KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)
ESTY KUSUMA RAHMASARI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI PADA AREAL HUTAN BEKAS TERBAKAR (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)
ESTY KUSUMA RAHMASARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ESTY KUSUMA RAHMASARI. (E44062865). Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang). Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
RINGKASAN PENDAHULUAN. Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia ialah kebakaran. Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia. Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam areal hutan bekas terbakar. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur vegetasi hutan tersebut. METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada areal hutan yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat. Pada masingmasing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat sub petak contoh dengan ukuran 20 x 20 m untuk risalah tingkat pohon, pencekik dan liana berkayu; ukuran 10 x 10 m untuk risalah tingkat tiang; ukuran 5 x 5 m untuk risalah tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem; dan ukuran 2 x 2 m untuk risalah tingkat semai, paku-pakuan, semak belukar dan tanaman herba. HASIL DAN KESIMPULAN. Kebakaran hutan di areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang mengakibatkan penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan. Hanya herba yang memiliki jumlah jenis yang stabil pada seluruh kondisi hutan. Keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity (H’) menunjukkan bahwa kebakaran hutan menurunkan nilai keanekaragaman jenis pada tingkat pancang, tiang, pohon dan hampir seluruh bentuk pertumbuhan non-pohon. Struktur hutan pada tiap kondisi hutan memiliki kelas diameter tertinggi yang berbeda. Kondisi hutan tidak terbakar memiliki diameter ≥ 110 cm, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan kelas diameter tertinggi hanya mencapai 60 - 69 cm. Sedangkan, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang kelas diameter tertinggi mencapai 80 – 89 cm, sedangkan pada kelas diameter kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat hanya mencapai 40 – 49 cm. Kebakaran hutan menurunkan nilai kerapatan pada kondisi-kondisi hutan bekas terbakar. Pengaruh kebakaran hutan terhadap sifat kimia tanah, antara lain penurunan nilai pH tanah, peningkatan nilai C-organik, dan peningkatan nilai kapasitas tukar kation (KPK). Kebakaran hutan di areal UPT Tahura R. Soerjo, Malang menyebabkan perubahan terhadap komposisi dan struktur vegetasi serta sifat kimia tanah.
Kata Kunci : Areal hutan bekas terbakar, Komposisi vegetasi, Struktur vegetasi .
ESTY KUSUMA RAHMASARI.(E44062865).Forest Vegetation Composition and Structure of the Former Forest Burned Area (In R. Soerjo Forest Park Area, Malang). Under the guidance of Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
SUMMARY INTRODUCTION. Forests damage in Indonesia are increasing affect to forest function decline. One cause of forest destruction in Indonesia is forest fires. Forest fires in Indonesia are mostly caused by humans. Impact of forest fires covering all aspects of ecosystems like, vegetation, fauna, soil, water, climate, air, and humans. forest vegetation damage caused succession in burned area. Succession effect reflected on forest vegetation composition dan structure. METHODOLOGY. The research was conducted in unburnt forest area, forest areas with a mild fire level, forest area with medium fire level, and forest area with heavy fire level. In each site observations made in three plots with plot size 100 x 100 m. In each plot observations are made of 4 sub-plots sample with size 20 x 20 m to measure the level of tree, strangler and woody liana; size 10 x 10 m to measure the level of the pole; size 5 x 5 m measure the level of saplings, lianas non-wood, pine, and palm; and 2 x 2 m measure the level of seedlings, ferns, shrubs and herbs. RESULTS AND CONCLUSION. Forest fires in R Soerjo Forest Park, Malang resulted in a decrease number of species of trees and regeneration rate and growth form. Only herb that has a stable species number in all forest conditions. Shannon species diversity according to the Index of General Diversity (H') shows that forest fires reduced the value of diversity at the level of stakes, poles, trees and most other forms of non-tree growth. Forest structure in each forest condition have a different highest diameter class. Unburned forest conditions have diameter until up to 110 cm, mild level forest fires reached only 60-69 cm for the highest diameter class. Meanwhile, on the medium level forest fires reached 80-89 cm for the highest diameter class, while the diameter classes of forest with heavy fire levels only reached 40-49 cm. Forest fires reduce the value of density on all forest burned area. The effect of forest fire on soil chemical properties are decrease soil pH value, increase the value of C-organic, and increase the value of cation exchange capacity (CEC). Forest fire in R. Soerjo Forest Park Area, Malang is causing changes of forest vegetation composition and structure and also soil chemical properties.
Keywords: Forest burned area, vegetation composition, vegetation structure.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011 Esty Kusuma Rahmasari NRP. E44062865
Judul Skripsi
: Komposisi dan Struktur Vegetasi pada Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang)
Nama Mahasiswa
: Esty Kusuma Rahmasari
NRP
: E44062865
Departemen
: Silvikultur
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS NIP. 19450108 197303 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP. 19641110 199002 1 001
Tanggal Lulus:
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 24 November 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ir. H. Dody Arif Sarwono, MM dan Hj. R. Yati Hidayati. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1994 - 1995 di SD Negeri Polisi IV Bogor, 1995 – 1998 SD Negeri II Bonipoi Kupang dan SD Negeri Pucang I Sidoarjo hingga lulus pada tahun 2000. Kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 4 Bogor pada tahun 2000 – 2002 dan SLTP Negeri 2 Sidoarjo hingga lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 4 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mendapatkan kesempatan untuk menekuni mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan. Pada tingkat tiga, penulis memilih untuk menekuni bidang Ekologi Hutan. Penulis juga melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur
Kamojang-Sancang,
Jawa
Barat,
melaksanakan
kegiatan
Praktek
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Pasuruan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang) dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal Hutan Bekas Terbakar (Di Areal UPT Taman Hutan Raya R.Soerjo, Malang). Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengemukakan upaya penulis dalam mengetahui, mempelajari, dan menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi areal hutan bekas terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang dalam pengelolaan lebih lanjut setelah terbakar. Penulis menyadari dalam pembuatan karya ilmiah ini tak lepas dari segala kelemahan dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan karya ilmiah ini. Semoga dengan segala kekurangannya dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Bogor, Februari 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah serta karunia-Nya, penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1.
Keluarga tercinta Mama, Papa, Teteh, Adek Bismy serta keponakanku Ainiya atas perhatian, kasih sayang, dukungan, kesabaran, semangat, pengorbanan dan doanya selama ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, ilmu dan nasihat-nasihatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Ir. Maryono, MM selaku kepala UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang beserta segenap pegawai UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang atas bantuan dan dukungannya selama penulis melakukan penelitian skripsi ini.
5.
Seluruh staf Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
6.
Segenap pegawai Fakultas Kehutanan IPB, terutama Tata Usaha Kehutanan IPB dan Departemen Silvikultur.
7.
Keluarga besar Silvikultur 43, Nunu (yang selalu berbagi), Seru!ni (Anin, Dita, Anna, Dini, Riri, Ghidut) dan Novriadi Zulfida atas bantuan, perhatian, semangat, tawa, canda, doa dan kebersamaannya selama ini.
8.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mencurahkan segala tenaga, waktu maupun pemikirannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan, Amin. Besar harapan
penulis, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Tujuan ...........................................................................................
2
1.3 Manfaat .........................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan tropis ........................................................................
3
2.1.1 Batasan .....................................................................................
3
2.1.2 Corak Iklim Hutan Hujan Tropis ..............................................
4
2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia .........................
4
2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi
5
2.3 Komposisi dan Struktur Hutan .....................................................
7
2.4 Analisis Vegetasi ..........................................................................
8
2.5 Kebakaran Hutan ..........................................................................
9
2.5.1 Batasan ......................................................................................
9
2.5.2 Tipe Kebakaran ........................................................................
9
2.5.3 Dampak Kebakaran .................................................................. 10 2.5.4 Kekerasan Kebakaran (Fire Severity) ...................................... 13 2.5.5 Pencegahan Kebakaran Hutan .................................................. 15 2.5.6 Tipe Manajemen Kebakaran Hutan .......................................... 16 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas .............................................................................. 18 3.2 Topografi dan Iklim ...................................................................... 18 3.3 Flora dan Fauna ............................................................................ 19 3.3.1 Flora ....................................................................................... 19 3.3.2 Fauna ....................................................................................... 19 3.4 Daerah Aliran Sungai ................................................................... 20 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 21
ii
4.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 21 4.3 Metode Pengambilan Data ............................................................ 21 4.3.1 Analisis Vegetasi ..................................................................... 21 4.3.2 Analisis Sifat Kimia Tanah ....................................................... 24 4.4 Analisis Data ................................................................................. 24 4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) ...................................................... 24 4.4.2 Indeks Dominansi (C) .............................................................. 25 4.4.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) ......................................... 25 4.4.4 Koefisien Keanekaragaman Jenis (IS) ..................................... 26 4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) ............................. 26 4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) ................................................... 26 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis ............................................................................ 27 5.1.1 Jumlah Jenis ............................................................................. 27 5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan ....................................... 29 5.1.3 Dominansi Jenis ....................................................................... 34 5.2 Indeks Dominansi (C) ................................................................... 37 5.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) .............................................. 39 5.4 Indeks Kekayaan Margallef (R1) .................................................. 40 5.5 Indeks Kemerataan jenis (E) ......................................................... 42 5.6 Koefisisen Kesamaan Komunitas (IS) .......................................... 43 5.7 Struktur Tegakan .......................................................................... 48 5.8 Sifat Kimia Tanah ......................................................................... 51 5.8.1 pH Tanah .................................................................................. 51 5.8.2 Kapasitas Tukar Kation dan Kejenuhan Basa........................... 54 5.8.3 Analisis Unsur-unsur Hara Tanah ............................................ 55 5.9 Kondisi Hutan Setelah Terbakar.................................................... 58 5.9.1 Sekat Bakar ............................................................................... 61 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 63 6.2 Saran .............................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 65 LAMPIRAN .................................................................................................. 69
iii
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan tingkat permudaan pohon ........................................................................ 27
2.
Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan bentuk pertumbuhan ................................................................................
8
3.
Kerapatan jenis tumbuhan pada tiap kondisi hutan ................................ 29
4.
Frekuensi tumbuhan pada tiap kondisi hutan .......................................... 31
5.
Rekapitulasi jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tiap kondisi hutan ........................................................................................... 34
6.
Indeks dominansi (C) pada tiap kondisi hutan ........................................ 37
7.
Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada tiap kondisi hutan ................... 39
8.
Indeks kekayaan jenis (R1) pada tiap kondisi hutan ...............................
9.
Indeks kemerataan jenis (E) pada tiap kondisi hutan .............................. 42
1
10. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada tingkat permudaan pohon .................................................................................... 44 11. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk pertumbuhan herba, paku-pakuan, semak belukar dan liana .................. 45 12. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada bentuk pertumbuhan pandan, palem, liana berkayu dan epifit ........................... 46 13. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada tiap kondisi hutan ... 48 14. Reaksi tanah dan kandungan C-organik pada tiap kondisi hutan ........... 51 15. Nilai kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan tekstur tanah pada tiap kondisi hutan .................................................................. 54 16. Analisis kimia unsur hara makro tanah pada tiap kondisi hutan............. 55 17. Analisis kimia unsur hara mikro tanah pada tiap kondisi hutan ............. 57
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Plot pengamatan analisis vegetasi ........................................................... 23
2.
Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada kondisi hutan : (a) Tidak terbakar; (b) Tingkat kebakaran ringan; (c) Tingkat kebakaran sedang dan; (d) Tingkat kebakaran berat ............................... 49
3.
Penampang melintang sekat bakar dengan lebar 60 m ........................... 62
v
DAFTAR LAMPIRAN No. 1.
Halaman Daftar nama jenis tingkat pertumbuhan
pohon dan permudaan di
Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................... 70 2.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan herba di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................................................... 72
3.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan
semak belukar di Taman
Hutan Raya R. Soerjo, Malang ............................................................... 74 4.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan paku-pakuan di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 74
5.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ........................................................................................ 75
6.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan pandan di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75
7.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan palem di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................................................... 75
8.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan liana berkayu di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang .......................................................................... 76
9.
Daftar nama jenis bentuk pertumbuhan epifit di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang ................................................................................... 76
10. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 77 11. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 78 12. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 78 13. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan semai pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 79 14. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 80 15. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 81
vi
16. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 81 17. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat permudaan pancang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 82 18. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan tidak terbakar........................................................................................... 83 19. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 84 20. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 85 21. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat tiang pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 85 22. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan tidak terbakar........................................................................................... 86 23. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ............................................................ 88 24. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ........................................................... 88 25. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat............................................................... 89 26. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 90 27. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 92 28. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 94 29. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan herba pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 96 30. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak belukar pada kondisi hutan tidak terbakar ............................................. 97 31. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ............... 97
vii
32. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang .............. 97 33. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan semak belukar pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ................. 98 34. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 98 35. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 98 36. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 98 37. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan paku pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 98 38. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 99 39. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 99 40. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 99 41. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ........................................ 99 42. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100 43. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan pandan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 100 44. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 100 45. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan palem pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 100 46. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu pada kondisi hutan tidak terbakar ........................................................... 100 47. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan liana berkayu pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ............................ 101
viii
48. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada kondisi hutan tidak terbakar .................................................................... 101 49. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ...................................... 101 50. Rekapitulasi hasil analisis vegetasi bentuk pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ..................................... 101 51. Kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dalam Perdana (2009) ...................................................... 102 52. Foto-foto penelitian ................................................................................. 103 53. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang .................................................................................................... 105
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Hutan di Indonesia termasuk ke dalam hutan hujan tropis dimana wilayah Indonesia termasuk ke dalam iklim tropis. Kerusakan hutan di Indonesia yang semakin meningkat menyebabkan menurunnya fungsi dari hutan tersebut. Salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia ialah kebakaran hutan. Hutan hujan tropis sendiri merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80% (Vickery 1984 dalam Indriyanto 2008). Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa masih terdapat hutan hujan tropis yang salah satunya adalah kawasan pelestarian alam Taman Hutan Raya. Terdapat wilayah Taman Hutan Raya R.Soerjo yang dahulunya merupakan wilayah Perum Perhutani. Taman Hutan Raya R.Soerjo merupakan salah satu kawasan hutan pelestarian alam di provinsi Jawa Timur yang tersebar di Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu. Taman
Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo berbatasan langsung dengan kawasan Perum Perhutani. Sehingga masih banyak penduduk yang masuk ke Tahura R. Soerjo untuk mencari kayu bakar atau bercocok tanam di dalam kawasan. Selain itu, terdapat pemburu liar yang berburu di dalam kawasan ini yang membuat kebakaran hutan melebar sehingga memudahkan perburuan satwa liar. Selain pemburu liar, banyak pendaki gunung di dalam kawasan Tahura R.Soerjo yang menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh manusia. Data terakhir yang didapat dari Kementerian Kehutanan dalam taksiran luas
2
kebakaran hutan menurut fungsi hutan pada tahun 2001 – 2005, kebakaran hutan dengan luasan tertinggi terjadi pada tahun 2002 seluas 35.496,73 ha. Sedangkan berdasarkan Dinas Kehutanan Provinsi Jatim, pada tahun 2005 – 2009 luasan kebakaran hutan di Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan memiliki luasan tertinggi seluas 7.596,65 ha pada tahun 2006. Pada tahun 2009 sendiri kejadian kebakaran yang terjadi di Provinsi Jawa Timur mencapai luasan 6.046,04 ha meningkat dari tahun sebelumnya.
Sedangkan, data rekapitulasi kejadian
kebakaran hutan di kawasan Tahura R. Soerjo pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan Desember 2009 seluas 2.074 ha (Dinas Kehutanan Prov. Jawa Timur). Dampak kebakaran hutan meliputi keseluruhan aspek ekosistem, seperti vegetasi, fauna, tanah, air, iklim, udara, dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran terhadap vegetasi dapat menyebabkan terjadinya suksesi dalam areal bekas terbakar. Suksesi yang terjadi merupakan upaya ekosistem tersebut memulihkan kondisi lingkungan baik komponen biotik maupun komponen abiotik. Perubahan suksesi tersebut dapat dilihat dari komposisi dan struktur vegetasi hutan tersebut. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis komposisi dan struktur vegetasi pada areal hutan bekas terbakar ringan, bekas terbakar sedang dan bekas terbakar berat. 1.3 Manfaat Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi areal hutan bekas terbakar Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang sehingga dapat dilaksaanakan pengelolaan lebih lanjut terhadap areal hutan bekas terbakar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis 2.1.1
Batasan Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropis merupakan jenis nabatah yang
paling subur. Sedangkan enurut Soerianegara dan Indrawan (1988), hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hutan jenis ini terdapat di wilayah baruh tropis atau di dekat wilayah tropis di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm per tahun. Suhunya tinggi (sekitar 25 C – 26 C) dan seragam, dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata sekitar 30 m.
Tajuk pepohonan itu sering dapat
dikenali karena terdiri dari 3 lapis. Pepohonan itu tergabung dengan tumbuhan terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit. Berbunga, berbuah, dan luruhnya daun serta bergantinya daun sering berlangsung bersinambungan sepanjang tahun, dengan spesies berlainan yang terlibat pada waktu yang berbedabeda (Ewusie 1990). Hutan hujan tropis menurut Schimper (1903) dalam Richards (1966) adalah suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, memiliki karakter selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m, tapi biasanya lebih tinggi, serta kaya akan liana yang memiliki batang tebal dan berkayu seperti herba yang bersifat epifit. Menurut Richards (1966) ciri utama dari hutan hujan tropis ialah mayoritas dari tanaman di hutan hujan tropis berkayu, tak hanya pohon yang mendominasi komunitas hutan hujan tropis, tapi kebanyakan tanaman merambat dan beberapa epifit pun berkayu. Hutan hujan tropis ialah suatu komunitas kompleks yang
terdiri dari
pepohonan dengan berbagai ukuran. Iklim mikro dibawah naungan kanopi hutan berbeda dengan iklim mikro di luar kanopi hutan. Perbedaan iklim mikro dilihat dari cahaya yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan temperatur yang rendah di bawah kanopi hutan (Whitmore 1984).
2
2.1.2 Corak iklim hutan hujan tropis Hutan hujan tropis memiliki corak iklim mikro menurut Ewusie (1990) yang terdiri dari : 1. Suhu Iklim hutan hujan tropis ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 20 C hingga 28 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0,4 C – 0,7 C. 2. Curah hujan Hutan hujan tropis menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 3000 mm dalam setahunnya. 3. Kelembaban atmosfer Kelembaban hutan hujan tropis rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. 4. Angin Di wilayah tropis kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam. 5. Cahaya Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam dimanapun di wilayah tropis, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi. 6. Karbondioksida Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropis di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke dalam 3 zone vegetasi, yaitu:
3
1. Zona barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae. 2. Zona timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae. 3. Zona peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropis di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta Irian. 2.2 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Masyarakat hutan adalah salah satu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis dimana terbentuk secara berangsur-angsur melalui tahapan, yaitu invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, dan penguasaan serta reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi.
Proses ini
disebut dengan suksesi atau sere (Soerianegara dan Indrawan 1998). Suksesi sendiri merupakan proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah secara teratur. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks. Dikatakan bahwa dalam tingkat klimaks ini komunitas telah mencapai homeostatis. Ini dapat diartikan bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan kestabilan internalnya sebagai akibat dari tanggap (response) yang terkoordinasi dari komponen-komponennya terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cenderung mengganggu kondisi atau fungsi normal komunitas. Jadi bila suatu komunitas telah mencapai klimaks, perubahan yang searah tidak terjadi lagi, meskipun perubahan-perubahan internal diperlukan untuk mempertahankan kehadiran komunitas berlangsung secara sinambung (Resosoedarmo et al. 1988). Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-
4
tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan kepada seimbang (Soerianegara dan Indrawan 1998). Setelah beberapa waktu, perubahan muncul pada komponen-komponen yang tidah hidup dalam ekosistem. Perubahan lingkungan ini menjadi bagian dari aktivitas organisme itu sendiri dan bagian fenomena yang berdiri sendiri pada komunitas yang sepantasnya. Pengaruh-pengaruh awal mengarah pada autogenic, yang memproduksi suksesi autogenik (Tansley 1935 dalam Chandler et al 1983), dan kemudian sebagai allogenik, memproduksi suksesi allogenik. Sebenarnya, kedua kekuatan tersebut aktif pada saat yang bersamaan tapi satu diantara yang lainnya lebih kuat. Pengaruh autogenic tergantung pada komposisi spesies dan struktur komunitas karena setiap spesies berkontribusi secara individual yang menjadi dampak keseluruhan suksesi.
Daur nutrisi dapat berpengaruh besar dalam
memberi simpanan nutrisi bagi beberapa spesies. berpengaruh terhadap cahaya dan suhu. mempengaruhi suksesi tetapi
Pengaruh autogenis pun
Pada kekuatan allogenik pun
kekuatan ini tidak bergantung pada aktivitas
organisme dalam komunitas. Contohnya pada kebakaran hutan, penggembalaan hewan ternak, atau tebang habis pada seluruh hutan (Chandler et al 1983). Suksesi primer adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks (Soerianegara dan Indrawan 1988). Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2008), suksesi primer adalah suksesi yang terjadi pada lahan yang mula-mula tak bervegetasi. Lahan yang tak bervegetasi dapat berarti bahwa lahan tersebut telah lama sekali tidak ada vegetasi apapun yang tumbuhnya diatasnya. Lahan tak bervegetasi dapat juga berarti bahwa lahan tersebut pernah bervegetasi, tetapi mengalami gangguan berat sehingga ekosistem terganggu dan komunitas tumbuhan rusak total. Suksesi sekunder di daerah tropis yang telah dikaji paling baik, berasal dari hutan hujan tropis. Pada umumnya suksesi sekunder penghancuran nabati puncak ini cenderung menuju pada pemulihan kembali hutan hujan itu sebagai puncak pengaruh iklim. Namun, jika kebakaran, penggembalaan atau penurunan
5
sifat tanah berlanjut terus di hutan itu, maka arah suksesi berubah atau menjadi bias, menuju pada puncak biotik yang tidak lebih baik dari ekosistem sebelumnya (Ewusie 1990).
Ketika kawasan alami berubah menjadi sebuah luasan yang
komunitasnya rusak dan suksesinya mengalami kemunduran, muncul sebuah bentuk komunitas yang baru yang disebut suksesi sekunder (Chandler et al 1983). Suksesi sekunder terjadi pada saat ekosistem mengalami gangguan dan kerusakan, misalnya karena kebakaran, tetapi komposisi biotik yang sudah ada sebelumnya mempengaruhi penyebab proses (Mcnaughton dan Wolf 1990). Menurut Chandler et al (1983), situasi suksesi sekunder ini muncul ketika spesies utama dalam komunitas telah hancur akibat kebakaran, penyakit parasit, tornado, banjir, atau kegiatan manusia seperti pertanian atau kehutanan. 2.3 Komposisi dan Struktur Hutan Komposisi spesies berubah dengan cepat pada awal suksesi dan lebih lambat ketika suksesi berlangsung.
Pada umumnya jumlah spesies yang ada
dalam komunitaas meningkat dengan cepat ketika suksesi dimulai tetapi kemungkinan akan mengalami penurunan pada nilai yang lebih kurang konstan. Komposisi hutan dapat diklasifikakan berdasarkan atas adanya jenis murni atau campuran. Karena tegakan yang benar-benar murni jarang ada kecuali di Barat, di tempat Pinus pondoresa, Pinus contorta, Abies, dan Populus mempunyai areal murni sangat luas, kira-kira 90% dari satu jenis telah dipilih sebagai ciri untuk memisahkan tegakan murni dari tegakan 90%, seluruh tegakan merupakan campuran dua atau lebih jenis. Tegakan murni juga terdapat pada hutan tanaman atau pada tempat tumbuh yang khusus seperti hutan rawa Picea mariana (Daniel et al. 1995). Salah satu karakteristik paling penting pada hutan hujan tropis yang berkaitan erat dengan komposisi hutan ialah kekayaan spesies yang melimpah. Kekayaan flora yang tinggi disebabkan kecenderungan sebagian kondisi dalam mendukung tingkat spesiasi yang tinggi, khususnya iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan reproduksi di semua musim, tetapi tidak diragukan lagi sebagian besar disebabkan oleh usia massa tanah tropis yang tua, yang memungkinkan bertahannya vegetasi kurang lebih sama hingga zaman sekarang dari periode geologis yang lampau (Richards 1966).
6
Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis.
Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain
ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), volume, biomassa, presentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Menurut Richards (1966), struktur yang berada dalam masyarakat spesies secara keseluruhan berasal dari perawakannya yang bervariasi dalam berbagai bentuk kehidupan, namun para anggota kelompok ekologis yang sama adalah serupa dalam bentuk kehidupan dan dalam hubungannya dengan lingkungan. Rencana struktur klimaks untuk hutan hujan tropis yang paling jelas dimanifestasikan dalam fitur utama dari arsitektur, stratifikasi pohon-pohon, semak, dan tanaman herba. Pohon-pohon hutan tropis membentuk beberapa strata (lapisan, tingkatan, kanopi dan deretan bertingkat juga digunakan). Terkadang dikategorikan ke dalam tiga lapisan hutan hujan (menurut beberapa literatur, lebih dari tiga). Menurut Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu : 1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba penyusun vegetasi. 2. Sebaran horisontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain. 3. Kelimpahan (abundance) setiap jenis dalam suatu komunitas. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti : flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan (Marsono 1977). 2.4 Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperluan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan INP dari penyusun komunitas hutan tersebut.
Dengan analisis
7
vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Berdasarkan
tujuan
pendugaan
kuantitatif
komunitas
vegetasi
dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu : 1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda. 2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal. 3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith 1983). 2.5 Kebakaran Hutan 2.5.1 Batasan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secarabebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non-hutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan dan areal nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non-hutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia (Syaufina 2008). Proses pembakaran menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon segar untuk tingkat terbatas.
Dengan
demikian sifat utama dari kebakaran hutan adalah tidak terkendali dan menyebar secara bebas (Brown dan Davis 1975). 2.5.2 Tipe Kebakaran Menurut Gunarwan (1970) kebakaran diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan, yaitu : 1. Ground fire : api membakar semua bahan-bahan organik (serasah-serasah) sampai lapisan bawah dari tanah. 2. Surface fire : api membakar serasah yang berada dipermukaan saja dan tanaman-tanaman kecil.
8
3. Crown fire
: api membakar tajuk-tajuk pohon dan semak-semak.
Sering pula kebakaran dibagi-bagi berdasarkan luas areal yang terbakar, yaitu sebagai berikut : 1. Kelas A : kebakaran meliputi 1000 m2. 2. Kelas B : kebakaran meliputi 1000 m2 - 40.000 m2 (0,04 km2). 3. Kelas C : kebakaran meliputi 0,04 km2 - 0,4 km2. 4. Kelas D : kebakaran meliputi 0,4 km2 - 1,2 km2. 5. Kelas E : kebakaran meliputi 1,2 km2. 2.5.3 Dampak Kebakaran Menurut Syaufina (2005), tidak selamanya kebakaran hutan berdampak merugikan bagi lingkungan. Tetapi, perlu kajian lebih lanjut sampai sejauh mana dampak menguntungkan kebakaran hutan dapat dirasakan dan seberapa besar jika dibandingkan dengan dampaknya yang merugikan. 1. Dampak kebakaran hutan yang menguntungkan Di beberapa negara maju, pembakaran terkendali dilakukan secara periodik untuk mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar.
Kegiatan pembakaran juga digunakan untuk
memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali. Namun demikian, pembakaran terkendali ini perlu pengetahuan yang memadai mengenai teknik-teknik pembakaran, waktu pembakaran dan perilaku api. Terhadap lahan hutan, abu hasil proses pembakaran dapat meningkatakn pH tanah hutan yang pada umumnya bersifat masam. Disamping itu kandungan mineral yang tinggi dapat merupakan sumber nutrisi bagi tanaman yang akan hidup di atasnya.
Tetapi, sumbangan nutrisi ini tidak berlangsung lama.
Terutama apabila terjadi hujan sehingga proses pencucian akan mudah terjadi. Adanya ekosistem yang bergantung pada api menunjukkan bahwa untuk jenis-jenis tertentu kebakaran dapat melestarikan keberadaannya.
Hal ini
ditunjukkan dengan adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api yang dikenal dengan istilah fire adaptive traits. Beberapa contoh dari adaptasi ini adalah : a.
Ketebalan kulit kayu Faktor utama yang menentukan sejenis pohon atau semak sebagai jenis resisten terhadap api adalah ketebalan kulitnya. Pohon atau semak yang
9
memiliki ketebalan kulit antar 1,0 – 1,3 cm akan mengalami kerusakan yang ringan apabila terbakar (Wright dan Bailey, 1982 dalam Syaufina 2005).
Biasanya kulit kayu pohon yang muda akan lebih tipis
dibandingkan dengan kayu tua. b.
Tunas yang terlindung Beberapa jenis vegetasi memiliki kemampuan untuk melindungi tunasnya dari api dengan berbagai bentuk. Pinus palustris melindungi tunasnya dengan dedaunan yang tidak terbakar, Eucaliptus melindungi tunasnya jauh di dalam batang, beberapa jenis semak dan pohon seperti Populus menempatkan tunasnya di dalam akar bawah tanah.
c.
Pertuanasan yang distimulasi api Tumbuhnya tunas di bagian bawah merupakan hal yang biasa untuk beberapa jenis pohon dan semak setelah api menghancurkan bagian-bagian dedaunan dan rantingnya. Bakal tunas bersifat dorman pada saat vegetasi tersebut hidup. Adanya api akan menstimulasi bakal tunas yang dorman tadi untuk tumbuh.
Pertumbuhan tunas setelah kebakaran biasanya,
berhubungan dengan umur tanaman, ukuran batang, musim, frekuensi kebakaran, dan kekerasan kebakaran. d.
Penyebaran biji api Jenis-jenis pinus umumnya menyimpan bijinya dengan mekanisme tertentu did dalam kerucut yang terbalut dengan bahan resin yang sensitif terhadap api sehingga sulit untuk diambil. Dengan adanya api, buah pinus akan membuka dan mengeluarkan bijinya. Seringkali biji akan jatuh di atas permukaan tanah yang kaya akan abu dan mineral hasil dari proses pembakaran. Akibatnya, biji akan cepat berkecambah dan tumbuh dengan bantuan sinar matahari yang jatuh ke lantai hutan.
e.
Perkecambahan biji yang dibantu oleh api Perkecambahan biji yang tersimpan di dalam tanah dapat distimulasi oleh adanya panas api.
2. Dampak kebakaran yang merugikan Tidak diragukan lagi bahwa kebakaran memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa dampak
10
yang merugikan dari kebakaran hutan terhadapa vegetasi, tanah, air, dan udara secara ringkas. a. Terhadap vegetasi Pada kisaran suhu antara 130 C hingga 190 C, lignin dan hemisellulosa sebagai penyusun bahan bakar hutan akan mulai terdegradasi.
Proses
dekomposisi dari kedua jenis bahan penyusun tadi akan dipercepat pada suhu 200 C. Panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran dapat mencapai lebih dari 1000 C.
Akibatnya kebakaran hutan dapat menyebabkan
kematian vegetasi. Apabila panas yang dihasilkan masih memungkinkan vegetasi untuk hidup, maka akan tertinggal luka-luka akibat kebakaran yang akhirnya akan merangsang pertumbuhan hama dan penyakit atau menghasilkan cacat permanen. Sebagi konsekuensinya, riap hutan akan menurun dan fungsi lindung hutan hilang. Bagi semai atau anakan pohon yang memiliki jaringan tanaman yang masih muda, api akan menyebabkan kematian secara langsung. Hal ini tentu saja akan menghambat proses regenerasi hutan. b. Terhadap tanah Kebakaran akan memberikan dampak kepada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa faktor, seperti : karakteristik tanah, intensitas, dan lamanya kebakaran, waktu dan intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan bakar. Pembakaran merenggut dari tanah, humus yang seharusnya terjadi. Karena kegiatan api itu, bagian rumput beserta terna yang ada di atas tanah hanyalah menjadi abu dan bukan menjadi humus, setelah tumbuhan itu mati dan membusuk. Dalam proses pembakaran itu sebagian unsur hara yang dibebaskan itu menjadi hilang, Kehilangan lebih lanjut terjadi sebelum unsur hara itu terbilas ke dalam tanah dan diserap oleh tumbuhan. Pengaruh kebakaran pada pinggiran hutan adalah mengurangi luas hutan itu dan menggantikannya dengan sabana turunan, sering dengan sisa pohon hutan yang terpencar di sana-sini. Keadaan ini lagi-lagi disertai dengan pemiskinan tanah dan dipermudah di daerah nisbi kering yang tanahnya dangkal dan berpasir.
Akhirnya, pembakaran menyebabkan permukaan
11
tanah menjadi gundul sehingga limpasan air dan pengikisan sering meningkat, terutama pada lereng bukit. Peningkatan limpasan itu berarti pengurangan jumlah air yang menerus dan air simpanan bawah tanah. Dengan air yang berkurang maka menjadi tidak mungkin untuk mengembalikan nabatah berkayu yang lebih banyak seperti aslinya (Ewusie 1990). Sifat-sifat kimia memberikan kepada tanah kemampuan menyekap zat hara dan menciptakan lingkungan kimia yang diinginkan untuk pertumbuhan nabati (Hamzah 1981). Perilaku kimiawi tanah dapat ditakrifkan sebagai keseluruhan reaksi fikokimia dan kimia yang berlangsung antar penyusun tanah dan antara penyusun tanah dan bahan yang ditambahkan kepada tanah in situ (Bolt & Bruggenwart 1978 dalam Notohadiprawiro 1998). c. Terhadap air Dampak kebakaran terhadap air dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu : kuantitas air dan kualitas air. Terhadap kuantitas air, kebakaran hutan akan menghilangkan atau mengurangi vegetasi penutup tanah yang selama ini memegang peranan penting dalam siklus hidrologi. Terhadap kualitas air, kebakaran hutan terutama berkaitan dengan endapan yang terbawa aliran permukaan. Dalam hal ini, kekeruhan akan meningkat dan oksigen terlarut akan berkurang sehingga akan mengganggu kehidupan ekosistem perairan. d. Terhadap udara Proses pembakaran bahan bakar hutan menghasilkan panas serta senyawa lainnya seperti karbon monoksida, karbon dioksida, beberapa jenis hidrokarbon, uap air dan unsur-unsur lainnya dalam bentuk gas, cair atau padatan (partikel). Hasil dari pembakaran tersebut dapat menjadi polutan yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. 2.5.4 Kekerasan kebakaran (Fire Severity) Kekerasan kebakaran (Fire Severity) merupakan istilah yang digunakan untuk melukiskan respon ekosistem terhadap api terhadap tanah, sistem air, ekosistem flora, dan fauna, atmosfer dan masyarakat (Simard 1991 dan DeBano et al. Dalam Syaufina 2008). Fire severity ini dipengaruhi : sifat bahan bakar yang
12
tersedia dan perilaku api.
Menurut DeBano (1998) dalam Syaufina (2008)
mengklasifikasikan tingkat kekerasan kebakaran sebagai berikut. 1. Low fire severity (terbakar ringan) : pemanasan tanah rendah, pengarangan bagian bawah yang ringan, serasah terbakar habis atau mengarang, tetapi lapisan duff tidak rusak, walaupun permukaannya hangus. Tanah mineral tidak berubah. Permukaan hitam, abu terjadi untuk waktu singkat. Suhu permukaan pada 1 cm < 50 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai ke dalam 1 cm. 2. Moderate fire severity (terbakar sedang) :
pemanasan tanah sedang,
pengarangan bawah sedang, serasah habis terbakar dan lapisan duff mengarang atau terbakar habis, lapisan mineral di bawahnya tidak berubah. Abu berwarna terang. Sampah berkayu terbakar, kecuali log yang mengarang. Abu yang berwarna putih dan kelabu dan arang terjadi pada 1 cm lapisan atas dari tanah mineral, tetapi soil tidak berubah. Suhu permukaan pada kedalaman 1 cm dapat mencapai 100 C – 200 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 3 – 5 cm. 3. High fire severity (terbakar berat) :
pemanasan tanah tinggi, pengarangan
bagian bawah berat, lapisan duff terbakar habis, bagian atas tanah mineral terlihat kemerahan atau oranye. Warna tanah di bawah 1 cm lebih gelap atau mengarang dari bahan organik. Lapisan arang dapat meluas hingga kedalaman 10 cm atau lebih. Log terbakar atau mengarang dalam yang juga terjadi pada tumpukan potongan limbah. Tekstur tanah di lapisan permukaan berubah. Semua batang semak terbakar dan hanya batang yang besar mengarang yang terlihat. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm lebih dari 250 C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 9 – 16 cm. Berdasarkan presentase total areal yang terbakar, fire severity dapat digolongkan menjadi 3 kelas berikut. 1. Low-severity burn (terbakar ringan) : < 2% areal terbakar berat, < 15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar. 2. Moderate-severity burn (terbakar sedang) : < 10% areal terbakar berat, tetapi < 15 % terbakar sedang, dan sisanya terbakar ringan atau tidak terbakar.
13
3. High-severity burn (terbakar berat) :
< 10% mempunyai titik-titik yang
terbakar sangat parah, > 80% terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar ringan. Berdasarkan kerusakan pada pohon yang teramati, fire severity dapat diklasifikasikan kelas berikut : 1. Low fire severity (terbakar ringan) : minimal 50% pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk, matinya tunas (bagian atas mati tapi berkecambah), atau matinya akar, > 80% pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan. 2. Moderate fire severity (terbakar sedang) :
20% - 50% pohon-pohon
menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40% - 80% pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan. 3. High fire severity (terbakar berat) :
< 20% pohon-pohon menunjukkan
kerusakan yang tak terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian akar, < 40% pohon-pohon yang rusak atau terbakar dapat bertahan. 2.5.5
Pencegahan Kebakaran Hutan Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan-
kegiatan lainnya yang dilakukan dalam rangka mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan maupun kebun (Sumantri 2003). Menurut Sumantri (2003) dengan metode pencegahan dapat dikelompokka menjadi : 1. Ragam metode penyuluhan sebagai dasar dalam setiap upaya metode pencegahan yang lain yaitu upaya untuk merubah perilaku sasaran baik pengetahuannya, sikap maupun keterampilannya. 2. Ragam metode peningkatan kesejahteraan. 3. Ragam metode peran serta masyarakat. 4. Ragam metode pengelolaan faktor pemicu : bahan bakar. Ragam metode pengelolaan faktor pemicu dapat dilaksanakan melalui jalur hijau, sekat bakar, fuel break, sloping agricultural land technology, control burning, tanaman penutup, teknik silvikultur, penambangan batubara tradisional, pembuatan parit pada lahan gambut yang tidak terlalu dalam dan lebar dan lain sebagainya.
14
5. Ragam metode pemantapan kewaspadaan antara lain pemasangan ramburambu,
peringatan
dini,
patroli
dan
penjagaan,
apel
siaga,
serta
mengaplikasikan metode penyuluhan untuk kampanye. 6. Ragam metode pemantapan kesiap siagaan. 2.5.6
Tipe Manajemen Bahan Bakar Menurut Husaeni (2003), manajemen bahan bakar dapat dilakukan dengan
3 cara utama, yaitu modifikasi bahan bakar, pengurangan bahan bakar dan isolasi (pemisahan) bahan bakar. 1. Modifikasi bahan bakar Modifikasi bahan bakar merupakan usaha untuk merubah satu atau beberapa macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak mudah terbakar, atau bila terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga mudah dipadamkan. 2. Pengurangan bahan bakar Pengurangan bahan bakar hutan dilakukan dengan tujuan agar bahan bakar hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi. Bahan bakar yang biasa dikurangi jumlahnya adalah bahan bakar permukaan yang termasuk bahan bakar ringan, baik berupa serasah, tumbuhan bawah maupun limbah penebangan. 3. Isolasi bahan bakar Isolasi bahan bakar adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan (sebagai suatu hamparan bahan bakar) dari kawasan di luarnya (sebagai hamparan bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian-bagian kawasan hutan (bagian hamparan bahan bakar) yang lebih kecil, oleh suatu penyekat yang disebut jaluir isolasi. Jalur isolasi adalah suatu jalur dengan lebar tertentu baik berupa jalur terbuka (gundul) maupun bervegetasi, yang memisahkan bagian hutan tertentu dengan bagian hutan lainnya, atau dengan areal di luar kawasan hutan. Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya, dan dari bagian kawasan hutan (blok/petak) tertentu ke bagian kawasan hutan
15
(blok/petak) lainnya.
Jalur isolasi ini berfungsi pula sebagai tempat awal
operasi pemadaman bila terjadi kebakaran hutan. Ada 3 macam jalur isolasi khusu yang dapat dibuat, yaitu sekat bakar (fire break), sekat bahan bakar (fuel break) dan jalur hijau (green belt). a. Sekat bakar adalah suatu jalur bersih (tanpa tumbuhan sama sekali) yang digunakan untuk menghambat penjalaran api dan digunakan juga sebagai tempat awal untuk operasi pemadaman kebakaran.
Sekat bakar dapat
berupa jalur bersih yang sudah ada, misalnya alur sungai, jalan hutan, alur batas blok/petak, atau jalur yang dibuat khusus dengan lebar tertentu, yang dibersihkan dari semua tumbuhan sehingga berupa jalur terbuka. Sekat bakar ini sering disebut jalur kuning. b. Sekat bahan bakar adalah suatu jalur lahan yang cukup lebar, yang vegetasinya telah diubah sehingga bila ada kebakaran hutan, api akan menjalar lebih lambat sehingga mudah dipadamkan. Sekat bahan bakar ini biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar. Sekat bahan bakar dibuat lebih lebar dari sekat bakar (sekitar 20 – 100 m), dibuat sepanjang punggung bukit dan batas kawasan hutan, dan dapat dikombinasikan dengan jalan hutan atau sekat bakar. c. Jalur hijau merupakan modifikasi dari suatu sekat bakar yang vegetasinya dipertahankan tetap hidup dan hijau, dengan cara irigasi. Biaya irigasi ini cukup mahal sehingga di Indonesia, jalur hijau ini berupa vegetasi pohon atau perdu. Bila jalur hijau ini dibuat dengan cara penanaman, pohon atau perdu yang dipilih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Tahan kebakaran, artinya pohon/perdu dapat tetap hidup bila terbakar, 2) Selalu hijau (evergreen), 3) Tajuknya rimbun, agar mampu menekan gulma yang tumbuh di bawahnya, 4) Cepat tumbuh dan mudah bertrubus (coppicing) bila dipangkas, 5) Serasahnya mudah terdekomposisi, agar tidak terjadi penumpukan serasah, 6) Mempunyai
manfaat/kegunaan
penjalaran api kebakaran hutan.
lain
selain
untuk
menghambat
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas Implementasi Kebijakan Surat Keputusan Presiden RI Nomor : 29 tahun 1992, tanggal 19 Juni 1992 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 1128/KptsII/92 tanggal 19 Desember 1992 menguatkan penetapan Taman Hutan Raya R. Soerjo sebagai suatu kawasan pelestarian alam yang telah ditetapkan berdasarkan Tahura R. Soerjo meliputi beberapa kawasan hutan yang berada di dalam kelompok Gunung Arjuno Lalijiwo, yang terletak di empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu.
Luasan masing masing wilayah tersebut ialah Kabupaten Malang seluas
4.287,00 ha, Kabupaten Pasuruan seluas 5.894,30 Ha, Kabupaten Mojokerto seluas 10.181,10 ha, Kabupaten Jombang seluas 2.864,70 ha, dan Kota Batu seluas 4.641,20 ha. Letak geografis : 7º 40‘ 10” - 7º 49‘ 31” LS dan 112º 22‘ 13” - 112º 46‘ 30” BT, dengan luasan : 27.868,30 ha. Dimana kawasan Taman Hutan Raya ini berasal dari beberapa kawasan yaitu Hutan Lindung, Cagar Alam, serta sebagian kecil tanah RVE (Recht Van Eigendom/Hak Kepemilikan Atas Tanah), dengan luasan total 27.868,30 Ha. Kawasan Hutan Lindung meliputi Gunung Anjasmoro, Gunung Argowayang, Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II, mulai dari ketinggian 1.000 mdpl. Sedangkan kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijwo mulai dari ketinggian 2000 mdpl, di mana di dalamnya termasuk juga Gunung Welirang, Gunung Ringgit, Gunung Kembar I dan Gunung Kembar II (UPT Tahura R. Soerjo 2009). 3.2 Topografi dan Iklim Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana) terdapat di Gunung Arjuno Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80-156 pohon/Ha. Dan tinggi pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm. Padang rumput terdapat di bagian bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian dan Kolonjono (Panicum repens). Topografi relatif datar, dapat dikembangkan untuk tempat breeding rusa. Dataran Hutan Hujan Tengah pada ketinggian 2.000 - 2.700 m dpl merupakan hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah. Didominasi oleh Pasang (Quercus sp.), pohon Nyampuh, Sembung dan Gempur Gunung. Pada ketinggian 2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan manisrejo, vegetasi tumbuhan bawah umumnya jenis padi-padian (Sorgum nitidum) dan Edelweis.
19
Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson Tahura R. Soerjo termasuk tipe iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata 2.500 - 4.500 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 5 °C – 10 °C (UPT Tahura R. Soerjo 2009). 3.3 Flora dan Fauna 3.3.1 Flora Menurut UPT Tahura R. Soerjo 2009, ada 3 (tiga) tipe vegetasi (kondisinya masih cukup baik), yaitu : 1. Hutan Alam Cemara (Casuarina junghuhniana) Terdapat di Gunung Arjuno Lalijiwo, ketinggian 1.800 m dpl, kerapatan pohon 80 - 156 pohon/Ha. Tinggi pohon antara 25 - 35 m dan diameter 60 - 100 cm 2. Padang Rumput Terdapat di bagian bawah Pondok Welirang seluas 200 Ha, didominasi jenis padi-padian dan Kolonjono (Panicum repens). Topografi : relatif datar, dapat dikembangkan untuk tempat breeding rusa. 3. Daerah Hutan Hujan Tengah Pada ketinggian 2.000 – 2.700 m dpl termasuk dalam hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak, dan tumbuhan bawah.
Didominasi oleh
Pasang
(Quercus Sp.), pohon Nyampuh, Sumbung dan Gempur Gunung. Pada ketinggian 2.650 m dpl terdapat tegakan homogen : tumbuhan manis rejo, vegetasi tumbuhan bawah umumnya berupa jenis padi-padian (Sorgum nitidum). 3.3.2 Fauna Jenis-jenis satwa (mamalia) yaitu Rusa/Menjangan (Cervus timorensis), Kijang (Muntiacus muntjac) dan Babi hutan (Susscrofa vittatus). Pada hutan campuran terdapat Kera Abu-abu Ekor Panjang(Macaca fascicularis), Lutung (Presbytis cristata), dan Kera Hitam/Budeng (Trachypiterus auratus). Famili Felidae : Macan Tutul/Macan Kumbang (Panthera pardus), dan Macan Dahan (Felis viverina). Trenggiling (Manis javanica). Burung (Burung Sepak Gunung, Bondol Haji, Bondol Jawa, Sikatan Biru Muda, Burung Cabe Rangkong, Elang Jawa), Fam. Aves (UPT Tahura R. Soerjo 2009). 3.4 Daerah Aliran Sungai Termasuk dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Beberapa sumber/mata air yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya, yaitu : Sumber mata air sungai Brantas yang terletak di Gunung Anjasmoro (wilayah desa Sumber Brantas), Sumber mata air yang terdapat di komplek Gunung Arjuno yaitu sumber mata air di pondok welirang dan sumber mata air di pondok lalijiwo, Sumber mata air
20
panas Cangar (Gunung Arjuno bagian Barat) : 3 sumber dan dua diantaranya sudah dimanfaatkan menjadi tempat pemandian/tempat rekreasi (UPT Tahura R. Soerjo 2009). Menurut UPT Tahura R. Soerjo (2009), hasil identifikasi dan inventarisasi Sumber mata air yang berada di dalam Kawasan Pelestarian Alam Tahura R. Soerjo terdapat 163 titik sumber/mata air, yang menyebar di 13 Administrasi Kecamatan dengan penduduk sebanyak ±190.000 jiwa dengan perincian sebagai berikut : 1. Kota Batu : 35 sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat terutama untuk menyiram tanaman pertanian serta dimanfaatkan pula oleh perusahaan swasta; 2. Kabupaten Malang : Sebanyak 30 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat; 3. Kabupaten Pasuruan : Sebanyak 15 sumber air yang dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari masyarakat, juga dimanfaatkan oleh hotel dan villa yang ada di Tretes; 4. Kabupaten Mojokerto : Sebanyak 69 sumber air yang sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar Kawasan Tahura; 5. Kabupaten Jombang : Sebanyak 14 sumber air yang sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei dan bulan Juni tahun 2010 di Unit Pelaksana Teknis Taman Hutan Raya (UPT Tahura) R. Soerjo, Malang. 4.2 Bahan dan Alat Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan tidak terbakar, areal hutan bekas terbakar ringan, areal bekas terbakar sedang, dan areal bekas terbakar berat dengan luas masing-masing 3 ha atau sama dengan 75 plot pengamatan analisis vegetasi.
Lokasi penelitian untuk kondisi hutan tidak terbakar
dilaksanakan di Blok Gajah Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha dan Blok Simbu’an Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha. Kemudian, lokasi penelitian kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dilaksanakan di Blok Puthuk Dali Desa Ledug, Kabupaten Pasuruan seluas 2 ha dan Blok Gajah Mungkur Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Lalu, lokasi penelitian kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dilaksanakan di Blok Sido Mulyo Desa Ledug, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha dan Blok Dali Pentongan Desa Pecalukan, Kabupaten Mojokerto seluas 2 ha.
Sedangkan, lokasi penelitian
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat dilaksanakan di Blok Gumandar Desa Jatiarjo, Kabupaten Pasuruan 1 ha, Blok Sembung Roboh Desa Pecalukan, Kabupaten Pasuruan seluas 1 ha, dan Blok Dali Pentongan Desa Pecalukan, Kabupaten Mojokerto seluas 1 ha. Areal hutan terbakar yang diteliti merupakan areal hutan yang telah terbakar pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan Desember 2009. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain adalah peta kerja, phiband (pita diameter), haga hypsometer, kompas, patok, tali rafia/tambang, buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, dan alat tulis. 4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1 Analisis vegetasi Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisis vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil
22
(Soerianegara dan Indrawan 1988). Analisis vegetasi dilakukan pada areal hutan yang tidak terbakar, areal hutan dengan tingkat kebakaran ringan, areal hutan dengan tingkat kebakaran sedang, dan areal hutan dengan tingkat kebakaran berat. Dengan demikian dapat dilihat perbandingan perkembangan vegetasi di tiap-tiap areal. Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran yang digunakan berdasarkan DeBano (1998) dalam Syaufina (2008). Klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran yang digunakan secara lengkap terdapat pada bab sebelumnya.
Adapun
klasifikasi tingkat kekerasan kebakaran secara singkat ialah terbakar ringan memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran sebesar < 20%, terbakar sedang memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran sebesar 20% - 50%, dan terbakar berat memiliki areal yang mengalami kerusakan akibat kebakaran sebesar > 50%. Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisis vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang, semai dan bentuk pertumbuhan non-pohon lainnya adalah nama jenis dan jumlah individu. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Lokasi penelitian dibagi atas tingkat kekerasan kebakaran. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut : 1. Tingkat pohon, epifit dan liana berkayu dengan ukuran petak 20 x
20 m.
2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m. 3. Tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem dengan ukuran petak 5 x 5 m. 4. Tingkat semai, paku-pakuan, dan semak belukar atau tanaman herba dengan ukuran petak 2 x 2 m.
23
Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi Keterangan gambar : A = Sub petak penelitian untuk tingkat semai, paku-pakuan, dan herba atau semak belukar (2m x 2m) B = Sub petak penelitian untuk tingkat pancang, liana non-kayu, pandan, dan palem (5m x 5m) C = Sub petak penelitian untuk tingkat tiang (10m x 10m) D = Sub petak penelitian untuk tingkat pohon, epifit, dan liana berkayu (20 m x 20 m ) Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan komposisi dan struktur vegetasi dipergunakan kriteria sebagai berikut : 1. Pepohonan, diklasifikasikan menurut tahap pertumbuhannya : a. Tingkat
semai
(seedling), permudaan mulai kecambah sampai dengan
tinggi 1,5 m. b. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm. c. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm - 20 cm. d. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.
24
2. Liana, yang terdiri dari : a. Liana berkayu, batang utamanya memiliki panjang lebih dari 1,5 m. b. Liana non-kayu, batang utamanya memiliki panjang kurang dari 1,5 m. c. Epifit. 3. Tumbuhan bawah, terdiri dari : a. Palem, pada tahap dewasa atau tinggi mencapai lebih dari 1,5 m. b. Pandan. c. Paku-pakuan. d. Tanaman herba dan atau semak belukar. 4.3.2
Analisis Sifat Kimia Tanah Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode
tanah terusik pada setiap plot pengamatan baik di hutan tidak terbakar maupun areal hutan bekas terbakar. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm (Poerwowidodo 2004). Analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah Institut Pertanian Bogor. 4.4 Analisis Data Analisis data dilakukan pada data yang diambil dari kegiatan analisis vegetasi menggunakan rumus sebagai berikut. 4.4.1 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) (Soerianegara dan Indrawan 1988). INP = KR + FR (untuk semai, pancang, herba, semak belukar, paku-pakuan, liana, pandan, palem, liana berkayu, dan epifit); INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon) Dimana: 1. Kerapatan (K)
2. Kerapatan Relatif (KR)
25
3. Frekuensi (F)
4. Frekuensi Relatif (FR)
5. Dominansi (D)
6. Dominansi Relatif (DR)
4.4.2 Indeks Dominansi (C) Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah.
Untuk
menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson sebagai berikut (Misra 1980):
Dimana : C = Indeks dominasi ni = Nilai penting masing-masing jenis ke-n N = Total nilai penting dari seluruh jenis 4.4.3 Keanekaragaman Jenis (H’) Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon Index of General Diversty (Mc Glade 1988 dalam Irwan 2009):
Dimana : H = Shannon Index of General diversity ni = Indeks nilai penting jenis i N = Total Indeks Nilai Penting l =2 4.4.4 Koefisien Kesamaan Komunitas (IS)
26
Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut (Costing 1956, Bray dan Curtis 1957, Greigh-Smith 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan 1988) :
Dimana : IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas W = Jumlah nilai yang sama atau terendah ( ≤ ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua 4.4.5 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) Untuk mengetahui indeks kekayaan jenis dapat digunakan rumus Margallef sebagai berikut (Magurran 1988):
Dimana :
R1 = Indeks Margallef S = Jumlah Jenis N = Jumlah Total Individu
4.4.6 Indeks Kemerataan Jenis (E) Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan adalah (Ludwig & Reynold 1988 dalam Irwan 2009):
Dimana, E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Jenis 5.1.1 Jumlah Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang telah terganggu.
Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan
bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilaksanakan pada tiga kondisi hutan yang berbeda di areal Taman Hutan Raya R. Soerjo Malang (Tahura R. Soerjo), diperoleh jumlah jenis yang berbeda pada tiap tingkat pertumbuhan. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan tingkat permudaan pohon No.
Tingkat Pohon dan Permudaan
Kondisi Hutan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
1
Tidak Terbakar
30
34
20
34
2 3 4
TKR TKS TKB
13 19 10
12 14 6
10 7 2
5 14 4
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa jumlah jenis berdasarkan tingkat pohon dan permudaan yang tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar. Jumlah jenis pada masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain tingkat semai sebanyak 30 jenis, tingkat pancang sebanyak 34 jenis, tingkat tiang sebanyak 20 jenis, serta pohon sebanyak 34 jenis.
Sedangkan, jumlah jenis
terkecil berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Jumlah jenis masing-masing tingkat pohon dan permudaan, antara lain tingkat semai sebanyak 10 jenis, tingkat pancang sebanyak 6 jenis, tingkat tiang sebanyak 2 jenis, dan pohon sebanyak 4 jenis. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebakaran tidak mempengaruhi jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaannnya, hal ini dapat dilihat dari jumlah jenis yang berbeda satu sama lain.
Hal tersebut ditunjukkan dengan
28
jumlah jenis pohon dan permudaan yang tidak terpola dan tergantung pada tingkat kebakarannya pada setiap kondisi hutan. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sendiri memiliki jumlah jenis tertinggi pada tingkat semai, pancang dan pohon untuk kondisi hutan yang terbakar. Hal ini dapat dikaitkan pula dengan kondisi hutan yang telah terbakar sebelumnya.
Selain itu hal ini pun dapat
dikaitkan dengan jenis-jenis yang dapat bertahan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang lebih banyak daripada kondisi hutan setelah terbakar lainnnya. Selain berdasarkan tingkat pohon dan permudaan, analisis vegetasi pun mengamati tumbuhan berdasarkan bentuk pertumbuhan.
Hasil jumlah jenis
berdasarkan bentuk pertumbuhan secara lengkap disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap kondisi hutan berdasarkan bentuk pertumbuhan No. 1 2 3 4
Kondisi Hutan TT TKR TKS TKB
Bentuk Pertumbuhan P & Pmd
H
Sb
Pk
L
Pnd
Plm
Lk
E
65 25 27 15
44 41 42 41
8 7 7 10
3 1 1 1
17 1 2 2
2 0 1 0
2 1 0 0
12 0 2 0
5 2 7 0
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat); P&Pmd (Pohon dan Permudaan); H (Herba); Sb (Semak Belukar); Pk (Paku-pakuan); L (Liana); Pnd (Pandan); Plm (Palem); Lk (Liana Berkayu); E (Epifit)
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa kondisi hutan tidak terbakar memiliki seluruh jenis bentuk pertumbuhan dan sebagian besar memiliki jumlah jenis bentuk pertumbuhan tertinggi dibandingkan kondisi hutan lainnya. Jumlah jenis tertinggi terdapat pada kondisi hutan tidak terbakar pada masing-masing bentuk pertumbuhan, antara lain jumlah jenis pohon dan permudaan sebanyak 65 jenis, jumlah jenis herba sebanyak 46 jenis, jumlah jenis paku-pakuan sebanyak 3 jenis, jumlah jenis liana sebanyak 17 jenis, jumlah jenis pandan sebanyak 2 jenis, jumlah jenis palem sebanyak 2 jenis, serta jumlah jenis liana berkayu sebanyak 13 jenis.
Sedangkan jumlah jenis bentuk pertumbuhan semak belukar tertinggi
berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebanyak 10 jenis dan bentuk pertumbuhan epifit tertinggi berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki jumlah jenis sebanyak 7 jenis.
29
Selain itu dari hasil pengamatan yang didapat, menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan herba merupakan bentuk pertumbuhan tertinggi di seluruh kondisi hutan, kecuali pada kondisi hutan tidak terbakar. Bentuk pertumbuhan herba, semak belukar, paku-pakuan dan liana terdapat pada seluruh kondisi hutan. Bentuk pertumbuhan pandan dan liana berkayu tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat.
Sedangkan, bentuk
pertumbuhan palem tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat. Bentuk pertumbuhan epifit hanya tidak ditemukan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki jumlah jenis bentuk pertumbuhan yang paling mendekati kondisi awal, yaitu kondisi hutan tidak terbakar.
Bahkan jumlah jenis bentuk
pertumbuhan epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang lebih besar daripada kondisi hutan tidak terbakar. Namun pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang bentuk pertumbuhan palem tidak ditemukan sama sekali. Sedangkan, jumlah jenis pada kondisi hutan tingkat kebakaran berat ditemukan lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis semak belukar pada kondisi hutan tidak terbakar. 5.1.2 Kerapatan dan Frekuensi Tumbuhan Kerapatan tumbuhan merupakan hasil dari pengolahan data analisis vegetasi tiap kondisi hutan.
Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara
menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan.
Hasil dari kerapatan
tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerapatan jenis tumbuhan pada tiap kondisi hutan No.
Bentuk Pertumbuhan
1
2
Kondisi hutan TT (ind/ha)
TKR (ind/ha)
TKS (ind/ha)
TKB (ind/ha)
3
4
5
6
1 2 3
Semai Pancang Tiang
25.100,0 1008,0 46,7
8.433,3 224,0 34,7
6.500,0 784,0 22,7
1.800,0 240,0 4,0
4 5 6 7
Pohon Herba Semak Belukar Paku-pakuan
56,7 178.033,3 13.666,7 4.633,3
8,3 244.100,0 31.933,3 26.833,3
12,7 221.833,3 33.700,0 1.066,7
3,3 254.966,7 36.700,0 6.833,3
8
Liana
1.461,3
48,0
384,0
85,3
30
Tabel 3 (Lanjutan) 1
3
4
5
6
9 10 11
Pandan Palem Liana Berkayu
2
21,3 26,7 113,3
0,0 5,3 0,0
26,7 0,0 1,0
0,0 0,0 0,0
12
Epifit
203,3
3,3
23,3
0,0
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Berdasarkan Tabel 3, kerapatan jenis pada tiap bentuk pertumbuhan di kondisi hutan yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan kerapatan jenis tiap individu per hektar. Dari seluruh kondisi hutan menunjukkan bahwa kerapatan bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai tertinggi di seluruh kondisi hutan. Jumlah kerapatan jenis tertinggi herba pada tiap kondisi hutan antara lain sebesar 178.233,3 ind/ha pada kondisi hutan tidak terbakar, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 244.100,0 ind/ha, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sebesar 221.833,3 ind/ha, dan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebesar 254.966,7 ind/ha. Nilai kerapatan jenis tertinggi herba berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Pada tiap kondisi hutan memiliki nilai kerapatan jenis terendah yang beragam pada tingkat pertumbuhan.
Pada kondisi hutan tidak terbakar
menunjukkan bahwa kerapatan jenis terendah dimiliki oleh bentuk pertumbuhan pandan dengan nilai sebesar 21,3 ind/ha. Kerapatan jenis terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ialah epifit sebesar 3,3 ind/ha.
Pada
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki kerapatan jenis terendah adalah liana berkayu sebesar 1,0 ind/ha. Kerapatan jenis terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat ialah pohon yang memiliki nilai kerapatan jenis sebesar 3,3 ind/ha. Dari data tersebut menunjukkan bahwa, penurunan kerapatan pohon dan permudaan terjadi pada seluruh kondisi hutan. Namun, kerapatan kondisi hutan tidak terbakar pada tingkat pohon dan permudaan tidak mengalami penurunan kerapatan yang sama dengan kondisi hutan lainnya. Pada kondisi hutan tidak terbakar, nilai kerapatan tiang (46,7 ind/ha) lebih kecil daripada nilai kerapatan pohon (56,7 ind/ha). Hal ini disebabkan penyebaran tingkat tiang yang kurang merata di lapangan sehingga kerapatan tiang tidak seluruhnya terwakili dalam
31
petak pengamatan. Rendahnya nilai kerapatan tiang pada kondisi hutan tidak terbakar dapat disebabkan oleh persaingan tempat tumbuh yang terjadi di lapangan. Selain kerapatan tumbuhan hasil analisis vegetasi menunjukkan frekuensi tumbuhan pada tiap kondisi hutan dalam Tabel 4. Tabel 4. Nilai frekuensi (penyebaran) tertinggi bentuk pertumbuhan pada tiap kondisi hutan No 1
1
Kondisi Hutan 2
Tidak Terbakar
Bentuk Pertumbuhan 3 Semai
4 Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
5 0,47
Pancang
Pasang (Quercus sp.)
0,19
Tiang
Kemadu (Laporetea sinueta)
0,05
Pohon
Kukrup (Engelhardia spicata)
0,23
Herba
Teh-tehan (Eupatorium riparium)
0,87
Semak Belukar
Sikatan (Eupatorium odoratum)
0,33
Paku
Pakis (Doryoteris sp.)
0,48
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp)
0,27
Pandan
0,04
Liana Berkayu Epifit Semai
Pandan hutan (Ophiopogon sp.) Palem (Pinanga coronata) dan Rotan (Daemonorops sp.) Grunggung (Harristonia sp) Pakis (Sphaerostephnos hirsutus) Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
Pancang
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
0,11
Tiang
Gmelina (Gmelina arborea)
0,12
Pohon
Pinus (Pinus merkusii)
0,12
Herba
Resap (Manisuris granularis)
0,59
Semak Belukar
Grebes (Chromolaena odorata)
0,44
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
0,33
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp)
0,05
Palem
2
Tingkat Kebakaran Ringan
Nama Jenis
Pandan
Rotan (Daemonorops sp.)
Liana Berkayu
Pakis pohon (Sphaerostephnos hirsutus) dan Simbar (Asplenium spp.) Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
Epifit Semai Pancang 3
Tingkat Kebakaran Sedang
-
Palem
Tiang Pohon
F
0,01 0,19 0,23 0,21
0,01 0,01 0,36
Kaliandra (Callyandra calothyrsus) Waru (Abutilon sp.) dan Dadap (Erythrina lithosperma) Kebek (Ficus alba)
0,16 0,04 0,07
Herba
Resap (Manisuris granularis)
0,64
Semak Belukar
Genjret (Phytolacea dioica)
0,39
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
0,11
32
Tabel 4 (Lanjutan) 1
3
2
Tingkat Kebakaran Sedang
3
Tebu sawur (Polygonum sp)
0,16
Pandan
Pandan hutan (Ophiopogon sp.)
0,01
Palem Liana Berkayu
Semai
4
5
Liana
Epifit
Tingkat Kebakaran Berat
4
-
-
Wali songo Pakis (Sphaerostephnos hirsutus) dan Simbar (Asplenium spp.) Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
0,03 0,04 0,11
Pancang
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
0,08
Tiang
Kesek dan Gmelina (Gmelina arborea)
0,01
Pohon
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
0,07
Herba
Teh-tehan (Eupatorium riparium)
0,29
Semak Belukar
Grebes (Chromolaena odorata)
0,40
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
0,40
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp)
0,08
Pandan
-
-
Palem
-
-
Liana Berkayu
-
-
Epifit
-
-
Berdasarkan Tabel 4, tiap kondisi hutan menunjukkan nilai frekuensi yang berbeda-beda. Pada tingkat semai hampir tiap kondisi hutan memiliki frekuensi tertinggi dengan jenis yang sama, yaitu Kaliandra (Callyandra calothyrsus). Hanya kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat yang memiliki jenis berbeda, yaitu Cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang jenis Kaliandra (Callyandra calothyrsus) merupakan frekuensi tertinggi pada tingkat semai dan pancang. Pada kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran berat, frekuensi tertinggi memiliki jenis yang sama, yaitu Teh-tehan (Eupatorium riparium). Kemudian, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran sedang memiliki bentuk pertumbuhan herba dengan frekeunsi tertinggi yang sama, yaitu Resap (Manisuris granularis). Bentuk pertumbuhan non-pohon semak belukar memiliki jenis yang sama pada dua kondisi hutan, yaitu kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat.
Jenis semak belukar tersebut ialah Grebes
(Chromolaena odorata). Pada kondisi hutan tidak terbakar yang memiliki nilai frekuensi tertinggi, bentuk pertumbuhan herba nilai frekuensi sebesar 0,87. Sedangkan nilai frekuensi
33
terendah pada kondisi hutan tidak terbakar adalah bentuk pertumbuhan Palem (Pinanga conorata) dan Rotan (Daemonorops sp.). Palem (Pinanga conorata) dan Rotan (Daemonorops sp.) memiliki nilai frekuensi yang sama, yaitu 0,01. Lalu pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai frekuensi tertinggi sebesar 0,59. Jenis herba ini ialah Resap (Manisuris granularis). Sedangkan, nilai frekuensi terendah sebesar 0,01. Nilai ini dimiliki oleh bentuk pertumbuhan non-pohon, yaitu bentuk pertumbuhan palem dengan jenis Rotan (Daemonorops sp.) dan bentuk pertumbuhan epifit dengan jenis Pakis pohon (Sphaerostephnos hirsutus) serta Simbar (Asplenium spp.). Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki nilai frekuensi tertinggi ialah Kaliandra (Callyandra calothyrsus) pada tingkat semai. Nilai frekuensi semai ini sebesar 0,36. Sedangkan, nilai frekuensi terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ialah jenis Pandan hutan (Ophiopogon sp.) pada bentuk pertumbuhan pandan.
Nilai frekuensi Pandan
hutan (Ophiopogon sp.) sebesar 0,01. Nilai frekuensi tertinggi kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat berasal dari bentuk pertumbuhan herba berjenis Teh-tehan (Eupatorium riparium) sebesar 0,29.
Sedangkan, nilai frekuensi
terendah berasal dari tingkat tiang, yaitu jenis Kesek dan Gmelina (Gmelina arborea). Nilai frekuensi kedua jenis tiang itu masing-masing sebesar 0,01. Nilai frekuensi pada Tabel 4, masing-masing kondisi hutan memiliki nilai frekuensi tumbuhan yang berbeda antara satu kondisi hutan dengan kondisi hutan lainnya. Pada kondisi-kondisi hutan terbakar menunjukkan jenis-jenis yang dapat bertahan pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan lainnya. Sehingga pada kondisi hutan terbakar, jenis yang memiliki nilai frekuensi tertinggi, dapat bertahan. Selain itu terdapat pula jenis-jenis yang merupakan tanaman dalam rangka reboisasi setelah lahan tersebut terbakar. Jenis tersebut antara lain, Kaliandra (Callyandra calothyrsus) dan Gmelina (Gmelina arborea). Dari masing-masing kondisi hutan bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai frekuensi tertinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis yang paling mudah
beradaptasi dengan seluruh kondisi hutan baik sebelum kebakaran atau setelah terbakar adalah jenis bentuk pertumbuhan herba. Karena jenis ini telah ada baik sebelum kebakaran maupun di sekitar areal bekas terbakar.
34
5.1.3 Dominansi Jenis Dominansi jenis menunjukkan jenis-jenis tumbuhan yang berperan penting dalam suatu komunitas di areal hutan. Dominansi jenis ini ditunjukkan dengan Nilai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi. Tingginya nilai INP pun menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lebih baik dibanding jenis lainnya. Berdasarkan analisis vegetasi seluruh bentuk pertumbuhan dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Rekapitulasi jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tiap kondisi hutan No. 1
1
2
Kondisi Hutan 2
Tidak Terbakar
Tingkat Kebakaran Ringan
Bentuk Pertumbuhan 3
Nama Jenis 4
Semai
Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
Pancang
Kemadu (Laportea sinuata)
38,94
Klerek (Sapindus rarak)
37,94
Pohon
Kukrup (Engelhardia spicata)
85,32
Herba
Teh-tehan (Eupatorium riparium)
67,46
Semak Belukar
Sikatan (Eupatorium odoratum)
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
Liana
Suruh ketir (Piper spp.)
Pandan
Pandan hutan (Ophiopogon sp.)
150,00
Palem
Rotan (Daemonorops sp.)
130,00
Liana Berkayu
Gunggrung (Harristonia sp.)
Epifit
Pakis (Sphaerostephnos hirsutus)
70,76
Semai
Gmelina (Gmelina arborea)
43,97
Pancang
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
30,77
84,08 192,58
Tiang
Gmelina (Gmelina arborea)
Pohon
Pinus (Pinus merkusii)
55,46
48,89
42,52 218,14
Herba
Resap (Manisuris granularis)
41,65
Semak Belukar
Senikir (Tithonia diversifolia)
53,42
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp.)
Palem
200,00 -
Rotan (Daemonorops sp.)
Liana Berkayu
3
122,26
Tiang
Pandan
Tingkat Kebakaran Sedang
INP (%) 5
-
200,00 200,00 -
Epifit
Simbar (Asplenium spp.)
110,00
Semai
Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
104,24
Pancang
Kaliandra (Callyandra calothyrsus)
100,46
Tiang
Dadap (Erythrina lithosperma)
62,55
Pohon
Kebek (Ficus alba)
70,28
35
Tabel 5 (Lanjutan) 1
3
2
3
Tingkat Kebakaran Sedang
4
Herba
Resap (Manisuris granularis)
49,25
Semak Belukar
Asem-aseman (Aeschynomene sp.)
53,70
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
4
200,00
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp)
142,50
Pandan
Pandan hutan (Ophiopogon sp.)
200,00
Palem
Tingkat Kebakaran Berat
5
-
-
Liana Berkayu
Wali songo
Epifit
Pakis pohon (Sphaerostephnos hirsutus)
133,33 77,86
Semai
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
57,41
Pancang
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
Tiang
Gmelina (Gmelina arborea)
186,05
69,52
Pohon
Cemara gunung (Casuarina junghuhniana)
206,19
Herba
Resap (Manisuris granularis)
47,49
Semak Belukar
Grebes (Chromolaena odorata)
63,54
Paku-pakuan
Pakis (Doryoteris sp.)
200,00
Liana
Tebu sawur (Polygonum sp)
179,46
Pandan
-
-
Palem
-
-
Liana Berkayu
-
-
Epifit
-
-
Pada Tabel 7, dapat dilihat bahwa hasil pengamatan analisis vegetasi jenis dominan dengan INP tertinggi dari tiap kondisi hutan memiliki jenis yang beragam. Jenis-jenis tiap bentuk pertumbuhan menunjukkan komposisi berbeda dari tiap kondisi hutan tersebut. Pada kondisi hutan tidak terbakar untuk tingkat pertumbuhan pohon dan permudaannya didominansi oleh jenis Kaliandra (Callyandra calothyrsus) pada tingkat semai, Kemadu (Laportea sinueta) pada tingkat pancang, Klerek (Sapindus rarak) pada tingkat tiang, dan Kukrup (Engelhardia spicata) pada tingkat pohon. Nilai INP tertinggi pada tingkat pohon dan permudaan adalah sebesar 122,26 % pada tingkat semai, sedangkan nilai INP terendah sebesar 37,94 % pada tingkat tiang. Nilai INP tertinggi berada pada tingkat pohon di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan yang memiliki nilai sebesar 218,14 % jenis Pinus (Pinus merkusii).
Sedangkan nilai INP terendah pada kondisi hutan dengan tingkat
kebakaran rendah ialah tingkat semai sebesar 30,77 % dengan jenis Cemara gunung (Casuarina junghuhniana).
36
Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang jenis Kaliandra (Callyandra calothyrsus) mendominasi tingkat semai dan tingkat pancang. Nilai INP tingkat semai merupakan nilai INP tertinggi di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang.
Adapun, nilai INP dari jenis Kaliandra (Callyandra
calothyrsus) pada tingkat semai dan pancang sebesar 104,24 % dan 100,46 %. Kemudian, pada tingkat pertumbuhan pohon dan permudaan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat terdapat satu jenis yang mendominasi tingkat semai, pancang dan pohon, yaitu jenis Cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Nilai INP dari jenis Cemara gunung (Casuarina junghuhniana) pada tingkat semai, tiang dan pohon masing-masing sebesar 57,41 %, 69,52 % dan 206,19 %. Nilai INP tetinggi dari bentuk pertumbuhan herba pada seluruh kondisi hutan berada di kondisi hutan tidak terbakar, yaitu
Teh-tehan (Eupatorium
riparium) sebesar 67,2 %. Sedangkan, bentuk pertumbuhan herba di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, tingkat kebakaran sedang, dan tingkat kebakaran berat didominasi jenis yang sama yaitu Resap (Manisuris granularis). Lalu, pada bentuk pertumbuhan semak belukar memiliki nilai INP tertinggi sebesar 85,12 % pada jenis Sikatan (Eupatorium odoratum) di kondisi hutan tidak terbakar. Pada kondisi hutan lainnya didominasi oleh jenis-jenis semak belukar yang berbeda, yaitu Senikir (Tithonia diversifolia) pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, Asem-aseman (Aeschynomene sp.) pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan Grebes (Chromolaena odorata) pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Kemudian untuk bentuk pertumbuhan paku-pakuan (Doryoteris sp.) terdapat di hampir seluruh kondisi hutan, kecuali di kondisi hutan tidak terbakar. Nilai INP Pakis (Doryoteris sp.) di kondisi hutan tidak terbakar sebesar 192,58 %. Jenis liana didominasi oleh satu jenis pada hampir seluruh kondisi hutan, kecuali kondisi hutan tidak terbakar. Jenis liana tersebut ialah Tebu sawur (Polygonum sp.) dengan nilai INP yang mencapai 200%. Pada kondisi hutan tidak terbakar sendiri liana didominasi jenis Suruh ketir (Piper spp.) sebesar 55,46%. Bentuk pertumbuhan pandan hanya terdapat di kondisi hutan tidak terbakar dan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang. Hanya terdapat satu jenis pandan yang mendominasi kedua kondisi hutan tersebut, yaitu Pandan hutan
37
(Ophiopogon sp.) dengan nilai INP tertinggi berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sebesar 200%.
Bentuk pertumbuhan palem hanya
terdapat di kondisi hutan tidak terbakar dan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan. Jenis palem tersebut ialah Rotan (Daemonorops sp.) dengan nilai INP sebesar 200% yang berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan. Bentuk pertumbuhan selanjutnya ialah liana berkayu yang hanya ditemukan di kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang. Nilai INP tertinggi berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang yang memiliki nilai sebesar 133,33% untuk jenis Wali songo. Pengamatan selanjutnya pada jenis bentuk pertumbuhan epifit yang berada pada hampir seluruh kondisi hutan, kecuali kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Jenis yang memiliki nilai INP tertinggi pada hampir seluruh kondisi hutan adalah Simbar (Asplenium sp.) yang berada di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 110,00%. Sedangkan pada kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang didominasi jenis Pakis pohon (Sphaerostephnos hirsutus). 5.2 Indeks Dominansi (C) Menurut Indrawan (2000), nilai indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada beberapa jenis sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas ini dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Berdasarkan hasil perhitungan didapat nilai indeks dominansi dari tiap kondisi hutan pada seluruh bentuk pertumbuhan yang terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Indeks Dominansi (C) pada tiap kondisi hutan No.
Bentuk pertumbuhan
1
2
1 2 3 4
Semai Pancang Tiang Pohon
Indeks Dominansi TT
TKR
TKS
TKB
3
4
5
6
0,38 0,08 0,07 0,12
0,14 0,19 0,21 0,55
0,29 0,28 0,16 0,13
0,17 0,26 0,53 0,50
38
Tabel 6 (Lanjutan) 1
2
3
4
5
6
5 6 7
Herba Semak Belukar Paku-pakuan
0,15 0,27 0,93
0,10 0,19 1,00
0,10 0,21 1,00
0,10 0,19 1,00
8 9 10 11
Liana Pandan Palem Liana Berkayu
0,17 0,63 0,54 0,15
1,00 1,00 -
0,59 1,00 0,56
0,82 -
12
Epifit
0,26
0,51
0,23
-
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Dari seluruh nilai dominansi menunjukkan nilai dominansi tertinggi yang berbeda-beda pada tiap kondisi hutan. Pada kondisi hutan tidak terbakar yang memiliki nilai indeks dominansi tertinggi ialah paku-pakuan dengan nilai indeks sebesar 0,93. Sedangkan, nilai indeks terendah sebesar 0,07 pada tingkat tiang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat tiang di kondisi hutan tidak terbakar terpusat pada beberapa jenis. Sedangkan, bentuk pertumbuhan pakupakuan dipusatkan pada sedikit jenis. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan memiliki tiga tingkat pertumbuhan dengan nilai indeks tertinggi yang sama, yaitu sebesar 1,00. Nilai indeks tersebut dimiliki oleh paku-pakuan, liana dan palem. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis paku-pakuan, palem dan liana hanya terpusat pada satu jenis. Sedangkan, nilai indeks terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ialah herba dengan nilai indeks sebesar 0,10.
Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki dua tingkat
pertumbuhan yang memiliki nilai indeks tertinggi, yaitu sebesar 1,00.
Nilai
indeks tersebut dimiliki oleh paku-pakuan dan pandan. Sedangkan, nilai indeks terendah pada kondisi hutan ini terdapat pada herba dengan nilai indeks sebesar 0,10. Selanjutnya pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan memiliki nilai indeks tertinggi sebesar 1,00 pada paku-pakuan. Nilai indeks terendah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebesar 0,10 pada herba. Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa nilai tertinggi indeks dominansi seluruh kondisi hutan sebesar 1,00 yang memiliki arti bahwa kondisi hutan tersebut hanya didominasi oleh satu jenis tumbuhan. Sedangkan, nilai indeks terendah sebesar 0,07 pada seluruh kondisi hutan. Hal tersebut menunjukkan
39
bahwa jenis tersebut dipusatkan pada beberapa jenis. Data menunjukkan bahwa herba pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, sedang, dan berat sebagian besar dipusatkan pada beberapa jenis. 5.3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Keanekaragaman jenis yang digunakan dalam pengamatan telah ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon Index of General Diversity (H’). Indeks ini dapat digunakan sebagai pembanding satu kondisi hutan dengan yang lain. Indeks ini menjadi salah satu parameter keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu kondisi hutan. Selain itu indeks ini dapat mengetahui gangguan biotik yang terjadi. Berdasarkan hasil INP yang telah dikemukakan sebelumnya, diperoleh hasil indeks keanekaragaman jenis (H’) pada seluruh bentuk pertumbuhan di tiap kondisi hutan tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7. Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada tiap kondisi hutan No.
Bentuk Pertumbuhan
Indeks Keanekaragaman Jenis TT
TKR
TKS
TKB
1
Semai
1,90
2,20
1,99
1,99
2 3 4 5 6
Pancang Tiang Pohon Herba Semak Belukar
3,01 2,85 2,74 2,64 1,54
2,05 1,94 0,94 2,78 1,60
1,85 1,89 2,27 2,82 1,67
1,52 0,66 0,96 2,77 1,91
7 8 9 10
Paku-pakuan Liana Pandan Palem
0,18 2,16 0,56 0,65
0,00 0,00 0,00
0,00 0,60 0,00 -
0,00 0,33 -
11 12
Liana Berkayu Epifit
2,07 1,44
0,69
0,64 1,70
-
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Dari Tabel 7 menunjukkan nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi dan terendah dari tiap kondisi hutan. Menurut Soerianegara (1996), sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah.
Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat
dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan
40
tinggi. Dari data di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai indeks yang tergolong tinggi. Menurut Magurran (1988), nilai keragaman antara 1,5 sampai 3,5 menunjukkan tingkat keragaman sedang. Sehingga nilai indeks dalam Tabel 7 sebagian besar tergolong sedang. Bentuk pertumbuhan herba memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi pada hampir seluruh kondisi hutan. Nilai indeks keragaman jenis herba pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 2,78, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sebesar 2,82 dan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebesar 2,77. Sedangkan pada kondisi hutan tidak terbakar, nilai indeks keragaman jenis terbesar sebesar 3,01 pada tingkat pancang. Dari keseluruhan nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa nilai indeks kondisi hutan tidak terbakar sebesar 3,01 merupakan nilai indeks keragaman tertinggi. Nilai-nilai indeks tertinggi tersebut menunjukkan bahwa nilai tertinggi pada seluruh tingkat dan bentuk pertumbuhan di seluruh kondisi hutan tergolong memiliki keanekaragaman jenis sedang. Seluruh kondisi hutan memiliki nilai indeks terendah pada tingkat yang sama, yaitu paku-pakuan. Nilai indeks terendah pada kondisi hutan tidak terbakar sebesar 0,18, sedangkan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, tingkat kebakaran sedang, dan dengan tingkat kebakaran berat masing-masing sebesar 0,00. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan nilai indeks terendah pun dimiliki oleh liana dan palem. Sedangkan, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang nilai indeks terendah dimiliki oleh pandan. 5.4 Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1) Indeks kekayaan Margallef (R1) menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas. Indeks ini dihitung berdasarkan jumlah jenis dan individu yang berada dalam satu komunitas.
Menurut Magurran (1988), nilai R1 < 3,5
menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, nilai R1 antara 3,5 – 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan kekayaan jenis tergolong tinggi apabila nilai R1 > 5,0. Nilai indeks kekayaan jenis menurut Margallef tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8.
41
Tabel 8. Indeks kekayaan jenis (R1) pada tiap kondisi hutan No.
Bentuk pertumbuhan
Indeks Kekayaan Jenis TT
TKR
TKS
TKB
1 2 3 4
Semai Pancang Tiang Pohon
5,47 6,23 3,33 5,79
2,26 2,08 1,58 0,70
3,40 2,45 1,05 2,28
1,70 0,94 0,18 0,53
5 6 7 8 9
Herba Semak Belukar Paku-pakuan Liana Pandan
8,12 1,32 0,38 3,02 0,19
7,55 1,13 0,00 0,00 -
7,74 1,13 0,00 0,19 0,00
7,36 1,70 0,00 0,19 -
10 11 12
Palem Liana Berkayu Epifit
0,19 2,08 0,75
0,00 0,19
0,19 1,13
-
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai indeks kekayaan jenis tertinggi dimiliki oleh herba pada seluruh kondisi hutan.
Nilai indeks kekayaan jenis bentuk
pertumbuhan herba pada tiap kondisi hutan sebesar 8,49 pada kondisi hutan tidak terbakar, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat sebesar 7,36, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang sebesar 7,74 dan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 7,55.
Seluruh nilai indeks
tertinggi bentuk pertumbuhan herba pada tiap kondisi hutan tergolong dalam tingkat kekayaan tinggi. Dari seluruh kondisi hutan nilai indeks tertinggi dimiliki oleh kondisi hutan tidak terbakar baik tingkat pohon dan permudaan maupun bentuk pertumbuhan non-pohon. Dari data di atas menunjukkan nilai indeks kekayaan jenis yang semakin menurun seiring dengan semakin beratnya tingkat kebakaran.
Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran areal hutan sangat
mempengaruhi kekayaan jenis suatu areal hutan.
Namun pada bentuk
pertumbuhan semak belukar menunjukkan bahwa semakin berat kebakaran maka kekayaan jenis semak belukar meningkat. Mudahnya bentuk pertumbuhan semak belukar terbakar menyebabkan semakin mudah suatu areal hutan terbakar, sehingga pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat terdapat lebih banyak jenis semak belukar.
42
Sedangkan, nilai indeks kekayaan jenis terendah dari tiap kondisi hutan berbeda-beda.
Kondisi hutan tidak terbakar memiliki nilai indeks terendah
sebesar 0,19 pada bentuk pertumbuhan pandan dan palem. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, sedang dan berat memiliki nilai indeks terendah sebesar 0,00 pada bentuk pertumbuhan berbeda antara lain paku-pakuan, liana, pandan dan palem. 5.5 Indeks Kemerataan Jenis (E) Selain indeks dominansi jenis (C), nilai indeks kemerataan jenis (E) pun digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran suatu jenis dalam suatu komunitas.
Menurut
Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan
kemerataan jenis rendah, nilai E antara 0,3 sampai dengan 0,6 menunjukkan kemerataan jenis sedang, dan E > 0,6 menunjukkan kemerataan jenis tinggi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi didapat nilai indeks kemerataan jenis (E) pada tiap kondisi hutan. Adapun nilai indeks tersebut tercantum dalam Tabel 9. Tabel 9. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada tiap kondisi hutan No.
Indeks Kemerataan Jenis
Bentuk Pertumbuhan TT
TKR
TKS
TKB
1 2 3
Semai Pancang Tiang
0,56 0,84 0,95
0,86 0,82 0,84
0,67 0,70 0,97
0,86 0,85 0,96
4 5 6 7 8
Pohon Herba Semak Belukar Paku-pakuan Liana
0,78 0,71 0,74 0,17 0,76
0,58 0,75 0,82 -
0,86 0,75 0,86 0,87
0,70 0,75 0,83 0,48
9 10 11 12
Pandan Palem Liana Berkayu Epifit
0,81 0,93 0,83 0,56
0,99
0,92 0,87
-
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Berdasarkan Tabel 11 nilai indeks tertinggi dari tiap kondisi hutan berbedabeda. Pada kondisi hutan tidak terbakar nilai indeks tertinggi sebesar 0,95 pada tingkat tiang tergolong dalam kemerataan jenis tinggi. Sedangkan, nilai indeks terendah sebesar 0,17 pada paku-pakuan yang tergolong dalam kemerataan jenis rendah. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, epifit dengan nilai
43
indeks sebesar 0,99 merupakan nilai indeks kemerataan jenis tertinggi pada kondisi hutan ini dan juga tergolong dalam kemerataan jenis tinggi. Sedangkan, nilai indeks terendah sebesar 0,58 pada tingkat pohon tergolong dalam kemerataan jenis sedang. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang, nilai indeks tertinggi sebesar 0,97 pada tingkat tiang tergolong dalam kemerataan jenis tinggi. Sedangkan, nilai indeks terendah sebesar 0,67 pada tingkat semai8 yang tergolong dalam kemerataan jenis tinggi. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat, nilai indeks tertinggi sebesar 0,96 pada tingkat tiang tergolong dalam kemerataan jenis tinggi.
Sedangkan, liana dengan nilai indeks sebesar 0,48
merupakan nilai indeks terendah yang tergolong dalam kemerataan jenis sedang. Dari data tersebut menunjukkan bahwa epifit pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan memiliki nilai indeks tertinggi dibandingkan seluruh kondisi hutan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan epifit
memiliki penyebaran yang paling merata. Sedangkan untuk bentuk pertumbuhan paku-pakuan pada kondisi hutan tidak terbakar memiliki nilai indeks terendah menunjukkan bahwa penyebaran jenis ini tidak merata atau cenderung mengelompok.
Dalam Tabel 9 pun menunjukkan bahwa beberapa tingkat
pertumbuhan pada hampir seluruh kondisi hutan yang sebelumnya memiliki nilai indeks dominansi, keragaman, dan kekayaan jenis, namun pada tabel indeks kekayaan jenis tidak menunjukkan nilai dari tingkat pertumbuhan tersebut. Hal ini dikarenakan hasil perhitungan yang tidak teridentifikasi. 5.6 Koefisien Kesamaan Komunitas (IS) Kesamaan komunitas (IS) merupakan indeks atau tingkat untuk membandingkan komposisi jenis antar dua komunitas pada masing-masing tingkat pertumbuhan dan bentuk pertumbuhan. Nilai yang dibandingkan dalam kesamaan komunitas (IS) ialah INP.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988)
menyatakan bahwa semakin mendekati nilai 100% nilai kesamaan kedua komunitas semakin sama. Adapun nilai kesamaan komunitas (IS) tersebut dapat dilihat dalam Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12 berdasarkan tingkat tumbuh dan bentuk pertumbuhan.
44
Tabel 10. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada tingkat permudaan pohon Kondisi hutan Kondisi Hutan
Tingkat Pertumbuhan
TT Sm
Pnc
TKR T
P
Pnc
T
Pnc (%)
21,4
X
60,2
Sm (%) TKB
Pnc (%) T (%) P (%)
40,1 15,5
57,0 49,2
60,1
22,2
42,1 60,1
7,3
16,1 41,4
57,0 9,5
17,9
22,5 40,1
19,9
42,1
x
49,2 33,5
23,7
22,1 41,4
15,5
P (%)
7,3
22,5
20,3
P
9,5
32,9
T (%)
T
33,5
6,9
P (%)
Pnc
22,2
x
23,4
Sm
19,9
32,9 21,4
Pnc (%)
P
23,7
23,4
20,0
T (%)
TKS
T
6,9
Pnc (%)
Sm (%)
Pnc 20,3
P (%)
TKR
Sm
TKB
60,2
T (%) Sm (%)
P
20,0
Sm (%) TT
Sm
TKS
x
17,9 22,1
16,1
Keterangan : Sm(Semai); Pnc (Pancang); T (Tiang); P (Pohon); TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
45
Tabel 11. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada herba, paku-pakuan, semak belukar dan liana Kondisi Hutan Kondisi Hutan
Tingkat Pertumbuhan
TT H
Pk
TKR Sb
L
Pk
Sb
Pk (%)
96,3
X
48,9
H (%) TKB
Pk (%) Sb (%) L (%)
64,4 100,0
100,0 49,8
45,8
33,4
100,0 45,8
24,8
71,3 57,5
100,0 33,5
50,8
71,3 64,4
96,3
100,0
x
49,8 29,3
26,4
89,7 57,5
100,0
L (%)
24,8
71,3
96,3
L
33,5
62,6
Sb (%)
Sb
29,3
24,8
L (%)
Pk
33,4
x
58,2
H
96,3
62,6 96,3
Pk (%)
L
26,4
58,2
47,8
Sb (%)
TKS
Sb
24,8
Pk (%)
H (%)
Pk 96,3
L (%)
TKR
H
TKB
48,9
Sb (%) H (%)
L
47,8
H (%) TT
H
TKS
x
50,8 89,7
71,3
Keterangan : H (Herba); Pk (Paku-pakuan); Sb (Semak Belukar); L (Liana) ; TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
46
Tabel 12. Rekapitulasi nilai koefisien kesamaan komunitas pada pandan, palem, liana berkayu dan epifit Kondisi Hutan Kondisi Hutan
Tingkat Pertumbuhan
TT Pnd
Plm
TKR Lk
E
Plm
Lk
Plm (%)
65,0
x
75,0
Pnd (%) TKB
Plm (%) Lk (%) E (%)
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0
0,0
0,0 0,0
0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0
30,2 0,0
32,5
0,0
x
0,0 75,8
0,0
0,0 0,0
0,0
E (%)
0,0
30,2
0,0
E
0,0
0,0
Lk (%)
Lk
75,8
13,9
E (%)
Plm
0,0
x
0,0
Pnd
0,0
0,0 65,0
Plm (%)
E
0,0
0,0
0,0
Lk (%)
TKS
Lk
13,9
Plm (%)
Pnd (%)
Plm 0,0
E (%)
TKR
Pnd
TKB
75,0
Lk (%) Pnd (%)
E
0,0
Pnd (%) TT
Pnd
TKS
x
0,0 0,0
0,0
Keterangan : Pnd (Pandan); Plm (Palem); Lk (Liana Berkayu); E (Epifit); TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
47
Berdasarkan Tabel 10, 11, dan 12 menunjukkan koefisien kesamaan komunitas antara dua kondisi hutan pada seluruh bentuk pertumbuhan pohon dan non-pohon.
Seluruh kondisi hutan dibandingkan tingkat kesamaannya satu
dengan lainnya sehingga tiap bentuk pertumbuhan menunjukkan nilai koefisien yang berbeda-beda.
Pada keseluruhan bentuk pertumbuhan, paku-pakuan
merupakan tingkat yang memiliki nilai koefisien kesamaan komunitas tertinggi antara kondisi hutan tidak terbakar dan dengan tingkat kebakaran ringan, kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang, kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran berat serta tingkat pandan antara kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan tingkat kebakaran berat. Nilai koefisien pakupakuan pada seluruh perbandingan memiliki nilai koefisien yang sama, yaitu 100%. Sedangkan nilai koefisien terendah pun banyak ditemukan dengan nilai sebesar 0,0 %. Seluruh perbandingan pada pandan, palem, liana berkayu, dan epifit kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat maupun kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan tingkat kebakaran berat memiliki nilai koefisien sebesar 0,0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan dua kondisi hutan memiliki vegetasi yang sama satu sama lain dengan nilai indeks kesamaan sebesar 100%. Selain itu, terdapat perbedaan antara kedua kondisi hutan tanpa adanya jenis yang sama dengan nilai koefisien kesamaan sebesar 0,0 %. Pada tingkat pertumbuhan pohon dan permudaan nilai koefisien semai tertinggi sebesar 60,2 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang, nilai koefisien tiang tertinggi sebesar 60,1 % pada perbandingan kondisi hutan TKR dan tingkat kebakaran berat, nilai koefisien pancang tertinggi sebesar 57,0 % pada perbandingan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat, dan nilai koefisien pohon tertinggi sebesar 33,5 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang. Sedangkan pada bentuk pertumbuhan non-pohon nilai koefisien tertinggi pada herba sebesar 64,4 % pada perbandingan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat, nilai koefisien paku-pakuan tertinggi sebesar 100,0 % pada tiga perbandingan kondisi hutan, nilai koefisien
48
semak belukar tertinggi sebesar 58,2 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran ringan, nilai koefisien liana tertinggi sebesar 89,7 % pada perbandingan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan tingkat kebakaran berat, nilai koefisien pandan tertinggi sebesar 75,0 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang, nilai koefisien palem tertinggi sebesar 65,0 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran ringan, dan nilai koefisien epifit tertinggi sebesar 75,8 % pada perbandingan kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran sedang. Dari data hasil di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien kesamaan tidak terlalu tinggi untuk seluruh perbandingan kondisi hutan pada seluruh bentuk pertumbuhan. Hal ini dapat disebabkan kondisi biotik maupun abiotik hutan yang berubah setelah kebakaran.
Berubahnya lingkungan biotik maupun abiotik
menyebabkan beberapa jenis yang tidak ditemukan sama sekali di kondisi hutan lain pada bentuk pertumbuhan tertentu, sehingga nilai indeks kesamaan hanya mencapai nilai 0 %. 5.7 Struktur Tegakan Berikut ini merupakan Tabel 13 yang berisi sebaran diameter tingkat tiang dan pohon berdiameter ≥ 10 cm pada tiap kondisi hutan. Tabel 13. Struktur Tegakan berdasarkan kelas diameter pohon pada tiap kondisi hutan Kondisi Hutan
Kelas Diameter TT
TKR
TKS
TKB
10 - 19 cm 20 - 29 cm
140 67
104 6
68 20
12 8
30 - 39 cm 40 - 49 cm 50 - 59 cm 60 - 69 cm 70 - 79 cm
31 9 14 17 9
3 13 2 2 -
3 7 4 2 1
1 1 -
80 - 89 cm 90 - 99 cm 100 - 109 cm 110 cm up
8 9 4 2
-
1 -
-
Keterangan: TT (Tidak Terbakar); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
49
Pada Tabel 13 menunjukkan kerapatan jenis pada kondisi hutan tidak terbakar memiliki nilai tertinggi dibandingkan seluruh kondisi hutan bekas terbakar.
Menurut Kepmenhut No.200/Kpts-II/1994 Tanggal 26 April 1994
menyebutkan kriteria teknis hutan produksi alam tidak produktif adalah :1) Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm < 25 btg/ha; 2) Pohon induk < 10 btg/ha; 3) Permudaan alamnya kurang; a) anakan alam tingkat semai (seedling) < 1000 btg/ha, dan atau; b) Pohon dalam tingkat pancang (sapling) < 240 btg/ha; dan atau Pohon dalam tingkat tiang (poles) < 75 btg/ha. Kerapatan pohon inti pada kondisi hutan tidak terbakar sebesar 67 ind/ha dan kerapatan tiang sebesar 140 ind/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang memenuhi kriteria hutan produktif hanya kondisi hutan tidak terbakar. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan yang memenuhi salah satu kriteria hutan produktif, yaitu kerapatan tiang yang mencapai 104 ind/ha. Namun, nilai kerapatan tiang tersebut tidak dapat memenuhi kriteria hutan alam produktif. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat memiliki nilai kerapatan pohon inti masing-masing sebesar 20 ind/ha dan 8 ind/ha. Sedangkan, nilai kerapatan tiang pada kondisi hutan tingkat kebakaran sedang dan berat masing-masing sebesar 68 ind/ha dan 12 ind/ha.
Hal tersebut menunjukkan
bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan berat termasuk dalam kriteria hutan alam tidak produktif. Secara lebih jelas hubungan antara nilai kerapatan individu dan kelas diameter dapat dilihat dalam Gambar 2.
(a) (b)
50
(b) (d) Gambar 2. Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter pada kondisi hutan : (a) Tidak terbakar; (b) Tingkat kebakaran ringan; (c) Tingkat kebakaran sedang dan; (d) Tingkat kebakaran berat. Berdasarkan Tabel 13, Gambar 2 menunjukkan struktur vegetasi pada tiap kondisi hutan dengan kelas diameter yang berbeda. Menurut Daniel TW (1995), pada tegakan tidak seumur distribusi frekuensi jumlah pohon menurut kelas diameter membentuk kurva “J” terbalik, yang bila diproyeksikan pada kertas semi logaritmis menghasilkan garis lurus. Pada setiap kondisi hutan menunjukkan fluktuasi nilai kerapatan di setiap kelas diameter yang secara keseluruhan membentuk huruf “J” terbalik. Pada kondisi hutan tidak terbakar menunjukkan penurunan jumlah individu pada kelas diameter 40-49 cm, penurunan jumlah individu per hektar menjadi 9 ind/ha. Pada kelas diameter selanjutnya, jumlah individu per hektar kembali mengalami kenaikan pada dua kelas diameter secara berurutan dan perlahan jumlah individu per hektar mengalami penurunan pada dua kelas diameter secara berurutan.
Penurunan jumlah tersebut tidak
berlangsung hingga kelas diameter tertinggi, yaitu 110 cm up.
Pada kelas
diameter 90-99 cm jumlah individu per hektar mengalami kenaikan walau hanya 1 ind/ha, lalu menurun pada kelas diameter selanjutnya.
Kondisi hutan tidak
terbakar merupakan kondisi hutan dengan kelas diameter tertinggi hingga mencapai 110 cm up. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan ditemukan pula fluktuasi di pertengahan kelas diameter, yaitu kelas diameter 40-49 cm. Pada
51
kelas diameter tersebut terjadi kenaikan jumlah individu per hektar hingga 10 ind/ha. Kenaikan tersebut diikuti dengan penurunan nilai kerapatan yang sangat drastis pada kelas diameter selanjutnya menjadi 2 ind/ha. Kondisi hutan ini hanya memiliki kelas diameter tertinggi sebesar 60-69 cm.
Kondisi hutan dengan
tingkat kebakaran sedang memiliki kelas diameter tertinggi yang lebih besar dibandingkan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan sebesar 80-89 cm. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang ditemukan penurunan jumlah individu per hektar yang cukup drastis pada kelas diameter 30-39 cm. Setelah kelas diameter tersebut, jumlah individu mengalami kenaikan menjadi 7 ind/ha, kemudian mengalami penurunan jumlah individu per hektar secara bertahap. Kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat merupakan kondisi hutan yang memiliki kelas diameter terendah dibandingkan seluruh kondisi hutan. 5.8 Sifat Kimia Tanah 5.8.1 pH Tanah Kebakaran hutan yang terjadi mempengaruhi sifat kimia tanah pada tiap kondisi hutan. Sifat kimia tanah merupakan respon nyata terhadap tanaman yang tumbuh dalam suatu lingkungan. Reaksi tanah sendiri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepekatan hara larutan tanah (Depdikbud 1991). Menurut Hardjowigeno (2003), reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dalam pH. Terhadap kimia tanah, kebakaran akan merubah sifat-sifat kimia tanah melalui 3 cara, yaitu : 1). Mineral yang dilepaskan dari proses pembakaran yang tertinggal dalam abu; 2). Perubahan mikroklimat setelah kebakaran, dan 3). Dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan inorganik (Brown 1973, Chandler et al. 1983 dalam Syaufina 2005). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan didapat hasil analisi kimia tanah pada laboratorium tanah.
Pada Tabel 14 menunjukkan besaran pH menurut
Notohadiprawiro (1998) dan C-organik dari tiap kondisi hutan. Tabel 14. Reaksi tanah dan kandungan C-organik pada tiap kondisi hutan Kondisi Hutan Tidak Terbakar Tingkat Kebakaran Ringan
pH H2O
KCl
C-org (%)
Reaksi Tanah
5,0 - 5,4 4,6
4,3 - 4,4 3,7
3,25 - 5,12 3,22- 3,48
masam masam
52
Tingkat Kebakaran Sedang
4,8 -5,1
4,0 - 4,3
2,96 - 4,60
masam
Tingkat Kebakaran Berat
4,5 - 5,3
3,7 - 4,4
2,96 - 7,90
masam
Dari data Tabel 14 menunjukkan bahwa kisaran nilai pH tanah seluruh kondisi hutan temasuk masam (Lampiran 51). Nilai masing-masing pH H2O pada kondisi hutan tingkat kebakaran ringan, sedang, dan berat adalah 4,6; kisaran 4,8 – 5,1; dan kisaran 4,5 – 5,3. Sedangkan kondisi hutan memiliki nilai pH yang berkisar antara 5,0 – 5,4. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi sangat mempengaruhi reaksi tanah. Pengaruh dari nilai pH yang lebih kecil dibandingkan kondisi hutan tidak terbakar dapat dilihat pada hasil data sifat kimia selanjutnya, baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Selain unsur hara, kemasaman tanah pun mempengaruhi perkembangan mikro organisme yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Menurut Hardjowigeno (2003), jamur
dapat berkembang baik pada segala tingkat kemasaman tanah, karena pada pH lebih dari 5,5 jamur harus bersaing dengan jamur. Dalam pembentukan humus dan agregasi tanah, jamur lebih berperan daripada bakteri, terutama dalam suasana asam (Hakim et al. 1986).
Pertumbuhan tanaman tidak dapat dipengaruhi
langsung dari pH tanahnya saja, kecuali pada nilai pH di bawah 4,2 yang dalam keadaan itu kadar ion hidrogennya dapat menghentikan atau bahkan membalikkan arah penyerapan kation oleh akar (Black 1967 dalam Sanchez 1992). Dari data pH menunjukkan bahwa nilai tersebut mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh di setiap kondisi hutan. Namun jenis yang paling tidak berpengaruh terhadap pH terdapat pada bentuk pertumbuhan herba.
Bentuk
pertumbuhan pada kondisi hutan tidak terbakar didominasi oleh jenis teh-tehan (Eupatorium riparium), sedangkan pada seluruh kondisi hutan yang terbakar menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi ialah jenis resap (Manisuris granularis). Nilai pH tanah mempengaruhi seluruh bentuk pertumbuhan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan jenis yang berbeda-beda pada setiap bentuk pertumbuhan di seluruh kondisi hutan. Perbedaan jenis yang beragam pada tingkat permudaan pohon terjadi akibat adanya penanaman pada kawasan tersebut seperti jenis Kaliandra (Callyandra calothyrsus) dan Gmelina (Gmelina arborea) setelah kebakaran. Menurut WAC (2010), Kaliandra tumbuh baik pada tipe tanah yang
53
cukup lebar tapi lebih baik pada tanah yang bertekstur ringan dan sedikit asam, sedangkan Gmelina lebih menyukai tanah lembab, subur, agak kering, masam berkapur dan laterit. Selain itu perbedaan jenis pun dapat disebabkan kecocokan suatu jenis dengan keadaan abiotik sekitarnya, salah satunya adalah pengaruh pH tanah. Jenis Cemara gunung (Casuarina junghuhniana) merupakan salah satu jenis yang dominan di kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Hal ini disebabkan syarat tumbuh Cemara gunung (Casuarina junghuhniana) yang toleran pada rentang pH yang lebar, dari pH 2,8 pada tanah liat masam sampai pH 8 pada tanah berkapur (WAC 2010). Kandungan C-organik atau bahan organik pada tiap kondisi hutan memiliki nilai yang berbeda-beda dan tergolong tinggi hingga sangat tinggi.
Nilai C-
organik kondisi hutan tidak terbakar, tingkat kebakaran ringan, dan tingkat kebakaran berat tergolong tinggi (Lampiran 51). Sedangkan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat menunjukkan bahwa nilai C-organik tergolong sangat tinggi karena memiliki nilai 2,96% – 7,90%. Bahan organik mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan tanah (Perdana 2009).
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat
kebakaran cukup mempengaruhi kandungan C-organik tanah yang berkorelasi terhadap kesuburan tanah tersebut. Sehingga kebakaran mempengaruhi kesuburan tanah menjadi semakin subur.
Selain itu, dekomposisi bahan organik juga
menghasilkan humus, dimana humus mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi (Perdana 2009). 5.8.2 Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) Unsur-unsur hara esensial yang terkandung dalam tanah berbentuk ion-ion positif (kation). Sehingga kemampuan tanah dalam menjerap ion-ion tersebut sangatlah penting untuk menunjang pertumbuhan tumbuhan yang ada. Menurut Hardjowigeno (2003), penjerapan ion-ion positif (kation) dalam besaran miliekivalen oleh koloid-koloid tanah tersebut dikenal dengan nama kapasitas tukar kation (KTK).
Sedangkan, kejenuhan basa (KB) menunjukkan
perbandingan antar jumlah kation-kation basa dengan semua kation basa (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai KTK tanah
54
tersebut. Pada Tabel 15 menunjukkan hasil dari nilai KTK, KB maupun tekstur tanah pada tiap kondisi hutan. Tabel 15. Nilai Kapasitas Tukar Kation Tanah (KTK), Kejenuhan Basa (KB) dan tekstur tanah pada tiap kondisi hutan Kondisi Hutan
KTK
Tekstur
KB Pasir
Debu
Liat
(me/100g)
(%)
(%)
TT TKR TKS
22,15 - 27,15 29,81 - 31,71 25,80 - 32,47
18,9 - 27,5 22,5 - 29,1 22,4 - 35,4
13,45 - 21,35 19,07 - 20,88 18,11 - 18,9
39,96 - 56,74 43,9 - 44,53 43,28 - 49,26
29,81 -39,83 35,22 - 36,4 32,63 - 37,82
TKB
25,8 - 26,35
19,2 - 25,9
15,02 - 22,03
38,94 - 53,16
31,82 - 39,03
Keterangan: TT (TT); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Pada data hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai KTK tiap kondisi hutan. Menurut PPT (1983) dalam Perdana (2009), kondisi hutan tidak terbakar yang memiliki nilai kisaran antara 22,15 – 27,15 me/100 g tergolong rendah, sedangkan seluruh kondisi hutan terbakar memiliki nilai dengan kisaran antara 25,00 – 40,00 me/100 g tergolong tinggi.
Data ini dapat menunjukkan bahwa kejadian
kebakaran meningkatkan nilai KTK tanah. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai KTK berarti semakin tinggi pula daya jerap ion-ion positif dalam tanah. Semakin besarnya penjerapan ion-ion dalam tanah menyebabkan semakin besar unsur hara yang tersimpan dalam tanah. Menurut Foth (1995), kapasitas tukar kation bahan organik meningkat sesuai dengan humifikasi. Sedangkan liat mempunyai variasi kapasitas tukar kation yang tinggi. Namun, pada data hasil presentase liat tidak lebih besar dari debu. Hal ini menunjukkan bahwa liat tidak terpengaruh terhadap KTK pada seluruh kondisi hutan. Nilai KTK ini menunjukkan kemampuan dari masing-masing kondisi hutan dalam menjerap kation (unsur hara esensial). Pada kondisi hutan terbakar dengan tingkat kebakaran berat menunjukkan nilai C-organik sangat tinggi dan nilai KTK yang tinggi menunjukkan bahwa dalam kondisi hutan tersebut memiliki nilai indeks kekayaan jenis (R1) tertinggi pada bentuk pertumbuhan semak belukar. Walaupun nilai indeks kekayaan jenis kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat tergolong rendah sebesar 1,70, namun nilai indeks ini terbesar dibandingkan nilai indeks kondisi hutan lainnya.
55
Kejenuhan basa tertinggi berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki kisaran nilai antara 22,4 % - 35,4 %. Walaupun nilai KB kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang merupakan nilai tertinggi dibanding seluruh kondisi hutan namun nilai ini masih tergolong rendah (Lampiran 51). Pada data pun menunjukkan bahwa nilai KB pada kondisi hutan tidak terbakar dan tingkat kebakaran berat tergolong sangat rendah hingga rendah, karena memiliki nilai KB masing-masing berkisar antara 18,9 % - 27,5% dan 19,2% - 25,9%. Presentase KB berbanding lurus dengan pH tanah, semakin rendah pH tanah maka semakin rendah pula presentase kejenuhan basa (Hardjowigeno 2003). Dari data sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan erat antara pH tanah dan KB terbukti, kecuali pada kondisi hutan tidak terbakar. Presentase nilai KB kondisi hutan tidak terbakar termasuk rendah dibandingkan presentase kejenuhan basa pada kondisi hutan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan unsur-unsur hara yang mempengaruhi perhitungan dari KB. 5.8.3 Analisis Unsur-unsur Hara Tanah Analisis unsur hara tanah dilakukan untuk menunjang hasil penelitian. Unsur hara tanah termasuk dalam unsur hara esensial. Dalam unsur hara esensial terbagi dalam dua kategori, yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur makro dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah banyak.
Sedangkan unsur mikro
dibutuhkan oleh tumbuhan dalam jumlah sedikit. Menurut Hardjowigeno (2003), unsur makro terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S. Berikut merupakan data hasil dari unsur hara makro yang tersaji dalam Tabel 16. Tabel 16. Analisis kimia unsur hara makro tanah pada tiap kondisi hutan. Kondisi Hutan
Kjeidhal
Bray l
N-total
P
(%)
(ppm)
NNH4OAc pH 7,0 Ca
Mg
K
Na
(me/100g)
TT
0,24 - 0,32
5,4 - 5,9
2,89 - 3,42
1,31 - 2,08
0,46 - 0,54
0,31 - 0,34
TKR TKS TKB
0,24 - 0,25 0,23 0,23 - 0,34
4,6 - 6,5 5,7 - 6,3 6,3 - 6,8
4,11 - 5,17 1,41 - 4,26 1,41 - 3,14
2,15 - 2,69 3,10 - 3,48 1,54 - 3,48
0,48 - 0,59 0,43 - 0,62 0,39 - 0,48
0,28 - 0,34 0,26 - 0,46 0,28 - 0,46
Keterangan:
TT (TT); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa presentase N-total tertinggi berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat memiliki kisaran nilai antara 0,23 % - 0,34 %. Dari keseluruhan presentase N-total memiliki kisaran
56
yang tidak berbeda jauh antar kondisi hutan. Selain itu presentase N-total pada seluruh kondisi hutan termasuk sangat rendah. Menurut Hamzah (1981), nitrogen merupakan bagian vital dari protoplasma. Protoplasma adalah tempat dimana berlangsung pembelahan sel dan karena proses inilah terjadi pertumbuhan tumbuh-tumbuhan.
Kemudian kandungan fosfor (P) tertinggi dimiliki oleh
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat memiliki kisaran nilai sebesar 6,3 – 6,8 ppm. Tingginya nilai fosfor dalam suatu kondisi hutan belum tentu diserap dalam jumlah yang tinggi pula. Menurut Hamzah (1981), di kebanyakan tanah fosfor asli terikat atau difikasi dalam bentuk-bentuk tidak larut sehingga hanya sebagian kecil saja dari seluruh persediaan dapat dijamah dalam suatu musim tanam. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al (Hardjowigeno 2003). Dari Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai sebagian besar unsur hara makro pada kondisi hutan setelah terbakar meningkat.
Pada kondisi hutan dengan
tingkat kebakaran ringan memiliki nilai unsur P (4,6 – 6,5 ppm), Ca (4,11 – 5,17 me/100g), Mg (2,15 – 2,69 me/100g), dan K ( 0,48 – 0,59 me/100g) yang lebih besar dibandingkan nilai unsur hara tersebut pada kondisi hutan tidak terbakar. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki nilai unsur P (5,7 – 6,3 ppm), Ca (1,41 – 4,26 me/100g), Mg (3,10 – 3,48 me/100g), K (0,43 – 0,62 me/100g), dan Na (0,26 – 0,46 me/100g) yang lebih besar dibandingkan nilai unsur hara tersebut pada kondisi hutan tidak terbakar. Kemudian, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat memiliki nilai unsur Na (0,23% - 2,24%), P (6,3 – 6,8 ppm), Mg (1,54 – 3,48 me/100g), dan Na (0,28 – 0,46 me/100g) yang lebih besar dibandingkan nilai unsur hara tersebut pada kondisi hutan tidak terbakar. Dari data tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki lima nilai unsur hara makro yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi hutan tidak terbakar. Sedangkan pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat hanya memiliki empat nilai unsur hara makro yang lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan tidak terbakar. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan meningkatkan sebagian besar unsur hara makro yang terkandung dalam tanah dan mempengaruhi kesuburan tanah.
57
Unsur hara makro Ca, Mg, K, dan Na merupakan unsur yang dijerap oleh tanah dalam bentuk ion, sehingga nilai unsur-unsur ini berpengaruh dalam besaran KTK.
Nilai unsur Ca tertinggi berada pada kondisi hutan dengan tingkat
kebakaran rendah memiliki kisaran 4,11 – 5,17 me/100g, sedangkan nilai terendah berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat memiliki kisaran 1,41 – 3,14 me/100g. Nilai Mg tertinggi berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang memiliki kisaran 3,10 – 3,48 me/100g,
sedangkan nilai
terendah berada pada kondisi hutan tidak terbakar dengan kisaran 1,31 – 2,08 me/100g.
Nilai unsur K tertinggi berada pada kondisi hutan dengan tingkat
kebakaran sedang memiliki kisaran nilai 0,43 – 0,62 me/100g, sedangkan nilai terendah berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan (0,39 – 0,48 me/100g). Nilai Na tertinggi berada pada kondisi hutan tidak terbakar dengan kisaran 0,31 – 0,34 me/100g, sedangkan nilai terendah berada pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang (0,26 – 0,48 me/100g). Nilai unsur hara yang beragam menunjukkan bahwa kesuburan tanah yang berbeda-beda, sehingga tumbuhan yang hidup menjadi beragam tergantung pada unsur hara yang tersedia. Kemudian Tabel 17 menunjukkan unsur-unsur hara mikro yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh tumbuhan, dan apabila tersedia terlalu banyak akan menjadi racun bagi tumbuhan itu sendiri. Tabel 17. Analisis kimia unsur hara mikro tanah pada tiap kondisi hutan Kondisi Hutan
NKCl Al
0,05 N HCl Mg
Fe
Cu
0,65 - 0,72 0,70 - 0,73 0,65 - 0,96 0,82 - 8,72
24,3 - 28,6 28,1 - 30,7 24,9 - 49,3 26,9 - 49,3
0,5 - 0,8 0,6 - 1,1 0,2 - 0,7 0,2 - 1,2
(me/100g) TT TKR TKS TKB
0,82 - 1,86 0,96 - 2,04 1,32 - 3,40 0,94 - 3,40
Zn
Mn
18,2 - 23,4 15,3 - 17,9 16,7 - 31,4 18,5- 31,4
56,2 - 76,4 56,7 - 63,8 52,4 - 93,2 58,3 - 61,1
(ppm)
Keterangan: TT (TT); TKR (Tingkat Kebakaran Ringan); TKS (Tingkat Kebakaran Sedang); TKB (Tingkat Kebakaran Berat)
Al merupakan racun bagi tumbuhan dan juga memfiksasi P, namun dalam Tabel 17 menunjukkan nilai Al yang tidak terlalu membahayakan atau masih dalam ambang normal. Dari Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tertinggi Al dimiliki kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang dan ringan memiliki nilai kisaran tertinggi sebesar 3,4 me/100g.
Nilai Mg pada tiap kondisi hutan
58
ditemukan sangat rendah dengan nilai tertinggi pada kisaran 0,82 – 8,72 me/100g. Nilai ini termasuk tinggi dibandingkan nilai Mg kondisi hutan lainnya. Mg ini sama halnya dengan kapur dimana memiliki kemampuan mengurangi keasaman tanah, namun tiap kondisi hutan merupakan tanah yang masam. Sehingga nilai Mg yang terkandung tidak terlalu tinggi. Untuk nilai tertinggi Fe, Cu, Zn, dan Mn pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Kisaran nilai masing-masing unsur hara mikro tersebut sebesar 26,9 - 49,3 ppm, 0,2 - 1,2 ppm, 18,5- 31,4 ppm, dan 58,3 - 61,1 ppm. Dari data tersebut menunjukkan nilai Mn yang cukup tinggi. Vegetasi di kondisi hutan yang memiliki jumlah jenis paling sedikit ditunjang dengan nilai unsur hara mikro yang lebih besar dibanding kondisi hutan lainnya. Sehingga menunjukkan bahwa kebakaran mempengaruhi kesuburan tanah dan jenis-jenis yang dapat tumbuh terbatas akibat unsur hara mikro yang berlebih. Menurut Syaufina (2005), Sumbangan nutrisi tanah akibat kebakaran tidak berlangsung lama dan terbatas. Bila kebakaran terjadi secara berulang-ulang, maka degradasi lahan akan meningkat dan proses pemiskinan hara tanah akan berlangsung.
Dampak
kebakaran hutan terhadap tanah sangat site-specific, tergantung pada jenis tanah dan kondisi tanah setempat. Sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sifat kimia tanah secara pasti setelah kebakaran pada waktu yang berbeda. 5.9 Kondisi Hutan Bekas Terbakar Seluruh hasil penelitian baik hasil analisis vegetasi maupun analisis tanah menunjukkan bahwa komunitas hutan sebelum dan sesudah kebakaran memiliki kondisi yang berbeda. Pengaruh kebakaran terhadap vegetasi pada tiap kondisi hutan dapat dilihat dari nilai kerapatan tumbuhan. Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai kerapatan bentuk pertumbuhan herba dan semak belukar meningkat pada kondisi hutan terbakar.
Semakin berat tingkat kebakaran maka nilai
kerapatan bentuk pertumbuhan herba dan semak belukar semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu kurang dari satu tahun setelah kebakaran, jenis vegetasi yang memenuhi areal hutan setelah kebakaran ialah bentuk pertumbuhan herba maupun semak belukar dibandingkan bentuk pertumbuhan lain.
59
Jenis-jenis herba yang mendominasi pada kondisi hutan yang terbakar ialah Resap (Manisuris granularis) dan Teh-tehan (Eupatorium riparium). Jenis Tehtehan (Eupatorium riparium) sendiri merupakan jenis yang mendominasi bentuk pertumbuhan herba pada kondisi hutan tidak terbakar dan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat.
Jenis ini mudah menyebar dengan bantuan angin,
sehingga penyebaran jenis ini sangat luas bahkan pada areal hutan bekas terbakar. Selain itu jenis Teh-tehan (Eupatorium riparium) merupakan spesies pionir yang muncul setelah gangguan (Setiawan 2008). Sedangkan jenis Resap (Manisuris granularis) yang mendominasi kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan sedang merupakan famili Poaceae. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis rumput-rumputan mudah hidup setelah kebakaran. Menurut Zulfa (2006), famili Poaceae (rumput-rumputan) memiliki sistem perakaran rhizome dan stolon. Rhizome adalah batang yang menjalar di bawah permukaan tanah, pada buku akar terdapat mata kuncup yang dapat tumbuh menjadi tunas dan seterusnya menjadi tanaman baru. Stolon merupakan tunas yang muncul diatas dipermukaan tanah. Setelah kebakaran hutan bentuk pertumbuhan pionir suatu komunitas hutan ialah herba sebagai penutup lantai hutan. Kemudian
jenis-jenis
bentuk
pertumbuhan
semak
belukar
yang
mendominasi kondisi hutan tidak terbakar, kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, sedang serta berat masing-masing, antara lain Sikatan (Eupatorium
odoratum),
Senikir
(Thitonia
diversifolia),
(Aeschynomene sp.), dan Grebes (Chromolaena odorata).
Asem-aseman Jenis-jenis yang
tumbuh pada kondisi hutan setelah terbakar merupakan jenis semak belukar yang umumnya membutuhkan cahaya penuh. hutan setelah terbakar.
Hal tersebut sesuai dengan keadaan
Jenis Asem-aseman (Aeschynomene sp.) yang
mendominasi kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang merupakan tanaman pionir pengikat N di daerah kurang subur (Indonesia Tropical Forages 2011). Sedangkan jenis Senikir (Thitonia diversifolia) yang mendominasi kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dapat digunakan sebagai pupuk alami. Menurut Deni (2009) dalam Sanchez dan Jama (2000), Tithonia diversifolia dari famili Asteraceae mudah tumbuh di sembarang tempat, mengandung N dan K yang tinggi, sehingga dapat dijadikan pupuk hijau sebagai sumber bahan organik. Hal
60
ini menunjukkan bahwa beberapa jenis semak belukar yang mendominasi di kondisi hutan setelah terbakar memiliki kemampuan meningkatkan kesuburan tanah secara tidak langsung. Pengaruh kebakaran terhadap vegetasi yang terdapat pada seluruh kondisi hutan dapat dilihat pada nilai koefisien kesamaan komunitas (IS) yang tercantum dalam Tabel 10, 11, dan 12. Nilai koefisien kesamaan komunitas pada tingkat pohon dan permudaan cenderung memiliki nilai kesamaan yang sedang hingga sangat rendah. Nilai kesamaan jenis tertinggi dimiliki oleh tingkat semai dengan nilai sebesar 60,2% pada perbandingan komunitas kondisi hutan tidak tebakar dengan komunitas kondisi hutan tingkat kebakaran sedang.
Nilai tersebut
menunjukkan bahwa komunitas yang memiliki jenis paling mendekati jenis sebelum terbakar ialah kondisi hutan dengan kebakaran sedang.
Sedangkan
perbandingan antar kondisi hutan setelah kebakaran memiliki nilai koefisien tertinggi sebesar 60,1 % pada tingkat tiang.
Nilai tersebut merupakan
perbandingan antara kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan dan berat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan memiliki komunitas yang hampir sama dengan kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat. Kemudian dari seluruh bentuk pertumbuhan nilai koefisien yang tinggi sehingga tergolong sama antara dua komunitas hanya ditemukan pada bentuk pertumbuhan paku-pakuan (Pakis) antar kondisi hutan setelah terbakar.
Dari
keseluruhan nilai koefisien menunjukkan bahwa antara kondisi hutan tidak terbakar dan seluruh kondisi hutan terbakar tidak memiliki nilai koefisien yang cukup tinggi. Sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan setelah terbakar belum memiliki komunitas yang sama dengan kondisi hutan sebelum terbakar dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Selain mempengaruhi aspek vegetasi kebakaran juga mempengaruhi sifat kimia tanah. Menurut Rahmatsjah et al. (1985), pengaruh kebakaran yang cukup nyata terhadap tanah adalah pengurangan asiditas tanah dan penghangatan tanah karena lapangan lebih terbuka. Ini mempercepat dekomposisi bahan organik yang masih tertinggal dan mendorong tumbuhnya jenis yang berlainan seperti tumbuhnya jenis-jenis daun lebar menggantikan jenis konifer atau rumput, dan
61
gulma menggantikan semak-semak dan vegetasi bawah. Selain itu juga akan terjadi proses pembebasan unsur-unsur mineral melalui pencucian atau masuk ke dalam tanah. Menurut Dove (1988) dalam Purbowaseso (2004) bahwa proses pengabuan setelah kebakaran merupakan proses pelepasan zat-zat hara yang terdapat di batang, dahan, daun, dan humus ke tanah. Dalam proses tersebut, pada akhirnya menyuburkan tanah. Kandungan unsur hara terlihat jelas semakin meningkat pada kondisi hutan setelah terbakar (Tabel 16).
Pada tingkat kebakaran sedang
menunjukkan ketersediaan unsur hara makro P, Ca, Mg, K, dan Na lebih tinggi dibandingkan kondisi hutan tidak terbakar (Tabel 16).
Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kebakaran sedang memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan seluruh kondisi hutan. Kemudian, jumlah C-organik semakin tinggi pada kondisi hutan setelah terbakar seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya menunjukkan kesuburan tanah yang meningkat (Tabel 14). Nilai KTK yang semakin tinggi ditunjang oleh beberapa jenis semak belukar yang dapat membantu menyerap unsur hara di dalam tanah. Sehingga penyerapan unsur hara dalam tanah menjadi lebih maksimal. Dari keseluruhan pengaruh yang terjadi pada seluruh kondisi hutan terbakar menunjukkan perlu adanya pengelolaan lebih lanjut terhadap kondisi hutan bekas terbakar. Keterbukaan lahan dan kemasaman tanah menyebabkan pemilihan jenis yang sesuai terhadap rehabilitasi areal bekas terbakar. Menurut Indrawan (2011), pemilihan jenis untuk penanaman pengayaan yang sesuai dengan keadaan ekologis daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam keberahasilan tanaman pengayaan yang akan dilakukan. Pada daerah-daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang dipilih jenis pohon yang bersifat intoleran yang membutuhkan cahaya matahari penuh (heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba), Macaranga spp, Trema spp, Sengon (Paraserianthes falcataria), Acacia mangium, Eucaliptus spp, Tectona grandis dan lain sebagainya (Indrawan 2011). 5.9.1 Sekat Bakar
62
Selain itu pengayaan jenis yang dilakukan pada areal bekas terbakar dapat memilih jenis-jenis yang memenuhi syarat-syarat jalur hijau (green belt). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya dalam pencegahan kebakaran hutan dengan menggunakan metode manajemen bahan bakar yang salah satu cara utamanya adalah isolasi bahan bakar berupa pembuatan jalur hijau (green belt). Sekat bakar dapat dibuat dengan lebar 60 m pada perbatasan antara areal Tahura R. Soerjo dengan lahan penduduk (Lampiran 53). Sekat bakar dibuat dengan lebar jalan inspeksi sebesar 10 m. Masing-masing sisi jalan inspeksi dibuat lebar jalur kuning 5 m dan jalur hijau 20 m. Jadi jalur kuning dan jalur hijau mempunyai lebar 25 m terdapat di kiri dan kanan jalan inspeksi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3. 10
15
10
15
10
10
15
10
15
10
60 m
Gambar 3. Penampang melintang sekat bakar dengan lebar 60 m Keterangan gambar : : Jalur Kuning
: Jalur Hijau
: Jalan Inspeksi Bila terdapat jurang di lapangan, jalan inspeksi tidak dibuat. Pada areal ini jalur hijau dan jalur kuning (lebar 50 m) dapat dibuat pada lokasi yang rawan kebakaran dan berbatasan dengan pemukiman penduduk. Tahura R. Soerjo berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl, sehingga menurut Indrawan (1987) jenis-jenis tanaman sekat bakar yang sesuai ditanam pada ketinggian 1000 - 1500 mdpl adalah sengon (Paraserianthes falcataria), kaliandra (Callyandra calothyrsus), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), Macadamia hildebrandii, sono kembang (Pterocarpus indicus), asam jawa (Tamarindus indicus), Samanea saman, dan puspa (Schima walichii). Tanaman
63
sekat bakar ini harus ditanam setahun sebelum penanaman tanaman pokok, sehingga pada saat akan ditanam tanaman pokok, sekat bakar sudah dapat berfungsi.
64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kebakaran areal hutan di UPT Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang mengakibatkan penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon dan permudaan serta bentuk pertumbuhan. Hanya herba yang memiliki jumlah jenis yang stabil pada seluruh kondisi hutan. 2. Keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity (H’) menunjukkan bahwa nilai indeks tertinggi pada tingkat semai sebesar 2,20 pada kondisi hutan tingkat kebakaran ringan, tingkat pancang sebesar 3,01 pada kondisi hutan tidak terbakar, tiang sebesar 2,85 pada kondisi hutan tidak terbakar dan pohon sebesar 2,74 pada kondisi hutan tidak terbakar. Kebakaran hutan menurunkan nilai keanekaragaman jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. 3. Pada tingkat kebakaran sedang, keanekaragaman jenis menurut Shannon Index of General Diversity (H’) menunjukkan nilai indeks bentuk pertumbuhan nonpohon tertinggi dimiliki oleh herba dengan nilai sebesar 2,82. Kebakaran hutan menurunkan keanekaragaman jenis pada sebagian besar bentuk pertumbuhan non-pohon. 4. Struktur hutan pada tiap kondisi hutan memiliki kelas diameter tertinggi yang berbeda. Kondisi hutan tidak terbakar memiliki diameter hingga ≥ 110 cm, pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan kelas diameter tertinggi hanya mencapai 60 - 69 cm. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang kelas diameter tertinggi mencapai 80 – 89 cm, sedangkan pada kelas diameter kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat hanya mencapai 40 – 49 cm. Kebakaran menurunkan nilai kerapatan tingkat tiang dan pohon. 5. Nilai kerapatan seluruh permudaan pohon mengalami penurunan nilai kerapatan pada kondisi hutan setelah terbakar. Pada kondisi hutan dengan tingkat tidak terbakar nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masingmasing sebesar 25.100 ind/ha, 1008 ind/ha dan 46,7 ind/ha. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masing-masing sebesar 8.433,3 ind/ha, 224 ind/ha, dan 34,7 ind/ha. Pada
65
kondisi hutan dengan tingkat kebakaran sedang nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masing-masing sebesar 6.500 ind/ha, 784 ind/ha dan 22,7 ind/ha. Pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran berat nilai kerapatan tingkat semai, pancang dan tiang masing-masing sebesar 1800 ind/ha, 240 ind/ha dan 4 ind/ha. 6. Kebakaran hutan menyebabkan perubahan sifat kimia tanah yang dilihat dari nilai pH, KTK, C-organik dan unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya. Nilai pH tanah pada kondisi hutan dengan tingkat kebakaran ringan, sedang dan berat masing-masing sebesar 4,6 (masam), 4,8 - 5,1 (masam), dan 4,5 – 5,3 (masam). Sedangkan, pada kondisi hutan tidak terbakar memiliki nilai pH dengan kisaran 5,0 – 5,4 (masam). Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran lahan meningkatkan kemasaman tanah. Selain itu kebakaran mempengaruhi kesuburan tanah dengan nilai C-organik, KTK dan sebagian besar unsur hara makro seluruh kondisi hutan setelah terbakar meningkat. 7. Kebakaran hutan mempengaruhi vegetasi yang tumbuh setelah kebakaran. Bentuk pertumbuhan yang mendominasi adalah herba dengan jenis dominan Resap (Manisuris granularis) pada seluruh kondisi hutan bekas terbakar. Bentuk pertumbuhan herba ini merupakan invasi awal pada areal bekas terbakar. 6.2 Saran 1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan tahun kebakaran yang berbeda untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi. 2. Sebaiknya dilakukan pengelolaan lebih lanjut terhadap areal hutan bekas terbakar dengan penanaman jenis-jenis alami dan atau jenis-jenis yang sesuai dengan areal hutan bekas terbakar. 3. Sebaiknya dilakukan pencegahan penanaman jenis-jenis palawija pada areal hutan bekas terbakar. 4. Sebaiknya dilakukan pembuatan sekat bakar pada jalan utama, lokasi rawan kebakaran, dan perbatasan antara areal Tahura R.Soerjo dengan pemukiman penduduk. Alternatif lebar sekat bakar dapat selebar 60 meter.
66
DAFTAR PUSTAKA Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. New York : Mc Graw-Hill Book Company. Chandler C et al. 1983. Forest Fire Behaviour and Effects. USA : John Wiley and Sons. Daniel TA, Helms JA, Baker FS. 1995. Prinsip-prinsip Silvikultur. Edisi ke-2. Marsono D, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada Press. Terjemahan dari : Principles of Silviculture. Deni. 2009. Pengaruh pupuk hijau Tithonia diversifolia terhadap tanah dan tanaman. http://deni.blogspot.com/2009/04/pengaruh-pupuk-hijau-tithonia.htm. [diunggah 2 Januari 2011] Departemen Pendidikan dan Kebudyaan [Depdikbud]. Kesuburan Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. 2010. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur tahun 2005 – 2009. Surabaya : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology. Foth HD. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Endang DB, Dwi RL, Rahayuning T, penerjemah. Sri ABH, editor. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Fundamentals of Soils Science. Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Oxford : Blacwell Scientific Publications. Gunarwan FS. Kehutanan. Hakim N et al. Lampung.
1970. 1986.
Kebakaran Hutan (Forest Fire).
Dasar-dasar Ilmu Tanah.
Jakarta : Ditjen
Lampung : Universitas
Hamzah Z. 1981. Diktat Ilmu Tanah Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum Perhutani. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.
67
Husaeni EA. 2003. Manajemen Bahan Bakar. Suratmo GF, Endang AH, I Nengah SJ, editor. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Dalam : Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Indonesia Tropical Forages. 2011. Aeschynomene americana (Bahasa Indonesia). http://indonesia.tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html /Aeschynomene americana(Bahasa_Indonesia).htm. [diunggah 2 Januari 2011]. Indrawan A. 1987. Pedoman Sistem Pengendalian kebakaran Hutan pada Unit Hutan Tanaman Industri. Bogor : Lembaga Penelitian IPB. ___________. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam setelah Penebangan dalam sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana IPB. ___________. 2011. Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur. http://www.andryindrawan.co.cc/2011/01/konsep-dan-filosofi-multisistem.html #more. [diunggah 15 Januari 2011] Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Irwan TD. 2009. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Keputusan Menteri Kehutanan No. 200/Kpts-II/1994 Tanggal 26 April 1994 Tentang Kriteria Hutan Produksi Alam Tidak Produktif. Jakarta : Departemen Kehutanan RI. Kershaw KA. 1973. Quantitative an Dynamic Plant Ecology. London : Buttler dan Tanner. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London : Croom Helm Ltd. Marsono D. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Edisi ke-2. Pringgoseputro S, Srigandono B, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : General Ecology. Misra R. 1973. Publishing.Co.
Ecology Work Book.
New Delhi : Oxford and IBH
Notohadiprawiro T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
68
Perdana YI. 2009. Karakteristik Tanah pada Lahan Bekas Tambang yang Ditanami Rumput Signal (Brachiaria decumbens Stapf) di PT.International Nickel Indonesia Sorowako Sulawesi Selatan [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Poerwowidodo. 2004. Mengenal Tanah. Bogor : Laboratorium Pengaruh Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Purbawaseso B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan : Suatu Pengantar. Jakarta : Rinekso Cipta. Rahmatsjah Oemijati et al. 1985. Masalah Kebakaran Hutan dan Cara Penanggulangannya. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Resosoedarmo S, Kartawinata K, Soegiarto A. Bandung : Remadja Karya CV.
1988.
Pengantar Ekologi.
Richards PW. 1966. The Tropical Rain Forest : An Ecological Study. London : The Syndics of The Cambridge University Press. Sanchez PA. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Johara TJ, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Properties and management of soils in the tropics. Setiawan Nuri N. 2008. Struktur dan Komposisi Vegetasi Pada Lahan BekasLadang yang Direforestasi pada Cagar Alam Gunung Papandayan, Jawa Barat. www.sith.ac.id. [diunggah 2 Januari 2011]. Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sumantri. 2003. Prinsip Pencegahan Kebakaran Hutan. Suratmo GF, Endang AH, I Nengah SJ, editor. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Dalam : Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. _______. 2003. Metode Pencegahan Kebakaran Hutan. Suratmo GF, Endang AH, I Nengah SJ, editor. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Dalam : Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Syaufina L et al. 2005. Formulasi Sistem Penilaian pada Areal Bekas Terbakar Untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan [laporan akhir]. Bogor : IPB. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang : Bayumedia Publishing.
69
Unit Pelaksana Teknis Tahura R.Soerjo (UPT Tahura R. Soerjo). 2009. Profil Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang. Malang : Daftar Pengesahan Anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahura R. Soerjo (DPA APBD Tahura R.Soerjo). UU RI No.41/1999. 2002. Peraturan Perundangan di Era Reformasi. Bogor : Research Institute for Forestry Decentralization Extention Services. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Great Britain : Butler and Tanner Ltd. World Agroforestry Center (WAC). 2010. Spesies Info. www. Worldagroforestrycenter.org/sea/Products/AFDbases/af/asp/SpeciesInfo?SpID. [diunggah 10 Desember 2010]. Zulfa. 2006. Poaceae. http://www.freewebs.com/arl_ipb_2006/poaceae.htm. [diunggah 2 Januari 2011]
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 . Daftar Nama Jenis Tingkat Pertumbuhan Pohon dan Permudaan di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang No.
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
2
3
4
1 2
Adem ati Akasia
Litsea chinensis SONN Acacia decurrens WILLD
Lauraceae Fabaceae
3 4 5 6 7
Alpukat Anggrung (kayu) Awar-awar Baros (kayu) Bulu koang
Persea americana Mill Trema orientalis L. Blume Ficus septica BURM Magnolia blumei Prantl. Ficus anulataBL
Lauraceae Cannabaceae Moraceae Magnoliaceae Moraceae
8 9 10 11 12
Bulu rincing Bungur Cemara gunung Cembirit Ceplok piring
13 14 15 16 17
Dadap Dampur Delek Durian Gagar
** Lagerstroemia speciosa PERS Casuarina junghuhniana Miq. ** ** Erythrina lithosperma Miq. ** Polycias nodosa SEEM Durio zibethinus Rumph. Ex Murray **
** Luthraceae Casuarinaceae ** Rubiaceae Fabaceae ** Araliaceae Malvaceae **
18 19 20 21
Gintungan Girang Gmelina Gondang
Bischofia javanica Blume Leea indica (Burm. F) Merr. Gmelina arborea Roxb. Ficus variegata BL
Euphorbiaceae Vitaceae Verbenaceae Moraceae
22 23 24 25 26
Iprik Jambu lir Jambu romo Jamuju Jenar (kayu)
Ficus glabella Blume. Litsea spp. (sp 1) Litsea spp. (sp 2) Podocarpus sp. Murraya paniculata L. Jack.
Moraceae Lauraceae Lauraceae Podocarpaceae Rutaceae
27 28 29 30 31
Kaliandra Kayu lamer Kayu lanang Kebek Kebek
Callyandra calothyrsus Meissner Glochidion sp Oroxylum indicum Vent Ficus padana Burmf. Ficus alba Reinw.
Fabaceae Euphorbiaceae Bignoniaceae Moraceae Moraceae
32 33 34 35 36
Keloran Kemadu Kenangan Kengkeng Kesek
Moringa diefera Lam. Laportea sinueta BL. ** ** **
Moringaceae Urticaceae ** ** **
37 38 39 40
Ketek lumut Ketupuk Kidangan Klerek
** Neonauclea sp Phyllantus indicus Muell. Arg. Sapindus rarak DC
** Rubiaceae Euphorbiaceae Sapindaceae
71
Lampiran 1 (Lanjutan) 1
2
3
4
41 42 43
Kopen/Kopi-kopian Kopi Kudon (kayu)
Lachnastoma densiflora VAL. Coffea sp. Tarenna incerta K&V
Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae
44 45 46 47 48
Kukrup/Bedali Kuldiem Lamtoro Lembayungan Luwing
Engelhardia spicata Lesch. ex Blume ** Leucena glauca Benth Lasianthus spp.(sp 3) Ficus hispida LINN
Juglandaceae ** Fabaceae Rubiaceae Moraceae
49 50 51 52 53
Mahoni Mangga Mencokan Mentaos Mindi
Swietenia macrophyla King Mangifera indica L Debregeasia longifolia (Burmf) Wedd Wrightia javanica DC Melia azedarach L
Myrtaceae Anacardiaceae Urticaceae Apocynaceae Meliaceae
54 55 56 57 58
Nangka Nyampuh Pasang Pasang krisik Pinus
Artocarpus heterophyllus Lam Actinodaphne procera NESS Quercus sundaica Bl. Quercus spp. Pinus merkusii Jungh & de vriese
Moraceae Lauraceae Fagaceae Fagaceae Pinaceae
59 60 61 62 63
Ploso Poh ketek Puspa Putihan Salam
64 65 66 67
Sembung Sengon Sintok Sono
Butea monosperma TAUB ** Schima walichii (DC) Korth Buddleja asiantica Lour. Syzygium polyanthum (Wight) Walp Myrsine sp Paraserianthes falcataria (L) Nielsen Cinnamomum sintok BL Dalbergia latifolia Roxb.
Fabaceae ** Theaceae Scrophulariaceae Myrtaceae Myrsinaceae Fabaceae Lauraceae Fabaceae
68 69 70
Suren Talaman Tapen
Meliaceae ** Euphorbiaceae
71
Tinggan
72 73 74 75 76
Tinggi Tritih Tutup Urang-urangan Utri
Toona sureni ** Croton argyratus BL Acmena acuminatissima(Bl) Merr & L .M. Perr Litsea spp. (sp 3) Ficus spp. (sp 1) Macaranga peltataRoxb. Mueller Villebrunea rubescens BL **
Lauraceae Moraceae Euphorbiaceae Urticaceae **
77 78
Wangkal Waru
Albizzia procera BENTH Abutilon sp.
Fabaceae Malvaceae
Keterangan : ** (belum diketahui nama daerah/nama botani/ nama famili)
Myrtaceae
72
Lampiran 2 . Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Herba di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang No.
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
2
3
4
1 2
** **
** **
Rubiaceae Urticaceae
3 4 5 6 7
** ** ** Awun-awun Bakung/Banyuan
Allaeophania rugosa Bl. Gonostegia hirtaBlume ex Hasskarl Fimbristylis sp. Ageratum conyzoides L. Crinum asiaticum LINN
Rubiaceae Urticaceae Poaceae Asteraceae Amarillydaceae
8 9 10 11 12
Bedesan Cabai Celing Ciplukan Cungis
Hoplismenus sp Capsicum frutescens L. Rubus rosaefolius Sm. Physalis peruviana LINN **
Poacaceae Capiceae Rosaceae Solanaceae **
13 14 15 16 17
Dekeng Edelweis Edeng-edeng Gadung Gebut
Cyperus spp. (sp 1) Anaphalis longifolia Bl. Desmodium spp Dioscorea sp. (sp 1) Festuca sp.
Cyperaceae Asteraceae Fabaceae Dioscoreaceae Poaceae
18 19 20 21
Gelagah Getah-getahan Godean Gondel
Sacharum spontaneus LINN ** ** Impatiens platypetala Lindley.
Poaceae ** ** Balsaminaceae
22 23 24 25 26
Ilalang Janda merana Janggelan Jemedur Junggul/Kemangi
27 28 29 30 31
Kacangan daun lebar Kacang-kacangan Kajar Kantong semar Kapasan/Pulutan
Imperata sp Polygala glomerata Lour. Mesona Palustris BL Panicum sp. Ocimum sp. Centrosema spp. Centrosema pubescens Benth. Alocasia macrorrhiza L Aeginetia indica L Triumfetta sp.
Poaceae Polygalaceae Lamiaceae Poaceae Solanaceae Fabaceae Fabaceae Araceae Orobanchaceae Tiliaceae
32 33 34 35 36
Karang panas Katu-katuan Kemirian/pecah beling Ketul Labu siam
Leucas sp. Desmodium spp. (sp 2) Lasianthus spp. (sp 1) Bidens pilosa L. Sechium edule (Jacq.) Sw
Laminaceae Fabaceae Rubiaceae Asteraceae Cucurbitaceae
37 38 39 40
Ladingan Landepan Laosan/Onje Loyoran
Cyperus spp. (sp 2) ** Hedychium roxburghii Blume. Piper spp. (sp 1)
Cyperaceae Poaceae Zingiberaceae Piperaceae
73
Lampiran 2 (Lanjutan) 1
2
3
4
41 42 43
Marbena Marningan Meniran
Spilanthes sp. Drymaria cordata Cham & Schlect Phyllanthus niruri L.
Asteraceae Canyopaceae Euphorbiaceae
44 45 46 47
Menyeng Merakan Meranti/Ranti Nona makan sirih
** Poaceae Solanaceae Oleaceae
48
Odelia
49 50 51 52
Ototan Pacing Paku niran Pare hutan
53 54 55 56 57
Pergek Petungan Pisang Pokak Pring-pringan
** Themeda gigantea (Cav.) Hack. Solanum nigrum L Jasminum sp. Wedelia urticaefolia (Blume) DC ex Wight Centella asiatica (L) Urban Costus speciosus (J. Konig) Sm ** Momordica sp. Zingiber spp. Commelina benghaelis Linn Musa paradisiaca Linn. Solanum ferrogium Jacq. Panicum montanum Roxb.
58 59 60 61 62
Remek jun/Pecut kuda Resap Ririan Rumput gajah Semanggi
Stachytarpheta jamaicensis l. vahl. Manisuris granularis Linn. Tridax procumbens L Pennisetum purpureum Schumach. Oxalis corniculata Linn
Verbenaceae Poaceae Asteraceae Poaceae Oxalidaceae
63 64 65 66 67
Sereh Simbu'an Singkong Sirih-sirihan Sunggul putih
Cymbopogon citratus DC Paederia scandens (Lour) Merr. Manihot utilissima Pohl Piper spp Plectranthus sp
Poaceae Rubiaceae Euphorbiaceae Piperaceae Lamiaceae
68 69 70 71
Talas Teh-tehan Teh-tehan putih Teki
Colocasia esculenta (L.) Schott Eupatorium ripariumRegel Eupatorium spp. Cyperus rotundus L.
Araceae Asteraceae Asteraceae Cyperaceae
72 73 74 75 76
Tepus Tiris rambat Ubi Wuluan Yeng-yengan
Amomum coccineum Bl ** Ipomoea batatas Poir ** Adenostemma lavenia (L) Kuntze.
Zingiberaceae ** Convovulaceae Tiliaceae Asteraceae
Keterangan : ** (belum diketahui nama daerah/nama botani/ nama famili)
Commelinaceae Apiaceae Costaceae ** Cucurbitaceae Zingiberaceae Commelinaceae Musaceae Solanaceae Poaceae
74
Lampiran 3 . Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Semak Belukar di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang No.
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
Asem-aseman
Aeschynomene sp.
Fabaceae
2
Genjret
Phytolaceae
3
Grebes
4 5
Jarak Kalak
Phytolacca dioica L. Chromolaena odorata (L) King & H.E Robins Ricinus communis LINN Orophea hexandra BL
6 7 8 9 10
Klintingan Mlaten Ruseng Senggani Senggani putih
Dodonea viscosa Jacq. Cephaelis ipecacuanha (Brotero) ** Melastoma candidum D.Don Inula cappa (D.Don) DC
Sapindaceae Rubiaceae ** Melastomataceae Compositae
11 12 13
Senikir Sikatan Treba
Tithonia diversifolia (hemsl) A. Gray Eupaotorium odoratum (L) Sch.Bip. Lantana camara L
Asteraceae Asteraceae Verbenaceae
Asteraceae Euphorbiaceae Annonaceae
Keterangan : ** (belum diketahui nama daerah/nama botani/ nama famili)
Lampiran 4 . Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Paku-pakuan di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang No.
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
Pakis rambat
Selaginella sp.
Selaginellaceae
2 3
Pakis suplir Pakis
Adiantum tenerum Sw Doryopteris sp.
Pteridaceae Dryopteridaceae
75
Lampiran 5 . Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Liana di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang No.
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
**
Aeshynanthus sp.
Actinidiaceae
2 3 4 5 6
** ** ** ** **
Hoya sp. Ficus spp. (sp 2) Smilax sp Smilax sp Alchemilla villosa L
Apocynaceae Moraceae Smilaceae Smilaceae Rosaceae
7 8 9 10
Galing Granggam Grunggung Irang
Vitis spp Vitis spp Rubus sp **
Vitaceae Vitaceae Rosaceae **
11 12 13 14 15
Jowan Juwet Kerakas Luwing Pacar air
** ** ** ** Lasianthus spp. (sp 2)
** ** ** ** Rubiaceae
16 17 18
Suruh ketir Tebu sawur Trembes
Piper spp. (sp 3) Polygonum sp **
Piperaceae Polygonaceae **
Keterangan : ** (belum diketahui nama daerah/nama botani/ nama famili)
Lampiran 6. No.
Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Pandan di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
Pandan
Ophiopogon sp.
Rusaceae
2
Pandan duri
Pandanus sp.
Pandanaceae
Lampiran 7. No. 1 2
Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Palem di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
Nama Daerah Palem Rotan
Nama Botani Pinanga coronata Blume Ex Mart Daemonorops sp.
Nama Famili Arecaceae Arecaceae
76
Lampiran 8. No.
Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Liana Berkayu di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
Nama Daerah
Nama Botani
Nama Famili
1
**
Picrasma javanica Blume.
Simaroubaceae
2 3 4 5 6
Bolu Cabe hutan Gondo suli Gunggrung Janggetan
Tetrastigma sp. Piper retrofractum Vahl ** Rubus rosaefolius Smith **
Vitaceae Piperaceae ** Rosaceae Apocynaceae
7 8 9 10
Klurak Muncir Perlas Petir
** ** Daemonorops oblongus BL **
** ** Arecaceae **
11 12 13 14
Ri kengkeng Riwono Tungkul Wali songo
Zanthoxylum scandens Blume. Elaeagnus latifolia L. Derris eliptica Benth. **
Rutaceae Elaeagnecae Fabaceae **
Keterangan : ** (belum diketahui nama daerah/nama botani/ nama famili)
Lampiran 9. No. 1 2 3 4 5
Daftar Nama Jenis Bentuk Pertumbuhan Epifit di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Malang
Nama Daerah Anggrek-anggrekan Pakis pohon Pakis halus Simbar Tanduk rusa
Nama Botani Asplenium spp.(sp 1) Sphaerostephnos hirsutus Kunze ex Mett. Davallia hymenophylloides Blume. Asplenium spp. (sp 2) Asplenium nidus L
Nama Famili Aspleniaceae Thelypteridaceae Davalliaceae Aspleniaceae Aspleniaceae
77
Lampiran 10. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Semai pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Alpukat Bungur Ceplok piring Gagar Girang
1 2 2 9 25
1 1 2 3 3
33,33 66,67 66,67 300,00 833,33
0,13 0,27 0,27 1,20 3,32
0,01 0,01 0,03 0,04 0,04
1,10 1,10 2,20 3,30 3,30
1,23 1,36 2,46 4,49 6,62
6 7 8 9 10
Iprik Jambu lir Jamuju Jenar Kaliandra
1 3 1 4 631
1 2 1 2 35
33,33 100,00 33,33 133,33 21033,33
0,13 0,40 0,13 0,53 83,80
0,01 0,03 0,01 0,03 0,47
1,10 2,20 1,10 2,20 38,46
1,23 2,60 1,23 2,73 122,26
11 12 13 14 15
Kebek Kemadu Ketupuk Kidangan Kopen/Kopi-kopian
1 7 3 1 3
1 2 2 1 2
33,33 233,33 100,00 33,33 100,00
0,13 0,93 0,40 0,13 0,40
0,01 0,03 0,03 0,01 0,03
1,10 2,20 2,20 1,10 2,20
1,23 3,13 2,60 1,23 2,60
16 17 18 19 20
Kopi Kudon Mahoni Mencokan Mentaos
4 4 1 2 3
4 1 1 2 2
133,33 133,33 33,33 66,67 100,00
0,53 0,53 0,13 0,27 0,40
0,05 0,01 0,01 0,03 0,03
4,40 1,10 1,10 2,20 2,20
4,93 1,63 1,23 2,46 2,60
21 22 23 24
Mindi Pasang Salam Sembung
25 26 27 28 29
Sintok Talaman Tinggan Tritih Tutup
2 10 2 7 2 12 2 1 2
1 8 1 4 1 1 2 1 2
66,67 333,33 66,67 233,33 66,67 400,00 66,67 33,33 66,67
0,27 1,33 0,27 0,93 0,27 1,59 0,27 0,13 0,27
0,01 0,11 0,01 0,05 0,01 0,01 0,03 0,01 0,03
1,10 8,79 1,10 4,40 1,10 1,10 2,20 1,10 2,20
1,36 10,12 1,36 5,33 1,36 2,69 2,46 1,23 2,46
30
Lembayungan
5
1
166,67
0,66
0,01
1,10
1,76
Jumlah
753
25100,00
100,00
1,21
100,00
200,00
78
Lampiran 11. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Semai pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4
Akasia Cemara gunung Gmelina Kaliandra
6 97 2 100
5 5 2 16
200,00 3233,33 66,67 3333,33
2,37 38,34 0,79 39,53
0,04 0,01 0,03 0,03
6,67 2,22 4,44 4,44
9,04 40,56 5,23 43,97
5 6 7 8 9
Kayu lamer Kayu utri Kukrup/Bedali Lamtoro Mencokan
5 1 2 4 2
3 1 1 4 1
166,67 33,33 66,67 133,33 66,67
1,98 0,40 0,79 1,58 0,79
0,01 0,07 0,05 0,01 0,07
2,22 11,11 8,89 2,22 11,11
4,20 11,51 9,68 3,80 11,90
10 11 12 13
Puspa Salam Sengon Sono
30 2 1 1
3 2 1 1
1000,00 66,67 33,33 33,33
11,86 0,79 0,40 0,40
0,01 0,01 0,04 0,21
2,22 2,22 6,67 35,56
14,08 3,01 7,06 35,95
8433,33
100,00
0,60
100,00
200,00
Jumlah
253
Lampiran 12. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Semai pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2
Lamtoro Mencokan
10 6
6 3
333,33 200,00
5,13 3,08
0,08 0,04
9,38 4,69
14,50 7,76
3 4 5 6 7
Salam Waru Sengon Gagar Tutup
7 5 1 1 9
3 2 1 1 4
233,33 166,67 33,33 33,33 300,00
3,59 2,56 0,51 0,51 4,62
0,04 0,03 0,01 0,01 0,05
4,69 3,13 1,56 1,56 6,25
8,28 5,69 2,08 2,08 10,87
8 9 10 11
Gmelina Kaliandra Ketupuk Kopi
5 121 1 3
3 27 1 1
166,67 4033,33 33,33 100,00
2,56 62,05 0,51 1,54
0,04 0,36 0,01 0,01
4,69 42,19 1,56 1,56
7,25 104,24 2,08 3,10
12 13 14 15 16
Klerek Alpukat Sintok Dilem Dempur Nangka Anggrung Bulu rincing
2 1 2 13 4 1 2 1
2 1 2 2 1 1 2 1
66,67 33,33 66,67 66,67 433,33 133,33 33,33 33,33
1,03 0,51 1,03 1,03 6,67 2,05 0,51 0,51
0,03 0,01 0,03 0,03 0,01 0,01 0,03 0,01
3,13 1,56 3,13 3,13 1,56 1,56 3,13 1,56
4,15 2,08 4,15 4,15 8,23 3,61 3,64 2,08
Jumlah
195
6500,00
100,00
0,85
100,00
200,00
17 18 19
79
Lampiran 13. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Semai pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4
Tutup Akasia Salam Ketupuk
6 8 1 5
4 3 1 1
200,00 266,67 33,33 166,67
11,11 14,81 1,85 9,26
0,05 0,04 0,01 0,01
16,67 12,50 4,17 4,17
27,78 27,31 6,02 13,43
5 6 7 8 9
Lamtoro Klerek Kaliandra Mencokan Cemara gunung
4 1 14 1 13
1 1 3 1 8
133,33 33,33 466,67 33,33 433,33
7,41 1,85 25,93 1,85 24,07
0,01 0,01 0,04 0,01 0,11
4,17 4,17 12,50 4,17 33,33
11,57 6,02 38,43 6,02 57,41
10
Nangka
1
1
33,33
1,85
0,01
4,17
6,02
1800,00
100,00
0,32
100,00
200,00
Jumlah
54
80
Lampiran 14. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Pancang pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
1
2
N (ind) 3
SPC 4
K (ind/ha) 5
KR (%) 6
7
FR (%) 8
INP (%) 9
F
1 2
Urang-urangan Gagar
1 2
1 2
5,33 10,67
0,53 1,06
0,01 0,03
0,95 1,90
1,48 2,96
3 4 5 6
Tutup Nyampuh Kemadu Pasang
9 7 52 26
4 5 12 14
48,00 37,33 277,33 138,67
4,76 3,70 27,51 13,76
0,05 0,07 0,16 0,19
3,81 4,76 11,43 13,33
8,57 8,47 38,94 27,09
7 8 9 10 11
Dampur Tinggan Kopen/Kopi-kopian Adem ati Jambu lir
6 5 4 5 3
1 5 2 3 2
32,00 26,67 21,33 26,67 16,00
3,17 2,65 2,12 2,65 1,59
0,01 0,07 0,03 0,04 0,03
0,95 4,76 1,90 2,86 1,90
4,13 7,41 4,02 5,50 3,49
12 13 14 15 16
Ceplok piring Sembung Bungur Lembayungan Kebek
1 3 1 1 3
1 1 1 1 1
5,33 16,00 5,33 5,33 16,00
0,53 1,59 0,53 0,53 1,59
0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
0,95 0,95 0,95 0,95 0,95
1,48 2,54 1,48 1,48 2,54
17 18 19 20 21
Baros Talaman Kayu lanang Putihan Tinggi
1 3 2 1 5
1 3 1 1 4
5,33 16,00 10,67 5,33 26,67
0,53 1,59 1,06 0,53 2,65
0,01 0,04 0,01 0,01 0,05
0,95 2,86 0,95 0,95 3,81
1,48 4,44 2,01 1,48 6,46
22 23 24 25 26
Alpukat Suren Gmelina Nangka Lamtoro
7 4 9 6 1
7 4 7 6 1
37,33 21,33 48,00 32,00 5,33
3,70 2,12 4,76 3,17 0,53
0,09 0,05 0,09 0,08 0,01
6,67 3,81 6,67 5,71 0,95
10,37 5,93 11,43 8,89 1,48
27 28 29 30
Akasia Mahoni Kaliandra Kopi
1 1 10 2
1 1 5 2
5,33 5,33 53,33 10,67
0,53 0,53 5,29 1,06
0,01 0,01 0,07 0,03
0,95 0,95 4,76 1,90
1,48 1,48 10,05 2,96
31 32 33 34
Durian Ketupuk Mencokan Mentaos
1 1 2 3
1 1 1 2
5,33 5,33 10,67 16,00
0,53 0,53 1,06 1,59
0,01 0,01 0,01 0,03
0,95 0,95 0,95 1,90
1,48 1,48 2,01 3,49
1008,00
100,00
1,40
100,00
200,00
Jumlah
189
81
Lampiran 15. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Pancang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
Cemara gunung Akasia Tutup Kukrup/Bedali
19 5 1 1
8 3 1 1
101,33 26,67 5,33 5,33
45,24 11,90 2,38 2,38
0,11 0,04 0,01 0,01
30,77 11,54 3,85 3,85
76,01 23,44 6,23 6,23
5 6 7 8 9
Suren Pinus Gmelina Kaliandra Awar-awar
1 2 4 2 1
1 2 3 1 1
5,33 10,67 21,33 10,67 5,33
2,38 4,76 9,52 4,76 2,38
0,01 0,03 0,04 0,01 0,01
3,85 7,69 11,54 3,85 3,85
6,23 12,45 21,06 8,61 6,23
10 11 12
Mahoni Ketupuk Alpukat
4 1 1
3 1 1
21,33 5,33 5,33
9,52 2,38 2,38
0,04 0,01 0,01
11,54 3,85 3,85
21,06 6,23 6,23
Jumlah
42
224,00
100,00
0,35
100,00
200,00
No.
Nama Jenis
1 2 3 4
Lampiran 16. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Pancang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Lamtoro Mencokan Salam Waru Sengon
10 6 7 5 1
6 3 3 2 1
333,33 200,00 233,33 166,67 33,33
5,13 3,08 3,59 2,56 0,51
0,08 0,04 0,04 0,03 0,01
9,38 4,69 4,69 3,13 1,56
14,50 7,76 8,28 5,69 2,08
6 7 8 9 10
Gagar Tutup Gmelina Kaliandra Ketupuk
1 9 5 121 1
1 4 3 27 1
33,33 300,00 166,67 4033,33 33,33
0,51 4,62 2,56 62,05 0,51
0,01 0,05 0,04 0,36 0,01
1,56 6,25 4,69 42,19 1,56
2,08 10,87 7,25 104,24 2,08
11 12 13 14
Kopi Klerek Alpukat Sintok
3 2 1 2
1 2 1 2
100,00 66,67 33,33 66,67
1,54 1,03 0,51 1,03
0,01 0,03 0,01 0,03
1,56 3,13 1,56 3,13
3,10 4,15 2,08 4,15
15 16 17 18 19
Dilem Dempur Nangka Anggrung Bulu rincing
13 4 1 2 1
2 1 1 2 1
66,67 433,33 133,33 33,33 33,33
1,03 6,67 2,05 0,51 0,51
0,03 0,01 0,01 0,03 0,01
3,13 1,56 1,56 3,13 1,56
4,15 8,23 3,61 3,64 2,08
Jumlah
195
6500,00
100,00
0,85
100,00
200,00
82
Lampiran 17. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Permudaan Pancang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4
Akasia Pasang Cemara gunung Kaliandra
9 1 12 18
2 1 6 3
48,00 5,33 64,00 96,00
20,00 2,22 26,67 40,00
0,03 0,01 0,08 0,04
14,29 7,14 42,86 21,43
34,29 9,37 69,52 61,43
5 6
Alpukat Tutup
4 1
1 1
21,33 5,33
8,89 2,22
0,01 0,01
7,14 7,14
16,03 9,37
Jumlah
45
240,00
100,00
0,19
100,00
200,00
83
Lampiran 18. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
LBDS (m2)
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1 2
Adem ati Alpukat
1 1
1 1
206,98 175,79
4,00 2,67
8,57 5,71
0,04 0,01
9,68 3,23
677,58 587,39
7,59 6,58
25,84 15,52
3 4 5 6 7
Gmelina Kayu lamer Kebek Kemadu Kesek
4 1 1 5 2
3 1 1 4 1
998,38 147,14 305,90 719,50 324,12
1,33 2,67 1,33 1,33 1,33
2,86 5,71 2,86 2,86 2,86
0,01 0,03 0,01 0,01 0,01
3,23 6,45 3,23 3,23 3,23
196,18 482,24 178,36 265,26 407,86
2,20 5,40 2,00 2,97 4,57
8,28 17,57 8,08 9,06 10,65
8 9 10 11
Klerek Lembayungan Mahoni Pasang
1 2 1 3
1 2 1 3
240,72 332,71 277,01 508,18
6,67 2,67 2,67 1,33
14,29 5,71 5,71 2,86
0,05 0,03 0,03 0,01
12,90 6,45 6,45 3,23
959,33 443,62 620,09 169,77
10,75 4,97 6,95 1,90
37,94 17,14 19,11 7,99
12 13 14 15 16
Pasang krisik Ploso Sembung Sintok Suren
1 2 2 1 2
1 2 1 1 2
127,32 361,68 440,54 331,44 133,77
1,33 2,67 1,33 5,33 1,33
2,86 5,71 2,86 11,43 2,86
0,01 0,01 0,01 0,04 0,01
3,23 3,23 3,23 9,68 3,23
275,97 432,16 234,38 1331,17 369,35
3,09 4,84 2,63 14,92 4,14
9,18 13,78 8,71 36,02 10,22
17 18 19 20
Talaman Tinggan Tinggi Tutup
1 1 2 1
1 1 2 1
198,94 465,07 191,07 206,98
1,33 1,33 2,67 1,33
2,86 2,86 5,71 2,86
0,01 0,01 0,03 0,01
3,23 3,23 6,45 3,23
254,75 320,96 441,92 275,97
2,85 3,60 4,95 3,09
8,94 9,68 17,12 9,18
6693,24
46,67
100,00
0,41
100,00
8924,32
100,00
300,00
Jumlah
35
84
Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
LBDS (m2)
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1 2
Akasia Ketek lumut
4 1
2 1
643,26 267,70
5,33 1,33
15,38 3,85
0,03 0,01
8,70 4,35
857,69 356,93
15,83 6,59
39,91 14,78
3 4 5 6 7
Gmelina Mahoni Pinus Dadap Sengon
10 2 2 2 1
9 2 2 2 1
1728,26 334,30 229,98 254,65 114,91
13,33 2,67 2,67 2,67 1,33
38,46 7,69 7,69 7,69 3,85
0,12 0,03 0,03 0,03 0,01
39,13 8,70 8,70 8,70 4,35
2304,35 445,74 306,64 339,53 153,21
42,52 8,23 5,66 6,27 2,83
120,11 24,61 22,05 22,65 11,02
8 9 10
Nangka Tutup Suren
1 1 2
1 1 2
86,66 140,37 264,28
1,33 1,33 2,67
3,85 3,85 7,69
0,01 0,01 0,03
4,35 4,35 8,70
115,55 187,17 352,37
2,13 3,45 6,50
10,33 11,65 22,89
4064,38
34,67
100,00
0,31
100,00
5419,17
100,00
300,00
Jumlah
26
85
Lampiran 20. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
LBDS (m2)
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1 2
Akasia Waru
3 3
1 3
649,99 483,67
4,00 4,00
17,65 17,65
0,01 0,04
7,14 21,43
866,65 644,90
20,31 15,11
45,10 54,19
3 4 5 6 7
Dadap Kaliandra Gmelina Sintok Cembirit
3 3 2 2 1
3 2 2 2 1
751,21 433,22 313,85 407,52 161,14
4,00 4,00 2,67 2,67 1,33
17,65 17,65 11,76 11,76 5,88
0,04 0,03 0,03 0,03 0,01
21,43 14,29 14,29 14,29 7,14
1001,62 577,63 418,47 543,35 214,86
23,47 13,54 9,81 12,73 5,03
62,55 45,47 35,86 38,78 18,06
3200,61
22,67
100,00
0,19
100,00
4267,47
100,00
300,00
Jumlah
17
Lampiran 21. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tiang pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No. 1 2
Nama Jenis Kesek Gmelina Jumlah
N (ind)
SPC
LBDS (m2)
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1 2
1 1
191,07 432,90
1,33 2,67
33,33 66,67
0,01 0,01
50,00 50,00
254,75 577,20
30,62 69,38
113,95 186,05
623,97
4,00
100,00
0,03
100,00
831,96
100,00
300,00
3
86
Lampiran 22. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
LBDS (m2)
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1 2
Poh ketek Jambu romo
1 1
1 1
877,34 644,58
0,33 0,33
0,59 0,59
0,01 0,01
0,84 0,84
877,34 644,58
0,23 0,17
1,66 1,60
3 4 5 6 7
Wangkal Tapen Kukrup Kebek Pasang
1 9 43 9 7
1 5 17 7 7
2994,98 45624,01 171410,61 7032,28 10772,48
0,33 3,00 14,33 3,00 2,33
0,59 5,29 25,29 5,29 4,12
0,01 0,07 0,23 0,09 0,09
0,84 4,20 14,29 5,88 5,88
2994,98 45624,01 171410,61 7032,28 10772,48
0,80 12,17 45,74 1,88 2,87
2,23 21,67 85,32 13,05 12,87
8 9 10 11
Tritih Sembung Adem ati Iprik
12 19 1 1
9 12 1 1
43012,50 25419,37 336,21 661,88
4,00 6,33 0,33 0,33
7,06 11,18 0,59 0,59
0,12 0,16 0,01 0,01
7,56 10,08 0,84 0,84
43012,50 25419,37 336,21 661,88
11,48 6,78 0,09 0,18
26,10 28,04 1,52 1,61
12 13 14 15 16
Kengkeng Luwing Bulu koang Tinggan Gondang
1 1 5 2 1
1 1 1 2 1
3644,33 688,27 2670,14 1010,71 795,77
0,33 0,33 1,67 0,67 0,33
0,59 0,59 2,94 1,18 0,59
0,01 0,01 0,01 0,03 0,01
0,84 0,84 0,84 1,68 0,84
3644,33 688,27 2670,14 1010,71 795,77
0,97 0,18 0,71 0,27 0,21
2,40 1,61 4,49 3,13 1,64
17 18 19 20 21
Tutup Jambu lir Talaman Gintungan Mahoni
4 1 1 1 11
4 1 1 1 10
3363,92 459,64 424,07 401,15 26708,27
1,33 0,33 0,33 0,33 3,67
2,35 0,59 0,59 0,59 6,47
0,05 0,01 0,01 0,01 0,13
3,36 0,84 0,84 0,84 8,40
3363,92 459,64 424,07 401,15 26708,27
0,90 0,12 0,11 0,11 7,13
6,61 1,55 1,54 1,54 22,00
22
Nangka
1
1
378,87
0,33
0,59
0,01
0,84
378,87
0,10
1,53
87
Lampiran 22 (Lanjutan) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
23 24 25 26 27
Pinus Dadap Bungur Mentaos Delek
2 2 3 7 3
2 2 3 5 3
3166,87 1532,11 1010,55 4453,55 1453,88
0,67 0,67 1,00 2,33 1,00
1,18 1,18 1,76 4,12 1,76
0,03 0,03 0,04 0,07 0,04
1,68 1,68 2,52 4,20 2,52
3166,87 1532,11 1010,55 4453,55 1453,88
0,85 0,41 0,27 1,19 0,39
3,70 3,27 4,56 9,51 4,67
28 29 30 31 32
Utri Keloran Gmelina Sintok Klerek
2 1 5 1 6
2 1 4 1 5
1233,13 764,26 2697,44 644,58 5691,14
0,67 0,33 1,67 0,33 2,00
1,18 0,59 2,94 0,59 3,53
0,03 0,01 0,05 0,01 0,07
1,68 0,84 3,36 0,84 4,20
1233,13 764,26 2697,44 644,58 5691,14
0,33 0,20 0,72 0,17 1,52
3,19 1,63 7,02 1,60 9,25
33 34
Akasia Awar-awar
2 3
2 3
931,77 1840,47
0,67 1,00
1,18 1,76
0,03 0,04
1,68 2,52
931,77 1840,47
0,25 0,49
3,11 4,78
374751,14
56,67
100,00
1,59
100,00
374751,14
100,00
300,00
Jumlah
170
88
Lampiran 23. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan 1 2 3
Kenangan Pinus Akasia
1 19 3
SPC 1 9 3
4 5
Sengon Gmelina
1 1
1 1
No.
Nama Jenis
Jumlah
N (ind)
25
LBDS (m2) 1145,92 31170,73 1481,49
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
0,33 6,33 1,00
4,00 76,00 12,00
0,01 0,12 0,04
6,67 60,00 20,00
381,97 10390,24 493,83
3,02 82,14 3,90
13,69 218,14 35,90
3678,47 471,81
0,33 0,33
4,00 4,00
0,01 0,01
6,67 6,67
1226,16 157,27
9,69 1,24
20,36 11,91
37948,43
8,33
100,00
0,20
100,00
12649,48
100,00
300,00
Lampiran 24. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang 1 2
Akasia Sengon
7 1
SPC 3 1
3 4 5 6 7
Kebek Bulu rincing Waru Dadap Mentaos
6 1 1 3 5
5 1 1 3 3
17625,61 389,93 325,95 1241,65 8851,24
2,00 0,33 0,33 1,00 1,67
15,79 2,63 2,63 7,89 13,16
0,07 0,01 0,01 0,04 0,04
18,52 3,70 3,70 11,11 11,11
5875,20 129,98 108,65 413,88 2950,41
35,97 0,80 0,67 2,53 18,06
70,28 7,13 7,00 21,54 42,33
8 9 10 11
Klerek Bedali/Kukrup Nangka Dempur
8 1 1 1
4 1 1 1
8922,39 928,19 1673,12 962,89
2,67 0,33 0,33 0,33
21,05 2,63 2,63 2,63
0,05 0,01 0,01 0,01
14,81 3,70 3,70 3,70
2974,13 309,40 557,71 320,96
18,21 1,89 3,41 1,97
54,08 8,23 9,75 8,30
12 13 14
Sintok laut Tutup Pasang
1 1 1
1 1 1
962,89 435,77 2166,50
0,33 0,33 0,33
2,63 2,63 2,63
0,01 0,01 0,01
3,70 3,70 3,70
320,96 145,26 722,17
1,97 0,89 4,42
8,30 7,22 10,76
48997,84
12,67
100,00
0,36
100,00
16332,61
100,00
300,00
No.
Nama Jenis
Jumlah
N (ind)
38
LBDS (m2) 2768,66 1743,06
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
D
DR (%)
INP (%)
2,33 0,33
18,42 2,63
0,04 0,01
11,11 3,70
922,89 581,02
5,65 3,56
35,18 9,89
89
Lampiran 25. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Pohon pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat 1 2
Cemara gunung Gmelina
7 1
SPC 5 1
3 4
Bungur Akasia
1 1
1 1
No.
Nama Jenis
Jumlah
N
10
LBDS 4883,17 496,70
K
KR
F
FR
D
DR
INP
2,33 0,33
70,00 10,00
0,07 0,01
62,50 12,50
1627,72 165,57
73,69 7,50
206,19 30,00
602,39 644,65
0,33 0,33
10,00 10,00
0,01 0,01
12,50 12,50
200,80 214,88
9,09 9,73
31,59 32,23
6626,89
3,33
100,00
0,11
100,00
2208,96
100,00
300,00
90
Lampiran 26. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Herba pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar SPC
2
N (ind) 3
4
K (ind/ha) 5
KR (%) 6
1 2
Ladingan Teh-tehan
247 2446
20 65
8233,33 81533,33
3 4 5 6
Bedesan Resap Loyoran Celing
350 687 8 3
17 28 4 2
7 8 9 10 11
Laosan/Onje Meniran Pergek Kapasan/Pulutan Petungan
11 1 1 22 6
12 13 14 15
Sirih-sirihan Janda merana Ototan Ilalang Remek jun/Pecut kuda Marbena Singkong Pisang Jemedur
7
FR (%) 8
INP (%) 9
4,62 45,80
0,27 0,87
6,67 21,67
11,29 67,46
11666,67 22900,00 266,67 100,00
6,55 12,86 0,15 0,06
0,23 0,37 0,05 0,03
5,67 9,33 1,33 0,67
12,22 22,20 1,48 0,72
3 1 1 2 2
366,67 33,33 33,33 733,33 200,00
0,21 0,02 0,02 0,41 0,11
0,04 0,01 0,01 0,03 0,03
1,00 0,33 0,33 0,67 0,67
1,21 0,35 0,35 1,08 0,78
1 20 27 124
1 3 6 3
33,33 666,67 900,00 4133,33
0,02 0,37 0,51 2,32
0,01 0,04 0,08 0,04
0,33 1,00 2,00 1,00
0,35 1,37 2,51 3,32
180
12
6000,00
3,37
0,16
4,00
7,37
53 24 10 254
8 7 6 29
1766,67 800,00 333,33 8466,67
0,99 0,45 0,19 4,76
0,11 0,09 0,08 0,39
2,67 2,33 2,00 9,67
3,66 2,78 2,19 14,42
Awun-awun Yeng-yengan Ketul Kemirian/pecah beling
151 31 28
11 5 3
5033,33 1033,33 933,33
2,83 0,58 0,52
0,15 0,07 0,04
3,67 1,67 1,00
6,49 2,25 1,52
1
1
33,33
0,02
0,01
0,33
0,35
25 26 27 28 29
Karang panas Kajar Wuluan Getah-getahan Cabai
26 11 4 1 3
3 1 2 1 1
866,67 366,67 133,33 33,33 100,00
0,49 0,21 0,07 0,02 0,06
0,04 0,01 0,03 0,01 0,01
1,00 0,33 0,67 0,33 0,33
1,49 0,54 0,74 0,35 0,39
30 31 32 33 34
Ubi Ririan Talas Rumput gajah Tepus
3 15 2 281 1
1 2 1 10 1
100,00 500,00 66,67 9366,67 33,33
0,06 0,28 0,04 5,26 0,02
0,01 0,03 0,01 0,13 0,01
0,33 0,67 0,33 3,33 0,33
0,39 0,95 0,37 8,59 0,35
35 36 37 38 39
Dekeng Labu siam Simbu'an Pokak Teh-tehan putih
150 1 7 11 122
15 1 2 5 6
5000,00 33,33 233,33 366,67 4066,67
2,81 0,02 0,13 0,21 2,28
0,20 0,01 0,03 0,07 0,08
5,00 0,33 0,67 1,67 2,00
7,81 0,35 0,80 1,87 4,28
No.
Nama Jenis
1
16 17 18 19 20 21 22 23 24
F
91
Lampiran 26 (Lanjutan) 1 40 41 42 43 44
2
3
4
5
6
7
8
9
Godean Allaeophania rugosa Rubiaceae Urticaceae Pare hutan
1
1
33,33
0,02
0,01
0,33
0,35
6
4
200,00
0,11
0,05
1,33
1,45
4 4 2
1 1 1
133,33 133,33 66,67
0,07 0,07 0,04
0,01 0,01 0,01
0,33 0,33 0,33
0,41 0,41 0,37
Jumlah
5341
178033,33
100,00
4,00
100,00
200,00
92
Lampiran 27. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Herba pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No.
Nama Jenis
1
2
N (ind) 3
SPC 4
K (ind/ha) 5
KR (%) 6
7
FR (%) 8
INP (%) 9
F
1 2
Resap Gebut
1958 1113
44 24
65266,67 37100,00
26,74 15,20
0,59 0,32
14,92 8,14
41,65 23,33
3 4 5 6
Lamuran Teh-tehan Wedusan Ilalang
1171 941 1 853
18 31 1 23
39033,33 31366,67 33,33 28433,33
15,99 12,85 0,01 11,65
0,24 0,41 0,01 0,31
6,10 10,51 0,34 7,80
22,09 23,36 0,35 19,44
7 8 9 10 11
Edeng-edeng Janggelan Edelweis Junggul/Kemangi Ladingan
6 16 10 33 22
1 5 3 4 5
200,00 533,33 333,33 1100,00 733,33
0,08 0,22 0,14 0,45 0,30
0,01 0,07 0,04 0,05 0,07
0,34 1,69 1,02 1,36 1,69
0,42 1,91 1,15 1,81 2,00
12 13 14 15 16
Menyeng Awun-awun Merakan Semanggi Simbu'an
2 205 203 1 17
1 10 8 1 6
66,67 6833,33 6766,67 33,33 566,67
0,03 2,80 2,77 0,01 0,23
0,01 0,13 0,11 0,01 0,08
0,34 3,39 2,71 0,34 2,03
0,37 6,19 5,48 0,35 2,27
17 18
5 10
3 3
166,67 333,33
0,07 0,14
0,04 0,04
1,02 1,02
1,09 1,15
139
14
4633,33
1,90
0,19
4,75
6,64
20
Karang panas Yeng-yengan Remek jun/Pecut kuda Janda merana
17
4
566,67
0,23
0,05
1,36
1,59
21 22 23 24 25
Pring-pringan Wuluan Kalak Jemedur Marbena
8 88 6 76 162
2 12 3 12 13
266,67 2933,33 200,00 2533,33 5400,00
0,11 1,20 0,08 1,04 2,21
0,03 0,16 0,04 0,16 0,17
0,68 4,07 1,02 4,07 4,41
0,79 5,27 1,10 5,11 6,62
26 27 28 29 30
Tiris rambat Marningan Odelia Ototan Paku niran
5 34 10 12 9
1 4 1 6 1
166,67 1133,33 333,33 400,00 300,00
0,07 0,46 0,14 0,16 0,12
0,01 0,05 0,01 0,08 0,01
0,34 1,36 0,34 2,03 0,34
0,41 1,82 0,48 2,20 0,46
31 32 33 34 35
Pisang Ketul Dekeng Mangkokan Gadung
8 2 38 2 2
3 1 5 1 1
266,67 66,67 1266,67 66,67 66,67
0,11 0,03 0,52 0,03 0,03
0,04 0,01 0,07 0,01 0,01
1,02 0,34 1,69 0,34 0,34
1,13 0,37 2,21 0,37 0,37
36 37 38 39
Meniran Pokak Rumput gajah Kacang-kacangan
1 1 92 29
1 1 1 9
33,33 33,33 3066,67 966,67
0,01 0,01 1,26 0,40
0,01 0,01 0,01 0,12
0,34 0,34 0,34 3,05
0,35 0,35 1,60 3,45
19
93
Lampiran 27 (Lanjutan) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
40
Kacangan daun lebar
6
3
200,00
0,08
0,04
1,02
1,10
41
Katu-katuan
9
5
300,00
0,12
0,07
1,69
1,82
244100,00
100,00
3,93
100,00
200,00
Jumlah
7323
94
Lampiran 28. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Herba pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
1
2
N (ind) 3
SPC
K (ind/ha)
4
5
KR (%) 6
7
FR (%) 8
INP (%) 9
F
1 2
Resap Janda merana
2365 41
48 6
78833,33 1366,67
35,54 0,62
0,64 0,08
13,71 1,71
49,25 2,33
3 4 5 6
Lamuran Katu-katuan Awun-awun Teh-tehan
543 23 486 1084
13 8 27 43
18100,00 766,67 16200,00 36133,33
8,16 0,35 7,30 16,29
0,17 0,11 0,36 0,57
3,71 2,29 7,71 12,29
11,87 2,63 15,02 28,57
7 8 9 10 11
Ototan Gelagah Ciplukan Marningan Wuluan
10 115 6 131 479
7 5 5 8 28
333,33 3833,33 200,00 4366,67 15966,67
0,15 1,73 0,09 1,97 7,20
0,09 0,07 0,07 0,11 0,37
2,00 1,43 1,43 2,29 8,00
2,15 3,16 1,52 4,25 15,20
12 13 14 15 16
Jemedur Odelia Yeng-yengan Meranti/Ranti Ilalang
299 32 117 30 309
22 4 10 8 6
9966,67 1066,67 3900,00 1000,00 10300,00
4,49 0,48 1,76 0,45 4,64
0,29 0,05 0,13 0,11 0,08
6,29 1,14 2,86 2,29 1,71
10,78 1,62 4,62 2,74 6,36
17 18
Kacang-kacangan Dekeng Pare hutan/Kerangean Kantong semar
12 71
5 14
400,00 2366,67
0,18 1,07
0,07 0,19
1,43 4,00
1,61 5,07
41
10
1366,67
0,62
0,13
2,86
3,47
11
3
366,67
0,17
0,04
0,86
1,02
Teki Kemirian/Pecah beling Simbu'an Pring-pringan
9
5
300,00
0,14
0,07
1,43
1,56
2
1
66,67
0,03
0,01
0,29
0,32
2 51
2 3
66,67 1700,00
0,03 0,77
0,03 0,04
0,57 0,86
0,60 1,62
150
15
5000,00
2,25
0,20
4,29
6,54
13
2
433,33
0,20
0,03
0,57
0,77
27 28 29
Marbena Remek jun/Pecut kuda Pisang Mangkokan Karang panas
20 2 61
13 1 7
666,67 66,67 2033,33
0,30 0,03 0,92
0,17 0,01 0,09
3,71 0,29 2,00
4,01 0,32 2,92
30 31 32 33 34
Ladingan Cungis Laosan/Onje Gondel Landepan
3 2 7 13 15
1 1 5 1 1
100,00 66,67 233,33 433,33 500,00
0,05 0,03 0,11 0,20 0,23
0,01 0,01 0,07 0,01 0,01
0,29 0,29 1,43 0,29 0,29
0,33 0,32 1,53 0,48 0,51
35 36 37 38
Bedesan Ketul Ririan Pokak
46 1 25 11
3 1 2 2
1533,33 33,33 833,33 366,67
0,69 0,02 0,38 0,17
0,04 0,01 0,03 0,03
0,86 0,29 0,57 0,57
1,55 0,30 0,95 0,74
19 20 21 22 23 24 25 26
95
Lampiran 28 (Lanjutan) 1
2
39 40 41
Pacing Tepus Bakung/Banyuan
42
Teh-tehan putih Jumlah
3
4
5
6
7
8
9
1 7 2
1 1 1
33,33 233,33 66,67
0,02 0,11 0,03
0,01 0,01 0,01
0,29 0,29 0,29
0,30 0,39 0,32
7
1
6655
233,33
0,11
0,01
0,29
0,39
221833,33
100,00
4,67
100,00
200,00
96
Lampiran 29. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Herba pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Gelagah Lamuran Wedusan Sunggul putih Teh-tehan
610 1296 276 241 345
13 25 19 10 22
20333,33 43200,00 9200,00 8033,33 11500,00
7,97 16,94 3,61 3,15 4,51
0,17 0,33 0,25 0,13 0,29
4,48 8,62 6,55 3,45 7,59
12,46 25,56 10,16 6,60 12,10
6 7 8 9 10
Kacang-kacangan Allaeophania rugosa Meniran Gebut Resap
3 29 6 818 2287
2 2 3 22 51
100,00 966,67 200,00 27266,67 76233,33
0,04 0,38 0,08 10,69 29,90
0,03 0,03 0,04 0,29 0,68
0,69 0,69 1,03 7,59 17,59
0,73 1,07 1,11 18,28 47,49
11 12 13 14 15
Dekeng Janggelan Edeng-edeng Ilalang Gonostegia hirta
10 1 9 565 282
4 1 2 15 8
333,33 33,33 300,00 18833,33 9400,00
0,13 0,01 0,12 7,39 3,69
0,05 0,01 0,03 0,20 0,11
1,38 0,34 0,69 5,17 2,76
1,51 0,36 0,81 12,56 6,45
16 17 18 19 20
Fimbristylis sp. Pring-pringan Katu-katuan Laosan/Onje Edelweis
25 139 11 30 1
4 8 4 7 1
833,33 4633,33 366,67 1000,00 33,33
0,33 1,82 0,14 0,39 0,01
0,05 0,11 0,05 0,09 0,01
1,38 2,76 1,38 2,41 0,34
1,71 4,58 1,52 2,81 0,36
21 22 23 24
Yeng-yengan Marbena Janda merana Odelia
19 18 62 38
2 5 6 5
633,33 600,00 2066,67 1266,67
0,25 0,24 0,81 0,50
0,03 0,07 0,08 0,07
0,69 1,72 2,07 1,72
0,94 1,96 2,88 2,22
25 26 27 28 29
Karang panas Marningan Ladingan Nona makan sirih Pisang
26 12 41 5 8
5 3 1 1 4
866,67 400,00 1366,67 166,67 266,67
0,34 0,16 0,54 0,07 0,10
0,07 0,04 0,01 0,01 0,05
1,72 1,03 0,34 0,34 1,38
2,06 1,19 0,88 0,41 1,48
30 31 32 33 34
Sereh Godean Pokak Ciplukan Kalak
1 2 3 10 6
1 1 1 3 1
33,33 66,67 100,00 333,33 200,00
0,01 0,03 0,04 0,13 0,08
0,01 0,01 0,01 0,04 0,01
0,34 0,34 0,34 1,03 0,34
0,36 0,37 0,38 1,17 0,42
35 36 37 38 39
Teh-tehan putih Jemedur Pare hutan Teki Meranti/Ranti
1 38 7 1 3
1 1 3 1 2
33,33 1266,67 233,33 33,33 100,00
0,01 0,50 0,09 0,01 0,04
0,01 0,01 0,04 0,01 0,03
0,34 0,34 1,03 0,34 0,69
0,36 0,84 1,13 0,36 0,73
40
Wuluan
364
20
12133,33
4,76
0,27
6,90
11,66
254966,67
100,00
3,87
100,00
200,00
Jumlah
7649
97
Lampiran 30. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Semak Belukar pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Senikir Sikatan Grebes Ruseng Treba
41 171 87 9 89
4 25 9 2 14
1366,67 5700,00 2900,00 300,00 2966,67
10,00 41,71 21,22 2,20 21,71
0,05 0,33 0,12 0,03 0,19
6,78 42,37 15,25 3,39 23,73
16,78 84,08 36,47 5,58 45,44
6 7 8
Genjret Mlaten Kalak
1 7 5
1 2 2
33,33 233,33 166,67
0,24 1,71 1,22
0,01 0,03 0,03
1,69 3,39 3,39
1,94 5,10 4,61
Jumlah
410
13666,67
100,00
0,79
100,00
200,00
Lampiran 31. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Semak Belukar pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3
Senggani putih Senggani Grebes
41 102 177
11 21 33
1366,67 3400,00 5900,00
4,28 10,65 18,48
0,15 0,28 0,44
8,46 16,15 25,38
12,74 26,80 43,86
4 5 6 7
Senikir Treba Ruseng Sikatan
357 120 13 148
21 15 2 27
11900,00 4000,00 433,33 4933,33
37,27 12,53 1,36 15,45
0,28 0,20 0,03 0,36
16,15 11,54 1,54 20,77
53,42 24,06 2,90 36,22
31933,33
100,00
1,73
100,00
200,00
No.
Jumlah
958
Lampiran 32. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Semak Belukar pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2
Sikatan Treba
45 45
13 11
1500,00 1500,00
4,45 4,45
0,17 0,15
12,62 10,68
17,07 15,13
3 4 5 6 7
Genjret Senggani Senikir Grebes Asem-aseman
187 1 294 63 376
29 1 22 10 17
6233,33 33,33 9800,00 2100,00 12533,33
18,50 0,10 29,08 6,23 37,19
0,39 0,01 0,29 0,13 0,23
28,16 0,97 21,36 9,71 16,50
46,65 1,07 50,44 15,94 53,70
33700,00
100,00
1,37
100,00
200,00
Jumlah
1011
98
Lampiran 33. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Semak Belukar pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Senggani putih Senggani Genjret Sikatan Treba
220 22 24 44 67
19 5 15 7 8
7333,33 733,33 4133,33 1466,67 2233,33
19,98 2,00 11,26 4,00 6,09
0,25 0,07 0,20 0,09 0,11
17,12 4,50 13,51 6,31 7,21
37,10 6,50 24,78 10,30 13,29
6 7 8 9 10
Senikir Asem-aseman Grebes Jarak Klintingan
15 196 402 10 1
4 15 30 7 1
500,00 6533,33 13400,00 333,33 33,33
1,36 17,80 36,51 0,91 0,09
0,05 0,20 0,40 0,09 0,01
3,60 13,51 27,03 6,31 0,90
4,97 31,32 63,54 7,21 0,99
36700,00
100,00
1,48
100,00
200,00
No.
Jumlah
1001
Lampiran 34. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pakupakuan pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1
Pakis rambat
1
1
33,33
0,72
0,01
2,63
3,35
2 3
Pakis suplir Pakis
2 136
1 36
66,67 4533,33
1,44 97,84
0,01 0,48
2,63 94,74
4,07 192,58
Jumlah
139
4633,33
100,00
0,51
100,00
200,00
Lampiran 35. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pakupakuan pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No. 1
Nama Jenis Pakis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
805
25
26833,33
100,00
0,33
100,00
200,00
Lampiran 36. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pakupakuan pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No. 1
Nama Jenis Pakis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
32
8
1066,67
100,00
0,11
100,00
200,00
Lampiran 37. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pakupakuan pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No. 1
Nama Jenis Pakis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
205
30
6833,33
100,00
0,40
100,00
200,00
99
Lampiran 38. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
1
2
N (ind) 3
SPC 4
K (ind/ha) 5
KR (%) 6
F
FR (%)
INP (%)
7
8
9
1 2
Aeshynanthus sp. Hoya sp.
8 7
3 3
42,67 37,33
2,92 2,55
0,04 0,04
4,55 4,55
7,47 7,10
3 4 5 6 7
Ficus spp.(sp 2) Smilax spp. (sp 1) Smilax spp. (sp 2) Galing Granggam
9 31 1 8 2
1 4 1 3 1
48,00 165,33 5,33 42,67 10,67
3,28 11,31 0,36 2,92 0,73
0,01 0,05 0,01 0,04 0,01
1,52 6,06 1,52 4,55 1,52
4,80 17,37 1,88 7,47 2,25
8 9 10 11 12
Grunggung Alchemilla villosa Irang Juwet Kerakas
12 33 6 2 1
3 8 1 1 1
64,00 176,00 32,00 10,67 5,33
4,38 12,04 2,19 0,73 0,36
0,04 0,11 0,01 0,01 0,01
4,55 12,12 1,52 1,52 1,52
8,93 24,17 3,70 2,25 1,88
13 14 15 16
Luwing Pacar air Suruh ketir Tebu sawur
1 1 98 53
1 1 13 20
5,33 5,33 522,67 282,67
0,36 0,36 35,77 19,34
0,01 0,01 0,17 0,27
1,52 1,52 19,70 30,30
1,88 1,88 55,46 49,65
17
Trembes
1
1
5,33
0,36
0,01
1,52
1,88
1461,33
100,00
0,88
100,00
200,00
Jumlah
274
Lampiran 39. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No. 1
Nama Jenis Tebu sawur
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
9
4
48,00
100,00
0,05
100,00
200,00
Lampiran 40. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No. 1 2
Nama Jenis Tebu sawur Grunggung Jumlah
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
45 27
12 3
240,00 144,00
62,50 37,50
0,16 0,04
80,00 20,00
142,50 57,50
384,00
100,00
0,20
100,00
200,00
72
Lampiran 41. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat No. 1 2
Nama Jenis Tebu sawur Jowan Jumlah
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
15 1
6 1
80,00 5,33
93,75 6,25
0,08 0,01
85,71 14,29
179,46 20,54
85,33
100,00
0,09
100,00
200,00
16
100
Lampiran 42. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pandan pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No. 1 2
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
3 1
3 1
16,00 5,33
75,00 25,00
0,04 0,01
75,00 25,00
150,00 50,00
21,33
100,00
0,05
100,00
200,00
Pandan Pandan duri Jumlah
4
Lampiran 43. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Pandan pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No. 1
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
5
1
26,67
100,00
0,01
100,00
200,00
Pandan
Lampiran 44. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Palem pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No. 1 2
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 4
1 1
5,33 21,33
20,00 80,00
0,01 0,01
50,00 50,00
70,00 130,00
26,67
100,00
0,03
100,00
200,00
Palem Rotan Jumlah
5
Lampiran 45. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Palem pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No. 1
Nama Jenis Rotan
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1
1
5,33
100,00
0,01
100,00
200,00
Lampiran 46. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana Berkayu pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3 4 5
Perlas Gunggrung Janggetan Riwono Bolu
10 93 91 22 46
3 14 9 5 11
3,33 31,00 30,33 7,33 15,33
2,94 27,35 26,76 6,47 13,53
0,04 0,19 0,12 0,07 0,15
4,62 21,54 13,85 7,69 16,92
7,56 48,89 40,61 14,16 30,45
6 7 8 9 10
Ri kengkeng Tungkul Klurak Petir Cabe hutan
31 44 6 2 2
8 11 2 1 1
10,33 9,00 2,00 0,67 0,67
9,12 7,94 1,76 0,59 0,59
0,11 0,11 0,03 0,01 0,01
12,31 12,31 3,08 1,54 1,54
21,43 20,25 4,84 2,13 2,13
11 12
Muncir Picrasma javanica
1 9
1 2
0,33 3,00
0,29 2,65
0,01 0,03
1,54 3,08
1,83 5,72
113,33
100,00
0,87
100,00
200,00
Jumlah
357
101
Lampiran 47. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Liana Berkayu pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No. 1 2
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
Wali songo Gondo suli
2 1
2 1
0,67 0,33
66,67 33,33
0,03 0,01
66,67 33,33
133,33 66,67
Jumlah
3
1,00
100,00
0,04
100,00
200,00
Nama Jenis
Lampiran 48.
Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Epifit pada Kondisi Hutan Tidak Terbakar
No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2 3
Anggrek-anggrekan Pakis Pakis halus
183 220 112
16 17 4
61,00 73,33 37,33
30,00 36,07 18,36
0,21 0,23 0,05
32,65 34,69 8,16
62,65 70,76 26,52
4 5
Tanduk rusa Simbar
13 82
5 7
4,33 27,33
2,13 13,44
0,07 0,09
10,20 14,29
12,34 27,73
Jumlah
610
203,33
100,00
0,65
100,00
200,00
Lampiran 49. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Epifit pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan No. 1 2
Nama Jenis Simbar Pakis lembut Jumlah
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
6 4
1 1
2,00 1,33
60,00 40,00
0,01 0,01
50,00 50,00
110,00 90,00
3,33
100,00
0,03
100,00
200,00
10
Lampiran 50. Rekapitulasi Hasil Analisis Vegetasi Bentuk Pertumbuhan Epifit pada Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang No.
Nama Jenis
N (ind)
SPC
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
1 2
Bulu krisik Pakis pohon
5 37
1 3
1,67 12,33
7,14 52,86
0,01 0,04
8,33 25,00
15,48 77,86
3 4 5 6 7
Tanduk rusa Jendron jari Simbar Anggrek Pakis halus Jumlah
1 1 6 7 13 70
1 1 3 2 1
0,33 0,33 2,00 2,33 4,33 23,33
1,43 1,43 8,57 10,00 18,57 100,00
0,01 0,01 0,04 0,03 0,01 0,16
8,33 8,33 25,00 16,67 8,33 100,00
9,76 9,76 33,57 26,67 26,90 200,00
102
Lampiran 51. Kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dalam Perdana (2009) Sifat Kimia Tanah
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Bahan Organik Total (%) C-Organik (%) N (%) C/N P-total (ppm)
< 1,00 < 1,00 < 0,10 <5 < 100
1,0 - 2,0 1,0 - 2,0 0,1 - 0,2 5,0 - 10,0 100 - 250
2,01 - 3,00 2,01 - 3,00 0,21 - 0,50 11,0 - 15,0 250 - 1000
3,01 - 5,00 3,01 - 5,00 0,50 - 0,75 16 - 25 1000 - 2000
> 5,00 > 5,00 > 0,75 > 25 > 2000
K-total (me/100g) P-tersedia (ppm) K-tersedia (ppm)
< 100 <4 < 10
100 - 200 5,0 - 7,0 10,0 - 20,0
200 - 800 8,0 - 10 21 - 40
800 - 1600 11 - 15 41 - 60
> 1600 > 15 > 60
Susunan Kation Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g)
<2 < 0,4 < 0,1
2,0 - 5,0 0,4 - 1,0 0,1 - 0,3
6,0 - 10,0 1,1 - 2,0 0,4 - 0,5
11,0 - 20,0 2,1 -8,0 0,6 - 1,0
> 20 > 8,0 > 1,0
Na (me/100g) KTK Kejenuhan basa (%) Kejenuhan Al (%)
< 0,1 <6 < 20 <5
0,1 - 0,3 6,0 - 16,0 20 - 35 5,0 - 20,0
0,4 - 0,7 17,0 - 24,0 36 - 50 21 - 30
0,8 - 1,0 25 - 40 51 - 70 31 - 60
> 1,0 > 40 > 70 > 60
Kekurangan < 50 < 20
Fe (ppm) Mn (ppm) pH (H2O)
Sangat masam < 4,5
Masam 4,5 - 5,5
Kelas Kebutuhan Unsur Cukup 50 – 250 20 - 500 Agak masam 5,6 - 6,5
Keracunan > 500 Netral 6,6 - 7,5
Agak alkalis 7,6 - 8,5
Alkalis > 8,5
103
Lampiran 52. Foto-foto Penelitian
(a)
(b)
104
(c)
(d) Keterangan : (a) Kondisi Hutan Tidak Terbakar (b) Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Berat (c) Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Sedang (d) Kondisi Hutan dengan Tingkat Kebakaran Ringan
105
Lampiran 53. Peta Lokasi Penelitian pada Kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo Malang