PENGARUH SAMPAH TERHADAP KANDUNGAN KLOROFIL DAUN DAN REGENERASI HUTAN MANGROVE DI KAWASAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK, JAKARTA UTARA
FARIDAH LESTARI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Sampah terhadap Kandungan Klorofil Daun dan Regenerasi Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Faridah Lestari NIM E4410062
ABSTRAK FARIDAH LESTARI. Pengaruh Sampah terhadap Kandungan Klorofil Daun dan Regenerasi Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA. Ekosistem mangrove merupakan peralihan antara daratan dan lautan. Saat ini hutan mangrove di kawasan lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara terdegradasi diantaranya karena tumpukan sampah yang masuk ke kawasan hutan tersebut. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana pengaruh keberadaan sampah terhadap kandungan klorofil daun pohon mangrove dan regenerasi hutan mangrove di kawasan lindung Angke Kapuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan sampah tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil daun pohon mangrove, tetapi berpengaruh terhadap regenerasi hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan dengan kerapatan anakan pohon (semai) pada kawasan hutan tidak ada sampah lebih besar dibandingkan kerapatan anakan mangrove di kawasan sedikit sampah dan kawasan banyak sampah. Kata kunci : ekosistem mangrove, kandungan klorofil daun, regenerasi hutan, sampah
ABSTRACT FARIDAH LESTARI. The Effect of Waste on Chlorophyll Content of Leaves and Regeneration of Mangrove Forest at Angke Kapuk Protection Forest, North Jakarta. Supervised by CECEP KUSMANA. Mangrove ecosystem is a transition ecosystem between land and sea. Currently the mangrove forests at Angke Kapuk Protection Forest, North Jakarta has been degraded by large amount waste. In connection with this situation, the forest research was carried out with the aim to consider the effect of waste existence on the chlorophyll content of tree’s leaf and the regeneration of mangrove forests in Angke Kapuk Protection Forest. The results showed that the existence of the waste has no effect on the chlorophyll content of leaves, but it has significant by effect on the regeneration of mangrove forest. This is shown with a density of mangrove seedlings in the less waste-occupied mangrove area is bigger than that of medium and high waste-occupied mangrove areas. Keywords: chlorophyll content of leaves, forest regeneration, mangrove ecosystems, waste
PENGARUH SAMPAH TERHADAP KANDUNGAN KLOROFIL DAUN DAN REGENERASI HUTAN MANGROVE DI KAWASAN HUTAN LINDUNG ANGKE KAPUK, JAKARTA UTARA
FARIDAH LESTARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Pengaruh Sampah terhadap Kandungan Klorofil Daun dan Regenerasi Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara Nama : Faridah Lestari NIM : E44100062
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah Pengaruh Sampah terhadap Kandungan Klorofil Daun dan Regenerasi Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Karsa, Bapak Sigit beserta staf dari Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, September 2014 Faridah Lestari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Definisi dan Fungsi Hutan Mangrove
2
Jenis-Jenis Akar pada Tegakan Mangrove
3
Faktor Penyebab Kerusakan
4
Karakteristik Sampah
4
Klorofil : Pigmen Utama pada Tanaman
4
Regenerasi Hutan
5
KONDISI UMUM
6
METODE
6
Lokasi dan Waktu Penelitian
6
Alat dan Bahan
7
Metode
7
Prosedur Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
10 10
Kandungan Klorofil Daun
10
Kondisi Tanah
10
Regenerasi Hutan
11
Indeks Keanekaragaman Jenis, Kekayaan Jenis dan Kemerataan Jenis
12
Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
12 18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL 1 Unsur kimia tanah pada masing-masing kawasan penelitian 2 Rekapitulasi analisis vegetasi pada kawasan penelitian 3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’), Kekayaan Jenis ( dan Kemerataan Jenis (E’) setiap tingkat pertumbuhan pada kawasan penelitian 4 Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah 5 Kriteria baku kerusakan mangrove
10 11
12 13 17
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Perakaran Mangrove Zonasi Vegetasi Hutan Mangrove di Indonesia Kawasan Penelitian Desain plot pengamatan Rata-rata kandungan klorofil daun (%) pada masing-masing kawasan penelitian 6 Kondisi perakaran pada masing-masing kawasan penelitian 7 Rata-rata kerapatan pada tingkat semai dan pancang di masing-masing kawasan penelitian 8 Buah Mangrove yang Jatuh
4 6 7 7 10 13 15 16
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan peralihan antara daratan dan lautan sehingga ekosistem ini memainkan peran penting dalam menjaga kestabilan kondisinya (Kustanti 2011). Namun, luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan luasan ini salah satunya terjadi akibat kerusakan ekosistem. Menurut Saenger et al. (1983) dan Kusmana (1993a) dalam Kusmana (1996), tiga sumber utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan yang berfungsi non-hutan seperti pelabuhan, pemukiman, pertanian dan pertambangan yang kurang mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan. Pencemaran yang terjadi salah satunya disebabkan oleh adanya sampah pada kawasan mangrove tersebut. Sampah ini terdiri dari sampah organik maupun anorganik dan lebih didominasi oleh jenis sampah anorganik. Sampah anorganik tidak ter-biodegradasi yang menyebabkan lapisan tanah tidak dapat ditembus oleh akar tanaman dan tidak tembus air sehingga peresapan air dan mineral yang dapat menyuburkan tanah hilang dan jumlah mikroorganisme didalam tanah pun akan berkurang. Mandura (1997) dalam Kusmana (2010) menemukan bahwa pembuangan sampah ke habitat mangrove telah mematikan banyak akar pasak yang tumbuh di laut merah. Hilangnya banyak akar pasak tersebut akan menurunkan luasan permukaan respirasi dan permukaan pengambilan unsur hara oleh tanaman yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan pohon. Setiap tanaman memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tumbuh, berkembang dan beregenerasi. Kemampuan regenerasi merupakan salah satu persyaratan suatu hutan untuk mempertahankan kelestariannya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui sejauh mana sampah mempengaruhi regenerasi dan pertumbuhan pohon mangrove. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana pengaruh sampah terhadap pertumbuhan pohon mangrove dan regenerasi hutan mangrove.
Perumusan Masalah Luas hutan mangrove yang semakin berkurang setiap tahunnya salah satunya terjadi akibat kerusakan ekosistem. Sampah yang terdapat di sekitar area hutan mangrove merupakan salah satu penyebab kerusakan karena keberadaan sampah mengganggu pertumbuhan dan perkembangan akar mangrove. Sampah yang mendominasi berasal dari sampah rumah tangga seperti plastik, kaleng, kaca, dll. Jenis sampah ini sulit untuk terdekomposisi sehingga
2 akan menyebabkan penumpukan pada bagian akar tanaman mangrove. Akar tanaman mangrove berfungsi tidak hanya menunjang pohon, tetapi juga untuk mendapatkan oksigen dan bahan nutrisi yang penting. Apabila terus terjadi penumpukan sampah seperti itu, maka nutrisi yang dibutuhkan tanaman pada proses fotosintesis tidak tersalur dengan baik. Klorofil merupakan faktor utama pada proses fotosintesis, sehingga kandungan klorofil dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui seberapa jauh sampah mempengaruhinya. Penumpukan sampah yang terjadi juga dapat menghambat tumbuhnya anakan-anakan baru, sehingga proses regenerasi hutan pun terhambat.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh sampah terhadap kandungan klorofil daun dan regenerasi hutan mangrove.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan mangrove yang lestari.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pengukuran regenerasi hutan mangrove meliputi jumlah semai, pancang, pohon, diameter dan tinggi pohon, serta kandungan klorofil daun pohon mangrove.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat
3 surut dengan komunitas tumbuhan yang mampu bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005). Lubis (1999) dalam Fatimah (2012) menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki fungsi utama baik secara fisik, biologis maupun ekonomi. Fungsi fisik hutan mangrove, antara lain menyerap melalui proses fotosintesis, mencegah intrusi air laut ke darat, melindungi pantai dari penggerusan ombak, menyaring dan menguraikan bahan-bahan organik yang datang dari darat di bawah permukaan air hujan dan air sungai, serta pada pantai tempat sungai bermuara yang membawa endapan lumpur dalam jumlah besar, selain itu hutan mangrove juga dapat mempercepat proses pembentukan daratan. Secara biologis, hutan mangrove digunakan sebagai tempat berpijah berbagai jenis biota, habitat alami berbagai jenis burung, reptilian dan kera, selain itu hutan mangrove juga merupakan subsistem yang memiliki tingkatan produktivitas bahan pelapukan dan bahan organik mati yang sangat tinggi. Bahan pelapukan dan organik mati ini merupakan sumber makanan yang sangat baik dan penting bagi hewan-hewan seperti udang, kepiting dan kerang. Hewan tersebut kemudian menjadi makanan bagi hewan pemakan daging termasuk ikan. Hutan mangrove secara ekonomi berfungsi sebagai sumber kayu untuk kayu bakar, arang, bahan bangunan, alat-alat rumah tangga dan bahan pertanian, sebagai bahan industri (makanan, obat-obatan, tekstil, penyamak kulit, pulp, rayon dan kertas), sebagai tempat pertambakan udang dan ikan, tempat pembuatan garam serta sebagai tempat rekreasi.
Jenis-Jenis Akar pada Tegakan Mangrove
Tumbuhan mangrove mengembangkan perakaran yang unik, yakni pneumatophore (akar nafas) yang berfungsi untuk mengambil oksigen dari udara dan bertahan pada substrat yang berlumpur. Pembentukan akar ini merupakan tindakan adaptasi tegakan tersebut agar mampu melangsungkan kehidupannya. Bentuk-bentuk perakaran tegakan mangrove tersebut antara lain, akar tunjang, akar lutut, dan akar pasak atau tunggak. Akar tunjang yakni akar yang mencuat dari batang bercabang-cabang ke bawah permukaan lumpur dan menggantung bagaikan busur panah. Jenis akar tunjang terdapat pada mangrove jenis Rhizophora sp. (bakau-bakauan). Akar lutut merupakan akar yang tumbuh mendatar dan bergelombang, di atas dan di bawah permukaan air. Jenis akar lutut terdapat pada mangrove jenis Bruguiera sp. Adapun, akar pasak atau tunggak yakni akar yang tumbuh terpencar dengan anak-anak akar muncul di permukaan air bagaikan tombak yang diberdirikan. Jenis akar pasak terdapat pada mangrove jenis Avicennia sp. (api-api) dan Sonneratia sp. (pedada) (Arief 2003). Bentuk perakaran tegakan mangrove secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
4
a
b
c
Gambar 1 Perakaran Mangrove ; (a)akar tunjang, (b)akar Lutut dan (c)akar pasak
Faktor Penyebab Kerusakan
Hutan mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar, menurut Saenger et al. (1983) dan Kusmana (1993a) dalam Kusmana (1996), tiga sumber utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan non-hutan seperti pelabuhan, pemukiman, pertanian, dan pertambangan yang kurang mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan.
Karakteristik Sampah
Jenis sampah berdasarkan sifat kimia dibedakan menjadi dua, yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik merupakan sesuatu yang mengandung senyawa-senyawa organik dan tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Bahan-bahan ini mudah didegradasi oleh mikroba. Bahanbahan yang termasuk dalam jenis sampah ini, antara lain daun-daunan, kayu, tulang, sisa makanan, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Adapun sampah anorganik terdiri dari kaleng, plastik, besi, dan logam-logam lainnya seperti gelas, mika atau bahan-bahan yang tidak tersusun oleh senyawa organik. Sampah ini sulit didegradasi oleh mikroorganisme di alam. Pembuangan sampah dapat dilakukan secara open dumping maupun pembuangan ke laut. Akibat masalah lingkungan yang ditimbulkannya, metode ini seharusnya tidak dilakukan (Gultom 2010).
Klorofil sebagai Pigmen Utama pada Tanaman
Klorofil merupakan pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga, dan bakteri fotosintetik. Pigmen ini berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil merupakan faktor utama yang mempengaruhi fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses perubahan senyawa anorganik (CO2 dan H2O) menjadi senyawa organik (karbohidrat) dan O2 dengan bantuan cahaya matahari. Air yang diserap oleh akar diangkut ke daun melalui pembuluh (Campbell et al. 2008). Faktor-faktor yang
5 mempengaruhi pembentukan klorofil diantaranya yaitu, faktor pembawa, sinar matahari, oksigen, karbohidrat, nitrogen, magnesium, besi, unsur Mn, Cu, Zn, air, dan temperatur. Pembentukan klorofil pada pembentukan pigmen-pigmen seperti hewan dan manusia dibawa oleh suatu gen tertentu didalam kromosom. Begitu pula dengan tanaman, jika tidak ada klorofil, maka tanaman tersebut akan tampak putih (albino), contohnya seperti tanaman jagung. Klorofil dapat terbentuk dengan adanya sinar matahari yang mengenai langsung ke tanaman. Pada tanaman yang dihasilkan dalam keadaan gelap meskipun diberikan sinar matahari tidak dapat membentuk klorofil, jika tidak diberikan oksigen. Karbohidrat ternyata dapat membantu pembentukan klorofil dalam daun-daun yang mengalami pertumbuhan. Tanpa adanya karbohidrat , maka daun-daun tersebut tidak mampu menghasilkan klorofil. Nitrogen, Magnesium, dan Besi merupakan suatu keharusan dalam pembentukan klorofil, jika kekurangan salah satu dari zat-zat tersebut akan mengakibatkan klorosis pada tumbuhan. Unsur Mn, Cu, dan Zn meskipun jumlah yang dibutuhkan hanya sedikit dalam pembentukan klorofil, namun jika tidak ada unsur-unsur tersebut maka tanaman akan mengalami klorosis. Kekurangan air pada tumbuhan mengakibatkan desintegrasi dari klorofil seperti terjadi pada rumput dan pohon-pohon di musim kering. Temperatur 30-40 ˚C merupakan suatu kondisi yang baik untuk pembentukan klorofil pada kebanyakan tanaman, akan tetapi yang paling baik ialah pada temperatur antara 26-30 ˚C.
Regenerasi Hutan
Perubahan kondisi komunitas tumbuhan hutan disebabkan oleh banyak faktor, maka dalam periode waktu tertentu komunitas tumbuhan hutan perlu dievaluasi agar faktor-faktor yang dapat menyebabkan rusaknya komunitas tumbuhan hutan dapat dikendalikan dan kerusakan hutan dapat ditanggulangi. Evaluasi kondisi komunitas tumbuhan di hutan sangat berguna dalam memantau proses regenerasi tegakan hutan. Regenerasi merupakan suatu proses peremajaan tumbuhan hutan secara alami atau atas buatan manusia. Sesudah kegiatan penebangan atas pohon yang telah masak tebang, maka perlu diganti dengan tanaman baru untuk mempertahankan kelestarian hasil. Oleh karena itu, regenerasi adalah usaha yang mutlak dilakukan untuk keberlanjutan hutan di masa datang. Regenerasi secara alami dari tegakan hutan dapat terjadi dengan penyebaran biji secara alami oleh tegakan tersebut atau dengan terubusan (coppies) atau dengan tunas akar. Dengan demikian, regenerasi dapat dilakukan dengan biji atau bagian vegetatif dari tumbuhan tersebut. Hasil yang diperoleh dari biji disebut semai atau anakan (seedling), sedangkan yang berasal dari tunas batang disebut hasil terubusan (Wanggai 2009). Keberadaan anakan spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan hutan untuk beregenerasi (Indriyanto 2005).
6
KONDISI UMUM
Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) secara geografis terletak diantara 6º05’-6º10’ LS dan 106º43’-106º48’ BT. Hutan Lindung Angke Kapuk memiliki luas 44.76 ha dan merupakan satu-satunya kawasan lindung ekosistem mangrove di wilayah DKI Jakarta (Dinas Kehutanan 1995 dalam Miralka 2006). Kawasan HLAK disusun oleh 15 jenis pohon mangrove, 8 jenis merupakan jenis asli setempat dan sisanya merupakan jenis yang ditanam yang berasal dari kawasan lain dengan zonasi vegetasi hutan mangrove seperti pada Gambar 2. Jenis-jenis pohon mangrove asli kawasan HLAK terbagi atas dua grup, yakni (i) mangrove sejati yang terdiri atas 7 jenis, yaitu Avicennia officinalis L. (Avicenniaceae), Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata Lamarck, R. stylosa Griff (Rhizophoraceae), Sonneratia caseolaris (L.) Engler (Sonneratiaceae) yang merupakan komponen mayor/utama, Excoecaria agallocha L., (Euphorbiaceae) dan Xylocarpus moluccensis (Lamk.) Roem. (Meliaceae) yang merupakan komponen minor/tambahan, dan (ii) sisanya sebagai asosiasi mangrove, yaitu Terminalia catappa L. Sedangkan 7 jenis pohon mangrove yang merupakan jenis introduksi terdiri atas 1 jenis mangrove sejati, yaitu Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamarck (Rhizophoraceae), dan 6 jenis asosiasi mangrove, yakni Calophyllum inophyllum L. (Guttiferae), Cerbera manghas L. (Apocynaceae), Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, Tamarindus indica, Acacia mangium, dan A. auriculiformis (Leguminosae). Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, B.gymnorrhiza, C. inophyllum dan C. manghas baru sampai pancang, sedangkan P. falcataria, T. indicus, A. mangium, dan A. auriculiformis sudah ada yang mencapai tingkat pohon (Onrizal et al. 2005).
Gambar 2 Zonasi vegetasi hutan mangrove di Indonesia
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan pada bulan Maret-Mei 2014 di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara.
7 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain phiband, haga hypsometer, kompas, patok kayu, tally sheet, kamera digital dan alat tulis. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah label, plastik ukuran ¼ kg, tali raffia dan spesimen tumbuhan berupa daun.
Metode
Pembuatan Plot Pengamatan Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengamatan kadar klorofil daun dan regenerasi tumbuhan mangrove dengan tebal sampah yang berbeda. Lokasi penelitian ini dibagi ke dalam tiga kawasan, yaitu : 1. Kawasan tidak ada sampah (KTS): kawasan mangrove yang tidak terdapat sampah; 2. Kawasan sedikit sampah (KSS): kawasan mangrove yang memiliki tebal sampah 5-30 cm; 3. Kawasan banyak sampah (KBS): kawasan mangrove yang memiliki tebal sampah ≥30 cm. Kondisi ketiga kawasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
1
2
3
Gambar 3 Kawasan Penelitian; (1)KTS, (2)KSS dan (3)KBS
Setiap kawasan dibuat lima plot pengamatan berukuran masing-masing 10 m x 10 m yang diletakkan secara acak. Desain plot pengamatan dalam setiap kawasan dapat dilihat pada Gambar 4. 10 m
10 m
Gambar 4 Desain plot pengamatan
8 Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan pada setiap plot pengamatan yang berukuran 10 m x 10 m dengan melakukan identifikasi jenis dan jumlah individu pada tingkat semai, pancang dan pohon, sedangkan untuk tingkatan pohon dilakukan pengukuran tinggi dan diameter batang pohon.
Pengambilan dan Pengujian Sampel Tanah Pengambilan sampel tanah dilakukan secara acak sebanyak satu ulangan pada setiap plot pengamatan. Sampel tanah diambil di tengah plot dengan kedalaman ±30 cm menggunakan metode terusik untuk menguji kandungan kimia tanahnya. Selanjutnya sampel tanah dari masing-masing ulangan pada plot pengamatan dikompositkan berdasarkan ketiga kondisi kawasan (KTS, KSS dan KBS). Pengujian sampel tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Pengambilan dan Pengujian Sampel Daun Pengambilan sampel daun dilakukan pada pukul 06.00 WIB. Sampel daun diambil dari semua pohon yang terdapat pada setiap plot pengamatan dengan komposisi daun bagian atas, tengah dan bawah. Jumlah daun yang diambil dari masing-masing bagian adalah 3 helai. Setelah semua daun terkumpul, daun tersebut dilakukan pengambilan secara acak sebanyak 3 helai untuk dilakukan pengujian kandungan klorofil daunnya. Pengujian sampel daun dilakukan di Laboratorium BALITRO, Kementerian Pertanian.
Prosedur Analisis Data Kandungan Klorofil Daun Data perhitungan kandungan klorofil daun yang telah diperoleh pada masing-masing kawasan diolah menggunakan program SPSS 16.0. Data tersebut dilakukan uji beda independent sampel t-test antara KTS dengan KSS, KSS dengan KBS dan KTS dengan KBS. Uji beda independent sampel t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara masing-masing kawasan dengan hipotesis sebagai berikut: H0: tidak ada perbedaan kandungan klorofil daun pohon mangrove antar kawasan H1: minimal ada satu perbedaan kandungan klorofil daun pohon mangrove antar kawasan. Apabila p-value > 0.05, maka terima H0, sedangkan apabila p-value <0.05 maka tolak H0.
9 Regenerasi Hutan Data analisis vegetasi yang telah diperoleh pada tingkat semai, pancang, pohon diolah dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : a. Kerapatan (K) = b. Kerapatan relatif (KR) =
x 100%
c. Frekuensi (F) = d. Frekuensi relatif (FR) =
x 100%
e. Dominansi (D) = f. Dominansi relatif (DR) =
x 100%
g. INP = KR+FR+DR (pohon) INP = KR+FR (Regenerasi hutan) h. Indeks keanekaragaman jenis (H’) = - Σ{(ni/N)ln (ni/N)} Dimana : ni = Jumlah individu jenis ke-n N = Total jumlah individu Besaran H’ <1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, 1.5 ≤ H’ ≥3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ ≥3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong tinggi. i. Indeks kekayaan jenis ( ) = Dimana : S = Jumlah jenis N= Total jumlah individu Besaran R1 <3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, 3.5 ≤ R1 ≥5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika ≥5.0. ’ j. Indeks kemerataan jenis (E) = Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis Besaran E’ <0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, 0.3 ≤ E’ ≥0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ ≥0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Data perhitungan kerapatan semai pada setiap kawasan diolah menggunakan SPSS 16.0. Data tersebut dilakukan uji beda independent sampel t-test antara KTS dengan KSS, KSS dengan KBS dan KSS dengan KBS. Uji beda independent sampel t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara masing-masing kawasan dengan hipotesis sebagai berikut: H0: tidak ada perbedaan kerapatan semai antar kawasan H1: minimal ada satu perbedaan kerapatan semai antar kawasan. Apabila p-value >0.05, maka terima H0, sedangkan apabila p-value <0.05 maka tolak H0.
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kandungan Klorofil Daun Hasil analisis kandungan klorofil daun pohon mangrove pada masingmasing kawasan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Kadar Klorofil Daun (%)
0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 KTS
KSS
KBS
Plot Pengamatan
Gambar 5 Rata-rata kandungan klorofil daun (%) pada masing-masing kawasan penelitian Data pada Gambar 5 menunjukkan bahwa KTS memiliki rata-rata kandungan klorofil daun lebih tinggi dibandingkan KSS dan KBS. Hal tersebut berarti semakin tebal sampah cenderung kandungan klorofil daun pohon mangrove semakin rendah.
Kondisi Tanah Hasil analisis unsur kimia tanah pada setiap kawasan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Unsur kimia tanah pada masing-masing kawasan penelitian Kawasan KTS
Nitrogen (%) 0.25
Magnesium (me/100g) 2.81
KSS
0.32
KBS
0.48
Besi (ppm) 75.33
Mn (ppm) 45.10
Cu (ppm) 0.04
Zn (ppm) 6.62
2.84
62.34
35.42
0.05
14.07
2.84
54.22
45.61
0.26
16.27
11 Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan nitrogen, magnesium, Cu dan Zn pada KTS lebih rendah dibandingkan KSS dan KBS. Unsur besi pada KTS lebih tinggi dibandingkan pada KSS dan KBS, sedangkan Mn pada KSS lebih rendah daripada kawasan lainnya.
Regenerasi Hutan Hasil analisis vegetasi pada masing-masing kawasan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi analisis vegetasi pada kawasan penelitian Tingkat partumbuhan Semai
Plot
Jenis
K (ind/ha)
KR (%)
KTS
Avicennia officinalis Rhizopora mucronata Nypa fruticans Exceocaria agallocha Cerbera manghas A. officinalis E. agallocha C. manghas A. officinalis R. mucronata R. mucronata A. officinalis E. agallocha Hibiscus tiliaceus A. officinalis E. agallocha R. mucronata A. officinalis A. officinalis R. mucronata A. officinalis
10 000
100
1
100
200
420
42
0.6
27.3
69.3
20
2
0.2
9.1
11.1
160
16
0.4
18.2
34.2
160
16
0.8
36.4
52.4
1 000 100 60 460 140
24 62.5 37.5 6.7 3.3
0.2 0.2 0.2 1 0.2
9.1 50 50 3.3 6.7
33.1 112.5 87.5 160 40
960
60.7
1
33.3
94
420 180 20
26.6 11.4 1.3
1 0.8 0.2
33.3 26.7 6.7
59.9 38.1 8
160 140 260
28.6 25 46.4
0.6 0.4 0.6
37.5 25 37.5
66.1 50 83.9
1060 840 20
100 97.6 2.32
1 1 0.2
100 83.3 16.6
22.86 28.80 0.17
100 99.40 0.59
300 280.4 19.5
740
100
1
100
20.17
100
300
KSS
KBS Pancang
KTS
KSS
KBS
Pohon
KTS KSS
KBS
F
FR (%)
D (m²/ha)
DR (%)
INP (%)
Tabel 2 menunjukkan bahwa KTS memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan KSS dan KBS untuk tingkat pertumbuhan semai dan pohon. Pada tingkat pertumbuhan pancang yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah KSS. Pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon di KTS yang memiliki INP paling tinggi yaitu A. officinalis. Pada KSS yang memiliki nilai INP paling tinggi untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang yaitu jenis R. mucronata sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon yaitu A. officinalis. Pada tingkat
12 pertumbuhan semai, pancang dan pohon di KBS yang memiliki nilai INP paling tinggi secara berurutan yaitu E. agallocha, R. mucronata dan A. officinalis.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’), Kekayaan Jenis ( Jenis (E’)
dan Kemerataan
Hasil perhitungan besarnya Indeks Keanekaragaman Jenis, Kekayaan Jenis dan Kemerataan Jenis pada setiap kawasan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’), Kekayaan Jenis ( dan Kemerataan Jenis (E’) pada setiap tingkat pertumbuhan di kawasan penelitian Kaw asan KTS KSS KBS
Semai H’ 0 1.35 0.65
0 1.02 0.48
Pancang E 0 0.83 0.93
H’ 0.58 0.94 0.99
0.31 0.69 0.60
Pohon E 0.83 0.68 0.90
H’ 0 0.1 0
0 0.26 0
E 0 0.14 0
Tabel 3 menunjukkan bahwa KTS, KSS dan KBS memiliki indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis yang rendah pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon. Indeks kemerataan jenis pada tingkat pertumbuhan semai untuk KTS tergolong rendah, KSS dan KBS tergolong tinggi, sedangkan pada tingkat pertumbuhan pancang tergolong tinggi untuk semua kawasan dan tergolong rendah pada tingkat pertumbuhan pohon.
PEMBAHASAN
Menurut Saenger et al. (1983) dan Kusmana (1993a) dalam Kusmana (1996), tiga sumber utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan yang berfungsi non-hutan seperti pelabuhan, pemukiman, pertanian, pertambangan yang kurang mempertimbangkan faktor lingkungan. Pencemaran yang terjadi salah satunya disebabkan adanya sampah pada area mangrove tersebut. Sampah ini terdiri dari sampah organik maupun anorganik dan lebih didominasi oleh jenis sampah anorganik. Hasil uji beda independent sampel t-test antara KTS dengan KSS, KSS dengan KBS dan KTS dengan KBS menunjukkan p>0.05 yang bermakna tidak ada perbedaan yang signifikan antara kawasan tersebut. Nilai p-value dari masingmasing kawasan secara berurutan yaitu 0.396, 0.216 dan 0.100. Artinya, sampah tidak memberi pengaruh terhadap kandungan klorofil daun pohon mangrove yang tumbuh di kawasan. Hendriyani dan Setiari (2009) dalam Ai dan Banyu (2011) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan klorofil diantaranya faktor pembawa, sinar matahari, Oksigen, Karbohidrat, Nitrogen, Magnesium, Besi, unsur Mn, Cu, Zn, air dan temperatur.
13 Tabel 4 Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah No
Sifat tanah
Satuan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1
COrganik
%
<1.00
1.00-2.00
2.01-3.00
3.01-5.00
>5.00
2
N-Total
%
<0.10
0.10-0.20
0.21-0.50
0.51-0.75
>0.75
3
P-Bray
ppm
<10
10-15
16-25
26-35
>35
4
KTK
me/100g
<5
5-16
17-24
25-40
>40
5
K
me/100g
<0.1
0.1-0.2
0.3-0.5
0.6-1.0
>1.0
6
Na
me/100g
<0.1
0.1-0.3
0.4-0.7
0.8-1.0
>1.0
7
Mg
me/100g
<0.4
0.4-1.0
1.1-2.0
2.1-8.0
>8.0
8
Ca
me/100g
<2
2-5
6-10
11-20
>20
Sumber: Staf Pusat Penelitian Tanah (1983)
Hasil analisis kandungan unsur kimia tanah pada masing-masing kawasan yang terdapat pada Tabel 1, jika dilihat dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah yang terdapat pada Tabel 4, menunjukkan ketersediaan unsur nitrogen pada masing-masing kawasan tergolong sedang karena berada pada 0.21-0.50%. Pada kawasan tidak ada sampah memiliki ketersedian unsur N yang lebih rendah dibandingkan kawasan sedikit sampah dan banyak sampah yaitu sebesar 0.25%. Hal ini diduga karena unsur tersebut digunakan atau diambil oleh akar untuk pertumbuhan, sesuai dengan pernyataan Izumi dalam Kushartono (2009) yang menyatakan bahwa penurunan kandungan nitrogen sebanding dengan kelimpahan akar mangrove. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan yang menunjukkan ketersediaan unsur N yang lebih rendah pada kawasan tidak ada sampah tetapi perakaran pada tanaman baik (Gambar 6).
a
b
c
Gambar 6 Kondisi perakaran pada masing-masing kawasan penelitian; (a)tidak ada sampah, (b)sedikit sampah dan (c)banyak sampah
14 Unsur Magnesium (Mg) yang tersedia pada masing-masing kawasan tergolong tinggi. Pada kawasan tidak ada sampah menunjukkan ketersediaan unsur Mg yang lebih rendah dibandingkan plot pengamatan lainnya yaitu sebesar 2.81 (me/100g). Pada kondisi tidak ada sampah unsur Besi (Fe) yang tersedia lebih tinggi dibandingkan kondisi banyak sampah. Secara berurutan unsur besi yang tersedia pada kondisi tidak ada sampah, sedikit sampah dan banyak sampah yaitu 75.33 ppm, 62.34 ppm, 54.22 ppm. Menurut Sakya dan Rahayu (2010), besi yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dalam jumlah sedikit. Tanaman membutuhkan Fe dalam tanah maksimum 100 ppm (Suhariyono dan Menry 2005). Unsur Mn, Cu, dan Zn meskipun jumlah yang dibutuhkan hanya sedikit dalam pembentukan klorofil. Namun, jika tidak ada unsur-unsur tersebut maka tanaman akan mengalami klorosis. Pada tanaman, Mangan (Mn) diperlukan untuk pembentukan zat protein, vitamin (terutama vitamin C) dan untuk dapat mempertahankan keadaan klorofil pada daun (terutama daun tua). Mn termasuk dalam salah satu logam berat mikro essensial yang mana diperlukan oleh tanaman tapi dalam jumlah yang relatif sedikit maksimal 50 ppm. Menurut Lusiana et al. (2000) dalam Hikmah et al.(2013) kelebihan Mn dapat menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan tanaman. Mn yang terdapat pada kawasan tidak ada sampah, sedikit sampah dan banyak sampah secara berurut yaitu 45.10 ppm, 35.42 ppm, 45.61 ppm. Pada masing-masing kondisi tersebut menunjukkan bahwa Mn berada dalam jumlah yang relatif yaitu kurang dari 50 ppm, sehingga tidak menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan tanaman. Tembaga (Cu) merupakan logam berat yang terdapat pada perairan alami dan merupakan unsur yang essensial bagi tumbuhan dan hewan, tetapi akan bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan diatas 0.1 ppm Pada perairan alami, kadar tembaga biasanya 0.02 mg/liter (Palar 1994 dalam Kusumastuti 2009). Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan tembaga pada kawasan banyak sampah bersifat racun tehadap tumbuhan karena memiliki konsentrasi larutan diatas 0.1 ppm, yaitu sebesar 0.26 ppm. Unsur Zn berperan dalam pertumbuhan hormon pengontrol, transformasi karbohidrat, mengelola konsumsi gula, dan membantu sintesis protein. Darmono (1995) dalam Suharyono dan Menry (2005) menyebutkan konsentrasi Zn dalam tanah berkisar antara 10 sampai 300 ppm dengan rata-rata 50 ppm. Pada masingmasing kawasan menunjukkan konsentrasi Zn dalam tanah masih kurang dari 50 ppm, yaitu sebesar 6.62 ppm pada kondisi tidak ada sampah, 14.07 pada kondisi sedikit sampah dan pada kondisi banyak sampah sebesar 16.27 ppm. Konsentrasi Zn ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan konsentrasi Zn yang dibutuhkan tanaman, tetapi hal ini tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena Zn termasuk hara mikro dalam tanah yang hanya sedikit diperlukan tanaman (Suharyono dan Menry 2005). Perubahan selalu terjadi dalam ekosistem hutan diantaranya yaitu adanya pohon yang mati secara alami karena faktor umur atau faktor alam lainnya. Pohon yang mati tersebut dapat digantikan oleh jenis pohon yang sama atau tergantung pada benih yang siap untuk tumbuh, sehingga proses regenerasi dapat berlangsung.
15 Regenerasi merupakan suatu proses peremajaan tumbuhan hutan secara alami atau atas buatan manusia serta usaha yang mutlak dilakukan untuk keberlanjutan hutan di masa datang. Indriyanto (2005) menyatakan bahwa berjalan atau tidaknya proses regenerasi tegakan hutan dicerminkan oleh kondisi anakan pohon yang ada dalam kawasan hutan, begitu pun menurut Barik et al. (1996) dalam Analuddin (2002), keberhasilan regenerasi pohon hutan ditentukan oleh kesuksesan menyelesaikan beberapa kejadian dalam siklus hidupnya, seperti produksi biji dan dispersal pada tempat yang sesuai, perkecambahan serta pertumbuhan ke depan. Regenerasi mangrove secara alami menggunakan biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber bibit. Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan, arus pasang surut dan stabilitas tanah (Kairo et al.(2001) dalam Setyawan et al.(2003)). Menurut Sigiro (2013), kerapatan vegetasi tingkat semai lebih tinggi dibandingkan kerapatan tingkat pancang mengindikasikan bahwa proses regenerasi pada areal hutan tersebut berjalan dengan baik. Hasil uji beda independent sampel t-test antara KTS dengan KSS, KSS dengan KBS dan KTS dengan KBS untuk kerapatan anakan pohon (semai) menunjukkan p<0.05, yang bermakna ada perbedaan signifikan antara kawasan tersebut. Nilai p-value dari masing-masing uji beda secara berurutan yaitu 0.003, 0.034 dan 0.002. Artinya, sampah memberi pengaruh terhadap kerapatan anakan pohon (semai). Tabel 2 menunjukkan kondisi anakan pohon (semai) pada kawasan tidak ada sampah lebih besar dibandingkan kawasan sedikit sampah dan banyak sampah. Pada kawasan tidak ada sampah dan sedikit sampah menunjukkan kerapatan vegetasi tingkat semai yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pancang, berbeda dengan kawasan banyak sampah (Gambar 7). Kerapatan (pohon/ha)
12000 10000 8000 semai pancang
6000 4000 2000 0 KTS
KSS
KBS
Plot Pengamatan
Gambar 7 Rata-rata kerapatan pada tingkat semai dan pancang di masing-masing kawasan penelitian Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kawasan tidak ada sampah proses regenerasi dapat berjalan lebih baik dibandingkan dengan kawasan yang sedikit sampah dan banyak sampah. Hal tersebut disebabkan karena pada kawasan yang banyak sampah, ketika buah jatuh tidak langsung jatuh ke permukaan tanah melainkan jatuh ke permukaan sampah (Gambar 8), sehingga buah yang terjatuh tidak dapat berkecambah. Menurut Rahmasyahraini 2008, kondisi fisik dari tanah yang digunakan untuk perkecambahan benih sangat mempengaruhi perkembangan kecambah menjadi tanaman dewasa. Benih akan terhambat perkecambahannya pada tanah yang padat, karena benih harus berusaha keras untuk menembus permukaan tanah. Pada kawasan banyak sampah, kemungkinan benih untuk
16 menembus permukaan tanah sangat sulit karena tebalnya sampah dan didominasi sampah anorganik sehingga menghambat perkecambahan benih tersebut.
a
b
Gambar 8 Buah mangrove yang jatuh; (a)permukaan tanah dan (b)permukaan sampah Nilai INP menunjukkan kemampuan suatu jenis untuk bersaing dan beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai INP pada setiap kawasan dapat dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan, untuk kawasan tidak ada sampah baik pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon, jenis Avicennia officinalis (api-api) lebih mampu untuk bersaing dan beradaptasi dengan lingkungannya. Pada kawasan sedikit sampah, Rhizopora mucronata (bakau) dan A. officinalis masih mampu bersaing dan beradaptasi dengan lingkungannya, sedangkan pada kawasan banyak sampah pada tingkat semai jenis Exceocaria agallocha (buta-buta) yang lebih mampu bersaing dan beradaptasi dengan lingkungannya dibandingkan jenis lain yang lebih utama pada mangrove. Pada tingkat pohon di kawasan banyak sampah memang jenis A. officinalis masih mampu beradaptasi dengan lingkungannya tetapi kondisi dari pohon tersebut sudah tidak baik, seperti pohon yang sudah tidak berdiri tegak dan gerowong pada batangnya. Keanekaragaman merupakan suatu keragaman diantara anggota suatu komunitas (Supriatno 2001 dalam Septiyani 2010). Keanekaragaman dibedakan atas tiga ukuran meliputi kekayaan jenis, keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis. Menurut Kreb (1978) dalam Syafrudin (2011) menyatakan bahwa ada enam faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis suatu komunitas yaitu, waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan lingkungan dan produktivitas. Tabel 3 menunjukkan besarnya Indeks Keanekaragaman Jenis pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon tergolong rendah untuk semua kawasan karena nilai indeks keanekaragaman jenis kurang dari 1.5. Menurut Ariyati et al. (2007) dalam Septiyani (2010), nilai indeks keanekaragaman rendah menunjukkan bahwa terdapat tekanan ekologi tinggi, baik yang berasal dari faktor biotik (persaingan antar individu tumbuhan untuk setiap tingkatan) atau faktor abiotik. Tekanan ekologi yang tinggi tersebut menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan dapat bertahan hidup di suatu lingkungan. Nilai kekayaan jenis merupakan suatu kajian ekologis yang digunakan untuk menghitung banyak atau ada tidaknya jenis, serta perimbangan jumlah individu
17 yang diwakili yang ditemukan pada lokasi pengamatan (Cappenberg 2011). Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa Indeks Kekayaan Jenis pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon tergolong rendah untuk semua kawasan karena besaran R1 < 3.5. Tabel 3 menunjukkan Indeks Kemerataan Jenis (E’) pada tingkat pertumbuhan semai untuk kawasan tidak ada sampah tergolong rendah sedangkan kawasan sedikit sampah dan banyak sampah tergolong tinggi. Besaran E’ pada tingkat pertumbuhan pancang tergolong tinggi untuk semua kawasan. Adapun pada tingkat pertumbuhan pohon besaran E’< 0.3 untuk semua kawasan sehingga tergolong rendah. Secara keseluruhan, indeks keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan jenis di semua kawasan tergolong rendah pada setiap tingkat pertumbuhannya. Keragaman dan kemerataan jenis yang rendah menyebabkan jumlah individu tiap jenis serta kestabilan komunitas berada dalam kondisi yang rendah dan tertekan (Cappenberg 2011). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sampah di pinggiran bibir pantai ini memberi tekanan ekologi yang tinggi, karena kestabilan lingkungan merupakan salah satu yang mempengaruhi keanekaragaman jenis pada suatu komunitas. Kondisi mangrove pada suatu lokasi dan waktu tertentu dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan hutan mangrove. Kriteria baku kerusakan hutan mangrove merupakan ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati mangrove yang dapat ditenggang (KEMENLH 2004). Kriteria baku tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kriteria baku kerusakan mangrove Tingkat Kerusakan
Kriteria
Baik
Sangat padat
Rusak
Kerapatan (pohon/ha) ≥ 1 500
Sedang
≥ 1 000 - < 1 500
jarang
< 1 000
Kriteria baku kerusakan mangrove (KEMENLH 2004) pada Tabel 7, menunjukkan kawasan tidak ada sampah (KTS) berada pada kondisi baik pada tingkat sedang karena memiliki rata-rata kerapatan pohon (pohon/ha) ≥ 1 000 - < 1 500 yaitu 1 060 pohon/ha. Kawasan sedikit sampah (KTS) dan banyak sampah (KBS) menunjukkan kondisi yang rusak karena memiliki kerapatan (pohon/ha) < 1 000. Secara beurutan kerapatan pohon pada kawasan sedikit sampah (KTS) dan banyak sampah (KBS) yaitu masing-masing 860 pohon/ha dan 740 pohon/ha. Dengan demikian, sampah dapat mengakibatkan kerusakan pada mangrove, sehingga mengganggu regenerasi hutan.
18
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan sampah tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil daun pohon mangrove tetapi berpengaruh terhadap regenerasi hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan dengan kerapatan anakan pohon (semai) pada kawasan tidak ada sampah lebih besar dibandingkan kawasan sedikit sampah dan banyak sampah.
Saran Peningkatan kemampuan regenerasi hutan mangrove dapat dilakukan dengan pembersihan lantai hutan dari tumpukan sampah. Pembangunan cerucuk pantai/jaring sampah diperlukan untuk meminimalisir masuknya sampah ke kawasan mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
Ai NS, Banyu Y. 2011. Konsentrasi Klorofil Daun sebagai Indikator Kekurangan Air pada Tanaman. Jurnal Ilmiah Sains 11(2):167-173. Analuddin. 2002. Struktur dan Dinamika Populasi Mangrove pada Beberapa Tipe Umur Komunitas di Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. [Tesis] Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Arief A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius. Campbell NA, Reece JB. 2008. Biologi Edisi 8, Jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga. Cappenberg HAW. 2011. Kelimpahan dan Keanekaragaman Megabentos di Perairan Teluk Ambon. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37(2): 277-294. Fatimah A. 2012. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Pasca Rehabilitasi di Pesisir Pantai Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. [Skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
19 Gultom O. 2010. Pengelolaan Sampah Padat Perkotaan secara Terpadu. [internet] [diunduh 2014 Januari 31]. Tersedia pada: http://digilib.batan.go.id/ejurnal/Artikel/Buletin-Limbah/Vol5No1th-2000/Osmen_G.pdf. Hikmah N, Halang B, Muchyar. 2013. Kandungan Cd (Cadmium) dan Mn (Mangan) pada Daun Tanman Sawi (Brassica juncea L.) yang Ditanam dengan Penambahan Lumpur Hasil Pengolahan Limbah Karet. Jurnal wahana-Bio 10(1):1-20. Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. [KEMENLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta (ID): KEMENLH. Kushartono EW. 2009. Beberapa aspek Bio-Fisik Kimia Tanah di Daerah Mangrove Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan 14(2):76-83. Kusmana C. 1996. Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove. Jurnal Media Konservasi 5(1):17-24. Kusmana C. 2010. Respon Mangrove terhadap Pencemaran. [internet] [diunduh 2013 November 28]. Tersedia pada: http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/2010-RESPONMANGROVE-TERHADAP-PENCEMARAN_edit.pdf Kustanti A. 2011. Manajemen hutan mangrove. Bogor (ID): IPB Press. Kusumastuti W. 2009. Evaluasi Lahan Basah bervegetasi Mangrove dalam mengurangi Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus di Desa Kepitingan Kabupaten Sidoarjo). [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Onrizal. Rugayah, Suhardjono. 2005. Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk. Biodiversitas 6(1):34-49. Rahmasyahraini. 2008. Studi Periode Pengujian Daya berkecambah serta Pengaruh Perlakuan Benih dan Jenis Media Perkecambahan pada Benih Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. Sakya AT, Rahayu M. 2010. Pengaruh Pemberian Unsur Mikro Besi (Fe) terhadap Kualitas Anthurium. Agrosains 12(1):29-33. Septiyani Y. 2010. Struktur Komunitas dan Regenerasi Tegakan Hutan di Kawasan Konservasi Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. [Skripsi]. Jakarta (ID): Fakultas Biologi UNJ. Setyawan AD, Winarno K, Purnama PC. 2003. Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi. Biodiversitas 5(2):105-118. Sigiro ARM. 2013. Struktur Tegakan dan Regenerasi Alami Hutan di Pulau Siberut, Sumatera Barat. [skripsi]. Bogor (ID):Fakultas Kehutanan IPB. Suhariyono G, Menry Y. 2005. Analisis Karakteristik Unsur-Unsur dalam Tanah di Berbagai Lokasi dengan Menggunakan XRF. Di dalam: Puslitbang
20 Teknologi Maju-BATAN; 2005 Jul 12; Batan, (ID):PDIPTN.hlm 197-206.
Indonesia. Batan
Syafrudin D. 2011. Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Tambang Wildlife Nature Conservation (TWNC), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung. Bogor (ID):Fakultas Kehutanan IPB. Wanggai F. 2009. Manajemen Hutan. Jakarta (ID): Grasindo.
21
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 10 Maret 1993. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Abdul Haris dan Umi Syamsiyah. Penulis pernah mengenyam pendidikan di SDN III Kampung Melayu Teluknaga, Tangerang (1998-2004), SMPN 1 Teluknaga, Tangerang (2004-2007), dan SMAN 56 Jakarta Barat (2007-2010). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2010 di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif sebagai anggota Project Division Tree Grower Community (TGC) pada tahun 2012-2013. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Gunung Sawal dan Pangandaran pada tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2013, dan Praktek Kerja Profesi di Kawasan Hutan Angke Kapuk DKI Jakarta, pada tahun 2014. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Sampah terhadap Kandungan Klorofil Daun dan Regenerasi Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara untuk menyelesaikan gelar Sarjana Kehutanan IPB dibimbing oleh Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS.