PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat
FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN
`
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat
FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN. Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO. Taman Nasional Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 luasnya 40.000 ha. Pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS))yang ditetapkan dengan SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan kawasan TNGHS merubah status hutan produksi menjadi satu kesatuan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha. Fokus penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat tentang konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, status kawasan sebagai taman nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Informan terdiri dari para tokoh dan warga masyarakat dari lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam dengan masyarakat diklasifikasikan dan dianalisis. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk teks naratif dan gambar, dan dijelaskan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam interaksinya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memiliki aturan-aturan antara lain berupa larangan-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai hasil proses belajar dalam kehidupan masyarakat dan hasil interaksinya dengan taman nasional. Sebagian aturan pada masyarakat Cipeuteuy merupakan hasil adopsi peraturan yang dibuat oleh taman nasional. Masyarakat Cipeuteuy masih melakukan aktifitas pemanfaatan di kawasan taman nasional seperti budidaya pertanian, penebangan pohon, pengambilan kayu bakar, dan pengambilan rumput untuk pakan ternak. Pada umumnya masyarakat berusaha menghindari pemanfaatan yang telah dilarang oleh taman nasional berdasarkan peraturan atau UndangUndang yang berlaku. Karena kondisi masyarakat saat ini yang belum memiliki pengganti sumber mata pencaharian maka masyarakat masih terus melakukan aktivitasaktivitas tersebut dengan tetap berusaha meminimalkan kerusakan hutan yang ditimbulkan. Kata kunci: taman nasional, pengetahuan masyarakat, konservasi
SUMMARY FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN. Community knowledge of Forest Resource Conservation (a Case Study of Cipeuteuy Village community, Kabandungan Sub District, Halimun Salak Mountain National Park Area, Sukabumi, West Java). Supervised by DIDIK SUHARJITO. Halimun Salak Mountain National Park in accordance with the Decree of Ministry of Forestry No. 282/Kpts-II/1992 covering area of 40.000 ha. TNGH area was enlarged on 2003 become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS) according to the Decree of Ministry of Forestry No. 175/Kpts-II/2003. The extension of TNGHS area changed the status of production forest become one entity of Halimun Salak Mountain National Park area with total area as 113.357 ha. The focus of this research is community knowledge of conservation that realized in prohibition contained in the community and the influence to the utilization activities of community such as agricultural cultivation, tree felling, firewood collecting, and grass taking. Those community activities are conducted in order to meet the economic needs of community. In the other hand, the area status as a national park restricts the community access in conducting those activities because it’s considered can damage the forest. Therefore, it needs to review more deeply the community knowledge about forest resources conservation. This research was conducted by using case study method. Respondent consist of community leader and community members living in five hamlets of Cipeuteuy village that directly or indirectly involve in managing the National Park. It was conducted in five hamlets on one village. The data from field observation and deep interview with communities was classified and analyzed. The result is shown as narrative text and figure, and explained descriptively. This research result shown that Cipeuteuy communities have rules on interacting with forest including prohibitions. The rules arose as a result of learning process on community and socialization of regulation by National Park thus the regulation was gradually adopted in the rules of Cipeuteuy communities. In addition, Cipeuteuy communities’ still conduct utilization activity in National Park area such as agricultural cultivation, logging, collecting fuel wood and collecting the grass for animals feed. Generally, the communities try to avoid utilization that has been prohibited by National Park according to existing regulation or statue, but because of they do not have substitute, the community still continue the activities while trying to minimize the forest damage. Key words: national park, community knowledge, conservation
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Febriany Sakina Tinambunan NRP E14050636
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa NIM
: Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat) : Febriany Sakina Tinambunan : E14050636
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal
16 Februari 1987.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah. Jenjang pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai pada tahun 1993 di SDN Situ Gintung II Pagi Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan kembali pendidikan formalnya di MTs Negeri 3 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan formal penulis kemudian dilanjutkan kembali ke SMA Negeri 47 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan diantaranya adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB 2006-2007. Bendahara Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB 2007-2008. Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB 2008-2009. Pengurus DKM Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan IPB 2006-2007. Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KPH Banyumas dan Cilacap. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). Kemudian pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Musi Hutan Persada, Palembang, Sumatera Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dalam bidang sosial kehutanan dengan judul : ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Didik Suharjito,MS
i
KATA PENGANTAR Teriring puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang begitu besar kepada makhluk-makhlukNya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw yang telah menuntun umatnya dari zaman yang gelap gulita ke zaman yang terang benderang. Skripsi ini berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)” dan dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis
menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Allah swt atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan. 2. Orang tua tercinta Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah (mama dan bapak) yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya tanpa kenal lelah. 3. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS yang telah membimbing penulis hingga skripsi ini terselesaikan. 4. Suami tercinta Topan Mai Disyam, S.Hut yang selalu mendampingi dengan setia. 5. Kepala Balai TNGHS Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 2 1.3 Tujuan ............................................................................................ 3 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional .............................................................................. 4 2.2 Masyarakat Sekitar Hutan ............................................................... 5 2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ....................................... 6 2.4 Pengetahuan Masyarakat ............................................................... 6 2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati.............................................6 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 8 3.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 8 3.3 Metode Pengolahan data ................................................................ 8 3.4 Definisi Operasional ...................................................................... 9 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak ............ 10 4.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy ................................ 12 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gagasan dan Nilai Konservasi ....................................................... 18 5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan................................................ 22 5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional ..... 30 5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional.......... 31
iii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 35 6.2 Saran............................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37
iv
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin ....................................... 14 2. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy ............................................ 15 3. Tingkat partisipasi pendidikan ........................................................................ 15 4. Mata pencarian masyarakat Desa Cipeuteuy .................................................. 16 5. Luas penggunaan lahan Desa Cipeuteuy......................................................... 17 6. Aktifitas masyarakat di kawasan TNGHS ...................................................... 22 7. Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy.......................................29 8. Peran pengetahuan lokal dalam pengelolaan Taman Nasional…………………31
v
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Peta lokasi penelitian…………………………………………………..……..10 2. Papan pemberitahuan batas kawasan pelestarian alam ................................... 18 3. Peta kawasan Taman Nasional ........................................................................ 21 4. Budidaya Padi di kawasan Taman Nasional ................................................... 24 5. Budidaya Cabai di kawasan Taman Nasional ................................................. 24 6. Kegiatan mengambil rumput oleh masyarakat ................................................ 30
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu bagian penting bagi kehidupan manusia. Karena antara hutan dan manusia mempunyai keterikatan yang cukup erat dan saling mendukung satu sama lain. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada hutan. Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sangat beragam. Banyak
peneliti
yang
menjadikan
pengetahuan
masyarakat dalam
pengelolaan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya. Sebagai contoh, Mainawati (2004) mengkaji tentang partisipasi dan nilai-nilai tradisional oleh masyarakat Kasepuhan terkait dengan pengelolaan kawasan TNGH. Puspita (2006) mengkaji pengetahuan masyarakat dan peranannya dalam konservasi Kedaung. Selanjutnya, Nurhayati (2006) mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan. Pada kasus lain, Asiah (2009) meneliti tentang pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan rakyat serta perubahan pengetahuan dan perannya dalam kelestarian ekosistem. Kajian-kajian tersebut menunjukan kesimpulan yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat merupakan aspek yang cukup penting dalam menjaga kelestarian hutan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSM-LSM lingkungan memperlihatkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan taman nasional pada khususnya oleh masyarakat adat tidak terbukti merusak ekosistem kawasan taman nasional (Mainawati 2004). Salah satu kawasan yang dijadikan taman nasional oleh pemerintah adalah Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha. Kemudian pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS))melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan tersebut dilakukan dengan tujuan melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak akibat adanya desakan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Perluasan kawasan TNGHS merubah status hutan produksi menjadi satu kesatuan
2
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha. Dengan beralih fungsinya kawasan hutan produksi menjadi taman nasional maka aturan yang ada didalamnya pun ikut berubah sesuai dengan aturan taman nasional. Kebijakan yang langsung berdampak pada aktivitas masyarakat adalah adanya pembatasan akses dalam pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan di sisi lain memberikan sumbangan yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat meskipun bertentangan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari diperlukan adanya kerjasama antar berbagai pihak yaitu pemerintah dan pengelola TNGHS sebagai pembuat kebijakan juga masyarakat yang tinggal disekitar hutan yang akan memberikan dampak baik positif maupun negatif. Hal ini tergantung dari sejauh apa kebijakan dan aturan yang dibuat oleh pemerintah khususnya TNGHS berkontribusi terhadap pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai pengetahuan masyarakat tentang konservasi dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Penelitian ini penting dilakukan karena pengetahuan tentang konservasi dapat membantu masyarakat maupun pengelola TNGHS untuk menentukan cara yang harus dilakukan agar pengelolaan TNGHS dapat berjalan dengan baik, serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar tanpa harus merusak kawsan konservasi.
1.2 Perumusan Masalah Fokus penelitian ini adalah menggali pengetahuan masyarakat tentang konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Di sisi lain status kawasan sebagai taman
3
nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan dalam pengelolaan kawasan TNGHS.
1.3 Tujuan a. Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan dalam pengelolaan TNGHS. b. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pemanfaatan kawasan konservasi pada TNGHS.
1.4 Manfaat Penelitian a. Sebagai bahan masukan bagi TNGHS dalam menentukan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan hutan b. Sebagai bahan acuan untuk bahan penelitian selanjutnya di bidang Kehutanan Masyarakat yang berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional adalah
kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam (Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998). Dalam SK Menteri Kehutanan No. 435/kpts-II/89 memuat ketentuan Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan serta zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekeasi dan pendidikan. Meningkatkan pengelolaan kawasan hutan konservasi alam secara terpadu dalam bentuk Taman Nasional dalam rangka mewujudkan pemeliharaan, perlindungan, pengawetan, dan pelestarian manfaat sumber daya alam hutan baik barang maupun jasa, secara terpadu, selaras, seimbang dan lestari. Salah satu bentuk hutan konservasi dikelola Taman Nasional yang merupakan kawasan pelestarian alam dengan pengelolaan berdasarkan zonasi. Taman Nasional melakukan zonasi untuk menentukan zona mana yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi, pendidikan, penelitian, dan penunjang budidaya (biasanya dinamakan zona pemanfaatan) dan zona mana yang benar-benar dijaga
untuk kelangsungan seluruh komponen
kehidupan. Zona yang dijaga tersebut biasanya disebut dengan zona inti. Agar tidak terjadi kontak langsung yang merugikan, antara zona inti dengan zona pemanfaatan pun terdapat zona penyangga (Harmita 2009). Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 disebutkan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
5
a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami. b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami. c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh. d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan e. Sebagai pariwisata alam. f. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kawasan ekosistem Halimun merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa bagian barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis, yang juga merupakan salah satu penyangga/pendukung penting sistem kehidupan mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area), terutama yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya air di tiga propinsi (Jawa Barat, DKI Jakarta dan Propinsi Banten). Kekayaan lainnya adalah kandungan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi seperti emas, bentonit, kapur, dan lain-lain yang dilirik dan diperebutkan banyak pihak sehingga menimbulkan konflik multipihak (RMI 2009).
2.2 Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan. Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi pembangunan
kehutanan:
pembangunan
hutan
yang lestari dan dapat
6
mensejahterakan masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan dan bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009). Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi bias yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang berkepentingan terhadap hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan dilapangan dan persoalan malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang, dan diabaikannya isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan. Meskipun interaksi saling menguntungkan antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak tempat dan dalam berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia bagi berkembangnya praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah sempit, bila tak bisa disebut tidak ada sama sekali (Faisal dan Maskanah 2000).
2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Dalam konteks sumberdaya hutan menurut Suharjito et al. (2000) pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun subsisten. PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana kepentingan para pihak dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat bermitra dengan perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain masyarakat mendapat bimbingan teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja dan kepastian pemasaran kayunya (Helmi 2004).
7
2.4 Pengetahuan Masyarakat Pengetahuan
merupakan
kapasitas manusia
untuk
memahami dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan interpretasi yang masuk akal. Namun pegetahuan bukanlah merupakan kebenaran yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan nyata. (Sunaryo dan Joshi 2003, diacu dalam Asiah 2009). Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengematan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seorang menggunakan indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Arafah 2002, diacu dalam Asiah 2009).
2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Widada (2006) mengatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan 2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya 3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
8
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 dan bertempat di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi
Jawa Barat. Desa
Cipeuteuy dipilih karena lokasinya yang berada di sekitar kawasan TNGHS dan tidak terlalu jauh dengan kantor Balai TNGHS. Selain itu, Desa Cipeuteuy merupakan salah satu desa Model Kampung Konservasi dan terlibat dalam PEKA (Peduli Konservasi Indonesia)
3.2 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Informan sebanyak 30 orang yang terdiri dari para tokoh masyarakat dan warga masyarakat di lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Jumlah informan di setiap dusunnya berbeda didasarkan pada kemudahan akses dalam menjangkau dusun tersebut. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung dilapangan (observasi). Data sekunder diperoleh dari Balai TNGHS dan kelurahan Desa Cipeuteuy. Data yang dikumpulkan yaitu kondisi umum lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi yang diambil dari data monografi desa yang terdiri dari batas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencarian, dan luas pemanfaatan lahan.
3.3 Metode Pengolahan Data Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam dengan masyarakat diklasifikasikan, dikelompokan, dan dianalisis. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk teks naratif dan gambar, dan disajikan secara deskriptif.
9
3.4 Definisi Operasional 1. Pengetahuan masyarakat yang dimaksud terbagi kedalam dua kategori, yaitu: a. Pengetahuan masyarakat yang terkait dengan interaksinya terhadap hutan, yang terbagi dalam bentuk-bentuk pemanfaatan hutan diantaranya budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. b. Pengetahuan mayarakat yang terkait dengan aturan-aturan taman nasional berupa larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat (pembatasan akses pemanfaatan). 2. Berdasarkan
sanksi
yang
diberikan
larangan-larangan
tersebut
dikategorikan menjadi dua: a. Larangan dengan sanksi keras; Larangan keras merupakan bentuk larangan yang apabila tetap dilakukan diberikan sanksi berupa proses hukum dan diserahkan kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) b. Larangan dengan sanksi ringan; Larangan ringan merupakan bentuk larangan yang apabila dilakukan diberikan teguran oleh petugas BTNGHS atau hanya dibiarkan tanpa proses hukum dan tanpa sanksi sosial dari masyarakat. 3. Berdasarkan jangka waktunya, larangan dikategorikan menjadi dua yaitu: a. Larangan yang berlaku selama periode waktu tertentu. b. Larangan yang berlaku selamanya. 4. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tingkat urgensitas/kebutuhan a. Tingkat urgensitas/kebutuhan rendah yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. b. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
10
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1 Letak Secara geografis Taman Nasional Gunung Halimun Salak terletak pada 106012’58’’ BT-106045’50’’ BT dan 06032’14’’ LS-06055’12’’ LS. Secara administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak (BTNGHS 2007). Kantor Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat dijangkau dengan kendaraan darat. Perjalanan dari Jakarta menempuh waktu 3 jam dengan jarak 125 km melalui rute perjalanan Jakarta-Bogor-Parungkuda-Kabandungan, sedangkan dari Bandung dapat ditempuh dalam 4 jam dengan jarak 152 km melalui rute perjalanan Bandung-Sukabumi-Parungkuda-Kabandungan.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
11
4.1.2 Tanah Geologi kawsan TNGHS merupakan bagian dari deretan pegunungan Sumatera. Sebagian besar kawasan tersusun atas batuan vulkanik breksi, basaltik dan lava andesit dari periode Pleistosin dan beberapa strata dictic dari periode Prepleiosin (sekitar 10-20 juta tahun yang lalu). Berdasarkan peta tanah tinjau Jawa Barat, jenis tanah di daerah ini terdiri atas asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, latosol coklat kemerahan dan latosol coklat, asosiasi latosol coklat kemerahan dan laterit, komplek latosol coklat kemerahan dan lithosol, asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu (LP Tanah, 1966). Bahkan Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus gunung berapi gunung berapi strato type A dan tercatat terakhir meletus tahun 1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama Kawah Ratu (Mirmanto at al. 2008).
4.1.3 Topografi Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian tempat berkisar 500-2.211 mdpl. Topografinya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Di sekitar kawasan TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (di sebelah barat) melintas Gunung Kendeng (di kawasan baduy) kemudian perlahan menurun sampai ke Gunung Honje dan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di sebelah timur berhubungan dengan Gunung Gede Pangrango yang dipisahkan oleh Sungai Citatih, Sungai Cisadane dan jalan Propinsi Ciawi-Sukabumi (Mirmanto at al. 2008).
4.1.4 Iklim dan Curah Hujan Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di daerah kawasan TNGHS termasuk tipe A, dengan curah hujan tahunan sebesar 4.000 – 6.000 mm. Rata-rata curah hujan bulanan selalu > 100 mm, dengan bulan terkering (+ 200 mm) pada Juni sampai Septermber dan terbasah (+500 mm) antara OktoberMaret, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah (Kartawinata, 1975) dengan kelembaban udara rata-rata 88%. Suhu rata-rata bulanan 31,50C dengan suhu terendah 19,70C dan suhu tertinggi 31,80C (Mirmanto at al. 2008).
12
4.1.5 Flora Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1.000 mdpl) yang didominasi oleh Zona Collin (500-1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-1.929 mdpl). Pada ketinggian 1.4001.929 mdpl banyak dijumpai jenis-jenis Gimnospermae seperti jamuju (Dacrycapus imbricatus), kiputri (Podocarpus neriifolius) dan kibima (P. amara). Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 mdpl terdapat pohon-pohon yang tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter 120 cm, jenis-jenisnya antara lain rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus
sp.) dan huru (Litsea sp.). pada ketinggian 600-700 mdpl beberapa jenis anggota Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat ditemukan dikawasan
Gunung halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D.
Gracillis dan D. Hasseltii. Didaerah perluasan ditemukan hutan tanaman , terutama di areal yang dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, antara lain hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus
merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii) (BTNGHS 2007).
4.1.6 Fauna TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya 244 jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai jenis serangga, diantaranya 26 jenis capung. Jenis penciri (Flagship Species) TNGHS adalah owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus melas) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta kukang (Nycticebus coucang) (BTNGHS 2007).
13
4.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy 4.2.1 Administrasi Pemerintahan Dalam administrasi pemerintahan Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy terbagi ke dalam 5 dusun yaitu Dusun Cipeuteuy, Dusun Cisalimar, Dusun Lewiwaluh, Dusun Arendah, dan Dusun Cisarua. Pemerintahan Desa Cipeuteuy dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh perangkat desa. Secara administratif batas-batas Desa Cipeuteuy adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. 2. Sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Desa
Cihamerang,
Kecamatan
Kabandungan,
Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. 3. Sebelah
Timur
berbatasan
dengan
Desa
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.2 Demografi Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa tahun 2008 sebanyak 6.654 jiwa yang terdiri dari 3.369 laki-laki (50,63 %) dan 3.285 perempuan (49,37 %). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak 1.654 KK. Kepadatan penduduknya mencapai 562 jiwa/Km2.
Sedangkan tahun
sebelumnya, jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6.352 jiwa yang terdiri dari 3.236 laki-laki dan 3.116 perempuan. Terdapat pertambahan penduduk sebanyak 302 jiwa
(4,75 %) yang terdiri dari 133 orang laki-laki dan 169
perempuan. Pembagian umur masyarakat terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelas umur 0-4 tahun tergolong kedalam kriteria bayi dan balita. Umur 5-14 tahun tergolong kriteria anak-anak dan usia sekolah. Umur 15-55 tahun merupakan usia produktif manusia yaitu yang termasuk ke dalam angkatan kerja. Umur 56 ke atas adalah usia lansia, yaitu usia yang tidak produktif lagi untuk bekerja.
14
Tabel 1 Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin Laki-laki No
Kelompok Umur (th)
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(jiwa)
(%)
(jiwa)
(%)
1
0-4
254
7,5
253
7,7
2
5_9
414
12,3
397
12
3
10_14
415
12,3
407
12,4
4
15-19
355
10,5
347
10,6
5
20-24
346
10,3
334
10,2
6
25-29
300
7
294
9
7
30-34
216
6,4
207
6,3
8
35-39
235
6,9
234
7,1
9
40-44
220
6,5
220
6,7
10
45-49
177
5,3
169
5,1
11
50-54
110
3,3
108
3,3
12
55-58
97
2,9
88
2,7
13
lebih dari 59
230
6,8
227
6,9
3369
100
3285
100
Jumlah
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Dilihat dari Tabel 1, jumlah usia tidak produktif masyarakat Cipeuteuy sebanyak 2.782 orang (1.410 orang laki-laki dan 1.372 orang perempuan). Jumlah usia produktifnya sebanyak 3.872 orang (1.959 orang laki-laki dan 1.913 orang perempuan), sehingga tingkat ketergantungan masyarakat Desa Cipeuteuy mencapai 71,84 %.
4.2.3 Tingkat Pendidikan Jumlah
penduduk
Desa
Cipeuteuy
sebagian
besar
menamatkan
pendidikannya ditingkat SD yaitu sebanyak 2.139 laki-laki (82,2%) dan 1.808 perempuan (89,5%). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy selain karena penghasilan mereka yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu membiayai pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi juga karena penduduk Desa Cipeuteuy kurang memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan. Terlebih akses sekolah yang relatif jauh dari tempat tinggal penduduk.
15
Tabel 2 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy Laki-Laki Tingkat Pendidikan
No
1
Tamat SD/sederajat
2
Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
(orang)
(%)
2.139
82,2
1.808
89,5
Tamat SMP/sederajat
286
11
92
4,5
3
Tamat SMA/sederajat
159
6,1
113
5,6
4
Taman Diploma 1, 2, 3
3
0,1
3
0,2
5
Tamat S1, S2,S3
16
0,6
3
0,2
2.603
100
2.019
100
Jumlah
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Tabel 3 Tingkat partisipasi pendidikan Partisipasi pendidikan
Jumlah
Sekolah Dasar
1048
SMP/sederajat
160
SLTA/sederajat
17
Diploma
6
S1
3
Total
1234
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.4 Mata Pencaharian Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sehingga biasanya setiap satu kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah baik itu lahan milik sendiri maupun lahan garapan bekas pengelolaan Perhutani. Untuk penduduk yang tidak memiliki lahan baik itu lahan pribadi maupun garapan dan tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka bekerja menjadi buruh tani di lahan-lahan milik tetangganya sendiri. Sebagian penduduk Desa Cipeuteuy bertani dengan cara berkebun. Tanaman yang ditanam di lahan tersebut adalah tanaman sayur mayur seperti sawi, bayam, cabe, tomat, terong, dan tanaman buah-buahan seperti pisang, pepaya, dan lain-lain. Ada juga petani yang menjadikan lahannya sebagai sawah dengan menanam padi.
16
Tabel 4 Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy Jenis Pekerjaan
Laki-Laki
Perempuan
Total
Persentase (%)
Petani
655
537
1192
62,7
Buruh Tani
312
113
425
22,4
Pegawai Nageri Sipil
8
5
13
0,7
Pengrajin Industri RumahTangga
3
1
4
0,2
68
12
80
4,2
Peternak
2
-
2
0,1
Montir
2
-
2
0,1
Bidan Swasta
-
1
1
0,1
21
87
108
5,7
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
6
3
9
0,5
Dukun Kampung Terlatih
-
8
8
0,4
Pengobatan Alternatif
-
6
6
0,3
Guru Swasta
9
10
19
1
25
5
30
1,6
1111
788
1899
100
Pedagang keliling
Pembantu Rumah Tangga
Karyawan Peusahaan Swasta Jumlah
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.5 Luas Lahan Menurut Penggunaan Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy No
Jenis Penggunaan Lahan
Luas (ha)
1
Pemukiman
4,650
2
Persawahan
564
3
Perkebunan
583
4
Kuburan
0,725
5
Pekarangan
0,684
6
Perkantoran
0,00342
7
Prasarana umum lainnya
8
Hutan Total
2,5
2115 3270,56
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Penggunaan lahan yang paling luas selain lahan hutan, dijadikan sebagai perkebunan dan persawahan. Sesuai dengan kondisi masyarakat yang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani dan buruh tani. Lahan yang dijadikan
17
pemukiman tidak terlalu besar, hanya seluas 4,65 ha. Sisanya dijadikan sebagai perkantoran, kuburan, pekarangan dan prasarana umum lainnya.
18
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gagasan dan Nilai Konservasi
Dalam interaksinya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memiliki aturan yang
berupa larangan-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai hasil proses
belajar dalam kehidupan masyarakat. Sosialisasi peraturan dari Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) kepada masyarakat juga mendorong
masyarakat Cipeuteuy untuk mengadopsi peraturan tersebut. Aturan-aturan dalam masyarakat yang berupa larangan-larangan tersebut diantaranya adalah: 1. Larangan memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar alam Saat TNGHS masih berstatus cagar alam yaitu pada tahun 1953-1992 masyarakat sudah mengetahui adanya larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain itu, ada aturan yang tidak tertulis dalam masyarakat untuk membatasi akses masyarakat ke dalam kawasan cagar alam. Ada beberapa tempat di dalam hutan
yang dilarang dimasuki masyarakat. Tempat tersebut dianggap tempat keramat yang dihuni oleh makhluk gaib dan
tidak boleh dijamah sama sekali oleh
masyarakat. Masyarakat meyakini bahwa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada dirinya jika memasuki dan merusak tempat keramat tersebut.
Akan tetapi tidak ada sanksi yang diterapkan masyarakat kepada warga yang melakukan
pelanggaran
tersebut.
Masyarakat
tidak
memasuki
kawasan
berdasarkan kesadaran untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman-ancaman
yang mereka yakini ada. Masyarakat beranggapan bahwa sanksi akan diberikan langsung oleh makhluk gaib yang tinggal di dalam hutan.
Gambar 2 Papan pemberitahuan batas kawasan pelestarian alam
19
2. Larangan menebang pohon Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang masyarakat menebang pohon yang terdapat di dalam kawasan TNGHS dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Akan tetapi masih ada masyarakat yang menebang pohon di dalam kawsan TNGHS untuk dijual. Sejauh ini, sudah beberapa kali terjadi kasus penangkapan yang dilakukan petugas terhadap warga yang diketahui menebang pohon di kawasan taman nasional, namun masyarakat Cipeuteuy belum menerapkan sanksi apapun untuk warganya yang diketahui menebang pohon walaupun pihak BTNGHS telah menerapkan sanksi berupa proses hukum bagi masyarakat yang melakukan penebangan pohon.
3. Larangan menggarap lahan Pada tahun 2003 telah terjadi pengalihan fungsi kawasan yang semula hutan produksi Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sejak saat itu masyarakat Cipeuteuy tidak lagi diperbolehkan menggarap lahan hutan produksi tersebut. Saat dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat bekerja sama dengan pihak Perhutani dalam mengelola hutan produksi. Masyarakat diperbolehkan menggarap lahan tersebut dengan menanami lahan dengan tanaman lain seperti tanaman pangan dan perkebunan selain tanaman pokok Perhutani. Saat ini masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannya meskipun telah ada aturan yang jelas dari BTNGHS yang melarang masyarakat menggarap lahan. BTNGHS belum memberikan sanksi apapun bagi masyarakat yang tetap menggunakan lahan garapan tetapi memberikan himbaun agar masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan tanaman asli taman nasional seperti puspa dan tanaman kayu lainnya tanpa ditebang atau dipanen kembali. Tetapi pada umumnya masyarakat tidak melakukan himbauan yang telah diberikan karena mereka menyadari tidak akan dapat bercocok tanam dengan tanaman lain di lahan tersebut jika tanaman kayu yang ditanam telah tumbuh besar. Beberapa warga hanya menanam tanaman kayu dipinggir-pinggir lahan sebagai tabungan jika sewaktu-waktu diperlukan untuk dijual kayunya.
20
4. Larangan menjual hasil hutan. Aturan tidak boleh menjual hasil hutan datang dari BTNGHS sebagai pihak pengelola hutan. Masyarakat Cipeuteuy lebih banyak mengambil hasil hutan dan memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, hal tersebut timbul dari kesadaran diri sendiri bahwa hutan tidak boleh dieksploitasi dengan mengambil banyak hasil hutan lalu menjualnya ke pihak lain. Masyarakat dengan sendirinya melakukan pembatasan terhadap penggunaan hasil hutan sebagai bentuk upaya dalam melestarikan hutan. Sama halnya dengan beberapa larangan di atas, tidak ada sanksi yang diterapkan oleh masyarakat bagi warganya yang menjual hasil hutan. Sanksi yang diterapkan hanya sanksi dari pihak BTNGHS berupa proses hukum dengan diserahkan kepada pihak kepolisian.
5.1.1
Klasifikasi Larangan
5.1.1.1 Berdasarkan Tingkat Sanksi Dari keempat bentuk larangan yang ada dalam masyarakat Cipeuteuy, hanya satu larangan yang merupakan aturan yang tumbuh dalam masyarakat dengan sendirinya, yaitu larangan memasuki wilayah cagar alam. Tiga larangan lainnya merupakan proses adopsi masyarakat dari aturan yang telah disosialisasikan oleh BTNGHS. Dilihat dari tingkat sanksinya larangan tersebut terbagi dua, yaitu larangan dengan sanksi keras dan larangan dengan sanksi ringan. Larangan yang termasuk ke dalam sanksi keras yaitu larangan menebang pohon dan menjual hasil hutan. Sanksi bagi larangan tersebut adalah dengan diserahkan kepada pihak berwajib/kepolisian untuk diproses secara hukum, sedangkan yang termasuk larangan kedalam sanksi ringan adalah larangan memasuki kawasan cagar alam dan larangan menggarap lahan. Saat ini masyarakat telah jarang yang tertangkap memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar alam karena lokasinya yang relatif jauh dan karena kebutuhan masyarakat telah dapat terpenuhi tanpa harus masuk ke dalam kawasan tersebut. Bagi masyarakat yang menggarap lahan tidak diberikan sanksi apapun. BTNGHS hanya memberikan himbauan untuk menanami lahan garapan masyarakat dengan tanaman asli taman nasional.
21
5.1.1.2 Berdasarkan Jangka Waktu Dilihat dari jangka waktunya, larangan tersebut ada yang berlaku selama periode waktu tertentu dan ada yang berlaku selamanya. Untuk larangan yang berlaku selama periode waktu tertentu adalah larangan menggarap lahan. Sesuai dengan himbauan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh BTNGHS, masyarakat diperbolehkan menggarap lahan bersamaan dengan menanam tanaman berkayu. Sehingga apabila tanaman berkayu tersebut telah tumbuh dan lahan tidak memungkinkan lagi untuk ditumpangsarikan maka masyarakat dengan sendirinya diharapkan meninggalkan lahan garapan tersebut.
5.1.1.3 Berdasarkan Tempat
Gambar 3 Peta kawasan taman nasional Pada Gambar 3 dapat dilihat lokasi Desa Cipeuteuy berada di sekitar zona inti TNGHS yaitu zona yang berwarna merah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P. 56 /Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi zona inti yaitu untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan
22
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, maka tidak boleh terdapat aktivitas pemanfaatan apapun yang dilakukan oleh masyarakat. Pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat hanya pada zona khusus yang memiliki fungsi untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.
5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Berbagai bentuk pemanfaatan kawasan hutan yang dilakukan masyarakat diantaranya adalah (l) Budidaya pertanian, (2) Mengambil kayu bakar, (3) Mengambil rumput untuk pakan ternak, (4) Menebang pohon untuk membuat rumah. Tabel 6 Aktivitas masyarakat di kawasan TNGHS Budidaya Pertanian di Kegiatan
Melakukan
Kawaasan TN
Menebang Pohon
Mengambil
Mengambil
Kayu Bakar
Rumput
(org)
(%)
(org)
(%)
(org)
(%)
(org)
(%)
10
33,33
2
6,67
10
33,33
9
30
20
67,67
28
93,33
20
67,67
21
70
Tidak Melakukan
Masyarakat Cipeuteuy mengetahui bahwa hutan memberikan manfaat yang besar dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu terlihat dari interaksi mereka terhadap hutan yang disajikan pada Tabel 6. Mereka memiliki keyakinan bahwa hutan harus dijaga agar manfaat yang dapat mereka rasakan tidak hilang. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tingkat urgensitas/kebutuhan.
Tingkat
urgensitas/kebutuhan
rendah
yaitu
bentuk
pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Dapat dilihat bahwa aktivitas penebangan pohon lebih sedikit dibandingkan dengan aktivitas lainnya yaitu sebanyak 2 orang atau 6,67
23
%. Hal ini karena penebangan pohon oleh masyarakat dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat dan tidak dilakukan secara kontinu. Artinya aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari atau dalam periode tertentu sebagai mata pencaharian sehingga untuk aktifitas menebang pohon dikategorikan ke dalam tingkat urgensitas rendah. Informan yang melakukan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional sebanyak 10 orang yaitu 33,33 % dari seluruh informan. Persentase yang lebih besar ini menunjukan bahwa masyarakat lebih membutuhkan lahan untuk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Tidak seperti kebutuhan akan kayu yang bersifat temporal (hanya saat belum memiliki rumah). Begitu juga dengan kegiatan mengambil kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak yang persentasinya lebih besar, hal itu didasarkan pada kebutuhan sehari-hari masyarakat sehingga urgensitasnya tergolong tinggi. Kegiatan pemanfaatan tersebut masih dilakukan semata-mata karena kebutuhan ekonomi masyarakat meskipun di sisi lain masyarakat memahami bahwa tindakan mereka dapat merusak kelestarian hutan. Seperti dikemukakan oleh salah satu warga:
“….Kalo dulu masih boleh waktu perhutani yang ngelola neng. Tapi sekarang mah udah gak boleh nebang pohon, ngegarap. Tapi ya buat makan sehari-hari jadi ditanamin aja sama padi, sayuran…..” Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa mereka membutuhkan pengganti atau kompensasi agar tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka seharihari tanpa harus merusak hutan dan melanggar aturan yang dikeluarkan oleh BTNGHS.
5.2.1 Budidaya Pertanian Salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat adalah melakukan budidaya pertanian di lahan kawasan taman nasional. Pada Saat hutan dikelola oleh Perhutani kegiatan tersebut diperbolehkan, tetapi setelah kawasan ditetapkan menjadi taman nasional kegiatan tersebut dilarang. Sebagian masyarakat telah terbiasa menggunakan lahan tersebut dan tidak bisa begitu saja dihentikan meskipun telah ada larangan yang jelas. Mereka tetap menggarap dan menggunakan lahan kawasan taman nasional untuk bertani sawah maupun kebun.
24
Hal itu dilakukan karena beberapa anggota masyarakat tidak memiliki lahan milik pribadi yang dapat dimanfaatkan sehingga satu-satunya yang bisa digunakan adalah lahan kawasan taman nasional.
Gambar 4 Budidaya padi di kawasan taman nasional
Gambar 5 Budidaya cabai di kawasan taman nasional Lahan yang digarap oleh masyarakat adalah hutan yang sebelumnya dikuasai oleh Perhutani sebagai hutan produksi. Lahan tersebut ditumpangsarikan dengan tanaman yang mereka butuhkan seperti jagung, hanjeli dan singkong. Tanaman ditanam di sela-sela tanaman pokok Perhutani disesuaikan dengan jarak tanam
antar
pohon
sampai
lahan
tidak
memungkinkan
lagi
untuk
ditumpangsarikan karena tanaman pokoknya telah tumbuh besar hingga menghalangi jatuhnya cahaya ke tanaman masyarakat. Dengan diberikannya kesempatan menanam di lahan pengelolaan Perhutani masyarakat merasa cukup puas karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga tidak ada keinginan membuka lahan yang sebelumnya ditetapkan sebagai cagar alam. Setelah alih fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan taman nasional pada tahun 2003, maka berdasarkan peraturan dan undang-undang, lahan
25
tersebut tidak boleh lagi dijadikan lahan pertanian. Sehingga secara perlahanlahan masyarakat diminta untuk menanami lahan tersebut dengan tanaman asli taman nasional dan tidak menumpangsarikan lahan dengan tanaman perkebunan. Tetapi hal itu tidak serta merta dilakukan, sebagian masyarakat tetap menanami lahan tersebut dengan tanaman pertanian. Karena pertambahan jumlah penduduk maka lahan yang selama ini digunakan oleh masyarakat dirasa kurang sehingga mereka mulai menggarap lahan di kawasan taman nasional. Lahan yang digarap masyarakat adalah lahan yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka atau di sekitar batas kawasan taman nasional dan tidak terlalu jauh masuk ke dalam kawasan. Tidak adanya pal batas yang jelas pada kawasan taman nasional merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat menggarap lahan tersebut. Luas lahan yang digarap biasanya disesuaikan dengan kemampuan fisik masyarakat dalam membuka lahan. Mereka membuka lahan secara manual tanpa menggunakan mesin tertentu sehingga lahan yang digarap oleh masing-masing keluarga biasanya tidak terlalu luas, yaitu sekitar ratusan sampai ribuan meter persegi. Dari sepuluh informan yang menggunakan lahan di kawasan taman nasional, rata-rata lahan yang digarap seluas 4.l40 m2/keluarga. Selain didasarkan pada kesanggupan membuka lahan, luas lahan yang digarap juga didasarkan pada tingkat kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat yang dimaksud hanya terbatas pada kebutuhan pangan masyarakat saja. Alat yang digunakan dalam membuka lahan adalah cangkul, golok dan parang. Mereka menggunakan alat-alat tersebut karena tidak memiliki alat lain yang lebih bagus dan modern sehingga pembukaan lahan dilakukan secara manual dengan alat seadanya. Pembukaan lahan dilakukan secara individu oleh keluarga yang akan membuka lahan. Pada umumnya dilakukan oleh laki-laki baik itu bapak ataupun anak dalam satu keluarga. Dalam membuka lahan ritual yang dilakukan masyarakat adalah membaca doa-doa dan pemberian sesaji/kemenyan yang dilakukan oleh seorang puun. Puun adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan ritual-ritual tersebut. Tujuan dilakukan ritual tersebut adalah untuk memohon izin kepada jin-jin yang dianggap ada oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang akan mereka buka.
26
Membuka lahan dilakukan dengan membersihkan pohon-pohon, tumbuhan bawah, rumput dan sampah-sampah yang ada di lahan tersebut. Pembakaran lahan juga dilakukan untuk membersihkan lahan dan mematikan hama. Tidak ada waktu khusus dalam mebuka lahan. Masyarakat bisa kapan saja melakukan kegiatan tersebut, kecuali pada hari Jum’at dimana akan dilaksanakan sholat Jum’at, pada hari itu masyarakat membuka lahan hanya sampai pukul ll.00 WIB. Masyarakat menggunakan lahan tersebut untuk dijadikan sawah, kebun atau huma. Pemilihan sawah, kebun atau huma didasarkan pada kemampuan masyarakat dalam mengelola lahan. Pada masyarakat yang berkebun, tanaman yang ditanam di kebun masyarakat adalah jagung, kacang, cabai, dan sayur mayur. Setelah adanya anjuran dari BTNGHS, sebagian masyarakat menanami tanaman kayu di lahan kebun, sawah atau huma mereka. Tanaman kayu tersebut diantaranya adalah puspa dan rasamala, biasanya ditanam di tepi lahan. Mereka menanami tanaman berkayu untuk dijadikan simpanan dan digunakan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
5.2.2 Menebang Pohon Penebangan pohon dilakukan oleh sebagian warga masyarakat untuk bahan pembuatan rumah. Masyarakat menebang pohon karena mahalnya harga bahan bangunan dan harga kayu jika membeli kayu secara legal. Sementara pendapatan masyarakat pada umumnya tidak mencukupi, di sisi lain mereka sangat membutuhkan tempat tinggal. Penebangan pohon untuk pembuatan rumah telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Mereka terbiasa memanfaatkan apa yang dihasilkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat menebang pohon hanya sebatas kebutuhan mereka. Biasanya kebutuhan kayu untuk membuat rumah sekitar 4 sampai 5 meter kubik. Kayu yang dijadikan bahan baku pembuatan rumah diantaranya jenis Puspa, Waru, Huru, Sengon, Manii, dan Rasamala. Jenis-jenis tersebut dipilih karena jenis tersebut tersedia di hutan. Penebangan pohon dilakukan secara individu oleh orang/keluarga yang membutuhkan. Sebelum penebangan dilakukan, biasanya mereka meminta permohonan dengan sesaji/kemenyan dan mengucap doa-doa agar penghuni
27
pohon tersebut tidak mengganggu proses penebangan. Dalam proses menebang pohon, biasanya mereka menentukan arah rebah terlebih dahulu. Pohon yang rebah diarahkan pada tempat atau lahan yang aman agar tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman lain di sekitarnya. Penentuan arah rebah ini juga didasarkan pada arah angin dan arah tajuk pohon agar penebangan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Setelah itu dibuat takik rebah dan takik balas pada pohon yang akan ditebang kira-kira 40-60 cm di atas permukaan tanah dengan tujuan mempermudah proses penebangan. Alat yang biasa digunakan masyarakat untuk menebang kayu adalah golok dan kapak. Masyarakat tidak pernah menggunakan chainsaw karena harganya yang relatif mahal, selain itu penebangan pohon juga relatif jarang dilakukan kecuali jika masyarakat membutuhkan kayu untuk membuat rumah. Masyarakat yang menebang kayu relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, hal ini terjadi setelah pembatasan dari BTNGHS diperketat dan sanksi yang telah dibuat,. Terlebih setelah ada beberapa kasus seperti penangkapan penduduk yang tertangkap memiliki kayu ilegal. Penduduk yang tertangkap menebang atau memiliki kayu ilegal diserahkan kepada yang berwajib untuk diproses secara hukum. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (Arman Mallolongan), dari data empiris menunjukan bahwa kawasan TNGHS seluas 113.357 hektar telah mengalami penurunan kualitas dan degradasi hutan seluas 22.000 hektar atau 19,4 %. Penutupan lahan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging, penambangan emas liar dan perambahan hutan yang telah memasuki kawasan hutan konservasi (Veto News 25 Januari 2011)
5.2.3 Mengambil Kayu Bakar Pengambilan kayu untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga dilakukan sesuai dengan kebutuhan rumah tangga masing-masing. Saat ini tidak semua rumah tangga masih memakai kayu bakar karena pada umumnya mereka sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada penduduk yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Sejak dahulu
28
penduduk mengambil kayu bakar di dalam hutan. Tetapi biasanya mereka mengutamakan mengambil kayu yang telah mati dan tidak menebang kayu yang masih hidup. Jenis kayu yang dijadikan kayu bakar oleh penduduk Cipeuteuy adalah Kaliandra. Kaliandra dipilih karena dinilai bagus dan merupakan jenis kayu yang mudah tumbuh lagi. Biasanya masyarakat mengambil kaliandra di talut hutan atau sungai. Jika kaliandra ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh banyak. Sehingga penebangan Kaliandra ditalut hutan/sungai diyakini masyarakat dapat manjaga atau melindungi hutan. Pada
jaman dahulu, terdapat aturan dari nenek moyang secara turun
temurun yang melarang pengambilan kayu bakar pada hari Sabtu di dalam hutan. Masyarakat meyakini pada hari tersebut di daerah-daerah yang rawan banyak binatang buas dan makhluk halus yang akan mengganggu masyarakat. Akan tetapi saat ini masyarakat dapat dengan bebas mengambil kayu bakar di hari apapun. Kaliandra yang diambil adalah yang sudah cukup besar batang kayunya. Cara mengambilnya yaitu dengan ditebas batangnya di atas permukaan tanah sekitar 40-60 cm kemudian batang kayunya dipotong-potong sekitar satu meter agar mudah dibawa ke rumah, sedangkan daun-daunnya di biarkan saja tanpa dibersihkan untuk dijadikan pupuk sehingga dapat menyuburkan tanah. Pada umumnya pengambilan kayu bakar dilakukan oleh laki-laki. Masyarakat mengambil kayu bakar dengan menggunakan golok secara individu untuk kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Mereka mengambil kayu bakar sebanyak satu pikul dan satu kali selama seminggu. Kayu bakar diangkut dengan menggunakan kendaraan seperti motor atau sepeda atau dengan dipikul di atas punggung bagi yang tidak memiliki kendaraan. Lahan-lahan garapan dan lahan milik masyarakat sudah banyak ditanami kaliandra untuk kebutuhan bahan bakar. Masyarakat tidak selamanya harus masuk ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Hal ini memudahkan masyarakat karena pengambilan kayu bakar dilakukan berbarengan dengan kegiatan bersawah atau berkebun sehingga jarak yang mereka tempuh menjadi lebih dekat.
29
5.2.4 Mengambil Rumput Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang masyarakat mengambil rumput di dalam kawasan hutan. Akan tetapi pengambilan rumput untuk pakan ternak terus dilakukan oleh sebagian warga masyarakat, terlebih lagi tidak ada penerapan sanksi yang dilakukan oleh BTNGHS terhadap warga yang memasuki hutan hanya untuk mengambil rumput untuk ternak mereka. Binatang ternak penduduk Cipeuteuy yang memakan rumput dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy Jenis Ternak Sapi Kuda Domba Kambing
Jumlah Peternak 1 1 310 15
Perkiraan Jumlah Populasi 30 30 1554 175
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah populasi ternak yang membutuhkan rumput untuk pakan mencapai 1.789 ekor. Jika pengambilan rumput di dalam kawasan hutan dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan aspek konservasi, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi lahan yang mengakibatkan kerusakan kawasan hutan. Masyarakat mengambil rumput pada pagi atau sore di setiap harinya. Alat yang digunakan pada umunya adalah sabit dan parang. Tidak ada ritual tertentu dalam proses mengambil rumput karena hal tersebut dianggap kegiatan yang biasa oleh masyarakat setempat. Saat ini kegiatan mengambil rumput dilakukan oleh siapa saja baik itu laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau orang tua. Sebagian warga masyarakat menggunakan kendaraan bermotor atau sepeda saat mengangkut rumput untuk dibawa pulang, karena sebagian besar masyarakat sudah memiliki kendaraan bermotor. Motor menjadi sangat penting untuk masyarakat karena jarangnya angkutan umum yang lewat, terlebih beberapa jalan tidak bisa dilewati mobil atau angkutan umum dan hanya bisa dilalui oleh kendaran bermotor. Sebagian warga berjalan kaki dalam mengangkut rumput dengan memikul rumput yang telah diikat di atas punggung. Biasanya, mereka mengambil rumput sebanyak satu atau dua ikat dalam setiap kali mengambil
30
rumput. Hal itu didasarkan pada kebutuhan pakan ternak mereka untuk satu atau dua hari.
Gambar 6 Kegiatan mengambil rumput oleh masyarakat
5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat penting bagi kelestarian kawasan taman nasional. Penanaman tanaman berkayu di lahan garapan masyarakat awalnya adalah anjuran dari pihak BTNGHS yang ingin mengembalikan lahan garapan menjadi hutan dengan tanaman asli taman nasional. Akan tetapi masyarakat enggan melakukannya karena mereka masih membutuhkan lahan untuk bertani. Di sisi lain sebagian masyarakat juga menanami lahan mereka dengan tanaman berkayu yang ditanam di pinggir-pinggir lahan pertanian. Tanaman berkayu tersebut ditanam karena diyakini dapat menyuburkan tanah dan mencegah erosi. Selain itu sebagian masyarakat menanam tanaman berkayu sebagai simpanan untuk ditebang dan dijual jika suatu saat membutuhkannya. Pengetahuan lokal masyarakat dalam membuka lahan yaitu pembakaran semak belukar, ranting, dan daun dengan tujuan membersihkan lahan dan mematikan hama penyakit. Menebang pohon dilakukan dengan memperhatikan arah rebah pohon dan arah angin. Arah rebah ditentukan agar tidak mengenai dan merusak pohon lain yang mungkin terkena saat proses penebangan berlangsung. Hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari kerusakan yang timbul pada kayu akibat penebangan. Pemilihan kaliandra oleh masyarakat sebagai kayu bakar karena kaliandra merupakan tanaman yang mudah tumbuh. Masyarakat biasanya mengambil kaliandra di talut sungai atau kali. Masyarakat mengetahui bahwa jika kaliandra
31
ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh banyak, sehingga
pengambilan
kaliandra di talut sungai atau kali dapat mencegah terjadinya erosi. Pengambilan rumput selain untuk pakan ternak juga dapat membantu membersihkan lahan pertanian. Saat ini pengambilan rumput jarang dilakukan di kawasan taman nasional karena terlalu jauh. Sebagian warga masyarakat biasanya mengambil rumput langsung di lahan milik pribadi atau di lahan garapan mereka. Tabel 8 Peran pengetahuan lokal dalam pengelolaan taman nasional No 1
Kegiatan
Pengetahuan
Peran pengetahuan local
Budidaya
-Penanaman
-Penanaman tanaman berkayu di lahan pertanian
pertanian di
tanaman berkayu di
masyarakat dapat membantu menjaga kesuburan
kawasan taman
lahan garapan
tanah
nasional
masyarakat -membuka lahan
-Dilakukan untuk membersihkan lahan dari semak
dengan membakar
belukar dan dapat mematikan hama
semak belukar
2
Menebang
-menentukan arah
- Pohon rebah diarahkan pada tempat atau lahan
pohon
rebah pohon
yang aman agar tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman lain disekitarnya
3
Mengambil
-mengambil kayu
kayu bakar
yang telah mati
-menghindari pengambilan kayu yang masih hidup
-mengambil kayu
-Kaliandra merupakan kayu yang cocok untuk
Kaliandra
kayu bakar dan merupakan jenis yang mudah tumbuh lagi
4
Mengambil
-pengambilan
-Keadaan lahan menjadi bersih dari rumput liar
rumput
rumput untuk pakan
sehingga air hujan yang jatuh dapat cepat diserap
ternak di lahan
tanah dan memelihara kesuburan tanah
pertanian masyarakat
5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Partisipasi
masyarakat Cipeuteuy dalam pengelolaan kawasan taman
nasional diantaranya dilakukan dengan membatasi interaksi mereka dengan hutan. Pembatasan yang dilakukan diantaranya pembatasan penebangan pohon, pembatasan pengambilan kayu bakar dan pembatasan mengambil rumput langsung dari kawasan hutan, tidak melakukan perburuan, dan tidak menambah
32
atau memperluas lahan garapan. Masyarakat dapat melakukan pembatasan tersebut karena adanya perubahan pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit. Partisipasi masyarakat Desa Cipeuteuy juga dapat dilihat dari penerapan nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai tersebut berupa larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain itu terdapat larangan menebang pohon, larangan menggarap lahan, dan larangan menjual hasil hutan. Laranganlarangan tersebut muncul akibat adanya peraturan dari BTNGHS yang dilebur dengan aturan masyarakat Cipeuteuy, sehingga secara tidak langsung hal tersebut membangun kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan. Hal lain yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan TNGHS yaitu kerjasama warga masyarakat dengan BTNGHS. Kerjasama tersebut yaitu dengan membentuk tim patroli hutan. Patroli hutan dilakukan untuk menjaga kawasan TNGHS dari perburuan, penebangan, penjarahan dan pencurian kayu. Kerjasama dengan masyarakat dilakukan karena petugas BTNGHS tidak dapat bekerja sendiri dalam menjaga kawasan taman nasional yang luasnya mencapai 113.357 hektar. Untuk itu peran nyata masyarakat sangat diperlukan. Dari 30 penduduk yang diwawancarai sebanyak 4 orang atau 13,33 % ikut melakukan patroli hutan bersama petugas, sedangkan 26 orang menyatakan tidak atau sangat jarang. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan patroli yaitu masyarakat yang memiliki kedekatan atau hubungan langsung dengan pihak BTNGHS.
5.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional 5.4.1.1 Faktor Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap apa yang ditemuinya. Pengetahuan masyarakat mengenai konservasi dan pentingnya melakukan konservasi membuat masyarakat Cipeuteuy membatasi penggunaan hasil hutan. Pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan membuat masyarakat membatasi penebangan pohon yang mereka lakukan di
33
hutan, atau bahkan menghentikannya sama sekali jika tidak ada keperluan yang benar-benar penting. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya penjagaan hutan dilakukan dengan cara ikut serta dalam melakukan patroli hutan yang dikoordinir oleh petugas BTNGHS. Begitu juga dengan pengetahuan lokal masyarakat dalam melakukan aktivitas seperti bertani, mengambil rumput, menebang pohon, dan mengambil kayu bakar dilakukan dengan cara-cara tradisional masyarakat yang dapat meminimalkan kerusakan.
5.4.1.2 Faktor Ekonomi Faktor lain yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah faktor ekonomi. Sebagaimana masyarakat lainnya, masyarakat Desa Cipeuteuy juga memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Masyarakat Cipeuteuy merupakan masyarakat yang hidup dekat dengan kawasan TNGHS sehingga memiliki interaksi yang cukup erat dengan kawasan TNGHS. Begitupun dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari, masyarakat Cipeuteuy biasanya bergantung pada sumber daya alam yang terdapat di kawasan TNGHS, seperti kebutuhan kayu untuk membuat rumah, bahan bakar, dan bercocok tanam. Kebutuhan ini membuat masyarakat tidak bisa lepas sepenuhnya dengan hutan meskipun mereka memahami pentingnya menjaga kelestarian hutan, sedangkan pada umunya masyarakat tidak memiliki mata pencarian lain atau keahlian lain yang dapat menopang kehidupan mereka. Untuk itu perlu adanya perhatian yang lebih dari pemerintah terkait hal ini agar masyarakat bisa tetap memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus merusak kawasan TNGHS.
5.4.1.3 Faktor Konflik Masyarakat dengan Pemerintah Partisipasi masyarakat Cipeuteuy dalam pengelolaan TNGHS tidak dapat lepas dari dukungan berbagai pihak yang terkait. Salah satunya adalah pemerintah yang memiliki peran yang cukup strategis dalam pengelolaan kawasan TNGHS. Kebijakan pemerintah dalam mengelola kawasan TNGHS merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi sikap masyarakat. Dukungan yang diberikan akan sangat berarti dan membantu masyarakat dalam memahami pentingnya kelestarian suatu kawasan hutan sehingga dapat terwujud dalam tindakan nyata masyarakat.
34
Akan tetapi, sikap pemerintah yang dinilai tidak bersahabat justru akan menjadi ancaman bagi pengelolaan kawasan TNGHS. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan beberapa warga mengatakan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah atau petugas karena telah melakukan penangkapan terhadap warga yang tertangkap memiliki kayu ilegal meskipun bukan warga tersebut yang menebangnya. Untuk itu perlu adanya komunikasi yang efektif dan kerjasama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah agar pengelolaan kawasan TNGHS dapat berjalan beriringan sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak dengan tetap menjaga kelestarian hutan.
35
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Pengetahuan masyarakat tentang konservasi terwujud dari adanya aturan atau larangan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat, baik larangan yang tumbuh dengan sendirinya maupun larangan yang disosialisasikan oleh BTNGHS. Larangan-larangan tersebut yaitu larangan memasuki kawasan cagar alam, larangan menggarap lahan, larangan menebang pohon, dan larangan menjual hasil hutan. 2. Dalam interaksinya dengan hutan, masyarakat masih terus melakukan pemanfaatan kawasan berupa budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar dan mengambil rumput untuk pakan ternak. Meskipun telah ada aturan yang melarang kegiatan pemanfaatan tersebut masyarakat tidak serta merta dapat meninggalkan aktivitas tersebut. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak memiliki keahlian lain yang dapat dijadikan mata pencaharian. Oleh karena itu sampai saat ini masyarakat tetap melakukan kegiatan pemanfaatan dengan berusaha meminimalkan dampak buruk yang ditimbulkan.
6.2 Saran Pengelolaan suatu kawasan khususnya Taman Nasional untuk menjaga kondisi agar tetap lestari dibutuhkan keterlibatan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Perhatian dan dukungan yang cukup dari pemerintah atau petugas BTNGHS sangat diharapkan agar dapat mengkondisikan masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan pengelolaan TNGHS. Akan tetapi karena kebutuhan masyarakat yang terus berjalan dan tidak adanya keahlian lain yang dimiliki masyarakat menjadikan masyarakat tidak siap atas aturan-aturan yang dikeluarkan. Meskipun pada umunya mereka memahami mengapa dilakukan pembatasan akses terhadap kawasan TNGHS. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah untuk membuat program-program yang dapat meningkatkan keahlian masyarakat dibidang-bindang yang tidak bertentangan dengan pelestarian kawasan hutan. Dengan demikian pengelolan
36
kawasan TNGHS akan lebih mudah dilaksanakan karena adanya dukungan dari masyarakat.
37
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2011. Kualitas Hutan TNGHS Semakin Menurun. http://vetonews.com [25 Jan 2001]. Asiah N. 2009. Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. BTNGHS. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2007-2026). Kabandungan (tidak diterbitkan). . CIDA. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Mayarakat. Samarinda. Departemen Kehutanan RI. 1990. Undang-Undang No. 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dephut. Jakarta. Departemen Kehutanan RI. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dephut. Jakarta. Faisal dan Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka Latin. Fenny. 2009. Sukses Model Desa Konservasi. http://agroindonesia.co.id. [19 Juni 2009]. Harmita D. 2009. Model Kampung Konservasi ( Saling Percaya dan Menghargai Perspektif yang Berbeda). Sukabumi: TNGHS dan JICA. Helmi. 2006. Perjuangan Menuju Kepastian Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat. Di dalam: Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Departemen Kehutanan RI. hlm 3-24 Kurniasih P. 2004. Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Hutan Kota [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mainawati S. 2004. Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Kawasan Taman Nasional [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Mirmanto E, Wiriadinata H, Royyani MF, Ichikawa S, dan Ismirza. 2008. Merajut Pesona Flora Hutan Pegunungan Tropis di Gunung Salak. Sukabumi: TNGHS, JICA, dan Pusat Penelitian Biologi. Nurhayati I. 2006. Studi Pengetahuan Tradisional Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, Kabupaten Paser, Provinsi
38
Kalimantan Timur: Kajian Pemanfaatan Tumbuhan. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri Kehutanan. 2006. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56/Menhut-II/2006 : Jakarta. Puspita D. 2006. Pengetahuan Masyarakat dan Konservasi Kedaung [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suharjito D, Khan A, Djatmiko WA, Sirait MT, Evelyna. 2000. Pengelolaan Hutan BerbasiskanMasyarakat. Yogyakarta. Aditya Media. Tim Penulis RMI. 2009. Masyarakat, Kawasan Halimun dan Common Property. Trison S. 2005. Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan: Kasus di Hutan Pedidikan Gunung Walat Sukabumi [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Widada, Mulyati S, dan Konayashi H. 2006. Sekilas tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Ditjen PHK-JICA.