STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
ADIE WICAKSONO
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
ADIE WICAKSONO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2009
Adie Wicaksono E14204071
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
Nama Mahasiswa NIM
: Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah : Adie Wicaksono : E14204071
Menyetujui : Pembimbing,
(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS) NIP 130 536 674
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
(Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr.) NIP 131 578 788
Tanggal Lulus :
Composition and Forest Structure of Logged Over Area using The Selective Cutting and Strip Planting (TPTJ) Silvyculture System in IUPHHK PT. Erna Djualiwati, Central Kalimantan By : Adie Wicaksono and Andry Indrawan
INTRODUCTION. The application of selective cutting and strip planting (TPTJ) as one of silviculture system is predicted to cause a lot of changes in structure and composition stand. This is related to the limit of commercial cut tree diameter which has to be more than 40 cm and with activity in form of the making of 3 meters wide of clear path for planting strip. The research objectives are : to get information about development of forest production area by observing its composition and forest structure using TPTJ system, as well as to get information about the effect of forest yield harvesting by TPTJ silviculture system on gap opening and residual stands. METHODS. The research conducted at three different forest conditions, were : primary forest, logged over area 0 years after logged (Et+0 forest) and primary forest which is newly done stripped. The method is using line transecht sampling by 100 m x 100 m. In that plot there are sub-plots, sub-plot of tree by 25 m x 20 m (22 m x 20 m after stripping), sub-plot of pole by 10 m x 10 m, sub-plot of sapling by 5 m x 5 m and sub-plot of seedling by 2 m x 2 m. RESULT AND DISCUSSION. The result showed that species composition at forest after logged lower almost in all vegetation leve (seedling, sapling, pole and tree). Forest after stripped showed that average of all vegetation level was increasing. It becaused of difference observed plot in the forest and also a part of LOA in 2007. The activity harvesting of commercial species at silviculture system of selective cutting and strip planting (TPTJ) causes land openness 30,83 to 46,20%. The effects of the application of selective cutting and strip planting (TPTJ) on soil physical and chemical properties include the increase of bulk density, the decrease of soil permeability, the decrease of the value of water availability from primary forest condition down to the condition of post pathmaking, the decrease of soil pH and cation exchange capacity (KTK). The applicatin of selective cutting and strip planting (TPTJ) in IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan on primary forest instigates changes in the composition and structure of stands as well as in some physical and chemical properties of soil.
Keywords : Structure, Composition, Silviculture system, TPTJ
Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah Oleh : Adie Wicaksono dan Andry Indrawan
PENDAHULUAN. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) diperkirakan dapat menyebabkan perubahan yang cukup besar pada struktur dan komposisi tegakan. Hal ini berkaitan dengan limit diameter pohon komersial yang ditebang dan adanya pembukaan jalur tanam selebar 3 meter. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur dan komposisi tegakan pada sistem TPTJ dan untuk mengetahui seberapa besar dampak kegiatan pemanenan hasil hutan kayu dengan Sistem Silvikultur TPTJ terhadap keterbukaan tajuk dan lahan serta tegakan tinggal. METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada tiga kondisi hutan, yaitu hutan primer, hutan setelah penebangan (Et+0) dan hutan setelah penjaluran. Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak dengan ukuran 100 m X 100 m. Dalam plot pengamatan dibuat sub petak, untuk tingkat pohon 25 m X 20 m (22 m X 20 m setelah dilakukan kegiatan penjaluran), tingkat tiang 10 m X 10 m, tingkat pancang 5 m X 5 m dan tingkat semai 2 m X 2 m. HASIL DAN KESIMPULAN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis pada hutan setelah dilakukan penebangan mengalami penurunan pada semua tingkat vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon). Lain halnya dengan hutan setelah dilakukan penjaluran, rata-rata tingkat vegetasi (semai, pancang, tiang dan pohon) mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena pada hutan setelah penjaluran tidak tetap dan merupakan hutan bekas tebangan tahun 2007. Tingkat keterbukaan lahan dari kegiatan pemanenan jenis-jenis komersial pada sistem (TPTJ) mencapai 30,83 sampai 46,20%. Pengaruh pelaksanaan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap sifat fisik dan kimia tanah, antara lain terjadi peningkatan kerapatan limbak, penurunan sifat permeabilitas tanah, penurunan nilai air tersedia dari kondisi hutan primer sampai pada hutan setelah penjaluran, penurunan nilai pH tanah dan kapasitas tukar kation (KTK). Pelaksanaan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) pada areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah pada hutan primer menyebabkan perubahan terhadap komposisi dan struktur tegakan serta beberapa perubahan pada sifat fisik dan kimia tanah.
Kata Kunci : Struktur, Komposisi, Sistem silvikultur, TPTJ
KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya karena penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dengan diperolehnya data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan produksi berkaitan dengan kegiatan pemungutan hasil kayu pada areal Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan dapat digunakan dalam mengevaluasi kegiatan pemanenan yang selama ini dilakukan di areal hutan produksi. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor, Maret 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 15 Februari 1985 dari pasangan Bapak Wahyudi dan Ibu Setiowati, merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri I Sukosari dan lulus tahun 1997 kemudian pada tahun 2000 menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri I Bondowoso dan pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri II Bondowoso. Pada tahun berikutnya penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pada
tahun 2007, penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur dan Getas. Selain itu penulis aktif menjadi asisten Mata Kuliah Ekologi Hutan. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang dilanjutkan dengan penelitian di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah selama empat bulan dari Februari sampai Juni 2008. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (LAWALATA-IPB) dan Tree Grower
Comunity
Fakultas
Kehutanan
(TGC-KEHUTANAN),
ketua
Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam se-Bogor tahun 2007. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul ” Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah ” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusun skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah ikut mendukung dan memberi bantuan baik moral, materiil maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya 2. Papa dan mama yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan materi, serta adikku satu-satunya (Hendro) yang telah membantu dalam pencarian literatur. 3. Prof. Dr. Ir Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta nasehat-nasehat selama penelitian hingga penulisan skripsi. 4. Dosen penguji Dr. Ir. Ervizal A.M Zuhud, MS dan Ir. Jajang Suryana, Msi yang telah memberikan masukkan demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini. 5. Keluarga besar PT. Erna Djuliawati, Bapak Suparto, Bapak Agus, Bapak Indra, Bapak Edward, Bapak Tedy, Bapak Faisol, Bapak Aspin, Bapak Nixon, Bapak Amin, Bapak Dayat, Bapak Efendi, Bapak Fauzi, Mbak Rike, Bapak Royadi, Bapak Kamto, Bang Saroga, Paulus, Ogol, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. 6. My soul (THP ’42) yang telah setia menemani dalam suka dan duka, nasehat, dukungan dan masukkannya hingga skripsi ini selesai. 5. Imeodz, terima kasih banyak ya? Ngak tau nie klo ngak ada kmu apa jadinya. 6. Keluarga Besar Budidaya Hutan 41 atas tawa, canda, kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini tanpa terkecuali mulai dari absen pertama hingga terakhir. 9. Teman-teman LAWALATA-IPB yang telah memberikan semangat. 7. Keluarga besar Laboratorium Ekologi Hutan, Bapak Istomo, Bapak Cecep, Bapak Iwan, Bapak Yadi, Ibu Yani, Bapak Waluyo, Mas Yopi, Bibi Era, teman-teman satu naungan Laboratorium Ekologi Hutan, kakak-kakak kelas Laboratorium Ekologi Hutan. 8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. i DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika ................................................................ 4 2.2 Dinamika Masyarakat Tumbuhan ............................................. 7 2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal dan Keterbukaan Lahan ................ 11 2.4 Stratifikasi ................................................................................ 13 2.5 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) ................. 15 BAB III KONDISI UMUM PENELITIAN 3.1 Kondisi Fisik dan Administrasi ................................................ 18 3.2 Topografi dan Kelerengan ........................................................ 18 3.3 Geologi dan Tanah ................................................................... 19 3.4 Hidrologi ................................................................................. 19 3.5 Iklim dan Intensitas Hujan ........................................................ 20 3.6 Flora dan Fauna ....................................................................... 20 BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 21 4.2 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 21 4.3 Metode Pengambilan Data ....................................................... 22 4.3.1 Analisis Vegetasi.......................................................... 22 4.3.2
Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon ........................................... 24
4.3.3
Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu ....................................................... 24
4.3.4 Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ....... 25
4.3.5 Stratfifikasi Tajuk ....................................................... 25 4.3.6 Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah ................... 26 4.4 Analisis Data ............................................................................ 28 4.4.1 Analisis Vegetasi.......................................................... 28 4.4.2
Analisis Data Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon ............................................ 31
4.4.3
Analisis Data Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu ........................................................ 31
4.4.4 Analisis Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ............... 31 4.4.5 Pengukuran Sifat Fisika Tanah ..................................... 32
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur dan Komposisi Tegakan ............................................. 33 5.1.1 Struktur Tegakan ........................................................... 33 5.1.2 Komposisi Jenis ............................................................ 34 5.2 Kerusakan Tegakan Tinggal ..................................................... 52 5.2.1
Dampak Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon ......................................................................... 52
5.2.2
Dampak Kerusakan Tegakan Akibat
Kegiatan
Pemanenan ................................................................. 54 5.3 Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ........................................ 56 5.4 Sifat Fisik dan Kimia Tanah ..................................................... 57 5.4.1 Sifat Fisik Tanah ........................................................... 57 5.4.2 Sifat Kimia Tanah ......................................................... 59 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 65 6.2 Saran ....................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67 LAMPIRAN ................................................................................................... 71
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Tahapan Kegiatan TPTJ .......................................................................... 16
2.
Perbandingan antara konsep TPTJ dan praktek aktual perusahaan ........... 17
3.
Kelas lereng dan topografi areal konsesi PT. Erna Djuliawati ................. 19
4.
Kerapatan pada berbagai kelas kelerengan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ............................ 33
5.
Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ............................................... 34
6.
Kerapatan jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................ 35
7.
Frekuensi jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................ 37
8.
Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................ 40
9.
Indeks Nilai Penting (INP) kelompok jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ..... 44
10.
Indeks Keragaman Shannon – Wiener yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjalurann ... 46
11.
Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ............... 48
12.
Indeks Kemerataan (E) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ........................... 49
13.
Indeks Kesamaan Komunitas yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ........................... 50
14.
Nilai kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon ........................... 53
15.
Nilai persentase kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon berdasarkan tingkat kerusakannya ........................................................... 54
16.
Nilai persentase kerusakan tegakan akibat pemanenan pada berbagai kelerengan .............................................................................................. 55
17.
Keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran ............................................................................................... 56
18.
Pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................................... 58
19.
Pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................ 59
20.
Analisis kimia unsur hara pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran ................................................................... 60
21.
Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan analisis kimia tanah ....... 61
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Bagan petak pengamatan analisis vegetasi ............................................... 23
2.
Plot pengamatan stratifikasi tajuk ............................................................ 26
3.
Titik pengambilan contoh tanah individu ................................................ 27
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Daftar nama jenis pohon di plot pengamatan ............................................ 71
2.
Daftar nama jenis pohon di PT. Erna Djuliawati ...................................... 74
3.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 0 – 15% ................................................. 77
4.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 0 – 15% .................................. 80
5.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 0 – 15% ................................ 82
6.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 15 – 25% ................................................ 84
7.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 15 – 25% ................................ 86
8.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 15 – 25% .............................. 88
9.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 25 – 45% ............................................... 91
10.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 25 – 45% ................................ 93
11.
Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 25 – 45% .............................. 95
12.
Gambar kegiatan penebangan dan penyaradan di IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah ............................................................... 97
13.
Gambar jalur tanam (3 meter) di areal konsesi IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah ................................................................. 98
14.
Peta areal konsesi IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah .... 99
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropika yang memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Keberadaan kawasan hutan ini merupakan aset nasional yang harus terus dikelola dan dikembangkan ke arah yang lebih baik, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk pengembangan dan pengelolaan ini dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan sekaligus penerapan berbagai sistem silvikultur dengan teknik permudaan alam maupun buatan. Sebab dengan vegetasi hutan Indonesia yang beragam tipenya tidak dapat diterapkan satu sistem silvikultur saja untuk seluruh areal. Untuk memilih sistem silvikultur yang dipakai, khususnya pada hutan tropika basah dataran rendah harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu keadaan hutan (struktur, komposisi, sifat silvik, produktivitas), pengetahuan profesional rimbawan, keadaan pasar dan kemampuan pembiayaan. Pemanenan kayu merupakan suatu kegiatan produksi dimana kayu bulat dan hasil hutan lainnya sebagai hasilnya. Pemanenan hasil hutan betapapun hati-hatinya dilaksanakan, namun kerusakan terhadap vegetasi dan tanah yang timbul tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan lingkungan di luar hutan. Indonesia terletak di kawasan tropis, dengan cahaya matahari dan curah hujan tinggi merata sepanjang tahun sehingga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya keanekaragaman hayati terutama yang berada di kawasan hutan. Bahkan sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik dan beragam (Forest Watch Indonesia, 2003). Hutan Indonesia sebagai suatu ekosistem alam yang keberadaanya memiliki arti yang sangat penting bagi manusia baik karena fungsi ekologis
maupun ekonomisnya telah berangsur-angsur terdegradasi secara mengejutkan selama beberapa dekade belakangan ini. Menurut WALHI (2004) diketahui bahwa fakta menunjukan tiap tahun kita kehilangan tutupan hutan seluas 3,8 juta hektar akibat penebangan destruktif, kehilangan tutupan hutan ini telah terjadi sejak awal tahun 1990-an. Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari pemerintah terutama Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1998), Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang
meliputi
penebangan, permudaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Beberapa Sistem Silvikultur yang pernah diperkenalkan dan diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT. Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Indonesia telah melakukan kegiatan pemanenan hutan selama lebih dari dua puluh tahun. Gangguan yang timbul dengan adanya aktivitas tersebut akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan. Hal ini disebabkan karena karakteristik hutan hujan tropis yang telah lama berada pada kondisi lingkungan yang konstan sehingga ketika terjadi gangguan atau perubahan maka akan sangat rentan terhadap kerusakan.
1.2 Tujuan Penelitian 1. Mempelajari struktur dan komposisi tegakan pada areal bekas tebangan dan kegiatan penjaluran dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) yang dilakukan di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati. 2. Mempelajari seberapa besar dampak kegiatan pemanenan hasil hutan kayu dan kegiatan penjaluran dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Hujan Tropika 2.1.1 Batasan Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan lingkungan di luar hutan. Hutan hujan tropika menurut Daniel et. al. (1979) adalah bentuk hutan yang paling tinggi perkembangannya dan paling kompleks diantara semua formasi hutan. Hutan ini ialah hutan daun lebar yang selalu hijau dengan proporsi yang besar dengan kerapatan yang tinggi dan relatif sempit penyebarannya dibandingkan dengan perkiraan umum. Hutan hujan tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengadung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat efifit (Schimper, 1903 dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efifit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di sekitar wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (sekitar 25 – 26 oC) dan seragam dengan kelembaban rata-rata sekitar 80 %. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata 30 meter (Ewusie 1980). Hutan hujan merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya; cahaya kurang, kelembaban yang lebih tinggi dengan suhu yang rendah (Whitmore, 1984).
Hutan hujan tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 2002) : 1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4000 m dml) 4. Dapat dibedakan menjadi 3 zona menurut ketinggiannya:
Hutan hujan bawah
2 – 1000 m dpl
Hutan hujan tengah
1000 – 3000 m dpl
Hutan hujan atas
3000 – 4000 m dpl
5. -
Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpacea antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles.
-
Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari
suku-suku
Lauraceae, Fagaceae, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae dan lain-lain. -
Hutan hujan atas, jenis kayu utama terdiri dari suku Coniferae, Ericaceae, dan lain-lain.
6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.
2.1.2 Komponen Penyusun Berdasarkan komponen penyusunnya hutan hujan tropika meliputi (Ewusie, 1980) : 1. Komponen abiotik yang terdiri dari a. Suhu Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 200 C dan 280 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu berkurang 0,4-0,7 0C.
b. Curah hujan Hutan hujan tropika menerima curah hujan berlimpah sekitar 20003000 mm dalam setahunnya. c. Kelembaban atmosfer Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. d. Angin Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam. e. Cahaya Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam di manapun di wilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut di atas, karena derajat keberawanan yang tinggi. f. Karbondioksida Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersamasama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2. Komponen biotik Komponen dasar hutan hujan tropika adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, efifit, pencekik, saprofit, dan parasit.
2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke dalam 3 zona vegetasi, yaitu: a) Zona barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae. b) Zona timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae. c) Zona peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu Pulau Jawa dan Sulawesi, terdiri dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis tegas dari penyebaran vegetasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropika di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Irian.
2.2 Dinamika Masyarakat Tumbuhan 2.2.1 Definisi Suksesi Mehra dan Khanna (1976) mendefinisikan suksesi sebagai suatu proses universal dari perkembangan komunitas. Suksesi selalu memulai pertumbuhannya pada area yang terbuka. Beberapa area tersebut kemungkinan primer atau sekunder. Area primer adalah suatu tempat dimana sebelumnya tidak terdapat kehidupan suatu jenis tanaman pun (seperti bebatuan, pasir, dan air). Sedangkan area sekunder adalah suatu tempat dimana terdapat kehidupan tanaman tetapi musnah karena satu atau lebih faktor. Menurut Odum (1959), suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas yang merupakan urutan pergantian komunitas satu dengan yang lainnya pada satu area yang ada. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyebutkan bahwa masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi
terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhtumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan pada keadaan kesetimbangan.
2.2.2 Proses Suksesi Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terestrial dimulai dengan terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton dan Wolf, 1973). Menurut Shukla dan Chandel (1977), evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah : a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah. b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya. c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecesis individuindividu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers. d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi).
e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. f.
Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap.
g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan. h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan. i.
Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya Whitmore (1984) membagi siklus pertumbuhan hutan atas tiga tingkatan,
yaitu fase rumpang, fase perkembangan, dan fase pendewasaan, dimana secara bersama-sama membentuk mosaik yang terus menerus mengalami perubahan keadaan dan bentuk. Di daerah Amerika Tengah, Budowski (1965) dalam Longman dan Jenik (1992) menyatakan empat tahap yang terjadi pada suksesi hutan tropis, yaitu : tingkat pionir, tingkat sekunder awal, tingkat sekunder akhir dan klimaks. Jenisjenis yang terdapat pada dua tingkat pertama memiliki penyebaran yang luas dan kemunculannya dalam hutan tropis tertentu tetap pada jumlah yang besar. Jenisjenis yang berada pada tingkat sekunder akhir mencapai ukuran tertentu dan di Afrika setidaknya sering terdapat pada kondisi formasi hutan yang agak lebih kering daripada hutan yang beregenerasi itu sendiri. Akhirnya pada tingkat klimaks, tercapainya keseimbangan komunitas.
2.2.3 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Menurut Richard (1966), fase pertama dari proses suksesi di hutan hujan tropis adalah didominasi oleh rerumputan, yang biasanya berumur pendek dan tidak lebih dari satu tahun. Fase selanjutnya didominasi oleh semak, tetapi dominansi biasanya terjadi hampir secara langsung dari bentuk tanaman rerumputan ke bentuk pohon. Kemudian lambat laun berkembang sebuah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon berumur pendek, cepat tumbuh dan tersebar melalui angin dan hewan. Lebih lanjut lagi kondisi ini secara perlahanlahan berubah dan berkembang menjadi suatu komunitas yang klimaks. Beberapa spesies toleran memiliki kapasitas untuk menginvasi areal hutan pada awal proses suksesi berlangsung. Sementara pohon toleran yang lain karena kemungkinan siklus hidupnya yang pendek ataupun ketidakmampuannya mencapai tingkat overstorey dan bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ada, kemungkinan tidak pernah menjadi bagian besar dari akhir suatu suksesi hutan (Spurr dan Burton, 1980). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) suatu suksesi primer diawali oleh permukaan ”tanah” telanjang kemudian berkembang vegetasi Cryptogamae, rumput herba dan semak kecil, vegetasi semak belukar, vegetasi perdu pohon dan akhirnya terbentuklah vegetasi klimaks hutan. Whitten et al. (1984) menyatakan bahwa perubahan dalam komposisi jenis selama suksesi mungkin disebabkan oleh perbedaan persediaan zat hara dari biji, persaingan antara mahkota atau perakaran tumbuhan, ataupun oleh adanya bahan kimia pada satu tumbuhan untuk melemahkan tumbuhan lain (alelopati).
2.2.4 Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi Perkembangan komunitas di daratan ataupun di perairan merupakan suatu proses, yang mana pada fase awal hanya terdapat jenis tumbuhan berumur pendek dalam jumlah yang sedikit. Seiring berjalannya waktu tumbuhan-tumbuhan tersebut meningkat jumlahnya dan mengubah komponen abiotik, terutama tanah dan iklim mikro. Perubahan lingkungan ini kemungkinan sesuai untuk pertumbuhan dan pembentukan beberapa jenis lainnya yang lebih tinggi yang menginvasi areal tersebut dan mencari lingkungan yang sesuai untuk
perkembangannya kemudian menjadi bagian dari komunitas yang ada (Misra, 1980). Ewusie (1980) menyatakan bahwa pada waktu tutupan hutan dihilangkan, segera terjadilah perubahan dalam intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Tatanan iklim mikro hutan asli hilang. Berdasarkan kenyataan bahwa tanahnya kemudian terkena hujan dan matahari secara langsung, terjadilah penurunan kualitas tanah, yang mengakibatkan pengikisan dan kehilangan humus dengan cepat. Indrawan (2000) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan tetapi proses ini sebagian terjadi juga pada musim kering. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Disamping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah sedang.
2.3 Kerusakan Tegakan Tinggal dan Keterbukaan Lahan Pemanenan merupakan serangkaian kegiatan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan dengan biaya yang ekonomis dan kerusakan lingkungan yang minimum (Budiaman, 2003). Sedangkan menurut Suparto (1979) dalam Kurniawan (2003) pemanenan hasil hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan dan kebudayaan masyarakat. 2.3.1 Kerusakan Tegakan Tinggal Kerusakan karena pembalakan terhadap tegakan tinggal disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan, kemudian dilanjutkan oleh kegiatan penyaradan atau bahkan kegiatan penjaluran. Kerusakan ringan mungkin hanya menyebabkan cacat kecil pada kayu. Namun kerusakan dengan menimbulkan luka besar pada
bagian batang akan menjadi lubang masuknya jamur yang menyebabkan kayu tidak dapat lagi digunakan pada rotasi tebang berikutnya (Sutisna, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukendar (1999) kerusakan yang paling banyak terjadi akibat penebangan dan penyaradan adalah pohon roboh sebanyak 75 pohon atau sebesar 29,64 % yang terdiri dari akibat penebangan 24 pohon dan akibat penyaradan 25 pohon. Mengacu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), pohon digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1993) : 1) Tajuk pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon atau dahan besar patah. 2) Luka batang mencapai kayu berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. 3) Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak. Menurut Sukendar (1999) berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi pada individu pohon, maka dapat ditetapkan tingkat kerusakan yang terjadi sebagai berikut : 1) Tingkat kerusakan berat : a. Patah batang b. Pecah batang c. Roboh, tumbang atau miring membentuk sudut < 45 0 dengan tanah d. Rusak tajuk > 50 % e. Luka batang atau rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon f. Rusak banir atau akar lebih dari setengah banir 2) Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk : 30 – 50 % b. Luka batang atau rusak kulit : ¼ - ½ banir c. Rusak banir atau akar : 1/3 – 1/2 banir/akar rusak atau terpotong d. Condong atau miring : membentuk sudut > 45 0 dengan tanah 3) Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk < 30 % b. Luka batang atau kulit rusak < 1/4 keliling pohon dan panjang luka < 1,5m c. Rusak banir atau akar : < 1/4 banir atau perakaran terpotong
Faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas penebangan, teknik penebangan dan penentuan arah rebah, sebaran pohon tebangan (diameter 40 cm Up) jenis komersial, tanaman perambat yang melilit dan sistem pemanenan (Kurniawan, 2003).
2.3.2 Keterbukaan Lahan Keterbukaan areal hutan disebabkan oleh akibat penebangan yang merupakan luasan wilayah yang terbuka akibat hempasan pohon roboh dan keterbukaan areal akibat penyaradan yang merupakan luasan wilayah yang terbuka akibat pembuatan jalan sarad (Kurniawan, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triyana (1995) di HPH PT. Industries et Forests Asiatiques, Jambi kegiatan pemanenan kayu akan mengakibatkan keterbukaan pada areal hutan. Besarnya keterbukaan lahan akibat penebangan sebesar 5,25 % yang disebabkan dari 13 batang pohon yang ditebang, sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan sebesar 30,98 % dari seluruh areal penebangan.
2.4 Stratifikasi Didalam masyarakat tumbuh-tumbuhan, seperti hutan, terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (spesies) atau berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hal hara mineral, air, cahaya dan ruang. Hutan hujan tropika terkenal karena adanya stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tidak sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri dari pepohonan setinggi 30- 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18-27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8-14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang terakhir
adalah lapisan terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna (Ewusie 1990). Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) daripada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Stratifikasi
tajuk
dalam
hutan
hujan
misalnya
sebagai
berikut
(Soerianegara dan Indrawan 1988) : a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m ke atas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak. b. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran). c. Stratum C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang. Di samping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu : a. Stratum D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 meter. b. Stratum E : Lapisan
tumbuh-tumbuhan
tingginya 0-1 meter.
penutup
tanah
(ground
cover),
2.5 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Departemen Kehutanan (1993) mengatakan bahwa sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah, topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur uji coba yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan HTI. HTI menggunakan tebang habis, sementara TPTJ menyisakan hutan alam diantara jalur tanam. Pembukaan tutupan hutan terjadi pada jalur bersih selebar 3 meter yang berada di tengah jalur tanam selebar 10 meter yang bebas dari naungan pohon. Di antara jalur tanam disisakan hutan alam selebar 25 meter yang ditebang dengan batas diameter 40 cm ke atas (Departemen Kehutanan, 1998). Tujuan dari sistem TPTJ adalah agar kegiatan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara intensif dengan melakukan kegiatan-kegiatan silvikultur melalui sistem jalur sehingga pembinaan dan pengawasan hutan lebih terjamin, sedangkan sasarannya adalah (Departemen Kehutanan, 1998) : a. Mengatur pemanfaatan kayu yang optimal pada hutan alam produksi. b. Meningkatkan potensi hutan baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan dengan cara menanam jenis komersil terutama dari jenis Dipterocarpaceae yang diharapkan dapat menjamin kontinuitas produksi. c. Memudahkan pelaksanaan pemeriksaan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan pembinaan hutan yang dilaksanakan di lapangan. Pada dasarnya penerapan sistem silvikultur TPTJ adalah untuk mengantisipasi menurunnya potensi tegakan per satuan hektar pada rotasi kedua pengusahaan hutan sekaligus menerapkan fungsi rehabilitasi atas seluruh areal bekas tebangan di dalam areal kerja HPH yang bersangkutan. Dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ ini dikhususkan pada daerah yang bertopografi bergelombang hingga berbukit (umumnya HPT), diperlukan kehati-hatian ekstra guna menghindari dampak sampingan yang mungkin ditimbulkan, seperti bahaya
erosi, tanah longsor, dll. Bahkan untuk areal-areal HPH dengan karakteristik topografi yang demikian perlu dipertimbangkan layak tidaknya penerapan sistem silvikultur TPTJ, sama halnya dengan kondisi pada hutan rawa (Departemen Kehutanan, 1998). Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan TPTJ beserta tata waktu pelaksanaannya yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan kegiatan TPTJ No
Tahapan Kegiatan TPTI
1 Penataan Areal Kerja dan Risalah 2 Pembukaan Wilayah Hutan 3 Pengadaan bibit 4 Penebangan 5 Penyiapan Jalur Bersih 6 Penanaman 7 Pemeliharaan tanaman 8 Perlindungan tanaman Keterangan : Et adalah simbol tahun penebangan Sumber Departemen Kehutanan, 1999
Waktu Pelaksanaan (dalam tahun) Et - 2 Et - 1 Et - 1 Et Et Et Et + 1 Terus menerus
Sebagai sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) menetapkan rotasi penebangan 35 tahun, dengan batas diameter ≥ 40 cm. Jumlah pohon inti yang harus diamankan dan dirawat minimal 25 batang per ha yang harus tersebar merata dan berdiameter 20 - 39 cm. Selain itu, harus dilindungi jenis-jenis pohon yang dilindungi pemerintah (Departemen Kehutanan, 1998). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mulai diterapkan di PT. Erna Djuliawati pada tahun 1998/1999. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) merupakan modifikasi dari sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Terdapat dua aspek yang sangat mendasar dalam modifikasi sistem silvikultur ini yaitu sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mengurangi diameter minimum tebangan hingga 40 cm dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mensyaratkan penanaman jalur yang sistematis di seluruh areal yang ditebang (Buku SOP PT. Erna Djuliawati, 2007). Pada tahun 1998/99 perusahaan bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan dalam melaksanakan uji coba seluas 1000 hektar untuk menguji sistem TPTJ. Hasil dari pembalakan
hingga batas diameter 40 cm menyebabkan kerusakan parah pada tegangan tinggal. Laporan LITBANG sendiri meragukan viabilitas sistem TPTJ jika diadopsi begitu saja. Kunjungan lapangan ke areal uji coba tersebut menegaskan derajat kerusakan yang disebabkan oleh pelaksanakan sistem TPTJ. Berdasar hasil ujicoba dan pengamatan mereka sendiri, perusahaan memutuskan untuk memodifikasi sistem TPTJ. Tabel 2 menggambarkan ringkasan modifikasi dibandingkan dengan konsep awal sebagaimana yang diwajibkan dalam dokumen SK mereka (Buku SOP PT. Erna Djuliawati, 2007). Tabel 2.
Perbandingan antara konsep TPTJ dan praktek aktualnya oleh perusahaan No Konsep Awal TPTJ Modifikasi Perusahaan 1 Dimaksudkan untuk diterapkan Juga diaplikasikan pada hutan pada hutan sekunder (bekas primer tebangan) 2 TPTJ diterapkan pada kelerengan Perusahaan menunjuk kawasan yang kurang dari 25 % dan elevasi untuk ditebang dengan yang kurang dari 500 meter menggunakan TPTI dan TPTJ berdasarkan penilaian topografi yang menyeluruh 3 Batas diameter tebangan adalah 40 Perusahaan mencoba batas 40 cm cm Up Up ini pada tahun pertama pelaksanaan tetapi mengabaikannya dan menetapkan batas diameter 55 cm Up, setelah mengevaluasi dampak pada uji coba LITBANG 4 Jalur yang dibuat setiap 25 m Dilaksanakan sebagaimana aturan dibersihkan hingga lebarnya 3 m dan ditanami dengan jarak tanam 5 m 5 Pembersihan gulma pada jalur Sedang dilaksanakan tanam selebar 3 m setelah 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun 6 Pembebasan vertikal dalam jalur Masih terlalu awal, namun selebar 5 m yang masuk pada jalur perusahaan menyatakan bahwa tanam pada tahun ke 4, 6 dan 10 mereka tidak bermaksud untuk menjalankan kegiatan ini. Pemeriksaan lapangan memverifikasi bahwa perlakuan seperti ini tidak dapat dilakukan Sumber : Buku SOP PT. Erna Djuliawati, 2007
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
PT. Erna Djuliawati merupakan salah satu perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Kalimantan Tengah, Kabupaten Seruyan, Kecamatan Seruyan Hulu. Menurut ijin pengelolaan hutan terbaru yang diterbitkan pada tahun 1999 (SK HPH Pembaharuan No.15/KptsIV/1999), luas total kawasan konsesi adalah 184,206 ha. Perusahaan membagi kawasan ini menjadi dua site yaitu site A di bagian Timur, dan site B di bagian Barat, yang mengikuti arah tangkapan dari sistem sungai yang mengalir melewati areal konsesi. Sejak awal 1999, perusahaan telah menebang kira-kira 24,562 hektar lagi hutan primer hingga akhir tahun 2003 dengan rata-rata tebangannya seluas 4400 ha/tahun. Hingga 1 Januari 2004 ini, berarti masih ada 20 tahun lagi untuk memanfaatkan hutan alam (Sumber : Buku SOP PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.1 Kondisi Fisik dan Administrasi Secara geografis areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada 00052’30’’ – 01022’30’’ LS dan 111030’00’’ – 112007’30’’ BT dengan luas areal konsesi 184.206 Ha. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk kelompok hutan S. Salau dan S. Seruyan dan merupakan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Seruyan, Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan dan Katingan Propinsi Kalimantan Tengah (Sumber : Buku SOP PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.2
Topografi dan Kelerengan Areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada ketinggian antara 111-1.082
m dpl dengan topografi berkisar antara datar dan berbukit dan kelerengan mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Secara umum pengelompokan kelas kelerengan dapat dilihat berdasarkan Laporan Pemotretan Udara, Penataan Garis
Bentuk, Pemetaan vegetasi dan Pemeriksaan Areal Kerja PT. Erna Djuliawati yang dilaksanakan oleh APHI / PT. Mapindo Parama bulan November 1997. Hasil penafsiran kelas kelerengan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kelas Lereng dan Topografi Areal Konsesi PT. Erna Djuliawati Luas Kelas Kemiringan (%) Topogafi Lereng Ha (%) A 0–8 Datar 43.247 23,48 B 8 – 15 Landai 60.880 33,05 C 15 – 25 Agak Curam 49.009 26,61 D 25 – 40 Curam 28.998 15,74 E > 40 Sangat Curam 2.072 1,12 184.206 100,00 Jumlah Sumber : Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna Djuliawati skala 1: 50.000
3.3
Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 :
1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1994, fomasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmatit benua dengan luas 173.246 Ha (94,05%) dan batuan alas kerak benua dengan luas 10.960 Ha (5,95%). Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980) antara lain Latosol (44%) dan Podsolik Merah Kuning (56%) (Sumber : Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, 1994).
3.4
Hidrologi Areal kerja PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS),
yaitu DAS Salau 4.922 ha, DAS Seruyan 84.721 ha, DAS Kaleh 8.836 ha, DAS Manjul 74.655 ha dan DAS Salau Hulu 11.072 ha. Adapun sungaisungai besar yang mengalir melalui areal konsesi adalah S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau (Sumber : Pengukuran Lapangan tahun 2007 PT. Erna Djuliawati).
3.5
Iklim dan Intensitas Hujan Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari
Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe A dan sebagian tipe B. Mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan Departemen Pembinaan Hutan selama 10 tahun (1997-2007), dapat diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.303,7 mm dengan rataan jumlah hari hujan 162 hari atau dengan intensitas hujan sekitar 19,9 mm (Sumber : Data Curah Hujan dari Stasiun Pengamatan Departemen Pembinaan Hutan PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.6
Flora dan Fauna Diperkirakan bahwa 7.000 hingga 10.000 spesies tanaman terdapat dalam
hutan dataran rendah di Kalimantan, yang membuatnya kaya flora dibanding dengan seluruh Afrika (Mac Kinnon et al 1993). Hutan tersebut memiliki 3 strata dengan kanopi hingga 45 m dan tinggi pohon-pohonnya bisa mencapai 65 m. Sesuai dengan namanya, pohon-pohon keluarga Dipterocarpaceae mendominasi hutan Dipterocarp dataran rendah. Pohon-pohon berkanopi besar ini memiliki kerapatan yang tinggi. Hutan tersebut terdiri dari 10% pohon-pohon dan 80% pohon-pohon tinggi dengan kanopi besar (Mac Kinnon et al 1993). Jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara lain meranti merah (Shorea leprosula Miq.), meranti putih (Shorea lamellate V.SI.), meranti kuning (Shorea acuminatissima Sym.), bengkirai (Shorea leavifolia Endert.), rengas (Gluta renghas L.), kapur (Dryobalanops beccarii Dyer.), geronggang (Cratoxylon spp.), dan sebagainya. Sedangkan untuk jenis satwa yang ada di kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati antara lain orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarcatos malayanus), lutung (Presbitus cristata), trenggiling (Manis javanica), babi hutan (Sus barbatus), kijang (Mantiacus muntjak), biawak (Varanus spp.), ular sawa (Phyton sp.), dsb (Sumber : Data Inventarisasi Flora dan Fauna Departemen Pembinaan Hutan PT. Erna Djuliawati, 2007).
IV. METODOLOGI
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai 18 April sampai dengan 18 Juni 2008, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan : 1. Hutan primer yang belum dilakukan kegiatan penebangan. 2. Hutan yang baru saja dilakukan kegiatan pemanenan (Et + 0) 3. Hutan setelah penebangan dan pembuatan jalur tanam Alat alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah : 1.
Peta kerja
2.
Phiband atau pita diameter
3.
Haga hypsometer
4.
Kompas brunton
5.
Patok
6.
Tali rafia atau tambang
7.
Buku pengenal vegetasi
8.
Golok
9.
Milimeter blok
10. Tally sheet 13. Ring tanah 14. Cat 15. Alat tulis
4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1 Analisa Vegetasi Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisa vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Analisa vegetasi dilakukan pada tiga keadaan hutan yaitu hutan primer yang akan dilakukan kegiatan penebangan, hutan yang baru saja dilakukan penebangan, dan hutan yang telah dilakukan penebangan dan telah dibuat jalur tanam pada lokasi yang sama dengan berbagai kelerengan yaitu datar (0-15 %), landai (15-25 %), dan sedang (25-45 %). Dengan demikian berdasarkan pengamatan tersebut dapat diketahui komposisi tegakan sebelum dan sesudah dilakukan penebangan menyangkut perubahan dan kerusakannya. Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlah. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga buah petak pengamatan dengan ukuran petak 100 X 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut : 1. Tingkat pohon dengan ukuran petak 25 x 20 m sebelum penanaman dan setelah penanaman 22 x 20 m. 2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m 3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 x 5 m 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 x 2 m Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan suksesi dipergunakan kriteria sebagai berikut : 1. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. 2. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm. 3. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai 20 cm. 4. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.
Jalur tanam lebar 3 m
100 m
mm 2020
22 m
20 m
100 m
ABC D
22 m
Keterangan : A
= Sub petak intensif untuk tingkat semai (2 m x 2 m)
B
= Sub petak intensif untuk tingkat pancang (5 m x 5 m)
C
= Sub petak intensif untuk tingkat tiang (10 m x 10 m)
D
= Sub petak intensif untuk tingkat pohon sebelum penebangan ukuran sub petak 25 m x 20 m dan setelah penebangan ukuran sub petak 22 m x 20 m
Gambar 1. Bagan petak pengamatan analisis vegetasi
4.3.2 Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu pohon Pengambilan data dilakukan pada hutan yang baru ditebang. Metode yang digunakan nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Pohon yang ditebang yaitu yang berdiameter 40 cm ke atas. Analisa kerusakan tegakan akibat penebangan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan terjadinya kerusakan pada pohon non-target. Data yang diperlukan di dalam analisa kerusakan akibat penebangan satu pohon adalah: a. Jumlah pohon yang rusak dirinci menurut kelas diameter (10-19 cm, 20-29 cm, 30-39 cm). b. Bentuk kerusakan : patah, kulit batang terkelupas, tajuk rusak, perakaran atau banir rusak, roboh dan condong. c. Persentasi kerusakan, dihitung berdasarkan antara jumlah pohon yang rusak dibagi dengan pengurangan dari jumlah pohon sebelum dilakukan penebangan kayu dikurangi jumlah pohon yang ditebang.
4.3.3 Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu meliputi kerusakan akibat kegiatan penebangan dan kerusakan akibat penyaradan. Pengambilan data kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama kegiatan yang dilakukan adalah inventarisasi jenis, dan jumlah pohon serta penandaan dan penomoran pohon. Pada tahap kedua yaitu kegiatan yang telah dilakukan kegiatan pemanenan kayu, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan pohon-pohon yang telah diinventarisasi. Pada kegiatan ini ditentukan jumlah dan jenis pohon yang seharusnya tinggal telah dihilangkan akibat kegiatan penebangan dan akibat kegiatan penyaradan.
Data yang diperlukan di dalam analisa kerusakan akibat kegiatan pemanenan kayu adalah : a. Tajuk pohon rusak lebih dari 30 % atau cabang pohon patah. b. Luka batang mencapai ukuran lebih dari ¼ keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak.
4.3.4 Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Analisa keterbukaan lahan bekas tebangan dilakukan pada keadaan hutan yang baru saja dilakukan pemanenan kayu. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui
seberapa
besar
pengaruh kegiatan pemanenan kayu dapat
menimbulkan keterbukaan lahan. Keterbukaan lahan akibat pembukaan lahan dapat diketahui dengan cara mengukur jumlah areal-areal yang terbuka akibat penebangan pohon dalam luasan satu hektar. Cara pengambilan data keterbukaan lahan ini dengan cara pengamatan dan pengukuran luas areal yang terbuka akibat penebangan pada petak pengamatan ukuran 100 x 100 m. Keterbukaan jalan sarad dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad dalam satu hektar, kemudian ditentukan luas jalan sarad tersebut, yang merupakan keterbukaan lahan akibat jalan sarad. Keterbukaan lahan akibat penebangan ditentukan berdasarkan penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat penebangan. Selanjutnya perhitungan luas keterbukaan lahan per hektar dengan cara menjumlahkan keterbukaan lahan akibat penebangan dan penyaradan.
4.3.5 Stratifikasi Tajuk Metode yang digunakan untuk stratifikasi tajuk adalah metode diagram profil tajuk, yaitu dengan memproyeksikan dalam bentuk diagram hubungan antara tinggi pohon dengan panjang plot pengamatan. Plot pengamatan untuk masing-masing lokasi penelitian berukuran 10 x 100 m. Stratifikasi tajuk dilakukan pada ketiga keadaan hutan yaitu hutan primer, hutan yang baru
dilakukan pemanenan kayu, dan hutan yang sudah dilakukan penebangan dan pembuatan jalur. Kegiatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
10 m
10 m 100 m
Gambar 2. Plot pengamatan stratifikasi tajuk Data yang diperlukan dari jalur (plot) pengamatan untuk gambaran stratifikasi tajuk secara vertikal ini meliputi pengukuran diameter setinggi dada atau 20 cm di atas banir untuk pohon yang berbanir. Tinggi pohon total, tinggi cabang pertama, tinggi cabang kedua dan seterusnya sampai percabangan masih terlihat jelas, ketinggian tempat dan kelerengan. Sedangkan untuk proyeksi horizontalnya (tampak atas) dibuat dengan menentukan koordinat pohon pada sumbu jalur dan memproyeksikan lebar tajuk yang diambil dari empat titik terluar dari tajuk dan ditentukan azimuthnya dari pangkal pohon yang diukur, yaitu dengan bantuan orang lain yang berdiri pada titik terluar tajuk tersebut. Kemiringan lereng hutan diukur dengan menggunakan kompas brunton untuk penggambaran tajuk secara vertikal.
4.3.6 Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah Pengukuran kepadatan tanah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kegiatan pemanenan terutama yang disebabkan oleh penyaradan. Pegukuran dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Pada jalan sarad dan areal hutan yang belum ditebang sebagai kontrol. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara sistematik yaitu pada kedua sisi dan bagian tengah jalan sarad dan selang 10 m ke arah memanjang jalan sarad. Penentuan sifat fisika tanah yaitu dengan melakukan pengambilan contoh tanah baik yang utuh (tidak terusik) maupun yang tidak utuh (terusik). Pengambilan contoh tanah untuk penentuan sifat fisika tanah ini dilakukan di areal hutan yang belum ditebang dan yang sudah ditebang. Adapun sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air
contoh tanah. Untuk mengetahui tekstur tanah dapat dilakukan dengan pengambilan contoh tanah terusik. Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut : a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop. c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. d. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah. e. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. f.
Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan.
g. Tabung ditutup dengan tutup plastik. Untuk menganalisa sifat kimia tanah (pH tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro), diambil contoh tanah terusik dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut : 1. Tentukan tempat atau titik pengambilan contoh tanah individu, dengan cara : (1) sistematik, seperti sistem diagonal atau zig-zag, atau (2) acak
Gambar 3. Titik pengambilan contoh tanah individu
2. Pengambilan contoh tanah pada: areal 1 datar (low land), areal 2 miring, areal 3 datar terpisah (upland) 3. Bersihkan permukaan tanah dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah. 4.
Cangkul tanah tersebut sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Apabila menggunakan bor tanah (auger atau tabung), maka pada setiap titik pengambilan dibor sedalam 20 cm.
5. Campur dan aduk contoh tanah individu tersebut (10-15 contoh) dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (ini merupakan contoh tanah komposit). 6. Beri label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah. Pengambilan contoh tanah komposit ini dilakukan secara sistematik (zigzag) sebanyak tiga titik. Berat contoh tanah yang diambil adalah 250 gram dari setiap petak pengamatan.
4.4 Analisis Data 4.4.1 Analisis Vegetasi 4.4.1.1 Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR) dan Frekuensi Relatif (FR) (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel KR
= Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis
Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel DR
= Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis
Frekuensi
= Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot
FR
= Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis
INP = KR + FR + DR
4.4.1.2 Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon - Wiener (Ludwig & Reynold, 1988). s n n H' - i ln i N i 1 N
dimana : H’ = Indeks Keragaman Shannon - Wiener ni = Jumlah Jenis ke-n N = Total Jumlah Jenis Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,0 sampai 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) mendekati 3,5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi.
4.4.1.3 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef Indeks Margallef dapat digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis di suatu areal (Ludwig & Reynold, 1988).
R1
S -1 ln (N)
dimana : R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan
jenis tergolong rendah, R1 = 3,5 - 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi apabila > 5,0.
4.4.1.4 Indeks Kemerataan Jenis Indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan oleh para ekologis menurut (Ludwig & Reynold, 1988).
E
H' ln (S)
dimana : E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis 4.4.1.5 Koefisien Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut (Costing, 1956; Bray dan Curtis, 1957; Greigh-Smith, 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988) : 2W C (IS) = a+b dimana : C(IS) = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas W
= Jumlah nilai yang sama atau terendah ( ≤ ) dari dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a
= Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
b
= Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua
Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS.
4.4.2 Analisa Data Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon Kerusakan pohon akibat penebangan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat penebangan dengan hasil pengurangan antara jumlah pohon sebelum penebangan dan jumlah pohon yang dipanen dalam satu petak contoh (Tim Peneliti PAU-Ilmu Hayat IPB. 1994).
R Kp dimana : Kp R
=
x 100% P-1 = Kerusakan pohon akibat penebangan satu pohon = Jumlah
pohon
yang
mengalami
kerusakan
akibat
penebangan satu pohon P
= Jumlah pohon sebelum penebangan di plot pengamatan
Perhitungan persentase kerusakan pohon akibat penebangan dirinci menurut kelas diameternya.
4.4.3 Analisa Data Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak atau hilang akibat kegiatan pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan) dengan jumlah pohon sebelum penebangan dikurangi jumlah pohon yang ditebang (Tim Peneliti PAU-Ilmu Hayat IPB. 1994). R Ks
=
x 100 % P–n
Dimana :
Ks
= Persentase kerusakan akibat kegiatan pemanenan kayu
R
= Jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu
P
= Jumlah pohon sebelum penebangan
n
= Jumlah pohon yang ditebang
4.4.4 Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Persen keterbukaan lahan akibat penebangan atau penyaradan dihitung berdasarkan perbandingan antra luas lahan yang terbuka akibat kegiatan penebangan atau penyaradan dengan luas petak pengamatan. (Tim Peneliti PAUIlmu Hayat IPB. 1994). L K
=
x 100% 2
10000 m
dimana :
K = Persentase keterbukaan lahan akibat penebangan atau penyaradan L = Luas lahan terbuka akibat penebangan atau penyaradan
Keterbukaan lahan per hektar dapat ditentukan dari hasil penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan dan keterbukaan lahan akibat kegiatan penyaradan.
4.4.5 Pengukuran Sifat Fisika Tanah Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan dalam g/cc. Penetapan berat isi tanah ditentukkan dengan rumus (Departemen Pertanian, 1979) : Berat isi tanah keadaan lapang (g/cc) = a – c Vd Berat isi tanah keadaan kering oven (g/cc) = b – c Vd Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus : = (a – c) – (b – c ) (b – c) = Berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven
Kandungan air Dimana : a b
= Berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven
c
= Berat tabung (ring tanah)
Vd
= Volume tabung (bagian dalam)
Pengukuran ruang pori tanah menggunakan rumus : Ruang pori total
= Volume tanah utuh – volume jarah tanah x 100% Volume tanah utuh
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Struktur dan Komposisi Tegakan
5.1.1. Struktur Tegakan Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Struktur tegakan pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran berdasarkan tingkat kerapatan pada klas diameter di berbagai klas kelerengan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Kerapatan pada berbagai kelas kelerengan pada kondisi hutan hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran Kerapatan Kondisi hutan Kelerengan 20-29 30-39 40-49 50-59 0-15 134.67 82.67 23.67 9.33 Hutan Primer 15-25 155.00 91.00 25.00 7.00 25-45 84.00 66.67 31.00 11.67 0-15 77.33 48.67 13.67 4.00 Hutan Setelah Penebangan 15-25 93.33 53.33 14.67 3.67 25-45 57.67 44.33 18.33 7.67 0-15 94.70 49.62 17.05 7.20 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 97.35 41.29 18.56 8.71 25-45 78.41 32.95 11.74 4.92
primer,
60 Up 20.67 19.67 14.67 9.67 5.67 7.67 5.30 4.17 4.92
Berdasarkan Tabel 4, kerapatan pohon dilihat berdasarkan pembagian klas diameter yaitu 20-29 cm, 30-39 cm, 40-49 cm, 50-59 cm dan 60 Up cm. Pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dengan diameter 20-29 cm kerapatan terbesar terdapat pada hutan primer dengan kelerengan 15-25% sebesar 155,00 dan terkecil terdapat pada hutan setelah penebangan dengan kelerengan 25-45% sebesar 57,67. Pada diameter 30-39 cm kerapatan terbesar terdapat pada hutan primer dengan kelerengan 15-25% sebesar 91,00 dan terkecil terdapat pada hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-
45% sebesar 32,95. Pada diameter 40-49 cm kerapatan terbesar terdapat pada hutan primer dengan kelerengan 25-45% sebesar 31,00 dan terkecil terdapat pada hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-45% sebesar 11,74. Pada diameter 50-59 cm kerapatan terbesar terdapat pada hutan primer dengan kelerengan 2545% sebesar 11,67 dan terkecil terdapat pada hutan setelah penebangan dengan kelerengan 15-25% sebesar 3,67 dan pada diameter 60 Up cm kerapatan terbesar terdapat pada hutan primer dengan kelerengan 15-25% sebesar 20,67 dan terkecil terdapat pada hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 15-25% sebesar 4,17. Dapat disimpulkan bahwa dari ketiga kondisi hutan tersebut masih didominasi oleh pohon-pohon yang mempunyai diameter kecil yaitu 20-29 cm.
5.1.2. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang telah terganggu. Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Tabel 5. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Jumlah jenis Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 39 44 46 67 Hutan Primer 15-25 38 46 51 59 25-45 41 43 44 58 0-15 31 32 45 66 Hutan Setelah Penebangan 15-25 28 38 42 53 25-45 35 35 40 53 0-15 43 46 42 38 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 43 48 58 62 25-45 40 44 46 38 Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5, pada kondisi hutan primer pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 67 jenis, sedangkan pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 59 jenis dan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 58 jenis.
Pada kondisi hutan setelah penebangan mengalami penurunan jumlah jenis yang hampir merata pada setiap tingkat vegetasi di setiap tingkat kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pancang di kelerengan 015% yaitu sebanyak 12 jenis. Penurunan jenis tersebut diakibatkan adanya kegiatan pemanenan, penyaradan dan pembersihan lahan sebelum penebangan. Pada kondisi hutan setelah penjaluran mengalami penurunan jumlah jenis pada tingkat pohon di kelerengan 0-15% sebanyak 28 jenis dan kelerengan 2545% sebanyak 15 jenis, pada tingkat tiang di kelerengan 0-15% sebanyak 5 jenis. Sedangkan pada tingkat semai dan pancang mengalami kenaikan di semua kelerengan. Kenaikan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat semai di kelerengan 15-25% yaitu sebanyak 15 jenis. Sedangkan kenaikan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pancang di kelerengan 0-15% yaitu sebanyak 14 jenis. Kenaikan jenis tersebut diakibatkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2007 yang dilakukan penjaluran pada tahun 2008, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga memacu pertumbuhan semai dan pancang di dalam hutan.
5.1.2.1 Kerapatan dan Frekuensi Jenis Kerapatan tegakan pohon per hektar dapat digunakan untuk menganalisis apakah tegakan pada hutan tersebut sudah pulih terutama untuk jenis komersial yang akan ditebang pada daur berikutnya. Tabel 6. Kerapatan jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Kerapatan Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 20375.00 3413.33 1436.67 271.00 Hutan Primer 15-25 19916.67 3440.00 1235.00 297.67 25-45 23416.67 3440.00 631.67 208.00 0-15 9083.33 1660.00 836.67 153.33 Hutan Setelah Penebangan 15-25 7000.00 1633.33 691.67 170.67 25-45 13250.00 2093.33 413.33 135.67 0-15 26625.00 4093.33 615.00 173.86 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 28250.00 4473.33 856.67 170.08 25-45 30333.33 5180.00 708.33 132.95
Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan. Dari Tabel 6 dapat dilihat nilai kerapatan antara kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan secara umum mengalami penurunan untuk masing-masing pada tingkatan vegetasi di setiap kelerengan. Penurunan kerapatan terbesar untuk hutan setelah penebangan pada tingkat semai terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 12916.67, pada tingkat pancang terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 1806.67, pada tingkat tiang terjadi di kelerengan 0-15% sebesar 600.00 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 127.00. Penurunan yang besar pada tingkat vegetasi semai dan pancang disebabkan karena rusak tertimpa oleh pohon yang ditebang dan penyaradan serta penyiapan daerah pengaman untuk kegiatan penebangan. Sedangkan untuk hutan setelah penjaluran penurunan kerapatan terbesar terjadi di tingkat tiang pada kelerengan 0-15% sebesar 221.67 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 25-45% sebesar 2.71. Untuk tingkat semai dan tingkat pancang terjadi peningkatan pada semua kelerengan, hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2007 yang dilakukan penjaluran pada tahun 2008, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga telah terjadi pertumbuhan semai dan pancang di dalam hutan yang akan meningkatkan nilai kerapatan. Mengacu pada pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang, 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 batang/hektar untuk tingkat pohon jenis komersial dan sehat yang tersebar merata (Departemen Kehutanan, 1993).
Sehingga kondisi hutan dengan sistem
silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah memenuhi syarat. Sedangkan untuk perubahan frekuensi pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan frekuensi jenis pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Frekuensi jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Tingkat vegetasi Kondisi hutan Kelerengan Kelompok kayu Semai Pancang Tiang Pohon DL 0,00 0,59 0,19 0,66 KD 83,45 75,73 80,38 79,80 0-15 KTD 16,55 23,68 19,42 19,54 DL 0,82 0,00 0,00 0,82 Hutan primer KD 88,52 80,42 84,13 83,69 15-25 KTD 10,66 19,58 15,87 15,50 DL 3,49 3,41 1,00 2,48 KD 81,59 72,44 75,00 75,68 25-45 KTD 14,92 24,15 24,00 21,85 DL 0,00 0,98 0,29 1,05 KD 87,71 79,02 81,10 78,68 0-15 KTD 12,29 20,00 18,60 20,26 DL 0,00 0,00 0,00 0,98 Hutan setelah KD 92,25 79,03 82,20 83,09 15-25 pebangan KTD 7,75 20,97 17,80 15,93 DL 2,46 3,11 0,96 2,30 KD 82,27 76,00 74,16 75,08 25-45 KTD 15,27 20,89 24,88 22,62 DL 1,83 1,23 0,00 1,08 KD 76,66 72,95 80,37 87,05 0-15 KTD 21,51 25,82 19,63 11,87 DL 2,79 1,93 0,00 0,93 Hutan setelah KD 74,46 79,15 78,04 78,64 15-25 penjaluran KTD 22,75 18,92 21,96 20,43 DL 1,71 1,52 0,30 1,07 KD 79,06 76,85 75,00 77,94 25-45 KTD 19,23 21,63 24,70 21,00 Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak ditebang Berdasarkan Tabel 7 frekuensi jenis pada hutan setelah tebangan pada kelerengan datar (0-15%) di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan. Pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 4,26, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 3,68, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,82 dan pada tingkat pohon penurunan yang terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang sebesar 1,12.
Pada kelerengan sedang (15-25%) di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang 2,91, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,39, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 1,93 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,6. Pada kelerengan curam (25-45%) penurunan pada berbagai tingkat vegetasi juga terjadi akibat adanya kegiatan pemanenan, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 1,03, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 0,3, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,04 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,18. Pada kelerengan curam ini juga terjadi penurunan frekuensi pada kelompok kayu komersial ditebang pada tingkat vegetasi tiang sebesar 0,84 dan pada tingkat vegetasi pohon terjadi penurunan sebesar 0,6. Sedangkan frekuensi jenis pada hutan setelah penjaluran pada kelerengan datar (0-15%) di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 11,05, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 6,07, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,73 dan pada tingkat pohon penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 8,39. Pada kelerengan sedang (15-25%) di berbagai tingkat vegetasi mengalami penurunan akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 17,79, pada tingkat pancang penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 2,05, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 4,16 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 4,45. Pada kelerengan curam (25-45%) penurunan pada berbagai tingkat vegetasi juga terjadi akibat adanya kegiatan pemanenan dan pembersihaan jalur tanam selebar 3 meter, pada kondisi hutan ini sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu
komersial ditebang sebesar 3,21, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,59, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,66 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 1,23.
5.1.2.2 Dominansi Jenis Dominanasi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis yang paling berperan dalam suatu komunitas di suatu areal hutan. Jenis yang mendominasi pada suatu komunitas dapat diketahui melalui besarnya Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut, di mana jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang tinggi dari jenis lainnya. Menurut Indrawan (2000), nilai indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada banyak jenis (beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas itu dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi berikut daftar lima tingkat jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dari seluruh jenis yang ditemukan pada plot pengamatan yang merupakan perubahan dari kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
Semai Shorea leprosula
Polyalthia laterifolia 0-15
Hutan Primer
15-25
Eugenia sp. Litsea spp. Hopea dyeri Eugenia sp. Litsea spp. Shorea leprosula
Polyalthia laterifolia Shorea ovalis Litsea spp.
Polyalthia laterifolia 25-45
Eugenia sp. Shorea leprosula Shorea laevifolia
Polyalthia laterifolia 0-15 Hutan Setelah penebangan 15-25
Shorea leprosula Eugenia sp. Litsea spp. Mangifera macrocarpa Litsea spp. Eugenia sp. Shorea leprosula
Polyalthia laterifolia Vatica resak
INP 28.53 27.89 22.97 15.02 11.17 27.79 27.11 22.01 14.07 9.52 26.69 19.49 18.40 15.18 11.45 34.19 29.10 28.09 22.84 9.62 43.15 22.47 21.28 16.08 9.10
Jenis-jenis Dominan Pancang INP Tiang Polyalthia laterifolia 27.42 Polyalthia laterifolia Eugenia sp. 23.81 Eugenia sp. Litsea spp. 19.02 Nephelium lappaceum Mangifera macrocarpa 11.32 Canarium denticulatum Nephelium lappaceum 10.05 Litsea spp. Litsea spp. 26.19 Eugenia sp. Eugenia sp. 24.45 Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum 15.38 Pithecelobium sp. Polyalthia laterifolia 14.79 Litsea spp. Shorea leprosula 10.19 Canarium denticulatum Eugenia sp. 26.96 Litsea spp. Litsea spp. 25.30 Shorea leprosula Polyalthia laterifolia 19.84 Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum 14.17 Eugenia sp. Eusideroxylon zwageri 12.26 Nephelium lappaceum Polyalthia laterifolia 30.78 Polyalthia laterifolia Litsea spp. 29.58 Eugenia sp. Eugenia sp. 28.12 Nephelium lappaceum Nephelium lappaceum 12.37 Canarium denticulatum Shorea leprosula 11.39 Shorea leprosula Eugenia sp. 34.90 Eugenia sp. Litsea spp. 21.64 Polyalthia laterifolia Polyalthia laterifolia 20.55 Litsea spp. Nephelium lappaceum 16.89 Pithecelobium sp. Myristica iners 10.14 Myristica iners
INP 66.31 25.71 21.03 18.96 14.87 39.73 36.75 28.59 25.39 18.37 29.43 23.39 23.36 21.45 19.48 68.79 29.92 24.62 14.31 13.82 41.15 31.47 26.11 25.08 15.89
Pohon Shorea leprosula Litsea spp.
Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum
Eugenia sp. Shorea leprosula
Eugenia sp. Litsea spp.
Polyalthia laterifolia Pithecelobium sp. Diospyros malam Shorea leprosula
Eugenia sp. Litsea spp. Vatica resak
Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum Shorea leprosula Litsea spp.
Eugenia sp. Eugenia sp. Litsea spp. Shorea leprosula
Polyalthia laterifolia Vatica resak
INP 25.87 22.15 20.16 19.56 19.02 31.77 29.60 25.44 15.56 14.60 31.32 28.85 25.26 20.84 13.62 21.51 21.28 18.43 18.20 18.03 31.85 28.17 21.89 17.90 15.74
Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
Hutan Setelah Penebangan
25-45
Semai Litsea spp.
Polyalthia laterifolia Eugenia sp. Shorea leprosula Shorea laevifolia Shorea leprosula
0-15
Litsea spp. Eugenia sp. Eusideroxylon zwageri
Polyalthia laterifolia Hutan Setelah Penjaluran
Shorea leprosula 15-25
Litsea spp. Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum
Eugenia sp. Shorea leprosula 25-45
Litsea spp. Polyalthia laterifolia Shorea sp. Elateriospermum tapos
INP 27.77 27.14 16.55 15.84 10.23 22.79 19.39 15.44 12.97 11.88 20.21 20.03 14.72 14.03 13.72 22.37 14.64 12.81 10.33 9.94
Jenis-jenis Dominan INP Tiang 29.19 Litsea spp. Eugenia sp. 26.14 Shorea leprosula Polyalthia laterifolia 22.32 Eugenia sp. Nephelium lappaceum 13.48 Polyalthia laterifolia Eusideroxylon zwageri 10.75 Nephelium lappaceum Litsea spp. 16.63 Shorea leprosula Shorea leprosula 15.02 Eugenia sp. Eusideroxylon zwageri 13.28 Litsea spp. Eugenia sp. 11.03 Vatica resak Elateriospermum tapos 10.79 Polyalthia laterifolia Litsea spp. 19.01 Polyalthia laterifolia Polyalthia laterifolia 13.46 Shorea leprosula Eugenia sp. 12.35 Eugenia sp. Myristica iners 10.88 Nephelium lappaceum Gluta renghas 10.17 Lansium domesticum Polyalthia laterifolia 14.16 Polyalthia laterifolia Eusideroxylon zwageri 13.97 Litsea spp. Gluta renghas 12.88 Shorea leprosula Litsea spp. 12.37 Eugenia sp. Arthocarpus sp. 11.55 Nephelium lappaceum Pancang Litsea spp.
INP 31.09 30.93 24.13 20.49 18.54 51.19 36.95 28.16 27.39 25.80 45.22 34.26 30.83 19.51 16.68 41.26 30.62 26.69 19.59 18.51
Pohon Diospyros malam Shorea leprosula
Eugenia sp. Litsea spp. Eusideroxylon zwageri Shorea leprosula
Eugenia sp. Litsea spp. Vatica resak Dipterocarpus gracilis
Eugenia sp. Shorea leprosula
Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum
Litsea spp. Eugenia sp. Shorea leprosula
Litsea spp. Vatica resak
Polyalthia laterifolia
INP 33.96 29.84 28.88 21.27 14.68 57.83 55.33 40.18 25.61 20.08 58.81 40.41 25.45 20.36 12.80 52.10 34.31 29.92 20.51 17.99
Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat dilihat jenis yang mendominasi dari famili Dipterocarpaceae adalah lempung (Shorea leprosula)
dan jenis yang
mendominasi dari famili non Dipterocarpaceae adalah medang (Litsea spp.), kayu arang (Diospyros malam), jambu-jambu (Eugenia sp.) dan benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan banyaknya jenis yang mendominasi pada setiap tingkatan jenis untuk masing-masing kelerengan bervariasi. Pada kondisi hutan primer di tingkat semai kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 28,53%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 27,42%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 66,31% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 25,87%. Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 27,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 39,73% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 31,77%. Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,69%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 26,96%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,43% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 31,32%. Untuk kondisi hutan setelah penebangan, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi mengalami perubahan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 34,13%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 30,78%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 68,79% dan untuk tingkat pohon adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 21,51%. Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 43,15%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 34,90%, untuk tingkat tiang
adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 41,15% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 31,35%. Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 27,77%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 31,09% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 33,96%. Sama halnya dengan hutan setelah penebangan, untuk kondisi hutan setelah penjaluran, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi mengalami perubahan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 22,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 16,63%, untuk tingkat tiang adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 51,19% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 57,83%. Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 20,21%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 19,01%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 45,22% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 58,81%. Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 22,37%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 14,16%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 41,26% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 52,10%.Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis yang mendominasi pada kondisi hutan ini adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia).
5.1.2.3 Indeks Nilai Penting (INP) Sedangkan untuk nilai Indeks Nilai Penting (INP) berbagai tingkat jenis pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9.
Nilai Indeks Penting (INP) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Tingkat vegetasi Kondisi hutan Kelerengan Kelompok kayu Semai Pancang Tiang Pohon DL 0,00 1,17 0,48 3,87 0-15 KD 170,36 155,81 248,28 242,62 KTD 29,64 43,02 51,23 53,51 DL 1,87 0,00 0,00 2,32 Hutan primer 15-25 KD 181,83 163,36 260,93 259,91 KTD 16,30 36,64 39,07 37,77 DL 6,52 5,93 2,71 10,91 25-45 KD 168,06 148,61 225,48 231,31 KTD 25,42 45,47 71,81 57,78 DL 0,00 2,18 0,78 7,04 0-15 KD 174,87 159,75 247,33 233,46 KTD 25,13 38,07 51,89 59,49 Hutan setelah DL 0,00 0,00 0,00 3,59 pebangan 15-25 KD 185,71 159,85 251,81 252,33 KTD 14,29 40,15 48,19 44,08 DL 4,35 5,66 2,72 6,55 25-45 KD 169,06 154,66 226,42 227,84 KTD 26,59 39,68 70,86 65,61 DL 3,87 2,37 0,00 3,83 0-15 KD 156,16 146,73 248,18 267,45 KTD 39,98 50,90 51,82 28,72 Hutan setelah DL 6,62 5,06 0,00 6,42 penjaluran 15-25 KD 149,39 158,29 235,73 241,28 KTD 43,99 36,65 64,27 52,29 DL 3,08 3,06 0,83 4,61 25-45 KD 159,69 154,20 230,50 238,11 KTD 37,23 42,74 68,67 57,29 Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak ditebang Dari Tabel 9 dapat di lihat Indeks Nilai Penting (INP) pada hutan setelah tebangan pada kelerengan datar (0-15%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang (tingkat vegetasi tiang dan pohon) dan kayu komersial tidak ditebang (tingkat vegetasi semai dan pancang) sebagai adanya kegiatan pemanenan. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 4,51, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 4,95, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,95 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 9,16. Pada kelerengan sedang (15-
25%) hutan setelah tebangan sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 2,01, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 3,51, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 9,12 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 7,58. Pada kelerengan curam (25-45%) hutan setelah tebangan sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 2,17, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 0,27, pada tingkat tiang penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak di tebang sebesar 0,95 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 4,36. Pada kelerengan curam ini juga terjadi penurunan INP pada kelompok kayu komersial ditebang pada tingkat vegetasi pohon sebesar 3,47 dan pada tingkat vegetasi pancang terjadi penurunan pada kelompok kayu komersial tidak di tebang sebesar 5,79. Sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) pada hutan setelah penjaluran pada kelerengan datar (0-15%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang (tingkat vegetasi semai dan pancang) dan kayu komersial tidak di tebang (tingkat vegetasi tiang dan pohon). Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 18,71, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 13,02, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,07 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 30,77. Pada kelerengan datar penurunan INP juga terjadi pada kelompok kayu dilindungi tingkat vegetasi pohon sebesar 3,66. Pada kelerengan sedang (15-25%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 36,32, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,56, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 16,08 dan tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,46. Pada kelerengan sedang penurunan INP juga terjadi pada kelompok kayu komersial tidak di tebang tingkat vegetasi pancang sebesar 3,50. Pada kelerengan curam (25-45%) penurunan INP terjadi pada berbagai kelompok kayu. Pada tingkat vegetasi semai kelompok kayu komersial ditebang mengalami penurunan sebesar 9,37 dan kelompok kayu jenis lain mengalami penurunan sebesar 1,27, pada tingkat vegetasi pancang kelompok kayu komersial ditebang mengalami penurunan sebesar 0,46 dan kelompok kayu dilindungi mengalami penurunan sebesar 2,60, pada tingkat vegetasi tiang kelompok kayu dilindungi mengalami
penurunan sebesar 1,89 dan kelompok kayu komersial tidak ditebang mengalami penurunan sebesar 2,19, pada tingkat vegetasi pohon kelompok kayu komersial tidak di tebang mengalami penurunan sebesar 8,23 dan kelompok kayu dilindungi mengalami penurunan sebesar 1,94. Menurut Nevada (2007), besarnya nilai INP suatu jenis memperlihatkan peranan suatu jenis dalam komunitas. Suatu jenis yang memiliki nilai INP lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya menandakan bahwa suatu jenis pada komunitas tersebut dikatakan mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Hal ini disebabkan jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis lain yang ada dalam komunitas tersebut.
5.1.2.4 Keanekaragaman Jenis Tingkat keanekaragaman jenis di suatu tempat atau hutan dapat ditentukan menggunakan
indeks
keanekaragaman
Shannon-Wiener
(H’).
Indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat keanekaragaman disuatu tempat atau hutan dimana nilainya ditentukan oleh kelimpahan jenis dan kemerataannya. Indeks keanekaragaman jenis merupakan parameter untuk mempelajari gangguan biotik, mengetahui tingkat suksesi atau kestabilan suatu ekosistem, serta merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas. Tabel 10.
Indeks Keragaman Shannon-Wiener yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Indeks Keragaman Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 2,91 3,09 2,92 3,52 Hutan Primer 15-25 2,94 3,19 2,99 3,35 25-45 3,06 3,05 3,22 3,29 0-15 2,78 2,87 2,92 3,63 Hutan Setelah Penebangan 15-25 2,81 3,00 3,04 3,37 25-45 2,99 2,98 3,16 3,23 0-15 3,24 3,37 2,88 2,48 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 3,20 3,44 3,20 3,06 25-45 3,23 3,34 3,06 2,93
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat nilai Indeks Keragaman ShannonWiener pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar pada tingkat semai terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 3,24 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 2,78, pada tingkat pancang nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 3,44 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 2,87, pada tingkat tiang nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan curam (2545%) di hutan primer yaitu sebesar 3,22 dan terendah pada kelerengan datar (015%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 2,88 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 3,63 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 2,48. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menunjukkan nilai lebih dari 2,00. Hal ini berarti pada ketiga kondisi hutan tersebut menunjukkan adanya tingkat keragaman yang tinggi dan tidak adanya suatu jenis yang mendominasi di ketiga hutan tersebut. Apabila mengacu pada Magurran (1988), tingkat keragaman di hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran pada umumnya menunjukkan tingkat keragaman yang sedang dimana nilainya berada pada selang antara 1,5 sampai 3,5. Tingkat keragaman yang tinggi terdapat pada tingkat vegetasi pohon di hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) yaitu sebesar 3,52 dan hutan setelah dilakukan penebangan dengan kelerengan datar (0-15%) yaitu sebesar 3,63. Sedangkan parameter yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis, dimana untuk menentukan kekayaan jenis pada suatu ekosistem menggunakan indeks kekayaan Margallef (R1). Indeks kekayaan Margallef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas,
dimana besarnya indeks kekayaan Margallef nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi pada areal tersebut. Tabel 11.
Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Indeks Kekayaan Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 6,14 6,89 6,66 9,85 Hutan Primer 15-25 6,00 7,20 7,26 8,54 25-45 6,32 6,72 7,24 8,86 0-15 5,57 5,62 7,08 10,60 Hutan Setelah Penebangan 15-25 5,27 6,73 6,80 8,34 25-45 5,90 5,91 7,07 8,65 0-15 6,50 7,01 6,94 6,04 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 6,44 7,22 9,13 9,99 25-45 5,92 6,46 7,44 6,31 Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat nilai Indeks kekayaan Margallef (R1)
pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa pada tingkat semai nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 6,50 dan terendah pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 5,27, pada tingkat pancang nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 7,22 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 5,62, pada tingkat tiang nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 9,13 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 6,66 dan pada tingkat pohon nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 10,60 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 6,04. Selain kekayaan jenis yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas, kemerataan juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas. Kemerataan dapat diketahui dengan menghitung indeks kemerataan (E). Indeks
kemerataan merupakan indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal hutan. Semakin besar nilai indeks kemerataan (E) maka komposisi penyebaran jenis semakin merata atau tidak didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Tabel 12.
Indeks Kemerataan (E) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Indeks Kemerataan Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 0,80 0,82 0,76 0,84 Hutan Primer 15-25 0,81 0,83 0,77 0,82 25-45 0,83 0,81 0,85 0,81 0-15 0,81 0,83 0,77 0,87 Hutan Setelah Penebangan 15-25 0,84 0,82 0,81 0,85 25-45 0,84 0,84 0,86 0,81 0-15 0,86 0,88 0,77 0,68 Hutan Setelah Penjaluran 15-25 0,85 0,89 0,79 0,74 25-45 0,88 0,88 0,80 0,81 Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat nilai Indeks Kemerataan (E) pada
kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa pada tingkat semai nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,88 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 0,80, pada tingkat pancang nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan sedang (1525%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,89 dan terendah pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 0,81, pada tingkat tiang nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 0,86 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 0,76 dan pada tingkat pohon nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 0,87 dan terendah pada
kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,74. Dapat disimpulkan bahwa besarnya indeks kemerataan (E) pada hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran menunjukkan angka diatas 0,6, sehingga berdasarkan kriteria Magurran (1988) pada umumnya memiliki indeks kemerataan jenis (E) yang tinggi.
5.1.2.5 Kesamaan Komunitas (IS) Indeks kesamaan komunitas menunjukkan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua komunitas yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Nilai kesamaan pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Indeks Kesamaan Komunitas yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Tingkat Vegetasi Kondisi hutan Kelerengan % Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 87.22 84.76 89.46 87.87 Primer-Tebangan 15-25 83.09 85.54 91.16 87.42 25-45 90.84 79.45 85.47 87.03 0-15 63.42 60.18 50.55 53.14 Primer-Penjaluran 15-25 61.39 61.49 63.77 63.13 25-45 65.92 57.24 67.63 62.97 0-15 60.88 56.37 48.84 50.39 Tebangan-Penjaluran 15-25 58.32 59.77 64.69 61.59 25-45 64.75 56.77 66.60 61.47 Menurut Kusmana dan Istomo (2005), indeks kesamaan komunitas dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0 dan umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai IS > 75%. Dari Tabel 13 terlihat bahwa besarnya indeks kesamaan komunitas (IS) pada hutan primer dan hutan setelah penjaluran serta hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran umumnya berada di bawah 75%. Indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar pada hutan primer dan hutan setelah penjaluran pada tingkat semai di kelerengan curam (25-45%) sebesar 65,92% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 61,39%, pada tingkat pancang
indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di
kelerengan sedang (15-25%) sebesar 61,49% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan curam (25-45%) sebesar 57,24%, pada tingkat tiang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan curam (2545%) sebesar 67,63% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (0-15%) sebesar 50,55%, dan pada tingkat pohon indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 63,13% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (015%) sebesar 53,14%. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dua komunitas dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dibandingkan dapat dikatakan relatif berbeda. Sedangkan besarnya indeks kesamaan komunitas (IS) pada hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran umumnya berada di bawah 75%. Indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar pada hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran pada tingkat semai di kelerengan curam (25-45%) sebesar 64,75% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 58,32%, pada tingkat pancang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 59,77% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (0-15%) sebesar 56,37%, pada tingkat tiang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan curam (25-45%) sebesar 66,60% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (0-15%) sebesar 48,84%, dan pada tingkat pohon indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 61,59% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (0-15%) sebesar 50,39%. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dua komunitas dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dibandingkan dapat dikatakan relatif berbeda. Kecilnya nilai indeks kesamaan komunitas (IS) pada hutan primer dan hutan setelah penjaluran serta hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran disebabkan karena dua komunitas yang dibandingkan tidak pada plot pengamatan yang sama, namun plot penjaluran yang di ukur merupakan plot yang telah dilakukan penebangan setahun sebelumnya. Selain itu adanya komposisi baik
jenis maupun jumlah individu antara dua komunitas yang dibandingkan terdapat perbedaan. Sedangkan besarnya indeks kesamaan komunitas (IS) pada hutan primer dan hutan setelah tebangan umumnya berada diatas 75%. Indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar pada hutan primer dan hutan setelah tebangan pada tingkat semai di kelerengan curam (25-45%) sebesar 90,84% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 83,09%, pada tingkat pancang
indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di
kelerengan sedang (15-25%) sebesar 85,54% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan curam (25-45%) sebesar 79,45%, pada tingkat tiang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan sedang (1525%) sebesar 91,16% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan curam (25-45%) sebesar 85,47%, dan pada tingkat pohon indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan datar (0-15%) sebesar 87,87% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan curam (25-45%) sebesar 87,03%. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dua komunitas dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dibandingkan dapat dikatakan relatif sama. Hal ini disebabkan karena plot pengamatan dilakukan pada tempat yang sama dengan komposisi jumlah individu dan jumlah jenis antara dua komunitas yang dibandingkan tidak terlalu berbeda jauh.
5.2
Kerusakan Tegakan Tinggal
5.2.1 Dampak Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Pengukuran kerusakan akibat penebangan satu pohon ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan kerusakan pada tegakan atau pada pohon non target yang berdiameter lebih dari 10 cm. Dalam pengukuran kerusakan akibat penebangan satu pohon ini, pohon contoh yang diambil adalah pohon yang ditebang untuk keperluan produksi. Sehingga pohon yang ditebang ini memiliki diameter yang besar dan tinggi serta biasanya merupakan pohon yang mempunyai strata tajuk paling atas dan tergolong pohon evergreen.
Dari Tabel 14 dapat dilihat kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon yang paling besar terjadi pada penebangan pohon temperas (Memecylon. spp) dengan persentase kerusakan sebesar 24.79%. Sedangkan kerusakan tegakan yang terkecil pada penebangan pohon merkunyit (Shorea. Sp) dengan persentase kerusakan sebesar 18.90%. Tabel 14. Nilai kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon Bentuk Kerusakan (%) Pohon Δ T Ø Ditebang
Total Rusak
(%)
(m)
(cm)
PTH
KT
TR
AR
Shorea sp
0-15
40
89
8.96
0.00
7.46
0.00
4.48
1.49
22.39
Shorea sp
15-25
40
88
7.09
0.00
7.87
0.00
1.57
2.36
18.90
Memecylon. spp 25-45
30
89
15.70
0.00
7.44
0.00
0.00
1.65
24.79
RBH CDG
%
Ket : Δ : kelerengan, T : tinggi, Ø : diameter, PTH : patah, KT : kulit terkelupas, TR : tajuk rusak, AR : akar rusak, RBH : roboh, CDG : condong Berdasarkan hasil pengukuran Tabel 14 terhadap kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon pada 3 pohon contoh, bentuk kerusakan yang paling banyak terjadi adalah kerusakan patah batang dimana persentase kerusakan bervariasi mulai dari 7.09% sampai 15.70%. Selain itu bentuk kerusakan lain yang tergolong besar persentase kerusakannya adalah kerusakan tajuk berkisar antara 7.44% sampai 7.87%. Bentuk kerusakan lain yang ditemukan pada plot pengamatan adalah roboh dengan persentase kerusakan berkisar antara 1.57% sampai 4.48% dan bentuk kerusakan condong dengan persentase kerusakan berkisar antara 1.49% sampai 2.36%. Dari hasil pengamatan pada Tabel 14 terlihat bahwa besarnya diameter dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada pohon yang mempunyai diameter yang lebih kecil, sedangkan untuk tinggi pohon tidak selalu berbanding lurus dengan persentase kerusakan tegakan tinggal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 14, bahwa penebangan pada kayu temperas (Memecylon. spp) yang memiliki tinggi lebih kecil dari dua pohon contoh lainnya yang ditebang mempunyai tingkat kerusakan yang lebih besar yaitu sebesar 24.79%. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor kelerengan tempat dimana kegiatan penebangan
dilakukan, pada umumnya semakin curam tempat penebangan maka tingkat kerusakan yang terjadi terhadap tegakan tinggal semakin besar. Sedangkan berdasarkan tingkat kerusakan terhadap tegakan tinggal yang terdapat dalam plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai persentase kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon berdasarkan tingkat kerusakannya Pohon ditebang Ringan Sedang Berat Total (%) (%) (%) (%) Shorea sp 2.99 5.97 13.43 22.39 Shorea sp 3.15 7.09 8.66 18.90 Memecylon. spp 2.48 6.61 15.70 24.79 Ket : kenuar (Shorea. sp), merkunyit (Shorea. sp), temperas (Memecylon. spp)
Dari Tabel 15 dapat dilihat kerusakan tegakan tinggal pada penebangan satu pohon yang paling besar adalah kerusakan sedang sampai berat. Kerusakan sedang berkisar antara 5.97% sampai 7.09% dan kerusakan berat berkisar antara 8.66% sampai 15.70%. Menurut Wijayanti (1993) dalam Sukendar (1999) tingkat kerusakan sedang dapat berupa kerusakan tajuk sebesar 30% sampai 50%, luka batang atau rusak kulit sebesar ¼ sampai ½ batang, rusak banir atau akar 1/3 sampai ½ banir atau akar yang rusak atau terpotong dan condong atau miring membentuk sudut > 45 º dengan tanah. Sedangkan kerusakan berat dapat berupa patah batang, pecah batang, roboh, tumbang atau miring membentuk sudut < 45 º dengan tanah, rusak tajuk sebesar > 50%, luka batang atau rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon dan rusak banir atau akar lebih dari setengah banir.
5.2.2 Dampak Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kerusakan kegiatan pemanenan terhadap tegakan tinggal disebabkan oleh kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran. Pengamatan kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan ini dilakukan pada kelerengan datar, kelerengan sedang dan kelerengan curam pada pohon-pohon yang berdiameter > 10 cm. Untuk hasil kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai persentase kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan pada berbagai kelerengan Persentase Jumlah pohon Jumlah pohon Kelerengan Jumlah pohon awal kerusakan yang ditebang yang rusak (%) 0-15 813 38 353 45.55 15-25 893 43 381 44.82 25-45 624 18 216 35.64 Dari data pada Tabel 16, penebangan pada kelerengan 0-15% terhadap pohon produksi sebanyak 38 pohon dengan jumlah pohon awal 813 pohon dan 353 pohon mengalami kerusakan menyebabkan persentase kerusakan tegakan sebesar 45.55%, penebangan pada kelerengan 15-25% terhadap pohon produksi sebanyak 43 pohon dengan jumlah pohon awal 893 pohon dan 381 pohon mengalami kerusakan menyebabkan persentase kerusakan tegakan sebesar 44.82%, dan penebangan pada kelerengan 25-45% terhadap pohon produksi sebanyak 18 pohon dengan jumlah pohon awal 624 pohon dan 216 pohon mengalami kerusakan menyebabkan persentase kerusakan tegakan sebesar 35.64%. Burgess dan Raw (1967) menyatakan bahwa kerusakan tegakan tinggal pada penebangan konvensional berkisar antara 33-70% dengan intensitas penebangan yang tinggi (> 30 m3/ha).
Sedangkan Triyana (1995) yang
melakukan penelitian di HPH. PT Industries et Forest Asiatiquest (PT. IFA) mengatakan bahwa penebangan dengan 13 pohon perhektar menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 24.71% dengan kerusakan terbesar yaitu pada kerusakan tajuk sebesar 39.53%. Kerusakan akibat kegiatan pemanenan terhadap tegakan tinggal, selain disebabkan oleh kegiatan pemanenan juga disebabkan oleh kegiatan penyaradan. Khusus untuk kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) kerusakan pada tegakan tinggal ditambah dengan adanya penebangan untuk pembuatan jalur bersih untuk persiapan penanaman selebar 3 meter setiap 25 meter jalur kotor. Sist dan Amiril (1998) menyatakan bahwa penebangan umumnya merusak pohon tetapi penyaradan merupakan penyebab utama dari kematian tegakan tinggal.
5.3 Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Keterbukaan lahan pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) selain disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan juga disebabkan oleh adanya kegiatan penjaluran selebar 3 meter. Luas keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran dari hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat di lihat pada Tabel 17. Pengukuran keterbukaan lahan akibat penebangan, penyaradan dan penjaluran dilakukan pada semua plot penelitian yang dilakukan kegiatan penebangan dengan tingkat kelerengan yang bervariasi mulai dari datar (0-15%), sedang (15-25%) dan curam (25-45%). Tingkat keterbukaan lahan yang terjadi pada plot penelitian bervariasi antara 22% sampai 49%. Keterbukaan lahan akibat penebangan jauh lebih besar dibandingkan dengan penyaradan, hal ini disebabkan karena pada kegiatan penyaradan hanya dilakukan untuk menarik pohon produksi saja dan tidak untuk menarik kayu yang ditebang untuk jalur tanam (Triyana, 1995). Tabel 17.
Keterbukaan Lahan akibat kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran Keterbukaan Lahan (m²) Keterbukaan Kelerengan No Jumlah lahan (%) Plot Penebangan Penyaradan Penjaluran (m²) (%) 1 3400 395 1200 4995 49.95 2 780 820 1200 2800 28.00 0-15 3 2265 435 1200 3900 39.00 Total 38.98 1 2300 530 1200 4030 40.30 2 2200 730 1200 4130 41.30 15-25 3 4300 200 1200 5700 57.00 Total 46.20 1 600 450 1200 2250 22.50 2 2789 211 1200 4200 42.00 25-45 3 1200 400 1200 2800 28.00 Total 30.83 Berdasarkan Tabel 17, keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran pada kelerengan 0-15% menyebabkan keterbukaan lahan sebesar 38,98%, pada kelerengan 15-25% menyebabkan keterbukaan lahan sebesar 46,20% dan pada kelerengan 25-45% menyebabkan keterbukaan lahan
sebesar 30,83%. Keterbukaan lahan ini juga dipengaruhi oleh kelerengan, pada kelerengan 25-45% persen keterbukaan lahan hanya 30,83%. Kecilnya keterbukaan lahan ini disebabkan karena untuk kegiatan penyaradan traktor tidak dapat menjangkau tempat-tempat yang terjal dan berbatu, selain itu terkadang tidak dimungkinkan untuk melakukan kegiatan pemanenan demi keselamatan operator. Sedangkan untuk nilai keterbukaan lahan terbesar pada kelerengan 1525% dengan keterbukaan lahan sebesar 46,20%. Besarnya persen keterbukaan tersebut diakibatkan karena pada daerah tersebut banyak pohon-pohon produksi yang ditebang, selain itu untuk kegiatan penyaradan dapat menjangkau semua kawasan. Triyana (1995) melakukan penelitian di HPH PT. Industries et Forest Asiatiques (PT. IFA) menyatakan bahwa keterbukaan lahan akibat penebangan 13 pohon menyebabkan keterbukaan lahan 5,25% akibat penebangan dan 30,98% akibat penyaradan sehingga total keterbukaan lahan sebesar 36,23% dalam satu hektar. Berdasarkan pengamatan di tempat penelitian, untuk mengurangi besarnya keterbukaan lahan akibat kegiatan penyaradan utamanya maka traktor diusahakan tidak terlalu banyak melakukan manuver dan berjalan pada jalur yang telah ditentukan sebelumnya.
5.4
Sifat Fisik dan Kimia Tanah
5.4.1 Sifat Fisik Tanah Watak morfologis tanah merupakan watak-watak yang penampilannya dapat diukur secara langsung di lapangan dengan penglihatan atau rabaan (Purwowidodo 1998). Sifat fisik tanah yang diamati pada penelitian ini antara lain watak morfologis tanah, bobot isi dan kadar air. Tekstur merupakan perbandingan relatif tiga golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi lempung (clay), debu (silt) dan pasir (sand). Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah, berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikat air oleh tanah. Sedangkan struktur tanah didefinisikan sebagai susunan saling mengikat partikel-partikel tanah. Ikatan partikel tanah itu berwujud sebagai agregat tanah yang membentuk dirinya. Struktur tanah sangat mempengaruhi sifat dan keadaan
tanah seperti gerakan air, lalu lintas panas dan aerasi. Oleh karena itu tata air, pernafasan akar tanaman dan penetrasi akar tanaman banyak ditentukan oleh struktur tanah. Tabel 18. Pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran Kondisi hutan Kelerengan Kedalaman Struktur Bobot isi Kadar air (%) (cm) (gr/cm³) (%) 0-15 20 Butiran 1.00 31.19 Hutan Primer 15-25 20 Butiran 0.86 38.28 25-45 20 Butiran 0.93 30.82 0-15 20 Butiran 1.37 30.37 Hutan setelah tebangan 15-25 20 Butiran 1.02 35.99 25-45 20 Butiran 1.12 30.02 0-15 20 Butiran 1.27 29.83 Hutan setelah penjaluran 15-25 20 Butiran 0.96 33.12 25-45 20 Butiran 1.06 28.17 Dari Tabel 18 dapat diketahui bobot isi dan kadar air pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran mulai dari kelerengan datar (0-15%), sedang (15-25%) dan curam (25-45%) dan kedalaman jeluk 20 cm. Pada hutan primer bobot isi tertinggi berada pada kelerengan datar (0-15%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 1,00, sedangkan bobot isi terendah berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 0,86. Pada hutan setalah penebangan bobot isi tertinggi berada pada kelerengan datar (0-15%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 1,37, sedangkan bobot isi terendah berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 1,02. Adanya kenaikan bobot isi dipengaruhi oleh meningkatnya kepadatan tanah sehingga bobot isi tanah bertambah yang disebabkan oleh kegiatan penyaradan dengan alat-alat berat dan kegiatan penebangan. Peningkatan bobot isi ini juga dapat mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman, semakin besar nilai bobot isi tanah maka tanah akan semakin padat sehinga akar sulit untuk berkembang. Jika pengolahan lahan bekas tebangan tidak dilakukan secara intensif terutama di daerah jalur tanam maka dimungkinkan pertumbuhan tanaman tidak akan optimal. Pada hutan setelah penjaluran bobot isi tertinggi berada pada kelerengan datar (0-15%) dengan kedalaman jeluk 20 cm
yaitu sebesar 1,27, sedangkan bobot isi terendah berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 0,96. Besaran bobot isi tanah dapat bervariasi dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Keragaman itu menunjukkan derajat kepadatan tanah (Foth 1988), karena tanah dengan bertambahnya berat tanah setiap satuan menyebabkan meningkatnya bobot isi tanah. Tanah dengan bobot yang besar akan sulit meneruskan air atau sulit ditembus akar tanaman, begitu pula sebaliknya tanah dengan bobot isi rendah, akar tanaman lebih mudah berkembang (Hardjowigeno 2003). Sedangkan untuk kadar air pada hutan primer nilai tertinggi berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 38,28, sedangkan kadar air terendah berada pada kelerengan curam (25-45%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 30,82, pada hutan setalah penebangan kadar air tertinggi berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 35,99, sedangkan kadar air terendah berada pada kelerengan curam (25-45%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 30,02 dan Pada hutan setelah penjaluran kadar air tertinggi berada pada kelerengan sedang (1525%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 33,12, sedangkan kadar air terendah berada pada kelerengan curam (25-45%) dengan kedalaman jeluk 20 cm yaitu sebesar 28,17. Dari hasil penelitian juga terlihat dari hutan primer sampai hutan setelah penjaluran nilai kadar air menurun. Penurunan terbesar terjadi pada hutan setelah penjaluran, hal ini disebabkan karena pada hutan setelah penjaluran banyak pohon-pohon yang rusak atau tumbang akibat kegiatan penebangan, penyaradan dan penjaluran. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan akar dalam menyimpan air dalam tanah berkurang, sehingga air tidak dapat tersimpan secara optimal di dalam tanah sehingga kadar air dalam tanah dapat berkurang.
5.4.2 Sifat Kimia Tanah 5.4.2.1 pH Tanah Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, semakin
masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. pada tanahtanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedang pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH-, maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7 (Anonim 1991). Berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium kimia tanah menunjukkan bahwa reaksi tanah (pH) tanah yang berada pada lokasi pengamatan pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dengan kedalaman sampel tanah 20 cm terlihat bahwa termasuk ke dalam kategori masam baik untuk hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran karena mempunyai nilai pH kurang dari 5,5. Tabel 19. Pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran pH Kondisi hutan Kedalaman (cm) H2O KCl Hutan Primer 20 3.9 3 Hutan setelah ditebang 20 4 3 Hutan setelah penjaluran 20 3.8 3.1 Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa pH tanah pada hutan setelah tebangan mempunyai nilai tertinggi yaitu sebesar 4,00 daripada hutan primer dan hutan setelah penjaluran. Hal ini disebabkan karena tingginya kation asam yang terkandung di dalam tanah (Al, Fe dan H), sedangkan kation basa yang terkandung di dalam tanah mempunyai kandungan yang rendah. Penyebab rekasi tanah menjadi asam diantaranya adalah curah hujan yang tinggi di suatu tempat yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci yang keduanya merupakan dekomposisi mineral alumunium silikat akan membebaskan ion alumunium (Al³), ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbang ion H+ sehingga menyebabkan tanah menjadi asam (Nyapka et al, 1993). Di Indonesia unumnya tanahnya bereaksi masam dengan 4,0-5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0-6,5 sering telah dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam. Di daerah rawa-rawa sering ditemukan tanah-tanah sangat masam dengan pH kurang dari 3,0 yang disebut tanah sangat masam karena banyak mengandung asam sulfat. Di daerah yang sangat kering kadang-kadang pH tanah
sangat tinggi (pH lebih dari 9,0) karena banyak mengandung garam Na (Anonim 1991).
5.4.2.2 Analisis Unsur Hara Tanah Analisis unsur hara tanah yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur hara tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, khususnya tanaman kehutanan. Unsur-unsur hara yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah unsur hara yang termasuk kedalam unsur hara esensial. Pengambilan sampel dilakukan pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menggunakan metode tanah terusik dengan kedalaman 20 cm. Pada Tabel 20 dapat dilihat penetapan unsur hara tanah. Tabel 20. Analisis kimia unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran Kondisi hutan Kedalaman P (ppm) Ca Mg K Na Hutan Primer 20 cm 2.54 0.40 0.40 0.11 0.92 Hutan setelah ditebang 20 cm 2.37 0.38 0.20 0.12 0.66 Hutan setelah penjaluran 20 cm 2.71 0.49 0.48 0.20 1.61 Berdasarkan Tabel 20 kandungan unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menunjukkan kandungan unsur hara yang rendah. Kandungan Ca mempunyai nilai berkisar antara 0,38 sampai 0,49. Kandungan Mg
mempunyai nilai berkisar antara 0,20 sampai 0,48,
Kandungan K mempunyai nilai berkisar antara 0,11 sampai 0,20, dan kandungan Na mempunyai nilai berkisar antara 0,66 sampai 1,61. Kandungan kation basa yang rendah (Ca, Mg, P dan Na) menyebabkan tingkat kejenuhan basa juga rendah. Unsur hara fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara yang keberadaannya dipengaruhi oleh kation asam. Pada kondisi asam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi maka ion P akan diikat oleh kation asam sehingga unsur P tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sependapat dengan Poerwowidodo (1992) yang menyatakan kemasaman tanah memegang peranan penting pada ketersediaan P. Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Al,
sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca. Sedangkan untuk penetapan tingkat kesuburan hara esensial pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan hasil analisis kimia tanah Status Kondisi hutan Kedalaman N C-org KTK KB kesuburan (cm) (%) tanah Hutan Primer 20 0.15 1.52 9.59 19.08 Sedang Hutan setelah Ditebang 20 0.16 1.68 8.98 15.14 Sedang Hutan setelah Penjaluran 20 0.12 1.20 8.69 31.99 Sedang Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya baik di kehutanan maupun pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Anonim 1991). Berdasarkan tabel diatas kandungan C-organik dalam tanah menunjukkan nilai yang rendah. Nilai terendah terdapat pada hutan setelah penjaluran yaitu sebesar 1,20. Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation). Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran serta pemupukan.
Kejenuhan basa merupakan perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti tanah kemasaman tinggi dan kejenuhan basa mendekati 100% tanah bersifal alkalis. Tampaknya terdapat hubungan yang positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang diserap. Tanah dengan kejenuhan basa sama dan komposisi koloid berlainan, akan memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat disosiasi ion H+ yang diserap pada permukaan koloid (Anonim, 1991). Sedangkan untuk nilai kejenuhan basa (KB) pada hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran mempunyai nilai berkisar antara 15,14 sampai 31,99, dimana nilai ini masuk dalam kriteria tidak subur. Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50% (Anonim, 1991). Namun secara umum jenis-jenis dipterocarpaceae dapat tumbuh di daerah yang kurang subur. Hal ini disebabkan karena akar pada pohon jenis-jenis dipterocarpaceae berasosiasi dengan mikoriza sehingga dapat mengjangkau unsur hara yang keberadaannya jauh dari tempat tumbuhnya. Apabila dibandingkan antara hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran pada umumnya hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di areal hutan setelah dilakukan penjaluran lebih tinggi dibandingkan hutan primer dan hutan setelah dilakukan penebangan. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbukaan tajuk yang cukup dari kegiatan pemanenan sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai lantai hutan. Kondisi ini akan memacu terjadinya proses dekomposisi dari unsur hara tanah oleh mikroorgaisme meningkat. Namun dengan adanya
keterbukaan tajuk ini akan mengakibatkan terjadinya leaching yang meningkat serta laju run-off yang membawa unsur hara yang telah terurai meningkat. Menurut van Dam (1967) ukuran gap tidak mempengaruhi laju dekomposisi dari daun, tanaman berkayu, kayu bagi tanaman dan bunga, tetapi keberadaannya mempercepat laju dekomposisi dari humus di permukaan tanah dibandingkan dengan hutan primer. Meskipun terjadi peningkatan dekomposisi di lantai hutan dan tersedianya unsur hara yang cukup bagi tanaman tetapi dengan adanya gap ini akan menyebabkan terjadinya leaching sehingga unsur hara yang telah terdekomposisi menjadi sedikit tersedia bahkan tidak tersedia bagi tanaman.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan 1. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan dipengaruhi oleh kelerengan, lebar tajuk, diameter pohon dan kegiatan penyaradan. 2.
Penurunan jumlah jenis tertinggi pada hutan setelah tebangan tingkat vegetasi pancang sebesar 12 jenis pada kelerengan datar (0-15%) dan hutan setelah penjaluran tingkat vegetasi pohon sebesar 28 jenis pada kelerengan datar (0-15%).
3. Keanekaragaman jenis pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran untuk tingkat vegetasi semai 2,78-3,24, tingkat pancang 2,78-3,44, tingkat tiang 2,88-3,22 dan tingkat pohon 2,48-3,63. Sehingga menurut Shannon-wiener keanekaragaman tergolong tinggi karena mempunyai nilai > 2,00. 4. Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) menyebabkan keterbukaan dan kerusakan tegakan sebesar 38,98% pada kelerengan datar (0-15%), 46,20% pada kelerengan sedang (15-25%) dan 30,8% pada kelerengan curam (25-45%). 5. Struktur tanah pada hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran berupa butiran dengan bobot isi berkisar antara 0,861,37 dan kadar air berkisar antara 28,17-38,28, pH H2O berkisar antara 3,8-4,0 dan KCL berkisar antara 3,0-3,1.
4.2 Saran 1. Pelaksanaan pemantauan perkembangan tegakan tinggal pada petak ukur permanen (PUP) dengan melaksanakan inventarisasi tegakan pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran harus dilakukan secara periodik dan berkesinambungan untuk melihat intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan. 2. Analisis vegetasi pada petak ukur permanen (PUP) harus dilakukan terhadap semua jenis tegakan, baik yang komersial maupun non komersial agar dapat diketahui perubahan struktur dan komposisi secara menyeluruh sebagai akibat adanya kegiatan penebangan.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Kimia Tanah. Direktorat Jendral Pendidikan. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Balitbangtanah. 2004. Cara Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis (Uji Tanah). http://www.soil-climate.ir.id/uii_tanah.htm [10 Oktober 2007]. Budiaman A. 2003. Diktat Kuliah Dasar-dasar Pemanenan Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Burgess A and F. Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. London Buku Standar Operasional Planing. 2007. Pedoman Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT Erna Djuliawati. Kalimantan Tengah. Daniel TW, Helm JA dan Baker FS. 1979. Principles of Silvikulture. McGraw Hill Company, Inc. New York Departemen Kehutanan . 1993. Pedoman Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Jakarta : Departemen Kehutanan. . 1998. Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) Dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. . 1999. Peraturan-Peraturan Bidang Kehutanan dan Perkebunan 1997-1998. Jakarta : Departemen Kehutanan. Departemen Pertanian. 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Bogor : Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology. Ewusie, JY. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB Foth HD. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Ed: Hudoyo, S.A. B. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. FWI/GFW. 2003. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia and Washington DC: Global Forest Watch Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusmana C dan Istomo. 2005. Diktat Ekologi Hutan. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Kurniawan AD. 2003. Pengaruh Penyaradan Kayu oleh Forwarder terhadap Kepadatan Tanah di PT. Inhutani II Kalimantan Selatan Unit Stagen Sub Unit HTI Semaras. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Longman KA dan Jenik J. 1992. Tropical Forest and Its Environment. USA : Longman Scientific and Technical. Ludwig JA dan Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods and Computing.USA : John Wiley & Sons, Inc. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi Di Daerah Tropika. Terjemahan : Harry Harsono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mabberley, DJ. 1992. Tropical Rain Forest Ecology. Chapman and Hall, Inc. New York Magurran, AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurenment. London : Croom Helm Ltd. McNaughton SJ dan Wolf LL. 1973. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, Srigandono B, penerjemah ; Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : General Ecology. Mehra dan Khanna. 1976. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Misra, KC. 1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi, India : Oxford & IBH Publishing Co. Musthofa, A. 2007. Perubahan Sifat Fisik, Kimia, Dan Biologi Tanah Pada Hutan Alam Yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian Di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nevada, FT. 2007. Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Nyapka et al. 1993. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung
Odum EP. 1959. Fundamental of Ecology. USA : W.B Saunders Company. Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung: Angkasa. . 1998. Penampang Tanah. Bogor : Laboratorium Pengaruh Hutan Jurusan Manajemen Hutan, Fahutan IPB. Richard PW. 1966. The Tropical Rain Forest : An Ecological Study. London : The Syndics of The Cambridge University Press. Shukla dan Chandel. 1977. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Sist P dan Amiril S. 1998. Description of the Primary Lowland Forest of Berau. Di dalam : Jean GB, Kosasi K, editor. Silvicultural Research in a Lowland mixed Dipterocarpaceae Forest of East Kalimantan, the Contribution of STREK Project. CIRAD. Foret Publication. Hal 51-94. Soerianegara I dan Indrawan A. 1988. Ekosistem Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Soerianegara I dan Indrawan A. 2002. Ekosistem Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Spurr HS dan Burton VB. 1980. Forest Ecology. USA : John Wiley & Sons, Inc. Sukendar A. 1999. Evaluasi Penerapan Sistem Silvikultur TPTI di Areal Bekas Tebangan Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus di HPH PT Ratah Timber Company Kalimantan Timur) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Suparto, RS. 1976. Saran Perbaikan Cara Pembuatan Jalan Hutan di Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor Sutisna U. 1981. Komposisi Flora Hutan Bekas Tebangan di Kelompok Hutan Stagen Pulau Kalimantan Selatan : Deskripsi dan Analisa Lembaga Penelitian Hutan. Bogor Sutisna M. 2001. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Tim Peneliti PAU-Ilmu Hayat IPB. 1994. Akibat Pemanenan Kayu Terhadap Kerusakan Mekanis dan Biologis Tegakan Tinggal di Hutan Alam Tropika Tanah Kering di Areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur [Laporan Penelitian]. Bogor : Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB.
Triyana H. 1995. Evaluasi Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPI/TPTI di Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering (Studi Kasus di Areal HPH PT Industries et Forets Asiatiques, Jambi) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Van Dam O. 1967. Forest Filled With Gaps. Guyana: Tropenbos. WALHI. 2004. GN-RHL: Rehabilitasi atau Manipulasi. http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/gnrhl_rehab_li_14030 4/ [10 Oktober 2007]. Whitemore TC. 1984. Tropical Rain Forest of the For East. English Language Book Society. New York: Oxford University Press Whitten AJ dan Sengli JD, Jazanul A, Nazaruddin H. 1984. The Ecology of Sumatra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar nama jenis tumbuhan di plot pengamatan Nama jenis Nama botani Kode pohon KAYU KOMERSIL a. Dipterocarpaceae 1 Kenuar Shorea sp. 2 Markabang Shorea johorensis Foxw. 3 Meranti Merah Shorea leprosula Miq. 4 Jawar Shorea quadinervis V.SI. 5 Marlanang Shorea parvifolia Dyer. 6 Meranti Lapang Shorea bracteolate Dyer. 7 Meranti Batu Shorea uliginosa Foxw. 8 Melapi Hopea sangal Korth. 9 Meranti Kuning Shorea acuminatissima Sym. 10 Meranti Putih Shorea lamellate V.SI. 11 Meranti Kuning Lain Shorea sp. 12 Kapur Dryobalanops beccarii Dyer. 13 Kapur Batu Dryobalanops sp. 14 Keruing Lowei Dipterocapus haselti Blume. 15 Keruing Tempudau Dipterocarpus kuntsleri King. 16 Keruing Rambut Dipterocarpus gracilis V.SI. 17 Bangkirai Shorea laevifolia Endert. 18 Agathis Agathis sp. 19 Nyatoh Hitam Palaquium sp. 20 Nyatoh Putih Palaquium xanthophymum Piare. 21 Mersawa Anisoptera marginata Kurz. 22 Sindur Sindora bruggemanii DeWit. 23 Ulin Eusideroxylon zwageri T.et.B. b. Non Dipterocarpaceae 24 Benuang Laki Octomeles sp. 25 Kelempayan Elateriospermum tapos BI. 26 Juji Dialium sp. 27 Girik Pithecelobium sp. 28 Medang Litsea spp. 29 Bintangur Calophillum pulcherrimum Wall. 30 Resak Vatica resak BI 31 Rengas Gluta renghas 32 Simpur Dillenia excelsa Gilg. 33 Kayu Arang Diospyros malam Bakh 34 Ladang-Ladang Koompassia excelsa Taub. 35 Geronggang Cratocylon spp. 36 Kayu Bawang Scorodacarpus borneensis Becc.
Famili
Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpacae Araucariaceae Sapotaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Caesalpineaceae Lauraceae Dataceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Lauraceae Gutiferae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Dilleniaceae Ebenaceae Fabaceae Gutiferae Olacaceae
Lampiran 1 (Lanjutan) Kode pohon Nama jenis Nama botani 37 Sembiring Tabu Hitam Antiaris sp. 38 Punaga Tetrameristra glabra Mig. 39 Poli-Poli Cassia sp. 40 Jalomo Atuna racemosa 41 Garu Gonystylus bancanus Kurs 42 Jambu-Jambu Eugenia sp. KAYU RIMBA CAMPURAN 43 Bilayang Pomelia sp. 44 Benitan Polyalthia laterifolia King. 45 Kenari Canarium commune 46 Mecaranga Macaranga maingayi Hook.f. 47 Meringkau Shorea sp. 48 Kemuning Gonocaryum minus 49 Cempaka Hutan Gironniera nervosa 50 Palawan Tristaniopsos whiteana 51 Dara-Dara Myristica iners 52 Pala Hutan Myristica Villosa 53 Araw Santiria tomentosa 54 Lampung Shorea ovalis BI. 55 Bangkal Palaqium dasyphullum 56 Bayur Pterusperum celebicum 57 Geyumbang Pithecelobium sp. 58 Sengkuang Dracontomelon mangiferum Blume. 59 Tamburan 60 Alaban Vitex pubescens 61 Pisang-Pisang Mezzettia parviflora Becc. 62 Bilumai 63 Cemara Hutan Casuarina sumatrana Miq.Var. 64 Kasturi 65 Merading Madhuca betis 66 Ara Kendang Fagrea sp. 67 Kangkala Litsea sp. 68 Rukam Homalium longifolium V.SI. 69 Randu Hutan Gossampinus malabarica 70 Pulai Alstonia scholaris R.Br. 71 Merwali Cyathocolyx 72 Bungur Lagestromia spesiosa 73 Kayu Ipuh 74 Kembayar Canarium denticulatum
Famili Moraceae Theaceae Leguminosae Chrysobalanaceae Thymeaceae Myrtaceae Sapindaceae Annonaceae Burseraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Icacinaceae Ulmaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Ulmaceae Sterculiacum Fabaceae Anacardiaceae Verbenaceae Annonaceae Casuarinaceae Sapotaceae Loganiaceae Dilleniaceae Flacourtiaceae Sterculiaceae Apocynaceae Anonaceae Lythraeceae Burseraceae
Lampiran 1 (Lanjutan) Kode pohon Nama jenis Nama botani 75 Merdandong Shorea sp. 76 Berangan Lithocarpus dasystachyus (Miq) Rehd. 77 Torap Arthocarpus sp. 78 Manggeris Koompassia mallacensis, Maing. 79 Jelutung Hitam Dyera costulata, Hook.f 80 Jelutung Putih Dyera sp. 81 Tengkawang Rambut Shorea meciscopteryc, Bidl. 82 Tengkawang Buah Shorea pinanga, Scheff. 83 Temperas Memecylon. spp KAYU PENGHASIL BUAH 84 Durian Durio sp. 85 Asam Mangifera macrocarpa 86 Manggis Garnicia sp. 87 Petai Parkia speciosa, Hassk 88 Keranji Dialium pontes, Baker 89 Rambutan Nephelium lappaceum 90 Langsat Lansium domesticum, Corr. 91 Kapul Baccaurea dulois, Muell.Arg. 92 Kedondong Pentaspadon sp.
Famili Dipterocarpaceae Fagaceae Moraceae Fabaceae Apocynaceae Apocynaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Melastaceae Bombacaceae Anacardiaceae Gutiferae Fabaceae Fabaceae Sapindaceae Meliaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae
Lampiran 2. Daftar jenis pohon di PT. Erna Djuliawati Nama jenis Nama botani Kode pohon Kayu Komersial a. Dipterocarpaceae 1 Kenuar Shorea sp. 2 Markabang Shorea johorensis Foxw. 3 Meranti Merah Shorea leprosula Miq. 4 Jawar Shorea quadinervis V.SI. 5 Marlanang Shorea parvifolia Dyer. 6 Meranti Tahan Hopea mengerawan Miq. 7 Meranti Lapang Shorea bracteolate Dyer. 8 Meranti Batu Shorea uliginosa Foxw. 9 Melapi Hopea sangal Korth. 10 Meranti Kuning Shorea acuminatissima Sym. 11 Meranti Putih Shorea lamellate V.SI. 12 Meranti Kuning Lain Shorea sp. 13 Kapur Dryobalanops beccarii Dyer. 14 Kapur Batu Dryobalanops sp. 15 Keruing Lowei Dipterocapus haselti Blume. 16 Keruing Tempudau Dipterocarpus kuntsleri King. 17 Keruing Rambut Dipterocarpus gracilis V.SI. 18 Bangkirai Shorea laevifolia Endert. 19 Agathis Agathis sp. 20 Nyatoh Hitam Palaquium sp. 21 Nyatoh Putih Palaquium xanthophymum Piare. 22 Mersawa Anisoptera marginata Kurz. 23 Sindur Sindora bruggemanii DeWit. 24 Ulin Eusideroxylon zwageri T.et.B. b. Non Dipterocarpaceae 25 Benuang Laki Octomeles sp. 26 Kelempayan Elateriospermum tapos BI. 27 Juji Dialium sp. 28 Girik Pithecelobium sp. 29 Medang Litsea spp. 30 Bintangur Calophillum pulcherrimum Wall. 31 Resak Vatica resak BI 32 Rengas Gluta renghas 33 Simpur Dillenia excelsa Gilg. 34 Kayu Arang Diospyros malam Bakh 35 Ladang-Ladang Koompassia excelsa Taub. 36 Geronggang Cratocylon spp. 37 Kayu Bawang Scorodacarpus borneensis Becc. 38 Sembiring Tabu Hitam Antiaris sp.
Famili
Kelompok kayu
Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpacae Araucariaceae Sapotaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Caesalpineaceae Lauraceae
KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KTD
Dataceae Euphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Lauraceae Gutiferae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Dilleniaceae Ebenaceae Fabaceae Gutiferae Olacaceae Moraceae
KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD
Lampiran 2 (Lanjutan) Kode pohon Nama jenis Nama botani 39 Punaga Tetrameristra glabra Mig. 40 Poli-Poli Cassia sp. 41 Jalomo Atuna racemosa 42 Garu Gonystylus bancanus Kurs 43 Jambu - Jambu Eugenia sp. KAYU RIMBA CAMPURAN 44 Bilayang Pomelia sp. 45 Benitan Polyalthia laterifolia King. 46 Kenari Canarium commune 47 Mecaranga Macaranga maingayi Hook.f. 48 Meringkau Shorea sp. 49 Kemuning Gonocaryum minus 50 Cempaka Hutan Gironniera nervosa 51 Palawan Tristaniopsos whiteana 52 Dara-Dara Myristica iners 53 Pala Hutan Myristica Villosa 54 Araw Santiria tomentosa 55 Lampung Shorea ovalis BI. 56 Bangkal Palaqium dasyphullum 57 Bayur Pterusperum celebicum 58 Geyumbang Pithecelobium sp. 59 Sengkuang Dracontomelon mangiferum Blume. 60 Tamburan 61 Alaban Vitex pubescens 62 Pisang-Pisang Mezzettia parviflora Becc. 63 Sungkai Peronema canascens 63 Bilumai 65 Cemara Hutan Casuarina sumatrana Miq.Var. 66 Kasturi 67 Merading Madhuca betis 68 Ara Kendang Fagrea sp. 69 Kangkala Litsea sp. 70 Rukem Homalium longifolium V.SI. 71 Randu Hutan Gossampinus malabarica 72 Pulai Alstonia scholaris R.Br. 73 Merwali Cyathocolyx 74 Bungur Lagestromia spesiosa 75 Kayu Ipuh 76 Kembayar Canarium denticulatum 77 Merdandong Shorea sp. 78 Berangan Lithocarpus dasystachyus (Miq) Rehd.
Kelompok kayu Famili KD Theaceae KD Leguminosae KD Chrysobalanaceae KD Thymeaceae KD Myrtaceae Sapindaceae Annonaceae Burseraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Icacinaceae Ulmaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Ulmaceae Sterculiacum Fabaceae Anacardiaceae Verbenaceae Annonaceae Canasceae Casuarinaceae Sapotaceae Loganiaceae Dilleniaceae Flacourtiaceae Sterculiaceae Apocynaceae Anonaceae Lythraeceae Burseraceae Dipterocarpaceae Fagaceae
KD KD KTD KTD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KTD KD KD KD
Lampiran 2 (Lanjutan) Kode pohon 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
Nama jenis
Nama botani
Torap Arthocarpus sp. Manggeris Koompassia mallacensis Maing. Jelutung Hitam Dyera costulata Hook.f Jelutung Putih Dyera sp. Tengkawang Rambut Shorea meciscopteryc Bidl. Tengkawang Buah Shorea pinanga Scheff. Temperas Memecylon spp. KAYU PENGHASIL BUAH Durian Durio sp. Cempedak Arthocarpus sp. Asam Mangifera macrocarpa Manggis Garnicia sp. Petai Parkia speciosa Hassk Keranji Dialium pontes Baker Rambutan Nephelium lappaceum Langsat Lansium domesticum Corr. Kapul Baccaurea dulois Muell.Arg. Kedondong Pentaspadon sp.
Famili Moraceae Fabaceae Apocynaceae Apocynaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Melastaceae Bombacaceae Moraceae Anacardiaceae Gutiferae Fabaceae Fabaceae Sapindaceae Meliaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae
Kelompok kayu KD DL DL DL DL DL KD KTD KTD KTD KTD KTD KD KTD KTD KTD KTD
Lampiran 3. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 0-15% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Araw 0.78 2 Agathis 0.32 3 Alaban 0.46 4 Asam 9.06 11.32 6.19 10.77 5 Bangkal 0.55 5.26 5.42 6 Bangkirai 0.40 0.77 7 Bayur 3.50 4.58 4.26 4.39 8 Belumai 0.84 9 Benitan 27.89 27.42 66.31 20.16 10 Benuang Laki 1.65 3.51 4.74 11 Berangan 0.38 12 Bilayang 1.10 1.93 4.76 13 Bungur 2.20 0.68 0.84 14 Bintangur 0.49 2.31 15 Dara - Dara 5.01 8.19 8.56 7.09 16 Durian 1.65 3.41 5.62 7.39 17 Garu 0.94 18 Geronggang 0.75 0.49 1.35 0.55 19 Girik 0.49 7.72 8.91 20 Jalomo 2.27 3.04 21 Jambu - Jambu 22.97 23.81 25.71 19.02 22 Jawar 3.16 1.66 3.57 23 Jelutung Hitam 1.66 24 Juji 0.49 8.87 5.24 25 Kangkala 0.71 26 Kapul 1.46 9.04 2.36 27 Kapur 0.76 28 Kayu Arang 0.98 5.21 1.75 29 Kayu Bawang 0.49 0.33 30 Kayu Ipuh 0.55 0.49 31 Kedondong 2.75 6.54 1.31 1.95 32 Kelempayan 2.20 4.58 0.81 1.61 33 Kembayar 1.51 0.98 18.96 12.87 34 Kemuning 4.87 2.83 5.18 4.14 35 Kenari 1.10 36 Kenuar 5.76 6.15 1.01 7.25 37 Keranji 0.43
Lampiran 3 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Nama Jenis Keruing Rambut Keruing Tempudau Keruing Lowei Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Macaranga Manggis Manggeris Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Merkunyit Mersiput Merwali Mersawa Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Rengas Resak Rukam Sembiring Tabu Hitam Sengkuang Simpur Tamburan Tengkawang Buah
Indeks Nilai Penting (INP) Semai Pancang Tiang Pohon 2.47 3.18 0.56 0.49 0.71 3.36 2.63 0.72 0.55 0.98 3.43 3.62 28.53 9.07 13.07 25.87 1.80 1.10 2.93 0.75 0.49 0.48 2.22 1.65 1.48 0.33 0.55 1.66 15.02 19.02 14.87 22.15 5.70 0.84 2.69 1.95 1.01 2.32 3.70 7.51 6.69 13.90 0.55 0.98 0.48 0.41 0.35 0.43 2.49 1.06 0.49 4.97 6.03 11.17 6.73 4.77 3.83 2.67 1.17 1.63 3.34 5.80 2.75 6.73 6.55 9.95 0.49 0.85 1.21 4.66 10.05 21.03 19.56 5.01 5.27 2.26 4.54 2.75 2.93 7.19 5.48 0.86 0.81 0.32 1.10 0.81 1.30 1.85 1.01 1.81 0.71 0.68 -
Lampiran 3 (Lanjutan) No 75 76
Nama Jenis Torap Ulin
Indeks Nilai Penting (INP) Semai Pancang Tiang Pohon 1.65 2.15 8.78 5.26 6.66 4.68 2.23 2.99
Lampiran 4. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 0-15% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Araw 1.24 2 Agathis 0.55 3 Alaban 0.80 4 Asam 9.62 6.63 6.33 11.35 5 Bangkal 5.24 4.03 6 Bangkirai 0.65 0.69 7 Bayur 4.07 4.45 2.47 4.91 8 Belumai 1.53 9 Benitan 34.19 30.78 68.79 21.51 10 Benuang Laki 1.02 1.78 6.22 11 Berangan 0.65 12 Bilayang 2.03 2.16 6.63 13 Bintangur 2.78 14 Bungur 2.03 0.67 15 Dara - Dara 6.56 8.41 7.56 10.35 16 Durian 1.02 5.34 3.83 8.25 17 Garu 1.63 18 Geronggang 1.35 0.65 19 Girik 0.89 7.35 6.44 20 Jalomo 2.24 4.66 21 Jambu - Jambu 28.09 28.12 29.92 18.03 22 Jawar 3.05 2.18 7.33 5.47 23 Jelutung Hitam 3.06 24 Juji 0.89 3.90 25 Kangkala 1.27 26 Kapul 8.81 1.00 27 Kapur 0.72 28 Kayu Arang 5.70 1.87 29 Kayu Bawang 0.57 30 Kedondong 3.05 7.12 1.51 3.36 31 Kelempayan 2.03 4.45 0.65 2.78 32 Kembayar 1.93 14.31 8.33 33 Kemuning 3.97 3.47 8.04 4.98 34 Kenari 1.87 35 Kenuar 2.03 5.74 1.62 7.18 36 Keranji 0.74 37 Keruing Rambut 1.93 5.61
Lampiran 4 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Nama Jenis Keruing Tempudau Keruing Lowei Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Macaranga Manggeris Manggis Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Merkunyit Merwali Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Rengas Resak Rukem Sembiring Tabu Hitam Sengkuang Simpur Tamburan Tengkawang Buah Torap Ulin
Semai 3.05 29.10 1.02 22.84 5.09 2.49 6.10 1.02 1.02 3.97 5.09 2.03 2.03 2.03 6.46
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Tiang 0.89 1.29 0.89 2.79 11.39 13.82 0.89 0.78 0.89 0.60 1.68 2.18 29.58 11.09 3.09 0.81 7.34 8.91 0.69 0.77 2.68 0.89 2.92 5.74 6.18 1.78 1.27 4.77 3.96 4.80 12.37 24.62 3.56 2.20 1.78 7.88 1.62 1.29 6.11 3.07 2.13
Pohon 0.98 1.22 1.23 3.24 18.43 2.32 3.99 0.56 18.20 1.46 2.86 2.27 9.63 0.60 1.24 5.22 2.80 4.23 8.67 1.54 2.15 21.28 3.03 5.90 0.61 0.55 0.67 1.92 1.27 4.22 3.34
Lampiran 5. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 0-15% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Ara Kendang 5.79 2 Asam 0.37 9.64 6.39 3 Bangkal 3.32 2.37 1.33 4 Bangkirai 2.70 2.57 5 Bayur 2.70 3.11 0.79 6 Benitan 11.88 9.80 25.80 17.76 7 Bilayang 1.70 1.77 3.39 8 Benuang Laki 1.16 2.00 9 Bintangur 1.16 2.74 0.88 0.68 10 Bungur 0.39 0.37 11 Cempedak 1.01 12 Dara - Dara 3.87 6.54 3.35 1.42 13 Durian 4.32 5.43 0.80 14 Geronggang 0.74 1.94 1.33 15 Geyumbang 5.02 16 Girik 0.39 0.37 1.66 0.82 17 Jambu - Jambu 15.44 11.03 36.95 55.33 18 Jawar 7.59 5.31 19 Jelutung Hitam 1.31 1.10 0.75 20 Jelutung Putih 1.16 0.37 0.69 21 Juji 0.74 4.43 3.10 22 Kapul 5.32 8.17 7.17 1.64 23 Kapur 0.69 24 Kayu Arang 0.37 2.42 1.54 25 Kayu Bawang 0.79 26 Kayu Ipuh 0.85 27 Kedondong 6.32 8.62 4.53 2.99 28 Kelempayan 7.71 10.79 0.81 29 Kembayar 2.84 6.18 30 Kemuning 2.46 0.69 31 Keranji 0.39 0.66 32 Kenuar 5.13 4.00 33 Keruing Rambut 2.70 5.84 8.74 20.08 34 Keruing Tempudau 0.54 35 Ladang-ladang 0.53 0.88 36 Lampung 5.25 3.68 13.36 3.61 37 Langsat 2.70 4.00 17.39 6.30
Lampiran 5 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Nama Jenis Lempung Macaranga Manggeris Manggis Markabang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Meringkau Merdadong Merkunyit Mersawa Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Randu Hutan Rengas Resak Rukem Sangkuang Simpur Tengkawang Buah Torap Ulin
Indeks Nilai Penting (INP) Semai Pancang Tiang Pohon 22.79 15.02 51.19 57.83 2.09 1.67 0.89 0.70 0.90 2.38 1.47 3.17 1.43 19.39 16.63 28.16 40.18 1.31 1.27 1.71 1.80 3.58 1.24 0.66 0.91 5.19 4.74 0.39 0.37 1.63 2.70 4.78 8.76 2.94 0.70 0.37 2.27 1.09 0.68 1.86 0.93 0.85 0.91 0.72 1.82 6.25 9.56 7.68 9.82 0.96 7.79 7.52 2.45 3.51 5.64 5.15 27.39 25.61 0.37 0.39 1.84 0.78 5.86 6.21 0.70 5.95 5.84 4.50 4.42 12.97 13.28 -
Lampiran 6. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 15-25% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Ara Kendang 0.62 2 Asam 4.54 8.12 7.59 7.85 3 Bangkal 4.97 6.65 1.89 2.92 4 Bangkirai 1.86 6.66 0.47 0.49 5 Bayur 1.37 1.89 3.44 6 Benitan 14.07 14.79 36.75 15.56 7 Benuang Laki 1.53 3.34 8 Bilayang 0.97 4.01 9 Bintangur 1.06 2.71 10 Dara - Dara 3.92 8.03 15.33 6.92 11 Durian 4.12 5.18 4.10 12 Garu 0.31 13 Geronggang 0.49 0.46 0.39 14 Geyumbang 0.46 15 Girik 28.59 14.60 16 Jalomo 2.28 0.54 0.33 17 Jambu - Jambu 27.79 24.45 39.73 29.60 18 Jawar 1.04 0.68 1.01 19 Jelutung Hitam 0.40 20 Juji 1.86 1.67 2.32 6.15 21 Kapul 0.49 2.54 2.75 22 Kapur 0.53 0.47 23 Kayu Arang 0.49 5.97 5.53 24 Kayu Bawang 0.65 25 Kedondong 0.62 2.45 1.06 1.14 26 Kelempayan 6.22 2.45 27 Kembayar 0.62 2.05 18.37 10.37 28 Kemuning 6.41 2.45 0.53 2.68 29 Kenari 0.34 30 Kenuar 0.53 2.77 31 Keranji 0.37 32 Keruing Rambut 5.79 2.35 8.70 33 Keruing Tempudau 0.70 34 Ladang - Ladang 2.69 1.96 6.62 4.35 35 Lampung 9.52 4.60 2.45 1.08 36 Langsat 0.62 2.94 6.20 5.13 37 Lempung 22.01 10.19 11.46 31.77
Lampiran 6 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Nama Jenis Macaranga Manggeris Manggis Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Kuning Lain Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Rambutan Rengas Resak Rukam Sengkuang Sembiring Tabu Hitam Simpur Sindur Temperas Tengkawang Buah Torap Ulin
Semai 1.87 1.86 27.11 5.18 6.00 0.62 7.70 0.83 2.89 1.24 4.95 3.51 5.58 0.62 0.62 3.51 1.45 3.30 3.71
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Tiang 0.98 0.42 0.98 0.49 0.45 26.19 25.39 2.16 5.78 0.42 0.49 4.39 1.69 0.98 1.27 1.86 0.42 1.17 0.45 0.49 0.95 1.67 11.95 1.17 4.43 0.47 4.39 4.31 6.01 15.38 11.47 3.82 2.74 4.70 13.54 1.17 1.67 0.53 5.00 2.47 0.98 2.80 2.54 2.60 2.16 4.14
Pohon 0.38 1.48 0.93 0.32 25.44 4.03 2.06 3.30 7.67 1.08 3.72 4.71 2.66 3.92 8.10 2.08 10.49 2.34 13.14 4.38 3.49 0.70 0.45 5.55 4.66
Lampiran 7. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 15-25% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Asam 3.90 8.66 9.55 9.58 2 Bangkal 4.49 7.03 3.17 3.39 3 Bangkirai 2.60 6.49 0.78 4 Bayur 2.71 2.36 5.59 5 Benitan 16.08 20.55 31.47 17.90 6 Benuang Laki 2.54 6.92 7 Bilayang 1.62 5.42 8 Bintangur 1.77 2.32 9 Dara - Dara 5.79 10.14 15.89 6.53 10 Durian 7.03 6.37 5.31 11 Garu 0.52 12 Geronggang 0.69 13 Geyumbang 0.77 14 Girik 25.08 15.58 15 Jalomo 3.79 0.90 0.56 16 Jambu - Jambu 22.47 34.90 41.15 31.85 17 Jawar 0.65 18 Juji 1.30 0.95 0.69 4.99 19 Kapul 2.42 3.60 20 Kapur 0.88 0.83 21 Kayu Arang 6.98 6.15 22 Kayu Bawang 0.58 23 Kedondong 2.84 0.69 24 Kelempayan 5.79 0.95 25 Kembayar 1.89 13.62 11.13 26 Kemuning 7.09 0.95 2.90 27 Kenari 0.58 28 Kenuar 0.89 2.14 29 Keruing Rambut 6.50 2.30 3.62 30 Keruing Tempudau 0.61 31 Ladang - Ladang 3.19 7.45 5.27 32 Lampung 7.80 5.14 2.37 0.61 33 Langsat 1.30 2.84 8.69 7.09 34 Lempung 21.28 9.46 13.00 21.89 35 Macaranga 0.68 36 Manggeris 2.77 37 Manggis 0.95 1.05
Lampiran 7 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Nama Jenis Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Kuning Lain Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Rambutan Rengas Resak Sengkuang Simpur Sindur Temperas Tengkawang Buah Torap Ulin
Semai 43.15 2.60 3.90 3.90 1.30 5.79 1.30 6.50 1.30 9.10 1.30 3.90 2.60
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Tiang 0.95 21.64 26.11 2.71 3.78 0.95 2.30 0.95 0.95 0.89 2.30 0.69 0.75 0.95 0.70 2.30 7.21 0.95 5.84 0.78 3.86 1.89 5.44 16.89 15.17 3.25 3.54 4.60 13.64 0.95 2.71 2.38 0.95 3.77 2.30 2.68 0.95 5.22
Pohon 0.55 28.17 1.72 6.23 1.23 3.21 1.99 5.68 9.42 2.08 11.71 3.45 15.74 3.86 5.29 0.51 0.82 4.60 3.81
Lampiran 8. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 15-25% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Alaban 0.64 2 Asam 0.36 0.34 4.28 3.83 3 Bangkirai 4.80 5.28 0.75 4 Bangkal 1.09 2.05 1.23 5 Bayur 2.11 3.03 1.93 1.39 6 Belumai 1.51 0.64 7 Benitan 14.72 13.46 45.22 25.45 8 Benuang Laki 0.36 2.35 0.66 9 Berangan 0.34 0.66 3.08 10 Bilayang 2.09 1.32 11 Bintangur 1.68 2.74 1.32 12 Bungur 0.36 0.68 13 Cemara Hutan 0.67 14 Cempaka Hutan 0.87 15 Dara - Dara 8.06 10.88 3.78 16 Durian 4.57 5.09 7.19 8.97 17 Garu 1.98 18 Geronggang 3.03 19 Geyumbang 1.29 2.02 20 Girik 0.68 9.10 3.49 21 Jalomo 1.99 0.75 22 Jambu - Jambu 13.72 12.35 30.83 58.81 23 Jawar 3.85 4.12 24 Jelutung Hitam 1.96 1.52 0.68 25 Jelutung Putih 0.72 0.69 26 Juji 2.27 2.76 27 Kapul 3.26 2.39 11.19 4.77 28 Kapur 0.72 1.52 1.86 1.25 29 Kapur Batu 2.71 30 Kayu Arang 0.34 3.72 2.11 31 Kayu Bawang 0.72 0.68 1.20 1.34 32 Kayu Ipuh 0.63 33 Kedondong 6.02 8.81 0.65 1.27 34 Kelempayan 7.68 9.45 2.08 1.60 35 Kembayar 7.50 5.47 36 Kemuning 1.20 2.63 37 Kenari 0.76 1.41
Lampiran 8 (Lanjutan) No
Nama Jenis
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Kenuar Keranji Keruing Rambut Keruing Tempudau Keruing Lowei Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Macaranga Manggeris Manggis Marlanang Markabang Medang Melapi Merading Meranti Kuning Lain Merdadong Meringkau Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Pala Hutan Palawan Pisang - Pisang Petai Poli - Poli Punaga Rambutan Randu Hutan Rengas Resak Sangkuang
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Semai Tiang Pohon 3.86 2.60 1.93 0.64 0.63 0.36 1.32 0.76 1.09 2.05 0.60 0.67 0.34 0.74 0.36 3.72 4.56 2.22 2.53 0.68 16.68 7.13 20.21 6.32 34.26 40.41 1.30 0.62 1.74 0.68 5.06 0.36 1.37 0.57 0.86 0.90 1.53 2.35 20.03 19.01 13.64 12.80 4.79 2.89 2.72 3.21 2.63 0.64 2.62 0.85 2.41 5.31 4.12 1.78 3.46 2.05 0.65 1.25 1.09 4.06 3.04 3.91 5.91 2.11 3.93 2.50 5.81 4.24 0.58 1.38 0.63 2.22 0.60 2.04 0.34 0.87 2.74 0.62 7.56 1.41 0.62 14.03 8.03 19.51 20.36 1.98 5.79 10.17 4.09 1.70 3.41 4.40 5.98 10.72 1.09 1.03 0.77
Lampiran 8 (Lanjutan) No 76 77 78 79 80 81 82
Nama Jenis Sembiring Tabu Hitam Simpur Tamburan Tengkawang Buah Tengkawang Rambut Torap Ulin
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Semai Tiang Pohon 1.37 1.93 2.83 6.16 2.83 3.38 2.35 1.07 2.20 2.07 0.79 9.92 8.61 9.48 12.07 12.85 9.60 0.92
Lampiran 9. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan primer dengan kelerengan 25-45% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Agathis 0.48 2 Araw 11.83 0.48 3 Asam 1.66 5.84 11.10 4 Bangkal 0.50 1.43 0.75 5 Bangkirai 11.45 8.91 3.48 4.40 6 Bayur 1.49 1.15 0.88 7 Benitan 19.49 19.84 23.36 13.03 8 Benuang Laki 1.49 1.43 1.59 0.44 9 Bilayang 0.50 1.63 1.53 10 Bintangur 0.99 2.21 0.52 11 Berangan 2.02 12 Bungur 1.17 0.48 13 Dara - Dara 5.81 5.17 6.92 5.86 14 Durian 0.99 2.87 2.92 15 Geyumbang 8.15 3.80 16 Girik 18.21 3.82 17 Jalomo 0.96 3.23 18 Jelutung Putih 2.65 26.96 1.46 19 Jambu - Jambu 18.40 4.02 21.45 25.26 20 Jawar 0.50 0.44 21 Juji 0.50 2.41 3.89 22 Kapul 9.04 2.38 23 Kapur 1.21 24 Kasturi 0.80 25 Kayu Arang 1.49 1.91 13.60 31.32 26 Kayu Bawang 1.34 0.91 27 Kedondong 4.81 7.36 14.12 9.03 28 Kelempayan 8.82 9.48 1.71 0.90 29 Kembayar 4.37 2.61 30 Kenari 0.87 31 Kemuning 0.50 32 Kenuar 2.02 1.15 33 Keruing Rambut 6.06 2.11 1.73 3.21 34 Ladang - Ladang 0.48 3.39 3.81 35 Lampung 5.18 1.91 2.54 0.90 36 Langsat 0.99 1.34 7.98 9.54
Lampiran 9 (Lanjutan) No 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
Nama Jenis Lempung Loban Macaranga Manggeris Manggis Markabang Marlanang Medang Melapi Meranti Lapang Merading Merkunyit Mersawa Mersiput Merwali Merading Nyatoh Putih Nyerakat Pala Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Rengas Resak Rukam Sembiring Tabu Hitam Simpur Sindur Tamburan Tengkawang Buah Torap Ulin
Semai 15.18 3.86 1.84 1.17 26.69 5.25 2.16 1.84 7.83 2.83 0.50 7.83 5.81 5.67 1.17 0.99 2.83 9.13
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Tiang 6.15 23.39 0.74 1.43 2.71 1.15 1.87 25.30 29.43 2.87 2.66 0.85 3.33 0.83 1.43 8.23 8.91 0.78 0.48 0.87 1.73 2.97 1.98 0.48 14.17 19.48 3.25 1.54 2.39 16.99 0.96 0.48 1.00 0.48 0.77 4.20 0.48 4.60 8.61 12.26 6.88
Pohon 28.85 0.43 0.45 8.99 1.21 20.84 0.43 2.17 8.54 0.58 1.36 0.83 8.75 1.61 0.56 0.98 0.53 6.16 2.82 0.54 10.46 1.71 13.62 0.95 2.90 1.46 5.01 0.46 8.41 9.66
Lampiran 10. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah tebangan dengan kelerengan 25-45% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Araw 0.75 2 Asam 1.61 6.74 9.31 13.96 3 Bangkal 0.76 1.19 4 Bangkirai 10.23 6.93 5.20 4.45 5 Bayur 1.84 6 Benitan 27.14 22.32 20.49 12.61 7 Benuang Laki 0.81 1.53 0.67 8 Bilayang 1.84 1.68 9 Bintangur 0.81 2.80 0.82 10 Berangan 1.51 11 Bungur 0.76 12 Dara - Dara 4.35 7.18 6.29 7.80 13 Durian 1.61 1.53 4.62 14 Geronggang 1.24 1.41 15 Geyumbang 8.14 3.86 16 Girik 14.45 2.50 17 Jalomo 1.53 1.38 18 Jambu - Jambu 16.55 26.14 24.13 28.88 19 Jawar 0.67 20 Jelutung Putih 1.93 3.37 21 Jelutung Hitam 2.40 22 Juji 0.81 3.58 6.24 23 Kapul 9.18 3.23 24 Kapur 1.94 25 Kasturi 1.19 26 Kayu Arang 1.61 2.29 15.00 33.96 27 Kayu Bawang 2.16 1.40 28 Kedondong 5.16 5.34 17.92 10.00 29 Kelempayan 7.58 9.35 1.45 0.70 30 Kembayar 5.43 1.96 31 Kenari 1.29 32 Kemuning 0.81 33 Kenuar 3.36 34 Keruing Rambut 4.98 2.57 35 Keruing Tempudau 0.99 36 Ladang - Ladang 2.66 3.14 37 Lampung 5.25 1.53 2.45 -
Lampiran 10 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Nama Jenis Langsat Lempung Loban Macaranga Manggeris Manggis Markabang Medang Melapi Meranti Lapang Merading Merkunyit Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Pala Petai Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Rengas Resak Rukam Sembiring Tabu Hitam Simpur Sindur Tamburan Tengkawang Buah Torap Ulin
Semai 0.81 15.84 2.42 2.24 27.77 6.41 2.74 1.44 7.40 2.74 0.81 9.51 7.09 5.47 0.81 0.81 3.23 7.89
Indeks Nilai Penting (INP) Pancang Tiang 5.01 7.25 30.93 1.09 1.53 2.72 1.84 1.47 29.19 31.09 3.05 1.21 1.26 1.53 4.95 5.96 7.50 1.16 1.16 1.29 3.69 1.51 13.48 18.54 4.45 3.81 16.34 0.76 0.76 1.15 3.49 0.76 3.69 8.97 10.75 7.22
Pohon 8.09 29.84 0.65 0.69 3.45 21.27 0.66 0.98 4.23 0.68 1.76 7.56 0.88 3.41 1.06 0.86 8.81 1.95 11.72 1.47 2.48 2.26 6.54 0.71 10.09 14.68
Lampiran 11. Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) pada setiap plot pengamatan di hutan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-45% Indeks Nilai Penting (INP) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Alaban 0.72 2 Asam 15.52 7.35 3 Bangkal 2.24 3.95 1.35 0.78 4 Bangkirai 7.20 6.58 8.84 5 Bayur 1.54 0.64 0.69 6 Benitan 12.81 14.16 41.26 17.99 7 Benuang Laki 0.75 8 Bilayang 0.70 2.32 9 Bintangur 0.35 2.87 0.76 1.96 10 Berangan 0.75 11 Dara - Dara 7.51 8.17 8.45 0.80 12 Durian 5.46 4.91 4.97 12.15 13 Geronggang 0.70 3.57 2.36 14 Geyumbang 0.68 15 Girik 4.48 0.79 16 Jalomo 2.64 17 Jambu - Jambu 9.10 6.82 19.59 52.10 18 Jawar 0.49 0.32 19 Jelutung Hitam 1.40 0.64 20 Jelutung Putih 0.45 0.83 21 Juji 0.35 9.94 7.09 22 Kapul 4.20 5.80 6.54 3.14 23 Kapur 0.35 0.32 24 Kayu Bawang 0.49 0.77 25 Kayu Arang 1.47 0.82 26 Kayu Ipuh 0.70 27 Kedondong 2.17 4.34 2.52 28 Kelempayan 9.94 7.72 0.71 29 Kembayar 3.74 7.24 30 Kemuning 0.32 0.91 31 Kenuar 4.79 1.98 32 Kenari 0.65 33 Keruing Rambut 4.55 2.17 2.36 3.77 34 Keruing Tempudau 3.22 2.23 35 Ladang - Ladang 1.98 36 Lampung 1.89 1.72 6.80 4.34 37 Langsat 5.60 4.08 17.94 11.25
Lampiran 11 (Lanjutan) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
Nama Jenis Lempung Macaranga Manggeris Manggis Markabang Medang Merading Melapi Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Pala Hutan Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Rambutan Rengas Resak Sangkuang Simpur Torap Ulin
Indeks Nilai Penting (INP) Semai Pancang Tiang Pohon 22.37 9.92 26.69 34.31 0.84 1.68 1.98 4.61 0.35 0.32 2.59 6.32 1.58 14.64 12.37 30.62 29.92 0.91 4.94 1.76 0.32 10.33 6.33 3.73 2.13 0.64 1.36 0.84 0.68 1.05 0.96 3.43 5.74 9.03 5.82 2.09 0.64 9.66 0.91 3.28 2.24 1.53 2.27 0.45 1.65 0.85 1.89 0.96 0.83 1.79 0.70 2.30 7.63 7.09 18.51 17.78 6.52 12.88 6.56 4.59 8.32 8.86 17.02 20.51 1.39 7.43 10.01 0.73 1.02 9.74 11.55 17.85 8.44 8.53 13.97 1.59 -
Lampiran 12. Gambar kegiatan penebangan dan penyaradan di IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
13. Gambar jalur tanam TPTJ (3 meter) di areal konsesi IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
Lampiran 14. Peta areal konsesi IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah