PERKEMBANGAN VEGETASI PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Study Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
PUTRI KARTIKA SARI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERKEMBANGAN VEGETASI PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Studi Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
PUTRI KARTIKA SARI E44054362
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN PUTRI KARTIKA SARI. E44054362. Perkembangan Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Provinsi Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN. Hutan hujan tropika di Indonesia memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi. Kagiatan manusia dalam memanfaatkan hasil hutan kayu membuat potensinya terkuras drastis. Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dikembangkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia sebagai salah satu cara untuk mengurangi laju penurunan potensi hasil hutan dan menjamin ketersediaan stok kayu pada daur selanjutnya. Penelitian ini dilaksanakan di konsesi PT Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah. Penelitian ini mengamati perkembangan vegetasi yang terjadi pada dua kondisi hutan yang berbeda (hutan primer dan LOA 1 tahun), baik pada jalur antara, jalur tanam dan tanah hutan. Analisa vegetasi dilakukan dengan teknik pengambilan contoh nested sampling pada kondisi hutan setahun setelah penebangan dan penjaluran (Et+1) di tiga tingkat kelerengan. Dilakukan analisa terhadap kondisi vegetasi jalur antara, jalur tanam dan perubahan sifat fisika-kimia tanah hutan pada Et+1 yang dibandingkan dengan kondisi hutan primer. Proses suksesi selama Et+1 telah meningkatkan jumlah jenis tumbuhan pada petak penelitian yang sempat menurun pada kondisi setelah penebangan dan penjaluran. Jumlah individu/ha pada Et+1 juga telah mengalami peningkatan, khususnya untuk tingkat semai dan pancang. Nilai keanekaragaman jenis pada Et+1 naik menjadi rata-rata 3,1 dan dikategorikan sedang. Kelas kelerengan ternyata kurang memberikan pengaruh terhadap perubahan jumlah individu/ha. Perubahan lebih disebabkan oleh kondisi tanah dan sebaran individu sesuai dengan habitat alami serta penyebarannya. Pada Et+1 sekitar 67,1% tanaman pengayaan ditanam dengan tingkat kematian sebesar 17,5% dan umur tanaman sekitar 3-6 bulan. Diameter tanaman pada Et+1 terbesar sebesar 1,5 cm dan terkecil 0,25 cm dengan rataan diameter tertinggi sebesar 0,84 dan rataan diameter terendah sebesar 0,42 cm. Tinggi tanaman pada Et+1 tertinggi sebesar 155 cm dan terpendek sebesar 20,1 cm dengan rataan tinggi tertinggi sebesar 93,1 dan terendah sebesar 52,9 cm. Perkembangan vegetasi yang paling lambat dan kondisi kesuburan tanah yang paling buruk terjadi pada lahan bekas jalan sarad. Lahan hutan yang dikelola dengan teknik silvikultur TPTII pada Et+1 telah meningkatkan jumlah jenis dan jumlah individu/ha dari kondisi setelah penebangan dan penjaluran. Tanaman pengayaan pada Et+1 belum tertanam secara keseluruhan. Kata Kunci : Perkembangan Vegetasi, Et+1, Teknik Silvikultur, TPTII
SUMMARY PUTRI KARTIKA SARI. E44054362. Vegetation Succession at Logged Over Area (LOA) by Applying The Indonesian Intensive Selective Cutting and Planting Technique of Silviculture (Case study in IUPHHK of PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan). Under supervision of ANDRY INDRAWAN. The tropical rain forest of Indonesia has high economic value potential. Human interest in use of timber product drastically reduced that potential. The Indonesian Intensive Selective Cutting and Planting Technique of Silviculture or The Intensive of Silviculture was developed by the Ministry of Forestry-Indonesian Republic to reduce the potential decreasion and ensure the timber stocks that can be harvested for the next cutting cycle. This research conducted at PT Erna Djuliawati concession, Central Kalimantan. This research was observing the vegetation succession on two different forest conditions (primary forest and one year logged-over forest), on its planting line, non planting line and its soil. Vegetation analysis uses nested sampling techniques on three different slopes and analyzed the vegetation condition on planting line, non planting line and also its soil properties changes on one year after logging and stripping forest (LOA+1). One year succession process increases the number of tree species on study plots that previously has decreased after logging and stripping. Individual numbers per hectare (density) has increased on LOA+1, especially for seedlings and saplings. The Index of diversity (H’) on LOA+1 which previously decreases after logging and stripping reincrease into 3.1 and it can be categorized as medium level. The result shows that slope has less influence on individual number changes. That changes caused by soil conditions and individual distribution as their natural habitats. About 67.1% enrichment plants were planted on one year after cutting and stripping (LOA+1), 17.5% died after 3-6 months in planted, the high its about 1.5-0.25 m and the diameter is about 0.84-0.42 cm. Former Logging-Track has the slowest vegetation succession and the soil fertility is the worst. Enrichment planting hasn’t implemented entirely according to Intensive of Silviculture pattern. Keywords : Vegetation Succession, Et+1, Silviculture Technique
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Study Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Putri Kartika Sari NRP E44054362
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) Nama
: Putri Kartika Sari
NIM
: E44054362
Menyetujui :
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS NIP. 1945 0108 197603 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Silvikultur
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP. 1964 1110 199002 1 001
Tanggal :
i
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Karya skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang Silvikultur dengan judul “Perkembangan Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di IUPHHK PT. Erna Djuliawati Unit Logging II, Kalimantan Tengah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan pula kepada Bapak Dr. Eka Kusdiandra, MP selaku Camp Manajer dari PT. Erna Djuliawati Unit Logging II Lyman Timber, Kalimantan Tengah atas ijin, saran dan masukannya juga kepada segenap direksi dan staf PT. Erna Djuliawati Unit Logging II, Kalimantan tengah yang telah membantu selama pengumpulan data. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Departemen Silvikultur atas dorongan serta bantuannya didalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, adik, hubby, serta seluruh sahabat dan kerabat terdekat atas doa, dukungan moril dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Putri Kartika Sari dilahirkan di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 23 Mei 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Ir. Mudjihardjo, MM dan ibu Rr. Sriati Moerwaningsih, SH, MM. Jenjang pendidikan formal pertamanya ditempuh mulai dari TK Pertiwi Kabupaten Mojokerto pada tahun 1990 dan dilanjutkan pada tahun 1993 di SDN Gedongan I Kota Mojokerto. Kemudian pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN I Kota Mojokerto hingga tamat pada tahun 2002 serta langsung melanjutkan pendidikannya di SMAN I Sooko Kabupaten Mojokerto dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada program Mayor Silvikultur, Fakultas Kehutanan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti: DPM-KM IPB (2005-2006), MPCA-Lawalata IPB (2006-2007), BEM-E Fakultas Kehutanan IPB (2008-2009), HimaSurya, International Forest Student Assosiation (IFSA LCIPB) dan Tree Grower Community (TGC). Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten dosen pada mata kuliah Dendrologi, Ekologi Hutan, dan Silvikultur pada tahun 2007-2011. Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada jalur Kamojang-Sancang. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat– Sukabumi selama 2 bulan dan pada tahun 2009 penulis juga pernah mengikuti Praktek Kerja Profesi di IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati Unit Logging II, Kalimantan Tengah selama 3 bulan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi yang berjudul, “Perkembangan Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Melalui lembaran yang lebih akrab ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat serta terima kasih yang besar dan setulus hati kepada : 1. Bapak, Ibu, adekku Muhammad Duhri Hasta Rahardja, dan segenap keluarga besar atas segenap doa, tetesan airmata, dukungan semangat, moral, material serta kasih sayang yang tiada putus-putusnya selama hampir enam tahun lamanya untuk rela melepas penulis menuntut ilmu di Bogor ini. 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kurang lebih dua tahun terakhir ini dengan sangat intensif sehingga karya ini dapat segera terselesaikan. 3. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr, Dr. Ir. Agus Hikmat, MS, dan Ir. Nana Mulyana Efendi, MS selaku dosen penguji. 4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi banyak nasehat berharga serta dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dengan baik. 5. Keluarga Besar Direksi Lyman Timber pada umumnya dan PT. Erna Djuliawati Unit Logging II Kalimantan Tengah pada khususnya atas kesempatan berharga yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian ini. 6. Keluarga Besar Camp Bukit Beruang, Kalimantan Tengah, bapak Indra Sumarta (Camp Manajer), bapak Eka Kusdiandra (Wakil Camp Manajer), bapak Teddy (Kepala FEOA), pakde Tamsi (Supervisor Produksi), mas Budi Harsana (Kepala DPH), mas Rully E (teman sebelah kamar), Tim Penelitian (pappy ‘Oppu’ Rustam Effendi, bang Saroga dan keluarga, pappy ‘Dae’, bang Nixon (Ka. Site A), mas Walji ‘Dono’, pakde ‘Perang’ War, pak Budihardjo dan mas Budi Ade beserta segenap anggotanya) atas kerjasamanya yang sangat berharga, serta segenap warga di Km.95, Km.97, Persemaian Site-A dan Site-B serta camp produksi M-50 atas segenap canda-tawa, rasa kekeluargaan, kenangan indah dan kebaikan hati selama disana.
7. Ir. Dadan Mulyana, M.Si atas segenap masukan, semangat dan perjuangannya sehingga skripsi ini dapat segera terselesaikan. 8. Keluarga Besar Laboratorium Ekologi Hutan, Ibu Yani, Dr. Istomo, Dr. Iwan Hilwan, Dr. Yadi Setiadi, bi Era, dan mas Yopi atas segenap bantuan, sharing ilmu pengalaman, kehangatan serta semua kebaikan hati selama ini. 9. Segenap bapak dan ibu guru dan dosen penulis semenjak TK hingga di Perguruan Tinggi atas segenap bekal ilmu yang sangat berharga. 10. Maretha Widoarny Pratama Putri, dkk atas semua semangat yang tak kenal lelah agar penulis segera menyelesaikan skripsi ini. 11. My Hubby Relley Candra Kurniawan atas segenap perhatian, kasih sayang dan dukungan semangat yang tak kenal lelah. 12. Rickhi “ichie’ Bintari Widyawati, ST dan drh. Prista ‘ndud’ Dwi Restanti atas persahabatan indah, segenap doa dan semangatnya yang tak kenal lelah. 13. Rekan-rekan satu bimbingan, kakak Franses Sumiharjo, mas Boy Andreas Marpaung, mas Adie ‘Ketan’, bang Yandry , mbak Kiki, ‘mas Bembeng’ Sambang Parinda, ‘decil’ Deddy Wahyudi, Agha, Nunu ‘Parutan’ dan ‘NyitNyit’ Esti atas semua kenangan indah dan kebaikan hati selama ini. 14. Rekan-rekan Praktek Kerja Profesi Mariani S. Payungalo, Rina ‘tante Cia’ Patricia dan Ferry Moji atas bantuannya selama penelitian. 15. Rekan-rekan Silvikultur angkatan 42, 43, 44, 45, 46, dan 47 atas semua kenangan, semangat dan kebaikan hati selama ini. 16. Serta segenap rekan, kerabat, saudara, kenalan yang membantu, mendukung, dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Mohon maaf tidak dapat disebutkan satu persatu. Allah SWT yang membalas.
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Tujuan Penelitian .................................................................................... 2 C. Manfaat Penelitian .................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Alam Tropika .................................................................... 3 B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan .......................................................... 5 C. Stratifikasi ............................................................................................... 9 D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif .................... 11 E. Hubungan antara Tanah dengan Tegakan .............................................. 12 F. Dampak Penebangan terhadap Kondisi Tanah ....................................... 13 G. Sifat Fisika dan Kimia Tanah ................................................................. 14 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas ........................................................................................ 16 B. Topografi dan Geologis Kawasan .......................................................... 17 C. Iklim Kawasan ........................................................................................ 18 D. Flora dan Fauna ...................................................................................... 18 IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 19 B. Tata Laksana Penelitian .......................................................................... 20 C. Bahan dan Alat Penelitian ...................................................................... 21 D. Metode Pengambilan Data Analisa Vegetasi dan Tanaman Pengayaan 21 E. Metode Pengambilan Contoh ................................................................. 23 F. Analisis Data Vegetasi ........................................................................... 23 G. Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah ............................................ 26 H. Penghitungan Jumlah Tanaman Pengayaan pada Jalur Tanam ............. 27
iii V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jalur antara Petak Penelitian (Analisa Vegetasi) .................................... 28 B. Kondisi Jalur Tanam Petak Penelitian .................................................... 42 C. Perkembangan Sifat Fisika dan Kimia Tanah di Lokasi Penelitian ................................................................................................ 45 D. Hubungan Antara Tanah dengan Perkembangan Tegakan Tinggal Log Over Area (LOA) dan Tanaman Pengayaan .................................. 51 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................ 55 B. Saran ....................................................................................................... 55 VII. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 56 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 58
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah ............................................................ 14
2.
Kisaran Nilai Sifat Kimia Tanah ................................................................ 15
3.
Kelas Lereng PT. Erna Djuliawati ............................................................. 17
4.
Parameter dan Metode Analisis Sifat Fisik Tanah ...................................... 26
5.
Parameter dan Metode Analisis Sifat Kimia Tanah .................................... 27
6.
Jenis yang ditemukan di petak GG-39 ....................................................... 28
7.
Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan ................................... 31
8.
Komposisi Pemudaan dilihat dari Kerapatan (N/ha) serta Frekuensi ........ 32
9.
Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai ................................ 35
10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang ............................ 36 11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang .................................. 37 12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon ................................. 38 13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis Plot Pengamatan ............................ 39 14. Indeks Kekayaan Margallef (R1) ................................................................. 40 15. Indeks Kemerataan Jenis (E) ....................................................................... 41 16. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) ............................................................. 41 17. Persentasi Natalitas dan Mortalitas Tanaman Pengayaan pada Et+1 .......... 42 18. Rata-Rata Tinggi Tanaman Jalur TPTII Et+1 ............................................. 44 19. Perbandingan Sifat Fisik Tanah .................................................................. 46 20. Pengukuran pH Tanah .................................................................................. 47 21. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah . 48 22. Sifat Kimia Tambahan ................................................................................. 49
v
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Satuan Petak Ukur di dalam Petak GG-39 .................................................... 19 2. Diagram Alir Penelitian ................................................................................. 20 3. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi ................................................. 22 4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter ............................... 30 5. Struktur Tegakan Hutan Et+1 dengan Kelas Diameter ................................. 30
vi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 ................................... 57 2. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Petak GG- ..................................... 62 3. Data Curah Hujan PT. Erna Djuliawati ........................................................ 64 4. Rekapitulasi Data Analisis Vegetasi ............................................................. 65 5. Peta RKT Tahun 2009 PT. EDL .................................................................. 80 6. Peta Kelas Lereng Areal Kerja PT. EDL ..................................................... 81
1
I . PE N D AH UL UA N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan hujan tropis dengan potensi ekonomi tinggi. Namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi akibat populasi manusia di Indonesia yang terus meningkat (Intervensi manusia dalam pemanfaatan hasil hutan tropis pada masa silam maupun sekarang) menyebabkan potensinya menurun. Hal ini merupakan suatu kenyataan buruk yang tidak dapat dihindarkan. Hutan alam tropika Indonesia sekarang terpotret dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Salah satu kegiatan perusakan hutan hujan tropika yang paling dominan pengaruh merusaknya dalam suatu ekosistem hutan ini adalah kegiatan penebangan hutan dalam skala besar. Dan untuk mengurangi dampak atas kegiatan tersebut Kementrian Kehutanan Republik Indonesia mengembangkan serta menerapkan berbagai sistem atau regim dan teknik silvikultur. Beberapa sistem silvikultur yang pernah diperkenalkan dan telah diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) sendiri menurut SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No.77/VIBPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 merupakan suatu teknik silvikultur yang menerapkan prinsip-prinsip dasar silvikultur intensif seperti kegiatan pemuliaan pohon melalui pemilihan jenis bibit, manipulasi lingkungan melalui pembuatan jalur khusus dan kegiatan perlindungan serta pemeliharaan tanaman jalur secara berkala dan intensif. TPTII muncul sebagai penyempurnaan dari sistem TPTJ sebagai suatu sistem silvikultur yang ijin penggunaannya telah dicabut oleh Pemerintah. Penelitian ini dilakukan di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah yang mana IUPHHK-HA tersebut merupakan salah satu yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai IUPHHK-HA contoh untuk mengujicobakan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ini.
2
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui struktur dan komposisi tegakan hutan pada kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran (tegakan tinggal pada Et+1) yang dikelola dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silvikultur Intensif) di tiga tingkat kelerengan yaitu datar (0-15%), sedang (15-25%), dan curam (>25%) . 2. Mengetahui kondisi tanaman pengayaan di jalur tanam pada Et+1. 3. Mengetahui kondisi sifat fisik dan sifat kimia tanah pada areal satu tahun setelah penebangan yang dilaksanakan oleh PT. Erna Djuliawati.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada PT. Erna Djuliawati mengenai perkembangan kondisi tegakan hutan pada satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan menggunakan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Alam Tropika 1. Batasan Hutan Hujan Alam Tropika Menurut UU RI No.41 Tahun 1999 kawasan hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan. Hutan hujan tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Iklim selalu basah, 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah, 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4000 m dpl), 4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya: a. Hutan hujan bawah 2 – 1000 m dpl, b. Hutan hujan tengah 1000 – 3000 m dpl, c. Hutan hujan atas 3000 – 4000 m dpl. 5. Hutan hujan bawah dengan jenis kayu penting lebih banyak didominasi dari family Dipterocarpaceae (marga : Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops). Sedangkan genus lainnya antara lain : Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Coompassia, dan Octomeles. Hutan hujan tengah dengan jenis kayu utama terdiri atas family
Lauraceae,
Fagaceae,
Cunoniaceae,
Magnoliaceae,
Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lainnya. Hutan hujan atas dengan jenis kayu utama berasal dari family Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lainnya. 6. Di Indonesia terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.
4
2. Komponen Penyusun Hutan Hujan Tropika Menurut Ewusie (1980) berdasarkan komponen penyusunnya kondisi hutan hujan tropika dibedakan atas komponen abiotik dan biotik. 1. Komponen abiotik terbagi atas : a. Suhu. Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 20° C - 28° C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 meter di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0,4° C – 0,7° C. b. Curah hujan. Hutan hujan tropik menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 3000 mm dalam setahunnya. c. Kelembaban atmosfer. Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80%. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. d. Angin. Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam. e. Cahaya. Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam dimanapun di wilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi. f. Karbondioksida. Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama - sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2. Komponen biotik hutan hujan alam tropika terdiri kelompok produsen, konsumen dan dekomposer atau pengurai. Kelompok pengurai dan konsumen tidak dibahas dalam penelitian kali ini. Dari jenis produsen hanya terdiri atas aneka jenis tetumbuhan yang tergabung dalam kelompok herba, liana (woody liana dan non woody liana), tumbuhan epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.
5
B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan 1. Definisi Suksesi Misra (1980) mendefinisikan suksesi sebagai suatu proses universal dari perkembangan komunitas. Suksesi selalu memulai pertumbuhannya pada area yang terbuka. Beberapa area tersebut kemungkinan primer atau sekunder. Area primer adalah suatu tempat dimana sebelumnya tidak terdapat kehidupan suatu jenis tanaman pun (seperti bebatuan, pasir, dan air). Sedangkan area sekunder adalah suatu tempat dimana terdapat kehidupan tanaman tetapi musnah karena satu atau lebih faktor. Sedangkan menurut Odum (1992) suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas yang merupakan urutan pergantian komunitas satu dengan yang lainnya pada satu area yang ada. Soerianegara dan Indrawan (1989) menyebutkan bahwa masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohonpohon tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohonpohon yang selama ini hidup tertekan, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme
atau
proses
yang
mengembalikan
pada
keadaan
kesetimbangan.
2. Proses Suksesi Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton dan Wolf, 1990).
6
Menurut Misra (1980), evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah : a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah. b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuhtumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya. c. Ecesis,
yang
merupakan
proses
perkecambahan,
pertumbuhan,
berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecessis individu-individu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers. d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu simple agregation dan mixed agregation. e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan Co-existence. f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang tumbuh dan menetap. g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru.
7
h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan. i. Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya. Whitmore (2003) membagi siklus pertumbuhan hutan atas tiga tingkatan, yaitu fase rumpang, fase perkembangan, dan fase pendewasaan, dimana secara bersama-sama membentuk mosaik yang terus menerus mengalami perubahan keadaan dan bentuk. Di daerah Amerika Tengah, Budowski (1965) dalam Longman (1992) menyatakan empat tahap yang terjadi pada suksesi hutan tropis, yaitu : tingkat pionir, tingkat sekunder awal, tingkat sekunder akhir dan klimaks. Jenis-jenis yang terdapat pada dua tingkat pertama memiliki penyebaran yang luas dan kemunculannya dalam hutan tropis tertentu tetap pada jumlah yang besar. Jenis-jenis yang berada pada tingkat sekunder akhir mencapai ukuran tertentu dan di Afrika setidaknya sering terdapat pada kondisi formasi hutan yang agak lebih kering daripada hutan yang beregenerasi itu sendiri. Akhirnya pada tingkat klimaks, tercapainya keseimbangan komunitas.
3. Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Menurut Richard (1966), fase pertama dari suatu suksesi di hutan hujan tropis adalah didominasi oleh rerumputan, yang biasanya berumur pendek dan tidak lebih dari satu tahun. Fase selanjutnya didominasi oleh semak, tetapi dominansi biasanya terjadi hampir secara langsung dari bentuk tanaman rerumputan ke bentuk pohon. Kemudian lambat laun berkembang sebuah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon berumur pendek, cepat tumbuh dan tersebar melalui angin dan hewan. Lebih lanjut lagi kondisi ini secara perlahan-lahan berubah dan berkembang menjadi suatu komunitas yang klimaks klimatik. Beberapa spesies toleran memiliki
8
kapasitas untuk menginvasi areal hutan pada awal proses suksesi berlangsung. Sementara menurut Spurr dan Burton (1980) pohon toleran yang lain karena
kemungkinan
siklus
hidupnya
yang
pendek
ataupun
ketidakmampuannya mencapai tingkat overstorey dan bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ada, kemungkinan tidak pernah menjadi bagian besar dari akhir suatu suksesi hutan. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) suatu suksesi primer diawali oleh permukaan tanah telanjang kemudian berkembang vegetasi cryptogamae, rumput herba dan semak kecil, vegetasi semak belukar, vegetasi perdu pohon dan akhirnya terbentuklah vegetasi klimaks hutan.
4. Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi Perkembangan komunitas di daratan ataupun di perairan merupakan suatu proses yang mana pada fase awal hanya terdapat jenis tumbuhan berumur pendek dalam jumlah yang sedikit. Seiring berjalannya waktu tumbuhan-tumbuhan tersebut meningkat jumlahnya dan mengubah komponen abiotik, terutama tanah dan iklim mikro. Perubahan lingkungan ini kemungkinan sesuai untuk pertumbuhan dan pembentukan beberapa jenis lainnya yang lebih tinggi yang menginvasi areal tersebut dan mencari niche yang sesuai untuk perkembangannya kemudian menjadi bagian dari komunitas yang ada (Misra, 1980). Ewusie (1980) menyatakan bahwa pada waktu tutupan hutan dihilangkan, segera terjadi perubahan intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Tatanan iklim mikro hutan asli hilang. Berdasarkan kenyataan bahwa tanah hutan tersebut kemudian terkena hujan dan matahari sehingga terjadi penurunan harkat tanah yang mengakibatkan pengikisan dan kehilangan humus dengan cepat. Di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan tetapi proses ini sebagian terjadi juga pada musim kering. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus
9
sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Disamping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada juga yang disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian.
C. Stratifikasi Menurut Ewusie (1980) didalam masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (species) atau berbagai jenis. Karena mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hal hara mineral tanah, air cahaya dan ruang. Hutan hujan tropika dikenal
dengan
adanya
perlapisan
atau
stratifikasi.
Hutan
Tropika
menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri dari pepohonan setinggi 30 – 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18 – 27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8 – 14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tetumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna. Soerianegara dan Indrawan (1989) menyatakan bahwa didalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) dari pada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan misalnya sebagai berikut: a. Stratum A merupakan lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak,
10
b. Stratum B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20 – 30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran), c. Stratum C terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4 – 20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil banyak cabang, d. Stratum D merupakan lapisan perdu dan semak setinggi 1 sampai dengan 4 meter, dan e. Stratum E merupakan lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover) setinggi 0 – 1 m.
D. Sistem dan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem Silvikultur menurut Suhendang (2008) merupakan suatu rangkaian perlakuan yang terencana terdiri atas pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali suatu tegakan. Sedangkan sistem silvikultur menurut PP. 11/Menhut-II/2009 dalam Elias (2009) adalah sebagai sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanam dan memanen. Menurut Troup (1966) dalam Departemen Kehutanan (1992) mengatakan bahwa
teknik
silvikultur
adalah
proses
penanaman,
pemeliharaan,
penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan teknik silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama dan mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik tanah, struktur komposisi, topografi lahan, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan. Munculnya TPTII diilhami oleh program accelerated optimal growth yang bisa diterapkan dalam sistem TPTJ atau tebang habis, sehingga muncullah teknik silvikultur intensif. Sistem TPTJ dengan teknik silvikultur intensif oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kehutanan dinamakan
11
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. Tujuan diberlakukannya Teknik Silvikultur Intensif Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah karena sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah dicabut oleh pemerintah. Disamping itu tujuan dari TPTII adalah : (1) Untuk mewadahi teknik silvikultur intensif agar bisa segera berfungsi supaya standing stock hutan Indonesia bisa kembali normal dan bahkan bisa meningkat dari rotasi ke rotasi berikutnya, (2) Untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada TPTJ, misalkan penentuan spesies target, upaya untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas produk lewat tindakan pemuliaan pohon, akselerasi pertumbuhan dan tindakan pengendalian hama terpadu. (Soekotjo, 2009) Dalam pelaksanaan TPTII, menurut Soekotjo (2009) khususnya dalam persiapan penanaman dan tebangan dilakukan persis sama dengan apa yang dilakukan pada Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia. Limit diameter pada beberapa lokasi menyesuaikan TPTJ, yakni diameter diatas 40 cm. Perbedaannya dengan TPTJ adalah pada TPTII jarak antar jalur tanamnya adalah 20 m, dan jarak tanam dalam jalur tanamnya adalah 2,5 cm. Dengan demikian N per ha riil adalah 200 batang dan pada akhir rotasi jumlah pohonnya 160 batang, dengan cara menjarang tiang atau pohon yang inferior. Apabila pohon dengan rerata diameternya 50 cm per batang maka akan menghasilkan kayu sekitar 2,5 m3 sehingga bila N per hanya 160 batang, standing stock-nya dapat mencapai 400 m3/ha. Dalam hal ini keunggulan dari teknik TPTII ini diantaranya : a. Kontrol pengelolaan lebih efisien, murah, dan mudah, b. Sedari awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis terpilih sehingga pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan. Hal ini dapat diprediksi meningkatkan nilai produktivitas sehingga kualitas produk dapat lebih baik, c. Target produksi bisa flexibel tergantung pada inestasi pada tanaman (kayu sebagai produk metabolisme sekunder), d. Keanekaragaman hayati atau kondisi lingkungan menjadi lebih baik, e. Kemampuan produksi perusahaan semakin meningkat.
12
E. Hubungan antara Tanah dengan Tegakan Tanah merupakan kumpulan bahan-bahan alami yang terdapat di permukaan bumi dan merupakan tempat berpijaknya pohon-pohon. Tanah terjadi karena pengaruh iklim dan kehidupan pada bahan induk tergantung pula pada bentuk dan waktu. Keberadaan bahan alami bumi berupa tanah mempunyai peranan penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanaman, yaitu memberi dukungan mekanis dengan menjadi tempat berjangkarnya akar, menyediakan udara (oksigen) untuk respirasi, air dan hara, serta menjadi media saling tindak dengan jasad lain. (Poerwowidodo, 2004). Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal, antara lain kehilangan unsur hara dan bahan organic dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan vegetasi (Arsyad, 2006). Keberhasilan pertumbuhan tanaman hutan di lapangan dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang terdiri dari faktor genetis dan faktor lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh gen-gen kromosom yang mempengaruhi proses-proses fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor lingkungan dimunculkan oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu tanaman yang mempengaruhi proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2004). Oliver dan Larson (1996) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan tegakan akan meningkatkan kelembapan yang memungkinkan akar untuk melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan ruang pori untuk menyimpan kelembapan. Oksigen tanah dan nutrisi akan meningkat sehingga akar dan mikroorganisme dapat mendistribusikanya dari kedalaman dan membawanya naik ke atas. Total nitrogen akan meningkat sejalan dengan perkembangan tegakan.
13
F. Dampak Penebangan terhadap Kondisi Tanah Secara umum kegiatan degradasi hutan menyebabkan degradasi pula pada tanah. Definisi degradasi ini bersifat subjektif (Lamb, 2005), memiliki pengertian berbeda tergantung cara pandang suatu kelompok masyarakat. Menurut kategori umum pertanian tanah di daerah hutan tropika basah termasuk kedalam kategori miskin hara. Namun demikian ekosistem hutan primer tidak menunjukkan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling system yang efisien. Perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekuensi pada kelestarian penggunaan lahan tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Lamb (2005) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk atau jasa. Kategori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan kategori kedua berhubungan dengan degradasi tanah in situ yang berupa degradasi kimia dan atau fisika tanah. Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilang atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat
dibandingkan
penambahannya
pada
lapisan
tanah
atas.
Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan kehilangannya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada kelstarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting terhadap pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapasitas pegang airm ketersediaan hara tanaman, dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0 – 30 cm) kehilangan sekitar 20 – 60% dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami.
14
G. Sifat Fisika dan Kimia Tanah Sifat Fisika tanah meliputi tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapastitas pegang air, karakteristik air, kadar air dan suhu tanah. Bobot isi tanah (bulk density) menunjukkan berat tanah kering persatuan volume tanah (termasuk pori tanah) dan biasanya dinyatakan dalam gram/cc. Bobot isi tanah merupakan petunjuk tidak langsung atas kepadatan tanah. Permeabilitas adalah kecepatan laju air dalam medium massa tanah. Sifat ini penting artinya dalam keperluan drainase dan tata air tanah. Bagi tanah yang berstruktur halus biasanya mempunyai permeabilitas lebih lambat dibandingkan tanah bertekstur kasar. Berdasarkan Hardjowigeno (2007) kriteria permeabilitas tanah tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah Deskripsi Sangat Cepat Cepat Agak Cepat Sedang Agak Lambat Lambat Sangat Lambat
Permeabilitas (cm/jam) > 25,0 12,5 – 25,0 6,5 – 12,5 2,0 – 6,0 0,5 – 2,0 0,1 – 0,5 < 0,1
Sifat Kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada umunya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat ini diantaranya adalah pH, KTK, dan unsur-unsur hara makro dan mikro. Unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dan fungsi keberadaannya tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Sehingga bila jumlahnya tidak dalam kondisi cukup maka tanaman kurang dapat tumbuh secara normal. Unsur-unsur hara esensial tersebut antara lain : unsur hara makro (C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg) dan unsur hara mikro (Mn, Fe, B, Zn, Cu, Mo,Cl). (Hardjowigeno, 2007) Bahan organik tanah adalah bahan tanah yang mengandung C-organik lebih tinggi daripada ketentuan yang berlaku pada tanah mineral. Jumlahnya sekitar 3 – 5% dari keseluruhan bahan tanah. Komponen bahan organik yang penting adalah kadar C dan N. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan
15
kation. Nilai KTK yang tinggi pada tanah lebih baik didalam suplai hara tanah, begitu pula sebaliknya. Tanah dengan KTK yang didominasi oleh kation basa Ca, Mg, K, Na didefinisikan sebagai tanah dengan kejenuhan basa tinggi, sedangkan bila didominasi oleh nilai Al dan H maka kejenuhan basanya rendah dan dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah. Tabel 2 menyajikan kisaran nilai kimia tanah menurut Puslit Tanah (1993) dalam Poerwowidodo (2004). Tabel 2. Kisaran Nilai Sifat Kimia Tanah Sifat Tanah BO (%) C (%) N (%) C/N P2O5 HCl (mg/100gr) K2O HCl (mg.100gr) KTK KB (%) pH
Rendah <3,46 1,00-2,00 0,10-0,20 5-10
Sedang 3,46-5,19 2,01-3,00 0,21-0,50 11-15
Tinggi >5,19 3,01-5,00 0,51-0,75 16-25
10-20
21-40
41-60
10-20
21-40
41-60
17-24 36-50 Agak Netral Masam 5,6-6,5 6,6-7,5
25-40 51-70
5-16 20-35 Sangat Masam Masam <4,5 4,5-5,5
Agak Alkalis 7,6-8,5
Alkalis >8,5
16
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN PT. Erna Djuliawati merupakan salah satu perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang telah beroperasi sejak 1989 dan mendapatkan SK IUPHHK pembaharuan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.15/Kpts-IV/1999 tanggal 18 Januari 1999 dengan luas areal konsesi sebesar 184.206 ha. Dengan luasan tersebut untuk mempermudah proses pemanenan hasil hutan pada setiap tahunnya PT. Erna Djuliawati membagi kawasan menjadi dua site yakni site A di bagian timur dan site B dibagian barat. Sejak awal beroperasinya PT Erna Djuliawati telah menebang sekitar 24.562 hektar hutan primer (data sampai dengan akhir tahun 2003) dengan rata-rata tebangannya seluas 4.400 ha/tahun. Berbagai macam sistem silvikultur telah diterapkan oleh PT Erna Djuliawati diantaranya adalah teknik Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pada tahun 2005, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.SK.77/VI-BPHA/2005 tanggal 03 Mei 2005 jo No.S.321/VI-BPHA/2006 tanggal 21 April 2006, PT. Erna Djuliawati ditunjuk sebagai model teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan luas 500 Ha per tahun.
A. Letak dan Luas Secara administrasi kehutanan PT. Erna Djuliawati Unit logging II terletak di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) wilayah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan dan Dinas Kehutanan kabupaten Katingan. Sedangkan secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan dan Kecamatan Tumbang Hiran, Kabupaten Katingan. Secara geografis aeral kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada 00°52’30’’ – 01°22’30’’ LS dan 111°30’00’’ – 112°07’30’’ BT. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk kelompok hutan S. Salau dan S. Seruyan. Perusahaan membagi kawasan ini menjadi dua site yaitu site A di bagian Timur, dan site B di bagian Barat, yang mengikuti arah tangkapan dari sistem sungai yang mengalir melewati areal konsesi.
17
Adapun batas-batas lokasi konsesi PT. Erna Djuliawati Unit Logging II (PT. EDL) adalah sebelah utara berbatasan dengan areal kerja dari PT. Sari Bumi Kusuma serta kawasan hutan lindung. Sebelah barat berbatasan dengan areal kerja dari PT. Indochin Aria Bima Sari dan kawasan hutan lindung. Sebelah timur berbatasan dengan areal kerja dari PT. Sarmiento Parakatja Timber, PT Berkat Cahaya Timber, dan PT. Meranti Mustika. Sebelah selatan berbatasan dengan areal kerja dari PT. Indochin Aria Bima Sari dan Sungai Manjul. (PT. EDL, 2005).
B. Topografi dan Geologis Kawasan Kawasan kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Unit Logging II berada pada ketinggian 111 – 1.082 m dpl dengan kondisi topografi wilayah berkisar dari areal datar sampai dengan sangat curam. Pengelompokan kelas lereng pada areal PT Erna Djuliawati Unit Logging II dapat dilihat pada Tabel 3 dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 3. Kelas Lereng PT. Erna Djuliawati Luas Ha (%) A 0-8 Datar 43.247 23,48 B 8 - 15 Landai 60.880 33,05 C 15 - 25 Agak Curam 49.009 26,61 D 25 - 40 Curam 28.998 15,74 E > 40 Sangat Curam 2.072 1,12 184.206 100,00 Jumlah Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna Djuliawati Skala 1 : 50.000 (1997). Kelas Lereng
Kemiringan (%)
Topogafi
Berdasarkan Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmatit benua dengan luas 173.246 Ha (94,05%) dan batuan alas kerak benua dengan luas 10.960 Ha (5,95%). Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (berdasarkan SK Mentan No.837/Kpts/Um/11/1980) antara lain Latosol (44%) dan Podsolik Merah Kuning (56%). PT. EDL (2005).
18
C. Iklim Kawasan Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe A dan sebagian tipe B. Sedangkan untuk kondisi curah hujannya, diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.303,7 mm dengan rataan jumlah hari hujan 162 hari atau dengan intensitas hujan sekitar 19,9 mm. Suhu udara rata-rata adalah 26,4°C dengan kisaran suhu rata-rata bulanan antara 26,1 – 29,7°C. Suhu udara yang tergolong rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai April, sedangkan suhu udara tertinggi tercatat terjadi pada bulan Oktober. Kelembapan udara ratarata adalah sebesar 85%, dengan kisaran antara 83 – 87%. Kelembapan udara terendah tercatat terjadi antara bulan Agustus sampai September dan tertinggi pada bulan Maret. (PT. EDL, 2007)
D. Flora dan Fauna Jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara lain meranti merah (Shorea leprosula Miq.), meranti putih (Shorea lamellate V.SI.), meranti kuning (Shorea acuminatissima Sym.), bangkirai (Shorea leavifolia Endert.), rengas (Gluta renghas L.), kapur (Dryobalanops beccarii Dyer.), geronggang (Cratoxylon sp.), dan sebagainya. Sedangkan untuk jenis satwa yang ada di kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati Unit Logging II antara lain orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarcitos malayanus), lutung (Presbiyis cristata), trenggiling (Manis javanica), babi hutan (Sus barbatus), kijang (Mantiacus muntjak), biawak (Varanus tegek.), ular sawah (Phyton sp.), dsb. (PT. EDL, 2007).
19
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dalam areal IUPHHK–HA PT Erna Djuliawati Unit Logging II S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian ini berada pada site A, petak GG-39. Areal ini dikelola dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) waktu tebang Pebruari 2008. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6, sketsa lokasi satuan petak contoh dapat dilihat pada Gambar 1.
U
300 m
100 m
Keterangan Petak: Biru : Kelerengan Datar Kuning : Kelerengan Sedang Merah : Kelerengan Curam : Jalan Mayor/Minor
Gambar 1. Satuan Petak Ukur di dalam Petak GG-39 Pengambilan data analisa vegetasi, data tanah dan data tanaman jalur dilaksanakan pada bulan April – Mei 2009. Analisa sifat fisika dan kimia tanah dilaksanakan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
20
B. Tata Laksana Penelitian Penelitian meliputi beberapa tahap kegiatan, yaitu: 1) persiapan penelitian, 2) pelaksanaan penelitian di lapangan, 3) analisis data. Diagram alir kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 2.
Mulai
Data Sekunder : Data Anveg Hutan Primer, Peta Topografi, Peta Tanah, dan Peta Kerja Petak GG-39
Kesamaan ciri tanah dan Iklim serta Sistem Pengelolaan
Satuan Hutan/Areal Pengamatan (Petak GG-39)
Satuan Petak Contoh
Pengambilan data Vegetasi
Pengambilan Contoh Tanah
Analisis Struktur dan Komposisi Vegetasi
Analisis Fisika dan Kimia Tanah
Analisis data hasil dan Pembahasan
Kesimpulan
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Selesai
21
C. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data primer. Data primer meliputi data inventarisasi vegetasi pada hutan Et+1 atau kondisi hutan satu tahun setelah kegiatan penebangan, data tanaman pengayaan pada hutan Et+1 dan data tanah pada hutan Et+1. Sedangkan data sekunder meliputi data analisis vegetasi pada hutan primer pada petak yang sama, data curah hujan, peta kerja dan peta potensi pohon petak GG-39. Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah peta kerja petak GG-39 (peta sebaran pohon dan peta topografi kawasan), phiband atau pita diameter, haga hypsometer, kompas tandem, patok, tali rafia atau tambang, buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, caliper, seng, ring tanah, alat tulis, kertas label dan caliper.
D. Metode Pengambilan Data Analisa Vegetasi dan Tanaman Pengayaan Pada pengambilan data untuk analisis vegetasi pada kondisi hutan satu tahun
setelah
kegiatan
penebangan
dan
penjaluran
dilakukan
penginventarisasian hutan pada areal kajian seluas 9 hektar yang tersebar sesuai kebutuhan penelitian di petak GG-39. Petak dibedakan berdasarkan rataan tingkat kelerengan kawasan dengan pengulangan tiga kali pada setiap rataan tingkat kelerengannya, yaitu untuk kelerengan datar (0-15%), sedang (15-25%), dan curam (> 25%). Masing – masing satuan contoh pengamatan berluasan satu hektar (100 x 100 m2). Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan sub-petak seperti tampak pada Gambar 3. Untuk vegetasi tingkat semai dan pancang ditentukan nama jenis dan dilakukan penghitungan jumlah jenis pada tiap sub-petak contoh. Untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon dilakukan pengklasifikasian jenis, pengukuran tinggi serta diameternya. Sedangkan untuk tanaman pengayaan dilakukan pencatatan tentang jenis tanaman pengayaan yang ditanam, dilakukan pengamatan pada lokasi penanaman jalur atas penyebab kematian atau belum ditanamnya bibit serta dilakukan pengukuran atas tinggi dan diameter pada tanaman pengayaan.
22
Kegiatan inventarisasi hutan pada petak penelitian dilakukan dengan metode nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 3.
100 m
Gambar 3. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi Keterangan: A
= Sub petak intensif untuk tingkat semai berukuran 2 m x 2 m untuk permudaan vegetasi pohon dengan tinggi kurang dari < 1.5 m,
B
= Sub petak intensif untuk tingkat pancang berukuran 5 m x 5 m untuk permudaan vegetasi pohon dengan tinggi > 1.5 m dan diameter < 10 cm yang meliputi nama jenis dan jumlah jenisnya,
C
= Sub petak intensif untuk tingkat tiang berukuran 10 m x 10 m, untuk permudaan vegetasi pohon dengan diameter antara 10 cm sampai 19,9 cm yang mencakup nama jenis, tinggi total, dan diameter setinggi dada,
D
= Sub petak intensif untuk tingkat pohon berukuran 20 m x 20 m, untuk vegetasi dengan diameter > 20cm yang mencakup nama jenis, tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter setinggi dada.
23
E. Metode Pengambilan Contoh Tanah Tujuan pengambilan contoh tanah adalah untuk mendapatkan data sifat fisika dan kimia tanah guna kebutuhan simulasi. Pengambilan contoh tanah kajian untuk sifat fisika tanah dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dan sifat kimia tanah dengan menggunakan metode tanah terusik. Cara pengambilan contoh tanah dengan metode tidak terusik adalah dengan menumpuk 2 ring tanah menjadi satu kemudian ditekan ke permukaan tanah yang telah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau lapisan serasah kasar). Setelah seluruh bagian ring tanah penuh terisi tanah maka ring dicongkel dengan golok dan tanah langsung dikemas dalam kantong plastik. Pengambilan dilakukan di plot pengamatan pada kelerengan datar, sedang dan curam pada bawah tegakan, jalan sarad serta pada jalur tanam. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dan kedalaman 20 – 40 cm. Sedangkan metode tanah terusik adalah tanah secara langsung dicongkel dengan menggunakan alat pencongkel sesuai dengan kedalaman yang diinginkan dalam hal ini sedalam 20 cm dari lapisan tanah atas kemudian langsung dimasukkan kedalam plastik tertutup. Adapun sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air contoh tanah. Sedangkan untuk sifat kimianya dianalisa antara lain pH tanah dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro.
F. Analisis Data Vegetasi Analisis Vegetasi dari jenis-jenis pohon dan permudaannya dapat menentukan nilai-nilai sebagai berikut: 1. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) Soerianegara dan Indrawan (1989). Struktur horizontal dari hutan tropika dalam bentuk kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting. Kerapatan menyatakan jumlah
24
individu per hektar, frekuensi menyatakan penyebaran dari jenis yang diteliti, semakin tinggi nilai frekuensinya maka persebaran jenis tersebut akan semakin merata. Dominansi dinyatakan dalam jumlah luas bidang dasar dari jenis-jenis yang diteliti per–hektar. Indeks Nilai Penting merupakan jumlah dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan
=
KR
=
Dominansi
=
DR
=
Frekuensi
=
FR
=
INP
= KR + FR (untuk semai dan pancang)
INP
= KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)
Luas area sampel
Kerapatan suatu Jenis
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel
Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis
× 100% × 100%
Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi seluruh jenis
× 100%
2. Keanekaragaman Jenis Menurut Magurran (1988) istilah keanekaragaman jenis dikemukakan pertama kali oleh Good (1953), merupakan parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Magurran (1988) menyebut konsep ini sebutan spesies abundance atau kelimpaan jenis. Dari sekian jenis Indeks heterogenitas pada penelitian ini menggunakan Indeks Shannon-Wiener. Rumus dari Shannon-Wiener Index of General Diversty :
n n H' = - ∑ i ln i N i =1 N s
25
Keterangan : H’ = Shannon-Wiener Index of General diversity ni
= Indeks nilai penting jenis i
N
= Total Indeks Nilai Penting
Dalam
Indeks
ini
menggunakan
parameter
nilai
Indeks
Keanekaragaman Jenis (H’), jika < 1.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, sedangkan jika nilai H’ antara 1.5 dan 3.5 tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman yang tergolong tinggi.
3. Indeks Kekayaan Jenis (Species Richness Index) Menurut Magurran (1988) konsep ini pertama kali dicetuskan oleh McIntosh pada tahun 1967. Yang dimaksud dengan kekayaan jenis (species richness) adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu komunitas. Margalef membuat rumus yang dikenal dengan Indeks Diversitas Margalef (R1) dengan metoda yang didasarkan pada rumus :
R1 =
S -1 ln (N)
Keterangan : R 1 = Indeks Diversitas Margallef S
= Jumlah Jenis
N
= Jumlah Total Individu
Menurut Magurran (1988), jika nilai R 1 < 3.5 kekayaan jenis tergolong
rendah, jika nilainya 3.5 < R 1 < 5.0 tergolong dalam kekayaan jenis sedang, dan jika nilai R 1 > 5.0 kekayaan jenis tergolong tinggi.
4. Indeks Kemerataan Jenis (Evenness) Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpaan individu antara setiap species. Ukuran kemerataan ini pertama kali diketemukan oleh Lloyd dan Ghelardi pada tahun 1964 (Magurran, 1988). Konsep ini dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap jenis
26
dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama maka komunitas tersebut memiliki nilai Evenness maksimum dan sebaliknya bila nilai Evenness ini kecil. Nilai ini berkisar antara 0 – 1 dan lebih sering dinyatakan dengan rumus :
E=
H' ln (S)
Keterangan : E
= Indeks Kemerataan Jenis (dimana E < 0.3 rendah, 0.3 < E < 0.6 sedang, dan E > 0.6 tinggi)
H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis S
= Jumlah Jenis (nilai maksimum dari Indeks Diversitas)
G. Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah Analisis sifat fisika dan kimia tanah bertujuan untuk mengetahui kondisi tanah setelah setahun dilaksanakan kegiatan penebangan dan penjaluran dengan teknik silvikultur TPTII. Sifat fisika yang ditetapkan dan metode analisis tanah yang digunakan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter dan Metode Analisis Sifat Fisik Tanah Parameter Tekstur Bobot Isi Porositas Kadar Air Permeabilitas Air Tersedia
Metode Analisis Pipet Gravimetrik Perhitungan Ruang Pori Tanah Gravimetrik Lambe Gravimetrik
Sedangkan parameter sifat kimia dan metode analisis tanah yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter dan Metode Analisis Kimia Tanah Parameter pH C-Organik N-Total NH 4 + NO 3 P-bray K, Ca, Mg KTK
Metode Analisis pH meter Walkey and Black Kjeldahl Kjeldahl Kjeldahl Bray 1, Spektrofotometer NH4OAc N pH 7.0, AAS NH4OAc N pH, titrasi
27
H. Penghitungan Jumlah Tanaman Pengayaan pada Jalur Tanam Pada kajian ini dilakukan perisalahan terhadap kondisi tanaman jalur tanam sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Internsif (TPTII). Dari lima jalur yang terdapat pada setiap satuan petak contoh dilakukan pengecekan lapangan terhadap keberadaan jalur setahun setelah kegiatan penebangan. Sebab-sebab kematian bibit dan penyebab bibit belum ditanam pada jalur tanam.
28
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan teknik yang dikembangkan dari dua teknik silvikultur sebelumnya, yakni teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang surat IUPHHK-HA untuk tahun 2008-2009 menerapkan penggunaan teknik silvikultur ini seluas 500 ha dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) tahun 2009 perusahaan dan petak GG-39 merupakan salah satunya. Kegiatan pemanenan hasil hutan kayu dilaksanakan pada bulan Pebruari 2008.
A. Jalur antara Petak Penelitian (Analisa Vegetasi) 1. Komposisi Jenis Keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan alam produksi tropika sangat besar dan kompleks. Keberadaannya saling berpengaruh dan berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Menurut Lamb (2005), dalam suatu tutupan vegetasi
hutan primer bilamana terjadi
perubahan tutupan vegetasi maka jenis pioner akan muncul, dan menjadikan jumlah jenis pada kawasan meningkat. Pada areal penelitian jumlah jenis dan total jumlah jenis semai, pancang, tiang, pohon pada hutan primer, hutan setelah penebangan, hutan setelah penjaluran dan ET+1 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Jenis yang ditemukan di petak GG-39 Hutan Primer dan Setelah Setahun pada Berbagai Kelerengan Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
Semai 25
Pancang 38
Tiang 36
Pohon 47
Sedang
36
38
43
51
Curam
38
36
35
47
Total Jenis
43
47
50
61
Datar
29
35
37
41
Sedang
33
34
42
46
Curam
32
33
36
47
Total Jenis
46
49
55
60
Datar Hutan Primer
Setelah Setahun
Jumlah Jenis
29
Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa pada tingkat semai, pancang dan tiang terdapat peningkatan jumlah jenis maupun total jumlah jenis pada setahun setelah kegiatan penebangan (Et+1), sedangkan untuk tingkat pohon jumlah jenis maupun total jumlah jenisnya masih berada dibawah jumlah jenis kondisi primer. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi setahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran total jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah jenis terendah adalah tingkat semai. Hal ini dapat terjadi diduga karena pada tingkat pohon dan tiang tumbuhan sudah menunjukkan ciri khasnya secara maksimal sedangkan pada tingkat permudaan semai dan tiang jenisjenis yang berbeda bisa terlihat serupa sehingga dimasukkan kedalam jenis yang sama. Pada tingkatan semai, pancang, dan tiang terjadi peningkatan total jumlah jenis. Hal ini dapat disebabkan karena munculnya jenis-jenis baru akibat dari dampak pembukaan areal hutan pada proses suksesi yang terjadi dan secara teori terbukti bahwa tingkat pertumbuhan untuk tingkat permudaan semai dan pancang lebih tinggi daripada pada tingkat tiang maupun pohon.
2. Struktur tegakan Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh. Penguasaan tempat tumbuh biasanya dipengaruhi oleh besarnya energi matahari, ketersediaan air dalam tanah dan unsur-unsur hara mineral yang penting untuk pertumbuhan serta perkembangan individu pada komponen masyarakat tumbuhan hutan tersebut. Struktur tegakan hutan dapat dilihat salah satunya dari nilai kerapatan individu per hektar sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Gambar 4 dan Gambar 5 merupakan gambar grafik struktur tegakan tingkat pohon pada kondisi hutan primer dan setahun setelah penebangan yang dikelompokkan
30
berdasarkan kelompok besaran diameternya pada berbagai kelas kelerengan. Struktur Tegakan (N/ha) pada Hutan Primer 120
108
Jumlah Batang (N/ha)
100 80
66
60
60
50
54
datar
4038
40
sedang
2527
20
6
11 8 8
40-50
50-60
16
curam
5
20-30
30-40
>60
Kelas Diameter (cm)
Gambar 4. Struktur Tegakan Hutan Primer dengan Kelas Diameter. Struktur Tegakan (N/ha) pada LOA TPTII 1 Tahun 70
Jumlah Batang (N/ha)
60 50
64 5049 37
40
datar
30 18
20
23
10
23
3
sedang 9
6
20-30
30-40
40-50
11 3
1
0
50-60
curam
8
>60
Kelas Diameter (cm)
Gambar 5. Struktur Tegakan Hutan Et+1 dengan Kelas Diameter. Pada kondisi hutan primer dapat dilihat bahwa jumlah pohon pada petak ukur masih cukup banyak dan jumlah terbesar tampak pada pohon dengan kelas diameter 20 – 30 cm dan jumlah terkecil pada pohon-pohon
31
dengan kelas diameter 50 – 60 cm. Pada berbagai kelerengan hutan tampak variasi persebaran pohon dengan berbagai kelas diameter. Nilai individu pohon per hektar tertinggi ditempati oleh petak dengan kelerengan sedang yakni dengan 179 individu per hektar dan nilai terendah pada petak datar dengan 167 individu per hektar. Pada Gambar 5 kondisi setahun setelah penebangan jumlah pohon pada kelas diameter 20 – 30 cm tidak banyak mengalami perubahan, kecuali pada kelerengan sedang. Jumlah pohon yang berkurang diakibatkan kegiatan penebangan dan penjaluran. Pohon dengan diameter 50 cm up tidak serta merta berkurang semua karena penebangan hanya dilakukan pada pohon jenis komersil dan tidak dilindungi. Famili Dipterocarpaceae merupakan satu dari sekian famili yang merajai kawasan hutan tropika basah di Indonesia. Ragam jenisnya mayoritas merupakan kayu dagang yang cukup penting di Indonesia. Informasi mengenai keberadaan jumlah jenis dan potensinya merupakan hal yang penting pula. Untuk mengetahui kondisi struktur pohon hutan berdasarkan kelompok jenis Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan berdasarkan Kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae (Pohon Diameter ≥ 20 cm) Kelerengan Datar A D
Kelerengan Sedang A D
Kelerengan Curam A D
Jumlah Jenis : a. Dipterocarpaceae b. Jenis Lain Total
12 35 47
12 29 41
14 36 50
11 35 46
11 35 46
10 37 47
Jumlah Famili
23
20
24
24
23
22
Jumlah Pohon/ha a. Dipterocarpaceae b. Jenis Lain Total
48 119 167
28 74 102
72 107 179
23 74 97
54 122 176
25 83 108
LBDS (m2/Ha) : a. Dipterocarp b. Jenis Lain Total
8,2 11,1 19,3
4,4 6,1 10,1
12,9 9,2 22,1
2,2 5,9 8,1
8,8 11,8 20,6
3,8 8,1 11,9
Perubahan Struktur dan Komposisi
32
Dari Tabel 7 dapat terlihat bahwa famili Dipterocarpaceae tidak banyak mengalami perubahan. Dari keseluruhan jumlah jenis pada semua kelerengan tercatat menurun sebanyak 4 jenis. Untuk jumlah famili yang diketemukan pada petak penelitian, pada petak datar terjadi penurunan sebanyak 3 famili, petak sedang tetap, dan pada petak curam menurun sebanyak 2 famili. Untuk jumlah pohon per hektar dari famili dipterocarpaceae pada petak datar mengalami penurunan sebanyak 20 pohon, pada petak sedang menurun sebanyak 49 pohon dan pada petak curam menurun sebanyak 29 pohon. Sedangkan untuk besaran nilai luas bidang dasar pada keseluruhan petak menurun sebanyak 10,6 m2/ha. Nilai ini lebih rendah dari kondisi primer akibat kegiatan penebangan dan penjaluran yang menumbangkan sebagian besar pohon-pohon pada areal tersebut dan waktu satu tahun setelah kegiatan penebangan belum mampu mengembalikan nilainya menjadi sebesar semula.
3. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Mengetahui nilai kerapatan pada sebuah tegakan hutan pada kawasan yang telah terdegradasi dapat digunakan
untuk menilai tingkat
kepulihannya. Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah jenis individu per luasan areal. Perbandingan nilai kerapatan dan Frekuensi dari kondisi hutan primer dan Et+1 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi Pemudaan Kelompok Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan dilihat dari Kerapatan (N/ha) serta Frekuensi Kondisi Hutan
Hutan Primer
Setelah Setahun
Kelerengan (%)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Datar
K 13.533
F 2,3
K 2.197
F 3,5
K 240
F 2,2
K 166
F 5,2
Sedang
25.400
2,7
2.208
3,2
368
3,2
173
5,6
Curam
16.867
3,0
3.205
4,1
296
2,7
166
5,6
Rata-Rata
18.600
2,7
2.537
3,6
301
2,7
168
5,5
Datar
19.667
3,0
1.717
2,8
415
3,4
102
3,4
Sedang
22.567
2,6
2.816
4,0
301
2,5
97
3,4
Curam
10.600
2,6
1.957
3,0
204
1,8
107
3,8
Rata-Rata
17.611
2,7
2.163
2,9
307
2,6
102
3,5
33
Dari tabel 8 dapat dilihat masih dijumpai adanya penurunan jumlah kerapatan dan frekuensi sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu. Penurunan kerapatan secara rataan terjadi pada semua tingkatan permudaan. Pada tingkat semai penurunan terbesar terjadi pada petak dengan kelerengan curam dari sekitar 16.867 individu semai/ha turun menjadi sekitar 10.600 individu semai/ha. Untuk tingkat pancang penurunan paling besar terjadi juga pada petak dengan kelerengan curam dari sekitar 3.205 individu pancang/ha turun cukup besar menjadi 1.957 individu pancang/ha begitu juga untuk tingkat permudaan tiang yang mengalami penurunan terbesar pada petak dengan kelerengan sedang yakni dari sejumlah 296 individu tiang/ha turun menjadi 204 individu tiang/ ha. Pada tingkat pohon penurunan jumlah kerapatan individu terjadi pada kelerengan sedang dengan dari sejumlah 173 individu pohon/ha turun menjadi sekitar 97 individu pohon/ha. Penurunan jumlah individu dapat dikarenakan oleh dampak dari kegiatan penebangan yakni karena rebahnya pohon-pohon dan dampak tersebut tergantung dari kondisi lanskap dan topografi kawasan. Semakin tinggi tingkat kelerengan dan semakin tinggi kerapatan suatu kawasan maka dampak penebangan akan semakin tinggi. Satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran pada lokasi penelitian selain terjadi penurunan jumlah individu/ha juga terjadi peningkatan jumlah individu/ha, hal ini terjadi pada tingkatan permudaan semai, pancang dan tiang. Pada tingkat semai peningkatan jumlah terjadi pada petak dengan kelerengan datar yakni meningkat dari sekitar 13.533 individu semai/ha menjadi sekitar 19.667 individu semai/ha. Pada tingkat pancang peningkatan terjadi pada petak sedang yakni meningkat dari sekitar 2.208 individu pancang/ha menjadi 2.816 individu pancang/ha. Untuk tingkatan tiang peningkatan jumlah individu kembali teramati pada petak dengan kelerengan datar dengan 240 individu tiang/ha pada kondisi primer meningkat menjadi sekitar 415 individu tiang/ha. Peningkatan jumlah individu/ha dapat dikarenakan oleh terbukanya celah hutan akibat kegiatan penebangan sehingga mengakibatkan terjadinya ledakan populasi
34
dari jenis-jenis yang sangat memerlukan paparan sinar matahari pada permudaan tingkat awal yakni semai dan pancang. Nilai frekuensi jenis pada kondisi satu tahun jika dibandingkan dengan kondisi primer pada semua tingkatan permudaan rata-rata secara keseluruhan berada dibawah kondisi primer. Tetapi pada beberapa tingkat permudaan
dan kelerengan tertentu nilai frekuensi jenis pada kondisi
primer terlampaui oleh nilai frekuensi jenis pada saat setahun setelah kegiatan penebangan. Hal ini terlihat pada permudaan semai petak datar dimana nilai frekuensinya meningkat dari 2,3 menjadi 3,0. Nilai frekuensi yang lebih besar juga teramati pada tingkatan pancang pada kelerengan sedang yang meningkat dari nilai frekuensi 3,2 menjadi 4,0. Pada tingkat tiang nilai lebih besar didapati pada petak dengan kelerengan datar yakni meningkat dari nilai frekuensi 2,2 menjadi 3,4 nilai ini sekaligus kenaikan terbesar pada semua tingkat permudaan. Hanya tingkat pohon yang nilai frekuensinya masih berada dibawah dari nilai frekuensi pada kondisi primer.
4. Dominansi Jenis Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) pada masingmasing jenis. Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran, tingkat kesesuaian dan penguasaan suatu jenis dalam ekosistem. Jenis yang dominan adalah jenis yang mempunyai nilai INP tinggi. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak pada kondisi virgin ataupun setelah penebangan dan penjaluran. Menurut Sutisna (2001), suatu jenis sudah dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10% sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15%. Tetapi ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan hutan. Tabel 9 menyajikan data INP lima besar pada tingkat semai dari kondisi hutan
35
primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 9. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai Hutan Primer dengan LOA+1 Kel.
Datar
Sedang
Curam
Jenis Dominan Primer INP Semai (%) Sterculia gilva 24,5 Shorea macrophylla 20,6 Shorea quadrinervis 19,4 Syzygium guineense 19,4 Litsea firma 14,9 Shorea patoeiensis 29,5 Canarium sp. 24,0 Shorea macrophylla 21,9 Sterculia gilva 18,0 Litsea firma 13,8 Shorea macrophylla 24,5 Shorea parvifolia 23,4 Syzygium guineense 17,4 Litsea firma 15,6 Shorea patoeiensis 15,4
Jenis Dominan LOA+1 Semai
INP (%)
Shorea parvifolia Shorea macrophylla Sterculia gilva Myristica sp. Litsea firma Shorea patoeiensis Shorea parvifolia Sterculia gilva Vatica rassak Cratoxylon formosum Syzygium guineense Sterculia gilva Litsea firma Shorea parvifolia Myristica sp.
30,0 22,8 20,7 19,5 17,7 41,0 18,5 16,9 11,5 10,5 31,8 30,2 24,1 21,1 10,1
Untuk tingkatan permudaan semai, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Bonetan atau Sterculia gilva menjadi jenis meranti merah atau Shorea sp. sedangkan jenis Bonetan sendiri masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Untuk kelerengan sedang jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Nyerakat dan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yakni dari sekitar 29,5% menjadi 41,0%. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar bergeser dari jenis tengkawang atau Shorea macrophylla kepada jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis Dara-dara (Myristica sp), Resak (Vatica rassak) dan Geronggang (Cratoxylon sp).
36
Tabel 10 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pancang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang Hutan Primer dengan LOA+1 Kel.
Datar
Sedang
Curam
Jenis Dominan Primer Pancang Syzygium guineense Litsea firma Myristica sp. Sterculia gilva Vatica rassak
INP (%) 35,5 26,2 18,4 17,5 13,6
Sterculia gilva Myristica sp. Vatica rassak Diospyros malam Litsea firma Litsea firma Syzygium guineense Myristica sp. Sterculia gilva Shorea macrophylla
22,3 21,7 20,4 17,1 14,4 26,3 21,0 16,2 15,8 14,2
Jenis Dominan LOA+1 Pancang Diospyros malam Syzygium guineense Sterculia gilva Litsea firma Myristica sp. Shorea patoeiensis Sterculia gilva Shorea parvifolia Syzygium guineense Dillenia excelsa Syzygium guineense Litsea firma Sterculia gilva Macaranga gigantifolia Anthocepalus cadamba
INP (%) 23,8 22,9 21,7 20,1 19,3 24,0 16,6 14,7 11,4 11,3 19,3 18,2 17,7 16,1 14,5
Untuk tingkatan permudaan pancang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense menjadi jenis Kayu Arang atau Diospyros malam sedangkan jenis Syzygium guineense atau Jambu-jambu sendiri turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Bonetan atau Sterculia gilva bergeser menjadi jenis Nyerakat yang lebih dikenal dengan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis. Untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang, jenis baru yang naik menduduki posisi INP lima teratas diantaranya adalah jenis Dillenia excelsa, Macaranga gigantifolia dan Anthocepalus cadamba.
37
Tabel 11 menyajikan data INP lima besar pada tingkat tiang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII. Tabel 11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang Hutan Primer dengan LOA+1 Kel.
Datar
Sedang
Curam
Jenis Domminan Primer INP Tiang (%) Syzygium guineense 50,4
Jenis Dominan LOA+1
Syzygium guineense
INP (%) 33,7
Paraserianthes falcataria Litsea firma Myristica sp. Sterculia gilva Syzygium guineense Paraserianthes falcataria
35,6 20,8 18,7 18,2 37,5 24,2
Litsea firma Diospyros malam Dillenia borneensis Sterculia gilva Sterculia gilva Vatica rassak
24,9 24,2 23,7 22,7 39,6 37,4
Sterculia gilva Litsea firma Dillenia borneensis Litsea firma Syzygium guineense Dillenia borneensis Paraserianthes falcataria Nephelium lappaceum
22,1 21,5 16,9 31,2 26,4 21,6 19,7 19,0
Syzygium guineense Litsea firma Myristica sp. Syzygium guineense Litsea firma Dillenia borneensis Paraserianthes falcataria Vatica rassak
24,0 23,9 22,2 38,3 34,3 24,4 22,1 12,8
Tiang
Untuk tingkatan permudaan tiang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tetap tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar tetap diduduki oleh jenis Jambujambu atau Syzygium guineense hanya nilai INPnya saja yang menurun cukup signifikan yakni dari 50,4% menjadi 33,7%. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Jambu-jambu atau Syzygium guineense bergeser menjadi jenis Bonetan atau Sterculia gilva. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar hanya tampak pada jenis Resak yang dikenal dengan nama latin Vatica rassak. Tabel 12 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pohon dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.
38
Untuk tingkatan permudaan pohon, pada kelerengan datar INP terbesar bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea parvifolia menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis meranti merah merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 40,9% menjadi 21,7%. Untuk kelerengan sedang jenis Shorea parvifolia kembali merajai dan kali ini tetap paling mendominasi walaupun nilai INPnya menurun dari sekitar 35,8% menjadi 22,4% pada rentang waktu setahun setelah penebangan. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar mengalami perubahan. Bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea parvifolia berubah menjadi jenis Girik atau Dillenia borneensis. Tabel 12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon Hutan Primer dengan LOA+1 Kel.
Datar
Sedang
Curam
Jenis Domminan Primer INP Pohon (%) Shorea parvifolia 40,9 Syzygium guineense 30,9 Litsea firma 29,9 Paraserianthes falcataria 22,5 Shorea macrophylla 19,8 Shorea parvifolia 35,8 Shorea macrophylla 31,7 Syzygium guineense 26,6 Paraserianthes falcataria 16,1
Jenis Dominan LOA+1 INP Pohon (%) Syzygium guineense 31,4 Dillenia borneensis 27,6 Shorea macrophylla 25,5 Shorea parvifolia 21,7 Litsea firma 16,5 Shorea parvifolia 22,4 Syzygium guineense 22,1 Dillenia borneensis 16,5 Litsea firma 15,5
Dillenia borneensis Shorea parvifolia Syzygium guineense Paraserianthes falcataria Shorea macrophylla Litsea firma
Shorea patoeiensis Dillenia borneensis Litsea firma Syzygium guineense Shorea parvifolia Shorea macrophylla
15,7 25,9 23,7 21,6 20,7 17,7
14,7 33,6 30,2 27,4 25,6 16,2
, Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan nilai INP lebih dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kematian atau kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar pada tingkatan permudaan pohon.
39
Kegiatan penebangan atau produksi hasil hutan kayuhanya dilakukan terhadap kayu komersial yang diijinkan oleh pemerintah untuk ditebang. Pohon-pohon dengan nilai ekonomi tinggi tetapi dilindungi dan bermanfaat lokal tidak akan diproduksi oleh perusahaan. Tabel 13 menyajikan data INP yang dikelompokkan kedalam tiga jenis yakni, Komersil Tebang (KT), Komersil Tidak Tebang (KTT) yang biasanya merupakan jenis-jenis dilindungi, dan Non Komersil Tidak Tebang (NK). Tabel 13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis. Kondisi Hutan
Kelerengan (%) Datar
Hutan Primer
Sedang
Curam
Datar
Et+1
Sedang
Curam
Kelompok Jenis KT KTT NK KT KTT NK KT KTT NK KT KTT NK KT KTT NK KT KTT NK
Tingkatan Vegetasi (%) Semai 180,0 13,7 6,3 189,2 6,3 4,5 179,4 14,0 6,6 180,3 17,1 2,6 161,2 33,2 5,6 167,1 29,3 3,6
Pancang 172,3 22,5 5,2 173,6 20,7 5,7 175,5 18,5 6,0 177,4 20,3 2,3 156,1 35,9 8,0 148,4 48,8 2,8
Tiang 236,4 58,9 4,7 241,5 52,0 6,5 239,5 49,3 11,2 254,9 38,6 6,5 249,0 40,1 10,9 246,9 45,4 7,7
Pohon 235,5 52,3 12,2 246,5 41,8 11,7 226,9 53,5 19,6 255,0 31,4 13,6 243,7 38,7 17,6 235,1 51,7 13,2
Keterangan : KT = Komersil Tebang KTT = Komersil Tak Tebang, NK = Non Komersil (Lesser Known Timber)
Pada Tabel 13 dapat dilihat INP total pada masing-masing kondisi hutan dan kelerengan yang dikelompokkan berdasarkan jenis-jenis kayu komersil, yang ditebang, komersial tidak ditebang dan non komersil. Secara keseluruhan kondisi hutan dapat dinyatakan bahwa jenis kayu komersil ditebang terlihat sangat mendominasi nilainya jika dibandingkan dengan jenis komersil tidak ditebang. Hal ini dapat membuktikan bahwa potensi kawasan hutan tempat penelitian cukup tinggi.
40
5. Keanekaragaman Jenis Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’). Tinggi rendahnya nilai H’ mencerminkan tingkatan keanekaragaman pada suatu tegakan. Nilai H’ akan mencapai maksimum jika jenis yang ada pada suatu tegakan mempunyai nilai kualitatif yang sangat besar. Keanekaragaman suatu jenis ditentukan oleh dua komponen yaitu kekayaan jenis dan kemerataan jenisnya (Magurran, 1988). Dan untuk menentukan parameter pertama digunakan Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1). R1 adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, 3,5
5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi. Besarnya R1 untuk masing-masing lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Plot Pengamatan. Kondisi Hutan A
D
Kelerengan (%) Datar Sedang Curam Datar Sedang Curam
Semai 4,0 5,3 5,9 3,1 4,1 4,5
Tingkatan Vegetasi Pancang Tiang 6,1 6,7 6,0 7,4 5,4 6,2 4,8 4,9 4,1 5,9 4,2 5,9
Pohon 7,4 7,9 7,3 5,1 6,3 6,6
Keterangan : A = Hutan Primer D = Hutan Setelah Setahun Penebangan (Et+1)
Dari Tabel 14 terlihat bahwa pada tingkat semai nilai R1 tergolong tinggi terdapat pada kondisi primer sedang dan curam, untuk nilai R1 yang tergolong rendah terdapat pada Et+1 datar dan R1 tergolong sedang terdapat pada kondisi primer datar, Et+1 sedang dan Et+1 curam. Pada tingkatan pancang R1 yang tergolong sedang terdapat pada kondisi E+1 pada semua kelerengan sedangkan pada kondisi primer nilai R1 seluruhnya tergolong tinggi. Pada tingkatan tiang, hampir seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai tertinggi pada kondisi primer sedang. Sedangkan untuk kondisi Et+1 datar nilai R1 tergolong sedang. Dan pada tingkatan pohon seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai R1 tertinggi pada kondisi primer sedang.
41
Evenness Index (E) atau Indeks Kemerataan menunjukkan ukuran kemerataan proporsi jumlah individu pada setiap spesies yang dijumpai pada suatu komunitas. E juga dapat digunakan sebagai indikator adanya sistem dominansi antara setiap spesies (Magurran, 1988). E pada kondisi hutan primer dan pada kondisi hutan satu tahun setelah penebangan tersaji pada Tabel 15. Tabel 15. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Plot Pengamatan. Kondisi Hutan A
D
Kelerengan (%) Datar Sedang Curam Datar Sedang Curam
Semai 0,9 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8
Tingkatan Vegetasi Pancang Tiang 0,8 0,9 0,8 0,9 0,8 0,9 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,9
Pohon 0,8 0,9 0,9 0,8 0,8 0,9
Keterangan : A = Hutan Primer D = Hutan Setelah Setahun Penebangan (Et+1)
Berdasarkan perhitungan dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi primer ataupun Et+1 memiliki nilai diatas 0,6. Dengan demikian maka berdasarkan kriteria Megurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut bahwa memiliki nilai kemerataan jenis yang tinggi. Indeks Nilai Penting masing-masing jenis berkaitan erat dengan Indeks Keanekaragaman
Jenis
(H’) dalam
petak.
Nilai
H’ sebenarnya
menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai H’ menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan nilai H’ yang terjadi akibat adanya suatu gangguan menyebabkan penurunan nilai H’ pada umumnya. Nilai Keanekaragaman jenis dari setiap tegakan hutan tersaji dalam Tabel 16. Tabel 16. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada Plot Pengamatan. Kondisi Hutan A
D
Kelerenga n (%) Datar Sedang Curam Datar Sedang Curam
Semai 2,8 2,6 2,9 2,8 2,9 2,8
Tingkatan Vegetasi Pancang Tiang 2,9 3,1 3,1 3,3 3,0 3,2 2,9 3,1 3,2 3,2 3,0 3,1
Keterangan : A = Hutan Primer D = Hutan Setelah Setahun Penebangan (Et+1)
Pohon 3,2 3,4 3,4 3,3 3,3 3,5
42
Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,5 – 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dibawah nilai 1,5 maka nilai H’ tergolong rendah. Jika nilai H’ berada pada rentang 1,5
B. Kondisi Jalur Tanam Petak Penelitian Kawasan hutan yang dikelola dengan teknik silvikultur jenis Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) sesuai dengan rancangannya dilakukan penanaman tanaman pengayaan jenis Shorea leprosula, Shorea dasyphylla, dan Shorea parvifolia. Hasil pengukurannya tersaji pada Tabel 17. Tabel 17. Persentasi Natalitas dan Mortalitas Tanaman Pengayaan pada Et+1 Petak
Mati
Tnm
Hdp
Tdk tnm
Tot.
D-I D-II D-III C-I C-II C-III S-I S-II S-III
3 54 18 31 11 32 9 18 35
57 198 168 145 108 175 75 95 187
54 144 150 114 97 143 66 77 152
143 2 32 55 92 25 125 105 13
200 200 200 200 200 200 200 200 200
Petak
π Petak
π Semua
Yang ditanam (%/ha) 28,5 99,0 70,5 84,0 72,5 54,0 71,3 67,1 87,5 37,5 47,5 59,5 93,5
π Sem ua Yang mati (%/ha) 5,3 27,3 17,7 10,7 21,4 10,2 17,3 17,5 18,3 12,0 18,9 17,4 18,7
Petak
Keterangan : D-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Datar hektar pertama, dst S-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Sedang hektar pertama, dst. C-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Curam hektar pertama, dst π : Rata-rata
π Petak
43
Pada Tabel 17 didapat informasi bahwa dari sekitar 200 tanaman yang direncanakan ditanam pada petak per hektar areal, pada rentang waktu setahun setelah penebangan didapati rataan jumlah sekitar 67,1% telah selesai ditanam dari keseluruhan petak contoh. Dari jumlah tersebut petak D-II mempunyai persentase tanam tertinggi yakni 99% telah ditanam dan petak D-I yang terendah dengan persentase 28,5%. Sedangkan untuk persentase kematian bibit yang telah ditanam pada petak penelitian mencapai rataan total sekitar 17,5% dengan persentase kematian tanaman pengayaan tertinggi pada petak D-II sebanyak 27,3% dan persentase kematian tanaman tertendah pada petak D-I, yakni sekitar 5,3% tanaman pengayaan mengalami kematian. Dari sejumlah tersebut penyebab kematian tanaman pengayaan menilik dari penampakan tanaman pengayaan pada lokasi dapat disebabkan pada dua hal, yang pertama tanaman pengayaan mati karena kekeringan (mati kering dengan batang masih tampak tertancap pada tanah) dan yang kedua tenaman pengayaan mati karena tercabut oleh hewan liar yang hidup pada lokasi penanaman. Untuk tanaman pengayaan yang belum ditanam, dapat diklasifikasikan penyebabnya menjadi: 1. Kondisi bentang alam tempat penanaman yang berupa daerah rawa berlumpur sehingga kurang memungkinkan jika dilakukan penanaman dengan cara biasanya. Diindikasikan areal rawa ini tidak akan ditanami tanaman pengayaan. Patok tanam yang berjarak sekitar 2,5 m x 20 m tetap ditancapkan untuk mempermudah penghitungan jumlah bibit yang akan ditanam atau belum ditanam, 2. Lokasi penanaman yang merupakan hutan bekas penebangan sekitar setahun yang lalu, sehingga sangat banyak didapati log kayu yang tumpang tindih menutupi areal tanam. Terlebih
kondisi ini sangat
menyulitkan para pekerja untuk menanam bibit, belum lagi ditambah kondisi medan yang sebagian merupakan areal yang curam ataupun sangat curam sehingga proses pengangkutan dan penanaman hanya bisa dilakukan secara manual, 3. Areal tanam memang belum ditanam oleh perusahaan dan hal ini kurang sesuai dengan aturan petunjuk teknis mengenai TPTII bahwa pada Et+1
44
seharusnya seluruh areal telah ditanami tanaman pengayaan, mengingat penebangan telah dilakukan sekitar bulan Februari 2008. Tabel 18 menyajikan data mengenai diameter dan tinggi rataan dari tanaman pengayaan pada petak GG-39 pada tiga kelas kelerengan yakni datar, sedang, dan curam dengan umur tanam di jalur tanam berkisar antara 3 – 6 bulan. Tabel 18 Rata-Rata Diameter (Ф ) dan Tinggi Tanaman Jalur TPTII Et+1 Petak D-I D-II D-III S-I S-II S-III C-I C-II C-III
Jumlah Hidup/ha 54 144 150 66 77 152 114 97 143
Rata-rata Ф (cm)/ha 0,47 0,84 0,44 0,68 0,77 0,42 0,42 0,65 0,42
Rata-rata tinggi (cm)/ha 58,7 93,1 64,1 81,5 92,9 60,3 52,9 82,4 61,4
Keterangan : D-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Datar hektar pertama, dst S-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Sedang hektar pertama, dst. C-I : Petak Penelitian dengan Kelerengan Curam hektar pertama, dst
Tabel 18 menyajikan data mengenai rata-rata diameter dan tinggi tanaman pengayaan pada jalur tanam. Rataan diameter tertinggi terdapat pada petak DII yakni sebesar 0,84 cm, sedangkan rataan diameter terendah terdapat pada petak S-III, C-I dan C-III yakni sebesar 0,42 cm. Jika ditelaah rataan tingginya, rataan tinggi dari tanaman pengayaan paling tinggi didapati pada petak D-II yakni setinggi 93,1 cm, sedangkan rataan tinggi paling rendah didapati pada petak C-I yakni setinggi 52,9 cm. Melihat cukup besarnya rentang selisih dari diameter dan tinggi tanaman pengayaan maka belum dapat disimpulkan mengenai korelasi antara umur tanaman dengan diameter ataupun tinggi tanaman pengayaan. Hal ini lebih dikarenakan tanaman pengayaan ditanam dalam waktu yang tidak bersamaan. Data tinggi dan diameter tanaman seolah dapat dipecah menjadi dua kelompok. Pada kelompok petak D-II, S-1, S-II, dan C-II dapat dilihat diameter dan tinggi dari tanaman pengayaan jauh lebih besar dibanding dengan kelompok petak lainnya (petak D-I, D-III, S-III, C-I dan C-III).
45
C. Perkembangan Sifat Fisika dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian Tanah merupakan bagian penting dari ekosistem terestrial hutan hujan tropika karena sifatnya yang fragile. Hal ini disebabkan oleh karena tanah merupakan salah satu faktor pembatas alam yang keberadaannya sangat dapat mempengaruhi pertumbuhan semua spesies tumbuhan, struktur, dan komposisi vegetasi. Pengubahan bentang lahan hutan akan dapat merubah kondisi dan fungsinya dan selanjutnya akan mengubah sifat fisika dan kimia tanah hutan dalam jangka panjang. Pengubahan bentang lahan hutan dalam skala besar diduga akan dapat menimbulkan banyak permasalahan seperti penurunan tingkat kesuburan tanah, meningkatnya tingkat erosi lahan (semakin tinggi tingkat kelerengan lahan potensi erosi semakin besar), kepunahan flora dan fauna (jangka panjang), banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global dalam jangka panjang (Lamb, 2005). Whitmore (2003) mendiskripsikan hutan hujan tropis sebagai ekosistem yang spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Secara de facto tipe hutan hujan tropis diketahui memiliki tingkat kesuburan tanah tanah yang sangat rendah dengan pH asam dan juga diketahui mempunyai siklus hara yang tertutup (closed nutrient cycling) sehingga mampu mengatasi berbagai kendala/keunikan yang ada. Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Aktivitas biologis tersebut sekitar 80% terdapat pada top soil saja dan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ekosistem hutan hujan tropika merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ekosystem), karena setiap komponennya tidak dapat berdiri sendiri. Disamping itu pula dijumpai fenomena lain yaitu ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik dari segi vegetasi ataupun maupun tempat tumbuhnya (Marsono, 1991). Dalam waktu yang relatif singkat sifat tanah tidak akan banyak berubah, walaupun proses yang berlangsung dalam tanah sangat aktif. Dengan demikian, tanah berpasir atau tanah berliat akan tetap merupakan tanah berpasir atau tanah berliat untuk waktu yang cukup lama. Berikut ini
46
dilakukan pengkajian terhadap sifat fisika dan kimia tanah pada areal yang dikelola dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dari kondisi hutan alam produksi virgin dan setahun setelah penebangan yang diambil pada kelerengan datar. 1 . Sifat Fisika Tanah Sifat fisik tanah yang diamati pada penelitian ini antara lain adalah tekstur, struktur, bobot isi, kadar air, dan permeabilitas. Struktur tanah berasal dari partikel-partikel tanah yang membentuk agregat tanah yang saling berikatan membentuk suatu bongkahan tanah. Peubah ini sangat ditentukan oleh komponen pembentuk tanah dan ukuran partikelnya (tekstur). Bedasarkan hasil analisa laboratorium tanah yang tersaji pada Tabel 19, didapati pada ekosistem hutan primer tanah pada lokasi penelitian memiliki struktur butiran dan kelas tekstur yang didominasi oleh partikel jenis pasir dan kegiatan pengolahan lahan dan tegakan hutan tidak merubah struktur tanahnya. Tabel 19. Perbandingan Sifat Fisik Tanah Kondisi Lahan Hutan Primer
Et+1
Lokasi
Kedalaman (cm)
T
BI (gr/cm3)
KA (%)
P (cm/jam)
-
0-20
LLB
0,93
10,41
2,74
Jalan Sarad Bawah Tegakan Jalur Tanam
0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40
1,03 1,08 0,63 1,15 1,00 1,08
12,73 12,14 16,14 15,45 15,31 11,41
7,83 5,91 13,37 6,33 12,57 3,48
LLB PB LB
Keterangan : LLB : Lempung Liat Berpasir PB : Pasir Berlempung LB : Lempung Berpasir T : Tekstur BI : Bobot Isi KA : Kadar Air
Bulk density atau Bobot Isi Tanah adalah ukuran pengepakan (kompresi) partikel-partikel tanah (pasir, debu, liat) atau nilai kerapatan tanah per satuan volume. Pada Tabel 19 didapat informasi bahwa pada nilai bulk density terbesar tercatat pada jalan sarad dan jalur tanam pada kedalaman 20 – 40 cm yakni sebesar 1,08 dan terkecil pada bawah tegakan rapat (pohon besar) dengan kedalaman 0 – 20 cm yakni sebesar 0,63. Pada
47
ekosistem hutan primer tercatat lebih rendah nilainya daripada ekosistem hutan setelah tebangan dan penjaluran. Kadar air merupakan perbandingan berat air yang terkandung dalam tanah dengan berat kering tanah tersebut. Dari Tabel 19 didapat nilai kadar air tertinggi ada pada contoh tanah yang diambil dibawah tegakan dengan kedalaman 0 – 20 cm. Nilai ini dimungkinkan terjadi karena contoh tanah diambil tepat dibawah pohon yang cukup rindang dengan kondisi serasah yang cukup lebat sehingga penguapan tanah sangat minimal. Sedangkan nilai terendah didapati pada kondisi hutan primer. Permeabilitas tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan cairan, gas dan akar menembus tanah. Dari Tabel 19 didapat informasi bahwa nilai permeabilitas tertinggi terdapat pada contoh tanah yang diambil dari bawah tegakan hutan setahun setelah penebangan dengan kedalaman 0 – 20 cm dengan nilai 13,37. Sedangkan nilai permeabilitas terendah didapat pada sampel tanah yang diambil pada kondisi hutan primer. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tanah dengan tekstur pasir mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap dan menahan air ataupun unsur hara.
2. Sifat Kimia Tanah Sifat Kimia tanah merupakan semua hal yang bersifat kimia dan berada atau terkandung didalam tanah. Sifat kimia yang dianalisis meliputi BO, C-org, KTK dan pH tanah. Berdasarkan hasil analisa laboratorium kimia tanah, sifat kimia tanah tersaji pada Tabel 20. Tabel 20. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah (1) Kondisi Hutan
Lokasi
A
Jalan Sarad
D
Bawah Tegakan Jalur Tanam
Kdlmn (cm) 0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40
Keterangan : A : Hutan Primer D : Hutan Setelah Setahun (Et+1)
Ntotal (%)
Corg (%)
-
-
0,01 0,07 0,01 -
0,08 0,64 0,08 -
KTK (me/100g) 8,58 rendah 4,93 sangat rendah 5,64 sangat rendah 4,93 sangat rendah
Fertility Status Rendah Rendah Rendah
48
Kapasitas Tukar kation (KTK) merupakan jumlah kation yang dapat diserap oleh 100 gram tanah pada pH 7,00. Pada tabel 20 nilai KTK terendah tampak nilai KTK kondisi hutan primer masih lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi hutan satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran. Pada areal hutan setelah penebangan, KTK tertinggi tampak pada sampel tanah yang diambil dibawah tegakan pohon. KTK pada sampel yang diambil di jalur tanam dan jalan sarad mempunyai besaran nilai KTK yang sama yakni 4,93 sehingga dapat diartikan bahwa KTK lahan pada kedua bentangan itu lebih rendah tingkatannya daripada nilai KTK bawah tegakan dalam menjerat kation dalam tanah. Unsur-unsur hara esensial merupakan unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman, dan fungsinya dalam tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur-unsur lain. Nilai C-organik pada keseluruhan sampel kurang dari 1,00%, maka tergolong sangat rendah terutama pada kondisi jalan sarad dan jalur tanam yang bernilai 0,08%. Nilai tertinggi terdapat pada sampel tanah yang diambil dibawah tegakan yakni sebesar 0,64%. Nilai N-total pada sampel jalan sarad dan jalur tanam berada dalam rentang 0,1 – 0,2% sehingga tergolong rendah, sedangkan pada sampel yang diambil di bawah tegakan mencapai nilai 0,07% dan ini tergolong tinggi. Nilai N-total terendah terdapat pada sampel yang diambil di bawah tegakan. Unsur hara mikro merupakan unsur hara yang juga penting bagi perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Pada Tabel 21 disajikan data mengenai beberapa unsur hara mikro esensial untuk semakin memberikan gambaran tentang sifat kimia khususnya mengenai unsur-unsur hara tanah yang lainnya. Tabel 21. Sifat Kimia Tambahan (Unsur Hara Tanah) Lok.
Dlm (cm)
JS BT JT
0-20 0-20 0-20
Keterangan :
Ca Mg
K Na Al H Fe Cu Zn (me/100gr) (ppm) 2,7 1,0 0,24 0,15 2,80 0,12 61,8 0,31 26,7 4,4 1,2 0,18 0,16 Tr 0,32 43,9 0,36 29,5 2,9 1,0 0,21 0,15 2,48 0,36 58,4 0,32 31,4
Mn 86,7 94,5 79,2
Tr = tidak terukur (terdeteksi) adanya Alumunium JS = Jalan Sarad, BT = Bawah Tegakan, JT = Jalur Tanam
Nilai kandungan Ca pada tanah secara keseluruhan tergolong rendah karena berada pada rentang 2 – 5 mg/100gr. Nilai kandungan Mg pada
49
tanah secara keseluruhan tergolong rendah karena berada pada rentang 0,4 – 1,0 mg/100gr. Nilai kandungan K dan Na pada tanah secara keseluruhan tergolong rendah karena berada pada rentang 0,1 – 0,3 mg/100gr. Nilai kandungan Fe pada tanah secara keseluruhan tergolong sedang, mengingat rentang ketersediaan Fe dalam tanah berkisar antara 2,0 – 150 ppm. Nilai Fe pada sampel yang diambil di bawah tegakan paling rendah sedangkan nilai kandungan Fe pada areal bekas jalan sarad paling tinggi. Nilai kandungan Cu pada tanah secara keseluruhan tergolong rendah, mengingat rentang ketersediaan Cu dalam tanah berkisar antara 0,1 – 4,00 ppm. Nilai kandungan Zn pada tanah secara keseluruhan tergolong rendah, mengingat rentang ketersediaan Zn dalam tanah berkisar antara 1,0 – 20 ppm. Nilai kandungan Mn pada tanah secara keseluruhan tergolong tinggi mengingat rentang ketersediaan Mn dalam tanah berkisar antara 1,0 – 100 ppm. Nilai Mn pada sampel yang diambil dari bawah tegakan paling tinggi sedangkan nilai kandungan Mn pada areal bekas jalan sarad paling rendah. Besaran kemasaman atau kealkalian pH tanah merupakan derajat keasaman pada tanah. Semakin tinggi nilainya maka tanah tersebut tergolong semakin basa dan sebaliknya semakin kecil nilainya maka tanah tersebut tergolong semakin asam. pH tanah merupakan salah satu indikator penting didalam menentukan keadaan kesuburan tanah. Nilai pH tanah pada kondisi hutan primer dan hutan setahun setelah kegiatan penebangan tersaji pada Tabel 22. Tabel 22. Pengukuran pH Tanah Kondisi Hutan
Lokasi
Hutan Primer
Jalan Sarad
Setelah Setahun Penebangan (Et+1)
Bawah Tegakan Jalur Tanam
Kedalaman (cm) 0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40
pH H2O
KCl
4,8
4,0
4,7 6 4,9 -
3,9 5,1 4,0 -
Berdasarkan Tabel 22 pH hutan primer tergolong kedalam kelas sangat masam, hutan setahun jalan sarad tergolong kedalam kelas sangat masam,
50
hutan setahun bawah tegakan tergolong kedalam kelas cukup masam, dan hutan setahun jalur tanam tergolong kedalam kelas sangat masam. Secara pH tanah, hasil analisa pH dari Tabel 22 menunjukkan dengan adanya kegiatan penebangan dan penjaluran lahan maka kondisi keasaman lahan akan meningkat. Pada kondisi hutan setahun pasca penebangan kondisi pH tanah berangsur membaik (meningkat). Pada areal bekas jalan sarad pun nilai pH meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kegiatan rehabilitasi oleh perusahaan berupa penanaman tanaman LCC (Legume Cover Crop) dan juga pohon komersil pilihan. Pada sampel yang diambil di bawah tegakan dengan kedalam 0 – 20 cm menunjukkan nilai pH tertinggi (paling basa) hal ini dapat diakibatkan oleh tanah tertutup oleh tajuk tanaman yang cukup rapat sehingga proses dekomposisi bahan organik dapat lebih baik dan juga tingkat erosi lahan lebih rendah sehingga proses pencucian (leaching) pada lahan lebih kecil. Menilik hal tersebut diatas maka tanah pada lokasi penelitian dapat dikategorikan sebagai tanah kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum semenjak dalam kondisi hutan primer. Kondisi ini tidak banyak berubah setelah pada areal penelitian dilakukan kegiatan penebangan dan penjaluran. Status kesuburan tanah pada hutan satu tahun setelah kegiatan penebangan tetap tergolong rendah bahkan ada yang tergolong dalam tingkat kesuburan sangat rendah yakni pada areal jalan sarad. Namun kondisi tanah yang sedemikian tidak dapat dikatakan bahwa tanah tersebut kurang sesuai untuk dilakukan penanaman tanaman pengayaan terutama untuk jenis-jenis Shorea sp. Hal ini lebih disebabkan karena masing-masing tumbuhan didalam tumbuh dan berkembang mempunyai ambang batas toleransi ataupun adaptasi lingkungan tempat tumbuh dan kebutuhan akan unsur-unsur hara yang berbeda dan kondisi sifat fisika-kimia tanah yang ada sekarang (Et+1) masih dalam kategori sesuai untuk jenis dari family Dipterocarpaceae. Terlebih pada hutan alam hujan tropika basah yang terkenal dengan siklus hara tertutupnya. Bentangan lahan tersebut didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yang terkenal dengan potensi hutannya yang tinggi
51
walaupun dalam kondisi miskin hara. Simbiosis mutualisme secara ektomikoriza oleh cendawan mikoriza dan akar dari tumbuhan-tumbuhan family Dipterocarpacear tersebut yang diduga dapat menyebabkan tumbuhan-tumbuhan tersebut bisa tetap dapat bersuksesi dan mendominasi dalam kondisi baik meskipun lingkungan hidupnya dalam kondisi yang miskin hara.
D.
Hubungan Antara Kondisi Tanah dengan Perkembangan Tegakan, Tanaman Pengayaan, dan Jalan Sarad Asosiasi masyarakat tumbuhan pada suatu ekosistem bentang lahan akan
berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada tegakan penyusun dan juga perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi tanah. Gambaran tentang perubahan dan keadaan hutan setelah satu tahun dilakukan penebangan akan dipaparkan berikut. 1. Hubungan Antara Tanah dan Tegakan Tinggal Yang dimaksud dengan tegakan tinggal disini adalah tegakan hutan pada petak hutan GG-39 areal penelitian yang telah dilakukan kegiatan penebangan dan penjaluran serta menjadi areal antara jalur tanam pada teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTII). Lebar areal tegakan tinggal ini rata-rata yakni selebar 17 meter dan diapit oleh jalur tanam tanaman pengayaan selebar 3 meter. Pada areal penelitian, kegiatan penebangan teramati pada areal telah menyebabkan terjadinya dua hal utama, yakni : a. Terbentuknya celah (gap). Terbukanya lapisan tajuk hutan pada beberapa tempat sehingga menyebabkan terjadinya celah (gap) dan berdampak mengurangi kualitas dari stratifikasi tajuk yang ada. Dengan terbentuknya celah ini maka sinar matahari didapati lebih besar intensitasnya. Hal ini berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan dan perkembangan permudaan tingkat semai dan pancang. Pertumbuhan permudaan tingkat semai dan pancang dengan adanya celah ini terlihat mengalami peningkatan yang cukup pesat. Walaupun terlihat juga dampak negatifnya yakni
52
terjadi suksesi ledakan populasi tumbuhan penutup lantai hutan seperti
rumput,
liana,
semak
dan
belukar,
yang
mana
pertumbuhannya memberikan kompetisi hara bagi permudaan pohon tingkat semai dan pancang. b. Tanah terbuka dari vegetasi penutup pada beberapa bagian. Selain terlihat adanya celah, kegiatan penebangan teramati pada lokasi penelitian menyebabkan tanah menjadi terbuka pada beberapa bagian. Badan tanah terkelupas seutuhnya dari lapisan vegetasi penutupnya dan top soil tanah hilang. Dampak negatif kegiatan penebangan ini terlihat pada bekas areal jalan sarad. Kondisi ini dapat menyebabkan erosi tanah dalam jumlah besar pada kondisikondisi awal setelah kegiatan penebangan. Setelah alat-alat berat masuk pada jalan sarad, maka tanah pada areal jalan sarad akan mengalami proses pemadatan. Terjadinya pemadatan tanah pada jalur sarad menyebabkan tumbuhan cover crop yang tumbuh pun hanya terbatas pada jenis merambat (liana) dan jenis lain yang hanya tumbuh pada spot tertentu. Bahan baku nutrisi alam yang terdapat pada jalur antara sebenarnya teramati tersedia cukup melimpah. Akar-akar, ranting dan daun pohon-pohon yang ditumbangkan pada satu tahun lalu cukup banyak terdapat pada lokasi. Hanya saja waktu satu tahun belum cukup untuk melapukkan mereka menjadi bahan organik yang menjadi sumber unsur hara penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cukup tingginya curah hujan pada kawasan yang turun dengan intensitas tinggi sampai sedang menyebabkan bentang lahan terbuka teramati mengalami erosi yang cukup besar. Erosi teramati semakin meningkat pada kawasan dengan tingkat kelerengan lebih tinggi. Dengan kata lain bahwa tingginya curah hujan dapat menyebabkan pencucian hara semakin meningkat seiring dengan semakin curamnya kawasan. Hal ini sejalan dengan prediksi Seiichi (1992) bahwa top soil pada lowland dipterocarp rain forest dengan kelerengan yang semakin tinggi akan semakin tipis. Hal ini akan dapat mengakibatkan suplai unsur
53
hara pada vegetasi di jalur antara (tegakan tinggal) pada areal dengan tingkat kelerengan semakin curam semakin sedikit. Pertumbuhan semai dan pancang yang cukup pesat terutama untuk jenis-jenis komersial pada kawasan dapat diakibatkan oleh terbukanya tajuk hutan akibat kegiatan penebangan. Hal ini dapat disebabkan karena jenis meranti merupakan jenis yang semi toleran dimana pada saat tingkat permudaan awal sangat membutuhkan sinar matahari dalam kondisi melimpah. Dengan kerapatan permudaan yang cukup tinggi, kompetisi tanaman dalam mendapatkan unsur hara juga meningkat. Keterlibatan cendawan mikoriza yang banyak dijumpai pada perakaran jenis-jenis yang mendominasi diduga cukup membantu proses suksesi tumbuhan jenis komersil untuk tumbuh dan tetap dapat beradaptasi dengan baik. Namun dikarenakan baru satu tahun penelitian dilakukan pada jalur antara setelah kegiatan penebangan sehingga belum didapat banyak informasi lain yang lebih menunjang.
2. Hubungan Tanah Hutan dan Tanaman Pengayaan Tanaman pengayaan yang dimaksud adalah tanaman hasil penanaman pada teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) pada petak contoh penelitian petak GG-39. Pada petak ini teramati secara rataan sebanyak 67% tanaman telah ditanam dan tampak tumbuh pada jalur tanam. Dari sejumlah tersebut sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam data tinggi dan diameter tanaman. Hal ini dikarenakan waktu penanaman yang berbeda sehingga dalam rentang kurang dari satu tahun belum bisa diprediksi tingkat pertumbuhan tanamannya. Menurut data penelitian dari Litbang Departemen Pembinaan Hutan PT. Erna Djuliawati bahwa perbedaan setahun dari waktu tanam itu tidak akan menimbulkan perbedaan yang cukup berarti karena dengan kondisi keterbukaan tajuk dan jalur selebar tiga meter maka pertumbuhan jenis Shorea sp. Akan cepat mengejar sehingga pada tahun-tahun mendatang akan dapat seragam baik tinggi maupun diameternya.
54
Secara edafis kondisi jalur tanam petak GG-39 pada contoh tanah yang diambil tergolong kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum dengan klasifikasi jalur tanam bekas areal jalan sarad menduduki peringkat yang paling buruk kondisinya. Bahan baku organik yang tampak pada jalur tanam adalah serasah guguran daun dan ranting dari tumbuhan pada jalur antara dan sisa-sisa dahan dan ranting pada kegiatan penebangan setahun yang lalu. Dengan tingginya curah hujan pada areal penelitian maka proses pencucian tanah pada jalur tanam akan berlangsung lebih cepat jika dibandingkan pada jalur antara. Hal ini diakibatkan karena telah dibersihkannya jalur dari vegetasi penutupnya. Dampak dari hal ini adalah semakin tinggi tingkat kelerengan suatu kawasan jalur tanam maka proses erosi dan pencucian tanahnya akan semakin tinggi. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus maka lapisan tanah atas (top soil) tanah akan tergerus dan tanah akan berkekurang tingkat kesesuaiannya dengan kebutuhan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diadakan tindakan penambahan top soil pada tanaman pengayaan dan tindakan pemulsaan pada jalur tanam agar aliran permukaan (run off) dan proses pencucian tanah tidak semakin parah. Tindakan pemulsaan sebagai bagian dari tindakan pemeliharaan intensif dari teknik silvikultur juga berguna didalam menjaga suhu tanah sehingga aktifitas biologi tanah dapat meningkat sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah jalur tanam. Tindakan pemeliharaan tahunan pada jalur tanam juga harus dibatasi menjadi kegiatan yang lebih merawat dan menjaga tanaman dari gulma tanaman pengganggu jenis liana dan tidak melakukan pembersihan pada jalur tanam lagi sehingga laju run off dan pencucian hara tanah dapat ditekan. Tindakan pemeliharaan ini penting dilakukan untuk meningkatkan hasil produksi kayu pada akhir daur agar target volume pada masa panen dapat tercapai.
55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Nilai Struktur dan komposisi tegakan tinggal pada Et+1 masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi hutan primer, walaupun demikian untuk struktur tegakan masih menunjukkan karakteristik dari hutan alam normal dengan membentuk kurva J terbalik. Sedangkan dominansi jenis pada Et+1 masih didominansi dari kelompok kayu komersial ditebang (KD). Jumlah jenis pada Et+1 mengalami peningkatan pada semai, pancang dan tiang, namun menurun untuk tingkat permudaan pohon. Nilai rataan Indeks Keanekaragaman pada Et+1 tergolong sedang dengan rataan mencapai 3,0 pada keseluruhan tingkat permudaan. 2. Pelaksanaan penanaman tanaman pengayaan pada Et+1 dengan umur tanam tanaman antara 3-6 bulan baru mencapai rataan 67,1% dengan nilai kematian mencapai rataan 17,5% (persentase hidup mencapai 82,5%) dengan rataan diameter tanaman mencapai kisaran 0,56 cm dan tinggi sekitar 72 cm. 3. Secara umum keadaan fisika dan kimia tanah hutan pada Et+1 sudah mendekati kondisi hutan primer dan tergolong mempunyai tingkat kesuburan sangat rendah dengan kondisi kesuburan paling rendah terjadi pada areal bekas jalan sarad.
B. Saran 1. Penanaman tanaman pengayaan (enrichment planting) hendaknya harus segera dilaksanakan setelah jalur bersih dan lubang tanam selesai dibuat. 2. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada jalur tanam diharapkan tidak melakukan pembersihan total (strip-clearing) pada jalur bersih melainkan masih menyisakan vegetasi jenis cover crop untuk mengurangi laju erosi. 3. Diperlukan penelitian lanjutan secara berkala terhadap kondisi komposisi dan struktur tegakan hutan, kondisi pertumbuhan dan perkembangan atau riap pada tanaman pengayaan serta status kesuburan tanah hutan.
56
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press. Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. http://air.bappenas.go.id/main/doc/pdf/yang_telah_disahkan/UU_41_1999 _KEHUTANAN.html. [2 Pebruari 2011] Elias. 2009. Modul Diklat WAS-GANIS Pemanfaatan Hutan Produksi Sistem dan Teknik Silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia. Bogor Ewusie, JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah.Cetakan ke-7. Jakarta: Akademika Pressindo. Lamb, D. 2005. Helping Forest Take Cover : On Forest Protection, Increasing Forest Cover and Future Approaches to Reforesting Degraded Tropical. Poopathy V, Appanah S, Durst PB, editor. Bangkok, Thailand : FAO (Food and Agricultural of The United Nations) Regional Centre for Asia and Pasific Press. Longman KA, J Jeník. 1992. Tropical Forest and Its Environment. 2nd Edition. New York, USA : John Wiley and Sons. Magurran, AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurenment. London : Croom Helm Ltd. Marsono, D. 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indonesia. Buletin Instiper Volume 2 No.2. Yogyakarta : Institut Pertanian (STIPER) McNaughton SJ, LL Wolf. 1990. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, Srigandono B, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : General Ecology. Misra, KC.1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi, India : Oxford & IBH Publishing Co. Odum, HT. 1992. Ekologi Sistem Suatu Pengantar. Supriyanto, Praseno K, Murwani R, penerjemah; Srigandono, penyunting. Yogyakarta : UGM Press.
57
Oliver CD, BC Larson. 1996. Forest Stand Dynamics. New York : John Wiley and Sons Inc. Poerwowidodo. 2004. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan Mengenal Tanah. Bogor : Laboratorium Pengaruh Hutan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. PT Erna Djuliawati. 2005. Standard Operating Procedure Pemantauan Kegiatan Pembinaan Hutan. PT. Erna Djuliawati Logging Unit II. Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan Tengah. PT Erna Djuliawati. 2007. Laporan Inventarisasi Flora Fauna Departement Pembinaan Hutan Bagian Konservasi. PT. Erna Djuliawati Logging Unit II. Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan Tengah Puslitbangtanah. 2004. Cara Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis (Uji Tanah). http://www.soil-climate.ir.id/uii_tanah.htm [10 Oktober 2008]. Richard, P.W. 1966. The Tropical Rain Forest : An Ecological Study. London, England : The Syndics of The Cambridge University Press. Seiichi, O. 1992. Characteristics of Major Soils Under Lowland Dipterocarp Forest in East Kalimantan Indonesia. Tropical Rain Forest Research Project JTA-9(a)-137 JICA dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud Indonesia. Jakarta : PUSREHUT Special Publikasi. [2 September 1992]. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Soerianegara, I, A Indrawan. 1989. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Spurr HS, BV Barnes. 1980. Forest Ecology. USA : John Wiley & Sons, Inc. Suhendang, E. 2008. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Sutisna, M. 2001. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Whitmore, TC. 2003. An Introduction to Tropical Rain Forests. 2nd Edition. New York : Oxford University Press Inc.
Lampiran 1. Tabel Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 No.
Nama Lokal
Nama Latin
Marga
Nama Dagang
Family
Golongan
Kelompok
1
Pulai
Alstonia scholaris R.br.
Alstonia sp.
Pulai
Sapotaceae
Campuran
KD
2
Pelai
Alstonia sp.
Alstonia sp.
Pulai
Sapotaceae
Campuran
KD
3
Bilayang
Amoora cucullata L.
Amoora sp.
Bilayang
Meliaceae
Campuran
KD
4
Mersawa
Anisoptera marginata Korth.
Anisoptera sp.
Mersawa
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
5
Klempayan
Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.
Anthocepalus sp.
Jabon
Rubiaceae
Kurang Komersil
KTT
6
Jabon
Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.
Anthocepalus sp.
Jabon
Rubiaceae
Kurang Komersil
KTT
7
Sembiring
Antiaris toxicaria (Pers.) Lesch.
Antiaris sp.
Tebu Hitam
Moraceae
Campuran
KD
8
Garu
Aquilaria malaccensis Lamk.
Aquilaria sp.
Gaharu
Thymelaceae
Campuran
KD
9
Gaharu beringin
Aquilaria microcarpa Lamk.
Aquilaria sp.
Gaharu
Thymelaceae
Campuran
KD
10
Terap
Arthocarpus elasticus Reinw.
Arthocarpus sp.
Nangka
Moraceae
Campuran
KD
11
Terap pekalongan
Artocarpus abisophyllus Miq.
Arthocarpus sp.
Nangka
Moraceae
Campuran
KD
12
Kepuak
Artocarpus ellastica Reinw.
Arthocarpus sp.
Nangka
Moraceae
Campuran
KD
13
Kapul
Baccaurea dulois Muell. Arg.
Baccaurea sp.
Kapul
Euphorbiaceae
Buah
KTT
14
Bintangur
Calophyllum inophyllum L.
Calophyllum sp.
Nyamplung
Clusiaceae
Campuran
KD
15
Kembayar
Canarium denticulatum Blume
Canarium sp.
Kenari
Burceraceae
Campuran
KD
16
Kenari
Canarium commune L.
Canarium sp.
Kenari
Burceraceae
Campuran
KD
17
Berangan
Castanopsis agentea Bl.
Castanopsis sp.
Berangan
Fagaceae
Campuran
KD
18
Poli-poli
Cassia nodosa L.
Cessia sp.
Poli-poli
Leguminoceae
Campuran
KD
19
Kopi hutan
Coffea sp.
Coffea sp.
Kopi
Rubiaceae
Buah
KTT
20
Asam kandis
Cratoxylon formosum Dyer
Cratoxylon sp.
Asam
Guttaceae
Buah
KTT
21
Geronggang
Cratoxylon arborescens Bl.
Cratoxylon sp.
Geronggang
Hyperiaceae
Campuran
KD
22
Tomau
Cratoxylon sp.
Cratoxylon sp.
Geronggang
Hyperiaceae
Campuran
KD
58
Lampiran 1. Tabel Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Latin
Marga
Nama Dagang
Family
Golongan
Kelompok
23
Kembayau
Dacryodes rostrata H.J.L
Dacryodes sp.
Kembayau
Burceraceae
Campuran
KD
24
Kemayau
Dacryodes rostrata H.J.L
Dacryodes sp.
Kembayau
Burceraceae
Campuran
KD
25
Keranji
Dialium guineense Miq.
Dialium sp.
Keranji
Fabaceae
Campuran
KD
26
Girik
Dillenia borneensis Miq.
Dillenia sp.
Girik
Dilleniaceae
Campuran
KD
27
Simpur
Dillenia excelsa Gilg.
Dillenia sp.
Simpur
Dilleniaceae
Campuran
KD
28
Arang-arang
Diospyros malam Bakh.
Diospyros sp.
Kayu Arang
Ebenaceae
Campuran
KD
29
Merading
Diploknema ramiflora (Merr.) H.J. Lam
Diploknema sp.
Merading
Sapotaceae
Campuran
KD
30
Keruing
Dipterocapus haselti Blume.
Dipterocarpus sp.
Keruing
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
31
Sangkuang
Dracontomelon costatum Bl.
Dracontomelon sp.
Sangkuang
Anacardiaceae
Campuran
KD
32
Keladan
Dryobalanops aromatica Blume
Dryobalanops sp.
Kamper
Dipterocarpaceae
Campuran
KD
33
Kapur
Dryobalanops aromatica Blume
Dryobalanops sp.
Kapur
Dipterocarpaceae
Campuran
KD
34
Durian burung
Durio sp.
Durio sp.
Durian
Bombacaceae
Buah
KTT
35
Jelutung
Dyera costulata Hook. F
Dyera sp.
Jelutung
Apocynaceae
Dilindungi
JL
36
Pantung
Dyera costulata Hook. F
Dyera sp.
Jelutung
Apocynaceae
Dilindungi
JL
37
Ulin
Eusideroxylon zwageri.Tet. B.
Eusideroxylon sp.
Ulin
Lauraceae
Dilindungi
JL
38
Kayu besi
Eusideroxylon zwageri Tet. B.
Eusideroxylon sp.
Ulin
Lauraceae
Dilindungi
JL
39
Belian
Eusideroxylon zwageri Tet. B.
Eusideroxylon sp.
Ulin
Lauraceae
Dilindungi
JL
40
Ara kendang
Fagraea sp.
Fagraea sp.
Ara Kendang
Loganiaceae
Dilindungi
41
Rukam
Homalium longifolium V. Sl.
Flacourtia sp.
Rukam
Saliaceae
Buah
KTT
42
Manggis
Garnicia sp.
Garcinia sp
Manggis
Guttiferae
Buah
KTT
43
Rengas
Gluta rengas Linn.
Gluta sp.
Rengas
Anacardiaceae
Campuran
KD
44
Kebaca
Gluta rengas Linn.
Gluta sp.
Rengas
Anacardiaceae
Campuran
KD
JL
59
Lampiran 1. Tabel Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Latin
Marga
Nama Dagang
Family
Golongan
Kelompok
45
Merawan
Hopea mengarawan Miq.
Hopea sp.
Merawan
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
46
Kumpang
Horsfieldia polyspherula Hook.
Horsfieldia sp.
Mendarahan
Myristicaceae
Campuran
KD
47
Mendarahan
Knema laurina Hook.
Knema sp
Mendarahan
Myristicaceae
Campuran
KD
48
Kempas
Coompacia sp.
Koompassia sp.
kempas
Fabaceae
Dilindungi
JL
49
Ladang-ladang
Coompacia malaccensis Maing.
Koompassia sp.
kempas
Fabaceae
Dilindungi
JL
50
Manggeris
Coompacia exelca Maing.
Koompassia sp.
kempas
Fabaceae
Dilindungi
JL
51
Kayu madu
Coompacia exelca Maing.
Koompassia sp.
kempas
Fabaceae
Dilindungi
JL
52
Tapang
Coompacia mooniana Maing.
Koompassia sp.
Kempas
Fabaceae
Dilindungi
JL
53
Bungur
Lagerstroemia speciosa Auct.
Lagerstromia sp.
Bungur
Lythraeceae
Campuran
KD
54
Langsat
Lansium domesticum Correa
Lancium sp.
Langsat
Meliaceae
Buah
KTT
55
Medang
Litsea firma (Blume) Hook. f
Litsea sp.
Medang
Lauraceae
Campuran
KD
56
Pisang-pisang
Lophopethalum javanica (Zoll.) Turcz
Lophopethalum sp.
Pisang-pisang
Calestraceae
Campuran
KD
57
Mahang
Macaranga gigantifolia Merr.
Macaranga sp.
Mahang
Euphorbiaceae
Kurang Komersil
KTT
58
Ipil
Macaranga sp.
Macaranga sp.
Mahang
Euphorbiaceae
Kurang Komersil
KTT
59
Asam manggaan
Mangifera sp.
Mangifera sp.
Mangga
Anacardiaceae
Buah
KTT
60
Cempaka hutan
Michelia campaka L.
Michelia sp.
Cempaka
Magnoliaceae
Kurang Komersil
KTT
61
Kayu gading
Murraya sp.
Murraya sp.
Kayu gading
Rutaceae
Campuran
KD
62
Gading-gading
Murraya paniculata L.Jack
Murraya sp.
Kayu gading
Rutaceae
Campuran
KD
63
Kemuning
Murraya paniculata L.Jack
Murraya sp.
Kayu gading
Rutaceae
Campuran
KD
64
Dara-dara
Myristica sp.
Myristica sp.
Mendarahan
Myristicaceae
Campuran
KD
65
Rambutan hutan
Nephelium lappaceum L.
Nephelium sp
Rambutan
Sapindaceae
Buah
KTT
66
Benuang
Octomeles sumatrana Miq.
Octomeles sp.
Benuang
Sonneratiaceae
Campuran
KD
67
Nyatoh
Palaquium sp.
Palaquium sp.
Nyatoh
Sapotaceae
Campuran
KD
60
Lampiran 1. Tabel Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Latin
Marga
Nama Dagang
Family
Golongan
Kelompok
68
Bengkal
Palaquium dasyphyllum H.J. Lam
Palaquium sp.
Nyatoh
Sapotaceae
Campuran
KD
69
Garung
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Paraserianthes sp.
Sengon
Fabaceae
Kurang Komersil
KTT
70
Jeuji
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Paraserianthes sp.
Sengon
Fabaceae
Kurang Komersil
KTT
71
Babi kurus
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Paraserianthes sp.
Sengon
Fabaceae
Kurang Komersil
KTT
72
Sengon
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen
Paraserianthes sp.
Sengon
Fabaceae
Kurang Komersil
KTT
73
Petai
Parkia speciosa Hassk.
Parkia sp.
Petai
Mimosaceae
Buah
KTT
74
Kedondong Hutan
Pentaspadon motleyi Hk. f.
Pentaspadon sp.
Kedondong
Anacardiaceae
Buah
KTT
75
Sungkai
Peronema canescens Jack.
Peronema sp.
Sungkai
Verbenaceae
Campuran
KD
76
Genyumbang
Pithecellobium cauliflorum (Willd.)Mart.
Pithecolobium sp.
Geyumbang belang
Fabaceae
Campuran
KD
77
Pelalun lesik
Pometia sp.
Pometia sp.
Bilayang
Sapindaceae
Campuran
KD
78
Bayur
Pterospermum javanicum Jungh
Pterospermum sp.
Bayur
Sterculiaceae
Campuran
KD
79
Arau
Santiria tomentosa Blume
Santiria sp.
Arau
Burceraceae
Campuran
KD
80
Kayu bawang
Scorodocarpus borneensis Becc.
Scorodocarpus sp.
Kayu bawang
Olacaceae
Campuran
KD
81
Kencuna, Kulim
Scorodocarpus borneensis Becc.
Scorodocarpus sp.
Kayu bawang
Olacaceae
Campuran
KD
82
Merkunyit
Shorea multiflora Burck.
Shorea sp.
Meranti Kuning
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
83
Mersiput
Shorea xanthophylla. Sym.
Shorea sp.
Meranti Kuning
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
84
Kenuar
Shorea johorensis Foxw.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
85
Majau
Shorea johorensis Foxw.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
86
Bangkirai
Shorea laevis Ridl.
Shorea sp.
Bangkirai
Dipterocarpaceae
Campuran
KD
87
Merkabang
Shorea accuminata Dyer.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
88
Lempung
Shorea parvifolia Dyer.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
89
Jawar
Shorea quadrinervis V. Sl.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
90
Marlanang
Shorea parvifolia Dyer.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
61
Lampiran 1. Tabel Nama Jenis dan Kelompok Jenis pada Petak GG-39 (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama Latin
Marga
Nama Dagang
Family
Golongan
Kelompok
91
Besarang
Shorea dasyphylla Fowx.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
92
Tengkuyung
Shorea leprosula Fowx.
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
93
Tengkawang
Shorea macrophylla de Vriese
Shorea sp.
Meranti Merah
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
94
Merlapang
Shorea lamellata Foxw.
Shorea sp.
Meranti Putih
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
95
Nyerakat
Shorea patoeiensis Fowx.
Shorea sp.
Meranti Putih
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
96
Melapi
Shorea atrinervosa Sym.
Shorea sp.
Meranti Putih
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
97
Sindur
Sindora bruggemanii de Wit.
Sindora sp.
Sindur
Caesalpiniaceae
Campuran
KD
98
Paru-paru
Sindora sp.
Sindora sp.
Sindur
Caesalpiniaceae
Campuran
KD
99
Tampar
Sindora sp.
Sindora sp.
Sindur
Caesalpiniaceae
Campuran
KD
100
Banitan
Sterculia gilva Miq.
Streculia sp.
Banitan
Sterculiaceae
Campuran
KD
101
Mahabay
Sterculia gilva Miq.
Streculia sp.
Banitan
Sterculiaceae
Campuran
KD
102
Bonetan
Sterculia gilva Miq.
Streculia sp.
Banitan
Sterculiaceae
Campuran
KD
103
Kemenyan
Styrax benzoin Dryan.
Styrax sp.
Kemenyan
Styracaceae
Wewangian
KTT
104
Jambu-jambu
Syzygium guineense (Willd.) DC
Syzygium sp.
Jambu-jambu
Myrtaceae
Campuran
KD
105
Punaga
Tetrameristra glabra Miq.
Terrameristra sp.
Punak
Clusiaceae
Campuran
KD
106
Pelawan
Tristaniopsis whiteana (Griff.) Peter
Tristaniopsis sp.
Pelawan
Myristicaceae
Campuran
KD
107
Resak
Vatica rassack B.I
Vatica sp.
Resak
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
KD
62
Lampiran 2. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Petak GG-39 Hutan Primer, Setelah Penebangan, Setelah Penjaluran, dan Setahun Setelahnya. Kondisi Hutan
Kelerengan
Datar
Hutan Primer
Sedang
Curam
Datar
Setelah Penebangan
Sedang
Curam
Semai Sterculia gilva Shorea macrophylla Shorea quadrinervis Syzygium guineense Litsea firma Shorea patoeiensis Canarium denticulatum Shorea macrophylla Sterculia gilva Litsea firma Shorea macrophylla Shorea parvifolia Syzygium guineense Litsea firma Shorea patoeiensis Litsea firma Syzygium guineense Shorea parvifolia Tetrameristra galbra Vatica rassack Shorea parvifolia Syzygium guineense Tetrameristra glabra Litsea firma Vatica rassack Shorea parvifolia Tetrameristra glabra Syzygium guineense Vatica rassack Shorea macrophylla
INP (%) 24.5 20.6 19.4 19.4 14.9 29.5 24.0 21.9 18.0 13.8 24.5 23.4 17.4 15.6 15.4 49.1 31.1 25.3 18.1 16.4 41.5 33.7 28.0 26.0 21.9 42.7 33.5 30.8 14.4 12.6
Pancang Syzygium guineense Litsea firma Myristica sp. Sterculia gilva Vatica rassack Sterculia gilva Myristica sp. Vatica rassack Diospyros malam Litsea firma Litsea firma Syzygium guineense Myristica sp. Sterculia gilva Shorea macrophylla Litsea firma Syzygium guineense Vatica rassack Eusideroxylon sp. Gluta rengas Syzygium guineense Litsea firma Vatica rassack Shorea multiflora Dipterocarpus haselti Syzygium guineense Litsea firma Vatica rassack Myristica sp. Gluta rengas
Jenis-Jenis Dominan INP (%) Tiang 35.5 26.2 18.4 17.5 13.6 22.3 21.7 20.4 17.1 14.4 26.3 21.0 16.2 15.8 14.2 46.3 41.3 32.0 17.1 13.5 45.6 39.0 36.8 8.1 7.4 42.9 28.5 26.0 13.1 13.1
Syzygium guineense Paraserianthes falcataria Litsea firma Myristica sp. Sterculia gilva Syzygium guineense Paraserianthes falcataria Sterculia gilva Litsea firma Dillenia borneensis Litsea firma Syzygium guineense Dillenia borneensis Paraserianthes falcataria Nephelium lappaceum Syzygium guineense Litsea firma Dillenia borneensis Paraserianthes falcataria Diospyros malam Syzygium guineense Litsea firma Sterculia gilva Shorea parvifolia Paraserianthes falcataria Syzygium guineense Dillenia borneensis Sterculia gilva Paraserianthes falcataria Litsea firma
INP (%)
Pohon
INP (%)
50.4 35.6 20.8 18.7 18.2 37.5 24.2 22.1 21.5 16.9 31.2 26.4 21.6 19.7 19.0 49.6 29.2 27.4 23.4 21.1 60.3 26.4 25.6 25.4 19.0 67.0 31.4 21.9 21.0 15.5
Shorea parvifolia Syzygium guineense Litsea firma Paraserianthes falcataria Shorea macrophylla Shorea parvifolia Shorea macrophylla Syzygium guineense Paraserianthes falcataria Dillenia borneensis Shorea parvifolia Syzygium guineense Paraserianthes falcataria Shorea macrophylla Litsea firma Syzygium guineense Dillenia borneensis Litsea firma Shorea parvifolia Shorea macrophylla Syzygium guineense Shorea parvifolia Nephelium sp. Shorea macrophylla Dillenia borneensis Syzygium guineense Dillenia borneensis Shorea parvifolia Eusideroxylon sp. Vatica rassack
40.9 30.9 29.9 22.5 19.8 35.8 31.7 26.6 16.1 15.7 25.9 23.7 21.6 20.7 17.7 49.3 26.6 24.8 22.9 20.4 50.6 33.7 20.4 17.4 15.4 41.0 26.9 24.9 17.4 14.0
63
Lampiran 2. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Petak GG-39 Hutan Primer, Setelah Penebangan, Setelah Penjaluran, dan Setahun Setelahnya. (lanjutan) Kondisi Hutan
Kelerengan
Datar
Setelah Penjaluran
Sedang
Curam
Datar
Hutan Setelah Setahun (Et+1)
Sedang
Curam
Semai Litsea firma Shorea parvifolia Syzygium guineense Vatica resak Shorea patoeiensis Shorea parvifolia Litsea firma Syzygium guineense Vatica resak Tetrameristra glabra Shorea parvifolia Syzygium guineense Shorea macrophylla Tetrameristra glabra Shorea patoeiensis Shorea parvifolia Shorea macrophylla Sterculia gilva Myristica sp. Litsea firma Shorea patoeiensis Shorea parvifolia Sterculia gilva Vatica rassack Cratoxylon formosum Syzygium guineense Sterculia gilva Litsea firma Shorea parvifolia Myristica sp.
INP (%) 56.0 31.2 24.9 18.3 12.0 44.0 31.7 25.1 23.0 20.9 39.6 37.3 20.7 19.2 15.1 30.0 22.8 20.7 19.5 17.7 41.0 18.5 16.9 11.5 10.5 31.8 30.2 24.1 21.1 10.1
Jenis-Jenis Dominan INP Pancang Tiang (%) Litsea firma 45.0 Syzygium guineense Syzygium guineense 43.9 Litsea firma Vatica resak 29.6 Dillenia borneensis Eusideroxylon zwageri 20.4 Paraserienthes falcataria Gluta renghas 14.3 Diospyrus malam Syzygium guineense 43.6 Syzygium guineense Litsea firma 40.0 Shorea parvifolia Vatica resak 31.5 Sterculia gilva Myristica sp. 9.7 Myristica iners Dipterocarpus haselti 9.7 Litsea firma Syzygium guineense 41.1 Syzygium guineense Vatica resak 28.8 Dillenia borneensis Litsea firma 22.7 Sterculia gilva Palaquium microphyllum 14.4 Paraserienthes falcataria Gluta renghas 12.4 Litsea firma Diospyros malam 23.8 Syzygium guineense Syzygium guineense 22.9 Litsea firma Sterculia gilva 21.7 Diospyros malam Litsea firma 20.1 Dillenia borneensis Myristica sp. 19.3 Sterculia gilva Shorea patoeiensis 24.0 Sterculia gilva Sterculia gilva 16.6 Vatica rassack Shorea parvifolia 14.7 Syzygium guineense Syzygium guineense 11.4 Litsea firma Dillenia excelsa 11.3 Myristica sp. Syzygium guineense 19.3 Syzygium guineense Litsea firma 18.2 Litsea firma Sterculia gilva 17.7 Dillenia borneensis Macaranga gigantifolia 16.1 Paraserianthes falcataria Anthocepalus cadamba 14.5 Vatica rassack
INP (%) 41.5 28.1 27.1 26.9 23.7 54.0 31.4 27.1 21.5 17.7 68.8 32.3 22.4 17.9 14.5 33.7 24.9 24.2 23.7 22.7 39.6 37.4 24.0 23.9 22.2 38.3 34.3 24.4 22.1 12.8
Pohon
INP (%)
Syzygium guineense Dillenia sp. Shorea parvifolia Shorea macrophylla Litsea firma Syzygium guineense Shorea parvifolia Shorea macrophylla Nephelium lappaceum Dillenia sp. Syzygium guineense Shorea parvifolia Dillenia sp. Eusideroxylon zwageri Durio sp. Syzygium guineense Dillenia borneensis Shorea macrophylla Shorea parvifolia Litsea firma Shorea parvifolia Syzygium guineense Dillenia borneensis Litsea firma Shorea patoeiensis Dillenia borneensis Litsea firma Syzygium guineense Shorea parvifolia Shorea macrophylla
48.1 26.5 26.0 23.1 22.2 46.1 32.6 20.6 19.4 17.0 39.3 29.4 21.8 19.2 12.5 31.4 27.6 25.5 21.7 16.5 22.4 22.1 16.5 15.5 14.7 33.6 30.2 27.4 25.6 16.2
64
Lampiran 3. Data Curah Hujan PT. Erna Djuliawati Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
CH & HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Rerata
IH
135.5 12 221.3 14 143 20 435.2 12 237.5 13 189.8 13 405.2 17 486.1 22 415.3 19 374.3 16 528.4 21 511 20 4082.6 199
462.6 11 421.6 9 500.1 12 54.81 11 35.59 11 150.7 6 265 7 477.2 8 322.6 8 448.2 15 270.2 13 238.2 7 3646.8 118
331.2 9 254.4 5 163.5 8 467 9 149.2 6 297.2 7 73.5 4 153 4 218.8 6 351.9 12 266.8 6 201.5 6 2928 82
278.3 11 132.4 10 164.3 8 287.3 9 201.3 7 160.2 6 181 4 65 3 574.2 12 313.1 7 342.4 12 129.4 6 2828.9 95
436 14 227 7 365 11 377 8 210 5 355 7 49 3 20.1 1 137 5 40.2 4 366 11 371 11 2953.3 87
219.8 10 385.3 11 292.9 11 380.3 11 79.8 10 114.3 6 80.6 5 146.1 8 129.9 8 573.8 14 347.2 14 372.7 8 3122.7 116
333.1 14 129.1 11 215 13 433.9 12 297.4 10 132.5 6 343.1 18 0 0 234.3 11 167.1 9 353.3 16 413.1 24 3051.9 144
294.1 14 287.9 16 326.3 14 191.7 16 227.9 11 225.5 12 245.1 13 125.1 8 313.3 12 408.2 17 417 19 248.7 13 3310.8 165
246.1 9 343.1 17 300.7 13 214 13 264.3 13 382.9 14 46.8 3 0 0 5.3 1 26.3 3 409.7 15 369 12 2608.2 113
353 17 339.5 11 153 8 489.7 15 274.7 11 256.3 17 371 12 152.3 8 217.5 8 358.9 10 442 15 404.6 13 3812.5 145
74.8 5 73 4 566.7 19 285.6 12 284.8 8 326.9 9 415.6 8 503.6 13 99.2 3 269.6 6 575.5 17 227.8 6.0 3703.1 110
328.8 15.4 257.9 13.5 312.2 15.5 328.6 15.2 224.7 13.2 220.9 10.8 218.2 9.9 207.6 9.8 237.7 11.3 307.5 14.4 378.5 17.1 331.6 15.7 3303.7 166
18.3 14.3 17.3 18.3 12.5 12.3 12.1 12.2 14.0 18.1 22.3 19.5 19.9
65
Lampiran 4. Rekapitulasi Data Analisis Vegetasi 1. Rekapitulasi Semai Datar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama Latin Amoora cucullata Arthocarpus elasticus. Canarium denticulatum Cassia nodosa Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Eusideroxylon zwageri Garnicia mangostana Gluta rengas Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga gigantifolia Macaranga sp. Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Shorea xanthophylla Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 1 4 2 1 6 13 2 1 18 5 1 30 47 7 39 6 50 7 1 1 85 4 104 23 14 1 57 37 23 590
Σ-Plot 1 2 1 1 5 10 2 1 12 4 1 10 22 1 4 1 25 5 1 1 19 3 28 6 7 1 25 23 5 227
C 0.00001 0.00006 0.00002 0.00001 0.00026 0.00109 0.00004 0.00001 0.00174 0.00017 0.00001 0.00225 0.00779 0.00007 0.00175 0.00005 0.00949 0.00029 0.00001 0.00001 0.01297 0.00010 0.02244 0.00107 0.00074 0.00001 0.01069 0.00673 0.00093 0.0808
Pi 0.003 0.008 0.004 0.003 0.016 0.033 0.006 0.003 0.042 0.013 0.003 0.047 0.088 0.008 0.042 0.007 0.097 0.017 0.003 0.003 0.114 0.010 0.150 0.033 0.027 0.003 0.103 0.082 0.031 1
H 0.02 0.04 0.02 0.02 0.07 0.11 0.03 0.02 0.13 0.06 0.02 0.14 0.21 0.04 0.13 0.04 0.23 0.07 0.02 0.02 0.25 0.05 0.28 0.11 0.10 0.02 0.23 0.21 0.11 3
K 33 133 67 33 200 433 67 33 600 167 33 1,000 1,567 233 1,300 200 1,667 233 33 33 2,833 133 3,467 767 467 33 1,900 1,233 767 19,667
KR (%) 0.17 0.68 0.34 0.17 1.02 2.20 0.34 0.17 3.05 0.85 0.17 5.08 7.97 1.19 6.61 1.02 8.47 1.19 0.17 0.17 14.41 0.68 17.63 3.90 2.37 0.17 9.66 6.27 3.90 100
F 0.01 0.03 0.01 0.01 0.07 0.13 0.03 0.01 0.16 0.05 0.01 0.13 0.29 0.01 0.05 0.01 0.33 0.07 0.01 0.01 0.25 0.04 0.37 0.08 0.09 0.01 0.33 0.31 0.07 3
FR (%) 0.44 0.88 0.44 0.44 2.20 4.41 0.88 0.44 5.29 1.76 0.44 4.41 9.69 0.44 1.76 0.44 11.01 2.20 0.44 0.44 8.37 1.32 12.33 2.64 3.08 0.44 11.01 10.13 2.20 100
INP 0.61 1.56 0.78 0.61 3.22 6.61 1.22 0.61 8.34 2.61 0.61 9.49 17.66 1.63 8.37 1.46 19.49 3.39 0.61 0.61 22.78 2.00 29.96 6.54 5.46 0.61 20.67 16.40 6.10 200
66
2. Rekapitulasi Semai Sedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Latin Alstonia scholaris Anisoptera marginata Anthocepalus cadamba Arthocarpus elasticus. Canarium denticulatum Cassia nodosa Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dillenia excelsa Diploknema ramiflora Durio sp. Gluta rengas Koompacia malaccencis Koompacia sp. Lansium domesticum Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga gigantifolia Murraya paniculata Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Parkia spesiosa Pentaspadon motleyi Shorea atrinervosa Shorea laevis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 3 4 24 3 9 14 26 2 17 1 1 10 14 1 2 24 2 47 3 11 10 20 1 1 25 1 16 5 85 187 57 21 30 677
Σ-Plot 2 4 10 3 9 10 18 2 13 1 1 5 8 1 2 18 1 7 2 9 5 18 1 1 3 1 5 2 16 36 23 14 19 270
C 0.00004 0.00011 0.00131 0.00006 0.00054 0.00083 0.00276 0.00003 0.00134 0.00001 0.00001 0.00028 0.00063 0.00001 0.00003 0.00261 0.00001 0.00227 0.00004 0.00061 0.00028 0.00231 0.00001 0.00001 0.00058 0.00001 0.00044 0.00005 0.00854 0.04193 0.00717 0.00172 0.00329 0.0799
Pi 0.006 0.010 0.036 0.008 0.023 0.029 0.053 0.005 0.037 0.003 0.003 0.017 0.025 0.003 0.005 0.051 0.003 0.048 0.006 0.025 0.017 0.048 0.003 0.003 0.024 0.003 0.021 0.007 0.092 0.205 0.085 0.041 0.057 1
H 0.03 0.05 0.12 0.04 0.09 0.10 0.15 0.03 0.12 0.02 0.02 0.07 0.09 0.02 0.03 0.15 0.02 0.15 0.03 0.09 0.07 0.15 0.02 0.02 0.09 0.02 0.08 0.04 0.22 0.32 0.21 0.13 0.16 3
K 100 133 800 100 300 467 867 67 567 33 33 333 467 33 67 800 67 1,567 100 367 333 667 33 33 833 33 533 167 2,833 6,233 1,900 700 1,000 22,567
KR (%) 0.44 0.59 3.55 0.44 1.33 2.07 3.84 0.30 2.51 0.15 0.15 1.48 2.07 0.15 0.30 3.55 0.30 6.94 0.44 1.62 1.48 2.95 0.15 0.15 3.69 0.15 2.36 0.74 12.56 27.62 8.42 3.10 4.43 100
F 0.03 0.05 0.13 0.04 0.12 0.13 0.24 0.03 0.17 0.01 0.01 0.07 0.11 0.01 0.03 0.24 0.01 0.09 0.03 0.12 0.07 0.24 0.01 0.01 0.04 0.01 0.07 0.03 0.21 0.48 0.31 0.19 0.25 4
FR (%) 0.74 1.48 3.70 1.11 3.33 3.70 6.67 0.74 4.81 0.37 0.37 1.85 2.96 0.37 0.74 6.67 0.37 2.59 0.74 3.33 1.85 6.67 0.37 0.37 1.11 0.37 1.85 0.74 5.93 13.33 8.52 5.19 7.04 100
INP 1.18 2.07 7.25 1.55 4.66 5.77 10.51 1.04 7.33 0.52 0.52 3.33 5.03 0.52 1.04 10.21 0.67 9.53 1.18 4.96 3.33 9.62 0.52 0.52 4.80 0.52 4.22 1.48 18.48 40.96 16.94 8.29 11.47 200
67
3. Rekapitulasi Semai Curam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama Latin Alstonia scholaris Amoora cucullata Anthocepalus cadamba Arthocarpus elasticus. Calophyllum inophyllum Canarium denticulatum Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dillenia excelsa Diospyros malam Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga gigantifolia Macaranga sp. Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium micropyllum Scorodocarpus borneensis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Sindora coriacea Sterculia gilva Styrax benzoin Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 4 1 17 1 2 1 2 10 2 3 1 2 3 7 34 6 22 9 14 3 3 4 3 2 36 6 5 2 50 3 52 8 318
Σ-Plot 4 1 8 1 2 1 2 8 2 3 1 2 2 4 26 3 4 3 11 3 3 3 2 2 19 5 4 1 28 1 30 5 194
C 0.00028 0.00002 0.00224 0.00002 0.00007 0.00002 0.00007 0.00132 0.00007 0.00015 0.00002 0.00007 0.00010 0.00045 0.01451 0.00029 0.00202 0.00048 0.00254 0.00015 0.00015 0.00020 0.00010 0.00007 0.01115 0.00050 0.00033 0.00003 0.02274 0.00005 0.02531 0.00065 0.0862
Pi 0.017 0.004 0.047 0.004 0.008 0.004 0.008 0.036 0.008 0.012 0.004 0.008 0.010 0.021 0.120 0.017 0.045 0.022 0.050 0.012 0.012 0.014 0.010 0.008 0.106 0.022 0.018 0.006 0.151 0.007 0.159 0.025 1
H 0.07 0.02 0.14 0.02 0.04 0.02 0.04 0.12 0.04 0.05 0.02 0.04 0.05 0.08 0.25 0.07 0.14 0.08 0.15 0.05 0.05 0.06 0.05 0.04 0.24 0.08 0.07 0.03 0.29 0.04 0.29 0.09 3
K 133 33 567 33 67 33 67 333 67 100 33 67 100 233 1,133 200 733 300 467 100 100 133 100 67 1,200 200 167 67 1,667 100 1,733 267 10,600
KR (%) 1.26 0.31 5.35 0.31 0.63 0.31 0.63 3.14 0.63 0.94 0.31 0.63 0.94 2.20 10.69 1.89 6.92 2.83 4.40 0.94 0.94 1.26 0.94 0.63 11.32 1.89 1.57 0.63 15.72 0.94 16.35 2.52 100
F 0.05 0.01 0.11 0.01 0.03 0.01 0.03 0.11 0.03 0.04 0.01 0.03 0.03 0.05 0.35 0.04 0.05 0.04 0.15 0.04 0.04 0.04 0.03 0.03 0.25 0.07 0.05 0.01 0.37 0.01 0.40 0.07 3
FR (%) 2.06 0.52 4.12 0.52 1.03 0.52 1.03 4.12 1.03 1.55 0.52 1.03 1.03 2.06 13.40 1.55 2.06 1.55 5.67 1.55 1.55 1.55 1.03 1.03 9.79 2.58 2.06 0.52 14.43 0.52 15.46 2.58 100
INP 3.32 0.83 9.47 0.83 1.66 0.83 1.66 7.27 1.66 2.49 0.83 1.66 1.97 4.26 24.09 3.43 8.98 4.38 10.07 2.49 2.49 2.80 1.97 1.66 21.11 4.46 3.63 1.14 30.16 1.46 31.82 5.09 200
68
4. Rekapitulasi Pancang Datar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Nama Latin Amoora cucullata Antiaris toxicaria Arthocarpus elasticus. Baccaurea dulois Cassia nodosa Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Diospyros malam Diploknema ramiflora Dipterocapus haselti Durio sp. Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Koompacia sp. Litsea firma Macaranga gigantifolia Mangifera macrocarpa Murraya paniculata Murraya sp. Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Scorodocarpus borneensis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Shorea acuminata Jumlah
Σ-Jenis 1 1 1 1 4 1 19 7 39 1 3 2 2 7 1 36 12 4 1 1 29 5 3 3 4 1 7 2 19 4 11 38 36 14 2 322
Σ-Plot 1 1 1 1 3 1 13 6 25 1 1 2 2 7 1 19 4 3 1 1 22 5 2 3 3 1 7 1 11 3 7 21 25 7 1 213
C 0.00002 0.00002 0.00002 0.00002 0.00018 0.00002 0.00360 0.00062 0.01422 0.00002 0.00005 0.00006 0.00006 0.00075 0.00002 0.01010 0.00079 0.00018 0.00002 0.00002 0.00935 0.00038 0.00009 0.00014 0.00018 0.00002 0.00075 0.00003 0.00306 0.00018 0.00112 0.01173 0.01313 0.00146 0.00003 0.0724
Pi 0.004 0.004 0.004 0.004 0.013 0.004 0.060 0.025 0.119 0.004 0.007 0.008 0.008 0.027 0.004 0.101 0.028 0.013 0.004 0.004 0.097 0.020 0.009 0.012 0.013 0.004 0.027 0.005 0.055 0.013 0.034 0.108 0.115 0.038 0.005 1
H 0.02 0.02 0.02 0.02 0.06 0.02 0.17 0.09 0.25 0.02 0.03 0.04 0.04 0.10 0.02 0.23 0.10 0.06 0.02 0.02 0.23 0.08 0.04 0.05 0.06 0.02 0.10 0.03 0.16 0.06 0.11 0.24 0.25 0.12 0.03 3
K 5 5 5 5 21 5 101 37 208 5 16 11 11 37 5 192 64 21 5 5 155 27 16 16 21 5 37 11 101 21 59 203 192 75 11 1,717
KR (%) 0.31 0.31 0.31 0.31 1.24 0.31 5.90 2.17 12.11 0.31 0.93 0.62 0.62 2.17 0.31 11.18 3.73 1.24 0.31 0.31 9.01 1.55 0.93 0.93 1.24 0.31 2.17 0.62 5.90 1.24 3.42 11.80 11.18 4.35 0.62 100
F 0.01 0.01 0.01 0.01 0.04 0.01 0.17 0.08 0.33 0.01 0.01 0.03 0.03 0.09 0.01 0.25 0.05 0.04 0.01 0.01 0.29 0.07 0.03 0.04 0.04 0.01 0.09 0.01 0.15 0.04 0.09 0.28 0.33 0.09 0.01 3
FR (%) 0.47 0.47 0.47 0.47 1.41 0.47 6.10 2.82 11.74 0.47 0.47 0.94 0.94 3.29 0.47 8.92 1.88 1.41 0.47 0.47 10.33 2.35 0.94 1.41 1.41 0.47 3.29 0.47 5.16 1.41 3.29 9.86 11.74 3.29 0.47 100
INP 0.78 0.78 0.78 0.78 2.65 0.78 12.00 4.99 23.85 0.78 1.40 1.56 1.56 5.46 0.78 20.10 5.60 2.65 0.78 0.78 19.33 3.90 1.87 2.34 2.65 0.78 5.46 1.09 11.06 2.65 6.70 21.66 22.92 7.63 1.09 200
69
5. Rekapitulasi Pancang Sedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Latin Anisoptera marginata Anthocepalus cadamba Arthocarpus elasticus. Baccaurea dulois Canarium denticulatum Cassia nodosa Cratoxylon arborescens Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Koompacia malaccencis Lansium domesticum Litsea firma Macaranga gigantifolia Mangifera macrocarpa Murraya paniculata Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Scorodocarpus borneensis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 2 15 8 1 13 15 1 6 12 23 7 3 16 15 8 15 25 23 1 13 11 16 1 6 3 5 25 4 48 97 2 41 27 20 528
Σ-Plot 2 9 6 1 12 10 1 5 10 21 5 2 14 12 7 13 6 15 1 13 10 12 1 5 3 4 5 2 17 17 2 27 19 15 304
C 0.00003 0.00084 0.00030 0.00001 0.00103 0.00094 0.00001 0.00019 0.00077 0.00317 0.00022 0.00004 0.00146 0.00115 0.00036 0.00127 0.00113 0.00216 0.00001 0.00114 0.00072 0.00122 0.00001 0.00019 0.00006 0.00013 0.00102 0.00005 0.00539 0.01436 0.00003 0.00693 0.00323 0.00190 0.0514
Pi 0.005 0.029 0.017 0.003 0.032 0.031 0.003 0.014 0.028 0.056 0.015 0.006 0.038 0.034 0.019 0.036 0.034 0.046 0.003 0.034 0.027 0.035 0.003 0.014 0.008 0.011 0.032 0.007 0.073 0.120 0.005 0.083 0.057 0.044 1
H 0.03 0.10 0.07 0.02 0.11 0.11 0.02 0.06 0.10 0.16 0.06 0.03 0.12 0.11 0.08 0.12 0.11 0.14 0.02 0.11 0.10 0.12 0.02 0.06 0.04 0.05 0.11 0.04 0.19 0.25 0.03 0.21 0.16 0.14 3
K 11 80 43 5 69 80 5 32 64 123 37 16 85 80 43 80 133 123 5 69 59 85 5 32 16 27 133 21 256 517 11 219 144 107 2,816
KR (%) 0.38 2.84 1.52 0.19 2.46 2.84 0.19 1.14 2.27 4.36 1.33 0.57 3.03 2.84 1.52 2.84 4.73 4.36 0.19 2.46 2.08 3.03 0.19 1.14 0.57 0.95 4.73 0.76 9.09 18.37 0.38 7.77 5.11 3.79 100
F 0.03 0.12 0.08 0.01 0.16 0.13 0.01 0.07 0.13 0.28 0.07 0.03 0.19 0.16 0.09 0.17 0.08 0.20 0.01 0.17 0.13 0.16 0.01 0.07 0.04 0.05 0.07 0.03 0.23 0.23 0.03 0.36 0.25 0.20 4
FR (%) 0.66 2.96 1.97 0.33 3.95 3.29 0.33 1.64 3.29 6.91 1.64 0.66 4.61 3.95 2.30 4.28 1.97 4.93 0.33 4.28 3.29 3.95 0.33 1.64 0.99 1.32 1.64 0.66 5.59 5.59 0.66 8.88 6.25 4.93 100
INP 1.04 5.80 3.49 0.52 6.41 6.13 0.52 2.78 5.56 11.26 2.97 1.23 7.64 6.79 3.82 7.12 6.71 9.29 0.52 6.74 5.37 6.98 0.52 2.78 1.56 2.26 6.38 1.42 14.68 23.96 1.04 16.65 11.36 8.72 200
70
6. Rekapitulasi Pancang Curam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Latin Anthocepalus cadamba Arthocarpus elasticus. Calophyllum inophyllum Canarium denticulatum Cassia nodosa Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga gigantifolia Macaranga sp. Mangifera macrocarpa Myristica sp. Nephelium lappaceum Octomeles sumatrana Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Scorodocarpus borneensis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Shorea sp. Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 34 1 2 3 2 23 17 1 7 2 1 3 14 33 2 43 10 1 18 14 4 15 3 6 11 1 7 2 6 1 33 37 10 367
Σ-Plot 12 1 2 3 2 15 14 1 6 2 1 3 9 21 2 10 5 1 16 12 3 14 3 4 5 1 4 2 5 1 20 21 8 229
C 0.00526 0.00001 0.00005 0.00011 0.00005 0.00411 0.00289 0.00001 0.00051 0.00005 0.00001 0.00011 0.00150 0.00825 0.00005 0.00647 0.00060 0.00001 0.00354 0.00205 0.00014 0.00260 0.00011 0.00029 0.00067 0.00001 0.00033 0.00005 0.00036 0.00001 0.00785 0.00927 0.00097 0.0583
Pi 0.073 0.004 0.007 0.011 0.007 0.064 0.054 0.004 0.023 0.007 0.004 0.011 0.039 0.091 0.007 0.080 0.025 0.004 0.059 0.045 0.012 0.051 0.011 0.017 0.026 0.004 0.018 0.007 0.019 0.004 0.089 0.096 0.031 1
H 0.19 0.02 0.04 0.05 0.04 0.18 0.16 0.02 0.09 0.04 0.02 0.05 0.13 0.22 0.04 0.20 0.09 0.02 0.17 0.14 0.05 0.15 0.05 0.07 0.09 0.02 0.07 0.04 0.08 0.02 0.21 0.23 0.11 3
K 181 5 11 16 11 123 91 5 37 11 5 16 75 176 11 229 53 5 96 75 21 80 16 32 59 5 37 11 32 5 176 197 53 1,957
KR (%) 9.26 0.27 0.54 0.82 0.54 6.27 4.63 0.27 1.91 0.54 0.27 0.82 3.81 8.99 0.54 11.72 2.72 0.27 4.90 3.81 1.09 4.09 0.82 1.63 3.00 0.27 1.91 0.54 1.63 0.27 8.99 10.08 2.72 100
F 0.16 0.01 0.03 0.04 0.03 0.20 0.19 0.01 0.08 0.03 0.01 0.04 0.12 0.28 0.03 0.13 0.07 0.01 0.21 0.16 0.04 0.19 0.04 0.05 0.07 0.01 0.05 0.03 0.07 0.01 0.27 0.28 0.11 3
FR (%) 5.24 0.44 0.87 1.31 0.87 6.55 6.11 0.44 2.62 0.87 0.44 1.31 3.93 9.17 0.87 4.37 2.18 0.44 6.99 5.24 1.31 6.11 1.31 1.75 2.18 0.44 1.75 0.87 2.18 0.44 8.73 9.17 3.49 100
INP 14.50 0.71 1.42 2.13 1.42 12.82 10.75 0.71 4.53 1.42 0.71 2.13 7.74 18.16 1.42 16.08 4.91 0.71 11.89 9.05 2.40 10.20 2.13 3.38 5.18 0.71 3.65 1.42 3.82 0.71 17.73 19.25 6.22 200
71
7. Rekapitulasi Tiang Datar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Latin Anisoptera marginata Antiaris toxicaria Arthocarpus elasticus Baccaurea dulois Cassia nodosa Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Diospyros malam Dipterocapus haselti Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Koompacia sp. Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga gigantifolia Mangifera macrocarpa Murraya sp. Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Shorea lamellata Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia
Σ-Jenis 1 1 2 1 7 1 2 22 27 8 3 1 1 9 4 27 1 1 5 3 19 9 4 9 14 7 1 5 2 8
Σ-Plot 1 1 2 1 5 1 2 21 18 7 3 1 1 9 4 23 1 1 5 2 16 8 3 9 9 5 1 5 2 8
LBDS (m2) 0.03 0.01 0.03 0.02 0.10 0.01 0.04 0.37 0.37 0.12 0.06 0.03 0.01 0.14 0.06 0.32 0.01 0.01 0.06 0.04 0.23 0.12 0.04 0.15 0.14 0.13 0.02 0.06 0.03 0.12
C 0.00002 0.00001 0.00004 0.00001 0.00045 0.00001 0.00006 0.00622 0.00650 0.00070 0.00014 0.00002 0.00001 0.00104 0.00020 0.00687 0.00001 0.00001 0.00027 0.00007 0.00344 0.00086 0.00012 0.00105 0.00139 0.00057 0.00001 0.00026 0.00005 0.00078
Pi 0.005 0.003 0.007 0.004 0.021 0.003 0.007 0.079 0.081 0.026 0.012 0.004 0.003 0.032 0.014 0.083 0.003 0.003 0.016 0.009 0.059 0.029 0.011 0.032 0.037 0.024 0.004 0.016 0.007 0.028
H 0.03 0.02 0.03 0.02 0.08 0.02 0.04 0.20 0.20 0.10 0.05 0.02 0.02 0.11 0.06 0.21 0.02 0.02 0.07 0.04 0.17 0.10 0.05 0.11 0.12 0.09 0.02 0.07 0.04 0.10
K 1.3 1.3 2.7 1.3 9.3 1.3 2.7 29.3 36.0 10.7 4.0 1.3 1.3 12.0 5.3 36.0 1.3 1.3 6.7 4.0 25.3 12.0 5.3 12.0 18.7 9.3 1.3 6.7 2.7 10.7
KR (%) 0.32 0.32 0.64 0.32 2.25 0.32 0.64 7.07 8.68 2.57 0.96 0.32 0.32 2.89 1.29 8.68 0.32 0.32 1.61 0.96 6.11 2.89 1.29 2.89 4.50 2.25 0.32 1.61 0.64 2.57
F 0.01 0.01 0.03 0.01 0.07 0.01 0.03 0.28 0.24 0.09 0.04 0.01 0.01 0.12 0.05 0.31 0.01 0.01 0.07 0.03 0.21 0.11 0.04 0.12 0.12 0.07 0.01 0.07 0.03 0.11
FR (%) 0.39 0.39 0.78 0.39 1.95 0.39 0.78 8.17 7.00 2.72 1.17 0.39 0.39 3.50 1.56 8.95 0.39 0.39 1.95 0.78 6.23 3.11 1.17 3.50 3.50 1.95 0.39 1.95 0.78 3.11
D 0.04 0.01 0.03 0.02 0.13 0.02 0.05 0.49 0.50 0.15 0.08 0.03 0.02 0.19 0.08 0.42 0.01 0.01 0.08 0.05 0.31 0.16 0.05 0.19 0.19 0.17 0.02 0.08 0.05 0.16
DR (%) 0.72 0.18 0.58 0.40 2.17 0.26 0.82 8.41 8.50 2.63 1.40 0.58 0.26 3.27 1.38 7.24 0.22 0.22 1.37 0.82 5.25 2.79 0.84 3.32 3.17 2.99 0.40 1.32 0.77 2.69
INP 1.43 0.89 2.00 1.11 6.36 0.97 2.25 23.65 24.18 7.93 3.53 1.29 0.97 9.66 4.22 24.87 0.93 0.93 4.92 2.56 17.58 8.79 3.29 9.71 11.17 7.18 1.11 4.87 2.20 8.38
72
7. Rekapitulasi Tiang Datar (lanjutan) No 31 32 33 34 35 36 37
Nama Latin Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Shorea xanthophylla Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Shorea acuminata Jumlah
Σ-Jenis 14 11 9 25 35 10 2 311
Σ-Plot 11 7 8 18 27 10 1 257
LBDS (m2) 0.18 0.15 0.17 0.34 0.52 0.16 0.02 4
C 0.00186 0.00105 0.00106 0.00573 0.01260 0.00128 0.00003 0.0548
Pi 0.043 0.032 0.033 0.076 0.112 0.036 0.005 1
H 0.14 0.11 0.11 0.20 0.25 0.12 0.03 3
K 18.7 14.7 12.0 33.3 46.7 13.3 2.7 415
KR (%) 4.50 3.54 2.89 8.04 11.25 3.22 0.64 100
F 0.15 0.09 0.11 0.24 0.36 0.13 0.01 3
FR (%) 4.28 2.72 3.11 7.00 10.51 3.89 0.39 100
D 0.24 0.20 0.22 0.45 0.70 0.21 0.03 6
DR (%) 4.17 3.46 3.76 7.66 11.91 3.61 0.47 100
INP 12.96 9.72 9.77 22.70 33.67 10.72 1.51 300
FR (%) 0.53 0.53 1.59 1.59 1.06 0.53 3.70 1.06 3.17 1.06 0.53 0.53 1.06 4.76 0.53 1.06 1.06 3.70 8.47 0.53 1.59 7.94
D 0.03 0.03 0.05 0.07 0.06 0.02 0.18 0.06 0.15 0.06 0.02 0.01 0.05 0.19 0.01 0.06 0.07 0.21 0.39 0.02 0.08 0.38
DR (%) 0.51 0.65 0.99 1.25 1.09 0.34 3.44 1.09 2.79 1.24 0.29 0.24 1.03 3.56 0.20 1.09 1.26 3.94 7.50 0.34 1.58 7.18
INP 1.48 1.62 3.90 4.17 3.03 1.31 11.13 3.03 8.61 3.18 1.26 1.21 2.97 12.30 1.17 3.03 3.65 10.74 23.94 1.31 4.94 22.20
8. Rekapitulasi Tiang Sedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Latin Alstonia scholaris Anthocepalus cadamba Arthocarpus elasticus Canarium denticulatum Cassia nodosa Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Dipterocapus haselti Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Homalium longifolium Koompacia malaccencis Koompacia sp. Lansium domesticum Litsea firma Lophopethalum javanica Mangifera macrocarpa Myristica sp.
Σ-Jenis 1 1 3 3 2 1 9 2 6 2 1 1 2 9 1 2 3 7 18 1 4 16
Σ-Plot 1 1 3 3 2 1 7 2 6 2 1 1 2 9 1 2 2 7 16 1 3 15
LBDS (m2) 0.02 0.03 0.04 0.05 0.04 0.01 0.14 0.04 0.11 0.05 0.01 0.01 0.04 0.14 0.01 0.04 0.05 0.15 0.29 0.01 0.06 0.28
C 0.00002 0.00003 0.00017 0.00019 0.00010 0.00002 0.00138 0.00010 0.00082 0.00011 0.00002 0.00002 0.00010 0.00168 0.00002 0.00010 0.00015 0.00128 0.00637 0.00002 0.00027 0.00548
Pi 0.005 0.005 0.013 0.014 0.010 0.004 0.037 0.010 0.029 0.011 0.004 0.004 0.010 0.041 0.004 0.010 0.012 0.036 0.080 0.004 0.016 0.074
H 0.03 0.03 0.06 0.06 0.05 0.02 0.12 0.05 0.10 0.05 0.02 0.02 0.05 0.13 0.02 0.05 0.05 0.12 0.20 0.02 0.07 0.19
K 1.3 1.3 4.0 4.0 2.7 1.3 12.0 2.7 8.0 2.7 1.3 1.3 2.7 12.0 1.3 2.7 4.0 9.3 24.0 1.3 5.3 21.3
KR (%) 0.44 0.44 1.33 1.33 0.88 0.44 3.98 0.88 2.65 0.88 0.44 0.44 0.88 3.98 0.44 0.88 1.33 3.10 7.96 0.44 1.77 7.08
F 0.01 0.01 0.04 0.04 0.03 0.01 0.09 0.03 0.08 0.03 0.01 0.01 0.03 0.12 0.01 0.03 0.03 0.09 0.21 0.01 0.04 0.20
73
8. Rekapitulasi Tiang Sedang (lanjutan) No 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama Latin Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Parkia spesiosa Pentaspadon motleyi Pithecellobium cauliflorum Pterospermum javanicum Scorodocarpus borneensis Shorea atrinervosa Shorea johorensis Shorea macrophylla Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Sindora brugemanii Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Shorea acuminata Jumlah
Σ-Jenis 7 2 3 4 1 3 2 2 3 4 2 3 2 3 3 2 31 19 31 4 226
Σ-Plot 7 2 3 4 1 3 2 2 3 3 2 3 2 3 2 2 23 14 17 3 189
LBDS (m2) 0.10 0.03 0.04 0.08 0.01 0.04 0.05 0.03 0.06 0.08 0.03 0.06 0.03 0.05 0.07 0.03 0.54 0.32 0.58 0.05 4
C 0.00098 0.00009 0.00018 0.00039 0.00002 0.00016 0.00012 0.00008 0.00023 0.00032 0.00009 0.00021 0.00008 0.00019 0.00020 0.00008 0.01747 0.00641 0.01552 0.00024 0.0615
Pi 0.031 0.009 0.013 0.020 0.004 0.013 0.011 0.009 0.015 0.018 0.009 0.015 0.009 0.014 0.014 0.009 0.132 0.080 0.125 0.015 1
H 0.11 0.04 0.06 0.08 0.02 0.06 0.05 0.04 0.06 0.07 0.04 0.06 0.04 0.06 0.06 0.04 0.27 0.20 0.26 0.06 3
K 9.3 2.7 4.0 5.3 1.3 4.0 2.7 2.7 4.0 5.3 2.7 4.0 2.7 4.0 4.0 2.7 41.3 25.3 41.3 5.3 301
KR (%) 3.10 0.88 1.33 1.77 0.44 1.33 0.88 0.88 1.33 1.77 0.88 1.33 0.88 1.33 1.33 0.88 13.72 8.41 13.72 1.77 100
F 0.09 0.03 0.04 0.05 0.01 0.04 0.03 0.03 0.04 0.04 0.03 0.04 0.03 0.04 0.03 0.03 0.31 0.19 0.23 0.04 3
FR (%) 3.70 1.06 1.59 2.12 0.53 1.59 1.06 1.06 1.59 1.59 1.06 1.59 1.06 1.59 1.06 1.06 12.17 7.41 8.99 1.59 100
D 0.13 0.04 0.06 0.11 0.01 0.05 0.07 0.04 0.08 0.11 0.04 0.08 0.04 0.06 0.09 0.04 0.72 0.43 0.77 0.07 5
DR (%) 2.58 0.85 1.12 2.06 0.24 0.92 1.37 0.75 1.62 2.02 0.85 1.48 0.79 1.24 1.81 0.78 13.76 8.20 14.66 1.29 100
INP 9.38 2.79 4.03 5.95 1.21 3.83 3.31 2.70 4.54 5.38 2.79 4.39 2.73 4.16 4.19 2.73 39.65 24.01 37.37 4.65 300
Σ-Jenis 1 2 2 2 1 1 3 4 13 4
Σ-Plot 1 2 2 2 1 1 3 4 10 4
LBDS (m2) 0.01 0.04 0.02 0.02 0.02 0.01 0.05 0.06 0.21 0.09
C 0.00003 0.00023 0.00013 0.00015 0.00005 0.00004 0.00042 0.00073 0.00663 0.00090
Pi 0.006 0.015 0.011 0.012 0.007 0.006 0.020 0.027 0.081 0.030
H 0.03 0.06 0.05 0.05 0.04 0.03 0.08 0.10 0.20 0.11
K 1.3 2.7 2.7 2.7 1.3 1.3 4.0 5.3 17.3 5.3
KR (%) 0.65 1.31 1.31 1.31 0.65 0.65 1.96 2.61 8.50 2.61
F 0.01 0.03 0.03 0.03 0.01 0.01 0.04 0.05 0.13 0.05
FR (%) 0.74 1.48 1.48 1.48 0.74 0.74 2.22 2.96 7.41 2.96
D 0.01 0.06 0.02 0.03 0.03 0.02 0.06 0.08 0.28 0.11
DR (%) 0.31 1.75 0.63 0.84 0.80 0.53 1.94 2.50 8.52 3.43
INP 1.71 4.53 3.42 3.63 2.20 1.92 6.12 8.08 24.42 9.01
9. Rekapitulasi Tiang Curam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Latin Amoora cucullata Anisoptera marginata Antiaris toxicaria Arthocarpus elasticus. Baccaurea dulois Calophyllum inophyllum Cassia nodosa Dacryodes rostrata Dillenia borneensis Dillenia excelsa
74
9. Rekapitulasi Tiang Curam (lanjutan) No 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Latin Diospyros malam Dipterocapus haselti Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Koompacia sp. Litsea firma Macaranga sp. Mangifera macrocarpa Murraya paniculata Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Scorodocarpus borneensis Shorea atrinervosa Shorea lamellata Shorea macrophylla Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea xanthophylla Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Shorea acuminata Jumlah
Σ-Jenis 4 3 3 1 2 1 1 17 2 1 1 6 4 4 11 4 1 1 5 5 5 3 5 22 7 1 153
Σ-Plot 4 3 3 1 2 1 1 14 2 1 1 5 4 4 10 4 1 1 5 4 5 3 5 14 6 1 135
LBDS (m2) 0.06 0.03 0.05 0.01 0.03 0.01 0.01 0.32 0.03 0.03 0.02 0.12 0.07 0.07 0.19 0.08 0.03 0.01 0.08 0.08 0.11 0.03 0.07 0.34 0.10 0.01 3
C 0.00070 0.00032 0.00041 0.00004 0.00018 0.00003 0.00003 0.01307 0.00019 0.00007 0.00006 0.00173 0.00079 0.00076 0.00541 0.00082 0.00006 0.00003 0.00112 0.00095 0.00146 0.00032 0.00107 0.01632 0.00183 0.00004 0.0571
Pi 0.026 0.018 0.020 0.006 0.014 0.006 0.006 0.114 0.014 0.008 0.008 0.042 0.028 0.028 0.074 0.029 0.008 0.006 0.034 0.031 0.038 0.018 0.033 0.128 0.043 0.006 1
H 0.10 0.07 0.08 0.03 0.06 0.03 0.03 0.25 0.06 0.04 0.04 0.13 0.10 0.10 0.19 0.10 0.04 0.03 0.11 0.11 0.12 0.07 0.11 0.26 0.13 0.03 3
K 5.3 4.0 4.0 1.3 2.7 1.3 1.3 22.7 2.7 1.3 1.3 8.0 5.3 5.3 14.7 5.3 1.3 1.3 6.7 6.7 6.7 4.0 6.7 29.3 9.3 1.3 204
KR (%) 2.61 1.96 1.96 0.65 1.31 0.65 0.65 11.11 1.31 0.65 0.65 3.92 2.61 2.61 7.19 2.61 0.65 0.65 3.27 3.27 3.27 1.96 3.27 14.38 4.58 0.65 100
F 0.05 0.04 0.04 0.01 0.03 0.01 0.01 0.19 0.03 0.01 0.01 0.07 0.05 0.05 0.13 0.05 0.01 0.01 0.07 0.05 0.07 0.04 0.07 0.19 0.08 0.01 2
FR (%) 2.96 2.22 2.22 0.74 1.48 0.74 0.74 10.37 1.48 0.74 0.74 3.70 2.96 2.96 7.41 2.96 0.74 0.74 3.70 2.96 3.70 2.22 3.70 10.37 4.44 0.74 100
Σ-Jenis 1 3 1 4 9 3
Σ-Plot 1 3 1 4 8 3
LBDS (m2) 0.04 0.24 0.06 0.56 0.96 0.30
C 0.00001 0.00009 0.00001 0.00024 0.00091 0.00011
Pi 0.003 0.010 0.003 0.015 0.030 0.010
H 0.02 0.04 0.02 0.06 0.11 0.05
K 0.3 1.0 0.3 1.3 3.0 1.0
KR (%) 0.33 0.98 0.33 1.31 2.94 0.98
F 0.01 0.04 0.01 0.05 0.11 0.04
FR (%) 0.38 1.15 0.38 1.53 3.07 1.15
D 0.08 0.04 0.06 0.02 0.04 0.01 0.01 0.43 0.04 0.04 0.03 0.16 0.09 0.09 0.25 0.10 0.03 0.01 0.10 0.10 0.15 0.04 0.10 0.45 0.13 0.02 3
DR (%) 2.37 1.18 1.91 0.53 1.28 0.38 0.31 12.81 1.32 1.13 0.91 4.84 2.83 2.68 7.48 3.02 1.02 0.31 3.09 3.01 4.50 1.16 2.86 13.57 3.80 0.45 100
INP 7.95 5.36 6.09 1.92 4.07 1.77 1.71 34.29 4.11 2.53 2.30 12.46 8.41 8.26 22.08 8.60 2.41 1.71 10.06 9.25 11.47 5.34 9.83 38.32 12.82 1.85 300
DR (%) 0.12 0.77 0.19 1.79 3.05 0.95
INP 0.83 2.90 0.90 4.63 9.05 3.08
10. Rekapitulasi Pohon Datar No 1 2 3 4 5 6
Nama Latin Amoora cucullata Arthocarpus elasticus Calophyllum inophyllum Cassia nodosa Dacryodes rostrata Dialium guineense
D 0.01 0.08 0.02 0.19 0.32 0.10
75
10. Rekapitulasi Pohon Datar (lanjutan) No 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Nama Latin Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Diploknema ramiflora Dipterocapus haselti Durio sp. Eusideroxylon zwageri Fagraea sp. Gluta rengas Koompacia sp. Litsea firma Lophopethalum javanica Mangifera macrocarpa Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Pterospermum javanicum Scorodocarpus borneensis Shorea acuminata Shorea bracteolata Shorea lamellata Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Shorea sp. Shorea xanthophylla Sindora coriacea Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 33 3 15 1 9 10 11 1 13 1 17 3 4 5 4 1 4 14 3 1 6 3 1 2 16 4 15 9 6 1 9 2 12 37 9 306
Σ-Plot 24 3 10 1 8 9 10 1 11 1 16 3 4 5 4 1 4 12 3 1 6 3 1 2 13 4 14 6 5 1 9 2 9 27 8 261
LBDS (m2) 2.40 0.47 0.88 0.06 0.59 0.61 1.36 0.03 1.37 0.10 1.51 0.50 0.31 0.29 0.24 0.04 0.24 1.07 0.20 0.03 0.86 0.19 0.16 0.17 4.84 0.25 3.61 0.53 1.38 0.07 0.54 0.13 0.63 2.84 0.96 32
C 0.00844 0.00014 0.00148 0.00001 0.00069 0.00083 0.00153 0.00001 0.00182 0.00001 0.00301 0.00015 0.00016 0.00022 0.00014 0.00001 0.00014 0.00175 0.00008 0.00001 0.00054 0.00008 0.00002 0.00004 0.00723 0.00015 0.00522 0.00053 0.00075 0.00001 0.00073 0.00004 0.00098 0.01098 0.00091 0.0502
Pi 0.092 0.012 0.038 0.003 0.026 0.029 0.039 0.003 0.043 0.003 0.055 0.012 0.013 0.015 0.012 0.003 0.012 0.042 0.009 0.003 0.023 0.009 0.004 0.007 0.085 0.012 0.072 0.023 0.027 0.003 0.027 0.006 0.031 0.105 0.030 1
H 0.22 0.05 0.13 0.02 0.10 0.10 0.13 0.02 0.13 0.02 0.16 0.05 0.06 0.06 0.05 0.02 0.05 0.13 0.04 0.02 0.09 0.04 0.02 0.03 0.21 0.05 0.19 0.09 0.10 0.02 0.10 0.03 0.11 0.24 0.11 3
K 11.0 1.0 5.0 0.3 3.0 3.3 3.7 0.3 4.3 0.3 5.7 1.0 1.3 1.7 1.3 0.3 1.3 4.7 1.0 0.3 2.0 1.0 0.3 0.7 5.3 1.3 5.0 3.0 2.0 0.3 3.0 0.7 4.0 12.3 3.0 102
KR (%) 10.78 0.98 4.90 0.33 2.94 3.27 3.59 0.33 4.25 0.33 5.56 0.98 1.31 1.63 1.31 0.33 1.31 4.58 0.98 0.33 1.96 0.98 0.33 0.65 5.23 1.31 4.90 2.94 1.96 0.33 2.94 0.65 3.92 12.09 2.94 100
F 0.32 0.04 0.13 0.01 0.11 0.12 0.13 0.01 0.15 0.01 0.21 0.04 0.05 0.07 0.05 0.01 0.05 0.16 0.04 0.01 0.08 0.04 0.01 0.03 0.17 0.05 0.19 0.08 0.07 0.01 0.12 0.03 0.12 0.36 0.11 3
FR (%) 9.20 1.15 3.83 0.38 3.07 3.45 3.83 0.38 4.21 0.38 6.13 1.15 1.53 1.92 1.53 0.38 1.53 4.60 1.15 0.38 2.30 1.15 0.38 0.77 4.98 1.53 5.36 2.30 1.92 0.38 3.45 0.77 3.45 10.34 3.07 100
D 0.80 0.16 0.29 0.02 0.20 0.20 0.45 0.01 0.46 0.03 0.50 0.17 0.10 0.10 0.08 0.01 0.08 0.36 0.07 0.01 0.29 0.06 0.05 0.06 1.61 0.08 1.20 0.18 0.46 0.02 0.18 0.04 0.21 0.95 0.32 11
DR (%) 7.58 1.48 2.79 0.19 1.86 1.92 4.30 0.11 4.34 0.30 4.77 1.58 0.99 0.92 0.76 0.12 0.75 3.37 0.62 0.10 2.72 0.60 0.49 0.54 15.29 0.78 11.41 1.67 4.36 0.21 1.71 0.42 2.00 9.00 3.05 100
INP 27.56 3.61 11.53 0.90 7.87 8.64 11.73 0.82 12.80 1.01 16.45 3.71 3.83 4.47 3.60 0.83 3.59 12.54 2.75 0.81 6.98 2.73 1.20 1.96 25.50 3.62 21.67 6.91 8.24 0.92 8.10 1.84 9.37 31.43 9.05 300
76
11. Rekapitulasi Pohon Sedang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Latin Amoora cucullata Anisoptera marginata Anthocepalus cadamba Antiaris toxicaria Aquilaria malaccensis Arthocarpus elasticus Baccaurea dulois Calophyllum inophyllum Cassia nodosa Cratoxylon formosum Dacryodes rostrata Dialium guineense Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Diploknema ramiflora Dipterocapus haselti Dracontomelum costatum Durio sp. Dyera costulata Eusideroxylon zwageri Gluta rengas Koompacia sp. Lansium domesticum Litsea firma Lophopethalum javanica Mangifera macrocarpa Murraya paniculata Myristica sp. Nephelium lappaceum Octomeles sumatrana Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum
Σ-Jenis 4 2 2 8 1 1 2 5 4 1 3 2 36 1 7 1 7 1 7 1 13 14 1 3 30 4 1 1 8 9 1 3 1
Σ-Plot 4 2 2 8 1 1 2 5 4 1 3 2 25 1 7 1 6 1 5 1 13 11 1 3 27 4 1 1 7 8 1 3 1
LBDS (m2) 0.21 0.10 0.24 0.67 0.05 0.03 0.10 0.39 0.19 0.03 0.25 0.28 2.82 0.07 0.43 0.09 0.49 0.15 0.69 0.05 1.54 1.00 0.04 0.27 2.31 0.28 0.08 0.13 0.35 0.49 0.12 0.23 0.07
C 0.00016 0.00004 0.00007 0.00082 0.00001 0.00001 0.00004 0.00031 0.00015 0.00001 0.00012 0.00008 0.01252 0.00001 0.00052 0.00001 0.00050 0.00002 0.00057 0.00001 0.00277 0.00192 0.00001 0.00012 0.01012 0.00018 0.00001 0.00002 0.00053 0.00075 0.00002 0.00011 0.00001
Pi 0.013 0.006 0.008 0.029 0.003 0.003 0.006 0.018 0.012 0.003 0.011 0.009 0.112 0.003 0.023 0.004 0.022 0.004 0.024 0.003 0.053 0.044 0.003 0.011 0.101 0.014 0.003 0.004 0.023 0.027 0.004 0.010 0.003
H 0.06 0.03 0.04 0.10 0.02 0.02 0.03 0.07 0.05 0.02 0.05 0.04 0.25 0.02 0.09 0.02 0.09 0.02 0.09 0.02 0.15 0.14 0.02 0.05 0.23 0.06 0.02 0.02 0.09 0.10 0.02 0.05 0.02
K 1.3 0.7 0.7 2.7 0.3 0.3 0.7 1.7 1.3 0.3 1.0 0.7 12.0 0.3 2.3 0.3 2.3 0.3 2.3 0.3 4.3 4.7 0.3 1.0 10.0 1.3 0.3 0.3 2.7 3.0 0.3 1.0 0.3
KR (%) 1.38 0.69 0.69 2.76 0.34 0.34 0.69 1.72 1.38 0.34 1.03 0.69 12.41 0.34 2.41 0.34 2.41 0.34 2.41 0.34 4.48 4.83 0.34 1.03 10.34 1.38 0.34 0.34 2.76 3.10 0.34 1.03 0.34
F 0.05 0.03 0.03 0.11 0.01 0.01 0.03 0.07 0.05 0.01 0.04 0.03 0.33 0.01 0.09 0.01 0.08 0.01 0.07 0.01 0.17 0.15 0.01 0.04 0.36 0.05 0.01 0.01 0.09 0.11 0.01 0.04 0.01
FR (%) 1.54 0.77 0.77 3.09 0.39 0.39 0.77 1.93 1.54 0.39 1.16 0.77 9.65 0.39 2.70 0.39 2.32 0.39 1.93 0.39 5.02 4.25 0.39 1.16 10.42 1.54 0.39 0.39 2.70 3.09 0.39 1.16 0.39
D 0.07 0.03 0.08 0.22 0.02 0.01 0.03 0.13 0.06 0.01 0.08 0.09 0.94 0.02 0.14 0.03 0.16 0.05 0.23 0.02 0.51 0.33 0.01 0.09 0.77 0.09 0.03 0.04 0.12 0.16 0.04 0.08 0.02
DR (%) 0.88 0.40 1.00 2.73 0.20 0.13 0.41 1.60 0.76 0.13 1.03 1.14 11.50 0.29 1.76 0.37 2.00 0.59 2.83 0.20 6.28 4.06 0.17 1.11 9.42 1.15 0.31 0.51 1.43 2.02 0.50 0.95 0.29
INP 3.80 1.87 2.46 8.58 0.93 0.86 1.87 5.25 3.69 0.86 3.23 2.60 33.57 1.02 6.87 1.10 6.73 1.32 7.17 0.93 15.79 13.14 0.90 3.30 30.19 4.08 1.04 1.24 6.89 8.21 1.23 3.14 1.02
77
11. Rekapitulasi Pohon Sedang (lanjutan) No 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Nama Latin Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Scorodocarpus borneensis Shorea acuminata Shorea atrinervosa Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Shorea xanthophylla Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis 11 2 6 3 3 15 1 21 3 4 7 27 2 290
Σ-Plot 11 2 6 2 3 15 1 19 3 3 7 22 2 259
LBDS (m2) 0.94 0.12 0.82 0.32 0.12 1.27 0.05 2.69 0.14 0.74 0.56 2.36 0.14 24
C 0.00156 0.00004 0.00066 0.00011 0.00008 0.00290 0.00001 0.00726 0.00008 0.00034 0.00061 0.00837 0.00005 0.0546
Pi 0.040 0.006 0.026 0.010 0.009 0.054 0.003 0.085 0.009 0.018 0.025 0.091 0.007 1
H 0.13 0.03 0.09 0.05 0.04 0.16 0.02 0.21 0.04 0.07 0.09 0.22 0.03 3
K 3.7 0.7 2.0 1.0 1.0 5.0 0.3 7.0 1.0 1.3 2.3 9.0 0.7 97
KR (%) 3.79 0.69 2.07 1.03 1.03 5.17 0.34 7.24 1.03 1.38 2.41 9.31 0.69 100
F 0.15 0.03 0.08 0.03 0.04 0.20 0.01 0.25 0.04 0.04 0.09 0.29 0.03 3
FR (%) 4.25 0.77 2.32 0.77 1.16 5.79 0.39 7.34 1.16 1.16 2.70 8.49 0.77 100
D 0.31 0.04 0.27 0.11 0.04 0.42 0.02 0.90 0.05 0.25 0.19 0.79 0.05 8
DR (%) 3.82 0.48 3.33 1.30 0.48 5.19 0.20 10.98 0.56 3.01 2.28 9.64 0.58 100
INP 11.86 1.94 7.72 3.10 2.67 16.16 0.93 25.56 2.75 5.55 7.40 27.44 2.04 300
D
DR (%)
INP
12. Rekapitulasi Pohon Curam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Latin Alstonia scholaris Amoora cucullata Anisoptera marginata Anthocepalus cadamba Antiaris toxicaria Arthocarpus elasticus Baccaurea dulois Calophyllum inophyllum Canarium denticulatum Cassia nodosa Castanopsis agentea Dacryodes rostrata Dialium guineense Dillenia borneensis Dillenia excelsa Diospyros malam Dipterocapus haselti Durio sp. Eusideroxylon zwageri
Σ-Jenis
Σ-Plot
5 1 5 3 2 1 2 2 3 12 1 3 2 23 5 4 7 4 9
4 1 5 3 2 1 2 2 3 9 1 3 2 15 5 4 7 4 9
LBDS (m2) 0.73 0.17 0.33 0.32 0.08 0.20 0.07 0.20 0.30 1.44 0.08 1.07 0.15 1.46 0.46 0.25 1.05 0.95 1.06
C 0.00028 0.00001 0.00020 0.00009 0.00003 0.00002 0.00003 0.00004 0.00009 0.00132 0.00001 0.00027 0.00003 0.00301 0.00023 0.00012 0.00064 0.00031 0.00088
Pi 0.017 0.004 0.014 0.010 0.005 0.004 0.005 0.006 0.009 0.036 0.003 0.017 0.006 0.055 0.015 0.011 0.025 0.018 0.030
H
K
0.07 0.02 0.06 0.04 0.03 0.02 0.03 0.03 0.04 0.12 0.02 0.07 0.03 0.16 0.06 0.05 0.09 0.07 0.10
1.7 0.3 1.7 1.0 0.7 0.3 0.7 0.7 1.0 4.0 0.3 1.0 0.7 7.7 1.7 1.3 2.3 1.3 3.0
KR (%) 1.55 0.31 1.55 0.93 0.62 0.31 0.62 0.62 0.93 3.73 0.31 0.93 0.62 7.14 1.55 1.24 2.17 1.24 2.80
F 0.05 0.01 0.07 0.04 0.03 0.01 0.03 0.03 0.04 0.12 0.01 0.04 0.03 0.20 0.07 0.05 0.09 0.05 0.12
FR (%) 1.39 0.35 1.74 1.05 0.70 0.35 0.70 0.70 1.05 3.14 0.35 1.05 0.70 5.23 1.74 1.39 2.44 1.39 3.14
0.24 0.06 0.11 0.11 0.03 0.07 0.02 0.07 0.10 0.48 0.03 0.36 0.05 0.49 0.15 0.08 0.35 0.32 0.35
2.05 0.49 0.93 0.90 0.23 0.55 0.19 0.57 0.83 4.04 0.23 3.00 0.42 4.08 1.29 0.71 2.95 2.66 2.95
5.00 1.14 4.22 2.88 1.55 1.21 1.51 1.89 2.81 10.90 0.88 4.97 1.74 16.45 4.59 3.35 7.56 5.30 8.89
78
12. Rekapitulasi Pohon Datar (lanjutan) No 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama Latin Gluta rengas Koompacia malaccencis Koompacia sp. Lansium domesticum Litsea firma Lophopethalum javanica Macaranga sp. Mangifera macrocarpa Myristica sp. Nephelium lappaceum Palaquium dasyphillum Palaquium micropyllum Paraserianthes falcataria Pentaspadon motleyi Pithecellobium cauliflorum Pterospermum javanicum Scorodocarpus borneensis Shorea bracteolata Shorea laevis Shorea macrophylla Shorea multiflora Shorea parvifolia Shorea patoeiensis Shorea quadrinervis Sindora brugemanii Sterculia gilva Syzygium guineense Vatica rassack Jumlah
Σ-Jenis
Σ-Plot
9 3 2 9 18 1 1 14 9 12 7 16 5 6 2 2 9 2 3 3 5 19 16 6 1 14 26 8 306
9 3 2 9 14 1 1 12 9 11 7 14 5 6 2 2 9 2 3 3 4 17 13 5 1 12 22 7 261
LBDS (m2) 0.57 0.25 0.11 0.51 1.81 0.05 0.11 1.85 0.57 0.65 0.80 1.59 0.33 0.86 0.12 0.19 1.52 0.10 0.44 1.49 0.65 3.80 1.87 0.50 0.28 0.94 2.27 1.13 32
C 0.00063 0.00008 0.00003 0.00060 0.00268 0.00001 0.00001 0.00209 0.00063 0.00098 0.00052 0.00227 0.00020 0.00045 0.00003 0.00004 0.00115 0.00003 0.00011 0.00042 0.00025 0.00560 0.00242 0.00028 0.00002 0.00138 0.00542 0.00073 0.0367
Pi 0.025 0.009 0.005 0.025 0.052 0.003 0.003 0.046 0.025 0.031 0.023 0.048 0.014 0.021 0.005 0.006 0.034 0.005 0.011 0.020 0.016 0.075 0.049 0.017 0.005 0.037 0.074 0.027 1
H
K
0.09 0.04 0.03 0.09 0.15 0.02 0.02 0.14 0.09 0.11 0.09 0.15 0.06 0.08 0.03 0.03 0.11 0.03 0.05 0.08 0.07 0.19 0.15 0.07 0.03 0.12 0.19 0.10 3
3.0 1.0 0.7 3.0 6.0 0.3 0.3 4.7 3.0 4.0 2.3 5.3 1.7 2.0 0.7 0.7 3.0 0.7 1.0 1.0 1.7 6.3 5.3 2.0 0.3 4.7 8.7 2.7 107
KR (%) 2.80 0.93 0.62 2.80 5.59 0.31 0.31 4.35 2.80 3.73 2.17 4.97 1.55 1.86 0.62 0.62 2.80 0.62 0.93 0.93 1.55 5.90 4.97 1.86 0.31 4.35 8.07 2.48 100
F 0.12 0.04 0.03 0.12 0.19 0.01 0.01 0.16 0.12 0.15 0.09 0.19 0.07 0.08 0.03 0.03 0.12 0.03 0.04 0.04 0.05 0.23 0.17 0.07 0.01 0.16 0.29 0.09 4
FR (%) 3.14 1.05 0.70 3.14 4.88 0.35 0.35 4.18 3.14 3.83 2.44 4.88 1.74 2.09 0.70 0.70 3.14 0.70 1.05 1.05 1.39 5.92 4.53 1.74 0.35 4.18 7.67 2.44 100
D 0.19 0.08 0.04 0.17 0.60 0.02 0.04 0.62 0.19 0.22 0.27 0.53 0.11 0.29 0.04 0.06 0.51 0.03 0.15 0.50 0.22 1.27 0.62 0.17 0.09 0.31 0.76 0.38 12
DR (%) 1.59 0.69 0.29 1.42 5.06 0.13 0.32 5.18 1.60 1.82 2.24 4.46 0.93 2.40 0.33 0.52 4.25 0.29 1.23 4.15 1.83 10.62 5.25 1.39 0.79 2.62 6.35 3.16 100
INP 7.52 2.67 1.61 7.35 15.52 0.79 0.98 13.71 7.53 9.38 6.85 14.30 4.22 6.35 1.65 1.84 10.18 1.61 3.20 6.13 4.78 22.44 14.74 5.00 1.45 11.15 22.09 8.08 300
79
80
Lampiran 5. Peta Kerja RKT Tahun 2009 IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati Unit Logging II
PETA BORNEO
LOKASI PT ERNA DJULIAWATI
INSERT PETAK PENELITIAN
GG-39
DATAR SEDANG CURAM
81
Lampiran 6. Peta Kelas Lereng Areal Kerja PT. Erna Djuliawati Unit Logging II