Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HABITAT EBONI (Diospyros spp.) PADA HUTAN DATARAN RENDAH DI CAGAR ALAM TANGKOKO Julianus Kinho 1), Ady Suryawan 2) dan Titiek Setyawati 3) 1,2)
Balai Penelitian Kehutanan Manado JL. Raya Adipura, Kel.Kima Atas, Kec.Mapanget, Manado; Telp. 0431-3666683 1) 2)
[email protected],
[email protected] 3) Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl.Gunung Batu No.5 Po Box 165; Telp. 0251 633234; Fax 0251 638111 Bogor
[email protected]
RINGKASAN Eboni memiliki kualitas kayu yang sangat tinggi, selain sifat fisika yang kuat, keindahan serat merupakan alasan utama dari pemanfaatan kayu eboni. Eksploitasi kayu eboni sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan setelah tahun 1955 mengalami penurunan jumlah tebangan, pada tahun 1969 sampai 1982 berhasil dicatat 3 sebesar 114.341,678 m sehingga menyebabkan populasi eboni semakin terbatas dan terancam punah. Pertumbuhan eboni yang lambat dan permudaan yang sulit tidak mampu mengimbangi laju eksploitasi di alamnya, sehingga perlu adanya upaya untuk menghindari kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi habitat eboni di hutan dataran rendah Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak pengelola kawasan CA.Tangkoko dalam rangka penyelamatan jenis eboni di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan di sekitar Sungai Kali Bersih dengan plot pengamatan sebanyak 5 jalur berukuran 20 x 300 meter. Analisa dilakukan dengan menghitung nilai INP dan Indeks Shannon untuk mengetahui jenis-jenis dominan dan kestabilan komunitas terhadap lingkungannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 86 jenis dari 34 suku di hutan dataran rendah. Kenanga (Cananga odorata) merupakan jenis paling dominan, terbukti pada kelima jalur didominasi jenis ini dan pada jalur kedua INPnya mencapai 106,70%. Kerapatan pohon diameter >10 cm mencapai 244,7/ha dengan LBDS 2 29,539 m /ha dan pada tingkat permudaan kerapatan mencapai 533/ha. Hubungan kelas diameter dan jumlah individu membentuk kurva huruf J terbalik, menandakan bahwa komunitas ekosistem masih akan berkembang. Delapan jenis eboni yang berhasil ditemukan yaitu D. cauliflora Blume., D. ebenum Koen., D. hebecarpa Cunn. Ex Benth., D. khortalsiana Hiern. D. malabarica (Desr.) Kostel., D. maritima Blume., D. minahassae Bakh., dan D. pilosanthera Blanco., dengan populasi dan permudaan yang sangat terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh sifat
167
genetik eboni dan adanya kompetisi antar jenis yang kuat, sehingga perlu adanya upaya khusus untuk menghindari kepunahan. Secara keseluruhan, CA Tangkoko dilihat dari fungsi konservasi dan ekologi masih baik karena mampu memberikan perlindungan bagi satwa, mata air, dan beberapa aspek pemanfaatan lainnya seperti ekowisata, pendidikan dan penelitian. Kata Kunci : Struktur, Komposisi, Eboni, Cagar Alam, Tangkoko
I. PENDAHULUAN Kayu eboni memiliki nilai ekonomi tinggi, selain keindahan serat dan warna kayunya, jenis ini memiliki kekerasan yang tinggi, sehingga dimasukkan kedalam kategori jenis eksotik. Eboni merupakan anggota suku Ebenacea, Marga Diospyros termasuk Lissocarpa dan Maba, memiliki antara 400 hingga 500 jenis yang tersebar di daerah pantropis (Sunaryo, 2003). Bukil dalam Sunaryo (2003) mengatakan bahwa dibeberapa negara, Diospyros merupakan tumbuhan penghasil buah yang banyak disukai seperti buah kesemek (D. kaki) di Asia Timur, buah datel (D. lotus) di daerah Asia Barat, ataupun buah persimmon (D. virginiana) di daerah Amerika Utara, namun nilai ekonomi dari jenis-jenis tersebut terutama adalah pada kualitas kayunya. Memang tidak semua jenis memiliki kayu yang baik, namun setidakya di beberapa negara dikenal jenis penghasil kayu berkualitas tinggi seperti D. ebenum di Srilangka, D. reticulate di Maruritius dan D. celebica di Sulawesi. Karena keunggulan tersebut maka kayu eboni banyak dimanfaatkan sebagai bahan mewah untuk bangunan perumahan, mebeler, bahan-bahan kerajinan dan lain sebagainya. Keindahan kayu eboni terutama ditentukan oleh tekstur, komposisi dan struktur serat-serat yang menyusunya yang terdiri dari warna gelap dan terang. Proses ini oleh Baker et. all (1992) dijelaskan bahwa kualitas kayu terbentuk dari hasil genotip dan fenotip. Perkembangan akar, batang, cabang, daun, dan pertumbuhan pucuk puncak pohon merupakan fungsi genotipe, sedangkan lingkungan pertumbuhan bersifat periodisitas yang menyebabkan warna gelap saat mengalami berhenti bertumbuh dan terang saat mengalami pertumbuhan. Keadaan ini terlihat kontras pada negara yang memiliki dua musim.
168 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Pemungutan kayu eboni khususnya jenis D. celebica telah dilakukan sejak abad ke-18 dan mengalami penurunan ekspor sejak tahun 1955. Menurut Sanusi (2002) volume tebangan kayu eboni yang berhasil tercatat selama kurun waktu 1969 sampai 1982 sebesar 114.341,678 m3 sehingga menyebabkan populasi eboni semakin terbatas dan terancam punah. Untuk melindunginya, IUCN menetapkan stastusnya dengan kategori “rentan” (vulnerable) dan CITES memasukannya ke dalam kelompok Apendiks 2. Pemerintah menetapkan eboni menjadi jenis dilindungi dengan keluarnya PP No. 7 tahun 1999. Penyebaran alami eboni di Indonesia meliputi seluruh pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, sebagain Nusa Tenggara dan bagian barat Irian Jaya. Menurut Alrasyid (2002) eboni yang memilik penyebaran paling luas adalah D. ferrea yaitu seluruh Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, dan paling sempit D. celebica hanya di Sulawesi. Pertumbuhan eboni di alam dilaporkan berasosiasi dengan jenis pohon lain seperti Canarium asperum, Pometia pinnata, Dracontomelon mangiferum, Vitex quinata, Palaquium obtusifolium, Alstonia sp., Emerrillia ovalis, Octomeles sp., Homalium sp., Ficus sp., dan Intsia bijuga. Persebaran eboni dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran alami Diospyros spp., di Indonesia No
Jenis
1
D. celebica
2
D. ebenum
3
D. ferrea
4
D. lolin
Sebaran D. ebenum secara almi di jumpai di Sulawesi (Minahasa, Poso, Buton), Maluku (Halmahera, Tanimbar, Aru) dan Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores). Sulawesi (Minahasa, Poso, Buton), Maluku (Halmahera, Tanimbar, Aru) dan Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores) seluruh Jawa, Sulawesi (Poso, Gorontalo, Buton), Maluku (Wetar, Aru, Tanimbar, Sula), Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores, Timor), Irian Jaya (Fakfak, Mimika, Innawatan). Maluku terutama di Morotai, Bacan, Halmahera, Aru dan Tanimbar.
169
No
Jenis
5
D. macrophylla
6
D. pilosanthera
7
D. rumphii
Sebaran Jawa, Madura, Sumatra (Langkat, Simalungun, Kroei, Kotabumi), Kalimantan (Sambas, Purukcau, Muara Tewe, Martapura, Pleihari, P. Laut, Balikpapan, Kutai) dan Sulawesi (Poso, Donggala, Palopo, Malili, Mamuju). Kalimantan (Kutai, Bulungan, Berau, Tarakan, Tidung), Sulawesi (Poso, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa, Banggai, Muna), Maluku (Morotai, Buru, Tanibar, Halmahera) dan Irian Jaya. Maluku (Morotai, Halmahera) dan Sulawesi (Sangihe dan Talaud).
Sumber : Alrasyid (2002)
Kinho (2010) melaporkan bahwa di CA. Tangkoko terdapat 8 jenis eboni yaitu D. cauliflora Blum, D. ebenum Koen, D.hebecarpa Cunn. Ex Benth, D. khortalsiana Hiern, D. malabarica (Desr.) Kostel, D.maritima Blume, D. minahassae Bakh, dan D. pilosanthera Blanco. Populasi eboni yang ditemukan sangat minim, dengan permudaan yang sangat terbatas, dijelaskan bahwa hal ini akan sangat mempengaruhi regenerasi eboni yang dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan jenis, khususnya pada hutan dataran rendah. Hutan dataran rendah di CA. Tangkoko seringkali mengalami tekanan yang cukup tinggi karena akses masyarakat ke dalam hutan sangat mudah, sehingga perlu diketahui informasi tentang kondisi terkini habitat eboni di CA. Tangkoko. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang struktur dan komposisi vegetasi habitat eboni di hutan tropis dataran rendah Cagar Alam Tangkoko. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan dalam rencana pengelolaan kawasan CA. Tangkoko kedepan. I.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Pembuatan Petak Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan hutan dataran rendah di
Cagar Alam Tongkoko, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Pengumpulan data
170 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
diawali dengan survey awal pada tanggal 14 sampai 18 Juli dan pengambilan data dilakukan pada tanggal 18 sampai 24 Agustus 2010. Lokasi survey awal dilakukan secara menyebar untuk mencari daerah yang terdapat eboni paling banyak. Hasil survey menunjukan bahwa eboni tidak tersebar secara merata sehingga pada saat pengambilan data penelitian, dilakukan di kawasan Kali Bersih yang secara geografis terletak pada 1250 9’-1250 10’LU dan 1031’ - 1032’BT dengan topografi bergelombang sampai lereng, dengan ketinggian antara 137 - 195 mdpl. B. Pengumpulan Data Tegakan Penelitian dilakukan pada petak pengamatan berukuran 20 x 300 meter. Vegetasi yang berdiameter batang setinggi dada (130 cm dari tanah) > 20 cm dan vegetasi berdiameter diantara 20 dan 20 cm dicatat dari petak berukuran 10 x 10 m, sedangkan untuk mengetahui komposisi pancang dibuat petak berukuran 5 x 5 dan petak pengamatan semai berukuran 2x2 m. Jumlah jalur 5 dengan jumlah petak setiap jalur 15, sehingga total areal pengamatan 5 jalur x 20 x 300 = 3.000 m2 atau 3 ha. Menurut Soerianegara dan Indrawan dalam Indriyanto (2006) luas petak contoh minimum untuk hutan hujan tropis 3 ha, sehingga luas petak ini dianggap sudah memenuhi syarat. Identifikasi jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dilakukan secara langsung dan yang belum dapat diidentifikasi dikirim ke Herbarium P3HKA Bogor (BB) untuk diidentifikasi lebih lanjut. C.
Analisis Data Semua data yang terkumpul dianalisis dan ditabulasi. Untuk
menentukan spesies penting dalam komunitas dari seluruh tegakan maka digunakan indeks nilai penting (INP). Rumus INP menurut Indriyanto (2006) yaitu INP = FR + KR + DR dimana FR (frekuensi relatif), KR (kerapatan relatif) dan DR (dominansi relatif). Indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon yang merupakan gambaran kualitas tegakan dihitung dengan menggunakan formula sebgai berikut:
171
H= dimana : H
= Indeks keanekaragaman jenis
ni
= indeks nilai penting jenis ke-i
N
= jumlah indeks nilai penting seluruh jenis.
Jika H < 1 maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan kurang stabil. Jika H > 2 maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan sangat stabil Jika 1 < H < 2 maka komunitas vegetasi II. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Struktur dan Komposisi Tegakan Hasil pengamatan mencatat sedikitnya 86 jenis dari 34 suku yang
tersebar dalam berbagai diameter. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 2, kerapatan hutan mencapai 244,7 pohon/ha dengan LBDS 29,539 m2/ha dan hasil perhitungan
INP, menunjukan bahwa CA. Tangkoko
didominasi oleh Cananga odorataa. Hasil pengamatan ke-5 jalur menunjukan bahwa C. odorata
memiliki INP tertinggi pada jalur
pengamatan ke-2 yaitu 106,70%, kemudian jalur 4 yaitu 47,72%, jalur 5 yaitu 35,14%, jalur 3 yaitu 38,89% dan paling kecil pada jalur 1 yaitu 23,56%, sehingga struktur hutan di lokasi penelitian di dominasi oleh C. odorata.
Hal ini didukung oleh kelimpahan yang tinggi pada tingkat
frekuensi relatif dan kerapatan relatifnya dengan rata-rata dari kelima jalur sebesar 19,54 % dan 15,42%. Table 2. Hasil perhitungan INP pada setiap petak Plot
∑ LBDS (m2/ha)
Kerapatan N/ha
Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Total
39,995 35,477 19,776 29,142 23,303 29,539
236,7 248,3 251,7 258,3 228,3 244,7
H 3.271 2.365 3.045 3.005 2.987
Jumlah Suku 24 28 24 26 26 34
172 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Jumlah Jenis 49 49 47 49 44 86
Jenis paling dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting Cananga odorata 23.56% C. odorata 106.70% C. odorata 38.89% C. odorata 47.27% C. odorata 35.14%
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Pohon Kenanga (C. odorata Hook. f. & Thoms) merupakan vegetasi yang tumbuh di daerah hutan dataran rendah yang lembab, namun juga dapat dibudidayakan di dataran tinggi. Jenis ini ditemukan tumbuh secara alami di Indo-Malaysia dan telah diintroduksi secara luas di kawasan Polynesia, Micronesia dan Kepulauan Pasifik serta sudah tersebar di kawasan Pantropik. Kenanga banyak digunakan sebagai pewangi ataupun sarana dalam upacara agama di Bali dan Jawa serta obat alternatif untuk penyakit malaria, asma dan gatal-gatal. Di daerah Sulawesi sendiri kulit batang ini digunakan sebagai tali (Kurniawan, 2006; Manner dan Elevitch, 2006; dan Sinohin, 1999). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cendrawasih et. all (2005) dan Kurniawan (2006 dan 2008) yang mengatakan bahwa pada hutan dataran rendah CA. Tangkoko didominasi oleh Palaquium sp., dari suku Sapotaceae. Cendrawasih (2005) menyatakan bahwa Palaquium sp., merupakan salah satu jenis berpotensi dan endemik di Sulawesi. Hasil penelitian Kurniawan (2006 dan 2008) dijelaskan bahwa jenis pohon dominan selanjutnya adalah Dracontomelon dao (Blanco) Meril dan Rolfe (Anac) dan C. odorata pada urutan kedua. Berdasarkan komposisi penyusun hutan di CA Tangkoko, terlihat bahwa dinamika atau hubungan populasi pohon penyusun hutan saling berinteraksi dan mengalami persaingan yang ketat.
Faktor yang
mempengaruhi dinamika adalah adanya hubungan antar spesies dan lingkungan. Indriyanto (2006) menjelaskan bahwa pada kawasan yang memiliki kondisi lingkungan sama diseluruh area akan menyebabkan kompetisi
yang
kuat
antar
individu
anggota
populasi,
sehingga
menyebabkan pola distribusi yang seragam. Penelitian Kurniawan (2008) menjelaskan bahwa asosiasi pohon di CA Tangkoko yang memiliki hubungan positif hanya C. odorata dan Melanolepis multiglandulisa Rich.f.et Zoll (Kayu kapur) dengan nilai Chisquare 2,43% pada taraf uji 1% sehingga jenis ini mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Barbour dalam Kurniawan (2008) menyebutkan bahwa bila jenis berasosiasi positif maka akan menghasilkan hubungan spasial secara positif terhadap pasangannya. Jika satu pasangan
173
didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan ditemukan pasangan lainnya tumbuh di dekatnya. Adanya hubungan positif inilah kemudian
akan
membentuk
komunitas
lebih
kompak
diantara
pasangannya, namun akan mempengaruhi pada jumlah individu dan persebaran jenis vegetasi lainnya. Pada tahun 2010 pohon dominan di Cagar Alam Tangkoko bukan lagi Palaquium sp., melainkan C. odorata. Diduga
hubungan
yang
positif
diantara
individu
akan
mampu
mempengaruhi pola distribusi dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan lebih tinggi.
Gambar 1. Grafik hubungan kelas diameter dengan kerapatan (individu/ha)
Grafik pada gambar 1, menunjukan bahwa hubungan kelas diameter
dan jumlah pohon membentuk huruf J terbalik sedangkan
hubungan dengan
luas bidang dasar perhektar menghalami kenaikan.
Mueller et. all (1974) menyatakan bahwa kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Menurut Pambudhi dalam Sidiyasa (2009) menjelaskan bahwa kondisi normal hutan alam memiliki luas bidang dasar untuk pohon berdiameter batang > 10 cm sebesar 27-38 m2/ha, sehingga hasil pengamatan ini memberikan gambaran bahwa Cagar Alam Tangkoko dalam keadaan normal dengan lbds sebesar 29.539 m2/ha.
174 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Kerapatan pohon didominasi oleh pohon dengan ukuran diameter 20-29 cm sebanyak 81,3 pohon/Ha sedangkan kerapatan pohon berdiameter > 60 cm sebesar 23,7 pohon/ha.
2
Gambar 2. Grafik hubungan kelas diameter dengan LBDS (m /ha)
Luas bidang dasar atau bisa disebut juga luas penutupan per hektar digunakan untuk mengetahui proporsi antara luas tempat tumbuh yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Gambar 2 menunjukan bahwa luas penutupan mengalami peningkatan seiring dengan besar kelas diameter pohon. Hasil pembagian perkelas diameter didapat bahwa pohon berdiameter > 60 cm memiliki luas penutupan paling luas sebesar 13,28 m2/ha atau merupakan kelas paling dominan. Dominasi dapat terlihat dari persebaran luas penutupan atau LBDS, sehingga dapat kita ketahui bahwa struktur dan komposisi di CA Tangkoko membentuk komunitas pohon dominan sampai komunitas pohon tertekan. Walaupun pada kelas diameter paling kecil memiliki jumlah per hektar paling banyak, namun tidak sebanding dengan proporsi luas penutupan area pohon berdiameter diatas 60 cm. Adanya struktur yang demikian akan membentuk dinamika hutan yang baik dan kelestarian populasi cederung terjaga dari poroses kepunahan. B. Keanekaragaman Tegakan Keragaman jenis yang berhasil tercatat pada pengamatan ini sebanyak 86 jenis dari 34 suku yang terdiri dari 77 jenis tingkat pohon, 51 jenis tingkat tiang, 88 jenis tingkat pancang dan 69 jenis tingkat semai, 734
175
pohon berdiameter > 10 cm dan 1659 dijumpai pada tingkat semai dan pancang. Eboni yang berhasil diidentifikasi sebanyak 8 jenis yaitu D. cauliflora Blum, D. ebenum Koen, D.hebecarpa Cunn. Ex Benth, D. khortalsiana Hiern, D. malabarica (Desr.) Kostel, D. maritima Blum., D. minahassae Bakh, dan D. pilosanthera Blanco. Hasil perhitungan Indeks Shannon masing-masing jalur yaitu 3.272 pada jalur pertama, 2.366 pada jalur kedua, 3.045 pada jalur ketiga, 3.005 pada jalur keempat dan 2.988 pada jalur kelima, sehingga menurut Soerianegara dan Indrawan dalam Indriyanto (2006) berdasarkan indeks Shannon, CA Tangkoko memiliki lingkungan komunitas vegetasi dalam kondisi yang sangat stabil. C. Populasi dan Penyebaran Eboni Di CA.Tangkoko Penelitian ini berhasil mencatat 8 jenis eboni, kemudian data-data eboni yang berhasil diklasifikasian sesuai tingkat hidup vegetasi yaitu pohon, tiang, pancang dan semai. Hasil klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 3 yang mana menunjukan sebaran eboni yang ditemukan sangat terbatas. Tabel 3. Sebaran eboni berdasarkan tingkat vegetasi No
Jenis
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
1.
D. malabarica
1
0
0
4
2.
D. cauliflora
3
3
16
11
3.
D. minahassae .
8
0
1
0
4.
D. pilosanthera
15
0
0
13
5.
D. ebenum.
0
1
1
0
6.
D. maritima
0
1
2
0
7.
D khortalsiana
0
1
0
0
8.
D. hebecarpa.
0
0
1
5
Beberapa jenis tidak ditemukan adanya permudaan dan sebagian lain tidak ditemukan dalam tingkat pohon maupun tiang, selain itu kerapatan individu sangat kecil. Jenis eboni yang masih banyak ditemukan hanya D. pilosanthera kemudian disusul D. cauliflora, D. minahassae, D. malabarica, D. maritima, D. ebenum, D. hebecarpa dan D. khortalsiana jenis yang paling sedikit. Adanya persaingan yang kuat antar jenis-jenis pohon yang ada akan
176 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
mempengaruhi kondisi populasi jenis eboni yang ada. Adanya dominansi dan asosiasi positif
C. odorata
dan M. multiglandulosa akan
mempengaruhi pertumbuhan anakan eboni. Rahman dan Abdullah (2002) menjelaskan bahwa pengaruh naungan 70% dan 50% akan meningkatkan pertumbuhan anakan eboni D. celebica. Eboni
merupakan
jenis
pohon
permudaannya
sulit
dan
pertumbuhannya lambat. Kualitas biji eboni sangat mudah terdegradasi oleh berbagai serangan jamur dan bakteri khususnya serangan jamur Penicillopsis clavariaeformis. Daya perkecambahan akan cepat menurun bila disimpan dalam beberapa hari. Sifat ini disebut Rekalsitran, pada biji yang dijemur selama 3 hari daya perkecambahan akan menjadi 0%. Taksiran yang dilakukan Steup dan Beversluis dalam Alrasyid (2002) menyebutkan bahwa MAI dari diameter dan volumenya berkisar 0,5 cm/th dan 0,5 m3/ha/th, sehingga untuk mencapai volume 40 m3/ha diperlukan waktu 80 tahun. Percobaan penanaman D. celebica di bawah tegakan jati di Jawa selama dua tahun pohon muda eboni hanya mencapai 30-100 cm, 4 tahun 40-160 cm, rata-rata penambahan tinggi pertahun sekitar 90 cm sampai 10 tahun pertama dan 1,5 cm untuk diameter batang. Dilihat dari jumlah populasi eboni di alam, tentunya sangat menghawatirkan bagi kelestarian eboni yang ada di CA Tangkoko. Perlu adanya upaya penyelamatan baik secara eksitu maupun insitu terhadap populasi berbagai jenis eboni. Konservasi insitu perlu adanya pengelolaan secara jelas terhadap jenis-jenis yang terancam punah. Hal ini membutuhkan eksplorasi di kawasan konservasi lain untuk mengetahui persebarannya dan perlu adanya kebun pelestarian dengan perbanyakan jenis di sekitar kawasan konservasi setempat. Konservasi eksitu dapat dilakukan dengan pengawetan tanaman seperti pembangunan kebun benih, penyimpanan biji, pengembangan teknologi perbanyakan secara in vitro, pengembangan bank-bank plasma sebagai upaya konservasi genetik dari setiap jenis yang terancam punah.
177
III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Keanekaragaman vegetasi dataran rendah tercatat 86 jenis dari 34 suku yang membentuk kondisi lingkungan komunitas vegetasi sangat stabil dan secara keseluruhan apabila ditinjau dari fungsi-fungsi konservasi dan ekologi masih cukup baik karena mampu memberikan perlindungan bagi satwa liar, mata air, dan beberapa aspek pemanfaatan lainnya seperti ekowisata, pendidikan dan penelitian. 2. Pohon Kenanga (Cananga odorata) merupakan jenis pohon yang paling dominan ditemukan berasosiasi dengan Eboni (Disopyros spp.) di CA.Tangkoko. 3. Delapan jenis Eboni yang ditemukan di CA.Tangkoko yaitu : D. cauliflora Blume., D. ebenum Koen., D. hebecarpa Cunn. Ex Benth., D. korthalsiana Hiern. D. malabarica (Desr.) Kostel., D. maritima Blume., D. minahassae Bakh., dan D. pilosanthera Blanco. 4. Permudaan Eboni di CA.Tangkoko sangat terbatas. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor genetik dan adanya hubungan antar spesies (positif dan negatif) yang kuat. B. Saran Untuk mempertahankan dan menyelamatkan Eboni (Diospyros spp.)
dari kelangkaan dan kepunahan, diperlukan perencanaan dan
penanganan silvlikultur jenis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membangun plot konservasi insitu Eboni di CA.Tangkoko yang intens dan rutin dipantau pertumbuhan dan perkembangannya (dinamika populasinya)
178 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
DAFTAR PUSTAKA. Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 219-225. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Cendrawasih, P., Masiki, A.D. dan Muslih, I.,2005. Mengenal BKSDA Sulut dan Konservasi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. Baker F.S, Daniel, T.W., dan Helms J.A. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur 2nd Ed. Gadjah Mada Press. Yogyakarta Indriyanto.2006. Ekologi Hutan. PT.Bumi Aksara. Jakarta Kurniawan, A. 2006. Vegetasi Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali . 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali Mueller-Dumbois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada. Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 211-218. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor Rahman, W., dan Abdullah, M.. N. 2002. Efek Naungan dan Asal Anakan Terhadap Pertumbuhan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 297-301. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor
179
Sanusi, D. 2002. Kajian Produksi, Perdagangan, Industri dan Teknologi Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 191-206. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Sunaryo. 2003. Tingkat Kualitas Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berdasarkan Komposisi Serat Gelap dan Terang. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Sidiyasa,
K. 2009. Struktur dan Komposisi Tegakan Serta Keanekaragamannya di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol IV hal. 79 – 90. Bogor.
180 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011