DAMPAK KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU (MANGROVE) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PANTAI DI KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT Agus Purwoko Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan masyarakat pantai setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Dari analisis statistik terhadap data diketahui bahwa pendapatan rumah tangga, keragaman jenis biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan antara kondisi sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove ternyata berbeda secara signifikan pada taraf keyakinan 95%. Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Secara kuantitatif terjadi penurunan pendapatan responden akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,- atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan. Kata kunci: Hutan bakau, Mangrove, Pendapatan, Masyarakat pantai Pendahuluan Umumnya ekosistem hutan bakau merupakan sumber daya alam (natural resources) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat, mengingat hutan bakau mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang. Selain itu, potensi ekonomi hutan ini cukup tinggi dengan didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong kerusakan ekosistem hutan bakau dan laju kerusakan umumnya berlangsung cepat. Ekosistem hutan bakau di kecamatan Secanggang saat ini telah mengalami kerusakan. Menurut laporan Universitas Sumatera Utara (1999), di wilayah ini telah terjadi berbagai bentuk kerusakan ekosistem hutan bakau yang berupa penebangan liar/pencurian kayu, perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar, pencemaran sungai dan pemukiman. Okupasi lahan yang terjadi pada tahun 1999 mencapai 3.650 ha (24%) yang meliputi 1.600 ha untuk kegiatan pertambakan,
1.800 ha untuk kebun kelapa sawit dan 250 ha dikonversi untuk penggunaan lainnya. Selanjutnya dilaporkan bahwa bentuk-bentuk pengrusakan meningkat secara drastis sejak tahun 1995, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Bahkan Dinas Perikanan dan Kelautan (2002) melaporkan adanya kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini yang sudah mencapai tingkat yang cukup parah. Berdasarkan data hasil interpretasi citra landsat TM tahun 2002 dilaporkan bahwa hutan bakau yang ada di kecamatan Secanggang tinggal 4.450,2 ha dari luas potensial sebanyak 9.000 ha. Hal itu berarti secara bentang fisik telah terjadi kehilangan/alih fungsi sebanyak 5.549,8 ha (61,7%). Ekosistem hutan bakau sangat terkait dengan masyarakat pantai (Departemen Kehutanan, 1997). Sehingga, kerusakan pada ekosistem hutan bakau akan terkait dengan perekonomian masyarakat pantai secara keseluruhan. Sebaliknya, perilaku masyarakat pantai juga masih cenderung destruktif terhadap ekosistem
21
hutan bakau. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dengan adanya kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap pendapatan nelayan dalam tataran rumah tangga secara kuantitatif dan ilmiah. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan nelayan setelah adanya kerusakan ekosistem hutan bakau, yaitu perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan serta perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan Desember tahun 2004. Desa terpilih yang menjadi lokasi penelitian adalah Jaring Halus dan Kwala Besar, dikarenakan kedua desa ini berada di sekitar ekosistem hutan bakau, memiliki garis pantai yang panjang dan hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian yang terkait langsung dengan sektor perikanan (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2002). Adapun data yang digunakan berupa data primer (wawancara) dan data sekunder (literatur). Untuk mendapatkan gambaran dampak kerusakan, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji-t mached pair untuk mengetahui signifikansi perbedaan beberapa indikator yang dianalisis pada saat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Nurgiyantoro, dkk., 2000). Selain itu juga dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui sejauh mana perbedaan yang terjadi pada kondisi sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Hasil dan Pembahasan Analisis pendapatan sebelum dan sesudah kerusakan dilakukan dengan pendekatan nilai kiwari (precent value approach) dikarenakan terdapat perbedaan preferensi terhadap nilai sumber daya alam seiring dengan
22
perubahan waktu. Keragaman jenis biota tangkapan dianalisis melalui jenis-jenis yang menjadi langka atau hilang (pendekatan frekuensi perjumpaan) dan tinjauan persepsi masyarakat terhadap populasi dan keragaman jenis-jenis biota laut tangkapan nelayan. Adapun kemudahan bekerja dan berusaha serta kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan sesudah terjadi kerusakan ekosistem hutan mangrove di lokasi studi. Dari analisis statistik dan analisis kuantitatif terhadap data diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Keragaman jenis biota tangkapan nelayan Melalui uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan keragaman jenis biota tangkapan diperoleh hasil di mana t-hitung (20,65) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti keragaman jenis biota tangkapan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 1). Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata 56,32% dari jenisjenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan 35,36% di antaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Terdapat beberapa jenis ikan yang dahulu sering tertangkap nelayan, namun sekarang sudah tidak pernah dan/atau sangat jarang tertangkap lagi, di antaranya jenis-jenis bawal, kepiting bakau, kerapu, udang kapur, udang tiger, kakap, pari, senangin, cumi-cumi, gembung, tengiri, udang ambai, udang galah dan ikan selampai. Secara umum, semua jenis biota laut mengalami penurunan frekuensi penangkapannya. Adanya dampak yang signifikan dari kerusakan ekosistem mangrove terhadap keragaman biota tangkapan nelayan ini karena menurut Anonious (1997), pada rantai makanan di habitat ekosistem hutan bakau, biomasa hutan (contoh: daun, ranting dan bunga) mengalami dekomposisi menjadi partikel bahan organik (dentritus). Dalam
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 1. Paired Samples Test untuk Data Keragaman Jenis Paired Differences 95% C offid Interval the Difference Std.
Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.30 65
Std E ean Deviation M .8794
.1117
Lower
Upper
2.08 31
2.52 98
t
df
20.6 51
Sig (2-tailed)
61
.000
Tabel 2. Pendapatan Rata-Rata Berdasarkan Kelompok Profesi (2004)
No
Kelompok Pekerjaan Pokok
Jumlah Pendapatan (Rp/Bln) Sebelum Kerusakan (SB)
Sesudah Kerusakan (SK)
Perbedaan SB & SK (Rp/Bln)
Perbedaan Relatif (%)
1
Aparat Desa
1,597,100
1,187,214
409,886
25.66
2
Pedagang
2,518,409
1,673,318
845,091
33.56
3
Nelayan
2,088,721
1,388,061
700,660
33.54
4
Pembuat Arang
1,298,750
1,020,833
277,917
21.40
5
Pembudidaya
2,340,611
1,378,148
962,463
41.12
6
Pengolah Ikan
1,410,000
1,100,000
310,000
21.99
7
Pengumpul kayu
1,338,750
825,000
513,750
38.38
8
Petani
1,280,000
800,000
480,000
37.50
9
PNS
1,709,833
1,210,500
499,333
29.20
Rata-rata
1,999,233
1,331,771
667,462
33.89
proses dekomposisi, serasah hutan bakau berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing palychaeta. Berbagai jenis udang yang menjadi sumber tangkapan utama masyarkaat di desa Jaring Halus juga berada pada rantai ini, yang berarti berkorelasi sangat dekat terhadap ketersediaan dentritus di ekosistem hutan bakau. Jenis-jenis Crustacea penting seperti udang ini secara langsung memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua yang biasanya didominasi oleh jenis-jenis ikan-ikan karnivor berukuran kecil. Predator berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga.
2. Pendapatan rumah tangga Dari hasil uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan pendapatan keluarga masyarakat pantai diperoleh hasil dimana t-hitung (7,11) lebih besar dari t-tabel (1,995) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti pendapatan keluarga masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 3). Secara kuantitatif diperoleh hasil bahwa terjadi penurunan pendapatan keluarga masyarakat pantai akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata Rp 667.562,-/bulan atau sebesar 33,89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan, meskipun penurunan tersebut terjadi secara variatif antar-kelompok pekerjaan pokok (Tabel 2).
Agus Purwoko: Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai…
23
Tabel 3. Paired Samples Tests untuk Data Pendapatan
Sebelum Pair 1 Sesudah
Mean
Paired Differences 95% Interval of the Difference Std. Std. Deviation Mean Lower Upper
66746
812685.8 93840.87 480480.0 854444.0
t 7.11
df
Sig. (2-tailed)
74
.000
Tabel 4. Paired Samples Test untuk Data Ketersediaan Bahan Baku dan Komoditas Perdagangan Paired Differences 95% C offid Interval the Difference Std.
Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.6290
Std E Deviation Mean 1.0748
.1365
Kelompok pekerjaan pokok yang paling tinggi tingkat penurunannya adalah nelayan pembudidaya dengan proporsi penurunan sebesar 41,12% dari total pendapatan semula. Hal ini dikarenakan komoditas yang dibudidayakan di wilayah studi adalah jenisjenis ikan kerapu, jenahar, udang dan kepiting bakau yang selama daur hidupnya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem hutan bakau/mangrove berdampak langsung terhadap ketersediaan bibit kegiatan budidaya, sehingga sebagian besar kegiatan budidaya laut maupun payau yang tidak lagi berjalan. Pada kasus subsektor perdagangan, penurunan nilai pendapatan riil juga terjadi, namun secara relatif tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan meskipun volume fisik komoditas perdagangan menurun namun nilai nominal transaksi menjadi lebih besar akibat kenaikan harga komoditas perikanan, sehingga profit margin yang diambil oleh pedagang bisa menjadi lebih tinggi. Selain itu, adanya penurunan volume komoditas perdagangan menyebabkan pelaku usaha di subsektor perdagangan hasil laut menyusut, sehingga komoditas perdagangan yang ada terdistribusi kepada pedagang yang masih eksis dengan proporsi yang lebih besar. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab relatif konstannya pendapatan pedagang.
24
Lower 2.356 1
Upper 2.9020
t 19.260
df 61
Sig (2-tailed) .000
3. Ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan Dari hasil uji-t matched pair untuk untuk menguji signifikansi perbedaan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan diperoleh hasil di mana t-hitung (19,20) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 4). Sebelum kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan bahwa bahan baku dan komoditas perdagangan “tersedia dalam jumlah cukup” sampai dengan “tersedia dalam jumlah banyak,” namun setelah terjadi kerusakan 84% masyarakat pantai menyatakan “tersedia dalam jumlah terbatas” sampai dengan “tidak tersedia”. Penurunan ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan dampak yang penting mengingat kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih berkutat pada aktivitas mengolah dan/atau mendistribusikan hasil alam beserta kebutuhan pendukungnya, sehingga sumber daya alam merupakan bahan baku/objek utama dari aktivitas usaha masyarakat nelayan. Usaha-usaha yang lazim ditemukan di lingkungan nelayan, termasuk di lokasi penelitian di antaranya pengolahan hasil laut, budidaya hasil laut (ikan, kepiting, udang) dan distribusi/pemasaran hasil laut
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005
Tabel 5. Paired Samples Test untuk Data Kesempatan Kerja dan Berusaha Paired 95% Mean Pair 1
Sebelum Sesudah
2.677
Interval of the Difference
Std Std. Deviation Mean 1.238
Lower
.157
Upper
2.362
2.991
t
df
17.02
61
Sig (2-tailed) .000
Tabel 6. Kondisi Kesempatan Bekerja dan Berusaha Sebelum dan Sesudah Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (2004) No
Kategori
Sebelum Kerusakan Jumlah (Resp) %
Sesudah Kerusakan Jumlah (Resp) %
Perubahan Jumlah (Resp) %
1
Mudah
34
54.8
1
1.6
-33
-53.2
2
Agak Mudah
19
30.6
2
3.2
-17
-27.4
3
Biasa
7
11.3
4
6.5
-3
-4.8
4
Agak Sulit
2
3.2
28
45.2
26
41.9
5
Sulit
0
0.0
27
43.5
27
43.5
Jumlah
62
100.0
62
100.0
0
0.0
yang kesemuanya bergantung dari hasil tangkapan dari alam. Kegiatan usaha pendukung seperti pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan rumah tangga juga terkait dengan keberadaan usaha di atas. 4. Kemudahan bekerja dan berusaha Dari hasil uji-t macthed pair untuk menguji signifikansi perbedaan kemudahan bekerja dan berusaha diperoleh hasil di mana t-hitung (17,02) lebih besar dari t-tabel (1,999) dengan nilai signifikansi mendekati 0, yang berarti kemudahan bekerja dan berusaha masyarakat pantai sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove berbeda sacara nyata pada taraf kepercayaan 95% dengan sebelum terjadinya kerusakan ekosistem mangrove (Tabel 5). Dampak kerusakan ekosistem hutan mangrove terhadap kesempatan kerja dan berusaha secara kuantitatif cukup berarti, di mana 85,4% masyarakat pantai berpendapat bahwa sebelum kerusakan mereka “agak mudah” sampai dengan “mudah” mendapatkan kesempatan kerja dan berusaha, namun setelah terjadinya kerusakan terjadi sebaliknya di mana 88,7% menyatakan “agak sulit” sampai dengan “sulit” mendapatkan kesempatan bekerja dan berusaha (Tabel 6). Berkurangnya hasil tangkapan berakibat pada berkurangnya volume aktivitas
ekonomi di lokasi penelitian, yang secara langsung berakibat pada menurunnya kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan. Berkurangnya hasil tangkapan berupa jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan (seperti kerapu, jenahar, kepiting bakau) menyebabkan berkurangnya pelaku usaha dan volume usaha budidaya, yang berakibat pada berkurangnya tenaga kerja langsung maupun tidak langsung yang terlibat. Tenaga kerja langsung yang terlibat dalam budidaya ikan kerapu misalnya adalah tenaga kerja pengelola (memberi pakan dan mengurus keramba) dan penjaga keramba, sedangkan tenaga kerja tidak langsung yang terlibat misalnya tenaga pencari dan pemasok pakan ikan, pencari dan pengumpul bibit, pembuat keramba, pengangkut produk dan lain sebagainya. Penurunan hasil tangkapan juga berakibat menurunnya kegiatan usaha pengolahan hasil laut. Kegiatan usaha pengolahan hasil laut yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian antara lain pembuatan ikan asin (pengeringan), pembuatan keripik ikan cincang rebung dan pembuatan terasi udang (blacan). Semua usaha pengolahan tersebut bergantung kepada ketersediaan bahan baku berupa ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan. Berkurang atau bertambahnya
Agus Purwoko: Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai…
25
kegiatan usaha pengolahan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh ada atau tidaknya bahan baku, terutama pada kasus usaha pengeringan ikan, pengolahan terasi udang dan pengolahan keripik ikan cincang rebung. Dengan demikian, perubahan hasil tangkapan berdampak pada penurunan kesempatan kerja bagi masyakat pantai, terutama bagi anggota keluarga seperti anak-anak dan kaum wanita.
Nurgiyantoro, B., Gunawan, Marzuki. 2000. Statistik Terapan untuk Penelitian IlmuIlmu Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Universitas Sumatera Utara. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Kab. Langkat dan Langkat Timur Laut. Makalah Seminar Pelestarian dan Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Penutup Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) berdampak secara nyata terhadap pendapatan masyarakat pantai melalui penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan, pendapatan keluarga, ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan serta kesempatan kerja dan berusaha masyarakat pantai secara signifikan. Oleh karena itu disarankan agar: (1) Pemerintah daerah bersama masyarakat harus segera melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap arti pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi kelangsungan hidup mereka, (2) Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan semua pihak yang terkait berupaya mengembangkan bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pantai yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak sekedar eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara lestari melalui pendekatan budaya (kultur) serta sinergi dengan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), (3) Pemerintah daerah melakukan upaya antisipatif guna mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat pantai akibat menurunnya pendapatan serta kesempatan kerja dan berusaha. Daftar Pustaka Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan. 2002. Peta Potensi Perikanan Kabupaten Langkat. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat. Stabat.
26
Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005