EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK BEBERAPA JENIS TANAMAN HTI PADA AREAL REHABILITASI HUTAN BEKAS KEBAKARAN PT ITCI KARTIKA UTAMA Evaluation of Land Suitability for Some Species of HTI Plantations at the Burnt-over Forest Rehabilitation Area of PT ITCI Kartika Utama
Dyah Widyasasi1), Daddy Ruhiyat2) dan Maman Sutisna3)
Abstract. In order to rehabilitate their burnt-over forest area, PT ITCI Kartika Utama had developed some plantation forests. The species used were Gmelina (Gmelina arborea), Mangium (Acacia mangium), and Jati (Tectona grandis). Nevertheless, prior to that program no study was done to evaluate the suitability of land used for those plantation. Consequently, suitable steps needed for improving the plantations growth could not be formulated. This research were aimed at examining kind of soils developed in the burnt-over forest rehabilitation area, evaluating the quality and characteristic of each land system in the area, classifying the suitability of existing land in the area for the establishment of Gmelina, Mangium and Jati plantation forests respectivelly and gathering information needed for formulating inputs to stimulate the plantation growth. Results coming out from this research were as follows: soils developed in the forest rehabilitation area were Typic Hapludults and Typic Haplohumults. For all plantation species (Mangium, Gmelina and Jati), each land system had performed S3 suitability class (marginally suitable). For the optimum growth of Mangium and Gmelina, the limiting factor of land in the rehabilitation area consisted of unavailability of nutrients (N, P, K), high value of Al-saturation, low capacity of Cation Exchange and unsuitable terrain. As for Jati, beside all limiting factors attributed to Mangium and Gmelina, high amount of annual rainfall was considered to be another factor limiting plant growth at each land system. Handling efforts of plant growth limiting factors such as fertilization, liming and covercrops establishment need to be effectively and efficiently implemented. Considering that the implementation of those programs will require a high expense, a feasibility study on the economic potential of each choosen forest plantation species should be done. Kata kunci: kebakaran, kesesuaian lahan, faktor pembatas, pertumbuhan.
PT ITCI Kartika Utama telah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan bekas kebakaran dengan membangun hutan-hutan tanaman Gmelina (Gmelina arborea), Mangium (Acacia mangium) dan Jati (Tectona grandis). Penanaman jenis-jenis tersebut dilakukan tanpa terlebih dahulu mengevaluasi kesesuaian lahannya. _______________________________________________________________________ 1) Politeknik Pertanian Negeri Samarinda 2) Laboratorium Ilmu Tanah Hutan Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda
12
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
13
Akibatnya, tindakan pemeliharaan tanaman menjadi sulit untuk dirumuskan karena kualitas dan karakteristik lahan tempat tumbuhnya tidak diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui macam tanah yang berkembang pada areal rehabilitasi hutan bekas kebakaran, mengevaluasi kualitas dan karakteristik lahan hutan bekas kebakaran berat dan sangat berat di areal HPH PT ITCI Kartika Utama bagi pertumbuhan jenis-jenis tanaman yang diusahakan, khususnya Gmelina, Mangium dan Jati serta mengetahui faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang akan diusahakan dari setiap sistem lahan yang diteliti sesuai dengan tingkat kesesuaian lahannya masing-masing. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa diperolehnya kepastian/jawaban apakah jenis-jenis pohon yang diusahakan (Gmelina, Mangium dan Jati) sesuai atau tidak dengan karakteristik dan kualitas lahannya, kalau sesuai maka jenis tanaman tersebut akan dikembangkan, tetapi kalau tidak sesuai maka akan dipilihkan jenis alternatif; diperolehnya masukan-masukan yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan tanaman pada lahan yang sesuai. Selain itu dapat memberikan saran alternatif jenis-jenis pohon lainnya yang lebih cocok seandainya jenis-jenis tanaman yang sudah ada tidak sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya. METODE PENELITIAN
Penelitian lapangan dilaksanakan di areal rehabilitasi hutan bekas kebakaran pada areal HPH PT ITCI Kartika Utama, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian lapangan kemudian dilanjutkan dengan penelitian laboratorium di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Waktu penelitian secara keseluruhan adalah 6 bulan, meliputi kegiatan: pembuatan plot, evaluasi karakteristik dan kualitas lahan serta analisis tanah di laboratorium. Evaluasi kesesuaian lahan diawali dengan melakukan tumpang susun (overlay) antara peta kerja, peta sistem lahan dan peta tingkat kebakaran pada areal HPH PT ITCI Kartika Utama untuk memperoleh lahan-lahan yang berbeda. Selanjutnya dari setiap sistem lahan yang ada di areal rehabilitasi, yaitu Mentalat (MTL), Teweh (TWH), Beriwit (BRW), Lawanguwang (LWW), Tewai Baru (TWB), diambil contoh-contoh tanah untuk dianalisis di laboratorium yaitu analisis parameter kesesuaian lahan dan klasifikasi tanah. Hasil evaluasi karakteristik dan kualitas lahan dikelompok-kelompokkan ke dalam kelas-kelas kesesuaian lahan sesuai jenis tanaman yang telah dikembangkan. Metode penilaian mengacu pada Atlas Format Procedures menurut Anonim (1983b). Berdasarkan hasil pendeskripsian profil tanah (terutama susunan horison) yang dibuat di setiap plot penelitian serta hasil analisis sifat kimia tanah, khususnya nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB), maka ditetapkan macam tanahnya. Untuk setiap macam tanah yang ditemukan kemudian digambarkan dan diuraikan sifat morfologinya masing-masing.
14
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Seluruh kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi parameter penelitian ini, meliputi rejim temperatur, ketersediaan air, kondisi perakaran, retensi hara, ketersediaan hara, keracunan dan terrain dianalisis serta dievaluasi kemudian dibandingkan dengan persyaratan tumbuh jenis-jenis yang akan diusahakan (Mangium, Gmelina dan Jati). Selanjutnya hasil evaluasi terhadap kualitas dan karakteristik lahan dari setiap sistem lahan yang diteliti disusun ke dalam tabel kesesuaian lahan aktual. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi PT ITCI Kartika Utama Berdasarkan peta tingkat kebakaran PT ITCI Kartika Utama, diperoleh informasi bahwa luas areal hutan terbakar pada areal HPH tersebut adalah: areal hutan terbakar ringan = 5.420 ha, terbakar sedang = 40.899 ha, terbakar berat = 62.652 ha dan terbakar sangat berat = 54.710 ha. Menurut Ohta dkk. (1992), iklim di daerah penelitian diklasifikasikan dalam Aafw” atau Aafw’ menurut sistem Koppen, yaitu mempunyai hutan tropis, iklim isotermal dengan musim kemarau yang panas dan curah hujan yang tinggi sebanyak satu atau dua kali dalam setahun. Formasi geologi yang terbentuk pada areal HPH PT ITCI Kartika Utama tersusun atas: Formasi Alluvium, Pamaluan, Pulau Balang dan Balikpapan. Pada Tabel 1 ditampilkan jenis tanah di HPH PT ITCIKU. Tabel 1. Jenis Tanah, Bahan Induk dan Fisiografi Areal Kerja HPH PT ITCI Kartika Utama Jenis tanah Organosol glei humus Podzolik Merah Kuning (PMK) Podsol Aluvial Kompleks PMK Latosol dan Litosol
Bahan induk Aluvial Batuan beku dan endapan Batuan endapan Aluvial Batuan beku endapan dan metamorf
Fisiografi Daratan Bukit dan pegunungan lipatan Daratan Daratan Pegunungan patah
Sistem Lahan Berdasarkan sistem lahan menurut Anonim (1987), areal kerja PT ITCIKU terbagi menjadi 16 sistem lahan, yaitu: Beliti (BLI), Mendawai (MDW), Beriwit (BRW), Tanjung (TNJ), Klaru (KLR), Kajapah (KJP), Lohai (LHI), Lawanguwang (LWW), Maput (MPT), Mentalat (MTL), Sebangau (SBG), Pendreh (PDH), Bakunan (BKN), Tewai Baru (TWB), Teweh (TWH) dan Mangkaho (MGH). Pihak perusahaan telah menetapkan bahwa areal yang akan direhabilitasi adalah areal dengan tingkat kebakaran berat dan sangat berat pada kemiringan lapangan <40 %, sehingga terdapat 5 sistem lahan yang diteliti, yaitu Sistem Lahan Mentalat (MTL), Beriwit (BRW), Teweh (TWH), Tewai Baru (TWB) dan Lawanguwang (LWW).
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
15
Morfologi dan Klasifikasi Tanah Berdasarkan ciri-ciri morfologi tanah dan hasil analisis laboratorium, maka nama macam tanah pada plot-plot penelitian dapat ditetapkan. Penamaan dilakukan dengan sistem klasifikasi tanah USDA (USDA Soil Taxonomy), seperti ditampilkan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Macam Tanah Setiap Plot Penelitian Nomor profil P1/IKU P2/IKU/BRW/SB P4/IKU/TWH/KB P6/IKU/TWB/SB P8/IKU/LWW/KB
Sistem lahan Mentalat Beriwit Teweh Tewai Baru Lawanguwang
Macam tanah Typic Hapludults Typic Hapludults Typic Hapludults Typic Haplohumults Typic Hapludults
Hirarki pengklasifikasian kedua macam tanah tersebut diuraikan seperti di bawah ini: Typic Hapludults Ordo : Ultisol (memiliki horison argilik). Subordo : Udult (ultisol yang mempunyai rejim kelembapan tanah udic). Great group : Hapludult (mempunyai sifat udult yang lain). Subgroup : Typic Hapludults (sifatnya serupa dengan great groupnya). Typic Haplohumult. Ordo : Ultisol (memiliki horison argilik). Subordo : Humult (mempunyai kandungan C organik 0,9 % atau lebih pada 15 cm teratas horison argilik/kandik). Great group : Haplohumult (humult yang lain). Subgroup : Typic Haplohumults (sifatnya serupa dengan great groupnya). Padanan nama macam tanah di areal penelitian dalam klasifikasi menurut PPT (Anonim, 1983a) maupun klasifikasi FAO (Anonim, 1994) adalah sebagai berikut: Tabel 3. Macam Tanah dan Padanannya pada Setiap Plot Penelitian Nomor profil
Sistem lahan
P1/IKU P2/IKU/BRW/SB P4/IKU/TWH/KB P6/IKU/TWB/SB P8/IKU/LWW/KB
Mentalat Beriwit Teweh Tewai Baru Lawanguwang
Macam tanah USDA FAO Typic Hapludults Humic Alisols Typic Hapludults Humic Alisols Typic Hapludults Humic Acrisols Typic Haplohumults Humic Acrisols Typic Hapludults Haplic Acrisols
PPT Podsolik Humik Podsolik Humik Podsolik Humik Podsolik Humik Podsolik Haplik
Evaluasi Kesesuaian Lahan Hasil evaluasi kesesuaian lahan aktual untuk kelima sistem lahan di areal penelitian dikemukakan dalam Tabel 4 sampai 8 berikut ini.
16
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Tabel 4. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Aktual Sistem Lahan Mentalat Kualitas dan karakteristik lahan
Nilai
Rejim temperatur (t): Temperatur rata-rata tahunan (°C) 27,0 Ketersediaan air (w): Bulan kering (<75 mm/th) 1,23 Curah hujan (mm/th) 2.466,2 Kondisi perakaran (r): Drainase tanah (d) Sedang Tekstur lapisan atas (s) CL, C (halus) Kedalaman efektif (cm) (e) 160 Retensi hara (f): KTK (me/100g) (k) 14,70 (rendah) PH (a) 5,9 (agak masam) Ketersediaan hara (n): Total N (%) 0,17 (rendah) P2O5 Tersedia (ppm) 12,25 (rendah) K2O (mg/100g) 8,33 (sangat rendah) Keracunan/toksisitas (x): 1. Kejenuhan Al (%) 78,8 (sangat tinggi) Terrain (s): Lereng (%) 14,5 Batu di permukaan Singkapan batuan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan untuk A. mangium G. arborea T. grandis S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1
S2 S3
S1 S2 S1
S1 S2 S1
S2 S2 S1
S2 S1
S2 S2
S2 S1
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3
S3
S3
S1 S1 S1 S3nx
S1 S1 S1 S3nx
S1 S1 S1 S3wnx
Tabel 5. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Aktual Sistem Lahan Beriwit Kualitas dan karakteristik lahan
Nilai
Rejim temperatur (t): Temperatur rata-rata tahunan (°C) 27,0 Ketersediaan air (w): Bulan kering (<75 mm/th) 1,23 Curah hujan (mm /th) 2.466,2 Kondisi perakaran (r): Drainase tanah (d) Sedang Tekstur lapisan atas (s) SL (agak kasar) Kedalaman efektif (cm) (e) 160 Retensi hara (f): KTK (me/100g) (k) 6,01 (rendah) PH (a) 6,0 (agak masam) Ketersediaan hara (n): Total N (%) 0,1 (rendah) P2O5 Tersedia (ppm) 12,48 (rendah) K2O (mg/100g) 7,88 (sangat rendah) Keracunan/toksisitas (x): Kejenuhan Al (%) 61,4 (sangat tinggi) Terrain (s): Lereng (%) 19,5 Batu di permukaan Singkapan batuan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan untuk A. mangium G. arborea T. grandis S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1
S2 S3
S1 S1 S1
S1 S2 S1
S2 S2 S1
S3 S1
S3 S2
S3 S1
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3
S3
S3
S2 S1 S1 S3knx
S2 S1 S1 S3knx
S2 S1 S1 S3wknx
17
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005 Tabel 6. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Aktual Sistem Lahan Teweh Kualitas dan karakteristik lahan
Nilai
Rejim temperatur (t): Temperatur rata-rata tahunan (°C) 27,0 Ketersediaan air (w): Bulan kering (<75 mm/th) 1,23 Curah hujan (mm/th) 2.466,2 Kondisi perakaran (r): Drainase tanah (d) Sedang Tekstur lapisan atas (s) C (halus) Kedalaman efektif (cm) (e) 160 Retensi hara (f): KTK (me/100g) (k) 13,15 (rendah) PH (a) 5,8 (agak masam) Ketersediaan hara (n): Total N (%) 0,2 (rendah) P2O5 tersedia (ppm) 17,68 (sedang) K2O (mg/100g) 5,63 (sangat rendah) Keracunan/toksisitas (x): Kejenuhan Al (%) 68,1 (sangat tinggi) Terrain (s): Lereng (%) 17 Batu di permukaan Singkapan batuan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan untuk A. mangium G. arborea T. grandis S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1
S2 S3
S1 S2 S1
S1 S2 S1
S2 S2 S1
S2 S1
S2 S2
S2 S1
S3 S2 S3
S3 S2 S3
S3 S2 S3
S3
S3
S3
S2 S1 S1 S3nx
S2 S1 S1 S3nx
S2 S1 S1 S3wnx
Tabel 7. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Aktual Sistem Lahan Tewai Baru Kualitas dan karakteristik lahan
Nilai
Rejim temperatur (t): Temperatur rata-rata tahunan (°C) 27,0 Ketersediaan air (w): Bulan kering (<75 mm/th) 1,23 Curah hujan (mm/th) 2.466,2 Kondisi perakaran (r): Drainase tanah (d) Sedang Tekstur lapisan atas (s) SCL (agak halus) Kedalaman efektif (cm) (e) 160 Retensi hara (f): KTK (me/100g) (k) 9,95 (rendah) PH (a) 6,0 (agak asam) Ketersediaan hara (n): Total N (%) 0,12 (rendah) P2O5 tersedia (ppm) 7,98 (sangat rendah) K2O (mg/100g) 2,71 (sangat rendah) Keracunan/toksisitas (x): Kejenuhan Al (%) 79,6 (sangat tinggi) Terrain (s): Lereng (%) 34,5 Batu di permukaan Singkapan batuan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan untuk A. mangium G. arborea T. grandis S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1
S2 S3
S1 S1 S1
S1 S1 S1
S2 S1 S1
S2 S1
S2 S2
S2 S1
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3
S3
S3
S3 S1 S1 S3nxs
S3 S1 S1 S3nxs
S3 S1 S1 S3wnxs
18
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Tabel 8. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan Aktual Sistem Lahan Lawanguwang Kualitas dan karakteristik lahan
Nilai
Rejim temperatur (t): Temperatur rata-rata tahunan (°C) 27,0 Ketersediaan air (w): Bulan kering (<75 mm/th) 1,23 Curah hujan (mm/th) 2.466,2 Kondisi perakaran (r): Drainase tanah (d) Sedang Tekstur lapisan atas (s) SCL (agak halus) Kedalaman efektif (cm) (e) 160 Retensi hara (f): KTK (me/100g) (k) 6,69 (rendah) PH (a) 5,5 (masam) Ketersediaan hara (n): Total N (%) 0,11 (rendah) P2O5 tersedia (ppm) 14,60 (rendah) K2O (mg/100g) 3,79 (sangat rendah) Keracunan/toksisitas (x): Kejenuhan Al (%) 70,2 (sangat tinggi) Terrain (s): Lereng (%) 15,5 Batu di permukaan Singkapan batuan Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan untuk A. mangium G. arborea T. grandis S1
S2
S1
S1 S1
S1 S1
S2 S3
S1 S1 S1
S1 S1 S1
S2 S1 S1
S3 S1
S3 S2
S3 S1
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3 S3 S3
S3
S3
S3
S2 S1 S1 S3knx
S2 S1 S1 S3knx
S2 S1 S1 S3wknx
Kelima tabel kesesuaian lahan aktual di atas dirangkum dalam Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Kesesuaian Lahan Aktual dari Lima Sistem Lahan yang Diteliti Sistem lahan Mentalat Beriwit Teweh Tewai Baru Lawanguwang
Mangium S3nx S3knx S3nx S3nxs S3knx
Gmelina S3nx S3knx S3nx S3nxs S3knx
Jati S3wnx S3wknx S3wnx S3wnxs S3wknx
Kesesuaian lahan aktual sistem lahan Mentalat bagi jenis Mangium dan Gmelina memiliki faktor pembatas pertumbuhan berupa rendahnya ketersediaan hara (N,P,K) dan tingginya kejenuhan Al, sedangkan pada sistem lahan Teweh faktor pembatasnya berupa rendahnya ketersediaan hara (N,K) dan tingginya kejenuhan Al. Faktor pembatas pada sistem lahan Beriwit dan Lawanguwang adalah rendahnya retensi hara (KTK), ketersediaan hara (N,P,K) dan tingginya kejenuhan Al dan pada sistem lahan Tewai Baru faktor pembatasnya adalah rendahnya ketersediaan hara (N,P,K), kejenuhan Al yang tinggi dan terrain (kemiringan lapang).
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
19
Upaya Perbaikan Faktor Pembatas Pertumbuhan Terhadap faktor pembatas berupa ketersediaan air (dalam hal ini adalah jumlah curah hujan), tidak dapat dilakukan upaya perbaikan karena berhubungan dengan letak geografis dan ketinggian lokasi yang diteliti. Demikian pula kemiringan lapang (terrain) merupakan faktor pembatas yang secara ekonomis tidak dapat diupayakan perbaikannya, sedangkan faktor pembatas yang lain masih bisa diperbaiki. 1. Retensi hara Kapasitas Tukar Kation (KTK): KTK dari plot-plot yang diteliti tergolong rendah. Upaya perbaikan untuk meningkatkan nilai KTK adalah menambah ketersediaan bahan organik tanah dan memelihara keberadaan serasah di lantai hutan, mengingat pada tanah-tanah tua penyumbang terbanyak KTK tanah adalah bahan organik yang ada di atas tanah selain dari hasil pelapukan batuan yaitu fraksi liat tanah. Selain mempertahankan adanya serasah di lantai hutan, upaya lain untuk meningkatkan KTK adalah dengan cara menanam tanaman kacangkacangan/Leguminosae untuk penutup lahan (cover crop). Penanaman dengan jenis-jenis Leguminosae ini selain menambah ketersediaan bahan organik (sumber koloid) juga dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah (Ruhiyat, 2001; Muttaqin, 2002). Reaksi Tanah (pH): Perbaikan pH tanah dari kelima sistem lahan yang ada dapat dilakukan dengan cara pengapuran. Pemberian kapur pada tanah-tanah di areal penelitian bertujuan untuk mengurangi kejenuhan ion H+ yang tinggi. Berdasarkan penelitian Aksa (2002), pemberian kapur menyebabkan peningkatan: pH, P tersedia, Kation K dan Ca dapat tukar, KTKE serta KBP. Peningkatan pH terjadi karena unsur Ca dari kapur mengusir kation-kation asam (H, Al) dari kompleks koloid tanah. 2. Ketersediaan hara Upaya perbaikan yang perlu dilakukan terhadap ketersediaan hara tanah di areal yang diteliti menyangkut unsur hara N, P dan K. Dalam upaya meningkatkan ketersediaan unsur N, P dan K tanah-tanah di areal penelitian perlu dilakukan penambahan melalui kegiatan pemupukan dengan pupuk Urea (untuk N), TSP (untuk P) dan KCl (untuk K). Keperluan masing-masing pupuk tersebut dihitung dengan dasar sebagai berikut: i) Lapisan tanah yang akan ditingkatkan ketersediaan haranya adalah lapisan atas setebal 30 cm. ii) Sasaran pemupukan adalah untuk meningkatkan status ketersediaan hara dari sangat rendah atau rendah (tergantung pada hasil analisis tanah masing-masing sistem lahan) menjadi berstatus sedang. iii) Kriteria status masing-masing unsur hara (N, P, K) mengacu pada ketentuan Anonim (1983a). Pada Tabel 10 dan 11 ditampilkan keperluan pupuk Urea pada setiap sistem lahan.
20
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan Tabel 10. Keperluan Pupuk Urea pada Setiap Sistem Lahan Sistem lahan Jumlah pupuk (ton/ha) Mentalat (MTL) 11,1 Beriwit (BRW) 18,6 Teweh (TWH) 12,5 Tewai Baru (TWB) 14,6 Lawanguwang (LWW) 18,2 Keterangan: Jumlah pupuk tersebut untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari masing-masing sistem lahan ke kelas S2
Tabel 11. Waktu dan Dosis Pemberian Pupuk Urea Sesuai Kebutuhan Optimal Setiap Sistem Lahan
Waktu Dosis Keterangan Seluruh sistem lahan*): Saat tanam 68 gr/tanaman 3, 6, 12 bulan 150 gr/tanaman Dilakukan dengan cara lorakan 1,5; 2; 2,5; 3 tahun 200 gr/tanaman 4, 6, 9 tahun: Mentalat 97,3 kg/jalur Beriwit 158 kg/jalur Dilakukan dengan sistem jalur, karena tanaman Teweh 111 kg/jalur sudah cukup besar dan akar sudah menyatu. Tewai Baru 132,6 kg/jalur Jumlah jalur/ha = 33 jalur. Lawanguwang 168,9 kg/jalur *) Pemberian pupuk berdasarkan Anonim (1991) dosis 51–68 gr/ph dan Mohan (1993) dosis 67,5 gr/ph
Pada Tabel 12 dan 13 ditampilkan keperluan pupuk TSP pada setiap sistem lahan. Tabel 12. Keperluan Pupuk TSP Tanah Setiap Sistem Lahan Sistem lahan Jumlah pupuk (ton/ha) Mentalat (MTL) 0,086 Beriwit (BRW) 0,084 Teweh (TWH) Tewai Baru (TWB) 0,104 Lawanguwang (LWW) 0,074 Keterangan: Jumlah pupuk tersebut untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari masing-masing sistem lahan ke kelas S2 Tabel 13. Waktu dan Dosis Pemberian Pupuk TSP Sesuai Kebutuhan Optimal Setiap Sistem Lahan Waktu Mentalat: Saat tanam, 3 bulan 6 dan 12 bulan Beriwit: Saat tanam, 3 bulan 6 dan 12 bulan Teweh
Dosis *)
Keterangan
13 gr/tan 25,5 gr/tan
Cara lorakan Cara lorakan
13 gr/tan 24 gr/tan -
Cara lorakan Cara lorakan Tidak perlu dipupuk
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
21
Tabel 13 (lanjutan) Waktu Dosis *) Keterangan Tewai Baru: Saat tanam 15,75 gr/tan Cara lorakan 3, 6 dan 12 bulan 26 gr/tan Cara lorakan Lawanguwang: Saat tanam, 3 dan 6 bulan 14 gr/tan Cara lorakan 12 bulan 25,5 gr/tan Cara lorakan *) Pemberian pupuk berdasarkan Anonim (1991) dosis 52–104 gr/pohon diberikan secara bertahap sebanyak 4 kali.
Pada Tabel 14 dan 15 ditampilkan keperluan pupuk KCl pada setiap sistem lahan. Tabel 14. Keperluan Pupuk KCl Tanah Setiap Sistem Lahan Sistem lahan Jumlah pupuk (ton/ha) Mentalat (MTL) 1,7 Beriwit (BRW) 1,8 Teweh (TWH) 1,9 Tewai Baru (TWB) 2,2 Lawanguwang (LWW) 2,1 Keterangan: Jumlah pupuk tersebut untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari masing-masing sistem lahan ke kelas S2 Tabel 15. Waktu dan Dosis Pemberian Pupuk KCl Sesuai Kebutuhan Optimal Setiap Sistem Lahan Waktu Dosis Keterangan Seluruh sistem lahan *): Saat tanam 15 gr/tanaman 3, 6, 12 bulan 30 gr/tanaman Dilakukan dengan cara lorakan 1,5; 2; 2,5; 3 tahun 30 gr/tanaman 4, 6, 9 tahun: Mentalat 14,5 kg/jalur Beriwit 15,2 kg/jalur Dilakukan dengan sistem jalur, karena Teweh 16,7 kg/jalur tanaman sudah cukup besar dan akar sudah Tewai Baru 19,3 kg/jalur menyatu. Jumlah jalur/ha = 33 jalur. Lawanguwang 18,6 kg/jalur *) Pemberian pupuk berdasarkan Hafiziansyah (1997) dosis 15 gr KCl/tanaman.
Waktu pemberian pupuk secara bertahap ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan, seperti yang dinyatakan oleh Pritchett (1979), bahwa sistem perakaran tegakan muda berkembang agak lambat dan menempati bagian massa tanah yang signifikan dalam beberapa tahun setelah penanaman yang mengakibatkan pemberian pupuk N dalam jumlah besar selain tercuci dari permukaan tanah juga dapat menyebabkan luka pada tanaman. Pemberian terbaik adalah dengan aplikasi bertingkat selama rotasi.
22
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Mackensen (2000) menyarankan selain pemupukan saat penanaman dan selama rotasi tanam berjalan, juga pada akhir rotasi tanaman, karena respon tegakan-tegakan muda terhadap pemupukan pada awalnya cepat namun peningkatan laju pertumbuhan tersebut akan menurun dalam waktu singkat dan volume total dari tegakan yang dipupuk dan yang tidak dipupuk pada akhirnya kurang lebih akan sama kembali. Untuk itu disarankan membagi-bagi pemupukan yang dibutuhkan ke dalam beberapa pemupukan kecil yang sesuai secara teratur atau menggunakan pupuk-pupuk yang terurai secara perlahan. Sehubungan dengan kegiatan pemupukan ini, harus dilakukan uji coba pemupukan pada daerah penelitian, dikarenakan dalam pemupukan tidak ada ketentuan baku dalam dosis maupun waktu pemupukan yang mana hal ini berhubungan dengan berbedanya kandungan unsur hara dari setiap jenis tanah. Mackensen (2000) menyarankan, bahwa untuk mendapatkan pengalaman lokal tentang hubungan antara pupuk, tanah dan pohon, maka harus dilakukan uji coba pemupukan. Uji coba lokal akan memberikan informasi yang diperlukan untuk mengoptimalkan jumlah pupuk, jenis dan kombinasi-kombinasinya serta efek-efek sampingan dari pemupukan. Karena pemupukan murni adalah tindakan ekonomis, maka biaya pemupukan yang diperlukan harus selalu lebih kecil daripada pertambahan hasil panen. Sebagai contoh, jika pupuk diberikan 2 kali untuk meningkatkan riap tegakan, maka seyogyanya pupuk diberikan pada saat tegakan masih muda tetapi tajuk sudah bertaut agar pupuk bisa diberikan dengan cara aplikasi paling murah yaitu dengan cara ditaburkan dan jika bisa menggunakan pupuk yang lambat urai. 3. Kejenuhan Alumunium Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya keracunan tanaman akibat kejenuhan Al yang tinggi pada tanah di seluruh plot penelitian, perlu dilakukan pengapuran menggunakan CaCO3. Keperluan kapur tersebut seperti ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 16. Keperluan Kapur (CaCO3) untuk Setiap Sistem Lahan Sistem lahan Jumlah kapur (ton/ha) Mentalat (MTL) 17,01 Beriwit (BRW) 6,69 Teweh (TWH) 11,44 Tewai Baru (TWB) 11,64 Lawanguwang (LWW) 7,08 Keterangan: Jumlah kapur diperhitungkan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari kelas S3 menjadi S2 Tabel 17. Waktu dan Dosis Pemberian Kapur (CaCO3) Sesuai Kebutuhan Optimal Setiap Sistem Lahan Waktu Seluruh sistem lahan *): Saat tanam 4 dan 6 tahun: Mentalat Beriwit Teweh Tewai Baru Lawanguwang *) Pemberian kapur (CaCO3)
Dosis
Keterangan
1500 gr/tanaman
Dilakukan 2 minggu sebelum pemberian pupuk
116,2 kg/jalur 76,1 kg/jalur Dilakukan dengan sistem jalur, karena tanaman 148,1 kg/jalur sudah cukup besar dan akar sudah menyatu. 151,1 kg/jalur Jumlah jalur/ha = 33 jalur. 82,0 kg/jalur berdasarkan Aksa (2002) dosis 1500 gr /tanaman.
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 1 (1), APRIL 2005
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tanah yang berkembang pada lima sistem lahan yang diteliti adalah Typic Hapludults dan Typic Haplohumults. Untuk ketiga jenis (Mangium, Gmelina, Jati) yang akan diusahakan setiap sistem lahan yang diteliti memiliki kelas kesesuaian S3 (Lahan agak sesuai). Faktor pembatas bagi jenis Mangium dan Gmelina pada sistem lahan Mentalat adalah rendahnya ketersediaan hara (N, P, K) dan tingginya kejenuhan Alumunium, sedangkan pada sistem lahan Teweh adalah rendahnya ketersediaan hara (N, K) dan tingginya kejenuhan Alumunium. Pada sistem lahan Beriwit dan Lawanguwang adalah rendahnya retensi hara (KTK), rendahnya ketersediaan hara (N, P, K) dan tingginya kejenuhan Al, sedangkan pada sistem lahan Tewai Baru adalah rendahnya ketersediaan hara (N, P, K), tingginya kejenuhan Al dan terrain. Bagi jenis Jati faktor pembatas pada setiap sistem lahan, selain dari faktor-faktor pembatas seperti tersebut di atas, ada faktor pembatas tambahan berupa melimpahnya curah hujan rata-rata setiap tahun. Saran Mengingat kelas kesesuaian lahan aktual semua sistem lahan bagi jenis-jenis yang akan diusahakan tergolong rendah (kelas S3), upaya-upaya penanganan faktor pembatas melalui pemupukan, pengapuran dan penanaman tanaman penutup tanah perlu dilakukan secara efektif dan efisien. Perlu adanya uji coba lokal dalam pemupukan dan pengapuran, mengingat adanya perbedaan kadar unsur hara dalam pupuk, sehingga efisiensi pemupukan dapat dicapai. Kelayakan ekonomi jenis-jenis yang akan diusahakan perlu dikaji secara cermat, mengingat biaya yang diperlukan untuk menangani faktor-faktor pembatas produksi tanaman pada setiap sistem lahan akan cukup besar. Perlu mengubah sortimen hasil menjadi kayu pertukangan dengan daur 15 tahun untuk memperoleh hasil yang lebih menguntungkan karena adanya penanganan faktor-faktor pembatas produksi tanaman. DAFTAR PUSTAKA Aksa, D. 2002. Perubahan Konsentrasi Hara Tanah dan Jaringan Daun Setelah Pengapuran dan Pemupukan serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Meranti Tembaga di Areal Rehabilitasi Hutan Alami Bekas Kebakaran di PT Melapi Timber, Kalimantan Timur. Tesis Magister Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 145 h. Anonim. 1983a. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Publ. Pusat Penelitian Tanah – P3MT No. 59a/1983, Bogor. Anonim (CSR/FAO Staff). 1983b. Reconnaissance Land Resource Surveys 1:250.000 Scale Atlas Format Procedures. Centre for Soil Research, Bogor. 106 h.
24
Widyasasi dkk (2005). Evaluasi Kesesuaian Lahan
Anonim. 1987. Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPProT). Review of Phase I: Results, East and South Kalimantan. Direktorat Bina Program. Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi, Jakarta, Indonesia. 310 h. Anonim. 1991. Kesuburan Tanah. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Palembang. Anonim. 1994. World Reference Base for Soil Resources. Land and Water Development Division FAO, Wageningen/Rome. 161 h. Hafiziansyah, G. 1997. Evaluasi Kesesuaian Tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta di Areal HTI PT Surya Hutani Jaya Sebulu, Kalimantan Timur. Tesis Magister Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 116 h. Mackensen, J. 2000. Pengelolaan Unsur Hara pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia, Juknis ke Arah Pengelolaan Unsur Hara Terpadu. Badan Kerja Sama Teknis Jerman – Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Eschborn, Jerman. 110 h. Mohan, S. 1993. Response of Fertilizer on the Germination, Growth and Biomass Production of Gmelina arborea (Gamari). Journal of Tropical Forestry 9 (IV): 330336. Muttaqin, Z. 2002. Evaluasi Kualitas Tapak Tegakan Mangium dan Gmelina di Areal HPHTI PT Surya Hutani Jaya Provinsi Kalimantan Timur. Tesis Magister Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Ohta, S.; S. Effendi; N. Tanaka and S. Miura. 1992. Characteristics of Major Soils Under Lowland Dipterocarp Forest in East Kalimantan, Indonesia. Pusrehut Special Publication No. 2. Mulawarman University, Samarinda. 72 h. Pritchett, W.L. 1979. Properties and Management of Forest Soils. John Wiley and Sons, Inc., New York. 500 h. Ruhiyat, D. 2001. Keterangan Lisan Kuliah Evaluasi Kesesuaian Lahan. Program Pascasarjana Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.