Pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung
Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan
Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung dan Kawasan Lindung yang Bukan Kawasan
Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 103
Program Judul RPI Koordinator RPI Judul Kegiatan
Pelaksana Kegiatan
: Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan : Pengelolaan Hutan Lahan Kering : Dr. Haruni Krisnawati : Kajian Sistem Pengelolaan Hutan Lindung dan Kawasa Lindung yang bukan Kawasan Hutan : Edwin Martin, S.Hut.,M.Si Bondan Winarno, S.Hut.,MT.MMG
ABSTRAK Eksistensi etika lingkungan hidup yang mampu mempertahankan dan memperbaiki hutan lindung dan kawasan lindung yang terletak di luar rezim kepemilikan pemerintah dapat menjadi norma acuan/standar bagi seluruh masyarakat untuk bertindak dan mengambil keputusan terkait pengelolaan sumberdaya alam. Sayangnya, pengetahuan tentang eksistensi etika lingkungan hidup masyarakat yang tidak lagi hidup secara tradisional dan belum memasuki taraf modern ini masih sangat jarang tersedia. Penelitian ditujukan untuk menemukenali praktik-praktik pelestarian hutan lindung dan kawasan lindung oleh masyarakat dan mendapatkan pengetahuan tentang orientasi nilai lingkungan hidup yang dipegang oleh aktor-aktor atau masyarakat yang mempraktikkan pelestarian hutan tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan fenomenologi, dengan metode utama pengamantan terlibat dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani yang hidup di desa yang melestarikan hutan alam lindung memegang prinsip pragmatisme lingkungan. Mereka melestarikan hutan alam lindung desanya dengan orientasi nilai antroposentrisme. Mereka juga dapat berpengalaman dalam mengkonversi hutan alam menjadi lahan usahatani pada areal-areal yang dianggap tidak ada konvensi utililitas komunal. Pelajaran ini mengharuskan parapihak yang berkepentingan dengan pelestarian hutan alam lindung yang tersisa untuk mendefinisikan secara jelas fungsi-fungsi lanskap berhutan bagi masyarakat. A. Pendahuluan Banyak pendapat dan teori menyebutkan bahwa deforestasi di negara berkembang adalah sesuatu yang tak terelakkan. Pada situasi ini, tugas pemerintah adalah mempertahankan tutupan hutan alam yang tersisa dan mendorong reforestasi pada bentang lahan (lanskap) yang memiliki nilai konservasi tinggi. Namun demikian, tidak semua lanskap yang bernilai konservasi tinggi berada dibawah rezim penguasaan pemerintah (state property regime), terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu yang lahannya juga dimiliki oleh pribadi dan komunitas masyarakat tani. Masyarakat tani sampai saat ini masih diidentikkan sebagai agen penyebab deforestasi. Apakah mereka mampu mengelola, Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 104
mempertahankan, dan merehabilitasi areal-areal hutan lindung atau kawasan lindung?. Berkes dan Folke (1992, 1994) mengajukan konsep modal budaya sebagai faktor-faktor yang menyediakan cara-cara dan adaptasi-adaptasi bagi masyarakat manusia dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan secara aktif memodifikasinya. Modal budaya meliputi aspek etika lingkungan, kelembagaan sosial-politik, dan pengetahuan ekologis tradisional dalam masyarakat. Modal budaya menjadi kunci dalam kelestarian dan pelestarian lingkungan alam (Cochrane, 2006; Ramakrishnan, 2007). Meskipun demikian, pengetahuan dan pemahaman tentang modal budaya sebagai relasi masyarakat tani dan hutan alam masih sangat minim. Pada tahun 2013, penelitian difokuskan pada etika lingkungan apakah yang dipegang oleh masyarakat tani yang terbukti mampu mengelola secara lestari hutan alam di sekitarnya, sebagai pelajaran penting dalam memahami kebudayaan petani. Etika lingkungan adalah studi tentang hubungan etis antara manusia dan lingkungan alam (Sandler 2012). Pembahasan etika lingkungan terutama berfokus pada pendirian posisi moral proses-proses alam. Ini berawal dari gagasan bahwa moralitas harus juga mencakup hubungan manusia dan alam, sebagaimana pemikiran John Muir, Albert Schweitzer, dan Aldo Leopold (Kortenkamp dan Moore 2001). Etika lingkungan membahas nilai-nilai dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap lingkungan alam (Minteer dan Collins 2005). Nilai-nilai manusia atau secara khusus disebut orientasi nilai lingkungan diyakini banyak ilmuwan merupakan basis atau akar dari sikap terhadap lingkungan dan perilaku yang berhubungan (Thompson dan Barton 1994; Stern 2000; Clark et al. 2003; O’Brien 2003; Milfont dan Duckitt 2004; de Groot dan Steg 2010; Teel et al. 2010). B. Tujuan Penelitian Dua jenis orientasi nilai lingkungan yang umum didiskusikan secara empiris dan konseptual, yaitu antroposentris dan non antroposentris (biosentris/ekosentris)1. Riset-riset terdahulu telah berusaha menemukenali secara empiris orientasi nilai lingkungan mana yang handal dalam mendukung kelestarian ekologis. Dalam kasus penelitian ini, apakah masyarakat tani yang identik dengan deforestasi memegang etika lingkungan antroposentrisme atau ekosentrisme, atau tidak keduanya. Penelitian tahun 2013 ini bertujuan untuk 1
Mcfarlane dan Boxall (2003) menyatakan “An anthropocentric value orientation essentially defines natural resources in terms of the products and services they provide for humans such as forest products, employment, and life support functions. Natural resources are viewed in terms of their utility in satisfying human wants and needs. A biocentric orientation reflects a broader range of values such that human uses and benefits are also considered but are not necessarily the primary focus in natural resource management decisions. Nature is viewed as having inherent worth regardless of its usefulness to humans”.
Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 105
menerangkan orientasi nilai lingkungan yang dipegang antargenerasi dalam kelompok masyarakat tani pelestari hutan alam dan bagaimana nilai-nilai itu dikomunikasikan dalam komunitas sehingga memobilisasi orang-orangnya untuk melestarikan hutan. C. Metodologi Penelitian Penelitian ini berupaya memahami mengapa masyarakat agraris tertentu yang identik dengan aktivitas deforestasi dapat melestarikan hutan alam tertentu di sekitarnya, melalui sudut pandang modal budaya. Bagi petani, melakukan deforestasi untuk membuka areal pertanian baru atau melestarikan hutan alam tertentu adalah pengalaman hidup. Metode yang dianggap paling cocok untuk mengeksplorasi pengalaman hidup petani adalah fenomenologi. Fenomenologi digambarkan oleh Pernecky dan Jamal (2010) sebagai studi tentang hakikat, ilmu tentang fenomena, studi tentang kesadaran, dan eksplorasi pengalaman manusia. Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness and experience-nya (Ahimsa-Putra 2012). Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya (Endraswara 2004). Penelitian mengambil kasus pelestarian hutan alam lindung oleh masyarakat Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kota Pagaralam dan Desa Batu Surau Kecamatan Semende Darat Tengah (SDT), Kabupaten Muara Enim. Kedua kelompok masyarakat ini secara aktif menjaga dan melestarikan hutan alam lindung di sekitarnya, sementara desa-desa lain sekitarnya tidak demikian. Pengumpulan data secara umum dilakukan dengan metode pengamatan terlibat (participant observation), yaitu pengumpulan data dengan ikut serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat atau subjek penelitian. Metode ini bukanlah metode tunggal namun melibatkan metode dan teknik lainnya, yaitu wawancara dengan subjek, life history method, dan focus group discussion (FGD). D. Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kepala rumah tangga di desa penelitian berpengalaman dalam aktivitas tebas-tebang hutan alam untuk keperluan lahan pertanian (deforestasi). Alasan utama mereka mempertahankan eksistensi hutan alam di sekitarnya adalah karena posisi hutan sebagai ulu ayek (hulu air) untuk Desa Batu Surau dan mude ayek (mata air) untuk Dusun Tebat Benawa. Hubungan hutan sebagai penjaga kelangsungan aliran air untuk keperluan masyarakat desa, baik untuk persawahan maupun rumah tangga merupakan warisan leluhur kedua kelompok masyarakat tersebut yang masih diyakini generasi kini. Deforestasi hutan selain pernah menjadi aktivitas individual kepala rumah tangga juga pernah dilakukan kedua masyarakat secara kolektif. Sebagian Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 106
kelompok hutan alam yang kini dilestarikan Desa Batu Surau pernah dibuka oleh orang-orang tua mereka dahulu untuk keperluan pertanian tanaman semusim. Pembukaan hutan tersebut dilakukan pada saat terjadi bencana kelaparan pada masa penajajahan Jepang. Areal tersebut kemudian dibiarkan kembali menjadi hutan ketika keadaan normal hingga kini. Kejadian yang hampir serupa juga dialami masyarakat Dusun Tebat Benawa. Pada tahun 1980an, pemerintah meminta kawasan hutan yang mereka lindungi untuk dibuka sebagai areal transmigrasi khusus Angkatan Darat. Pada saat itu pemerintah juga menjanjikan untuk membuat irigasi yang akan menjadi sumber air masyarakat. Setelah beberapa tahun berselang, irigasi yang dijanjikan tidak pernah ada, meskipun seperempat bagian hutan mereka telah dibuka untuk transmigrasi. Keyakinan hubungan yang kuat antara areal berhutan dengan kelestarian sumber air bagi desa mendorong aksi bersama masyarakat untuk mengusir proyek transmigrasi. Pasca kepindahan masyarakat transmigrasi, areal yang telah terbuka direhabilitasi masyarakat untuk menjadi hutan kembali. Fenomenologi subjek dan informan penelitian mengindikasikan bahwa mereka memegang etika antroposentrisme ketika menjaga hutan lindung desa/dusun, namun tidak bersifat tetap. Etika antroposentrisme mendorong aksi kolektif masyarakat untuk mengusir dan melawan orang-orang, baik dari dalam maupun luar, yang berusaha merusak hutan. Antroposentrisme petani ini rentan juga terhadap deforestasi hutan apabila terjadi kejadian luar biasa, seperti kelaparan atau substitusi utilitas. Secara individual petani bersifat pragmatis, yaitu menjadi pelestari hutan apabila terdapat keyakinan yang kuat secara komunal untuk melestarikan hutan secara utilitarian dan di sisi lain dapat menjadi “perusak” hutan untuk keperluan lahan usahatani. E. Kesimpulan dan saran Hasil penelitian yang menunjukkan sikap pragmatisme lingkungan yang terjadi pada masyarakat tani di Desa Batu Surau dan Dusun Tebat Benawa dapat berimplikasi upaya pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung. Pemerintah atau pihak manapun yang berkompeten harus berupaya memetakan dan mendefinisikan fungsi kemanfaataan praktis setiap lanskap hutan. Dalam hubungan petani dan hutan, fungsi hutan bukanlah abstrak. Fungsi keberadaan kawasan harus dapat dirasakan dan dibuktikan secara langsung oleh mereka. Penelitian dapat dilanjutkan untuk aspek kelembagaan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat tani sebagai faktor-faktor lain dalam budaya pelestarian hutan alam lindung.
Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 107
DOKUMENTASI FOTO
Foto 1. Lanskap hutan dataran tinggi di Semendo, Kabupaten Muara Enim yang berpotensi untuk dikelola sebagai kawasan lindung/hutan lindung
Foto 2. Hutan alam fungsi lindung yang dijaga dan dilestarikan masyarakat Desa Batu Surau, Kecamatan SDT Muara Enim
Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 108
Foto 3. Penampilan vegetasi salah satu bagian hutan alam yang dilindungi masyarakat Dusun Tebat Benawa, Kota Pagaralam
Foto 4. Perkebunan kopi masyarakat di sekitar “hutan yang dilindungi” di Dusun Tebat Benawa Pagaralam
Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Lindung
Page 109