ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
SKRIPSI
INA MARINA I34063141
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
This research has three objectives, the first is to know the history of natural resources conflict and the actors who involved in conflicts in the Gunung Halimun-Salak National Park, the second is to know the basis and the depth of the conflict in the Gunung Halimun-Salak National Park to concerning the existence of indigenous Kasepuhan, the third is to understand the forms of conflict resolution that has been done and the development of conflict resolution through 2010. This research was conducted in Kampung Sinar Resmi, that belongs to the Kasepuhan Sinar Resmi community. This location is a place where community’s cultivating land overlap with the claim of Gunung Halimun-Salak National Park, thus causing a lack of clear boundaries and result in forest resource conflicts. Forest resource conflicts are caused by four different conflicts sources, namely differences in perceptions, different values, different interests, and differences in recognition of ownership rights. The conflict occurred in forestry and agricultural land.
Keywords: conflict, Gunung Halimun-Salak National Park, Forest resource conflicts
ii
RINGKASAN INA MARINA. Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi). (Di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN).
Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mengetahui sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; (2) untuk mengetahui basis dan kedalaman konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan; dan (3) untuk memahami bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan serta perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010. Penelitian ini dilakukan pada Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan alasan, antara lain: (1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; (2) Kampung Sinar Resmi merupakan salah satu kampung yang lahan garapannya berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; (3) berdasarkan wawancara dengan salah satu informan kunci, sudah ada warga kampung di Kampung Lebak Nangka yang ditangkap oleh Polisi Kehutanan karena dituduh sebagai perambah hutan dan penebang liar. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di sana. Sejarah konflik sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah milik warga. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi milik Perhutani. Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh
iii
sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga. Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan. Namun, permasalahan utama dalam konflik di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak
terletak
pada
Perbedaan
dalam
akuan
hak
kepemilikan, terjadi ketika pihak taman nasional menganggap bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai milik Negara karena tidak terbebani hak atas tanah, sedangkan masyarakat adat menganggap bahwa kawasan Gunung Halimun adalah milik adat, karena sudah diwariskan oleh leluhur untuk anak-cucu mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung HalimunSalak adalah Perhutani yang kemudian digantikan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak melalui SK. Menhut No. 175 Tahun 2003, serta masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.
iv
ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Oleh INA MARINA I34063141
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Glear Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
: Ina Marina
Nomor Pokok
: I34063141
Judul
: ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc,Agr. NIP. 19630914 199003 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :______________________
vi
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS
KONFLIK
SUMBERDAYA
HUTAN
DI
KAWASAN
KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 2 Februari 2011
Ina Marina I34063141
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilegon pada tanggal 7 Maret 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Suherman dan Ibu Hasunah. Semenjak memasuki usia balita penulis tinggal di kawasan Kramatwatu, Serang. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Islam Cahaya Agung tahun 1994, SDN 2 Serdang tahun 2000, SMPN 1 Kramatwatu tahun 2003 dan SMUN 1 Cilegon tahun 2006. Kemudian pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tahun 2007 terpilih sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga tergabung dalam organisasi kampus minat khusus, LAWALATA-IPB yang bergerak dalam bidang adventural dan lingkungan hidup sejak tahun 2007 hingga saat ini dan seterusnya. Penulis pernah menjabat sebagai kordinator Divisi Manusia dan Lingkungan dan Koordinator Pendidikan Lingkungan Hidup dalam organisasi tersebut selama periode pengurusan 2007-2008 dan periode 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai fasilitator dalam Pendidikan Lingkungan Hidup dengan bekerja sama dengan LSM-LSM lingkungan. Penulis juga pernah tergabung dalam tim penilai KSBERIMAN IPB sebagai tim yang menilai kebersihan kampus IPB pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga pernah aktif sebagai Volunteer LSM RMI pada tahun 2008-2009 dan membantu pengumpulan data dalam Kampanye Bangga Hutan Halimun yang diadakan oleh LSM tersebut. Penulis juga pernah mengikuti Training Community Development yang diadakan oleh LSM LATIN pada tahun 2009, dan Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Pemandu Wisata Gunung yang diadakan oleh Direktorat Standarisasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009. Bulan Agustus 2010 penulis juga pernah menjadi notulen dalam Dialog Interaktif antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat Kasepuhan yang diadakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Kampung Gede, Kasepuhan Cipta Gelar. Saat ini, bulan Januari 2011, penulis menjadi volunteer LSM Telapak dalam riset kehutanan.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur hanya milik Allah SWT atas limpahan Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kemudahan dalam penyelesaian Skripsi. Skripsi ini membahas mengenai analisis konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak antara balai Taman Nasional dan Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Penulis memaparkan pula mengenai sejarah berlangsungnya konflik hingga upaya penyelesaian yang telah dilakukan serta perkembangannya hingga saat ini Selain itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Ir. Arya H. Dharmawan selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam proses penulisan Skripsi ini. Semoga penulisan Skripsi ini bermanfaat untuk dan memberikan sumbangan yang nyata untuk perbaikan sistem dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di negeri kita tercinta.
Bogor, 2 Februari 2011
Ina Marina
ix
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian penulisan Skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ALLAH SWT dan pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain: 1. Dr. Ir. Arya H. Dhramawan, M.Sc, Agr selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas waktu, ilmu, kesabaran, dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 2. Dr. Rilus A. Kinseng sebagai Dosen Penguji Utama dan Dr. Ninuk Purnaningsih sebagai Dosen Perwakilan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kritik, saran dan ilmunya sehingga penulis dapat menyusun dan memperbaiki skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Dr. Amirrudin Saleh selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dukungan selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor; 4. Keluarga besar Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Gede Sinar Resmi, Abah ASN, Wa UGS, Bapak OMD, dan Bapak BHR atas informasi, kepercayaan, doa dan semangat yang diberikan sehingga skripsi ini selesai dikerjakan. 5. Keluarga besar Bapak Suherman dan Ibu Hasunah atas dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis, sehingga penulis bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Keluarga besar LAWALATA-IPB, khususnya Cita dan Ria, atas ilmu, doa, semangat, kasih sayang dan selalu bersedia menjadi teman diskusi. 7. Kawan-kawan KPM 43, khususnya Tia, Pitaloka dan Lintang, atas semangat, doa, dukungan dan diskusi dalam proses penulisan skripsi ini. 8. Serta pihak-pihak yang secara tidak langsung membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
x
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 6 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................ 6 BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS ........................................................... 8 2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 8 2.1.1 Sumberdaya Hutan ...................................................................... 8 2.1.2 Konservasi Sumberdaya Hutan ................................................... 10 2.1.3 Konflik Sumberdaya Hutan ........................................................ 11 2.1.3.1 Pengertian Konflik ................................................................... 11 2.1.3.2 Sumber-sumber Konflik ........................................................ 12 2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik ......................................... 16 2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik ............................................................. 18 2.1.3.5 Teori-Teori Konflik............................................................... 19 2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik ....................................... 22 2.1.5 Masyarakat Adat ......................................................................... 24 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 28 2.3 Definisi Konseptual.............................................................................. 29 BAB 3 METODOLOGI ............................................................................... 31 3.1 Pendekatan Penelitian .......................................................................... 31 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 31 3.3 Penetapan Informan Penelitian ............................................................ 32 3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 32 3.5 Jenis Data ............................................................................................. 33 3.6 Teknik Pengolahan Data ...................................................................... 33 BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI .................................................................. 35 4.1 Letak Geografis .................................................................................... 35 4.2 Kondisi Sosial Budaya ......................................................................... 36 4.2.1 Kepercayaan atau Religi ............................................................. 36 4.2.2 Bahasa Sehari-hari ...................................................................... 37 4.2.3 Mata Pencaharian Masyarakat .................................................... 37 4.2.4 Nilai-nilai Tradisional Kasepuhan .............................................. 39 4.2.5 Kelembagaan Adat ..................................................................... 45 4.2.6 Nilai Hutan bagi Masyarakat ..................................................... 47 4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan ............................. 48 4.3 Sejarah Kasepuhan................................................................................ 52
xi
BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN....................... 56 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan..................................................... 56 5.2 Peta Konflik Sumberdaya Hutan.......................................................... 66 5.2.1 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik ................................. 66 5.2.2 Kepentingan Masing-masing Pihak ........................................... 70 5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak .................................................................................... 72 5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ...................................................................... 74 5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik ............................. 76 5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik ............................. 79 5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik ..................... 81 5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik ................................................... 84 5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik ................................................ 86 5.6 Ruang-Ruang Konflik .......................................................................... 88 5.7 Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan yang Telah Dilakukan dan Perkembangannya ................................................................................ 90 5.8 Ikhtisar ................................................................................................. 92 BAB 6 PENUTUP........................................................................................ 97 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 99 6.2 Saran..................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 100 LAMPIRAN .................................................................................................. 103
xii
DAFTAR TABEL
Tabel-1 Kriteria Komunitas Adat.......................................................................... 26 Tabel-2 Unsur Institusi Sosial dalam Komunitas Adat ......................................... 27 Tabel-3 Tahap-tahap Kegiatan Pertanian Ladang ................................................. 40 Tabel-4 Perangka-perangkat Kasepuhan berdasarkan Fungsinya......................... 46 Tabel-5 Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna Resmi .................................................................................................................... 50 Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ......... 63 Tabel-7 Peta Kepentingan atas Hutan bagi Pihak-pihak yang Terlibat Konflik ... 71 Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik............................................. 78 Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan................................................. 83 Tabel-10 Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data .............................. 104
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Aras Permasalahan Konflik Sumberdaya Hutan ........................ 15 Gambar 2. Bagan Alur Berpikir Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi ................................................................... 28
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Sumberdaya alam bagi masyarakat sudah menjadi bagian dari kehidupannya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Sumberdaya alam mencakup segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah dan air, di bawah permukaan tanah dan air, serta angkasa, yaitu tanah, air, hutan, mineral dan gas. Pentingnya keberadaan sumberdaya alam bagi kehidupan manusia, menjadikan kompleksitas hubungan
antara
berbagai
pihak
yang
memiliki
kepentingan
dalam
pengelolaannya (Budimanta, 2007). Pemerintah Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, berupaya agar keberadaan sumberdaya alam tetap terjaga kelestariannya demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia khususnya. Mengingat sifat sumberdaya alam yang tidak dapat digantikan kedudukannya serta memiliki peranan yang penting bagi kehidupan manusia, pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang, dan bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kawasan
konservasi
memiliki
fungsi
sebagai
sistem
penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Pembentukan kawasan konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam. Masih menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, kawasan konservasi terdiri dari Kawasan 1
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam. Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Suaka Margasatwa dan Cagar Alam, memiliki fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penetapan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur oleh Peraturan Pemerintah. Taman Nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan melalui sistem zonasi, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Pasal 31 UU No.5 Tahun 1990 menegaskan bahwa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di dalam taman nasional, yaitu kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pembentukan taman nasional didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, kemudian diperkuat oleh keputusan Menteri Pertanian dan/atau Menteri Kehutanan. Contohnya dalam penetapan kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang berpijak pada Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967,
dan
Undang-Undang
Konservasi
Sumberdaya
Alam
dan
Ekosistemnya No.5/1990, serta diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 dengan areal 40.000 hektar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang baru No. 175/kpts-II/2003, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diperluas menjadi 113.357 hektar (Hanafi et al., 2004). Negara berpBapak/Ibungan bahwa sistem zonasi yang diterapkan pada taman nasional diharapkan dapat membantu masyarakat dalam pemanfaatan kawasan taman nasional. Realitanya, konsep taman nasional dengan sistem zonasi yang mengaturnya telah merampas hutan adat sekaligus menyingkirkan masyarakat yang telah tinggal di dalam kawasan hutan jauh sebelum adanya
2
taman nasional. Sistem zonasi ini adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asal usul yang melekat pada masyarakat adat. Pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terletak di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi dan Lebak) dan dua Provinsi (Jawa Barat dan Banten). Ada 24 kecamatan dan 108 desa di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi, dan Lebak) yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 1, yang sebagian besar dari mereka adalah masyarakat adat Kasepuhan, yang mempunyai relasi kuat terhadap hutan secara budaya, ekonomi dan sosial. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat, hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan 1
Bewara. Kebijakan Konservasi Versus Realitas di TNGHS. Edisi April Tahun 2010.
3
yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun. Keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah meresahkan dan mengancam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan dalam bentuk pemanfaatan hutan. Hukum konservasi telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan yang menggantungkan hidup pada hutan, baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. Pemerintah telah berinisiatif untuk menyelesaikan permasalahan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dengan menyusun dan menata kembali sistem zonasi dengan memanfaatkan celah hukum produk kebijakan tentang konservasi. Namun pemerintah belum mengakomodasi dan merealisasikan tuntutan masyarakat adat Kasepuhan, khususnya yang berada di Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya dan Cipta Gelar) mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bentuk pengakuan dan perlindungan hukum ini pada akhirnya harus berbentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi 1.2 Perumusan Masalah Penetapan
kawasan
konservasi
melalui
kebijakan-kebijakan
yang
ditetapkan oleh pemerintah bersifat top-down, tanpa melalui proses kompromi dengan masyarakat yang telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Penetapan kawasan konservasi terkadang menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dampak yang biasanya timbul adalah dampak negatif, yaitu tumpang tindihnya klaim yang dikuti oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang diklaim pemerintah sebagai area terlarang sehingga menimbulkan konflik dengan masyarakat. Adanya perbedaan aturan dalam mengelola sumberdaya hutan diduga juga menjadi salah satu penyebab konflik kehutanan. Pihak taman nasional mengelola kawasan hutan mengacu pada UU No.5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Masyarakat adat mengelola hutan dengan aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Berbedanya pengelolaan
4
hutan antara pemerintah dan masyarakat adat yang kemudian menjadi salah satu sumber konflik. Taman nasional mengelola kawasan hutan melalui sistem zonasi yang ditetapkan dalan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sistem zonasi membagi kawasan hutan taman nasional menjadi kawasan zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zonazona khusus sesuai kebutuhan. Zonasi-zonasi taman nasional, khususnya zona inti, zona rimba dan zona khusus rehabilitasi tidak boleh sembarangan dimasuki manusia kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Selain itu, ketiga kawasan zona ini tidak diperbolehkan ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia, seperti memungut ranting untuk kayu bakar, mengambil hasil hutan non-kayu, dan menebang kayu. Kegiatan-kegiatan pendayagunaan oleh manusia tersebut jika dilakukan di dalam ketiga kawasan zona tadi, akan dianggap sebagai perambah hutan dan penebang liar. Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi hidup berdekatan dengan kawasan
Taman
Nasional
Gunung
Halimun-Salak.
Mereka
memiliki
ketergantungan yang tinggi dengan kawasan Gunung Halimun. Gunung Halimun merupakan tempat di mana mereka dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapi hidup, selain dari sawah dan ladang, serta memenuhi kebutuhan spiritual. Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mereka percaya, leluhur mereka telah tinggal sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka juga percaya para leluhur memerintahkan masyarakat untuk tetap menjaga dan memelihara kawasan Gunung Halimun, agar anak-cucu mereka dapat hidup dari hutan di masa mendatang. Para leluhur pun telah mewariskan sistem pengelolaan Gunung Halimun dengan membagi hutan menjadi tiga jenis, yaitu leuweung tutupan, leuweung titipan, dan leuweung bukaan. Sejak berlakunya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 yang menetapkan perluasan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, banyak lahan garapan masyarakat
5
yang masuk ke dalam kawasan taman nasional. Akibatnya lahan garapan menjadi sempit, namun mengingat kebutuhan hidup masyarakat harus tetap berlanjut, masyarakat adat tetap mengelola lahan garapan mereka yang telah menjadi zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Konflik tidak terhindari mengingat pemukiman dan lahan garapan masyarakat tumpang tindih dengan kawasan hutan taman nasional. Berdasarkan fakta inilah dirumuskan tiga pertanyaan dalam penelitian ini, antara lain: 1. bagaimana sejarah konflik dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak? 2. apa basis dan berada pada tingkat kekerasan mana konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan?; dan 3. sampai sejauh mana upaya penyelesaian konflik dilakukan dan perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mengetahui sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2. untuk mengetahui basis dan tingkat kekerasan konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan 3. untuk memahami bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang
telah
dilakukan serta perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Akademis: terwujudnya suasana akademik di perguruan tinggi melalui penelitian empirikal, peningkatan kreativitas, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah, dan terwujudnya sikap ilmiah, profesional, dan kepedulian
6
terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat serta memiliki alternatif dalam penanganan konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan pustaka dalam penelitian selanjutnya 2. Pemerintah: diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan konservasi yang memegang prinsip eco-justice. 3. Masyarakat umum: dapat memperoleh pengetahuan mengenai konflik sumberdaya hutan dan mendapatkan informasi mengenai solusi yang baik dalam mengatasi konflik.
7
BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sumberdaya Hutan Hutan dapat definisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini setara dengan yang tercantum dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 sebagaimana dikutip Sabara (2006) yang mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dapat didefinisikan menurut kepentingan para aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Banyak aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Akan tetapi, dalam banyak kasus pengelolaan hutan, aktor-aktor yang berkepentingan hanya dirumuskan dalam tiga aktor, seperti yang dirumuskan oleh Tadjudin (2000), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sebuah karunia Tuhan yang dapat
dimanfaatkan
dan
dilestarikan
keberadaanya
untuk
kesejahteraan
masyarakat. Berbeda dengan pemerintah, swasta atau pelaku bisnis mengartikan hutan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dan keuntungan yang besar. Masyarakat pun memiliki arti tersendiri mengenai hutan. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya. Seperti dalam mengartikan definisi hutan, Tadjudin (2000) membagi kepemilikan hutan menjadi tiga kategori, yaitu milik pemerintah, milik swasta, dan milik masyarakat. Fuad et al. (2002) membagi kepemilikan sumberdaya hutan menjadi empat kategorisasi, yaitu state property (milik negara), private property (milik swasta), common pool resources dan common property. Pada dasarnya, keduanya sependapat dalam mengkategorisasikan kepemilikian hutan. Namun, ada sedikit perbedaan dalam pengkategorisasian oleh Fuad et al. (2002), yang
8
membagi kepemilikan masyarakat menjadi dua kategori yaitu common pool resources dan common property. Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kepemilikan hutan oleh swasta, hanya terbatas pada hak akses atas sumberdaya hutan. Hak akses ini terdistribusi baik dalam hak milik individual maupun kelompok. Dalam UU Pokok Kehutanan dan peraturan perundangundangan yang membawahinya, hak akses atas swasta hanya terbatas pada hak penguasaan terhadap sumberdaya hutan, bukan hak memiliki. Terdapat kekuasaan yang besar bagi para pemiliknya dalam mengelola sumberdaya hutan dengan berorientasi pemanfaatan fungsi hutan secara intensif. Kepemilikan hutan oleh masyarakat (komunal), dalam penguasaanya dibagi menjadi dua kategori, yaitu common pool resources (CPR) dan common property (milik bersama). Masyarakat sebagai komunitas yang telah mendiami kawasan hutan sejak lama, menjadikan keberadaan hutan benar-benar melekat dalam kehidupannya. Namun, karena kepemilikan hutan oleh masyarakat bersifat komunal, maka hutan dimiliki bersama-sama sebagai properti masyarakat. Dalam kategorisasi menurut Fuad et al. (2002), hal ini termasuk dalam common pool resources. Common Pool Resources sendiri mengandung arti sebagai sumber daya yang memiliki akses terbuka dan sumber daya yang dimiliki secara komunal.
9
Sumber daya sebagai common property (milik bersama) diartikan oleh Fuad et al. (2002) dengan menerapkan prinsip pelibatan aktif dari masyarakat sekitar (lokal) dan menjadi salah satu alternatif kuat bagi dasar pengelolaan sumberdaya hutan yang akan datang. 2.1.2 Konservasi Sumberdaya Hutan Konservasi sumberdaya alam pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan bijaksana agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiratno et al. (2004) yang mengemukakan bahwa konservasi adalah pengelolaan kehidupan alam oleh manusia, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Mac Kinnon dalam Alikodra (2005) sebagimana dikutip Kuswijayanti (2007) bahkan mengeluarkan sebuah konsep konservasi modern yaitu suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini didasarkan adanya dua kebutuhan; 1) kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat, dan 2) kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Berdasarkan definisi International Union For Conservation of Natureand Nature Species (IUCN 1994), kawasan konservasi merupakan kawasan daratan dan/atau perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati sumberdaya alam dan budaya (Safitri, 2006). Sumberdaya alam yang sulit tergantikan karena keberadaannya terbatas membuat Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dengan tujuan mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menetapkan hukuman bagi pelanggarnya. Lee et al. (2001) merumuskan kebijakan-kebijakan terpenting yang mempengaruhi munculnya konservasi di Indonesia, selain UU No. 5 Tahun 1990. UndangUndang No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan (menggantikan UU No. 5 Tahun 1967) yang memberikan beberapa perubahan dalam kerangka hukum bagi
10
kehutanan, salah satunya dengan memberi ketentuan bagi pengelolaan kawasan oleh masyarakat. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa peraturan koservasi masih wewenang pemerintah pusat. Ada pula Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur berbagai aspek pengelolaan pelestarian. Beberapa peraturan perundangundangan tersebut yaitu: PP No. 15 Tahun 1984, PP No. 28 Tahun 1985, PP No. 18 Tahun 1994, PP No. 68 Tahun 1998, Keppres No. 43 Tahun 1978, dan peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pelestarian alam. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal konservasi dipengaruhi pula oleh konferensi-konferensi Internasional. Wiratno et al. (2004) menyebutkan ada dua konferensi penting yang mempengaruhi kebijakan konservasi di Indonesia. Pertama, World Conservation Strategy tahun 1980, yang menghasilkan sebuah arahan untuk konsep konservasi dunia dengan menghasilkan buku yang berjudul “World Conservation Strategy”. Kedua, Kongres Taman Nasional dan Kawasaan Lindung Sedunia ke-III di Bali tahun 1982, yang menghasilkan pembangunan taman nasional di Indonesia sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi. Wiratno et al. (2004) juga menyebutkan, sebagian kawasan konservasi di Indonesia memang ditunjuk berdasarkan hasil studi Mac Kinnon yang dituangkan dalam Rencana Konservasi Nasional tahun 1980 yang didasarkan pada prinsip “save it” karena harus berlomba dengan penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). 2.1.3 Konflik Sumberdaya Hutan 2.1.3.1 Pengertian Konflik Konflik dapat diartikan sebagai pertarungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan, aktivitas, status, dan kelangkaan sumberdaya alam. Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan Maskanah (2000), Ibrahim (2002) sebagaimana dikutip Ilham (2006) serta Fisher et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa konflik muncul karena ada sasaran-sasaran yang tidak sejalan atau tidak sama. Konflik akan selalu ditemui selama manusia menjalankan peranannya di dalam kehidupan. Manusia melakukan berbagai usaha untuk memenuhi
11
kebutuhnnya, yang dalam pelaksanaannya manusia harus melaksanakan hak dan kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-hak manusia yang merupakan bagian dari komunal, sering terjadi benturan-benturan antara pemenuhan hak-hak tersebut. Benturan-benturan tersebut menimbulkan ketidakadilan dan memicu tumbuhnya konflik antar manusia. Menurut Wiradi (2002) sebagaimana dikutip Sardi (2010) konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya. Pada tahapan ”berlomba” saling mendahului untuk mencapai tujuan, sifatnya masih dalam batas persaingan. Tetapi ketika mereka saling memblokir jalan lawan dan saling berhadapan maka terjadilah ”situasi konflik” Konflik selalu diidentikkan dengan kekerasan, ancaman, dan segala hal yang berkonotasi negatif. Padahal konflik dapat bersifat positif. Seperti pendapat Mitchell et al. (2000) dan Hendricks (2004) sebagimana dikutip Hasanah (2008) yang mengungkapkan bahwa konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. 2.1.3.2 Sumber-sumber Konflik Menurut Tadjudin (2000), sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Namun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi (Tadjudin, 2000). Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada tataran (Tadjudin, 1999), misalnya: 1. Perbedaan persepsi. Konflik ini terjadi antara pemungut ranting kayu jati dan petugas Perhutani. Pemungut ranting kayu jati (untuk kayu bakar) mempersepsikan ranting kayu jati sebagai barang yang ”relatif tidak berguna” bagi Perhutani, karena itu mereka menganggap bahwa memangkas dan memungutnya dalam jumlah kecil dapat dimaklumi. Sebaliknya bagi Perhutani, menganggap bahwa memangkas dan
12
memungut ranting itu merupakan pelanggaran hukum, yang apabila dikhawatirkan akan meningkat menjadi pelanggaran yang lebih besar, karena itu perbuatan para pemungut ranting kayu jati tidak dimaklumi. 2. Perbedaan pengetahuan. Para peladang-berotasi di Kalimatan memiliki pengetahuan lokal yang teruji, bahwa menanam padi varietas lokal tanpa pemupukan pada lahan yang ditebas-bakar secara berkala itu merupakan tindakan yang paling baik ditinjau dari segi produktivitas maupun kelestarian lingkungan. Pemerintah menganggap bahwa peladang-berotasi itu selain tidak produktif juga merusak lingkungan (karena boros lahan). Karena itu, pemerintah menganggap bahwa merubah pola perladanganberotasi menjadi perladangan menetap merupakan kebijakan yang tepat, namun masyarakat menolaknya, sehingga terjadilah konflik. 3. Perbedaan tatanilai. Bagi masyarakat Dayak, kayu besi merupakan tanaman yang sangat sakral, dan dalam tatanilainya tanaman tersebut merupakan bagian kehidupan spiritualnya di mana pun tanaman itu tumbuh. Sementara itu, bagi pengusaha HPH, kayu tersebut merupakan komoditi perdagangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan karena tumbuh dalam wilayah konsesinya, maka sudah sepatutnya jika ia menebang dan menjualnya. Ketika itu dilakukan, munculah konflik antara pengusaha HPH dengan masyarakat Dayak. 4. Perbedaan kepentingan. Pengelola Taman Nasional Meru Betiri memiliki kepentingan untuk melakukan konservasi kawasan taman nasional, dan dengan demikian tidak memperkenankan kegiatan pendayagunaan di dalam kawasan taman nasional. Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Jember berkepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat di sekitar kawasan dengan melakukan kegiatan produktif di dalam kawasan (zona penyangga dan zona rehabilitasi) taman nasional tersebut. 5. Perbedaan akuan hak ”pemilikan”. Masyarakat di desa Dwikora (Lampung) menganggap bahwa hak pemilikan lahan perkebunan kopi yang mereka budidayakan itu sah karena merekalah yang membuka lahan,
13
membudidayakannya dan merawatnya sepanjang tahun, ditambah dengan kenyataan bahwa tempat tinggal mereka itu merupakan desa definitif. Pemerintah menganggap bahwa akuan itu tidak sah, karena desa mereka ada dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Pemerintah menganggap sudah semestinya untuk ”mengusir” masyarakat dari dalam hutan lindung, sementara itu masyarakat menganggap bahwa tindakan pemerintah itu merupakan tindakan sepihak yang sewenang-wenang. Penyebab konflik yang ditekankan oleh Fisher et al. (2001) adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam. Konflik dalam konteks sumberdaya alam, biasanya juga terletak pada perbedaan nilai, model pengelolaan serta kepemilikan (Tadjudin, 2000). Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sumberdaya yang perlu dijaga dan dilestarikan
keberadaannya
untuk
kesejahteraan
masyarakat.
Swasta
mengartikannya sebagai komoditi yang menghasilkan keuntungan. Masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat menggantungkan hidup dan memiliki nilai spiritual. Namun, Widjarjo et al. (eds) (2001) sebagaimana dikutip Ilham (2006) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab konflik atas sumber daya alam adalah konflik yang bersifat struktural yang terjadi terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konflik kehutanan, menurut Fuad et al. (2002) adalah sebagai berikut : 1
Perbedaan pesepsi politik dan hukum antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal klaim dan pengakuan hak pada kawasan hutan. Politik negara menguasai sumberdaya hutan sebagai akses publik dan tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal.
14
2
Penguasaan dan akses masyarakat lokal tidak diimbangi dengan usaha pengamanan, sehingga banyak terjadi pengalihan atau penentuan hak baru pada kawasan hutan dengan kepentingan ekonomi.
3
Sektorisme kebijakan negara terhadap sumberdaya alam, pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang parsial.
4
Sistem kelola dengan pemberian konsesi HPH yang ditentukan terpusat menciptakan pertentangan dan benturan nilai-nilai kelestarian sumberdaya hutan dengan kepentingan ekonomi.
Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terutama hutan konservasi, dengan berbagai pihak luar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti pemerintah dan swasta (Ulfah, 2007). Gambar 1. Aras Permasalahan Konflik Sumberdaya Hutan Kepentingan internasional
Negara
Makro/Global
Pengusaha
Masyarakat
Mikro/Lokal
Sumber: Fuad dan Maskanah (2000)
Gambar 1 menjelaskan bahwa level konflik pengelolaan sumberdaya hutan (SDH), pada akhirnya akan menimbulkan perebutan atas nama kebutuhan dan kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya hutan; antara pemerintah atau negara, penguasaha atau investor, serta rakyat pada umumnya menyebabkan hubungan ketiganya menjadi tidak harmonis. Seringkali apa yang dicita-citakan pemerintah belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat lokal, karena
15
pelaksanaannya di lapangan berbeda dengan aturan formal dalam tingkat kebijakan. Demikian pula yang terjadi antara pengusaha dan pemerintah, ketika prosedur pengurusan berbagai izin pengelolaan sumberdaya hutan harus melewati serangkaian birokrasi. Ketimpangan-ketimpangan tersebut akan saling terkait dan berpotensi menimbulkan konflik di lingkungan mikro atau di tingkat nasional di suatu negara. Pada saat yang sama, proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas dari kepentingan global terutama faktor investasi negara maju bagi tetap berlangsungnya produksi, distribusi dan pemasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi sektor kehutanan termasuk industrinya, melibatkan aliran modal asing dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam melihat konflik di tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak berarti harus menutup mata terhadap adanya kepentingan yang lebih besar (Fuad dan Maskanah, 2000). 2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik Kebanyakan konflik memiliki penyebab ganda sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Konflik Data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. 2. Konflik Kepentingan, terjadi karena persaingan kepentingan, dimana ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. 3. Konflik Hubungan antar Manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang.
16
4. Konflik Nilai, dikarenakan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, baik yang dirasakan maupun memang ada (nyata). 5. Konflik Struktural, terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum. Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest) seperti yang diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah (2000). Selain itu, Fuad dan Maskanah (2000) juga membagi konflik menjadi dua jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Dalam konflik sumberdaya alam, konflik yang terjadi dapat berwujud tertutup, mencuat, maupun terbuka, tergantung karakteristik aktor-aktor yang berselisih. Menurut level permasalahannya, konflik sumberdaya alam cenderung berwujud konflik vertikal, yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Konflik juga dapat dibedakan menjadi konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mampu mendukung proses pencapaian tujuan kelompok serta mampu meningkatkan kinerja kelompok. Konflik disfungsional adalah konflik yang dapat menghambat kinerja kelompok (Robbins, 1993 dalam Tadjudin, 2000). Terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996) sebagaimana dikutip oleh Ilham (2006), yaitu: (1) dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi orang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) onflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae et al., 2000 sebagaimana dikutip Ilham (2006)) antara lain: 1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah
17
yang sebelumnya tidak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung selama 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok pro-kemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pada pembuatan tembok setinggi 5 meter. Begitu pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segresi wilayah kelompok muslim dan kristen sudah terjadi. 2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya bersifat negatif, untuk merendahkan pihak lawan. 3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematis ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul misalnya: ”Si A dari suku X, hati-hati....., orang yang bersuku X itu pembunuh darah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia”. 4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi. 5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain. 2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: 1. Prakonflik. Ini merupakan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Mungkin
18
terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini. 2. Konfrontasi. Pada tahap ini, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan umum cenderung menuduh atau menentang pihak lain. 4. Akibat. Suatu krisis akan menimbulkan akibat. Satu pihak ingin menaklukan pihak lain, satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Apapun keadaaannya, tingkat ketegangan konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. 5. Pascakonflik. Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik tahap ini sering kembali menjadi situasi prakonflik. 2.1.3.5 Teori Konflik Fairuza (2009) mengungkapkan bahwa teori konflik pada dasaranya berusaha menjelaskan dan menganalisis secara komperehensif konflik dalam kehidupan sosial, meliputi: 1) sebab/isu konflik; 2) fungsi konflik; 3) bentuk/ekspresi (intensitas) konflik; dan 4) aktor/pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau antar budaya. 1. Konflik berdasarkan Sebab/Isu Konflik Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik yang disebabkan isu-isu realistik, yang disebut dengan konflik realistik,
19
dan konflik yang disebabkan oleh isu-isu non realistik, yang disebut dengan konflik non realistik. Konflik realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu jika tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya, jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentukbentuk kekerasan yang sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. 2. Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik Teori konflik fungsi menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik (Fairuza, 2009). Pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan.serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem sosial, khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial. Berkaitan dengan kekerasan konflik, disebut Coser sebagai kebrutalan konflik. Menurut Fisher et al. (2001), kekerasan adalah bentuk tindakan, perkataan, sikap sebagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang lain atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan
20
kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan. 3. Konflik berdasarkan Sasaran dan Perilaku Berdasarkan sasaran dan perilaku, Fisher et al. (2001) konflik dapat diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu: 1) tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat ingin hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. 2) konflik laten, merupakan konflik yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. 3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar ’dalam’ dan ’sangat nyata’, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4) konfli di permukaan, adalah konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman
mengenai
sasaran
yang
dapat
diatasi
dengan
meningkatkan komunikasi. 4. Konflik berdasarkan Tahapan/Intensitas Ariyanti (2008) mengungkapkan bahwa bila dua pihak atau lebih berinteraksi, maka mereka akan ada dalam suatu kontinium yang terentang dari kondisi ’tanpa konflik’ sampai dengan ’ada konflik yang tidak terpecahkan’. Robbins dalam Tadjudin (2000) menggolongkan konflik menurut intensitasnya, yaitu sebagai berikut: 1) memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; 2) mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudha mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa pihak lain itu keliru atau tidak; 3) mengajukan serangan-serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak lain
21
itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap seperti yang diinginkannya; 4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi verbal mulai muncul. Ada upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya (yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya); 5) melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik; dan 6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain. 2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seo\perti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. 1. Lumping it. Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. 2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis. 3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.
22
4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. 5. Concilliation.
Mengajak
(menyatukan)
kedua
belah
pihak
yang
bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. 6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. 7. Arbitration. Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil baik yang diharapkan maupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono (2004), bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang akan diperoleh adalah ’menang-kalah’ atau ’gembira-kecewa’. Oleh karena itu, cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik. Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 74, ayat 1). Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai
23
pengambilan suatu hak, besarnya ganti rugi, dan/atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan (Pasal 75). 2.1.5 Masyarakat Adat Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010) menyebutkan pemahaman yang lebih luas mengenai “komunitas” ialah suatu unit atau kesatuan social yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai territorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Istilah komunitas dalam batasbatas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas. Komunitas adat menurut Siregar (2002) sebagaimana dikutip oleh Aulia (2010) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik. Definisi masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional 1, seperti yang diungkapkan oleh Moniaga (2004) sebagaimana dikutip Khalil (2009), yaitu kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Menurut Keraf (2002) ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dengan kelompok masyarakat lainnya, yaitu: 1. mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian.
24
2. mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. 3. mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah. Kleden et al. (2009) menyebutkan bahwa pada pertemuan pergerakan masyarakat adat pertama digelar di Jakarta pada Maret 1999, istilah Indegenous People berubah menjadi “masyarakat adat”. Masyarakat adat memiliki definisi sebagai komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam. Mereka juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat. Menurut Syafaat et al. (2008) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010), masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Lebih lanjut Syafaat et al. (2008) mengemukakan bahwa pengertian tersebut sesuai dengan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 1969 Pasal 1 (1.b) yang isinya sebagai berikut, “Tribal peoples adalah mereka yang berdiam di Negara-negara merdeka di mana kondisi sosial, budaya, dan ekonominya membedakan mereka dari masyaraka lainnya di Negara tersebut.” Definisi formal komunitas adat terpencil menurut Keppres RI No. 111/1999 adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik, sedangkan definisi operasional menurut Keppres tersebut, komunitas adat terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogeni, terpencar dan berpindah-pindah, kehidupannya masih berpegang teguh pada adat istiadat, pada kondisi geografis yang sulit dijangkau. Penghidupannya tergantung pada sumberdaya alam setempat dengan teknologi yang masih sederhana dan ekonomi yang subsistem serta
25
terbatasnya akses pelayanan sosial dasar. Secara teknis definisi operasional tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel-1 Kriteria Komunitas Adat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
UNSUR Jumlah Komuntas
URAIAN Kecil, terjangkau oleh hubungan personal Beragam Suku Homogen, menurut garis keturunan sesuku Sikap terhadap Perubahan Tertutup Letak Geografi Umumnya terpencil dan relatif sulit dijangkau Teknologi Sederhana, tetapi fungsional bahan dan manfaat sesuai dengan kebutuhan Ketergantungan pada Lingkungan Relatif tinggi antar anggota komunitas Hidup dan SDA dalam memanfaatkan SDA Kehidupan Sosial Bertumpu pada Sistem Kekerabatan Sistem Ekonomi Kehidupan dan Sistem Ekonomi Subsisten Pelayanan Sosial Dasar Belum ada atau sangat terbatas Transportasi Belum ada atau ditempuh melalui jalur transportasi tertentu Hubungan Sosial Hubungan di dalam komunitasnya dan dengan komunitas lain menurut kepentingan tertentu Mata Pencaharian Hidup Umumnya meramu makanan, berburu, dan dari hasil hutan Institusi Sosial Kepercayaan tradisi nenek moyang
Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil
Apabila merujuk pada definisi operasional pada tabel-1, maka masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi masih memenuhi kriteria-kriteria sebagai masyarakat adat. Sebagai contoh, dalam aspek ketergantungan terhadap Lingkungan Hidup dan SDA, masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki ketergantungan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan akan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk membangun sarana dan prasarana, serta hasil hutan non kayu untuk tambahan pangan. Selain itu, dalam aspek perubahan dan teknologi masyarakat Kasepuhan sangat terbuka dengan adanya perubahan dan masuknya teknologi baru, namun masih mempertahankan teknologi tradisional terutama dalam pengolahan pertaniannya dan tidak bertentangan dengan adat yang telah diturunkan leluhurnya. Institusi sosial masyarakat masih mempercayai segala hal yang diturunkan oleh para leluhur dalam menjalani kehidupan.
26
Ada pun unsur institusi sosial yang hidup dalam komunitas adat terpencil (KAT) dapat dilihat sebagai berikut: Tabel-2 Unsur Institusi Sosial dalam Komunitas Adat No 1 2
Institusi Sosial Kepercayaan Pengetahuan
3
Pendidikan
4
Kesehatan
5
Perkawinan
6
Keturunan
7
Politik
8
Kepemilikan
9
Bahasa
Uraian Tradisi nenek moyang Transformasi dari generasi ke generasi, secara lisan, praktek dan teladan Di dalam keluarga (individu), kerabat (sosial) dan magang dalam praktek Preventif dan kuratif oleh dukun atau penyembuh lain melalui mantra, jampi, dan obat-obatan tradisional Endogami dalam satu suku besar, dan eksogami dalam suku lainnya Komunitas bentukan melalui garis keturunan satu sub suku Di bawah tradisi pemimpin komunitas atau suku yang kharismatik melalui otoritas adat Kepemilikan individu terbatas, diperoleh melalui warisan. Kepemilikan sosial luas karena digunakan untuk kepentingan bersama yang diatur menurut adat. Alat komunikasi penting berdasarkan bahasa lisan
Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil
Masyarakat adat Kasepuhan hingga saat ini masih memenuhi kriteria sebagai komunitas adat seperti yang disebutkan dalam tabel-2. Dalam aspek pendidikan dan pengetahuan, walaupun masyarakatnya sudah mengenyam pendidikan formal, mereka masih mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang berasal dari keluarga secara turun temurun terutama terkait spiritualitas dan sistem pertanian. Dalam aspek kepercayaan, walaupun semua masyarakat mengaku beragama Islam, mereka masih menjalankan ritual-ritual yang berasal dari para leluhur dan mempercayai segala hal yang berasal dari para leluhur. Aspek kesehatan, masih ada penyembuh-penyembuh yang berasal dari adat, yang disebut dengan Dukun Manusia (berperan untuk menyembuhkan penyakit manusia), Paraji (berperan dalam membantu persalinan), dan Dukun Hewan (berperan untuk menyembuhkan pernyakit pada hewan). Aspek kepemilikan dalam hal lahan, masih bersifat komunal, dan penggunaan lahan diatur oleh Abah sebagai pimpinan
27
adat. Bahasa yang digunakan sehari-hari dan dalam upacara dan ritual adat masyarakat adat Kasepuhan adalah bahasa Sunda. 2.2 Kerangka Pemikiran Sumberdaya hutan dipersepsikan sebagai kawasan yang menjadi milik publik, yang berarti siapa pun boleh mengaksesnya. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja. Pengelolaan sumberdaya hutan ditujukan untuk konservasi jika mengikuti kebijakan pada UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.41 Tahun 1999. Itu artinya, sumberdaya hutan hanya diperuntukkan untuk upaya konservasi, dan tidak untuk dimiliki maupun diakses oleh masyarakat, kecuali di zona-zona tertentu. Akibat dari pengelolaan sumberdaya hutan secara konservasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, timbul ketidakadilan sumberdaya hutan terhadap masyarakat, sehingga menimbulkan konflik kehutanan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan, tetapi memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta sehingga akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan berujung pada konflik sumberdaya hutan seperti yang terjadi pada kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Gambar 2. Bagan alur berpikir Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi
Sumberdaya Hutan
Sumber-sumber Konflik: • Perbedaan Persepsi • Perbedaan Nilai • Perbedaan Pengetahuan • Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan
Keterangan:
Konflik: Konflik Kehutanan Konflik Lahan Konflik Air
Penyelesaian konflik yang telah dilakukan
Aspek yang diteliti Aliran Pembahasan
28
Gambar 2 menjelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh Negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja, dan tidak dimiliki secara individual maupun kelompok. Namun, dalam mengartikannya terkadang timbul perbedaan yang dapat menjadi sumber timbulnya konflik. Selain perbedaaan dalam menilai sumberdaya
hutan
(perbedaan
tatanilai),
perbedaan
persepsi,
perbedaan
pengetahuan, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak pemilikan juga menjadi sumber-sumber penyebab konflik lainnya. Konflik yang terjadi pun dapat berada pada basis konflik kehutanan, konflik lahan, maupun konflik air. Upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik dilakukan dalam menangani konflik. Upaya-upaya tersebut dapat ditempuh melalui jalur persidangan maupun di luar persidangan. 2.3 Definisi Konseptual 1. Sumberdaya hutan adalah semua unsur-unsur hayati, baik hewan maupun tumbuhan dan unsur nonhayati yang membentuk ekosistem hutan. 2. Sumber-sumber
konflik
merupakan
penyebab-penyebab
terjadinya
konflik. 3. Perbedaan persepsi merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam mempersepsikan sumberdaya hutan. 4. Perbedaan pengetahuan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya hutan. 5. Perbedaan tatanilai merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam memaknai dan menilai hutan. 6. Perbedaaan kepentingan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan kepentingan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. 7. Perbedaaan akuan hak pemilikan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam pengakuan kepemilikan (klaim) terhadap hutan (wilayah yang sama). 8. Konflik Kehutanan adalah benturan antar dua pihak yang disebabkan adanya perbedaan nilai, kepentingan, akuan hak kepemilikan, perbedaan 29
pengetahuan, dan perbedaan persepsi antar pihak-pihak yang bertikai atas sumberdaya hutan. 9. Basis konflik adalah arena di mana konflik terjadi, dapat berupa basis kehutanan, basis lahan, dan basis air. 10. Alternatif pengelolaan dan penyelesaian konflik merupakan upaya-upaya yang dilakukan dalam menangangi konflik di luar persidangan yang mengadung unsur win-win solution. 11. Negosiasi adalah pihak yang berkonflik bersama-sama menyelesaikan konflik tanpa melibatkan pihak ketiga. 12. Konsoliasi adalah menyatukan kedua belah pihak yang berkonflik untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan menyelesaikan konflik. 13. Mediasi adalah penyelesaian konflik dengan intervensi oleh pihak ketiga yang bersifat netral untuk mencapai kesepakatan. 14. Komunitas Adat adalah komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam, juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat.
30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis konflik sumberdaya hutan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih peneliti karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari subjek yang diteliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif dan deskriptif memungkinkan peneliti dapat memahami mengapa orang mempunyai tingkah laku tertentu, dan dapat melihat dunia ini seperti subjek melihatnya (Wiradi, 2009). Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menggali konflik-konflik sumberdaya hutan yang terjadi serta faktor-faktor penyebabnya, kemudian menggali bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode studi kasus. Metode studi kasus pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas, maupun penelusuran (analisis) data sekunder sebagai instrumennya. Strategi studi kasus yang diterapkan oleh peneliti mampu menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tepatnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Beberapa alasan memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian, yaitu: 1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; 2) Kampung Sinar Resmi merupakan salah satu kampung yang lahan garapannya berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; 3) berdasarkan wawancara dengan salah satu informan kunci Bapak PPN (53 tahun, Tokoh Masyarakat Kampung Lebak Nangka), sudah ada warga kampung di Kampung Lebak Nangka yang ditangkap 31
oleh Polisi Kehutanan karena dituduh sebagai perambah hutan dan penebang liar. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di sana. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010, dengan perincian mulai intensifnya berada di lapangan untuk peneliti survey lapangan dan pengambilan data di lokasi penelitian. 3.3 Penetapan Informan Penelitian Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi tidak dibatasi oleh batas-batas administratif. Masyarakatnya pun pada umumnya tersebar di wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Namun, untuk membatasi lingkup penelitian ini, informan penelitian yang diambil adalah informan yang secara administratif tinggal di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Metode yang digunakan adalah snowball sampling (pengambilan sampel sistem bola salju), dimana pemilihan informan kunci, pada awalnya dilakukan dengan mendatangi tokoh adat Kasepuhan (Wa UGS, 64 tahun) dimana penelitian dilakukan, yang selanjutnya akan menggiring pada informan kunci lain, Abah ASN (44 tahun, Ketua Adat), Bapak BHR (62 tahun, Sekretaris Desa), Bapak OMD (34 tahun, Petani), Bapak PPN (53 tahun, Tokoh Masyarakat Kampung Lebak Nangka), Bapak RDI (55 Tahun, Petani) dan Bapak KHR (47 tahun, Polisi Kehutanan) 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data penelitian dikumpulkan melalui tiga metode, antara lain: 1. Wawancara Mendalam Teknik wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data primer dan deskriptif yang dilakukan terhadap informan kunci. Informan diketahui melalui penggunaan teknik bola salju (snowball sampling). Wawancara dilakukan terhadap sebanyak mungkin subyek penelitian sampai pada titik jenuh informasi, dimana informasi dari informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru.
32
2. Pengamatan Berperan Serta Pengamatan berperan serta adalah penggalian data primer dengan mengadakan kontak yang lama, intensif, dan bervariasi dengan orang lain. Pengamatan berperan serta yang dilakukan penulis terbatas pada berpartisipasinya penulis dalam beberapa kegiatan bersama. Data yang diperoleh dengan metode ini secara garis besar biasanya berupa keterangan mengenai: (1) gambaran deskriptif tentang lingkungan alamiah; (2) data tentang hubungan-hubungan sosial; dan (3) data tentang sejarah setempat. 3. Penelusuran Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan kajian pustaka terhadap berbagai literatur, yakni skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, makalah ,dan internet yang terkait dengan topik penelitian. Kajian literatur ini membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. Penulis membuat panduan pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. Selain itu, analisis data sekunder juga dilakukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi penelitian, seperti monografi dan potensi desa, peta lokasi, data statistik, dan lain-lain. 3.5 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data primer merupakan informasi yang dikumpulkan langsung dari lapangan melalui wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta. Data sekunder didapatkan berupa data-data yang bersumber dari dokumendokumen, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, dan makalah, maupun data monografi desa, potensi desa, dan lain-lain. Data primer dan sekunder dapat berbentuk data kualitatif maupun data kuantitatif. 3.6 Teknik Pengolahan Data Data yang didapatkan dari pendekatan kualitatif, baik berupa data primer maupun data primer, akan diolah melalui tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Penjabaran tahapan analisis data kualitatif tersebut adalah sebagai berikut: (1)
33
reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari beberapa catatan tertulis di lapangan. Reduksi dalam proses pengumpulan data mencakup kegiatan meringkas data yang ada di dalam catatan lapangan, mengkode hasil catatan lapang dikaitkan dengan pertanyaan penelitian, membuat gugus-gugus pembahasan dalam matriks kasar untuk mempermudah analisis, membuat partisi dan menulisi memo di dalam catatan lapang. Reduksi ditujukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengeliminasi yang tidak diperlukan serta mengorganisir data untuk memperoleh kesimpulan akhir, (2) penyajian data, data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan penyusunan sekumpulan informasi sehingga memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk: tabel, gambar, serta berbagai kutipan penjelasan dari subyek penelitian, (3) penarikan kesimpulan, dalam hal ini juga meliputi verifikasi atas kesimpulan tersebut. Artinya, selama proses pengumpulan data dengan tetap meninjau data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya untuk memastikan bahwa data yang dibutuhkan sudah lengkap, sehingga penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan tepat berdasarkan datadata yang sudah terkumpul. Penarikan kesimpulan akan disesuaikan dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini.
34
BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI 4.1 Letak Geografis Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi adalah sebagai berikut: Barat
: Desa Cicadas
Timur : Kampung Cikaret Utara
: Sungai Cibareno
Selatan : Kampung Cibombong Menurut Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) batas-batas Kasepuhan sulit ditentukan secara administratif, karena tersebarnya masyarakat adat Kasepuhan (incu putu) di wilayah Gunung Halimun. Bahkan masih menurut Abah, seluruh kawasan Gunung Halimun adalah wilayah adat Komunitas Adat Banten Kidul, dimana Kasepuhan Sinar Resmi adalah salah satu bagiannya. Jumlah penduduk Desa Sirna Resmi berdasarkan data monografi desa tahun 2010 terdiri dari 1537 kk, dengan jumlah penduduk laki-laki 2619 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2694 jiwa. Namun, untuk jumlah penduduk Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Sinar Resmi sendiri, menurut 35
Abah terdiri dari 76 kk. Desa Sirna Resmi memiliki luas 4917 hektar dan memiliki luas hutan sebesar 2950 hektar, dan lahan pertanian 275 hektar. 4.2 Kondisi Sosial-Budaya 4.2.1 Kepercayaan atau Religi Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang berasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh Nusantara). Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun) mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah Slampangan dika Gusti Rasul. “kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul kami. Tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, yang disebut dengan Slampangan dika Gusti Rasul” Menurut Rosdiana (1994) sebagaimana dikutip oleh Kurniawan (2002) masyarakat adat Kasepuhan mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan alam yang dikuasai oleh para leluhur mereka.
Hal ini ditunjukkan
dengan masih adanya ritual-ritual adat yang diwariskan leluhur dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, seperti membakar kemenyan dengan diiringi dengan mantera-mantera yang dilafalkan dalam bahasa Sunda yang ditujukan untuk Gusti Nu Kuasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan para leluhur. Bagi mereka, adat dan kepercayaan itu merupakan pedoman hidup utama dalam menjalankan kehidupan.
36
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Kasepuhan mempunyai persepsi bahwa alam semesta memiliki keteraturan dan keseimbangan. Terganggunya keteraturan dan keseimbangan berbagai komponen fisik maupun non fisik yang ada di bumi, dapat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat adat Kasepuhan masih memegang teguh aturanaturan yang diwariskan oleh para leluhurnya. 4.2.2 Bahasa Sehari-hari Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar merupakan suku Sunda dan ada beberapa yang merupakan pendatang. Masyarakat asli Kasepuhan merupakan keturunan dari para leluhurnya yang terus mengabdi pada pimpinan Adat mereka. Masyarakat pendatang yang tinggal di Kampung Sinar Resmi ada yang berkomitmen untuk mengabdi pada pimpinan Adat, ada pula yang mengabdi kepada Abah di Kasepuhan lainnya. Menurut sejarah, masyarakat adat Kasepuhan merupakan keturunan dari para sisa pasukan Kerajaan Padjajaran yang melarikan diri ke wilayah Gunung Halimun ketika terjadi penyerangan oleh Kerajaan Islam. Oleh sebab itu, masyarakat adat Kasepuhan mewariskan adat dan budaya dari Kerajaan Padjajaran, salah satunya adalah Bahasa Sunda. Bahasa Sunda digunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakatnya. Selain itu, bahasa Sunda pun digunakan dalam berkomunikasi dengan para leluhur dan dalam ritual-ritual adat. 4.2.3 Mata Pencaharian Masyarakat Masyarakat adat kasepuhan Sinar Resmi berupaya untuk hidup mandiri dan lepas dari ketergantungan hidup pada pihak lain. Namun, mereka tidak melupakan nilai kekeluargaan dan sifat kegotong-royongan. Walaupun pada umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan peladang, tidak pernah terdengar kabar adanya krisis pangan atupun warga yang kekurangan pangan. Bahkan, lumbung-lumbung padi pun tidak pernah kosong sepanjang tahun, sampai panen padi berikutnya. Pertanian ladang (huma) dan sawah masyarakat adat Kasepuhan hanya dilakukan setahun sekali pada bulan September hingga bulan Oktober. Hal ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat yang diwariskan oleh leluhur mereka, 37
yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun. Selain itu, anggapan ini didasarkan pada prinsip Ibu Bumi yang menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu hanya dapat melahirkan setahun sekali. Terdapat 46 jenis padi yang dimiliki Kasepuhan Sinar Resmi. Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) mengharapkan warga dapat menanam ke-46 jenis padi tersebut di tiap petak sawah. “Dahuu, di ladang dan sawah milik masyarakat ditanami kurang lebih 100 spesies padi. Namun, saat ini, hanya bersisa 46 spesies. Abah menginginkan warga dapat menanam 46 spesies padi tersebut, di setiap petak ladang. Jadi, warga dapat memiliki 46 petak ladangdan 46 lumbung padi. Namun, saat ini, hal tersebut belum dapat terlaksana.” Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan pada sesepuh girang sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila musim paceklik datang, dan bisa dipinjam kepada warga yang kekurangan beras, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan dalam upacara adat Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare (Ibu padi). Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan. Seperti pernyataan yang disebut oleh tokoh adat, Wa UGS (64 tahun). “Secara filosofis, beras dianalogikan sebagai seorang wanita yang tidak memakai pakaian, maka tidak pantas ketika kami menjual wanita yang tidak berpakaian, sedangkan wanita sangat dihormati terkait dengan istilah Ibu Bumi.” Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudah
38
terpenuhi sampai panen padi berikutnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun). “Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.” Masyarakat adat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan. Selain itu, warga juga menanan pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan albasia untuk keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian. Namun, untuk pohon kayu-kayuan tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah. Selain berkebun, masyarakat juga beternak ayam. Hampir semua warga memiliki kBapak/Ibung ayam di depan rumahnya. 4.2.4 Nilai-nilai Tradisional Kearifan lokal adalah pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan khususnya secara turun temurun dalam pengelolaan lingkungan. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam pengelolaan pertanian, pengelolaan hutan, dan pepatah-pepatah lokal yang terkait dalam pengelolaan pertanian dan hutan. Pengelolaan pertanian masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam tiga pengelolaan, yaitu pertanian ladang (huma), sawah dan kebun (talun). Telah disinggung dalam sub-bab sebelumnya, bahwa pertanian ladang dan sawah hanya dilakukan sekali dalam setahun. Hal ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun. Selain itu, ini juga didasarkan pada prinsip Ibu Bumi yang menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu hanya
39
dapat melahirkan setahun sekali. Beras sebagai komoditas utama pertanian sawah dan ladang tidak boleh diperjualbelikan. Kegiatan pertanian ladang berbeda dengan kegiatan pertanian di sawah. Masing-masing
pertanian
memiliki
ritual-ritual
adat
tersendiri
dalam
pelakasaannya. Berikut adalah tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam pertanian ladang. Tabel-3 Tahap-tahap Kegiatan Pertanian Ladang Kegiatan Narawas (menBapak/Ibui lokasi yang akan dijadikan lahan huma) Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu setelah itu di keringkan selama 15 hari – 1 bulan) Ngahuru (membakar semak kering untuk dijadikan pupuk) Ngerukan (mengumpulkan sisa-sisa yang belum terbakar ) Ngaduruk (membakar sisa-sisanya) Nyara (meremahkan tanah) Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk) Ngored (menyiangi rumput) Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen) Ngadamel lantayan (membuat tempat menjemur padi) Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayan) Mocong (mengikat padi yang kering) Ngunjal (diangkut ke lumbung padi) Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung) Ngeuleupkeun (dirapikan) Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit) Selametan (ampih pare)
Bulan (Sistem Kalender Islam) Jumadil awal
Pelaksana *)
Jumadil awal
Lk, Pr, P
Jumadil akhir
Lk
Jumadil akhir
Lk, Pr, P
Jumadil akhir
Lk, Pr
Jumadil akhir Rajab
Lk, Pr, P Lk, Pr, P
Ruwah
Lk, Pr, P
Haji
Lk, Pr
Haji
Lk
Haji
Lk, Pr
Muharam
Lk, Pr, P
Muharam
Lk
Muharam
Lk, Pr
Muharam
Lk
Muharam
Lk
Muharam
Lk, Pr, P
Lk
Keterangan: Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, dan P = Pemuda Sumber: diolah dari data primer, (2010)
40
Dari 17 prosesi di atas, ada enam kegiatan utama yang harus dilakukan antara lain: •
Ngaseuk merupakan kegiatan menanam padi dengan memasukkan benih ke dalam lubang dengan menggunakan aseuk (tongkat).
•
Beberes Mager: ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik Kasepuhan) dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam.
•
Ngarawunan : ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur, sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu putu untuk meminta doa kepada abah melalui bagian pamakayaan. Ngasrawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat bulan.
•
Mipit: kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah sebagai pertBapak/Ibu masuknya musim panen.
•
Nutu: kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen.
•
Nganyaran: memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua bulan setelah masa panen. Adapun tahap-tahap pertanian sawah yang dilakukan oleh masyarakat
kampung mulai dari menanam padi hingga memanen padi adalah sebagai berikut: 1. Macul (nyangkul), yaitu kegiatan menyangkul tanah yang akan ditanami sawah, meliputi macul badag dan macul alus. 2. Ngalur Garu, yaitu membajak sawah dengan menggunakan alat bantu garu dan hewan ternak kerbau. 3. Ngoyos, yaitu membersihkan tanaman pengganggu seperti rumput liar yang menghambat pertumbuhan tanaman padi. 4. Patangkeun, yaitu meratakan seluruh permukaan tanah di sawah yang belum rata. 5. Sebar, yaitu menumbuhkan benih padi (persemaian) pada tahap pembibitan awal. 6. Tandur, yaitu menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar.
41
7. Ngabungkil, yaitu memberikan sedikit pupuk kimia pada tanaman (TSP dan urea) agar tanaman padi tumbuh dengan baik. 8. Ngoyos Kadua, yaitu membersihkan kembali tanaman pengganggu seperti rumput liar yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi. 9. Babad, yaitu membersihkan rumput atau tanaman pengganggu yang terdapat di pematang sawah. 10. Nunggu Dibuat, yaitu menjaga padi yang sudah mulai tumbuh dari gangguan, seperti burung-burung pemakan padi. 11. Dibuat, yaitu panen tanaman padi yang sudah matang. 12. Ngalantai, yaitu menjemur padi yang sudah dipanen hingga kering. 13. Mocong, yaitu mengikat padi dari jemuran sebelum dimasukkan ke dalam leuit (lumbung). 14. Asup Leuit, yaitu memasukkan padi yang sudah kering ke dalam leuit (lumbung). 15. Nganyaran, yaitu mengadakan acara selamatan untuk padi yang baru dipanen dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut. Penentuan waktu untuk mulai menanam padi ditentukan dengan sistem perbintangan yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan. Ada dua bintang yang diyakini sebagai permulaan penanaman ketika keduanya telah muncul, yaitu bintang Kerti dan bintang Kidang. Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga bulan Oktober pada pukul 00.00 WIB. Ketika bintang Kerti muncul atau disebut sebagai Tanggal Kerti Turun Besi, menBapak/Ibukan bahwa masyarakat sudah memulai untuk membuat perkakas-perkakas pertanian. Bintang Kidang muncul sekitar tiga hingga empat minggu kemudian yang menBapak/Ibukan sudah saatnya untuk menggunakan perkakas pertanian yang telah dibuat. Sebutannya adalah Turun Kujang. Artinya masyarakat sudah mulai untuk mengolah lahan untuk ditanami padi dengan menggunakan perkakas-perkakas pertanian tradisional, seperti bajak dan cangkul. Enam bulan kemudian bintang Kidang tenggelam, yang disebut dengan Turun Kungkang. Artinya, sudah saatnya padi dipanen, karena saatnya hama-hama muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru
42
pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang. Setelah padi dipanen, padi dijemur (ngalantai) dan diikat dengan tali-tali pocong (mocong). Satu ikatan pocong padi dapat menghasilkan tiga hingga empat liter beras. Kemudian padi yang telah diikat tadi dimasukkan ke dalam lumbung (leuit). Setelah itu, dilakukan kegiatan syukuran dengan memasak beras pertama dari hasil panen tahun tersebut yang disebut dengan nganyaran. Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun) berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makammakam leluhurnya, mulai dari makam Abah sebelumnya hingga makam leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar. Kearifan
masyarakat
adat
Kasepuhan
dalam
pengelolaan
hutan
diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang, dan tidak boleh berubah keutuhannya, yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan,
43
rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil. Selain ritual-ritual dalam pengelolaan pertanian dan hutan, masyarakat adat Kasepuhan pun memiliki pepatah-pepatah lokal sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya. Pepatah-pepatah lokal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, Nu hiji Eta-eta Keneh Basis dari hukum adat Kasepuhan Sinar Resmi adalah filosofi hidup mereka yang berbasis pada tiga tiang (Tilu Sapamulu), yaitu Tekad, Ucap, dan Lampah, yang diartikan sebagai tekad, perkataan dan perilaku. Masyarakat Kasepuhan harus memberikan perhatian besar kepada ketiga prinsip tersebut dan menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan baik tingkat individu maupun komunitas. Dalam tingkat individu, Tekad, Ucap, dan Lampah digunakan dalam perkataan dan perbuatan: satu kata dan perbuatan harus konsisten dengan niat yang baik. Dalam level komunitas, komunitas (Buhun), harus serasi dengan pemerintah (Nagara) sebagai penguasa komunitas, dan adat kampung (Syara). Pada level lainnya, komunitas dan sistem pemerintahan harus menghormati kehidupan masyarakat. Kasepuhan, urusan pemerintah dan komunitas harus memperhitungkan ruh (kehidupan komunitas), raga (sosial-politik) dan norma adat (Papakean). Jika hal ini diatur tanpa memperhitungkan komunitas (Buhun),
44
akan seperti orang yang berpakaian lengkap namun tidak memiliki ruh seperti mayat. Jika hanya memperhitungkan raga dan komunitas (Buhun), akan menghasilkan komunitas tanpa aturan, seperti manusia yang tidak berpakaian. 2.
Ibu bumi, bapak langit, tanah ratu Bumi (tanah) dianalogikan sebagai ibu yang dapat melahirkan sebuah
kehidupan (makanan untuk hidup manusia). Langit dianalogikan sebagai bapak yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan menumbuhkan kehidupan baru. Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat memberikan penghidupan kepada manusia. 4.2.5 Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh seorang Abah, yang bernama Abah ASN. Peranan seorang Abah, sangatlah penting karena selain pimpinan adat, beliau
juga
merupakan
junjungan
masyarakat
Kasepuhan,
sehingga
keberadaannya sangat dihormati. Tidak sembarang orang mendapatkan posisi sebagai pemimpin adat. Hanya anak laki-laki keturunan Abah sebelumnya yang bisa menjadi penerus ayahnya. Itu pun harus berdasarkan wangsit yang diturunkan oleh karuhun (leluhur) mereka. Jika bukan orang yang mendapatkan wangsit memaksakan diri menjadi pemimpin adat, maka akan mendapatkan kabendon (kualat) karena melanggar apa yang telah ditetapkan oleh para karuhun. Kabendon dapat berupa musibah atau bencana kepada orang yang kena kabendon, seperti misalnya sakit yang tidak kunjung sembuh. Kabendon dapat hilang ketika orang tersebut ”turun” dari posisi Abah dan meminta maaf kepada karuhun dengan ritual-ritual khusus.
45
Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi mengenal adanya perangkatperangkat Kasepuhan yang membantu Abah dalam menjalankan sistem pemerintahan di Kasepuhan. Perangkat-perangkat tersebut adalah sebagai berikut: Tabel-4 Perangkat-perangkat Kasepuhan berdasarkan Fungsinya No. Jabatan 1 Kanagaraan (Kepala urusan luar kampung)
2 3
Syara’ (Kepala urusan agama) Panghulu (Kepala urusan adat)
4
Tatanen (Pengatur air)
5
Dukun Manusia (Penyembuh orang)
6
Dukun Hewan (Penyembuh hewan) Panyawah (Pengatur urusan sawah) Paraji (Bidan) Moro (Pemburu) Kemit (Penjaga) Ganek/Koja (Asisten abah)
7 8 9 10 11
Fungsi Membantu Abah dalam semua permasalahan yang terkait dengan pemerintah. Sebagai penasihat Abah ketika ada isu-isu yang terjadi di komunitas. Membantu Abah dalam permasalahan yang terakait dengan hukum adat dan agama. Sebagai pemimpin doa dalam ritual-ritual adat. Menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman, dan menentukan biaya untuk pemakaman. Mengkoordinasi manajemen sawah dan sistem irigasi. Menghukum orang-orang yang ikut campur dalam mensuplai air. Memimpin ritual-ritual untuk mencegah dan mengobati penyakit. Memberikan obat-obatan dan menentukan biaya untuk pengobatan. Mengobati hewan yang sakit. Mengawasi dan mengurus sawah komunal Membantu wanita melahirkan Memburu hewan untuk ritual adat mengusir hama yang mengganggu orang yang bertugas menjaga keamanan wilayah tempat tinggal Mendampingi abah ketika melakukan perjalanan ke luar kampung
Sumber: diolah dari data primer (2010)
Perangkat-perangkat Kasepuhan bekerja sesuai dengan tugas yang telah ditetapkan.
Posisi-posisi
perangkat-perangkat
tersebut
ditunjuk
secara
musyawarah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang yang ditunjuk dan disetujui oleh Abah sebagai ketua adat.
46
4.2.6 Nilai Hutan bagi Masyarakat Hutan memiliki arti penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Karena masyarakat sekitar hutan memiliki intensitas interaksi yang tinggi terhadap hutan. Masyarakat sekitar hutan menganggap bahwa hutan adalah tempat untuk memperoleh hasil hutan atau mendayagunakan hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya, dan bersifat subsisten. Selain itu, ada juga masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi dan sebagai tempat makhluk-makhluk gaib berada sehingga keberadaan hutannya tidak boleh diganggu oleh manusia. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinankerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan. Penggunaan kayu-kayuan dan bambu untuk membuat bangunan termasuk rumah dan leuit dan penggunaan nipah dan kirai sebagi atap merupakan perintah karuhun yang tidak boleh dilanggar. Masyarakat adat Kasepuhan tidak boleh menggunakan bahan tanah dalam mendirikan bangunan. Hal ini diyakini bahwa sebagai makhluk yang hidup, tidak sepatutnya untuk tinggal di bawah tanah, karena makhluk hidup yang tinggal di bawah tanah hanya makhluk yang sudah mati. Penggunaan rotan untuk pembuatan kerajinan dan peralatan rumah tangga, ini dilakukan karena adat hanya memperbolehkan penggunaan peralatan-peralatan tradisional dalam melakukan aktivitas harian. Penggunaan kayu-kayu yang sudah mati dan ranting-ranting untuk kayu bakar diharuskan, karena masyarakat harus menggunakan hawu semacam tungku untuk memasak, khususnya memasak nasi.
47
Seperti yang diungkapkan oleh Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat. “Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.” Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan hutan tutupan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Maka, tidak adil rasanya ketika akses masyarakat Kasepuhan terhadap hutan harus dibatasi bahkan diputus oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang tinggi terhadap hutan. 4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan Kampung Sinar Resmi memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, salah satunya adalah sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan masyarakatnya untuk bertani sawah, berladang, dan berkebun. Masyarakat memanfaatkan lahan pertanian ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan komoditi yang dihasilkan berupa padi, sayuran, jagung, dan buah-buahan. Dalam mengelola lahan pertanian, masyarakat adat hanya diperkenankan menggunakan peralatan pertanian tradisional, seperti garu, cangkul, arit, dan kerbau untuk membajak sawah. Sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh kampung Sinar Resmi adalah sumberdaya hutan. Dalam pengelolaannya, adat membagi hutan (leuweung) ke dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang memiliki
48
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Pemeriksaan hanya dilakukan setahun sekali. Leuweung tutupan berada di atas pegunungan atau puncak pegunungan Halimun. Kawasan leuweung tutupan memiliki luas 60% dari seluruh kawasan hutan adat yang dimiliki oleh kampung. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang dialokasikan untuk kawasan pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya. Perpindahan pemukiman didasarkan pada wangsit yang diterima Abah. Perpindahan biasa dilakukan dalam kurun waktu 30-40 tahun sekali. Perpindahan dilakukan untuk memulihkan kembali daya dukung alam secara ekologis bagi kebutuhan manusia. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya. Dalam mengambil kayu tidak boleh dilakukan secara sembarangan, ada aturan khusus yang harus dijalankan. Setiap warga yang ingin mengambil kayu harus menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang. Selain itu, pohon yang ditebang pun harus pohon yang telah cukup umur, dan pohon yang memiliki jarak dekat satu sama lainnya. Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Pengaturan lahan garapan untuk warga dilakukan oleh Abah sebagai pimpinan adat tertinggi. Untuk daerah-daerah tertentu, penanaman padi sawah dan huma tidak boleh 49
dilakukan pada lokasi yang sama untuk kedua kalinya, daerah ini disebut dengan Huma Serang (suci). Tabel-5. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di desa Sirna Resmi Penggunaan lahan Pemukiman Sawah Perkebunan Tanah kuburan Hutan adat Hutan adat
Zona di Kasepuhan Hutan bukaan (leuweung garapan) Hutan bukaan (leuweung garapan) Hutan bukaan (leuweung garapan) Hutan bukaan (leuweung garapan) Hutan titipan (leuweung titipan) Hutan yang dilindungi (leweung tutupan)
Total luas desa
Luas (Ha) 78,18 559,98 303,4 7.00 1.013,00 2.948,48 4.906,04
Sumber: Suganda, 2009 Sumberdaya lainnya yang tersedia di kampung Sinar Resmi adalah sumberdaya air, berupa sungai. Sungai-sungai yang dimanfaatkan masyarakat adalah sungai Cipanengah, sungai Cibareno dan sungai Cikaret. Sungai-sungai ini dimanfaatkan untuk keperluan mengairi sawah, mandi, dan air minum. Air sungai dialirkan menggunakan pipa-pipa paralon ke bak-bak penampungan yang tersedia di belakang Imah Gede (rumah Abah) untuk digunakan mandi, mencuci dan memasak. Air untuk pengairan sawah, dialirkan dari sungai dengan membuat saluran-saluran irigasi yang langsung menuju ke sawah. Dalam peraturan adat Kasepuhan, sumberdaya lahan dikelompokkan menurut fungsinya, seperi hutan ditanami pohon kayu-kayuan keras (gunung kayuan); lereng curam ditanami dengan bambu (lamping gawit awian); area perkebunan (kebun talun); pertanian padi (datar sawahan), dan kolam ikan (legok balongan). Pengelompokan lahan ini mempengaruhi cara masyarakat Kasepuhan dalam mengelola sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya alam ini diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Hanya
50
boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Kawasan Gunung Halimun, selain terdapat wilayah adat yang telah ada sejak dahulu, ada juga wilayah konservasi pemerintah berupa kawasan hutan lindung taman nasional. Kawasan ini berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan pengelolaan Gunung Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 Tahun 2003. Terkait dengan keberadaan taman nasional sebagai kawasan konservasi, institusi pengelola di Indonesia mencakup unsur hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan dan aturan keterwakilan. Hak kepemilikan taman nasional, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan adalah milik Negara (state property). Menurut pasal 34 UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kementrian Kehutanan. Kawasan konservasi taman nasional, memiliki lokasi yang berdekatan, bahkan bertumpang tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Dalam kasus Kasepuhan Sinar Resmi, wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan taman nasional pada zona rimba dan zona rehabilitasi adalah leuweung tutupan, leuweung titipan dan leuweung Bukaan.
51
4.3 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara). Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru dan hanya meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya. Itupun bila ada peninggalan makam leluhur. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
menggambarkan
mempunyai
latar belakang asal muasal leluhur mereka yang
kaitan dengan prosesi
ritual adat dalam kegiatan perladangan.
Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah syukuran panen, para sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara ritual ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar kawasan hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di Cipatat Urug - Bogor, di Cisono, Tegal Lumbu, Lebak Larang, Lebak Binong daerah Banten. Tempat-tempat ini diyakini berhubungan dengan tempat dan asal muasal leluhur mereka. Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi selalu berpindah-pindah sebelum di desa Sirna Resmi saat ini. Berpindah-pindahnya lokasi Kasepuhan didasarkan pada wangsit dari para karuhun yang disampaikan melalui kepala Adat yang disebut dengan Abah. Lokasi Kasepuhan sendiri telah berpindah-pindah selama 29 generasi dimulai sejak tahun 611 M. Namun hanya delapan generasi terakhir saja yang boleh diketahui oleh Incu putu (masyarakat adat), karena 21 generasi lainnya merupakan “rahasia para karuhun” yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.
52
Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni 2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur 3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga 4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten 5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug 6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten 7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten 8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga 9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten 10. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten 11. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret 12. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas 13. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sinar Resmi dan Cipta Gelar Dimulai tahun 1474, lokasi Kasepuhan berlokasi di daerah Cipatat, Jasinga, Kabupaten Bogor. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang sesepuh yang bernama Uyut Cipatat (Aki Buyut Bao Rosa) yang berasal dari Banten selama 150 tahun masa kepemimpinan. Anak Uyut Cipatat sebagai penerus setelah Uyut Cipatat wafat, kemudian memindahkan pusat Kasepuhan ke Lebak Larang, Banten. Anak Uyut Cipatat ini dikenal dengan Uyut Gondok (Aki Buyut Warning). Tiga Tahun di Lebak Larang, Uyut Gondok wafat dan Kasepuhan diteruskan oleh Aki Buyut Kayon. Lokasi Kasepuhan pun berpindah ke Lebak Binong, Banten, selama 27 tahun. Pada waktu itu, pemerintahan colonial HindiaBelBapak/Ibu baru saja berdiri. Setelah Aki Kayon wafat, penerus selanjutnya adalah putranya yang bernama Aki Ceboy. Namun karena saat itu, Aki Ceboy
53
belum dewasa saat ayahnya wafat, maka untuk sementara Kasepuhan dipimpin oleh adik Aki Kayon yang bernama Aki Buyut Santayan sampai usia Aki Ceboy cukup umur untuk memimpin Kasepuhan. Semasa pimpinan Aki Santayan, Kasepuhan berada di daerah Pasir Talaga, Sukabumi. Setelah Aki Ceboy dewasa, kepemimpinan Kasepuhan diberikan pada beliau, Kasepuhan berpindah tempat lagi ke Tegal Lumbu, Banten. Aki Ceboy memimpin Kasepuhan selama 32 tahun. Setelah wafat, diteruskan oleh anaknya yang bernama Uyut Jasiun (Ki Ciung), Kasepuhan berpindah lokasi lagi ke Bojong Cisono, Banten. Ketika Jepang masuk, pengganti Uyut Jasiun, yaitu Aki Rusdi membawa incu putu-nya ke Cimapag. Di sinilah incu putu diizinkan untuk membuka ladang oleh pemerintah Jepang. Di Cimapag mereka menetap cukup lama. Semasa perang kemerdekaan, dusun ini menjadi salah satu basis brigade Kian Santang dari Divisi Siliwangi. Tidak kurang dari 3.000 pocong padi disediakan Ki Rusdi buat ransum para gerilyawan. Ki Ardjo, anaknya yang menjadi lurah Cimapag, pun sempat diberi pangkat sersan mayor oleh TRI. Untuk jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Bintang Gerilya, Aksi Militer I dan Aksi Militer II. Lalu disusul dengan bintang GOM II dan GOM V. Karena ikut serta dalam penumpasan pemberontakan DI/TII dan G30S-PKI di daerah itu. Sekitar tahun 1980-an, dusun terpencil itu membara. Pernah, 10 orang warga ditebas kepalanya sekaligus oleh gerombolan DI/TII yang sedang panik. Belum lagi gangguan gerombolan-gerombolan penyamun yang tidak jelas ideologinya. Maka, pada tahun 1957, Ki Rusdi pun memindahkan pusat kesepuhan ke Cikaret. Kali ini, campur tangan pihak luar mulai tampak. Pada acara yang dinamai serah tahun, nama dusun itu ditetapkan sebagai Sirna Resmi. Idenya dari Overste Ishak Djuarsa. Di Sirna Resmi ini pula, Ki Rusdi wafat. Tidak lama kemudian, pada tahun 1974, Ki Ardjo yang telah menjadi sesepuh membawa pengikutnya ke Ciganas, Sirna Rasa. Daerah ini termasuk kawasan Perhutani dan PHPA. Ki Ardjo pun wafat pada tahun 1982. Kasepuhan saat itu digantikan oleh Abah Encup Sucipta (Abah Anom).
54
Tahun 1983 Beliau pindah ke Cipta Rasa selama 17 Tahun. Pada tahun 1985 Kesepuhan terpecah menjadi dua yaitu: 1. Kasepuhan Cipta Rasa ( Abah Anom ) 2. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Ujat Sujati ). Tahun 2000 Abah Anom pindah ke Cipta Gelar. Dan pada Tahun 2002 Abah Ujat Sujati mengakhiri hidupnya. Dan waktu itu pula Kasepuhan Sinar Resmi terpecah kembali menjadi dua Kasepuhan, yaitu: 1. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep Nugraha ) 2. Kasepuhan Cipta Mulya ( Abah Uum Sukmawijaya) Pada Tahun 2007 Abah Anom meninggal dunia dan Kasepuhan dilanjutkan oleh anaknya Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Sejak tahun 2002 hingga tahun akhir tahun 2010 Kasepuhan terbagi menjadi tiga: 1. Kasepuhan Cipta Gelar (Abah Ugi Sugriana Rakasiwi) 2. Kasepuhan Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha) 3. Kasepuhan Cipta Mulya (Abah Hendrik)
55
BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Pada tahun 1974, kawasan Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Akan tetapi kawasan ini sudah termasuk dalam kawasan Perhutani. Persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan melihat incu putu (masyarakat adat) Kasepuhan mulai membuka huma dengan membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Namun hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik. Keributan mengenai pemukiman dan perladangan yang berpindah-pindah dimulai sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom pada tahun 1983 yang memindahkan Kasepuhan ke Cipta Rasa yang termasuk dalam blok Datar Putat. Abah Anom dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang tadinya merupakan hutan utuh. Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat Kasepuhan masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani tidak hanya mengenai persoalan lahan. Ada permasalahan lain yang terjadi. Menurut Wa UGS, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut peraturan adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada
56
kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu (masyarakat adat Kasepuhan) untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dituturkan oleh Wa UGS (64 tahun) Tokoh Adat Kasepuhan. “Konflik terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari.” Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Kehutanan No.282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman
Nasional
Gunung
Halimun,
seperti
yang
dipaparkan
dalam
www.tnhalimun.go.id. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obatobatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional, zona rimba dan zona rehabilitasi, ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah.
57
Keadaan bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, dilarang adanya kegiatan penebangan oleh siapapun di wilayah inti taman nasional. Pembagian zonasi
taman
nasional
bedasarkan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
No.
P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1.
Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
2.
Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3.
Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4.
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
5.
Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6.
Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan 58
atau
sejarah
yang
dimanfaatkan
untuk
kegiatan
keagamaan,
perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 7.
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Berdasarkan
pembagian
zonasi,
masyarakat
tidak
diperbolehkan
mengambil kayu maupun memanfaatkan lahan untuk pertanian. Ditambah dengan tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat sehingga tidak terdapat kejelasan mengenai batas-batas zonasi di lapangan, membuat masyarakat yang mengambil kayu yang biasanya dilakukan di hutan titipan sesuai dengan izin ketua adat untuk pembangunan pemukiman karena hutan tersebut masuk dalam kawasana inti maka kegiatan masyarakat dianggap sebagai illegal logging. Masyarakat adat sendiri menganggap bahwa sistem zonasi yang dibuat oleh taman nasional sama artinya dengan sistem pengelolaan hutan secara adat, terutama untuk zona inti dan hutan tutupan Kasepuhan. Namun, permasalahannya adalah ketika kebun, ladang, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat adat tidak boleh tinggal dan berada di kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi karena zona rimba berfungsi sebagai kawasan yang mendukung zona inti dan zona rehabilitasi berfungsi untuk pemulihan ekosistem hutan. Pentingnya kawasan kebun, sawah, dan ladang masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidup, memaksa masyarakat tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya walaupun harus dengan cara ”sembunyi-sembunyi” karena takut ditangkap. Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara
59
tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun. Seperi yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani. “Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga” Dalam perjalanannya, kemudian pihak taman nasional mulai memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti-nakuti masyarakat bahwa sewaktu-waktu masyarakat dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cibalandongan karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap telah merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara. Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena mengambil kayu di kebun
60
sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam pohon kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dinyatakan oleh Tokoh Adat, Wa UGS (64 tahun). “Kami seperti pencuri di tanah milik sendiri, seperti tamu di rumah sendiri. Padahal kami telah tinggal di sini sebelum ada taman nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, kami sudah tinggal di sini. Tapi mengapa mengambil hasil yang kami tanam sendiri membuat kami ditangkap?” Sudah ada empat kasus penangkapan yang dikarenakan mengambil kayu di kebunnya sendiri, dan hingga saat ini (tahun 2010) masih ada warga yang ditahan oleh kepolisian, yaitu satu orang warga Kasepuhan Cipta Gelar di Kampung Lebak Nangka. Seperti yang diutarakan oleh Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat dari Kampung Lebak Nangka, dalam dialog interaktif kader lingkungan hidup di Kasepuhan Cipta Gelar pada tanggal 31 Agustus 2010. “Lahan garapan masyarakat dirampas oleh taman nasional. Jika itu merupakan hak taman nasional, maka akan kami beri, tetapi tidak untuk lahan garapan. Tolong diselesaikan dengan baik. Ditakutkan, jika hak masyarakat dirampas, maka akan terjadi keributan. Bapak Dirjen pernah berkata, silahkan mengambil pohon yang ditanam di kebun sendiri. Namun, kenyataannya sudah ada empat kasus penangkapan karena menebang pohon yang ditanam di kebun sendiri.” Menurut Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat, penetapan kawasan taman nasional tersebut tidak dikompromikan dengan masyarakat dan tata batas wilayahnya juga tidak jelas. Hal ini dapat memicu keributan, karena tidak sedikit lahan garapan masyarakat yang masuk dalam kawasan taman nasional. Sebenarnya masyarakat tidak menolak dengan adanya kawasan konservasi di wilayah adat mereka. Bahkan mereka sangat mendukung dan merasa satu tujuan dengan balai taman nasional karena ingin melindungi kawasan Gunung Halimun. Namun, masyarakat menolak, jika lahan garapan mereka dan pemukiman mereka diklaim sebagai kawasan taman nasional dan mereka ditangkap ketika mengambil kayu yang mereka tanam sendiri. Masyarakat merasa bahwa lahan garapan dan pemukiman mereka adalah hak mereka karena mereka
61
telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Ketika ada kasus penangkapan orang yang dituduh melakukan illegal logging, masyarakat merasa takut untuk kembali mengambil kayu di lahan mereka, namun lama kelamaan mereka melawan karena mereka tidak merasa bersalah dan merasa dengan melawan atau tidak akan tetap ditangkap oleh polisi kehutanan. Setidaknya mereka puas telah mempertahankan hak mereka walaupun pada akhirnya mereka tetap ditangkap ketika melakukan pengambilan kayu.
62
Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Waktu Kejadian Tahun 1970-an
Tahun 1974
Tahun 1983
Tahun 1992
Pihak yang Berkonflik Kronologis Perhutani dan Konflik terjadi ketika hak pengelolaan hutan Masyarakat Adat dipegang oleh Perhutani. Terjadi tumpang tindih Kasepuhan antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik masyarakat adat. Kawasan Kasepuhan pindah ke daerah Ciganas, dan masyarakat Kasepuhan membuka areal perbukitan untuk huma, serta dianggap menyerobot lahan milik Perhutani.
Keterangan
Hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik Permasalahan terjadi ketika wilayah Kasepuhan yang Permasalahan diselesaikan dengan dipimpin oleh Abah Anom kembali berpindah ke menyelenggarakan musyawarah yang Cipta Rasa. Masyarakat membuka areal hutan utuh mempertemukan pihak Kasepuhan dengan milik Perhutani untuk pemukiman dan ladang baru. Perhutani. Hasilnya, masyarakat an masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari. Taman Nasional Gunung Pemerintah mengeluarkan SK.Menhut No. 282 Halimun dengan Tahun 1992yang menetapkan kawasan Halimun Masyarakat Adat seluas 40.000 ha sebagai kawasan taman nasional di Kasepuhan bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional
63
(BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak BTN mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona rehabilitasi taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah. Tahun 2003
Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 175 Tahun 2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 ha. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. kemudian pihak taman nasional mulai memasang plang pelarangan masuk kawasan konservasi di
64
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2010
berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakutinakuti warga bahwa sewaktu-waktu warga dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional. Terjadi penangkapan warga Cibalandongan karena diduga melakukan illegal logging, warga tersebut ditahan selama 10 bulan. Terjadi kembali penangkapan warga Lebak Nangka, diduga pula melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Masih ada warga Kasepuhan di dusun Lebak Nangka yang ditahan oleh kepolisian, dan belum dibebaskan. Selain itu, masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag menduga taman nasional mengembangbiakan babi hutan di hutan untuk mengganggu tanaman masyarakat sehingga gagal panen.
65
Konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah terjadi sejak pemerintah turut campur dalam pengelolaan hutan. Berbedanya sistem pengelolaan hutan yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini Perhutani dan Balai Taman Nasional dengan Masyarakat Adat Kasepuhan, khususnya dalam zona rehabilitasi atau hutan bukaan Kasepuhan menjadi salah satu penyebab konflik. Selain itu, ada pula perbedaan penafsiran dan penggunaan istilah dalam peraturan yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan peraturan adat. 2.4 Peta Konflik Sumberdaya Hutan Analisa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam dilakukan dengan pendekatan pemetaan konflik. Fisher et al. (2001) menyatakan bahwa pemetaan konflik memiliki tujuan untuk memahami situasi yang baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara jelas, menjelaskan letak kekuasaan, memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi, melihat para sekutu yang potensial berada dimana, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan. 2.4.1 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai sejak tahun 1954 hingga tahun 2010 dengan pihak-pihak yang selalu berganti di setiap masanya. Pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan yang pasti berbeda. Pihakpihak yang terlibat dalam konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun adalah sebagai berikut: 1. Perhutani Perhutani Sebagai Badan Usaha Milik Negara, berbentuk Perusahaan Umum pengelola sumberdaya hutan di pulau Jawa dan Madura yang berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura. Wilayah kerja Perhutani adalah kawasan hutan negara di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar. Luas hutan yang dikelola Perhutani tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata yang dikelola oleh Kementrian Kehutanan, Direktorat Jenderal
Perlindungan
Hutan
Pelestarian
Alam
(PHPA) 66
(www.perumperhutani.com). Dasar hukum yang digunakan dalam mengelola hutan di pulau Jawa adalah Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Sifat usaha merupakan dua misi yaitu mengusahakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Perhutani mulai mengelola kawasan Gunung Halimun sejak tahun 1970an. Pada tahun 1983, masyarakat dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan hutan utuh.
Namun,
permasalahan
diselesaikan
dengan
musyawarah
yang
mempertemukan keduanya dan menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat adat masih diperbolehkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Selain itu, ada permasalahan lain yang muncul, ketika Perhutani menjadikan hutan titipan masyarakat sebagai hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan hutan titipan adalah hutan yang tidak memperbolehkan adanya kegiatan ekonomi di dalamnya, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang dikhususkan untuk kegiatan ekonomi. Namun pada tahun 1992, pemerintah mengalihkan pengelolaan Gunung Halimun kepada Balai Taman Nasional Gunung Pangrango, dan menjadikan kawasan yang sebelumnya adalah wilayah kerja Perhutani di kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun melalui SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992. 2. Masyarakat Adat Definisi masyarakat adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Secara lebih sederhana, masyarakat adat dapat disebut sebagai masyarakat yang terikat secara oleh hukum adat, keturunan, dan tempat tinggal (CIFOR, 2002). Masyarakat adat Kasepuhan yang berada di kawasan Gunung Halimun tergabung dalam Komunitas Masyarakat Adat Banten Kidul, karena berasal dari keturunan leluhur yang sama. Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu
67
komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara). Komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran inilah yang diyakini sebagai moyang masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi. Masyarakat Adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang secara administratif termasuk dalam masyarakat Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, dan tinggal menetap di sana. Masyarakat Kasepuhan atau disebut dengan incu putu umumnya memiliki ketergantungan tinggi pada sektor kehutanan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aturan adat dan tradisi masyarakat masih mengikat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan sawah dan huma (ladang). 3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Taman nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam, yang memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan , pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, memiliki wewenang yang berasal dari Pemerintah Pusat yaitu Kementerian Kehutanan. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok
68
Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman
Nasional
Gunung
Halimun,
seperti
yang
tercantum
dalam
www.tnhalimun.go.id. Kemudian dengan mempertimbangkan kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak yang merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, maka pemerintah pada tanggal 10 Juni 2003 mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.175/KptsII/2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara administratif terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menindaklanjuti SK Menteri Kehutanan tersebut, pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak mempunyai kepentingan dan wewenang dalam penetapan dan penataan batas kawasan taman nasional. Penataan batas kawasan merupakan tahapan awal sebelum mengukuhkan kawasan menjadi taman nasional. Pada tahap ini, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seharusnya melibatkan berbagai pihak baik pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat. Keberadaan taman nasional telah meresahkan masyarakat. Demi menegakkan konservasi, balai taman nasional mensterilkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dari aktivitas pertanian masyarakat adat dan masyarakat lokal yang telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mulai dari pengusiran secara halus, pemasangan papan pengumuman, hingga penangkapan masyarakat yang sedang melakukan aktivitas di dalam hutan, yang dianggap masyarakat sebagai hutan adat. Perlakukan-perlakuan seperti ini menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar, dan
69
Kasepuhan Cipta Mulya, dengan menuntut dibentuknya Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak atas wilayah adat. 5.2.2 Kepentingan Masing-masing Pihak yang Berkonflik Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung HalimunSalak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Namun, dalam kasus yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan kepentingan masyarakat adat Kasepuhan harus sama-sama didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Ketika kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum ditetapkan, wilayah Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Perhutani pun memiliki kepentingan yang berbeda pula dengan masyarakat, yaitu berusaha mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Perhutani maupun antara masyarakat dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, memiliki kesamaan dalam hal pengklaim-an wilayah hutan. Dengan kepentingan yang berbeda-beda, memungkinkan untuk terjadinya konflik karena masing-masing pihak menginginkan kepentingannya terlebih dulu yang harus didahulukan.
70
Tabel-7 Peta Kepentingan atas Hutan bagi Pihak-pihak yang Terlibat Konflik Pihak-pihak yang Terlibat Konflik Perhutani
Masyarakat Adat
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Kepentingan atas hutan Sebagai Badan Usaha Milik Negara, yang berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Selain itu, hutan pun memiliki nilai spiritual yang tinggi. Kawasan hutan titipan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Selain itu, kawasan hutan titipan juga merupakan daerah resapan air (leuweung sirah cai), dimana air merupakan kebutuhan pokok manusia. kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, melalui upaya konservasi.
Sumber: diolah dari data primer, 2010, www.perumperhutani.com dan www.tnhalimun.go.id Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas obyek yang sama yaitu hutan. Perhutani saat mengelola kawasan Gunung Halimun, memiliki peran untuk mendukung sistem kelestarian lingkungan dan memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan hutannya. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk meninggalkan dan lepas dari hutan. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, beranggapan Gunung Halimun dan Gunung Salak perlu untuk di konservasi karena memiliki keanekaragaman yang tinggi dan perlu dilestarikan. Kepentingan-kepentingan yang berbeda dan masing-masing pihak merasa bahwa kepentingannya yang harus didahulukan
71
membuat pihak-pihak tersebut bentrok, karena tidak ada yang mau mengorbankan kepentingannya. 5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu; prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik. Analisis tahapan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, adalah sebagai berikut: Prakonflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, muncul ketidaksesuain persepsi antar pihak dalam memBapak/Ibung hutan. Pihak-pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas hutan, muncul ketidaksesuaian pendapat mengenai kepemilikan Gunung Halimun. Ketidak sesuaian persepsi antar pihak dalam memBapak/Ibung hutan terjadi ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Pihak Perhutani menjadikan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan kayu-kayu keras. Pihak Kasepuhan sendiri mempersepsikan hutan titipan sebagai hutan yang tidak diperkenankan kegiatan perekonomian dengan tujuan memperoleh keuntungan, misalnya untuk menjual kayu-kayuan. Ketika pengelolaan Gunung Halimun beraliih kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, perbedaan persepsi kembali tejadi antara pihak balai taman nasional dengan masyarakat adat Kasepuhan. Pihak balai taman nasioal menganggap kawasan Pegunungan Halimun-Salak merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, sehingga perlu diadakan upaya konservasi dan mensterilkan kawasan tersebut dari aktivitas pertanian oleh masyarakat. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sendiri diklaim pemerintah sebagai milik Negara, karena
72
berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Masyarakat adat Kasepuhan sendiri, karena menganggap telah lama ada sebelum balai taman nasional mengelola Gunung Halimun, masyarakat menganggap kawasan Gunung Halimun adalah ruang hidup mereka untuk menjalankan kehidupan mereka, yang diwariskan dari leluhur untuk kesejahteraan anak-cucu mereka nantinya, sehingga mereka tidak dapat dipisahkan hidupnya dari Gunung Halimun. Kawasan Gunung Halimun, menurut masyarakat adat Kasepuhan adalah milik adat karena merupakan warisan para leluhur mereka di masa lalu. Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, petugas balai taman nasional memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke kawasan konservasi di area perkebunan dan pemukiman warga. Pihak taman nasional pun mulai mengusir warga secara halus, namun masyarakat tetap tidak mau pindah dari pemukimannya, karena belum mendapatkan perintah dari ketua adat. Krisis: merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara pihak-pihak yang berkonflik. Hanya terjadi penangkapan terhadap masyarakat adat yang dianggap telah melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Hingga bulan Oktober 2010 masih ada masyarakat yang ditahan di kepolisisan karena dituduh melakukan illegal logging. Padahal yang dilakukan masyarakat di dalam hutan hanya memungut ranting dan kayu kering untuk kayu bakar, mengambil tanaman untuk obat-obatan dan menebang kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan dilakukan di kebun masyarakat serta hutan titipan atas izin ketua adat. Namun, karena kebun dan kawasan hutan titipan masyarakat diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional, maka masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari di dalam hutan dianggap telah merambah hutan. Akibat: Akibat adanya penangkapan serta penuduhan illegal logging terhadap masyarakat, membuat pihak Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Sinar
73
Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar dan Kasepuhan Cipta Mulya, mulai menyusun agenda dan menuntut Pemerintah Daerah Sukabumi untuk membuat Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak adat masyarakat adat Kasepuhan. Hingga bulan Oktober 2010, berkas Peraturan Daerah tersebut masih di proses di Badan Legislatif Daerah Kabupaten Sukabumi, karena belum adanya peta wilayah adat Kasepuhan. Pasca Konflik: Hingga bulan Desember 2010, konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak masih belum selesai. Tata batas yang masih belum jelas membuat berkas Peraturan Daerah mengenai pengakuan hak adat masih tertunda di Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Perlu diadakan pemetaan oleh pihak Kasepuhan untuk melengkapi berkas Peraturan Daerah agar bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Jika permasalahan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum diselesaikan dan terus berlarut, maka ada kemungkinan konflik kembali pada tahap prakonflik. 5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan bersifat multak. Namun, menurut Tadjudin (2000) perbedaan tersebut hanya berada pada tingkat persepsi. Pihak lain dapat mempersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Seperti yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dan taman nasional. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah,
74
kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional. Pada tataran perundang-undangan, terjadi pula perbedaan dalam menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak ada pengakuan hak ulayat untuk masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan. Seperti yang diungkapkan Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun). “Pemerintah menggunakan UU No. 41 Tahun 1990 sebagai acuan, yang menganggap hutan adat sebagai hutan negara, maka hutan adat yang kami miliki tidak diakui sebagai milik adat.” Tidak adanya pengakuan hak atas hutan adat di kawasan Gunung Halimun juga menjadi penyebab munculnya konflik di sana. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2008) 2 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menunjukkan ada empat penyebab konflik yang terjadi di kawasan taman nasional ini, mulai dari perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga konflik ketidakpastian akses. Menurut penelitian ini, konflik di taman nasional itu adalah persoalan hak dan akses. Berbagai konflik di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun membuktikan, institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik. Ini disebabkan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi.
2
Rusdayanto, Pauk. Villa di Taman Nasional. 2010. http://bataviase.co.id diakses 26 Oktober 2010 pukul 12.59 WIB
75
5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik Perbedaan persepsi tentang makna sumberdaya hutan terjadi ketika ada pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki persepsi yang berbeda dalam mempersepsikan hutan. Dalam kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, perbedaan persepsi terjadi ketika hak pengelolaan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Menurut Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Berikut pernyataan Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan. “Konflik pernah terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari.” Ada perbedaan dalam mempersepsikan hutan terhadap hutan yang sama oleh dua pihak. Pihak Perhutani menganggap kawasan hutan yang disebut hutan titipan oleh pihak Kasepuhan adalah kawasan hutan produksi, sehingga wajar apabila di dalam hutan tersebut dilakukan kegiatan ekonomi dan difungsikan sebagai hutan untuk memproduksi hasil hutan, khususnya kayu, dalam jumlah besar. Namun, bagi adat Kasepuhan hutan yang dianggap hutan produksi oleh pihak Perhutani adalah hutan titipan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang dan tidak boleh dilakukan kegiatan ekonomi termasuk memproduksi hasil hutan secara besar-besaran. Tidak adanya kesamaan dalam mempersepsikan hutan, kerap menimbulkan konflik antara keduanya. Namun, konflik yang terjadi
76
hanya berupa ketegangan antara kedua pihak yang berkonflik dan bersifat tertutup, serta berada pada tahap prakonflik. Selain itu, perbedaan persepsi atas hutan terjadi pula antara masyarakat dan pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat menebang dan memungut ranting dan kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohon di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah konservasi adalah hal yang dilarang dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Taman nasional pun menganggap kegiatan masyarakat tersebut sebagai kegiatan illegal logging dan masyarakat pun disebut sebagai pelaku perambah hutan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak KHR (47 tahun) Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. “Masyarakat adat telah dilarang untuk menggarap lahan bekas Perhutani secara tumpang sari, tetapi masih tetap digarap oleh masyarakat. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Jadi pelaku illegal logging adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi berada pada zona rehabilitasi taman nasional.” Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional.. Seperti yang dituturkan oleh Bapak KHR (47 tahun), Polisi Kehutanan. “Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.” Selain itu, pihak taman nasional pun meragukan ke-adat-an masyarakat adat Kasepuhan. Karena mereka melihat masyarakat adat Kasepuhan tidak berbeda dengan masyarakat di sekitar hutan pada umumnya, yang akan melakukan apa saja, termasuk menebang pohon di dalam hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Maka, sudah selayaknya masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging.
77
Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik Perhutani
Masyarakat Adat Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Perhutani Perhutani menganggap masyarakat menyerobot lahan milik perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan areal hutan utuh untuk dijadikan huma. Masyarakat Adat Masyarakat menganggap bahwa Masyarakat menganggap taman nasional Perhutani telah menyerobot telah mengklaim kawasan hutan adat sebagai hutan adat dan menjadikannya kawasan konservasi dan melarang sebagai hutan produksi. masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, pihak taman nasional pun telah mengancam akan mengusir masyarakat karena wilayahnya masuk dalam kawasan taman nasional Taman Nasional Masyarakat dianggap sebagai perambah Gunung Halimunhutan dan kegiatan mereka dianggap Salak sebagai illegal logging, karena menebang dan mengambil kayu di wilayah zona rehabilitasi.
Sumber: Wawancara/Data Primer (diolah), 2010
78
Pihak-pihak yang berkonflik memiliki persepsi yang berbeda terhadap hutan. Perbedaan inilah yang kerap menjadi penyebab konflik. Persepsi setiap pihak terhadap pihak lainnnya yang berkegiatan di dalam hutan cenderung pada persepsi negatif. Misalnya ketika pihak taman nasional mempersepsikan masyarakat adat sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka di anggap sebagai illegal logging karena menebang dan mengambil kayu di wilayah yang menurut taman nasional adalah wilayah zona rehabilitasi. 5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik Perbedaan tatanilai tentang peran dan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat terjadi ketika ada perbedaan dalam menilainya. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinankerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan. Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka
79
sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Adat Abah ASN (44 tahun). “Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.” Namun, pemerintah sendiri pun memiliki penilaian berbeda dalam memaknai hutan. Undang-undang No.41 tahun 1999 sendiri dirumuskan dengan mempertimbangkan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jelas terlihat bahwa pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi kawasan Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (balai taman nasional) dengan masyarakat adat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperi zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat adat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.
80
5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Gunung HalimunSalak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Adanya kepentingan akan konservasi inilah yang menjadi kepentingan pemerintah atas Gunung Halimun. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan kawasan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Seperti yang dituturkan oleh Bapak RDI (55 tahun) Petani warga Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag. “Kami hidup dari pertanian, karena sudah diatur oleh adat. Kami menanam padi di ladang dan sawah, menanam buah-buahan untuk dijual, dan menanam kayu-kayuan keras untuk mendirikan rumah dan lumbung padi. Kami juga harus masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu kering untuk memasak di tungku sebagai kayu bakar. Semua berada di hutan. Tetapi, saat ini hutan menjadi milik taman nasional. Kami dilarang masuk secara sembarangan, harus sembunyi-sembunyi, takut ditangkap. Ladang, sawah dan kebun kami, menjadi milik taman nasional. Kami hidup darimana jika lahan garapan kami dirampas?.” Terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang terkandung di dalam Taman
81
Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki kepentingan atas hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai ruang hidup. Sementara pemerintah (balai taman nasional) memiliki kepentingan untuk menegakkan wibawa atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Perbedaan ini memicu konflik yang tidak pernah selesai hingga saat ini (tahun 2010). Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Taman
Nasional
Gunung
Halimun-Salak
merupakan
kawasan
dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.
82
Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan Hutan Tutupan/Zona Inti/Hutan Lindung Perhutani Merupakan kawasan penyimpan cadangan air dan menjaga keseimbangan ekosistem. Masyarakat Adat Merupakan hutan titipan para leluhur yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Sebagai leuweung sirah cai (penyimpan cadangan air). Dan sebagai tempat spiritual masyarakat. Taman Nasional Merupakan bagian dalam taman Gunung Halimun- nasional yang mempunyai kondisi Salak alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlidungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
Hutan Titipan/Zona Rimba/Hutan Produksi Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara Merupakan hutan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya. Hutan tutupan hanya boleh dimasuki atas izin abah dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu. Bagian dalam taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
Hutan Bukaan/Zona Rehabilitasi/Hutan Produksi Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara Hutan yang telah dibuka untuk lahan garapan, guna memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat.
Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
Sumber: Hasil Wawancara/Data Primer (diolah), 2010
83
Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung HalimunSalak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Misalnya kepentingan masyarakat adat atas hutan bukaan yang dalam zonasi taman nasional disebut zona rehabilitasi. Kepentingan masyarakat adat terhadap hutan bukaan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan karena fungsinya sebagai lahan garapan. Namun, taman nasional yang menganggap hutan bukaan sebagai zona rehabilitasi, berkepentingan untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan yang rusak, yang sebelumnya merupakan hutan produksi Perhutani. 5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan
84
pengelolaan hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK Menhut No.175 tahun 2003. Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang dungkapkan oleh Bapak BHR (62 tahun), Sekretaris Desa Sirna Resmi dan Tokoh Adat Kasepuhan. “Tanah kami adalah tanah milik adat. Semuanya adalah warisan dari leluhur kami. Cara pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.” Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat pun menambahkan. “Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah milik adat.” Adanya perbedaan klaim pengakuan kepemilikan atas hutan yang sama, menimbulkan ketegangan antar keduanya. Pihak taman nasional menganggap kawasan Gunung Halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur.
85
5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Wilayah adat Kampung Gede Kasepuhan Sinar Resmi diklaim oleh pemerintah sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak antara balai taman nasional dan masyarakat adat tidak sampai pada pertumpahan darah. Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan. Penangkapan ini telah menimbulkan ketegangan dan ketakutan warga yang akan melakukan kegiatan di dalam kebun yang dianggap zona rehabilitasi oleh balai taman nasional, baik untuk memungut ranting dan kayu kering, maupun untuk menebang kayu yang dianggap masyarakat sebagai milik masyarakat. Walaupun timbul ketakutan, pada akhirnya warga memiliki keberanian untuk melawan dan memperjuangkan haknya, karena menurutnya melawan tidak melawan akan tetap ditangkap jika kepergok berada pada kebun yang masuk dalam kawasan taman nasional. Taman nasional pun bertindak menakut-nakuti akan mengusir dan menggusur pemukiman warga dengan memasang papan pengumuman mengenai perlarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan pemukiman. Selain itu, terjadi pula saling tuduh secara tidak langsung antara masyarakat dengan pihak balai taman nasional. Pihak taman nasional, yang
86
diwakilkan oleh Polisi Kehutanan Bapak KHR (47 tahun) menganggap masyarakat Kasepuhan bukan masyarakat adat yang masih memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang kuat. “Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.” Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung HalimunSalak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani. “Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga” Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi sulit diselesaikan ketika kedua pihak yang berkonflik saling menyerang tanpa pernah bertemu dan berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan damai. Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sudah sampai tahap melakukan serangan fisik secara agresif menurut penggolongan berdasarkan intensitasnya Robbins dalam Tadjudin (2000). Pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah melakukan penangkapan terhadap masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, yang ketahuan sedang berada di kebun yang dianggap sebagai kawasan taman nasional.
87
5.6 Ruang-Ruang Konflik Kebanyakan konflik memiliki penyebab gBapak/Ibu sebagi kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu : a) Konflik data; b) Konflik kepentingan; c) Konflik hubungan antar manusia; d) Konflik nilai; dan e) Konflik struktural. Dalam kasus konflik yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung HalimunSalak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural. Konflik kepentingan terjadi karena adanya persaingan kepentingan, di mana ketika suatu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Halimun dan salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/KptsII/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan
hutan
dataran
rendah
dan
pegunungan
yang
mempunyai
keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan hutan Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat.
88
Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Konflik struktural terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Gunung Halimun dengan harapan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Karena kawasan konservasi terutama zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi adalah kawasan yang tidak boleh ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia seperti mengambil kayu bakar, mengambil kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan memanfaatkan tumbuhan untuk obat-obatan tradisional. Karean alasan inilah yang membuat pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan. Konflik nilai terjadi ketika ada perbedaan dalam menilai peran dan fungsi hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi).
Masyarakat
adat Kasepuhan
memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah 89
diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan titipan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha
konservasi
dalam
melindungi
Gunung
Halimun
yang
memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (Balai Taman Nasional Gunung HalimunSalak) dengan masyarakat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperti zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi, sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya. 5.7
Penyelesaian Konflik Perkembangannya
Kehutanan
yang
Telah
Dilakukan
dan
Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir
90
negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipBapak/Ibung kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengadung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng. Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik kehutanan Halimun adalah sebagai berikut: 1. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menawarkan kepada Kasepuhan untuk menjadikan wilayah adat Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Cipta Gelar yang wilayah berada pada enclave taman nasional, untuk dijadikan zona khusus budaya, 2. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga pernah mengajukan berkas pengelolaan Gunung Halimun kepada Kasepuhan, namun pihak Kasepuhan menolak, karena seharusnya usulan pengelolaan hutan harus berasal dari pihak Kasepuhan yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya. 3. saat ini, masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul khususnya yang berada di Kabupaten Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar dan Cipta Mulya) sedang mengajukan peraturan daerah mengenai pengakuan hak tanah adat kepada Pemerintah Daerah. Berkasnya sudah sampai pada tingkat Badan Legislatif Daerah pada bulan September 2010, namun masih dalam proses karena pemetaan wilayah adat untuk ketiga Kasepuhan tersebut belum dilaksanakan. Seperti yang dipaparkan oleh Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun). “Saat ini, kami sedang memperjuangkan kembali hak-hak kami dengan mengajukan peraturan daerah kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dengan berpegang pada UU No.32 Pasal 67. Kami pun telah berafiliasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memetakan wilayah adat kami. Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug, dan Cirompak sudah memiliki SK dari Bupati mengenai pengakuan hak adat mereka. Kami pun akan memperjuangkan Perda tersebut agar bisa seperti ke-empat kasepuhan tadi.”
91
Penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh kedua pihak yang berkonflik belum mendapatkan titik terang. Kedua pihak sama-sama menawarkan ’perdamaian’ melalui negosiasi namun dengan cara dan tidak disetujui pihak lainnya. Kedua pihak membutuhkan mediator yang dapat mengakomodir semua keinginan masing-masing pihak yang berkonflik agar dapat menemukan penyelesaian yang mengandung unsur win-win solution untuk kedua belah pihak. 5. 8 Ikhtisar Konflik kehutanan dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah warga. Namun, permasalahan dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggantikan lahan yang terlah dibuka dengan tanah milik Abah Anom. Selain itu, warga pun diizinkan untuk menanam dengan sistem tumpang sari di lahan Perhutani. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi Perhutani. Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga. Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan. Perbedaan Persepsi terjadi ketika adanya pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki perbedaan dalam mempersepsikan hutan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah
92
kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Ada pula perbedaan dalam menilai fungsi hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Perbedaan kepentingan terjadi ketika masing-masing pihak merasa kepentinganya yang harus didahulukan dibandingkan kepentingan pihak lainnya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung 93
Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Ada pula perbedaan dalam akuan hak kepemilikan hutan. Pihak taman nasional menganggap kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai hutan negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sehingga diklaim sebagai milik negara. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur. Selain itu, pada tataran perundang-undangan terjadi pula perbedaan dalam menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak adanya pengakuan hak ulayat masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan. Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai sejak tahun 1954 hingga tahun 2010 dengan pihak-pihak yang selalu berganti di setiap masanya. Pihak-pihak tersebut memiliki kepentingan yang pasti berbeda. Pihakpihak yang terlibat
dalam konflik kehutanan di kawasan Halimun adalah
Perhutani, Masyarakat Adat Kasepuhan, dan Taman Nasional Gunung HalimunSalak. Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah, kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional. Kedalaman konflik yang terjadi tidak sampai pada pertumpahan darah.
94
Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan. Dalam kasus konflik yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural. Konflik kepentingan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat
kawasan
Gunung
Halimun
merupakan
kawasan
dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang menjadikan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Konflik nilai. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihariKawasan hutan titipan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Konflik struktural terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan harapan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Akibatnya, masyarakat adat Kasepuhan dilarang untuk memasuki kawasan konservasi dan membatasi akses masyarakat adat yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh
95
pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak: (1) menjadikan kawasan Kasepuhan sebagai zona khusus budaya; (2) Kasepuhan mengajukan peraturan daerah mengenai pengakuan hak ulayat adat kepada pemerintah Kabupaten Sukabumi. Namun, masih belum ditindaklanjuti karena belum ada peta wilayah Kasepuhan secara keseluruhan.
96
BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan 1. Sejarah konflik sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah warga. Namun, permasalahan dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggantikan lahan yang terlah dibuka dengan tanah milik Abah Anom. Selain itu, warga pun diizinkan untuk menanam dengan sistem tumpang sari di lahan Perhutani. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi Perhutani. Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah Perhutani yang kemudian digantikan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak melalui SK. Menhut No. 175 Tahun 2003, serta masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi. Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan. Perbedaan persepsi terjadi ketika pihak taman nasional menganggap masyarakat sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging. Sedangkan masyarakat adat Kasepuhan menganggap pihak taman nasional telah menyerobot lahan garapan masyarakat untuk dijadikan taman nasional. 97
Perbedaan dalam menilai fungsi hutan terjadi ketika pihak taman nasional menganggap kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan hutan yang perlu dijaga kelestariannya karena merupakan daerah resapan air dan memiliki keanekaragaman yang tinggi, sehingga diperlukan upaya konservasi. Sedangkan masyarakat adat Kasepuhan menilai hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan sebagai tempat spiritual yang dipercaya memiliki benda-benda pusaka. Perbedaan kepentingan terjadi ketika pihak taman nasional memiliki kepentingan konservasi pada kawasan Gunung Halimun dan masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap Gunung Halimun sebagai ruang hidup. Perbedaan dalam akuan hak kepemilikan, terjadi ketika pihak taman nasional menganggap bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai milik Negara karena tidak terbebani hak atas tanah, namun masyarakat adat menganggap bahwa kawasan Gunung Halimun adalah milik adat, karena sudah diwariskan oleh leluhur untuk anak-cucu mereka. Selain itu, pada tataran perundang-undangan terjadi perbedaan dalam meninterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak adanya pengakuan hak ulayat masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan. 2. Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 lahan garapan masyarakat telah menjadi kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah, kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional. Kedalaman konflik
98
yang terjadi tidak sampai pada pertumpahan darah. Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan. 3. Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Upaya yang telah dilakukan adalah negosiasi, nemun tidak sampai pada kesepakatan. Diperlukan proses mediasi dan mediator untuk mengakomodasi keinginan pihak-pihak yang berkonflik. 6.2 Saran Melalui penelitian ini, peneliti memiliki saran untuk kepentingan seluruh aktor sosial yang terlibat dalam kasus konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 1. Bagi pemerintah pusat, diharapkan dapat mengeluarkan undang-undang mengenai pengakuan hak adat, dan meninjau ulang perundang-undangan yang terkait dengan konservasi dan hak-hak masyarakat. 2. Diperlukan kesepahaman antara pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan masyarakat adat Kasepuhan, mengenai klaim yang sama atas Gunung Halimun, dan diperlukan kejelasan mengenai pihak mana yang berhak atas Gunung Halimun agar tidak terjadi tumpang tindih klaim kembali. 3. Akademisi, diharapkan dapat memdampingi masyarakat dalam menyelesaikan konflik, dan menjadi mediator ketika konflik terjadi.
99
DAFTAR PUSTAKA Ariyanti, R. 2008. Kapital Sosial Masyarakat Desa Hutan dalam Mengatasi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Desa Taringgul Tengah Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta. IPB. Bogor. Aulia, Tia. O. S. 2010. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di Kasepuhan Kuta (Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambak Sari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). IPB. Bogor. Budimanta, A. 2007. Kekuasaan dan Penguasaan Sumber Daya Alam. ICSD. Jakarta. [CIFOR] Center For International Forestry Research. 2002. Masyarakat Adat. Warta kebijakan CIFOR No.2. http://www.cifor.cgiar.org. [30 November 2010] Coser, L. 1957. The Function of Social Conflicts. The Free Press. New York. Fairuza. 2009. Studi tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik: Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan. IPB. Bogor. Fisher, S.; D. I. Abdi; J. Ludin; R. Smith; S. Williams & S. Williams. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. S.N. Kartika Sari; M.D. Tapilatu; R. Maharani & D.N. Rini (Penterjemah). Terjemahan. The British Council. Jakarta. Fuad, F.H & Siti Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Pustaka LATIN. Bogor. Fuad, F.H.;Hendri A. S. & Agus P. 2002. Kajian Pengelolaan Hutan di Luar Jawa oleh PT. Inhutani: Tangan-Tangan Negara Menggenggam Hutan. Arupa. Yogyakarta. Hanafi, I; Nia R. & Budi N. 2004. Nyoreang alam Ka Tukang Nyawang Anu Bakal Datang: Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa BaratBanten. RMI. Bogor. Hasanah, Y. 2008. Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Tanah Ulayat Baduy pada Kawasan Hutan Lindung. (Studi Kasus Masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten). IPB. Bogor. Ikhsan, E.;Zulkifli L.; Arif; Marasamin, R.; Syafaruddin S.; Yohana M. & Yusriwiyati. 2005. Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional: Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis. USU Press. Medan. Ilham, M. 2006. Analisa Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). IPB. Bogor. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
100
Khalil, B. 2009. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. IPB. Bogor. Kleden E. O.; Liz C. & Yuyun Indradi. 2009. Forest for the Future: Indigenous Forest Management in a Changing World. AMAN-DTE. Kurniawan, I. 2002. Sistem Pengelolaan Lahan oleh Masyarakat Kaespuhan di Sekitar Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. IPB. Bogor. Kuswijayanti, E.R. 2007. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Merapi: Analisis Ekologi Politik. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Laban, B.Y. 2007. Pergolakan Konservasi di Palu Sulawesi Tengah 2000-2002. Gunung Halimun-Salak National Park Management Project – Jica. Bogor. Lee, R.J.; Riley J. & Merrill, R. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP. Manado. Menteri Kehutanan RI. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional. _______. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Halimun dan Salak sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menteri/Sekretaris Negara. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. _______. 1990. Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. [Perum. Perhutani] Perusahaan Umum Perusahaan Kehutanan Indonesia. Profil. http://perumperhutani.com. [29 November 2010] Presiden RI. 2002. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Rahasthera, Widya A. 2007. Konflik Kepentingan pada Pengelolaan Jasa Ekosistem Hutan Lindung (Studi Kasus Pengelolaan Air Antar Pemangku Kepentingan pada Hutan Lindung Sungai Wain, Kotamadya Balikpapan, Kalimantan Timur). Program Pascasarjana UI. Depok. Rusdayanto, Pauk. 2010. Villa di Taman Nasional. http://bataviase.co.id [26 Oktober 2010] Sabara, E.J. 2006. Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur. IPB. Bogor. Safitri, B. 2006. Analisis Stakeholders terhadap Kebijakan Perluasan Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Studi Kasus Kabupaten Lebak, Propinsi Banten). IPB. Bogor.
101
Sardi, Idris. 2010. Konflik Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus di Taman Nasional Bukit Dua Belas Propinsi Jambi). Program Pascasarjana IPB. Bogor. Sardjono, M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politikus dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta. Sitorus, M. T. Felix. 1998. Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Dokumen Ilmu-Ilmu Sosial. Bogor. Suganda, Ugis. 2009. The Cipta Gelar Kasepuhan Indigenous Community, West Java: Developing a bargaining position over costumary forest dalam Kleden E. O.; Liz C. & Yuyun Indradi. 2009. Forest for the Future: Indigenous Forest Management in a Changing World. AMAN-DTE. Tadjudin, D. 1999. Model Kelembagaan Masayarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Jurnal Seri Kajian Komuniti Forestri Seri 3 Tahun 2. LATIN. Bogor. Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka LATIN. Bogor. Tishaeni, Heni. 2010. Keberlanjutan Komunitas Adat Kasepuhan Cireundeu Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. [TNGH-S] Taman Nasional Gunung http://tnhalimun.go.id. [29 November 2010]
Halimun-Salak.
Overview.
Ulfah, S.M. 2007. Identifikasi Konflik dalam Pengelolaan Wisata di Kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. IPB. Bogor. Wiradi, G. 2009. Metodologi Studi Agraria. Sajogyo Institute. Bogor. Wiratno; Daru I.; Ahmad S. & Ani K. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Jakarta.
102
LAMPIRAN
103
Lampiran 1. Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data No 1
Kebutuhan Data Kondisi umum lokasi
2
Profil sejarah lokasi
3
Nilai-nilai kehutanan, kearifan lokal dan kelembagaannya
4
Profil pengelolaan dan kepemilikan sumberdaya hutan (sejarah pengelolaan)
5
Konflik-konflik yang terjadi (sejarah konflik, sumber konflik, bentuk konflik, kedalaman konflik, dan ruang konflik) Penyelesaian konflik yang telah dilakukan
6
Metode Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Studi dokumen, wawancara, Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta
Jenis Data Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Primer, sekunder, dan kualitatif Primer, sekunder, dan kualitatif
Sumber Data Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, dan Literatur Tokoh Masyarakat, Tetua Adat Tokoh Masyarakat, Tetua Adat, masyarakat
Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif
Tokoh Masyarakat, Tetua Adat, Masyarakat, Pemerintah Desa Tokoh Masyarakat, Masyarakat, Pemerintah Desa,
Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif
Tokoh Masyarakat, Masyarakat, Pemerintah Desa, Balai TNGHS,
104
Lampiran 2. PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA INFORMAN (KETUA ADAT DAN TOKOH MASYARAKAT) Hari/tanggal wawancara
:
Lokasi wawancara
:
Nama dan umur informan : Pekerjaan
:
Pertanyaan Penelitian
:
1. Bagaimana sejarah berdirinya Sirna Resmi? 2. Bagaimana kepemilikan hutan di desa Sirna Resmi menurut Bapak/Ibu? 3. Bagaimana Bapak/Ibu memaknai hutan? 4. Kearifan lokal apa saja yang berlaku dalam mengelola hutan? 5. Kelembagaan yang terbentuk dalam pengelolaan hutan? 6. Bagaimana pengelolaan hutan sebelum adanya TNGHS? 7. Bagaimana akses dan kontrol masyarakat terhadap hutan sebelum ada TNGHS? 8. Bagaimana reaksi masyarakat setelah adanya TNGHS?Mengapa reaksi tersebut terjadi? 9. Konflik apa yang terjadi? 10. Hal-hal apa saja yang menyebabkan konflik tersebut terjadi? 11. Sampai sejauh mana konflik terjadi (kedalaman konflik)? 12. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut? 13. Dimana dan kapan konflik terjadi? 14. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam menangani konflik-konflik tersebut? 15. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan konflik tersebut? 16. Sampai sejauh mana upaya-upaya tersebut terlaksana?
105
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA INFORMAN (PETANI) Hari/tanggal wawancara
:
Lokasi wawancara
:
Nama dan umur informan : Pekerjaan
:
Pertanyaan Penelitian
:
1. Sejak kapan Bapak/Ibu tinggal di Desa Sirna Resmi? 2. Apa saja pekerjaan Bapak/Ibu yang berkaitan dengan hutan? 3. Bagaimana interkasi Bapak/Ibu dengan hutan? 4. Bagaimana pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Sirna Resmi? 5. Kelembagaan apa saja yang ada dalam pengelolaan hutan? 6. Bagaimana Bapak/Ibu memaknai hutan? 7. Bagaimana akses dan kontrol Bapak/Ibu terhadap hutan? 8. Bagaimana pula kepemilikan hutan di Desa Sirna Resmi? 9. Bagaimana pengelolaan hutan sebelum adanya TNGHS? 10. Bagaimana akses dan control masyarakat terhadap hutan sebelum ada TNGHS? 11. Bagaimana reaksi masyarakat setelah adanya TNGHS?Mengapa reaksi tersebut terjadi? 12. Konflik apa yang terjadi? 13. Hal-hal apa saja yang menyebabkan konflik tersebut terjadi? 14. Sampai sejauh mana konflik terjadi (kedalaman konflik)? 15. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut? 16. Dimana dan kapan konflik terjadi? 17. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam menangani konflik-konflik tersebut? 18. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan konflik tersebut? 19. Sampai sejauh mana upaya-upaya tersebut terlaksana?
106
Lampiran 3. Catatan Lapangan Hari/tanggal wawancara
: Minggu, 4 Juli 2010
Lokasi wawancara
: Rumah Wa UGS
Nama dan umur informan : Wa UGS 64 Tahun Pekerjaan
: Tokoh Adat Kasepuhan
Hasil Wawancara
:
Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun sudah dimulai sejak tahun 1954. Saat itu, pemerintah diwakili oleh Jawatan Kehutanan sudah mulai turut campur dalam pengelolaan hutan Halimun. “pemerintah mulai campur tangan dalam pengelolaan hutan” Tahun 1969 pengelolaan Gunung Halimun dipegang oleh
Perhutani.
Namun, saat itu tidak terjadi konflik apapun, karena hubungan antara kasepuhan dengan Perhutani masih terjalin dengan baik. Sebenarnya permasalahan lahan sudah dimulai sejak jaman penjajahan. Saat itu, penjajah baik Belanda maupun Jepang telah membakar sawah-sawah warga dan menjarah hasil pertanian. Pemerintah mengeluarkan SK. Menhut No.282 Tahun 1992 tentang penunjukkan kawasan Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas 40.000 hektar, dan memperluas kawasan taman nasional dengan mengeluarkan lagi SK Menhut No.175 Tahun 2003, menjadi 113.357 hektar yang mencakup tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi dan Bogor di Provinsi Jawa Barat dan kabupaten Lebak di Provinsi Banten. Komunitaskomunitas yang berada di “kantong-kantong” (zona inti) atau taman nasional harus bersiap-siap untuk keluar dari pemukimannya, salah satunya adalah Kasepuhan Cipta Gelar. Selain itu, dengan menggunakan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 mengenai zonasi taman nasional, kawasan adat kasepuhan akan dijadikan zona khusus budaya/adat. Sedangkan kawasan pertambangan dan kawasan yang di-HGU-kan berada pada zona perekonomian. Akan tetapi pemerintah tidak dapat bersikap tegas mengenai konservasi kepada para kapitalis karena telah membuat kontrak sebelum adanya perluasan taman nasional.
107
Masyarakat pernah menanam kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari ketika kawasan Gunung Halimun masih dikelola oleh Perhutani. Namun, saat ini dengan berpindahnya pengelolaan Gunung Halimun kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak maka kayu-kayu yang ditanam warga dan siap panen, tidak boleh ditebang karena telah berada di dalam kawasan rehabilitasi/zona rehabilitasi taman nasional. Sebenarnya hak-hak masyarakat adat telah diakui dalam Undang-undang No.32 Pasal 67. Namun, pemerintah masih mengabaikan dan tetap mengabaikan hak-hak masyarakat adat. “saat ini, kami sedang memperjuangkan hak-hak kami dengan mengajukan peraturan daerah kepada Pmerintah Kabupaten Sukabumi, dengan mengacu pada UU No.32 Pasal 67. Kami telah berafiliasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memetakan wilayah adat kami. Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug dan Cirompak telah memiliki SK dari Bupati mengenai pengakuan hak adat mereka. Kami pun akan memperjuangkan Perda agar dapat seperti ke-empat Kasepuhan tersebut.” Pada mulanya masyarakat takut dengan keberadaan taman nasional. Karena polisi khusus dari taman nasional pernah menangkap warga yang sedang berada di kebun, dan dituduh sebagai perambah hutan. Namun, ketika warga diberi pelatihan mengenai peraturan-peraturan terkait hutan dan tentang hak-hak asasi masyarakat, akhirnya warga berani melawan kepada polisi khusus tersebut. Pada zaman penjajahan Belanda, kepemilikan tanah oleh masyarakat adat masih diakui, penjajah hanya menguasai lahan, tidak memiliki. Berbeda dengan pemerintah saat ini, yang tidak hanya menguasai tetapi juga merasa memiliki karena sesuai dengan yang tertera pada UU No.41/1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah hutan Negara di wilayah adat. “jadi kami seperti tamu di tanah leluhur kami sendiri. Orang yang berhak mengelola lahan adalah yang lebih dulu tinggal, dan MOU harus berasal dari masyarakat, karena masyarakat yang tahu kebutuhannya.”” Pemerintah daerah pernah mengajukan berkas mengenai konsep pengelolaan hutan kepada masyarakat. Secara tidak langsung (de facto) pemerintah daerah sudah mengakui masyarakat adat dengan mendirikan puskesmas. Selain itu, pernah juga ada MOU (surat perjanjian) antara Kasepuhan dengan taman nasional, mengenai konsep zonasi yang sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat sejak lama. 108
Hari/tanggal wawancara
: Senin, 4 Juli 2010
Lokasi wawancara
: Rumah Pak OMD
Nama dan umur informan : Pak OMD 34 Tahun Pekerjaan
: Petani
Hasil Wawancara
:
Masyarakat adat di Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar adalah masyarakat petani. Kegiatan berladang dan berternak hanyalah kegiatan sampingan. Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sudah ada sejak dulu, diwariskan dari para leluhur. Incu putu harus mengutamakan pertanian sebagai sumber penghasilan utama, karena harus melakukan apa yang sudah diwariskan oleh adat. Kegiatan masyarakat terkait dengan hutan adalah mengambil kayu untuk kayu bakar dan kayu untuk membuat sarana dan prasarana. Kepemilikan lahan di kasepuhan bersifat komunal, bukan individu. Seluruh kawasan kasepuhan adalah milik adat. Segala pengelolaan dan pemanfaatan lahan diatur oleh Abah. “warga tetap mengambil kayu, karena menganggap itu adalah miliknya sendiri, karena warga yang menanam, tetapi dituduh sebagai pencuri kayu oleh taman nasional, dan ditangkap. Pada tahun 2007, ada warga Cibalandongan ditangkap dan ditahan di kepolisian selama 10 bulan.” Konflik dengan taman nasional terjadi karena masyarakat dilarang mengambil kayu yang ditanam sendiri ketika pengelolaan hutan masih dipegang oleh Perhutani.
109
Hari/tanggal wawancara
: Selasa, 6 Juli 2010
Lokasi wawancara
: Rumah Pak BHR
Nama dan umur informan : Pak BHR 62 Tahun Pekerjaan
: Sekretaris Desa Sirna Resmi
Hasil Wawancara
:
“tanah kami adalah milik adat. Semuany adalah warisan dari leluhur kami. Semua pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.” Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi adalah sebagai berikut: Barat Timur Utara Selatan
: Desa Cicadas : Kampung Cikaret : Sungai Cibareno : Kampung Cibombong
Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut: 14. tahun 611 – 807 di wilayah Seni 15. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur 16. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga 17. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten 18. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug
110
19. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten 20. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten 21. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga 22. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten 23. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten 24. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret 25. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas 26. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sirnaresmi, Ciptagelar
111
Hari/tanggal wawancara
: Rabu, 7 Juli 2010
Lokasi wawancara
: Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi
Nama dan umur informan : Abah ASP 44 Tahun Pekerjaan
: Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi
Hasil Wawancara
:
Adanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang perluasan hutan Halimun muncul, telah merugikan masyarakat kasepuhan yang sudah dulu tinggal di sekitar hutan dan melakukan aktivitas di hutan. Sejak adanya kedua aturan tersebut, kawasan hutan Halimun di klaim sabagai kawasan taman nasional. Padahal Kasepuhan telah ada sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk. “Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah milik adat.” Hutan merupakan kehidupan bagi masyarakat. Masyarakat mengetahui mana yang dapat dimanfaatkan dan yang tidak boleh dirusak. Hutan merupakan sumber kehidupan, dan pasti dijaga keberlangsungan hutannya dan digunakan sesuai kebutuhan. “Sejak perluasan TN, pihak TN sudah tidak manusiawi, membuat papan pengumuman pelarangan masuk kawasan konservasi di depan rumah warga (di kampung Cimapag). Hal ini sangat meresahkan masyarakat Sinar Resmi. Hanya lahan garapan yang diklaim sebagai kawasan TN. Warga adat tidak berani merusak hutan sebelum adanya TN. Pengambilan kayu bakar telah dikurangi sejak TN ada. Padahal kayu bakar digunakan untuk memasak nasi di tungku, dan sudah diatur oleh adat bahwa memasak nasi harus menggunakan tungku.” Saat ini (Juli 2010), tiga kasepuhan di Kabupaten Sukabumi, yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Sinar Resmi dan Cipta Gelar sedang membuat Peraturan Daerah tentang pengakuan hak ulayat adat, dibantu LSM, masyarakat, DPRD,
112
pemerintah daerah. Berkas sudah diajukan ke DPRD Kabupaten Sukabumi, namun belum ditindak lanjuti, karena pemetaan wilayah adat belum dibuat. Sejarah kasepuhan, di mulai dari daerah Cipatat, Bogor, kemudian pindah ke Lebak Larang, ke Lebang Binong, kemudian ke Pasir Talaga. Pindah lagi ke Tegal Lumbu. Lanjut lagi ke Bojong Cisono, ke Cikaret dan terakhir ke Sirna Rasa. Kemudian pindah ke Cipta Rasa. Saat itu dipimpin oleh Abah Anom. Ketika di Cipta Rasa, Kasepuhan pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan Cipta Gelar yang dipimpin oleh Abah Anom dan Kasepuhan Sinar Resmi yang dipimpin oleh Abah Ujat. Jumlah Kepala Keluarga yang tinggal di Kasepuhan Sinar Resmi, tepatnya yang berada di lingkungan Imah Gede, sebanyak 76 KK. Kepemilikan tanah ada yang individual dan komunal. Namun, yang lebih dominan adalah lahan milik adat atau lahan komunal. Mayoritas masyarakat kasepuhan bekerja sebagai petani padi. Padi yang dihasilkan hanya untuk konsumsi pribadi, tidak boleh diperjualbelikan. Hasil pertanian lain seperti pisang, jagung, kacang, boleh diperjualbelikan. Namun, untuk padi, tabu untuk diperjualbelikan. Kecuali jika dalam satu keluarga ada yang mempunyai leuit lebih dari satu,dan kebutuhan berasnya mencukupi untuk keperluan selama satu tahun, baru boleh diperjualkan. Ada ritual adat khusus dalam prosesnya, namun hanya dikhususkan untuk padi, da dalam keadaan yang mendesak. Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudah terpenuhi sampai panen padi berikutnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun). “Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.”
113
Terdapat 46 jenis padi yang dimiliki kampung Sinar Resmi. Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) mengharapkan warga dapat menanam ke-46 jenis padi tersebut di tiap petak sawah. “Dahulu, di ladang dan sawah milik masyarakat ditanami kurang lebih 100 spesies padi. Namun, saat ini, hanya bersisa 46 spesies. Abah menginginkan warga dapat menanam 46 spesies padi tersebut, di setiap petak ladang. Jadi, warga dapat memiliki 46 petak ladangdan 46 lumbung padi. Namun, saat ini, hal tersebut belum dapat terlaksana.” Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan pada sesepuh girang sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila musim paceklik datang, dan bisa dipinjam kepada warga yang kekurangan beras, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan dalam upacara adat Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare (Ibu padi). Kebudayaan seren tahun, ada proses yang disebut ngaseuk, mipit, nutu nganyaran, serah ponggokan (tilu roang poe, masa istirahat tanah). Setelah ritual Seren taun diadakan selametan selama tiga hari tiga malam, untuk memulai ritual turun nyambut (tanda mulai menanam). Ketika musim taman tiba, barulah masyarakat mulai membuka ladang. Peralatan pertanian yang digunakan dalam pertanian masih menggunakan peralatan tradisional. Seperti ketika membajak sawah masih menggunakan kerbau, garu, cangkul, arit. “hukuman adat ditetapkan langsung oleh leluhur. Hukuman adat berlaku untuk seluruh warga Kasepuhan. Kemarin, Ambu terkena hukuman adat, karena ada sesuatu yang tidak dikerjakan Ambu karena lupa saat Abah pergi.” Sebagian sawah masyarakat di klaim sebagai kawasan taman nasional. Total luasan tanah komunal atau kawasan adat adalah 47 hektar dan individu. Tanah komunal tidak boleh diperjualbelikan. Ketika kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi dari huma, maka harus turun ke sawah. Kabendon (kualat) berlaku untuk seluruh masyarakat adat sebagai peringatan jika melakukan kesalahan.
114
Hari/tanggal wawancara
: Minggu, 4 Juli 2010
Lokasi wawancara
: Rumah Wa UGS
Nama dan umur informan : Wa UGS 64 Tahun Pekerjaan
: Petani
Hasil Wawancara: Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun) mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah Slampangan dika Gusti Rasul. “kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul kami, tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, disebut sebagai Slampangan dika Gusti Rasul” Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Adat menganalogikan padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan. Seperti pernyataan yang disebut oleh tokoh adat, Wa UGS (64 tahun). “Secara filosofi, beras dianalogikan sebagai seorang wanita yang tidak memakai pakaian, maka tidak pantas ketika kami menjual wanita yang tidak berpakaian, sedangkan wanita sangat dihormati dikaitkan dengan isilah Ibu Bumi.” Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga Oktober pada pukul 00.00 WIB. Ketika bintang Kerti muncul atau disebut sebagai Tanggal Kerti Turun Besi, menandakan bahwa masyarakat sudah memulai untuk membuat perkakas-perkakas pertanian. Bintang Kidang muncul sekitar tiga hingga empat minggu kemudian yang menandakan sudah saatnya untuk menggunakan perkakas pertanian yang telah dibuat. Sebutannya adalah Turun Kujang. Artinya masyarakat sudah mulai untuk mengolah lahan untuk ditanami padi dengan menggunakan perkakas-perkakas pertanian tradisional, seperti bajak dan cangkul. Aktifitas selanjutnya adalah Macul (nyangkul), Ngalur Garu, Ngoyos,
115
Patangkeun, Sebar, Tandur, Ngabungkil, Ngoyos Kadua, Babad, Nunggu Dibuat, dan Dibuat. Enam bulan kemudian bintang Kidang tenggelam, yang disebut dengan Turun Kungkang. Artinya, sudah saatnya padi dipanen, karena saatnya hama-hama muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang. Selain ritual-ritual dalam pengelolaan pertanian dan hutan, masyarakat adat kampung pun memiliki pepatah-pepatah lokal sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya. Pepatah-pepatah lokal tersebut adalah sebagai berikut: 3. Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, Nu hiji Eta-eta Keneh Basis dari hukum adat kampung Cipta Gelar adalah filosofi hidup mereka yang berbasis pada tiga tiang (Tilu Sapamulu), yaitu Tekad, Ucap, dan Lampah, yang diartikan sebagai tekad, perkataan dan perilaku. Masyarakat kampung harus memberikan perhatian besar kepada ketiga prinsip tersebut dan menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan baik tingkat individu maupun komunitas. Dalam tingkat individu, Tekad, Ucap, dan Lampah digunakan dalam perkataan dan perbuatan: satu kata dan perbuatan harus konsisten dengan niat yang baik. Dalam level komunitas, komunitas (Buhun), harus serasi dengan pemerintah (Nagara) sebagai penguasa komunitas, dan adat kampung (Syara). Pada level lainnya, komunitas dan sistem pemerintahan harus menghormati kehidupan masyarakat. Kasepuhan, urusan pemerintah dan komunitas harus memperhitungkan ruh (kehidupan komunitas), raga (sosial-politik) dan norma adat (Papakean). Jika hal ini diatur tanpa memperhitungkan komunitas (Buhun), akan seperti orang yang berpakaian lengkap namun tidak memiliki ruh seperti mayat. Jika hanya memperhitungkan raga dan komunitas (Buhun), akan menghasilkan komunitas tanpa aturan, seperti manusia yang tidak berpakaian. 4.
Ibu bumi, bapak langit, tanah ratu Bumi (tanah) dianalogikan sebagai ibu yang dapat melahirkan sebuah
kehidupan (makanan untuk hidup manusia). Langit dianalogikan sebagai bapak 116
yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan menumbuhkan kehidupan baru. Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat memberikan penghidupan kepada manusia. Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun) berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makammakam leluhurnya, mulai dari makam Abah sebelumnya hingga makam leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.
117
Hari/tanggal wawancara
: Selasa, 21 Desember 2010
Lokasi wawancara
: Rumah Bapak RDI, di Kampung Cimapag
Nama dan umur informan : Bapak RDI dan 55 tahun Pekerjaan
: Petani di Kampung Cimapag, Warga Kasepuhan Sinar Resmi
Hasil Wawancara
:
“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga” Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja di kembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun.
118
Hari/tanggal wawancara
: Rabu, 22 Desember 2010
Lokasi wawancara
: Kantor Resort Gunung Bodas
Nama dan umur informan : Bapak KHR 47 Tahun Pekerjaan
: Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak
Hasil Wawancara
:
Masyarakat lokal telah dilarang untuk melakukan sistem tumpang sari setelah pengelolaan Gunung Halimun dialihkan dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Namun, masyarakat tetap menggarap lahan tersebut, sehingga bisa dikatakan sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging. Lahan garapan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi adalah wilayah taman nasional. Lahan-lahan yang telah digarap tidak boleh diperluas lagi, dan masyarakat wajib menanam pohon kayu-kayu keras, seperti rasamala dan mahoni agar kemudian lahan yang dulunya lahan garapan bisa menjadi hutan alami lagi. “masyarakat adat sudah dilarang untuk menggarap lahan hutan bekas Perhutani secara tumpang sari, tapi masih tetap menggarap lahan tersebut. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Pelaku-pelaku illegal logging di taman nasional adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi itu masuk ke dalam taman nasional, paling banyak berada di zona rehabilitasi”. Kami meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan karena gaya hidup masyarakat kasepuhan sudah terbilang modern. Mereka dapat menggunakan alatalat elektronik, seperi laptop, telepon genggam, dan televisi. Selain itu, pakaian mereka sehari-hari pun sudah menyerupai masyarakat pada umumnya, tidak lagi menggunakan pakaian adat. Jadi, tidak dapat diragukan lagi, karena adat istiadat masyarakat Kasepuhan dianggap telah luntur, mereka dapat merambah hutan, walaupun dulunya menurut adat dilarang, karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak.
119
Lampiran 4. Sketsa Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Sumber: http//:Ekowisata.org
Lampiran 5. Sketsa Kampung Sinar Resmi
Skesta Peta Kampung Sinar Resmi
120
Lampiran 6. Dokumentasi
Ritual Asupkeun Pare ka Leuit Si Jimat
Kesenian Gondang
Kesenian Debus
Memasukkan Padi ke Leuit
Hutan Adat Kasepuhan dan TNGHS
Kawasan Kasepuhan Sinar Resmi
121
Sawah Masyarakat
Kawasan TNGHS
Papan Pengumuman Pelarangan di Kebun Warga
Leuit (lumbung padi) masyarakat
122