ANALISIS EFEKTIVITAS MANAJEMEN KOLABORASI DALAM PENGf,LOLAAN IIUTAN LESTARI : STUDI KASUS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL RAWAAOPA WATUMOHAI (TNRAW) OIeh: Safril Kasimt)
ABSTRACT The case study of the analysis of effectiveness of collaborativc management approach in National Park of Rawaaopa Watumohai (NPRW) has three main goals: (l) To carry out conceptual'analysis of forest
collaborative management approach; (2) To conduct analysis
of
effectiveness
of forest
collaborative
of NPWW as protected forest area; (3) To get lesson learned through the implementation of forest collaborative management approach under Protection Tropical of Forest Through Ecological Conservation (PTF-ECML ll) Program. The study employees Rapid Rural management approach to the management
Appraisal and Community Based lssue Analysis in data collection and analysis. The study found that under PTF-ECML ll framework, forest collaborative management process has successfully designed as Gray Model required. However, designed framework has not yet successfully implemented, especially in post period program. This due to several aspects such as: lack of stakeholders commitment, lack of external supporting and community participation. Moreover, eventhough community institutions have formally been formed, but role and mandate sharing has not yet been properly defined among forest stakeholders. However, the implementation of the collaborative framework for three years has significantly given short impact both ecological and economic impact. Ecologically, the framework has gradually reduced numbers of illegal lodging, rock mining and land use change for other purposes within NPRW area. Economically, micro finance program can contribute to the increase of households' incomes among villagers who lived within the buffer zone of NPRW area. The question of sustainability of the impact is critical. It is therefore several suggestions for the future recommended: (l) A community institution needs to be formed to serve stakeholders' complains and conflict resolution among stakeholders through agreement abuse; (2) Communify capacity development program needs to be properly designed, (3). An agreement of forest patrol and monitoring need to be revitalized due to a failure in its implementation.
Key
words: Collaborative Managcment, Sustainable Forest Management,
and National park of
Rawaaope Watumohai
PENI'AHULUAN
tangga miskin yang terletak di dalam dan di tepi hutan sekitar 50, 14 o4, sementara desa-
di luar kawasan hutan 42. 05 %. Sulawesi Tenggara memiliki angka kemiskinan masyarakat sekitar hutan tertinggi, spkitar 55 % dibanding provinsi desa
Selama kurang lebih 3 (tiga) dekade,
di lndonesia terpusat di tangan pemerintah. Pemerintah seolah-olah pengelolaan hutan
menjadi "pemain tunggal" pada upaya pemanfaatan dan pelestarian hutan. Fakta lain, kerusakan dan penipisan hutan semakin berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Disinyalir angka deforestasi di Indonesia telah mencapai I - 3,6 juta haltahun. Di Sulawesi, kerusakan hutan dalam rentang waktu 1985-1997 rata-rata 270.171 ha/tahun (FWl, 2002). Kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara nasional rumah ,)
lain di Sulawesi (ODI-CESS, 2004).
Pendekatan manajemen kolaborasi
terbukti efektif membangun
dan
mengimplementasikan gagasan pengelolaan
hutan lestari dan berkelanjutan (Fisher, 1995). Dari segi pendekatan kawasan, manajemen kolaboratif dapat diterapkan pada berbagai kawasan hutan yaitu pada kawasan
hutan adat, swasta, negara dan
pada
pengelolaan kawasan lindung.
Staf Pengajar Pada 'lunrsan Budidu"^a Perlanion f.ohiltas Perkrflian Lrnivenitas IIaluoleo. Kerulari
60
c
6l Pendekatan manajemen kolaborasi
memiliki dua tujuan: Pertama,
mengelola
penggunaan hutan dan hasil hutan melalui
negosiasi prinsip dan praktek yang samasama disetujui oleh stakeholders. Kedua, menetapkan proses pembagian peran dan wewenang antar stakeholders ketika
membuat keputusan atas pemanfaatan sumber daya (lngles, Musch dan QwistHoffman, 1999). Pendekatan ini pada telah diterima sebagai suatu model pendekatan didalam pengelolaan sumberdaya alam (natural resource management) yang mampu menjembatani berbagai perbedaan persepsi dan kepentingan slokeholders (para pihak).
Kekuatan pendekatan ini terletak pada sifatnya yang akomodatif, demokratis, memilikidimensi yang luas dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidak pastian, membangun kesepahaman, dukungan dan pemihakannya yqng kental terhadap pilihanpilihan bersama (Wondolleck and Yaffe 2000 dalam Suporahardjo, 2005 ).
&
Selain itu, pendekatan kolaboratif juga dikenal luas sebagai model pendekatan yang menekankan upaya penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya dan bukan bersifat permusuhan atau nonadversarial approach (Straus, 2002). Menurut hasil penelitian Bingham (1986) dalam Supoharjo (2005) minimal terdapat 3 (tiga) issu
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat diupayakan
penyelesaiannya melalui implementasi 'poedekatan manajemen kolaborasi yaitu: Pertama, issu konflik pengaturan tata guna lahan. Kedua, issu pengelolaan sumberdaya afam secara luas. Ketiga, Pemanfaatan dan leonservasi energi, pemeliharaan kualitas ndara dan pengelolaan zat-zat beracun (toxic) dan limbah.
Didalam
implementasinya, kolaborasi membutuhkan serangkaian proses yang dinamis, sistematis dan berkesinambungan. Manajemen kolaborasi sendiri adalah sebuah
pendekatan manajemen
jawaban atas tuntutan untuk meredam dan bahkan menjadikan konflik stakeholders menjadi sebuah cita-cita baru untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara bersama. Menurut Means el ctll (2005), konflik pemanfataan .sumber daya hutan misalnya, dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor-faktor berikut: kompetisi pemanfaatan sumber daya hutan,
kelangkaan sumber daya, pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya pengguna kunci dalam pengambilan keputusan. Konseptualisasi
pendekatan
kolaboratif mengisyaratkan
bahwa
penyusunan perencanaan kolaboratif mesti
dilakukan melalui proses yang sistematis, partisipatif, demokratis dan berkelanjutan. Pemahaman proses dalam manajemen kolaborasi sangat memegang peranan yang penting. Hal ini disebabkan karena pendekatan kolaborasi itu sendiri adalah suatu proses perumusan masalah dan pengambilan keputusan bersama antara stakeholder kunci.
Tujuan penelitian ini adalah: (l) melakukan analisis konseptual terhadap pendekatan manajemen kolaborasi dalam pengelolaan hutan berkelanjutau e)
melakukan
analisis
implementasi
manajemen kolaborasi dalam pengelolaan
Kawasan Konservasi (Studi Kasus TNRAW); (3) mengetahui efektivitas pendekatan manajemen kolaborasi pengelolaan TNRAW sebagai media pem bela-iaran bersama.
Keberagaman pendekatan proses,
khususnya pada tataran tehnis dari manajemen kolaborasi mengindikasikan bahwa didalam memahami pendekatan ini tidak bisa digunakan pemahaman tunggal. Dinamika proses yang begitu kompleks didalam implementasinya membutuhkan rentang pemahaman yang luas terhadap pendekatan ini.
METODOLOGI
Anaiisis implementasi
konsep
manajemen kolaborasi dalam pengelolaan hutan lestari di Taman Nasional Rawaaopa Watumohai dilaksanakan efektif selama 4 (empat) Bulan, yang dimulai sejak Bulan Februari- Mei 2007.
,'|(;PJPI-US, Volame l8 Nomor 0t Januui 200t, I.9.fN 0tj4-012g
62
Jenis data yang dikoleksi dalam kegiatan ini secara umum terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui interaksi langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat didalam kawasan TNRAW dan masyarakat di kawasan desa-desa p€nyangga
TNRAW, fasilitator program Protection Tropical of Forest Through Ecological Conservation and Marginal Lands (PTFECML II), Pihak Pengelola TNRAW, dan Instansi Pemerintah Terkait. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah metode RRA (Rapid Ruran Appraisal) dan Community Base lssu Analisis (CBIA).
Sementara
itu, data
sekunder
diperoleh melalui laporan program PTFECML II, dokumen-dokumen yang relevan dengan studi dari pihak pengelola TNRAW, hasil-hasil studi yang sudah ada dan sumbersumber lain yang relevan.
Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatifdeskriptif (Gray Model) terhadap efektivitas kolaborasi yang diimplementaSikan didalam program PTFECML II di TNRAW Analisis difokuskan pada 4 (empat) aspek, yaitu : (a) Performance Analysis; (b) Role of Actors Analysis; (c) Intpact Analysis; (d) Sustainability Analysis.
HASIL DAN PEMBAITASAN Potensi Dan Masalah TNRAW TNRAW ditetapkan pada tahun 1990
dengan Keputusan Menteri
Kehutanan
Nomor 756l KPTS-ll/ 1990 termasuk salah satu taman nasional yang pertama ditetapkan Indonesia, menyusul ditetapkannya Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya No 5 tahun 1990 sebagai payung hukum pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi
di
lainnya. Luas TNRAW adalah 96.804 ha dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara geografis, TNRAW terletak antara l}f 44' - lLzo 44 Bl" dan 40 zz, - 40
39' LS.
Secara administeratif TNRAW
melintas pada 4 (empat) Wilayah Kabupaten
yaitu: Kabupaten Konawe (6.735 ha), Kabupaten Konawe Selatan (40.527 ha),
Kabupaten Bombana (45.605 ha).
dan
Kabupaten Kolaka {12.824 ha).
TNRAW sangat kaya
akan
keanekargaman hayati dan potensi hutan lainnya. Sampai dengan saat ini telah tercatat 502 jenis tumbuhan (ll0 famili) dan fauna yang meliputi mamalia 28 jenis (diantaranya
terdapat
l3 jenis endemic Sulawesi)
jenis (diantaranya terdapat I jenis endemic Sulawesi), Reptilia 7 jenis, Aves 207 jenis (diantaranya terdapat 38 jenis endemic Sulawesi dan 9 jenis endemic lndonesia). Salah satu keunikan TNRAW yang dapat menjadi cini khas yang tidak ditemukan dikawasan konservasi lainnya amphibia
4
adalah daerah rawanya seluas 12.000 ha yang telah ditekomendasikan sebagai Situs
Ramsar dunia, mengingat keunikkanya sebagai satu-satunya wilayah lnland Peat Swamp di Pulau Sulawesi (Awang, dkk, 2005).
Didalam Kawasan TNRAW, paling tidak terdapat 4 (empat) jenis ekosistem yaitu: I . Ekosistem Mangrove seluas 6.000 ha,2. Ekosistem Hutan Pegunungan Datarctn Rendah (lowland Forest Ekosistem) dengan luas 62.382 ha yang mengandung potensi kayu antara lain Kalapi, (Callapia celehica), Kulipapo (Vitcx coppassus), Kasurneeto (Diospyros malaharicu), dll, dan potensi non kayu antara lain liana, rotan, madu. rttrrbiumbian, dan buah-buahan. Selain itu. dalam kawasan hutan ini juga terdapat berbagai jenis hewan langka yang dilindungi undang-
undang seperti babi rusa
€
(Babyrousa
babirussa), Anoa (Anoa depressicornis), Kera (Macacu orchreala), serta berbagai
jenis burung, seperti itik liar (Cairina scutulata), Bangau Hitam (Ciconia episcopus), pecuk (Anhingt melanopgaster),
dll. -?. Ekosi.stem Rawa, dengan beberapa jenis tangkapan utama masyarakat yaitu ikan gabus (Channa striata), Lele (Clarias balrachus'), Sepat (Tricogaster spp), berubi (Anuhas testudineu.s), belut (Monopterus alhu.s), dari Karpes (Hekxtonta temminckii). 1. Ekrxislem Savana dengan keunikan utama pada keunikan komposisi vegetasi yang merupakan asosiasi padang rumput dengan tumbuhan agel (Corypha utan), Lontar (Borassus .floheli.fer), Bambu duri (Bambu.sa
,'IGNPIll.l.l'olune l8 Nonor 0l lanuai
2008, l.l.t:N
0tj4-0lIx
o
63
spinosa), serta semak belukar yang menjadi tempat ideal bagi satwa seperti rusa (Cervus timorensis), dan anoa dataran rendah (Anoa depressicornis) (Deptan, 1976 dalam Awang
dkk,200s ). Minimal terdapat 4 (empat) masalah dalam pengelolaan TNRAW, yaitu: (l) laju penebangan hutan yang tidak terkendali baik yang disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, umumnya Lada dan Kakao; (2) pengelolaan yang masih cenderung sentralistik dengan stakeholders tunggal (Pemerintah); (3) tingkat kemiskinan masyarakat sekitar yang tinggi; (4) perburuan dan penambangan liar didalam kawasan Hutan. Proses Manajemen Kolaborasi Dalam TNRAW
Proses manajemen kolaborasi yang
dibangun difasilitasi oleh pihak CARE Intenldtlohal lndonesia melalui program Protection Tropical of Forest Through Ecologibdl Coriservation and Marginal Lands (PTF-ECML II). Secara umum tujuan dari prografh itti adalah mendorong inisiatif dan
partisipasi par^ pihak untuk mendukung kortservasi keafleka ragaman hayati dalam kawasan-kawasan konservasi. Pada tingkat ct
dapat terlibat secara efektif dalam pengelolaan SDA; dan (8) pembentukan Organisasi-Oganisasi Pengelola Sumber Daya Alam (OPSDA). Proses Nego.siasi, meliputi: (l ) melakukan pcrtemuan antar stakeholders secara formal dan informasi; (2)
visi bersama, melalui pertemuan; (3) merumuskan
membangun serangkaian
rencana aksi dalam pertemuan regular; dan (4) membangun partisipasi masyarakat untuk
mendukung rencana aksi.
Proses
' Implemenlasi meliputi: (l) melaksanakan rencana aksi bersama rehabilitasi hutan di wilayah hutan penaggootu serta diwilayah ekosistem Mangrove Muara Tinanggea dan Rarowatu; (2\ melaksanakan Pertemuan Berkala (Regular Meeting) di lokasi-lokasi OPSDA; dan (3) melakukan monitoring dan evaluasi
.
Anal isis Efektivitas I mplementas
i
Ko laborasi
l.
Performance Analysis Pada tingkat perencanaan dan proses pelaksanaan manajemen kolaborasi, dengan menggunakan matriks tahapan yang dikemukan Gray (1989), nampak bahwa
hampir semua pentahapan telah dilakukan
nlasidrakat program ini peningkatan alternatif mata
mendorodg pencaharian
keluarga-keluarga yang berada
di desa-desa
berhasil dilaksartakan adalah:
Penyangga
teridentifikasinya masalah bersama
sekitar TNRAW (Zona
TNRAW).
ringkas, kegiatan para pihak dalam program ini adalah: Pra-Kondisi Sebelum Memulai, meliputi: (l) studi Kelayakan tentang Co-management di TNRAW, dan (2\ panilaian hasil studi kelayakan. Proses Pembentuksn, meliputi: (i) Identifikasi unit pengelolaan SDA yang paling efektil efisien dan responsif; (2) analisa stakeholders dan studi penokohan masyarakat; (3) pembentukan Start-up Team; (4) membangun dan mengelola inisiatif Secara
komunikasi social; (5) mengumpulkan informasi ekologis dan social di unit pengelolaan sumber daya; (6) memfasilitasi stakeholders untuk memiliki pemahaman
dalatn progrdm ini.
Beberapa tahapan penting yang (I
) dan
terbangunnya kesepakatan bersalna untuk menyelesaikan masalah; (2) terbentuknya tim convener (pengarah/pelaksana pertemuan)
berdasarkan criteria yang dirumuskan bersama untuk menjamin kredibilitas tim; (3) terbentuknya organisasi-organisasi independen pada tingkat masyarakat pada desa-desa penyanggah kawasan TNRAW, beserta aturan main, agenda (program) yaitu:
Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL), l,embaga Komunitas Mangrove (LKM) dan Asosiasi Kerukunan Masyarakat dan Pelestari Rawa (AKMAPER), FORMASTRIP, AKAD, dll; (4\ adanya dokumen kolaborasi dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) antara pengelola BTNRAW dengan organisasi masyarakat
organisasi dan informasiyang tepat sehingga siap untuk bernegosiasi; (7) mengidentifikasi
yang secara umum memuat
tehnis koordinasi antar stakeholders untuk
kawasan (pemeliharaan batas dan sosialisasi
'1CNPl,U.l, Volume
18
Namor
0l lawari
2A08, IS.IN 0854-0125
penataan
64
zonasi), pemeliharaan kawasan meliputi monitoring flora dan fauna, monitoring
menekankan aspek kelestarian, peningkatan
mangrove, pencurian kayu, pcnanrbangan batu, alih fungsi kawasan, dll). Hal irri diakui secara langsung oleh pihak TNRAW bahwa keberadaan organisasi masyarakat tersebut mengurangi beban kerja dan memudahkan mereka berkoordinasi; (b) pengembangan
kapasitas masyarakat melalui
ekonomi alternatif keluarga
populasi dan habitat jenis, serta rehabilitasi dan pengkayaan habitaVjenis, pengaturan
pemanfaatan kawasan dengan
tetap
gerakan
pendidikan masyarakal, dan patroli bersama;
dan (4) adanya upaya untuk menggalang dukungan pihak luar melalui serangkaian sosialisasi, lokakarya dan diskusi. Meskipun demikian, pendalaman dan penajaman terhadap beberapa tahap menjadi pelajaran yang dapat dipetik untuk dimaksimalkan kedepan, antara lain: ( l) komitmen bersama antar stakeholders dalam upaya pelestarian kawasan hutan TNRAW
baik yang sifatnya
terdokumentasikan melalui MoU maupun tidak, belum berjalan efektif pasca program; (2\ dukungan
eksternal (PEMKAB dan PEMPROV, dan LSM local) yang diharapkan melakukan pembindan pasca program belum berjalan efektif; (3) peran organisasi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas anggota pada komun itasnya rnasing-masi ng belum berjalan efektif; (4) monitoring dan patroli bersama belum berjalan efektif; dan (5) belum adanya lembaga yang memberi layanan pengaduan atas pelanggaran kesepakatan.
2. Roles of Actors Analysis Beberapa aktor yang terlibat dalam
proses co-manajemen TNRAW adalah: CARE Internasional, Pengelola BTNRAW, Organisasi-Organisasi Masyarakat, LSM Lokal, PEMPROV SULTRA, dan PEMKAB
(Konawe, Konawe Selatan, Kolaka,
dan Bombana); dan pengaturan pembagian peran antar stakeholders belum terdev in isikan bai k,
kecuali antara pihak masyarakat dan BTNRAW. Hal ini dapat dilihat dari
melalui pembentukan KSM-KSM pada bebcrapa wilayah kawasan penyanggah dapat berjalan
efektif dan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat, tetapi masih terdapat beberapa wilayah yang kurang berhasil dengan tingkat
partisipasi warga dalam pengembangan usaha produktif yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh bias elit, dan atau mismanajemen; dan (c) Secara social, keberadaan organisasi-organisasi masyarakat dapat meminimalisasi konflik antara pihak
masyarakat dan pengelola TNRAW dan antara masyarakat pada zona penyanggah. Sustainabil ity Analysis
Berdasarkan gambaran tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa program manajemen kolaborasi para pihak terancam keberlanjutannya. Beberapa langkah yang perlu segera diantisipasi adalah: ( I ) pembentukan lembaga pengaduan atas pelanggaran kesepakatan (Gray, 1989): (2) peningkatan kapasitas masyarakat (ilmu pengetahuan dan ketarampilan) atas kerjasama multipihak untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif; (3) peningkatan monitoring dan pembinaan kelembagaan masyarakat untuk menghindari bias elit dan mis-manajemen; (4) pembentukan dan atau pendelegasian kelembagaan multipihak; dan (4) revitalisasi MoU, khususnya pada aspek
monitoring dan patroli kawasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Impact Analysis Adapun impact analysis meliputi: (a)
satu program perlindungan hutan
PTf
pada zona penyanggah TNRAW
secara
umum berdampak pada berkurangnya tingkat
kerusakan kawasan TNRAW (penebangan
secara
bersama.
rendahnya implementasi kontinuitas program para pihak pasca proyek.
keberadaan organ isasi-organ i sasi masyarakat
'{
* ECML
yang merupakan salah tropis
melalui konservasi ekologi dan perlindungan lahan-lahan marjinal dengan menerapkan pengelolaan kolaboratif antar stakeholders, dari sisi proses pelaksanaan manajemen
kolaborasi
,I(;IUH.Il.l. l'ohnte l8 Nouor 0l lunaai
telah
dilaksanakan
20O8. Ll.\'N 08t1-0128
sesuai
€
65
pentahapan yang disyaratkan oleh Model Gray. Meskipun demikian, pada saat studi ini
dilaksanakan (pasca program), beberapa output dari proses tersebut belum berjalan efektif sesuai yang diharapkan. Penumbuhan komitmen bersama, dukungan eksternal, partisipasi kelompok, dan pembentukan lembaga atas layanan pengaduan perlu direalisasikan.
Disisi lain, meskipun kelembagaan progrum maupun kelembagaan masyarakat telah terbentuk, tetapi upaya berbagi peran antara masyarakat dan pihak TNRAW didalam mengelola kelestarian TNRAW belum terlaksana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan belum optimalnya peran masing-masing pihak sesuai dengan dokumen kesepakatan yang telah dibuat. Meskipun demikian, secara umum selama pelaksanaan program telah
DAFTAR PUSTAKA Awang, San Afri., Kasim, Abdul., Tular, Benjarnin., dan Salam, Nur. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional; Kasus Taman Nasional Rawaaopa Watumohai.
Kendari: CARE
International
lndonesia Southeast Suliiwesi.
Fisher, R.J. 1995. Collaborative Management of
Forests for
Conservation and Development. Gland, Switzerland, IUCN/WWF.
Forest Watch lndonesia/Global Forest Watch (FWl/cFW).2002. The State of the Forest: lndonesia. FWI/GWF, Bogor and Washington. DC.
Gray, Barbara. 1989. Collaborating: Finding Common Ground for Multyparty
kawasan. Secara ekonomi, pembentukan KSM-KSM ekonomi dapat menggerakkan
lngles, A.W., Musch, A. and Qwist-Hoffinan, H. 1999. The Participatory Process for Supporting Collaborative Management of Natural Resource: an overview.
anggotanya,
meskipun terdapat beberapa KSM yang belum berkembang dengan baik. Secara sosial, pembentukan Asosiasi Kerjasama Antar Desa (AKAD) mampu meminimalisir konflik yang selama ini banyak terjadi dan meningkatkan kerukunan warga antar desadesa penyangga TNRAW.
Untuk menjaga keberlanjutan
dampak ini, maka disarankan untuk membentuk lembaga pengaduan atas pelanggaran kesepakatan, meningkatkan kapasitas masyarakat (ilmu pengetahuan dan ketarampilan) atas kerjasama multipihak
untuk mendorong kegiatan
ekonomi
produktif, Meningkatkan monitoring I
bersama-
memberikan dampak yang cukup significant dalam upaya pelestarian TNRAW, antara lain berkurangnya penebangan mangrove, illegal lodging, penambangan batu, dan alih fungsi
ekonomi rumah tangga o
aspek monitoring dan patroli kawasan secara
dan
pembinaan kelembagaan masyarakat untuk menghindari bias elit dan mis-manajemen dan merevitalisasi MoU, khususnya pada
Problems. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Rome, FAO
Means, Katherine., Josayma, Cynthia., Nielsen,
Erik., and Viriyasakultorn, Vitoon. 2005. Kolaborasi dan Konflik. Sinergi. Jurnal Manajemen Kolaborasi. Bogor: Lembaga
Alam Tropika
Straus, David. 2002. How to make Collaboration
Work: Powerful Way to
Build
Consensus, Solve Problems. and Make
Decisions. San Francisco: BerretKoehler Publishers, lnc.
Suporahardjo.
2005. Strategi dan
praktek
Kolaborasi: Sebuah Tinjauan. SinergiJurnal Manajemen Kolaborasi. Bogor:
Lembaga (LATtN).
Alam Tropika
fc I
t,
,4CKI1>l-tlS, L/ohme l8 Nomar
lndonesia
(t-A'r-tN).
0/ .lanaai 2008. IS"fN
08jt-71
2t
lndonesia