PERKEMBANGAN VEGETASI PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
SAMBANG PARINDA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERKEMBANGAN VEGETASI PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)
SAMBANG PARINDA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
Nama Mahasiswa : Sambang Parinda NIM
: E44051460
Menyetujui : Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS NIP 19450108 197603 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. NIP 19641110 199002 1 001
Tanggal Lulus:
RINGKASAN SAMBANG PARINDA. E44051460. Perkembangan Vegetasi pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan ANDRY INDRAWAN.
Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan berbagai macam karakteristik diantaranya adalah keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, adanya stratifikasi tajuk dan evergreen. Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari pemerintah terutama Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan. PT. Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang IUPHHK telah melakukan kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) sejak tahun 1999. Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah dengan mengamati perkembangan vegetasi yang terjadi pada dua kondisi hutan yang berbeda (hutan primer dan LOA 1 tahun). Analisis vegetasi dilakukan dengan teknik pengambilan contoh nested sampling pada kondisi hutan satu tahun setelah penebangan dan penjaluran (Et+1) di tiga tingkat kelerengan. Dilakukan analisa terhadap kondisi vegetasi dan perubahan sifat fisik-kimia tanah hutan pada Et+1 yang dibandingkan dengan kondisi hutan primer. Pelaksanaan sistem silvikultur ini menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur pada tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran. Komposisi jenis pada Et+1 terjadi kenaikan jenis pada tingkat semai dan penurunan jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Jenis vegetasi yang mendominasi pada hutan primer masih cukup mendominasi pada Et+1 dengan penyebaran hampir merata pada setiap kelerengan hutan. Nilai keanekaragaman jenis pada Et+1 tergolong sedang dengan nilai berkisar antara 2,55 - 3,22. Proses suksesi selama Et+1 belum sepenuhnya mengembalikan keadaan vegetasi seperti pada hutan primer yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Kesamaan Komunitas (IS) terbesar adalah 67,88% pada tingkat tiang. Perubahan pada Et+1 lebih disebabkan oleh kegiatan pemanenan dan penjaluran yang dilakukan satu tahun sebelumnya.
Kata Kunci : Perkembangan Vegetasi, Et+1, Sistem Silvikultur, TPTJ
SUMMARY SAMBANG PARINDA. E44051460. Vegetation Succession at Logged Over Area (LOA) by Applying Selective Cutting and Strip Planting System of Silviculture (at IUPHHK area of PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan) under supervision of ANDRY INDRAWAN.
Indonesia has a large of tropical rain forest which many of characters such as the highest of biodiversity, canopy stratification and evergreen. Getting the sustainable of forest products, government in this sense forest ministry published policy involved forest exertion who followed company that has allowance of wood forest product (IUPHHK) that is a silviculture system in logging activity. PT. Erna Djuliawati company as one of IUPHHK holder already done logging activity used Selective Cutting and Strip Planting System of Silviculture (TPTJ) since 1999. This research was held in IUPHHK Erna Djuliawati company area, Centre of Kalimantan which observed the vegetation succession in two different conditions of forest (prime forest and LOA 1 year). The analysis of vegetation was held with nested sampling technique on the first year forest after logging and striping (Et+1) at three of slope levels. Analysis of vegetation condition and the changing of physic-chemist characteristic in forest soil after one year logging (ET+1) were held and distinguished with prime forest condition. The implementation this silviculture system, caused the changing of composition and structure at remain stand that caused by logging and striping activities. The species composition at ET+1 was raising in seedling level and decreasing in sapling, pole, and tree levels. The species of vegetation which dominate at prime forest still dominating at ET+1 with almost be spread evenly at every slope in forest. The value of species diversity at ET+1 appertained in medium level approximately 2,55-3,22. The succession process during ET+1 not including completely bringing back the vegetation condition like prime forest which showed the highest community index of similarity (IS) that is 67,88% at pole level. The changing of ET+1 most caused by harvesting activities and routing was conducted one year earlier. Keywords : Vegetation Succession, Et+1, System Silviculture, Selective Cutting and Strip Planting (TPTJ)
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Sambang Parinda E44051460
KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya karena penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “PerkembanganVegetasi Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dengan diperolehnya data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan produksi berkaitan dengan kegiatan pemungutan hasil hutan kayu pada areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan dapat digunakan dalam mengevaluasi kegiatan pemanenan yang selama ini dilakukan di areal hutan produksi. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan, maka dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor, Juni 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 28 Februari 1987 dari pasangan Bapak Mulyadi dan Ibu Nurti Syamsiyah, merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri I Kopen dan lulus tahun 1999 kemudian pada tahun 2002 menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri I Teras dan pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Bhinneka Karya 2 Boyolali. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tingkat kedua diterima sebagai mahasiswa Program Studi Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007, penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di KPH Indramayu – Kuningan dan pada tahun 2008 pernah melakukan Praktik Pembinaan Hutan di Gunung Walat, Sukabumi. Selain itu penulis aktif menjadi asisten Mata Kuliah Ekologi Hutan. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kegiatan Praktik Kerja Profesi (PKP) yang dilanjutkan dengan penelitian di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah selama empat bulan dari Februari sampai Mei 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota Tree Grower Community Fakultas Kehutanan tahun 2007, ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali) IPB tahun 2007, ketua Divisi Infokom Tree Grower Community Fakultas Kehutanan tahun 2008, ketua Masa Perkenalan Departemen Silvikultur (Belantara) tahun 2008, Penasehat OMDA FKMB – IPB tahun 2008 s/d sekarang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas
Kehutanan
IPB,
penulis
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Perkembangan Vegetasi Pada Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah ikut mendukung dan memberi bantuan baik moral, materiil maupun spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Ayah dan Ibu yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan materi, serta adik (Ismu Nuryadi) yang telah membantu dalam segala hal.
2.
Prof. Dr. Ir Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan serta nasehat-nasehat selama penelitian hingga penulisan skripsi.
3.
Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc selaku ketua sidang dan Soni Trison, S.Hut. MSi selaku dosen penguji.
4.
Keluarga besar PT. Erna Djuliawati, Bapak Suparto, Bapak Agus, Bapak Slamet, Bapak Indra, Bapak Edward, Bapak Tedy, Bapak Aspin, Mas Budi, Bapak Faisol, Mas Ruli, Bang Nixon, Bang Saroga, Bapak Royadi, Bapak Ogol, Bang Adi, Bapak Paulus dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
5.
Rekan-rekan satu bimbingan, mas Adie, bang Boy, bang Yandri, mbak Kiki, Decil, Agha, Putri, Nunu, Esti atas semua kenangan indah dan kebaikan selama ini.
6.
Rekan-rekan Praktik Kerja Profesi, Maryani S. Payungalo, Rina Patricia dan Ferry Moji I. atas kebersamaan dan perjuangannya selama di hutan.
7.
Keluarga Besar Silvikultur 42 antara lain adalah Fa’i, Yogi, Kemal, Topan, Bowi, Pm, Agha, Decil, Yoem, Chan, Bramas, Romi, Abi, Agus, Asep, Farhan, Paman, Dodz, Mas Dayat, Fajar, Benny, Kristian, Dian, Nanan, Rifa, Ajeng, Emma, Tatik, Fidry, Retha, Putri, Depoy, Hilda, Rima, Farah, Gina, Kiki, Fifi, Wery atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini tanpa terkecuali mulai dari absen pertama hingga terakhir.
8.
Rekan-rekan FKMB - IPB diantaranya adalah Jarot, Eko, Wahyu, Arum, Ajeng, Ida, Galuh, Eka, Vivi, Fifit, Anto, Zani, mas Afid, yang telah memberikan semangat.
9.
Keluarga besar Laboratorium Ekologi Hutan, Bapak Istomo, Bapak Cecep Kusmana, Bapak Iwan Hilwan, Bapak Yadi Setiadi, Ibu Yani, Bapak Waluyo, Mas Yopi, Bibi Era, atas segenap bantuan, berbagi pengalaman, serta kebaikan hati selama ini.
10. Saudari Rahmawati Puji Astari yang tanpa pamrih memberikan semangat setiap saat. 11. Rekan satu perjuangan Sapto Adi Wibowo atas persahabatan yang indah selama ini. 12. Segenap rekan, kerabat, saudara dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas dukungan dan doa yang diberikan agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... i DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Tujuan .........................................................................................
2
1.3 Manfaat .......................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika .................................................................
3
2.2 Dinamika Masyarakat Tumbuhan .............................................
6
2.3 Stratifikasi .................................................................................. 10 2.4 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) ................ 11 BAB III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Kondisi Fisik dan Administrasi ................................................. 15 3.2 Topografi dan Kelerengan ......................................................... 15 3.3 Geologi dan Tanah ..................................................................... 16 3.4 Hidrologi .................................................................................... 16 3.5 Iklim dan Intensitas Hujan ......................................................... 17 3.6 Flora dan Fauna ......................................................................... 17 BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 18 4.2 Bahan dan Alat Penelitian ......................................................... 18 4.3 Metode Pengambilan Data ........................................................ 18 4.3.1 Analisis Vegetasi ............................................................... 19 4.3.2 Pengukuran Sifat Fisika dan Kimia Tanah ....................... 20 4.4 Analisis Data ............................................................................. 22 4.4.1 Analisis Vegetasi .............................................................. 22 4.4.2 Pengukuran Sifat Fisika Tanah ......................................... 24
ii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur dan Komposisi Jenis .................................................... 25 5.1.1 Struktur Tegakan ............................................................... 25 5.1.2 Komposisi Jenis ................................................................ 26 5.1.3 Perbandingan Jumlah Semai dan Pancang antara Hutan Primer dan LOA TPTJ ...................................................... 45 5.2 Sifat Fisik dan Kimia Tanah ...................................................... 47 5.2.1 Sifat Fisik Tanah ............................................................... 47 5.2.2 Sifat Kimia Tanah ............................................................. 48 5.3 Hubungan antara Keadaan Tanah dengan Perkembangan Vegetasi ...................................................................................... 53 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 55 6.2 Saran .......................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 57 LAMPIRAN ....................................................................................................... 61
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Tahapan kegiatan TPTJ ............................................................................... 12
2.
Perbandingan antara konsep TPTJ dan praktek aktualnya oleh perusahaan 14
3.
Kelas Lereng dan Topografi Areal Konsesi PT. Erna Djuliawati ............... 16
4.
Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ umur 1 tahun ............................................................................................... 27
5.
Perubahan komposisi dan struktur tegakan hutan karena kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran (Pohon Diameter ≥ 20 cm) ...................... 28
6.
Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari Kerapatan (N/Ha) serta Frekuensi ............................................. 29
7.
Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun ............................................................................................... 35
8.
Indeks Nilai Penting (INP) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun ................................................................... 38
9.
Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun ......................................................... 40
10. Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun ................................................................... 41 11. Indeks Kemerataan (E) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun .............................................................................. 43 12. Indeks Kesamaan Komunitas yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun .............................................................................. 44 13. Perbandingan jumlah semai dan pancang pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun (Batang/Ha) ......................................................................... 46 14. Pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun .. 47 15. Pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun 48 16. Analisis kimia unsur hara pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun ..... 49 17. Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan hasil analisis kimia tanah 50
iv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Plot pengamatan analisis vegetasi ............................................................... 19
2.
Metode pengambilan contoh tanah komposit ............................................. 21
3.
Struktur tegakan pada kondisi Hutan Primer .............................................. 25
4.
Struktur tegakan pada kondisi Hutan Setelah Penebangan Umur 1 Tahun (LOA TPTJ 1 Tahun) .................................................................................. 26
5.
Kerapatan jenis komersial ditebang pada areal pengamatan ...................... 30
6.
Frekuensi jenis komersial ditebang pada areal pengamatan ....................... 31
7.
Perbandingan kerapatan pohon seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan ................................................................................. 32
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Daftar nama jenis tumbuhan di plot pengamatan ........................................ 62
2.
Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) ......................................................... 64
3.
Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) ......................................................... 65
4.
Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) ................................................................... 66
5.
Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) ......................................................... 67
6.
Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) .................................................... 68
7.
Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) .................................................... 69
8.
Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) .............................................................. 70
9.
Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) .................................................... 71
10. Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................... 72 11. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................... 73 12. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) ............................................................... 74 13. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................... 75 14. Indeks nilai penting tingkat semai hutan primer pada kelerengan datar (015%) ............................................................................................................ 76 15. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) ....................................................................................................... 77 16. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan primer pada kelerengan datar (015%) ............................................................................................................ 78 17. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) ....................................................................................................... 79 18. Indeks nilai penting tingkat semai hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) ..................................................................................................... 81
vi
19. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) ......................................................................................... 82 20. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) ..................................................................................................... 83 21. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) ..................................................................................................... 84 22. Indeks nilai penting tingkat semai hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................................................................... 86 23. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................................................................... 87 24. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................................................................... 88 25. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) ..................................................................................................... 89 26. Gambar tegakan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 Tahun) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah ......... 91 27. Gambar jalur tanam TPTJ (3 meter) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah .................................................................. 92 28. Peta areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah .................. 93
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan berbagai macam karakteristik di dalamnya. Beberapa diantaranya adalah keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, adanya stratifikasi tajuk dan evergreen. Hutan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan yang berbeda dengan keadaan lingkungan di luar hutan. Indonesia terletak di kawasan tropis dengan cahaya matahari dan curah hujan tinggi merata sepanjang tahun sehingga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya keanekaragaman hayati terutama yang berada dikawasan hutan. Bahkan sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luasannya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik dan beragam (Forest Watch Indonesia, 2003). Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari pemerintah terutama Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1998), Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, permudaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Beberapa Sistem Silvikultur yang pernah diperkenalkan dan diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT. Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Indonesia telah melakukan kegiatan pemanenan hutan selama lebih dari dua puluh tahun dengan menggunakan sistem silvikultur TPTI sejak tahun 1989, TPTJ sejak tahun 1999 dan Tebang Pilih
2
Tanam Indonesia Intensif (TPTII) sejak tahun 2005. Gangguan yang timbul dengan adanya aktivitas tersebut akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan. Hal ini disebabkan karena karakteristik hutan hujan tropis yang telah lama berada pada kondisi lingkungan yang konstan sehingga ketika terjadi gangguan atau perubahan maka akan sangat rentan terhadap kerusakan.
1.2 Tujuan Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Mempelajari pelaksanaan kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati. 2. Mempelajari struktur tegakan dan komposisi jenis pada kondisi hutan satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran (tegakan tinggal pada Et+1) di tiga tingkat kelerengan yaitu datar (0-15%), sedang (15-25%) dan curam (25-45%).
1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang keadaan vegetasi setelah dilakukan pemanenan pada umur tebang Et+1 dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropika 2.1.1 Batasan Hutan ialah suatu kelompok pohon-pohonan yang cukup luas dan cukup rapat, sehingga dapat menciptakan iklim mikro (micro-climate) sendiri (Darjadi dan Hardjono, 1976). Hutan hujan tropika menurut Daniel et. al. (1979) adalah bentuk hutan yang paling tinggi perkembangannya dan paling kompleks diantara semua formasi hutan. Hutan ini ialah hutan daun lebar yang selalu hijau dengan proporsi yang besar dengan kerapatan yang tinggi dan relatif sempit penyebarannya dibandingkan dengan perkiraan umum. Hutan hujan tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat efifit (Schimper, 1903 dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efifit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat disekitar wilayah tropika atau didekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (sekitar 25 – 26 oC) dan seragam dengan kelembaban rata-rata sekitar 80 %. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata 30 meter (Ewusie, 1980). Hutan hujan merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan diluarnya, cahaya kurang, kelembaban yang lebih tinggi dengan suhu yang rendah (Whitmore, 1986). Hutan hujan tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 1988): 1.
Iklim selalu basah
2.
Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah
4
3.
Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (<1000 m dpl) dan pada tinggi (s/d 4000 m dpl)
4.
5.
Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya: a. Hutan hujan bawah
2 – 1000 m dpl
b. Hutan hujan tengah
1000 – 3000 m dpl
c. Hutan hujan atas
3000 – 4000 m dpl
Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpaceae antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles. Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain. Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain.
6.
Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.
2.1.2 Komponen Penyusun Berdasarkan komponen penyusunnya hutan hujan tropika meliputi (Ewusie, 1980) : 1. Komponen abiotik yang terdiri dari a. Suhu Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 200 C dan 280 C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0.4 – 0.70 C. b. Curah hujan Hutan hujan tropik menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 3000 mm dalam setahunnya.
5
c. Kelembaban atmosfer Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80 %. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selama musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. d. Angin Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam. e. Cahaya Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam dimanapun diwilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi. f. Karbondioksida Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2. Komponen biotik Komponen dasar hutan hujan tropika adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.
2.1.3 Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke dalam 3 zone vegetasi, yaitu: a) Zone barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae. b) Zone timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae. c) Zone peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan
6
Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropika di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta Irian.
2.2 Dinamika Masyarakat Tumbuhan 2.2.1 Definisi Suksesi Mehra dan Khanna (1976) mendefinisikan suksesi sebagai suatu proses universal dari perkembangan komunitas. Suksesi selalu memulai pertumbuhannya pada area yang terbuka. Beberapa area tersebut kemungkinan primer atau sekunder. Area primer adalah suatu tempat dimana sebelumnya tidak terdapat kehidupan suatu jenis tanaman pun (seperti bebatuan, pasir, dan air). Sedangkan area sekunder adalah suatu tempat dimana terdapat kehidupan tanaman tetapi musnah karena satu atau lebih faktor. Menurut Odum (1959) suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas yang merupakan urutan pergantian komunitas satu dengan yang lainnya pada satu area yang ada. Soerianegara dan Indrawan (1988) menyebutkan bahwa masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhtumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan pada keadaan kesetimbangan. 2.2.2 Proses Suksesi Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya
7
endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (Mc Naughton dan Wolf, 1977). Menurut Shukla dan Chandel (1977), evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah : a. Nudation, yaitu terbukanya vegetasi penutup tanah. b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya. c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecessis individuindividu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers. d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu Simple Agregation dan Mixed Agregation. e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan Co-existence. f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap. g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada
8
individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan. h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan. i.
Climaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya. Whitmore (1984) membagi siklus pertumbuhan hutan atas tiga tingkatan,
yaitu fase rumpang, fase perkembangan, dan fase pendewasaan, dimana secara bersama – sama membentuk mosaik yang terus menerus mengalami perubahan keadaan dan bentuk. Di daerah Amerika Tengah, Budowski (1965) dalam Longman (1987) menyatakan empat tahap yang terjadi pada suksesi hutan tropis, yaitu : tingkat pionir, tingkat sekunder awal, tingkat sekunder akhir dan klimaks. Jenis – jenis yang terdapat pada dua tingkat pertama memiliki penyebaran yang luas dan kemunculannya dalam hutan tropis tertentu tetap pada jumlah yang besar. Jenis – jenis yang berada pada tingkat sekunder akhir mencapai ukuran tertentu dan di Afrika setidaknya sering terdapat pada kondisi formasi hutan yang agak lebih kering daripada hutan yang beregenerasi itu sendiri. Akhirnya pada tingkat klimaks, tercapainya keseimbangan komunitas.
2.2.3 Perubahan Masyarakat Tumbuh-tumbuhan dalam Proses Suksesi Menurut Richard (1966), fase pertama dari suatu suksesi di hutan hujan tropis adalah didominasi oleh rerumputan yang biasanya berumur pendek dan tidak lebih dari satu tahun. Fase selanjutnya didominasi oleh semak, tetapi dominansi biasanya terjadi hampir secara langsung dari bentuk tanaman rerumputan ke bentuk pohon. Kemudian lambat laun berkembang sebuah hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon berumur pendek, cepat tumbuh dan tersebar melalui angin dan hewan. Lebih lanjut lagi kondisi ini secara perlahanlahan berubah dan berkembang menjadi suatu komunitas yang klimaks klimatik.
9
Beberapa spesies toleran memiliki kapasitas untuk menginvasi areal hutan pada awal proses suksesi berlangsung. Sementara pohon toleran yang lain karena kemungkinan siklus hidupnya yang pendek ataupun ketidakmampuannya mencapai tingkat overstorey dan bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ada, kemungkinan tidak pernah menjadi bagian besar dari akhir suatu suksesi hutan (Spurr dan Burton, 1980). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) suatu suksesi primer diawali oleh permukaan tanah telanjang kemudian berkembang vegetasi Cryptogamae, rumput herba dan semak kecil, vegetasi semak belukar, vegetasi perdu pohon dan akhirnya terbentuklah vegetasi klimaks hutan. Whitten et al. (1984) menyatakan bahwa perubahan dalam komposisi jenis selama suksesi mungkin disebabkan oleh perbedaan persediaan zat hara dari biji, persaingan antara mahkota atau perakaran tumbuhan, ataupun oleh adanya bahan kimia pada satu tumbuhan untuk melemahkan tumbuhan lain (alelopati).
2.2.4 Perubahan Lingkungan Fisik dalam Proses Suksesi Perkembangan komunitas di daratan ataupun di perairan merupakan suatu proses, yang mana pada fase awal hanya terdapat jenis tumbuhan berumur pendek dalam jumlah yang sedikit. Seiring berjalannya waktu tumbuhan – tumbuhan tersebut meningkat jumlahnya dan mengubah komponen abiotik, terutama tanah dan iklim mikro. Perubahan lingkungan ini kemungkinan sesuai untuk pertumbuhan dan pembentukan beberapa jenis lainnya yang lebih tinggi yang menginvasi areal tersebut dan mencari niche yang sesuai untuk perkembangannya kemudian menjadi bagian dari komunitas yang ada (Misra, 1980). Ewusie (1980) menyatakan bahwa pada waktu tutupan hutan dihilangkan, segera terjadilah perubahan dalam intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Tatanan iklim mikro hutan asli hilang. Berdasarkan kenyataan bahwa tanahnya kemudian terkena hujan dan matahari secara langsung, terjadilah penurunan kualitas tanah, yang mengakibatkan pengikisan dan kehilangan humus dengan cepat. Ewell (1980) dalam Indrawan (2000) menyatakan bahwa di daerah tropika yang mempunyai musim kering yang periodik, suksesi lebih cepat terjadi pada
10
musim hujan tetapi proses ini sebagian terjadi juga pada musim kering. Pada setiap sistem ini, beberapa struktur vegetasi yang terjadi hilang selama musim kering selanjutnya. Proses tersebut berlangsung terus sampai strukturnya mempunyai perubahan yang stabil yang dikatakan sebagai keadaan yang mantap. Disamping perbedaan yang disebabkan oleh air, ada suatu jumlah yang nyata dari variabilitas suksesi tropis yang juga disebabkan oleh temperatur menurut ketinggian, karena suhu rata – rata lebih tinggi di daerah tropis maka lebih banyak didapatkan variasi perubahan vegetasinya dibandingkan daerah sedang.
2.3 Stratifikasi Didalam masyarakat tumbuh-tumbuhan, seperti hutan, terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (species) atau berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hal hara mineral tanah, air cahaya dan ruang. Hutan hujan tropika terkenal karena adanya perlapisan atau stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tidak-sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri dari pepohonan setinggi 30 – 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18 – 27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8 – 14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tetumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna (Ewusie 1980). Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa didalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) dari pada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan.
11
Stratifikasi
tajuk
dalam
hutan
hujan
misalnya
sebagai
berikut
(Soerianegara dan Indrawan, 1988) : a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak. b. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran). c. Stratum C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu : a. Stratum D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m. b. Stratum E : Lapisan
tumbuh-tumbuhan
penutup
tanah
(ground
cover),
tingginya 0-1 m.
2.4 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Menurut Troup (1966) dalam Departemen Kehutanan (1992) mengatakan bahwa sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah, topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur ujicoba yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan HTI. HTI
12
menggunakan tebang habis, sementara TPTJ menyisakan hutan alam diantara jalur tanam. Pembukaan tutupan hutan terjadi pada jalur bersih selebar 3 meter yang berada di tengah jalur tanam selebar 10 meter yang bebas dari naungan pohon. Diantara jalur tanam disisakan hutan alam selebar 25 meter yang ditebang dengan batas diameter 40 cm ke atas (Departemen Kehutanan, 1998). Tujuan dari sistem TPTJ adalah agar kegiatan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara intensif dengan melakukan kegiatan-kegiatan silvikultur melalui sistem jalur sehingga pembinaan dan pengawasan hutan lebih terjamin, sedangkan sasarannya adalah (Departemen Kehutanan, 1998) : a. Mengatur pemanfaatan kayu yang optimal pada hutan alam produksi. b. Meningkatkan potensi hutan baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan dengan cara menanam jenis komersil terutama dari jenis Dipterocarpaceae yang diharapkan dapat menjamin kontinuitas produksi. c. Memudahkan pelaksanaan pemeriksaan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan pembinaan hutan yang dilaksanakan di lapangan. Pada dasarnya penerapan sistem silvikultur TPTJ adalah untuk mengantisipasi menurunnya potensi tegakan per satuan hektar pada rotasi kedua pengusahaan hutan sekaligus menerapkan fungsi rehabilitasi atas seluruh areal bekas tebangan di dalam areal kerja HPH yang bersangkutan. Dalam penerapan sistem silvikultur TPTJ ini dikhususkan pada daerah yang bertopografi bergelombang hingga berbukit (umumnya HPT), diperlukan kehati-hatian ekstra guna menghindari dampak sampingan yang mungkin ditimbulkan, seperti bahaya erosi, tanah longsor, dll. Bahkan untuk areal-areal HPH dengan karakteristik topografi yang demikian perlu dipertimbangkan layak tidaknya penerapan sistem silvikultur TPTJ, sama halnya dengan kondisi pada hutan rawa (Departemen Kehutanan, 1998). Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan TPTJ beserta tata waktu pelaksanaannya yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tahapan kegiatan TPTJ No 1 2 3
Tahapan Kegiatan TPTJ Penataan Areal Kerja dan Risalah Pembukaan Wilayah Hutan Pengadaan bibit
Waktu Pelaksanaan (dalam tahun) Et - 2 Et - 1 Et - 1
13
Tabel 1 (Lanjutan) Tahapan kegiatan TPTJ No 4 5 6 7 8
Waktu Pelaksanaan (dalam tahun) Et Et Et Et + 1 Terus menerus
Tahapan Kegiatan TPTJ Penebangan Penyiapan Jalur Bersih Penanaman Pemeliharaan tanaman Perlindungan tanaman
Sumber Departemen Kehutanan, 1999 Keterangan : Et adalah simbol tahun penebangan
Sebagai sistem tebang pilih tanam jalur (TPTJ) menetapkan rotasi penebangan 35 tahun, dengan batas diameter ≥ 40 cm. Jumlah pohon inti yang harus diamankan dan dirawat minimal 25 batang per ha yang harus tersebar merata dan berdiameter 20 - 39 cm. Selain itu, harus dilindungi jenis – jenis pohon yang dilindungi pemerintah (Departemen Kehutanan, 1998). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mulai diterapkan di PT. Erna Djuliawati pada tahun 1998/1999. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) merupakan modifikasi dari sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Terdapat dua aspek yang sangat mendasar dalam modifikasi sistem silvikultur ini yaitu sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mengurangi diameter minimum tebangan hingga 40 cm dan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) mensyaratkan penanaman jalur yang sistematis di seluruh areal yang ditebang (PT. Erna Djuliawati, 2007). Pada tahun 1998/1999 perusahaan bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan dalam melaksanakan uji coba seluas 1000 hektar untuk menguji sistem TPTJ. Hasil dari pembalakan hingga batas diameter 40 cm menyebabkan kerusakan parah pada tegangan tinggal. Laporan Litbang sendiri meragukan viabilitas sistem TPTJ jika diadopsi begitu saja. Kunjungan lapangan ke areal uji coba tersebut menegaskan derajat kerusakan yang disebabkan oleh pelaksanakan sistem TPTJ. Berdasar hasil uji coba
dan
pengamatan
mereka
sendiri,
perusahaan
memutuskan
untuk
memodifikasi sistem TPTJ. Tabel 2 menggambarkan ringkasan modifikasi dibandingkan dengan konsep awal sebagaimana yang diwajibkan dalam dokumen SK mereka (PT. Erna Djuliawati, 2007).
14
Tabel 2 Perbandingan antara konsep TPTJ dan praktek aktualnya oleh perusahaan No Konsep Awal TPTJ Modifikasi Perusahaan 1 Dimaksudkan untuk diterapkan Juga diaplikasikan pada hutan pada hutan sekunder (bekas primer tebangan) 2 TPTJ diterapkan pada kelerengan Perusahaan menunjuk kawasan yang kurang dari 25% dan elevasi untuk ditebang dengan yang kurang dari 500 meter menggunakan TPTI dan TPTJ berdasarkan penilaian topografi yang menyeluruh 3 Batas diameter tebangan adalah 40 Perusahaan mencoba batas 40 cm cm Up Up ini pada tahun pertama pelaksanaan tetapi mengabaikannya dan menetapkan batas diameter 55 cm Up, setelah mengevaluasi dampak pada uji coba Litbang 4 Jalur yang dibuat setiap 25 m Dilaksanakan sebagaimana aturan dibersihkan hingga lebarnya 3 m dan ditanami dengan jarak tanam 5 m 5 Pembersihan gulma pada jalur Sedang dilaksanakan tanam selebar 3 m setelah 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun 6 Pembebasan vertikal dalam jalur Masih terlalu awal, namun selebar 5 m yang masuk pada jalur perusahaan menyatakan bahwa tanam pada tahun ke 4, 6 dan 10 mereka tidak bermaksud untuk menjalankan kegiatan ini. Pemeriksaan lapangan memverifikasi bahwa perlakuan seperti ini tidak dapat dilakukan Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007
15
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN PT. Erna Djuliawati merupakan salah satu perusahaan pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Kalimantan Tengah, Kabupaten Seruyan, Kecamatan Seruyan Hulu. Menurut ijin pengelolaan hutan terbaru yang diterbitkan pada tahun 1999 (SK HPH Pembaharuan No.15/KptsIV/1999), luas total kawasan konsesi adalah 184.206 ha. Perusahaan membagi kawasan ini menjadi dua site yaitu site A di bagian Timur dan site B di bagian Barat, yang mengikuti arah tangkapan dari sistem sungai yang mengalir melewati areal konsesi. Sejak awal tahun 1999, perusahaan telah menebang kira-kira 24.562 hektar lagi hutan primer hingga akhir tahun 2003 dengan rata-rata tebangannya seluas 4400 ha/tahun. Hingga 1 Januari 2004 ini, berarti masih ada 20 tahun lagi untuk memanfaatkan hutan alam (Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.1 Kondisi Fisik dan Administrasi Secara geografis areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada 00052’30’’ – 01022’30’’ LS dan 111030’00’’ – 112007’30’’ BT dengan luas areal konsesi 184.206 Ha. Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk kelompok hutan S. Salau dan S. Seruyan dan merupakan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Seruyan, Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan dan Katingan Propinsi Kalimantan Tengah (Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.2 Topografi dan Kelerengan Areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada ketinggian antara 111-1.082 m dpl dengan topografi berkisar antara datar dan berbukit dan kelerengan mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Secara umum pengelompokan kelas kelerengan dapat dilihat berdasarkan Laporan Pemotretan Udara, Penataan Garis Bentuk, Pemetaan vegetasi dan Pemeriksaan Areal Kerja PT. Erna Djuliawati
16
yang dilaksanakan oleh APHI / PT. Mapindo Parama Bulan November 1997. Hasil penafsiran kelas kelerengan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kelas Lereng dan Topografi Areal Konsesi PT. Erna Djuliawati Luas Kelas Kemiringan (%) Topogafi Lereng Ha A 0–8 Datar 43.247 B 8 – 15 Landai 60.880 C 15 – 25 Agak Curam 49.009 D 25 – 40 Curam 28.998 E > 40 Sangat Curam 2.072 Jumlah 184.206
(%) 23,48 33,05 26,61 15,74 1,12 100,00
Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna Djuliawati skala 1: 50.000
3.3 Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1994, fomasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmatit benua dengan luas 173.246 Ha (94,05%) dan batuan alas kerak benua dengan luas 10.960 Ha (5,95%). Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980) antara lain Latosol (44%) dan Podsolik Merah Kuning (56%) (Sumber : Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, 1994).
3.4 Hidrologi Areal kerja PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Salau 4.922 ha, DAS Seruyan 84.721 ha, DAS Kaleh 8.836 ha, DAS Manjul 74.655 ha dan DAS Salau Hulu 11.072 ha. Adapun sungaisungai besar yang mengalir melalui areal konsesi adalah S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau (Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007).
17
3.5 Iklim dan Intensitas Hujan Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe A dan sebagian tipe B. Mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan Departemen Pembinaan Hutan selama 10 tahun (1997-2007), dapat diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.303,7 mm dengan rataan jumlah hari hujan 162 hari atau dengan intensitas hujan sekitar 19,9 mm (Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007).
3.6 Flora dan Fauna Diperkirakan bahwa 7.000 hingga 10.000 spesies tanaman terdapat dalam hutan dataran rendah di Kalimantan, yang membuatnya kaya flora dibanding dengan seluruh Afrika (Mac Kinnon et al 1993). Hutan tersebut memiliki 3 strata dengan kanopi hingga 45 m dan tinggi pohon-pohonnya bisa mencapai 65 m. Sesuai dengan namanya, pohon-pohon keluarga Dipterocarpaceae mendominasi hutan Dipterocarp dataran rendah. Pohon-pohon berkanopi besar ini memiliki kerapatan yang tinggi. Hutan tersebut terdiri dari 10% pohon-pohon dan 80% pohon-pohon tinggi dengan kanopi besar (Mac Kinnon et al, 1993). Jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara lain meranti merah (Shorea leprosula Miq.), meranti putih (Shorea lamellate V.SI.), meranti kuning (Shorea acuminatissima Sym.), bangkirai (Shorea leavifolia Endert.), rengas (Gluta renghas L.), kapur (Dryobalanops beccarii Dyer.), geronggang (Cratoxylon spp.), dan sebagainya. Sedangkan untuk jenis satwa yang ada di kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati antara lain orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarcatos malayanus), lutung (Presbitus cristata), trenggiling (Manis javanica), babi hutan (Sus barbatus), kijang (Mantiacus muntjak), biawak (Varanus spp.), ular sawa (Phyton sp.), dsb (Sumber : PT. Erna Djuliawati, 2007).
18
IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai Bulan Mei tahun 2009 di petak G28 dan L26, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.
4.2 Bahan dan Alat Penelitian Objek penelitian ini adalah hutan yang belum dilakukan kegiatan penebangan (hutan primer) berupa data sekunder dan areal setelah penebangan dengan sistem TPTJ pada tiga buah plot permanen di umur tebang Et+1 dengan masing-masing luas 1 ha pada tiga kelerengan yaitu kelerengan datar (0-15%), sedang (15-25%) dan curam (25-45%). Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain adalah peta kerja, pita meter, pita diameter (phiband), meteran jahit, haga hypsometer, kompas, patok, tali rafia / tambang, golok, tally sheet, kantong plastik, ring tanah, kamera dan alat tulis.
4.3 Metode Pengambilan Data 4.3.1 Analisis Vegetasi Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisis vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Pengukuran atau analisa vegetasi dilakukan pada tiga buah plot permanen di umur tebang Et+1 dengan masing-masing luas 1 ha pada tiga kelerengan yaitu datar (0-15 %), sedang (15-25 %) dan curam (>25 %). Dengan demikian berdasarkan pengamatan tersebut dapat diketahui perkembangan vegetasi pada areal setelah penebangan dengan sistem TPTJ. Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, diameter, tinggi total dan tinggi bebas cabang untuk tingkat
19
tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlah. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat suatu petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut: 1. Tingkat pohon dengan ukuran petak 25 x 20 m sebelum penanaman dan setelah penanaman 22 x 20 m. 2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m. 3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 x 5 m. 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 x 2 m. Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan suksesi dipergunakan kriteria sebagai berikut : 1. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. 2. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm. 3. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai 20 cm. 4. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.
Gambar 1 Plot Pengamatan Analisis Vegetasi
20
Keterangan : A = Sub petak intensif untuk tingkat semai (2m x 2m) B = Sub petak intensif untuk tingkat pancang (5m x 5m) C = Sub petak intensif untuk tingkat tiang (10m x 10m) D = Sub petak intensif untuk tingkat pohon sebelum penebangan ukuran sub petak 25 m x 20 m dan setelah penebangan ukuran sub petak 22 m x 20m
4.3.2 Sifat Fisika dan Kimia Tanah Pengambilan contoh tanah untuk analisis fisik tanah dilakukan dengan menggunakan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Penentuan sifat fisika tanah yaitu dengan melakukan pengambilan contoh tanah baik yang utuh (tidak terusik) maupun yang tidak utuh (terusik). Pengambilan contoh tanah untuk penentuan sifat fisika tanah ini dilakukan pada tiga buah plot permanen di umur tebang Et+1 dengan masing-masing luas 1 ha pada tiga kelerengan yaitu datar, sedang dan curam. Adapun sifat fisika tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air contoh tanah. Untuk mengetahui tekstur tanah dapat dilakukan dengan pengambilan contoh tanah terusik. Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut (Departemen Pertanian, 1979) : a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. Tabung yang digunakan masing-masing 2 buah. b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop. c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. d. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah. e. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. f. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan. g. Tabung ditutup dengan tutup plastik.
21
Untuk menganalisa sifat kimia tanah (pH tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro), diambil contoh tanah terusik dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut : 1. Tentukan titik pengambilan contoh tanah individu dengan cara salah satu dari empat cara, yaitu: (a) diagonal, (b) zig-zag, (c) sistematik atau (d) acak.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Metode Pengambilan Contoh Tanah Komposit 2. Bersihkan permukaan tanah dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah. 3. Cangkul tanah tersebut sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul. Apabila menggunakan bor tanah (auger atau tabung), maka pada setiap titik pengambilan dibor sedalam 20 cm. 4. Campur dan aduk contoh tanah individu tersebut (10-15 contoh) dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (ini merupakan contoh tanah komposit). 5. Beri label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah. Pengambilan contoh tanah komposit ini secara diagonal sebanyak tiga titik, yaitu titik pertama kelerengan datar (0-15%), titik kedua kelerengan sedang
22
(15-25%) dan titik ketiga kelerengan curam (25-45%). Berat contoh tanah yang diambil adalah 250 gram dari setiap petak pengamatan.
4.4 Analisis Data 4.4.1 Analisis Vegetasi 4.4.1.1 Indeks Nilai Penting (INP) Nilai Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR). Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel KR
= Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis
Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel DR
= Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis
Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot FR
= Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis
INP INP
= KR + FR (untuk semai dan pancang) = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon)
4.4.1.2 Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon - Wiener Index of General Diversity (Ludwig & Reynold, 1988).
23
s n n H' - i ln i N i 1 N
dimana: H’ = Shannon - Wiener Index of General Diversity ni = Indeks nilai penting jenis ke-i N = Total Indeks Nilai Penting Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,0 sampai 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) mendekati 3,5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi.
4.4.1.3 Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef Indeks Margallef dapat digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis di suatu areal (Ludwig & Reynold, 1988). R1
S -1 ln (N)
dimana: R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1< 3,5 menunjukkan kekayaan
jenis tergolong rendah, R1 = 3,5 - 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi apabila > 5,0.
4.4.1.4 Indeks Kemerataan Jenis Indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan oleh para ekologis menurut (Ludwig & Reynold, 1988). E
H' ln (S)
dimana : E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis
24
4.4.1.5 Koefisien Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut (Costing, 1956; Bray dan Curtis, 1957; Greigh-Smith, 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988) : 2W C (IS) =
x 100% a+b dimana : C(IS) = Koefisien
masyarakat
atau
koefisien
kesamaan
komunitas W = Jumlah nilai yang sama atau lebih kecil ( ≤ ) dari dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS.
4.4.2 Pengukuran Sifat Fisika Tanah Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan dalam g/cc (Lembaga Penelitian Tanah, 1979). Penetapan berat isi tanah ditentukan dengan rumus: Berat isi tanah keadaan lapang (g/cc) = a – c Vd Berat isi tanah keadaan kering oven (g/cc) = b – c Vd Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus : Kandungan air = (a – c) – (b – c ) (b – c) Dimana : a = Berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven b = Berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven c = Berat tabung (ring tanah) Vd = Volume tabung (bagian dalam)
25
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur dan Komposisi Jenis 5.1.1 Struktur Tegakan Struktur tegakan dapat dilihat secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan sehingga akan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan. Grafik struktur tegakan untuk semua jenis yang menghubungkan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas diameter pada kondisi hutan primer dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Struktur Tegakan pada Hutan Primer Jumlah Pohon (N/Ha)
160 140
133139
120 100
84
80
83
91
Kelerengan 67
0-15 %
60 40
24 25
15-25 %
31 9 7 12
20
21 20 15
25-45 %
0 20-29
30-39
40-49
50-59
60 Up
Kelas Diameter (cm)
Gambar 3. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Primer Dari Gambar 3 diatas pada berbagai kelerengan hutan tampak variasi persebaran pohon dengan berbagai kelas diameter. Jumlah pohon pada hutan primer terbesar di kelerengan datar (0-15%) adalah 133 N/Ha, di kelerengan sedang (15-25%) adalah 139 N/Ha dan di kelerengan curam (25-45%) adalah 84 N/Ha dengan kelas diameter pohon 20-29 cm. Sedangkan grafik struktur tegakan pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
26
Struktur Tegakan pada LOA TPTJ 1 Tahun Jumlah Pohon (N/Ha)
80
73
70
62
60 50
45
42
40
Kelerengan 0-15 %
29 32
30
24
15-25 %
12 14
20 10
8
5 3 5
4 4
50-59
60 Up
25-45 %
0 20-29
30-39
40-49
Kelas Diameter (cm)
Gambar 4. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Setelah Penebangan Umur 1 Tahun (LOA TPTJ 1 tahun) Pada Gambar 4 terlihat bahwa pada LOA TPTJ 1 tahun jumlah pohon terbesar di kelerangan datar (0-15%) adalah 42,33 N/Ha, di kelerengan sedang (15-25%) adalah 62,33 N/Ha dan di kelerengan curam (25-45%) adalah 73,00 N/Ha dengan kelas diameter pohon yang sama yaitu 20-29 cm. Dari uraian dapat dilihat bahwa kondisi satu tahun setelah penebangan jumlah pohon pada kelas diameter 20 – 39 cm tidak banyak mengalami perubahan dan pohon dengan diameter 50 cm up tidak serta merta berkurang semua karena penebangan hanya dilakukan pada pohon jenis komersil dan tidak dilindungi. Jumlah pohon yang berkurang diakibatkan kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam. Pada Gambar 3 dan 4 terlihat bahwa kurva yang dihasilkan menyerupai “J” terbalik, sehingga secara umum struktur tegakan pada plot pengamatan menunjukkan karakteristik tegakan tidak seumur (hutan alam) dan dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal meskipun terjadi penurunan jumlah pohon antara hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun akibat kegiatan pemanenan.
5.1.2 Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu nilai yang digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas yang
27
telah terganggu. Sehingga jika komposisi tegakannya pulih, dapat dikatakan bahwa komunitas tersebut mendekati kondisi awalnya. Komposisi jenis pada tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ umur 1 tahun Jumlah jenis Kelerengan Kondisi hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 39 44 46 67 Hutan Primer 15-25 38 46 51 59 25-45 41 43 44 58 Total Jenis 55 63 62 77 0-15 32 35 36 41 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 40 35 43 48 25-45 47 39 40 48 Total Jenis 60 54 61 65 Berdasarkan pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kondisi hutan primer pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 67 jenis, sedangkan pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 59 jenis dan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang paling banyak ditemukan pada tingkat pohon yaitu sebanyak 58 jenis. Pada kondisi LOA TPTJ 1 tahun mengalami penurunan jumlah jenis yang hampir merata pada setiap tingkat vegetasi di setiap tingkat kelerengan. Dapat dilihat dari total jenis untuk tingkat pancang, tiang, pohon jumlah jenisnya masih berada dibawah jumlah jenis kondisi hutan primer, sedangkan total jenis semai mengalami kenaikan. Penurunan jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon di kelerengan 0-15% yaitu sebanyak 26 jenis. Penurunan jenis tersebut diakibatkan adanya kegiatan pemanenan, penyaradan, pembersihan lahan sebelum penebangan dan penjaluran. Pada tingkat semai dengan kelerengan 15-25% dan 25-45% terdapat kenaikan jenis yaitu 2 jenis pada kelerangan 15-25% dan 6 jenis pada kelerengan 25-45%, sedangkan dari total jenis terlihat terdapat kenaikan sebanyak 5 jenis. Kenaikan jenis tersebut diakibatkan karena pengukuran dilakukan pada plot bekas tebangan tahun 2008 yang telah dilakukan penjaluran, yang mana telah terjadi pembukaan tajuk, perbedaan tempat tumbuh dan masuknya cahaya matahari yang optimal sampai ke lantai hutan sehingga memacu
28
pertumbuhan semai di dalam hutan. Meskipun demikian total jumlah jenis tingkat permudaan tiang dan pohon lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah jenis dari tingkat semai dan pancang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan total jumlah jenis tertinggi masih berada pada tingkatan pohon, dan total jumlah jenis terendah adalah tingkat pancang. Jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae merupakan jenis kayu perdagangan yang cukup penting di Indonesia dan merupakan salah satu dari sekian famili yang mendominasi kawasan hutan tropika basah di Indonesia. Perubahan komposisi dan struktur tegakan hutan primer dan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada pohon diameter ≥ 20 cm karena kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran berdasarkan kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Perubahan komposisi dan struktur tegakan hutan karena kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran (Pohon Diameter ≥ 20 cm) Kelerengan Kelerengan Kelerengan Perubahan Struktur dan 0-15% 15-25% 25-45% Komposisi A B A B A B Jumlah Jenis: a. Dipterocarpaceae 15 11 17 16 15 8 b. Non Dipterocarpaceae 52 30 42 32 43 40 Jumlah Famili 33 23 28 23 26 25 Jumlah Pohon/Ha: a. Dipterocarpaceae 56 26 81 28 75 29 b. Non Dipterocarpaceae 215 66 217 87 134 126 2 LBDS (m /Ha): a. Dipterocarpaceae 27,34 10,31 41,92 7,78 23,33 10,40 b. Non Dipterocarpaceae 62,39 22,46 59,95 23,67 55,47 39,34 Keterangan : A : Hutan Primer B : Hutan Setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun)
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa famili Dipterocarpaceae mengalami perubahan pada hutan setelah penebangan umur 1 tahun. Jumlah jenis pada semua kelerengan tercatat menurun sebanyak 4 jenis di kelerengan datar (0-15%), 1 jenis di kelerengan sedang (15-25%), dan 7 jenis di kelerengan curam (25-45%). Untuk jumlah famili yang ditemukan, pada kelerengan datar (0-15%) terjadi penurunan sebanyak 10 famili, kelerengan sedang (15-25%) sebanyak 5 famili, dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 1 famili. Jumlah pohon per hektar
29
dari famili dipterocarpaceae pada kelerengan datar (0-15%) mengalami penurunan sebanyak 30 pohon, pada kelerengan sedang (15-25%) menurun sebanyak 53 pohon dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 46 pohon. Sedangkan untuk nilai luas bidang dasar pada kelerengan datar (0-15%) menurun sebanyak 17,03 m2/ha, pada kelerengan sedang (15-25%) menurun sebanyak 34,14 m2/ha dan pada kelerengan curam (25-45%) menurun sebanyak 12,93 m2/ha. Nilai ini lebih rendah dari kondisi hutan primer karena akibat kegiatan penebangan dan pembuatan jalur tanam yang menumbangkan sebagian besar pohon-pohon pada areal tersebut. Sehingga dapat dilihat bahwa dalam waktu satu tahun setelah kegiatan penebangan belum mampu mengembalikan nilainya menjadi sebesar semula.
5.1.2.1 Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis Kerapatan tegakan pohon per hektar dapat digunakan untuk menganalisis apakah tegakan pada hutan tersebut sudah pulih terutama untuk jenis komersial yang akan ditebang pada daur berikutnya. Kerapatan suatu individu dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah suatu jenis individu per luasan. Nilai kerapatan dan frekuensi kelompok jenis pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari Kerapatan (N/Ha) serta Frekuensi Semai Pancang Tiang Pohon Kondisi Kelerengan Hutan (%) K F K F K F K F 0-15 17708,33 0,83 2733,33 0,76 1210,00 0,80 217,33 0,80 Primer 15-25 18583,33 0,89 2853,33 0,80 1096,67 0,84 257,33 0,84 25-45 20250,00 0,82 2620,00 0,72 475,00 0,75 165,33 0,76 0-15 10666,67 0,88 1353,33 0,79 311,67 0,82 76,33 0,82 LOA TPTJ 15-25 9958,33 0,88 1320,00 0,86 418,33 0,91 98,33 0,84 1 Tahun 25-45 11166,67 0,76 1393,33 0,81 501,67 0,78 133,00 0,82 Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan antara kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) secara umum mengalami penurunan untuk masing-masing tingkatan vegetasi di setiap kelerengan. Hal ini dikarenakan adanya dampak dari kegiatan pemanenan yaitu penebangan dan penyaradan maupun pembuatan jalur tanam.
30
Permudaan jenis komersial di areal LOA TPTJ 1 tahun umumnya memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer kecuali pada vegetasi tingkat tiang kelerengan 25-45%, dimana kerapatan pada hutan primer 475,00 N/Ha sedangkan di areal LOA TPTJ 1 tahun 501,67 N/Ha. Penurunan kerapatan terbesar untuk LOA TPTJ 1 tahun pada tingkat semai terjadi di kelerengan 25-45% sebesar 9083,33, pada tingkat pancang terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 1536,33, pada tingkat tiang terjadi di kelerengan 0-15% sebesar 898,33 dan pada tingkat pohon terjadi di kelerengan 15-25% sebesar 159,00. Penurunan jumlah individu dapat dikarenakan oleh dampak dari kegiatan penebangan yaitu karena rebahnya pohon-pohon dan dampak tersebut tergantung dari topografi kawasan serta kondisi lanskap. Semakin tinggi tingkat kelerengan dan semakin tinggi kerapatan suatu kawasan maka dampak penebangan akan semakin tinggi. Berdasarkan nilai frekuensi untuk permudaan jenis komersial pada tingkat semai, pancang dan tiang secara umum memiliki nilai diatas 75%. Frekuensi pohon komersial baik pada hutan primer maupun areal LOA TPTJ 1 tahun sebagian besar menunjukkan nilai >75% tetapi kurang dari 100%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 berikut ini. Kerapatan Jenis Komersial DiTebang Kerapatan (N/Ha)
25000,00 20000,00 15000,00 Semai
10000,00
Pancang
5000,00
Tiang 0,00
Pohon 0-15
15-25 Primer
25-45
0-15
15-25
25-45
LOA TPTJ 1 Tahun Kondisi Hutan
Gambar 5. Kerapatan jenis komersial ditebang pada areal pengamatan
31
Frekuensi (%)
Frekuensi Jenis Komersial DiTebang 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 % 15-25 % 25-45 % 0-15 % 15-25 % 25-45 % Primer
LOA TPTJ 1 Tahun Kondisi Hutan
Gambar 6. Frekuensi jenis komersial ditebang pada areal pengamatan Menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Budiansyah (2006) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial. Sedangkan pada pedoman Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) disebutkan bahwa permudaan alam dianggap cukup apabila tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang, 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 batang/hektar untuk tingkat pohon jenis komersial dan sehat yang tersebar merata (Departemen Kehutanan, 1993). Sehingga kondisi hutan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) telah memenuhi syarat. Berdasarkan kriteria tersebut vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang memenuhi kriteria Wyatt-Smith dan pedoman TPTI. Hal ini berarti pada areal hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Untuk vegetasi tingkat pohon kerapatan pohon komersial pada seluruh petak pengamatan >25 batang/hektar berarti memenuhi kriteria pedoman TPTI. Sedangkan untuk nilai frekuensi menunjukkan nilai diatas 75% tetapi kurang dari 100%. Hal ini berarti
32
frekuensi pohon komersial pada petak pengamatan mendekati kriteria WyattSmith. Adapun mengenai perbandingan kerapatan pohon antara seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
Kerapatan (N/Ha)
Perbandingan Kerapatan Pohon 350,00 297,67 300,00 271,00 250,00 208,00 257,33 200,00 155,33 217,33 115,33 150,00 165,3391,67 100,00 133,00 98,33 50,00 76,33 0,00 0-15
15-25 25-45
0-15
Primer
LOA TPTJ 1 Tahun
Seluruh Jenis Komersial Ditebang
15-25 25-45
Kondisi Hutan
Gambar 7. Perbandingan kerapatan pohon seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa kerapatan pohon seluruh jenis dengan jenis komersial ditebang pada LOA TPTJ 1 tahun lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer. Dimana kerapatan terbesar pada hutan primer untuk seluruh jenis pohon sebesar 297,67 (N/Ha) dan kerapatan terbesar untuk jenis pohon komersial ditebang sebesar 257,33 (N/Ha). Sedangkan pada LOA TPTJ 1 tahun kerapatan terbesar untuk seluruh jenis pohon sebesar 155,33 (N/Ha) dan kerapatan terbesar untuk jenis pohon komersial ditebang sebesar 133,00 (N/Ha). Penurunan disebabkan karena kegiatan penebangan yaitu robohnya pohon serta kegiatan pembuatan jalur tanam. Dapat dilihat juga pada grafik Gambar 7 diatas, kerapatan seluruh jenis masih tinggi daripada kerapatan jenis komersial ditebang. Karena dalam penebangan jenis yang ditebang adalah jenis komersial dan tidak dilindungi dengan diameter 50 cm up.
33
5.1.2.2 Dominansi Jenis Untuk mengetahui tingkat dominansi dan komposisi jenis di lapangan dilakukan kegiatan analisa vegetasi baik itu untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Dalam mengetahui jenis-jenis yang paling berperan dalam suatu komunitas di suatu areal hutan dapat dilihat dari dominansi suatu jenis. Jenis yang mendominasi pada suatu komunitas dapat diketahui melalui besarnya Indeks Nilai Penting (INP), di mana jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh jenis yang terdapat di hutan alam sudah sesuai dengan lingkungannya. Nilai indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada banyak jenis (beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas itu dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis (Indrawan, 2000). Untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi berikut daftar lima jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi untuk setiap tingkat vegetasi dari seluruh jenis yang ditemukan pada plot pengamatan yang merupakan perubahan dari kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan data pada Tabel 7 terlihat bahwa pada hutan primer jenis yang mendominasi dari famili Dipterocarpaceae adalah lempung (Shorea leprosula) dan jenis yang mendominasi dari famili non Dipterocarpaceae adalah medang (Litsea spp.), kayu arang (Diospyros malam), jambu-jambu (Eugenia sp.) dan
benitan
(Polyalthia
laterifolia),
sedangkan
banyaknya
jenis
yang
mendominasi pada setiap tingkatan jenis untuk masing-masing kelerengan bervariasi. a) Pada kondisi hutan primer di tingkat semai kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 28,53%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar
34
27,42%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 66,31% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 25,87%. b) Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 27,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 39,73% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 31,77%. c) Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,69%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 26,96%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,43% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 31,32%. Untuk kondisi hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun), jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi tidak jauh berbeda dengan kondisi hutan primer. a) Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 52,57%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 40,89%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 73,01% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 49,10%. b) Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 49,59%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 38,89%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 76,20% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 38,53%. c) Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 33,31%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 34,15%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 68,40% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 41,61%.
35
Tabel 7 Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
0-15
Hutan Primer
15-25
25-45
0-15 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25
Semai Shorea leprosula Polyalthia laterifolia Eugenia sp. Litsea spp. Hopea dyeri Eugenia sp. Litsea spp. Shorea leprosula Polyalthia laterifolia Shorea ovalis Litsea spp. Polyalthia laterifolia Eugenia sp. Shorea leprosula Shorea laevifolia Shorea leprosula Polyalthia laterifolia Eugenia sp. Anthocepalus cadamba Mangifera macrocarpa Shorea leprosula Polyalthia laterifolia Eugenia sp. Myristica iners Litsea spp.
INP 28,53 27,89 22,97 15,02 11,17 27,79 27,11 22,01 14,07 9,52 26,69 19,49 18,40 15,18 11,45 52,57 32,51 26,88 8,16 7,32 49,59 25,82 15,92 11,66 10,54
Jenis-jenis Dominan Pancang INP Tiang Polyalthia laterifolia 27,42 Polyalthia laterifolia Eugenia sp. 23,81 Eugenia sp. Litsea spp. 19,02 Nephelium lappaceum Mangifera macrocarpa 11,32 Canarium denticulatum Nephelium lappaceum 10,05 Litsea spp. Litsea spp. 26,19 Eugenia sp. Eugenia sp. 24,45 Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum 15,38 Pithecelobium sp. Polyalthia laterifolia 14,79 Litsea spp. Shorea leprosula 10,19 Canarium denticulatum Eugenia sp. 26,96 Litsea spp. Litsea spp. 25,30 Shorea leprosula Polyalthia laterifolia 19,84 Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum 14,17 Eugenia sp. Eusideroxylon zwageri 12,26 Nephelium lappaceum Polyalthia laterifolia 40,89 Polyalthia laterifolia Eugenia sp. 22,07 Eugenia sp. Myristica iners 15,72 Shorea leprosula Shorea leprosula 11,75 Dillenia excelsa Macaranga maingayi 11,26 Myristica iners Polyalthia laterifolia 38,89 Polyalthia laterifolia Eugenia sp. 24,33 Eugenia sp. Shorea leprosula 16,41 Shorea leprosula Myristica iners 11,55 Myristica iners Litsea spp. 10,14 Litsea spp.
INP 66,31 25,71 21,03 18,96 14,87 39,73 36,75 28,59 25,39 18,37 29,43 23,39 23,36 21,45 19,48 73,01 44,34 26,72 19,02 12,21 76,20 29,34 28,20 23,81 14,72
Pohon Shorea leprosula Litsea spp. Polyalthia laterifolia Nephelium lappaceum Eugenia sp. Shorea leprosula Eugenia sp. Litsea spp. Polyalthia laterifolia Pithecelobium sp. Diospyros malam Shorea leprosula Eugenia sp. Litsea spp. Vatica resak Shorea leprosula Eugenia sp. Polyalthia laterifolia Litsea spp. Nephelium lappaceum Eugenia sp. Shorea leprosula Polyalthia laterifolia Litsea spp. Nephelium lappaceum
INP 25,87 22,15 20,16 19,56 19,02 31,77 29,60 25,44 15,56 14,60 31,32 28,85 25,26 20,84 13,62 49,10 48,50 25,14 17,33 12,80 38,53 30,62 24,00 23,83 14,94
36
Tabel 7 (Lanjutan) Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
LOA TPTJ 1 Tahun
25-45
Semai Shorea leprosula Eugenia sp. Polyalthia laterifolia Pentaspadon sp. Myristica iners
INP 33,31 32,60 14,19 9,01 7,91
Pancang Eugenia sp. Polyalthia laterifolia Litsea spp. Shorea leprosula Myristica iners
Jenis-jenis Dominan INP Tiang 34,15 Eugenia sp. 23,13 Polyalthia laterifolia 16,29 Litsea spp. 12,82 Shorea leprosula 11,09 Lansium domesticum
INP 68,40 39,50 28,91 20,26 16,51
Pohon Diospyros malam Eugenia sp. Shorea leprosula Litsea spp. Polyalthia laterifolia
INP 41,61 33,18 30,32 26,53 15,62
37
Dilihat dari tingkat permudaan antara hutan primer dengan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) terlihat bahwa pada LOA TPTJ 1 tahun untuk tingkatan permudaan semai jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis lempung (Shorea leprosula) dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 28,53% menjadi 52,57%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) menjadi jenis lempung (Shorea leprosula), sedangkan jenis jambu-jambu masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis lempung (Shorea leprosula). Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis jabon (Anthocepalus cadamba), jenis asam (Mangifera macrocarpa), jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis kedondong hutan (Pentaspadon sp.) Pada LOA TPTJ 1 tahun untuk tingkat permudaan pancang jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 27,42% menjadi 40,89%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan jenis medang turun empat peringkat dan menduduki tempat kelima INP terbesar. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) dengan nilai INP meningkat dari 26,96% menjadi 34,15%. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang jenis baru yang menduduki posisi INP teratas adalah jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis mahang (Macaranga maingayi). Untuk tingkat permudaan tiang pada LOA TPTJ 1 tahun jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) dengan nilai INP meningkat yaitu dari 66,31% menjadi 73,01%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari
38
jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) menjadi jenis benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan jenis jambu-jambu turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar juga mengalami perubahan yaitu bergeser dari jenis medang (Litsea sp.) menjadi jenis jambu-jambu (Eugenia sp.). Secara keseluruhan untuk tingkat tiang jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis simpur (Dillenia excelsa), jenis dara-dara (Myristica iners) dan jenis langsat (Lansium domesticum). Sedangkan untuk tingkat permudaan pohon pada LOA TPTJ 1 tahun, di kelerengan datar (0-15%) jenis dengan INP terbesar adalah jenis lempung (Shorea leprosula) dengan nilai INP 25,87% menjadi 49,10%. Pada kelerengan sedang (15-25%) INP terbesar bergeser dari jenis lempung (Shorea leprosula) menjadi jenis jambu-jambu (Eugenia sp.). Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis lempung merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 31,77% menjadi 30,62%. Sedangkan pada kelerengan curam (25-45%) INP terbesar adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) dengan nilai INP 31,32% menjadi 41,61%. Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan INP dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki nilai INP terbesar pada tingkat permudaan pohon. Jenis-jenis yang ditemukan dalam plot penelitian dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu jenis dilindungi, komersial ditebang dan komersial tidak ditebang. Tingkat dominansi kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Indeks Nilai Penting (INP) jenis primer dan LOA TPTJ 1 tahun Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok kayu DL 0-15 KD KTD Hutan primer DL 15-25 KD KTD
yang ditemukan pada kondisi hutan
Semai 0,00 170,36 29,64 1,87 181,83 16,30
Tingkat vegetasi Pancang Tiang 1,17 0,48 155,81 248,28 43,02 51,23 0,00 0,00 163,36 260,93 36,64 39,07
Pohon 3,87 242,62 53,51 2,32 259,91 37,77
39
Tabel 8 (Lanjutan) Kondisi Kelerengan Hutan Hutan Primer
25-45
0-15 LOA TPTJ 1 Tahun
15-25
25-45
Kelompok kayu DL KD KTD DL KD KTD DL KD KTD DL KD KTD
Semai 6,52 168,06 25,42 0,00 171,61 28,36 1,62 175,35 23,08 1,58 158,78 39,62
Tingkat vegetasi Pancang Tiang 5,93 2,71 148,61 225,48 45,47 71,81 1,08 1,26 163,73 252,46 35,16 46,27 0,00 1,22 171,50 273,40 28,49 25,40 0,00 0,95 165,56 243,28 34,47 55,78
Pohon 10,91 231,31 57,78 3,56 250,06 46,38 6,09 251,20 42,71 6,59 251,69 41,70
Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak ditebang
Dari Tabel 8 terlihat bahwa jenis-jenis komersial ditebang paling mendominasi di setiap plot pengamatan pada semua tingkat vegetasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai INP yang tinggi yaitu untuk vegetasi tingkat semai dan pancang INP > 150 sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon umumnya kelompok jenis komersial ditebang INP > 200. Jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas, hal ini ditegaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988), bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya nilai frekuensi suatu jenis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan.
5.1.2.3 Keanekaragaman Jenis Dalam menentukan tingkat keanekaragaman jenis di suatu tempat atau hutan dapat ditentukan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’).
Indeks
keanekaragaman
Shannon-Wiener
menunjukkan
tingkat
keanekaragaman vegetasi di suatu tempat atau hutan dimana nilainya ditentukan
40
oleh kelimpahan jenis dan kemerataannya. Indeks keanekaragaman jenis merupakan parameter yang dapat digunakan untuk membandingkan dua komunitas. Besarnya nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Indeks Keanekaragaman Jenis Kondisi hutan Kelerengan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 2,91 3,09 2,92 3,52 Hutan Primer 15-25 2,94 3,19 2,99 3,35 25-45 3,06 3,05 3,22 3,29 0-15 2,55 2,88 2,72 2,96 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 2,84 2,96 2,87 3,22 25-45 3,01 3,10 2,77 3,03 Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,5 – 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dibawah nilai 1,5 maka nilai H’ tergolong rendah. Jika nilai H’ berada pada rentang 1,5
41
tahun yaitu sebesar 2,88, pada tingkat tiang nilai Indeks Keragaman jenis terbesar pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 3,22 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 2,72 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Keragaman jenis terbesar pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 3,52 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 2,96. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keragaman jenis untuk hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, dimana hampir semua tingkat vegetasi disetiap lokasi kelerengan menunjukkan nilai yang lebih dari 2,00. Apabila mengacu pada Magurran (1988), tingkat keragaman di hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun pada umumnya menunjukkan tingkat keragaman yang sedang dimana nilainya berada pada selang antara 1,5 sampai 3,5. Tingkat keragaman yang tinggi terdapat pada tingkat vegetasi pohon di hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) yaitu sebesar 3,52. Sedangkan parameter yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis, dimana untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada suatu ekosistem menggunakan indeks kekayaan Margallef (R1). Indeks kekayaan Margallef adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi pada areal tersebut. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, 3,5
5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi. Nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10 Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Indeks Kekayaan Jenis Kondisi hutan Kelerengan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 6,14 6,89 6,66 9,85 Hutan Primer 15-25 6,00 7,20 7,26 8,54 25-45 6,32 6,72 7,24 8,86
42
Tabel 10 (Lanjutan) Kondisi hutan
Kelerengan (%)
LOA TPTJ 1 Tahun
0-15 15-25 25-45
Indeks Kekayaan Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 5,50 6,21 6,49 7,12 6,98 6,26 7,48 8,04 7,95 8,67 6,60 7,65
Berdasarkan pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kekayaan Margallef terbesar pada tingkat semai terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 7,95 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 5,50, pada tingkat pancang nilai Indeks Kekayaan Margallef terbesar pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 8,67 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 6,21, pada tingkat tiang nilai Indeks Kekayaan Margallef terbesar pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 7,48 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 6,49 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Kekayaan Margallef terbesar pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 9,85 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 7,12. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa baik di hutan primer maupun hutan setelah penebangan umur satu tahun pada umumnya memiliki nilai Indeks Kekayaan Margallef di atas 5,00 untuk semua tingkat permudaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekayaan jenis di hutan primer dan hutan setelah penebangan umur 1 tahun tergolong tinggi berdasarkan kriteria Magurran (1988). Dilihat dari tingkat permudaan, pada tingkat semai dan pancang seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai R1 tertinggi pada LOA TPTJ 1 tahun kelerengan curam (25-45%). Pada tingkat tiang dan pohon seluruh nilai R1 juga tergolong tinggi dengan nilai R1 tertinggi untuk tingkat tiang pada LOA TPTJ 1 Tahun kelerengan sedang (15-25%) dan nilai R1 tertinggi untuk tingkat pohon pada hutan primer kelerengan datar (0-15%). Peningkatan dan penurunan nilai R1 pada LOA TPTJ 1 tahun dapat disebabkan karena kegiatan pemanenan dan penjaluran yang mana menyebabkan terbukanya tajuk hutan sehingga intensitas
43
cahaya banyak masuk ke lantai hutan. Pertumbuhan semai dan pancang meningkat serta kekayaan jenis tiang dan pohon menurun namun tidak terlalu signifikan karena hanya jenis komersial yang dilakukan penebangan pada tingkat pohon. Selain kekayaan jenis, parameter yang juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas adalah kemerataan. Kemerataan dapat diketahui dengan menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal hutan. Dimana semakin besar nilai indeks maka komposisi penyebaran jenis semakin merata atau tidak didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja. Nilai indeks kemerataan (E) berkisar antara 0 – 1 dimana menurut Magurran (1988) nilai E < 0.3 tergolong rendah, nilai E berada pada selang 0.3 < E < 0.6 tergolong sedang dan nilai E > 0.6 tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 Tahun) di berbagai kelerengan pada Tabel 11. Tabel 11 Indeks Kemerataan (E) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Indeks Kemerataan Jenis Kondisi hutan Kelerengan (%) Semai Pancang Tiang Pohon 0-15 0,80 0,82 0,76 0,84 Hutan Primer 15-25 0,81 0,83 0,77 0,82 25-45 0,83 0,81 0,85 0,81 0-15 0,73 0,81 0,76 0,80 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 0,77 0,83 0,76 0,83 25-45 0,78 0,85 0,75 0,78 Berdasarkan pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan terbesar pada tingkat semai terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 0,83 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur 1 tahun yaitu sebesar 0,73, pada tingkat pancang nilai Indeks Kemerataan terbesar pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 0,85 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun dan kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 0,81, pada tingkat tiang nilai Indeks
44
Kemerataan terbesar pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 0,85 dan terendah pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 0,75 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Kemerataan terbesar pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 0,84 dan terendah pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah penebangan umur satu tahun yaitu sebesar 0,78. Dapat disimpulkan bahwa besarnya indeks kemerataan (E) pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun menunjukkan angka diatas 0,6, sehingga berdasarkan kriteria Magurran (1988) pada umumnya memiliki indeks kemerataan jenis (E) yang tinggi.
5.1.2.4 Kesamaan Komunitas (Indeks Similarity / IS) Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua komunitas yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Komunitas yang dibandingkan adalah berdasarkan tingkat vegetasi pada setiap kelerengan. Besarnya nilai indeks kesamaan pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Indeks Kesamaan Komunitas yang ditemukan pada kondisi primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Tingkat Vegetasi Kondisi hutan Kelerengan % Semai Pancang Tiang 0-15 61,78 63,01 67,88 Primer- LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 49,91 61,36 56,12 25-45 52,66 64,33 59,88
hutan
Pohon 62,75 67,45 63,32
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) dua komunitas dianggap sama apabila nilai IS-nya mendekati 100%. Sedangkan menurut Kusmana dan Istomo (2005) IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0 dan umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai IS ≥ 75%. Dari Tabel 12 terlihat bahwa besarnya indeks kesamaan komunitas (IS) pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun umumnya berada di bawah 75%. Indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar pada tingkat semai di kelerengan datar (0-15%) sebesar 61,78% sedangkan nilai indeks
45
kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 49,91%, pada tingkat pancang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan curam (25-45%) sebesar 64,33% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 61,36%, pada tingkat tiang indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan datar (0-15%) sebesar 67,88% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 56,12%, dan pada tingkat pohon indeks kesamaan komunitas (IS) terbesar di kelerengan sedang (15-25%) sebesar 67,45% sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas (IS) terkecil di kelerengan datar (0-15%) sebesar 62,75%. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dua komunitas dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dibandingkan dapat dikatakan relatif berbeda. Hal ini disebabkan adanya perubahan komposisi baik jenis maupun jumlah individu antara dua komunitas yang dibandingkan akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada kondisi satu tahun setelah penebangan (LOA TPTJ 1 tahun) belum sepenuhnya kembali seperti pada hutan primer karena proses suksesi masih berlangsung.
5.1.3 Perbandingan Jumlah Semai dan Pancang antara Hutan Primer dan LOA TPTJ Menurut Mulyana et al. (2005), keanekaragaman jenis yang tinggi memang menjadi karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh hutan hujan tropika selain lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim dan siklus hara tertutup. Pada penelitian yang telah dilakukan Wicaksono (2008) pada hutan primer dan LOA TPTJ memberikan informasi bahwa jumlah vegetasi pada hutan setelah penebangan mengalami penurunan dibandingkan hutan primer. Akan tetapi walaupun jumlah vegetasi menurun, keanekaragaman vegetasi yang terdapat di hutan setelah penebangan tetap tinggi. Perbandingan jumlah semai dan pancang antara hutan primer dengan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) disajikan pada Tabel 13 berikut.
46
Tabel 13 Perbandingan jumlah semai dan pancang pada hutan TPTJ 1 Tahun (Batang/Ha) Kelerengan Kelerengan Tingkat 0-15% 15-25% Permudaan/Jenis A B A B Semai: a. Dipterocarpaceae 4958 2958 6125 1917 b. Semua Jenis 20375 11667 19917 11167 Pancang: a. Dipterocarpaceae 713 73 580 213 b. Semua Jenis 3413 1593 3440 1520
primer dan LOA Kelerengan 25-45% A B 4958 23417
4625 13542
940 3440
567 1693
Keterangan : A : Hutan Primer B : Hutan Setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 Tahun)
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan jumlah semai dan pancang pada LOA TPTJ 1 tahun lebih kecil daripada hutan primer. Hal ini disebabkan selain adanya tebang penjaluran dan kegiatan pemanenan juga menyebabkan terjadinya penurunan jenis. Pada tingkat semai, jumlah jenis terbanyak di LOA TPTJ 1 tahun terdapat pada kelerengan curam (25-45%) yaitu 4625 batang/ha dari Dipterocarpaceae yang didominasi oleh lempung (Shorea leprosula). Sedangkan di hutan primer jumlah semai terbanyak pada kelerengan sedang (15-25%) yaitu 6125 batang/ha dari Dipterocarpaceae yang didominasi oleh lempung (Shorea leprosula). Pada tingkat pancang, jumlah jenis terbanyak di LOA TPTJ 1 tahun terdapat
pada
kelerengan
curam
(25-45%)
yaitu
567
batang/ha
dari
Dipterocarpaceae yang didominasi oleh lempung (Shorea leprosula). Sedangkan di hutan primer jumlah pancang terbanyak pada kelerengan curam (25-45%) yaitu 940 batang/ha dari Dipterocarpaceae yang didominasi oleh lempung (Shorea leprosula). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis yang mendominasi dari family Dipterocarpaceae adalah lempung (Shorea leprosula). Perubahan jumlah vegetasi pada setiap tingkat vegetasi ini disebabkan adanya kegiatan penebangan dan penjaluran.
47
5.2 Sifat Fisik dan Kimia Tanah 5.2.1 Sifat Fisik Tanah Sifat morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di lapang. Sebagian dari sifat-sifat morfologi tanah merupakan sifatsifat fisik dari tanah tersebut (Hardjowigeno, 2003). Sifat fisik tanah yang diamati pada penelitian ini antara lain adalah struktur, bobot isi dan kadar air. Struktur tanah berasal dari partikel-partikel tanah yang membentuk agregat tanah yang saling berikatan membentuk suatu bongkahan tanah. Peubah ini sangat ditentukan oleh komponen pembentuk tanah dan ukuran partikelnya (tekstur). Untuk mengetahui sifat fisik tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Kondisi hutan Kelerengan Kedalaman Struktur Bobot isi Kadar air (%) (cm) (gr/cm³) (%) 0-15 20 Butiran 1,00 31,19 Hutan Primer 15-25 20 Butiran 0,86 38,28 25-45 20 Butiran 0,93 30,82 0-15 20 Butiran 0,93 34,03 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 20 Butiran 1,08 33,82 25-45 20 Butiran 0,95 35,36 Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa pada hutan primer bobot isi tertinggi berada pada kelerengan datar (0-15%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 1,00, sedangkan bobot isi terendah berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 0,86. Pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) bobot isi tertinggi berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 1,08, sedangkan bobot isi terendah berada pada kelerengan datar (0-15%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 0,93. Adanya kenaikan bobot isi dipengaruhi oleh meningkatnya kepadatan tanah sehingga bobot isi tanah bertambah yang disebabkan oleh kegiatan penebangan. Peningkatan bobot isi ini juga dapat mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman, semakin besar nilai bobot isi tanah maka tanah akan semakin padat sehinga akar sulit untuk berkembang. Tanah dengan bobot yang besar akan sulit meneruskan air atau sulit ditembus akar tanaman, begitu pula sebaliknya tanah
48
dengan bobot isi rendah, akar tanaman lebih mudah berkembang (Hardjowigeno, 2003). Sedangkan untuk kadar air pada hutan primer nilai tertinggi berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 38,28, sedangkan kadar air terendah berada pada kelerengan curam (25-45%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 30,82, pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) kadar air tertinggi berada pada kelerengan curam (2545%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 35,36, sedangkan kadar air terendah berada pada kelerengan sedang (15-25%) dengan kedalaman 20 cm yaitu sebesar 33,82.
5.2.2 Sifat Kimia Tanah 5.2.2.1 pH Tanah Berdasarkan hasil analisa laboratorium kimia tanah menunjukkan bahwa reaksi tanah (pH) tanah yang berada pada lokasi pengamatan yaitu hutan primer dan hutan bekas tebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dengan kedalaman sampel tanah 20 cm terlihat bahwa termasuk ke dalam kategori masam baik untuk hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) karena mempunyai nilai pH kurang dari 5,5. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Kelerengan Kedalaman pH Kondisi hutan (cm) (%) H2O KCl Hutan Primer 20 3,9 3,0 0-15 20 5,0 4,0 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 20 5,2 4,0 25-45 20 5,1 4,3 Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa pH tanah pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada hutan primer yaitu berkisar antara 5,0 – 5,2. Hal ini disebabkan karena tingginya kation asam yang terkandung di dalam tanah (Al, Fe dan H), sedangkan kation basa yang terkandung di dalam tanah mempunyai kandungan yang rendah. Menurut Nyapka et al (1988) yang menyebabkan reaksi tanah
49
menjadi asam diantaranya adalah tingginya curah hujan yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci yang kedua adanya dekomposisi mineral alumunium silikat akan membebaskan ion alumunium (Al³+), ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbang ion H+ sehingga menyebabkan tanah menjadi asam.
5.2.2.2 Analisis Unsur Hara Tanah Kegiatan analisis tanah ini dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur hara tanah yang terutama berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman. Unsurunsur hara yang ingin diketahui adalah unsur hara yang termasuk kedalam unsur hara esensial. Pengambilan sampel dilakukan pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) menggunakan metode tanah terusik dengan kedalaman 20 cm. Pada Tabel 16 dapat dilihat penetapan unsur hara tanah. Tabel 16 Analisis kimia unsur hara pada hutan primer dan LOA TPTJ 1 Tahun Kelerengan Kedalaman Kondisi hutan P (ppm) Ca Mg K Na (%) (cm) Hutan Primer 20 2,54 0,40 0,40 0,11 0,92 0-15 20 14,9 1,45 0,48 0,51 0,46 LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 20 4,3 0,44 0,33 0,13 0,51 25-45 20 4,1 0,32 0,28 0,10 0,24 Dari Tabel 16 terlihat bahwa kandungan unsur hara pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) menunjukkan kandungan unsur hara yang rendah menurut kriteria lahan pertanian secara umum. Kandungan Ca mempunyai nilai berkisar antara 0,32 sampai 1,45. Kandungan Mg mempunyai nilai berkisar antara 0,28 sampai 0,48, Kandungan K mempunyai nilai berkisar antara 0,10 sampai 0,51 dan kandungan Na mempunyai nilai berkisar antara 0,24 sampai 0,92. Kandungan kation basa yang rendah (P, Ca, Mg, dan Na) menyebabkan tingkat kejenuhan basa juga rendah. Unsur hara fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara yang keberadaannya dipengaruhi oleh kation asam. Pada kondisi asam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi maka ion P akan diikat oleh kation asam sehingga unsur P tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwowidodo (1992) yang menyatakan kemasaman tanah memegang peranan
50
penting pada ketersediaan P. Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca. Untuk penetapan tingkat kesuburan hara esensial pada kondisi hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan hasil analisis kimia tanah Status Kelerengan Kedalaman N C-org KTK KB Kondisi hutan kesuburan (%) (cm) (%) (%) (me/100g) (%) tanah Hutan Primer 20 0,15 1,52 9,59 19,08 Rendah 0-15 20 0,35 7,02 15,20 19,08 Rendah LOA TPTJ 1 Tahun 15-25 20 0,21 2,47 6,52 21,63 Rendah 25-45 20 0,18 2,31 7,38 12,74 Rendah Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya baik di kehutanan maupun pertanian adalah kandungan bahan organik dalam tanah. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Anonim, 1991). Berdasarkan Tabel 17 diatas kandungan C-organik dalam tanah menunjukkan nilai yang rendah pada hutan primer yaitu 1,52% dan pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) menunjukkan nilai yang sangat tinggi pada kelerengan datar yaitu 7,02% dan sedang pada kelerengan sedang dan curam yaitu 2,47% dan 2,31%. Nilai N pada hutan primer berada dalam rentang 0,10 – 0,20% sehingga tergolong rendah, sedangkan pada hutan setelah penebangan umur satu tahun berada dalam rentang 0,21 – 0,50% sehingga tergolong sedang. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2%, agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi, maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun.
51
Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation). Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran serta pemupukan. Pada Tabel 17 terlihat bahwa nilai KTK hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada kelerengan datar lebih tinggi daripada hutan primer. Hal ini dapat disebabkan adanya kegiatan pemanenan dan penjaluran yang mana terjadi pembukaan tajuk, sehingga intensitas cahaya lebih banyak masuk ke lantai hutan. Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kationkation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut, maka kejenuhan basa merupakan perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, dimana tanah-tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, sedang tanahtanah dengan pH yang tinggi mempunyai kejenuhan basa yang tinggi pula (Hardjowigeno 2003). Sedangkan untuk nilai kejenuhan basa (KB) pada hutan primer dan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) mempunyai nilai berkisar antara 19,08% sampai 21,63% dimana nilai ini masuk dalam kriteria tidak subur. Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50% (Anonim, 1991).
52
Namun secara umum jenis-jenis dipterocarpaceae dapat tumbuh di daerah yang kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum. Hal ini disebabkan karena setiap jenis pohon mempunyai range tertentu dan unsur hara terpenuhi. Apabila dibandingkan antara hutan primer dengan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) pada umumnya hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di areal hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) lebih tinggi dari areal hutan primer. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbukaan tajuk yang cukup dari kegiatan pemanenan sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai lantai hutan. Kondisi ini akan memacu terjadinya proses dekomposisi dari unsur hara tanah oleh mikroorgaisme menjadi meningkat. Namun dengan adanya keterbukaan tajuk ini akan mengakibatkan terjadinya leaching yang meningkat serta laju run-off yang membawa unsur hara yang telah terurai meningkat. Menurut van Dam (1967) ukuran gap tidak mempengaruhi laju dekomposisi dari daun, tanaman berkayu, kayu bagi tanaman dan bunga, tetapi keberadaannya mempercepat laju dekomposisi dari humus di permukaan tanah dibandingkan dengan hutan primer. Meskipun terjadi peningkatan dekomposisi di lantai hutan dan tersedianya unsur hara yang cukup bagi tanaman tetapi dengan adanya gap ini akan menyebabkan terjadinya leaching sehingga unsur hara yang telah terdekomposisi menjadi sedikit tersedia bahkan tidak tersedia bagi tanaman. Gap menyebabkan masuknya jenis-jenis pohon pionir seperti Anthocepalus sp., Macaranga sp. dan sebagainya. Melihat dari hal yang telah disebutkan diatas maka tanah pada lokasi penelitian dapat dikategorikan sebagai tanah kurang subur menurut kriteria lahan pertanian secara umum. Kondisi ini tidak banyak berubah setelah dilakukan kegiatan penebangan dan penjaluran. Status kesuburan tanah pada hutan setelah penebangan umur satu tahun tetap tergolong rendah. Namun kondisi tanah seperti ini tidak dapat dikatakan bahwa tanah tersebut kurang sesuai untuk jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae seperti lempung (Shorea leprosula). Hal ini disebabkan karena setiap jenis pohon dalam tumbuh dan berkembang mempunyai adaptasi lingkungan tempat tumbuh dan kebutuhan akan unsur-unsur hara yang berbeda.
53
Terlebih pada hutan alam hujan tropika basah yang terkenal dengan siklus hara tertutup dengan bentangan lahan yang didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yang terkenal dengan potensi hutannya yang tinggi walaupun dalam kondisi miskin hara. Diduga yang menyebabkan pohon tersebut bisa tetap dalam kondisi baik walaupun hidup dalam kondisi yang miskin hara adalah simbiosis mutualisme secara ektomikoriza oleh cendawan mikoriza dan akar dari pohon.
5.3 Hubungan Antara Keadaaan Tanah dengan Perkembangan Vegetasi Gambaran tentang perubahan dan keadaan hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) adalah sebagai berikut. Adanya kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam menyebabkan terbukanya lapisan tajuk hutan pada beberapa tempat sehingga menyebabkan terjadinya celah (gap) dan dapat berdampak mengurangi kualitas dari stratifikasi tajuk yang ada. Terbentuknya celah ini menyebabkan intensitas sinar matahari lebih besar dan hal ini berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan dan perkembangan permudaan tingkat semai dan pancang. Pertumbuhan permudaan tingkat semai dan pancang terlihat mengalami peningkatan yang cukup pesat dengan adanya celah ini. Terlihat juga dampak negatifnya yaitu terjadi suksesi ledakan populasi tumbuhan penutup lantai hutan seperti rumput, liana, semak dan belukar, yang pertumbuhannya menyebabkan kompetisi hara bagi permudaan pohon tingkat semai dan pancang. Selain terjadinya celah, kegiatan pemanenan pada lokasi penelitian menyebabkan tanah terbuka pada beberapa bagian dimana badan tanah terkelupas dari lapisan vegetasi penutup serta top soil tanah hilang. Dampak negatif seperti ini terlihat pada bekas areal jalan sarad yang terlihat setelah kegiatan pemanenan. Kondisi ini dapat menyebabkan erosi tanah dalam jumlah besar pada kondisi awal setelah kegiatan pemanenan dan tanah pada areal jalan sarad akan mengalami proses pemadatan setelah alat berat masuk pada jalan sarad. Terjadinya pemadatan tanah pada jalan sarad menyebabkan tumbuhan cover crop yang tumbuh hanya terbatas pada jenis merambat (liana) dan jenis lain yang hanya tumbuh pada spot tertentu.
54
Tingginya curah hujan pada kawasan yang turun dengan intensitas sedang sampai tinggi menyebabkan lahan terbuka mengalami erosi. Terlihat bahwa erosi semakin meningkat pada kawasan dengan tingkat kelerengan lebih tinggi. Dengan kata lain curah hujan tinggi dapat menyebabkan pencucian hara yang semakin meningkat pada areal yang semakin curam. Dapat diprediksi top soil pada daerah dengan kelerengan semakin tinggi semakin tipis, sehingga suplai unsur hara tanaman pada areal dengan tingkat kelerengan semakin curam semakin sedikit (PT. Erna Djuliawati, 2005). Pertumbuhan permudaan tingkat semai dan pancang setelah kegiatan pemanenan dan penjaluran terlihat cukup pesat terutama untuk jenis-jenis komersial. Hal ini dapat diakibatkan oleh terbukanya tajuk hutan akibat kegiatan penebangan dan dapat disebabkan karena jenis meranti merupakan jenis semi toleran dimana pada saat tingkat permudaan awal membutuhkan sinar matahari dalam kondisi melimpah. Dengan kerapatan permudaan yang cukup tinggi, kompetisi tanaman dalam mendapatkan unsur hara juga meningkat. Keterlibatan cendawan mikoriza yang banyak dijumpai pada perakaran jenis-jenis yang mendominasi diduga cukup membantu proses suksesi tumbuhan jenis komersil untuk tumbuh dan tetap dapat beradaptasi dengan baik. Namun dikarenakan penelitian dilakukan baru satu tahun setelah kegiatan penebangan sehingga belum didapat banyak informasi lain yang lebih menunjang.
55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan satu tahun sebelumnya menyebabkan perubahan komposisi dan struktur tegakan pada LOA TPTJ 1 tahun. Penurunan jumlah jenis terbesar yang terjadi pada tingkat pancang sebanyak 11 jenis, tingkat tiang sebanyak 10 jenis dan tingkat pohon sebanyak 26 jenis. Sedangkan pada tingkat semai mengalami kenaikan sebanyak 5 jenis dilihat dari total jenisnya. Penurunan dan kenaikan jumlah jenis ini diakibatkan adanya kegiatan pemanenan dan penjaluran yang berdampak positif terhadap pertumbuhan populasi pada tingkat semai.
2.
Jenis vegetasi yang mendominasi pada hutan primer masih cukup mendominasi pada LOA TPTJ 1 tahun. Jenis tersebut diantaranya adalah lempung (Shorea leprosula), medang (Litsea spp.), kayu arang (Diospyros malam), jambu-jambu (Eugenia sp.) dan benitan (Polyalthia laterifolia). Penyebaran dari jenis ini hampir merata pada setiap kelerengan hutan.
3.
Keanekaragaman jenis (H’) pada LOA TPTJ 1 tahun tergolong sedang dengan nilai berkisar antara 2,55 – 3,22. Untuk kekayaan jenis (R1) tergolong tinggi dengan nilai berkisar antara 5,50 – 8,67. Sedangkan untuk kemerataan jenis (E) nilai berkisar antara 0,73 – 0,85 dan tergolong tinggi.
4.
Indeks kesamaan komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTJ 1 tahun untuk tingkat semai berkisar antara 49,91% - 61,78%, untuk tingkat pancang berkisar antara 61,36% - 64,33%, untuk tingkat tiang berkisar antara 56,12% - 67,88% dan untuk tingkat pohon berkisar antara 62,75% - 67,45%. Hal ini menunjukkan bahwa dua komunitas dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dibandingkan relatif berbeda dan dapat dikatakan pada kondisi satu tahun setelah penebangan (LOA TPTJ 1 tahun) belum sepenuhnya kembali seperti pada hutan primer karena proses suksesi masih berlangsung.
5.
Struktur tanah pada hutan primer berupa butiran dengan bobot isi berkisar antara 0,86-1,00, kadar air berkisar antara 30,82-38,28, pH H2O sebesar 3,9 dan KCl sebesar 3,0. Sedangkan pada hutan setelah penebangan umur satu tahun (LOA TPTJ 1 tahun) bobot isi berkisar antara 0,93-1,08, kadar air
56
berkisar antara 33,82-35,36, pH H2O sebesar 5,1 dan KCl sebesar 4,1. Sehingga berdasarkan kriteria untuk lahan-lahan pertanian secara umum kondisi tanah tergolong mempunyai tingkat kesuburan rendah.
6.2 Saran 1.
Diperlukan penelitian lanjutan pada tahun berikutnya terhadap kondisi komposisi dan struktur tegakan hutan guna mengetahui perkembangan vegetasi lebih lanjut dalam pengelolaan hutan.
2.
Pemantauan perkembangan tegakan tinggal pada petak ukur permanen (PUP) dengan melaksanakan inventarisasi tegakan pada hutan primer dan hutan setelah penebangan dapat dilakukan secara periodik untuk melihat intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi jenis.
57
VII. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1991. Kimia Tanah. Direktorat Jendral Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Penelitian Tanah. 2004. Cara Pengambilan Contoh Tanah untuk Analisis (Uji Tanah). http://www.soil-climate.ir.id/uii_tanah.htm [20 Agustus 2009]. Budiansyah B. 2006. Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Daniel TW, Helm JA dan Baker FS. 1979. Principles of Silviculture. McGraw Hill Company, Inc. New York. Darjadi L dan R Hardjono. 1976. Sendi-Sendi Silvikultur. Jakarta : Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Jakarta : Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. 1998. Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) Dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan-Peraturan Bidang Kehutanan dan Perkebunan 1997-1998. Jakarta : Departemen Kehutanan. Departemen Pertanian. 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Bogor : Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman, penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical Ecology. Foth HD. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Ed: Hudoyo, S.A.B. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. FWI/GFW. 2003. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia and Washington DC: Global Forest Watch. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [Disertasi]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
58
Kusmana C dan Istomo. 2005. Diktat Ekologi Hutan. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Longman KA dan Jenik J. 1992. Tropical Forest and Its Environment. USA : Longman Scientific and Technical. Ludwig JA dan Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods and Computing. USA : John Wiley & Sons, Inc. Mabberley DJ. 1992. Tropical Rain Forest Ecology. Chapman and Hall, Inc. New York. Mac Kinnon J, Mac Kinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi Di Daerah Tropika. Terjemahan : Harry Harsono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurenment. London : Croom Helm Ltd. Mc Naughton SJ dan Wolf LL. 1973. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, Srigandono B, penerjemah ; Yogyakarta : GadjahMada University Press. Terjemahandari : General Ecology. Mehra dan Khanna. 1976. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Misra KC.1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi, India : Oxford & IBH Publishing Co. Mulyana M, Hardjanto T, Hardiansyah G. 2005. Membangun Hutan Tanaman Meranti (Membedah Mitos Kegagalan Melanggengkan Tradisi Pengusahaan Hutan). Tangerang: Wana Aksara. Musthofa A. 2007. Perubahan Sifat Fisik, Kimia, Dan Biologi Tanah Pada Hutan Alam Yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian Di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nyapka MY. et al. 1993. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Odum EP. 1959. Fundamental of Ecology. USA : W.B Saunders Company. Perangin-Angin YP. 2008. Keadaan Tegakan dan Pertumbuhan Shorea parvivolia Dyer Pada sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Insititut Pertanian Bogor. Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung: Angkasa.
59
Purwowidodo. 1998. Penampang Tanah. Bogor : Laboratorium Pengaruh Hutan Jurusan Manajemen Hutan, Fahutan IPB. PT. Erna Djuliawati. 2005. Standard Operating Procedure Pemantauan Kegiatan Pembinaan Hutan. PT. Erna Djuliawati Logging Unit II. Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan Tengah. PT. Erna Djuliawati. 2007. Standard Operating Procedure Pedoman Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). PT. Erna Djuliawati Logging Unit II. Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan Tengah. Richard PW. 1966. The Tropical Rain Forest : An Ecological Study. London : The Syndics of The Cambridge University Press. Shukla dan Chandel. 1977. Plant Ecology. New Delhi, India : S. Chand and Company LTD. Sist P dan S Amiril. 1998. Description of the Primary Lowland Forest of Berau. Di dalam : Jean GB, Kosasi K, editor. Silvicultural Research in a Lowland mixed Dipterocarpaceae Forest of East Kalimantan, the Contribution of STREK Project. CIRAD. Foret Publication. Hal 51-94. Soerianegara I dan A Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Soerianegara I dan A Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor : Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Spurr HS dan Burton VB. 1980. Forest Ecology. USA : John Wiley & Sons, Inc. Suparna N dan S Purnomo. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Meranti Di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Jakarta : PT. Alas Kusuma. Suparto RS. 1976. Saran Perbaikan Cara Pembuatan Jalan Hutan di Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Sutisna U. 1981. Komposisi Flora Hutan Bekas Tebangan di Kelompok Hutan Stagen Pulau Kalimantan Selatan : Deskripsi dan Analisa Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Sutisna M. 2001. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Van Dam O. 1967. Forest Filled With Gaps. Guyana: Tropenbos. Whitemore TC. 1984. Tropical Rain Forest of the For East. English Language Book Society. New York: Oxford University Press.
60
Whitten AJ dan Sengli JD, Jazanul A, Nazaruddin H. 1984. The Ecology of Sumatra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Wicaksono A. 2008. Struktur dan Komposisi Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur [Skripsi] Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Daftar nama jenis tumbuhan di plot pengamatan No Nama Lokal
Nama Botani
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Agathis sp. Vitex pubescens Vahl. Fagrea sp. Santiria tomentosa BI. Mangifera macrocarpa Blume. Shorea laevifolia Endert. Pteruspermum celebicum Palaquium dasyphillum Pierre ex Dubard. Polyalthia laterifolia King. Octomeles sp. Lithocarpus dasystachyus (Miq) Rehd. Pomelia sp. Calophillum pulcherrimum Wall. Arthocarpus sp. Myristica iners Blume. Durio sp. Gonystylus bancanus Kurs Pithecelobium sp. Pithecelobium sp. Anthocepalus cadamba Roxb. Eugenia sp. Shorea quadinervis V.SI. Dyera costulata Hook.f Dialium sp. Litsea sp. Baccaurea dulois Muell.Arg. Dryobalanops beccarii Dyer. Diospyros malam Bakh Scorodacarpus borneensis Becc. Pentaspadon sp. Elateriospermum tapos BI. Canarium denticulatum Blume. Koompassia excelsa Taub. Gonocaryum minus Sleumer. Canarium commune L. Shorea sp. Dialium pontes Baker Dipterocapus haselti Blume. Dipterocarpus gracilis V.SI. Dipterocarpus kuntsleri King. Fagraea sp. Koompassia excelsa Taub. Shorea ovalis BI. Lansium domesticum Corr.
Araucariaceae Verbenaceae Loganiaceae Burseraceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Sterculiacum Ulmaceae Annonaceae Dataceae Fagaceae Sapindaceae Gutiferae Moraceae Myristicaceae Bombacaceae Thymeaceae Fabaceae Fabaceae Anacardiaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Fabaceae Dilleniaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Ebenaceae Olacaceae Anacardiaceae Euphorbiaceae Burseraceae Fabaceae Icacinaceae Burseraceae Dipterocarpaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Loganiaceae Fabaceae Dipterocarpaceae Meliaceae
Aghatis Alaban Ara Kendang Araw Asam Bangkirai Bayur Bengkal Benitan Benuang Laki Berangan Bilayang Bintangur Cempedak Dara-Dara Durian Garu Geyumbang Girik Jabon Jambu-Jambu Jawar Jelutung Hitam Juji Kangkala Kapul Kapur Kayu Arang Kayu Bawang Kedondong Hutan Kelempayan Kembayau Kempas Kemuning Kenari Kenuar Keranji Keruing Lowei Keruing Rambut Keruing Tempudau Kopi Hutan Ladang-Ladang Lampung Ipil Langsat
Kelompok Kayu KTD KTD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KTD KD KD KD KTD KD KD DL KD KD KTD KD KD KD KTD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KTD KD KD KTD
63
Lampiran 1 (Lanjutan) No Nama Lokal
Nama Botani
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
Shorea leprosula Miq. Atuna racemosa Raf. Macaranga maingayi Hook.f. Koompassia mallacensis Maing. Garnicia sp. Shorea johorensis Foxw. Shorea parvifolia Dyer. Litsea spp. Hopea sangal Korth. Madhuca betis (Blanco) Merr. Shorea bracteolate Dyer. Hopea mengerawan Miq. Shorea sp. Shorea asamica Pyer. Shorea xanthopyllum Palaquium sp. Palaquium xanthophymum Piare. Hopea dyeri Heim. Myristica villosa Warb. Parkia speciosa Hassk Mezzettia parviflora Becc. Cassia sp. Alstonia scholaris R.Br. Nephelium lappaceum L. Gossampinus malabarica Alst. Gluta renghas Linn. Vatica resak BI Homalium longifolium V.SI. Dracontomelon mangiferum Blume. Dillenia excelsa Gilg. Memecylon spp. Shorea pinanga Scheff. Shorea meciscopteryc Bidl. Arthocarpus sp. Eusideroxylon zwageri T.et.B.
Lempung Lomo Jalomo Mahang Manggeris Manggis Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Meranti Tahan Meringkau Merkunyit Mersiput Nyatoh Merah Nyatoh Putih Nyerakat Pala Hutan Petai Pisang-Pisang Poli-Poli Pulai Rambutan Randu Hutan Rengas Resak Rukam Sengkuang Simpur Tamparas Tengkawang Buah Tengkawang Rambut Torap Pekalong Ulin
Kelompok Kayu Dipterocarpaceae KD Chrysobalanaceae KD Euphorbiaceae KD Fabaceae DL Gutiferae KTD Dipterocarpaceae KD Dipterocarpaceae KD Lauraceae KD Dipterocarpaceae KD Sapotaceae KD Dipterocarpaceae KD Dipterocarpaceae KD Dipterocarpaceae KD Dipterocarpaceae KD Dipterocarpaceae KD Sapotaceae KD Sapotaceae KD Dipterocarpaceae KD Myristicaceae KD Fabaceae KTD Annonaceae KD Leguminosae KD Apocynaceae KD Sapindaceae KTD Sterculiaceae KD Anacardiaceae KD Dipterocarpaceae KD Flacourtiaceae KD Anacardiaceae KD Dilleniaceae KD Melastaceae KD Dipterocarpaceae DL Dipterocarpaceae DL Moraceae KD Lauraceae KTD Famili
Keterangan : KD (Komersial Ditebang), KTD (Komersial Tidak Ditebang), DL (Jenis Dilindungi)
64
Lampiran 2. Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) Jenis K KR F FR INP Asam 375,00 3,21 0,10 4,11 7,32 Bangkirai 250,00 2,14 0,08 3,42 5,57 Bayur 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Bengkal 125,00 1,07 0,03 1,37 2,44 Benitan 1875,00 16,07 0,40 16,44 32,51 Benuang Laki 125,00 1,07 0,03 1,37 2,44 Bintangur 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Dara-Dara 375,00 3,21 0,10 4,11 7,32 Girik 208,33 1,79 0,07 2,74 4,53 Jabon 791,67 6,79 0,03 1,37 8,16 Jambu-Jambu 1458,33 12,50 0,35 14,38 26,88 Kapul 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Kayu Arang 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Kayu Bawang 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Kedondong Hutan 291,67 2,50 0,07 2,74 5,24 Kelempayan 83,33 0,71 0,03 1,37 2,08 Kemuning 166,67 1,43 0,03 1,37 2,80 Lampung Ipil 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Langsat 83,33 0,71 0,03 1,37 2,08 Lempung 3416,67 29,29 0,57 23,29 52,57 Manggis 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Medang 375,00 3,21 0,10 4,11 7,32 Melapi 125,00 1,07 0,03 1,37 2,44 Meranti Tahan 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Petai 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Rambutan 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Randu Hutan 375,00 3,21 0,07 2,74 5,95 Resak 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Sengkuang 83,33 0,71 0,02 0,68 1,40 Simpur 125,00 1,07 0,03 1,37 2,44 Torap Pekalong 250,00 2,14 0,05 2,05 4,20 Ulin 41,67 0,36 0,02 0,68 1,04 Total 11666,67 100,00 2,43 100,00 200,00
65
Lampiran 3. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) Jenis K KR F FR INP Asam 66,67 4,18 0,13 5,30 9,48 Bangkirai 33,33 2,09 0,05 1,99 4,08 Bengkal 33,33 2,09 0,05 1,99 4,08 Benitan 366,67 23,01 0,45 17,88 40,89 Benuang Laki 33,33 2,09 0,07 2,65 4,74 Dara-Dara 113,33 7,11 0,22 8,61 15,72 Durian 26,67 1,67 0,07 2,65 4,32 Girik 13,33 0,84 0,03 1,32 2,16 Jambu-Jambu 193,33 12,13 0,25 9,93 22,07 Jawar 13,33 0,84 0,03 1,32 2,16 Juji 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Kapul 33,33 2,09 0,08 3,31 5,40 Kayu Arang 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Kayu Bawang 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Kedondong Hutan 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Kelempayan 40,00 2,51 0,07 2,65 5,16 Kembayau 13,33 0,84 0,03 1,32 2,16 Keruing Tempudau 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Langsat 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Lempung 113,33 7,11 0,12 4,64 11,75 Mahang 126,67 7,95 0,08 3,31 11,26 Manggis 13,33 0,84 0,03 1,32 2,16 Medang 46,67 2,93 0,12 4,64 7,56 Melapi 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Petai 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Poli-Poli 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Rambutan 53,33 3,35 0,10 3,97 7,32 Randu Hutan 20,00 1,26 0,05 1,99 3,24 Rengas 20,00 1,26 0,05 1,99 3,24 Rukam 20,00 1,26 0,02 0,66 1,92 Sengkuang 33,33 2,09 0,05 1,99 4,08 Simpur 53,33 3,35 0,08 3,31 6,66 Tengkawang Rambut 6,67 0,42 0,02 0,66 1,08 Torap Pekalong 26,67 1,67 0,07 2,65 4,32 Ulin 20,00 1,26 0,05 1,99 3,24 Total 1593,33 100,00 2,52 100,00 200,00
66
Lampiran 4. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) Jenis K KR F FR D DR INP Asam 13,33 3,64 0,12 4,00 0,25 3,53 11,17 Bangkirai 1,67 0,45 0,02 0,57 0,02 0,24 1,26 Bayur 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Bengkal 1,67 0,45 0,02 0,57 0,05 0,71 1,73 Benitan 105,00 28,64 0,57 19,43 1,77 24,94 73,01 Cempedak 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Dara-Dara 13,33 3,64 0,13 4,57 0,28 4,00 12,21 Durian 8,33 2,27 0,07 2,29 0,13 1,88 6,44 Girik 11,67 3,18 0,12 4,00 0,22 3,06 10,24 Jambu-Jambu 55,00 15,00 0,42 14,29 1,07 15,06 44,34 Juji 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Kapul 3,33 0,91 0,03 1,14 0,07 0,94 2,99 Kapur 3,33 0,91 0,02 0,57 0,15 2,12 3,60 Kayu Arang 6,67 1,82 0,07 2,29 0,12 1,65 5,75 Kayu Bawang 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Kedondong Hutan 1,67 0,45 0,02 0,57 0,02 0,24 1,26 Kelempayan 1,67 0,45 0,02 0,57 0,05 0,71 1,73 Kembayau 5,00 1,36 0,05 1,71 0,08 1,18 4,25 Kempas 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Keranji 1,67 0,45 0,02 0,57 0,05 0,71 1,73 Lampung Ipil 1,67 0,45 0,02 0,57 0,03 0,47 1,50 Langsat 1,67 0,45 0,02 0,57 0,05 0,71 1,73 Lempung 31,67 8,64 0,27 9,14 0,63 8,94 26,72 Manggeris 1,67 0,45 0,02 0,57 0,02 0,24 1,26 Manggis 5,00 1,36 0,05 1,71 0,12 1,65 4,72 Medang 5,00 1,36 0,05 1,71 0,12 1,65 4,72 Melapi 3,33 0,91 0,03 1,14 0,07 0,94 2,99 Merkunyit 6,67 1,82 0,07 2,29 0,12 1,65 5,75 Nyatoh Putih 5,00 1,36 0,05 1,71 0,10 1,41 4,49 Nyerakat 1,67 0,45 0,02 0,57 0,02 0,24 1,26 Poli-Poli 6,67 1,82 0,07 2,29 0,17 2,35 6,46 Rambutan 13,33 3,64 0,13 4,57 0,25 3,53 11,74 Rengas 6,67 1,82 0,07 2,29 0,12 1,65 5,75 Simpur 21,67 5,91 0,18 6,29 0,48 6,82 19,02 Torap Pekalong 8,33 2,27 0,08 2,86 0,20 2,82 7,95 Ulin 5,00 1,36 0,05 1,71 0,12 1,65 4,72 Total 366,67 100,00 2,92 100,00 7,08 100,00 300,00
67
Lampiran 5. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan datar (0-15%) Jenis K KR F FR D DR INP Asam 1,33 1,45 0,05 1,27 0,14 1,28 4,01 Bangkirai 1,00 1,09 0,05 1,27 0,16 1,43 3,80 Bayur 1,33 1,45 0,05 1,27 0,11 1,04 3,76 Bengkal 1,00 1,09 0,05 1,27 0,05 0,46 2,82 Benitan 9,00 9,82 0,40 10,17 0,56 5,16 25,14 Benuang Laki 1,00 1,09 0,05 1,27 0,12 1,13 3,49 Bilayang 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,15 0,94 Bintangur 1,33 1,45 0,07 1,69 0,09 0,82 3,97 Dara-Dara 3,33 3,64 0,17 4,24 0,26 2,35 10,22 Durian 2,67 2,91 0,10 2,54 0,21 1,95 7,40 Garu 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,15 0,94 Girik 2,00 2,18 0,08 2,12 0,12 1,10 5,40 Jambu-Jambu 15,67 17,09 0,55 13,98 1,90 17,42 48,50 Kapul 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,21 1,00 Kayu Arang 0,67 0,73 0,03 0,85 0,03 0,31 1,88 Kedondong Hutan 2,67 2,91 0,13 3,39 0,50 4,58 10,88 Kembayau 0,33 0,36 0,02 0,42 0,01 0,12 0,91 Kempas 0,67 0,73 0,03 0,85 0,04 0,40 1,97 Kenuar 0,33 0,36 0,02 0,42 0,04 0,34 1,12 Keruing Rambut 0,33 0,36 0,02 0,42 0,03 0,27 1,06 Lampung Ipil 0,67 0,73 0,03 0,85 0,03 0,27 1,85 Langsat 0,67 0,73 0,03 0,85 0,07 0,64 2,22 Lempung 15,33 16,73 0,58 14,83 1,92 17,55 49,10 Mahang 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,15 0,94 Manggeris 0,33 0,36 0,02 0,42 0,20 1,83 2,62 Marlanang 0,67 0,73 0,03 0,85 0,72 6,62 8,20 Medang 5,67 6,18 0,25 6,36 0,52 4,79 17,33 Melapi 0,33 0,36 0,02 0,42 0,14 1,28 2,07 Meranti Lapang 0,33 0,36 0,02 0,42 0,07 0,61 1,40 Merkunyit 4,00 4,36 0,18 4,66 0,31 2,84 11,86 Nyatoh Merah 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,21 1,00 Nyatoh Putih 0,67 0,73 0,03 0,85 0,08 0,73 2,31 Nyerakat 0,33 0,36 0,02 0,42 0,01 0,09 0,88 Pisang-Pisang 0,33 0,36 0,02 0,42 0,04 0,34 1,12 Poli-Poli 2,67 2,91 0,13 3,39 0,69 6,32 12,62 Pulai 0,33 0,36 0,02 0,42 0,59 5,40 6,19 Rambutan 4,33 4,73 0,20 5,08 0,33 2,99 12,80 Simpur 4,33 4,73 0,18 4,66 0,34 3,14 12,53 Tengkawang Rambut 0,33 0,36 0,02 0,42 0,02 0,15 0,94 Torap Pekalong 1,67 1,82 0,08 2,12 0,19 1,74 5,68 Ulin 2,33 2,55 0,12 2,97 0,18 1,62 7,13 Total 91,67 100,00 3,93 100,00 10,92 100,00 300,00
68
Lampiran 6. Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis K KR F FR INP Alaban 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Ara Kendang 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Asam 166,67 1,49 0,07 2,02 3,51 Benitan 1416,67 12,69 0,43 13,13 25,82 Benuang Laki 166,67 1,49 0,07 2,02 3,51 Bilayang 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Dara-Dara 625,00 5,60 0,20 6,06 11,66 Durian 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Girik 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Jabon 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Jambu-Jambu 875,00 7,84 0,27 8,08 15,92 Jawar 458,33 4,10 0,15 4,55 8,65 Juji 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Kapur 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Kayu Arang 125,00 1,12 0,03 1,01 2,13 Kedondong Hutan 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Kelempayan 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Kempas 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Kemuning 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Keruing Rambut 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Keruing Tempudau 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Lempung 3000,00 26,87 0,75 22,73 49,59 Mahang 166,67 1,49 0,03 1,01 2,50 Manggeris 125,00 1,12 0,02 0,51 1,62 Marlanang 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Medang 500,00 4,48 0,20 6,06 10,54 Melapi 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Meranti Lapang 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Merkunyit 125,00 1,12 0,03 1,01 2,13 Mersiput 500,00 4,48 0,12 3,54 8,01 Nyatoh Putih 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Nyerakat 125,00 1,12 0,03 1,01 2,13 Poli-Poli 333,33 2,99 0,07 2,02 5,01 Pulai 291,67 2,61 0,05 1,52 4,13 Rambutan 291,67 2,61 0,10 3,03 5,64 Randu Hutan 333,33 2,99 0,08 2,53 5,51 Rengas 83,33 0,75 0,03 1,01 1,76 Simpur 166,67 1,49 0,05 1,52 3,01 Torap Pekalong 41,67 0,37 0,02 0,51 0,88 Ulin 291,67 2,61 0,12 3,54 6,15 Total 11166,67 100,00 3,30 100,00 200,00
69
Lampiran 7. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis K KR F FR INP Asam 66,67 4,39 0,17 5,32 9,71 Bangkirai 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Benitan 300,00 19,74 0,60 19,15 38,89 Dara-Dara 86,67 5,70 0,18 5,85 11,55 Girik 33,33 2,19 0,07 2,13 4,32 Jambu-Jambu 200,00 13,16 0,35 11,17 24,33 Jawar 80,00 5,26 0,15 4,79 10,05 Juji 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Kapul 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Kayu Arang 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Kedondong Hutan 33,33 2,19 0,07 2,13 4,32 Kelempayan 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Kembayau 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Kempas 20,00 1,32 0,05 1,60 2,91 Keruing Rambut 33,33 2,19 0,05 1,60 3,79 Keruing Tempudau 13,33 0,88 0,02 0,53 1,41 Kopi Hutan 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Langsat 20,00 1,32 0,05 1,60 2,91 Lempung 120,00 7,89 0,27 8,51 16,41 Manggis 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Marlanang 33,33 2,19 0,07 2,13 4,32 Medang 73,33 4,82 0,17 5,32 10,14 Melapi 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Merkunyit 26,67 1,75 0,07 2,13 3,88 Mersiput 40,00 2,63 0,07 2,13 4,76 Nyatoh Putih 60,00 3,95 0,12 3,72 7,67 Nyerakat 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Pala Hutan 6,67 0,44 0,02 0,53 0,97 Poli-Poli 20,00 1,32 0,05 1,60 2,91 Rambutan 33,33 2,19 0,07 2,13 4,32 Randu Hutan 13,33 0,88 0,03 1,06 1,94 Rengas 33,33 2,19 0,08 2,66 4,85 Simpur 46,67 3,07 0,08 2,66 5,73 Torap Pekalong 26,67 1,75 0,07 2,13 3,88 Ulin 33,33 2,19 0,07 2,13 4,32 Total 1520,00 100,00 3,13 100,00 200,00
70
Lampiran 8. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis K KR F FR D DR INP Araw 3,33 0,73 0,03 0,92 0,07 0,79 2,44 Asam 10,00 2,18 0,08 2,29 0,23 2,77 7,25 Bangkirai 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Bayur 3,33 0,73 0,03 0,92 0,07 0,79 2,44 Benitan 130,00 28,36 0,77 21,10 2,25 26,73 76,20 Benuang Laki 3,33 0,73 0,02 0,46 0,07 0,79 1,98 Dara-Dara 35,00 7,64 0,30 8,26 0,67 7,92 23,81 Durian 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Girik 10,00 2,18 0,10 2,75 0,18 2,18 7,11 Jambu-Jambu 41,67 9,09 0,38 10,55 0,82 9,70 29,34 Jawar 11,67 2,55 0,10 2,75 0,23 2,77 8,07 Jelutung Hitam 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Kangkala 1,67 0,36 0,02 0,46 0,05 0,59 1,42 Kapul 3,33 0,73 0,02 0,46 0,03 0,40 1,58 Kapur 3,33 0,73 0,03 0,92 0,05 0,59 2,24 Kayu Arang 3,33 0,73 0,03 0,92 0,05 0,59 2,24 Kayu Bawang 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Kedondong Hutan 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Kelempayan 3,33 0,73 0,03 0,92 0,07 0,79 2,44 Kembayau 5,00 1,09 0,05 1,38 0,07 0,79 3,26 Kempas 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Kemuning 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Kenuar 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Keruing Rambut 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Ladang-Ladang 1,67 0,36 0,02 0,46 0,03 0,40 1,22 Langsat 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Lempung 43,33 9,45 0,35 9,63 0,77 9,11 28,20 Manggis 3,33 0,73 0,03 0,92 0,07 0,79 2,44 Markabang 1,67 0,36 0,02 0,46 0,02 0,20 1,02 Marlanang 6,67 1,45 0,05 1,38 0,13 1,58 4,41 Medang 21,67 4,73 0,18 5,05 0,42 4,95 14,72 Melapi 6,67 1,45 0,05 1,38 0,13 1,58 4,41 Merkunyit 8,33 1,82 0,08 2,29 0,17 1,98 6,09 Mersiput 5,00 1,09 0,05 1,38 0,08 0,99 3,46 Nyatoh Putih 3,33 0,73 0,03 0,92 0,07 0,79 2,44 Pala Hutan 3,33 0,73 0,03 0,92 0,05 0,59 2,24 Poli-Poli 8,33 1,82 0,07 1,83 0,18 2,18 5,83 Rambutan 16,67 3,64 0,13 3,67 0,30 3,56 10,87 Randu Hutan 6,67 1,45 0,03 0,92 0,12 1,39 3,76 Rengas 5,00 1,09 0,05 1,38 0,08 0,99 3,46 Sengkuang 3,33 0,73 0,02 0,46 0,07 0,79 1,98 Simpur 15,00 3,27 0,13 3,67 0,33 3,96 10,90 Torap Pekalong 13,33 2,91 0,13 3,67 0,25 2,97 9,55 Total 458,33 100,00 3,63 100,00 8,42 100,00 300,00
71
Lampiran 9. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis Araw Asam Bangkirai Benitan Benuang Laki Bintangur Dara-Dara Durian Girik Jambu-Jambu Jawar Juji Kapur Kayu Arang Kayu Bawang Kedondong Hutan Kembayau Kempas Kemuning Kenari Kenuar Keruing Rambut Keruing Tempudau Lampung Ipil Langsat Lempung Manggeris Markabang Marlanang Medang Melapi Meranti Lapang Meranti Tahan Merkunyit Mersiput Nyatoh Putih Nyerakat Pala Hutan Pisang-Pisang Poli-Poli Pulai Rambutan Randu Hutan Rengas Simpur Tamparas Torap Pekalong Ulin Total
K 2,00 2,67 0,67 11,00 0,67 0,33 5,00 1,00 2,33 16,67 2,00 0,33 0,67 4,33 0,33 1,00 0,33 2,00 0,33 0,33 2,00 1,67 1,00 1,00 1,00 11,00 1,00 0,33 0,33 10,67 1,67 0,33 0,33 0,67 0,33 1,00 0,67 0,33 0,33 3,67 1,00 5,67 1,33 0,67 3,67 2,33 3,00 4,33 115,33
KR 1,73 2,31 0,58 9,54 0,58 0,29 4,34 0,87 2,02 14,45 1,73 0,29 0,58 3,76 0,29 0,87 0,29 1,73 0,29 0,29 1,73 1,45 0,87 0,87 0,87 9,54 0,87 0,29 0,29 9,25 1,45 0,29 0,29 0,58 0,29 0,87 0,58 0,29 0,29 3,18 0,87 4,91 1,16 0,58 3,18 2,02 2,60 3,76 100,00
F 0,07 0,12 0,03 0,42 0,03 0,02 0,20 0,05 0,12 0,50 0,08 0,02 0,03 0,17 0,02 0,03 0,02 0,10 0,02 0,02 0,10 0,08 0,03 0,05 0,05 0,45 0,05 0,02 0,02 0,38 0,08 0,02 0,02 0,03 0,02 0,05 0,03 0,02 0,02 0,15 0,05 0,27 0,07 0,03 0,17 0,10 0,15 0,18 4,73
FR 1,41 2,46 0,70 8,80 0,70 0,35 4,23 1,06 2,46 10,56 1,76 0,35 0,70 3,52 0,35 0,70 0,35 2,11 0,35 0,35 2,11 1,76 0,70 1,06 1,06 9,51 1,06 0,35 0,35 8,10 1,76 0,35 0,35 0,70 0,35 1,06 0,70 0,35 0,35 3,17 1,06 5,63 1,41 0,70 3,52 2,11 3,17 3,87 100,00
D 0,17 0,38 0,07 0,59 0,05 0,02 0,28 0,08 0,15 1,42 0,13 0,01 0,02 0,42 0,02 0,14 0,01 0,31 0,04 0,01 0,19 0,21 0,09 0,09 0,05 1,21 0,44 0,06 0,01 0,68 0,30 0,03 0,01 0,06 0,01 0,06 0,09 0,06 0,03 0,36 0,31 0,46 0,07 0,05 0,22 0,33 0,37 0,32 10,48
DR 1,62 3,59 0,64 5,66 0,51 0,16 2,70 0,73 1,43 13,51 1,27 0,10 0,22 4,01 0,19 1,30 0,10 2,93 0,35 0,13 1,84 1,97 0,86 0,89 0,51 11,57 4,17 0,57 0,10 6,49 2,89 0,25 0,13 0,54 0,13 0,57 0,86 0,57 0,25 3,43 2,93 4,39 0,67 0,45 2,10 3,18 3,50 3,05 100,00
INP 4,76 8,37 1,92 24,00 1,79 0,80 11,26 2,65 5,92 38,53 4,77 0,74 1,50 11,28 0,83 2,87 0,74 6,77 0,99 0,77 5,69 5,18 2,43 2,81 2,43 30,62 6,09 1,21 0,74 23,83 6,10 0,90 0,77 1,82 0,77 2,50 2,14 1,21 0,90 9,78 4,85 14,94 3,23 1,73 8,80 7,32 9,27 10,68 300,00
72
Lampiran 10. Indeks nilai penting tingkat semai hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) Jenis Aghatis Ara Kendang Asam Bengkal Benitan Benuang Laki Bilayang Bintangur Dara-Dara Durian Girik Jambu-Jambu Jawar Juji Kapul Kayu Arang Kayu Bawang Kedondong Hutan Kembayau Kemuning Kenuar Lampung Ipil Langsat Lempung Mahang Manggeris Manggis Marlanang Medang Merading Meranti Lapang Meringkau Merkunyit Mersiput Nyatoh Merah Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pulai Rambutan Randu Hutan Rengas Resak Simpur Tamparas Torap Pekalong Ulin Total
K 83,33 41,67 125,00 41,67 875,00 83,33 41,67 166,67 416,67 83,33 41,67 2583,33 41,67 333,33 83,33 458,33 41,67 500,00 333,33 83,33 125,00 41,67 333,33 2875,00 125,00 83,33 125,00 41,67 291,67 125,00 41,67 83,33 83,33 333,33 41,67 250,00 333,33 41,67 41,67 375,00 166,67 41,67 125,00 166,67 166,67 208,33 416,67 13541,67
KR 0,62 0,31 0,92 0,31 6,46 0,62 0,31 1,23 3,08 0,62 0,31 19,08 0,31 2,46 0,62 3,38 0,31 3,69 2,46 0,62 0,92 0,31 2,46 21,23 0,92 0,62 0,92 0,31 2,15 0,92 0,31 0,62 0,62 2,46 0,31 1,85 2,46 0,31 0,31 2,77 1,23 0,31 0,92 1,23 1,23 1,54 3,08 100,00
F 0,03 0,02 0,05 0,02 0,27 0,02 0,02 0,07 0,17 0,03 0,02 0,47 0,02 0,10 0,03 0,10 0,02 0,18 0,13 0,02 0,03 0,02 0,08 0,42 0,05 0,03 0,05 0,02 0,08 0,05 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02 0,08 0,08 0,02 0,02 0,12 0,07 0,02 0,03 0,05 0,03 0,07 0,13 3,45
FR 0,97 0,48 1,45 0,48 7,73 0,48 0,48 1,93 4,83 0,97 0,48 13,53 0,48 2,90 0,97 2,90 0,48 5,31 3,86 0,48 0,97 0,48 2,42 12,08 1,45 0,97 1,45 0,48 2,42 1,45 0,48 0,97 0,97 0,97 0,48 2,42 2,42 0,48 0,48 3,38 1,93 0,48 0,97 1,45 0,97 1,93 3,86 100,00
INP 1,58 0,79 2,37 0,79 14,19 1,10 0,79 3,16 7,91 1,58 0,79 32,60 0,79 5,36 1,58 6,28 0,79 9,01 6,33 1,10 1,89 0,79 4,88 33,31 2,37 1,58 2,37 0,79 4,57 2,37 0,79 1,58 1,58 3,43 0,79 4,26 4,88 0,79 0,79 6,15 3,16 0,79 1,89 2,68 2,20 3,47 6,94 200,00
73
Lampiran 11. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) Jenis K KR F FR INP Asam 40,00 2,36 0,10 2,83 5,19 Bangkirai 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Bayur 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Benitan 200,00 11,81 0,40 11,32 23,13 Berangan 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Bintangur 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Dara-Dara 100,00 5,91 0,18 5,19 11,09 Durian 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Jambu-Jambu 306,67 18,11 0,57 16,04 34,15 Jawar 40,00 2,36 0,08 2,36 4,72 Juji 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Kapul 26,67 1,57 0,03 0,94 2,52 Kapur 26,67 1,57 0,03 0,94 2,52 Kayu Arang 40,00 2,36 0,08 2,36 4,72 Kayu Bawang 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Kedondong Hutan 53,33 3,15 0,12 3,30 6,45 Kelempayan 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Kembayau 20,00 1,18 0,05 1,42 2,60 Kenuar 26,67 1,57 0,07 1,89 3,46 Keruing Rambut 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Langsat 46,67 2,76 0,12 3,30 6,06 Lempung 113,33 6,69 0,22 6,13 12,82 Mahang 20,00 1,18 0,03 0,94 2,12 Manggis 33,33 1,97 0,05 1,42 3,38 Medang 140,00 8,27 0,28 8,02 16,29 Merading 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Meranti Lapang 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Nyatoh Merah 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Nyatoh Putih 86,67 5,12 0,18 5,19 10,31 Nyerakat 33,33 1,97 0,08 2,36 4,33 Petai 6,67 0,39 0,02 0,47 0,87 Poli-Poli 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Rambutan 33,33 1,97 0,10 2,83 4,80 Randu Hutan 33,33 1,97 0,08 2,36 4,33 Rengas 20,00 1,18 0,05 1,42 2,60 Resak 33,33 1,97 0,07 1,89 3,86 Tamparas 13,33 0,79 0,03 0,94 1,73 Torap Pekalong 26,67 1,57 0,07 1,89 3,46 Ulin 33,33 1,97 0,08 2,36 4,33 Total 1693,33 100,00 3,53 100,00 200,00
74
Lampiran 12. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) Jenis K KR F FR D DR INP Asam 8,33 1,36 0,07 1,50 0,15 1,34 4,20 Benitan 81,67 13,35 0,60 13,48 1,42 12,67 39,50 Bintangur 1,67 0,27 0,02 0,37 0,05 0,45 1,09 Dara-Dara 3,33 0,54 0,03 0,75 0,07 0,60 1,89 Durian 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Geyumbang 3,33 0,54 0,03 0,75 0,07 0,60 1,89 Girik 3,33 0,54 0,02 0,37 0,08 0,75 1,66 Jambu-Jambu 161,67 26,43 0,77 17,23 2,77 24,74 68,40 Juji 5,00 0,82 0,05 1,12 0,12 1,04 2,98 Kapul 23,33 3,81 0,20 4,49 0,42 3,73 12,03 Kayu Arang 20,00 3,27 0,18 4,12 0,43 3,87 11,26 Kedondong Hutan 3,33 0,54 0,03 0,75 0,05 0,45 1,74 Kelempayan 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Kembayau 11,67 1,91 0,12 2,62 0,18 1,64 6,17 Kempas 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Kemuning 3,33 0,54 0,03 0,75 0,08 0,75 2,04 Kenuar 1,67 0,27 0,02 0,37 0,02 0,15 0,80 Keranji 1,67 0,27 0,02 0,37 0,05 0,45 1,09 Keruing Lowei 5,00 0,82 0,03 0,75 0,07 0,60 2,16 Keruing Tempudau 1,67 0,27 0,02 0,37 0,05 0,45 1,09 Langsat 33,33 5,45 0,27 5,99 0,57 5,07 16,51 Lempung 41,67 6,81 0,27 5,99 0,83 7,45 20,26 Mahang 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Manggis 3,33 0,54 0,03 0,75 0,07 0,60 1,89 Medang 56,67 9,26 0,42 9,36 1,15 10,28 28,91 Merkunyit 1,67 0,27 0,02 0,37 0,02 0,15 0,80 Nyatoh Merah 13,33 2,18 0,10 2,25 0,22 1,94 6,36 Nyatoh Putih 10,00 1,63 0,07 1,50 0,17 1,49 4,62 Nyerakat 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Poli-Poli 10,00 1,63 0,10 2,25 0,18 1,64 5,52 Pulai 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Rambutan 25,00 4,09 0,25 5,62 0,48 4,32 14,03 Randu Hutan 8,33 1,36 0,07 1,50 0,17 1,49 4,35 Rengas 3,33 0,54 0,03 0,75 0,05 0,45 1,74 Resak 3,33 0,54 0,03 0,75 0,05 0,45 1,74 Simpur 16,67 2,72 0,15 3,37 0,32 2,83 8,93 Tamparas 13,33 2,18 0,10 2,25 0,25 2,24 6,66 Tengkawang Buah 1,67 0,27 0,02 0,37 0,03 0,30 0,95 Torap Pekalong 11,67 1,91 0,12 2,62 0,23 2,09 6,62 Ulin 8,33 1,36 0,08 1,87 0,13 1,19 4,43 Total 611,67 100,00 4,45 100,00 11,18 100,00 300,00
75
Lampiran 13. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan setelah penebangan umur 1 tahun pada kelerengan curam (25-45%) Jenis Alaban Araw Asam Bangkirai Bayur Benitan Bintangur Dara-Dara Durian Geyumbang Girik Jambu-Jambu Juji Kapul Kayu Arang Kayu Bawang Kelempayan Kembayau Kempas Kemuning Kenari Kenuar Keranji Keruing Rambut Lampung Ipil Langsat Lempung Lomo Jalomo Manggeris Manggis Marlanang Medang Merkunyit Nyatoh Merah Nyatoh Putih Petai Pisang-Pisang Poli-Poli Pulai Rambutan Randu Hutan Rengas Resak Sengkuang Simpur Tamparas Torap Pekalong Ulin Total
K 0,67 1,33 1,00 0,33 0,33 8,33 1,67 1,00 1,67 0,33 3,67 19,33 0,33 1,00 23,67 1,00 0,67 0,67 1,00 0,67 0,33 1,00 0,33 1,00 0,33 5,33 20,33 0,67 1,33 1,00 0,67 15,67 1,67 1,67 2,00 0,33 0,67 3,67 1,33 5,00 0,33 0,33 1,00 0,67 6,00 4,00 5,33 4,67 155,33
KR 0,43 0,86 0,64 0,21 0,21 5,36 1,07 0,64 1,07 0,21 2,36 12,45 0,21 0,64 15,24 0,64 0,43 0,43 0,64 0,43 0,21 0,64 0,21 0,64 0,21 3,43 13,09 0,43 0,86 0,64 0,43 10,09 1,07 1,07 1,29 0,21 0,43 2,36 0,86 3,22 0,21 0,21 0,64 0,43 3,86 2,58 3,43 3,00 100,00
F 0,03 0,05 0,05 0,02 0,02 0,33 0,07 0,05 0,07 0,02 0,12 0,62 0,02 0,05 0,60 0,05 0,03 0,03 0,05 0,03 0,02 0,05 0,02 0,05 0,02 0,20 0,38 0,03 0,07 0,05 0,03 0,53 0,08 0,08 0,10 0,02 0,03 0,18 0,07 0,20 0,02 0,02 0,05 0,03 0,23 0,13 0,22 0,20 5,42
FR 0,62 0,92 0,92 0,31 0,31 6,15 1,23 0,92 1,23 0,31 2,15 11,38 0,31 0,92 11,08 0,92 0,62 0,62 0,92 0,62 0,31 0,92 0,31 0,92 0,31 3,69 7,08 0,62 1,23 0,92 0,62 9,85 1,54 1,54 1,85 0,31 0,62 3,38 1,23 3,69 0,31 0,31 0,92 0,62 4,31 2,46 4,00 3,69 100,00
D 0,07 0,16 0,09 0,04 0,07 0,68 0,20 0,04 0,31 0,01 0,31 1,55 0,06 0,07 2,54 0,07 0,03 0,07 0,06 0,05 0,05 0,26 0,04 0,07 0,03 0,40 1,68 0,07 0,75 0,20 0,34 1,09 0,92 0,11 0,13 0,05 0,22 0,70 0,45 0,23 0,05 0,01 0,12 0,08 0,63 0,37 0,57 0,51 16,58
DR 0,40 0,94 0,52 0,22 0,40 4,10 1,19 0,26 1,89 0,08 1,87 9,35 0,36 0,44 15,30 0,40 0,20 0,44 0,34 0,32 0,30 1,55 0,22 0,42 0,18 2,43 10,15 0,44 4,50 1,19 2,07 6,59 5,57 0,64 0,76 0,28 1,31 4,22 2,71 1,37 0,28 0,06 0,74 0,48 3,78 2,21 3,42 3,06 100,00
INP 1,45 2,73 2,09 0,74 0,92 15,62 3,49 1,83 4,19 0,60 6,38 33,18 0,88 2,01 41,61 1,97 1,25 1,49 1,91 1,37 0,82 3,11 0,74 1,99 0,70 9,56 30,32 1,49 6,59 2,75 3,12 26,53 8,18 3,25 3,90 0,80 2,35 9,97 4,80 8,28 0,80 0,58 2,31 1,53 11,95 7,25 10,85 9,75 300,00
76
Lampiran 14. Indeks nilai penting tingkat semai datar (0-15%) Jenis K KR Asam 791,67 3,89 Bangkal 41,67 0,20 Bayur 291,67 1,43 Benitan 3083,33 15,13 Benuang Laki 125,00 0,61 Bilayang 83,33 0,41 Bungur 166,67 0,82 Dara - Dara 458,33 2,25 Durian 125,00 0,61 Geronggang 83,33 0,41 Jambu - Jambu 2291,67 11,25 Jawar 291,67 1,43 Kayu Ipuh 41,67 0,20 Kedondong 208,33 1,02 Kelempayan 166,67 0,82 Kembayar 166,67 0,82 Kemuning 500,00 2,45 Kenuar 541,67 2,66 Keruing Rambut 291,67 1,43 Lampung 333,33 1,64 Langsat 41,67 0,20 Lempung 3916,67 19,22 Manggis 83,33 0,41 Markabang 125,00 0,61 Marlanang 41,67 0,20 Medang 1375,00 6,75 Melapi 458,33 2,25 Merkunyit 333,33 1,64 Mersiput 41,67 0,20 Nyerakat 1291,67 6,34 Petai 333,33 1,64 Poli - poli 208,33 1,02 Rambutan 458,33 2,25 Rengas 458,33 2,25 Resak 208,33 1,02 Sengkuang 83,33 0,41 Simpur 125,00 0,61 Torap 125,00 0,61 Ulin 583,33 2,86 Total 20375,00 100,00
hutan primer pada kelerengan F 0,25 0,02 0,10 0,62 0,05 0,03 0,07 0,13 0,05 0,02 0,57 0,08 0,02 0,08 0,07 0,03 0,12 0,15 0,05 0,08 0,02 0,45 0,03 0,05 0,02 0,40 0,17 0,10 0,02 0,23 0,05 0,08 0,12 0,13 0,08 0,03 0,03 0,05 0,18 4,83
FR 5,17 0,34 2,07 12,76 1,03 0,69 1,38 2,76 1,03 0,34 11,72 1,72 0,34 1,72 1,38 0,69 2,41 3,10 1,03 1,72 0,34 9,31 0,69 1,03 0,34 8,28 3,45 2,07 0,34 4,83 1,03 1,72 2,41 2,76 1,72 0,69 0,69 1,03 3,79 100,00
INP 9,06 0,55 3,50 27,89 1,65 1,10 2,20 5,01 1,65 0,75 22,97 3,16 0,55 2,75 2,20 1,51 4,87 5,76 2,47 3,36 0,55 28,53 1,10 1,65 0,55 15,02 5,70 3,70 0,55 11,17 2,67 2,75 4,66 5,01 2,75 1,10 1,30 1,65 6,66 200,00
77
Lampiran 15. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) Jenis K KR F FR INP Asam 186,67 5,47 0,33 5,85 11,32 Bayur 66,67 1,95 0,15 2,63 4,58 Benitan 526,67 15,43 0,68 11,99 27,42 Benuang Laki 60,00 1,76 0,10 1,75 3,51 Bintangur 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Bungur 13,33 0,39 0,02 0,29 0,68 Dara - Dara 120,00 3,52 0,27 4,68 8,19 Durian 46,67 1,37 0,12 2,05 3,41 Geronggang 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Girik 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Jambu - Jambu 453,33 13,28 0,60 10,53 23,81 Jawar 26,67 0,78 0,05 0,88 1,66 Juji 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Kapul 20,00 0,59 0,05 0,88 1,46 Kayu Arang 13,33 0,39 0,03 0,58 0,98 Kayu Bawang 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Kayu Ipuh 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Kedondong 93,33 2,73 0,22 3,80 6,54 Kelempayan 66,67 1,95 0,15 2,63 4,58 Kembayar 13,33 0,39 0,03 0,58 0,98 Kemuning 46,67 1,37 0,08 1,46 2,83 Kenuar 100,00 2,93 0,18 3,22 6,15 Keruing Lowei 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Lampung 40,00 1,17 0,08 1,46 2,63 Langsat 13,33 0,39 0,03 0,58 0,98 Lempung 180,00 5,27 0,22 3,80 9,07 Manggeris 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Manggis 40,00 1,17 0,10 1,75 2,93 Marlanang 26,67 0,78 0,05 0,88 1,66 Medang 320,00 9,38 0,55 9,65 19,02 Merkunyit 146,67 4,30 0,18 3,22 7,51 Mersiput 13,33 0,39 0,03 0,58 0,98 Nyatoh Putih 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Nyerakat 140,00 4,10 0,15 2,63 6,73 Petai 20,00 0,59 0,03 0,58 1,17 Poli - poli 120,00 3,52 0,18 3,22 6,73 Pulai 6,67 0,20 0,02 0,29 0,49 Rambutan 153,33 4,49 0,32 5,56 10,05 Rengas 80,00 2,34 0,17 2,92 5,27 Resak 40,00 1,17 0,10 1,75 2,93 Simpur 33,33 0,98 0,05 0,88 1,85 Tengkawang Buah 13,33 0,39 0,02 0,29 0,68 Torap 33,33 0,98 0,07 1,17 2,15 Ulin 80,00 2,34 0,13 2,34 4,68 Total 3413,33 100,00 5,70 100,00 200,00
78
Lampiran 16. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) Jenis Araw Asam Bangkal Bangkirai Bayur Benitan Bilayang Bungur Dara - Dara Durian Geronggang Girik Jalomo Jambu - Jambu Juji Kapul Kayu Arang Kedondong Kelempayan Kembayar Kemuning Kenuar Langsat Lempung Manggeris Manggis Markabang Medang Merading Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Rambutan Rengas Resak Sembiring Tabu Hitam Simpur Torap Ulin Total
K 3,33 26,67 20,00 1,67 18,33 423,33 8,33 3,33 38,33 23,33 5,00 33,33 8,33 115,00 45,00 40,00 20,00 5,00 3,33 95,00 21,67 3,33 13,33 58,33 1,67 3,33 5,00 63,33 11,67 3,33 25,00 1,67 1,67 13,33 18,33 20,00 6,67 13,33 28,33 98,33 8,33 30,00 3,33 3,33 35,00 8,33 1436,67
KR 0,23 1,86 1,39 0,12 1,28 29,47 0,58 0,23 2,67 1,62 0,35 2,32 0,58 8,00 3,13 2,78 1,39 0,35 0,23 6,61 1,51 0,23 0,93 4,06 0,12 0,23 0,35 4,41 0,81 0,23 1,74 0,12 0,12 0,93 1,28 1,39 0,46 0,93 1,97 6,84 0,58 2,09 0,23 0,23 2,44 0,58 100,00
F 0,03 0,22 0,17 0,02 0,18 0,95 0,07 0,03 0,28 0,17 0,05 0,27 0,08 0,78 0,28 0,33 0,20 0,05 0,03 0,55 0,17 0,03 0,13 0,35 0,02 0,03 0,05 0,48 0,12 0,03 0,23 0,02 0,02 0,07 0,18 0,15 0,07 0,13 0,23 0,60 0,08 0,23 0,03 0,03 0,33 0,08 8,67
FR 0,38 2,50 1,92 0,19 2,12 10,96 0,77 0,38 3,27 1,92 0,58 3,08 0,96 9,04 3,27 3,85 2,31 0,58 0,38 6,35 1,92 0,38 1,54 4,04 0,19 0,38 0,58 5,58 1,35 0,38 2,69 0,19 0,19 0,77 2,12 1,73 0,77 1,54 2,69 6,92 0,96 2,69 0,38 0,38 3,85 0,96 100,00
D 0,03 0,37 0,39 0,02 0,17 5,15 0,12 0,04 0,52 0,41 0,08 0,46 0,14 1,72 0,49 0,48 0,30 0,08 0,04 1,19 0,35 0,08 0,19 0,99 0,03 0,03 0,11 0,97 0,11 0,08 0,45 0,02 0,03 0,16 0,31 0,33 0,08 0,17 0,38 1,44 0,14 0,48 0,04 0,08 0,50 0,14 19,89
DR 0,16 1,84 1,94 0,09 0,87 25,88 0,58 0,22 2,62 2,07 0,43 2,32 0,73 8,67 2,47 2,41 1,51 0,39 0,19 6,00 1,75 0,39 0,96 4,97 0,17 0,13 0,55 4,88 0,53 0,39 2,25 0,12 0,17 0,79 1,58 1,65 0,40 0,87 1,89 7,26 0,72 2,41 0,19 0,39 2,49 0,69 100,00
INP 0,78 6,19 5,26 0,40 4,26 66,31 1,93 0,84 8,56 5,62 1,35 7,72 2,27 25,71 8,87 9,04 5,21 1,31 0,81 18,96 5,18 1,01 3,43 13,07 0,48 0,75 1,48 14,87 2,69 1,01 6,69 0,43 0,48 2,49 4,97 4,77 1,63 3,34 6,55 21,03 2,26 7,19 0,81 1,01 8,78 2,23 300,00
79
Lampiran 17. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) Jenis Agathis Alaban Asam Bangkal Bangkirai Bayur Belumai Benitan Benuang Laki Berangan Bilayang Bintangur Dara - Dara Durian Garu Geronggang Girik Jalomo Jambu - Jambu Jawar Jelutung Hitam Juji Kangkala Kapul Kapur Kayu Arang Kayu Bawang Kedondong Kelempayan Kembayar Kemuning Kenari Kenuar Keranji Keruing Rambut Keruing Tempudau Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Macaranga Manggeris Markabang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Merkunyit Mersiput
K 0,33 0,33 10,00 5,33 0,67 4,67 0,33 21,67 4,33 0,33 5,00 1,67 5,67 7,67 1,00 0,67 9,33 2,33 19,67 2,67 0,33 4,67 0,33 2,33 0,67 1,67 0,33 1,67 1,33 13,00 3,67 1,00 5,00 0,33 2,00 0,67 0,67 0,67 3,33 20,33 1,33 1,00 0,33 20,00 0,67 1,33 1,67 11,00 0,33
KR 0,12 0,12 3,69 1,97 0,25 1,72 0,12 8,00 1,60 0,12 1,85 0,62 2,09 2,83 0,37 0,25 3,44 0,86 7,26 0,98 0,12 1,72 0,12 0,86 0,25 0,62 0,12 0,62 0,49 4,80 1,35 0,37 1,85 0,12 0,74 0,25 0,25 0,25 1,23 7,50 0,49 0,37 0,12 7,38 0,25 0,49 0,62 4,06 0,12
F 0,02 0,02 0,38 0,23 0,03 0,17 0,02 0,63 0,17 0,02 0,20 0,08 0,22 0,27 0,03 0,02 0,35 0,12 0,60 0,10 0,02 0,22 0,02 0,10 0,03 0,08 0,02 0,08 0,07 0,52 0,17 0,05 0,22 0,02 0,10 0,02 0,03 0,03 0,17 0,58 0,07 0,05 0,02 0,57 0,03 0,05 0,07 0,42 0,02
FR 0,17 0,17 3,81 2,32 0,33 1,66 0,17 6,29 1,66 0,17 1,99 0,83 2,15 2,65 0,33 0,17 3,48 1,16 5,96 0,99 0,17 2,15 0,17 0,99 0,33 0,83 0,17 0,83 0,66 5,13 1,66 0,50 2,15 0,17 0,99 0,17 0,33 0,33 1,66 5,79 0,66 0,50 0,17 5,63 0,33 0,50 0,66 4,14 0,17
D 0,01 0,05 0,98 0,34 0,06 0,30 0,17 1,76 0,44 0,03 0,28 0,26 0,85 0,57 0,07 0,04 0,59 0,31 1,74 0,48 0,41 0,41 0,12 0,15 0,06 0,09 0,01 0,15 0,14 0,88 0,34 0,07 0,97 0,04 0,43 0,04 0,04 0,04 0,22 3,76 0,19 0,40 0,01 2,73 0,08 0,29 0,31 1,71 0,04
DR 0,03 0,17 3,27 1,13 0,19 1,01 0,55 5,87 1,48 0,09 0,93 0,87 2,85 1,92 0,24 0,14 1,98 1,02 5,80 1,59 1,37 1,37 0,42 0,50 0,19 0,31 0,05 0,51 0,46 2,94 1,13 0,23 3,25 0,14 1,45 0,15 0,14 0,14 0,73 12,58 0,64 1,35 0,04 9,14 0,26 0,96 1,04 5,70 0,13
INP 0,32 0,46 10,77 5,42 0,77 4,39 0,84 20,16 4,74 0,38 4,76 2,31 7,09 7,39 0,94 0,55 8,91 3,04 19,02 3,57 1,66 5,24 0,71 2,36 0,76 1,75 0,33 1,95 1,61 12,87 4,14 1,10 7,25 0,43 3,18 0,56 0,71 0,72 3,62 25,87 1,80 2,22 0,33 22,15 0,84 1,95 2,32 13,90 0,41
80
Lampiran 17. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan datar (0-15%) (Lanjutan) Jenis Merwali Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Pisang - Pisang Poli - Poli Pulai Punaga Rambutan Rengas Resak Rukem Sembiring Tabu Hitam Sengkuang Simpur Tamburan Torap Ulin Total
K 0,33 1,00 6,00 2,00 5,33 9,33 0,33 0,67 21,00 4,00 5,00 0,67 0,33 0,67 1,33 0,33 4,67 2,67 271,00
KR 0,12 0,37 2,21 0,74 1,97 3,44 0,12 0,25 7,75 1,48 1,85 0,25 0,12 0,25 0,49 0,12 1,72 0,98 100,00
F 0,02 0,05 0,25 0,10 0,22 0,37 0,02 0,03 0,65 0,17 0,20 0,03 0,02 0,03 0,07 0,02 0,22 0,13 10,07
FR 0,17 0,50 2,48 0,99 2,15 3,64 0,17 0,33 6,46 1,66 1,99 0,33 0,17 0,33 0,66 0,17 2,15 1,32 100,00
D 0,02 0,06 0,40 0,63 0,50 0,86 0,17 0,19 1,60 0,42 0,49 0,09 0,01 0,07 0,20 0,12 0,41 0,20 29,91
DR 0,06 0,19 1,34 2,10 1,68 2,86 0,56 0,63 5,36 1,41 1,65 0,29 0,03 0,23 0,66 0,42 1,38 0,68 100,00
INP 0,35 1,06 6,03 3,83 5,80 9,95 0,85 1,21 19,56 4,54 5,48 0,86 0,32 0,81 1,81 0,71 5,26 2,99 300,00
81
Lampiran 18. Indeks nilai penting tingkat semai hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis K KR F FR INP Ara Kendang 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Asam 333,33 1,67 0,12 2,87 4,54 Bangkal 500,00 2,51 0,10 2,46 4,97 Bangkirai 125,00 0,63 0,05 1,23 1,86 Benitan 1333,33 6,69 0,30 7,38 14,07 Dara - Dara 291,67 1,46 0,10 2,46 3,92 Jalomo 291,67 1,46 0,03 0,82 2,28 Jambu - Jambu 3250,00 16,32 0,47 11,48 27,79 Jawar 125,00 0,63 0,02 0,41 1,04 Juji 125,00 0,63 0,05 1,23 1,86 Kedondong 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Kelempayan 666,67 3,35 0,12 2,87 6,22 Kembayar 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Kemuning 541,67 2,72 0,15 3,69 6,41 Keruing Rambut 500,00 2,51 0,13 3,28 5,79 Ladang - Ladang 208,33 1,05 0,07 1,64 2,69 Lampung 916,67 4,60 0,20 4,92 9,52 Langsat 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Lempung 2833,33 14,23 0,32 7,79 22,01 Manggeris 208,33 1,05 0,03 0,82 1,87 Manggis 125,00 0,63 0,05 1,23 1,86 Medang 2625,00 13,18 0,57 13,93 27,11 Melapi 541,67 2,72 0,10 2,46 5,18 Merading 541,67 2,72 0,13 3,28 6,00 Meranti Kuning Lain 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Merkunyit 1125,00 5,65 0,08 2,05 7,70 Mersawa 83,33 0,42 0,02 0,41 0,83 Nyerakat 250,00 1,26 0,07 1,64 2,89 Poli - Poli 83,33 0,42 0,03 0,82 1,24 Rambutan 333,33 1,67 0,13 3,28 4,95 Rengas 291,67 1,46 0,08 2,05 3,51 Resak 458,33 2,30 0,13 3,28 5,58 Rukem 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Sengkuang 41,67 0,21 0,02 0,41 0,62 Simpur 291,67 1,46 0,08 2,05 3,51 Sindur 125,00 0,63 0,03 0,82 1,45 Torap 250,00 1,26 0,08 2,05 3,30 Ulin 250,00 1,26 0,10 2,46 3,71 Total 19916,67 100,00 4,07 100,00 200,00
82
Lampiran 19. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis Asam Bangkal Bangkirai Bayur Benitan Dara - Dara Durian Geronggang Jambu - Jambu Jawar Juji Kapul Kayu Arang Kedondong Kelempayan Kembayar Kemuning Keruing Rambut Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Manggis Markabang Marlanang Medang Melapi Merading Meranti Kuning Lain Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Poli - Poli Rambutan Rengas Resak Rukam Sengkuang Simpur Sindur Torap Ulin Total
K 146,67 126,67 106,67 26,67 233,33 133,33 60,00 6,67 453,33 13,33 26,67 6,67 6,67 33,33 33,33 40,00 33,33 40,00 26,67 86,67 40,00 166,67 13,33 13,33 6,67 533,33 33,33 86,67 6,67 100,00 13,33 33,33 20,00 6,67 26,67 20,00 66,67 253,33 60,00 80,00 20,00 26,67 80,00 13,33 46,67 33,33 3440,00
KR 4,26 3,68 3,10 0,78 6,78 3,88 1,74 0,19 13,18 0,39 0,78 0,19 0,19 0,97 0,97 1,16 0,97 1,16 0,78 2,52 1,16 4,84 0,39 0,39 0,19 15,50 0,97 2,52 0,19 2,91 0,39 0,97 0,58 0,19 0,78 0,58 1,94 7,36 1,74 2,33 0,58 0,78 2,33 0,39 1,36 0,97 100,00
F 0,22 0,17 0,20 0,03 0,45 0,23 0,13 0,02 0,63 0,02 0,05 0,02 0,02 0,08 0,08 0,05 0,08 0,07 0,07 0,12 0,10 0,30 0,03 0,03 0,02 0,60 0,07 0,18 0,02 0,08 0,03 0,05 0,03 0,02 0,05 0,03 0,13 0,45 0,12 0,13 0,03 0,05 0,15 0,03 0,07 0,07 5,62
FR 3,86 2,97 3,56 0,59 8,01 4,15 2,37 0,30 11,28 0,30 0,89 0,30 0,30 1,48 1,48 0,89 1,48 1,19 1,19 2,08 1,78 5,34 0,59 0,59 0,30 10,68 1,19 3,26 0,30 1,48 0,59 0,89 0,59 0,30 0,89 0,59 2,37 8,01 2,08 2,37 0,59 0,89 2,67 0,59 1,19 1,19 100,00
INP 8,12 6,65 6,66 1,37 14,79 8,03 4,12 0,49 24,45 0,68 1,67 0,49 0,49 2,45 2,45 2,05 2,45 2,35 1,96 4,60 2,94 10,19 0,98 0,98 0,49 26,19 2,16 5,78 0,49 4,39 0,98 1,86 1,17 0,49 1,67 1,17 4,31 15,38 3,82 4,70 1,17 1,67 5,00 0,98 2,54 2,16 200,00
83
Lampiran 20. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis Asam Bangkal Bangkirai Bayur Benitan Benuang Laki Bilayang Bintangur Dara - Dara Durian Geronggang Geyumbang Girik Jalamo Jambu - Jambu Juji Kapul Kapur Kayu Arang Kedondong Kembayar Kemuning Kenuar Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Manggis Marlanang Medang Merading Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Hitam Nyatoh Putih Nyerakat Petai Pisang - Pisang Poli - Poli Rambutan Rengas Resak Sembiring Tabu Hitam Simpur Sindur Torap Ulin Total
K 28,33 6,67 1,67 6,67 161,67 5,00 3,33 3,33 60,00 18,33 1,67 1,67 146,67 1,67 195,00 10,00 10,00 1,67 21,67 3,33 80,00 1,67 1,67 23,33 8,33 20,00 43,33 1,67 1,67 100,00 1,67 5,00 5,00 1,67 1,67 3,33 48,33 15,00 1,67 16,67 21,67 41,67 10,00 51,67 1,67 8,33 8,33 8,33 13,33 1235,00
KR 2,29 0,54 0,13 0,54 13,09 0,40 0,27 0,27 4,86 1,48 0,13 0,13 11,88 0,13 15,79 0,81 0,81 0,13 1,75 0,27 6,48 0,13 0,13 1,89 0,67 1,62 3,51 0,13 0,13 8,10 0,13 0,40 0,40 0,13 0,13 0,27 3,91 1,21 0,13 1,35 1,75 3,37 0,81 4,18 0,13 0,67 0,67 0,67 1,08 100,00
F 0,22 0,05 0,02 0,07 0,82 0,05 0,03 0,03 0,48 0,18 0,02 0,02 0,58 0,02 0,68 0,08 0,08 0,02 0,18 0,03 0,48 0,02 0,02 0,18 0,08 0,18 0,38 0,02 0,02 0,65 0,02 0,05 0,03 0,02 0,02 0,03 0,40 0,15 0,02 0,13 0,18 0,40 0,10 0,33 0,02 0,08 0,08 0,08 0,13 7,98
FR 2,71 0,63 0,21 0,84 10,23 0,63 0,42 0,42 6,05 2,30 0,21 0,21 7,31 0,21 8,56 1,04 1,04 0,21 2,30 0,42 6,05 0,21 0,21 2,30 1,04 2,30 4,80 0,21 0,21 8,14 0,21 0,63 0,42 0,21 0,21 0,42 5,01 1,88 0,21 1,67 2,30 5,01 1,25 4,18 0,21 1,04 1,04 1,04 1,67 100,00
D 0,46 0,13 0,02 0,09 2,40 0,09 0,05 0,07 0,79 0,25 0,02 0,02 1,68 0,03 2,75 0,08 0,12 0,03 0,34 0,07 1,04 0,03 0,03 0,44 0,13 0,41 0,56 0,01 0,02 1,64 0,01 0,12 0,08 0,01 0,02 0,05 0,54 0,24 0,02 0,25 0,35 0,55 0,12 0,93 0,03 0,13 0,19 0,16 0,25 17,90
DR 2,59 0,72 0,12 0,51 13,43 0,49 0,28 0,38 4,41 1,39 0,12 0,12 9,40 0,19 15,38 0,47 0,69 0,19 1,92 0,37 5,84 0,19 0,19 2,43 0,74 2,28 3,15 0,07 0,11 9,15 0,07 0,66 0,45 0,07 0,11 0,26 3,03 1,34 0,12 1,37 1,96 3,09 0,68 5,18 0,19 0,75 1,08 0,88 1,39 100,00
INP 7,59 1,89 0,47 1,89 36,75 1,53 0,97 1,06 15,33 5,18 0,46 0,46 28,59 0,54 39,73 2,32 2,54 0,53 5,97 1,06 18,37 0,53 0,53 6,62 2,45 6,20 11,46 0,42 0,45 25,39 0,42 1,69 1,27 0,42 0,45 0,95 11,95 4,43 0,47 4,39 6,01 11,47 2,74 13,54 0,53 2,47 2,80 2,60 4,14 300,00
84
Lampiran 21. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) Jenis Asam Bangkal Bangkirai Bayur Benitan Benuang Laki Bilayang Bintangur Dara - Dara Durian Garu Geronggang Girik Jalamo Jambu - Jambu Jawar Jelutung Hitam Juji Kapul Kapur Kayu Arang Kayu Bawang Kedondong Kembayar Kemuning Kenari Kenuar Keranji Keruing Rambut Keruing Tempudau Ladang - Ladang Lampung Langsat Lempung Macaranga Manggeris Manggis Markabang Medang Melapi Merading Meranti Lapang Merkunyit Mersawa Mersiput Nyatoh Putih Nyerakat Pisang - Pisang Poli - Poli
K 8,33 2,67 0,33 3,00 19,33 1,00 4,33 2,67 6,67 3,67 0,33 0,33 18,67 0,33 36,00 0,67 0,33 6,67 2,67 0,67 6,00 0,67 1,00 12,33 2,67 0,33 2,33 0,33 3,67 0,67 4,00 1,00 4,67 27,67 0,33 1,00 1,00 0,33 30,00 1,67 2,00 1,00 4,67 1,00 1,00 5,33 2,00 3,67 8,67
KR 2,80 0,90 0,11 1,01 6,49 0,34 1,46 0,90 2,24 1,23 0,11 0,11 6,27 0,11 12,09 0,22 0,11 2,24 0,90 0,22 2,02 0,22 0,34 4,14 0,90 0,11 0,78 0,11 1,23 0,22 1,34 0,34 1,57 9,29 0,11 0,34 0,34 0,11 10,08 0,56 0,67 0,34 1,57 0,34 0,34 1,79 0,67 1,23 2,91
F 0,32 0,10 0,02 0,15 0,60 0,05 0,18 0,13 0,28 0,18 0,02 0,02 0,53 0,02 0,83 0,03 0,02 0,28 0,12 0,02 0,18 0,03 0,05 0,33 0,13 0,02 0,10 0,02 0,17 0,03 0,18 0,05 0,20 0,68 0,02 0,05 0,05 0,02 0,83 0,07 0,10 0,05 0,18 0,05 0,05 0,22 0,08 0,18 0,32
FR 3,10 0,98 0,16 1,47 5,87 0,49 1,79 1,31 2,77 1,79 0,16 0,16 5,22 0,16 8,16 0,33 0,16 2,77 1,14 0,16 1,79 0,33 0,49 3,26 1,31 0,16 0,98 0,16 1,63 0,33 1,79 0,49 1,96 6,69 0,16 0,49 0,49 0,16 8,16 0,65 0,98 0,49 1,79 0,49 0,49 2,12 0,82 1,79 3,10
D 0,66 0,35 0,07 0,33 1,09 0,85 0,26 0,17 0,65 0,37 0,01 0,04 1,06 0,02 3,17 0,16 0,04 0,39 0,24 0,03 0,59 0,03 0,11 1,01 0,16 0,02 0,34 0,03 1,98 0,05 0,41 0,09 0,55 5,36 0,04 0,22 0,04 0,02 2,45 0,96 0,14 0,84 1,46 0,09 0,98 0,27 0,40 0,30 0,71
DR 1,95 1,04 0,22 0,96 3,20 2,51 0,76 0,51 1,90 1,07 0,04 0,11 3,11 0,05 9,35 0,46 0,12 1,14 0,72 0,09 1,72 0,10 0,31 2,96 0,48 0,06 1,01 0,09 5,84 0,15 1,22 0,25 1,61 15,78 0,11 0,65 0,11 0,05 7,20 2,82 0,41 2,47 4,31 0,26 2,90 0,80 1,17 0,90 2,09
INP 7,85 2,92 0,49 3,44 15,56 3,34 4,01 2,71 6,92 4,10 0,31 0,39 14,60 0,33 29,60 1,01 0,40 6,15 2,75 0,47 5,53 0,65 1,14 10,37 2,68 0,34 2,77 0,37 8,70 0,70 4,35 1,08 5,13 31,77 0,38 1,48 0,93 0,32 25,44 4,03 2,06 3,30 7,67 1,08 3,72 4,71 2,66 3,92 8,10
85
Lampiran 21. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan sedang (15-25%) (Lanjutan) Jenis Pulai Rambutan Rengas Resak Simpur Sindur Temperas Tengkawang Buah Torap Ulin Total
K 1,00 12,00 2,33 15,00 4,67 2,67 0,67 0,33 4,67 4,67 297,67
KR 0,34 4,03 0,78 5,04 1,57 0,90 0,22 0,11 1,57 1,57 100,00
F 0,05 0,42 0,12 0,50 0,20 0,13 0,03 0,02 0,18 0,22 10,22
FR 0,49 4,08 1,14 4,89 1,96 1,31 0,33 0,16 1,79 2,12 100,00
D 0,42 0,81 0,14 1,09 0,29 0,44 0,05 0,06 0,74 0,33 33,96
DR 1,25 2,38 0,42 3,21 0,86 1,29 0,15 0,17 2,18 0,97 100,00
INP 2,08 10,49 2,34 13,14 4,38 3,49 0,70 0,45 5,55 4,66 300,00
86
Lampiran 22. Indeks nilai penting tingkat semai hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) Jenis K KR F FR INP Asam 166,67 0,71 0,05 0,95 1,66 Bangkal 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Bangkirai 1416,67 6,05 0,28 5,40 11,45 Bayur 125,00 0,53 0,05 0,95 1,49 Benitan 2333,33 9,96 0,50 9,52 19,49 Benuang Laki 125,00 0,53 0,05 0,95 1,49 Bilayang 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Bintangur 83,33 0,36 0,03 0,63 0,99 Bungur 125,00 0,53 0,03 0,63 1,17 Dara - Dara 541,67 2,31 0,18 3,49 5,81 Durian 83,33 0,36 0,03 0,63 0,99 Jambu - Jambu 2375,00 10,14 0,43 8,25 18,40 Jawar 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Jelutung Putih 250,00 1,07 0,08 1,59 2,65 Juji 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Kayu Arang 125,00 0,53 0,05 0,95 1,49 Kedondong 458,33 1,96 0,15 2,86 4,81 Kelempayan 875,00 3,74 0,27 5,08 8,82 Kemuning 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Kenuar 250,00 1,07 0,05 0,95 2,02 Keruing Rambut 750,00 3,20 0,15 2,86 6,06 Lampung 916,67 3,91 0,07 1,27 5,18 Langsat 83,33 0,36 0,03 0,63 0,99 Lempung 2291,67 9,79 0,28 5,40 15,18 Manggeris 458,33 1,96 0,10 1,90 3,86 Markabang 208,33 0,89 0,05 0,95 1,84 Marlanang 125,00 0,53 0,03 0,63 1,17 Medang 3500,00 14,95 0,62 11,75 26,69 Melapi 708,33 3,02 0,12 2,22 5,25 Merading 208,33 0,89 0,07 1,27 2,16 Merkunyit 208,33 0,89 0,05 0,95 1,84 Nyatoh Putih 791,67 3,38 0,23 4,44 7,83 Pala Hutan 291,67 1,25 0,08 1,59 2,83 Poli - Poli 41,67 0,18 0,02 0,32 0,50 Rambutan 791,67 3,38 0,23 4,44 7,83 Rengas 541,67 2,31 0,18 3,49 5,81 Resak 583,33 2,49 0,17 3,17 5,67 Rukam 125,00 0,53 0,03 0,63 1,17 Simpur 83,33 0,36 0,03 0,63 0,99 Torap 291,67 1,25 0,08 1,59 2,83 Ulin 875,00 3,74 0,28 5,40 9,13 Total 23416,67 100,00 5,25 100,00 200,00
87
Lampiran 23. Indeks nilai penting tingkat pancang hutan curam (25-45%) Jenis K KR F Agathis 6,67 0,19 0,02 Asam 93,33 2,71 0,18 Bangkal 20,00 0,58 0,05 Bangkirai 160,00 4,65 0,25 Bayur 20,00 0,58 0,03 Benitan 360,00 10,47 0,55 Benuang Laki 20,00 0,58 0,05 Bilayang 26,67 0,78 0,05 Bintangur 46,67 1,36 0,05 Bungur 6,67 0,19 0,02 Dara - Dara 80,00 2,33 0,17 Durian 40,00 1,16 0,10 Jalomo 13,33 0,39 0,03 Jambu - Jambu 526,67 15,31 0,68 Jelutung Putih 60,00 1,74 0,13 Kayu Arang 26,67 0,78 0,07 Kayu Bawang 26,67 0,78 0,03 Kedondong 106,67 3,10 0,25 Kelempayan 160,00 4,65 0,28 Kenuar 20,00 0,58 0,03 Keruing Rambut 33,33 0,97 0,07 Ladang - Ladang 6,67 0,19 0,02 Lampung 26,67 0,78 0,07 Langsat 26,67 0,78 0,03 Lempung 133,33 3,88 0,13 Manggeris 20,00 0,58 0,05 Manggis 20,00 0,58 0,03 Medang 460,00 13,37 0,70 Melapi 40,00 1,16 0,10 Merading 20,00 0,58 0,05 Nyatoh Putih 126,67 3,68 0,27 Pala Hutan 6,67 0,19 0,02 Poli - Poli 53,33 1,55 0,08 Pulai 6,67 0,19 0,02 Rambutan 233,33 6,78 0,43 Rengas 53,33 1,55 0,10 Resak 33,33 0,97 0,08 Rukam 13,33 0,39 0,03 Simpur 6,67 0,19 0,02 Sindur 6,67 0,19 0,02 Tengkawang Buah 6,67 0,19 0,02 Torap 80,00 2,33 0,13 Ulin 206,67 6,01 0,37 Total 3440,00 100,00 5,87
primer pada kelerengan FR 0,28 3,13 0,85 4,26 0,57 9,38 0,85 0,85 0,85 0,28 2,84 1,70 0,57 11,65 2,27 1,14 0,57 4,26 4,83 0,57 1,14 0,28 1,14 0,57 2,27 0,85 0,57 11,93 1,70 0,85 4,55 0,28 1,42 0,28 7,39 1,70 1,42 0,57 0,28 0,28 0,28 2,27 6,25 100,00
INP 0,48 5,84 1,43 8,91 1,15 19,84 1,43 1,63 2,21 0,48 5,17 2,87 0,96 26,96 4,02 1,91 1,34 7,36 9,48 1,15 2,11 0,48 1,91 1,34 6,15 1,43 1,15 25,30 2,87 1,43 8,23 0,48 2,97 0,48 14,17 3,25 2,39 0,96 0,48 0,48 0,48 4,60 12,26 200,00
88
Lampiran 24. Indeks nilai penting tingkat tiang hutan curam (25-45%) Jenis K KR F FR Asam 23,33 3,69 0,22 4,33 Bangkirai 6,67 1,06 0,05 1,00 Bayur 1,67 0,26 0,02 0,33 Benitan 50,00 7,92 0,40 8,00 Benuang Laki 3,33 0,53 0,03 0,67 Berangan 3,33 0,53 0,03 0,67 Dara - Dara 13,33 2,11 0,13 2,67 Geyumbang 18,33 2,90 0,12 2,33 Girik 40,00 6,33 0,32 6,33 Jambu - Jambu 48,33 7,65 0,35 7,00 Juji 5,00 0,79 0,05 1,00 Kapul 20,00 3,17 0,17 3,33 Kasturi 1,67 0,26 0,02 0,33 Kayu Arang 28,33 4,49 0,18 3,67 Kedondong 31,67 5,01 0,22 4,33 Kelempayan 3,33 0,53 0,03 0,67 Kembayar 8,33 1,32 0,08 1,67 Kenari 1,67 0,26 0,02 0,33 Keruing Rambut 3,33 0,53 0,03 0,67 Ladang - Ladang 6,67 1,06 0,05 1,00 Lampung 5,00 0,79 0,05 1,00 Langsat 16,67 2,64 0,13 2,67 Lempung 51,67 8,18 0,33 6,67 Macaranga 1,67 0,26 0,02 0,33 Manggeris 5,00 0,79 0,05 1,00 Markabang 3,33 0,53 0,03 0,67 Medang 65,00 10,29 0,43 8,67 Melapi 5,00 0,79 0,05 1,00 Meranti Lapang 1,67 0,26 0,02 0,33 Merkunyit 6,67 1,06 0,07 1,33 Mersiput 1,67 0,26 0,02 0,33 Nyatoh Putih 18,33 2,90 0,18 3,67 Nyerakat 1,67 0,26 0,02 0,33 Petai 1,67 0,26 0,02 0,33 Pisang - Pisang 3,33 0,53 0,03 0,67 Poli - Poli 3,33 0,53 0,03 0,67 Rambutan 41,67 6,60 0,30 6,00 Rengas 3,33 0,53 0,03 0,67 Resak 35,00 5,54 0,27 5,33 Simpur 1,67 0,26 0,02 0,33 Sindur 1,67 0,26 0,02 0,33 Tamburan 8,33 1,32 0,08 1,67 Torap 16,67 2,64 0,17 3,33 Ulin 13,33 2,11 0,12 2,33 Total 631,67 100,00 5,00 100,00
primer pada kelerengan D 0,39 0,15 0,03 0,77 0,04 0,09 0,22 0,30 0,57 0,70 0,06 0,26 0,02 0,56 0,49 0,05 0,14 0,03 0,06 0,14 0,08 0,28 0,88 0,01 0,09 0,07 1,08 0,09 0,03 0,10 0,02 0,24 0,02 0,03 0,06 0,08 0,71 0,04 0,63 0,04 0,02 0,13 0,27 0,25 10,35
DR 3,81 1,42 0,28 7,44 0,40 0,83 2,14 2,92 5,55 6,80 0,62 2,54 0,21 5,45 4,78 0,51 1,38 0,27 0,54 1,33 0,75 2,67 8,55 0,14 0,92 0,67 10,47 0,87 0,25 0,94 0,24 2,34 0,19 0,27 0,54 0,78 6,88 0,35 6,12 0,40 0,18 1,21 2,64 2,44 100,00
INP 11,83 3,48 0,88 23,36 1,59 2,02 6,92 8,15 18,21 21,45 2,41 9,04 0,80 13,60 14,12 1,71 4,37 0,87 1,73 3,39 2,54 7,98 23,39 0,74 2,71 1,87 29,43 2,66 0,85 3,33 0,83 8,91 0,78 0,87 1,73 1,98 19,48 1,54 16,99 1,00 0,77 4,20 8,61 6,88 300,00
89
Lampiran 25. Indeks nilai penting tingkat pohon curam (25-45%) Jenis K KR F Araw 0,33 0,16 0,02 Asam 8,00 3,85 0,33 Bangkal 0,67 0,32 0,02 Bangkirai 2,00 0,96 0,10 Benitan 9,67 4,65 0,38 Benuang Laki 0,33 0,16 0,02 Bilayang 1,00 0,48 0,05 Bintangur 0,33 0,16 0,02 Dara - Dara 3,33 1,60 0,15 Durian 2,00 0,96 0,08 Geyumbang 3,00 1,44 0,12 Girik 2,67 1,28 0,13 Jalomo 1,00 0,48 0,03 Jalutung Putih 0,67 0,32 0,03 Jambu - Jambu 18,33 8,81 0,67 Jawar 0,33 0,16 0,02 Juji 2,33 1,12 0,10 Kapul 1,33 0,64 0,05 Kapur 0,67 0,32 0,03 Kayu Arang 26,67 12,82 0,63 Kayu Bawang 0,67 0,32 0,03 Kedondong 6,67 3,21 0,20 Kelempayan 0,67 0,32 0,03 Kembayar 1,67 0,80 0,08 Keruing Rambut 1,67 0,80 0,07 Ladang - Ladang 2,67 1,28 0,08 Lampung 0,67 0,32 0,03 Langsat 6,33 3,04 0,30 Lempung 22,67 10,90 0,43 Alaban 0,33 0,16 0,02 Macaranga 0,33 0,16 0,02 Manggeris 2,67 1,28 0,13 Markabang 0,33 0,16 0,02 Medang 17,00 8,17 0,50 Melapi 0,33 0,16 0,02 Meranti Lapang 1,33 0,64 0,07 Merkunyit 4,00 1,92 0,12 Mersawa 0,33 0,16 0,02 Mersiput 1,00 0,48 0,05 Merwali 0,33 0,16 0,02 Nyatoh Putih 5,67 2,72 0,27 Nyerakat 0,67 0,32 0,03 Pala Hutan 0,33 0,16 0,02 Petai 0,67 0,32 0,03 Pisang - Pisang 0,33 0,16 0,02
hutan primer pada kelerengan FR 0,23 4,50 0,23 1,35 5,18 0,23 0,68 0,23 2,03 1,13 1,58 1,80 0,45 0,45 9,01 0,23 1,35 0,68 0,45 8,56 0,45 2,70 0,45 1,13 0,90 1,13 0,45 4,05 5,86 0,23 0,23 1,80 0,23 6,76 0,23 0,90 1,58 0,23 0,68 0,23 3,60 0,45 0,23 0,45 0,23
D 0,03 0,72 0,05 0,55 0,84 0,01 0,10 0,04 0,59 0,22 0,20 0,19 0,60 0,18 1,95 0,01 0,37 0,28 0,12 2,61 0,04 0,82 0,03 0,18 0,40 0,37 0,03 0,64 3,18 0,01 0,02 1,55 0,22 1,55 0,01 0,16 1,33 0,05 0,05 0,12 0,64 0,22 0,05 0,05 0,04
DR 0,10 2,74 0,21 2,09 3,20 0,05 0,38 0,14 2,23 0,84 0,78 0,74 2,30 0,69 7,43 0,05 1,41 1,06 0,44 9,94 0,14 3,13 0,12 0,68 1,51 1,40 0,13 2,44 12,09 0,04 0,06 5,90 0,82 5,91 0,05 0,63 5,04 0,19 0,21 0,45 2,42 0,84 0,18 0,21 0,14
INP 0,48 11,10 0,75 4,40 13,03 0,44 1,53 0,52 5,86 2,92 3,80 3,82 3,23 1,46 25,26 0,44 3,89 2,38 1,21 31,32 0,91 9,03 0,90 2,61 3,21 3,81 0,90 9,54 28,85 0,43 0,45 8,99 1,21 20,84 0,43 2,17 8,54 0,58 1,36 0,83 8,75 1,61 0,56 0,98 0,53
90
Lampiran 25. Indeks nilai penting tingkat pohon hutan primer pada kelerengan curam (25-45%) (Lanjutan) Jenis K KR F FR D DR INP Poli - Poli 4,33 2,08 0,20 2,70 0,36 1,38 6,16 Pulai 1,67 0,80 0,05 0,68 0,35 1,34 2,82 Punaga 0,33 0,16 0,02 0,23 0,04 0,16 0,54 Rambutan 7,67 3,69 0,33 4,50 0,60 2,27 10,46 Rengas 1,00 0,48 0,05 0,68 0,14 0,55 1,71 Resak 10,67 5,13 0,38 5,18 0,87 3,31 13,62 Sembiring Tabu Hitam 0,67 0,32 0,03 0,45 0,05 0,18 0,95 Simpur 1,67 0,80 0,08 1,13 0,25 0,97 2,90 Sindur 1,00 0,48 0,05 0,68 0,08 0,30 1,46 Tamburan 3,33 1,60 0,12 1,58 0,48 1,83 5,01 Tengkawang Buah 0,33 0,16 0,02 0,23 0,02 0,07 0,46 Torap 6,00 2,88 0,25 3,38 0,56 2,14 8,41 Ulin 5,33 2,56 0,23 3,15 1,04 3,94 9,66 Total 208,00 100,00 7,40 100,00 26,27 100,00 300,00
91
Lampiran 26. Gambar tegakan hutan setelah penebangan umur 1 tahun (LOA TPTJ 1 Tahun) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
92
Lampiran 27. Gambar jalur tanam TPTJ (3 meter) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
93
Lampiran 28. Peta areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah