PERTUMBUHAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora mucronata) PADA LAHAN RESTORASI MANGROVE DI HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK PROVINSI DKI JAKARTA
CANDRA SYAH
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pertumbuhan Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) Pada Lahan Restorasi Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan,MS. dan Ir.Agus Priyono,MS. belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Candra Syah E051060451
ABSTRACT The topic research the growth of Rhizophora mucronata in land restoration of mangrove in Angke Kapuk Forest, Jakarta Province. Research objectives include: (1) determine the level of plant growth mangrove species (Rhizophora mucronata), (2) knowing the data and information characteristics of the site and its environment. The average plant height 60.388 to 147.496 and the average diameter of 2.435 cm to 6.196 cm. The average height increment of the largest found in the sub-station 1 (2.2307) significantly different from the other seven sub-stations. Average high accretion smallest sub-stations located on seven (0.1853 cm) and sub-station (0.1373cm). The average increment of the largest diameter found in the sub-station 1 (0.0591 cm) and 2 (0.0599) significantly different from the other seven sub-stations. Average height increments are the smallest sub-station at 5 (0334 cm) and sub-stations 7 (0.0334 cm), and sub research 8 (0.0334 cm). Caution exchange capacity (CEC), the highest CEC is in the sub-station 2 (31.55 me/100 g) and lowest in the sub-station CEC 4 (22.94 me/100g). CEC on the sub-station 4 is low because the dry soil conditions and tidal irregular. (Keywords: Mangrove, Rhizophora mucronata, restoration, Growth)
iii
RINGKASAN Hutan lindung di Angke Kapuk adalah satu kawasan konservasi formal yang dimiliki oleh DKI Jakarta di wilayah. Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No. 08/KPPS/VII-4/94 bahwa luas hutan lindung di kawasan Muara Angke adalah 44,76 ha. Kawasan hutan lindung tersebut terbentang mulai dari hutan wisata Kamal sampai dengan batas cagar alam Muara Angke, yang secara geografis terletak antara 6º05’-6º10’ LS dan 106º43’-106º48’ BT. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Ekosistem mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Menipisnya ekosistem mangrove merupakan masalah yang serius. Oleh karena kegiatan restorasi diperlukan untuk memperbaiki ekosistem mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk. Kegiatan restorasi mengrove ini dilakukan sejak tahun 2007 sampai 2009. Namun belum ada kegiatan untuk mengetahui tingkat keberhasilan teknik rehabilitasi pada kawasan restorasi. Dengan dasar tersebut penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pertumbuhan tanaman jenis bakau (Rhizophora mucronata) yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan dan keberhasilan kegiatan penyelamatan hutan mangrove, Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi terbesar terdapat pada sub stasiun 1 (2.2307) berbeda nyata dengan tujuh sub stasiun lainnya. rata-rata pertambahan tinggi terkecil terdapat pada sub stasiun 7 (0.1853 cm) dan sub stasiun 8 (0.1373 cm ). Rata-rata pertambahan diameter terbesar terdapat pada sub stasiun 1 (0.0591 cm) dan 2 (0.0599) berbeda nyata dengan tujuh sub stasiun lainnya. rata-rata pertambahan tinggi terkecil terdapat pada sub stasiun 5 (0334 cm) dan sub stasiun 7 (0.0334 cm), dan sub penelitian 8 (0.0334 cm) . Hasil pertumbuhan Sub stasiun 1 memiliki nilai berdekatan dengan stasiun 2 hal ini menandakan bahwa sifat fisik dan kimia tanah pada kedua sub stasiun tersebut mempunyai kemiripan dan merupakan di tanam pada tahun yang sama (umur tanaman 16 tahun). Namun pada Sub stasiun 2 dan sub stasiun 3 memiliki perbedaan, sub stasiun 2 lebih dipengaruhi lebih nyata oleh debu dan KTK, sedangkan sub stasiun 3 kondisi tempat tumbuh dipengaruhi lebih nyata oleh pH, K, P dan salinitas. (Kata Kunci : Mangrove, Rhizophora mucronata, Restorasi, pertumbuhan)
iv
© Hak cipta milik Candra Syah, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya
v
PERTUMBUHAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora mucronata) PADA LAHAN RESTORASI MANGROVE DI HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK PROVINSI DKI JAKARTA
CANDRA SYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magistar Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
vii
Judul Penelitian
:
Pertumbuhan Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) Pada Lahan Restorasi Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta.
Nama
: Candra Syah
NRP
: E051060451
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS. Ketua
Ir.Agus Priyono, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Fauzi Febrianto,MS.
Dr.Ir.Dahrul Syah,M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 1 Agustus 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Bismillahrirrahmannirrahim Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas Berkat, Kasih dan Perlindungan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan Judul : Pertumbuhan Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) Pada Lahan Restorasi Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta. Sesuai harapan penulis sebagai salah satu syarat mencapai gelar Magister Sains di Institut Pertanian Bogor. Pertama-tama penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1) Bapak Prof. Dr.Ir. Andry Indrawan, MS. selaku pembimbing utama, dan 2) Bapak Ir. Agus Priyono, MS. selaku pembimbing kedua, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan juga kepada : 1. Bapak Dosen Penguji Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat,MS. yang telah bersedia menjadi tim penguji. 2. Orang tua (H. Kasmina dan Hj. Saemi) serta family yang telah turut mendoakan. 3. Keluarga tercinta Aji Prihastuti,S.Pi. (Istri) dan Agha Banin Candra (Putra) untuk doa dan dorongan semangat. 4. Teman-teman yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian di lapangan dan diskusi secara aktif dalam menyempurnakan karya ilmiah ini tak lupa juga diucapkan terima kasih. Atas partisipasi, bantuan dan dukungan dari semua pihak dalam penyelesaian karya ini, tak lupa diucapkan terima kasih.
Bogor, Juli 2011 Candra Syah
ix
RIWAYAT HIDUP Candra Syah dilahirkan di Cirebon (Jawa Barat) pada tanggal 17 Januari 1979 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri Setia Bakti (1985-1991). Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Cirebon pada tahun 1991-1994, dan pada tahun 1994-1997 dilanjutkan di SMU Negeri 1 Cirebon. Selanjutnya penulis diterima di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada tahun 1998, dan lulus pada tahun 2003. Selama di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA), Kelompok Pemerhati Burung (KPB-IPB). Sejak Tahun 2003-2010 Penulis bekerja di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove) di Bogor. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK-IPB). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul” Pertumbuhan Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) Pada Lahan Restorasi mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta.
ix
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT .......................................................................................................... ii PRAKATA ............................................................................................................. v DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Perumusan Permasalahan ................................................................................. 2 Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 2 Pendekatan Teori .............................................................................................. 2 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 5 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7 Ekosistem Hutan Mangrove ............................................................................. 7 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove ....................................................... 7 Zonasi Hutan Mangrove ........................................................................... 7 Habitat ....................................................................................................... 8 Klasifikasi Tempat Tumbuh ..................................................................... 8 Adaptasi Flora Mangrove ....................................................................... 10 Faktor-faktor Lingkungan Mangrove ..................................................... 13 Pertumbuhan Mangrove Jenis Bakau (Rhizophora mucronata) ............. 17 Budidaya Tumbuhan Bakau (Rhizophora mucronata) .......................... 19 Kondisi Lingkungan Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk ......... 24
x
METODOLOGI PENELITIAN......................................................................... 27 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................... 27 Bahan dan Alat ............................................................................................... 27 Tahapan Penelitian ......................................................................................... 27 Studi Kepustakaan .......................................................................................... 28 Orientasi lapang .............................................................................................. 29 Pembuatan Plot Penelitian ....................................................................... 29 Pengambilan Data.................................................................................... 29 Pengukuran di Lapangan ......................................................................... 30 Metode Analisis Data ..................................................................................... 31 Analisis variabel pertumbuhan dan parameter ........................................ 32 Analisis Komponen Utama (PCA) .......................................................... 34 KONDISI UMUM LOKASI ............................................................................... 35 Kondisi Umum Wilayah ................................................................................. 35 Kondisi Fisik................................................................................................... 35 Tipologi Lahan dan Sifat-sifat Tanah ...................................................... 36 Kualitas Air ............................................................................................. 37 Satwa Liar ....................................................................................................... 37 Tata Guna Lahan ............................................................................................ 38 Kondisi Ekosistem Mangrove ........................................................................ 39 Potensi Hutan Lindung Angke kapuk ............................................................. 40 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 47 Pertumbuhan Tanaman Bakau (R. mucronata). ............................................. 50 Rata-rata Tinggi .............................................................................................. 50 Rata-rata Diameter .......................................................................................... 52
xi
Pertambahan Tinggi dan Diameter Tanaman ................................................. 53 Rata-rata pertambahan tinggi (cm)................................................................ 55 Rata-rata pertambahan diameter .................................................................... 56 Identifikasi Kualitas Tempat Tumbuh Mangrove ......................................... 59 Korelasi Antar Variabel Kondisi Tempat Tumbuh ........................................ 62 Hubungan Variabel Kondisi Tempat Tumbuh dan Pertumbuhan .................. 64 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 67 Kesimpulan .................................................................................................... 67 Saran ............................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69
LAMPIRAN
xii
xiii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel. 1. Keterkaitan
antara
faktor-faktor
Lingkungan
dengan
Penyebaran Beberapa Jenis Pohon Mangrove Secara Alami ........... 20 Tabel. 2. Musim Buah Beberapa Jenis Mangrove ............................................. 22 Tabel. 3. Karakteristik Benih Matang ................................................................ 22 Tabel. 4. Parameter dan metode analisis laboratorium ...................................... 31 Tabel. 5. Kecepatan arus gelombang air laut ..................................................... 42 Tabel. 6. Curah Hujan Bulanan Stasiun Cengkareng ......................................... 45 Tabel. 7. Rata-rata Tinggi Tanaman dan Diameter Tanaman Pada SubStasiun ................................................................................................ 50 Tabel. 8. Hasil Uji Duncan pertambahan tinggi tanaman (Pengukuran 8 minggu) .............................................................................................. 53 Tabel. 9. Hasil Uji Duncan pertambahan diameter tanaman (Pengukuran 8 minggu) ........................................................................................... 54 Tabel.10. Rata-rata pertambahan
tinggi dan pertambahan diameter
(pengukuran 8 minggu) ...................................................................... 54 Tabel.11. Riap Tinggi dan diameter tanaman Rhizophora mucronata ............... 58 Tabel.12. Kondisi tempat tumbuh R. mucronata ................................................ 59 Tabel.13. Penggambaran korelasi antar variabel tempat tumbuh dan variabel pertumbuhan ......................................................................... 63
xiv
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar. 1.
Alur Kerangka Pemikiran Pola dan Teknis Rehabilitasi.................. 4
Gambar. 2.
Penyebaran mangrove jenis Rhizophora mucronata di dunia........ 19
Gambar. 3.
Alasan dilakukannya restorasi ........................................................ 25
Gambar. 4.
Diagram alur tahapan penelitian .................................................... 28
Gambar. 5.
Desain Plot Pengambilan Data Penelitian ...................................... 30
Gambar. 6.
Lokasi Kawasan Hutan Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta ........ 35
Gambar. 7.
Desain Kontruksi Rehabilitasi Mangrove ...................................... 48
Gambar. 8.
Desain Ketinggian penanaman relatif mangrove ........................... 48
Gambar. 9.
Rata-rata tinggi tanaman masing-masing sub-stasiun .................... 51
Gambar. 10. Rata-rata Diameter Tanaman Masing-masing Sub-Stasiun ........... 52 Gambar. 11. Hubungan korelasi diameter dan tinggi ......................................... 53 Gambar. 12. Rata-rata Pertambahan Diameter Tanaman Tiap Sub-Stasiun ....... 55 Gambar.13. Hubungan korelasi pertambahan tinggi dan pertambahan diameter ......................................................................................... 57 Gambar. 14. Hubungan pertambahan tinggi dan pertambahan diameter ............. 58 Gambar. 15. Hubungan faktor tempat tumbuh pada berbagai sub-stasiun .......... 61
xvi
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Dokumentasi Persiapan dan Teknis lahan Restorasi
Lampiran 2.
Dokumentasi tanaman Stasiun 1,2,3 dan 4
Lampiran 3.
Analisis Regresi Pertambahan Diameter dan Faktor Lingkungan (C, K, KTK,Pasir, Debu, Liat)
Lampiran 4.
Analisis Regresi Pertambahan Tinggi dan Faktor Lingkungan (C, K, KTK,Pasir, Debu, Liat)
Lampiran 5.
Data Pengamatan Pertumbuhan Rhizophora mucronata Di Kawasan Restorasi mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta
Lampiran 6.
Rekapitulasi Hasil Uji Laboratorium Sampel tana di Lahan Restorasi Hutan Lindung Angke Kapuk
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 16/UM/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, peruntukan kawasan Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan lindung, cagar alam, hutan wisata dan lapangan dengan tujuan istimewa. Pada tahun 1994 berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada Tanggal 25 Juli 1994 yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Selain di Pantai Utara DKI Jakarta, hutan mangrove juga terdapat di sekitar Kepulauan Seribu. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Ekosistem mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada, maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata. Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat dan laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman
hayati
yang
ada
di
sekitar
mangrove
juga
harus
dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove tumbuh. Menipisnya ekosistem mangrove menjadi perhatian serius Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Stakeholder di sekitar kawasan. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa pada daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang, pada musim hujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi
2
primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupan seperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (Avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengan demikian, kerusakan dari pengurangan sumberdaya vital tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar sekaligus mengurangi keanekaragaman hayati, juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai. Perumusan Permasalahan Karena tekanan pertambahan penduduk terutama di daerah pantai, konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan, industri,
mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan
pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak. Kerusakan ini juga disebabkan oleh abrasi dan gelombang pasang. Untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah terdegradasi dilakukan berbagai kegiatan pemulihan ekosistem melalui berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan pemulihan tersebut dengan restorasi mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap kelestarian mangrove baik itu pemerintah, perguruan tinggi, swasta, LSM, dan masyarakat sekitar. Namun demikian dalam perkembangannya, belum ada suatu kegiatan yang nyata untuk mengetahui tingkat keberhasilan teknik rehabilitasi pada kawasan restorasi. Dengan dasar tersebut penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pertumbuhan tanaman jenis bakau (Rhizophora mucronata) yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan dan keberhasilan kegiatan penyelamatan hutan mangrove, mengembalikan manfaat dan fungsi kawasan melalui kegiatan rehabilitasi sesuai dengan karakteristik lingkungan dilihat dari perbedaan pertumbuhannya.
3
Kerangka Pemikiran Pendekatan Teori Mangrove merupakan individu jenis tumbuhan atau komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut, terendam pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut (Kathiresan and Bingham, 2001). Komunitas tumbuhan ini umumnya tumbuh optimal pada tanah lumpur yang bersifat salin dengan tingkat salinitas antara 10 sampai 30 ppt di daerah pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai (Hogarth, 1999). Secara ekofisiologis, mangrove merupakan jenis tumbuhan pioner yang bersifat salt-tolerant yang terutama tumbuh dan berkembang pada sedimen tanah yang umumnya didominasi partikel liat (Tormlinson, 1996). Setiap jenis mangrove menuntut kondisi habitat tertentu untuk tumbuh secara optimal yang merupakan pengaruh simultan dari faktor-faktor penggenangan pasang surut, tipe tanah, salinitas, dan cahaya matahari (Chapmann, 1975). Sekali anakan mangrove tumbuh pada endapan lumpur, maka anakan tersebut dalam waktu yang segera akan membentuk sistem perakaran yang khas sesuai jenisnya (stilt root pada Rhizophora spp., knee root pada Bruguiera spp., pneumatophore pada Avicennia spp. dan Sonneratia spp., dan plunk root pada Heritiera spp.) yang berperan untuk memperkokoh berdirinya batang, menyerap unsur hara, bernafas (pertukaran gas O 2 dan CO 2 ), menyaring garam yang terkandung dalam air, dan menangkap partikel tanah yang tersuspensi dalam air serta meretensi unsur hara dalam sedimen yang terakumulasi (Saenger, 2002). Jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. merupakan nursing tree pioneer species bagi perkembangan jenis mangrove lainnya yang tumbuh pada tanah lumpur dengan salinitas yang tinggi (di atas 30 ppt). Pada beberapa lokasi, jenisjenis mangrove tersebut sering tumbuh bersama dengan Rhizophora mucronata karena tuntutan terhadap kondisi habitat yang relatif sama (Hutchings and Saenger, 1987). Kondisi hutan mangrove Angke Kapuk saat ini telah mengalami kerusakan cukup parah, yang disebabkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya dan tekanan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan hutan mangrove itu
4
sendiri. Faktor-faktor yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia/pembangunan di darat serta aktivitas manusia di perairan laut (perhubungan, perikanan/nelayan) yang memberikan dampak negatif (pencemaran minyak, abrasi) pantai. Disamping itu juga tekanan yang berasal dari aktivitas manusia pada hutan mangrove itu sendiri, berupa: budidaya tambak dan penebangan kayu bakau. Aktivitas semua pihak pada ketiga tempat tersebut (daratan/hulu, hutan mangrove, perairan laut) telah menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan dan keberlanjutan fungsi hutan mangrove Muara Angke. Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan kawasan hutan mangrove Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta, upaya penyelamatan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan dengan menelaah komponen dan prasyarat penyelamatan hutan mangrove yang meliputi: pemilihan jenis tanaman dan teknik rehabilitasi yang akan menjamin sistem pelaksanaan. Kerangaka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. KONDISI & POTENSI HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK PERMASALAHAN
EKSTERNAL: SEDIMENTASI, EROSI / ABRASI, dll.
INTERNAL: KONVERSI LAHAN, PENEBANGAN HUTAN, dll.
FUNGSI & MANFAAT EKOLOGI
POLA DAN TEKNIK REHABILITASI # PENDEKATAN FISIK # PENDEKATAN BIOLOGIS
PELAKSANAAN REHABILITASI MANGROVE POLA DAN TEKNIK REHABILITASI MANGROVE YANG MENJAMIN KEBERHASILAN PENYELAMATAN HUTAN MANGROVE DI HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK PROVINSI DKI JAKARTA
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Pola dan Teknis Rehabilitasi
5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi: 1) Mengetahui kualitas lahan restorasi mangrove 2) Mengetahui
laju
tingkat
pertumbuhan
tanaman
Bakau
(Rhizophora
mucronata) pada lahan restorasi mangrove. 3) Mengetahui Hubungan Kualitas habitat restorasi dengan laju pertumbuhan tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) pada lahan restorasi mangrove. 4) Mengetahui faktor tempat tumbuh yang berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian meliputi: 1) Data Kualitas lahan restorasi mangrove sebagai tempat tumbuh tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) akan dapat di adopsi sebagai literatur kegiatan restorasi di Kawasan lain. 2) Dengan di ketahuinya laju tingkat pertumbuhan tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) pada lahan restorasi mangrove dapat di jadikan rujukan tanaman bakau menjadi pilihan tanaman restorasi. 3) Hasil analisis hubungan Kualitas habitat restorasi dengan laju pertumbuhan tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) akan dapat dijadikan rujukan kebijakan restorasi pada kawasan lainnya. 4) Dengan di ketahuinya faktor tempat tumbuh yang berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan dapat membantu dalam proses pemeliharaan untuk keberhasilan restorasi mangrove.
7
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994). Menurut Nybakken (1982), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh: tumbuhan dari 9 genus (Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia),
memiliki
akar
napas
(pneumatofor),
adanya
zonasi
(Avicennia/Sonnetaria, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur/nerpasir dan variasinya, salinitas bervariasi. Menurut Haan (1935) dan Watson (1935) dalam Departemen Kehutanan (1994) menyebutkan bahwa tempat tumbuh hutan mangrove adalah: tempat yang memiliki salinitas (0% dengan sedikit dipengaruhi pasang surut sampai salinitas 10-30% dengan digenangi 1-2 kali/hari), dan tempat yang digenangi (kadang-
8
kadang digenangi oleh air pasang tertinggi sampai tempat digenangi air pasang dengan genangan 56-62 kali/bulan). Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove Zonasi Hutan Mangrove Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalur-jalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa mintakat (zona), yaitu Sonneratia, Avicennia (yang menjorok kelaut), Rhizophora, Bruguiera, Ceriops dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari bagian yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zona terdepan yang digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner (misalnya Sonneratia Sp.) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zone peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks. Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba (Van Steenis, 1958). Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata, R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter). Habitat Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai relung khusus (Steenis 1958); Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya ''Ecological Preference" berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor tersebut berikut ini: 1) Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan.
9
2) Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman dan jangka waktu genangan . 3) Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak. 4) Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas. Klasifikasi Tempat Tumbuh Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis mangrove Indonesia belum diteliti dengan terperinci. Di Semenanjung Malaya hal ini telah dikerjakan oleh Watson (1928) dalam Steenis (1958) yang menghasilkan suatu klasifikasi genangan air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang di suatu tempat. Diperkirakan klasifikasi ini berlaku juga untuk kawasan Indonesia. Watson (1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air. Dikenal lima kelas genangan, yaitu: 1) Kelas 1: Tempat digenangi oleh air pasang (All high tides), genangan per bulan 56 kali sampai 62 kali. Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai. 2) Kelas 2: Tempat digenangi oleh air pasang agak besar (Medium high tides). Di tempat ini tumbuh jenis-jenis Avicennia dan Sonneratia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai. 3) Kelas 3: Tempat digenangi oleh pasang rata-rata (Normal high tides). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi oleh R. mucronata, R. apiculata, Ceriop tagal dan Bruguiera parviflora. 4) Kelas 4: Tempat digenangi oleh pasang perbani (Spring tides). Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih tumbuh B. parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula. 5) Kelas 5: Tempat kadang-kadang digenangi oleh pasang tertinggi (Exeptional or equinoctical tides). Disini B. gymnorrhiza berkembang dengan baik, sering bersama-sama dengan pakis dan bersama-sama R.apiculata. Ke arah darat sering ditumbuhi tegakan nibung (Oncosperma filamentosa).
10
Klasifikasi tempat tumbuh hutan bakau berdasarkan salinitas dan genangan air pasang surut (Haan, 1935) dalam Steniis (1958): 1) Kelas 1: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau sekurangkurangnya 20 hari per bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar. 2) Kelas 2: Salinitas 10-30%, tanah digenangi 10-19 hari per bulan, Bruguiera gymnorrhiza tumbuh baik dengan tegakan membentuk zona tengah. 3) Kelas 3: Salinitas 10-30 %, tanah digenangi 9 hari atau kurang sebulan, jenisjenis Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk zona ke 3. 4) Kelas 4: Salinitas 10-30%, tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam setahun, Rhizophora dan Lumnitzera berkembang baik. 5) Kelas 5: Salinitas 0%, tanah sedikit dipengaruhi pasang surut. 6) Kelas 6: Salinitas 0%, tanah dipengaruhi oleh perubahan permukaan air hanya pada musim basah. Adaptasi Flora Mangrove a. Adaptasi terhadap konsentrasi garam tinggi Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove dikelompokkan menjadi: (1) salt-excreting mangrove, seperti jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-salt excreting mangrove, seperti jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut: 1) Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion) Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh
Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada daun).
11
2) Mencegah masuknya garam (salt exclusion) Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis, dan Acrostichum. 3) Akumulasi garam (salt accumulation) Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus. b. Adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang Untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), flora mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut: 1) Akar pasak (pneumatophore) Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia. 2) Akar lutut (knee root) Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.
12
3) Akar tunjang (stilt root) Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp. 4) Akar papan (buttress root) Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera. 5) Akar gantung (aerial root) Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia dan Acanthus. c. Adaptasi Reproduktif 1) Pembungaan dan polinasi Kebanyakan spesies mangrove di daerah subtropis, seperti halnya Australia mulai berbunga pada musim semi dan berlanjut pada musim panas (saat kondisi lingkungan menguntungkan). Polen yang berukuran kecil dan tidak bertangkai, memungkinkan polinasi dengan bantuan angin, serangga dan burung. 2) Produksi propagul Kebanyakan mangrove di daerah subtropis menghasilkan propagul masak pada musim panas, pada daerah tropik mangrove berbunga dan berbuah umumnya pada awal musim kemarau. 3) Vivipari dan Kriptovivipari Untuk mengantisipasi habitatnya yang tergenang atau substratnya yang berlumpur, biji flora mangrove telah berkecambah selama masih melekat pada pohon induknya. Fenomena ini disebut vivipari dan kriptovivipari. Vivipari adalah
13
perkecambahan dimana embrio keluar dari pericarp selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-kadang berlangsung lama pada pohon induknya. 4) Penyebaran propagul dan pembentukannya Biji-biji tumbuhan mangrove yang disebarkan oleh burung misletoe (Dicaeum hirundinacum) mampu mempertahankan viabilitasnya selama berada dalam saluran pencernaan burung. Kebanyakan spesies mangrove bijinya mengapung pada air laut (walaupun tenggelam pada air tawar). Propagul dari pohon-pohon mangrove mempunyai daya apung sehingga dapat beradaptasi terhadap penyebaran oleh air. Faktor-faktor Lingkungan Mangrove Struktur, fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan organisme mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove adalah: a. Cahaya Intensitas cahaya, kualitas, dan lama penyinaran merupakan faktor penting bagi tumbuhan. Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Hasil penelitian Komar et al. (1992) menunjukkan bahwa: -
Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata.
-
Intensitas
cahaya
75%
mempercepat
pertumbuhan
bibit
Bruguiera
gymnorrhiza. -
Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza.
14
b. Curah hujan Jumlah, lama, dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan. Selain itu, curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain, seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Kartawinata (1977) menyatakan bahwa berdasarkan klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson-1951, hutan mangrove di Indonesia berkembang pada daerah dengan tipe curah hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7%. Sementara itu, Aksornkoae (1993) menginformasikan bahwa tumbuhan mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.
Namun juga ditemukan pada daerah yang
bercurah hujan tinggi, yaitu 4000 mm/th yang tersebar lebih dari saru periode 8-10 bulan per tahun. c. Suhu Udara Suhu penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Aksornkoae (1993) dalam Kusmana (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10oC. Berdasarkan hasil penelitian Kusmana (1993) diketahui bahwa hutan mangrove yang terdapat di bagian timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu ratarata bulanan dengan kisaran dari 26,3oC sampai dengan 28,7oC. Hutching dan Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 1820oC, R. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26-28oC, suhu optimum Bruguiera spp. 27oC, Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26oC dan X. granatum 28oC.
15
d. Angin Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui aksi gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. Pada daerah pantai yang mudah terkena angin badai, tajuk pohon mangrove di sepanjang pantai tersebut biasanya patah dan struktur pepohonan umumnya lebih pendek. Namun demikian, mangrove memainkan peranan penting dalam mengurangi pengaruh badai pantai pada wilayah yang berada di antara daratan dan lautan. e. Pasang surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Dinamika pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horisontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya R. mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi distribusi vertikal organisme mangrove. Durasi pasang juga memiliki efek yang mirip pada distribusi spesies, struktur vegetatif, dan fungsi ekosistem mangrove. Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah semi-diurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang campuran.
16
f. Salinitas Lingkungan asin (bergaram) diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove, seperti halnya banyak jenis yang kurang bersaing di bawah kondisi air tawar (Lugo 1980). Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut (±35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi jenisnya. Meskipun demikian, beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi, seperti yang dilaporkan oleh. Wells (1982) dalam Aksornkoae (1993), bahwa di Australia Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rhizophora apiculata 65 ppt dan Rhizophora stylosa 74 ppt. g. Tanah Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil bahkan tanah gambut. Lear dan Turner (1977) dalam Soeroyo (1993) menyatakan bahwa tanah di hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit dan kaya akan bahan organik. Susunan jenis dan kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan demu (silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada konsentrasi yang lebih rendah. Tanah dengan konsentrasi kation Na > Mg > Ca atau K, tegakan dikuasai oleh jenis Avicennia spp., atau Sonneratia spp., atau Rhizophora spp., atau Bruguiera spp. Adapun pada tanah dengan susunan konsentrasi kation Mg > Ca > Na atau K tegakan dikuasai oleh nipah (Nypa
17
fruticans). Lebih lanjut pada tanah dengan susunan kation Ca > Mg > Na atau K tegakan dikuasai oleh jenis Melaleuca spp. (Wiroatmodjo 1994). Tanah-tanah mangrove umumnya mengandung zat besi dan bahan-bahan organik yang tinggi, ditambah dengan keberadaan sulfat dari pasang air laut membuat tanah menjadi rentan khsusnya terhadap asam sulfat karena oksidasi, seperti yang sering terjadi pada saat pembuatan tambak. Pada kondisi anaerob yang berlaku secara umum, sulfat dari air laut direduksi menjadi sulfida (FeS) atau pirit (FeS 2 ) oleh bakteribakteri perombak sulfat yang termasuk, paling tidak 2 marga bakteri, yaitu Desulfovibrio dan Desulfomaculum. Drainase alami atau buatan dan aerasi sedimen yang mengandung pirit mendorong terjadinya oksidasi dan formasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) yang dilepaskan dalam jumlah besar dalam keadaan tidak ada kalsium karbonat (CaCO 3 ), melalui reaksi kimia sebagai berikut: 2FeS 2 + 2H 2 O + 7O 2 2FeSO 4 + H 2 SO 4 Ketika reaksi tersebut terjadi-seringkali sebagai akibat dari pembuatan tambak atau dikonversi menjadi lahan pertanian-pH tanah turun menjadi 3 atau kurang. Kondisi ini merupakan masalah yang sangat serius untuk budidaya perairan dan pertanian serta regenerasi hutan mangrove. Ancaman asam sulfat harus dipertimbangkan secara hati-hati dalam konversi mangrove untuk penggunaan lain, begitu juga dengan ancaman kontaminasi asam terhadap lingkungan. Dilaporkan bahwa kematian massal ikan terjadi saat hujan lebat diakibatkan oleh pencucian asam tanah ke sungai (Dunn 1975). Pertumbuhan Mangrove Jenis Bakau (Rhizophora mucronata) Pertumbuhan hutan mangrove sangat erat kaitannya dengan pendangkalan pantai dan penyempitan laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1985), daerah hutan bakau merupakan suatu tempat yang bergerak, dimana tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi daerah semi terrestrial (semi daratan). Sampai saat ini tidak banyak tulisan yang memuat penelitian mengenai hutan mangrove, khususnya di bidang sivikulturnya. Kebanyakan tulisan-tulisan yang ada hanya mengenai ekosistem dan ekologi hutan mangrove. Hal tersebut
18
diakui oleh Kartawinata (1978) yang dikutip oleh Anwar et al. (1984), hampir semua jenis yang membentuk hutan mangrove di Indonesia sudah diketahui, misalnya mengenai variasi komposisi jenis, silvikultur hutan, cara pemencaran bibit, pembungaan dan pembuahan, komposisi fauna, perputaran hara, produktivitas dan dinamika ekosistem. Menurut La Rue dan Mosich (1954) dikutip oleh Chapman (1976), jika biji jatuh dari pohon induk saat air surut, hal ini kemungkinan akan menghasilkan semai mangrove, karena ketika biji jatuh langsung ditancapkan ke lumpur, pada saat itu akar yang baru, membentuk hipokotil. Jika biji jatuh pada waktu air pasang, maka biji akan terbawa oleh air dan
mengapung
tanpa
terjadi
perkembangan
akar,
walaupun
terjadi,
perkembangan akar tersebut akan sangat lambat sekali. Setelah air surut, biji akan terdampar dan saat itu akar akan tumbuh keluar. a. Taksonomi dan Penyebaran Sifat umum dari perkembangan biji mangrove secara vivipar, yaitu biji telah berkecambah sewaktu masuk di dalam buah yang masih melekat pada tumbuhan induk. Cara yang khas ini diperlihatkan oleh Rhizophora spp. Lembaga semai dapat menembus buah yang masih bergantungan, yang panjangnya seperti anak panah tetai berat di bagian bawahnya. Kemudian semai jatuh dengan akar ke bawah, sehingga ujung akar itu dapat menancap ke dalam lumpur bila air sedang surut dan membentuk akar-akar cabang dalam waktu beberapa jam saja serta tumbuh di tempat itu. Bila air sedang pasang dan semai akarnya belum kuat melekat di lumpur, maka semai tersebut akan hanyut terbawa air ke tempat lain dan bila air surut akan tumbuh dengan normal kembali bila keadaan menguntungkan (Polunin 1960). Jenis Rhizophora mucronata bisa mencapai ketinggian 27 m dengan diameter 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah. Berikut merupakan sistematika tumbuhan bakau (Polunin 1960).: Phyllum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
19
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Rhizophoraceae
Genus
: Rhizophora
Spesies
: Rhizophora mucronata
Nama daerah: Bangka itam, dongoh korap, bakau hitam, bakau korap, bakau merah, jankar, lenggayong,belukap, lolaro. Penyebaran mangrove jenis Rhizophora mucronata di dunia disajikan pada Gambar 2.
Source : UNEP-WCMC, 2001.
Gambar 2. Penyebaran mangrove jenis Rhizophora mucronata di dunia b. Pertumbuhan tinggi Pertumbuhan tinggi tanaman dapat didefinisikan sebagai bertambah besarnya tanaman yang diikuti oleh peningkatan bobot kering. Menurut Baker (1950), yang dimaksud dengan pertumbuhan pada suatu pohon adalah pertambahan tumbuh dalam besar dan pembentukan jaringan baru, pertumbuhan tersebut dapat pula diukur dari berat seluruh tanaman (biomassa). Dijelaskan pula bahwa pertumbuhan suatu pohon meliputi pertumbuhan bagian atas dan bagian bawah. Adapun faktor-faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan tinggi antara lain unsur-unsur hara yang ada dalam tanah, kandungan air dan cahaya. c. Pertumbuhan Diameter Menurut Baker (1950), pertumbuhan diameter pohon sangat penting dalam bidang kehutanan terutama untuk menghasilkan kayu gergajian, dijelaskan bahwa pertumbuhan lingkaran tahun pada pohon adalah hasil dari perkembangan cambium dam lapisan dari jaringan meristematik sel-sel.
20
Budidaya Tumbuhan Bakau (Rhizophora mucronata) a. Penyiapan lokasi penanaman Ada beberapa aspek Karakteristik lahan yang perlu diperhatikan adalah: kondisi tanah, salinitas, frekuensi pasang surut, kedalaman dan lama penggenangan pasang surut yang berkaitan dengan topografi dan ketinggian tempat dari permukaan laut, keterbukaan lahan terhadap angin dan kekuatan arus, keberadaan hama pengganggu dan ketersediaan benih (propagul). Faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi pengaruh dari fenomena pasang surut dan ketinggian dari rata-rata muka laut. Sebagai contoh, keterkaitan antara faktor lingkungan dengan penyebaran jenis-jenis mangrove dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Keterkaitan antara faktor-faktor Lingkungan dengan Penyebaran Beberapa Jenis Pohon Mangrove Secara Alami Zonasi
Pinggir pantai
Pola Pasang Surut
Harian
Frekuensi Tipe Penggenangan Salinitas Tanah (hari/bulan)
20+
10-30
Koral, berpasir, lempung berpasir
Tengah
Harian
10-19
10-30
Berdebu sampai liat berdebu
Pedalaman
Tergenang hanya saat
4-9
0-10
Berdebuliat
Jenis-jenis Pohon Mangrove Avicennia marina, Sonneratia, S. caseolaris, Rhizophora stylosa, R. mucronata dan R. apiculata A. alba, A. Officinalis, R. mucronata, Aegiciras comiculatum, A. floridum, Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops tagal, C. decandra, Excoecaria agallocha, Lumnitzera racemora, Xylocarpus granatum. A. alba, B. sexangula, Ceriops
21
Pola Frekuensi Tipe Jenis-jenis Pohon Pasang Penggenangan Salinitas Tanah Mangrove Surut (hari/bulan) pasang berdebu tagal, Excoecaria purnama sampai agallocha, Heritiera liat littoralis, Scyphiphora hydrophylacea, Xylocarpus granatum, X. mekongensis, Nypa fruticans Muara sungai: Avicennia marina, A. officinalis, Aegiciras comiculatum, A. floridum, Camtostemon philippensis, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa Hulu sungai: A. Jarang Berpasir alba, A. officinalis, Pinggir tergenang: sampai Aegiciras sungai 2 0-10 air tawarliat comiculatum, A. (Riverine) payau berdebu floridum, Camptostemon philippensis, E. agallocha, Heritiera litoralis, Nypa fruticans, R. mucronata, R. apiculata, Xylocarpus granatum, X. Mekongensis Zonasi
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove 2004)
Pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut di atas akan memudahkan kita dalam menentukan jenis yang paling sesuai pada lokasi yang akan kita tanam dan teknik pendekatan yang akan digunakan dalam penanaman mangrove
22
b. Penyiapan Benih Pada dasarnya tanaman mangrove berbuah hampir sepanjang tahun, namun ada beberapa periode waktu dimana jenis-jenis tertentu berbuah sangat banyak atau dengan kata lain puncak musim berbuah. Tabel 2. Musim Buah Beberapa Jenis Mangrove No
Spesies
1 2 3 4 5 6
Rhizophora apiculata R. mucronata Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba Avicennia marina Xylocarpus granatum
Bulan J F M A M J J A
S
O
N D
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove,2004) Buah atau biji yang dipilih adalah benih yang berasal dari buah yang matang, sehat, segar dan bebas dari hama Tabel 3. Karakteristik Benih Matang No 1
2 3
4 5 6
Warna atau ciri lain Rhizophora Warana kotiledon berubah dari Panjang ± 20 cm apiculata Diameter ± 14 mm dari hijau muda menjadi merah kekuningan R. mucronata Warna kotiledon berubah dari hijau Pajang ± 50 cm muda menjadi kuning Bruguiera Warna hipokotil berubah dari hijau Panjang ± 20 cm gymnorrhiza menjadi coklat kemerahan atau merah kehijauan Sonneratia alba Diameter buah ± 40 Buah matang terapung di air mm Avicennia marina Berat ± 1,5 gr Warna kulit berubah dari hijau muda menjadi hijau kekuningan Xylocarpus Buah retak, warna biji coklat Berat biji ± 30 gr granatum berbercak abu-abu. Radikula tampak jelas. Bila buah tenggelam di air berarti belum matang Spesies
Ukuran
(Sumber : Strategi Nasional Mangrove,2004)
23
c. Pembuatan Tempat Persemaian Lokasi persemaian sebaiknya di lokasi yang datar dan bersih dari gangguan tanaman pengganggu seperti semak-semak. Apabila lokasi tersebut masih dalam keadaan bersemak, maka sebaiknya dilakukan dahulu pembersihan lahan
daerah
tersebut.
Pada
saat
pemilihan
lokasi
persemaian,
perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a) Terletak pada zona pasang surut yang tidak terlalu kuat. Tinggi permukaan tanah persemaian ± 60 cm di bawah garis pasang tertinggi saat pasang purnama. b) Tanah relatif keras c) Tidak terdapat akumulasi garam, salinitas < 30 o/ oo d) Tidak terpengaruh oleh ombak atau aliran air sungai e) Topografi tidak berubah oleh hujan deras f) Mudah kering dan tidak tergenang secara permanen g) Tersedia tanah untuk media h) Dekat dengan areal penanaman i) Untuk persemaian sementara sebaiknya terdapat naungan pohon Ukuran persemaian sangat bervariasi tergantung pada luasan yang akan kita tanam. Oleh karena itu sebelum membuat perkiraan maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu berapa luasan yang akan kita tanam sehingga diketahui jumlah bibit yang akan kita perlukan. d. Penanaman Setelah lahan benar-benar siap untuk ditanam, maka dilakukan pemancangan ajir yang berfungsi sebagai penahan bibit agar tidak tumbang. Fungsi lain ajir adalah untuk mengetahui lokasi tanaman, menyeragamkan jarak tanam, tanda tanaman baru. Ajir dibuat dari kayu atau bambu dengan ukuran tinggi 1,5-2 m, lebar 3-4 cm. Posisi ajir diupayakan sampai dasar lumpur (tanah keras), agar dapat dipakai sebagai ikatan bagi bibit yang ditanam. Mengingat kondisi lokasi penanaman berlumpur dalam (>1 meter), maka teknik tanam
24
dilakukan dengan polybag tidak perlu dibuka, tetapi pada bagian bawah diberi lubang atau sobekan. e. Pemeliharaan dan Monitoring Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiangan, penyulaman, penjarangan dan pengontrolan terhadap kondisi tanaman.
Pemeliharaan awal
paling tidak dilakukan selama 1 tahun, terutama dari gangguan gulma dan serangan hama. Monitoring tanaman perlu dilakukan setiap bulan, agar setiap perkembangan kondisi tanaman diketahui. Kondisi Lingkungan Mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk a. Konsep Ekologi Restorasi Hutan mangrove memiliki beberapa karakteristik tertentu, dimana pada kondisi yang baik karakteristik ini akan tetap terjaga dan akan membuat hutan mangrove dapat tumbuh dan lestari meskipun tanpa bantuan manusia. Namun karakteristik yang terdapat pada hutan mangrove ini juga sangat rentan, yaitu pada saat terjadi gangguan akan menyebabkan kondisi struktur hutan menjadi rusak sehingga hutan tidak dapat menjalankan fungsinya. Dalam hal ini juga terdapat kecenderungan jika terjadi gangguan pada salah satu karakteristik, maka akan terjadi gangguan pula terhadap karakteristik yang lain. Berbagai
aktivitas
pemanfaatan
sumberdaya
hutan
dan
berbagai
kepentingan di dalamnya berdampak pada terganggunya fungsi hutan. Sebagian besar gangguan kerusakan hutan diantaranya karena aktivitas akibat logging, shifting cultivation, dan tambak. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3 di bawah ini
25
Gambar 3. Alasan dilakukannya restorasi Pada dasarnya konsep kegiatan restorasi adalah proses pengembalian atau pemulihan (improving) kondisi hutan yang rusak yang meliputi fungsi, struktur, komposisi dan produktivitasnya dengan tujuan dimana kondisi hutan nantinya menjadi lebih baik dan mendekati aslinya (originality). Oleh karena itu melalui restorasi diharapkan fungsi hutan nantinya dapat kembali seperti semula. Pulihnya fungsi hutan bila terdapat struktur hutan yang sesuai untuk fungsinya. Sehingga dalam restorasi yang perlu dibangun adalah struktur hutannya yang rusak, meliputi kerapatan tegakan, komposisi jenis, pola distribusinya
serta
berlangsungnya
siklus
hara
tertutup
di
dalamnya.
Pembangunan kembali struktur hutan tersebut harus mengacu pada proses suksesi dan karakter hutan mangrove. Salah satu lokasi restorasi mangrove ini adalah lahan terdegradasi yang merupakan lahan terbuka, hampir tidak ada vegetasi tumbuh di atasnya sebagai akibat dari pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan dan faktor alam. Dampak dari hilangnya vegetasi memacu terjadinya erosi tanah, hilangnya biodiversitas, kerusakan habitat wildlife, dan berkurangnya kapasitas lahan untuk pertumbuhan tanaman. Untuk menekan dampak lebih lanjut, lahan ini harus dipulihkan melalui aktivitas rehabilitasi lahan.
26
Tujuan utama dari kegiatan restorasi adalah mengembalikan kondisi lahan atau hutan yang rusak dengan memperbaiki lahan tersebut agar kembali fungsinya seperti sebelum dirusak. Yang dimaksud fungsi hutan di sini mencakup: -
Fungsi hutan sebagai habitat utama untuk flora dan fauna
-
Sebagai tempat menyimpan keanekaragaman genetik
-
Konservasi tanah, air, hara, dan keanekaragaman hayati
-
Sebagai sumber pembangunan ekonomi
-
Memelihara keseimbangan iklim lokal dan kondisi iklim global.
b. Reklamasi Kegiatan reklamasi pada lokasi ini merupakan proses civil engineering untuk mempersiapkan lahan yang terabrasi yang bertujuan menyiapkan lahan untuk penanaman. Dalam kegiatan ini yang dilakukan adalah pengurukan, pengangkutan, penimbunan pada kedalaman atau tingkat tertentu agar jika mau mengadakan penanaman, kondisi lahan sudah layak untuk ditanami. Kondisi yang kerusakannya sangat berat harus direklamasi terlebih dahulu karena kegiatan rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan sebelum kondisi yang sangat rusak itu diperbaiki sampai kondisi lapang siap ditanam kembali. Kondisi lahan yang kerusakannya masih ringan, kegiatan rehabilitasi masih dapat dilaksanakan tanpa melakukan reklamasi. Namun demikian pemilihan metode rehabilitasi yang tepat harus disesuaikan dengan tingkat dan jenis kerusakan pada lahan tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Angke Kapuk, wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni-November tahun 2009. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi: Tali raffia, Salino meter, Meteran dan Kaliper, Kamera digital/Kamera manual dan film, Alat Tulis, Termometer, Lembaran/ Kertas Identifikasi/Tally sheet., Spektrometer, PH meter/water checker dan Bor Tanah Tahapan Penelitian Secara umum penelitian kali ini meliputi 7 tahap, yaitu (1) Studi Kepustakaan (2) Orientasi lapang (3) Pembuatan Plot Penelitian (4) Pengambilan Data (5) Pengukuran di lapangan (6) Analisis laboratorium untuk parameter lingkungan (7) Metode Analisis Data. Selengkapnya diagram alur penelitian tersaji pada Gambar 4 berikut.
28
Mulai
Penentuan stasiun
Vegetasi Mangrove
Teknis Rehabilitasi
Parameter lingkungan
Laju pertumbuhan tinggi dan diameter
Berpengaruh terhadap sebaran keluasan
salinitas,Temperatur tanah dan pH
Analisis komponen utama
Mengetahui sebaran stasiun dan hubungan antar variabel penelitian
Analisis ragam (ANOVA)
Menguji perbedaan Pertumbuhan vegetasi mangrove diantara stasiun penelitian
Analisis regresi dan korelasi
Mengetahui pengaruh lingkungan dan teknis rehabilitasi terhadap pertumbuhan mangrove
Selesai
Gambar 4. Diagram alur tahapan penelitian Studi Kepustakaan Data sekunder yang dikumpulkan di sini melalui beberapa sumber data yang dihimpun, yaitu meliputi: Studi-studi yang dilakukan di lokasi Kawasan Hutan Angke Kapuk, Instansi teknis dinas terkait, penelusuran melalui pustaka, serta beberapa sumber informasi acuan dari penelitian ilmiah yang pernah dilakukan sebelumnya di lokasi tersebut.
29
Orientasi lapang Sebelum penelitian dilaksanakan, maka terlebih dahulu dilakukan orientasi lapangan yang bertujuan untuk menentukan lokasi penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu orientasi lapang dimaksudkan juga untuk mempelajari situasi dan kondisi lapangan secara global. Desain Plot Penelitian Stasiun penelitian yang sebanyak 4 stasiun dengan masing-masing sebanyak 2 sub stasiun dengan 3 plot dengan ukuran 10 x 10 meter untuk 10 tanaman setiap plot yang dipilih secara acak. Berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pertumbuhan tanaman mangrove jenis Rhizophora mucronata maka dibuat berdasarkan tahun dan bulan penanaman dengan selang per 6 bulan perbedaan penanaman sebagai berikut: 1) Stasiun 1, tanaman Desember 2007 terdiri dari Sub stasiun 1: Plot 1,2,3 Sub stasiun 2: Plot 4,5,6 2) Stasiun 2, tanaman Juni 2008 terdiri dari Sub stasiun 3: Plot 7,8,9 Sub stasiun 4: Plot 10,11,12 3) Stasiun 3,tanaman Desember 2008 terdiri dari Sub stasiun 5: Plot 13,14,15 Sub stasiun 6: Plot 16,17,18 4) Stasiun 4, tanaman Maret 2009 terdiri dari Sub stasiun 7: Plot 19,20.21 Sub stasiun 8: Plot 22,23,24
Data pertumbuhan bakau di peroleh dari pengukuran, pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi lingkungan. Teknik yang digunakan adalah Purposive Sampling karena digunakan apabila sampel yang dipilih khusus berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan
mangrove
berdasarkan
tujuan
penelitiannya
30
Pengukuran dan pengamatan yang dilakukan. Plot penelitian yang di buat disajikan Gambar 5
Keterangan: ST = Stasiun Gambar 5. Desain Plot Stasiun Pengambilan Data Penelitian Pengukuran di Lapangan a. Pengukuran tinggi dan diameter Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan setiap minggu selama 2 bulan sehingga waktu yang dibutuhkan adalah 8 kali pengukuran dimulai pada bulan Juli-September 2009. Tinggi tanaman diukur dengan meteran dan diameter di ukur menggunakan kaliper. b. Pengambilan contoh tanah Contoh tanah diambil pada masing-masing sub stasiun yaitu pada tanah bagian atas dan pada kedalaman 10-20 cm, kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kandungan fisik (fraksi liat, pasir dan lumpur) dan kimia di lokasi penelitian.
31
c. Salinitas Pengukuran terhadap salinitas air laut dilakukan dengan menggunakan alat salinometer yang dilakukan di sekitar sub stasiun lokasi pengamatan dengan metode Purposive sampling dengan menetapkan pengukuran pada setiap plot sebagai acuan untuk pengambilan data salinitas. Sebagai kontrol pengambilan salinitas juga dilakukan di dalam tegakan mangrove di sekitar lokasi penelitian d. Pengukuran suhu/Temperatur Temperatur diukur dengan alat termometer yang diukur yaitu temperatur di setiap plot, sebagai kontrol pengukuran dilakukan di dalam tegakan mangrove di sekitar lokasi penelitian. Pengukuran temperatur ini dilakukan dalam waktu yang bersamaan pada semua stasiun penelitian. e. Pengukuran pH (derajat asam-basa) Pengukuran pH terhadap suatu wilayah perairan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter dan selanjutnya dibandingkan dengan kertas lakmus indikator asam-basa dan dikontrol dengan hasil laboratorium. f. Analisis Laboratorium untuk Parameter Lingkungan Tabel 4. Parameter dan metode analisis laboratorium Parameter
Satuan
Contoh Tanah Temperatur Salinitas pH
ºC ppt
Metode/Alat Bor Tanah Uji Laboratorium Termometer Salinometer pH meter/lakmus
Keterangan Laboratorium Insitu Insitu Insitu
Analisis Data Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian menerangkan (explanatori research) dan penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang bersifat menerangkan adalah penelitian yang menyangkut pengujian hipotesis. Penelitian semacam ini, dalam deskripsinya juga mengandung uraianuraian, tetapi fokusnya terletak pada analisis hubungan antara variabel (Hadari
32
1998). Proses analisis Statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data sehingga memberikan informasi yang berguna. Upaya penyajian ini dimaksudkan mengungkapkan informasi penting yang terdapat dalam data ke dalam berbentuk yang lebih ringkas dan sederhana yang pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran (Aunuddin 1989). Statistik deskriptif digunakan untuk analisis bagi variabel-variabel yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi, baik secara angka-angka mutlak maupun secara persentasi. Tabel frekuensi yang dibuat berguna untuk mengelompokkan data dalam tabel silang. Tabel silang sebagai metode yang sederhana digunakan untuk menyoroti dan menganalisis hubungan antara dua variabel atau lebih.
Analisis variabel pertumbuhan dan parameter Analisis ragam (Uji F) Analisis ragam adalah suatu metode untuk menguraikan keragaman total data kita menjadi komponen-komponen yang mengukur berbagai sumber keragaman (Walpole 1995). Uji F merupakan pengujian secara bersama-sama pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F-tabel. Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F-tabel, maka variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas. Kesimpulan ini dapat juga dilihat dari nilai signifikansi F hitung. Bila nilainya lebih tinggi daripada tingkat keyakinan (α= 0,05) maka seluruh variabel independen tidak punya pengaruh yang signifikan secara bersama-samaterhadap variabel dependennya, begitupun sebaliknya. Bila signifikansinya lebih kecil dari pada tingkat keyakinan (α= 0,05) maka seluruh variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap variabel dependennya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah Ho: µ1= µ2= µ3……. µ8 (Semua rata-rata pertumbuhan tanaman mempunyai nilai yang sama di 8 sub stasiun) H1: µ1≠ µ2≠ µ3……. µ8
33
(Rata-rata pertumbuhan mempunyai nilai yang berbeda diantara 8 sub stasiun) Kriteria pengujian: Jika F hit > F tabel , maka tolak H 0 Jika F hit ≤ F tabel , maka terima H 0
a. Mean (Rata-rata) Rata-rata hitung ini adalah pengukuran nilai sentral yang paling umum digunakan. Rumus untuk menentukan nilai rata-rata hitung:
Dimana:
n = banyaknya data b. Variance (Varians) Varians adalah suatu ukuran penyebaran data, yang diukur dalam pangkat dua dari selisih data terhadap rata-ratanya. Untuk data populasi perumusan varians adalah:
Sedangkan untuk data sampel adalah:
c. Standard error of Mean Ini adalah pengukuran untuk mengukur seberapa jauh nilai rata-rata bervariasi dari satu sampel ke sampel lainnya yang diambil dari distribusi yang sama. Rumus standard error of mean adalah sebagai berikut
34
SE = S/√n Nilai S di peroleh dari perhitungan S=√S2 Analisis Komponen Utama (PCA) Untuk melihat komponen-komponen yang berpengaruh nyata pada kondisi tempat
tumbuh
dan
karakteristik
lokasi
penelitian
dilakukan
analisis
menggunakan statistik multivariabel PCA (Principal Components Analysis) dengan software Statistica 6.0 (Ludwig and Reynolds 1988). Analisis Komponen Utama
(PCA)
merupakan
metode
analisis
statistika
deskriptif
untuk
merepresentasikan data dalam bentuk grafik informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu (baris), serta pertumbuhan vegetasi mangrove dan parameter lingkungan sebagai variabel (kolom). Parameter yang dilibatkan dalam analisis ini adalah pertumbuhan mangrove serta parameter lingkungan di sekitarnya seperti salinitas, temperatur, laju fotosintesis dan contoh tanah. Karena parameter-parameter tersebut tidak memiliki satuan yang sama maka harus dilakukan penormalan data melalui serangkaian proses pemusatan dan pereduksian. Pemusatan dilakukan dengan melihat selisih antara nilai parameter inisial tertentu dengan nilai rata-rata parameter tersebut. Agar pengelompokan dapat dilakukan, harus diketahui dahulu kedekatan antar komponen, untuk itu digunakan jarak Euclidean yang merupakan jumlah kuadrat perbedaan antara stasiun (baris) terhadap variabel/parameter (kolom) yang berhubungan. Untuk menganalisis data pertumbuhan tanaman pada berbagai substasiun digunakan program komputer dengan SPSS dan menganalisis data kualitas tanah pada berbagai substasiun digunakan program komputer dengan software Microsoft excel 2007 dan minitab 15.
35
KONDISI UMUM LOKASI Kondisi Umum Wilayah Hutan lindung di Angke Kapuk adalah satu kawasan konservasi formal yang dimiliki oleh DKI Jakarta di wilayah daratan. Berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No. 08/KPPS/VII-4/94 bahwa luas hutan lindung di kawasan Muara Angke adalah 44,76 ha. Kawasan hutan lindung tersebut terbentang mulai dari hutan wisata Kamal sampai dengan batas cagar alam Muara Angke, yang secara geografis terletak antara 6º05’-6º10’ LS dan 106º43’-106º48’ BT. Peta Lokasi Kawasan Hutan Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Kawasan Hutan Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta Secara administrasi, pemerintahan kawasan hutan lindung tersebut berada pada dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan wilayah kotamadya Jakarta Utara. Kawasan hutan ini
36
berada di pantai Utara Jawa, di bagian Utara dibatasi oleh laut Jawa, di bagian Selatan dibatasi oleh areal PT. Mandara Permai (Pantai Indah Kapuk) dan di sebelah Timur dibatasi oleh Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke. Kondisi Fisik Tipologi Lahan dan Sifat-sifat Tanah Berdasarkan klasifikasi Smith dan Fergusson (1951), daerah ini termasuk ke dalam tipe iklim C dengan rata-rata tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan September. Suhu tahunan maksimum adalah 30ºC, minimum 19ºC dan rata-rata adalah 27ºC. Kelembaban maksimum mencapai 89%, kelembaban minimum mencapai 76% dan rata-rata adalah 80%. Lahan ini memiliki bahan induk endapan baru marine estuarine dengan land system Kajapah (KJP) (series RePPProt, 1989, sheet 1209). Pada umumnya lahan daerah survey tergenang oleh air, oleh karena wilayah Hutan Lindung Kapuk sebagian besar telah dibuat tambak dan parit. Daerah ini memiliki frekuensi pasang surut dalam sehari hanya satu kali yaitu pasang pukul 08.0014.00 WIB dan surut 14.00-08.00 WIB. Oleh karena lahan ini pasang surut, maka selalu tertutupi air pada waktu pasang dengan ketinggian air pasang rata-rata 3050 cm. Berdasarkan tipologi lahan, daerah ini dimasukkan ke dalam lahan salin dan lahan sulfat masam aktual. Tipologi tanah salin dicirikan oleh susunan kation tanah Na > Mg> Ca atau K. Lahan sulfat masam potensial dicirikan oleh adanya bahan sulfidik pada kedalaman 0-50 cm dan > 50 cm. Sedangkan lahan sulfat masam aktual adalah lahan yang lapisan sulfidiknya sudah mengalami oksidasi. Jenis tanah daerah Hutan Lindung Kapuk yaitu halic sulfaquent. Ciri morfologi tanah halic sulfaquent di daerah ini adalah tekstur tanah liat berdebu pada bagian atas dan liat sampai liat berdebu pada bagian bawah dengan struktur melumpur (belum matang), warna kelabu sampai kelabu gelap, tanah digenangi air 30-50 cm, terdapat pirit pada lapisan kurang dari 50 m dengan kisaran 1%. Reaksi tanah (pH) pada kisaran netral (6-7) dan salinitas air tanah 22-24%.
37
Kualitas Air Kondisi kualitas air di kawasan hutan lindung ini banyak dipengaruhi oleh sifat perairan (estuaria) yang dinamis sesuai kondisi musim, masukan air sungai dan pasang surut air laut. a. Kualitas Fisik Air Besarnya pengaruh air sungai yang membawa beban pencemaran nampak dari nilai kadar padatan terlarut maupun padatan tersuspensi yang cukup tinggi. Perairan dengan kepadatan terlarut 21.800-35.390 mg/l telah melampaui batas kelayakan 5.000 mg/l bagi kehidupan biota perairan. Demikian pula kadar padatan tersuspensinya. Namun demikian nilai kekeruhan airnya masih dapat ditolerir bagi kehidupan biota perairan sekitar 15 NTU.(LPP Mangrove, 2004) b. Kualitas Kimia Air Nilai kualitas air berdasarkan data kimiawi secara umum menggambarkan kondisi perairan yang tercemar ringan sampai sedang. Kondisi kualitas air terbaik terdapat di bawah tegakan mangrove pada saat air pasang. Di lokasi ini pH air mendekati netral, serta kadar BOD 0.06 mg/l yang tergolong bak untuk kehidupan biota perairan. Demikian pula rendahnya kadar beracun seperti ammoniak 0,100 mg/l dan nitrit 0,005 mg/l. Satwa Liar Keberadaan jenis-jenis satwa liar sangat berkaitan erat dengan tipe vegetasi di kawasan tersebut. Hutan lindung Angke-Kapuk merupakan kawasan pantai dengan tipe vegetasi mangrove dan merupakan tipe habitat khusus, sehingga satwa liar yang ditemukan di hutan lindung tersebut adalah jenis-jenis burung mandar. Jenis-jenis burung yang terdapat di hutan lindung muara dan sekitarnya serta termasuk jenis yang dilindungi undang-undang atau species migran antara lain: Raja udang biru (Alcedo coerulescens), pecuk ular asia (Anhinga
38
melanogaster), kuntul kecil (Egretta garzetta), ibis rokoroko (Plegadis falcinellus) dan dara laut kumis (Chilidonias hybridus). Berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan baik di areal hutan lindung maupun di areal sekitarnya menunjukkan bahwa keragaman jenis burung masih tergolong tinggi. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan kolam/tambak, baik di dalam maupun di sekitar hutan lindung dan yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan hutan atau pohon. Sebagai tempat istirahat dan tidak jarang sebagai tempat tinggal. Seperti pada jenis pecuk padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris) yang hidup berkelompok dan menjadikan hutan lindung sebagai tempat beristirahat, sedangkan itik benjut (Anas gibberfonts) menjadikan hutan lindung sebagai
tempat
untuk
mencari
makan,
bermain
dan
beristirahat.(lpp
Mangrove,2004) Tata Guna Lahan Kepemilikan pengguna lahan di Kelurahan Kapuk Muara adalah sebagai berikut: 23,2% (pertanian); 5,0% (industri); 53,8% (pemukiman); 3,1% (perkantoran); 0,6% (perdagangan); lain-lain sebesar 14,3%. Di Kamal Muara kepemilikan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: 52,0% (pertanian); 43,87% (perkantoran, pemukiman, dan perdagangan); lain-lain sebesar 4,13%. Khusus di areal hutan lindung, areal yang ada saat ini berupa: -
Areal hutan yang dipadati tegakan pohon/hutan, terutama di sekitar Cengkareng Drain dan sekitar break water PT. Madara Permai.
-
Areal tambak, yaitu areal hutan lindung yang berupa parit atau kolam untuk tambak ikan dan digarap oleh masyarakat
-
Tanggul-tanggul batas tambak, tanggul timbunan sampah dan tanggul pencegah abrasi. Berdasarkan hasil kajian Perencanaan Desain Enjinering Hutan Lindung
Angke Kapuk (1998), berdasarkan fungsi, areal hutan lindung dikembangkan untuk: (1) perlindungan, (2) konservasi, dan (3) rekreasi alam, sedangkan berdasarkan areal kunjungan akan dikembangkan ruang dengan orientasi terhadap: (1) penerimaan, (2) transisi, dan (3) ekologis. Luas areal hutan lindung
39
yang semula hanya 44,67 ha setelah dikembangkan/diperluas diperkirakan akan menjadi 81,7 hektar. Kondisi Ekosistem Mangrove Lebar hutan mangrove bervariasi dari yang terbesar sekitar 300 meter (termasuk endapan terbaru yang ditanami bakau) dan terpendek 10 meter, rata-rata sekitar 50 meter. Jalur sempit tersebut memanjang di sebelah kiri dan kanan Cengkareng Drain kurang lebih sepanjang 4 km. Jenis pohon dominan (terbanyak) total adalah api-api (Avicennia marina) untuk semua zonasi. Tampaknya jenis api-api merupakan jenis asli yang tumbuh alami, buta-buta (Excoecaria agallocha), dan waru laut (Thespesea populnea). Jenis lain seperti bakau (Rhizophora mucronata) merupakan tanaman yang paling berkembang pesat karena merupakan tanaman yang ini merupakan tanaman yang di rekomendasikan untuk penghijauan karena sesuai dan bersifat eksotis selaian itu juga jenis yang lainnya adalah ketapang (Terminalia catappa), sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan jenis exotic (tanaman). Dominansi jenis api-api (Avicennia sp.) yang hampir membentuk tegakan murni selain disebabkan oleh salinitas air yang menggenangi tergolong tinggi (lebih dari 300/ 00 ), juga disebabkan oleh bentuk areal hutan lindung mangrove ini yang berbentuk jalur sempit, sehingga suplai air tawar dan pelumpuran relatif kurang. Sehingga dapat dikatakan bahwa hutan lindung mangrove ini secara alami termasuk zona api-api. Pada beberapa lokasi yang terpencar-pencar dengan jumlah yang kecil terdapat tumbuhan pidada (Sonneatia alba), buta-buta (Excoearia agallocha), waru laut (Hibiscus tiliaceus). Jenis bakau (Rhizophora mucronata) merupakan jenis yang ditanam baik di areal yang berdekatan dengan tambak di luar hutan lindung maupun di dalam hutan lindung. Jenis pohon lain yang ditanam adalah akasia (Acacia auriculiformis) dan flamboyan (Delonix regia). Tumbuhan bawah jarang ditemukan, jenis yang muncul antara lain Aanthus sp., Widelia biflora dan Acrosticum aureum.
40
Potensi Hutan Lindung Angke kapuk Hutan Lindung Angke Kapuk sebagai kawasan perlindungan alam merupakan
salah satu objek potensial untuk tujuan wisata. Dalam rangka
meningkatkan pengembangan bidang Pariwisata di Indonesia juga penunjang sistem pendidikan dan penelitian, yang berperan untuk peningkatan devisa negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk wilayah DKI. Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan objek yang potensial untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya.
Kondisi Fisik Lahan Restorasi Terletak pada permukaan tanah yang relatif datar, elevasi permukaan tanah di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah utara sampai ke tepi pantai. Secara keseluruhan kawasan ini merupakan dataran hasil pengurugan Pada umumnya bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Keadaan tanah di kawasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Bagian utara terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai. 2. Makin rendah ke selatan terdiri dari regosol coklat yang terbentuk dari endapan vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar. 3. Bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua. Air laut jernih terdapat pada jarak > 1.500 dari pantai. Bila dibandingkan dengan dengan tempat-tempat lain di daerah Teluk Jakarta, daerah Pantai Kapuk relatif lebih tenang baik pada musim muson timur, maupun muson barat. Pantai Kapuk yang terletak di belakang Tanjung Pasir menempati posisi yang menguntungkan, karena akan terlindungi oleh Tanjung Pasir pada musim muson barat. a. Gelombang dan Arus Laut Berdasarkan laporan yang disusun ole PT Survindo (1986) tentang karakteristik arus dan gelombang laut yang penting dari arah Barat Laut selama
41
bulan Januari sampai Maret. Pada periode ini tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 1,5 m. Arah gelombang di daerah Kapuk lebih kurang tegak lurus terhadap terhadap garis pantai. Hal ini disebabkan gelombang yang datang dari arah Barat Laut mengalami defraksi di sekitar Tanjung Pasir dan Muara Coba. Gelombang dari arah Timur sedikit mengalami defraksi, sehingga datang dari garis pantai dengan arah yang hampir tegak lurus. Ketinggian gelombang diperkirakan sekitar 1,0 meter dengan periode T = 5 detik. Hal ini berkaitan dengan erat dengan arah dan kecepatan angin. Apabila kecepatan angin kurang, tinggi gelombang semakin rendah dan periode gelombang semakin panjang. Perubahan arah angin atau munculnya angin kuat lain dari arah yang berlawanan akan membangkitkan gelombang lain dari rah yang berlawanan sehingga terjadi interferensi yang saling menguatkan. Pada daerah pantai yang kaya akan hutan rawa, gelombang yang datang akan diserap oleh hutan mangrove tersebut, sedangkan pada pantai-pantai terbuka, terjadi pemantulan gelombang yang akan menimbulkan interferensi saling menguatkan. Kelandaian akan menentukan magnitudo gelombang pantul. Dinding pantai yang terjal dan keras kan membangkitkan gelombang pantul yang kuat. Pada pantai yang landai, meskipun tidak terjadi penyerapan energi, namun gelombang pantul lebih tersebar merata pada bidang yang lebih luas, sehingga efek interferensi saling menguatkan relatif lebih kecil. Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin. Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (DesemberFebruari)dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapai kecepatan 0.25 – 0.50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian adalah 0.10 – 0.13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh PT Survindo bulan Januari 1986, tampak tidak ada pengaruh arus pasang surut terhadap arus laut. Secara rinci kecepatan arus gelombang air laut (m/detik) disajikan pada Tabel 5.
42
Tabel 5. Kecepatan arus gelombang air laut (m/detik) Bulan
Kecepatan (m/detik)
Arah
0.25 – 0.05 0.25 – 0.05 0.25 – 0.05 Lemah, irrregular 0.10 – 0.20 0.20 – 0.40 0.25 – 0.50 0.20 – 0.40 0.15 – 0.30 Lemah, irregular 0.10 – 0.30 0.20 – 0.40
Timur Timur Timur Barat Barat Barat Barat Barat Timur Timur
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember (sumber Amdal PIK,1990)
b. Pasang Surut Pengaruh pasang surut air laut merupakan aspek yang sangat penting dalam pengkajian bentang alam pesisir pantai. Sifat pasang surut untuk daerah perairan Hutan Lindung Angke Kapuk adalah Harian Tunggal. Artinya dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978) dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0.25 m. Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok adalah : − Air pasang tertinggi (HHWS)
1.80 m + PP
− Air pasang rata-rata (MHW)
1.40 m + PP
− Air rata-rata (MSL)
0.95 m + PP
− Air surut rata-rata (MLW)
0.56 m + PP
− Air surut terendah (LLWS)
0.23 m + PP
Pengkajian Variabilitas pasang surut air laut ini ditujukan untuk analisis tentang mekanisme pengikisan pantai dan operasional sisten drainase yag lebih dikhususkan pada analisis kecepatan aliran dan transport sedimen pada Sungai Angke Bawah – Banjir Kanal dan Cengkareng Drain yang berfungsi sebagai Floodway
43
c. Bathymetri Data bathymetri di peroleh dari survey PT. Atelier Indonesia-7 di lepas Pantai Kapuk pada tahun 1987 yang telah dibahas pada ANDAL Kapuk 1987. Dari data hasil survey tersebut diperoleh gambaran : •
Dasar laut mempunyai kemiringan 0.38%
•
Kontur dengan interval 0.5 m sejajar dengan garis pantai
•
Potensi sedimen trasport lumpur Sungai Angke dan Cengkareng Drain cukup luas sekitar 3 km dari pantai
•
Potensi sebaran lumpur Sungai Angke Bawah – banjir Kanal lebih besar dai Cengkareng Drain d. Erosi, Abrasi dan Sedimentasi Secara alami proses erosi, abrasi dan sedimentasi merupakan faktor yang
sangat berperan dalam mengubah bentuk garis pantai , yang bergantung pada jenis dan jumlah sedimen air sungai. Kontinuitas penyebarannya dipengaruhi oleh energi dinamik arus, gelombang dan pasang surut air laut. Faktor alamiah dominnan pengubahan bentang alam pesisir dipengaruhi oleh dinamika enteraksi antara penbentukan delta dan pendangkalan interdelta tinggi gelombang, dan arus laut yang akan menimbulkan suksesi komponen lokal. Pembentukan
delta akibat transport sediment sungai kan berakibat lanjut
terjadinya perubahan arus laut dan berpotensi menimbulkan arus eddy, yang menimbulkan abrasi pada bagian pantai lain di sekitarnya.
e. Hidrologi Hidrogeologi yang bersangkutan dengan daerah tapak, dipengaruhi oleh sungai-sungai utama yang melintasi lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Angke, Sungai Pesangrahan, Sungai Krukut, Sungai Grogol, Sungai Sekretaris, Sungai Sepak dan Sungai Mampang. Luas daerah aliran sungai yang mengalir di daerah tapak, jika digabung mempunyai luas total sekitar 1100 km2 atau 2 kali luas DKI Jakarta yang dibatasi oleh DAS Ciliwung disebelah Timur dan DAS Angke di sebelah Barat. Fungsi dari sungai-sungai tersebut pada skala makro adalah :
44
•
Sebagai pengendali banjir DKI Jakarta
•
Sebagai saluran pembuangan air limbah dan sampah, meskipun tidak seorangpun merekomendasikannya. Sistem aliran sungai Angke dan Cengkareng Drain merupakan sistem aliran
yang menggunkan beban limbah limpahan air yang besar, dimana aliran-aliran sungai besar, yaitu kali Mookervart, Sungai Sepak, Sungai Pesangrahan, Sungai Sekretaris, Sungai Angke, Sungai Grogol, dan Sungai Ciliwung berkumpul. Sungai-sungai tersebut berpotensi menimbulkan banjir rutin,mengingat daerah aliran masing-masing serat dengan pemukiman pada sehingga mempunyai koefisien run-of yang besar. Kualitas air sungai terkait dengan tingkat pelayanan sanitasi di daerah tangkapan air dan morfologi sungai-sungai yang bersangkutan.
Perbedaan
topografi yang tajam antara daerah hulu deangan hilir akan berpengaruh pada laju erosi di daerah hulu serta laju sedimentasi di daerah hilir. Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam dan berbau. Akibat rendanya kecepatan aliran di daerah hilir, kecepatan reoksigenasi menjadi sangat lambat, sehingga kemampuan self purifucation sungai tersebut sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sugai di bagian hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara, yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga mempercepat laju sedimentasi. f. Curah Hujan Berdasarkan
data
curah
hujan
stasiun
Cengkareng
(data
dari
Verhandelingen, 1978) yang merupakan hasil pengamatan selama 30 tahun, curah hujan tahunan sekitar stasiun pengamatan Cengkareng adalah 1.731 mm. Curah hujan bulanan stasiun Cengkareng disajikan pada Tabel 6.
45
Tabel 6. Curah hujan bulanan stasiun Cengkareng No 1
Bulan Januari
Curah Hujan (mm) 294
2
Februari
277
3
Maret
173
4
April
137
5
Mei
127
6
Juni
86
7
Juli
58
8
Agustus
68
9
September
69
10
Oktober
101
11
Nopember
121
12
Desember
86
Sumber: Publ Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia, 1975 Berdasarkan pencatatan di Tanjung Priok dan Kemayoran, curah hujan di sekitarnya adalah 200 mm/bulan. Curah hujan di Tg. Priok tahun 1986 adalah 2050 mm. Dalam setahun tedapat 1 atau 2 bulan lebih rendah dari 60 mm. Yang biasa terjadi
Juli dan Agustus, sehingga dalam klasifikasi Koppen termasuk
daerah dengan iklim Am, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yang dapat mencapai lebih dari 600 mm. Dalam tahun tersebut terdapat 141 hari hujan berkisar dari 7 hari/bulan sampai 25 hari/bulan. Curah hujan berkisar dari 53,6 mm (Mei) sampai dengan 61,3 mm (Januari). Terdapat beberapa hal penting yang dapat dikemukakan pada data curah hujan bulanan, yaitu : •
Angka curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (294 mm), terlihat pola datangnya hujan yang cukup jelas, yaitu sejak Oktober sampai Januari, sedangkan bulan-bulan berikutnya semakin berkurang.
•
Angka curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (58 mm), sedangkan pada bulan-bulan berikutnya meningkat hingga Oktober.
•
Pola curah hujan berkaitan dengan pergeseran garis Intertrophic Convergence Zone (Pias Korvengensi Intertropis) yang bergerak dari Utara ke Selatan (dari
46
Laut Jawa ke Samudra Hindia) melalui Pulau Jawa pada bulan Desember sampai Pebruari. •
Walupun wilayah kajian ini merupakan wilayah yang curah hujannya paling rendah, tetapi merupakan wilayah akumulasi limpasan hujan daerah selatan yang curah hujannya cukup tinggi. g. Suhu dan Kelembaban Nisbi Suhu harian terendah adalah 21oC - 24oC dan suhu harian tertinggi 29oC –
33,5oC dengan rata-rata 26oC - 28oC. Kelembaban nisbi udara 76% sampai 86%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Teknik Restorasi Mangrove Memperhatikan sistem penanaman mangrove adalah sebuah desain konstruksi bagi kegiatan rehabilitasi mangrove di lahan restorasi hutan lindung angke kapuk. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor oseanografi dan kondisi biofisik lingkungan yang kemudian diformulasikan Konstruksi lahan dengan teknik pengurugan dilaksanakan karena kondisi lokasi yang terkena abrasi sehingga perlu dilakukan suatu rekayasa yang bertujuan untuk memperoleh kesesuaian tempat tumbuh.. Pembangunan breakwater permanen atau sea defence yang dibangun di lepas pantai dimaksudkan untuk menahan hempasan gelombang laut dan menahan tumpukan urugan tanah sebagai media tumbuhnya mangrove di belakang bangunan breakwater tersebut. Dalam hal ini persyaratan utama breakwater yang akan dibangun adalah selain dapat secara efektif menahan hempasan gelombang laut dan media tanah, juga harus dapat menjamin masuk pasang surut air laut ke areal penanaman mangrove di belakangnya, sehingga keberadaan breakwater tersebut tetap menjamin sirkulasi air laut untuk pertumbuhan mangrove secara optimal. Adapun breakwater yang dibangun di kiri kanan saluran air/sungai dimaksudkan untuk menahan tumpukan urugan tanah/media tumbuh mangrove sekaligus sebagai penguat pematang saluran air/sungai. Breakwater yang dibangun adalah breakwater model Rubber Mould yang pada dasarnya breakwater model tersebut terdiri atas tumpukan batu mulai dari ukuran besar di bagian atas kecil di bagian dalamnya. Dimensi breakwater ini ditentukan berdasarkan pertimbangn kecepatan arus, kemiringan pantai dan daya dukung tanah dasar laut. Ketinggian pengurugan ditetapkan sama dengan Mean Water Level (MWL) agar pada saat air pasang kondisi mangrove yang ditanam di tanah urugan akan terendam yaitu setinggi 2 m. Desain Konstruksi Rehabilitasi Mangrove Gambar 7.
48
Gambar 7. Desain Konstruksi Rehabilitasi Mangrove
Untuk memudahkan penampang yang menujukkan ketinggian relatif penanaman tanaman bakau (Rhizophora mucronata) maka desain Ketinggian Relatif Penanaman Mangrove disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Desain Ketinggian Relatif Penanaman Mangrove
49
Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) yang diamati pertumbuhannya adalah tanaman hasil penanaman (reboisasi) yang dilakukan dalam waktu yang berbeda (tahun 2007, 2008, 2009).
Teknik tanam yang dipergunakan dalam
pelaksanaan reboisasi sama, yaitu dengan teknik tanam dengan jarak 1m x 1m. Sedangkan bibit tanaman yang dipergunakan adalah jenis Bakau (Rhizophora mucronata) yang berasal Wilayah sekitar Muara Angke (DKI Jakarta) dan dari Muara Gembong (Bekasi). Bibit tanaman Bakau merupakan hasil pembibitan yang berasal dari propagul dimasukkan dalam polybag yang telah diberi media (tanah lumpur).Tinggi bibit tanaman bakau saat ditanam berkisar antara 50 – 100 cm, dengan kondisi siap tanam, dan telah diberi perlakukan adaptasi 10 – 15 hari. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman dilakukan pada Stasiun 1 (tahun tanam Desember 2007 terdiri dari Sub-stasiun 1 dan Sub-stasiun 2) Stasiun 2, (tahun tanam Juni 2008 terdiri Sub-stasiun 3 dan Sub-stasiun 4), Stasiun 3 (tahun tanam Desember 2008 terdiri dari (Sub-stasiun 5 dan sub-stasiun 6) dan stasiun 4, tanaman Maret 2009 terdiri dari sub-stasiun 7 dan sub-stasiun 8. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Diameter batang diukur pada titik yang telah ditentukan, sedangkan tinggi total diukur dengan menggunakan galah. Pengukuran dilakukan 1 kali/minggu, dan seterusnya terhadap unit populasi tanaman bakau (10 batang). Beberapa ahli mendefinisikan pertumbuhan tanaman sebagai proses pembelahan dan pemanjangan sel, ahli tanah umumnya mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bahan kering. Definisi ini meliputi proses deferensiasi yang besar sumbangannya dalam penimbunan bahan kering, dalam analisis akhir, perkembangan dan morfogenesis tanaman yang merupakan akibat dari ketiga hal berikut: pertumbuhan karena pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel. Pertumbuhan suatu pohon adalah pertambahan tumbuh dalam besar dan pembentukan jaringan baru, pertumbuhan tersebut dapat pula diukur dari berat seluruh tanaman (biomassa), dan juga meliputi pertumbuhan bagian atas dan bagian bawah.
50
Pertumbuhan Tanaman Bakau (Rhizophora mucronata). Pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon tergantung pada ruang tumbuh, permukaan tajuk dan kelembaban nisbi serta system perakaran, juga dipengaruhi oleh iklim dan kesuburan tanah. Rata-rata pertumbuhan tanaman bakau (tinggi dan diameter) dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Tinggi Tanaman dan Diameter Tanaman Pada Sub-Stasiun Sub-stasiun
Rata-rata tinggi (cm)
Rata-rata diameter (cm)
1 (16 bulan)
148,820a
6,193a
2 (16 bulan)
129,480b
6,077a
3 (12 bulan)
142,820a
5,628b
4 (12 bulan)
140,650a
5,745a
5 (6 bulan)
106,000c
3,894b
6 (6 bulan)
104,900c
3,327b
7 (3 bulan)
60,052d
3,894b
8 (3 bulan)
60,389d
3,327b
Keterangan : Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p<5%).
Rata-rata Tinggi Dari hasil perhitungan rata-rata tinggi tanaman pada berbagai umur tanam R. mucronata seperti yang disajikan pada Tabel 7. bahwa rata-rata tinggi terbesar yaitu pada sub-stasiun 1, 3 dan 4 (menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 %). Pada sub-stasiun 1 (148,820 cm) diikuti sub-stasiun 3 (142,82 cm) dan
sub-stasiun 4 (140,65 cm). Sub penelitian 1 dengan (3 dan 4)
mempunyai umur yang berbeda namun mempunyai tinggi terbesar dan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh banyak faktor selain umur. McGuinness (1997) mengemukakan bahwa banyak faktor yang bekerja dengan sangat komplek dan berpengaruh terhadap penyebaran dan pertumbuhan mangrove terhadap penyebaran dan pertumbuhan mangrove termasuk di dalamnya adalah salinitas, pengeringan karena pasang surut, gangguan, persaingan dan pemangsaan. Demikian juga hasil penelitian Ogrady et al. (1996) terhadap tanaman Avicennia marina dan R. Stylosa menunjukkan bahwa variasi
51
berbagai faktor lingkungan didalam dan antar lokasi habitat mangrove sangat heterogen. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahkan demikian berada dalam proses pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro. Walaupun jumlahnya sedikit, pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan selanjutnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat nyata (Soepardi, 1983). Rata-rata tinggi tanaman terendah pada sub-stasiun 7 (60,05 cm) dan substasiun 8 (60,389 cm), dari data terlihat bahwa umur tanaman lebih muda dibandingkan dengan sub-stasiun lainnya. Untuk melihat secara lebih jelas ratarata tinggi tanaman masing-masing sub-stasiun dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rata-rata tinggi tanaman masing-masing sub-stasiun
Pada Gambar 9. dapat dilihat bahwa rata-rata tinggi tanaman terbesar secara berturut-turut adalah sub-stasiun 1 (148,82 cm), sub-stasiun 3 (142,82 cm), sub-stasiun 4 (140,65 cm), sub-stasiun 2 (129,433 cm), sub-stasiun 5 (104,90 cm), sub-stasiun 6 (106,792 cm), sub-stasiun 7 (60,05 cm) dan sub-stasiun 8 (60,389 cm). Hasil penelitian Kusmana (2009) mengamati pertumbuhan R. mucronata umur 10 bulan dengan teknik guludan di Muara Angke memiliki pertumbuhan
52
tinggi tanaman 116,63 cm (jarak tanam 1 x 1 m) dan jarak tanam 116.78 cm (1/2 x ½ m).
Rata-rata Diameter Variabel pertumbuhan rata-rata diameter tanaman R. mucronata pada masing-masing sub stasiun dengan berbagai tahun tanam lebih diperjelas pada Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata Diameter Tanaman Masing-masing Sub-Stasiun
Pada penelitian ini dengan menggunakan jarak 1 m x 1 m didapatkan hasi bahwa rata-rata diameter tanaman tertinggi yaitu pada sub stasiun 1 (umur 18 bulan) yaitu sebesar 6,193 cm, dan rata-rata diameter terendah adalah pada sub stasiun 6 (umur 6 bulan) sebesar 2,241 cm. Hasil penelitian Kusmana (2009) mengamati pertumbuhan R. mucronata umur 10 bulan dengan teknik guludan di Muara Angke memiliki rata-rata diameter tanaman 2,44 cm (jarak tanam 1 x 1 m) dan jarak tanam 2,47 cm (1/2 x ½ m).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulia (1993), pada jarak tanam yang berbeda didapatkan bahwa sewaktu tanaman berumur satu sampai lima tahun pertumbuhan tinggi lebih cepat terjadi pada tanaman yang ditanam lebih rapat dibandingkan dengan tanaman yang ditanam dengan jarak tanam yang jarang. Dijelaskan pula oleh Anwar et al. (1984) dalam Gunawan (1994) bahwa zona
53
hutan mangrove yang didominir oleh Rhizopora spp. lebih banyak dijumpai pada kondisi tanah yang agak basah dan lempung yang agak dalam. Hubungan tinggi dan diameter yang terlihat di gambar 11di bawah ini :
Keterangan:
Tingkat pertumbuhan tinggi Tingkat pertumbuhan diameter
Gambar 11. Hubungan Diameter dan tinggi Hasil data menunjukkan hubungan diameter dan tinggi berbanding lurus, semakin
tinggi
tanaman
bakau
(Rhizopora
mucronata)
semakin
besar
diameternya. Pertambahan Tinggi dan Diameter Tanaman Untuk menganalisis rata-rata pertambahan pertumbuhan tanaman dengan parameter pertambahan tinggi dan diameter maka dilakukan dengan Uji F yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Rata-rata pertambahan tinggi secara rinci disajikan pada Tabel 8. Rata-rata pertambahan tinggi secara rinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Duncan pertambahan tinggi tanaman (pengukuran 8 minggu) Subset for alpha = 0.05 Sub stasiun N 1 2 3 4 8 30 0.1373 (d) 7 30 0.1853 (d) 6 30 0.7323 (c) 5 30 0.7757 (c) 4 30 1.3097 (b) 3 30 1.3663 (b) 2 30 1.4929 (b) 1 30 2.2307 (a) Sig. 0.605 0.641 0.062 1.000
54
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan pada kolom yang sama tidak beda nyata (alpha 5 %). Huruf yang berbeda pada kolom yang beda menunjukkan berbeda nyata (alpha 5 %). Tabel 9 Hasil uji Duncan pertambahan diameter tanaman (pengukuran 8 minggu) Subset for alpha = 0.05 Sub stasiun N 1 2 3 5 30 0.0334 (c) 7 30 0.0334(c) 6 30 0.0338(c) 8 30 0.0338(c) 3 30 0.0400(c) 0.0400(b) 4 30 0.0429(b) 1 30 0.0591(a) 2 30 0.0599(a) Sig. 0.156 0.491 0.848 Keterangan: huruf yang sama menunjukkan pada kolom yang sama tidak beda nyata (alpha 5 %). Huruf yang berbeda pada kolom yang beda menunjukkan berbeda nyata (alpha 5 %). Pengurutan berdasarkan subplot pertambahan
tinggi dan pertambahan
diameter (pengukuran 8 minggu) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata pertambahan tinggi dan pertambahan diameter (pengukuran 8 minggu) Sub plot Rata-rata pertambahan Rata-rata pertambahan diameter (cm) tinggi (cm) 1
2.2133a
0.0600a
2
1.4857b
0.0590a
3
1.3663b
0.0400bc
4
1.3097b
0.0334b
5
0.7757c
0.0334c
6
0.7323c
0.0338c
7
0.1853d
0.0334c
8
0.1373d
0.0338c
Keterangan : Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p<5%).
55
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi terbesar terdapat pada sub-stasiun 1 (2.2133) berbeda nyata dengan tujuh sub-stasiun lainnya. rata-rata pertambahan tinggi terkecil terdapat pada sub-stasiun 7 (0.1853 cm) dan sub-stasiun 8 (0.1373 cm ). Untuk melihat rata-rata tinggi secara lebih jelas dapat pula dilihat pada Gambar 9. Penelitian mengenai pertumbuhan bibit R. mucronta dilakukan oleh Jumiati (2008) yang
dilakukan di Tarakan, Kalimantan menunjukkan
pertambahan tinggi pada bibit R. mucronata yang ditanam pada berbagai zona. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada bibit R. mucronata yang ditanam pada zona darat (5,2 cm/minggu), zona tengah (1,6 cm/minggu) dan zona laut (7,2 cm/minggu).
Rata-rata pertambahan tinggi (cm) Rata-rata pertambahan tinggi tanaman R.mucronata pada masing-masing sub stasiun dengan berbagai tahun tanam lebih diperjelas pada Gambar 12.
Gambar 12. Rata-rata pertambahan tinggi tanaman masing-masing sub-stasiun
Rata-rata pertambahan tinggi terbesar yang disajikan pada Gambar 12 secara berurutan adalah, sub 1,2,3,4,5,6,7, dan 8. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur tanaman maka semakin tinggi pula pertambahan tingginya.
56
Pada sub penelitian 7 dan 8 menunjukkan pertambahan tinggi terendah hal ini dimungkinkan pertumbuhan tanaman masih dalam kondisi adaptasi. Penelitian yang dilakukan Santoso et al (2007),
hasil pengamatan
terhadap pertumbuhan tinggi pidada di SM Angke, tinggi total tanaman menunjukkan bahwa pertambahan tinggi rata-rata sebesar 18,5 cm/bulan sampai 42 cm/bulan, tergantung dari tahun tanam dan kondisi lingkungan. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pidada adalah kedalaman lumpur dan tahun tanam. Pengukuran pada 25 Januari 2004, dilakukan terhadap tanaman dengan umur 4 tahun (tanam Desember 1999), 2 tahun (tahun tanam 2002) dan tanaman umur 1 tahun (tahun tanam 2003). Pada kondisi lingkungan yang tergenang atau terkena pasang surut menunjukkan kondisi pertumbuhan tinggi lebih besar (41,8 cm/bulan) dibandingkan pada kondisi lingkungan yang jarang/tidak tergenang (29,2 cm/bulan). Aksornkoae, (1993) meneliti di Ranong-Thailand bahwa pertumbuhan tinggi Sonneratia ovata hutan alam pada pohon berdiameter 34,1 cm sekitar 0,56 cm/tahun. Penelitian Hutahaean et al. (1999) di rumah kaca menunjukkan bahwa pertambahan tinggi rata-rata pada jenis Rhizophora mucronata pertumbuhan yang paling baik diperoleh pada salinitas 7.50 - 15.0 ppt, dengan pertambahan tinggi rata-rata mencapai 2.48 cm/minggu, kemudian diikuti pada salinitas 0 - 7.50 ppt dengan nilai pertambahan tinggi 2.22 cm/minggu dan salinitas 15.0 - 22.5 ppt dengan tinggi 1.7 cm/minggu. Sedangkan pertambahan tinggi total rata-rata yang paling kecil diperoleh pada salinitas 22.5 - 30.0 ppt dengan pertambahan 1.26 cm. Rata-rata pertambahan diameter Untuk melihat rata-rata pertambahan diameter R. mucronata pada berbagai sub stasiun (umur yang berbeda) disajikan pada Gambar 13.
57
Gambar 13. Rata-rata Pertambahan Diameter Tanaman Tiap Sub-Stasiun
Rata-rata pertambahan diameter terbesar yang disajikan pada Gambar 13 secara berurutan adalah, sub-stasiun 1, 2, 4, 3, 8, 6, 5 dan 7. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi umur tanaman maka semakin tinggi pula pertambahan diameternya. Santoso et al (2007) pertumbuhan diameter pidada SM Angke menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter berkisar antara 1,75 cm/bulan sampai 3,45 cm/bulan. Pertumbuhan diameter pada tanaman umur 4 tahun (tahun tanam 1999) lebih tinggi (3,45 cm/bulan) dibandingkan dengan tanaman umur 2 tahun (tahun tanam 2002) sebesar 1,75-2,83 cm/bulan dan umur 1 tahun (tahun tanam 2003) sebesar 2,4 cm/bulan. Kondisi lingkungan (tergenang dan kedalaman lumpur) berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter. Dimana kedalaman lumpur yang dangkal (tahun tanam 1999) menunjukkan pertumbuhan diameter paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Sebaliknya kedalaman lumpur yang dalam (> 1 meter) menunjukkan pertumbuhan diameter yang lebih lambat. Hubungan antara pertambahan tinggi dan diameter tergambar pada gambar 14 di bawah ini:
58
Keterangan:
Tingkat pertumbuhan tinggi Tingkat pertumbuhan diameter
Gambar 14. Hubungan pertambahan tinggi dan pertambahan diameter Hasil data menunjukkan hubungan pertambahan diameter dan tinggi berbanding lurus, semakin tinggi pertambahan tanaman bakau (Rhizopora mucronata) semakin besar pertambahan diameternya. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan secara bersama dari dua faktor respon tersebut. Tabel 11.Riap tinggi dan diameter Rhizophora mucronata Sub Stasiun
MAI Tinggi (cm/thn)
Diameter (cm/thn)
8 (3 bulan)
111.895
4.656
7 (3 bulan)
97.353
4.569
6 (6 bulan)
142.820
5.628
5 (6 bulan)
140.650
5.745
4 (12 bulan)
212.000
7.788
3 (12 bulan)
209.800
6.654
2 (16 bulan)
240.208
15.576
1 (16bulan)
241.556
13.308
Berdasarkan Tabel 11, pertumbuhan anakan mangrove yang ditanam dengan teknik restorasi, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya umur ,maka semakin besar riap diameter dan riap tinggi. Nilai Riap tinggi pada plot 1
59
yaitu sebesar 241,556 cm/thn. Riap diameter tinggi terkecil yaitu pada plot ke 7 yaitu 97,353cm/tahun. Pada Riap tinggi. Sedangkan untuk nilai riap diameter tertinggi pada substasiun 1 yaitu sebesar 13.308 dan terkecil 4,656 cm/tahun
Identifikasi Kualitas Tempat Tumbuh Mangrove Karakteristik lingkungan bagi tumbuhnya jenis oleh : 1) tanah dengan salinitas yang tinggi atau adanya air laut,
2) zonasi dengan jenis tanaman
mangrove yang dapat tumbuh hanya pada kondisi fisiologis spesifik, termasuk garam (salinitas) suhu. Untuk dapat tumbuh pada substrat yang tergenang air laut, tanaman mangrove harus mempunyai kestabilan ekosistem yang ada di permukaan air dengan osmosis yang lebih rendah daripada tekanan air laut, dalam hal ini kemungkinan adanya kandungan air dalam tanaman mangrove perlu diuji dengan mengukur komposisi komponen garam dan asam organik pada daun, sebagai pengukur tekanan osmotik, dan membandingkannya dengan tekanan osmotik dari bagian mangrove yang berada di dalam air laut (terendam air laut). Tanaman mangrove dari suatu jenis melepaskan elektrolit dari daun ketika menyerap air dari laut dan tanaman mangrove lain menyerap sejumlah tertentu garam dari air laut dan melepaskannya dari kelenjar garam. Menurut Gunawan (1994), bahwa salinitas tanah dan air dari suatu tempat ke tempat lain di hutan mangrove sangat bervariasi, baik pada waktu terjadinya pasang surut maupun pada tempat tumbuh yang berbeda. Salinitas pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara tinggi dan frekuensi pasang air laut, masukan air tawar, topografi dan penguapan. Secara umum tumbuhan di hutan mangrove mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 90% atau 2,5 kali salinitas aur laut. Perkembangan hutan mangrove yang paling baik terjadi di bagian yang yang dipengaruhi oleh air tawar secara terus menerus, sehingga air tawar mengurangi kadar garam dalam tanah dan di dalam air laut, sehingga setiap perubahan yang mempengaruhi laju masuknya air tawar ke dalam ekosistem hutan mangrove akan mempunyai dampak yang cukup berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove.
60
Menurut Gardner et al (1991) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain tanah dan iklim. Faktor iklim antara lain seperti cahaya, temperatur, air, panjang hari, angin dan lain-lain. Faktor tanah seperti tekstur, struktur, bahan organik, kapasitas tukar kation, pH dan sifak kimia lainnya seperti C, N, P dan K. Hasil penelitian kondisi tempat tumbuh R. Mucronata disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Kondisi tempat tumbuh R. mucronata. Sub-
pH
C
N
P
K
KTK
1
4,2
21,21
0,9
14,5
0,81
24,52
2,8
25,1
72,1
12
2
4,6
17,54
0,7
18,7
0,76
31,55
4,6
21,2
74,2
10
3
4,5
21,46
0,8
21,7
0,72
28,31
5,1
15,3
79,6
14
4
4,4
16,35
0,8
26,7
0,86
22,94
2,7
14,6
82,7
15
5
4,7
17,32
0,8
21,8
0,69
26,73
3,1
20,4
76,5
14
6
4,3
14,93
0,8
7,12
0,64
29,47
11,4
20,2
68,4
12
7
4,4
21,46
0,7
17,8
0,65
24,15
3,7
20,1
76,2
15
8
4,4
24,63
0,9
18,4
0,72
26,77
4,1
13,9
82
15
stasiun
Pasir Debu Liat Salinitas
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa kisaran salinitas (10-15 ppt) hal ini menunjukkan bahwa R. mucronata yang ditanam pada lokasi penelitian (Muara Angke, Jakarta) masih dalam kisaran normal. Dimana menurut penelitian (Hutahaean 1999) pada jenis Rhizophora mucronata pertumbuhan yang paling baik diperoleh pada salinitas 7.50 - 15.0 ppt, dengan pertambahan tinggi rata-rata mencapai 2.48 cm, kemudian diikuti pada salinitas 0 - 7.50 ppt dengan nilai pertambahan tinggi 2.22 cm dan salinitas 15.0 - 22.5 ppt dengan tinggi 1.7 cm. Sedangkan pertambahan tinggi total rata-rata yang paling kecil diperoleh pada salinitas 22.5 - 30.0 ppt dengan pertambahan 1.26 cm. Pada penelitian Hutahaean (1999) untuk melihat pertumbuhan
jenis
Rhizophora mucronata pertumbuhan tinggi yang baik diperoleh pada salinitas 7.5 - 15.0 dan 0.0 - 7.5 ppt. Kusmana (1983) menyatakan kisaran salinitas untuk Rhizophora mucronata adalah 12 - 30 ppt. Pada anakan Bruguiera gymnorrhiza pertumbuhan tinggi yang baik diperoleh pada salinitas 0.0 - 7.5 ppt dan 7.5 - 15.0 ppt. Kristijono (1977) menemukan bahwa Bruguiera gymnorrhiza tumbuh pada
61
daerah dengan salinitas 10 - 20 ppt. Sedangkan pada jenis Avicennia marina pertumbuhan yang baik juga diperoleh pada salinitas 0.0 - 7.5 ppt dan 7.5 - 15.0 ppt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari kapasitas tukar kation (KTK), KTK tetinggi adalah pada sub-stasiun 2 (31,55 me/100 g) dan KTK terendah pada sub-stasiun 4 (22,94 me/100g ). KTK pada sub-stasiun 4 lebih rendah karena kondisi tanah kering dan pasang surut yang tidak teratur. Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa KTK menunjukkan kemampuan menyerap dan mempertukarkan kation-kation dengan akar tanaman. KTK merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa KTK merupakan banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat diserap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 g). KTK merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara yang lebih baik daripada KTK rendah. Hubungan faktor tempat tumbuh pada berbagai substasiun dapat dilihat pada Gambar 15.
Keterangan :
Titik : sub stasiun pengamatan Angka 1-8 : merupakan substasiun 1-8
Gambar 15. Hubungan faktor tempat tumbuh pada berbagai sub-stasiun
62
Berdasarkan Gambar 15 di atas, bahwa sifat fisik yang berkorelasi positif antara lain adalah kandungan debu, permeabilitas tanah, pasir dan
porositas
tanah. Sifat kimia tanah yang berkorelasi positif dengan produktivitas antara lain KTK, N, P, dan C. Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa unsur C, N, P dan K merupakan unsur hara makro yang sangat esensial bagi tanaman dan fungsinya dalam tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat dalam jumlah yang cukup di dalam tanah maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Pada umumnya respon pertumbuhan tinggi yang baik diperoleh pada salinitas yang rendah. Hal ini terjadi karena tumbuhan mangrove bukan merupakan tumbuhan yang membutuhkan garam (salt demand) tetapi tumbuhan yang toleran terhadap garam (salt tolerance). Aksornkoae (1993) meneliti unsurunsur mineral yang dibutuhkan tanaman mangrove untuk pertumbuhan, dan disebutkan bahwa unsur mineral yang dibutuhkan terdiri dari unsur makro yaitu N, P, S, K, Ca dan Mg serta unsur mikro yang terdiri dari Zn, Mn dan Cu. Dari hasil penelitian ini ditunjukkan bahwa unsur Na dan Cl tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman mangrove. Selanjutnya dilaporkan bahwa jenis Avicenia marina di Australia tumbuh pada tingkat salinitas 85 ppt. Meskipun disebutkan bahwa jenis ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, tetapi dari hasil perkembangannya tanpa kestabilan ekosistem terjadi adanya dampak pada tingkat pertumbuhan. Korelasi Antar Variabel Kondisi Tempat Tumbuh Untuk melihat variabel tempat tumbuh dan pertumbuhan dianalisis dengan analisis korelasi dengan software Minitab 15. Penggambaran korelasi antar variabel tempat tumbuh dan variabel pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 13.
63
Tabel 13. Penggambaran korelasi antar variabel tempat tumbuh dan variabel pertumbuhan pH, C
C,
N,
P,
K,
KTK,
Pasir,
Debu,
Liat
Salinitas
t_growth
-0.188 0.656
N
P
K
-0.473
0.392
0.236
0.337
0.516
0.12
-0.118
0.191
0.778
0.781
-0.169
-0.034
0.298
0.543
0.689
0.937
0.473
0.165
0.39
-0.231
-0.287
-0.387
-0.376
0.34
0.582
0.491
0.344
0.358
Pasir
-0.235
-0.429
-0.093
-0.767
-0.576
0.568
0.576
0.289
0.827
0.026
0.135
0.142
Debu
-0.185
-0.223
-0.112
-0.518
-0.087
0.105
0.042
0.66
0.596
0.792
0.189
0.837
0.805
0.283
0.425
0.142
0.854
0.403
-0.412
0.921 0.613
-0.815
0.498
0.294
0.736
0.007
0.323
0.31
0.106
0.014
-0.006
0.394
0.205
0.489
-0.055
-0.7
-0.35
-0.648
0.716
0.989
0.334
0.627
0.219
0.898
0.053
0.395
0.082
0.046
-0.202
-0.208
0.184
0.066
0.68
0.026
-0.21
0.456
-0.239
-0.559
0.631
0.622
0.663
0.877
0.063
0.951
0.256
0.569
0.149
-0.143
-0.058
-0.007
0.017
0.645
0.179
0.618 0.286
0.512
-0.239
-0.717
0.847
0.736
0.891
0.988
0.967
0.084
0.671
0.492
0.195
0.569
0.045
0.008
KTK
Liat
Salinitas
t_growth
d_growth
Ket: nilai yang diberi warna gelap berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Angka negative menunjukkan korelasi yang negatip, sedangkan angka positif menunjukkan korelasi yang positif.
Beberapa variabel tempat tumbuh berkorelasi erat antara lain pasir dan P, liat, KTK dan salinitas, debu berkorelasi positif dengan tinggi dan diameter. Debu dan liat mempunyai nilai korelasi yang negatif, semakin tinggi nilai debu maka nilai liat semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Liat dan salinitas mempunyai korelasi yang positif dimana, semakin tinggi nilai liat maka semakin tinggi pula nilai salinitas dan sebaliknya. Diameter dan salinitas mempunyai
korelasi negatif, dimana semakin
tinggi salinitas maka diameter semakin kecil dan sebaliknya jika salinitas rendah maka pertambahan diameter semakin besar. Diameter dan tinggi mempunyai korelasi yang positif, artinya semakin besar tinggi maka diameter semakin besar
64
dan demikian juga sebaliknya jika diameter semakin besar maka nilai tinggi akan semakin besar. Pasir dan Posfor mempunyai korelasi mempunyai korelasi yang negatif, artinya semakin tinggi nilai posfor maka nilai pasir semakin rendah dan sebaliknya. Liat dan Posfor mempunyai korelasi yang positif, dimana semakin tinggi nilai P maka semakin tinggi kandungan liat dan sebaliknya. KTK dan salinitas mempunyai korelasi yang negative, artinya semakin tinggi nilai KTK maka semakin rendah nilai salinitas dan sebaliknya. Hubungan Variabel kondisi tempat tumbuh dan pertumbuhan Berdasarkan pertumbuhan tanaman Bakau hasil dari riap tumbuh menunjukkan hubungan pertambahan diameter dan tinggi berbanding lurus, semakin tinggi pertambahan tanaman bakau (Rhizopora mucronata) semakin besar pertambahan diameternya. Nilai Riap tinggi pada plot 1 yaitu sebesar 241,556 cm/thn. Riap diameter tinggi terkecil yaitu pada plot ke 7 yaitu 97,353cm/tahun pada riap tinggi. Sedangkan untuk nilai riap diameter tertinggi pada substasiun 1 yaitu sebesar 13.308 dan terkecil 4,656 cm/tahun. Hal ini menunjukkan adanya respon dari faktor kondisi tempat tumbuh dan pertumbuhan riap tanaman bakau. Hasil penelitian menujukkan Pada tabel 13. variabel kondisi tempat pasir dan P, liat, KTK dan salinitas, debu berkorelasi positif dengan tinggi dan diameter. Seperti pasir (0,0026) dan liat (0,007) mempunyai nilai korelasi dengan di atas kepercayaan 95% yang menunjukkan bahwa kondisi tempat tumbuh jenis tanaman bakau di pengaruhi dominan adanya porositas pembentuk media tanam.Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan pemulihan sifat fisik tanah terutama yang berkaitan dengan bobot isi dan porositas tanah yang tidak berbeda nyata (relatif sama) pada setiap substasiun. Untuk menggambarkan status kondisi tempat tumbuh pada setiap substasiun maka hasil uji laboratorium secara keseluruhan menunjukkan kategori sedang yaitu berkisar 14,93 -24,63% sedangkan tergolong rendah yaitu 0,7-0,9 g/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan C dan N terbesar pada subtasiun 1 dan sub stasiun 8 yang menunjukkan adanya perbedaan nyata.
65
Pengelompokan substasiun berdasarkan tahun tanam berdasarkan indikator kualitas tanah dilakukan dengan menggunakan B plot (cluster dan gerombol). Prinsip analisis ini didasarkan pada ukuran kemiripan (kedekatan) dari setiap substasiun.
Indikator-
pH,C,N,P,K,KTK,Salinitas
indikator dan
fisik
yang tanah.
digunakan
Klasifikasi
diarahkan
adalah untuk
mengevaluasi dari segi indikator kualitas tanahnya. Hasil analisis di tampilkan dalam bentuk tabel B-Plot pada gambar.15 menunjukkan bahwa berdasarkan ukuran kedekatan indikator kualitas tanah maka substasiun dikelompokkan atas 4 gerombol. Substasiun 1 dan 2 masuk ke dalam gerombol 1, substasiun 4 dan 5 masuk pada gerombol 2, substasiun 3,7 dan 8 masuk dalam gerombol 3 dan sub stasiun 6 masuk pada gerombol 4. 1. Gerombol (cluster) 1 Pada gerombol ini indikator kualitas tanah di pengaruhi oleh KTK dan Debu dalam hal ini dapat di katakan bahwa kualitas tanah pada substasiun 1 dan substasiun 2 mencerminkan kualitas tanah pada lokasi ini mempunyai pengaruh yang nyata mengingat rata-rata pertambahan tinggi dan pertambahan diameter terbesar yaitu (2.2307 cm) untuk tinggi dan sub stasiun 1 (0,0591cm) dan 2 (0,0599) berbeda nyata dengan tujuh sub stasiun lainnya. Hasil ini di duga adanya perbaikan tempat tumbuh yang terjadi setelah masa selama 16 bulan. 2. Gerombol 2 Substasiun yang termasuk dalam gerombol ini memiliki nilai indikator K,P,Liat dan PH yang mempunyai nilai sedang, sedangkan untuk peubah lainnya sama dengan rataan keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tanah pada substasiun ini di bawah rataan keseluruhan sehingga membutuhkan perbaikan tanah agar kemampuan lebih besar dalam mendukung pertumbuhan tinggi tanaman. 3. Gerombol 3 Substasiun yang termasuk dalam gerombol ini memiliki nilai indikator Salinitas,C,N dan pasir yang mempunyai nilai sedang, sedangkan untuk peubah lainnya sama dengan rataan keseluruhan. Hal ini menunjukkan seperti pada gerombol 1 bahwa kualitas tanah pada substasiun ini di bawah rataan keseluruhan sehingga membutuhkan perbaikan tanah agar kemampuan lebih besar dalam
66
mendukung pertumbuhan tinggi tanaman,mengingat pada substasiun ini mempunyai pertambahan tinggi terendah yaitu 7 (0.1853 cm) dan sub stasiun 8 (0.1373 cm). 4. Gerombol 4 Pada gerombol ini indikator kualitas tanah di pengaruhi oleh pasir dalam hal ini dapat di katakan bahwa kualitas tanah pada substasiun 6 mencerminkan kualitas tanah pada lokasi ini mempunyai pengaruh porositas fisik yang besar tetapi pertumbuhan tanaman normal yang diduga pada paramater lainnya terdapat indikator peubah yang normal.
67
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Lahan restorasi dengan bahan urugan tanah mempunyai kualitas habitat cukup baik bagi tempat tumbuh tanaman bakau (Rhizophora mucronata). 2) Hasil pertumbuhan tanaman Bakau (Rhizophora mucronata) berdasarkan pengukuran rata-rata pertambahan tinggi terbesar terdapat pada sub stasiun 1 (2.2307) berbeda nyata dengan tujuh sub stasiun lainnya karena diduga adanya perbaikan kualitas tempat tumbuh. rata-rata pertambahan tinggi terkecil terdapat pada sub stasiun 7 (0.1853 cm) dan sub stasiun 8 (0.1373 cm). Ratarata pertambahan diameter terbesar terdapat pada sub stasiun 1 (0,0591cm) dan 2 (0,0599) berbeda nyata dengan tujuh sub stasiun lainnya. 3) Karakteristik tempat tumbuh untuk faktor Kapasitas tukar kation (KTK) dan debu , KTK tertinggi adalah pada sub stasiun 2 (31,55 me/100 g) dan KTK terendah pada sub stasiun 4 (22,94 me/100g ). KTK pada sub stasiun 4 rendah di duga karena kondisi tanah kering dan adanya pemadatan sedimen. Saran 1) Perlu diadakan penelitian berkala mengenai pertumbuhan tanaman bakau Rhizophora mucronata di lahan restorasi untuk menguji keberlanjutan penelitian ini di Hutan Lindung Angke Kapuk 2) Perlu diadakan penelitian mengenai keberhasilan program restorasi di Hutan Lindung Angke Kapuk sebagai panduan untuk program restorasi di kawasan lainnya.
69
PUSTAKA Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. The International Union of Nature and Natural Resources (IUCN) Wetlands Programme. Bangkok, Thailand. Arief.A., 2003. Hutan Mangrove. Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Jakarta Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2002. Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2005. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi, Penelitian dan Pendidikan Lingkungan Di Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Bengen.D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. PK-SPL. Sekolah Pasca Sarjana.Bogor Bengen.D.G., 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. PK-SPL.Sekolah Pasca Sarjana.Bogor Chapman, V. J. 1975. Mangrove Vegetation. Strauss and Cramer GmbH, German. Dahuri.R. et.all, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit PT. Pradnya Paramita. Jakarta De Haan, J.H. 1931. Het een er ander over de Tjilatjapsche vloedbosche. Tectona 24:39-76. Duke, N.C. dan Jackes, B.R. 1987. A Systematic Revision of The Mangrove Genus Sonneratia (Sonneratiaceae) In Australasia. Blumea, Vol. 32, No.2 (1987) : 277-302 Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB. 1996. Draft Laporan Akhir : Pembinaan Habitat dan Satwa Liar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta : Proyek Pembinaan Cagar Alam dan Hutan Lindung. Dinas Kehutana DKI Jakarta-Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB. 1997. Laporan Akhir : Perencanaan Konservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pantai Utara DKI Jakarta. Dinas Kehutanan DKI Jakarta-Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
70
Dinas Kehutanan DKI Jakarta. 1996. Rencana Proyek Rehabilitasi Hutan Bakau. Proyek Pengembangan Hutan Bakau Propinsi DKI Jakarta. Jakarta. Environmental and Policy Institute East-West Center, International Union for the Conservation For Nature and Natural Resources, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Foth,H.D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi Ke-Enam. Penerbit Erlangga. Jakarta Gardner FP, Pearce RB, dan Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI-Press. Giesen, 1993. Indonesia’s Mangrove : An Update on Remaining Area and Main Management. PHPA/AWB Report No. 8. Bogor. Hamilton. L and Samuel C. Snedaker., 1984. (Editor). Handbook for Mangrove Area Management Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hogarth, P.J. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press. Hutchings, P. and. P. Saenger. 1987. Ecology of Mangroves. University of Queensland Press, London. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. 1994. Potensi Kawasan Hutan Angke-Kapuk Sebagai Kawasan Perlindungan Burung Air dan Habitatnya di Wilayah DKI Jakarta. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian IPB. 1997. Studi Potensi Kawasan Perairan Teluk Jakarta : Final Report. Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta-Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian IPB. Bogor Kartawinata. 1977. A Preliminary Study of the Mangrove Forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Mar. Res. Indonesia. 18 : 119 – 129. Kathiresan, K. and B.L. Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Centre of Advances Study in Marine Biology, Annamalai University, Parangipettai 608502. Kusmana, C., Istomo, dan I. Hilwan. 1999. Penyusunan Identifikasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kerjasama antara Dinas Kehutanan DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB.
71
Kusmana, C., Istomo, S. Basuni, C.Wibowo, dan Iskandar.2005. Penanaman Mangrove dengan Tehnik Guludan di Kawasan Mangrove Sepanjang Jalan Tol Sedyatmo, Jakarta. Kerjasama antara Dinas Kehutanan DKI Jakarta, PT. Jasa Marga dengan Fakultas Kehutanan IP Kusmana.C.2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor LPP Mangrove dan Departemen Kehutanan. 2004. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Draft Buku II). Departemen Kehutanan RI. Jakarta (belum dipublikasikan) Lugo dan Snedeker. 1980.. Mangrove Ecosystem: Successional or steady state. Biotropica 12: 65-75. Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of swamps and forests in the Indo West Pacific Region. Adv.Mar.Biol. 6:73-270. Macnae, W. 1974. Mangrove Forest and Fisheries. IUFC/DEV/74/73. FAO. Roma : 35 pp. McGuinness, K. A. 1997. Seed Predation in a Tropical Mangrove Forest-A Test of Dominance-Predation Model I on Northern Australia. Journal of Tropical Ecology 13(2): 293-302. Ogrady, A. P., McGuiness, K. A., and Eamus D. 1996. The Abundance and Growth of Avicennia marina and Rhizopora sylosa in the Low Shore Zone of Darwin Harbour, Northern Territory. Australian Journal of Ecology 21(3); 272-279. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB. 2000. Laporan Akhir : Penyususnan Identifikasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta-Fakultas Kehutanan IPB. Bogor PT. Mandara Permai. 1994. Draft Laporan Akhir : Kajian Ulang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Pembaharuan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) Rencana Pengembangan Kawasan Rekreasi dan Perumahan Kapuk-Jakarta Utara. Riptikon. Jakarta. Saenger, P. 2002. Mangrove Ecology Silviculture and Conservation. Kluwer Academic Publishers. Santoso N, Kusmana C, Sudarmana D dan Sukmadi R. 2007. Ekologi Tumbuhan Pidada (Sonneratia caseolaris (L) Engler 1897 ) Pada Kawasan Muara Angke Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Makalah
72
Santoso, N. dan P. Pranoto. 1997. Kualitas Kimia Fisik Air di Cagar Alam dan Hutan Lindung Muara Angke. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Jakarta. Soegiarto, K.A. dan A. Soegiarto. 1977. Sekilas Sejarah Penelitian di Perairan Teluk Jakarta. Dalam : Teluk Jakarta : Sumberdaya, sifat-sifat oseanologis, serta permasalahannya (Eds.; Hutomo, M., K.Romimoharto dan Burhanuddin). Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI Jakarta. Jakarta. Tomlinson, P.B. 1996. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press, London. van Steenis, C.G.G.J. 1958. Ecology and the Introductory Parts to the Monograph of Rhizophoraceae by Ding Hou. Flora Malesiana I. 5(4) : 431-447 Watson., 1928. Mangrove Forest of the Malay Peninsula. Published By Permission of The Federated Malay States Government, And Printed By Fraser & Neave, LTD., Singapore: Plates By Lascelles & Co., LTD., London Widhiasari, R. 199 . Kondisi Perairan dan Perikanan Teluk Jakarta. Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPBLembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPPM). Bogor.
74
LAMPIRAN
75
Lampiran 1. Dokumentasi Persiapan dan Teknis lahan Restorasi
Batu Besar yang merupakan bahan pembuatan break water
Bahan Geotekstil sebagai salahsatu bahan dasar breakwater
Lapisan gedek sebagai geogrid sekaligus penopang jalan kerja
penampang urutan penyusunan breakwater secara dekat
Tanaman yang di jadikan indikator patokan ketinggian pengurugan
Sea defence yang telah di pasang dengan baik dan sesuai spesifikasi
76
Sambungan dari lampiran 1
Pembuatan jalan air untuk lancarnya pasang surut air laut.
Tanaman jenis Rhizophora mucronata yang telah di tanam
Lokasi penanaman yang sudah siap dan sesuai dengan tempat
Lokasi penanaman yang sudah siap dan sesuai ketinggiannya
Kondisi lokasi restorasi dan sea defence pada saat pasang
Kondisi lokasi dan sea defence pada saat pasang tertinggi
77
Lampiran 2. Dokumentasi tanaman Stasiun 1,2,3 dan 4
Tanaman Rhizopora mucronata oleh air telah melalui tahap adaptasi dan telah terliahat vigornes
Tanaman Rhizopora mucronata oleh air telah melalui tahap adaptasi dan telah terliahat vigornes
Tanaman Rhizophora pada stasiun 1 yang tumbuh dengan umur 30 bulan
Tanaman Rhizophra pada stasiun 7 yang tumbuh tidak mansimal karena terjadi pemadatan sedimen
Tanaman Rhizophora pada stasiun 1 yang tumbuh dengan umur 30 bulan
Tanaman Rhizophra pada stasiun 3 dengan kemampuan vigorness maksimal
78
Sambungan dari lampiran 2
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 12 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 12 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 16 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 16 bulan
79
Sambungan dari lampiran 2
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 16 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 3 dengan kelas umur 16 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 1 sub stasiun 2 dengan kelas umur 16 bulan
Tanaman Rhizophora pada stasiun 2 sub stasiun 4 dengan kelas umur 12 bulan
80
Lampiran 3 Analisis Regresi Pertambahan Diameter dan Faktor Lingkungan (C, K, KTK,Pasir, Debu, Liat)
* Liat is highly correlated with other X variables * Liat has been removed from the equation.
The regression equation is Pertambahan Diameter = 0.216 + 0.000714 C + 0.0238 K - 0.00218 KTK - 0.00119 Pasir - 0.00096 Debu - 0.00920 Salinitas
Predictor Constant C K KTK Pasir Debu Salinitas
Coef 0.2160 0.0007144 0.02375 -0.002178 -0.001191 -0.000961 -0.009203
S = 0.00395480
SE Coef 0.2897 0.0005678 0.09001 0.003231 0.001322 0.002106 0.007096
R-Sq = 98.3%
T 0.75 1.26 0.26 -0.67 -0.90 -0.46 -1.30
Uji-t (uji signifikansi masingmasing variabel terhadap pertambahan diameter)
P 0.592 0.428 0.836 0.622 0.533 0.728 0.418
R-Sq(adj) = 87.8%
Tidak ada p-value yang < 0.05 maka tidak ada variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter.
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source C K KTK Pasir Debu Salinitas
DF 1 1 1 1 1 1
DF 6 1 7
SS 0.00088438 0.00001564 0.00090002
MS 0.00014740 0.00001564
F 9.42
P 0.244 Uji-F (untuk mengetahui apakah 6 variabel tersebut secara bersamasama berpengaruh terhadap pertambahan diameter).
Seq SS 0.00000306 0.00037259 0.00019196 0.00000713 0.00028334 0.00002631
Hasilnya p-value=0.244 (tdk kurang dari 0.05) maka secara bersamasama, keenam variabel yang dimasukkan ke dalam model tidak berpengaruh terhadap pertambahan tinggi.
Unusual Observations
Obs 1 2 4
C 21.2 17.5 16.4
Pertambahan Diameter 0.05910 0.05990 0.04290
Fit 0.05910 0.05999 0.04286
SE Fit 0.00395 0.00395 0.00395
Residual -0.00000 -0.00009 0.00004
St Resid -1.00 X -1.00 X 1.00 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
81
82
Lampiran 4 Analisis Regresi Pertambahan Tinggi dan Faktor Lingkungan (C, K, KTK,Pasir, Debu, Liat) * Liat is highly correlated with other X variables * Liat has been removed from the equation.
The regression equation is Pertambahan Tinggi = - 5.2 + 0.014 C + 0.26 N + 7.46 K + 0.046 Pasir + 0.070 Debu - 0.089 Salinitas
Predictor Constant C N K Pasir Debu Salinitas
Coef -5.24 0.0139 0.261 7.456 0.0458 0.0701 -0.0895
S = 0.830929
SE Coef 12.04 0.1535 6.136 8.657 0.2527 0.1389 0.3326
T -0.44 0.09 0.04 0.86 0.18 0.50 -0.27
R-Sq = 80.3%
P 0.739 0.942 0.973 0.547 0.886 0.703 0.833
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source C N K Pasir Debu Salinitas
DF 1 1 1 1 1 1
DF 6 1 7
SS 2.8206 0.6904 3.5110
MS 0.4701 0.6904
F 0.68
P 0.729
Seq SS 0.1515 0.2923 1.3146 0.0589 0.9531 0.0500
Unusual Observations
Obs 6
C 14.9
Pertambahan Tinggi 0.732
Fit 0.812
SE Fit 0.827
Residual -0.079
St Resid -1.00 X
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
83
Lampiran 5 Data Pengamatan Pertumbuhan Rhizophora mucronata Di Kawasan Restorasi mangrove Hutan Lindung Angke Kapuk Provinsi DKI Jakarta
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 1 Plot 1 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 160 155 160 170 170 150 150 190 200 100
2 d 7,1 7 8 8,1 8 7,1 6 8 7 6,1
t 163 159 164 172 172 155 154 192 202 105
d 7,1 7 8 8,1 8 7,1 6,2 8 7 6,1
Parameter pengukuran 3 4 5 t d t d t d 165 7,2 167 7,3 169 7,3 161 7,1 163 7,2 165 7,2 166 8,1 168 8,1 170 8,2 174 8,2 178 8,3 179 8,3 175 8 177 8,1 180 8,1 158 7,2 160 7,2 163 7,3 158 6,3 163 6,3 166 6,4 193 8,1 194 8,1 196 8,2 205 7,1 206 7,1 207 7,2 107 6,2 109 6,2 112 6,3
6 t 171 167 173 180 182 166 169 200 209 114
7
8
d t d t d 7,4 173 7,4 175 7,5 7,3 170 7,3 174 7,4 8,2 175 8,3 178 8,3 8,4 182 8,4 187 8,5 8,1 185 8,2 186 8,2 7,3 170 7,4 176 7,4 6,4 172 6,6 175 6,6 8,2 202 8,3 104 8,3 7,2 210 7,4 112 7,4 6,3 117 6,6 119 6,6
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 1 Plot 2 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 121 120 155 130 142 142 170 165 150 152
d 5,2 5,4 6,2 4,4 4 5,1 5,2 8,2 6 6,2
2 t 123 124 157 132 144 146 172 167 153 156
3 d 5,3 5,5 6,3 4,5 4,2 5,2 5,3 8,3 6,2 6,4
t 125 126 160 135 150 150 174 170 155 160
d 5,4 5,6 6,3 4,5 4,3 5,3 5,3 8,3 6,2 6,4
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 127 5,4 129 5,5 129 5,6 131 5,7 164 6,4 167 6,4 138 4,6 140 4,6 152 4,3 153 4,3 153 5,3 155 5,4 176 5,4 176 5,5 172 8,4 174 8,4 158 6,3 160 6,3 162 6,4 164 6,5
6 t 131 132 170 143 155 157 178 175 162 166
7 d 5,5 5,7 6,4 4,7 4,3 5,6 5,5 8,5 6,3 6,5
t 132 135 172 145 157 158 180 176 163 168
8 d 5,6 5,8 6,5 4,8 4,5 5,6 5,7 8,5 6,4 6,5
t 133 137 174 146 159 160 182 178 165 170
d 5,7 5,8 6,5 4,9 4,5 5,7 5,7 8,7 6,4 6,7
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 1 Plot 3 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 145 110 115 90 120 86 115 124 120 98
2 d 7,1 5,3 5 4,2 5,5 4,6 4,2 5,8 5 4,2
t 146 112 117 91 121 88 116 126 122 99
3 d 7,2 5,4 5 4,3 5,6 4,7 4,2 5,9 5,2 4,4
t 148 115 118 92 123 100 119 129 124 100
d 7,2 5,5 5,2 4,4 5,7 4,8 4,3 6 5,4 4,5
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 151 7,2 152 7,4 157 5,6 158 5,6 120 5,3 121 5,4 95 4,4 98 4,6 127 5,7 128 5,7 103 4,8 105 4,8 121 4,3 122 4,4 131 5,9 134 5,9 126 5,2 127 5,3 103 4,5 105 4,5
6 t 153 160 122 100 129 106 126 138 130 107
7 8 d t d t d 7,4 154 7,4 154 7,5 5,7 161 5,7 161 5,8 5,4 125 5,5 125 5,5 4,6 103 4,6 103 4,7 5,8 131 5,8 131 5,8 4,9 107 4,9 107 4,9 4,4 130 4,6 130 4,6 6 139 6 139 6,1 5,3 130 5,3 130 5,3 4,6 110 4,6 110 4,8
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 2 Plot 4 Salinitas : 10 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 122 120 112 100 106 128 120 125 116 122
2 d 6,2 6 5,4 4 4 6,1 6 7,2 6 7,1
t 124 122 114 101 108 128 121 126 116 123
3 d 6,3 6,1 5,4 4,1 4,1 6,2 6,1 7,3 5 7,2
t 125 125 115 104 110 130 123 127 118 124
d 6,3 6,2 5,4 4,2 4,1 6,3 6,1 7,3 6,2 7,3
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 127 6,4 128 6,7 126 6,2 127 6,3 117 5,5 119 5,5 106 4,2 108 4,2 112 4,1 1 4,3 132 6,3 134 6,4 125 6,2 126 6,3 128 7,4 130 7,4 119 6,3 121 6,3 125 7,3 126 7,4
6 t 129 128 122 109 113 135 127 132 122 128
d 6,7 6,3 5,6 4,4 4,3 6,3 6,3 7,4 6,3 7,5
7 8 t d t d 130 6,8 134 6,8 130 6,4 133 6,4 123 5,7 125 5,7 111 4,5 112 4,5 115 4,5 117 4,5 136 6,3 137 6,4 128 6,4 131 6,4 134 7,5 136 7,5 123 6,5 124 6,5 129 7,5 130 7,6
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 2 Plot 5 Salinitas : 10 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 122 127 95 115 120 115 130 120 120 114
2 d 5,4 6 4,7 5 6,3 6 7,2 5,2 5,4 5
t 124 128 97 116 121 117 131 121 123 115
d 5,4 6,1 4,7 5,1 6,3 6,1 7,2 5,2 5,4 5,1
Parameter pengukuran 3 4 5 t d t d t d 126 5,5 129 5,5 130 5,6 129 6,1 130 6,2 132 6,2 98 4,8 100 4,9 101 5 117 5,2 120 5,2 121 5,3 124 6,4 124 6,4 126 6,5 118 6,2 120 6,3 122 6,3 132 7,3 134 7,3 137 7,4 122 5,3 124 5,3 125 5,4 124 5,5 125 5,5 126 5,6 116 5,2 118 5,2 121 5,3
6 t 133 133 103 123 129 123 138 126 127 122
7 d t 5,6 134 6,3 134 5,1 104 5,3 124 6,5 132 6,4 125 7,4 140 5,4 127 5,7 128 5,3 123
d 5,7 6,3 5,1 5,4 6,7 6,4 7,4 5,4 5,7 5,4
8 t d 135 5,8 134 6,3 106 5,2 125 5,4 133 6,7 126 6,4 141 7,5 128 5,5 130 5,7 124 5,4
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 1, Sub Stasiun 2 Plot 6 Salinitas : 10 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 172 170 154 140 145 145 120 105 122 110
2 d 7 7 6,4 6,4 6 6 5,4 6 5,5 6
t 173 172 155 142 146 146 122 106 123 112
3 d 7,1 7 6,5 6,4 6,1 6 5,6 6,1 5,6 6,1
t 175 173 156 142 147 147 123 107 125 114
d 7,1 7,1 6,5 6,5 6,1 6,2 5,6 6,1 5,7 6,2
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 177 7,2 178 7,2 173 7,1 175 7,3 157 6,6 158 6,6 145 6,5 145 6,6 148 6,2 150 6,4 148 6,2 149 6,3 124 5,7 125 5,7 109 6,2 209 6,2 127 5,7 128 5,7 115 6,3 116 6,3
6 t 179 176 158 146 152 150 126 110 129 119
7 8 d t d t d 7,3 182 7,4 183 7,4 7,3 178 7,3 180 7,4 6,6 160 6,7 163 6,7 6,7 147 6,7 151 6,7 6,4 154 6,5 155 6,5 6,4 151 6,6 154 6,6 5,8 127 5,8 128 6 6,3 112 6,4 114 6,5 5,8 132 5,8 133 5,9 6,4 121 6,4 122 6,4
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 3 Plot 7 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 162 155 146 154 147 164 120 152 105 92
d 7 6,3 6 6,1 6 5,2 5 7 4,1 4
2 t 164 156 147 155 148 165 123 152 108 95
3 d 7,1 6,4 6,1 6,1 6,1 5,3 5,1 7,1 4,1 4,1
t 165 157 149 157 149 167 124 152 110 96
d 7,1 6,4 6,2 6,2 6,2 5,3 5,1 7,1 4,2 4,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 167 7,3 169 7,3 158 6,5 158 6,5 150 6,3 152 6,4 158 6,2 160 6,2 152 6,3 153 6,3 168 5,3 169 5,4 125 5,2 127 5,2 152 7,2 152 7,2 111 4,2 112 4,3 97 4,2 98 4,3
6 t 170 160 154 163 153 171 128 152 113 100
7 8 d t d t d 7,4 173 7,4 174 7,5 6,5 163 6,6 165 6,6 6,4 154 6,5 156 6,5 6,3 163 6,4 165 6,4 6,4 154 6,4 154 6,4 5,4 172 5,5 173 5,5 5,3 130 5,3 130 5,3 7,2 152 7,3 152 7,3 4,3 114 4,3 116 4,4 4,3 102 4,4 104 4,4
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 3 Plot 8 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 121 142 150 154 155 145 150 145 154 140
2 d 5 5,2 6 7,2 6 5 6 5,2 5,2 5
t 123 143 151 156 157 146 151 146 156 142
3 d 5,1 5,2 6 7,2 6 5,1 6 5,3 5,3 5
t 124 144 153 157 158 147 152 147 158 145
d 5,2 5,3 6,1 7,3 6,1 5,1 6,1 5,4 5,3 5,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 125 5,3 127 5,3 145 5,3 146 5,4 156 6,2 157 6,2 158 7,4 160 7,4 160 6,2 161 6,2 148 5,2 149 5,2 154 6,1 156 6,2 148 5,5 149 5,5 159 5,3 159 5,3 146 5,2 147 5,3
6 t 128 146 159 161 163 151 157 150 160 148
7 d t 5,3 130 5,4 148 6,3 160 7,4 162 6,2 164 5,2 152 6,2 158 5,5 152 5,4 161 5,3 150
d 5,4 5,5 6,3 7,5 6,3 5,3 6,3 5,6 5,4 5,3
8 t d 133 4,4 149 5,5 162 6,3 163 7,5 165 6,3 153 5,3 160 6,3 153 5,6 161 5,5 151 5,3
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 3 Plot 9 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 145 125 145 120 107 105 125 140 152 120
2 d 4 5 4,2 4 5,4 4 6,2 6,4 7,2 5
t 147 126 146 122 110 107 126 142 155 122
3 d 4 5,1 4,2 4 5,4 4 6,2 6,4 7,2 5,1
t 148 127 147 123 111 108 128 144 156 125
d 4,1 5,1 4,2 4,1 5,5 4,1 6,2 6,4 7,3 5,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 150 4,1 152 4,1 129 5,1 131 5,1 149 4,3 151 4,3 124 4,1 125 4,1 112 5,5 114 5,5 109 4,1 110 4,2 130 6,3 132 6,3 145 6,5 147 6,5 157 7,3 158 7,4 126 5,2 127 5,2
6 t 152 132 152 126 115 111 132 148 158 128
7 d t 4,2 154 5,1 134 4,3 153 4,2 127 5,6 117 4,2 112 6,3 135 6,5 149 7,4 160 5,3 128
8 d 4,2 5,2 4,5 4,2 5,6 4,3 6,4 6,6 7,5 5,4
t d 156 4,2 135 5,2 155 4,5 130 4,2 118 5,6 113 4,3 136 6,4 150 6,7 162 7,5 130 5,4
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 4 Plot 10 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 142 155 142 122 165 130 134 150 105 112
2 d 7 6,2 6 5 7 5,5 5,5 6 4 4,2
t 144 157 143 124 167 132 135 152 105 113
3 d 7 6,3 6 5,1 7 5,5 5,6 6 4,1 4,2
t 146 158 144 125 168 133 136 153 107 114
Parameter pengukuran 4 5 d t d t d 7,1 147 7,2 148 7,2 6,3 160 6,4 162 6,4 6,1 146 6,1 147 6,1 5,2 126 5,2 127 5,2 7 171 7,1 172 7,1 5,6 135 5,7 138 5,7 5,7 137 5,7 138 5,7 6,1 155 6,2 158 6,3 4,1 109 4,2 111 4,3 4,3 115 4,3 117 4,3
6 t 149 163 148 129 174 140 142 160 112 118
7 d 7,2 6,4 6,2 5,2 7,2 5,7 5,7 6,4 4,3 4,3
t 150 164 149 130 175 141 144 161 113 119
8 d 7,3 6,5 6,2 5,4 7,3 5,6 5,8 6,4 4,4 4,3
t 152 167 150 132 176 142 145 162 115 121
d 7,3 6,5 6,3 5,4 7,3 5,7 5,8 6,5 4,4 4,4
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 4 Plot 11 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 172 160 158 140 156 130 121 142 110 125
2 d 7,1 7 7,1 6 5 6,2 6 7 4 5,2
t 174 161 160 142 156 131 122 144 111 126
3 d 7,1 7 7,1 6 5 6,2 6,1 7,1 4,1 5,2
t 175 163 161 144 157 132 123 143 112 127
d 7,1 7,1 7,2 6 5,2 6,3 6,1 7,1 4,1 5,3
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 177 7,2 178 7,2 164 7,1 165 7,2 162 7,2 163 7,3 146 6 147 6 158 5,2 160 5,2 134 6,4 135 6,4 124 6,2 120 6,2 145 7,1 146 7,1 114 4,1 116 4,2 128 5,3 129 5,3
6 t 179 167 164 148 162 136 120 147 118 130
d 7,3 7,2 7,3 6 5,3 6,4 6,3 7,2 4,2 5,4
7 8 t d t d 180 7,3 182 7,4 168 7,3 169 7,4 165 7,3 167 7,4 149 6 147 6 162 5,3 165 5,3 137 6,5 132 6,5 120 6,3 120 6,4 149 7,2 150 7,3 121 4,2 123 4,2 132 5,5 134 5,5
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 2, Sub Stasiun 4 Plot 12 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 146 122 117 115 143 156 130 125 110 143
2 d 5,4 5,5 4,7 5 4,1 6,4 5 5,1 4 5,5
t 147 124 119 117 144 157 131 127 112 145
3 d 5,4 5,6 4,7 5 4,2 6,4 5 5,1 4 5,6
t 148 126 121 118 145 157 132 130 114 146
d 5,5 5,7 4,8 5,1 4,2 6,5 5,1 5,2 4,1 5,6
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 149 5,5 150 5,7 127 5,7 128 5,7 122 4,8 123 4,9 120 5,2 121 5,2 146 4,2 147 4,3 158 6,5 160 6,5 134 5,1 135 5,2 132 5,2 133 5,2 115 4,2 117 4,2 146 5,6 147 5,7
6 t 152 132 124 122 151 161 136 134 120 147
7 d 5,8 5,8 4,9 5,2 4,3 6,6 5,2 5,3 4,3 5,8
8
t d t d 153 5,9 154 5,9 133 5,8 135 5,8 125 4,9 127 4,9 123 5,3 123 5,3 153 4,4 154 4,4 163 6,6 164 6,6 137 5,3 138 5,3 134 5,3 136 5,3 120 4,4 121 4,4 148 5,8 150 5,8
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 5 Plot 13 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 80 85 80 80 100 120 95 124 134 80
2 d 4 4,2 4 4,2 5 5,2 4 5,4 5,4 4,1
t 81 85 81 82 107 121 96 125 135 82
3 d 4 4,2 4 4,2 5 5,2 4 5,4 5,4 4,1
t 81 86 81 82 107 123 97 126 136 82
d 4 4,3 4,1 4,3 5,1 5,2 4,1 5,5 5,4 4,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 82 4,1 82 4,1 86 4,3 87 4,3 81 4,1 83 4,1 82 4,3 83 4,3 109 5,2 109 5,2 123 5,3 124 5,3 98 4,1 98 4,2 127 5,5 128 5,5 137 5,5 138 5,5 84 4,2 84 4,2
6 t 83 88 83 84 109 125 100 128 139 85
7
8
d t d t d 4,1 85 4,2 85 4,1 4,3 90 4,4 90 4,4 4,1 83 4,2 83 4,2 4,4 84 4,4 84 4,4 5,3 110 5,3 110 5,3 5,3 125 5,4 126 5,4 4,2 100 4,2 100 4,2 5,6 129 5,7 124 5,7 5,6 140 5,6 140 5,6 4,2 86 4,3 87 4,3
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 5 Plot 14 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 110 124 102 85 88 88 90 110 110 121
2 d 4 4,3 5 4 4 4 4 4,3 5 6
t 112 125 103 87 89 88 91 112 111 122
3 d 4 4,3 5,1 4 4,1 4,1 4 4,3 5 6
t 112 126 104 87 90 89 92 114 112 123
d 4,1 4,4 5,1 4 4,1 4,1 4 4,3 5 6,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 114 4,2 114 4,2 126 4,4 127 4,4 106 5,1 107 5,2 88 4,2 89 4,2 91 4,1 92 4,2 90 4,1 90 4,1 94 4,1 94 4,2 114 4,4 115 4,4 113 5,2 114 5,2 124 6,1 124 6,2
6 t 114 128 110 90 99 91 95 115 115 125
7 d 4,2 4,5 5,2 4,2 4,2 4,2 4,2 4,5 5,2 6,2
t d t 115 4,3 116 129 4,7 124 111 5,2 112 91 4,3 92 100 4,3 100 92 4,2 92 95 4,3 96 115 4,4 117 116 5,3 117 126 6,3 127
8 d 4,3 4,8 5,3 4,3 4,3 4,2 4,3 4,4 5,3 6,3
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 5 Plot 15 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 105 120 95 94 95 90 112 105 110 121
2 d 3,1 2 2 2 2,3 2 2,4 2,2 2,2 3
t 106 121 95 95 95 91 114 106 110 122
3 d 3,1 2 2 2 2,3 2 2,5 2,2 2,3 3
t 107 123 96 95 97 91 114 107 111 124
d 3,2 2,2 2 2 2,3 2 2,5 2,3 2,3 3
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 108 3,2 109 3,2 124 2,2 125 2,2 98 2 99 2 95 2 96 2 97 2,4 97 2,4 92 2,1 92 2,1 115 2,5 116 2,5 107 2,3 108 2,3 112 2,3 113 2,3 124 3,1 125 3,2
6 t 110 125 99 96 97 94 116 108 113 124
7 d 3,3 2,2 2,1 2 2,4 2,1 2,6 2,3 2,4 3,2
t 111 126 100 96 98 94 117 108 114 124
8 d 3,4 2,3 2,1 2,1 2,5 2,1 2,6 2,3 2,4 3,2
t d 111 3,4 127 2,3 100 2,1 96 2,1 99 2,5 94 2,2 117 2,6 110 2,4 114 2,4 126 3,2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 6 Plot 16 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 110 97 88 110 112 98 115 115 100 104
2 d 3 2 2 4 4,2 2 4 4 3,2 3
t d t 111 3 112 97 2 98 88 2 89 112 4 112 114 4,2 114 98 2 99 116 4 116 116 4 116 112 3,2 112 105 3 105
3 d 3,1 2 2 4,1 4,2 2 4,1 4 3,3 3,1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 113 3,2 114 3,4 98 2 98 2 89 2 90 2 113 4,1 113 4,2 114 4,3 115 4,3 99 2 99 2 118 4,1 118 4,1 117 4 117 4,1 114 3,3 114 3,3 105 3,1 107 3,1
6
7
8
t d t d t d 114 3.4 115 3,4 115 3,5 99 2 99 2,1 99 2,1 90 2 90 2,2 90 2,2 113 4,2 114 4,2 114 4,4 116 4,3 116 4,4 116 4,4 100 2,1 100 2,1 100 2,1 120 4,2 120 4,2 120 4,2 118 4,1 118 4,1 118 4,2 115 3,4 115 3,4 116 3,4 107 3,1 108 3,2 109 3,2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 6 Plot 17 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 110 124 110 102 90 90 85 95 115 105
2 d 3 4 5 3 4 4 3 3 3 2
t 12 125 111 103 92 91 86 95 116 105
3 d 3 4,1 5,1 3 4,1 4,1 3 3 3,1 2
t 112 125 111 104 94 92 86 96 116 108
d 3,1 4,2 5,1 3,1 4,1 4,1 3 3 3,1 2,2
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 114 3,1 114 3,1 125 4,2 126 4,2 112 5,1 112 5,2 105 3,1 106 3,1 95 4,2 95 4,2 92 4,1 92 4,2 87 3,1 88 3,1 96 3,2 97 3,2 118 3,1 118 3,1 108 2,2 109 2,2
6 t 114 126 112 107 97 92 88 97 118 109
7 d 3,2 4,3 5,2 3,1 4,2 4,3 3,2 3,2 3,1 2,3
8
t d t d 115 3,2 115 3,2 126 4,2 126 4,3 113 5,2 1124 5,2 108 3,1 109 3,3 97 4,2 97 4,3 93 4,4 94 4,4 89 3,2 90 3,2 98 3,2 98 3,2 118 3,2 119 3,2 110 2,4 110 2,5
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 3, Sub Stasiun 6 Plot 17 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 105 122 90 104 98 90 95 95 110 110
2 d 3 4 2 3 3 3 4 3 3 3
t d t 106 3,1 107 125 4 125 91 2 91 105 3 105 98 3 100 90 3 92 97 4 97 95 3 95 111 3 111 110 3 111
3 d 3,1 4,1 2 3,1 3 3 4 3 3 3
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 107 3,1 109 3,1 125 4,2 126 4,2 93 2 94 2,1 106 3,2 106 3,2 100 3,1 100 3,1 92 3 94 3,2 97 4 98 4 95 3 98 3,1 111 3,1 112 3,2 112 3,1 112 3,1
6 t 110 128 94 107 111 94 98 98 113 112
7
8
d t d t d 3,2 111 3,2 112 3,2 4,2 129 4,3 130 4,3 2,2 95 2,2 95 2,3 3,2 107 3,3 109 3,3 3,1 111 3,1 111 3,1 3,2 95 3,2 95 3,2 4 99 4 99 4,1 3,1 99 3,1 100 3,1 3,2 114 3,2 114 3,2 3,1 114 3,1 114 3,2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 7 Plot 19 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 62 55 65 70 50 60 75 60 65 54
2 d 2 3 2 3,2 3 3 3 2 2 2
t d 62 2 55 3 66 2 72 3,2 50 3 60 3 75 3 60 2 65 2 54 2
3 t 62 56 66 72 50 60 75 60 65 54
d 2 3 2 3,2 3 3 3 2 2 2
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 63 2 63 2 56 3 56 3 66 2 66 2 72 3,2 72 3,2 51 3 51 3 60 3 61 3 75 3 75 3 60 2 60 2 65 2 65 2 54 2 54 2
6
7
8
t d t d t d 63 2 63 2 63 2 56 3 57 3 57 3,1 66 2 67 2 67 2 72 3,2 72 3,3 72 3,3 51 3 51 3 51 3 61 3 61 3 61 3 75 3 75 3 76 3 62 2 62 2 62 2 65 2 67 2 67 2 54 2 54 2 54 2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 7 Plot 20 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 82 55 65 70 55 64 60 65 60 48
2 d 3 2 2 3 1 2 2 2 2 1
t 82 55 65 70 55 64 60 65 60 48
3 d 3 2 2 3 1 2 2 2 2 1
t 82 55 65 70 55 64 60 65 60 48
d 3 2 2 3 1 2 2 2 2 1
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 82 3 82 3 55 2 55 2 65 2 65 2 70 3 70 3 55 1 56 1 64 2 64 2 60 2 60 2 65 2 65 2 60 2 60 2 48 1 48 1
6 t 82 56 66 72 56 65 61 65 62 48
7
8
d t d t d 3 88 3 88 3 2 56 2 56 2 2 66 2 66 2 3 72 3 72 3 1 56 1 56 1 2 65 2 65 2 2 61 2 61 2 2 65 2 65 2 2 62 2 62 2 1 49 1 50 1
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 7 Plot 21 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 55 54 50 60 54 60 52 60 55 45
2 d 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2
t 55 54 50 60 54 60 52 60 55 45
3 d 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2
t 56 54 50 60 54 60 52 60 55 45
d 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2
Parameter pengukuran 4 5 6 7 t d t d t d t d 56 2 56 2 56 2 56 55 2 55 2 55 2 55 50 3 51 3 51 3 51 60 2 61 2 61 2 61 54 2 55 2 55 2 55 60 2 61 2 61 2 61 52 2 52 2 52 2 52 60 3 60 3 61 3 61 55 2 55 2 56 2 56 45 2 45 2 45 2 45
8 t 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2
56 55 51 61 55 61 52 61 56 45
d 2,1 2 3 2 2 2 2 3 2 2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 8 Plot 22 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 65 55 67 56 55 63 70 64 66 65
2 d 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2
t 65 55 67 56 55 63 70 64 66 65
3 d 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2
t 66 55 67 56 55 63 70 64 66 65
d 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2
Parameter pengukuran 4 5 6 7 8 t d t d t d t d t d 66 3 66 3 66 3 66 3,1 67 3,1 55 2 56 2 56 2 56 2 56 2 67 2 67 2 67 2 67 2 67 2 56 2 56 2 57 2 57 2 57 2 55 2 55 2 55 2 55 2 55 2 63 3 63 3 64 3 64 3 64 3 70 3 70 3 71 3 71 3 71 3 64 2 64 2 64 2 65 2 65 2 66 2 66 2 66 2 66 2 67 2 65 2 65 2 65 2 65 2 65 2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 8 Plot 23 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 55 65 65 60 68 56 55 60 65 54
2 d 2 3 2 2 3 3 2 3 3 2
t 55 65 65 60 68 56 55 60 65 54
3 d 2 3 2 2 3 3 2 3 3 2
t 55 65 65 60 68 56 55 60 65 54
d 2 3 2 2 3 3 2 3 3 2
Parameter pengukuran 4 5 6 7 8 t d t d t d t d t d 55 2 55 2 55 2 56 2 56 2 65 3 65 3 65 3 65 3 65 3 65 2 65 2 66 2 66 2 66 2 60 2 60 2 60 2 60 2 60 2 68 3 69 3 69 3 69 3 69 3 56 3 56 3 57 3 57 3 57 3 55 2 57 2 57 2 57 2 57 2 60 3 60 3 62 3 62 3 62 3,1 65 3 65 3 66 3 66 3 66 3 54 2 54 2 55 2 55 2 55 2
Sambungan dari lampiran 5
Lokasi : Stasiun 4, Sub Stasiun 8 Plot 24 Salinitas : 12 No
Lokasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tanaman 1 tanaman 2 tanaman 3 tanaman 4 tanaman 5 tanaman 6 tanaman 7 tanaman 8 tanaman 9 tanaman 10
t 50 64 55 50 68 50 58 50 65 62
2 d 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3
t 50 64 55 50 68 50 58 50 65 62
3 d 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3
t 50 64 55 50 68 50 58 50 65 62
d 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3
Parameter pengukuran 4 5 t d t d 50 2 51 2 64 2 65 2 55 2 56 2 50 3 50 3 68 3 68 3 50 3 50 3 58 2 58 2 50 2 50 2 65 3 65 3 62 3 62 3
6 t 51 65 56 50 69 50 60 50 66 62
7 d
t 2 2 2 3 3 3 2 2 3 3
8 d
51 2 65 2 56 2 50 3 69 3,1 52 3 60 2 50 2 66 3 62 3
t d 51 2 65 2 56 2 50 3 70 3,1 52 3 60 2 50 2 66 3 63 3
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Uji Laboratorium Sampel tana di Lahan Restorasi Hutan Lindung Angke Kapuk
Urut
Kode sampel
pH (1:1) H2O
KCI
Behan Organik
Kation (Alkali) dapat ditukar
P tersedia
C
N
C/N
Organik
Total
raslo
%
%
Bray I
ekstraksi Amonium Asetat 1 N pH 7.0
Ca
Mg
K
Na
Jumlah
mill equivalent per 100 gram
mg / Kg
1
Sub ST 01
4.2
3.6
21,21
0,86
24.7
14.5
2.75
4.18
0.81
2.35
10.09
2
Sub ST 02
4.6
3.8
17,54
0,68
25.8
18,7
2.43
5.07
0.76
2.41
10.67
3
Sub ST 03
4,5
3.6
21,46
0.84
25.5
21.7
1.81
3.24
0.72
3.04
8.81
4
Sub ST 04
4.4
3.7
16,35
0,76
21.5
26.7
2.19
4.36
0.86
2.33
9.74
5
Sub ST 05
4.7
3.9
17,32
0.78
22.2
21,8
3.01
5.72
0.69
2.04
11.46
6
Sub ST 06
4.3
3.5
14,93
0.79
18.9
22.3
2.51
4.65
0.64
1.89
9.69
7
Sub ST 07
4,4
3.8
21.46
0.74
29.0
17.8
1.98
3.72
0.65
2.13
8.48
8
Sub ST 08
4.4
3.7
24.63
0,93
26.5
18.4
2.07
4.61
0.72
1.47
8.87
Sambungan dari lampiran 6
Kapasitas Tukar
kejenuhan Basa
Kemasaman Al +++ H+
Tekstur 3 fraksi Pasir
Debu
Logam berat (total) Liat
Kation %
meq/100 gr 24.52
%
meq/100 gr
%
Pb
Hg
ppm
ppb
%
2.8
25.1
72.1
24.36
45.7
0.93
4.6
21.2
74.2
32.71
52.1
1.27
0.76
5.1
15.3
79.6
31.15
32.4
42.5
0.93
0.82
2.7
14.6
82.7
20.76
29.5
42.9
1.05
0.92
3.1
20.4
76.5
24.18
18.7
29.47
32.9
1.53
0.78
11.4
20.2
68.4
7.29
20.7
24.15
35.1
0.96
0.75
3.7
20.1
76.2
6.48
38.6
26.77
33.1
1.77
0.64
4.1
13.9
82.0
12.63
32.4
41.2
1.28
0.84
31.55
33.8
1.35
28.31
31.1
22.94 26.73