I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peruntukan kawasan hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya menurut Pasal 1 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dibagi menjadi 3 yaitu hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pasal 7 menyebutkan bahwa hutan konservasi terdiri dari : (1) Kawasan hutan suaka alam (KSA), (2) Kawasan hutan pelestarian alam (KPA) , dan (3) taman buru (TB). UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) Pasal 12 menjelaskan bahwa KSA terdiri dari Suaka Margasatwa dan Cagar Alam, sedangkan Pasal 29 menjelaskan bahwa KPA terdiri dari Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Nasional (TN). Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan seperti dijelaskan oleh pasal 34. Pengelolaan taman nasional seperti dijelaskan dalam Pasal 5 dilakukan melalui kegiatan : a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional sejak dideklarasikan pada tahun 1980 mengalami
banyak
permasalahan.
Domain
1
permasalahannya
meliputi
2
konseptualisasi taman nasional, konflik keruangan, pengelolaan organisasi, dan sumber daya manusia. Masalah-masalah tersebut saling berkaitan dan membentuk simpul-simpul permasalahan di berbagai level yaitu di kawasan hutan, organisasi taman nasional dan masyarakat. Kebijakan taman nasional di Indonesia idealnya bekerja dalam kondisi ekosistem hutan yang terjaga, asli, dan bebas dari intervensi manusia apabila menganut konsep Barat yang memandang entitas hutan terlepas dari eksistensi manusia di dalamnya. Akan tetapi realitas lapangan menunjukkan bahwa di hampir semua kawasan hutan Indonesia terdapat interaksi ekosistem yang melibatkan manusia, terutama manusia yang berada di dalam kawasan hutan. Oleh karenanya, di dalam sistem hutan juga terdapat sistem ekonomi yang bertugas memenuhi kebutuhan individu manusia. Di sisi lain, terdapat sistem tata ruang yang berorientasi pembangunan infrastruktur wilayah. Pada titik inilah terjadi benturan kepentingan antara para pihak. Masyarakat menginginkan akses sumberdaya hutan untuk eksistensinya, sedangkan taman nasional tidak memberikan ruang yang cukup. Ketiadaan ruang untuk masyarakat ini tersirat dalam UU No.5/1990 tentang KSDHAE yang menjadi payung hukum pengelolaan taman nasional. Taman nasional memang sudah membuat konsep zonasi yang mengatur gradasi pemanfaatan sumber daya dari zona pemanfaatan sampai zona inti. Namun, di lapangan, batas zonasi tidak ditemukan dan seringkali tidak dimengerti oleh petugas lapangan. Apa yang boleh diambil dan tidak boleh diambil dari kawasan hutan belum menjadi aturan baku di seluruh taman nasional. Sampai batas mana masyarakat boleh masuk kawasan
3
juga tidak jelas karena minimnya batas zonasi di lapangan. Di beberapa taman nasional seperti TN Siberut, TN Kutai, TN Kayan Mentarang masih terdapat masyarakat yang tinggal di dalam kawasan. Pihak lain, pemerintah lokal, kebanyakan tidak merasa mendapat keuntungan dengan keberadaan taman nasional di wilayahnya. Dalam beberapa kasus, taman nasional dianggap sebagai penghalang dalam pembangunan infrastruktur wilayah misalnya jalan, pemekaran kabupaten dan kecamatan. Sebagai contoh, TN Siberut mengalami masalah dengan pemekaran 3 kecamatan di kawasan hutannya yang merupakan pulau kecil. TN Kerinci Seblat juga mengalami kendala pembangunan jalan melewati kawasan. TN Bukit Barisan Selatan mengalami masalah perambahan besar-besaran. Model kebijakan pengelola taman nasional dalam mengatasi masalah tersebut adalah melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, pendekatan hukum secara represif atau dalam beberapa kasus terjadi pembiaran masalah oleh pengelola taman nasional. Secara umum di Indonesia, pembiaran oleh pengelola menjadi simpul kritis lain organisasi taman nasional. Indikasi tidak adanya pengelola di lapangan yang merupakan perilaku buruk organisasi dapat dilihat dari fenomena kosongnya penjagaan hutan di resort pengelolaan oleh petugas lapangan, pegawai berkumpul di kantor Balai TN tanpa melakukan pekerjaan, orientasi pekerjaan berdasarkan proyek, membolos kerja dan tiadanya informasi kondisi kawasan yang memadai (observasi lapangan pada beberapa Balai TN, 2009-2012). Ketiadaan pengelola di lapangan ini memberikan dampak pengelolaan taman nasional berupa :
4
a. minimnya informasi keadaan kawasan; b. menurunnya kewibawaan petugas lapangan taman nasional di mata penegak hukum lain, misalnya polisi dan kejaksaan; c. tujuan dan pemahaman ide konservasi tidak terdiseminasi ke masyarakat; d. meningkatnya indikasi adanya organisasi informal yang buruk. Fenomena ini disebut dengan mengelola “paper park” (Wiratno, 2007). Ungkapan ini untuk menggambarkan suatu aktivitas pemangkuan kawasan dengan semata melihat, menganalisa dan mengintepretasikan dokumen pelaporan yang belum tentu benar. Istilah lain adalah mengelola taman nasional dengan “remote control” yang tentu saja berimplikasi pada rendahnya output dan outcome. Alasan insularitas yang tinggi pada sebagian besar wilayah taman nasional dan gaji yang rendah seringkali menjadi alasan pembenaran sepihak berbagai perilaku indisipliner tersebut. Alasan klasik lain adalah pejabat taman nasional tidak selalu dapat membawa keluarganya tinggal di dekat tempat kerja sehingga menganggu konsentrasi dalam bekerja. Selain itu, orientasi pelaksanaan pekerjaan yang menitikberatkan pada tertib administratif daripada keberhasilan pekerjaan lapangan juga mempunyai andil besar dalam pembentukan perilaku indisipliner. Orientasi pemenuhan sistem dan prosedur administratif, bukan kepada kinerja, menjadi penyebab pengelola taman nasional tidak berani mengambil keputusan secara cepat dan progresif. Permasalahan lapangan seringkali lambat terselesaikan karena kebiasaan pengelola taman nasional selalu meminta saran dan pendapat Direktur dan Dirjen terlebih dahulu. Cara berpikir sebagian besar pengelola masih “thinking in the box” sehingga kebijakan lapangan yang diambil
5
tidak selalu memperhitungkan perubahan lingkungan taman nasional yang dinamis. Perubahan lingkungan ini dapat berupa berubahnya sistem politik pemerintah, menguatnya masyarakat madani, perubahan sosiokultural masyarakat dan perubahan orientasi pihak internasional. Pola pemikiran ”thinking in the box” ini juga menyebabkan hambatan psikologis pengelola taman nasional menjalin komunikasi dengan stakeholder. Pengelola taman nasional tidak merasa punya kepentingan dengan stakeholder dan seolah-olah menjadi penguasa wilayah. Padahal secara de facto, kompetensi dan kewibawaan petugas lapangan sebagai alat kekuasaan pengelolaan taman nasional adalah rendah. Petugas lapangan bahkan seringkali harus minta ijin kepada penduduk setempat untuk masuk kawasan yang sebenarnya menjadi wilayah teritorialnya. Beragam realitas permasalahan di atas menyebabkan kerusakan sumber daya hutan taman nasional. Kementerian Kehutanan melansir data deforestasi kawasan hutan yang tidak direncanakan sebesar 859.083 Ha/tahun selama tahun 2000-2005 (Kemenhut, 2011). Oleh karenanya diperlukan suatu upaya perbaikan pengurusan kawasan taman nasional. Perbaikan pengurusan kawasan taman nasional ini membutuhkan suatu upaya pemantapan kawasan yang memungkinkan fungsi-fungsi konservasi dapat berjalan seiring dengan kebutuhan sosiokultural masyarakat, khususnya masyarakat setempat. Kepemerintahan yang baik di bidang kehutanan (good forestry governance) seharusnya dicirikan oleh adanya kelembagaan pengurusan hutan yang menggambarkan keseimbangan peran dan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat madani, serta ditopang
6
oleh kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan dan lembaga penegakan hukum yang dapat dipercaya (Kemenhut, 2011). Salah satu upaya pemerintah yang terdapat dalam Pasal 5 PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan adalah dalam bentuk transformasi organisasi taman nasional menjadi bentuk baru yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK). Pasal 5 KPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi: a. KPH konservasi (KPHK); b. KPH lindung (KPHL); dan c. KPH produksi (KPHP). Pembentukan
KPH
diharapkan
sebagai
suatu
prakondisi
kelembagaan
pengelolaan hutan yang mampu mewujudkan pengurusan dan pengelolaan hutan Indonesia secara lestari (Awang, 2007). KPHK harus menyesuaikan dengan tata kelola pemerintah yang berlaku saat ini seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan azas perbantuan. Konsep kelembagaan baru diharapkan merubah paradigma administrasi klasik yang berorientasi ke sistem dan prosedur menjadi berorientasi pada hasil (output dan outcome). Konsep ini menuntut adanya sistem kerja yang fleksibel, inovatif dan responsif terhadap perubahan lingkungan. Disain kebijakan yang digunakan menggunakan basis data yang komprehensif, akurat dan terukur. Kompetensi sumberdaya memegang peranan penting. Pegiat taman nasional harus mempunyai knowledge, skill dan attitude yang memadai. Kompetensi ini menjadi kebutuhan pengelola taman nasional dalam mekanisme good governance. Model pengelolaan hutan yang baru nantinya akan dijiwai oleh berbagai kriteria-kriteria yang ada dalam konsep governance ditambahkan dengan aspek
7
konservasi sumber daya hutan, yang kemudian disebut dengan istilah good forestry governance (GFG). Dalam aplikasi di lapangan, GFG harus mempertimbangkan paling tidak dua aspek, yaitu aspek kelestarian sumber daya hutan (ekologis) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (sosial ekonomi). Aspek sosial meliputi : (1) peran negara memfasilitasi pelibatan seluruh pihak yang berkepentingan terhadap hutan, (2) pembagian peran dan keuntungan yang adil terhadap seluruh pihak, (3) peran negara dalam melakukan proses pemberdayaan masyarakat, transfer pengetahuan dan ketrampilan, (4) masyarakat berpartisipasi aktif sesuai kemampuan yang telah dimilikinya dengan penuh rasa tanggung jawab (Siswoko, 2009:39). Aspek ekologis dapat diterjemahkan sebagai kemampuan hutan menjalankan fungsi lindung dan fungsi pengawetan plasma nutfah. Fungsi lindung berkaitan dengan penyangga sistem kehidupan air, udara dan pengawetan tanah dan air. Pengawetan plasma nutfah berkaitan dengan keanekaragaman di tingkat ekosistem, spesies dan genetik. Nilai ekonomi hutan lindung dan hutan konservasi dapat menjadi tidak terhingga apabila dilihat dari sifat kelangkaan (scarcity). Dalam mekanisme governance, nilai-nilai ini dapat saja tereduksi bahkan hilang ketika stakeholder tidak mempunyai kepentingan atau pemahaman mengenai hal tersebut. Di sinilah negara akan memegang peran. Justifikasinya adalah amanah UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menguasai sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi hajat hidup orang banyak. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 jelas menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
8
memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintah dan pembangunan haruslah tunduk kepada hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Asshiddiqie, 2010). Negara harus berperan aktif apabila pemahaman stakeholder mengenai public service berupa hutan ini belum memadai. Kerangka pemikiran GFG yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi inilah yang akan diteliti di salah satu taman nasional yang ditetapkan Menteri Kehutanan menjadi KPHK yaitu TN Alas Purwo (TNAP). TNAP ditetapkan sebagai KPHK berdasarkan SK. 801/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009. TNAP, luas 43.420 Ha, mempunyai sejarah pengelolaan yang panjang sejak ditetapkan menjadi SM Banyuwangi Selatan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1939 sampai dibentuk struktur organisasi taman nasional pada tahun 1992 (TNAP, 2010). Alas Purwo termasuk 3 taman nasional yang diidentifikasikan mempunyai standar kinerja yang mendekati baik (WWF, 2006). Hasil penelitian Susila (2011) menyebutkan bahwa secara keseluruhan perencanaan, masukan, proses dan keluaran untuk pelaksanaan pengelolaan TNAP sudah baik. TNAP juga mendapat penghargaan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PHKA yang terbaik pada tahun 2010 (wawancara dengan KBTNAP, Desember 2012). Sebagai KPHK, TNAP harus melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPHK sebagaimana diamanahkan PP 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Pelaksaaan tupoksi tersebut memerlukan dukungan kelembagaan yang baru sebagai transformasi bentuk taman nasional. Konstruksi kelembagaan KPHK
9
belum dibentuk oleh Kementerian Kehutanan. Pemerintah baru menetapkan konstruksi organisasi KPH Produksi dan KPH Lindung melalui Permendagri No.61 Tahun 2010 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah. Selain itu, terdapat juga Permenhut Nomor: P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengeloaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). . Dasar pelaksanaan organisasi KPHK tersebut saat ini masih menggunakan mekanisme pengelolaan organisasi taman nasional yaitu Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Sampai September
2013,
Kementerian Kehutanan telah membentuk 38 unit KPHK seluas 8.373.062,7 Ha yang kesemuanya masih berupa 38 (tiga puluh delapan) organisasi Balai/Balai Besar Taman Nasional (www.dephut.go.id diakses 8 November 2013). Oleh karenanya, kajian ini menjadi menarik untuk mendapatkan penjelasan lebih jauh secara akademik mengenai bagaimana konstruksi kelembagaan TNAP setelah bertrasnformasi menjadi KPHK. 1.2
Rumusan Masalah
PP 6/2007 telah mengamanahkan transformasi lembaga Balai/Balai Besar TN menjadi KPHK. Meskipun demikian, Balai TNAP yang ditetapkan menjadi KPHK masih menggunakan regulasi konstruksi kelembagaan Taman Nasional. Hal ini terlihat dengan masih digunakannya Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
10
Taman Nasional dalam pengelolaan KPHK. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi ruang transformasi kelembagaan Balai TNAP menjadi KPHK tersebut. Secara konseptual, lembaga KPHK akan menjalankan prinsip-prinsip tata kelola kehutanan (GFG) dengan baik. GFG berkenaan dengan berbagai kebijakan yang diharapkan mampu menghilangkan kendala sistem kelembagaan yang mendorong keberhasilan pengelolaan KPHK. Penerapan prinsip-prinsip GFG mengacu kepada penerapan GFG dalam mekanisme birokrasi lembaga KPHK dan relasi lembaga dengan stakeholder. Selain itu dibutuhkan konstruksi regulasi yang diperlukan
untuk
mendukung
operasionalisasi
lembaga.
Penelitian
ini
membutuhkan jawaban atas pertanyaan utama yaitu bagaimana konstruksi kelembagaan KPHK dapat mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang lebih baik. Pertanyaan penelitian utama tersebut dijabarkan sebagai berikut : 1.
Bagaimana kondisi terkini variabel-variabel pembangunan lembaga KPHK dan stakeholder pengelolaan di lembaga Balai TNAP?
2.
Bagaimana pengaruh karakteristik individu, kepemimpinan transformasional, persepsi tentang disain organisasi terhadap sikap GFG di Balai TNAP dan apa implikasinya terhadap konstruksi organisasi KPHK?
3.
Bagaimana persepsi stakeholder terhadap GFG di TNAP dan apa implikasinya terhadap konstruksi relasi stakeholder KPHK?
4.
Bagaimana konstruksi kelembagaan KPHK dan apa kebutuhan peraturan pelaksanaan untuk menjalankannya?
11
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Mendapatkan data dan penjelasan tentang identifikasi variabel-variabel pembangunan lembaga dan stakeholder KPHK di Balai TNAP.
2.
Mendapatkan data dan penjelasan mengenai pengaruh karakteristik individu, kepemimpinan transformasional dan persepsi tentang disain organisasi terhadap sikap GFG.
3.
Merumuskan prioritas relasi stakeholder, prinsip GFG dan aktivitas relasi Balai TNAP.
4.
Membuat
konstruksi
disain
kelembagaan
dan
kebutuhan
peraturan
pelaksanaan KPHK Alas Purwo 1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sebagai acuan akademis dalam pembentukan KPHK di TNAP. Acuan akademis berisi konsepsi teoritis pembangunan lembaga dan hal-hal praktis yang diperlukan untuk menunjang konsepsi teoritis tersebut. Secara praktis, acuan akademik ini juga dapat dipergunakan oleh stakeholder (pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi) dalam mengkritisi pelaksanaan pengelolaan KPHK. Dalam konteks tipologi taman nasional yang setara, konsepsi teoritis kajian ini juga dapat diaplikasikan dalam pembentukan KPHK yang lain. Konsepsi teoritis dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik ekosistem, dimensi sosiokultural, dan dimensi manajemen organisasi masing-masing KPHK di Indonesia.
12
1.5
Keaslian Penelitian
Beberapa karya tentang kelembagaan KPH dan taman nasional pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain oleh Susila (2011), Rizal et al. (2011), Santoso et al. (2010), Marganingsih (2010), Alviya & Suryandari (2008) dan Alviya & Suryandari (2009). Berikut ini dipaparkan mengenai judul, pendekatan penelitian, hasil dan keterbatasan penelitian. Susila (2011) meneliti tentang “Efektifitas Pengelolaan Resort Di Taman Nasional Alas Purwo”. Pendekatan penelitian adalah kuantitatif dengan metode RAPPAM (Rapid Assesment and Prioritization of Protected Areas Management). Hasil penelitiannya adalah penilaian efektivitas pengelolaan TN Alas Purwo berdasar komponen perencanaan, masukan, proses, dan keluaran berada dalam kategori baik. Keterbatasan penelitian ini adalah penilaian difokuskan pada level resort dan tidak pada keseluruhan level organisasi dan stakeholder pengelolaan TN Alas Purwo. Penilaian kinerja resort adalah penilaian output pengelolaan kawasan konservasi. Penilaian efektivitas pengelolaan seharusnya dimulai dari perencanaan, masukan dan proses pada semua level yaitu resort, seksi wilayah dan kantor Balai TN yang menyediakan sumberdaya bagi aktivitas-aktivitas di tingkat resort. Analisa hasil juga tidak menganalisis mengenai bagaimana interaksi resort dengan stakeholder lokal yang justru merupakan kunci bagi efektivitas pengelolaan kawasan. Rizal et al. (2011) menulis tentang “Kajian Strategi Implementasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) : Studi Kasus di Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan”. Pendekatan penelitian adalah deskriptif dengan
13
menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif. Metode analisa untuk
merumuskan strategi implementasi KPH adalah analisis medan daya (force field analysis) dari Kurt Lewin. Hasil penelitiannya adalah pembangunan KPH Tana Toraja berada pada kategori “growth-stability”. Strategi yang sesuai adalah konsentrasi pengelolaan melalui integrasi horizontal dengan cara memperluas kegiatan di masyarakat, mengembangkan jaringan informasi dan komunikasi antar daerah yang memiliki program KPH. Penelitian ini fokus pada analisis persepsi stakeholder saja dan tidak sampai pada konstruksi kelembagaan KPH Tana Toraja secara menyeluruh. Santoso et al. (2010) menulis tentang “Mendorong Revitalisasi Mitra Kutai untuk Menjadi Lembaga Multi Pihak dan Embrio Trust Fund bagi TN Kutai”. Pendekatan penelitian yang dipilih adalah deskriptif dan eksploratorif. Penelitian menghasilkan tiga pilihan pengembangan Mitra Kutai ke depan, yaitu renovasi/rekonfigurasi, inovasi dan evolusi. Renovasi/rekonfigurasi dilakukan dengan melakukan perubahan-perubahan secukupnya untuk mengembalikan Mitra Kutai sesuai dengan fungsinya pada saat dibentuk pada tahun 1995, yaitu sebagai lembaga filantropi yang beranggotakan kalangan swasta dan para pihak yang memiliki komitmen pendanaan jangka panjang. Opsi inovasi dirancang untuk menyempurnakan lembaga filantropi Mitra Kutai dengan konsep trust fund (dana perwalian). Skenario ini akan menempatkan Mitra Kutai menjadi lembaga yang independen dan lebih mampu mengakomodasi kepentingan multi pihak dalam keterlibatannya dalam pengelolaan TN Kutai. Skenario ini merupakan gabungan antara renovasi/rekonfigurasi dan inovasi. Muara dari skenario ini adalah
14
pembentukan lembaga filantropi dengan konsep trust fund (dana perwalian), dan diawali dengan tahap trust building. Keterbatasan penelitian ini adalah kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian adalah hubungan mekanis antara lembaga TN Kutai dengan stakeholder yang tergabung dalam lembaga Mitra Kutai. Penelitian tidak fokus pada bagaimana analisis internal lembaga TN Kutai dan kesiapan lembaga dalam interaksi dengan Mitra Kutai. Fokus kelembagaan juga terbatas pada masalah pendanaan dan tidak mengupas lebih jauh pada mekanisme governance antara TN Kutai dengan stakeholder. Marganingsih (2010) menulis thesis yang berjudul “Desain Organisasi Sebagai
Supporting
Kelembagaan
Kesatuan
Pengelolaan
Hutan
(KPH)
Yogyakarta”. Penelitian tentang disain organisasi KPH Yogyakarta menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan penelitian lapangan. Hasil penelitiannya adalah perubahan struktur organisasi KPH Yogyakarta dalam bentuk organisasi matriks. Alternatif struktur organisasi yang baru ini mengkombinasikan orientasi kelestarian
wilayah/kawasan
dan
kelestarian
manajemen/pengelolaan.
Keterbatasan penelitian ini adalah usulan struktur organisasi didasarkan pada studi yuridis dan tidak melihat aspek kelembagaan yang lain misalnya SDM, program, dana, doktrin dan relasi stakeholder yang akan dibangun. Secara yuridis, disain memang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, namun belum tentu akan berjalan optimal apabila tidak dilakukan analisis mendalam mengenai variabel-variabel pembangunan lembaga KPH yang lain. Suryandari & Alviya (2009) menulis tentang “Implementasi Dan Strategi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banjar”. Pendekatan penelitian
15
yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threats). Hasil-hasil penelitiannya adalah : 1. Para pemangku kepentingan KPH Banjar masih memiliki perbedaan pandangan dalam pembangunan KPH yang ditunjukkan oleh hasil analisis SWOT. 2. Strategi pembangunan KPH Banjar ke depan perlu memprioritaskan peningkatan peran masyarakat, dukungan komitmen pemerintah kabupaten baik
aspek
perundangan
maupun
penyusunan
RTRW
yang
sesuai,
pengembangan SDM melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, dan peningkatan koordinasi, kolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam rangka sinkronisasi kegiatan dalam kawasan KPH Banjar. Keterbatasan penelitian adalah penelitian ini mendasarkan analisis pada persepsi stakeholder terhadap pengelolaan KPH Banjar. Penelitian tidak mencakup analisis kondisi internal lembaga KPH Banjar. Analisis SWOT menyajikan prioritas strategi pengelolaan, namun kurang detail dalam menyajikan tentang bagaimana aspek teknis implementasi dan konstruksi peraturan pelaksanaan strategi tersebut. Alviya & Suryandari (2008) menulis tentang “Kajian Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Way Terusan Register 47e”. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian adalah KPH Model Way Terusan Register 47 telah memiliki skenario pengelolaan hingga tingkat tapak. KPH mempunyai masalah kelembagaan dalam aspek hambatan oleh para pemangku kepentingan, peraturan perundangan, organisasi, pendanaan, dan SDM. Masalah sosial yang diidentifikasi adalah klaim lahan oleh masyarakat dan perbedaan jenis
16
tanaman yang akan dikembangkan pada areal KPH model. Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian hanya mengungkapkan masalah-masalah umum pada
aspek
organisasi,
pendanaan
dan
SDM.
Peneliti
juga
tidak
mengkonstruksikan model kelembagaan KPH model yang ideal. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut, terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian ini yang berjudul “Konstruksi Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konservasi Alas Purwo”. Perbedaanperbedaan tersebut adalah : 1. Obyek penelitian adalah KPHK 2. Kajian penelitian penulis adalah konstruksi kelembagaan KPHK yang meliputi variabel-variabel pembangunan lembaga KPHK, relasi lembaga dengan stakeholder, kriteria keadaan akhir kelembagaan dan konstruksi peraturan pelaksanaan. 3. Metode penelitian yang digunakan studi kasus dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif Berdasarkan uraian tersebut, maka novelty penelitian ini ditunjukkan dengan belum ada penelitian mengenai konstruksi kelembagaan KPHK. KPHK ini merupakan transformasi lembaga taman nasional. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori universum pembangunan lembaga Esman (1986) dan teori-teori perilaku organisasi Ivancevich et al. (2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisa univariat dan multivariat, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan analytical hierarkhi process (AHP), deskriptif kualitatif dan yuridis
17
normatif. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan akademis transformasi kelembagaan TN menjadi KPHK di Indonesia. 1.6
Sistematika Penulisan
Garis besar uraian tiap bab dalam disertasi ini adalah sebagai berikut : Bab I berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori yang digunakan dan kerangka pemikiran. Bab III berisi tentang pendekatan penelitian, fokus penelitian, responden penelitian, waktu dan lokasi penelitian, definisi konseptual, definisi operasional, pengukuran variabel, prosedur pengumpulan data dan analisis data. Bab IV berisi tentang kondisi keruangan TNAP. Bab V berisi tentang identifikasi tentang variabel-variabel pembangunan lembaga KPHK di TNAP dan interaksi antar variabel-variabel tersebut. Bab VI berisi tentang identifikasi relasi stakeholer, prioritas relasi aktor pengelolaan TNAP dalam pelaksanaan GFG, prioritas prinsip-prinsip GFG dan prioritas aktivitas yang seharusnya dilakukan. Bab VII berisi tentang konstruksi kelembagaan KPHK Alas Purwo dan konstruksi peraturan pelaksanaan dengan menggunakan hasil analisa Bab V, dan Bab VI. Konstruksi peraturan mengidentifikasi kebutuhan peraturan pelaksanaan KPHK yang disinkronkan dengan peraturan-peraturan pengelolaan taman nasional. Bab VIII berisi tentang kesimpulan dan saran.