POLA PENGGU P UNAAN RUANG R OWA O JAW WA (Hyloobates molloch Audebeert, 1798)) BERDASARKAN N PERILA AKU BER RSUARA A DI TA AMAN NA ASIONAL L GUNUN NG HALIIMUN - S SALAK, PROVINSI JAW WA BARA AT
A ALAMAN NDA SAR RDJITO PUTRI
DEPARTE D EMEN SERVASII SUMBE ERDAYA HUTAN DAN EK KOWISAT TA KONS FAKUL LTAS KE EHUTAN NAN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR 2009 9
18
POLA PENGGUNAAN RUANG OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798) BERDASARKAN PERILAKU BERSUARA DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN - SALAK, PROVINSI JAWA BARAT
ALAMANDA SARDJITO PUTRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
19
SUMMARY ALAMANDA SARDJITO PUTRI. E34104048. Space Application Pattern of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert, 1798) Based On Calling Behaviour at Gunung Halimun - Salak National Park, Province of West Java. Under Supervision of DONES RINALDI Area Gunung Halimun – Salak National Park is the habitat of endemic primate of Java, Javan Gibbon (Hylobate moloch Audebert, 1798). This species life is dependent on existence of big trees, because Javan Gibbon is arboreal species which travelled and fed from one branch to another. Javan Gibbon is one of nine primate species in the world that only spread in Asia. By knowing space application pattern of Javan Gibbon based on calling behaviour, hopefully the zone maintaining action is basicly done based on habitat and ecosystem important species. The aims of the research are to knowing the space application pattern of Javan Gibbon based on calling behavior each group structure. The research can be considered information for habitat management of Javan Gibbon. The research was conducted for two month from HM 6 – HM 33 and the area arrounds it. The equipments were used are work map, camera, binocular, stopwatch, compass, tallysheet, range finder, rope and stationery. The objects are two groups of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert, 1798). Monitoring was done with scan sampling method. The method to collecting data is using continous recording method. Data from the research were analyse by graphic and descriptive illustration technique. Calling behaviour which have been done by group A during the research was counted 29 calls that consist of 26 calls by directly observed and three calls by indirect observed. Group B was counted 16 calls that consist of 14 calls by directly observed and two calls by indirect observed. Based from the observation, calling behaviour mostly happened at 10:00 – 11:00 AM. H. moloch calling behaviour is 69% using canopy B, 26% using canopy A and 5% using canopy C. Adult female song bouts observed at 16 different trees for 4785 second. Adult male song bouts observed at eight different trees for 1547 second and sub-adult female song bouts observed at six different trees for 262 second. All of the group structure used Rauh, Scarrone, Attims and Massart model architechture tree. The conclusions from this research are the adult female used 15 Rasamala (Altingia excelsa) as calling tree and used 17 Scarrone model architecthure tree for calling. Position AI and AII were used for female song bout (FSB); AI, BI, ang BII were used for border conflict call bout (BCCB); AIII, BIII and CIII were used for harassing call bout (HCB). Adult male used three Ki haji (Dysoxylum alliaceum) and five Rauh model architechture tree as calling tree. Position AII were used for border conflict call bout; CIII were used for harassing call bout; BI, BII and CII were used for male song bout. Sub-adult female used five Kimokla (Knema cinerea (Poir.) Warb.) which have model architecthure tree, Massart as calling tree. Position AII ang AIII were used for female song bout and harassing call bout; BI, BII ang BIII were used for harassing call bout. Keywords : Javan Gibbon, group structure, space application pattern.
20
RINGKASAN ALAMANDA SARDJITO PUTRI. E34104048. Pola Penggunaan Ruang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Berdasarkan Perilaku Bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh DONES RINALDI Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (TNGHS), merupakan habitat primata endemik Jawa yaitu owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798). H. moloch sangat bergantung kepada keberadaan pohon besar, karena termasuk fauna arboreal, yang bergerak dan mencari pakan dari dahan satu ke dahan lainnya. H. moloch adalah satu dari sembilan spesies primata di dunia yang tersebar hanya di Asia, yang terdaftar sebagai sangat terancam punah. Diperlukan pengetahuan tentang preferensi habitat H. moloch yang berkaitan erat dengan pola penggunaan ruang. Dengan mengetahui pola penggunaan ruang H. moloch berdasarkan perilaku bersuara, diharapkan tindakan pengelolaan zonasi lebih didasarkan terhadap kajian ekosistem dan habitat spesies penting. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan ruang yang digunakan oleh H. moloch berdasarkan aktivitas bersuara pada masing-masing struktur kelompok. Hasil dari penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan pertimbangan untuk tindakan pengelolaan terutama pengelolaan habitat H. moloch. Kegiatan pengambilan data berlangsung selama dua bulan dari HM 6 – HM 33 dan wilayah di sekitarnya. Peralatan yang digunakan terdiri atas : peta kerja, kamera, binokuler, stopwatch, kompas, tallysheet, range finder, tali rafia/tambang dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah dua kelompok H. moloch. ). Metode pengamatan menggunakan scan sampling dan pencatatan data dilakukan dengan metode continous recording. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dianalisis melalui teknik panyajian deskriptif dan grafik. Aktivitas bersuara yang dilakukan oleh kelompok A selama pengamatan yakni sebanyak 29 suara yang terdiri dari 26 suara teramati secara langsung dan tiga suara tidak langsung. Kelompok B sebanyak 16 suara yang terdiri dari 14 suara teramati langsung dan dua suara tidak langsung. Berdasarkan hasil pengamatan, waktu bersuara kelompok A dan B paling banyak antara pukul 10:00 - 11:00 WIB. Strata tajuk B digunakan sebanyak 69% oleh H. moloch untuk melakukan aktivitas bersuara, 26% menggunakan strata tajuk A dan 5% pohon dengan strata tajuk C. Aktivitas bersuara individu betina dewasa teramati di 16 jenis pohon selama 4785 detik. Sedangkan jantan dewasa melakukan aktivitas bersuara selama 1547 detik di delapan jenis pohon. Individu betina pra-dewasa teramati di enam jenis pohon suara selama 262 detik. Semua struktur kelompok menggunakan pohon dengan model arsitektur Rauh, Scarrone, Attims dan Massart. Kesimpulan dari penelitian adalah betina dewasa melakukan aktivitas bersuara di pohon Rasamala (A.excelsa) sebanyak 15 pohon. Untuk model arsitektur pohon suara, 17 pohon diantaranya memiliki model Scarrone. Posisi AI dan AII digunakan untuk female song bout (FSB); AI, BI dan BII untuk border conflict call bout (BCCB) dan AIII, BIII dan CIII hanya digunakan untuk
21
harasssing call bout. Individu jantan dewasa menggunakan tiga pohon Ki haji (Dysoxylum alliaceum) dan lima pohon dengan model arsitektur Rauh untuk bersuara. Posisi AII hanya ditemukan untuk tipe border conflict call bout. Sedangkan untuk tipe suara harasssing call bout di posisi CIII. Posisi BI, BII dan CII ditempati saat melakukan tipe suara male song bout.Pohon Kimokla (Knema cinerea (Poir.) Warb.) dengan model arsitektur Massart digunakan sebanyak lima pohon oleh individu betina pra-dewasa untuk bersuara. Posisi AII dan AIII digunakan untuk tipe female song bout dan tipe harasssing call bout. Posisi BI, BII dan BIII pada individu betina pra-dewasa hanya dijumpai untuk tipe suara harassing call bout. Kata kunci : Hylobates moloch, struktur kelompok, pola penggunaan ruang.
22
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pola Penggunaan Ruang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Berdasarkan Perilaku Bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak, Provinsi Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2009
Alamanda Sardjito Putri NRP E34104048
23
KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Pola Penggunaan Ruang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Berdasarkan Perilaku Bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak, Provinsi Jawa Barat” berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan yang memerlukan masukan dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.
Bogor, Maret 2009
Penulis
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 April 1986 merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Sardjito dan Dewi Andriani. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atas pada tahun 2004 di SMA Negeri 2 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program
Studi
Konservasi
Sumberaya
Hutan,
Departemen
Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa yakni Uni Konservasi Fauna (UKF-IPB) pada Divisi Konservasi Primata. Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Biro Infokom pada tahun 2005-2006 dan Biro Kesekretariatan tahun 2006-2007. Kegiatan praktek lapangan yang pernah dilakukan antara lain Praktek Umum Pengenalan Hutan di CA Leuweung Sancang, Garut dan CA Kawah Kamojang, Bandung (2007), Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten KPH Sumedang (2007), Praktek Kerja Lapang di Taman Nasional Alas Purwo (2008). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola Penggunaan Ruang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Berdasarkan Perilaku Bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak, Provinsi Jawa Barat” dibawah bimbingan Ir. Dones Rinaldi M.Sc.F.
25
UCAPAN TERIMA KASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pola Penggunaan Ruang Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Berdasarkan Perilaku Bersuara di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak, Provinsi Jawa Barat, penulis memperoleh begitu banyak bantauan dan dukungan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada : 1. Ibunda, ayahanda, dan kakakku serta keluarga tercinta yang tidak hentihentinya memberikan kasih dan doa serta dukungan baik moril dan materil kepada penulis. Thank you for letting me to be Me. 2. Bapak Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F selaku dosen pembimbing atas kesabaran dalam memberikan arahan dan masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Ir. Ahmad Hadjib, MS selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Ibu Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc.F selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah memberikan masukan guna perbaikan skripsi penulis. 4. Mrs. Michelle Lappan dan Mr. Sanha Kim untuk kesempatan dan bantuan selama penelitian. 5. Seluruh staf KPAP Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 6. Keluarga Pak Jaya dan Mang Engkos, Mas Aris, Nuy dan Sahri yang telah membantu selama pengambilan data. 7. Polisi Hutan di Cikaniki TNGHS untuk keramahan selama penelitian dan bantuan dalam mengidentifikasi pohon calling. 8. Rahayu Oktaviani (Toa), teman tidur selama dua bulan dan teman seperjuangan dalam pengejaran owa. 9. Rini-dekil, Iink, Ines, Nira-jelek, Toa-buluk, Uwi, Heri dan Febi untuk pertemanan, tawa, tangis, pengalaman dan cerita yang telah mewarnai hari-hari penulis di kampus.
26
10. Teman seperjuangan (Rini, Lanjar, Hendri, Katheryn, Ade dan Febi) dan teman menmunggu yang selalu setia bersama di KPAP. Semangat..! 11. Keluarga besar KSH’41 kita “emang bener-bener beda” atas kebersamaan, kekompakan, kegilaan dan hari-hari aneh tapi nyata yang telah dilalui. 12. Seluruh rekan-rekan UKM UKF IPB atas pengalaman dan pembelajaran. 13. Special thanks to Tim Lebay atas satu hari yang gila, seru dan mendebarkan. 14. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Maret 2009
Penulis
27
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR........................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL..............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................
1
B. Tujuan ....................................................................................................
2
C. Manfaat ..................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-Ekologi Owa Jawa ........................................................................... 1. Taksonomi ........................................................................................ 2. Morfologi........................................................................................... 3. Penyebaran......................................................................................... 4. Habitat ............................................................................................... 5. Pakan .................................................................................................
3 3 3 4 4 4
B. Daerah Jelajah (Home Range) dan Teritori………………………………..
5
C. Organisasi Sosial ....................................................................................
6
D. Perilaku Bersuara................................................................................... .
7
E. Pola Penggunaan Ruang..........................................................................
8
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu ..................................................................................
10
B. Alat dan Bahan .......................................................................................
10
C. Parameter yang Diamati ..........................................................................
10
D. Pengenalan Lapangan..............................................................................
12
E. Metode Pengambilan Data................................................................. ..... 1. Data Primer.................................................................................. ..... 2. Data sekunder............................................................................... .....
12 12 12
F. Analisis Data........................................................................................ ...
12
IV. KONDISI UMUM A. Sejarah Kawasan ....................................................................................
13
B. Kondisi Fisik Kawasan .......................................................................... a. Letak Kawasan .................................................................................
13 13
28
b. Topografi dan Tanah ........................................................................ c. Iklim .................................................................................................. d. Hidrologi ..........................................................................................
14 15 15
C. Kondisi Biotik ........................................................................................ 1. Flora................................................................................................... 2. Fauna..................................................................................................
15 15 16
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aktivitas Bersuara ..................................................................................
17
B. Penggunaan Habitat H. moloch .............................................................. 1. Betina Dewasa................................................................................... 2. Jantan Dewasa.................................................................................... 3. Betina Pra-dewasa ............................................................................
21 25 30 35
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan........................................................................... ..................
41
B. Saran........................................................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
29
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Struktur kelompok H. moloch yang diamati………………………………….. 18 2. Jenis dan Model Arsitektur Pohon Calling………………………………....... 24
30
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Pembagian Tajuk Pohon ................................................................................... 10 2. Model Arsitektur Pohon, (a) Attims, (b) Aubréville, (c) Koribia, (d) Massart, (e) Prévost, (f) Rauh, (g) Scarrone, (h) Troll, (i) Roux..................................... 11 3. Kelompok A, (a) betina dewasa dan bayi, (b) jantan dewasa, (c) betina pradewasa…...…………………………………………........................................ 17 4. Kelompok B, (a) betina dewasa dan bayi, (b) jantan dewasa………………... 18 5. Waktu bersuara H. moloch…………………………………………………...
19
6. Persentase Penggunaan Strata Tajuk……………………………………….... 22 7. Jenis Pohon Bersuara Betina Dewasa…………………………………...….… 25 8. Posisi Bersuara Betina Dewasa........................................................................
26
9. Model Arsitektur Pohon Bersuara Betina Dewasa…………………………... 27 10. Lama Calling (detik) Betina Dewasa menurut Jenis Pohon............................. 28 11. Lama Calling (detik) Betina Dewasa menurut Posisi Individu........................ 29 12. Lama Calling (detik) Betina Dewasa menurut Model Arsitektur Pohon …… 30 13. Jenis Pohon Bersuara Jantan Dewasa…........................................................... 31 14. Posisi Bersuara Jantan Dewasa…………………………………………… …. 32 15. Model Arsitektur Pohon Bersuara Jantan Dewasa…………………………… 33 16. Lama Calling (detik) Jantan Dewasa menurut Jenis Pohon ....……………… 34 17. Lama Calling (detik) Jantan Dewasa menurut Posisi Individu……………… 35 18. Lama Calling (detik) Jantan Dewasa menurut Model Arsitektur Pohon … …. 35 19. Jenis Pohon Bersuara Betina Pra-dewasa………………………………......... 36 20. Posisi Bersuara Betina Pra-dewasa..................................................................
37
21. Model Arsitektur Pohon Bersuara Betina Pra-dewasa...……………………..
38
22. Lama Calling (detik) Betina Pra-dewasa menurut Jenis Pohon …..………… 39 23. Lama Calling (detik) Betina Pra-dewasa menurut Posisi Individu…..……… 39 24. Lama Calling (detik) Betina Pra-dewasa menurut Model Arsitektur Pohon...
40
31
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Indeks Nilai Penting Tiang .......................................................................... .... 44 2. Indeks Nilai Penting Pohon.......................................................................... .... 45 3.
Peta Kawasan TNGHS ................................................................................ .... 46
32
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 ha di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun - Salak (TNGHS) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003. TNGHS merupakan satusatunya kawasan hutan hujan tropis terbesar yang tersisa di Jawa dan berfungsi sebagai peyangga ekosistem. Ekosistemnya menjadi benteng terhadap kehidupan flora fauna penting di kawasan pegunungan di Jawa dan kawasan pengatur tata air bagi masyarakat di sekitarnya termasuk kota-kota besar seperti Bogor, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung dan Jakarta. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, merupakan habitat primata endemik Jawa yaitu owa Jawa (Hylobates moloch). H. moloch sangat bergantung kepada keberadaan pohon besar, karena termasuk fauna arboreal yang bergerak dan mencari pakan dari dahan satu ke dahan lainnya. H. moloch adalah satu dari sembilan spesies primata di dunia yang tersebar hanya di Asia, namun hanya H. moloch yang terdaftar di IUCN red list sebagai sangat terancam punah. Untuk mengelola kawasan yang dilindungi, pengelola perlu mengukur kebutuhan ekologi dari spesies, terutama spesies yang dilindungi memantau ukuran dan struktur umur populasi, kesehatan dan fluktuasi populasi. Berbagai faktor penyebab spesies menjadi langka dan terancam antara lain: hilang atau rusaknya bagian vital dari habitatnya, tingginya mortalitas atau rendahnya reproduksi, perubahan iklim, geologi atau evolusi. Salah satu komponen utama dalam pembinaan habitat satwa liar adalah pengelolaan pelindung (cover). Kebutuhan perlindungan dari terik matahari, hujan dan pemangsa sangat dibutuhkan satwa. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pola penggunaan ruang H. moloch. Pengelolaan
33
pelindung berkaitan erat dengan pengaturan vegetasi. Selain itu perlu diketahui juga tentang preferensi habitat H. moloch. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun - Salak yang bertujuan untuk mewujudkan tata ruang kawasan yang mantap melalui proses zonasi di dalam kawasan, tentunya diperlukan data mengenai habitat yang digunakan oleh H. moloch. Dengan mengetahui pola penggunaan ruang H. moloch berdasarkan perilaku bersuara, diharapkan tindakan pengelolaan zonasi lebih didasarkan terhadap kajian ekosistem dan habitat spesies penting, 2. Tujuan Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan ruang yang digunakan oleh H. moloch berdasarkan aktivitas bersuara pada masing-masing struktur kelompok. 3. Manfaat Hasil dari penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan pertimbangan untuk tindakan pengelolaan terutama pengelolaan habitat H. moloch.
34
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Bio-Ekologi Owa Jawa a. Taksonomi Klasifikasi ilmiah owa Jawa (Hylobates moloch) menurut Napier and Napier (1967) adalah sebagai berikut : Kingdom Phylum Sub phylum Class Ordo Super family Family Genus Species
: Animalia : Cordata : Vertebrata : Mammalia : Primata : Homonoidae : Hylobatidae : Hylobates : Hylobates moloch (Audebert, 1798)
H. moloch memiliki nama lain diantaranya adalah owa abu-abu, ungko Jawa, sylvery gibbon atau javan gibbon (Grzimek, 1972). Untuk Indonesia, satwa ini telah dibakukan dengan nama owa Jawa (Suyanto, Yoneda, Maryanto, Maharadatunkamsi dan Sugardjito, 1998). b. Morfologi Marga Hylobates memiliki lengan yang sangat panjang (Napier and Napier, 1967) hampir dua kali panjang batang tubuhnya dan lebih dari dua kali apabila tangan diikutsertakan. Tungkai 30% lebih panjang daripada batang tubuhnya tetapi hanya 2/3-3/4 panjang lengannya. Jantan dewasa mempunyai berat badan berkisar antara 4.300-7.928 gram sedangkan betina dewasa 4.1006.800 gram. Menurut Grzimek (1972), H. moloch adalah jenis kera tidak berekor dan mempunyai kepala yang kecil dan bulat, memiliki hidung serta rahang kecil dan pendek yang tidak menonjol, otak relatif kecil, badannya ramping, serta rambut yang tebal. Tubuh H. moloch ditutupi rambut yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam. Muka seluruhnya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh. Dagu pada beberapa individu berwarna gelap. Umumnya anak yang baru lahir berwarna lebih cerah. Warna
35
rambut jantan dan betina sedikit berbeda, terutama dalam tingkatan umur (Supriatna dan Wahyono, 2000). c. Penyebaran H. moloch merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di pulau Jawa. Sebarannya terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango, serta Cagar Alam Leuweung Sancang. Menurut Balai TNGH (1997), penyebaran H. moloch di Gunung Halimun terdapat pada ketinggian 400-1.919 mdpl, tetap Sugardjito dan Sinaga (1997) melaporkan bahwa di TNGH, H. moloch ditemukan dari ketinggian 600-1.400 mdpl. d. Habitat Kappeler (1994) menyebutkan bahwa H. moloch cenderung menghuni hutan dengan spesifikasi hutan dengan tajuk yang kurang lebih tertutup, tajuk pohon-pohon tersebut tidak terlalu rapat dan memiliki cabang yang besar atau kurang lebih horizontal. Departemen Kehutanan (1993) menyatakan bahwa tempat hidup H. moloch adalah hutan-hutan primer dataran rendah sampai hutan pegunungan. Pasang (1989) melaporkan bahwa di TNGH H. moloch ditemukan pada hutan hujan tengah dengan ketinggian 1.000-2.000 mdpl, dengan topografi bergelombang sampai pegunungan. Hutan tersebut masih relatif utuh dan merupakan hutan primer yang didominasi oleh pohon-pohon besar dan tinggi, kemudian diselingi oleh pohon-pohon sedang dalam jumlah kecil dengan permukaan tanah yang ditutup oleh anakan dan tumbuhan bawah dalam jumlah yang sedikit. e. Pakan H. moloch mengkonsumsi lebih kurang 125 jenis tumbuhan yang berbeda. Bagian tumbuhan yang sering dimakan adalah buah, biji, bunga dan daun muda. Selain itu mereka juga memakan ulat pohon, rayap, madu, dan
36
beberapa jenis serangga lainnya (Supriatna dan Wahyono, 2000). Grzimek (1972) menerangkan pula bahwa pakan dari marga Hylobates adalah buah, daun, tunas, bunga, semut pohon dan serangga lainnya dan vertebrata kecil. Menurut Bismark (1991) dalam Prastyono (1999), suku Hylobatidae merupakan satwa frugivorous, karena lebih banyak makan buah-buahan daripada jenis pakan lainnya. Buah lebih banyak mengandung karbohidrat namun kurang kandungan proteinnya, sehingga sebagai tambahan satwa dari suku ini memakan daun muda yang banyak mengandung protein. 2. Daerah Jelajah (Home Range) dan Teritori Daerah jelajah (home range) adalah daerah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai pakan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung/bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin. Sedangkan teritori adalah tempat yang khas dan selalu di pertahankan dengan aktif, misalnya tempat tidur untuk primata, tempat istirahat untuk binatang pengerat dan tempat bersarang untuk burung (Alikodra, 1990). Daerah jelajah adalah total area yang digunakan dalam waktu tertentu oleh suatu kelompok dan lebih luas dibandingkan dengan teritori (Chivers, 1980). Menurut Sahlins (1972) dalam Prastyono (1999), penggunaan teritori dipengaruhi oleh variasi ekologis yang dikelompokkan menjadi tiga, yakni : a. Sumberdaya pakan terdistribusi merata dan tersedia sepanjang tahun. Di sini secara nyata teritori dan keanggotaan kelompok relatif tetap. b. Sumberdaya pakan terdistribusi merata pada beberapa musim dan kelimpahannya bervariasi pada musim yang lain. Kekhususan teritori dan keanggotaan kelompok bersifat musiman. c. Pakan tidak tersedia secara nyata. Kelompok yang mendekati areal tersebut sangat bervariasi, karena sumberdaya pakan bervariasi kelimpahannya secara musiman dan tahunan. Menurut Bismark (1991), sebaran pakan utama bagi marga Hylobates menyebabkan kera ini mempertahankan daerah jelajah karena pakan yang terbatas dan perlu efisiensi dalam pergerakan. Kappeler (1981) melaporkan bahwa ratarata luas daerah jelajah H. moloch adalah 17,4 ha dengan rata-rata tumpangtindih daerah jelajah kelompok lainnya adalah 0,1 ha. Sedangkan rata-rata luas teritorinya adalah 16,4 ha atau 6% lebih kecil daripada daerah jelajahnya. Pasang
37
(1989) melaporkan bahwa luas daerah jelajah H. moloch Gunung Halimun adalah 11,8 ha dan luas teritori adalah 2.625 ha. Luas daerah jelajah dipengaruhi oleh jenis aktivitas, penyebaran pakan, karakteristik habitat (topografi lapangan, jenis pohon, tinggi tajuk dan lain-lain) serta kehadiran individu/kelompok lain. Luas teritori dipengaruhi oleh jenis dan kelimpahan pakan, adanya predator dan gangguan lain, jenis satwa dan ukuran kelompok. Sedangkan Chivers (1980) mengatakan bahwa yang mempengaruhi daerah jelajah suatu kelompok adalah jarak yang ditempuh oleh masing-masing individu anggota kelompok setiap hari dan penyebaran kelompok. 3. Organisasi Sosial Napier dan Napier (1967) menyebutkan bahwa jumlah individu kelompok H. moloch berkisar antara dua sampai enam ekor, yang terdiri dari jantaj dewasa, betina dewasa dan beberapa anak. Hal ini diperkuat oleh Chivers (1980) bahwa suku Hylobatidae hidup dalam keluarga yang kecil yang terdiri dari jantan dewasa dan pasangannya dan satu sampai tiga anak. H. moloch hidup sekitar 20-30 tahun dan merupakan satwa monogami. Tingkat kesetiaan yang tinggi sangat penting pada spesies yang tingkat kematangannya lambat dimana H. moloch muda belum sepenuhnya mandiri sampai mencapai usia tujuh atau delapan tahun. Menurut Sugardjito dan Sinaga (1997) dalam Prastyono (1999) ukuran kelompok H. moloch di TNGH adalah dua sampai empat individu. Sedangkan menurut Balai TNGH (1997) ukuran kelompoknya adalah sepasang jantan dan betina dewasa dengan satu atau tanpa anak. Kappeler (1981) membagi H. moloch ke dalam empat kelas umur, dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Bayi (infant) : mulai lahir sampai berumur dua tahun, dengan ukuran badan sangat kecil dan selalu digendong oleh betina dewasa terutama satu tahun pertama. 2. Anak (juvenile) : berumur kira-kira dua sampai empat tahun, badan kecil dan tidak dipelihara sepenuhnya oleh induknya. 3. Muda (sun-adult) : berumur kira-kira empat sampai enam tahun, ukuran badannya sedang. Hidup bersama pasangan indivdu dewasa dan kurang atau jarang melakukan aktifitas teritorial. 4. Dewasa (adult) : berumur lebih dari enam tahun, hidup soliter atau berpasangan dan menunjukan aktifitas teritorial.
38
4. Perilaku Bersuara Salah satu perilaku sosial yang terlihat pada kelompok owa Jawa berupa perilaku bersuara. Perilaku bersuara pada owa Jawa merupakan aktivitas awal dan utama yang membedakannya dengan jenis primata lain. Tenaza (1975) dalam Purwanto (1992) menjelaskan bahwa perilaku bersuara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok primata diduga merupakan salah satu bentuk mekanisme ruang (space mechanism). Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku bersuara merupakan upaya berkomunikasi dengan kelompok lain dan untuk menandai daerah teritorinya (Napier dan Napier, 1985). Menurut Strier (2000), perilaku bersuara merupakan salah satu bentuk komunikasi owa Jawa baik terhadap individu dalam kelompoknya, kelompok lain di sekitarnya maupun dengan lingkungannya. Sebelum memulai aktivitasnya di pagi hari, H. moloch mengeluarkan suara nyanyian untuk memberitahukan keberadaannya dan memberi tanda pada keluarga lain yang sejenis bahwa daerah tersebut merupakan daerah teritorialnya (Ladjar, 1995). Nyanyian dan konflik diantara kelompok H. moloch sangat penting, menghabiskan waktu dan energi yang banyak dan terutama pada pagi hari saat mereka mencari makanan kesukaan (Chivers, 1980). Menurut Pasang (1989) aktivitas bersuara secara umum dilakukan dalam tiga periode. Periode pertama dilakukan saat bangun pagi, sekitar pukul 05:0008:00. Periode kedua berlangsung sekitar pukul 10:30-12:00. Periode terakhir dilakukan menjelang malam hari, sekitar pukul 16:00-18:30. Pada Hylobatidae umumnya, betina memiliki kemampuan bersuara lebih lama jika dibandingkan dengan jantan (Ladjar, 1995). Dalam bersuara, individu betina memilih pohon-pohon tertentu, yakni pohon-pohon dengan tajuk emergent (Kappeler, 1981). Sedangkan menurut Tenaza (1976) dalam Sutrisno (2001) perilaku bersuara yang dilakukan oleh jantan berfungsi sebagai alat untuk menarik perhatian betina, sedangkan suara yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh individu berfungsi untuk mengurangi resiko pemangsaan (altruisme). Selain itu, perilaku bersuara juga dilakukan oleh individu jantan yang sedang mengalami proses penyapihan dan biasanya dilakukan jauh dari kelompok utamanya yang
39
berfungsi sebagai panggilan bagi individu lain untuk membentuk kelompok baru dan menunjukkan kesiapan aktifitas seksual. Menurut Chivers (1980), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bersuara owa Jawa, yaitu cuaca, kelimpahan pakan, musim kawin, kepadatan populasi dan adanya panggilan oleh kelompok lain. Terdapat empat jenis suara yang dikeluarkan oleh owa Jawa, yaitu suara betina sendiri untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok tetangga, dan saat jantan mengalami proses penyapihan yang biasanya dilakukan agak jauh dari kelompok utamanya. Suara yang dikeluarkan bersama antar anggota keluarga saat terjadi konflik, dan suara dari anggota keluarga sebagai tanda bahaya (Supriatna, 2000). Sedangkan menurut Sutrisno (2001), terdapat tiga jenis suara yang dikeluarkan oleh owa Jawa, yaitu suara pada pagi hari (morning call) yang dilakukan oleh individu betina dewasa. Suara tanda bahaya (alarm call) yang dikeluarkan saat keadaan bahaya karena adanya predator dan untuk melindungi daerah teritorialnya, jenis suara ini dikeluarkan oleh semua anggota kelompok. Serta suara pada kondisi tertentu (conditional call) yang dikeluarkan oleh individu owa Jawa tanpa alasan tertentu. Purwanto (1992) menambahkan, saat melakukan perilaku bersuara, owa Jawa memanfaatkan tajuk pohon bagian atas yaitu pada ketinggian 33-47 m. Perilaku bersuara paling rendah dilakukan pada pohon dengan ketinggian 23 m, yang biasanya berlangsung saat melakukan aktifitas makan. Menurut Chivers (1980) pemilihan tajuk bagian tengah dan atas dimaksudkan agar suara yang dikeluarkan owa Jawa mampu terdengar dengan jarak yang lebih jauh. Suara H. moloch yang keras dapat terdengar sampai sejauh 500-1.500 meter (Kappeler, 1981). 5. Pola Penggunaan Ruang Aspek pola penggunaan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini, mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwaliar. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Santosa
(1993)
menunjukkan
bahwa
satwaliar
tidak
menyebar
dan
40
mengeksploitasi ruang secara acak, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri satwa itu sendiri (umur, jenis kelamin dan morfologi) dan faktor luar atau yang lebih dikenal dengan sebutan faktor ekologi (ketersediaan makanan, kondisi fisik biotik dan iklim dari habitatnya). Menurut Krebs dan Davis (1978) dalam Santosa (1993) yang lebih menekankan pada proses optimalisasi dari perilaku berpendapat bahwa penyebaran geografi dan ketersediaan makanan akan dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi pola penggunaan ruang oleh satwa.
41
III. ME ETODE PE ENELITIA AN
A. Lookasi dan Waktu W Kegiatan penelitian dilaksanak kan
di Taman Naasional Gu unung
Halim mun - Salakk (TNGHS), Provinsi Jawa Barrat. Penelittian berlang gsung selamaa dua bulann, pengambbilan data dilakukan d ± dua bulan dari tangg gal 14 Juli 20008 hingga tanggal t 26 Agustus A 200 08. B. Allat dan Bah han Peralatan yang digunnakan dalam m penelitiaan terdiri aatas : peta kerja, k kamerra, binokuller, stopwaatch, kom mpas, tallyssheet, rangge finder, tali rafia/taambang daan alat tuliss. Sedangkaan bahan yang y digunaakan adalah h dua kelom mpok H. molloch. C. Paarameter yaang Diamati Parameterr yang diam mati dan diu ukur dalam m penelitian terdiri atass data primerr dan data seekunder. Daata primer meliputi m : 1. Laama suatu ruuang yang ditempati d saaat mulai melakukan m aaktifitas berrsuara (voocalization)) sampai berrpindah tem mpat ke ruanng yang berbbeda. 2. Poosisi individdu dalam ruang terb bagi menjaddi dua yaiitu vertikall dan horizontal. Seecara vertikal dan horizzontal tajukk pohon dibbagi menjad di tiga gunakan H.. moloch teerbagi ke dalam d kattegori. Sehhingga ruanng yang dig sem mbilan kateegori. Pembagian tajuk pohon dapaat dilihat paada Gambarr 1.
Gambbar 1 Pemb bagian Tajukk Pohon.
42
3. Tipe ruang yang digunakan H. moloch saat melakukan aktifitas bersuara. Tipe ruang dibedakan berdasarkan model arsitektur pohon. Terdapat sekurang-kurangnya sembilan model arsitektur pohon hutan di Indonesia yaitu model Attims, Aubréville, Koribia, Massart, Prévost, Rauh, Scarrone, Troll dan Roux.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Sumber: Sutisna, Kalima dan Purnadjaja (1998)
Gambar 2 Model Arsitektur Pohon: (a) Attims, (b) Aubréville, (c) Koribia, (d) Massart, (e) Prévost, (f) Rauh, (g) Scarrone, (h) Troll, (i) Roux. 4. Struktur kelompok satwa yang melakukan aktifitas bersuara. 5. Jenis pohon yang digunakan satwa saat melakukan aktifitas bersuara Data sekunder diambil dari hasil studi literatur yang ada. Data sekunder meliputi : 1. Kondisi fisik yang mencakup antara lain letak, luas, topografi, iklim, geologi dan lain-lain. 2. Kondisi biotik yang mencakup potensi flora dan fauna.
43
D. Pengenalan Lapangan Kegiatan pengenalan lapangan merupakan kegiatan pendahuluan yang dilakukan guna mengetahui tempat-tempat yang biasa digunakan oleh H. moloch sebagai daerah jelajah maupun teritorinya. Kegiatan pengenalan lapangan mencakup : 1. Pengenalan kondisi lapangan di TNGHS. 2. Pengenalan kelompok-kelompok H. moloch yang akan diamati 3. Pengenalan jenis- jenis pohon yang digunakan oleh H. moloch saat melakukan aktifitas harian. E. Metode Pengambilan Data 1. Data Primer Pengamatan untuk data primer dilakukan secara langsung terhadap dua kelompok H. moloch dengan menggunakan metode scan sampling dengan interval waktu 10 menit. Sedangkan pencatatan data dilakukan dengan metode continous recording. Pengambilan data dilakukan selama 36 hari setiap hari Senin - Sabtu. Waktu pengamatan dimulai saat H. moloch mulai melakukan aktifitas yaitu pada pukul 05:45 sampai dengan pukul 06:20 WIB dan diakhiri pada pukul 16:00 sampai dengan 17:20 WIB. 2. Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari hasil studi literatur yang ada di kantor TNGHS dan juga literatur yang ada di kampus IPB. Data sekunder meliputi : a.
Kondisi fisik yang mencakup antara lain letak, luas, topografi, iklim, geologi dan lain-lain. b. Kondisi biotik yang mencakup potensi flora dan fauna. F. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan selanjutnya dianalisis melalui teknik panyajian deskriptif dan grafik. 1. Analisis deskriptif : merupakan penguraian dan penjelasan parameter yang diamati. 2. Analisis grafik : menyajikan parameter yang diamati melalui metoda grafik serta interpretasinya.
44
IV. KONDISI UMUM LOKASI
1. Sejarah Kawasan Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, sejak tahun 1935, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada Tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, Departeman Kehutanan. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas maka ditetapkanlah SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan SK tersebut penunjukan luas kawasan TNGHS adalah 113.357 ha dan terletak di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang meliputi kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Dimana, saat ini TNGHS merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Jawa. 2. Kondisi Fisik Kawasan 1. Letak Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun - Salak secara geografis terletak diantara 106° 13' - 106° 46' BT dan 06° 32' - 06° 55' LS. Secara administratif terletak diantara tiga wilayah kabupaten daerah tingkat II, yaitu kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi, provinsi Jawa Barat. Kantor balai TNGHS
45
terletak di kecamatan Kabandungan, Sukabumi. Batas-batas wilayah TNGHS berdasarkan administrasi pemerintah adalah : 1. Sebelah utara, dibatasi oleh kecamatan Nanggung, kecamatan Jasinga kabupaten daerah tingkat II Bogor dan kecamatan Cipanas kabupaten daerah tingkat II Lebak. 2. Sebelah barat, dibatasi oleh kecamatan Leuwiliang kabupaten daerah tingkat II Bogor dan kecamatan Kabandungan kabupaten tingkat II Sukabumi. 3. Sebelah selatan, dibatasi oleh kecamatan Cikidang dan kecamatan Cisolok kabupaten daerah tingkat II Sukabumi dan kecamatan Bayah kabupaten daerah tingkat II Lebak. 4. Sebelah timur, dibatasi oleh kecamatan Cibeber kabupaten daerah tingkat II Lebak. 2. Topografi dan Tanah Kawasan TNGHS memiliki ketinggian tempat berkisar antara 5002.000 meter di atas permukaan laut. Topografi di kawasan ini pada umumnya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Kemiringan lahan berkisar antara 25% - 44%. Beberapa gunung yang terdapat di kawasan ini antara lain, G. Salak 1 (2.211 mdpl), G. Salak 2 (2.180 mdpl), G. Sanggabuana (1.920 mdpl), G. Halimun utara (1.929 mdpl), G. Halimun selatan (1.758 mdpl), G. Kendeng (1.680 mdpl), G. Botol (1.850 mdpl) dan G. Pangkulahan (1.150 mdpl). Secara
geologis,
kawasan
Gunung
Halimun
terbentuk
oleh
pegunungan tua yang terbentuk akibat adanya gerakan tektonik yang mendorong ke atas. Sedangkan untuk kawasan pada bagian Gunung Salak merupakan gunung berapi strato type A, dimana tercatat terakhir Gunung Salak meletus tahun 1938, memiliki kawah yang masih aktif dan lebih dikenal dengan nama Kawah Ratu. Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1 : 250.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1966, jenis tanah di kawasan TNGHS terdiri atas asosiasi adosol coklat dan regosol coklat, asosiasi latosol coklat kekuningan, asosiasi latosol coklat kemerahan dengan latosol coklat, asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan dan literit air tanah, komplek latosol kemerahan dan litosol, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu.
46
3. Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di daerah TNGHS dan sekitarnya tergolong tipe iklim B dengan nilai Q sebesar 24,7%, yaitu tipe iklim tanpa musim kering dan tergolong ke dalam hutan hujan tropika yang selalu hijau. Adapun curah hujan rata-rata 4.000-6.000 mm/tahun, musim hujan terjadi pada bulan Oktober – April dan musim kemarau berlangsung pada bulan Mei – September dengan curah hujan sekitar 200 mm/bulan. Jumlah hari hujan setiap tahunnya rata-rata 203 hari. Suhu rata-rata harian 20 °C – 30 °C dan kondisi angin dipengaruhi oleh angin muson yang berubah arah menurut musim. Di sepanjang musim kemarau angin bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan rendah. Kelembaban udara rata-rata sebesar 80%. 4. Hidrologi Taman Nasional Gunung Halimun - Salak merupakan wilayah tangkapan air yang sangat penting bagi wilayah sekitar kawasan. Dari kawasan TNGHS mengalir beberapa sungai yang berair sepanjang tahun. Di sebelah utara mengalir tiga sungai besar, yaitu sungai Ciberang, Ciujung dan Cidurian yang mengalir ke arah Jakarta, Serang dan berakhir di Laut Jawa. Di sebelah selatan mengalir sungai Cisukawayana, Cimaja dan Cibareno yang bermuara di pantai Pelabuhan Ratu serta sungai Citarik di sebelah timur. 3. Kondisi Biotik 1. Flora Diperkirakan lebih dari 1.000 jenis tumbuhan terdapat di kawasan TNGHS. Berdasarkan ketinggiannya di atas permukaan laut (dpl), ekosistem hutan pegunungan TNGHS dapat diklasifikasikan dalam tiga zona, yaitu zona Colline, pada ketinggian 500-1.000 mdpl yang didominasi oleh jenis-jenis Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima wallichii), Saninten (Castanopsis acuminatissima) dan Pasang (Quercus sundaicus); Zona Sub Montana berada pada ketinggian 1.000-1.500 mdpl, didominasi oleh jenis-jenis Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Kileho (Saurauia pendula) dan Kimerak (Weinmania blumei). Pada zona Montana yang berada pada ketinggian 1.500 - 2.211 mdpl,
47
didominasi oleh jenis-jenis Jamuju (Dacriocarpus imbricatus), Kiputri (Podocarpus nerifolia) dan Kibima (Podocarpus imbricatus). Selain itu juga tercatat 258 jenis anggrek, 12 jenis bambu, 13 jenis rotan, jenis-jenis tanaman pangan, hias dan tanaman obat seperti Kantung Semar
(Nepenthes
sp.)
dan
Palahlar
(Dipterocarpus
hasseltii)
yang merupakan jenis tumbuhan unik dan langka yang terdapat di TNGHS. Khusus di sekitar puncak Gunung Salak juga terdapat jenis-jenis tumbuhan kawah dan hutan lumut. 2. Fauna Kawasan TNGHS memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Mamalia primata yang terdapat di dalamnya antara lain adalah Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Lutung (Trachypithecus auratus) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Satwa ungulata yang ada antara lain Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus javanicus) dan Babi Hutan (Sus scrofa). Sedangkan untuk satwa karnivora yang ada antara lain Macan tutul (Panthera pardus) dan Kucing hutan (Felis bengalensis). Taman Nasional Gunung Halimun - Salak juga merupakan surga bagi berbagai jenis serangga yang unik dan indah seperti kupu-kupu, kumbang dan burung. Saat ini di TNGHS juga tercatat 244 jenis burung di kawasan ini dan 32 di antaranya adalah endemik pulau Jawa, seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Ciung-mungkal Jawa (Cochoa azurea), Celepuk Jawa (Otus angelinae), Luntur Gunung (Harpactes reinwardtii) dan Rangkong Badak (Bucheros rhinoceros) yang merupakan jenis langka dan terancam punah.
48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Bersuara Ukuran kelompok A lebih besar dibandingkan dengan kelompok B, yaitu sebanyak empat individu yang terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, betina pra-dewasa dan bayi. Kelompok A lebih toleran terhadap kehadiran pengamat sehingga lebih mudah saat melakukan pengambilan data dibandingkan dengan kelompok B. Hal ini berkaitan dengan wilayah kelompok A yang berada di jalur interpretasi (loop trail) sepanjang Cikaniki sampai Citalahab (HM 6 - HM 17), yang biasa digunakan pengunjung TNGHS sehingga kelompok A sudah lebih terbiasa bertemu dengan manusia.
(a)
(b)
(c) Gambar 3 Kelompok A: (a) betina dewasa dan bayi, (b) jantan dewasa, (c) betina pra-dewasa.
49
Kelompok B berjumlah tiga individu yang terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa dan bayi. Wilayah kelompok B berada pada jalur yang lebih jarang dilewati oleh pengunjung, yaitu mulai dari HM 17 - HM 33 dan sekitarnya sehingga kelompok B menjadi lebih sensitif terhadap kehadiran manusia.
(a) (b) Gambar 4 Kelompok B: (a) betina dewasa dan bayi, (b) jantan dewasa. Dipilihnya kedua kelompok owa Jawa tersebut sebagai objek pengamatan adalah atas dasar pertimbangan kondisi topografi yang masih memungkinkan pengamat untuk mengamati aktivitas kedua kelompok. Untuk memudahkan pencatatan dan pengamatan di lapangan maka setiap individu dikedua kelompok diberikan nama. Seperti yang disajikan pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Struktur kelompok H. moloch yang diamati No. Kelompok Nama 1
A
2
B
Aris Ayu Asri Amran Kumis Kety Kumkum
Struktur Kelompok Jantan dewasa Betina dewasa Betina pra-dewasa Bayi Jantan dewasa Betina dewasa Bayi
Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas bersuara pada kelompok A dan B dapat dibagi ke dalam tiga periode waktu yakni pagi hari mulai pukul 05:00 08:00 kemudian periode kedua menjelang siang hari pada pukul 10:00 - 12:00 dan periode ketiga mulai siang sampai sore hari sekitar pukul 13:00 – 16:00. Hal ini
50
sesuai denngan pernyyataan Purw wanto (1992 2) bahwa perilaku p berrsuara dilak kukan pada pagi hari menjeelang dan sesudah s mattahari terbitt, siang harri serta soree hari menjelangg matahari terbenam. Perilaku bersuara yang dilakukan di pagi harri dimaksuddkan agar suara dapat denggan mudah didengar oleh o kelomp pok H. molooch lain, yanng menunju ukkan batas teritoori dimana mereka berrada. Waktu u bersuara yang y paling tinggi dilak kukan oleh kelom mpok H. mooloch A dann B dilakuk kan pada puukul 10:00 ppagi yang teerjadi sebanyak 10 suara.
Gambar 5 Waktu Berrsuara H. mooloch. Waktu beersuara keloompok A dan d B paling banyak antara a pukuul 10:00 – 11:00 WIB yangg merupakaan puncak waktu w aktiff bagi H. moloch m sebeelum melak kukan istirahat pendek padaa siang hari. Selain faktor luar sepertii keberadaaan kelompokk lain, aktivvitas bersuaara H. moloch juuga dipengaaruhi dengan kondisi cu uaca. Sebannyak 67% aaktivitas berrsuara terjadi saaat kondisi cuuaca cerah dan 37% teerjadi saat cuaca c menddung. Saat hujan, h H. molochh tidak melakukan aktiivitas bersu uara sama sekali karenna air hujan akan mereduksii suara sehhingga suarra yang diikeluarkan tidak akann terdengar oleh anggota keelompok ataau individu//kelompok lain dengann maksimal.. Akktivitas berssuara pada H. moloch merupakann cara untukk berkomun nikasi dengan annggota kelompok yanng sama ataupun a kellompok/individu lain yang berfungsi untuk mem mberitahukann keberadaaan satu angggota kelomppok ataupun n satu kelompokk kepada kelompok k l lain. Dengaan cara inni H. molooch menghiindari terjadinyaa konflik ataau kontak laangsung deengan kelom mpok/individu lain teru utama yang wilaayahnya beerdekatan. Selain itu, aktivitas bersuara b m merupakan tanda kepemilikkan dan penggauasaan attas suatu wilayah dan pohon p pakann. Suuara H. mooloch biassanya terdeengar salinng bersahuttan antara satu kelompokk dengan keelompok laiin, karena suara s atau nyanyian yyang dikeluarkan
51
oleh satu kelompok akan menstimulasi kelompok lain untuk ikut bersuara (Chivers, 1980) dan kelompok yang lain akan menjawab panggilan dengan tipe suara yang sama. Selama pengamatan berlangsung, total suara yang diperoleh adalah sebanyak 45 suara berasal dari dua kelompok H. moloch yang diamati. Sebanyak 40 suara diperoleh secara langsung sedangkan lima suara secara tidak langsung. Kelompok A lebih sering melakukan aktivitas bersuara dibandingkan kelompok B. Aktivitas bersuara yang dilakukan oleh kelompok A selama pengamatan yakni sebanyak 29 suara terdiri dari 26 suara yang teramati secara langsung dan tiga suara secara tidak langsung. Sedangkan kelompok B sebanyak 16 suara terdiri dari 14 suara yang teramati secara langsung dan dua suara secara tidak langsung. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan ukuran kelompok dan wilayah keberadaan kedua kelompok tersebut. Selain itu, di sekitar wilayah kelompok A lebih banyak terdapat kelompok H. moloch, sehingga kemungkinkan terjadinya kontak baik langsung maupun tidak langsung antar kelompok lebih besar dan akibatnya kelompok A akan lebih sering melakukan aktvitas bersuara dibandingkan dengan kelompok B. Sedangkan di sekitar wilayah kelompok B mengalami kerusakan habitat akibat penebangan pohon secara liar oleh masyarakat sekitar yang menyebabkan kelompok B lebih jarang bersuara dikarenakan tingginya intensitas kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Chivers (1980) juga mengatakan bahwa adanya gangguan dari faktor luar seperti pembalakan maka aktivitas bersuara pada H. moloch akan semakin jarang dilakukan. Aktivitas bersuara yang dilakukan memiliki durasi waktu yang bervariasi, yaitu antara dua detik sampai dengan 24 menit 8 detik. Panjang pendeknya durasi waktu bersuara owa Jawa dipengaruhi oleh suara yang dikeluarkan oleh kelompok lain dan seberapa besar bahaya atau gangguan yang diterimanya. Terdapat beberapa variasi tubuh yang dilakukan H. moloch ketika bersuara, yaitu duduk, bergantung, loncat dan berdiri. Selama pengamatan, H. moloch lebih memilih duduk dan tidak banyak bergerak dalam satu pohon selama bersuara dengan persentase terbesar yaitu 58%, posisi bergantung saat bersuara dilakukan owa Jawa dengan persentase sebesar 32%. Sedangkan posisi melompat
52
dan berdiri jarang dilakukan sehingga memiliki persentase terkecil yaitu sebesar 6% dan 4%. Terkadang H. moloch melakukan gerakan akrobat seperti melompat dan terus berayun (brakhiasi) dari satu pohon ke pohon lain yang akan menimbulkan keributan akibat ranting dan dahan pohon yang patah dan jatuh selama melakukan aktivitas bersuara. Biasanya dilakukan oleh individu jantan dewasa sebagai bentuk perilaku agresif dan tindakan pengusiran terhadap kehadiran kelompok lain. Hal ini terjadi terutama saat satu kelompok terlibat konflik secara langsung dengan kelompok/individu lain dan hal tersebut merupakan upaya konfrontasi, perimbangan kekuatan dan untuk menakut-nakuti kelompok/individu lain agar menjauh dari wilayahnya. Saat melakukan aktivitas bersuara, H. moloch juga melakukan aktivitas lain seperti makan dan membuang kotoran yang berfungsi untuk menandakan wilayahnya. Menurut Kappeler (1984) dan berdasarkan pengamatan, H. moloch memiliki lima tipe suara yang berbeda berdasarkan jenis kelamin dan akustik (suara) yang dikeluarkan, yaitu suara betina dewasa (female song bout); suara jantan dewasa (male song bout); suara akibat gangguan (harassing call bout); suara akibat konflik batas wilayah (border conflict call bout); dan suara anakan (infant song bout). Persentase terbesar tipe suara yang dikeluarkan oleh H. moloch adalah tipe suara akibat gangguan (60%), persentase terbesar kedua adalah tipe suara betina dewasa (27%), sedangkan persentase suara jantan dewasa adalah sebesar 5%. Tipe suara akibat konflik batas wilayah dan tipe suara anakan memiliki persentase yang sama dan terkecil yaitu 4%. Selama pengamatan berlangsung, H. moloch menggunakan pohon sebagai lokasi bersuara yang letaknya tidak jauh dari pohon pakannya. Hal ini berkaitan dengan fungsi aktivitas bersuara sebagai tanda kepemilikan sumber daya yang ada seperti pohon pakan. Penggunaan Habitat H. moloch Longman
dan
Jenik
(1987)
dalam
Rahayu
(2002), membagi tajuk ke dalam beberapa tingkatan, yaitu : strata A terdiri atas pohon, pemanjat dan epifit dengan ketinggian lebih dari 25 m; strata B adalah
53
pohon bessar dan pohoon pemanjaat dengan keetinggian leebih dari 10 m sampai 25 2 m; strata C merupakan m p pohon kecil dan tiang dengan d tinggi lebih darri 5 m samp pai 10 m; strata D merupakan semak belukar b dan pancang deengan tingggi lebih dari 1 m sampai 5 m dan straata E terdirri dari semaai, rerumpuutan dan paaku-pakuan yang tinggi. Secara vertikaal H. molocch hanya meenggunakann stara A, B dan C. Strrata A terdiri atas pohon-poohon yang memiliki m tajjuk paling tinggi, t pohoon pada strata A adalah A. excelsa daan pohon-ppohon dari famili Fagaaceae. A. eexcelsa mem miliki tajuk yangg tidak terlaalu lebar daan rapat, sed dangkan poohon-pohon famili Fagaceae pada umum mnya memiiliki tajuk yang y tebal daan lebar. Sebagian besaar pohon yaang terdapaat pada jaluur pengamaatan kelomp pok A berdasarkaan analisis vegetasi v yaang dilakukaan oleh Haddi (2002) beerada pada strata B. Meskippun demikian A. excellsa dan poh hon-pohon dari d famili Fagaceae masih m mendominnasi. Pohonn-pohon yanng menyusu un strata C tidak banyyak dan terrbatas pada tingkkat tiang dann pohon keccil dari famili Moraceaae (Ficus sp.). H. moloch sanngat jarang menggunak kan strata C kecuali billa pohon terrsebut berada dii tempat yaang terbukka. Secara horizontal tegakan teersebut mem miliki lapisan tajjuk yang tebbal dan berrkesinambun ngan. Menuurut Kappeller (1981), tinggi t tajuk rata--rata dalam m wilayah jeelajah H. moloch m adalah sekitar 330 m (stratta A). Secara keeseluruhan, kondisi sttrata tajuk ini kurangg mendukuung aktivitaas H. moloch. P Persentase Penggunaaan Strata Tajuk T 5% % 26%
Straata B 69%
Straata A Straata C
Gam mbar 6 Perssentase Peng ggunaan Strrata Tajuk. Meenurut Purw wanto (1992) saat melakukan perilaku bersuuara, H. moloch memanfaaatkan tajuk pohon bagian atas yaiitu pada keetinggian 333-47 m. Perrilaku
54
bersuara paling rendah dilakukan pada pohon dengan ketinggian 23 m, yang biasanya berlangsung saat melakukan aktivitas makan. Namun sebanyak 69% strata tajuk B digunakan H. moloch untuk melakukan aktivitas bersuara, 26% menggunakan strata tajuk A dan 5% pohon dengan strata tajuk C. Ini berarti bahwa 69% aktivitas bersuara yang dilakukan oleh H. moloch dikedua kelompok selama pengambilan data dilakukan di pohon dengan ketinggian lebih dari 10 m sampai 25 m. Hal ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Hadi (2002) yang menyatakan bahwa strata tajuk yang digunakan oleh H. moloch di TNGH untuk aktivitas bersuara 100% adalah strata A. Begitu juga dengan Kappeler (1981) yang menyatakan bahwa aktivitas bersuara yang merupakan respon terhadap gangguan keberadaan manusia dilakukan pada pohon yang paling tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh kedua kelompok H. moloch yang diamati selama pengambilan data sudah terbiasa dengan kehadiran pengamat dan juga keberadaan pohon-pohon dengan strata tajuk A yang jumlahnya terbatas di wilayah kedua kelompok H. moloch. Menurut Chivers (1980) pemilihan tajuk bagian tengah dan atas dimaksudkan agar suara yang dikeluarkan H. moloch mampu terdengar dengan jarak yang lebih jauh. Kappeler (1981) juga menyatakan pohon-pohon yang dijadikan lokasi bersuara oleh H. moloch umumnya berada di bagian tengah wilayah jelajahnya, meskipun tidak menutup kemungkinan pohon-pohon yang dijadikan lokasi bersuara oleh H. moloch berada di batas wilayahnya. Pada pohon pakan yang sedang berbuah, biasanya H. moloch akan melakukan aktivitas bersuara sekaligus aktivitas makan untuk 2-3 hari berturut-turut. Dalam melakukan aktivitas bersuara, H. moloch memilih pepohonan tertentu mulai dari jenis pohon, model arsitektur dan tajuk dari bagian terluar sampai terdalam dan juga dari bagian bawah sampai dengan tajuk teratas dengan tujuan agar suara yang dikeluarkan dapat terdengar dari jarak yang jauh sekalipun dan lebih jelas. Pasang (1989) menambahkan dalam keadaan tertentu H. moloch juga bersuara pada pohon-pohon yang lebat daunnya dan pohon-pohon yang sering digunakan adalah Quercus sp, Altingia excelsa, Schima wallichii dan Ficus sp.
55
Berdasarkan hasil pengamatan, teridentifikasi 25 jenis pohon yang digunakan H. moloch untuk melakukan aktivitas bersuara. Pepohonan ini memiliki ketinggian tajuk rata-rata 23 m. Pohon dominan yang dipilih H. moloch sebagai lokasi untuk melakukan aktivitas bersuara adalah Altingia excelsa yang merupakan salah satu kanopi utama di TNGHS. Tabel 2 Jenis dan Model Arsitektur Pohon Calling No. Pohon calling Nama Latin Famili 1 Beunying cai 2 Teureup
Ficus variegate Artocarpus elasticus, Reinw. ex Bl. 3 Kimokla Knema cinerea (Poir.) Warb 4 Burununggul Castanopsis sp. 5 Kalimorot Castanopsis tunggurut (Bl.) dc 6 Ki hiur Castanopsis javanica 7 Pasang Quercus sundaica 8 Ki anak Castanopsis acuminatissima (Bl.) 9 Saninten Castanopsis argentea 10 Pasang batarua Quercus lineata 11 Pasang kayang Lithocarpus tjismanii (Bl.) 12 Pongang Schefflera sp 13 Puspa Schima wallichii 14 Kakaduan Platea excelsa 15 Huru lunglum Litsea noronhae (Bl.) 16 Rasamala Altingia excelsa 17 Renghas Gluta renghas L 18 Kopinango Dysoxylum sp 19 Ki haji Dysoxylum alliaceum 20 Pingkuk Dysoxylum nutans Miq 21 Marabangkong Macaranga tanrius 22 Calik angin Mallotus paniculatus 23 Ki sampang Evodia latifolia 24 Hamirung Vernonia arborea 25 Kisireum Syzygium rostratum
Moraceae Moraceae
Model Arsitektur Attims Rauh
Myristicaceae
Massart
Fagaceae Fagaceae
Rauh Rauh
Fagaceae Fagaceae Fagaceae
Rauh Rauh Rauh
Fagaceae Fagaceae Fagaceae
Rauh Rauh Rauh
Araliaceae Theaceae Icacinaceae Lauraceae Hammamelidaceae Anacardiaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae
Scarrone Attims Massart Scarrone Scarrone Massart Attims Attims Attims
Euphorbiaceae Euphorbiaceae Rutaceae Verbenaceae Myrtaceae
Rauh Rauh Scarrone Rauh Attims
56
1. Beetina Dewassa Individu betina b dewaasa di kedu ua kelompook teramati mengunakaan 16 jenis pohon p padaa saat melaakukan aktivitas bersuuara dengann jumlah pohon p sebanyyak 33 pohhon, 15 diaantaranya jeenis A. exxcelsa, tiga pohon Knema K cinereea (Poir.) Warb W dan duaa pohon Ca astanopsis acuminatissi a ima (Bl.). Hal H ini bisa diilihat pada Gambar G 7. 16 14
Juumlah
12 10 8 6 4 2 0
Jen nis pohon
Gambar 7 Jenis Pohoon Bersuaraa Betina Dew wasa. ma pengam mbilan data,, tiga Dari limaa tipe suara yang dittemui selam diantarranya dilakkukan oleh individu beetina dewassa, yakni fe female song g bout (FSB), harassing call bout (H HCB) dan border b confflict call bout (BCCB).. Dari k BCCB, enam dianntaranya meenggunakann pohon A. excelsa. Hal H ini tujuh kali dikarenakan saatt melakukan BCCB,, betina dewasa d darri kelompo ok A melakuukan perpinndahan darii satu poho on ke pohonn yang lainn yang beraada di perbattasan wilayaah kelompokk A dengan n kelompok lain. Selain sebbagai pohoon pakan, pohon p A. excelsa e bannyak terdap pat di daerahh
perbataasan teritorri dengan
kemunngkinan
p penggunaann nya
sebag gai
individu//kelompok lain. Sehingga pohonn
bersuaraa
lebih
besar
dibanddingkan denngan jenis pohon lain. Dari enam m kali tipe suara fema ale song bout yang terramati dilak kukan oleh inndividu bettina dewasaa, tiga dianttaranya dilaakukan di ppohon A. exxcelsa
57
dan tiiga lainnyaa di pohonn Dysoxylu um sp, Plaatea excelsa dan Qu uercus sundaiica. Pengguunaan keem mpat pohon tersebut sebbagai pohonn bersuara untuk u tipe FSB F disebabbkan oleh letak poho on yang teermasuk ke dalam wiilayah kekuassan dan mem miliki tingggi lebih dari 20 m. Seperti yang dikatakkan oleh Kappeler K (1981) dalaam bersuaraa, H. moloch memilih pohon-pohon dengan tajuk emerrgent (diatass 35 m). Hal H ini ka semakinn jauh suaraa dapat terb bawa, dikarenakan semaakin tinggi pohon mak sehinggga dapat terrdengar darri jarak yang g jauh sekallipun. Posisi pada saat beersuara baik k secara horizontal h m maupun veertikal sebanyyak tujuh kali, k individdu betina dewasa d teram mati menem mpati posisii CIII (Gambbar 8) empat di pohonn A. excelssa dan dua di pohon Knema cin nerea (Poir.)) Warb.
2
4
4
5
2
5
7
2
2
Gambar 8 Posisi Berssuara Betinaa Dewasa. Untukk posisi indiividu betinaa dewasa saaat melakukkan female ssong bout hanya h ditemuukan di possisi AI dan AII. Sedan ngkan untukk tipe suara BCCB di posisi p AI, BII dan BII. Posisi horiizontal III dan vertikaal C hanya digunakan n oleh betina dewasa unttuk harassssing call bou ut. Tipe suaraa harassingg call bout (HCB) adaalah tipe yaang paling sering s H bisa ddisebabkan oleh teramaati selama pengambilaan data. Tiipe suara HCB
58
kehadiiran pengam mat dan jugga untuk memberitahu m ukan keberaadaan atau posisi p satu inndividu keppada indiviidu lain di kelompok yang sama dan jugaa bisa terjadii di setiap waktu. w Posissi vertikal C dan horizzontal III m merupakan posisi p yang paling p serinng digunakkan oleh H. H moloch dalam d melaakukan akttivitas hariann. Posisi di ujung dan pangkal p cab bang memppermudah ppergerakan untuk u
Juumlah J l h
menghhindari preddator dan jugga mengam mbil pucuk daun. d
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Rauh
Scarrone
Massartt
Attiims
Model Arsitektur
Gambar 9 Model Arssitektur Poh hon Bersuarra Betina Deewasa. Pohon huutan memilliki pola pertumbuhan p n yang khhas untuk setiap s jenisnyya. Pada haakekatnya, setiap poho on memilikki satu moddel pertumbuhan. Pola pertumbuha p an tersebut dikenal den ngan istilahh model arssitektur.Terrdapat empat model arsiitektur yangg digunakan n oleh indiividu betinaa dewasa seelama pengam mbilan dataa. Untuk model m arsitektur pohonn, sebanyak 17 pohon yang digunaakan saat beersuara mem miliki model arsitektur Scarrone (G Gambar 9). Model arrsitektur poohon Scarrrone palinng banyak ditempati oleh individdu betina deewasa saat melakukan n aktivitas bersuara. b Haal ini disebaabkan oleh pohon p A. exccelsa yang berjumlah 15 pohon ditambah d dengan satu pohon p Evodiaa latifolia dan satu pohon p Scheefflera sp. memiliki m model arsittektur Scarroone. Pohon Gluta renghhas L dan Knema cinnerea (Poir.)) Warb mem miliki model arsitektur pohon Maassart. Terdaapat tiga poohon Knemaa cinerea (P Poir.) Warb yang digunnakan oleh individu beetina dewasa saat mellakukan akttivitas bersuaara.
59
Model arssitektur Attiims ditemuii sebanyak dua pohon yang terdirri atas satu poohon Schim ma wallichiii dan satu pohon p Dysoxxylum sp. S Sedangkan untuk u model arsitektur Rauh, R dua dari d sepuluh h pohon terddiri atas pohon Castan nopsis ( Modeel arsitekturr pohon sanngat dipenggaruhi oleh jenis acuminnatissima (Bl.). pohonn yang diguunakan olehh individu H. molochh saat melaakukan akttivitas bersuaara. 2667
1148
518 3 110
10
3
1 173
3
30
6
5
5
3
17
84
Gambar 10 Lama Caalling (detik k) Betina Deewasa menuurut Jenis Pohon. Lama aktivitas bersuuara yang dilakukan d o oleh betina dewasa dii satu jenis pohon p dapaat dilihat pada p Gambaar 10. Pohon A. exceelsa paling lama digunaakan oleh individu beetina dewasa saat meelakukan akktivitas berrsuara yakni selama 26667 detik. Hal H ini diseb babkan olehh jumlah ppohon A. exxcelsa palingg banyak diggunakan saaat bersuara. Lama aktivvitas bersuarra betina deewasa di pohhon Dysoxyylum sp. addalah 1148 detik. Messkipun jumllah pohon suara hanya satu pohonn, tetapi di pohon p terseb but individuu betina teraamati melak kukan femalee song bout. Karena tipe t suara FSB F menghhabiskan w waktu yang lebih lama dibandingka d an dengan tiipe suara yaang lain. Demikian juga halnyya pohon Platea P excellsa yang dditempati seelama 173 detik d dan pohon p Querrcus sunda aica selamaa 110 detikk. Kedua pohon p tersebuut juga diguunakan olehh individu betina b dewaasa untuk tiipe female song
60
bout. Pohon P Glutta renghas L ditempatii selama 518 detik saat individu betina b dewasa melakukaan aktivitas bersuara untuk u bordeer conflict ccoll bout. Border conflicct call bout juga j menghhabiskan waaktu yang cuukup lama.
3028
144 46
50
10 AIII A
AII
CII
85 BI
38 8 BII
33 CI
9 AI
BIII
86 CIII
Gambar 11 Lama Caalling (detik k) Betina Deewasa menuurut Posisi Individuu. Posisi AI paling lamaa ditempati oleh betinaa dewasa seelama melak kukan aktivittas bersuaraa yakni 30228 detik. Hal H ini dapaat dilihat pada Gambaar 11. Begituu juga denggan posisi AII yang ditempati d s selama 1446 detik. Haal ini disebaabkan oleh posisi p AI dan d AII yan ng digunakaan untuk tippe calling female fe song bout b dan borrder conflicct call bout. Posisi verrtikal C dan horizontal III yang dittempati saaat individu betina b dewasa melakukkan HCB hanya h men nghabiskan waktu selama 188 detik. d 3 aktivitass bersuara yang dilakkukan olehh individu betina b Sedanggkan dari 33 dewasa yang teraamati selam ma pengamb bilan data, 20 diantaraanya adalah h tipe suara HCB. H Seperti yang telaah dibahas pada paragrraf sebelum mnya bahwaa FSB dan BCCB mengghabiskan waktu w yang lebih lamaa bila dibanndingkan deengan tipe haarassing calll bout.
61
2680
1154 602 2
349 Rauh
Attiims
Scarrone
Massarrt
Gambar 12 Lama Caalling (detik k) Betina Deewasa menuurut Model Arsitekttur Pohon. Lama aktiivitas bersuuara yang dilakukan d oleh individdu betina deewasa selamaa pengambiilan data yakkni 4785 deetik dan selama 2680 detik suara yang terjadii teramati di d pohon dengan d mod del arsitekttur Scarronne. Seperti yang terlihaat pada Gaambar 12. Hal ini disebabkan oleh o pohonn dengan model m arsitekktur Scarronne memilikii jumlah yan ng paling banyak b ditem mpati saat betina b dewasa melakukkan aktivitaas bersuaraa. Dari ennam tipe ssuara FSB tiga diantarranya dilakkukan di poohon dengaan model arrsitektur Sccarrone dan n juga enam dari tujuhh BCCB yang dilak kukan olehh individu betina deewasa mpati pohonn dengan moodel arsitek ktur Scarronne. menem Meskipunn hanya duua jenis po ohon yang memiliki m model arsittektur Attimss namun dittempati selaama 1154 deetik. Ini dikkarenakan pohon Dysoxxylum sp diteempati olehh individu betina b dewaasa pada saaat melakukkan female song bout. Model arsiitektur Rauuh hanya ditempati d seelama 349 detik walaaupun jumlahh pohon callling dengann model arssitektur Rauuh sebanyakk sepuluh po ohon. Namunn semuanyaa ditempati untuk tipe suara s harasssing call boout. 2. Jantan Dewaasa Perilaku bersuara b padda individu jantan dew wasa dari kellompok A dan d B jarangg sekali terjaadi pada saaat pengamaat melakukaan pengambbilan data. Jantan J dewasa lebih cenderung mellakukan perrilaku untukk melindunngi kelompo oknya
62
dengann cara menggawasi keaddaan sekitaar ketika selluruh anggoota kelompo oknya sedangg melakukaan aktivitas harian. Haal ini terlihaat dari perillaku harian yang teramaati selama proses p pengaambilan datta di lapangan. Dari hasil pengamataan selama peengambilann data di kellompok A dan d B, individdu jantan dewasa d dari kelompok B hanya melakukan m aaktivitas berrsuara di jeniis pohon Quercus Q lineeata sebany yak dua kali. Sedangkkan untuk jantan dewasa dari keloompok A teeramati di 7 jenis pohoon untuk ddua kali akttivitas bersuaara. Seperti yang disajikkan pada Gaambar 13. 3
Juumlah
2.5 2 1.5 1 0.5 0
Jen nis pohon
Gambar 13 Jenis Pohhon Bersuarra Jantan Deewasa. Jenis pohhon yang paling baanyak diguunakan adaalah Dysoxxylum alliaceeum. Banyaaknya jeniss pohon in ni dikarenakkan saat peengambilan n data terjadii pertemuann dengan kelompok k laain yang menyebabkan m n konflik antara a jantan dewasa daari kelompook A dengaan jantan dewasa d darii kelompok k lain. Pada saat s individuu jantan dew wasa melak kukan satu tipe t aktivitaas bersuara yakni y male song s bout tidak t hanyaa diam di satu s pohon.. Tetapi denngan melak kukan pengejjaran dan penandaan pada poho on suara yang y beradda di perbaatasan wilayaah teritori keelompok A dengan ind dividu/kelom mpok lain. Tipe suaraa yang teram mati dilakuk kan oleh inddividu jantann dewasa seelama prosess pengambillan data adaa tiga yakni harassing call c bout (H HCB), malee song bout (MSB) ( dan border connflict call bout b (BCCB B). Individuu jantan deewasa hanya satu kali teramati t meelakukan tiipe suara border b confflict call bo out di
63
pohonn A. excelsaa. Pohon Quercus Q lin neata digunnakan oleh individu jantan dewasa saat melakkukan aktivvitas bersuarra HCB. Konflik terjadi t ketikka dua kellompok salling mendeekati perbaatasan teritorii mereka. Individu bettina akan berada di beelakang janttan dewasa yang biasannya akan meemberikan bantuan b beru upa great caall. Sehinggga jantan deewasa memanng sangat jaarang melakkukan aktiv vitas bersuaara. Terkadaang pohon pakan p menjaddi penyebaab timbulnyya konflik, terutama ketika mennyangkut pohon p pakan “favorit”. Banyaknyya konflik dipengaruhi d i oleh jumllah kelomppok yang ada a di sekitarrnya dan terrutama olehh kehadiran kelompok baru. b Aktiviitas bersuarra dan konflikk antar keloompok sanggat penting di dalam keehidupan H H. moloch, karena k menghhabiskan baanyak waktuu dan energii.
3 5
2
1
1
Gambar 14 Posisi Berrsuara Jantaan Dewasa. Sedangkann posisi saaat bersuara yang y paling sering ditem mpati adalaah CII yakni sebanyak lima kali. Dari D 12 posiisi suara yaang ditempaati oleh ind dividu jantan dewasa, 100 posisi dianntaranya dig gunakan unntuk tipe MS SB. Tidak semua s posisi di pohon suara s ditemppati untuk aktivitas a beersuara selam ma pengam mbilan data. Hanya H posisi horizontaal II saja yang y pernahh digunakann semuanyaa baik
64
AII, BII B dan CII. Tetapi hannya untuk dua d tipe suaara, yakni M MSB dan BCCB. Sedanggkan untuk tipe suara HCB H hanyaa ditemui di posisi CIII.. Model arssitektur pohhon suara jaantan dewasa ditemui sebanyak empat e b dewaasa yakni Rauh, R Attim ms, Scarronee dan model sama sepeerti halnya betina a p pohon suaraa sangat dippengaruhi ooleh jenis pohon p Massaart. Model arsitektur yang ditempati d saaat H. moloch melakuk kan aktivitas bersuara. Tipe suara HCB teramaati sebanyaak satu kaali di poh hon dengann model aarsitektur Rauh. R Sedanggkan untukk model arrsitektur Sccarrone dittemui saat individu jantan dewasa melakukaan aktivitas bersuara male m song boout dan borrder conflicct call
Jumlah
bout.
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Rauh
Scarrone
Attimss
Masssart
Model Arsitektur
Gambar 15 Model Arsitektur A Po ohon Bersuaara Jantan D Dewasa. p suaraa jantan deewasa, limaa diantarannya dilakuk kan di Dari 12 pohon m arsitekktur Rauh. Model arsiitektur Rauhh paling baanyak pohonn dengan model ditemuui selama peengambilann data. Hal ini disebabkkan oleh em mpat kali akttivitas bersuaara MSB dan d satu kali k HCB menggunakkan pohon dengan model m arsitekktur Rauh. Sebanyak empat e suaraa teramati di d model arrsitektur Atttims, dua kaali di modell arsitektur Scarrone dan satu kalii aktivitas bbersuara teramati di pohhon dengan model arsiitektur Masssart. Untukk tipe suara male song g bout ditemuui di keempat model arrsitektur poh hon. Lama berrsuara yangg dilakukan n oleh indiividu jantann dewasa dapat dilihatt pada Gam mbar 16. Meskipun M jen nis pohon Dysoxylum D alliaceum yang
65
palingg banyak dijumpai saaat jantan dewasa d mellakukan akktivitas berssuara, tetapi pohon A. exxcelsa ditem mpati selam ma 327 detikk, lebih lam ma 163 detik k. Hal ini dikkarenakan tiipe suara yaang dilakukaan di pohonn A. excelsa adalah BCB B dan MSB. Seperti inndividu bettina dewasaa yang telaah disebutkkan sebelumnya bahwaa untuk tipe suara BCC CB dan MSB B membutuhhkan waktuu yang lebih lama bila diibandingkann dengan tippe suara harrassing call bout.
327 2 251 16 64
154
287 203
136
25
Gambar 16 Lama Caalling (detik k) Jantan Deewasa menuurut Jenis Po ohon. Posisi pada saat beersuara di CII palingg lama diteempati. Haal ini disebaabkan, limaa aktivitas bersuara b diilakukan di posisi CIII. Posisi dii CIII hanya ditempati selama satuu detik. Haal ini disebaabkan oleh tipe suara yang dilakuukan di posisi CIII olehh individu jaantan dewassa adalah H HCB. Lama suatu posisi ditempati saat s H. molooch melakuk kan aktivitaas bersuara ddipengaruhii oleh tipe suuara yang diilakukan di posisi terseebut baik veertikal mauppun horizonttal.
66
1 1000
29 95
206 45
1 CIII
AII
BI
BIII
C CII
Gambar 17 Lama Caalling (detik k) Jantan Deewasa menuurut Posisi Individuu. Lama aktiivitas bersuara pada mo odel arsitekktur pohon R Rauh adalah h 566 detik. Kemudian untuk moddel arsitektu ur Attims ditempati d seelama 367 detik. d Dilanjutkan dengan model Scarrone S selama 327 deetik dan teraakhir selama 287 detik individu jaantan dewaasa menem mpati pohonn dengan m model arsittektur g disajikan di d Gambar 118. Masarrt. Hal ini seesuai dengann data yang
566 327
Rauh
Gambar 18 1
Scarrrone
287
Massart
36 67
Attim ms
Lama Calling (d detik) Jantann Dewasa menurut Model M Arsitekttur Pohon.
3. Beetina Pra-dewasa Individu betina praa-dewasa teramati t selama penngumpulan data melakuukan aktiviitas bersuarra sebanyak k sembilan kali. Dari sembilan suara, s
67
satu akktivitas berssuara dilakuukan di tigaa tempat yanng berbeda sehingga ju umlah pohonn suara individu betinaa pra-dewassa selama pengambilan p n ada 11 po ohon. Hal inni dimungkinnkan karenaa individu betina b pra-dewasa masiih dalam tah hapan belajarr dalam meelakukan akktivitas bersuara. Dari 11 pohon, llima diantarranya dijumppai di pohonn Knema cinnerea (Poir.) Warb. 5 Juumlah
4 3 2 1 0
Jeniis pohon
Gambar 19 Jenis Pohhon Bersuarra Betina Prra-dewasa. Pada indiividu betinna pra-dewaasa tipe suuara yang ditemui seelama pengam mbilan dataa adalah haarassing ca all bout (HC CB) dan feemale song g bout (FSB). Pohon Knema Kn cinerrea (Poir.) Warb diguunakan sebanyak limaa kali untuk tipe suaraa harassing call bout. Begitu juga pohhon Castan nopsis s tungguurut (Bl.) dc ditempaati sebanyaak dua kaali untuk tiipe yang sama. Sedanggkan tipe suara s FSB hanya h ditem mui sebanyaak dua kalii yakni di pohon p Plateaa excelsa daan Litsea nooronhae (Bll.) Posisi beersuara paling banyak k dijumpaii di AIII. Salah sattunya digunaakan pada saat melakkukan aktiv vitas bersuaara untuk tiipe female song bout. Individu I bettina pra-dew wasa tidak menempati m posisi AIII untuk tipe FSB. Hal inni bisa diseebabkan karrena individ du betina pra-dewasa p di kelompok A masih dalam tahhap pembellajaran untu uk melakukkan aktivitaas bersuaraa dan n pasti tujuan dan keggunaan dari tiapmasih belum dappat mengetaahui dengan tiap tiipe suara teersebut. Seehingga possisi yang digunakan d uuntuk tipe suara tertenttu akan berrbeda denggan posisi yang y digunnakan oleh individu betina b dewasa.
68
1
1
1
3
1
4
Gambar 20 Posisi P Bersu uara Betina Pra-dewasaa. Betina praa-dewasa tiidak ditemu ui bersuaraa di Posisi AI, CI dan n CII selamaa pengambbilan data. Posisi indiividu saat bersuara ddi AII dan AIII digunaakan untuk tipe FSB dan d HCB. Terdapat kesamaan anntara betinaa pradewasa dengan betina b dewasa yakni dii posisi horiizontal III ddigunakan untuk u tipe haarassing caall bout. Naamun posisi BI, BII daan BIII padaa individu betina b pra-deewasa hanyaa dijumpai untuk u tipe su uara harasssing call bouut. Sama hallnya dengann individu betina dann jantan ddewasa, ind dividu betina pra-dewassa ditemui menempati empat moodel arsitekktur pohon suara yaitu Massart, Rauh, R Attim ms dan Scaarrone. Moddel arsitekttur pohon suara betina pra-dewasaa dapat dilihhat pada Gaambar 21. Posisi P suara yang digun nakan untuk tipe HCB sebanyak dua kali ad dalah AII dan ditemuui di dua pohon p dengann model arssitektur Masssart.
69
5
J l h Jumlah
4 3 2 1 0 Rauh
Massart
Scarronee
Attiims
Model A Arsitektur
Gambar 21 Model Arsitektur A Po ohon Bersuaara Betina P Pra-dewasa.. Model arssitektur pohhon Massarrt digunakaan sebanyakk lima kalii saat individdu betina pra-dewasa p melakukan n aktivitas bersuara uuntuk tipe HCB. H Sedanggkan modell arsitektur Rauh satu kali digunaakan untuk ttipe female song bout dan d tiga kalii untuk tipee harassing call bout. Tipe T suara ffemale song g bout dijumppai sebanyak satu kaali menggu unakan pohhon Litsea noronhae (Bl.) dengann model arssitektur Scaarrone. Dan satu kali menggunaka m an pohon deengan model arsitektur Attims. A Lamanya aktivitas beersuara individu betinaa pra-dewasa pada satu u jenis G 22. Meskipunn jenis pohhon yang paling p pohonn dapat diliihat pada Gambar banyakk digunakann individu betina pra-dewasa selama pengam mbilan dataa saat melakuukan aktivvitas bersuaara adalah phon Kneema cinereaa (Poir.) Warb. W Namunn lama poohon tersebbut digunak kan untuk bersuara hhanya 92 detik. d Sedanggkan jenis pohon yanng paling laama ditemppati adalah Castanopssis sp selamaa 106 detikk yang hannya teramatti sebanyakk satu kali digunakan oleh individdu betina prra-dewasa saat s melakuk kan aktivitaas bersuara. Tipe suaraa yang dilakuukan di keduua jenis pohhon tersebut adalah harrassing call bout.
70
92 12
106
30
10
1 12
Gambar 22 Lama Caalling (detik k) Betina Prra-dewasa m menurut Jeniis Pohon. Tidak sepperti individu dewasa, waktu yaang diperluukan betinaa praaktivitas bersuara female soong bout tidak dewasa untuk melakukan m menghhabiskan waaktu yang banyak. b Tip pe female song s bout hhanya dilak kukan sebanyyak dua kalli di pohon Platea P exceelsa selama 30 detik daan pohon Litsea L noronhhae (Bl.) seelama 10 dettik. Posisi AIIII digunakaan selama 27 2 detik sedangkan poosisi AIII paling p banyakk ditempatii yakni sebanyak empat kali aktiivitas bersuuara. Begitu u juga posisi AII yang ditempati d seebanyak tigaa kali oleh individu i beetina pra-dew wasa. Namunn lama suarra di posisi AII A hanya 35 3 detik.
106 79 35
3
27
12 BI
AII
BII
CIII
BIII
AIII
Gambar 23 Lama Caalling (detik k) Betina Prra-dewasa m menurut Possisi Individuu.
71
Sedangkann posisi CIIII yang haanya digunaakan untuk tipe suara HCB u paling lam ma yakni seelama 106 detik. d sebanyyak satu kali menghabbiskan waktu Demikkian halnyaa posisi BIIII yang hany ya ditempaati sebanyakk satu kali untuk u tipe suuara yang sama mengghabiskan waktu w yangg lebih lam ma dibandin ngkan dengann penggunaaan posisi AII A dan AIII. Ini berartii bahwa inddividu betina pra-dewasa tidak meemerlukan waktu w yang lama l pada saat s melakukkan aktivitaas bersuara FSB sepertti individu betina b dewasa di dua keelompok yaang diamatii. Begitu juuga dengan tipe HCB yang bandingkan HCB yangg dilakukan n baik menghhabiskan waaktu lebih banyak dib oleh inndividu janttan dewasa maupun bettina dewasaa. Dengan lamanya waaktu yang diperlukan oleh indivvidu betinaa pradewasa untuk melakukan harrassing calll bout makaa mempenggaruhi lama suatu model arsitekturr pohon suara s yang ditempatii. Model arsitektur Rauh digunaakan palingg lama yakkni 148 detik. Meskipuun model aarsitektur pohon p Massaart ditempatii paling bannyak saat beersuara nam mun hanya digunakan seelama 92 dettik. Untuk model m arsiteektur pohon n Scarrone hanya ditem mpati selam ma 10 detik pada p saat melakukan m tippe suara fem male song bout. b
148 92
10 Rauh
Masssart
Scarrone
12 2 Attim ms
Gambar 24 Lama Caalling (detik k) Betina Prra-dewasa m menurut Model Arsitekttur Pohon
72
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 3. Pohon Rasamala (A.excelsa) digunakan oleh betina dewasa untuk melakukan aktivitas bersuara sebanyak 15 pohon. Untuk model arsitektur pohon suara, 17 pohon diantaranya memiliki model Scarrone. Untuk posisi individu betina dewasa saat melakukan female song bout hanya ditemukan di posisi AI dan AII. Sedangkan untuk tipe suara border conflict call bout di posisi AI, BI dan BII. Posisi horizontal III dan vertikal C hanya digunakan oleh betina dewasa untuk harasssing call bout. 4. Individu jantan dewasa menggunakan tiga pohon Ki haji (Dysoxylum alliaceum) untuk bersuara dan lima pohon dengan model arsitektur Rauh. Posisi AII hanya ditempati jantan dewasa saat melakukan tipe suara border conflict call bout. Sedangkan untuk tipe suara harasssing call bout di posisi CIII. Posisi BI, BII dan CII ditempati saat melakukan tipe suara male song bout. 5. Pohon Kimokla (Knema cinerea (Poir.) Warb.) dengan model arsitektur Massart digunakan sebanyak lima pohon oleh individu betina pra-dewasa untuk bersuara. Posisi individu saat bersuara di AII dan AIII digunakan untuk tipe female song bout dan harasssing call bout. Posisi BI, BII dan BIII digunakan oleh individu betina pradewasa untuk tipe suara harassing call bout. B. SARAN 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pola penggunaan ruang untuk semua perilaku H. moloch di TNGHS. 2. Perlu dilakukan kegiatan penanaman Pohon Rasamala (A. excelsa) sebagai salah satu upaya pengelolaan habitat H. moloch di TNGHS.
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Indeks Nilai Penting Tiang No. Nama Latin Famili 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Altingia excelsa Prunus arborea Quercus gmelliflora Glycyrrhiza glabra Knema cinerea Urophyllum arboretum Ficus fustilosa Cinnamomum porrectum Eugenia lineata Schima wallichii Eugenia densiflora Garcinia dulcis Elaeocarpus macrophylla Ardisia blumii Magnolia elegans Beilsmiedia madang Glochidian philippiceum Ficus globosa Ficus lepicarpa Litsea cubeba Schfflera aromatic L. pseudomoluccanus Kibezzia azura Litsea javanica Laportea stimulans Antidesma montanum Artocarpus elasticus
Sumber : (Hadi, 2002)
KR (%) Hammamelidaceae 8.57 Rosaceae 8.57 Fagaceae 5.71 Fabaceae 5.71 Myristicaceae 5.71 Myrtaceae 5.71 Moraceae 2.88 Melastomaceae 2.88 Myrtaceae 2.88 Theaceae 2.88 Myrtaceae 2.88 Clusiaceae 2.88 Elaeocarpaceae 2.88
FR (%) 5.88 8.82 5.88 5.88 5.88 5.88 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94
DR (%) 10.64 7.59 6.12 5.78 4.97 3.34 4.55 4.55 4.09 4.09 4.07 3.65 3.65
INP (%) 25.09 24.98 17.71 17.37 16.56 14.93 10.37 10.37 9.91 9.91 9.89 9.47 9.47
Myrsinaceae Magnoliaceae Lauraceae Euphorbiaceae Moraceae Moraceae Lauraceae Araliaceae Fagaceae Melastomaceae Lauraceae Urtiaceae Euphorbiaceae Moraceae
2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94
3.64 3.23 3.23 2.84 2.84 2.47 2.47 2.13 1.82 1.82 1.82 1.81 1.52 1.26
9.46 9.05 9.05 8.66 8.66 8.29 8.29 7.95 7.64 7.64 7.64 7.64 7.34 7.08
2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88
75
Lampiran 2 Indeks Nilai Penting Pohon Famili No. Nama Latin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Altingia excelsa Lithocarpus teysmanii Lithocarpus elegans Vernonia arborea Toona sureni Castanopsis argentea Lithocarpus pseudomoluccanus Castanopsis javanica Litsea sp. Eugenia lineate Prunus arborea Schima wallichii Magnolia elegans Quercus gmelliflora Knema cinerea Syzygium rostratum Artocarpus elastica Evodia latifolia Antidesma tetandrum Nyssa sp. Actinodaphnae anguatifolia Ardisia laevigata Bridellia minutiflora Bruinsmia styracoides Eugenia densiflora Glycyrrhiza glabra Euonymus javanicus Trema orientalis Quercus lineata Kibezzia azura Michelia montana Eugenia cuprea Phytecellobium montanum Ficus ribes Elaeocarpus macrophylla Elaocarpa piereci Cinnamomum porrectum
Sumber : (Hadi, 2002)
KR (%) Hammamelidaceae 23.85 Fagaceae 6.42 Fagaceae 4.59 Asteraceae 4.59 Meliaceae 3.67 Fagaceae 4.59 Fagaceae 1.83
FR (%) 13.92 6.33 3.79 6.33 3.79 3.79 2.53
DR (%) 41.77 9.87 8.34 1.54 4.09 2.49 4.79
INP (%) 79.54 22.62 16.72 12.46 11.55 10.87 9.15
Fagaceae Lauraceae Myrtaceae Rosaceae Theaceae Magnoliaceae Fagaceae Myristicaceae Myrtaceae Moraceae Rutaceae Euphorbiaceae Cornaceae Lauraceae
1.83 2.75 2.75 2.75 2.75 2.75 1.83 2.75 2.75 1.83 1.83 1.83 1.83
2.53 2.53 3.79 3.80 1.27 2.53 2.53 2.53 2.53 2.53 2.53 2.53 1.27 1.27
4.60 2.13 0.82 0.49 2.70 1.42 1.91 0.94 0.86 1.21 0.79 0.42 0.65 0.52
8.96 7.41 7.36 7.04 6.72 6.70 6.27 6.22 6.14 5.57 5.15 4.78 3.75 3.62
Moraceae Euphorbiaceae Styraceae Myrtaceae Clusiaceae Lauraceae Ulmaceae Fagaceae Melastomaceae Magnoliaceae Myrtaceae Fabaceae Moraceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae Melastomaceae
0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92 0.92
1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27
0.99 0.93 0.81 0.70 0.58 0.58 0.41 0.36 0.31 0.25 0.23 0.21 0.19 0.18 0.18 0.18
3.18 3.12 3 2.89 2.77 2.77 2.60 2.55 2.50 2.44 2.42 2.40 2.38 2.37 2.37 2.37
1.83
76
Lampiran 3 Peta Kawasan TNGHS