inventarisasi kayu mati yang masih dapat dimanfaatkan dilakukan untuk tujuan tebang penyelamatan. Metodologi dan langkah-langkah inventarisasi adalah : Perancangan Plot Jumlah plot yang diperlukan tiap HPH dihitung dengan mempertimbangkan kualitas data yang diperlukan. Sasaran data yang dituju adalah volume tegakan komersil dengan diameter di atas 10 cm (DBH/GSD). Jika misalnya, ketepatan volume tegakan komersial (diameter di atas 10 cm = k +/-5% (pada tingkat kemungkinan 95%), serta variasi antar plot diperkirakan pada 65% (sx%), maka jumlah plot yang diperlukan adalah 676 buah dengan menggunakan rumus berikut: N = {(sx%*t)/k}2
Penting untuk diperhatikan bahwa jumlah plot yang diperlukan tiap-tiap HPH adalah tidak tergantung pada luas HPH. Sebagai contoh penghitungan untuk HPH dengan luas hutan produksi 90.000 ha dan jumlah plot ukur sebanyak 676 buah maka tiap plot mewakili areal seluas 133 ha. Jarak antar plot dan jalur dapat dilakukan dengan menghitung akar dari 133 sehingga menjadi 1.150 m x 1.150 m. Namun ada pertimbangan lain yang perlu diperhatikan yaitu mengurangi jarak tempuh cruising antar plot sehingga membuat pekerjaan di lapangan lebih efisien. Untuk itu ditentukan jarak antar jalur 1,3 km dan jarak antar plot sejauh 1 km. Sub-plot pancang Ukur dari titik awal plot masing-masing 10 m ke arah Barat atau Timur, pada ujung sisi kiri buat sub-plot pancang berbentuk lingkaran dengan jari-jari 2,82 meter. Catat tingkat pancang dalam plot dengan bantuan satu tali dengan panjang 2,82 m. Pasang pasak pada pusat plot untuk memasang tali tersebut, lalu amati plot secara berputar dengan ujung tali sebagai batas plot hingga selesai. Sub-plot tiang Dari titik awal plot, bentuk sub-plot tiang berbentuk bujur sangkar berukuran 10 m x 10 m di sisi kiri jalur. Dengan bantuan tali sepanjang 10 m sebanyak 2 buah dan kompas, dari titik awal plot tarik tali ke arah kiri tegak lurus jalur (270º) dan searah jalur (0º) lalu pasang patok. Sub-plot pohon kecil Bentuk plot bujur sangkar berukuran 20 m x 20 m, sepanjang 10 m sebelah Barat dan 10 m sebelah Timur jalur, kemudian rintis 20 m ke arah Utara.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-3-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Sub-plot pohon besar Bentuk plot persegi panjang berukuran 20 m x 125 m sebagai perpanjangan dari sub-plot pohon kecil ke arah Utara.
Perkiraan Tingkat Kerusakan Untuk informasi tingkat kebakaran hutan diperlukan pula suatu metode khusus yang dapat mengetahui intensitas serta luas secara keseluruhan areal yang terbakar. Pengamatan areal yang terbakar dilakukan di sepanjang jalur, di dalam dan di luar plot, tiap 300 m (atau tiap sepertiga jarak antar plot) dengan melihat sekilas kiri-kanan sejauh mata memandang serta tentukan tingkat kebakaran yang terjadi. Sehingga diharapkan didapat informasi kebakaran dalam bentuk mosaik-mosaik tingkat kebakaran, dimana tiap mosaik berukuran 1/3 jarak antar plot x ½ jarak antar jalur. Perancangan plot secara skematis disajikan dalam Gambar 1. Penentuan tingkat kebakaran dalam tiap mosaik dibagi dalam 4 kelas dengan kriteria sebagai berikut: Terbakar ringan : apabila prosentase jumlah pohon mati 40cm up < 25% (pohon hidup 40cm up > 75%) Terbakar sedang : apabila prosentase jumlah pohon mati 40cm up antara 25% dan 50% (pohon hidup 40cm up 50 - 75%) Terbakar berat : apabila prosentase jumlah pohon mati 40cm up antara 50% dan 75% (pohon hidup 40cm up 25 - 50%) Terbakar sangat berat : apabila prosentase jumlah pohon mati 40cm up > 75% (pohon hidup 40cm up < 25%)
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-4-
SFMP Document No. 6a (1999)
Arah jalur
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
P
1/3 jarak antar plot
Jalur
IV 125 m
U
1/3 jarak antar plot
III
20 m
1/3 jarak antar plot
10 m 10 m
Plot 1
II
Titik awal
½ jarak antar jalur
½ jarak antar jalur
I 20 m
Gambar 1. Sketsa Perancangan Plot Inventarisasi Hutan dan Inventarisasi Tingkat Kebakaran Inventarisasi Kondisi Tempat Tumbuh Inventarisasi kondisi tempat tumbuh penting dilakukan untuk memperoleh informasi guna pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan rekomendasi teknik silvikultur. Aspek yang diamati meliputi fisiografi lahan, kondisi drainase, dan kondisi tanah (tekstur, bahan induk tanah dan kedalaman solum). Penilaian Fisiografi Lahan : 1. Ketinggian tempat/elevasi diperoleh dengan membaca angka elevasi pada garis kontur dalam peta garis bentuk. 2. Bentuk wilayah diklasifikasikan dengan cara : a) Pada total jarak plot pengamatan (125 m) pilahkan lereng menjadi tiga bagian posisi lereng (bawah – tengah – atas) untuk dasar pengukuran berikutnya b) Arah lereng dominan, untuk menentukan pengukuran kemiringan lereng mengikuti kondisi bentuk wilayah. c) Pengukuran kemiringan pada setiap posisi lereng menggunakan clinometer searah lereng dominan. d) Ukur panjang lereng pada masing-masing posisi lereng. e) Dengan menggunakan rumus trigonometri hitung beda tinggi masingmasing lereng.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-5-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
f) Bentuk lereng pada setiap posisi lereng (cekung, cembung, lurus atau tak teratur). g) Penetapan klasifikasi bentuk wilayah menggunakan kriteria pada Tabel 1
Tabel 1. Klasifikasi Bentuk Wilayah.
I II III IV V
Kelas Lereng Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam
0 - 8% 8 – 16 % 16 – 2 % 25 – 4 % > 40 %
Penilaian Kondisi Drainase 1) Sebaiknya dilakukan 1 hari setelah hujan dengan mengamati kelembaban permukaan tanah, tapak genangan/banjir, tinggi genangan/banjir dan apabila memungkinkan lama & periode genangan/banjir (wawancara). 2) Kelembaban permukaan tanah diamati dengan membedakan : a) Tanah kering bila sudah tidak ada atau sedikit sekali ciri-ciri bekas air hujan. b) Tanah lembab apabila ada ciri-ciri bekas air dan bila dipegang masih terasa lembab. c) Tanah basah apabila ciri-ciri air dominan, tanah masih diselimuti air dan agak becek. d) Tanah tergenang apabila masih ada air di atas permukaan tanah dengan persebaran yang cukup luas > 20%. 3) Genangan atau banjir dapat diamati langsung saat terjadi banjir atau secara tidak langsung mengamati tapak banjir yaitu tanda-tanda pada batang pohon / vegetasi berupa perbedaan warna bekas air genangan. a) Tinggi genangan diukur dari atas permukaan tanah sampai permukaan air (langsung) atau sampai tapak banjir (tidak langsung). b) Informasi lama genangan dan periode genangan dapat diperoleh dengan wawancara.
Penilaian Kondisi Tanah : 1) Tanah mineral adalah tanah yang terbentuk dari bahan induk batuan dan dapat berupa tanah berpasir, tanah berlempung dan tanah liat. 2) Pengamatan tekstur tanah khusus untuk tanah mineral dilakukan sampai pada tingkat kehalusan dan tidak sampai pada kelas tekstur, dengan kriteria sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Sedangkan tata cara penetapan tekstur tanah disajikan dalam Gambar 2. 3) Tanah gambut adalah tanah pada daerah rawa yang terbentuk dari bahan organik hasil pelapukan sisa-sisa vegetasi, biasanya dicirikan dengan warna tanah yang gelap, tanah lunak dan warna air coklat – hitam. Dalam hal tanah gambut perlu diukur kedalaman gambut dengan cara menancapkan kayu sedikit runcing (diameter = 4 - 5 cm) pada beberapa tempat.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-6-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Tekstur Tanah. Nama Tanah berpasir
Kehalusan Kasar
Tanah berlempung
Agak kasar
Agak Halus
Tanah berliat
Halus
Klas Tekstur Pasir Pasir berlempung Lempung berpasir Lempung berpasir halus Lempung berpasir sangat halus Lempung Lempung berdebu Debu Lempung berliat Lempung liat berpasir Lempung liat berdebu Liat berpasir Liat berdebu Liat
Gambar 2. Tata Cara Penetapan Tekstur Tanah Sampai Tingkat Kehalusan
Ambil segenggam tanah dari kedalaman 10 – 15 cm, agregat tanah diremukkan dengan cara diremas-remas, bila kering basahi sedikit-sedikit sambil tetap diremas-remas sampai tanah menjadi pasta liat.
Tanah dikepal dan digulung sampai membentuk bola. Tanah digiling-giling secara hati-hati dengan kedua telapak tangan membentuk silinder sebesar pensil.
Tidak dapat
Tanah Berpasir kasar
Dapat Silinder tanah terus digiling-giling hingga melewati ujung jari, teruskan sambil mengamati patahnya silinder tanah karena beratnya sendiri, ukur kira-kira setelah berapa cm ujungnya melampaui ujung jari.
<2,5cm
Tanah Berlempung agak kasar
2,5-5cm
>5cm
Tanah Berlempung agak halus
Tanah Berliat halus
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-7-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
3.
SFMP Document No. 6a (1999)
PENETAPAN AREAL DAN PRIORITASI AREAL REHABILITASI Areal yang ditetapkan untuk diRehabilitasi adalah seluruh areal bekas terbakar baik pada hutan produksi, hutan konversi dan sempadan kawasan konservasi di dalam unit HPH. Luas total areal Rehabilitasi telah diketahui (dari identifikasi), dan dengan penilaian awal kemampuan pelaksanaan Rehabilitasi yang realistis (ha/th), maka dapat ditentukan tujuan pengelolaan Rehabilitasi. Dengan demikian gambaran umum volume kerja Rehabilitasi secara makro dapat diperoleh sehingga jangka waktu Rehabilitasi dapat ditargetkan (misalnya 3 atau 5 tahun untuk penanaman ditambah 5 tahun untuk pemeliharaan). Selanjutnya target tersebut dapat dijabarkan dalam rencana operasional Rehabilitasi tahunan. Prioritasi areal adalah pengklasifikasian areal mulai dari yang penting dan mendesak untuk diRehabilitasi sampai dengan areal yang perlu tetapi kurang mendesak untuk diRehabilitasi. Kriteria yang dapat diterapkan sebagai dasar pengklasifikasian adalah : a) Tingkat kerawanan areal hutan terhadap kebakaran ulang (areal terbakar lebih berat, lebih dekat pemukiman, dan lebih dekat aktivitas manusia mempunyai tingkat kerawanan lebih tinggi). Areal lebih rawan terbakar akan lebih diprioritaskan untuk segera diRehabilitasi. b) Kondisi aksesibilitas dari base camp atau lokasi kegiatan utama/blok RKT berjalan (jarak diukur pada jalan utama lebih dekat, serta kondisi jalan & jembatan lebih baik maka nilai aksesibilitas lebih baik). Areal dengan nilai aksesibilitas lebih baik akan lebih diprioritaskan untuk Rehabilitasi. c) Kondisi lahan kaitannya dengan konservasi tanah dan tata air/fungsi hidrologis, maka areal Rehabilitasi diprioritaskan pada tanah yang peka erosi, lahan dengan lereng curam, dan lahan pada punggung perbukitan yang merupakan penyangga tata air pada areal HPH. d) Apabila dilaksanakan tebang penyelamatan maka sebaiknya prioritasi areal Rehabilitasi mengikuti urutan lokasi tebang penyelamatan berdasar waktu. e) Pertimbangan lain yang terkait dengan kebijakan perusahaan dan/atau pemerintah seperti status lahan, fungsi hutan dll.
4.
PENATAAN AREAL KERJA Penataan areal kerja (PAK) merupakan kegiatan pengaturan blok kerja tahunan dan petak-petak kerja guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan unit pengelolaan hutan. Dalam rangka Rehabilitasi hutan bekas terbakar, blok kerja tahunan merupakan pembagian dari total areal yang akan dilaksanakan Rehabilitasi dengan target waktu (tahun) penanaman disesuaikan dengan kemampuan dana, peralatan dan sumberdaya manusia di unit pengelolaan hutan.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-8-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Pada areal bekas terbakar, petak yang luasnya kurang lebih 100 ha (1km x 1km) menjadi unit pengelolaan terkecil. Petak akan dibagi menjadi 4 anak petak masing-masing seluas 25 ha dan merupakan unit dengan perlakuan yang sama. Batas petak dan anak petak khusunya di daerah berbukit lebih sesuai mengikuti batas alam atau kombinasi dengan grid sesuai kondisi petak. Persiapan tenaga kerja dan alat 1. Regu kerja penataan areal berjumlah 10 orang : 1) Ketua regu, mengoperasikan GPS/Theodolith, 2) Pencatat data, pemegang rambu (1 orang), 3) Perintis jalan, pemegang tali (2 orang), 4) Petugas yang memasang / memperbaiki tanda batas (2 orang). 2. GPS, Theodolith, BTM, T-nol lengkap dengan rambu, Kompas, Buku lapangan, Peta kerja 1:10.000 (atau 1:5.000) dengan sungai, jalan dan jalan sarad, garis kontur, unit tempat tumbuh dan fungsi hutan, Tali sepanjang 50 meter, Alat-alat tulis-menulis, Penanda pohon (cat berwarna). Perencanaan di peta: 3. Perencanaan maupun peninjauan ulang kesesuaian batas blok, petak.dan anak petak berdasarkan batas alam, yaitu sungai, punggung bukit, jalan maupun jalan sarad, unit tempat tumbuh dan fungsi hutan (sempadan sungai, sekat bakar, areal konservasi dll.). Penetapan anak petak dilakukan di atas peta kerja Rehabilitasi skala 1:10.000 (atau 1:5.000). Penataan batas blok dan petak dan blok di lapangan: 4. Pencarian maupun pengukuran pal dan tanda batas blok dan petak untuk diperbaiki, dibersihkan dan digunakan sebagai batas petak kerja tahunan Rehabilitasi. Kalau perlu, posisi geografis pal batas dikoreksi kembali menggunakan GPS atau alat mengukur lain. 5. Kalau regu menemukan jalan atau jalan sarad, batas anak petak sementara (lihat peta) dan hal-hal yang lain yang perlu dicatat, titik itu ditandai di lapangan, dicatat di peta dan di buku lapangan. Kalau informasi di peta tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, peta disesuaikan. Penandaan batas anak petak: 6. Batas anak petak ditandai di lapangan berdasarkan usulan di peta dan penyesuaian di lapangan menggunakan se-maksimal mungkin batas alami dengan luas kira-kira 25 ha (+/- 5 ha). 7. Batas anak petak dapat ditandai dengan tanda cat warna di dua belah pohon. Titik pertemuan dengan batas petak / anak petak lain perlu di tandai dengan patok kayu ulin (atau bangkirai). Pelaporan dan analisis: 8. Semua perubahan/penyesuaian dicatat di dalam peta kerja dan di buku lapangan. 9. Setiap petak kerja yang telah ditentukan dilengkapi dengan register petak. Penomoran petak kerja dimulai pada titik tertentu dan selanjutnya secara berurutan dengan batas petak yang berbatasan secara sinambung.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
-9-
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
5.
SFMP Document No. 6a (1999)
KOMPARTEMENISASI Penyusunan kompartemen langsung mengikuti penataan areal kerja dan inventarisasi tegakan tinggal: 1. Setiap petak kerja yang telah ditentukan dilengkapi dengan register petak. Penomoran petak kerja dimulai pada titik tertentu dan selanjutnya secara berurutan dengan batas petak yang berbatasan secara sinambung. 2. Seluruh kegiatan dalam anak petak sebagai satu unit produksi nantinya dicatat dan dicantumkan dalam register petak untuk membentuk suatu sistem pengelolaan tegakan. 3. Organisasi kompartemen dibentuk menyesuaikan dengan unit pengelolaan hutan berdasar pada cakupan tanggung jawab secara berjenjang berdasarkan luas arealnya : a) Manager Unit bertanggung jawab atas areal Rehabilitasi seluas 40.000 – 50.000 ha b) Asisten Manager Unit bertanggung jawab atas areal Rehabilitasi seluas 5.000 – 10.000ha c) Mandor Kepala bertanggung jawab atas areal Rehabilitasi seluas 1.000 – 2.000 ha d) Mandor sebagai penanggung jawab petak seluas 100 ha. 4. Penanggung jawab petak adalah mandor yang mengawasi seluruh tahapan kegiatan, perlakuan silvikultur serta perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Penyajian informasi anak petak tersebut dipetakan pada Peta Anak Petak skala 1 : 1.000. 5. Pembentukan anak petak akan memudahkan perencanaan penanaman/pengayaan berkaitan dengan pemilihan jenis dan teknik silvikultur yang diterapkan. 6. Pembuatan register kompartemen yang meliputi : a) Register Petak sebagai informasi dasar (buku induk) untuk registerregister berikutnya. b) Register Rencana untuk setiap tahapan perencanaan kegiatan Rehabilitasi. c) Register Ikhtisar untuk hasil pelaksanaan setiap tahapan kegiatan Rehabilitasi. d) Pencataan register petak kerja untuk pelaporan dilakukan pada saat dan setelah kegiatan dilaksanakan, meliputi informasi/keterangan sebagai berikut : 1. Nama unit pengelolaan hutan, lokasi blok, RKT tebangan, dan luasnya. 2. Titik ikat untuk pengukuran geografis dan azimuthnya. 3. Keterangan umum petak: nomor petak, panjang alur batas untuk blok dan petak, serta jumlah pal batas blok dan petak yang ditemukan / diperbaiki. 4. Informasi tempat tumbuh: ketinggian, topografi dan bentuk wilayah, tipe tanah dan tekstur, serta drainase tanah. 5. Informasi tanaman dalam petak: posisi, jumlah, jenis tanaman, asal bibit, waktu tanam, dan daur tanaman.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 10 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
6. Informasi pertumbuhan : kematian, umur, tinggi, diameter, taksiran volume dan riap. 7. Informasi perlakuan silvikultur: pola penanaman/jarak tanam, pemeliharaan, pembebasan dan penjarangan. 8. Jumlah hari kerja yang digunakan, prestasi kerja dan jumlah biaya yang dikeluarkan. 7. Pengolahan data hasil pencatatan dalam register merupakan input utama sistem pengelolaan tegakan dan dapat dilakukan dengan program pengolahan biasa dengan pemetaan manual ataupun dengan program GIS dengan pemetaan digital.
6.
PERUMUSAN SISTEM SILVIKULTUR Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan pengelolaan hutan yang terencana meliputi penanaman/peremajaan, pemeliharaan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu secara berkelanjutan/lestari atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Pemilihan teknik silvikultur memerlukan pertimbangan seksama mengenai keadaan/tipe hutan, sifat silvik, struktur, komposisi, tanah, topografi, pengetahuan profesional, tujuan perusahaan dan kemampuan pembiayaan.
6.1
Target dan Prospek Areal Rehabilitasi Untuk memudahkan pelaksanaan dan efisiensi biaya, Rehabilitasi diarahkan menggunakan cara-cara fleksibel sesuai dengan kondisi vegetasi aslinya dan tingkat kebakaran yang terjadi. Tingkat kebakaran mencerminkan kondisi keberadaan pohon yang berpotensi sebagai pohon induk dan peremajaan alami. Tujuan silvikultur Rehabilitasi tidak terlepas dari orientasi perusahaan dan pihak lain yang terkait untuk memperoleh laba dengan tetap memperhatikan pelestarian hutan sebagaimana ditetapkan dalam prinsip-prinsip pengelolaan hutan produksi lestari. Dengan demikian tujuan utama Rehabilitasi meliputi : a) Jenis produk dapat berupa: kayu pertukangan dengan diameter besar; serat atau lain-lain. b) Jumlah pohon dan diameter siap panen pada akhir daur disesuaikan dengan jenis produk kayu dan nilai ekonomi yang diharapkan dan dengan kondisi tempat tumbuh. Penanaman Rehabilitasi dengan jarak tanam yang optimal untuk memungkinkan seleksi pohon dengan kualitas terbaik melalui pemeliharaan dan penjarangan dengan biaya yang rendah. Perlakuan silvikultur direncanakan berdasarkan data atau perkiraan pertumbuhan dan penghasilan yang sesuai (program produksi). c) Perlindungan hutan dari kebakaran ulang dengan pembuatan sekat bakar (jalur hijau dengan jenis tahan api atau kebun masyarakat) serta pencegahan dan pengelolaan dampak terhadap erosi tanah.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 11 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
d) Penentuan bentuk pelibatan masyarakat dalam sistem bagi hasil, pengembangan pohon serbaguna, pengelolaan bersama atau lain-lain. e) Pelestarian keanekaragaman jenis lokal bernilai tinggi, potensi genetik hutan dan pelestarian jenis-jenis dilindungi. 6.2
Penentuan Sistem Silvikultur Pemilihan teknik silvikultur disesuaikan dengan tipe dan kondisi hutan, kondisi tempat tumbuh, tingkat kerusakan akibat kebakaran serta tujuan dan prospek Rehabilitasi. Tipe dan Kondisi Hutan Tipe hutan menyerupai Dipterokarp dataran rendah maupun gunung dan hutan kerangas, hutan rawa gambut, hutan bakau dll.. Kondisi hutan menyerupai hutan primer, hutan bekas tebangan yang baru (<5 th setelah tebangan), hutan bekas tebangan yang lama (>5 th setelah tebangan), hutan sekunder dan areal nonproduktif. Untuk perumusan sistem silvikultur, 3 kelas tingkat kerusakan serta keberadaan vegetasi pionir berkepentingan (lihat Tabel 3): Tabel 3. Matrix pemilihan sistem silvikultur untuk hutan produksi dipterocarp dataran rendah bekas terbakar. Tingkat Kerusakan Ringan sedang Berat dan sangat berat
Penebangan TPTI, TPTJ Tebang Penyelamatan, Penyiapan lahan (Tebang Penyelamatan), Penyiapan Lahan
Perlakuan Silvikultur Peremajaan Peremajaan alami Tanaman sisipan Tanaman sisipan atau tanaman rapat
Pemeliharaan sesuai dengan Juknis yang berlaku sesuai dengan Juknis yang berlaku sesuai dengan Juknis yang berlaku
Penebangan langsung di areal hutan bekas terbakar sedang dan berat dan, kalau masih berpotensi di areal terbakar sangat berat untuk menyelamatkan kayu yang masih dapat digunakan (lihat SFMP, 1999/1). Penebangan dilakukan terhadap pohon mati berdiameter > 20 cm apabila dapat dimanfaatkan. Pohon mati lain ditebang rebah saja dan dicincang. Peremajaan menyangkut kegiatan penanaman pengayaan (tanaman larikan), tanaman rapat dan peremajaan alami. Pemilihan perlakuan peremajaan yang tersebut terkait dengan fungsi hutan, target pengelolaan, kondisi tempat tumbuh dan tingkat kerusakan. Tujuan peremajaan tercapai, ketika seluruh areal produktif berkembang kearah target pengelolaan. Pemeliharaan tegakan muda, menengah (pembebasan vertikal/horisontal maupun bina pilih) dan tua (penjarangan secara bertahap untuk meningkatkan riap, sehingga pada akhir rotasi terdapat sejumlah pohon pilihan per hektar
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 12 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
sesuai dengan tujuan silvikultur). Pemeliharaan dapat dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis khusus (TPTI, Rehabilitasi, HTI). Kondisi Tempat Tumbuh Kondisi tempat tumbuh seperti topografi dan kelerengan, jenis tanah dan curah hujan menentukan sistem silvikultur yang diperbolehkan sesuai dengan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981:
Fungsi Hutan: HPtetap : perumusan sistem silvikultur sesuai dengan Tabel 3; HPterbatas: perumusan sistem silvikultur sesuai dengan Tabel 3; HPK: perumusan sistem silvikultur sesuai dengan Tabel 3 ; – apabila dikonversi, biaya Rehabilitasi dapat diganti rugi, – HPH dapat mengajukan perubahanan fungsi hutan menjadi Hutan Produksi tetap; Kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat: perumusan sistem silvikultur sesuai dengan Tabel 3 dan berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat ; Topografi dan kelas kelerengan: 0 –15 %: perumusan sistem silvikultur sesuai dengan Tabel 3; 15 – 40 %: sistem peremajaan alami dan penanaman sisipan; > 40 %: diperlakukan sebagai kawasan lindung Jenis Tanah: Tebang habis tidak dibenarkan di tempat dengan porsentase pasir lebih dari 70% (tanah pasir atau pasir berlempung – lihat Tabel 2 dan Gambar 2) karena kepekaan tanah terhadap erosi.
6.3
Pemilihan Jenis Pemilihan jenis tanaman Rehabilitasi mengikuti pola kecocokan jenis dengan tempat tumbuh (site-species matching = ssm) yang akan sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Faktor tempat tumbuh yang mempengaruhi adalah iklim, topografi dan fisiografi, geologi, jenis tanah, sifat fisik dan kimia tanah, serta kondisi hidrologi seperti drainase. Disisi lain, tipe hutan, keterbukaan hutan, persebaran generatif dan sifat fisiologis juga sangat menentukan jenis pohon yang tumbuh di areal tertentu. Pengembangan konsep kecocokan jenis dengan tempat tumbuh yang spesifik pada lokasi rencana Rehabilitasi sangat diperlukan. Pengembangan lebih lanjut untuk areal spesifik di HPH sesuai persebaran jenis dengan memanfaatkan data hasil inventarisasi, penelitian dan pengetahuan tenaga-tenaga teknis yang relevan. Secara garis besar pola kecocokan jenis dengan tempat tumbuh untuk wilayah Kalimantan Timur telah dikembangkan dan dapat menjadi acuan awal untuk pemilihan jenis disesuaikan dengan tempat tumbuh (Tabel 4 ). Dalam hal ini,
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 13 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
penilaian tempat tumbuh dibedakan ke dalam 4 kelompok, didasarkan pada hasil orientasi kondisi lahan. Tanah yang terletak di lereng tengah sampai atas merupakan tanah mineral, dan faktor pembeda yang menentukan pembedaan jenis adalah batuan induk, kedalaman solum dan tekstur. Sedangkan, pada lereng bawah, lembah atau tanah rawa dapat berupa tanah mineral atau tanah gambut. Dalam hal tanah gambut perlu dibedakan kedalaman gambut karena membedakan jenis yang dapat tumbuh di atasnya. Informasi mengenai tempat tumbuh dari: peta topografi hasil survei orientasi (textur tanah) informasi tanah lain
Informasi mengenai kecocokan dan potensi jenis pohon dari: hasil survei orientasi hasil penelitian pengalaman setempat
Pemilihan Jenis-jenis Pohon
Informasi mengenai target pengelolaan dari: rencana umum Pemulihan peta fungsi hutan
Informasi mengenai ketersediaan bibit dari: pemantauan fenologi dan keberadaan cabutan stok bibit persemaian pasar bibit luar
Gambar 3. Skema informasi untuk memilih jenis-jenis pohon untuk Rehabilitasi Langkah-langkah untuk pemilihan jenis pohon untuk Rehabilitasi digambarkan secara skematis pada Gambar 3 dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Penyusunan unit tempat tumbuh: unit tempat tumbuh dibentuk berdasarkan kriteria pokok yang berpengaruhi pertumbuhan pohon. Dalam kondisi biasa dengan yellow/red podzolic soils (hapludult/tropodult atau acrisols, ultisols) di hutan dataran dipterokarp, kriteria pokok adalah fisiografi dan selain itu textur tanah. Unit fisiografi bisa ditentukan berdasarkan peta topografi, dan informasi mengenai textur tanah diperoleh dari survei orientasi. Meskipun begitu, kriteria yang dipilih atau diutamakan, tergantung kondisi tempat tumbuh setempat . 2. Kecocokan dan potensi jenis pohon: untuk setiap unit tempat tumbuh, beberapa jenis pohon perlu dipilih yang membentuk satu kelompok jenis yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh di tempat. Sumber informasi mengenai kecocokan jenis pohon adalah survei orientasi, hasil penelitian dan pengalaman sumber setempat. Kriteria untuk kecocokan jenis pohon adalah: keberadaan dan dominansi setempat, potensi pertumbuhan dan hasil, ketahanan terhadap hama dll. 3. Penyesuaian dengan target pengelolaan: Dari kelompok jenis yang terpilih yang sesuai tempat tumbuh, pengelola dapat memilih beberapa jenis yang sesuai dengan tujuan pengelolaan (Daftar jenis sementara).
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 14 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
4. Penyesuaian dengan pengadaan bibit: Daftar jenis sementara harus disesuaikan dengan pengadaan bibit, supaya kapasitas dan produktivitas dimanfaatkan semaksimal mungkin. Untuk daftar jenis akhir, komposisi jenis campuran ditentukan per unit tempat tumbuh yang menjadi unit pengelolaan (blok, petak, sub-petak). Berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian, pemilihan jenis-jenis tanaman untuk tujuan Rehabilitasi hutan bekas terbakar, dapat disebutkan beberapa kecocokan jenis dengan tempat tumbuhnya, yang bisa dilihat di Tabel 4 . Dalam satu areal Rehabilitasi, sesuai dengan kondisi tempat tumbuh dipilih beberapa jenis pohon yang beragam (dapat 2 – 5 jenis). Hal ini perlu dilakukan guna menekan atau menghindari dampak negatif dari penanaman monokultur seperti gangguan hama atau ketidakseimbangan neraca unsur hara.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 15 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Tabel 4 Kesesuaian tempat tumbuh dengan jenis pohon (site-species matching) Kelompok Tempat Tumbuh Lahan terbuka, resiko kekurangan air (puncak bukit, lereng atas, bentuk lereng cembung).
Daerah cukup air, drainase tidak terhambat (lereng tengah, bentuk lereng lurus).
Daerah agak lembab, drainase agak terhambat, tergenang secara musiman (lereng bawah/kaki bukit, bentuk lereng cekung, tepi sungai).
Jenis
Nama lokal
Shorea laevis
Bangkirai
Shorea smithiana Dryobalanops lanceolata
Meranti merah Kapur
Durio spp. Tectona grandis
Durian Jati
Shorea leprosula
Meranti merah
Shorea parvifolia
Meranti merah
Shorea ovalis Shorea johorensis Shorea laevis Shorea seminis Octomeles sumatrana Calophylum spp. Scorodocarpus borneensis Durio spp. Peronema canescens Gmelina arborea Alstonia scholaris Dyera costulata Shorea laevis
Meranti merah Meranti merah Bangkirai Balau Binuang bini Bintangur Bawang Durian Sungkai Gemelina Pulai Jelutung Bangkirai
Dipterocarpus spp. Anisoptera spp. Cotilelobium spp. Cratoxylum arborescens Octomeles sumatrana Eusideroxylon zwageri
Keruing Mersawa Resak Gerunggang Binuang bini Ulin
Anthocephalus cadamba Koompasia malaccensis Calophylum spp. Alstonia scholaris Dipterocarpus spp.
Jabon Kempas Bintangur Pulai Keruing
Lahan rawa, berdrainase sangat terhambat, tergenang te-rus Shorea belangeran menerus (lembah, dataran banjir). Shorea lamellata Anisoptera spp. Eusideroxylon zwageri Palaquium spp. Payena spp. Dyera lowii
Belangeran
Keterangan
Tanah merah, berbatu (kapur dll.), lereng terjal – bergunung tanah kering, sarang, mengandung kapur tanah latosol, podsolik tanah merah kuning, podsolik kuning elevasi s/d 1.300 m dpl berkelomp ok tanah liat, berpasir, berbatu elevasi s/d 800 m dpl tanah liat, berpasir tanah kering, berbatu
tanah berpasir, basalt laterit tanah liat, berpasir, berbatu, Latosol, Podzolik peralihan, elevasi s/d 60m datar-landai, tanah liat, endapan batu-pasir tanah aluvial, peralihan tanah liat, berpasir peralihan ke rawa tanah liat, berpasir, berbatu, tanah liat, berpasir, berbatu,
Nyatoh
areal terbuka, bekas terbakar, tanah berpasir, gambut tanah liat, berpasir tanah liat, berpasir, berbatu, datar-landai, tanah liat, endapan batu-pasir tanah liat, berpasir
Jelutung
gambut
Meranti putih Mersawa Ulin
Sumber : Weinland (1996), Kollert et al. (1994), Martawijaya et al. (1981 dan 1989)
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 16 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Pemilihan jenis pohon untuk sekat bakar Pemilihan jenis pohon untuk jalur hijau / sekat bakar mengikuti persyaratan sebagai berikut : a) Jenis sesuai tempat tumbuh diutamakan dari jenis lokal. b) Tanaman selalu hijau dan tahan kekeringan (evergreen). c) Penanaman mudah dan tidak membutuhkan pemeliharaan yang intensif. d) Dapat menekan tumbuhan bawah (gulma & liana) dengan tajuk yang lebar dan rapat. e) Serasah tidak banyak (terutama pada saat kemarau) dan bersifat mudah lapuk. f) Mempunyai batang bebas cabang yang rendah. g) Tahan terhadap serangan hama dan penyakit. h) Beberapa tanaman yang telah banyak digunakan untuk tanaman sekat bakar dan persyaratan tempat tumbuh yang utama, disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Jenis Tanaman Sekat Bakar dan Persyaratan Tempat Tumbuh No.
Jenis
Elevasi (m dpl)
1.
Gmelina arborea
Gemelina
0 – 800
Kondisi Tanah Butuh tanah subur
2.
Acacia mangium
Akasia
0 – 720
Toleran tanah kurus
3.
Pterocarpus indicus
0 – 1000
4.
Acacia Auriculiformis
Sonokemban g (Anggsana) Akasia
5.
Peronema canescens
Sungkai
0 – 500
6.
Calliandra callothirsus
Kaliandra
150 – 1500
Butuh tanah dalam
7.
Glericidia
Gamal
0 – 500
Toleran tanah kurus
8.
Leucaena leucocephala
Lamtorogung
0 – 1500
Toleran tanah dangkal dan kurus
9.
Tamarindus indica
Asam jawa
0 – 1000
Butuh tanah dalam, toleran tanah kurus
10.
Samanea saman
Kihujan
0 – 1000
11.
Schima wallichii
Puspa
800 – 1200
0 – 800
Toleran tanah dangkal dan kurus
Butuh tanah dalam dan subur
Sumber : Ditjen RRL Departemen Kehutanan, 1987 (diubah) Pertimbangan lain seperti pemanfaatan kayu untuk tujuan produksi dan pemanfaatan dalam rangka pelibatan peran serta masyarakat atau hutan kemasyarakatan, maka dapat dipilih beberapa alternatif kelompok tanaman serbaguna (MPTS): a) Jenis lokal cepat tumbuh dengan nilai tinggi seperti Binuang bini. b) Kelompok pangan : Aren (Arenga pinnata sp.) dan Sukun (Artocarpus atlitis). c) Kelompok buah-buahan : Durian (Durio ziberthinus), Nangka (Artocarpus integra), Tengkawang (Shorea sp.), Kemiri (Alcurita sp), Mangga (Mangifera indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Petai (Parkia speciosa), dan Kapuk Randu (Ceiba petandra).
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 17 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
d) Kelompok Penghasil Getah : Gemor/Lem (Alsodophane sp.), Kapur Barus (Dryobalanops sp.), dan Jelutung (Dyera costulata) dan Karet (Hevea brasiliensis).
7.
PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN Pembukaan wilayah hutan adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi seluruh kegiatan Rehabilitasi. Prasarana utama adalah jalan utama yang dipergunakan unit pengelolaan hutan selama jangka pengusahaan hutan dan jalan cabang yang menghubungkan lokasi kegiatan dengan jalan utama. Pada umumnya setelah kegiatan penebangan, pemeliharaan jalan cabang dan jalan utama terdekat kurang intensif dilakukan dan terjadi kerusakan jalan dan jembatan. Dalam rangka kegiatan Rehabilitasi diperlukan perbaikan bagianbagian jalan cabang dan jalan utama yang rusak tersebut untuk mengembalikan kondisi jalan sesuai kapasitasnya. Aktivitas yang dilakukan meliputi : 1. Identifikasi kondisi jalan utama, jalan cabang dan jembatan untuk mengetahui jumlah/volume dan tingkat kerusakan prasarana yang ada. Hasil identifikasi (lokasi, volume dan tingkat kerusakan) dilengkapi dengan peta skala 1 : 10.000. 2. Perencanaan perbaikan jalan dan jembatan didasarkan pada laporan dan peta realisasi pembuatan jalan yang terdahulu serta dilengkapi dengan hasil identifikasi kondisi jalan. 3. Perbaikan dan pemeliharaan prasarana jalan, jembatan dan bangunan penunjangnya yaitu saluran drainase pada tepi kanan dan kiri jalan, goronggorong, serta rambu-rambu lalu lintas untuk menjamin keselamatan pemakai jalan. 4. Pencataan dan pelaporan kegiatan dalam register pembukaan wilayah hutan dibuat setiap bulan dan direkapitulasi pada akhir tahun kegiatan. Laporan tersebut memuat data atau informasi sebagai berikut : a) Keterangan umum : lokasi kegiatan, tahun RKL, tahun RKT, luas dan titik ikat (bentuk dan azimuth). b) Kondisi dan panjang jalan induk dan jalan cabang baik yang dengan perkerasan ataupun tanpa perkerasan. c) Jumlah dan panjang lintasan air berupa jembatan dan gorong-gorong. d) Jumlah dan spesifikasi rambu-rambu jalan dan pal penunjuk KM jalan.
8.
PENATAAN ULANG DAN INVENTARISASI NET AREA PENANAMAN Setelah tebang penyelamatan, mungkin perlu penataan ulang yang dapat digabung dengan survei inventarisasi net area penanaman, yang lebih extensif dari pada ITT / TPTI dengan memperkirakan porsentase areal yang tidak perlu ditanam. Areal yang tidak perlu ditanam adalah areal 10 m sekitar batang pohon hidup komersil dengan diameter 20cm up. Metodologi untuk penataan ulang
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 18 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
mirip dengan yang untuk penataan areal kerja (lihat bab 0.), hanya fokus kepada pengecekan batas (lebih ekstensif) 1. Persiapan tenaga kerja dan alat ♦ Regu kerja berjumlah 10 orang : 1) Ketua regu, pencatat data, 2) pemegang Rambu (1 orang), 2) Perintis jalan, pemegang tali (2 orang). ♦ Rambu, Kompas, Buku lapangan, Peta kerja 1:10.000 (atau 1:5.000) dengan sungai, jalan dan jalan sarad, garis kontur, unit tempat tumbuh dan fungsi hutan, Tali sepanjang 50 meter, Alat-alat tulis-menulis, Penanda pohon (cat berwarna). 2. Penilaian areal yang tidak perlu ditanam: Pembuatan jalur untuk: memperkirakan areal yang tidak perlu ditanam, karena areal mempunyai cukup pohon hidup komersil 20 cm up. Diperkirakan, bahwa areal dengan radius s/d 10 m sekitar pohon hidup itu tidak perlu ditanam karena memiliki kemungkinan besar untuk peremajaan alami : - jarak antara jalur: 100 m - arah jalur: utara/selatan - unit pengamatan: 50 m sepanjang jalur dan 50 m kiri dan kanan jalur - kelas penutupan areal dengan pohon hidup adalah: Kelaspenutupan dengan pohon hidup
(a)
(b)
(c)
(d)
Porsentase Areal yg. tidak perlu ditanam
< 25 %
25 - 50 %
50 - 75%
≥ 75 %
N / ha
<8
8 - 16
16 - 24
≥ 24
Jarak antara pohon (m)
> 35
35 - 25
25 - 20
≤ 20
-
Keberadaan jenis pionir seperti macaranga, piper, eupatorium, trema dll.. - Panjang jalur, kelas penutupan dengan pohon hijau kiri maupun kanan dicatat di dalam peta dan di buku lapangan. - Kalau menemukan jalan atau jalan sarad, batas anak petak sementara (lihat peta) dan hal-hal lain yang perlu dicatat, maka titik itu ditandai di lapangan, dicatat di peta dan di buku lapangan. - Pada areal sekat bakar, tidak perlu mencatat kelas penutupan dengan pohon hijau, karena areal ini akan ditebang habis dan ditanam dengan jenis yang tahan api. - Areal dengan luas cukup besar (lihat butir 6.) perlu ditandai sebagai anak petak, seperti areal tidak terbakar dan tidak ditebang, penutupan pohon hidup lebih dari 75% (kelas d), rawa-rawa , sempadan sungai dan areal sekat bakar .
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 19 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
3. Pelaporan dan analisis: - Semua informasi perlu di catat di dalam peta kerja dan di buku lapangan. - Areal dengan penutupan pohon hidup >75% tidak perlu ditanam, sama dengan areal rawa. - Untuk setiap anak petak yang perlu ditanam, kebutuhan bibit dihitung berdasarkan luas anak petak total dikurangi dengan perkiraan penutupan areal dengan pohon hijau ditambah 20% untuk penyulaman.
9.
PENYIAPAN LAHAN Penyiapan lahan pada areal hutan bekas terbakar dilakukan dengan tujuan membersihkan hutan dari pohon mati yang menjadi pengganggu sedemikian rupa sehingga kegiatan penanaman mudah dilaksanakan, dapat menjamin pertumbuhan yang lebih baik dan menjamin keselamatan kerja. Selain itu penyiapan lahan juga berfungsi mengurangi resiko kebakaran ulang melalui pengangkutan kayu mati sebagai sumber bahan bakar. Untuk mengurangi dampak peningkatan erosi, penyiapan lahan dilaksanakan pada tahun yang sama dengan tahun penanaman. Penyiapan lahan tersebut dibedakan antara penyiapan lahan untuk Rehabilitasi dengan untuk sekat bakar (jalur hijau), yang pada intinya meliputi : 1. Penyiapan lahan untuk Rehabilitasi (penanaman dan pengayaan) a) Pohon jenis komersial mati ditebang dan diangkut untuk dimanfaatkan kayunya secepat-cepatnya (lihat pedoman teknis mengenai tebang penyelamatan). b) Dalam tahun penanaman, pohon mati hangus, segala jenis dengan diameter lebih dari 20 cm ditebang dan dicincang. Apabila tidak, penebangan dilakukan dengan arah rebah yang sama dengan jalur tanam yaitu arah utara – selatan (penebangan untuk keselamatan kerja). c) Pohon hidup jenis komersial dan jenis dilindungi tidak dimatikan atau ditebang. d) Pohon yang ditebang dengan arah rebah yang sama di potong cabang dan rantingnya (dicincang) serta ditumpuk teratur agar didak mengganggu tanaman Rehabilitasi. 2. Penyiapan lahan untuk penanaman jalur hijau. a) Dibuat pada tepi kanan dan kiri jalan utama dan cabang yang telah ditetapkan sebagai sekat bakar, masing-masing selebar 25 m dari batas luar tebang matahari atau lebih. b) Dibersihkan dari vegetasi (land clearing) berupa semak/belukar dan pohon-pohon kecil dengan cara penebasan dan penebangan. c) Kayu dan seluruh bagian vegetasi yang dapat menjadi bahan bakar dikeluarkan dari jalur hijau ke tepi jalan untuk mencegah terjadinya kebakaran ulang. Apabila memungkinkan dapat dimanfaatkan termasuk juga pemanfaatan oleh masyarakat.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 20 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
10.
SFMP Document No. 6a (1999)
PENGADAAN BIBIT Pengadaan bibit bertujuan memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis, jumlah dan tata waktu yang direncanakan untuk penanaman dalam rangka Rehabilitasi hutan bekas terbakar dan untuk tanaman jalur hijau / sekat bakar. Pengadaan bibit siap tanam dapat berasal dari pengadaan secara generatif (penyemaian benih dan cabutan anakan alam yang tumbuh di sekitar tegakan alam) maupun pengadaan secara vegetatif (stek dan cangkok). Pengadaan benih perlu terlebih dahulu diberi perlakuan atau seleksi untuk mendapatkan benih berkualitas baik (daya tumbuh mendekati 100 %). Stek banyak dilakukan untuk perbanyakan kelompok meranti dan dapat diperoleh dari kebun pangkas untuk menghasilkan bibit unggul yang berasal dari pohon plus. Perencanaan pengadaan bibit (jenis, jumlah dan tata waktu) didasarkan pada hasil perencanaan penanaman / pengkayaan dan perencanaan pembuatan sekat bakar. Setelah luas areal penanaman / pengkayaan, jenis terpilih dan jumlah masing-masing beserta tata waktunya direncanakan maka pengadaan bibit direncanakan mengikuti rencana tersebut. Jumlah masing-masing bibit siap tanam ditambah 20 – 50% (untuk antisipasi bibit dianggap mati, berkwalitas rendah dan untuk penyulaman) dari jumlah tanaman direncanakan. Pelaksanaan dimulai dari pencarian sumber benih/bibit, persemaian dan penyapihan. Untuk melestarikan keragaman genetik, sumber pengadaan bibit harus dipriorisaskan dari anakan alam secara disebutkan dibawah. Pedoman singkat pelaksanaan pengadaan bibit berdasarkan prioritasi tersebut adalah sebagai berikut (lihat juga Smits (1986), Irsyal dan Smits (1988a,b, SK DitJen PH No.15/Kpts/IVBPH/1995, SK DitJen PH No. 151/Kpts.IV-BPHH/1993):
1) Sumber benih/bibit. a) Biji. Pada umumnya musim berbuah meranti pada kemarau panjang (Oktober – April). Pertama dilakukan pemilihan pohon induk yang berbuah dengan syarat batang lurus, bebas cabang tinggi, tajuk besar, lebar dan sehat. Lahan di sekitar pohon tersebut dibersihkan untuk menampung buah yang jauh. Buah jatuhan dipilih yang berkualitas baik (besar, tidak busuk, tidak terkena hama & penyakit) . b) Anakan Alam. Kelompok anakan dipilih dari pohon induk yang baik dan diambil hanya dari sekeliling pohon dengan radius ± 10 m. Pengambilan anakan dengan tinggi maksimum 60 cm dilakukan dengan baik untuk menjaga kerusakan perakaran. c) Stek. Sumber bahan stek adalah kebun pangkas dan diambil dari tunas vertikal.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 21 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
2) Persemaian. a) Biji. Sebelum disemaikan, biji direndam dalam larutan zat pemacu tumbuh. Media semai harus steril dan bersifat menyimpan air. Biji disemai dengan bekas tangkai menghadap ke atas setengah bagian masuk dalam media, dibawah intensitas cahaya 30 %. Dipelihara intensif (penyiraman, pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama / penyakit). b) Anakan Alam. Cabutan anakan alam segera ditanam dalam polibag berisi media yang ditulari mikoriza. Urutan perlakukan (masing-masing satu bulan) adalah : 1) dengan sungkup + penyiraman + naungan penuh, 2) naungan 50 % + penyiraman + pemupukan, 3) terbuka penuh + penyiraman + pemupukan, dan 4) terbuka penuh dan tanpa penyiraman. c) Stek. Pembibitan dengan stek batang ataupun stek pucuk dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu pada media padat dan pada media cair. Penggunaan hormon pemacu tumbuh perlu dilakukan sekali dalam perbanyakan dengan cara stek.
3) Penyapihan. a) Semaian dari Biji. Penyapihan dilakukan setelah daun baru cukup kuat dan pada saat yang sama, media diinokulasi (ditularkan) dengan mikoriza. Naungan pada bedeng sapih diatur pada intensitas 30 – 50 %. Pemupukan dilakukan dengan pupuk majemuk (NPK) dan dilanjutkan dengan penyiraman mengikuti pola hardening off. b) Anakan alam. Setelah tumbuh daun baru dan kotiledon mulai jatuh dilakukan pemupukan dengan pupuk NPK. Selanjutnya dilakukan hardening off sampai bibit siap ditanam. c) Stek Batang / Pucuk. Penyapihan dilakukan setelah perakaran cukup dan diinokulasi dengan mikoriza. Selanjutnya dilakukan hardening off sampai bibit siap ditanam.
Pembuatan persemaian untuk memenuhi kebutuhan bibit siap tanam per satuan waktu tertentu perlu mendapat perhatian serius guna menunjang keberhasilan Rehabilitasi. Proses pembuatan persemaian tersebut secara garis besar meliputi : 1) Pemilihan lokasi persemaian dengan kriteria : mudah dijangkau dari segi pelaksanaan kerja dan pengangkutan, mudah mendapat air sepanjang tahun dan tanah permukaan harus subur, tekstur ringan / gembur dan bebas dari kerikil/batuan. 2) Luas areal netto untuk persemaian diperhitungkan berdasar perbandingan luas persemaian 1 ha dapat memenuhi kebutuhan bibit siap tanam untuk penanaman/pengayaan seluas 500 ha. 3) Penyiapan media persemaian (pemecahan, penyaringan, sterilisasi dan pencampuran) untuk pengisian bedeng tabur, bedeng semai, kantong semai dan kantong sapih dikumpulkan dari tanah lapisan atas yang subur dan gembur atau tanah gambut.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 22 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
4) Prasarana dan sarana khusus berupa : 1) bangunan (jalan, kantor, gudang, bengkel kerja dan rumah karyawan), 2) persemaian (bedeng tabur, bedeng semai dan bedeng sapih), 3) instalasi air untuk penyiraman, 4) sarana pengangkutan (kotak bibit, bak dorong, truk), 5) papan nama persemaian, bedeng tabur, dan bedeng sapih. 5) Peralatan meliputi : 1) peralatan kantor, 2) peralatan sterilisasi, 3) peralatan pembuatan bedeng (cangkul, parang), 3) peralatan pertukangan kayu, 4) peralatan pengairan (tangki, pompa air, pipa, selang air dan embrat), 5) peralatan pengolah media semai (pemecah, penyaring, alat sterilisasi, cangkul, sekop, garpu dll), 6) peralatan pemupukan dan pengendalian hama/penyakit (sprayer gendong, alat ukur dll), dan 7) peralatan stek. 6) Pembuatan bedeng tabur untuk penyemaian biji yang berukuran sangat kecil atau halus. Media semai yang telah disiapkan ditempatkan di dalam bedeng tabur yang tepi-tepinya diperkuat dengan papan. Pengadaan air untuk penyiraman dan pembuatan atap untuk penaungan perlu dikelola secara tepat. 7) Pembuatan bedeng sapih dengan bedengan mengarah utara-selatan dan bagian permukaan bersih dari perakaran. Bagian tepi bedengan diperkuat dengan papan untuk menampung polibag berisi tanaman sejumlah kurang lebih 500 batang per bedengan. Perlakuan hardening off dilakukan pada bedeng sapih ini.
11.
PEREMAJAAN
11.1.
Perlakuan Peremajaan
a. Peremajaan alami Areal bekas terbakar yang masih terdapat pohon hidup seperti areal yang terbakar secara ringan, titik hijau, pohon induk dll.) perlu diRehabilitasi menggunakan peremajaan alami. Areal untuk peremajaan alami di sekitar satu pohon induk (40cm up) tergantung pada jenis pohon, fisiografi, vegetasi di lantai hutan dll. Secara umum, radius penyebaran benih diperkirakan 10 m di sekeliling pohon induk (diukur dari batang). Kegiatan pemeliharaan peremajaan alami penting sekali dalam tahun-tahun awal.
b. Tanaman sisipan Tanaman sisipan adalah kegiatan Rehabilitasi pada areal hutan baik hutan primer maupun hutan sekunder yang terbakar dengan tingkat kerusakan berat. Tujuan kegiatan penanaman adalah untuk memperbaiki nilai dan produktivitas hutan. Kegiatannya adalah menanam bibit siap tanam dengan beberapa jenis campuran, jumlah sesuai tujuan dan pada tempat tumbuh yang sesuai. Penanaman jenis meranti dan kapur direkomendasikan dengan kerapatan 400 pohon per hektar, dan dijarangkan secara bertahap, sehingga pada akhir rotasi terdapat 100 pohon pilihan per hektar dengan kualitas kayu bernilai tinggi. Penanaman jenis lain,
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 23 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
non-dipterokarpa, jenis lokal atau jenis eksotis, kerapatan pohon pada awal penanaman dan pohon terpilih dapat berbeda sesuai dengan kebutuhan. c. Tanaman rapat Tanaman rapat adalah kegiatan peremajaan pada areal hutan yang terbakar dengan tingkat kerusakan sangat berat untuk memperbaiki produktivitas hutan. Tanaman rapat menyangkut penanaman jenis intoleran di 100% areal dengan jumlah sesuai tujuan dan pada tempat tumbuh yang sesuai menggunakan sistem THPB. Selain itu, sistem ini dilaksanakan di sekat bakar untuk membangun jaringan untuk pra-pemadaman (pre-supression) kebakaran hutan. 11.2.
Pengaturan Jarak Tanam Teknik pengaturan jarak tanam dipilih berdasarkan : 1) keunggulan guna menunjang kecepatan pertumbuhan dan kualitas yang baik (bentuk batang silindris, batang lurus, dan tinggi bebas cabang tergolong panjang); 2) kemudahan pelaksanaan di lapangan; dan 3) efisiensi tenaga dan biaya (semakin lebar jalur maka jumlah jalur per satuan luas makin sedikit sehingga makin efisien dalam hal penanaman dan pemeliharaan). Dengan demikian, disarankan tiga alternatif pengaturan jarak tanam untuk pengayaan dan reboisasi dengan jenis-jenis bagur lokal dengan tujuan yang sama. Ketiga alternatif pola tersebut adalah : 1) Pola penanaman larikan tunggal yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m atau dengan jarak jalur yang lebih besar dari pada jarak antara bibit – sebagai contoh 10 m x 2,5 m (atau yang lain - Gambar 4b.). Jarak tanam seperti ini juga akan efisien dari segi pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan. 2) Pola penanaman larikan kelompok seperti ditentukan di sistem TJTI. 3) Pola penanaman kelompok (=cluster) (Gambar 4a.) a) Satu klaster (kelompok tanaman) terdiri dari 4 pohon membentuk pola segitiga sama sisi dengan titik tengah pohon utama. b) Tiga pohon lainnya merupakan pohon pendamping di tanam membentuk segitiga sama sisi dengan jarak masing-masing 2 meter dari pohon target. c) Jarak antar klaster dalam jalur klaster adalah 8 meter dan jarak antar jalur klaster adalah 12,5 meter (dihitung antar titik pusat klaster) maka 100 klaster @ 4 pohon = 400 bt./ha. Keuntungan penanaman pola klaster : a) Kegiatan penanaman lebih efisien karena jumlah jalur tanaman lebih sedikit. b) Kegiatan pemeliharaan juga lebih efisien, 1 piringan besar berupa gabungan 4 piringan masing-masing dengan radius 2 m untuk 1 klaster tanaman. c) Persaingan intra species terhadap cahaya, mempercepat tinggi dan memperpanjang tinggi bebas cabang yang dapat mengurangi kegiatan pruning (self pruning). d) Penyulaman tanaman mati dilakukan hanya jika ke empat pohon tersebut mati, apabila masih hidup satu pohon tidak perlu dilakukan penyulaman.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 24 -
SFMP Document No. 6a (1999)
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
Gambar 4. Sketsa Pola Penanaman Klaster b. Jalur tanaman ( ∆ = satu klaster)
a. Satu klaster
12,5 m
• = Pohon Pusat ¢ = Pohon Pendamping
8m
° 2m
• °
11.3.
°
Pola Campuran Jenis Pohon Untuk melestarikan keanekaragaman hayati, perlu menanam 2 – 5 jenis pada suatu tempat, yaitu anak petak atau petak. Maka pola pencampuran jenis dibedakan dengan alternatif komposisi jenis yang diinginkan (sebagai contoh): 50% jenis A, 25% jenis B, 25% jenis C: Campuran per jalur: setiap tiga jalur tanaman atau jalur klaster ditanam jenis berbeda: A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
B B B B B B B B B B B B B B B
B B B B B B B B B B B B B B B
B B B B B B B B B B B B B B B
A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
C C C C C C C C C C C C C C C
C C C C C C C C C C C C C C C
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
C C C C C C C C C C C C C C C
- 25 -
SFMP Document No. 6a (1999)
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
Campuran sisipan: maka jenis yang sedikit ditanam disisipkan dalam blok tanaman utama, dengan masing-masing sisipan minimal 3 jalur x 3 baris tanaman: A A A B B B A A A B B B
A A A B B B A A A B B B
A A A B B B A A A B B B
C C C A A A C C C A A A
C C C A A A C C C A A A
C C C A A A C C C A A A
A A A B B B A A A B B B
A A A B B B A A A B B B
A A A B B B A A A B B B
C C C A A A C C C A A A
C C C A A A C C C A A A
C C C A A A C C C A A A
Tanaman dalam bentuk klaster adalah satu cara khusus untuk campuran per sisipan dengan empat bibit per kelompok. Campuran satu per satu jenis sebaiknya tidak digunakan, karena kompetisi antara jenis-jenis pohon berbeda tinggi sekali. Oleh karena itu, perlu pemeliharaan secara lebih intensif dibanding dengan pola campuran yang lain untuk mempertahankan keberadaan jenis pohon dengan potensi pertumbuhan yang lebih kecil dan untuk efisiensi biaya Rehabilitasi. A B A C A B A C A B A C
B A C A B A C A B A C A
A C A B A C A B A C A B
C A B A C A B A C A B A
A B A C A B A C A B A C
B A C A B A C A B A C A
A C A B A C A B A C A B
C A B A C A B A C A B A
A B A C A B A C A B A C
B A C A B A C A B A C A
A C A B A C A B A C A B
C A B A C A B A C A B A
Secara umum kegiatan penanaman meliputi : a) Persiapan yang meliputi pembentukan regu kerja (ketua, perintis, pengarah kompas, pembuat jalur, pemasang ajir, pembuat lubang tanam, pembawa dan penanam bibit), persiapan peta kerja serta persiapan peralatan & perlengkapan kerja. b) Pemilihan/seleksi bibit siap tanam dengan kualitas baik (tinggi minimal ≥ 30 cm, jumlah daun ≥ 10 helai, tumbuh sehat, telah hardening off, bebas hama dan penyakit). Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi (pengurangan kebutuhan pemeliharaan dll.), bibit besar (tinggi ≥0,8m) dapat dicoba.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 26 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
c) Pemilihan jenis bibit berdasar rencana areal sesuai kecocokan tempat tumbuh (lihat di atas), d) Pemuatan bibit ke dalam kemasan/kotak dan pengangkutan dengan truk, dan sebelum pengangkutan disiram terlebih dahulu untuk menjaga kelembaban, e) Sebelum ditanam, bibit ditempatkan pada penampungan sementara yang dipilih sedemikian sehingga bibit tidak mengalamai penurunan kualitas. Persayaratan yang harus dipenuhi adalah dekat areal penanaman bebas hama dan penyakit, ada naungan, dan dekat dengan sumber air sehingga mudah melakukan penyiraman (setiap hari). f) Pembuatan jalur penanaman dengan cara membuat rintisan dengan arah utara-selatan untuk mengurangi intensitas cahaya karena sebagian besar meranti rentan terhadap cahaya. g) Pemasangan ajir sesuai dengan pola penanaman yang ditetapkan pada areal tersebut. Pada pola klaster, ajir pertama ditancapkan pada titik pusat kluster, dan selanjutnya pada titik pendamping pertama searah jalur dengan jarak 2 meter, dan dua titik pendamping lainnya bersudut 120o dengan jarak 2 meter. Apabila di dekat titik ajir terdapat peremajaan alami setinggi 30 cm atau lebih maka pada ajir diberi tanda khusus untuk tidak dilakukan penanaman tetapi cukup dengan pendangiran. h) Pembuatan lubang tanam dilakukan kurang lebih satu minggu sebelum waktu penanaman. Ukuran lubang tanam adalah sedalam 30 cm, dan lebar 30 cm x 30 cm. Lubang dibuat pada setiap ajir kecuali pada yang bertanda khusus maka cukup dilakukan pendangiran peremajaan alami. Lubang tanam bagian bawah (± 15 cm) ditimbun dengan tanah lapisan olah (top soil). i) Penanaman satu bibit per lubang dengan cara yang akan menghasilkan pertumbuhan baik (pembukaan polibag menjaga keutuhan perakaran, penanaman tegak sampai batas leher perakaran, pengisian lubang dengan tanah yang gembur, pemadatan tanah secara hati-hati). j) Setelah bibit selesai ditanam selanjutnya dilakukan penutupan dengan mulsa berupa serasah atau bentuk mulsa lainnya, dan dilanjutkan dengan pendangiran berbentuk lingkaran berdiameter 1 m dengan pusat tanaman pokok. k) Jalur antara dua jalur penanaman dibiarkan agar memungkinkan pertumbuhan peremajaan alami jenis setempat untuk tujuan pelestarian jenis lokal komersil. Setelah kegiatan penanaman selesai dilaksanakan maka dilakukan pengamatan dan pencatatan yang selanjutnya dijadikan sebagai data masukan untuk pengolahan data dan pelaporan. Hal-hal dan parameter yang perlu diamati dan dicatat adalah : 1) lokasi penanaman atau pengayaan berdasar penomoran anak petak, petak dan blok RKT penebangan, 2) Jumlah petak yang dilakukan penanaman atau pengayaan, 3) jenis dan jumlah bibit yang ditanam, 4) jumlah dan jenis peremajaan alami pada petak pengayaan yang dibina sebagai tanaman pokok, dan 5) prestasi kerja yang dicapai meliputi jumlah anggota regu dan jumlah hari kerja. Setelah seluruh catatan hasil pengamatan terkumpul, maka dilakukan rekapitulasi untuk setiap petak kerja 100 ha yang ditangani oleh penanggung jawab kegiatan. Kegiatan terakhir Rehabilitasi (penanaman /
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 27 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
pengkayaan) adalah pelaporan seluruh kegiatan dan merupakan penggabungan dari seluruh rekapitulasi petak.
12.
PEMBUATAN SEKAT BAKAR Upaya Rehabilitasi hutan produksi bekas terbakar merupakan investasi besar dan berjangka panjang dengan resiko kebakaran ulang. Pencegahan kebakaran ulang merupakan syarat utama dalam perlindungan hutan guna mengamankan investasi. Dengan demikian upaya Rehabilitasi harus selalu diikuti upaya pencegahan kebakaran, yang salah satu caranya adalah pembuatan sekat bakar. Pengelolaan sekat bakar agar berfungsi efektif harus diintegrasikan dengan sistem peringatan dini (early warning system), pengembangan dan pelatihan unit pengendalian kebakaran hutan serta sarana dan prasarana, pengendalian kebakaran batubara dan pelibatan masyarakat sekitar hutan (lihat Beebe, G. dan Nicolas, M., 1999). Sekat bakar pada prinsipnya menghalangi menjalarnya api dari suatu areal kebakaran ke areal lain. Oleh karena itu, semacam jaringan sekat bakar perlu dikembangkan di seluruh areal Rehabilitasi, yang dapat dipergunakan garis pertahanan pengendalian api. Sekat bakar dibuat pada kiri-kanan jalan hutan dengan pemilihan areal mengikuti rencana pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan (patroli, garis pertahanan pada tim pemadaman kebakaran). Prioritas adalah pada areal rawan kebakaran dengan kriteria dekat pemukiman, dekat kegiatan manusia di hutan dan jumlah bahan bakar tersedia. Sekat bakar selain mencegah menjalarnya api juga berfungsi sebagai garis pertahanan bagi regu pemadam kebakaran dalam upaya pemadaman kebakaran pada saat terjadi kebakaran. Secara umum, ada dua tipe sekat bakar, yaitu jalur kuning dan jalur hijau. Jalur kuning adalah suatu sekat bakar yang terbuka, bersih dan bebas vegetasi, bahan bakar atau hanya ditutupi dengan biomasa sedikit. Karena masalah erosi, jalur kuning hanya dapat dikembangkan di areal datar di mana tanah kurang kena erosi. Di daerah lain, sekat bakar terdiri dari jalur hijau (jalur yang ditanam rapat dengan tanaman yang tahan api) serta jalan hutan yang berfungsi sebagai jalur kuning. Lebar sekat bakar bisa ditentukan sesuai dengan kondisi alam, bahaya kebakaran dan target pengelolaan hutan dengan minimum dua kali tinggi pohon yang ada di tempat. Pembuatan sekat bakar (Gambar 5.) dilakukan sebagai berikut: 1) Pada jalan utama, lebar total sekat bakar adalah sebagai contoh 65 meter yang terdiri atas: a) Jalan utama (jalan dua arah, lebar 10 m) dan jalur tebang matahari (dari as jalan 7,5m kanan dan kiri). b) Dua jalur hijau di kiri dan kanan jalur tebang matahari selebar masingmasing 25 m.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 28 -
SFMP Document No. 6a (1999)
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
2) Pada jalan cabang, lebar total sekat bakar adalah 56 meter yang terdiri atas : a) Jalan utama diasumsikan selebar 6 m dan merupakan jalan dua arah. b) Dua jalur hijau di tepi kiri dan tepi kanan jalan dengan lebar masingmasing 25 m. 3) Sebagai contoh, penanaman jalur hijau dengan jarak tanam 3 x 3 m, dan dengan lebar jalur hijau 50 meter atau lebih, terdapat 16 baris tanaman, dan setiap baris dalam 1 km jarak jalan ada 334 tanaman sehingga 1 km (luas = 5 ha) sekat bakar terdapat 5.344 pohon. Areal harus bersih dari limbah kayu dan pohon mati dan hidup. Limbah kayu dari penyiapan lahan didorong kebatas dengan tepi jalan supaya lantai bersih dari bahan bakar (jalur penimbun limbah kayu). Kalau jalan di atas punggung bukit dengan lereng curam, sebaiknya menimbun limbah kayu di bawah. 4) Pemeliharaan jalur hijau secara intensif harus dilakukan pada saat tingkat rawan kebakaran dinilai tinggi. Dalam masa ini, jalur pemeliharaan perlu dipelihara terus menerus agar permukaan tanah bersih dari gulma dan serasah tanaman (bahan bakar) guna menghindari perambatan api dari bawah. Sisa jalur hijau dapat dipelihara lebih extensif untuk menghindari, bahwa gulma maupun semak menjadi terlalu tinggi (> 0,5 m). Pada areal berlereng pemeliharaan harus lebih intensif karena kecepatan pembakaran lebih tinggi dibanding areal datar.
Sekat Bakar 65 m atau lebih Jalur Kuning 15 m
Jalur Hijau 25 m atau lebih
Jalur Hijau 25 m atau lebih
Tebang Matahari 7,5 m 7,5 m Jalur Pemeliharaan Intensif 5m
5m
Jalan Utama 10 m
2,5m
2,5m
Jalur Penimbun Limbah Kayu
Gambar 5. Sketsa Sekat Bakar pada Jalan Utama
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 29 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Sekat bakar berperan penting untuk pemadaman kebakaran hutan: - pada saat bahaya kebakaran tinggi, dilakukan patroli terus menurus secara periodik pada semua sekat bakar; - walaupun diharapkan, bahwa api bisa mati sendiri di sekat bakar, patroli harus panggil regu pemadaman kebakaran dilengkapi peralatanya guna respon cepat saat patroli menemukan kebakaran mendekati sekat bakar; - pada saat terjadinya kebakaran hutan berat, sekat bakar dapat dijadikan tempat awal dimana memulai upaya pemadaman seperti pembakaran balik (backfiring) atau kegiatan pemadaman dengan air atau alat tangan.
13.
PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA Tanaman Rehabilitasi maupun peremajaan alami merupakan aset utama bagi keberlanjutan fungsi produksi dan pencapaian tujuan perusahaan. Pemeliharaan tanaman diperlukan pada tanaman muda untuk membuat kondisi tempat tumbuh lebih baik guna menjamin pertumbuhan optimal. Dalam hal ini tanaman baru dibebaskan dari berbagai tumbuhan pengganggu dan untuk mempertahankan jumlah tanaman. Pemeliharaan secara garis besar dilakukan dengan cara : 1) penyiangan (membersihkan jalur penanaman atau seputar tanaman, memberantas gulma dan pohon pengganggu, dan membabat rumput sepanjang jalur atau seputar tanaman), 2) penyulaman (melakukan penanaman baru untuk menggantikan tanaman yang mati, dan 3) pendangiran (menggemburkan tanah di sekeliling tanaman muda untuk memperbaiki sifat fisik tanah).
Kegiatan pemeliharaan mengikuti panduan sebagai berikut : 1) Pelaksanaan oleh satu regu (6 orang) yaitu : kepala regu sekaligus sebagai pencatat data (1 orang SKMA/KKMA), pekerja pemeliharaan (4 orang) dan pembantu umum (1 orang). 2) Setiap regu membawa peralatan dan perlengkapan terutama berupa peta, kompas, alat penebas (kapak, parang), alat pendangir (cangkul atau linggis) dan peralatan tulis. 3) Penanaman dengan pola standard (sbg. contoh jarak tanam 5m x 5m dan 10m x 2,5m) pemeliharaan dilakukan pada jalur selebar 2m di samping kiri dan 2m disamping kanan jalur tanaman. 4) Pada pola penanaman klaster pemeliharaan berbentuk 1 piringan besar berupa gabungan 4 piringan masing-masing dengan radius 2 m untuk 1 klaster tanaman (Gambar 4.). 5) Pada areal hutan bekas terbakar, oleh karena areal menjadi terbuka akan banyak ditumbuhi tanaman pionir dengan daya regenerasi (generatif dan vegetatif) yang tinggi sehingga penyiangan harus lebih intensif dengan cara dicabut atau didongkel sampai perakaran. 6) Gulma perambat (kecuali rotan yang bernilai tinggi) harus diberantas setiap kali muncul.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 30 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
7) Biomass hasil penyiangan digunakan untuk mulsa tanaman, untuk mengembalikan siklus hara, dan melindungi permukaan tanah. 8) Pemeliharaan pertama kali dilakukan sejak tanaman berumur 4 bulan guna menekan pertumbuhan tanaman pengganggu terutama pohon pionir sedini mungkin. 9) Pemeliharaan dilakukan sampai dengan lima tahun setelah tanam dengan frekuensi : - Penyiangan gulma dapat dilakukan apabila tinggi gulma melebihi 4/5 tinggi tanaman. - Tahun ke-1 dilakukan 4 kali setahun, - Tahun ke-2 dilakukan 3 kali setahun, - Tahun ke-3 dilakukan 2 kali setahun, - Tahun ke-4 dan tahun ke-5 dilakukan masing-masing 1 kali setahun, 10) Penyulaman dilakukan pada musim hujan setelah mendapatkan data kematian pohon, dengan jenis bibit yang sama dan kelas ukuran tertinggi dari tanaman yang tumbuh di lapangan. 11) Jalur di antara dua jalur tanaman/klaster dibiarkan tumbuh peremajaan alami atau pohon jenis lokal untuk tujuan pelestarian potensi genetik dan keanekaragaman hayati terutama jenis-jenis lokal yang bernilai tinggi atau dilindungi. 12) Pelaporan (berdasar pencatatan saat melakukan kegiatan pemeliharaan) disusun dengan baik dan teratur karena data/informasi yang diperoleh sangat diperlukan sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan perlakuan sivikultur berikutnya. Laporan harus memuat data atau informasi sebagai berikut : a) Lokasi pemeliharaan (nomor anak petak, petak dan blok RKT) serta luas masing-masing. b) Kegiatan yang dilakukan pada masing-masing lokasi. c) Data kematian pohon (jenis, jumlah dan lokasi pohon mati atau tidak sehat karena terserang hama / penyakit) untuk pedoman pelaksanaan kegiatan penyulaman. d) Jumlah tenaga kerja, prestasi kerja dan jumlah biaya yang dikeluarkan.
14.
PEMBEBASAN TAJUK Pembebasan vertikal adalah kegiatan pemeliharaan untuk memberikan sinar langsung dan ruang tumbuh yang memadai sesuai kebutuhan tanaman maupun peremajaan alami. Tujuannya adalah untuk menjamin pohon binaan mencapai riap maksimum yang diharapkan. Pohon binaan dimaksud adalah pohon tanaman dan pohon terpilih yang terdapat pada jalur antara. Kegiatan dilakukan apabila tanaman binaan ternaungi atau tersaingi tajuknya oleh pohon lain setelah pohon berumur 4 (empat) tahun bersamaan dengan kegiatan pemeliharaan dan berikutnya setelah tanaman berumur 6 tahun.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 31 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
Cara pembebasan adalah dengan pedoman sebagai berikut : 1. Regu kerja untuk pelaksanaan pembebasan terdiri dari 8 orang pekerja yaitu : kepala regu sekaligus sebagai pencatat data (1 orang SKMA/KKMA), pekerja penebasan semak belukar sekitar pohon (4 orang), pekerja pembunuh pohon pesaing (2 orang), dan pembantu umum membawa perlengkapan dan peralatan (1 orang). 2. Setiap regu membawa peralatan dan perlengkapan terutama berupa peta kerja, kompas, alat penebas (kapak, parang), alat dan bahan peracun tanaman, serta peralatan tulis. 3. Pemilihan pohon binaan dilakukan oleh kepala regu dengan menandai pohon, berdasar kriteria sebagai berikut : a) Kriteria berjenjang, pertama vitalitas pohon (ukuran besar, batang tegap & tanpa cacat, batang dan tajuk sehat, rimbun & seimbang dengan besar batang), ke-dua kualitas (batang lurus, silindris, dan bebas cabang tinggi), dan terakhir penyebaran (baik : 5 - 9 m). b) Jenis komersial utama setempat dan semua jenis-jenis dilindungi. c) Semua pohon tegakan tinggal berdiameter lebih dari 40 cm, batang lurus dan silindris, serta bebas cabang lebih dari 6 m. 4. Semak belukar dan perambat di sekeliling pohon binaan ditebas hingga bersih untuk menekan gulma bertunas dan tumbuh lagi (= kegiatan pemeliharaan). 5. Pohon pesaing yang tajuknya menaungi atau mendesak tanaman binaan berdiameter kurang dari 10 cm ditebang dan pohon pesaing berdiameter lebih dari 10 cm dibunuh dengan peracunan. 6. Pencatatan dilakukan pada saat kegiatan pembebasan mengenai data/informasi yang sangat diperlukan dalam perencanaan dan perlakuan pembebasan berikutnya. Hasil pencatatan dimuat dalam bentuk laporan yang memuat data atau informasi sebagai berikut : d) Lokasi pembebasan (nomor anak petak, petak dan blok RKT) serta luas masing-masing. e) Kegiatan pembebasan yang dilakukan pada masing-masing lokasi. f) Informasi pohon binaan (jenis, jumlah dan lokasi) dipilahkan berdasar pohon Rehabilitasi dan pohon terpilih pada jalur antara. g) Jumlah tenaga kerja, prestasi kerja dan jumlah biaya yang dikeluarkan.
15.
PENJARANGAN Penjarangan dilakukan dengan tujuan memusatkan peningkatan riap tegakan pada pohon binaan. Prinsip teknis penjarangan adalah pemilihan pohon binaan terbaik, menciptakan ruang yang cukup longgar bagi pohon binaan serta membebaskannya dari persaingan perakaran / unsur hara dan persaingan tajuk. Aktivitas utama penjarangan adalah meniadakan pohon penyaing yang tajuknya menaungi atau mendesak pohon binaan. Tata waktu dan intensitas penjarangan disesuaikan dengan tujuan produksi. Pelaksananaan dapat dimulai bilamana pohon telah berupa tingkat tiang atau dengan diameter lebih besar dari 10 cm
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 32 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
(tahun ke-10 setelah penanaman untuk jenis meranti) dan selanjutnya setelah tahun ke-15. Kegiatan penjarangan mengikuti pedoman sebagai berikut : 1. Regu kerja untuk pelaksanaan pembebasan terdiri dari 6 orang pekerja yaitu : kepala regu bertugas memilih dan menetapkan pohon binaan sekaligus sebagai pencatat data (1 orang SKMA/KKMA, memiliki ketrampilan & pengetahuan memadai untuk penjarangan), pekerja penebasan semak belukar sekitar pohon binaan (2 orang), pekerja pembunuh pohon pesaing (2 orang), dan pembantu umum membawa perlengkapan dan peralatan (1 orang). 2. Setiap regu membawa peralatan dan perlengkapan terutama berupa peta kerja, kompas, alat penebas (kapak, parang), alat dan bahan peracun tanaman (arborisida), serta peralatan tulis. 3. Pemilihan dan penetapan pohon binaan terbaik yang harus dirawat dan pohon pesaing yang harus dibunuh dilakukan oleh kepala regu dengan menandai pohon. Pemilihan dilakukan berdasar kriteria berjenjang, pertama vitalitas pohon (ukuran besar, batang tegap & tanpa cacat, batang dan tajuk sehat, rimbun & seimbang dengan besar batang), ke-dua kualitas (batang lurus, silindris, dan bebas cabang tinggi), dan terakhir penyebaran (baik : 5 9 m). 4. Penjarangan pertama (Penjarangan I) ditetapkan sekitar 100 pohon binaan dengan mematikan 1 sampai 2 pohon pesaing utama dengan persaingan paling ketat. 5. Penjarangan kedua (Penjarangan II) ditetapkan pohon binaan terpilih yang merupakan pohon final yang akan dipanen setelah siap tebang saat waktu rotasi tercapai penuh. 6. Pencatatan kegiatan penjarangan pertama dan kedua diperlukan dalam perencanaan pemanenan pada akhir daur. Hasil pencatatan dimuat dalam bentuk laporan yang memuat data atau informasi sebagai berikut : a) Lokasi penjarangan (nomor anak petak, petak, blok RKT) serta luas masing-masing. b) Kegiatan penjarangan yang dilakukan pada masing-masing lokasi. c) Informasi pohon binaan (jenis, jumlah dan posisi) dipilahkan berdasar pohon binaan hasil Rehabilitasi dan pohon binaan terpilih pada jalur antara. d) Jumlah perlengkapan dan bahan (terutama arborisida) yang digunakan. e) Jumlah tenaga kerja, prestasi kerja dan jumlah biaya yang dikeluarkan.
16.
PERLINDUNGAN HUTAN Perlindungan hutan adalah segala usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh manusia, kebakaran hutan, fenomena alam, serta menjaga keamanan hutan dan hasil hutan sebagai hak negara. Pemegang HPH wajib menyelenggarakan dan bertanggungjawab serta diberi wewenang untuk melakukan pengamanan hutan di areal pengusahaan hutannya. Tugas utama dan wewenang HPH dalam perlindungan hutan meliputi :
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 33 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
1. Pembentukan organisasi khusus perlindungan hutan di dalam organisasi pelaksana pengusahaan hutan. 2. Menjaga keutuhan areal HPH, mencegah dari pendudukan, pengerjaan areal, penggunaan tanah, penggembalaan ternak dan pengambilan rumput makanan ternak. 3. Mencegah penebangan tegakan hutan secara tidak sah. 4. Mencegah dan memadamkan kebakaran / pembakaran hutan. 5. Mencegah pemungutan dan pengangkutan hasil hutan, pengambilan serasah hutan dan perburuan satwa liar tanpa dokumen yang sah. 6. Mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh fenomena alam. 7. Mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 8. Mengamankan seluruh asset hutan dari gangguan keamanan dan ketertiban. 9. Melakukan Rehabilitasi kembali areal hutan yang rusak apabila terjadi kerusakan hutan akibat penebangan kayu liar, perambahan hutan, pengerjaan tanah hutan dan kebakaran/pembakaran. Dalam kaitannya dengan Rehabilitasi, dengan melihat kejadian kebakaran hutan belakangan ini, maka dapat disimpulkan bahwa musuh utama terhadap keberhasilan tanaman adalah api. Upaya pencegahan kebakaran ulang dan pengembangan sistem pengendalian kebakaran hutan menjadi prioritas penting untuk dilaksanakan. Intensitas upaya pencegahan kebakaran dibedakan berdasar tingkat kerawanan areal terhadap kebakaran, pada areal dengan tingkat kerawanan kebakaran tinggi maka diperlukan perlindungan dengan intensitas tinggi juga. Upaya pencegahan kebakaran ulang di areal HPH dapat dilakukan dengan pembuatan sekat bakar (jalur kuning dan jalur hijau) dengan ditanami jenis-jenis tahan api dan mudah penanganannya. Terpadu dengan pembuatan sekat bakar perlu dilakukan inventarisasi sungai-sungai yang dapat dijadikan sumber air pada saat musim kemarau dan apabila diperlukan membuat kantong-kantong air pada lokasi tertentu. Pencegahan kebakaran akan efektif apabila melibatkan masyarakat sekitar melalui pendekatan sosial-budaya. Pengembangan sistem dan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian kebakaran di areal pengusahaan hutan meliputi sistem atau kegiatan-kegiatan : a) Sistem peringatan dini kebakaran hutan b) Penguatan organisasi pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan c) Pelatihan personil untuk peningkatan pemahaman perilaku kebakaran hutan dan kemampuan pengendalian kebakaran. Materi pelatihan yang penting adalah : 1) sistem klasifikasi tingkat kerawanan kebakaran sesuai kondisi spesifik areal HPH, 2) kondisi lapangan, cuaca dan perilaku api, 3) sistem komunikasi dan informasi, 4) cara / teknis operasional pengendalian kebakaran, dan 5) pencegahan dan penanggulangan keselamatan dan kecelakaan kerja dalam penanggulangan kebakaran. d) Pengadaan, penyiapan dan pemeliharan peralatan pemadaman kebakaran hutan.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 34 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
e) Pengaktifan sistem patroli, komunikasi dan informasi pemantauan penyebaran kebakaran. f) Pengendalian kebakaran hutan. g) Pengendalian kebakaran batubara. Pelibatan masyarakat dalam sistem pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan.
17.
ORGANISASI Organisasi merupakan pengelola Rehabilitasi dan untuk mencapai tujuan Rehabilitasi secara efisien organisasi harus disusun dan dikelola dengan berfokus pada ketepatan, kelancaran dan efisiensi pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi. Namun, pada masa-masa yang akan datang sesuai dengan volume kerja dan tujuan Rehabilitasi yaitu menanam dan menghasilkan kayu bernilai tinggi serta memenuhi syarat layak secara finansial, maka penganggungjawab Rehabilitasi ini akan menerima wewenang dan tugas yang jauh lebih besar. Perlu diketahui kalau struktur organisasi yang ada mampu untuk melaksanakan kegiatan Rehabilitasi dalam sekala besar. Kalau tidak, maka perlu dilakukan penyesuaian struktur organisasi HPH agar memungkinkan bagian yang bertanggung jawab bergerak secara efektif dan efisien dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Struktur tersebut harus diisi dengan sumberdaya manusia yang memiliki pengalaman dan kualifikasi memadai. Penyesuaian organisasi mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : a) Tingkat kemudahan penguasaan pengetahuan dan teknologi baru mengenai sistem silvikultur. b) Volume pekerjaan Rehabilitasi (cakupan wilayah, luas, dan jumlah tanaman) dibandingkan dengan kapasitas aktual, per satuan target waktu tertentu. c) Prestasi kerja alat dan regu atau personil pelaksana. d) Tantangan masa depan untuk menuju pengelolaan hutan produksi lestari termasuk didalamnya pembentukan kompartemen. e) Perlunya pengelolaan keuangan secara mandiri khusus untuk unit pengelolaan Rehabilitasi. f) Perlu ditingkatkanya keterlibatan masyarakat dalam Rehabilitasi hutan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka arahan langkah penyesuaian organisasi pengelolaan Rehabilitasi meliputi : a) Penyusunan rencana pengembangan organisasi dan SDM sesuai dengan rencana operasional Rehabilitasi. b) Penilaian internal kapasitas organisasi, pengelolaan dan sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas yang diperlukan untuk Rehabilitasi. c) Penyesuaian struktur organisasi dan kaitannya dengan bidang pembinaan hutan. d) Penyesuaian sistematika kerja organisasi (pembagian wewenang, tanggung jawab dan deskripsi tugas, dan koordinasi dengan bidang lain).
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 35 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
e) Penyusunan standard operasional prosedur guna menjamin pelaksanaan Rehabilitasi berjalan efektif dan efisien. f) Peningkatan sumberdaya manusia dalam hal kepemimpinan, pengetahuan dan teknologi Rehabilitasi, pengelolaan keuangan dan pengelolaan Rehabilitasi melibatkan masyarakat.
18.
KETERLIBATAN MASYARAKAT Secara umum, ada beberapa cara untuk melibatkan masyarakat setempat dalam kegiatan Rehabilitasi hutan secara aktif untuk menciptakan kesejahteran melalui Rehabilitasi. 1. Tenaga Kerja: Rehabilitasi hutan bekas terbakar adalah satu kegiatan dengan sifat padat karya (penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan). Ini berarti, bahwa kegiatan pemulihan bisa menyediakan peluang kerja untuk banyak tenaga kerja. Dalam rangka itu, perlu mempriorisasikan tenaga kerja dari lingkungan daerah HPH. 2. Pemborong: Perusahaan HPH bisa menawarkan kepada masyarakat setempat menjadi pemborong dengan menggunakan bentuk hukum koperasi untuk membantu HPH dalam pelaksanaan Rehabilitasi. Kegiatan-kegiatan ini bisa menyangkut persemaian, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, logisik dll. 3. Pembagian Hasil: Dalam rangka ini, perusahaan HPH dan masyarakat setempat (sebagai individu, kelompok tani atau koperasi) membuat berjanjian mengenai pembagian tugas. Sebagai contoh, HPH menyediakan lahan, bibit, penyuluhan dll.; masyarakat menyediakan tenaga kerja dan perjanjian untuk menjual hasil (yaitu: kayu) kembali kepada perusahaan. Dari harga itu, biaya masukan perusahaan dipotong sesuai dengan perjanjian dulu. Kalau hasil hutan dijual keluar, pendapatan dibagi dengan porsentase yang diberjanji dulu. Alternatif ini berpotensi khususnya di areal dekat desa/pemukiman untuk pengelolaan sekat bakar (jalur hijau) dan di areal dengan tuntutan lahan dari masyarakat (tumpang tindih). Kemungkinan ini bisa dipakai secara pragmatis sampai masalah tanah ini dipecahkan melalui penataan batas secara partisipatif. 4. Pembagian Saham: Masyarakat sebagai pemegang saham berperan paling aktif dalam pemulihan areal HPH (joint forest management). Dengan demikian, resiko pengusaha, penghasilan dan pertanggungan jawab perusahaan dibagi secara keseluruhan. Dalam rangka ini penting sekali untuk menentukan persentase optimal
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 36 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
saham masyarakat dan bagaimana cara pemilikan perusahaan se-wajarmungkin untuk seluruh pemegang saham.
19.
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Penelitian merupakan dasar bagi penggalian pengetahuan mengenai aspek-aspek penting yang dinilai sangat mempengaruhi keberhasilan Rehabilitasi. Hasil penelitian difokuskan pada pengembangan konsep dan teknik silvikultur serta pengelolaan Rehabilitasi yang dapat diterapkan untuk perbaikan sampai pada tingkat operasional untuk mendukung tercapainya tujuan. Dengan demikian penelitian dan pengembangan akan menjadi titik pusat pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengelolaan Rehabilitasi. Topik-topik yang bisa diteliti adalah sebagai contoh: a. b. c. d. e.
Pertumbuhan Peremajaan alami pada Areal Bekas Terbakar (Suksesi Alam) Penelitian Pertumbuhan Tanaman Efektifitas dan Efisiensi Pemeliharaan Tanaman Kecocokan Jenis dengan Tempat Tumbuh / “Site-Species Matching” Penamanan Jenis Tanaman Bermanfaat Ganda (MPTS)
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 37 -
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP Document No. 6a (1999)
DAFTAR PUSTAKA Ditjen RRL Departemen Kehutanan, 1987. Pedoman Sistem Pengendalian Kebakaran Hutan pada Unit Hutan tanaman Industri.
DitJen PHP, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Surat Edaran No. 259/IV-BPH/1999 Pokok-pokok pengaturan tebang penyelamatan di areal HPH bekas kebakaran. DitJen PHP, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Surat Edaran No. 1200/IV-BPH/1999. Penyempurnaan Surat Edaran No. 259/IVBPH/1999 Pokok-pokok pengaturan tebang penyelamatan di areal HPH bekas kebakaran. DitJen PH, Departemen Kehutanan, 1995. Petunjuk Teknis Penanaman dan Pemeliharaan Jenis Unggulan Meranti. SK DitJen PH No.15/Kpts/IV-BPH/1995. DitJen PH, Departemen Kehutanan, 1993. Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. SK DitJen PH No. 151/Kpts.IV-BPHH/1993. Hess, P. dan Tangketasik J. 1994. The Establishment of a Demonstration Plot for Rehabilitation of Forest affected by Fire in East Kalimantan. Final Reoport on the Implementation of the ITTO Demonstration Plot. ITTO Reference No. PD 84/90 (F) ITTO-Report No. 3. Beebe, G. dan Nicolas, M., 1999. Fire Management in the Logging Concessions and Plantation Forests of Indonesia. EU, IFFM-GTZ dan DepHutbun. IFFM, SFMP, 1999. Burned areas of the 1997/98 Fires in East Kalimantan. unpubl. report in process. Irsyal, Y., Smits, W.T.M., 1988a. Metoda Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Dep.Kehutanan. Badan Litbang. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Edisi Khusus. Kollert, W., Zuhaidi, A., Weinland, G., 1994, Sustainable Management of Plantation for Dipterocarps Species, Silviculture and Economics. 5th Roundtable Conference on Dipterocarps : Recent Advances in Dipterocarps Research for Sustainable Forest Management. Chiang Mai. Thailand. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Prawira S.A., Kadir, K., 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira S.A., Kadir, K., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Menteri Pertanian, 1980. Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. SK Mentan No. 837/ Kpts/Um/11/1980.
-D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication\SFMP Document 1999\Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc
- 38 -
SFMP Dephutbun gtz
Petunjuk Teknis Pemulihan Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH
SFMP, 1998. Panduan Survey Orientasi di Areal HPH untuk Pengelolaan Hutan Lestari. SFMP Document No. 8 SFMP, 1999. Technical Guideline for Salvage Felling in Rehabilitation Areas after Forest Fires. Panduan Teknis Tebang Penyelamatan di Areal Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar. SFMP Document No. 1 (1999). Smits, W.T.M., 1986. Pedoman Sistim Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Dep.Kehutanan. Badan Litbang. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Edisi Khusus. 34pp. Smits, W., Leppe, D., Noor, M., 1988b. Medode Inokulasi untuk Persemaian Dipterocarpaceae. Dep.Kehutanan. Badan Litbang. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Edisi Khusus. 33 pp. Weinland, G., 1996. Short Note on High Quality Timber Tree Plantation. Malaysian - German Sustainable Forest Management and Conservation Project. Malaysia.
- 39 -D:\My Documents\stenly\Publication \SFMP Publication \SFMP Document 1999 \Doc. No.6a - 1999 \Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar.doc