5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1. Penyebab dan Bentuk Konflik Konflik dalam penguasaan sumberdaya hutan pada dua kawasan konflik yaitu Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Hutan Sungai Utik disebabkan karena adanya kebijakan negara tentang tata kelola hutan. Di TNGHS, negara mengeluarkan kebijakan tentang pelestarian hutan, sedangkan di Hutan Sungai Utik, negara mengeluarkan kebijakan pemanfaatan hutan. Konflik ini melibatkan berbagai macam aktor dengan berbagai kepentingan. Di kawasan TNGHS, konflik yang terjadi adalah konflik negara dengan Masyarakat Kasepuhan. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dalam tataran kebijakan, dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) dalam tataran praktis pengelolaan hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Adapun di Sungai Utik, konflik terjadi antara negara dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) dalam tataran kebijakan. Kebijakan negara tersebut melahirkan rezim penguasaan hutan pada tataran praktis oleh pengusaha baik pengusaha yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) dari pemerintah pusat maupun pengusaha yang mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah. Bentuk konflik pada kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik tersebut berupa konflik laten sampai konflik terbuka. Pada kawasan TNGHS, sebenarnya konflik sudah ada sejak lama, sejak terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan melalui klaim oleh masyarakat dan klaim oleh pihak lain atau Negara Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun dalam perjalanan sejarah konflik ini timbul tenggelam, kadang muncul ke permukaan menjadi konflik terbuka, kadang hanya sekedar konflik laten yang muncul di ruang wacana, tapi ketika terjadi konsensus maka konflikpun mereda. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, telah terjadi konflik fisik antara pihak masyarakat adat dengan pengusaha pemegang IUPHHK yang merupakan representasi negara di kawasan. Konflik ini berujung pada pengusiran secara fisik
117
termasuk perusakan alat-alat berat dari lokasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengusaha. Namun setelah pengusaha terusir dari lokasi konflikpun mereda, berubah menjadi konflik laten di ruang wacana. 5.1.a. Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian Hutan Setelah merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung HalimunSalak seluas 113.357 hektar (ha). Penggabungan kedua kawasan ini mencakup pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani. Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property right dari ostrom dan schlager (1990), dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut: Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003 Tipe hak (right) Access right Withdrawal right Management right Exclusion right Alienation/ diversion right
Sebelum tahun 2003 Ya Ya Ya Ya Tidak
Sesudah tahun 2003 Tidak (ya tapi terbatas) Tidak Tidak Tidak Tidak
Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak (property right) membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat
118
Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut. Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun 1998-2001, hutan alam berkurang 25% atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semaksemak termasuk lahan terbangun. Pada tahun 2004-2007 terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari 16.386 ha menjadi 7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan ladang sebesar 2.293 ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun 2007-2008, luas hutan alam di kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06% atau berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas kebun teh sebesar 1,4%. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun campuran sebesar 1,5% dan lahan kosong sebesar 1,32%. Selain itu, luas lahan terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41%. Lebih jelasnya lihat gambar berikut:
119
LUAS TUTUPAN (HA)
90,000.00 80,000.00
Hutan
70,000.00
Hutan tanaman Kebun campuran
60,000.00
Kebun karet Kebun teh
50,000.00
Semak Rumput
40,000.00
Sawah 30,000.00
Ladang Lahan kosong
20,000.00
Lahan terbangun Badan air
10,000.00 0.00 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1997
1998
2001
2003
2004
2007
2008
TAHUN
Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun 1989-2008 (Sumber: BTNGHS, 2010) Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara Masyarakat Kasepuhan (kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf). Masyarakat Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi "kelompok konflik" yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara (BTNGHS) pun menjadi tidak terhindarkan. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. (2008) menyebutkan bahwa penolakan masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang terjadi pada tahun 2003. Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan (BTNGHS). Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di
120
dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat dengan pihak BTNGHS pada tahun 2005. Konflik ini bermula dari penangkapan terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS. Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang (SIT), sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi, namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara. Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut. Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat (BTNGHS) sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman nasional
atas
nama
pelestarian
lingkungan
inilah
negara
menguasai
(menundukkan) Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan (biodiversity). Sekarang ini, konflik di TNGHS memasuki babak “konflik laten” di ruang wacana, dimana proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja konsensus tersebut belum dicapai.
121
5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang Pemanfaatan Hutan Konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak. Ada konflik antara negara (pemerintah pusat) dengan masyarakat adat, konflik ini terjadi karena adanya kebijakan
negara
dalam
pemanfaatan
kawasan
hutan.
Negara
dengan
kebijakannya telah memberikan izin IUPHHK kepada pengusaha untuk memanfaatkan hutan. Konflik terjadi karena kebijakan negara tentang IUPHHK tersebut telah mengabaikan status kepemilikan hutan adat yang diklaim oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Tahun 1984 pertama kalinya negara menerbitkan IUPHHK pada kawasan Sungai Utik. Dalam konflik antara Masyarakat Dayak Iban dan negara, ada masamasa dimana konflik sangat memanas menjadi konflik terbuka, tetapi ada masamasa dimana konflik tidak kentara seakan-akan tidak pernah ada konflik. Konflik pada Masyarakat Dayak Iban datang dan timbul, memanas kemudian mengalami fase dingin (seperti virus dorman yang tidur menunggu waktu yang tepat untuk bangun), suatu hari kembali bangun dan memanas. Sebagai bukti, tahun 1984 negara mengeluarkan IUPHHK untuk PT. BI, masyarakat melawan kebijakan negara tersebut dengan cara memerangi perusahaan yang datang ke lokasi. Negara dan perusahaan pergi dari lokasi, suasana kembali tenang, tidak ada aktivitas perusahaan di lokasi tetapi izin tidak pernah dicabut. Konflik kembali muncul ketika di tahun 1997 negara mengeluarkan kembali IUPHHK untuk PT. BRU. Akibat dari aksi negara tersebut, PT. BRU sempat beroperasi selama 1 (satu) tahun di kawasan Mungguk. Konflik terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan PT. BRU terjadi pada tahun 1997-1998, dipicu ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu (menurut versi Masyarakat Dayak Iban) di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT kawasan hutan Dusun Mungguk. Pihak perusahaan menutup jalan-jalan menuju areal yang ditebang sehingga aktivitas penebangan tersebut tidak diketahui oleh Departemen Kehutanan dan masyarakat adat. Saat mengetahui hal itu, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Masyarakat Mungguk memeriksa areal penebangan, lalu melapor ke Dinas Kehutanan. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan
122
tuntutan ganti kerugian. Perusahaan memenuhi tuntutan dengan 1 mesin listrik 0,5 KVA serta pemberian fee kepada tokoh-tokoh kampung sesuai dengan jabatannya. Temenggung dan Kepala Desa memperoleh Rp. 25.000/bulan, sedangkan Kepala Dusun memperoleh Rp. 15.000/bulan selama perusahaan bekerja (berlaku surut). Setelah Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Masyarakat Mungguk serta Ketemenggungan Jalai Lintang berhasil mengusir PT. BRU, menyita alat-alat berat dan menghukum denda PT. BRU, konflik ditingkat grassrootpun mereda. Sementara, kerugian yang dialami masyarakat adalah kehilangan kayu mencapai 20.000 batang terdiri dari; Meranti, Jelutung, Merebang, Sempetir, Bantas dan Temau. Konflik muncul kembali di tahun 2004 ketika negara menerbitkan IUPHHK bagi PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 jangka waktu 45 tahun pola tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) dengan luas areal 110.500 ha. Menanggapi keputusan negara masyarakatpun tidak tinggal diam, mengusir PT. BRW dari lokasi, menyita alat-alat berat milik PT. BRW dan menjaga kawasan hutan sehingga PT. BRW tidak pernah aktif untuk menjalankan izin usahanya. Dalam perjuangannya mempertahankan hak penguasaan atas kawasan Hutan Sungai Utik, Masyarakat Dayak Iban menggunakan kekuatan fisik untuk mengusir pengusaha dan mempertahankan otoritasnya atas pengelolaan kawasan Hutan Sungai Utik. Dalam konflik fisik tersebut masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari lokasi kawasan hutan. Sementara negara selaku pemegang legalitas atas kawasan hutan tersebut juga tidak melakukan usaha represif untuk menunjukkan kekuasaannya, namun negara juga tidak pernah mencabut IUPHHKnya. Kekuasaan negara seakan-akan tidur, potensi konflik melemah, masyarakat dibiarkan mendapatkan hak akses atas hutannya, namun tidak pernah ada pengakuan dari negara atas hak kelola adat, izin IUPHHK juga tidak dicabut. Konflik memasuki babak baru sebagai konflik laten di ruang wacana. Jika melihat kasus Sungai Utik, maka sekalipun secara formal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak memiliki property right menurut konsep negara, namun mereka memiliki akses terhadap kawasan tersebut termasuk mempunyai semua hak: akses, withdrawal, management, exclusion dan hak alienasi. Sebelum
123
maupun sesudah terbitnya kebijakan negara, baik kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap kawasan tersebut, Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tetap memiliki hak dan akses yang sama. Sekalipun dalam prakteknya mereka memiliki akses terhadap sumberdaya hutan, artinya mereka mempunyai kemampan untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya Hutan Sungai Utik, ketiadaan pengakuan negara atas hak masyarakat tersebut tidak membuat masyarakat hidup tenang. Masyarakat masih diliputi kecemasan, apalagi izin IUPHHK untuk PT. BRW belum dicabut sampai saat ini, bahkan jikapun suatu hari dicabut, masyarakat tetap belum bisa hidup tenang, karena ada ketakutan di kalangan masyarakat bahwa negara akan kembali menerbitkan izin IUPHHK untuk perusahaan lain. Seperti yang dikemukakan oleh Apai janggut (Tuai Rumah Sungai Utik): “Sekalipun suatu hari izin tersebut dicabut, namun dikawatirkan pemerintah pusat akan selalu mengeluarkan izin baru bagi perusahaan baru. Buktinya waktu tahun 1984 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BI, kemudian kami mengusirnya, PT BI keluar dari lokasi, kemudian setelah sekian lama izinnya dicabut tapi di tahun 1997 pemerintah mengeluarkan izin untuk PT BRU, dan di tahun 2004, pemerintah mengeluarkan izin lagi buat PT BRW. Selama hutan ini belum diakui sebagai hutan adat, maka selama itu pula percobaan untuk mengambil alih hutan oleh negara akan selalu dilakukan. Oleh karena itu tuntutan kami adalah mendapat pengakuan sebagai hutan adat”
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh tuai rumah tersebut, maka sekalipun menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup. Apa yang diperjuangakan oleh Masyarakat Dayak Iban adalah hak (right), bukan hanya akses. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa right itu lebih penting daripada akses, karena right dapat menjamin kelangsungan akses. Sejarah membuktikan konflik selalu berulang menjadi konflik terbuka, kemudian padam, menjadi konflik laten sampai suasana menjadi dingin dan terlupakan, pada saat itulah kembali negara mengeluarkan kebijakannya, konflik berulang dan seterusnya. Konflik mereda namun bersifat laten, seperti orang yang sedang tidur, namun suatu ketika konflik akan muncul kembali. Jika mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf, bahwa konflik pada kawasan Sungai Utik ini merupakan konflik otoritas, dimana polarisasi yang terus menerus
124
ke dalam dua kelompok kepentingan untuk perebutan otoritas atas penguasaan sumberdaya Hutan Sungai Utik menjadi sebuah realitas sosial yang menandai siklus konflik otoritas di Hutan Sungai Utik. Dalam vis a vis dengan negara, negara memegang otoritas secara formal, sementara masyarakat mempunyai otoritas kewenangan tradisional. Masyarakat sebetulnya tidak punya otoritas dan berjuang untuk memperoleh otoritas. Dalam perjuangan untuk mendapatkan otoritas pengelolaan sumberdaya hutan ini, masyarakat bisa dikatakan menang sementara karena tetap memegang otoritas mengelola secara adat, meskipun secara formal belum menang karena belum ada pengakuan formal. Konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat tersebut masih akan terus berlangsung, mengingat Hutan Kalimantan Barat masih menjadi incaran sebagai pendapatan negara disektor kehutanan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.266/Menhut-II/2012 tentang Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Penghitungan Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam Sektor Kehutanan Untuk Tahun 2012 disebutkan bahwa daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan ditetapkan kembali berdasarkan rencana produksi hasil hutan di daerah yang bersangkutan dengan perhitungan penerimaan provisi sumberdaya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan iuran izin usaha pemanfaatan hutan (IIUPH) tahun 2012. Selanjutnya disebutkan penghitungan penerimaan daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan adalah: a. Perkiraan penerimaan PSDH, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu dikalikan tarif PSDH yang berlaku dikalikan harga patokan. b. Perkiraan penerimaan DR, dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dikalikan tarif DR yang berlaku. c. Efektivitas penerimaan PSDH dan DR diasumsikan sebesar 95 % (sembilan puluh lima) perseratus. Penyaluran dana bagi hasil bagi daerah penghasil sumberdaya alam sektor kehutanan berdasarkan realisasi setoran penerimaan PSDH dan DR dari masing-masing daerah penghasil ke pemerintah u.p. Kementerian Kehutanan yang selanjutnya disetor ke kas negara. Dalam lampiran Keputusan tersebut diperoleh angka target pendapatan untuk Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, bahwa pendapatan dari PSDH sebesar Rp. 9.113.156.058,13; pendapatan dari DR sebesar Rp. 19.976.713.178,52 dan
125
pendapatan dari IIUPH sebesar Rp. 1.176.350.000,00. Keberadaan SK Menteri Kehutanan tersebut memberi makna bahwa konflik sumberdaya hutan di Kalimantan Barat masih akan terjadi dan terus berlangsung, menempatkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam kondisi cemas sebagai kelompok konflik yang subordinat. Ancaman lain atas keberadaan Hutan Sungai Utik ini, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan (IUP). IUP tersebut diterbitkan untuk PT. MKA, PT. BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK PT. BRW. Penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Karet Seluas 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/Bpt-A tentang Persetujuan IUP Perubahan Dari Karet Menjadi Kelapa Sawit, tertanggal 10 januari 2011. PT. RU telah melakukan analisa dampak lingkungan (amdal) dan mencoba sosialisasi pada Masyarakat Embaloh Hulu, namun masyarakat menolak sawit. Perjuangan penolakan sawit ini masih terus dilakukan. Sungai Utik kemungkinan dikeluarkan dari sasaran sebagai lokasi perkebunan sawit karena memiliki sertifikat ekolabel dari lembaga ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae Menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae Menua Sungai Utik), dalam lingkup “Sustainable Community Based Forest Management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”; dan termasuk desa yang mendapat penghargaan sebagai “Desa Perduli Hutan”, walaupun sebenarnya secara kebijakan, Hutan Sungai Utik masuk dalam peta kawasan IUP tersebut. Dari fakta di atas terlihat bahwa konflik di Sungai Utik melibatkan banyak pihak, yaitu: negara pusat (pemerintah pusat/ Departemen Kehutanan), Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, negara lokal (pemerintah daerah), pengusaha yang berafiliasi dengan pemerintah pusat dan pengusaha yang berafiliasi dengan pemerintah daerah. Selain itu, diluar lingkaran konflik ada LSM yang membantu Masyarakat Dayak Iban dalam menghadapi negara, memperjuangkan kepentingan
126
dan hak masyarakat. Konflik sumberdaya hutan tersebut terjadi karena perbedaan pemaknaan terhadap hutan dan tumpang tindih kebijakan dan klaim penguasaan atas kawasan hutan. 5.2. Jenis Konflik: Pemaknaan, Tenurial, Authority dan Livelihood 5.2.a. Konflik Pemaknaan Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik dapat dipahami sebagai konflik pemaknaan. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap fungsi hutan antara masyarakat adat dan negara. Perbedaan pemaknaan tersebut dilatar-belakangi adanya perbedaan pengetahuan tentang tata kelola hutan, relasi manusia dengan alam (hutan) dan bagaimana manusia memperlakukan alam, baik dalam hal pengelolaan maupun pemanfatan hutan. Pengetahuan masyarakat adat, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun berbenturan dengan konsep pengetahuan ilmiah negara yang mendasari kebijakan negara dalam pengelolaan hutan. Masyarakat Kasepuhan memaknai hutan sebagai tempat hidup berbagai makhluk hidup, bukan hanya manusia, tetapi juga ada banyak binatang, tumbuhan dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Hutan bagi Masyarakat Kasepuhan memiliki fungsi dan makna yang sangat berarti bagi seluruh makhluk hidup. Keberadaanya harus dapat menjamin keteraturan dan keseimbangan kehidupan seluruh makhluk hidup. Pemaknaan tersebut ditopang dengan adanya sejumlah aturan untuk tidak menggunakan zat-zat kimia yang dapat membunuh keberadaan makhluk lain (binatang), sekalipun binatang tersebut merupakan hama perusak bagi tanaman mereka. Oleh karena itu dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, manusia memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan hutan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kusnaka Adimiharja (1989), bahwa di kalangan warga Kasepuhan, terdapat pandangan bahwa alam semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya. Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memandang hutan memiliki banyak makna sesuai fungsi dari hutan tersebut. Makna dari hutan tersebut diwujudkan 127
dalam bentuk pemaknaan tempat didalam hutan sesuai dengan fungsinya. Masyarakat Dayak Iban memandang hutan sebagai sebuah kawasan yang tidak hanya terdiri dari vegetasi tumbuhan kayu melainkan juga hutan memiliki fungsi sebagai sumber air, sumber makanan dan tempat dimana mereka dapat bertapa untuk mendekatkan diri pada “betara” sang penguasa hutan dan alam semesta. Selanjutnya hutan bagi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah kekayaan masyarakat. Hutan Sungai Utik merupakan hutan primer yang masih banyak kayu-kayu berdiameter besar, bukan hanya di hutan simpan, kayu-kayu dengan diameter lebih dari satu meter juga terdapat di lahan garapan masyarakat. Hutan ini nantinya akan diwariskan kepada anak-cucu Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut bahwa: “Meskipun tidak mempunyai harta/ materi yang banyak, tapi kami akan mewariskan hijaunya hutan kepada anak cucu nantinya. Kami mempertahankan hutan karena kami tidak ingin kelak anak-cucu kami tidak tahu apa-apa”. Dalam sistem pengelolaan kawasan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pengetahuan, nilai-nilai budaya dan tradisi yang khas yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah digunakan untuk mengatur dan mengelola kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tentang tata kelola hutan yang mereka bagi dalam beberapa zona. Masyarakat Kasepuhan membaginya dalam 4 wewengkon, yaitu: leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan. Sedangkan Masyarakat Dayak Iban membaginya dalam tiga kampong yaitu kampong taroh, kampong galao, dan kampong endor kerja. Sistem pengelolaan tersebut berdasarkan atas fungsi dari masing-masing kawasan, sebagai wilayah lindung (keramat); bertani (ladang); berkebun, dan berdasarkan pada peruntukan yaitu berburu, meramu dan mengambil manfaat tanaman obatobatan. Tata kelola hutan dalam konsep masyarakat adat tersebut bukan hanya sekedar konsep zonasi, namun merupakan sistem pengetahuan karena basis dari pengetahuan masyarakat tersebut adalah sejarah. Adapun pemaknaan hutan menurut negara dipengaruhi oleh sistem pengetahuan negara yang bersumber dari pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Peraturan perundang-undangan adalah wujud dari pengetahuan
128
ilmiah. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Sementara itu, berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 28 bahwa (1) pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. (2) pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Pasal 1, bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan eksport. Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004 disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kawasan hutan produksi adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Lebih lanjut, untuk memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem perlu adanya kriteria kawasan hutan produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kegiatan restorasi ekosistem. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, diketahui bahwa negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi, sementara itu masyarakat memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan,
129
karena negara memainkan UU sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Baik tentang konservasi hutan maupun pemanfaatan hutan, pengetahuan negara didukung oleh kekuatan kekuasaan politik dan kelembagaan yang secara legitimasi memberikan kekuatan kepada negara untuk mempengaruhi bahkan mendominasi sistem pengetahuan tradisional yang dianut oleh masyarakat adat. Dominasi sistem pengetahuan negara atas masyarakat adat melahirkan perilaku perlawanan dari masyarakat melalui perjuangan di ruang pengetahuan, antara lain pada arena seminar, pertemuan ilmiah, negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan yang dibangun. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan. Melalui politik mikro kekuasaan, dapat dilihat bagaimana negara dengan pengetahuan modern berusaha mengkooptasi pengetahuan masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa pengetahuan negara mampu menjawab berbagai permasalahan di sekitar hutan, melalui kelembagaan negara dan berbagai ruang komunikasi yang telah diintroduksir kepada masyarakat adat. 5.2.b. Konflik Tenurial Pengetahuan dan pemaknaan atas tata kelola hutan di dua kawasan hutan (TNGHS dan Hutan Sungai Utik) melahirkan klaim penguasaan atas hutan. Klaim atas penguasaan lahan inilah yang melahirkan konflik tenurial, yaitu konflik atas tanah, dimana tanah (termasuk konsesi, perkebunan, kawasan lindung, kawasan masyarakat subsisten) selalu menemukan diri mereka dalam situasi konflik atas penguasaan tanah dan sumberdaya hutan. Konflik tenurial dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat adanya klaim penguasaan lahan oleh negara dan masyarakat. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan, sedangkan masyarakat adat mengklaim penguasaan lahan/ hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat. Dalam konsep negara, adanya dualisme system pertanahan yaitu system pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan. Tanah dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 130
33 Ayat (3) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa tanah dan kekayaan di dalamnya adalah dalam penguasaan negara. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 4 Ayat (1) bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. (2) hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Sementara itu, dalalm UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4 Ayat (1), bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (3), bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak. Hutan negara dapat berupa hutan adat, dimana hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
131
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Dualisme system pertanahan menurut UUPA dan menurut UU Kehutanan ini memberikan hak penguasaan atas tanah kawasan hutan pada sistem penguasaan lahan menurut negara (pemerintah) dan masyarakat adat. Namun demikian disebutkan bahwa hak penguasaan oleh masyarakat adat tersebut diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara dan selama masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya Faktanya, pada kawasan hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, berlaku dua sistem penguasaan lahan, yaitu sistem penguasaan lahan menurut negara dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto dikuasai oleh masyarakat yang secara turun temurun tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Klaim wilayah menurut masyarakat adat ditentukan berdasarkan aspek historis, sebagai berikut: Matrik 2. Klaim Wilayah Menurut Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik TNGHS Sungai Utik Aktor lokal Masyarakat Kasepuhan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Lamanya tinggal di Sejak 634 tahun yang Sejak 1972 kawasan lalu Penanda klaim atas Makam keramat nenek Tembawai (bekas rumah panjang) wilayah adat moyang Penanda klaim atas Ladang dan bekas Ladang dan bekas bukaan ladang/ kepemilikan bukaan ladang ladang yang ditinggalkan (damun) individual Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan sudah ada di lokasi sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama komunitas Kasepuhan dari jasinga ke bogor. Adapun sejarah penguasaan wilayah Sungai Utik oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif masih baru sejak 1972. Sebelumnya suku Dayak Iban tersebut berasal dari Lanjak tahun 1800-an, tercatat ada 12 tembawai (bekas rumah panjang) sebelum sampai di Dusun Sungai Utik. Sebelum tahun 1972, wilayah Sungai Utik dikuasai oleh Dayak Embaloh, selanjutnya wilayah tersebut diberikan dari Suku Embaloh kepada Dayak Iban dengan sebuah perjanjian adat (lihat bab 4).
132
Dalam kepemilikan tanah menurut adat, ada yang disebut kepemilikan kolektif, ada kepemilikan individu. Kepemilikan kolektif adalah kepemilikan adat, yaitu apa yang disebut sebagai kepemilikan adat atau tanah ulayat. Adapun kepemilikan individu ini baik di Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditandai dengan bekas ladang. Orang yang pertama kali membuka ladang, maka dialah yang akan menjadi pemilik lahan tersebut. Bekas ladang dalam istilah Dayak Iban disebut “damun”. Baik kepemilikan kolektif maupun kepemilikan individu, tanah tersebut disebut tanah adat atau tanah dalam penguasaan adat. Masalahnya klaim tanah oleh masyarakat adat tersebut tidak memiliki bukti hitam diatas putih (sertifikat), melainkan hanya aspek kesejarahan. Klaim tersebut akan berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Berdasarkan UUPA Pasal 19 Ayat (1), bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hal tersebut bermakna bahwa semua tanah harus terdaftar. Tanah tanpa judul diasumsikan milik negara (MacAndrews, 1986). Artinya bahwa tanah tanpa sertifikat diakui sebagai tanah negara. Dengan demikian, konflik sumberdaya hutan pada TNGHS dan Hutan Sungai Utik menunjukkan adanya konflik atas tanah dan sumberdaya hutan dimana masing-masing pihak mengklaim bahwa tanah dan sumberdaya hutan tersebut merupakan miliknya. Negara mengklaim bahwa kawasan hutan tersebut sebagai hutan negara, TNGHS sebagai hutan konservasi sedangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan produksi. Adapun masyarakat adat juga mengklaim bahwa kawasan tersebut sebagai kawasan hutan adat. Oleh karena itu, konflik pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat disebut juga sebagai konflik tenurial. Konflik tenurial ini terjadi berawal dari adanya politik teritorialisasi. Melalui perspektif historis dapat dijelaskan teritorialisasi kawasan hutan yang bermula dari sistem lokal yang dijalankan masyarakat hingga masuknya politik teritorialisasi yang diperkenalkan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia
133
merdeka. Realitas konflik sumberdaya hutan sebagai politik teritorialisasi pernah dikemukakan juga oleh Maring (2010) dalam melihat masyarakat sekitar Gunung Noge. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Masyarakat Lerokloang Flores NTT (Maring, 2010), bahwa sistem teritorialisasi yang dijalankan Masyarakat Kasepuhan di TNGHS dan Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik bisa dilihat dalam dua hal, yaitu sejarah teritorialisasi sistem penguasaan tanah dan teritorialisasi penguasaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Matrik 3. Teritorialisasi Masyarakat Kasepuhan Sungai Utik TNGHS Sistem penguasaan Sistem penguasaan tanah tanah adat dan penguasaan individu. Pemanfaatan Melalui konsep zonasi sumberdaya alam menurut adat
dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik Sistem penguasaan tanah adat dan penguasaan individu. Melalui konsep zonasi menurut adat
Berdasarkan tabel di atas, bahwa sistem penguasaan tanah pada Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik terdiri atas dua sistem penguasaan tanah yaitu penguasaan tanah adat dan penguasaan tanah individu. Adapun sistem pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan melalui konsep zonasi menurut adat. Masyarakat Kasepuhan membagi hutan ke dalam 4 wewengkon (zonasi) yaitu leuweung titipan, leuweung tutupan, leuweung cawisan dan leuweung garapan, sedangkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik membagi hutan kedalam 3 kawasan yaitu kampong taroh, kampong galao dan kampong endor kerja. Setiap zona tersebut mencerminkan adanya hak, kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Adapun hak yang dimiliki masyarakat dapat didentifikasi sebagai berikut: hak penggunaan kawasan baik untuk nilai ekonomi langsung maupun tidak langsung; hak meminjamkan atau mengalihkan kepemilikan; mekanisme kontrol atas penggunaan hak; kewajiban dan larangan bagi setiap individu yang terikat atas hak tersebut; dan simbol-simbol adat yang menandai adanya kepemilikan atas sumberdaya hutan. Dikedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik memperlihatkan bahwa hak kepemilikan tidak didasarkan atas pemberian negara atau dokumentasi formal, namun lebih memperlihatkan suatu perkembangan dinamis di tingkat lokal. Bagaimana masyarakat sepanjang sejarah
134
penguasaan atas tanah dan sumberdaya hutan tersebut mengembangkan pengetahuan dan norma-norma yang memberi hak, kewajiban dan larangan bagi masyarakatnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, dapat dikemukakan bahwa dalam sejarah TNGHS, terjadi beberapa kali tumpang tindih klaim pengusaan tanah oleh pemerintah dari mulai Zaman Hindia Belanda sampai masa Indonesia merdeka, dengan klaim oleh Masyarakat Adat Kasepuhan. Pengalaman pada Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa sejak masa penjajahan telah terjadi perampasan tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan negara. Selanjutnya negara membatasi ruang gerak masyarakat dengan menyediakan tanah-tanah yang diperuntukkan untuk huma, namun dalam statusnya tanah tersebut merupakan tanah negara. (lihat Zwart, 1924: 33, Thieme, 1920 dalam Galudra et al., 2005). Beberapa kali Masyarakat Kasepuhan kehilangan hak atas tanah. Sampai pada akhirnya di tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat Dilapangan Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat Kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, yang menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra. Selanjutnya dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengatur pemberian izin kepada penduduk yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh penduduk termaksud. Berdasarkan PP tersebut, maka pada masa ini negara (pemerintah daerah) mengizinkan masyarakat lokal melakukan aktivitas di kawasan Gunung Halimun Salak, dengan mewajibkan masyarakat tersebut memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah. Keputusan pemerintah daerah tersebut menandai adanya kesepakatan antara pemerintah (negara) dengan masyarakat, dimana masyarakat mengakui adanya “right” negara di kawasan tersebut, namun mereka pun memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood, maupun untuk tradisi budaya adat Kasepuhan yang mengelola hutan melalui konsep pengetahuan lokal tentang “wewengkon”.
135
Ketika di tahun 1992, negara melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992, merubah status hutan cagar alam (Gunung Halimun) Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun seluas 40.000 hektar. Di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani dan berstatus sebagai hutan produksi. Pada masa ini, masyarakat masih diizinkan untuk melalukan aktivitas didalam kawasan hutan, mengelola hutan bersama-sama dengan Perum Perhutani, dengan memberikan sebagian hasil panen 15-25% kepada Perum Perhutani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengakui “right” negara, selama mereka memiliki “akses” terhadap hutan, baik untuk kegiatan ekonomi livelihood maupun untuk tradisi budaya dalam pengelolaan kawasan hutan berdasarkan pengetahuan lokal. Pada tahun 2003 negara menerbitkan SK Menteri Kehutanan No.175/KptsII/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas 113.357 Hektar Menjadi Taman Nasional Gunung HalimunSalak. Berdasarkan SK tersebut, semua kawasan Gunung Halimun Salak menjadi taman nasional. Dasar pertimbangan diterbitkannya SK ini adalah kerusakan hutan pada kawasan pengelolaan oleh Perum Perhutani dan masyarakat adat. Sejak saat itu Masyarakat Kasepuhan bukan hanya kehilangan “right”, melainkan juga kehilangan akses. Kondisi ini tentu saja akan menempatkan negara dan masyarakat pada situasi konflik. Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat dalam konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan kepemilikan yang diklaim oleh negara. Ribot dan peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu, dalam hal ini sesuatu tersebut adalah sumberdaya hutan. Namun ketika aksespun tidak ada maka konflik menjadi tidak terelakkan.
136
Sejarah penguasaan kawasan Hutan Sungai Utik berbeda dengan TNGHS. Penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di kawasan Hutan Sungai Utik baru dimulai sejak tahun 1972. Masyarakat Dayak Iban mewarisi kawasan tersebut dari Suku Dayak Embaloh. Tahun 1984, tahun 1997, tahun 2004 menjadi momentum penting dalam sejarah penguasaan kawasan hutan oleh negara. Pada tahun-tahun tersebut terjadi konflik fisik secara terbuka antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha (yang mengantongi izin IUPHHK dari negara) sebagai reaksi masyarakat atas kebijakan negara. Sekalipun masyarakat berhasil mengusir pengusaha dari lokasi, namun konflik tenurial tidak pernah reda. Perjuangan masyarakat untuk mendapatkan “right” tidak pernah berhenti. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sekalipun jangka waktu penguasaan atas tanah dan Hutan Sungai Utik belum lama (sejak tahun 1972), namun sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan. Bahkan keberadaan kebijakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses. Mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Menurut ribot dan peluso (2003), dengan memfokuskan pada kemampuan (ability) dari pada right sebagaimana dalam theory property, formulasi ini membawa perhatian pada berbagai hubungan sosial yang dapat memaksa atau memungkinkan masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa memfokuskan pada hubungan property saja. Artinya sekalipun Masyarakat Dayak Iban tidak memiliki property right (dalam konsep negara) tetapi mereka mempunyai akses terhadap hutan. Akses adalah lebih mirip dengan bundle power (ikatan kekuasaan) ketimbang property yang merupakan suatu ikatan right (bundle of right). Sehingga bagaimanapun juga hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses. Sebagaimana diakui oleh Bromley (1998; 200), McCay dan Acheson (1987), Lynch & Harwell (2006) bahwa hak kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam.
137
5.2.c. Konflik Authority (Konflik Otoritas) Klaim atas penguasaan kawasan memberi otoritas kepada masing-masing aktor untuk mengelola dan memanfaatkan hutan. Keberadaan tumpang-tindih klaim atas kawasan hutan oleh masing-masing aktor menunjukkan adanya otoritas aktor yang saling berhadapan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik otoritas. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masing-masing pihak yang saling berhadapan. Semua pihak mengklaim bahwa sumberdaya hutan tersebut adalah wilayah otoritasnya. Wujud kekuasaan muncul dalam bentuk institusi dan aktor. Melalui institusi inilah kekuasaan aktor bekerja. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Masyarakat mengklaim memiliki otoritas atas kawasan hutan, dimana dengan pengetahuan lokalnya selama turun temurun masyarakat telah hidup bersama hutan. Hutan menjadi ciri penanda dari teritori masyarakat adat. Dengan kata lain hutan adalah bagian dari ciri kekuasaan masyarakat adat atas kawasan tersebut, atau dapat juga dikatakan bahwa hutan menjadi penanda otoritas masyarakat adat atas kawasan tersebut. Ketika negara menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan negara melalui kebijakan konservasi ataupun kebijakan IUPHHK, sebenarnya negara sedang menandai kawasan tersebut sebagai wilayah teritorinya. Dengan kata lain menandai adanya otoritas negara yang bekerja pada kawasan tersebut. Otoritas negara atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan ditandai dengan adanya kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara, berupa kebijakan negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Ketika ada dua otoritas yang bekerja pada satu kawasan, maka konflik pun menjadi tidak terhindarkan. Konflik terjadi karena adanya perebutan otoritas antara pihak negara selaku pemilik formal otoritas atas sumberdaya hutan dengan masyarakat adat. Otoritas negara diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan otoritas masyarakat diperoleh berdasarkan tradisi budaya dan historis yang diwariskan secara turun temurun. Pada kasus Hutan Sungai Utik, aktor negara dengan otoritas yang formal yang dimilikinya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada pengusaha,
138
sehingga pada kasus Sungai Utik konflik otoritas tersebut berada pada dua level, yaitu level grassroot menghadapkan masyarakat dan pengusaha, sedangkan pada level kebijakan menghadirkan pertentangan otoritas antara masyarakat dan negara. Negara dalam arti pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) yang mengeluarkan IUPHHK, dan pemerintah daerah (Kabupaten Kapuas Hulu) yang mengeluarkan IUP. Semakin tajam konflik sumberdaya alam (hutan) maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat yang mengendalikan subordinat. Menurut Dahrendorf
bahwa
dalam suatu sistem
sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak superordinat dan subordinat. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian wewenang dan otoritas yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan otoritas di antara kelompok yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Dengan demikian konflik terjadi karena adanya pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam kasus TNGHS, jelas terlihat hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok konflik yaitu Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi dan BTNGHS sebagai pihak yang superordinat. Sebagai pihak yang subordinat, Masyarakat Kasepuhan melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, kesadaran akan adanya masalah dan musuh bersama membuat Masyarakat Dayak Iban sangat solid untuk berjuang mempertahankan otoritasnya, perjuangan yang terus menerus ini melahirkan formasi baru dimana Masyarakat Dayak
Iban
Sungai
Utik
selaku
pihak
yang
tersubordinasi
mampu
mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik.
139
Matrik 4. Analisis Perbandingan Otoritas Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (SDH) di TNGHS dan Hutan Sungai Utik No 1 2
3
4
Indikator Otoritas tertinggi Kewenangan dalam SDH/ SDA
Kasepuhan Abah
Abah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan Basis Adat melalui wangsit yang legitimasi dikukuhkan oleh kekuasaan musyawarah adat yang diwakili oleh setiap kolot lembur (perwakilan kampung). Potensi Konflik memungkinkan konflik terjadi didalam Kasepuhan otoritas yang itu sendiri, karena adanya terjadi strata dalam kelembagaan Kasepuhan. Konflik antara Kasepuhan yang satu dengan Kasepuhan yang lain dalam angka perebutan pengaruh di kalangan warganya. Konflik dengan negara dimana kelembagaan negara telah menegasikan hak akses Masyarakat Kasepuhan atas kelola hutan adat mereka yang berubah menjadi taman nasional
Dayak Iban Sungai Utik Tuai Rumah dan musyawarah adat Tuai Rumah mengatur tata cara bagaimana memperlakukan hutan dan sumberdaya alam lainnya; memimpin upacara untuk meminta izin kepada roh nenek moyang ketika ada warga yang akan memasuki hutan atau mengambil manfaat atas hutan; memiliki kewenangan dalam menentukan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan
Adat melalui sejarah pertama kali yang menancapkan tiang di rumah panjae atau kepemilikan tanah yang paling banyak selanjutnya otomatis diwariskan kepada keturunannya. Konflik memungkinkan terjadi di dalam rumah panjae, manakala ada persaingan antara tuai rumah dan kepala desa dalam rangka perebutan pengaruh atas warganya. Konflik dengan sesama Masyarakat Dayak Iban di dusun lain juga terjadi akibat perbedaan pandangan dalam memperlakukan sumberdaya hutan/ alam lainnya. Konflik dengan negara terjadi karena pengakuan negara atas hutan adat mereka sebagai hutan negara yang dilegitimsi dengan keluarnya izin IUPHHK dari pemerintah pusat dan IUP dari pemerintah daerah
Berdasarkan matrik di atas, diketahui bahwa otoritas tertinggi pada Masyarakat Kasepuhan berada pada tangan “abah” (kepala suku Masyarakat Kasepuhan). Kedudukan abah lebih tinggi dari kedudukan masyarakat biasa. Hal inilah yang membuat abah memiliki otoritas dominan dibandingkan anggota masyarakat lainnya. Basis legitimasi otoritas adat Masyarakat Kasepuhan adalah wangsit melalui abah yang dikukuhkan dengan musyawarah adat. Adapun pada
140
Masyarakat Dayak Iban, otoritas tertinggi ada pada “tuai rumah” dan musyawarah adat. Artinya kedudukan tuai rumah setingkat dengan masyarakat lainnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh tuai rumah didasarkan atas musyawarah adat. Basis legitimasi Masyarakat Dayak Iban adalah sejarah pertama kali penancapan tiang atau kepemilikan tanah. Otoritas masyarakat adat dalam penguasaan sumberdaya hutan tersebut menjadi potensi konflik, baik konflik antara masyarakat adat dengan negara, maupun konflik didalam kelembagaan adat tersebut. Selanjutnya bukti adanya otoritas Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dapat dibedakan berdasarkan nilai-nilai budaya, boundary, rules, dan territory. Matrik 5. Perbedaan Otoritas Antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Nilai-nilai budaya
Boundary Rules
TNGHS Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Tidak ada batas yang jelas mengenai wilayah kekuasaan Sanksi hukum lebih banyak berupa sanksi hukum yang abstrak berupa kualat dan kabendon (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara, maka yang digunakan adalah sanksi hukum negara.
Territori (klaim Klaim atas wilayah pada atas wilayah) Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu kuat, belum ada kesepakan yang jelas antara masing-masing Kasepuhan maupun dengan taman nasional.
Sungai Utik Ada penetapan nilai nilai dan hukum adat yang ketat yang diberlakukan bagi warga hukum adatnya maupun pada masyarakat lain. Ada batas yang jelas yang membedakan kawasan kekuasaan hukum dan nilai-nilai adat Sanksi hukum memiliki dua tipe. Pertama sanksi hukum adat yang nyata yang dibukukan dalam sebuah buku peraturan hukum adat dan sanksi abstrak “tulah” (sanksi gaib dari roh nenek moyang); Ketika berhadapan dengan hukum negara pun, masyarakat lebih mendahulukan hukum adat. Klaim atas wilayah (batas wilayah) sangat jelas disepakati berdasarkan masing-masing subsuku yang saling berbatasan, sudah memiliki peta partisipatif walaupun belum diregistrasi oleh negara.
Dengan membanding dua lokasi TNGHS dan Hutan Sungai Utik, diketahui bahwa otoritas masyarakat adat Kasepuhan tidak terlalu kuat dibandingkan dengan otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Kuatnya otoritas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tersebut ditunjang oleh adanya territori yang jelas dan disepakati oleh masing-masing suku yang saling berbatasan.
141
5.2.d. Konflik Livelihood Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi, negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut. Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian, pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan, sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan (kawasan hutan yang kayunya boleh diambil), ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil. Dalam kasus TNGHS, negara (BTNGHS) memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai hutan konservasi (taman nasional). Kepentingan negara terhadap hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 33 bahwa (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi,
142
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan bahwa (1) pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah; (2) di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; (3) untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka. Konsep hutan menurut taman nasional (negara) jelas berbeda dengan konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona pemanfaaan (leuweung garapan) memperkenankan adanya kegiatan ekonomi livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. “leuweung hejo masyarakat ngejo” adalah simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara (Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha (PT BRW yang mengantongi IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP) dan Masyarakat Dayak Iban
143
Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya. Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan (livelihood)-nya terhadap hutan. Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep hutan produksi. Dalam konteks ini, negara (Departemen Kehutanan) memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara
144
untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto (NTB) yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto (PDB). Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer. Berdasarkan data BPS (2012), bahwa jika dilihat dari data PDB tahun 20002011, PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97% (persen) setiap tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 51.638,1 milyar rupiah, namun jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu 7.427.086,1 milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB hanya 0,70%, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:
145
Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011 Produk Domestik Bruto (PDB)/ Gross Domestic Product (Miliar Rupiah/ Billion Rupiahs) No Kehutanan/ Total PDB/ GDP Forestry Total 1 2 3 4 1 2000 16.343,0 1.389.769,9 2 2001 16.962,1 1.646.322,0 3 2002 17.602,4 1.821.833,0 4 2003 18.414,6 2.013.674,6 5 2004 20.290,0 2.295.826,2 6 2005 22.561,8 2.774.281,1 7 2006 30.065,7 3.339.216,8 8 2007 36.154,1 3.950.893,2 9 2008 40.375,1 4.951.356,7 10 2009 44.952,1 5.613.441,7 11 2010 48.050,5 6.422.918,2 12 2011 51.638,1 7.427.086,1 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012. Tahun/ Year
Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap PDB Contribution of Forestry Sub Sector To GDP (%) 5 1,18 1,03 0,97 0,91 0,88 0,81 0,90 0,92 0,82 0,80 0,75 0,70
Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah IUPHHK-HA (Hutan Alam) sebanyak 299 unit dengan luasan 25.384.650 ha; jumlah IUPHHK-HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 211 unit dengan luasan 8.441.976 ha; dan jumlah IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) sebanyak 9 unit dengan luas 21.157,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. (Departemen Kehutanan, 2009). Salah satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan (pemerintaah pusat) untuk dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk dijadikan kawasan IUP.
146
Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua, tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik, konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan
147
melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan Sungai Utik sebagai berikut: Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di TNGHS dan Sungai Utik TNGHS BTNGHS
Aktor Kepentingan
Kelestarian hutan (konservasi)
Masyarakat Kasepuhan Kelestarian hutan dan basis livelihood
Hutan Sungai Utik Menteri Masyarakat Kehutanan Dayak Iban Potensi Kelestarian ekonomi hutan dan nasional yang basis bernilai ekspor livelihood (ekonomi kapitalis)
Pengusaha Keuntungan ekonomi (ekonomi kapitalis)
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng“exclude” masyarakat adat dari tanah/ kawasan/ hutan yang selama ini diklaimnya. Bila melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu menegasikan kelembagaan masyarakat adat. 5.3. Kedalaman Konflik (Kebrutalan Konflik) Konflik antara negara dan masyarakat di TNGHS dan Hutan Sungai Utik mempunyai banyak bentuk, mulai dari konflik laten sampai konflik terbuka. Konflik mencapai puncaknya (kedalaman konflik) pada saat terjadinya konflik terbuka. Kedalaman konflik di TNGHS dengan di Hutan Sungai Utik berbeda.
148
Matrik 7. Kedalaman Konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik Derajat kedalaman Puncak konflik
TNGHS
Sungai Utik
Lempar isu Bersitegang Memenjarakan Pencabutan kualat Tahun 2003 terjadi pengrusakan fasilitas TNGHS Tahun 2005 negara memenjarakan masyarakat yang menebang kayu di lahan garapannya sendiri
Lempar isu; pengrusakan alat-alat milik perusahaan Pengusiran perusahaan dari lokasi kawasan hutan Pemberlakuan hukum adat, mendenda Menteri Kehutanan Tahun 1984 konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BI, terjadi pengusiran dan penyitaan alat berat milik PT. BI oleh masyarakat Tahun 1997, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRU. Pengusiran dan penyitaan alat berat dari lokasi termsuk menghukum denda PT. BRU oleh masyarakat adat. Tahun 2004, konflik Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW. Pengusiran PT. BRW Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik menghukum adat Menteri Kehutanan, mensandera asisten Menteri Kehutanan dan menghukum denda. Hukum adat dibatalkan ketika Menteri Kehutanan memenuhi janjinya untuk datang ke rumah panjae Sungai Utik.
Pada kasus TNGHS, kedalaman konflik terjadi di tahun 2003, pertama kalinya masyarakat bereaksi atas pelarangan aktivitas karena diberlakukannya “konsep taman nasional”. Protes masyarakat terhadap BTNGHS ini sampai pada pengrusakan fasilitas taman nasional. Selanjutnya konflik mencapai puncaknya ketika ada 5 (lima) orang Masyarakat Kasepuhan yang dipenjara. Hal tersebut terjadi ketika masyarakat tersebut mengambil kayu di lahan garapannya sendiri yang kebetulan kawasan tersebut masuk kedalam kawasan taman nasional. Masyarakat menganggap bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu hasil tanaman yang ditanamnya sendiri di lahan kebun garapan miliknya. Namun karena lahan garapan tersebut berada pada kawasan taman nasional, maka ketika masyarakat mengambil hasil hutan kayu, maka dianggap sebagai pelanggaran ketentuan/ pencurian kayu, dan harus berurusan dengan ranah hukum. Dalam keadaan seperti ini, konflik mencapai ketegangannya dimana masyarakat adat tidak dapat menerima kalau warganya dihukum. Dalam kasus Sungai Utik, kedalaman konflik ditunjukkan oleh beberapa kejadian, antara lain: 1.
Tahun 1984, ketika negara (Menteri Kehutanan) mengeluarkan IUPHHK untuk PT BI, masyarakat melawan dan mengusir PT. BI dari lokasi.
149
2.
Tahun 1997, ketika PT. BRU yang telah habis masa rencana kerja tahunan (RKT) masih melakukan pencurian kayu di wilayah Sungai Utik dan di luar areal RKT. Masyarakat dari Kampung Sungai Utik dan Mungguk melakukan tuntutan ganti kerugian. Konflik mereda setelah perusahaan memenuhi tuntutan ganti rugi masyarakat dan pergi dari lokasi.
3.
Tahun 2004, konflik terjadi lagi ketika pemerintah pusat menerbitkan IUPHHK untuk PT. BRW. Masyarakat mengusir PT. BRW dari lokasi. Sejak kebijakan tersebut dikeluarkan, PT. BRW belum pernah beroperasi.
4.
Konflik antara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan PT. BRW terjadi kembali pada saat ada korban kecelakaan di lokasi IUPHHK Dusun Ungak yang menimpa warga Sungai Utik. Di Dusun Ungak, PT. BRW pernah beroperasi selama dua tahun, sampai ada suatu kejadian, ibunya Mbak Lidia (orang Sungai Utik) berjualan sayuran di lokasi tempat PT BRW beroperasi, tiba-tiba kereta pengangkut kayu gelondongan tersebut terlepas, sehingga kayu kayu tersebut menimpa ibunya Mbak Lidia dan menyebabkan kematian. Masyarakat Sungai Utik menjadi marah terhadap PT. BRW dan bersamasama Masyarakat Dusun Ungak mengusir PT. BRW dari lokasi proyek Dusun Ungak. Sejak saat itu, proyek tersebut kemudian diambil alih oleh Masyarakat Dusun Ungak.
5.
Konflik dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kehutanan kembali mencuat ketika Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik meminta Menteri Kehutanan datang ke lokasi rumah panjae Sungai Utik. Seperti yang dikisahkan oleh Pak RM Kepala Desa Batu Lintang bahwa:
“Masyarakat Sungai Utik pernah menahan dan menjatuhkan denda sebesar Rp. 1, 2 juta kepada Ajudan Menteri Kehutanan yang mengabarkan bahwa menteri tidak bisa datang. Setelah denda dibayar, Ajudan tersebut pun dilepaskan diperbolehkan pulang tetapi dengan membawa pesan bahwa Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban dikenakan sanksi Adat bahwa jika Beliau tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik, maka Menteri Kehutanan harus membayar denda Rp. 1 Milyar kepada Masyarakat Sungai Utik. Namun denda tersebut tidak pernah dilakukan karena Bapak MS Kaban akhirnya di tahun 2010 datang ke Sungai Utik.”
Cerita tersebut juga dilengkapi oleh Kakek Cb bahwa di awal tahun 2010 tersebut, dia dan dua orang warga Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik lainnya dengan diantar oleh AMAN datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan. Pada
150
saat itu Kakek Cb mengatakan kepada Pak Kaban, seperti yang diceritakannya, sebagai berikut: “Bapak, kami menunggu Bapak, kami rakyat Sungai Utik akan tetap menjaga hutan kami dan kami menginginkan penjelasan langsung dari Bapak, bagaimana hutan tersebut harus dijaga. Jika Bapak tidak datang ke rumah panjae Sungai Utik sesuai janji Bapak, maka kami terpaksa akan menjatuhkan sanksi hukum Adat dengan mendenda Bapak Rp. 1 milyar. Begitu yang saya katakan pada Menteri Kehutanan saat itu, dan pada waktu itu Pak Kaban bilang bahwa dia memang sudah berjanji untuk datang ke Sungai Utik. Pada tahun 2009 sebetulnya Beliau sudah berangkat ke Sungai Utik namun pesawat yang mengantar Beliau tidak bisa menemukan lokasi Sungai Utik. Setelah setengah jam berputar putar di udara akhirnya pesawat tersebut kembali lagi ke Pontianak, disamping karena cuaca saat itu tidak memungkinkan mendarat di Putussibau. Tapi saya berjanji jika sudah tidak sibuk dengan berbagai pekerjaan, akan mengunjungi rumah panjae Sungai Utik. Janji itu sudah Beliau tepati. Beliau sudah datang ke Sungai Utik walaupun kedatangannya tidak juga memberikan titik terang kejelasan mengenai pencabutan izin IUPHHK yang dimiliki oleh PT. BRW”.
Fakta di atas menunjukkan konflik di Hutan Sungai Utik lebih banyak momen yang menunjukkan kebrutalan konflik, dimana perlawanan masyarakat adat sampai pada destruction and bloodshed. Hal tersebut berbeda dengan kasus TNGHS, konflik mencapai puncaknya ketika negara memenjarakan Masyarakat Kasepuhan yang mengambil kayu di kawasan hutan. Sebenarnya ada kasus lain yang terjadi di Kasepuhan, yaitu ada beberapa orang warga mengambil kayu di hutan, namun dalam kasus ini Kasepuhan tidak terlalu ikut campur karena hasil evaluasi adat, kayu-kayu tersebut diambil dikawasan yang dilarang adat dan ukuran kayu melebihi ketentuan adat. Kayu tersebut diidentifikasi sebagai kayu yang akan dijual. Oleh karena itu Kasepuhan tidak turut campur dalam kasus yang satu ini, dan membiarkan warganya dipenjara. Perbedaan sikap dari masingmasing masyarakat tersebut tidak lepas dari pengaruh kosmologi masyarakatnya, serta sejarah penguasaan lahan pada kawasan tersebut.
5.4. Dampak Konflik Konflik sumberdaya hutan memberi dampak
kepada masyarakat adat
terjadinya perubahan kelembagaan adat dan peningkatan ability masyarakat adat dalam beradaptasi dengan konflik. Konflik yang menyebabkan terjadinya perubahan sejalan dengan konflik otoritas Dahrendorf, adapun konflik yang
151
menyebabkan terjadinya peningkatan adaptasi measyarakat sejalan dengan teori konflik Lewis Coser. Menurut proposisi Dahrendorf (dalam Turner, 1998), bahwa semakin intens konflik, semakin besar tingkat perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Semakin brutal konflik, semakin tinggi kecepatan perubahan struktural dan reorganisasi yang terjadi. Berdasarkan proposisi Dahrendorf tersebut, dapat dikatakan bahwa konflik mendorong pada terjadinya perubahan kelembagaan. Hanya saja jika merujuk pada proposisi Dahrendorf mestinya perubahan besar terjadi pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun faktanya justru Masyarakat Kasepuhanlah yang menunjukkan fenomena perubahan struktural dan kelembagaan. Salah satu bentuk perubahan yang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik adalah perubahan struktural dan perubahan kelembagaan (lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab 6). Salah satu bentuk perubahan yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah meningkatnya kemampuan beradaptasi dengan situasi yang baru akibat terjadinya konflik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lewis Coser (dalam Kinseng, 2013) bahwa semakin suatu itu konflik mendorong peningkatan inovasi dan kreativitas unit-unit suatu sistem sosial, pelepasan permusuhan sebelum ia mempolarisasi unit-unit suatu sistem sosial, mendorong tumbuhnya aturan normatif hubungan konflik, peningkatan kesadaran akan isu-isu realistik, dan peningkatan jumlah koalisi asosiatif antara unit-unit sosial, maka semakin besar tingkat integrasi sosial internal sistem secara keseluruhan dan semakin besar kapasitasnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ekternal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau konflik kecil kecil dibiarkan akan meningkatkan kemampuan adaptasi. Dengan kata lain bahwa konflik membuat kemampan resiliensi masyarakat meningkat dan variasi karena mereka menjadi terbiasa. Dampak konflik terhadap peningkatan resiliensi masyarakat tersebut terjadi pada Masyarakat Kasepuhan dalam konflik di TNGHS dan pada Masyarakat Dayak Iban dalam konflik di Hutan Sungai Utik. Berdasarkan fenomena yang ditunjukkan oleh Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, maka dapat dikatakan bahwa salah satu dampak konflik ditingkat kelompok adalah resiliensi (kelentingan). Konflik
152
menyebabkan masyarakat adat memiliki kelentingan. Apabila kelentingan (resiliensi) didefinisikan sebagai the ability of people to recover quickly from shock, injury etc. Her natural resilience helped her to overcome the crisis (kamus oxford), maka dapat dikatakan bahwa baik Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban memiliki kelentingan (resiliensi). Dalam
kasus
TNGHS,
ketika
kelembagaan
negara
mendominasi
kelembagaan lokal melalui kebijakan negara tentang perluasan taman nasional dan melumpuhkan kelembagaan adat, kondisi tersebut telah memaksa kelembagaan adat berubah. Disatu sisi kelembagaan adat menjadi tidak memiliki ability untuk mengambil manfaat atas hutan karena tidak adanya akses, namun terjadi peningkatan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan keadaan baru akibat terjadinya konflik dengan BTNGHS. Kemampuan tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai kelentingan. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan dengan cara menghindari konflik terbuka, secara sembunyi-sembunyi mereka tetap menggarap kawasan leuweung garapan sambil tetap memperjuangkan untuk memperoleh hak akses terhadap hutan; kemampuan konsolidasi dengan cara menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk “Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul” (SABAKI), kemampuan mengulur waktu dengan cara bernegosiasi, mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi, dan kemampuan memeluk pihak lain dengan cara mengembangkan web of powernya dengan merangkul bukan hanya dengan LSM tetapi dengan pemerintah daerah. Ketika akses terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas, dan tuntutan perubahan dari masyarakatnya meningkat, Masyarakat Kasepuhan mulai mengembangkan ability lain yang dapat memberi akses pada Kasepuhan di ruang politik lokal, melalui afiliasi yang dibangunnya dengan pemerintah daerah atau elit-elit politik nasional. Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik menyebabkan terjadinya
perubahan
dan perubahan
tersebut
merupakan bukti
bahwa
kelembagaan Kasepuhan mempunyai kelentingan (resiliensi) dengan cara mengembangkan web of power yang sasarannya adalah otoritas politik di tingkat lokal.
153
Pada Masyarakat Dayak Iban berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan. Mereka tidak menghindari serangan melainkan melawan, dengan cara mengusir pengusaha dari kawasan, menyita alat-alat beratnya dan tetap bertahan mempertahankan kawasan tersebut. Masyarakat Dayak Iban dalam perjuangannya melawan negara juga mengembangkan abilitynya untuk melakukan konsolidasi ke dalam diantara warga Masyarakat Dayak Iban dan konsolidasi dengan Masyarakat Dayak Iban lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Mereka mengembangkan web of power mereka dengan menjalin kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). 5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus TNGHS,
pemerintah
daerah
membantu
Masyarakat
Kasepuhan
untuk
menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK untuk PT. BRW. Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung, pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional. 154
Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT. RU untuk usaha perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat Dayak Iban. Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan (selanjutnya disebut UU otonomi daerah) Pasal 10 menyebutkan bahwa (1) pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
155
oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud disebutkan dalam Aayat (3) yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa. Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang
yaitu politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah provinsi (Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004) dan pemerintah daerah kabupaten/ kota (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU otonomi daerah tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya. Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga...dan seterusnya”. Selanjutnya dalam Huruf G tentang Pembangunan
156
Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ........mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi
dan
budaya
masyarakat
lokal,
serta
penataan
ruang
yang
pengusahaannya diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut, semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara (pemerintah pusat). Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidakpastian hukum
yang mengatur pengelolaan sumberdaya
alam
(hutan).
Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat. Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi
157
daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam yang melibatkan negara dan masyarakat adat Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II, Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah, termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak diatur dalam PP tersebut. Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka penyelenggaraan
158
kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (2) pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah. Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam (SDA)
untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada
hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan (policy maker) menjadi lebih dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembuatan kebijakan”. Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) tidak sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka.
159
5.6. Peran LSM Dalam Konflik Sumberdaya Hutan Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik bukan hanya melibatkan masyarakat adat dan negara yang saling berhadapan, tetapi juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berusaha membantu kedua belah pihak untuk dapat menyelesaikan konflik. Pada kasus TNGHS, LSM-LSM tersebut ada yang mendukung program BTNGHS, ada juga yang mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh hak akses kelola hutan. Salah satu LSM yang mendukung program negara (BTNGHS) adalah JICA. JICA berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di dalam kawasan. Adapun LSM-LSM yang pernah datang dan mendukung perjuangan Masyarakat Kasepuhan adalah SABAKI, SKEPI, PERAN, PUSAKA, LATIN, RMI, AMAN, RESPEK. Namun yang secara kontinyu dan terus menerus melakukan pendampingan terhadap masayarakat adalah LSM SABAKI dan AMAN. LSM SABAKI merupakan organisasi paguyuban masyarakat adat Banten Kidul dimana seluruh Kasepuhan menjadi anggotanya. Melalui SABAKI inilah Masyarakat Kasepuhan bekerjasama dengan pemerintah daerah, bukan hanya Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga Pemerintah Kabupaten Lebak untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia terkait usulan revisi SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tentang Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Adapun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) adalah organisasi yang memayungi masyarakat adat di seluruh nusantara. Masyarakat Kasepuhan selalu dilibatkan dalam kongres AMAN. Abah Asep turut hadir di beberapa kongres AMAN, antara lain tahun 2007 mengikuti rapat kerja (raker) AMAN di Sasana Langgeng Budaya TMII, tahun 2009 bulan Agustus abah juga hadir dalam kongres AMAN di Halmahera. Networking Masyarakat Kasepuhan dengan AMAN terbentuk karena kesamaan ideologi (pembelaan terhadap masyarakat adat) dan kesamaan nasib sesama “masyarakat adat” yang umumnya memiliki
160
masalah yang sama terkait dengan konflik tenurial dengan negara. Keberadaan LSM AMAN bukan hanya membantu perjuangan masyarakat pada level kebijakan di tingkat pusat tapi juga berusaha menyelesaikan masalah di tingkat grassroot.
LSM juga pernah membantu Masyarakat Kasepuhan dalam
membuatkan naskah akademik mengenai “pengelolaan hutan oleh masyarakat adat”. Bantuan tersebut berasal dari LSM PUSAKA dan PERAN. Konsep naskah akademik tersebut sudah disampaikan kepada Bupati Kabupaten Sukabumi dan anggota DPR, namun belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Dalam kasus Hutan Sungai Utik, keberadaan LSM mendukung perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mendapatkan pengakuan hak atas hutan adat mereka. Perjuangan Masyarakat Sungai Utik lebih banyak disuarakan oleh para LSM yang mengaku mewakili dan atas nama masyarakat. LSM-LSM yang berkiprah di Sungai Utik antara lain AMAN dan LSM-LSM yang berada dibawah Yayasan Pancur Kasih. Beberapa perjuangan yang dilakukan melalui LSM AMAN antara lain konsolidasi dan penguatan masyarakat adat, pemetaan partisipatif di wilayah kelola masyarakat adat, memperkuat organisasi masyarakat adat, termasuk kelembagaan adat, mendorong perubahan paradigma kebijakan-kebijakan yang belum berpihak kepada masyarakat adat, mendorong lahirnya UUPPHMA (undang undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat). Beberapa pendekatan multi pihak yang dijalankan oleh AMAN dengan melakukan MoU dengan negara, antara lain MoU AMAN-Kementerian Lingkungan Hidup, AMAN-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), AMAN-Badan Pertanahan Nasional (BPN). MoU AMAN dan BPN meliputi beberapa hal: pertukaran informasi dan pengetahuan di kalangan badan pertanahan nasional dan aliansi masyarakat adat nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas masing-masing; memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundangundangan nkri; identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya; merumuskan
161
mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan di wilayah masyarakat adat; pengembangan model-model reforma agraria di wilayah adat (sumber: AMAN, 2012). Adapun LSM-LSM yang berkiprah di dusun Sungai Utik yang berada dalam satu wadah “Yayasan Pancur Kasih” membina Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dari berbagai aspek termasuk ekonomi dengan didirikannya cu pancur kasih yang kemudian berubah menjadi CU Keling Kumang setelah mengalami merger dengan yayasan lain. Salah satu peran penting lainnya yang dilakukan oleh LSM PPSDAK dalam mendampingi masyarakat tersebut adalah dengan melakukan pemetaan tata batas wilayah Sungai Utik, yaitu pemetaan partisipatif tahun 1998. Peta ini menjadi modal bagi masyarakat adat dalam klaim atas wilayah adatnya. Namun peta yang dibuat oleh masyarakat dan LSM tersebut belum diregistrasi, sehingga tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah maupun pemerintah daerah mengenai klaim wilayah yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, melalui LSM-LSM dibawah yayasan tersebut (LBBT), masyarakat juga mendapat pendidikan dan penyadaran hukum. Sekarang ini, beberapa LSM mulai melakukan pembinaan bagaimana mereka dapat mengelola hutan, memanfaatkan hutan menjadi bernilai ekonomi dengan cara pemberian pengetahuan tentang permebelan, yaitu mengolah kayu yang selama ini dibakar di hutan garapan masyarakat untuk dimanfaatkan menjadi barang-barang mebeler. Namun pembinaan tersebut belum berjalan lancar. Pembinaan yang sedang berjalan adalah yang dilakukan oleh cu keling kumang yaitu menampung kerajinan masyarakat dari rotan baik berupa tikar maupun tembikar dan alat-alat pertanian lainnya yang menggunakan rotan. Rencananya kerajinan tersebut akan dijual ke luar negeri oleh cu keling kumang. Selain bantuan LSM dalam bentuk peningkatan kapasitas Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, bantuan LSM juga berada pada ranah konflik wacana untuk memperjuangkan hak kelola adat. Perjuangan ini dilakukan melalui arena seminar-seminar. Contoh kasus pada seminar dan lokakarya yang difasilitasi oleh LSM Lanting Borneo, dengan tema “Mendorong pendekatan multi pihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang menjamin wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi” yang diselenggarakan
162
di Deo Soli Kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu, pada tanggal 25-26 Mei 2012. Hasil yang diharapkan dari seminar tersebut adalah: adanya kesepahaman dan komitmen bersama guna membangun pendekatan multi pihak dalam pengelolaan hutan yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat, serta mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu; dan terbentuknya forum multipihak yang menjadi wahana bagi para pemangku kepentingan untuk
membangun kerangka kerjasama dalam
pengelolaan
sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip pembangunan rendah emisi di Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam seminar tersebut, pembicaranya adalah dari pihak cendekiawan dan negara, adapun masyarakat adat hanya sebagai peserta. Kalaupun ada masyarakat adat yang berbicara (contoh Pak Kanyan) hanya satu orang dari 11 pembicara, namun walaupun satu orang tetapi web of powernya adalah LSM (AMAN dan LSM yang berada dalam pembinaan Pancur Kasih serta LSM internasional). Dukungan LSM nasional dan internasional ini memberikan pengaruh pada pergeseran pengetahuan lokal Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. LSM-LSM tersebut mencoba memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai pengetahuan tentang hutan. Masyarakat digiring oleh LSM pada pemahaman tentang perdagangan karbon, redd maupun demontrative activity (DA). Ada pengalihan wacana dari pertarungan untuk mendapatkan “property right” bergeser ke arah manfaat global bagi semua pihak, masyarakat, negara maupun dunia. Selanjutnya, pencapaian penting dari bantuan LSM terhadap Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik adalah memfasilitasi masyarakat adat untuk memperoleh sertifikat ekolabeling, yaitu penghargaan dari lembaga ekolabel Indonesia dengan Nomor Certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk pengelolaan hutan oleh rumah panjae menua Sungai Utik (forest management unit of rumah panjae menua Sungai Utik), dalam lingkup “sustainable community based forest management (SCBFM) unit with an area of 9.453,40 hectares”. Melalui sertifikat ini memungkinkan LEI untuk melakukan uji lapangan dan memperbaharui standar pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat. Sertifikasi tersebut meliputi 9.453,40
ha. Sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk
mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai kawasan hutan lestari. Dengan
163
adanya sertifikat tersebut, setidaknya untuk sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merasa lega, namun kecemasan tetap ada. Sekalipun adanya Instruksi Presiden
No.10/2011
tentang
Penundaan
Pemberian
Izin
Baru
Dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, atau yang lebih dikenal dengan nama “Inpres Moratorium”, yang mengintruksikan penundaan izin baru, namun ada pengecualiaan bagi izin yang sedang berjalan. Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer
Dan
Lahan
Gambut,
disebutkan
bahwa
dalam
rangka
menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan
emisi
dari
deforestasi
dan
degradasi
hutan,
dengan
ini
menginstruksikan: kepada : 1. Menteri Kehutanan; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Menteri Lingkungan Hidup; 4. Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Dan Pengendalian Pembangunan; 5. Kepala Badan Pertanahan Nasional; 6. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 7. Ketua Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan Nasional; 8. Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan Redd+ Atau Ketua Lembaga Yang Dibentuk Untuk Melaksanakan Tugas Khusus Dibidang Redd+; 9. Para Gubernur; 10. Para Bupati/Walikota untuk: 1. Pertama: mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam peta indikatif penundaan izin baru yang menjadi lampiran instruksi presiden. 2. Kedua: penundaan pemberian izin baru sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian diberikan kepada: a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan;
164
b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c. Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan d. Restorasi ekosistem. 3. Ketiga : khusus kepada: 1. Menteri Kehutanan, untuk: a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan peta indikatif penundaan izin baru. b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. Inpres
tersebut
memberikan
pengecualian
bagi
perpanjangan
izin
pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku. Hal ini memberi makna bahwa IUPHHK PT. BRW masih tetap berlaku sampai jangka waktu izin tersebut habis. 5.7. Proses Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan Dengan mengambil teladan kasus dari Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dapat dijelaskan bahwa konflik sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat adat dan negara termasuk perusahaan didalamnya, merupakan konflik pemaknaan, tenurial, otoritas dan konflik livelihood. Adapun isu sentralnya adalah adanya perbedaan pemaknaan dan tumpang tindih klaim atas hak penguasaan sumberdaya hutan. Adapun karakteristik konflik dikedua lokasi dapat digambarkan, sebagai berikut:
165
Matrik 8. Karakteristik Konflik di Sungai Utik dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Penyebab
Proses rekonsiliasi
Bentuk konflik
Taman Nasional Gunung Halimun Salak Masyarakat Negara Sistem nilai, Status tanah Status wilayah masyarakat, Ketidak jelasan tata batas Pembatasan akses Aliansi MoU Regulasi lokal Lokakarya Pemetaan wilayah Program adat kampung konservasi Ecotourism Transmigrasi Laten- manifest; aliansi; konfrontasi
Hutan Sungai Utik
Masyarakat Sistem nilai, Status wilayah masyarakat Ketidak pastian
Negara Status tanah
Aliansi Regulasi lokal Pendokumentasian hukum adat Pemetaan wilayah adat
Menghentikan kegiatan Membiarkan konflik mengambang
Sebetulnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah diatur adanya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pada Bab X tentang
Peran Serta Masyarakat, Pasal 68 menyebutkan bahwa: “(1)
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), masyarakat dapat: a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan, bahkan jika ada kelembagaan baru yang diterbitkan oleh negara atas hutan tersebut dimana
166
masyarakat ada di dalam dan di sekitar hutan tersebut, maka masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, maupun berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya kemudian berkenaan dengan hak milik atas tanah. Semua masyarakat adat di Indonesia hidup atas keberadaan lingkungan alam disekitaranya termasuk hutan dan mereka tidak memiliki surat apapun yang menerangkan kepemilikan mereka atas tanah dan hutan yang selama ini dijaganya. Selama undang-undang dan peraturan pemerintah mensyaratkan keberadaan kepemilikan atas tanah untuk membenarkan masyarakat adat memperoleh hak akses untuk pemanfaatan hutan, maka selama itu pula konflik sumberdaya hutan tidak akan pernah diselesaikan. Idealnya adalah baik negara maupun masyarakat dapat menjalankan fungsi dan peran sertanya masing-masing sesuai apa yang diamanatkan oleh Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa; “masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, sementara pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyelesaian konflik sumberdaya alam tidaklah mudah, karena harus dapat menyelesaikan berbagai penyebab konflik dan mempertemukan kepentingan, penyelesaian tenurial maupun redistribusi otoritas.
167
Matrik 9. Resolusi Konflik Pada Kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik Kondisi terkini
Upaya konsensus
Unsur kekuatan/ kelemahan
TNGHS Wilayah TNGHS diakui sebagai wilayah taman nasional, masyarakat masih diperbolehkan menggarap lahan garapannya selama tidak menambah lokasi baru, menanam pohon kayu dan tidak boleh memotong pohon kayu sekalipun berada di lahan garapannya. Ada upaya konsensus yang dilakukan melalui pertemuanpertemuan, kesepakatankesepakatan, pembuatan peta tata batas bersama masyarakat, pelaksanaan program bersama “program kampung konservasi” Tidak memiliki peta wilayah adat Hukum adat bersifat lisan dan bertumpu pada peran abah Dalam proses kesepakatan (MoU belum tuntas) Memiliki dukungan dari pemerintah daerah Mendapat dukungan dari LSM
Sungai Utik Wilayah ini masih berstatus hutan produksi (diatas kertas) namun tidak aktif. Secara nyata masih menjadi wilayah kelola adat Dayak Iban Sungai Utik dan dijalankan berdasarkan aturan adat. Masyarakat masih menggarap lahan pada miliknya dan boleh berpindah tempat (pertanian bergulir) dalam wilayah kuasa adat selama ada izin dari tuai rumah selaku ketua adat Ada upaya perjuangan untuk pencabutan izin IUPHHK dan IUP dan diterbitkannya keputusan bahwa hutan tersebut sebagai hutan kelola adat melalui mediasi yang dilakukan oleh LSM, namun Masyarakat Dayak Iban sendiri belum pernah bernegosiasi dengan pemerintah secara langsung. Memiliki peta wilayah adat (belum diregistrasi); hukum adat yang dibukukan dan ditanda tangani oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban dan Dayak Embaloh; memiliki sertifikat ekolabel dari LEI; memiliki sertifikat sebagai masyarakat teladan perduli hutan Mendapat dukungan dari LSM Bertentangan dengan pemerintah daerah
Pada kasus TNGHS, dalam mencoba menyelesaikan konflik penguasaan sumberdaya hutan, Masyarakat Kasepuhan menempuh jalur negosiasi sejak awal. Sebenarnya upaya penyelesaian konflik antara BTNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Di tahun 2006 sudah dilakukan dua kali pertemuan untuk membahas masalah kawasan. Kedua pertemuan tersebut diadakan di Pelabuhanratu dan dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN (aliansi masyarakat adat nusantara), pihak pemerintah daerah. Namun kedua pertemuan tersebut gagal membangun kesepakatan dan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya, tahun 2008 pihak BTNGHS menginisiasi pertemuan sosialisasi rencana strategis pengelolaan kawasan lima tahun ke depan yang akan diterapkan mulai pada tahun 2009 yang diselenggarakan di Bogor. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, perwakilan desa, perwakilan Kasepuhan, perwakilan AMAN, dan pihak BTNGHS. Salah satu yang menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah rancangan pembagian zonasi yang kemudian ditolak oleh pemerintah 168
daerah dan Masyarakat Kasepuhan karena dianggap tidak memberikan solusi terhadap sengketa kawasan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan. Menurut keterangan yang diperoleh, warga sudah menyatakan perang jika Renstra 5 tahun TNGHS diterapkan. Hal senada juga sudah dikemukakan oleh perangkat Desa Sirna Resmi dan pimpinan Kasepuhan Sinar Resmi (lihat Rahmawati et al., 2008). Kekalahan Masyarakat Kasepuhan dalam mendialogkan penyelesaian konflik di kawasan taman nasional telah membuat Masyarakat Kasepuhan mengembangkan networking yang lebih luas baik dengan pihak LSM, pemerintah daerah maupun elit-elit politik. Dasar dari networking tersebut ada yang bersifat aliansi politik ada juga yang disebabkan karena kesamaan ideologi. Melalui bantuan LSM dan pemerintah daerah tersebut, Masyarakat Kasepuhan berdialog kembali dengan BTNGHS untuk menegosiasikan beberapa hal yang masih belum dapat disetujui oleh Masyarakat Kasepuhan: a. menegosiasikan ulang tentang hak akses masyarakat terhadap hutan dan lahan garapannya, b. melakukan pemetaan ulang berdasarkan tata batas hutan adat menurut masyarakat kasepuhan, c. menegosiasikan zonasi dalam kawasan taman nasional dengan memasukkan kawasan Masyarakat Kasepuhan sebagai zona khusus dan lahan garapan masuk kedalam zona pemanfaatan dengan pendefinisian baru yaitu memanfaatkan lahan untuk kepentingan livelihood masyarakatnya. Menurut keterangan pegawai BTNGHS, telah dijalin berbagai pertemuan untuk memperoleh kata sepakat dengan Masyarakat Kasepuhan maupun masyarakat lokal lainnya. Bunyi kesepakatan tersebut tertuang dalam rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang disusun melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana tata ruang kawasan (RTRK/ zonasi) TNGHS. Isi kesepakatan tersebut antara lain mengenai penetapan zona inti dan rimba. Dasar dalam penetapan zona inti ini adalah peraturan perundang-undangan dan tradisi budaya/ kelembagaan masyarakat adat. Peraturan perundang-undangan negara digunakan untuk melihat hutan berdasarkan kajian ekosistem, dan habitat
169
spesies penting serta hutan yang masih tersisa, sementara kelembagaan lokal Masyarakat Kasepuhan digunakan untuk mengkatagorikan hutan inti berdasarkan daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem yang bukan hanya melestarikan hutan tapi mensejahterakan masyarakatnya. Kesepakatan tersebut berusaha mencapai jalan tengah bertemunya dua kepentingan. Berdasarkan rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) yang disusun melalui proses kolaborasi yang dikombinasikan dengan regulasi lokal, hasil rancangan rencana tata ruang kawasan TNGHS sebagai berikut: A. Penetapan zona inti dan rimba • Dasar penetapan melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting. • Daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh. • Difokuskan pada hutan-hutan alam yang masih tersisa. B. Penetapan zona pemanfaatan • Kawasan TNGHS yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsifungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun penelitian cikaniki, cangkuang, gunung bunder dan lokasi lainnya. • Khusus pada zona pemanfaatan yang masih dikelola perum perhutani dan pemerintah daerah (Pemda) akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA. • Khusus zona pemanfaatan yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayahwilayah rawan terhadap keselamatan pengunjung tetap dikelola TNGHS. C. Penetapan zona rehabilitasi • Kawasan yang merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi, seperti areal bekas penambangan emas tanpa izin (PETI), Koridor Halimun - Salak. • Zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. D. Penetapan zona khusus
170
•
Wilayah yang telah dikembangkan sebagai fungsi utama ekonomi wilayah seperti sarana sutet, pembangkit listrik panas bumi (PT. Chevron), aktivitas pertambangan emas (PT. Aneka Tambang)
•
Pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS.
•
Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS.
E. Penyusunan regulasi zonasi, mencakup aktivitas-aktivitas : •
Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.
•
Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan komunitas masyarakat desa di dalam dan sekitar TNGHS dalam hal akses pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria.
•
Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan TNGHS perihal kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi.
•
Membangun kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi.
•
Memantau penegakan kontrak sosial (MoU dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Kesepakatan Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS mengenai penetapan
zona pemanfaatan. Dalam menetapkan zona pemanfaatan ini terkait dengan definisi pemanfaatan itu sendiri, dimana BTNGHS melihat fungsi-fungsi pemanfaatan, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif, seperti areal stasiun penelitian Cikaniki, Cangkuang, Gunung Bunder dan lokasi lainnya. Dalam konsep tersebut sama sekali tidak ada ruang pemanfaatan untuk livelihood masyarakat lokal yang basisnya adalah petani, sehingga tidak ada ruang lahan pertanian dalam konsep kehutanan, khususnnya taman nasional. Namun
171
demikian, BTNGHS masih menyisakan kesepakatan pada zona pemanfaatan yang masih dikelola Perum Perhutani dan pemerintah daerah akan dikelola dengan landasan MoU sambil menunggu proses IPPA (izin pengusahaan pariwisata alam). Model kesepakatan seperti ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat ternegasikan. Sama sekali tidak ada ruang zona pemanfaatan hutan TNGHS untuk lahan garapan dan pemukiman masyarakat, sekalipun dalam kenyataannya hal tersebut ada. Hal ini bisa jadi bermakna bahwa masyarakat harus keluar dari pemukiman dan lahan garapan yang selama ini digarap bersama Perum Perhutani maupun pemerintah daerah. Pada tataran negosiasi ini, kepentingan masyarakat betul-betul tersubordinasi bahkan tidak diberi ruang untuk ada, seakan-akan masyarakat dengan sistem pertaniannya menjadi penyebab dari semua kerusakan hutan yang ada di TNGHS. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam rencana pengelolaan taman nasional (RPTN) Gunung Halimun Salak 2007-2020 maka stop deforestasi menurut RPTN tersebut harus terjadi pada tahun 2010. Melihat data penurunan tutupan hutan 1989-2008, stop deforestasi akan terwujud apabila semua pihak berperan aktif sesuai tugas dan fungsinya dalam menjalankan pengelolaan di TNGHS. Peran aktif dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci utama dalam menjaga dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa. Sikap TNGHS yang sangat pro terhadap konservasi untuk penyelamatan habitat ini sangat kentara manakala merencanakan penetapan zona rehabilitasi, dimana tanah-tanah lahan kritis bekas garapan masyarakat akan direhabilitasi dan zona rehabilitasi dapat dirubah penetapannya menjadi zona inti, rimba, atau pemanfaatan setelah kondisinya dinilai pulih kembali. Isu yang diusung oleh BTNGHS untuk penyelamatan lingkungan di kawasan ini adalah biodiversity. Selanjutnya isu biodiversity ini telah melibatkan LSM internasional dalam konflik antara BTNGHS dan Masyarakat Kasepuhan, yaitu JICA. JICA berusaha menjembatani kepentingan lingkungan dan kepentingan masyarakat. Dengan konsep “model kampung konservasi (MKK)”, JICA mencoba membantu TNGHS dalam mereboisasi kembali hutan yang gundul melalui konsep partisipasi masyarakat, dan melakukan pengembangan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di dalam kawasan. Melalui MKK, pengelola
172
kawasan TNGHS
mencoba membina kelompok-kelompok masyarakat yang dihimpun melalui wadah MKK (model kampung konservasi) yang didukung oleh pendanaan dari JICA. Pilot project MKK tahun 2003-2007 ini dilakukan oleh JICA di empat kampung yaitu: Kampung Sukagalih, Kampung Cimapag, Kampung Cisalimar dan Kampung Sirnaresmi. Namun konsep ini belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat mengingat pelarangan akses terhadap sumberdaya hutan (menggarap lahan di ex Perhutani) tetap diberlakukan sehingga kecurigaan terhadap konsep JICA dalam upaya membodohi masyarakat disadari oleh beberapa masyarakat, sehingga dari 9 kelompok bentukan JICA di tahun 2004, yang masih terbentuk di tahun 2008 tinggal 3 kelompok. Menyadari kesulitan untuk mengamankan hutan TNGHS, BTNGHS mulai mengembangkan konsep MKK di seluruh kawasan, baik di wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Sukabumi, dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah terkait maupun pihak perusahaan swasta yang berada di kawasan dan sekitar kawasan taman nasional, antara lain melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Banten, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, PLN, ANTAM, CIFOR, TNGHS. Di Kabupaten Lebak, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Bedil, Resort Cisoka dan Resort Cibedug, dengan melibatkan pembinaan dan pendanaan dari JEES dan DIPA-TNGHS. Di kabupaten bogor, kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Talaga, terdiri atas: Resort Gunung Kencana, Resort Gunung Butak, Resort Gunung Botol, Resort Gunung Salak 1, dan Resort Gunung Salak 2. Kegiatan MKK di Kabupaten Bogor menggandeng pendanaan dan pembinaan dari CIFOR dan ANTAM. Di Kabupaten Sukabumi kegiatan MKK dipusatkan di Resort Gunung Kendeng, Resort Cimanjaya, Resort Gunung Bodas, dan Resort Kawaah Ratu. Kegiatan MKK di Kabupaten Sukabumi dilakukan oleh TNGHSJICA dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Total MKK di seluruh kawasan TNGHS sampai tahun 2012 adalah 39 buah. Fakta berkembangnya program MKK dengan melibatkan kolaborasi antara instansi pemerintah dengan perusahaan swasta menunjukkan bahwa adanya afilisi antara negara dan perusahaan swasta. Dukungan pendanaan dari perusahaan swasta tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat lokal, melainkan
173
ada keuntungan ekonomi yang diperoleh perusahaan atas kebijakan pemerintah yang mengizinkan aktivitas perusahaan di kawasan TNGHS melalui penjanjian pinjam pakai. Afiliasi antara negara dan perusahaan swasta tersebut telah memantapkan otoritas negara selaku pemilik dan pengontrol sumberdaya hutan. Otoritas negara selaku pihak yang berkuasa telah memarginalkan otoritas masyarakat dan kepentingannya terhadap hutan. Berkembangnya konsep MKK tersebut menunjukkan kemenangan otoritas negara melawan otoritas Masyarakat Kasepuhan, dan menunjukkan adanya dominasi otoritas negara atas otoritas masyarakat lokal dimana masyarakat dipaksa untuk menerima konsep pengelolaan kawasan ala taman nasional untuk pelestarian lingkungan. Sebetulnya ada peluang kesepakatan negara dan masyarakat adat yang dapat menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat bersama dengan hutannya, melalui penetapan zona khusus, yaitu zona pemukiman dan garapan yang telah ada sebelum penunjukan TNGHS. Untuk mengatur akses pengelolaan masyarakat lokal dibutuhkan regulasi zona khusus berupa kontrak sosial (MoU antara BTNGHS dengan masyarakat adat, non-adat dan pendatang perihal pengaturan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumber-sumber agraria (tata ruang lokal dalam zona khusus) di dalam kawasan TNGHS. Dalam penyusunan regulasi zonasi, ada beberapa aktivitas yang harus dilakukan antara masyarakat adat dan negara yaitu membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS dengan komunitas adat dalam hal akses pemanfaatan dan kontrol atas sumberdaya hutan dan kepadatan penduduk yang sesuai dengan daya dukung wilayah konservasi, membangun kontrak sosial (MoU) antara BTNGHS dengan pihak pengguna (wisata, tambang, dan lain-lain) perihal penggunaan lahan yang harus mementingkan aspek konservasi, memantau penegakan kontrak sosial dan kesepakatan serta memberi sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Proses kesepakatan (MoU) dengan Masyarakat Kasepuhan tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Sampai saat ini, BTNGHS masih melakukan proses pemetaan untuk hutan adat menurut versi masyarakat yang akan disesuaikan dengan zonasi menurut taman nasional. Masih adanya tarik ulur kepentingan antara negara dan masyarakat, dimana kesepakatan tersebut masih dinilai kurang adil oleh masyarakat karena membatasi masyarakat pada zona khusus yang
174
merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan yang aktif pada saat ini, sementara dalam konsepsi masyarakat, lahan garapan juga termasuk lahan yang tidak dalam kondisi aktif, yaitu seperti ladang-ladang yang ditinggalkan sementara yang menurut TNGHS dikatagorikan sebagai lahan kritis. Dalam persepsi mayarakat Kasepuhan, ada beberapa kesepakatan penting yang harus dibangun antara TNGHS dengan Masyarakat Kasepuhan sebagaimana dikemukakan oleh Abah Asep, sebagai berikut: 1. “pertama, perlu dilakukannya pemetaan tata batas hutan dalam konsep zonasi masyarakat dan dalam konsep zonasi taman nasional. Adapun data yang ada dari taman nasional tumpang tindih dan tidak jelas serta tidak nyata. Ada perbedaan antara peta menurut badan koordinasi survei dan pemetaan nasional (BAKOSURTANAL) dan peta taman nasional. 2. Kedua, pendefinisian zona pemanfaatan harus selaras dengan zona garapan adat, pemukiman dan garapan masyarakat, karena masyarakat adat juga mengetahui bahwa hutan inti (leuweung hideung) tidak akan diganggu. 3. Ketiga, mengenai aturan enclave. Taman nasional hanya mengakui adanya enclave perkebunan PT. Nirmala Agung, mengapa tidak mengakui adanya enclave masyarakat adat, padahal keberadaan masyarakat adat di kawasan ini sudah sejak abad ke 14 sebelum adanya Belanda, masyarakat sudah tinggal disini, dekat Perkebunan Nirmala Agung yaitu Kampung Urug Kecamatan Jasinga. Dari sejak saat itu sampai sekarang sudah ada 10 keturunan. Bukti adanya keturunan pertama bisa dipertanggungjawabkan di Cipatat Urug, buktinya adalah adanya kuburan nenek moyang. Jika perkebunan bisa diberlakukan enclave, mestinya juga dapat diberikan enclave untuk lahan garapan masyarakat, yang sebenarnya lahan garapan masyarakat di kawasan taman nasional ini sudah dibuka sejak tahun 1941.” Ucapan Abah Asep tersebut merupakan harapan kesepakatan yang ingin dibangun oleh masyarakat dengan BTNGHS. Masyarakat Kasepuhan tidak ingin menguasai kawasan hutan secara keseluruhan, karena dalam konsep pengelolaan hutan Kasepuhan juga mengajarkan adanya beberapa kawasan yang harus tetap dijaga kelestariannya. Namun Kasepuhan menginginkan adanya hak akses pada
175
“hutan garapan” mereka sebagai sumber livelihood masyarakatnya. Oleh karena itu memang perlu adanya pendefinisian ulang mengenai zona pemanfaatan TNGHS, sehingga memungkinkan zona pemanfaatan tersebut berada pada peta “leuweung garapan” masyarakat. Upaya penyelesaian konflik Sungai Utik relatif lebih sulit karena perjuangan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif stagnan, karena sejak konflik pertama berlangsung di tahun 1984 sampai sekarang, tidak ada upaya yang nyata dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik untuk mengajukan kawasan Hutan Sungai Utik sebagai wilayah kawasan hutan kelola adat secara formal melalui surat formal, kajian naskah akademik maupun dengan dialog secara langsung. Bahkan peta sebagai bukti teritori wilayah kuasa Sungai Utik yang dimiliki oleh Sungai Utik sejak lama (tahun 1987) melalui bantuan dari PPSDAK (pembinaan pengelolaan sumberdaya alam kemasyarakatan) sampai sekarang belum pernah diajukan untuk dilegalisasi. Usaha yang sudah dilakukan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam rangka memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, dapat dikemukakan, sebagai berikut: (1) Pemetaan wilayah adat (difasilitasi oleh PPSDAK) yang bertujuan untuk mengetahui batas-batas wilayah berdasarkan sejarah asal-usul dan mencari alat untuk mempertahankan wilayah dalam bentuk peta; (2) Penguatan institusi lokal, hukum adat dan budaya lokal yang bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan orang iban dengan struktur yang mereka miliki dari dulu yaitu temenggung (istilah temenggung merupakan kooptasi dari pemerintah Belanda), pateh dan tuai rumah yang nyaris hilang sebagai akibat kooptasi pemerintah melalui UU No. 5/1979 (difasilitasi oleh LBBT); (3) Inventarisasi hutan (difasilitasi oleh PPSDAK) untuk mengetahui potensi/ kekayaan hutan; (4) Identifikasi hak ulayat yang bertujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan kontroversi keberadaan hak ulayat serta memberikan kepastian hukum akan eksistensi tanah ulayat tersebut. (sumber data: Kanyan-LBBT) Penyelesaian konflik Sungai Utik dilihat dari konsep negara diatur dalam aturan negara sebagai penjelasan tambahan dari UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
176
Kehutanan, yaitu Surat Edaran dari Menteri Kehutanan Nomor. S.75/MenhutII/2004 Tanggal 12 Maret 2004, perihal Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/ Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat. Dalam surat edaran tersebut menegaskan bahwa hutan dapat terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Hutan negara bisa berupa hutan adat. Artinya bahwa ketika masyarakat adat mengklaim sebagai hutan adat maka sesungguhnya hutan tersebut adalah hutan negara. Namun masyarakat adat diberi hak untuk memanfaatkan hutan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat tersebut masih ada dan diakui keberadaannya, maka berhak:
a. melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) disebutkan bahwa
“Masyarakat
hukum
adat
diakui
keberadaannya,
jika
menurut
kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jadi jika masyarakat hukum adat ingin diakui keberadaanya dan memperoleh hak-haknya terhadap hutan, maka harus ada pengakuan yang ditetapkan melalui peraturan daerah. Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada gubernur/ bupati/ walikota di seluruh Indonesia tersebut disebutkan bahwa “.....dalam rangka mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat, maka kami minta kepada
177
saudara untuk dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Apabila di wilayah saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan hak pengusahaan hutan/izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), maka terhadap permohonan atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat, bupati/walikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Peraturan daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada saudara, maka kami minta bantuan saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum adat (yang telah ditetapkan) dengan pemegang HPH/IUPHHK.. Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang
HPH/IUPHHK
yang
melakukan
kegiatan/operasi
di
wilayah
masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus
178
berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umum/sosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajaran/tidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat. Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPH/IUPHHK, gubernur atau bupati/walikota dapat memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara perdata melalui peradilan umum. Mengacu pada surat edaran tersebut maka solusinya adalah penetapan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat, namun hutan adat adalah hutan negara, sekalipun pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat, namun tetap mengakomodir keberadaan IUPHHK, sementara masyarakat memperoleh ganti rugi dari keberadaan IUPHHK tersebut. Apa yang ditawarkan oleh surat edaran tersebut tentu saja bertentangan dengan keinginan masyarakat, karena saat ini sekalipun hutan Masyarakat Dayak Iban tidak berstatus sebagai hutan adat, namun masyarakat mempunyai akses mutlak untuk mengelola hutan. Masyarakat mampu menjaga hutan dari masuknya perusahaan IUPHHK. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan, disebutkan bahwa “masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan”. Berdasarkan keputusan menteri tersebut, dalam konsep negara, hutan yang dijadikan lahan IUPHHK tersebut juga harus memberi manfaat bagi masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Namun sekalipun masyarakat diberi ruang untuk memanfaatkan kayu maupun non kayu pada areal hutan yang telah diberi status hutan HPH, namun keinginan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik hanyalah ingin hutan mereka tetap lestari dalam penguasaan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.
179
Keinginan Masyarakat Sungai Utik adalah bahwa hutan itu tetap lestari. Sebagaimana dikemukakan oleh Ape Janggut, sebagai berikut: “Kami bukannya tidak mau mendukung program pemerintah yang menjadikan hutan ini sebagai kawasan HPH dan diberikan pada pengusaha, namun hutan ini adalah hutan kami, hutan titipan dari anak cucu kami generasi masa datang. Apa yang akan kami katakan pada mereka jika hutan tersebut rusak. Kami menjaganya untuk mereka kelak, bukan hanya untuk mewariskan kayu pada mereka, tapi yang ingin kami wariskan adalah hutan yang masih lestari, agar mereka masih tetap memiliki sumber mata air yang bersih, mereka masih bisa lihat keaneka ragaman jenis kayu dan jenis-jenis tanaman lain, serta memberi tempat pada makhluk-makhluk lain seperti hewan untuk hidup. Untuk kepentingan kami sendiri saat ini sudah cukup dengan memanfaatkan wilayah garapan kami baik untuk menanam padi, kebun karet maupun menanam jenis-jenis pohon kayu yang lain.”
Perbedaan sikap kedua masyarakat tersebut dilandasi karena adanya perbedaan nilai-nilai budaya (state of believe). Nilai-nilai budaya mempengaruhi sikap dan tindakan masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Masyarakat Kasepuhan menempuh jalan dialog dengan bantuan dari LSM dan pemerintah daerah selaku mediator dalam penyelesaian konflik dengan BTNGHS. Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dilakukan dengan jalan meningkatkan kemampuan kelembaaan Dayak Iban Sungai Utik melalui bantuan dari LSM sehingga mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik layak untuk melakukan pengelolan hutan berbasis masyarakat, yang dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat ekolabeling. Sertifikat ini menjadi modal dari Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dalam memperjuangkan Hutan Sungai Utik sebagai hutan adat.
180