KONDISI VEGETASI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR DI KALIMANTAN TENGAH
SULISTYO ARIEBOWO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 Januari 1987, merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Sudarto Djajoesman dan Ibu Akmalia Zainuddin. Penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor setelah lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di Fahutan IPB, Penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan seperti Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lampung, Himpunan Profesi Silvikultur : Tree Grower Community (TGC) periode (2007-2008), PC Sylva (2008-2009), dan UKM Taekwondo. Memasuki semester 6 (tahun 2008) Penulis memilih bidang peminatan khusus Kelompok Ilmu/Laboratorium Silvikultur untuk kajian penyusunan tugas akhir. Pada tahun 2009, Penulis berkesempatan melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Kalimantan Tengah”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.
SUMMARY SULISTYO ARIEBOWO. Forest is one of potential natural resources owned by Indonesia which have various function and it is significant for human lives so that the forest have to managed efficiently and effectively in order to keep sustainability. Related with the forest sustainability, Government of Indoneseia issued a policy in forest consession which stated every consession who hold Forest Plantation of Wood Production Permits (IUPHHK) should have silviculture system in their forest production activities. Selective Cutting and Line Planting Silvicultural System (TPTJ) with intensive silviculture technique in natural forest have been apllied in some consession. In other hand, this Selective Cutting and Line Planting Silvicultural System (TPTJ) have some benefits such as easy to control the plant, suitable site, and some species from Dipterocarpaceae that could not adapt with open canopy are possible to be developed. In order to obtain a clear information about the influenece of Selective Cutting and Line Planting Silvicultural System (TPTJ) toward biophysical environment so that it is necessary needed to do a research concerning with the comparison of forest structure and composition in the post harvest area of Selective Cutting and Line Planting Silvicultural System (TPTJ) between age of 4 to 9 years in Central Kalimantan. Research conducted from May until June 2009 in PT. Sari Bumi Kusuma areas. Data of vegetation collected using research plot method which size 100 x 100 (1 ha) and it has 2 observation line. Then, every line divided into 5 blocks with using quadratic method where the data collected consist of species name, species quantities, and diameter of pole and tree. Meanwhile, data collected for sapling and seedling was species name and species quantities. Research data analysis consist of density, frequency, dominance, and INP also trees diversity and cluster analysis. Generally, non-comercial species dominated almost in every research plot for every age from seedling, sapling, pole and tree. For the whole research plot, the distribution of tree diameter class resulted the negative exponential curve or J-inverted curve. The tree diversity are high which is remain about 2-3. For the natural seedling, the diversity sapling and pole are moderate which is remain about 2. In other result, the diversity of seedling are low which is remain about 1,8. Key words: analysis vegetation, quadratic method, diversity species, TPTJ silviculture system.
RINGKASAN SULISTYO ARIEBOWO. Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dimana hutan memiliki berbagai fungsi yang cukup signifikan untuk keberlangsungan hidup manusia sehingga harus dikelola secara efektif dan efisien agar kelestariannya dapat terjaga. Untuk menjaga kelestarian hutan tersebut maka pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu mengharuskan adanya sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam pengelolaan hutan alam dengan teknik silvikultur intensif telah diterapkan di beberapa perusahaan. Selain itu, sistem silvikultur TPTJ ini memiliki beberapa keuntungan seperti tanaman mudah diawasi, tempat tumbuh lebih sesuai, dan beberapa jenis dari kelompok Dipterocarpaceae yang tidak dapat beradaptasi di tajuk terbuka dapat dikembangkan. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang pengaruh penerapan sistem TPTJ terhadap lingkungan biofisik maka diperlukan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh perbandingan struktur dan komposisi tegakan pada areal akibat penerapan sistem TPTJ antara umur 4-9 tahun di Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2009 di areal PT. SBK. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan cara membuat plot penelitian dengan ukuran 100 m x 100 m yang terdiri dari 2 jalur pengamatan. Kemudian setiap jalur pengamatan tersebut dibagi menjadi 5 petak dengan menggunakan metode kuadrat dimana data yang diambil untuk analisa vegetasi adalah nama jenis, jumlah jenis, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlah jenis. Analisis data penelitian berupa kerapatan, frekuensi, dominansi dan INP serta keanekaragaman jenis pohon dan analisis gerombol. Secara umum jenis nonkomersial mendominasi di hampir tiap plot penelitian pada setiap umur dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Pada seluruh plot penelitian, sebaran kelas diameter pohon membentuk kurva eksponensial negatif atau kurva Jterbalik. Keanekaragaman jenis pohon yang ada termasuk tinggi yaitu berada pada kisaran 2-3. Untuk tingkat permudaan, keanekaragaman jenis pada pancang dan tiang termasuk ke dalam tingkatan sedang yaitu berada pada kisaran 2. Namun untuk tingkat semai, keanekaragaman jenisnya tergolong rendah yang berada pada kisaran 1,8. Kata kunci: analisa vegetasi, metode kuadrat, keanekaragaman jenis, sistem silvikultur TPTJ.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Sulistyo Ariebowo NRP E44050282
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi Nama Mahasiswa NIM
: Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di Kalimantan Tengah : Sulistyo Ariebowo : E44050282
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F NIP. 19631206 198903 1 004
Mengetahui : Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Ya ALLAH, Mahabesar Kekuasaan-Mu, Mahaadil Keputusan-Mu, Maha Pemberi atas Karunia-Mu, Maha Pemaaf atas Kasih-Mu. Ilmu-Mu Mahaluas, aku menyampaikan rasa syukurku pada-Mu Ya ALLAH, dengan mengucapkan kalam-Mu: ”Segala puji hanya milik ALLAH yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya..” Karena dengan limpahan rahmat dan karunia serta izin-Mu Penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini dengan baik. Terimakasih dan sholawat Penulis sampaikan kepada Baginda Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw, yang telah menunjuki Penulis kepada jalan kebenaran dengan cahaya petunjuk-Mu, Ya ALLAH. Penyusunan skripsi ini merupakan pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian yang berjudul ”Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Di Kalimantan Tengah” ini mengkaji mengenai analisa vegetasi untuk tanaman yang berada di jalur antara dengan sistem TPTJ dalam areal pengelolaan hutan alam produksi PT. SBK. Penelitian berlangsung pada bulan Mei - Juni tahun 2009. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh sebab itu Penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Februari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 Januari 1987, merupakan putra pertama dari pasangan Bapak Sudarto Djajoesman dan Ibu Akmalia Zainuddin. Penulis lulus dari SMU Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005, kemudian pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor setelah lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di Fahutan IPB, Penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan seperti Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lampung, Himpunan Profesi Silvikultur : Tree Grower Community (TGC) periode (2007-2008), PC Sylva (2008-2009), dan UKM Taekwondo. Memasuki semester 6 (tahun 2008) Penulis memilih bidang peminatan khusus Kelompok Ilmu/Laboratorium Silvikultur untuk kajian penyusunan tugas akhir. Pada tahun 2009, Penulis berkesempatan melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul ”Kondisi Vegetasi Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Kalimantan Tengah”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mempersembahkan karya kecil ini untuk keluarga, sahabat, teman, dan rekan-rekan rimbawan. Penulis sangat bersyukur telah dikelilingi orang-orang terbaik di dunia ini, yang memiliki semangat juang tinggi dan pantang menyerah, orang-orang yang sangat mengilhami Penulis. Dengan kerendahan hati, Penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Kedua Orang Tua Penulis (Sudarto Djajoesman dan Akmalia), adik-adikku (Astari Aulia Prameswari dan Rizky Taufik Ardhy), dan segenap keluarga (Paudah, Om Hendro, Om Anto, Tante Wiwid, Mbak Eka, Mas Agung, Mbak Wiwiek, Argo, Kak Ari, Kak Wisnu, Kak Wirya, Tubay dan Susi) yang mengilhami Penulis untuk senantiasa bersabar dan terus berjuang dalam keadaan seperti apapun. 2. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini. 3. Para dosen dan staff Departemen Silvikultur Fahutan IPB, Ibu Aliyah, Pak Ismail, dan (Alm) Mbak Putri atas kesabarannya dalam memberikan bimbingandan arahan dalam kegiatan perkuliahan. 4. PT. SBK dan segenap karyawan (Pak Yudi Hendro, Pak Purnomo, Pak Saminto, Pak Supriyanto, Mas Mulyadi, Mas Priyo, Mbah Suko, Pak Senyon dan kru, Mas Yopi-Mbak Novi) atas izin dan bantuannya dalam proses pengambilan data. 5. Rekan-rekan FAHUTAN 42, terimakasih atas segala dorongan, semangat dan kenangan-kenangan indah tentang arti sebuah “keluarga” dalam FAHUTAN. Kepada Abdurrahman Muhammad, Penulis mengucapkan terimakasih karena bantuannya dalam pengolahan data skripsi Penulis. Kepada Khoeruzaman, Riva Fachurrazi, dan Lina Karlina, yang selalu mengingatkan penulis untuk tidak menyerah didalam mengerjakan skripsi. 6. Rekan-rekan Silvikultur 42, the Cunname Community, terimakasih atas segalanya, semoga kita masih diberi banyak kesempatan untuk meluangkan waktu bersama-sama lagi. Kepada M. Rifai, Fifi Gus Dwiyanti, dan Doddy July Irawan, dimana Penulis selalu berutang semangat, kearifan, dan saran
bijaksana dalam masalah akademis serta kehidupan. Dayat-Yogi-PM, rekan penulis selama berjuang di Kalimantan. Agha, Maz’um, Kemal, Tofan, Tomi, Sambang, Asep, Farah, Ghina, dan Kiki yang masih sering berada di kampus dan sangat membantu Penulis saat mengurus administrasi. 7. Rekan-rekan seperjuangan yang terdiri dari Dedy Wahyudi, Bramas Arista, Abi Yudhistira, Rommy Kashengky, Kristian Eme Mulya Ginting, Tommy Syahputra. Kita adalah tujuh ksatria terakhir yang berjuang mengejar kelulusan. Semoga keterlambatan kita menjadi pemicu untuk mengejar masa depan yang lebih baik 8. Keluarga besar RIMPALA FAHUTAN, Kang Muhammad Tigana Umamit, Dody Permana, Rahmat Darmawan, dan anak-anak rimpala yang lain (angkatan 43, 44, 45, 46, dan 47). Terimakasih atas tawa canda kalian yang membuat penulis dapat melupakan kepenatan dalam mengerjakan skripsi. 9. Uda Roni, Bang Harun, Bobi Riharno, Ridho, Marthen, Aan, dan saudarasaudaraku di pondok AA. Terimakasih, Penulis sangat menikmati saat berkumpul bersama kalian semua. 10. Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam BFO (Iqbal, Angga, Aji, Syifa, Rengga, Anto, Septa dan Teguh) atas dukungan dan kebersamaan ketika penulis kembali ke Lampung selama ini. 11. Rekan-rekan yang telah bersama-sama menimba ilmu di IPB, khususnya Rimbawan 42 serta adik-adik Penulis di SVK 43, 44, dan 45. 12. Titistyas Gusti Aji dan Vica Adriana Tyas Utami atas persahabatan yang berlangsung dari masa-masa TPB hingga saat ini. Dan terimakasih atas dorongan dan bantuan kalian yang selalu memicu penulis untuk menyelesaikan studi 13. Lesky Baiti Tiara Zella Fransy Cantika, untuk kehadirannya yang selalu menyenangkan penulis. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dan telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv BAB I 1.1 1.2 1.3
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................. 2 Manfaat ............................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika ........................................................................... 3 2.2 Komponen Penyusun........................................................................... 5 2.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia .................................... 6 2.4 Dinamika Masyarakat Tumbuhan ........................................................ 6 2.5 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi ........ 9 2.6 Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi ............................. 9 2.7 Klasifikasi Hutan................................................................................. 10 2.8 Stratifikasi Tajuk ............................................................................. 12 2.9 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ...... 14 2.10 Analisis Gerombol .............................................................................. 16 BAB III KONDISI UMUM LOKASI 3.1 Letak Geografis dan Luas Areal ......................................................... 18 3.2 Jenis Tanah, Geologi, dan Topografi .................................................. 19 3.3 Iklim ................................................................................................... 20 3.4 Keadaan Hutan .................................................................................... 20 3.5 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat............................... 21 3.6 Ketenagakerjaan .................................................................................. 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 23 4.2 Bahan dan Alat ................................................................................... 23 4.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 23 4.3.1 Pembuatan plot penelitian ....................................................... 23 4.3.2 Analisa Vegetasi ..................................................................... 24 4.3.3 Analisis Data .......................................................................... 25 4.3.4 Analisis Gerombol (Cluster Analysis) .................................... 26 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 27 5.1.1 Komposisi Jenis ...................................................................... 27 5.1.2 Permudaan Hutan.................................................................... 32
5.1.2.1 Permudaan Tingkat Semai........................................... 32 5.1.2.2 Permudaan Tingkat Pancang ....................................... 32 5.1.2.3 Permudaan Tingkat Tiang ........................................... 33 5.1.3 Pengelompokan Plot Berdasarkan INP .................................... 34 5.1.3.1 Kesamaan Komunitas Tingkat Pohon .......................... 34 5.1.3.2 Kesamaan Komunitas Tingkat Permudaan .................. 36 5.2 Pembahasan .......................................................................................... 41 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 46 6.2 Saran ................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 48 LAMPIRAN ..................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Tahapan kegiatan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur ........................... 15
2.
Batas Areal dan Administrasi Pemerintahan PT SBK ........................ 19
3.
Gambaran kemiringan areal konsensi hutan IUPHHK PT SBK .......... 20
4.
Data kependudukan masyarakat sekitar PT. SBK ............................... 22
5.
Daftar tenaga teknis kehutanan yang digunakan oleh PT. SBK........... 22
6.
Jumlah pohon menurut kelas diameter dan komposisi penyusun tegakan pada areal TPTJ umur 4-9 tahun ............................ 27
7.
Jumlah pohon menurut kelompok jenis pada areal TPTJ umur 4-9 tahun............................................................................................ 28
8.
Keragaman jenis dan Indeks Nilai Penting sepuluh jenis pohon dominan pada plot studi ..................................................................... 30
9.
Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon dan permudaan pada areal TPTJ umur 4-9 tahun ........................................................ 31
10. Kerapatan tingkat semai pada areal TPTJ umur 4-9 tahun .................. 32 11. Kerapatan tingkat pancang pada plot TPTJ umur 4-9 tahun ................ 33 12. Kerapatan tingkat tiang pada plot TPTJ umur 4-9 tahun ..................... 34 13. Kesamaan komunitas tingkat pohon dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun................................ 35 14. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah pohon ......... 36 15. Kesamaan komunitas tingkat semai dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun................................ 36 16. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah semai.......... 38 17. Kesamaan komunitas tingkat pancang dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun................................ 38 18. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah pancang ............................................................................................. 39 19. Kesamaan komunitas tingkat tiang dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun ........................................ 40 20. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah tiang ........... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Areal Kerja PT. SBK Kalimantan Tengah dan petak pengambilan sampel .......................................................................... 18
2.
Plot penelitian berukuran 100 m x 100 m ........................................... 24
3.
Bagan jalur pengamatan analisis vegetasi ........................................... 25
4.
Jumlah pohon (N/ha) menurut kelas diameter pada seluruh plot penelitian ........................................................................................... 29
5.
Dendogram tingkat kesamaan komunitas pohon ................................. 35
6.
Dendogram tingkat kesamaan komunitas semai ................................. 37
7.
Dendogram tingkat kesamaan komunitas pancang ............................. 39
8.
Dendogram tingkat kesamaan komunitas tiang ................................... 40
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Daftar nama pohon yang dijumpai pada lokasi penelitian ...................... 51 2. Analisa gerombol berdasarkan nilai INP menggunakan Minitab 14 .......................................................................................................... 55 3. Dokumentasi penelitian ......................................................................... 57
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hutan sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia menyimpan beragam hal yang sarat akan nilai, baik ekologis maupun ekonomis. Sedangkan sebagai suatu ekosistem, hutan tersusun dari komponen abiotik dan biotik yang menghasilkan suatu interaksi antar keduanya. Interaksi tersebut akan melahirkan suatu fungsi juga produk-produk keluaran hutan, baik berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan yang terkandung di dalam hutan tersebut. Salah satu ekosistem hutan yang dimiliki oleh Indonesia adalah hutan hujan tropis yang memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati yang cukup tinggi didalamnya. Tetapi, semakin lama luas hutan tropis di Indonesia semakin menurun. Hal ini disebabkan para stake holder dalam melakukan pengelolaan hutan tidak menerapkan prinsip pengelolaan hutan yang berkesinambungan (sustainable forest) (Suparna, 2005). Untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, dan berdaya saing maka perlu dikelola secara efektif dan efisien sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis. Pemerintah terutama Departemen Kehutanan telah melakukan berbagai usaha untuk mewujudkan hutan yang lestari, salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1989), sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi; Penebangan, Peremajaan dan Pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya, kemudian melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 150/kpts-II/2003, definisi praktis sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau penebangannya.
Sistem silvikultur TPTJ dengan teknik silvikultur intensif (Silin) telah diterapkan di beberapa perusahaan IUPHHKK-HA. Sistem silvikultur intensif ini memiliki beberapa keuntungan yaitu tanaman mudah diawasi, tempa ttumbuh lebih sesuai, dan beberapa jenis dari kelompok Dipterocarpaceae yang tidak dapat beradaptasi di tajuk terbuka dapat dikembangkan. Namun di sisi lain, sistem silvikultur ini padat modal juga secara ekologis lebih beresiko. Resiko yang paling terlihat adalah dampak negatif kegiatan eksploitasinya dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar terutama mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan dan kerusakan tanah. Demi memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengaruh penerapan sistem TPTJ terhadap lingkungan biofisik maka diperlukan kegiatan penelitian terhadap kondisi vegetasi baik komposisi maupun struktur tegakan tinggalnya.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan struktur dan komposisi tegakan pada areal akibat penerapan sistem TPTJ antara umur 4-9 tahun di Kalimantan Tengah.
1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan untuk memperbaiki pelaksanaan sistem TPTJ yang diterapkan sehingga dapat mengurangi resiko kerusakan tegakan tinggal.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Hujan Tropika Menurut UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, hutan adalah adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan hujan tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies epifit berkayu dan herba yang bersifat epifit (Schimper, 1903 dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan epifit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan hutan yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini. Hutan hujan tropika merupakan habitat yang paling kaya serta kompleks. Hutan ini terdapat di wilayah tropika dengan suhu relatif 25°C - 6°C, serta curah hujan yang berlimpah sekitar 2000 mm - 4000 mm dan dengan kelembaban rata-rata sekitar 80 %. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata sekitar 30 m. Salah satu corak yang menonjol adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990). Hutan hujan tropika ialah suatu komunitas yang kompleks dengan kerangka yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Hutan hujan tropika menurut Richards (1966) memiliki ciri sebagai berikut: 1. Hutan hujan tropika terdiri dari berjenis-jenis tumbuhan berkayu dan umumnya kaya akan jenis-jenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang besar. 2. Mempunyai banyak jenis-jenis kodominan tetapi dapat juga hanya terdiri dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis kodominan memperlihatkan gambaran umum yang sama yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tidak bercabang.
3. Pada umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan, sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu, dan permudaan atau tunas dari jenis-jenis pohon lapisan bawah. 4. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis epifit, tumbuhan pemanjat, palma dan pandan. 5. Merupakan susunan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa, masing-masing jenis tumbuhan di dalamnya mempunyai sifat hidup yang berbeda, tetapi dengan kondisi edafis dan klimatologis tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuhan yang seimbang. Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) hutan hujan tropika memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4000 m dpl) 4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya: a. Hutan hujan bawah
2-1000 m dpl
b. Hutan hujan tengah
1000-3000 m dpl
c. Hutan hujan atas
3000-4000 m dpl
5. a. Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpaceae antara lain : Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus yang ada antara lain : Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles. b. Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain. c. Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain. 6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.
4
2.2. Komponen Penyusun Berdasarkan komponen penyusunnya hutan hujan tropika meliputi (Ewusie, 1980): 1. Komponen abiotik yang terdiri dari : a. Suhu Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 200 C dan 280 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0.4–0.70 C. b. Curah hujan Hutan hujan tropika menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000–3000 mm dalam setahunnya. c. Kelembaban atmosfer Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. d. Angin Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 knot/jam dan jarang melampaui 12 knot/jam. e. Cahaya Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam diwilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi. f. Karbondioksida Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2. Komponen biotik Komponen dasar hutan hujan tropika adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.
5
2.3. Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia kedalam 3 zona vegetasi, yaitu: 1. Zona barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae 2. Zona timur, berada dibawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae. 3. Zona peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropika di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta Irian.
2.4 Dinamika Masyarakat Tumbuhan 1. Definisi Suksesi Mehra dan Khanna (1976) mendefinisikan suksesi sebagai suatu proses universal dari perkembangan komunitas. Suksesi selalu memulai pertumbuhannya pada area yang terbuka. Beberapa area tersebut kemungkinan primer atau sekunder. Area primer adalah suatu tempat dimana sebelumnya tidak terdapat kehidupan suatu jenis tanaman pun (seperti bebatuan, pasir, dan air). Sedangkan area sekunder adalah suatu tempat dimana terdapat kehidupan tanaman tetapi musnah karena satu atau lebih faktor. Menurut Odum (1959) suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas yang merupakan urutan pergantian komunitas satu dengan yang lainnya pada satu area yang ada. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyebutkan bahwa masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi
6
terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhtumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon tua tumbang dan mati, timbul anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan pada keadaan kesetimbangan. 2. Proses Suksesi Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton dan Wolf, 1977). Menurut Shukla dan Chandel (1977), evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah : a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah. b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya. c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecesis individuindividu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers. d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring
berjalannya
waktu,
individu-individu
tersebut
berkembang
dan
menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu simple aggregation dan mixed agregation.
7
e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan co-existence. f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap. g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan. h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan. i.
Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur
vegetasi konstan, karena pembentukan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya Di daerah Amerika Tengah, Budowski (1965) dalam Longman (1987) menyatakan empat tahap yang terjadi pada suksesi hutan tropis, yaitu : tingkat pionir, tingkat sekunder awal, tingkat sekunder akhir dan klimaks. Jenis-jenis yang terdapat pada dua tingkat pertama memiliki penyebaran yang luas dan kemunculannya dalam hutan tropis tertentu tetap pada jumlah yang besar. Jenisjenis yang berada pada tingkat sekunder akhir mencapai ukuran tertentu dan di Afrika setidaknya sering terdapat pada kondisi formasi hutan yang agak lebih kering daripada hutan yang beregenerasi itu sendiri. Akhirnya pada tingkat klimaks, tercapainya keseimbangan komunitas.
8
2.5. Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Menurut Richard (1966), fase pertama dari suatu suksesi di hutan hujan tropis adalah didominasi oleh rerumputan, yang biasanya berumur pendek dan tidak lebih dari satu tahun. Fase selanjutnya didominasi oleh semak, tetapi dominansi biasanya terjadi hampir secara langsung dari bentuk tanaman rerumputan ke bentuk pohon. Kemudian lambat laun berkembang sebuah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon berumur pendek, cepat tumbuh dan tersebar melalui angin dan hewan. Lebih lanjut lagi kondisi ini secara perlahanlahan berubah dan berkembang menjadi suatu komunitas yang klimaks klimatik. Beberapa spesies toleran memiliki kapasitas untuk menginvasi areal hutan pada awal proses suksesi berlangsung. Sementara pohon toleran yang lain karena kemungkinan siklus hidupnya yang pendek ataupun ketidakmampuannya mencapai tingkat overstorey dan bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ada, kemungkinan tidak pernah menjadi bagian besar dari akhir suatu suksesi hutan (Spurr dan Burton, 1980). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) suatu suksesi primer diawali oleh permukaan ”tanah” telanjang kemudian berkembang vegetasi Cryptogamae, rumput herba dan semak kecil, vegetasi semak belukar, vegetasi perdu pohon dan akhirnya terbentuklah vegetasi klimaks hutan.
2.6 Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi Perkembangan komunitas di daratan ataupun di perairan merupakan suatu proses, yang mana pada fase awal hanya terdapat jenis tumbuhan berumur pendek dalam jumlah yang sedikit. Seiring berjalannya waktu tumbuhan-tumbuhan tersebut meningkat jumlahnya dan mengubah komponen abiotik, terutama tanah dan iklim mikro. Perubahan lingkungan ini kemungkinan sesuai untuk pertumbuhan dan pembentukan beberapa jenis lainnya yang lebih tinggi yang menginvasi areal tersebut dan mencari niche yang sesuai untuk perkembangannya kemudian menjadi bagian dari komunitas yang ada (Misra, 1980). Ewusie (1980) menyatakan bahwa pada waktu tutupan hutan dihilangkan, segera terjadilah perubahan dalam intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban sehingga tatanan iklim mikro hutan asli hilang. Berdasarkan kenyataan bahwa
9
tanahnya kemudian terbuka terhadap hujan dan matahari, terjadilah penurunan harkat tanah, yang mengakibatkan pengikisan dan kehilangan humus dengan cepat. Ewell (1980) dalam Indrawan (2000) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada musim hujan tetapi proses ini sebagian terjadi juga pada musim kering. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Disamping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata-rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah sedang.
2.7 Klasifikasi Hutan Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan dapat digolongkan bagi tujuan pengelolaan hutan menurut hal-hal berikut: a. Susunan jenis. Hutan murni adalah hutan yang hampir semua atau seluruhnya dari jenis yang sama. Hutan campuran ialah hutan yang terdiri dari atas dua atau lebih jenis pohon. Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur. b. Kerapatan tegakan. Pada umumnya, hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lain. Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat dengan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan jumlah batang per hektar, dapat diketahui melalui pengukuran. Untuk keperluan praktis, tiap kelas kerapatan telah dibuat, yaitu: 1. Rapat,bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk. 2. Cukup, bila terdapat 40-70 % penutupan tajuk. 3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk.
10
Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan yang keras terhadap sinar matahari, air, dan zat hara mineral. Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara pohonpohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat. Sebaliknya. hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan menghasilkan pohonpohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak, dengan yang pendek. Suatu hutan yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan air, sinar matahari, dan zat hara mineral dalam tanah. Dengan demikian hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang efisien kecuali bila celah terbuka yang ada, diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama atau tanaman pokok. c.
Komposisi umur. Suatu lahan hutan disebut seumur, bila ditanam pada waktu bersamaan.
Meskipun demikian, ukurannya dapat berlainan, karena laju pertumbuhan yang berbeda. Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon berukuran besar hingga tingkatan
semai.
Jadi
meliput i berbagai umur
maupun
ukuran.
Sedangkan hutan tidak seumur ialah hutan yang hanya mempunyai dua atau tiga kelompok umur atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri atas pohon-pohon yang sudah masak tebang, miskin riap, dan ukuran pancang. Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan mayoritas jenisnya lebih toleran terhadap naungan. Sementara hutan seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran. Angin topan, penebangan berlebihan, kebakaran dan bencana lain, menciptakan kelompok-kelompok yang tidak seumur. d. Tipe hutan. Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang
mempunyai
ciri-ciri
yang
sama
dalam
susunan
jenis
dan
perkembangannya. Tipe hutan diberi nama menurut satu atau lebih jenis pohon yang dominan.
11
2.8 Stratifikasi Tajuk Kanopi dari hutan hujan tropika sering kali terdiri dari beberapa lapisan atau stratifikasi dan formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan strata yang berbeda pula. Strata (lapisan) terkadang terlihat mudah di hutan atau pada diagram profil, tetapi terkadang juga tidak. Pertentangan pendapat tentang konsep ini cukup hebat. Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis, jika tumbuhan-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral, tanah, air, cahaya, dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Richards (1966) menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohonpohonnya, semak dan tumbuhan bawah. Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropika terkenal karena adanya perlapisan atau stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan menampilkan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan semai diuraikan sebagai berikut : 1. Lapisan paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m. Pepohonan yang muncul keluar ini mencuat t inggi, bertajuk lebar, dan umumnya
tersebar
sedemikian
rupa
sehingga
t idak
saling
bersentuhan membentuk lapisan yang berkesinambungan. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat ini sering berakar, agak dangkal dan berbanir. 2. Lapisan pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mencuat tadi, terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18-27 m. Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti
12
pohon yang mencuat. 3. Lapisan pepohonan ketiga (tingkat C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8-14 m. Pepohonan di sini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian. 4. Selain lapisan pepohonan tersebut, terdapat lapisan belukar yang terdiri dari spesies dengan ketinggiannya kurang dari 10 m. 5. Dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna. Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), stratifikasi tajuk hutan hujan tropika misalnya sebagai berikut: 1. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedamya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak. 2. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi.jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran). 3. Stratum C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam strata ini rendah, kecil. banyak bercabang. 4. Disamping ketiga strata itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuhtumbuhan penutup tanah, yaitu : 5. Stratum D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m, 6. Stratum E : Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover), tingginya 0-1 m. Richards (1966) mengemukakan bahwa hutan primer dengan struktur yang teratur akan menjadi kelompok hutan sekunder yang tidak teratur setelah penebangan pohon yang terseleksi. Keadaan tegakan yang ditinggalkan akan
13
menentukan struktur dan komposisi pohon selanjutnya.
2.9 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien. Departemen Kehutanan akan mengembangkan sistem silvikultur intensif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Sistem silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktek-praktek pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan (Departemen Kehutanan, 2002). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ini merupakan penyempurnaan dari sistem-sistem sebelumnya, yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Keunggulan dari sistem TPTII : 1. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, murah, dan mudah. 2. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitas bisa meningkat minimal 5 kali, kualitas produk lebih baik. 3. Target produksi bisa fleksibel tergantung pada investasi tanaman (kayu. produk metabolisme sekunder). 4. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik. 5. Kemampuan perusahaan semakin meningkat. Dalam pelaksanaan kegiatan dilapangan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif ini hampir sama dengan pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) hanya saja perbedaannya terletak pada limit diameter pohon yang ditebang dan juga jalur tanam untuk permudaannya. Dalam Sistem Silvikultur TPTII yaitu pohon-pohon yang ditebang adalah pohon-pohon komersil yang berdiameter 45 cm keatas, sedangkan Sistem Silvikultur TPTJ pohon yang ditebang adalah pohon komersil yang berdiameter 40 cm keatas. Pada sistem TPTJ jalur tanam selebar 10 m yang merupakan jalur bebas naungan harus bersih dari pohon-pohon yang menaungi dan pada jarak 1,5 m masing-masing dari kiri kanan sumbu jalur tanam harus bersih dari semak belukar (jalur bersih selebar 3 m), dan pada jalur tanam tidak boleh dilewati alat berat, kecuali pada pinggir jalur sebelum
14
ada tanaman. Jalur bersih sama sekali tidak boleh dilewati angkutan kayu. Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) jalur tanam hanya berupa jalur bebas naungan selebar 3 m dimana di tengah jalur tanam tersebut terdapat sumbu tanam untuk anakan semai permudaan. Apabila sistem TPTII mengacu kepada sistem TPTJ, maka tata urutan pelaksanaan kegiatan sistem silvikultur TPTII adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Tahapan Kegiatan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur No
5
Rencana Penataan Areal Kerja dan Risalah Pembukaan Wilayah Hutan (pembuatan jalan/sarana) PengadaanBibit Penebangan pohon berdiameter 40 cm ke atas PenyiapanJalurBersih
6
Penanaman
7
PemeliharaanTanaman
1 2 3 4
WaktuPelaksanaan (dalamtahun)
TahapanKegiatan TPTI
8 PerlindunganTanaman (Sumber Departemen Kehutanan, 1999). Keterangan: t adalah simbol tahun penebangan.
t–2 t–1 t–1 t+0 t+0 t+0 t + 1 s/d panen Terus menerus setiap tahun s/d panen
Menurut Sutisna (2005) sistem silvikutur TPTII memiliki beberapa ciri yang mendasar, diantaranya yaitu : 1. Diterapkan sistem Reduce Impact Logging (RIL) 2. Ruang tumbuh tegakan dibuka mendekati tingkat optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan batas limit diameter pohon yang ditebang sedemikian rupa sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan dapat cukup terakomodasi secara seimbang. 3. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan masukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar jalur tanam 20 m. 4. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.
15
2.10 Analisis Gerombol Analisis gerombol adalah analisis statistik peubah ganda yang digunakan apabila ada N buah individu atau objek yang mempunyai p peubah dan N objek tersebut ingin dikelompokkan ke dalam k kelompok berdasarkan sifat-sifat yang diamati sehingga individu atau objek yang terletak dalam satu gerombol memiliki kemiripan sifat yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang terletak dalam gerombol lain (Dillon & Goldstein, 1984). Pengukuran jarak yang paling dikenal yaitu jarak Euclidean yang digunakan jika tidak ada korelasi antar peubah yang diminati. Jika terjadi korelasi antar peubah maka perlu dilakukan Analisis Komponen Utama / Principle Component terlebih dahulu atau dapat juga menggunakan konsep jarak lain seperti jarak Mahalanobis, dan sebagainya. Teknik penggerombolan terdiri dari hirarki dan tidak berhirarki. Teknik hirarki digunakan untuk mencari struktur penggabungan dari objek-objek, sedangkan teknik tidak berhirarki digunakan apabila jumlah gerombol yang diinginkan diketahui. Teknik hirarki terdiri atas dua yaitu secara agglomerative (penggabungan), dimana masing-masing objek dianggap satu kelompok kemudian antar kelompok yang jaraknya berdekatan bergabung menjadi satu kelompok, dan secara divise (pemecahan) yaitu pada awalnya semua objek berada dalam satu gerombol setelah itu sifat paling beda dipisahkan dan membentuk satu gerombol yang lain. Proses berlanjut sampai semua objek tersebut masing-masing membentuk satu gerombol. Dalam proses penggabungan gerombol dengan metode hirarki selalu diikuti dengan perbaikan matriks jarak / matriks kesamaan. Metode perbaikan jarak antara lain : 1. Single Lingkage Metode ini mengelompokkan dua objek yang mempunyai jarak terdekat terlebih dahulu. 2. Complete Lingkage Metode ini justru akan mengelompokkan dua objek yang mempunyai jarak terjauh terlebih dahulu.
16
3. Average Lingkage Metode ini akan mengelompokkan objek berdasar jarak rata-rata yang didapat dengan melakukan rata-rata semua jarak objek terlebih dahulu. 4. Ward’s Method Pada metode ini, jarak antar dua cluster yang terbentuk adalah sum of squares di antara dua cluster tersebut. 5. Centroid Method Pada metode ini, jarak antar dua cluster adalah jarak di antara centroid clustercluster tersebut. Centroid adalah rata-rata jarak yang ada pada sebuah cluster, yang didapat dengan melakukan rata-rata pada semua anggota suatu cluster tertentu. Dengan metode ini, setiap terjadi cluster baru, segera terjadi perhitungan ulang centroid, sampai terbentuk cluster tetap. Hasil dari analisis disajikan dalam bentuk dendogram. Pemotongan dendogram dapat
dilakukan pada
selisih
jarak penggabungan yang
terbesar.Asumsi dari analisis gerombol adalah : 1. Data bebas dari oulier/pencilan. 2. Tidak terjadi perbedaan satuan yang mencolok antar peubah.
17
BAB III KONDISI UMUM LOKASI
3.1 Letak Geografis dan Luas Areal Berdasarkan letak geografis, areal PT. SBK blok sungai Delang terletak pada posisi 01q24’-01q59’ Lintang Selatan dan 114q42’-111q18’ Bujur Timur, sedangkan blok sungai Seruyan terletak antara 00q36’-01q10’ Lintang Selatan dan 111q39’-112q25’ Bujur Timur. Berdasarkan dokumen RKUPHHK tahun 2004, luas areal PT. SBK keseluruhan adalah seluas 209.996 ha, yang terbagi menjadi dua blok yaitu blok Sungai Seruyan seluas 151.021 ha dan blok Sungai Delang seluas 58.975 ha.
Gambar 1. Areal kerja PT. SBK Kalimantan Tengah dan petak pengambilan sampel
Batas areal PT. SBK dapat dilihat pada Tabel 2 : Tabel 2. Batas Areal dan Administrasi Pemerintahan PT SBK. Deskripsi Batas Areal Kerja Sebelah Utara
Hutan Sei Jelai – Sei Delang
Hutan Sei Seruyan Hulu
IUPHHK PT Suka Jaya Makmur
B
Sebelah Timur
IUPHHK PT Karya Trader, dan IUPHHK PT First Lamandau Ind.
C
Sebelah Selatan
IUPHHK PT Kayu Pesaguan
D
Sebelah Barat
IUPHHK PT Kayu Pesaguandan IUPHHK PT Suka Jaya Makmur Prop. Kalimantan Tengah Kab. Kotawaringain Barat Dinas Kehut. Prop. Kalteng
Batas Prop. Kalteng-Kalbardan Hutan Lindung TN Bukit Baka-Bukit Raya, dan IUPHHK PT Meranti Mustika IUPHHK PT Erna Djuliawati dan IUPHHK PT Meranti Mustika IUPHHK PT Erna Djuliawati
No. 1 A
2 3
Administrasi Pemerintahan Adm. Pemangkuan Hutan
4
Kelompok Hutan
Cabang Dinas Kehutanan Seruyan
5
DAS / Sub Das
Sei Jelai-Sei Delang 1) Sei Delang : 175 Ha
6
Ketinggian
100 mdpl – 1180 mdpl
Prop Kalimantan Tengah Kab. Kotawaringin Timur Dinas Kehut Prop. Kalteng Cabang Dinas Kehutanan Seruyan Sei Seruyan Hulu 1) Sei Katingan : 180 Ha 2) Sei Seruyan :140 Ha 3) Sei Darap : 400 Ha 4) Sei Kabahau : 750 Ha 5) Sei Senamang : 225 Ha 100 mdpl – 1551 mdpl
3.2 Jenis Tanah, Geologi, dan Topografi Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP) Bogor tahun 1993, areal kerja PT. SBK pada blok Sungai Seruyan didominasi oleh jenis tanah Kambisol Distrik, Podsolik Kandlik dan Oksisol Haplik (44,74%), sedangkan untuk areal kerja blok Sungai Delang didominasi oleh jenis tanah Kambisol Distrik, Podsolik Kandlik dan Oksisol Haplik (68,23%). Berdasarkan klasifikasi menurut SK Mentan. No. 837 tahun 1980 seluruh areal kerja PT. SBK termasuk Podsolik. Berdasarkan Peta Geologi Indonesia lembar Kalimantan Tengah skala 1 : 1.000.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1993, formasi geologi yang mendominasi areal kerja PT. SBK blok Sungai Seruyan adalah lonalit, granodiolit, granit, sedikit diorit kuarsa, diorit dan garbo (76,54%).
19
Areal kerja blok Sungai Delang didominasi oleh granit menzolit kuarsa, granit telsparalkali, jorang granodiorit, tonalit monzolit, diorit dan gabro (82,21%). Keadaan topografi pada kelompok hutan Sungai Seruyan hulu bergelombang sampai agak berat atau sedang. Sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan bergelombang dengan ketinggian daerah sampai 500 mdpl. Gambaran umum mengenai kemiringan lapangan areal konsensi hutan IUPHHK-HA PT. SBK dapat dilihat pada Tabel 3 :
Tabel 3. Gambaran kemiringan areal konsensi hutan IUPHHK PT SBK. Kondisi Lapangan
Kelerengan (%)
Luas efektif(ha)
Persentase (%)
Datar
0-8
56.015
1,92
Landai
8-15
55.054
29,43
Agakcuram
15-25
53.061
46,99
Curam
25-40
33.063
21,12
Sangatcuram
> 40
11.107
0,54
Sumber: Peta Garis Bentuk PT. SBK Skala 1 : 25.000
3.3 Iklim Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson, areal PT. SBK tergolong beriklim tipe A. Pada blok Sungai Delang curah hujan ± 226,5 mm/bln dan ratarata hari hujan ± 12,39 hari, sedangkan pada blok Sungai Seruyan curah hujan rata-rata ± 282,33 mm/bln dan rata-rata hari hujan ± 13,8 hari. Suhu rata-rata bulanan masing-masing berkisar antara 22ºC - 28ºC pada malam hari dan 30ºC 33ºC pada siang hari. Bulan-bulan yang relatif kering adalah bulan JuniSeptember. Kelembaban nisbi di areal kerja IUPHHK berkisar antara 85-95%. Kelembaban nisbi terkecil terjadi pada bulan September dan terbesar terjadi pada bulan Juli dan Desember. Kecepatan arah angin di wilayah kerja IUPHHK berkisar antara 7-9 knots dengan kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Agustus dan Desember.
3.4 Keadaan Hutan Berdasarkan dokumen RKUPHHK tahun 2004, areal PT. SBK blok Sungai Seruyan seluas 151.021 ha terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 137.120 ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.900 ha. 20
Sedangkan blok Sungai Delang seluas 58.975 Ha terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 54.129 Ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 4.846 ha. Luas areal berhutan efektif (virgin forest dan bekas tebangan) yang diusahakan setelah dikurangi untuk kawasan lindung adalah seluas 126.466 ha (blok Sungai Seruyan seluas 96.245 ha dan blok Sungai Delang seluas 30.221 ha). Hutan di areal IUPHHK PT. SBK termasuk tipe hutan alam tropika basah sehingga lazimnya banyak jenis vegetasi yang ditemukan. Dari tipe hutan tersebut, sebaran jenisnya untuk jenis komersialnya didominasi oleh Kelompok Kayu Meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti Merah (Shorea spp), Kapur (Dryobalanops spp), Mersawa (Anisoptera spp), Nyatoh (Palaquium spp), Durian Burung (Durio spp), Geronggang (Cratoxilon celebius), Jelutung (Dyera spp), dan Resak (Vatica spp). Kelompok kayu rimba campuran yang terdiri dari Keruing (Dipterocarpus spp), Bintangor (Calophylum spp), Medang (Litsea tirma Hook.F), Benuang (Octomeles sumatrana Miq), Ubar (Eugenia spp), Kulim (Scorodocarpus), dan Kempas (Kompassia spp). Kelompok kayu indah terdiri dari Ulin (Eusidroxylon zwageri), Sindur (Sindora spp), dan Rengas (Gluta renghas), disamping itu juga terdapat berbagai jenis lain yang belum teridentifikasi dan belum komersil.
3.5 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Penduduk desa didalam maupun diluar areal kerja PT. SBK terdiri dari penduduk suku Melayu dan suku Dayak serta pendatang. Sebagian besar penduduk beragama Hindu Kaharingan (18.351 jiwa / 54%), beragama Islam (11.882 jiwa / 35%), beragama Kristen Protestan (3.265 jiwa / 10%), dan beragama Katolik (162 jiwa / 1%). Mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah dibidang pertanian 56%, selebihnya adalah dibidang swasta (karyawan) 19%, berdagang 15%, dan lain-lain 10%. Potensi yang dimiliki yaitu dibidang pertanian dan perkebunan. Masyarakat pada umumnya sudah banyak yang tamat Sekolah Dasar (SD). Tetapi jumlah penduduk yang belum tamat SD dan tamat SD sederajat pun masih banyak. Areal IUPHHK PT. SBK termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
21
Lamandau dan Kabupaten Katingan. Jumlah penduduk yang berada dalam atau disekitar areal kerja IUPHHK PT. SBK dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data kependudukan masyarakat sekitar PT. SBK. Wilayah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa)
Kec. Delang
3.569
3.295
6.864
1,08
Kec. Lamandau
4.282
4.198
8.480
1,02
Kec. Seruyan Hulu
4.491
4.359
8.850
1,05
Kec. Katingan Hulu
4.772
4.694
9.466
1,02
Sex Ratio
3.6 Ketenagakerjaan Penduduk di desa-desa dalam dan sekitar areal PT. SBK mempunyai kesempatan untuk menjadi karyawan PT. SBK, baik sebagai tenaga operasional di lapangan maupun tenaga administrasi sesuai dengan spesifikasi dan kriteria yang diinginkan pihak perusahaan dan kemampuan dari penduduk tersebut bisa memenuhi persyaratan yang diminta. Dalam pengelolaan hutan, PT. SBK telah banyak menggunakan tenaga teknis kehutanan. Data teknis kehutanan yang bekerja di IUPHHK PT.SBK dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Daftar tenaga teknis kehutanan yang digunakan oleh PT. SBK. No
Pendidikan / Tingkat Keahlian
Jumlah Tenaga (orang) Standard
Realisasi
A
Tenaga Teknis Kehutanan
1
Sarjana Kehutanan
6
13
2
Sarjana Muda Kehutanan
10
11
3
SKMA/ KKMA/ D-1 Kehutanan
10
2
4
Pembibitan dan Persemaian
10
23
5
Permudaan dan Penghutanan
16
26
6
Pengukuran dan Perpetaan
8
3
7
Cruiser
8
30
8
Scaler/ Log Grader
16
60
9
Pengenal Jenis Pohon
12
10
B
Bidang Sosial dan Ekonomi
4
42
C
Dampak Lingkungan
2
6
22
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di areal sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma unit Sungai Seruyan, Kalimantan Tengah. Penelitian ini dimulai dari bulan Mei-Juni 2009.
4.2 Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa vegetasi yang berumur 4-9 tahun yang terdapat di jalur antara/hijau pada sistem TPTJ. Alat-alat penelitian yang digunakan adalah : pita meter, phiband, haga hypsometer/christen meter, kompas brunton, tali rapia/tambang berukuran 20 m, patok, golok, alat tulis, tally sheet, dan seperangkat komputer yang dilengkapi aplikasi Microsoft Excel 2007, dan program komputer untuk pengolahan data.
4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1. Pembuatan plot penelitian Plot penelitian dibuat dengan ukuran 100 m x 100 m untuk setiap umur vegetasi yang diteliti yaitu vegetasi yang terdapat pada sistem TPTJ dari umur 4-9 tahun. Kemudian setelah plot penelitian tersebut terbentuk maka dipilih 2 jalur pengamatan dimana ukurannya adalah 100 m x 20 m untuk masing-masing jalur pengamatan. Setiap jalur pengamatan terdiri dari 5 petak berukuran 20 m x 20 m.
100 m
100 m 100 m
3m
22 m
Gambar 2. Plot penelitian berukuran 100 m x 100 m Keterangan: a. Jalur tanam dan b. Jalur antara/hijau pada petak ukur TPTJ yang diamati .
4.3.2 Analisa Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan komposisi tegakan maka dilakukan pengamatan atau pengambilan contoh dengan metode kuadrat (garis berpetak) yang dibuat pada jalur pengamatan. Desain jalur pengamatan di lapangan dapat dilihat pada gambar 2. Lebar jalur pengamatan sebesar 20 m dan panjangnya 100 m dan dibagi kedalam 5 petak yang terdiri dari sub petak untuk tingkat pertumbuhan tanaman. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, serta diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlahnya.
24
Gambar 3. Bagan jalur pengamatan analisis vegetasi Keterangan : a = b = c = d =
Sub petak untuk tingkat semai (2m x 2m) Sub petak untuk tingkat pancang (5m x 5m) Sub petak untuk tingkat tiang (10m x 10m) Sub petak untuk tingkat pohon (20m x 20m)
4.3.3 Analisis Data 1. Kerapatan, Frekuensi, Dominansi dan Indeks Nilai Penting Jenis Analisis data untuk memperoleh nilai penting jenis pohon adalah sebagai berikut(Goldsmith et al, 1986) Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel KR = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel DR = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot x 100% FR = Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis INP = KR + FR + DR (tiang dan pohon) INP = KR + FR (semai dan pancang)
2. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon Index of General Diversty :
25
n ª ni ni º H ' ¦ « ln » N¼ i 1 ¬N
Dimana :
H’ = Indeks Keragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah Jenis ke-n N = Total Jumlah Jenis
4.3.4 Analisis Gerombol (Cluster Analysis) Analisis ini digunakan untuk mengelompokan obyek pengamatan, baik kondisi tanah maupun komposisi jenis. Tujuan dari analisis ini untuk mengelompokan n obyek pengamatan menjadi m kelompok berdasarkan kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Prinsip analisis gerombol didasarkan pada ukuran kedekatan atau kemiripan dari setiap individu. Ukuran kedekatan yang dipakai adalah jarak Euclidean (Euclidean distance). Hasil analisis gerombol disajikan dalam bentuk dendogram. Setelah diperoleh dendogram selanjutnya dilakukan pemotongan pada selisih penggabungan jarak terbesar.
26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis vegetasi dilakukan pada areal TPTJ dari umur 4-9 tahun. Parameter yang digunakan adalah jumlah pohon dan distribusi diameter, jenis dominan dan permudaan alam tingkat semai, pancang, dan tiang.
5.1.1 Komposisi Jenis Untuk melihat komposisi jenis penyusun tegakan pada areal TPTJ yang berumur 4-9 tahun, maka dilakukan pengelompokan atas Jenis Komersial (Dipterocarpaceae dan Non-Dipterocarpaceae)
dan Jenis Non-Komersial.
Komposisi kedua jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah pohon menurut kelas diameter dan komposisi penyusun tegakan pada areal TPTJ umur 4-9 tahun Kontribusi Jenis Kelas diameter (cm)
Total (N/ha)
Tegakan 20-29 46 35 28 36 47 19
TJ9 TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
Keterangan : Dipt Non-Dipt TJ9 TJ8
30-39 14 14 13 15 20 17
40-49 9 9 10 13 12 14
50-59 5 2 4 9 1 3
= Dipterocarpaceae = Non-Dipterocarpaceae = Tanaman 9 tahun = Tanaman 8 tahun
60+ 0 6 5 8 4 2
TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
74 66 60 81 84 55
Komersial (%) Dipt 17.57 19.70 18.33 16.13 13.10 18,18
Non Dipt 40.54 25.76 40.00 22.58 28.57 30,91
Non Komersial (%) 41.89 54.55 41.67 61.29 58.33 50,91
= Tanaman 7 tahun = Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
Tabel 6 menunjukkan bahwa distribusi pohon menurut kelas diameter pada areal TPTJ berfluktuatif, tidak ada kecenderungan peningkatan atau penurunan yang konsisten mulai dari TJ4 sampai TJ9. Namun, secara umum jumlah individu pohon antar plot pada tiap-tiap kelas diameter relatif sama besarnya. Dalam total jumlah pohon per ha, kontribusi jenis non-komersial lebih besar dibandingkan dengan jenis komersial pada seluruh plot penelitian. Untuk kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae terhadap jumlah
pohon per ha rata-rata sebesar 18,78% dan dari kelompok Non-Dipterocarpaceae rata-rata sebesar 26,89%. Beberapa jenis pohon anggota Dipterocarpaceae yang tergolong komersial yang ditemukan di lapangan diantaranya adalah Bankirai (Shorea laevifolia), Melapi (Hopeasp.), Merawan (Hopea mengarawan), Meranti kuning (Shorea johorensis), Meranti merah (Shorea leprosula), Meranti putih (Shorea hopeifolia), sedangkan untuk kelompok non komersial (tidak ditebang) terdapat dua jenis yang paling sering ditemukan yaitu Resak nangka (Vatica sp.) dan Tengkawang (Shorea stenoptera). Sementara itu, untuk jenis komersial dari kelompok NonDipterocarpaceae diantaranya yaitu Gerunggang (Cratoxylon sumatrana), Medang (Litsea firma), Nyatoh (Palaquium sp.) dan Rengas (Gluta renghas). Tabel 6 juga menunjukkan bahwa komposisi jenis pada seluruh plot penelitian didominasi oleh kelompok jenis non komersial, baik dari kelompok Dipterocarpaceae
maupun Non-Dipterocarpaceae.
Secara umum proporsi
penyebaran kelompok jenis komersial, kelompok Non-Dipterocarpaceae lebih mendominasi
pada
seluruh plot
penelitian
dibandingkan dengan
jenis
Dipterocarpaceae. Jumlah pohon menurut penggolongan jenis komersial dan nonkomersial dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah pohon menurut kelompok jenis pada areal TPTJ umur 4 tahun hingga 9 tahun Jenis Komersial (N/ha)
Tegakan TJ9 TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4 Keterangan : Dipt Non-Dipt TJ9 TJ8
Dipt 13 13 11 19 11 10
Non-Dipt 30 17 24 18 24 17
= Dipterocarpaceae = Non-Dipterocarpaceae = Tanaman 9 tahun = Tanaman 8 tahun
Apabila
Total 43 30 35 37 35 27 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
Jenis Non Komersial (N/ha)
Total (N/ha)
31 36 25 44 49 28
74 66 60 81 84 55
= Tanaman 7 tahun = Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
:
P.18/Menhut-II/2004 Tentang Kriteria Hutan Produksi menyatatakan bahwa jumlah pohon inti (diameter ≥ 20 cm) pada areal bekas tebangan sebanyak 25
28
pohon per/ha maka keberadaan pohon inti pada seluruh plot penelitian sudah melebihi jumlah tersebut. Pola hubungan antara kerapatan pohon per ha dengan diameter dapat dilihat pada Gambar 4. TJ9
TJ8 Jumlah pohon
Jumlah pohon
50 40 30 20 10 0 20-29 30-39 40-49 50-59
40 35 30 25 20 15 10 5 0
60+
20-29 30-39 40-49 50-59
Diameter
Diameter
TJ7
TJ6 Jumlah pohon
Jumlah pohon
30 25 20
15 10
5 0 20-29 30-39 40-49 50-59
40 35 30 25 20 15 10 5 0
60+
20-29 30-39 40-49 50-59
Diameter
60+
Diameter
TJ5
TJ4 20
Jumlah pohon
50
Jumlah pohon
60+
40 30
20 10 0
15 10 5 0
20-29 30-39 40-49 50-59
60+
20-29 30-39 40-49 50-59
Diameter
60+
Diameter
Gambar 4. Jumlah pohon (N/ha) menurut kelas diameter pada seluruh plot penelitian. Keterangan : TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun TJ7 = Tanaman 7 tahun
TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
29
Gambar 4 menunjukkan bahwa pola hubungan antara jumlah pohon per ha dan diameter pada seluruh plot penelitian memiliki kecenderungan yang sama yaitu membentuk kurva J terbalik. Pola dengan huruf J terbalik menunjukkan bahwa semakin besar ukuran pohon maka semakin sedikit jumlahnya.
Tabel 8. Keragaman jenis dan Indeks Nilai Penting sepuluh jenis pohon dominan pada plot studi Nama Lokal
Grup
Bankirai Bayur Durian Embak Garung Jabon Kampili Kapuak Kelampai Kelat KremPenyang Kumpang Kumpangdarah Mahabay Manggris Medang Mentawai Merantibatu Merantimerah Merantiputih Nyatoh Pulai Rambutan Rengas Sampak Ulin
DK NDK NDK JNK JNK JNK JNK JNK JNK NDK JNK JNK JNK JNK JNK NDK JNK DK DK DK NDK NDK NDK JNK JNK JNK
TJ9 15,07(6) 21,15(4) 17,29(5) 44,45(2) 12,28(9) 8,36(10) 48,92(1) 13,79(8) 36,30(3) 14,31(7) -
TJ8 17,74(6) 13,27(10) 24,78(3) 17,26(7) 15,38(9) 27,94(2) 23,00(4) 18,40(5) 15,73(8) 30,23(1)
Jumlah jenis 23 25 Jumlah famili 15 15 Keterangan : DK = Dipterocarpaceae Komersial NDK = Non-Dipterocarpaceae Komersial ( ) = Nomor Ranking JNK = Jenis Non-Komersial TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun
Indeks Nilai Penting TJ7 TJ6 15,45(4) 22,76(4) 12,77(7) 9,11(10) 29,30(2) 37,95(1) 73,99(1) 32,32(3) 11,77(8) 14,13(6) 11,66(9) 15,87(6) 27,51(3) 35,30(2) 12,52(8) 14,43(5) 10,66(10) 11,13(9) 12,46(7) 17,31(5)
TJ5 11,99(10) 14,14(9) 17,77(7) 24,96(1) 19,77(5) 20,46(3) 15,32(8) 20,40(4) 24,54(2) 19,15(6) -
TJ4 26,96(3) 23,32(5) 15,61(7) 14,57(8) 28,10(2) 15,78(6) 25,95(4) 11,61(10) 33,32(1) 13,02(9) -
26 14
32 19
27 14
TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
30 18
= Tanaman 7 tahun = Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
Tanaman yang mendominasi untuk plot TJ9 adalah Medang (Litsea firma), plot TJ8 adalah Ulin (Eusideroxylon zwageri), plot TJ6 adalah Kelampai (Elaterospermum tapos), dan plot TJ4 didominasi oleh Rambutan (Nephelium
30
sp.). Sementara pada plot TJ7 dan TJ5, tanaman yang mendominasi adalah Kelat (Syzygium aqueum). Untuk Medang (Litsea firma) dan Meranti merah (Shorea leprosula) merupakan jenis pohon yang penyebarannya merata pada semua plot penelitian. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pada tingkat pohon dan permudaan ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon dan permudaan pada areal TPTJ umur 4-9 tahun. Indeks Keanekaragaman
Tegakan Semai
Pancang
Tiang
Pohon
TJ9
2,22
2,38
1,57
2,66
TJ8
1,86
2,34
2,32
2,97
TJ7
1,61
2,32
1,53
2,76
TJ6
1,67
2,29
2,57
2,95
TJ5
1,65
2,04
2,29
3,18
TJ4
2,95
2,95
2,21
2,98
Keterangan: TJ9 = Tanaman umur 9 tahun TJ8 = Tanaman umur 8 tahun TJ7 = Tanaman umur 7 tahun TJ6 = Tanaman umur 6 tahun
TJ5 TJ4
= Tanaman umur 5 tahun = Tanaman umur 4 tahun
Tabel 9 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada tingkat pohon di seluruh plot studi cukup tinggi yaitu berada pada kisaran 2 sampai 3. Pada semai dan tiang, keanekaragaman jenis terendah terdapat pada plot TJ7 yaitu sebesar 1,61dan 1,53. Untuk tingkat pancang keanekaragaman jenis terendah terdapat pada plot TJ5 sebesar 2,04. Dan keanekaragaman jenis terendah tingkat pohon terdapat pada plot TJ9 yaitu 2,66. Meningkatnya umur tanaman tidak mempengaruhi peningkatan keanekaragaman jenis pohon pada areal TPTJ. Hal ini berlaku juga untuk tingkat permudaan, baik pada tingkat semai, pancang, maupun tiang dimana tidak terjadi peningkatan jenis dengan melihat nilai Indeks Keanekaragaman yang bervariasi untuk setiap tingkat umur.
31
5.1.2 Permudaan Hutan Tingkat permudaan hutan meliputi permudaan tingkat semai, pancang dan tiang. Data tersebut digunakan untuk menentukan apakah permudaan hutan di areal TPTJ telah memenuhi persyaratan dalam pengelolaan yang lestari. Jumlah individu semai, pancang, dan tiang selama ini digunakan sebagai kriteria untuk mengevaluasi derajat pemulihan setelah penebangan.
5.1.2.1 Permudaan Tingkat Semai Kondisi kerapatan tingkat semai di seluruh plot penelitian ditampilkan pada Tabel 10. Tabel 10. Kerapatan tingkat semai pada areal TPTJ umur 4-9 tahun Jenis Komersial
Tegakan
Jenis Non Komersial
Total (N/ha)
Dipt
Non-Dipt
Total
TJ9 TJ8
500 (1.94%) 4000 (22,22%)
10750 (41,75%) 8250 (45,83%)
11250 (43,69%) 12250 (68,06%)
14500 (56,31%) 5750 (31,94%)
25750 18000
TJ7 TJ6
2500 (11,11%) 9000 (34,95%)
500 (2,22%) 3250 (12,62%)
3000 (13,33%) 12250 (47.57%)
19500 (86,67%) 13500 (52,43%)
22500 25750
TJ5 4750 (35,19%) 1250 (9,26%) TJ4 11250 (28,30%) 2750 (6,92%) Keterangan : Dipt = Dipterocarpaceae Non-Dipt = Non-Dipterocarpaceae TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun
6000 (44,44%) 14000 (35,22%)
7500 (55,56%) 25750 (64,78%)
13500 39750
TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman = Tanaman = Tanaman = Tanaman
7 tahun 6 tahun 5 tahun 4 tahun
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada setiap plot TPTJ, jumlah semai dari jenis non-komersial lebih besar daripada jenis komersial. Sedangkan dari jenis komersial, kelompok Non-Dipterocarpaceae memiliki jumlah semai yang lebih rendah dibandingkan kelompok Dipterocarpaceae. Namun, kelompok NonDipterocarpaceae merupakan penyusun terbesar tingkat semai pada plot TPTJ berumur 8 tahun.
5.1.2.2 Permudaan Tingkat Pancang Berdasarkan tabel 11 dibawah kontribusi jenis komersial lebih tinggi dibandingkan dengan jenis non-komersial. Sedangkan jika dilihat dari jenis komersial maka kontribusi kelompok Dipterocarpaceae memiliki nilai yang lebih
32
rendah dibandingkan kelompok Non-Dipterocarpaceae. Hal ini disebabkan karena kelompok Dipterocarpaceae tidak dapat bersaing dengan kelompok NonDipterocarpaceae di tempat yang memiliki tajuk yang cukup rapat. Nilai individu tertinggi penyusun tingkat pancang terdapat pada TJ4 sebesar 6.440 individu/ha dan terendah terdapat pada TJ5 sebesar 2.880 individu/ha. Kondisi kerapatan untuk tingkat pancang dan fluktuasinya pada seluruh plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kerapatan tingkat pancang pada plot TPTJ umur 4-9 tahun Jenis Komersial Tegakan
Jenis Non Komersial
Total (N/ha)
Dipterocarapaceae
NonDipterocarpaceae
Total
TJ9 TJ8
280 (6,48%) 1640 (32,28%)
1800 (41,67%) 1840 (36,22%)
2080 (48,15%) 3480 (68,50%)
2240 (51,85%) 1600 (31,50%)
4320 5080
TJ7 TJ6
240 (6,52%) 760 (12,18%)
1680 (45,65%) 3080 (49,36%)
1920 (52,17%) 3840 (61,54%)
1760 (47,83%) 2400 (38,46%)
3680 6240
TJ5 80 (2,78%) 1960 (68,06%) TJ4 1200 (18,63%) 1000 (15,53%) Keterangan : Dipt = Dipterocarpaceae Non-Dipt = Non-Dipterocarpaceae TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun
2040 (70,83%) 2200 (34,16%)
840 (29,17%) 4240 (65,84%)
2880 6440
TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman = Tanaman = Tanaman = Tanaman
7 tahun 6 tahun 5 tahun 4 tahun
5.1.2.3 Permudaan Tingkat Tiang Tabel 12 dibawah menunjukkan bahwa secara garis besar jenis komersial dan jenis non-komersial memiliki kontribusi yang seimbang dalam penyusunan tingkat tiang di setiap plot TPTJ yang diteliti. Jika dilihat dari jenis komersial, maka jumlah individu kelompok Non-Dipterocarpaceae lebih besar dibandingkan dengan kelompok Dipterocarpaceae. Pada data dapat dilihat bahwa di plot TJ7 kelompok Dipterocarpaceae memiliki nilai sebesar 0/ha. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kelompok Dipterocarpaceae di tempat tersebut yang disebabkan karena faktor lingkungannya tidak sesuai untuk tempat tumbuh kelompok tersebut atau telah terjadi penyeleksian terhadap kelompok tersebut. Nilai individu tertinggi penyusun tingkat tiang terdapat pada plot TJ8 sebesar 320/ha dan terendah berada pada plot TJ4 yaitu 120/ha. Kondisi kerapatan dan fluktuasi perubahan tingkat tiang di seluruh plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
33
Tabel 12. Kerapatan tingkat tiang pada plot TPTJ umur 4-9 tahun Jenis Komersial
Jenis Non Komersial
Total
130 (68,42%) 100 (31,25%)
60 (31,58%) 220 (68,75%)
190 320
130 (72,22%) 80 (34,78%)
130 (72,22%) 90 (39,13%)
50 (27,78%) 140 (60,87%)
180 230
110 (39,29%) 30 (25%)
170 (60,71%) 40 (33,33%)
110 (39,29%) 80 (66,67%)
280 120
Tegakan
TJ9 TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4 Keterangan : Dipt Non-Dipt TJ9 TJ8 TJ7
Dipterocarapaceae
NonDipterocarpaceae
Total
70 (36,84%) 30 (9,38%)
60 (31,58%) 70 (21,88%)
0 (0%) 10 (4,35%) 60 (21,43%) 10 (8,33%)
= Dipterocarpaceae = Non-Dipterocarpaceae = Tanaman 9 tahun = Tanaman 8 tahun = Tanaman 7 tahun
TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
5.1.3 Pengelompokan Plot Penelitian Berdasarkan INP Pengelompokan kesamaan komunitas pada plot penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol (cluster analysis). Ukuran kedekatan yang
dipakai
adalah
jarak
Euclidean dengan
metode
single
linkage.
Pengelompokan plot diukur mulai tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai dengan menggunakan peubah Indeks Nilai Penting (INP) jenis Dipterocarpaceae Komersial, Non-Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Komersial. Hasil analisis gerombol ditampilkan dalam bentuk tabel matriks dan dendogram dengan pemotongan dilakukan pada selisih penggabungan jarak terbesar.
5.1.3.1 Kesamaan Komunitas Tingkat Pohon Hasil analisis gerombol berdasarkan kesamaan komunitas tingkat pohon dengan menggunakan jarak Euclidean pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 13.
34
Tabel 13. Kesamaan komunitas tingkat pohon dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun. Jarak
TJ9
TJ8
TJ7
TJ6
TJ5
TJ4
TJ9
0
57,02
98,46
77,53
63,56
71,95
0
50,7
20,51
27,68
24,87
0
40,22
35,2
27,36
0
34,53
24,09
0
12,58
TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
0
Keterangan : TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun TJ7 = Tanaman 7 tahun
TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
Kesamaan komunitas yang diperoleh terbagi dalam 2 gerombol untuk tingkat pohon. Hal ini didasarkan pada jarak terbesar yang terdapat pada tiap-tiap plot penelitian, dimana semakin besar jarak antar plot maka tingkat kesamaan komunitasnya semakin kecil atau semakin berlainan. Jika jarak antar plot semakin kecil maka tingkat kesamaan komunitasnya semakin besar atau semakin sama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada dendogram di Gambar 5. Dendrogram with Single Linkage and Euclidean Distance_pohon
Distance
57,02
38,01
19,01
0,00
1
2
4 5 Observations
6
3
Gambar 5. Dendogram tingkat kesamaan komunitas pohon Pada dendogram terlihat bahwa gerombol pertama tingkat pohon terdiri dari plot TJ9, dimana hampir semua INP yang merupakan indikator kesamaan komunitas tingkat pohon seperti INP Dipterocarpaceae Komersial, INP NonDipterocarpaceae Komersial, dan INP Non-Komersial memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran rata-rata keseluruhan. Sedangkan, pada 35
gerombol kedua tingkat pohon terdiri dari plot TJ4, TJ5, TJ6, dan TJ8 dimana semua plot memiliki jenis-jenis pohon Non-Dipterocarpaceae Komersial yang lebih sedikit dibandingkan plot TJ9, namun memiliki jenis-jenis Non-Komersial yang lebih banyak dibandingkan dengan plot TJ9. Untuk jenis Dipterocarpaceae Komersial, baik gerombol pertama dan gerombol kedua memiliki tingkat kesamaan jenis yang tinggi. Pada gerombol ketiga yang terdiri dari plot TJ7, jenisjenis Non-Komersial yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan dengan gerombol pertama
dan
kedua.
Namun,
jenis-jenis
Dipterocarpaceae
dan
Non-
Dipterocarpaceae yang dimiliki merupakan yang terendah dibandingkan dengan gerombol lainnya.
Tabel 14. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah pohon Rataan Gerombol Peubah Rataan Total I II III INP DK 55,12 55,08 58,11 43,19 INP NDK 77,42 120,09 72 57,18 INP NK 167,46 124,83 170,07 199,63 Keterangan : INP DK INP NDK INP NK
= Indeks Nilai Penting Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Komersial
5.1.3.2 Kesamaan Komunitas Tingkat Permudaan Hutan 1. Semai Hasil analisis gerombol menurut ukuran kesamaan komunitas tingkat semai dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Kesamaan komunitas tingkat semai dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun. Jarak
TJ9
TJ8
TJ7
TJ6
TJ5
TJ4
TJ9 TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
0
51,51 0
88,18 104,79 0
72,49 61,19 56,56 0
87,61 71,75 62,3 15,2 0
89,31 81,07 50,29 20,01 13,77 0
Keterangan : TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun TJ7 = Tanaman 7 tahun
TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
36
Tabel 15 Menunjukkan bahwa jarak terbesar adalah antara TJ8 dengan TJ7 yaitu sebesar 104,79 sedangkan jarak terkecil terdapat antara TJ5 dengan TJ4 sebesar 13,77. Jumlah pembagian gerombol yang ada dalam kesamaan komunitas tingkat semai ini adalah sebanyak 4 buah gerombol. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. Dendrogram with Single Linkage and Euclidean Distance_semai
Distance
61,19
40,79
20,40
0,00
1
2
3 4 Observations
5
6
Gambar 6. Dendogram tingkat kesamaan komunitas semai Pada dendogram terlihat bahwa gerombol pertama terdiri dari plot TJ9 dimana plot ini memiliki INP jenis Non-Dipterocarpaceae Komersial tertinggi namun untuk nilai INP Dipterocarpaceae Komersial merupakan yang terendah dibandingkan plot lainnya. Selanjutnya, gerombol kedua terdiri dari plot TJ8 dimana plot ini memiliki INP jenis Dipterocarpaceae Komersial, INP NonDipterocarpaceae Komersial dan INP Non-Komersial yang hampir merata didalam plot tersebut. Untuk gerombol ketiga terdiri dari plot TJ7 dimana plot ini memiliki INP jenis Non-Komersial paling tinggi bila dibandingkan dengan plot penelitian lainnya. Dan terakhir, gerombol keempat terdiri dari plot TJ4, TJ5, dan TJ6 dimana pada gerombol ini terdapat nilai terendah untuk jenis NonDipterocarpaceae.
37
Tabel 16. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah semai. Rataan Gerombol Rataan Peubah Total I II III IV INP DK 44,31 6,49 44,8 26,9 62,56 INP NDK 37,96 80,38 76,25 12,75 19,47 INP NK 117,3 113,13 78,94 160,35 117,98 Keterangan : INP DK INP NDK INP NK
= Indeks Nilai Penting Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Komersial
2. Pancang Hasil analisis gerombol untuk ukuran kesamaan komunitas tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kesamaan komunitas tingkat pancang dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun. Jarak
TJ9
TJ8
TJ7
TJ6
TJ5
TJ4
TJ9
0
39,76
6,03
11,58
51,09
63,45
0
45,71
29,63
69,46
66,62
0
17,47
51,49
64,14
0
49,23
66,69
0
114,45
TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4 Keterangan : TJ9 TJ8 TJ7 TJ6
0 = Tanaman = Tanaman = Tanaman = Tanaman
9 tahun 8 tahun 7 tahun 6 tahun
TJ5 TJ4
= Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
Tabel 17 menunjukkan bahwa jarak terbesar pada seluruh areal penelitian untuk tingkat pancang terdapat pada TJ5 ke TJ4 yaitu 114,45, sedangkan untuk jarak terkecil terdapat pada TJ9 ke TJ7 yaitu sebesar 6,03. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.
38
Dendrogram with Single Linkage and Euclidean Distance_pancang
Distance
63,45
42,30
21,15
0,00
1
3
4 2 Observations
5
6
Gambar 7. Dendogram tingkat kesamaan komunitas pancang Pada dendogram dapat dilihat bahwa terdapat 3 cluster berdasarkan jarak Euclidean terbesar. Untuk gerombol pertama terdiri dari plot TJ6, TJ7, TJ8, dan TJ9 dimana nilai INP Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Komersial lebih tinggi dibandingkan dengan rataan totalnya yaitu 27,91 dan 104,19. Sedangkan gerombol kedua terdiri dari TJ5 dengan nilai INP Non-Dipterocarpaceae melebihi nilai rataan total yaitu sebesar 115,42. Untuk gerombol ketiga terdiri dari TJ6 dengan nilai tertinggi gerombol ini adalah INP Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Komersial yang juga melebihi rataan totalnya yaitu sebesar 25,51 dan 75,33.
Tabel 18. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah pancang. Rataan Gerombol Rataan Peubah Total I II III INP DK 24,20 27,91 8,04 25,51 INP NDK 71,62 59,74 115,42 75,33 INP NK 104,19 112,36 76,54 99,15 Keterangan : INP DK INP NDK INP NK
= Indeks Nilai Penting Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Komersial
3. Tiang Hasil analisis gerombol untuk ukuran kesamaan komunitas tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 19.
39
Tabel 19. Kesamaan komunitas tingkat tiang dengan menggunakan jarak Euclidean pada areal TPTJ umur 4-9 tahun. Jarak
TJ9
TJ8
TJ7
TJ6
TJ5
TJ4
TJ9
0
118,78
143,66
104,33
44,75
109,66
0
169,6
17,12
102,16
13,01
0
154,45
103,6
172,28
0
85,26 0
18,3 97,37
TJ8 TJ7 TJ6 TJ5 TJ4
0
Keterangan : TJ9 = Tanaman 9 tahun TJ8 = Tanaman 8 tahun TJ7 = Tanaman 7 tahun
TJ6 TJ5 TJ4
= Tanaman 6 tahun = Tanaman 5 tahun = Tanaman 4 tahun
Jarak terbesar yang terjadi pada jenis tiang ini adalah plot TJ7 ke TJ4 yaitu sebesar 172,28 sedangkan untuk jarak terkecilnya terjadi pada plot TJ8 ke TJ4 sebesar 13,01. Untuk melihat pengelompokan yang terjadi akibat jarak Euclidean ini, disajikan pada gambar 8. Dendrogram with Single Linkage and Euclidean Distance_tiang
Distance
103,60
69,07
34,53
0,00
1
5
2 6 Observations
4
3
Gambar 8. Dendogram tingkat kesamaan komunitas tiang Pada dendogram dapat dilihat bahwa terdapat 3 pengelompokan (clustering) yaitu plot TJ9 dan TJ5 untuk cluster pertama, plot TJ8, TJ6 dan TJ4 untuk cluster kedua, dan plot TJ7 untuk cluster ketiga. Pada cluster pertama nilai INP untuk Dipterocarpaceae komersial lebih tinggi dibandingkan dengan cluster lainnya. Dan nilai
INP Dipterocarpaceae terbesar terdapat didalamnya yaitu
94,13. Sedangkan untuk cluster kedua merupakan cluster yang mewakili nilai INP Non-Komersial yang lebih besar dibandingkan dengan cluster lainnya untuk jenis
40
tiang. Selain itu, nilai INP terbesar untuk jenis Non-Komersial terdapat pada cluster kedua yaitu 197,8. Pada cluster ketiga adalah cluster dimana nilai INP Non-Dipterocarpaceae komersial merupakan yang terbesar dibandingkan dengan cluster lainnya yaitu 208,63 dan nilai INP untuk Dipterocarpaceae komersial dan Non-Komersial merupakan yang terendah dibandingkan dengan cluster lainnya.
Tabel 20. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah tiang. Peubah INP DK INP NDK INP NK Keterangan : INP DK INP NDK INP NK
Rataan Total 39,63 112,75 147,58
Rataan Gerombol I II III 76,44 28,39 0 113,75 80,12 208,63 109,82 191,49 91,37
= Indeks Nilai Penting Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Dipterocarpaceae Komersial = Indeks Nilai Penting Non-Komersial
5.2 PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jenis komersial pada seluruh plot studi secara umum lebih kecil dibandingkan dengan jenis nonkomersial kecuali pada plot TJ7 dan TJ9. Namun, penurunan kelompok komersial khususnya jenis Dipterocarpaceae pada plot TPTJ belum begitu nyata karena fokus penebangan masih diberlakukan terhadap kelompok Non-Dipterocarpaceae komersial. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamoengkas (2006) terhadap evaluasi sistem TPTJ dengan limit diameter tebang 40 cm di Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa proporsi jenis komersial lebih rendah dibandingkan dengan jenis non komersial dimana kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae tingkat pohon setelah penebangan untuk umur 4 tahun dan 5 tahun adalah sebesar 16,3% dan 16,7%. Kondisi ini juga dimiliki oleh Riyanto (1995) yang melakukan penelitian evaluasi terhadap sistem TPTI di Jambi dimana dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae pada 5 tahun setelah penebangan sebesar 16,6%. Pada plot TJ7 dan TJ9, Dipterocarpaceae
mempunyai
nilai
kontribusi
jenis
sebesar
58,33%
komersial kelompok dan 58,11%
yang
menunjukkan bahwa fokus penebangan dengan limit diameter 40 cm pada plot
41
tersebut telah difokuskan kepada kelompok Dipterocarpaceae komersial. Sedangkan pada plot studi lainnya, penebangan dengan limit diameter 40 cm masih diberlakukan terhadap kelompok Non-Dipterocarpaceae jenis komersial. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi jenis komersial kelompok NonDipterocarpaceae yang lebih besar dibandingkan dengan jenis komersial kelompok Dipterocarpaceae. Penyebaran tingkat pohon pada areal TPTJ berfluktuasi menurut kelas diameter, tidak menunjukkan adanya peningkatan atau penurunan yang konsisten. Plot TJ9 memiliki kontribusi jenis yang sangat rendah untuk jumlah pohon dengan kelas diameter > 60 cm, hal ini disebabkan oleh dampak penebangan yang sangat besar terhadap kelas diameter tersebut atau memang keberadaan jumlah pohon pada kelas tersebut sangat sedikit. Apabila
mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
:
P.18/Menhut-II/2004 Tentang Kriteria Hutan Produksi, dapat dikatakan bahwa jumlah pohon inti pada seluruh plot studi sudah melebihi batas minimal yang ditetapkan. Untuk jumlah pohon inti terbesar ditemukan pada plot TJ9 sebesar 43 individu/ha, sedangkan jumlah pohon inti terkecil ditemukan pada plot TJ4 sebesar 27 individu/ha. Jika diperhatikan, maka jumlah pohon inti yang ditemukan sangat kritis karena harus diperhatikan faktor kematian pohon (potential mortality) selama jangka waktu rotasi tebangan berikutnya. Namun, areal TPTJ mempunyai peluang untuk menambah jumlah pohon inti menjadi lebih banyak melalui perkembangan dari permudaan tingkat tiang. Dalam semua plot studi penelitian, jumlah jenis tanaman yang paling banyak ditemukan terdapat pada plot TJ5 sebanyak 84 jenis dan terendah ditemukan pada plot TJ4 sebanyak 55 jenis. Sedangkan, jenis famili yang paling banyak ditemukan terdapat pada plot TJ5 sebanyak 18 famili dan terendah terdapat pada plot TJ7 sebanyak 14 famili. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun jenis yang ditemukan cukup banyak namun masih dalam satu famili sehingga menyebabkan jumlah familinya rendah. Medang (Litsea firma) dan Meranti merah (Shorea leprosula) adalah dua jenis tanaman komersial yang tersebar merata di seluruh plot penelitian sehingga kedua jenis tanaman ini harus menjadi prioritas dalam penanaman untuk tebangan selanjutnya selain tanaman yang sudah
42
dikembangkan selama ini terutama untuk jenis Meranti Merah (Shorea leprosula) karena memiliki nilai jual yang tinggi dan mudah beradaptasi dengan lingkungan di plot penelitian. Keanekaragaman jenis tingkat pohon yang terdapat pada plot penelitian termasuk cukup tinggi yaitu berada pada kisaran 2-3. Untuk tingkat permudaan baik dari pancang dan tiang, keanekaragaman yang ada termasuk kedalam tingkatan sedang yaitu berada pada kisaran 2. Namun untuk tingkat semai keanekaragamannya berada pada kisaran 1,8. Hal ini disebabkan karena ada beberapa jenis yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada. Jumlah luas pohon pada kelas diameter dibawah 60 cm (< 60 cm) lebih besar dibandingkan dengan kelas diameter diatas 60 cm (> 60 cm). Menurut Pamoengkas (2006) terdapat tiga alasan untuk menjelaskan data tersebut, yaitu pertama tingkat kerusakan vegetasi akibat penebangan pada kelas diameter kurang dari 60 cm relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh intensitas penebangan (logging intensity) yang relatif rendah dan terkait juga dengan periode recovery atau tahun setelah penebangan di tiap-tiap tegakan berbeda. Alasan kedua adalah diterapkannya prinsip penebangan reduced impact logging (RIL) di lapangan. Alasan ketiga adalah jumlah pohon besar (> 60 cm) memang relatif sedikit. Pada hampir seluruh plot penelitian jumlah permudaan dari jenis komersial lebih rendah dibandingkan dengan jenis non-komersial kecuali pada TJ8 karena kondisi lokasi pada plot ini cukup sesuai untuk permudaan dari jenis komersial baik dari kelompok Dipterocarpaceae maupun Non-Dipterocarpaceae. Apabila dilihat dari TJ4 hingga TJ7 jumlah permudaan semai kelompok Dipterocarpaceae lebih tinggi dibandingkan Non-Dipterocarpaceae menunjukkan bahwa kondisi lokasi pada plot tersebut sesuai dengan tempat tumbuh tanaman kelompok Dipterocarpaceae. Namun, secara umum jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong diatas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan permudaan semai. Sistem TPTJ memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap regenerasi tingkat semai untuk kelompok Dipterocarpaceae pada TJ4 hingga TJ7 karena
43
jumlahnya lebih tinggi dibandingkan jumlah jenis dari kelompok NonDipterocarpaceae. Sedangkan pada TJ8 dan TJ9, jumlah tingkat permudaan semai dari kelompok Dipterocarpaceae lebih rendah daripada jumlah permudaan semai dari kelompok Non-Dipterocarpaceae. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tanaman Dipterocarpaceae yang mati akibat adanya penyiangan atau perlakuan silvikultur lainnya karena jumlah permudaan semainya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Non-Dipterocarpaceae dan Non-Komersial. Namun, jumlah permudaan tingkat semai secara kesuluruhan cukup baik dikarenakan pada seluruh plot penelitian menunjukkan jumlah jenis yang lebih tinggi daripada syarat minimal yang ditetapkan didalam peraturan TPTI yaitu sebesar 1000 semai per ha. Begitupun dengan permudaan untuk tingkat pancang dan tiang, sistem TPTJ tidak memberikan
pengaruh
Dipterocarpaceae
lebih
yang rendah
begitu
nyata
dibandingkan
karena dengan
jumlah
kelompok
kelompok
Non-
Dipterocarpaceae dan Non-Komersial. Hal ini disebabkan oleh jumlah permudaan semai yang memang sedikit sehingga ketika menuju tingkat perkembangan selanjutnya tidak memberikan pengaruh pada tingkat pancang dan tiang. Akan tetapi, secara umum jumlah permudaan tingkat pancang dan tiang lebih tinggi dibandingkan persyaratan TPTI untuk tingkat pancang sebanyak 240 per ha dan tiang sebanyak 75 per ha. Dari hasil pengamatan regenerasi, didapatkan bahwa jumlah maksimum untuk tingkat semai dan pancang dicapai pada plot penelitian umur 4 tahun sebesar 39.750 individu/ha untuk tingkat semai dan 6.440 individu/ha untuk tingkat pancang. Hal ini sesuai dengan penelitian Pamoengkas (2006) yang juga menyatakan bahwa jumlah maksimum untuk regenerasi pada tingkat semai dan pancang dicapai pada umur 4 tahun. Maka sebaiknya perlakuan silvikultur pada jalur antara sebaiknya dilakukan pada periode tersebut untuk menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi yang begitu berat antar jenis. Untuk pengelompokan plot berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) maka didapatkan 4 kelompok untuk tingkat semai yaitu gerombol I yang terdiri dari plot TJ9; gerombol II terdiri dari plot TJ8; gerombol III terdiri dari plot TJ7 dan gerombol IV yang terdiri dari TJ4, TJ5, dan TJ6. Berdasarkan pengelompokan ini maka plot TJ4, TJ5, dan TJ6 memiliki kemiripan yang paling dekat dibandingkan
44
dengan plot lain. Kemiripan yang terjadi didasarkan nilai rataan peubah INP Dipterocarpaceae Komersial dan INP Non-Komersial pada gerombol IV yang terdiri dari plot-plot tersebut sebesar 62,56 dan 117,93 dimana nilai ini melebihi rataan keseluruhan yang menyatakan bahwa ketiga plot tersebut memiliki kemiripan dalam jenis tanaman Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Komersial. Untuk tingkat pancang terdapat 3 kelompok yaitu gerombol I terdiri dari TJ6, TJ7, TJ8, dan TJ9 ; gerombol II terdiri dari TJ5 dan gerombol III terdiri dari TJ4. Dari pengelompokan tingkat pancang ini maka dapat diketahui bahwa plot TJ6, TJ7, TJ8, dan TJ9 memiliki kemiripan yang paling dekat dalam jenis tanaman Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Dipterocarpaceae Komersial. hal ini disebabkan nilai peubah rataan INP Dipterocarpaceae Komersial dan NonDipterocarpaceae Komersial gerombol I dimana terdapat plot-plot itu memiliki nilai yang melebihi dari rataan keseluruhan sebesar 101,53 dan 72,29. Selanjutnya, pada tingkat tiang maka didapatkan 3 kelompok yaitu gerombol I yang terdiri dari TJ5 dan TJ9; gerombol II yang terdiri dari TJ4, TJ6 dan TJ8; gerombol III terdiri dari TJ7. Berdasarkan hal ini maka plot TJ4, TJ6, dan TJ8 memiliki kemiripan yang dekat karena berada dalam satu gerombol dimana nilai peubah rataan INP Non-Komersial yang sebesar 191,49 melebihi rataan keseluruhan. Maka, plot-plot tersebut memiliki kemiripan dalam jenis tanaman Non-Komersial. Lalu, pada tingkat pohon terdapat 2 kelompok yaitu gerombol I yang terdiri dari TJ9 dan gerombol II yang terdiri dari TJ4, TJ5, TJ6, TJ7, dan TJ8. Maka, kemiripan paling dekat terdapat pada plot-plot yang tergabung dalam gerombol II dimana plot-plot ini memiliki kemiripan dalam komposisi jenis tanaman Dipterocarpaceae Komersial dan Non-Komersial. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rataan peubah untuk INP Dipterocarpaceae Komersial dan NonKomersial sebesar 55,126 dan 175,98 melebihi rataan keseluruhan dari masingmasing jenis tersebut. Pertumbuhan tanaman Dipterocarpaceae Komersial berkembang dengan baik dalam sistem TPTJ yang diterapkan karena terdapatnya kemiripan jenis tanaman Dipterocarpaceae Komersial untuk minimal 3 plot penelitian pada tiap tingkatan kecuali pada tingkat tiang. Hal ini disebabkan selain teknik silvikultur yang digunakan memberikan kesempatan bagi tanaman untuk memperoleh cahaya
45
yang cukup juga jenis tanaman Dipterocarpaceae dapat tumbuh dengan baik karena ketinggian pada tempat penelitian yang dilakukan adalah ± 300 m dpl dan curah hujan yang terdapat pada tempat penelitian berkisar 282,33 mm/bln sehingga mendukung tanaman jenis Dipterocarpaceae untuk berkembang. Ketinggian tempat dan tingginya curah hujan ini sesuai dengan pernyataan Rasyid, dkk (1991) yang menyatakan bahwa sebagian besar jenis-jenis famili Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban tinggii dibawah ketinggian tempat 800 m dpl, yaitu pada curah hujan di atas 2000 mm per tahun dengan musim kemarau yang pendek.
46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian, kesimpulan yang didapatkan adalah : 1. Proporsi jenis komersial pada seluruh plot studi secara umum lebih kecil dibandingkan dengan jenis non-komersial kecuali pada plot tanaman umur 7 tahun (TJ7) dan plot tanaman umur 9 tahun (TJ9) untuk tingkat pohon. 2. Pada tingkat permudaan, jenis non-komersial mendominasi pada setiap plot penelitian dari umur 4 tahun hingga umur 9 tahun. 3. Sebaran kelas diameter pohon seluruh plot penelitian membentuk kurva eksponensial negatif atau kurva J-terbalik, hal ini menunjukkan bahwa areal tersebut mempunyai karakteristik hutan tidak seumur yang seimbang. 6.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memperoleh perbandingan struktur dan komposisi tegakan pada areal akibat penerapan sistem TPTJ dengan melibatkan parameter lain seperti suhu, kelembaban, cahaya, kelerengan, dan genetik.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S.1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB PRESS : Bogor. Budiaman A. 2003. Diktat Kuliah Dasar-dasar Pemanenan Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/kptsII/989, tentang : Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Dillon,W. Dan Goldstein,M. 1984. Multivariate Analysis, Methods, and Applications. John Wiley and Sons. Singapore. Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku II. IPB Press. Bogor Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Longman KA, Jenik J. 1992. Tropical Forest and Its Environment. USA : Longman Scientific and Technical. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods and Computing. USA : John Wiley & Sons, Inc. Mabberley, DJ. 1992. Tropical Rain Forest Ecology. Chapman and Hall, Inc. New York. McNaughton SJ, Wolf LL. 1973. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, Srigandono B, penerjemah : Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : General Ecology. Mehra, Khanna. 1976. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Misra, KC.1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi, India : Oxford & IBH Publishing Co. Odum, EP. 1959. Fundamental of Ecology. USA : W.B Saunders Company.
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Priyadi, H. 2004. Menuju Pengelolaan Hutan Lestari dengan Menerapkan RIL (Pengalaman Lapangan CIFOR di Wanariset Malinau). Materi dalam acara “Pelatihan Pengelolaan Hutan Secara Lestari (SFM) dengan Pendekatan Partisipatif” di Stasiun Penelitian CIFOR Seturan, Malinau, Kalimantan Timur 14 – 20 April 2004. Richard, PW. 1966. The Tropical Rain Forest : An Ecological Study. London : The Syndics of The Cambridge University Press. Rasyid HA, Marfuah, Wijayakusumah H, Hendarsyah D. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Shukla, C.1977. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Soerianegara I, Andry I. 1988. Ekosistem Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Spurr HS, Burton VB. 1980. Forest Ecology. USA : John Wiley & Sons, Inc. Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Sukendar, A. 1999. Evaluasi Penerapan Sistem Silvikultur TPTI di Areal Bekas Tebangan Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus di HPH PT Ratah Timber Company Kalimantan Timur) [Skripsi]. Bogor : Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Suparna, N. 2005. Meningkatkan produktivitas kayu dari hutan alam dengan penerapan silvikultur intensif di PT. Sari Bumi Kusuma Unit SeruyanKalteng. Eko BH, editor. Di dalam Peningkatan Produktivitas Hutan. Prosiding Seminar Nasional. Yogyakarta: International Tropical Timber Organization (ITTO). Hlm 31-47. Sutisna, M. 2001. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Triyana, H.1995. Evaluasi Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPI/TPTI di Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering (Studi Kasus di Areal HPH PT Industries et Forets Asiatiques, Jambi) [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar nama pohon yang dijumpai pada lokasi penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Inisial ARA ASMB ASM BLKA BDL BRKJ BKL BKR BRKS BKT BLG BLN BLTK BNG BR BRG BSR BNT BTG BY BYR BYU CPD CPK DDK DRN B DRN EBK EBK S EKB EKL MRW B MRW MRW T ETP GBR GHR GR GRG GRN GRT ING IPK JBN JHN JKG JLT JPY
Nama lokal Ara Asam blonyuh Asam Balik angin Badal Brangkajang Bengkal Bangkirai Brangkasai Bekarut Belahang Belian/Ulin Belantik Benuang Birung Berangan Bersirih Buntai Bintangor Boyu Bayur Binyau Cempedak Cempaka Dadak Durian burung Durian Embak/Kapul Embak selentik Engkabang Engkalinas Merawan besi Merawan Merawan telur Entapi Gambir Gaharu/Garu Garung Gerunggang Geronam Geruntak Ingur-ingur Ipak Jabon Juhin Jangkang Jelatang Jepayang
Nama botanis Ficus indica Croton argyratus Nephelium sp Nauclea sp Shorea laevifolia Pometia pinnata Baringtonia sp Eusideroxylon zwageri Cococeras sumatrana Octomeles sumatrana Alangium javanicum Ochanostachys sp Vatica oblongifolia Callophyllum inophyllum Saraca sp Pterospemum sp Dracontomelon dao Arthocarpus champeden Elmerillia sp. Arthocarpus sp Coelostegia griffithii Durio dulcis Baccaurea sp Baccaurea sp Shorea pinanga Vatica sp Hopea sp Hopea sp Hopea sp Trigonopleura malayana Aquilaria malaccensis Macaranga hypoleuca Cratoxylon sumatrana Ochanostachys amentacea Gonystylus brunescens Anthocephalus sinensis Dillenia sp Xylopia sp Laportea stimulans -
Famili Moraceae Euphorbiaceae Sapindaceae Rubiaceae Dipterocarpaceae Sapindaceae Lecythidaceae Lauraceae Euphorbiaceae Datiscaceae Alangiaceae Olacaceae Dipterocarpaceae Guttiferae Caesalpinaceae Sterculiaceae Anarcadiaceae Moraceae Magnoliaceae Moraceae Bombacaceae Bombacaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Thymelacaceae Euphorbiacea Guttiferae Olacaceae Thymelaeaceae Rubiaceae Dilleniaceae Annonaceae -
51
Lampiran 1 (lanjutan) No 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
Inisial JRH KB KBB KBL KDB KPU KKM KL KLB KLD KLM KLP KMYG KMS KMY TL KMY TK KYU KMY KNK KYT KYI KPG A KPG B KPG D KPG KP H KPK KPL KPS KRG KRJ KRP KTI KTI P KNY L KNY LGN LHG LJN LJU LNG LGS MDG MGS H MGRS MGS MHB MBG
Nama lokal Jirah Kayu bunga Kebambang Kayu buluh Kedabang Kelepu Kayu kaming Kalam Keleban Keladan Kulim Kelampai Kemanyang Kemahas Kemayau telur Kemayau tikus Kemunyu Kemayau Kayu naik Kunyit Kunyai Kumpang arang Kumpang balik Kumpang darah Kumpang Kopi hutan Kapuak Kampili Kempas Keruing Keranji Kerapi Kontoi Kontoi pulut Kenyau lilin Kenyau Lagan Lahong Lanjan Lanjau Linang Langsat Medang Manggis hutan Manggris Manggis Mahabai Mahambang
Nama botanis Parinari oblongifolia Sandoriacum koetjape Nauclea sp Duabanga mollucana Vitex pubescens Dryobalanops aromatica Scorodocarpus borneensis Elaterospermum tapos Dacryodes sp Dacryodes sp Dacryodes rostrata Shorea sp Diospyros borneensis Myristica sp Myristica sp Myristica sp Trycalysia sp Artocarpus tamaran Quercus lineata Koompassia malaccensis Dipterocarpus sp Dialium sp Shorea sp Shorea sp Anisoptera sp Anisoptera grossivenia Kibbesia sp Durio acutifolius Nephelium sp Pentaspadon motleyi Nephelium sp Lansium domesticum Litsea firma Garcinia magnostana Koompassia excelsa Garcinia sp Polyalthia hypoleuca Quercus sp
Famili Crysobalanaceae Meliaceae Rubiaceae Sonneratiaceae Verbenaceae Dipterocarpaceae Olacaceae Euphorbiaceae Burseraceae Burseraceae Burseraceae Dipterocarpaceae Ebenaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Rubiaceae Moraceae Fagaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Caesalpinaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Melastomataceae Bombacaceae Sapindaceae Anacardiaceae Sapindaceae Meliaceae Lauraceae Guttiferae Caesalpinaceae Guttiferae Annonaceae Fagaceae
52
Lampiran 1 (lanjutan) No 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 119 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 134 135 136 137 138 139 139 140 141 141 142 143 144
Inisial MHK MJL MK MKB MKY MLN MLP MM MP MPY MRW MSW MTP MTW MY MYM NYR NYT PDU PGK PHG PHK PKB PLDK PLI PNG PNK PH P PR PRG PTT RBT RG RGS RKM RMY RSK SBU B SBN SBU SND SGL SGR SGU SKG SL SMP SMPR
Nama lokal Mahamak Menjalin Meranti kuning Merkubung Merkunyit Mulan Melapi Meranti merah Meranti putih Merpayang Merawan Mersawa Mentapi Mentawa Mayau Manyam Nyeriung Nyatoh Pudu Panguk Pihing Pihik Pangkaribu Plonduk Pulai Ponga Penuk Pauh padi Paru-paru Purang Putat Rambutan Riga Rengas Rukam Remayan Resak Sibau babi Sembulan Sibau Sinduk Segulang Segarang Sanggau Sengkuang Salam Sumpit Sempori
Nama botanis Quercus sp Xanthophyllum excelsum Shorea johorensis Macaranga gigantea Shorea sp Hopea sp Shorea leprosula Shorea hopeifolia Sterculia macrophylla Hopea mengarawan Anisoptera costata Artocarpus elasticus Shorea sp Glochidion sp Palaquium sp Alstonia scholaris Shorea sp Macaranga hullettii Planchonia valida Nephelium sp Dillenia sp Gluta renghas Vatica sp Nephelium sp Nephelium sp Scorodocarpus sp Evodia sp Sapium discolor Nephelium sp Dracontomelon mangiferum Eugenis sp -
Famili Fagaceae Polygalaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Sterculiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Moraceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Sapotaceae Apocynaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Lecythidaceae Sapindaceae Dilleniaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Sapindaceae Sapindaceae Olacaceae Rutaceae Euphorbiaceae Sapindaceae Anacardiaceae Myrtaceae -
53
Lampiran 1 (lanjutan) No 145 146 147 148 149 150 151 153 154 155 156 157 158 159 160
Inisial SPK SPR SPT SRT TBK TKU TKW TMU TPG TPR TRT M TRT UMB UBH UDK
Nama lokal Sampak Simpur Simpotir Serantung Tebedak Tekoru Tengkawang Timau Tapang Tampar Terentang manuk Terentang Umbing Ubah Udak
Nama botanis Aglaia sp Dillenia eximia Kingiodendron sp. Artocarpus teymannii Scorodendron sp Shorea stenoptera Craoxylon arborescens Sindoraleiocarpa Campnosperma sp Campnosperma auriculata Xylopia sp Eugenia sp Sterculia sp
Famili Meliaceae Dilleniaceae Caesalpiniaceae Moraceae Olacaceae Dipterocarpaceae Guttiferae Caesalpiniaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Myrtaceae Sterculiaceae
54
Lampiran 2. Analisa gerombol berdasarkan nilai INP menggunakan Minitab 14 Cluster Analysis of Observations: inp_KomDipt; inp_KomNondipt; inp_nonKom Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps
Number of Similarity Step clusters 1 5 2 4 3 3 4 2 5 1
Distance Clusters level level 86,8583 13,7707 85,4946 15,1997 52,0084 50,2888 50,8394 51,5138 41,6069 61,1882
Number of obs. New in new joined cluster cluster 5 6 5 2 4 5 4 3 3 4 3 4 1 2 1 2 1 3 1 6
Final Partition Number of clusters: 1
Within distancedistance Number of sum of observations squares centroid Cluster1 6 11275,8
Average
Maximum
from centroid 40,6605
from
cluster
57,0145
Cluster Analysis of Observations: inp_KomDipt; inp_KomNondipt; inp_nonKom Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps
Number of Similarity Step clusters 1 5 2 4 3 3 4 2 5 1
Distance Clusters level level 94,7325 6,0288 89,8824 11,5798 74,1085 29,6334 56,9862 49,2303 44,5651 63,4466
Number of obs. New in new joined cluster cluster 1 3 1 2 1 4 1 3 1 2 1 4 1 5 1 5 1 6 1 6
Final Partition Number of clusters: 1
Within distancedistance Number of sum of observations squares centroid Cluster1 6 7943,07
Average
Maximum
from centroid 29,2983
from
cluster
60,8025
55
Cluster Analysis of Observations: inp_KomDipt; inp_KomNondipt; inp_nonKom Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps
Number of Similarity Step clusters 1 5 2 4 3 3 4 2 5 1
Distance Clusters level level 92,4480 13,011 90,0638 17,118 74,0227 44,754 50,5138 85,256 39,8649 103,602
Number of obs. New in new joined cluster cluster 2 6 2 2 2 4 2 3 1 5 1 2 1 2 1 5 1 3 1 6
Final Partition Number of clusters: 1
Within distancedistance Number of sum of observations squares centroid Cluster1 6 30112,9
Average
Maximum
from centroid 66,1783
from
cluster
118,013
Cluster Analysis of Observations: inp_KomDipt; inp_KomNondipt; inp_nonKom Euclidean Distance, Single Linkage Amalgamation Steps
Number of Similarity Step clusters 1 5 2 4 3 3 4 2 5 1
Distance Clusters level level 87,2254 12,5777 79,1692 20,5097 75,5378 24,0851 72,2090 27,3626 42,0864 57,0208
Number of obs. New in new joined cluster cluster 5 6 5 2 2 4 2 2 2 5 2 4 2 3 2 5 1 2 1 6
Final Partition Number of clusters: 1
Within distancedistance Number of sum of observations squares centroid Cluster1 6 6347,52
Average
Maximum
from centroid 27,4198
from
cluster
60,3127
56
Lampiran 3. Dokumentasi penelitian
Petak Penelitian 9 Tahun
Pembuatan Petak Penelitian
57
Pencatatan Vegetasi
58