PENGARUH KEBAKARAN HUTAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN KIMIA TANAH DI AREAL HPH PT ITCI KARTIKA UTAMA The Influence of Forest Fire on Physical and Chemical Soil Properties at PT ITCI Kartika Utama Forest Concession Area Ibrahim1), Daddy Ruhiyat1) dan Maman Sutisna2)
Abstract. This research was aimed to evaluate the dynamic of physical and chemical soil properties resulted from five years after forest fire. Within the forest concession area of PT ITCI Kartika Utama, where this research took place, some areas were selected as research area. The criteria applied for selection were: (a) the forest vegetation was heavily disturbed by fire and (b). the slope percentage was less than 40 %. All forest areas fullfilling those criteria were classified by the company as the forest area to be rehabilitated. Physiographically, the research area consisting of four land systems, those were Lawanguwang (LWW), Teweh (TWH), Beriwit (BRW) and Tewai Baru (TWB). In order to evaluate the change in soil physical and chemical properties after forest fire, comparative method on land system basis were used to differentiate the soil condition under burnt forest from those under unburnt forest. Physical soil parameters analized were texture, porosity and bulk density, whereas chemical parameters consists of pH, Total N, Total C, availables P and K, exhangeable cations (Ca, Mg, K, Na, Al, H). The research results are as follows: three soil types developed at the study area were: Plinthic Tropudult, Orthoxic Tropudult, and Typic Dystropept. Instead of the absence of argillic horizon, similar to Ultisol soils, Typic Dystropept of the study area had a very low fertility status, indicating maturity in their development stage. The influence of 5 years old forest fire especially on chemical soil properties could still clearly recognized. In term of soil physics, forest fire resulted in a decline in total number of micro and meso pores of soil at 0–30 cm depth. To the soil chemical properties, effects of forest fire were: (a) Increasing of soil pH status from acid to slightly acid (BRW, TWH, TWB: at 0 –100 cm depth; LWW: at 30–100 cm depth); (b) Increasing of Ca-ion status from very low to low (BRW, TWH, TWB: at 0–10 cm depth); (c) Increasing of K-ion status from very low to low (BRW, TWB: at 0–10 cm depth) and from low to medium (TWH: at 0–10 cm depth); (d) Decreasing of saturated Al status from very high to high (BRW, TWH: at 0–10 cm depth); (e) Increasing of Potential Base Saturation status from very low to low (BRW, TWH: at 0–10 cm depth); (f) Decreasing of Total Nitrogen status from low to very low (BRW, TWB, LWW: at 10–30 cm depth), and from medium to low (TWH: at 10–30 cm depth); (g) Increasing of
___________________________________________________________________ 1) Laboratorium Ilmu Tanah Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 2) Laboratorium Silvikultur Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
70
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
71
Available P status from very low-low to low-medium (TWH: all depth classes); (h) Increasing of Available K status from medium-high to high-very high (BRW, TWH: at 0–60 cm depth) and from medium to high (TWB: at 0–10 cm depth). Allthough there was no decline in status, soils of burnt forest at all depth classes had lower CEC values than those of unburnt forest. Forest fire enriched nutrients of the soil component. Nevertheless, that enrichment is not as much as the amount of nutrients originally accumulated in the forest stand biomass component. Therefore any efforts should be taken to prevent forest from fire. Kata kunci: kebakaran hutan, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah.
Kebakaran hutan berskala besar telah beberapa kali terjadi di Kalimantan Timur, termasuk kebakaran di sepanjang tahun 1997/1998. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan radar ERS-2 SAR, luas areal hutan yang terbakar saat itu meliputi 5,2 juta ha (Hoffmann dkk., 1999). Khusus di areal HPH PT ITCIKU yang dijadikan lokasi penelitian ini, dari seluruh luas kawasan 283.000 ha (SK Menhut No. 49/Kpts-II/1993), areal yang terbakar meliputi 155.095 ha, terdiri atas: hutan alam belum ditebang 12.506 ha, hutan bekas tebangan 73.759 ha, hutan bekas tebangan yang telah dibina 59.878 ha, kawasan lindung 2.555 ha dan areal non produktif 6.397 ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh kebakaran hutan (5 tahun yang lalu) terhadap sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi mengenai perubahan–perubahan sifat fisik dan kimia tanah hutan sebagai akibat dari terjadinya kebakaran hutan. Informasi tersebut diharapkan berguna untuk mendukung langkah-langkah perencanaan yang tepat bagi pelaksanaan program rehabilitasi hutan bekas kebakaran. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pengamatan di lapangan dan tahap analisis di laboratorium. Pengamatan dilapangan dilakukan di areal HPH PT ITCI Kartika Utama, khususnya pada blok-blok hutan bekas kebakaran tahun 1997/98 serta blok-blok hutan di sekitarnya yang terhindar dari kebakaran. Analisis di laboratorium dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. Waktu yang diperlukan untuk kedua tahap penelitian tersebut adalah sekitar 5 bulan (3 bulan untuk kegiatan di lapangan dan 2 bulan untuk penelitian di laboratorium). Penetapan lokasi pengamatan di lapangan dimulai dengan teknik “overlaying” (tumpang tindih) antara peta sistem lahan dengan peta kebakaran hutan (tingkat kebakaran berat dan sangat berat) yang skalanya sama. Selanjutnya dihasilkan 4 sistem lahan yang dominan pada areal HPH yang terbakar, yaitu sistem lahan Lawanguang (LWW), Teweh (TWH), Beriwit (BRW) dan Tewai Baru (TWB). Berikutnya pada setiap sistem lahan dibuat 1 profil tanah pada areal yang terbakar dan 1 profil lagi pada areal yang tidak terbakar.
72
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
Pengamatan mengenai sifat morfologi tanah langsung dilakukan di lapangan dengan mengamati profil tanah, sedangkan untuk sifat non morfologi, contoh tanah sebagian diambil dari profil (berdasarkan horison tanah) dan sebagian lagi diambil dari pemboran di sekeliling profil tanah. Berikutnya, contoh tanah tersebut di atas dianalisis di laboratorium ilmu tanah. Metode analisis tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: pemipetan dan penimbangan (tekstur), potential of free energy (pori tersedia), pengeringan dalam oven dan penimbangan (kerapatan lindak), metode kjeldahl (Nitrogen total), metode Bray I (P tersedia), metode North Carolina (K tersedia), penjenuhan dengan ammonium acetate 1 N pH 7 (kation basa) dan metode titrasi dengan 0,01 N NaOH dan 0,05 N HCl (kation H dan Al). Untuk melihat sejauh mana pengaruh kebakaran hutan terhadap perubahan status sifat fisik dan kimia tanah, maka data yang terkumpul dibandingkan satu dengan lainnya secara komparatif merujuk pada standar baku yang dikeluarkan oleh Anonim (1983). Parameter yang diteliti mencakup: a) sifat fisik: tekstur, kerapatan lindak, pori air tersedia; b) sifat kimia: pH (H2O), kation-kation basa (K, Na, Ca, Mg), kejenuhan Al, kejenuhan basa (potensial), kapasitas tukar kation (efektif), N (total), P (tersedia) dan K (tersedia). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian Secara geografis areal HPH PT ITCIKU terletak di antara 0o47’–1o08’ LS dan 116 25’–116o52’ BT. Berdasarkan administrasi pemerintahan areal HPH PT ITCIKU termasuk ke dalam tiga wilayah, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan. Dari segi administrasi kehutanan, areal HPH tersebut termasuk ke dalam wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Balikpapan dan Mahakam Tengah, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS), areal HPH PT ITCIKU termasuk ke dalam kelompok hutan Sungai Jembayan dan sekitarnya. Bremen dkk. (1990) dan Ohta dkk. (1992) mengemukakan, bahwa berdasarkan sistem klasifikasi iklim Koppen, areal penelitian dapat digolongkan ke dalam tipe iklim Aafw’ dengan dua periode curah hujan maksimum dalam setahun, yakni April–Mei dan Desember–Januari. Formasi geologi lokasi penelitian didominasi oleh batuan sedimen era Miosen Awal sampai Miosen Akhir, terbentuk antara 5–25 juta tahun sebelum masehi. Rata-rata ketebalan batuan tersebut antara 2.100–8.000 m berstruktur sangat kompak dan berlipat-lipat (Bremen dkk., 1990). Formasi litologi daerah penelitian disusun oleh perselingan antara batu pasir, batu liat, batu lumpur dan batu debu dengan ketebalan yang bermacam-macam (Sarjono, 2000). o
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
73
Sistem Lahan di Areal Penelitian Dari hasil tumpang susun antara peta sistem lahan dan peta kebakaran hutan dengan tingkat kebakaran berat dan sangat berat, diperoleh 4 sistem lahan yang dominan di areal yang terbakar, yaitu Lawanguwang (LWW), Teweh (TWH), Beriwit (BRW) dan Tewai Baru (TWB). Keseluruhan Dari sistem lahan tersebut memiliki kemiringan lapang <40 %. Hal ini sesuai dengan ketetapan PT ITCIKU yang hanya merehabilitasi hutan terbakar berat dan sangat berat dengan kemiringan lapang <40 %. Informasi umum mengenai kondisi fisik keempat sistem lahan yang akan direhabilitasi dikemukakan pada Table 1. Tabel 1. Macam Sistem Lahan dan Kondisi Fisik Lahan Rehabilitasi di Areal HPH PT ITCIKU Sistem lahan LWW
Fisiogafi Dataran
Kemiringan (%) 02–08
Order tanah
Batuan induk
Tropudult danTropaquept
Lanau, batu lumpur, batu pasir, endapan sungai baru Batu pasir, lanau, batu lumpur, marl Batu pasir
TWH
Dataran
16–25
Tropudult dan Dystropept
BRW
Dataran
26–40
TWB
Dataran
26–40
Dystropept,Tropudult dan Troporthod Tropudult dan Dystropept
Batu pasir, batu lumpur, lanau
Klasifikasi Tanah Berdasarkan deskripsi sifat morfologi tanah dan hasil analisis laboratorium, jenis tanah yang ada pada areal penelitian dapat ditentukan dengan mengacu pada ketentuan sistem klasifikasi tanah USDA (USDA Soil Taxonomy). Secara lengkapnya hasil tersebut ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Tanah Tiap Sistem Lahan di Areal Rehabilitasi dan di Areal yang Hutannya Tidak Terbakar Sistem Lahan
Klasifikasi tanah
LWW Ultisol
Terbakar Suborder Great group Udult Tropudult
TWH
Ultisol
Udult
Tropudult
BRW
Ultisol
Udult
Tropudult
TWB
Ultisol
Udult
Tropudult
Order
Tidak terbakar Suborder Great group Subgroup
Subgroup
Order
Orthoxic Tropudult Orthoxic Tropudult Plinthic Tropudult Orthoxic Tropudult
Inceptisol Tropept Inceptisol Tropept Ultisol
Udult
Ultisol
Udult
Dystropept Typic Dystropept Dystropept Typic Dystropept Tropudult Plinthic Tropudult Tropudult Orthoxic Tropudult
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari keempat sistem lahan yang diteliti ditemukan dua order tanah, yaitu Ultisol dan Inceptisol. Pengklasifikasian lebih lanjut dari Ultisol menurunkan dua subgroup yaitu Plinthic Tropudult dan Orthoxic Tropudult, sedangkan dari Inceptisol diperoleh hanya satu subgroup, yaitu Typic
74
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
Dystropept. Ciri-ciri morfologi dan fisikokimia terpenting baik di tingkat order maupun subgroup untuk tanah-tanah yang ditemukan di areal penelitian dikemukakan dalam uraian di bawah ini. 1. Ultisol Tanah Ultisol di areal penelitian telah mengalami proses pedogenesis yang lanjut, dicirikan dengan susunan horisonnya yang lengkap, yaitu A-E-Bt1-Bt2-Bt3. Pembentukan horison Bt terjadi akibat translokasi liat dari tanah lapisan atas (horison E) ke lapisan yang lebih dalam (horison B) yang berlangsung intensif terutama karena pengaruh curah hujan yang tinggi. Di samping terbentuknya horison Bt (argilik), tranlokasi liat juga menyebabkan terjadinya perubahan tekstur pada semua horison yang dilaluinya. Model perubahan tekstur dikaitkan dengan kisaran nilai KTK serta KB profil tanah Ultisol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Tekstur, KTK Efektif dan KB Potensial Setiap Horison Tanah pada Profil 7 (Sistem Lahan LWW Terbakar) Horison A1 E Bt1 Bt2 Bc
Liat 21,80 25,58 34,09 42,87 22,52
Kadar Fraksi (%) Debu Pasir 16,77 6,30 17,19 4,92 12,51 3,83 13,61 3,98 12,25 4,07
KTK Effektif (meq/100 gr liat) 31,01 25,29 21,15 18,33 38,63
KB Potensial (%) 6,30 4,92 3,83 3,98 4,07
Pada Tabel 3 ditunjukkan, bahwa kandungan liat pada horison Bt (Bt1 dan Bt2) lebih tinggi (>1,2 kali) dari horison di atasnya (horison E) sehingga memenuhi syarat dan digolongkan sebagai horison argilik. Selanjutnya pengklasifikasian profil tanah tersebut ke dalam order Ultisol adalah karena: (a). nilai KTK efektif horison Bt-nya <24 meq.% liat (Bt1 = 21,15 meq.% liat; Bt2 = 18,33 meq.% liat; Bt3 = l3,98 meq.%) dan (b). nilai KB potensial horison Bt-nya <35 % (Bt1 = 3,83 %; Bt2 = 3,98 %). Pada tingkat subgroup tanah Ultisol yang ditemukan di daerah penelitian ada dua macam, yakni: Plinthic Tropudult dan Orthoxic Tropudult. Karakteristik masing-masing subgroup tersebut adalah sebagai berikut: a. Plinthic Tropudult: terbentuk dari pelapukan batuan liat atau batuan pasir. Berkembang cukup lanjut (adanya eluviasi di horison E dan iluviasi di horison Bt), bersolum dalam (lebih dari 160 cm). Kedalaman efektifnya antara 60–80 cm dan drainase internalnya agak baik. Pada lapisan dalam mengandung konkresi oksida besi (plinthite). Subgroup ini memiliki potensi kesuburan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Orthoxic Tropudult, hal ini karena KTKnya lebih besar dari 24 meq.% liat, tetapi KB potensialnya tetap di bawah 35 %. b. Orthoxic Tropudult: terbentuk dari batuan liat atau batuan pasir. Tanah ini mempunyai tingkat pelapukan lebih lanjut daripada Plinthic Tropudult, sehingga menghasilkan horison penimbunan liat yang lebih dalam (horison Bt)
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
75
dan KTK yang nilainya lebih besar dari 24 meq.% liat. Solum tanahnya lebih tebal dari 160 cm, dengan kedalaman efektif antara 40–60 cm, drainase internal baik hingga agak baik. Struktur tanah granular sampai gumpal membulat pada lapisan atas dan berubah menjadi gumpal bersudut di lapisan bawah. 2. Inceptisol Tanah Inceptisol yang ditemukan di areal penelitian memperlihatkan arah perkembangan yang menjurus ke pembentukan tanah Ultisol. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pencucian liat dari horison atas ke bawah tetapi belum sampai ke pembentukan horison Bt (argilik). Secara visual model perubahan tekstur pada tanah Inceptisol dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Tekstur, KTK Efektif dan KB Potensial Setiap Horison Tanah pada Profil 4 (Sistem Lahan TWH Tidak Terbakar) Horison A1 A2 A3 Bw BC
Liat 37,32 38,16 44,03 37,00 23,06
Fraksi tekstur (%) Debu Pasir 25,58 37,70 27,67 34,17 23,90 32,07 21,80 41,20 20,13 56,81
KTK Efektif (meq.% liat) 28,64 27,52 26,25 30,73 51,17
KB Potensial (%) 6,83 3,65 2,84 3,62 2,64
Pada Tabel 4 terlihat, bahwa walaupun tanah Inceptisol di areal penelitian memiliki KTK liat lebih tinggi (26,25–30,73 meq.%) daripada Ultisol (<24 meq.%) tetapi nilai KB potensialnya (2,84–6,83 %) menyerupai Ultisol (3,83–6,30 %). Keadaan ini menyiratkan bahwa sebagian besar basa-basa dapat tukar pada tanah Inceptisol di areal penelitian telah tercuci, sehingga dapat diduga tanah tersebut akan berkembang ke arah pembentukan tanah Ultisol. Pada tingkat subgroup, tanah Inceptisol yang ditemukan di areal penelitian hanya satu macam, yakni Typic Dystropept. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: terbentuk dari batuan pasir atau liat; drainase internal baik sampai agak baik (tergantung tekstur); tanah yang berkembang dari batu pasir memiliki tekstur tanah lempung berpasir hingga lempung liat berpasir, sedangkan tanah yang berkembang dari batuan liat memiliki tekstur lempung berliat hingga liat; struktur tanahnya gumpal membulat hingga gumpal bersudut; solum tanah berkisar antara agak dalam hingga dalam; KB potensial <50 % yang mencerminkan tanah tersebut adalah tanah Inceptisol yang tidak subur. Informasi serupa mengenai karakter tanah Typic Dystropept di areal penelitian juga dikemukakan oleh Anonim (1992), Munir (1996) dan Sutisna dkk. (2003). Sifat Fisik Tanah
Hasil analisis laboratorium terhadap tekstur tanah tiap sistem lahan, baik yang hutannya terbakar maupun tidak terbakar dikemukakan pada Tabel 5. Hasil pengukuran kerapatan lindak dan Jumlah pori air tersedia contoh-contoh tanah dari setiap sistem lahan dikemukakan pada Tabel 6.
76
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
Tabel 5. Hasil Analisis Tekstur Tanah di Areal Penelitian Sistem lahan/ kondisi hutan
Nomor profil
BRW Terbakar
1
BRW Tidak Terbakar
2
TWH Terbakar
3
TWH Tidak terbakar
4
TWB Terbakar
5
TWB Tidak terbakar
6
LWW Terbakar
7
LWW Tidak terbakar
8
Simbol horison A1 E Bt1 Bt2 Bt3 A1 E Bt1 Bt2 Bt3 A1 E Bt1 Bt2 Bt3 A1 A2 A3 B1 B2 BC A1 E Bt1 Bt2 BC A1 E Bt1 Bt2 A1 E Bt1 Bt2 BC A1 E Bt1 BC
Kedalaman (cm) 2/7-20/28 20/28-58/66 58/66-90/101 90/101-114/124 114/124-160 2/7-28/40 28/40-51/61 51/61-79/95 79/95-110/136 110/136-160 2-28/41 28/41-55/79 55/79-82/110 82/110-110/126 110/126-160 2-8/16 8/16-35/45 35/45-61/76 61/76-97/110 97/110-140/146 140/146-160 2-7/14 7/14-58/69 58/69-90/100 90/100-110/130 110/130-160 2/4-7/15 7/15-29/43 29/43-81/93 81/93-160 1-8/16 8/16-41/53 41/53-77/93 77/93-101/136 101/136-160 0,5/2-2/14 2/14-28/49 28/49-99/108 99/108-125/160
Kelas Tekstur Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Liat Liat Liat Liat Liat Lempung berliat Lempung berliat Lempung berliat Liat Lempung berliat Liat Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Liat berpasir Liat Lempung liat berpasir Lempung berliat Liat Liat Liat Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Liat Lempung liat berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir
Sebutan tekstur Agak kasar Agak kasar Agak kasar Agak halus Agak halus Agak halus Agak halus Agak halus Agak halus Agak halus Halus Halus Halus Halus Halus Agak halus Agak halus Agak halus Halus Agak halus Halus Agak halus Agak halus Halus Halus Agak halus Agak halus Halus Halus Halus Agak halus Agak halus Agak halus Halus Agak halus Agak kasar Agak kasar Agak kasar Agak kasar
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
77
Tabel 6. Kerapatan Lindak Tanah dan Jumlah Pori Air Tersedia di Areal Penelitian Sistem laKelas Kerapatan lindak (gr/cm3) han/ kondi- kedalaman Terbakar Tidak terbakar si hutan (cm) Nilai Kelas Nilai Kelas BRW 0–30 1,4 Sedang 1,4 Sedang 30–60 1,5 Tinggi 1,5 Tinggi TWH 0–30 1,3 Sedang 1,2 Sedang 30–60 1,4 Sedang 1,3 Sedang TWB 0–30 1,3 Sedang 1,3 Sedang 30–60 1,3 Sedang 1,4 Sedang LWW 0–30 1,1 Sedang 1,3 Sedang 30–60 1,2 Sedang 1,4 Sedang Keterangan: Sgt. tinggi = sangat tinggi
Jumlah pori air tersedia (%) Terbakar Tidak terbakar Nilai Kelas Nilai Kelas 14,21 Sedang 14,21 Sedang 32,26 Sgt. tinggi 32,26 Sgt. tinggi 12,32 Sedang 21,23 Sgt. tinggi 22,12 Sgt. tinggi 25,14 Sgt. tinggi 14,25 Sedang 17,21 Sgt. tinggi 23,36 Sgt. tinggi 25,14 Sgt. tinggi 8,15 Rendah 17,21 Sgt. tinggi 25,65 Sgt. tinggi 25,13 Sgt. tinggi
Hasil analisis tekstur tanah tidak menunjukkan adanya kelas tekstur kasar pada horison A. Hal ini menyiratkan, bahwa tanah-tanah di areal penelitian tidak mengalami erosi berarti, yang menyebabkan hilangnya fraksi liat. Kondisi tersebut berlaku, baik pada lahan hutan terbakar maupun tidak terbakar. Pada horizon B, tekstur tanah di areal penelitian didominasi kelas halus dan agak halus. Hal ini mencerminkan bahwa horison tersebut menerima tambahan fraksi liat dari horison di atasnya melalui proses eluviasi sedemikian rupa, sehingga membentuk horison Bt (argilik). Horison E menunjukkan hasil yang lebih bervariasi dibandingkan tanah horison A. Kelas agak halus dijumpai pada profil 2, 5 dan 7. Kelas tekstur halus dijumpai pada profil 3 dan 6, sedangkan kelas tekstur agak kasar dijumpai pada profil 1 dan 8. Profil-profil tanah yang kelas tekstur horison E-nya halus dan agak halus mencerminkan bahwa kandungan liatnya masih cukup tinggi walaupun sebagian telah tercuci. Dari segi kerapatan lindak tanah, semua sistem lahan mempunyai kondisi relatif seragam. Meningkatnya nilai kerapatan lindak tanah di lapisan yang makin menjauhi permukaan erat kaitannya dengan peningkatan kadar liat dan penurunan kandungan bahan organik di lapisan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Otha dkk. (1992) yang menyatakan, bahwa nilai kerapatan lindak tanah hutan di areal HPH PT ITCI berkisar antara 0,901,44 gr/cm3, dengan pola meningkat searah dengan bertambahnya kedalaman tanah. Pada Tabel 6 di atas terlihat, bahwa lima tahun setelah kebakaran hutan, secara kwantitatif masih terlihat adanya kecenderungan penurunan jumlah pori air tersedia. Keadaan ini diduga disebabkan karena tersumbatnya pori air tersedia oleh partikel halus abu yang dihasilkan dari kebakaran hutan. Sifat Kimia Tanah
Hasil analisis berbagai sifat kimia tanah ditampilkan pada tabel-tabel berikut:
78
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
Tabel 7. Nilai pH H2O dan Status Kemasaman Tanah Setiap Sistem Lahan di Areal Penelitian Kondisi hutan
Kedalaman tanah (cm)
Sistem lahan
BRW 5,87 AM 10–30 5,72 Terbakar AM 30–60 5,73 AM 60–100 5,71 AM 0–10 5,44 M 10–30 5,50 Tidak M terbakar 30–60 5,49 M 60–100 5,51 M Keterangan: M = masam. AM = agak masam 0–10
TWH 6,03 AM 5,96 AM 5,75 AM 5,72 AM 5,51 M 5,53 M 5,51 M 5,39 M
TWB 5,89 AM 5,97 AM 5,95 AM 5,93 AM 5,44 M 5,45 M 5,45 M 5,52 M
LWW 5,48 M 5,52 M 5,56 AM 5,61 AM 5,24 M 5,33 M 5,42 M 5,48 M
Rataan 5,82 5,79 5,75 5,74 5,41 5,45 5,47 5,48
Tabel 8. Konsentrasi dan Status Kation Ca, Mg, K dan Na (meq.%) Tanah Setiap Sistem Lahan di Areal Peneltian Unsur
Ca
Mg
K
Kedalaman (cm)
BRW 2,20 0–10 R 1,16 10–30 SR 0,21 30–60 SR 0,19 60–100 SR 0,35 0–10 SR 0,08 10–30 SR 0,01 30–60 SR 0,00 60–100 SR 0,20 0–10 R 0,14 10–30 SR 0,12 30–60 SR 0,10 60–100 SR
Sistem lahan Terbakar TWH 2,99 R 0,39 SR 0,16 SR 0,12 SR 0,68 R 0,27 SR 0,16 SR 0,12 SR 0,26 SD 0,16 R 0,14 SR 0,14 SR
TWB 2,21 R 1,22 SR 1,19 SR 0,24 SR 0,16 SR 0,13 SR 0,13 SR 0,23 SR 0,18 R 0,09 SR 0,07 SR 0,10 SR
Tidak terbakar LWW 0,21 SR 0,15 SR 0,63 SR 0,78 SR 0.21 SR 0,16 SR 0,16 SR 0,22 SR 0,09 SR 0,11 SR 0,11 SR 0,10 SR
1,88 0,73 0,55 0,33 0,35 0,16 0,10 0,12 0,18 0,12 0,11 0,11
BRW 0,30 SR 0,19 SR 0,18 SR 0,16 SR 0,36 SR 0,05 SR 0,02 SR 0,01 SR 0,13 SR 0,11 SR 0,09 SR 0,09 SR
TWH 1,18 SR 0,29 SR 0,15 SR 0,15 SR 0,41 R 0,29 SR 0,17 SR 0,06 SR 0,15 R 0,18 R 0,12 SR 0,09 SR
TWB 0,13 SR 0,11 SR 0,11 SR 0,11 SR 0,13 SR 0,11 SR 0,11 SR 0,14 SR 0,14 SR 0,08 SR 0,13 SR 0,12 SR
LWW 0,15 SR 0,12 SR 0,13 SR 0,14 SR 0,15 SR 0,12 SR 0,13 SR 0,22 SR 0,11 SR 0,08 SR 0,09 SR 0,09 SR
0,44 0,18 0,14 0,14 0,26 0,14 0,10 0,11 0,14 0,11 0,11 0,10
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
79
Tabel 8 (lanjutan) Unsur
Kedalaman (cm)
Sistem lahan Terbakar
Tidak terbakar
TWH 0,16
TWB 0,11
LWW 0,15
R
R
R
R
10–30
0,18
0,12
0,10
0,11
R
R
R
R
30–60
0,19
0,13
0,10
0,11
R
R
R
R
0,13
0,15
0,13
0,10
R
R
R
R
0–10
Na
60–100
BRW 0,16
BRW 0,11
TWH 0,13
TWB 0,14
LWW 0,16
R
R
R
R
0,13
0,12
0,20
0,12
0,13
R
R
R
R
0,13
0,13
0,16
0,11
0,11
R
R
R
R
0,17
0,11
0,11
0,20
R
R
R
R
0,14
0,13
0,13 0,14 0,13 0,15
Keterangan: R = rendah. SR = sangat rendah. SD = sedang Tabel 9. Nilai dan Status Kejenuhan Al (%) Setiap Sistem Lahan di Areal Penelitian Unsur
Kedalaman (cm)
Sistem lahan Terbakar TWH TWB LWW 52,62 67,06 70,33
0–10
BRW 51,89 T
T
ST
ST
10–30
61,92
75,02
72,81
69,58
ST
ST
ST
ST
30–60
65,48
74,68
72,98
65,50
ST
ST
ST
ST
60–100
73,44
75,91
72,64
65,61
Al
ST ST ST Keterangan: T = tinggi. ST = sangat tinggi
Tidak terbakar TWH TWB LWW 62,66 81,26 80,81
60,47
BRW 71,04 ST
ST
ST
ST
69,83
75,11
72,30
76,55
78,93
ST
ST
ST
ST
69,66
72,16
78,27
79,14
78,10
ST
ST
ST
ST
71,90
71,38
82,58
80,13
79,78
ST
ST
ST
ST
ST
73,94 75,72 76,92 78,47
Tabel 10. Nilai dan Status Kejenuhan Basa (%) Tiap Sistem Lahan di Areal Penelitian Unsur
Kedalaman (cm)
Sistem lahan Terbakar TWH TWB LWW 31,45 20,08 7,41
0–10
BRW 26,91 R
R
SR
SR
10–30
14,52
6,12
11,39
6,16
R
R
R
R
30–60
5,59
3,42
11,15
10,23
R
R
R
R
60–100
5,12
2,73
6,23
11,17
Al
R R R R Keterangan: R = rendah. SR = sangat rendah
Tidak terbakar TWH TWB LWW 17,16 3,73 5,02
21,48
BRW 8,00 SR
SR
SR
SR
9,55
3,74
8,29
2,63
3,95
SR
SR
SR
SR
7,60
3,62
4,76
2,73
3,57
SR
SR
SR
SR
6,31
3,06
2,33
4,86
3,52
SR
SR
SR
SR
8,48 4,65 3,67 3,52
80
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
Tabel 11. Nilai dan Status KTK Efektif (meq.%) dan Nitrogen Tanah Tiap Sistem Lahan di Areal Penelitian Parameter
Kedalaman (cm)
Sistem lahan Terbakar BRW TWH TWB LWW BRW 0–10 8,55 10,91 11,13 6,87 9,36 8,88 R R R R R 10–30 8,28 12,73 11,24 6,59 9,71 9,28 KTK R R R R R 30–60 6,63 12,71 11,24 7,24 9,50 8,65 R R R R R 60–100 6,53 13,24 8,91 8,29 9,24 8,44 R R R R R 0–10 0,21 0,24 0,24 0,21 0,23 0,29 SD SD SD SD SD 10–30 0,07 0,13 0,07 0,08 0,09 0,15 N SR R SR SR R 30–60 0,06 0,12 0,05 0,07 0,07 0,10 SR R SR SR SR 60–100 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,05 SR SR SR SR SR Keterangan: R = rendah. SR = sangat rendah. SD = sedang
Tidak terbakar TWH TWB LWW 8,70 12,48 9,65 R R R 9,60 12,66 9,44 R R R 10,57 13,66 10,30 R R R 11,34 13,56 11,44 R R R 0,34 0,28 0,25 SD SD SD 0,25 0,13 0,17 SD R R 0,13 0,06 0,07 R SR SR 0,06 0,04 0,04 SR SR SR
9,93 10,24 10,80 11,20 0,29 0,17 0,09 0,05
Tabel 12. Konsentrasi serta Status P dan K Tanah (ppm) Tiap Sistem Lahan di Areal Penelitian Unsur
Kedalaman (cm)
Sistem lahan Terbakar Tidak terbakar BRW TWH TWB LWW BRW TWH TWB LWW 0–10 9,30 24,17 15,69 3,99 13,29 13,49 4,47 11,95 5,29 SR SD SD SR R SR R SR 10–30 11,74 18,60 7,98 15,35 13,42 9,30 10,73 11,96 7,98 P R SD SR SD SR R R SR 30–60 13,56 14,34 7.98 17,81 13,42 9,30 7,45 4,79 11,00 R R SR SD SR SR SR R 60–100 10,35 11,28 8,48 13,56 10,42 10,81 7,99 7,88 11,96 R R SR R R SR SR R 0–10 81,81 73,73 63,25 30,31 62,28 48,42 50,54 31,10 39,42 ST ST ST SD T T SD SD 10–30 78,90 63,25 26,51 36,25 51,23 47,63 47,61 23,13 28,94 K ST ST SD SD T T SD SD 30–60 73,32 51,88 26,39 38,71 47,57 36,74 31,58 24,88 22,14 ST T SD SD SD SD SD SD 60–100 39,67 35,94 30,38 35,60 35,40 29,03 24,08 27,50 24,77 SD SD SD SD SD SD SD SD Keterangan: R = rendah. SR = sangat rendah. SD = sedang. T = tinggi. ST = sangat tinggi
8,80 9,99 8,13 9,66 42,37 36,83 28,84 26,35
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
81
Hasil analisis pH tanah (Tabel 7) menujukkan, bahwa kebakaran hutan telah menyebabkan nilai pH tanah di semua sistem lahan meningkat. Khusus bagi sistem lahan Beriwit, Teweh dan Tewai Baru, peningkatan nilai pH tersebut bahkan telah meningkatkan status kemasaman tanah satu kelas lebih tinggi, yaitu dari masam ke agak masam. Fenomena tersebut berlaku untuk semua kelas kedalaman tanah yang diteliti. Untuk tanah sistem lahan Lawanguwang, kenaikan status pH tanah hanya terjadi di lapisan bawah, yaitu pada kelas kedalaman 30–60 cm dan 60–100 cm. Sebelum kebakaran, diduga jumlah biomassa tegakan pada sistem lahan Lawanguwang lebih sedikit daripada yang dimiliki sistem lahan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena sistem lahan tersebut mempunyai topografi relatif lebih landai (kelas kemiringan 2–8 %), sehingga memungkinkan pemanenan tegakan berlangsung lebih intensif. Secara vertikal, nilai pH tersebut menunjukkan pola cenderung meningkat pada lapisan tanah yang makin menjauhi permukaan. Diduga hal ini erat kaitannya dengan proses pelarutan, pencucian dan pengangkutan unsurunsur basa dari lapisan atas ke lapisan bawah tanah. Proses tersebut lazim terjadi di wilayah iklim tropis basah dengan curah hujan yang tinggi seperti yang terjadi di daerah penelitian. Di dalam tanah, air hujan yang eksesif menyebabkan terjadinya pergerakan air ke arah bawah yang terus menerus. Gerakan air tersebut melarutkan dan membawa basa-basa dapat tukar ke lapisan yang lebih bawah (kation basa sangat mudah bereaksi dengan air), sehingga terjadi pemiskinan unsur basa pada lapisan permukaan tanah. Unsur-unsur basa yang terangkut ke lapisan bawah menyebabkan pH tanah lapisan tersebut meningkat (Voss, 1979; Munir, 1996). Hasil analisis tanah terhadap kation Ca menunjukkan bahwa kebakaran hutan terbukti telah meningkatkan konsentrasi ion Ca2+ di dalam tanah, bahkan sampai lima tahun setelah kebakaran hutan, pengaruh itu masih tampak (Tabel 8). Pada Tabel 8 terlihat, bahwa secara absolut, kebakaran hutan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi kation Ca di semua kelas kedalaman tanah tiap sistem lahan yang diteliti. Khusus untuk kelas kedalaman 0–10 cm, pada tanah sistem lahan BRW, TWH dan TWB, peningkatan konsentrasi ion Ca bahkan masih mengakibatkan perubahan status Ca dari sangat rendah menjadi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa lima tahun setelah kebakaran hutan, pengaruh kandungan Ca abu tegakan hanya tersisa di lapisan tanah permukaan saja. Proses infiltrasi air hanya sedikit membawa abu tersebut ke lapisan yang lebih dalam dari 10 cm, sehingga tidak menyebabkan perubahan pada kelas kandungan Ca tetapi tetap menyebabkan kenaikan pH tanah. Terhadap unsur Mg hasil pengamatan menunjukkan bahwa, di semua kelas kedalaman tanah tiap sistem lahan yang diamati tidak terjadi peningkatan status kandungan Mg. Hal ini dimungkinkan oleh dua hal: (a) sebagian besar Mg telah hilang terangkut oleh aliran permukaan (run off) ke tempat lain yang lebih rendah; (b) kandungan magnesium dalam abu sisa kebakaran hutan memang rendah. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ruhiyat (1989), bahwa kandungan magnesium pada abu tegakan hutan terbakar hanyalah sebesar 75 kg/ha, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kandungan kalsium yang jumlahnya mencapai 644 kg/ha. Pada Tabel 8 terlihat bahwa pada kelas kedalaman 0–10 cm, kandungan K+ tanah-tanah hutan terbakar pada sistem lahan BRW, TWH dan TWB mengalami
82
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
kenaikan. Kenaikan tersebut rata-rata terjadi satu tingkat, yaitu dari kelas sangat rendah ke rendah atau dari kelas rendah ke sedang. Hal ini menunjukkan bahwa setelah lima tahun, pengaruh kebakaran hutan terhadap peningkatan kandungan K hanya bisa dikenali pada lapisan tanah permukaan saja. Hasil analisis tanah terhadap unsur Na menunjukkan, bahwa pada semua sistem lahan, lapisan-lapisan tanah yang hutannya terbakar, tidak menunjukkan terjadinya peningkatan status Na2+ . Semua lapisan tanah, yang hutannya terbakar maupun yang tidak terbakar, mempunyai konsentrasi unsur natrium berstatus rendah. Keadaan ini disebabkan karena kandungan Na pada abu sisa kebakaran hutan memang sangat rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanchez (1993), yang melaporkan bahwa konsentrasi unsur natrium pada abu sisa terbakarnya hutan sekunder adalah hanya sebesar 0,7 kg/ha. Pengamatan terhadap kejenuhan Al (Tabel 9) menunjukkan, bahwa terjadi penurunan status penurunan status kejenuhan alumunium pada tanah yang hutannya terbakar lima tahun yang lalu. Tetapi hal ini hanya terjadi pada sistem lahan BRW dan TWH. Itupun hanya untuk lapisan tanah 10 cm teratas. Pada awalnya diduga penurunan status kejenuhan alumunium itu terjadi di semua sistem lahan dan mencakup lapisan tanah yang lebih dalam. Namun dengan perjalanan waktu, unsur-unsur basa terutama Ca yang dihasilkan abu tegakan secara berangsur akan berkurang sehingga kompleks koloid kembali akan didominasi kation Al. Pada saat unsur Ca bersumber dari abu tegakan masih melimpah maka ion Ca 2+ yang dilepaskan oleh abu tegakan akan menjenuhi permukaan koloid liat. Hal ini menyebabkan Al3+ menjadi lepas dan terlarut dalam tanah, sehingga larutan tanah dijenuhi oleh Al3+. Pada Tabel 10 dapat dilihat, bahwa lima tahun setelah kebakaran hutan, kandungan kation-kation basa yang bersumber dari abu biomassa tegakan masih berpengaruh dalam meningkatkan status kejenuhan basa tanah semua sistem lahan. Pada tanah sistem lahan BRW dan TWH, pengaruh tersebut bahkan masih terjadi di semua lapisan tanah yang diteliti. Diduga pada awalnya, kebakaran hutan tersebut sebenarnya menghasilkan peningkatan status kejenuhan basa tanah yang jauh lebih besar. Hasil analisis KTK tanah (Tabel 11) menunjukkan, bahwa lima tahun setelah kebakaran hutan tidak terlihat adanya perbedaan status KTK efektif antara tanah yang hutannya terbakar dengan yang tidak terbakar. Hal tersebut berlaku untuk semua sistem lahan yang diteliti. Namun demikian, ada kecenderungan bahwa tanah-tanah yang hutannya terbakar mempunyai nilai KTK efektif lebih rendah daripada tanah yang hutannya tidak terbakar. Kondisi ini diduga disebabkan oleh karena: (a) ada lapisan humus yang ikut terbakar saat terjadinya kebakaran hutan sehingga mengurangi jumlah koloid organik tanah; (b) penurunan kadar liat secara relatif pada tanah-tanah hutan terbakar akibat adanya intrusi partikel debu bersumber dari abu biomassa tegakan melalui pori makro tanah; (c) adanya perbedaan kadar liat antara tanah yang diperbandingkan (terbakar dan tidak terbakar) dalam sistem lahan yang sama. Pada Tabel 11 terlihat, bahwa pada tiap sistem lahan yang diamati, semua lapisan tanah yang hutannya terbakar memiliki konsentrasi nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang hutannya tidak terbakar. Pada kelas kedalaman
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
83
10–30 cm bahkan penurunan tersebut menyebabkan penurunan status N. Mengingat kondisi ini adalah kondisi lima tahun setelah kebakaran hutan maka dapat diduga bahwa pada tahun-tahun awal setelah kebakaran hutan, status N lapisan 0–10 cm pada tanah hutan terbakar juga lebih rendah daripada tanah hutan tidak terbakar. Seperti telah dijelaskan, sumber utama N tanah adalah bahan organik terutama yang berklorofil. Untuk tanah hutan, N dipasok oleh tegakan melalui jatuhan serasahnya. Menurut Ruhiyat (2001), produksi serasah tegakan hutan alam primer di wilayah HPH PT ITCI berkisar antara 7–12 ton/ha/thn. Dengan terbakarnya tegakan, tidak hanya pasokan serasah yang terhenti, produsen serasahnya juga punah terbakar. Dilihat dari pola nilai konsentrasi nitrogen tanah pada lahan hutan terbakar dan tidak memiliki kecenderungan yang sama, yakni menurun searah dengan bertambahnya kedalaman tanah. Keadaan ini sama dengan data yang dikemukakan oleh Yahya (1984), yang mengemukakan bahwa empat belas bulan setelah kebakaran hutan tidak terjadi perubahan pola konsentrasi nitrogen pada tanah hutan terbakar melainkan sama seperti pada tanah hutan tidak terbakar. Pada Tabel 12 terlihat, bahwa lima tahun setelah kebakaran hutan, pengaruh abu tegakan dalam meningkatkan ketersediaan unsur P tanah masih bisa dikenali. Pada sistem lahan TWH lebih tingginya ketersediaan P tanah hutan terbakar daripada tanah hutan tidak terbakar, bahkan mampu meningkatkan status unsur tersebut satu tingkat lebih tinggi di semua kelas kedalaman tanah yang diteliti. Pada tanah sistem lahan lainnya, walau tanah-tanah yang hutannya terbakar cenderung mempunyai konsentrasi P yang lebih tinggi daripada yang tidak terbakar, namun tidak meningkatkan statusnya. Memperhatikan kecenderungankecenderungan tersebut, dapat diduga bahwa pada awalnya abu tegakan secara signifikan dapat meningkatkan status ketersediaan fosfor tanah pada semua sistem lahan. Namun dengan perjalanan waktu, karena sifat fosfor yang sangat mobil di dalam tanah dan banyaknya faktor lain yang juga mempengaruhi ketersediaan fosfor (kadar liat, konsentrasi Al, konsentrasi Ca dan sebagainya), maka pengaruh tersebut tidak lagi terlihat jelas pada tiap sistem lahan. Terhadap kalium tersedia (Tabel 12) terlihat adanya kenaikan pada tanah hutan terbakar, khususnya pada sistem lahan BRW, TWH dan TWB. Kenaikan pada sistem lahan BRW dan TWH terjadi hingga kedalaman 0–60 cm. Pada sistem lahan TWB kenaikan status hanya terjadi pada kedalaman 0–10 cm saja, sedangkan pada sistem LWW tidak terjadi perubahan status. Kondisi tersebut diduga terjadi karena pada sistem lahan BRW dan TWH abu yang dihasilkan pada saat kebakaran cukup banyak, sehingga mampu membawa pengaruh hingga kedalaman 0–60 cm. Pada sistem lahan LWW dan BRW, diduga abu yang dihasilkan dari sisa kebakaran tidak terlalu besar, sehingga pengaruhnya kecil dan terbatas pada lapisan tanah permukaan saja.
84
Ibrahim dkk. (2006). Pengaruh Kebakaran Hutan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tanah yang berkembang di areal penelitian adalah: Plinthic Tropudult, Orthoxic Tropudult dan Typic Dystropept. Walaupun tidak membentuk horison argilik, Typic Dystropept di areal penelitian telah berkembang lanjut, sehingga cenderung memiliki sifat-sifat kimia seperti kedua macam tanah Ultisol. Walaupun telah lima tahun berselang, kebakaran hutan masih meninggalkan pengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang didudukinya, terutama sifat-sifat kimia. Setelah lima tahun bakaran hutan menyebabkan penurunan jumlah pori air tersedia terutama di kelas kedalaman 0–30 cm akibat tersumbatnya pori tanah oleh partikel debu yang bersumber dari abu biomassa tegakan. Terhadap sifat-sifat kimia, kebakaran hutan memberikan pengaruh berupa: a) Peningkatan status pH dari masam ke agak masam (sistem lahan BRW, TWH, TWB, kedalaman 0–100 cm; sistem lahan LWW, kedalaman 30–100 cm). b) Peningkatan status kation Ca dari sangat rendah ke rendah (sistem lahan BRW, TWH, TWB, kedalaman 0–10 cm). c) Peningkatan status kation K dari sangat rendah ke rendah (sistem lahan BRW, TWB kedalaman 0–10 cm) dan dari rendah ke sedang (sistem lahan TWH, kedalaman 0–10 cm). d) Penurunan status kejenuhan aluminium dari sangat tinggi ke tinggi (sistem lahan BRW, TWH, kedalaman 0–10 cm). e) Peningkatan status kejenuhan basa potensial dari sangat rendah ke rendah (sistem lahan BRW, TWH, kedalaman 0–100 cm); dan pada sistem lahan TWB, LWW pada kedalaman 10–100 cm. f) Penurunan status nitrogen dari rendah ke sangat rendah (sistem lahan BRW, TWB, LWW, kedalaman 10–30 cm) dan dari sedang ke rendah (sistem lahan TWH, kedalaman 10–30 cm). g) Peningkatan status fosfor tersedia dari sangat rendah-rendah menjadi rendahsedang (sistem lahan TWH, semua kelas kedalaman). h) Peningkatan status kalium tersedia dari sedang-tinggi menjadi tinggi-sangat tinggi (sistem lahan BRW, TWH, kedalaman 0–60 cm) dan dari sedang ke tinggi (sistem lahan TWB, kedalaman 0–10 cm). i) Walaupun tidak menyebabkan penurunan status, nilai KTK efektif tanah tiap sistem lahan yang hutannya terbakar di semua kelas kedalaman lebih rendah daripada tanah yang hutannya tidak terbakar. Saran Rehabilitasi hutan bekas kebakaran, khususnya hutan dengan tingkat kerusakan berat sampai sangat berat, sebaiknya dilakukan secepat mungkin agar hara yang terkandung pada abu tegakan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh tanaman rehabilitasi. Ketersediaan unsur nitrogen untuk mencukupi keperluan tanaman rehabilitasi terutama bila yang digunakan adalah jenis-jenis tumbuh cepat, memerlukan penambahan.
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
85
Walaupun kebakaran hutan akan menambah ketersediaan unsur hara komponen tanah, namun sesungguhnya tambahan unsur hara tersebut tidak sebesar jumlah hara yang semula berakumulasi pada biomassa tegakan. Oleh karena itu berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1983. Survai Kapabilitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. 52 h. Anonim. 1992. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Pertama. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 480 h. Bremen, H.V.; M. Iriansyah dan W. Andriesse. 1990. Detailed Soil Survey and Physical Land Evaluation in a Tropical Rain Forest, Indonesia. A Study of Soil and Site Characteristics in Twelve Permanent Plots in East Kalimantan. Veenman Drukkers, Wageningen. 188 h. Hoffmann, A.A.; A. Hinrichs dan F. Siegert. 1999. Kerusakan Akibat Kebakaran di Kalimantan Timur 1997/1998 dalam Kaitannya dengan Penggunaan Lahan dan Kelas Vegetasi: Hasil Inventarisasi Satelit Radar dan Usulan untuk Tindak Lanjut. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Samarinda. 45 h. Munir, M. 1996. Tanah-tanah Utama Indonesia. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. 346 h. Ohta, S.; S. Effendy; N. Tanaka dan S. Miura. 1992. Characteristics of Major Soils Under Lowland Dipterocarp Forest in East Kalimantan, Indonesia. Publication No. 2. JICA and Tropical Rain Forest Research Project. Pusrehut-Samarinda. Ruhiyat, D. 1989. Die Entwicklung der standortlichen Naehrstoffvorraete bei naturnaher Waldbewirtschaftung und im Plantagenbetrieb, Ostkalimantan. Goettinger Beitraege zur Land- und Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen, Heft 35. Verlag Erich Goltze GmbH & Co. KG-3400 Goettingen, Germany. 135 h. Ruhiyat, D. 2001. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah Hutan. Program Pascasarjana Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Alih Bahasa: Amir Hamzah. ITB, Bandung. 303 h. Sarjono, A. 2000. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Tegakan Leda di Areal HPHTI PT IHM Kalimantan Timur. Tesis Magister, Program Pascasarjana PS Ilmu Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda. 112 h. Sutisna, M.; D. Ruhiyat; M. Rachmat; D. Mardji dan S. Yusuf. 2003. Laporan Akhir. Penelitian dan Pendampingan Konsultan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Terhadap Proyek Rehabilitasi Hutan PT ITCI Kartika Utama di Kenangan. Tim Konsultan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 203 h. Voss, R.L. 1979. Soil and Land Use on the PT ITCI Concession. Wayerhauser Company, Washington. 144 h. Yahya, A. 1984. Perubahan Sifat-sifat Fisika dan Kimia Tanah Hutan Primer 14 Bulan setelah Terbakar di PT ITCI Kenangan. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 74 h.