PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)
IWAN AMINUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertaasi ini.
Bogor, Januari 2012
Iwan Aminudin NIM. E 061040131
ABSTRACT
IWAN AMINUDIN. The Development Stands on Production Natural Forest in TPTII Silvicultural System. Advisory Committee : ANDRY INDRAWAN (as Chairman), PRIJANTO PAMOENGKAS and BASUKI WASIS (as Members).
TPTII silvicultural system are expected to increase the productivity of forests through stripline planting system. Planting lane on one side allows the growth of Meranti type group, but on the other hand alleged damages arising out of land and vegetation changes. This study aims to analyze the structure and composition of the residual stand on logged-over natural forests, to evaluate plant growth Red Meranti (Shorea leprosula) and is identify soil quality on production of natural forest management in the application of TPTII silvicultural system. The research was carried out in working area IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang District, West Kalimantan Province. Growth of S. leprosula is predicted to reach the first cycle at the age of 25 years, with a diameter increment reached 1.67 cm/year, with an average diameter of 41.83 cm and the productivity reached 91.79 m3/ha. The potential total production of 255.34 m3/ha of TPTII higher than TPTI which only had the potential value of production amounting to 192.43 m3/ha. S. leprosula plant stand structure resembles the forest plantations spread diameter bell-shaped curve, while the residual stand structure following the pattern of distribution of natural forests inverted J-shaped curve. Changes in vegetation is shown from the community similarity index (IS) value. The diversity index(H’) ware varies value, generally ware same higher value at TPTII, TPTI and Virgin Forest. Land degradation can be seen from some of the parameters of chemical properties, soil physics and biology. Soil characteristics at different TPTII logged over area, TPTI logged over area and Virgin Forest. TPTII silvicultural systems have advantages in terms of timber production potential, but has the disadvantage of the soil quality.
Keyword: TPTII, Shorea leprosula, productivity, diversity, soil quality.
RINGKASAN IWAN AMINUDIN. Perkembangan Tegakan pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII. Dibimbing oleh : ANDRY INDRAWAN, PRIJANTO PAMOENGKAS DAN BASUKI WASIS.
Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan. Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 (TPTI 1983), 2009, 2008, 2007, 2006, dan 2005. Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen. Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cm/th, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cm/th. Daur pertama tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m3/ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah terjadi perubahan vegatasi, hal ini dapat terlihat dari nilai indeks persamaan komunitas (IS). Nilai indeks tersebut pada hutan bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) sangat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama , yaitu pada tingkat sedang. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur
TPTI dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII atau TPTI telah merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total dari TPTII yaitu sebesar 255,34 m3/ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3/ha. Dalam penerapan Sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan Virgin Forest. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang. Jalur Antara harus dipertahankan dan difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri (Karakterisasi) keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan Jalur Tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan Jalur Tanam.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendididkan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)
IWAN AMINUDIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: (1) Prof.(Ris). Dr. Ir. Pratiwi, MSc.
(2) Dr. Ir. Supriyanto. DEA Penguji pada Ujian Terbuka : (1) Dr. Ir. Iman Santoso, MS
(Ahli Peneliti Utama pada Bidang Konservasi Tanah dan Air Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia) (Staf Pengajar Bidang Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB)
(Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia) (2) Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB)
Judul Disertasi
Nama Nomor Pokok Program Studi
: Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) : Iwan Aminudin : E 061040131 : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Ketua
Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc F. Trop Anggota
Dr. Ir. Basuki Wasis, MS. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir.Naresworo Nugroho, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr
Tanggal ujian : 15 Desember 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul ” Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ”. Disertasi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS., Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. dan Dr Ir. Basuki Wasis, MS., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas waktu, perhatian, bimbingan dan dorongan semangat yang tulus kepada penulis dalam penyusunan Disertasi ini. 2. Ketua dan Staf Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Dr.Ir. Supriyanto, DEA dan Prof (Ris) Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc selaku penguji pada ujian tertutup. 4. Dr. Ir. Iman Santoso, MS dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmama, MS. Selaku penguji pada ujian terbuka 5. Segenap Management dan Staf IUPHHK PT. Sukajaya Makmur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di lokasinya. 6. Secara khusus penulis ingin mempersembahkan Karya Tulis ini buat seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas Dorongan dan doa dari istri tercinta Nuning Nursari serta putra-putri tersayang Arini, Arrifa, Ilyas dan Ilyasa. Doa yang tulus penulis panjatkan, semoga Allah SWT membalas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis dengan berkah dan pahala-Nya. Amin. Semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan pengusahaan hutan alam di Indonesia.
Bogor, Januari 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 9 Pebruari 1970, merupakan putra keempat dari 9 bersaudara, dari ayah Mulyana dan ibu Entin Kartini. Pada tanggal 11 April 1998 penulis menikah dengan Nuning Nursari, STP, daan dikaruniai empat orang anak yaitu Arini Nurhaqiqi, Arrifa Murodhiya Alhaq, M Arkaz Ilyas dan M Arsyad Ilyasa. Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari SDN Guntur I Garut, SMPN III Garut dan SMAN I Garut. Jenjang Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada tahun 1990 di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2000 Penulis mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pasca Sarjana IPB, lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama Penulis langsung melanjutkan studi Program Doktor pada lembaga yang sama. Sebagai seorang sarjana kehutanan penulis banyak beraktivitas dalam dunia praktisi pengusahaan hutan. Beberapa perusahaan IUPHHK/HPH dan HTI pernah menjadi tempat penulis berkarya diantaranya HTI Trans PT. Rimba Rokan Hulu Riau (Suya Dumai Group) , HPH PT. Kalhold Tolitoli Sulawesi Tengah (Kalimanis Group), HPH PT. Bina Balantak Raya Luwuk Banggai Sulawesi Tengah (CCM Group) dan PT. Multi Wahana Wijaya Sorong Irian Jaya. Aktifitas lainnya, sejak tahun 2000 sampai sekarang Penulis menekuni dunia akademisi menjadi staf pengajar pada Program Studi Agribisnis dan Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mata kuliah yang diampu oleh penulis antara lain : Ilmu Tanaman, Ilmu Tanah, Agroklimatologi, Hama dan Penyakit Tanaman, Teknik Budidaya Hortikultura, Teknik Produksi Tanaman dan mata kuliah lainnya yang relevan dengan budidaya pertanian dan kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5 1.6 II. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. III. 3.1. 3.2. 3.2.1. 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4. 3.2.5. 3.2.6. 3.2.7. 3.2.8. 3.2.9. 3.2.10 3.2.11. 3.2.12. IV. 4.1.
1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... Latar Belakang............................................................................................................. 1 Perumusan Masalah..................................................................................................... 4 Tujuan Penelitian......................................................................................................... 5 Hipotesis ...................................................................................................................... 6 Manfaat Penelitian....................................................................................................... 6 Kerangka Pemikiran .................................................................................................... 6 9 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ Perkembangan Silvikultur Di Indonesia ............................ 9 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)......................................................................................................................... 15 Perubahan Ekosistem Hutan Dalam Penerapan Sistem Silvikultur .................................................................................................................... 17 Pertumbuhan Tanaman ................................................................................................ 24 Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur .................................................................................................................... 28 METODE PENELITIAN………………………………. 35 Waktu dan Tempat....................................................................................................... 35 Metode Penelitian ........................................................................................................ 35 Rancangan Plot Penelitian ........................................................................................... 35 Pengambilan Data Vegetasi......................................................................................... 36 Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman.................................................................. 37 Pengambilan Data Tanah............................................................................................. 37 Analisis Data Vegetasi................................................................................................. 39 Distribusi Diameter Tegakan Tinggal ............................. 42 Pertumbuhan Tanaman ................................................................................................ 42 Potensi Produksi Pada Beberapa Sistem Silvikultur ................................................... 43 Analisis Data Tanah..................................................................................................... 46 Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji Beda Nyata......................................... 46 Analisis Biplot ............................................................................................................. 47 Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula .................................................. 47 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............... 49 Letak dan Luas Areal........................................................ 49
4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
Topografi.......................................................................... Geologi dan Jenis Tanah................................................... Hidrologi........................................................................... Iklim.................................................................................. Kondisi Vegetasi Hutan.................................................... Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat............................... Aksesibilitas......................................................................
50 51 52 52 53 54 54
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................
57
5.1.
PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula)............................................................... Sejarah Pengelolaan Tanaman............................................ Pertumbuhan Diameter........................................................ Pertumbuhan Tinggi............................................................ Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula)............................................................................ Prakiraan Potensi Tegakan.................................................. Distribusi Pertumbuhan Diameter....................................... Persentase Tumbuh............................................................. Luas Areal Efektif............................................................... PERKEMBANGAN VEGETASI HUTAN ALAM........... Perkembangan Vegetasi Tingkat Semai.............................. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pancang.......................... Perkembangan Vegetasi Tingkat Tiang.............................. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pohon............................. Kanekaragaman Jenis Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest.................................................................................... Kesamaan Komunitas Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest.................................................................................... Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem Silvikultur TPTII................................................................................... Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest........................................... Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon........................ Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI............................................................... KARAKTERISTIK TANAH HUTAN PADA SISTEM SILVIKULTUR TPTII………………………………… Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII................................................................ Perubahan Sifat Kimia Tanah............................................. Perubahan Sifat Fisik Tanah............................................... Perubahan Sifat Biologi Tanah........................................... Status Hara Tanah Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin Forest .......................................... Strategi Pemulihan Kualitas Tanah.................................... Sifat-sifat Tanah yang Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman ………………………………………………….
5.1.1. 5.1.2. 5.1.3. 5.1.4. 5.1.5. 5.1.6. 5.1.7. 5.1.8. 5.2. 5.2.1. 5.2.2. 5.2.3. 5.2.4. 5.2.5. 5.2.6. 5.2.7. 5.2.8. 5.2.9. 5.2.10 5.3. 5.3.1. 5.3.1.1. 5.3.1.2. 5.3.1.3. 5.3.2. 5.3.3. 5.3.4.
57 58 59 62 65 68 70 74 75 76 77 83 88 93 98 100 101 103 105 110 117 117 118 125 131 132 135 140
5.3.5. 5.3.5.1.
Perbedaan Karakteristik Tanah ........................................ Perbedaan Karakteristik Tanah dalam Sistem Silvikultur TPTII................................................................................... Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan TPTI… Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan Virgin Forest ……………………………………………………. Kesamaan Karakteristik Tanah antara TPTI dan Virgin Forest …………………………………………………….
142
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN........................................
147
6.1. 6.2.
Kesimpulan......................................................................... 147 Saran.................................................................................... 148
5.3.5.2. 5.3.5.3. 5.3.5.4.
142 143 143 144
DAFTAR PUSTAKA
149
LAMPIRAN
163
DAFTAR TABEL Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Luas Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas lereng.......................................................................................................
50
Deskripsi Satuan Peta Tanah Yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur..................................................
51
Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 Pada Bulan Desember 2004...................................................
52
Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Sistem Silvikultur TPTII........................................
60
Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII....................................................
64
Prediksi Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) per pohon Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII ................................
67
Prediksi Potensi Produksi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII............................................
69
8.
Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Semai.............................................................. 106
9.
Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Pancang..........................................................
108
Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Tiang..............................................................
109
Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Pohon................................................................................
110
10.
11.
12.
Prediksi Potensi Produksi Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI Dalam Satuan m3/ha................................................................................ 113
13.
Perubahan Kandungan Hara Tanah Dalam Sistem Silvikultur TPTII....................................................................................................... 119
14.
Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII..................................................................................... 124
15.
Perubahan Sifat Fisik Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur 127
TPTII....................................................................................................... 16.
Perubahan Sifat Biologi Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur 131 TPTII.......................................................................................................
17.
Peubah Sifat-sifat Tanah dan Umur yang Teruji Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman Shorea leprosula Pada Jalur Tanam dalam 140 Silvikultur TPTII ....................................................................................
DAFTAR GAMBAR 1.
Halaman
Skema Kerangka Berpikir Penelitian Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII .........
8
Skema Pelaksanaan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)................................................................................
17
3.
Kurva Pertumbuhan Tanaman.........................................................
24
4.
Bentuk Plot Contoh Pengamatan Vegetasi dan Pengambilan Sampel Tanah ................................................................................
36
5.
Peta Areal Kerja PT. Suka Jaya Makmur........................................
49
6.
Grafik Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII...................
62
Grafik Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII...................
64
Model Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Penerapan Silvikultur TPTII............................................................
66
Penyebaran Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Penerapan Silvikultur TPTII..................
72
Persentase Tumbuh Tanaman S. leprosula Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII..................................................................
75
Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest................................................................................................
77
Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest........
80
Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest......
81
Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Permudaan Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI Dibandingkan Dengan Virgin forest................................................
82
Grafik Nilai Indeks Dominansi Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...................
83
2.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest....
84
Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest..................
85
Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest..................
86
Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest..................
87
Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin forest........................................................................
88
Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...
89
Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...................
90
Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...
91
Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest...................
91
Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan Virgin forest.....................................................................................
92
Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest....
93
Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest..................
94
Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest..................
95
Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTII dan Virgin forest................
96
Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
Virgin forest.....................................................................................
98
Grafik Rata-rata Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Pada Hutan Bekas Tebangan TPTII,TPTI dan Virgin forest..............................
99
Grafik Rata-rata Nilai Indeks Kesamaan Komunitas Pada Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin forest................................................................................................
100
Struktur Tegakan Sisa Pada Hutan Bekas Tebangan Dengan Menerapkan Sistem Silvikultur TPTII Mengikuti Pola Sebaran Hutan Alam Berbentuk Kurva J Terbalik........................................
102
Perbandingan Kurva Struktur Hutan Bekas Tebangan Antara TPTII, TPTI dan Virgin forest, Semua Kurva Mengikuti Pola J Terbalik............................................................................................
104
Grafik Prediksi Potensi Produksi Hutan Alam Produksi Dalam Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI............................................
115
Grafik perbandingan kandungan unsur Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha)...............
134
Grafik perbandingan kandungan unsur Nitrogen (N) dan Pospor (P) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha)............................................
134
Grafik perbandingan kandungan unsur Karbon (C) dan Kalium (K) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha.............................................
135
Diagram Biplot Karakteristik Sifat Tanah Pada Hutan Produksi....
146
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Penghitungan prediksi potensi tegakan pada penerapan berbagai sistem silvikultur................................................................................................... 163
2.
Rekapitulasi perhitungan riap diameter Petak Ukur Permanen (PUP) PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 Tahun Pengukuran 2005 dan 2006 .... 175
3.
Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT. Sukajaya Makmur...................................................................... 176
4.
Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur .................................................................................................... 177
5.
Peta areal keja IUPHHK PT. Sukajaya Makmur ...................................... 180
6.
Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifatsifat tanah .................................................................................................. 181
7.
Hasil uji beda nyata Tukey (uji T) pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di PT. Sukajaya Makmur ..................................................................................... 182
8.
Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII................... 187
9.
Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII................... 188
10. Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1 sampai 5 tahun...... 189
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit kembali pada masa yang akan datang.
Peran sektor kehutanan dalam
pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH (IUPHHK). Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya UndangUndang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan dalam bentuk konsesi HPH.
Kebutuhan modal yang besar guna mengejar
pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya mencapai USD 8 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Atas pencapaian tersebut sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas. Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta ha.
Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam
menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Kondisi tersebut berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi pembangunan nasional. Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus
2
dilakukan adalah redesign manajemen hutan.
Redesign manajemen hutan
mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem
silvikultur
yang pernah diterapkan di Indonesia. Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan (Indrawan 2008). Kesalahan dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan. Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
Keputusan tersebut
dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts-IV/BPHH/1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6 juta hektar (tahun 1990) menjadi 28,7 juta hektar (tahun 2007). Kondisi tersebut juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m3 menjadi hanya 9,1 juta m3. Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m3 /ha/tahun (Ditjen BPK 2010).
3
Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi.
Sebagai landasan utama
aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi. Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi oleh hutan bekas tebangan atau logged over area (LoA) yang produktivitas dan potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta meningkatkan
penyerapan
tenaga
kerja.
Untuk
menjawab
tantangan
permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BHPA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan suatu teknik silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur. Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapak/tempat tumbuh dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit (Indrawan 2008). TPTII lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif (SILIN) dipandang merupakan cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktikpraktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak. Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan
4
tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.
1.2. Perumusan Masalah Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan (IUPHHK/HPH) telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro maupun sifat tanah . Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan unsur hara sebagai akibat deforestasi . Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis. Menurut Wasis (2005), pengelolaan sumberdaya alam (hutan) akan lestari jika mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. mengemukakan pendapat,
Sejalan dengan pendapat tersebut Lal (1995)
pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur
hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari (Lal 1995). Dengan kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok (intrinsic part) yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek dinamik (dinamic part) yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut. ( Carter et al. 1997). Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan , sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam.
Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi
memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti.
5
Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah, indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur
TPTII.
Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal pada plot yang sama. Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah : a.
Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya.
b.
Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas
tebangan
dalam
penerapan
sistem
silvikultur
TPTII
serta
memprediksi produktivitasnya. c.
Mengidentifikasi kualitas tanah pada
pengelolaan hutan alam produksi
dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.
6
1.4. Hipotesis a.
Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan
b.
Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan tegakan sebelumnya.
c.
Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah.
1.5. Manfaat Penelitian a.
Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK.
b.
Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan.
c.
Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya.
d.
Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK.
e.
Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.
1.6. Kerangka Pemikiran Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi (multiple functions), yaitu kayu dan jasa ekosistem (ecosystem services) sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut (tanah, iklim dan vegetasi) sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur.
7
Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam (Jalur Bersih). Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian dipertanyakan. Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan, diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman Meranti pada jalur tanam dan
kondisi tempat tumbuh (site).
Penelitian ini
penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap hutan.
ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas
8
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Penelitian Perkembangan Tegakan
Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur TPTII
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal.
Menurut PP
Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanaman/pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Menurut Nyland (2002) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya.
Sedangkan menurut Mattews (1997)
sistem silvikultur merupakan
proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman.
Dengan
demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending), dan pemanenan (Harvesting/removing). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan.
Berdasarkan umur
tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all aged-stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting).
10
Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun. b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi , seperti sistem silvikultur THPA dan THPB. Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mozaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi , sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
11
a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), memanipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (intregated pest management).
Tehnik
pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif. b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis) c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan surat keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dilakukan
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
Nomor
485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegiatan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).
12
Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan
Hutan
Nomor
151/Kpts/IV-BPHH/1993
yang
memisahkan
organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pembinaan hutan. Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanaman/pengayaan (Enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso et al. (2008) kelemahan sistem TPTI adalah: a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun.
Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan
dinamika struktur tegakan hutan. c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder. Menurut Wahyono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 /ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010). Menurut Santosa et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan
13
menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008). Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal
yang
mengacu
pada
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
(RTRW).
Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif. Menurut Suhendang (2008) paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to natural forest). Menurut Mitlohner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) tehnik silvikultur tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.
14
Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK).
Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman
diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25-100 m .
Hambatan
pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453/Kpts-II/1997) yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5x25 meter. Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999.
Namun
pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali PT. Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT. Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999). Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut
telah
menginspirasi
para
pakar
dari
perguruan
tinggi
untuk
menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan
15
dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.
2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005). Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot.
Penanaman dalam jalur memungkinkan
terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari tehnik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlohner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae
yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga
kualitas tanah (Wahyudi 2009). Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK termasuk di dalamnya PT. Sukajaya Makmur, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007. Pedoman teknis sistem silvikultur TPTII mengacu kepada Keputusan Dirjen BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon ditebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.
16
Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah : a.
Penataan areal (P-3)
b.
Risalah hutan (P-3)
c.
Pembukaan wilayah hutan (P-2)
d.
Pengadaan bibit (P-1)
e.
Penyiapan lahan yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan Jalur Tanam (P-1)
f.
Penanaman (P)
g.
Pemeliharaan tanaman yang meliputi :
1) Penyiangan dan pemulsaan 1,II, III (P+1, P+2, P+3) 2) Penyulaman I dan II (P+0, P+1) 3) Pemupukan I dan II (P +0, P+1) 4) Pembebasan Vertikal I dan II (P+1 , P+3) h.
Penjarangan I dan II (P+5 dan P+10)
i.
Perlindungan tanaman (terus menerus)
j.
Penelitian dan pengembangan
k.
Pemanenan kayu (P+31) Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan
hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas (kayu), kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat (Soekotjo, 2005). Menurut Suparna (2005) sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar, yaitu : a. Diterapkan sistem Reduced Impact Logging (RIL). b. Ruang tumbuh tegakan dibuka optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan terakomodasi secara seimbang. c. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar Jalur Tanam 20-25 m. d. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.
17
Jalur Tanam
Jalur Tanam
a-b
Jalur Antara
a-b
Gambar 2. Skema pelaksanaan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intersif (TPTII) Keterangan : O : Titik tanam, jarak tanam dalam jalur 2,5 m dan jarak antar jalur 20 m a–b : Jalur Tanam dan bebas naungan dengan lebar 3 m c–d : Jalur Antara dengan lebar 17 m 2.3. Perubahan Ekosistem Hutan Dalam Penerapan Sistem Silvikultur Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang terdiri dari komponen biotik (organisme) dan abiotik (non hayati) dimana terjadi interaksi antara kedua komponen tersebut. Pendekatan untuk mempelajari ekosistem dapat dilakukan melalui studi mekanistik (orientasi pada proses), empirik, struktur (komponen penyusun ekositem) dan fungsi (interaksi antara komponen penyusun). Studi tersebut dapat mencakup skala yang berbeda mulai dari tingkat plot sampai regional. Studi struktur dan fungsi ekosistem dalam rangka pengelolaan hutan sangat penting karena kontribusinya dalam memberikan pemahaman terhadap proses yang terjadi dari suatu perubahan baik yang diakibatkan oleh manusia atau alam (Anonimous 2004).
Struktur ekosistem menggambarkan komponen-
komponen penyusun ekosistem dalam berbagai sudut pandang atau dengan kata lain membahas apa yang berinteraksi, seperti komponen abiotik dan biotik, produsen dan konsumen, dan lain-lain, sedangkan fungsi ekosistem berhubungan
18
dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas.
Produktivitas
dalam ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih (net primery productivity=NPP) yaitu total kuantitas fotosintesis (gross primary productivity = GPP) dikurangi respirasi (Bruenig 1996), sedangkan produktivitas primer kotor (GPP) adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia.
Dengan kata lain produktivitas primer bersih
(NPP) dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis (Perry 1994). Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan.
Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti
ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem.
Demikian juga dengan komposisi jenis, makin
beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil. Dipertahankannya
stabilitas
ekosistem
hutan
beserta
komponen-
komponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian
ekosistem
hutan.
Stabilitas
ekosistem
merupakan
ukuran
keseimbangan dinamis dalam suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan.
19
Komponen stabilitas ekosistem meliputi : a. Resistensi, menunjukan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan. b. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem (Anonimous 2004), yaitu : a.
Frekwensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia
b.
Keragaman species dan interaksi antar komponen ekositem
c.
Laju perubahan hara Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting
terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argumen yang berlaku umum (Bengtsson et al. 2000). Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. (1996) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Ruch dan Oesterheld (1997) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekositem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehinga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragaman spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan.
Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin
meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem (Anonimous 2003). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekositem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil. Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontraversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan (Lal 1986). Salah satu akibat dari
20
penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat lokal (site) dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah dan vegetasi (Lal 1995). Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar.
Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara
(Vitousek 1981). Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan dan pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali (<10%) dibanding proses mineralisasi tahunan.
Intervensi manusia terhadap hutan
termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu (Vitoseuk dan Matson 1985). Pembukaan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi (sekitar 85%) dioksidasi menjadi nitrit. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen (Vitousek dan Matson 1985).
Selanjutnya ditambahkan oleh Van
Migroet dan Johnson (1993) bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi (regional, ekositem, atau tegakan hutan). Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan
21
kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N.
Nitrat akan mengalami beberapa
kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman (Robertson 1989).
Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu
dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut (Vitousek dan Matson 1985). Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah.
Definisi degradasi bersifat subyektif (Lamb 1994), memiliki
pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo (1994) memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi (Lamb 1994). Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada
22
berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman (1992) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah insitu yang berupa degradasi kimia (penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara) dan atau fisika tanah (pemadatan tanah) (Barrow 1991; Oldeman 1992). Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia (Barrow 1991). Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah.
Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada
kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0-30) kehilangan sekitar 20 – 60% dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat. Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan (Lal 1995) adalah :
23
a.
Perubahan struktur tanah seperti pemadatan tanah yang menyebabkan penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar.
b.
Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya siklus C dan N
c.
Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat. Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan
dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer (1993) berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5 % pada kedalaman 5 cm dibanding hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen dan Sands (1980) dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah, hanya sekitar 10 % dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon dibawahnya.
Setelah
penebangan, terbentuk luasan kecil yang tediri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35 % dari luas areal penebangan, dan sekitar 55 % dari luasan termasuk katagori rusak (Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spancer 1991). Anderson dan spencer (1991) memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara pada areal bekas tebangan sekitar 15-50 % nya merupakan tanah terbuka (bare soil). Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers (1987) dalam Anderson dan Spencer (1991) bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m3/ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6 % untuk diameter diatas 5 cm dibandingkan 13 % untuk tebangan sebesar 46 m3/ha. Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika, peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown (1992) menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam
24
merespon kondisi gap. Oleh karena itu maka perubahan komposisi jenis sebagai konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan akibat adanya deforestasi. 2.4. Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan atau riap (increament) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lainlain dalam satuan waktu tertentu. Menurut Bittinger et al. (2009) dan Nyland (1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (Current Annual Increament = CAI) dan riap tahunan rata-rata (Mean Annual Increament =MAI).
CAI menunjukan pertumbuhan tanaman setiap tahun,
sedangkan MAI menunjukan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan.
Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Tanaman. Riap merupakan pertambahan tumbuhan di dalam proses pertumbuhan atau tegakan yang ada pada saat tertentu akan berhenti. Jika riap itu berhenti atau pertumbuhannya sama dengan nol, tetapi bukan mati maka pada saat itu pohon dikatakan miskin riap (Sutahardja 1982 dalam Rismayanti 2001). Davis (1987)
25
menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri tiga macam riap, yaitu : a. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increament, CAI), yaitu riap yang diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu tahun. b. Riap Rata-Rata Tahunan (Meant Annual Increament, MAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu. c. Riap Periodik Tahunan (Periodic Annual Increament, PAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh tahun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) pohon adalah faktor genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar dan Matthias 2004; Na’iem dan Raharjo 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher dan Binkey 2000; Kozlowky dan Pallardy 1997; Sukotjo 1995) dan tehnik silvikultur (Coates dan Philip 1997; Halle et al.1978; Pasaribu 2008; Santosa et al. 2008). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah.
Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan,
intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan dan genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon.
Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan
tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida dan Dephut 2001).
Karakteristik genetik dalam suatu spesies
berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, Zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowki dan Pallardi 1997; Landsberg 1986). Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih.
26
Menurut peratruran Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat.
Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah
sumber benih dengan pohon fenotif bagus dan mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Kebun benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih.
Dengan
program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani’in 1999; Soekotjo 2009). Lal (1995) telah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya riap suatu tegakan, faktor itu adalah sebagai berikut: a. Tindakan silvikultur, Dalam hal ini tindakan silvikultur yang diutamakan adalah penjarangan. Hal ini mengingatkan tindakan penjarangan merupakan tindakan silvikultur yang sangat penting dalam pemeliharaan hutan. Dari penjarangan akan diperoleh dua keuntungan yaitu hasil kayu penjarangan dan hasil tegakan akhir yang baik. Masalah silvikultur ini akan berhubungan dengan produksi kemudian hari. b. Jenis, Setiap jenis pohon mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda-beda. Sebagian pohon mempunyai kecepatan tumbuh yang besar dan sebagian lagi cukup kecil. Pohon yang tumbuh lebih cepat akan mempunyai riap yang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih kecil. c. Kualitas tempat tumbuh, merupakan ukuran tingkat kesuburan tanah untuk dapat menunjukkan produktivitas tanah, guna menghasilkan volume kayu jenis tertentu. Kualitas tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang subur akan memberikan hasil yang
27
lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di tanah yang kurang subur. Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, tehnik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth).
Pada lokasi yang berbeda,
meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan Meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibandingkan Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalimantan Selatan. Dengan demikian menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Menurut Dirjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3/ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50.
Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman
Meranti (Shorea spp) pada jalur tanam sistem TPTII sebesar 1,67 cm/th atau 13,33 m3/ha/th. Sementara itu data lain menunjukan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatra Utara sebesar 1,32 cm/th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, Shorea ovalis serta Shorea parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995). Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 – 1,24 cm/th. Shorea splendica umur 35 tahun
28
yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cm/th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cm/th.
Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995)
menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalimantan Barat lebih tinggi dibanding di Kalimantan Selatan dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalimanatan Selatan tumbuh lebih baik dibanding di kalimantan Barat.
2.5. Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur Dalam beberapa tahun terakhir, karena keprihatinan terhadap kerusakan tanah dan tuntutan pengelolaan tanah secara berkelanjutan, terjadi perubahan perhatian terhadap beberapa peubah tanah. Seiring dengan hal tersebut, penggunaan tanah ditekankan pada nilai dan karakteristik tanah untuk suatu tujuan tertentu. Secara umum perhatian terhadap kualitas tanah berkembang pada seputar bahasan tentang fungsi tanah yang menjadi prioritas utama dari suatu ekosistem. Tanah dikenal sebagai komponen penting dari suatu ekosistem. Oleh karena itu, kualitas tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi kunci indikator dari konsep pengelolaan lahan secara berkelanjutan (Carter, 1997). Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya (Karlen, 1997). Kemudian definisi ini mengalami perluasan, bahwa kualitas tanah sebagai gabungan ciri tanah yang menyatakan kemampuan alami untuk melakukan fungsinya di dalam ekosistem alami maupun yang dikelola untuk mencapai kelestarian produktivitas tanaman dan binatang, mempertahankan kualitas lingkungan (air dan udara) dan memacu kesehatan tanaman (Soil Science Society of America, 1995). Definisi ini mirip dengan konsep yang diajukan oleh Doran et al. (1996) yang menyatakan bahwa kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk melakukan fungsinya, dalam suatu ekosistem dan batasan penggunaan lahan untuk kelestarian produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan memacu kesehatan tanaman, binatang dan manusia. Definisi tersebut mempunyai implikasi bahwa kualitas tanah terdiri atas dua bagian, yaitu intrinsic part yang mencakup sifat atau kapasitas yang melekat pada tanah tersebut untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan
29
dynamic part yang dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan terhadap tanah tersebut oleh manusia (Carter, 1997). Sifat yang melekat pada tanah merupakan gabungan atau integrasi dari beberapa faktor pembentuk tanah seperti iklim, topografi, vegetasi, bahan induk dan waktu. Dengan demikian tiap tanah mempunyai kapasitas yang baik. Gambar kedua kualitas tanah berkaitan dengan kemampuan alami tanah untuk melakukan fungsinya, nilai kegunaannya dan tindakan pengelolaan yang memiliki arti penting dalam penilaian kualitas tanah. Fungsi utama tanah menurut Karlen (1997) meliputi : a. Sebagai sumberdaya dalam menyimpan dan mendaur hara dalam biosfer tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hijauan makan ternak. b. Sebagai matriks, tempat akar berpegang serta tumbuh dan tempat menyimpan dan meregulasi aliran air dan larutan. c. Menyaring, mencegah, mendegradasi dan menurunkan kadar racun dari material organik maupun anorganik. Ada kesepakatan umum bahwa kualitas tanah mencakup 3 isu utama, yaitu 1) produktivitas tanaman secara berkelanjutan, 2) kualitas lingkungan, baik tanah, air maupun udara, dan 3) kesehatan mahluk hidup (Parr, 1992 dalam Doran dan Parkin, 1994). Oleh karena itu penilaian atau assessment terhadap suatu sistem pengelolaan lahan khususnya terhadap fungsi tanah harus terkait dengan salahsatu dari isu di atas. Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk, 1) identifikasi problem produksi untuk tujuan estimasi produksi secara realistik dan 2) memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan (Doran dan Parkin, 1994). Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah (Doran dan Parkin, 1994).
30
Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem (Carter, 2002). Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani (2001) bahwa perubahan kualitas menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Pemilihan indikator kualitas tanah sangat tergantung pada konteks permasalahan yang ingin diteliti. Isu yang penting adalah bagaimana mengevaluasi kualitas tanah oleh karena hasil tersebut akan digunakan untuk mengklasifikasikan kapabilitas lahan, melihat dampak dari suatu sistem penggunaan lahan, sebagai basis untuk membuat regulasi dan sebagai data untuk memonitor perubahan lingkungan (Parr, 1992 dalam Halvorson, 1997). Oleh karena itu diperlukan identifikasi terhadap sifat tanah yang berkaitan dengan kualitas tanah (Smith, 1993). Para ilmuwan sepakat bahwa untuk mengevaluasi kualitas tanah membutuhkan integrasi dari beberapa jenis data tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Doran et al. 1994 dalam Halvorson et al. 1997). Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : a.
Berkorelasi secara baik dengan proses ekosistem dan berorientasi modelling.
b.
Sebagai satu-kesatuan dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pendekatan harus secara holistik tidak dilakukan per bidang yang cenderung sempit (reductionistis).
c.
Indikator harus dapat diakses atau diaplikasikan di lapangan oleh banyak pihak
d.
Peka terhadap perubahan pengelolaan dan iklim. Indikator yang tidak sensitif kurang bermanfaat dalam memonitor perubahan kualitas tanah dan dalam pengajuan rekomendasi dalam rangka meningkatkan kualitas tanah.
e.
Jika mungkin, indikator merupakan komponen data yang sudah ada yang berasal dari data base.
31
Indikator kualitas tanah yang diajukan oleh Doran dan Parkin (1994) terdiri dari : a. Fisik tanah yang meliputi, tekstur tanah, kedalaman tanah, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapasitas pegang air, karakteristik air, kadar air, suhu tanah. b. Kimia tanah yang mencakup, total C-organik dan total N, pH, N mineral, P dan K c. Biologi tanah yang meliputi, C-mic, N-mic, N mineralisasi potensial, respirasi tanah, rasio C biomasa terhadap total C-org, rasio respirasi terhadap biomasa. Menurut Halvorson et al. (1997) terdapat variabilitas indikator tanah menurut waktu (temporal) dan tempat (spatial) yang mempengaruhi kualitas tanah. Beberapa sifat tanah yang perubahannya cepat atau bersifat sementara (highly dynamic) adalah bobot volume, total porositas, suhu tanah, kadar air, kapasitas lapangan, pH, unsur yang mudah larut (Ammonium dan Nitrat), biomassa C dan N, dan lain-lain. Sifat-sifat tanah lainnya yang mempunyai sifat relatif statis, antara lain kandungan bahan organik dan tekstur. Selain itu ada beberapa sifat tanah yang sifatnya intermediate, diantara kapasitas tukar kation, stabilitas agregat dan mikro dan meso fauna (Coleman et al, 1992 dalam Halvorson et al.1997). Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator kualitas tanah namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah perlu dilakukan identifikasi terhadap indikator-indikator yang sensitif terhadap karakter pengelolaan lahan. Selanjutnya Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang turut membantu kualitas tanah yang didasarkan atas sifat kepermanenannya dan tingkat kepekaan terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam waktu harian atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh iklim. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan.
32
Berdasarkan
sifat
kepermanenannya,
Islam
dan
Weil
(2000)
mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah sebagai berikut : a. Ephemeral (berubah dalam jangka waktu harian atau rutin), seperti kadar air, respirasi tanah, pH, N mineral, K tersedia, P tersedia, dan berat isi tanah. b. Intermediate (dampak dari suatu pengelolaan lebih dari beberapa tahun), seperti agregasi tanah, biomasa mikroba, basal respirasi, specific respiration quotient, C aktif dan kandungan bahan organik c. Permanent (sifat bawaan), seperti kedalaman tanah, lereng, iklim, restictive layers, tekstur, batuan dan mineralogi. Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana (Larson dan Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat biologi dan biokimia dapat diidentifikasikan lebih awal atau cepat dan merupakan indikator sensitif terhadap kerusakan atau perubahan produktivitas tanah (Kennedy dan Papendick, 1995). Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan (senyawa humat) dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah perlu diwaspadai.
33
Menurut Karlen et al. (1999) perubahan bahan organik tanah yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran biomassa
mikroorganisme
tanah
(C-mic).
Bahan
organik
yang
diukur
perubahannya adalah bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya diukur juga dari kadar total karbon. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi perubahan jangka pendek (Woomer dan Swift, 1994), sedangkan peubah N total dan N tersedia untuk melihat kemampuan lahan dalam mensuplai N bagi ekosistem dan N yang tercuci atau hilang dari profil tanah (Handayani, 1999). Salah-satu sifat tanah yang juga direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah adalah stabilitas agregat atau distribusi ukuran agregat dan bobot isi. Stabilitas agregat berkaitan dengan resistensi agregat yang berkaitan dengan fungsi tanah lainnya seperti sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al. 1999). Selain itu bobot isi juga dimasukkan kedalam indikator kualitas tanah karena pengaruhnya terhadap penetrasi akar tanaman dan pori-pori yang terisi oleh air dan udara (Karlen et al. 1997).
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2010.
Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan bekas
tebangan TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada umur 0, 1,2, 3, 4 dan 5 tahun, yaitu blok tebangan TPTII pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009. Pada hutan bekas tebangan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) pengambilan sampel diambil pada hutan bekas tebangan pada umur 27 tahun yaitu pada blok LOA TPTI (Logged Over Area Tebang Pilih Tanam Indonesia) tahun 1983, yang merupakan representasi dari kondisi hutan sebelum dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari virgin forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen.
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Rancangan Plot Penelitian Plot penelitian dibuat khusus pada areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. Plot penelitian dibuat pada areal hutan blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, LOA TPTI dan virgin forest yang berada pada areal KPPN. Plot penelitian ditempatkan pada tiga petak berbeda yang dipilih secara acak . Pada tiap petak dibuat plot penelitian sebanyak tiga plot dengan masing-masing luasan 1 hektar. Dalam satu plot penelitian terdapat 5 jalur pengambilan data. Secara keseluruhan pada setiap blok tebangan terdapat 3 plot dan 15 jalur pengambilan data, masingmasing untuk Jalur Antara dan Jalur Tanam. Model plot Penelitan mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan (2005) yaitu berbentuk petak tunggal berupa bujur sangkar, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.
36
Gambar 4. Bentuk plot contoh pengamatan vegetasi dan pengambilan sampel tanah 3.2.2. Pengambilan Data Vegetasi Analisis vegetasi pada areal hutan blok TPTII dilakukan pada tegakan sisa yang terdapat pada Jalur Antara.
Pada areal hutan blok TPTI dan virgin forest
analisis vegetasi dilakukan pada seluruh luasan plot.
pada kegiatan analisis
vegetasi diteliti berbagai tingkat permudaan dan pohon yaitu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Adapun parameter vegetasi yang diukur di lapangan secara langsung adalah nama jenis (lokal atau botanis), jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan, diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung volume pohon, tinggi total, untuk
37
mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat digunakan untuk mengetahui dan menaksir ukuran volume pohon. Kriteria tingkat permudaan dan pohon serta ukuran sampel plotnya mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan (2005). Pohon (Tree) adalah tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm, Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1,5 m, Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. Kriteria ukuran plot untuk pohon dan permudaannya diilustrasikan pada Gambar 4. Pengukuran diameter dilakukan pada diameter setinggi dada (Dbh) pada ketinggian 1,30 meter dari permukaan tanah. atau 20 cm di atas banir (Dab) bagi pohon-pohon yang berbanir lebih tinggi dari 1,30 m dari permukaan tanah, dengan menggunakan phiband. 3.2.3. Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) yang berada pada Jalur Tanam dievaluasi pertumbuhannya.
Tanaman yang dievaluasi adalah tanaman yang
terdapat pada areal hutan blok TPTII. Evaluasi dilakukan pada tiga petak terpilih secara acak pada setiap blok TPTII. Parameter yang diukur untuk pertumbuhan tanaman adalah tinggi, diameter, persentasi tanaman yang tumbuh dan luas areal efektif. Data pertumbuhan tanaman yang diambil berupa sampling sepanjang 100 meter jalur sebanyak 3 kali ulangan. 3.2.4. Pengambilan Data Tanah Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan mengikuti pengambilan data vegetasi dan tanaman. Pada setiap plot dan jalur yang dilakukan pengambilan data vegetasi dan tanaman maka padanya dilkukan pula pengambilan sampel data tanah. Untuk blok TPTII sampel tanah diambil dari blok tebangan dengan umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun. Untuk blok TPTI sampel diambil pada blok tebangan dengan umur 27 tahun. Untuk blok virgin forest sampel tanah diambil dari areal Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN). Sampel tanah diambil pada dua tingkat kedalaman yaitu kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm. Pengambilan sampel tanah untuk setiap kedalaman dilakukan pada lima tempat berbeda,
38
selanjutnya contoh tanah tersebut dicampur menjadi satu sampel tanah. Sehingga dari setiap plot atau jalur penelitian diambil 3 (tiga) buah contoh tanah komposit. Pengambilan sampel tanah Untuk dianalisis sifat fisiknya dilakukan dengan menggunakan ring/tabung tembaga yang mempunyai diameter 8 cm dan tinggi 4 cm. Setiap plot dan jalur pengamatan diambil tiga sampel tanah dari lapisan top soil yaitu pada kedalaman 0-20 cm. Cara pengambilan tanah utuh sebagaimana dilakukan oleh Wasis (2005) adalah sebagai berikut : a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung d. Tabung ditekan sampai ¾ bagiannya masuk ke dalam tanah e. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. f. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan. g. Tabung ditutup dengan tutup plastik. Pengambilan sampel tanah utuh yang paling baik adalah sewaktu tanah dalam keadaan kandungan air disekitar kapasitas lapang. Kalau tanah terlalu kering dianjurkan untuk menyiramnya dengan air yang cukup sehari sebelum pengambilan sampel.
Apabila tanahnya keras maka memasukkan tabung ke
dalam tanah dapat dipikul perlahan-lahan dan diatas tabung harus memakai bantalan kayu. Masuknya tabung ke dalam tanah harus tetap tegak lurus dan jangan goncang. Untuk menganalisa sifat kimia tanah dilakukan pengambilan sampel tanah biasa sebanyak 250 gram. Pengambilan ini diperlakukan juga untuk menganalisa sifat biologi tanah.
Mengacu pada Lembaga Penelitian Tanah (1979) cara
pengambilan sampel tanah biasa (agregat tanah) dari suatu profil tanah adalah sebagai berikut : a. Tanah dibersihkan dan diratakan
39
b. Setiap lapisan tanah diambil 250 gram agregat tanah. Contoh tanah yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label. 3.2.5. Analisis Data Vegetasi Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Dibawah ini adalah beberapa nilai indeks yang dihitung dari data analisis vegetasi. a. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005). INP
= KR + FR + DR ..........................................................( 1 )
Kerapatan
= Jumlah individu suatu jenis ..................................( 2 ) Luas areal sampel
KR
= Kerapatan suatu jenis x 100% ........................( 3 ) Kerapatan seluruh jenis
Dominansi
= Jumlah LBDS suatu jenis ........................................( 4 ) Luas areal sampel
DR
= Dominansi suatu jenis x 100% ...........................( 5 ) Dominansi seluruh jenis
Frekuensi
= Jumlah plot ditemukan suatu jenis ....................... ( 6) Jumlah seluruh plot
FR
= Frekuensi suatu jenis Frekuensi seluruh jenis
x 100% ........................( 7 )
b. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman
jenis
ditentukan
Keanekaragaman Shannon-Wiener :
dengan
menggunakan
rumus
Indeks
40
....................................................... ( 8 ) dimana :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-n N = Total jumlah individu
Besaran H’ kurang dari 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, besaran H’ berkisar antara 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan besaran H’ lebih besar 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi. c. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)
........................................................................... ( 9 ) dimana :
R1 = Indeks kekayaan Margallef S = Jumlah jenis N = Total jumlah individu
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 kurang dari 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, besaran R1 berkisar antara 3.5 - 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan besaran R1 tergolong tinggi jika lebih dari 5.0. d. Indeks Kemerataan Jenis (E)
..............................................................................................( 10) Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis
Besaran E kurang dari 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, besaran E berkisar antara 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan besaran E lebih dari 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.
41
d. Koefisien Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut (Bray dan Curtis, 1957 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005) :
.............................................................................................. ( 11 ) dimana : IS = koefisien kesamaan komunitas W = Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a, b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama dan kedua Nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100 %. Semakin mendekati nilai 100%, keadaan tegakan yang dibandingkan mempunyai kesamaan yang tinggi. Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS. Untuk menghitung IS, dapat digunakan nilai kerapatan, biomassa, penutupan tajuk atau INP. e. Indeks Dominansi Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk menentukan nilai indeks dominasi digunakan rumus Simpson (1949) dalam Soerianegara dan Indrawan (2005) sebagai berikut :
..................................................................................( 12) Dimana :
C : Indeks dominasi ni : Nilai penting masing-masing jenis ke-n N : Total nilai penting dari seluruh jenis
42
3.2.6. Distribusi Diameter Tegakan Tinggal Grafik distribusi tegakan tinggal dapat digambarkan menyerupai huruf J terbalik dengan pola persamaan eksponensial seperti diungkapkan oleh Meyer et al (1961), Davis dan Johnson (1987), Apanah dan Weiland (1993), Suhendang (1985) dan Bettinger et al (2009) melalui persamaan : N = N0 e-cDBH ...............................................................................................( 13 ) Dimana :
N
=
Kerapatan (Pohon /ha)
No
=
Konstanta
e
=
Nilai eksponensial
DBH =
Diameter setinggi dada
Persamanan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N). 3.2.7. Pertumbuhan Tanaman Model pertumbuhan diameter tanaman Meranti diperoleh dengan cara membuat hubungan regresi antara diameter dengan umur.
Untuk membuat
persamaan tersebut dipergunakan data primer pertumbuhan diameter tanaman yang berumur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun. Pola persamaan regresi yang dikembangkan adalah : Log U = a + b Log D ......................................................................................( 14 ) Dimana
: U = Umur D = Diameter a, b adalah konstanta
Model pertumbuhan tinggi tanaman meranti diperoleh dengan cara membuat hubungan regresi antara tinggi dengan diameter.
Untuk membuat
persamaan tersebut dipergunakan data primer pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang berumur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun. Pola persamaan regresi yang dikembangkan adalah : Log T = a + b Log D .......................................................................................( 15 ) Dimana
: T = Tinggi D = Diameter a, b adalah konstanta
Volume pohon dihitung dengan menggunakan rumus :
43
Volume Pohon = ¼ πD2T (0,45) (0,8) (0,7) .................................................. ( 16 ) Dimana :
π = 3,14 D = Diameter T = Tinggi
Areal efektif tanaman adalah areal dalam jalur tanam yang layak dipergunakan untuk tempat penanaman sehingga dapat menggambarkan jumlah tanaman sesungguhnya per hektar.
Areal efektif dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut : Aef = (At – Att) / 100% ................................................................................( 17 ) Dimana :
Aef
= Areal efektif tanaman (% )
At
= Areal penanaman
Att
= Areal tidak layak tanam
3.2.8. Potensi Produksi Pada Beberapa Sistem Silvikultur Perbedaan Sistem silvikultur yang diterapkan dalam satu areal hutan akan berdampak pada produktivitas hutan.
Prediksi potensi produksi dilakukan
terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem silvikultur TPTII. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Dari data yang tersedia dianalisis potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur.
Dari hasil analisis ini dihitung beberapa pola pengelolaan
produksi atas dasar sistem silvikultur. a. Potensi Produksi TPTI Potensi produksi pada areal hutan yang dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTI diprediksi setelah umur 25 tahun (akhir rotasi tebang). Penetapan rotasi tebang 25 tahun didasarkan atas lamanya daur tebang yang telah ditetapkan dalam penerapan silvikultur TPTII. Potensi produksi yang diperoleh dibedakan atas dasar kelompok diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50 cm dan 60 cm , sedangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial.
khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok
Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Untuk menghitung potensi tegakan perhektar pada masing-masing silvikultur TPTI dan TPTII dilakukan sebagai berikut :
44
i.
Riap diameter pohon ditentukan dari Petak Ukur Permanen (PUP) tahun pengukuran 2005 dan 2006.
ii.
Tinggi pohon ditentukan berdasarkan analisis regresi antara tinggi dengan diameter setinggi dada (Dbh) dari plot PUP tahun 2005 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut Log T = Log a + b Log D ..................................................................... ( 18 ) Dimana :
iii.
T
= Tinggi pohon total (m)
D
= Diameter setinggi dada (cm)
a, b
= Konstanta
Tinggi bebas cabang ditentukan 45% dari tinggi total (Sarijanto; 2010), komunikasi pribadi di lapangan. Tbc = 0,45 T ...................................................................................... ( 19 ) Dimana :
iv.
= Tinggi bebas cabang (m)
T
= Tinggi total (m)
Untuk menghitung Volume pohon digunakan rumus sebagai berikut : Vph
=
Dimana :
v.
Tbc
[(0,25) π D2 T] (Fk) (Fex) ........................................( 20 ) Vph
=
Volume Pohon
π
=
D
=
Diameter
T
=
Tinggi Bebas Cabang
Fk
=
Faktor Keamanan
Fex
=
Faktor Ekploitasi
3,14
Penetapan potensi tegakan perhektar, luas areal petak contoh untuk TPTI yaitu 17m X 100m = 1700 m2 = 0,17 ha. Volume tegakan dikelompokan berdasarkan jenis komersial dan non komersial serta dari jenis komersial dibedakan menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Selanjutnya
masing-masing
kelompok
jenis
tersebut
dikelompokan
berdasarkan kelas diameter yaitu : kelas diameter 30 – 40 cm, 40 – 50 cm, 50 – 60 cm, 60 cm up dan 50 cm up. Untuk menghitung volume tegakan di setiap kelompok jenis dan kelas diameter dihitung berdasarkan volume masing-masing kelompok jenis dan kelas diameter dibagi luasan petak
45
contoh. Luasan petak contoh untuk TPTI adalah 0,17 ha sedangkan untuk TPTII luas petak contohnya 0,2 ha. b. Potensi Produksi Tanaman TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman Meranti dibatasi mulai dari 40 cm.
Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas
penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. c. Potensi Produksi Tanaman TPTII dan Tegakan Sisa Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTII plus pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada Jalur Antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur . Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman Meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada Jalur Antara. Pada tegakan sisa di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial.
Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok
Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae.
46
3.2.9. Analisis data Tanah Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponen-komponen unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk kegiatan analisis tanah ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB.
Sampel tanah
dianalisis secara lengkap mencakup sifat fisika, kimia dan biologinya. 3.2.10. Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji Beda Nyata Besarnya nilai rata-rata dan selang penduga dari seluruh komponen sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada sampel tanah dan ditentukan secara statistik. Nilai rata-rata ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
ni ∑ i=1
X Dimana :
Xi
=
.........................................................( 21 )
n X = Nilai rata-rata Xi = Nilai X ke i n = Banyaknya contoh
Nilai keragaman ditentukan dengan rumus :
S2
=
ni ∑ i=1
Xi – (∑Xi)2 / n ......................................................( 22 ) n-1
dimana : S2
= Nilai keragaman ke i
Sedang untuk mengetahui perbedaannya dilakukan uji beda nyata dari Tukey (Steel dan Torrie, 1980). Hasil uji beda nyata diklasifikasikan menjadi dua golongan peubah respon yaitu peubah respon tanah yang tidak berubah dan peubah respon tanah yang berubah.
Peubah respon tanah yang berubah
ditunjukan dengan hasil uji T yang berbeda nyata, sedangakan peubah respon tanah yang tidak berubah ditunjukan dengan hasil uji T yang tidak berbeda nyata.
47
3.2.11. Analisis Biplot Semua peubah respon tanah yang berbeda nyata selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Biplot. Biplot adalah teknik statistika deskriptif yang dapat disajikan secara visual guna menyajikan secara simultan n obyek pengamatan dan p peubah dalam ruang bidang datar, sehingga ciri-ciri peubah dan obyek pengamatan serta posisi relatif antar obyek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis. (Jollife, 1986, Rawlings 1988). Dengan analisis biplot dapat diperoleh Interpretasi dan informasi dari obyek berupa: a. Kedekatan antar obyek, dua obyek dengan karakteristik sama akan digambarkan
sebagai dua faktor yang posisi-nya berdekatan.
b. Keragaman peubah, Peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek.
Begitu pula sebaliknya.
c. Hubungan antar peubah, Jika sudut dua peubah < 900 maka korelasi bersifat positif, Jika sudut dua peubah
> 900
maka korelasi bersifat negative,
semakin kecil sudutnya, maka semakin kuat korelasinya. d. Nilai peubah pada suatu obyek, Karakteristik suatu obyek bisa disimpulkan dari posisi relatifnya yang paling dekat dengan suatu peubah. 3.2.12. Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula Analisis statistik ditujukan untuk mengidentifikasi peubah sifat-sifat tanah yang paling erat hubungannya dengan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam serta mencari pola hubungan matematik antara peubah sifa-sifat tanah tersebut dengan peubah pertumbuhan tanaman. Model matematik yang digunakan berbentuk persamaan logaritma. mengacu kepada Wasis (2005) persamaan umum yang digunakan untuk penelitian hubungan sifat-sifat tanah dengan rata-rata tinggi tegakan Shorea leprosula adalah regresi linier berganda menurut persamaan sebagai berikut : Log Y = b0 + b1X1 + b2X2 + ............. + bnXn + E ................................( 23 ) Dimana :
Log Y
=
Rata-rata Tinggi
X1
=
1/Umur
X2, X3, X4, Xn =
Sifat-sifat Tanah
b0, b1, b2, bn
Konstanta
=
48
E
=
Sisaan
Adapun varibel-variabel bebas yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : X1
=
1/umur
X2
=
pH
X3
=
C - Organik
X4
=
N
X5
=
P
X6
=
Ca
X7
=
Mg
X8
=
K
X9
=
Pasir
X10
=
Debu
Untuk menyaring peubah-peubah bebas yang memberikan sumbangan nyata dalam menerangkan keragaman pertumbuhan hutan tanaman Shorea leprosula digunakan metode Stepwise dengan program Minitab Release 15.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan umum lokasi penelitian ini diperoleh dari data Litbang Pawan Selatan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur-Kalimantan Barat.
110°40' BT
110°50' BT
111°00' BT
111°10' BT
111°20' BT
L 2 1
H
IV/18 1996/1997
1
IV/20 1998/1999
L
IV/21 1999/2000
HPT
IV/17 1995/1996
1
IV/19 1997/1998
Keluing 1
2
1
D' K
er
ab
Taja
8
M
M
S.
V/22 2002
HPT
VI/28 2006
6
V/22 2000
7
E
IV/18 1996/1997
BT. TETUDUNG
10
i ba
V/21 1999/2000
p
D
ra S.
Ke
IV/19 1997/1998
8
HL
V/24 2002
Gurung Agung
Ng. Penjengkuwang
S. Kapua
Ng. Ora
s Kecil
HPT
KL
HP
T S
2
V/23 2001
9
1°10' LS
U
B
1 V/21 1999/2000
p
BT. SERANG
0
p
IV/20 1998/1999
HL V/22 2000
1
SKALA 1 : 100.000
0
V/22 2000
u
5
2
1
V/22 2002
ria Ke
4 3 2
Duta Tama
2 2
1
A
N'
N
2
HP
ing Kun
VI/27 2005
NG SINTA PANG KETA
KAB.
5
KAB.
6
G
3
3
PT. WANASOKAN HASILINDO
7
4
Keluing 2
4
ai
las Nge
S.
S.
3
1
1°00' LS
S.
p
2
HL
Ngo las
G' U' 1°00' LS
3 Saka Dua
V/24 2002
S. Pinoh
Sedawak
4
S.
lai Peku
1°10' LS
7
S p
S. O ra
U 6
C V/25 2003
5
BT. PERAI
IV/16 1994/1995
5
HL
IV/17 1995/1996 III/14 1992/1993
HL 4
p
6
VI/29 2007
PUP TPTII
7
Pe
ra
i
3 S.
Q VI/26 2004
HPT P S.
Bi
ya
III/13 1991/1992
8
2
VI/30 2008
1
9
p
III/15 1993/1994
Eks. PT. KAWEDAR MUKTI TIMBER
III/14 92/93
III/12 90/91
10 11
L
HPT
Beginci
p
Ta
ya
Ti
ga
l
T
p
5
4 3
HP
4
I/5 1983/1984
II/6 1984/1985
HL
2
III/11 1989/1990
VII/31 2009
15
HP
16
LOKASI PENELITIAN
II/8 1986/1987
K
17
VII/31 2009
V/23 2001
II/9 1987/1988
U PUTUSSIBAU
P
PINTURAJA
VII/32 2010
2
3
II/10 88/89
HP
13
14 p
VII/32 2010
II/7 1985/1986
p
1
4
HL
III/12 1990/1991
III/14 1992/1993
II/10 1988/1989
VII/32 2010
T'
1°20' LS
12
III/11 1989/1990
1
VII/32 2010
S.
S.
KA LIM KA AN LIM TA N AN BA TA RA N T TE NG AH
HP
ng S. Gentara
1°20' LS
KAL-TIM
Z
SKALA 1 : 3.500.000
II/10 1988/1989
1
SANGGAU
PONTIANAK
SINTANG
J 2
1
KAL-BAR
Nangapinoh Serawai
5
I/4 1982/1983
I/3 1981/1982
6 1°30' LS
I/2 1980/1981
Jemuat VII/34 2012
HL
7 8
HPT
VII/33 2011
HP
1°30' LS
KETAPANG
PUP TPTII
KAL-TENG Tumbangtiti
Kina S. Batangk awa
HL
Marau
VII/35 2013
2
VII/34 2012
VII/33 2011
Airhitam
VII/35 2013
1
MENY EMBAH
BT. PERING MELIT
II/3 1981/1982
P
p
I/1 1979/1980
Q 9
10 11 12
13
R
Eks. PT. KAYU PESAGUAN
Z 8
1°40' LS
1°40' LS
1
110°40' BT
110°50' BT
111°00' BT
111°10' BT
111°20' BT
www. gis.com/SJM/data/kalbar/suka jaya makmur/penataan/0604
Gambar. 5. Peta Areal Kerja PT. Suka Jaya Makmur
4.1. Letak dan Luas Areal Berdasarkan Buku Rencana Karya Tahunan PT. SJM (2010) PT. Suka Jaya Makmur merupakan salah-satu anak perusahaan yang tergabung dalam kelompok Alas Kusuma Group berdasarkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan No. 106/KPTS-II/2000 tanggal 29 Desember 2000. Luas areal berdasarkan SK Menhut No. 106/Kpts-II/2000 adalah seluas 171.340 Ha, dimana luas Hutan Produksi Terbatas seluas 158.340 Ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 13.000 Ha. Menurut pembagian wilayah administrasi pemerintah, areal PT. Suka Jaya Makmur meliputi Kecamatan Tumbang Titi, Nanga Tayap, Sandai, Matan Hilir Selatan dan Nanga Sokan, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
50
Berdasarkan pembagian Administrasi Kehutanan, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Ketapang dan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan pembagian kesatuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Wilayah ini termasuk dalam wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Ketapang Dinas Kehutanan Kalimantan Barat tepatnya dikelompok Hutan Sungai Pesaguan dan Sungai Biya. Secara geografis, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur merupakan areal kompak yang terletak diantara 1100 27’BT - 1110 25’ BT dan 01000’ LS - 01000 LS - 010 55’ LS. Sedangkan batas areal PT. Suka Jaya Makmur : Utara
: IUPHHK PT. Duaja II dan PT. Wanasokan Hasillindo
Timur
: Hutan Lindung dan Hutan Negara
Selatan : IUPHHK PT. Wanakayu Batuputih dan Hutan Negara Barat
: HPT PT. Triekasari, PT. Kawedar dan Hutan Negara
4.2. Topografi Berdasarkan Buku Rencana Pengusahaan Hutan PT. SJM (2004) topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang, datar dan landai hingga agak curam dengan presentase kemiringan lapangan seperti pada Tabel 1. Areal tersebut memiliki ketinggian minimum 300 m dpl dan maksimum 700m dpl. Tabel 1. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng Klasifikasi Kelerengan (%) Datar 0-8 Landai 8-15 Agak curam 15-25 Curam 25-45 Sangat curam >45 Jumlah Sumber Litbang PT. Suka Jaya Makmur
Luas (Ha) 13.433 43.794 108.766 2.861 2.486 171.34
Persentase (%) 7,84 25,56 63,48 1,67 1,45 100
51
4.3. Geologi dan Jenis Tanah Berdasarkan peta geologi provinsi Dati I Kalimantan Barat, diketahui bahwa bantuan yang terdapat pada areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur adalah (1) Efusif (2) Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif dan Plutonik basa. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api. Sesuai dengan peta tanah Provinsi Dati I Kalimantan Barat, jenis tanah yang terdapat pada areal pengusahaan hutan PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya terdiri atas jenis tanah Podsolik Merah Kuning. Sebagian besar jenis tanah di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol, Litosol dengan bantuan induknya adalah batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf. Untuk lebih jelas kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 2. berikut : Tabel 2. Deskripsi satuan peta tanah yang terdapat di wilayah studi dan areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. SPT Jenis Tanah
Bahan Induk
1
Batuan endapan
Padsolik Merah Kuning
Fisiografi
Bentuk Wilayah
Uraian
Dataran Bergelombang Bertekstur hingga liat solum perbukitan dalam, drainase baik, masam, KTK rendah, KB rendah 2 Podsolik Batuan Perbukitan Bertekstur Merah endapan berpasir, liat, Batuan beku Solum drainase dan metamorf dalam baik, KTK rendah, KB rendah 3 Podsolik Batuan beku Dataran, Datar dan Bertekstur Merah dan endapan perbukitan bergelombang liat, Kuning solum dalam, Drainase Sedang hingga cepat, KTK sangat rendah, KB rendah Sumber Litbang PT. Suka Jaya Makmur
52
4.4. Hidrologi Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur pada dasarnya masuk dalam Kesatuan DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Sungai utama adalah Sungai Pawan dengan lebar antara 150-300 m dengan kedalaman antara 5-15 m dimana kedua sungai tersebut bermuara ke Laut Cina Selatan. (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur).
4.5. Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kondisi iklim di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q = 0,4. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 2.761 mm/tahun. Hasil pengamatan cuaca di Stasiun Pengamatan Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 adalah sebagai berikut : Tabel 3. Hasil pengamatan cuaca di stasiun pengamat cuaca arboretum dan camp 128 pada bulan Desember 2004. No.
1 2
Parameter
Jumlah hari hujan Curah hujan : Curah Hujan Total Curah Hujan Rata-rata Curah Hujan Maksimum 3 Suhu rata-rata Pagi Siang Sore 4 Kelembaban rata-rata Pagi Siang Sore Sumber : pengukuran stasiun pengamat Desember 2004
Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum Camp 128 18 hari
28 hari
3720 ml 206.67 ml 510 ml
7250 ml 309.09 ml 600 ml
24.61 C 28.06 C 25.48 C
24.57 C 28.47 C 27.10 C
90.39% 84.83% 78.26% 75.70% 85.74% 79.30% cuaca camp arboretum dan camp 128
53
Bulan-bulan basah (> 100mm/bulan) yang merupakan musim penghujan teradi hampir sepanjang tahun sedangkan bulan kering tidak sampai dibawah 60 mm/bulan. Suhu udara rata-rata tahunan berkisar antara 260 Celcius-280 Celcius, kelembaban udara rata-rata 85% - 95%.
4.6. Kondisi Vegetasi Hutan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Hujan Tropika Basah (Low land tropical rain forest) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dengan komposisi jenis secara keseluruhan adalah sebagai berikut : (sumber : Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur) a.
60% Dipterocarpaceae yang terdiri dari 44,58 % jenis Meranti (Shorea, spp.), 2,45% Keruing (Dipterocarpaceae spp), 1,40 % kapur (Dryobalanops spp.), dan 11,57% Bangkirai/Bengkirai (Shorea leavifolia).
b.
30,14 % non Dipterocarpaceae yang terdiri dari Nyatoh (Palaqium spp), Jelutung (Dyera costulata) dan Medang (Litsea Firma Hook.f.).
c.
6%
jenis
pisang-pisangan
(Mizzetia
spp),
Perupuk
(Lophopetalum
Malaccencis) dan Benuang (Octomeles sumatrana). Di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat terdapat kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Untuk kelompok flora antara lain adalah Tengkawang (Shorea stenoptera), Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Jelutung (Dyera costulata) serta jenis buah-buahan. Sedangkan kelompok fauna yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu (Helarctus malayanus), Owa (Hillobates spp), Rusa (Cervus spp) dan Burung Rangkong (Bucherostidae spp). Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low land tropical rain forest). Dari tipe hutan tersebut sebaran jenisnya untuk jenis komersial didominasi oleh kelompok kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti (Shorea spp), Kapur (Dryobalanops spp), Mersawa (Anisoptera spp), Melapi (Shorea spp), Bengkirai (shorea leavifolia), dan Keruing (Dipterocarpus spp).
Kelompok Non
Dipterocarpaceae yang terdiri dari : Nyatoh (Palaqium spp), Durian Burung (Durio spp), Geronggang (Cratoxilon celebious), Jelutung (Dyera spp), Resak
54
(Vatica spp,. Kelompok kayu Rimba Campuran yang terdiri dari : Benuang (Octomeles malaccensis), Bintangur (Callopylum spp), Medang (Litsea firma Hook.f.), Kempas (Koompassia malaccensis), Ubar (Dillenia pulchella), Kulim (Scorodocarpus spp), Kumpang, Sawang, Pulai (Alstonia spp.), dan kelompok kayu indah yang terdiri dari : Ulin (Eusideroxylon zwageri), Rengas (Gluta renghas), dan Sindur (Sindora spp). (PT. SJM 2004)
4.7. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk desa yang berbeda disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak yang berdomisili di wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Dayak Kapus Laman Tawa, Dayak Laman Tuha dan Dayak Keluas. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk desa adalah Agama Khatolik. Kedua terbesar adalah agama Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama Islam dan agama lainnya. (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur). Pada umumnya mata pencaharian penduduk desa disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur mayoritas adalah petani tradisional yang lebih dikenal sebagai peladang berpindah. Selain berladang, sebagian penduduk desa juga mempunyai aktifitas di kebun karet, sawah dan mengumpulkan biji Tengkawang pada musim buah. (PT. SJM 2004).
4.8. Aksesibilitas Areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Untuk menuju areal tersebut dapat melalui dua macam rute, yaitu : (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur) a. Jalan darat yang melalui ruas jalan Ketapang – Sinduk (60 km). Sinduk – Desa Sei Kelly (61 km), dan desa Sei Kelly-Base Camp (38 km). Sebagian besar keadaan jalan darat tersebut dapat dilalui kendaraan pada musim kemarau. b. Jalan air melalui Sungai Pawan antara Ketapang – Log Pond di Desa Sei Kelly (+ 3 jam) dengan speed boat dan jalan darat antara Log Pond – Base Camp (38 km).
55
Untuk mencapai ke setiap bagian hutan dapat melalui jalan darat berupa jalan pengerasan yang keadaannya sangat baik. Di dalam areal hutan banyak terdapat jalan-jalan pengerasan dan jalan tanah, dalam rencananya akan dikembangkan menjadi jalan cabang maupun jalan batas petak. Untuk menuju Ketapang lewat udara dapat melalui Lapangan Udara Rahardi Oesman. Lapangan udara tersebut dapat didarati pesawat jenis Twin Otter dari Pontianak, Jakarta dan Semarang. Hubungan udara antara Ketapang dengan Pontianak dilaksanakan oleh perusahaan penerbangan Deraya dan Dirgantara Air Sevice (DAS) dengan frekuensi penerbangan dua kali sehari dalam seminggu. Sedangkan dari Jakarta dan Semarang, hubungan udara tersebut hanya dilayani oleh Merpati Nusantara Airways (MNA) dengan frekuensi tiga kali seminggu.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (Shorea leprosula) pada Jalur Tanam. Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu Jalur Tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan Jalur Antara dengan sistem tebang pilih. Jalur Tanam dibuat dengan lebar 3 m dan jarak tanam dalam jalur ditetapkan 2,5 m. Penanaman dalam jalur ini bertujuan agar tanaman S. leprosula mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya disamping mempermudah aspek pengawasan dan pemantauan. Hutan alam yang lebat dan rapat menyebabkan sinar matahari sangat sedikit tersedia bagi pertumbuhan anakan.
Karenanya diperlukan pembukaan tajuk
pohon agar sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan memacu pertumbuhan anakan.
Penelitian mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman Meranti
memerlukan sinar matahari secara bertahap dan akan terganggu pertumbuhannya apabila kekurangan sinar (Soekotjo 2009). Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses yang dilalui oleh tanaman untuk meningkatkan ukurannya (tinggi dan diameter) dengan menggunakan faktorfaktor lingkungan yang dibutuhkan. Mengetahui pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman merupakan salah satu faktor penting menentukan keberhasilan pengaturan kelestarian hasil. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan pemilihan jenis yang tepat, modifikasi tempat tumbuh dan pemeliharaan yang intensif sehingga pertumbuhan tanaman dapat ditingkatkan untuk diterapkan pada kegiatan penanaman dalam rangka silvikultur intensif. Pertumbuhan suatu tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor genetik dan lingkungannya. Keduanya mengendalikan mekanisme tumbuh yang dinyatakan dalam kegiatan fisiologis. Berapa jauh tanggap fisiologis ini terhadap faktor-faktor lain sangat ditentukan oleh derajat toleransi tanaman bersifat genetik (Kramer dan Kozlowski, 1960). Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi yang sempurna di tempat tumbuhnya.
58
5.1.1. Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontohan penerapan sistem silvikultur TPTII pada tahun 2005.
Dalam perkembangannya perusahaan ini
membuat satu unit manajemen tersendiri yang secara khusus menangani penerapan sistem silvikultur TPTII. Pada tingkat operasional kegiatan TPTII dipusatkan di Base Camp TPTII KM 64, terpisah dari Base Camp TPTI. Gambaran intensifikasi budidaya tanaman kehutanan terlihat di tempat tersebut. Tahapan operasional TPTII di PT Sukajaya Makmur meliputi pengadaan bibit , penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan perlindungan tanaman. Tahapan pengadaan bibit dan pemeliharaan merupakan tahapan operasional paling penting dalam menentukan keberhasilan tanaman. Kegiatan pengadaan bibit dilakukan di Persemaian khusus untuk Tanaman TPTII terletak di KM 62, menyatu dengan Base Camp dengan luas 0,8 ha. Sampai saat ini persemaian tersebut telah memproduksi bibit sebanyak 1.126.050 (satu juta seratus dua puluh enam ribu lima puluh) batang, yang terdiri dari berbagai jenis bibit Meranti (Shorea sp). Ada tiga jenis bentuk pengadaan bibit dilaksanakan oleh PT. SJM . Pertama dari benih yang disemai, benih tersebut diperoleh dari tegakan alam yang ada di areal hutan. Kedua diperoleh dari stek pucuk, berasal dari kebun pangkas yang berada di lahan persemaian. Ketiga diperoleh dari cabutan, berasal dari anakan yang tersebar di bawah tegakan areal hutan.
Kegiatan pengadaan bibit di PT. SJM belum sepenuhnya memenuhi
kaidah-kaidah pengadaan bibit sebagaimana digariskan pada sistem silvikultur TPTII.
Pengadaan bibit masih terpaku pada alam, belum sepenuhnya
mengandalkan bibit unggul yang sudah diketahui fenotif dan genotifnya. Penggunaan bibit unggul dalam sistem silvikultur TPTII merupakan prinsip mutlak yang harus diterapkan. Tahapan penting lainnya dalam kegiatan TPTII adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam keberhasilan tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh PT. SJM hanya mencapai 999,31 ha dari rencana seluas 4074 atau hanya mencapai 24,53%. Kondisi ini pasti berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman pada
59
tahap awal memerlukan pemeliharaan yang intensif. Tanaman harus terbebas dari gulma agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Kondisi Jalur Tanam yang dipenuhi oleh gulma sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan gulma pada Jalur Tanam lebih cepat sehingga menutup tanaman. Tanaman yang tetutup oleh gulma petumbuhannya kerdil bahkan ada yang sampai mati. Beberapa tanaman juga mengalami etiolasi karena tertutup oleh gulma. Sistem silvikultur TPTII telah mensyaratkan manipulasi lingkungan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. pembukaan tajuk.
Manipulasi lingkungan tersebut diantaranya adalah Pembukaan tajuk memungkinkan tanaman Meranti
mendapatkan ruang dan cahaya yang lebih besar. Peran pembukaan tajuk tersebut akan hilang apabila tidak ada pemeliharaan. Jalur Tanam akan didominasi oleh gulma apabila tidak dilaksanakan pemeliharaan yang intensif. Kegiatan pengadaan bibit dan pemeliharaan tanaman di PT. SJM mempunyai keterkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman di PT.SJM pada penelitian ini relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya. Kondisi pertumbuhan tanaman diuraikan dalam hasil penelitian ini. Dua kondisi kegiatan ini membuat penerapan sistem silvikultur TPTII di PT. SJM belum memenuhi syarat kecukupan. 5.1.2. Pertumbuhan Diameter Salah satu fungsi ekosistem adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter, disamping karena mudah pelaksanaannya, juga memiliki keakuratan yang cukup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006). Rata-rata diameter tanaman S. leprosula, yang ditanam pada Jalur Tanam TPTII pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4. Tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan normal. Pertambahan nilai rata-rata diameter pada semua umur menunjukan bahwa tanaman tersebut tumbuh normal. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata diameter sebesar 0,36 cm, 0,99 cm, 1,81 cm, 2,78 cm dan 3,86 cm.
Pada setiap umur
60
terjadi peningkatan nilai rata-rata diameter. Dengan demikian tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Tabel 4. Pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Umur (Th)
Diameter (cm)
MAI (cm/th)
1 2 3 4 5
0,36 0,99 1,81 2,78 3,86
0,36 0,50 0,60 0,69 0,77
Sebagai pembanding dari hasil penelitian ini perlu dikemukakan hasil penelitian beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur TPTII. Pada umur 5 tahun tanaman S. leprosula yang berada di Jalur Tanam di PT. SJM mempunyai rata-rata diameter sebesar 7,95 cm (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 3,86 cm. Hal ini dimungkinkan karena Plot yang diukur merupakan petak ukur permanen yang dipelihara dengan baik sehingga tanaman yang diukur mempunyai pertumbuhann yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman operasional. Tanaman operasional mempunyai intensitas pemeliharaan hanya mencapai 24,53%, sedangkan tanaman PUP pemeliharaannya mencapai 100%.
IUPHHK
PT. Balik Papan Forest Industri mempunyai tanaman operasional S. leprosula dengan rata-rata diameter 5,57 cm (PT. BFI 2010), PT. SBK tanaman operasionalnya mempunyai rata-rata diameter 11 cm (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati mempunyai rata-rata diameter 4,6 cm (PT. Erna Djuliawati 2010).
Semua IUPHHK tersebut di atas mempunyai rata-rata diameter yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini, kecuali IUPHHK PT. Sarpatim (2010) yang mempunyai tanaman operasional dengan rata-rata diameter 3,7 cm, lebih kecil dibandingkan dengan penelitian ini. Perbedaan tempat tumbuh dan sumber benih yang sangat variatif merupakan
penyebab dari perbedaan
pertumbuhan diameter tersebut. Riap adalah salah satu informasi yang paling esensial dan mendasar dalam penyusunan ketentuan-ketentuan pada perencanaan pengelolaan hutan.
Riap
diartikan sebagai pertambahan dimensi tanaman atau tegakan hutan selama selang
61
waktu tertentu (Vanclay 1994). Pertumbuhan riap MAI diameter tanaman S. leprosula umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun tertera pada Tabel 4. Riap diameter tanaman S. leprosula yang ditanam pada sistem silvikultur TPTII sangat bervariasi, meskipun demikian riap tersebut cenderung meningkat. Pada Umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing mempunyai riap diameter sebesar 0,36 cm/tahun, 0,50 cm/tahun, 0,60 cm/tahun, 0,69 dan 0,77 cm/tahun. Riap diameter pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur intesif, seperti di PT. SBK riap diameternya mencapai 2,53 cm/tahun (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan hasil pengukuran riap diameternya 2,80 cm/tahun, Litbang PT. SJM tempat penelitian ini dilakukan mencatatkan riap diameter sebesar 1,94 cm/th (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 0,77 cm/tahun.
PT. BFI (2010) mencatatkan riap diameter tanaman sebasar 1,39
cm/tahunh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Perbedaan riap pertumbuhan hasil penelitian ini dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh dan variasi dari sumber benih. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Litbang PT. SJM mempunyai plot yang berbeda dengan penelitian ini, yaitu plot yang ada di dalam PUP. Faktor intensitas pemeliharaan yang terjadi antara plot PUP dengan tanaman operasional menyebabkan pertumbuhan riap tanaman yang berbeda. Tanaman operasional intensitas pemeliharaannya hanya mencapai 24,52% sedangkan PUP mencapai 100%. Menurut Tourney dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi.
Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah
hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Baker et al, (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel.
62
Diameter (cm) 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50
Tahun
0,00 1
2
3
Umur
4
5
Gambar 6. Grafik pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII Tanaman S. leprosula sampai umur 5 tahun mempunyai trend pertumbuhan diameter yang meningkat. Gambar 6 menyajikan grafik pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam
silvikulur TPTII.
kurva
pertumbuhan diameter tersebut merupakan bentuk awal kurva pertumbuhan tanaman pada umumnya, atau biasa disebut dengan kurva pertumbuhan tanaman pada tahap 1 dari 3 tahapan pertumbuhan (Gambar 3). Kurva ini masih berbentuk logaritmix. Pada kurva pertumbuhan tanaman tahap 1 terdapat hubungan yang positif antara umur dengan dimeter, diameter akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Kondisi ini akan terus berlangsung sampai umur tertentu dimana tanaman mulai memasuki fase kedua dari kurva pertumbuhan. Pada tahap kedua kurva pertumbuhan akan mengalami pelambatan sampai berhenti pada titik tertentu. 5.1.3. Pertumbuhan Tinggi Pertumbuhan tinggi pohon diperoleh dari hasil analisis regresi antara tinggi dengan diameter dengan persamaan sebagai berikut : Log T = 0,27263 + 0,7093 Log D Dimana :
T = tinggi D = diameter
63
Persamaan tersebut mempunyai nilai koefesien determinasi (R2) sebesar 96,2 % (Lampiran 9). Pada Tabel 5. tertera nilai rata-rata tinggi tanaman S. leprosula pada berbagai umur. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata tinggi sebesar 0,90 m, 1,87 m, 2,86 m, 3,87 m dan 4,89 m. Pada setiap pertambahan umur terjadi peningkatan nilai rata-rata tinggi tanaman, maka tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Nilai rata-rata tinggi dari tanaman S. leprosula pada penelitian ini cenderung moderat, berada pada kisaran nilai rata-rata tinggi hasil penelitian beberapa IUPHHK. PT. BFI (2010) mencatatkan nilai rata-rata tinggi tanaman 5,71 m , Litbang PT. SJM mencatatkan nilai rata-rata tingginya 5,6 m (Sardiyanto 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 4,41 m, dan PT. Sarpatim (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 6,8 m, semua nilai pembanding tersebut secara umum berkisar hampir sama dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini nilai rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada umur 1,5 tahun mencapai 1,4 m. Pertumbuhan tinggi tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman S. leprosula yang ditunjukkan oleh Sagala (1994). Sagala (1994) menjelaskan bahwa S. leprosula mempunyai pertumbuhan yang cepat dan lebih mampu tumbuh di tempat terbuka, S. leprosula dengan umur 1.5 tahun mempunyai tinggi 1.2 m sedangkan Shorea parvifolia pada umur yang sama tingginya 1 m di daerah yang ternaungi. Suhardi (1996) mengemukakan S. leprosula yang tumbuh di daerah terbuka menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik yaitu 2.04 m daripada pada daerah ternaung 1.98 m. Pertumbuhan tinggi yang ideal harus diimbangi dengan pertumbuhan diameter. Pertumbuhan tinggi yang lebih cepat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan diameter akan menyebabkan tanaman mempunyai penampakan lebih kurus. Kondisi ini dapat dilihat pada tegakan yang mempunyai kerapatan yang tinggi, atau jarak tanam yang rapat. Pembebasan tanaman dari gulma dan tanaman non target serta jarak tanam yang optimal akan memmacu pertumbuhan tanaman yang ideal.
64
Tabel 5. Pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Umur (tahun)
Tinggi total (m)
MAI (m/tahun)
1 2 3 4 5
0,90 1,87 2,86 3,87 4,89
0,90 0,93 0,95 0,97 0,98
Tinggi (m) 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 1
2
3
4
5
Tahun
Umur
Gambar 7. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII Riap MAI tinggi tanaman S. leprosula yang ditanam pada silvikultur TPTII sangat bervariasi. Pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun masing-masing mempunyai riap MAI tinggi sebesar 0,90 m, 0,93 m, 0,95 m, 0,97 m dan 0,98 m. Nilai riap tinggi yang bervariasi dimungkinkan karena adanya perbedaan kondisi tempat tumbuh antar Jalur Tanam. Tanaman S. leprosula lebih cepat bertambah tinggi, hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh persaingan perolehan cahaya dan ruang antar tanaman. Jalur Tanam yang terlalu sempit menjadikan tanaman lebih cepat tinggi sedangkan pertambahan riap diameternya akan lebih kecil. Riap tinggi hasil penelitian ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan riap tinggi yang dicatatkan oleh Litbang PT. SJM yaitu 2,79 m/tahun (Sardiyanto
65
2010). PT. Erna Djuliawati (2010) dan PT. BFI (2010) mencatakan riap diameter tanaman masing-masing sebesar 1,22 m/tahun dan 1,43 m/tahun, nilai tersebut masih dalam kisaran nilai hasil penelitian ini. Pertumbuhan Shorea spp dilaporkan oleh Otasamo dan Adjers (1996) di Kalimantan Selatan menunjukan pertumbuhan yang lambat, disebabkan oleh kondisi iklim mikro yang tidak baik pada tapak penanaman, yaitu paparan langsung pada sinar matahari dan suhu udara yang tinggi pada permukaan tanah. Besarnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman berkaitan erat dengan intensitas keterbukaan tajuk. Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami maupun buatan, akan berarti mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan mempengruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman. Daubenmire (1962). Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menurun. Tetapi pada sisi yang berbeda, adanya naungan dapat menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi (Daubenmire, 1967). Tanaman S. leprosula sampai umur 5 tahun mempunyai trend pertumbuhan tinggi yang meningkat.
Gambar
7 menyajikan grafik pertumbuhan tinggi
tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam silvikulur TPTII.
kurva
pertumbuhan tinggi tersebut merupakan bentuk awal kurva pertumbuhan tanaman pada umumnya, atau biasa disebut dengan kurva pertumbuhan tanaman pada tahap 1 dari 3 tahapan pertumbuhan (Gambar 3). Kurva ini masih berbentuk logaritmix. Pada kurva pertumbuhan tanaman tahap 1 terdapat hubungan yang positif antara umur dengan tinggi. Tinggi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman. 5.1.4. Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (S. leprosula) Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam diprediksi dengan membuat regresi antara umur dengan diameter. Model Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII mengikuti persamaan sebagai berikut :
66
LogD = 0,44789 + 1,4803 Log U Dimana : D
= diameter
U
= umur
Persamaan tersebut mempunyai koefisien determinasi (R2 ) sebesar 74,9 %. Pada Gambar 8. tertera model pertumbuhan diameter dari tanaman S. leprosula. Model ini menyerupai model pertumbuhan awal dari hutan seumur (even-aged stand forest) yang berbentuk persamaan logaritmix.
Sehubungan
dengan data yang ada hanya untuk 5 tahun, maka untuk menduga pertumbuhan sampai dengan 30 tahun sementara menggunakan persamaan di atas.
Trend
pertumbuhan tanaman S. leprosula sampai umur 30 tahun merupakan bentuk pertumbuhan tanaman pada tahap awal (Tahap 1). Terlihat kurva pertumbuhan diameter masih berbentuk lagaritmik. Diameter akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur.
Pertumbuhan Diameter Shorea leprosulla 60
Diameter (cm)
50 40 30 Diameter (cm)
20 10 0 1
3
5
7
9
11
13 15 17 19 Umur (tahun)
21
23
25
27
29
Gambar 8. Model pertumbuhan tanaman S. leprosula pada penerapan sistim silvikultur TPTII Tanaman S. leprosula pada silvikultur TPTII di Jalur Tanam pada umur 29 tahun akan mencapai diameter 52,11 cm (Tabel 6). Apabila diameter 50 cm merupakan batas diameter tebangan maka secara teknis umur tanaman 29 tahun
67
merupakan daur tebangan dari tanaman Meranti. Daur tersebut lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Wahyudi (2011), dimana batas diameter tersebut dicapai dalam waktu 37 tahun. Tabel 6. Prediksi Pertumbuhan tanaman S. leprosula per pohon pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII Diameter Umur (th)
5 10 15 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Ratarata (cm) 3,86 10,77 19,64 30,06 32,31 34,62 36,97 39,38 41,83 44,33 46,88 49,47 52,11 54,79
MAI (cm/th) 0,77 1,08 1,31 1,50 1,54 1,57 1,61 1,64 1,67 1,70 1,74 1,77 1,80 1,83
Tinggi Ratarata (m) 4,89 10,13 15,50 20,98 22,08 23,19 24,29 25,41 26,52 27,63 28,75 29,87 30,99 32,12
Volume
MAI (m/th) 0,98 1,01 1,03 1,05 1,05 1,05 1,06 1,06 1,06 1,06 1,06 1,07 1,07 1,07
Ratarata (m3) 0,0014 0,0233 0,1183 0,3750 0,4561 0,5497 0,6569 0,7792 0,9179 1,0743 1,2499 1,4462 1,6648 1,9073
Ket
MAI (m3/th) 0,0009 0,0016 0,0108 0,0349 0,0811 0,0936 0,1073 0,1223 0,1386 0,1564 0,1756 0,1963 0,2186 0,2425
Pada petunjuk pelaksanaan TPTII (Ditjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009) telah ditetapkan bahwa daur tanaman adalah 30 tahun dengan batas diameter tebangan 40 cm.
Mengacu pada model pertumbuhan tanaman maka batas
diameter tersebut dapat diperoleh pada umur 25 tahun, dengan nilai diameter mencapai 41,83 cm (Tabel 6; Stabillo kuning). Dengan demikian pertumbuhan tanaman meranti pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Ditjen BPK dan Soekotjo (2009). Perusahaan juga telah memprediksi nilai diameter pada umur 25 tahun akan mencapai 50 cm (PT. SJM 2010), nilai ini lebih kecil dibanding dengan nilai dimeter hasil prediksi model pada tahun yang sama. Pada umur 25 tahun diameter tanaman diprediksi baru akan mencapai 41,83 cm (Tabel 6). Apabila perusahaan menetapkan batas diameter tebangan sebesar 50 cm pada umur 25 tahun, maka daur tersebut tidak akan tercapai. Daur tersebut akan tercapai lebih lama 4 tahun.
68
Konsekwensi manajemen dari kondisi tersebut adalah perlunya penerapan kaidah-kaidah sistem silvikultur TPTII yang lebih nyata di lapangan. Penggunaan bibit unggul dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif akan meningkatkan riap pertumbuhan tanaman. Realitas di lapangan bibit yang digunakan untuk penanaman masih bersalal dari alam
yang belum terseleksi keunggulannya.
Intensitas pemeliharaan tanaman dalam kurun waktu 5 tahun hanya mencapai 24,52% dari total luasan yang ada. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan dan ditingkatkan realisasinya di lapangan, sehingga target riap yang telah digariskan oleh manajemen PT. SJM dapat tercapai dengan tepat. 5.1.5. Prakiraan Potensi Tegakan Dalam penentuan model pertumbuhan volume digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : a.
Menggunakan silvikultur TPTII, yaitu penanaman dalam jalur tanam selebar 3 m dengan jarak tanam 2,5 m x 20 m sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman (Ditjen BPK 2005)
b.
Penelitian ini mencatatkan areal efektif untuk penanaman dalam jalur tanam sebesar 79,8 %
c.
Faktor eksploitasi 0,8 dan faktor pengaman sebesar 0,7 (Soekotjo 2009)
d.
Pada akhir daur setelah dilakukan penjarangan jumlah tanaman menurun secara bertahap mulai dari 150, 125 da100 pohon per hektar. Pencapaian diameter tanaman S. leprosula sebesar 50 cm ke atas menjadi
acuan untuk menentukan daur tanaman. Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok Meranti akan lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke atas. Pada umur 29 tahun diprediksi akan diperoleh tanaman S. leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas (Tabel 7; Stabillo kuning). Pada saat itu akan diperoleh kayu bulat dari tanaman S. leprosula sebesar 166,48 m3/ha. Apabila luasan efektif tanaman sebesar 79,08% maka volume pada akhir daur akan mencapai 131,65 m3/ha. Hasil prediksi pertumbuhan ini lebih moderat dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan Meranti yang diperkirakan oleh beberapa kalangan.
69
Tabel 7. Prediksi Potensi produksi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII.
Umur (tahun) 5 10 15 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Diameter (cm) 3,86 10,77 19,64 30,06 32,31 34,62 36,97 39,38 41,83 44,33 46,88 49,47 52,11 54,79
Tinggi (m) 4,89 10,13 15,50 20,98 22,08 23,19 24,29 25,41 26,52 27,63 28,75 29,87 30,99 32,12
Volume (m3/ph) 0,0014 0,0233 0,1183 0,3750 0,4561 0,5497 0,6569 0,7792 0,9179 1,0743 1,2499 1,4462 1,6648 1,9073
Jumlah (pohon/ha) 200 175 150 125 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Potensi (m3/ha) 0,29 4,07 17,74 46,88 45,61 54,97 65,69 77,92 91,79 107,43 124,99 144,62 166,48 190,73
Ditjen BPK (2010) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar 320m3/ha. Dengan asumsi FE dan FP sebesar 0,7; luasan efektif tanaman 79,8 % dan sisa tanaman pada akhir daur sebesar 71,32 %, maka akan diperoleh kayu bulat sebesar 126,91 m3/ha. Menurut Na’iem (2006) potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar 300 – 400 m3/ha atau rata-rata 350 m3/ha (Ditjen BPK 2010), dengan asumsi yang sama akan diperoleh kayu bulat sebesar 138,56 m3/ha. Wahyudi (2011) memprediksi potensi tanaman pada akhir daur akan mencapai 109,08 m3/ha. Nilai tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian Wahyudi (2011) mempunyai beberapa nilai asumsi yang berbeda dengan penelitian ini. Soekotjo (2009) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) dalam silvikultur TPTII sebesar 400 m3/ha. Asumsi ini hanya didasarkan pada persentase tumbuh tertinggi pada akhir daur sebesar 80%. Apabila menggunakan asumsi yang sama dalam perhitungan ini, diprediksi akan diperoleh kayu bulat sebesar 158,64 m3/ha.
Prediksi Soekotjo (2009)
70
nampak paling besar karena menggunakan asumsi penerapan teknik silvikultur intensif (silin), yaitu mengunakan bibit unggul, perlakuan silvikultur yang tepat dengan senantiasa menjaga pembukaan tajuk dalam Jalur Tanam (pembebasan vertikal) serta dilakukannya pemberantasan hama terpadu. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah kayu bulat yang diperoleh pada akhir daur pada sistem silvikultur TPTII sebesar 131,65 m3/ha. cukup moderat,
Nilai tersebut
berada diantara prediksinya Naíem (2006) dan Ditjen BPK
(2010). Petunjuk teknis pelaksanaan TPTII telah menetapkan panjang daur selama 30 tahun. Volume kayu pada umur 30 tahun diperkirakan akan mencapai 190,73 m3 /ha. Nilai volume tersebut jauh lebih kecil dari nilai volume yang diprediksi oleh peruhaan PT Sukajaya Makmur yaitu 400 m3/ha pada umur 25 tahun. Penentuan volume produksi akhir daur oleh perusahaan terlalu optimistik sehingga nilainya sangat tinggi. Perhitungan tersebut tidak menyertakan luasan areal efektif dari luasan lahan dan persentase tumbuh dari tanaman. Prediksi riap diameter yang ditetapkan perusahaan juga terlalu tinggi yaitu 2 cm/th. Hasil perhitungan MAI ternyata sampai umur 30 tahun hanya mencapai 1,83 cm/th. Presentase tumbuh terkecil mencapai 62,08 persen, jumlah tanaman akan terus menurun sampai akhir daur karena adanya kematian alami dan faktor kesalahan teknis dalam pemeliharaan serta adanya penjarangan. Pada akhir daur jumlah tanaman diperkirakan hanya tersisa sekitar 100 pohon/ha atau sekitar 50% dari jumlah tanaman pada awal tanam. Jumlah tanaman tersebut sangat jauh berbeda dengan prediksi perusahaan yaitu 160 pohon pada akhir daur. 5.1.6. Distribusi Pertumbuhan Diameter Data hasil pengukuran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula yang berada di dalam Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII pada umur 1,2,3,4 dan 5 tahun dikelompokkan ke dalam kelas diameter dengan selang
interval 1 cm.
Selang interval adalah A (kelas diameter <1 cm) , B (Kelas diameter 1,1 – 2 cm) , C (Kelas diameter 2,1 – 3 cm), dan seterusnya dengan selang 1 cm. Hasil dari pengelompokan tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Tanaman yang di tanam dalam Jalur Tanam membentuk suatu tegakan, dimana tegakan tersebut membentuk suatu tegakan seumur yang mana semua po-
71
honnya ditanam pada tahun yang sama, atau ditanam pada waktu yang bersamaan. Tanaman yang ditanam dalam jalur menunjukkan suatu komposisi tegakan yang dikelompokkan berdasarkan kelompok umur. Untuk mengetahui bagaimana struktur dari tegakan yang berada dalam jalur tanam oleh Loetsch, et.al (1973), menyatakan bahwa pembuatan distribusi diameter batang yang dilakukan dengan cara mengelompokkan data hasil pengamatan diameter di lapangan ke dalam kelaskelas, dimana hasil pengelompokan ini akan memberikan struktur tegakan. Perkembangan struktur tegakan sangat dipengaruhi oleh jenis penyusun tegakan dan faktor lingkungan dari tegakan tersebut. Distribusi pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam Menyerupai model struktur tanaman hutan seumur (even aged stand forest) yang berbentuk lonceng (parabola terbalik) dengan jumlah pohon terbesar berada dalam kisaran diameter pertengahan. Kelompok pohon yang mempunyai diameter kecil dan besar berjumlah lebih sedikit masing-masing tersebar pada grafik sebelah kiri dan kanan, sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Model Persamaan polinomial yang terbentuk untuk tanaman S. leprosula pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 masing-masing adalah sebagai berikut : Y = -0,642X2 + 5,769X + 8,921 Y = -1,047X2 + 9,523X + 4,571 Y = -3,607X2 + 22,39X + 7 Y = -12X2 + 38X – 5 Y = -8,5X2 + 27,5X – 5 Dimana :
X = Jumlah pohon Y = Diameter Pohon
Hal ini sejalan dengan pernyataan Hauchs et al. (2003) bahwa pola penyebaran diameter pada hutan seumur membentuk persamaan polinomial dengan grafik berbentuk lonceng. Hasil penelitian ini sejalan pula dengan Wahyudi (2011), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa distribusi diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTJ menyerupai model struktur tanaman hutan seumur. Jumlah tanaman sebagian besar terkonsentrasi pada tanaman yang mempunyai ukuran diameter yang besar, sedangkan tanaman yang berdiameter kecil dan besar jumlahnya lebih sedikit.
72
2005.
2006.
40 30 2005.
20
Poly. (2005.)
10 0 -10
0
10
40 35 30 25 20 15 10 5 0
20
2006. Poly. (2006.)
0
5
2007.
2008.
50
30
40
25 2007.
30 20
Poly. (2007.)
10
10
0
20
2008.
15 10
Poly. (2008.)
5 0
0
5
10
0
2
4
2009. 25 20 15
2009.
10
Poly. (2009.)
5 0 0
2
4
Gambar 9. Penyebaran diameter tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII. Keterangan : Sumbu Y = Jumlah tanaman (batang) Sumbu X = Diameter tanaman (cm)
73
Bila dilihat dari distribusi penyebaran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun terlihat sebaran diameter tanaman di dalam jalur tanam hampir sama jumlah pertumbuhan diameternya. Dimana pada umur 3 tahun terlihat sebaran pertumbuhan diameter dominan berada pada kelas diameter 3,1 - 4 cm, begitu juga pada umur 5 tahun pertumbuhan diameter berkelompok pada kelas diameter yang sama . Struktur tegakan tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun membentuk tegakan intoleran dimana peningkatan pertumbuhan diameter yang diiringi dengan peningkatan tinggi membentuk formasi pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan pohon yang ada disekitarnya.
Hal tersebut menandakan terjadinya per-
saingan mendapatkan cahaya matahari oleh sebab itu teknik silvikultur yang diperlukan terhadap pertumbuhan S. leprosula yaitu dengan meningkatkan intensitas cahaya melalui kegiatan pemeliharaan seperti pembukaan tajuk dan pembersihan gulma. Bila dilihat dari kurva distribusi diameter terdapat pertumbuhan diameter terfokus pada pada diameter besar atau dengan kata lain menyebar ke kanan, yaitu beberapa tanaman diameternya bertambah besar yang mengakibatkan jumlah pada kelas diameter diatasnya menjadi naik. Hal di atas menunjukkan bahwa penyebaran diameter yang condong kearah kanan atau diameter besar seperti ini dikarenakan tingkat persaingan terhadap pertumbuhannya rendah terhadap tanaman produksi yang berada dalam Jalur Tanam sedangkan penyebaran diameter condong menyebar kekiri atau diameter kecil hal ini disebabkan karena tingkat persaingan tanaman pada Jalur Tanam tinggi oleh sebab itu perlakuan pemeliharaan lebih intensif lagi. Variasi jumlah tanaman dalam kelas diameter terhadap umur pertumbuhannya di dalam Jalur Tanam TPTII pada suatu lokasi tegakan adalah sangat nyata. Terlihat bahwa semakin besar pertumbuhan diameter maka semakin sedikit/kecil jumlah tanamannya. Hal yang sama ditunjukkan pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh Sutisna dan Suyana (1997) di PT ITCI Kenangan Kalimantan Timur, Sutisna dan Ruhiyat (2005) di PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa bentuk struktur diamati yang sama yaitu tegakan tanaman paling banyak pada diameter kecil dan semakin sedikit dengan bertambahnya diameter.
74
Hal ini menampakkan suatu ciri khas struktur diameter hutan alam. Diagram kurva pertumbuhan diameter menunjukkan bahwa struktur pola hubungan antara jumlah tanaman per ha dan diameter pada seluruh plot penelitian kecenderungannya sama yaitu membentuk kurva sebaran normal. Selanjutnya Smith (1962) menyatakan bahwa struktur suatu tegakan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman penyusunnya, misalnya faktor biotik dan genetik yang dimiliki setiap spesies tanaman serta faktor lingkungannya. Jumlah tanaman pada setiap kelas diameter selalu berubah menurut waktu. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya kecepatan pertumbuhan diameter tanaman dalam kelas diameter dan adanya variasi ruang tumbuh yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. 5.1.7. Persentase Tumbuh Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula pada tahun 2008 dan 2009 sangat rendah yaitu 62,08 % dan 64,98 %. Nilai tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan ambang batas pelaksanaan penyulaman. Penyulaman harus dilaksanakan apabila persentase tumbuh tanaman tidak mencapai 80% (Dephut 1989). Tanaman S. leprosula pada tahun tersebut banyak mengalami kematian. Penyulaman pada tahun pertama dan kedua akan meningkatkan nilai persentase tumbuh, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya persentase tumbuh tanaman lebih stabil pada nilai sekitar 75 %. Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula di jalur tanam dalam sistem TPTII pada akhir daur diperkirakan akan mencapai 50%. Luasan tajuk antar tanaman S.leprosula dan tegakan sisa akan mengalami persaingan pada akhir daur, sehingga sebelum akhir daur harus dilaksanakan penjarangan. Perlakuan tersebut akan menurunkan jumlah tanaman S. leprosula sampai mencapai 50% pada akhir daur. Persentase tumbuh merupakan parameter yang mencerminkan keberhasilan penerapan silvikultur TPTII. Persentase tumbuh yang tinggi menandakan bahwa silvikultur TPTII sangat cocok untuk jenis permudaan yang ditanam.
Tanaman
Meranti yang menjadi jenis permudaan dalam silvikultur TPTII dapat berdaptasi dengan lingkungannya. Sifat dari tanaman Meranti yang membutuhkan cahaya sangat sesuai dengan pola penanaman jalur yang diterapkan dalam silvikultur TPTII.
Silvikultur TPTII memberikan peluang yang lebih besar terhadap
75
pengontrolan tanaman, sehingga tanaman bisa dipelihara lebih intensif. Silvikultur TPTII lebih memberi peluang bagi pertumbuhan jenis tanaman permudaan dibandingkan dengan silvikultur TPTI.
Persentase Tumbuh (%) 90 80
76,23
74,58
78,75
70
62,08
64,98
TPTII 2008
TPTII 2009
60 50 40 30 20 10 0 TPTII 2005
Gambar 10.
TPTII 2006
TPTII 2007
Persentase tumbuh tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII
5.1.8. Luas Areal Efektif Berdasarkan hasil inventarisasi pada 5 blok tahun tanam yaitu areal penanaman 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 diketahui bahwa jumlah areal efektif tanaman sebesar 79, 8 % dan sisanya areal tidak efektif berupa parit, jalan angkutan, rawa , sungai , daerah berbatu dan daerah dengan kelerengan sangat curam yang tidak dapat dipergunakan sebagai areal penanaman. Persentase areal efektif tanaman tersebut masih wajar dan hampir sama dengan beberapa lokasi lain, seperti di PT Sari Bumi Kusuma sebesar 53-78% (PT. SBK 2010), PT. Sarmiento Parakantja Timber sebesar 71,7-85,06% (PT. Sarpatim 2010), PT. Gunung Meranti sebesar 76,8% (Wahyudi 2011) dan IUPHHK lainnya. Areal yang tidak efektif secara teknis sangat susah untuk ditanami tanaman. Areal tersebut sebaiknya diinventarisasi dan dikeluarkan dari peta rencana penanaman sehingga areal yang akan ditanami memenuhi kriteria layak untuk ditanami Luas areal efektif secara umum sangat menentukan pemilihan sistem silvikultur. Hutan dengan luasan areal efektif yang rendah pengelolaannya harus diarahkan pada sistem silvikultur yang bersifat minim terhadap perubahan hutan
76
dan campur tangan manusia, atau lebih mengarah pada penerapan silvikultur hutan alam.
Tentunya hutan dengan luasan areal efktif yang tinggi harus
diarahkan pada penerapan sistem silvikultur hutan tanaman.
Pada penerapan
sistem TPTII perlu dikembangkan ambang batas areal efektif penanaman. Selama ini tidak ada batasan areal efektif yang ditentukan dalam penerapan sistem silvikultur.
Padahal hal tersebut sangat menentukan keberhasilan penerapan
sistem silvikultur. Mengacu kepada ketentuan penyulaman maka nilai ambang batas areal efekif penanaman berkisar pada nilai 80% (Dephut 1989).
5.2. Perkembangan Tegakan Sisa Pada Jalur Antara Penerapan sistem silvikultur TPTII meninggalkan tegakan sisa yang berada pada Jalur Antara. Keberadaan tegakan sisa tersebut tidak bisa diabaikan tanpa pengelolaan yang terarah. Dari sisi luasan tegakan sisa masih mendominasi hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Sekitar 85% (17/20 bagian) dari total luasan hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII merupakan tegakan sisa.
Tegakan sisa tersebut diharapkan
dapat menyimpan keanekaragaman jenis dari spesies tumbuhan yang tersisa. Salah satu syarat menuju pengelolaan yang lebih terarah adalah adanya dukungan data terkait struktur dan komposisi tegakan sisa. Dengan adanya dukungan data tersebut penerapan tindakan silvikultur menjadi lebih produktif, efisien, efektif dan terarah sebagaimana diharapkan dalam tujuan awal (Background) dari diterapkannya sistem silvikultur TPTII. Penggunaan sistem silvikultur TPTII menyebabkan perubahan terhadap dinamika masyarakat tumbuhan pada tegakan tinggal. Hal ini berkaitan dengan penetapan limit diameter pohon ditebang dengan diameter lebih dari 40 cm dan adanya perlakuan pembersihan Jalur Tanam dengan tebang habis terhadap vegetasinya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari struktur dan komposisi tegakan pada semua tingkat permudaan dan pohon. Struktur dan komposisi tegakan sisa tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dianalisa, dengan demikian akan diperoleh informasi perkembangan dari tegakan sisa tersebut.
Data vegetasi yang dianalisa mencakup blok dari sistem
silvikultur TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, TPTI dan virgin forest.
77
Nilai-nilai penting yang terkait dengan dinamika tegakan, struktur dan komposisi tegakan dibandingkan antar satu dengan yang lainnya. Dengan demikian akan diperoleh kesimpulan yang akurat terkait perkembangan tegakan sisa. 5.2.1. Perkembangan Vegetasi Tingkat Semai a.
Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mem-
bandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis dapat diukur dengan indeks keanekaragaman jenis (H’). Besaran indeks keragaman jenis dikelompokan menjadi tiga yaitu rendah, sedang dan tinggi. Besaran H’ kurang dari 1,5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, besaran H’ berkisar antara 1,5 – 3,5 menunjukan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan besaran H’ lebih dari 3,5 menunjukan keanekaragaman tergolong tinggi. Keragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Semakin tinggi keanekaragaman suatu komunitas menunjukkan bahwa komunitas tersebut memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi yang terjadi dalam komunitas tersebut sangat tinggi. Keanekaragaman Jenis (H') 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
2,26
2,05
2,14
1,62
1,88
2,05
TPTI
Virgin Forest
0,37
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar .11 Grafik indeks keanekaragaman jenis tingkat semai pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest
78
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat tumbuh dari jenis-jenis yang membangunnya, karena hanya jenis tersebut yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dalam komunitas tersebut. Indeks keanekaragaman jenis dapat menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan, sehingga makin tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, berada pada tingkat sedang kecuali pada blok tebangan TPTII 2006 sebesar 0,37 yang tergolong rendah. Rendahnya nilai tersebut disebabkan karena semai pada blok tersebut sudah mencapai tingkat pancang. Penyebab lainnya adalah bertambahnya luasan tajuk sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Peluang tumbuhnya semai yang baru semakin kecil dengan semakin besarnya luasan tajuk. Keanekaragaman jenis tingkat permudaan semai pada virgin forest dan TPTI lebih kecil dibandingkan dengan blok tebangan TPTII 2007, 2008 dan 2009.
Virgin forest merupakan hutan dengan komposisi sebagian besar
tegakannya didominasi oleh tingkat pohon. Tegakan tingkat pohon mempunyai karakteristik tajuk yang rapat sehingga meminimalkan tumbuhnya semai baru. Hal tersebut menyebabkan keragaman jenis tingkat semai menjadi rendah. Mekanisme ini berlaku pula pada tegakan TPTI. Hasil penelitian ini sejalan dengan Pamoengkas (2006) yang mencatatkan indeks keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan primer dengan nilai 1,97 lebih kecil dari tegakan sisa hutan bekas tebangan TPTJ yang berumur 1 sampai 5 tahun dengan nilai bervariasi diatas 2,5. Keanekaragaman jenis pada tingkat semai mempunyai nilai yang bersifat fluktuatif , tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama yaitu ada pada tingkat sedang. b. Kekayaan Jenis Indeks kekayaan jenis (R1) dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Besaran R1 kurang dari 3,5 menunjuk-
79
kan kekayaan jenis yang tergolong rendah, bila nilai R1 berkisar antara 3,5–5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika nilainya lebih dari 5,0 Magurran (1988) ; Soerianegara dan Indrawan (2005). Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa nilai R1 tingkat semai tergolong rendah dan sedang. Nilai R1 terendah terdapat pada lokasi virgin forest yaitu sebesar 2,14 sedangkan nilai R1 tertinggi berada pada lokasi TPTII 2006. Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai indeks keanekaragaman jenisnya. Hutan virgin forest mempunyai nilai Indeks kekayaan jenis sangat rendah. Semai yang ada pada virgin forest jumlahnya sangat kurang. Semai-semai baru susah terbentuk karena rapatnya tutupan tajuk pada hutan tersebut. Rapatnya tutupan tajuk akan meminimalkan peluang tumbuhnya semai baru. Pada blok TPTII 2005 juga diperoleh nilai indeks kakayaan jenis yang rendah. Hal tersebut menandakan bahwa blok TPTII 2005 telah mengalami perkembangan hutan tingkat lanjut, dimana tajuknya sudah mulai rapat sehingga meminimalkan pertumbuhan semai baru yang sebelumnya tumbuh melimpah pada awal pembukaan lahan.
Secara umum ada kesamaan antara blok tebangan 2005
dengan virgin forest dalam hal komposisi dan struktur permudaan pada tingkat semai. Tegakan tinggal pada blok TPTII 2006 mempunyai indeks kekayaan jenis tertinggi dibandingkan dengan blok lainnya.
Kondisi ini berbanding terbalik
dengan nilai keanekaragaman jenis. Hal tersebut menandakan bahwa pada blok 2006 terjadi penurunan keragaman jenis akan tetapi tidak disertai dengan penurunan kekayaan jenis.
Pada tingkat semai kuantitas jenis mengalami
penurunan akan tetapi jenis-jenis yang masih ada mengalami peningkatan dari segi jumlah individu. Permudaan tingkat semai pada Blok tebangan 2007 dan 2008, ada pada tingkat kriteria rendah, hal ini menandakan bahwa pada blok tersebut terjadi penurunan jumlah individu jenis. Penurunan jumlah individu tersebut disebabkan oleh aktivitas pembuatan jalur tanam dan penebangan. Penurunan jumlah semai pada blok ini diakibatkan adanya dinamika perpindahan tingkat permudaan dari tingkat semai memasuki tingkat pancang. Adapun Blok tebangan 2009 masih
80
mempunyai permudaan tingkat semai yang tinggi, ditunjukan dengan indeks nilai kakayaan jenis yang tinggi.
Pada blok tersebut kondisi lantai hutan sangat
memberikan ruang bagi pertumbuhan semai, sehingga semai jumlahnya berkembang dengan baik. Kekayaan Jenis (R1) 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
4,09
3,78 3,07
3,38
3,13
2,2
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
2,14
TPTI
Virgin Forest
Gambar 12. Grafik indeks kekayaan jenis tingkat semai pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest c. Kemerataan Jenis Indeks kemerataan jenis (E) juga dapat menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu komunitas, dimana semakin besar nilai E maka semakin merata komposisi penyebaran jenisnya atau tidak didominasi beberapa jenis saja. Besaran E kurang dari 0,3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, bila nilai E berkisar antara 0,3 – 0,6 menunjukkan kemerataan jenis tergolong sedang dan E lebih dari 0,6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa tingkat kemerataan jenis tingkat semai tergolong tinggi kecuali pada lokasi TPTII 2006 yaitu sebesar 0,14. Nilai tersebut diakibatkan karena permudaan tingkat semai telah tumbuh menjadi permudaan tingkat pancang. Hal tersebut ditunjukan dengan tingginya tingkat kemerataan jenis pada permudaan tingkat pancang, blok TPTII 2006 memiliki nilai kemerataan jenis 1,02. Nilai tersebut merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya termasuk virgin forest.
81
Lokasi penelitian dengan nilai E tertinggi sebesar 0,85 terdapat pada lokasi TPTII 2007, lebih tinggi dibandingkan nilai E pada virgin forest sebesar 0,82. Nilai E yang tinggi menunjukkan sebagian besar vegetasi tingkat semai menyebar merata dalam komunitas hutan tersebut. Untuk permudaan tingkat semai Blok tebangan TPTII 2007 mempunyai penyebaran yang paling merata dibandingkan dengan blok lainnya. Kemerataan Jenis (E) 0,85
0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
0,72
0,65
0,76
0,82 0,69
0,14
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 13. Grafik indeks kemerataan jenis tingkat semai pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest d. Kesamaan Komunitas Virgin forest merupakan hutan yang masih utuh, belum ada aktivitas manusia yang merubah komposisi dan strukturnya. Seluruh blok tebangan TPTII dan TPTI sudah bersentuhan dengan aktivitas manusia sehingga diperkirakan akan terjadi perubahan komposisi dan strukturnya. Indeks of similarity (IS) akan mengukur tingkat perubahan struktur dan komposisi hutan setelah bersentuhan dengan aktivitas manusia. Perbandingan nilai indeks kesamaan komunitas (index of similarity) pada komunitas hutan bekas tebangan dengan komunitas virgin forest dapat dilihat pada Gambar 14. Blok tebangan TPTI tidak banyak mengalami perubahan, ditunjukan dengan nilai IS sebasar 56,03 %, Sedangkan semua blok TPTII mengalami perubahan yang cukup besar . Nilai IS dari blok TPTII berkisar antara 11,37 sampai dengan 40,74 %.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa sistem TPTII telah merubah
struktur dan komposisi tegakan hutan alam dari bentuk semula.
82
Kesamaan Komunitas (%) 56,03
60 50
40,74
40
37,66
TPTII 2008
TPTII 2009
30,13
30 20
38,16
11,37
10 0 TPTII 2005
TPTII 2006
TPTII 2007
TPTI
Gambar 14. Grafik indeks kesamaan komunitas permudaan tingkat semai pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan virgin forest. Nilai diatas menunjukkan bahwa antara kondisi hutan primer dan setelah ditebang pada sistem sistem silvikultur TPTII dari segi jumlah individu (kerapatan) hanya mempunyai tingkat kesamaan sekitar 11,37 % sampai 40,74, artinya setelah dilakukan penebangan terjadi kehilangan jumlah individu sekitar 59,26 % sampai dengan 89,63%.
Untuk sistem silvikultur TPTI mempunyai tingkat
kesamaan jumlah individu sebesar 56,03 %, artinya setelah penebangan telah terjadi kehilangan individu sebesar 43,97 %. Dengan demikian TPTII dapat menimbulkan kehilangan jumlah individu lebih besar dari pada TPTI. e. Dominansi Jenis Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan tinggi dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Pada blok tebangan TPTII untuk tingkat permudaan semai mempunyai nilai indeks dominansi relatif rendah yaitu berkisar antara 0,09 sampai dengan 0,19. Artinya secara umum tidak ada jenis yang dominan pada blok tebangan TPTII, tidak ada jenis yang dominan secara sendirian tapi beberapa jenis tumbuhan mendominasi secara bersama-sama.
Untuk permudaan tingkat semai jumlah
individu relatif sama, tidak ada jenis yang menonjol jumlah individunya. Pada blok tebangan TPTII konsidi lantai hutan sudah terbuka, cahaya matahari lebih
83
mudah masuk ke lantai hutan, semua biji akan lebih mudah bersemai. Peluang biji untuk bersemai menjadi lebih besar. Pertumbuhan semai akan lebih mudah apabila tajuk terbuka. Hal inilah yang menyebabkan jumlah semai merata antar jenis. Nilai indeks dominansi pada blok tebangan TPTI dan virgin forest relatif tinggi. Untuk TPTI mencapai nilai tertinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu 0,21 dan virgin forest mencapai 0,16. Pada blok tebangan TPTI dan virgin forest kondisi permudaan didominasi oleh satu jenis tertentu. jumlah individu jenis tersebut sangat menonjol sehingga mengalahkan yang lainnya.
Kondisi
hutan pada kedua blok tersebut cenderung lebih rapat dibandingkan dengan blok tebangan TPTII. Kondisi tersebut sangat berpengah terhadap pertumbuhan semai jenis-jenis intoleran. Jenis tersebut tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik bahkan mati karena tertutup tajuk. Lain halnya dengan semai jenis toleran, jenis ini dapat bertahan, tumbuh dan berkebang dengan baik pada kondisi penutupan tajuk yang rapat. Hal inilah yang menyebabkan permudaan tingkat semai di blok TPTI dan virgin forest lebih didominasi jenis tertentu. Dominansi (C) 0,25 0,2
0,21
0,19 0,14
0,15 0,1
0,09
0,16
0,16
0,11
0,05 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 15. Grafik nilai indeks dominansi tingkat semai pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. 5.2.2. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pancang a.
Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis pada tingkat pancang untuk semua blok ada pada
kisaran sedang, yaitu pada kisaran nilai 2,03 sampai dengan 3,04. Untuk Blok
84
TPTII keragaman jenis pada tingkat pancang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan blok virgin forest maupun dengan blok TPTII. hal ini terkait dengan perbedaan pembukaan luasan tajuk antara blok TPTII dengan TPTI dan virgin forest. Blok TPTII memiliki tajuk yang terbuka lebih luas bila dibandingkan dengan TPTI dan virgin forest. Tajuk terbuka yang lebih luas memungkinkan terjadinya pertumbuhan semai yang lebih cepat. Permudaan tingkat semai akan cepat tumbuh dan berkembang menjadi tingkat pancang.
Intensitas cahaya
matahari yang tinggi serta daya jangkaunya yang mencapai lantai dasar hutan menyebabkan permudaan semai yang ada pada blok TPTII lebih cepat tumbuh dan berkembang. Sementara perkembangan dan pertumbuhan permudaan tingkat semai pada blok TPTI dan virgin forest mengalami hambatan karena faktor cahaya. Intensitas cahaya yang rendah dan tidak bisa menjangkau lantai hutan disebabkan oleh penutupan tajuk yang rapat. Nilai indeks keanekaragaman jenis berfluktuasi, tetapi secara keseluruhan bekas tebangan TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai keragaman jenis yang sama yaitu ada pada tingkat sedang. Keanekaragaman Jenis (H') 3,50
3,04
3,00 2,50
2,15
2,00
2,48 2,03
2,06
2,37
2,37
TPTI
Virgin Forest
1,50 1,00 0,50 0,00 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar 16. Grafik indeks keanekaragaman jenis tingkat pancang pada vegetasi hutan bekas Tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. b. Kemerataan Jenis Nilai indeks kemerataan jenis pada tingkat pancang relatif tinggi yaitu berkisar antara 0,73 sampai dengan 1,02.
Nilai tersebut termasuk katagori
kemerataan jenis yang tinggi apabila dibandingkan dengan standar batas nilai kemerataan tinggi yaitu 0,6.
Kemerataan jenis blok TPTII lebih tinggi
85
dibandingkan dengan blok TPTI dan virgin forest. Pada blok TPTII tajuk lebih terbuka merata dibandingkan dengan blok TPTI maupun virgin forest. Keterbukaan tajuk menyebabkan jenis-jenis yang sifatnya intoleran tumbuh dan berkembang dari semai menjadi pancang. Hal tersebut tidak terjadi pada blok TPTI maupun virgin forest karena tajuk masih tertutup rapat. Keberadaan jenisjenis pada tingkat pancang lebih merata pada blok TPTII. Secara keseluruhan nilai indeks kemerataan jenis berfluktuasi, meskipun demikian semua blok tebangan TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai katagori kemerataan jenis yang sama, yaitu berada pada tingkat tinggi. Tinggi kemerataan jenis pada tingkat pancang sejalan dengan tingginya jumlah jenis yang ada di lokasi penelitian. Jumlah jenis pohon yang ada di lokasi penelitaian mencapai 134 jenis (Lampiran 4). Seluruh jenis tersebut mempunyai peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang sehingga jumlahnya hampir merata. Kemerataan Jenis (E) 1,2 1 0,8
1,02 0,77
0,79
0,78
0,87
0,82
0,73
0,6 0,4 0,2 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 17. Grafik indeks kemerataan jenis tingkat pancang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. c.
Kekayaan Jenis Indeks kekayaan jenis untuk tingkat pancang pada semua blok TPTII
termasuk katagori sedang dan rendah, yaitu berkisar antara 2,56 sampai dengan dengan 4,09. Sedangkan untuk blok TPTI dan virgin forest terkatagori sedang yaitu 4,04 dan 4,54.
TPTI dan virgin forest mempunyai kekayaan jenis lebih
tinggi dibandingkan dengan blok TPTII. Telah terjadi intensitas penebangan yang tinggi pada blok TPTII sehingga blok TPTII mempunyai kekayaan jenis yang
86
rendah. Intensitas penebangan tersebut terjadi pada saat penerapan TPTI pada blok tersebut, selanjutnya pada saat penerapan TPTII dan pada saat pembuatan jalur tanam pada TPTII, dengan demikian pada blok TPTII telah terjadi 3 kali penebangan. Akibat dari intensitas penebangan tersebut jumlah jenis dan jumlah individu menjadi berkurang terutama untuk jenis-jenis komersial. pohon-pohon jenis komersial jumlahnya bertambah sedikit atau hilang pada blok setelah dilaksanakan penebangan. Pada blok TPTI intensitas penebangan hanya terjadi satu kali. Blok TPTI tidak banyak mengalami kehilangan jenis pohon karena penebangan hanya dilaksanakan satu kali. Jenis-jenis pohon yang berkurang atau hilang pada blok TPTI adalah jenis-jenis komersial dengan diameter besar. Aturan yang menerapkan batas diameter penebangan berpengaruh terhadap kekayaan jenis. Virgin forest mempunyai nilai indeks kekayaan jenis tertinggi dibandingkan dengan blok TPTII dan TPTI. Areal virgin forest sama sekali tidak mengalami penebangan. Jenis-jenis yang ada pada blok tersebut masih utuh tidak mengalami pengurangan akibat penebangan.
Jenis-jenis yang ada pada areal
virgin forest merupakan jenis asli pada areal tersebut (spesies lokal). Jumlahnya masih utuh, tidak pernah ditebang sehingga blok ini mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi.
Kekayaan Jenis (R1) 5 4 3
3,36
4,09
3,89 2,56
4,04
4,54
2,65
2 1 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 18. Grafik indeks kekayaan jenis tingkat pancang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest
87
d. Dominansi Jenis Nilai indeks dominansi pada tingkat pancang pada semua blok relatif kecil, yaitu berkisar antara 0,10 sampai dengan 0,15. Artinya pada tingkat pancang beberapa jenis tumbuhan telah mendominasi areal tersebut.
Tidak ada jenis
tertentu yang mendominasi areal tersebut. Blok TPTII tahun 2005 mempunyai nilai indeks dominansi paling besar dibandingkan dengan blok lainnya. Pada blok TPTII tahun 2005 Perkembangan semai sudah mencapai tingkat lanjut. Semai sudah berkembang menjadi pancang sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dan tidak memusat pada satu jenis saja.
Pada blok tahun-tahun sesudahnya
permudaan semai belum berkembang ke tingkat pancang, sehingga nilai indeks dominansinya lebih kecil dibandingkan blok 2005. Pada blok TPTI dan virgin forest, permudaan tingkat pancang lebih didominasi jenis-jenis tertentu dibandingkan dengan TPTII. Hal tersebut disebabkan oleh rapatnya tajuk pada dua blok tersebut. Tajuk yang rapat menyebabkan semai berkembang menjadi pancang hanya jenis-jenis yang toleran saja. Jenis-jenis tersebut mendominasi kedua blok tersebut. Sedangkan semai jenis-jenis intoleran pada kedua blok tersebut tidak berkembang menjadi pancang bahkan sebagian mengalami kematian. Dominansi (C) 0,16 0,14 0,12 0,1
0,15
0,14 0,12
0,13
0,13
0,12
0,10
0,08 0,06 0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 19. Grafik indeks dominansi jenis tingkat pancang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest
88
e. Kesamaan Komunitas Pada permudaan tingkat pancang semua blok TPTII dan TPTI bila dibandingkan dengan virgin forest mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas relatif kecil yaitu berkisar antara 21,62 sampai dengan 40,74 %. Semua blok Tidak ada yang mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas yang melebihi 50%. Artinya pada semua blok lebih dari 50% jenis-jenis yang semula ada pada blok TPTI dan TPTII telah hilang akibat penerapan kedua sistem silvikultur tersebut. Blok TPTII 2006 mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas tertinggi dibandingkan dengan blok lainnya, yaitu nilainya 40,74 %. Blok tebangan ini telah mengalami perkembangan tingkat lanjut untuk mencapai vegetasi hutan seperti semula (hutan klimaks).
Diperkirakan prosesnya akan terus berlanjut
sampai nilai kesamaannya mendekati virgin forest. Kesamaan Komunitas (%) 45 40 35
40,74
38,31
34,83
35,78 26,77
30 25
21,62
20 15 10 5 0 TPTII 2005
TPTII 2006
TPTII 2007
TPTII 2008
TPTII 2009
TPTI
Gambar 20. Grafik indeks kesamaan komunitas tingkat pancang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan virgin forest 5.2.3. Perkembangan Vegetasi Tingkat Tiang a. Keanekaragaman Jenis Pada tingkat permudaan tiang seluruh blok TPTII, TPTI dan virgin forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis dengan katagori sedang, yaitu berkisar antara 2,54 sampai dengan 3,10.
Keanekaragaman jenis pada blok tebangan
TPTII tahun 2006 menempati posisi tertinggi bila dibandingkan dengan blok
89
lainnya dengan nilai 3,10. Blok TPTII telah mengalami perkembangan pancang pada tingkat lanjut. Pancang tumbuh dan berkembang menjadi tiang, sehingga keanekaragaman tingkat tiang pada blok tersebut lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya. Dinamika perkembangan dari pancang ke tiang peluangnya lebih mudah terjadi pada areal vegetasi bekas tebang TPTII dan TPTI dibandingkan dengan areal virgin forest. Areal bekas tebangan lebih memberikan ruang dan cahaya sehingga pertumbuhan menjadi lebih cepat.
Keanekaragaman Jenis (H') 3,50 3,00
3,10 2,75
3,04
3,04
2,95
2,94
TPTI
VF
2,54
2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar 21. Grafik indeks keanekaragaman jenis tingkat tiang pada vegetasi Hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest b. Kemerataan Jenis Pada tingkat tiang semua blok mempunyai tingkat kemerataan jenis yang tinggi yaitu berkisar antara 0,85 sampai dengan 0,93. Nilai tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan standar batas nilai tinggi yaitu 0,60. Blok TPTII tahun 2005 mempunyai nilai indeks jenis tertinggi bila dibandingkan dengan blok lainnya baik TPTI maupun virgin forest.
Blok tebangan TPTII tahun 2005
merupakan tegakan tinggal yang paling tua umurnya dibandingkan dengan blok TPTII lainnya. Perkembangan tegakan tingkat pancang sudah memasuki tahap lebih lanjut. Tegakan yang dahulunya terkatagori pancang berubah menjadi tiang. Hal tersebut menyebabkan nilai dari indeks kemerataan jenis pada blok TPTII 2005 lebih tinggi dibandingkan blok lainnya. Tingkat kemerataan jenis yang tinggi sejalan dengan tingginya jumlah seluruh jenis yang ada di lokasi penelitian, yaitu mencapai 134 jenis.
seluruh jenis tersebut tumbuh menyebar rata dan
90
mempunyai pelung yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Peluang tersebut ditunjukan oleh tingginya nilai kemerataan jenis pada penelitian ini. Kemerataan Jenis (E) 0,94
0,93
0,92
0,92 0,90
0,9
0,90
0,89
0,87
0,88
0,85
0,86 0,84 0,82 0,8
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 22. Grafik indeks kemerataan jenis tingkat tiang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest c. Kekayaan Jenis Pada tingkat tiang blok TPTII mempunyai indeks kekayaan jenis dengan katagori sedang sampai tinggi, nilainya berkisar antara 4,46 sampai dengan 7,06. Untuk blok TPTI dan virgin forest mempunyai nilai indeks kekayaan jenis terkatagori tinggi yaitu 5,99 dan 5,48. Kekayaan jenis pada blok TPTI dan virgin forest relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan blok TPTII. Sistem silvikultur TPTII mempunyai intensitas yang tinggi pada kegiatan penebangan. Intensitas penebangan yang tinggi menyebabkan jumlah jenis dan jumlah individu pada tegakan sisa menjadi berkurang.
Kondisi tersebut menyebabkan nilai indeks
kekayaan jenis pada blok TPTII lebih rendah dibandingkan pada blok TPTI dan virgin forest. Meskipun demikian bila dilihat secara keseluruhan, tidak semua blok TPTII mempunyai kakayaan jenis yang lebih rendah dibanding TPTI dan Virgin Forest, yaitu TPTII tahun 2006 dan 2007. Hal tersebut menunjukan bahwa pada lokasi penelitian terjadi dinamika perubahan jangka pendek.
Kondisi
kekayaan jenis hasil penelitian ini masih akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
91
d. Dominansi Jenis Pada tingkat tiang semua blok mempunyai nilai indeks dominansi rendah yaitu berkisar antara 0,06 sampai dengan 0,11. Artinya pada semua blok tidak didominasi jenis tertentu. pada semua blok baik TPTI, TPTII maupun virgin forest didominasi oleh beberapa jenis tumbuhan, tidak ada jenis tumbuhan yang menonjol mendominasi tegakan sisa pada blok tersebut. Kekayaan Jenis (R1) 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,87
7,06
4,85
6,66
5,99
5,48
4,46
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 23. Grafik indeks kekayaan jenis tingkat tiang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest Dominansi (C) 0,12
0,11
0,1 0,08 0,06
0,07
0,06
0,07
0,06
0,07
0,06
0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 24. Grafik indeks dominansi jenis tingkat tiang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest
92
e. Kesamaan Komunitas Pada tingkat tiang semua blok mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas pada tingkat rendah kecuali blok TPTII tahun 2008, yaitu 51,61 %. Blok lainnya mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas
berkisar antara 23,08 sampai
dengan 48,96 %. Artinya semua blok mengalami kehilangan jenis lebih dari 50% dibandingkan dengan kondisi areal virgin forest. Hilangnya jenis-jenis ini pada tingkat tiang akibat diterapkannya sistem silvikultur TPTI dan TPTII. intensitas penebangan pada kedua sistem silvikultur tersebut telah menimbulkan kerusakan dan kematian pada tingkat tiang. Blok TPTII tahun 2005 mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas paling kecil yaitu 23,08 %.
Setelah berumur 5 tahun
permudaan tingkat tiang tumbuh dan berkembang menjadi pohon. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya nilai IS dari blok tebangan 2005. Dalam tegakan sisa senantiasa terjadi dinamika perubahan komposisi tegakan yang didasarkan atas perkembangan jenis-jenis pohon. Kondisi tersebut akan terus berjalan sampai tegakan mencapai posisi klimaks.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
pengelolaan hutan baik dengan sistem silvikultur TPTII maupun dengan TPTI akan mempunyai konsekwensi terhadap perubahan vegetasi. Perubahan tersebut sebaiknya diminimalisasi dengan menerapkan kaidah Reduce Impact Logging (RIL). Kesamaan Komunitas (%) 60
51,61
48,96
50 40 30
31,03 23,08
35,16 26,79
20 10 0 TPTII 2005
TPTII 2006
TPTII 2007
TPTII 2008
TPTII 2009
TPTI
Gambar 25. Grafik indeks kesamaan komunita tingkat tiang pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan virgin forest
93
5.2.4. Perkembangan Vegetasi Tingkat Pohon a. Keanekaragaman Jenis Nilai keanekaragaman jenis pada blok tebangan TPTII yang beragam dan fluktuatif menunjukkan perubahan-perubahan komunitas yang sedang mengalami suksesi sekunder untuk mengarah pada hutan klimaks. Keanekaragaman jenis tingkat pohon pada blok tebangan TPTII dan TPTI relatif stabil dan mendekati nilai keanekaragaman pada virgin forest.
Keanekaragaman Jenis (H') 3,25 3,20 3,15 3,05
3,17
TPTI
Virgin Forest
3,10
3,08
3,10
3,18
3,04
3,01
3,00 2,95
2,91
2,90 2,85 2,80 2,75 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar 26. Grafik indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon pada vegetasi Hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest Pada tingkat pohon Secara keseluruhan semua blok baik TPTI, TPTII dan virgin forest mempunyai keanekaragaman jenis pada tingkat sedang. Walaupun demikian pada selang tersebut virgin forest dan blok TPTI mempunyai keanekaragaman jenis lebih tinggi yaitu 3,17 dan 3,18 sedangkan blok tebangan TPTII hanya berkisar antara 2,91 sampai dengan 3,10.
Keanekaragaman jenis
pada tingkat pohon di areal virgin forest lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan yang telah ditebang, karena Hutan yang ditebang akan mengalami penurunan jumlah jenis. Sistem tebang pilih menyebabkan beberapa tumbuhan dari jenis komersial menjadi berkurang jumlahnya bahkan bisa sampai punah. Blok tebangan TPTI mempunyai nilai keanekaragaman jenis lebih tinggi
94
dibandingkan dengan blok TPTII.
blok TPTI hanya sekali mengalami
penebangan sedangkan blok TPTII mengalami penebangan sebanyak dua kali, yaitu pada saat menjadi blok TPTI dan pada saat diterapkan TPTII. Blok TPTII bahkan mengalami penebangan yang ketiga kali yaitu pada saat pembuatan jalur tanam. Hal tersebut menyebabkan tingkat keanekaragaman jenis blok TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI dan virgin forest. Meskipun demikian secara keseluruhan keanekaragaman jenis masih dalam katagori yang sama yaitu berada pada tingkat sedang. b. Kemerataan Jenis
Kemerataan Jenis (E) 0,89 0,88 0,87 0,86 0,85 0,84 0,83 0,82 0,81 0,8 0,79
0,88 0,86 0,84
0,84
0,84
0,83 0,82
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar 27.
TPTI
Virgin Forest
Grafik indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest
Pada tingkat pohon Secara umum semua blok mempunyai nilai kemerataan jenis yang tinggi yaitu berkisar antara 0,82 sampai dengan 0,88. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari nilai indeks kemerataan pada tingkat pohon. Jenis-jenis yang terdapat dalam blok menyebar secara merata.
Nilai indeks
kemerataan terbesar terjadi pada TPTII tahun 2008. Tingkat kemerataan jenis yang tinggi sejalan dengan banyaknya jumlah jenis yang dilokasi penelitian, jumlah jenis dilokasi penelitian mencapai 134 jenis (lampiran 4). Jenis-jenis
95
tersebut menyebar merata jumlahnya, sehingga jumlah kemerataan jenis terkatagori tinggi. c. Kekayaan Jenis Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa nilai R1 tingkat pohon tergolong tinggi. Nilai indeks kekayaan jenis dari semua blok berkisar antara 6,45 sampai dengan 8,13.
Nilai tersebut masuk
kriteria hutan dengan vegetasinya mempunyai tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Artinya jumlah jenis dan jumlah individu dalam blok-blok tersebut relatif tinggi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antar blok, nilai R1 relatif sama semuanya ada pada selang tinggi yaitu diatas nilai 5. Hal ini menunjukan bahwa hutan di kalimantan mempunyai kekayaan jenis yang relatif tinggi. Untuk blok TPTI dan TPTII Walaupun sudah ditebang ternyata masih mempunyai kekayaan jenis relatif tinggi. Sistem tebang pilih tidak berpengaruh terhadap kekayaan jenis. Kekayaan Jenis (R1) 9 8
8,13 7,12
7
7,33 6,45
8,03 6,88
6,58
6 5 4 3 2 1 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
TPTI
Virgin Forest
Gambar 28. Grafik indeks kekayaan jenis tingkat pohon pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest d. Dominansi Jenis Pada tingkat pohon, secara umun baik Pada blok tebangan TPTII, TPTI maupun virgin forest mempunyai nilai indeks dominansi jenis relatif rendah yaitu berkisar antara 0,06 sampai dengan 0,08.
Artinya secara umum tidak ada jenis
yang dominan pada semua blok tebangan, tidak ada jenis yang dominan secara sendirian tapi beberapa jenis tumbuhan mendominasi secara bersama-sama.
96
Untuk tingkat pohon jumlah individu relatif sama, tidak ada jenis yang menonjol jumlah individunya. Berbeda dengan tingkat semai, pada tingkat pohon Intensitas cahaya tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai indeks dominansi.
Tutupan tajuk yang rapat
atau jarang tidak berpangaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman dewasa. Kriteria pembagian sifat toleran dan intoleran hanya berlaku pada tingkat semai sedangkan pada tingkat pohon pembagian tersebut tidak berlaku. Dari data indeks dominansi dapat ditunjukan tidak ada satupun blok yang didominasi oleh jenis tertentu, hampir semuanya didominasi oleh beberapa jenis pohon. Untuk tingkat pohon tidak berlaku penyaringan jenis lewat mekanisme cahaya, semua pohon dimungkinkan tumbuh dan berkembang pada semua kondisi cahaya apapun. Dominansi (C) 0,09
0,08
0,08 0,07 0,06
0,07 0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
TPTI
Virgin Forest
0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009
Gambar 29. Grafik indeks dominansi jenis tingkat pohon pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest e. Kesamaan Komunitas Seluruh blok TPTII dan TPTI mempunyai nilai indeks kesamaan komunitas relatif seragam yaitu berkisar antara 34,35 sampai dengan 47,9 %, nilai tersebut terkatagori kecil.
Jenis pohon pada tegakan sisa hanya tesisa 34,35 sampai
dengan 47,9%. Artnya dalam proses penerapan kedua sitem silikultur tersebut telah menghilangkan jenis sekitar 52,1 sampai dengan 63,7%.
Nilai ini cukup
97
tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas nilai IS yaitu sekitar 50%. Tebang pilih merupakan satu-satunya sistim silvikultur pada hutan alam. Sistim ini telah lama diterapkan pada hutan alam yang ada di indonesia.
Dalam berbagai
referensi diungkapkan bahwa sistim silvikultur tebang pilih merupakan sistem yang paling ideal dari sistem yang ada, namun sistem ini tidak menjamin keberadaan jenis-jenis komersial pada tegakan sisa. Jenis-jenis komersial banyak yang ditebang secara menyeluruh sehingga tidak ditemukan jenis tersebut di hutan bekas tebangan. Dipandang perlu untuk menerapkan ketentuan jenis-jenis yang ditebang seharusnya ditanam kembali pada lokasi bekas tebangan tersebut. Jenis pohon seharusnya tidak ditebang semuanya tetapi disisakan sebagai tegakan sisa yang berfungsi sebagai pohon induk. Dengan demikian kehilangan jenis-jenis pohon yang ditebang tidak akan terjadi. Nilai indeks kesamaan komunitas blok tebangan TPTI lebih besar dibandingkan dengan blok tebangan TPTII. Intensitas Penebangan pada blok tebangan TPTII terjadi sebanyak dua kali yaitu pada saat diterapkan sistem TPTI dan pada saat diterapkan TPTII, bahkan terjadi penebangan sebanyak tiga kali yaitu pada saat pembuatan jalur tanam. Sementara blok TPTI hanya mengalami satu kali penebangan. Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai IS di blok TPTI lebih besar. Jenis-jenis yang hilang di blok TPTII lebih banyak dibandingkan dengan blok TPTI.
Perlu adanya perlakuan dalam penerapan sistem sistem
silvikultur TPTII untuk menanam jenis-jenis yang telah hilang di blok akibat penebangan. Dengan penanaman tersebut diharapkan jenis-jenis komersial yang ditebang masih tetap ditemui pada tegakan sisa di blok tebangan. Indeks kesamaan komunitas merupakan cerminan tingkat perubahan vegetasi yang diakibatkan oleh diterapkannya sistem pengelolaan silvikultur. Perubahan vegetasi dalam penerapan sistem silvikultur tertentu tidak dapat dihindari, perubahan vegetasi tersebut mutlak ada. Meskipun demikian perubahan vegetasi perlu dikendalikan agar tidak terlalu besar nilainya. Beberapa konsep yang mengemuka diantaranya adalah diterapkannya konsep RIL (Reduce Impact Logging) dalam pengelolaan hutan. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan cara menanamnya kembali mutlak harus dilaksanakan dengan mengacu kepada jenis-jenis yang ditebang.
98
Kesamaan Komunitas (%) 60 47,9
47,73
50 40
36,17
37,39
TPTII 2005
TPTII 2006
40,39 34,35
30 20 10 0 TPTII 2007
TPTII 2008
TPTII 2009
TPTI
Gambar. 30 Grafik indeks kesamaan komunitas jenis tingkat pohon pada vegetasi hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan virgin forest 5.2.5. Keanekaragaman Jenis Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada semua tingkatan permudaan dan pohon areal virgin forest mempunyai nilai keanekaragaman jenis paling tinggi. pada pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur tebang pilih telah mengakibatkan menurunnya keanekaragaman jenis. Penebangan
secara
intensif
yang dilaksanakan pada sistem
silvikultur
menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman jenis. pengelolaan hutan berdasarkan sistem silvikultur tebang pilih tidak bisa mempertahankan keanekaragaman jenis. diperkirakan banyak jenis tumbuhan yang telah hilang pada blok-blok pengelolaan hutan. Jenis yang hilang diperkirakan adalah jenisjenis yang mempunyai nilai komersial. Pada semua tingkat permudaan dan pohon LOA TPTI mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan LOA TPTII. Sistem pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur TPTI ternyata lebih bisa menjaga keanekaragaman jenis dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTII.
Penerapan sistem sistem silvikultur TPTII telah menyebabkan
menurunnya tingkat keanekaragaman jenis pada areal hutan yang dikelola. TPTII mengadopsi penebangan yang intensif yaitu tebang pilih dan pembuatan jalur untuk penanaman. Kedua hal tersebut diduga telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman jenis.
pada sistem TPTI penebangan dilakukan pada saat
99
pemanenan saja, untuk penanaman tidak dilakukan penjaluran sehingga tidak menambah kerusakan tegakan.
Areal hutan yang dijadikan tempat untuk
menerapkan TPTII terkadang berada pada LOA TPTI, dengan demikian pada areal tersebut telah terjadi penebangan ganda atau lebih dikenal dengan istilah cuci mangkok. 1 3,5 H
3 2,5 2
TPTII
1,5
TPTI VF
1 0,5 0 Semai
pancang
tiang
pohon
Gambar 31. Grafik rata-rata nilai indeks keanekaragaman jenis pada Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest Indrawan (2000) mendapatkan nilai H’ tingkat semai pada areal hutan bekas tebangan di PT. Ratah Timber Co (Kaltim) sebesar 3,81 (keanekaragaman tinggi), sedangkan Pamoengkas (2006) mendapatkan nilai nilai H’tingkat semai pada areal bekas tebangan di PT. Sari Bumi Kusuma (Kalteng) sebesar sebesar 1,77 (keanekaragaman sedang).
Penelitian ini menempatkan LOA TPTII menempati
posisi keragaman jenis terkecil untuk tingkat semai yaitu sebesar 1,58. Pada
penelitian
ini
meskipun
Virgin
Forest
mempunyai
nilai
keanakaraganman yang lebih tinggi tetapi kondisinya masih terkatagori sama yaitu ada pada katagori sedang.
Secara keseluruhan terjadi fluktuasi nilai
kaanekaragaman jenis namun penurunan tersebut masih ada dalam katagori kanekaragaman jenis dengan nilai sedang.
Jadi antara hutan bekas tebangan
TPTII, TPTI dan Virgin Forest masih ada dalam satu selang nilai keanekaragaman jenis yang sama.
100
5.2.6. Kesamaan Komunitas pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin Forest Kesamaan komunitas ( % ) 120 100 80 TPTII
60
TPTI
40
VF
20 0 Semai
pancang
tiang
pohon
Gambar 32. Grafik rataan nilai Indeks kesamaan komunitas pada areal hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan virgin forest Penerapan sistem silvikultur tebang pilih dalam pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai konsekwensi terhadap perubahan vegetasi. Vegetasi yang utuh sebagaimana digambarkan oleh kondisi virgin forest ternyata mengalami perubahan setelah diterapkannya sistem silvikultur tebang pilih, baik TPTII maupun TPTI. Pada Gambar 32 tertera bahwa LOA TPTII mengalami perubahan ekosistem sebesar 60,79% dari kondisi awal (virgin forest), hal tersebut terjadi pada tingkat pohon.
Begitu pula pada tingkat permudaan lainnya, TPTII
mengalami tingkat perubahan ekosistem yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI.
Nilai indeks kesamaan komunitas mencerminkan tingkat perubahan
vegetasi dalam suatu areal hutan yang diakibatkan oleh penerapan sistem silvikultur. Perubahan vegetasi dalam pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur mutlak adanya, meskipun demikian perubahan tersebut dapat diperkecil dengan penerapan konsep RIL (Reduce Impact Logging). Rehabilitasi pasca penebangan mutlak harus dilaksanakan, salah satunya yaitu dengan cara penanaman jenis-jenis pohon yang ditebang dalam pengelolaan hutan tersebut. Jenis-jenis pohon yang ditebang akan berkurang atau hilang dari areal hutan, penanaman kembali jenis tersebut akan memulihkan hutan pada kondisi awal.
101
5.2.7. Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem silvikultur TPTII Secara umum struktur tegakan hutan alam mengikuti pola kurva J terbalik. Begitu pula dengan areal LOA TPTII, secara keseluruhan membentuk kurva J terbalik sebagaimana tertera pada Gambar. 33 dengan demikian struktur hutan dapat dikatakan tidak berubah. Pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ternyata tidak merubah struktur hutan. Hal tersebut terlihat dari kurva J terbalik yang dibentuk oleh struktur tegakan pada hutan bekas tebangan. Hasil penelitian ini sesuai dengn penelitian-penelitian struktur hutan terdahulu. Pada penelitian ini diperoleh formula eksponensial negatif dari struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTII, formula tersebut sebagai berukut : -0,062170DBH
TPTII 2005
:N = 139,31568. e
TPTII 2006
: N = 141,57938. e
TPTII 2007
: N = 82,60379. e
TPTII 2008
: N = 126,76519. e
-0,066775DBH
TPTII 2009
: N = 116,41260. e
-0,066775DBH
Di mana :
N
=
DBH =
-0,073683DBH
-0,059867DBH
Jumlah pohon per hektar (N/ha) Diameter Setinggi Dada
Formula tersebut dapat diandalkan karena mempunyai koefesien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu 0,848, 0,863, 0,832, 0,933 dan 0,931 masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Menurut Bettinger et al (2009), Davis dan Johnson (1987), Meyer et al (1961), Suhendang (1985) dan Wahyudi (2011) sebaran diameter tegakan hutan alam menyerupai J terbalik dengan pola persamaan eksponensial : Q = Q0. e-cDBH. Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N). Struktur tegakan hutan alam bekas tebangan TPTII didominasi oleh pohon yang berdiameter kecil. Pohon yang berdiameter besar semakin sedikit jumlahnya dengan semakin tua umur tegakan. Struktur ini berbeda dengan struktur tanaman yang ada di jalur tanam yang menyerupai kurva lonceng, dimana struktur diameternya menyebar normal.
102
TPTII 2006
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
40 30 TPTII2005
TPTII2006
20 10
Expon. (TPTII2005) 0
Expon. (TPTII2006)
0 0
100
TPTII2007
100
TPTII 2008
60
60
50
50
40
50
TPTII2007
30
40
TPTII 2008
30
20
Expon. (TPTII2007)
10 0
20
Expon. (TPTII 2008)
10 0
0
50
100
0
50
100
TPTII 2009 50 40 TPTII 2009
30 20 10
Expon. (TPTII 2009)
0 0
50
100
Gambar 33. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Keterangan : Sumbu Y = Jumlah Pohon (Batang/ha) Sumbu X = Diameter Pohon (cm)
103
5.2.8. Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest Secara keseruluruhan ketiga tipe hutan yaitu hutan bekas tebangan TPTII, hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest mempunyai struktur tegakan yang sama yaitu berupa kurva J terbalik.
Perbedaan dari ketiga kondisi hutan tersebut
terletak pada jumlah maksimal pohon per hektar (N/ha).
Struktur tegakan hutan
bekas tebangan TPTI mempunyai kurva yang lebih mirip dengan virgin forest. Sedangkan kurva TPTII mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan virgin forest. Kurva TPTI dan virgin forest mempunyai persamaan nilai N/ha yang tinggi pada kelas diameter awal, walaupun pada kelas diameter akhir virgin forest mempunyai nilai N/ha yang lebih tinggi.
secara keseluruhan
keduanya mempunyai kurva yang terletak pada posisi kanan atas, sedangkan TPTII posisinya menempati kiri bawah. Hal ini menandakan jumlah pohon per hektar (N/ha) dari TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan TPTI dan Virgin forest. Grafik penyebaran diameter pada 3 kondisi hutan yaitu tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest di PT Sukajaya Makmur menyerupai J terbalik, seperti terlihat pada Gambar 34, dengan persamaan exponensial sebagai berikut : TPTII
: N = 88,30799. e
-0,055262DBH
TPTI
: N = 307,6097. e
-0,073683DBH
Virgin forest : N = 113,5011. e Di mana :
N
=
DBH =
-0,05066DBH
Jumlah pohon per hektar (N/ha) Diameter Setinggi Dada
Persamaan yang mendukung pola J terbalik pada tiga kelompok hutan tersebut cukup meyakinkan karena nilai koefesien determinasinya (R2) cukup tinggi yaitu , 0,970, 0,940 dan 0,864, masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest.
Pola persamaan J terbalik yang terbentuk
menandakan bahwa struktur hutan alam (all even aged forest) bekas tebangan dalam pengelolaan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al (1961), Davis dan Johnson (1987), Nyland (1996), Suhendang (1985), Bettinger et.al (2009) dan
104
Wahyudi (2011) yang menyatakan bahwa pola penyebaran diameter pada hutan alam menyeupai J terbalik dengan persamaan Q = Q0. e-cDBH. Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N).
LOA TPTII 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
LOA TPTI 80 70 LOA TPTII
60 LOA TPTI
50 40
Expon. (LOA TPTII)
30
Expon. (LOA TPTI)
20 10 0
0
50
100
0
50
100
VF 70 60 50 VF
40 30
Expon. (VF)
20 10 0 0
Gambar 34.
50
100
Perbandingan kurva struktur hutan bekas tebangan antara TPTII, TPTI dan virgin forest , semua kurva mengikuti pola J terbalik. Keterangan : Sumbu Y = Jumlah Pohon (Batang/ha) Sumbu X = Diameter Pohon (cm)
105
5.2.9. Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon Indeks nilai penting mempunyai skala nilai sampai dengan 300. Semakin besar nilai INP menandakan jenis tersebut semakin dominan pada komunitas tersebut. Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005). Pada setiap strata suksesi secara umum jenis Medang dan Ubar mempunyai nilai INP tertinggi pada semua blok TPTII, TPTI dan virgin forest. Kedua jenis tersebut selalu muncul pada setiap blok dengan nilai INP tertinggi. Artinya kedua jenis tersebut lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya. Dominannya jenis Medang dan Ubar pada seluruh strata suksesi menandakan bahwa jenis tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan hutan. Namun demikian kedua jenis ini tidak termasuk jenis komersial sehingga dalam pengelolaan hutan tidak ditebang. Pada permudaan tingkat semai jenis Ubar (Eugenia sp) mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur 5 tahun (TPTII 2005) , 4 tahun (TPTII 2006), pada areal bekas tebangan TPTI dan virgin forest (Tabel 8, stabillo warna kuning) . Jenis Ubar mendominasi pada hutan bekas tebangan yang tajuknya sudah
mulai tertutup serta hutan yang tajuknya rapat.
Jenis Ubar
tidak
mendominasi pada blok TPTII 2007, TPTII 2008 dan 2009, areal tersebut semuanya merupakan jenis areal tebangan muda. Tajuknya masih terbuka lebar sehingga cahaya masih bisa masuk ke lantai hutan. Permudaan tingkat semai jenis Ubar dapat beradaptasi dengan naungan. Jenis tersebut mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur lanjut dan virgin forest. Jenis-jenis pohon yang dapat berdaptasi pada hutan yang berumur lanjut adalah jenis-jenis dari kelompok tahan naungan.
Hutan yang berusia lanjut tajuknya akan semakin
tertutup, cahaya matahari tidak akan menjangkau lantai hutan secara penuh sehingga hanya tanaman yang tahan naungan saja yang dapat beadaptasi.
106
Tabel 8. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan semai Tipe Hutan
Jenis
Nama Botani
INP
VF
Laevis Medang Ubar Laevis Medang Ubar Kumpang Medang Ubar Jambu monyet Medang Ubar Jambu monyet Medang Ubar Pisang-pisang Johor Ubar Kelampai Medang Ubar
Shorea leavis Litsea firma Eugenia sp Shorea Leavis Litsea firma Eugenia sp Myristica sp Litsea firma Eugenia sp Eugenia sp Litsea firma Eugenia sp Eugenia sp Litsea firma Eugenia sp Mezzetia parvifolia shorea johoriensis Eugenia sp Elaterospermum tapos Litsea firma Eugenia sp
31,933 40,210 54,475 13,535 50,035 73,516 11,060 52,670 52,670 50,805 18,825 42,699 27,790 36,341 33,442 25,000 18,750 33,333 38,447 49,680 55,960
TPTI
TPTII 2009
TPTII 2008
TPTII 2007
TPTII 2006
TPTII 2005
Pada permudaan tingkat semai Jenis Medang (Litsia firma) dan Jambu Monyet (Eugeunia sp) mendominasi hutan bekas tebangan yang berumur muda yaitu areal hutan bekas tebangan TPTII tahun 2009, TPTII tahun 2008 dan TPTII tahun 2007 masing-masing baru berumur 1,2 dan 3 tahun (Tabel 8, stabillo warna merah muda). Perbukaan tajuk secara besar-besaran telah menyebabkan cahaya matahari dapat menjangkau lantai hutan, sehingga memacu pertumbuhan semai kedua jenis tersebut. Permudaan tingkat semai jenis Medang dan Jambu Monyet mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Tingkat permudaan semai Shorea laevis termasuk jenis dominan ke tiga pada areal hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest. Berbeda dengan jenis dominan lainnya, Shorea laevis tidak terdapat pada seluruh areal hutan bekas tebangan TPTII.
Penebangan intensif yang terjadi pada penerapan sistem
silvikultur TPTII telah menyebabkan hilangnya jenis-jenis komersial seperti
107
Shorea laevis .
Dengan tidak adanya pohon jenis komersial menyebabkan
hilangnya dominasi permudaan tingkat semai pada areal tersebut.
Hal ini
menandakan telah terjadi perubahan komposisi jenis antara hutan primer dan hutan sekunder akibat adanya penglolaan hutan dengan menerapkan sistem sistem silvikultur TPTII. Pada permudaan tingkat tiang komposisi jenis hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI masih didominasi oleh jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Proses suksesi sekunder dapat dijalani oleh kedua jenis
pohon tersebut.
Namun secara ekonomis kedua jenis tersebut masih
dipertanyakan nilai ekonominya, apalagi kedua jenis tersebut masuk ke dalam daftar jenis non komersial. Pada tingkat pohon jenis Shorea laevis menjadi pohon paling dominan pada virgin forest (Tabel 11, stabillo warna kuning).
Shorea laevis menjadi jenis
penentu komposisi virgin forest. Jenis tersebut telah membedakan komposisi tegakan antara hutan primer (virgin forest) dengan semua hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI.
Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis
mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer
dengan hutan
sekunder. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI telah merubah komposisi tegakan. Jenis-jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceace menjadi tidak dominan lagi bahkan pada beberapa plot hutan bekas tebangan tidak ditemukan lagi keberadaanya. Komposisi jenis yang menyusun hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI berbeda dengan komposisi jenis virgin forest. Hal tersebut menunjukan terjadinya perubahan jenis vegetasi yang menyusun hutan setelah dilakukannya penebangan. Jenis-jenis yang hilang dalam proses pengelolaan hutan seharusnya ditanam kembali dalam kegiatan penanaman.
Jenis-jenis yang mendominasi
hutan-hutan berumur lanjut dipastikan merupakan jenis potensial yang dapat tumbuh dan berkembang di areal tersebut.
108
Tabel 9. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan pancang Tipe Hutan VF
TPTI
TPTII 2009
TPTII 2008
TPTII 2007
TPTII 2006
TPTII 2005
Jenis Kumpang Medang Ubar Kumpang Medang
Nama Botani Myristica sp Litsea firma Eugenia sp Myristica sp Litsea firma
INP 43,363 35,71 28,799 23,94 43,881
Ubar Medang Purang
Eugenia sp Litsea firma
44,388 27,889 20,333
Ubar jambu monyet Medang Purang Medang Purang
Eugenia sp Eugenia sp Litsea firma
41,444 41,825 32,976 33,981 34,7 38,591
Ubar Medang Purang Ubar Medang Purang Ubar
Eugenia sp Litsea firma
Litsea firma
Eugenia sp Litsea firma Eugenia sp
43,682 49,1 21,496 30,777 57,121 29,26 32,334
Jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang mendominasi komposisi tegakan pada hutan bekas tebangan baik TPTI maupun TPTII (Tabel 11, stabillo warna merah muda). Fenomena ini menunjukan bahwa sistem silvikultur tebang pilih hanya menyisakan jenis-jenis non komersial. Jenis-jenis komersial menjadi berkurang atau hilang dari komposisi tegakan sisa. Berdasarkan penelitian ini dipandang perlu adanya penanaman kembali jenis-jenis komersial yang hilang dari blok tebangan. Disamping itu perlu adanya peraturan untuk menyisakan pohon induk dari jenis-jenis komersial pada tiap blok tebangan sehingga akan terjadi regenerasi yang normal.
109
Tabel . 10 Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan tiang Tipe Hutan VF
TPTI
TPTII 2009
TPTII 2008
TPTII 2007
TPTII 2006
TPTII 2005
Jenis Kumpang Medang Ubar Ketikal Kumpang Medang Medang Pisang-pisang Ubar Medang parvi Ubar Medang Sampe Ubar Medang Sampe Parvi Berobak Medang Ubar
Nama Botani Myristica sp Litsea firma Eugenia sp Ochanostachys amentaceal Myristica sp Litsea firma Litsea firma Mezzetia parvifolia Eugenia sp Litsea firma shorea parvifolia Eugenia sp Litsea firma Costanopsis sp Eugenia sp Litsea firma Costanopsis sp Shorea parvifolia Shorea sp Litsea firma Eugenia sp
INP 47,359 26,508 22,947 22,628 25,441 50,995 42,666 20,077 34,966 47,203 33,164 63,469 41,02 21,947 46,019 26,814 27,324 41,467 34,267 35,128 33,195
110
Tabel 11. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat pohon Nomor VF
TPTI
TPTII 2009
TPTII 2008
TPTII 2007
TPTII 2006
TPTII 2005
Jenis laevis Mayau Medang Medang Parvi ubar Kelampai Medang Ubar Laevis Medang Ubar Kumpang Medang Ubar Kelampai Medang Parvi Medang Sampe Ubar
Nama Botani shorea leavis Shorea verescen Litsea firma Litsea firma shorea parvifolia Eugenia sp Elaterospermum tapos Litsea firma Eugenia sp Shorea laevis Litsea firma Eugenia sp Myristica sp Litsea firma Eugenia sp Elaterospermum tapos Litsea firma shorea parvifolia Litsea firma Costanopsis sp Eugenia sp
INP 44,927 21,633 36,399 40,868 29,095 37,441 20,262 48,593 43,854 36,713 36,765 34,327 25,051 43,249 50,758 31,896 33,830 34,132 35,947 27,482 37,383
5.2.10. Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Sistem silvikultur TPTII dan TPTI Perbedaan penerapan silvikultur dalam satu areal hutan akan berdampak pada produktivitas hutan. Prediksi potensi produksi dilakukan terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem TPTII dan TPTI. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan areal TPTI. Dari data yang tersedia dibuat prediksi potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur. Hasil dari prediksi ini diperoleh beberapa pola pengelolaan produksi atas dasar penerapan silvikultur. Dari prediksi ini diperoleh juga beberapa alternatif pengaturan hasil yang didasarkan pada potensi produksi. Potensi produksi hutan alam produksi (tegakan sisa) pada akhir rotasi tebang diprediksi dengan mengacu pada beberapa asumsi dasar. Asumsi riap diameter untuk semua jenis adalah 0,82 cm/tahun yang diperoleh dari rata-rata riap diameter PUP PT. Sukajaya Makmur pada tahun 2005 ke tahun 2006
111
(Lampiran 2). Untuk penentuan tinggi pohon diperoleh dari hasil analisis regresi antara tinggi dengan diameter dari plot PUP PT. Sukajaya Makmur tahun 2005 dengan persamaaan sebagai berikut : Log T = 0,597 + 0,53 Log D Dimana : T
=
Tinggi Pohon Total
D
=
Diameter Pohon
Persamaan regresi tersebut mempunyai koefesien determinan (R-Sq-adj) sebesar 76,7% dan tingkat kepercayaan (P- value) sebesar 99 % (Lampiran 3). Untuk tanaman Meranti yang berada pada Jalur Tanam potensi produksi diprediksi dari model pertumbuhan diameter dan tinggi yang dikembangkan dari hasil penelitian ini (Tabel 7). Rotasi tebang atau daur diasumsikan selama 25 tahun, hal ini disesuaikan dengan model yang dikembangkan dari penelitian ini dimana diameter 40 cm dicapai pada umur 25 tahun (Tabel 6). Berdasarkan perhitungan potensi produksi pada akhir rotasi tebang (Lampiran 1) maka diperoleh prediksi potensi produksi pohon layak tebang pada akhir rotasi tebang atau daur sebagaimana tertera pada Tabel 12. a. Potensi Produksi pada Silvikultur TPTI Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTI pada akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas perbedaan limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50cm dan 60 cm , sedangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila Pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 192,43 m3/ha. Lain halnya apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 32,14 m3/ha dan 22,72 m3/ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 50 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai
112
potensi produksi sebesar 132,81 m3/ha. Hal tersebut kondisinya akan berbeda apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 19,24 m3/ha dan 14,06 m3/ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 60 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 90,60 m3/ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 7,16 m3/ha dan 10,18 m3/ha. b. Potensi Produksi Tanaman Meranti Pada Sistem silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m3/ha.
Lain halnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan
intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m3/ha. Selanjutnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m3/ha. Potensi produksi TPTII pada Jalur Antara jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi produksi pada Jalur Antara atau tegakan sisa TPTI. Jalur Antara hanya mempunyai potensi produksi dari jenis Dipterocarpaceae sebesar 19,31 m3/ha dan potensi produksi Dipterocarpaceae TPTI hanya 3
mencapai 22,71 m /ha. Potensi produksi Dipterocarpaceae yang ada pada Jalur Tanam jauh lebih besar bila dibandingkan Jalur Antara dan TPTI.
113
Tabel 12. Prediksi potensi produksi pada penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam satuan m3/ha
PEMBAGIAN JENIS NO
SISTEM SILVIKULTUR
1.
TPTI
2.
TPTI INTENSIF
2a.
2b.
JENIS TEGAKAN
BATAS DIAMETER (Cm Up)
SISA PENJARA NGAN (batang)
KOMERSIAL DIPTERO
NON DIPTE RO
NON KOMERSIA L
JUMLAH TOTAL
TOTAL
40 50 60
22,72 14,06 7,16
9,42 5,18 3,02
32,14 19,24 10,18
160,29 113,57 80,42
192,43 132,81 90,6
TEGAKAN SISA
40 50 60
19,31 11,95 6,09
8 4,4 2,56
27,31 16,35 8,65
136,24 96,53 68,35
163,55 112,88 77
ALTERNATIF SATU
TANAMAN MURNI
40 40 40
150 125 100
137,68 114,74 91,79
ALTERNATIF DUA
TANAMAN PLUS TS
40 40 40
150 125 100
156,99 134,05 111,1
8 8 8
164,99 142,05 119,1
136,24 136,24 136,24
301,23 278,29 255,34
c. Potensi Produksi Tanaman Meranti dan Tegakan Sisa pada Silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ditambah dengan pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur . Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara.
Pada tegakan sisa
di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang dida-
114
sarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m3/ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada di jalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar
301,23 m3/ha.
Apabila yang ditebang
hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 164,99 m3/ha dan 156,99 m3/ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m3/ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 278,29 m3/ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 142,05 m3/ha dan 134,05 m3/ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m3/ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempu-
115
nyai potensi produksi sebesar 255,34 m3/ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 119,10 m3/ha dan 111,10 m3/ha.
350 300 250 TPTI
200
TS TPTII 150
Tanaman TPTII Total
100 50 0 40 up
Gambar 35.
50 up
60 up
Grafik prediksi potensi produksi hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mempunyai potensi tegakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI.
Sistem silvikultur TPTII mempunyai
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI.
Pada sistem
silvikuktur TPTII , pengaturan hasilnya sebaiknya mengacu kepada alternatif satu. pengaturan hasil alternatif satu hanya memanen tanaman Meranti yang berada di jalur tanam. Tegakan sisa yang berada di jalur antara sebaiknya tidak ditebang. Tegakan yang ada pada jalur tersebut harus dijadikan Buffer Biodiversity (penyangga keanekaragaman Hayati) yang berfungsi sebagai jalur konservasi keanekaragaman hayati pada hutan produksi. Disamping itu dapat berfungsi pula sebagai penyeimbang iklim mikro yang berfungsi untuk menstabilkan kondisi iklim mikro tanaman meranti yang berada di jalur tanam. Dan yang lebih penting lagi, tegakan pada jalur antara dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman Meranti yang berada pada jalur tanam.
116
Penerapan sistem silvikultur TPTII meningkatkan produksi hampir mencapai 50% dari total produksi TPTI (Gambar 35). mencerminkan pengelolaan hutan yang intensif.
Peningkatan tersebut
Pengelolaan yang intensif
terutama dilaksanakan pada jalur tanam. Soekotjo (2009) Mulyana at al. (2004) mencatatkan nilai rata-rata potensi kayu hutan alam sebesar 50 m3/ha, nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan prediksi potensi produksi hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII yang mencapai 255,34 m3/ha.
Terjadi peningkatan potensi produksi
sebesar 5 kali lipat dari nilai rata-rata potensi hutan alam atau terjadi peningkatan sebesar 500 %.
Nilai potensi produksi hutan alam yang lebih ekstrim
dikemukakan dalam penelitian Wahyudi (2010) yaitu sebesar 22,41 m3/ha. Nilai tersebut diperoleh dari tebangan penyiapan lahan IUPHHK PT. Gunung Meranti selama tahun 2007, 2008 dan 2009. Perbandingannya dengan hasil penelitian ini menunjukan kenaikan potensi produksi yang sangat besar yaitu 11 kali lipat atau sebesar 1100 %. Hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII mempunyai Produktivitas yang tinggi. Penanaman jenis unggulan dengan teknik jalur mempunyai kontribusi yang besar terhadap Peningkatan produktivitas hutan alam yang kelola dengan sistem silvikultur TPTII.
Kontibusi peningkatan produktivitas tersebut terlihat jelas
dalam perbandingan proporsi luasan dengan potensi produksi.
Jalur Tanam
mempunyai proporsi luasan sebesar 15 %, dengan luasan kecil tersebut dapat menghasilkan produksi sebesar 35 % dari total produksi. Nilai kontribusi yang lebih ekstrim ditunjukkan Soekotjo (2009), potensi produksi pada Jalur Tanam dapat mencapai 400 m3/ha. Dengan potensi seperti itu kontibusi produksi yang dihasilkan jalur tanam akan mencapai 70 %. Kontribusi tersebut tidak diperoleh pada lokasi penelitian ini karena syarat cukup dari penerapan silvikultur intensif belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut terlihat dari penggunaan bibit yang belum memenuhi kriteria unggul dan pemeliharaan yang intensif, sebagaimana digariskan dalam kaidah-kaidah silvikultur intensif.
Pemeliharaan berupa
pembersihan Jalur Tanam dari gangguan gulma dan jenis-jenis non target belum dilaksanakan secara sempurna, sehingga pertumbuhan tanaman pada penelitian ini belum optimal sebagaimana diharapkan dalam penerapan silvikultur TPTII.
117
5.3. Karakteristik Tanah Hutan Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII Pengelolaan hutan dengan berbagai sistem silvikultur selalu menimbulkan perubahan karakteristik tanah (Wasis 2005; Mindawati 2011). Hal tersebut terjadi pula dalam pengelolaan hutan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Perubahan karakteristik tersebut meliputi perubahan kualitas yang mencakup aspek dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah.
Sebagian besar blok TPTII
merupakan hutan bekas tebangan dari TPTI (hutan sekunder) dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan hutan primer (virgin forest). Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah pada penerapan sistem silvikultur TPTII perlu pembanding karakteristik tanah hutan bekas tebangan TPTI dan hutan primer (KPPN). Pada penerapan sistem silvikultur TPTII, Jalur Antara dan Jalur Tanam mempunyai karakteristik vegetasi yang berbeda.
Jalur Antara mempunyai
struktur vegetasi menyerupai hutan alam sedangkan Jalur Tanam mempunyai struktur vegetasi menyerupai hutan tanaman (Gambar 9 dan 33). Meskipun ada pada satu hamparan yang sama tetapi keduanya mempunyai karakteristik tanah yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jalur Antara merupakan kondisi awal dari Jalur Tanam, dengan mengukur dan membandingkan kualitas tanah dari kedua jalur tersebut dapat diperoleh informasi perubahan kondisi kualitas tanah pada penerapan sistem silvikultur TPTII. Perubahan vegetasi hutan dari hutan alam menjadi hutan tanaman mempunyai konsekwensi perubahan terhadap sifatsifat tanah. 5.3.1. Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem silvikultur TPTII. Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk identifikasi problem produksi dengan tujuan estimasi produksi secara realistik serta memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan (Doran dan Parkin, 1994). Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai
118
sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah (Doran dan Parkin, 1994). Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem (Carter, 2002). Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani (2001) bahwa perubahan kualitas tanah menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Perubahan Kualitas tanah dapat dilihat dari perubahan sifat-sifat tanah yang mencakup sifat kimia, fisik dan biologi.
Perbedaan tersebut pada penerapan
sistem silvikultur TPTII dapat dilihat dari perubahan kualitas tanah yang terjadi antara Jalur Antara dan Jalur Tanam. Pada kedua jalur tersebut dilakukan uji statistik Tukey (Uji T). Pada prinsipnya uji T digunakan untuk membantu dalam mengambil keputusan apakah sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedua jalur tersebut identik atau berbeda sebagai akibat dari perlakuan pembuatan Jalur Tanam. Sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang diuji pada Jalur Tanam dan Jalur Antara sebagian besar berbeda nyata (Lampiran 7). Dengan kata lain pembuatan Jalur Tanam selebar 3 meter menyebabkan perubahan terhadap kondisi tanah. Kondisi ini berlaku juga secara khusus pada setiap umur tanaman.
Pada setiap
umur tanaman terjadi perbedaan kondisi tanah antara Jalur Tanam dengan Jalur Antara. Data perubahan karakteristik tanah yang terjadi pada Jalur Tanam dan Jalur Antara pada setiap umur tanaman ditampilkan pada Lampiran 10. 5.3.1.1. Perubahan Sifat Kimia Tanah Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana. Perubahan Sifat kimia tanah dapat dilihat dengan jelas dari kandungan unsur hara tanah. Demikian pula dengan kondisi kemasaman tanah mengalami penurunan setelah dilakukan pembuatan Jalur Tanam.
119
Tabel 13. Perubahan Kandungan Hara tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII Unsur Hara
Jalur Antara Nilai
Katagor
Jalur Tanam Nilai
i C-org (%) N (%) P- ters (ppm)
2,96 0,229 12,8**
K (me/100 g)
0,205 9
Ca (me/100 g) Mg (me/100g) Keterangan :
5,79 4,131
** dan * =
Katagor
Perubahan Nilai
%
i
Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Tinggi
2,20 0,199 6,97 0,162 5,35 4,333
Sedang Rendah Sangat rendah Sangat rendah Rendah Tinggi
0,76 0,03
25,68 13,10
5,83
45,55
0,043 0,44 -0,202
20,98 7,60 4,89
masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 % dan 95 %
Penentuan status hara suatu lahan dapat dilakukan melalui analisis tanah dan analisis jaringan tanaman terutama bagian daun (Poerwanto 2003, Dell et al 2003, Landsberg 1997).
Menurut rusdiana (1999) tujuan analisis tanah dan
tanaman adalah untuk menetapkan kesesuaian lahan dan produktivitas potensial lahan pada sistem silvikultur tertentu dan untuk mendiagnosa kemungkinan adanya defisiensi hara yang dapat menghambat pertumbuhan dan kapasitas produksi tegakan. Analisis kadar hara tanah sudah umum dilakukan baik di bidang pertanian maupun kehutanan, tetapi analisis kadar hara pada daun di bidang kehutanan masih sangat jarang dilakukan. Di bidang pertanian analisis hara daun tanaman umum dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan defisiensi unsur hara bagi tanaman dan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemupukan.
Namun demikian menurut Fisher dan Binkley (2000) analisis
menggunakan jaringan tanaman
seperti pada jaringan daun tanaman sering
kurang tepat untuk menggambarkan status hara dalam tanah.
Manfaat dari
mengetahui status hara tanah suatu lahan bertegakan adalah untuk menentukan manajemen tapak yang tepat,
baik berupa pemupukan maupun kegiatan
pemelihraan dan manipulasi lingkungan. Nitrogen (N) Unsur hara N merupakan unsur hara makro penting (essensial) bagi pertumbuhan tanaman. Kadar N tanah sangat tergantung bahan organik tanah sebagai sumber utama. N merupakan bagian penting dalam klorofil dan berfungsi
120
pada proses fotosintesis. Tanaman menyerap unsur N dari tanah dalam bentuk kation amonium (NH4+ ) dan anion nitrat NO3- ) pada larutan tanah (Mengel dan Kirby 1982; Marsehner 1991). Keberadaan N dalam tanah bersifat mobil yaitu mudah bergerak atau berpindah, seperti menguap ke udara, tercuci atau terangkat melalui erosi sehingga kadar N tanah bersifat fluktuatif (Hutz dan Chandler 1951). Kisaran Kadar N di lokasi Penelitian tertera pada tabel 13. Kadar N total dibawah tegakan pada Jalur Antara berkisar pada nilai 0,229 % dan Jalur Tanam berkisar pada nilai 0,199 %. Berdasrkan uji beda Tukey, kadar N tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam tidak berbeda. Meskipun demikian katagori hara N dari Jalur Antara ke Jalur Tanam mengalami penurunan dari katagori sedang menjadi rendah. Pospor (P) Unsur hara P tanah merupakan hara makro penting kedua setelah N bagi pertumbuhan tanaman. Unsur ini berperan dalam proses pembentukan protein. Unsur P diserap dalam bentuk anion-anion H2PO4- dan atau HPO42- serta PO43-. Kandungan hara P tersedia tinggi akan menyebabkan kecenderungan tanah menjadi lebih subur sehingga memungkinkan bagi pertumbuhan tanaman. (Mengel dan Kirby 1982; Marscher 1991).
Jumlah P tersedia dalam tanah
ditentukan oleh jumlah P dalam komplek jerapan (P total) yang mekanisme ketersediaanya diatur oleh pH. Perbandingan kadar P tersedia tanah di lokasi penelitian tertera pada tabel 13. Kadar P tersedia pada Jalur Antara sebesar 12,8 ppm, sedangkan pada Jalur Tanam 6,97 ppm. Kadar P pada Jalur Tanam lebih rendah jika dibanding dengan Jalur Antara dan sangat berbeda nyata pada tarap 99 %. Terjadi penurunan kadar hara P setelah pembuatan Jalur Tanam sebesar 5,83 ppm. Katagori hara P juga mengalami penurunan, semula berkatagori rendah pada Jalur Antara menurun menjadi sangat rendah pada Jalur Tanam. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan pembersihan lahan (land clearing) pada Jalur Tanam. Persiapan Pembuatan Jalur Tanam menyebabkan bukaan lahan yang lebih besar sehingga unsur hara P mengalami pencucian (leaching). Penurunan nilai pH tanah turut berkontribusi terhadap penurunan kadar unsur hara P di tanah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hardjowigeno (2010), pH tanah jika meningkat atau ditingkatkan dapat
121
menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap tanaman dan demikian pula sebaliknya, terutama hara P yang terikat dapat menjadi tersedia dan dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Kalium (K) Unsur hara K merupakan unsur hara makro penting bagi pertumbuhan tanaman dan berperan sebagai katalisator proses enzimatik dalam jaringan tanaman. Hara K diserap dalam bentuk ion-ion positif (K+). Penyerapan unsur hara K+ adalah unik (khas) sebab tanaman mengabsorpsi K melebihi dari jumlah yang diperlukan (Marschner 1991). Di dalam jaringan tanaman unsur K bersifat mobil dan keberadaan unsur K yang cukup pada tanah dapat menyeimbangkan kesuburan tanah. Kadar K tanah pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 13.
Kadar hara K pada Jalur Antara mencapai 0,2059 me/100g dan menurun pada Jalur Tanam menjadi sebesar 0,162 me/100g. Berdasarkan hasil uji T penurunan tersebut tidak berbeda nyata. Meskipun demikian pada kenyataannya kadar unsur hara K mengalami penurunan katagori. Pada Jalur Antara awalnya berkatagori rendah berubah menjadi sangat rendah pada Jalur Tanam. Penurunan ini sejalan dengan penurunan kadar unsur hara lainnya yang disebabkan oleh adanya pencucian hara pada Jalur Tanam. Kalsium (Ca) Unsur hara Ca merupakan unsur hara makro penting lain bagi pertumbuhan tanaman dan diserap dalam bentuk ion-ion positif (kation-kation basa dapat ditukar). Keberadaan unsur Ca dalam tanah yang cukup dapat menyeimbangkan kesuburan tanah. Kadar Ca tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar Ca pada Jalur Antara sebesar 5,79 me/100 g dan pada Jalur Tanam menurun menjadi sebesar 5,35 me/100 g. Berdasarkan hasil uji T penurunan kadar Ca antara Jalur Antara dan Jalur Tanam tidak berbeda nyata. Terjadi penurunan kadar Ca tanah setelah pembuatan Jalur Tanam sebesar 0,44 me/100g. Meskipun tidak berbeda nyata namun katagori hara Ca mengalami penurunan, hara Ca pada Jalur Antara berkatagori sedang dan menurun menjadi status rendah pada Jalur Tanam. Hal ini dikarenakan untuk pertumbuhan tanaman S. leprosula membutuhkan unsur hara Ca dalam jumlah cukup besar terutama untuk pembentukan jaringan tanaman seperti batang, cabang, ranting dan akar. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Spangenberg et al. (1996), Mindawati (2011)
122
bahwa kandungan hara Ca tanah turun dari rotasi 1 ke rotasi 2 ke rotasi 3 dan ke rotasi 4 (Spangenberg et al. 1996). Penambahan unsur hara Ca dalam pengelolaan tanaman S leprosula dapat dilakukan melalui pemberian rockposphat sebagai pupuk dasar dan pupuk TSP yang juga mengandung Ca. Pemupukan tersebut belum mencukupi untuk menjadikan unsur hara Ca tersedia cukup dalam tanah. Selain itu, tambahan unsur Ca didapat dari air hujan yang masuk ke lahan, menurut Chijicke (1980) dan Sanchez (1976) asupan hara Ca ke tanah dari air hujan sangat kecil. Sebagai contoh, asupan hara Ca pada lahan hutan tanaman Pinus caribaea di Ghana sebesar 12,7 kg/ha/tahun dengan curah hujan 1850 mm/tahun, pada tanaman kelapa sawit di Malaysia 12,5 kg /ha/tahun dengan curah hujan 2300 mm/tahun dan pada tegakan Gmelina arborea di Panama sebesar 9,51 kg/ha/tahun dengan curah hujan ratarata 1930 mm/tahun. Magnesium (Mg) Unsur hara Mg merupakan unsur hara penting setelah unsur N, P, K dan Ca yang diperlukan tanaman untuk pembentukan klorofil dan mempengaruhi aktivitas enzim. Unsur hara Mg diserap akar tanaman dalam bentuk ion-ion positif Mg2+. Keberadaan unsur Mg yang cukup dalam tanah dapat menyeimbangkan kesuburan tanah. Rata-rata nilai kadar Mg tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar Mg pada Jalur Antara sebesar 4,131 me/100 g dan setelah pembuatan Jalur Tanam mengalami peningkatan menjadi sebesar 4,333 me/100 g. Kadar hara Mg setelah pembuatan Jalur Tanam meningkat sebesar 0,202 tetapi secara statistik yang dilakukan melalui uji T tidak berbeda nyata. Katagori kandungan hara Mg dari Jalur Antara ke Jalur Tanam tidak mengalami perubahan, kedua Jalur tersebut mempunyai katagori kandungan hara Mg tinggi. Secara keseluruhan kandungan unsur hara penting mengalami penurunan setelah dilakukan pembuatan Jalur Tanam, kecuali kandungan Magnesium (Mg) yang mengalami peningkatan. Menurut Hardjowigeno (2005) Mg tersedia di dalam tanah dalam bentuk kation Mg2+.
Sumber Mg di dalam tanah diperoleh
dari bahan mineral kelam seperti biotit, augit, horenblende, amfibol dan sebagian berasal dari garam (MgSO4) serta kapur CaMg (CO3)2+. Sebagian besar bahan-
123
bahan tersebut akan melapuk dan membentuk kation Mg2+ ketika terjadi perubahan tutupan tajuk. Dengan terbukanya tutupan tajuk intensitas cahaya matahari menjadi semakin besar dan curah hujan yang jatuh langsung ke tanah menjadi lebih tinggi. Hal tersebut telah menyebabkan kandungan unsur Mg pada Jalur Tanam lebih tinggi dibandingkan Jalur Antara. Karbon (C) Kadar bahan organik tanah merupakan parameter kesuburan tanah yang cukup penting disamping reaksi tanah (pH) dan kandungan hara. Bahan organik didalam tanah mempunyai peranan penting dan berfungsi sebagai sumber karbon dan sumber energi bagi jasad renik tanah, untuk stabilisasi agregat tanah, penyokong tanaman dalam menyimpan dan memindahkan udara dan air, sebagai salah satu sumber unsur hara, dapat meningkatkan KTK tanah, menurunkan berat jenis tanah serta dapat mengurangi efek pestisida, logam berat dan polutan (USDA 1996). Bahan organik berguna untuk pembentukan sifat fisik dan biologi tanah yang secara langsung mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Besarnya kadar Corganik tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Terjadi penurunan kadar C-organik dari Jalur Antara ke Jalur Tanam yaitu dari 2,96% menjadi 2,20%, tetapi secara statistik berdasarkan uji T kadar C organik pada kedua jalur tersebut tidak berbeda nyata.
Katagori kandungan unsur
hara C pada kedua jalur tersebut masih tetap sama yaitu pada kondisi sedang. Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan (senyawa humat) dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan
124
demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah sangat penting untuk diperhatikan. pH Tanah Hasil analisa beda rata-rata kadar pH tanah menunjukan berbeda sangat nyata antara Jalur Antara dengan Jalur Tanam. Hasil analisa pH tanah pada Jalur Tanam telah terjadi penurunan pH tanah rata-rata sebesar 0,303 (6,14 %), di mana pada Jalur Antara pH tanah sebesar
4,933 dan menurun pada Jalur Tanam
menjadi rata-rata sebesar 4,630 (Tabel 14). Tabel 14.
Perubahan beberapa sifat kimia tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII Sifat Kimia Jalur Antara Jalur Tanam Perubahan Tanah
pH KTK Kej Basa
Keterangan :
Nilai 4,933** 12,68 42,8**
** dan * =
Katagori
Nilai
Katagori
Masam Rendah Sedang
4,630 10,85 32,7
Masam Rendah Rendah
Nilai 0,303 1,83 10,1
% 6,14 14,43 23,60
masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 % dan 95 %
Nilai pH tanah Jalur Antara lebih tinggi dibandingkan dengan Jalur Tanam. Hal ini terjadi akibat adanya kegiatan pembuatan Jalur Tanam dengan cara menebang pohon secara bersih (tebang jalur).
Pembuatan Jalur Tanam telah
menyebabkan tercucinya unsur hara dan menyebabkan hilangnya unsur hara pada tanah. Ketersediaan unsur hara pada Jalur Antara lebih baik dibandingkan Jalur Tanam. kondisi pH yang lebih mendekati netral akan menciptakan pertumbuhan akar dan tegakan yang lebih baik.
Unsur hara tanah akan tersedia secara
maksimal pada pH mendekati netral dengan nilai pH berkisar antara 6,5 – 7,0 (Killham, 1999).
Kedua jalur pada penerapan sistem silvikultur TPTII
mempunyai tanah dengan katagori pH masam. Penelitian ini mengindikasikan tidak adanya kegiatan pengapuran dan pengelolaan secara intensif pada Jalur Antara dan Jalur Tanam. Kondisi ini bertentangan dengan konsep TPTII yang mengedepankan intensifikasi dalam pengelolaan hutan. Penurunan nilai pH tanah akibat penerapan sistm silvikultur TPTII harus diminimalkan. Pemberian kapur
125
sebagai pupuk dasar dan pupuk yang bersifat basa dapat meningkatkan nilai pH tanah hutan.
Kemasaman tanah merupakan pembatas kesuburan tanah yang
dijumpai pada tanah-tanah hutan yang ada di indonesia. Sebagian besar tanah hutan mempunyai pH rendah memerlukan penanganan yang serius. Nilai pH tanah Jalur Antara lebih tinggi dibandingkan dengan Jalur Tanam. Hal ini terjadi akibat adanya kegiatan pembuatan Jalur Tanam dengan cara menebang pohon secara bersih (tebang jalur).
Pembuatan Jalur Tanam telah
menyebabkan tercucinya unsur hara dan menyebabkan hilangnya unsur hara pada tanah. Ketersediaan unsur hara pada Jalur Antara lebih baik dibandingkan Jalur Tanam. kondisi pH yang lebih mendekati netral akan menciptakan pertumbuhan akar dan tegakan yang lebih baik.
Unsur hara tanah akan tersedia secara
maksimal pada pH mendekati netral dengan nilai pH berkisar antara 6,5 – 7,0 (Killham, 1999).
Kedua jalur pada penerapan sistem silvikultur TPTII
mempunyai tanah dengan katagori pH masam. Penelitian ini mengindikasikan tidak adanya kegiatan pengapuran dan pengelolaan secara intensif pada Jalur Antara dan Jalur Tanam. Kondisi ini bertentangan dengan konsep TPTII yang mengedepankan intensifikasi dalam pengelolaan hutan. 5.3.1.2. Perubahan Sifat Fisik Tanah Sebagaimana ditunjukan Tabel 15, Perubahan juga terjadi pada sifat fisik tanah, hal ini dapat terlihat pada nilai rata-rata dari Permeabilitas, Bulk density, Porositas, Kandungan Air Tersedia serta Persentase Pasir dan Debu. Pada semua parameter tersebut Jalur Antara mengalami perbedaan yang nyata dibandingkan dengan Jalur
Tanam.
Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembuatan Jalur Tanam ternyata dapat merubah sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi kesuburan tanah secara keseluruhan dan akan menentukan pertumbuhan tegakan hutan yang diusahakan, bahkan lebih penting pengaruhnya dibanding dengan sifat kimia dan biologi tanah (Wasis 2005). Produktivitas hutan tanaman sangat bergantung pada produktivitas lahan dimana hutan tanaman tersebut diusahakan. Tingkat produktivitas tanah tidak hanya ditentukan oleh sifat kesuburan kimia tanah yang tinggi (unsur-unsur hara yang cukup dan tak ada toksisitas) tetapi juga ditentukan oleh sifat-sifat fisik ta-
126
nah yang ditunjukkan oleh kandungan air (kelembaban), oksigen (udara dalam tanah) dan energy thermal (panas) yang optimum di dalam tanah (Hillel 1980). Parameter sifat fisik tanah yang berkaitan dengan kandungan air dan udara dalam tanah dapat diduga dari hasil pengamatan lapangan maupun hasil analisis laboratorium dari contoh tanah tidak terganggu besaran-besaran fisika tanah seperti: berat jenis tanah, porositas total, ruang pori makro dan mikro, air tersedia dan permeabilitas tanah. Pengusahaan hutan tanaman secara terus menerus pada lahan yang sama diduga akan menyebabkan pergeseran besaran sifat-sifat fisik tanah, baik ke arah positif (lebih baik) maupun ke arah negatif (kurang baik) dari segi kesuburan fisik tanah. Perubahan tersebut tergantung pada sistem pengelolaan lahan atau teknik sivikulktur yang di terapkan mulai saat kegiatan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penebangan dan penanaman kembali. Berat Jenis (Bulk Density). Bulk density (BD) adalah kerapatan lindak atau bobot isi menunjukan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk pori-pori tanah. Berat jenis tanah (bulk density) adalah salah satu parameter sifat fisik tanah yang sangat penting dan berhubungan dengan pertumbuhan tanaman karena dapat memberi gambaran mengenai kondisi fisik tanah secara keseluruhan. Berat jenis tanah merupakan gambaran tingkat kepadatan tanah dimana makin besar nilai berat jenis suatu tanah berarti tingkat kepadatan tanah makin tinggi dalam keadaan lapang. Apabila tanah makin padat maka pertumbuhan tanaman akan mengalami hambatan karena perkembangan akar terhambat kondisi fisik tanah yang makin padat. Berat jenis tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. Berat jenis tanah pada Jalur Antara sebesar 0,849 g/cc dan pada Jalur Tanam sebesar 0,927 g/cc, terjadi peningkatan nilai BD dari Jalur Antara ke Jalur Tanam sebesar 0,078 g/cc. berdasarkan hasil uji T peningkatan nilai BD tersebut berbeda nyata pada taraf 95%. Meskipun terjadi kenaikan namun kedua jalur tertebut masih mempunyai kriteria nilai BD yang sama yaitu pada tingkatan sedang. Kisaran nilai BD di atas termasuk sedang (moderate) jika dibanding kondisi berat jenis tanah di hutan alam yang tidak terganggu sekitar 1,00 gr/cc (Lutz dan Chandler 1951).
127
Tabel 15. Perubahan sifat fisik tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII Sifat Fisik Tanah
Jalur Antara Nilai
Katagor
Jalur Tanam Nilai
Katagori
11,78
Agak cepat Sedang Tinggi Sangat tinggi
Perubahan Nilai
%
i Permeabiltas (cm/jam) Bulk density Porositas Air Tersedia Debu Pasir Keterangan :
14,7* 0,849* 67,99* 44,84**
Cepat Sedang Tinggi Sangat tinggi
36,77** 32,51* ** dan * =
0,927 65,06 41,62 41,22 26,30
2,92 -0,078 2,93
19,86 9,19 4,31
3,22 -4,45 6,21
7,18 12,10 19,10
masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 % dan 95 %
Hadjowigeno (2005) membatasi nilai BD pada batas normal kesuburan tanah berkisar pada nilai 0,9. Pada Tabel 15 Jalur Antara mempunyai nilai BD yang lebih kecil dibandingkan dengan Jalur Tanam. Nilai BD pada Jalur Antara sebesar 0,849 sedangkan Jalur Tanam mempunyai nilai BD 0,927. Nilai BD tanah terkait dengan kepadatan tanah,
semakin tinggi nilai BD maka tanah
tersebut semakin padat. Tanah pada Jalur Tanam mempunyai BD yang lebih besar dibandingakan Jalur Antara. Pada kodisi tesebut dapat disimpulkan tanah pada Jalur Tanam lebih padat bila dibandingkan dengan tanah pada Jalur Antara. Kepadatan tanah sangat berpengaruh buruk terhadap tanaman, jika tanah terlalu padat akar tanaman tidak dapat menembus tanah dan meraih unsur hara, laju respirasi terhambat dan aerasi tanah jelek. Kepadatan tanah akan menyebabkan tanaman berada pada titik layu permanen, akar tidak bisa lagi menyerap air di dalam tanah sehingga tanaman menjadi kekeringan. Sebaliknya, pada kondisi air berlebih akan menyebabkan akar tanaman menjadi busuk karena terendam air. Tanah yang memilki bulk density yang baik akan terlihat gembur, hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik di dalam tanah.
Kandungan bahan
organik mempunyai peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah. Porositas. Porositas adalah Proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara. Ruang pori merupakan bagian volume dari massa tanah yang ditempati molekul-molekul air dan udara sewaktu tanah dalam keadaan lapang atau porsi volume tanah yang ti-
128
dak ditempati partikel tanah. Jumlah ruang pori menggambarkan jumlah kandungan oksigen tanah bagi akar untuk melakukan proses respirasi walaupun tanah dalam kondisi lembab. Hardjowigeno (2005) membatasi nilai porositas yang toleran berkisar pada nilai 50 %. Jumlah ruang pori tanah pada Jalur Antara sebesar 67,99 % dan pada Jalur Tanam sebesar 65,05 %. Terjadi penurunan jumlah ruang pori dari Jalur Antara ke Jalur Tanam. Penurunan nilai tersebut secara statistic berbeda nyata pada taraf 95 %, pembuatan Jalur Tanam menyebabkan perubahan yang berarti terhadap nilai porositas tanah. Meskipun demikian kedua jalur sama-sama mempunyai tingkat porositas yang tinggi. Porositas sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air dan pertukaran udara pada tanaman.
Porositas tanah yang tinggi akan berpengaruh terhadap
penyerapan air. Tanah tersebut cenderung tidak bisa menyimpan air, air akan mudah hilang sehingga tanaman akan mudah mengalami kekeringan sebagaimana terjadi pada tanah yang didominasi tekstur pasir. Sebaliknya, porositas rendah banyak terjadi pada tanah yang didominasi oleh tekstur liat, tanah cenderung padat sehingga air susah menyerap ke dalam tanah. Air Tersedia. Air tersedia dalam tanah menggambarkan sejumlah kadar air yang mampu dipegang (diretensi) massa tanah dan tersedia bagi tanaman. Parameter air tersedia secara alami ditentukan oleh sifat tekstur tanah dan kadar bahan organik tanah (Lutz dan Chandler 1951). Pada tanah bertekstur sangat ringan dengan partikelpartikel yang berukuran besar (berpasir) maka kemampuan meretensi air dalam tanah lebih rendah dibanding fraksi debu (tekstur sedang) atau liat (tekstur berat). Hal sebaliknya terjadi pada tanah-tanah bertekstur berat atau tanah-tanah sangat liat, kemampuan meretensi air dalam tanah lebih tinggi. Kemampuan meretensi air yang tinggi merupakan kondisi yang mendukung kesuburan tanah. Air Tersedia adalah selisih antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi dengan kadar air pada titik layu permanen. Kadar air pada kapasitas lapang adalah jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya gravitasi dan titik layu permanen adalah kandungan air dimana air tanah tidak dapat diserap lagi oleh akar tanaman sehingga tanaman menjadi layu. Ambang batas Air Tersedia adalah
129
11-17 (kategori sedang) dan 18-30 (kategori tinggi). Pada Tabel 15 tertera kedua jalur memiliki ketersediaan air yang baik dengan kategori sangat tinggi. Air tersedia pada Jalur Antara lebih banyak dibandingkan pada Jalur Tanam. Air tersedia pada Jalur Antara dengan Jalur Tanam sangat berbeda nyata pada taraf 99 %, artinya pembuatan Jalur Tanam mengakibatkan penurunan air tersedia tanah disekitar perakaran. Peningkatan air tersedia pada Jalur Antara ke Jalur Tanam sebesar 3,22, yaitu dari awalnya 44,84 menurun menjadi 41,62. Meskipun demikian kedua jalur tersebut masih mempunyai katagori air tersedia yang sama yaitu ada pada tingkat sangat tinggi.
Hal ini lebih disebabkan adanya kenaikan
jumlah bahan organik setelah penebangan dimana sisa- sisa biomassa bagian tegakan tidak di angkut ke luar areal tetapi dibiarkan tetap tinggal di lahan tersebut sebagai bagian dari input hara bila terdekomposisi. Apabila Air Tersedia berlebih atau sebaliknya akan mempengaruhi tehadap tanah dan tanaman.
Pada tanah kandungan air yang terlalu banyak akan menga-
kibatkan tanah mejadi tereduksi sehingga banyak mengandung Asam Sulfida yang menyebabkan tanah tersebut masam, karatan dan akan meningkatkan
kandun-
gan unsur Fe. Kondisi tanah tersebut akan berdampak buruk pada tanaman karena mengandung racun dan menyebabkan akar tanaman busuk. Kebalikannya jika air tersedia semakin kecil dibawah 10 menandakan tanah tersebut padat dan berpori halus sehingga sifatnya liat /lempung, tanah ini tidak baik untuk ditanami karena tidak subur dan perlu adanya perbaikan Agregat dan Tekstur tanahnya. Permeabilitas. Permeabelitas adalah Kecepatan tanah dalam menyerap air, satuannya adalah liter/jam.
Ambang batas Permeabilitas adalah 12,7 - 25,4 (kategori sedang
sampai cepat) dan di atas 25,4 (cepat) (Hardjowigeno 2005). Permeabilitas tanah menggambarkan kelancaran aliran lateral air pada masa tanah. Nilai permeabilitas rendah berarti kondisi tanah terlalu padat. Pada umumnya nilai permeabilitas suatu tanah akan lebih besar atau cepat pada tegakan yang lebih rapat karena struktur tanah lebih sarang (porous) dan kadar bahan organik lebih tinggi dibanding pada tegakan yang lebih terbuka. Permeabilitas tanah pada Jalur Antara 14,7 cm/jam dan pada Jalur Tanam 11,78 cm/jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada pembuatan Jalur Tanam terjadi
130
penurunan permeabilitas. Hal tersebut lebih diyakinkan lagi dengan hasil uji T yang
berbeda nyata pada taraf 95 %.
Tingkat katagori permeabilitas juga
mengalami penurunan, Jalur Antara mempunyai tingkat permeabiltas yang terkatagori cepat dan menurun menjadi katagori agak cepat pada Jalur Tanam. Tanah yang subur mempunyai Permeabelitas cepat dan sebaliknya jika Permeabilitas rendah maka tanah tersebut tidak subur. Hal yang mempengaruhi perbaikan kondisi Permeabilitas tanah adalah struktur tanah yang baik, kandungan bahan organik yang tinggi dan biota tanah. Biota tanah aktif dalam memperbaiki agregat dan pori tanah maupun struktur dan tektur tanah. Kandungan hara dan air akan menjadi baik jika tanah memilki daya serap air yang tinggi. Tanaman dan tanah tidak akan mengalami kekeringan (kekurangan air) dan kekurangan mineral jika tanah mempunyai daya serap air yang tinggi. Sebaliknya jika tanah kelebihan air maka akan berdampak buruk pula seperti yang dijelaskan pada bagian air tersedia yang menyebabkan tanah masam karena air merupakan faktor yang mempengaruhi pH tanah. Tanah yang memiliki daya serap yang lambat biasanya banyak mengandung unsur liat dan debu sehingga porinya padat dan air sulit untuk diserap. Pengaruhnya pada tanaman adalah menyebabkan akar tanaman tidak mampu menembus tanah untuk mengambil unsur hara dan mineral. Tanah yang memiliki kecepatan daya serap yang baik biasanya akan terlihat pada tanah yang telah diolah karena dalam proses pengolahan tanah terdapat sebuah sistem yaitu sistem pembalikan tanah yang mana bertujuan untuk mempermudah pertukaran unsur gas yang ada didalam tanah. Tekstur tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif antara partikel liat, debu dan pasir dalam satu satuan massa tanah. Tekstur tanah di plot penelitian dapat dilihat di Tabel 15.
Persentase masing-masing partikel tanah memberikan gambaran
kondisi fisik tanah yang berhubungan erat dengan pertumbuhan karena akan mempengaruhi perkembangan akar dalam menyerap unsur hara dan kemampuan tanah menahan air. Di lokasi penelitian baik pada Jalur Antara maupun Jalur Tanam mempunyai kelas tektur sama yaitu bertekstur sedang karena bersifat lempung berliat. Jalur Antara mempunyai komposisi tekstur tanah 36,77 % debu,
131
32,51 % pasir dan 30,72 % liat. Jalur Tanam 41,22 % debu, 26,30 % pasir dan 32,48 % liat 5.3.1.3. Perubahan Sifat Biologi Tanah Sifat biologi tanah pada Jalur Tanam berbeda dengan Jalur Antara. Hal tersebut dilihat dari parameter jumlah mikroorganisme yang hidup pada kedua jalur tersebut. Sebagaimana tertera pada Tabel 16, jumlah mikroorganisme yang hidup di Jalur Antara telah mengalami penurunan setelah dilakukan pembuatan Jalur Tanam. Demikian juga jumlah fungi mengalami penurunan setelah dilakukan penjaluran pada, pada Jalur Antara jumlah fungi lebih banyak dibanding Jalur Tanam. Tabel 16. Perubahan sifat biologi tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII Biologi Tanah
Jalur Antara (106 SPK/g)
Mikroorganisme Fungi Keterangan :
39,8* 0,144
** dan * =
Jalur Tanam (106 SPK/g) 31,1 0,1037
Perubahan Satuan (%) 6 (10 SPK/g) 8,7 0,04,03
21,86 27,99
masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 % dan 95 %
Sifat biologi tanah yang ditunjukkan oleh jumlah populasi mikroorganisme dalam tanah merupakan parameter penting lainnya dan berguna untuk menduga tingkat produktivitas suatu lahan hutan karena mikroorganisme tanah merupakan pemecah primer bahan-bahan organik berbagai bentuk sehingga siklus karbon dan siklus unsur hara antara sistem tanah–tanaman dapat berlangsung berkesinambungan. Mikroorganisme terutama jenis fungi dan bakteri bertanggungjawab terhadap pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara, sehingga akan mempengaruhi kondisi kesuburan kimia dan fisik tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Alexander 1977). Respirasi tanah dapat mencerminkan tingkat intensitas aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Semakin banyak CO2 yang dibebaskan tanah berarti semakin tinggi aktivitas mikroorganisme di dalam tanah dan sekaligus mencerminkan jumlah populasi yang tinggi di dalam tanah. Aktivitas respirasi dilakukan mikroorganisme tanah untuk dapat terus hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan menghasilkan karbon dioksida. Jumlah total mikroorganisme tanah pada Jalur Antara berkisar 39,8x106 SPK/g dan pada Jalur Tanam sekitar 31,1x106 SPK/g. Jumlah mikroorganisme
132
tanah menurun dari Jalur Antara ke Jalur Tanam. Kondisi ini sejalan dengan jumlah fungi dimana pada Jalur Antara sebesar 14,4x104 SPK/g lebih besar dibanding yang ada pada Jalur Tanam sebesar 10,37x104 SPK/g. Jumlah mikroorganisme tanah maupun jumlah fungi pada Jalur Tanam lebih kecil dari Jalur Antara menandakan bahwa Pembuatan Jalur Tanam merubah kondisi biologi tanah menjadi semakin buruk. Jumlah mikroorganisme dan fungi pada Jalur Antara lebih baik dibanding pada Jalur Tanam. Hal ini disebabkan mikroorganisme hidup lebih terpusat di sekitar tegakan dimana pada tempat-tempat tersebut sumber karbon dan unsur hara tersedia dalam jumlah banyak yang dapat digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi untuk hidup dan berkembangbiak. Kondisi Sebaliknya, laju respirasi akan menurun dari Jalur Antara ke Jalur Tanam. Hasil tersebut memberi gambaran bahwa terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam mendapatkan makanan (bahan organik) untuk tumbuh dan berkembangbiak sehingga respirasi menurun. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sifat kimia tanah N, P, K, Ca dan C-org yang menurun dari Jalur Antara ke Jalur Tanam sehingga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang ada di tanah. Aktivitas mikroorganisme tanah sangat bergantung pada jumlah bahan makanan dan unsur hara yang tersedia berupa bahan organik di lantai hutan yang relatif sulit terdegradasi. 5.3.2. Status Hara Tanah Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin Forest Pengelolaan hutan produksi dengan sistem silvikultur menurunkan kandungan unsur hara tanah.
TPTII telah
Kandungan beberapa unsur hara
penting seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca) dan Karbon (C) pada areal yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan unsur hara pada areal yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTI dan Virgin forest. Kondisi tersebut terlihat jelas pada grafik yang tertera pada Gambar 36, 37 dan 38. Terjadi perbedaan kandungan unsur hara antara TPTII dengan TPTI yang cukup besar pada kandungan unsur hara penting. Kandungan N, P, K, Ca, dan C antara TPTII dan TPTI masing-masing terpaut 3,02 ton/ha, 3,98 ton/ha, 2,76 ton/ha, 94,19 ton/ha dan 32,11 ton/ha.
133
Begitu pula dengan kondisi perbandingan kandungan unsur hara antara TPTII dengan Virgin forest. Kandungan unsur hara pada TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan unsur hara pada Virgin forest. Kandungan unsur N, P, K, Ca dan C pada TPTII dengan Virgin forest masing-masing terpaut 2,34 ton/ha, 2,52 ton/ha, 45,17 ton/ha, 90,19 ton/ha dan 34,32 ton/ha Kondisi tersebut menandakan telah terjadi penurunan kandungan unsur hara penting dalam proses penerapan sistem sistem silvikultur TPTII. pengelolaan yang intensif sangat berkontribusi terhadap penurunan kandungan unsur hara tersebut. Penurunan kandungan unsur hara tersebut diakibatkan oleh proses pencucian (leaching) oleh aliran permukaan (run off).
Pembuatan Jalur Tanam
pada sistem TPTII telah memperbesar bukaan tajuk, kondisi ini memungkinkan jatuhnya air hujan secara langsung ke tanah dan selanjutnya telah menimbulkan proses pencucian unsur hara. Hilangnya unsur hara dalam proses pengelolaan hutan sejalan dengan hasil penelitian Wasis (2005) dan Mindawati 2011. Penurunan kualitas tanah pada penerapan sistem silvikultur TPTII berpotensi mengancam keberlanjutan dan kelestarian tanaman yang ada pada Jalur Tanam.
Cossalter dan Smith (2003)
menyatakan bahwa kehilangan unsur hara pada hutan tanaman sangat nyata pada persiapan lahan dan pemanenan hutan serta beberapa unsur hara akan hilang melalui erosi tanah. Banyak unsur hara yang dipindahkan pada saat persiapan lahan dan pemanenan tegakan sehingga sebagai konsekuensinya maka pemupukan akan sangat disarankan. Pada Jalur Tanam perlu dilakukan pemupukan, Tabel 13 menunjukan indikasi adanya kekurangan unsur hara. Hal ini terlihat dari nilai kandungan unsur hara utama (N, P, K, Ca dan C ) yang mempunyai katagori sangat rendah, rendah dan sedang.
Sedangkan untuk unsur hara Mg masih
termasuk ke dalam katagori tinggi, tidak perlu input baru.
Unsur hara Mg
mempunyai mobilitas ketersediaan yang tinggi pada lahan yang terbuka. Unsur Mg tersedia pada batu-batuan yang terlapuk. Ketersediaannya akan meningkat dengan semakin banyak batu-batuan yang terbuka dan melapuk. Dilihat dari segi konservasi unsur hara, Penelitian ini menunjukan bahwa penegelolaan hutan secara intensif dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII tidak lebih baik bila dibandingkan dengan TPTI. Penerapan sistem silvikultur
134
TPTII telah menurunkan kandungan unsur hara utama tanah yaitu : N, P, K, Ca dan C .
300
Ton / ha
250 200 TPTII 150
TPTI VF
100 50 0 Ca
Mg
Gambar 36. Grafik Perbandingan kandungan unsur Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin forest (ton/ha)
9
Ton / ha
8 7 6 5
TPTII
4
TPTI
3
VF
2 1 0 N
P
Gambar 37. Grafik perbandingan kandungan unsur Nitrogen (N) dan Pospor (P) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin forest (ton/ha)
135
100
Ton / ha
90 80 70 60
TPTII
50
TPTI
40
VF
30 20 10 0 C
K
Gambar 38. Grafik perbandingan kandungan unsur Karbon (C) dan Kalium (K) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin forest (ton/ha) Perlu penerapan teknik baru untuk mengatasi masalah konservasi hara tersebut. Intensitas penebangan sangat mempengaruhi kandungan unsur hara. Intensitas penebangan TPTII lebih besar dibandingakan dengan TPTI, hal ini disebabkan karena adanya pembuatan Jalur Tanam. Pembuatan Jalur Tanam perlu dihilangkan dalam tahapan silvikultur TPTI dan tebang pilih perlu diganti dengan tebang jalur.
Pembuatan Jalur Tanam dapat diakomodir dalam kegiatan
penebangan secara jalur sehingga intensitas penebangan menjadi berkurang dan secara otomatis unsur hara akan dapat dikonservasi dengan baik.
Penyatuan
pembuatan Jalur Tanam dengan Jalur Penebangan diharapkan dapat mengurangi intensitas penebangan.
Dengan demikian diharapkan dapat memperkecil
hilangnya unsur hara dalam penerapan silvikultur TPTII. 5.3.3. Strategi Pemulihan Kualitas Tanah Strategi pemulihan kualitas Tanah harus didasarkan pada status hara tanah pada lahan tersebut. Penambahan input unsur hara tertentu dilakukan terhadap areal yang mengalami penurunan kandungan unsur hara pada saat proses penerapan sistem silvikultur TPTII. Penambahan unsur hara yang paling umum dilakukan dengan cara pemupukan. Penambahan pupuk yang mengandung unsur N, P, K dan
Ca
harus
dilakukan terhadap Jalur Tanam dalam penerapan sistem silvikultur TPTII. Pemupukan harus melalui uji coba secara langsung di lapangan terlebih dahulu.
136
Disarankan pemupukan dilakukan secara bertahap karena pemberian pupuk pada awal tanam saja hanya berfungsi dalam memacu pertumbuhan awal dan mengembangkan sistem perakaran, tetapi sangat sedikit pengaruhnya untuk jangka panjang terhadap kesuburan tanah. Penambahan unsur hara melalui pemupukan harus memperhatikan beberapa faktor, seperti: tingkat effisiensi penyerapan hara suatu jenis pohon, effisiensi penggunaan hara dalam proses metabolisme, kebutuhan hara tanaman, kemampuan mengabsorpsi hara dari tanah, kehilangan hara (panen, erosi dan aliran permukaan), ketersediaan hara dalam tanah, penambahan hara (dari udara, bahan organik, fiksasi N) dan adanya interaksi yang saling mempengaruhi antar unsur hara yang berbeda. Respon pemupukan berbeda diantara jenis dan genotipa. Pola umum dari distribusi pupuk adalah : kurang dari seperempat bagian dari pupuk diserap oleh pohon pada awal tahun pertama pertumbuhan, sekitar seperempat bagian termobilisasi oleh mikroba biomassa dan bahan organik tanah, dan sebagian besar lainnya hilang dari ekosistem hutan melalui pencucian dan penguapan (Fisher dan Binkley 2000). Namun berdasarkan Mackensen (2000a), tingkat efisiensi penyerapan pupuk N dan P oleh tanaman diperkirakan dapat mencapai 50-70%, tingkat efisiensi pupuk K sangat rendah sekitar 10-40%, dan tingkat efisiensi kapur dan dolomit sebagai sumber Ca dan Mg sebesar 70-100%. Tingkat efisiensi penyerapan pupuk yang relatif rendah dan adanya pencucian tanah akan mengakibatkan jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan unsur hara akan jauh lebih tinggi. Apalagi yang dihitung dalam pemulihan hara tanah berdasarkan jumlah hara yang hilang akibat pengelolaan hutan tanaman (penyiapan lahan, erosi, aliran permukaan dan panen). Di sisi lain, berdasarkan Mackensen dan Folster (2000) yang meneliti dampak pemupukan sebagai pengganti kehilangan hara, tampak bahwa pemupukan mengakibatkan kenaikan biaya penanaman dan biaya investasi. Kompensasi pemupukan sebesar hara yang hilang melalui panen saja mengakibatkan peningkatan biaya penanaman 18-33% dan biaya total investasi naik sebesar 9-15%. Kompensasi pemupukan sebesar hara yang hilang melalui panen, erosi dan pencucian hara mengakibatkan peningkatan biaya penanaman 20-35% dan biaya total investasi 916%. Kompensasi pemupukan sebesar hara yang hilang melalui panen, erosi dan
137
pencucian serta pembakaran sisa tebangan akan meningkatkan biaya penanaman 29-62% dan biaya total investasi 13-29%, sehingga konsekwensinya adalah terjadi penurunan keuntungan berdasarkan IRR (internal rate of return) dari 14% turun menjadi 9-12%. Peningkatan biaya tersebut kemungkinan besar akan lebih tinggi lagi karena tambahan biaya yang timbul dalam kegiatan pemupukan seperti perencanaan, penelitian dan pelatihan petugas lapangan (Mackensen 2000a). Sehubungan dengan jumlah pupuk yang harus diberikan sangat besar dan biaya pemupukan sangat mahal, maka perlu strategi pengelolaan hara berupa penerapan teknik-teknik silvikultur yang efektif, efisien dan ramah lingkungan (low impact management) agar jumlah input hara yang dibutuhkan menurun. Beberapa strategi teknik silvikultur yang dapat diterapan dalam pengelolaan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam di IUPHHK PT. Sukajaya Makmur adalah : Penggunaan Mikoriza Pada Bibit Penggunaan mikoriza dalam pengelolaan HTI dapat meningkatkan hara tersedia dalam tanah yang dapat diserap tanaman. Mekanisme peran mikoriza dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara adalah melalui perluasan permukaan akar dan melalui peningkatan menghasilkan enzime fosfatase sehingga unsur P yang semula dalam bentuk tidak tersedia dapat menjadi tersedia bagi tanaman. Penggunaan mikoriza akan meningkatkan kerapatan dan panjang akar yang dapat mendorong penyerapan hara, terutama untuk unsur-unsur hara yang mempunyai mobilitas rendah dan sedang seperti fosfat atau amonium (Bowen 1984 dalam Fisher dan Binkley 2000). Penyiapan Lahan Penyiapan lahan dilakukan sesedikit mungkin mengolah lahan dengan alat berat (minimum tillage) agar kehilangan unsur hara melalui erosi dapat ditekan sekecil mungkin. Tidak melakukan tebang bakar karena akan meningkatkan kehilangan unsur hara dalam tanah. Menurut Mackensen (2000a), kehilangan unsur hara ke atmosfir akibat kegiatan tebang bakar diperkirakan cukup tinggi, yaitu untuk jenis Acacia mangium 2,5 kg P/ha lebih tinggi dari E. deglupta 1,1 kg P/ha dan kehilangan Ca dan Mg sama untuk kedua jenis tersebut sekitar 63-64 kg Ca/ha dan sekitar 20-21 kg Mg/ha. Pembakaran akan memicu kehilangan unsur
138
hara terutama hara N karena N dapat hilang dalam jumlah banyak melalui volatilisasi. Pemeliharaan Pemeliharaan di lapangan dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan yang bertujuan meningkatkan ketersediaan unsur hara guna memperkecil kebutuhan pupuk, diantaranya adalah Penjarangan atau pengurangan kerapatan. Menurut Prescott (1997) dalam Fisher dan Binkley (2000), pengurangan kerapatan tegakan dengan menebang sebagian tegakan akan memberikan kenaikan tambahan dua kali lipat suplai N pada pohon-pohon yang tinggal. Menurut Rusdiana (2007) kerapatan tegakan yang menghasilkan produktivitas kayu Pinus merkusii paling baik adalah pada saat kondisi tegakan penuh yaitu indeks kerapatan tajuk sekitar 80 %. Kerapatan tegakan yang jarang atau terlalu rapat dapat menurunkan produktivitas. Kerapatan tegakan 400 pohon/ha merupakan kerapatan dengan volume terbesar dan kondisi iklim mikro dan keharaan tanah yang kondusif terhadap pertumbuhan tegakan. Pengelolaan Sisa Tebangan. Pemanfatan sisa tebangan yang dibiarkan di lantai hutan akan mengakibatkan peningkatan kandungan unsur hara tanah. Menurut Stevenson (1982) ketersediaan bahan organik di dalam tanah ikut menentukan kesuburan tanah sebab bahan organik berfungsi sebagai sumber unsur hara dan berperan terhadap ketersediaan N, P dan S dalam tanah, merangsang aktivitas mikroorganisme tanah karena merupakan sumber energi bagi makro dan mikro fauna serta memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Lebih lanjut Stevenson (1982) menerangkan bahwa penambahan bahan organik dari sisa tebangan dapat meningkatkan ketersediaan P dalam tanah melalui 5 cara: (1) proses mineralisasi bahan organik itu sendiri sehingga terjadi pelepasan anion-anion P dari mineral; (2) aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil dekomposisi sehingga terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak larut menjadi bentuk terlarut, (3) bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena adanya asam humik dan asam fulfik; (4) penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan organik asli tanah; (5) membentuk kompleks fosfohumik dan fosfo-fulfik yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman.
139
Fungsi bahan organik yang lain adalah untuk menurunkan laju aliran permukaan dan erosi tanah. Hal ini terjadi karena bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, agregat tanah menjadi mantap dan kapasitas infiltrasi air meningkat sehingga aliran permukaan dan erosi dapat diperkecil. Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah adalah dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, kapasitas tukar anion, pH tanah, daya sangga tanah, keharaan tanah dan aktivitas biologis dalam tanah (Stevenson 1982). Pengaruh positif lain dari penambahan bahan organik adalah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena ada senyawa-senyawa perangsang berupa hormon (auxin) dan vitamin yang ditemukan di dalam tanah (Suntoro 2003). Hasil penelitian Sulistyono dkk.(2007) menunjukkan bahwa pemanfaatan sisa tebangan (residu) yang dicacah menjadi potongan kecil-kecil dan ditebar di lahan secara merata pada saat penyiapan lahan memberikan hasil yang paling baik dibanding tanpa sisa tebangan dan sisa tebangan yang tidak dicacah terhadap produktivitas Acacia mangium. Produktivitas A. mangium dengan perlakuan tadi pada umur 2 tahun dapat mencapai 56,42 m3/ha, tanpa sisa tebangan hanya mencapai 45,08 m3/ha dan dengan sisa tebangan tanpa pencacahan sebesar 50,05 m3/ha. Hasil penelitian yang sama terhadap hibrid Eucalyptus menunjukkan bahwa pemanfaatan sisa tebangan dan serasah yang dicacah dan disebar berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan dibanding tanpa sisa tebangan (sisa tebangan dikeluarkan dari areal tebang) sebesar 73% di Congo, 41% di Brazil 35% di Afrika selatan dan 22% di India (Saint-Andre et al. 2007 dalam Deleporte et al. 2008). Sisa tebangan dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara. Pemuliaan Tanaman Penampakan (performance) suatu tegakan sangat tergantung pada faktor genetik dan faktor lingkungan dan keduanya dapat dimanipulasi (Zobel dan Talbert 1984). Oleh karena itu, pemulihan tapak dapat juga dilakukan dengan mengembangkan jenis-jenis yang mempunyai sifat effisien terhadap penggunaan hara. Melalui program pemuliaan rekayasa genetik dapat dihasilkan jenis-jenis yang sangat efisien dalam penggunaan hara.
140
5.3.4. Sifat-sifat Tanah yang Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman Hubungan antara sifat-sifat tanah dengan tinggi tanaman diformulasikan dalam satu model matematik. Model yang dikembangkan adalah model regresi berganda. Model tersebut diperoleh dengan cara membuat regresi antara sifatsifat tanah yang mencakup sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta umur tanaman dengan tinggi tanaman. Pemilihan variabel bebas dilakukan dengan cara memilih sifat tanah yang berbeda nyata pada Uji Tukey terhadap parameter sifatsifat tanah antar tahun tanam. Model yang diperoleh dari regresi linier berganda tersebut adalah sebagai berikut : Log Y =
0,20 - 1,09X1 - 0,169X2 + 0,0669 X3 + 0,367X4 + 0,0045X5 + 0,0858X6 + 0,188X7 - 0,377X8 - 0,00502X9 + 0,00164X10
Keterangan : X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
= = = = = = = = = =
1/Umur pH C organik N P Ca Mg K Pasir debu
Untuk mendapatkan persamaan terbaik dilakukan analisa stepwise dengan program minitab, adapun persamaan regresi terbaik adalah Log Y = 2,1234 1,05X1 – 0,263X2 , dengan R-Sq(adj) 87,16 % (Lampiran 6). Persamaan terbaik tersebut dilakukan dengan cara penyusupan satu persatu peubah bebas yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan Log Y. Pada Tabel 17 disajikan nilai koefesien korelasi peubah bebas (X), koefesien dan nilai T hitung dari persamaan terbaik tersebut. Tabel 17. Peubah sifat-sifat tanah dan umur yang teruji berkorelasi dengan tinggi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII Nomor Variabel (Xi) 1 2
Umur pohon (1/X1) pH (X2)
Koefesien -1,05 -0,263
P – value
R2
0,000 0,015
87,16 % 80,23 %
141
Dengan melihat persamaan di atas dan Tabel 17 dapat diketahui bahwa pertumbuhan S. leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII berkorelasi negatif dengan 1/Umur dan pH tanah. Faktor 1/Umur mempunyai korelasi terbesar terhadap rata-rata tinggi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam.
korelasi yang bersifat negatif
menerangkan bahwa semakin tua umur tanaman S. leprosula maka, sampai umur tertentu rata-rata tinggi yang dihasilkan semakin tinggi. Faktor umur tanaman mempunyai koefesien determinasi sebesar 87,16 %, hal ini berarti sebagian besar rata-rata tinggi ditentukan oleh faktor umur sedangkan sifat-sifat tanah dan lingkungan hanya kecil saja berkorelasi dengan rata-rata tinggi tanaman.
Hal tersebut menerangkan bahwa lokasi penelitian
memiliki kualitas tempat tumbuh yang relatif seragam (homogen) pada Jalur Tanam. pH tanah berkorelasi negatif secara sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula. Korelasi negatif menerangkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan tanaman, maka sampai umur tertentu nilai pH akan semakin rendah. Semakin tua umur tanaman kondisi pH tanah semakin masam. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan teori berkurangnya basa-basa yang berada di dalam tanah karena diserap oleh tanaman.
pH tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah faktor pertumbuhan tanaman, faktor lainnya yaitu bahan induk tanah, pengendapan, vegetasi alami, kedalaman tanah dan pupuk nitrogen. Faktor lainnya yang bisa menjelaskan kondisi tersebut adalah terjadinya proses dekomposisi bahan organik.
Semakin tua umur tanaman maka
dekomposisi bahan organik semakin tinggi. dekomposisi bahan organik yang tinggi akan menyebabkan kondisi pH tanah semakin masam. Jika air berasal dari air hujan melewati tanah, kation-kation basa seperti Ca dan Mg akan tercuci. Kation-kation basa yang hilang tersebut kedudukannya di tapak jerapan tanah akan di ganti oleh kation kation masam seperti Al, H, dan Mn. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk pada lahan dengan curah hujan tinggi biasanya lebih masam dibandingkan pada tanah lahan kering. Mekanisme lainnya yang bisa menjelaskan korelasi negatif antara tinggi tanaman dengan pH tanah adalah kondisi vegetasi. Tanah yang berada di bawah
142
kondisi vegetasi hutan akan cenderung lebih masam di bandingkan dengan yang berkembang di bawah padang rumput. Hutan tanaman dengan daun kecil (konifer) dapat menyebabkan lebih masam dibandingkan dengan hutan tanaman berdaun lebar . Penyebab lainnya adalah kedalaman tanah dan pupuk organik. Pada lahan dengan curah hujan tinggi, umumnya kemasaman meningkat sesuai dengan kedalaman lapisan tanah, sehingga kehilangan top soil oleh erosi dapat menyebabkan lapisan olah tanah menjadi lebih masam. Nitrogen tanah dapat berasal dari pupuk, bahan organik, sisa hewan, fiksasi N oleh leguminose dapat menyebabkan tanah lebih masam. 5.3.5. Perbedaan Karakteristik Tanah Areal hutan bekas tebangan mempunyai karakteristik tanah (tapak/site) yang berbeda-beda.
Sistem silvikultur TPTII mempunyai karakterik tanah yang
berbeda baik secara internal maupun ekternal. Secara internal dalam satu sistem silvikultur TPTII mempunyai perbedaan karakteristik tanah yaitu antara Jalur Tanam dengan Jalur Antara. Secara ekternal, berbeda dengan sistem silvikultur TPTI atau dengan virgin forest. Perbedaan tersebut dilihat dari parameter kualitas tanah berupa sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat kimia mencakup kadar Carbon (C), Nitrogen
(N), Magnesium (Mg), Kalsium (Ca) dan Posfor (P).
Sedangkan untuk sifat biologi tanah dilihat dari parameter jumlah fungi. Perbedaan tersebut di atas sebagaimana tertera pada Gambar 39. Beberapa objek (jenis vegetasi) dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai titik dengan posisi yang berdekatan. Pada output Gambar Biplot tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis vegetasi JT 06 (Jalur Tanam TPTII 2006), JT 07, dan JT 08 semua mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik. Jenis vegetasi JA 06 (Jalur Antara TPTII 2006) Dan JA 07 semuanya mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik.
Jenis vegetasi TPTI dan VF
(virgin forest)
mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik. 5.3.5.1. Pebedaaan Karakteristik Tanah dalam Sistem Silvikultur TPTII Pada areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII di dalamnya terdapat perbedaan karakterisik tanah, yaitu pada Jalur Antara dan Jalur Tanam.
Karakteristik Jalur Antara digambarkan dalam diagram Biplot
143
sebagai JA (Jalur Antara) mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan Jalur Tanam yang digambarkan dengan simbol JT mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda (Gambar 39). Artinya dalam satu pengelolaan sistem silvikultur telah terjadi perbedaan karakteristik tanah yang terdapat pada Jalur Tanam dan Jalur Antara. Karakteristik tanah dalam sistem sistem silvikultur TPTII tidak homogen, terdapat perbedaan antara Jalur Tanam dan Jalur Antara. Aktivitas pembuatan Jalur Tanam telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan Jalur Antara. 5.3.5.2. Pebedaaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan TPTI Areal hutan bekas tebanganTPTII mempunyai karakteristik tanah yang berbeda bila dibandingkan dengan areal hutan bekas tebangan TPTI. Antara areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI terdapat perbedaan karakterisik tempat tumbuh. Perbedaan tersebut terjadi antara Jalur Tanam dan TPTI, serta Jalur Antara dan TPTI. Karakteristik Jalur Antara pada TPTII digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JA (Jalur Antara) mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan TPTI mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda (Gambar 39). Karakteristik Jalur Tanam dalam TPTII digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JT mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan TPTI mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda. Artinya antara satu pengelolaan sistem silvikultur dengan yang lainnya telah terjadi perbedaan karakteristik tanah, yaitu antara sistem silvikultur TPTII dan TPTI. Karakteristik tapak antara sistem silvikultur TPTII dan TPTI tidak homogen, terdapat perbedaan karakteristik tapak antara TPTII dan TPTI. penerapan sistem sistem silvikultur TPTII pada pengelolaan hutan telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan kondisi sistem silvikultur TPTI. 5.3.5.3. Pebedaaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan Virgin forest Areal hutan bekas tebangan TPTII mempunyai karakterisik tanah yang berbeda dengan virgin forest. Areal hutan bekas tebangan TPTII mempunyai karakteristik tanah yang berbeda bila dibandingkan dengan areal hutan virgin forest. Antara areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII dan virgin forest terdapat perbedaan karakterisik tempat tumbuh. Perbedaan tersebut terjadi antara Jalur Tanam TPTII dan virgin forest, serta Jalur
144
Antara TPTII dan virgin forest.
Karakteristik Jalur Antara pada TPTII
digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JA (Jalur Antara) mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan virgin forest mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda (Gambar. 39).
Karakteristik Jalur Tanam dalam TPTII
digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JT mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan virgin forest mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda. Karakteristik tapak antara sistem silvikultur TPTII dan virgin forest tidak homogen, terdapat perbedaan karakteristik tapak antara TPTII dan virgin forest. penerapan sistem sistem silvikultur TPTII pada pengelolaan hutan telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan kondisi virgin forest (hutan primer). Areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTI mempunyai karakteristik tanah yang sama dengan virgin forest. 5.3.5.4. Kesamaan Karakteristik Tanah TPTI dan Virgin forest Areal hutan bekas tebangan TPTI mempunyai karakteristik tanah yang sama dengan virgin forest. Pada diagram Biplot (Gambar . 39 ) TPTI dan virgin forest mengelompok pada kuadran yang sama. Artinya ada kemiripan karakteristik tanah antara keduanya. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTI tidak merubah karakteristik tanah. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya kesamaan karakteristik tanah dari hutan bekas tebangan TPTI dengan virgn forest. Adanya kemiripan karakteristik hutan bekas tebangan TPTI dengan virgin forest dan ketidakmiripannya dengan TPTII, menunjukan adanya kelebihan dari sistem silvikultur TPTI dibandingkan dengan TPTII. sistem silvikultur TPTI menerapkan tebang pilih tanpa tanam jalur sedangkan TPTII menerapkan tebang pilih dengan tanam jalur. Penebangan pada sistem silvikultur TPTI dilaksanakan hanya sekali yaitu pada saat penebangan, sedangkan penebangan pada TPTII terjadi sebanyak tiga kali yaitu, pertama pada saat areal tersebut dikelola dengan TPTI terjadi tebang pilih, kedua pada saat areal tersebut dikelola dengan TPTII terjadi juga tebang pilih dan ketiga pada saat pembuatan Jalur Tanam terjadi penebangan secara jalur.
Ketiga penebangan tersebut menyebabkan TPTII
menjadi lebih intensif mengalami perubahan tapak dibandingkan dengan TPTI. Dalam sistem silvikultur TPTII perlu adanya perubahan sistem penebangan. Sistem tebang pilih dan penjaluran tanaman menyebabkan terjadinya kerusakan
145
ganda. Sistem penebangan harus dirubah menjadi sistem tebang jalur sehingga kerusakan dapat diperkecil.
Dengan perubahan sistem penebangan yang
menerapkan hanya tebang jalur saja kerusakan tapak akan semakin kecil begitu pula dengan tegakan sisa akan lebih utuh dan tetap terpelihara keragaman jenisnya. Tebang jalur juga sekaligus menjadi kegiatan penyiapan lahan untuk penanaman sehingga kegiatan menjadi lebih efisien. Sistem silvikultur TPTI dan TPTII masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Penerapan atribut teknik silvikultur yang berbeda pada kedua sistem silvikultur tersebut menimbulkan perbedaan karakteristik hutan bekas tebangan. Perbedaan atribut teknik silvikultur yang paling menonjol adalah dalam hal penentuan batas diameter pohon yang diitebang. TPTI mempunyai batas limit diameter pohon yang ditebang sebesar 50 cm, sedangkan TPTII mempunyai batas limit diameter pohon yang ditebang sebesar 40 cm . Penurunan batas diameter tersebut mempunyai konsekwensi terhadap kondisi tegakan. Tegakan sisa menjadi lebih sedikit dan keterbukaan tajuk menjadi lebih besar.
Kondisi tersebut akan berkontribusi terhadap
perubahan karakteristik tanah. Perbedaan atribut teknik silvikultur lainnya adalah adanya Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Adanya Jalur Tanam besar kontribusinya terhadap keterbukaan lantai hutan. berpengaruh terhadap karakteristik tanah.
Kondisi tersebut akan
Perbedeaan karakteristik tanah
ditimbulkan oleh perbedaan atribut teknik silvikultur yang ada dalam sistem silvikultur.
Kesamaan karakterisrik tanah antara TPTI dengan virgin forest
menunjukan pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur tersebut tidak merubah kondisi tanah.
146
Biplot of C-organik; ...; keanekaragaman Jenis 0
1,5
JA 06
Second Component
Jumlah Fungi
JT 08
1,0
JT 07
0,5
C-organik N-total P-tersedia keanekaragaman Jenis
Magnesium JT 06
0,0
JA 07
Kesamaan Komunitas
-0,5 -1,0
0 TPTI
Calsium VF
-1,5 JT 05
-2,0 -2,5 -3
-2
-1
0 1 First Component
Gambar 39. Diagram Biplot Karakteristik Sifat Tanah Pada Hutan Produksi
2
3
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) pada Jalur Tanam dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Riap diameter tanaman S.leprosula mengalami kenaikan sejalan dengan peningkatan diameternya. Riap diameter meranti pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cm/th, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cm/th. Daur pertama tanaman S. leprosula akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman S. leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m3/ha/th.
Struktur tegakan
tanaman S. leprosula membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng dan membentuk model polinomial. Penerapan sistim silvikultur TPTII pada hutan alam produksi mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total TPTII yaitu sebesar 255,34 m3/ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3/ha. Penerapan sistem silvikultur TPTII pada hutan alam produksi terjadi dinamika nilai keanekaragaman jenis yang berfluktuatif, secara keseluruhan tingkat keanekaragaman jenis tersebut menempati katagori sedang sama halnya dengan kondisi keanekaragaman jenis pada areal TPTI dan virgin forest. Adapun Nilai indeks persamaan komunitas (IS) pada hutan produksi bekas tebangan TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI dan Virgin Forest. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik dan membentuk model eksponensial negatif . Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur TPTI dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan silvikultur TPTII atau TPTI telah merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis
148
mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan.
Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi
perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Pada penerapan silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan virgin Forest. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah.
Umur tanaman dan pH tanah berkorelasi dengan pertumbuhan tinggi
tanaman. 6.2. Saran Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang.
Jalur Antra harus dipertahankan dan
difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri (Karakterisasi) keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya penelitian yang memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan jalur tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Perlu penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan jalur tanam.
149
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York. Anderson JM, Spancer T. 1991. Carbon, Nutrient and Water Balances on Tropical Forest Ecosystem Subject to Disturbance : Management Implications and Research Proposal. MAB 7. UNESCO. Paris. [Anomimous]. 2003. Biodiversity and Ecosystem Function. diversity and ecosystem function. [9 pebruari 2010].
http. www.
[Anonimous]. 2004. Ecosystem Structure and Function. http. www. diversity and ecosystem function. Html [9 pebruari 2010]. [Anonimous]. 2010. Ecosystem Structure and Function. http: www. ecosystem structure and function. Html [9 pebruari 2010]. Apanah S, Weiland G. 1993. Planting Quality Timber Tress in Peninsular Malaysia. Malayan Forest Record No. 38. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Baker FS, Daniel TW, Helm JW. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Barrow CJ. 1991. Land Degradation. Cambridge University Press. Cambridge Bengtsson J, Nilsson SG, Franc A, Menozzi P. 2000. Biodiversity Disturbances, Ecosystem Fucntion and Management of European Forest. Forest Ecology and Management 132: 39-50. Bittinger P, Boston K, Sirvi JP, Grebner DL. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier. Brown ND. 1992. Interaction Between Forest Management For Production and Forest Regeneration : Miller FR, Adam KL, editor. Wise Management of Tropical Forest. Proceedings of The Oxford Conference on Tropical Forest. Oxford Forestry Institute. 27 – 35. Brown S, Lugo A. 1994. Rehabilitation of Tropical Land : a Key to Sustaining Devolopment. Restoration Ecology 2 (2) : 97 – 111.
150
Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rain Forest : an Intregated Aproach to Sustainability. Cambridge : CAB International. Carter MR et al. 1997. Concepts of Soil Quality and Their Significance :: Gregorich EG, Carter MR, editor. Soil Quality for Crop Production and Ecosystem Health. Amsterdam : Elsevier. Hlm. 1-20. Carter MR. 2002. Soil Quality for Sustainable Land Management: Organic Matter and Aggregation Interactions That Maintain Soil Functions. J Agron 94:38-47 Chijicke EO. 1980. Impact on Soil of Fast Growing Species in Lowland Humid Tropics. Food and Agricultural Organization of The United Nations. Rome. Coates KD, Philip JB. 1997. A Gap Based Aproach for Devolopment of Silvikultural System to Address Ecosystem Management Objectives, Journal Forest Ecology and Management 99 (1997) 337-35. Cossalter C, Smith C.P. 2003. Fast Wood Forestry. Centre for Internatoinal Foresty Research. Bogor. [Danida dan Dephut] Danish International Devolopment Assistance dan Departemen Kehutanan RI. 2001. Zona Benih Tanaman Hutan Kalimantan Indonesia. Indonesian Forest Seed Project. Kerjasama Departemen Kehutanan RI dengan Danida Denmark. Jakarta. Daubenmire RI, 1962. Plant and environment. A texbook of plant ecology. Sec. ed. John Willey and Sons Inc. London. pp 10 – 70. New York. Daubenmire RI. 1967. Plants and Environment. John Wiley and Sons, Inc. London. Davis LS. and Jhonson KN. 1987. Forest Management. Third Edition. McGrawHill Book Company. New York. DeBell DS, Cole TG, Whitesell. 1997. Growth, Development, and Yield of Pure and Mixed Stands of Eucalyptus and Albizzia. Forest Science 43:386-298. Deleporte P, Laclau JP, Nzila JD, Kazotti JG, Marien JN, Bouillet JP, Szwarc M, Annunzio RD, Ranger J. 2008. Effects of Slash and Litter Management Practices on Soil Chemical Properties and Growth of Second Rotation Eucalyptus in the Congo. Di dalam: Nambiar EKS (eds). Site Management
151
and Productivity in Tropical Plantation Forests. Center for International Forestry Research. Bogor. Indonesia. Dell B, Malajczuk N, Xu D, Grove TS. 2003. Nutrient Disorders in Plantation Eucalyptus. Australian Centre for International Agricultural Research, Camberra. Australia. [Dephut]. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 Tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. [Dephut]. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1993. Pedoman Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengusahaan Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan. 2010. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Model Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. [Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Jakarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan. Jakarta. Doran JW, Parkin TB. 1994. Defining and Assessing Soil Quality. SSSA Special Publication 35:3-21. Doran JW, Sarrantonio M, Lieberg MA. 1996. Soil Health and Sustainability. Adv Agron 56:1-54. Ewers, Binkley D, Baskin M. 1996. Influenceof Adjacent Stand on Spatial Patterns of Carbon and Nitrogen in Eucalyptus and Albizia plantation. Canadian Journal of Forest Research 26: 1501-1503. Finkeydey R. 1989. an Introduction to Tropical Forest Genetic. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Gottingen. Germany.
152
Fisher RF, Binkley D. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. John Willey & Sons, Inc. Folster H, Khanna PK. 1997. Dynamics of Nutrient Supply in Plantation Soils. Di dalam: Nambiar EKS (eds). Site Management and Productivity in Tropical Plantation Forest.Center for International Forestry Research. Bogor. Indonesia. Greacen EL, Sand R. 1980. Compaction of Forest Soil : a Review. Australian Journal Soil Research 18 : 163 – 189. Halle F. Oldeman RAA. Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest, an Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin- Heidelberg. Newyork. Halvorson JJ, Smith LJ, Papendick RI. 1997. Issues of Scale for Evaluating Soil Quality. Journal of Soil and Water Conservation 52(1): 26-30. Handayani IP. 1999. Kuantitas dan Variasi Nitrogen Tersedia Pada Tanah Setelah Penebangan. Jurnal Tanah Tropika 8: 215-226. Handayani IP. 2001. Comparison of Soil Quality in Cultivated Fields and Grassland. Jurnal Tanah Tropika 12: 135-143. Hani’in O. 1999. Pemuliaan Pohon Hutan Indonesia Menghadapi Tantangan Abad 21. Dalam Hardiyanto EB, Editor. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Hardjowigeno S. 2005. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hauhs B, Knauft FJ, Lange H. 2003. Algorithmic and Intractive Appoaches to Stand Growth Modelling. In Amao A, Red D, Soars P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Hillel D. 1980. Aplications Soil Physics. Academic Press.New York. Hutagalung IH. 2008. Produktivitas dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Eucalyptus Hibrid di HTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli Kabupaten Simalungun Sumatera Utara [Skripsi] Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.
153
Hutz HJ, Chandler RFJ. 1951. Forest Soils. John wiley and Sons. Inc. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (Disertasi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indrawan A. 2003a. Model Sistem Pengelolaan Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan Dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. IX No 2 Juli - Desember 2003. (www. andryindrawan. Blogspot.com). Indrawan A. 2003b. Verifikasi Model Sistem Pengelolaan Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. IX No 2 Juli - Desember 2003. (www. andryindrawan. Blogspot.com). Indrawan A. 2006. Keanekaragaman Genetik. Makalah Disampaikan Dalam Rangka Fasilitasi Penerapan Silvikultur Intensif di areal IUPHHK. Direkorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.. Indrawan A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Islam KR, Weil RR. 2000. Soil Quality Indicator Properties in Mid-Atlantics Soils as Influenced by Conservation Management. Journal Soil and Water Conservation 55 (1): 69-78. Jolliffe IT. 1986. Principal Componen Analysis. Springer – Verlag. New York. Karlen DL et al. 1997. Soil Quality: a Concept, Definition, and Framework for Evaluation (a guest editorial). Soil Science Society America Journal 61:410. Karlen DL et al. 1999. Conservation Reserve Program Effect on Soil Quality Indicator. Journal Soil and Water Conservation 54(1): 439-444. Kennedy AC, Papendick RI. 1995. Microbial Characteristics of Soil Quality. Journal Soil and Water Conservation 50: 243-248. Kilham K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University Press. Cambridge. Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Wood Plants. Academic Press.
154
Kramer PJ, and Kozlowski TT. 1960. Physiologi of Trees. Mc Graw – Hill book Co. Newyork. Kumar S, Matthias F. 2004. Molekular Genetic and Breeding of Forest Trees. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press Inc. Newyork, London, Oxford. Lal R. 1986. Deforestation and Soil Erotion. Di dalam : Lal R et al Editor. Land Clearing and Development in the Tropics. Rotterdam. A. A. Balkem. Lal R. 1995. Sustainable Management Of Soil Resources in The Humid Tropic. The United Nation University Press. Tokyo. Lamb D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Land in The Asia Pasific Region. Journal of Tropical Forest Scicience 7 (1): 1-7. Landsberg JJ. 1986. Physiological Ecology of Forest Production. Academic Press. London. Landsberg JJ, Gower ST. 1997. Application of Physiological Ecology to Forest Management. San Diego. California. Larson WE, Pierce FJ. 1991. Conservation and Enhancement of Soil Quality. p. 175-203. In: Evaluation for Sustainable Land Management in the Developing World, Vol. 2:Technical papers. Bangkok, Thailand: International Board for Research and Management, 1991. IBSRAM Proceedings No. 12(2). Lembaga Penelitian Tanah. 1979. Penuntun analisa Kimia dan Fisika Tanah. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor Mackensen J. 2000a. Penelitian Hutan Tropis. Kajian Suplai Hara Lestari Pada Hutan Tanaman Cepat Tumbuh. Implikasi Ekologi dan Ekonomi di Kalimantan Timur. Badan Kerjasama Teknis Jerman-Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jerman. Mackensen J. 2000b. Penelitian Hutan Tropis: Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia. Petunjuk Praktis Ke arah Pengelolaan Unsur Hara Terpadu. Badan kerjasama teknis Jerman-Deutsche Gesellschaft Fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jerman. Mackensen J, Folster H. 2000. Cost-Analysis For a Sustainable Nutrient Management of Fast Growing-Tree Plantations in East-Kalimantan, Indonesia. Institute of Soil Science and Forest Nutrition, Büsgenweg 2; 37077 Göttingen, Germany. http://www.Sciencedirect.com/science?_ob, diakses tanggal 10 September 2010. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. Chapman and Hall. London
155
Malmer A. 1993. Dynamic of Hidrology and Nutrient Losses as Response to Establishment of Forest Plantation. A Case Study on Tropical Rain Forest Land in Sabah, Malaysia. : Swedish University of Agricultural Sciences. Sweden. Manan S. 1976. Silvikultur. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Manan S. 1995. Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI. Jakarta. Mansur I. 2008. Sistem Silvikultur Untuk Pengelolaan Hutan Alam. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Matthews, JD. 1997. Silvicultural System. Clarendon Press. Oxford. Marscher H. 1991. Nutrient Dynamics at The Soil Root. Di dalam: Lewis DJDH, Fitter AH, Alexander IJ (eds). Mycorrhizas in Ecosystem. CAB International Univercity Press. Cambridge. Mengel DK, Kirby EA. 1982. Principles of Plant Nutrition. 3rd Edition. International Potash Institute, Bern, Switzerland. 593p. Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest Management. The Ronald Press Company. Newyork. Mindawati N. 2011. Kajian Kualitas Tapak HTI Hibrid Eucalyptus Urograndis Sebagai Bahan Baku Pulp dalam Pengelolaan Lestari (Studi Kasus di PT. Toba Pulp Lestari, Simalungun, Sumatra Utara. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mitlohner R. 2009. Natural Resources in The Tropics. : The Conceps of Forestry. Burckhardt Institut. Departement Tropical Silviculture and Forest Ecologi University of Gottingen. Germany. Mulyana M, Hardjanto T dan G.Hardiansyaah. 2005. Membangun Hutan Tanaman. Meranti. Membedah Mitos Kekagalan Melanggengkan Tradisii Pengusahaan Hutan. Wana Aksara Serpong Tangerang. Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi Ex-situ Shorea leprosula. ITTO PD 106/01 Rev.1 (F) Fahutan UGM. Yogyakarta. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro. Bogor.
156
Nyland RD. 1996. Silviculture, Concept and Aplications. The McGraw Hill Companies, Inc. New York – Toronto. Nyland RD. 2002. Silviculture, Concepts and Applications. 2nd Edition. The Mc Graw Hill Companies, Inc. New York – Toronto. Nzila JD, Bouillet JP, Laclau JP, Ranger J. 2002. The Effect of Slash Management on Nutrient Cycling and Tree Growth in Eucalyptus Plantation in The Congo. Forest Ecology and Management 171: 209-221. Oldeman LR. 1992. The Global Extent of Soil Degradation. Di dalam : Greenland, DJ, Szabolc I, editor. Soil Resiliense and Sustainable Land Use. Procedings of a Symposium of Sustainable Land Use. CAB International. 99 – 105. Budapest. Otasamo R, and Adjers G. 1996. Reforestation Experience With Dipterocarp Species on Grassland. In: Schulte, A. and Schone, D. (Eds.). Dipterocap Forest Ecosyestem: Towards Sustainable Management. World Scientific, Singapore. Pp.437-478. Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) (Disertasi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Parrotta JA, Baker DD, Fried M. 1996. Changes in Nitrogen Fixation in Maturing Stands of Casuarina equisetifolia and Leucaena leucocephala. Canadian Journal of Forest Research 26: 1684-1691 Pasaribu HS. 2008. Kebijakan Penerapan Lebih dari Satu Sistem Silvikultur Pada Areal IUPHHK di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Perry DA. 1994. London.
Forest Ecosystem. The Jhons Hopkins University Press.
Poerwanto R. 2003. Pengelolaan Tanah dan Pemupukan Kebun Buah-buahan. Bahan Ajar Budidaya Buah-Buahan. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. PROSEA. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae: Pulau Kalimantan. Yayasan PROSEA Indonesia. Bogor. [PT. BFI]. PT Balikpapan Forest Industries. 2010. Progress Pelaksanaan TPTI Intensif Tahun 2005 -20010 di PT. Balikpapan Forest Industries. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan SILIN. Ditjen BPK. Jakarta.
157
PT. Erna Juliawati. 2010. Riset Pengembangan Model Silvikultur Intensif IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tenga (Sebuah Konsep dan Aplikasinya). Makalah Workshop 5 Tahun Pelaksanaan Silin. Ditjen BPK. Jakarta. [PT. Sarpatim]. PT. Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti di PT. Sarpatim. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin. Ditjen BPK. Jakarta. [PT. SBK]. PT. Sari Bumi Kusuma. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin. Ditjen BPK. Jakarta. [PT. SJM]. PT. Sukajaya Makmur. 2004. Rencana Karya Pengusahaan Hutan IUPHHK PT. Sukajaya Makmur. PT. SJM. Ketapang. [PT. SJM]. PT. Sukajaya Makmur. 2010. Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. PT. SJM. Ketapang. Purnomo S, Widyatno, Saminto. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif (SILIN) Meranti di PT. Sari Bumi Kusuma. Makalah Workshop 5 Tahun Pelaksanaan Silin. Dirjen BPK. Jakarta. Rawlings JO. 1988. Applied Regression Analysis : a Research Tool. Wadsworth and Brooks/Cole Advenced Books and Software, Facific. Grade, California Rismayanti Y. 2001. Model Penduga Riap Diameter Pohon Jenis Resak (Vatica ressak) Pada Hutan Alam Bekas Tebangan Areal HPH Pt. Fajar Kahayan, Kapuas, Kalimantan Timur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Robertson GP. 1989. Nitrification, denitrification in Humid Tropical Ecosystem: Potential Control on Nitrogen Retention. Di dalam : Proctor J, edior. Mineral Nutrients in Tropical Forest and Savana Ecosystem. Blackwell Scientific Publication. Hlm 55 – 69. Cambridge. Rusdiana O. 1999. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Manajemen Nutrisi Hutan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusdiana O. 2007. Siklus Nitrogen Pada Hutan Tanaman Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi [Disertasi] Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusman. 2008. Analisis Sensitivitas Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Ramah Lingkungan. Studi Kasus di IUPHHK /HPH PT. Sari Bumi Kusuma (Thesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
158
Sagala P . 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor
Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soils in Humid Tropics. A Wiley Interscience Publications. John Wiley and Sons Inc. New york, China, Brisbane, Toronto. Santoso B. 2008. Kebijakan Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Hutan Produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Santoso E. 1997. Hubungan Perkembangan Ektomikoriza dengan Populasi Jasad Renik Dalam Rizosfer dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Eucalyptus pellita dan Eucalyptus urophylla [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur Dalam Penerapan Multisitem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Sardiyanto, A. 2010. Uji Tanaman Shorea spp di IUPHHK PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Workshop 5 Tahun Pelaksanaan Silin. Ditjen BPK. Jakarta. Simarangkir BDAS, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. Smith, D.M. 1962. The Practice of Silviculture. Seventh Edition. John Willey. The Iowa Unervisity Press, Ames. Iowa. Smith JL, Halvorson JJ, Papendick RI. 1993. Using Multiple-Variable Indicator Trigging for Evaluating Soil Quality. Soil Science Society America Journal 57:743-749. Seokotjo. 1995. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Dephut RI. Jakarta. Soekotjo. 2005. Evaluasi Tebang Pilih Indonesia. Prosiding Seminar Kehutanan Peningkatan Produktivitas Hutan. Editor Eko B. Hardiyanto. ITTO. Yogyakarta. Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Hasil. Di dalam: Hardiyanto EB, editor. Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalm Mendukung Rehabilitasi Hutan. Prosiding
159
Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan; Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. Fakultas Kehutanan UGM dan Internasional Tropical Timber Organization. Hlm. 3-14. Yogyakarta. Soekotjo. 2009. Tehnik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soektojo, Naiem M. 2006. SILIN Menuju Hutan yang Prospektif, Sehat dan Lestari. Warta Kagama Kehutanan. Desember. Edisi Perdana Desember 2006. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Soekotjo, Suparna N, Purnomo S. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti Di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalteng. Jakarta: PT. Alas Kusuma. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Spangenberg A, Grinum U, Sepeda JR, Silva D, Folster H. 1996. Nutrient Store and Export Rates of Eucalyptus urograndis Plantations in Eastern Amazonia (Jari). Forest Ecology and Management 80 : 225-234. [SSSA] Soil Science Society of America. 1995. Statement on Soil Quality. Agronomy News. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Princiles and Procedures of Statistics. McGraw – Hill . New york Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry, Genetics, Composition, Reactions. John Willey and Sons, Inc. New York. Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung (Tesis). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Suhendang E. 2008. Multisitem Silvikultur Dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Sulistyono D, Ansori S, Hardiyanto EB. 2007. Acacia mangium : Pengelolaan Residu Tebangan. http://saifudinansori.blogspot.com/2007/09/pengelolaanresidu-tebangan. Diakses 22 September 2010. Suntoro WA . 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah.
160
Fakultas Pertanian Sebelas Maret. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Suparna N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma Unit SeruyanKalteng. Balikpapan : PT. Sari Bumi Kusuma. Sutisna M. 1997. Strategi Silvikultur Untuk Meningkatkan Kelestarian Produktivitas Hutan Alam Indonesia. UGM press. Sutisna M. 2005. Silvikultur Hutan Alami Indonesia. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Pendidikan Tinggi. Samarinda. [USDA] United States Departement of Agriculture. 1996. Soil Quality Resources Concerns. The United States Departement of Agricultur. Washington, D.C Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield: Applications to Mixed Tropical Forest. CAB International, Wallingford. . Van Migroet H, Johnson DW. 1993. Nitrate Dynamics in Forest Soil. Di dalam Burt TP, Heathwaite AL, Trudgill ST, editor. Nitrate : Processes, Patterns ang Management. Chichester : John Wiley and Sond Ltd. 75- 97. Vitousek PM. 1981. Clear Cutting and The Nitrogen Cycle. Di dalam : Clark FE, Rooswall T, editor. Terresterial Nitrogen Cycle : Processes, Ecosystem Strategies and Management Impacts. Ecological Bulletin NFR 33: 631-642. Vitousek PM, Matson PA. 1985. Disturbance, Nitrogen Availabilit, and Nitrogen Losses in a Intensively Managed Lobloiiy Pine Plantation. Ecology 66: 1360 -642. Wahjono D, Anwar 2008. Prospek Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Unit Pengelolaan Hutan Produksi. Puslitbang Kehutanan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. Wahyudi. 2009. Selective Cutting and Line Enrichment Planting Silvikultural System Devolopment on Indonesian Tropical Rain Forest In: GAFORNInternasional Summmer School, George-August Universitat Gottingen. Germany. Wahyudi. 2011. Perkembangan Tanaman dan Tegakan Tinggal Pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di IUPHHK PT. Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Wasis B. 2005. Kajian Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh Antara Rotasi Pertama dan Rotasi Kedua Pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd.
161
Studi kasus di HTI Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wicaksono A and Ansori S. 2005. Growth of Shorea leprosula and Shorea selanica on the The Logged-over Area of Acacia mangium and Paraseriantehes Falcataria Plantations in Subanjeriji, South Sumatra di PT. Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan. Palembang. Woomer PL, Swift MJ. 1994. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. TSBF. 81-116. John Wiley-Sayce. Chichester, UK Zobel B, Talbert J. 1984. Applied forest tree improvement. John Wiley & Sons, Inc. United States of America.
Lampiran 1. Penghitungan prediksi potensi produksi pada penerapan berbagai sistem silvikultur Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTI No.
1
2
3
Kelompok jenis Tahun
No. petak
2005
1E
2005
2005
1C
1D
30 - <40 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
40 - <50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
50 -<60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
A. Komersil
5,88
3,69
5,88
6,80
5,88
12,73
1,96
8,08
7,84
20,81
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,38
1,96
2,02
1,96
4,75
-
-
1,96
4,75
2. Non Dipterocarpaceae
3,92
2,31
3,92
4,78
3,92
7,97
1,96
8,08
5,88
16,05
B. Non Komersil
25,49
15,56
68,63
83,54
31,37
61,12
17,65
134,89
49,02
196,01
Total (A + B)
31,37
19,25
74,51
90,34
37,25
73,84
19,61
142,97
56,86
216,81
A. Komersil
-
-
1,96
2,04
1,96
4,73
1,96
10,96
3,92
15,69
1. Dipterocarpaceae
-
-
1,96
2,04
-
-
1,96
10,96
1,96
10,96
2. Non Dipterocarpaceae
-
-
-
-
1,96
4,73
-
-
1,96
4,73
B. Non Komersil
29,41
20,14
56,86
65,26
25,49
48,01
37,25
198,66
62,75
246,67
Total (A + B)
29,41
20,14
58,82
67,31
27,45
52,75
39,22
209,62
66,67
262,36
1,96
1,11
7,84
9,61
-
-
-
-
-
-
-
-
3,92
5,60
-
-
-
-
-
-
1,96
1,11
3,92
4,01
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
15,69
8,99
27,45
33,19
15,69
29,14
31,37
189,46
47,06
218,60
Total (A + B)
17,65
10,10
35,29
42,80
15,69
29,14
31,37
189,46
47,06
218,60
A. Komersil 1. Dipterocarpaceae 2. Non Dipterocarpaceae
163
163
164
164 Lampiran 1 (Lanjutan)
4
5
2006
2006
2A
2E
A. Komersil
3,92
61,62
27,45
30,07
5,88
12,26
3,92
14,76
9,80
27,02
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,42
19,61
21,98
5,88
12,26
1,96
6,76
7,84
19,02
2. Non Dipterocarpaceae
1,96
60,20
7,84
8,09
-
-
1,96
8,00
1,96
8,00
B. Non Komersil
33,33
18,53
35,29
38,87
19,61
38,27
15,69
60,71
35,29
98,98
Total (A + B)
37,25
80,15
62,75
68,94
25,49
50,53
19,61
75,47
45,10
126,00
A. Komersil
17,65
10,05
25,49
27,37
5,88
11,82
3,92
11,45
9,80
23,27
1. Dipterocarpaceae
15,69
8,99
19,61
21,67
5,88
11,82
3,92
11,45
9,80
23,27
1,96
1,06
5,88
5,70
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
15,69
8,43
56,86
61,85
17,65
32,93
21,57
84,13
39,22
117,06
Total (A + B)
33,33
18,48
82,35
89,23
23,53
44,75
25,49
95,58
49,02
140,33
A. Komersil
5,88
3,14
11,76
12,51
9,80
19,05
1,96
7,54
11,76
26,58
1. Dipterocarpaceae
5,88
3,14
11,76
12,51
9,80
19,05
1,96
7,54
11,76
26,58
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
37,25
21,24
27,45
30,36
7,84
15,59
1,96
15,67
9,80
31,26
Total (A + B)
43,14
24,38
39,22
42,87
17,65
34,63
3,92
23,21
21,57
57,84
A. Komersil
1,96
1,62
7,84
9,84
1,96
3,79
1,96
5,58
3,92
9,37
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,62
3,92
4,78
-
-
1,96
5,58
1,96
5,58
-
-
3,92
5,05
1,96
3,79
-
-
1,96
3,79
B. Non Komersil
56,86
34,58
39,22
43,74
7,84
16,44
11,76
35,41
19,61
51,85
Total (A + B)
58,82
36,19
47,06
53,58
9,80
20,23
13,73
40,99
23,53
61,22
2. Non Dipterocarpaceae
6
2006
2G
2. Non Dipterocarpaceae
7
2007
3B
2. Non Dipterocarpaceae
Lampiran 1 (Lanjutan)
8
2007
3D
A. Komersial
7,84
5,24
5,88
7,99
5,88
11,64
3,92
10,95
9,80
22,59
-
-
3,92
5,22
5,88
11,64
3,92
10,95
9,80
22,59
7,84
5,24
1,96
2,76
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
49,02
27,58
39,22
38,39
17,65
34,87
11,76
65,11
29,41
99,98
Total (A + B)
56,86
32,82
45,10
46,38
23,53
46,51
15,69
76,06
39,22
122,57
A. Komersil
11,76
6,46
9,80
10,99
3,92
8,31
5,88
17,46
9,80
25,76
-
-
7,84
8,91
1,96
4,15
-
-
1,96
4,15
2. Non Dipterocarpaceae
11,76
6,46
1,96
2,08
1,96
4,15
5,88
17,46
7,84
21,61
B. Non Komersil
50,98
31,75
37,25
38,61
13,73
24,71
11,76
36,30
25,49
61,01
Total (A + B)
62,75
38,21
47,06
49,60
17,65
33,02
17,65
53,75
35,29
86,77
A. Komersil
15,69
10,07
15,69
17,19
11,76
21,34
3,92
11,95
15,69
33,29
1. Dipterocarpaceae
11,76
7,32
7,84
8,46
9,80
17,19
1,96
7,01
11,76
24,20
3,92
2,75
7,84
8,73
1,96
4,15
1,96
4,94
3,92
9,09
B. Non Komersil
41,18
25,42
25,49
29,00
23,53
45,61
15,69
57,29
39,22
102,89
Total (A + B)
56,86
35,48
41,18
46,18
35,29
66,95
19,61
69,24
54,90
136,19
1. Dipterocarpaceae 2. Non Dipterocarpaceae
9
2007
3E
1. Dipterocarpaceae
10
2008
4F
2. Non Dipterocarpaceae
165
165
166
166 Lampiran 1(Lanjutan)
11
12
2008
2008
4G
4H
A. Komersil
9,80
7,08
17,65
21,04
3,92
6,57
5,88
18,45
9,80
25,02
1. Dipterocarpaceae
5,88
4,33
9,80
11,50
3,92
6,57
5,88
18,45
9,80
25,02
2. Non Dipterocarpaceae
3,92
2,75
7,84
9,54
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
39,22
24,68
37,25
39,73
15,69
28,94
11,76
50,59
27,45
79,54
Total (A + B)
49,02
31,76
54,90
60,77
19,61
35,51
17,65
69,04
37,25
104,55
A. Komersil
5,88
4,33
11,76
13,40
3,92
6,57
5,88
18,45
9,80
25,02
1. Dipterocarpaceae
5,88
4,33
9,80
11,50
3,92
6,57
5,88
18,45
9,80
25,02
-
-
1,96
1,90
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
29,41
19,24
49,02
56,38
15,69
30,52
11,76
61,92
27,45
92,44
Total (A + B)
35,29
23,57
60,78
69,79
19,61
37,09
17,65
80,37
37,25
117,46
A. Komersil
5,88
3,73
7,84
8,77
3,92
8,53
1,96
5,15
5,88
13,67
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,37
5,88
6,87
1,96
4,73
1,96
5,15
3,92
9,88
2. Non Dipterocarpaceae
3,92
2,35
1,96
1,90
1,96
3,79
-
-
1,96
3,79
B. Non Komersil
31,37
19,55
52,94
54,58
11,76
23,38
17,65
79,36
29,41
102,74
Total (A + B)
37,25
23,28
60,78
63,35
15,69
31,91
19,61
84,51
35,29
116,42
2. Non Dipterocarpaceae
13
2009
5E
14
15
5I
2009
5J
A. Komersil
5,88
3,73
11,76
13,15
3,92
8,53
3,92
11,91
7,84
20,43
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,37
5,88
6,87
1,96
4,73
1,96
5,15
3,92
9,88
2. Non Dipterocarpaceae
3,92
2,35
5,88
6,29
1,96
3,79
1,96
6,76
3,92
10,55
B. Non Komersil
41,18
25,24
50,98
56,76
19,61
36,93
19,61
85,19
39,22
122,12
Total (A + B)
47,06
28,97
62,75
69,91
23,53
45,45
23,53
97,10
47,06
142,55
A. Komersil
5,88
3,84
1,96
2,76
-
-
-
-
-
-
1. Dipterocarpaceae
1,96
1,28
-
-
-
-
-
-
-
-
2. Non Dipterocarpaceae
3,92
2,56
1,96
2,76
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
50,98
33,62
27,45
30,48
15,69
30,78
7,84
51,56
23,53
82,34
Total (A + B)
56,86
37,47
29,41
33,25
15,69
30,78
7,84
51,56
23,53
82,34
167
167
168
168 Lampiran 1 (Lanjutan) Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTII No.
1
2
3
Kelompok jenis Tahun
No. petak
2005
1E
2005
2005
1C
1D
30 - <40 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
40 - <50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
50 -<60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=60 cm N (Ph/ha)
V (m3/ha)
>=50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
A. Komersil
5,00
3,14
5,00
5,78
5,00
10,82
1,67
6,87
6,67
17,68
1. Dipterocarpaceae
1,67
1,18
1,67
1,72
1,67
4,04
-
-
1,67
4,04
2. Non Dipterocarpaceae
3,33
1,96
3,33
4,06
3,33
6,78
1,67
6,87
5,00
13,64
B. Non Komersil
21,67
13,22
58,33
71,01
26,67
51,95
15,00
114,66
41,67
166,61
Total (A + B)
26,67
16,36
63,33
76,79
31,67
62,77
16,67
121,52
48,33
184,29
A. Komersil
-
-
1,67
1,74
1,67
4,02
1,67
9,31
3,33
13,34
1. Dipterocarpaceae
-
-
1,67
1,74
-
-
1,67
9,31
1,67
9,31
2. Non Dipterocarpaceae
-
-
-
-
1,67
4,02
-
-
1,67
4,02
B. Non Komersil
25,00
17,12
48,33
55,47
21,67
40,81
31,67
168,86
53,33
209,67
Total (A + B)
25,00
17,12
50,00
57,21
23,33
44,84
33,33
178,17
56,67
223,01
1,67
0,94
6,67
8,17
-
-
-
-
-
-
-
-
3,33
4,76
-
-
-
-
-
-
1,67
0,94
3,33
3,41
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
13,33
7,64
23,33
28,21
13,33
24,77
26,67
161,04
40,00
185,81
Total (A + B)
15,00
8,58
30,00
36,38
13,33
24,77
26,67
161,04
40,00
185,81
A. Komersil 1. Dipterocarpaceae 2. Non Dipterocarpaceae
Lampiran 1(Lanjutan) 4
5
2006
2006
2A
2E
A. Komersil
3,33
52,38
23,33
25,56
5,00
10,42
3,33
12,54
8,33
22,96
1. Dipterocarpaceae
1,67
1,21
16,67
18,68
5,00
10,42
1,67
5,75
6,67
16,17
2. Non Dipterocarpaceae
1,67
51,17
6,67
6,87
-
-
1,67
6,80
1,67
6,80
B. Non Komersil
28,33
15,75
30,00
33,04
16,67
32,53
13,33
51,60
30,00
84,13
Total (A + B)
31,67
68,12
53,33
58,60
21,67
42,95
16,67
64,15
38,33
107,10
A. Komersil
15,00
8,54
21,67
23,27
5,00
10,04
3,33
9,73
8,33
19,78
1. Dipterocarpaceae
13,33
7,64
16,67
18,42
5,00
10,04
3,33
9,73
8,33
19,78
1,67
0,90
5,00
4,84
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
13,33
7,17
48,33
52,58
15,00
27,99
18,33
71,51
33,33
99,50
Total (A + B)
28,33
15,71
70,00
75,84
20,00
38,04
21,67
81,24
41,67
119,28
A. Komersil
5,00
2,67
10,00
10,63
8,33
16,19
1,67
6,40
10,00
22,59
1. Dipterocarpaceae
5,00
2,67
10,00
10,63
8,33
16,19
1,67
6,40
10,00
22,59
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
31,67
18,05
23,33
25,81
6,67
13,25
1,67
13,32
8,33
26,57
Total (A + B)
36,67
20,73
33,33
36,44
15,00
29,44
3,33
19,73
18,33
49,16
2. Non Dipterocarpaceae
6
2006
2G
2. Non Dipterocarpaceae
169
170 Lampiran 1 (Lanjutan) 7
2007
3B
A. Komersil
1,67
1,37
6,67
8,36
1,67
3,22
1,67
4,74
3,33
7,97
1. Dipterocarpaceae
1,67
1,37
3,33
4,07
-
-
1,67
4,74
1,67
4,74
-
-
3,33
4,30
1,67
3,22
-
-
1,67
3,22
B. Non Komersil
48,33
29,39
33,33
37,18
6,67
13,98
10,00
30,10
16,67
44,07
Total (A + B)
50,00
30,76
40,00
45,54
8,33
17,20
11,67
34,84
20,00
52,04
6,67
4,46
5,00
6,79
5,00
9,89
3,33
9,31
8,33
19,20
-
-
3,33
4,44
5,00
9,89
3,33
9,31
8,33
19,20
6,67
4,46
1,67
2,35
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
41,67
23,44
33,33
32,63
15,00
29,64
10,00
55,34
25,00
84,98
Total (A + B)
48,33
27,90
38,33
39,42
20,00
39,54
13,33
64,65
33,33
104,19
A. Komersil
10,00
5,49
8,33
9,34
3,33
7,06
5,00
14,84
8,33
21,90
-
-
6,67
7,57
1,67
3,53
-
-
1,67
3,53
2. Non Dipterocarpaceae
10,00
5,49
1,67
1,77
1,67
3,53
5,00
14,84
6,67
18,37
B. Non Komersil
43,33
26,99
31,67
32,82
11,67
21,00
10,00
30,85
21,67
51,86
Total (A + B)
53,33
32,48
40,00
42,16
15,00
28,06
15,00
45,69
30,00
73,75
A. Komersil
13,33
8,56
13,33
14,61
10,00
18,14
3,33
10,16
13,33
28,30
1. Dipterocarpaceae
10,00
6,22
6,67
7,19
8,33
14,61
1,67
5,96
10,00
20,57
3,33
2,34
6,67
7,42
1,67
3,53
1,67
4,20
3,33
7,73
B. Non Komersil
35,00
21,60
21,67
24,65
20,00
38,77
13,33
48,69
33,33
87,46
Total (A + B)
48,33
30,16
35,00
39,25
30,00
56,91
16,67
58,85
46,67
115,76
2. Non Dipterocarpaceae
8
2007
3D
A. Komersil 1. Dipterocarpaceae 2. Non Dipterocarpaceae
9
2007
3E
1. Dipterocarpaceae
10
2008
4F
2. Non Dipterocarpaceae
11
12
2008
2008
4G
4H
A. Komersil
8,33
6,02
15,00
17,88
3,33
5,58
5,00
15,68
8,33
21,27
1. Dipterocarpaceae
5,00
3,68
8,33
9,77
3,33
5,58
5,00
15,68
8,33
21,27
2. Non Dipterocarpaceae
3,33
2,34
6,67
8,11
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
33,33
20,98
31,67
33,77
13,33
24,60
10,00
43,00
23,33
67,60
Total (A + B)
41,67
26,99
46,67
51,66
16,67
30,19
15,00
58,68
31,67
88,87
A. Komersil
5,00
3,68
10,00
11,39
3,33
5,58
5,00
15,68
8,33
21,27
1. Dipterocarpaceae
5,00
3,68
8,33
9,77
3,33
5,58
5,00
15,68
8,33
21,27
-
-
1,67
1,62
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
25,00
16,35
41,67
47,93
13,33
25,94
10,00
52,63
23,33
78,58
Total (A + B)
30,00
20,03
51,67
59,32
16,67
31,53
15,00
68,31
31,67
99,84
A. Komersil
5,00
3,17
6,67
7,45
3,33
7,25
1,67
4,37
5,00
11,62
1. Dipterocarpaceae
1,67
1,17
5,00
5,84
1,67
4,02
1,67
4,37
3,33
8,40
2. Non Dipterocarpaceae
3,33
2,00
1,67
1,62
1,67
3,22
-
-
1,67
3,22
B. Non Komersil
26,67
16,62
45,00
46,40
10,00
19,88
15,00
67,46
25,00
87,33
Total (A + B)
31,67
19,79
51,67
53,85
13,33
27,12
16,67
71,83
30,00
98,95
2. Non Dipterocarpaceae
13
2009
5E
171
172 Lampiran 1 (Lanjutan)
14
15
2009
2009
5I
5J
A. Komersil
5,00
3,17
10,00
11,18
3,33
7,25
3,33
10,12
6,67
17,37
1. Dipterocarpaceae 2. Non Dipterocarpaceae
1,67
1,17
5,00
5,84
1,67
4,02
1,67
4,37
3,33
8,40
3,33
2,00
5,00
5,34
1,67
3,22
1,67
5,75
3,33
8,97
B. Non Komersil
35,00
21,46
43,33
48,24
16,67
31,39
16,67
72,41
33,33
103,80
Total (A + B)
40,00
24,63
53,33
59,42
20,00
38,64
20,00
82,53
40,00
121,17
A. Komersil
5,00
3,26
1,67
2,35
-
-
-
-
-
-
1. Dipterocarpaceae
1,67
1,09
-
-
-
-
-
-
-
-
2. Non Dipterocarpaceae
3,33
2,18
1,67
2,35
-
-
-
-
-
-
B. Non Komersil
43,33
28,58
23,33
25,91
13,33
26,17
6,67
43,82
20,00
69,99
Total (A + B)
48,33
31,85
25,00
28,26
13,33
26,17
6,67
43,82
20,00
69,99
Lampiran 1 (Lanjutan) Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTI
Kelompok jenis
30 - <40 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
40 - <50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
50 -<60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
A. Komersil
7,06
8,38
11,37
12,90
4,58
9,06
3,14
10,18
7,71
19,23
1. Dipterocarpaceae
3,79
2,44
7,58
8,66
3,53
6,90
2,22
7,16
5,75
14,06
2. Non Dipterocarpaceae
3,27
5,94
3,79
4,24
1,05
2,16
0,92
3,02
1,96
5,17
B. Non Komersil
36,47
22,30
42,09
46,72
17,25
33,15
16,34
80,42
33,59
113,57
Total (A + B)
43,53
30,68
53,46
59,62
21,83
42,21
19,48
90,59
41,31
132,80
173
174
Lampiran 1 (Lanjutan) Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTII
Kelompok jenis
30 - <40 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
40 - <50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
50 -<60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=60 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
>=50 cm N V (Ph/ha) (m3/ha)
A. Komersil
6,00
7,12
9,67
10,97
3,89
7,70
2,67
8,65
6,56
16,35
1. Dipterocarpaceae
3,22
2,07
6,44
7,36
3,00
5,86
1,89
6,09
4,89
11,95
2. Non Dipterocarpaceae
2,78
5,05
3,22
3,60
0,89
1,84
0,78
2,56
1,67
4,40
B. Non Komersil
31,00
18,96
35,78
39,71
14,67
28,18
13,89
68,35
28,56
96,53
Total (A + B)
37,00
26,08
45,44
50,68
18,56
35,88
16,56
77,00
35,11
112,88
175
175
Lampiran 2. Rekapitulasi penghitungan riap diameter Petak Ukur Permanen (PUP) PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 tahun pengukuran 2005 dan 2006 Nomor Petak Ukur
PUP 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 18 19 20 21 22 23 24 25
0,62 0,84 0,87 0,89 0,87 0,78 0,83 0,83 0,84 0,89 0,85 0,87 0,87 0,86 0,86 0,85 0,91 0,79 0,66 1,01 0,72 0,71 0,70 0,79 0,66 0,81 0,72 0,71 0,70 0,73 0,81
Rata-rata
0,81
Rata-rata PUP
Rataan Riap Diameter (cm) PUP 2 PUP 3
0,87 0,88 0,89 0,80 0,86 0,83
0,82 0,86 0,83 0,88 0,80 0,88 0,68 0,79 0,69 0,83 0,85 0,85 0,86 0,79 0,69 0,83 0,85 0,85 0,86 0,80
0,83
Keterangan PUP 4
0,80 0,79 0,75 0,64 0,77 0,93 0,67 0,71 0,78 0,74 0,83 0,90 0,94 0,85 0,88 0,93 0,83 0,85 0,84 0,87 1,15 1,05 0,91 0,85 0,84 0,87 1,15 1,05 0,91 0,80 0,86
0,93 0,94 0,98 0,86 0,85 0,92 0,91 0,79 0,71 0,74 0,70 0,73 0,76 0,73 0,71 0,58 0,70 0,71 0,66 0,62 0,88 0,96 0,93 0,71 0,66 0,62 0,88 0,96 0,93 0,86 0,85
0,84
0,80
0,82
176
Lampiran 3. Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT Sukajaya Makmur
Regression Analysis: log T versus log D The regression equation is log T = 0,597 + 0,530 log D Predictor Constant log D S = 0,09359
Coef 0,59717 0,52955
SE Coef T P 0,02507 23,82 0,000 0,01761 30,07 0,000
R-Sq = 76,8%
R-Sq(adj) = 76,7%
Analysis of Variance
Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 7,9201 Residual Error 560 4,9054 Total 561 12,8255
MS 7,9201 0,0088
F 904,16
P 0,000
177
Lampiran 4. Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
NAMA DAERAH Balik angin Bangkirai Banitan Bayur Bekarut Bekasai Bekawi Belang Tikus Belantik Belian Belubu Benuang Berangan Berobakan Bersirih Bintangor Binyau Birung Boyu Brangkasai Bulin Cempaka Cempedak Cempening Dadak Durian burung Emang Embak/Kapul Engkabang Engkalinas Gaharu/Garu Gambir Garung Geronam/Betana Gerunggang Ipak Jabon Jangkang Jelatang Jelutung Juhing Kalam Kampili Kandis Kapuak Kapul Kapur Kapur Kayu Arang Kayu Batu Kayu bunga Kayu Langit Kayu Malam Kedondong Kekabang Kelaban Keladan
NAMA BOTANI Croton argyratus Shorea laevifolia Ridley Monocarfia Kalimantanensis Keβler Pterosperum javanicum Jungh. Barringtonia asiatica. Pometia sp Hopea sp Eugenia sp Cococeras sumatrana Eusideroxylon zwageri Pterocymbium tubilatum Octomeles sumatrana Miq Ochanostachys sp Shorea sp. Vatica oblongifolia Calophyllum inophyllum L Dracontomelon dao Alangium javanicum Saraca sp Pometia Pinnata Eusideroxylon zwageri Elmerillia sp Artocarpus champeden Merr Quercus sp Artocarpus sp Durio dulcis Hopea sp Baccaurea sp Shorea pinanga Vatica sp Aquilaria malaccensis Trigonopleura malayana Hook f Macaranga hypoleuca Lamk Ochanostachys amentacea Cratoxylon sumatranum Blume Gonystylus brunescens Anthocephalus cadamba Xylopia sp. Laportea stimulans Dyera costulata Hook f Dillenia sp. Duabanga mollucana Quercus lineata Cratoxylon formosum Artocarpus tamaran Baccaurea dulcis Mig Dryobalanops beccarii Dyer Diospyros campanulata Merr Irvingia malayana Parinari oblongifolia Santiria tomentosa Diospyros maerophylla Daeryodes costata Sandoriacum koetjape Vitex pubescens Vahl Dryobalanops aromatica
FAMILI Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Annonaceae Sterculiaceae Lecythidaceae Sapindaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Euphorbiceae Lauraceae Sterculiaceae Datiscaceae Olacaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Guttiferae Anacardiaceae Alangiaceae Caesalpiniaceae Sapindaceae Lauraceae Magnoliaceae Moraceae Fagaceae Moraceae Bombacaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Thymelacaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Olacaceae Guttiferae Thymelaeaceae Rubiaceae Annonaceae Apocynaceae Dilleniaceae Sonneratiaceae Fagaceae Guttiferae Moraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Ebenaceae Simaroubaceae Crysobalanaceae Bursecaceae Elenaceae Bursecaceae Meliaceae Verbenaceae Dipterocarpaceae
178
57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117
Kelampai Kelengkeng Kelepu Kemayau Kembayau Kempas Keranji Keruing Ketapang Ketikal Kontoi Kubing Kulim Kumpang Kumpang arang Kumpang darah Laban Lagan Lahong Langsat Lanjau Linang Mahabai Manggis hutan Manyam Medang Majak Melapi Menjalin Mentawa Meranti Batu Meranti kuning Meranti merah Meranti putih Merawan Merkubung Mersawa Nyatoh Pandau Pangkilan Semut Paru-Paru Pekawai Pengerawan Petai Pihing Pisang-pisang Ponga Ponga Batu Pongsi Pudu Putat Rambutan Rengas Rerige Resak Riga Rupis Salam Sampak Sampe Segarang
Elaterospermum tapos Blume Artocarpus sp Nauclea sp. Dacryodes rostrata Dacryodes rostrata Koompassia malaccensi Maing Diallium indum L Dipterocarpus gericulatus Vsi Terminalia catappa L Ochanostachys amentaceal Shorea sp. Tristania sp Scorodocarpus borneensis Myristica iners Blume Diospyros borneensis Myristica sp. Vitex pubesceus Vahl Kibessia sp. Durio acutifolius Lansium domesticum Pontaspadon motleyi Nephelium sp. Polyalthia hypoleuca Garcinia mangostana L Glochidion sp. Litsea firma Hook f Shorea palembanica Hopea sp. Xanthophyllum excelsum Artocarpus elasticus Shorea uliginosa Shorea johorensis Shorea leprosula Shorea hopeifolia Dyer Hopea mengerawan Macaranga gigantea Anisoptera costata Korth Palaquium beccarianum Van Royen Randia sp Baccaurea sp Sindora wallichii Durio kutejensis Shorea leprosula Parkia speciosa Artocarpus sp. Mezzetia parvifolia Shorea ovata Shorea quadrinervis Elaeocarpus stipulatis Artocarpus comando Planchonia valida Nephelium sp. Gluta renghas Dillenia eximia Vatica pauciflora Hook f Dillenia sp. Ouratea sp Euginea sp. Aglaia sp Costanopsis sp Sapium discolor
Euphorbiaceae Moraceae Rubiaceae Burseraceae Bunseraceae Fabaceae Caesalpinaceae Dipterocarpaceae Combrettaceae Olacaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Olacaceae Myristicaceae Ebenaceae Myristicaceae Verbenaceae Melastomataceae Bombacaceae Meliaceae Anacardiaceae Sapindaceae Annonaceae Guttiferae Euphorbiaceae Lauraceae Dipterocarpacea Dipterocarpaceae Polygalaceae Moraceae Dipterocarpacea Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Rubiaceae Euphorbiacea Caesalpiniaceae Bombacacea Dipterocarpacea Leguminoceae Moraceae Annonacea Dipterocarpacea Dipterocarpacea Tiliacea Moraceae Lecythidaceae Sapindaceae Anacardiaceae Dilteniacea Dipterocarpaceae Dilleniaceae Oehnacea Myrtaceae Meliaceae Fagaceae Euphorbiaceae
179
118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134
Segulang Sembulan Sengkuang Simpotir Simpur Sinduk Sindur Sumpit Tampar Tengkawang Terentang Timau Torap Ubah/Ubai Ubar Udak Umbing
Evodia sp. Teysmanniodendron sp Dracontomelon mangiferum Kingiodendron sp. Dillenia eximia Scorodocarpus Sindora wallichii Microsas henrici Sindora leiocarpa Shorea stenoptera Campnosperma auriculata Cratoxylon arborescens Arthocarpus elasticus Eugenia sp. Eugenia sp Sterculia sp. Xylopia sp
Rutaceae Verbenaceae Anacardiaceae Caesalpiniaceae Dilleniaceae Olacaceae Caesalpiniaceae Tiliaceae Caesalpiniaceae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Guttiferae Moracea Myrtaceae Myrtacea Sterculiaceae Annonaceae
180
181
Lampiran 6. Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifat-sifat tanah
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: Log (T) versus 1/U; pH; ... * Liat % is highly correlated with other X variables * Liat % has been removed from the equation. The regression equation is Log (T) = 0,20 - 1,09 1/U - 0,169 pH + 0,0669 C-org + 0,367 N + 0,0045 P - ter + 0,0858 Ca + 0,188 Mg - 0,377 K - 0,00502 Pasir % + 0,00164 Debu % Predictor Constant 1/U pH C-org N P - ter Ca Mg K Pasir % Debu %
Coef 0,201 -1,0871 -0,1690 0,06686 0,3672 0,00446 0,08584 0,1882 -0,3765 -0,005017 0,001642
S = 0,144020
SE Coef 1,736 0,2555 0,3404 0,06989 0,9466 0,01648 0,06955 0,1835 0,7712 0,008903 0,008815
R-Sq = 94,0%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 10 1,29277 Residual Error 4 0,08297 Total 14 1,37573
T 0,12 -4,25 -0,50 0,96 0,39 0,27 1,23 1,03 -0,49 -0,56 0,19
P 0,914 0,013 0,646 0,393 0,718 0,800 0,285 0,363 0,651 0,603 0,861
R-Sq(adj) = 78,9%
MS 0,12928 0,02074
F 6,23
P 0,046
Stepwise Regression: Log (T) versus 1/U; pH; ... Alpha-to-Enter: 0,05
Alpha-to-Remove: 0,05
Response is Log (T) on 11 predictors, with N = 15 Step Constant 1/U T-Value P-Value pH T-Value P-Value
1 0,8245 -0,94 -7,60 0,000
2 2,1234 -1,05 -9,83 0,000 -0,263 -2,83 0,015
S R-Sq R-Sq(adj)
0,139 81,64 80,23
0,112 89,00 87,16
Log T = 2,1234 - 1,05(1/U) – 0,263 pH
— 04/08/2011 13:32:34 —
182
Lampiran 7. Hasil uji beda nyata Tukey (uji T) pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di PT. Sukajaya Makmur —————
3/9/2011 3:22:00 PM
————————————————————
Welcome to Minitab, press F1 for help. ————— 3/9/2011 3:53:59 PM ———————————————————— Two-Sample T-Test and CI: H20 K, H20 T Two-sample T for H20 K vs H20 T
H20 K H20 T
N 30 30
Mean 4.933 4.630
StDev 0.350 0.381
SE Mean 0.064 0.070
Difference = mu (H20 K) - mu (H20 T) Estimate for difference: 0.3033 95% CI for difference: (0.1143, 0.4923) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.21
P-Value = 0.002
DF = 57
P-Value = 0.115
DF = 51
P-Value = 0.308
DF = 55
P-Value = 0.017
DF = 41
Two-Sample T-Test and CI: C Org K, C Org T Two-sample T for C Org K vs C Org T
C Org K C Org T
N 29 30
Mean 2.96 2.20
StDev 2.07 1.55
SE Mean 0.38 0.28
Difference = mu (C Org K) - mu (C Org T) Estimate for difference: 0.764 95% CI for difference: (-0.193, 1.721) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.60 Two-Sample T-Test and CI: keyldahl K, keyldahl T Two-sample T for keyldahl K vs keyldahl T
keyldahl K keyldahl T
N 30 30
Mean 0.229 0.199
StDev 0.128 0.101
SE Mean 0.023 0.018
Difference = mu (keyldahl K) - mu (keyldahl T) Estimate for difference: 0.0307 95% CI for difference: (-0.0291, 0.0904) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.03 Two-Sample T-Test and CI: bray I K, bray I T Two-sample T for bray I K vs bray I T
bray I K bray I T
N 30 30
Mean 12.8 6.97
StDev 11.6 5.64
SE Mean 2.1 1.0
Difference = mu (bray I K) - mu (bray I T) Estimate for difference: 5.87 95% CI for difference: (1.10, 10.63) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.49
183
Lampiran 7 (Lanjutan) Two-Sample T-Test and CI: Ca K, Ca T Two-sample T for Ca K vs Ca T N 30 30
Ca K Ca T
Mean 5.79 5.35
StDev 1.63 1.68
SE Mean 0.30 0.31
Difference = mu (Ca K) - mu (Ca T) Estimate for difference: 0.441 95% CI for difference: (-0.414, 1.297) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.03
P-Value = 0.306
DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: Mg K, Mg T Two-sample T for Mg K vs Mg T N 30 30
Mg K Mg T
Mean 4.131 4.333
StDev 0.727 0.790
SE Mean 0.13 0.14
Difference = mu (Mg K) - mu (Mg T) Estimate for difference: -0.203 95% CI for difference: (-0.595, 0.190) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.03
P-Value = 0.306
DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: K K, K T Two-sample T for K K vs K T
K K K T
N 30 30
Mean 0.205 0.1623
StDev 0.129 0.0889
SE Mean 0.024 0.016
Difference = mu (K K) - mu (K T) Estimate for difference: 0.0430 95% CI for difference: (-0.0143, 0.1003) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.51
P-Value = 0.138
DF = 51
P-Value = 0.078
DF = 57
P-Value = 0.001
DF = 55
Two-Sample T-Test and CI: KTK K, KTK T Two-sample T for KTK K vs KTK T
KTK K KTK T
N 30 30
Mean 12.86 10.85
StDev 4.53 4.12
SE Mean 0.83 0.75
Difference = mu (KTK K) - mu (KTK T) Estimate for difference: 2.01 95% CI for difference: (-0.23, 4.25) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.80 Two-Sample T-Test and CI: kejenuhan K, kejenuhan T Two-sample T for kejenuhan K vs kejenuhan T
kejenuhan K kejenuhan T
N 30 30
Mean 42.8 32.7
StDev 12.2 10.1
SE Mean 2.2 1.8
Difference = mu (kejenuhan K) - mu (kejenuhan T) Estimate for difference: 10.05 95% CI for difference: (4.25, 15.84) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.47
184
Lampiran 7 (Lanjutan) Two-Sample T-Test and CI: Al+++ K, Al+++ T Two-sample T for Al+++ K vs Al+++ T N 30 30
Al+++ K Al+++ T
Mean 2.085 1.831
StDev 0.368 0.490
SE Mean 0.067 0.089
Difference = mu (Al+++ K) - mu (Al+++ T) Estimate for difference: 0.255 95% CI for difference: (0.030, 0.479) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.28
P-Value = 0.027
DF = 53
Two-Sample T-Test and CI: Zn K, Zn T Two-sample T for Zn K vs Zn T
Zn K Zn T
N 30 30
Mean 4.967 5.447
StDev 0.570 0.665
SE Mean 0.10 0.12
Difference = mu (Zn K) - mu (Zn T) Estimate for difference: -0.480 95% CI for difference: (-0.800, -0.160) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.00
P-Value = 0.004
DF = 56
Two-Sample T-Test and CI: Fe K, Fe T Two-sample T for Fe K vs Fe T
Fe K Fe T
N 30 30
Mean 43.8 33.91
StDev 12.1 9.91
SE Mean 2.2 1.8
Difference = mu (Fe K) - mu (Fe T) Estimate for difference: 9.92 95% CI for difference: (4.20, 15.63) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.48
P-Value = 0.001
DF = 55
P-Value = 0.026
DF = 53
Two-Sample T-Test and CI: pasir K, pasir T Two-sample T for pasir K vs pasir T
pasir K pasir T
N 30 30
Mean 32.51 26.3
StDev 8.97 12.0
SE Mean 1.6 2.2
Difference = mu (pasir K) - mu (pasir T) Estimate for difference: 6.25 95% CI for difference: (0.77, 11.73) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.29 Two-Sample T-Test and CI: debu K, debu T Two-sample T for debu K vs debu T
debu K debu T
N 30 30
Mean 36.77 41.22
StDev 5.19 6.14
SE Mean 0.95 1.1
Difference = mu (debu K) - mu (debu T) Estimate for difference: -4.45 95% CI for difference: (-7.39, -1.51) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -3.03 Two-Sample T-Test and CI: bulk K, bulk T
P-Value = 0.004
DF = 56
185
Lampiran 7 (Lanjutan ) Two-sample T for bulk K vs bulk T
bulk K bulk T
N 15 30
Mean 0.849 0.927
StDev 0.115 0.111
SE Mean 0.030 0.020
Difference = mu (bulk K) - mu (bulk T) Estimate for difference: -0.0787 95% CI for difference: (-0.1523, -0.0050) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.19
P-Value = 0.037
DF = 27
Two-Sample T-Test and CI: porositas K, porositas T Two-sample T for porositas K vs porositas T
porositas K porositas T
N 15 30
Mean 67.99 65.06
StDev 4.36 4.18
SE Mean 1.1 0.76
Difference = mu (porositas K) - mu (porositas T) Estimate for difference: 2.93 95% CI for difference: (0.14, 5.72) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.15
P-Value = 0.040
DF = 27
P-Value = 0.017
DF = 37
P-Value = 0.017
DF = 31
Difference = mu (permeabilitas K) - mu (permeabilitas T) Estimate for difference: 2.40 95% CI for difference: (0.03, 4.76) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.12 P-Value = 0.047
DF = 19
Two-Sample T-Test and CI: PF2 K, PF2 T Two-sample T for PF2 K vs PF2 T
PF2 K PF2 T
N 15 30
Mean 44.84 41.62
StDev 3.56 4.90
SE Mean 0.92 0.89
Difference = mu (PF2 K) - mu (PF2 T) Estimate for difference: 3.22 95% CI for difference: (0.62, 5.82) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.51
Two-Sample T-Test and CI: lambat K, lambat T Two-sample T for lambat K vs lambat T
lambat K lambat T
N 15 30
Mean 9.11 6.65
StDev 2.94 3.35
SE Mean 0.76 0.61
Difference = mu (lambat K) - mu (lambat T) Estimate for difference: 2.460 95% CI for difference: (0.470, 4.450) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.52
Two-Sample T-Test and CI: permeabilitas K, permeabilitas T Two-sample T for permeabilitas K vs permeabilitas T
permeabilitas K permeabilitas T
N 15 30
Mean 14.17 11.78
StDev 4.02 2.47
SE Mean 1.0 0.45
186
Lampiran 7 (Lanjutan) Two-Sample T-Test and CI: mikro K, mikro T Two-sample T for mikro K vs mikro T
mikro K mikro T
N 30 30
Mean 39.8 31.1
StDev 17.0 13.4
SE Mean 3.1 2.4
Difference = mu (mikro K) - mu (mikro T) Estimate for difference: 8.67 95% CI for difference: (0.74, 16.60) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.19
P-Value = 0.033
DF = 54
P-Value = 0.098
DF = 53
Two-Sample T-Test and CI: fungi K, fungi T Two-sample T for fungi K vs fungi T
fungi K fungi T
N 30 30
Mean 14.4 10.37
StDev 10.6 7.92
SE Mean 1.9 1.4
Difference = mu (fungi K) - mu (fungi T) Estimate for difference: 4.07 95% CI for difference: (-0.77, 8.90) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.69
187
Lampiran 8. Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII
Hubungan regresi antara Diameter setinggi dada (cm) dengan Umur (tahun) adalah log D = - 0,44789 + 1,4803 log A Regression Analysis: log D versus log A
Predictor
Coef
Constant
-0,44789
log A
1,4803
S = 0,2189
SE Coef
T
0,07830 0,1619
R-Sq = 74,9%
P -5,72 0,000
9,14 0,000
R-Sq(adj) = 74,0%
Analysis of Variance Source Regression
DF 1
4,0061
SS 4,0061
Residual Error
28
1,3419
Total
29
5,3480
MS
F
83,59 0,000 0,0479
P
188
Lampiran 9. Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII
Hubungan regresi antara Tinggi total (m) dengan Diameter setinggi dada (cm) adalah
log T = 0,27263 + 0,7093 log D Regression Analysis: log T versus log D
Predictor
Coef
Constant
0,27263
0,01186
22,99 0,000
log D
0,70930
0,02610
27,17 0,000
S = 0,06037
SE Coef
R-Sq = 96,3%
T
P
R-Sq(adj) = 96,2%
Analysis of Variance Source Regression
DF 1
2,6906
SS
MS
F
P
2,6906 738,36 0,000
Residual Error
28
0,1020
Total
29
2,7927
0,0036
Lampiran 10. Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1 sampai 5 tahun SIFAT TANAH
A. KIMIA Ph KTK Kej Basa C-org (%) N (%) P- ters (ppm) K (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100g) Al dd (meq) Fe Zn B. FISIKA Permeabiltas (cm/jam) Bulk Density (g/cc) Porositas Air Ters C. BIOLOGI Mikroorganisme Fungi
Keterangan :
Blok TPTII Tahun 2005 JA
JT
2006 JA
P %
JT
P %
2007 JA
JT
2008 JA
P %
JT
2009 JA
P %
JT
P %
5,0 14,05 38,43 5,297 0,340 10,83 0,343 5,620 3,817 1,93 39,50 4,867
4,7* 15,21 29,27* 2,363** 0,223** 4,13** 0,167** 6,59 4,610* 2,017 30,47* 5,800*
6 8 24 55 34 62 51 17 21 5 23 19
5,1 17,14 46,50 4,973 0,354 17,13 0,280 4,140 3,660 1,837 47,50 5,867
4,9 12,86* 37,83 2,823* 0,230** 11,83* 0,247 4,930 4,577* 1,837 38,93* 5,330
4 25 19 43 35 31 12 19 25 0 18 9
4,5 16,53 40,60 5,580 0,377 28,50 0,357 5,632 4,423 2,100 41,60 4,767
4,7 14,70 36,90 4,530 0,307 4,03** 0,320 4,393 4,800 2,117 38,00 4,633
-4 11 9 19 19 86 10 22 9 1 9 3
4,9 19,00 43,37 4,770 0,353 32,70 0,247 4,750 4,927 2,260 44,37 4,867
5,1 12,75* 45,57 4,340 0,320 14,93** 0,183* 3,010* 4,807 2,507 46,57 5,167
4 33 5 9 9 54 26 37 2 11 5 6
4,7 14,31 36,50 2,220 0,297 19,50 0,250 7,580 3,607 1,703 37,70 5,333
4,4* 15,78 25,67* 3,190* 0,293 16,73 0,173* 7,397 3,230 1,440 26,90* 5,933
6 10 30 44 1 14 31 2 10 15 29 11
18,49
15,63
15
15,11
11,34*
25
13,38
11,07
17
12,62
10,14*
20
11,26
10,70
5
0.77 70,85 18,47
0,90* 66,29 13,38
16 6 28*
0,80 69,85 14,37
1,03* 61,40* 10,54
28 12 27*
0,88 66,73 13,41
0,93 65,00 12,65
5 3 6
0,90 66,14 13,05
0,93 65,04 13,61
3 2 4
0,89 66,38 12,53
0,86 67,57 13,47
3 2 8
25,30 5,83
24,83 2,67**
2 54
55,00 20,33
27,00** 22,33
51 10
40,83 23,67
21,67** 14,17*
47 40
31,33 13,00
22,33* 8,50*
29 35
52,20 2,33
58,20 13,80**
12 83
JA = Jalur Antara JT = Jalur Tanam P = Perubahan * = Berbeda nyata pada taraf 95% ** = Berbeda nyata pada taraf 99%
189