STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK
DWI AGUS SASONGKO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini, saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Dwi Agus Sasongko NRP P052100211
RINGKASAN DWI AGUS SASONGKO. Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HIKMAT RAMDAN. Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), yang merupakan formasi mangrove memiliki fungsi penting dalam memberi daya dukung terhadap lingkungan. Fungsi penting HLAK ditegaskan statusnya sebagai bagian tata ruang DKI Jakarta yang dipertahankan dan wajib dilindungi. Kondisi terkini kawasan yang semakin terancam keberadaannya memerlukan langkah strategis pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal – eksternal HLAK; mengindentifikasi dan menganalisis stakeholder HLAK; dan menyusun strategi pengelolaan HLAK. Matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) digunakan untuk menganalisis faktor internal dan eksternal HLAK. Stakeholder Grid digunakan untuk menganalisis stakeholder HLAK. Adapun strategi pengelolaan HLAK disusun menggunakan Matriks Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) dan diurutkan prioritasnya menggunakan Teknik Quantitive Strategic Planning Matrix (QSPM). Stakeholder HLAK terbagi dalam empat kategori. Keempat kategori tersebut adalah player, actor, bystander, dan subject. Player terdiri dari Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Entitas PIK, PT Murindra Karya Lestari, PT Kapuk Naga Indah, dan masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat dikategorikan sebagai actor. Akademisi dikategorikan sebagai subject. Bystander terdiri dari Badan Usaha Milik Negara dan kelompok swasta lain. Evaluasi Faktor Internal pengelolaan HLAK mempunyai skor 2.15. Skor ini mengindikasikan bahwa HLAK belum mendapatkan manfaat maksimal dari kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, HLAK masih sangat terpengaruh oleh kelemahan yang dimilikinya. Evaluasi Faktor Eksternal menunjukkan skor 2.20. Hal ini berarti bahwa HLAK belum memperoleh keuntungan maksimal dari peluang yang ada. Kondisi demikian juga berarti HLAK masih lemah dalam menghadapi dinamika lingkungan eksternalnya. Perumusan strategi pengelolaan HLAK menghasilkan delapan alternatif strategi. Rehabilitasi ekosistem mangrove menjadi prioritas utama dari strategi pengelolaan yang diusulkan. Kata kunci : faktor eksternal, faktor internal, HLAK, stakeholder, strategi pengelolaan
SUMMARY DWI AGUS SASONGKO. Management Strategy of Angke Kapuk Protection Forest. Supervised by CECEP KUSMANA and HIKMAT RAMDAN. Angke Kapuk Protection Forest (AKPF) which is formed by mangroves has many important benefits for environment. AKPF, as implied in Master Plan of Jakarta City (RTRW DKI Jakarta) serve as a guarded and protected area. AKPF condition which is more threatened, needs strategic policy in management. Accordingly, this research was aimed to identify and analyze internal-external factors of AKPF, AKPF stakeholders, and to make arrangement of AKPF management strategies. Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) are used for identifying and analyzing AKPF internal-external factors. Stakeholder Grid was applied to identify the stakeholders’ role. Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) Matrix and Quantitive Strategic Planning Matrix (QSPM) are used for arranging management strategies and its priority. AKPF has four stakeholder categories. They are players, bystanders, actors, and subjects. Players consist of Department of Maritime and Agriculture of Jakarta Capital City, Board of Environmental Management of Jakarta Capital City, Ministry of Forestry, Ministry of Environment, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Pantai Indah Kapuk entities, PT Murindra karya Lestari, PT Kapuk Naga Indah, and public. Bystanders consist of State Enterprises (BUMN) and other private sectors. Non Government Organizations was categorized as actor. Last, academic community was categorized as subject. AKPF internal factors are strengths and weaknesses. AKPF external factors are opportunities and threats. Evaluation result shows, that AKPF internal factors have a score of 2.15. AKPF has not fully received the benefits for its strength. On the other hand, AKPF is greatly influenced by its weakness. AKPF external factors have a score of 2.20. According to the score, AKPF has not received benefits from the various opportunities that exist. On the other hand, AKPF is still weak in the face of dynamic external environment. There are eight management strategies for AKPF, in which mangrove rehabilitation is the main priority. Keywords: AKPF, external factors, internal factors, management strategy, stakeholder
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK
DWI AGUS SASONGKO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Judul Tesis : Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk Nama : Dwi Agus Sasongko NIM : P052100211
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Ketua
Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 11 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahi robbil ‘alamin, atas izinNya karya ilmiah berjudul “Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk” telah berhasil diselesaikan. Terima kasih diucapkan kepada Komisi Pembimbing (Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Dr Ir Hikmat Ramdan, MSi), Penguji Tesis (Dr Ir Nyoto Santoso, MS), serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Karya ini tidak lepas dari dukungan istri (Into Wahyu Arum), anak-anak tercinta (Faizan Muhammad Rauf dan Daffa Muhammad Aqil), serta kedua pasang orang tua atas segala doa dan jerih payahnya. Semoga karya yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat bagi semua.
Bogor,
Juli 2014
Dwi Agus Sasongko
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
ii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Penelitian
1 1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Lindung Pengelolaan Hutan Lindung Analisis Stakeholder Perencanaan Strategis Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM)
3 3 4 5 6 7 7
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data
8 8 9 9
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk Analisis Stakeholder Hutan Lindung Angke Kapuk Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk
12 12 21 30
SIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
54
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Matriks Evaluasi Faktor Internal Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Matriks SWOT Quantitative Strategic Planning Matrix Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011 Evaluasi Faktor Internal (EFI) Hutan Lindung Angke Kapuk Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Hutan Lindung Angke Kapuk Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan HLAK Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder HLAK Kriteria dan Indikator Prasyarat Pengelolaan Hutan Lindung Lestari Kriteria dan Indikator Fungsi Ekologis dan Tata Air pada Pengelolaan Hutan Lindung Lestari Kriteria dan Indikator Sosial Ekonomi pada Pengelolaan Hutan Lindung Lestari Strategi Prioritas Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk Kondisi DAS di DKI Jakarta yang Berhubungan dengan Kawasan HLAK Pola Reproduksi dan Masa Panen Spesies Mangrove Hubungan Antara Salinitas, Kelas Penggenangan, dan Sebaran Mangrove di Indonesia
10 10 10 12 12 16 19 19 21 22 30 31 32 34 35 36 37
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kerangka Pemikiran Penelitian Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk Stakeholder Grid Stakeholder Grid Hutan Lindung Angke Kapuk Matriks SWOT Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk
3 8 11 22 33
DAFTAR LAMPIRAN 1 Penilaian Kepentingan Stakeholder HLAK 2 Penilaian Pengaruh Stakeholder HLAK 3 Rekapitulasi Hasil Quantitive Strategic Planning Matrix Hutan Lindung Angke Kapuk
54 54 55
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 131 279 115.98 hektar. Luas hutan Indonesia semakin terancam oleh kerusakan hutan (deforestasi). Pada periode 2009 – 2010, Indonesia mengalami deforestasi sebesar 832 126.9 hektar per tahun (Kemenhut 2012). Deforestasi yang tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi hutan akan menurunkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Tekanan lingkungan di wilayah DKI Jakarta sangat besar. Daya dukung lingkungan semakin tidak memadai akibat terus meningkatnya jumlah penduduk (BPLHD DKI 2012). Peningkatan daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan menjaga dan mempertahankan kawasan hutan. DKI Jakarta mempunyai 475.45 hektar kawasan hutan, yang terdiri dari hutan kota, hutan mangrove, dan kawasan hutan lainnya. Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) adalah hutan mangrove seluas 44.76 hektar yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov). HLAK dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (DKP DKI). Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (RTRW 2030) menyebutkan bahwa kawasan hutan lindung termasuk salah satu peruntukan ruang untuk fungsi lindung. HLAK berfungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan mangrove pada HLAK mengalami degradasi akibat tingginya tekanan lingkungan yang disebabkan oleh permasalahan kependudukan, sampah, dan pencemaran (rumah tangga dan industri). Hal tersebut diperparah dengan lemahnya pengelolaan kawasan sebagai akibat dari kurangnya pendanaan, sumberdaya manusia, dan fasilitas pendukung (Santoso 2011). Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa pengelolaan HLAK belum optimal sehingga diperlukan perencanaan strategi pengelolaan mangrove yang tepat. Perumusan Masalah Hutan lindung memiliki peran penting secara ekonomi dan ekologi. Apabila terjadi kerusakan hutan lindung maka komponen lingkungan akan terganggu (Ginoga 2009). Hutan lindung berperan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, pengendali erosi, pencegah intrusi air laut dan pemelihara kesuburan tanah. Sehubungan dengan hal tersebut, hutan lindung berperan dalam mencegah dan mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat menurunnya daya dukung lingkungan. Onrizal et al. (2004) menjelaskan bahwa HLAK sangat rentan terhadap kerusakan. Hal ini karena posisinya yang berada pada area transisi antara ekosistem daratan dan lautan. Pengaruh dari kedua ekosistem tersebut berujung pada gangguan terhadap mangrove. Kerusakan HLAK akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kawasan. Bentuk
2 penurunan fungsi kawasan dapat berupa terjadinya intrusi air laut, abrasi pantai, banjir rob, dan menurunnya tangkapan hasil laut. Kerusakan HLAK akan menyebabkan menurunnya daya dukung bagi lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka memunculkan pertanyaan penelitian : 1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa yang berpengaruh dalam pengelolaan HLAK? 2. Sejauhmana peranan stakeholder dalam pengelolaan HLAK? 3. Bagaimana strategi pengelolaan HLAK yang dapat diterapkan?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal dan eksternal HLAK. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan HLAK. 3. Menyusun strategi pengelolaan HLAK.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan dalam perencanaan pengelolaan HLAK agar tetap terjaga keberadaannya sehingga mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perlindungan lingkungan.
Kerangka Penelitian Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Keppres 32/1990) menjelaskan bahwa salah satu kategori kawasan lindung adalah kawasan yang berada di sempadan pantai dan kawasan mangrove. HLAK mempunyai karakteristik tersebut sehingga menjadi kawasan yang wajib dilindungi agar mampu memberikan fungsi sebagaimana mestinya. Keberadaannya di ibukota menjadikan HLAK sebagai kawasan hutan dengan tekanan yang besar. Tekanan tersebut berupa sampah, pencemaran limbah domestik dan industri. Selain permasalahan kependudukan, HLAK menerima imbas dari kerusakan lingkungan dari hulu berupa sedimentasi sebagai hasil dari erosi. Dari arah laut, HLAK menerima akibat dari gempuran ombak yang menyebabkan terjadinya abrasi. Upaya meminimalkan tekanan dapat dilakukan dengan pengelolaan kawasan hutan secara tepat. Pengelolaan kawasan hutan yang baik berdampak pada pasokan daya dukung lingkungan secara maksimal. Dalam rangka memperoleh strategi pengelolaan HLAK yang tepat diperlukan adanya pemahaman stakeholder terkait. Hal tersebut menjadi salah satu kunci penting untuk menentukan langkah dalam mengelola HLAK. Pemahaman stakeholder adalah menganalisis peran masing-masing dalam pengelolaan kawasan.
3 Pemahaman yang baik mengenai peran stakeholder memberi ruang bagi pengelola untuk menangkap peluang dan ancaman di sekeliling HLAK. Hal tersebut kemudian menjadi modal dasar untuk mengenali dan menganalisis lingkungan HLAK baik internal maupun eksternalnya. Analisis lingkungan internal dan eksternal diperlukan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dimiliki HLAK. Analisis tersebut merupakan evaluasi terhadap HLAK dalam memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman. Hasil analisis lingkungan yang cermat membawa pada pemahaman mendalam mengenai keberadaan sisi positif (kekuatan dan peluang) dan negatif (kelemahan dan ancaman). Berdasarkan hal itu pula dapat disusun strategi pengelolaan untuk dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki dan meminimalkan dampak kelemahan dan ancaman yang dihadapi (Gambar 1).
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Lindung Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Perppu 1/2004), mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Oleh karena itu, hutan berdasarkan fungsi pokoknya dapat dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
4 mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004), HLAK merupakan kategori hutan lindung yang memenuhi persyaratan sebagai kawasan hutan untuk perlindungan pantai. Kriteria hutan lindung menurut peraturan tersebut yaitu kawasan hutan yang memenuhi salah satu atau lebih kondisi berikut : 1. Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan mempunyai jumlah skor ≥ 175 2. Kawasan hutan yang memiliki kelerengan lapangan ≥ 40% 3. Kawasan hutan pada ketinggian ≥ 2000 meter di atas permukaan laut 4. Kawasan hutan dengan tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan ≥ 15% 5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air 6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai
Pengelolaan Hutan Lindung Pengelolaan hutan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kebijakan tidak terlepas dari latar belakang kondisi yang sedang terjadi pada saat kebijakan dibuat. Produk kebijakan yang ada pada tiap periode sangat dipengaruhi oleh paradigma penentu kebijakan terhadap hutan. Sejak merdeka, Indonesia mengalami tiga pergantian periode penting yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum dan pranata sosial. Periode yang terjadi hingga saat ini adalah Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Simon (2007) menjelaskan bahwa sebelum masa kemerdekaan, Indonesia memiliki peraturan perundangan berupa Undang-Undang Kehutanan Tahun 1927 yang mengatur pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Pokok pentingnya adalah monopoli pengelolaan hutan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperoleh keuntungan finansial yang sebesar-besarnya bagi pemerintah. Pada era kemerdekaan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan (UUPK) dan UU 41/1999. UUPK dikeluarkan atas dasar r e n d a h n ya p e n d a p a t a n p e r k a p i t a masyarakat dan ketiadaan modal pada saat itu. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi ekonomi tinggi hutan alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas untuk dimanfaatkan. Pelaksanaan UUPK menyisakan banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Atas dasar itulah, kemudian diterbitkan UU 41/1999. Namun demikian, jiwa dan semangat pengelolaan hutan yang adil dan demokratis ternyata belum tercermin dalam peraturan tersebut. Pengelolaan hutan di Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua periode besar, yaitu periode pengelolaan hutan konvensional dan periode pengelolaan hutan modern. Pengelolaan hutan konvensional meliputi penambangan kayu (timber extraction) dan perkebunan kayu (timber management). Pengelolaan hutan modern meliputi pengelolaan hutan sebagai sumber daya (forest resource management) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem (forest ecosistem management). Pengelolaan hutan modern termasuk dalam golongan kehutanan sosial.
5 BSN (2013) memberikan standar pengelolaan hutan lindung yang dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia 7896:2013 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Lestari (SNI 7896:2013). Pengelolaan hutan lindung lestari harus memiliki prinsip pengelolaan berupa kelestarian fungsi ekologis, tata air, sosial ekonomi, dan memenuhi prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari. Kelestarian fungsi ekologis dan tata air meliputi terpeliharanya sumberdaya hutan lindung, fungsi tata air, dan fungsi lingkungan lain. Kelestarian fungsi sosial ekonomi meliputi terpeliharanya akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat yang adil, terpeliharanya sumber-sumber ekonomi masyarakat, dan terpeliharanya integrasi sosial budaya masyarakat. Prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari meliputi penataan organisasi, penyiapan sumberdaya manusia, dan dukungan pendanaan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria, dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (P 47/2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa pemanfaatan hutan di wilayah tertentu haruslah memenuhi kriteria kelayakan untuk diusahakan dan belum ada rencana investasi lain. Penyelenggara pemanfaatan hutan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), koperasi, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). UU 41/1999 menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung meliputi budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya perlebahan, budidaya penangkaran satwa liar, budidaya ulat sutera, silvopastura, rehabilitasi satwa, atau budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan meliputi pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon. Hasil hutan bukan kayu yang boleh dipungut di hutan lindung meliputi rotan, madu, getah, buah, jamur, atau sarang burung walet. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan. Pelaksanaan pemanfaatan kawasan pada hutan lindung tidak boleh menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; tidak boleh membangun sarana dan prasarana permanen; dan/atau tidak boleh mengganggu fungsi kawasan. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan.
Analisis Stakeholder Hovland (2005) berpendapat bahwa stakeholder adalah orang maupun kelompok yang memiliki kepentingan atau terkena dampak dari suatu kegiatan. Analisis stakeholder berguna untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan perhatian para stakeholder pada kegiatan. Analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua pihak yang terlibat mulai dari penentu kebijakan, pelaksana kegiatan, maupun para pihak lain sebagai pendukung. Analisis ini juga dapat dijadikan alat penting dalam melakukan penilaian terhadap perbedaan
6 kepentingan antar kelompok stakeholder mempengaruhi hasil akhir kegiatan.
dan
kemampuannya
dalam
Golder et al. (2005) menerangkan bahwa stakeholder adalah gambaran kepentingan individu, kelompok, dan institusi terhadap sumberdaya alam. Selain itu, stakeholder juga dapat diartikan sebagai penerima dampak positif atau negatif dari suatu kegiatan. Menurut Crosby (1992), stakeholder dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Stakeholder utama, yaitu pihak yang berkepentingan langsung dalam kegiatan. Stakeholder ini merupakan penentu dalam kegiatan. 2. Stakeholder kunci, yaitu stakeholder yang penting terkait dengan masalah kegiatan. Stakeholder kunci memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan, misalnya eksekutif dan legislatif. 3. Stakeholder pendukung, yaitu kelompok stakeholder yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Stakeholder pendukung merupakan stakeholder sekunder, yaitu stakeholder yang tidak berkaitan langsung dalam kegiatan namun masih memiliki pengaruh terhadap sikap masyarakat dan pemerintah. Race dan Millar (2006) menjelaskan bahwa dalam analisis stakeholder akan dilakukan identifikasi stakeholder beserta perannya dalam suatu kegiatan. Analisis tersebut berguna untuk mengetahui kategori stakeholder. Kategori tersebut dikelompokkan menurut kepentingan dan pengaruh tiap stakeholder dalam suatu kegiatan. Selanjutnya, analisis stakeholder dapat digunakan untuk mendefinisikan hubungan antar stakeholder dalam proses kegiatan.
Perencanaan Strategis Manajemen strategis adalah cara yang digunakan dalam organisasi untuk menyusun strategi, pelaksanaan, dan penilaian atas tujuan yang telah ditetapkan. Dalam perencanaan strategis, pencapaian tujuan organisasi menjadi yang terpenting (Umar 2008). Sementara itu, Rangkuti (1997) menyebutkan bahwa perencanaan strategis (formulasi strategis) adalah proses analitis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa analisis lingkungan organisasi sangat dibutuhkan. Formulasi strategis bertujuan untuk menyusun strategi sesuai dengan kebijakan organisasi. Formulasi strategi harus dilakukan agar mampu menyelesaikan masalah baik saat ini maupun yang diprediksi akan terjadi di masa datang. Lebih lanjut dijelaskan Rangkuti (1997), bahwa tahapan formulasi strategis dibedakan menjadi tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap pengambilan keputusan. Tahap pengumpulan data tidak hanya sekedar kegiatan pengumpulan data, tetapi juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini diperoleh berupa data internal dan eksternal. Data yang telah terkumpul kemudian dirumuskan ke dalam model-model kuantitatif seperti Matriks SWOT, Matriks BCG, Matriks Internal Eksternal, Matrik Grand Startegy, dan lain-lain. Tahapan terakhir adalah perumusan dan formulasi strategi berdasarkan hasil olahan analisis sebelumnya.
7 Rangkuti (1997) menekankan pentingnya analisis lingkungan eksternal berupa peluang dan ancaman sebelum strategi diterapkan. Masalah strategis yang akan dimonitor harus ditentukan karena mungkin dapat mempengaruhi organisasi di masa datang. Penggunaan metode-metode kuantitatif sangat dianjurkan untuk membuat peramalan dan asumsi. Metode tersebut misalnya ekstrapolasi, brainstorming, model statistik, riset, dan operasi. Faktor internal juga perlu dianalisis agar diketahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Manajemen puncak perlu menganalisis hubungan antara fungsi manajemen organisasi dengan mempelajari struktur, budaya, dan sumberdaya yang dimiliki sebuah organisasi.
Strength Weakness Opportunity Treath (SWOT) SWOT merupakan instrumen sederhana dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuan. SWOT membantu memberikan arah tujuan secara realistis dan fokus pada bagian tertentu. Analisis SWOT dimulai dengan memperhitungkan setiap aspek yang dimiliki objek penelitian. Aspek tersebut berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. SWOT seringkali digunakan untuk melengkapi analisis stakeholder (Start dan Hovland 2004). Fungsi analisis SWOT adalah mendapatkan informasi yang bersumber dari analisis situasi. Berdasarkan analisis tersebut kemudian dipisahkan ke dalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terpenting dalam organisasi (Ferrel dan Hartline 2005). Rangkuti (1997) menjelaskan bahwa analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan faktor internal. Analisis ini berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi sehingga dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi, yaitu Strategi StrengthOpportunities (Strategi SO), Strategi Strength-Treaths (Strategi ST), Strategi Weakness-Opportunities (Strategi WO), dan Strategi Weakness-Treaths (Strategi WT).
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) QSPM merupakan teknik penentuan prioritas alternatif strategi berdasarkan kemenarikan relatifnya (attractiveness score) terhadap faktor internal dan eksternal yang dipunyai (Sarkis 2003). QSPM merupakan tahap akhir dalam analisis formulasi strategi (Purwanto 2008). Konsep QSPM adalah menentukan daya tarik strategi yang dibangun terhadap faktor internal dan eksternal. Daya tarik relatif tiap strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari setiap faktor keberhasilan penting internal dan eksternal (Kurniawati dan Sari 2009). David et al. (2009) menerangkan bahwa meskipun sangat bergantung pada keputusan subyektif, namun QSPM memperkecil kemungkinan terabaikannya
8 faktor kunci internal atau eksternal dari obyek yang diteliti. Keterbatasan QSPM terletak pada ketepatan informasi awal sebagai landasan dalam melakukan penilaian. Keterbatasan selanjutnya adalah dibutuhkannya penilaian yang tepat terhadap penentuan attractiveness score. Selain itu, kadang terjadi perbedaan skor total yang sangat tipis sehingga keputusan akhir tidak jelas. Hal yang harus dipahami adalah bahwa QSPM hanyalah instrumen untuk memberi masukan dalam perencanaan, sehingga bukan sebagai keputusan mutlak yang harus dilaksanakan.
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada pada kawasan HLAK di Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus – September 2013. Secara geografis, HLAK terletak antara 6005’ – 6010’LS dan 106043’ – 106048’ BT. HLAK terbentang sekitar 5 kilometer dari barat ke timur di antara Kali Kamal dan Kali Angke, dengan lebar sekitar 100 meter. HLAK berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Di sebelah selatan berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk (PIK), Taman Wisata Alam Angke Kapuk (TWA), dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA).
Gambar 2 Lokasi Penelitian di Hutan Lindung Angke Kapuk HLAK merupakan bagian dari kawasan Hutan Angke Kapuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 667/Kpts-II/1995 tentang Penetapan Kawasan Hutan Angke Kapuk (SK Menhut 667/1995). Kawasan Hutan Angke Kapuk seluas 327.7 hektar terdiri dari : 1. Hutan lindung (HLAK) seluas 44.76 hektar
9 2. Cagar Alam Muara Angke (sekarang bernama SMMA) seluas 25.02 hektar 3. Hutan Wisata (sekarang bernama TWA) seluas 99.82 hektar 4. Hutan Dengan Tujuan Istimewa seluas 158.01 hektar, yang terbagi menjadi Kebun Pembibitan (sekarang bernama arboretum) seluas 10.51 hektar, Transmisi PLN seluas 23.07 hektar, Cengkareng Drain seluas 28.93 hektar, Jalan Tol dan Jalur Hijau/ Ekowisata Mangrove seluas 95.50 hektar Kawasan HLAK menerima aliran air tawar dari beberapa sungai. Aliran tersebut berasal dari Kali Kamal, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, dan Saluran Mookervart. Cengkareng Drain yang membelah kawasan HLAK merupakan saluran air yang memotong dan mengalirkan kembali Kali Angke, Kali Pesanggarahan, dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Cengkareng Drain merupakan salah satu jaringan pengendali banjir yang ada di Jakarta. Saluran Mookervart adalah saluran air pengendali banjir yang dibuat pada masa Kolonial Belanda (1678-1689). Saluran tersebut dibuat dengan menghubungkan Kali Angke dengan Sungai Cisadane. Selain itu, masih terdapat saluran lain berupa Banjir Kanal Barat (BKB). BKB merupakan tampungan aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, dan Kali Krukut yang bertemu di Kali Angke
Jenis dan Sumber Data Sumber data penelitian berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Data sekunder diperoleh dari pengelola HLAK, perpustakaan, dan dan lain-lain.
Metode Analisis Data Identifikasi dan analisis faktor internal dan eksternal Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor internal dan eksternal HLAK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai data-data internal dan kondisi lingkungan eksternal yang terjadi di sekitarnya. Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan atau berpengaruh terhadap pengelolaan HLAK. Identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan HLAK dalam memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya. Matrik evaluasi faktor internal (EFI) dan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) digunakan untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal HLAK. Rangkuti (1997) menyebutkan bahwa penyusunan matriks tersebut dimulai dengan menentukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Faktor-faktor tersebut diberi bobot dengan skala 0.0-1.0 (tidak penting sampai paling penting). Masing-masing bobot total faktor internal dan faktor eksternal bernilai 1.0. Pada kolom 3 diberikan skor untuk semua faktor dengan skala 1-4 berdasarkan pengaruhnya tersebut terhadap HLAK. Variabel kekuatan dan peluang bersifat positif sehingga nilai 1 berarti kekuatan atau peluang yang dimiliki rendah dan nilai 4 berarti kekuatan atau peluang tinggi.
10 Skala variabel kelemahan dan ancaman bersifat negatif sehingga diberikan nilai sebaliknya. Hasil identifikasi ditampilkan seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 1997) Faktor Internal Kekuatan 1 2 Kelemahan 1 2 Total
Bobot
Skor
Bobot x Skor
1,00
Tabel 2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 1997) Faktor Eksternal Bobot Skor Bobot x Skor Peluang 1 2 Ancaman 1 2 Total 1,00 Analisis stakeholder Analisis stakeholder merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam pengelolaan HLAK. Posisi stakeholder dapat diidentifikasi berdasarkan pengaruh dan kepentingannya terhadap HLAK. Interpretasi skor kepentingan dan pengaruh stakeholder dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005) Kriteria Kepentingan Stakeholder Ketergantungan sangat tinggi pada sumberdaya Ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya Cukup bergantung pada sumberdaya Ketergantungan kecil terhadap sumberdaya Tidak tergantung pada sumberdaya Pengaruh Stakeholder Respon sangat berpengaruh terhadap stakeholder lain Respon berpengaruh terhadap stakeholder lain Respon cukup berpengaruh terhadap stakeholder lain Respon kurang berpengaruh terhadap stakeholder lain Respon tidak berpengaruh terhadap stakeholder lain
Skor 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
11 Pengaruh adalah kemampuan dalam mempengaruhi kegiatan pengelolaan HLAK atau mempengaruhi stakeholder lain. Kepentingan adalah kepentingan stakeholder pada sumberdaya HLAK atau untuk terlibat dalam pengelolaan HLAK. Besaran skor kepentingan dan pengaruh stakeholder yang diperoleh kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 3). Skor pengaruh ditempatkan pada sumbu X. Skor kepentingan ditempatkan pada sumbu Y.
Gambar 3 Stakeholder Grid (Rohdewohld dan Poppe 2005)
Strategi Pengelolaan Formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatif strategi pengelolaan HLAK. Tahap ini menggunakan Matrik SWOT (Tabel 4). Matrik SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal HLAK. Berdasarkan Matrik SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya Strategi SO, Strategi ST, Strategi WO, dan Strategi WT. Tabel 4 Matriks SWOT (Rangkuti 1997) Opportunity
Treath
Strength
Strategi SO
Strategi ST
Weakness
Strategi WO
Strategi WT
Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah dengan penggunaan teknik QSPM (Nurhayati 2008). Penyusunan QSPM dimulai dengan menyusun daftar faktor internal pada Tabel 1 dan faktor eksternal pada Tabel 2. Alternatif strategi pada Tabel 4 dimasukkan ke dalam kolom strategi. Langkah selanjutnya adalah memberi nilai Attractiveness Score (AS) masing-masing strategi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Nilai 1 berarti tidak menarik, nilai 2 berarti agak menarik, nilai 3 berarti secara logis menarik, serta nilai 4 berarti sangat menarik. Total Attractiveness Score (TAS) diperoleh dari perkalian bobot dengan AS. TAS menunjukkan kemenarikan relatif dari masing-masing alternatif strategi. Nilai
12 TAS terbesar adalah prioritas utama dan nilai terkecil adalah prioritas terakhir pilihan strategi. Penggunaan teknik QSPM ditampilkan dalam Tabel 5. Tabel 5 Quantitative Strategic Planning Matrix (Nurhayati 2008) Faktor Kunci
Bobot
Strategi 1 AS TAS
Strategi 2 AS TAS
Strategi 3 AS TAS
Kekuatan 1 2 Kelemahan 1 2 Peluang 1 2 Ancaman 1 2 Total
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Hutan Lindung Angke Kapuk Analisis lingkungan HLAK merupakan kawasan yang penting bagi lingkungan pesisir Angke Kapuk. HLAK sangat rentan terhadap gangguan akibat dari aktivitas manusia yang berlebihan. Pantai merupakan tempat strategis bagi kehidupan. Pantai menjadi akses utama aktivitas perdagangan antar pulau, negara, dan benua. Kawasan pesisir mempunyai daya tarik kuat bagi setiap orang untuk memanfaatkannya. Pertumbuhan kawasan ini berkembang dari pusat perdagangan dan permukiman sampai menjadi pusat pemerintahan, rekreasi, pendidikan, dan lain-lain. Pada akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk. Kepadatan penduduk yang berlebihan berpotensi memunculkan berbagai tekanan lingkungan di wilayah ini. Mangrove adalah formasi hutan yang berada di pantai, namun tidak semua pantai dapat ditumbuhi mangrove. Mangrove memerlukan persyaratan khusus untuk dapat berkembang. Kusmana (2007) menjelaskan bahwa mangrove berada pada daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan. Kondisi tersebut menyebabkan mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan pada ekosistem daratan dan lautan. Mangrove dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mangrove mempunyai berbagai fungsi penting. Mangrove berguna untuk melindungi pantai dari bahaya abrasi. Tanpa keberadaan vegetasi mangrove, gempuran ombak air laut dapat dengan bebas menggerus pantai. Abrasi dapat berkurang karena vegetasi mangrove mampu mengurangi
13 kecepatan dan tinggi gelombang. Mangrove juga berfungsi untuk mencegah tercemarnya air tawar oleh air laut (intrusi air laut). Pantai yang mempunyai mangrove akan terlindungi oleh pengaruh tiupan angin kencang dari arah laut. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai pembersih polutan di perairan dan sebagai tempat untuk berwisata. Otonomi daerah memberi dampak pada pengalihan sebagian wewenang pemerintah kepada pemda. Pengelolaan hutan lindung adalah salah satu kewenangan yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan pengelolaan hutan lindung di DKI Jakarta diserahkan kepada Pemprov. Pemprov mengatur kejelasan status HLAK sebagai salah satu bagian dari tata ruang yang dipertahankan dalam RTRW 2030. DKP DKI ditunjuk sebagai pengelola HLAK. DKP DKI merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di bidang kelautan, pertanian, kehutanan, dan ketahanan pangan. Secara khusus, pelimpahan tugas pengelolaan hutan didelegasikan kepada Bidang Kehutanan DKP DKI. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) bidang kehutanan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Perda 10/2008. Tupoksi tersebut diantaranya adalah menyusun bahan kebijakan teknis bidang kehutanan dan pembinaan kawasan hutan, hutan kota, dan kawasan hijau lainnya. Mangrove HLAK merupakan salah satu kawasan hutan yang menjadi sasaran program prioritas/ unggulan bidang kehutanan. HLAK belum dikelola sebagai unit pengelolaan tersendiri. Selama ini, HLAK dikelola bersama kawasan mangrove lain (TWA, SMMA, Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo, dan Arboretum Mangrove) dibawah satu penanggungjawab yang berkantor di Kawasan Ekowisata Mangrove Tol Sedyatmo (Mangrove Education Centre). Dijadikannya mangrove HLAK sebagai program unggulan dapat memberikan sisi positif. Salah satu sisi positif yang dapat dimanfaatkan adalah dengan tumbuhnya kesadaran lingkungan global. Kecenderungan masyarakat global dalam perbaikan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan berkembangnya skema Corporate Sosial Responsibility (CSR). Beberapa BUMN turut serta dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, diantaranya adalah Pertamina, PT Antam, dan Bank Mandiri. HLAK termasuk salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH) yang ada di DKI Jakarta. Hutan lindung dikategorikan sebagai bagian dari kawasan hijau lindung. HLAK mempunyai luas 44.76 hektar atau 6.99% dari total 640.04 hektar RTH dan 10.4% dari total 430.45 hektar hutan daratan di DKI Jakarta (DKP DKI, 2011). HLAK merupakan bagian dari kawasan lindung. Menurut Keppres 32/1990 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007), kawasan lindung adalah adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Posisi HLAK dan hutan mangrove lain terletak melingkar dan mengapit kawasan budidaya (pemukiman). Bidang Kehutanan DKP DKI dan Kemenhut menetapkan kawasan restorasi mangrove seluas 10 hektar. Kawasan tersebut terletak di HLAK (DKP DKI, 2011). Kawasan restorasi seluas 10 hektar merupakan 22.34% dari total luas HLAK. BPLHD DKI (2012) merilis data tutupan kawasan hutan pada HLAK hanya sekitar 75%, artinya 25% kawasan HLAK tidak bervegetasi (rusak). Memahami situasi seperti ini, Pemprov membuka ruang bagi setiap stakeholder
14 yang berminat untuk berpartisipasi dalam rehabilitasi mangrove. DKP DKI (2011) mencatat realisasi rehabilitasi mangrove di kawasan restorasi HLAK tahun 2010 mencapai 12 525 pohon. HLAK belum dikelola berdasarkan zonasi pengelolaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan (PP 34/2002). Peraturan tersebut menyatakan bahwa kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilakukan pada semua kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Pengelolaan HLAK berdasarkan bloknya memberi arahan yang jelas pada setiap unit pengelolaan. Dengan demikian pada tiap unit kelola akan mendapat perlakuan dan prioritas yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. Secara garis besar, HLAK terpisah (fragmentasi) menjadi dua bagian. Fragmentasi kawasan disebabkan oleh adanya oleh Cengkareng Drain. Cengkareng Drain merupakan saluran yang memotong dan mengalirkan kembali aliran Kali Pesanggrahan, Kali Angke dan Kali Mookervart ke Laut Jawa. Sejarah panjang Cengkareng Drain dimulai tahun 1973. Pada tahun tersebut disusun Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta. Rencana tersebut merancang sistem pengendalian dengan membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta Barat. Rencana tersebut sempat tertunda karena sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat. Banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979 memunculkan rencana pembuatan jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng (Cengkareng Drain) pada tahun 1983. Sejak saat itu, HLAK terfragmentasi menjadi dua bagian. Kawasan hutan sebaiknya berupa area yang utuh dalam satu hamparan (kompak). Areal hutan yang demikian akan menghasilkan ekosistem utuh dan tidak terpisah-pisah. Sedangkan areal hutan terfragmentasi cenderung berpotensi mengalami gangguan lebih besar bila dibandingkan dengan areal yang kompak. Abrasi adalah terkikisnya pantai oleh gempuran ombak. HLAK yang merupakan hutan mangrove sangat rawan terkena dampak ini. Abrasi mengakibatkan terkikisnya daratan pantai sehingga membahayakan bagi kelangsungan mangrove. Beberapa bagian HLAK mengalami abrasi. Dalam upaya mempertahankan keberadaan hutan lindung, di beberapa bagian pantai di lakukan penanaman vegetasi mangrove. Keberhasilan tumbuh vegetasi tersebut mengalami hambatan oleh gelombang laut yang cukup besar (BPLHD DKI, 2012). Santoso (2011) menyebutkan bahwa pada kawasan mangrove Muara Angke terjadi abrasi seluas 59.09 hektar antara tahun 1984 sampai 2010. Sebagian besar abrasi terjadi di sebelah barat muara Kali Angke dan Cengkareng Drain, dan yang paling parah berada disekitar Kamal Muara. Di sisi lain, di wilayah tersebut juga terjadi akresi (sedimentasi) sehingga menambah lahan daratan seluas 42.85 hektar. Secara keseluruhan, abrasi dan akresi menyebabkan terjadinya pengurangan lahan pantai seluas 16.14 hektar. Jakarta merupakan salah satu wilayah yang mengalami penurunan tanah. Penurunan dapat terjadi pada tanah yang mempunyai komporesibilitas tinggi. Masalah ini sering terjadi akibat sifat material alluvium yang belum terkonsolidasi
15 dengan baik, sehingga pendirian bangunan di atasnya dapat menyebabkan penurunan tanah apabila tidak memperhitungkan daya dukung tanah tersebut (Astuti et al. 2010). Pendapat tersebut dikuatkan oleh Kemen ESDM (2013) yang menyatakan bahwa penurunan tanah Jakarta rata-rata sekitar 5 cm dengan kecenderungan semakin kecil ke arah selatan dan semakin besar ke arah utara. Hal tersebut dapat dipahami karena di bagian utara terdiri tanah-tanah lunak yang cukup luas dan ditunjang oleh pengambilan air tanah sehingga menyebabkan terjadinya pemadatan tanah (natural consolidation). Abidin et al. (2008) menjelaskan penurunan tanah di Jakarta merupakan peristiwa yang kemungkinan disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan, beban bangunan (settlement), konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, dan gaya-gaya tektonik. Sejalan dengan hal tersebut, Kompas (2010) menjelaskan bahwa eksploitasi air tanah di Jakarta secara berlebihan menyebabkan turunnya permukaan tanah dan intrusi air laut. Tingginya salinitas menyebabkan air laut bersifat korosif. Kadar salinitas air laut yang tinggi mampu mempengaruhi pelapukan tanah dan batuan. Intrusi air laut terjadi karena penyedotan air tanah secara berlebihan dan tak terkendali dalam jangka waktu lama. Rongga-rongga tanah yang kosong akibat penyedotan air mengalami pemadatan sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Di daerah pesisir, rongga tanah diisi oleh air laut yang bersifat korosif. Air laut akan semakin banyak mengisi rongga yang kosong seiring dengan makin maraknya penyedotan air tanah. Pelapukan tanah dan batuan akibat korosi oleh air laut menjadi salah satu faktor yang mempercepat terjadinya penurunan tanah. Pada wilayah pantai, penurunan tanah semakin memperparah ancaman rob. Pantai Utara Jakarta memiliki peluang tinggi mengalami rob. Rob merupakan fenomena global yang terjadi akibat berbagai hal. Rob salah satunya ditambah oleh adanya pemanasan global di seluruh dunia. Pemanasan global sebagai akibat kerusakan ozon menyebabkan mencairnya sebagian es di kutub. Mencairnya es di kutub bumi menyebabkan kenaikan muka air laut terhadap daratan. Fenomena tersebut kemudian menyebabkan terjadinya rob di kawasan pantai. Nelwan (2014) mengatakan bahwa selain giant sea wall, sabuk pantai menjadi salah satu cara untuk menanggulangi rob. Sabuk pantai merupakan bentangan penahan ombak yang terbuat dari vegetasi. Jenis vegetasi yang dapat dijadikan sabuk pantai adalah mangrove dan cemara udang. Hal ini didasarkan pada studi kasus di Teluk Semarang. Kejadian rob tidak dialami ketika vegetasi mangrove masih baik. Rob baru dialami ketika kondisi mangrove telah rusak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa mangrove dapat berperan dalam mengatasi atau mengurangi rob. Namun demikian, sabuk pantai hanyalah salah satu dari beberapa solusi holistik untuk mencegah banjir dan rob. Vegetasi mangrove yang berada di kawasan HLAK memerlukan daya dukung lingkungan yang baik untuk bertumbuh-kembang secara normal. Kerusakan habitat mangrove di kawasan HLAK terlihat dari adanya plastik dan sampah lain yang menempel pada vegetasi mangrove. Plastik dan sampah lainnya terbawa arus pasang dan tersangkut diantara akar-akar mangrove ketika air laut surut. Kejadian yang terus berulang tersebut menyebabkan terbentuknya endapan yang menutupi akar mangrove. Untuk mendukung kehidupannya, vegetasi
16 mangrove memiliki akar nafas sebagai bentuk adaptasi lingkungan. Akar nafas berfungsi menghirup oksigen di udara. Apabila sampah, terutama plastik atau jenis sampah lain yang sulit terdegradasi secara alami menutupi akar mangrove dalam jangka waktu lama maka dapat dipastikan akan mengganggu bahkan menyebabkan kematian vegatasi mangrove. Penumpukan sampah di sepanjang pantai, lantai hutan dan pinggir sungai dapat menghambat terjadinya regenerasi komunitas mangrove Tingginya tingkat pencemaran air laut di Teluk Jakarta menjadi permasalahan yang dapat mengganggu kelangsungan HLAK. Lestari (2004) menyebutkan bahwa kadar logam berat di Muara Angke cenderung meningkat. Logam berat seperti merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) mencemari perairan dan biota laut. Terganggunya biota laut pada akhirnya dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem mangrove, sehingga apabila terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan pergeseran keseimbangan ekosistem. BPLHD DKI (2011) menyatakan bahwa perairan Teluk Jakarta mendapatkan dampak dari kegiatan dari beberapa sektor, diantaranya industri, perdagangan, perhubungan, pertambangan, pertanian, dan pariwisata. Teluk Jakarta merupakan muara dari beberapa sungai yang membawa limbah berupa sampah industri dan rumah tangga. Kondisi semacam ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang berat. Kualitas perairannya tergolong buruk. Parameter kimia berupa BOD, fenol, amonia, detergen, fosfat berada dalam kondisi konsentrasi tinggi dan telah melebihi baku mutu. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari pencemaran pada sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada periode pengamatan tahun 2011, indeks pencemar air sungai di DKI Jakarta lebih dari 83% dari 47 titik pantau berstatus cemar berat (Tabel 6). Selain itu, kualitas biologi perairan berupa zooplankton, phytoplankton, dan makrozoobentos berada pada kisaran tercemar ringan sampai berat. Tabel 6 Status Indeks Pencemar Sungai di DKI Jakarta Tahun 2011 (BPLHD DKI 2012) Periode Pengamatan Maret Mei Agustus Oktober Desember
Status Mutu (%) Baik 2 0 0 2 0
Cemar Ringan 2 0 0 0 2
Cemar Sedang 13 6 11 9 9
Cemar Berat 83 94 89 89 89
Partisipasi masyarakat adalah salah satu faktor kunci kesuksesan pengelolaan HLAK. Masyarakat adalah penerima langsung dari semua dampak yang terjadi akibat dari pengelolaan HLAK. Dengan demikian, partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam mendukung setiap langkah dalam pengelolaan kawasan. Menurut Santoso (2011), partisipasi pengelolaan masyarakat terhadap mangrove masih rendah karena dukungan serta kesadaran
17 masyarakat meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove masih kurang. Pada umumnya, imbalan uang menjadi motivasi masyarakat dalam berpartisipasi pada kegiatan rehabilitasi mangrove. Jakarta sebagai ibukota Negara menjadi wilayah yang paling diminati oleh para pendatang dari seluruh pelosok nusantara. Pola pembangunan masa lalu menyebabkan terpusatnya segala potensi di Jakarta. Hal ini menjadi daya tarik hampir bagi semua orang di seluruh wilayah Indonesia. Urbanisasi yang selalu bertambah dari tahun ke tahun menyebabkan konsentrasi penduduk di Jakarta sangatlah besar. BPLHD DKI (2012) mencatat bahwa DKI Jakarta memiliki luas wilayah 662.33 km2. Jumlah penduduknya mencapai 9 761 992 jiwa, sehingga kepadatan penduduk dapat dihitung sebesar 14 738.864 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di Jakarta memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah tingginya permintaan (kebutuhan) lahan sementara di sisi lain suplai (ketersediaan) lahan tidak bertambah. Kondisi tersebut kemudian berimbas pada mahalnya harga lahan di Jakarta. HLAK berada pada wilayah yang sangat strategis sehingga nilai lahan di lokasi sangat tinggi. BI (2013) merilis data survei harga tanah di Jakarta Utara untuk kelas menengah berada pada kisaran Rp 5 juta sampai dengan Rp 16 juta per meter persegi. Tingginya harga tanah yang tidak diimbangi dengan daya beli masyarakat berdampak pada munculnya potensi penyerobotan lahan, termasuk di dalam kawasan HLAK. Perkembangan pasar properti semakin bergerak ke arah pantai utara dan barat Jakarta. Alexander (2013) menyebutkan bahwa kondisi tersebut dapat terjadi akibat keunggulan komparatif yang dimiliki. Wilayah Kapuk, termasuk juga kawasan HLAK berada pada lokasi yang dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dengan demikian, aksesibilitas memadai yang ditunjang kelengkapan infrastruktur (tol, kelengkapan fasilitas publik, dan kondisi lingkungan yang relatif tertata dengan baik) menjadi daya tarik khusus. Keunggulan tersebut memicu minat pasar. Para investor berlomba membelanjakan uangnya di sini. Peningkatan permintaan tersebut secara otomatis mendongkrak harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Aspek lain yang dimungkinkan dapat mempengaruhi minat pasar faktor kepercayaan terhadap mitos. Bagi sebagian orang, mitos mendapat tempat utama dalam menentukan pilihan, termasuk properti. Salah satu mitos yang berkembang di pasar properti adalah mitos kepala naga. Mitos tersebut tergambar dari banyaknya mata air yang sambung-menyambung membentuk kepala naga. Hal tersebut diyakini membawa keberuntungan. Daerah di Jakarta Utara yang tergolong kepala naga terdiri dari Kelapa Gading, Ancol, Pluit, Sunter, serta kawasan Pantai Indah Kapuk (Budiarto 2013). Berdasarkan gambaran tersebut, HLAK yang berada di wilayah sekitar PIK memiliki kerawanan tinggi terhadap potensi perubahan alih fungsi lahan. Reklamasi pantai adalah ide untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta. Reklamasi pantai utara Jakarta tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1994 tentang Repelita VI (Keppres 17/1994). Selanjutnya, peraturan tersebut dikuatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Keppres 52/1995) dan Peraturan Daerah DKI
18 Jakarta Nomor 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta (Perda 8/1995). Reklamasi menjadi hal penting berkaitan dengan keberadaan mangrove di HLAK. Reklamasi berpotensi memberikan dampak negatif bagi ekosistem mangrove. Adanya pulau hasil reklamasi berpotensi mengubah pola pasang surut air laut. Perubahan pola pasang surut tersebut berpotensi mematikan mangrove karena rendaman air laut dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, dampak reklamasi juga berpotensi dirasakan pada skala yang lebih luas. Hal tersebut selaras dengan hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mengenai reklamasi pantai. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL (PP 27/1999) mengkategorikan reklamasi pantai sebagai kegiatan berdampak besar dan penting, sehingga memerlukan penilaian AMDAL. Komisi Penilai AMDAL Pusat pada saat itu memberikan pertimbangan sebagai berikut : 1. Reklamasi berpotensi meningkatkan potensi dan intensitas banjir di Jakarta. 2. Reklamasi membutuhkan bahan urugan sebanyak 330 juta meter kubik. Pengambilan bahan urugan sebanyak itu dikhawatirkan akan memberi dampak lingkungan yang serius, baik material urugan dari daratan maupun dari laut. 3. Tersingkirnya masyarakat berpendapatan rendah dari kawasan utara Jakarta khususnya para nelayan yang harus hidup relatif lebih jauh dari sumber mata pencahariannya. 4. Dampak-dampak lainnya adalah menurunnya kemampuan pembangkit listrik di Jakarta, ketersediaan air bersih dan lain-lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta (SK Menlh 14/2003). Surat Keputusan tersebut memunculkan keberatan dari beberapa pihak. Pihak-pihak yang berkeberatan merasa dirugikan atas dibatalkannya proyek reklamasi. Setelah beberapa kali masuk ke pengadilan, akhir dari kasus tersebut berujung pada ditetapkannya Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 tanggal 24 Maret 2011 yang menyatakan bahwa reklamasi pantai utara Jakarta sah secara hukum. Semakin menurunnya kawasan mangrove Jakarta termasuk di HLAK harus dicermati sebagai langkah awal untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan mangrove atas dasar pulih kembalinya ekosistem semirip mungkin dengan kondisi sebelum mengalami kerusakan. Hal ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendalian terhadap ancaman degradasi kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya (BPLHD DKI 2012). Evaluasi Lingkungan Internal dan Eksternal Analisis lingkungan berfungsi untuk memahami kondisi internal dan eksternal terkait dengan pengelolaan HLAK. Pemahaman mendalam terhadap kondisi tersebut dapat digunakan sebagai cara untuk mengidentifikasi semua faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Berdasarkan hasil identifikasi, kemudian dilakukan analisis terhadap kondisi internal dan eksternal HLAK saat ini. Analisis tersebut merupakan bentuk evaluasi terhadap masing-masing faktor. Analisis dilakukan dengan melakukan
19 pembobotan, penentuan rating, dan penentuan skor akhir penilaian terhadap masing-masing faktor internal dan eksternal HLAK. Tabel 7 menunjukkan hasil evaluasi faktor internal dalam pengelolaan HLAK. Tabel 7 Evaluasi Faktor Internal (EFI) Hutan Lindung Angke Kapuk Skor Faktor internal Bobot Rating (Bobot x Rating) Kekuatan Kejelasan status 0.20 4 0.80 Kejelasan pengelola 0.15 4 0.60 Aksesibilitas tinggi 0.05 3 0.15 Kelemahan Tidak ada blok pengelolaan 0.10 1 0.10 Fragmentasi kawasan 0.15 1 0.15 Kerusakan habitat 0.20 1 0.20 Implementasi pengelola belum 0.15 1 0.15 maksimal Total 1.00 2.15 Sementara itu, hasil evaluasi terhadap faktor eksternal dalam pengelolaan HLAK ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Hutan Lindung Angke Kapuk Skor Faktor eksternal Bobot Rating (Bobot x Rating) Peluang Minat tinggi stakeholder terhadap 0.15 4 0.60 HLAK Komitmen tinggi Pemprov DKI 0.20 4 0.80 Ancaman Abrasi, akresi, penurunan tanah, 0.10 1 0.10 dan rob Sampah 0.10 1 0.10 Pencemaran 0.075 1 0.075 Tingginya nilai lahan di lokasi 0.15 2 0.30 Reklamasi pantai 0.075 1 0.075 Rendahnya kesadaran masyarakat 0.15 1 0.15 Total 1.00 2.20 EFI menunjukkan nilai 2.15. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengelolaan HLAK sampai saat ini belum optimal atas berbagai kekuatan yang dimilikinya. Sebaliknya, HLAK masih dalam kondisi yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kelemahan yang dipunyainya. Kelemahan-kelemahan HLAK masih dominan dalam menentukan kondisi terkini kawasan. Kelemahan sisi manajerial (blok pengelolaan dan implementasi komitmen), fragmentasi kawasan, dan kerusakan habitat masih sangat berpengaruh terhadap kondisi kawasan yang cenderung tidak terurus.
20 Kejelasan status dan pengelola seharusnya dapat bermanfaat bagi HLAK. Status yang jelas memungkinkan HLAK untuk terjamin kelangsungannya. Kejelasan status memberikan dampak pada hak HLAK untuk dikelola sesuai dengan fungsinya. Kejelasan pengelola memberikan kepastian adanya penanggung jawab kawasan. Secara tegas dapat dikatakan bahwa, HLAK dan pengelolanya mempunyai misi mengemban amanat penting sesuai peraturan perundangan. RTRW 2030 menyatakan bahwa HLAK menjadi salah satu ruang yang dipertahankan. HLAK termasuk salah satu peruntukan ruang fungsi lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Analisis lingkungan eksternal mengindentifikasi peluang dan ancaman HLAK. EFE menunjukkan nilai 2.20. Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa HLAK belum memperoleh manfaat optimal dari peluang dan sangat rentan terhadap ancaman yang dihadapinya. Kondisi ini berarti bahwa HLAK masih lemah dalam menghadapi dinamika lingkungan eksternal. Dampak abrasi, akresi, penurunan tanah, rob, sampah, dan pencemaran sangat berpengaruh pada kondisi terkini kawasan. Selain itu, dinamika lingkungan eksternal berupa tingginya nilai lahan, rendahnya kesadaran masyarakat, dan rencana reklamasi pantai akan semakin berpotensi melemahkan pengaruh peluang untuk dapat dikembangkan dalam pengelolaan kawasan. Penelitian menunjukkan bahwa peluang belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Para stakeholder terkait menunjukkan minat terhadap HLAK. Keseriusan tersebut dapat dilihat dengan partisipasi beberapa pihak dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di HLAK. Menurut DKP DKI (2011), sejumlah LSM, organisasi masyakat, BUMN, dan swasta terlibat dalam penanaman mangrove di kawasan restorasi. Selain itu, HLAK juga berpotensi besar menarik minat para peneliti, baik dari akademisi maupun lembaga-lembaga lain. Potensi peluang yang dapat dengan segera digarap serius adalah keterlibatan stakeholder dalam skema CSR. Skema CSR memungkinkan stakeholder terlibat dalam pendanaan pengelolaan HLAK. CSR dapat menjadi alternatif solusi kurangnya pendanaan bagi pengelolaan HLAK. Peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah tingginya komitmen Pemprov dalam masalah lingkungan. Sesuai dengan RTRW 2030, HLAK menjadi salah satu areal dengan peruntukan fungsi lindung (melindungi sistem penyangga kehidupan). Hal tersebut dapat dimanfaatkan dengan cara peningkatan porsi penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal lain yang dapat dijadikan acuan adalah posisi HLAK yang berada tepat pada peralihan ekosistem daratan dan lautan sehingga kawasan ini bernilai lebih dibandingkan dengan kawasan lain. Lingkungan internal HLAK mendapat tantangan besar untuk dapat memperoleh berbagai manfaat dari kekuatan yang dimilikinya. Di sisi lain, HLAK diharapkan senantiasa mampu mengatasi berbagai kelemahan yang dipunyainya. Pada lingkungan eksternal, HLAK dituntut agar mampu memanfaatkan semua potensi peluang dan mampu mengatasi semua permasalahan berupa ancamanancaman. “Pekerjaan rumah” tersebut memerlukan penyelesaian agar HLAK dapat berfungsi sebagai pemasok daya dukung bagi lingkungan di sekitarnya.
21 Analisis Stakeholder Hutan Lindung Angke Kapuk Hasil identifikasi menunjukkan bahwa stakeholder HLAK terdiri dari unsur pemerintah, pemprov, swasta, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat (Tabel 9). Tabel 9 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan HLAK Stakeholder Pemerintah Kementerian Kehutanan (termasuk BKSDA DKI Jakarta)
Peran dalam pengelolaan HLAK
Kepentingan terhadap HLAK
Regulasi dan koordinasi pengelolaan kawasan hutan Pembina pengelolaan kawasan hutan di Indonesia Pengelola SMMA dan TWA
Mempertahankan kawasan hutan beserta fungsinya
Regulasi dan koordinasi pengelolaan sumberdaya pesisir
Pengelolaan sumberdaya pesisir
Kementerian Lingkungan Hidup Pemprov Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta
Regulasi dan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup
Mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup
Pengelola kawasan HLAK
Mempertahankan dan memperbaiki kawasan agar terjaga fungsinya
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Swasta Entitas PIK
Pengawasan dan evaluasi lingkungan hidup di DKI Jakarta
Mempertahankan, mengawasi, dan memperbaiki lingkungan agar mempunyai daya dukung maksimal
Pengembang dan pengelola PIK
Bisnis properti
PT Kapuk Naga Indah
Pemegang hak reklamasi pantai
Bisnis properti
PT Murindra Karya Lestari
Pengelola TWA
Bisnis wisata alam
Swasta lain
Pemberi CSR
Citra positif perusahaan
LSM
Mediator dan katalisator
Citra positif organisasi
Masyarakat
Penerima dampak HLAK
Memperoleh daya dukung lingkungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pelaksana restorasi mangrove HLAK
Berdekatan dengan HLAK
Sumber mata pencaharian BUMN
Pemberi CSR
Citra positif perusahaan
Akademisi
Peneliti
Pengembangan ilmu
Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan HLAK didasarkan atas pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berhubungan dengan kapasitas, kewenangan, dan minat. Adanya perbedaan pengaruh dan kepentingan berdampak pada perbedaan peran masing-masing stakeholder dalam kegiatan pengelolaan HLAK. Pengaruh merupakan kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi proses pengelolaan HLAK dan kemampuannya mempengaruhi
22 stakeholder lain. Kepentingan dapat diartikan sebagai ketergantungan stakeholder terhadap sumberdaya atau ketertarikan untuk terlibat dalam pengelolaan HLAK. Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder HLAK ditunjukkan dalam skor (Tabel 10). Tabel 10 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder HLAK Stakeholder Masyarakat sekitar HLAK Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Kementerian Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kelautan dan Perikanan Lembaga Swadaya Masyarakat Akademisi Badan Usaha Milik Negara Entitas PIK PT Murindra Karya Lestari PT Kapuk Naga Indah Swasta lain
Skor Pengaruh 3 5 4
Skor Kepentingan 5 5 4
4 4 4 4 2 2 4 4 4 2
4 3 4 2 3 2 5 5 5 1
Besaran skor pengaruh dan kepentingan stakeholder kemudian dipetakan ke dalam Stakeholder Grid (Gambar 4).
Gambar 4 Stakeholder Grid Hutan Lindung Angke Kapuk
23 Player Player adalah kelompok stakeholder yang merupakan motor penggerak dan pelopor dalam suatu kegiatan. Player dapat diartikan sebagai pemeran utama atau pelaku dalam suatu kegiatan. Tanpa kelompok ini, kegiatan tidak bisa berjalan. HLAK memiliki player yang terdiri dari instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Instansi pusat yang terlibat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan HLAK adalah Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Ketiga instansi ini menjadi penting karena peran dan fungsinya. Kemenhut meliputi pula Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta (BKSDA DKI) sebagai pengelola SMMA dan TWA. Kemenhut adalah instansi tertinggi yang bertanggung jawab dan berwenang dalam kegiatan pengelolaan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Kemenhut sebagai perpanjangan tangan pemerintah memiliki kewenangan dalam mengeluarkan standar kebijakan mengenai pengelolaan hutan termasuk hutan lindung. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), pengelolaan hutan lindung dilimpahkan ke pemerintah daerah (Pemda). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (P 40/2010) menyebutkan bahwa Kemenhut mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kehutanan. Fungsi Kemenhut terkait dengan pengelolaan HLAK adalah perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kehutanan serta pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kemenhut di daerah. KLH adalah kementerian yang membidangi urusan lingkungan hidup. Tugas pokoknya membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. KLH menyelenggarakan fungsi penting sehubungan dengan pengelolaan HLAK. Fungsi tersebut adalah merumuskan dan mengkoordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Peran dan fungsi KLH menjadi simpul bagi instansi pemerintah yang berkaitan dengan masalah lingkungan, termasuk kawasan HLAK. KLH berperan sebagai penghubung dan koordinator terhadap semua permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, permasalahan lingkungan di kawasan hutan juga menjadi urusan KLH. Kebijakan dan respon KLH terhadap permasalahan HLAK akan memberi pengaruh besar terhadap kawasan dan stakeholder lain yang terlibat. KKP adalah kementerian yang membawahi segala urusan di bidang kelautan dan perikanan. Kewenangannya meliputi wilayah pesisir, yaitu daerah yang terletak pada peralihan darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Wilayah pesisir mencakup sumberdaya berupa biota laut, mangrove, terumbu karang, lamun, jasa lingkungan dan sumberdaya non hayati. Menurut Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU 27/2007), kawasan HLAK termasuk sebagai sumberdaya pesisir. Merujuk pada peraturan tersebut, maka HLAK termasuk
24 sebagai kawasan yang menjadi urusan KKP. Melihat peran penting tersebut, maka pengelola HLAK harus selalu berkoordinasi dengan KKP agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan pengelolaan. Stakeholder lain yang termasuk dalam kuadran player adalah Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta (BPLHD DKI) dan DKP DKI. Keduanya merupakan instansi Pemprov. DKP DKI memiliki peran vital dalam pengelolaan HLAK. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang wewenang pengelolaannya diserahkan ke Pemda. Perda 10/2008 mengamanatkan DKP DKI untuk mengelola HLAK dan seluruh kawasan hutan yang berada di bawah kewenangan Pemprov. DKP DKI mempunyai kewenangan penuh dalam menyusun rencana pengelolaan HLAK. BPLHD DKI adalah instansi Pemprov yang bertanggungjawab dalam pembinaan lingkungan hidup. Instansi tersebut mempunyai peran strategis dalam pengelolaan lingkungan di wilayah DKI Jakarta. Tugas pokoknya menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan fungsi yang berkaitan dengan HLAK yaitu perumusan kebijakan bidang lingkungan hidup; pelaksanaan kebijakan pelestarian dan penataan lingkungan; pelaksanaan kebijakan pengendalian pencemaran dan sanitasi lingkungan; dan pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan Berdasarkan tupoksinya, maka BPLHD DKI mempunyai wewenang untuk mengakses permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan. Kasus pencemaran dan kerusakan habitat yang terjadi di HLAK dan sekitarnya masih menjadi wilayah tanggungjawab dan wewenang BPLHD DKI. DKP DKI dan BPLHD DKI dapat berkolaborasi dalam rangka kerjasama penyelesaian masalah pencemaran dan kerusakan habitat di HLAK. Masyarakat sekitar kawasan HLAK masuk dalam kategori player. Masyarakat adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan (termasuk warga PIK), nelayan, dan petani. Keragaman profesi masyarakat diantaranya sebagai nelayan, tani, buruh, karyawan, PNS, TNI, dan swasta. Nelayan atau tani sangat bergantung terhadap sumberdaya mangrove di kawasan HLAK. Mangrove digunakan sebagai sarana mata pencahariannya. Nelayan memanfaatkan mangrove sebagai tempat untuk mencari ikan dan hasil laut lainnya dengan cara memancing atau menjala. Selain itu, mereka juga dapat menggunakan vegetasi mangrove sebagai tempat berjangkar perahu-perahu yang sedang tidak digunakan. Petani memanfaatkan mangrove sebagai penghasil bibit tanaman untuk dijual. Pencarian benih mangrove dilakukan dengan cara mengumpulkan buah yang sudah masak panen baik dengan cara memetik atau dengan cara memungut buah yang sudah jatuh. Mangrove merupakan habitat ideal dari salah satu biota laut yang dibudidayakan masyarakat. Sebagian masyarakat di sekitar HLAK berprofesi sebagai petani kerang hijau atau yang dikenal dengan green mussels (Santoso 2011). Mangrove menjadi tempat berkembang biak yang cocok bagi kerang hijau. Hal tersebut dikuatkan oleh Cappenberg (2008) yang menyatakan bahwa salah satu jenis kerang yang bernilai ekonomis tinggi adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang ini dapat hidup dengan baik pada muara sungai, perairan pesisir, dan hutan mangrove di Indonesia.
25 Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya mangrove HLAK juga dirasakan dalam bentuk pasokan daya dukung lingkungan. Mangrove memiliki perakaran kuat dan kompak satu sama lain sehingga menghasilkan kombinasi yang sempurna untuk mengatasi abrasi. Abrasi adalah terkikisnya daratan akibat terjangan gelombang air laut. Keberadaan mangrove mampu memberi fungsi mencegah dan mengurangi abrasi. Kerusakan habitat mangrove di Muara Angke termasuk di kawasan HLAK membawa dampak pada terjadinya abrasi pantai. Manfaat lain yang dapat dirasakan masyarakat adalah kemampuan mangrove untuk menahan intrusi air laut ke daratan. Intrusi air laut menyebabkan tercampurnya air tawar dengan air laut sebagai akibat terjadinya perembesan. Rembesnya air laut terjadi karena tidak adanya penahan berupa komunitas mangrove. Fenomena intrusi air laut dirasakan oleh masyarakat di sekitar HLAK. Berdasarkan penelitian Santoso (2011), masyarakat di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Kamal Muara merasakan intrusi. Masyarakat di sekitar HLAK adalah kelompok masyarakat sebagaimana umumnya. Mereka tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan kawasan. Respon dan tindakan masyarakat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pengelolaan HLAK. Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan memberi dampak negatif bagi kawasan. Tindakan tersebut dapat berupa membuang sampah di sungai dan badan air lain sehingga berpotensi mengganggu ekosistem mangrove HLAK. Penyelesaian permasalahan sampah membutuhkan waktu yang tidak singkat karena melibatkan masyarakat dari hulu sampai hilir. Entitas PIK adalah kelompok swasta yang termasuk kategori player. Entitas PIK merupakan badan usaha pengembang dan atau pengelola kawasan PIK. Swasta yang termasuk sebagai entitas PIK di antaranya adalah Agung Sedayu Group (pengembang Bukit Golf Mediterania, Golf Island, Crown Island), Agung Podomoro Group (pengembang PIK City), PT Mandara Permai (pengelola PIK dan pengembang Camar, Walet, Katamaran, dan Manyar), PT Wira Sakti Surya Persada (pengembang The Plaza, The Gallery, dan Centro Metro Broadway), dan PT Wahana Agung Indonesia (pengembang Elang Laut Residence dan Centre Bisnis Elang Laut). HLAK berada tepat berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berposisi pada pinggiran PIK, sehingga akses menuju lokasi harus melalui sarana jalan milik perumahan PIK. Sebelum memasuki kawasan HLAK, pengunjung harus melewati Mediterania Boulevard dan beberapa cluster PIK, yaitu Katamaran, Venice, dan Rome. Peran penting Entitas PIK terletak pada bagaimana meningkatkan aksesibilitas kawasan HLAK. Target yang harus tercapai adalah kemudahan akses masuk ke kawasan HLAK. Selain itu, PIK berada pada posisi penting karena respon dan partisipasinya diperlukan untuk ikut serta dalam menjaga dan mengelola kawasan. Di sisi lain, Entitas PIK memiliki kepentingan yang besar. Kelangsungan dan kenyaman kawasan PIK ikut ditentukan oleh keberadaan dan kelestarian HLAK sebagai pemasok daya dukung lingkungan sekitarnya, termasuk PIK. HLAK berfungsi memberikan perlindungan ekosistem darat dari pengaruh laut yang berpotensi mengganggu kawasan PIK. Perlindungan
26 tersebut dapat berupa perlindungan abrasi, minimalisasi potensi rob, perlindungan angin laut, dan lain-lain. PT Kapuk Naga Indah (PT KNI) termasuk stakeholder kategori player. PT KNI adalah salah satu perusahaan milik Agung Sedayu Group. PT KNI merupakan pemegang hak reklamasi pantai utara Jakarta. Total lahan reklamasi seluas 1000 hektar, yang terdiri dari dari tiga pulau. Pelaksanaan reklamasi bertujuan untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, penahan kenaikan air laut, serta sebagai sumber penyedia air baku. 1000 hektar lahan hasil reklamasi akan diperuntukan sebagai zona terbangun (500 hektar), infrastruktur (250 hektar), dan hutan mangrove (250 hektar). Hal terpenting dalam dalam kegiatan ini bahwa reklamasi harus mampu berfungsi sebagai penunjang daratan induk, sehingga dampak negatifnya harus diminimalkan. Selain itu, PT KNI adalah pelaksana restorasi pada kawasan restorasi HLAK. Pada kondisi demikian, PT KNI diharapkan mampu menunjang dan membantu pengelola HLAK. Bantuan tersebut dapat berupa peningkatan aksesibilitas kawasan dan kelangsungan mangrove di dalamnya. Salah satu peran PT KNI yang sudah terlihat adalah dengan pembuatan breakwater sebagai langkah untuk mengurangi abrasi pantai. PT Murindra Karya Lestari (PT MKL) dikategorikan ke dalam kelompok player. PT MKL adalah swasta yang memperoleh hak kelola atas TWA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990), TWA merupakan salah satu dari kawasan pelestarian alam. TWA adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Dalam kawasan ini diperbolehkan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok kawasan. TWA merupakan salah satu kawasan konservasi yang kewenangan pengelolaannya di bawah Kemenhut melalui UPT BKSDA DKI. Pengelolaan TWA diperbolehkan untuk dikelola secara profesional dengan berbasis bisnis jasa lingkungan (wisata alam). TWA merupakan kawasan hutan mangrove. TWA berbatasan langsung dengan HLAK sehingga keberadaanya berperan dalam menjaga kelangsungan HLAK. Kedua kawasan hutan ini berfungsi untuk saling memberikan daya dukung dan memperkuat kelangsungan ekosistem masing-masing. PT MKL berperan dalam menjamin pengelolaan TWA sesuai dengan fungsi pokoknya. Dengan demikian maka TWA harus dijamin kelangsungannya sehingga tidak boleh dialihfungsikan. TWA dan HLAK merupakan bagian dari mangrove Hutan Angke Kapuk yang saling mendukung satu sama lain. PT MKL memiliki kepentingan yang besar terhadap kelestarian HLAK. Fungsi lindung HLAK terhadap kawasan TWA menjadi alasannya. Kelestarian TWA berarti jaminan kelangsungan usaha. Sedangkan kerusakan TWA berarti hilangnya sumber pendapatan. Kuadran player menunjukkan anomali dalam kenyataan di lapangan. Secara formal, DKP DKI memiliki otoritas tertinggi dalam pengelolaan kawasan. Kondisi tersebut memposisikan DKP DKI sebagai pelopor dalam setiap kegiatan. Namun demikian, paat ini kondisi DKP DKI belum sepenuhnya memainkan peran tersebut. Kecenderungan yang terjadi memperlihatkan peran besar swasta
27 (misalnya PT KNI) dalam mengelola kawasan. Selain itu, implementasi komitmen DKP DKI dalam mengelola kawasan belum pula sepenuhnya terlihat. Komitmen tinggi hendaknya ditunjukkan dengan adanya langkah-langkah konkret. Langkah konkret dapat dilakukan diantaranya dengan mengelola kawasan berbasis blok pengelolaan. Hal tersebut akan memudahkan pengelolaan. Blok disusun berdasarkan potensi HLAK sehingga dapat memudahkan arah pengelolaan pada setiap blok pengelolaan. Selama ini, penggabungan pengelolaan HLAK dengan kawasan mangrove lain kurang tepat. Berkenaan dengan komitmen tersebut, layak apabila HLAK dikelola oleh manajemen tersendiri sehingga dapat diperoleh fokus pengelolaan. Actor Kelompok actor dalam Stakeholder Grid merupakan stakeholder dengan pengaruh tinggi namun memiliki kepentingan kecil terhadap sumberdaya. Stakeholder Grid memetakan LSM ke dalam kelompok ini. LSM adalah lembaga non pemerintahan yang ikut andil dalam pengelolaan HLAK. Beberapa LSM yang berpartisipasi dalam pengelolaan HLAK di antaranya adalah Jakarta Green Monster, Yayasan Mangrove Indonesia, Yagasu, dan lain-lain. Sebagai lembaga independen, LSM memiliki keleluasaan gerak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan HLAK. Independensi, jaringan luas dan keberadaannya di luar pemerintahan menyebabkan LSM memiliki pengaruh dan posisi tawar yang kuat. LSM dapat dimanfaatkan menjadi mitra kerja yang efektif dalam pengelolaan kawasan. LSM dapat dimanfaatkan sebagai media untuk meningkatkan kualitas pengelolaan, membangun citra positif kawasan, serta sebagai mitra dalam pengawasan pengelolaan kawasan. Actor merupakan kelompok stakeholder yang unik. Actor dapat memposisikan dirinya menjadi player. Pada prakteknya, kelompok ini bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi kegiatan. LSM memungkinkan untuk memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat (player). Pada posisi ini, LSM dapat berperan sebagai kelompok masyarakat tertindas akibat terkena dampak negatif pengelolaan kawasan. Langkah yang kontra produktif terhadap kegiatan sangat mungkin ditempuh. Namun demikian, potensi yang sama juga dapat ditunjukkan oleh LSM dalam bentuk langkah positif untuk mendukung kegiatan pengelolaan HLAK. LSM dapat berperan sebagai mediator, katalisator, dan pengawas. Mediator berarti bahwa LSM berposisi sebagai penengah di antara stakeholder HLAK. LSM dapat memfasilitasi kegiatan pengelolaan yang diharapkan mampu mengakomodasi semua pihak terkait. Katalisator berarti bahwa LSM mampu memberikan dorongan bagi percepatan tujuan kegiatan. Peran ketiga adalah sebagai pengawas kegiatan. LSM dapat berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan HLAK. Pengawasan dapat dapat dilakukan pada semua tahap kegiatan mulai dari dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, maupun pasca kegiatan. LSM tidak berkepentingan terhadap sumberdaya HLAK. Kepentingan mereka adalah misi lingkungan. LSM bidang lingkungan cenderung jeli melihat kekurangan yang ada dalam pengelolaan kawasan untuk dikritisi. Kekritisan mereka tidak terbatas, mengingat posisinya sebagai “pihak luar” dalam
28 pengelolaan kawasan. Pengaruh dan kepentingan LSM tidak bisa diabaikan. Pada kondisi ini pengelola HLAK diharapkan mampu merangkul LSM agar menjadi salah satu komponen yang dapat diandalkan dan berpartisipasi aktif dalam pengelolaan kawasan. Pengabaian terhadap potensi pengaruh dan kepentingan mereka dapat menjadi ganjalan serius bagi pengelolaan kawasan. Bystander Bystander adalah kelompok stakeholder dengan pengaruh dan kepentingan yang kecil terhadap HLAK. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai stakeholder yang berkontribusi dalam kegiatan namun tidak benar-benar terlibat. Bystander adalah stakeholder yang berposisi sebagai pengamat. Kondisi ini menempatkan bystander sebagai kelompok yang kehadirannya tidak terlalu berkontribusi dalam pengelolaan HLAK. Sebaliknya, ketidakhadirannya juga tidak berpengaruh besar terhadap HLAK. Pada pelaksanaannya, bystander terlihat seperti pihak di luar sistem yang sedikit sekali beran dan terlibat dalam kegiatan. Kehilangan kelompok ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap sistem. Stakeholder Grid menempatkan BUMN dan kelompok swasta lain pada kategori bystander. Kelompok swasta lain adalah stakeholder swasta selain dari Entitas PIK, PT KNI, dan PT MKL. Kelompok ini masuk dalam kategori terpisah karena perannya yang berbeda dengan ketiga swasta tersebut. Kelompok swasta lain adalah swasta yang hanya berperan dan atau berpotensi memberikan CSR terhadap kawasan HLAK. Swasta pemberi CSR di antaranya adalah Standard Chartered, PT Daikin, United Tractors, Mekar Sari, CNOOC Ses Ltd, Manulife, dan lain-lain. Selain swasta, BUMN juga berperan dalam kegiatan CSR di HLAK. BUMN yang berperan dalam pengelolaan HLAK di antaranya adalah Bank Mandiri, PT Antam, Pertamina, dan lain-lain. Para pemberi CSR tersebut selama ini tidak semuanya terfokus di satu kawasan hutan saja melainkan pada kawasan hutan di Angke Kapuk. Namun demikian hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk mengarahkan potensi CSR untuk lebih berperan dalam pengelolaan HLAK. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat keberadaan HLAK yang berada tepat berbatasan dengan laut. BUMN dan swasta merupakan lembaga profit yang memanfaatkan isu lingkungan sebagai sasaran CSR. CSR merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Bentukbentuk CSR yang dapat dilakukan swasta maupun BUMN misalnya adalah keikutsertaan dalam pendanaan suatu kegiatan, pendampingan masyarakat, dan lain-lain. Pada dasarnya CSR perusahaan-perusahaan tersebut hanya bersifat bantuan. Jika memungkinkan, CSR dapat dimanfaatkan. Jika tidak ada CSR maka tidak berpengaruh signifikan terhadap kegiatan. Melihat hal ini, peran BUMN dan kelompok swasta lain tergolong kecil. Namun demikian, kelompok ini bisa digunakan untuk memberi andil positif dalam pengelolaan kawasan. Subject Subject adalah kelompok stakeholder dengan kepentingan tinggi namun memiliki pengaruh yang rendah. Subject sangat bergantung pada pengaruh player. Subject dapat memberikan peran penting apabila mendapat dukungan dari player. Stakeholder Grid menempatkan akademisi sebagai subject. Akademisi adalah
29 kelompok stakeholder yang terdiri dari Perguruan Tinggi (PT), sekolah, lembaga penelitian, dan para peneliti. Akademisi memiliki kepentingan terhadap HLAK untuk penelitian dan pengembangan keilmuan. HLAK menarik untuk diteliti karena secara ekologis merupakan formasi hutan mangrove. Hutan mangrove adalah tipe hutan khas yang keberadaannya sangat sedikit di dunia. Mangrove tidak bisa tumbuh di semua tempat. Keberadaan mangrove di pantai utara Jakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi para akademisi. Secara sosial-ekonomi, HLAK menjadi objek menarik karena berada di Jakarta. Tekanan lingkungan di Jakarta yang semakin meningkat menempatkan HLAK pada posisi sulit sekaligus menguntungkan. Salah satu tekanan tersebut berupa kesenjangan ekonomi antara kaum miskin dan kaya. Konflik yang berpotensi muncul akibat kesenjangan ekonomi dapat berupa pemakaian lahan secara illegal di semua tempat yang tak berpenghuni. Pada kondisi demikian HLAK berpotensi besar mengalaminya. Jakarta Utara saat ini menjadi lokasi yang diminati untuk kegiatan bisnis sehingga semakin meningkatkan nilai kawasan. Selain itu minimnya ketersedian lahan untuk berusaha menyebabkan HLAK berada pada kondisi yang rawan terhadap gangguan sosial-ekonomi. Fenomenafenomena tersebut menjadi hal menarik untuk diteliti. Selama ini, banyak hasil penelitian yang cenderung terabaikan. Hasil penelitian dan kajian ilmiah belum banyak dijadikan rujukan. Hal inilah yang kemudian dapat dipahami mengapa akademisi termasuk dalam kategori subject. Stakeholder ini mempunyai potensi besar untuk diberdayakan, namun pada prakteknya seringkali diabaikan. Pemikiran dari akademisi diperlukan sebagai bahan pertimbangan dari aspek keilmuan dan teknis menyangkut pengelolaan HLAK. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di HLAK. Dukungan dari player menjadikan kelompok ini dapat memberikan peran maksimal dalam pengelolaan HLAK. Implementasi analisis stakeholder Peran masing-masing stakeholder dalam pengelolaan HLAK bukan merupakan hal yang statis. Peran stakeholder bersifat dinamis sehingga dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan fenomena sosial yang terjadi. Perubahan posisi stakeholder dalam kuadran stakeholder grid sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan pengaruhnya. Pengaruh merupakan hal yang berkenaan dengan otoritas stakeholder dalam suatu kegiatan. Bergesernya otoritas suatu lembaga/ instansi dapat mempengaruhi pergeseran posisi stakeholder. Hal lain yang memungkinkan merubah peran stakeholder adalah kepentingan. Kepentingan mampu merubah peran stakeholder dari yang kurang penting menjadi penting atau sebaliknya. Perubahan otoritas dimungkinkan karena hal tersebut tergantung pada kebijakan yang berlaku. Pada kasus HLAK, apabila terjadi perubahan kebijakan bahwa pengelolaan HLAK beralih ke instansi lain (misalnya dikelola oleh KPH Lindung) maka secara otomatis akan menggeser otoritas DKP DKI dalam pengelolaan kawasan. Kondisi yang demikian akan merubah posisi dan peran DKP DKI dalam stakeholder grid pengelolaan HLAK. Perubahan kepentingan
30 dapat dimisalkan apabila terdapat BUMN yang tertarik menjadi pengelola/ pemanfaat jasa lingkungan wisata alam di HLAK. Saat ini, BUMN dikategorikan bystander sehingga perannya tidak begitu penting dalam pengelolaan HLAK. Apabila skenario tersebut terwujud, maka akan terjadi pergeseran peran BUMN yang bersangkutan menjadi kategori lain sesuai dengan kepentingan dan pengaruhnya.
Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk Prinsip Pengelolaan Hutan Lindung Lestari Pengelolaan hutan lindung dilakukan untuk memastikan keutuhan kawasan beserta fungsinya. Dalam rangka menjamin ketercapaian fungsinya, HLAK perlu dikelola berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lindung lestari. BSN (2013) memberikan prinsip pengelolaan hutan lindung lestari sebagai berikut : 1. Prasyarat pengelolaan hutan lindung lestari Pengelolaan hutan lindung harus mampu memberikan dampak positif pada lingkungan di sekitarnya. Lingkungan tersebut meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Prasyarat dalam pengelolaan hutan lindung lestari terdiri dari penataan organisasi, penyiapan sumberdaya manusia, dan dukungan pendanaan (Tabel 11). Tabel 11 Kriteria dan Indikator Prasyarat Pengelolaan Hutan Lindung Lestari (BSN 2013) Kriteria Penataan organisasi Penyiapan sumberdaya manusia Dukungan pendanaan
Indikator Struktur organisasi yang partisipatif Terdapat organisasi masyarakat pemanfaat hutan lindung Monitoring dan evaluasi berjalan efektif Adanya sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola kawasan Adanya upaya peningkatan kapasitas organisasi masyarakat pemanfaat kawasan Adanya sumber pendanaan yang cukup dan berkelanjutan Efektifitas pemanfaatan dana
Kelestarian pengelolaan hutan lindung merupakan kebutuhan masa kini. Prinsip kelestarian merupakan kesatuan antar aspek pengelolaan hutan. Kelestarian hutan secara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya menjadi wujud nyata bentuk keberpihakan pengelolaan hutan agar mampu memberikan sebesar-besar manfaat bagi semua pihak. Berdasarkan kriteria dan indikator, penataan manajemen pengelola juga didasarkan atas kesiapan sumberdaya manusia dalam organisasi. Sumberdaya manusia harus disiapkan sesuai bidang kebutuhannya. Kesesuaian sumberdaya manusia menjadi faktor penting ketercapaian tujuan pengelolaan kawasan. Pendanaan yang tidak memadai seringkali menghambat realisasi tujuan. Dengan demikian, HLAK dapat
31 dikelola menggunakan sumber pendanaan selain APBN dan APBD apabila dinilai masih kurang. 2. Kelestarian fungsi ekologis dan tata air Pengelolaan hutan lindung dilakukan dalam rangka mempertahankan kawasan dan kelestarian fungsi kawasan hutan sehingga mampu memberi daya dukung lingkungan bagi kawasan di sekitarnya. Prinsip kelestarian fungsi ekologis dan tata air terdiri dari terpeliharanya sumberdaya hutan lindung, terpeliharanya fungsi tata air, dan terpeliharanya fungsi lingkungan lain (Tabel 12). Tabel 12 Kriteria dan Indikator Kelestarian Fungsi Ekologis dan Tata Air pada Pengelolaan Hutan Lindung Lestari (BSN 2013) Kriteria Terpeliharanya sumberdaya hutan lindung
Indikator Telah ditetapkan sebagai hutan lindung Terdapat hasil inventarisasi sumberdaya hutan Pembagian blok untuk setiap fungsi yang dipetakan dengan jelas dan ditandai di lapangan Terdapat prosedur pengamanan yang menekankan pelibatan masyarakat Terdapat sarana dan prasarana pengamanan Capaian penyelesaian gangguan hutan Terdapat prosedur dan laporan identifikasi dan penanganan dampak negatif pemanfaatan hutan Terpeliharanya Pembagian blok mempertimbangkan karakteristik fisik, fungsi tata air tutupan lahan, dan struktur vegetasi Gangguan terhadap penurunan fungsi dapat dikendalikan Terdapat prosedur pengelolaan tata air yang dapat diimplementasikan Fungsi tata air berjalan dengan baik dan/ atau meningkat Terpeliharanya Pembagian blok memperhatikan karakteristik fungsi keanekaragaman hayati dan potensi jasa lingkungan lain lingkungan lain Gangguan terhadap flora dan fauna terkendalikan Adanya prosedur pengelolaan flora-fauna dan habitatnya Terdapat prosedur pengelolaan jasa lingkungan Habitat flora-fauna dan jasa lingkungan lain tidak menurun fungsinya Aspek ekologis adalah faktor penting dalam pengelolaan hutan lindung. Aspek ini menekankan pada kepastian terjaganya fungsi hutan lindung dalam menjaga tata air dan ekosistem di sekitarnya. Pengelolaan kawasan hutan harus mampu menjaga dan melestarikan hal tersebut. Dengan demikian, kelestarian hutan lindung diharapkan mampu mengatur siklus air. Indikatornya adalah ketersediaan air bersih di musim kemarau dan terkendalinya pasokan air di musim hujan. 3. Kelestarian fungsi sosial ekonomi Pengelolaan hutan lindung harus berpegang pada prinsip kesejahteraan bagi masyarakat. Prinsip kesejahteraan ditunjukkan dengan dilakukannya pengelolaan hutan lindung yang ramah lingkungan baik secara ekologi maupun sosial ekonomi. Ramah lingkungan sosial menjadi dasar bagi
32 pengelolaan hutan lindung lestari. Melalui keramahan tersebut, diharapkan hutan lindung mampu menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Penekanan terhadap pentingnya aspek ini terletak pada harapan agar masyarakat merasa ikut memiliki hutan lindung. Dengan demikian, mempertahankan dan menjaga kawasan menjadi lebih mudah. Kriteria yang harus dipenuhi dalam prinsip kelestarian fungsi sosial ekonomi adalah terpeliharanya akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat yang adil, terpeliharanya sumber-sumber ekonomi masyarakat, dan terpeliharanya integrasi sosial budaya masyarakat (Tabel 13). Tabel 13 Kriteria dan Indikator Kelestarian Sosial Ekonomi pada Pengelolaan Hutan Lindung Lestari (BSN 2013) Kriteria Terpeliharanya akses pengelolaan dan pemanfaatan masyarakat yang adil
Terpeliharanya sumber-sumber ekonomi masyarakat
Terpeliharanya integrasi sosial budaya masyarakat
Indikator Pengukuhan kawasan dan pembagian blok dilakukan secara partisipatif dan menghargai hak masyarakat yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan Tingkat keterlibatan masyarakat dalam pengaman hutan baik Adanya mekanisme pemberian akses pemanfaatan yang adil bagi masyarakat Pembagian blok memperhatikan jenis dan tingkat pemanfaatan saat ini yang diperbolehkan dan potensi sumberdaya untuk pemanfaatan ke depan Tingkat pemanfaatan sumberdaya ditentukan oleh hasil analisis potensi dan tidak boleh melebihi daya dukung Adanya mekanisme pengaturan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi masyarakat Adanya upaya rehabilitasi atas sumberdaya yang dimanfaatkan masyarakat Pembagian blok memperhatikan jenis pemanfaatan untuk kepentingan sosial budaya Adanya mekanisme penyelesaian konflik dengan adil dan efektif yang dirumuskan secara partisipatif Teknik produksi menggunakan cara ramah lingkungan dan/ atau sesuai kearifan lokal
Berdasarkan kriteria dan indikator tersebut, maka pengelolaan hutan lindung lestari mengemban amanah untuk menghargai partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan perencanaan. Keterlibatan masyarakat menjadi tolok ukur penting dalam keberhasilan pengelolaan kawasan hutan. Melalui kriteria dan indikator tersebut juga dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan kawasan hutan harus menghargai hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan potensi kawasan. Selain itu, penghargaan terhadap budaya lokal menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pengelolaan kawasan hutan.
33 Formulasi Strategi Formulasi strategi adalah langkah penyusunan alternatif strategi pengelolaan HLAK. Tahap ini sering disebut sebagai matching stage. Pada tahap ini dilakukan pencocokan terhadap faktor internal dan eksternal untuk menemukan strategi yang tepat. Matrik SWOT digunakan pada tahap ini. Perumusan strategi menghasilkan empat alternatif, yaitu Strategi StrengthOpportunity (Strategi SO), Strategi Strength-Treath (Strategi ST), Strategi Weakness-Opportunity (Strategi WO), dan Strategi Weakness-Treath (Strategi WT). Hasil perumusan strategi dengan menggunakan Matrik SWOT ditunjukkan pada Gambar 5 . Faktor Internal
Kekuatan (S) : 1. Kejelasan status 2. Kejelasan pengelola 3. Aksesibilitas tinggi
Faktor Eksternal Peluang (O) : Strategi SO : 1. Minat tinggi 1. Publikasi dan stakeholder dalam promosi HLAK pengelolaan (S1,2,3-O1,2) HLAK 2. Kolaborasi 2. Komitmen tinggi pengelolaan HLAK Pemprov DKI (S1,2-O1,2)
Kelemahan (W) : 1. Tidak ada blok pengelolaan 2. Fragmentasi kawasan 3. Kerusakan habitat 4. Implementasi pengelola belum maksimal Strategi WO : 1. Pemetaan zonasi kawasan (W1,2,3,4O1,2) 2. Pendanaan regular dan tahun jamak (W4O1,2) 3. Rehabilitasi ekosistem mangrove (W3,4O1,2) Strategi WT : 1. Rehabilitasi ekosistem mangrove (W3,4T1,2,3,5) 2. Pengamanan kawasan (W1,2,3,4-T4,6)
Ancaman (T) : Strategi SO : 1. Abrasi, akresi, 1. Perlindungan penurunan tanah, ekosistem pantai dan rob (S1,2,3-T1,2,3,5) 2. Sampah 2. Pendidikan 3. Pencemaran lingkungan, 4. Tingginya nilai penyuluhan, dan lahan di lokasi penegakan hukum 5. Reklamasi pantai (S1,2,3-T4,6) 6. Rendahnya kesadaran masyarakat Gambar 5 Matriks SWOT Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk
Pengambilan keputusan adalah tahap pemilihan strategi prioritas. Pada tahap ini digunakan Teknik QSPM. Teknik ini mendasarkan pada penilaian skor kemenarikan relatif tiap strategi terhadap faktor internal dan eksternal HLAK. Skor hasil penilaian kemudian dijumlahkan sehingga masing-masing strategi memiliki skor total dengan besaran tertentu. Strategi dengan skor tertinggi
34 menjadi prioritas utama (Lampiran 3). Berdasarkan penilaian QSPM, delapan strategi pengelolaan HLAK dapat diurutkan sesuai prioritas sebagaimana tertera pada Tabel 14. Tabel 14 Strategi Prioritas Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk Alternatif Strategi Rehabilitasi ekosistem mangrove
Skor QSPM 7.575
Pemetaan zonasi pengelolaan kawasan Pengamanan kawasan
6.950
Perlindungan ekosistem pantai
6.750
Kolaborasi pengelolaan HLAK
6.650
Publikasi dan promosi HLAK Pendanaan regular dan tahun jamak
6.600 6.450
Pendidikan lingkungan, penyuluhan dan penegakan hukum
5.750
6.875
Prioritas Stakeholder Keyang terlibat 1 DKP DKI, Kemenhut, PT KNI, Entitas PIK 2 DKP DKI, Kemenhut 3 DKP DKI, Kemenhut 4 DKP DKI, BPLHD DKI, PT KNI 5 Semua stakeholder 6 DKP DKI 7 DKP DKI, LSM, Entitas PIK, swasta, BUMN 8 DKP DKI
1. Rehabilitasi ekosistem mangrove Rehabilitasi mangrove menjadi faktor kunci dalam menjaga kelestarian kawasan HLAK. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah (Permendagri 61/2010) mendefinisikan rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kerusakan mangrove berarti kerusakan HLAK. Rehabilitasi perlu dilakukan mengingat ekosistem mangrove HLAK banyak mengalami gangguan berupa sampah, pencemaran, dan abrasi. Rehabilitasi diperlukan untuk merestorasi mangrove yang sudah terlanjur rusak oleh hal-hal tersebut. UU 41/1999 menyatakan bahwa mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan sehingga pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaannya. Pengelolaan harus didasarkan pada asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Peraturan tersebut mewajibkan kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau pemanfaat hutan agar melaksanakan rehabilitasi untuk tujuan perlindungan konservasi pada hutan yang rusak.
35 Ekosistem mangrove dipengaruhi oleh ekosistem darat dan laut. Ekosistem darat berpengaruh melalui pola drainase dan pasokan air tawar dari hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Ekosistem laut berpengaruh dalam bentuk pasang surut dan salinitas air laut. Selain itu, mangrove harus dipahami sebagai bagian tidak terpisahkan dalam ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir terdiri dari mangrove, terumbu karang, dan lamun. Jika mangrove dikelola berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian, maka hal tersebut mampu menjamin kelangsungan fungsi mangrove (Kusmana 2007). Keberadaan mangrove dalam ekosistem pesisir harus dipahami pula sebagai sistem perlindungan terhadap ekosistem di bawahnya, yaitu lamun dan terumbu karang. Mangrove berfungsi sebagai barrier dari pengaruh ekosistem darat (misalnya sedimentasi dan pencemaran) yang berpotensi merusak lamun dan terumbu karang. Kerusakan mangrove sangat berpotensi menimbulkan kerusakan pada kedua ekosistem tersebut. BPDASCTW (2007) merilis bahwa DAS yang melewati wilayah Jakarta dapat dibedakan dalam tiga kategori pengelolaan, yaitu prioritas I, prioritas II, dan prioritas III. Ada tiga DAS yang berhubungan dengan HLAK diantaranya, DAS Kali Angke-Pesanggrahan, DAS Ciliwung, dan DAS Cisadane. Hasil penyusunan prioritas DAS menjadi landasan bagi penentuan DAS prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014. DAS prioritas I ditentukan sebagai DAS prioritas dalam RPJM 2010-2014, sedangkan DAS prioritas II dan prioritas III tidak termasuk sebagai DAS prioritas (Tabel 15). Tabel 15 Kondisi DAS di DKI Jakarta yang Berhubungan dengan Kawasan HLAK (BPDASCTW 2007) DAS
Lahan Kritis
AngkePesanggrahan
Tidak ada
Ciliwung Cisadane
Sedang (11.91%) Sedang (14.78%)
Tekanan Penduduk
Klasifikasi Prioritasa
Sangat tinggi (Skor 0.43) Sangat tinggi (Skor 0.41) Sangat tinggi (Skor 0.5)
III (Skor 179) I (Skor 381) I (Skor 332)
Prioritas Pengelolaanb Bukan prioritas DAS Prioritas DAS Prioritas
a
Berdasarkan skor akhir untuk penentuan prioritas pengelolaan DAS oleh BPDAS Citarum Ciliwung, Kementerian Kehutanan b Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam RPJM Tahun 2010-2014
Pengaruh ekosistem darat dapat terlihat dari kondisi DAS yang memasok air tawar dan muatan sedimen ke dalam ekosistem mangrove HLAK. Tingkat kerawanan DAS menjadi hal penting untuk diperhatikan. HLAK menerima pengaruh dari DAS Angke-Pesanggrahan, DAS Ciliwung (Kali Ciliwung terhubung dengan Kali Angke melalui BKB), DAS Cisadane (Kali Cisadane terhubung dengan Kali Angke melalui Saluran Mookervart). DAS Ciliwung dan DAS Cisadane merupakan DAS Prioritas dalam RPJM 2010-2014, artinya kedua DAS tersebut dalam kondisi rawan. Kekritisan lahan di bagian hulu DAS yang mengalir ke HLAK berpengaruh terhadap ekosistem mangrove. Tutupan
36 mangrove HLAK sudah terdegradasi oleh alih fungsi lahan dan penebangan. Keadaan tersebut diperparah oleh kondisi DAS dengan lahan kritis di bagian hulunya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dalam mempertahankan kualitas ekosistem mangrove di HLAK. DAS yang rawan dapat ditandai salah satunya dari tingkat erosi yang tinggi. Tingginya pasokan sedimen dari erosi menyebabkan terjadinya sedimentasi di muara sungai dalam jumlah tinggi. BPDASCTW (2007), menyebutkan indeks erosi DAS Ciliwung sebesar 8.7 (Sangat tinggi) dengan skor sedimentasi 19.27 (Tinggi). Sedangkan pada DAS Cisadane, indeks erosi sebesar 8.7 (Sangat tinggi) dengan nilai sedimentasi 12.56 (Sedang). Berwick (1983) dalam Djunaedi (2011) menerangkan bahwa sedimentasi yang berlebihan menyebabkan tertutupnya akar nafas sehingga dapat mematikan vegetasi mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove dapat dilakukan secara alami dan dengan bantuan manusia berupa penanaman kembali. Secara alami, mangrove mampu menghasilkan biji dalam jumlah besar. Kemampuan benih mangrove untuk terus tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi yang ada. Pada prakteknya, rehabilitasi mangrove harus memperhatikan aspek teknis agar tingkat keberhasilan sesuai yang diharapkan. Beberapa tahapan teknis yang harus diperhatikan adalah mengetahui autekologi, hidrologi normal, perubahan lingkungan, dan desain pelaksanaan (Brown 2006). Autekologi adalah sifat ekologi jenis mangrove (pola reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pertumbuhan bibit). Pola hidrologi normal berupa kedalaman air, durasi genangan air, dan frekuensi genangan air. Pola hidrologi normal berkaitan dengan pola pasang surut air laut. Rehabilitasi ekosistem mangrove harus memperhitungkan perubahan lingkungan (misalnya sedimentasi dan abrasi) karena berkaitan dengan perubahan pola dan luasan persebaran jenis mangrove. Desain rehabilitasi dilakukan dengan cara mengkondisikan lingkungan semirip mungkin seperti kondisi semula agar mampu memberi hasil maksimal. Tabel 16 memberikan gambaran mengenai pola reproduksi dan masa panen dari beberapa jenis mangrove. Tabel 16 Pola Reproduksi dan Masa Panen Spesies Mangrove (Hachinhoe et al. dalam Brown 2006) Masa panen benih Spesies Bentuk benih Avicennia marina propagul Desember, Januari (masa puncak), Februari Bruguiera gymnorrhiza propagul Maret, Juni-Desember Ceriops tagal propagul Agustus (masa puncak), September Rhizophora apiculata Propagul Desember, Januari dan Maret (masa puncak), April Rhizophora mucronata propagul September-Desember Sonneratia alba buah April, Mei dan September (masa puncak), Oktober Xylocarpus granatum buah September, Oktober (masa puncak), November
37 Kusmana et al. (2003) menerangkan bahwa pemilihan jenis mangrove yang akan ditanam dapat dilakukan berdasarkan kelas penggenangan oleh pasang surut air laut, tipe substrat di lokasi, dan topografi. Persebaran spesies mangrove sangat ditentukan oleh salinitas dan pasang surut air laut. Salinitas air laut dipengaruhi oleh pasokan air tawar, sedangkan pasang surut air laut berpengaruh pada frekuensi penggenangan. Masing-masing spesies mangrove mempunyai adaptasi yang berbeda terhadap faktor-faktor tersebut. Perbedaan adaptasi tiap jenis mangrove terhadap frekuensi penggenangan terlihat pada formasi mangrove. Terdapat hubungan antara persebaran spesies mangrove dengan frekuensi penggenangan pasang surut air laut dan salinitas (Tabel 17). Tabel17 Hubungan Antara Salinitas, Kelas Penggenangan, dan Sebaran Mangrove di Indonesia (de Haan 1931 dalam Kusmana et al. 2003) Salinitas Sebaran Dominan Frekuensi genangan (ppt) Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizphora spp. Bruguiera gymnorrhiza Xylocarpus spp., Heriteria spp. Bruguiera spp., Scyphiphora spp., Lumnitzera spp. Spesies marjinal di ekosistem mangrove (Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, Glochidion littorale) Oncosperma spp., Cerbera spp.
Tergenang ≥ 20 hari per bulan (1 – 2 kali per hari) Tergenang 10 – 19 hari per bulan Setiap 9 hari Hanya beberapa hari per tahun Sedikit terpengaruh pasang surut
Hanya dipengaruhi air tawar di musim hujan
10 – 30 10 – 30 10 – 30 10 – 30
0
0
Sama halnya dengan prinsip rehabilitasi hutan pada umumnya, rehabilitasi mangrove sebaiknya menggunakan spesies asli. Beberapa jenis vegetasi yang teridentifikasi tumbuh di kawasan HLAK adalah Api-api (Avicennia marina, A. offincinalis, dan A. alba), Bakau (Rhizophora mucronata), Excoecaria agallocha, Soneratia alba, dan Thespesia populnae (BPLHD DKI 2012). Jenisjenis asli dipilih dalam rehabilitasi agar menjamin kesesuaian dengan tempat tumbuh tanpa harus mengalami adaptasi sehingga memperbesar potensi kegagalan. Selain itu, pemilihan jenis asli diharapkan tidak menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan ekosistem hutan. Pada kenyataanya, rehabilitasi mangrove seringkali menemui kondisi tapak yang sulit sehingga menghambat proses rehabilitasi. Kawasan HLAK memiliki tapak dengan kondisi yang tidak ideal. Abrasi, akresi, penurunan tanah, dan rob merupakan penyebab kondisi tersebut di samping faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi. Abrasi menyebabkan sebagian daratan pantai hilang sehingga menyebabkan tapak digenangi air laut. Kondisi tersebut akan
38 menghambat proses rehabilitasi mangrove. Selain itu, akresi dapat menyebabkan pergeseran garis pantai sehingga memberi pengaruh abrasi di tempat lainnya. Tahun 2011-2012 terjadi penurunan tanah di beberapa daerah di Jakarta. Penurunan tertinggi dialami daerah Kapuk, mulai dari Pejagalan hingga PIK. PIK mengalami penurunan tanah sebesar 9.89 cm. Jalan Marina Indah mengalami penurunan tanah sebesar 9.54 cm. Penurunan tanah yang terendah terjadi di daerah Gunung Sahari sebesar 0.62 cm (Kemen ESDM 2013). Penurunan tanah tersebut menyebabkan permasalahan lingkungan menjadi semakin rumit. Rob menjadi ancaman nyata bagi warga sekitar pantai, khususnya di daerah Kapuk dan PIK sebagai wilayah dengan penurunan tanah tertinggi. Rob yang merupakan pengaruh dari ketinggian muka air laut lazim terjadi di daerah pantai. Namun demikian, terjadinya fenomena pemanasan global semakin memperparah rob. Pemanasan global menjadi pemicu mencairnya sebagian es di kutub sehingga menaikkan ketinggian muka air laut terhadap daratan. Rob memberi dampak pada genangan air laut secara berlebih pada tapak rehabilitasi sehingga hal tersebut dapat mengganggu proses penanaman mangrove. Rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan pekerjaan besar yang melibatkan banyak hal untuk diperhatikan. Rehabilitasi ekosistem mangrove berarti pula melakukan persiapan lingkungan yang sesuai dengan sifat-sifat mangrove. Keberadaan tapak rehabilitasi yang tidak ideal memerlukan rekayasa lingkungan agar dapat dilakukan penanaman. Permasalahan yang dihadapi dalam rangka rehabilitasi ekosistem mangrove diantaranya adalah sampah, pencemaran, abrasi, akresi, dan rob. Sampah perlu dibersihkan agar tidak mengganggu tapak rehabilitasi dan mangrove yang ada. Penanggulangan sampah dapat dilakukan dengan cara pembersihan sampah secara rutin baik di muara sungai maupun di dalam kawasan. Permasalahan sampah tidak bisa dilakukan sepihak melainkan harus terus berkoordinasi dengan pihak-pihak lain. Hal ini dimaklumi karena sumber sampah tidak hanya dari sekitar kawasan saja namun lebih banyak dari daerah di atasnya. Selain sampah, pencemaran juga menjadi hal perlu diperhatikan agar kelestarian ekosistem HLAK (flora dan fauna) dapat terjaga. Seperti halnya sampah, pencemaran juga menjadi permasalahan yang harus ditangani secara bersamasama. Fenomena penurunan lahan menjadi permasalahan serius yang mengganggu Jakarta. Permasalahan tersebut belum sepenuhnya tuntas. Namun demikian, sejumlah upaya telah dan akan ditempuh pemerintah dalam rangka menanggulangi laju penurunan tanah (Kemen ESDM 2013) : a) menambah resapan air kedalam tanah b) mempertimbangkan untuk mengganti penggunaan air tanah dengan mengolah air permukaan c) pembangunan konstruksi bangunan dan perencanaan tata ruang perlu mempertimbangkan adanya amblesan air tanah serta sebaran air tanah payau/asin. d) penambahan kolam penampungan air hujan sebagai pengganti air tanah yang telah tergusur oleh pembangunan konstruksi bawah tanah e) pemulihan fungsi situ-situ di Jakarta
39 Pada kondisi tapak dengan frekuensi penggenangan air laut yang tinggi dapat dilakukan penanaman mangrove menggunakan Teknik Guludan. Teknik Guludan adalah pembuatan cerucuk bambu berbentuk persegi dengan ukuran tertentu yang diisi dengan tanah. Guludan dibuat dengan tujuan sebagai media tumbuh anakan mangrove. Secara teknis, guludan diisi dengan tumpukan karung berisi tanah yang diletakkan pada bagian dasar cerucuk. Kemudian, di atas tumpukan karung diisi dengan tanah curah setebal 0.5 meter yang berfungsi sebagai media tanam. Bibit mangrove ditanam pada media tersebut secara berdekatan agar memberi hasil yang baik (Kusmana et al. 2010). Teknik ini telah diujicobakan pada kawasan mangrove yang dikelola DKP DKI khususnya di kawasan Mangrove Education Centre. 2. Pemetaan zonasi pengelolaan kawasan RTRW 2030 menyebutkan bahwa rencana pola ruang diwujudkan salah satunya berdasarkan distribusi peruntukan ruang untuk mempertahankan dan memulihkan kondisi kawasan yang harus dilindungi (termasuk HLAK). Upaya mempertahankan dan memulihkan kawasan harus dibarengi dengan adanya unit pengelolaan tersendiri terhadap HLAK. Saat ini, HLAK belum dikelola sebagai unit pengelolaan hutan tersendiri. Dalam rangka mewujudkan unit pengelolaan yang tepat, maka HLAK perlu untuk dikelola berdasarkan zonasi. PP 34/2002 mengatur pembagian zonasi pengelolaan hutan lindung. Pada hutan lindung, manajemen pengelolaan disebut blok pengelolaan. Blok pengelolaan ditentukan oleh karakteristik dan potensi dalam HLAK. Blok pengelolaan yang harus ada dalam hutan lindung adalah Blok Perlindungan dan Blok Pemanfaatan. Selain blok tersebut diperbolehkan adanya blok lain, misalnya Blok Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus, Blok Cagar Budaya, dan lain-lain. Kegiatan yang boleh dilakukan pada Blok Perlindungan adalah kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan tanaman, pengayaan tanaman (enrichment), penangkaran, penyediaan plasma nutfah, wisata alam, penelitian dan pendidikan. Pada Blok Pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan secara tradisional berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Pada blok lainnya dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, dan wisata alam secara terbatas. Pemanfaatan kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan mengurangi luas kawasan dan fungsinya serta tidak diperbolehkan merubah bentang alam. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan hutan lindung, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan hutan lindung tidak boleh mengurangi fungsi utama kawasan. Pemanfaatan hutan lindung yang diperbolehkan meliputi budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan sarang burung walet. Pemanfaatan kawasan tidak diperbolehkan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat, membangun fasilitas permanen, dan/ atau mengganggu fungsi kawasan. Pemanfaatan jasa lingkungan yang diperbolehkan adalah wisata alam, olah raga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon, serta kegiatan penyelamatan hutan dan lingkungan. Pemetaan zonasi kawasan HLAK berarti pemetaan untuk penentuan blok pengelolaan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (P 6/2009) menyebutkan
40 bahwa pertimbangan dalam penentuan blok adalah kelestarian fungsi hutan (produksi, ekologi dan sosial). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/MenhutII/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (P 6/2010) menjadi pedoman dalam pembuatan blok kawasan hutan lindung. Pembagian blok dalam kawasan hutan lindung di dasarkan atas hasil inventarisasi potensi hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk memperoleh informasi potensi, karakteristik, bentang alam, kondisi sosial ekonomi, serta informasi lain pada wilayah kelola hutan lindung. Data dan informasi yang harus didapatkan meliputi : a) b) c) d) e) f) g) h)
Status, penggunaan, dan penutupan lahan Jenis tanah, kelerengan lapangan/ topografi Iklim Hidrologi (tata air), bentang alam dan gejala-gejala alam Kondisi sumber daya manusia dan demografi Jenis, potensi dan sebaran flora Jenis, populasi dan habitat fauna Kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.
Hasil inventarisasi tersebut kemudian dijadikan dasar dalam pembagian blok. Pada pelaksanaannya, pembagian blok dalam hutan lindung harus memperhatikan : a) Karakteristik biofisik lapangan b) Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar c) Potensi sumberdaya alam d) Keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Karakteristik HLAK adalah lahan basah. Kondisi tersebut merupakan karakteristik khas. HLAK tersusun oleh formasi hutan yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut. HLAK memiliki kawasan yang terfragmentasi oleh adanya Cengkareng Drain sehingga diperlukan langkah-langkah antisipasi munculnya gangguan akibat hal tersebut. DKP DKI (2012) menyatakan bahwa mangrove HLAK memiliki nilai strategis. Hal ini mengingat Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terbaik dan terluas di dunia. Luas hutan mangrove di dunia mencapai 17 juta hektar. Sekitar 3.7 juta hektar atau 21.8% dari luasan tersebut berada di Indonesia. Hutan mangrove Indonesia tersebar di Papua (35%), Kalimantan Timur (20.6%), Sumatera Selatan (9.6%), dan sisanya tersebar di beberapa provinsi lain (termasuk HLAK). Kondisi masyarakat sekitar kawasan hutan perlu diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam melakukan zonasi kawasan. Hal ini bertujuan untuk menentukan bagian-bagian dalam kawasan hutan yang rawan (berpotensi) pelanggaran atau yang relatif aman dari gangguan. Pelibatan partisipasi masyarakat sekitar dalam pengelolaan kawasan HLAK memerlukan penanganan khusus agar dapat dilakukan dengan efektif. Kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat patut diperhatikan. Kelembagaan masyarakat
41 meliputi norma dan perilaku, peran tokoh agama dan masyarakat, struktur masyarakat, tingkat pendidikan, profesi, dan lain-lain. 3. Pengamanan kawasan Pengamanan adalah fungsi yang melekat dalam pengelolaan kawasan hutan. Pengamanan berfungsi untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan terhadap kawasan. Pengamanan hutan adalah salah satu komponen dalam kegiatan perlindungan hutan. Perlindungan hutan seringkali mengalami banyak hambatan. Hal-hal yang berpotensi menjadi penghambat adalah : a) Nilai kawasan hutan dianggap lebih rendah bila dibandingkan dengan pemanfaatan lain HLAK berada di wilayah strategis mengingat posisinya di kawasan pesisir. Kawasan pesisir mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikembangkan sebagai pusat perekonomian. Kemudahan akses transportasi barang antar pulau dan Negara menjadikan kawasan pesisir banyak diminati. Semakin berkembangnya kawasan pantai Utara Jakarta sebagai pusat perekonomian berimbas pada meningkatnya hunian mewah yang ditawarkan oleh para pengembang perumahan. Nilai properti kawasan yang sangat tinggi menjadi ancaman serius bagi kelangsungan HLAK. Sejatinya, nilai ekologis kawasan hutan sangatlah besar. Namun demikian, hal tersebut cenderung tidak terlihat sehingga seringkali dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. b) Fungsi dan manfaat hutan yang cenderung diabaikan RTRW 2030 menempatkan HLAK sebagai kawasan hutan hutan lindung dengan fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Besaran manfaat dan fungsi hutan seringkali tidak terlihat namun dapat dirasakan pada saat terjadi kemerosotan daya dukung lingkungan. Terjadinya banjir rob tahunan, berkurangnya hasil tangkapan nelayan, dan intrusi air laut menjadi bukti nyata pentingnya manfaat kawasan HLAK dan kawasan hutan lain bagi lingkungan di sekitarnya. c) Stigma negatif bahwa menjaga hutan hanya menghabiskan anggaran Negara Selama ini, kegiatan menjaga dan melestarikan hutan dianggap sebagai penyedot anggaran Negara. Fakta tersebut sampai saat ini masih relevan bagi kawasan HLAK, walaupun tidak sedikit pula kawasan hutan yang sudah mulai produktif sebagai penambah pendapatan Negara. HLAK seharusnya bisa diberdayakan secara maksimal sehingga mampu menjadi sumber pendapatan Negara atau minimal bisa membiayai kelangsungan hidupnya. Secara garis besar, kegiatan pengaman hutan terdiri dari tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan dan pengendalian. a) Perencanaan Kegiatan perencanaan meliputi pembuatan standar operasi pelaksanaan (SOP), penyiapan personel, logistik, transportasi, dan penentuan metode pengamanan. b) Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan pengamanan dapat berupa deteksi dini terhadap potensi pelanggaran atau kegiatan penanganan perkara di lapangan. Deteksi dini dapat dilakukan dengan mendapatkan informasi dari seluruh pihak terkait. Informasi
42 dapat diperoleh melalui wawancara dengan tokoh agama dan masyarakat setempat maupun dengan mempelajari data pelanggaran sebelumnya. Deteksi dini dapat pula dilakukan dengan memetakan potensi kerawanan kawasan hutan berdasarkan lokasi, jenis gangguan dan pelaku gangguan keamanan hutan. Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan dapat dilakukan melalui penjagaan pada lokasi tertentu (pos jaga), patroli rutin, patroli insidental, maupun operasi gabungan. c) Pengawasan dan pengendalian Pengawasan dan pengendalian dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang dalam pengamanan kawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku Pengamanan kawasan secara efektif dapat dilakukan dengan pemberdayaan semua pihak, misalnya pembentukan kelompok-kelompok pengamanan dalam masyarakat. Pelibatan karang taruna, organisasi massa, dan kelompok masyarakat dapat dijadikan alternatif. Kelompok yang dilibatkan dalam kegiatan pengamanan adalah mereka yang diperkirakan mendapat manfaat dari keberadaan HLAK. Dengan demikian akan muncul rasa memiliki dan tanggung jawab kuat terhadap tugasnya. Pembentukan kelompok pengamanan didasarkan pada kontribusi HLAK terhadap daya dukung lingkungan. Perlu dipelajari kondisi lingkungan masa lalu saat HLAK masih relatif bagus dan bagaimana kondisi terkini kawasan. Langkah-langkah persuasif diperlukan agar mampu menggugah kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengamanan kawasan. Pembentukan kelompok pengamanan dapat didasarkan pada masyarakat yang mengalami intrusi air laut, masyarakat yang mengalami banjir rob tahunan, kelompok nelayan, dan lain-lain. Setiap langkah dalam pengelolaan hutan termasuk kegiatan pengamanan membutuhkan pendanaan yang cukup. Pengamanan hutan harus senantiasa dilakukan pada saat kondisi paling aman sekalipun. Prinsip dalam pengamanan hutan adalah bahwa setiap kondisi memiliki peluang yang sama untuk terjadinya pelanggaran terhadap kawasan. Pengamanan menjadi kegiatan rutin sehingga memerlukan pendanaan regular yang cukup. Keterbatasan APBN maupun APBD dapat menjadi faktor penghambat kegiatan pengamanan. Keterbatasan anggaran menyebabkan kegiatan pengamanan hutan tidak bisa dilakukan secara maksimal. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan pemanfaatan dana CSR dari swasta atau BUMN. Bentuk-bentuk CSR yang dapat dimanfaatkan, diantaranya : a) Pendanaan untuk kelompok pengamanan swakarsa dalam masyarakat b) Bantuan fasilitas pengamanan (kendaraan patroli, peralatan dan perlengkapan patroli, dan lain-lain) c) Penyelenggaraan pelatihan pengamanan kepada masyarakat maupun aparat d) Pembuatan tanda peringatan dalam kawasan hutan dan di sekitar kawasan Pemanfaatan dana CSR dapat memberikan kontribusi dalam kegiatan pengamanan kawasan hutan. Syarat lain yang harus diperhatikan adalah jangka waktu pemberian CSR. Apabila memungkinkan, kegiatan CSR dapat dijadikan semacam kontrak berjangka waktu panjang. Dengan demikian CSR dapat berfungsi sebagai pendanaan rutin (reguler) selama jangka waktu kontrak.
43 4. Perlindungan ekosistem pantai Ekosistem pantai sangat penting keberadaanya karena terletak pada peralihan ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Ekosistem pantai terdiri dari lamun, terumbu karang, mangrove dan asosiasinya, serta hutan pantai. Lamun dan terumbu karang berada di perairan laut. Mangrove berada di perairan dan daratan. Hutan pantai terletak di daratan. Perlindungan ekosistem pantai secara keseluruhan merupakan langkah perlindungan terhadap mangrove sehingga secara signifikan mampu memberikan daya dukung optimal terhadap keberadaan kawasan HLAK. Perlindungan tersebut dapat berupa pencegahan dan penanggulangan terhadap kerusakan. Ekosistem pantai harus dilindungi dari abrasi, akresi, rob, sampah, dan pencemaran. Perlindungan ekosistem pantai membutuhkan perencanaan yang cermat mengingat pantai adalah muara dari semua kegiatan dari hulu sampai hilir. Kecermatan perencanaan akan menghindarkan pantai dari kerusakan yang lebih parah. Kegiatan perlindungan pantai hendaknya dilakukan dengan pertimbangan matang agar tidak menimbulkan masalah baru bagi kawasan HLAK. Perlindungan pantai dari abrasi dapat dilakukan dengan teknik sand nourishment dan breakwater (Triatmodjo 1999). Perlindungan pantai dari sampah dan pencemaran cenderung lebih sulit dilakukan. Hal ini karena menyelesaikan masalah sampah dan pencemaran berarti menyelesaikan masalah yang terjadi dari hulu sampai hilir. Namun demikian, langkah sederhana yang dapat diambil adalah dengan pemasangan jaring perangkap sampah pada setiap saluran air yang menuju kawasan. Langkah ini tentu saja tidak serta merta menyelesaikan masalah, namun diharapkan dapat mengurangi pengaruh sampah yang menuju kawasan. Sedangkan masalah pencemaran memerlukan langkah yang lebih besar, yaitu berkoordinasi dengan seluruh pihak terkait. Pemilihan teknik perlindungan pantai hendaknya dilakukan melalui penelitian lebih lanjut sebelum menentukan metode terpilih. Kegiatan perlindungan ekosistem pantai tidak boleh memberikan dampak negatif bagi mangrove. Rehabilitasi ekosistem pantai harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati setempat. Hal tersebut sejalan dengan UU 27/2007 yang menyatakan bahwa rehabilitasi pantai harus dilakukan dengan cara pengayaan sumberdaya hayati, perbaikan habitat, perlindungan spesies biota laut agar berkembang secara alami, dan ramah lingkungan. 5. Kolaborasi pengelolaan HLAK Peran serta stakeholder berarti partisipasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan kawasan. Kolaborasi pengelolaan diperlukan agar tercipta sistem dan kelembagaan yang seimbang dan saling mendukung dalam menjaga HLAK. Seimbang berarti proporsional sesuai dengan kekuatan, peran, dan fungsi setiap stakeholder. Prinsip kolaborasi pengelolaan hutan dapat merujuk kepada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (P 19/2004). Kolaborasi harus dipahami sebagai kerjasama dan kesepakatan antar
44 stakeholder yang dilandasi prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya dan saling memberikan kemanfaatan. Kolaborasi berarti memenuhi dan saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal terpenting dalam kolaborasi adalah adanya kesamaan dalam tujuan. Tujuan yang sama akan mempermudah penyatuan harapan masingmasing pihak atas HLAK. Kesamaan tujuan memberi arah pasti terhadap pengelolaan kawasan. Langkah selanjutnya terletak pada bagaimana cara mencapai tujuan dan peran apa yang akan dilakukan oleh masing-masing komponen dalam pengelolaan kawasan. Pembagian peran dengan tepat sesuai dengan kapasitas dan kemampuan akan menjamin efektivitas pengelolaan. Kolaborasi merupakan bentuk kemitraan antar stakeholder dalam mencapai tujuan bersama. Berbagai elemen dalam kemitraan perlu diperhatikan agar memperbesar peluang kesuksesan. Mitchell et al. (2000) menyebutkan beberapa elemen kesuksesan dalam kemitraan, yaitu : a) Kecocokan antar stakeholder Kecocokan merupakan faktor penting untuk menyatukan energi bersama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Kecocokan dilakukan atas dasar penghargaan dan perbedaan sumberdaya serta kapasitas masing-masing. b) Keuntungan bersama Kolaborasi berarti adanya jaminan keuntungan atau manfaat yang dapat dirasakan oleh semua pihak. Adanya jaminan manfaat yang diperoleh akan melangengkan kerjasama antar pihak terkait. c) Keseimbangan peran dan tanggung jawab Keseimbangan peran dan tanggungjawab merupakan bentuk keadilan. Adil yang dimaksud adalah bahwa masing-masing stakeholder berperan dan bertanggungjawab sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Dalam suatu kolaborasi, peran masing-masing pihak adalah sama pentingnya. Pada kondisi demikian tidak dibenarkan adanya salah satu pihak yang merasa lebih berperan dan lebih penting dibanding dengan pihak lain. d) Komunikasi Komunikasi adalah sarana bagi semua pihak terkait dalam membangun citacita bersama dan dalam penyelesaian konflik. Komunikasi berarti pula adanya sikap saling terbuka antar pihak sehingga tidak ada kesalahpahaman yang berpotensi merusak kolaborasi. e) Penyesuaian Penyesuaian adalah bentuk fleksibilitas antar stakeholder dalam menghadapi perkembangan atau perubahan situasi dalam pengelolaan kawasan. Perubahan situasi sangat dimungkinkan terjadi karena adanya dinamika sosial kemasyarakatan, perubahan regulasi, dan lain-lain. f) Integritas Integritas adalah wujud dari komitmen yang kuat dari semua pihak dalam menjalin kemitraan. Integritas diperlukan karena selama berjalannya waktu, banyak sekali tantangan berupa dinamika lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dapat berubah setiap saat. Peran dan fungsi stakeholder dapat dikelompokkan sebagai inisiator, fasilitator, dan pendamping. Kolaborasi merupakan bentuk kemitraan yang di
45 dalamnya terdapat pembagian kontribusi masing-masing pihak sesuai dengan sumberdaya dan kapasitasnya. Kontribusi masing-masing pihak dapat berbentuk sumberdaya manusia, fasilitas pendukung, data dan informasi, atau bentuk-bentuk lain sesuai dengan kesepakatan bersama. Kolaborasi stakeholder dalam pengelolaan kawasan HLAK dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut : a) Pembentukan kelembagaan kolaborasi. Kelembagaan kolaborasi mencakup segala hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan kata lain, tahap ini adalah menentukan peran dan tanggungjawab masing-masing. b) Penyusunan rencana kegiatan dalam jangka waktu tertentu. Tahap ini diperlukan agar setiap langkah yang dilakukan adalah hasil perencanaan dan kesepakatan bersama. c) Pelaksanaan kegiatan sesuai perencanaan. Pelaksanaan merupakan tahap realisasi perencanaan. Pada saat tersebut dapat diketahui bagaimana proses perencanaan dapat diimplementasikan. Pada tahap ini akan ditemui berbagai permasalahan maupun hambatan. d) Monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini dilakukan setiap periode tertentu sesuai kesepakatan. Hasil dari kegiatan ini adalah mengetahui pencapaian hasil kolaborasi. Tahap ini juga menjadi sarana untuk saling belajar dan memberi masukan dalam rangka peningkatan efektifitas kolaborasi. 6. Publikasi dan Promosi HLAK HLAK memiliki posisi penting dalam memberikan daya dukung bagi kehidupan sehingga perlu diperkenalkan secara lebih intensif. Apabila kondisi HLAK saat ini masih belum sesuai harapan, sangat dimungkinkan salah satu faktor yang mendasari adalah ketidaktahuan masyarakat tentang HLAK. Apa dan bagaimana peranan penting HLAK dalam mendukung kehidupan masyarakat sekitar perlu sesering mungkin diperkenalkan. HLAK mempunyai potensi untuk diperkenalkan sebagai salah satu icon Jakarta. Statusnya sebagai kota metropolitan akan semakin bernilai dengan keberadaan hutan lindung yang dipertahankan. Jakarta dapat membidik HLAK sebagai media meningkatkan citra positifnya terhadap lingkungan. Jakarta tidak hanya tergambar dari kemacetan, kekumuhan, banjir, dan polusi. Jakarta memiliki sisi lain, kota yang ramah dan peduli lingkungan. Isu lingkungan yang semakin memojokkan Jakarta dapat dikurangi dengan hal tersebut. Tingginya minat stakeholder terhadap HLAK dapat digunakan sebagai alat publikasi dan promosi. HLAK belum banyak dipublikasikan. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menambah expose HLAK melalui kegiatan-kegiatan dengan HLAK sebagai centre of interest-nya. Publikasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membuat berita berkaitan dengan pengelolaan HLAK. Promosi diartikan sebagai kegiatan atau cara untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan bahan publikasi HLAK kepada khalayak ramai. Publikasi dan promosi adalah memperkenalkan kegiatan, produk, atau jasa kepada masyarakat. Publikasi dan promosi berperan penting dalam menciptakan citra positif masyarakat terhadap suatu kegiatan, produk, dan jasa
46 lingkungan HLAK. Dalam kegiatan promosi harus diperhatikan hal-hal penting, diantaranya : a) Sasaran publikasi dan promosi HLAK Identifikasi sasaran publikasi dan promosi sangat penting untuk diperhatikan. Sasaran kegiatan dapat dikelompokkan dalam segmentasi tertentu, misalnya masyarakat, swasta, instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD. Identifikasi bertujuan untuk mengenali latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Identifikasi sasaran kegiatan berhubungan dengan pesan dan struktur bahasa yang akan disampaikan dalam materi publikasi. Kesalahan pesan dan struktur bahasa dapat berakibat tidak efektifnya publikasi dan promosi. Misalnya, untuk sasaran masyarakat hendaknya menggunakan pesan sederhana dan bahasa yang mudah dipahami. Sedangkan sasaran swasta hendaknya menggunakan pesan dan bahasa yang bisa menjual potensi HLAK. Selain itu, identifikasi sasaran juga berhubungan dengan media yang dipilih. Saat ini semakin banyak pilihan yang ditawarkan untuk publikasi dan promosi. Media televisi cocok diterapkan hampir untuk semua kalangan. Media internet (website, jejaring sosial, dan blog) cocok diterapkan pada sasaran kaum muda. Pemilihan media yang tepat akan menentukan keberhasilan dan efektifitas publikasi dan promosi. b) Pelaksana publikasi dan promosi (komunikator) Komunikator harus disesuaikan dengan kondisi terbaru (trend) dalam masyarakat. Mengikuti trend menjadi pilihan cerdas dalam berpromosi. Trend cenderung berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Komunikator bisa dari kalangan artis, atlet, pejabat publik, masyarakat, pelajar, dan lain-lain. Komunikator hendaknya personal atau kelompok yang memiliki citra positif di mata publik baik saat ini maupun di masa lalu. Publik cenderung tertarik pada komunikator bercitra positif daripada yang bercitra negatif. Dalam banyak kasus, komunikator adalah hal pertama yang menjadi pertimbangan sedangkan materi publikasi menjadi hal selanjutnya. c) Pendanaan Pendanaan menjadi faktor penting dalam publikasi dan promosi. Pendanaan seringkali menjadi faktor pembatas dalam penentuan sasaran, media, dan komunikator. Ketersediaan pendanaan hendaknya mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan ketepatan pemilihan sasaran, media, dan komunikator. Beberapa kegiatan publikasi dan promosi yang dapat dilakukan untuk HLAK adalah : a) Jumpa pers mengenai kegiatan-kegiatan yang pernah, sedang, dan akan dilakukan dalam rangka pengelolaan HLAK b) Sosialisasi tentang manfaat dan fungsi HLAK melalui surat kabar, televisi, media sosial, pamflet, brosur, internet, dan media lain c) Talk show rutin bekerjasama dengan televisi atau radio d) Iklan di media massa Pemilihan teknik, media, dan komunikator publikasi dan promosi menjadi kunci sukses dalam pengenalan HLAK kepada publik. Keberhasilan publikasi dan promosi dapat dilihat dari peningkatan kunjungan masyarakat ke HLAK,
47 antusiasme partisipasi masyarakat dalam pengelolaan HLAK, dan meningkatnya minat stakeholder terhadap HLAK. 7. Pendanaan reguler dan tahun jamak Pendanaan merupakan salah faktor penting dan kerap menjadi penentu keberhasilan suatu kegiatan. Semua aspek kegiatan memerlukan pendanaan yang memadai. Lazimnya kegiatan yang didanai oleh pemerintah, pendanaan seringkali menjadi faktor penghambat. Pendanaan yang minim dapat diatasi apabila pengelola mampu memanfaatkan peluang secara maksimal. Peluang tersebut dapat berupa kerjasama penelitian dengan lembaga pendidikan, dana CSR dari swasta dan BUMN, serta dana hibah dari LSM lokal maupun internasional. Kerjasama-kerjasama tersebut hendaknya dilakukan secara regular. Regular berarti rutin setiap tahun untuk menjamin efektivitas kegiatan pengelolaan. Selain itu, dalam pendanaan terutama melalui APBD diusahakan untuk periode tahun jamak sehingga memungkinkan kegiatan pengelolaan yang berkesinambungan. Kesinambungan pengelolaan akan memberi dampak posisif pada kelestarian kawasan. Pendanaan pengelolaan HLAK dapat ditempuh dengan langkah teknis berikut : a) Identifikasi sumber pendanaan Sumber pendanaan dapat berasal dari anggaran Negara (APBN dan APBD), CSR, hibah, dan pinjaman. Pendanaan dari APBN dan APBD seringkali belum mampu mendukung kebutuhan pengelolaan kawasan secara maksimal sehingga diperlukan sumber-sumber lain. CSR dan dana hibah internasional dapat digunakan untuk membantu dalam kegiatan pengelolaan HLAK. b) Pelaksanaan pencarian dana Pada tahap ini dilakukan pemilihan sumber pendanaan yang paling potensial dan mudah untuk didapatkan. Pemanfaatan CSR dan hibah menjadi pilihan yang paling rasional dan menguntungkan bagi HLAK. Sedangkan pinjaman merupakan pilihan yang lebih baik dihindari. Banyak pihak yang berminat terhadap kawasan mangrove di Jakarta, diantaranya BNI 46, AEON, Rumah Sakit PIK, Garuda Indonesia, PT Gas Negara, PT Antam, Bank ANZ, Bank Mandiri. Pada kenyataanya, sebagian besar kegiatan CSR dilakukan di luar kawasan HLAK. Namun demikian, partisipasi pihak-pihak tersebut pada masa mendatang dapat dialihkan ke HLAK baik dalam bentuk partisipasi yang sama maupun bentuk CSR lain. c) Kontrak kerjasama pendanaan Kontrak kerjasama pendanaan pengelolaan HLAK diusahakan berdurasi waktu lama dan bernilai besar. Kontrak yang demikian dapat terlaksana apabila donatur dapat diyakinkan mengenai potensi penting HLAK bagi lingkungan. Selain itu, asas saling menguntungkan harus mendasari kerjasama. Artinya, perlu diyakinkan bahwa dengan ikut berpartisipasi dalam mengelola HLAK maka donator akan mendapat manfaat baik dari aspek finansial atau citra positif di masyarakat. d) Evaluasi kerjasama pendanaan Evaluasi dilakukan untuk meninjau ulang efektivitas kerjasama. Evaluasi memungkinkan adanya perubahan kontrak kerjasama yang telah disepakati
48 sebelumnya. Evaluasi juga dilakukan untuk memastikan semua pihak yang terlibat mendapat kesetaraan hak dan kewajibannya. 8. Pendidikan lingkungan, penyuluhan, dan penegakan hukum Sikap dan perilaku masyarakat yang belum sadar lingkungan dapat membawa dampak negatif. Sikap dan perilaku masyarakat adalah buah dari kebiasaan yang telah dilakukan dalam periode waktu lama sehingga dianggap sebagai hal lumrah. Kebiasaan negatif akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Kerusakan lingkungan dirasakan masyarakat dalam bentuk intrusi air laut ke dalam air sumur, penyakit akibat sampah dan pencemaran, serta rob. Memburuknya kondisi lingkungan masyarakat sekitar HLAK dan Teluk Jakarta pada umumnya tidak terlepas dari pola hidup tidak sehat berupa membuang sampah di sungai, kegiatan mandi-cuci-kakus (MCK) di sungai, menebang mangrove, dan lain-lain. Perbaikan kualitas lingkungan tidak bisa dilepaskan dari perbaikan sikap dan perilaku masyarakat. Pendidikan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan dalam usaha memperbaiki sikap dan perilaku. Secara spesifik, pendidikan lingkungan adalah solusi. Pendidikan lingkungan harus dilakukan sedini mungkin. Anak-anak harus dibidik sebagai target dalam pendidikan lingkungan. Fase anak-anak adalah masa perekaman dan pembelajaran yang efektif. Anak-anak sangat mudah menerima masukan dari lingkungan di sekitarnya. Masukan positif berupa kesadaran lingkungan akan menjadi modal untuk perubahan besar dalam masyarakat. Pendidikan lingkungan dapat dijadikan muatan lokal pelajaran di sekolah. Masyarakat dengan kebiasaan tertentu (negatif) akan sulit untuk beralih pada kebiasaan baru (positif). Merubah kebiasaan berarti merubah pemahaman dan wawasan. Perubahan membutuhkan waktu yang lama dan kerja keras. Perubahan lingkungan tidak bisa dilakukan serta merta, butuh proses yang panjang, keterlibatan semua pihak, dan keseriusan dalam melakukannya. Merubah pemahaman lingkungan dapat dilakukan melalui penyuluhan terhadap masyarakat. Penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan dengan frekuensi tinggi. Pendidikan lingkungan dan penyuluhan dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi CSR. Ambadar (2008) menyatakan bahwa bentuk CSR yang paling sering dilakukan di Indonesia adalah community development (comdev). Pada pelaksanaannya, comdev cenderung dilakukan dengan konsep filantropi yang lebih bersifat doing good to look good dan bersifat ad hoc. Namun demikian, CSR bersifat ad hoc sudah mulai ditinggalkan seiring dengan tumbuhnya kesadaran bahwa tujuan CSR harus ditetapkan sejak awal. Salah satu tujuan pentingnya adalah ikut menanggulangi permasalahan sosial dan lingkungan. Berdasarkan pada perkembangan pelaksanaan CSR tersebut, maka bentukbentuk CSR yang dapat dimanfaatkan harus berorientasi pada jangka panjang dan dengan perencanaan matang. Pemanfaatan CSR dapat berupa : a) b) c) d) e)
Sumbangan buku bertemakan pendidikan lingkungan kepada sekolah Pendirian perpustakaan kelurahan Pendirian sanggar belajar Pembuatan papan edukasi dan peringatan di dalam kawasan HLAK Pelatihan pemanfaatan barang bekas
49 f) Kegiatan lain sebagai dukungan terhadap pendidikan lingkungan dan penyuluhan Kasus-kasus perusakan lingkungan dapat dikenai sanksi hukum. Penegakan hukum adalah upaya mengawal agar segala sesuatu berjalan sesuai harapan. Penegakan hukum merupakan suatu bentuk punishment terhadap segala pelanggaran yang terjadi. Penegakan hukum yang baik haruslah adil terhadap siapapun. Siapa yang melanggar maka akan dihukum. Keadilan penegakan hukum akan mendorong terciptanya tata kehidupan masyarakat yang baik. Namun demikian, penegakan hukum yang baik hendaknya diikuti pula oleh adanya reward (penghargaan). Penghargaan merupakan bentuk apresiasi terhadap masyarakat yang sudah berpartisipasi dalam kegiatan penyelamatan lingkungan. Mekanisme reward and punishment berpotensi menjamin rasa keadilan masyarakat. Ketika berbuat baik dihargai, namun ketika melanggar akan diberi hukuman. Implementasi Strategi Strategi pengelolaan HLAK disusun sebagai arahan pengelola kawasan dalam menentukan prioritas kegiatan. Berbagai macam permasalahan pengelolaan HLAK tidak mungkin dapat diselesaikan secara bersama-sama dan tuntas dalam jangka pendek. Permasalahan berkenaan dengan HLAK memerlukan penanganan serius dan waktu yang panjang untuk diselesaikan. Keterbatasan sumberdaya manusia, pendanaan, fasilitas pendukung menjadi hambatan dalam pengelolaan HLAK. Prioritas strategi menjadi gambaran langkah solusi. Prioritas strategi berusaha memberikan fokus pengelolaan yang dapat ditempuh dalam jangka pendek untuk menuju tujuan besar selanjutnya. Berbagai alternatif strategi dan prioritasnya bukan menjadi hal baku, melainkan bersifat rekomendasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah atas kondisi yang dihadapi saat ini. Pada prakteknya, setiap strategi dapat dilakukan secara bersama-sama karena terdapat keterkaitan satu sama lain. Pertimbangan ilmiah berupa perumusan strategi dimaksudkan untuk memberi solusi atas berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh pemegang otoritas dalam mengelola kawasan HLAK.
50
SIMPULAN Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa : 1. Hutan Lindung Angke Kapuk belum mendapatkan manfaat optimal dari kekuatan dan peluang yang dimilikinya, sebaliknya kelemahan dan ancaman lebih berpengaruh terhadap kondisi kawasan. Hutan Lindung Angke Kapuk sangat rentan terhadap ancaman yang dihadapi dan masih lemah dalam menghadapi menghadapi dinamika lingkungan eksternal. 2. Stakeholder HLAK dapat dibedakan perannya menjadi empat kategori. a. Player : Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Entitas PIK, PT Murindra Karya Lestari, PT Kapuk Naga Indah, dan masyarakat. b. Actor : Lembaga Swadaya Masyarakat c. Bystander : Badan Usaha Milik Negara dan kelompok swasta lain. d. Subject : Akademisi 3. Hutan Lindung Angke Kapuk dapat dikelola melalui delapan strategi pengelolaan, dengan urutan prioritas sebagai berikut : a. Rehabilitasi ekosistem mangrove b. Pemetaan zonasi pengelolaan kawasan c. Pengamanan kawasan d. Perlindungan ekosistem pantai e. Kolaborasi pengelolaan HLAK f. Publikasi dan promosi HLAK g. Pendanaan reguler dan tahun jamak h. Pendidikan lingkungan, penyuluhan, dan penegakan hukum
DAFTAR PUSTAKA Abbas R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani [disertasi]. Bogor(ID). Institut Pertanian Bogor. Abidin HZ, Andreas H, Hutasoit L, Fukuda Y, Deguchi T. 2008. Penurunan Tanah di Cekungan Jakarta : Karakteristik dan Dampaknya. Prosiding IAGI 2008: 2008-IAGI37-LK020. [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh 2014 Juli 15]. Tersedia pada: http://www.iagi.or.id/paper/penurunan-tanah-di-cekungan-jakarta-karateristikdan-dampaknya Alexander HB. 2013 Oktober 29. Kepala Naga Itu Bergerak ke Barat Jakarta. Kompas. Rubrik Kawasan. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia pada: http://properti.kompas.com/read/2013/10/29/1212242/.Kepala.Naga. Itu.Bergerak.ke.Barat.Jakarta Ambadar J. 2008. CSR dalam Praktik di Indonesia: Wujud Kepedulian Dunia Usaha. Jakarta(ID) : PT. Elexmedia Komputindo.
51 Astuti S, Utami T, Yodhakersa W. 2010. Investigasi Dampak Kenaikan Air Laut di Kota Jakarta. Proceeding : Studi Dampak Timbal Balik Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh 2014 Juli 14]. Tersedia pada: http://sim.nilim.go.jp/GE/SURVEY2/H12%E5%A0%B1%E5%91%8A/Jakart a.doc [BI] Bank Indonesia. 2013. Laporan Perkembangan Pasar Properti Residensial di Pasar Sekunder Jakarta - Triwulan III/2013. Internet]. [diunduh 2014 April 15]. Tersedia pada: http://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/harga-propertisekunder/ Documents/shpr-sekunder-tw3.pdf [BPDASCTW] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2007. Laporan Penyusunan Urutan Prioritas DAS di BPDAS Citarum-Ciliwung. Bogor(ID) : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. [BPLHD DKI Jakarta] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta. 2012. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011. Jakarta(ID): Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Brown B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi Mangrove : Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hidrologi Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. [Internet]. [diunduh 2014 Juni 13]. Tersedia pada: http://mangroveactionproject.org/wp-content/uploads/2013/08/emr-reportindonesia.pdf [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. SNI 7896:2013 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Lestari. [Internet]. [diunduh 2014 Juni 9]. Tersedia pada: http://staneclime.org/uploads/attach/SNI_7896-2013.pdf Budiarto H. 2013 Juli 9. Kepala Naga: Mitos Dalam Pemasaran Properti. Yahoo News Indonesia. Rubrik Nasional. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia https://id.berita.yahoo.com/kepala-naga-mitos-dalam-pemasaranpada: properti-023556230.html Cappenberg HAW. 2008. Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau (Perna viridis Linn. 1758). Oseana. 33(l): 33-40. Crosby BL. 1992. Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 2]. Tersedia pada: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/pnabr482.pdf David ME, David FR, David FR. 2009. The Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) Applied to a Retail Computer Store. The Coastal Business Journal. 8(1). [Internet]. [diunduh 2014 Mei 14]. Tersedia pada: http://strategyclub.com/CBJ%20Article.pdf [DKP DKI] Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2011. Informasi Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Jakarta (ID): Bidang Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. [DKP DKI] Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2012. Informasi Kehutanan DKI Jakarta. [Internet]. [diunduh 2014 Juni 20]. Tersedia pada: http://dkpjakarta.web.id/index.php/site-map/articles/80informasi/potensi.
52 Ferrel OC, Hartline. 2008. Marketing Management Strategies. [Internet]. [diunduh 2013 Desember 2]. Tersedia pada : http://www.cengagebrain.co.uk/ content/ 9781133719915.pdf Ginoga KL. 2009. Sintesis Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Hutan Lindung [Internet]. [diunduh 2012 September 12]. Tersedia pada : http://puslitsosekhut.web.id/program.php?id=42 Golder B, WWF-US, Gawler M, ARTEMIS Services. 2005. Cross-Cutting Tool Stakeholder Analysis [Internet]. [diunduh 2013 Desember 2]. Tersedia pada : http: // assets.panda.org/downloads/1_1_ stakeholder _analysis _11_01_05.pdf Hovland I. 2005. Successful Communication A Toolkit for Researchers and Civil Society Organisations. Research and Policy in Development Programme Overseas Development Institute. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 21] Tersedia pada: http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publicationsopinion-files/192.pdf [Kemen ESDM] Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2013. Amblesan Tanah di DKI Jakarta Rata-rata 5 cm per tahun. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 15]. Tersedia pada: http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42-geologi/6611amblesan-tanah-dki-jakarta-rata--rata-5-cm-per-tahun.html [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta(ID): Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Kompas. 2010 September 28. Jakarta Terancam Tenggelam Intrusi Makin Mengancam. Kompas. Rubrik News/Megapolitan. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 23]. Tersedia pada: http://megapolitan.kompas.com/read/ 2010/09/28/11105282/Intrusi.Makin.Mengancam Kurniawati T, Sari DK. 2009. Analisis dan Pilihan Strategi: Membangun Esksistensi Perusahaan di Masa Krisis. Jurnal Ekonomi Bisnis. 14(3) Kusmana C. 2007. Konsep Pengelolaan Mangrove yang Rasional. [diunduh 2014 Maret 18]. Tersedia pada : http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/ 2011/01/2010-paper-konsep-pengelolaan-mangrove-yang-rasional.pdf Kusmana C, Istomo, Purwanegara T. 2010. Penerapan Teknik Guludan dalam Penanaman Mangrove pada Lahan yang Terendam Air Masin yang Dalam. Research Abstract. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 19]. Tersedia pada : http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/hasilcari&status=bu ka&id_haslit=HIKOM/004.10/KUS/p Lestari E. 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-ikan di Teluk Jakarta). Makara Sains. 8(2): 52-58 Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Jogjakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Nelwan. 2014 Mei 7. Butuh Rp 1,15 Triliun untuk Bikin Sabuk Pantai Tanggulangi Rob. Tribun Jateng. Rubrik Liputan Khusus. [Internet]. [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia pada : http://jateng.tribunnews.com/2014/05/07/butuhrp-115-triliun-untuk-bikin-sabuk-pantai-tanggulangi-rob Nurhayati S. 2008. Pendekatan QSPM sebagai Dasar Perumusan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Batang Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9(1): 72-82.
53 Onrizal, Rugayah, Suhardjono. 2004. Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk (Floristics of mangrove tree species in Angke-Kapuk Protected Forest). Biodiversitas. 6(1):34-39. Purwanto I. 2008. Manajemen Strategi. Bandung(ID): CV. Rama Widya. Race D, Millar J. 2006. Training Manual: Sosial and community dimensions of ACIAR Projects [Internet]. [diunduh 2013 Desember 2]. Tersedia pada : http://aciar.gov.au/files/node/7332/Social.pdf Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta(ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Rohdewohld R, Poppe M. 2005. Module B: Methods and Instruments for the Capacity Building Cycle (Toolkit). Jakarta(ID): Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia - Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH (GTZ-SfDM Report 2005-3). Santoso N. 2011. Arahan Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan Di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta [disertasi]. Bogor(ID). Institut Pertanian Bogor. Sarkis J. 2003. Quantitative Models for Performance Measurement Systems Alternate Considerations (Quantitative Strategic Planning Matrix/QSPM). International Journal of Production Economics. 86. Simon H. 2000. Tema Utama: Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan. Jurnal PSDA. 1(1). Start D, Hovland I. 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers. Research and Policy in Development Programme - Overseas Development Institute. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 21] Tersedia pada : http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinionfiles/194.pdf Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta : Beta Offset Umar H. 2008. Manajemen Strategi in Action. Jakarta(ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
54
LAMPIRAN Lampiran 1 Penilaian Kepentingan Stakeholder HLAK Pertanyaan
Jawaban
1
Nilai 2 3 4 5
1
Nilai 2 3 4
Apakah HLAK penting bagi anda (organisasi)? Bagaimana seharusnya HLAK dikelola? Apa manfaat langsung yang diperoleh dari keberadaan HLAK? Apa manfaat tidak langsung yang diperoleh dari keberadaan HLAK? Apa motivasi yang melatarbelakangi keterlibatan dalam pengelolaan HLAK? Total Nilai Keterangan : 1 : rendah 2 : kurang 3 : cukup 4 : tinggi 5 : sangat tinggi Lampiran 2 Penilaian Pengaruh Stakeholder HLAK Pertanyaan Apa bentuk keterlibatan dalam pengelolaan HLAK? Apa peran organisasi terkait pengambilan keputusan dalam pengelolaan HLAK? Apa tupoksi organisasi berhubungan dengan HLAK? Apa pengaruh tindakan anda (organisasi) terhadap orang (organisasi) lain? Apa hubungan anda (organisasi) terhadap orang (organisasi) lain? Total Nilai Keterangan : 1 : rendah 2 : kurang 3 : cukup 4 : tinggi 5 : sangat tinggi
Jawaban
5
Lampiran 3 Rekapitulasi Hasil Quantitative Strategic Planning Matrix HLAK
55
56
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banyumas, 1 September 1979. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Miswan dan Sutirah. Jenjang SD-SMP dihabiskan di Banyumas. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMU Negeri I Purwokerto tahun 1995-1998. Setahun setelah lulus, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Masa pendidikan sarjana ditempuh selama 5 tahun (1999-2004). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Kehutanan (2005-sekarang). Selama karirnya, penulis tercatat sebagai Widyaiswara Pertama (2008-2010). Pada September 2010, penulis diangkat menjadi Widyaiswara Muda. Pada tahun yang sama pula kemudian ditugaskan sebagai karyasiswa Program Magister Kementerian Kehutanan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2014 penulis berhasil menyelesaikan studi dengan Tesis berjudul “Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk”. Hasil tesis diterbitkan dalam Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan judul yang sama.