MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR DI PROPINSI GORONTALO)
ISWAN DUNGGIO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung: Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Januari 2012
Iswan Dunggio NIM E061060031
ABSTRACT ISWAN DUNGGIO. Model institution of Protected Forest Managament: Case Management of Gunung Damar Forest Protected in Gorontalo Province. Under Supervision by: SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN and RINEKSO SOEKMADI. The main objective of this research is to formulate a model of institutional management of Gunung Damar Protected Forest (GDPF). This would be achieved by: 1) Measuring the performance of GDPF management; 2) Analyzing the ecological and social economics situation in GDPF; 3) Analyzing the formal regulations on protected forest management; 4). Assessing the stakeholder’s behavior in management and use of GDPF in the District of Gorontalo and the District of Bone Bolango. Some research methods employed include analysis of forest land cover change, quantitative description, content analysis, and stakeholder analysis. The study reveals that: 1) The land coverage of GDPF area in Gorontalo District has been reduced by 3361.21 ha or 46.98%, while in the Bone Bolango District by 2281.28 ha or 27.36%, meaning that the remaining forest cover of GDPF Gorontalo District is only about 33.93% Bone Bolango District is 67.76%; 2) The socio-economic and ecological situation in GDPF is a characteristic that causes a source of interdependence among individual, groups of people or organizations. The presence of settlements in the region GDPF accompanied by a sense of ownership of agricultural lands in the region GDPF Gorontalo District, the lack of information about the length of boundaries of GDPF, the weakness of law enforcement, the distances between residence and forest area have been the reasons for high exclusion surplus costs, high transaction costs, joint impact goods, incompatibility, and mainly in Gorontalo District; 3) there is no mechanism to devise sanctions and incentives in the process of assignment and establishment, forest area as well as of and management of the protected areas that could encourage the local governments to formulate programs to optimize the management and utilization of protected forests; 4) There are 18 stakeholders in Gorontalo District and 14 stakeholders in Bone Bolango District that have interest in the management of GDPF. There is mismatch between those organizations’ main tasks and the GDPF management activities, especially in the Gorontalo District. The research concludes: 1) the performance of GDPF management is better in Bone Bolango District than in Gorontalo District; 2) The socioeconomic and ecological situations in GDPF has created interdependence where the inherent characteristics associated with these situations are high exclusion costs, high transaction costs, joint impact of surplus goods and incompatibility that occurs especially in Gorontalo District. 3) There has not yet been any mechanism to devise sanctions and incentives that could encourage the local government to formulate programs to optimize the management and utilization of protected areas; 4) the government regulations are inadequate to control stakeholder behavior in the GDPF 5) Model of institution GDPF management can be formulate as follows; a) property rights: to strengthening tenure GDPF as state property, provide special rights to community that has been long settle in GDPF such as acces, withdrawal, management and exclusion, b) jurisdiction boundary; to complete boundary area in GDPF c) rule of representation; socialization function and benefit GDPF to all stakeholder Keywords: situation, formal regulation, behavior, performance, model institution
RINGKASAN ISWAN DUNGGIO. Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung: Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Di Propinsi Gorontalo, di bawah bimbingan: SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN dan RINEKSO SOEKMADI Hutan lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan luas 20.117 ha. Keberadaan HLGD menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat karena merupakan hulu dari 3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Dilihat dari karakteristik sumberdaya maka HLGD merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resources) yang dikuasai negara. Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan model kelembagaan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tujuan antara yaitu: 1) Mengukur kinerja pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, 2) Menganalisis situasi ekologi, sosial ekonomi HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, 3) Menganalisis aturan-aturan formal yang mengatur aspek-aspek penetapan dan pemantapan kawasan, pengelolaan kawasan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengelolaan hutan lindung 4) Menilai perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perubahan tutupan hutan, deskripsi kuantitatif, analisis isi dan analisis stakeholder Hasil penelitian ini menunjukkan 1) Tutupan hutan kawasan HLGD antara tahun 1999-2009 HLGD di Kabupaten Gorontalo telah berkurang 3361,21 ha atau berkurang 46.98% sedangkan di Kabupaten Bone Bolango berkurang 2281,28 ha atau berkurang 27.36%. Saat ini kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang masih berhutan 33.93% sedangkan di Kabupaten Bone Bolango 67.76%. Tutupan hutan merupakan salah satu penentu kualitas DAS. Secara umum kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan DAS Bone di Kabupaten Bone Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh ratarata debit air sungai Bionga di Kabupaten Gorontalo 0,50 m3/detik dan di Sungai Bolango Kabupaten Bone Bolango 30,1 m3/detik. 2). Situasi sosial ekonomi dan ekologi HLGD merupakan karakteristik yang menimbulkan sumber interdependensi antar individu, kelompok orang atau organisasi. Terdapatnya pemukiman di dalam kawasan HLGD yang disertai dengan rasa memiliki lahan-lahan pertanian di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo, kurangnya informasi tentang panjang batas, lemahnya penegakan hukum, jarak pemukiman dengan kawasan hutan, dan jarak kawasan HLGD dengan pusat ekonomi menyebabkan terjadinya biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi tinggi, joint impact goods, inkompatibilitas dan surplus terutama di Kabupaten Gorontalo. 3) Dalam proses penetapan, pemantapan kawasan hutan dan pengelolaan hutan lindung, belum ada mekanisme pemberian sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung; sebagai contoh aturan formal penunjukkan HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Masih ditemukan beberapa peraturan perundangan yang tidak konsisten dengan peraturan diatasnya. 4) Terdapat 18 stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholders organisasi pemerintah dengan realitas di lapangan menunjukkan terdapat ketidaksesuaian antara tugas pokok
organisasi dengan kegiatan pengelolaan HLGD di lapangan terutama di Kabupaten Gorontalo. Ketidaksesuaian tugas pokok dengan realitas di lapangan berpengaruh terhadap perilaku stakeholders HLGD lainnya (selain pemerintah)..Untuk mengurangi atau mencegah perilaku stakeholders yang tidak sesuai maka peran stakeholder kunci: key player yaitu stakeholder yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh sama tinggi harus dioptimalkan dan context setter yaitu stakeholder yang dipandang sebagai sumber dari resiko bagi ketidakberhasilan perlu dikelola dengan seksama. Peran yang dapat dilakukan yaitu berpartisipasi dalam: 1) Memberikan informasi, 2) Koordinasi, 3) Kolaborasi. Berdasarkan temuan-temuan penelitian tersebut diatas maka kesimpulan dari penelitian adalah bahwa model kelembagaan pengelolaan HLGD dapat dirumuskan sebagai berikut: a) property rights, (1) mempertegas dan menguatkan status kepemilikan HLGD sebagai state property (2) sosialisasi kepada seluruh stakeholder terutama kepada masyarakat HLGD bahwa kawasan HLGD merupakan state property rights, (3) pemberian hak khusus kepada masyarakat yang telah lama menetap dan menggarap lahan di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses, hak mengambil hasil tanaman, hak mengelola dan hak mengeluarkan yang lain b) batas yurisdiksi; (1) menyelesaikan tata batas kawasan HLGD, (2) memperjelas dan menyederhanakan tugas pokok dan fungsi organisasi yang menjadi stakeholder dalam pengelolaan HLGD, c) aturan representasi; sosialisasi kepada seluruh stakeholder bahwa kawasan HLGD merupakan state property rights, termasuk sosialisasi fungsi dan manfaat-manfaat HLGD serta peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan HLGD Kata kunci: situasi, aturan formal, perilaku, kinerja, model kelembagaan
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR DI PROPINSI GORONTALO)
ISWAN DUNGGIO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) 2. Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Penguji Pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MS (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB) 2. Dr. Herwasono Soedjito, MSc. APU (Peneliti Utama LIPI)
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: : :
Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung (Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Di Propinsi Gorontalo) Iswan Dunggio E.061060031 Ilmu Pengetahuan Kehutanan Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS Anggota
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan baik, Tak lupa shalawat dan salam buat Nabi Muhammad SAW atas keteladannya. Judul dari disertasi yang dilaksanakan sampai dengan bulan Juli 2011 adalah Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung (Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo). Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS, sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS dan Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F sebagai anggota atas arahan dan diskusi yang sangat berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB atas pelayanannya selama menempuh studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada kepada istri tercinta Indah Agustinawati SE atas kesabaran dan doanya, orang tua Halim Dunggio dan Isna Pakaya, adik-adik Taufik Dunggio dan Sri Yulan Dunggio serta seluruh keluarga besar atas motivasi dan doa yang tulus kepada penulis, Rektor Universitas Gorontalo, Pemerintah Provinsi Gorontalo, Pemda Kabupaten Gorontalo, Pemda Kabupaten Bone Bolango, teman-teman angkatan 2006/IPK, teman-teman dosen dan mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo, teman-teman Asrama Gorontalo di Bogor. Semoga apa yang penulis lakukan ini akan bermanfaat buat bangsa, negara dan agama
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 14 Agustus 1974 sebagai anak pertama dari pasangan Halim Dunggio dan Isna Pakaya. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus tahun 1998. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang samadiperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo sejak tahun 2001 hingga saat ini. Pada tahun 2005 penulis bekerja di BAPPEDA Kabupaten Gorontalo dan kemudian pada tahun 2007 hingga sekarang penulis bekerja di Badan Diklat dan Kepegawaian Pemda Kabupaten Gorontalo. Selama mengikuti program S3, penulis sempat mendapatkan beasiswa untuk melaksanakan riset bersama dan magang di Wildlife Conservation Research Unit (WildCru) Departement Zoology University of Oxford dan Imperial College Conservation Science Group London Inggris. Hasil dari kegiatan tersebut menghasilkan karya tulis ilmiah berjudul Wildlife Conservation and Reduced Emissions from Deforestation in a Case Study of Nantu Wildlife Reserve Sulawesi: 2. An Institutional framework for REDD Implementation dan telah dipublikasikan di Jurnal International Environmental Science Policy tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis menghadiri Student Conference on Conservation Science di University of Cambridge UK atas beasiswa dari Mirriam Rostchild London Inggris. Karya ilmiah berjudul Analisis Degradasi Tutupan Lahan di Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo telah dimuat pada Jurnal Ilmiah Agropolitan volume 4 nomor 2 tahun 2011. Artikel lain yang berjudul Peubah Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Degradasi Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo akan diterbitkan pada Jurnal Inovasi Gorontalo volume 7 nomor 1 tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis
DAFTAR ISI
Hal DAFTAR TABEL……………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………
xii xiv xvi
I.
1 1 4 6 8 8 8
PENDAHULUAN………………………………………………………… 1.1. Latar Belakang…..………………………………………………….. 1.2. Kerangka Pikir……..……………………………………………….. 1.3. Perumusan Masalah………………………………………………... 1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 1.6. Novelty………………………………………………………………
II. TINJAUAN PUSTAKA…….………………………………………......... 2.1. Kelembagaan…….………………………………………………….. 2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources…………………. 2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung……………………………. 2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia……………………………………… 2.5. Dampak Degradasi Hutan……..…..……………………………….. 2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung……………………………………….
9 9 11 14 16 17 19
III. METODE PENELITIAN………………………………………………….. 3.1. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………. 3.3. Jenis Data……………….…………………………………………… a. Data Utama…………….………………………………………. b. Data Penunjang ……………..…………………………………. 3.4. Bahan dan Alat……………………………………………………… 3.5. Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 3.6. Analisis Data…………………………………………………………. a. Analisis Kinerja Pengelolaan HLGD …………………………… b. Analisis Situasi di HLGD ………………………………………. c. Analisis Isi…………..…………………………………………… d. Analisis Perilaku Stakeholder di HLGD………………………… e. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD.……………… 3.7. Definisi Operasional….………………………………………………..
21 21 21 22 22 24 24 24 25 25 26 27 28 29 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 4.1. Analisis Kinerja Pengelolaan HLGD…………………………..…….. a. Perubahan Tutupan Lahan HLGD…………………………………
35 35 35
b. Debit Sungai dan Sedimentasi………………………….……….. 4.2. Situasi di HLGD………………………….. …………………….…… a. Situasi Ekologi di HLGD………..………………………………. b. Situasi Sosial Ekonomi di HLGD……………………………….. c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi……………………….. 4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung ……………………….. a. Hak Kepemilikan (property rights) atas Kawasan HLGD.…….. b. Penetapan dan Pemantapan hutan lindung……………………. c. Pengelolaan Hutan Lindung……………………………………. d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung……………….. 4.4. Perilaku Stakeholder di HLGD………………………….…………... a. Stakeholders di HLGD…………………………..……………… b. Tugas Pokok Stakeholder……………………………………….. c. Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder …..……………………. d. Perilaku dan Kinerja Stakeholder………………………………. 4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolang…………….. a. Batas Yurisdiksi…………………………………………………. b. Hak Kepemilikan ……………………………………………….. c. Aturan Representasi…………………………………………….. V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………. 5.1. Kesimpulan………………………………………………………….. 5.2. Saran………………………………………………………………….
110 113 114 115 118 118 119
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
120
LAMPIRAN…………………………………………………………………….
133
50 52 52 57 66 73 77 78 82 85 86 86 87 96 106
DAFTAR TABEL No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Hal Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian…………………………… Data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian………………………. Aspek Manajemen hutan lindung yang diatur oleh Peraturan perundangan Perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999-2009……………………………………. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2001 di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2001-2004 di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2004-2009 di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2009 di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2001 di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2001-2004 di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2004-2009 di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. Debit air sungai Bionga dan Sungai Bolango ………………...…………… Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango ………………….. Jenis Tutupan Lahan di HLGD Tahun 2009………….……………………. Kelas Lereng dan Luasnya di Hutan Lindung Gunung Damar …………… Jenis Tanah dan Luasnya di Hutan Lindung Gunung Damar ……………. Tingkatan kedalaman solum tanah Hutan Lindung Gunung Damar …….. Tingkat bahaya erosi di kawasan Hutan Lindung Gunung Damar ……….. Potensi Lahan Kritis dan Luasannya di Hutan Lindung Gunung Damar… Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa ….…………………. Sumber Mata Pencaharian Penduduk di Desa Sampel di HLGD ..………… Luas Lahan Jagung dan Produksinya di sekitar HLGD……………………. Perkembangan Harga Jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango.. Tingkat Pendapatan Petani Sampel di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango………………………………………………….. Jarak Pemukiman Desa Sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango…………………………………………………… Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD ………………………. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD di desa sampel……..…… Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD……………………………... Indeks Daya Dukung Wilayah di sekitar HLGD ………………………….
22 24 27 35 37 37 38 43 44 45 45 50 51 53 54 54 55 55 56 57 58 58 59 59 60 62 63 63 64
30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Jumlah penduduk miskin di desa-desa sampel …………………………… Tingkat Pendidikan Penduduk Sampel di Sekitar HLGD ………………… Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan perundangan Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD………………. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo…………………………………………………….. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango……………………………………………….. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango………… Stakeholders Pengguna dan menikmati sumberdaya HLGD serta terlibat dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango… Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan hutan lindung ……………………………………………………………….. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo…………………………………………………….. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango………………………………………………… Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD…… Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kabupaten Gorontalo Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kabupaten Bone Bolango…………………………………………………… Perbandingan Institusi Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango ………………………………………….……
64 65 73 86 88 89 92 93 95 97 98 102 106 108 111
DAFTAR GAMBAR
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Hal Kerangka Pikir……………………………………………………………… Hubungan antara persentase luas hutan Negara dan kemiskinan............ Peta lokasi penelitian……………………………………………………….. Matriks stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya .………. Tahapan Penelitian…………………………………………………………. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Gorontalo Periode 1999-2009…………………………………………………………… Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001……………………. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004……………………. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009……………………. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Bone Bolango... Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001……………….. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004……………….. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009……………….. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo……………. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango………..
6 18 21 29 35 39 40 41 42 46 47 48 49 99 100
DAFTAR LAMPIRAN
No 1.
Hal Peraturan perundang undangan………………………………………………..
133
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan pengertian menurut versi undang-undang 41 tersebut maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam berupa stock yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya intangible. Menurut Basuni (2003) pemanfaatan sumberdaya beragam yang dihasilkan dari
fungsi-fungsi
intangible
hutan
akan
mengakibatkan
terjadinya
interdependensi antar pengguna. Kartodihardjo et al. (2004) mengemukakan bahwa sumberdaya alam bisa digolongkan dalam bentuk stock atau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung, pesisir yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Sumberdaya alam dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi tersebut tidak bisa dibagi-bagi kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan. Salah satu kawasan hutan yang bersifat stock seperti itu adalah hutan lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo. Hutan lindung Gunung Damar ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan luas 20.117 ha atau 12% dari seluruh total kawasan hutan lindung di Propinsi Gorontalo. Meskipun luasanya hanya 12% dari total hutan lindung di Propinsi Gorontalo, HLGD menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat khususnya di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo karena merupakan hulu dari 3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Secara administrasi HLGD terletak di dua kabupaten yaitu; Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango. Disamping sebagai hulu dari 3 DAS penting, HLGD juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pertanian, perkebunan dan memanfaatkan jasa lingkungan seperti air. Beberapa pihak seperti Universitas Gorontalo memanfaatkan HLGD sebagai lokasi penelitian dan perkemahan, perusahaan daerah air minum (PDAM) memanfaatkan HLGD sebagai sumber air baku.
2 Jika dilihat dari karakteristik sumberdaya maka HLGD merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resource) yang dikuasai negara. Penguasaan negara terhadap hutan lindung telah ditegaskan dalam UndangUndang 41 Tahun 1999. Sejak sistem otonomi daerah diberlakukan maka terjadi perubahan kelembagaan pengelolaan hutan. Perubahan ini terjadi pada pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola kawasan hutan lindung. Kewenangan tersebut antara lain mengeluarkan beberapa perizinan yang berkaitan dengan pemanfatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan berdasarkan keadaan daerah; dan memberikan usulan-usulan tentang kebijakan makro ke pemerintah pusat. Pendelegasian kewenangan pengelolaan hutan lindung terjadi sejak tahun 1998 berdasarkan PP No 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah. Selanjutnya pengaturan pendelegasian beberapa kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diperkuat lagi melalui Undang-Undang No 32 tahun 2004,
yang mulai
diundangkan dan berlaku pada tanggal 15 Oktober 2004; Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik. Pada dasarnya desentralisasi dibidang kehutanan mengandung sisi positif yaitu kelembagaan kehutanan daerah bersifat mandiri dengan tugas dan fungsi yang jelas, mempunyai legitimasi untuk menentukan kebijakan-kebijakan di bidang kehutanan sesuai dengan kondisi dan potensi spesifik daerah, kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan lebih banyak berpihak kepada masyarakat, dan membuka peluang pengembangan pusatpusat perekonomian di daerah. Hal ini sesuai pendapat para ahli, bahwa kebijakan sentralisasi telah memberikan kontribusi terhadap degradasi hutan akibat kurang jelasnya property right lokal dan kurangnya insentif yang terkait dengan collective
3 action1. Sebagai contoh, kurang jelasnya kepemilikan hutan di Thailand dan Nepal merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap deforestasi (Vandergeest 1996; Ma 1999; Nagendra 2002). Namun faktanya selama hampir 12 tahun ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung, di lapangan masih ditemukan adanya kasus illegal logging, perambahan hutan, pembangunan jalan yang menghubungkan antar desa dan terdapatnya pemukiman. Bahkan pada tahun 2004 berdasarkan penuturan dari kepala Desa Malahu Kabupaten Gorontalo sebagian lahan yang dikuasai oleh masyarakat telah mendapat sertifikat. Harapan pengelolaan hutan diera otonomi menjadi semakin baik ternyata dalam perjalanannya menemui permasalahan. Permasalahan yang ditemukan di HLGD membuat kualitas lingkungan yang terdapat di HLGD menurun salah satunya adalah tingkat kekritisan hulu DAS. Menurut Fadhli (2011) luas lahan kritis hulu DAS Bionga yang terdapat di HLGD mencapai 2316.76 ha. Selanjutnya BP-DAS Bone Bolango (2009) melaporkan total erosi diwilayah hulu DAS Bionga mencapai 8.222 ton/tahun sedangkan DAS Bolango mencapai 5.939 ton/tahun. Saat musim kemarau debit air sungai Bionga pun menurun menjadi 0.50 m3/detik, jika dibandingkan dengan debit air rata rata DAS lainnya yang ada di Propinsi Gorontalo yang mencapai 37.14 m3/detik. Kerusakan HLGD yang berada di hulu DAS Limboto telah menyebabkan pendangkalan di Danau Limboto karena tingginya sedimentasi. Menurut Firman (2006), akibat tingginya sedimentasi, luas Danau Limboto tinggal 30 km2 atau berkurang sekitar 62.5% dengan kedalaman 2.5 – 4 meter. Semua permasalahan yang mengemuka di atas mengindikasikan bahwa pemerintah selaku penguasa atas sumberdaya belum berhasil melakukan pengelolaan HLGD karena tujuan pengelolaan hutan sebagai mana yang diamanatkan dalam peraturan perundangan belum tercapai. Diduga salah satu penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah faktor kelembagaan. Sehingga penelitian tentang kelembagaan pengelolaan HLGD menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan 1
Collective action adalah suatu aksi yang dilakukan oleh sekolompok individu baik secara langsung maupun tidak langsung melalui suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Marshal, 1998). Selanjutnya Ostrom (2004) menambahkan bahwa aksi kolektif akan timbul bila dalam mencapai satu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu
4 1.2. Kerangka Pikir Sebagai salah satu sumberdaya bersama (common pool resource) yang dikuasai
negara,
maka pemerintah menetapkan serangakaian
peraturan-
perundangan untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia termasuk HLGD di Provinsi Gorontalo. Dalam mengelola sebuah sumberdaya alam bersama (CPR2) tantangan terbesarnya adalah kebebasan individu-individu di setiap komunitas lokal untuk melakukan penguasaan terhadap CPR makin besar. Akibatnya terjadi konflik, tumpang tindih penggunaan lahan dan berlangsungnya fenomena tragedy of the common. (Dharmawan et al, 2004). Menurut Tjitradjaja (2008) pada sumberdaya milik bersama yang bebas akses melekat pula situasi ketiadaan jaminan kepastian. Seorang pengguna tidak mungkin secara sukarela mengekang perilaku pemanfaatan sumberdaya yang menguntungkannya, meskipun perilaku tersebut berakibat merugikan banyak orang. Baland and Platteau (1996) menyatakan bahwa, tidak adanya aturan yang jelas pada regim CPR cenderung menyebabkan degradasi sumber daya jika (1) populasi pengguna relatif besar terhadap sumber daya, dan (2) pendapatan dari mengeksploitasi sumber daya relatif tinggi atau jika pengguna tidak memiliki pilihan pekerjaan di tempat lain. Secara teoritis sistem pengelolaan CPR dapat menjadi dasar pengaturan hak-hak individual yang efektif. Struktur penguasaan lahan bersama dalam CPR yang dikukuhkan oleh masyarakat serta pemerintah lokal dapat menghindarkan konflik. Namun pada kenyatannya banyak CPR tidak lagi berfungsi secara sempurna karena masuknya beragam kepentingan ekonomi dan politik atas sumberdaya tertentu yang justru memicu pertentangan dan perseteruan sosial. Persoalan ini bertambah rumit setelah sistem otonomi daerah diberlakukan. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur pengguna sumberdaya hutan mengingat karakteristik HLGD sebagai CPR. Namun demikian peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum menjamin keberhasilan pengelolaan tersebut, sehingga
2
Common pool resource adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingg sangat sulit untuk mengontrol sumberdaya tersebut dan sumberdaya menjadi sangat mudah terdegrdasi (McKean, 2000)
5 diperlukan aspek lain yaitu kelembagaan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pengelolaan HLGD. Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi konsep analisis kelembagaan yang dikemukakan oleh Oakerson (1992) dan Heltberg (2001). Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat memahami bagaimana seharusnya suatu kelembagaan dapat menjamin kejelasan hubungan atau relasi sosial antar stakeholder dalam pemanfaatan hutan lindung. Analisis model kelembagaan ini terdiri dari beberapa tahap: 1) karakteristik spesifik tentang sumberdaya ekologi dan sosial ekonomi 2) Pengambilan keputusan pemerintah yang mengatur antara pengguna sumberdaya yang satu dengan yang lainnya 3). Perilaku sejumlah pengambil keputusan 4) Outcome. Karakteristik spesifik sumberdaya akan mempengaruhi fungsi dan institusi dalam mengelola sumberdaya alam. Karakteristik sumberdaya dan institusi akan mempengaruhi pola penggunaan sumberdaya. Sedangkan pola penggunaan sumberdaya akan mempengaruhi perilaku pengguna dan perilaku pengguna pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja atau outcome. Hayes (2007) mengungkapkan bahwa dalam rangka untuk memahami bagaimana property right mempengaruhi pengelolaan sumber daya maka kita harus mengetahui karakteristik sumber daya dan pengguna sumberdaya tersebut. Pemahaman tentang karakteristik sumberdaya dan institusi menjadi sangat penting untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Kinerja atau outcome dapat tercapai jika institusi yang berlaku mampu mengarahkan perilaku dan kelompok masyarakat untuk tidak melakukan pemanfaatan hutan lindung secara illegal. Untuk lebih jelasnya konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar 1
6 .
SITUASI HLGD Sosial Ekonomi
Ekologi
Karakteristik Hutan Lindung Gunung Damar (common pool resources) Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Bone Bolango
Kebijakan Pemerintah Tentang Hutan Lindung
KELEMBAGAAN
Aturan Formal
Organisasi
PERILAKU 1. Masyarakat sekitar hutan lindung 2. Pemerintah dan Pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango 3. Lembaga Swadaya Masyarakat 4. Individu: tokoh masyarakat, perguruan tinggi
Model Kelembagaan Pengelolaan HLGD
OUTCOME Perubahan tutupan lahan a. Kabupaten Gorontalo b. Kabupaten Bone Bolango
Gambar 1. Kerangka Pikir (diadopsi dan modifikasi dari Oakerson (1992), Heltberg (2001) 1.3. Perumusan masalah Penunjukkan hutan Gunung Damar menjadi kawasan hutan lindung merupakan salah satu cara penting untuk menjamin agar sumberdaya hutan tersebut dapat dilestarikan sehingga mampu menjadi salah suatu sistem penyangga kehidupan. Akan tetapi penunjukkan hutan lindung oleh pemerintah telah menyebabkan
ketidakpastian
bagi
masyarakat
yang
sejak
lama
telah
7 memanfaatkan hutan lindung Gunung Damar. Akibatnya timbul permasalahan serius dalam pengelolaan HLGD seperti kegiatan ladang berpindah, permukiman dan pengambilan hasil hutan. Situasi permasalahan ini menunjukkan rendahnya kinerja pemerintah dalam mewujudkan tujuan pengelolaan HLGD. Menurut Schmid (1987) rendahnya kinerja institusi disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidakpastian kepemilikan hak, rendahnya kapasitas lembaga dan tidak efisiennya mekanisme pasar. Schmid (2004) memaparkan kepastian hak pemilikan sumberdaya menjadi insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmampuan sebuah organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dalam rangka menudukung misi organisasi. Mengacu pada pendapat North (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal atau policy yang mengatur hubungan antar kelompok dalam hubungannya dengan HLGD dan saling hubungan antar kelompok dengan sumberdaya hutan, karena aturan formal menentukan perilaku kelompok. Oleh karena itu untuk mengungkapkan kelembagaan dalam pengelolaan HLGD oleh pemerintah daerah, permasalahan aturan formal juga harus diketahui, khususnya aturan formal yang mengatur
pengelolaan
hutan
lindung
oleh
lembaga
pemerintah
yang
berkepentingan. Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja pengelolaan HLGD? 2. Bagaimana situasi ekologi dan sosial ekonomi di HLGD? 3. Apakah penguatan fungsi hutan lindung dan optimalisasi pemanfaatannya sudah diatur dalam peraturan formal pengelolaan hutan lindung? 4. Bagaimana perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model kelembagaan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar guna memperbaiki kinerjanya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan pencapaian beberapa tujuan antara dari penelitian yaitu
8 1. Mengukur kinerja pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 2. Menganalisis situasi ekologi, sosial ekonomi HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 3. Menganalisis aturan-aturan formal yang mengatur aspek-aspek penetapan, pemantapan kawasan hutan lindung, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan kawasan hutan lindung 4. Menilai perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan pengelolaan HLGD yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan bagi pengelolaan HLGD 1.6.
Novelty Kebaharuan dari penelitian ini adalah penerapan metodologi dan teori
kelembagaan pada situasi yang baru yaitu merumuskan kelembagaan pengelolaan hutan lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelembagaan Menurut Hayami dan Kikuchi (1987) dan Bardan (1989) dalam Peter (2000) kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan merupakan suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya. Kedua: kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (1998) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideology, hukum adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrument yang mengatur individu3. Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak. Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Shafer dan Smith dalam Pakpahan, 1989), yaitu batas kewenangan (jurisdictional boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang uraiannya adalah sebagai berikut; 1. Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya 3
Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi, organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain pemain atau organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North, 1990)
10 tersebut harus dikonsumsi secara bersama (kolektif) maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan dari pengguna sumberdaya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaman seperti yang diharapkan ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat (sense of community), eksternalitas (externality), homogenitas (homogenety) dan skala ekonomi (economies of scale). Anwar (2001) menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (suistainability) sumberdaya tersebut dan pembagian (share) manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak. 2. Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan 2) hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. 3. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
terhadap
perwakilan/repsentasi
keadaan yang
dan
digunakan
ditentukan dalam
proses
oleh
kaidah
pengambilan
keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut. Pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran, bahwa jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai
11 kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat. Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau kelembagaan
dapat
merubah
faktor
eksternal
(eksogen)
dalam
proses
pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal (endogen) dalam pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber interdependensi
merupakan
karakteristik
sumberdaya
yang
dibicarakan.
Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi. 2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse (Ostrom, 1990) Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1999) untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti
12 setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries). Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh bentuk CPRs yang banyak dibahas dalam berbagai literatur, selain sistem irigasi, perikanan (fisheries), dan padang penggembalaan ternak (rangelands) (Ostrom 1999). Deforestasi yang masif di negara-negara tropis dan penggurunan (desertification) wilayah Sahel merupakan contoh- contoh yang digunakan banyak pakar untuk menggambarkan teori tentang CPRs. Menurut Ostrom (1999) sumberdaya hutan dengan berbagai macam atribut yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya yang sulit dikelola secara berkelanjutan, efisien dan adil oleh pemerintah. Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan untuk dapat mengaturnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Ostrom (1990) yang menyatakan: (1) privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, (2) pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan (3) masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak atas kepemilikan suatu sumberdaya air, dicirikan oleh 1) Acces adalah hak untuk memasuki suatu sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) Withdrawal, adalah hak untuk mengambil sumberdaya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan. (3) Management adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) Exclusion,
13 adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya. Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama (collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada. Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap (propriator), (3) pengklaim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas (authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah. Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama (CPR) maka Ostrom (1990) menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1) tata batas terdefinisikan dengan jelas, 2) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal, 3) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4) monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik
14 terhadap sumberdaya tersebut, 5) terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan 6) mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan mudah diakses, 7) terdapat pengakuan hak dari organisasi lain, 8) Dalam kasus CPR yang luas; organisasi bisa berbentuk beberapa lapisan yang lebih kecil dan berbasis lokal 2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi kehutanan Indonesia karena UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 28 tahun akhirnya digantikan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sampai dengan tahun 2001, rejim pengaturan kehutanan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung lebih banyak di dominasi oleh Keputusan Menteri tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Antara tahun 1981-1986 penunjukkan kawasan hutan lindung ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian. Namun antara tahun 1986-2003 penetapan dan penunjukkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung dilakukan melalui SK Menteri Kehutanan. Pada tahun 1990 pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Keppres ini menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kawasan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan yang dilindungi adalah hutan lindung. Hutan lindung dianggap merupakan salah satu dari kawasan lindung karena dianggap merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberi perlindungan kepada kawasan disekitar maupun dibawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Oleh karena itu hutan perlu dilindungi. Akan tetapi Keppres No 32 Tahun 1990 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka pengelolaan hutan lindung. Hal tersebut disebabkan karena Keppres tersebut tidak hanya mengatur hutan lindung tetapi juga berbagai kawasan yang masuk sebagai kawasan lindung. Secara nasional ketentuan mengenai pengelolaan hutan lindung diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan No 464/Kpts-II/1995 yang selanjutnya
15 dirubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung. Ketentuan ini merupakan satu satunya payung hukum yang mengatur pengelolaan hutan lindung terutama karena UU No 5 Tahun 1967 pada dasarnya hanya menekankan pada pengurusan hutan yang bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar besarnya, namun tidak mengatur pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pasal pasal yang secara jelas mengatur pengelolaan hutan lindung. Demikian pula halnya dengan PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan sebagai salah satu turunan dari UU No 5 tahun 1967 lebih banyak menyinggung tentang perlindungan hutan secara makro, dari pada berisi tentang ketentuan khusus tentang hutan lindung. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung telah diakomodir kepentingan dan peran masyarakat, karena pemerintah menilai masyarakat sangat berkepentingan dengan kawasan hutan. Meskipun demikian mekanisme peran serta masyarakat tidak dijelaskan dalam keputusan ini dan tidak pula disebutkan bahwa hal tersebut akan diatur dalam peraturan tersendiri. Apabila melihat pada pengelolaan secara keseluruhan maka jelas bahwa pendekatan pengelolaan hutan lindung sangat
bersifat
top
down
dan
kelembagaannya sangat didominasi oleh Departemen Kehutanan. Dengan kata lain sebagian kewenangan pengelolaan hutan lindung masih berada ditangan pemerintah pusat, walaupun telah disebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung berada ditangan pemerintah daerah. Khususnya dibidang kehutanan, terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan harapan bahwa perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi lebih baik dan komprehensif. Walaupun kewenangan pengelolaan atas masing-masing hutan lindung tidak lagi dibawah kendali pemerintah pusat, namun secara nasional pemerintah pusat sebagaimana tercantum pada pasal 2 PP No 38 tahun 2007 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam membuat pedoman.
16 2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia Degradasi hutan melalui proses alih guna lahan hutan secara proses legal (kebijakan pemerintah) maupun akibat perambahan oleh masyarakat, menjadi suatu dilema yang sangat mengkwatirkan, saat ini degradasi hutan sebesar 1,8 juta Ha per tahun (Dephut,2004). Permasalahan degradasi ini menjadi hal yang sangat penting jadi perhatian semua pihak karena hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Menurut Butler (2007) dalam Mahmuddin (2009), antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi. Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, perkebunan, dan perambahan hutan. Aktivitas manusia yang menyumbang kerusahakan hutan terbesar adalah kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit. Menurut data Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DEPHUT 2006), laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare per tahun pada kurun 1985-1998 dan 2,83 juta hektar per tahun pada 1987-2000, namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan mencapai 69,9 juta hektar. Dengan kemampuan merehabilitasi kawasan hutan selama 2003-2007 hanya 846.904 hektar, maka degradasi hutan masih menghantui Indonesia. Sementara untuk 2008, Dephut merencanakan penanaman seluas 1,7 juta hektare dan untuk tahun ini 1,9 juta hektare. Di sisi lain, ancaman degradasi tidak hanya ada di kawasan hutan. Data Ditjen RHL juga menyebutkan luas lahan kritis di luar kawasan hutan pada 2003 sudah mencapai angka 41,5 juta hektar. Dengan luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan sampai akhir tahun ini diperkirakan
17 mencapai 110,6 juta hektare, maka total penanaman dalam rangka Gerakan Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mencapai 2,028 juta hektar baru ibarat setitik air di padang tandus. Makin luasnya lahan kritis ini tidak saja merugikan industri pengolahan kayu yang terancam kesulitan memperoleh pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri secara berkesinambungan dan lestari. Degradasi lahan dan hutan juga mengancam kelestarian sumber air, selain menyebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global. 2.5. Dampak Degradasi Hutan Menurut hasil penelitian Ihsanurizal (2005) bahwa dampak langsung dari adanya degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah hilangnya potensi kayu, pengambilan manfaat dari kayu hasil hutan non kayu senilai Rp 24,45 miliar. Akibat dampak ini pula perekonomian di Kalimantan Timur turun sebesar 0,17%. Sedangkan dampak tidak langsung dari degradasi hutan adalah turunnya supply kayu bagi industry kayu, dengan demikian para pekerja yang berhubungan dengan industry sektor kehutanan akan kehilangan sebagian mata pencaharian. Menurut Hutajulu (2010) akibat adanya degradasi hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar di Kabupaten Jayapura, negara kehilangan pendapatan sebesar Rp 1.942.866.894.272,- yang terdiri dari Rp 1.941.855.537.720, potensi kehilangan kayu Rp 465.211.270,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Rp 546.145.282,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.178.264.000. Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu dan lain sebagainya dengan nilai kerugian sebesar Rp 152.325.000. Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat akibat tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni sebesar Rp 15.102.600. Degradasi hutan dan ekosistemnya yang terjadi akibat pembalakan liar ternyata juga diiringi dengan menurunnya kemampuan penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam daya beli dan akses terhadap SDAH. Keadaan ini
dipersulit dengan minimnya kemampuan pemerintah dalam membangun
18 fasilitas kesehatan dan pendidikan. Menurut Munawar (2010), Degradasi lahan sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Sekalipun hubungan degradasi hutan dan kemiskinan belum tentu berbanding lurus dan kemiskinan bukan tanggung jawab utama
sektor
kehutanan, kehadiran pengelola hutan komersial secara tidak langsung telah membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang pada mulanya merupakan tempat mereka menggantungkan hidup (Sumarjani, 2006). Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa semakin luas kawasan hutan yang dimiliki oleh suatu wilayah maka angka kemiskinan pun semakin besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini
PERSEN
100 80 60 40
% Kaw asan Hutan/Daratan
Papua
Maluku
Sultra
Sulteng
Kalbar
Kaltim
Bengkulu
Sulsel
Sulut
Sumut
Kalteng
NAD
Kalsel
Riau
Bali
-
DKI
20
% Penduduk Miskin/Penduduk
Gambar 2. Hubungan antara persentase luas Kawasan Hutan Negara dengan Penduduk Miskin di Beberapa Propinsi (Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006) 2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan
19 tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II/ jo No 140/KptsII/1998 dan SK Dirjen PHPA No 129/Kpts-DJ-VI/1996 meliputi: 1. Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata dan potensi sumberdaya air 2. Pemancangan dan pemeliharaan batas 3. Perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. Rehabilitasi hutan yang rusak 5. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan 6. Peningkatan peran masyarakat Pasal 24 ayat (1) PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan lindung adalah meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa liar dan budidaya hijauan pakan ternak. Selanjutnya dalam pasal 25 (2) PP No 6/2007 dalam kawasan hutan lindung juga bisa laksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan seperti pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanakeragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan serta penyimpanan karbon. Undang-undang menekankan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung. Dengan demikian maka setiap daerah yang akan melakukan pengelolaan atau tata hutan pada hutan lindung harus mengacu pada ketentuan perundangundangan yang berlaku. Hal penting yang diatur dalam pemanfaatan hutan lindung adalah tidak diijinkan menggunakan alat mekanis dan alat berat, atau membangun sarana dan prasarana permanen yang menyebabkan terganggunya fungsi kawasan.
20 Untuk memanfaatkan hutan lindung berupa pemanfaatan hasil hutan non kayu, izin usahanya dapat diberikan pada perseorang atau koperasi. Sementara untuk ijin pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, BUMN dan BUMD. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
pemberian
ijin
pemanfaatan
hutan
lindung
diberikan
oleh
Bupati/Walikota jika wilayah kelola berada pada satu wilayah administrasi. Apabila wilayah kelola berada pada lintas Kabupaten dalam satu propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Gubernur. Sedangkan untuk wilayah hutan lindung yang berada pada 2 wilayah propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Walaupun wewenang pengelolaan hutan lindung telah dimiliki oleh propinsi dan kabupaten/kota menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, namun setiap aspek dan kegiatan terkait yang dikembangkan dan dilaksanakan haruslah mengacu pada kepada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai payung hukum aturan bidang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 yang memberikan landasan operasionalnya. Keharusan untuk mengacu kepada suatu aturan yang lebih tinggi tersebut merupakan doktrin umum tentang produk hukum, yang disebut dengan asas les superior derogate inferiori, dimana aturan yang lebih rendah harus mengacu kepada dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Itulah sebabnya dalam penyusunan Suatu Perda harus mencantumkan peraturan yang relevan sebagai dasar hukum di dalam konsideran yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun tingkatannya sama
21
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu: 1) analisis kinerja pengelolaan HLGD 2). analisis terhadap situasi ekologi dan sosial ekonomi, 3) analisis aturan formal tentang aspek pemantapan kawasan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan kawasan HLGD, 4) analisis perilaku stakeholder di HLGD, 5) merumuskan kelembagaan pengelolaan HLGD yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di HLGD Propinsi Gorontalo. Pra penelitian dilakukan pada bulan September 2010-Desember 2010. Kegiatan penelitian itu sendiri dimulai pada bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Hutan Lindung Gunung Damar
22 3.3. Jenis Data a.
Data Utama Data utama dalam penelitian ini secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian Aspek Penelitian
Data/Informasi
Perubahan tutupan lahan
Biofisik
Sedimentasi
Debit air Pertumbuhan penduduk Jumlah Penduduk Miskin Lahan konflik Sosial ekonomi Gangguan terhadap kawasan HLGD Daya dukung
Rujukan
Kegunaan data
Jenis dan luas perubahan Mendeskripsikan luas penutupan lahan di dan sebaran perubahan kawasan hutan lindung tutupan lahan berdasarkan kriteria IPCC Rata-rata sedimentasi Mendeskripsikan jumlah setiap tahun yang terjadi sedimentasi yang di DAS Bionga dan terdapat di DAS Bionga DAS Bolango dan DAS Bolango Rata-rata debit air setiap Mendeskripsikan jumlah tahun yang terjadi di sedimentasi yang DAS Bionga dan DAS terdapat di DAS Bionga Bolango dan DAS Bolango Tingkat pertumbuhan Mendeskripsikan tingkat penduduk pertumbuhan penduduk. Tingkat kemiskinan Mendeskripsikan jumlah penduduk miskin di dalam dan disekitar kawasan hutan lindung Luas lahan garapan di Mendeskripsikan luas dalam kawasan hutan lahan garapan penduduk di dalam kawasan hutan lindung Jumlah kasus pencurian Mendeskripsikan kasus kayu di dalam kawasan pencurian kayu di dalam hutan lindung kawasan hutan lindun Indeks koefisien lokasi
Mendeskripsikan daya dukung lahan Daya dukung Indeks koefisien sektor Mendeskripsikan daya sektor pertanian pertanian dukung sektor pertanian
23 Lanjutan Tabel 1 Aspek Penelitian
Sosial ekonomi
Kelembagaan
Data/Informasi
Rujukan
Kegunaan data
Luas lahan masyarakat diluar kawasan hutan lindung HLGD Luas lahan jagung disekitar kawasan HLGD
Luas lahan dalam satuan hektare yang dikuasai oleh setiap kepala keluarga
Kebijakan penetapan harga jagung
Harga jagung di tingkat petani disekitar kawasan HLGD
Mendeskripsikan luas lahan yang dikuasai oleh setiap kepala keluarga dalam kaitannya dengan pola penggunaan lahan Mendeskripsikan tingkat produktivitas jagung yang digarap oleh setiap kepala keluarga dalam kaitannya dengan pola penggunaan lahan Mendeskripsikan perkembangan harga jagung yang diduga mempengaruhi pengelolaan lahan didalam hutan lindung Mendeskripsikan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung
Luas lahan jagung dalam satuan hektar yang dikuasai oleh setiap kepala keluarga
Peraturan Peraturan perundangan perundangmeliputi: undangan 1. Undang undang mengenai hutan 2. Peraturan lindung pemerintah 3. Keputusan presiden 4. Peraturan menteri 5. Keputusan menteri 6. Peraturan daerah 7. Keputusan Bupati Klasifikasi Klasifikasi stakeholders: stakeholders 1. Stakeholders subyek yang terlibat 2. Stakeholders key dalam player pengelolaan 3. Stakeholders context HLGD setter 4. Stakeholder Crowd Tugas pokok Klasifikasi tugas pokok dan fungsi tersebut dimodifikasi lembaga formal dari Undang-Undang 41 dalam Tahun 1999: pengelolaan 1. Penetapan dan HLGD Pemantapan 2. Pengelolaan 3. Pembinaan dan Pengawasan
Mendeskripsikan stakeholders berdasarkan tingkat kepentingannya, pengaruh dan posisi stakeholders dalam pengelolaan HLGD Untuk mengidentifikasi perilaku dan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan HLGD
24 b.
Data penunjang Data penunjang dalam penelitian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian Aspek Penelitian Biofisik
Sosial ekonomi
Kelembagaan
Data/informasi
Rujukan
Kegunaan data
Pola dan tipe Mendeskripsikan Penggunaan lahan penggunaan lahan Pola dan tipe penggunaan lahan Jumlah dan struktur Mendeskripsikan umur penduduk, karakteristik Karakteristik mata pencaharian penduduk yang penduduk penduduk tinggal dan diluar kawasan hutan lindung Mendeskripsikan efektifitas tata batas kawasan Informasi panjang Tata batas HLGD dalam batas kawasan yang kawasan HLGD menentukan telah di tata-batas yurisdiksi pengelolaan HLGD
3.4. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah peta-peta dasar kawasan hutan hutan lindung dan sekitarnya, citra landsat tahun, 1999, 2001, 2004 dan 2009, peta rupa bumi Gorontalo skala 1: 50.000, peta tanah Gorontalo 1: 250..000, Peta RTRW Kabupaten dan Propinsi Gorontalo, alat tulis menulis Alat-alat yang digunakan untuk survei lapangan adalah Global Positioning System (GPS), alat perekam, laptop, personal komputer, printer, software Arc/Info versi 3.1.5, ArcView 3.2. 3.5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data utama dilakukan dengan menggunakan 2 metode. 1) Metode survey lapangan yaitu teknik untuk menggali data yang berkaitan dengan situasi ekologi dan sosial ekonomi, pola pemanfaatan lahan, 2) Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data dan informasi tentang perilaku pihak-pihak yang melaksanakan pengelolaan HLGD. Metode wawancara
25 yang dilakukan terdiri atas wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner maupun wawancara tidak terstruktur Pengumpulan data penunjang dilakukan dengan cara studi literatur untuk mempelajari beberapa dokumen peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung. Selain itu dilakukan studi literatur terhadap dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh intansi terkait. Dokumen ini berupa buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan (diskusi, workshop, seminar) dan lain sebagainya. Dokumen tersebut dikumpulkan dengan menggunakan purposive sampling dalam artian dokumen yang diambil sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun dokumen yang dibutuhkan diantaranya adalah memiliki substansi terkait dengan topik penelitian; dokumen cetak atau digital. Sumber data adalah responden dari berbagai stakeholder yaitu: 1) instansi atau lembaga pemerintah yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), Universitas Gorontalo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kepala Desa, Polisi Kehutanan, Badan Penyuluhan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan Lembaga Donor. Penentuan responden ditentukan melalui snowball sampling. 2) Masyarakat di sekitar HLGD yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan. Penentuan responden
ditentukan
dengan
cara
purposive
sampling
dengan
mempertimbangkan tujuan penelitian. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 kepala keluarga setiap desa. Jumlah desa yang disurvei yaitu Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan, Desa Dulamayo Utara, Desa Talumelito di Kabupaten Gorontalo, Desa Tupa, Desa Mongiilo, Desa, Longalo dan Desa Owata di Kabupaten Bone Bolango 3.6. Analisis Data a.
Analisis Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Analisis kinerja pengelolaan HLGD dilakukan dengan menganalisis laju
perubahan tutupan hutan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango.
26 Laju perubahan tutupan hutan dianalisis berdasarkan citra Landsat TM tahun, 1999, 2001, 2004 dan 2009. Langkah pertama yang dilakukan dalam menganalisis citra landsat TM tersebut adalah dengan mengadakan koreksi dari citra digital landsat TM tersebut dengan acuan peta rupa bumi. Koreksi geometris dengan menggunakan peta acuan ini hanya dilakukan pada salah satu data citra landsat TM. Koreksi geometris untuk citra yang lain dilakukan dengan cara koreksi dari citra ke citra. Penentuan lokasi penelitian (clipping) dilakukan dengan menggunakan peta tata batas kawasan hutan lindung Gunung Damar. Selanjutnya dilakukan interpretasi citra landsat TM dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan klasifikasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2003) yaitu: 1). hutan, 2). lahan pertanian, 3) padang rumput 4). lahan basah/tubuh air, 5). pemukiman 6). lahan lainnya. Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini di lapangan. Posisi geografis obyek yang diamati dilapangan dapat diketahui dengan menggunakan alat GPS.
Untuk mengetahui perubahan
penutupan lahan dari tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009 dilakukan dengan mengoverlay peta tematik hasil klasifikasi pada tiap liputan. Selain melihat kinerja melalui perubahan tutupan lahan hutan, kinerja pengelolaan HLGD ditelusuri melalui besarnya sedimentasi dan debit air yang berasal dari HLGD b.
Analisis Situasi di Hutan Lindung Gunung Damar Analisis situasi ekologi dan dan sosial ekonomi dipergunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2002) analisis deskriptif kuantitatif adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat sebuah kesimpulan. Tujuan penggunaan analisis deskriptif kuantitatif adalah memberikan deskripsi subyek penelitian berdasarkan data dan variabel yang diperoleh dari lapangan dengan menggunakan teknik tabulasi dan menyajikannya dalam bentuk tabel distribusi dengan prosentase untuk masing masih kelompok yang diteliti. Dalam konteks penelitian ini variabel yang dikumpulkan merupakan data yang dapat mendefiniskan karakteristik sumberdaya yang bisa menyebabkan interdependensi. Adapun variabel tersebut adalah data tentang kondisi penutupan lahan di HLGD, jumlah penduduk, tingkat pendapatan, mata pencaharian, jarak pemukiman
27 dengan kawasan hutan, tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, jumlah masyarakat miskin. c.
Analisis Isi Metode analisis isi adalah teknik penelitian yang digunakan untuk
menganalisis dokumen tertulis seperti peraturan perundangan, naskah akademik sebuah peraturan, laporan, transkrip, wawancara dan bentuk bentuk tertulis lainnya (Henderson 1991 dalam Pratiwi 2008). Dalam penelitian ini dokumen tertulis yang dianalisis adalah peraturan perundangan yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pengaturan HLGD. Dokumen lain yang dapat dipergunakan adalah buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan (diskusi,
workshop,
seminar)
dan
lain
sebagainya.
Dokumen
tersebut
dikumpulkan dengan menggunakan purposive sampling dalam artian dokumen yang diambil sesuai dengan kebutuhan penelitian. Menurut Ida (2001), dalam melakukan studi analisis isi terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu 1) conteks atau memahami situasi diseputar dokumen atau text yang diteliti, 2) process, atau bagaimana isi pesannya dikreasi secara actual dan dioraganisasikan secara bersama, 3) emergence, memahami sebuah pesan dalam dokumen tersebut dan kemudian menginterpretasi. Adapun peraturan perundangan yang dianalisis dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3 Tabel 3. Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan perundangan (lihat lampiran 1) Aspek Paraturan Penetapan dan Pengelolaan Pembinaan dan pengawasan Perundangan Pemantapan Undang Undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Keputusan Menteri d. Analisis Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar Analisis perilaku HLGD menggunakan beberapa metode yaitu: 1.
Identifikasi stakeholder. Analisis dimulai dengan identifikasi stakeholder yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan metode snowball sampling. Dalam mengidentifikasi
28 stakeholder Reed et al. (2009) memberikan pedoman atau tahapan untuk melakukan identifikasi terhadap stakeholder yaitu: a.
Daftar stakeholder: sumber data yang dapat digunakan untuk membuat list adalah hasil pengamatan, informasi dari berbagai masyarakat dan hasil survey.
b.
Kepentingan; kepentingan yang dapat diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan dan apa yang dapat diperoleh oleh stakeholder
c.
Pengaruh stakeholder terhadap sukses tidaknya kegiatan yang diukur dengan menggunakan parameter berikut ini; tinggi (jika stakeholder punya kemampuan untuk memveto sebuah keputusan, kecil (jika stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan)
d.
Peluang partisipasi; dilihat dari kewenangan dari setiap organisasi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
2.
Analisis Tugas Fungsi Pokok Organisasi Analisis tugas fungsi pokok kelembagaan dilakukan untuk menelusuri
sejauh mana stakeholders dalam hal ini organisasi pemerintah menjalankan hak dan tanggung jawabnya berdasarkan tugas dan mengidentifikasi tumpang tindih tugas pokok dalam aspek manajemen hutan lindung yang terdiri dari aspek pemantapan dan penetapan, pengelolan dan pembinaan dan pengawasan. Analisis tugas pokok stakeholder menggunakan metode 4R‟s (Rights, Responsibility, Reward dan Relationship) yang dimodifikasi dari Bryson (2003). 3.
Kategorisasi Stakeholders Selanjutnya stakeholders klasifikasi berdasarkan posisinya dalam pengelolaan
HLGD sesuai dengan kriteria yang dibangun oleh Reed et al. (2009). Adapun kriteria tersebut adalah 1) stakeholder subyek yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh rendah, 2) stakeholder key player yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh yang tinggi terhadap sebuah fenomena, 3) stakeholder context setter yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi, 4) stakeholder crowd yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang rendah dan pengaruh yang rendah. Hal ini penting karena untuk menentukan stakeholders
29 mana saja yang bisa bekerja sama. Gambaran tentang posisi stakeholders dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar dapat dilihat dalam Gambar 4.
SUBYEK
KEY PLAYER
CROWD
CONTEXT SETTER
K E P E N T I N G A N
PENGARUH
Gambar 4. Matriks stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya e.
Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Perumusan model kelembagaan pengelolaan HLGD dilakukan secara
deskriptif berdasarkan data utama yang berasal dari lapangan dan instansi pemerintah maupun data penunjang yang berasal dari beberapa dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Kajian model pengelolaan HLGD pada prinsipnya merupakan upaya dalam menyikapi permasalahan yang muncul yaitu degradasi HLGD. Selama ini kelembagaan pengelolaan HLGD yang dianut dan dipatuhi oleh pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango dan stakeholder lainnya belum maksimal dalam upaya mengelola HLGD. Analisis perbandingan kelembagaan yang dibangun dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian Basuni (2003). Model kelembagaan yang dihasilkan merupakan model kelembagaan yang terbangun dan dijalankan oleh Kabupaten Gorontalo dan
30 Kabupaten Bone Bolango dan para pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola HLGD. Sasaran utama yang dijadikan dasar pertimbangan dalam penelitian model kelembagaan pengelolaan HLGD adalah melihat sejauh mana keefektifan kelembagaan yang terbangun dan dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango dan para pemangku kepentingan dalam menyelamatkan hutan lindung. Keefektifan model pengelolaan hutan lindung oleh masing masing kabupaten akan ditinjau dari segi batas yurisdiksi, aturan repsentasi dan hak kepemilikan Secara ringkas tujuan, metode dan hasil dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 5 yang terdapat di halaman selanjutnya
31 TUJUAN PENELITIAN
METODE PENGUMPULAN DATA
Tujuan 1: Analisis kinerja Pengelolaan HLGD
Survei dan Observasi di lapangan
Tujuan 2: Situasi ekologi dan sosial ekonomi HLGD
Tujuan 3: Aturan formal dalam aspek penetapan dan pemantapan, pengelolaan dan pembinaan pengawasan di HLGD Tujuan 4: Mendeskripsika n perilaku stakeholder kawasan HLGD
Survei dan Wawancara
Studi literature dan dokumen peraturan perundangan Wawancara
Wawancara dengan stakeholders yang berkepentingan dengan HLGD
VARIABEL Citra landsat TM 7 tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009, Informasi potensi vegetasi,fauna hutanpertumbuhan penduduk, penduduk miskin, konflik lahan, jumlah gangguan, daya dukung lahan, kegiatan sektor pertanian, penetapan harga jagung, luas kepemilikan lahan diluar HLGD dan luas lahan jagung Pemantapan dan Penetapan, Pengelolaan, Pembinaan & pengawasan Para Stakeholders: Pemerintah pusat, pemda, perguruan tinggi, LSM, Donor, masyarakat lokal
ANALISIS DATA
Analisis Perubahan Tutupan Lahan dengan GIS Analisis Regresi
Analisis Situasi Ekologi dan Sosial Ekonomi
Analisis isi
Analisis stakeholders Analisis Tugas Pokok
INFORMASI SITUASI
HASIL PENELITIAN
Kinerja pengelolaan HLGD
Informasi situasi Sosial Ekonomi dan Ekologi
Deskripsi aturan formal dalam aspek penetapan dan pemantapan pengelolaan, pembinaan dan pengawasan
Mendeskripsikan Perilaku stakeholders dan Tugas Pokok
Model Kelembagaan Pengelolaan HLGD
32 3.7. Definisi Operasional 1.
Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu.
2.
Barang publik adalah barang/jasa yang mempunyai karakteristik tidak bisa dipisah-pisahkan daya gunanya (non substractable) dan dimanfaatkan oleh masyarakat banyak, dimana satu atau sebagian anggotanya tidak dapat dikeluarkan/dilarang dalam memanfaatkan (non excludability) misalnya udara, keamanan dan jasa lingkungan.
3.
Clip adalah ekstraksi spatial dari feature dari suatu coverage yang berada dalam batas polygon clip
4.
Coverage adalah layer peta yang diperoleh dari hasil digitasi atau otomatisasi. Coverage ini didefinisikan juga sebagai kumpulan data digital yang mewakili sebuah tema tertentu pada sebuah peta. Misalnya coverage sungai, jalan, topografi, penutupan lahan dan lain lain baik berupa polygon, titik, maupun garis atau kombinasinya.
5.
Demografi adalah ilmu yang memberikan uraian tentang gambaran statistic mengenai susunan, jumlah dan perkembangan penduduk.
6.
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia
7.
Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan komponen khusus dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria kriteria pengelolaan
8.
Inventarisasi kawasan adalah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya alam, potensi kekayaan alam secara lengkap mulai dari tingkat nasional, wilayah, DAS sampai unit pengelolaan
9.
Konflik adalah suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing, bertabrakan dan akibatnya terjadilah agrasi walaupun belum tentu berbentuk kekerasan
10.
Kriteria adalah standart untuk penilaian sesuatu
33 11.
Kuisioner adalah sebuah dokumen yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan bentuk bentuk lainnya yang dirancang untuk memperoleh informasi yang layak
12.
Layer adalah satu set logis dari data tematik yang biasanya diorganisir dengan subyek
13.
Model adalah sebuah penjelasan yang sederhana dari keadaan atau fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses
14.
Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.
15.
Observasi adalah merupakan kegiatan yang pasif yang biasa dipergunakan oleh peneliti dengan tujuan menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut atributnya
16.
Organisasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen, dimana manusia merupakan elemen terpenting yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.
17.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
18.
Parameter adalah datum hasil pengukuran atribut
19.
Pemantapan kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk memperoleh status yuridis formal kawasan hutan maupun fisik dilapangan serta desain kawasannya sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari
20.
Pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan
kekuasaan/wewenangnya
tersebut
pada
atasannya. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. 21.
Pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin
34 formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. 22.
Penetapan adalah suatu penegasan mengenai kepastian hukum mengenai status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri
23.
Pengukuhan kawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan kepastian hukum setelah melalui proses inventarisasi, penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan
24.
Penunjukkan adalah penetapan awal
suatu wilayah tertentu sebagai
kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah propinsi atau partial/kelompok hutan 25.
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan
26.
Property adalah hak untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu
27.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampling dengan sengaja
28.
Sedimentasi adalah proses pengendapan material padat dari kondisi tersuspensi atau terlarut dalam suatu fluida (biasanya air atau udara)
29.
Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
30.
Survey adalah cara mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk meneliti populasi secara langsung
31.
Verifier (pengukur) adalah data atau informasi yang khusus yang dipakai dalam penilaian indikator
32.
Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan secara langsung kepada responden
35
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Penilaian kinerja pengelolaan HLGD pada dua pemerintah daerah yaitu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango mengggunakan laju perubahan tutupan hutan, sedimentasi dan fluktuasi debit air sebagai indikator kinerja. Data perubahan tutupan lahan hutan diperoleh dari hasil analisis citra landsat TM dari tahun 1999 sampai tahun 2009, data fluktuasi debit air diperoleh dari data hasil pengukuran BALIHRISTI tahun 2003 sampai tahun 2009 sedangkan untuk sedimentasi menggunakan data tahun 2004 dan tahun 2005 oleh BP-DAS Bolango a.
Perubahan Tutupan Hutan Kawasan Hutan Lindung Gunung Damar
1.
Kabupaten Gorontalo Menurut Lo (1995) penutupan hutan menggambarkan konstruksi vegetasi
alami maupun buatan yang menutup permukaan lahan yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga kelas , yaitu (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) fenomena biotik vegetasi alami (hutan), tanaman pertanian dan kehidupan binatang, (3) tipe-tipe pembangunan. Selanjutnya Malingreau dan Rosita (1991) mengatakan perubahan penutupan hutan terjadi karena adanya perubahan pola penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia baik secara permanen maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik kebutuhan kebendaan, spiritual atau gabungan keduanya. Data mengenai perubahan tutupan hutan yang terjadi di kawasan HLGD di dalam wilayah Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999-2009
No Jenis Penutupan Lahan 1 2 3 4 5
Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka Lainnya Total
Luas (ha) pada Tahun 1999
2001
2004
2009
7154.63 2331.64 466.07 294.86 932.65 11179.84
6906.73 2470.08 960.42 487.94 354.68 11179.84
5586.26 3096.16 529.71 309.13 1658.58 11179.84
3793.42 4028.29 345.09 122.65 2890.39 11179.84
36 Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui, selama 10 tahun terakhir tutupan hutan di Kabupaten Gorontalo berkurang sebesar 3361.21 ha atau 46.98% Penurunan tutupan hutan di HLGD disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari meningkatnya lahan pertanian di HLGD selama tahun 1999 sampai dengan 2009 yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03%. Peningkatan lahan pertanian didalam kawasan hutan, umumnya disebabkan oleh aksi-aksi perambahan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa faktor masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo melakukan perambahan antara lain 1) ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan yang tinggi, 2) rendahnya tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan masih tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan individu atau kelompok melakukan jalan pintas dengan melakukan perambahan tanpa memikirkan aspek kelestarian 3) terbatasnya alternatif sumber pendapatan selain dari sektor pertanian, 4) kondisi biofisik kawasan hutan seperti lahan yang subur 5) aksesibilitas menuju kawasan HLGD yang mudah 6) lemahnya penegakan hukum bagi para perambah. Situasi ini mengindikasikan HLGD telah mengalami tekanan akibat aktivitas sosial ekonomi masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Dampak negatif sebagai akibat dari konversi hutan menjadi lahan pertanian antara lain berkurangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus hidrologi, terjadinya erosi dan sedimentasi. Kegiatan perambahan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo telah terjadi sejak kawasan HLGD ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Perambahan hutan dapat diartikan sebagai kegiatan menduduki kawasan hutan negara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun besar untuk dijadikan areal lain seperti perkebunan, pertanian, pertambangan dan lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama. Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah terjadinya degradasi hutan. Menurut Lamb (1994) degradasi hutan merupakan kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis, rataan degradasi HLGD selama tahun 1999-2009 mencapai 4.96%/tahun. Berikut
37 ini diuraikan rataan degradasi hutan untuk setiap periode berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009 Pada periode 1999-2001 tutupan hutan di HLGD berkurang sebesar 247.90 ha dengan laju penurunan sebesar 1.73%/tahun. Penurunan tutupan hutan diikuti dengan bertambah luasnya lahan pertanian sebesar 138.47 ha atau mengalami peningkatan sebesar 2.97%/tahun. Peningkatan luasan yang cukup besar terjadi pada semak sebesar 494.35 ha atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.30%. Terbentuknya semak belukar di kawasan HLGD tidak terlepas dari sistem peladang berpindah yang dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat sekitar HLGD. Menurut Barbour et al. 1999, semak belukar merupakan lahan yang diberakan dan mengalami suksesi dengan masuknya jenis-jenis tumbuhan secara alami mulai dari komponen pionir hingga suksesi lanjut.
Perubahan tutupan hutan pada
periode 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 9 Tabel 5. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di wilayah Kabupaten Gorontalo No 1 2 3 4
Jenis Penutupan Lahan Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
Luas (ha)
Laju Per Tahun (%)
-247.90 138.44 494.35 193.07
-1.73 2.97 5.30 3.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan Pada periode 2001-2004 penurunan tutupan hutan meningkat dibandingkan dengan tutupan hutan tahun 1999-2001. Tutupan hutan berkurang hingga mencapai 1320.47 ha atau mengalami degradasi sebesar 6.37%/tahun. Selain itu, tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar pada periode ini adalah lahan pertanian sebesar 626.08 ha atau meningkat sebesar 8.45%/tahun. Selanjutnya laju perubahan tutupan hutan lindung tahun 2001-2004 dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 2001-2004 di wilayah Kabupaten Gorontalo No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) 1 Hutan -1320.46 2 Lahan pertanian 626.08 3 Semak belukar -430.71 4 Lahan terbuka -178.81 Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Laju Per tahun (%) -6.37 8.45 -14.95 -12.21
38 Periode 2004-2009 merupakan periode dimana tekanan terhadap kawasan HLGD sangat tinggi. Hal ini terlihat dari penurunan tutupan hutan sebesar 1792.85 ha atau mengalami degradasi sebesar 8.02%/tahun Selain itu, terdapat juga tutupan lahan yang mengalami peningkatan yang sangat besar, yaitu lahan pertanian sebesar 932.13 ha. Laju peningkatan lahan pertanian pada periode ini sebesar 30.11% atau sebesar 7.53%/tahun. Peningkatan lahan pertanian yang terjadi antara tahun 2004-2009 terjadi karena terkait dengan upaya pemerintah daerah dalam mensukseskan program agropolitan yang dicanangkan sejak tahun 2003. Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang di Kabupaten Gorontalo. Pemberian benih gratis beberapa komoditi unggulan seperti jagung, cengkih dan coklat kepada kelompok tani tanpa mempertimbangkan kepemilikan lahan telah mempercepat laju deforestasi di hutan lindung Gunung Damar. Data-data mengenai perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 10 Tabel 7. Laju Perubahan Tutupan Hutan di Kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di wilayah Kabupaten Gorontalo No 1 2 3 4
Jeni Penutupan Lahan Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
Luas (ha)
Laju Per tahun (%)
-1792.84 932.13 -184.61 -186.48
-8.02 7.53 -8.71 -15.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan Meskipun Jordan (1985) mengkategorikan sistem peladang berpindah termasuk dalam kategori sedang sebagai penyebab degradasi hutan, tapi hasil survey lapangan memperkirakan konversi hutan akan semakin meningkat jika belum ditemukan solusi dalam mengatasi kegiatan perambahan hutan yang umumnya disebabkan oleh sistem peladang berpindah. Saat ini terdapat dua pemikiran yang saling mempertentangkan penyebab degradasi hutan. Pemikiran pertama menyebutkan bahwa tingkat produktivitas pertanian yang kecil dan meningkatnya jumlah petani kecil diduga sebagai peyebab deforestasi (FAO 1990, World Bank 1990, Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor utama dalam pembabatan hutan. Sedangkan pemikiran kedua menyebutkan adanya kebijakan pemerintah dengan proyek-proyek pembangunannya yang tidak
39 tepat dan maraknya industri perkayuan telah meningkatkan laju deforestasi termasuk di Indonesia. karena (Dick 1991, WALHI 1992, Ascher 1993, Dauvergne 1994). Menarik untuk ditelaah pendapat yang dikemukakan oleh Potter (1994) yang mengatakan bahwa transformasi petani tradisional menjadi petani modern telah menyumbang laju deforestasi meningkat. Menurut Dick (1991) peladang berpindah hanya menyumbang 21% dari total laju degradasi hutan yang ada didunia dibeberapa kawasan hutan. Kartawinata el al. (1989) yang mengamati sistem peladang berpindah dibeberapa wilayah, mengemukakan pada umumnya sistem peladang tradisional masih mengembangkan tanaman tahunan, sehingga tidak beralasan jika peladang tradisional dituding sebagai pemicu degradasi hutan. Namun Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya perubahan lahan dari hutan ke lahan non hutan adalah: (1) perubahan jumlah populasi manusia, (2) marjinalisasi tanah, (3) kemiskinan, (4) status kepemilikan tanah, (5) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (6) kondisi sosial ekonomi, (7) masalah kesehatan, (8) praktek pertanian yang tidak tepat, dan (9) aktifitas pertambangan dan industry. Secara umum laju degradasi hutan antara tahun 1999-2009 disajikan pada Gambar 6 1500 L a 1000 j u 500
932.13 626.08
494.35 193.07
138.44 D 0 e g r -500 a d -1000 a s -1500 i
-2000
Hutan -247.9
Lahan pertanian
Semak belukar -184.61 -430.71
Lahan terbuka -178.81 -186.48
-1320.46 -1792.84 Jenis Penutupan Lahan 1999-2001
2001-2004
2004-2009
Gambar 6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Hutan di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo Periode 1999-2009
40
Gambar 7. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001
41
Gambar 8. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004
42
Gambar 9. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009
43
2.
Kabupaten Bone Bolango Berdasarkan hasil survey dan interpretasi citra landsat kondisi HLGD di
Kabupaten Bone Bolango sedikit mengalami tekanan dibandingkan dengan kondisi HLGD di Kabupaten Gorontalo. Untuk melihat sejauh mana tekanan tersebut maka dilakukan analisis perubahan tutupan hutan yang dibagi ke dalam beberapa periode waktu yang sama dengan kabupaten Gorontalo. Perubahan tutupan lahan HLGD di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 8 Tabel 8. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 1999-2009 No 1 2 3 4 5
Jenis Penutupan Lahan Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka Lainnya Total
Luas(ha) pada Tahun 1999
2001
2004
2009
8338.01 407.89 68.24 36.30 86.81 8937.26
8028.38 502.18 101.71 63.35 241.63 8937.26
7250.68 687.76 99.70 49.89 849.23 8937.26
6056.73 956.79 45.57 13.63 1864.53 8937.26
Berdasarkan data-data pada Tabel 8 tutupan hutan di kawasan HLGD adalah yang paling banyak berubah sejak ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung ditahun 1999. Tutupan hutan di kawasan HLGD hingga tahun 2009 berkurang seluas 2281.28 ha atau berkurang 27.36%. Perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango lebih kecil jika dibandingkan dengan penurunan tutupan lahan hutan di HLGD Kabupaten Gorontalo yang mencapai 46.98% pada periode yang sama. Sebaliknya lahan pertanian mengalami peningkatan sebesar 74.31% sejak sepuluh tahun terakhir. Selain itu, jenis tutupan yang mengalami perubahan adalah semak belukar dan lahan terbuka. Semak belukar mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 27.58 ha, sedangkan lahan terbuka meningkat sebesar 14.82 ha. Peningkatan lahan pertanian dan lahan terbuka di HLGD Kabupaten Bone Bolango diakibatkan oleh adanya sistem ladang berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat di desa Mongiilo dan Owata. Praktek ladang berpindah ini telah lama dilakukan dengan siklus 5-7 tahun. Berdasarkan sejarah desa, interaksi antara masyarakat dengan HLGD sudah berlangsung ratusan tahun. Sistem peladang berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat di empat desa yang menjadi sampel penelitian, merupakan bagian dari
44
upaya pelestarian budaya masyarakat sekitar HLGD. Didik et al. (1998) menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan mempertahankan kehidupan mereka. Sistem pemanfaatan HLGD yang berbasis budaya berdampak terhadap kecilnya laju perubahan tutupan lahan pada periode 1999, 2001, 2004 dan 2009. Berikut ini dijelaskan perubahan tutupan lahan yang terjadi di HLGD selama periode tersebut Periode 1999-2001 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan sebesar 309.65 ha dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1.86%/tahun. Apabila dibandingkan dengan laju perubahan tutupan hutan pada periode yang sama di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 1.73%/tahun maka laju degradasi yang terjadi di Kabupaten Bone Bolango lebih besar. Jenis tutupan lahan lain yang mengalami perubahan cukup besar adalah peningkatan lahan pertanian. Lahan pertanian dalam kawasan HLGD mengalami peningkatan sebesar 94.30 ha mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.56%/tahun. Adapun jenis perubahan tutupan lahan selama tahun 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 9 Tabel 9. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di wilayah Kabupaten Bone Bolango No 1 2 3 4
Jenis Penutupan Lahan Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
Luas (ha)
Laju per tahun (%)
-309.65 94.30 33.46 27.06
-1.86 11.56 24.52 37.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan Periode 2001-2004 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan sebesar 777.70 ha atau rata-rata laju penurunan hutan mencapai 3.23% per tahun. Jenis tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar adalah tipe lahan pertanian yang mengalami peningkatan sebesar 185.57 ha atau rata-rata laju peningkatan lahan pertanian mencapai 12.32%/tahun. Data mengenai laju perubahan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 10 dan pada Gambar 12.
45
Tabel 10. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2001-2004 di wilayah Kabupaten Bone Bolango No 1 2 3 4
Jenis Penutupan Lahan Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
Luas (ha)
Laju Per tahun (%)
-777.70 185.57 -2.01 -13.46
-3.23 12.32 -0.66 -7.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan Periode 2004-2009 perubahan jenis tutupan lahan yang paling besar terjadi pada tutupan hutan. Tutupan hutan ini mengalami penurunan yang paling besar selama periode tahun 1999 sampai tahun 2009. Penurunan tutupan hutan mencapai 1193.95 ha atau rata-rata sebesar 4.11%/tahun. Jika dibandingkan dengan laju perubahan tutupan lahan hutan sebesar 8.02%/tahun di Kabupaten Gorontalo maka laju perubahan tutupan lahan hutan di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih rendah. Tipe tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan yang cukup besar adalah lahan pertanian sebesar 269.03 ha atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.78%/tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan lahan pertanian di HLGD Kabupaten Gorontalo sebesar 7.53% maka tutupan lahan pertanian di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih besar. Data mengenai perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 13. Tabel 11. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di wilayah Kabupaten Bone Bolango No
Penutupan Lahan
1
Hutan
2
Luas (ha)
Laju Per tahun (%)
-1193.95
-4.12
Lahan pertanian
269.03
9.78
3
Semak belukar
-54.13
-13.57
4
Lahan terbuka
-36.26
-18.17
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan Secara umum perbandingan tutupan lahan selama periode 1999-2009 dapat dilihat pada Gambar 12
46
3000.00 L 2500.00 a j 2000.00 u 1500.00
2690.35 D 1000.00 e g 500.00 185.57 r 94.30 a 0.00 -309.65Hutan Lahan pertanian d a -500.00 -777.70 s -1193.95 -1000.00 i -1500.00
33.46
27.06
-2.01 Semak belukar -541.30
-13.46 -36.26 Lahan terbuka
Jenis Penutupan Lahan 1999-2001 2001-2004 2004-2009
Gambar 10. Grafik laju degradasi tutupan hutan di kawasan HLGD Bone Bolango Berdasarkan uraian di atas, ancaman terhadap keberadaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango berasal dari pemukiman, perladangan dan pengambilan kayu secara tidak sah. Aktivitas sistem perladangan oleh masyarakat, pemukiman dan pengambilan kayu secara tidak sah merupakan aktivitas yang paling sering ditemukan di HLGD yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango aktivitas yang paling menonjol adalah perladangan berpindah. Aktivitas perladangan dan pemukiman merupakan aktivitas yang dilakukan sejak lama bahkan sebelum kawasan HLGD ditunjuk oleh menteri kehutanan menjadi kawasan lindung. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah terbentuknya desa desa tersebut. Pada umumnya desa yang terdapat disekitar kawasan HLGD telah ada sekitar tahun 1800-an. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat diperoleh informasi bahwa terbentuknya pemukiman baru dimasa lalu selalu disertai dengan pembukaan lahan pertanian untuk mendukung kehidupan penduduk setempat. Pada umumnya ladang-ladang yang dibuka oleh masyarakat relatif berdekatan dengan pemukiman penduduk. Pola pemukiman penduduk yang tinggal di dalam kawasan HLGD menyebar dan tidak terkonsentrasi pada satu lokasi saja. Aktivitas pengambilan kayu secara tidak sah biasanya terjadi pada saat pembukaan ladang.
47
Gambar 11. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001
48
Gambar 12. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004
49
Gambar 13. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009
50 b.
Debit Air Sungai dan Sedimentasi Tutupan hutan merupakan salah satu penentu kualitas DAS. Secara umum
kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan DAS Bone di Kabupaten Bone Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh debit air sungai dan sedimentasi yang secara kuantitas dan kualitas menurun.. Penunjukkan Hutan Gunung Damar sebagai kawasan lindung oleh pemerintah merupakan salah satu keputusan yang dianggap penting untuk melindungi sistem tata air yang ada di Propinsi Gorontalo. Menurut Lee (1988) vegetasi di dalam kawasan hutan mampu mengintersepsi butir air hujan mengurangi limpasan permukaan, mengurangi erosi tanah serta menjaga kelembaban permukaan tanah (Lee, 1988). Berdasarkan hasil survey dan penelusuran literatur, HLGD merupakan hulu dari 2 sungai besar yaitu sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Sungai Bolango yang terletak di Kabupaten Bone Bolango. Keberadaan sungai-sungai ini sangat penting karena menjadi sumber air baku PDAM dan mengairi sawah. Ketiga sungai ini mengalir sepanjang tahun dengan rata-rata debit air yang berbeda disetiap tahunnya. Adapun data fluktuasi debit air sungai tersebut terdapat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Debit air Sungai Bionga dan Sungai Bolango No 1 2
Nama Sungai Sungai Bionga Kabupaten Gorontalo Sungai Bolango Kabupaten Bone Bolango
Rata-rata Debit (m3/detik) 2003 2006 2009 0.30 0.54 0.50 26.17 28.98 30.10
Sumber: Halida (2008), Balihristi (2008), Balihristi (2009) Tabel 12 di atas menunjukkan debit air terbesar terdapat di Sungai Bolango di Kabupaten Bone Bolango. Menurut Balihristi (2009), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi debit sungai di antaranya luas daerah tangkapan, penutupan lahan, curah hujan, jenis tanah, topografi serta model pengelolaan lahan. Dari beberapa faktor tersebut maka luas daerah tangkapan menjadi yang paling berpengaruh. DAS Bionga memiliki wilayah tangkapan air terluas yaitu 91004 ha dibandingkan dengan DAS Bolango yang hanya sebesar 52775 ha. Dari luas tangkapan ini terlihat bahwa DAS Bolango adalah DAS contoh dengan daerah memberikan debit air yang lebih tinggi dibandingkan kedua DAS lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada unsur lain yang lebih berperan terhadap hasil air selain luas daerah tangkapan. Penutupan lahan adalah unsur yang dapat diduga
51 mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami penurunan. Menurut Halida (2008) kondisi tutupan hutan primer yang relatif terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil. Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango No
Nama Sungai
1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango Sumber: Halida (2008), BP-DAS Bone Bolango (2009)
Sedimentasi (gram/ha/bulan) 2004 2005 0.73 2.10 1.47 1.42
Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47 gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan sedimen 2.69%. Peningkatan luas hutan 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 5.72%. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan sebesar 5% di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21%. Peningkatan luas hutan sebesar 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55%. Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha (BP-DAS Bone Bolango, 2009) 4.2. Situasi HLGD a.
Situasi Ekologi Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan
yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan
52 kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda. Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain adalah Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaqium amboinansis), Cempaka (Elmerelia ovalis), Pinus (Pinus merkusii), Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis mollucana), dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam (Macaca heckii), babi hutan (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), sedangkan untuk jenis aves terdiri dari rangkong (Ryciteros cassidix), Maleo (Macropelon maleo), ayam hutan (Gallus galus). Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa (Babyrousa babirusa), Anoa (Bubalus quarlesi), kuse (Palanger ursinus), tarsius (Tarsius sp) di sekitar Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD (Maga 2010; Kaipa 2010). Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias. Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batang/ha. Sedangkan tanaman hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun perhektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus (Halida et al. 2007). Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum terganggu oleh aktivitas manusia
53 Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa dilihat pada Tabel 14 Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009 No
Jenis Penutupan Lahan
1 2 3 4 5 6
Hutan Lahan Pertanian Semak Lahan Terbuka Lainnya Sub Total Kabupaten Luas Total
Luas Tutupan Lahan (ha) Gorontalo
Bone Bolango
3793.42 4028.29 345.09 122.65 2890.39 11179.84
6056.73 956.79 45.57 13.63 1864.52 8937.26 20117
Data pada Tabel 14 menunjukkan tutupan yang mendominasi di Kabupaten Gorontalo adalah lahan pertanian seluas 4028.29 ha sedangkan di Kabupaten Bone Bolango didominasi oleh tutupan lahan hutan seluas 6056.73 ha. Secara umum luas HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo lebih besar yaitu seluas 11179.84 ha dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang memiliki luas 8937.26 ha. Topografi di HLGD bervariasi mulai dari datar sampai curam. Topografi HLGD
di
wilayah
administrasi
Kabupaten
Gorontalo
pada
umumnya
bergelombang, sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango pada umumnya curam dan hanya sedikit berada pada wilayah yang datar. Di sekitar HLGD terdapat beberapa desa, total desa yang terdapat di sekitar HLGD adalah 15 desa yang terdiri dari 6 desa diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan 9 desa di Kabupaten Bone Bolango. Kelas lereng di HLGD dapat dilihat pada Tabel 15 Tabel 15. Kelas lereng dan luasannya di kawasan HLGD No 1 2 3 4 5
Kelas Lereng Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Jumlah
Luas (ha) 56.17 102.16 433.89 10077.22 9447.56 20117
Persentase 0.28 0.51 2.16 50.09 46.96 100.0
54 Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Gorontalo 1;250.000 terdapat 2 jenis tanah yang terdapat di HLGD yaitu jenis Tanah Litosol dan Tanah Podzolik. Jenis Tanah Litosol merupakan tanah yang paling banyak ditemukan di dalam kawasan hutan lindung, yaitu sebesar 13688.42 ha atau sekitar 68.04%. Jenis tanah podsolik yang ada di dalam kawasan hutan lindung sekitar 6428.58 ha atau mencakup sekitar 31.96% dari total luas wilayah hutan lindung. Menurut Suwardi (2000) Tanah Litosol merupakan jenis tanah dengan lapisan tanah yang tidak begitu tebal, kurang menyimpan air, sehingga pada kemiringan lereng besar dan curah hujan besar rentan bencana tanah longsor, akan tetapi jenis tanah ini agak tahan terhadap erosi. Sedangkan jenis tanah podsolik merupakan jenis tanah yang berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering, curah hujan lebih 1500 mm/tahun. Tekstur lempung hingga berpasir, kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering. Kesuburan kimiawi rendah atau miskin unsur hara, reaksi tanah asam, solumnya dangkal dan mudah tererosi. Adapun jenis tanah yang di HLGD terdapat pada Tabel 16. Tabel 16. Jenis tanah dan luasnya di kawasan HLGD No 1 2
Jenis Tanah Tanah Litosol Tanah Podzolik Total
Luas (ha) 13688.42 6428.58 20117.00
Persentase 68.05 31.95 100.00
Jenis tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berpengaruh terhadap tingkat kedalaman solum tanah, Kedalaman solum tanah di kawasan HLGD memiliki beberapa tingkatan. Adapun tingkat kedalaman solum tanah dapat dilihat pada Tabel 17 Tabel 17. Tingkatan kedalaman solum tanah di kawasan HLGD No
Solum Tanah (cm)
Luas (ha)
Persentase
1 2 3
30 – 60 60 – 90 > 90
534.54 3376.24 16206.22
2.66 16.78 80.56
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010 Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar HLGD berada pada tingkat solum tanah >90 cm atau sekitar 80.56% dari luas wilayah. Solum tanah ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kawasan ini sangat potensial untuk
55 dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah. Menurut Lal (1995) pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18 Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD No 1 2
Kelas Bahaya Erosi
Luas (ha)
Persentase
Potensi Erosi berat Potensi Erosi Sangat berat
10.56 20106.44
0.05 99.95
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010 Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD. Berdasarkan penelitian Monde (2008) alih guna lahan hutan menjadi lahan tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD No
Potensi Lahan Kritis
Luas (ha)
Persentase
1
Potensi Agak kritis
3425.91
17.03
2
Potensi Kritis
8350.61
41.51
3
Potensi Sangat kritis
8340.48
41.46
20117.00
100.00
Total
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
56 Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan < 50%, wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi Keadaan curah hujan diketahui dari 3 (tiga) stasiun klimatologi terdekat yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.324 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.585 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. b.
Situasi Sosial Ekonomi Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, ketua adat dan
pemerintah lokal, keberadaan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo telah ada sejak tahun 1305 dimana desa yang pertama kali terbentuk adalah Desa Talumelito, sedangkan pemukiman yang pertama kali terbentuk diwilayah Kabupaten Bone Bolango terjadi pada tahun 1815 yaitu Desa Longalo. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penduduk yang tinggal didesa sampel penelitian berjumlah 9936 jiwa dengan rata rata pertumbuhan penduduk 1.2% per tahun ditahun 2009. Jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk di HLGD di desa sampel terdapat pada Tabel 20
57 Tabel 20. Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa No 1 2
Kabupaten Gorontalo Bone Bolango
Jumlah Penduduk 5907 4029
Pertumbuhan penduduk (%) 1.37 1.03
Sumber: Monografi desa sampel 2010 Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGD pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mata pencaharian ini menggambarkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam hutan di HLGD. Selain itu mata pencaharian penduduk bisa menggambarkan seberapa besar tekanan terhadap HLGD dan daya dukung lahan disekitar HLGD. Tabel 21 menunjukkan mata pencaharian pokok penduduk didesa sampel pada umumnya berasal dari sektor pertanian seperti peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan kehutanan. Tabel 21. Sumber mata pencaharian penduduk di desa sampel di HLGD No
Sektor
Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Bone Bolango
2377 169 33 40 125 2744
1820 51 10 44 51 1976
1 Pertanian 2 Perdagangan 3 PNS 4 Konstruksi 5 Transportasi Jumlah
Sumber: Hasil Olahan BPS 2010 Sebelum ditunjuk sebagai kawasan lindung oleh pemerintah di tahun 1999, masyarakat yang tinggal disekitar HLGD telah mempraktekkan sistem pertanian sejak lama. Pemanfaatan lahan-lahan hutan untuk pertanian masih sangat tradisional. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di desa-desa di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo menanami kebun mereka dengan tanaman semusim berupa tanaman jagung, kecuali di Desa Dulamayo Selatan sebagian besar masyarakatnya telah mempraktekkan sistem kebun campuran (ilengi) berbasis cengkih, kemiri dan aren. Alasan sebagian besar masyarakat desa memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman semusim di wilayah Kabupaten Gorontalo karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasilnya. Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango memanfaatkan lahan hutan dengan sistem kebun campuran yang sering disebut dengan ilengi. Pada umumnya kebun campuran ini merupakan perpaduan antara tanaman jagung dan tanaman kelapa, aren dan tanaman kemiri. Jagung merupakan tanaman unggulan yang
58 sering ditanam oleh petani di sekitar hutan dan kuantitasnya mengalami peningkatan sejak ditetapkan program agropolitan berbasis jagung. Berdasarkan BPS (2010) luas lahan jagung di sekitar HLGD berjumlah 3710.94 ha dengan total produksi per tahun mencapai 10487.60 ton seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Luas lahan jagung dan produksinya di sekitar HLGD No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango Jumlah
Luas (ha) 2383.38 1327.56 3710.94
Luas Panen (ha) 2145.79 1226.43 3372.22
Produksi per tahun (ton) 6673.41 3814.19 10487.60
Sumber: BPS 2010 Peningkatan produksi jagung yang terjadi di sekitar HLGD merupakan respon petani terhadap kebijakan pemerintah daerah yang menjamin harga jagung dengan cara membeli jagung tersebut dari petani melalui Badan Usaha Milik Daerah dan adanya pembagian bibit unggul gratis kepada petani. Sejak dicanangkan program agropolitan berbasis jagung ditahun 2003 harga jagung meningkat 52.88%. Program Agropolitan merupakan program pemerintah yang ingin menjadikan Propinsi Gorontalo menjadi daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, jagung yang dari Propinsi Gorontalo telah diekspor ke Malaysia dan Philipina. Adapun harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 23 Tabel 23. Perkembangan harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango No 1 2
Tahun 2004 2009
Harga Jagung (Rp) 899 1700
Sumber: BPS 2010 Pemanfaatan sumberdaya alam yang dikelola oleh petani di HLGD memberikan kontribusi terhadap tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD dapat dijadikan indikator kondisi perekonomian keluarga. Usahatani perkebunan cengkih kelapa, kemiri dan jagung berkontribusi besar dalam menunjang perekonomian masyarakat di HLGD. Kondisi tanah yang relatif subur dengan tingkat curah hujan yang sesuai sangat mendukung bagi usahatani baik pertanian maupun perkebunan. Rataan tingkat pendapatan petani yang tinggal di sekitar HLGD disajikan pada Tabel 24.
59 Tabel 24. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Pendapatan (Rp/bulan) 1187923 980188
Secara umum rata-rata tingkat penerimaan petani sampel yang berada di wilayah HLGD di Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani sampel di wilayah HLGD di Kabupaten Bone Bolango. Namun demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi perekonomian di dua wilayah relatif tidak berbeda. Indikator-indikator seperti kondisi rumah relatif hampir sama dikedua wilayah. Sampai saat ini masyarakat masih terus melakukan sistem peladang berpindah dengan siklus rata-rata di 2 wilayah kabupaten adalah 7 tahun. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi antara masyarakat dengan HLGD telah lama terjadi. Interaksi ini terjadi karena faktor kedekatan jarak rumah penduduk dengan kawasan HLGD. Bahkan terdapat beberapa dusun di Desa Dulamayo Utara, Desa Malahu dan Desa Dulamayo Selatan yang terdapat di Kabupaten Gorontalo masuk dalam kawasan HLGD. Semakin dekat jarak rumah penduduk dengan kawasan HLGD maka semakin besar pula interaksinya demikian pula sebaliknya. Pemahaman tentang jarak tempat tinggal dengan lahan usaha tani diperlukan untuk mengetahui kemampuan petani mencapai ladangnya. Implikasinya dengan mengetahui jarak pemukiman penduduk dan kemampuan menjelajahnya maka dapat diperkirakan tekanan terhadap HLGD. Adapun ratarata jarak pemukiman penduduk dengan HLGD dapat dilihat pada Tabel 25 Tabel 25. Jarak pemukiman desa sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Jarak Pemukiman dengan HLGD 0.2 - 1 km 3 – 4 km
Tersedianya jalan desa di wilayah Kabupaten Gorontalo yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua seperti ojek telah memudahkan akses masyarakat terhadap kawasan HLGD, sehingga kegiatan perambahan hutan untuk membangun ladang baru lebih cepat. Kegiatan perambahan hutan lebih sering terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo karena jarak pemukiman masyarakat
60 dengan kawasan hutan sangat dekat. Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango meskipun jaraknya relatif dekat, tetapi akses menuju kawasan HLGD sangat sulit karena topografi kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango di dominasi oleh lereng-lereng curam. Pada umumnya masyarakat lebih sering membuka ladang yang tidak jauh dari jalan atau berdekatan dengan rumah mereka yang terletak di dalam kawasan HLGD. Hal ini dilakukan untuk lebih mudah dalam mempersiapkan ladang. Sistem peladang berpindah dalam masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD terus dipertahankan karena disamping untuk mempertahankan hidup juga untuk mempertahankan budaya mereka. Disamping memanfaatakan lahan pertanian, masyarakat memanfaatkan kawasan HLGD untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, buah bahkan tanaman obat dan beberapa jenis kayu untuk keperluan konstruksi ringan hingga konstruksi berat. Menurut Halida et al. (2007) tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat antara lain sirih hutan (Piper antunuatum), kayu manis (Cinnamomum burmanii), Tahi ayam (Lantara camara), Jahe (Zingeber officinale), keladi merah (Anthurium sp), sedangkan untuk getah yang dimanfaatkan adalah getah damar (Agathis sp) dan getah pinus (Pinus merkusii). Beberapa jenis buah juga ditemukan dikawasan HLGD seperti Durian (Durio zibethinus) dan Langsat. Tanaman lain yang juga sering dimanfaatkan adalah Aren (Arenga piñata) dan Bambu. Aren yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan gula aren dan pembuatan arak lokal (Bohito), sedangkan bambu dipergunakan masyarakat untuk memagari pekarangan rumah dan lahan usaha tani. Masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD juga memanfaatkan beberapa jenis kayu untuk keperluan konstruksi ringan dan konstruksi berat. Menurut Hiola (2011) terdapat 10 jenis-jenis kayu konstruksi berat dan konstruksi ringan yang sering dipergunakan oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan 5 jenis kayu seperti Michelia alba, M. champaca, Callophylum scutellaroides, Bambusa
sp
dan
Palaqium
obavatum.
Keputusan
masyarakat
untuk
memanfaatkan 5 jenis kayu ini didasarkan pada kekuatan dan daya tahan kayu Sejak ditunjuk sebagai kawasan lindung keberadaan ladang-ladang masyarakat yang terdapat di dalam kawasan HLGD menimbulkan konflik.
61 Masyarakat menganggap bahwa mereka telah menggarap lahan tersebut sejak ratusan tahun tetapi oleh pemerintah hal ini tidak diakui karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Luas lahan konflik dan jumlah kasus perambahan di HLGD bisa dilihat pada Tabel 26 Tabel 26. Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD No Wilayah Lahan Konflik (ha)* Jumlah Gangguan** 1 Kabupaten Gorontalo 4028.29 58 2 Kabupaten Bone Bolango 956.79 14 Keterangan: *). Berdasarkan analisis citra landsat 2009, **) Data PPNS Dishut 2010
Menurut (Dolot, 2009) tahapan pembukaan lahan hutan di kawasan HLGD menurut adat istiadat setempat terdiri dari molulawoto (memilih lokasi), molatato (membersihkan lahan), motiboto (menebang pohon besar), molumbilo tiboto (membakar lahan), Mamopomulo lohunggalawa (membersihkan lahan sehabis dibakar), Mopomulo (menanam) dan Mamomaango (memelihara). Sebelum mereka membuka lahan hutan biasanya mereka akan berkonsultasi dengan dukun kampung dan panggoba4 untuk menentukan lokasi dan waktu bercocok tanam Setelah kegiatan panen selesai, bekas areal peladang tersebut ditanami dengan kacang-kacangan dan sayuran, ada pula yang dibiarkan menjadi semak belukar. Menurut Greenland 1987, sistem usaha tani ladang berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan diatas merupakan cara produksi hasil panen yang konstan dan tidak banyak memerlukan masukan input. Secara alamiah masa bera pada kegiatan ladang berpindah memungkinkan pulihnya kembali zat hara yang telah terhisap oleh tanaman sebelumnya. Secara keseluruhan perilaku masyarakat yang melakukan interaksi dengan HLGD dilandasi oleh kelembagaan informal berupa adat istiadat yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun. Berdasarkan hasil survei, terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan lahan di luar kawasan hutan. Sistem pemanfaataan lahan pada umumnya didominasi oleh sistem pertanian tradisional yang berbasis tanaman semusim di Kabupaten Gorontalo dan kebun campuran di Kabupaten Bone Bolango. Rata-rata penguasaan kebun atau lahan pertanian berupa ilengi oleh masyarakat yang 4
Panggoba adalah sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut diwariskan turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.
62 tinggal disekitar kawasan hutan lindung bervariasi mulai dari 0.952 ha di Kabupaten Gorontalo dan 1.109 ha di Kabupaten Bone Bolango, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 27 Tabel 27. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD No Kabupaten 1 Gorontalo 2 Bone Bolango Rata-rata
Luas Kepemilikan Lahan (ha/KK) 0.952 1.109 1.03
Tingginya interaksi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD mengindikasikan
masyarakat
yang
tinggal
di
sekitar
HLGD
sangat
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan indeks kegiatan dasar wilayah menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan dibandingkan dengan sektor lain. Indeks sektor pertanian didesa-desa yang menjadi sampel penelitian rata rata mencapai 2.25 di HLGD wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango hanya 0.93. Rendahnya indeks sektor pertanian di Kabupaten Bone Bolango karena faktor lahan yang tidak memungkinkan untuk digarap sebagai lahan pertanian. Pada umumnya lahan lahan yang terdapat disekitar HLGD memiliki topografi yang agak curam sampai curam kondisi ini menyebabkan penduduknya bekerja disektor lain seperti ojek dan tukang bangunan. Data ini menunjukkan desa-desa yang berada disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian dibandingkan di Kabupaten Bone Bolango seperti yang terlihat pada Tabel 28. Tabel 28. Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD berdasarkan wilayah No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Indeks LQ Sektor Pertanian 2.25 0.93
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango (2010) Berkembang pesatnya sektor pertanian di sekitar HLGD belum membuat daya dukung wilayah menjadi rendah. Berdasarkan hasil survey dan analisis data memperlihatkan indeks daya dukung di wilayah di Kabupaten Gorontalo mencapai 0.35 sedangkan di Kabupaten Bone Bolango mencapai 0,34 seperti yang terlihat pada Tabel 29
63 Tabel 29. Indeks daya dukung wilayah di sekitar HLGD No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Indeks Daya Dukung 0.35 0.34
Menurut Soemarwoto (1991) jika indeks daya dukung lahan < 1 maka lahan tersebut masih dapat menampung lebih banyak penduduk untuk melaksanakan aktivitas sosial ekonomi Berdasarkan data hasil penelitian di wilayah sekitar HLGD masih ditemukan masyarakat miskin. Pengetahuan terhadap keberadaan penduduk miskin menjadi sangat penting untuk mengetahui kapasitas masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan meskipun kemiskinan bukan merupakan wilayah dari pengelolaan hutan. Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan masyarakat miskin tapi intinya kemiskinan merupakan keadaan dimana masyarakat kekurangan barang untuk melanjutkan hidupnya. Keadaan ini bisa disebabkan oleh keterisolasian, ketidakberdayaan (powerless), buta huruf, buruknya lingkungan hidup, dan derajat kesehatan yang rendah (World Bank, 2004 dalam Wijayanto 2005). Total jumlah penduduk miskin di sekitar wilayah HLGD 1429 KK yang tersebar di desa-desa sampel. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 30 Tabel 30. Jumlah penduduk miskin di sekitar HLGD No 1 2
Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango Jumlah
Jumlah Penduduk Miskin (KK) 879 550 1429
Salah satu dimensi yang bisa dilihat sebagai akar permasalahan kemiskinan adalah tingkat pendidikan. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD masih sangat rendah. Pendidikan yang rendah akan menyebabkan adaptasi masyarakat terhadap pengetahuan menjadi rendah. Padahal pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat bisa mengelola sumberdaya alam dengan lebih baik. Menurut Sumardjo et el. (2008) masyarakat petani yang memiliki pendidikan rendah cenderung berperilaku untuk mempraktekkan usaha tani ala kadarnya. Kondisi ini
64 menyebabkan potensi kemiskinan akan meningkat. Adapun tingkat pendidikan masyarakat yang tinggal disekitar HLGD dapat dilihat pada Tabel 31 Tabel 31. Tingkat pendidikan penduduk di sekitar HLGD No 1 2 3
Pendidikan SD SMP SMA Jumlah
Kabupaten Gorontalo 95 8 17 120
Persentase 79.16 6.66 14.16 100.00
Kabupaten Bone Bolango 98 10 12 120
Persentase 85.96 8.77 10.52 100.00
Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah yang terjadi pada masyarakat sekitar HLGD merupakan indikator lemahnya kapasitas masyarakat dan lemahnya posisi tawar masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan HLGD. Posisi tawar masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat diperlukan untuk menjadi bagian dalam menentukan kebijakan pengelolaan HLGD. Meskipun memiliki kapasitas yang rendah namun beberapa kelompok masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD mempunyai pengetahuan lokal dalam melestarikan sumberdaya alam seperti di desa-desa yang ada di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Kearifan lokal ini berupa kesepakatan adat, dimana setiap pasangan yang melakukan pernikahan harus menanam tanaman seperti kelapa dan kemiri. Kesepakatan ini dipatuhi oleh masyarakat yang berada di empat desa seperti Desa Mongiilo, Desa Owata di Kabupaten Bone Bolango. Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebenarnya pernah mengeluarkan SK Bupati Gorontalo No 54 Tahun 2007 yang mewajibkan para anak sekolah yang lulus sekolah harus menanam tanaman kehutanan. Surat keputusan yang merupakan kebijakan Bupati Gorontalo ini tidak efektif karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat dan pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan masyarakat. Menurut Asikin (2001) lemahnya sensitifitas suatu kebijakan publik disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat partisipasi pihak-pihak yang terkait (stakeholder) di dalam perumusan kebijakan pada semua tahapan. Harus diingat kebijakan publik merupakan satu set keputusan yang saling terkait, diambil oleh satu atau sekelompok pihak yang berkepentingan di bidang ini tentang suatu tujuan dan cara mencapainya. Secara prinsip keputusan ini harus berada dalam wilayah kendali semua stakeholders tersebut. Kualitas suatu kebijakan dapat
65 diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks (substansi), maka proses di dalam penyusunannya juga memainkan peran penting c.
Situasi Sebagai Sumber Interdependensi Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya
dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus 1)
Biaya ekslusi tinggi Secara hukum (de jure) HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai
oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan pengelolaannya. Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7 antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah 33.93% sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76%. Perubahan tutupan hutan menjadi non hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03%. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari
66 sektor pertanian dan perkebunan. Indeks LQ sektor pertanian disekitar wilayah HLGD Kabupaten
Gorontalo berjumlah 2.248 artinya masyarakat sangat
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, masyarakat yang tinggal di beberapa dusun di desa Dulamayo Utara dan Malahu di Kabupaten Gorontalo yang lokasinya berada dalam kawasan HLGD memanfaatkan lahan dengan tanaman semusim seperti jagung dan kacang-kacangan, kecuali di Desa Dulamayo Selatan masyarakat menanami lahan mereka dengan tanaman cengkih, coklat, kemiri dan aren. Sedangkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan HLGD di desadesa di Kabupaten Bone Bolango pada umumnya merupakan kebun campuran berbasis tanaman kelapa dan kemiri. Tidak ditemukan adanya pemukiman di dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango. Situasi di atas menggambarkan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo menimbulkan biaya ekslusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango Beberapa alasan yang mendasari situasi biaya ekslusi tinggi di HLGD diwilayah Kabupaten Gorontalo adalah 1) Tidak mungkin memindahkan pemukiman dan masyarakat yang telah melakukan usaha tani di dalam kawasan HLGD. Saat ini terdapat pemukiman di tiga desa yaitu Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara yang masuk dalam kawasan HLGD, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango semua desa berada diluar kawasan HLGD 2) Jika dipaksakan akan direlokasi maka pemerintah Kabupaten Gorontalo akan menanggung biaya yang sangat mahal karena harus mencarikan lahan yang baru 3). Memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Situasi biaya ekslusi tinggi di kawasan HLGD bisa memunculkan adanya penunggang gratis (free rider). Kelompok free rider hanya bisa menikmati keuntungan tanpa berkontribusi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Pakpahan 1989, Basuni, 2003) 2)
Biaya Transaksi Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul
karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi sangat mempengaruhi kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inheren dari situasi yang dapat menentukan siapa yang menanggung biaya tersebut. Biaya transaksi dapat
67 dibedakan menjadi 3 yaitu; 1) biaya membuat kontrak, 2) biaya informasi dan 3) biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Menurut Williamson dalam Basuni (2003) biaya transaksi sulit diukur dan dikuantifikasikan, tetapi biaya transaksi dapat dideteksi melalui perbandingan institusi. Untuk mendeteksi adanya biaya transaksi dalam pengelolaan HLGD, dalam Tabel 44 disajikan perbandingan institusi pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dengan pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan perbandingan institusi tersebut, biaya transaksi tinggi dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo bersumber dari: a) Panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo hanya 14.65% sedangkan panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango yang telah mencapai 41.18%. Panjang batas kawasan merupakan salah satu bentuk kontrak antara pemerintah selaku pihak pengelola kawasan dengan masyarakat sekitar HLGD. Realiasisasi panjang tata batas kawasan HLGD yang masih rendah di Kabupaten Gorontalo menimbulkan adanya resiko penunggang gratis (free rider). Berdasarkan hasil pengamatan bentuk free rider di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah adanya eksploitasi berlebihan terhadap getah damar dan pengambilan secara berlebihan daun woka (Livistonia rotundufolia) yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD. Eksploitasi berlebihan terhadap getah damar, membuat masyarakat kesulitan mendapatkan kualitas getah damar yang lebih baik. Begitu juga yang terjadi dengan daun woka, masyarakat sangat kesulitan mencari daun woka yang umumnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai wadah/kemasan dari gula aren dan sebagai wadah untuk menyimpan makanan b) Terbatasnya informasi tentang lokasi tata batas kawasan di HLGD Kabupaten Gorontalo menyebabkan lahan hutan lebih dipersepsikan oleh sebagian anggota masyarakat sebagai sumberdaya open acces daripada sebagai barang ekslusif, sumberdaya milik Negara. Hal ini terlihat dari luasnya lahan konflik didalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha. Biaya pemantauan dan penegakan hukum sehubungan dengan perilaku free access atas sumberdaya hutan dalam kawasan HLGD, dapat berkurang jika ada
68 informasi tentang tata batas kawasan HLGD kepada masyarakat di sekitar hutan c) Tingginya kasus perambahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo dibandingan dengan Kabupaten Bone Bolango mengindikasikan lemahnya penegakan hukum di Kabupaten Gorontalo. Bukti dari kapasitas pemerintah lemah dalam melaksanakan penegakan hukum ditunjukkan oleh jumlah kasus pelanggaran hukum di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang berhasil diungkap sebanyak 130 kasus selama hampir 10 tahun. Berdasarkan informasi dari salah satu anggota polisi hutan dan anggota penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pada umumnya kasus-kasus tersebut jarang dikenakan sanksi dan pemerintah daerah memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan karena ketiadaan anggaran dalam memproses sebuah kasus. Situasi seperti ini telah membuat pemerintah daerah melakukan toleransi terhadap penegakan hukum dan oleh Williamson (1985) akan membuka peluang kolusi antara pengelola dan pengguna kawasan HLGD. Menurut Van der Berg (2001) dalam Ismanto (2010) jika penegakan hukum lemah maka secara rasional perilaku individu akan memaksimumkan keuntungan sendiri dan cenderung bertindak tidak produktif. Perilaku individu rasional yang dimaksud adalah perilaku dimana individu akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada. Individu-individu yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan yang baik 3)
Joint Impact Goods Joint Impact Goods adalah karakteristik sumberdaya dimana sekali
pemanfaatan, maka semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan dampaknya tanpa mengurangi utilitas orang lain yang memperoleh jasa yang sama dan sebaliknya. Situasi HLGD merupakan sumberdaya yang dapat menimbulkan dampak bagi semua pihak. Implikasinya dapat menimbulkan efek positif atau negatif. Terjadinya alih fungsi hutan di kawasan HLGD menjadi lahan pertanian dan perkebunan terutama di Kabupaten Gorontalo berdampak pada terjadinya sedimentasi di daerah aliran sungai, menurunnya debit air dan kehilangan beberapa satwa yang dilindungi
69 Hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan tokoh masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Utara menyebutkan debit air yang berasal dari beberapa sungai kecil yang terdapat di hulu kawasan HLGD mengalami penurunan terutama saat musim kemarau. Hal ini berdampak pada kondisi debit air sungai utama yaitu Sungai Bionga yang merupakan sumber air baku bagi PDAM Kabupaten Gorontalo. Menurut Halida (2008) rata-rata fluktuasi debit air di Sungai Bionga hanya 0.50 m3/detik jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata fluktuai debit air Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango yang debit airnya mencapai 30.1 m3/detik. Situasi ini tidak saja dirasakan masyarakat di hulu tetapi juga dirasakan masyarakat di hilir. Dampak negatif lain yang terjadi akibat konversi hutan di kawasan HLGD adalah sedimentasi. Sedimentasi di Sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo juga mengalami peningkatan menjadi 2.10 gr/ha/bulan. Jika dibandingkan dengan sedimentasi yang terjadi di Sungai Bolango yang sedimentasinya hanya 1.42 gr/ha/bulan maka sedimentasi di DAS Bionga lebih tinggi (Halida, 2008). Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat juga terungkap, jika musim hujan datang maka beberapa sungai di hulu kawasan HLGD menjadi keruh hal yang sama juga dirasakan yang tinggal di wilayah hilir. Menurut Balihristi (2009) tingginya sedimentasi di Sungai Bionga menyebabkan sedimentasi di Danau Limboto sebesar 1.75 juta m3. Kondisi ini menyebabkan Danau Limboto menjadi dangkal dengan kedalaman hanya berkisar 2-3 meter. Dosen dan mahasiswa Jurusan Kehutanan Universitas Gorontalo juga merasakan dampak akibat perubahan tutupan hutan karena sangat susah menemukan satwa seperti jenis burung dan mamalia yang menjadi obyek penelitian di HLGD di Kabupaten Gorontalo. Adapun dampak positif yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan pertanian di kawasan HLGD adalah tersedianya lapangan kerja baru yaitu jasa ojek yang mengangkut hasil-hasil pertanian menuju pasar terdekat 4)
Inkompatibilitas Menurut
Pakpahan
(1989)
inkompatibilitas
adalah
situasi
dimana
pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu pihak meniadakan atau mengurangi pemanfaatan oleh pihak yang lain . Faktor kepemilikan dapat mengontrol masalah inkompatibilitas selama biaya transaksi rendah. Kepemilikan
70 mendefinisikan siapa yang berhak berpatisipasi dalam keputusan penggunaan sumberdaya dan siapa yang tidak berhak berpartisipasi dalam penggunaan sumberdaya bersama. Basuni (2003) mengemukakan faktor kepemilikan hanya mampu mengendalikan inkompatibilitas tetapi tidak mampu mengendalikan karakateristik lainnya seperti biaya ekslusi tinggi dan karakteristik lainnya Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kemudian diikuti dengan pemukiman di dalam kawasan HLGD menyebabkan fungsi HLGD sebagai pengatur sistem tata air menjadi terganggu. Berdasarkan hasil survey terdapat 3 desa yang memiliki dusun di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yaitu: Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara. Keberadaan desa-desa di dalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan prosentasi lahan pertanian meningkat menjadi 36%. Ini menunjukkan masyarakat yang tinggal disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo memiliki preferensi untuk mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Perilaku mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi karena masyarakat belum memahami dengan baik dan benar tentang aturan main dalam pemanfaatan hutan sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main tersebut Kemungkinan lain yang menyebabkan pengelolaan hutan inkompatibel adalah karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Dalam kaitannya dengan pola pemanfaatan kawasan HLGD, kemungkinannya penggarap memiliki perilaku dan kapasitas untuk memanfaatkan lahan hutan dengan pola intensif. Sehingga mereka akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan. Penolakan terjadi kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Menurut Kartodihardjo (1998) rendahnya strata hak mengakibatkan penggarap lahan tidak memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Dihubungkan dengan pemanfaatan HLGD rendahnya strata hak mengarahkan perilaku masyarakat yang memanfaatkan lahan di kawasan HLGD tidak memperlakukan lahan tersebut sebagai asset guna meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu masyarakat yang
71 memanfaatkan lahan pertanian di dalam kawasan HLGD tidak berusaha melindungi dan melestarikan kawasan hutan, karena dianggap sebagai penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya 5) Surplus Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan atau lokasi lahan tersebut dekat dengan pusat ekonomi. Kondisi surplus menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada pengorbanan sedikitpun dari pemiliknya. Kondisi surplus belum menjamin akan terjadinya peningkatan kesejahteraan bila rente tersebut bukan dimiliki oleh masyarakat yang berada dikawasan tersebut, tetapi dimiliki pihak lain yang mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut. Secara umum nilai surplus sumberdaya lahan disekitar HLGD Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini bersumber dari jarak lahan tersebut dari pusat ekonomi dan keberadaan komoditi pertanian di dalam lahan tersebut. Secara umum jarak lahan-lahan pertanian di sekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo yang dikuasai oleh masyarakat hanya berjarak 3-5 km dari ibukota Kabupaten Gorontalo. Menurut Pearce and Turner (1990) nilai sebuah lahan akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yaitu ada tidaknya bangunan dan faktor eksternalitas misalnya kedekatan dengan pusat ekonomi, bebas banjir dan terdapat akses jalan. Semakin dekat sebuah lahan dengan pusat ekonomi maka nilai lahan tersebut akan semakin tinggi. Tingginya nilai lahan disekitar HLGD yang ada di Kabupaten Gorontalo memicu terjadinya jual beli lahan. Menurut Basuni (2003) fenomena terjadinya jual beli lahan garapan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya modal finansial yang dimiliki oleh para petani pemilik lahan. Umumnya pembeli lahan berasal dari Kota Gorontalo atau dari kota-kota lain, maka petani setempat yang menjual lahan garapan berkeyakinan bahwa mereka masih dapat menggarap lahan yang dijualnya. Situasi ini menghambat peningkatan kesejahteraan petani disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo. Data menunjukkan bahwa kepemilikan penduduk desa terhadap lahan disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo mencapai 68.33%. Prosentase kepemilikan lahan ini lebih rendah dibandingkan
72 dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone Bolango yaitu mencapai 89.67%. 4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung Pengelolaan hutan lindung Gunung Damar tidak terlepas dari ketentuan ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundangan. Hasil identifikasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung berjumlah 11 peraturan-perundangan yang meliputi 1 surat keputusan menteri kehutanan, 2 keputusan presiden, 5 peraturan pemerintah dan 3 undang undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung seperti yang terlihat pada Tabel 32. Tabel 32 Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan perundangan (lihat lampiran 1) Aspek Hak Kepemilikan Terhadap Kawasan HLGD
Penetapan dan Pemantapan
Peraturan Perundangan
Isi
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya Pasal 33 ayat dikuasai oleh Negara dan 3 UUD 1945 dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semua hutan di dalam wilayah Republik Pasal 4 UU Indonesia termasuk 41/1999 kekayaan alam yang tentang terkandung di dalamnya Kehutanan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Pasal 8 Keppres Penunjukkan kawasan 32/1990 hutan lindung didasarkan tentang pada kriteria kelerengan, Pengelolaan jenis tanah,curah hujan Kawasan yang melebihi skor 175 Lindung Pasal 24 Kriteria Penetapan butir 3 PP kawasan hutan lindung No 44/2004 didasarkan pada kriteria tentang kelerengan, jenis Perencanaan tanah,curah hujan yang Kehutanan melebihi skor 175 Pasal 5 Kawasan hutan yang Kepmen ditunjuk harus memenuhi Kehutanan kriteria sebagai berikut
Interpretasi Seluruh sumberdaya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat
Penegasan penguasaan negara atas kawasan hutan termasuk potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
Kriteria yang dipergunakan dalam penunjukkan kawasan hutan lindung belum mempertimbangkan faktor sosial misalnya adanya pemukiman di dalam kawasan hutan Memperkuat Kriteriapenetapan hutan lindung yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Keppres 32/1990 Pemerintah daerah harus memastikan kawasan hutan yang tunjuk berdasarkan
73 No 32/KptsII/2001 tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan
Pasal 10 PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Pasal 20 PP N0 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Pasal 19 PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Penetapan dan Pemantapan
Pasal 20 PP 15 2010 tentang Penyelenggara n Penataan Ruang Permenhut 28/2009 Tata cara konsultasi persetujuan RTRW Pasal 18 PP 44/2004 tentang Perencanan Kehutanan Pasal 16 PP 44/2004 tentang
yaitu. a) belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWP/RTRWK Pemerintah daerah menyelenggarakan inventarisasi kawasan hutan sebagai tahap awal pengukuhan kawasan hutan Dalam pelaksanaan penataan kawasan permasalahan yang berkaitan dengan hak atas tanah disepanjang trayek dan didalam kawasan hutan harus diselesaikan oleh panitia tata batas Berdasarkan penunjukkan kawasan maka Pemerintah Daerah melaksanakan penataan kawasan hutan yang dicantumkan dalam RTRW Pemerintah harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan konsepsi rencana tata ruang Pemerintah daerah harus mengkonsultasikan PERDA RTRW kepada Menteri Kehutanan berkaitan dengan substansi kawasan hutan Penunjukkan suatu kawasan hutan termasuk didalamnya adalah kawasan hutan lindung dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Pengukuhan kawasan hutan meliputi: penunjukan kawasan
keputusan menteri kehutanan atas rekomendasi Bupati/Gubernur tidak tumpang tindih dengan penggunaan lainnya
Inventarisasi kewenangan daerah
merupakan Pemerintah
Kewenangan penyelesaian permasalahan hak hak atas tanah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam penataan kawasan hutan sebelum dikukuhkan sebagai kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan Terbuka peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan konsepsi kawasan hutan Menteri Kehutanan dimungkinkan membatalkan PERDA RTRW jika tidak sesuai dengan substansi kehutanan Pemerintah pusat masih menganut single player dalam penunjukkan kawasan hutan meski disebutkan penunjukkan kawasan hutan tetap mempertimbangkan RTRW Kewenangan pengukuhan berada ditangan pemerintah pusat
74
Pengelolaan
Pengelolaan
Perencanan Kehutanan Pasal 21 UU 41/1999 tentang Kehutanan
Pasal 23 PP No 6/2007 tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatanny a Pasal 2 Perpres No 28/2011 Penggunaan HL untuk Pertambangan Bawah Tanah Pasal 4 PP No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan Pengelolaan hutan meliputi: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam Pemanfaatan Hutan lindung hanya diperkanankan untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk pertambangan bawah tanah
Didalam hutan lindung dapat dibangun kegiatan religi, pertambangan, instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radiodan televise sarana transportasi yang bukan transportasi umum, sarana dan prasarana sumber daya air fasilitas umum, industri terkait kehutanan, pertahanan dan keamanan, prasarana keselamatan umum dan penampungan korban bencana alam Pasal 2 ayat 4 Pemerintah PP 38/2007 menyerahkan 31 tentang kewenangan urusan
Pengelolaan hutan ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat
Menegaskan bahwa hutan lindung hanya bisa dimanfaatkan untuk jasa lingkungan, pemanfaatan kawasan
Keputusan ini bertentangan dengan Pasal 23 PP No 6/2007 jo PP No 3/2008
Keputusan ini bertentangan dengan Pasal 23 PP No 6/2007 jo PP No 3/2008
Kewenangan yang dimaksud hanya berupa permintaan pertimbangan
75
Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan Pengawasan
Pembagian Kewenangan antara Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota Pasal 123 PP 6/2007 tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatanny a
pemerintahan kepada daerah termasuk kewenangan pengelolaan kehutanan kepada daerah
teknis yang bersifat administrative berkaitan dengan substansi kehutanan tanpa berhak memutuskan. Keputusan akhir tetap berada ditangan pemerintah pusat
Dimungkinkan untuk Kewenangan pembinaan melakukan koordinasi dan pengawasan berada pembinaan dan pengawasan ditangan pemerintah, antar institusi pemerintah Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati untuk tingkat kabupaten
Pemerintah, pemerintah Pasal 60 UU daerah, masyarakat 41/1999 maupun perorangan tentang wajib berperan serta Kehutanan dalam pengawasan hutan Pemerintah daerah wajib Pasal 15 dan membuat Kajian 19 UU 32/ Lingkungan Hidup 2009 tentang Strategis Untuk Perlindungan menjamin kelestarian dan lingkungan hidup setiap Pengelolaan perencanaan ruang Lingkungan wajib Pasal 48-49 PP Pembinaan terhadap 45/2004 pengelolaan hutan tentang terdiri dari pedoman, Perlindungan bimbingan, pelatihan, Hutan arahan, supervise
Pengawasan kolaboratif dimungkinkan
secara sangat
Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menentukan norma atau aturan dalam rangka memantau dampak pemanfaatan ruang termasuk pemanfaatan hutan lindung Ketentuan mengenai pengawasan belum diatur dalam peraturan perundangan
Berikut ini uraian dari ketentuan ketentuan mengenai tahapan kegiatan dalam penyelenggaraan hutan lindung a.
Hak kepemilikan (property rights) atas kawasan HLGD Pasal 4 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
76 rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) maka negara selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1) hak akses (acces rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2) hak memanfaatkan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3) hak pengelolaan (management rights) hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4) hak ekslusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5) hak pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan aturan main penggunanya (Asikin, 2001). Dalam pengelolaan sumberdaya CPR secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom (1990) mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai kinerja optimal antara lain 1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal 2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3) monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5) terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo (2010) mengemukakan kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha masyarakat agar menjadi pelindung SDA. b.
Penetapan dan pemantapan hutan lindung Menurut Sadino (2006) penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan
yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain
77 penetapan kawasan hutan merupakan penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk berdasarkan keputusan hukum yang bersifat mengikat, sedangkan pemantapan kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk memperoleh legitimasi dari individu atau kelompok masyarakat dan organisasi. Proses kegiatan penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung dimulai dengan inventarisasi kawasan. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan maksud untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Ascher (1993) mengatakan ketersediaan informasi sumberdaya hutan menjadi penting untuk memastikan kepastian dalam hasil pengukuran kerja atau kinerja. Selama ini pemerintah tidak menguasai data dan informasi tentang kondisi hutan sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Setelah proses inventarisasi hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah selesai maka Menteri Kehutanan menunjuk kawasan hutan atas rekomendasi Gubernur dan memperhatikan RTRW dan atau paduserasi TGHK dan RTRW. Proses penyusunan RTRW yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menentukan peruntukkan kawasan termasuk kawasan hutan harus melibatkan partisipasi masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 20 PP 15 2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang. Namun fakta di lapangan menunjukkan kegiatan penyusunan RTRW diserahkan kepada konsultan ahli perencanaan yang cenderung bekerja tanpa melibatkan masyarakat sejak awal. Pelibatan masyarakat hanya dilakukan pada saat konsultasi publik setelah RTRW selesai dibuat. Setelah proses administrasi pengesahan RTRW selesai maka pemerintah daerah harus mengkonsultasikan RTRW tersebut dengan pihak-pihak terkait termasuk menteri kehutanan dalam rangka konsultasi tentang substansi masalah kehutanan sesuai dengan Permenhut 28/2009 tentang Tata Cara Konsultasi Persetujuan Subtansi Kehutanan dalam RTRW. Dalam proses ini menteri
kehutanan
dapat
membatalkan
RTRW
tersebut
jika
terdapat
ketidaksesuaian masalah substansi kehutanan Ketentuan penunjukkan kawasan hutan lindung didasarkan pada kriteria yang terdapat pada pasal 24 ayat 3 butir b PP No 44 tahun 2004 tentang
78 perencanaan hutan dimana menyebutkan kawasan hutan dengan faktor kelerengan, jenis tanah, curah hujan melebihi skor 175 dan/atau kawasan hutan yang memiliki kelerengan lapangan 40% atau lebih dan atau kawasan hutan yang memiliki ketinggian diatas 2000 mdpl atau lebih, kawasan hutan yang memiliki jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%, kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air dan kawasan hutan yang merupakan perlindungan pantai. Selain memperhatikan status
kawasan,
penunjukkan kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 Keputusan Menteri Kehutanan No 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan pasal 5 disebutkan bahwa kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu. a) belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWP/RTRWK. Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas yang terdiri dari pemancangan patok batas sementara, penyelesaian hak-hak pihak ketiga, penyusunan berita acara pengakuan masyarakat disekitar area batas, penyusunan berita acara pemancangan batas patok sementara, pemasangan pal batas, pemetaan hasil penataan batas, pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas, pelaporan kepada menteri kehutanan dengan tembusan kepada gubernur. Setelah tata batas dilakukan maka menteri menetapkan kawasan hutan yang telah temu gelang. Berdasarkan hasil analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemantapan dan penetapan kawasan hutan maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut; 1)
Proses penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung hanya memuat berbagai prosedur yang sifatnya administratif, belum ada mekanisme yang merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah merumuskan
program
untuk
mengoptimalisasi
pengelolaan
dan
pemanfaatan hutan lindung sebagai contoh aturan formal penunjukkan HLGD
hanya
menempatkan
pemerintah
daerah
sebagai
pemberi
rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Situasi ini
79 menyebabkan menjadi berlarut-larutnya proses pengukuhan hutan. Semakin lamanya proses pengukuhan kawasan hutan berakibat pada ketidakpastian kawasan hutan. Menurut Contreras et al (2006) ketidakpastian hak-hak sebagai akibat dari tidak jelasnya batas batas kawasan hutan berpotensi menimbulkan konflik dan masyarakat akan memandang kawasan hutan adalah sumberdaya yang “open acces” 2)
Proses pengusulan penunjukkan kawasan hutan lindung oleh pemerintah daerah yang tertuang dalam RTRW hanya mengacu pada kriteria biofisik sesuai pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan belum memperhatikan aspek sosial, sehingga terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dan penggunaan lainnya seperti pemukiman rumah-rumah permanen dan kampung-kampung (dusun, rumah tangga, desa) yang ada di dalam kawasan hutan.
3)
Pemerintah daerah belum menjalankan prosedur pada undang-undang penataan
ruang,
yakni
pentingnya
partisipasi
masyarakat
dalam
pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan penetapan kawasan hutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kontrol terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Singletton (1999) bentuk partisipasi merupakan salah satu bentuk aksi kolektif yang dapat mengendalikan perilaku opportunistik dan dapat juga menghilangkan penumpang gratis (free rider) dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi 4)
Sampai saat ini belum ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur proses penyelesaian hak-hak pihak ketiga disepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Sehingga belum ada ruang bagi pelaksana di lapangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan hak-hak tata batas. Ketentuan yang ada hanyalah menegaskan bahwa permasalahan mengenai hak atas lahan baik sepanjang batas kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab panitia tata batas yang dibentuk oleh Bupati. Implikasi di lapangan adalah pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan belum bisa merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian hak-hak pihak ketiga
80 c.
Pengelolaan hutan lindung Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan termasuk
hutan lindung tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengelolaan hutan meliputi: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam. Ketentuan ini kemudian dijabarkan secara teknis melalui PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Dalam ketentuan yang tercantum dalam PP No 6 tahun 2007 menyebutkan kegiatan tata hutan dan perencanaan meliputi kegiatan tata batas, inventarisasi, pembagian dalam blok/zona pengelolaan dan pemetaan. Setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka pengelola kawasan hutan diwajibkan untuk menyusun rencana pengelolaan jangka pendek dan jangka menengah. Dokumen rencana pengelolaan hutan baik jangka pendek maupun jangka menengah harus memiliki strategi kelayakan pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan kawasan hutan. Sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung, maka pengelolaan hutan lindung diarahkan untuk pemanfaataan hasil hutan bukan kayu sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 23 Dalam PP No 6 tahun 2007, akan tetapi ketentuan ini menjadi tidak jelas saat pemerintah mengeluarkan
Peraturan
Presiden No 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah dan PP No 24 tahun 2004 tentang tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam pasal 4 PP No 24 tahun 2010 disebutkan bahwa didalam kawasan hutan lindung dapat dibangun seperti jalan umum, fasilitas umum, instalasi air, stasiun relay dan lain lain. Ketentuan ini telah disalah artikan oleh pemerintah daerah sebagai contoh pemerintah Kabupaten Gorontalo membangun membangun kantor desa, membangun sekolah bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung seperti yang terjadi di dalam kawasan HLGD. Pembangunan berbagai fasilitas didalam kawasan HLGD secara tidak langsung telah melegitimasi keberadaan mereka di dalam kawasan hutan lindung. Situasi ini akan semakin mempersulit posisi pemerintah selaku penguasa atas lahan yang ada
81 dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD. Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan pemerintah
dan
pemerintah
daerah
dalam
pengelolaan
hutan
lindung.
Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 41/1999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007. Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi : inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan hutan lindung adalah : a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung. b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung. c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung. d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung. e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan. f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan. g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) dan lima tahunan (jangka menengah) unit pemanfaatan hutan lindung. h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan lindung. i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), yang dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati (2010) yang menyatakan bahwa belum dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam
82 pengelolaan hutan lindung telah membuat pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung seperti di Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Sorolangun dan Kabupaten Solok belum berjalan optimal Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan seperti yang telah disebutkan diatas maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: 1.
Mekanisme pengelolaan hutan lindung antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat masih lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat instruksi yang sangat birokratis dan belum menyentuh penguatan pengelolaan hutan dan status hutan lindung sehingga tidak mendorong upaya untuk melestarikan hutan. Menurut Khan et al (2004) kebijakan pengelolaan kehutanan yang lebih menekankan aspek teknis dan sangat birokratis akan berakibat pada inefisiensi dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi
2.
Beberapa peraturan perundangan tidak konsisten dengan peraturan di atasnya
sehingga
menyulitkan
pemerintah
mencapai
kinerja
yang
diinginkan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik yang disebabkan karena perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sesuai dengan temuan beberapa kajian tata kelola kehutanan menghasilkan kesimpulan antara lain, peraturan perundangan tentang kehutanan Indonesia cenderung simpang siur tumpang tindih (Ginoga et al 2005). Peraturan yang tidak konsisten akan berakibat pada melemahnya penegakan hukum sehingga akan memicu perilaku oportunistik individu atau kelompok dalam memanfaatkan hasil hutan sebagai contoh diperbolehkannya penambangan di kawasan hutan lindung dikhawatirkan hanya akan menjadi dalih agar bisa mengeksploitasi kayu dari dalam kawasan hutan lindung yang selama ini masih relatif baik. 3.
Pengelolaan hutan lindung masih dikelola secara sentralistik hal ini terlihat dari
dominasinya
pengelolaan
hutan
pemerintah lindung,
pusat
sebagai
sedangkan
pengambil
pemerintah
keputusan
daerah
hanya
ditempatkan sebagai pemberi rekomendasi dan lebih bersifat administrasi tanpa diberi kewenangan untuk memutuskan. Menurut Steni (2004) desentralisasi yang terjadi di Indonesia terutama dalam pengelolaan SDA
83 lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat di daerah. Sehingga McCarthy (2004) menyimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan “good governance” d.
Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung Pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan hutan ditujukan
untuk menjaga tertibnya pelaksanaan pengelolaan hutan. Berdasarkan PP 6/2007 pasal 123 menyatakan bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan dilaksanakan oleh Menteri untuk mengendalikan kebijakan kehutanan yang dilakanakan
oleh
Gubernur,
Bupat/Walikota.
Kegiatan
pembinaan
dan
pengawasan ini meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi, monitoring dan/atau evaluasi yang berkaitan dengan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bimbingan penyusunan prosedur dan tata kerja, pelatihan sumber daya manusia dan aparatur, arahan penyusunan rencana program dan penilaian pengelolaan hutan lestari secara periodik. Hal yang sama juga dikemukakan dalam PP 45/2004 tentang perlindungan hutan pasal 48 dan 49. Sampai saat ini baik pemerintah kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango belum sepenuhnya menjalankan kewenangan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepedulian pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap batas yurisdiksinya dan rendahnya kepedulian pemerintah daerah dalam mengamankan hak kepemilikannya terhadap kawasan. Situasi seperti ini bisa membuka peluang perilaku oportunistik masyarakat yang tinggal sekitar HLGD untuk memanfaatkan sumberdaya HLGD tanpa berusaha untuk melestarikannya. Ketentuan mengenai kegiatan pembinaan dan pengawasan juga telah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban melakukan pengawasan, namun tidak ada ketentuan yang dapat memperkuat posisi masyarakat sehingga sangat sulit untuk membuat pengawasan masyarakat dapat berjalan efektif. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kewenangan pembinaan dan pengawasan adalah minimnya SDM dan pendanaan dalam
84 4.4. Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar a.
Stakeholders di HLGD Secara etimologis stakeholders dapat dimaknai sebagai sebagai pihak pihak
dari luar organisasi yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap kinerja, keberadaan dan keberlangsungan organisasi. Menurut Asikin (2001) stakeholder adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif maupun negatif, yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Pihak yang terpengaruh dampak ini dibedakan menjadi tiga bagian, yakni stakeholders utama dan kunci; serta stakeholder pendukung. Sedangkan Mitchell et al 1997 dalam Sundawati dan Askadi 2008) mengemukakan stakeholder merupakan kelompok individu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Brown et al. (2001) juga menambahkan bahwa analisis stakeholder merupakan pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan sistem menilai kemungkinan konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan. Hasil identifikasi stakeholder, terdapat 18 stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat dilihat pada Tabel 33 Tabel 33. Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD No
Stakeholder Kabupaten Gorontalo
Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
1
BKSDA Sulawesi Utara
BKSDA Sulawesi Utara
2
BPKH Wilayh XV Gorontalo
BPKH Wilayh XV Gorontalo
3
BP-DAS Bone Bolango
BP-DAS Bone Bolango
4
6
Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Badan Perencanaan Pembangunan Pembangunan Daerah Dinas Pekerjaan Umum
Dinas Kehutanan dan Energi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dinas Pekerjaan Umum
7
Badan Lingkungan Hidup
Badan Lingkungan Hidup
8
DPRD
DPRD
10
PDAM
PDAM
11
Dinas Pertanian dan Tanaman Lembaga Donor EGSLP Pangan Badan Penyuluh Kehutanan Tokoh Masyarakat
5
12
Pertambangan Pembangunan
85 Lanjutan Tabel 33 No
Stakeholder Kabupaten Gorontalo
Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
13
Polisi Kehutanan
Masyarakat lokal sekitar HLGD
14
Universitas Gorontalo
Polisi Kehutanan
15
LSM Komunitas untuk Bumi
16
Lembaga Donor EGSLP
17
Tokoh Masyarakat
18
Masyarakat lokal sekitar HLGD
Berdasarkan daftar stakeholder yang tertulis diatas terlihat pengelolaan HLGD melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat lokal. Beragamnya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HLGD dengan berbagai kepentingannya akan membawa konsekwensi terhadap semakin kompleksnya pengelolaan HLGD, oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku stakeholder agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan HLGD sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan b.
Tugas Pokok Stakeholder Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia tugas pokok merupakan sasaran
utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Analisis tugas pokok diperlukan untuk melihat sejauh mana kewenangan organisasi pemerintah daerah dalam pengelolaan HLGD sekaligus melihat sejauh mana kepentingan dan pengaruh organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLGD. Tugas pokok suatu organisasi akan menentukan pola koordinasi antar organisasi karena berkaitan dengan hak dan tanggung jawab organisasi dan bentuk keterlibatan sebuah organisasi dalam suatu kegiatan. Selanjutnya pendapat Uphoff (1986) menyatakan bahwa kinerja suatu institusi dapat diukur melalui bagaimana institusi dapat menyelesaikan tugas pokoknya. Adapun tugas pokok stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilihat pada Tabel 34 dan Tabel 35
86 Tabel 34. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo Stakeholder 1. BKSDA Sulawesi Utara
2. BPKH Wilayah XV Gorontalo
3. BP-DAS Bone Bolango
4. Dinas Kehutanan Pertambangan Energi
dan
5. Kepala Desa
6. Badan Pembangunan (BAPPEDA)
Perencanaan Daerah
7. Dinas Pekerjaan Umum Bidang Penataan Ruang
Tugas Pokok 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, 2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta 3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Permenhut 02/Menhut-II/2007) 1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan kawasan hutan, 2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah, 3. penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan status/peruntukan kawasan hutan, 4. penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan, 5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan penyajian data informasi sumberdaya hutan (Permenhut 13/Menhut-II/2011) Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS (Permenhut 15/Menhut-II/2007) 1. Penyiapan bahan rancangan teknis RHL, Bimbingan Teknis RHL 2. Penataan lahan dan konservasi 3. Pengembangan dan pengelolaan peredaran hasil hutan 4. Menyelenggarakan pelatihan masyarakat dan perizinan dibidang pertambangan 5. Penyiapan rancangan teknis pertambangan dan energy 6. Inventarisasi potensi tambang 7. Bimbingan teknis, pengawasan dan penelitian pengembangan (Perda No 35/2007) Memberikan pelayanan, pembinaan dan pengawasan kepada masyarakat (PP 72 tahun 2005) Membantu kepala daerah dalam Penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang perencanaan pembangunan, penelitian dan pengembangan daerah (Perda 16/2007) Melaksanakan sebagian kewenangan di dinas PU dan Menyusun perencanaan penataan ruang (Perda No 33/2007)
87 Lanjutan Tabel 34 Stakeholder 8. Badan Lingkungan Hidup,
Tugas Pokok Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan lingkungan hidup, Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan pengawasan (Perda No 18/2007) 9. DPRD Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004) 10. Dinas Pertanian dan Tanaman Melaksanakan kewenangan desentralisasi Pangan dibidang pertanian (Perda No 33/2007) 11. Badan Penyuluh Pertanian Membantu Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang Penyuluhan (Perda No 4/2008) 12. PDAM Membantu pemerintah daerah dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang air bersih (Perda No 6/1993) 13. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No. 55/KEP/M.PAN/7/2003) 14. Lembaga Donor EGSLP. 1. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber daya alam pada DAS dan menunjukan pemecahannya bagi isu-isu pengelolaan sumber daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS; 2. Memperkuat institusi tatakelola lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan propinsi. 15. Universitas Gorontalo Melaksanakan tridharma perguruan tinggi; pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat (Pasal 3 PP No 60/1999) 16. Komunitas untuk Melaksanakan advokasi dan kampanye Bumi/KUBU (LSM) sumberdaya alam
Tabel 35. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango I. Stakeholder 1. BKSDA Sulawesi Utara
Tugas Pokok 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, 2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta 3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-
88
2. BPKH Wilayah XV
3. BP-DAS Bone Bolango
4. Dinas Kehutanan Pertambangan Energi
dan
5. Kepala Desa 6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 7. Dinas Pekerjaan Umum Bidang Penataan Ruang
undangan yang berlaku (Permenhut 02/MenhutII/2007) 1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan kawasan hutan, 2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah, 3. penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan status/peruntukan kawasan hutan, 4. penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan hutan, 5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan penyajian data informasi sumberdaya hutan (Permenhut 13/Menhut-II/2011) Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS (Permenhut 15/Menhut-II/2007) Melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang Kehutanan, Pertambangan dan energy: 1. Penyelenggaraan, inventarisasi pemetaan hutan, pertambangan dan Energi. 2. penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi, penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung serta batas wilayah pertambangan 3. penyelenggaraan pembentukan wilayah utama hutan raya, wilayah pertambangan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah ; 4. pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan kawasan hutan dan pertambangan kecuali kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru; 5. penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi, produktivitas lahan pada Daerah Aliran Sungai ; 6. Pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan jasa lingkungan hutan dan wilayah pertambangan. 7. Pengesahan rencana tebang hutan; 8. Pemberian ijin dan pengawasan usaha pemanfaatan hutan PSDH, dana reboisasi dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan (Perda 12/2005) Melaksanakan tugas administrasi pemerintahan desa (PP 72 tahun 2005) Membantu pemerintah daerah dibidang perencanaan pembangunan, Menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dalam bidang perencanaan pembangunan daerah (Perda 14/2005) Melaksanakan penataan ruang dan membangun infrastruktur (Perbup No19/2011)
89 Lanjutan Tabel 35 II. Stakeholder 8. Badan Lingkungan Hidup,
9. DPRD 10. PDAM 11. Lembaga Donor EGSLP.
12. Polhut
Tugas Pokok Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan lingkungan hidup: 1. Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis Bidang Lingkungan Hidup 2. Mengkoordinasikan penyusunan program, perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Tata Lingkungan, termasuk Penataan Ruang Terbuka Hijau 3. Mengkoordinasikan penyusunan program, perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di Bidang Pengendalian, Pengawasan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan 4. Mengkoordinasikan penyusunan program, perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di Bidang Kebersihan (Perda No 10/2010) Penyusunan kebijakan daerah tentang lingkungan hidup (Pasal 24 UU 32/2004) Optimalisasi pelayanan air bersih dalam rangka memaksimalkan PAD (Perda 11/2011) a. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber daya alam pada DAS terpilih dan menunjukan pemecahan yang berkelanjutan bagi isu-isu pengelolaan lingkungan an sumber daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS; b. Memperkuat dan institusionalisasi struktur tatakelola lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan propinsi. Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No. 55/KEP/M.PAN/7/2003)
Mengacu pada Bryson (2003) dilakukan identifikasi kesesuaian tugas pokok dengan metode 4Rs (Rights, Responsibility, Reward and Relationship). Metode 4Rs merupakan tools untuk memperjelas hak dan tanggung jawab serta bentuk interaksi yang dijalankan oleh stakeholder dalam pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokoknya. Adapun kejelasan hak dan tanggung jawab serta bentuk interaksi
90 berdasarkan metode 4Rs untuk wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 36 dibawah ini dan Tabel 37 dihalaman selanjutnya Tabel 36. Stakeholders pengguna dan yang menikmati sumberdaya HLGD serta terlibat dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango Stakeholder I. Kabupaten Gorontalo 1. Masyarakat lokal 2. PDAM II. Kabupaten Bone Bolango 1. Masyarakat 2. PDAM
Rights
Responsibility
Rewards
Relationship
Menikmati sumberdaya yang dihasilkan oleh HLGD Memperoleh izin pemanfaatan Mengetahui rencana peruntukkan hutan, pemanfaatan hasil hutan Memberi informasi dan pertimbangan dalam pengelolaan HLGD
Ikut memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan Melakukan kegiatan teknis yang menunjang pemanfataan HLGD
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan HLGD Mendapatkan keuntungan dengan penjualan hasil hutan bukan kayu Mendapatkan pengetahuan baru melalui kegiatan riset
Terlibat dalam kegiatan teknis kehutanan melalui dukungan tenaga kerja Dapat menyiapkan dukungan dana Menyediaka n informasi yang berkaitan dengan pengelolaan HLGD
Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder seperti yang terlihat pada Tabel 36 terdapat stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang terdiri dari Masyarakat lokal dan PDAM
yang menikmati
sumberdaya yang dihasilkan oleh HLGD. Sedangkan kewajibannya adalah ikut menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan, melakukan kegiatan teknis pemanfataan HLGD, penyediaan tenaga kerja, memberikan informasi dan penyediaan dana pengelolaan HLGD.
91 Tabel 37. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango Stakeholder 1. BKSDA, 2. BPKH Wilayah XV Gorontalo 3. BP-DAS Bone Bolango 4. Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, 5. kepala desa dan 6. Polisi Kehutanan, 7. Dinas PU 8. Universitas Gorontalo 9. BAPPEDA, 10. DPRD, 11. LSM, 12. Badan
Lingkungan Hidup, 13. EGSLP Kabupaten Bone Bolano
1. BAPPEDA 2. BLH, 3. PU, 4. DPRD 5 EGSLP 6.Dishutamben 7. BKSDA 8. BPKH 9. BP-DAS 10.Kep Desa
Rights Memberi dan mencabut izin pemanfaatan Melakukan pengelolaan terhadap kawasan HLGD Melakukan pengawasan, penilaian dan memfasilitasi program Melaksanaka n penelitian dan pengembang an
Responsibility Melakukan pengelolaan hutan secara lestari Melaksanakan kewenangan otonomi daerah dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi dibidang kehutanan Melaksanakan kebijakan pengelolaan HLGD Berupaya mewujudkan program pemulihan kawasan HLGD Memberi dukungan penuh terhadap segala bentuk kegiatan pengelolaan hutan
Rewards
Relationship
Meningkatnya PAD Terwujudnya visi misi organisasi Menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh HLGD
Menyiapka n norma, standar, pedoman dan kriteria pengelolaan HLGD Menyiapka n dukungan dana
Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholder pengelola, penyedia pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo terdapat beberapa stakeholder terlibat seperti BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa, Polisi Kehutanan, Universitas Gorontalo, BAPPEDA, EGSLP,
92 DPRD, LSM, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Stakeholder pengelola, penyedia pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa, BAPPEDA, EGSLP, DPRD, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan hak dan kewajiban, stakeholder ini mempunyai hak menyiapkan norma, standar, pedoman dan kriteria pengelolaan HLGD sedangkan kewajibannya adalah menyelenggarakan kebijakan, kewenangan pengelolaan hutan lindung lestari. Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango hanya melakukan aktivitas pemanfaatan jasa lingkungan berupa pemanfaatan air minum melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kegiatan pemanfaatan jasa air minum oleh PDAM merupakan salah satu bagian dari strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik sekaligus sumber pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiaya pembangunan di daerah . Menurut Fauzi (2004) keberadaan lembaga pemerintah di bidang industri pengolahan air seperti dibentuknya Perusahaan Daerah Air Minum oleh pemerintah daerah, tak lain untuk memberikan pelayanan penyediaan air bersih kepada masyarakat secara kuantitas dan kualitas baik dan secara operasional efisien serta berkelanjutan (sustainable). Intervensi pemerintah melalui PDAM sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat sebenarnya dapat diterima secara logis mengingat air sebagai barang publik penggunaannya oleh masyarakat harus dikendalikan agar tidak menimbulkan ekternalitas negatif Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda), pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Daerah menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah daerah dalam berbagai perubahan sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu perubahan tersebut adalah dalam pengurusan hutan hutan lindung oleh pemerintah
93 daerah yang diperkuat dengan keluarnya PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota setidaknya terdapat 58 kewenangan yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah. Pelimpahan
sebagian
kewenangan
kepada
pemerintah
daerah
ternyata
menimbulkan permasalahan lain yaitu adanya tumpang tindih kewenangan dalam menjalankan pengelolaan HLGD seperti yang terlihat pada Tabel 38. Tabel 38. Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan hutan lindung Aspek
Kabupaten Gorontalo
Penetapan dan BAPPEDA, BKSDA, BPKH, Pemantapan Dishuttamben. PU Dishuttamben, BPKH, Pengelolaan BKSDA, BP-DAS, PDAM Pembinaan dan Dishuttamben, BLH, DPRD, Pengawasan Polhut, Kepala Desa
Kabupaten Bone Bolango BAPPEDA, BKSDA, BPKH, Dishuttamben, PU Dishuttamben, BPKH, BKSDA, BP-DAS dan PDAM Dishuttamben, BLH, DPRD, Kepala Desa
Hasil identifikasi terhadap lembaga pemerintah pusat dan daerah menunjukkan bahwa terdapat 10 lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Pada tabel diatas juga menunjukkan terjadi tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung berdasarkan tupoksi yang digariskan melalui pasal 10 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pada tugas pokok pemantapan dan penetapan kawasan hutan beberapa lembaga pemerintah pusat dalam hal ini unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Kehutanan terlibat seperti BKSDA dan BPKH XV Gorontalo sedangkan di level pemerintah daerah terdapat BAPPEDA dan Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, Bidang Tata Ruang Dinas PU. Menurut Manan (2001) secara umum ketidakjelasan kewenangan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung disebabkan oleh; 1) terdapat lebih dari satu lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung 2) belum jelas dan tegasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Banyaknya kantor kantor pusat di daerah sangat mempengaruhi kewenangan otonomi. Untuk menjamin kemandirian daerah, kantor kantor pusat di daerah harus ditiadakan atau dikurangi kecuali sangat
94 diperlukan sama sekali. Urusan pusat yang memerlukan pelaksanaan di daerah dapat diserahkan kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan c.
Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder Hasil identifikasi stakeholder seperti yang diuraikan dalam Tabel 33
terdapat 18 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yaitu 1). BKSDA, 2) BPKH Wilayah XV Gorontalo, 3). BP-DAS Bone Bolango, 4). Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi, 5).BAPPEDA, 6). Dinas Pekerjaan Umum, 7). Badan Lingkungan Hidup, 8). DPRD, 9). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 10) Badan Penyuluh Pertanian, 11) Polisi Kehutanan, 12) Kepala Desa (formal leader), 13) tokoh masyarakat (informal leader) 14) Lembaga Donor EGSLP, 15). Perguruan Tinggi, 16). LSM Komunitas untuk Bumi (KUBU), 17). PDAM dan 18). masyarakat lokal. Secara umum stakeholder pengelolaan HLGD terdiri dari organisasi pemerintah dan non pemerintah (organizations), masyarakat lokal (communities). Hal ini hampir sesuai dengan yang dikemukakan oleh IIED (2005) bahwa stakeholders dapat meliputi organisasi atau kelompok-kelompok sosial dan komunitas masyarakat lokal. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, Reed et al (2009) mengelompokkan stakeholder menjadi 4 bagian yaitu stakeholder subyek, stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholders crowd. Menurut Hermawan et al (2005), tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan
stakeholder
untuk
mempengaruhi
keberhasilan
atau
ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Dalam penelitian ini,
kepentingan
dan
pengaruh
stakeholder
diidentifikasi
berdasarkan
kewenangannya yang tertuang dalam tugas pokok dalam mengambil keputusan terkait dengan proses pengelolaan hutan lindung dan realita yang terjadi di lapangan. Adapun informasi tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat pengaruh stakeholder di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 39.
95 Tabel 39. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo Stakeholder BKSDA Sulawesi Utara BPKH Wilayah XV Gorontalo BP-DAS Bone Bolango Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kepala Desa. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Dinas Pekerjaan Umum Badan Lingkungan Hidup (BLH) DPRD Badan Penyuluh Pertanian Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan,
PDAM Polisi Kehutanan Masyarakat lokal Tokoh masyarakat
Kepentingan Keterlibatan Tinggi. Penyelenggaraan konservasi di dalam dan di luar kawasan konservasi Tinggi. Koordinasi pemantapan kawasan dan penataan kawasan hutan Tinggi. Otoritas pengelola wilayah hulu DAS di HLGD Tinggi. Koordinator pengelola SDH di daerah Tinggi. Sebagai Pembina dan masyarakat sekitar hutan
Pengaruh Tinggi. Pengambil kebijakan konservasi sumberdaya alam hayati dan koordinasi teknis HL Tinggi. Pengambil Kebijakan dalam penataan kawasan hutan Tinggi. Pengambil pengelolaan DAS
kebijakan
Tinggi. Wilayah teritorial, implementasi dan control Tinggi. Koordinasi pemerintahan dan kontrol wilayah teritori
Rendah. Tidak menerima Tinggi. Kontrol implementasi dampak perencanaan Tinggi. Pemeliharaan infrastruktur seperti jalan, bangunan pemerintah di HLGD Rendah. Tidak menerima dampak
Tinggi. ruang
Koordinasi
penataan
Tinggi. Koordinasi terhadap pengawasan lingkungan Tinggi. Dukungan proses Rendah. Tidak menerima pengambilan keputusan tingkat dampak lokal Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak mempunyai dampak kebijakan tentang kehutanan Tinggi. Memiliki demplot pengembangan beberapa Tinggi. Mempunyai kebijakan varietas jagung dan tentang Agropolitan komoditi pertanian lainnya Tinggi. Pemanfaat Rendah. Tidak memiliki akses sumberdaya air terhadap pengambilan keputusan Tinggi. Dukungan terhadap pengamanan kawasan Tinggi. Menerima manfaat dari sumberdaya hutan Tinggi. Menerima manfaat dari keberadaan sumberdaya hutan
Tinggi. Kontrol terhadap SDH Rendah. Tidak mempunyai akses terhadap kebijakan Rendah. Tidak mempunyai akses terhadap kebijakan
96 Lanjutan Tabel 39 Stakeholder Lembaga EGSLP. Universitas Gorontalo
LSM KUBU
Donor
Kepentingan Keterlibatan Rendah. Tidak menerima dampak Tinggi. Melaksanakan salah satu tridharma perguruan tinggi yaitu penelitian dan pengabdian masyarakat di HLGD Rendah. Tidak menerima dampak
Pengaruh Tinggi. Memiliki akses terhadap pengambilan kebijakan Tinggi. Memiliki akses memberikan masukan kepada pemerintah
Rendah. Tidak mempengaruhi keputusan
bisa
Klasifikasi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan pengaruhnya dalam pengelolaan HLGD juga dilakukan di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya akan dianalisis pada 4 kelompok stakeholder. Adapun klasifikasi stakeholders untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 40 Tabel 40. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango Stakeholder
Kepentingan Keterlibatan
Pengaruh Tinggi. Pengambil kebijakan Tinggi. Penyelenggaraan BKSDA Sulawesi konservasi sumberdaya alam konservasi di dalam dan di Utara hayati dan koordinasi teknis luar kawasan konservasi HL Tinggi. Pelaksana BPKH Wilayah XV Tinggi. Pengambil Kebijakan pemantapan kawasan dan Gorontalo dalam penataan kawasan hutan penataan kawasan hutan BP-DAS Bone Tinggi. Pengelola wilayah Tinggi. Pengambil kebijakan Bolango hulu DAS di HLGD pengelolaan DAS Dinas Kehutanan dan Tinggi. Melaksanakan tugas Tinggi. Pengambil kebijakan Pertambangan Energi desentralisasi kehutanan kehutanan didaerah Tinggi. Koordinasi Tinggi. Sebagai Pembina dan Kepala Desa. pemerintahan dan kontrol masyarakat sekitar hutan wilayah teritori Badan Perencanaan Rendah. Tidak menerima Tinggi. Kebijakan perencana Pembangunan dampak dan pembangunan daerah Daerah (BAPPEDA) Dinas Pekerjaan Rendah. Tidak menerima Tinggi. Koorditor penataan Umum dampak ruang Tinggi. Koordinasi bidang Badan Lingkungan Rendah. Tidak menerima pengendalian, pengawasan Hidup (BLH) dampak pencemaran dan kerusakanlingkungan
97 Lanjutan Tabel 40 Stakeholder
Kepentingan Keterlibatan Rendah. Tidak menerima dampak Tinggi. Pemanfaat sumberdaya air
Pengaruh Tinggi. proses pengambilan DPRD keputusan tingkat lokal Rendah. Tidak memiliki akses PDAM terhadap pengambilan keputusan Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat Rendah. Tidak mempunyai dari sumberdaya hutan akses terhadap kebijakan Tokoh masyarakat Tinggi. Tempat Rendah. Tidak mempunyai melaksanakan aktivitas sosial akses terhadap kebijakan budaya Lembaga Donor Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak Memiliki akses EGSLP. dampak terhadap pengambilan kebijakan
Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek (subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton (crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholders yang bisa melakukan kerjasama dan stakeholders yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15 SUBYEK
K e p e n t i n g a n
PDAM Masyarakat lokal Tokoh Masyarakat
KEY PLAYER BP-DAS
POLHUT
BPKH
Dishuttamben
Kepala Desa Universitas Gorontalo Dinas Pertanian
LSM Kubu Badan Penyuluh
PU
BKSDA
DPRD BLH BAPPEDA
EGSLP
CROWD
CONTEXT SETTER Pengaruh
Gambar 14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
98
SUBYEK
KEY PLAYER
K e p e n t i n g a n
BP-DAS
BKSDA
PDAM
BPKH Masyarakat lokal
Dishuttamben Kepala Desa
Tokoh Masyarakat
BLH EGSLP
BAPPEDA
DPRD PU
CONTEXT SETTER
CROWD Pengaruh
Gambar 15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders tugas pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango Berdasarkan matriks tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh yang menempati posisi kuadran A (subyek) di kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu, tokoh masyarakat, masyarakat lokal, dan PDAM. Apabila kegiatan ini ingin melindungi kepentingan mereka, maka diperlukan inisiatif-inisitaif khusus terutama karena mereka adalah merupakan para pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan ini. Peningkatan kemampuan dan peningkatan kesadaran terhadap hutan lindung sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar Posisi kuadran B (key players) di Kabupaten Gorontalo terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, sedangkan untuk Kabupaten Bone Bolango terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS
99 Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa. Stakeholder ini merupakan
kelompok yang paling kritis karena memiliki
kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Kuadran B ditempati oleh lebih banyak stakeholders dibandingkan dengan Kuadran A, C, dan D. Banyaknya pihak yang berperan sebagai pemain adalah potensi besar dalam rangka pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Perlu dilakukan kerjasama yang baik agar kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat mencapai kinerja yang diharapkan Posisi kuadran C (context setter) di Kabupaten Gorontalo terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi yaitu BAPPEDA, DPRD, Badan Lingkungan Hidup, EGSLP sedangkan untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango terdiri dari BAPPEDA, BLH, PU, DPRD. Stakeholder pengamat dapat diinterpretasikan bahwa kepentingan dari stakeholder ini bukan merupakan target dari kegiatan. Oleh karena itu dalam konteks pencapaian kegiatan kelompok stakeholders ini dapat dipandang sebagai sumber dari resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Meskipun demikian stakeholder ini memiliki manfaat dalam rangka merumuskan atau menjembatani keputusan dan opini dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Kuadran D (crowd) di Kabupaten Gorontalo terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, LSM Kubu dan EGSLP. Sedangkan di Kabupaten Bone Bolango adalah EGSLP. Stakeholder ini tidak memerlukan pelibatan intensif dalam pencapaian tujuan kegiatan tetapi apabila memungkinkan, perlu dilakukan monitoring
dan
evaluasi
berkala
untuk
mengetahui
perkembangan
kepentingannya. Dalam
pelaksanaan
pengelolaan
HLGD
terlihat
peran
beberapa
stakeholders belum optimal dalam pengelolaan HLGD. Bryson (2003) mengatakan belum optimalnya management sumberdaya di akibatkan oleh tidak optimalnya peran stakeholders yang dalam menentukan kebijakan. Mengacu pada Kuadran Stakeholder versi Reed et al (2009) stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan dalam pengelolaan HLGD terdapat pada key stakeholder dan context setter yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-
100 DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, Badan Lingkungan Hidup, DPRD, BAPPEDA. Hampir tidak terdapat perbedaan stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Untuk mengoptimalkan peran stakeholder yang berpengaruh pada kebijakan pengelolaan HLGD maka perlu dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter untuk dapat menghalangi atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Partisipasi merupakan proses keterlibatan stakeholders dalam mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap stakeholder akan memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat (kedekatan) kepentingan stakeholder bersangkutan dengan pengambil keputusan dan kekuatan pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 41 Tabel 41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD (diadaptasi dan di modifikasi dari Bryson 2003) Aspek Penetapan dan Pemantapan Kawasan
Memberikan informasi BPKH, BP-DAS, BKSDA, Universitas Gorontalo, Dinas Kehutanan Pertambangan Energi
Jenis Partisipasi Koordinasi Kolaborasi BPKH, BP-DAS, BKSDA, Universitas Gorontalo, Dinas Kehutanan Pertambangan Energi, BAPPEDA, Dinas Pertanian, Kepala Desa, Dinas PU, BLH, DPRD
BPKH, BPDAS, BKSDA, Universitas Gorontalo, Dinas Kehutanan Pertambangan Energi
Pemberdayaan
101 Lanjutan Tabel 41 Aspek Pengelolaan
Pembinaan dan Pengawasan
Memberikan informasi Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi
Kepala Desa
Jenis Partisipasi Koordinasi Kolaborasi Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kepala Desa dan Polisi Kehutanan
Universitas Gorontalo, PDAM
Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Polisi LSM Kehutanan, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, Kepala Desa
Berdasarkan tabel diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan pembinaan serta pengawasan kawasan HLGD adalah memberikan informasi, koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan. Memberikan informasi artinya stakeholder kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang keberadaan HLGD. Selama ini organisasi di lingkungan pemerintah lebih mengetahui informasi internal dibandingkan dengan informasi eksternal. Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan sangat jarang mensosialisasikan hasil-hasil kegiatannya kepada pihak lain. Sebagai contoh hasil wawancara dengan pihak Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi yang selama ini tidak mengetahui secara pasti panjang kawasan HLGD yang telah ditata-batas. Seperti diketahui kegiatan penataan batas merupakan tanggung jawab BPKH Gorontalo. Demikian halnya informasi hasil-hasil penelitian berupa kondisi biofisik kawasan dan situasi sosial ekonomi yang dilakukan oleh Universitas Gorontalo tidak pernah disosialisasikan kepada pihak lain. Sehingga informasi yang dipegang oleh organisasi pemerintah kurang lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menimbulkan perilaku oportunistik pihakpihak yang memanfaatakan HLGD untuk mengeksploitasi sumberdaya sehingga menimbulkan eksternalitas negative. Untuk itu pihak Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango selaku pengelola di daerah harus pro aktif mengumpulkan semua informasi yang
102 berkaitan dengan kondisi tata-batas, situasi sosial ekonomi dan biofisik kawasan HLGD dari organisasi lainnya Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang lebih efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terjadi kendala dalam melaksanakan koordinasi antara SKPD pemerintah daerah dan kantor UPT Kementrian Kehutanan di daerah dalam pengelolaan HLGD karena masih terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan RHL terjadi tumpang tindih program antara Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango dengan BP-DAS Bone Bolango. Tumpang tindih program mengindikasikan buruknya koordinasi pengelolaan hutan di daerah. Hasil kajian Sutrisno (2011) menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung menggunakan pendekatan vertical yang dicirikan oleh level tertinggi organisasi pemerintah. Hal ini menjadi sumber penyebab kegagalan koordinasi antar pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal cenderung hanya mengatur bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah organisasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan HLGD maka koordinasi yang dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yaitu mengkoordinasikan tindakantindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat.. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan komunikasi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien. Munandar (2001) menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan orang yang berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersepsikan diri sendiri sebagai bagian dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan kerjasama di dalam pengelolaan HLGD. Kolaborasi dalam pengelolaan HLGD sangat penting karena terbatasnya sumber daya yang terdapat dimasing-masing organisasi. Kolaborasi yang terjadi diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan
103 berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada akhirnya meningkatkan kesuksesan dalam menyelesaikan suatu masalah. Partisipasi
pemerintah
dalam
kolaborasi
adalah
berperan
dalam
mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan wilayah dengan pengelolaan HLGD. Sedangkan pihak Universitas Gorontalo berperan dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan dalam dirinya. Keberadaan
Universitas
Gorontalo
dinilai
mampu
melakukan
transfer
pengetahuan dan teknologi pada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial yang dapat menjamin kelestarian HLGD. Kolaborasi pihak swasta dalam hal ini PDAM sangat diperlukan, pihak swasta dapat berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan
yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal.
Keterlibatan pihak PDAM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk meningkatkan
kehidupan
ekonomi
masyarakat
sekitar
hutan.
Untuk
mengefektifkan partisipasi stakeholder, tindak lanjut harus diprioritaskan pada upaya pelembagaannya secara mapan. Pemerintah perlu mengembangkan kelembagaan melalui tiga aspek: a)
Penyusunan kerangka dan produk hukum yang mengatur masalah hak, kewajiban, prosedur dan mekanisme partisipasi stakeholder. Kerangka hukum ini diperlukan untuk memberikan keabsahan dan legitimasi politis bagi stakeholder di satu pihak, serta batasan akan hak, kewajiban, dan kewenangan mereka di lain pihak. Untuk menjamin efektifitasnya ketentuan-ketentuan hukum ini perlu disusun sampai pada tingkat peraturan pelaksanaannya.
b)
Penyusunan tata cara, prosedur, serta mekanisme berpartisipasi sebagai petunjuk teknis dan panduan baik bagi stakeholder maupun pemrakarsa kebijakan dalam menjalankan proses partisipasi. Tercakup dalam panduan teknis ini adalah, kriteria untuk pemberian suatu status bagi tiap stakeholder yang relevan untuk suatu substansi kebijakan tertentu yang sedang dalam proses penyusunan kebijakan. Melekat dalam status tersebut hak dan kewenangan stakeholder sesuai dengan batasan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang telah ditetapkan.
104 Pengembangan kapasitas stakeholder melalui berbagai upaya penguatan kelembagaan dan peningkatan kompetensi teknis mereka sesuai dengan kepentingan masing-masing. d.
Perilaku dan Kinerja Stakeholder Memahami perilaku masyarakat yang berkepentingan dan terlibat dalam
pengelolaan HLGD, merupakan informasi yang sangat bermanfaat bagi sebuah lembaga pengambil kebijakan dalam menyusun kelestarian Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders yang dikemukakan sebelumnya mempengaruhi perilaku dan kinerja pengelolaan daerah tersebut. Secara ringkas
perilaku
stakeholders dan kinerjanya dalam pengelolaan HLGD disajikan pada Tabel 42 dan 43 Tabel 42. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo Stakeholder
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) 1. BKSDA Menyelenggarakan Sulawesi Utara konservasi dan koordinasi pengelolaan Hutan Lindung (Permenhut 02/MenhutII/2007) 2. BPKH Wilayah Melaksanakan XV pengukuhan kawasan hutan dan menyajikan informasi tentang kawasan hutan (Permenhut 13/MenhutII/2011) 3. BP-DAS Bone Melaksanakan Bolango penyusunan rencana pengelolaan DAS, pengembangan kelembagaan dan evaluasi (P. 15/MenhutII/2007)
Perilaku
Kinerja
Belum melaksanakan koordinasi pengelolaan HL dan konservasi SDAH Melaksanakan sebagian penataan batas di kawasan HLGD
Belum ada informasi tentang potensi keanekaragaman hayati di HLGD yang disediakan oleh BKSDA Belum ada kejelasan batas-batas Hutan Lindung Gunung Damar
Belum menyusun Belum ada kegiatan rencana pengelolaan di DAS pengelolaan 2 Bionga DAS besar; DAS Bionga, DAS dan DAS Bolango
105 Lanjutan Tabel 42 Stakeholder
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) 4. Dinas Melaksanakan Kehutanan dan inventarisasi pemetaan Pertambangan hutan, penataan batas, Energi pemberian ijin dan Kabupaten pengawasan Gorontalo pemanfaatan kawasan hutan (Perda No 35/2007) 5. Kepala Desa di Melaksanakan tugas Kabupaten administrasi Gorontalo pemerintahan dan mengembangkan potensi SDA (PP 72 tahun 2005) 6. BAPPEDA Melaksanakan Kabupaten perencanaan Gorontalo pembangunan daerah dan melaksanakan kebijakan perencanaan pembangunan (Perda 16/2007) 7. Dinas Pertanian Melaksanakan Tanaman kewenangan Pangan pembangunan pertanian Kabupaten (Perda No 33/2007) Gorontalo
8. Polisi hutan Melaksanakan Kabupaten pemantuan, Gorontalo perlindungan & pengamanan hutan (Pasal 4 Kepmenpan No. 55/KEP/M.PAN/7/2003) 9. Dinas PU Melaksanakan Kabupaten kewenangan Gorontalo pembangunan infrastruktur (Perda No 31/2007) 10. DPRD Melaksanakan legislasi, Kabupaten budgeting dan Gorontalo pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)
Perilaku
Kinerja
Belum Tata batas kawasan sepenuhnya HLGD baru melaksanakan mencapai 14.65% inventarisasi, penataan batas, pemberian ijin usaha kehutanan Memungut pajak hasil bumi kepada masyarakat sekitar HLGD
Ada Penerimaan PAD dari pajak hasil bumi pemanfaatan HLGD
Menyusun Perencanaan pembangunan daerah
Tidak ada pengawasan terhadap implementasi perencanaan pembangunan
Mensukseskan program Agropolitan dengan menyerahkan Bibit Gratis kepada kelompok tani sekitar HLGD Melaksanakan operasi setiap 3 bulan
Meluasnya lahan pertanian dan terjadi peningkatan produksi hasil pertanian di dalam kawasan HLGD
Membangun jalan desa-desa disekitar dan didalam kawasan HLGD Pengawasan, legislasi dan budgeting terhadap PEMDA
Akses ke kawasan HLGD menjadi lebih mudah
Kawasan HLGD belum aman
Ada kontrol terhadap kebijakan tapi tidak bisa membatalkan kebijkan tersebut
106 Lanjutan Tabel 42 Stakeholder
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) 11. BLH Kabupaten Melaksanakan Gorontalo Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perda No 18/2007) 12. PDAM Kabupaten Gorontalo
13. Universitas Gorontalo
14. Badan Penyuluh Pertanian, Kehutanan Kabupaten Gorontalo
Belum melakukan pemantauan terhadap lingkungan HLGD Optimalisasi pelayanan Memperluas air bersih dalam rangka pemasangan memaksimalkan PAD jaringan bersih (Perda 6/1993) untuk penerimaan PAD Melaksanakan Melaksanakan Tridharma Perguruan penelitian dan Tinggi (Pasal 3 PP No pengabdian 60/1999) masyarakat
Membantu kepala daerah dalam melaksanakan penyuluhan pertanian dan kehutanan (Perda No 4/2008)
Tabel 43. Perilaku Stakeholders Bolango Stakeholder
15. BKSDA Sulawesi Utara
Perilaku
Kinerja
Terdapat peningkatan sedimentasi Bionga
DAS
Meningkatnya Penerimaan PAD
Memiliki informasi potensi sumberdaya hutan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat tapi belum di informasikan kepada stakeholder lain Memberikan Masyarakat masih penyuluhan dalam melakukan rangka perambahan peningkatan kesadaran
dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kab Bone
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) Menyelenggarakan konservasi dan koordinasi pengelolaan Hutan Lindung (Permenhut 02/MenhutII/2007)
16. BPKH Wilayah Melaksanakan XV pengukuhan kawasan hutan dan menyajikan informasi tentang kawasan hutan (Permenhut 13/MenhutII/2011)
Perilaku
Kinerja
Belum melaksanakan koordinasi pengelolaan HL dan konservasi sumber daya alam hayati
Belum ada informasi tentang potensi keanekaragaman hayati di HLGD yang disediakan oleh BKSDA
Telah Wilayah HLGD yang melaksanakan ditata batas mencapai sebagian besar 41.18% tata batas di kawasan HLGD
107 Lanjutan Tabel 43 Stakeholder
17. BP-DAS Bolango
Bone
18. Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Bone Bolango
19. Kepala Desa di Kabupaten Bone Bolango
20. BAPPEDA Bone Bolango
21. Dinas PU Bone Bolango
22. Polisi hutan Bone Bolango
23. DPRD Bolango
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) Melaksanakan penyusunan rencana pengelolaan DAS, pengembangan kelembagaan dan evaluasi (P. 15/MenhutII/2007) Melaksanakan inventarisasi pemetaan hutan, penataan batas, pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan kawasan hutan (Perda 12/2005) Melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan mengembangkan potensi SDA (PP 72 tahun 2005) Melaksankan perencanaan pembangunan daerah dan kebijakan perencanaan pembangunan (Perda 14/2005) Melaksanakan kewenangan pembangunan infrastruktur (Perbup No19/2011) Melaksanakan perlindungan & pengamanan hutan (Pasal 4 Kemenpan No. 55/M.PAN/2003)
Bone Melaksanakan legislasi, budgeting dan pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)
Perilaku
Kinerja
Belum menyusun Belum ada kegiatan rencana pengelolaan di DAS pengelolaan 2 Bolango DAS besar; DAS Bionga, DAS dan DAS Bolango Telah Wilayah HLGD yang melaksanakan ditata batas mencapai sebagian besar 41.18% inventarisasi dan penataan batas
Memungut pajak hasil bumi kepada masyarakat sekitar HLGD
Ada Penerimaan PAD dari pajak hasil bumi pemanfaatan HLGD
Menyusun Perencanaan pembangunan daerah
Tidak ada pengawasan terhadap implementasi perencanaan pembangunan
Membangun jalan Terdapat akses ke di desa-desa desa-desa sekitar disekitar HLGD kawasan HLGD
Melaksanakan patroli jika ada laporan pengambilan hasil hutan secara illegal dari pemerintah desa Pengawasan, legislasi dan budgeting terhadap pemerintah daerah
Masih ditemukan adanya gangguan
Ada kontrol terhadap kebijakan pembangunan tetapi tidak bisa membatalkan kebijkan tersebut
108 Lanjutan Tabel 43 Stakeholder
24. BLH Bolango
25. PDAM Bolango
Ringkasan Tugas Pokok (Sesuai Peraturan Perundangan) Bone Melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perda No 10/2010) Bone Peningkatan pelayanan air bersih dalam rangka memaksimalkan PAD
Perilaku
Kinerja
Melakukan pemantauan terhadap lingkungan di HLGD Memperluas pemasangan jaringan bersih untuk penerimaan PAD
Terdapat beberapa papan larangan disekitar HLGD
Meningkatnya Penerimaan PAD
Tabel 42 dan 43 diatas menunjukkan bahwa sebagian perilaku stakeholders yang terlibat pengelolaan hutan belum sesuai dengan tugas pokok yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah yang berlaku tidak mampu mengendalikan perilaku pihak pihak yang terkait dengan kawasan HLGD. Sebagai contoh sampai saat ini Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango belum melaksanakan inventarisasi lengkap dan penataan batas sesuai yang digariskan oleh peraturan perundangan. Pelaksanaan inventarisasi dan penataan batas merupakan langkah awal dalam rangka memberikan status hukum bagi HLGD. Situasi ini menyebabkan pihak-pihak lain yang berada diluar institusi kehutanan memiliki perilaku oportunisme dan moral hazard yang disebabkan oleh karakteristik yang menyebabkan sumber interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat dalam penggunaan sumberdaya yaitu biaya transaksi, biaya ekslusi tinggi, surplus dan inkompatibilitas ekologis dalam pola penggunaan lahan. 4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini terdapat empat faktor yang membentuk kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yaitu organisasi, hak kepemilikan (property right), batas yurisdiksi dan aturan representasi. Keempat faktor ini dipengaruhi oleh situasi atau kondisi sebagai sumber interdependensi. Sebaliknya kelembagaan
109 yang terdapat di HLGD dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan kinerja. Berdasarkan hasil analisis citra landsat yang mencirikan indikator kinerja pengelolaan HLGD menunjukkan kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan di Kabupaten Gorontalo. Adapun perbandingan kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango disajikan dalam Tabel 44: Tabel 44. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango Situasi I.
Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Bone Bolango
Situasi Ekologi
1. Tutupan hutan 2. Tutupan lahan pertanian 3. Semak 4. Lahan terbuka
3793.42 ha (33.93%)
6056.73 ha (67.76%)
4028.29 ha (36.03%)
956.79 ha (10.71%)
345.09 ha (3.09%)
45.57 ha (0.51%)
122.65 ha (1.09%) Situasi Sosial Ekonomi Jumlah Penduduk 5907 Jumlah tenaga kerja 2744 Jumlah Desa dalam Kawasan 3 Desa: 1) Desa Malahu, 2) HLGD Desa Dulamayo Selatan, 3) Desa Dulamayo Utara Produksi Jagung Sekitar 6673.14 ton/tahun HLGD (ton/tahun) Tingkat Pendapatan 1187923 (Rp/bulan) Rata-rata kepemilikan lahan 0.952 (ha) Indeks LQ Sektor Pertanian 2.248 Daya Dukung 0.355 Jumlah Penduduk Miskin 879 (KK) Jarak pemukiman dengan 0.2 - 1 HLGD (km) Komoditas pertanian dan Cengkih, Kemiri, Langsat, perkebunan Utama disekitar Durian, Jagung, Aren, HLGD Vanili, Coklat Tingkat Pendidikan SD 79.17%, SMP 6.67%, Responden SMA 14.17%
12.63 ha (0.15%)
II.
4029 1976 Tidak ada
3814.19 ton/tahun 980188 1.109 0.930 0.341 550 3–4 Kemiri, Jagung,
Kelapa,
Coklat,
SD 85.96%, SMP 8.77%, SMA 10.53%
110 Lanjutan Tabel 44 III. Organisasi 1. BPKH 2. BKSDA
3. BP-DAS
4. Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi 5. Bidang Tata Ruang Dinas PU 6. BAPPEDA 7. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan
8. Badan Penyuluh Pertanian 9. Badan Lingkungan Hidup
10. DPRD
11. PDAM 12. EGSLP
13. Polisi Hutan 14. Kepala Desa 15. Tokoh Masyarakat 16. Universitas Gorontalo 17. LSM Kubu 18. Masyarakat lokal
Aktif Berperan dalam penataan batas kawasan Belum berperan dalam konservasi dan koordinasi pengelolaan kawasan HLGD Belum berperan dalam pengelolaan wilayah hulu DAS Bionga Aktif dalam pemanfaatan HLGD Berperan dalam penataan ruang Berperan dalam perencanaan pembangunan Aktif memberikan bantuan Saprodi kepada kelompok tani sekitar HLGD Aktif memberikan penyuluh Kurang aktif memantau kualitas lingkungan spesifik seperti air, erosi dan sedimentasi Berperan dalam legislasi, penganggaran dan pengawasan Aktif dalam pemanfaatan air baku Aktif melaksanakan pemberdayaan masyarakat berbasis DAS Melaksanakan patroli kawasan 3 bulan sekali Aktif memberikan pembinaan dan pengawasan Aktif memberikan pembinaan dan pengawasan Aktif melaksakanakan penelitian Aktif melaksanakan advokasi lingkungan Aktif memanfaatkan lahan di dalam dan sekitar HLGD untuk keperluan subsisten dan komersial
Aktif Berperan dalam penataan batas kawasan Belum berperan dalam konservasi dan koordinasi pengelolaan kawasan HLGD Belum berperan dalam pengelolaan hulu DAS Bolango Aktif dan berperan dalam pengelolaan HLGD Berperan dalam penataan ruang Berperan dalam perencanaan pembangunan Tidak aktif
Tidak aktif Aktif memberikan penyuluhan dan membangun kesadaran tentang kualitas lingkungan Aktif dalam legislasi yang berkaitan dengan penyelamatan lingkungan Aktif dalam pemanfaatan air baku Aktif melaksanakan pemberdayaan masyarakat berbasis DAS Melaksanakan patroli jika terjadi gangguan di HLGD Aktif memberikan pembinaan dan pengawasan Aktif memberikan pembinaan dan pengawasan Tidak aktif Tidak aktif Aktif memanfaatkan lahan di dalam dan sekitar HLGD untuk keperluan subsisten dan sosial budaya
111 Lanjutan Tabel 44 IV. Batas yurisdiksi 1. Panjang Batas Kawasan HLGD 2. Panjang tata batas HLGD V. Hak kepemilikan 1. Luas Lahan Konflik 2. Jumlah Gangguan VI. Aturan representasi Biaya koordinasi
VII. Kinerja
31.87 km
45.65 km
4.67 km atau 14.65%
18.8 km atau 41.18%
4028.29 ha atau 36.03% 58 kali Kabupaten Gorontalo
956.79 ha atau 10.71% 14 kali Kabupaten Bone Bolango
Tinggi. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan HLGD berjumlah 18 Laju Perubahan Tutupan HLGD: 46.98%/10 tahun
Rendah. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan HLGD berjumlah 43 Laju Perubahan Tutupan HLGD: 27.36% /10 tahun
Hasil evaluasi dan fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian menemukan beberapa perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten Gorontalo dan pemerintah Kabupaten Bone Bolango. Perbedaan ini tentu saja menghasilkan perbedaan kinerja pengelolaan HLGD. Adapun perbedaan institusi tersebut dijelaskan berdasarkan hak kepemilikan, batas yurisdiksi dan aturan representasi. a.
Batas Yurisdiksi Batas yurisdiksi merupakan batas organisasi dalam melakukan pengelolaan
terhadap sumberdaya. Dalam melaksanakan pengelolaan HLGD maka batas yurisdiksi pemerintah adalah batas kawasan. Berdasarkan informasi penelaah pengukuhan kawasan hutan BPKH XV Gorontalo, total panjang kawasan HLGD adalah 77.52 km dengan batas kawasan terpanjang berada di Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 45.65 km sedangkan Kabupaten Gorontalo mencapai 31.87. Namun demikian total wilayah yang sudah ditatabatas baru mencapai 55.83%. Capaian wilayah yang telah ditata-batas di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo lebih rendah yaitu 14.65% jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 45.65%. Menurut Suwito (2011) minimnya capaian penaatan batas dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan mengakibatkan tumpang tindih hak dan sering menjadi pemicu konflik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Situasi ini menunjukkan biaya eksklusi yang ditanggung oleh
112 Pemerintah Kabupaten Gorontalo cukup tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya biaya ekslusi adalah luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang mencapai 36.03% dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 10.71%. Luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo disebabkan populasi penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD Kabupaten Gorontalo lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupate Bone Bolango. Besarnya populasi penduduk cenderung akan meningkatkan permintaan terhadap lahan. Masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo cenderung mengganggap lahan-lahan di dalam sebagai sumberdaya terbuka daripada barang ekslusif sumberdaya milik negara. Dalam situasi dimana pemanfaatan bersifat tidak kompatibel disertai dengan biaya ekslusi tinggi, perilaku penunggang gratis (free rider) merupakan fenomena yang mudah berkembang b.
Hak Kepemilikan Perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten
Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dari aspek hak kepemilikan terletak pada luasnya lahan konflik, tingginya gangguan di dalam kawasan HLGD dan kepemilikan lahan di Kabupaten Gorontalo di bandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini menunjukkan pemerintah Kabupaten Gorontalo selaku pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan tanpa memberikan kontribusi (free rider) terhadap pengelolaan HLGD. Akibatnya timbul biaya ekslusi tinggi dalam pengelolaan HLGD karena banyaknya pemanfaatan kawasan HLGD yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Menurut Basuni (2003) kepemilikan sumberdaya hanyalah gugus kosong apabila biaya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan jauh lebih besar dari nilainya. Konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di kawasan HLGD seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak mengecualikan
dan
hak
memindahtangankan
tidak
sepenuhnya
dapat
113 dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif. Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satusatunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki (acces), hak menggunakan (withdrawal), hak kelola (management) dan hak mengeluarkan (exclusion). Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut Agrawal (2001) kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil, terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya Kartodihardjo (2006) menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha. Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi lebih baik c.
Aturan Representasi Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Secara umum pengelolaan HLGD didominasi oleh keterwakilan pihak pemerintah dan pemerintah daerah dan peluang keterlibatan masyarakat sekitar HLGD kecil. Dominasi pemerintah dalam pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari keputusan dan kebijakan yang
114 dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar. Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif, karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompokkelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adattidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders. Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi. Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan, pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan HLGD
kepada
pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. (1993) dan Mody (2004) Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni (2003) Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
115 dan
koordinator
stakeholders,
pemerintah
daerah
dapat
memanfaatkan
kelembagaan yang aktif dalam masyarakat, dengan demikian dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan perubahan pada mekanisme pengambilan keputusan. Masyarakat sekitar kawasan HLGD perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan mulai dalam tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi
116
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1.
Beberapa temuan penelitian telah dilakukan mencakup hal-hal sebagai berikut: (1). Kinerja pengelolaan hutan lindung Gunung Damar di Kabupaten Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kinerja pengelolaan hutan lindung Gunung Damar di Kabupaten Gorontalo karena tutupan hutan yang tersisa di Kabupaten Gorontalo 33.93% sedangkan di Kabupaten Bone Bolango tutupan hutan masih 67.76%, (2). Situasi sosial ekonomi dan ekologi di HLGD telah menimbulkan interdependensi dimana karakteristik inheren yang terkait dengan situasi tersebut adalah biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi tinggi, joint impact goods inkompatibilitas dan surplus terutama yang terjadi di Kabupaten Gorontalo. Sumber interdependensi adalah terdapatnya pemukiman di dalam kawasan HLGD yang disertai dengan rasa memiliki lahan-lahan pertanian di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo, kurangnya informasi tentang panjang batas, lemahnya penegakan hukum, jarak pemukiman dengan kawasan hutan, dan jarak HLGD dengan pusat ekonomi. Situasi ini menyulitkan pemerintah Kabupaten Gorontalo untuk menetapkan batas yurisdiksi dan property rights atas kawasan HLGD, dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango, (3) Proses penetapan, pemantapan kawasan hutan dan pengelolaan hutan lindung, belum mengatur mekanisme yang merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung. Aturan formal pengelolaan HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Selain itu masih ditemukan beberapa peraturan perundangan yang tidak konsisten dengan peraturan yang ada di atasnya, (4) Perilaku sebagian stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan HLGD belum sesuai dengan tugas pokok yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Ini berarti
bahwa
peraturan
pemerintah
yang
berlaku
tidak
mampu
mengendalikan sebagian perilaku stakeholder yang terkait dengan kawasan HLGD.
117 2.
Kesimpulan, mengingat situasi HLGD (tanpa melihat wilayah administrasi) sama, maka model kelembagaan pengelolaan HLGD dirumuskan sebagai berikut: (1) property rights: (a) mempertegas dan menguatkan status kepemilikan HLGD sebagai state property (b) sosialisasi kepada seluruh stakeholder terutama kepada masyarakat HLGD bahwa kawasan HLGD merupakan state property rights, (c) memberikan hak-hak khusus kepada masyarakat yang telah menetap di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses, hak mengambil, hak menggunakan dan hak mengecualikan untuk mengelola lahan di dalam kawasan HLGD yang selama ini menjadi sumber kehidupannya, (2) batas yurisdiksi: (a) menyelesaikan tata batas kawasan HLGD, (b) memperjelas dan menyederhanakan tugas pokok dan fungsi organisasi yang menjadi stakeholder dalam pengelolaan HLGD, (3) aturan representasi; sosialisasi kepada seluruh stakeholder bahwa kawasan HLGD merupakan state property rights, termasuk sosialisasi fungsi dan manfaatmanfaat HLGD serta peraturan perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan HLGD
5.2. Saran 1.
Pemerintah segera melakukan penataan batas dan meningkatkan capaiannya untuk memperjelas batas yurisdiksi dan mempertegas serta memperjelas property rights negara atas kawasan HLGD sehingga tidak terjadi tumpang tindih yang memicu meningkatnya lahan konflik di dalam kawasan HLGD
2.
Memberikan hak khusus kepada masyarakat yang telah lama menetap dan menggarap lahan di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses, hak mengambil hasil tanaman, hak mengelola dan hak mengeluarkan yang lain
3.
Melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat yang telah lama menetap dan memiliki lahan di dalam kawasan HLGD melalui kegiatan pengembangan agroforestry sehingga fungsi-fungsi HLGD tetap terjaga
118
DAFTAR PUSTAKA Agrawal A. 2001. Common Property Institution and Sustainable Governance of Resources. Journal World Development 29: 1649-1672. Allen W and M Kilvington. 2001. Stakeholder Analysis. Manaaki Whenua Landcare Research. Anonim. 2004. Memahami Kemiskinan, Kehutanan Alat dan Analisisnya. Kumpulan Makalah Pelatihan AKP-FKM. Center for Economic and Social Studies (Cess) di dukung oleh Department for International Development – Overseas Development Institute (odi) Anwar A. 2001. Ekonomi Organisasi; Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi Melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi; Bahan Kuliah Program Studi PWD PPs IPB Bogor. Tidak diPublikasikan Arifin B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia; Perspektif Ekonomi, Etika dan Praksis Kebijakan. PT. Erlangga. Jakarta Ascher W. 1993. Political economy and problematic forestry policies in Indonesia: obstacles to incorporating sound economics and science. The Center for Tropical Conservation, Duke University. Asikin, M. 2001. Stakeholder Participation In SME Policy Design And Implementation. ADB Technical Assistance SME Development [BALIHRISTI] Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Informasi. 2008. Profil Sungai Gorontalo. BALIHRISTI Propinsi Gorontalo [BALIHRISTI] Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Informasi. 2009 Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Gorontalo. BALIHRISTI Propinsi Gorontalo [BPDAS]. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango. 2009. Rancangan Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan SWP DAS Bone Bolango. BP-DAS Bone Bolango Propinsi Gorontalo. [BPKH XV] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV. 2009. Buku Statistik Kehutanan Propinsi Gorontalo tahun 2009. DIRJEN PLANOLOGI, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil XV Gorontalo.
119 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Gorontalo dalam Angka. BPS Kabupaten Gorontalo [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Bone Bolango dalam Angka. BPS Kabupaten Bone Bolango Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2007. Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Aliran Permukaan, Sedimen dan Produksi Air Daerah Aliran Sungai. Tahun Penelitian 2005. Badan Litbang Pertanian Baland JM. and JP. Platteau (1996), Halting Degradation of Natural Resources: Is there a Role for Rural Communities?, Oxford: FAO and Clarendon Press. Barbier E.B., N. Bockstael, J.C. Burgess and I. Strand. 1993. The timber trade and tropical deforestation in Indonesia. LEEC Paper DP 93-01. London Environmental Economics Centre Barbour MG, Burk JH, Pitts WD, William F.S. 1999. Terrestrial Plant Ecology. Third Edition. Addision Wesley Longman, Inc. California Barrow CJ. 1991. Land Degradation. Development and Breakdown of Terrestrial Environments. Cambridge University Press. Cambridge. Basuni S. 2003. Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyanggah Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gde Pangrango, Jawa Barat). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor Boedojo. 1986. Arsitektur, Manusia dan Pengamatannya. Jakarta. Jambatan Bryson JM. 2003. What To Do When Stakeholders Matter: A Guide to Stakeholder Identification and Analysis Techniques.” A paper presented at the National Public Management Research Conference, 9-11 October 2003, The Georgetown University Public Policy Institute, Washington, D.C. Contreras AH, Fay C. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. World Agroforestry Centre Dasgupta P, K.G. Mäler (1995), Poverty, institutions and the environmental resource base‟, in J. Behrman and T.N. Srinivasan (eds.), Handbook of Development Economics, Vol. III, Amsterdam: Elsevier
120 Dauvergne, P. 1994. The politics of deforestation in Indonesia. Pacific Affairs 66(4):497-518. De Foresta, H. and G. Michon, 1997. The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems. Published by ICRAF, ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford Foundation [DEPHUT] Departemen Kehutanan 2004. Bahan Presentasi Departemen Kehutanan kepada Komisi III DPR RI. Departemen Kehutanan RI. Jakarta [DEPHUT] Departemen Kehutanan 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Editor: Soehartono, T., C. Mangkudisastra, Nifinluri, A. Nurhayat, S. Ramadhan, A. Djajono, U.D. Kusumah, E. Caesariantika, D. Febriani, P. Susan. Pusat Rencana dan Statistik Kehutaan Badan Planologi Kehutanan. Jakarta Dewi IN, Achmad RHB, Priyo K. 2010. Kajian Implementasi Peraturan Tentang Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol 7 No 1 Tahun 2010 Dharmawan, A., Bayu K., Dahri, T., Fredian, T., Lilik, B.P., Lusi, F., Nuraini, W.P., Suharno, Yoyoh, I., Dyah, I.M. 2004. Desentralisasi Pengelolaan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam Daerah Aliran Sungai. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor Dick J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information. Background paper to UNCED for the State Ministry for Population and Environment (KLH) and the Environmental Impact Management Agency (BAPEDAL). Didik S, Aziz Khan, Wibowo AJ, Martua S, Santi E. 1998. Kehutanan Masyarakat dan Karakteristiknya. Warta FKKM. Vol. 1 No. 6. Fahutan UGM, Yogyakarta. Dolot MJ. 2009. Kajian Sistem Perladangan Liar Dan Deforestasistudi Kasus Di Hutan Lindung Gunung Damar. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
121 Ekawati S. 2010. Tata Hubungan Kerja Antar Institusi Kehutanan Dalam Pengelolaan Hutan Lindung di Era Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 7 No 3, Desember 2010 Fadhli A. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam di DAS Bionga Kabupaten Gorontalo [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Fandeli CM. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Firman, M. 2006. Studi Konservasi Danau Limboto Kabupaten Gorontalo. [Thesis]. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Fraser AI. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and land-use planning in Indonesia. Unpublished manuscript Friedman J.
1992. The Politic of Alternative Development. Cambridge. Blackwell Publisher.
[FAO] Food Agricultur Organization. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 1: issues, findings and opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia; Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta. Ginoga K, S Ekawati, D. Djaenuddin. 2007. Biaya Transaksi dan Kelembagaan Pengelolaan DAS: Perspektof untuk Sub DAS Cicatih Greenland DJ. 1987. The Sustainability of Rice Farming. IRRI-CAB International. Walling Ford OXON. United Kingdom Hadimulyo, 1996. Adressing Natural Resources Conflicts through Community Forestry. Proceeding E-Conference January-May 1996. Community Forestry Unit, FTTP FAO. Rome Hairiah K, Widianto, Sunaryo. 2003. Bahan Ajar 1. Sistem Agroforestry di Indonesia. World Agroforestry Center (ICRAF) South East Asia Regional Office Bogor. Indonesia Halidah, Saprudin, Abdul Kadir. 2007. Kajian Potensi dan Nilai Ekonomi Tanaman Obat dan Tanaman Hias di Hutan Lindung Gunung Damar Kabupaten Gorontalo. Info Sosial Ekonomi Volume 7 No 2 Tahun 2007. 91-99 p Halidah. 2008. Potensi dan Distribusi Air Hutan Lindung Propinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam Volume V No 1. Pusat
122 Penelitian Sosial Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehuatanan. Bogor Hayes, T.M. 2007. Does Tenure Matter? A Comparative Analysis of Agriculture Expansion in the Mosquitia Forest Corridor. Human Ecology Journal; 35; 733-747. Heltberg, R. 2001. Determinants and Impact of Local Institution for Common Resource Management. Environment and Development Economics 6. Cambridge University Press Hiola AS. 2011. Agroforestry Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian dan Pemanfaatan Jenis Pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo) [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Hutajulu, H. 2010. Kerugian Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam di Pegunungan Cyloops Terhadap Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Huxley P. 1996. Biologigal Factors Affecting Form and Function in Woody-NonWoody Plant Mixtures. in C.K. Ong and P. Huxley (ed) Tree Crop Interaction, Physiologigal Approach. 235-298. Ida R. 2003. Metode Analisis Isi Mengukur Obyektivitas Pers dalam Bungin (2003) Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer [editor]. Raja Grafindo Persada. Jakarta Ihsanurizal. 2005. Dampak Degradasi Sumberdaya Hutan Terhadap Kinerja Pembangunan Ekonomi dan Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten Kutai Timur. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ismanto AJ. 2010. Pengaruh Perubahan Institusi Terhadap Respon Pemerintah dan Perusahaan dan Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor [IIED] International Institute for Environment and Development. 2005. Stakeholder Power Analysis Tools. www.policy-powertools.org [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2003. Good Practice Guidance, for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Edited by Jim Penman, Michael Gytarsky, Taka Hiraishi, Thelma Krug, Dina Kruger, Riitta Pipatti, Leandro Buendia, Kyoko Miwa,
123 Todd Ngara, Kiyoto Tanabe and Fabian Wagner. the Institute for Global Environmental Strategies (IGES) for the IPCC. Japan. Jordan F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Willey Sons. New York. Kaipa H. 2009. Analisis Potensi Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Gunung Damar Di Desa Dulamayo Selatan. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo Kartawinata K, TC Jessup and AP Vayda. 1989. Exploitation in Southeast Asia. In H. Lieth and M.J.A. Werger (eds), Tropical Rain Forest Ecosystems. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. pp. 591610 Kartodihardjo H, 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Kartodihardjo H, 2000. Kerangka Pemikiran untuk Analisis Kebijakan. Paper lepas. Bahan kuliah ekonomi kehutanan lanjut. Pasca Sarjana IPB. Tidak diterbitkan Kartodihardjo H, Murtilaksono K, Untung S. 2004. Insititusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kartodihardjo, H, H. Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publ Khanna P, P. Ram Babu and M. Suju George. 1999. Carrying-Capacity as a Basis for Sustainable Development a Case Study Of National Capital Region in India. Progress in Planning 52 (1999) 101-166. http://www.china-sds. org/kcxfzbg/addinfomanage/lwwk/data/ kcx1493. pdf. [27 Agustus 2011] Khan A, Hariadi K, Dudung D, Beni H, Fuad S. 2004. Menyimak Perjalanan Otonomi Daerah: Sektor Kehutanan Prosiding Workshop Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Pusat Rencana Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan Kusumawati I. 2006. Pendugaan Erosi Dan Sedimentasi Dengan Menggunakan Model Geowepp (Studi Kasus Das Limboto, Propinsi Gorontalo). [Thesis]. Institut Teknologi Bandung. Bandung Kuswanto A., Zuhad I. 1996. Pengantar Ekonomi. Penerbit Gunadarma Lal R. 1986. Deforestation and Soil Erosion. In R. Lal, PA Sanchez, RW Cummings (Eds) Land Clearing and Development in the Tropics. AA Balkena, Roterdam
124 Lamb D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Lands in the AsiaPasific Region. Journal of Tropical Forest Science 7(1):1-7 Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Ma, Q. (1999) Asia-Pacific forestry sector outlook study. Working Paper APFSOS/WP/43, Forestry Policy and Planning Division, Rome, Italy. Maga J. 2009. Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Gunung Damar Di Desa Dulamayo Utara. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo Mahmuddin,
2009. Degradasi Hutan Hujan Tropis Indonesia. http://mahmuddin.wordpress.com/2009/09/09/degradasi-hutanhujan-tropis-di-indonesia/, diakses tanggal 30 Desember 2009
Mallingreau and Rosalia, 1981. Land use/Land Cover Classification in Indonesia, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta Marshal, G. 1998. Dictionary of Sociology. Oxford University Press McCarthy JF. Changing to Gray. Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-Legal Configuration in Central Kalimantan, Indonesia. World Development McKean MA. (2000) Common Property: What is it? What is it good for and what makes it work? In C.C. Gibson, M.A. McKean & E. Ostrom (eds) People and Forests. MIT Press, London. Mody J. 2004. Achieving Accountability Through Decentralization: Lessons for Integrated River Basin Management. World Bank Policy Research Working Paper 2246. June 2004. World Bank. Washington DC Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao di Das Nopu, Sulawesi Tengah. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Munandar AS. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia. Jakarta
125 Munawar, A. 2010. Bahan Kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat. Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Bengkulu Nagendra, H. (2002) Tenure and forest conditions: community forestry in the Nepal Terai. Environment Conservation 29(4): 530– 539 Ngadiono, 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia; Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro. Jakarta North D.C, 1990 Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. Oakerson, R.J. (1992), „Analyzing the Commons: A Framework‟, in D.W. Bromley (ed.), Making the Commons Work: Theory, Practice, and Policy, San Francisco: ICS Press Ong CK, Black SR, Marshall FM and Corlett JE 1996. Principle of Resource Capture and Utilization of Light and Water, in C.K. Ong and P. Huxley (ed) Tree Crop Interaction, Physiologigal Approach. 73158. Ostrom E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press Ostrom E 2003. How Types Goods and Property Rights Jointly Affect Collective Action. Journal of Theoritical Politics, 15 (3): 239-270 Ostrom E, Schroeder L, Wynne S. 1993. Institutional Incentive and Sustainable Development. Oxford UK : Westview Press Ostrom E. 1999. Self Governance and Forest Resources. Occasional Paper Number 20. Centre for International Forestry Research Bogor. Ostrom, E. 2004. Understanding Collective Action. In Meinzen-Dick. R.S, and Di Gregorio, M. (eds). Collective Action and Property Rights For Sustainable Development Brief 2 of 16. International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washington D.C. Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Pearce DW, Turner KR. 1990. Economics Of Natural Resources and The Enviroment, The John Hopkins University, Baltimore.p. 78. Peter BG. 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. Political Science Series. Institute for Advance Studies. Vienna
126 Potter G. 1994. The environmental hazards of Asia Pacific development: the Southeast Asian rainforests. Current History 93(587):430-434. Pratiwi, S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Halimun Gunung Salak [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Purnomo D, dan SM Sitompul. 2005. Evaluasi Potensi dan Kendala Pengembangan sistem agroforestri di Jawa Tengah. Jurnal Habitat Reed MS, Anil G, Norman D, Helena P, Klaus H, Joe M, Christina P, Claire HQ, Lindsay C. S. 2009. Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management.
Rustiadi E. 2006. Sumberdaya Bersama: Kerangka Teori Dasar, Isu dan Tantangan Masa Depan di Indonesia. Bahan Kuliah m.a. Sistem Penataan Ruang dan Lingkungan (PSL 705). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Sadino. 2006 Penataan Ruang Kehutanan dan Ketidakberpihakan Kepada Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan. Jakarta Sanuddin. 2009. Analisis Stakeholders dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pinus (Kasus Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan). Info Sosial Ekonomi Kehutanan Vol 9 No 2. Puslitsosek Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Santoso I. 2007. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif: Analisis Sosio Kultural. Jurnal Wawasan Volume 12 No 3 Tahun 2007. Purwokerto Sati IT. 2007. Manajemen Public Relation (Modul 3). Pusat Pengembangan Bahan Ajar Schmid AA. 1987. Property, Power and Public Choice: An inquiry into Law and Economic. United Kingdom. Blacwell publishing. Schmid AA. 2004 Conflict and Cooperatio: Institutional and Behavioral Economics. Property, Power and Public Choice: An inquiry into Law and Economic. Second Edition New York. Preager
127 Schlager E dan Ostrom E. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources: a Conceptual Analysis. Land Economics, 68 (3): 249-262 Scott JC dan M Jaffe. 1991. Empowerment. Cambridge. Blackwell Publisher Scott MC, Allen HC dan Glen MB. 1985 Effective Public Relations. Prentice Hall New York Soemarwoto O (1991) Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Penerbit Djambatan. Suhaeri. 1994. Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun [Thesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Sugiyono. 2002. Statistik untuk Penelitian. Alfabet Bandung Sumardjani L. 2006. Konflik Sosial Kehutanan : mencari Pemahaman Untuk Penyelesaian Terbaik. Flora Mundial Communication. Bogor. Sumardjo HS, Pang SA, Prabowo T, Djoko S. 2008. Kapasitas Petani dalam Mewujudkan Keberhasilan Usaha Pertanian: Kasus Petani Sayuran Di Kabupaten Pasuruan Dan Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor Volume 4 No 1 Tahun 2008 Sundawati L, Askadi S. 2008. Restoring the Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area Through Community Development and Local Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation: Stakeholder Analysis. International Tropical Timber Organization (ITTO) and Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) Suporahardjo, Faisal H.F, Siti,M. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor Sutrisno A. 2011. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Pulau Kecil Suwardi. 2000. Morfologi Tanah dan Klasifikasi Tanah.IPB Press. Bogor. Suwardjo, M. 1996. Jenis-Jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor Suwarno J. 2004. Analisa Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Daerah Kabupaten Bogor. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Suwito. 2004. Governansi Hutan dan Hak-Hak Masyarakat. Riau Post 4 Agustus 2011
128 Steni B. 2004. Desentralisasi, Koordinasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan SDA Pasca Otonomi Daerah Stiglitz, E.J. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company, New York. Sugiyono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta Bandung Tjitradjaja, I. (2008). Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Bersama. Disampaikan pada Perkuliahan Agency, Pengetahuan dan Lingkungan Alam, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 14 Maret 2008. Tidak dipublikasikan.Yogyakarta. Uphoff N. 1986. Improving International Irrigational Management With Farmer Partisipation; Getting the Process Right. Boulder CO. West View Press Vandergeest, P. (1996) Property rights in protected areas: obstacles to community involvement as a solution in Thailand. Environmental Conservation 23: 259–268 [WALHI] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 1992. Violated Trust: Disregard for the Forests and Forest Laws of Indonesia. The Indonesian Environmental Forum (WALHI), Jakarta Wijayanto RD. 2005. Analisis Pengaruh Pdrb, Pendidikan Dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten / Kota Jawa Tengah Tahun 2005 – 2008 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York: Free Press. Wollenberg E., Y.C. Wulan, Y. Yasmi, C. Purba. 2004. Analisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Centre for International Forestry Research. Bogor Wollenberg E, Brian B, Douglas S, Sonya D, Moira M. 2004. Mangapa Kawasan Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia; Governance Brief No 4. CIFOR. Bogor World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water. The World Bank, Washington, DC. Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Definisi, Teori dan Strategi. Malang. Bayumodia Publishing
129
LAMPIRAN
130
Lampiran 1. Peraturan Perundanga Undangan Aspek Hak Kepemilikan Terhadap Kawasan HLGD
Peraturan Perundangan
Isi
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 4 UU 41/1999 Tentang Kehutanan
Pemantapan dan Penetapan
Pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Pasal 24 butir 3 PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Pasal 5 SK Menhut/ 32/2001 tentang Kriteria dan Standart Pengukuhan kawasan hutan
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Kriteria kawasan hutan lindung adalah: 1. Kawasan Hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau 3. lebih dan/atau 4. Kawasan Hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000 meter atau lebih Kriteria hutan lindung, dengan memenuhi salah satu : 1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih; 3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut; 4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas per seratus); 5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai Kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu a) belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar
131
Pasal 10 PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Pasal 20 PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
dalam peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri 1. Bupati/Walikota menyelenggarakan inventarisasi hutan tingkat wilayah kabupaten/kota dengan mengacu pada pedoman penyelenggaraan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8. 2. Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melaksanakan inventarisasi hutan di seluruh wilayah kabupaten/ kota untuk memperoleh data dan informasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Ayat (1). 3. Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mengacu hasil inventarisasi hutan tingkat provinsi. 4. Dalam hal hasil inventarisasi hutan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat belum tersedia, maka Bupati/Walikota dapat menyelenggarakan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi sumber daya hutan terbaru yang ada di wilayahnya 1. Pelaksanaan penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) dilakukan oleh Panitia Tata Batas kawasan hutan. 2. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Bupati/Walikota. 3. Unsur keanggotaan, tugas dan fungsi, prosedur dan tata kerja Panitia Tata Batas kawasan hutan diatur dengan Keputusan Menteri. 4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain bertugas: a. melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan; b. menyelesaikan masalah-masalah : 1) hak-hak atas lahan/tanah disepanjang trayek batas; 2)hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan; c. memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan
132
5.
6.
1. 2.
Pasal 19 PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
3.
4.
5.
tata batas di lapangan; d. membuat dan menandatangani Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan diketahui oleh Bupati/Walikota. Hasil penataan batas kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disahkan oleh Menteri Berdasarkan penunjukan kawasan hutan, dilakukan penataan batas kawasan hutan. Tahapan pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan:a) Pemancangan patok batas sementara; b) Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; c) Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan; d) Penyusunan Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat di sekitar trayek batas atas hasil pemancangan patok batas sementara; e) Penyusunan Berita Acara Pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara; f) Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas; g) Pemetaan hasil penataan batas; h) Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas; dan i) Pelaporan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur. Berdasarkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (3), Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas. Berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati/Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas penyelenggaraan penataan batas kawasan hutan di wilayahnya
133
Pasal 20 PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Pasal 12 Permenhut 28/2009 tentang tata cara konsultasi persetujuan substansi kehutanan dalam RTRW
Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi: a. proses penyusunan rencana tata ruang; b. pelibatan peran masyarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan c. pembahasan rancangan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota kepada BKPRN dengan tembusan kepada Menteri dilengkapi dengan: a. dokumen Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota beserta lampirannya; b. rekomendasi Gubernur; dan c. peta usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten / Kota, berikut hasil kajian teknis dan rencana pemanfaatannya
(1) Penunjukan kawasan hutan meliputi : a. Wilayah provinsi; dan b. Wilayah tertentu secara partial. (2) Penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan atau pemaduserasian TGHK dengan RTRWP. (3) Penunjukan wilayah tertentu secara Pasal 18 PP 44/2004 partial menjadi kawasan hutan harus tentang Perencanaan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Hutan a. usulan atau rekomendasi Gubernur dan atau Bupati/Walikota; b. secara teknis dapat dijadikan hutan. (4) Penunjukan wilayah tertentu untuk dapat dijadikan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan oleh Menteri. (4) Penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi dan atau secara partial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Pasal 39 Keppres Pemerintah Daerah Tingkat II wajib 32/1990 tentang mengendalikan pemanfaatan Pengelolaan Kawasan ruang di kawasan lindung Lindung Pasal 16 PP 44/2004 1. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan,
134 tentang hutan
Pengelolaan
perencanaan
Menteri menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. 2. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan proses :a. Penunjukan kawasan hutan; b. Penataan batas kawasan hutan; c. Pemetaan kawasan hutan; dan d. Penetapan kawasan hutan. 3. Kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan: a. tata hutan dan penyusunan rencana Pasal 21 UU 41/1999 pengelolaan hutan, tentang Kehutanan b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d. perlindungan hutan dan konservasi alam
1. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b. Pasal 23 PP No 6/2007 pemanfaatan jasa lingkungan; atau c. tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemungutan hasil hutan bukan kayu. pemanfaatannya 2. Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 2 Perpres No 28/2011 Penggunaan Kawasan HL untuk Pertambangan Bawah Tanah
Pasal 4 PP 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
1. Di dalam kawasan hutan lindung dapat dilakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah. 2. Penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah dilakukan tanpa mengubah peruntukan dan fungsi pokok kawasan hutan lindung 1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. 2. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. religi; b. pertambangan; c. instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; d.
135
Pasal 2 ayat 4 PP 38/2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan pemerintah kabupaten kota
pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g. sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; h. fasilitas umum; i. industri terkait kehutanan; j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana penunjang keselamatan umum; atau l. penampungan sementara korban bencana alam Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum d. perumahan; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perhubungan; h. lingkungan hidup; i. pertanahan; j. kependudukan dan catatan sipil; k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. sosial; n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. penanaman modal; q. kebudayaan dan pariwisata; r. kepemudaan dan olah raga; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. statistik; w. kearsipan; x. perpustakaan;
136
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 60 UU 41/1999 tentang Kehutanan
Pasal 15 dan 19 UU no 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 123 PP 6/2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatannya
y. komunikasi dan informatika; z. pertanian dan ketahanan pangan; aa. kehutanan; bb. energi dan sumber daya mineral; cc. kelautan dan perikanan; dd. perdagangan; dan ee. perindustrian (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. (2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan Pasal 15 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi Pasal 19 (1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. (2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (1) Untuk tertibnya pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan : a. Menteri, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan gubernur, bupati/walikota, dan/atau kepala KPH; b. Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan bidang kehutanan yang dilaksanakan bupati/walikota, dan/atau kepala KPH. (2) Menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tata hutan dan
137 penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan yang dilaksanakan oleh kepala KPH, pemanfaat hutan, dan/atau pengolah hasil hutan
Pasal 48 (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 aya t (1) meliputi pemberian : a. pedoman; b. bimbingan; c. pelatihan; d. arahan; dan atau e. supervisi. (2) Pemberian pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan terhadap penyelenggaraan perlindungan hutan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan atau Kabupaten atau Kota termasuk pertanggungjawaban, laporan dan evaluasi atas akuntabilitas kinerja Gubernur dan Bupati atau Walikota. Pasal 48-49 PP 45/2004 (3) Pemberian bimbingan sebagaimana tentang Perlindungan dimaksud pada ayat (1) huruf b yang Hutan ditujukan terhadap penyusunan prosedur dan tata kerja. (4) Pemberian pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan terhadap sumber daya aparatur. (5) Pemberian arahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mencakup kegiatan penyusunan rencana, program dan kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional. (6) Supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan terhadap pelaksanaan sebagian kegiatan pengurusan hutan yang dilimpahkan atau diserahkan kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota
138 Pasal 49 (1) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat ( 1 ) meliputi kegiatan : a. monitoring; b. evaluasi; dan atau c. tindak lanjut (2) Kegiatan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi, kebijakan dan pelaksanaan perlindungan hutan. (3) Kegiatan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kegiatan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan perlindungan hutan dilakukan secara periodik. (4) Kegiatan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan perlindungan hutan. (5) Ketentuan lebih lanjut tentang penilaian keberhasilan pelaksanaan perlindungan hutan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri