KAJIAN MANAJEMEN PENANGKARAN, TINGKAT KONSUMSI, PALATABILITAS PAKAN, DAN AKTIVITAS HARIAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest, 1822) DI PENANGKARAN UD MULTI JAYA ABADI SUMATERA UTARA
NOVRIYANTI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SUMMARY Novriyanti (E34070090). The Study of Captive Management, Consumption level, Feed on Palatability, and Daily Activity of Pangolins (Manis javanica Desmarest, 1822) at UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara. Guidance by Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS and Prof. Dr. M. Bismark, MS. The people’s belief on using pangolin (Manis javanica Desmarest, 1822) for their consumption as a high economic value of medicine and food has been consequence an increasing demand. Wild population has been decreasing and the rescue by in-situ captive was hard to be done, so that ex-situ captive for pangolins conservation becomes an important alternative. Related to captive breeding efforts, information about the technical aspects of captive management include feeding management and daily activity has not been known, therefore a research for these information is needed. Research has done at pangolins captivity, UD Multi Jaya Abadi, North Sumatra on August-September 2010. Data and information collected includes (1) captive technical aspects that obtained by literature study, observation, and interview; (2) consumption and palatability, which is calculated by using Rancangan Acak Lengkap (RAL) factorial 2 x 2 for 8 (eight) pangolins in two different types of maintenance (individual cages and in pairs cages) and two types of feed (P1 and P2). The total weight of each feed type provided by 150 g/head/day for P1 (50 g of kroto and 100 g of bran) and P2 (80 g of kroto and 70 g bran); (3) daily activity of pangolins by focal animal sampling and scan sampling method. Technical aspect of pangolins captive which developed at UD Multi Jaya Abadi include (a) artificial habitat: cage size is 500 cm x 186 cm x 208 cm, with estimated capacity 1−2 animal/m2, flooring and wall enclosure made from cement and roof from asbestos; (b) feeding management: a mixture of bran and kroto which is given every evening at 18.00 WIB; (c) health and diseases maintenance: types of diseases commonly found are ticks, sores, diarrhea, and influenza. Health care consist of some activities periodic medical checkup of pangolins by the animal keeper and medical expert and (ii) prevention by cleaning the cage and keep the cage sanitation; (d) management of reproduction: arrangement of couple and mating is done manually with 1:1 sex ratio. Mating succeeded is characterized by the changes of female body and monitored by CCTV cameras. Furthermore, the gestation period is about 130 days or ±4 months, juvenile pangolin a single birth will produce one pangolin and the weaning period during 3-4 months. The measurement results show that the average number feed intake of pangolin in captivity is 94,67 g/head/day. The experiment results show that there is no significant differences effect (P>0,05) between two types of feed (containing 50 g and 80 g of kroto) and two types of maintenance (individual and partnership) to consumption even though the pangolins tend to consume feed with the most appropriate number of kroto (palatable) as their habit as ant-eaters. In addition, daily activity of pangolins in captivity show that sleep activity (68-70 %), feeding activity (20%), and 10% activity for defecation and urination, climbing and walking. Key words: Manis javanica, captivity, consumption, daily activity.
RINGKASAN Novriyanti (E34070090). Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara. Dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS. Keyakinan masyarakat terhadap pemanfaatan trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) sebagai obat dan makanan dengan nilai ekonomi yang tinggi membawa konsekuensi permintaan yang terus meningkat. Populasi di alam semakin menurun dan upaya penyelamatan secara in-situ sejauh ini sulit dilakukan sehingga konservasi secara ex-situ menjadi alternatif penting. Terkait dengan upaya penangkaran, informasi mengenai aspek-aspek teknis pengelolaan penangkaran termasuk pengelolaan pakan dan aktivitas harian belum banyak diketahui sehingga diperlukan suatu kajian terkait hal tersebut. Penelitian dilaksanakan di Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara pada Agustus−Sepetember 2010. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi (1) aspek teknis penangkaran diperoleh dengan cara studi kepustakaan, observasi lapang, dan wawancara; (2) konsumsi dan palatabilitas ransum menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 2 x 2 terhadap 8 (delapan) ekor trenggiling di dalam dua tipe pemeliharaan (kandang individu dan kandang berpasangan) dan dua jenis ransum yakni ransum P1 (kroto 50 g dan dedak 100 g) dan P2 (kroto 80 g dan dedak 70 g). Berat ransum yang diberikan sebesar 150 g/ekor/hari; (3) aktivitas harian dengan metode focal animal sampling dan scan sampling. Aspek teknis penangkaran trenggiling yang dikembangkan di UD Multi Jaya Abadi meliputi (a) Perkandangan; ukuran kandang 500 cm x 186 cm x 208 cm, perkiraan kapasitas tampung 1−2 ekor/m2, lantai dan dinding kandang terbuat dari semen dan atap berupa asbes; (b) Pakan/ ransum; campuran dedak dan kroto diberikan pada malam hari pukul 18.00 WIB; (c) Perawatan kesehatan dan penyakit; jenis penyakit yang umum ditemukan adalah caplak, luka, diare, dan pilek. Perawatan kesehatan dilakukan dengan cara (i) pemeriksaan rutin terhadap tubuh trenggiling oleh animal keeper dan ahli medis, dan (ii) tindakan pencegahan melalui pembersihan dan menjaga sanitasi kandang; (d) Manajemen reproduksi; pengaturan pasangan dan perkawinan (mating) dilakukan secara manual dengan sex ratio 1:1. Keberhasilan perkawinan (mating) dilihat dari perubahan tubuh induk betina dan dipantau dengan kamera CCTV. Lama kebuntingan 130 hari (± 4 bulan). Jumlah anak per kelahiran satu ekor dengan masa sapih 3–4 bulan. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah konsumsi ransum trenggiling di penangkaran sebesar 94,67 g/ekor/hari. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) antara dua macam ransum (kandungan kroto 50 g dan 80 g) dan dua tipe pemeliharaan (individu dan berpasangan) terhadap tingkat konsumsi ransum meskipun trenggiling cenderung lebih banyak mengonsumsi ransum berkroto tinggi (palatable) sesuai habitnya sebagai pemakan semut. Aktivitas harian terdiri dari tidur (68-70%), aktivitas makan (20%), dan 10% aktivitas membuang kotoran, memanjat dan berjalan. Kata kunci: Manis javanica, penangkaran, konsumsi, aktivitas harian.
Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara
NOVRIYANTI E34070090
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS. Skripsi ini juga belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan di dalam teks tulisan ilmiah ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka yang terdapat di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Novriyanti E34070090
v
Judul Skripsi
: Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Sumatera Utara
Nama Mahasiswa
: Novriyanti
NRP
: E34070090
Program Studi
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui: Komisi Pembimbing Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS NIP. 19581121 198603 1 003
Prof. Dr. M. Bismark, MS NIP. 19540721 198103 1 006
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rantau Panjang, Kabupaten Merangin Provinsi Jambi pada 14 November tahun 1989. Sebagai anak pertama yang dilahirkan dari pasangan Isral Miswandi dan Yukarmi (Almh.), penulis memiliki dua saudara kandung yakni Alzi Rahmana Putra dan Elfara Charani. Setelah menempuh berbagai perjuangan untuk duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, pada tahun 2007 penulis berhasil lulus SMA Negeri 1 Tabir (SMA Negeri 2 Merangin) dan pada tahun yang sama, penulis berkesempatan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor melalui jalur beasiswa dan berhasil lolos sebagai peserta Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Jambi. Penulis resmi menyandang status mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB mulai Juni 2007. Selama menjadi mahasiswa dan menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiwaan intra kampus dan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Penulis pernah menjabat sebagai staff Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Daerah, Badan Eksekutif Mahasiswa KM IPB tahun 2008, Resimen Mahasiswa (Menwa) IPB dengan jabatan sebagai Kepala Kesekretariatan hingga menjadi Wakil Komandan Menwa IPB periode 2010−2011. Di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, penulis juga ikut aktif di dalam organisasi Himpunan Keprofesian Mahasiswa DKSHE yang bernama Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) tahun 2008−2010 sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Tarsius sekaligus sebagai Bendahara Umum pada periode 2009−2010 dan menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru DKSHE, GEBYAR HIMAKOVA tahun 2009. Sementara itu, penulis juga aktif di organisasi ekstra kampus diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, sebagai Bendahara Umum Kohati tahun 2010−2011, Organisasi Mahasiswa Daerah Jambi (HIMAJA) sebagai Sekretaris tahun 2009−2010.
Disamping aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam kegiatan ekspedisi lapangan dan praktek kerja lapang profesi di Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 2009, penulis mengikuti ekpedisi ilmiah Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) HIMAKOVA di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Nusa Tenggara Timur. Penulis juga melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan, Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat. Untuk
meraih
gelar
Sarjana
Kehutanan
IPB,
penulis
berhasil
menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara yang dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS dan Prof. Dr. M. Bismark, MS.
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Skripsi ini berhasil diselesaikan berkat bantuan dan kerjasama dengan dari berbagai pihak yang mendukung penulis selama menyusunnya. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Ibunda yang telah melahirkanku hingga meregang nyawa, Yukarmi (Almh.), Kepada Ayahanda Isral Miswandi dan Ibunda Suwarti yang selalu membimbing dan memelihara penulis sampai akhir pendidikan di IPB ini. 2. Pemerintah Provinsi Jambi, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi Jambi beserta lembaga/instansi terkait lainnya yang selama 4 tahun telah membiayai penulis secara penuh untuk menuntut ilmu dan menjadi generasi penerus perjuangan pemerintah dan masyarakat Jambi di Institut Pertanian Bogor. 3. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. M. Bismark, MS selaku dosen pembimbing kedua yang selalu menyediakan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani penelitian hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. 4. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi, M. Eng, Sc selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah menguji penulis dalam proses verbal Ujian Komprehensif Fakultas Kehutanan pada 21 Juni 2011. 5. Bu Mariana Takandjandji, Bu Reni Sawitri, Bu R. Garsetiasih, Pak Sofian, Pak Heri, dan Mbak Anita serta seluruh pegawai dan staf yang ada di lingkungan Kelompok Peneliti Konservasi Kehati, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan yang telah memberikan perhatian, membantu penyelesaian skripsi ini dengan dukungan moril dan materiilnya. 6. Bapak Jefri, Direktur Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara dan Bapak Hasan (Pak Cik) beserta keluarga yang telah menyediakan tempat penelitian bagi penulis dan memenuhi kebutuhan hidup penulis selama penelitian berlangsung. 7. Bapak Djati selaku Kepala BBKSDA Sumatera Utara dan Pak Siswarno selaku Kepala Bidang Teknis BBKSDA Sumatera Utara yang telah membantu
memberikan
kemudahan
termasuk
bantuan
materiilnya
selama
penulis
melaksanakan penelitian. 8. Bang Suhud (KSH 36), Bang Juara I, Bang Ernes (KSH 38), Pak Arif, dan seluruh staff pegawai BBKSDA Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama penelitian di Medan. 9. Teman-temanku senasib seperjuangan, ada dan tak ada uang tetap bersama-sama, Ana, Merita, Marwa, Eki, Eko, Rahman, Hadi, dan Mahasiswa BUD (Beasiswa Utusan Daerah) Provinsi Jambi lainnya (38 orang) yang senantiasa mencurahkan perhatian dan motivasi, kasih sayang, dan waktunya selama penulis menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Semoga kita dapat bersama-sama berjuang dalam bidang pertanian untuk memajukan Provinsi Jambi. 10. Mbak Atin, Dina, Meli, Mprit, Ririn “batak” dan Windy yang telah bersedia mendengarkan curhat-keluh kesah selama menjalani penelitian, skripsi dan menghadapi hidup ini. Teman-teman KSHE “koak” 44 yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan dan doa yang selalu tercurah demi keberhasilan kita bersama. 11. Kanti-kanti, abang-ayuk, adek-adek di HIMAJA (Himpunan Mahasiswa Jambi) demi semua kerelaan, kekeluargaan yang kita ciptakan bersama selama penulis menempuh hidup di IPB. 12. Seluruh rekan dan para asisten di Laboratorium Konservasi Eksitu Satwaliar atas bantuannya, bersedia menemani penulis, menjadi penghibur dan pemberi masukan selama penulis menyelesaikan baris demi baris, kalimat demi kalimat dalam skripsi ini. 13. Teman-teman Kohati HMI Cabang Bogor, Kak Indana (Ketum Kohati), Kak Nahrul (Sekum Kohati), Yani (Kabid Eksternal), rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Kehutanan baik Ketua Umum (Arifin), Yasser dkk. atas pengertian dan masukannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini sekaligus sebagai pengurus. 14. Semua pihak yang telah terlibat dan membantu penyelasaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
KATA PENGANTAR Teriring salam dan doa serta rasa syukur yang mendalam senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia, dan rahmatNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul Kajian Manajemen Penangkaran, Tingkat Konsumsi, Palatabilitas Pakan, dan Aktivitas Harian Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sumatera Utara merupakan laporan akhir dari penelitian yang dilaksanakan pada Agustus−September 2010, disusun sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian hingga pada penulisan skripsi ini. Penulis pun menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan, adanya harapan besar dari penulis atas kritik dan saran yang dapat disampaikan untuk pengembangan karya ilmiah ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Bogor, Juni 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Kerangka Pikir dan Tujuan Penelitian................................................ 1.3 Manfaat Penelitian .............................................................................
1 3 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Trenggiling 2.1.1 Taksonomi dan Kekerabatan..................................................... 2.1.2 Morfologi dan Anatomi ............................................................ 2.1.3 Habitat dan Penyebaran ............................................................ 2.1.4 Aktivitas Harian dan Perilaku ................................................... 2.2 Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya ................... 2.3 Kegiatan Penangkaran ....................................................................... 2.4 Pengembangan Pakan Trenggiling di Penangkaran ............................
5 6 7 8 11 12 14
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 3.3 Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan ..................................... 3.4 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 3.4.1 Studi Pustaka dan Wawancara .................................................. 3.4.2 Observasi Lapang...................................................................... a. Data Aspek Teknis Penangkaran.......................................... b. Data Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan .................. c. Data aktivitas harian trenggiling di penangkaran ................. 3.5 Analisis Data...................................................................................... 3.5.1 Aspek Teknis Penangkaran ....................................................... 3.5.2 Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan ................................ 3.5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran ...........................
15 15 15 16 16 17 17 18 21 21 21 21 25
BAB IV KONDISI LOKASI PENANGKARAN 4.1 Sejarah Penangkaran .......................................................................... 4.2 Manajemen Penangkaran UD Multi Jaya Abadi ................................ 4.3 Kondisi Fisik Lokasi Penangkaran .....................................................
26 26 28 xii
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Lokasi Penangkaran.
29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Manajemen Penangkaran Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi ......... 5.1.1 Pengadaan Bibit dan Perkembangannya di Penangkaran........... 5.1.2 Manajemen Perkandangan ........................................................ 5.1.3 Manajemen Pakan Trenggiling.................................................. 5.1.4 Perawatan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit ..................... 5.1.5 Manajemen Reproduksi ............................................................ 5.2 Konsumsi dan Palatabilitas Pakan Trenggiling di Penangkaran ......... 5.2.1 Kandungan Gizi Bahan Pakan ................................................... 5.2.2 Konsumsi Ransum .................................................................... 5.2.3 Palatabilitas Pakan .................................................................... 5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran ....................................
30 30 33 42 48 54 60 61 63 69 73
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 6.2 Saran ...................................................................................................
79 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
81
LAMPIRAN ..................................................................................................
88
xiii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Rataan konsumsi pakan trenggiling di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi ....................................................................................................
18
2. Rancangan analisis data konsumsi pakan trenggiling............................
22
3. Skema peletakan data penelitian ...........................................................
23
4. Daftar analisis sidik ragam eksperimen faktorial a x b ..........................
25
5. Perkembangan induk trenggiling (Manis javanica) dan keturunan yang dihasilkan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ..................................
31
6. Jenis kandang trenggiling (Manis javanica) di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ............................................................................................
34
7. Konstruksi kandang pemeliharaan Manis javanica di penangkaran UD Multi Jaya Abadi.............................................................................................
35
8. Jenis penyakit, gejala, dan pengobatan pada trenggiling (Manis javanica) di UD Multi Jaya Abadi ........................................................................
48
9. Hasil analisis proximat kandungan zat makanan ransum penelitian ......
62
10. Rataan jumlah konsumsi ransum trenggiling selama percobaan (per ekor per hari) ................................................................................................
64
xiv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Rangkaian tindakan pengelolaan (management) satwaliar dalam pembatasan data penelitian. ........................................................................................
3
2. Trenggiling (Manis javanica) .................................................................
5
3. Aktivitas trenggiling di atas pohon .........................................................
8
4. Weaver ants (Polyrhachis dive) yang disukai oleh Manis pentadactyla ..
9
5. Manis javanica memangsa semut dengan menggunakan cakar kaki .......
10
6. Posisi piring dalam pemberian pakan trenggiling untuk perlakuan pasangan .................................................................................................
20
7. Struktur Organisasi Pelaksana Aktivitas Penangkaran UD Multi Jaya Abadi ..............................................................................................
27
8. Habitat buatan di Penangkaran Trenggiling Sibolga ...............................
28
9. Kondisi kandang lokasi penangkaran di Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal ...................................................................................................
29
10a. Bentuk kandang permanen trenggiling di UD Multi Jaya Abadi .............
35
10b. Kandang semi permanen di UD Multi Jaya Abadi ..................................
35
11. Baskom besar untuk cover trenggiling ....................................................
37
12. Fluktuasi suhu di dalam kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi ....
41
13. Trenggiling sedang mengonsumsi ransum yang diberikan ......................
47
14. Trenggiling yang mati akibat infeksi luka (bangkai dibekukan)..............
52
15. Pembeda jenis kelamin (sex determination) pada trenggiling .................
55
16. Induk menggendong anak selama masa penyapihan ...............................
60
17. Tingkat konsumsi ransum trenggiling yang menunjukkan palatabilitas pakan dalam ransum yang diberikan .......................................................
70
18. Persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi per hari .........................................................................................
73
19. Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur (istirahat) trenggiling ..............................................................................................
75
20. Sebaran waktu aktivitas makan dan tidur (istirahat) trenggiling pada malam hari ..............................................................................................
75
21. Posisi tidur trenggiling (a) di dinding atas (dekat dengan atap kandang), (b) tertidur diatas air ...............................................................................
78 xv
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Konsumsi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada pengamatan pendahuluan............................................................................................
89
2. Penghitungan konsumsi ransum per perlakuan .......................................
90
3. Rekapitulasi konsumsi per tipe pemeliharaan .........................................
93
4. Uji untuk treatment berpasangan ............................................................
93
5. Uji anova untuk treatment per individu ...................................................
95
6. Analisis sidik ragam desain eksperimen faktorial ...................................
97
7. Pertambahan bobot badan trenggiling selama percobaan ........................
98
8. Manajemen penyakit dan kesehatan satwa ..............................................
99
9. Manajemen reproduksi dan breeding ......................................................
100
10. Suhu kandang di kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada bulan Agustus 2010 ..........................................................................................
101
11. Panduan wawancara kepada masyarakat ...............................................
102
12. Surat Keputusan Kegiatan Penangkaran ...............................................
103
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan hidupan liar sebagai sumber protein hewani dan obat-obatan telah dilakukan sejak dulu. Meskipun telah beralih menuju modernisasi, ternyata kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pengobatan dan penyembuhan yang berasal dari hidupan liar masih tetap dipertahankan, bahkan lebih meningkat dengan adanya proses teknologi modern. Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) adalah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat menjadi obat bagi penyakit tertentu oleh masyarakat Cina, terutama sisik dan dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat pedesaan di Kalimantan Timur (Zainuddin 2008). Trenggiling adalah satwa yang dilindungi oleh pemerintah (PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar), memiliki status Endangered (langka) menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red List dan masuk ke dalam Daftar Lampiran (Appendix) II CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna). Trenggiling dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan oleh management authority yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atas pertimbangan scientific authority, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Melihat perkembangan pemanfaatan yang kian meningkat terutama penangkapan dan perdagangan secara ilegal, Kang dan Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) menyebutkan ada wacana untuk merubah status trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa trenggiling semakin langka dan dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian, perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan menjadi indikasi bahwa permintaan pasar terhadap satwa ini terus meningkat sehingga suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan berkelanjutan. Penurunan populasi trenggiling di alam dapat disebabkan oleh perburuan liar yang belum dapat dikendalikan. Upaya penyelamatan trenggiling dan
2
pengelolaan populasi trenggiling secara in-situ sampai saat ini tercakup hanya dalam bentuk pengelolaan kawasan konservasi, sedangkan di luar kawasan konservasi sulit dilakukan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh degradasi habitat seperti adanya ladang ataupun perkebunan yang tidak memadai bagi trenggiling sehingga menjadikan ketersediaan pakan di alam terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pengembangan secara ex-situ melalui penangkaran dalam rangka penyelamatan dan konservasi satwa ini. Banyak aspek yang harus diketahui dalam kegiatan penangkaran terutama dalam menyejahterakan satwa. Aspek-aspek tersebut antara lain pengadaan bibit, seleksi bibit, adaptasi, pengelolaan pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit, reproduksi dan pembesaran anak, serta pemanenan dan pencatatan (studbook) setiap kelahiran. Aspek-aspek penangkaran tersebut sangat penting untuk diketahui, namun belum terlaksana sehingga diperlukan suatu kajian mengenai aspek pengelolaan penangkaran trenggiling. Hasil penelitian Pusat Penelitian
dan
Pengembangan
Kehutanan
oleh
Bismark
(2009)
juga
merekomendasikan bahwa perlu dilakukan suatu kajian mengenai teknik pemeliharaan, aktivitas harian, dan pengelolaan pakan satwa tersebut untuk meningkatkan keberhasilan usaha penangkaran trenggiling. Salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam kegiatan penangkaran adalah penyediaan pakan. Pakan yang diberikan di penangkaran harus sesuai dengan kebiasaan (habit) dan kebutuhan serta perilaku makan trenggiling baik kualitas maupun kuantitasnya. Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Krisna (2006) diketahui bahwa kebutuhan pakan trenggiling sebanyak 4937 kal/g berat kering dan 72,79 % protein kasar. Bahan pakan yang diberikan hanya berupa rayap sehingga belum dapat mewakili komposisi pakan trenggiling di habitatnya. Jenis pakan utama dan disukai (palatable) trenggiling di penangkaran belum dilaporkan sehingga diperlukan kajian khusus terhadap konsumsi dan palatabilitas disamping mengetahui aspek teknis penangkaran. Informasi mengenai aspek teknis penangkaran khususnya yang terkait dengan pengelolaan pakan belum banyak diketahui. Hal tersebut dikarenakan usaha penangkaran trenggiling masih terbatas sehingga penelitian mengenai
3
kebutuhan, tingkat konsumsi, dan palatabilitas pakan trenggiling di penangkaran ini penting dilakukan. UD Multi Jaya Abadi merupakan salah satu perusahaan yang telah melakukan usaha penangkaran trenggiling dan menjadi salah satu perintis dalam usaha penangkaran trenggiling sehingga penting dikaji praktek pengelolaan penangkaran yang dilakukannya. Selain kedua hal tersebut yakni aspek teknis penangkaran dan konsumsi ransum serta palatabilitasnya, aktivitas harian merupakan hal mendasar yang penting diketahui dalam mengelola satwaliar, terutama yang berkaitan dengan pakan dan perkandangan. Untuk itu, sangat diperlukan suatu kajian khusus mengenai aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi agar dalam pengelolaannya kesejahteraan (welfare) trenggiling tetap dapat dilakukan sesuai habit di alamnya. 1.2 Kerangka Pikir dan Tujuan Penelitian Secara umum diketahui ada lima tindakan (aspek teknis) pengelolaan (management) dalam kegiatan penangkaran yakni pengadaan bibit, perkandangan, pengelolaan pakan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, serta pengelolaan reproduksi (breeding). Kelima tindakan pengelolaan tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha penangkaran selama kegiatan pembesaran (rearing) dilakukan yang dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut, tiap-tiap tindakan manajemen memiliki hubungan saling keterkaitan yang menarik untuk dikaji dan diketahui. Sebagaimana diketahui bahwa pakan menjadi faktor penting yang menentukan efisiensi dan efektivitas pengelolaan trenggiling di penangkaran, maka diperlukan suatu pengamatan khusus terhadap konsumsi dan palatabilias pakan trenggiling di penangkaran. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui manajemen penangkaran trenggiling, (2) mengetahui tingkat konsumsi dan palatabilitas ransum, dan (3) mengetahui pola aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi.
4
Penangkaran
1. Pengelolaan Kandang 2. Pengelolaan Pakan 3. Pengelolaan kesehatan dan penyakit
Pengadaan Bibit
Alam
Pembesaran (rearing)
Reproduksi (Breeding) restocking Sosial Ekonomi Budaya
Gambar 1
Anak
Rangkaian tindakan pengelolaan (management) satwaliar dalam pembatasan data penelitian.
1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1) Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang trenggiling khususnya yang berkaitan dengan pakan, aktivitas harian dan teknik penangkaran trenggiling. 2) Dapat digunakan sebagai acuan praktis dalam pengembangan penangkaran trenggiling, sehingga secara bertahap dapat mengurangi pemanfaatan trenggiling dengan penangkapan secara langsung dari alam. 3) Bagi UD Multi Jaya Abadi, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan pengelolaan penangkarannya, sehingga diharapkan menjadi lebih berhasil. 4) Diketahuinya teknik pelestarian trenggiling secara ex-situ.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Trenggiling 2.1.1 Taksonomi dan Kekerabatan Trenggiling adalah satwa dengan klasifikasi; Kingdom: animalia; Filum: Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Sebagai salah satu mamalia yang hidup di hutan tropis, trenggiling tergolong unik diantara mamalia lainnya (Ruhyana 2007). Secara fisik keunikan tersebut ditunjukkan dengan keberadaan sisik yang menutupi seluruh tubuhnya (Gambar 2), tidak memiliki gigi, dan memiliki sistem pertahanan yang baik dengan cara menggulungkan tubuhnya ketika bahaya mengancam.
Gambar 2 Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010).
Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus). Akan tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001) dan memiliki bentuk tubuh yang hampir menyerupai satu dengan lainnya. Beberapa ahli Paleontology mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah. Trenggiling dapat dikatakan memiliki kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan dalam adaptasi hidupnya,
6
terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya menggunakan lidahnya. Melihat dari pola pencarian pakan dan jenis pakan yang digunakan yaitu semut, trenggiling dapat dikatakan dekat dengan mamalia Myrmecophagidae dari hutan tropis di dataran tinggi timur Brazil. Giant anteater atau trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla Linnaeus, 1758) merupakan mamalia pemakan semut yang memiliki kecepatan memangsa semut 30,8 detik atau sebanyak 0,6 ekor semut per menit dengan kemampuan jelajah rata-rata 1-2 km (Shaw et al. 1985). Trenggiling di dunia terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (Manis tricuspis, Manis tetradactyla, Manis gigantea dan Manis temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (Manis javanica, Manis crassicaudata dan Manis pentadactyla) dan di Indonesia hanya terdapat satu spesies yakni Manis javanica (Rahm 1990). Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) terdapat satu spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis. Sebelumnya spesies ini dianggap sebagai spesies Manis javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan beberapa perbedaan dengan Manis javanica. Keanekaragaman trenggiling bukan hanya terlihat dari spesiesnya yang cukup banyak melainkan juga terlihat dari jumlah sub spesies yang beragam. Selain Manis javanica ternyata masih terdapat beberapa sub spesies trenggiling dari spesies Manis pentadactyla, Manis tetradactyla, dan Manis tricuspis yakni 1) M.
pentadactyla
aurita, M.
pentadactyla
dalmanni, M.
pentadactyla
pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla; 2) M. tetradactyla longicaudus; 3) M. tricuspis tricuspis (Tree Pangolin) (Alamendah 2009). 2.1.2 Morfologi dan Anatomi Trenggiling
merupakan
satwa
sexual
dimorphism.
Berdasarkan
penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998). Tubuh jantan berukuran lebih besar dibandingkan trenggiling betina. Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif. Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang dengan baik sehingga makanan yang masuk ke dalam mulutnya akan langsung ditelan dan dicerna di dalam lambung. Selain itu,
7
tulang lidahnya (os hyoideus) yang berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus pada karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan (Cahyono 2008). Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya, mencapai 56 cm (Attenborough dalam Ruhyana 2007) dan dapat menjulur hingga 25 cm (Breen 2003). Karena tidak memiliki gigi, diduga trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan tertentu sehingga menarik untuk diteliti. Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih pakan di habitatnya (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari (2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin. 2.1.3 Habitat dan Penyebaran Trenggiling hidup di berbagai habitat seperti di hutan primer, hutan sekunder, bahkan di areal perkebunan seperti perkebunan karet dan di daerahdaerah terbuka (Foenander 1953; Lekagul dan McNeely 1977; Zon 1977; Bain dan Humphrey 1982; Davies dan Payne 1982). Di Indonesia trenggiling tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar 2007). Selain itu trenggiling juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan biasanya menempati sarang selama beberapa bulan saja. Trenggiling memiliki kekerabatan dekat dengan trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla) sehingga diduga pola daerah jelajah trenggiling menyerupai daerah jelajah trenggiling raksasa. Menurut Medri dan Mourão (2005), trenggiling raksasa (giant anteater) betina memiliki wilayah yang lebih luas dari pada jantan. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari pengamatan sarang trenggiling yang berada di atas pohon, di lubang-lubang yang
8
berada di bagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Trenggiling juga seringkali ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lain dan pintu masuk ke lubang sarang selalu tertutup (Lim dan Ng 2008). 2.1.4 Aktivitas Harian dan Perilaku Trenggiling termasuk satwa nocturnal yakni aktif mencari makan pada malam hari. Umumnya ditemukan hidup soliter (sendiri), meskipun kadangkala ditemukan hidup berpasangan (Medway 1969). Trenggiling tidak banyak melakukan aktivitas pada siang hari. Biasanya, pergerakan mereka sangat perlahan kecuali jika dalam keadaan terancam dan dapat bergerak cepat dengan bantuan ekornya dan membentuk bola untuk melindungi tubuh. Ekor tersebut juga digunakan untuk membantu memanjat pohon (Heath 1992) (Gambar 3). Sebagai satwa yang aktif pada malam hari, maka trenggiling biasanya tidur sepanjang hari dalam lubang-lubang yang dibuat sendiri di tanah atau berada pada cabang dan batang di atas pohon, dan pada malam hari mulai keluar dari lubangnya untuk mencari mangsanya berupa semut atau rayap (Breen 2003).
Gambar 3 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksdabali.go.id/?p=386).
Trenggiling dapat berjalan dengan cepat, terkadang terlihat mengangkat kedua kaki depannya yang bertumpu pada kaki belakang untuk membaui sesuatu
9
di udara. trenggiling juga diketahui dapat berenang, memiliki kebiasaan memanjat yang baik dengan menggunakan kaki dan ekornya untuk berpegangan pada kulit dan cabang pohon. Seluruh aktivitas dan perilaku trenggiling di habitatnya mengarahkan pada aktivitas mencari makan sedangkan aktivitas makan dilakukan agar trenggiling mampu berkembang biak (reproduksi dan breeding) (Dickman dan Richer 2001). (a) Perilaku Makan Ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan populasi satwa dan habitatnya penyebarannya (Borror et al. 1992). Pakan utama trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera) dan semut merah tanah diketahui adalah pakan yang disukai (Heryatin 1983 dalam Sari 2007). Sementara itu, pada trenggiling China (Manis pentadactyla) jenis rayap yang disukai adalah rayap tanah (Coptotermes formosanus), rayap kayu kering (Macrotermes barneyi), dan weaver ants (Polyrhachis dive) (Wu et. al 2005) yang terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Weaver ants (Polyrhachis dive) yang disukai oleh Manis pentadactyla (sumber:http://www.discoverlife.org/20/q?search=Polyrhachis+dives [20 April 2011]). Trenggiling diketahui sangat kuat dalam menggali lubang terutama untuk mendapatkan semut dan rayap dengan menggunakan indera penciumannya. Sebelum menemukan mangsa, trenggiling biasanya membaui daerah yang diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa kemudian menggali sarang yang ada di bawah permukaan tanah maupun di atas pohon dengan menggunakan cakar dari kaki depan hingga semut dan rayap keluar (Gambar 5). Lidah trenggiling bersiap
10
untuk menangkap mangsanya dengan bantuan lendir yang ada pada lidah (Rahm 1990; Nowak 1999). Selain itu, dengan perilaku ini juga menunjukkan bahwa trenggiling dapat membantu dalam aerasi tanah (Heath 1992). Perilaku minum pada trenggiling tidak jauh berbeda dengan cara memperoleh mangsanya. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Menurut Nisa (2005) makanan yang dicerna di dalam lambung sepenuhnya dilakukan hingga menjadi halus dengan bantuan kerikil atau butiran pasir yang tertelan.
Gambar 5 Manis javanica memangsa semut dengan menggunakan cakar kaki (sumber: http://www.savepangolins.org/what-is-a-pangolin/). Ditambah lagi, ternyata trenggiling China (Manis pentadactyla) diketahui memiliki perilaku mencari makan yang dikategorikan ke dalam enam kategori yakni
berjalan
(walking),
mencari
(searching),
berjalan/mencari
(walking/searching), menggali (digging), makan (feeding) dan jeda (pause). Tempat-tempat mencari makan berada di sekitar rumput, pohon-pohon dan semak-semak, di bawah serasah, di pohon atau ranting dan cabang yang jatuh, tunggul mati, dan dalam sarang rayap (Wu et. al 2005). (b) Perilaku Reproduksi dan Breeding Sistem perkawinan pada trenggiling adalah poligamus yang terjadi pada betina (poliandri). Trenggiling jantan tidak memiliki peluang yang besar dalam mengawini banyak betina. Antar jantan biasanya sering terjadi persaingan untuk
11
mendapatkan betina, bahkan tak jarang ada jantan yang tidak bisa kawin. Hal ini menjadikan betina memiliki peluang besar untuk berpoligini (Medway 1969). Trenggiling diperkirakan berkembangbiak pada musim gugur atau musim kemarau dan melahirkan di musim hujan atau musim semi. Tidak banyak informasi reproduksi yang dapat dilaporkan. Lama kebuntingan rata-rata 130 hari atau sekitar 4 bulan. Jumlah anak yang dilahirkan umumnya satu ekor. Berat lahir anak bisa mencapai 100-500 gram. Masa sapih anak sekitar 3 bulan dan kematangan seksual dicapai pada saat anak berumur satu tahun. Induk trenggiling diperkirakan dapat bereproduksi sepanjang tahun (Nowak 1999). 2.2 Nilai Ekonomi Trenggiling, Ekologi, dan Sosial Budaya Trenggiling memiliki nilai yang cukup tinggi baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling dapat dijadikan sebagai pengendali hama ulat dan serangga di pohon karena merupakan satwa insektivora pemakan semut, rayap atau serangga lainnya. Sebagai satwa pemakan serangga, trenggiling bermanfaat untuk penggemburan tanah karena dalam mencari mangsa, trenggiling menggali atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik atas bantuan dari aktivitas makan trenggiling (Heath 1992). Menurut Mondadori (1988) dalam Farida (2010), biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau trenggiling memangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang kecil lainnya di dalam pohon sejenis rayap yang dapat membuat batang pohon mudah rapuh atau keropos. Keberadaan trenggiling ini secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis pepohonan yang ada di hutan Riau. Trenggiling juga termasuk satwa yang memiliki potensi ekonomi tinggi karena
banyak
diperdagangkan.
Secara
ekonomi,
trenggiling
termasuk
sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional.
12
Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa negara. Soewu dan Ayodele (2009), trenggiling di Nigeria digunakan untuk mengobati total 42 jenis penyakit termasuk infertilitas, gangguan gastro-usus, gangguan nifas, radang perut, rematik dan fibroid. Selain itu, trenggiling di Nigeria juga digunakan secara tradisional sebagai bahan yang dipercaya dapat meningkatkan penjualan, kepercayaan gaib, menghapus nasib buruk, meredam kekuatan-kekuatan jahat dan money ritual. Kulit atau jangat trenggiling dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan barang-barang yang berasal dari kulit seperti tas, sepatu, dan sebagainya. Disamping itu, sisik dan bagian tubuh trenggiling yang dibuat dalam bentuk bubuk dapat digunakan sebagai anti afrodisiak. Trenggiling merupakan satwa yang juga digunakan sebagai local folk-law rituals atau satwa yang digunakan dalam sebuah tradisi upacara adat masyarakat lokal tertentu (NHM tanpa tahun). Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat (Soehartono dan Mardiastuti 2003) sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar Internasional mencapai USD 600 (Hertanto 2010). Namun menurut Martin dan Phipps (1996), harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan juta. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa daging seekor trenggiling hidup tanpa kulit dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal. Menurut Zainuddin (2008), di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-. 2.3 Kegiatan Penangkaran Kegiatan penangkaran merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam konservasi eks-situ satwaliar. Dari berbagai definisi yang diperoleh diketahui
13
bahwa penangkaran adalah suatu usaha atau kegiatan mengembangbiakkan jenisjenis satwaliar yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya di luar habitat alaminya. Usaha penangkaran trenggiling diketahui belum banyak dilaporkan sehingga
data dan informasi mengenai teknis penangkaran satwa ini belum
banyak diketahui. Namun ada yang menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup dengan kuat dan baik. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999). Aspek teknis penangkaran meliputi seleksi bibit, adaptasi, perawatan kesehatan dan penyakit, penyediaan pakan, perkembangbiakan dan pembesaran, serta pengadaan sarana dan prasarana. Pengadaan bibit adalah suatu tindakan menyeleksi dan memperoleh bibit yang dapat dikembangbiakkan dengan baik di suatu areal penangkaran atau pusat rehabilitasi. Pengadaan bibit satwa di penangkaran bertujuan untuk memperoleh hasil satwa yang diinginkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya yang dapat dikembangkan di penangkaran. Menurut Pujananto dan Syukur (2006) kegiatan pengadaan bibit merupakan tindakan penyeleksian satwa dengan memberikan kriteria dan persyaratan tertentu pada satwa yang akan dikembangbiakkan. Kriteria tersebut dapat meliputi penetapan satwa untuk kebutuhan induk dan satwa untuk kebutuhan pemeliharaan yang mudah beradaptasi dengan sumber pakan yang tersedia menurut hasil perkembangbiakan. Keberhasilan suatu organisasi baik organisasi kecil maupun organisasi besar ditentukan bukan hanya oleh sumberdaya alam yang tersedia melainkan banyak ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang berperan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan organisasi yang bersangkutan (Manullang 1990). Keberhasilan penangkaran trenggiling di UD Multi Jaya Abadi sebagian besar ditentukan oleh jumlah dan kualitas tenaga kerja. Pemenuhan akan jumlah dan kualitas tenaga kerja tersebut sebelum dilakukan atau terbentuknya usaha penangkaran merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan secara umum operasional di penangkaran ditangani oleh tenaga kerja, baik tenaga kerja ahli maupun tenaga kerja komplementer.
14
2.4 Pengembangan Pakan Trenggiling di Penangkaran Selain semut, di penangkaran trenggiling juga diketahui mengonsumsi kroto (Oecophylla smaragdina). Kroto biasa diartikan sebagai campuran pupa dan larva semut rangrang yang dijual atau dimanfaatkan sebagai pakan burung berkicau dan umpan memancing. Kandungan protein kroto basah (telur dan larva semut rangrang) tergolong tinggi yakni mencapai 47,8% (Paimin dan Paimin 2002 dalam Sari 2005). Aspek pengadaan pakan merupakan faktor pembatas dalam kegiatan penangkaran. Menurut Thohari (1987) faktor makanan merupakan pemegang peranan kunci dalam suatu usaha penangkaran. Usaha penangkaran memerlukan biaya penyediaan pakan sekitar 75% dari total biaya produksi. Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi diberi pakan berupa telur semut atau kroto yang dicampur dengan dedak dan tepung jagung. Satu ekor trenggiling dewasa menghabiskan sebanyak 1 Kg per hari dengan harga pakan Rp 20.000,- sampai Rp 40.000,-. Pakan tidak langsung yang diberikan berupa semangka dan berbagai jenis buahbuahan lain yang dapat mendatangkan semut merah sehingga dapat dimakan langsung oleh trenggiling seperti di habitat alaminya (Bismark 2009). Banyak para penangkar trenggiling yang tidak dapat melakukan penangkaran satwa ini dengan baik karena trenggiling sulit beradaptasi terhadap jenis pakan yang tersedia di penangkaran sehingga pengelolaan trenggiling di penangkaran sulit dipertahankan (Yang et al. 2007).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Penangkaran Trenggiling UD Multi Jaya Abadi di Medan, Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama adalah pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Agustus hingga September 2010. Tahap kedua dilakukan pada bulan November 2010 – Februari 2011 untuk melengkapi data sekunder dan analisis data lapangan. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tempat pakan berupa piring plastik sebanyak 32 buah, tempat air minum berupa baskom kecil sebanyak 8 buah, kertas label, plastik, thermo-hygrometer, pita ukur, timbangan (pegas dan dudukan), kamera digital, kalkulator, panduan wawancara, dan alat tulis menulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah trenggiling sebanyak 8 (delapan) ekor dan pakan trenggiling yaitu kroto dan dedak yang dicampur dengan tepung jagung. 3.3 Jenis Data dan Informasi yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: 1. Aspek teknis penangkaran meliputi: a) Kandang dan/atau habitat buatan (jenis, konstruksi, jumlah dan ukuran, peralatan dan perlengkapan dalam kandang, suhu, kelembaban, daya tampung kandang, dan perawatan kandang). b) Pakan meliputi jenis pakan (sesuai umur, berat tubuh atau kondisi kesehatan), sumber pakan, jumlah pemberian pakan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan (dalam keadaan segar). c) Perawatan kesehatan dan penyakit meliputi jenis penyakit pada masingmasing umur trenggiling, bentuk pencegahan, upaya pengobatan, dan alat yang digunakan untuk mengobati dan mencegah penyakit.
16
d) Reproduksi dan breeding meliputi musim kawin di penangkaran, sex ratio yang digunakan, perilaku reproduksi, jumlah anak per kelahiran, kondisi anak saat lahir, dan perlakuan yang diberikan terhadap anak. e) Adaptasi trenggiling di penangkaran meliputi teknik/cara adaptasi dan lama waktu adaptasi. 2. Tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan meliputi jenis pakan yang diberikan, bentuk pakan, dan komposisi pakan yang diberikan setiap hari. 3. Aktivitas harian trenggiling di dalam kandang dan/atau habitat buatan meliputi aktivitas bergerak (berjalan, makan, minum), istirahat, defekasi dan urinasi, aktivitas sosial. Adapun data sekunder meliputi kondisi lokasi penangkaran, sejarah dan dasar hukum pelaksanaan kegiatan penangkaran UD Multi Jaya Abadi, jumlah tenaga kerja dan data mengenai penduduk setempat yang dapat mempengaruhi kegiatan penangkaran. 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Studi Pustaka dan Wawancara Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui berbagai informasi yang terkait dengan aspek-aspek penangkaran satwa. Studi pustaka juga dilakukan untuk mempertajam dan memperkuat analisis terhadap hasil-hasil penelitian. Dalam studi pustaka juga dilakukan penelusuran informasi mengenai kebutuhan pakan trenggiling baik kebutuhan untuk energi metabolis maupun protein kasar, palatabilitas pakan, dan aktivitas harian. Wawancara dilakukan kepada pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi di Medan terutama animal keeper. Wawancara juga dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar penangkaran UD Multi Jaya Abadi sebanyak 10 orang masyarakat untuk mengetahui penilaian mereka terhadap keberadaan penangkaran. Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara berupa daftar pertanyaan mengenai dampak positif (sisi ekonomi dan kenyamanan) dan dampak negatif (limbah/sampah dan bau) dari kegiatan penangkaran (Lampiran 11). Wawancara dilakukan secara mendalam, santai, terbuka dan tidak kaku.
17
3.4.2 Observasi Lapang Observasi lapang dilakukan secara langsung di lokasi penangkaran trenggiling. Ada tiga kelompok data dan informasi yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi lapang. Ketiga data dan informasi tersebut terdiri dari (a) aspek-aspek teknis penangkaran, (b) tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan, dan (c) aktivitas harian trenggiling di penangkaran. a. Data Aspek Teknis Penangkaran Data dan informasi mengenai teknis penangkaran diperoleh dengan cara mengamati setiap trenggiling di dalam kandang dan aktivitas pengelolaannya oleh animal keeper. Disamping mengamati, informasi mengenai tekns penangkaran juga dilakukan dengan wawancara terhadap animal keeper selama penelitian. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi perkandangan, pengelolaan pakan di penangkaran, manajemen kesehatan dan penyakit, manajemen reproduksi dan breeding, dan adaptasi trenggiling di penangkaran. Data mengenai kandang atau habitat buatan trenggiling dilakukan dengan cara mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang. Selain itu dilakukan pengukuran terhadap suhu dan kelembaban di dalam kandang pada pagi hari (08.00), siang (13.00), sore hari (17.30), dan malam hari (22.30) dengan menggantungkan thermo-hygrometer di areal yang diukur. Informasi mengenai jenis kandang, konstruksi, dan daya tampung kandang serta perawatan kandang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan animal keeper. Demikian juga untuk data dan informasi mengenai pengelolaan pakan, manajemen kesehatan dan penyakit, serta manajemen reproduksi dan breeding dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lokasi dan wawancara dengan animal keeper, termasuk mengenai daya adaptasi trenggiling di penangkaran. Disamping pengamatan secara langsung dan wawancara dengan animal keeper, perolehan data juga dilakukan dengan penelusuran dokumen-dokumen mengenai kegiatan penangkaran di UD Multi Jaya Abadi karena merupakan salah satu bagian dari system recording di penangkaran.
18
b. Data Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan 1) Tingkat Konsumsi Pakan Data dan informasi mengenai tingkat konsumsi pakan diperoleh melalui pengamatan secara langsung pada setiap trenggiling di penangkaran. Untuk mengetahui besarnya tingkat konsumsi trenggiling dilakukan melalui studi pendahuluan. Hal ini disebabkan oleh jenis pakan di dalam ransum yang diberikan harus memiliki berat yang sama untuk mempermudah konversi pakan. Kondisi ini disesuaikan dengan berat ransum yang diberikan pengelola. Disamping itu, mengingat bahwa pakan trenggiling merupakan faktor penting dalam penangkaran, besarnya konsumsi per ekor trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi menjadi dasar rancangan percobaan yang terkait dengan aspek ekonomi penangkaran. Pengamatan pendahuluan dilakukan selama lima hari dengan jumlah trenggiling percobaan sebanyak 10 ekor. Rataan konsumsi pakan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi sebelum dilakukan treatment terdapat dalam Tabel 1. Tabel 1 Rataan konsumsi pakan trenggiling pada pengamatan pendahuluan di Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Objek Pengamatan T1 T2
Rata-rata Konsumsi (g/hari *)
T3
128
T4
71
T5
59 141
T6 T7 T8 T9 T10 Jumlah
119 62
123 149 137 112 1101
Rata-rata
110.1 *) Pengukuran dilakukan selama lima hari pemberian pakan dengan jumlah pemberian 200 g/ekor/hari.
Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan (Tabel 1) diketahui ratarata konsumsi trenggiling di penangkaran 110 g/ekor/hari atau berkisar antara 62−149 g/ekor/hari. Berdasarkan data tersebut, ransum yang diberikan dalam
19
percobaan ditetapkan 150 g/ekor/hari. Jumlah ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut adalah batas maksimal ransum yang dikonsumsi disamping juga mengingat ketersediaan kroto yang mahal dan terbatas, strategi ini diasumsikan tepat agar efisiensi dan efektivitas pakan yang diberikan dapat tercapai dan memenuhi kebutuhan trenggiling. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua perlakuan masing-masing memiliki dua taraf. Kedua perlakuan tersebut adalah tipe pemeliharaan dan jenis/macam ransum. Tipe pemeliharaan memiliki dua taraf yakni kandang individual (satu ekor) dan kandang berpasangan (dua ekor) sedangkan macam/jenis ransum terdiri dari ransum P1 (kandungan kroto 50 g, dedak 100 g) dan P2 (kandungan kroto 80 g, dedak 70 g). Berikut rancangan percobaan dengan perlakuan (t) = 2 dan ulangan (r) = 6 dalam masing-masing kandang: K1 P1 P2
K2 P1 P2
I1 P1 P2
I2 P1 P2
I3 P1 P2
I4 P1 P2
Ket: P1= ransum dengan komposisi kroto 50g; P2= ransum dengan komposisi kroto 80g; K1= kandang perlakuan ke-1; K2= kandang perlakuan ke-2; I1= kandang perlakuan individu ke-1; I2= perlakuan individu ke-2; I3= perlakuan individu ke-3; I4= perlakuan individu ke-4.
Kedua jenis perlakuan (P1 dan P2) diberikan setiap hari pada pukul 19.00 WIB pada masing-masing tipe pemeliharaan baik kandang berpasangan maupun kandang individu. Ransum P1 dan P2 disajikan secara prasmanan di dalam piring-piring plastik yang ada di penangkaran. Di dalam kandang, ransum diletakkan berjauhan dari tempat aktivitas memanjat trenggiling. Keesokan harinya ransum sisa yang terdapat di dalam masing-masing piring pada hari sebelumnya ditimbang untuk mengetahui jumlah konsumsi ransum tersebut. Posisi piring dalam pemberian pakan dalam kandang individu (I1, I2, I3, dan I4) dapat diletakkan dimana saja. Untuk perlakuan berpasangan, posisi piring pakan yang diberikan dibedakan mengingat bahwa dengan adanya dua individu dalam satu pengamatan, bias yang diperoleh mungkin akan jauh lebih besar. Oleh karena itu, untuk memudahkan mengetahui besarnya pakan yang
20
dikonsumsi oleh masing-masing individu, pemberian pakan harus dipisahkan. Adapun posisi piring tersebut dapat dilihat dalam Gambar 6:
Ket:
P1
P1
♂
♀
P2
P2
♂
♀
P1 ♂: Pakan P1 (komposisi kroto 50 g) untuk ♂ P2 ♂: Pakan P2 (komposisi kroto 80 g) untuk ♂ P1 ♀: Pakan P1 (komposisi kroto 50 g) untuk ♀ P2 ♀: Pakan P2 (komposisi kroto 80 g) untuk ♀
Gambar 6 Posisi piring dalam pemberian pakan trenggiling untuk perlakuan pasangan. Pada Gambar 6 di atas, posisi piring dalam pemberian pakan diatur sedemikian rupa setelah peletakan tempat minum. Pemisahan pakan untuk jantan dan betina dilakukan untuk mengatasi adanya kemungkinan intervensi terhadap pakan dari jantan ke betina atau dari betina ke jantan sehingga diperlukan upaya pengawasan lebih dalam pemberian pakan untuk perlakuan ini. Disamping itu, pemisahan dilakukan agar pengamatan palatabilitas terhadap ransum P1 dan P2 yang diberikan di dalam kandang berpasangan mudah dilakukan. 2) Palatabilitas Pakan Data dan informasi mengenai palatabilitas diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan pengukuran terhadap besarnya konsumsi pakan dari masing-masing trenggiling dengan metode cafetaria. Dalam hal ini, palatabilitas ditentukan berdasarkan banyaknya ransum yang dikonsumsi, bukan jenis pakan (kroto atau dedak). Pengamatan dilakukan selama 13 hari untuk memperoleh nilai konsumsi yang diukur dari selisih berat ransum awal dengan berat ransum sisa. Selanjutnya dihitung tingkat konsumsi ransum dengan menggunakan persentase perbandingan antara konsumsi dengan berat ransum awal. Tingkat konsumsi ransum tertinggi pada setiap trenggiling yang diamati dinyatakan sebagai pakan yang disukai oleh trenggiling.
21
c. Data aktivitas harian trenggiling di penangkaran Pengamatan aktivitas harian trenggiling di penangkaran dilakukan dengan metode focal animal sampling dan scan sampling yang biasa digunakan dalam pengamatan aktivitas dan perilaku satwa menurut frekuensi waktu tertentu (Altmann 1974). Pengamatan dilakukan per 5 menit selama tiga hari untuk masing-masing unit kandang (kandang berpasangan dan kandang individu). Total unit kandang yang diamati sebanyak 6 unit kandang. Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00−18.00 WIB dan dilanjutkan pada pukul 18.00−24.00 WIB. Seluruh trenggiling yang ada di dalam kandang diasumsikan dapat teramati pada waktu tersebut. 3.5 Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil observasi dianalisis berdasarkan jenis dan klasifikasi data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan tersebut terbagi dalam kelompok, yakni (a) aspek teknis penangkaran, (b) tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan, dan (c) aktivitas harian trenggiling di penangkaran. 3.5.1 Aspek Teknis Penangkaran Data dan fakta mengenai pengadaan bibit dan perkandangan disajikan secara naratif kualitatif sedangkan data dan informasi mengenai perawatan kesehatan dan penyakit termasuk teknik reproduksi trenggiling di penangkaran disajikan secara naratif deskriptif dan naratif kualitatif yang ditunjang dengan bagan-bagan, tabel, dan gambar. 3.5.2 Tingkat Konsumsi dan Palatabilitas Pakan 1. Tingkat konsumsi pakan Untuk mendapatkan besaran konsumsi, data dilakukan analisis secara kuantitatif. Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh masing-masing trenggiling per hari dihitung rata-ratanya selama pengamatan dan dihitung selisih antara sebelum dan sesudah pemberian pakan. Besaran konsumsi setiap jenis pakan dihitung dengan cara sebagai berikut: -
; BK0 adalah berat kering pakan mula-mula, BK1 adalah berat
kering pakan sisa.
22
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial digunakan untuk mengetahui beda nyata antara faktor macam/jenis ransum (P1 dan P2) yang diberikan terhadap konsumsi dan pengaruh faktor tipe pemeliharaan (kandang individu dan kandang berpasangan) terhadap konsumsi maupun interaksi antara kedua faktor. Interaksi dapat dikatakan sebagai bentuk hubungan yang timbul antara dua tipe pemeliharaan yang dianggap sebagai variabel respon yang berbeda pada masing-masing jenis ransum yang diberikan (Sudjana 1991). Adapun desain eksperimen tersebut berupa desain eksperimen faktorial dengan dua buah faktor, faktor pertama terdapat dua taraf dan faktor ke-2 juga memiliki dua taraf. Desainnya menjadi desain faktorial 2
2 atau eksperimen
faktorial 22. Rancangan analisis data konsumsi disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Skema peletakan analisis data penelitian Tipe pemeliharaan
Ulangan
Kandang berpasangan (a)
1 2 Jumlah Rata-rata a b Kandang individu (b) c d Jumlah Rata-rata Jumlah besar Rata-rata besar
Jenis perlakuan P1 Ya11 Ya12 Ja1n Ỹa1n Yb1a Yb1b Yb1c Yb1d Jb1n Ỹb1n Jab1n Ỹab1n
P2 Ya21 Ya22 Ja2n Ỹa2n Yb2a Yb2b Yb2c Yb2d Jb2n Ỹb2n Jab2n Ỹab2n
Jumlah
Rata-rata
Ja12 Ỹa12
Jb12 Ỹb12 Jab12 Ỹab12
Model linear yang digunakan untuk desain faktorial 2
2 atau
eksperimen faktorial 22 adalah:
Ket: i = kandang berpasangan, kandang individu j = ransum P1, ransum P2 = pengamatan pada pengaruh perlakuan ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama tipe pemeliharaan ke-i dan efek pemberian ransum ke-j. = rataan umum pada pengamatan. = efek berbagai jenis tipe pemeliharaan. = efek berbagai jenis pemberian ransum. = efek interaksi antara tipe pemeliharaan dengan berbagai jenis ransum.
23
= efek unit eksperimen ke-k dalam kombinasi antara jenis tipe pemeliharaan dan jenis pemberian ransum. Tabel 3 Daftar analisis sidik ragam eksperimen faktorial a x b Sumber Keragaman
Derajat bebas
JK
KT
Fhitung
Rata-rata Perlakuan
1
Ry
R
A
a-1
Ay
A
A/E
B AB Galat
b-1 (a-1) (b-1) ab (n-1)
By ABy Ey
B AB E
B/E AB/E
Total
abn
ΣY2
-
-
Analisis sidik ragam dari tabel 4 dilakukan dengan menggunakan Model Tetap atau Model I karena semua faktor dan taraf yang ada digunakan seluruhnya dalam eksperimen (Sudjana 1991). Hipotesis nol yang harus diuji dalam eksperimen ini adalah sebagai berikut: H01 : Ai
= 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu)
H02 : Bj
= 0 ; (j = ransum P1, ransum P2)
H03 : ABij = 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu dan j = ransum P1, ransum P2) Hipotesis alternatifnya adalah : H11 : Ai
≠ 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu)
H12 : Bj
≠ 0 ; (j = ransum P1, ransum P2)
H13 : ABij ≠ 0 ; (i = kandang berpasangan, kandang individu dan j = ransum P1, ransum P2) Daerah kritis pengujian hipotesis ini ditentukan oleh: Fα(a-1, ab(n-1)) ; untuk H01, Fα(b-1, ab(n-1)) ; untuk H02, dan Fα((a-1)(b-1), ab(n-1)) ; untuk H03. Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa Fα (Fhitung) > Ftabel maka tolak H0 dan terima H1. Jika H0 ditolak maka dalam pengujian ini berarti terdapat pengaruh atau efek yang ditimbulkan oleh faktor pemeliharaan, faktor pemberian pakan, atau faktor interaksi antara pemeliharaan dan pemberian pakan.
24
2. Palatabilitas pakan Palatabilitas pakan diketahui dengan melihat jenis pakan yang disukai berdasarkan bentuk dan komposisi pakan yang diberikan. Untuk mengetahui komposisi pakan yang diberikan, masing-masing jenis pakan dalam berbagai bentuk diambil sampelnya dan dilakukan analisis proximat. Analisis proximat ini dilakukan untuk mengetahui kandungan nilai gizi sebelum menentukan persentase kebutuhan pakan dan menyusun ransum sesuai kebutuhan energi yang diperlukan. Tingkat palatabilitas merupakan tingkat konsumsi masing-masing jenis ransum sedangkan untuk menghitung besarnya tingkat konsumsi adalah dengan rumusan sebagai berikut:
Keterangan: K
: Konsumsi pakan trenggiling dalam keadaan kering (g)
BK0
: Berat kering pakan sebelum diberikan (g)
BK1
: Berat kering pakan setelah diberikan (pakan sisa) (g)
TK
: Tingkat Konsumsi kering pakan (%)
Untuk mengetahui perbedaan tingkat palatabilitas pada tiap-tiap jenis ransum, maka dilakukan uji t: Hipotesa: H0: μ1= μ2
; H1: μ1≠ μ2, dengan μ1= tingkat palatabilitas ransum
1 dan μ2= tingkat palatabilitas ransum 2.
Untuk ragamnya dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
Keterangan: = tingkat konsumsi ransum 1 = tingkat konsumsi ransum 2 = ragam contoh ransum 1
25
= ragam contoh ransum 2 = jumlah pengamatan ransum 1 = jumlah pengamatan ransum 2 Jika thitung ≠ ttabel maka terima H1, berarti tingkat palatabilitas ransum 1 berbeda nyata dengan palatabilitas ransum 2. 3.5.3 Aktivitas Harian Trenggiling di Penangkaran Data hasil pengamatan aktivitas trenggiling di dalam kandang dianalisis secara naratif deskriptif dalam bentuk persentase untuk menjelaskan secara rinci mengenai
aktivitas
yang
dilakukan.
Untuk
mempermudah
dalam
penginterpretasian data maka data disajikan dalam bentuk gambar atau grafik.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENANGKARAN 4.1 Sejarah Penangkaran Penangkaran UD Multi Jaya Abadi terletak di Jalan Gerogol Dusun XI, Desa Purwodadi, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak diantara 2°57’− 3°16’ Lintang Utara dan antara 98°33’ − 99°27’ Bujur Timur. Penangkaran UD Multi Jaya Abadi mulai dioperasikan/dibuka pada bulan Maret 2007 di Sibolga, Sumatera Utara. Berdirinya penangkaran ini dan dilakukannya kegiatan penangkaran bermula dari adanya keinginan untuk melindungi satwa ini dari kegiatan perdagangan liar satwa langka, khususnya trenggiling (Manis javanica). Adanya kebiasaan masyarakat setempat (Sibolga) memburu trenggiling secara illegal menggunakan jerat berpaku mengakibatkan luka di tubuh trenggiling yang tertangkap sulit disembuhkan. Hal ini menjadi perhatian UD Multi Jaya Abadi untuk mengumpulkan trenggiling yang terlantar tersebut dan memintanya beberapa ekor dari masyarakat setempat untuk dipelihara. Selanjutnya dari kegiatan pengumpulan trenggiling ini, diarahkan untuk dijadikan sebuah penangkaran dengan rekomendasi legal dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara. Surat keputusan yang menandakan bahwa kegiatan penangkaran ini legal dilakukan adalah Surat Keputusan dari Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Nomor: 114/ IV/ SET-3/ 2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Pemberian Izin Usaha Penangkaran Trenggiling (Manis javanica) yang dilindungi undang-undang kepada UD Multi Jaya Abadi. Kegiatan penangkaran pada awalnya berada di Sibolga (Lampiran 12). 4.2 Manajemen Penangkaran UD Multi Jaya Abadi Pengelolaan penangkaran secara umum berada di bawah naungan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA), Kementerian Kehutanan. Penangkaran UD Multi Jaya Abadi merupakan penangkaran trenggiling (Manis javanica) yang dikelola oleh swasta. Meskipun demikian, pertanggungjawaban
27
seluruh kegiatan penangkaran dilaporkan kepada BBKSDA Sumatera Utara. Struktur organisasi pengelola penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi disajikan pada Gambar 7. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara
Direktur UD. Multi Jaya Abadi
Tenaga Medis
Animal Keeper
Tenaga Harian
Gambar 7 Struktur organisasi pelaksana aktivitas penangkaran UD Multi Jaya Abadi. Tenaga kerja yang dipekerjakan di penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi Jalan Gerogol hanya berjumlah dua orang. Satu orang merupakan tenaga kerja utama yang melakukan kegiatan pemeliharaan secara keseluruhan mulai dari pemberian pakan, mengatur jadwal pemberian pakan, memeriksa kesehatan dan penyakit (sebelum diperiksa oleh dokter hewan yang ditugaskan), membersihkan kandang dan memandikan trenggiling (membersihkan tubuh) hingga pada kegiatan reproduksi trenggiling. Tenaga kerja kedua bertugas sebagai pembantu yang hanya melakukan kegiatan pemeliharaan yang diperintahkan oleh tenaga kerja pertama seperti membuka kandang di pagi hari, membuang pakan sisa dan kotoran jika berserakan di lantai, dan menutup kandang pada malam hari. Umur kedua pekerja tersebut masing-masing sekitar 40 tahun dan 22 tahun. Faktor umur biasanya terkait bahkan dapat identik terhadap produktivitas kerja. Seseorang yang berada pada usia produktif, biasanya cenderung memiliki produktivitas yang tinggi. Kedua pekerja di penangkaran trenggiling ini dianggap telah memasuki usia kerja produktif karena menurut Sehabudin dan Agustian (1998) umur mereka berada pada kisaran 15−54 tahun. Dalam selang umur ini, tenaga
kerja
tersebut
diharapkan
dapat
menjadi
SDM
yang
mampu
mengembangkan kemampuan dengan baik untuk meningkatkan keberhasilan penangkaran.
28
4.3 Kondisi Fisik Lokasi Penangkaran Pada tahap awal, kegiatan penangkaran yang dilakukan di Sibolga masih terbatas dengan luas areal penangkaran berukuran 12 m x 14 m. Bedeng perlindungan di areal dibuat dari potongan saluran air dari semen disertai dengan tempat makan di dalamnya. Lantai bedeng hanya berupa lantai tanah biasa yang ditumbuhi beberapa tumbuhan bawah (Gambar 8). Selain itu untuk melindungi dirinya di siang hari, trenggiling biasa menggali lubang sendiri (Bismark 2009).
Gambar 8 Habitat buatan di Penangkaran Trenggiling Sibolga (Foto: Bismark 2009). Setelah melakukan kegiatan penangkaran di Sibolga selama kurang lebih 2 tahun, UD Multi Jaya Abadi berencana menambah areal penangkaran dalam bentuk yang lebih baik. Rencana ini direalisasikan pada tahun 2009 dengan memindahkan beberapa ekor trenggiling dari Sibolga ke Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal sebanyak 12 ekor yang menjadi pusat penangkaran trenggiling saat ini. Pemindahan ini dilakukan karena populasi trenggiling yang dipelihara di Sibolga terus menurun hingga jumlahnya menjadi 26 ekor akibat penyakit bawaan dari alam. Kondisi kandang yang ada di penangkaran UD Multi Jaya Abadi di Sunggal berbeda dengan yang berada di Sibolga. Kandang atau habitat buatan di Sunggal disajikan pada Gambar 9. Untuk memudahkan pengelolaan dan pengawasan terhadap trenggiling, pihak UD Multi Jaya Abadi memiliki empat buah kamera tersembunyi di empat kandang (CCTV). Kamera ini terutama diletakkan pada kandang yang di dalamnya terdapat trenggiling yang hamil dan trenggiling yang masih anakan (umur < 1 tahun).
29
Gambar 9 Kondisi kandang lokasi penangkaran di Jalan Gerogol, Kecamatan Sunggal (Foto: Novriyanti 2010).
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Lokasi Penangkaran Masyarakat di sekitar lokasi penangkaran UD Multi Jaya Abadi, mayoritas bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Selain itu, sebagian kecil masyarakat lainnya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang, guru, mekanik, dan buruh pabrik. Hal ini sesuai dengan kondisi sosial−ekonomi Kecamatan Sunggal. Kecamatan Sunggal merupakan salah satu kawasan dataran rendah Kabupaten Deli Serdang yang memiliki potensi utama yakni pertanian pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industri, perdagangan, dan perikanan darat. Penduduk Kabupaten Deli Serdang terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, dan Minangkabau. Umumnya penduduk tersebut memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Masyarakat di sekitar lokasi penangkaran mayoritas tidak mengetahui adanya penangkaran trenggiling di lingkungan tempat tinggal mereka. Saat masyarakat mengetahui keberadaan penangkaran UD Multi Jaya Abadi tersebut, masyarakat pun tidak dapat ikut andil dalam upaya pengelolaan. Pengelola penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi memang tidak berupaya menyosialisasikan keberadaan penangkaran karena jumlah trenggiling yang berada di penangkaran dianggap masih wajar, sehingga tidak mengkuatirkan warga dari segi limbah pemeliharaan trenggiling sehari-hari.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Manajemen Penangkaran Trenggiling di UD Multi Jaya Abadi Secara umum ada beberapa aspek teknis manajemen penangkaran satwa yang diketahui sangat menentukan keberhasilan penangkaran suatu jenis satwa. Diantara aspek teknis penangkaran tersebut adalah pengadaan bibit, manajemen perkandangan, manajemen pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit, serta manajemen reproduksi (breeding). Adapun deskripsi lengkap tentang praktek pengelolaan setiap aspek teknis penangkaran trenggiling (Manis javanica) yang dilakukan di UD Multi Jaya Abadi berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak pengelola disajikan di bawah ini. 5.1.1 Pengadaan Bibit dan dan Perkembangannya di Penangkaran Pengadaan bibit merupakan kegiatan awal dari rangkaian pelaksanaan suatu usaha penangkaran satwa. Sumber bibit satwa untuk penangkaran pada prinsipnya dapat berasal dari dua sumber utama yakni hasil penangkapan dari alam (wild caugth) dan/atau hasil pembiakan (reproduksi) di penangkaran (captive bred). Terkait dengan usaha penangkaran trenggiling di UD Multi Jaya Abadi, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sumber bibit yang digunakan semuanya berasal dari alam. Semua bibit tersebut merupakan hasil tangkapan dari alam yang dilakukan oleh masyarakat Sibolga. Berdasarkan hasil wawancara dan laporan Bismark (2009) diketahui bahwa jumlah bibit trenggiling yang dipelihara pada awal pembangunan penangkaran tahun 2009 yang berlokasi di Sibolga sebanyak 110 ekor terdiri dari 45 ekor jantan dan 65 ekor betina. Namun dalam perkembangannya, ternyata jumlah trenggiling yang dipelihara di Sibolga ini terus mengalami penurunan drastis akibat kematian sehingga jumlah yang tersisa menjadi 26 ekor. Dari 26 ekor bibit trenggiling yang tersisa di penangkaran Sibolga, 12 ekor (6 ekor jantan dan 6 ekor betina) dipindahkan dan dijadikan sebagai bibit untuk pengembangan penangkaran trenggiling di Kecamatan Sunggal pada tahun 2009. Hasil pengamatan, wawancara dan penelusuran dokumen (recording management) diketahui bahwa dari 12 ekor bibit trenggiling yang ditangkarkan di
31
penangkaran UD Multi Jaya Abadi Kecamatan Sunggal selama 2 tahun (20092010) ternyata jumlah bibit (induk) juga terus mengalami penurunan akibat kematian meskipun juga diketahui ada kelahiran anak trenggiling di penangkaran. Gambaran mengenai perkembangan jumlah bibit dan anak trenggiling yang lahir di penangkaran seperti disajikan pada Tabel 5. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa perkembangan jumlah induk trenggiling menunjukkan trend penurunan. Ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab utama dari kematian induk trenggiling tersebut, yakni penyakit caplak yang dibawa dari habitat asalnya dan infeksi luka yang timbul karena penangkapan dengan jerat oleh masyarakat Sibolga (Lampiran 8). Tabel 5 Perkembangan induk trenggiling (Manis javanica) dan keturunan yang dihasilkan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, Kecamatan Sunggal Perkembangan
Induk ♂
Stok induk awal 2009*) Stok Januari 2010**) Stok Februari 2010**) Stok Maret 2010**) Stok April 2010**) Stok Mei 2010**) Stok Juni 2010**) Stok Juli 2010***) Stok Agustus 2010 Stok September 2010 *) **) ***)
6 5 5 5 5 5 5 5 4 4
6 5 5 5 5 5 5 3 2 2
Generasi Anak (F1) ♀ ♂ ♀ 4 4 4 4 4 4 1 2 1 2 1 2
Jumlah 12 14 14 14 14 14 14 11 9 9
Sumber: laporan hasil Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) Tahun 2009. Sumber: laporan perkembangan penangkaran satwaliar dilindungi undang-undang, Manis javanica milik UD Multi Jaya Abadi tahun 2010. Sumber: pengamatan Takandjandji dan Sawitri (2010, komunikasi pribadi).
Terkait dengan syarat-syarat bibit dalam proses pengadaannya, diketahui bahwa pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi belum menetapkan syarat atau kriteria khusus dalam pengadaan trenggiling sebagai bibit. Hal ini karena masih terbatasnya sumber bibit dan pengetahuan mengenai pengelolaan trenggiling di penangkaran. Akibatnya bibit trenggiling yang diadakan umumnya berkualitas rendah karena hampir semuanya mengalami luka jerat. Disamping itu, melihat populasi trenggiling yang digunakan berjumlah 8 ekor, maka sebagai bibit di penangkaran jumlah ini diperkirakan memiliki variabilitas genetik yang rendah
32
dan dapat berdampak pada kualitas genetik turunannya. Menurut Thohari (1988), kualitas bibit dalam usaha penangkaran penting diperhatikan, khususnya dalam hal variasi genetiknya karena berkaitan dengan kualitas keturunan yang akan dihasilkan. Makin tinggi variasi genetik dari bibit yang digunakan maka makin tinggi kualitasnya sebagai induk, demikian pula keturunannya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan variasi dan mutu genetik induk di penangkaran, maka perlu upaya penambahan bibit sebagai indukan dari berbagai sumber khususnya dari habitat alami yang berbeda. Meskipun tingkat kematian indukan yang berasal dari alam cukup tinggi, namun dengan adanya keberhasilan kelahiran anak di penangkaran sebanyak 4 (empat) ekor menunjukkan bahwa secara teknis penangkaran trenggiling mempunyai prospek yang baik. Hal ini terutama anak yang dilahirkan di penangkaran berpotensi dijadikan sebagai sumber bibit untuk menggantikan induk yang berasal dari alam. Dengan demikian pada masa mendatang, UD Multi Jaya Abadi diharapkan dapat memenuhi bibit dari hasil penangkaran sendiri, tidak lagi mengandalkan bibit dari alam atau hasil sitaan yang ditangkap dengan jerat karena umumnya tidak/kurang memenuhi syarat kesehatan sebagai bibit yang baik. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan setiap pengelola di dalam pengembangan penangkaran satwa terutama dalam hal pengadaan bibit adalah jaminan keberlanjutan penangkaran satwa sangat ditentukan oleh keberhasilan penyediaan bibit dari hasil reproduksi (breeding) di penangkaran sendiri. Alikodra (2010) menyatakan bahwa pada dasarnya prinsip kegiatan penangkaran adalah
kemampuan
tindakan
penangkaran
dalam
memelihara
dan
mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan. Pada batas tertentu bibitnya dapat diambil dari alam, namun untuk pengembangan selanjutnya bibit yang digunakan harus berasal dari keturunan hasil pengembangbiakan di penangkaran. Berdasarkan uraian tentang pengadaan bibit tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut: (1) pengadaan trenggiling untuk bibit harus memenuhi syarat atau kriteria sehat karena kesehatan bibit sangat berpengaruh terhadap tingkat kematian bibit di penangkaran, (2) ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab utama kematian bibit (induk) trenggiling di
33
penangkaran yakni penyakit caplak dan infeksi luka bekas jeratan, (3) pengadaan bibit trenggiling untuk penangkaran dalam jangka panjang sebaiknya berasal dari hasil pembiakan (breeding) di penangkaran. 5.1.2 Manajemen Perkandangan Salah satu aspek penting dari usaha penangkaran satwa adalah kandang yang berfungsi sebagai habitat buatan (artificial habitat) atau tempat hidup satwa. Kandang sebagai habitat buatan bagi satwa harus memenuhi semua kebutuhan hidup dan perkembangan satwa, seperti luas (space) yang cukup untuk pergerakan satwa (movement), suhu (temperature) dan kelembaban serta sirkulasi udara yang cukup,
dan tersedianya komponen-komponen penunjang seperti tempat
berlindung (cover), bertengger dan berkembangbiak, serta terjaga sanitasinya dari kemungkinan penyebaran penyakit. Terkait dengan manajemen perkandangan sebagai habitat buatan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, maka ada dua aspek penting yang berhubungan dengan pengelolaan perkandangan yang dipelajari dalam penelitian ini. Kedua aspek tersebut adalah: (a) jenis kandang, konstruksi, kapasitas, dan fasilitas kandang; dan (b) perawatan kandang. 5.1.2.1 Jenis kandang, konstruksi, kapasitas, dan fasilitas kandang Penyediaan habitat buatan sebagai tempat hidup di penangkaran trenggiling menjadi salah satu prasyarat penting yang harus dipersiapkan sebelum pengembangan penangkaran. Habitat buatan tersebut yakni berupa kandang dan berbagai komponen pendukung dalam kandang seperti lubang sebagai tempat berlindung (cover) dan istirahat. Penyediaan kandang sedapat mungkin mempertimbangkan kebiasaan (habit) trenggiling di alam. Dintinjau dari jenis kandang yang dikembangkan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, maka semua unit kandang yang dibangun (total 40 unit) dikategorikan sebagai kandang pemeliharaan trenggiling. Dalam pengelolaan penangkarannya, pihak pengelola tidak menetapkan atau membedakan unit-unit kandang yang ada secara khusus menurut fungsi atau tujuan penggunaannya. Padahal di beberapa lokasi penangkaran satwa lainnya, jenis kandang yang dikembangkan seringkali dibedakan secara khusus menurut fungsi atau tujuan
34
penggunaannya, yakni (a) kandang adapatasi untuk keperluan proses adaptasi, (b) kandang reproduksi untuk kepentingan perkembangbiakan, dan (c) kandang pembesaran anak untuk keperluan proses pemeliharaan dan pembesaran anak. Meskipun tidak dilakukan pembedaan secara khusus jenis kandang yang dikembangkan karena semua unit kandang yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk semua fungsi atau tujuan, maka dapat dinyatakan bahwa secara fungsional di UD Multi Jaya Abadi terdapat 4 jenis kandang menurut tujuan penggunaannya yakni kandang pemeliharaan, kandang adaptasi, kandang reproduksi dan kandang pembesaran anak. Semua unit kandang yang dikembangkan berukuran 500 cm x 186 cm x 208 cm, dengan konstruksi, fasilitas penunjang dan perawatan kandang yang relatif sama (Tabel 6). Tabel 6 Jenis kandang trenggiling (Manis javanica) di penangkaran UD Multi Jaya Abadi No. 1.
Jenis dan fungsi kandang*) Kandang pemeliharaan
2.
Kandang reproduksi
3.
Kandang adaptasi
4.
Ukuran dan Konstruksi Ukuran kandang 500 cm x 186 cm x 208 cm. Dinding terbuat dari beton, lantai semen, sisi depan dan belakang kandang kawat berukuran 183 cm x 183 cm.
Fasilitas Penunjang Tempat makan dan minum, tempat memanjat/ shelter. Untuk kandang pembesaran anak terdapat baskom besar sebagai fungsi cover.
Perawatan Kandang
Dibersihkan kontinyu. Minimal 4 kali seminggu.
Kandang pembesaran anak *) Bentuk dan ukuran kandang sama
Ditinjau dari konstruksi kandang, maka secara umum ada dua kategori tipe kandang yang dikembangkan di UD Multi Jaya Abadi, yakni kandang permanen dan semi permanen. Konstruksi kandang permanen terbuat dari beton baik lantai hingga dinding kandang dan dikombinasikan dengan kawat besi berukuran 183 cm x 183 cm dengan atap kandang terbuat dari asbes sedangkan kandang semi permanen berlantai pasir dan tidak berdinding. Deskripsi singkat konstruksi kandang permanen dan semi permanen ditunjukkan pada Tabel 7 dan contoh kandang permanen maupun semi permanen ditunjukkan pada Gambar 10.
35
Tabel 7 Konstruksi kandang pemeliharaan Manis javanica di penangkaran UD Multi Jaya Abadi Komponen Lantai
Konstruksi dan ukuran Semi Permanen Permanen Terbuat dari tanah, luas lantai berukuran 2 Terbuat dari semen, luas lantai x 3 meter. berukuran 500 x 186 cm.
Atap
Terbuat dari rumbia berukuran lebih besar dari pada lantai dan menutupi bagian luar agar kondisi lantai tidak lembab/ basah.
Terbuat dari asbes.
Dinding
Tidak berdinding, hanya diberikan sekat dari bambu setinggi 2 – 3 meter dari permukaan tanah.
Terbuat dari beton dan beberapa dari kawat berukuran 183 x 183 cm.
Artificial enrichment
Beberapa rumput dan tumbuhan bawah lain, serta lubang semi permanen untuk mempermudah perilaku menggali lubang.
Pohon artificial sebanyak 1 – 2 buah di tengah-tengah kandang, tempat minum dan makanan permanen dari plastik.
Gambar 10a Bentuk kandang permanen trenggiling di UD Multi Jaya Abadi (Foto: Novriyanti 2010).
Gambar 10b Kandang semi permanen di UD Multi Jaya Abadi (Foto: Bismark 2009).
36
Setiap unit kandang dengan luas tertentu sebagai habitat buatan untuk tempat hidup satwa pada dasarnya dirancang untuk pemeliharaan sejumlah satwa atau kapasitas tampung tertentu agar mampu mendukung pertumbuhan dan pekermbangan terbaik setiap individu di dalamnya. Apabila jumlah yang dipelihara melebihi kapasitas kandang maka akan berpengaruh terhadap kenyamanan di dalam kandang terutama yang berhubungan dengan suhu mikro di dalam kandang. Populasi trenggiling yang terlalu padat di dalam kandang dapat mengakibatkan
trenggiling
menderita
cekaman
(stress)
hingga
dapat
menimbulkan banyak penyakit dan menurunkan produksi. Berdasarkan ukuran lantai untuk setiap unit kandang seperti disebutkan di atas yakni 500 cm x 186 cm atau sekitar 9 m2, oleh pengelola penangkaran digunakan untuk pemeliharaan trenggiling sebanyak 5−10 ekor atau setara dengan daya tampung 1−2 ekor/m2. Dilihat dari rata-rata ukuran tubuh trenggiling yakni panjang badan dewasa sampai kepala sekitar 42−55 cm dan ekor 34− 47 cm (Breen 2003), maka ukuran luas lantai kandang trenggiling tersebut dapat dianggap memadai untuk pemeliharaan trenggiling di UD Multi Jaya Abadi. Hal ini dikarenakan hampir sama dengan hasil penelitian Heath dan Vanderlip (2005) pada penangkaran trenggiling China (Manis pentadactyla) bahwa syarat minimum luas lantai kandang trenggiling yang harus dipenuhi adalah 10−12 m2. Dengan demikian dalam kondisi normal, yakni kondisi trenggiling dalam keadaan sehat fisik, tidak menunjukkan perilaku menyimpang atau antagonistik terhadap sesama spesies, dan nafsu makan tidak berlebih ataupun menurun, maka luas lantai minimum untuk setiap unit kandang penangkaran trenggiling adalah 9−10 m2 dengan daya tampung sekitar 1−2 ekor/m2. Kandang sebagai habitat buatan untuk hidup dan perkembangan trenggiling harus juga menyediakan berbagai komponen atau fasilitas pendukung untuk menunjang aktivitasnya. Oleh karena itu di dalam kandang trenggiling harus juga disediakan fasilitas penunjang sesuai karakteristik hidup dan pola aktivitas trenggiling. Hasil pengamatan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi diketahui bahwa di dalam kandang terdapat beberapa fasilitas pengayaan yang berfungsi sebagai penunjang kegiatan pemeliharaan trenggiling. Peralatan dan perlengkapan (enrichment) yang ada di dalam kandang terdiri dari tempat minum
37
(terdapat di semua kandang), tempat membuang kotoran, dan 1−2 buah pohon artificial (hanya terdapat di empat unit kandang). Selain itu, sebagai satwa yang mempunyai kebiasaan bersembunyi di lubang-lubang, maka di dalam kandang penangkaran juga disediakan sarana pendukung untuk memenuhi kebiasaan tersebut yakni berupa sebuah baskom besar yang berfungsi sebagai tempat berlindung (cover) (Gambar 11).
Gambar 11 Baskom besar untuk cover trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi Medan (Foto: Bismark 2009). Secara khusus baskom atau ember besar tersebut diletakkan di dalam kandang anakan atau kandang trenggiling yang masih berada dalam tahap adaptasi. Selama masa adaptasi, baskom tersebut digunakan trenggiling sebagai pelindung
atau
tempat
bersembunyi
dari
gangguan
lingkungan
dalam
penangkaran. Selain itu, baskom sebagai tempat berlindung juga berfungsi membantu menormalkan kondisi tubuh trenggiling pada saat udara di dalam kandang panas dan kering. Trenggiling juga diketahui secara rutin membuang kotoran (feses dan urin). Dalam pengamatan diketahui bahwa kadangkala trenggiling melakukan defekasi dan urinasi di dalam baskom bahkan seringkali terjadi di dalam tempat makan dan minum sehingga kotorannya bercampur dengan makanan dan air minum. Kondisi ini dapat menjadi sumber penyakit dan berakibat jelek bagi kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian trenggiling. Oleh karena itu, di dalam kandang seharusnya juga disediakan tempat khusus untuk pembuangan kotoran (feses dan urin). Selain penyediaan tempat khusus, untuk menghindari
38
kemungkinan pencampuran tersebut maka perlu diatur peletakan tempat pembuangan kotoran dan tempat minum yang hendaknya berjauhan yakni di sudut-sudut kandang yang berbeda, sebagaimana yang dilakukan pada trenggiling Cina. Heath dan Vanderlip (2005) melaporkan bahwa didalam pemeliharaan trenggiling Cina disediakan 1−2 kotak sebagai tempat pembuangan kotoran yang diletakkan di sudut-sudut kandang yang berbeda dengan tempat minumnya. Pemisahan fungsi dan letak tempat minum ataupun tempat pembuangan kotoran dimaksudkan agar kebersihan dan kenyamanan trenggiling dapat terjaga, sekaligus upaya mencegah kemungkinan percampuran air minum dan makan dengan kotoran yang pada gilirannya dapat menjadi sumber berkembangnya bibitbibit penyakit. Selain penyediaan fasilitas pendukung untuk kebutuhan cover, tempat makan dan minum, maupun tempat membuang kotoran, di dalam kandang trenggiling juga perlu disediakan ranting pohon buatan (artificial branch) untuk menunjang aktivitas trenggiling sebagai satwa pemanjat seperti di habitat alaminya. Pohon artificial di dalam kandang penangkaran tersebut merupakan enrichment yang sangat bermanfaat bagi trenggiling. Selain untuk kebutuhan memanjat, pohon artificial tersebut di penangkaran UD Multi Jaya Abadi juga digunakan sebagai tempat istirahat (rest area) sebagaimana di habitat alaminya. Farida (2010) menyatakan bahwa trenggiling sering memanfaatkan pohon mati atau kayu lapuk sebagai tempat tinggal dan tempat mencari makan. Secara teknis penyediaan pohon artifisial relatif mudah, sehingga dalam praktek pengelolaan penangkaran trenggiling hal ini dapat dengan mudah dan murah dilakukan. Hal yang senada juga dinyatakan Kelly (1993) bahwa penggunaan ranting atau cabang pohon (artificial branch) di dalam kandang merupakan salah satu bentuk metode pengayaan yang mudah dan murah namun memberikan suasana lingkungan yang lebih hidup di dalam kandang penangkaran. Berdasarkan uraian di atas, dengan mempertimbangkan kebiasaan (habit) trenggiling dan penerapan prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare), maka dapat dinyatakan bahwa didalam pembangunan kandang untuk penangkaran trenggiling ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yakni: (a) minimum luas lantai kandang untuk setiap unit kandang adalah 9−10 m2 dengan
39
perhitungan daya tampung 1−2 ekor/m2; (b) konstruksi kandang dapat dibuat dari tipe sederhana (semi permanen) sampai permanen tergantung kondisi keuangan perusahaan; (c) jenis kandang yang dibangun dapat dibedakan menurut fungsi dan tujuan penggunaannya (kandang adaptasi, reproduksi, pemeliharaan dan pembesaran); dan (d) di dalam kandang harus disediakan fasilitas penunjang seperti tempat berlindung (baskom), tempat memanjat, tempat makan/minum dan tempat pembuangan kotoran. 5.1.2.2 Perawatan Kandang Kandang sebagai habitat buatan yang berfungsi sebagai tempat hidup trenggiling harus dijaga atau dirawat kondisinya agar dapat berfungsi optimal dalam mendukung hidup dan perkembangan trenggiling yang dipelihara di dalamnya. Biaya pembuatan kandang juga relatif mahal, sehingga harus dirawat agar dapat digunakan dalam jangka panjang selama masa penangkaran. Praktek perawatan kandang trenggiling di UD Multi Jaya Abadi dilakukan secara secara rutin dengan cara yang sederhana atau konvensional seperti membersihkan dari kotoran, memperbaiki dan/atau menggantikan bagian kandang yang rusak, dan menggantikan fasilitas pendukung di dalam kandang. Praktek perawatan yang sederhana ini dilakukan karena rata-rata tingkat pengetahuan dan kemampuan para pekerja di penangkaran masih sangat terbatas, umumnya para pekerja melakukannya melalui otodidak, trial and error, dan prakteknya para pekerja belum mendapatkan atau tidak ada pelatihan khusus. Dengan demikian dapat dipahami bahwa praktek perawatan kandang khususnya dan pengelolaan penangkaran trenggiling pada umumnya dapat dikatakan masih sangat sederhana. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa setidaknya ada 3 kegiatan utama yang dilakukan para pekerja perawatan kandang, yakni (1) kegiatan pembersihan kandang, (2) kegiatan penyesuaian dan/atau pengaturan suhu kandang dengan suhu tubuh ternggiling, dan (3) kegiatan pembersihan sarana dan prasarana (fasilitas pendukung) di dalam kandang. Uraian singkat masing-masing kegiatan ini sebagai berikut:
40
(i) Pembersihan kandang Kegiatan pembersihan kandang dilakukan minimal 4 (empat) kali dalam seminggu.
Kadang-kadang
pembersihan
kandang
dilakukan
setiap
hari
tergantung kondisi trenggiling dan suhu di dalam kandang. pembersihan kandang biasanya dilakukan pada pagi hari mengingat bahwa trenggiling adalah satwa nocturnal sehingga apabila dilakukan pada malam hari dikuatirkan dapat mengganggu aktivitas makannya selain pertimbangan efektivitas pembuangan kotoran setelah trenggiling beraktivitas pada malam hari. Pembersihan kandang dilakukan untuk mengambil kotoran (feses) ataupun sisa makanan yang tidak termakan trenggiling dengan cara sederhana yakni dengan menyapu kotoran di lantai kandang dan membuang sisa pakan atau kotoran di dalam tempat minum atau tempat pakan. (ii) Pengaturan suhu kandang dan suhu tubuh trenggiling Tujuan kegiatan pengaturan suhu kandang dan suhu tubuh trenggiling dimaksudkan untuk untuk mencegah kemungkinan terjadinya cekaman (stress) pada trenggiling yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan perkembangan trenggiling. Kegiatan ini dilakukan apabila cuaca panas sehingga berdampak pada meningkatnya suhu mikro di dalam kandang. Biasanya trenggiling terlihat stress, banyak bergerak dan terjadi dehidrasi. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban kandang menunjukkan bahwa umumnya terjadi peningkatan suhu dan perubahan kondisi kelembaban di dalam kandang pada siang hari. Peningkatan suhu tersebut dapat mencapai 33,47oC dengan kelembaban 47%. Rata-rata fluktuasi perubahan suhu di dalam kandang selama penelitian disajikan pada Gambar 12. Secara umum ada beberapa faktor yang diketahui berpengaruh terhadap peningkatan kondisi suhu di dalam kandang, seperti dikemukakan oleh Yani et al. (2007), yakni: (a) radiasi sinar matahari yang masuk ke dalam kandang, (b) produksi panas oleh tubuh satwa, (c) kondisi konstruksi kandang mencakup tinggi, luas lantai, dan bukaan atap kandang. Untuk kondisi kandang penangkaran trenggiling di UD Multi Jaya Abadi, faktor yang diduga kuat berpengaruh terhadap peningkatan suhu atau produksi panas di dalam kandang pada siang hari
41
akibat radiasi sinar matahari yang tinggi adalah konstruksi kandang terutama
Suhu Kandang (oC)
tinggi, luas lantai dan konstruksi lantai kandang yang terbuat dari semen. 34 33 32 31 30 29 28 27 08.00 WIB
13.00 WIB
17.30 WIB
22.30 WIB
Waktu
Gambar 12 Fluktuasi suhu di dalam kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi Ukuran tubuh satwa dan bukaan atap kandang diperkirakan memberikan pengaruh yang sangat kecil karena selain trenggiling berukuran tubuh kecil dan dalam satu kandang hanya ditempatkan 1−2 ekor, kandang trenggiling juga telah di desain dengan atap dari asbes yang dapat menyerap panas dengan baik. Adapun tinggi dan luasan kandang dinilai tidak cukup baik untuk membantu menurunkan panas yang berasal dari radiasi sinar matahari sehingga suhu di dalam kandang masih terasa panas. Konstruksi lantai kandang dan halaman luar kandang berupa semen diduga juga memberi pengaruh yang cukup besar terhadap aliran panas (konveksi) dari lingkungan luar ke dalam kandang. Hal ini dikarenakan radiasi matahari yang jatuh ke permukaan lantai banyak yang dipantulkan kembali hingga tertangkap dan terserap di dalam kandang yang berdampak pada peningkatan panas (suhu) di dalam kandang. Mempertimbangkan hal tersebut, menurut Heath dan Vanderlip (2005) pada pemeliharaan trenggiling China, lantai kandang yang cocok untuk penangkaran trenggiling adalah lantai pasir, dengan rata-rata kondisi suhu kandang normal sekitar 26oC. Dengan demikian rata-rata fluktuasi suhu yang tinggi di dalam kandang mencapai 29−33,47oC di penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi seperti disajikan di atas (Gambar 12) ternyata berdampak negatif terhadap kondisi suhu tubuh dan perkembangan aktivitas dan perilaku trenggiling di penangkaran.
42
Terhadap fluktuasi suhu kandang dan kondisi trenggiling seperti itu, maka tindakan penyesuaian yang biasa dilakukan pengelola (animal keeper) di penangkaran UD Multi Jaya Abadi adalah membasahi tubuh trenggiling dengan air, mencuci tubuhnya (memandikannya), dan melepaskan kotoran yang menempel di sisik di seluruh tubuh trenggiling. Selain itu peningkatan suhu atau panas produksi di dalam kandang dinetralisasi dengan menyemprotkan dan/atau menyiramkan air ke dalam kandang. (iii) Pembersihan fasilitas pendukung dalam kandang Fasilitas pendukung yang ada di dalam kandang seperti tempat pakan, tempat minum, dan tempat beristirahat juga harus terjaga kebersihannya. Kegiatan pembersihan fasilitas ini biasanya dilakukan secara bersamaan dengan waktu pembersihan kandang dan/atau pada saat kegiatan penyesuaian suhu di dalam kandang. Pembersihan fasilitas pendukung tersebut dilakukan dengan cara mencuci alat/tempat makan dan minum, membersihkan sarana memanjat dan cover dari sisa pakan yang menempel. Berdasarkan uraian tentang perawatan kandang tersebut di atas, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk menjamin kondisi kandang agar dapat berfungsi optimal sebagai habitat buatan untuk tempat hidup dan perkembangan trenggiling dengan baik, yakni: (a) pembersihan kandang dan fasilitas pendukung di dalamnya secara teratur minimal 4 (empat) kali seminggu, (b) tindakan penyesuaian suhu tubuh trenggiling dan kondisi suhu di dalam kandang pada saat terjadi peningkatan suhu di atas 29oC dengan cara menyiramkan dan/atau menyemprotkan air ke dalam kandang, dan (c) konstruksi lantai kandang di dalam maupun di halaman luar kandang sebaiknya dibuatkan dari pasir (bukan dari semen), dengan tinggi dan luas lantai kandang yang memadai untuk memungkinkan terjadinya sirkulasi udara dan pertukaran panas produksi di dalam kandang secara optimal. 5.1.3 Manajemen Pakan Trenggiling Hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola diketahui bahwa pakan trenggiling diberikan dalam bentuk ransum yang tersusun dari kroto dan dedak yang telah dicampur dengan tepung jagung. Tidak ada pakan tambahan lain
43
yang diberikan, namun dilaporkan bahwa dalam pemeliharaan trenggiling pada saat masih berlokasi di Sibolga pernah diberikan makanan tambahan berupa buahbuahan seperti pepaya dan semangka. Buah-buahan ini sekaligus juga berfungsi sebagai pemancing (umpan) untuk mengundang semut sebagai pakan utama trenggiling yang biasa dimangsa di habitat alaminya. Waktu pemberian pakan biasa dilakukan pada malam hari sekitar pukul 18.00 WIB sesuai dengan kebiasaan trenggiling sebagai satwa nokturnal. Jumlah pakan yang diberikan untuk seluruh individu trenggiling yang dipelihara, masing-masing untuk kroto sejumlah rata-rata 1−2 kg/hari dan dedak sebanyak 2−3 kg/hari. Terkait dengan manajemen pakan, maka hal terpenting yang harus diperhatikan adalah jenis pakan, jumlah konsumsi dan kualitas gizi pakan. Di penangkaran trenggiling, ada 4 (empat) hal yang sangat mempengaruhi gizi pakan diantarnya kuantitas bahan pakan, kualitas pakan (penyimpanan, bentuk, dan rasa/ bau), penyediaan pakan yang teratur, dan teknik pemberian pakan. Jenis pakan yang disediakan di penangkaran disesuaikan dengan kebiasaan (habit) dan kesukaan (preferensi) trenggiling di habitat alaminya. Kroto yang diberikan di penangkaran adalah telur semut rangrang. Pemilihan jenis kroto ini antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa di alam, trenggiling memiliki preferensi sangat sedikit terhadap semut dari seluruh jenis semut dan rayap yang ada, karena ternyata tidak semua jenis semut dan rayap disukai trenggiling. Wu et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya, trenggiling hanya menyukai beberapa jenis semut dan rayap sebagai pakan, berturut-turut persentase ketidaksukaan terhadap semut dan rayap masing-masing 83.87% (26/31) untuk semut dan 53.85% (7/13) pada rayap. Laporan Heryatin (1983) dalam Sari (2007) menjelaskan bahwa jenis pakan yang disukai trenggiling di alam adalah semut (Ordo Hymenoptera), rayap (Ordo Isoptera) dan semut merah tanah. Sementara itu, menurut Wu et al. (2005), untuk trenggiling China jenis rayap yang disukai adalah rayap tanah (Coptotermes formosanus), rayap kayu kering (Macrotermes barneyi), dan weaver ants (Polyrhachis dive). Soewu dan Ayodele (2009) menambahkan, selain semut dan rayap, trenggiling juga menyukai serangga bertubuh ringan dan larva serangga. Dengan demikan, pemberian kroto sebagai pakan utama trenggiling di
44
penangkaran UD Multi Jaya Abadi dapat dikatakan sesuai karena kroto sebenarnya juga termasuk dalam jenis semut yang disukai trenggiling. Kroto diperoleh dari pengumpul yang memasok kebutuhan kroto di penangkaran setiap hari. Jumlah pasokan kadangkala tidak mencukupi total kebutuhan kroto di penangkaran, terutama pada musim sulit yakni pada musim kering (kemarau) dan musim sulit buah. Kekurangan pasokan kroto dapat mempengaruhi perkembangan penangkaran trenggiling, karena kroto sebagai pakan utama dapat dinyatakan sebagai faktor pembatas (limiting factor) bagi hidup dan perkembangan trenggiling di penangkaran. Ketersediaan pakan trenggiling di alam bergantung pada musim, sedangkan di penangkaran, pakan dapat disediakan setiap saat. Di alam, menurut Borror et al. (1992) ketersediaan pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kelimpahan satwa dan kualitas habitatnya termasuk penyebarannya. Ketersediaan pakan di alam tersebut memberikan pengaruh yang juga hampir menyerupai kondisi di penangkaran. Ketersediaan pakan dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangbiakan dan jumlah satwa yang dapat bertahan di penangkaran. Selain itu, ketersediaan pakan yang ada setiap saat juga dapat mempengaruhi pola perilaku alaminya. Berdasarkan hal tersebut maka penyediaan stok kroto yang cukup sebagai pakan utama di penangkaran harus menjadi perhatian pengelola penangkaran trenggiling. Hal ini juga berarti bahwa apabila persediaan dan/atau suplai kroto terbatas, maka pengelola penangkaran trenggiling harus dapat melakukan inovasi dan pengembangan pakan alternatif berupa pakan buatan yang dapat disusun dari beberapa bahan penyusun dari sumber bahan hewani dan dicampur dengan bahan nabati. Dalam penyediaan pakan buatan ini setidaknya harus memperhatikan dua prinsip penting, yakni: (a) secara teknis biologis harus sesuai kebiasaan dan preferensi trenggiling sebagai pemakan semut (hewani), dan memenuhi tingkat konsumsi dan kebutuhan gizi trenggiling sesuai umur dan status produksinya seperti kebutuhan untuk pertumbuhan dan reproduksi; dan (b) secara teknis ekonomis bahan pakan tersebut harus murah dan mudah diperoleh serta sekecil
45
mungkin tidak kompetitif dengan kebutuhan satwa lain dan/atau kebutuhan manusia. Harga kroto sebagai pakan satwa berfluktuatif. Pada kondisi normal dimana ketersediaan dan suplai kroto cukup, maka harga kroto umumnya sekitar Rp 40.000,- hingga Rp 50.000,- per kg. Namun apabila kroto sulit diperoleh sehingga suplai dari para pengumpul terbatas, maka harga kroto dapat mencapai Rp 90.000,- hingga Rp 150.000,- per kg. Kondisi yang sama juga pernah dinyatakan oleh Hariyanto (2010) bahwa biaya kebutuhan kroto sebagai pakan trenggiling yang dipelihara di ex-situ atau penangkaran dapat mencapai Rp 12 juta rupiah per bulan untuk setiap individu trenggiling. Mengingat ketersediaan kroto sebagai pakan bersifat fluktuatif dan tingginya harga kroto, maka diperlukan inovasi dan kreativitas pengelola dalam usaha penyediaan pakan bagi trenggiling di penangkaran yang memenuhi syarat karakteristik biologis trenggiling dan secara teknis ekonomis murah dan mudah didapat. Menurut Thohari (1987) dan Damron (2006), pakan merupakan salah satu komponen produksi dalam suatu unit penangkaran yang membutuhkan biaya terbesar dari seluruh biaya produksi, yakni dapat mencapai 65−70% dari seluruh biaya produksi, sehingga dalam manajemen penyediaannya harus mendapat perhatian dan penanganan yang baik dan tepat. Dalam mengatasi hal tersebut di atas, maka upaya penyediaan pakan dapat juga dilakukan dengan memulai uji coba terhadap bahan pakan berprotein tinggi yang berasal dari hewan lain (protein hewani) yang sesuai dengan habit trenggiling seperti pemberian jangkrik, belalang, dan semut. Selain itu juga dapat dilakukan pengaturan pola pemberian pakan agar tercapai efisiensi dan efektivitas biologis maupun ekonomis, sekaligus dapat mencegah satwa dari stress dan penyakit. Jenis pakan yang diberikan, harga dan ketersediaan kroto di penangkaran seperti diuraikan di atas secara keseluruhan saling berkaitan satu sama lain dan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pengelolaan penangkaran trenggiling secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam manajemen pemberian pakan diperlukan suatu strategi yang tepat dengan tetap memperhatikan konsumsi dan kebutuhan gizi, preferensi dan harga serta kemungkinan sifat kompetitif dari pakan tersebut.
46
Menurut Sukria dan Krisnan (2009), bahwa di dalam menetapkan strategi pemberian pakan satwa harus mengacu pada kebutuhan satwa dan bergizi berimbang, dapat memenuhi kebutuhan dan keuntungan biologis termasuk keuntungan secara ekonomi. Untuk mempertinggi efisiensi dan efektivitas pemberian pakan, maka di dalam strategi pemberian pakan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dilakukan dengan mengupayakan agar pakan atau ransum yang diberikan selalu berada dalam kondisi segar. Secara teknis, maksimal 3 (tiga) hari sebelum diberikan dedak terlebih dahulu dihaluskan dengan gilingan manual (dengan batu dan induk batu). Setelah digiling halus, dedak tersebut disimpan di dalam baskom dan tidak ditutup rapat dengan lama penyimpanan maksimal tiga hari dengan tujuan agar udara dapat masuk dan dedak tidak cepat busuk. Praktek ini dapat dipandang bertentangan dengan pernyataan Irianingrum (2009) bahwa dedak yang disimpan dalam keadaan anaerob dapat mempertahankan kualitas dedak dan menurunkan kandungan asam fitat serta meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Tindakan penyimpanan dedak yang tidak kedap udara yang dilakukan pengelola diduga agar dedak yang akan diberikan pada trenggiling tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Namun sesungguhnya trenggiling di penangkaran memiliki preferensi sendiri dalam pemilihan pakan. Dedak yang terlalu kering dapat menjadi kasar sedangkan dedak yang terlalu basah dapat menimbulkan bau tengik sebagaimana menurut pernyataan Amrullah (2002) bahwa kandungan minyak yang tinggi pada dedak dapat menimbulkan ketengikan. Bau tengik tersebut diduga dapat mengurangi nafsu makan trenggiling karena tidak disukai trenggiling di penangkaran. Disamping jenis pakan, kualitas dan kuantitas bahan pakan, penyediaan pakan yang teratur serta teknik pemberian pakan penting diketahui karena berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan trenggiling baik untuk kebutuhan pokok tubuh atau pemeliharaan tubuh (maintenance) maupun untuk reproduksi satwa. Metode atau sistem pemberian pakan juga berhubungan erat dengan prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare). Terkait dengan prinsip, dalam praktek
47
penyajian pakan atau ransum di penangkaran trenggiling UD Multi Jaya Abadi dilakukan dengan cara diletakkan pada piring plastik seukuran piring makan biasa (Gambar 13). Ransum yang diberikan adalah kroto dan dedak giling yang telah dicampur sesuai komposisinya. Piring-piring plastik tersebut terlebih dahulu dibersihkan dari sisa pakan sebelum diisi dengan ransum yang baru dan diletakkan di atas lantai di pojok kandang. Kadangkala trenggiling membuang kotoran (feses dan urin) ke dalam piring, sehingga makanan tercemar dengan kotorannya, menjadi tidak higines sehingga dapat menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan trenggiling.
Gambar 13 Trenggiling sedang mengkonsumsi ransum yang diberikan (Foto oleh: Novriyanti 2010). Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa waktu pemberian pakan di penangkaran dilakukan pada malam hari yakni pukul 18.00−19.00 WIB yang disesuaikan dengan waktu aktivitas trenggiling mencari makan pada malam hari (nocturnal animal) (Medway 1969), pengelola tetap memberikan pakan yang disesuaikan dengan kondisi dan aktivitas trenggiling. Apabila trenggiling masih terlihat istirahat (tidur) atau belum menunjukkan perilaku memanjat dan berjalan, maka pemberian pakan belum dilakukan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pakan yang diberikan benar-benar segera dapat dimakan trenggiling sehingga menjadi efektif dan efisien. Pengalaman menunjukkan bahwa apabila pakan yang telah diberikan tidak segera dimakan, karena trenggiling masih tidur dan belum beraktivitas, maka pakan tersebut menjadi cepat basi, tidak dimakan dan dapat menjadi sumber berkembangnya bibit penyakit. Dengan demikian ketepatan
48
waktu pemberian pakan penting diperhatikan agar pakan yang diberikan efisien dan efektif serta tidak memberikan efek negatif terhadap kesehatan dan perkembangan trenggiling di penangkaran. 5.1.4 Perawatan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Berdasarkan hasil wawancara dengan animal keeper dan tenaga medis yang menangani trenggiling di UD Multi Jaya Abadi, penyakit yang biasa ditemukan menyerang trenggiling adalah caplak, diare, pilek, dan luka. Tidak ada batasan umur tertentu pada trenggiling yang mengalami penyakit tersebut. Data dan informasi mengenai jenis-jenis penyakit, gejala, dan pengobatan pada trenggiling disajikan pada Tabel 8. Caplak merupakan salah satu ektoparasit yang memiliki peran yang cukup besar sebagai agen penyebab kelainan kulit dan penyebaran penyakit baik pada hewan maupun manusia. Menurut Jongejan dan Uilenberg (2004) seluruh jenis caplak merupakan ektoparasit yang bersifat haematophagus atau penghisap darah dan dapat menjadi patogen zoonosis pada hewan dan manusia. Caplak dapat tersebar di berbagai habitat dan kondisi ekologi yang berbeda. Di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, caplak menyerang hampir pada seluruh trenggiling yang ditangkarkan. Caplak ini ditemukan di sela-sela sisik dan bagian tubuh trenggiling yang berbulu, biasanya pada trenggiling yang diperoleh langsung dari alam. Caplak atau penyakit kutu tersebut lazim ditemukan pada trenggiling karena berdasarkan penelitian Yang et al. (2010) terhadap Manis javanica di China juga diketahui ditemukan caplak. Penyakit kutu (caplak) tersebut ditemukan di bawah sisik trenggiling dengan jenis Amblyomma javanense (Supino). Kollars dan Sithiprasasna (2000) juga menyatakan bahwa kutu Amblyomma javanense (Supino) ini merupakan parasit yang umum ditemukan pada trenggiling dan babi hutan (Sus scrofa). Tabel 8 No. 1.
Jenis penyakit, gejala, dan pengobatannya pada trenggiling (Manis javanica) di penangkaran UD Multi Jaya Abadi
Jenis Penyakit Caplak
Gejala/ tanda-tanda
Pencegahan
Pengobatan
Seluruh tubuh terutama perut dipenuhi dengan caplak.
Menjaga kebersihan kandang dan tubuh trenggiling.
Dibersihkan langsung.
49
Tabel 8 (lanjutan) No. 2.
Jenis Penyakit Luka
3.
Diare
4.
Pilek
Gejala/ tanda-tanda
Pencegahan
Pengobatan
Biasa ditemukan pada pangkal paha, telapak kaki atau perut yang berwarna merah, terkadang memar dan bernanah, suhu tubuh meningkat. Nafsu makan berkurang, lemas, suhu tubuh meningkat.
Mengontrol kondisi kawat pada dinding kandang dan tempat memanjat trenggiling
Pemberian obat luka dan vaksinasi pencegah infeksi luka.
Menjaga kebersihan kandang, pakan, dan menjaga kestabilan suhu tubuh trenggiling. Menjaga kestabilan suhu tubuh dan suhu lingkungan kandang.
Pemberian diare.
Pengeluaran berlebihan.
liur
obat
Dibiarkan saja dengan tetap menjaga suhu tubuh trenggiling.
Caplak termasuk parasit yang berbahaya karena dapat melekat kuat pada inangnya dengan bantuan klisera dan hipostom sehingga caplak sulit dihilangkan (Woolley (1988) dan Valenzuela (2004) dalam Sumantri (2007)). Caplak pada trenggiling dianggap berbahaya karena menjadi parasit yang memamah kulit, menghisap darah hingga getah bening pada tubuh trenggiling, terutama di bagian perut. Apabila terinfeksi caplak maka tubuh trenggiling yang bercaplak sulit disembuhkan dalam waktu yang singkat karena biasanya trenggiling yang terinfeksi caplak menjadi lemas dan memiliki nafsu makan yang jauh lebih buruk (Yang et al. 2010). Diduga kuat bahwa di penangkaran, caplak dapat menurunkan atau menularkan infeksi pada generasi berikutnya (Bowman et al. (2003) dalam Sumantri (2007)) terutama apabila kondisi habitat atau tempat penangkaran yang kotor atau tidak terawat dengan baik. Di penangkaran yang dilakukan di China, parasit caplak jenis ini menginfeksi sekitar 68,63 % dari total trenggiling yang ada di penangkaran kecuali trenggiling remaja. Berdasarkan uraian di atas, khususnya terkait dengan serangan penyakit caplak, maka untuk mencegah penyebaran dan perkembangan caplak pada tubuh trenggiling dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan (sanitasi) kandang dan pola pemberian pakan yang teratur dan berkualitas. Hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa dengan menjaga kebersihan kandang secara ketat, pengaturan pola pemberian pakan yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan
50
kesejahteraan satwa terbukti dapat mencegah berkembangnya serangan caplak pada trenggiling di penangkaran. Hal ini dibuktikan dengan diketahui bahwa di tubuh tiga ekor trenggiling anakan hasil penangkaran (F1) di UD Multi Jaya Abadi tidak ditemukan caplak. Hasil penelitian Sumantri (2007) juga menunjukkan bahwa caplak biasanya terbanyak ditemukan atau tersebar pada areal di luar kandang atau dengan kata lain caplak hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di habitat atau lingkungan yang kotor dan tidak terawat dengan baik. Diare merupakan indikator tingkatan kesehatan satwa di penangkaran karena tanda-tanda diare paling mudah diketahui yakni meningkatnya frekuensi pengeluaran feses
disamping berkurangnya nafsu
makan.
Diare dapat
menggambarkan suatu situasi, penyakit, dan kondisi pada satwa (Anonim 2010). Diare juga berhubungan langsung dengan pakan yang diberikan karena trenggiling yang terkena diare di penangkaran umumnya sebagai akibat dari pakan yang diberikan tidak cocok. Misalnya pada saat diberikan, dedak terlalu kasar atau terlalu halus, kondisi kroto terlalu beku atau terlalu cair. Pemberian kroto seperti ini biasanya dilakukan karena terbatasnya ketersediaan atau suplai kroto di penangkaran. Bahkan kroto yang dipasok juga seringkali tercampur dengan semut lain yang tidak disukai trenggiling dan dengan bahan lain seperti serbuk kayu atau tanah halus yang apabila termakan oleh trenggiling dapat menyebabkan terjadinya gangguan pencernaan sehingga dapat berakibat pada munculnya diare. Diare dapat menyebabkan kehilangan 10-12% bobot badan dan air serta elektrolit seperti sodium, bikarbonat, klorin dan potassium. Kejadian diare dapat mengakibatkan satwa menjadi lemas, bahkan yang terparah dapat mengakibatkan kematian (Amaral-Phillips et al. 2010). Hasil wawancara dengan animal keeper diketahui bahwa apabila kondisi suhu udara cukup tinggi maka proses kehilangan air tubuh pada trenggiling yang terkena diare dapat membahayakan kondisinya bahkan seringkali dapat menyebabkan kematian. Umumnya jika terkena diare, nafsu makan trenggiling berkurang, cenderung malas dan lebih banyak tidur atau tidak banyak melakukan aktivitas.
51
Selain caplak dan diare, trenggiling di penangkaran juga rentan terserang pilek. Pilek pada trenggiling ditandai dengan pengeluaran liur yang berlebihan. Dengan kondisi cuaca di Medan dan suhu lingkungan kandang penangkaran yang tergolong tinggi maka suhu tubuh trenggiling pun dapat meningkat. Heruwatno (1982) menyimpulkan bahwa tingginya suhu udara di dalam kandang berbanding lurus dengan jumlah air yang dibutuhkan atau dikonsumsi oleh satwa. Di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, peningkatan suhu yang diiringi dengan banyaknya air yang dikonsumsi dan air yang membasahi tubuh trenggiling ketika suhu terik dapat menjadikan trenggiling mengeluarkan banyak liur. Liur yang banyak tersebut apabila berlebihan dapat mengindikasikan terjadinya pilek. Luka merupakan salah satu media perantara yang mudah menyebarkan penyakit, bukan hanya pada manusia melainkan juga dapat terjadi pada satwa. Luka dapat terinfeksi oleh bakteri, virus ataupun jamur sehingga dapat mengganggu kesehatan satwa. Di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, hampir semua trenggiling terkena luka di sekitar tubuhnya baik di kulit maupun di selasela sisik. Luka ini terjadi akibat jeratan pada saat penangkapannya oleh masyarakat dengan menggunakan jerat berpaku. Setelah berada dalam pemeliharaan di penangkaran, luka juga biasa ditemukan di bagian pangkal ekor di sela-sela sisik (Gambar 14). Luka ini disebabkan oleh aktivitas memanjat trenggiling di dinding kandang yang terbuat dari kawat. Hasil pengamatan di penangkaran diketahui bahwa kawat kandang tersebut sudah mulai berkarat dan sebenarnya tidak layak dipakai sebagai dinding kandang. Akibatnya, kaki atau pangkal paha dan pangkal ekor trenggiling banyak ditemukan luka, diduga tersangkut kawat dinding kandang pada saat trenggiling beraktivitas (memanjat). Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh kondisi suhu lingkungan karena luka dapat sulit disembuhkan jika suhu lingkungan meningkat. Berdasarkan pengamatan di dalam kandang, apabila cuaca panas, trenggiling cenderung membasahi dirinya dengan air di dalam tempat minumnya sehingga luka menjadi basah dan dapat terjadi infeksi (bernanah dan bau). Apabila terjadi infeksi biasanya nafsu makan trenggiling menjadi berkurang dan kondisi ini dapat
52
mengakibatkan kematian. Buktinya pada tanggal 14 Agustus 2010 ditemukan seekor trenggiling yang mati akibat infeksi luka di bagian pangkal ekornya (Gambar 14). Kematian trenggiling akibat infeksi luka tersebut telah terjadi pada lebih dari dua ekor trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi Sunggal. Individu yang mati sebagian besar adalah individu betina. Kematian trenggiling tersebut merupakan suatu kerugian besar karena jumlah induk yang terdapat di penangkaran berkurang.
Gambar 14 Manis javanica yang mati akibat infeksi luka (bangkai dibekukan) (Foto: Novriyanti 2010). Kesehatan dan penyakit berhubungan dengan dua faktor utama. Faktor Pertama, adalah kebersihan kandang. Kandang yang dibersihkan secara rutin dengan baik dan benar dapat meningkatkan kesehatan dan menghindarkan kesempatan masuknya bibit penyakit. Faktor Kedua, adalah kondisi fisiologis satwa yang secara langsung mempengaruhi fisiologis satwa seperti metabolisme, pakan yang diberikan, dan reproduksi satwa. Terkait dengan kedua hal tersebut, maka prinsip penting yang harus dilakukan adalah tindakan pencegahan penyakit (preventif) secara teratur dan konsisten sejak dini. Menurut Mcardle (1972) dalam Trisaputra (2009), ditegaskan bahwa pendekatan untuk pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui penanganan aspek pengandangan dan pemberian makanan yang baik, karena pada prinsipnya ada beberapa hal yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada satwa, yakni: (a) pemberian makanan yang tidak tepat dan tidak disukai, (b) keadaan kandang yang buruk, (c) isi kandang yang padat, (d) sirkulasi udara buruk, dan (e) secara umum
53
pengontrolan terhadap pemberian makan, minum dan hama penganggu kurang diperhatikan atau dilakukan secara rutin. Ada beberapa tindakan manajemen perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang dilakukan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi, yakni: (a) Pemeriksaan kondisi tubuh trenggiling secara rutin. Pemeriksaan kondisi tubuh trenggiling dilakukan dengan memeriksa suhu tubuh trenggiling, melihat tanda-tanda atau gejala kelainan pada fisik trenggiling seperti perubahan warna pada moncong, pengeluaran liur yang berlebihan dan pemeriksaan suhu tubuh trenggiling. Pemeriksaan kondisi tubuh trenggiling dapat dilakukan pada saat pemberian pakan maupun pada saat membersihkan kandang dan tubuh trenggiling. Jika terdapat luka atau gejala-gejala penyakit lain, pengelola langsung melaporkan kejadian tersebut kepada dokter hewan yang ditugaskan agar segera diperiksa dan diberikan tindakan pengobatan yang tepat. (b) Pengelolaan sanitasi kandang, fasilitas penunjang dan lingkungan sekitar kandang. Kandang dan fasilitas penunjang di dalam kandang (tempat makan dan minum, dan lain-lain) serta lingkungan sekitar kandang harus dibersihkan secara rutin dan teratur sebagai tindakan pencegahan berkembangnya penyakit seperti diuraikan pada bagian pengelolaan perkandangan tersebut di atas. Pembersihan dilakukan minimal 4 (empat) kali seminggu dan pada kondisi tertentu dapat dilakukan setiap hari terutama penggantian air minum. Kawat pada dinding kandang yang biasa digunakan sebagai tempat memanjat trenggiling juga harus dibersihkan agar trenggiling dapat terhindar dari luka dan infeksi luka pada saat memanjat. (c) Penyediaan pakan yang tepat dan sesuai baik jumlah dan mutu serta habit trenggiling. Pencegahan penyakit juga dilakukan sejak dini melalui pemberian pakan yang memenuhi syarat kesehatan dan kebutuhan serta habit satwa seperti diuraikan di atas. Sebagai sumber energi bagi hidup dan perkembangan kesehatan dan produktivitas satwa, maka dalam penangkaran trenggiling tindakan penyediaan dan pemberian pakan secara baik, tepat waktu dan tepat sasaran sesuai pola aktivitas dan kondisi fisiologis trenggiling
54
dengan sendirinya akan berdampak positif sekaligus mencegah terjangkitnya penyakit. 5.1.5 Manajemen Reproduksi Dalam manajemen reproduksi trenggiling di penangkaran terdapat sekurang-kurangnya empat tindakan pengelolaan. Tindakan pengelolaan tersebut meliputi: (a) pembentukan pasangan, (b) teknik mengawinkan trenggiling, (c) pemantauan perkembangan reproduksi, dan (d) penanganan anak pasca kelahiran. Sedangkan dalam penerapan teknik pengembangbiakan trenggiling diperlukan beberapa informasi reproduksi dan breeding trenggiling, meliputi: karakteristik bioreproduksi (usia dewasa kelamin, musim kawin, lama kebuntingan, jumlah anak per kelahiran, determinasi sex) dan pilihan teknik pengembangbiakan, baik secara alami maupun secara buatan (artifisial) melalui bantuan atau campur tangan manusia. 5.1.5.1 Pembentukan Pasangan Ditinjau
dari
ciri-ciri
morfologi
jenis
kelaminnya,
trenggiling
dikategorikan sebagai satwa yang mudah dibedakan jenis kelaminnya sehingga disebut sebagai satwa sexual dimorphisme. Trenggiling jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan trenggiling betina. Sebagai mamalia, pembedaan jenis kelamin (sex determination) pada trenggiling dapat ditentukan melalui pengamatan terhadap bentuk saluran pembuangan kotoran (vulva) yang terletak di bawah perut trenggiling. Trenggiling betina hanya memiliki vulva di pangkal ekornya sedangkan pada trenggiling jantan terdapat tonjolan di depan vulva. Pembeda jenis kelamin pada trenggiling dapat dilihat di Gambar 15. Proses pembentukan pasangan trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi untuk kepentingan pengembangbiakan diawali dengan dimasukannya trenggiling jantan dan betina yang sudah teridentifikasi jenis kelaminnya ke dalam satu kandang, sehingga nisbah kelaminnya (sex ratio) 1:1. Penentuan sex rasio ini berbeda dengan pernyataan Medway (1969) bahwa di alam sex rasio trenggiling adalah 4:1.
55
(a) Gambar 15
(b)
Pembeda jenis kelamin (sex determination) pada trenggiling (a) jantan dan (b) betina (Foto: Bismark 2011).
Selanjutnya setelah penempatan pasangan trenggiling tersebut di dalam satu kandang, dilakukan pemantauan secara rutin terhadap kecocokan pembentukan pasangan tersebut. Pemantauan ini perlu dilakukan agar dapat diambil tindakan sesegera mungkin apabila terjadi ketidakcocokan sehingga kemungkinan terjadinya perkelahian dan kematian dapat dicegah. Meskipun secara alami trenggiling lebih dikenal sebagai satwa soliter atau pada saat tertentu (musim kawin) juga ditemukan berpasangan (Medway 1969), namun ada kemungkinan dapat terjadi perkelahiran pada saat proses pembentukan pasangan akibat ketidakcocokan. Berdasarkan hal itu, maka didalam proses pembentukan pasangan perlu diperhatikan bahwa setiap individu trenggiling pada prinsipnya memiliki preferensi tersendiri, sehingga tingkat kecocokan pasangan harus dipantau dengan baik untuk mencegah kemungkinan perkelahian atau saling melukai diantara individu trenggiling yang dipasangkan tersebut. Apabila trenggiling yang dipasangkan tidak terlihat saling mengganggu atau melukai, pasangan tersebut dikatakan cocok dan pengelola akan membiarkan proses reproduksi berlangsung secara alami. Namun apabila pasangan trenggiling yang dipasangkan tersebut terlihat tidak cocok atau melukai pasangannya, maka trenggiling tersebut akan dipisahkan dan dicarikan pasangan pengganti sampai trenggiling
tersebut
menemukan
pasangannya.
Selanjutnya
perkawinan
trenggiling di UD Multi Jaya Abadi dibiarkan berlangsung secara alami artinya
56
pasangan trenggiling tersebut dibiarkan kawin secara alami tanpa campur tangan pengelola di dalam penyatuan spermatozoa dan sel telur (ovum). Salah satu pertimbangan penting pada saat pemasangan trenggiling adalah masuknya masa estrus karena memberikan efek yang lebih efektif terhadap keberhasilan pembentukan pasangan dan proses perkembangbiakannya. Menurut pengelola trenggiling yang dapat dipasangkan dengan berhasil adalah trenggiling yang sudah masuk masa estrus baik jantan maupun betina. Menurut animal keeper seekor trenggiling betina dinyatakan sedang estrus apabila di sekitar vulvanya menunjukkan tanda-tanda perubahan warna, yaitu berwarna kemerahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan animal keeper, diketahui bahwa sebagai mamalia trenggiling juga mengalami menstruasi setiap bulannya. Hal ini terlihat dari darah yang dikeluarkan trenggiling di bagian vulva dan biasanya berlangsung tidak lama. Pada trenggiling jantan, gejala birahi atau libido seksual juga ditunjukkan dengan bentuk vulva yang memerah dan menujukkan perilaku yang jauh lebih aktif daripada biasanya. Selain itu gejala birahi juga dapat diketahui berdasarkan penampakan fisik lain seperti kecerahan sisik (kulit trenggiling), kekentalan feses dan nafsu makan yang meningkat. Tanda-tanda atau gejala birahi dan reproduksi pada trenggiling betina di penangkaran dapat terjadi pada usia minimal (minimum breeding age) 2 tahun, sedangkan menurut Medway (1969) trenggiling di habitat aslinya dapat bereproduksi pada usia minimal satu tahun. Gejala birahi (estrus) yang dapat disebut sebagai dimulainya masa pubertas dan tanda-tanda keinginan untuk kawin pada satwa dipengaruhi oleh faktor nutrisi, musim, dan faktor sosial pemeliharaan (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Perbedaan waktu minimum seekor trenggiling dapat bereproduksi di penangkaran dengan di habitat aslinya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah makanan baik jenis pakan maupun jumlah konsumsi, suhu dan kelembaban serta teknik penangkaran yang digunakan. 5.1.5.2 Teknik Mengawinkan Trenggiling Di penangkaran, teknik mengawinkan trenggiling belum diketahui. Data dan informasi mengenai teknik mengawinkan trenggiling di penangkaran juga
57
masih terbatas. Secara umum, pengelola penangkaran UD Multi Jaya Abadi hanya mengetahui morfologi trenggiling dan perilakunya berdasarkan pengalaman tanpa melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan khusus, sehingga benar-benar dijalankan berdasarkan coba-coba (trial and error). Tidak ada teknik khusus yang digunakan untuk membantu reproduksi dan breeding trenggiling. Trenggiling yang berada di dalam kandang pemeliharaan berpasangan dan tidak menunjukkan perilaku antagonistik terhadap pasangannya dapat ditetapkan oleh animal keeper sebagai trenggiling yang akan dikawinkan. Secara alami, trenggiling termasuk satwa kawin bermusim (seasonal breeder) yakni kawin pada bulan April−Juni, namun di penangkaran tidak menutup kemungkinan terjadi perkawinan sepanjang tahun (non seasonal breeder). Secara alami kondisi ini dapat dimungkinkan terutama karena ketersedian pakan di penangkaran yang selalu ada sementara di alam sangat tergantung pada musim. Dengan adanya anggapan bahwa trenggiling sulit dikembangbiakkan di penangkaran (Wilson 1994), maka diperlukan suatu upaya atau teknik khusus yang dapat mempercepat dan meningkatkan kelahiran serta menekan tingkat kematian. Untuk itu, teknik perkawinan trenggiling perlu diketahui dan dikembangkan dengan baik. Di penangkaran, kemajuan teknologi reproduksi dimungkinkan untuk dilakukan. Bentuk-bentuk teknologi reproduksi yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam upaya meningkatkan perkembangbiakan trenggiling di penangkaran adalah inseminasi buatan (IB), transfer embrio (TE), pemisahan jenis kelamin, pemisahan spermatozoa X dan Y, In Vitro Fertilization (IVF) atau lebih dikenal dengan bayi tabung, kloning dan sebagainya. 5.1.5.3 Pemantauan Perkembangan Reproduksi Setelah terbentuk pasangan yang cocok dan perkawinan berlangsung secara alami tanpa campur tangan pengelola, maka dilakukan pemantauan terhadap perkembangan keberhasilan reproduksinya. Apabila perkawinan berhasil maka terjadi kebuntingan dan akan terlihat perubahan kondisi tubuh pada trenggiling
betina.
Trenggiling
yang
sedang
bunting
ditandai
dengan
membesarnya dimensi tubuh terutama di bagian perut. Trenggiling betina yang
58
sedang bunting mudah dibedakan dengan trenggiling betina yang tidak sedang bunting. Trenggiling betina yang sedang bunting memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan jantannya sedangkan yang tidak sedang bunting biasanya berukuran lebih kecil dibandingkan trenggiling jantan. Berdasarkan hasil wawancara dengan animal keeper, seekor trenggiling diketahui diduga bunting sejak Juli 2010 dan baru melahirkan sekitar awal Desember 2010. Berdasarkan hal tersebut, maka lama kebuntingan trenggiling di penangkaran di duga sekitar 4−5 bulan atau sekitar 120−150 hari. Lama kebuntingan trenggiling di penangkaran tersebut sesuai dengan lama kebuntingan trenggiling di habitat aslinya yang menurut Medway (1969) sekitar 130 hari atau selama ±4 bulan belum termasuk penghitungan masa estrus. Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh trenggiling dalam bereproduksi juga hampir sama dengan lama kebuntingan pada kerabat dekatnya, Myrmecophaga tridactyla. Pada trenggiling raksasa (giant anteater) tersebut, lama kebuntingan mulai dari estrus sampai pada proses kelahiran adalah 184 hari atau sekitar 6 (enam) bulan (Patzl et al. 1998). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan reproduksi. Ada dua hal yang teridentifikasi dapat mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan reproduksi trenggiling di penangkaran yang dapat mempengaruhi masa atau lama kebuntingan, yaitu: (i) manajemen stress. Kegagalan reproduksi pada trenggiling rentan terjadi apabila stress kurang diperhatikan dan tidak dikelola dengan baik sehingga masa kebuntingan menjadi lebih lama dan kelahiran menjadi terlambat. Disamping itu juga dikuatirkan juga dapat terjadi kemungkinan adanya cacat pada anak atau kesulitan pada saat melahirkan. Hal ini mengingat bahwa trenggiling adalah satwa yang memiliki tingkat reproduksi rendah, sulit dikembangbiakkan di penangkaran dan memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi, sama seperti trenggiling China (Manis pentadactyla) (Wu et al. 2004). Untuk itu, tindakan pemantauan perkembangan reproduksi harus benarbenar diperhatikan dengan memantau parameter-parameter yang dapat mempengaruhinya.
59
(ii) suhu (temperature) dan kelembaban di dalam kandang. Suhu dan kelembaban juga termasuk dalam salah satu hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan reproduksi. Trenggiling yang sedang bunting biasanya tidak menyukai cuaca yang panas dan berkelembaban rendah (kering). Hal ini terkait dengan mekanisme metabolisme tubuh trenggiling sehingga dapat mempengaruhi pola reproduksinya sebagaimana menurut Richard (1970) dalam Heruwatno (1982), mamalia dengan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola reproduksinya. Diperkuat juga oleh Barnes dan Gemmell (1984) yang mengungkapkan bahwa suhu sangat mempengaruhi kecepatan breeding pada satwaliar. Dengan demikian, trenggiling di penangkaran dapat memiliki masa kebuntingan yang lebih lama akibat adanya peningkatan suhu dan kelembaban dalam kandang. (iii) jenis dan teknik pemberian pakan. Hal tersebut terkait dengan metabolisme tubuh trenggiling, kecepatan aliran energi dan perpindahan materi dari tubuh induk ke dalam tubuh janin. Untuk itu diperlukan suatu teknik pemberian pakan dan inovasi jenis pakan. Pengembangan kroto dan inovasi dalam pemberian pakan kroto di penangkaran dapat menjadi salah satu pilihan untuk mempercepat masa kebuntingan. Hal ini dianggap tepat dan mudah dilakukan karena menurut Wawo et al. (2009) berdasarkan hasil penelitiannya pada jalak Bali, kroto terbukti mempercepat jarak kawin dan bertelur pada jalak Bali di penangkaran tanpa mengurangi kualitas anak yang dihasilkan. 5.1.5.4 Penanganan Anak Pasca Kelahiran Anak yang lahir di penangkaran UD Multi Jaya Abadi per kelahiran berjumlah satu ekor sebagaimana Medway (1969) menyatakan seekor induk trenggiling diperkirakan dapat beranak sepanjang tahun dengan jumlah anak lahir jarang sekali dua anak, biasanya hanya satu ekor. Setelah anak lahir (pasca kelahiran), biasanya animal keeper akan membersihkan kandang terlebih dahulu sebelum induk mengambil tindakan terhadap anak. Anak trenggiling (juvenile pangolin) yang baru lahir akan hidup bersama dengan induknya dan sepanjang
60
hari induk akan membawa anak kemanapun bergerak dengan meletakkan anak pada ekornya (Gambar 16).
Gambar 16 Induk menggendong anak selama masa penyapihan (Foto: Bismark 2009). Berdasarkan wawancara dengan pengelola, anak yang baru lahir memiliki kulit yang memerah. Pada masa ini sisik belum terlihat jelas dan belum mengeras sehingga induk perlu menjaga anak secara ketat dan memiliki peran yang terlihat lebih dominan dibandingkan trenggiling jantan. Sebagaimana menurut Parr (2003) dalam Farida (2010), sisik anak yang baru lahir masih lembut dan akan mengeras pada umur dua hari. Mata anak baru akan terbuka pada umur 10 hari. Anak trenggiling mulai belajar makan rayap pada umur 1 bulan sehingga diperlukan perhatian khusus dari induk selama 3−4 bulan untuk meyapih anak. 5.2 Konsumsi dan Palatabilitas Pakan Trenggiling di Penangkaran Pakan memegang peranan yang sangat penting sebagai sumber energi bagi hidup dan perkembangan satwa sehingga sangat menentukan keberhasilan penangkaran. Satwa secara bebas dapat bergerak mencari pakan di habitatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan di alam, di penangkaran dalam ruang kandang yang terbatas, pemenuhan kebutuhan pakan satwa sangat tergantung pada penyediaannya oleh keeper atau pengelola penangkaran, baik jumlah, mutu maupun jenis pakannya. Diantara faktor penting lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam manajemen penyediaan pakan satwa di penangkaran agar tercapai efisiensi dan efektivitasnya adalah tingkat konsumsi dan kesukaan (palatabilitas) pakan. Berkenaan dengan itu, maka umumnya dilakukan percobaan-percobaan untuk
61
mengetahui tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan satwa di penangkaran dengan memberikan suatu formula ransum. Ransum tersebut dibuat dari beberapa bahan penyusun pakan yang dipilih berdasarkan kebiasaan (habit) satwa tersebut dan tingkat kebutuhan pakannya. Mengingat pakan menjadi salah satu faktor produksi dalam kegiatan penangkaran, pakan memerlukan biaya terbesar yakni mencapai 60-70% dari seluruh biaya produksi. Oleh sebab itu pakan yang diberikan pada trenggiling di penangkaran juga harus benar-benar mendapat perhatian dan penanganan yang tepat. Hal ini ditujukan agar secara teknis pengelolaannya dapat tercapai prinsip efisiensi dan efektivitasnya, baik dilihat dari segi teknis biologi-fisiologis yang berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan trenggiling maupun dari segi ekonomi-finansial memberikan harga yang semurah mungkin. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan percobaan pemberian pakan trenggiling di penangkaran untuk mengetahui tingkat konsumsi dan tingkat kesukaan (palatabilitas) pakan. Dalam percobaan ini diberikan dua macam ransum yang disusun dari kroto dan dedak dengan komposisi berbeda. Di bawah ini diuraikan hasil-hasil percobaan tersebut. 5.2.1 Kandungan Gizi Pakan Percobaan Besar kecilnya ransum yang dikonsumsi oleh trenggiling di penangkaran sekurang-kurangnya harus memenuhi kebutuhan gizi trenggiling. Di dalam pakan satwa, belum ada standar baku yang digunakan untuk menentukan besarnya nilai gizi yang seharusnya dapat dipenuhi dalam suatu ransum yang dikonsumsi (Sukria dan Krisnan 2009), terutama pada trenggiling karena belum banyak penelitian mengenai satwa ini. Hasil analisis proksimat dari kedua macam ransum yang dicobakan menunjukkan bahwa persentase kandungan gizi kedua jenis ransum atau pakan percobaan tersebut ternyata berbeda-beda, baik protein, serat kasar, abu, energi, lemak dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN), seperti ditunjukkan pada Tabel 9.
62
Tabel 9 Hasil analisis proksimat kandungan zat makanan ransum penelitian Zat makanan Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Serat kasar (%) BETN (%) Energi total (kkal/kg)
Komposisi kimia kroto*) 4,20 47,80 14,84 9,50 23,66 5143
Komposisi kimia dedak jagung 2,30 9,80 6,40 9,80 61,80 2400
Komposisi ransum P1
Komposisi ransum P2
2,93 22,47 9,22 9,7 49,07 3314
3,31 30,06 10,9 9,64 41,46 3863
*) Lovianti (1994)
Kandungan abu, protein, lemak dan energi metabolis dalam ransum P2 lebih tinggi dibandingkan P1, sedangkan kandungan serat kasar P1 sedikit lebih tinggi daripada P2. Perbedaan persentase kandungan gizi dari kedua jenis pakan ini antara lain diduga karena perbedaan porsi kroto sebagai bahan penyusunnya. Dengan demikian apabila komposisi kroto sebagai bahan penyusun pakan tinggi, maka secara relatif kandungan protein dalam pakan percobaan tersebut juga tinggi. Pada Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa karena persentase kandungan protein pada kroto cukup besar yakni 47,80% dibandingkan dengan zat-zat makanan lainnya, maka pakan percobaan P2 yang disusun dengan jumlah kroto lebih banyak menyebabkan kandungan protein pada pakan P2 juga relatif lebih banyak daripada P1. Meskipun demikian secara umum dapat dinyatakan bahwa komposisi zat makanan dari kedua pakan percobaan tersebut (P1 dan P2) relatif sama atau tidak berbeda jauh. Belum ada informasi rinci tentang standar minimum kebutuhan zat makanan bagi trenggiling di penangkaran baik untuk hidup pokok (maintenance), pertumbuhan (growth), perkembangbiakan dan/atau produksi tertentu. Dengan demikian belum dapat dinyatakan bahwa komposisi zat pakan percobaan tersebut sudah atau belum memenuhi berbagai standar minimum kebutuhan trenggiling di penangkaran seperti dimaksudkan di atas. Meskipun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam terkait dengan kebutuhan zat makanan secara tepat untuk trenggiling di penangkaran, namun secara teknis dengan memperhatikan komposisi zat makanan tersebut kedua jenis ransum yang diujicobakan dapat dijadikan sebagai acuan didalam manajemen pemberian pakan trenggiling di penangkaran. Pond et al. (1995) menyatakan bahwa tingginya nilai komposisi
63
kimia suatu bahan pakan belum tentu menjamin kebutuhan energi dapat terpenuhi, karena tidak semua zat makanan dalam bahan pakan tersebut dapat diserap dan dicerna dengan baik oleh tubuh satwa. Terkait dengan penjelasan di atas, maka hal terpenting yang harus diperhatikan dalam penyusunan ransum bagi satwa di penangkaran adalah keseimbangan kandungan gizi dan terpenuhinya kebutuhan dan keuntungan biologis satwa (Sukria dan Krisnan 2009). Dalam prakteknya diperlukan suatu strategi penyediaan ransum dengan formulasi yang tepat agar kebutuhan energi dan gizi trenggiling di penangkaran dapat dipenuhi. Menurut Andajani et al. (1984), semakin tinggi kadar energi dalam ransum maka diharapkan semakin tinggi pula kadar protein yang harus disediakan untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang maksimal. Disamping itu, didalam penyusunan ransum juga perlu diperhatikan persentase atau porsi suatu zat makanan. Persentase komposisi bahan kering dalam suatu ransum juga merupakan salah satunya yang penting diperhatikan karena ternyata berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum ataupun konsumsi air. Hasil penelitian Sudarman et al. (2008) pada domba diketahui bahwa tingkat konsumsi air selain dipengaruhi oleh tingkat konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh adanya kandungan lemak dalam ransum. Harris dan vanHorn (2003) menyatakan bahwa pakan yang mengandung serat tinggi dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi air dengan meningkatnya kehilangan air melalui feses. 5.2.2 Konsumsi Ransum Pakan pada satwa digunakan sebagai sumber energi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup satwa baik untuk hidup pokok (life maintenance) seperti bernapas, bergerak, maupun untuk berbagai kebutuhan dan aktivitas lainnya termasuk untuk pertumbuhan dan perkembangan (reproduksi). Dengan demikian pakan yang diberikan harus diperhitungkan sedemikian rupa agar berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan trenggiling secara efisien. Dalam hal ini tingkat konsumsi pakan berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan tersebut.
64
Hasil percobaan pemberian dua jenis pakan (P1 dan P2) pada trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dalam sistem pemeliharaan tunggal (individual) dan sistem pemeliharaan berpasangan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi ransum sebanyak 94,67 g/ekor/hari. Dilihat dari jenis pakan, hasil percobaan menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan P2 relatif lebih banyak (98,38 g/ekor/hari) daripada pakan P1 (90,9616 g/ekor/hari), sedangkan ditinjau dari sistem pemeliharaan diketahui bahwa rata-rata konsumsi ransum trenggiling yang dipelihara secara individual lebih banyak yakni 100,24 g/ekor/hari daripada trenggiling yang dipelihara berpasangan yakni 89,10 g/ekor/hari. Hasil perhitungan rataan konsumsi ransum trenggiling di penangkaran selama percobaan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Rataan jumlah konsumsi ransum trenggiling selama percobaan (per ekor per hari) Sistem pemeliharaan Kandang berpasangan Kandang individu Jumlah (g) Rata-rata (g)
Jenis ransum (g) P1 P2 83.8462 94.3654 98.0769 102.4039 181.9231 196.7693 90.9616 98.3847
Jumlah (g) 178.2116 200.4808
Rata-rata (g) 89.1058 100.2404 94.6732
Keterangan: P1=ransum dengan campuran 50 g kroto, P2=ransum dengan campuran 80 g kroto.
Meskipun nilai rata-rata konsumsi ransum dari kedua jenis pakan percobaan menunjukkan hasil yang berbeda, yakni ransum P2 (kroto 80 g dan dedak 70 g) lebih banyak dikonsumsi dibandingkan ransum P1 (kroto 50 g dan dedak 100 g), tetapi hasil analisis statistik membuktikan kedua jenis ransum tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi ransum. Hasil yang sama juga diperoleh dari hasil percobaan terhadap sistem pemeliharaan individual dan berpasangan yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa kedua jenis ransum tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tingkat konsumsi ransum, begitu pula halnya dengan sistem pemeliharaan individual dan berpasangan. Ini berarti bahwa meskipun dipelihara dalam berbagai tipe pemeliharaan dan diberikan ransum dengan jumlah kroto lebih banyak atau sedikit, jumlah ransum yang dikonsumsi trenggiling stabil.
65
Meskipun tipe pemeliharaan dan jenis ransum yang diberikan tidak mempengaruhi besaran konsumsi, ternyata jumlah yang dikonsumsi tersebut mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan pada trenggiling. Hasil pengukuran bobot badan trenggiling setelah perlakuan pemberian pakan diketahui bertambah rata-rata sebesar 50 g selama 13 hari percobaan dengan rataan efisiensi sebesar 1,82 g. Angka ini menunjukkan bahwa pakan percobaan memberikan efek positif terhadap peningkatan bobot badan trenggiling di penangkaran. Artinya tingkat konsumsi pakan yang diberikan secara relatif dapat dikonversi menjadi bobot badan secara bermakna, sehingga kedua jenis ransum ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan didalam manajemen pemberian pakan trenggiling di penangkaran. Menurut Siagian (1990), efisiensi penggunaan makanan merupakan parameter penting karena dapat menentukan kemampuan ransum diubah menjadi daging. Perubahan ini ditunjukkan oleh laju pertambahan berat badan. Semakin kecil nilai konversi ransum terhadap bobot badan (rataan efisiensi kecil) maka akan semakin efisien ransum tersebut diberikan. Besarnya konsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantara hal tersebut adalah kesukaan terhadap ransum, kandungan gizi ransum, kondisi tubuh satwa, dan kapasitas kandang. Berdasarkan tingkat kesukaan, trenggiling cenderung mengonsumsi lebih banyak pada bahan pakan yang disukai dibandingkan dengan pakan yang kurang disukai. Kondisi ini, paling tidak sesuai dengan pernyataan Tilman et al. (1998) bahwa, konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas atau tingkat kesukaan terhadap ransum. Tillman et al. (1998) juga menyatakan bahwa nilai gizi ransum juga turut diperhitungkan dalam besarnya konsumsi ransum, artinya pemenuhan terhadap kebutuhan energi juga menjadi penentu besarnya konsumsi ransum. Terkait dengan pernyataan ini, maka melihat hasil percobaan konsumsi ransum pada trenggiling di penangkaran seperti ditunjukkan di atas, dapat diduga kuat bahwa trenggiling cenderung mengonsumsi lebih banyak ransum yang mengandung protein tinggi daripada ransum yang berprotein rendah, karena secara alami pakan trenggiling di alam diketahui lebih banyak berupa semut dan rayap yang mengandung kithin. Dengan demikian dapat dipahami hasil percobaan ini menunjukkan bahwa ransum P2 lebih banyak mengandung kroto ternyata juga
66
secara relatif lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan ransum P1 yang lebih sedikit mengandung kroto. Berdasarkan kondisi ini, maka dapat dinyatakan bahwa semakin rendah kandungan protein suatu ransum, maka tingkat konsumsi tersebut akan rendah pula. Disamping itu, juga diketahui bahwa suatu bahan pakan yang memiliki kandungan nutrisi rendah antara lain ditandai oleh kandungan serat kasar yang tinggi. Dalam hal pakan percobaan untuk trenggiling yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pakan yang disusun dari dedak yang lebih banyak (P1) ternyata memberikan efek tingkat konsumsi yang relatif rendah pula. Pada dasarnya ransum yang memiliki kandungan serat kasar tinggi– dalam hal ini P1 karena banyak mengandung dedak, maka ransum tersebut menjadi amba sehingga dapat membuat konsumsi rendah (North dan Bell 1990 dalam Tanwiriah et al. 2006). Bahan makanan dengan kandungan serat kasar tinggi ini sulit dicerna oleh trenggiling disamping kecepatan konsumsi menjadi berkurang mengingat cara trenggiling makan menggunakan lidahnya. Meskipun ada perbedaan tingkat konsumsi dari kedua jenis ransum percobaan, namun kondisi ini belum menjadi jaminan bahwa pakan yang lebih banyak dikonsumsi tersebut dapat memenuhi kebutuhan energinya. Pond et al. (1995) mengingatkan bahwa ransum yang disukai belum tentu menjamin pemenuhan kebutuhan energi karena tidak semua zat makanan dalam ransum dapat diserap dan dicerna dengan baik oleh tubuh trenggiling. Faktor lain yang diketahui berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum adalah kondisi satwa, karena terkait dengan metabolisme yang terjadi dalam tubuh dan tingkat kebutuhan gizinya. Menurut Tobing (2010) pada ruminansia, faktor umur, jenis kelamin, kondisi tubuh (misalnya bunting atau dalam keadaan sakit) sangat mempengaruhi konsumsinya. Faktor ini juga berlaku sama pada trenggiling. Hal ini dibuktikan dengan pada saat pengamatan dan pengukuran konsumsi ransum diketahui bahwa di dalam salah satu kandang berpasangan (K1), dimana ada trenggiling betina sedang bunting 90 hari ternyata menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan trenggiling di dalam kandang lainnya. Kondisi yang ditemukan pada trenggiling ini berbeda dengan
67
umumnya pada kebanyakan satwa yang bunting. Pada satwa yang bunting, biasanya nafsu makan menjadi meningkat karena adanya tuntutan pemenuhan gizi dan kebutuhan nutrisi yang cukup bagi induk maupun embrio yang ada di dalam kandungannya. Hasil penelitian Musofie et al. (1990) pada induk domba ekor gemuk yang bunting juga membuktikan bahwa ada kecenderungan terjadinya peningkatan konsumsi selama masa kebuntingan. Sementara itu pada kasus trenggiling yang ditemukan dalam percobaan di penangkaran UD Multi Jaya Abadi ini, peningkatan nafsu makan tidak terlalu signifikan dan cenderung tidak terlihat. Betina yang bunting cenderung memiliki nafsu makan yang lebih rendah bahkan konsumsi ransumnya cenderung menurun dibandingkan dengan trenggiling jantan sebagaimana pasangannya di dalam satu kandang. Kondisi ini diduga karena pengaruh adanya embrio dan suhu tubuh induk yang meningkat, disamping kemungkinan karena kandungan gizi ransum yang tidak seimbang dan belum dapat memenuhi kebutuhan trenggiling dan embrionya. Perbedaan rata-rata tingkat konsumsi ransum dalam sistem pemeliharaan berpasangan yang lebih rendah dibanding dengan pemeliharaan individual, diduga berkaitan dengan kondisi kenyamanan dan adanya persaingan (kompetisi) antara individu dalam sistem pemeliharaan berpasangan. Hasil pengamatan diketahui bahwa ada perilaku saling mengganggu atau berebutan makan bersama-sama dalam satu piring, juga terlihat trenggiling betina menaiki tubuh pasangannya atau mengendus-endus hidungnya pada saat trenggiling jantan sedang makan. Akibatnya aktivitas makan trenggiling pasangannya tergangggu dan berdampak pada rata-rata jumlah konsumsi yang berkurang atau lebih sedikit. Kondisi berpasangan ini tentu berbeda dengan kebiasaan trenggiling di alam yang lebih dikenal sebagai satwa soliter, bukan sebagai satwa yang hidup berkelompok dan berperilaku sosial tinggi (Medway 1969), sehingga apabila dipelihara secara berpasangan besar kemungkinan terjadi gangguan atau persaingan aktivitas individu khususnya didalam mencari dan/atau mengonsumsi pakan. Dengan adanya penguasaan atau persaingan dalam perolehan pakan dapat membuat total ransum yang dimakan per individu menjadi sedikit karena kebebasan menikmati makanannya sangat terbatas.
68
Adanya intervensi atau kompetisi dalam memilih dan mengonsumsi pakan juga dipengaruhi oleh kapasitas satwa dalam kandang. Pada burung, menurut Haryoko (2008) hal yang sama juga terjadi yakni jumlah individu dalam kandang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Konsumsi pakan terbanyak ditemukan pada kandang dengan jumlah individu yang lebih sedikit, sedangkan untuk individu satwa yang berjumlah lebih banyak (> 2 ekor) pakan yang dikonsumsi jauh lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut, kenyamanan dalam mengonsumsi pakan dan ada atau tidaknya proses kompetisi dalam perolehan makanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam besarnya konsumsi pakan di dalam kandang pemeliharaan berpasangan. Selain kenyamanan dalam mengonsumsi pakan dan kompetisi saat makan, terdapat faktor lain yang mempengaruhi besaran konsumsi ransum. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat konsumsi pada satwa menurut Tobing (2010) adalah keadaan satwa termasuk bobot badan yang juga erat kaitannya dengan temperatur lingkungan dan kesehatan satwa. Parakkasi (1983 dalam Novriyanti et al. 2010) juga menyatakan bahwa semakin besar ukuran satwa maka konsumsi terhadap ransum dapat meningkat. Tobing (2010) juga menyatakan bahwa selera satwa dan bentuk pakan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan besar kecil konsumsi ransum. Terkait dengan pengaruh ukuran bobot badan satwa terhadap tingkat konsumsi ransum, diketahui bahwa trenggiling dengan rata-rata ukuran bobot badan yang lebih besar yakni 5,5 kg pada sistem pemeliharaan berpasangan ternyata cenderung mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan trenggiling dengan bobot badan lebih rendah (3,7 kg) pada sistem pemeliharaan individual. Kondisi ini ditemukan berbeda pada kasus trenggiling betina yang sedang bunting dengan bobot badan mencapai 6,7 kg. Ternyata tingkat konsumsi rata-rata pada trenggiling tersebut lebih rendah (sedikit) dibandingkan individu lain. Kemungkinan kondisi ini dipengaruhi oleh cadangan lemak yang ada di dalam tubuh trenggiling tersebut. Artinya trenggiling yang berukuran dan memiliki bobot lebih besar memiliki cadangan energi dan lemak yang lebih banyak, sehingga sebagian kebutuhan ransumnya dipenuhi melalui pemanfaatan cadangan energi pada tubuhnya melalui mekanisme katabolisme energi tubuh.
69
Sebaliknya, trenggiling yang berukuran tubuh kecil dan memiliki bobot badan rendah cenderung banyak mengonsumsi ransum karena diduga masih dalam masa pertumbuhan sehingga masih membutuhkan banyak nutrisi dan kelengkapan gizi berimbang. Selain kondisi bobot badan atau kegemukan tubuh satwa yang berpengaruh terhadap peningkatan dan atau penurunan konsumsi ransum, kondisi suhu (temperature) lingkungan juga diketahui berpengaruh terhadap tingkat konsumsi ransum. Suhu turut memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menentukan besaran konsumsi ransum trenggiling di penangkaran. Hasil pengamatan di penangkaran menunjukkan bahwa suhu rata-rata pada saat pengamatan di siang hari diperoleh sebesar 33,47 oC sedangkan kondisi pada malam hari biasanya berkisar antara 30oC - 31oC. Suhu pada malam hari masih cukup tinggi karena adanya pengaruh iklim mikro di sekitar kandang pada siang hari. Tingginya suhu pada siang hari mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi ransum pada malam harinya, terutama pada trenggiling dalam kandang berpasangan dengan rata-rata konsumsi 89,1 g/ekor/hari. Kondisi ini terjadi karena pada saat suhu meningkat (tinggi) dalam tubuh trenggiling terjadi penimbunan panas sehingga untuk menguranginya konsumsi ransum ditekan dan konsumsi air lebih ditingkatkan agar trenggiling dapat menuju kondisi nyaman kembali sebagaimana hasil penelitian Kusnadi dan Rahim (2009) pada unggas. Disamping itu, dengan bobot badan trenggiling yang cukup besar (tingkat kegemukan tinggi) dan tingginya suhu panas pada siang ataupun malam hari, maka akan terjadi kelebihan panas produksi pada tubuh trenggiling. Kondisi ini berdampak pada menurunnya kebutuhan dan/atau konsumsi terhadap pakan. Secara spesifik dapat dinyatakan bahwa meningkatnya kondisi suhu lingkungan kandang berakibat negatif terhadap berkurangnya selera makan trenggiling, sebagaimana halnya pada satwa ruminansia berdasarkan hasil penelitian Tobing (2010). 5.2.3 Palatabilitas Pakan Secara sederhana palatabilitas pakan dapat diartinya sebagai jumlah pakan yang paling banyak dikonsumsi diantara jenis-jenis pakan (ransum) yang
70
disediakan. Dalam percobaan ini palatabilitas pakan ditentukan dengan menghitung data jumlah konsumsi ransum percobaan selama penelitian. Dengan demikian ransum yang paling banyak dikonsumsi disebut sebagai pakan palatable bagi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi. Berdasarkan hasil penghitungan terhadap palatabilitas ransum diketahui ransum P2 lebih disukai dibandingkan dengan ransum P1 baik pada kandang individu (P2=63,27%) maupun pada kandang berpasangan (P2=62,91%). Dilihat dari komposisi bahan penyusun ransum, ternyata pakan P2 lebih banyak mengandung kroto dibanding pakan P1. Hal ini menunjukkan bahwa secara alamiah trenggiling sebagai pemakan semut cenderung memilih makanan sesuai kebiasaannya (habit) di alamnya sebagai pemakan semut. Selain itu pakan P1 dengan kandungan serat kasar yang lebih karena tersusun lebih banyak dari dedak dibandingkan komposisi kroto, menyebabkan jumlah konsumsinya pun menjadi lebih kecil atau kurang disukai. Meskipun demikian, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata (P> 0,05) antara kedua jenis ransum yang diujicobakan. Ini berarti bahwa sebenarnya trenggiling tetap mengonsumsi ransum meskipun komposisi kroto di dalam rasum sedikit. Hasil perhitungan tingkat kesukaan terhadap kedua jenis pakan percobaan (P1 dan P2)
Tipe Pemeliharaan
ditunjukkan pada Gambar 17.
63.27
Kandang individu
56.85 P2 62.91
Kandang berpasangan
P1
54.36
48
50
52
54
56
58
60
62
64
Tingkat Konsumsi (%)
Gambar 17 Tingkat konsumsi ransum trenggiling yang menunjukkan palatabilitas pakan dalam ransum yang diberikan.
71
Ada banyak faktor yang mempengaruhi palatabilitas suatu bahan pakan pada satwa. Salah satunya adalah bau dan bentuk pakan/ransum. P1 memiliki kandungan kroto yang lebih sedikit dibandingkan P2 sehingga bau yang dihasilkan
tidak
cukup
tajam
untuk
menarik
minat
trenggiling
dan
mengonsumsinya. Terlebih lagi, mengingat bahwa trenggiling menggunakan indera penciuman yang kuat untuk mendeteksi pakan preferensnya di alam (Nowak 1999), maka ketika trenggiling berada di penangkaran akan lebih memilih pakan dengan bau yang khas seperti semut atau rayap yang terdapat dalam ransum P2. Sebagaimana yang telah diutarakan Ensminger (1992) dan Tobing (2010) bahwa palatabilitas selain dipengaruhi oleh rasa, bau, dan warna, ternyata tekstur dan bentuk pakan juga menjadi salah satu faktor penentu seperti pada ruminansia dan pada unggas. Pada unggas, palatabilitas pakan ditentukan dari warna, rasa tekstur, dan kandungan nutrisi dari pakan. Mengingat bahwa trenggiling merupakan satwa yang tidak bergigi dan sistem pencernaannya (lambung) memiliki kesamaan fungsi dan sistem kerja seperti halnya pada unggas, maka palatabilitas pakan trenggiling diduga kuat memiliki kesamaan dengan unggas. Untuk satwa yang tidak memiliki gigi seperti trenggiling, maka pemilihan pakan lebih didasarkan pada tekstur pakan sebagai faktor penting terhadap besarnya konsumsi atau tingkat kesukaannya. Pakan atau ransum dengan tekstur kasar tidak terlalu disukai trenggiling di penangkaran. Terbukti dari ransum P1 yang mengandung lebih banyak dedak ternyata lebih sedikit dikonsumsi atau kurang disukai dibanding P2 yang kandungan dedaknya lebih sedikit. Dengan demikian dedak yang bertekstur kasar, untuk diberikan kepada trenggiling harus dihaluskan terlebih dahulu dan dicampurkan dengan kroto agar dapat mempertinggi kemungkinan untuk lebih banyak dikonsumsi atau supaya disukai trenggiling. Kecenderungan memilih ransum yang disajikan dapat mempengaruhi besarnya konsumsi sebagaimana yang dinyatakan oleh Tilman et al. (1998), bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas atau tingkat kesukaan terhadap ransum. Pada penelitian pendahuluan sebelum dilakukan pengenakan
72
perlakuan berupa kedua jenis ransum tersebut juga membuktikan bahwa ransum bertekstur kasar ternyata kurang disukai atau relatif sedikit dikonsumsi dibanding dengan ransum yang bertekstur lebih halus. Selain itu, secara fisiologis dari sistem pencernaan trenggiling, secara umum diketahui bahwa pakan yang banyak mengandung serat kasar relatif sulit dicerna oleh lambung satwa (North dan Bell (1990) dalam Tanwiriah et al. (2006). Selain itu pakan dengan serta tinggi juga dapat mempengaruhi peningkatan konsumsi air dan berakibat menurunkan konsumsi ransum (Harris dan vanHorn 2003) atau mengurangi selera konsumsinya. Selain tekstur, faktor kandungan nilai gizi pakan juga diduga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan (palatabilitas) pakan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ransum dengan kandungan kroto yang lebih banyak dan menjadi ransum yang disukai (preferens) juga dikarenakan kandungan gizi khususnya protein dan lemak yang relatif lebih tinggi. Hasil penelitian Andajani (1984) pada itik juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar energi yang terdapat dalam suatu ransum, maka konsumsi pakan untuk ransum tersebut akan semakin menurun dan sebaliknya apabila kandungan energi pakan rendah maka tingkat konsumsi ransum tersebut meningkat. Artinya apabila kandungan energi di dalam ransum sedikit, maka satwa memerlukan atau mengkonsumsi ransum tersebut dalam jumlah yang lebih besar agar kebutuhan energinya dapat dipenuhi. Dengan demikian jelas bahwa tingkat kesukaan suatu pakan yang ditandai oleh lebih banyaknya pakan itu dikonsumsi antara lain dipengaruhi oleh kandungan gizi dari pakan tersebut. Disamping dari bahan pakan, tingkat palatabilitas suatu bahan pakan atau ransum yang dipilih juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Diantara faktorfaktor tersebut adalah: 1) faktor dalam tubuh satwa itu sendiri, bahwa setiap jenis satwa memiliki preferensi yang berbeda dengan jenis lain; 2) kondisi pakan, apakah pakan dalam keadaan segar atau tidak; dan 3) kesempatan memilih pakan yang lain (Ivins 1952 dalam Lovianti 1994). Di alam, trenggiling memiliki peluang yang besar untuk mencari, menyeleksi, dan memangsa semut atau rayap yang akan menjadi makanannya. Namun di penangkaran, pakan selalu tersedia dengan menu yang sama setiap harinya sehingga kesempatan memilih pakan
73
terbatas karena secara umum jenis pakan yang disediakan di penangkaran juga terbatas. Dengan demikian rentang suatu pakan yang dipilih karena disukai (palatable) bagi trenggiling menjadi sangat kecil. 5.3.
Aktivitas Harian Trenggiling di Dalam Kandang Penangkaran Hasil pengamatan menunjukkan terdapat lima aktivitas umum yang
dilakukan trenggiling setiap hari. Kelima aktivitas harian tersebut antara lain aktivitas makan, berjalan, memanjat, tidur dan membuang kotoran (defekasi dan urinasi). Dari kelima aktivitas harian trenggiling yang dipelihara dalam sistem kandang individu dan berpasangan tersebut diketahui sebagian besar (68−72%) waktu pada siang hari digunakan untuk tidur (istirahat) dan hanya 20% waktu digunakan untuk makan, sisanya (10%) digunakan untuk berjalan, memanjat dan membuang kotoran (defekasi dan urinasi). Adapun persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi dapat dilihat pada Gambar 18. 80
72
Lama Aktivitas (%)
70
68 Kandang Berpasangan
60 50
Kandang individu
40
30
22
24
20 10
3
3
3
4
0
1
0 Makan
Berjalan
Memanjat
Tidur
Membuang kotoran
Bentuk Aktivitas
Gambar 18 Persentase aktivitas harian trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi per hari. Aktivitas harian biasanya ditunjukkan oleh adanya penempatan waktu pada masing-masing perilaku yang terlihat. Santosa (1993) menyebutkan pola penggunaan waktu harian ternyata bervariasi secara individu menurut umur, siklus biologi, status sosial, musim, dan karakteristik ekologi habitatnya. Perbedaan kelas individu mempengaruhi pola aktivitas harian. Selama pengamatan berlangsung, kondisi trenggiling percobaan dalam keadaan normal. Hanya terdapat 1−2 ekor trenggiling dewasa yang terlihat kurang aktif bergerak.
74
Trenggiling tersebut lebih sering ditemukan dalam keadaan tidur daripada beraktivitas terutama yang berada di dalam kandang berpasangan. Kondisi ini sesuai pernyataan Santoso (1993) bahwa individu dewasa lebih banyak istirahat dari pada individu muda. Aktivitas makan adalah salah satu aktivitas harian yang juga memberi pengaruh terhadap keberhasilan kegiatan penangkaran trenggiling. Ini berkaitan dengan kemampuan tindakan pengelolaan dalam mengakomodir waktu dan perilaku makan di penangkaran. Tipe pemeliharaan trenggiling di dalam kandang (individual dan berpasangan) diduga memiliki pengaruh terhadap pola aktivitas makan. Berdasarkan Gambar 18 pada kedua tipe pemeliharaan, trenggiling yang berada dalam kandang individu ternyata memiliki persentase aktivitas makan lebih tinggi dibandingkan apabila dipelihara dalam kandang berpasangan. Hal ini dikarenakan sebagai makhluk soliter (Medway 1969), trenggiling cenderung terlihat kurang aktif dalam kelompok yang diduga akibat keberadaan individu lain dalam satu kandang. Namun demikian, hasil pengamatan ternyata menunjukkan bahwa tidak ditemukan banyak aktivitas yang menunjukkan interaksi antar trenggiling (sosial) di dalam kandang berpasangan. Jarang ditemukan intervensi individu lain dalam kandang yang sama terutama pada aktivitas istirahat dan makan. Berdasarkan aktivitas hariannya (Gambar 18), trenggiling di penangkaran pun tetap tergolong sebagai satwa nocturnal sebagaimana halnya di alam. Terlihat dari hasil pengamatan pada siang hari hingga pukul 16.00–17.00 trenggiling tidak menunjukkan aktivitas yang mengeluarkan banyak energi seperti memanjat, berjalan, ataupun aktivitas lainnya yang sering dilakukan pada malam hari. Trenggiling banyak menggunakan waktunya di siang hari untuk beristirahat dengan menggulungkan badan seperti bola. Aktivitas istirahat trenggiling diduga tersebar dalam waktu-waktu tertentu pada siang hari. Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur trenggiling mulai pukul 06.00−18.00 WIB disajikan secara lengkap pada Gambar 19. Adapun sebaran waktu aktivitas makan dan tidur pada malam hari pada Gambar 20.
Persentase aktivitas
75
120
Kandang berpasangan
100
Kandang individu
80 60
40 20 0
Waktu (WIB)
Gambar 19
Sebaran waktu dalam melaksanakan aktivitas tidur (istirahat) trenggiling pada siang hari.
Dilihat dari sebaran penggunaan waktu tidur (istirahat) (Gambar 19) diketahui bahwa puncak aktivitas tidur terjadi mulai pukul 06.00–07.00 WIB kemudian pukul 09.00–11.30 WIB sedangkan pada malam hari, rata-rata puncak aktivitas tidur dimulai pukul 22.00 WIB baik untuk kandang individual maupun berpasangan (Gambar 20). Puncak aktivitas tidur ini tidak begitu berbeda dengan hasil penelitian Lim dan Ng (2008) terhadap aktivitas trenggiling di Singapura, yakni terjadi pada pukul 03.00-06.00 waktu Singapura atau sekitar pukul 04.00– 07.00 WIB.
120 100 80 60
makan pasangan
40
makan individu
20
tidur pasangan
0
tidur individu
Gambar 20 Sebaran waktu aktivitas makan dan tidur (istirahat) trenggiling pada malam hari.
76
Grafik pada Gambar 19 yang menunjukkan menurunnya aktivitas istirahat mulai pukul 15.00–18.00 yang dapat dinyatakan sebagai pertanda bahwa trenggiling akan berpindah aktivitas dari diurnal (siang hari) ke nokturnal (malam hari). Perubahan aktivitas dari siang ke malam hari ditandai dengan adanya pergerakan dari tidur menuju bergerak (berjalan atau memanjat). Pada waktuwaktu tersebut, mulai pukul 18.00 WIB aktivitas bergerak (makan, berjalan, memanjat, dan membuang kotoran) mencapai puncaknya yang ditunjukkan dengan penurunan grafik aktivitas tidur. Sebagaimana menurut Challender (tanpa tahun), puncak aktivitas bergerak trenggiling di penangkaran terjadi pada malam hari mulai pukul 18.00 sampai pukul 21.00. Perubahan aktivitas trenggiling di penangkaran dapat diartikan sebagai akibat dari kegiatan penangkaran termasuk perubahan cara pemberian dan perolehan pakan. Di alam, trenggiling dapat menghabiskan waktunya terutama pada malam hari dengan aktivitas mencari mangsa di lubang-lubang pohon, di bawah akar atau di batang pohon rubuh yang sudah lapuk untuk menemukan semut dan rayap sedangkan di penangkaran pakan disediakan setiap saat. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa secara bertahap trenggiling dapat mengalami perubahan pola aktivitas hariannya melalui proses adaptasi pemberian pakan. Di alam, trenggiling memakan semut dan rayap pada malam dan pagi hari dengan jarak jelajah 0,7–1,8 km per hari (Bismark 2009). Jika dihubungkan dengan aktivitas harian di penangkaran, maka aktivitas makan seharusnya memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini dapat disesuaikan dengan pernyataan Hafez (1969) meskipun perilaku satwa (animal behaviour) bersifat genetis akan tetapi dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan proses belajar (learning process). Selain dipengaruhi oleh kegiatan penangkaran terutama teknik pemberian pakan, persentase aktivitas harian dan sebaran waktu aktivitas tidur trenggiling juga diduga akibat adanya perubahan dan fluktuasi suhu di dalam kandang. Suhu merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kenyamanan satwa di dalam kandang, termasuk trenggiling. Terkait dengan proses adaptasi, trenggiling
77
memiliki batasan suhu yang dapat ditoleransi dalam hidupnya. Suhu pada siang hari berkisar antara 29−33,47 oC dengan kelembaban 47%. Berdasarkan hal tersebut ternyata ditemukan respon yang berbeda terhadap aktivitas hariannya karena 29−33,47oC termasuk suhu yang cukup tinggi bagi perkembangan trenggiling. Pada pukul 12.00−13.00 WIB sebagian besar trenggiling tetap melakukan aktivitas tidur (istirahat) dan hanya beberapa ekor trenggiling yang bergerak meskipun pada pukul 08.00−09.00 WIB secara keseluruhan terjadi aktivitas gerak (tidak tidur). Meskipun demikian kondisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya trenggiling memiliki daya adaptasi tinggi karena mampu beradaptasi dengan cepat sebagaimana yang dinyatakan Smith (1970) dalam Heruwatno (1982), mamalia memiliki temperatur yang lebih rendah dan kemampuan adaptasi tinggi terhadap iklim panas dibandingkan dengan unggas. Pada trenggiling di penangkaran, kemampuan adaptasi terhadap peningkatan suhu diduga telah terjadi sejak trenggiling tersebut masih berada di alamnya sehingga ketika berada dalam kandang penangkaran, proses adaptasi terhadap iklim panas ini terjadi dengan mudah. Mengingat bahwa suhu di dalam kandang yang cukup tinggi tersebut, maka terjadi perubahan posisi tidur yang ditandai dengan adanya pergerakan peralihan seperti berjalan, memanjat ke atas kandang, atau hanya memanjangkan tubuh di atas lantai kandang (semen). Perubahan posisi tidur tersebut dibedakan dari posisi tubuh tergulung dengan posisi tubuh terentang (mulai dari ujung ekor hingga kepala dan mulut) di lantai atau di dinding paling atas (kawat terdekat dengan atap). Namun terkadang sering juga ditemui trenggiling tertidur di atas air yang terdapat di dalam baskom. Posisi tidur trenggiling sebagai akibat dari penyesuaian terhadap suhu disajikan pada Gambar 21. Aktivitas bergerak pada waktu-waktu tersebut dinyatakan sebagai salah satu bentuk adaptasi tingkah laku atas perubahan suhu dari pagi hari (suhu rendah) ke siang hari (suhu tinggi) dan sebagai suatu mekanisme untuk menyeimbangkan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Pada Gambar 21b, trenggiling di penangkaran membutuhkan air untuk membantu menyeimbangkan suhu tubuhnya dengan suhu kandang sehingga kebutuhan terhadap air bagi trenggiling di
78
penangkaran UD Multi Jaya Abadi menjadi meningkat. Kondisi tersebut sesuai menurut Russel (1986), di habitat alaminya, air jarang dimanfaatkan satwa termasuk pada trenggiling meskipun ketersediaannya cukup kecuali jika cuaca terlalu panas, kebutuhan terhadap air dapat meningkat.
Gambar 21
(a) (b) Posisi tidur trenggiling (a) di dinding atas (dekat dengan atap kandang), (b) tertidur diatas air (Foto: Novriyanti 2010).
Selain itu, satwa termasuk trenggiling membutuhkan air untuk efisiensi maksimum dalam tubuhnya sebagai pelumas transformasi pakan dan metabolisme (urinasi dan defekasi) termasuk pengeluaran keringat. Air berfungsi dalam mentransfer panas dan pengaturan suhu di dalam tubuh satwa (Harris dan vanHorn 2003). Menurut Anggraeni (2006), pada suhu lingkungan tinggi akan terjadi proses evaporasi (penguapan) air tubuh sehingga tubuh sangat membutuhkan air. Guna pemenuhan kebutuhan air tersebut bagi trenggiling, maka air yang terdapat didalam tubuhnya diupayakan tidak banyak dikeluarkan sehingga dapat mencegah terjadinya kekurangan air dalam tubuh (dehidrasi). Dengan kondisi demikan maka dapat mempengaruhi rendahnya aktivitas urinasi pada trenggiling saat itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa aktivitas harian trenggiling di dalam kandang erat kaitannya dengan faktor internal seperti suhu tubuh dan faktor eksternal seperti aspek teknis pengelolaan (pemberian pakan, pembersihan kandang, dan sebagainya), kapasitas kandang, hubungan sosial (sociality pattern), suhu lingkungan dan daya adaptasi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Aspek teknis penangkaran trenggiling yang dikembangkan di UD Multi Jaya Abadi sebagai berikut: (a) Perkandangan; ukuran kandang 500 cm x 186 cm x 208 cm atau dengan perkiraan kapasitas tampung 1−2 ekor/m2, lantai dan dinding kandang terbuat dari semen dan atap berupa asbes. (b) Pakan/ ransum; berupa campuran dedak dan kroto, diberikan pada malam hari pukul 18.00 WIB sesuai aktivitas trenggiling sebagai satwa nocturnal. (c) Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit; jenis penyakit yang umum ditemukan pada trenggiling adalah caplak, luka, diare, dan pilek. Perawatan kesehatan dilakukan dengan cara (i) pemeriksaan rutin terhadap tubuh trenggiling oleh animal keeper dan ahli medis, dan (ii) tindakan pencegahan melalui pembersihan kandang dan menjaga sanitasi kandang. (d) Manajemen
reproduksi
dan
breeding;
pengaturan
pasangan
dan
perkawinan (mating) dilakukan secara manual dengan sex ratio 1:1. Masa berbiak terjadi sekitar bulan Juli. Keberhasilan perkawinan (mating) ditandai dengan melihat perubahan tubuh induk betina dan dipantau dengan bantuan kamera CCTV. Lama kebuntingan sekitar 130 hari atau ± 4 bulan. Jumlah anak per kelahiran sebanyak satu ekor dengan masa sapih 3–4 bulan.
2. Rata-rata jumlah konsumsi ransum trenggiling di penangkaran per ekor per hari sebesar 94,67 g/ekor/hari. Hasil percobaan pemberian dua macam ransum dengan kandungan kroto 50 g dan 80 g menunjukkan pengaruhnya tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tingkat konsumsi ransum meskipun trenggiling cenderung lebih banyak mengonsumsi ransum dengan jumlah kroto terbanyak sesuai habitnya sebagai pemakan semut. Perbedaan sistem pemeliharaan trenggiling secara individual (1 ekor) dan berpasangan (2 ekor) juga diketahui pengaruhnya tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap konsumsi ransum. Hasil percobaan juga menunjukkan tidak ada perbedaan nyata
80
(P>0,05) antara dua jenis ransum yang dicobakan terhadap palatabilitas ransum. 3. Aktivitas harian trenggiling di penangkaran terdiri dari tidur (68-70%), aktivitas makan (20%), dan 10% aktivitas membuang kotoran, memanjat dan berjalan. Aktivitas tidur banyak dilakukan pada siang hari dengan puncak aktivitas tidur terjadi pada pukul 06.00–07.00 WIB dan pukul 09.00–11.30 WIB. Aktivitas makan dilakukan pada malam hari pada pukul 18.00 WIB– 20.00 WIB.
6.2 Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh, ditemukan banyak saran yang dapat digunakan dalam pengelolaan trenggiling di UD. Multi Jaya Abadi agar dapat lebih baik. Adapun hal-hal yang dapat disarankan dalam penelitian ini adalah: 1. Pengelola
penangkaran
hendaknya
melakukan
inovasi-inovasi
dalam
manajemen pemberian pakan baik dari segi pemberian ransum, bentuk ransum, dan cara pemberian ransum yang sesuai dengan kebiasaan (habit) trenggiling. Disamping itu, upaya peningkatan kualitas tenaga kerja dan tenaga medis yang ahli dibidang penangkaran trenggiling lebih diperhatikan. 2. Demi keberlanjutan dan menjaga kesinambungan data dan informasi mengenai penangkaran trenggiling, penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan membuat variasi waktu pemberian pakan, cara pemberian pakan dan variasi jenis pakan terhadap konsumsi, palatabilitas, dan pertumbuhan bobot badan.
DAFTAR PUSTAKA Alamendah. 2009. Trenggiling, Dagingnya 1 juta per Kg. Dalam: http://alamendah.wordpress.com/2009/10/28/trenggiling-dagingnya-1-jutaper-kg/ [20 Mei 2010] Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press. Altmann J. 1974. Observational study of behaviour: sampling methods. Behaviour 49 (1974):227–267. Amaral-Phillips DM, Scharko PB, Johns JT, Franklin S. 2010. Pakan dan Manajemen Pedet. Dalam: http://ekabees.wordpress.com/2010/11/28/pakan-dan-manajemen-pedet/ [26 Desember 2010]. Andajani S, Susanto S, Indarto P. 1984. Pengaruh Tingkat kadar energi dan protein dalam ransum terhadap pertumbuhan anak itik. [laporan penelitian]. Malang: Universitas Brawijaya. Proyek pengembangan Ilmu dan Teknologi. Anonim. 2010. Diare. Dalam: http://www.allpetsmacomb.com/diarrhea.html [24 Desember 2010]. Bain JR and Humphrey SR. 1982. A Profile of the Endangered Species in Thailand. Report No.4. Office of Ecological Services, Florida State Museum, University of Florida, Gainesville, Florida. Barnes A, Gemmell RT. 1984. Correlations between breeding activity in the marsupial bandicoots and some environmental variables. Aust. J. Zool, 32 (1): 219-226. Bismark M. 2009. Teknologi Pengembangan Penangkaran dalam UKP Teknologi Konservasi Biodiversitas Fauna Langka. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Tidak dipublikasikan. Borror DJ, Tripelhorne CA, Johnson NF. 1992. Mengenal Pelajaran Serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Breen
K. 2003. Manis javanica, Animal Diversity Web. Dalam: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Manis_j avanica.html [3 Mei 2010].
Cahyono E. 2008. Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Challender DWS. Tanpa tahun. Time-budgets and activity patterns of captive Sunda Pangolin (Manis javanica) [thesis]. MSc Conservation Biology, MSc Project. Manchester Metropolitan University.
82
Damron WS. 2006. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social, and Industry Perspective 3rd Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. Davies G. and Payne J. 1982. A Faunal Survey of Sabah. Kuala Lumpur: WWF Malaysia. Dickman CR and Richer RA. 2001. Pangolins. DW Macdonald, editor. The Enciclopedia of Mammals. New York: Fact on File. Page: 800-801. Ensminger ME. 1992. Poultry Science. Danville: Interstate Publishing. Farida WR. 2010. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822), mamalia bersisik yang semakin terancam. Fauna Indonesia 9(1): 5-9. Foenander EC. 1953. The elephant's terror. Malayan Nature Journal 8:23-24. Gaubert P and Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological characters [abstract]. Journal of Mammalogy 86 (6). Hafez ES. 1969. The Behavior of Domestic Animals. 2nd Edited by The Williams & Withins Co, Baltinore.Hariyanto M. 2010. Pemusnahan dan pelepasliaran barang bukti tindak pidana kehutanan. http://blogmhariyanto.blogspot.com/2010/02/pemusnahan-danpelepasliaran-barang.html [14 Febuari 2011]. Harris BJr dan VanHorn HH. 2003. Water and its importance to animals. Animal Science Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/DS085 [11 Februari 2011]. Haryoko T. 2008. Pengaruh jumlah individu dalam kandang penangkaran terhadap konsumsi pakan dan nutrisi pada burung perkici pelangi (Trichoglossus haematodus). Zoo Indonesia 17(1): 21-26. Heath ME dan Vanderlip SL. 2005. Biology, husbandry, and veterinary care of captive Chinese pangolin (Manis pentadactyla). Zoo Bioligy 7(4):293-312. Heath ME. 1992. Manis pentadactyla. Mammalian Species, 414: 1-6. Hertanto, editor. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. Dalam: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/17/21594696/Sejuta.Kilo.Da ging.Trenggiling.Dijual [11 Mei 2010]. Heruwatno K. 1982. Pengaruh suhu lingkungan terhadap produksi telur, konsumsi makanan dan konsumsi air minum ayam petelur. [laporan penelitian]. Proyek peningkatan Perguruan Tinggi, Universitas Padjajaran. Irianingrum R. 2009. Kandungan Asam Fitat dan Kualitas Dedak Padi yang Disimpan dalam Keadaan Anaerob. [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
83
Jongejan F, Uilenberg G. 2004. The global importance of ticks. Parasitology 129: S3-S14. Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Kelly K. 1993. Environmental Enrichment for Captive Wildlife Through the Simulation of Gum Feeding. Animal Welfare Information Center Newsletter 4(3): 1-2, 5-10. Kollars TM, Sithiprasasna R. 2000. New host and distribution record of Amblyomma javanense (Acari: Ixodidae) in Thailand. Journal of Medical Entomology 37(4): 640. Krisna R. 2006. Kandungan nutrisi pakan trenggiling (Manis javanica) dan kaitan dengan pertumbuhannya. [skripsi]. Bogor: Program studi Biokimia Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Kusnadi E dan Rahim F. 2009. Performa dan kandungan hormon Triiodotironin Plasma ayam broiler akibat pengaruh cekaman panas di daerah tropis. Media Peternakan 32(3):155-162. Lekagul B and McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Association for the Conservation of Wildlife. Lim NTL dan Ng PKL. 2008. Home range, activity cycle and natal den usage of a female sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore. Endangered Species Research 4: 233-240. Lovianti E. 1994. Nilai gizi dan palatabilitas kroto (larva Oecophylla smaragdina) [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Manullang M. 1990. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Martin EB and Phipps M. 1996. A Review of the Wild Animal Trade In Cambodia. TRAFFIC Bulletin Vol.16 No.2:45-60. Medri IM dan Mourão G. 2005. Home range of giant anteaters (Myrmecophaga tridactyla) in the Pantanal wetland, Brazil. Journal of Zoology 266(4): 365-375. Medway L. 1969. The Wild Mammals of Malaya. London: Oxford University Press. Murphy WJ, Eizirik E, O’Brien SJ, Madsen O, Scally M, Douady CJ, Teeling E, Ryder OA, Stanhope MJ, Jong WW de, Springer MS. 2001.Resolution of the Early Placental Mammal Radiation Using Bayesian Phylogenetics. Science 294 (5550): 2348-2351.
84
Musofie A, Wijono DB, Wardhani NK. 1990. Pengaruh perbaikan pakan pada induk domba ekor gemuk bunting dan laktasi terhadap pertumbuhan anak hingga disapih. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati I(1): 25-29. [NHM] Natural History Museum. Tanpa tahun. Manis javanica (Malayan pangolin) http://www.nhm.ac.uk/nature-online/species-of-theday/biodiversity/endangered-species/manis-javanica/index.html [8 Februari 2011]. Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin (Manis javanica). [disertasi]. Bogor. Graduate school Bogor Agricultural University. Novriyanti, Manurung J, Ayu FAP, Puspitasari D, Prita B, Prayitno A. 2010. Pengamatan ransum dan palatabilitas burung puter (Streptopelia bitorquata) di Laboratorium Penangkaran Satwaliar Dramaga. Dalam: http://novriyanti07.student.ipb.ac.id/2010/12/17/pengamatan-ransum-danpalatabilitas-burung-puter-streptopelia-bitorquata-di-laboratoriumpenangkaran-satwaliar-darmaga/ [27 Desember 2010]. Nowak R. 1999. Walker’s Mammals of the World. Ed ke-6. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Patzl M, Schwarzenberger F, Osmann C, Bamberg E, Bartmann W. 1998. Monitoring ovarian cycle and pregnancy in the giant anteater Myrmecophaga tridactyla by faecal progestagen and oestrogen analysis. Animal Reproduction Science 53:209-219. Payne J, Francis CM. 1998. A field guide to the mammals of Borneo. The Sabah Society, Kota Kinabalu. Pujananto I dan Syukur DA. 2006. Seleksi dan pemilihan bibit ternak. http://www.disnakkeswanlampung.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=168 [23 Januari 2011]. Rahm U. 1990. Modern Pangolin. Dalam Parker SP (Eds.). Grizmek’s Encyclopedia of Mammal. Vol.2. McGraw-Hill Publishing Company, New York. Pp. 630-641. Ruhyana AY. 2007. Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica) dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-paru. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Santosa Y. 1993. Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwaliar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku: Studi kasus terhadap populasi rusa jawa (Cervus timorensis) di Pulau Peucang. Laporan penelitian. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
85
Santoso N. 1993. Studi populasi dan perilaku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles) di Pulau Tinjil, Jawa Barat. Program Pascasarjana, IPB. 138-144. Sari GK. 2005. Tingkat kesukaan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) pada berbagi ransum pakan yang berbeda. [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sehabudin U dan Agustian A. 1998. Karakteristik dan perspektif pengembangan ternak ruminansia kecil di Propinsi Jawa Barat. Media Peternakan 24 (1):119-127. Shaw JH, Carter TS, Machado-Neto J. 1985. Ecology of the giant anteater Myrmecophaga tridactyla in Serra da Canastra, Minas Gerais, Brazil: a pilot study [abstrak]. http://md1.csa.com/partners/viewrecord.php?requester=gs&collection=EN V&recid=1421887&q=giant+anteater+Myrmecophaga+tridactyla&uid=78 9384761&setcookie=yes Shepherd CR. 2008. Overview of pangolin trade in Southeast Asia. In: Sandrine Pantel and Chin Sing Yun (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008, Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia. Siagian PH. 1990. Pengaruh sumber, tingkat pemberian zeolit dalam ransum dan interaksinya terhadap performans ternak babi sedang bertumbuh. IPBAustralia Project, tidak dipublikasikan. Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency (JICA). Soewu DA dan Ayodele IA. 2009. Utilisation of Pangolin (Manis sps) in traditional Yorubic medicine in Ijebu province, Ogun State, Nigeria. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine (5): 39. Sudarman A, Wiryawan KG, Markhamah H. 2008. Penambahan Sabun-Kalsium dari Minyak Ikan Lemuru dalam Ransum: 1. Pengaruhnya terhadap Tampilan Produksi Domba. Media Peternakan 31(3):166-171. Sudjana. 1991. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito. Sukria HA dan Krisnan R. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor: IPB Press. Sumantri CT. 2007. Keberadaan caplak (Parasitiformes: Ixodidae) di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas Lampung dan kaitannya dalam
86
penularan penyakit pada badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tanwiriah W, Garnida, Asmara IY. 2006. Pengaruh tingkat protein dalam ransum terhadap performan entok lokal (Muscovy duck) pada periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Bogor 5−6 September: 650−655. Thohari M. 1988. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi 1(3): 21-26. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumah S, dan Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: UGM Press. Tobing NL. 2010. Pengaruh formulasi pakan terhadap kandungan pakan ternak ruminansia. Publikasi budidaya ternak dan ruminansia, Edisi I: Manajemen dan teknologi. Trisaputra D. 2009. Burung perkutut (Geopelia striata Linn.) sebagai hewan potensial. [karya ilmiah]. Dalam: https://uripsantoso.wordpress.com/2009/11/10/burung-perkutut-geopeliastriata-linn-sebagai-hewan-potensial/ [16 Desember 2010]. Wawo MFC, Yusuf TMM, Gusnia MA, Sularso GNM. 2009. Pengaruh pakan terhadap perkembangbiakan jalak bali (Leucopsar rotschildi Stressmann 1912) di Penangkaran Tegal Bunder Taman Nasional Bali Barat [program kreatifitas mahasiswa-artikel ilmiah]. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/20203/PKM-AI2009-Maria-Pengaruh%20Pakan%20Terhadap---.pdf?sequence=1 [14 Februari 2011]. Wilson AE. 1994. Husbandry of pangolins. Int Zoo Yearb 33:248-251. Wodzicka-Tomaszewska M, Putu IG, Chaniago TD. 1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Sutama IK, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Wu S, Liu N, Zhang Y, Ma G. 2004. Assessment of threatened status of Chinese pangolin (Manis pentadactyla) [abstract]. Chinese Journal of Applied and Environmental Biology (4). http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-YYHS200404013.htm [20 April 2011]. Wu S, Liu N, Li Y, Sun R. 2005. Observation on food habits and foraging behavior of Chinese pangolin (Manis pentadactyla) [abstract]. Chinese Journal of Applied and Environmental Biology (3). http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-YYHS200503018.htm [20 April 2011].
87
Yang CW, Chen S, Chang CY, Lin MF, Block E, Lorentsen R, Chin JSC, Dierenfeld ES. 2007. History and dietary husbandry of pangolins in captivity [abstract]. Zoo Biology 26(3): 223-230. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/zoo.20134/abstract [8 Februari 2011]. Yang L, Chao SU, Zhang FH, Wu Shi-Bao, Guang-Zhi MA. 2010. Age structure and parasites of Malayan pangolin (Manis javanica). Journal of Economic Animal 1. http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTALJJDX201001007.htm [8 Februari 2011]. Yani A, Suhardiyanto H, Hasbullah R, Purwanto BP. 2007. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan computational fluid dynamics (CFD). Media Peternakan 30 (3): 218-228. Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. Dalam: http://www.antara.co.id/view/?i=1208940642&c=WBM&s= [11 Mei 2010]. Zon APM van der. 1977. Mammals of Indonesia. Unpublished.
LAMPIRAN
89
Lampiran 1. Konsumsi trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada pengamatan pendahuluan.
Objek T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 Jumlah Rata-rata
Konsumsi hari ke- (gr) 1 2 3 200 255 140 80 160 70 220 270 150 120 125 110 120 55 120 260 215 230 180 205 230 250 265 230 190 265 230 190 210 160 1810 2025 1670 181 202.5 167
Jumlah (gr) 595 310 640 355 295 705 615 745 685 560
Rata-rata (gr) 119 62 128 71 59 141 123 149 137 112 1101 110.1
Lampiran 2. Penghitungan konsumsi ransum per perlakuan TABULASI TREATMENT PASANGAN k1 Hari ke-
perlakuan
jantan B0
1 2
3
4 5 6 7
8
9 10 11
k2
B1
K
Betina TK
B0
B1
K
jantan TK
B0
B1
K
betina TK
B0
B1
K
TK
p1
150
135
15
10
150
35
115
76.66667
150
50
100
66.66667
150
30
120
80
p2
150
20
130
86.66667
150
15
135
90
150
5
145
96.66667
150
10
140
93.33333
p1
150
120
30
20
150
100
50
33.33333
150
60
90
60
150
115
35
23.33333
p2
150
40
110
73.33333
150
50
100
66.66667
150
70
46.66667
150
30
120
80
p1
150
65
85
56.66667
150
65
85
56.66667
150
40
26.66667
150
80
70
46.66667
p2
150
20
130
86.66667
150
35
115
76.66667
150
80 11 0 25
125
83.33333
150
25
125
83.33333
p1
150
100
50
33.33333
150
115
35
23.33333
150
65
85
56.66667
150
110
40
26.66667
p2
150
120
30
20
150
120
30
20
150
45
105
70
150
40
110
73.33333
p1
150
75
75
50
150
80
70
46.66667
150
35
115
76.66667
150
40
110
73.33333
p2
150
30
120
80
150
25
125
83.33333
150
3
147
98
150
5
145
96.66667
p1
150
70
80
53.33333
150
50
100
66.66667
150
5
145
96.66667
150
25
125
83.33333
p2
150
p1
150
30
195
86.66667
p2
150
150 80
70
46.66667
150
150
25
125
83.33333
150
225
150 60
165
73.33333
150
225 150
60
90
60
150
90
60
40
150
150
25
125
83.33333
150
30
120
80
150
10 0 40
110
73.33333
150
35
115
76.66667
150
100
50
33.33333
150
60
90
60
150
80
70
46.66667
150
80
70
46.66667
p2
150
85
65
43.33333
150
70
80
53.33333
150
30
120
80
150
40
110
73.33333
p1
150
45
105
70
150
65
85
56.66667
150
80
70
46.66667
150
20
130
86.66667
p2
150
70
80
76.66667
150
30
80
150
p1
150
60
90
60
150
45
105
70
150
70
80
53.33333
150
45
105
70
p2
150
35
115
76.66667
150
50
100
66.66667
150
25
125
83.33333
150
30
120
80
p1
150
p2 p1
53.33333
150
35
115
50
33.33333
150
75
75
50
120
30
120
80
90
k1 Hari ke-
perlakuan
k2
jantan B0
B1
Betina
K
TK
B0
B1
K
jantan TK
B0
B1
betina
K
TK
B0
B1
K
p1
150
65
85
56.66667
150
75
75
50
150
70
80
53.33333
150
70
80
p2
150
40
110
73.33333
150
45
105
70
150
25
125
83.33333
150
25
125
p1
150
100
50
33.33333
150
90
60
40
150
60
90
60
150
55
95
p2
150
55
95
63.33333
150
45
105
70
150
35
115
76.66667
150
20
130
1985
1323.333
2185
1456.667
2487
1621.333
2610
152.6923
101.7949
112.0513
191.3077
124.7179
200.7692
p1
875
583.3333
168.076 9 1055
703.3333
1180
750
1250
p2
1110
740
1130
753.3333
1307
871.3333
1360
p1
67.30769
44.87179
54.10256
90.76923
57.69231
96.15385
p2
85.38462
56.92308
57.94872
100.5385
67.02564
104.6154
12
13
total Rata-rata total per perlakuan
81.1538 5 86.9230 8
Rata-rata per perlakuan
TABULASI TREATMENT INDIVIDU I1 Hari perlakuan keB0 B1 K
1
2 3 4
I2 TK
B0
B1
I3
K
TK
B0
B1
TK 53.3333 3 83.3333 3 63.3333 3 86.6666 7 1696.66 7 130.512 8 790 906.666 7 60.7692 3 69.7435 9
I4
K
TK
B0
B1
K
TK
p1
150
80
70
46.66667
150
135
15
10
150
80
70
46.66667
150
60
90
60
p2
150
20
130
86.66667
150
35
115
76.66667
150
50
100
66.66667
150
15
135
90
p1
150
50
100
66.66667
150
140
10
6.666667
150
80
70
46.66667
150
35
115
76.66667
p2
150
30
120
80
150
80
70
46.66667
150
35
115
76.66667
150
30
120
80
p1
150
45
105
70
150
150
0
0
150
55
95
63.33333
150
50
100
66.66667
p2
150
15
135
90
150
140
10
6.666667
150
15
135
90
150
20
130
86.66667
p1
150
20
130
86.66667
150
95
55
36.66667
150
75
75
50
150
20
130
86.66667
p2
150
30
120
80
150
90
60
40
300
50
250
83.33333
300
15
285
95
91
Hari ke-
5 6
7 8 9 10 11 12
13
I1 perlakuan
B0
B1
p1
150
50
100
p2
150
40
110
p1
150
25
125
p2
150
p1
225
p2
150
p1
K
I2 TK
I3
B0
B1
K
66.66667
150
110
73.33333
150
50
83.33333
150
75
75
TK
B0
B1
40
26.66667
150
75
75
50
300
70
230
76.66667
100
66.66667
150
50
100
66.66667
300
55
245
81.66667
50
150
70
80
53.33333
150
5
145
96.66667
30
270
90
150 50
175
77.77778
150
60
90
60
p2
150
40
110
p1
150
55
p2
150
p1
150
p2
K
TK
B0
150
K
TK
150 10 5
195
65
50
33.33333
150
100
50
33.33333
150
45
105
70
300
30
270
90
73.33333
150
40
110
73.33333
150
30
120
80
150
5
145
96.66667
95
63.33333
150
120
30
20
150
50
100
66.66667
300
50
250
83.33333
20
130
86.66667
150
85
65
43.33333
150
20
130
86.66667
150
10
140
93.33333
70
80
53.33333
150
100
50
33.33333
150
75
75
50
150
15
135
90
150
35
115
76.66667
150
75
75
50
150
40
110
73.33333
150
5
145
96.66667
p1
150
65
85
56.66667
150
105
45
30
150
40
110
73.33333
150
25
125
83.33333
p2
150
30
120
80
150
65
85
56.66667
150
50
100
66.66667
150
15
135
90
p1
150
65
85
56.66667
150
130
20
13.33333
150
60
90
60
150
65
85
56.66667
p2
150
30
120
80
150
55
95
63.33333
150
25
125
83.33333
150
15
135
90
p1
150
50
100
66.66667
150
125
25
16.66667
150
60
90
60
150
30
120
80
150
35
115 2665
76.66667 1737.778
150
90
60 1310
40 873.3333
150
20
130 2645
86.66667 1615
150
25
total
125 3805
83.33333 2020
Rata-rata
205
133.6752
100.7692
67.17949
203.4615
124.2308
292.6923
155.3846
p1
1340
854.4444
465
310
1230
755
2065
1036.667
p2
1325 103.0 769 101.9 231
883.3333
845
563.3333
1415
860
1740
983.3333
65.7265
35.76923
23.84615
94.61538
58.07692
158.8462
79.74359
67.94872
65
43.33333
108.8462
66.15385
133.8462
75.64103
total per perlakuan
150
p1 Rata-rata per perlakuan p2
300
B1
100
p2
150
I4
150
300 150
92
93
Lampiran 3. Rekapitulasi konsumsi per tipe pemeliharaan Perlakuan k1 k2 I1 I2 I3 I4 148.4615 186.9231 103.0769 35.76923 94.61538 158.8462 p1 172.3077 205.1538 101.9231 65 108.8462 133.8462 p2 320.7692 392.0769 205 100.7692 203.4616 292.6924 total 160.3846 196.0385 102.5 50.38462 101.7308 146.3462 rerata 712.8461 801.9232 Total K1+K2 Total I1+I2+I3+I4 356.4231 400.9616
Lampiran 4. Uji untuk treatment berpasangan Perlakuan
Ulangan
Total
Rerata
186,9231
335,3847
167,69
172,3077
205,1539
377,4616
188,73
320,7693
392,077
712,8463
178,2116
K1
K2
P1
148,4616
P2 Total
Perhitungan:
JK galat= JKT-JKP = 1721,7-442,62 = 1279,08
Statistik Uji:
94
Tabel analisis sidik Ragam SK
Db
JK
KT
Fhit.
Perlakuan
1
442,64
442,62
0,692
Galat
2
1279,08
639,54
Total
3
1721,7
Ftabel 0.05 18,51
Berdasarkan nilai statistik uji, karena Fhitung< Ftabel maka hipotesis nol (H0) diterima. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan nyata konsumsi ransum 1 dengan ransum 2.
Jika nilai CV (koefisien keragaman) yang diperoleh terlalu besar, maka dapat dikatakan bahwa unit-unit percobaan yang digunakan tidak homogen. Akan tetapi, berdasarkan hasil penghitungan, nilai CV yang diperoleh tergolong kecil sehingga dapat dikatakan bahwa unit percobaan dalam perlakuan berpasangan tergolong homogen.
95
Lampiran 5. Uji anova untuk treatment per individu Perlakuan
Ulangan
Total
Rerata
158,8462
392,3077
98,0769
108,8462
133,8462
409,6155
102,4039
203,4616
292,6924
801,9232
100,2404
I1
I2
I3
I4
P1
103,0769
35,7692
94,6154
P2
101,9231
65
Total
205
100,7692
Perhitungan:
JKG (galat)
= JKT-JKP = 10.078,99-37,447 = 10.041,54
Statistik Uji:
Tabel analisis sidik Ragam SK
Db
JK
KT
Fhit.
Perlakuan
1
37,447
37,447
0,022
Galat
6
10.041,54
1673,59
Total
7
10.078,99
Ftabel 0.05 5,99
Berdasarkan nilai statistik uji, karena Fhitung< Ftabel maka hipotesis nol (H0) diterima. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan nyata konsumsi ransum 1 dengan ransum 2.
96
Jika nilai CV (koefisien keragaman) yang diperoleh terlalu besar, maka dapat dikatakan bahwa unit-unit percobaan yang digunakan tidak homogen. Akan tetapi, berdasarkan hasil penghitungan, nilai CV yang diperoleh pada perlakuan individu berbeda dengan berpasangan yang tergolong kecil sehingga dapat dikatakan bahwa unit percobaan dalam perlakuan individu tergolong tidak homogen.
97
Lampiran 6. Analisis sidik ragam desain eksperimen faktorial Tipe Pemeliharaan
1
P1 67.30769
Pakan P2 85.38462
2
81.15385
86.92308
3
90.76923
100.5385
4
96.15385
104.6154
Ulangan
Kandang Berpasangan
335.3846
377.4615
Rata-rata
Jumlah
83.8462
94.3654
1
103.0769
101.9231
2 3 4
35.7692 94.6154 158.8462
65 108.8462 133.8462
Jumlah
392.3077
409.6155
Rata-rata
98.07693
102.403875
Jumlah besar
727.6923
787.077
90.9616
98.3846
Kandang Individu
Rata-rata besar
Jumlah
712.8461 89.1058
801.9232 100.2404 1514.7693
ΣY2
= (67.30769)2 + (85.38462) 2 +….+ (158.8462)2 + (133.8462)2 = 154963.5065
Ry
=
Ay
=
= 495.9206
By
=
= 220.4089
= 143407.877
Jab = = 754.6738 ABy
= Jab − Ay − By = 754.6738 – 495.9206 – 220.4089 = 38.3443
Ey
= ΣY2 – Ry – Ay – By – ABy = 154963.5065 − 143407.877 − 495.9206 − 220.4089 − 38.3443 = 10800.9557
Rata-rata
94.6732
98
Tabel ANOVA Desain Eksperimen Faktorial Sumber Keragaman
Db
JK
KT
Rata-rata Perlakuan Tipe pemeliharaan Jenis ransum Interaksi antara pemeliharaan dan ransum Galat Total
1
143.407,88
143.407,88
1 1 1
495,92 220,41 38,34
495,92 220,41 38,34
12 16
10.800,96 154.963,51
900.08 -
tipe jenis
F hitung
Ftabel α=0.05(1,12)
0,55 0,24 0,04
4,75
-
Berdasarkan nilai statistik uji, nilai Fhitung < Ftabel. Hal ini berarti bahwa tidak ada pengaruh yang ditimbulkan dari ketiga faktor, baik faktor tipe pemeliharaan, faktor jenis ransum yang diberikan, maupun faktor interaksi yang mungkin dapat timbul dari kedua faktor sebelumnya.
Lampiran 7. Pertambahan bobot badan trenggiling selama percobaan No. Trenggiling 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
K1 jantan K1 betina K2 jantan K2 betina I1 I2 I3 I4
Berat sebelum (g) 5700 6700 5300 4100 3000 3600 2800 5100
Berat sesudah (g)
Pertambahan (g) 5700 0 6400 -300 5500 200 4300 200 3000 0 3700 100 3000 200 5100 0 400 Jumlah 50 Rata-rata
Lampiran 8. Manajemen penyakit dan kesehatan satwa No.
Umur trenggiling
Jenis penyakit
Bentuk
Upaya
Alat yang
pencegahan
pengobatan
digunakan
Keterangan Luka
Perawatan kandang 1.
Belum diketahui
Luka
dan pemberian pakan yang baik
Pemberian obat
Pinset, gunting,
luka
kapas
dibersihkan, dikontrol setiap hari, dijauhkan dari air.
2.
3.
Belum diketahui
± 3 tahun
Luka
Infeksi luka
Perawatan kandang
Pemberian obat
dan pemberian
dan suntik pada
pakan yang baik
bagian yang luka
Perawatan kandang
Pemberian obat
dan pemberian
dan suntik pada
pakan yang baik
bagian yang luka
Trenggiling Jarum suntik,
mati setelah
pinset, kapas
luka berumur ±1 minggu. Trenggiling
Jarum suntik,
mati setelah
pinset, kapas
luka berumur ±1 minggu.
99
Lampiran 9. Manajemen reproduksi dan breeding No.
Musim kawin
1.
Diperkirakan OktoberNovember
2.
Diperkirakan FebruariMaret
3.
Diperkirakan FebruariMaret
Sex ratio
1:1
1:1
1:1
Perilaku Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor betina dengan kedua kaki depannya (bergayut) Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor betina dengan kedua kaki depannya (bergayut) Jantan meletakkan tubuhnya diatas tubuh betina. Tak jarang menarik pangkal ekor betina dengan kedua kaki depannya (bergayut)
Jumlah anak dan Bulan Lahir
Kondisi anak
Perlakuan yang diberikan
Panjang: tidak diukur Berat badan ratarata: mencapai 300 gram
Anak tetap diasuh oleh induknya, tidak diberikan perlakuan khusus
Keterangan
1 ekor di Bulan Maret 2009
1 ekor di Bulan Juli 2009
1 ekor di Bulan Juli 2009
100
101
Lampiran 10. Suhu kandang di kandang penangkaran UD Multi Jaya Abadi pada bulan Agustus 2010 SK dan H per Waktu No.
Tanggal
08.00 WIB
13.00 WIB
17.30 WIB
22.30 WIB
(oC)
%
(oC)
%
(oC)
%
(oC)
%
1
11 Agustus 2010
31
56
38
56
34
79
28
89
2
12 Agustus 2010
31
70,5
40
41
29
81
29
90
3
13 Agustus 2010
28
90
36
53
28
90
28
92
4
14 Agustus 2010
28
89
38
56
30
56
28
70
5
15 Agustus 2010
29
85
39
40
34
68
34
68
6
16 Agustus 2010
28
90
35
51
34
56
33
56
7
17 Agustus 2010
28
79
30
80
29
80
28
89
8
18 Agustus 2010
28
89
37
44
35
59
30
81
9
19 Agustus 2010
28
80
38
56
30
78
28
89
10
20 Agustus 2010
28
80
40
30
35
66
30
80
11
21 Agustus 2010
29
89
37,5
46
34
70
30
82
12
22 Agustus 2010
30
75
35
72
33
70
31
82
13
23 Agustus 2010
32
74
39,5
40
31,5
69
35
82
14
24 Agustus 2010
31
73
41
26
37
62
31
62
15
25 Agustus 2010
31
69
42
28
35
64
31
82
16
26 Agustus 2010
30
78
40
38
36
56
32
74
17
27 Agustus 2010
32
62
40
40
35
68
28
83
29.53
74
33.47
47
31.06
69
30.23
79
Rata-rata
SK= suhu kandang, H= kelembaban
Keterangan
102
Lampiran 11. Panduan wawancara kepada masyarakat 1. Apakah anda mengetahui mengenai trenggiling? 2. Apakah anda mengetahui ada penangkaran di daerah anda? Apakah anda mengenal para pekerja atau pengelola penangkaran tersebut? 3. Sudah berapa lama anda tinggal di sekitar Penangkaran UD Multi Jaya Abadi? Apakah anda dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan? 4. Bagaimana pengaruh keberadaan penangkaran UD Multi Jaya Abadi? 5. Apakah ada kerugian yang anda rasakan dengan adanya penangkaran UD Multi Jaya Abadi? Jika ada, kerugian seperti apa? 6. Pernahkah anda memberitahukan hal tersebut (kerugian yang anda rasakan) kepada pengelola penangkaran? 7. Bagaimana respon pengelola? 8. Pernahkah anda masuk kedalam lokasi penangkaran? Apakah masyarakat setempat pernah dipungut biaya untuk berkunjung ke UD Multi Jaya Abadi? 9. Bagaimana menurut anda pengelolaan trenggiling dipenangkaran Multi Jaya Abadi? 10. Apakah yang anda harapkan dari penangkaran UD Multi Jaya Abadi?
UD