PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat
BUDI YAHNA WIHARJA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PENGETAHUAN LOKAL TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
BUDI YAHNA WIHARJA E14050422
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRAK
BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan menjelaskan perubahan pengetahuan lokal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta pada bulan Januari 2011 sampai Februari 2011. Metode yang digunakan adalah survei melalui teknik wawacara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk teks narasi dan tabulasi. Gagasan dan tindakan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat mencakup persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Persiapan lahan merupakan bentuk usaha petani agar kondisi lahan siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Persiapan bibit dilakukan agar kondisi bibit pohon yang siap tanam dapat tumbuh dengan baik. Penanaman dilakukan agar pertumbuhan bibit pohon yang ditanam di dalam tanah dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan dilakukan agar kondisi tanaman yang ditanam tetap baik sehingga hasil produksi diperoleh secara optimal. Pemanenan dilakukan agar dapat memperoleh hasil hutan berupa kayu yang sudah siap tebang. Seiring dengan kemajuan jaman, pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat mengalami perubahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dipengaruhi oleh adanya orientasi kebutuhan ekonomi rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) dan kemajuan teknologi pengetahuan/informasi, seperti media cetak dan media audio-visual.
Kata kunci: Pengetahuan Lokal, Hutan Rakyat, Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung.
ABSTRACT
BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Local Knowledge Private Forest Management in Pasir Jambu and Gunung Karung Villages Maniis Sub District Purwakarta District West Java Province. Under supervision of DIDIK SUHARJITO. This research aims to describe the local knowledge private forest
management and explain the changes of local knowledge as well as the factors that influencing it. This research was carried in Pasir Jambu and Gunung Karung Villages Maniis Sub District Purwakarta District in January to February 2011. The method used for this study was survey by conduction interview techniques, observation and secondary data collection. Data analysis was done on a descriptive and presented in the form of narrative text and tabulations. Local communities ideas and actions about private forest management include land preparation, seed preparation, planting, maintenance and harvesting. Land preparation is an efforts by farmers so that the condition of land are ready for plantation and planted crops can grow properly. Preparation of seeds is done so that the condition of the tree seedlings that are ready to be planted can grow properly. Plantation is done so that the growth of trees seedlings which is planted in the ground can grow properly. Maintenance is done so that the condition of the crops planted remained well so that the optimal results for production can be obtained. Harvesting is done in order to obtain forest product as a timber which is ready to cut. Along with the advanced age, local knowledge private forest management changes. Factors that affect these changes is affected by the orientation of the economic needs of the private forest farmers households and the advancements of information technology, such as news papers and other audio visual media.
Key words: Local Knowledge, Private Forest, Pasir Jambu and Gunung Karung
Villages.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Nopember 2011
Budi Yahna Wiharja NIM E14050422
Judul Skripsi
Nama NIM
: Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Pasir Jambu Dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat : Budi Yahna Wiharja : E14050422
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1001
Tanggal Lulus
:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian
yang
dilakukan
selama
dua
bulan.
Penelitian
ini
berjudul
“Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Pasir Jambu
dan
Desa Gunung Karung
Kecamatan
Maniis Kabupaten
Purwakarta Propinsi Jawa Barat”, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat, perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, namun demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan masyarakat
lokal tentang
pengelolaan hutan rakyat, perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan mengenai hutan rakyat.
Bogor, Nopember 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Karawang, pada tanggal 22 Juni 1985 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan H. Yahya Sunarya dan Hj. Nikmah Alhayati. Penulis memulai pendidikan di SDN
III
Gempol
Karawang
pada
tahun
1993
dan
menyelesaikannya pada tahun 1999, kemudian penulis melanjutkan ke SMP Islam Cipasung Tasikmalaya pada tahun 1999 dan menyelesaikannya pada tahun 2002 dan melanjutkan di SMA Darul Ulum 3 Jombang pada tahun 2002 dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Pada Tahun 2005 penulis masuk Institut Pertanian Bogor melaui jalur USM-IPB (Undangan Seleksi Masuk IPB), pada tahun 2007 penulis masuk program Mayor Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Intitut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahaan di Fakultas Kehutanan penulis merupakan anggota FMSC (Forest Management Student Club) dan IFSA (International Forestry Student Accociation) pada tahun 2007. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap dan Baturraden, Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi dan KPH Cianjur Unit III Jawa Barat pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Arara Abadi, Riau. Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ’’Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat’’, dibawah bimbingan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan rangkaian kegiatan pekuliahan sampai terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Pada Kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing yang dengan ketulusan dan keikhlasan beliau dalam membimbing, memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi. 2. Orang tua penulis Bapak H. Yahya Sunarya dan Hj. Nikmah Alhayati yang senantiasa melantunkan do‟anya dan tanpa keluh kesah mencari rizki untuk kesuksesan anak tercinta. 3. Kakak tercinta Dra. Titin Rohayati, H. Asep Gunawan, SE, Fitri Mimin Nurhayati dan Nacep Deden yang tak henti-henti dengan ikhlas memberikan semangat, senyum dan do‟anya kepada penulis. 4. Staf Dinas Kehutanan Purwakarta atas bantuannya selama penelitian. 5. Evy Yustina Putri atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan motivasi dan doa untuk penulis. 6. Wisma kardita crew “amazing group” (Indri, Bebi, Citra, Anita, Nilam, Risto, Wani, Koko, Topan, Moji, Coki, Gareng, Hangga, Ratih dan Ragil). 7. Keluarga besar Departemen Manajemen Hutan angkatan 42 atas persahabatan, kasih sayang dan motivasinya.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................
2
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
3
2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya .......................................
3
2.2 Pengetahuan Lokal ...............................................................
7
2.3 Perubahan Pengetahuan Lokal dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ................................................................
8
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................
10
3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................
10
3.2 Definisi Operasional ............................................................
11
3.3 Waktu dan Lokasi ................................................................
15
3.4 Metode Pemilihan Responden ..............................................
16
3.5 Jenis Data ............................................................................
16
3.6 Metode Pengumpulan Data ..................................................
16
3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................
17
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ..........................
18
4.1 Keadaan Biofisik ..................................................................
18
4.1.1 Letak dan Aksesibilitas ...............................................
18
4.1.2 Topografi, Luas dan Pola Penggunaan Lahan ..............
20
4.2 Keadaan Sosial dan Ekonomi ...............................................
22
4.2.1 Administrasi Pemerintahan .........................................
22
4.2.2 Demografi ..................................................................
22
4.2.3 Agama dan Pendidikan ...............................................
24
4.2.4 Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat .......
26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................
30
5.1 Pengetahuan Lokal pada Pengelolaan Hutan Rakyat .............
32
5.1.1 Persiapan Lahan ...........................................................
32
5.1.2 Persiapan Bibit............................................................
34
5.1.3 Penanaman .................................................................
38
5.1.4 Pemeliharaan ..............................................................
40
5.1.5 Pemanenan .................................................................
43
5.1.6 Kegiatan Pengelolaan Berikutnya ...............................
46
5.2 Proses Perubahan Pengetahuan Lokal dan Faktor Penyebab Perubahan Pengetahuan Lokal ..............................................
47
5.2.1 Proses Perubahan Pengetahuan Lokal .........................
47
5.2.2 Faktor Penyebab Perubahan Pengetahuan Lokal .........
53
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
55
6.1 Kesimpulan ..........................................................................
55
6.2 Saran ....................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
57
LAMPIRAN ............................................................................................
59
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat ......
12
2.
Pemerincian mata pencaharian petani .................................................
15
3.
Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan lahannya .........................................................................
21
Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan kelompok umur ..............................................................
23
Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan ..........................................................
24
Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut jenis pekerjaan .....................................................................
26
Jumlah jenis komoditas di Desa pasir Jambu dan Desa Gunung Karung ...............................................................................................
27
Kepemilikan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung ...............................................................................................
28
Daftar harga setiap jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling bibit dan kios bibit .............................................................................
38
10. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan persiapan lahan ...
48
11. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan persiapan bibit ....
49
12. Proses perubahan pengetahuan pada lokal kegiatan penanaman ..........
50
13. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan pemeliharaan ......
51
14. Proses perubahan pengetahuan pada lokal kegiatan pemanenan ..........
52
4.
5.
6.
7.
8.
9.
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Pemerincian kebudayaan kedalam unsur-unsurnya yang khusus .........
11
2.
Kondisi jalan penghubung ..................................................................
19
3.
Kondisi lahan dalam tahap persiapan lahan ........................................
32
4.
Tempat persemaian yang dimiliki petani ............................................
36
5.
Kondisi bibit ......................................................................................
37
6.
Kegiatan pada proses penanaman .......................................................
40
7.
Bahan dan alat yang digunakan petani dalam tahap pemeliharaan tanaman .............................................................................................
41
8.
Kegiatan yang dilakukan petani pada proses pemanenan ....................
44
9.
Proses pengangkutan kayu bulat dan pengolahan kayu bulat ..............
46
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ............................................................................
59
2. Luas kepemilikan lahan garapan ...........................................................
60
3. Pengklasifikasian terhadap gagasan atau tindakan menurut perspektif petani ...................................................................................................
61
4. Akses informasi....................................................................................
62
5. Peralatan yang digunakan oleh petani ...................................................
63
6. Dokumentasi foto selama penelitian .....................................................
64
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hutan rakyat sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan kayu
nasional,
saat
ini
masih
memerlukan
beberapa
kajian
dalam
pengembangannya. Pengembangan hutan rakyat dari aspek pengelolaan yang ada saat ini terkendala pada pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang melakukan pengelolaan hutan rakyat cenderung berpendidikan rendah dan memiliki keterbatasan terhadap informasi mengenai pengelolaan. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan saat ini masih sebatas pada pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal hadir berdasarkan pemahaman mereka yang terjadi sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun, akan tetapi untuk mengembangkan pengetahuan lokal tersebut agar dapat diimplementasikan kedalam pengelolaan hutan yang lebih baik, perlu dilakukan sebuah kajian; salah satunya mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat. Hal di atas dapat diperkuat dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Nurasiah (2009) dan Fakihhudin (2010) yang menyatakan pengetahungn lokal masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat masih perlu dikaji dan dipelajari. Dengan adanya penelitian ini, secara langsung dapat mengetahui dan mempelajari sejauh mana perkembangan pengetahuan lokal khususnya tentang pengelolaan hutan rakyat di suatu daerah dengan berbagai macam bahasa, suku dan budaya yang sudah melekat pada masyarakat lokal. Pengetahuan lokal yang ada dalam suatu masyarakat kerap kali dipengaruhi oleh situasi, kondisi dan budaya yang sudah melekat. Hal tersebut dapat mempengaruhi arah keputusan/tindakan yang diambil khususnya pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Kajian tentang pengetahuan lokal terkait dengan pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan di Kecamatan Maniis yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di wilayah administratif Kabupaten Purwakarta yang memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan hutan rakyat dengan luasan 13.299,74 ha.
1.2 Perumusan Masalah Pengetahuan masyarakat lokal akan berkembang jika masyarakat lokal tersebut dapat membuka diri terhadap sesuatu yang baru. Masyarakat lokal harus menyadari betul bahwa suatu perubahan itu tidak akan tercipta tanpa adanya kemauan untuk merubah diri, terkurung dalam suatu budaya dan norma yang mengikat belum tentu akan membuat segalanya lebih baik. Salah satu contoh pengetahuan masyarakat lokal yang perlu dikembangkan adalah pengetahuan petani terkait dengan pengelolaan hutan rakyat. Pengetahuan masyarakat lokal tersebut dapat digali dan dikembangkan melalui beberapa cara, yaitu penelitian (reseach), kegiatan penyuluhan, media informasi audio-visual (seperti radio dan televisi), buku dan sarana komunikasi lainnya. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik pada umumnya diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di setiap daerah sangat penting untuk digali dan dipelajari. Beberapa parameter yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal dan sistem mata pencaharian masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dilihat dari tema budaya, pola sosial, gagasan, tindakan dan alat-alat budaya serta perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat
2.
Menjelaskan
perubahan
pengetahuan
masyarakat
lokal
tentang
pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
1.4 Manfaat Penelitian Memberikan perubahan
informasi
pengetahuan
mengenai
masyarakat
pengetahuan lokal
mempengaruhinya tentang pengelolaan hutan rakyat.
dan
masyarakat
lokal,
faktor-faktor
yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati lingkungan yang pemilikiannya berada pada rakyat (Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan 1995). Menurut SK menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan sumberdaya hutan adalah pembangunan hutan rakyat. Hal ini merupakan cara yang tepat karena pembangunan
hutan rakyat
dilakukan pada
tanah rakyat
yang status
kepemilikkannya sudah jelas. Salah satu usaha untuk mengembangkan pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Suharjito 2000) Balai Informasi Pertanian (1982) diacu dalam Suwardi (2010) membagi hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga bentuk, yaitu : a. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur. b. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. c. Hutan rakyat agroforestry, yaitu hutan yang memiliki bentuk usaha kombinasi kehutanan dangan cabang usaha tani lainnya, seperti perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara terpadu.
Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah yang dibangun di atas tanah milik. Pengertian seperti itu, kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata “rakyat” kiranya lebih ditujukan kepada pengelola yaitu “rakyat” kebanyakan, bukan pada status pemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan tetap dipertahankan maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta menguasai tanah milik tersebut untuk mengusahakan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat (Suharjito dan Darusman 1998) Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti agroforestry terdiri dari : a. Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk ditanami pohon milik rakyat sebaiknya dipilih kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara permanen. Apabila lahan-lahan tersebut sudah ada tanamantanaman yang berupa pohon, maka pohon dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan diantara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh akan menjadi lebih produktif. b. Persiapan lahan Tanah–tanah yang akan ditanami pohon pada umumnya berupa tanah yang telah menjadi kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak mengandung tanaman liar. Karena itu untuk menanam pohon tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter lubangnya ± 100 cm (sistem cemplongan). Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. c. Pemilihan jenis kayu Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang sudah lazim ditanam, di pulau Jawa misalnya: kayu sengon, kayu afrika, mindi dan
lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri. d. Pengadaan bibit Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Untuk pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan cangkokkan pada tanaman muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan. e. Pengangkutan Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan, karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi persemaian yang dekat dengan lokasi penanaman, memiliki sumber air yang tersedia sepanjang tahun dan kondisi tanah yang datar. f. Penanaman Dalam menanam bibit perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat sesuai dengan rencana. Selain itu, tanaman kayu akan ditanam secara murni, tanaman yang akan dicampur dengan tanaman lain. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu. Sedangkan apabila tanaman kayu yang akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 m - 2 m. Hal ini akan tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m, sehingga per ha akan diperoleh 500 pohon, sedangkan diantara dua larikan pohon dapat ditanam palawija atau tanaman lain sebagai tanaman campuran. Bila jarak sesuai, tanaman campuran tidak akan saling mengganggu tanaman pokoknya. Penanaman sebaiknya
dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak membahayakan. g. Pemeliharaan tanaman Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya diantara larikan ditanam palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukkan,
penyiangan
melingkar,
meminimalkan
persaingan,
pemangkasan yang tepat dan melindungi pohon dari hama dan penyakit. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan kayunya. h. Penebangan Penebangan pohon–pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu : tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, penebangan
sebaiknya
dilaksanakan
secara
tebang
pilih.
Perlu
diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan maka perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar. i.
Penanaman kembali Di bekas pohon yang ditebang harus segera ditanami kembali, sehingga jumlah tanaman akan selalu tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.
j.
Kemurnian tanaman Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang
tidak saling mengganggu. Diantara tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela adalah jenis tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbiumbian dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palawija yang ada di bawahnya.
2.2 Pengetahuan Lokal Pengetahuan indigenous (pengetahuan lokal) secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warren 1991). Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda daripada sistem pengetahuan internasional. Menurut Johnson (1992) pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal seperti sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan kedalam suatu tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama akan menjadi suatu tindakan yaitu kearifan lokal. Menurut Berkes et al. (2000) Sistem pengetahuan dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori: pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal. Pengetahuan ilmiah adalah suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah yang dirancang secara seksama dan sudah terbakukan. Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses ekologi yang terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya berdasarkan
interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya kurang formal dibandingkan pengetahuan ilmiah. Menurut Mitchell et al. dalam Arafah (2002) Konsep pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003) pengetahuan lokal yang diterapkan oleh petani berasal dari pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya. Melalui aktivitas penelitian dan pengembangan secara informal, para petani menghasilkan pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk menghasilkan teknologi-teknologi baru.
2.3 Perubahan Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Scoones dan Thompson mengungkapkan bahwa para petani di negaranegara berkembang memiliki segudang simpananan pengetahuan, yang umumnya sudah selaras dengan kebutuhan, tujuan dan akses terhadap sumberdaya setempat. Artinya pengetahuan petani, seperti halnya profesional, bersifat dinamis, dipengaruhi dan berubah oleh faktor internal dan eksternal. Dewasa ini, sedang berkembang konsensus diantara profesional bahwa petani yang berbeda mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda. Perbedaan dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan dan sumberdaya yang dikuasai diantara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003). Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus-menerus berubah karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani dapat menjadi kompleks, kualitatif, logis walaupun kadang-kadang juga saling bertentangan. Berkaitan dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuwan yang diharapkan adalah bagaimana memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991). Adanya pengaruh globalisasi, mau tidak mau akan memaksa masyarakat lokal untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Tekanan
pada masyarakat indigenous untuk berintegrasi ke dalam tatanan masyarakat yang lebih besar akan menyebabkan pengetahuan indigenous yang ada mungkin menjadi kurang relevan. Kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial yang menciptakan pengetahuan dan praktek indigenous tersebut (Sunaryo dan Joshi 2003).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup merupakan bagian dari unsur pokok kebudayaan universal. Koentjaraningrat (2002) menjelaskan tujuh unsur pokok kebudayaan universal diantaranya: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian. Unsur pokok kebudayaan universal tersebut diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat), sistem sosial (aktivitas sosial) dan benda kebudayaan (alat-alat). Selanjutnya masing-masing pemerincian tersebut dapat diuraikan pada beberapa rincian berikut ini: 1.
Dari sistem budaya (adat istiadat) dapat diperinci kedalam beberapa kompleks budaya. Lalu kompleks budaya tersebut dapat diperinci lebih lanjut kedalam beberapa tema budaya, sehingga pada perincian terakhir yaitu gagasan.
2.
Dari sistem sosial (aktivitas sosial) dapat diperinci kedalam beberapa kompleks sosial. Lalu kompleks sosial tersebut dapat diperinci lebih lanjut kedalam beberapa pola sosial, sehingga pada perincian terakhir yaitu tindakan.
3.
Dari ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing mempunyai wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu unsur kebudayaan universal. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci menurut keempat tahap pemerincian seperti yang dilakukan pada sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial (aktivitas sosial). Namun semua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari bendabenda kebudayaan (alat-alat). Pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu komplek budaya dan
komplek sosial dari unsur kebudayaan universal tentang sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 1 di bawah ini:
Kebudayaan Universal
Sistem Pengetahuan dan Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem Budaya (adat)
Komplek Budaya
Sistem Sosial (aktivitas) sosial)
Kebudayaan Fisik (ala-alat)
Komplek Sosial Kebudayaan Fisik (ala-alat)
Tema Budaya
Pola Sosial Kebudayaan Fisik (ala-alat)
Gagasan
Tindakan
Gambar 1 Pemerincian kebudayaan kedalam unsur-unsurnya yang khusus (Koentjaraningrat 2002). 3.2 Definisi Operasional Dalam bidang kehutanan, salah satu unsur pokok yang ada pada kebudayaan universal yaitu sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup yang merupakan dua sistem yang akan dikombinasikan. Kombinasi kedua sistem ini dapat diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial (aktivitas sosial) yaitu sistem budaya (adat istiadat) yang turun-temurun dilakukan oleh masyarakat di seluruh dunia dan didalamnya terdapat sistem sosial (aktivitas sosial) berupa kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan fungsinya berupa aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Beberapa parameter mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat diklasifikasikan kedalam komplek budaya dan komplek sosial yang selanjutnya diperinci kedalam tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta kebudayaan fisik (alatalat budaya). Untuk memudahkan dalam menggali dan mempelajari parameter-
parameter tersebut dalam penelitian ini, maka dibuat pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat Subtema budaya Pengelolaan Hutan rakyat Persiapan lahan Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan persiapan lahan Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada persiapan lahan Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam persiapan lahan serta alasan fungsi dan cirinya
Persiapan bibit a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan persiapan bibit b. Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada persiapan bibit c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam persiapan bibit serta alasan fungsi dan cirinya
Gagasan Tindakan Benda kebudayaan Pembersihan lahan Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembersihan lahan Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembersihan lahan serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembersihan lahan serta alasan fungsi dan cirinya Pengolahan tanah Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pengolahan tanah Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pengolahan tanah serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pengolahan tanah serta alasan fungsi dan cirinya Pengadaan benih Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pengadaan benih Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pengadaan benih serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pengadaan benih serta alasan fungsi dan cirinya Persemaian Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan persemaian Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada persemaian serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam persemaian serta alasan fungsi dan cirinya
Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat (lanjutan) Subtema budaya Pengelolaan Hutan rakyat Penanaman a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan penanaman b. Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada penanaman c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam penanaman serta alasan fungsi dan cirinya
Gagasan Tindakan Benda budaya Pembuatan jarak tanam Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembuatan jarak tanam Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembuatan jarak tanam serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembuatan jarak tanam serta alasan fungsi dan cirinya Pembuatan lubang tanam Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembuatan lubang tanam Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembuatan lubang tanam serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembuatan lubang tanam serta alasan fungsi dan cirinya Memasukkan bibit ke dalam lubang tanam a. Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan memasukan bibit ke dalam lubang tanam b. Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada memasukan bibit ke dalam lubang tanam serta alasannya c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam memasukan bibit ke dalam lubang tanam serta alasan fungsi dan cirinya Pemeliharaan Pemupukan a. Tema budaya: perspektif petani Gagasan: alasan dari perspektif mengenai mengapa parameter ini ada petani, mengapa melakukan dalam melakukan pemeliharaan pemupukan b. Pola sosial: bagaimana parameter ini Tindakan: proses kegiatan yang berjalan dalam kegiatan yang dilakukan dilakukan pada pemupukan serta pada pemeliharaan alasannya c. Alat–alat: bentuk peralatan yang Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pemeliharaan serta digunakan dalam pemupukan serta alasan fungsi dan cirinya alasan fungsi dan cirinya
Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat (lanjutan) Subtema budaya Pengelolaan Hutan rakyat
Gagasan Tindakan Benda kebudayaan Penanggulangan hama dan penyakit Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan penanggulangan hama dan penyakit Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada penanggulangan hama dan penyakit serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam penanggulangan hama dan penyakit serta alasan fungsi dan cirinya Perlindungan lahan dan tanaman Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan perlindungan lahan dan tanaman Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada perlindungan lahan dan tanaman serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam perlindungan lahan dan tanaman serta alasan fungsi dan cirinya Pemanenan Penebangan a. Tema budaya: perspektif petani Gagasan: alasan dari perspektif mengenai mengapa parameter ini ada petani, mengapa melakukan dalam melakukan pemanenan penebangan b. Pola sosial: bagaimana parameter ini Tindakan: proses kegiatan yang berjalan dalam kegiatan yang dilakukan dilakukan pada penebangan serta pada pemanenan alasannya c. Alat–alat: bentuk peralatan yang Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pemanenan serta digunakan dalam penebangan serta alasan fungsi dan cirinya alasan fungsi dan cirinya Penyaradan atau pengangkutan Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan penyaradan dan pengangkutan Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada penyaradan dan pengangkutan serta alasannya Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam penyaradan dan pengangkutan serta alasan fungsi dan cirinya
Selanjutnya, dari setiap parameter yang disajikan pada Tabel 1 diperinci lagi kedalam beberapa pengklasifikasian gagasan atau tindakan menurut perspektif petani. Pengklasifikasian terhadap gagasan atau tindakan menurut perspektif petani dapat dilihat pada Lampiran 3. Sistem mata pencaharian hidup pada komplek budaya dan komplek sosial tentang pengelolaan hutan rakyat meliputi perburuan, perladangan, pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, kerajinan. Dari setiap sub-unsur tersebut diperinci lagi kedalam tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta kebudayaan fisik (alat-alat budaya). Pemerincian mata pencaharian hidup dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pemerincian mata pencaharian petani Tema budaya dan pola sosial Perburuan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Perladangan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Pertanian Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Peternakan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Perdagangan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Perkebunan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian Kerajinan Jenis: pola yang digunakan petani pada sistem mata pencaharian
Gagasan atau tindakan Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Ide dan tujuan petani
Alat-alat Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut Peralatan yang digunakan petani dalam pola tersebut
3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu dua bulan yaitu bulan Januari 2011 sampai Februari 2011 di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis. Kedua desa tersebut dipilih secara sengaja (purposive) karena petani hutan rakyat di kedua desa tersebut memiliki tingkat keaktifan tinggi dalam pengelolaan hutan rakyat jika dibandingkan dengan desa lainnya.
3.4 Metode Pemilihan Responden Pemilihan responden sebagai sampel (contoh) dilakukan secara acak sederhana (random sampling), yaitu dengan cara pengundian (sistem kocok) responden sehingga setiap responden memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, yaitu suatu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 1987). Responden yang dipilih adalah petani hutan rakyat (P-HR) yang merupakan anggota kelompok tani Saluyu (Desa Pasir Jambu) dan Karang Mulya (Desa Gunung Karung). Jumlah populasi anggota kelompok tani Saluyu dan Karang Mulya sebanyak 60 P-HR, yaitu 30 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan 30 P-HR dari kelompok tani Karang Mulya. Adapun responden yang dipilih sebanyak 30 P-HR, yaitu 15 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan 15 P-HR dari kelompok tani Karang Mulya.
3.5 Jenis Data Data yang dihasilkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Adapun data yang termasuk kedalam data primer dan sekunder sebagai berikut: 1. Data primer yang diperlukan meliputi: akses informasi, keadaan umum masyarakat di lokasi penelitian, data diri responden, luas lahan milik dan lahan yang diusahakan serta pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat. 2. Data sekunder yang diperlukan meliputi: peta lokasi penelitian, keadaan lingkungan biofisik tempat penelitian, daftar kelompok tani program hutan rakyat, dokumen-dokumen pemerintah setempat dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
3.6 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Kombinasi data kuantitatif dan kualitatif adalah salah satu upaya untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Bahan data
kualitatif sebagai pendekatan kualitatif yang diucapkan langsung berupa kata-kata yang dituliskan subyek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang diamati (Sitorus 1998). Data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut: 1. Teknik
survai,
yaitu
melakukan
wawancara
responden
dengan
menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup, yaitu beberapa pertanyaan yang mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal dan sistem mata pencaharian masyarakat yang diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat. 2. Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian seperti kebun/hutan rakyat, pekarangan dan lain-lain. 3. Studi pustaka, yaitu mencatat dan mempelajari dokumen-dokumen (datadata statistik) yang diperoleh dari Kantor Desa, Kantor Kecamatan dan Kantor Kabupaten serta pihak lain yang terkait dengan penelitian ini.
3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pengumpulan informasi dari hasil wawancara maupun observasi langsung b. Pemilahan informasi sesuai dengan kategori-kategorinya c. Penyajian dalam bentuk uraian penjelasan dan tabulasi d. Penarikan kesimpulan
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Biofisik 4.1.1 Letak dan Aksesibilitas Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Dinas Kehutanan Purwakarta merupakan instansi pemerintah yang menaungi kelompok tani di delapan desa yang ada di Kabupaten Purwakarta diantaranya Desa Cijati, Desa Gunung Karung, Desa Pasir Jambu, Desa Citamiang, Desa Sinargalih, Desa Tegal Datar, Desa Cirama Hilir dan Desa Sukamukti. Fokus lokasi penelitian ini adalah Desa Pasir Jambu (kelompok tani „Saluyu‟) dan Desa Gunung Karung (kelompok tani „Karang Mulya‟). Desa Pasir Jambu merupakan pemekaran dari Desa Cirama Hilir. Lokasi Desa Cirama Hilir berada di sebelah timur Desa Pasir Jambu. Desa Pasir Jambu memiliki empat kelompok tani yaitu kelompok tani „Sri Rahayu‟, kelompok tani „Srimahi‟, kelompok tani „Jambualas‟ dan kelompok tani „Saluyu‟. Desa Gunung Karung memiliki empat kelompok tani yaitu kelompok tani „Karang Mulya‟, kelompok tani „Garapan tani‟, kelompok tani „Mandiri‟ dan kelompok tani „Mekar Jaya‟. Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung merupakan dua desa yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta. Jarak Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis 18 km sedangkan jarak Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta 43 km. Jarak Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis 6 km sedangkan jarak Desa Gunung Karung ke Kabupaten Purwakarta 26 km. Jarak Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta 45 km. Batas-batas Desa Pasir Jambu adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis 2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur 3. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Cirama Hilir Kecamatan Maniis 4. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Tegal Datar Kecamatan Maniis
Batas-batas Desa Gunung Karung adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis 2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tegal Datar Kecamatan Maniis 3. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Cirama Hilir Kecamatan Maniis 4. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Cijati Kecamatan Maniis Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Kondisi jalan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung cukup baik. Akses jalan penghubung desa (Pasir Jambu dan Gunung Karung) ke Kecamatan Maniis masih berupa bebatuan dan tanah sedangkan akses jalan penghubung Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta sudah diaspal. Waktu tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis ±30 menit sedangkan waktu tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta ±150 menit. Waktu tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis ±15 menit sedangkan waktu tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kabupaten Purwakarta ±120 menit. Kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat dari Desa Pasir Jambu maupun Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis yaitu kendaraan ojeg. Waktu tempuh dari Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta ±90 menit dan kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat yaitu kendaraan umum atau angkot (angkutan kota). Kondisi jalan penghubung dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Kondisi jalan penghubung. Keterangan: (a) Kondisi jalan penghubung antara Desa Pasir Jambu dan Kecamatan Maniis (b) Kondisi jalan
penghubung antara Desa Gunung Karung dan Kecamatan Maniis (c) Kondisi jalan penghubung antara Kecamatan Maniis dengan Kabupaten Purwakarta.
4.1.2 Topografi, Luas dan Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Desa Pasir Jambu terletak pada titik 107º28‟ BT dan 6º 69‟ LS, ketinggian 800 mdpl, tingkat kemiringan tanah 20º, curah hujan 1.300 mm/tahun, jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 30ºC, kelembaban udara 75%, jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur liat dan debu. Desa Gunung Karung terletak pada titik 107º30‟ BT dan 6º 68‟ LS, ketinggian 600 mdpl, tingkat kemiringan tanah 85º, curah hujan 1.300 mm/tahun, jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 45ºC, kelembaban udara 65%, jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur liat dan debu. Pola penggunaan lahan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berupa sawah irigasi teknis, sawah irigasi ½ teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi teknis adalah sawah yang sumber airnya berasal dari saluran irigasi yang permanen dan sudah ditata dengan baik. Sedangkan sawah irigasi ½ teknis adalah sawah yang sumber airnya berasal dari irigasi yang tidak permanen/sederhana yaitu menggunakan bahan material dari tumpukan batu yang tidak ditata dengan baik. Hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat termasuk perkebunan rakyat. Penggunaan lahan untuk fasilitas umum berupa tanah bengkok desa (kas desa), lapangan dan perkantoran pemerintah. Tanah bengkok desa (kas desa) adalah tanah yang dimiliki oleh desa yang pembayaran pajaknya dibayar oleh desa. Tanah bengkok desa (kas desa) yang diusahakan oleh masyarakat hasilnya dibagi dua yaitu sebagian untuk desa dan sebagian lagi untuk warga yang mengusahakan sesuai dengan kesepakatan. Pemukiman adalah lahan yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal masyarakat. Perkantoran pemerintah adalah
lahan yang dimanfaatkan untuk mendirikan gedung pemerintahan berupa sekretariat desa ataupun instansi pemerintah lain yang ada di desa. Penggunaan lahan oleh pihak kehutanan yaitu hutan lindung, hutan konsevasi dan hutan produksi yang semuanya diatur dan dimanfaatkan oleh pihak kehutanan. Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan lahannya Desa Pasir Jambu No
Penggunaan
Luas (ha)
Desa Gunung Karung
Persentase (%)
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Lahan sawah
59,10
a. Sawah irigasi teknis b. Sawah irigasi ½ teknis c. Sawah tadah hujan
22,10
130,23
12,00
65,46
25,00
28,81
Lahan kering 2
a. Pemukiman b. Pekarangan c. Tanah PLN
Lahan basah a. Pasang surut b. Danau Lahan perkebunan
3
4
a. Perkebunan rakyat b. Perkebunan negara c. Perkebunan swasta Lahan fasilitas umum a. Lahan milik desa b. Lapangan olahraga c. Perkantoran pemerintah d. Tempat pemakaman Lahan hutan a. b. c. d.
5
Hutan lindung Hutan produksi Hutan konservasi Hutan rakyat
Jumlah
116,74
7,7
15,2
224,50
126,00
26,96
73,00
64,78
53,00
25,00
0
11,00
1,4
0
3,00
0
8,00
0
152,36
19,7
52,00
78,36
35,00
70,00
17,00
4,00
0
28,40 25,77
3,7
8,75 5,00
26,4
14,8
0
6,1
1,0
6
0,35
1,00
0,50
0,25
1,78
2,50
402,59
52,3
438,50
107,23
137,38
92,83
93,38
89,60
103,38
112,93
104,38
770,19
100,0
849,75
51,6
100,0
Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 3, penggunaan lahan di Desa Pasir Jambu yang paling luas adalah lahan hutan yaitu 402,59 ha (52,3%) yang tediri dari hutan lindung 107,23 ha, hutan produksi 92,83 ha, hutan konservasi 89,60 ha dan hutan rakyat 112,93 ha serta penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan basah yaitu 11,00 ha (1,4%). Hal ini terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak hutan. Penggunaan lahan di Desa Gunung Karung yang paling luas adalah lahan hutan yaitu 438,50 ha (51,6%) yang tediri dari hutan lindung 137,38 ha, hutan produksi 93,38 ha, hutan konservasi 103,38 ha dan hutan rakyat 104,38 ha. Hal ini terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak hutan. Sedangkan penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan yang dimanfaatkan untuk fasilitas umum yaitu 8,75 ha (1,0%) yang terdiri dari lahan milik desa 5,00 ha, lapangan olahraga 1,00 ha, perkantoran pemerintah 0,25 ha dan tempat pemakaman 2,50 ha. Selain itu, penggunaan lahan hutan di Desa Gunung Karung yaitu 438,50 ha (51,6%) lebih luas jika dibandingkan dengan luas penggunaan lahan hutan di Desa Pasir Jambu yaitu 402,59 ha (52,3%). Hal ini disebabkan jumlah petani dan
buruh tani hutan rakyat Desa Gunung Karung lebih banyak daripada jumlah petani dan buruh tani hutan rakyat Desa Pasir Jambu (lihat Tabel 6).
4.2 Keadaan Sosial dan Ekonomi 4.2.1 Administrasi Pemerintahan Desa Pasir Jambu terbagi kedalam empat Rukun Warga (RW) dan delapan Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cimanggu, Dusun Cijambu, Dusun Cimahi dan Dusun Cikaret. Dalam struktur pemerintahan, Desa Pasir Jambu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan, urusan keamanan dan ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian dan urusan pembangunan. Desa Gunung Karung terbagi kedalam enam Rukun Warga (RW) dan sepuluh Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cidahu, Dusun Ciwareng, Dusun Gunung Karung, Dusun Maniis, Dusun Tegal Datar dan Dusun Pasir Karang. Dalam struktur pemerintahan, Desa Gunung Karung terdiri atas kepala desa, urusan pemerintahan, Keamanan dan Ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian, urusan pembangunan dan urusan sosial ekonomi.
4.2.2 Demografi Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) jumlah penduduk Desa Pasir Jambu sebanyak 3.188 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.620 orang (50,8%) dan perempuan sebanyak 1.568 orang (49,2%). Rasio penduduk perempuan adalah 97 orang perseratus orang laki-laki. Luas wilayah Desa Pasir Jambu 770,19 ha atau 7,70 km2 dengan jumlah penduduk 3.188 orang, maka kepadatan penduduk Desa Pasir Jambu adalah 414,03 orang/km2. Jumlah penduduk Desa Gunung Karung yang tercatat dalam buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) sebanyak 4.152 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.078 orang (50,1%) dan perempuan sebanyak 2.074 orang (49,9%). Rasio penduduk perempuan adalah 99
orang perseratus orang laki-laki. Luas wilayah Desa Gunung Karung 849,75 ha atau 8,50 km2 dengan jumlah penduduk 4.152 orang, maka kepadatan penduduk Desa Gunung Karung adalah 488,47 orang/km2. Berdasarkan kelas umurnya, pembagian kelas umur masyarakat Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung karung terbagi kedalam beberapa kelas umur. Umur 0-5 tahun digolongkan kedalam kriteria umur bayi dan umur balita, yaitu anak-anak yang masih kecil dan memerlukan perawatan dari orang tuanya; umur 6-14 tahun digolongkan kedalam kriteria umur anak-anak dan masih sekolah; umur 15-55 tahun digolongkan kedalam kriteria umur produktif manusia yaitu kriteria umur yang termasuk angkatan kerja; umur 56 keatas digolongkan kedalam kriteria umur tidak produktif manusia dalam angkatan kerja yaitu kriteria umur para lanjut usia (Lansia). Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan kelompok umur Desa Pasir Jambu
Desa Gunung Karung
No
Kelompok Umur (tahun)
1
0-4
209
6,6
306
7,4
2
5-9
216
6,8
309
7,4
3
10-14
170
5,3
258
6,2
4
15-19
206
6,5
306
7,4
5
20-24
227
7,1
286
6,9
6
25-29
180
5,6
248
6,0
7
30-34
204
6,4
215
5,2
8
35-39
189
5,9
278
6,7
9
40-44
215
6,7
327
7,9
10
45-49
226
7,1
321
7,7
11
50-54
186
5,8
313
7,5
Jumlah (orang)
Persentase Jumlah (orang) (%)
Persentase (%)
12
55-59
203
6,4
343
8,3
13
60-64
201
6,3
276
6,6
14
65-69
196
6,1
172
4,1
15
Lebih dari 70
360
11,3
194
4,7
3.188
100,0
4.152
100,0
Jumlah
Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 4, Desa Pasir Jambu memiliki 1.663 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif dan 930 orang penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif sebesar 56%, artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif berjumlah 56 orang per 100 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif. Desa Gunung Karung memiliki 2.362 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif dan 917 orang penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif sebesar 39%, artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif berjumlah 39 orang perseratus orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif.
4.2.3 Agama dan Pendidikan Penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung seluruhnya menganut agama Islam. Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu sekitar 0,1%-0,3%, hal ini terlihat pada sedikitnya jumlah penduduk yang menyandang gelar diploma dan sarjana. Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan Desa Pasir Jambu
Desa Gunung Karung
Jumlah
Jumlah
Persentase
Persentase
No. Tingkat Pendidikan
(orang)
(%)
(orang)
(%)
1
Belum sekolah
209
6,6
306
7,4
2
Tidak sekolah
495
15,5
269
6,5
3
Tamat SD/sederajat
1.341
42,1
1.229
29,6
4
Tidak tamat SD/sederajat
237
7,4
635
15,3
5
Tamat SLTP/sederajat
811
25,4
1.036
25,0
6
Tamat SLTA/sederajat
86
2,7
660
15,9
7
Diploma 1, 2 dan 3
7
0,2
11
0,3
Strata 1, 2 dan 3
2
0,1
6
0,1
3.188
100,0
4.152
100,0
Jumlah
Sumber: Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 5, jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir Jambu yang paling banyak adalah tamat SD yaitu 1.341 orang (42,1%) dan jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir Jambu yang paling sedikit adalah Strata 1, 2 dan 3 yaitu 2 orang (0,1%). Disamping faktor perekonomian masyarakat yang kurang memadai, faktor pola pikir masyarakat terhadap dunia pendidikan yang kurang luas pun menjadi salah satu sebab, yaitu masyarakat menganggap bahwa bekerja lebih mudah daripada belajar dan jika bersekolah di perguruan tinggi pun maksimal hanya sampai jenjang Diploma saja, hal ini dapat dilihat dari jumlah Strata 1, 2 dan 3 di Desa Pasir Jambu lebih sedikit dibandingkan Desa Gunung Karung. Jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Gunung Karung yang paling banyak adalah tamat SD yaitu 1.229 orang (29,6%) dan jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Gunung Karung yang paling sedikit adalah Strata 1, 2 dan 3 hanya yaitu 6 orang (0,1%). Faktor perekonomian masyarakat yang kurang memadai menjadi salah satu sebab untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu, jumlah penduduk Desa Gunung Karung yang menamatkan sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 1.036 orang (25,0%) dan 660 orang (15,9%) lebih banyak daripada jumlah penduduk Desa Pasir Jambu yang menamatkan sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 811 orang (25,4%) dan 86 orang (2,7%). Hal ini disebabkan lokasi bangunan SLTP berada di Kecamatan Maniis, dimana jarak Desa Gunung Karung lebih dekat ke Kecamatan Maniis jika dibandingkan dengan jarak Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis. Bangunan-bangunan untuk pendidikan yang ada di Desa Pasir Jambu diantaranya bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak dua buah dan bangunan lembaga pendidikan agama sebanyak dua buah. Sedangkan Bangunan-bangunan untuk pendidikan yang ada Desa Gunung Karung diantaranya bangunan Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak dua buah, bangunan SD sebanyak tiga buah, bangunan SLTP sebanyak satu buah dan bangunan pondok pesantren sebanyak satu buah.
4.2.4 Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat Pengelompokan jenis pekerjaan yang ada di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung meliputi petani, buruh tani, buruh swasta, wiraswasta, PNS, TNI/polisi, pengrajin dan peternak. Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan Gunung Karung menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut jenis pekerjaan Desa Pasir Jambu No
1
Jenis Pekerjaan
Petani
Desa Gunung Karung
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.492
46,8
1.798
43,3
2
Buruh tani
844
26,5
1.346
32,4
3
Buruh swasta
214
6,7
385
9,3
4
Wiraswasta
382
12,0
303
7,3
5
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
16
0,5
31
0,7
6
TNI/Polisi
17
0,5
131
3,2
7
Pengrajin
42
1,3
18
0,4
8
Peternak
181
5,7
140
3,4
3.188
100,0
4.152
100,0
Jumlah
Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 6, sebagian besar penduduk Desa Pasir Jambu bekerja sebagai petani sebanyak 1.492 orang (46,8%) sedangkan pekerjaan yang paling sedikit persentasenya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 16 orang (0,5%). Sebagian besar penduduk Desa Gunung Karung bekerja sebagai petani yaitu 1.798 orang (43,3%) sedangkan pekerjaan yang paling sedikit persentasenya adalah pengrajin sebanyak 18 orang (0,4%). Desa Pasir jambu dan Desa Gunung Karung memiliki persentase jenis pekerjaan sebagai petani yang lebih besar jumlahnya karena sebagian besar masyarakat memiliki lahan garapan sedangkan persentase jenis pekerjaan sebagai PNS serta pengrajin lebih kecil jumlahnya karena memiliki tingkat keminatan serta kemampuan masyarakat yang kurang. Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) pengelompokan jenis komoditas Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung meliputi pertanian, perkebunan dan peternakan. Jumlah jenis komoditas di Desa Pasir Jambu dan Gunung Karung dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah jenis komoditas di Desa Pasir Jambu dan Gunung Karung
Desa Pasir Jambu No
1
Jenis Komoditas
Jumlah
Persentase (%)
Jumlah
Persentase (%)
119,20 ton/ha
91,6
236,00 ton/ha
99,8
1,50 ton/ha
1,2
0
0
0,30 ton/ha
0,2
0
0
1,20 ton/ha
0,9
0
0
0,80 ton/ha
0,6
0
0
1,80 ton/ha
1,4
0,42 ton/ha
0,2
0,50 ton/ha
0,4
0
0
0,80 ton/ha
0,6
0
0
1,20 ton/ha
0,9
0
0
0,40 ton/ha
0,3
0
0
0,30 ton/ha
0,2
0
0
2,00 ton/ha
1,5
0
0
0,09 ton/ha
0,1
0
0
130,09 ton/ha
100,0
236,42 ton/ha
100,0
0,90 ton/ha
3,6
0
0
4,40 ton/ha
17,8
0
0
6,00 ton/ha
24,3
1,00 ton/ha
3,8
4,00 ton/ha
16,2
0
0
0,30 ton/ha
1,2
0
0
8,10 ton/ha
32,8
25,00 ton/ha
96,2
1,00 ton/ha
4,0
0
0
24,70 ton/ha
100,0
26,00 ton/ha
100,0
Pertanian a. Padi b. Jagung c. Kacang kedelai d. Kacang tanah e. Kacang panjang f. Ubi kayu g. Ubi jalar h. Cabe i. Mentimun j. Buncis k. Terong l. Talas m. Salada Jumlah Perkebunan a. b. c. d. e. f. g.
Jeruk Mangga Rambutan Durian Sawo Pisang Melinjo Jumlah
Peternakan 2
Desa Gunung Karung
a. b. c. d. e. f. g. h.
Sapi Kerbau Ayam Bebek Kambing Domba Anjing Jumlah
3 32 ekor
1,4
150 ekor
5,7
4 ekor
0,2
20 ekor
0,8
1.680 ekor
75,9
1.300 ekor
49,5
280 ekor
12,7
700 ekor
26,7
81 ekor
3,7
225 ekor
8,6
116 ekor
5,2
200 ekor
7,6
20 ekor
0,9
30 ekor
1,1
2.213 ekor
100,0
2.625 ekor
100,0
Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 7, jumlah jenis komoditas pada sektor pertanian di Desa Pasir Jambu yang paling banyak adalah jenis padi yaitu 119,20 ton/ha (91,6%) dan jumlah jenis komoditas yang paling sedikit adalah jenis salada yaitu 0,09 ton/ha (0,1%). Jumlah jenis komoditas pada sektor perkebunan yang paling banyak adalah jenis pisang yaitu 8,10 ton/ha (32,8%) dan jumlah jenis komoditas yang paling sedikit adalah jenis sawo yaitu 0,30 ton/ha (1,2%). Jumlah jenis komoditas pada sektor peternakan yang paling banyak adalah jenis ayam yaitu 1.680 ekor (75,9%) dan Jumlah jenis komoditas pada yang paling sedikit adalah jenis kerbau yaitu 4 ekor (0,2%). Jumlah jenis komoditas pada sektor pertanian di Desa Gunung Karung hanya ada dua yaitu jenis padi dan ubi kayu yang masing-masing berjumlah 236,00 ton/ha (99,8%) dan 0,42 ton/ha (0,2%). Jumlah jenis komoditas pada sektor perkebunan hanya ada dua yaitu jenis rambutan dan jenis pisang yang masing-masing berjumlah 1,00 ton/ha (3,8%) dan 25,00 ton/ha (96,2%). Jumlah jenis komoditas pada sektor peternakan yang paling banyak adalah jenis ayam yaitu 1.300 ekor (49,5%) dan Jumlah jenis komoditas pada yang paling sedikit adalah jenis kerbau yaitu 20 ekor (0,8%). Kepemilikan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kepemilikan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Desa Pasir Jambu No
Penggunaan Lahan
Luas lahan
Jumlah (RTP-HR)
Luas lahan
< 0,50
168
< 0,50
26
0,50 – 1,00
152
0,50 – 1,00
14
> 1,00
18
> 1,00
43
Jumlah
338
Jumlah
83
< 0,50
415
< 0,50
124
0,50 – 1,00
68
0,50 – 1,00
16
> 1,00
12
> 1,00
87
Jumlah
495
Jumlah
227
(ha)
1.
2.
Pertanian
Perkebunan
Desa Gunung Karung
(ha)
Jumlah (RTP-HR)
Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)
Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian di Desa Pasir Jambu yang paling luas adalah pada luasan kurang dari 0,50 ha yaitu 168 rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian yang paling sempit adalah pada luasan lebih dari 1,00 ha yaitu 18 RTP-HR. Jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling luas adalah pada luasan kurang dari 0,50 ha yaitu 415 RTP-HR dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling luas adalah pada luasan lebih dari 1,00 ha yaitu 12 RTP-HR. Jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian di Gunung Karung yang paling luas adalah pada luasan lebih dari 1,00 ha yaitu 43 RTP-HR dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian yang paling sempit adalah pada luasan 0,50 ha sampai dengan 1,00 ha yaitu 14 RTP-HR. Jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling luas adalah pada luasan kurang dari 0,50 ha yaitu
124 RTP-HR dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling sempit adalah pada luasan 0,50 ha sampai dengan 1,00 ha yaitu 16 RTP-HR. Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Pasir Jambu antara lain Rukun Tetangga, Rukun Warga, Penyuluhan Keterampilan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Kader Posyandu, Kader Desa Siaga (KDS), Kader Ibu Arisan, Dewan Kelompok Tani, Lembaga Adat, Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Gotong Royong, dan Organisasi Pemuda. Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Gunung Karung antara lain Rukun Tetangga, Rukun Warga, Penyuluhan Keterampilan Keluarga (PKK), Posyandu, Karang Taruna, Kelompok Tani, Lembaga Adat, Dewan Kepengurusan Mesjid (DKM), Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Gotong Royong, Organisasi Pemuda dan Organisasi Perempuan, Kader Desa Siaga (KDS).
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan hutan rakyat yang ada di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menerapkan sistem campuran, yang biasa masyarakat sebut dengan ngebon huma. Pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) adalah suatu pemanfaatan dan pelestarian
lahan
yang
dilakukan oleh
masyarakat
lokal dengan
mengkombinasikan kegiatan kehutanan, pertanian dan perkebunan. Tujuan dari kegiatan ngebon huma ini adalah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung serta untuk melestarikan alam. Pada sektor kehutanan jenis tanaman yang ditanam oleh petani pada kegiatan ngebon huma ini pada umumnya yaitu tanaman jengjen (sengon), karet, rambutan, jati, kadu (durian) dan mahoni. Akan tetapi, diantara jenis tanaman hutan tersebut yang lebih dominan ditanam yaitu jenis tanaman jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan karet (Hevea brasiliensis). Hal ini disebabkan oleh banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh tanaman jengjen atau sengon dan karet jika dibandingkan dengan tanaman lainnya, diantaranya yaitu lebih efektif, lebih ekonomis, jangka tebang pendek, memiliki kualitas yang lebih baik, banyak dan mudahnya ketersediaan bibit serta kecocokan struktur tanah dengan tanaman tersebut. Pada sektor pertanian jenis tanaman padi yang ditanam oleh petani diantaranya padi Pandan Wangi, padi Ciherang, padi Muncul dan padi Palawija. Akan tetapi, jenis padi yang lebih dominan ditanam oleh petani yaitu padi Ciherang. Padi Ciherang ini dipercaya oleh masyarakat memiliki nilai jual, kualitas dan efektifitas yang tinggi. Hasil panen padi tersebut pada umumnya dikonsumsi sendiri oleh rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) tetapi adapula beberapa yang dijual ke bandar/tengkulak.
Pada sektor perkebunan jenis tanaman yang ditanam oleh petani diantaranya mangga, jeruk, durian, rambutan, sawo, pisang, melinjo, ketimun, tomat, cabe dan bawang. Hasil panen dari sektor perkebunan tersebut pada umumnya dijual secara langsung oleh petani (tanpa melalui tengkulak) ke Pasar Tradisional Kecamatan Plered, hal ini disebabkan oleh dekatnya jarak antara Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dengan Pasar Tradisional Kecamatan Plered yang merupakan salah satu pusat perdagangan tradisional yang ada di Kabupaten Purwakarta. Status lahan ngebon huma (hutan rakyat) merupakan lahan yang dimiliki oleh petani dan bengkok desa (kas desa). Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik (Hardjanto 1990). Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung ±1,36 hektar per RTP-HR. Pengelolaan lahan milik petani terbagi kedalam dua sistem, yaitu sistem penggarapan sendiri dan sistem ngulikeun (penggarapan dengan menggunakan jasa buruh tani). Petani yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar pada umumnya menggarap lahannya sendiri sedangkan petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 1,00 hektar pada umumnya memberikan tanggung jawab kepada buruh tani untuk mengelola/menggarap lahannya. Sistem upah yang diterapkan dalam pengelolaan lahan ngebon huma terbagi ke dalam dua sistem, yaitu sistem borongan dan sistem bedug (harian). Pembagian upah pada sistem borongan bergantung pada besar kecilnya jumlah buruh tani yang dipekerjakan sedangkan pembagian upah pada sistem bedug (harian) bergantung pada tingkat intensitas kerja buruh tani per hari. Status lahan ngebon huma yang dimiliki bengkok desa (kas desa) dalam kehutanan sebagian besar ditanami oleh petani dengan tanaman jengjen atau sengon (Paraseriantes falcataria) dan karet (Hevea brasiliensis). Pengelolaan lahan ngebon huma dilakukan oleh para buruh tani (ngulikeun) dengan sistem upah sebesar Rp 15.000/hari-Rp 20.000/hari. Prinsip sistem upah ini yaitu untuk
rakyat dan oleh rakyat. Dengan adanya kerjasama pengelolan hutan rakyat Dinas Desa dan Dinas Kehutanan, kelompok tani yang sudah dibentuk dan penyuluh sebagai pendampingnya berkesempatan untuk melakukan komunikasi langsung (verbal) dalam hal pengetahuan/informasi tentang bagaimana cara pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar.
5.1 Pengetahuan Lokal pada Pengelolaan Hutan Rakyat Pengetahuan lokal yang dikaji dan dipelajari mencakup gagasan dan tindakan, kebudayaan fisik (alat-alat) dan perilaku sosial dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilihat dari tahapan kegiatan yaitu persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Pada umumnya pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) yang dilakukan petani didapat dari pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turuntemurun serta adapula pengetahuan yang disampaikan oleh petugas lapang (penyuluh) Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan.
5.1.1 Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung mencakup pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Dalam kegiatan persiapan lahan petani tidak melakukan upacara ritual khusus karena seiring perkembangan jaman, masyarakat sudah membuka diri untuk hal baru yang positif dan berpikir untuk meninggalkan hal-hal yang dianggap tidak perlu dilakukan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurasiah (2009) bahwa masyarakat lokal di Desa Cijagang dan Desa Sukamulya dalam kegiatan persiapan lahan masih melakukan upacara ritual untuk permohonan ijin. Pembersihan lahan dan pengolahan tanah yang dilakukan kelompok tani Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung mencakup tindakan ngored atau babad (pembersihan), ngesrik (perapihan), durukan (pembakaran) dan beberes (bersih-bersih). Ngored atau babad, ngesrik, durukan dan beberes adalah suatu
bahasa lokal yang digunakan masyarakat lokal dalam peng-istilah-an untuk tindakan-tindakan pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Dalam kegiatan pembersihan lahan, petani melakukan penyemprotan dengan menggunakan jenis Efektif Mikroorganisme-4 (contoh kompos EM-4) dan alat yang digunakan yaitu tangki semprot (handsprayer). Tindakan ini dilakukan petani agar lahan yang siap tanam benar-benar bebas/bersih dari hama dan penyakit tanaman. Tindakan penyemprotan biasanya membutuhkan waktu satu hari serta membutuhkan tenaga kerja 1-2 orang. Kondisi lahan dalam tahap kegiatan persiapan lahan dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3 Persiapan Lahan: (a) hasil kegiatan babad (b) hasil kegiatan ngesrik
Selain itu, sebelum dilakukan tindakan ngored atau babad, ngesrik dan durukan petani membuat jalur pembersihan, hal ini dilakukan agar dalam melakukan ngored atau babad, ngesrik dan durukan tidak mengganggu lahan petani lain dan mengetahui batas mana saja yang perlu dilakukan pembersihan lahan. Setiap jalur pembersihan ini dibuat dengan ukuran 15 m x 10 m, hal ini dilakukan agar memudahkan petani dalam melakukan pembersihan lahan. Pembuatan jalur pembersihan disesuaikan dengan kondisi topografi dan luas lahan. Jika kondisi topografi sangat curam (lebih dari 40%) dan luas lahan kurang dari 0,25 hektar maka pembuatan jalur pembersihan ini tidak dilakukan karena dalam pengukuran jalurnya sangat sulit untuk ditentukan. Alat yang digunakan untuk pembuatan jalur pembersihan mencakup meteran, tali tambang/rapia dan patok bambu.
Tindakan pertama yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan yaitu tindakan ngored atau babad (pembersihan). Tindakan ngored atau babad adalah suatu tindakan pemangkasan habis semak belukar dan sisa tebangan pohon yang dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman yang akan ditanam. Alat yang digunakan untuk tindakan ngored atau babad mencakup beudog (golok), arit, parang, dan gacok (cangkul kecil). Tindakan ini pada umumnya dilakukan pada musim kemarau karena dapat memudahkan dalam tahap kegiatan pembersihan lahan dan waktu yang dibutuhkan selama dua hari atau lebih serta membutuhkan tenaga kerja sebanyak 2-6 orang. Tindakan kedua yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan dan pengolahan tanah yaitu tindakan ngesrik (perapihan). Tindakan ngesrik adalah suatu tindakan mengumpulkan hasil dari tindakan ngored atau babad sehingga membentuk sebuah gundukan. Alat yang digunakan untuk tindakan ngesrik mencakup pacul (cangkul), sapu ijuk dan karung goni. Tindakan ngesrik ini dilakukan agar gundukan tadi pada saat dibakar, apinya tidak menjalar ke lahan garapan petani lain. Tindakan ketiga yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan yaitu tindakan durukan (pembakaran gundukan). Alat yang digunakan untuk tindakan durukan yaitu korek api. Dalam melakukan durukan, perlu diperhatikan kecepatan dan arah angin agar api tidak menjalar kemana-mana terutama menjalar ke lahan garapan petani lainnya. Sebagai contoh pada tahap durukan seperti membakar gundukan sampah organik dan anorganik yang diusahakan jauh lokasi pembakarannya dari lokasi lahan petani lain. Tindakan keempat yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan dan pengolahan tanah yaitu tindakan beberes (bersih-bersih). Tindakan beberes adalah suatu tindakan membersihkan/merapikan gundukan atau tumpukan yang telah dibakar. Alat yang digunakan untuk tindakan beberes yaitu pacul (cangkul). Tindakan beberes merupakan salah satu tindakan yang perlu dilakukan petani agar petani dapat mengecek kesiapan lahan garapan untuk kegiatan selanjutnya yaitu kegiatan penanaman.
5.1.2 Persiapan Bibit Kegiatan persiapan bibit mencakup pengadaan benih dan ipukan (persemaian). Pengadaan benih dilakukan petani dengan dua cara. Cara pertama yaitu petani membeli benih dari pedagang keliling atau memperoleh bibit dari bantuan Dinas Kehutanan. Pada umumnya jenis benih yang diperoleh dari Dinas Kehutanan yaitu jenis benih jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis benih karet (Hevea brasiliensis). Kedua jenis benih ini dipilih karena adanya kecocokan tanah dan iklim dengan jenis benih tersebut. Cara kedua yaitu petani mencari/mengumpulkan biji dari pohon yang dianggap bagus, setelah biji terkumpul maka biji tersebut dibawa ke tempat ipukan (persemaian) untuk diproses lebih lanjut yaitu biji dimasukkan ke dalam plastik polybag berukuran 0,25 kg atau 0,5 kg yang berisi campuran tanah dan pupuk. Selanjutnya di sekeliling plastik polybag tersebut dibuat sobekan-sobekan kecil, tindakan ini dilakukan agar asupan energi seperti air untuk biji tetap teratur sehingga biji yang ditanam di plastik polybag tetap subur. Persiapan bibit dilakukan sebelum penanaman. Dalam persiapan bibit, petani melakukan proses ipukan (persemaian) dibangun sederhana di halaman belakang rumah petani atau di sekitar lahan tanam. Pembuatan tempat persemaian pada umumnya dilakukan pada saat musim kemarau, agar asupan energi seperti sinar matahari yang menyinari bibit dengan merata dan teratur. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan persemaian terdiri dari pembukaan lahan, perlakuan terhadap bibit dan penyeleksian bibit. Pembukaan lahan untuk membuat
persemaian dilakukan dengan
memperhatikan letak dan kondisi lahannya. Cara pembukaan lahan untuk persemaian yaitu dengan melakukan proses pembabatan/pembersihan lahan terlebih dahulu dari semak belukar dan tanaman bawah lainnya, selanjutnya dibuat bedengan dan barisan sejajar, sehingga bibit dapat tertata dengan rapi berdasarkan jenis bibitnya. Setelah itu dibuat saung yang pada bagian atasnya diberi naungan berupa jaring-jaring atau ditutup dengan bararak (daun kelapa), tindakan ini
dimaksudkan agar bibit mendapatkan asupan energi secara merata. Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan mencakup pacul (cangkul), gacok (pacul kecil), parang, ajir (patok yang terbuat dari bambu), garpu, pupuk kompos dan alat jaring yang berfungsi untuk penyeimbang asupan sinar matahari. Media tanam yang dibutuhkan adalah campuran tanah dan bekatul (pupuk kompos). Cara membuat media tanam tersebut adalah dengan mencangkul lahan yang tersedia dan menggemburkannya dengan garpu, kemudian tanah diberi media
lainnya seperti pupuk kompos sehingga
media campuran tadi
bercampur/menyatu dengan tanah. Setelah tanah dan pupuk kompos menyatu lalu bahan media tanam tersebut diendapkan selama satu bulan, agar bau dan warna dari bahan media tanam benar-benar hilang dan berwarna hitam pekat. Tanah yang telah dicampur dengan campuran media tersebut digunakan sebagai bahan media tanam bibit yang bersifat sementara selama bibit ditanam di dalam plastik polybag. Bibit ditanam di tempat persemaian selama 4-7 bulan. Bibit dengan umur tersebut pada umumnya memiliki struktur bibit yang kokoh atau sudah menjadi kayu yang berarti bahwa bibit tersebut sudah siap ditanam di lahan tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya.Tempat persemaian yang dimiliki petani dapat dilihat pada Gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 4 Persemaian (ipukan): (a) tempat persemaian yang ada di belakang halaman rumah petani (b) tempat persemaian yang ada di sekitar lahan tanam.
Perlakuan terhadap bibit adalah suatu tindakan dimana petani harus memperhatikan kondisi bibit dan asupan kadar energi yang dibutuhkan oleh bibit seperti asupan sinar matahari, air dan pupuk karena setiap bibit memiliki kadar asupan energi yang berbeda. Alat yang digunakan untuk perlakuan terhadap bibit mencakup pancong (cangkul kecil), selang air, drum penampung air, tank penyemprot air (handsprayer), ember, gunting dan plastik polybag, Setelah satu hari dari proses penyimpanan bibit di tempat persemaian, bibit disiram dengan air. Pada musim kemarau, penyiraman dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore sedangkan pada musim hujan tidak dilakukan penyiraman melainkan pemupukan karena jika terlalu banyak air akibat hujan akan berakibat kurang baik bagi kondisi bibit yang disemaikan. Pemupukan hanya dilakukan satu kali dalam seminggu, hal ini disebabkan kondisi perekonomian petani yang kurang memadai. Akan tetapi, jika bibit yang tersedia berasal dari benih yang bagus dan tidak rentan terhadap penyakit serta lokasi persemaian benar-benar cocok dengan bibit, pada umumnya bibit tidak memerlukan perlakuan khusus. Penyeleksian bibit adalah suatu tindakan memilih beberapa bibit yang dianggap bagus dan siap ditanam di lahan tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tindakan ini penting untuk dilakukan karena dengan dilakukan penyeleksian bibit, petani dapat memilih bibit yang bagus dan kokoh untuk siap ditanam. Pada umumnya tidak semua bibit yang sudah dipersiapkan di persemaian berhasil tumbuh dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kualitas benih dan bibit, lokasi persemaian, pemeliharaan bibit yang kurang baik dan kurangnya akses pengetahuan/informasi petani. Kondisi bibit dapat dilihat pada Gambar 5.
(a)
(b)
Gambar 5 Kondisi bibit: (a) bibit yang siap jual di kios bibit (b) bibit yang gagal terjual karena kualitas rusak (bees).
Selain mendapatkan bibit dari tempat persemaian yang dilakukan sendiri oleh petani, petani pun memperoleh bibit dari bantuan Dinas Kehutanan, Purwakarta. Program pengalokasian bibit untuk masing-masing kelompok tani dari Dinas Kehutanan biasanya dilakukan dua kali dalam dua tahun yaitu bulan Februari dan bulan Oktober. Jenis bibit yang banyak dialokasikan untuk masingmasing kelompok tani adalah jenis bibit jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis bibit karet (Hevea brasiliensis). Untuk jenis bibit tersebut pada umumnya bibit sudah siap tanam setelah umur empat bulan. Adapula petani yang mendapatkan bibit dengan cara membeli bibit dari pedagang keliling dan kios serta Jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling dan kios meliputi jengjen (sengon), jati bondol, suren, jati mas, mahoni, cikrih (mindi), bayur, akasia, sukun, rambutan, peuteuy (pete), kadu (durian) dan mangga. Bibit yang disediakan pedagang keliling dan kios pada umumnya berasal dari daerah Purworejo, Jawa Tengah. Khusus untuk tanaman jengjen atau sengon, bibit dapat diperoleh dari tunas yang tumbuh di tunggul pohon yang sudah ditebang. Daftar harga setiap jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling bibit dan kios bibit dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Daftar harga setiap jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling bibit dan kios bibit
Harga (rupiah)
Satuan*
8.000
ikat
15.000
ikat
10.000
ikat
15.000
ikat
10.000
ikat
10.000
ikat
10.000
ikat
150.000
ikat
Rambutan
150.000
ikat
10
Pete
150.000
ikat
11
Durian
150.000
ikat
12
Mangga
150.000
ikat
13
Karet
150.000
ikat
No
Jenis bibit
Nama latin
1
Sengon
2
Jati
3
Suren
4
Mahoni
5
Mindi
6
Bayur
Paraseriantes falcataria Tectona grandis Toona sureni Swietenia macrophylla Melia azedarach Pterospermum javanicum Acacia mangium Arthocarpus communis Nephelium lapaceum Parkia speciosa
7
Akasia
8
Sukun
9
Durio zibethinus
Mangifera indica Hevea brasiliensis
Sumber : kios bibit dan penjual bibit keliling Keterangan (*) : satu ikat sama dengan 10 batang
5.1.3 Penanaman Pada umumnya petani melakukan kegiatan penanaman di lahan garapannya pada musim hujan yaitu bulan Desember dan Februari bulan karena pada musim hujan petani tidak kesulitan dalam hal ketersediaan air. Kegiatan penanaman yang dilakukan petani mencakup beberapa tindakan yaitu pembuatan jarak tanam (digaritan), pembuatan lubang tanam (ngalombang) dan pemasukan bibit ke dalam lubang tanam. Tindakan penanaman ini dilakukan oleh 2-4 orang. Petani membutuhkan waktu satu hari penuh untuk melakukan penanaman. Pada hari berikutnya petani melakukan pemeliharaan tanaman. Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu (Friday
et al. 1999). Tindakan pembuatan jarak tanam bertujuan untuk mengatur kerapatan tajuk tanaman, sehingga dalam pertumbuhannya tidak mengganggu tanaman lain. Alat-alat yang digunakan petani dalam pembuatan jarak tanam ini mencakup meteran, ajir (patok bambu berukuran 1-2 meter) dan tali rapia/tambang. Petani melakukan pembuatan jarak tanam dengan berbagai ukuran seperti 2m x 3m, 3m x 4m dan 4m x 5m. Akan tetapi, dari berbagai ukuran jarak tanam tersebut petani lebih dominan menggunakan ukuran jarak tanam 2m x 3m karena lahan garapan yang digunakan tidak terlalu luas (kurang dari 0,5 hektar). Pembuatan jarak tanam diawali dengan pengukuran dari titik awal (letak ajir/patok yang telah ditentukan) ke titik berikutnya, setelah diukur lalu dibuat lagi titik dengan ukuran jarak yang sama dengan jarak antar titik sebelumnya dan seterusnya. Setelah pembuatan jarak tanam selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan lubang tanam (ngalombang). Pembuatan lubang tanam adalah suatu tahap tindakan yang dilakukan petani untuk membuat media tanam di lahan garapannya. Alat-alat yang digunakan petani dalam pembuatan lubang tanam adalah linggis dan pancong (kored). Kedalaman lubang tanam yang sering dibuat oleh petani yaitu 12-30 cm. Kedalaman lubang tanam tersebut tergantung pada ukuran bibit yang akan ditanam, semakin besar ukuran bibit yang akan ditanam maka semakin besar pula kedalaman lubang tanam yang dibuat begitupun sebaliknya. Lubang tanam yang telah dibuat tersebut lalu diberi pupuk dengan ketebalan 2 cm. Pupuk yang sering digunakan petani yaitu pupuk kandang (pupuk kompos) dan pupuk urea. Setelah lubang tanam tadi diberi pupuk selanjutnya lubang tanam tersebut ditimbun tanah dengan ketebalan 5 cm. Selanjutnya bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan cara membuka plastik pembungkus bibit (plastik polybag) terlebih dahulu agar tanah dan akar bibit yang sudah tumbuh menyatu dengan baik tanpa penghalang apapun. Setelah bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam, lubang tanam tersebut ditimbun
kembali dengan tanah. Selanjutnya di sekeliling bibit diberi pupuk. Pemberian pupuk disesuaikan dengan kondisi lingkaran tajuk bibit, yaitu sesuai dengan garis lingkaran terluar tajuk bibit. Kegiatan penanaman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sistem perorangan dan sistem guyuban (kerjasama). Sistem perorangan adalah suatu sistem dimana proses penanaman dilakukan sendiri oleh petani tanpa dibantu oleh orang lain. Hal ini tergantung pada luasan lahan yang akan digarap, jika luasan lahan yang akan digarap kurang dari 0,50 hektar, petani menggunakan sistem perorangan sedangkan jika luasan lahan yang akan digarap lebih dari 0,50 hektar maka petani menggunakan sistem guyuban. Kegiatan pada proses penanaman dapat dilihat pada Gambar 6.
(a)
(b)
Gambar 6 Tahap penanaman: (a) pembuatan jarak tanam (b) pembuatan lubang tanam (c) Lahan yang ditanami tanaman sengon (Paraseriantes falcataria).
5.1.4 Pemeliharaan Setelah melakukan kegiatan penanaman, selanjutnya petani melakukan kegiatan pemeliharaan. Periode 1-2 tahun umur tanaman, petani melakukan pemeliharaan minimal satu kali per tiga hari. Kegiatan pemeliharaan mencakup pemupukan, penanggulangan hama dan penyakit serta perlindungan lahan dan tanaman.
Pemupukan (digemuk) adalah salah satu tindakan yang dilakukan petani dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) khususnya kegiatan pemeliharaan untuk memberikan asupan tambahan energi organik maupun anorganik agar tanaman dapat tetap subur dan tahan terhadap penyakit. Jenis alat dan bahan yang digunakan petani dalam pemupukan terdiri dari karung, ember, pacul (cangkul), sekop, sarung tangan, pupuk kompos (pupuk kandang) dan pupuk kimia (pupuk pabrikan). Jenis pupuk kimia yang sering digunakan petani dalam pemupukan yaitu NPK (Nitrogen Phospor Kalium), KCL (Kalium Chlorida), TSP (Triple Super Phosphat) dan urea. Sedangkan pupuk kompos adalah pupuk buatan yang diolah sendiri oleh petani dari campuran tanah dan kotoran hewan seperti kotoran ayam, kotoran kambing dan kotoran sapi. Pembuatan pupuk kompos dilakukan petani dengan cara mencampurkan tanah dan kotoran hewan, setelah tercampur lalu diaduk dengan sekrup atau pacul sampai rata. Selanjutnya campuran tersebut diendapkan dan ditutup dengan terpal selama 30 hari agar baunya hilang dan berwarna hitam pekat. Setelah 30 hari atau lebih, pupuk kompos tersebut sudah siap digunakan. Pada umumnya dalam melakukan pemupukan, petani lebih sering menggunakan pupuk kompos, hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian petani yang kurang memadai. Semakin mahal harga pupuk kimia maka semakin banyak petani yang menggunakan pupuk kompos. Selain itu, petani beranggapan bahwa pupuk kompos lebih efisien dari segi bahan karena salah satu bahannya berasal dari kotoran ternak (pupuk kompos). Kegiatan pemupukan bergantung pada luasan lahan yang dimiliki petani. Jika luasan lahan lebih dari 1,00 hektar pada umumnya pemupukan dilakukan dengan dibantu oleh petani lain atau buruh tani sebanyak 4-8 orang. Sistem bantuan pemupukan tersebut terdiri dari dua yaitu sistem upah dan sistem sukarela. Jika sistem upah diterapkan maka biaya yang dikeluarkan petani untuk buruh tani biasanya sebesar Rp 15.000/bedug (hari). Satu bedug (hari) dimulai dari pukul tujuh pagi sampai dengan pukul satu siang. Bahan dan alat yang digunakan petani dalam tahap pemeliharaan tanaman dapat dilihat pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7 Pemeliharaan Tanaman: (a) pupuk kandang yang siap pakai (b) kegiatan penanggulangan hama dan penyakit.
Penanggulangan hama dan penyakit merupakan salah satu dari tindakan petani dalam kegiatan pemeliharaan. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menjaga ketahanan tanaman dari hama dan penyakit. Tindakan penanggulangan hama dan penyakit ini mencakup penyemprotan obat tanaman, pemangkasan bagian pohon yang dianggap mati dan pembasmian tanaman pengganggu seperti semak belukar, jamur, gulma dan alang–alang yang berlebihan serta tanaman pengganggu lainnya. Alat yang digunakan petani untuk tindakan penanggulangan hama dan penyakit antara lain ember, tank handsprayer, kapak, parang, beudog (golok) , gacok, kored dan pacul (cangkul). Proses
penyemprotan
obat
tanaman
dilakukan
dengan
cara
menyemprotkan obat tanaman ke beberapa bagian pohon seperti batang, ranting dan daun yang dianggap perlu. Obat tanaman yang digunakan petani untuk tindakan penyemprotan antara lain Darmabas Dencis, Hopsin, dan Rodap. Pemakaian jenis obat tanaman disesuaikan dengan kondisi tanaman. Jjika tanaman terserang hama serangga maka petani sering menggunakan jenis obat tanaman Darmabas, yaitu jenis obat tanaman insektisida. Serangan hama yang sering terjadi pada pohon jengjen atau sengon berasal dari kungkang. Hama kungkang ini dapat menyebabkan lapuknya kondisi batang
pohon. Salah satu penanggulangan yang dilakukan petani yaitu dengan cara memotong batang yang terkena hama. Sedangkan serangan penyakit yang sering terjadi pada pohon karet berasal dari jamur dan rayap. Pada umumnya jamur dan rayap menyerang salah satu bagian pohon terutama akar. Salah satu cara penanggulangan yang dilakukan petani atau buruh tani yaitu dengan melakukan penyemprotan obat pestisida (rodap) atau membakar bagian-bagian pohon tertentu yang terkena serangan hama dan penyakit. Hal ini dimaksudkan agar serangan hama dan penyakit tersebut tidak menyebar ke bagian pohon yang lain. Perlindungan lahan dan tanaman perlu dilakukan oleh petani, yaitu dengan cara membuat pagar pembatas yang terbuat dari bambu. Hal ini dimaksudkan agar tanaman tidak terserang hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi dan kerbau. Selain dengan menggunakan pagar pembatas, petani juga melakukan perlindungan lahan dan tanaman dengan bantuan anjing yang berfungsi untuk menakutnakuti/mengusir hewan pengganggu tadi.
5.1.5 Pemanenan Kegiatan pemanenan terdiri dari penebangan (tuar) dan penyaradan atau pengangkutan (panggul). Proses penebangan (tuar) di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung terdiri dari tiga sistem, yaitu sistem borongan, sistem perijinan dan sistem tebang pilih. Sistem borongan adalah suatu sistem penebangan yang pelaksanaannya diserahkan penuh kepada pihak pemborong dan disertai dengan adanya kesepakatan antara pihak pemilik hutan dan pemborong. Pada umumnya kesepakatan antara pihak pemilik hutan dan pemborong dibuat pada saat kondisi lahan dalam tahap penanaman yaitu ketika umur bibit empat bulan.
Sistem perijinan dalam penebangan kayu rakyat dilakukan dengan disertai dokumen/surat perijinan (legalitas) dari Kantor Kelurahan dan Dinas Kehutanan. Hal ini dimaksudkan agar kayu hasil tebangan dapat terkontrol dengan baik oleh pihak Dinas Kehutanan. Akan tetapi, petani yang memiliki luasan lahan kurang dari 0,25 hektar jarang sekali sistem ini diterapkan, hal ini disebabkan penebangan yang dilakukan hanya skala kecil yaitu sebatas memenuhi kebutuhan papan saja, sehingga tidak untuk dijual. Sistem tebang pilih adalah suatu sistem penebangan dimana dilakukan pemilihan terhadap pohon yang akan ditebang berdasarkan faktor umur pohon dan kebutuhan RTP-HR untuk mencegah terjadinya erosi. Sistem tebang ini pada umumnya dilakukan pada tanaman campuran dan luasan lahan kurang dari 0,50 hektar. Keputusan petani untuk memilih pohon mana yang akan ditebang pada sistem tebang pilih ini sangat berperan karena petani adalah pemilik tunggal hasil panen pada lahan garapannya. Jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan jenis pohon yang paling banyak dibutuhkan petani untuk bahan bangunan dan meningkatkan penghasilan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena jenis pohon tersebut memiliki masa tebang yang singkat dan memiliki nilai jual yang tinggi. Pada umumnya jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) pada umur 5 tahun sudah siap untuk ditebang/dipanen. Petani Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dalam sistem penebangannya lebih menerapkan sistem tebang pilih dan borongan. Sistem tebang pilih diterapkan pada proses penebangan jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) disebabkan tanaman tersebut ditanam pada waktu tanam yang berbeda-beda. Cara penebangan yang dilakukan petani untuk jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) yaitu dengan menerapkan batas ukuran bekas penebangan (tunggul) yaitu berukuran ± 20-25 cm dari permukaan tanah. Alat tebang yang digunakan oleh petani pada sistem tebang pilih adalah kapak. Dengan cara dan alat penebangan tersebut petani beranggapan bahwa hal tersebut dapat
mempercepat proses tumbuhnya tunas di atas tunggul dan menjaga serat kayu agar tidak rusak. Pada umumnya jenis pohon karet (Hevea brasiliensis) pada umur 15 tahun sudah siap untuk ditebang/dipanen. Pada saat umur pohon karet (Hevea brasiliensis) 8 tahun, petani mulai melakukan penyadapan getah karet. Penyadapan getah karet dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi hari dan sore hari. Alat yang digunakan petani untuk proses penyadapan adalah kadukul/pisau sadap (alat khusus koak). Hasil dari penyadapan getah karet tersebut pada umumnya dijual kepada pemborong (tengkulak) dengan harga Rp 10.000/kg. Kegiatan yang dilakukan petani pada proses pemanenan dapat dilihat pada Gambar 8.
(a)
(b)
Gambar 8 Tahap pemanenan: (a) tunggul jengjen atau sengon (Paraseriantes falcataria) (b) proses penyadapan getah pada pohon karet (Hevea brasiliensis).
Pada umumya petani menerapkan sistem borongan pada proses penebangan. Sistem ini diterapkan oleh petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1,00 hektar. Hal ini dilakukan karena petani menganggap bahwa dengan diterapkannya sistem ini, petani tidak perlu memikirkan hasil panen, karena petani sudah menikmati hasilnya diawal perjanjian dengan para pemborong dalam bentuk kesepakatan.
Cara dan alat yang digunakan pada proses penebangan jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) berbeda dengan sistem tebang pilih, karena batas ukuran bekas penebangan (tunggul) yang diterapkan oleh para pemborong yaitu berukuran ± 5-10 cm dari permukaan tanah dan alat tebang yang digunakan pada sistem borongan adalah chainsaw machine (mesin gergaji). Ukuran bekas penebangan (tunggul) dan jenis alat tersebut dipilih oleh pihak pemborong agar hasil panen yang diperoleh maksimal dan lebih efektif. Setelah dilakukan penebangan, kayu bulat dibawa ke tempat sawmill yaitu tempat proses pengolahan kayu bulat menjadi beberapa kubik kayu. Kayu bulat diangkut ke tempat sawmill dengan cara manual, yaitu menggunakan tenaga manusia. Hal ini disebabkan jarak tempat pengumpulan kayu bulat ke tempat sawmill tidak jauh, yaitu sekitar 100-300 meter. Satu orang mengangkut satu kayu bulat per satu kali angkut dengan mendapatkan upah sebesar Rp 5.000/kayu bulat. Kayu bulat yang diangkut/dipanggul tersebut biasanya berukuran panjang ± 2-3 meter dan diameter ± 15-20 cm. Setelah sampai di tempat sawmill tadi, kayu bulat tersebut lalu diolah menggunakan mesin pemotong kayu (gergaji) menjadi beberapa macam kubik kayu, hal ini tergantung pada bentuk ukuran yang dipesan konsumen/pemborong. Pada umumnya harga kayu olahan yang dijual seharga Rp 500.000-Rp 800.000/m3. Akan tetapi, harga kayu olahan tersebut tergantung pada jarak dan akses jalan. Jarak dan akses berbanding lurus dengan harga kayu olahan. Selain itu, proses pengolahan kayu bulat di tempat sawmill harus disertai dengan adanya ijin dari Dinas Kehutanan. Sehingga data jumlah kayu bulat yang masuk dan kayu bulat hasil olahan di tempat sawmill tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Kehutanan. Hal ini dijadikan suatu laporan pendataan tahunan Dinas Kehutanan, agar dapat diketahui proses dan hasil dari kegiatan pemanenan yang terjadi. Pada umumnya hasil pengolahan kayu bulat tersebut dikirim kepada pihak pemborong, seperti toko matrial dan toko mebeul yang berada di luar Kecamatan Maniis, tetapi terkadang beberapa hasil pengolahan kayu bulat tersebut dijual ke beberapa anggota kelompok tani yang ada di Kecamatan Maniis.
Proses pengangkutan kayu bulat dan pengolahan kayu dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 9 Proses pengangkutan dan pengolahan kayu bulat: (a) pengangkutan kayu bulat dengan menggunakan tenaga manusia (manual) (b) kayu bulat yang sudah terkumpul di tempat sawmill (c) proses pengolahan kayu bulat di tempat sawmill (d) tumpukan hasil olahan kayu.
5.1.6 Kegiatan Pengelolaan Berikutnya Kegiatan yang dilakukan petani setelah pemanenan adalah pemulihan lahan (leuson ngebon) selama 2-4 minggu. Pemulihan lahan adalah suatu tindakan yang dilakukan petani agar kondisi lahan kembali subur. Selama proses pemulihan lahan tersebut berlangsung, lahan tersebut tidak diberi tindakan pengelolaan hutan rakyat apapun. Hal ini dimaksudkan agar tunas yang tumbuh dari tunggul pohon yang sudah ditebang tidak terganggu pertumbuhannya. Khusus untuk tanaman
jengjen (Paraserianthes falcataria), petani menjadikan tunas jengjen sebagai bakal bibit yang siap untuk ditanam. Tidak semua petani melakukan pemulihan lahan di lahan garapannya. Pada umumnya pemulihan lahan dilakukan petani yang memiliki luas lahan garapan kurang dari 1,00 hektar. Dari 30 responden yang diambil, hanya 10 responden yang melakukan kegiatan pemulihan lahan, hal ini disebabkan petani menunggu bantuan bibit dari Dinas Kehutanan. Sedangkan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari 1,00 hektar lebih memilih kegiatan penanaman kembali dengan cara membeli langsung dari pedagang keliling atau kios.
5.2 Proses Perubahan Pengetahuan Lokal dan Faktor Penyebab Perubahan Pengetahuan Lokal 5.2.1 Proses Perubahan Pengetahuan Lokal Sebelum tahun 1993, pengelolaan hutan rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung masih tidak teratur. Hal ini terlihat bahwa warisan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat yang didapat secara turuntemurun lebih mementingkan sandang, pangan dan papan tanpa memperhatikan dampak kerusakan hutan yang akan terjadi. Selain itu, akses informasi dan infrastruktur belum memadai, sehingga perkembangan pengetahuan masyarakat lokal terhambat. Memasuki tahun 1993 mulai dibentuk beberapa kelompok tani di beberapa desa yang ada di Kecamatan Maniis. Kelompok tani „Saluyu‟ dan kelompok tani „Karang Mulya‟ merupakan salah satu kelompok tani yang di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dan memiliki tingkat keaktifan yang tinggi dalam pengelolaan hutan rakyat. Semenjak dibentuknya kelompok tani ini, kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung tidak terlepas dari peran para penyuluh Dinas Kehutanan, Purwakarta. Para penyuluh memiliki tugas mendampingi dan memberikan informasi serta pengetahuan kepada para petani tentang bagaimana cara pengelolaan hutan rakyat yang baik
dan benar. Selain itu, pada tahun 1993 mulai dibangun beberapa sarana infrastruktur seperti sarana penerangan berupa Listrik Masuk Desa (LMD), pembangunan gedung sekolah (SLTP dan SLTA) dan beberapa proyek perbaikan jalan utama dan jalan cabang, sehingga memudahkan akses masyarakat lokal dalam mendapatkan informasi dari luar, hal tersebut juga dilakukan masyarakat lokal melalui beberapa media informasi audio-visual berupa radio dan televisi. Berikut ini adalah proses perubahan pengetahuan lokal pada masingmasing kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat : 1. Proses perubahan pengetahuan pada kegiatan persiapan lahan Perubahan yang paling menonjol pada kegiatan persiapan lahan ini adalah mengenai ada tidaknya upacara ritual khusus yang dilakukan petani untuk membuka lahan. Sebelum tahun 1993, upacara ritual ini dilakukan petani agar segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dapat direstui oleh para leluhur. Petani percaya bahwa dengan dilakukan upacara ritual ini, dapat terhindar dari malapetaka (musibah). Setelah dilakukan upacara ritual, petani melakukan pembersihan lahan dengan membabat habis tanaman yang ada di atas lahan hingga lahan gundul. Aktivitas persiapan lahan dilakukan oleh lakilaki dan perempuan serta alat yang digunakan mencakup cangkul, pancong, golok, parang dan perlengkapan untuk sesajen. Setelah tahun 1993, upacara ritual permohonan ijin leluhur sudah mulai tidak pernah dilakukan petani pada kegiatan persiapan lahan. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kemusyrikan. Petani percaya bahwa selama ada niat baik pasti akan direstui oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga segala bentuk aktivitas yang dilakukan akan terhindar dari malapetaka (musibah). Aktivitas persiapan lahan ini dilakukan oleh laki-laki dan alat yang digunakan mencakup cangkul, pancong, golok, parang dan handsprayer. Kegiatan persiapan lahan lebih teratur mencakup pembersihan lahan. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan persiapan lahan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan p ersiapan lahan Persiapan lahan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
Gagasan
Perlu diadakan upacara/ritual khusus Tindakan (ritual karuhun) yaitu Permohonan ijin kepada para leluhur agar dalam melakukan setiap kegiatan pengelolaan hutan rakyat terhindar dari bencana alam dan menyediakan perlengkapan sesajen dan tidak dilakukan pembabatan habis sebab masih percaya Tabel 10 Proses perubahan pengetahuan lokal
Tidak perlu diadakan upacara/ritual khusus sebab petani sudah tidak percaya lagi pada hal-hal yang gaib, tindakan ini didasari oleh adanya pengembangan pengetahuan lokal dan dilakukan pembabatan terhadap tanaman pengganggu serta dilakukan penyemprotan obat tanaman secara intensif. pada kegiatan p ersiapan lahan
(lanjutan) Persiapan lahan
Alat kebudayaan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
pada hal-hal yang gaib. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
Aktivitas dilakukan oleh laki-laki.
a. b. c. d. e.
a. b. c. d.
Cangkul Pancong Golok Parang Perlengkapan sesajen
Cangkul Pancong Parang Handsprayer
2. Proses perubahan pengetahuan pada kegiatan persiapan bibit Perubahan yang terjadi pada persiapan bibit dapat dilihat pada pola pengumpulan biji yang akan dijadikan benih. Petani melakukan pengumpulan biji secara langsung tanpa adanya perlakuan khusus terhadap biji, hal ini dimaksudkan agar biji yang terkumpul bisa langsung ditanam di lahan garapannya. Aktivitas persiapan bibit dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Alat yang digunakan pada persiapan bibit mencakup cangkul, parang dan batok kelapa. Akan tetapi, pola tersebut mulai berubah berkat adanya para penyuluh. Para penyuluh telah memberikan informasi dan pengetahuan kepada petani tentang pola persiapan bibit yang mencakup pengadaan benih dan persemaian. Pola yang diterapkan petani dalam persiapan bibit terbagi dua yaitu pola pengadaan bibit dari bantuan Dinas Kehutanan dan pola pengadaan bibit dari hasil persemaian. Aktivitas persiapan bibit dilakukan oleh laki-laki. Alat yang
digunakan pada persiapan bibit mencakup cangkul, jaring untuk atap persemaian, selang air, ember, handsprayer, drum penampung air dan plastik polybag. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan p ersiapan bibit dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan p ersiapan bibit Persiapan bibit Gagasan Tindakan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
Pengumpulan biji yang dianggap siap untuk dijadikan benih (mulung siki) sehingga biji yang dikumpulkan bisa langsung ditanam kedalam tanah dan tidak dilakukan penyeleksian bibit sehingga pengumpulan
Dibangun tempat persemaian dan adapula mendapatkan bantuan bibit (seperti jenis bibit sengon dan karet) dari Dinas Kehutanan sehingga memudahkan petani untuk melakukan penyeleksian Tabel 11 Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan p ersiapan bibit (lanjutan) Persiapan bibit
Alat kebudayaan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
biji tergantung pada insting petani. tindakan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang benih dan bibit. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
bibit serta dilakukan pemilihan lokasi lahan yang cocok untuk dibangun tempat persemaian bibit dan melakukan penyiraman secara rutin (intensif). Aktivitas dilakukan oleh laki-laki
a. Cangkul b. Parang c. Batok kelapa
a. b. c. d. e. f. g.
Cangkul Jaring untuk atap Selang Ember Handsprayer Drum Plastik polybag
3. Proses perubahan pengetahuan pada penanaman Perubahan yang terjadi pada kegiatan penanaman terlihat pada pola dan aktivitas yang diterapkan oleh petani. Dalam kegiatan penanaman petani melakukannya dengan cara sembarang atau tanpa teknik khusus, sehingga bibit yang siap tanam tidak dilakukan penyeleksian bibit terlebih dahulu. Akibatnya
petani tidak memperhatikan kondisi dan jenis bibit apa yang dipakai. Aktivitas penanaman dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Alat yang digunakan pada kegiatan penanaman mencakup linggis, pancong dan arit. Setelah dibentuknya kelompok tani, kegiatan penanaman mulai berubah pola dan aktivitasnya. Pola yang digunakan petani pada kegiatan penanaman mencakup pembuatan jarak tanam, pembuatan lubang tanam dan pemasukan bibit ke lubang tanam. Aktivitas penanaman dilakukan oleh laki-laki. Alat yang digunakan pada kegiatan penanaman mencakup linggis, pancong, arit, ajir/patok bambu dan meteran. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan penanaman dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Proses perubahan pengetahuan pada lokal kegiatan p enanaman Penanaman
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
Gagasan Tindakan
Dilakukan penanaman di Dilakukan Pembuatan lahan garapan (meulak jarak tanam dan lubang tangkal atau banda) tanam agar kerapatan tajuk dengan cara melempar pohon dapat disesuaikan benih yang ada ke tanah dengan kondisi dan jenis secara sembarang dan bibit pohon serta jarak tanam yang yang umum dibuat Tabel 12 Proses perubahan pengetahuan pada lokal kegiatan p enanaman (lanjutan) Penanaman
Alat kebudayaan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
siap tanam, lalu ditanam ditanah tanpa perlakuan khusus serta tidak dibuat jarak tanam dan lubang tanam, tindakan ini disebabkan hanya berorientasi pada kebutuhan sandang, pangan dan papan. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
berukuran 2m x 3m dan diberi perlakuan khusus dalam pembuatan lubang tanam, tindakan ini dimaksudkan agar pertumbuhan tanaman dapat teratur (tidak mengganggu tanaman lain). Aktivitas dilakukan oleh laki-laki
a. Linggis b. Pancong c. Arit
a. b. c. d. e.
Linggis Pancong Arit Ajir/Patok bambu Meteran
4. Proses perubahan pengetahuan pada kegiatan pemeliharaan Perubahan yang terjadi pada kegiatan pemeliharaan terlihat pada aktivitas dan alat yang digunakan oleh petani. Pada awalnya petani jarang melakukan pemeliharaan. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan dari petani bahwa dalam suatu aktivitas pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) tidak perlu rutin dilakukan kegiatan pemeliharaan karena dalam aktivitas tersebut hanya menanam dan panen. Aktivitas pemeliharaan dilakukan oleh laki-laki. Alat yang digunakan pada kegiatan pemeliharaan mencakup golok, parang dan pupuk kompos. Dengan adanya
media akses
infomasi dan pengetahuan yang
berkembang, aktivitas pemeliharaan mulai berubah, yaitu dengan adanya aktivitas pemupukan, penanggulangan hama dan penyakit serta perlindungan terhadap lahan dan tanaman. Akses informasi dan pengetahuan dapat berupa media cetak, media audio dan visual, serta para penyuluh (kegiatan penyuluhan). Aktivitas pemeliharaan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Alat yang digunakan pada kegiatan pemeliharaan mencakup parang, golok, obat pestisida, obat insektisida dan pupuk kimia. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan p emeliharaan Pemeliharaan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
Gagasan Tindakan
Mengurus lahan garapan (ramut kebon) Agar tidak terserang hama dan penyakit Dilakukan serentak dan seperlunya dengan petani lain serta dengan waktu yang tidak terjadwal (tidak intensif). Aktivitas dilakukan oleh laki-laki
Pemupukan (ngageumuk) agar kesuburan dan ketahanan tanah serta tanaman tetap terjaga sehingga dilakukan penyemprotan obat tanaman dan pemberian pupuk secara intensif, selain itu tindakan ini dimaksudkan agar memperoleh hasil
produksi yang optimal. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan Alat kebudayaan
a. Golok b. Parang c. Pupuk kompos
a. b. c. d. e.
Parang Golok Obat pestisida Obat insektisida Pupuk kimia
5. Proses perubahan pengetahuan pada kegiatan pemanenan Perubahan yang terjadi pada kegiatan pemanenan terlihat pada tindakan dan alat yang digunakan oleh petani. Kegiatan pemanenan dilakukan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa memperhatikan adanya dampak kerusakan yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan petani terhadap pola pemanenan. Selain itu, kegiatan pemanean dilakukan tanpa adanya teknis khusus dari petani. Aktivitas pemanenan dilakukan oleh laki-laki dan alat yang digunakan kapak dan golok. Dengan adanya akses infomasi dan pengetahuan yang memadai, aktivitas pemanenan mulai berubah, yaitu dengan adanya aktivitas penentuan takik rebah dan balas, memperhatikan arah angin, penggunaan gergaji mesin (chainsaw) dan membuat rencana penanaman kembali. Aktivitas pemanenan dilakukan oleh laki-laki dan alat yang digunakan mencakup gergaji mesin (chainsaw), meteran, helm, sarung tangan dan peta lahan. Selain itu, pada sektor kehutanan, hasil panen tidak lagi hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga petani itu sendiri tetapi digunakan untuk bahan bangunan dan bahan meubel sedangkan pada sektor perkebunan dan pertanian pada umumnya hasil paen langsung dijual ke pasar terdekat. Proses perubahan pengetahuan lokal pada kegiatan pemanenan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Proses perubahan pengetahuan pada lokal kegiatan pemanenan Pemanenan
Sebelum tahun 1993
Setelah tahun 1993
Gagasan Tindakan
Melakukan tebang habis (tuar kabeh) agar hasil panen diusahakan memperoleh hasil maksimal dan tidak
Melakukan tebang pilih (tuar sawareh), tindakan ini dimaksudkan agar ekosistem hutan tetap terjaga dan mengurangi
Alat kebudayaan
memperhatikan dampak kerusakan alam, selain itu tindakan ini secara teknis tidak dilakukan penyiangan dan tidak memperhatikan arah angin serta tidak ada teknik khusus yang perlu dilakukan. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki
dampak kerusakan hutan serta dilakukan penebangan dengan teknik khusus yaitu kegiatan penebangan yang memperhatikan arah angin dan menerapkan sistem jarak tebang sehingga dalam pelaksanaannya dapat meminimalisir dampak kerusakan. Aktivitas dilakukan oleh laki-laki
a. Kapak b. Golok
a. Gergaji mesin (chainsaw) b. Meteran c. Helm d. Sarung tangan e. Peta
5.2.2 Faktor Penyebab Perubahan Pengetahuan Lokal Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan pengetahuan lokal pada pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) diantaranya: 1.
Orientasi kebutuhan ekonomi rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) Orientasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) sudah mengarah pada ekonomi, sehingga hasil panen yang didapat tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga petani tetapi juga untuk dijual ke pasar. Agar hal tersebut dapat tercapai, petani dibantu oleh para penyuluh melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan untuk memaksimalkan hasil panen yang dianggap sesuai dengan permintaan pasar. Pada umumnya petani lebih memilih jenis bibit jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria). Jenis bibit jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) dianggap memiliki nilai jual tinggi dari hasil kayunya, tahan terhadap hama dan penyakit serta daur tumbuh cepat yaitu 5 tahun. Selain itu, kebutuhan pasar terhadap getah karet pun meningkat, oleh karena itu petani mencoba memenuhinya dengan menanam jenis bibit karet (Hevea brasilliensis).
2.
Kemajuan teknologi dan media informasi serta pengetahuan
Seiring kemajuan zaman, pola dan alat pada pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) mengalami perubahan. Kemajuan teknologi dan media informasi menyebabkan petani dengan mudah mendapatkan informasi dan pengetahuan terbaru khususnya pencarian informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat melalui media cetak dan audio visual. Selain itu, perubahan pola dan alat yang digunakan petani pada pengelolaan hutan rakyat tidak terlepas dari peran para penyuluh. Kegiatan penyuluhan dijadikan sarana komunikasi langsung antara petani dan para penyuluh untuk berbagi informasi dan pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi, khususnya pada sektor kehutanan seperti membahas aktivitas, pola, tindakan dan alat yang digunakan untuk pengelolaan hutan rakyat.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1.
Pengetahuan petani di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung pada pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) memiliki keseragaman kegiatan, yaitu persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sebelum tahun 1993 aktivitas persiapan lahan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, melakukan upacara ritual khusus (permohonan ijin) dan melakukan pembabatan habis; aktivitas persiapan bibit dilakukan oleh laki-laki dan perempuan serta tidak melakukan penyeleksian bibit; aktivitas penanaman dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, tidak melakukan pembuatan jarak tanam dan tidak melakukan perlakuan khusus terhadap bibit; aktivitas pemeliharaan dilakukan oleh laki-laki dan dilakukan oleh semua petani dalam waktu yang bersamaan secara tidak rutin; aktivitas pemanenan dilakukan oleh laki-laki, tidak melakukan teknik penyiangan dan tidak memperhatikan arah angin. Setelah tahun 1993, aktivitas persiapan lahan dilakukan oleh laki-laki dan melakukan penyemprotan obat tanaman serta pembabatan terhadap tanaman pengganggu; aktivitas persiapan bibit dilakukan oleh laki-laki, melakukan penyiraman secara rutin dan memilih lokasi yang cocok untuk pembangunan tempat persemaian; aktivitas penanaman dilakukan oleh laki-laki, melakukan pembuatan jarak tanam dengan ukuran 2m x 3m dan melakukan pembuatan lubang tanam; aktivitas pemeliharaan dilakukan oleh laki-laki dan perempuan serta melakukan penyemprotan obat tanaman secara rutin; aktivitas pemanenan dilakukan oleh laki-laki, melakukan sistem jarak tebang dan memperhatikan arah angin.
2.
Perubahan pengetahuan masyarakat lokal pada pengelolaan hutan rakyat terjadi pada semua tahap kegiatan pengelolaan hutan rakyat (persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan). Faktor yang mempengaruhi adanya perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat tersebut dipengaruhi oleh adanya orientasi
kebutuhan ekonomi rumah tangga petani (RTP) dan kemajuan teknologi pengetahuan/informasi, seperti media cetak dan media audio-visual. 6.2 Saran 1.
Dinas kehutanan sebaiknya lebih intensif dan konsisten dalam menjalankan program yang menyangkut pengelolaan hutan rakyat khususnya pada kegiatan penyuluhan yang dijadikan sebagai sarana media komunikasi antara petani dengan petugas dari Dinas Kehutanan. Akibatnya, segala bentuk informasi tentang ilmu pengetahuan kehutanan khususnya pada pengelolaan hutan rakyat, tidak didapat secara setengah-setengah melainkan secara menyeluruh dan dapat dengan mudah diaplikasikan oleh petani secara langsung. Oleh sebab faktor ekonomi rumah tangga petani yang kurang memadai, pengalokasian bantuan bibit unggul dan pupuk melalui program KBR (Kebun Bibit Rakyat) dari Dinas Kehutanan perlu diperhatikan dan ditingkatkan pula.
2.
Untuk melihat seberapa besar perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Jawa Barat perlu dibuat peta tematik mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Mororene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Berkes F, Colding J, Folke C. 2000. Rediscovery of traditional ecological knowledge as adaptive management. Ecological Applications. 10 (5): 1251-1262.
Clarke J. 1991. Participatory technology development in agroforestry: methods from a pilot project in Zimbabwe. Agroforestry Systems. 15: 217-228.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1995. Prosiding Seminar/Diskusi Panel Pengembangan Hutan Rakyat, dilaksanakan di Bandung tanggal 19-20 Januari 1995. Ditjen RRL. Jakarta.
Fakihhudin. 2010. Pengetahuan Lokal Pada Pengelolaan Hutan Jati Dalam Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Kasus Masyarakat Desa Loji Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Friday KS, Elmo M, Garritx, Dennis P. 1999. Rehabilitasi Padang Alang-alang menggunakan Agroforestry dan Pemeliharaan Permudaan Alam. International Center For Research in Agroforestry, Southeast Asian Regional Research Programme. Bogor, Indonesia.
Hardjanto. 1990. Pengembangan Kebijakan Ekonomi dalam Pelestarian Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Johnson M. 1992. Lore: Capturing Traditional Environmental Knowledge. Canada: IDRC.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nurasiah. 2009. Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat: Kasus Desa Cijagang dan Desa Sukamulya, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
[Pemkab] Pemerintahan Kabupaten Purwakarta Kantor Dinas Sosial Dan Pemberdayaan Masyarakat. 2010. Profil Desa Dan Kelurahan Desa Pasir Jambu. Purwakarta: Pemerintahan Kabupaten Purwakarta.
[Pemkab] Pemerintahan Kabupaten Purwakarta Kantor Dinas Sosial Dan Pemberdayaan Masyarakat. 2010. Profil Desa Dan Kelurahan Desa Gunung Karung. Purwakarta: Pemerintahan Kabupaten Purwakarta. [Pemkab] Pemerintahan Kabupaten Purwakarta Kantor Dinas Sosial Dan Pemberdayaan Masyarakat. 2010. Profil Kecamatan Maniis. Purwakarta: Pemerintahan Kabupaten Purwakarta.
Singarimbun M, Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3ES.
Sitorus M. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial (DOKIS).
Suharjito D, Darusman D. 1998. Kehutanan Masyarakat Berbagai Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation.
Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa dan Peranannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Sunaryo, Joshi L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestry. Bogor: ICRAF Southeast Asia Regional.
Suwardi M. 2010. Analisis Gender Dalam Kegiatan Pengelolaan Hutan Rakyat Dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga: Kasus Hutan Rakyat di Desa Sukaresmi, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Warren DM. 1991. Using Indigenous Knowledge for Agricultural Development. World Bank Discussion Paper. 17: 127-135.
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 2 Luas Kepemilikan Lahan Hutan Rakyat No Nama Luas lahan hutan rakyat (hektar) 1 Olih solihin 0,60 2 Mumu 1,00 3 Haris 1,50 4 Dodi 1,00 5 Karmita 2,00 6 H, Saefudin 1,50 7 Husen 1,50 8 Ali 1,00 9 H, Empud 0,67 10 H, Adul 0,50 11 Eman 0,20 12 Engkos 1,00 13 Iyep 1,00 14 Halimi 0,50 15 Cuni 0,56 16 Adang 0,20 17 Tata 2,00 18 Idin 1,00 19 Omon 4,60 20 Herman 1,50 21 Bubun 0,20 22 Tibi 1,00 23 Entang 2,00 24 Ajat 0,20 25 Amir 4,00 26 Tori 0,50 27 Oni 1,00 28 Iming 4,00 29 Aminah 3,00 30 Ali nurdin 1,00 Jumlah 40,73 Rata-rata 1,36
Persentase (%) 1,5 2,5 3,7 2,5 4,9 3,7 3,7 2,5 1,6 1,2 0,5 2,5 2,5 1,2 1,4 0,5 4,9 2,5 11,3 3,7 0,5 2,5 4,9 0,5 9,8 1,2 2,5 9,8 7,4 2,5 100,0 3,3
Lampiran 3 Pengklasifikasian terhadap gagasan atau tindakan menurut perspektif petani Jenis gagasan atau tindakan Pembersihan lahan Jenis: ngored/babad, ngesrik, durukan dan beberes Alat-alat: cangkul, pancong, golok dan parang Pengolahan tanah Jenis: penyemprotan dengan menggunakan jenis obat EM-4 (obat pestisida) Alat-alat: handsprayer Pengadaan benih Jenis: sengon, karet, rambutan, durian, pete, mangga
Baik
Alat-alat: cangkul dan pancong Persemaian Jenis: sengon, karet, jabon, akasia, mahoni, sukun, suren, jati dan mindi Alat-alat: jaring untuk atap, selang, ember, handsprayer, drum dan plastik polybag Pembuatan jarak tanam Jenis: ukuran 2m x 3m dan 3m x 4m
Alat-alat: linggis, tali rapia, ajir/patok bambu dan meteran Pembuatan lubang tanam Jenis: ukuran 12-30cm Alat-alat: pancong, arit dan linggis Pemasukkan bibit ke lubang tanam Jenis: melepaskan plastik polybag dan dimasukan pupuk Alat-alat: golok dan pancong Pemupukan Jenis: pupuk kompos dan pupuk pabrikan Alat-alat: obat pestisida, pupuk kimia, o bat insektisida Penanggulangan hama dan penyakit Jenis: penyemprotan obat tanaman, pemangkasan bagian pohon yang dianggap mati dan pembasmian tanaman pengganggu Alat-alat: NPK, KCL, TSP dan urea Perlindungan lahan tanaman Jenis: membuat pagar perbatas agar terhindar dari hewan pengganggu tanaman Alat-alat: parang dan golok Penebangan Jenis: ukuran tunggul 20-25 cm dan 5-10 cm dari permukaan tanah
Alat-alat: gergaji mesin (chainsaw), kapak dan meteran Penyaradan atau pengangkutan Jenis: pemanggulan kayu (manual) Alat-alat: tenaga manusia
Buruk
Lampiran 4 Akses informasi * Pertanyaan : 1. Apakah bapak/sdr pernah pergi keluar desa untuk menambah pengetahuan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan hutan rakyat? 2. Apakah bapak/sdr melakukan kunjungan/konsultasi pribadi kepada petugas Dinas Kehutanan dalam pelaksanaan hutan rakyat? 3. Apakah bapak/sdr membaca surat kabar/majalah khususnya tentang hutan rakyat? 4. Apakah bapak/sdr mendengarkan radio/TV untuk menambah pengetahuan/mencari informasi? 5. Apakah bapak/sdr menghadiri pelatihan hutan rakyat? 6. Apakah bapak/sdr melakukan tukar-menukar informasi/pengetahuan sesama anggota kelompok tani hutan rakyat? * Jenis Jawaban 1. ( ) sering 2. ( ) kadang-kadang 3. ( ) tidak pernah Jenis pertanyaan No
Persentase Kadang- Persentase
Tidak Persentase
Sering
(%)
kadang
(%)
pernah
(%)
1
14
14
7
18,9
9
20,9
2
15
15
9
24,3
6
14,0
3
6
6
3
8,1
21
48,8
4
24
24
4
10,8
2
4,7
5
17
17
8
21,6
5
11,6
6
24
24
6
16,2
-
-
Jumlah
100
100
37
100,0
43
100,0
Rata-rata
180
55,7
180
20,7
180
23,9
Lampiran 5 Peralatan yang digunakan oleh petani
a. Tank siram
c. Parang
e. Pancong/gacok
g. Pisau sadap
b. Penampung air
d. Golok (bedog)
f. Cangkul (pacul)
h. Batok (penampung getah)