BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
BEBERAPA ANCAMAN TERHADAP KAWASAN HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN Oleh/by SUYANTO Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru ABSTRACT Population growth quickly in spirit of region autonomy these days is progressively improve the activity exploit to the natural resources for both in conversion forest and production forest area, even in area of protected forest which ought to be taken care and preserved do not miss from exploited activities. Fact indicate that the area nowadays have experienced of the enough damage because getting threat from various party. Those indication can be felt by various natural disaster of like : floods, dryness, landslide, land and forest fire, environmental contamination and global climate change. The target reached from this research are get detailly the information of various society activities which can threat to existence of protected forest area. Research method used is to secondary data in the form of boundary of protected forest area, boundary of mining concession and plantation obtained from related institution. Land cover obtained from interpretation of composite satellite image of year 2007 with the spatial resolution of 30 m and field survey. Primary data in the form of activity in protected forest area obtained by interview with village heads and also key respondent in or around of protected forest area. Boundary of protected forest area have been analysis spatially by the Geographical Information System (GIS), through overlay of shape file format data. Analysis the other data used is tabulation method. Result of this research indicate that threat in protected forest area is related of andesit stone mining, farming, plantation, ox pasturing, land and forest fire. Key word : protected forest Alamat Korespondensi : e-mail :
[email protected] (HP) : 0813 4067 8795 PENDAHULUAN
Undang - Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1997, menyatakan bahwa lingkungan hidup perlu diatur dan dikelola secara rasional, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal, mencukupi kebutuhan kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk maksud tersebut pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah menyusun rambu-rambu pengelolaan lingkungan hidup dalam bentuk regulasi maupun tata ruang wilayah. Tata ruang tersebut bersifat mengikat sekaligus menjadi pedoman bagi seluruh sektor dalam memanfaatkan ruang dan sumberdaya alam. Kalau semua sektor mentaati
tata ruang tersebut, dan masing – masing mempunyai perspektif jangka panjang, dengan memanfaatkan Kekayaan alam secara terkendali dan adanya kontrol yang sungguh-sungguh dari pemerintah, maka dapat tercapai pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam semangat otonomi daerah dewasa ini, semakin meningkatkan aktivitas eksploitasi terhadap sumberdaya alam baik yang terdapat dalam kawasan
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
262
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
budidaya maupun kawasan hutan produksi, bahkan dalam kawasan hutan lindung sekalipun yang seharusnya dijaga dan dilestarikan untuk tujuan perlindungan tidak luput dari incaran kegiatan eksploitasi . Fakta menunjukkan bahwa kawasan-kawasan tersebut kini telah mengalami kerusakan yang cukup parah karena mendapat tekanan dari berbagai pihak. Gejala tersebut dapat dirasakan banyaknya indikasi berbagai bencana alam seperti : banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran lahan / hutan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim global. Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang kaya akan sumber daya alamnya. Selain hutan dengan potensi kayu dan keanekaragaman hayati yang tinggi, juga mengandung potensi berbagai sumber daya mineral yang cukup besar, seperti minyak bumi dan gas, emas, intan, batubara, uranium, bijih besi, dan lainnya. Fakta menunjukkan bahwa konflik pemanfaatan/ tumpang tindih
lahan masih sering terjadi, demikian juga bencana alam terutama banjir dan kebakaran lahan/ hutan masih terjadi setiap tahun. Pertanyaan yang muncul mesti seputar tata ruang, yaitu konsep tata ruang yang ada yang mengatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor perlu dikaji kembali. Berdasarkan statistik kabupaten Tanah Laut (Kabupaten Tanah Laut dalam angka, 2004), luas kawasan hutan lindung mencapai 9.375 ha yang tersebar tidak kompak. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam kawasan hutan lindung ini tidak boleh ada kegiatan apapun, termasuk kegiatan penambangan bawah permukaan (undergrond mining). Ancaman terhadap kawasan hutan lindung akhir – akhir ini semakin meningkat, terutama setelah potensi tegakan dalam kawasan hutan produksi semakin habis. Oleh karena itu kawasan tersebut secara periodik perlu dilakukan pendataan, jangan-jangan kawasan hutan lindung tersebut hanya tinggal kawasannya saja, sedangkan hutannya telah hilang.
METODE PENELITIAN
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder untuk menghimpun informasi yang menyangkut keberadaan hutan lindung di Kabupaten Tanah Laut dengan segala permasalahannya. Batas kawasan hutan lindung diperoleh dari peta dasar 453 maupun dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), sedangkan data ijin kegiatan penambangan (ijin pinjam pakai) dan perkebunan (Hak Guna Usaha /HGU) diperoleh dari instansi terkait. Penutupan lahan diperoleh dari interpretasi citra satelit komposit tahun 2007 dengan resolusi spasial 30 m serta dari pemeriksaan lapangan. Aktivitas dalam kawasan hutan diperoleh dengan survey lapangan
dengan mewawancarai kepala – kepala desa maupun responden kunci yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan lindung. Batas kawasan hutan lindung dianalisis secara spatial menggunakan sistem informasi geografis (SIG), melalui overlay berbagai data shapefile. Analisis data lainnya yang digunakan adalah metode tabulasi, artinya informasi penutupan vegetasi, perambahan / penguasaan lahan dan luasnya, juga aktivitas masyarakat dan intensitasnya ditampilkan dalam bentuk tabel, kemudian dengan melihat penyebaran diatas peta dan informasi dari lapangan dapat diprediksi arah kecenderungan perambahan dan penguasaan lahan kedepan.
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
263
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batas Kawasan Hutan Lindung Hasil tata batas kawasan hutan lindung di daerah ini menunjukkan bahwa batas peta dasar 453 banyak yang mengalami pergeseran, seperti : G. Panti, G. Martadah, G.Keramaian, G. Lingkaras, G. Dadaringan dan G. Bira. Bahkan pada peta dasar 453, G. Pria tidak tercantum sebagai kawasan Hutan lindung. Pergeseran batas kawasan ini tentunya harus difahami oleh semua fihak, karena peta 453 meskipun hasil keputusan menteri yang memiliki kekuatan hukum, namun masih bersifat tentatif di atas peta, batas sesungguhnya di lapangan tentunya setelah dilakukan tata batas sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 399/ Kpts/II/1990 tentang Pedoman Teknis Pengukuhan Hutan. Dengan kata lain bahwa kebenaran batasnya baru diyakini setelah dilakukan tata batas di lapangan. Hasil updating terhadap batas kawasan HL harus menjadi acuan bersama terutama bagi semua instansi di Kabupaten Tanah Laut, sehingga hanya satu peta dasar kawasan hutan yang telah ditata batas yang dijadikan acuan. Dengan demikian masalah tumpang tindih lahan maupun pemanfaatan lahan yang tidak tepat dapat dicegah. Sebagai akibat dari perbedaan batas kawasan antara peta dasar 453 dengan hasil tata batas oleh BPKH
adalah perbedaan luas kawasan, sebagai contoh luas kawasan hutan lindung berdasarkan peta dasar 453 seluas 9.148,41 ha, Dinas Kehutanan Tanah Laut seluas 9.375 ha (Kabupaten Tanah Laut Dalam angka, 2004), dan Tata batas yang dilakukan BPKH seluas 9.005,84 ha. Dengan demikian semua pihak seharusnya menggunakan data yang telah diverifikasi melalui pengukuran di lapangan, yaitu hasil tata batas yang dilakukan BPKH (Lampiran peta 3) Penyebaran Kawasan Hutan Lindung Kawasan HL yang bersumber dari peta dasar 453 berjumlah 16 unit, sedangkan yang bersumber dari BPKH ada 21 unit tersebar di seluruh Kabupaten Tanah laut. Jumlah kawasan HL menurut BPKH bertambah banyak karena adanya areal pengganti milik PTP Nusantara XIII dengan Berita Acara tata batas Tgl. 21 Agustus 1989, yaitu : dekat desa Martadah_1 (44,62 ha), dekat desa Martadah_2 (47,58 ha), dekat desa Martadah_3 (9,72 ha), dekat desa Tebingsiring (4,91 ha), G. Damarwulan (59,96 ha), dekat desa Damarwulan (22,24 ha), dekat desa Pulausari (39,96 ha), dekat desa Tambangulang (66,68 ha), dekat desa Tambaksarikandi (284,20 ha), dekat Durian bungkuk (261,78 ha), dekat desa Jilatan (46 ha) dan G. Pria/ G.Mentayauyah (451, 55 ha).
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
264
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
265
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
G.Taraban batu, G.Dadaringan, G.Talok dalam, dan G.Bira. Semua kawasan HL tersebut menyebar keberadaannya hanya di 4 kecamatan (Bati-bati, Tambangulang, Pelaihari, Takisung dan Penyipatan). Daftar Kawasan HL tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Setelah dilakukan konfirmasi dilapangan ternyata hanya ada 9 unit kawasan HL seluas sekitar 9.005,84 ha yang layak dipertahankan, dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Kawasan HL tersebut meliputi : G.Panti, G.Belanda, G.Lintang/G.Martadah, G.Keramaian, G. Damarwulan, G.Batu/G.Besar, G. Langkaras/
Tabel 1. Daftar Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Tanah Laut No.
Nama HL
Lokasi DAS
1.
G. Panti
Maluka dan Tabanio
2.
G. Belanda
Maluka
3.
G. Lintang/ G. Martadah
Maluka dan Tabanio
4.
G. Keramaian
Tabanio
5.
Kelompok HL DAS Tabanio
-
Lokasi Kecamatan Tambangula ng Tambangula ng Tambangula ng dan Batibati
110,17
21 Agustus 1989
Tetap
1001,62
13 Pebruari 1988
Tetap
624,18
-
-
-
21 Agustus 1989 21 Agustus 1989 21 Agustus 1989 13 Pebruari 1988 Belum tata batas
Pelaihari
Tambangula ng
b.
G.Batu/G.Besar
Tabanio
Pelaihari
c.
G. Langkaras/ G. Taraban batu
Tabanio
Pelaihari
Tabanio dan Tambangan Tambangan dan Sabuhur
Takisung dan Pelaihari Pelaihari dan Penyipatan Takisung dan Penyipatan
G.Cangkring /Talok dalam
8.
G. Bira
Sabuhur dan Tambangan
13 Pebruari 1988
Total Luas
Berdasarkan Tabel 1 tersebut ternyata masih ada kawasan HL yang belum ditata batas, yaitu G. Cangkring/ G. Talok dalam (lokasi di Kecamatan Pelaihari dan Penyipatan). Sedangkan yang sudah ditata batas tetapi tidak ditemukan Berita Acaranya adalah kawasan HL G.Panti/ G.Lintang. Semakin lambat melakukan tata batas kawasan hutan akan beresiko munculnya konflik lahan dengan masyarakat di sekitar kawasan.
Luas (Ha)
Tetap
Maluka
7.
Hasil analisis Peta
609,11
G. Damarwulan
G. Dadaringan
Tidak ditemukan 21 Agustus 1989
Sifat tata batas (sementara, tetap) Tetap
a.
6.
Berita Acara Tata Batas (No dan Tgl)
-
Tetap
59,96
Tetap
300,74
Tetap
1296,87
Tetap
2307,59
-
645,50
Tetap
2050,10 9.005,84
Untuk kawasan yang sudah ditata bataspun dalam upaya mengamankan, menjaga, dan melestarikan hutan di daerah ini harus sering dilakukan sosialisasi batas kawasan dengan penyuluhan atau pemasangan papan nama, juga pal batas yang masih sementara atau hilang akibat kerusakan ataupun kebakaran harus segera diperbaharui dengan pal batas dari bahan permanen seperti kayu ulin atau bahan beton semen.
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
266
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Hal senanda juga dikemukakan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut (B.Post, 27/10-2007), bahwa perlu pembuatan patok tata batas kawasan hutan, untuk mengamankan dan menghindari perambahan kawasan hutan oleh aktivitas perusahaan maupun masyarakat. Patok dianggap sangat penting, supaya orang mudah mengenali bahwa suatu tempat masuk kawasan hutan atau tidak. "Jika perlu, bentuknya tak sekadar patok, tapi monumen, supaya lebih jelas dilihat," Banyak dari mereka yang tidak mengetahui bahwa lokasi tersebut berada dalam kawasan hutan. Penutupan Vegetasi Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan interpretasi citra satelit (2007) dan pengamatan di lapangan, maka disusun informasi penutupan vegetasi seluruh kawasan hutan lindung Kabupaten Tanah Laut. Ada delapan tipe penutupan vegetasi yang dapat dikenali, yaitu alang-alang, belukar, ladang, sawah, hutan alam, kebun campuran, kebun karet, dan hutan galam. Secara lengkap penutupan vegetasi tersebut disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 ternyata kawasan hutan lindung di Kabupaten Tanah Laut seluas 9005,84 ha lebih dari separohnya (57,5 %) kondisi penutupan vegetasinya memprihatinkan berupa belukar, alangalang dan ladang yang semestinya segera mendapatkan perhatian instansi terkait untuk direhabilitasi. Jika disusun dari urutan tertinggi hingga terendah presentase penutupan alang-alang, belukar da ladang, maka yang tertinggi adalah G. Langkaras dan G. Batu (masing-masing 100%), G. Damarwulan (88,5%), G. Dadaringan (71,1%), G. Martadah (59,2%), G.
Talok dalam (45,3%), G.Bira (44,7%), G. Belanda (32,2%), G. Panti (7,6%) dan G. Keramaian (0,00%). Menurut informasi masyarakat sekitar kawasan hutan, pada penutupan alang-alang dan belukar setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan terutama pada musim kemarau tiba. Asal api tidak dapat dipastikan, karena disekitar kawasan banyak kegiatan penduduk terutama peternakan sapi dan kegiatan perladangan. Kawasan HL G. Keramaian dapat dijadikan contoh kawasan HL yang masih sangat baik kondisi vegetasinya, disana tidak ditemukan (0,00%) penutupan alangalang, belukar maupun ladang. Tetapi yang mengkhawatirkan sekarang adalah G. Panti, walaupun termasuk kawasan HL yang vegetasinya juga masih baik, karena di lereng tengah dengan kemiringan sekitar 35% sedang dibuka untuk dibangun pabrik pemecah batu gunung. Lokasi ini memiliki solum tanah yang dalam dan jika batu gunung diekploitasi, maka lahan pada lereng dan elevasi yang tinggi demikian akan rawan longsor. Ladang dijumpai di dalam kawasan HL G. Bira seluas 756,22 (36,9%), ternyata disana terdapat unit pemukiman transmigrsi (UPT) ”Trans Tanjung Dewa” yang sudah mapan dengan pola trans umum, artinya mata pencaharian utamanya sebagai petani, kemudian sampingannya sebagai peternak sapi. Trans Tanjung dewa ketika awal penempatan tahun 1993 berjumlah 250 KK dengan komposisi 20% dari masyarakat lokal dan 80% didatangkan dari P. Jawa. UPT ini seharusnya dikeluarkan dari kawasan HL dan perlu ditata batas ulang, bukan untuk di – enclave karena enclave tidak dapat dilakukan di hutan lindung, melainkan benar dikeluarkan dari kawasan HL.
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
267
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
268
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Tabel 2. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Tanah Laut P e n u t u p a n No.
1. 2. 3. 4. 5. a. b. c. 6.
7. 8. 9.
Nama HL
Alang-alang
Belukar ha
Ladang
%
ha
Sawah ha
Hutan alam
%
Kebun campuran ha %
Kebun karet ha %
Rawa/ Galam ha %
Luas
Ha
%
ha
%
G.Panti G. Belanda G. Lintang/ G. Martadah G.Keramaian Kelompok HL DAS Tabanio G. Damarwulan G.Batu/G.Besar G. Lingkaras/ G. Taraban batu G.Dadaringan/G .Katunon/G.Sab et G. Pria G.Talok dalam G.Bira
23,81 14,65 525,35
3,9 13,3 52,4
-
-
22,27 20,97 67,74
3,7 19,0 6,8
-
-
353,2 16,45 345,8
58,0 14,9 34,5
209,85 58,10 -
34,4 52,7 -
62,78
6,3
-
-
609,11 110,17 1.001,6
-
-
-
-
-
-
89,6
14,4
450,0
72,1
84,52
13,5
-
-
-
-
624,18
8,44 247,10 602,86
14,1 82,2 46,5
44,60 53,64 694,01
74,4 17,8 53,5
-
-
-
-
6,92 -
11,5 -
-
-
-
-
-
-
59,96 300,74 1.296,9
835,69
36,2
805,18
34,9
-
-
-
-
666,7
28,9
-
-
-
-
-
-
2.307,6
27,42 220,69 93,65
6,1 34,2 4,6
71,78 66,57
11,1 3,2
756,22
36,9
10,3 -
2,3 -
248,0 226,7 482,6
54,9 35,1 23,5
139,19 126,39 376,15
30,8 19,6 18,3
26,61 -
5,9 -
274,9
13,4
451,55 645,50 2.050,1
Total Luas
2.572,2
28,6
1.735,8
19,3
867,20
9,6
89,7
1,0
2.548,
28,3
855,01
9,0
62,78
0,7
274,9
3,1
9.005,9
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
%
La h a n
269
ha
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Ancaman Terhadap Keberadaan Kawasan Lindung. Terdapat beberapa bentuk ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan lindung (HL) oleh aktivitas masyarakat di sekitar kawasan, yaitu tambang galian C, perkebunan, ternak sapi, dan ladang. Cepat atau lambat aktivitas tersebut akan memengaruhi kelestarian fungsi kawasan hutan lindung, karena secara spesifik dapat merubah penutupan dan bentang lahan (landscape) dan pada akhirnya dapat merusak fungsi lindungnya. Tambang Galian C. Bahan galian golongan C adalah cukup potensial di Kabupaten tanah laut termasuk di kawasan hutan lindung. Meskipun yang dimaksud bahan galian golongan C merupakan bahan galian non metal seperti : nitrat, posfat, garam, asbes, mika, batu permata, batu apung, marmer, batu kapur dan sirtu, tetapi
bahan galian yang diekploitasi masyarakat utamanya adalah batu andesit sebagai bahan bangunan gedung maupun jalan raya, ada yang langsung diangkut batunya tetapi ada yang diproses lebih dulu menjadi batu kerikil. Kegiatan penambangan semacam ini umumnya legal, mendapat ijin ekploitasi dari pemerintah Kabupaten. Cara ekploitasinyapun menggunakan alat-alat berat dan alat angkut berupa Truck atau dumptruck. Untuk sementara ini lokasi eksploitasi lebih banyak berbatasan dengan hutan lindung. Nampaknya dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini terutama untuk bahan galian C tidak mengenal yang namanya zona penyangga (buffer zone) hutan lindung. Dengan demikian kalau cadangan bahan galian telah menipis dikhawatirkan areal ekploitasi dapat merambah ke dalam kawasan hutan lindung, karena itu perlu ditingkatkan pengawasannya (Gambar 1).
Gambar 1. Ekploitasi Batu Gunung Menggunakan Alat Berat di G. Dadaringan
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
270
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Penambangan bahan galian C juga dilakukan secara tradisional oleh masyarakat dan sifatnya illegal. Walaupun penambangan ini lambat karena dilakukan secara manual, tetapi lambat laun kalau tidak ada pengawasan akan mengancam keberadaan kawasan HL. Oleh karena itu perlu diarahkan agar kerusakan lingkungan tidak terjadi seperti : pencemaran air sungai, perubahan
bentang lahan seperti terbentuknya lubang-lubang yang menganga dan kolam sarang nyamuk serta rawan tanah longsor. Berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat beberapa kawasan HL atau yang berbatasan dengan kawasan HL dilakukan penambangan galian C yang lokasi maupun cara penambangannya secara jelas disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Lokasi-Lokasi Penambangan Galian C di Kawasan HL Kabupaten Tanah Laut No.
Nama Hutan Lindung
Lokasi Koordinat UTM X (mT)
Y (mU)
Cara Ekploitasi
1.
G. Panti
250087
9592003
2.
G. Batu
256875
9588304
Direncanakan alat berat Tradisional
250712
9575936
Alat berat
3.
G. Dadaringan/ G.Sabet/ G. Katunon
250153
9575747
Alat berat
244546
9570212
Tradisional
4.
G. Bira
242550
9557230
Tradisional
5.
G. Martadah
256564
9597304
Alat berat
Perladangan Di Kawasan Hutan Lindung. Sistem perladangan secara substansial jika berakar dari budaya dan kearifan masyarakat lokal bukan merupakan permasalahan yang memicu deforestasi hutan karena sistem perladangan murni dilakukan dengan banyak pertimbangan dan cermat agar tidak merusak. Akan tetapi dengan adanya tekanan hutan yang terus menerus selain oleh kegiatan ladang dan kegiatan eksternal lainnya maka sistem tersebut menjadi masalah terutama yang terkait dengan terputusnya siklus gilir balik kegiatan perladangan akibat wilayah jelajahnya dibatasi oleh wilayah konsesi HPH. Konsekuensinya akan menghambat masa bera (biasanya 20 tahun) dari
lahan yang ditinggalkan setelah di ladangi. Masa bera yang terputus akan menyebabkan lahan yang bekas diladangi tidak mampu memulihkan kondisi dan keadaannya sehingga memicu lahan tersebut menjadi kritis berbentuk semak belukar dan padang alang-alang. Selain itu perluasan areal perladangan juga menjadi pemicu yang menyebabkan aspek perladangan diidentifikasi sebagai suatu permasalahan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan. Luas ladang sekarang ini berkisar antara 0,7 sampai 9 ha. Luasan ini jika hanya diperuntukan untuk kegiatan menanam padi maka terlalu besar. Akan tetapi karena pada masyarakat sekitar hutan
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
271
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
telah terjadi pergeseran orientasi komoditi, dimana yang ditanam di ladang tidak hanya komoditi padi akan tetapi sudah beralih kekomoditi yang dikombinasikan antara padi dengan karet. Dengan tejadinya pergeseran orientasi berdasarkan komoditi yang akan ditanam maka kebutuhan lahan yang luas menjadi tuntutan besar masyarakat salah satunya dengan cara mengekspansi lahan-lahan yang masih berhutan tidak terkecuali kawasan huatn lindung. Berdasarkan asumsi ini maka keberadaan sumberdaya hutan yang ada di kawasan hutan lindung lambat laun terancam apalagi jika ditambah dengan munculnya peladangpeladang pendatang dari luar. Aktifitas perladangan terlihat dilakukan di beberapa kawasan hutan lindung seperti kawasan hutan lindung Gunung Panti, Gunung Bira, Kelompok Hutan Lindung Tabonio, Gunung Dadaringan, Gunung Katunon dan Gunung Sabat serta Gunung Keramaian. Kegiatan perladangan tersebut sekarang intensitasnya memang tidak begitu tinggi akan tetapi jelas terlihat bahwa tahun-tahun sebelumnya intensitas berladang tersebut cukup tinggi. Kegiatan perladangan sekarang lebih banyak berorientasi pada tanaman sayuran dan tanaman semusim.
Penggembalaan Sapi Di Kawasan Hutan Lindung. Penggembalaan sapi di kawasan hutan lindung berlangsung pada hampir seluruh kawasan hutan lindung terutama di Kelompok Hutan Lindung Sub-DAS Tabonio seperti hutan lindung Gunung Lingkaras, juga di Hutan Lindung Gunung Cangkring/Gunung Talok Dalam (Gunung Sabat, Gunung Kandangan Baru, Gunung Talok Dalam, Gunung Ringkit dan, Gunung Kandangan Lama ), serta Gunung Bira. Peluang untuk menjadikan kawasan hutan lindung jadi padang penggembalaan sangat potensial sekali mengingat banyaknya jumlah ternak sapi yang terdapat di sana (Gambar 2) Jika kegiatan penggembalaan intensif dilakukan di kawasan hutan lindung maka akan berdampak negatif terhadap kondisi penutupan vegetasi, mempengaruhi tingkat kesarangan dan kesuburan tanah. Jika ada hujan akan memicu erosi, karena penutupan vegetasi pada tanah telah berkurang. Selain itu padang-padang penggembalaan tersebut juga sudah diklaim masyarakat sebagai hak milik. Berdasarkan kondisi sekarang tekanan terhadap kawasan hutan lindung akan menjadi dampak penting jika tidak dikelola dari awal.
Gambar 2. Penggembalaan Sapi di Kawasan Hutan Lindung G.Dadaringan/ Sabat
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
272
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
Perkebunan. Kegiatan perkebunan di kawasan hutan lindung selain dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet, kebun kemiri, kebun buah campuran, kebun sayur, kebun tapioka, kebun pisang dan hutan tanaman penghasil kayu industri seperti jati dan mahoni juga dilakukan dalam bentuk perkebunan skala besar. Misalnya di Kelompok Hutan Lindung Sub-Das Tabonio terdapat HGU PTP Nusantara XIII dengan komoditi kelapa sawit. HGU yang dibangun oleh PTP tersebut seluas 5386 Ha. Kegiatan perkebunan oleh masyarakat tersebut dalam bentuk spot-spot dibeberapa kawasan hutan lindung seperti kawasan hutan lindung Gunung Panti, Gunung Bira, Kelompok Hutan Lindung Tabonio, Gunung Gadaringan, Gunung Katunon dan Gunung Sabat serta Gunung Keramaian.
Kebakaran lahan dan hutan. Kebakaran hutan yang terjadi di kawasan hutan lindung Kabupaten Tanah Laut sebagian besar berada pada kawasan yang sudah tidak berhutan atau kawasan padang alangalang dan semak belukar. Kebakaran ini biasanya memang terjadi pada hutan yang sudah terganggu yang diakibatkan oleh terbukanya tajuk sehingga memudahkan sinar matahari menembus lantai hutan. Lantai hutan yang terbuka mengandung sumber bahan bakar yang potensial sehingga meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Dipicu oleh kegiatan pembakaran limbah lahan yang telah dibersihkan untuk tujuan penyiapan lahan pada kegiatan perladangan, berkebun atau pakan ternak. Kebakaran jarang terjadi pada kawasan hutan yang masih stabil ekosistemnya. Permasalahan dan kondisi riel di kawasan hutan lindung Kabupaten Tanah Laut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Permasalahan Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Tanah Laut No.
Nama Hutan Lindung
Lokasi DAS
Lokasi Kecamatan
1.
G.Panti
Maluka dan Tabanio
Tambangul ang
2.
G. Lintang/ G. Martadah
Maluka dan Tabanio
Tambangul ang dan Bati-bati
Permasalahan Aktifitas masyarakat di sekitar gunung tersebut terutama yang terletak di Desa Sungai Pinang adalah : 1. Kebun masyarakat (kebun kemiri, karet dan kebun buah campuran). 2. Pembangunan jalan selebar 10 m dengan panjang 2 km di desa Sungai pinang untuk rencana lokasi pembangunan croser (tambang dan pengolahan batu gunung). 3. Alang-alang dan ladang seluas 46,08 ha (7,6 %) dari luas HL G. Panti 4. Masyarakat tidak mengakui G.Panti sebagai hutan lindung 5. Pal batas hutan lindung sulit ditemukan dan tak ada papan nama 6. Kebakaran lahan 1. Penambangan galian C menggunakan alat berat dalam kawasan HL (oleh perusahaan) dan oleh masyarakat 2. Kebakaran lahan
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
273
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
3. Kebun masyarakat (karet) 4. Alang-alang seluas 525,35 ha (52,4 %) dan ladang 6,8 % dari luas HL G. Lintang
3.
G.Keramaian
4.
Kelompok HL DAS Tabanio
4a
- G. Lingkaras
Tabanio
Tabanio
Pelaihari
Pelaihari dan sedikit Tambangul ang
4b.
- G. Batu
Tabanio
Pelaihari
4c.
- G. Damarwulan
Tabanio
Pelaihari
4d.
- G. Belanda
Tabanio
Tambangul ang
5..
Gunung Dadaringan/G. Katonon/
Tabanio
Takisung dan Pelaihari
1. Kebun masyarakat (kebun buah campuran) di perbatasan hutan lindung sisi lereng barat dekat desa Ujungbatu dan Tungkaran
1. Alang-alang seluas 602,86 ha (46,5 %) dari luas HL G. Lingkaras/ Tarabanbatu 2. Kebakaran lahan berulang - ulang 3. Pal batas hutan lindung sulit ditemukan dan tidak ada papan nama. 4. Kebun masyarakat (kebun karet, tapioka, pisang rambutan dan kebun buah campuran). 5. Banyak penggembalaan sapi berbatasan dengan kawasan HL, bahkan sering masuk dalam kawasan HL dari desa Tebingsiring 6. Tumpang tindih dengan HGU PTP Nusantara XIII Sawit 1.Penambangan galian C menggunakan alat tradsional di dalam kawasan HL oleh masyarakat 2. Padang alang-alang seluas 247,10 ha (82,2 %) dari luas HL G. Batu 4. Kebakaran lahan berulang-ulang 5. Pal batas hutan lindung sulit ditemukan dan tidak ada papan nama. 6. Tumpang tindih dengan HGU PTP Nusantara XIII Sawit 1. Padang alang-alang seluas 8,44 ha (14,1 %) dari luas HL G. Damarwulan 2. Kebakaran lahan berulang-ulang 3. Pal batas hutan lindung sulit ditemukan dan tidak ada papan nama. 5. Tumpang tindih dengan HGU PTP Nusantara XIII Sawit 1. Alang-alang seluas 14,65ha (13,3%) dan ladang seluas 20,97 ha (19,0 ha) dari luas HL G. Belanda 2. Kebakaran lahan berulang - ulang 3. Pal batas hutan lindung sulit ditemukan dan tidak ada papan nama. 4. Kebun masyarakat (kebun karet, tapioka, dan kebun buah campuran). 5. Tumpang tindih dengan HGU PTP Nusantara XIII Sawit 1.Penambangan galian C menggunakan alat berat di perbatasan dengan kawasan HL (oleh perusahaan CV Pajar Utama dan PT
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
274
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
G.Sabat
6.
7.
G.Cangkring/ Gunung Talok Dalam
G.Bira
Bangun Persada) dan oleh masyarakat 2. Alang-alang seluas 835,69 ha (36,26 %) dari luas HL G. Dadaringan 3. Banyak penggembalaan sapi berbatasan dengan kawasan HL, bahkan sering masuk dalam kawasan HL 4. Kebakaran lahan
Tamban gan dan Sabuhur
Sabuhur dan Tamban gan
Pelaihari dan Penyipatan
Takisung dan Penyipatan
1. Kebun masyarakat (kebun petai, pisang rambutan dan kebun buah campuran). 2. Banyak penggembalaan sapi dalam kawasan HL, bahkan dalam kawasan HL yaitu disekitar desa Kandangan baru. 3. Alang-alang seluas 220,69 ha (34,2 %) dari luas HL G. Cangkring 4. Masyarakat tidak mengakui G.Cangkring sebagai hutan lindung dan telah diklaim sebagai lahan mereka 5. Pal batas hutan lindung tidak ditemukan, mungkin belum dilakukan tata batas. 6. Kebakaran lahan 1. Berbatasan dengan areal Trans Tanjung Dewa dekat Desa Batutungku 2. Tumpang tindih dengan HGU PT.Suriatani Pamuka 3. Tumpang tindih dengan rencana pelabuhan laut. 4. Aktifitas masyarakat yang menonjol seperti kebiatan penggembalaan sapi 5. Penambangan galian C secara tradisional dekat trans Tanjung dewa 6. Kebakaran lahan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penting, yaitu : 1. Berdasarkan kompilasi data kawasan HL dari berbagai sumber, ternyata hasilnya berbeda. Kawasan HL yang bersumber dari peta dasar 453 berjumlah 16 unit, bersumber dari BPKH ada 21 unit tersebar di seluruh Kabupaten Tanah laut.
2.
3.
Akibat dari perbedaan batas kawasan antara peta dasar 453 dengan hasil tata batas yang dilakukan oleh BPKH adalah perbedaan luas kawasan, luas kawasan berdasarkan peta dasar 453 seluas 9.148,41 ha, Dinas Kehutanan Tanah Laut seluas 9.375 ha, dan Tata batas yang dilakukan BPKH seluas 9.005,84 ha. Berdasarkan interpretasi citra satelit (2007) ternyata kawasan
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
275
BEBERAPA ANCAMAN….(27):262-276
4.
hutan lindung di Kabupaten Tanah Laut seluas 9005,84 ha lebih dari separohnya (57,5 %) kondisi penutupan vegetasinya memprihatinkan berupa belukar, alang-alang dan ladang yang semestinya segera mendapatkan perhatian instansi terkait untuk direhabilitasi. Permasalahan di kawasan hutan lindung terkait dengan adanya kegiatan penambangan galian C berupa batu andesit, perladangan, perkebunan, penggembalaan sapi dan kebakaran hutan/lahan.
Saran Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka disarankan 1. Seluruh instansi terkait di Kabupaten Tanah Laut agar menggunakan satu peta dasar kehutanan yang hanya dikeluarkan oleh BPKH, tetapi jika belum dilakukan tata batas hendaknya tetap menggunakan peta penunjukkan (peta dasar 453). 2. Penambangan galian C hendaknya dikonsentrasikan di G. Batu saja, dan hentikan penambangan galian C di G. Dadaringan, G. Martadah, dan G. Bira.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Satistik. 2004. Tanah Laut Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Laut, Pelaihari. Kep. Menhutbun No.453/Kpts-II/1999. Peta Penunjukkan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan, Departemen Kehutanan, Jakarta PP Republik Indonesia No. : 40 Tahun 1996. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. PP Republik Indonesia No. : 47 Tahun 1997. Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-Ii/2006 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Menteri Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. SK. Mentri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 Tanggal
24 Nopember 1980. Tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan hutan Lindung. Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jendral Dept. Kehutanan, Jakarta. SK. Mentri Pertanian No. 683/Kpts/Um/8/1981 Tanggal 8 Agustus 1981. Tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Biro Hukum dan Organisasi, Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan, Jakarta. Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 399/ Kpts/II/1990 tentang Pedoman Teknis Pengukuhan Hutan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Depaetemen Kehutanan, Jakarta
Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 10 No. 27, Edisi September 2009
276