KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah
Beny Budiansyah E14201051
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Ringkasan SKRIPSI BENY BUDIANSYAH. E14201051. KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH DAN TANAM INDONESIA INTENSIF Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan tropis dengan kekayaan alam termasuk hutan yang melimpah dan merupakan salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropika terluas di bumi. Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat berperan tak hanya bagi segi perekonomian tetapi juga seluruh aspek kehidupan. Dalam pengusahaan hutan pemerintah menunjuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Dalam kegiatan pengusahaan hutan perusahaan untuk menerapkan sistem silvikultur yang bertujuan untuk menjamin kelestarian hasil hutan. Beberapa sistem silvikultur yang sudah dilaksanakan adalah THPB, TPI, TPTI dan TPTJ. Pada tahun 2005 Departemen Kehutanan melakukan ujicoba untuk menerapkan sistem silvikultur intensif yang dinamakan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang diujikan pada beberapa perusahaan pemegang IUPHHK. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pelaksanaan sistem silvikultur TPTII yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati dan mempelajari dampak penebangan dengan sistem silviklutur TPTII terhadap kondisi lingkungan terutama pada vegetasi atau tegakan tinggal, sifat fisik dan kimia tanah. Penelitian dilakukan di IUPHHK PT. Erna Djuliawati pada hutan areal bekas tebangan yang baru dilakukan kegiatan pembuatan jalur tanam pada petak N30, N32 sebagai areal di hutan bekas tebangan dan hutan primer sebagai pembanding. Pada petak tersebut dibuat plot pengamatan analisis vegetasi pada 3 kelas kelerengan yaitu 0-15%, 15-25% dan 25-40% masing-masing kelerengan sebanyak 3 plot berukuran 100 x100 m.. Alat yang digunakan di dalam penelitian ini antara lain meteran, pita diameter, cristen meter, kompas, clinometer, tali rafia/tambang, ring tanah, parang/golok, kamera, flagging tape, alat tulis, tally sheet dan kamera. Parameter yang diukur pada plot tersebut selain diambil data untuk analisis vegetasi yang meliputi komposisi jenis, dominasi jenis, keanekaragaman jenis, kesamaan komunitas, stratifikasi tajuk juga diambil data kerusakan tegakan, keterbukaan lahan dan adanya pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah. Untuk sifat fisik tanah yang diamati adalah struktur, kelas tekstur tanah, bobot isi dan kadar air tanah. Sedangkan untuk sifat kimia tanah paramer yang diamati adalah pH tanah, unsur hara tanah esensial dan yang terkait penetapan kesuburan tanah. Komposisi jenis baik pada hutan alam maupun areal bekas tebangan bervariasi baik pada lokasi maupun tingkat vegetasinya, untuk komposisi jenis di hutan primer ditemukan antara 17-58 jenis dimana jenis yang paling sedikit ditemukan pada vegetasi tingkat tiang di kelerengan 0-15% dan yang paling banyak ditemukan pada vegetasi tingkat pohon di hutan primer kelerengan 2540%. Untuk di hutan bekas tebangan jumlah jenis yang ditemukan berkisar antara 28-41 jenis. Dari jenis-jenis yang ditemukan tersebut jenis yang paling banyak ditemukan berasal dari famili Dipterocarpaceae. Berdasarkan pohon inti maupun
permudaan tegakan tinggal jumlah individu pada masing-masing tingkat vegetasi memenuhi dari kriteria Departemen Kehutanan pada pedoman TPTI. Jenis dominan pada plot pengamatan untuk tiap tingkat vegetasi ditentukan dengan INP-nya. Jenis dengan INP yang tinggi Berdasarkan pengamatan vegetasi yang mendominasi pada areal penelitian berasal dari famili Dipetrocarpaceae. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang mendominasi tersebut diantaranya adalah meranti kuning marsiput (Shorea xanthophylla), meranti kuning markunyit (Shorea asamica), markabang (Shorea johorensis). Sedangkan jenis diluar famili dipterocarpaceae yang mendominasi adalah medang (Litsea spp.), benitan (Polyalthia laterifolia). Jenis-jenis dominan di atas merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap lingkungan daripada jenis lainnya. Keanekaragaman jenis didasarkan pada parameter indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) parameter tersebut dipengaruhi oleh indeks kekayaan margallef (R1) dan dan indeks kemerataan (E). Pada areal pengamatan pada umumnya memiliki tingkat kekayaan yang cukup tinggi didasarkan pada besarnya nilai indeks sebagian besar diatas 5,0 hanya vegetasi tingkat tiang pada hutan primer kelerengan 0-15% dan 25-40% yang nilainya berada dibawah 5,00 dimana nilainya masing-masing yaitu 2,85 dan 3,73. Sedangkanbesarnya nilai Indeks Kemerataan (E) sebagian besar menunjukkan angka diatas 0,6 hanya vegetasi tingkatan tiang di hutan primer kelerengan 0-15% dan 15-25% yang nilainya dibawah 0,6 yaitu 0,59 dan 0,56. Keanekaragaman jenis yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Keragaman Shanon-Wiener (H’) memiliki nilai yang cukup tinggi lebih dari 2,00, vegetasi tingkat tiang kelerengan 15-25% di hutan primer yang memiliki nilai kurang dari 2,00 yaitu sebesar 1,67. Kecilnya niali pada ketiga parameter tersebut dikarenakan adanya jenis yang dominasinya cukup tinggi yaitu jenis medang (Litsea sp.). Indeks kesamaan umumnya berada dibawah 75%. Indeks Kesamaan yang paling tinggi dicapai oleh tingkat pancang pada kelerengan 15 – 25% dimana besarnya IS mencapai 58,3%. Sedangkan nilai IS paling kecil didapat pada vegetasi tingkat tiang di kelerangan 0-15% dengan nilai IS hanya 17,4%. Keterbukaan lahan akibat penebangan yang paling besar terdapat pada plot di kelerengan 25-40% dimana berdasarkan pengukuran jumlahnya mencapai 8581,945 m2. Keterbukaan lahan ini disebabkan oleh penebangan 20 pohon produksi dan 31 pohon dengan diameter >20 cm untuk keperluan pembuatan jalur tanam. Sedangkan keterbukaan akibat penyaradan sebesar 1810,1 m2 sehingga total keterbukaan lahan seluas 10.392,045 atau 34,64% dari total luas pot dikelerengan tersebut. Kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon paling besar dialami oleh penebangan pohon markabang (diameter 83 cm) yang menyebabkan kerusakan pada plot contoh 30,38%. Sedangkan pada pengukuran kerusakan akibat kegiatan pemanenan kerusakan tegakan tegakan paling besr terjadi pada plot kelerengan 27,53% dengan bentuk kerusakan terbesar berupa batang patah/roboh sebesar 14,61%. Pengamatan terhadap sifat fisik tanah jenis tanah di plot pengamatan termasuk jenis podsolik merah kuning dengan struktur butiran dengan kelas tekstur lempung, lempung berdebu dan lempung berliat. Bobot isi tanah berkisar antara 1,11-1,33 gr/cm3, Sedangkan kadar air tanah berkisar antara 32,78 % sampai 40,32%.
Berdasarkan hasil analisa laboratorium pH tanah pada termasuk kategori tanah masam untuk hutan bekas tebangan dengan pH 4,5 untuk tanah di kedalaman 0-20 cm sedangkan tanah pada kedalaman 20-40 cm 4,7. Untuk hutan primer tanahnya masuk ke kategori sangat masam dengan pH 4,1-4,4. Dalam penetapan status kesuburan tanah untuk masing-masing lokasi baik untuk hutan primer maupun hutan areal bekas tebangan menunjukkan tingkat kesuburan yang rendah hal ini diakibatkan karena bahan organik, kandungan Corganik, P2O5, K2O5 dan KB-nya menunjukkan nilai yang rendah. Hanya KTK saja yang menunjukkan tingkat yang sedang. Hal ini menyebabkan tingkat kesuburan kedua lokasi ini menjadi rendah. Dari penelitian ini dapat didapatkan bahwa Kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati dilaksanakan pada areal huan bekas tebangan baru yang merupakan konversi dari hutan primer. Komposisi jenis yang terdapat dalam jalur konservasi baik itu permudaan dan pohon inti memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kriteria berdasarkan pedoman pelaksanaan TPTI dari Departemen Kehutanan. Tingkat keanekaragaman jenis pada hutan areal bekas tebangan yang berada di dalam jalur konservasi memiliki nilai yang cukup tinggi dengan nilai indeks berada diatas 2,00 pada indeks keragaman Shannon-Wiener. Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTII menyebabkan keterbukaan lahan dan kerusakan tegakan baik akibat penebangan produksi, penyaradan dan pembuatan jalur tanam. Keterbukaan lahan dan kerusakan lahan terbesar terjadi pada plot di kelerengan 25-40% dengan persentase keterbukaan lahan sebesar 34,64% dan untuk kerusakan tegakan sebesar 27,33%. Pada pengukuran sifat fisik dan kimia tanah belum terdapat perubahan yang signifikan antara hutan areal bekas tebangan dan hutan primer. Baik hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki nilai pH yang rendah atau asam begitu pula dengan tingkat kesuburannya pada kedua lokasi tersebut rendah
KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh: BENY BUDIANSYAH E14201051
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
LEMBAR PENGESAHAN Judul:
: Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.
Nama
: Beny Budiansyah
Nomor Pokok
: E14201051
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan MS) NIP. 130 536 674
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.) NIP. 131 430 799
Tanggal :
KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh: BENY BUDIANSYAH E14201051
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 11 Februari 1983, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Omas dan Iis Aisyah. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1988 di TK Aisiyah 1. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar pada tahun 1989 di SDN Kiansantang Garut dan menyelesaikannya pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis ditempuh di SMPN 1 Garut dari tahun 1995 sampai tahun 1998. Lalu melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat menengah di SMUN 1 Tarogong Garut dari tahun 1998 sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Bidang minat yang dipilih pada saat perkuliahan adalah bidang Ekologi Hutan. Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi intra kampus yaitu FMSC periode kepengurusan dari tahun 2002-2004. Penulis pernah aktif sebagai Asisten Praktikum mata kuliah Ekologi hutan pada tahun 2005-2006. Pada tahun 2003 penulis melaksanakan magang di KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Penulis mengikuti kegiatan praktek pada tahun 2004 yang meliputi Praktek Pengenalan Hutan (PUK) di Baturaden-Cilacap, KPH Banyumas Timur dan KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Getas KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Tahun 2005 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan (PKL) di IUPHHK PT. Wirakarya Sakti, Propinsi Jambi. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, pada bulan Februari – April , penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul ” Komposisi dan Struktur
Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah” , dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan penulis mengambil judul ”Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah”. Penelitian dan penulisan karya ilmiah yang penulis lakukan tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua saya tercinta Bapak Omas dan Ibu Iis Aisyah atas dukungan moril materil, doa serta pengorbanan yang diberikan, serta kedua adik Roby Iskandar dan Boby Nurul Hakim dengan segala kasih sayang dan dan pengertiannya. 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan arahannya, Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc selaku penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. 3. Bapak Suparto dan Agus Prasojo yang telah mengijinkan penulis untuk melaksanakan penelitian di PT. Erna Djuliawati 4. Bapak Ir. Suparman, Bpk. Nandang, Bpk. Feisol, Bpk. Sabarudin, Mas Filo dan semua karyawan PT. Erna Djuliawati yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian ini. 5. Konservasi Team (Mas Kamto, Bang Pius, Zaenal, Tajudin, Diono dan Leman) yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dilapangan. 6. Keluarga Besar Budidaya Hutan ’38 atas tawa, ceria dan kepeduliannya selama ini. Rekan-rekan Fakultas Kehutanan IPB atas kekompakan dan kebersamaannya. To DHM. Nur. A. Aziz MK... nuhun Dul....atas segala bantuannya semoga bisa membalasnya nanti.
7. Teman-teman laboratorium Ekologi: Danu, Tezar, Dika, Beri, Fiki, Dania, Eko, Weli, Tuti. 8. Fifi Isdianti atas waktunya untuk menemani dan berbagi.... terimakasih. 9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan karena semua keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa yang akan datang Bogor, Juni 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. i DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Tujuan ................................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 A. Hutan Hujan Tropika .......................................................................... 3 1. Batasan ................................................................................... 3 2. Komponen Penyusun.............................................................. 4 3. Penyebaran Hutan Tropika Indonesia .................................... 5 B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ....................................................... 6 C. Stratifikasi .......................................................................................... 6 D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) .................................................................................. 8 E. Pemanenan Kayu ................................................................................ 10 F. Dampak dari Kegiatan Pemanenan Kayu ........................................... 10 1. Pemadatan Tanah ................................................................... 10 2. Erosi dan Sedimentasi ............................................................ 11 3. Keterbukaan Lahan ................................................................ 12 4. Kerusakan Tegakan Tinggal .................................................. 13 G. Analisis Tanah .................................................................................... 14 1. Sifat Fisik Tanah .................................................................... 14 2. Sifat Kimia dan Unsur-unsur Hara Esensial .......................... 15 III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................ 19 A. Letak dan Luas.................................................................................... 19 B. Topografi dan Kelerengan .................................................................. 19 C. Geologi dan Tanah.............................................................................. 20 D. Hidrologi ............................................................................................. 21 E. Iklim ................................................................................................ 21 F. Penutupan Lahan ................................................................................ 22 G. Flora dan Fauna .................................................................................. 23 IV. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 24 B. Bahan dan Alat .................................................................................. 24 C. Metode Pengambilan Data.................................................................. 24 1. Analisa Vegetasi ..................................................................... 24 2. Pengukuran Kerusakan Tinggal Akibat Penebangan Satu pohon .............................................................................. 26 3. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan
Pemanenan Kayu .................................................................... 27 4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ................. 28 5. Starifikasi Tajuk ..................................................................... 28 6. Pengambilan Contoh Tanah.................................................... 29 D. Analisis Data....................................................................................... 29 1. Analisis Vegetasi .................................................................... 29 2. Analisa Data Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon .............................................................................. 32 3. Analisa Data Kerusakan tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan kayu ..................................................................... 32 4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ........................ 32 5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah................................................. 33 6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah............................................... 33 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 35 A. Komposisi Jenis .................................................................................. 35 B. Dominasi Jenis .................................................................................... 39 C. Keanekaragaman Jenis ....................................................................... 45 D. Kesamaan antara Dua Komunitas (Indeks Similarity/IS) ................... 49 E. Stratifikasi Tajuk ................................................................................ 50 F. Keterbukaan Lahan ............................................................................. 51 G. Kerusakan Tegakan Tinggal ............................................................... 53 1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon................... 53 2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan ....................................... 55 H. Sifat Fisik Tanah ................................................................................. 57 I. Sifat Kimia Tanah ............................................................................... 58 1. pH Tanah ................................................................................... 58 2. Analisis Unsur Hara Tanah .......................................................... 58 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 64 A. Kesimpulan ........................................................................................ 64 B. Saran ................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 65 LAMPIRAN .................................................................................................... 68
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Jenis Dan Unsur Hara yang diserap Tanaman Dari Sistem Tanah ......... 17 2. Penilaian Sifat Kimia Tanah .................................................................... 18 3. Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan Tingkat Kelerengan................................................................................... 20 4. Formasi Geologi Areal Kerja PT. Erna Djuliawati................................... 20 5. Morpometri Sungai Di Areal PT. Erna Djuliawati ................................... 21 6. Penetapan Status kesuburan tanah ............................................................ 34 7. Jumlah Jenis yang Ditemukan di Hutam Primer dan Hutan Bekas Tebangan pada Berbagai Kelerengan ....................................................... 36 8. Komposisi Permudaan Jenis Komersial di Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan Dilihat dari Penyebaran (Frekuensi) dan Kerapatannya (N/Ha) ................................................................................ 36 9. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Masing-masing Lokasi Pengamatan ............................................................................................... 41 10. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis Komersial ditebang (KD) Komersial Tidak Ditebang dan Jenis Lain (JL) pada Berbagai Kelerengan ................................................................................................ 44 11. Indeks Kekayaan Margallef (R1) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan ............................. 45 12. Indeks Kemerataan Jenis (E) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan ............................. 46 13. Nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan..... 47 14. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ............................................................ 49 15. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan .................................... 52 16. Pengukuran Kerusakan Tegakan akibat Penebangan Satu Pohon ........... 54 17. Persentase Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Berdasarkan Tingkat Kerusakannya .............................................. 55 18. Pengukuran kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam ....................................................................... 56
19. Pengukuran Sifat Fisik Tanah pada Hutan Bekas Tebangan .................... 57 20. pH tanah .................................................................................................... 58 21. Hasil Analisis Kimia dalam Penetapan Kesuburan Tanah ....................... 60 22. Hasil Analisis Kimia untuk Unsur Hara Lainnya ..................................... 60
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ............................................................ 9 2. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi ............................................. 26 3. Plot Pengamatan Stratifikasi Tajuk........................................................... 29 4. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Areal Pengamatan ............................................................................................... 37 5. Kerapatan Pohon pada Masing-masing Lokasi Pengamatan .................... 38 6. Kerapatan Pohon Komersial pada Tiap Kelerengan ................................. 39 7. Perbandingan Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) pada tiap Kelerengan ............................................................................................... 48
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Nama Jenis Dalam Plot Pengamatan ............................................. 69 2. Daftar Nama Jenis Kayu Komersial Dalam Cruising PT. Erna Djuliawati .................................................................................. 71 3. Peta Lokasi Pengamatan .......................................................................... 72 4. Peta Tanah di Areal PT. Erna Djuliawati.................................................. 75 5. Rekapitulasi INP Pada Setiap Areal Pengamatan ..................................... 76 6. Gambar Profil Arsitektur Hutan ............................................................... 83 7. Foto-Foto Penelitian ................................................................................. 89
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Indonesia terletak di kawasan tropis, dengan cahaya matahari dan curah hujan tinggi merata sepanjang tahun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya keanekaragaman hayati terutama yang berada dikawasan hutan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal hutan hujan tropika terluas di dunia. Oleh karena itu hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat berperan tak hanya bagi segi perekonomian penduduknya tetapi juga bagi seluruh aspek kehidupan. Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari pemerintah terutama Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam untuk kegiatan pembalakan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1998), Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, permudaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Beberapa Sistem Silvikultur yang sudah diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Habis Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Dalam pelaksanaannya sistem-sistem silvikultur di atas masih memiliki kelemahan sehingga perlu adanya penyempurnaan-penyempurnaan. Oleh karena itu untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien, Departemen
Kehutanan
akan
mengembangkan
pembangunan
Sistem
Silvikultur Intensif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (Departemen Kehutanan, 2004). Kemudian sistem silvikultur intensif ini dinamakan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati. Dengan demikian penelitian ini dapat memberikan informasi sejauh mana keberhasilan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif ini dapat dilaksanakan dalam pengelolaan hutan hujan tropika dataran rendah.
B. Tujuan Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah : 1. Mempelajari pelaksanaan kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati. 2. Mempelajari dampak penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif terhadap kondisi lingkungan terutama pada vegetasi atau tegakan tinggal, sifat fisik dan kimia tanah yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Hujan Tropika 1. Batasan Hutan ialah suatu kelompok pohon-pohonan yang cukup luas dan cukup rapat, sehingga dapat menciptakan iklim mikro (micro-climate) sendiri (Darjadi, Loekito dan R. Hardjono, 1980). Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di sekitar wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (sekitar 25 – 26 oC) dan dengan kelembaban rata-rata sekitar 80 %. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata 30 meter (Ewusie 1980). Hutan hujan merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya; cahaya kurang kelembaban yang lebih tinggi dengan suhu yang rendah (Whitmore, 1986). Hutan hujan tropika termasuk merupakan hutan yang selalu hijau (evergreen forest) merupakan tipe alami dari vegetasi yang terbentuk dari kondisi lingkungan yang panas dan lembab khas daerah tropis yang merupakan karunia bagi pertumbuhan tanaman di bumi. Ada dua hal utama kondisi lingkungan yang sangat menunjang terhadap kehidupan yaitu sinar matahari dan air yang berlimpah. Suhu dan kelembaban yang tinggi dan konstan, curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, penyinaran matahari yang lama sepanjang hari di daerah ekuator bersama-sama menciptakan kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman yang maksimum (Mac Kinnon et al,19 ). Hutan hujan tropika (tropical rain forest) memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan, 1989):
1. Iklim selalu basah 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dml) dan pada tinggi (s/d 4000 m dml) 4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya: •
Hutan hujan bawah
2 – 1000 m dml
•
Hutan hujan tengah
1000 – 3000 m dml
•
Hutan hujan atas
3000 – 4000 m dml
5. -
Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpacea antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles.
-
Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.
-
Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lainlain.
6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian. 2. Komponen Penyusun Berdasarkan komponen penyusunnya hutan hujan tropika meliputi (Ewusie, 1980) : 1. Komponen abiotik yang terdiri dari a. Suhu. Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 20 0C dan 28 0C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0.4 – 0.7 0C. b. Curah hujan. Hutan hujan tropik menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 3000 mm dalam setahunnya.
c. Kelembaban atmosfer. Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80%. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selam musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan. d. Angin. Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam. e. Cahaya. Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam dimanapun diwilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi. f. Karbondioksida. Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan. 2. Komponen biotik. Komponen dasar hutan hujan tropika adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasi. 3. Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke dalam 3 zone vegetasi, yaitu: a) Zone barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae. b) Zone timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae. c) Zone peralihan, dimana pengaruh dari kedua benua tersebut bertemu yaitu Pulau Jawa dan Sulawesi, terdapat dari jenis Araucariacea, Myrtaceae, dan Verbenaceae. Sekalipun dapat dikatakan pemisahan demikian tidaklah berarti bahwa batas tersebut merupakan garis tegas yang dari penyebaran vegetasi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropika di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta Irian.
B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan Ewusie (1990) menyatakan bahwa suksesi merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berada dalam daerah tersebut pada suatu waktu tertentu mengubah lingkungannnya, yang terdiri dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian rupa sehingga membuatnya lebih cocok untuk spesies yang lain daripada bagi tumbuhan itu sendiri. Soerianegara dan Indrawan (1988) masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhtumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon yang tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan demikian, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang yang mengembalikan pada keadaan kesetimbangan.
C. Stratifikasi Didalam
masyarakat
tumbuh-tumbuhan,
seperti
hutan,
terjadi
persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (species) atau berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hal hara mineral tanah, air cahaya dan ruang. Hutan hujan tropika terkenal karena adanya perlapisan atau stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya disusun pada arah vertikal
dengan jarak teratur secara tak-sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri dari pepohonan setinggi 30 – 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18 – 27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8 – 14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tetumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna (Ewusie 1990). Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa didalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) dari pada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Hutan hujan tropika terkenal karena stratifikasinya. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya tesusun secara vertikal dengan jarak teratur secara tak-sinambung (Ewusie , 1990). Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan misalnya sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) : a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak. b. Stratum B : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari
stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran) c. Stratum C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu : a. Stratum D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m. b. Stratum E : Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover), tingginya 0-1 m.
D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien Departemen Kehutanan akan mengembangkan sistem silvikultur intensif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan
Silvikultur
adalah
cara-cara
penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan (Departemen Kehutanan, 2004). Sistem
TPTII
adalah
regime
silvikultur
hutan
alam
yang
mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah (Departemen Kehutanan, 2005): a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 kali, kualitas produk lebih baik. c. Target produksi lebih bisa fleksibel bergantung pada investasi tanaman (kayu, produk metabolisme sekunder).
d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik. e. Kemampuan perusahaan meningkat. Dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan Sistem Silvikultur Intensif ini hampir sama dengan pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) hanya saja perbedaannya terletak pada limit diameter pohon yang ditebang dan juga jalur tanam untuk permudaannya. Dalam Sistem Silvikultur TPTII yaitu pohon-pohon yang ditebang yaitu pohon-pohon komersil yang berdiameter 50 cm keatas, sedangkan Sistem Silvikultur TPTJ pohon yang ditebang adalah pohon komersil yang berdiameter 40 cm keatas. Pada sistem TPTJ jalur tanam selebar 10 m yang merupakan jalur bebas naungan harus bersih dari pohon-pohon yang menaungi dan pada jarak 1,5 m masing-masing dari kiri kanan sumbu jalur tanam harus lebih bersih dari semak belukar (jalur bersih selebar 3 m), dan pada jalur tanam tidak boleh dilewati alat berat, kecuali pada pinggir jalur sebelum ada tanaman. Jalur bersih sama sekali tidak boleh dilewati angkutan kayu. Dalam Sistem Silvikultur TPTII jalur tanam hanya berupa jalur bebas naungan selebar 3 m dimana di tengah jalur tanam tersebut terdapat sumbu tanam untuk anakan semai permudaan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini. Jarak antar titik tanam 2,5 m Jalur kotor
Titik tanam
2,5 m
3 m
17 m Jalur tanam
Gambar 1. Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
E. Pemanenan Kayu Pemanenan kayu adalah serangkaian kagiatan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan dengan biaya yang ekonomis dan kerusakan lingkungan yang minimum (Budiaman, 2003). Sedangkan menurut Suparto (1979) dalam Kurniawan (2003) pemanenan hasil hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan dan kebudayaan masyarakat.
F. Dampak dari Kegiatan Pemanenan Kayu Untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat pembalakan perlu adanya perencanaan yang matang. Dalam kegiatan pembalakan di Indonesia dikenal sebutan RIL (Reduced Impact Logging) atau RITH (Reduce Impact Timber Harvesting) untuk mengurangi kerusakan terhadap lingkungan. Menurut Elias (2002), RIL (Reduced Impact Logging) atau RITH (Reduce Impact Timber Harvesting) adalah suatu teknik pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal dan tanah. Dari beberapa rangkaian kegiatan pemanenan hasil hutan kayu kegiatan penebangan dan kegiatan penyaradanlah yang paling menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Beberapa gangguan tersebut diantaranya adalah : 1. Pemadatan Tanah Tanah merupakan kumpulan tubuh alam di atas permukaan bumi yang
mengandung
benda-benda
hidup
dan
mampu
mendukung
pertumbuhan tanaman. Sifat fisik tanah hutan telah lama diyakini oleh para peneliti sebagai faktor yang penting dalam proses pertumbuhan tegakan. Tekstur tanah yang merupakan perbandingan relatif fraksi pasir, debu dan liat mempunyai pengaruh besar terhadap produktivitas dan daya guna suatu lahan. Tanah yang bertekstur kasar dan pasir bergaluh tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Sebaliknya tanah yang bertekstur halus misalnya liat, liat berlempung atau liat berdebu mampu menyekap
air dan zat hara. Untuk pertumbuhan tanaman diperlukan tanah yang bertekstur pertengahan (Hamzah, 1983 dalam Matarangan, 1992). Besarnya tingkat pemadatan tanah akibat pemanenan kayu dapat diduga dari hasil pengukuran kerapatan limbaknya. Hovland et al. (1983) dalam Matarangan (1992) membedakan kelas pemadatan tanah sebagai berikut: a. Tanah longgar (loose soils) dengan kerapatan limbak tanah 0,9 – 1,3 g/cm3. b. Tanah normal (normal soils) dengan kerapatan limbak tanah 1,3 – 1,5 g/cm3. c. Tanah padat (compact soils) dengan kerapatan limbak tanah 1,5 – 1,8 g/cm3. Terjadinya kepadatan tanah akibat kegiatan pemanenan terutama terjadi pada kegiatan penebangan dan penyaradan. Pada kegiatan penyaradan yang menggunakan traktor berban ulat menunjukkan terjadinya
kenaikkan
pemadatan
tanah
yang
ditunjukkan
oleh
meningkatnya kerapatan limbak tanah dengan semakin tingginya intensitas penyaradan. Pada kedalaman 0 – 5 cm perubahan tingkat kepadatan lebih besar dibandingkan perubahan kepadatan tanah yang terjadi pada kedalaman 5 – 10 cm dan 10 – 15 cm (Matangaran, 1992). Kegiatan pemanenan kayu yang melibatkan penggunaan traktor dapat mengubah berbagai penampilan fisik tanah hutan tanamannya, khususnya di bekas jalan saradnya. Watak fisik tanah yang paling mudah mengalami perubahan adalah kepadatannya. Pemanenan kayu cenderung memadatkan tanah yang akan memberikan dampak berantai pada watak tanah lainnya, misalnya peningkatan nilai bobot isi dan penurunan ukuran pori, kesarangan, infiltrasi, dan perembihannya. Intensitas perubahan tersebut antara lain bergantung pada ciri-ciri tanah lainnya dan intensitas perlintasan alat beratnya. 2. Erosi dan Sedimentasi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau atau bagianbagian dari tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin
ketempat lain. Didaerah beriklim basah erosi oleh airlah yang penting, sedangkan oleh angin tidak berarti. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad, 1989). Sedangkan menurut Sarief (1985) erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian dan kualitas lingkungan hidup. Intensitas hujan yang tinggi maka setiap penggunaan lahan tanpa memperhatikan efektifitas penutupan tanah atau bentuk pengelolaan lahan lainnya akan mengundang bahaya erosi (Poerwowidodo, 1986) Menurut El-Swaify dan Bangler (1982) dalam Poerwowidodo (1986), karakteristik iklim khususnya hujan saja tidaklah cukup untuk menilai bahaya erosi total, oleh karena itu erosi tanah ini akan tergantung pada faktor lain seperti: watak tanah, kedudukan topografi, penutupan tetumbuhan dan faktor-faktor pengelolaan. 3. Keterbukaan Lahan Keterbukaan areal hutan disebabkan oleh dua hal yaitu akibat penebangan adalah luasan wilayah yang terbuka akibat hempasan pohon roboh dan keterbukaan areal akibat penyaradan adalah luasan wilayah yang terbuka akibat pembuatan jalan ongkak (jalan sarad) (Kurniawan, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triyana (1995) di HPH PT Industries et Forests Asiatiques Jambi, kegiatan pemanenan kayu akan mengakibatkan terbukanya areal hutan. Besarnya keterbukaan lahan akibat penebangan adalah 5,25% yang disebabkan dari 13 batang pohon yang ditebang, sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan sebesar 30,98% dari seluruh areal penebangan. Laju dekomposisi serasah tidak dipengaruhi oleh ukuran gap yang terbentuk, tetapi kehadiran gap akan menurunkan laju dekomposisi. Perbedaan laju dekomposisi antara pada hutan yang tertutup dan pada gap
dapat dijelaskan oleh perbedaan kondisi lingkungan dan gangguan oleh flora dan fauna tanah dan juga penebangan. Kondisi iklim mikro yang terbuka ini akan menyebabkan lapisan humus dan 5 cm lapisan tanah teratas menjadi mengering. Kondisi ini sedikit menguntungkan bagi flora dan fauna tanah dalam proses dekomposisi. Dalam gap, kondisi iklim mikro selama siang hari cukup untuk menguapkan semua air yang di intersepsi oleh lapisan humus pada waktu satu atau dua jam setelah hujan. Dalam hutan yang tertutup, air hujan yang diserap oleh serasah tidak cukup dalam waktu sehari untuk mengevaporasinya. Kondisi iklim yang terdapat gap seperti ini akan meningkatkan laju dekomposisi unsur hara tanah (van Dam, 2001). 4. Kerusakan Tegakan Tinggal Kerusakan karena pembalakan terhadap pohon-pohon tinggal, pertama disebabkan oleh kegiatan penebangan, kemudian dilanjutkan oleh kegiatan penyaradan atau pengeluaran kayu. Kerusakan ringan mungkin hanya akan menyebabkan cacat kecil pada kayu. Tetapi luka yang besar akan menjadi lubang masuknya jamur yang menyebabkan kayu itu tidak dapat lagi digunakan pada rotasi tebang berikutnya (Sutisna, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukendar (1999) kerusakan yang paling banyak diderita akibat penebangan dan penyaradan adalah pohon roboh sebanyak 75 pohon atau sebesar 29,64% yang terdiri dari akibat penebangan 24 pohon dan akibat penyaradan 25 pohon. Berdasarkan sistem TPTI, pohon digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan, sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1993) : 1) Tajuk pohon rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan besar patah. 2) Luka batang mencapai kayu berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. 3) Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak.
Menurut Wijayanti (1993) dalam Sukendar (1999) berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi individu pohon, maka dapat ditetapkan sebagai tingkat kerusakan yang terjadi sebagai berikut : 1) Tingkat kerusakan berat : a. Patah batang b. Pecah batang c. Roboh, tumbang/ miring membentuk sudut <450 dengan tanah d. Rusak tajuk >50% e. Luka batang/rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon f. Rusak banir/akar lebih dari setengah banir 2) Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk : 30 – 50% b. Luka batang/rusak kulit : ¼ - ½ banir c. Rusak banir/akar : 1/3 – 1/2 banir/akar rusak atau terpotong d. Condong atau miring : membentuk sudut >450 dengan tanah 3) Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk <30% b. Luka batang atau kulit rusak <1/4 keliling pohon dan panjang luka <1,5m c. Rusak banir/akar : <1/4 banir atau perakaran terpotong Faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas penebangan, teknik penebangan dan penentuan arah rebah, sebaran pohon tebangan (diameter lebih dari 40 cm) jenis komersial, tanaman perambat yang melilit dan sistem pemanenan (Kurniawan, 2002).
G. Analisis Tanah 1. Sifat Fisik Tanah a. Tekstur Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan nisbi aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah suatu bagian tubuh tanah
(Poerwowidodo, 2002). Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus (<2mm). b. Struktur Tanah Menurut Harjowigeno (2003) struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lainnya. Sedangkan menurut Poerwowidodo (2002) Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena penyusun jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah (jarah-jarah sekunder tanah). c. Bobot Isi Tanah (Bulk Density) Bobot isi tanah atau kerapatan lidak merupakan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk pori-pori tanah, yang dinyatakan dalam satuan g/cm3 atau g/cc. 2. Sifat Kimia dan Unsur-unsur Hara Esensial Tanah a. Bahan Organik Hardjowigeno (1995), menyatakan bahwa bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara N,P,S, dan unsur mikro lainnya, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme. Keesensialan suatu anasir hara untuk nutrisi tanaman dapat ditetapkan mengikuti kriteria yaitu : 1) jika kekahatan anasir hara X menyebabkan tanaman tidak mampu menyelesaikan jenjang vegetatif atau reproduktifnya, maka anasir hara X itu termasuk hara esensial, 2) jika tanaman memperlihatkan gejala kahat suatu hara X, kemudian dipasok dengan hara X menyebabkan gejala kahat dapat dicegah atau diperbaiki, maka hara X itu termasuk hara esensial, dan 3) Hara esensial terlibat
langsung dalam nutrisi tanaman, yang peranannya khususnya tidak dapat digantikan oleh hara lainnya (Arnon, 1940 dalam Poerwowidodo, 1993). b. Kapasitas Tukar Kation Kapasitas Tukar Kation (KTK) suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation. Nilai KTK sangat dipengaruhi oleh: 1) reaksi tanah, 2) tekstur atau jumlah liat, 3) Jenis mineral liat, 4) bahan organik, 5) pengapuran serta pemupukan (Direktorat Jederal Pendidikan Tinggi, 1991). Sedangkan menurut Hardjowigeno Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 gr). Kapasitas tukar kation sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK yang tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi biasanya didominasi oleh kation basa sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah, sebaliknya jika tanah didominasi oleh kation asam dapat mengurangi kesuburan tanah. Pengaruh bahan organik terhadap KTK tanah sangat nyata, bahan organik menghasilkan humus yang mempunyai KTK jauh lebih tinggi dari pada mineral liat. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka semakin tinggi pula KTK-nya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). c. Kejenuhan Basa Kejenuhan basa adalah perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti kemasaman tinggi dan kejenuhan bisa mendekati 100%
tanah bersifat
alkalis.
Kejenuhan basa selalu
dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan suatu tanah. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa >80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur apabila < 50%, hal ini didasarkan pada kemudahan membebaskan kation basa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan perbandingan antara jumlah kation basa dengan jumlah semua kation. Kejenuhan basa sangat berkaitan erat dengan pH tanah dimana apabila pH rendah maka kejenuhan basa akan rendah sebaliknya jika pH tinggi maka kejenuhan basanya pun akan tinggi (Harjowigeno, 2003). Tanah dengan kejenuhan basa yang rendah biasanya didominasi oleh kation asam seperti Al3+ dan H+. d. Unsur-unsur hara esensial Unsur-unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman, dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat alam jumlah yang cukup di dalam tanah, tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal (Hardjowigeno, 2003). Unsur-unsur hara esensial tersebut diantaranya adalah : Unsur Hara Makro : C, H, O, N, S, P,K Ca, Mg Unsur Hara Mikro : Mn, Fe, B, Zn, Cu, Mo, Cl Tabel 1. Jenis Dan Unsur Hara yang diserap Tanaman Dari Sistem Tanah (Poerwowidodo, 1992) No Jenis Hara Tanaman Bentuk ion hara yang banyak di serap perakaran tanaman 1 Unsur Hara Makro a. Nitrogen NO3-, dan NH4+ b. Fosfor H2PO4- dan HPO42c. Potasium/Kalium K+ d. Kalsium Ca2+ e. Magnesium Mg2+ f. Sulfur SO42 Unsur Hara Mikro a. Mangan Mn2+ Fe2+ b. Besi c. Boron BO3+ d. Seng Zn2+ e. Tembaga Cu2+ f. Molibdenum MoO42+ g. Klorida Cle. Kesuburan Tanah Kesuburan tanah menunjukkan kemampuan tanah sebagai media tumbuh memasok hara yang dibutuhkan tanaman dalam takaran yang
cukup, seimbang dan sinambung, untuk menjamin pertumbuhan optimal dan produksi maksimal (Poerwowidodo, 1990). Beberapa unsur hara yang paling mempengaruhi tingkat kesuburan tanah diantaranya adalah bahan organik, N-total, P2O5, K2O, KTK dan KB. Tabel.2. Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983) Sifat Tanah
Rendah
Sedang
Tinggi
Bahan Organik (%)
<0,346
3,46 - 5,19
>5,19
C (%)
1,00 – 2,00
2.01 – 3,00
3,01 – 5,00
N (%)
0,10 – 0,20
0,21 – 0,50
0,51 – 0,75
C/N
5 – 10
11 – 15
16 – 25
10 – 20
21 – 40
41 – 60
10 – 20
21 - 40
41 – 60
5 – 16
17 – 24
25 – 40
20 – 35
36 – 50
51 – 70
P2O5 HCl (mg/100 g) K2O HCl 25% (mg/100g) KTK (cmol(+)/Kg) KB (%)
pH
Masam
Agak Masam
Netral
Agak Alkalis
Alkalis
4,5-5,5
5,6-6,5
6,6-7,5
7,6-8,5
>8,5
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A.
Letak dan Luas IUPHHK PT. Erna Djuliawati mendapatkan hak pengusahaan hutan sejak
diterbitkannya
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
242/Kpts/IUPHHK/4/1979 pada tanggal 2 April 1979 dengan luas areal konsesi sebesar 185.000 Ha. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (SK. Pembaharuan atau Perpanjangan), yaitu SK. No. 15/KptsIV/1999 tanggal 18 Januari 1999, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dengan sistem tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) kepada PT. Erna Djuliawati dengan perubahan luasasan areal menjadi 184.206 Ha. Secara geografis areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada bentangan Lintang Selatan (LS) 00o52’30’’ sampai dengan 01o22’30’’, dan bentangan Bujur Timur (BT) 111o30’00’’ sampai dengan 112o07’30’’. Berdasarkan pembagian daerah aliran sungai terletak di Kelompok Hutan S. Salau - S. Seruyan. Secara Administrasi Pemangkuan Hutan, termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyun Hulu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan
menurut administrasi pemerintahan
termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, dan Katingan
Propinsi Dati I Kalimantan Tengah. Dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara
: PT. Sari Bumi Kusumah dan Hutan Lindung
b. Sebelah barat
: PT. Korindo Aria Bima Sari dan Hutan Lindung
c. Sebelah timur : PT. Sarmiento Parakanca Timber, PT. Korindo Aria Bima Sari dan S. Salau d. Sebelah selatan : PT. Meranti Mustika dan PT. Berkat Cahaya Timber
B.
Topografi dan Kelerangan Keadaan areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati seluruhnya merupakan lahan kering yang berada pada ketingginan 111 - 1.082 m dpl,
dengan kondisi topografi berkisar antara datar sampai dengan sangat curam. Secara umum pengelompokkan kelas lereng berdasarkan laporan pemotretan udara, penataan garis bentuk, pemetaan vegetasi dan pemeriksaan laporan areal kerja PT. Erna Djuliawati yang dilaksanakan oleh APHI/PT. Mapindo Parama dan yang telah memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal INTAG No. 038/97 pada bulan Nopember 1997.
Hasil penafsiran kelas lereng
sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan Tingkat Kelerengan Kelas Lereng
Kemiringan (%)
Topografi
A B C D E Jumlah
0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 >40
Datar Landai Agak curam Curam Sangat uram
Sumber :
C.
Luas Ha 43.247 60.880 49.009 28.998 2.072 184.206
% 23,48 33,05 26,61 15,74 1,12 100 %
Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna djuliawati Skala 1 : 50.000 ( PT Mapindo Parama / APHI ), Laporan Pemotretan Udara, Pemetaan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan Pemeriksaan Lapangan Areal Kerja PT. Erna Djuliawati(1997).
Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmatit benua (94,05%) dan sedikit batuan alas kerak benua (5,95%). Formasi Geologi areal kerja PT. Erna Djuliawati dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Formasi Geologi Areal Kerja PT. Erna Djuliawati Kode Pzm
Formasi Geologi Luas (ha) Batuan Alas Kerak Benua 10.960 - Batu sabak, batu tanduk filit, kuarsit, sekis, magmatit, gunung api malih, amfibolih
Batuan Magmatit Benua - Tonalit, granodolit, granit, diorit kuarsa, diorit 156.575 dan gabro Ku.2 - Lava, breksi, tufa dan aglomerat 16.671 Jumlah 184.206 Kl.1
(%) 5,95
85,00 9,05 100,00
Sumber : Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, 1994
Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat
Penelitian
Tanah
dan
Agroklimat,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (pemberian nama jenis tanah berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980) antara lain adalah latosol (44%) dan podsolik merah kuning (56%).
D.
Hidrologi Areal PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu : DAS Salau + 4.922 ha, DAS Seruyan + 84.721 ha, DAS Kaleh + 8.836 ha, DAS Manjul + 74.655 ha, dan DAS Salau Hulu + 11.072 ha. Adapun sungai-sungai besar yang mengalir melalui kawasan UM adalah: S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau. Adapun kondisi morpometri DAS selengkapnya tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Morpometri Sungai Di Areal PT. Erna Djuliawati
No 1 2 3 4 5
E.
Nama Sungai
Luas Luas Daerah Panjang (Jalur Tangkapan Terpanjang (ha) (Km) 4.922 20 84,721 52
Lebar sungai (m) 35 45
Debit (m3/dt) 27.48 586.63
Sungai Salau Sungai Seruyan Sungai Kaleh 8.836 26 20 58,08 Sungai Manjul 74.655 58 35 367,17 Sungai Salau 11.072 29 25 52,48 hulu Sumber : Pengukuran lapangan Tahun 2000 PT.Erna Djuliawati
Sifat arus aliran secara umum Lambat Lambat Lambat Lambat Lambat
Iklim Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor Tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja UM PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe hujan A (0 - 14,3%) dan sedikit tipe hujan B (14,3 - 33,3%). Dengan mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan di Kecamatan Nanga Pinoh selama 10 tahun (1991-2000), dapat
diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.599 mm dengan rataan jumlah hari hujan 238 hari. Suhu udara rata-rata adalah 26,4oC dengan kisaran suhu bulanan antara 26,1 – 29, 7oC. Suhu udara yang tergolong rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dan suhu udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Kelembaban udara ratarata bulanan adalah sebesar 85%, dengan kisaran antara 83% - 87%. Kelembaban udara terendah terjadi antara bulan Agustus sampai September dan tertinggi pada bulan Maret.
F.
Penutupan Lahan Input analisa dan identifikasi kondisi penutupan lahan atau vegetasi adalah hasil penafsiran dan pemeriksaan citra landsat oleh Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan No. 421/VII/Peta-1/2002 tanggal 19 November 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan citra landsat adalah sebagai berikut : 1. Areal berhutan (Virgin Forest)
:
66.166 Ha (37,7%)
2. Areal bekas tebangan (LOA)
:
74.872 Ha (40,7%)
3. Areal bukan hutan
:
16.122 Ha (8,7%)
4. Tertutup awan
:
31.056 Ha (16,9%)
Jumlah
184.206 Ha (100%)
Penafsiran pada areal yang tertutup awan (TA) dilakukan sendiri dengan metode analisis dan identifikasi perbandingan dengan peta hasil topografi dan cruising yang dilakukan oleh PT. Erna Djuliawati, peta citra landsat sebelumnya dan sumber peta kerja lainnya. Hasil identifikasi dihitung ulang secara planimetris dengan hasil sebagai berikut: 1. Area berhutan (Virgin Forest)
:
9.936 Ha (32,0%)
2. Areal bekas tebangan (LOA)
:
16.948 Ha (54,6%)
3. Areal bukan hutan
:
4.172 Ha (13,4%)
Jumlah
31.056 Ha (100%)
Sehingga kondisi akhir penutupan atau vegetasi adalah sebagai berikut : 1. Area berhutan (Virgin Forest)
:
72.102 Ha (32,0%)
2. Areal bekas tebangan (LOA)
:
91.820 Ha (54,6%)
3. Areal bukan hutan Jumlah G.
:
20.284 Ha (13,4%) 184.206 Ha (100%)
Flora dan Fauna Jenis-jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara lain adalah meranti putih (Shorea faquetiana), meranti kuning (Shorea platicarpa), meranti merah (Shorea leprosula), bengkirai (Shorea leavifolia), rengas (Gluta renghas), Mersawa (Anisoptera sp.), geronggang (Cratoxylon arborescens), kapur (Dryobalanops aromatica), dsb. Sedangkan untuk jenisjenis lain yang bisa dimanfaatkan buahnya antara lain petai (Parkia speciosa), mangga hutan (Mangifera sp.), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), lansat hutan (Baccaurea sp.), dsb (PT. Erna, 1991). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jenis-jenis satwa yang ada dikawasan PT. Erna Djuliawati (1991) antara lain adalah: Orang utan (Pongo pygmaeus), kelawit (Hylobates muelleri), beruang madu (Helarcatos malayanus), trenggiling (Manis javanica), lutung (Presbis cristata), landak (Hystrix brachyura longicauda), babi hutan (Sus barbatus), Kijang (Mantiacus muntjak), dsb. Untuk jenis burung yang ditemukan antara lain Anthracoceros malayanus, bubut alang-alang (Centropus benggalensis), Tanjaku (Rhinoplax vigil) dsb. Sedangkan untuk jenis reptil diantaranya adalah kadal kebun (Mabuia sp.), biawak (Varanus spp.), ular sowa (Phyton sp.), dsb.
IV. BAHAN DAN METODE A.
Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2005, pada areal hutan
produksi perusahaan
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah dan Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor untuk analisis sifat kimia tanah.
B.
Bahan dan Alat Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan: 1. Hutan yang sudah dilakukan penebangan dan baru dilakukan kegiatan pembuatan jalur tanam. 2. Hutan Primer sebagai pembanding. Alat alat yang dgunakan dalam kegiatan penelitian adalah :
C.
9. Tally sheet
1.
Peta kerja
2.
Phiband atau pita diameter
10. Cat
3.
Cristen meter
11. Ring tanah
4.
Kompas brunton
12. Caliper
5.
Clinometer
13. Flaging Tape
6.
Tali rafia/tambang
14. Alat tulis
7.
Buku pengenal vegetasi
15. Kamera
8.
Golok
16. Patok
Metode Pengambilan Data 1. Analisa Vegetasi Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisa vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Kegiatan analisis vegetasi ini dilakukan pada hutan yang baru dilakukan pembuatan jalur tanam dan telah dilakukan kegiatan tebang produksi dan pada hutan primer sebagai pembandingnya, pada beberapa kondisi kelerengan yaitu
0-15% (datar sampai dengan landai), kelerengan 15 – 25% (sedang) dan kelerengan 25 – 40% (curam). Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar.2. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlahnya saja. Pada masing-masing kelerengan yaitu 0-15%, 15-25% dan 25-4% dibuat tiga buah petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub-sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut: 1. Tingkat pohon dengan ukuran petak 20 x 20 m sebelum penanaman dan setelah penanaman 17 x 20 m. 2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m 3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 x 5 m 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 x 2 m Untuk
mengetahui
mengetahui
tingkat
permudaan
pada
perkembangan suksesi dipergunakan kriteria sebagai berikut : 1. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m. 2. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm. 3. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai 20 cm. 4. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter 20 cm keatas.
Jalur tanam lebar 3 m
100 m
2020 mm
17 m
20 m
103 m
ABC D
17 m
Gambar 2. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi Ket : A
= Sub petak intensif untuk tingkat semai (2m x 2m)
B
= Sub petak intensif untuk tingkat pancang (5m x 5m)
C
= Sub petak intensif untuk tingkat tiang (10m x 10m)
D
= Sub petak intensif untuk tingkat pohon sebelum penebangan ukuran sub petak 20m x 20 m dan setelah penebangan ukuran sub petak 17m x 20m
2. Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu pohon Pengambilan data dilakukan pada hutan yang baru dilakukan penebangan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan cara membuat plot pengamatan berbentuk lingkaran yang berjari-jari sama
dengan tinggi pohon yang ditebang. Pohon yang ditebang yaitu yang berdiameter 50 cm keatas. Analisa kerusakan tegakan akibat penebangan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan terjadinya kerusakan pada pohon non-target. Data yang diperlukan didalam analisa kerusakan akibat penebangan adalah : a. Jumlah pohon yang rusak dirinci menurut kelas diameter (10 – 19 cm, 20 cm keatas). b. Bentuk kerusakan : patah, kulit batang terkelupas, tajuk rusak, perakaran/ banir rusak, roboh dan condong. c. Persentasi kerusakan, dihitung berdasarkan antara jumlah pohon yang rusak dibagi dengan jumlah pohon sebelum dilakukan penebangan kayu dikurangi jumlah pohon yang ditebang. 3. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu meliputi kerusakan akibat kegiatan penebangan dan kerusakan akibat penyaradan. Dalam kegiatan ini diamati pohon-pohon yang hilang dat rusak akibat kegiatan penebangan maupun penyaradan. Kriteria pohon rusak menurut Wijayanti (1993) dalam Sukendar (1999) berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi individu pohon, maka dapat ditetapkan sebagai tingkat kerusakan yang terjadi sebagai berikut : 4) Tingkat kerusakan berat : a. Patah batang b. Pecah batang c. Roboh, tumbang/ miring membentuk sudut <450 dengan tanah d. Rusak tajuk >50% e. Luka batang/rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon f. Rusak banir/akar lebih dari setengah banir 5) Tingkat kerusakan sedang e. Rusak tajuk : 30 – 50% f. Luka batang/rusak kulit : ¼ - ½ banir g. Rusak banir/akar : 1/3 – 1/2 banir/akar rusak atau terpotong
h. Condong atau miring : membentuk sudut >450 dengan tanah Sedangkan berdasarkan populasi pohon dalam petak, tingkat kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut (Departemen Kehutanan , 1993) : •
Tingkat kerusakan ringan <25%
•
Tingkat kerusakan sedang 25 – 50%
•
Tingkat kerusakan berat >50%
4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Analisa keterbukaan lahan bekas tebangan dilakukan pada keadaan hutan yang baru saja dilakukan pemanenan kayu. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kegiatan pemanenan kayu dapat menimbulkan keterbukaan lahan. Keterbukaan lahan akibat pembukaan lahan dapat diketahui dengan cara mengukur jumlah areal-areal yang terbuka akibat penebangan pohon dalam luasan satu hektar. Cara pengambilan data keterbukaan lahan ini dengan cara pengamatan dan pengukuran luas areal yang terbuka atau gap akibat penebangan pada petak pengamatan ukuran 100 x 100m (1 ha). Keterbukaan jalan sarad dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad dalam satu hektar, kemudian ditentukan luas jalan sarad tersebut, yang merupakan keterbukaan lahan akibat jalan sarad. Keterbukaan
lahan
akibat
penebangan
ditentukan
berdasarkan
penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat penebangan. Selanjutnya perhitungan luas keterbukaan lahan per hektar dengan cara menjumlahkan keterbukaan lahan akibat penebangan dan penyaradan. 5. Stratifikasi Tajuk Metode yang digunakan untuk stratifikasi tajuk adalah metode diagram profil tajuk, yaitu dengan memproyeksikan dalam bentuk diagram hubungan antara diameter tajuk, tinggi pohon dengan panjang plot pengamatan. Plot pengamatan untuk masing-masing lokasi penelitian berukuran 10 x 50 m. Stratifikasi tajuk dilakukan pada keadaan hutan yaitu hutan primer, hutan yang baru dilakukan pemanenan kayu.
10 m
10 m
50 m Gambar. 3. Plot Pengamatan Stratifikasi Tajuk Data yang diperlukan dari jalur (plot) pengamatan untuk penggambaran stratifikasi tajuk secara vertikal ini meliputi pengukuran diameter setinggi dada atau 20 cm diatas banir untuk pohon yang berbanir. Sedangkan untuk proyeksi horizontalnya (tampak atas) dibuat dengan menentukan koordinat pohon pada sumbu jalur dan memproyeksikan lebar tajuk yang diambil dari empat titik terluar dari tajuk dan ditentukan azimuthnya dari pangkal pohon yang diukur, yaitu dengan bantuan orang lain yang berdiri pada titik terluar tajuk tersebut. Kemiringan lereng hutan diukur dengan menggunakan kompas brunton untuk penggambaran tajuk secara vertikal. 6. Pengambilan contoh tanah Pengambilan contoh tanah untuk sifat fisik tanah menggunakan metode tanah terusik dengan menggunakan ring tanah pada areal hutan bekas tebangan pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Parameter yang diamati dalam pengambilan sifat fisik tanah yaitu struktur tanah, bobot isi dan kadar air. Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode tanah terusik pada setiap plot pengamatan baik di hutan primer maupun areal bekas tebangan, diambil contoh tanah secara zig-zag. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. D.
Analisis Data 1. Analisis Vegetasi a. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) Soerianegara dan Indrawan (1988) Kerapatan
= Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel
KR
= Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis
Dominansi
= Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel
DR
= Dominansi suatu jenis Dominansi seluruh jenis
Frekuensi
= Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot
FR
= Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis
x 100%
x 100%
b. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Kekayaan Shannon-Wiener : n
H’ = -∑ [ i =1
dimana :
ni N
ln
ni
]
N
H
= Indeks Keragaman Shannon-Wiener
ni
= Jumlah Jenis ke-n
N
= Total Jumlah Jenis
Berdasarkan Maguran (1988) besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 = 3,5 – 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi
apabila
> 5,0. Besaran H’ <1,5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong
rendah, H’ = 1,5 – 3,5 menunjukkan keanekaragaman jenis sedang dan apabila H’> 3,5 keanekaragaman jenis tinggi. Besaran E<0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, E = 0,3 – 0,6 menunjukkan kemerataan tergolong sedang dan E > 0,6 kemerataan tergolong tinggi. c. Koefisien Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut (Costing, 1956; Bray dan Curtis, 1957; Greigh-Smith, 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988) : C (IS) =
dimana :
2W a+b C (IS) =
Koefisien
masyarakat
atau
koefisien
kesamaan komunitas W
=
Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah (≤) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a
= Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama
b
= Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua
Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS. d. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1) S −1 ln (n) dimana : R1 = Indeks Margallef
R1 =
S
= Jumlah jenis
N
= Jumlah total individu
e. Indeks Kemerataan Jenis H' ln ( S ) dimana :
E =
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis S
= Jumlah jenis
2. Analisa Data Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon
Kerusakan pohon akibat penebangan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat penebangan dengan hasil pengurangan antara jumlah pohon sebelum penebangan dan jumlah pohon yang dipanen dalam satu petak contoh. Kp dimana :
R x 100% P −1
= Kp
= Kerusakan pohon akibat penebangan satu pohon
R
= Jumlah pohon yang mengalami kerusakan akibat penebangan satu pohon
P
= Jumlah pohon sebelum penebangan di plot pengamatan
Perhitungan persentase kerusakan pohon akibat penebangan dirinci menurut kelas diameternya. 3. Analisa Data Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu
Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak/hilang akibat kegiatan pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan) dengan jumlah pohon sebelum penebangan dikurangi jumlah pohon yang ditebang. Ks
=
Dimana : Ks
R x 100 % P−n = Persentase kerusakan akibat kegiatan pemanenan kayu
R = Jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu P
= Jumlah pohon sebelum penebangan
n
= Jumlah pohon yang ditebang
4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan
Persen keterbukaan lahan akibat penebangan/penyaradan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas lahan yang terbuka akibat kegiatan penebangan/penyaradan dengan luas petak pengamatan.
K
=
L 10000 m 2
x 100%
dimana : K = Persentase keterbukaan lahan akibat penebangan/penyaradan L = Luas lahan terbuka akibat penebangan/penyaradan Keterbukaan lahan per hektar dapat ditentukan dari hasil penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan dan keterbukaan lahan akibat kegiatan penyaradan. 5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah
Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan dalam g/cc (Lembaga Penelitian Tanah, 1979). Penetapan berat isi tanah ditentukan dengan rumus: Berat isi tanah keadaan lapang (g/cc) =
a−c Vd
Berat isi tanah keadaan kering oven (g/cc) =
b−c Vd
Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus : Kandungan air = Dimana :
(a − c) − (b − c) (b − c)
a = Berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven b = Berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven c = Berat tabung (ring tanah) Vd= Volume tabung (bagian dalam)
6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah
Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponenkomponen unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman dan juga menentukan tingkat kesuburannya. Untuk kegiatan analisis tanah ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Dalam penentuan tingkat kesuburan tanah unsur-unsur hara beberapa unsur hara yang dijadikan parameter diantaranya adalah BO, N-total, P2O5 dan K2O5, KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan kejenuhan Basa (KB).
Dibawah ini adalah Tabel.6. yang digunakan untuk menetapkan tingkat kesuburan tanah (LPT, 1981 dalam Poerwowidodo, 2000 ). Tabel.6. Penetapan Status kesuburan tanah Sifat Kimia Tanah BO, N-total, P2O5 dan K2O5
KTK
KB
1
> 2 T tanpa R
T
T
Status Kesuburan Tanah Tinggi
2
>2 T dengan R
T
T
Sedang
3
> 2 S tanpa R
T
T
Tinggi
4
>2 S dengan R
T
T
Sedang
5
>2 R dengan T
T
T
Tinggi
6
>2 R dengan S
T
T
Sedang
7
> 2 T tanpa R
T
S
Tinggi
8
>2 T dengan R
T
S
Sedang
9
2S
T
S
Sedang
10
Paduan lain
T
S
Rendah
11
> 2 T tanpa R
T
R
Sedang
12
> 2 T dengan R
T
R
Sedang
13
Paduan lain
T
R
Rendah
14
> 2 T tanpa R
S
T
Sedang
15
> 2 T dengan R
S
T
Sedang
16
Paduan lain
S
T
Rendah
17
> 2 T tanpa R
S
S
Sedang
18
Paduan lain
S
S
Sedang
19
ST
S
R
Sedang
20
Paduan lain
S
R
Rendah
21
> 2 T tanpa R
R
T
Sedang
22
> 2 T dengan R
R
T
Rendah
23
>S tanpa R
R
T
Sedang
24
Paduan lain
R
T
Rendah
25
> 2 T tanpa R
R
S
Sedang
26
Paduan lain
R
S
Rendah
27
Semua paduan
R
R
Rendah
No
Ket :
R = Rendah
S = Sedang
T = Tinggi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan modifikasi dari sistem silvikultur yang sudah ada, Terutama sistem silvikultur tebang pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem Silvikultur tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati dilakukan pada areal bekas tebangan dimana merupakan areal bekas tebangan yang baru dikonversi dari hutan primer. Diameter penebangan pohon produksi pada sistem silvikultur TPTII adalah pohon komersial dengan diameter >50 cm. Setelah dilakukan penebangan suatu areal yang ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan TPTII ini dilakukan pembuatan jalur tanam selebar tiga meter yang diperlukan untuk jalur tanam. Jarak antar tepi jalur tanam ini adalah 17 m yang merupakan jalur konservasi. Kegiatan pemanenan ini baik penebangan, penyaradan dan pembuatan jalur tanam tentu saja memberikan dampak pada lingkungan seperti tegakan tinggal, tanah dan juga iklim mikro yang ada di sekitarnya.
A. Komposisi Jenis
Hutan tropis dataran rendah Kalimantan merupakan kawasan yang didominasi oleh flora dari famili Dipterocarpaceae. Berdasarkan hasil inventarisasi jenis pada plot pengamatan di setiap kelerengan baik di hutan primer maupun pada areal hutan bekas tebangan menunjukkan komposisi jenis yang tinggi. Pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah jenis yang ditemukan pada areal pengamatan baik di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada hutan bekas tebangan mengalami penurunan jumlah jenis pada semua kelerengan apabila dibandingkan dengan hutan primer. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan untuk vegetasi tingkat semai di areal hutan bekas tebangan sebanyak 32 jenis, di hutan primer 43 jenis. Di kelerengan 15-25% areal hutan bekas tebangan 32 jenis dan hutan primer 45 jenis, sedangkan pada kelerengan 25-40% di hutan primer 47 jenis dan areal hutan bekas tebangan 35 jenis.
Komposisi jenis yang menurun terjadi juga pada hutan kelerengan 2540% pada semua tingkat vegetasi. Dimana pada tingkat semai jumlah jenis di hutan primer ditemukan sebanyak 47 jenis sedangkan di areal hutan bekas tebangan 35 jenis. Untuk vegetasi tingkat pancang di hutan primer ditemukan 56 jenis, di areal hutan bekas tebangan 36 jenis. Vegetasi tingkat tiang di hutan primer ditemukan 39 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 28 jenis. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pohon pada kelerengan 25-40% ditemukan 58 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 33 jenis. Penurunan jumlah jenis di suatu areal hutan yang dilakukan penebangan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat intensitas penebangan atau kerusakan tegakan. Tabel 7. Jumlah Jenis yang ditemukan di Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan pada Berbagai Kelerengan Kondisi hutan Primer Bekas tebangan
Kelerengan (%) 0 - 15 15 - 25 25 - 40 0 - 15 15 - 25 25 - 40
Semai 43 45 47 32 32 35
Jumlah jenis Pancang Tiang 47 17 38 22 56 39 34 33 42 40 36 28
Pohon 30 36 58 39 41 33
Tabel 8 menunjukkan komposisi permudaan jenis dilihat dari kerapatan (N/Ha) dan frekuensinya yang terdapat pada plot pengamatan dimasing-masing kelerengan. Dari tabel terlihat adanya penurunan jumlah kerapatan apabila dibandingkan antara hutan primer dengan areal hutan bekas tebangan. Hal ini diperkirakan dikarenakan adanya dampak dari kegiatan pemanenan yaitu penebangan dan penyaradan maupun penebangan untuk pembuatan jalur tanam. Tabel 8. Komposisi Pohon dan Permudaan Jenis Komersial di Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan Dilihat dari Penyebaran (Frekuensi) dan Kerapatannya (N/Ha) Keadaan hutan primer Areal bekas tebangan
Kel (%) 0 -15 15-25 25-40 0 -15 15-25 25-40
Semai F 1,00 1,00 0,95 0,93 0,87 0,81
K 17533,33 18800,00 20200,00 15700,00 13500,00 11000,00
Pancang F K 1,00 2421,33 0,99 1888,00 0,99 2101,33 0,87 1018,67 0,87 1680,00 0,83 1344,00
F 1,00 1,00 0,95 0,92 0,97 0,96
Tiang K 354,67 368,00 197,33 228,00 274,67 237,33
Pohon F K 0,99 66,33 0,99 76,00 1,00 64,67 0,76 37,33 0,93 55,67 0,89 43,00
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa permudaan jenis komersial di areal hutan bekas tebangan umumnya memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer kecuali pada vegetasi tingkat tiang kelerengan 25-40%, dimana kerapatan pada hutan primer 197,33 batang/Ha sedangkan di areal hutan bekas tebangan 237,33 batang/Ha. Berdasarkan nilai frekuensi untuk permudaan jenis komersial pada tingkat semai, pancang dan tiang memiliki nilai diatas 75%. Frekuensi pohon komersial baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan sebagian besar menunjukkan nilai >75% tetapi kurang dari 100%, kecuali pada hutan primer kelerengan 2540% frekuensinya 100%. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat dalam Gambar 4. Kerapatan Komersial (N/Ha) Kerapatan Jenis Jenis Komersial ditebang (N/Ha)
Frekuensi Jenis Komersial ditebang Frekuensi Jenis Kom ersial(N/Ha)
25000 4500 1
20000 4000
0,9
0,8
Semai
0,7
2500
Pancang
0,6
2000
Tiang Pohon
1500
frekuensi
K erap atan (N /H a)
15000 3500
3000 10000
Semai Pancang
0,5
Tiang
0,4
Pohon 0,3
1000
0,2
500 0,1
0 0 -15
15-25
25-40
primer
0 -15
15-25
25-40
Kondisi hutan Areal bekas tebangan
Kondisi hutan
0 0 -15
15-25 primer
25-40
0 -15
15-25
25-40
Areal bekas tebangan
Keadaan hutan Hutan Kondisi
Gambar 4. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Komersial Ditebang Pada Areal Pengamatan Menurut Wyatt-Smith (1963) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial. Serta SK Dirjen PH No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 mengenai Pedoman TPTI dimana disana disebutkan permudaan alam dianggap cukup
apabila terdapat paling sedikit 400 batang tingkat semai atau 200 batang tingkat pancang atau 75 batang tingkat tiang. Berdasarkan kriteria tersebut vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang memenuhi dari kriteria Wyatt-Smith dan pedoman TPTI. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Untuk vegetasi tingkat pohon kerapatan pohon komersial pada seluruh petak pengamatan >25 pohon/Ha berarti memenuhi kriteria pedoman TPTI. Sedangkan untuk frekuensi nilainya menunjukkan nilai di atas 75% tetapi kurang dari 100% kecuali pada kelerengan 25-40% frekuensinya 100%. Hal ini berarti frekuensi pohon komersial pada petak pengamatan tidak memenuhi kriteria WyattSmith dimana vegetasi tingkat pohon jenis komersial tidak tersebar merata. Tetapi dari kerapatan (N/Ha) memenuhi syarat karena dengan berjalannya waktu kerapatan pohon/Ha akan meningkat dan memenuhi syarat (Indrawan, 2000). Kerapatan pohon per hektar yang ditemukan di dalam plot pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 5. Kerapatan Pohon Hutan Primer (N/Ha)
Kerapatan Pohon Hutan Areal Bekas Tebangan (N/Ha) 30
25
25
20
0 - 15 15 - 25
15
25 - 40 10 5
jumlah (pohon/Ha)
Jum lah p o ho n p erhektar
30
20 0-15 15
15 - 25 25 - 40
10 5 0
0 20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
diameter
80-90
90-100 100 - up
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
Diameter
Gambar 5. Kerapatan Pohon pada Masing-masing Lokasi Pengamatan Dari Gambar 5 terlihat bahwa plot hutan primer memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan. Sedangkan perbandingan antara pohon komersial pada areal bekas tebangan dan hutan primer pada setiap kelerangan dapat dilihat pada Gambar 5.
Kerapatan Pohon Komersial Kelerengan 15-25%
Kerapatan pohon komersial kelerengan 0-15%
30
30 25
H.Primer
20
15
H.Bekas Tebangan
10
Kerapatan (N/Ha)
Kerapatan (N/Ha)
25 20
H.Primer 15
H.Bekas Tebangan 10
5 5
0 20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-up
0 20-30
30-40
kelas diameter
40-50
50-60
60-70
70-80
80-up
Selang diameter (cm)
Kerapatan Pohon Komersial Kelerengan 25-40% 30
25
20
H. Primer 15
H. Bekas Tebangan
10
5
0 20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90 up
Kelas diam eter (cm )
Gambar 6. Kerapatan Pohon Komersial pada Tiap Kelerengan Dari Gambar 6 dapat dilihat pada umumnya terjadi penurunan kerapatan pada hutan bekas tebangan ditiap kelerengan. Penurunan terbesar terbesar terlihat pada perbandingan hutan di kelerengan 25-40%. Penurunan ini diakibatkan karena adanya kegiatan pemanenan maupun pembuatan jalur tanam (lihat Tabel 18).
B. Dominasi jenis
Untuk mengetahui tingkat dominasi dan komposisi jenis di lapangan dilakukan kegiatan analisis vegetasi baik itu untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Peranan suatu jenis di dalam komunitas dapat dilihat dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada Tabel 9 dapat dilihat lima jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting yang paling tinggi untuk tiap tingkat vegetasi dan tiap areal pengamatan. Dari tabel terlihat sebagian besar jenis yang mendominasi pada setiap lokasi paling banyak berasal dari famili Dipterocarpaceae baik itu dari marga Shorea, Dipterocarpus, Vatica
ataupun
Hopea. Sedangkan jenis famili non Dipterocarpaceae yang
mendominasi adalah jenis medang (Litsea spp.) dan benitan (Polyalthia laterifolia). Pada areal hutan bekas tebangan kelerengan 0-15% pada tingkat semai jenis yang mendominasi adalah meranti kuning marsiput (Shorea xanthopylla) dengan INP sebesar 58,33% kemudian jenis yang dominan lainnya adalah Shorea lamellata 30,87, Pertusadina eurhyrcha 14,99, Shorea johorensis 13,38, dan Shorea asamica 8,60. Untuk vegetasi tingkat pancang didominasi oleh jenis medang (Litsea spp.) dengan INP 24,36 dan jambu-jambu (Eugenia sp.) 20,07. Pada tingkat tiang jenis yang memiliki INP yang paling tinggi adalah benitan (Polyalthia laterifolia) dengan INP sebesar 51,27, Litsea spp. INP 35,71. Sedangkan untuk tingkat pohon jenis dengan INP terbesar adalah ulin (Eusideroxylon zwageri) sebesar 65,51. Pohon ini termasuk kedalam pohon dilindungi sehingga terhadap pohon ini tidak dilakukan penebangan baik untuk kegiatan produksi maupun penebangan jalur tanam. Pada areal hutan bekas tebangan kelerengan 15-25% jenis meranti kuning marsiput (Shorea xanthophylla) banyak mendominasi di areal ini. Hal ini dibuktikan dengan nilai INP pada setiap tingkatan vegetasi berada pada urutan teratas. Pada vegetasi tingkat semai meranti kuning marsiput (Shorea xanthopylla) memiliki INP paling tinggi sebesar 43,71, kemudian meranti kuning markunyit (Shorea asamica) 31,51, Hopea dyeri 26,29. Vegetasi tingkat pancang juga didominasi oleh meranti kuning marsiput (Shorea xanthopylla) dengan INP 26,89, Vatica rassack 24,15 dan Hopea dyeri INP 18,49. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang jenis medang (Litsea spp.) dengan INP 44,44 dan meranti kuning marsiput (Shorea xanthopylla ) 41,97. Pada vegetasi tingkat pohon jenis lain yang berada pada urutan 3 besar yaitu meranti kuning marsiput (Shorea xanthophylla) sebesar 38,10 Callophyllum pulcherimum INP 29,13 dan Vatica rassack 15,30.
Tabel.9. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Masing-masing Lokasi Pengamatan Keadaan hutan
Kelerengan (%)
0-15
Hutan Bekas Tebangan
15-25
25 – 40
0 - 15
Hutan primer
15-25
25-40
Semai Shorea xanthopylla Shorea lamellata Pertusadina eurhyrcha Shorea johorensis Shorea asamica Shorea xanthopylla Shorea asamica Hopea dyeri Vatica rassack Gluta renghas Shorea asamica Shorea xanthopylla Shorea meciscopteryc Shorea johorensis Litsea spp. Hopea dyeri Mezzettia parviflora Vatica rassack Payena lucida Eugenia sp. Litsea spp. Hopea dyeri Mezzettia parviflora Sindora leicocarpa Eugenia sp. Shorea asamica Shorea johorensis Litsea spp. Garcinia mangostana Hopea mengerawan
INP(%) 58,33 30,87 14,99 13,38 8,60 43,71 31,51 26,29 9,63 8,98 56,00 30,50 14,90 11,15 8,83 28,21 23,56 12,36 10,30 9,93 26,85 21,55 17,48 15,56 14,91 50,47 23,49 23,46 9,69 8,62
Pancang Litsea spp. Eugenia sp. Shorea johorensis Pithecelobium sp. Lancium domesticum Shorea xanthopylla Vatica rassack Hopea dyeri Litsea spp. Pertusadina eurhyrcha Litsea spp. Shorea asamica Pithecelobium sp. Vatica rassack Shorea meciscopteryc Litsea spp. Hopea dyeri Vatica rassack Eugenia sp. Shorea lamellata Litsea spp. Eugenia sp. Vatica sp. Hopea dyeri Polyalthia laterifolia Litsea spp. Pithecelobium sp. Diospyros malam Mozetya sp. Gluta renghas
Jenis-jenis dominan INP(%) Tiang 24,36 Polyalthia laterifolia 20,07 Litsea spp. 16,13 Eugenia sp. 15,14 Ziziphus sp. 12,07 Vatica rassack 26,89 Litsea spp. 24,15 Shorea xanthopylla 18,49 Gluta renghas 18,17 Vatica rassack 10,41 Polyalthia laterifolia 19,34 Litsea spp. 18,73 Hopea dyeri 16,68 Polyalthia laterifolia 14,60 Pithecelobium sp. 13,87 Gluta renghas 35,19 Litsea spp. 26,81 Hopea dyeri 23,18 Pithecelobium sp. 15,96 Vatica rassack 7,59 Eugenia sp. 34,02 Litsea spp. 23,15 Hopea dyeri 18,27 Vatica rassack 16,96 Polyalthia laterifolia 10,53 Eugenia sp. 25,69 Polyalthia laterifolia 20,11 Diospyros malam 15,10 Vatica rassack 12,87 Litsea spp. 10,71 Durio sp.
INP(%) 51,29 35,71 28,34 23,577 17,298 44,44 41,97 41,47 37,56 28,05 57,00 43,09 28,69 25,60 19,38 116,53 79,43 32,62 21,85 11,42 117,99 45,01 44,55 33,98 11,94 37,63 31,88 31,52 28,35 17,77
Pohon Eusideroxylon zwageri Shorea johorensis Octomeles sumatrana Shorea leprosula Pithecelobium sp. Shorea xanthopylla Shorea leprosula Callophyillum pulcherrimum Vatica rassack Shorea ovalis Shorea johorensis Hopea dyeri Dipterocarpus haseltii Shorea leprosula Dipterocpus gracilis Shorea johorensis Dipterocarpus lowii Shorea meciscopteryc Shorea leprosula Hopea dyeri Shorea johorensis Shorea leprosula Litsea spp. Dipterocarpus gracilis Dipterocarpus haseltii Shorea asamica Dipterocarpus haseltii Litsea spp. Shorea polyandra Shorea leprosula
INP(%) 65,51 17,22 17,15 16,87 15,27 38,10 35,64 29,13 15,30 14,91 34,92 34,75 30,02 26,19 22,90 61,76 29,18 28,86 28,45 21,39 56,395 51,016 25,782 21,37 19,65 45,16 26,41 17,25 15,08 14,92
Areal hutan bekas tebangan dengan kelerengan 25-40 % untuk vegetasi tingkat semai jenis yang mendominasi adalah meranti kuning marsiput (Shorea asamica) dengan INP sebesar 56,00, jenis dominan yang lain adalah meranti kuning marsiput (Shorea xanthopylla) 30,50, tengkawang rambut (Shorea meciscopteryc) 14,90, markabang (Shorea johorensis) 11,15 dan medang (Litsea spp.) 8,83. Untuk vegetasi tingkat pancang jenis dengan INP paling tinggi adalah medang (Litsea spp.) sebesar 19,34. Untuk vegetasi tingkat tiang medang (Litsea spp.) mendominasi dengan INP 57,00. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pohon jenis dengan INP yang paling tinggi adalah markabang (Shorea johorensis) 34,92 diikuti dengan nyerakat (Hopea dyeri) 34,75 dan tengkawang rambut (Shorea meciscopteryc) dengan INP 30,02. Pada hutan primer yang digunakan sebagai pembanding kelerengan 015% vegetasi tingkat semai jenis-jenis dominan yaitu nyerakat (Hopea dyeri) sebesar 28,21, Mezzettia parviflora 23,56 dan Vatica rassack 12,36. Begitu pula dengan vegetasi tingkat tiang jenis medang (Litsea spp.) dengan INP 116,53 dan Hopea dyeri INP 79,43 merupakan jenis dominan vegetasi tingkat tiang. Shorea johorensis dengan INP 61,76, Dipterocarpus haseltii (29,18), Shorea meciscopteryc INP 28,86 merupakan jenis yang memiliki INP tiga terbesar untuk vegetasi tingkat pohon Hutan primer dengan kelerengan 15-25% ditemukan sebanyak 45 jenis untuk semai; 38 jenis untuk pancang; 22 jenis vegetasi tingkat tiang; 36 jenis vegetasi tingkat pohon. Dari jenis-jenis yang ditemukan tersebut jenis Litsea spp. memiliki INP yang paling tinggi untuk vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang dengan INP masing masing 26,85 untuk vegetasi tingkat semai, 34,02 untuk vegetasi tingkat pancang dan 117, 99 untuk vegetasi tingkat tiang. Sedangkan pada tingkat pohon jenis yang mendominasi adalah meranti merah markabang (Shorea johorensis) dengan INP 56,395, Shorea leprosula 51,01 dan Litsea spp. 25,78. Hutan primer kelerengan 25-40% pada tingkat semai jenis meranti kuning merkunyit (Shorea asamica) dengan INP 50,47, Shorea johorensis INP 23,49. Pada tingkat pancang jenis medang (Litsea spp.) memiliki INP
paling tinggi dengan jumlah INP sebanyak 25,69 diikuti oleh geyumbang belang (Pithecelobium sp.) INP 20,1 dan kayu arang (Diospyros malam) dengan INP 15,10. Untuk vegetasi tingkat tiang benitan (Polyalthia laterifolia) dengan INP 37,63, Diospyros malam 31,88. Pada vegetasi tingkat pohon meranti kuning merkunyit (Shorea asamica) mendominasi dengan INP tertinggi sebesar 45,16 kemudian Dipterocarpus hasseltii INP 26,41 dan Litsea spp. INP 17,25. Dari uraian diatas terlihat bahwa jenis-jenis dari famili dipterocarpaceae mendominasi baik di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan. Baik itu yang berasal dari marga Shorea, Vatica, Dipterocarpus, ataupun Hopea. Dimana jenis yang banyak ditemukan diantaranya adalah meranti merah lempung (Shorea leprosula), meranti merah majau (Shorea palembanica), markabang (Shorea johorensis), jenis meranti kuning diantaranya meranti kuning markunyit (Shorea asamica), meranti merah marsiput (Shorea xanthopylla). Jenis meranti putih yang banyak ditemukan yaitu meranti putih lapang (Shorea lamellata), nyerakat (Hopea dyeri). Dari jenis komersial non dipterocarpaceae yang banyak ditemukan diantaranya jambu-jambu (Eugenia sp.), Medang (Litsea spp.), Rengas (Gluta renghas), pisang-pisang (Mezzettia parviflora), benitan (Polyalthia laterifolia). Apabila jenis-jenis yang ditemukan dalam plot tersebut berdasarkan niagawi maka dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu jenis komersial ditebang, komersial tidak ditebang, dan non komersial. Tingkat dominasi kelompok jenis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 10. Dari Tabel 10 terlihat bahwa jenis-jenis komersial ditebang paling mendominasi setiap plot pengamatan pada semua tingkat vegetasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai INP yang tinggi yaitu untuk vegetasi tingkat semai dan pancang INP > 150 sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon umumnya kelompok jenis komersial ditebang > 200 kecuali pada vegetasi tingkat pohon dikelerengan 0-15% INP 189,58.
Tabel 10. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis Komersial ditebang (KD), Komersial Tidak Ditebang (KTD) dan Jenis Lain (JL) pada Berbagai Kelerengan Keadaan hutan
Kel (%) 0 -15
primer
15-25
25-40
0 -15 Areal bekas tebangan
15-25
25-40
Kelompok jenis KD KTD JL KD KTD JL KD KTD JL KD KTD JL KD KTD JL KD KTD JL
Semai 180,92 19,08 0,00 175,35 8,21 16,44 165,18 28,36 6,47 174,52 18,83 6,65 170,73 12,88 16,39 152,83 22,43 24,75
Tingkat vegetasi Pancang Tiang 167,48 280,95 20,73 9,61 11,79 9,44 157,73 291,63 30,88 6,38 11,39 1,99 144,14 235,09 41,50 49,58 14,36 15,33 154,87 220,97 37,06 56,40 8,06 22,63 146,44 277,60 42,00 12,18 11,56 10,22 151,21 286,85 29,86 6,81 18,93 6,34
Pohon 256,04 4,22 39,74 265,46 9,64 24,89 237,14 53,08 9,78 189,58 34,84 75,58 253,05 22,31 24,64 238,70 25,60 35,70
Jenis-jenis dominan di atas merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap lingkungan daripada jenis lainnya. Selain itu juga, suatu jenis dikatakan dominan dalam komunitas, apabila jenis tersebut berhasil memanfaatkan sebagian besar sumber daya yang ada dibandingkan dengan jenis yang lain. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis lain. Sebaliknya apabila nilai INP suatu jenis kecil hal ini menandakan bahwa jenis tersebut tidak mudah tumbuh disuatu tempat, jenis yang tidak menguasai ruang. Jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas hal ini ditegaskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988), bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan
frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya frekuensi relatif suatu jenis menunjukkan bahwa jenis ini tersebar merata hampir diseluruh petak pengamatan.
C. Keanekaragaman Jenis
Dalam menentukan tingkat keanekaragaman jenis di areal pengamatan ditentukan dengan menggunakan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi di suatu komunitas dimana nilainya ditentukan 2 hal yaitu kelimpahan jenis dan kemerataannya. Indeks keragaman jenis (H’) merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari gangguan biotik atau mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Apabila indeks keragamannya lebih tinggi berarti tingkat keanekaragamannya lebih tinggi dari komunitas yang dibandingkan Parameter yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas yang pertama kekayaan jenis, untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan menggunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Indeks Kekayaan Margallef (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang pada areal tersebut. Besarnya nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) untuk masingmasing lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini. Tabel 11.
Indeks Kekayaan Margallef (R1) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan. Hutan Kelerengan Semai Pancang tiang Pohon 0-15 5.00 6.08 5.81 7.08 Bekas 15-25 5.10 6.96 7.25 7.43 tebangan 25-40 6.06 6.18 5.18 6.37 0-15 6.68 8.73 2.85 5.35 Primer 15-25 6.87 7.18 3.73 6.53 25-40 7.10 8.59 7.37 10.15
Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat nilai indeks kekayaan Margallef (R1) untuk tiap lokasi baik itu yang berada di hutan primer maupun pada hutan bekas tebangan pada umumnya memiliki nilai diatas 5,00, kecuali vegetasi tingkat tiang pada hutan primer kelerengan 0-15% dan 15-25% yang nilainya berada dibawah 5,00 dimana nilainya masing-masing yaitu 2,85 untuk kelerengan 0-15% dengan jumlah jenis yang ditemukan dalam plot pengamatan sebanyak 17 jenis sedangkan untuk kelerengan 15-25% adalah 3,73 dengan jumlah jenis yang ditemukan dalam plot adalah 22 jenis (lihat Tabel 7). Berdasarkan kriteria Magurran (1988) kekayaan jenis pada areal pengamatan baik itu di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki tingkat kekayaan yang tinggi kecuali pada tingkat tiang pada kelerengan 0-15% dan 15-25%. Vegetasi tingkat tiang di hutan primer kelerengan 0-15% memiliki tingkat kekayaan yang rendah karena nilainya berada di bawah 3,5 yaitu 2,85. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang di hutan primer kelerengan 15-25 tergolong sedang dengan besarnya Indeks kekayaan Margallef sebesar 3,73. Parameter kedua yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis adalah kemerataannya yaitu dengan menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah Indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Dimana semakin besar nilai indeks maka komposisi penyebaran jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja). Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada masing lokasi pengamatan. Tabel 12. Indeks Kemerataan Jenis (E) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan. Hutan Bekas tebangan Primer
Kelerengan
Semai
Pancang
Tiang
pohon
0-15 15-25 25-40 0-15 15-25 25-40
0.67 0.71 0.68 0.87 0.83 0.65
0.87 0.78 0.85 0.76 0.81 0.81
0.83 0.82 0.80 0.59 0.56 0.84
0.87 0.87 0.87 0.82 0.79 0.88
Dari tabel diatas terlihat bahwa besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan sebagian besar
menunjukkan angka diatas 0,6 hanya vegetasi tingkatan tiang di hutan primer kelerengan 0-15% dan 15-25% yang nilainya dibawah 0,6 yaitu 0,59 dan 0,56. dengan demikian maka berdasarkan kriteria Magurran (1988) pada umumnya memiliki indeks kemerataan jenis yang tinggi sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang di hutan primer kelerengan 0-15% dan 15-25% tingkat kemerataannya sedang. Hasil perhitungan indeks keragaman Shannon-Wiener dapat dilihat pada Tabel 13. Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa bahwa keragaman jenis untuk hutan alam baik itu hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki tingkat keragaman yang cukup tinggi, dimana hampir semua tingkat vegetasi ditiap lokasi kelerengan menunjukkan nilai yang lebih dari 2,00. Hanya vegetasi tingkat tiang di kelerengan 15-25% di hutan primer yang memiliki nilai kurang dari 2,00 yaitu sebesar 1,67. Hal ini disebabkan karena ada satu jenis yang lebih dominan daripada yang lainnya yaitu jenis medang (Litsea spp.) dibuktikan dengan INP yang tinggi yaitu 117,99 dan juga jumlah jenis yang ditemukan untuk pada kelerengan ini hanya 22 jenis. Tabel.13. Nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan. Kelerengan (%) 0-15
15-25
25-40
Keadaan hutan Bekas tebangan Primer Bekas tebangan Primer Bekas tebangan Primer
Semai
Tingkat vegetasi Pancang tiang
pohon
2,31
3,08
2,87
3,13
3,26
2,93
1,67
2,78
2,46
2,92
3,04
3,20
3,14
2,93
2,73
2,82
2,41
3,06
2,67
3,03
2,52
3,25
3,08
3,59
Di areal hutan bekas tebangan pada jalur konservasi yaitu pada 17 m diantara jalur tanam dilakukan pengukuran tingkat keanekaragaman. Tingkat keanekaragaman pada areal hutan bekas tebangan dimana ditunjukkan dengan nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) berkisar antara 2,31 sampai dengan 3,20. Tingkat keanekaragaman di areal hutan bekas tebangan ini dibandingkan dengan hutan primer, meskipun bukan pada areal yang sama. Dari hasil perbandingan seperti yang terlihat pada Gambar 7 keanekaragaman
di areal hutan bekas tebangan juga menunjukkan tingkat yang cukup tinggi bahkan melebihi dari hutan primer untuk beberapa tingkatan vegetasi di beberapa kelerengan. Selain pada vegetasi di tingkat semai dan pada hutan di kelerengan 25-40% keanekaragaman vegetasi di areal hutan bekas tebangan memiliki nilai indeks keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer. Indeks Keragaman Shannon Wiener (H') Kelerengan 0 - 15%
Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H') Kelerengan 15-25%
3,50
3,50 3,00
2,00
Bekas tebangan
1,50
Primer
Nilai H'
2,50
2,50
Bekas tebangan
2,00
Primer
1,50
1,00
1,00 Semai
Pancang
tiang
pohon
Semai
Tingkat vegetasi
Pancang
tiang
pohon
Tingkat Vegetasi
Indeks Keragaman Shannon Wiener (H') Kelerengan 25 - 40 % 4,00 3,50 Nilai H'
Nilai H'
3,00
3,00 2,50
Bekas tebangan
2,00
Primer
1,50 1,00 Semai
Pancang
tiang
pohon
Tingkat Vegetasi
Gambar 7. Perbandingan Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) pada tiap Kelerangan Dari Gambar 7 diatas dapat dilihat perbandingan keragaman untuk setiap tingkat vegetasi pada kelerengan yang sama. Tingkat keragaman untuk semai pada hutan primer memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan pada areal hutan bekas tebangan. Sedangkan pada tingkat pancang, tiang dan pohon di dua kelerengan yaitu kelerengan 0-15% dan 15-25% tingkat keragaman pada hutan bekas tebangan lebih tinggi dari hutan primer. Pada hutan dengan kelerengan 25-40% hutan primer memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal hutan bekas tebangan. Sedangkan apabila mengacu pada Magurran (1988) tingkat keragaman di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan menunjukkan tingkat
keragaman yang sedang dimana sebagian nilainya berada pada selang 1,5 -3,5. Hanya tingkat pohon di hutan primer yang memiliki tingkat keragaman yang tinggi menurut yaitu sebesar 3,59. Menurut Departemen Kehutanan (2005) tujuan dari adanya jalur konservasi diantara jalur tanam adalah untuk menjaga dan mempertahankan keanekaragaman hayati atau plasma nutfah yang ada dan bahkan tidak mungkin untuk meningkatkan tingkat keanekaragamannya. D. Kesamaan antara Dua Komunitas (Indeks Similarity/ IS)
Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masingmasing tingkat pertumbuhan. Komunitas yang dibandingkan adalah berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengan. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat didalam Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) Kelerengan 0-15 15-25 25-40
Semai 20,5 37,2 52,2
Tingkat vegetasi Pancang Tiang 38,1 17,4 58,3 46,7 40,4 52,1
Pohon 29,8 45,7 41,7
Rata-rata 26,46 46,98 46,59
Besarnya Indeks Kesamaan Komunitas berkisar dari 0% untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang tidak sama dan 100% untuk petak contoh yang mempunyai komposisi jenis yang sama. Suatu komunitas yang dibandingkan dapat dikatakan relatif sama jika memiliki nilai Indeks Kesamaan Komunitas sebesar 50% (Sutisna,1981). Sedangkan menurut Kusmana dan Istomo (2005) IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya adalah 0 dan umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai IS ≥ 75%. Dari tabel terlihat bahwa besarnya indeks kesamaan umumnya berada dibawah 75%. Indeks Kesamaan yang paling tinggi dicapai oleh tingkat pancang pada kelerengan 15 – 25% dimana besarnya IS mencapai 58,3%. Sedangkan nilai IS paling kecil didapat pada vegetasi tingkat tiang di kelerangan 0-15% dengan nilai IS hanya 17,4%. Dengan hasil tersebut maka dua komunitas yang dibandingkan tersebut dapat dikatakan relatif berbeda.
Nilai IS yang rendah ini disebabkan karena dua komunitas yang dibandingkan bukan pada tempat yang sama akan tetapi mengamati hutan yang sudah dilakukan penebangan dan pembuatan jalur tanam kemudian dibandingkan dengan hutan primer. Selain itu juga yang menyebabkan nilai IS ini kecil adalah adanya perbedaan komposisi baik jenis maupun jumlah individu antara dua komunitas yang dibandingkan. Berdasarkan jumlah nilai IS-nya, yang memiliki IS rata-rata paling tinggi adalah pada plot kelerengan 15-25% yaitu sebesar 46,98% kemudian plot di kelerengan 25-40% yaitu sebesar 46,59%.
E. Stratifikasi Tajuk
Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individuindividu dari suatu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Menurut MacKinnon (1988) kanopi dari dari hutan hujan tropika ini terdiri dari tiga lapisan utama yaitu emergen, lapisan tajuk utama atau rata-rata tajuk dan lapisan tajuk bawah. Di Kalimantan pohon tertinggi atau lapisan emergen terbentuk hampir seluruhnya oleh famili Dipterocarpaceae atau Leguminosae. Pada Lampiran 6 dapat dilihat stratifikasi tajuk baik yang terdapat di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan. Terdapat perbedaan yang jelas pada hutan primer terdapat pohon-pohon emergen yang merupakan pohon dengan diameter yang besar dengan tinggi pohon diatas rata-rata kanopi tajuk. Pohon seperti ini biasanya memiliki tajuk yang besar dan lebar sehingga menutupi pohon yang berada di lapisan bawahnya sehingga membuat pohon lain menjadi tertekan. Pada areal hutan bekas tebangan terlihat bahwa strata tajuknya hampir seragam atau terdiri dari 3 lapisan saja yaitu strata A, B dan C. Pada areal hutan bekas tebangan strata A merupakan pohon emergen yang dilindungi seperti jenis tengkawang rambut (Shorea meciscopteryc), ulin (Eusideroxylon
zwageri), ataupun jenis-jenis komersial tetapi tidak ditebang karena tidak memenuhi persyaratan misalnya karena pohonnya bengkok atau berlubang.
F. Keterbukaan Lahan
Keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan terbagi menjadi dua yaitu keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan baik itu untuk penebangan pohon produksi ataupun untuk pembuatan jalur tanam yaitu menebang pohon-pohon yang berada pada jalur tanam selebar 3 m. Penyebab keterbukaan lahan yang kedua adalah kegiatan penyaradan dalam rangka menarik keluar kayu produksi dari areal penebangan menuju TPK. Berdasarkan hasil pengukuran pada plot pengamatan besarnya keterbukaan lahan lebih banyak diakibatkan oleh kegiatan penebangan baik itu tebangan produksi dan juga penebangan jalur. Pengukuran keterbukaan lahan akibat penyaradan dilakukan dengan mengukur luas jalan sarad yang melewati plot penelitian. Luas keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan dapat dilihat dalam Tabel 15. Pengukuran keterbukaan lahan akibat pemanenan dan pembuatan jalur tanam dilakukan pada semua plot di areal penebangan ditiap kelerengan. Karena dalam penelitian ini tidak diketahui kondisi penutupan lahan pada saat penebangan. Maka diasumsikan bahwa penutupan lahan sebelum adanya kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam adalah 100%. Dari Tabel 15 terlihat bahwa keterbukaan hutan bekas tebangan kelerengan 0 – 15% yang disebabkan oleh penebangan 14 pohon produksi dan 32 penebangan pohon untuk jalur tanam adalah sebesar 25,44% atau seluas 7632,12 m2. Yang terbagi atas keterbukaan akibat penebangan seluas 5766,81 m2 dan luas lahan terbuka akibat kegiatan penyaradan yaitu dengan pengukuran luas jalan sarad yang berada di dalam plot adalah 1865,31 m2. Pada plot kelerangan 15 - 25% keterbukaan lahan diakibatkan oleh penebangan 20 pohon produksi dan 16 pohon untuk pembuatan jalur tanam keterbukaan lahan sebesar 7558,95 m2, dengan luas jalan sarad yang adalah 2629 m2. Dengan demikian kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur yang
dilakukan pada kelerengan 15-25% menyebabkan keterbukaan seluas 10188,2 m2 atau 33,96% seluruh areal pengamatan. Tabel.15. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan Kelerengan (%)
No plot
0 - 15
1 2 3
15 - 25
1 2 3
25 - 40
1 2 3
Intensitas Penebangan Jalur Produksi (20 cm up) 4 6 5 6 6 20 Total 3 6 12 7 5 5 Total 4 12 13 8 4 11 Total
Keterbukaan Lahan (m³) Penebangan
Penyaradan
Persen Keterbukaan lahan (%)
1599,02 1631,44 2536,35 5766,81 1639,74 3701,39 2217,82 7558,95 2443,49 3560,295 2578,16 8581,945
434,73 607,38 823,2 1865,31 480 1388,25 761 2629,25 418 974,05 418,05 1810,1
20,34 22,39 33,60 25,44 21,20 50,90 29,79 33,96 28,61 45,34 29,96 34,64
Pada plot hutan bekas tebangan kelerengan 25-40% intensitas penebangan sebanyak 21 pohon produksi dan 31 pohon untuk pembuatan jalur meyebabkan keterbukaan lahan seluas 8581,945 m2. Sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan dengan mengukur luas jalan sarad yang melalui plot pengamatan adalah 1810,1 m2. Sehingga total luas areal terbuka pada plot di kelerengan 25-40% sebesar 34,64%. Keterbukaan areal akibat kegiatan pemanenan ini paling banyak diakibatkan oleh kegiatan penebangan produksi hal ini dimungkinkan karena diameter, tinggi luas tajuk pohon lebih besar dibandingkan dengan penebangan pohon untuk pembuatan jalur tanam. Hal ini dibuktikan dengan luasan pohon yang terbuka akibat penebangan di kelerengan 15-25% dan 2540%. Meskipun keterbukaan lahan pada kelerengan 25-40% menunjukkan angka yang paling besar (8581,945 m2) dengan intensitas penebangan pohon untuk produksi sama tetapi intensitas pohon yang ditebang untuk pembuatan jalur tanam lebih banyak dibandingkan dengan plot di kelerengan 15-25%. Sehingga jika dirata-ratakan satu pohon ditebang di kelerengan 25-40% menyebabkan keterbukaan lahan sebesar 168,27 m2. Sedangkan di kelerengan 15-25% dimana jumlah pohon yang ditebang lebih sedikit tetapi rata-rata
keterbukaan lahan akibat dari penebangan satu pohonnya lebih besar yaitu 198,92 m2. Triyana (1995) yang melakukan penelitian di HPH PT. Industries et Forest Asiatiques (PT. IFA) menyatakan bahwa keterbukaan lahan akibat penebangan 13 pohon menyebabkan keterbukaan lahan 5,25% akibat penebangan dan 30,98% akibat penyaradan sehingga total keterbukaan lahan adalah 36,23% dalam satu hektar. Berbeda dengan hasil penelitian Triyana (1995), dalam penelitian ini keterbukaan lahan akibat penebangan jauh lebih besar dibandingkan dengan penyaradan hal ini diakibatkan karena pada kegiatan penyaradan ini hanya dilakukan untuk menarik pohon produksi saja dan tidak menarik atau menyarad kayu yang ditebang untuk jalur tanam. Selain itu yang menyebabkan keterbukaan lahan akibat penyaradan ini kecil yaitu dalam pengukuran keterbukaan lahan akibat penebangan ini hanya memperhitungkan luas jalan sarad yang melewati pada plot pengamatan saja tanpa memperhitungkan pohon-pohon yang tumbang atau tergusur akibat traktor. Dan juga berdasarkan pengamatan ketika melakukan penyaradan, traktor diusahakan tidak terlalu banyak melakukan manuver dan diharuskan berjalan pada arah yang sudah ditentukan. Arah jalan sarad ini sudah direncanakan sebelum kegiatan penebangan dimulai (dalam tahap penataan areal kerja). Menurut Johns (1997) kerusakan tegakan pada umumnya terutama disebabkan oleh kegiatan penyaradan kayu antara blok tebangan ke tempat pemuatan atau TPK. Sedangkan menurut Suhartana (1996) mengemukakan bahwa gerakan-gerakan traktor pada saat mendatangi dan menyarad kayu di dalam setiap petak tebangan senantiasa akan menabrak dan menggusur pohonpohon yang masih berdiri, mendongkel dan mengupas serta memadatkan tanah.
G. Kerusakan Tegakan Tinggal 1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon
Pengukuran kerusakan akibat penebangan satu pohon ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan
kerusakan pada tegakan atau pada pohon non target yang berdiameter lebih dari 10 cm. Dalam pengukuran kerusakan akibat penebangan satu pohon ini, pohon contoh yang diambil adalah pohon yang ditebang untuk keperluan produksi bukan untuk penebangan pembuatan jalur. Sehingga pohon yang ditebang ini memiliki diameter yang besar dan tinggi dan biasanya merupakan pohon yang menempati starata tajuk A atau pohon yang emergen. Tabel 16. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon. Pohon di tebang
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Majau Markabang Keruing
32 35 24
83 80 64
Patah/ roboh 12,66 4,48 7,94
Bentuk kerusakan (%) Rusak Rusak Rusak Condong tajuk batang banir 13,92 2,53 1,27 0 14,93 5,97 0 2,99 17,46 1,59 0 1,59
Total Kerusakan 30,38 28,36 28,57
Dari tabel dapat dilihat kerusakan yang paling besar terjadi pada penebangan pohon majau (Shorea palembanica) dengan persentase kerusakan 30,38%. Sedangkan yang terkecil pada penebangan pohon keruing (Dipterocarpus sp.) 28,36%. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap 3 buah pohon contoh tersebut, bentuk kerusakan paling banyak terjadi adalah kerusakan tajuk. Dimana persentase kerusakan bervariasi mulai dari 13,92% sampai dengan 17,46%. Bentuk kerusakan yang terbesar kedua adalah kerusakan batang patah atau roboh dimana semua kerusakan ini termasuk kedalam tingkat kerusakan yang berat. Bentuk kerusakan patah ini nilainya berkisar antara 4,48 sampai dengan 12,66%. Bentuk kerusakan lain yang di temukan pada plot pengamatan adalah rusak batang dengan persentase antara 1,59% dan 5,97%, pohon condong dengan persentase antara 1,59 sampai 2,99. Dan bentuk kerusakan yang paling sedikit adalah kerusakan pada banir yang hanya ditemukan pada penebangan pohon ke-1 yaitu pohon majau dengan persentase 1,27%. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa besarnya diameter dan tinggi pohon tidak selalu berbanding lurus dengan persenetase kerusakan tegakan tinggal. Hal ini seperti yang terjadi
penebangan pada pohon
keruing dengan diameter yang lebih kecil yaitu 64 cm menyebabkan kerusakan
terhadap
tegakan
tinggal
lebih
besar
yaitu
28,57%
dibandingkan dengan penebangan pohon yang lebih besar markabang diameter 80 cm yaitu 28,36%. Hal ini bisa diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu pada plot pengamatan penebangan pohon keruing kerapatan tegakannya lebih rapat dibandingkan pada penebangan pohon markabang, selain itu juga pemilihan arah rebah yang dilakukan oleh chainsawman juga berpengaruh. Dalam pemilihan arah rebah selain memperhatikan kerapatan tegakan juga ada faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan diantaranya adalah arah condong pohon, intensitas penutupan tajuk, kemiringan lahan, dan biasanya yang paling penting adalah mengutamakan keselamatan penebang dan juga pembantunya. Sedangkan berdasarkan tingkat kerusakan terhadap tegakan tinggal yang terdapat dalam plot pengamatan dapat dilihat dalam Tabel 17. Tabel 17. Persentase Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan satu pohon Berdasarkan Tingkat Kerusakannya Pohon ditebang
Ringan
Sedang
Berat
Total
Majau
12,66
3,80
13,92
30,38
Markabang
11,94
5,97
10,45
28,36
Keruing
9,52
7,94
11,11
28,57
Dari tabel di atas dapat dilihat kerusakan tegakan tinggal yang paling banya adalah kerusakan ringan dan berat. Kerusakan ringan berkisar antara 9,52% dan 12,66% sedangkan kerusakan berat persentasenya antara 10,45 sampai dengan 13,52. Kerusakan ringan pada tegakan dapat berupa kerusakan tajuk <30%, luka batang/kulit <1/4 keliling pohon, rusak banir <1/4. Sedangkan kerusakan berat berupa pohon mengalami patah batang atau roboh, tajuk rusak > 50%, luka batang lebih dari setengah keliling pohon. 2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan
Kerusakan
kegiatan
pemanenan
terhadap
tegakan
tinggal
disebabkan baik itu oleh kegiatan penebangan, penyaradan maupun kegiatan penebangan untuk keperluan jalur tanam. Pengamatan kerusakan
tegakan akibat kegiatan pemanenan dan pembuatan jalur tanam ini dilakukan pada pohon-pohon yang berdiameter >20 cm.
Untuk hasil
pengamatan terhadap kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan dan Pembuatan Jalur Tanam Jumlah pohon ditebang Produksi
Jalur
15 20 21
32 18 31
Persentase kerusakan (%) Kel (%) 0 - 15 15 - 25 25 - 40
Patah/ roboh 10,50 16,37 14,61
Rusak tajuk 6,08 7,96 9,55
Rusak batang 3,31 2,65 2,81
Rusak banir 0,55 0,44 0,56
Total kerusakan 20,44 27,43 27,53
Pada plot di kelerengan 0-15% dilakukan penebangan sebanyak 15 pohon untuk tebang produksi dan 32 pohon untuk penebangan jalur menyebabkan kerusakan sebesar 20,44% dari seluruh tegakan tinggal yang ada. Sementara pada plot kelerengan 15-25% dengan intensitas penebangan produksi sebanyak 20 pohon dan tebang jalur sebanyak 18 pohon kerusakannya mencapai 27,43%. Sedangkan pada kelerengan 2540% persentase kerusakan tegakan tinggal adalah 27,53% yang diakibatkan 21 pohon tebang produksi dan 31 pohon tebang jalur. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tegakan tinggal bentuk kerusakan yang paling banyak adalah patah atau roboh baik itu yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan maupun kegiatan penyaradan., yaitu 10,50 % pada kelerengan 0-15%,
kelerengan 15-25% sebesar
16,37% dan kelerengan 25-40% sebesar 14,61%. Sedangkan kerusakan tegakan yang paling sedikit terjadi adalah kerusakan pada banir dimana persentasenya berkisar antara 0,44%-0,56%. Triyana (1995) yang melakukan penelitian di HPH PT. Industries et Forest Asiatiquest (PT. IFA) mengatakan bahwa penebangan 13 pohon perhektar menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 24,71%, dengan kerusakan terbesar yaitu pada kerusakan tajuk sebesar 39,53%. Kegiatan pemanenan kayu secara langsung akan mengakibatkan kerusakan baik pada pohon dan anakan yang ada disekitarnya, terhadap
tanah, tata air dan masih banyak lagi. Kerusakan karena kegiatan pemanenan terhadap tegakan tinggal, pertama disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan penyaradan atau pengeluaran kayu. Kerusakan itu bisa pada tajuk, pada batang, pada banir atau pada akar (Sutisna, 2002). Khusus untuk kegiatan sistem silvikultur TPTII ini kerusakan juga ditambah dengan adanya penebangan untuk pembuatan jalur tanam selebar 3 m tiap 20 m.
H. Sifat Fisik Tanah
Sifat Fisik tanah merupakan sifat-sifat yang berasal dari partikelpartikel pembentuk jarah tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang diamati dalam kegiatan penelitian ini adalah struktur, bobot isi dan kadar air tanahnya. Tabel.19. Pengukuran Sifat Fisik Tanah Pada Hutan Areal Bekas tebangan Kelerangan (%) 0-15 15-25 25-40
Kedalaman (cm)
Struktur
Bobot isi (gr/cm3)
Kadar Air (%)
0-20 20-40 0-20 20-40 0-20 20-40
butiran butiran butiran butiran butiran butiran
1,26 1,28 1,22 1,33 1,11 1,20
32,8 36,92 40,32 36,29 34.75 32.78
Struktur tanah berasal dari partikel-partikel tanah yang membentuk agregat tanah yang saling berikatan membentuk suatu bongkahan tanah. Peubah ini sangat ditentukan oleh komponen pembentuk tanah dan ukuran partikelnya (tekstur). Untuk hasil lengkap dari kegiatan pengukuran sifat fisik tanah dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan struktur tanah baik yang berada di hutan primer maupun areal bekas tebangan struktur tanahnya adalah butiran dengan kelas halus sampai dengan sedang Pengukuran bobot isi tanah berkisar antara 1,11 gr/cm3 sampai dengan 1,33 gr/cm3. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat bahwa bobot isi tanah pada kedalaman 20-40 cm lebih tinggi dibandingkan dengan dengan kedalaman 0-20 cm. Hal ini dimungkinkan karena pada kedalam 0-20 cm tanahnya relatif lebih gembur karena kandungan bahan organik seperti serasah
lebih banyak pada kedalaman tersebut dibandingkan dengan kedalaman 20-40 cm. Pada pengukuran kadar air tanah berkisar antara 32,78% sampai 40,32%.
I. Sifat Kimia Tanah 1. pH Tanah
Berdasarkan hasil analisa laboratorium kimia tanah menunjukkan bahwa reaksi tanah (pH) tanah yang berada dilokasi pengamatan pada setiap hutan primer dan areal bekas tebangan diambil dari kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm terlihat bahwa pH tanah ini termasuk ke dalam kategori masam baik untuk hutan areal bekas tebangan maupun hutan primer dimana pH tanah nilainya kurang dari 5,5. Tabel 20. pH tanah Kondisi hutan
Kedalaman
Hutan primer Hutan bekas tebangan
0 - 20 20 - 40 0 - 20 20 - 40
pH H2O 4,1 4,4 4,5 4,7
KCl 3,2 3,4 3,6 3,7
Dari tabel diatas terlihat bahwa pH tanah yang berada pada kedalaman 0-20 cm memiliki pH yang lebih rendah dari tanah yang berada pada kedalaman 20-40 cm. . Hal ini diakibatkan karena tingginya kation asam yang terkandung di dalam tanah (Al, Fe dan H), sedangkan kation basa yang terdapat di dalam tanah kandungannya rendah. Menurut Nyakpa et al (1988) yang menyebabkan reaksi tanah menjadi asam diantaranya adalah tingginya curah hujan mengakibatkan basa-basa mudah tercuci yang kedua adanya dekomposisi mineral alumunium silikat akan membebaskan ion alumunium (Al3+). Ion tersebut dapat dijerap kuat oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbangkan ion H+, akibatnya tanah menjadi masam. 2. Analisis Unsur Hara Tanah
Kegiatan analisis tanah ini dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur hara tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur hara yang ingin diketahui adalah unsur-unsur yang termasuk ke dalam hara esensial. Untuk keperluan analisis kimia tanah ini
menggunakan metode tanah terusik pada kedalaman 0-20 dan 20-40 pada setiap lokasi pengamatan baik itu di hutan primer dan juga hutan bekas tebangan. Analisis kimia tanahnya sendiri dilakukan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Untuk hasil analisis tanah dapat dilihat pada Tabel 21, untuk penetapan tingkat kesuburan tanah dan Tabel 22 untuk unsur hara esansial. Dari Tabel 21 terlihat bahwa status kesuburan tanah untuk masingmasing lokasi baik untuk hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki tingkat kesuburan yang rendah hal ini diakibatkan karena bahan organik, kandungan C-organik, P2O5, K2O5 dan KB-nya menunjukkan nilai yang rendah. Hanya KTK saja yang menunjukkan tingkat yang sedang. Hal ini menyebabkan tingkat kesuburan kedua lokasi ini menjadi rendah. Hasil analisis tanah yang lain kadar Ca yang ada di dalam lokasi pengamatan berada pada tingkat yang sangat rendah, dimana nilainya < 2. Unsur Mg juga menunjukkan nilai yang rendah bahkan untuk areal hutan primer nilainya sangat rendah, dimana nilainya < 0,4. Unsur hara Na dan Al juga menunjukkan nilai yang juga rendah dimana rata-rata unsur Na pada masing-masing lokasi pengamatan yaitu di hutan primer dan di areal hutan bekas tebangan berturut-turut adalah 0,24 dan 0,29. Rata-rata unsur Al di hutan primer dan areal hutan bekas tebangan adalah 2,81 dan 1,91 berdasarkan kriteria LPT termasuk ke dalam kategori yang rendah. Berbeda dengan kandungan unsur hara yang lain kandungan unsur hara Fe dalam contoh tanah yang diambil memiliki kandungan yang tinggi. Kandungan Fe yang tinggi ini dapat dilihat dari penampakan tanah secara visual yang berwarna merah, yang disebabkan oleh kandungan unsur hara Fe.
Tabel 21. Hasil Analisis Kimia dalam Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah Kondisi hutan Hutan primer Hutan bekas tebangan
Kedalaman
B.O. tanah
C-org (%)
P2O5 (ppm)
K (ppm)
KTK (me/100g)
KB (%)
0 - 20 20 - 40 rata-rata 0 - 20 20 - 40 rata-rata
3,76 ( S ) 2,10 ( R ) 2,93 ( R ) 3,07 ( R ) 1,98 ( R ) 2,52 ( R )
2,18 ( S ) 1,22 ( R ) 1,70 ( R ) 1,78 ( R ) 1,15 ( R ) 1,465 ( R )
3,00 (R) 3,80 (R) 3,40 (R) 4,30 (R) 4,50 (R) 4,40 (R)
0,15 ( R ) 0,16 ( R ) 0,155 ( R ) 0,18 ( R ) 0,22 ( R ) 0,2 ( R )
18,73 (S) 19,04 (S) 18,885 (S) 17,5 (S) 20,68 (S) 19,09 (S)
6,90 (R) 8,20 (R) 7,55 (R) 10,40 (R) 14,40 (R) 12,40 (R)
Keterangan : (R) = Rendah
(S) = Sedang
Tabel 22. Hasil Analisis Kimia Unsur Hara Lainnya Kondisi hutan
Kedalaman (cm) 0 - 20 Hutan 20 - 40 primer rata-rata 0 - 20 Hutan bekas 20 - 40 tebangan rata-rata
Ca 0,65 0,80 0,73 0,95 1,65 1,30
Mg Na (me/100g) 0,27 0,23 0,36 0,25 0,32 0,24 0,44 0,26 0,80 0,31 0,62 0,29
Al 3,58 2,03 2,81 1,75 2,07 1,91
Fe (ppm) 203,52 165,40 184,46 442,08 385,20 413,64
Status Kesuburan Tanah R
R
Kandungan kation basa yang rendah (P, Mg, Ca dan Na) menyebabkan tingkat kejenuhan basanya pun rendah. Salah satu unsur hara yang keberadaannya dipengaruhi oleh kation asam adalah unsur Fosfor (P). Keberadaan ion P di dalam tanah dipengaruhi oleh keasaman tanah dalam hal ini kation-kation asam. P diserap dari tanah dalam bentuk P2O5, H2PO4-, HPO42- dan sebagainya. Pada kondisi asam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi makan ion P akan diikat oleh kation asam tersebut sehingga unsur hara P tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwowidodo (1992) Kemasaman tanah memegang peranan penting pada ketersediaan P. Kemasaman tanah mempengaruhi kelarutan spesies ion merajai yang dapat bereaksi P-larut, menambat atau menyerapnya, melenyapkannya dari larutan sehingga
tidak
tersedia
bagi
tanaman.
Sedangkan
menurut
Hardjowigeno (2003) pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca. Kandungan C-organik dalam tanah menunjukkan nilai yang rendah hanya pada hutan primer di kelerengan 0-15% pada kedalaman 0-20 cm yang menunjukkan tingkatan yang sedang. C-organik menentukan kandungan bahan organik dalam tanah dan juga Kapasitas Tukar Kation (KTK). Kandungan bahan organik pun menunjukkan hal yang sama dengan kandungan C-organik hampir semua menunjukkan tingkatan yang rendah. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik (BO) nilainya berbanding lurus dengan C-organik. Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Dari hasil analisis nilai KTK termasuk ke dalam tingkatan yang sedang tetapi nilainya cenderung rendah. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991) pengaruh bahan organik terhadap KTK sangat nyata, bahan organik menghasilkan humus yang mempunyai KTK jauh lebih tinggi dari pada mineral liat. Semakin tinggi kandungan bahan
69
organik tanah maka semakin tinggi pula KTK-nya. Faktor lain yang menyebabkan nilai KTK-nya cenderung rendah adalah kandungan unsur kation-kation basa diantaranya yaitu Ca, Mg, K, Na. Dari hasil analisis tanah unsur hara kation basa nilai memiliki nilai yang hampir seluruhnya berada dari tingkatan sangat rendah sampai dengan rendah. Hal ini mengakibatkan nilai Kejenuhan Basa (KB) pun menjadi rendah dan akhirnya menyebabkan nilai KTK juga rendah. Faktor yang ketiga yang mempengaruhi KTK adalah kation-kation asam. Kation asam seperti Fe, Al dan H biasanya menyebabkan tanah menjadi asam dan dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hardjowigeno (2002) tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H, (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Dalam penetapan status kesuburan baik pada areal hutan primer maupun areal bekas tebangan hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan bahan organik (BO), C-organik, P2O5, K2O5, KB-nya rendah, hanya Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang menunjukkan tingkat yang sedang. Dengan demikian status kesuburan dalam plot pengamatan ini menjadi rendah. Hardini (2006) melakukan penelitian dalam penetapan tingkat kesuburan tanah dengan pengambilan contoh tanah pada kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm di IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah , yaitu pada blok TPTI tahun 2000, TPTI tahun 2003, TPTJ tahun 2000, TPTJ tahun 2003 dan hutan primer sebagai pembanding, memiliki tingkat kesuburan yang rendah untuk setiap areal pengamatan. Apabila dibandingkan antara hutan primer dengan hutan areal bekas tebangan pada umumnya hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di hutan areal hutan bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer. Hal ini disebabkan karena adanya
70
gap yang diakibatkan oleh kegiatan pemenenan. Dimana dengan adanya gap sinar matahari dapat langsung menembus tajuk dan sampai pada permukaan tanah yang menyebabkan proses dekomposisi dari unsur hara tanah oleh mikroorganisme pengurai di dalam tanah menjadi meningkat. Tetapi dengan adanya gap ini menyebabkan kemungkinan pencucian hara pun meningkat karena apabila terjadi hujan air hujan tidak tertahan oleh tajuk pohon (intersepsi) sehingga laju run-off pun kemungkinan akan meningkat dengan membawa unsur hara yang telah terurai. Menurut van Dam (2001) ukuran gap tidak mempengaruhi laju dekomposisi dari daun, tanaman berkayu, kayu bagian tanaman dan bunga tetapi keberadaannya mempercepat laju dekomposisi dari humus di permukaan tanah dibandingkan pada hutan primer. Meskipun laju dekomposisi menjadi cepat dan menyediakan unsur hara bagi tanaman tetapi adanya gap ini menyebabkan meningkatnya pencucian hara tanah atau leaching sehingga unsur hara yang terdekomposisi ini menjadi tidak tersedia oleh tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan van Dam (2001) kembali, bahwa penurunan penyerapan unsur hara oleh tanaman yang terdapat di dalam gap disebabkan oleh meningkatnya pencucian hara. Dimana pencucian hara ini dimulai beberapa bulan setelah penebangan dan peningkatan paling tinggi adalah sepuluh bulan setelah penebangan.
71
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati dilaksanakan pada aral hutan bekas tebangan baru yang merupakan konversi lahan dari hutan primer 2. Komposisi vegetasi yang terdapat dalam jalur konservasi baik itu permudaan dan pohon inti memiliki jumlah yang cukup berdasarkan kriteria pedoman dari pelaksanaan TPTI dari Departemen Kehutanan. 3. Tingkat keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan yang berada di jalur konservasi memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi dengan rata-rata nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) diatas 2,00. 4. Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTII menyebabkan keterbukaan lahan dan kerusakan tegakan terbesar pada plot kelerengan 25-40% dengan persentase keterbukaan lahan mencapai 34,64% dan tingkat kerusakan tegakan sedang dengan persentase kerusakan tegakan sebesar 27,53%. 5. Pada pengukuran sifat fisik dan kimia tanah belum terdapat perubahan yang signifikan antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer sebagai pembanding B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap riap pertumbuhan bibit yang ditanam pada jalur tanam. 2. Dalam kegiatan penebangan jalur sedapat mungkin arah rebah diarahkan sejajar dengan jalur tanam agar tidak terlalu menambah kerusakan tegakan pada jalur konservasi. Semua batang pohon yang berada di jalur tanam disingkirkan untuk memudahkan penanaman dan distribusi bibit di jalur tanam.
72
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S.1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB PRESS : Bogor. Budiaman, A. 2003. Diktat Kuliah Dasar-dasar Pemanenan Hasil Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Cahyadi, E. 2002. Dampak Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Terhadap Karakteristik Hidrologi, Laju Erosi, dan Sedimentasi di Sub DAS Keramu DAS Barito Propinsi Kalimantan Tengah (Studi Kasusdi HPH PT Sarang Sapta Putra). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Departemen Kehutanan.1992. Handbook of Indonesia Forestry. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia . 1993. Pedoman Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia Pada Hutan Alam Daratan.. Jakarta: Departemen Kehutanan . 1997. Manual Perencanaan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. Departemen Kehutanan Republik Indonesia Bekerja Sama Dengan Indonesia UK-Tropical Forest Management Programme (DFIF). . 1999. Peraturan-Peraturan Bidang Kehutanan dan Perkebunan 1997 – 1998. Jakarta: Departemen Kehutanan. . 1999. Himpunan Keputusan Direktur Jenderal/Kepala Bidang Lingkup Kehutanan 1997 – 1998. Jakarta: Departemen kehutanan. . 2004. Siaran Pers No. S.533/II/PIK/2004, Departemen Kehutanan kembangkan Sistem Silvikultur Intensif pada Hutan Alam www.Dephut.go.id di akses pada bulan September 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kimia Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pertanian. 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Bogor Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku II. Bogor: IPB Press. Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB. Hardini, Y. 2006. Identifikasi Binatang Tanah Indikator Untuk Suatu Kategori Mutu tanah di Lahan Produksi Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus di
73
HPHTI PT. Erna Djuliawati, Propinsi Kalimantan Tengah). Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademi Pressindo Idris, M.M. 1987. Pengaruh Penyaradan Kayu Dengan Traktor Berban Ulat Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal, Pergeseran serta Pemadatan Tanah Hutan Studi Kasus di PT. Kayu Lapis Indonesia Kalimantan Barat. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Indrawan, A. 1985. Suksesi Sekunder Hutan Hujan Dataran Rendah di P. Laut, Kalimantan Selatan. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan . 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Irwansyah, D. Penyusunan Kunci Determinasi Jenis-jenis Pohon Niagawi di Wilayah IUPHHK PT. Erna Djuliawati Logging Unit II, Propinsi Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Johns, A. G. 1997. Timber Production and Biodiversity Conservation in Tropical Rain Forest. London: Cambridge University Press. Kurniawan, A.D. 2003. Pengaruh Penyaradan Kayuoleh Forwarder terhadap Kepadatan Tanahdi PT. Inhutani II Kalimantan Selatan Unit Stagen Sub Unit HTI Semaras. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and Its Measurenment. London: Croom Helm Ltd. Matarangan, J.R. 1992. Pengaruh Intensitas Penyaradan Kayu Oleh Traktor Berban Ulat Terhadap Pemadatan Tanah dan Pertumbuhan Kecambah Meranti (Shorea selanica Bl.) dan Jeunjing (Paraserianthes falcataria Nielson). Tesis. Program Pascasarjana IPB. Tidak Dipublikasikan Nyakpa et al. 1993. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Poerwowidodo. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. . 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung: Angkasa. . 2002. Mengenal Tanah .Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan, Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
74
Richards, P.W. 1966. The Tropical Rain Forest an Ecological Studi. Cambridge University Press. Rusmayanti, Y. 2001. Model Penduga Riap Diameter Pohon Jenis Resak (Vatica rassack) pada Hutan Alam Bekas Tebangan (Studi Kasus Di HPH PT. Belayan River Timber Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Mnajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. Sinukaban, N. 1989. Pengaruh Penggunaan Mulsa Terhadap Aliran Permukaan, Erosi dan Selektivitas Erosi, pada Latosol Darmaga. Laporan Penelitian. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1988. Ekosistem Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Sukendar, A. 1999. Evaluasi Penerapan Sistem Silvikultur TPTI di Areal Bekas Tebangan Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus di HPH PT Ratah Timber Company Kalimantan Timur).Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan Sutisna, M. 2001. Silvikultur Hutan Alami di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sutisna, U. T, Kalima dan Purnadjaya. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor: Prosea Tan, K.H. 1991. Dasar-dasar Kimia Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Triyana, H.1995. Evaluasi Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPI/TPTI di Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering (Studi Kasus di Areal HPH PT Industries et Forets Asiatiques, Jambi). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan. van Dam, O. 1967. Forest Fillled with Gaps. Guyana: Tropenbos. Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest of the Far East. English Language Book Society. New York: Oxford University Press. . 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests. New York: Oxford Universty Press.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58
Daftar nama jenis tumbuhan di plot pengamatan
Nama lokal Ara Asam Asam Gandis Asam Yobong Bangkol Bayur Belimbing hutan Bengkirai Benitan Bentawa Benuang Berangan Bilayang Bintangur Boyung Cemara hutan Cempedak Dara-dara Dedamang Durian Durian burung Garu beringin Gatal lidah Geyumbang belang Ginseng Girik Gising Jabon Jambu-jambu Jawar Jelutung Juji Kangkala Kapua Kapul Kapur Kayu arang Kayu bawang Kayu daun seribu Kayu hantu Kayu jate Kayu putih/minyak angin Kayu rayap Kayu salam Kedondong hutan Kelampayan Kemayau burung Kembayar Keminting Hutan Kemuning Kenari Keranji Keruing Lowei Keruing Rambut Keruing Tempudau Kesturi Kompas Ladang-ladang
Nama Latin Ficus sp. Garcinia spp. Baccaurea sp. Mangifera foetida Lour. Nauclea sp. Pterospermum javanicum Jungh. Euonimus sp. Shorea leavifolia Endert. Polyalthia laterifolia King.
Famili Moraceae Guttiferae Euphorbiaceae Anacardiaceae Rubiaceae Sterculiaceae Celastraceae Dipterocarpaceae Annonaceae
Octomeles sumatrana Miq. Lithocarpus dasystachyus (Miq) Rehd.
Dataceae Fagaceae
Callophyillum pulcherrimum Wall. Aglia tementosa Tet.B Casuarina Sumatrana Miq. Var Arthocarpus teysmanii Miq. Ziziphus sp.
Guttiferae Fabaceae Casuarinaceae Moraceae Annonaceae
Durio lissocarpus Mast. Durio lanceolatus Mast. Aquilaria microcarpa Bail. Cratoxylon formosum Dyer. Pithecelobium sp. (sp. 1) Hedychium coronarium Pithecelobium sp. (sp.2)
Bombacaceae Bombacaceae Thymelaceae Guttiferae Fabaceae Zingiberaceae Fabaceae
Anthocephalus cadamba Roxb. Eugenia sp. Shorea quadinervis V.Sl. Dyera costulata Hook.f Dialium sp.
Anacardiaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Fabaceae
Arthocarpus elasticus Reinw. Baccaurea dulois Muell.Arg. Dryobalanops lanceolata Burck. Dyospyros malam Bakh. Eugenia sp. Parkia singularis Hassk. Sindora beccariana De Wit.
Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Ebenaceae Myrtaceae Fabaceae Fabaceae
Syzigium fastigiatum Pertusadina eurhyrcha Eugenia sp. Dacryodes sp. Elateriospermum tapos BI. Dacryodes rostrata H.J.L.
Myrtaceae Rubiaceae Myrtaceae Burseraceae Euphorbiaceae Burseraceae
Mozzetya sp. Murraya excotica Canarium commune Dialium potens Baker. Dipterocarpus haselti, Blume. Dipterocarpus gracilis V.Sl. Dipterocarpus kuntsleri King.
Annonaceae Rutaceae Burseraceae Fabaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
Koompassia excelsa Taub. Capsicum anncium
Fabaceae Solanaceae
Kelompok KD KTD KTD KTD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KD KTD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD JL KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD
77 Lampiran 1. (Sambungan) 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117
Lampung Lansat Lengkeng Lomo Majau Manggeris Manggis hutan Markabang Marsipa Medang Melaban Melapi Melinjo Mentawak Merading Meranti batu Meranti kuning lain Meranti kuning markunyit Meranti kuning marsiput Meranti Merah Kenuar Meranti merah lempung Meranti merah marlanang Meranti Putih Lapang Meranti Tahan/merawan Mersawa Ntomas Nyatu merah Nyatu putih Nyerakat Nyerakat telur Oth Pala Hutan Paru-paru Pelawan Perupuk Petai Pisang-pisang Poli-poli Pulai Punaga Rambai Tikus Rambutan hutan Randu Hutan Rasam Rengas Resak Rukam Salam Sangkuang Simpur Sintok Tamburan Tekam bukit Tengkawang Buah Tengkawang rambut Tengkuyung Torap Ubah Ulin
Ket. KD : Komersial Ditebang
Shorea ovalis BI. Lansium domesticum Corr. Euphoria longana Atuna racemosa Shorea palembanica Miq. Koompassia mallacensis Maing. Garcinia mangostana L. Shorea johorensis, Foxw. Cratoxylon arborescens BI. Litsea spp. Tristania sp. Shorea atrinerfosa Sym. Gnetum gnemon Arthocarpus anisophyllus Miq. Diploknema ramiflora Shorea uliginosa Foxw. Shorea spp. Shorea asamica Shorea xanthopylla Sym. Shorea Bracteolata Dyer. Shorea leprosula Miq. Shorea parvifolia Dyer. Shorea lamellata Foxw. Hopea mengerawan Miq. Anisoptera sp.
Dipterocarpaceae Meliaceae Sapindaceae Chrysobalanaceae Dipterocarpaceae Fabaceae Guttiferae Dipterocarpaceae Guttiferae Lauraceae Myrtaceae Dipterocarpaceae Gnetaceae Moraceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
Payena lucida D.C. Palaquium xhantochymum Burck. Hopea dyeri Heim. Hopea dryobalanoides Miq.
Sapotaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
Myristica sp. Sindora leicocarpa De Wit. Tristaniopsis laurina Laphopetalum sp. Parkia speciosa Hassk. Mezzettia parviflora Becc.
Myristicaceae Fabaceae Myrtaceae
Alstonia scholaris R.Br. Tetrameristra glabra Miq. Aporosa arborea Muell. Arg. Nephelium sp. Bombax sp. Gleichenia linearis Gluta renghas Vatica rassack BI. Homalium longifolium V. Sl. Eugenia sp. Dracontomelon mangiferum Blume. Dillenia excelsa Gilg. Cinnamomum cariaceum Gamn.
Apocynaceae Theaceae Euphorbiaceae Sapindaceae Bombacaceae Gleicheniaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Flacourtiaceae Myrtaceae Anacardiaceae Dilleniaceae Lauraceae
Shorea collina Shorea pinanga Scheff. Shorea meciscopteryc Bidl. Shorea gibosa Brandis. Arthocarpus anisophyllus Miq. Eugenia sp. Eusideroxylon zwageri Tet.B.
Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Moraceae Myrtaceae Lauraceae
KTD : Komersial tidak ditebang
JL : Jenis Lain
Fabaceae Annonaceae
KD KTD KTD KD KD JL KTD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KTD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD KD JL JL KD KD KD KTD
78
Lampiran 2. Daftar jenis pohon komersial dalam cruising PT. Erna Djuliawati No
Nama Kayu
Nama Singkatan
No Kode
No
Nama Kayu
Nama Singkatan
No Kode
Meranti Merah (MM) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 1 2 1 2 3 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kenuar Markabang Lempung Jawar Marlanang Meranti Putih (MP) Meranti tahan (merawan) Meranti lapang Meranti batu (nyerakat) Melapi Meranti Kuning (MK) Merkunyit-kunyit Marsiput-siput M. kuning lain Kapur (KP) Kapur Kapur batu Keruing (KR) Keruing lowei Keruing tempudau Keruing rambut Bangkirai Bangkirai Agathis Agathis Nyatoh Nyatoh merah Nyatoh putih Mersawa (MS) Mersawa Paru-paru (PR) Paru-paru Ulin (UL) Ulin Komersial lain Benuang laki/bini Kelampayan Juji Girik Medang Bintangur Resak Rengas Simpur Kayu arang Ladang-ladang Marsipa/geronggang Kayu bawang (MP) Sembiring tabu hitam Punaga (punak) Poli-poli Lomo (jalomo) Garu Jambu-jambu Bilayang/pelakun lesik Benitan Kenari
(+) MMK (+) MMM (+) MML (+) MMJ (+) MMG
1 2 3 4 5
23 24 25 26 27 28
Macaranga (mahang) Meringkau Kemuning Cempaka hutan Pelawan Dara-dara
(+) LMA (-) LMR (-) LKG (+) LLC (-) LWN (+) LDR
47 48 49 50 51 52
(-) MPT (-) MPL (-) MPN (-) MPM
6 7 8 9
(+) MKK (+) MKS (+) MKA
10 11 12
(+) KPR (+) KPB
13 14
(-) KRL (-) KRT (-) KRR
15 16 17
(-) BKR
18
(+) AGT
19
(+) NTH (+) NTP
20 21
(-) MSW
22
(+) PRU
23
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
(-) LPH (-) LAW (+) LLI (+) LBL (+) LBY (+) LGB (-) LSD (-) LTS (-) LAN (+) LPP (-) LSI (-) LDI (-) LCH (-) LKS (-) LMG (-) LAK (-) LKK (+) LRM (-) LRH (+) LPU (-) LMI (-) LBG (-) LIP (-) LKU (-) LDD (-) LBB (-) LTR
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
(+) ULN
24
(-) MGR
80
(+) LLB (+) LLK (-) LLJ (-) LLG (+) LLM (+) LBR (-) LLR (+) LRS (-) LLS (-) LLA (-) LLL (+) LGG (-) LKB (-) LSM (-) LLP (-) LPL (-) LMO (+) LGR (-) LJB (-) LLD (-) LBN (-) LKI
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Pala hutan Araw Lampung Bangkol Bayur Geyumbang (belang) Sangkuang Tamburan Alaban (loban) Pisang-pisang Sungkai Belumai podocarpun Cemara hutan Kesturi Merading Ara kendang Kangkala (kala-kala) Rukem (rukam) Randu hutan Pulai (pulantan) Ruwali (Merwai) Bungur Kayu ipuh Kembayar Merdandong Berangan Torap/pekalong Manggris Manggris Jelutung Jelutung hitam Jelutung putih Tengkawang (TK) Tengkawang rambut Tengkawang buah Buah-buahan Durian dan sejenisnya Cempedak dan sejenisnya Asam-manggaan Manggis dan sejenisnya Petai dan sejenisnya Keranji dan sejenisnya Rambutan dan sejenisnya Lansat dan sejenisnya Kapul dansejenisnya Kedondong hutan Lain-lain
(+) JLH (+) JLP
81 82
(+) TKR (+) TKB
83 84
(+) BHD (-) BHC (-) BHA (-) BHH (-) BHP (-) BHK (-) BHR (-) BHL (-) BKL (-) BKH (-+) OTH
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
1 1 2 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
OTH untuk jenis yang tidak dikenal (-) Kayu timbul (+) Kayu tenggelam
79
Lampiran 2. Peta plot pengamatan TPTII
Lampiran 2. Sambungan
HP2 10 07’30”
HT 2
HT 1
Keterangan : : HT 1 = Hutan Tebangan Petak N 32 HT 2 = Hutan Tebangan Petak N 30 : HP 1 = hutan Primer di Petak J 34 HP 2 = Hutan Primer Sepan Biha
HP 1
Lampiran 3. (Sambungan)
Petak N 30
Petak N 32 1 2
8 9
5
3
6 7 TPTII 2005
Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8
: Petak Pengamatan TPTII Plot 1 Kelerengan 0-15 % Plot 2 Kelerengan 0-15% Plot 3 Kelerengan 0-15% Plot 1 Kelerengan 15-25% Plot 2 Kelerengan 15-25% Plot 3 Kelerengan 15-25% Plot 1 Kelerengan 25-40% Pl 2 K l 25 40%
4 TPTII 2005
Lampiran 4. Peta Tanah di Areal PT. Erna Djuliawati
83
Lampiran 5 Rekapitulasi INP pada setiap areal pengamatan
Hutan Primer Kelerengan 0-15% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Nama jenis asam asam kanis bangkul bengkirai benitan berangan bintangur boyung cemara hutan cempedak dara-dara daun seribu durian durian burung garu gatal lidah geyumbang belang ginseng girik jambu-jambu jawar jelutung juji kapul kayu arang kayu jate kayu rayap kayu salam kedondong hutan kelampayan kemayau burung kembayar kenuar Keruing Lowe keruing rambut kompas lapang lempung manggeris manggis hutan markabang markunyit marlanang marsiput medang melapi meranti batu merawan merkunyit ntomas nyatoh merah nyatoh putih nyerakat nyerakat telur paru-paru pisang-pisang poli-poli pulantan rambai tikus rambutan hutan
INP Pancang Tiang 2,52
Semai 1,41 0,50 0,47 0,47 1,59 1,22 6,55 1,59 0,47 1,41 0,47
Pohon 2,41
10,25 1,12 2,63 1,01 5,89
2,44 1,06
0,50 3,53 1,01
1,15 3,38
0,47
0,50 0,50 1,21 7,27
32,62
9,93
15,96
11,42
0,94
3,03
7,49
3,03 0,50 4,75
1,41 5,62 0,47
1,15
1,21
1,19 19,35 17,79 1,33 4,60
1,57
4,49 1,32 1,03
1,07
3,74 1,01 0,50
0,65 2,88
4,49 5,43
2,96 29,18 4,81 5,57 1,44
28,45
2,06 3,74 5,24 0,94 5,99
7,59 5,55 0,50 0,50 1,51
2,67
61,76
4,04 1,51 35,19
5,16 116,53
3,40 13,88 1,21
0,94 0,47
1,72 0,50 3,04
10,30 5,34 28,21 2,06 5,70 23,56
1,41 0,94
0,50 2,02 2,02 26,81 3,53
79,43
1,24 1,21 21,39
4,17
14,96
1,47
2,97
1,01 0,50 4,65 1,01
0,98
84 Lampiran 5. (Sambungan) 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
rengas resak salam simpur sintok Tengkawang buah Tengkawang rambut ubah ubah ulin
12,36 0,94 0,47 6,87 0,47
3,03 23,18 1,21 5,66
7,89 21,85
4,47 0,50
5,78
5,81 1,10
28,86
0,50
Hutan Primer Kelerengan 15-25% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Nama jenis ara buah asam asam kanis bangkol bengkirai benitan berangan bintangur boyung dara-dara durian durian burung garu beringin geyumbang belang girik jambu-jambu jawar juji kapol kayu arang kayu daun seribu kayu putih kayu rayap kedondong hutan kedondong hutan kedondong hutan kemayau burung kenuar keruing lowe Keruing rambut Kompas ladang-ladang lapang lempung majau manggeris manggis hutan markabang marlanang marsipa marsiput medang meranti kuning lain merawan merkunyit mersawa nyatoh putih nyatu merah nyerakat nyerakat telur paru-paru pisang-pisang
Semai
Pancang 0,59 2,40 0,95 0,64 6,70 1,91 0,95 3,67 0,95
1,12 5,81 0,59 10,53 6,74 0,59 2,27 3,79 2,36
14,91
23,15
2,55
1,77 1,18 2,52 0,59
0,48 3,05 1,76
Pohon 1,14
0,48 0,48 1,43
5,74
INP Tiang
2,36
33,98
9,62 4,48 2,39
1,14 1,05 1,61
1,16 1,12
11,46 1,14 11,94 1,26 1,20
7,33
1,16 9,05 14,26 1,56 1,19 2,38
2,67
0,84 1,62 1,05
6,45 7,49 0,48
8,17 4,97
4,44
19,65 21,37 3,69 4,76 51,01 1,73
6,72 6,07
0,59 2,36 4,72
56,39 2,11
7,69 26,85 0,59 0,48
4,97 34,02
117,99
1,16 1,30 25,78 3,60
0,59 0,64 4,15 2,72 21,55 3,07 15,56 17,48
5,31
1,61
16,96 1,18
45,01
2,85 1,39 4,15 6,50
1,32
9,42
0,59
85 Lampiran 5. (Sambungan) 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
poli-poli pulantan rambai tikus rambai tikus rambutan rengas resak rukam salam simpur tengkawang buah tengkawang rambut ubah
1,16 0,48
1,18 3,54
1,91 12,46
1,77 1,77 18,27
0,48 0,48 8,09 0,48
9,01 0,59 5,81
1,12 1,16 10,99
10,18 44,55 2,19
1,24 13,54 3,87
1,20
Hutan Primer Kelerengan 25-40% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Nama jenis ara asam asam kanis asam nyobong bangkol bayur bengkirai benitan benuang berangan bilayang bintangur boyung cemara hutan dara-dara dedamang duri durian durian burung garu geyumbang belang ginseng girik gising jambu-jambu jawar jelutung juji kangkala kapua kapul kapur kayu arang kayu bawang kayu daun seribu kayu hantu kayu rayap kedondong hutan kelampayan kemayau burung keminting hutan kemuning kenari kenuar keranji keruing lowe keruing rambut keruing tempudau kesturi ladang-ladang lampung
Semai 1,12 2,92 1,12 1,12
INP Pancang Tiang 1,95 2,10 2,97 2,43 0,49 0,97 0,70 6,62
0,56 0,70 0,71
0,97
0,56
1,46
2,24
2,92 0,49
0,56 0,56 0,56 6,78 0,56 0,56 1,12 2,40
1,12 3,37 0,56 2,24 1,28 0,56 2,40
0,49
5,66 4,04
0,85 1,71 2,72 6,07 1,33 1,56 1,74
3,28 2,10 15,83
0,82 4,21
17,77
8,61 3,29
5,66
5,54
1,83
3,53
5,98 0,49
13,87 4,38
0,49
1,75
8,60 3,69 1,12 3,60 0,85
0,97 20,11 0,49 0,70
0,97 0,97 0,76 15,10
1,64 31,88 3,83
0,97 0,49 5,50 4,80 0,97
2,41 8,67 1,12
3,40
12,87 1,54 2,10 1,83
5,86 0,71
37,63 1,49
Pohon
2,37 1,46
4,48
15,08 1,49 26,41 2,63
1,68 0,49 8,25
0,86 2,49 7,67
86 Lampiran 5. (Sambungan) 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
lansat lapang lempung lengkeng raong lomo majau manggis hutan markabang marlanang marsipa marsiput medang melapi merading meranti batu merawan merkunyit mersawa minyak angin nyatu merah nyatu putih nyerakat oth pala hutan paru-paru pelawan poli-poli pulai punaga rambai tikus rambutan rasam rengas resak rukem salam sintok tamburan tekam bukit TKR torap ulin
6,63 3,52 0,97
5,84 2,85 1,95 1,25
1,75 1,83 1,83
4,33 1,64 14,92 0,97
9,69 23,46 0,56
0,49 0,49 5,29 0,49
2,00
0,94
1,76 7,19 10,35
0,87 8,62 50,47 0,56 2,55 3,52 6,48 1,12
25,69
8,06 17,25 2,23 6,22 1,88 3,84 45,16 3,35
28,35
4,31 2,99 4,34 2,00 0,91 1,74 3,20 1,60 4,67
8,45
2,11
0,85 1,12 0,84 13,22 0,84 0,94
5,94
8,97
16,01 31,52 1,83
1,69 2,36
10,15
6,68 4,49 6,78 0,56
4,86 7,67 7,15 10,71 6,14 1,46 0,97
0,96 1,17 3,42
3,83
9,02 1,91 4,83
1,94 2,74 2,47
Hutan Bekas Tebangan Kelerengan 0-15% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama jenis ara buah asam bangkol bayur belimbing hutan benitan bentawa Benuang bintangur Cemara Hutan dara-dara Durian Durian Burung geyumbang belang Girik jabon jambu-jambu Jawar Juji Kapul kayu arang Kayu Bawang
Semai 4,38 0,80 1,41
INP Pancang Tiang 4,93 3,63 13,153 0,99
0,80 0,80
Pohon 11,25 1,92
1,53 0,99
51,286
0,80
1,53
2,39
8,78
1,801 1,458 23,577
7,57
15,14
2,39 6,77
10,33 20,07
13,22 17,15
5,18 3,51
1,716
6,77
3,95
7,719
15,27
28,342
9,89 3,66 4,89 4,66 3,29 1,80
8,753 1,366 1,310 1,310
87 Lampiran 5. (Sambungan) 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
kayu rayap kayu seribu Kelampayan kemayau burung Kembayar keminting hutan kenuar Keruing Lowei Keruing Tempudau Lampung Lampung Langsat lempung manggis markabang Markunyit Marsiput medang Melaban Melapi Mentawak Meranti Lapang meranti tahan Merawan nyatoh merah nyatoh putih Nyerakat Nyerakat Petai Pisang-pisang Poli-poli Punanga Rambai Tikus Rambutan Randu Hutan rengas resak Rukam Sangkuang Sengkuang simpur tengkawang buah Tengkawang Buah Tengkawang Rambut ubah ulin
14,99 0,80
3,95 1,492
0,99
0,80 5,53 3,39 1,61
6,26 3,15 1,68 1,881 7,188
4,59 2,59
12,07 6,36
13,38 8,60 58,33 3,65
16,13 0,99 1,97 24,36
30,87
7,386 1,562 9,32
8,07 10,95 16,87
16,524 11,084 1,260 11,448
17,22 13,37 1,68 14,59 1,44 14,71
35,714
6,30 2,23 1,366
2,96 3,18
1,48 3,18
4,903
2,00
3,59 1,59 3,00
0,99 4,93 0,99 0,99 6,36 7,46 8,78 0,99 1,97
0,80 1,79
4,03 1,59
1,49 1,46 1,66 6,370 1,366 16,097 17,298
5,17 2,97 1,57 2,03
1,366 1,492 1,43 3,95 3,95
2,570 9,304
65,51
Hutan Bekas Tebangan Kelerengan 15-25% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama jenis Ara Buah Asam Asam Gandis Bayur bengkirai Benitan Berangan Bintangur boyu Cemara Hutan Cempedak dara-dara Durian Burung Geyuimbang Belang Girik girik
Semai 2,73 0,75
INP Pancang Tiang 1,71 7,87
Pohon 1,12
3,83 3,82 2,37 28,05 1,74
1,87 2,42
9,62 4,48
6,49 4,82
2,39
7,73 5,12 8,31 27,21
1,16 1,12
2,26
2,26 3,01
0,72 2,86 3,14 5,56
1,16
88 Lampiran 5. (Sambungan) 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Jambu-jambu Jawar jelutung Juji kapul kayu arang Kayu Bawang kayu rayap Kedondong Hutan Kelampayan kemayau burung Keminting Hutan keruing lowe keruing rambut Kompas Ladang-ladang Lampung Langsat lapang Lempung M K lain manggeris markabang Markunyit Marlanang marsipa marsiput Medang Melaban Melapi melinjo Meranti Lapang Meranti tahan merawan mersawa Nyatoh Nyatoh merah nyerakat nyerakat telur paru-paru petai pisang-pisang Poli-poli Punaga Rambutan Rengas resak sengkuang Simpur Suntok Tengkawang Buah Tengkawang rambut Ubah ulin
4,75 0,72
9,70
5,74
2,86 0,72 0,72
1,51 7,25 2,26 1,45
10,41 10,30 0,99 0,72 0,99 0,72
21,96 4,16 1,49 4,61
9,05 14,26 1,56 1,19 2,38
2,37 2,54 1,66
2,67
19,65 21,37 3,69 4,76
3,65 1,55 12,39
0,75 4,75 5,39
3,58 3,53 0,72
5,15 6,85
51,01
2,73 31,51
2,86 10,20 2,15
11,38
1,73 56,39
43,71 4,11
26,89 18,17
41,97 44,44 1,55 6,18
1,16 1,30 25,78
1,43 0,72 5,50 2,06 6,32 0,75 26,29 0,75 0,75 1,45
0,75 8,98 9,63
1,22 8,98 0,75 4,70
0,72 0,72 18,49 0,72
3,60 2,85 1,39 4,15 6,50
1,66 1,45
9,42 0,72 0,72 1,43 8,26 24,15
0,72 5,01 2,42 0,72
2,49 1,92
1,16 1,12 1,16 10,99
41,47 37,56 7,04 4,88
1,24
7,88 2,54
13,54 3,87
2,10
Hutan Bekas Tebangan Kelerengan 25-40% No 1 2 3 4 5 6 7
Nama jenis Ara Kendang Asam Bangkirai Benitan Benuang Berangan Bintangur
Semai 1,61 5,62
2,41 0,80
INP Pancang Tiang 1,88 4,19 1,41 1,52 28,69 4,19 4,19
Pohon 7,77 13,36 3,24 1,69
89 Lampiran 5. Sambungan 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Boyu Cempedak Dara-dara Geyumbang Belang Ginseng Girik Jambu-jambu Jawar Juji Kapul Karuing Lowei Kayu Arang Kayu Daun Seribu Kayu Rayap Kedondong Hutan Kelampayan Kembanyar Burung Keminting Hutan Kenuar Keruing Lowei Keruing Rambut Lampung Langsat Lapang Lempung Lengkeng Manggris Markabang Markunyit Marlanang Marlanang Marsipa Marsiput Medang Meranti lapang Merawan Nyatoh Merah Nyatoh Merah Nyatoh Merah Nyatoh Putih Nyerakat Paru-paru Pisang-pisang Poli-poli Rambutan Rengas Resak Rukam Sangkuang Simpur Tamburan Tengkawang Buah Tengkawang Rambut Torap Ulin
14,52 0,80 2,41 3,21 1,61
0,84 8,59 16,68
5,62
6,22
3,21
2,52 1,33
6,42
5,38 0,84
16,59 25,60
1,66 1,61
3,04 10,44 6,29 2,61 1,52
17,16 8,01 3,37 30,02
2,67 5,08
6,07 4,69 2,81
12,98
6,06 6,79
0,80 2,03 3,45 1,07 0,80 0,80 6,95 0,80 0,80 11,15 56,00 0,80
1,18 0,84 3,26 7,60 3,30 0,84 3,26 18,73 10,65
1,64
3,49
9,58
26,19
34,92
1,66 30,50 8,83 1,61
6,76 19,34
4,28
5,38
2,46 1,59 57,00
11,52 1,92
5,59
9,42
1,76 1,46 43,09
3,20
1,68 1,82
1,38
1,61 2,41 4,02
4,54 14,60 0,84
19,38 17,76
7,85 7,31 34,75 3,63 4,52 7,18 14,94 1,66
6,36 0,80
0,84
0,80 14,90
0,84 13,87
1,08 3,02 3,78
1,82 2,03 3,65 22,90 3,26 2,03
90
Lampiran 6 PROFIL ARSITEKTUR HUTAN
91
Lampiran 6. (Sambungan)
92
Lampiran 6. (Sambungan)
93
Lampiran 6. (Sambungan)
94
Lampiran 6. (Sambungan)
95
Lampiran 6. (Sambungan)
96
Lampiran 7. FOTO-FOTO PENELITIAN
Jalur tanam Areal TPTII
97
Lampiran 7. (Sambungan)
Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Penebangan
Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Penyaradan
98
Lampiran 7. (Sambungan)
Kegiatan Analisis Vegetasi
Pengukuran Luas Jalan Sarad