KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan
Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi
Editor: Prof. Dr. Supratman Alih Bahasa/Translator: Drs. Pikintoro, MA
2016
Dwibahasa Bilingual
KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi Penulis/Authors: Achmad Rizal H. Bisjoe, Abd. Kadir Wakka, Nur Hayati, Bugi Sumirat, Andarias Ruru, Abd. Rahim, Rini Purwanti, Nurhaedah Muin, Zainuddin, Arman Hermawan, Wahyudi Isnan, dan/and Supardi Editor: Prof. Dr. Supratman Alih Bahasa/Translator: Drs. Pikintoro, MA Desain dan Tata Letak/Design and Lay outing: Arman Suarman, Kasmawati, dan/and FORDA PRESS
Penerbit/Publisher: FORDA PRESS, Bogor (Anggota/Member of IKAPI) Cetakan Pertama/First Edition, Maret/March, 2016 xviii + 322 halaman/pages; 148 x 210 mm ISBN 978-602-6961-04-4 © Hak cipta pada penulis dan penerbit dilindungi undang-undang (Copyright on authors and publisher are protected by Indonesian Law)
Diterbitkan untuk/Published for:
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan (Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi) / editor, Supratman. -- Bogor : Forda Press, 2016. xviii + 322 hlm. : ill. ; 21 cm. -ISBN: 978-602-6961-04-4 1. Hutan Rakyat II. Forda Press
2. Kemitraan 3. Bulukumba III. Bunga Rampai
I. Supratman 634.92
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
UCAPAN TERIMA KASIH Buku di hadapan pembaca budiman yang berjudul “Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan” ini berisi kumpulan tulisan tim yang terlibat dalam kerja sama penelitian antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (FORDA) dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini, antara lain: 1. Mr. Russel Haines, Forestry Research Program Manager ACIAR; 2. Dr. Digby Race, pimpinan proyek kerja sama dengan ACIAR; 3. Bapak Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, koordinator Project Advisory Group (PAG); 4. Bapak Dr. Dede Rohadi, pendamping tim peneliti; 5. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Makassar; 6. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; 7. Para pakar pendamping tim peneliti: Dr. Ani Adiwinata Nawir, Bapak Soni Trison, Ibu Aritta Suwarno, Bapak Markum, dan Bapak Sulistiyono; 8. Para mitra tim peneliti Green Triangle Australia (Dr. Hugh Stewart) dan WWF Nusa Tenggara; 9. Para Narasumber yang memperkaya tulisan buku ini; 10. Para peer-review yang mencermati dan memeriksa naskah buku; 11. Kepala Desa dan segenap petani hutan rakyat, serta warga Desa Balong dan Desa Karassing, Kabupaten Bulukumba; dan 12. Semua pihak yang berperan dalam proses penyusunan buku ini. Buku ini merupakan sebagian kecil saja dari pengetahuan tentang kemitraan hutan rakyat, yang tentu terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, semua saran konstruktif terhadap buku ini diterima dengan sukacita. Terima kasih. Makassar, Maret 2016 Tim Penulis
|v
ACKNOWLEDGMENTS The book entitled "Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi" is an anthology of writings by the team involved in research collaboration between the Forestry Research and Development Agency (FORDA) and the Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) . On this occasion, we would like to thank all parties (stakeholders) who have been involved in this research: 1. Mr. Russell Haines, Forestry Research Program Manager ACIAR; 2. Dr. Digby Race, project leader for ACIAR collaborative research; 3. The Secretary of FORDA, coordinator of the Project Advisory Group (PAG); 4. Dr. Dede Rohadi, research team facilitator; 5. Head of the Forestry Research Institute of Makassar; 6. Head of Forestry and Plantation Service of Bulukumba District, South Sulawesi; 7. All experts facilitating the research team: Dr. Ani Adiwinata Nawir, Mr. Soni Trison, Mrs. Aritta Suwarno, Mr. Markum, and Mr. Sulistiyono; 8. All members of research team, particularly for the Green Triangle Australia (Dr. Hugh Stewart) and WWF Nusa Tenggara; 9. All resource persons as the initiators of the writings this book; 10. The peer-reviewers who have reviewed, examined, and edited the manuscripts of this book; 11. Village heads and all private forest farmers and villagers living in Balong Village and Karassing Village, Bulukumba District; and 12. All parties who have been involved in the process of preparing this book. This book is a small part of the knowledge about private forestry partnerships, which is, of course, far from perfect. Therefore, all constructive suggestions for the improvement to this book will be highly appreciated. Thank you. Makassar, March 2016 The Authors
vi |
PENGANTAR DARI EDITOR Assalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Kesediaan berbagi pengalaman dari tim penulis buku ini–dengan beragam sudut pandang–membuat saya tertarik untuk menelaah naskah tulisan parsialnya dan mencoba menata, serta membingkainya menjadi satu buku yang diberi judul “Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan”. Karena merupakan bunga rampai dari lintas bidang dan latar belakang para penulisnya, hal yang wajar saja bila dijumpai berbagai gaya dan cara penyampaian dalam buku ini. Namun, bila dibaca dan dicermati, buku ini akan bercerita apa adanya, sesuai dengan yang dialami oleh masing-masing penulis bab dalam berinteraksi dengan segenap pemangku kepentingan hutan rakyat di lokasi penelitian, Bulukumba Sulawesi Selatan. Buku ini memuat sepuluh tulisan yang disiapkan, baik secara individu maupun kolaborasi; mulai dari sosial, ekonomi, dan budaya, serta derivatnya seperti kelembagaan, pemangku kepentingan, pasar, hingga hal yang bersifat teknis kehutanan. Pengantar ke bagian tulisan tersebut diceritakan secara ringkas pada bagian Prolog. Setelah pembaca meluangkan waktu untuk mencermati setiap tulisan, pada bagian Epilog disajikan kembali kandungan setiap tulisan secara ringkas. Tentunya, hal ini dimaksudkan untuk membantu mencari benang merah antartulisan sehingga pembaca dapat menangkap secara utuh informasi dari buku ini apa adanya. Akhirul kalam, saya ucapkan selamat kepada Tim Penulis atas keberaniannya membagi pengalaman ini dalam dwibahasa. Semoga dengan harapan dan kesiapan penulis, kritikan dan masukan akan lebih banyak diperoleh dari pembaca untuk menyempurnakan buku ini. Terima kasih disampaikan pula kepada Balai Penelitian Kehutanan Makassar atas kiprahnya yang turut memperkaya khazanah pengetahuan, khususnya tentang pengelolaan hutan rakyat. Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Makassar, Maret 2016 Editor, Prof. Dr. Supratman
| vii
FROM THE EDITOR Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, The sharing passion of the authors–with a variety of view-points– makes me interested to study the partial manuscript and try to organize and frame them into a book entitled "Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi". Due to the cross-field and different background of the authors, it is natural for recognizing the variety of styles and methods of writing in this book. However, this book will tell you what it the interesting of this book, according to what has been experienced by each author while they were interacting with all stakeholders in the private forest research sites, Bulukumba District, South Sulawesi province. This book that contains ten articles were set up, either individually or as a team, from social, economic, and cultural, as well as its derivatives such as institutional, stakeholder, market, and the simple silviculture perspective. Introduction to the book is explored briefly in the Prologue. While in the Epilogue, readers are leaded to spend their time to be able to observe each article briefly, to seek the link among articles. Akhirul kalam (At the end), I congratulate the authors for their courage, their hard work to share their experiences within this book in bilingual. Then, with hope and readiness of author, more criticism and feedback from readers can be reached to improve and enrich this book. Thank you to the Forest Research Institute of Makassar for their work that helped to enrich knowledge, especially regarding the management of private forests. Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Makassar, March 2016 Editor,
Prof. Dr. Supratman
viii |
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Keberadaan hutan rakyat memiliki peran penting dalam menjawab kebutuhan terhadap hasil hutan yang selama ini dipenuhi dari hutan alam. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari kiprah masyarakat dalam mengelola hutannya. Banyak hal yang dapat diungkapkan dalam berinteraksi dengan para pemangku kepentingan hutan rakyat, termasuk petaninya, sebagaimana disajikan dalam buku berjudul “Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan”. Saya bersyukur kepada Allah SWT atas diterbitkannya buku ini. Selanjutnya, saya mengucapkan selamat kepada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, khususnya Tim Penulis. Atas upayanya untuk berbagi pengalaman dalam kerja sama penelitian antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan atau biasa juga disebut FORDA (Forest Research and Development Agency) dengan ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research), hasilnya telah dapat diwujudkan dalam satu buku bilingual (dwibahasa). Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK), sebagai nama baru FORDA, diharapkan mampu menjadi lembaga penyedia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terkemuka dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, lembaga ini juga diharapkan dapat meningkatkan penguasaan IPTEK dan pemanfaatan informasi dan teknologi hasil litbang dalam mendukung kebijakan dan praktik pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan. Kerja sama penelitian dengan berbagai pihak merupakan satu di antara upaya pencapaian harapan dimaksud. Adapun wujud diseminasi dan publikasi dalam dwibahasa pada buku ini akan memperluas jangkauan pembaca dari seluruh dunia. Akhirnya, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung terbitnya buku ini. Semoga
| ix
kehadirannya dapat memacu semangat segenap insan BLI KLHK untuk terus berpartisipasi dan berprestasi dalam kinerjanya pada berbagai kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi. Selamat membaca. Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bogor, Maret 2016 Kepala Badan,
Dr. Henry Bastaman, MES
x|
A Remark from The Director General of Research, Development and Innovation Agency Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia
Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, The existence of private forests has an important role in addressing the demand to be met by natural forests. It cannot be separated from the community managing their forests. Many aspects can be expressed in interacting with the smallholders, including forest farmers, as it is presented in this book entitled "Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi". I thank to Allah for the completion of this book. Furthermore, I congratulate the Forestry Research Institute of Makassar, especially the authors for their all efforts to share their experiences in research collaboration between Forest Research and Development Agency (FORDA), a previous name of Research, Development and Innovation Agency (RDIA), and Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) within this precious bilingual book. RDIA is expected to be the provider institution for science and technology in relation to environment and forestry, including efforts to improve the welfare of the society, especially community around forests. In addition, the institute is also expected to improve the mastery of science and technology that lead to support development policy and practice environment and forestry. Research cooperation with various parties is one of the efforts to achieve the intended expectations. This brilliant idea to disseminate and publish the book in a bilingual style will expand the range of readers from around the world. Finally, I would like to thank and acknowledge to all of colleagues who have supported the publication processes of this book. Hopefully its presence is able to boost the spirit of RDIA to continue
| xi
participating widely and beyond their performance on various activities on research, development and innovation. Happy reading!. Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bogor, March 2016 Director General,
Dr. Henry Bastaman, MES
xii |
KATA PENGANTAR Atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa, buku “Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan” ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan peneliti, teknisi, dan mitra yang terlibat dalam kerja sama penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (FORDA) dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Buku ini dimaksudkan sebagai media berbagi informasi dan pengalaman personil tim selama kerja sama penelitian berlangsung dari berbagai aspek dan sudut pandang, serta kajian pustaka terkait. Oleh karena itu, kandungan tulisan pada buku ini cukup beragam, mulai dari problematika kemitraan hutan rakyat, stakeholder, kelembagaan, kebijakan, sosial-ekonomi, dan pasar. Untuk memperluas jangkauan informasi, buku ini disajikan dalam dwibahasa (bilingual), yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Apa yang tersaji pada buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih dalam pengelolaan hutan rakyat. Semua saran perbaikan untuk penyempurnaan buku ini, kami menyambutnya dengan tangan terbuka dan ucapan terima kasih.
Makassar, Maret 2016 Balai Penelitian Kehutanan Makassar Kepala Balai,
Ir. Misto, MP
| xiii
FOREWORD With the blessings and grace of Allah God Almighty, the book entitled "Community Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi," could be published. This book is an anthology of writings by researchers, technicians, and partners involved in research collaboration between the Forestry Research and Development Agency (FORDA) and the Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). This book is intended to be a medium of sharing information and experience of personnel team during the course of research collaboration of the various aspects and the viewpoints obtained from related literature reviews. Therefore, the contents of the articles in this book are varied, ranging from the problems associated with private forest partnerships, stakeholders, institutions, policy, socio-economy, and market. To provide further scope of information, this book is presented in two languages (bilingual), in Bahasa Indonesia and English. It is hoped that the discussions of such a wide range of issues presented in this book will provide an overview of community forest management partnerships in Bulukumba District, South Sulawesi. Hopefully this book will provide a useful contribution to the private forest management. All suggestions for the improvement of this book will be widely welcome and highly appreciated. Finally, our special thanks go to all colleagues and relevant parties who have offered very helpful assistances for the publication of this book.
Makassar, March 2016 Forestry Research Institute of Makassar Director,
Ir. Misto, MP
xiv |
DAFTAR ISI LIST OF CONTENTS UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….………… v ACKNOWLEDGMENTS ………………………………………………….………… vi PENGANTAR EDITOR ……………………………….……………….………… vii FROM EDITOR ………………………………………….…………………………… viii SAMBUTAN KEPALA BADAN ………………….………….………………… ix A REMARK FROM DIRECTOR GENERAL …….…………………………… xi KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… xii FOREWORD ……………………………………………..……………………………. xiv DAFTAR ISI/LIST OF CONTENTS ………….………….……………………. xv PROLOG ............................................................................................................. 1 PROLOGUE …………………………………………….…………………………… 7 INISIASI DAN IMPLEMENTASI KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Achmad Rizal H. Bisjoe ................................................................................ 13 INITIATION AND IMPLEMENTATION OF FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP Achmad Rizal H. Bisjoe ……………………….……………………………….. 28 ASPEK FINANSIAL DAN EKONOMI DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Abd. Kadir Wakka dan Achmad Rizal H. Bisjoe ………….………….. 43 FINANCIAL AND ECONOMIC ASPECTS OF PRIVATE FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP Abd. Kadir Wakka and Achmad Rizal H. Bisjoe ………….………….. 55 ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN KEMITRAAN Nur Hayati …….................................................................................................. 67 STAKEHOLDER ANALYSIS OF PARTNERSHIPS MANAGEMENT Nur Hayati ……………………………………………………..…………………….. 78
| xv
BAGAIMANA PETANI HUTAN RAKYAT BERMITRA? Bugi Sumirat ..................................................................................................... 91 HOW DO PRIVATE FOREST FARMERS ESTABLISH A PARTNERSHIP? Bugi Sumirat ………………………………….…………………………………….. 104 MENCERMATI PROSES PENDAMPINGAN KEMITRAAN HUTAN RAKYAT DARI SUDUT PANDANG SEORANG PETANI DESA BALONG Andarias Ruru dan Abd. Rahim ............................................................... 117 OBSERVING FACILITATION PROCESS OF PRIVATE FORESTRY PARTNESHIPS: FROM THE PERSPECTIVE OF BALONG VILLAGE FARMER Andarias Ruru and Abd. Rahim ……………………….…………………… 128 PERAN PELAKU PASAR PADA DISTRIBUSI KAYU HUTAN RAKYAT DALAM KONTEKS KEMITRAAN Rini Purwanti ................................................................................................... 139 THE ROLES OF MARKET PLAYERS IN THE DISTRIBUTION OF TIMBER PRIVATE FOREST IN THE CONTEXT OF PARTNERSHIPS Rini Purwanti .................................................................................................... 150 DISTRIBUSI MARGIN TATA NIAGA KAYU HUTAN RAKYAT DALAM MENDUKUNG KEMITRAAN Nurhaedah Muin .............................................................................................. 161 MARGIN DISTRIBUTION OF PRIVATE FOREST TIMBER TRADE IN SUPPORTING PARTNERSHIPS Nurhaedah Muin .............................................................................................. 174
PENGETAHUAN INVENTARISASI HUTAN BAGI MASYARAKAT PENGELOLA HUTAN RAKYAT Zainuddin dan Arman Hermawan ……………………………………….. 189 ….................................. KNOWLEDGE ABOUT FOREST INVENTORY FOR PRIVATE FOREST SMALLHOLDERS Zainuddin and Arman Hermawan ………………………………………… 205
xvi |
PEMANFAATAN KAYU HUTAN RAKYAT Wahyudi Isnan ................................................................................................ 221 THE UTILIZATION OF PRIVATE FOREST TIMBER Wahyudi Isnan ……………………………………….……………………………. 234 PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI PERAHU PHINISI Supardi ………..................................................................................................... 247 THE OPPORTUNITIES AND THREATS TO PHINISI BOAT BUILDING INDUSTRY Supardi ……………………………………………………………………………….. 262 EPILOG ................................................................................................................ 277 EPILOGUE …………………………………………………….…………………….. 287 INDEKS/INDEX ................................................................................................ 297 BIODATA PENULIS/ABOUT THE AUTHOR .......................................... 311
| xvii
xviii |
PROLOG Alhamdulillah, buku “Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan” dapat hadir di tengah Pembaca budiman Buku ini merupakan hasil upaya para penulis untuk berbagi informasi dari pembelajaran bersama masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba. Proses tersebut berlangsung dalam konteks kerja sama penelitian antara Balai Penelitian Kehutanan Makassar atau FORDA Makassar, ACIAR Australia, dan mitra peneliti, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. Kerja sama penelitian tersebut bersifat komprehensif dan integratif yang mencakup multiaspek; mulai dari analisis stakeholder, kelembagaan, kebijakan, sosial-ekonomi, finansial, hingga pasar. Sepuluh tulisan yang tersaji dalam buku ini berupaya mengungkapkan beberapa aspek tersebut. Menyadari bahwa para penulis datang dengan peran beragam; baik sebagai peneliti, teknisi, maupun sebagai masyarakat dan aparat; sudah sewajarnya kalau dalam buku ini dijumpai perbedaan cara penyampaian tentang topik yang dipilih dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat. Ide penyusunan buku ini berawal dari keikutsertaan beberapa anggota tim peneliti FORDA Makassar pada kegiatan writing workshop on community forestry partnerships yang diselenggarakan oleh ACIAR bekerja sama dengan CIFOR di Bogor pada bulan Juni 2007. Dalam workshop tersebut, peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang akan menyusun tulisan/artikel untuk artikel lepas, sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang akan menyusun buku. Tim FORDA Makassar termasuk ke dalam kelompok pertama. Namun, keterlibatan dalam workshop tersebut–melihat kepada kelompok dua yang akan/sedang menyusun buku–menggagas ide untuk dapat menyusun buku pula, terkait dengan kegiatan penelitian Forestry Partnerships ini yang berkurun waktu dari tahun 2005 hingga tahun 2007. |1
Ide tersebut disambut gembira dan disetujui bersama, serta penyusunan buku pun diawali sekitar tahun 2009. Namun, seiring berjalannya waktu; proses penulisan, pengumpulan tulisan, reviewing, penulisan kembali, translasi, hingga pada proses pencetakannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Terlebih, terlibatnya kembali tim FORDA Makassar dalam proyek penelitian lanjutan [masih kerja sama penelitian antara ACIAR dengan FORDA] tentang mengatasi hambatanhambatan dalam pengelolaan hutan rakyat yang dimulai pada tahun 2012 [walau prosesnya sudah dimulai sejak tahun 2008]. Pada akhirnya, buku ini pun dapat diterbitkan pada tahun 2016. Kembali kepada pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba yang menjadi dasar utama penulisan buku ini, terdapat dua keunggulan komparatif di Bulukumba. Dua keunggulan tersebut adalah potensi hutan rakyat yang meliputi 72% dari wilayah hutannya dan hadirnya pelaku hutan rakyat dari hulu hingga hilir pada satu wilayah; baik petani hutan rakyat, mitra antara, pedagang dan pengusaha industri kayu dalam berbagai skala, maupun pemerintah setempat. Dua keunggulan tersebut perlu ‘dipelihara’ agar dapat memberikan manfaat lestari kepada semua pihak, antara lain dengan mewujudkan kemitraan di antara semua pelaku hutan rakyat. Sistematika dan sekilas isi buku ini dipaparkan sebagai berikut: 1. Inisiasi dan Implementasi Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat Pengembangan luas hutan rakyat di Bulukumba mendekati 14.000 ha atau 5% dari luas hutan rakyat di Sulawesi Selatan. Rata-rata produksi sekitar 20.000 m3/tahun dengan beragam jenis kayu, seperti jati, bitti, dan rimba campuran. Berbagai dukungan diperlukan untuk menjaga keberlangsungan manfaatnya, salah satunya berupa pengembangan kerja sama 2|
dalam bentuk kemitraan hutan rakyat. Walaupun sudah ada dasar-dasar praktik kemitraan sebelumnya, bentuk kemitraan tersebut belum dilembagakan sehingga tidak berjalan optimal. 2. Aspek Finansial dan Ekonomi dalam Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat Kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba bertujuan, salah satunya meningkatkan penerimaan petani dari penjualan kayunya. Melalui kemitraan, hal yang disepakati adalah adanya pembagian dan pengaturan peran antara pihak yang bermitra, yaitu petani hutan rakyat, pengusaha, dan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Potensi peningkatan penerimaan oleh mitra dimungkinkan melalui perbaikan mekanisme jual-beli kayu, kesepakatan harga jual yang ‘fair’, kebijakan insentif pengelolaan hutan rakyat, dan sistem penjualan kayu. 3. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Kemitraan Analisis stakeholder merupakan langkah penting dalam penentuan upaya pengembangan suatu program. Analisis ini bertujuan mengidentifikasi komunitas atau kelompok masyarakat yang paling terpengaruh oleh program, dalam hal ini kemitraan kehutanan. Analisis stakeholder bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dan sejauh mana implementasi program bermanfaat bagi sasaran. Keberhasilan dalam penentuan kebijakan publik dan dukungan terhadap penyelesaian masalah tertentu sangat tergantung pada stakeholder yang dipilih. 4. Bagaimana Petani Hutan Rakyat Bermitra? Keberpihakan kepada rakyat diperlukan untuk keberhasilan pengelolaan hutan melalui pemberian manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan pola kemitraan. Pada kenyataannya, masyarakat masih menunjukan keragu|3
an terkait jangka waktu, proses, dan manfaat mengikuti kemitraan. Pada kondisi tersebut, pemerintah perlu memberikan perhatian dan dukungan secara terus-menerus dengan menyesuaikan sistem pendekatan agar lebih banyak produk kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat petani hutan. 5. Mencermati Proses Pendampingan Kemitraan Hutan Rakyat Peran penting kerja sama penelitian adalah mendorong keterlibatan semua stakeholder secara proporsional dalam proses pengembangan hutan rakyat agar dapat memperoleh manfaat dari hutan rakyat secara adil. Dalam berproses ke arah pembangunan mekanisme pengelolaan hutan rakyat yang lebih baik, beberapa hal dapat memunculkan masalah sehubungan dengan adanya perubahan dan penyesuaian yang diperlukan. Oleh sebab itu, representasi stakehoder yang telah mengikuti berbagai pelatihan selama pendampingan diharapkan dapat tetap berkomitmen sesuai porsi tanggung jawab masing-masing. 6. Peran Pelaku Pasar pada Distribusi Kayu Hutan Rakyat Hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba didominasi jenis jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), jati putih (Gmelina arborea), dan bitti (Vitex cofassus). Kayu dari hutan rakyat ini diperuntukkan bagi keperluan pembangunan rumah, pembuatan mebel, perahu, dan untuk industri skala kecil. Kegiatan pemasaran kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba melibatkan lima pelaku pasar: petani, mitra antara, industri sawmill, PT Palopo Alam Lestari, dan pemerintah setempat. 7. Distribusi Margin Tata Niaga Kayu Hutan Rakyat Distribusi margin tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba melibatkan beberapa pelaku dalam empat jalur 4|
distribusi, yaitu: 1) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill– Pedagang Kayu, 2) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill– Industri Perahu, 3) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill– Industri Mebel, dan 4) Petani–Mitra Antara–PT Palopo Alam Lestari. Jalur distribusi yang ada menunjukan margin yang tidak merata, yang mana petani sebagai produsen menerima margin terkecil, sedangkan penerima margin terbesar adalah Mitra Antara. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan kelompok tani dan transparansi harga sangat diperlukan agar margin tata niaga dapat terdistribusi merata dan proporsional. 8. Pengetahuan Inventarisasi Hutan bagi Pengelola Hutan Rakyat Inventarisasi hutan merupakan satu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan, serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Dimensi kayu, seperti diameter, tinggi, dan volume kayu lazim ditentukan melalui pengukuran secara langsung dengan bantuan alat ukur tertentu. Inventarisasi dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi hutan rakyat, meliputi kondisi tegakan (jenis, jumlah, ukuran, volume, dan struktur tegakan) dan kondisi lahan kawasan (luas dan topografi). Data yang dihasilkan menjadi bahan penyusun perencanaan pengelolaan hutan rakyat secara lestari. 9. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba sangat membantu dalam pemenuhan kayu bagi masyarakat dan industri. Beberapa jenis kayu hutan rakyat yang dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan skala rumah tangga, antara lain jati, bitti, dan gmelina. Sementara itu, jenis kayu untuk kebutuhan industri; baik industri sawmill, phinisi, maupun veneer; meliputi jati dan rimba campuran. Pentingnya hutan rakyat sebagai pendukung industri berbahan kayu memerlukan perhatian pemerintah berupa kebijakan yang mendukung pengembangan hutan rakyat. |5
10. Peluang dan Tantangan Industri Perahu Phinisi Perahu phinisi memiliki peluang untuk dikembangkan di Bulukumba karena beberapa faktor, seperti budaya masyarakatnya sebagai pembuat perahu phinisi, adanya permintaan lokal dan luar negeri, dan Bulukumba merupakan penghasil kayu hutan rakyat. Adapun tantangannya, yaitu masih terbatasnya bahan baku kayu dari hutan rakyat, rancang bangun perahu phinisi belum mendapat hak paten, dan adanya intervensi pihak asing dalam pembuatan perahu phinisi.
Akhirulkalam, buku ini dipersembahkan untuk menambah wawasan penulis tentang pengelolaan hutan rakyat. Harapan kami, semoga buku ini bermanfaat. Segala masukan dan saran perbaikan bagi kelengkapan buku ini, disambut dengan tangan terbuka dan ucapan terima kasih. Makassar, Maret 2016 Disiapkan oleh, atas nama tim penulis, Achmad Rizal H. Bisjoe
6|
PROLOGUE First of all, we thank Allah God Almighty, the book entitled “Private Forest Management Partnership: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi,” could be presented to readers as an effort of the authors to share the information about cooperative learning with the community in Bulukumba. The process took place in the context of collaborative research among the Makasar Forestry Research and Development Agency (FORDA), ACIAR Australia, and research partners, that is, Bulukumba Forestry and Plantation Service Office. These comprehensive and integrative research collaboration covers multi-aspects, starting with the analysis of stakeholders, institution, policy, socio-economy, finance, and market. Ten articles contained in this book try to present some of the foregoing aspects. Due to the fact that the authors are of different roles or professional backgrounds, namely, researchers, technicians, community members, and local government officials, their writing styles in discussing the selected topics in the private forest management partnership vary considerably. The initial idea for preparing this book started when some of research team members of FORDA Makassar participated in the “writing workshop on private forest partnerships” conducted by ACIAR in cooperation with CIFOR at Bogor, in last June 2007. The participants of the workshop were divided into two groups. The first group consisted of those who was assigned to prepare or write the so-called “free articles” and, the second group was composed of those who would be assigned to compile this book. FORDA Makassar team was included into the first group. However, considering its involvement in the above workshop, the second group was also encouraged to get involved in compiling this book, which is associated with research activities on Forestry Partnerships. These activities took place from 2005 to 2007. |7
The idea was welcomed and approved, and by 2009 the preparation of this book began. However, the process of writing, collecting the writings, reviewing, re-writing articles, translation and up to the printing process took a long time. Moreover, the re-involvement of the Makassar FORDA team in advanced research projects, still research collaboration between ACIAR and FORDA on overcoming obstacles in private forest management which began in 2012 despite the fact that its process had started since 2008. Then this book will only be published in 2016. The main reason for the writing of this book is that Bulukumba District has got two comparative advantages. These advantages are private forest potency that covering around 72% of the total of its forest areas and the existence of private forest actors, both from upstream up to downstream within one region such as private forest farmers, middlemen, traders and wood-based-entrepreneurs/industries in various scales, including local government. These two advantages need to be “maintained” in order to provide sustainable benefits to all relevant parties, among others, by establishing and achieving partnerships among all actors of private forests. Systematization and a glimpse of what this book is about are described as follows : 1. The Initiation and Implementation of Private Forest Management Partnerships The development of private forest area in Bulukumba approaches 14,000 ha or approximately 5% of private forests in South Sulawesi. The average of timber production is 20,000 m3 per year with various species of wood, such as teak, bitti, and mixed timber tree. In order to maintain their sustainable benefits, they require support in the form of development cooperation, among others, in the form of private forest partnerships. Although there have been some good basic 8|
practices of partnerships before, yet they have not been institutionalized yet, so that they did not run optimally. 2. Financial and Economic Aspects of Private Forest Management Partnerships Private forest management partnerships in Bulukumba aim, i.e. to increase farmers' incomes from the sales of woods. It is agreed that through partnerships, there must be the division and arrangements of roles among the parties involved in partnerships, that is, private forest farmers, entrepreneurs, and government as facilitator and regulator. Potential increase in partners’ revenues will be made possible by means of improving wood sales-purchase-mechanisms, 'fair' selling price agreement, policy of private forest management incentives, and timber sales system. 3. Stakeholder Analysis of Partnerships Management Stakeholder analysis is an important step in the determination of program development efforts. This analysis aims to identify the community or group of communities most affected by the program, in this case forestry partnerships. Stakeholder analysis is useful in determining the priorities of the communities or groups of people who need and benefit to the extent of implementation of the program objectives. Success in the determination of public policy and support for the settlement of certain problems depends on the selected stakeholders. 4. How do Private Forest Farmers Work in Partnerships? The alignment amount the people is required for a successful forest management. This can be done by providing benefits to the people living in and around the forests under a partnership scheme. In reality, the community want to know how long the process of a partnership takes and what benefits they can get if they are involved in such a partnership. Under these circumstances, therefore, it is necessary for the |9
government to give attention and ongoing supports by adjusting the approaches used. In this way it is expected that local government policies will be made suitable with the needs of the private forest farmers. 5. Observing Facilitation Process of Private Forest Partnerships A collaborative research plays an important role in encouraging relevant stakeholders to get involved proportionally in the development of private forests in order that the people will get fair or equitable benefits from them. The changes and adjustments needed in developing better mechanisms of private forest management may cause some problems as well. For this reason, stakeholders who have attended various trainings during the facilitation process are expected to remain committed to playing their roles in accordance with their respective responsibilities. 6. The Roles of Market Players in The Distribution of Private Forest Timber Private forests in Bulukumba are dominated by species of teak (Tectona grandis), albizia (Paraserianthes falcataria), mahogany (Swietenia mahogany), white teak (Gmelina arborea), and bitti (Vitex cofassus). Timber from private forests is mostly used for house construction, furniture industry, boat building, and for other small-scale-industries. Private forest wood marketing activities in Bulukumba District involve at least five market players: the farmers, middlemen, sawmill industry, PT Palopo Alam Lestari, and local government. 7. Margin Distribution of Private Forest Timber Trade System Margin distribution of private forest timber trade system in Bulukumba District involve some different actors through four distribution channels: 1) Farmers–Middlemen–Sawmill 10 |
Industry–Wood Traders, 2) Farmers–Middlemen–Sawmill Industry–Boat Industry, 3) Farmers–Middlemen–Sawmill Industry–Furniture Industry, and 4) Farmers–Middlemen–PT Palopo Alam Lestari. The existing distribution channels show uneven margin distribution, where the farmers as producers receive the lowest margin, while the middlemen obtain the biggest margin. In order to overcome this condition, it is necessary to empower the farmer groups and create price transparency. In this way, it is expected that the margin of community timber trade system can be evenly and proportionately distributed. 8. Knowledge about Forest Inventory for Private Forest Managers Forest inventory is an attempt to describe the quantity and quality of forest trees as well as various characteristics of smallholder areas where the trees grow. Timber dimensions such as diameter, height and volume of wood are commonly determined through direct measurement with the help of certain measuring devices. The inventory is conducted to obtain information about the condition of private forests, covering the condition of tree stands (such as the species, number of trees, size, volume, and structure), and the condition of smallholder area (the width/size and topography). The data obtained from the inventory will be used for preparing a sustainable private forest management plan. 9. The Utilization of Private Forest Timber The existence of private forests in Bulukumba District is very helpful in meeting wood supply for the community and industry. Some types of wood are utilized community public forests for household needs, such as teak, bitti, and Gmelina. As for the needs of industries such as sawmill industry, the phinisi boat industry and veneer are including teak and mixed timber trees. Therefore, it is necessary for the government to | 11
pay close attention to the importance of private forests as the backup of wood-based- industries by making policies that support the development of private forests. 10. The Opportunities and Threats to The Phinisi Boat Industry The phinisi boat has got some opportunities to be developed in Bulukumba District for several factors, such as the culture of the community as the phinisi boat builders, the existence of both domestic and foreign demands, and Bulukumba as a private forest timber producer. On the other hand, the threats to the phinisi boat industry, among others, are limited raw materials from private forests, the patent to the phinisi boat design is not granted yet, and the involvement of foreign intervention in the phinisi boat industry. Finally, this book is presented to broaden readers’ insights into a private forest management. It is hoped that this book will be useful. All inputs and suggestions for improvements of this book will be highly appreciated and, we would like to thank all parties for their interests in our work and their helpful suggestions and support for the publication of this book. Makassar, March 2016 Prepared by, for and on behalf of the authors, Achmad Rizal H. Bisjoe
12 |
INISIASI DAN IMPLEMENTASI KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Achmad Rizal H. Bisjoe ABSTRAK Pengembangan luas hutan rakyat di Bulukumba mendekati 14.000 ha atau 5% dari luas hutan rakyat di Sulawesi Selatan, dengan rata-rata produksi 20.000 m 3/tahun dengan beragam jenis kayu, seperti jati, bitti, dan rimba campuran. Untuk menjaga keberlangsungan manfaatnya, diperlukan dukungan antara lain berupa pengembangan kerja sama dalam bentuk kemitraan hutan rakyat. Walapun sudah ada dasar-dasar praktik kemitraan sebelumnya, tetapi bentuk kemitraan tersebut belum dilembagakan, sehingga tidak berjalan optimal. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi ilmiah secara singkat tentang proses terbentuknya kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba mulai dari tahap inisiasi sampai kepada tahap implementasi, sebagai bagian dari hasil kerja sama penelitian antara Badan Litbang Kehutanan dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Kata kunci: kemitraan, hutan rakyat, inisiasi, implementasi, Bulukumba
I.
PENDAHULUAN
Satu di antara faktor penentu keberhasilan pengelolaan hutan rakyat adalah peran dan keterkaitan antara pelaku hutan rakyat. Pelaku tersebut adalah petani hutan rakyat, kelompok tani, mitra antara (middlemen), industri, dan pemerintah setempat. Pelaku tersebut yang juga dikenal sebagai tiga pilar penggerak pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: masyarakat (civil society), pengusaha (private sector), dan pemerintah (state). Ketiga pilar tersebut juga sudah membentuk jejaring kerja, tetapi dalam skala terbatas dan belum terikat dalam kesepakatan tertulis. Sebagai contoh antara lain bantuan bibit tanaman dari pengusaha kepada | 13
kelompok tani, pembelian kayu masyarakat oleh pengusaha, penyuluhan dan pelatihan dari instansi terkait. Bentuk tersebut dapat dipandang sebagai embrio kemitraan yang dikaji melalui kerja sama Badan Litbang Kehutanan–ACIAR di Bulukumba, tepatnya di Desa Balong, Kecamatan Ujung Loe dan Desa Karassing, Kecamatan Herlang pada kurun waktu 2005–2007. Kemitraan adalah perihal hubungan atau jalinan kerja sama sebagai mitra atau sahabat (Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Dalam hal ini, kemitraan menempatkan pihak yang menjalin kerja sama pada posisi yang setara dengan peran masing-masing pihak. Selain peran dan keterkaitan masing-masing pihak, kepedulian terhadap lingkungan hidup masyarakat setempat yang tercermin pada dua deklarasi, yakni Deklarasi Balong dan Deklarasi Karassing, serta unsur budaya ’samaturu’ semakna dengan istilah ‘turut sepakat’, dapat dijadikan titik tolak bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan terkait lingkungan hidup dan kelestarian hutan tidak dapat dicapai tanpa partisipasi semua pihak. Salah satu bentuk partisipasi tersebut adalah kemitraan. Tim peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar berperan dalam memfasilitasi terwujudnya kemitraan dimaksud melalui rangkaian kegiatan penelitian. Fasilitasi tersebut memunculkan inisiatif untuk mempertemukan semua pihak terkait untuk duduk bersama membicarakan pengembangan hutan rakyat. Fasiltasi ini dapat dipandang sebagai tahap inisiasi kemitraan. Adapun tahap implementasi, yaitu berupa pelaksanaan kesepakatan, penyederhanaan aturan dan kebijakan, penyediaan informasi pasar, perbaikan mutu kayu rakyat, dan sebagainya. Rangkaian kegiatan dari tahap inisiasi menuju implementasi adalah proses pendampingan dan pembelajaran bersama masyarakat pelaku dan pemerhati hutan rakyat. Hal ini membutuhkan waktu bagi proses peralihan dari status quo ke kondisi yang disepakati bersama.
14 |
Kehadiran kebijakan di tingkat nasional, berupa Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.39/MenhutII/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan, memungkinkan fasilitasi yang lebih luas. Sekalipun Permenhut tersebut dimaksudkan untuk kawasan hutan, tentunya tetap relevan dengan hutan rakyat yang notabene milik masyarakat dan prosesnya sederhana. II.
SEKILAS HUTAN RAKYAT DI BULUKUMBA
Luas pengembangan hutan rakyat di Bulukumba mencapai 14.000 ha dan termasuk dalam kelompok 10 besar pengembangan hutan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Sementara itu, luas hutan rakyat yang ada sebagai objek kemitraan yang dipaparkan dalam tulisan ini mencapai 21.800 ha (Kusumedi et al., 2007). Luasan yang meliputi 72% dari seluruh hutan yang ada di Bulukumba tersebut mencerminkan pentingnya posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Bulukumba (Bisjoe, 2007). Rata-rata produksi hutan rakyat di Bulukumba adalah 20.000 m3/tahun dengan beragam jenis kayu, seperti jati (Tectona grandis), bitti (Vitex cofassus), dan rimba campuran. Kayu bitti, yang merupakan jenis kayu penting dalam pembuatan perahu tradisional phinisi, dikelompokkan sebagai rimba campuran (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, 2012). Hutan rakyat di Bulukumba tersebar pada beberapa kecamatan dengan luas beragam. Dua kecamatan (Kecamatan Ujung Loe dan Kecamatan Herlang), yang di dalamnya terdapat desa lokasi penelitian, memiliki hutan rakyat dengan luas total mencapai 15% dari seluruh hutan rakyat di Bulukumba. Pada tingkat desa, luas hutan rakyat, baik di Desa Balong maupun di Desa Karassing, mencapai sekitar 50% dari luas masing-masing wilayah desa (Bisjoe, 2011). Hal ini | 15
menunjukan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan hutan rakyat. Selain jenis tanaman asli yang tumbuh alami, lahan masyarakat juga ditanami berbagai jenis tanaman berkayu yang tergolong jenis cepat tumbuh (fast growing species), seperti mahoni (Swietenia mahagoni), sengon (Paraserianthes falcataria), melina atau jati putih (Gmelina arborea), dan karet (Hevea braziliensis). Kehadiran jenis tanaman tersebut tidak terlepas dari interaksi masyarakat dengan instansi pemerintah, antara lain Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, industri pengolahan kayu, seperti PT Palopo Alam Lestari (PAL), dan perusahaan perkebunan karet PT Lonsum Plantation. Pada lahan masyarakat, banyak dijumpai tanaman berkayu yang ditanam di sela-sela tanaman semusim dan tanaman perkebunan, sebagaimana dilaporkan oleh Sumirat et al. (2005), seperti jagung, mente, dan kelapa. Dengan demikian, telah ada pemikiran untuk memperoleh pendapatan jangka panjang, menengah, dan pendek, sekalipun pemanfaatan dan pengelolaan lahan sebagian besar tampak belum optimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya pengaturan jarak tanam (spacing), pembersihan (seperti ring weeding), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), pembuatan sekat bakar, dan kegiatan silvikultur lainnya. Pada umumnya, masyarakat menjual kayu di lahan milik dengan sistem hamparan atau borongan kepada industri atau pengusaha melalui mitra antara (middlemen), atau istilah setempat adalah peluncur. Pada sistem tersebut, masyarakat merupakan penerima harga (price taker) yang ditetapkan peluncur, tetapi terbebas dari biaya operasional, biaya adiministrasi, dan risiko lainnya. Sekalipun masyarakat “tahu beres”, sesungguhnya terdapat potensi kerugian pada sistem penjualan tersebut. Penerimaan masyarakat dengan penjualan kayu sistem hamparan atau borongan hanya 20–30% dari penjualan sistem kubikasi dan kelas mutu. Analisis penerimaan masyarakat di Desa Balong dan Desa Karassing 16 |
menunjukan bahwa total pendapatan masyarakat dari hasil hutan rakyat berkisar Rp1.720.000–4.354.000 (Bisjoe, 2007; Kusumedi et al., 2007) atau sebesar 10–18% dari harga total penjualan kayu yang merupakan margin harga yang diterima petani (ACIAR, 2008). Interaksi antara masyarakat di kedua desa, Balong dan Karassing, dengan pemangku kepentingan dari luar, baik pemerintah maupun swasta, merupakan salah satu faktor pendorong terbentuknya kelompok tani hutan berdasarkan kesamaan kepentingan. Sumirat et al. (2005) menyatakan bahwa tujuan pembentukan kelompok tersebut adalah untuk memfasilitasi pengurusan bibit pohon dan benih tanaman yang diberikan kepada individu petani, selain sebagai wadah diskusi di antara petani tentang masalah hutan miliknya. III. MENGAPA KEMITRAAN HUTAN RAKYAT? Pengelolaan hutan rakyat perlu dijaga keberlangsungannya agar tetap memberikan manfaat, khususnya kepada masyarakat sebagai pemilik. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah adanya pengembangan kerja sama semua pihak dalam bentuk kemitraan hutan rakyat. Race (2008) menyatakan bahwa kemitraan diperlukan untuk mewujudkan kesepakatan yang saling menguntungkan, berkeadilan dan terjamin keamanannya, terutama antara petani hutan dengan perusahaan yang bermitra dengan petani hutan tersebut. Pada Gambar 1 disajikan keterkaitan tiga pilar penggerak pembangunan dengan hutan rakyat, yaitu pemerintah (state), swasta (private sector), dan masyarakat (civil society) (Bisjoe, 2007; Kusumedi et al., 2007). Keterkaitan ini melandasi pentingnya membangun kemitraan antara ketiga pilar yang sekaligus merupakan pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan rakyat.
| 17
PEMERINTAH (STATE)
HUTAN RAKYAT
SWASTA (PRIVATE SECTOR)
MASYARAKAT (CIVIL SOCIETY)
Gambar 1. Keterkaitan tiga pilar penggerak pembangunan dan hutan rakyat
1. Pemerintah (State) Dalam lingkup hutan rakyat, peran pemerintah kabupaten adalah menyediakan dasar hukum bagi setiap pemangku kepentingan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan rakyat. Kusumedi et al. (2007) menyatakan terdapat sembilan peraturan daerah (perda) dan satu keputusan bupati yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat yang disusun oleh lima instansi teknis di Kabupaten Bulukumba. Selanjutnya, dinyatakan bahwa terdapat kondisi ketumpangtindihan antara perda sehingga pelaksanaan aturan atau kebijakan tersebut tidak optimal dan cenderung merugikan masyarakat. Misalnya, adanya iuran atau retribusi ganda atas suatu objek. Sejalan dengan semangat kemitraan, rekomendasi telah diajukan kepada instansi terkait untuk meninjau ulang aturan dan kebijakan dimaksud. 2. Swasta (Private Sector) Sektor swasta selaku pemilik modal berperan sebagai pasar yang menampung hasil kayu dari hutan Bulukumba, termasuk 18 |
hutan rakyat. Saat ini, terdapat tiga perusahaan berbasis kayu di Bulukumba, yaitu PT PAL yang mengolah bahan baku kayu menjadi bahan setengah jadi berupa veneer untuk industri kayu lapis, yang didominasi oleh kayu rimba campuran dan jenis kayu lunak dari hutan rakyat; PT Zanur yang mengolah bahan baku kayu menjadi lumberseri dan jointed board, yang didominasi oleh kayu karet; dan PT AMIL yang mengolah bahan baku kayu menjadi jointed board, khususnya dari kayu jati. Sementara itu, PT Lonsum Plantation adalah perusahaan yang mengelola kebun karet dan peremajaan kayu karet untuk keperluan industri pengolahan kayu. Selain itu, terdapat pula sejumlah industri penggergajian kayu (sawmill) dan industri mebel, mulai skala kecil sampai besar, serta industri perahu tradisional phinisi, yang kesemuanya merupakan pasar kayu rakyat. Bentuk kerja sama yang dapat dipandang sebagai embrio kemitraan adalah adanya penjualan kayu rakyat secara berkelanjutan dari masyarakat kepada perusahaan atau industri dan bantuan bibit tanaman dari perusahaan atau industri kepada masyarakat, sebagai wujud program CSR (Corporate Social Responsibility). 3. Masyarakat (Civil Society) Masyarakat–sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutan rakyat–memiliki peran penting karena posisinya sebagai pemilik lahan dengan total luas mencapai 72% dari hutan yang ada. Luasan ini sangat signifikan dalam menentukan kinerja pengelolaan hutan rakyat (Bisjoe, 2007; Kusumedi et al., 2007). Keberdayaan masyarakat di Desa Balong dan Desa Karassing berpeluang untuk dikembangkan, mengingat perannya sebagai sasaran atau objek berbagai program sejumlah instansi pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Interaksi melalui program tersebut dapat berdampak positif dan negatif bagi pengelolaan hutan rakyat ke depan. Dampak positif yang dapat dilihat, antara lain dari segi peningkatan kapasitas dan penambahan pengetahuan bagi petani. Dampak negatif, | 19
antara lain dari segi meningkatnya alih fungsi lahan dari usaha kehutanan ke nonkehutanan karena berbagai faktor, seperti komoditas kompetitor, jual-beli lahan, dan kepastian usaha komoditas hutan. Menempatkan para pemangku kepentingan hutan rakyat dalam suatu ikatan seperti kemitraan dapat membangun dan mengembangkan komunikasi interaktif dan berbagi informasi di antara pelaku hutan rakyat. Sekalipun keputusan terkait pengelolaan hutan tetap berada di tangan masyarakat selaku pemilik, peran pemangku kepentingan lainnya dalam berbagi informasi dan bentuk layanan lainnya akan memengaruhi masyarakat dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, ikatan semacam kemitraan akan bermanfaat bagi para stakeholder, khususnya masyarakat yang biasanya identik dengan pihak yang lemah dan cenderung menjadi korban dari suatu kebijakan. IV. INISIASI DAN IMPLEMENTASI KEMITRAAN HUTAN RAKYAT Istilah inisiasi dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai tahap memulai dan istilah implementasi sebagai tahap pelaksanaan atau penerapan suatu kegiatan. Kata inisiasi berasal dari bahasa Latin initium dan bahasa Inggris initiate yang memiliki beragam makna yang berkaitan dengan suatu ritus atau tradisi. Adapun istilah implementasi berarti pelaksanaan atau penerapan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Kedua istilah tersebut banyak dijumpai pada manajemen proyek sebagai suatu rangkaian kegiatan atau siklus yang terdiri dari tahap inisiasi, perencanaan, implementasi, pengendalian, dan penutupan. Tahap inisiasi dan tahap implementasi merupakan dua tahap pokok yang dibahas secara khusus, sedangkan tiga tahap lainnya dicakup dalam salah satu tahap sebelumnya. Tahap inisiasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu identifikasi masa20 |
lah, pendefinisian pilihan solusi atas masalah, dan rekomendasi untuk solusi terbaik. Pada tahap implementasi, tujuan dan seluruh rencana kegiatan yang telah disusun pada tahap inisiasi dilaksanakan (Brown, 1996). Pendekatan melalui pembelajaran bersama masyarakat dalam kerja sama penelitian Badan Litbang Kehutanan–ACIAR di Bulukumba menyepakati kemitraan hutan rakyat sebagai suatu program berkelanjutan, bukan sebagai suatu proyek. Oleh karena itu, sejak awal kegiatan tidak dibicarakan tentang tahap penutupan. Selain itu, tahapan disederhanakan menjadi dua, yaitu tahap inisiasi mencakup tahap perencanaan dan tahap implementasi mencakup tahap pengendalian. Tahap inisiasi mencakup identifikasi masalah, alternatif solusi, dan bahan rekomendasi. Selanjutnya, tahap implementasi mencakup pelaksanaan semua rangkaian kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Hasil identifikasi masalah dalam pengelolaan hutan rakyat dipaparkan pada pertemuan perwakilan stakeholder. Selain untuk klarifikasi, pertemuan juga untuk menyepakati masalah dalam pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba, antara lain belum optimal kelembagaan pada semua stakeholder, belum ada aturan main atau mekanisme intra- dan antarstakeholder, belum ada transparansi dalam penentuan harga pasar kayu rakyat, tumpang tindih kebijakan pengelolaan hutan rakyat, dan belum optimal pasokan kayu kebutuhan industri, khususnya dari internal Kabupaten Bulukumba. Selain itu, sejalan dengan masalah yang ada, beberapa alternatif solusi yang diusulkan mencakup peningkatan kapasitas petani hutan rakyat; penguatan kelembagaan di tingkat petani, pengusaha kayu, dan stakeholder lain; peninjauan ulang kebijakan daerah tentang pengelolaan hutan rakyat; dan peninjauan ulang sistem jual-beli kayu di antara pelaku/pengelola hutan rakyat. Melalui serangkaian kunjungan lapang dan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD), data dan informasi | 21
dikumpulkan untuk keperluan analisis permasalahan, meliputi analisis stakeholder, kelembagaan, kebijakan, Cost-Benefit Analysis (CBA), dan pasar, serta kajian model kemitraan. Sebagian dari analisis tersebut dipaparkan pada tulisan lain pada buku ini. Berdasarkan hasil analisis, bahan rekomendasi disusun sekaligus diujicobakan bersama stakeholder di tingkat lapang. Sebagai rangkaian iteratif, tahap implementasi telah merumuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan merumuskan kembali semua kegiatan yang direkomendasikan untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu terwujudnya kemitraan di antara stakeholder dalam pengelolaan hutan rakyat. Beberapa rekomendasi penelitian yang dikerjakan bersama stakeholder yaitu 1) perumusan Surat Perjanjian kerja sama Kemitraan (SPK) yang berisi kesepakatan antar-stakeholder yang bermitra dan berkekuatan hukum; 2) peningkatan kapasitas petani hutan rakyat dalam inventarisasi tegakan, pengukuran kayu dan pohon, serta kewirausahaan bidang kehutanan umum; 3) penguatan kelompok tani hutan dan tani penghijauan; 4) pembentukan asosiasi pengusaha/industri berbasis kayu atau Himpunan Pengusaha Kayu Indonesia (HIPKI) Kabupaten Bulukumba; 5) pembentukan Forum Komunikasi Hutan Rakyat (FKHR); dan 6) upaya revisi Peraturan Daerah tentang hutan rakyat ke arah yang bersifat insentif bagi pengembangan hutan rakyat. Pada Gambar 2 dapat dilihat proses yang mencakup tahap inisiasi dan tahap implementasi yang tidak terpisah secara mutlak, tetapi merupakan rangkaian iteratif yang dilukiskan dengan tiga rangkaian berulang. Proses tidak dapat menunggu tahap inisiasi selesai lebih dulu, baru lanjut ke tahap implementasi, tetapi proses tetap berjalan antara tahap inisiasi dan tahap implementasi dengan saling melengkapi. Hal ini disebabkan proses pengelolaan hutan rakyat tidak dapat menunggu hasil-hasil penelitian terkumpul dulu, baru kemudian diterapkan. Namun, mekanisme yang sudah ada
22 |
tetap berjalan seperti biasa, sambil melakukan pembenahan, termasuk penyiapan payung aturan dan kebijakan. PROSES IMPLEMENTASI DAN PENGENDALIAN
INPUT
OUTPUT
EMBRIO KEMITRAAN
WUJUD KEMITRAAN INISIASI DAN PERENCANAAN
Gambar 2. Proses iteratif dari inisiasi menuju implementasi kemitraan
Input dimaksudkan sebagai keseluruhan kapasitas yang dimiliki oleh semua pemangku kepentingan hutan rakyat pada kondisi awal (existing condition) yang dapat dipandang sebagai embrio kemitraan. Adapun output dimaksudkan sebagai keseluruhan kapasitas yang dimiliki oleh semua pemangku kepentingan hutan rakyat pada kondisi akhir (expected condition) yang dapat dipandang sebagai wujud kemitraan yang bersifat dinamis, sesuai proses iteratif dari tahap inisiasi/perencanaan sampai tahap implementasi/ pengendalian. Hasil CBA menunjukan bahwa usaha penanaman hutan rakyat saat ini bersifat marginal atau tidak menguntungkan secara finansial. Misalnya untuk kasus Desa Balong dan Desa Karassing, belanja langsung petani hutan ternyata melebihi perkiraan pendapatan. Sekalipun petani menerima bantuan bibit tanaman hutan secara cuma-cuma, mereka tetap menanggung biaya tenaga kerja dan administrasi yang cukup besar saat panen. Race (2008) menyatakan bahwa petani sebagai penerima harga cenderung dirugikan karena kurangnya pengetahuan tentang pasar dan harga menurut jenis dan | 23
‘grade’ kayu. Hasil analisis juga menunjukan bahwa margin keuntungan bagi petani berkisar 10–18% untuk semua jenis dan ‘grade’ kayu, sedangkan bagi mitra antara (middlemen) sekitar 50% untuk jenis jati dan 84% untuk jenis rimba campuran. Untuk meningkatkan margin keuntungan bagi petani, terbuka peluang membangun kemitraan dengan industri dan pengusaha kayu. Namun, hal tersebut tidak semudah yang diperkirakan. Untuk maksud tersebut, petani perlu meningkatkan pengetahuan silvikultur, pengukuran dan perkiraan harga, proses administrasi pemanenan dan penjualan kayu, dan menjalin hubungan dengan kontraktor yang memiliki peralatan dan keterampilan, yang mana semua peran tersebut dilakukan oleh mitra antara (middlemen). Pembentukan sebuah forum yang diberi nama Forum Komunikasi Hutan Rakyat (FKHR) telah dirintis untuk mempertemukan kepentingan seluruh pemangku kepentingan hutan rakyat di Bulukumba. Secara bertahap, rasa saling percaya (trust) dan kesepahaman (understanding)– sebagai syarat mutlak kemitraan–dibangun di antara pemangku kepentingan dengan memahami minat, permasalahan, dan tujuan masing-masing. Kegiatan forum tersebut diharapkan dapat mencerminkan tujuan bersama dalam pengelolaan hutan rakyat yang membutuhkan investasi besar dan berjangka panjang (ACIAR, 2008). Upaya mewujudkan kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba merupakan proses panjang sejak inisiasi hingga implementasi yang memerlukan pendampingan dan pengawalan semua pihak. Oleh sebab itu, sosialisasi hasil penelitian perlu terus dilakukan agar program kemitraan dapat berjalan, sekalipun kegiatan kerja sama penelitian sudah berakhir.
24 |
V.
KESIMPULAN
Proses inisiasi dan implementasi kemitraan hutan rakyat di Bulukumba dapat berjalan karena dukungan semua pemangku kepentingan dan terintegrasinya pelaku pengelolaan hutan rakyat. Sebagian besar (72%) hutan di Bulukumba merupakan hutan milik masyarakat yang masih menganut budaya samaturu (kesepakatan) dalam mewujudkan kepentingan bersama. Kemitraan antara masyarakat dengan stakeholder hutan rakyat lainnya telah mewujudkan serangkaian pertemuan untuk membicarakan tujuan bersama dalam pengelolaan hutan rakyat dan kesepakatan tindak lanjut. Para stakeholder merumuskan program kegiatan yang menjadi tugas pokok sesuai kapasitas masing-masing. Bagaimana program kemitraan hutan rakyat yang telah dibangun bersama tersebut berjalan secara berkelanjutan tergantung pada masingmasing stakeholder. DAFTAR PUSTAKA ACIAR. (2008). Project Final Report. Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. ACIAR. Canberra. Australia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba. (2011). Kabupaten Bulukumba dalam Angka 2011. Bulukumba. Bisjoe, A.R.H. (2007). Peran Kelembagaan yang Mendukung Kemitraan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Bulukumba. Kertas Kerja dalam Loka Tulis. Kerja sama CIFOR dan Inspirit. Bogor. Tidak diterbitkan. Bisjoe, A.R.H. (2011). Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
| 25
Makalah Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Litbang Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Brown, M. (1996). Manajemen Proyek yang Sukses dalam Sepekan. British Institute of Management. Megapoin. Jakarta. Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. (2012). Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. Bulukumba. Tidak diterbitkan. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2013). Rencana Pengembangan Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada acara seminar hutan rakyat di Makassar. Kusumedi, P., Bisjoe, A.R.H., Rohadi, D., & Nawir, A.A. (2007). Laporan Dampak Kebijakan terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Unpublished. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. (2013). Race, D. (2008). Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Canberra. Unpublished manuscript. Race, D., Bisjoe, A.R.H., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A.W., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. The International Forestry Review Vol.II (1).
26 |
Sumirat, B.K., Kadir, A.W., Bisjoe, A.R.H., Hayati, N., Nurhaedah, & Purwanti, R. (2005). Forestry Partnership Profile in Bulukumba District (Scoping Review Report). FORDA Sulawesi, Ministry of Forestry. Makassar. Unpublished.
| 27
INITIATION AND IMPLEMENTATION OF FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP Achmad Rizal H. Bisjoe ABSTRACT The total area of private forests in Bulukumba covers almost 14,000 hectares or 5% of the total of private forests in South Sulawesi, with an average production of 20,000 m3 per year with various species of woods such as teak, bitti , and mixed timber tree species . In order to maintain sustainable benefits of these forests, it is necessary to give some supports, among others, by introducing development cooperation in the form of forestry partnerships. Although there have been some foundations of partnership practices before, but such a partnership has not been institutionalized yet, so that it does not run optimally. This article briefly tries to provide scientific information about the process of formation of private forest management partnerships in Bulukumba beginning from the initiation phase up to the implementation phase, as part of the results of research collaboration between the Forestry Research and Development Agency (FORDA) and the Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Keywords: partnership, private forests, initiation, implementation, Bulukumba
I.
INTRODUCTION
One of the determining factors for the success of private forest management are the roles and the relationship among private forest actors which are composed of private forest farmers, farmers groups, middlemen (intermediary traders), industries, and the local government, that can be classified into three main groups: society (civil society), enterprenuers (private sector), and the government (state), which altogether is known as the three pillars of development driving force. These three pillars have established networks although they 28 |
are still at a limited scale and not bound in any written agreements yet. For example, there is an assistance of plant seedlings from the entrepreneurs for farmer groups, community timber purchases by entrepreneurs, and education and training provided by relevant agencies. Theese activities may be viewed as a partnership embryo which has been deeply examined through a colloborative research between FORDA and ACIAR in Bulukumba. These activities have been conducted precisely in Balong Village, Ujung Loe Sub-District and in Karassing Village, Herlang Sub-District, during the period of 2005–2007. In this context, a partnership is taken to mean the relationship or an arrangement of cooperation among the parties known as partners or friends to advance their mutual interests (Ministry of National Education, 2003). In this case, the partnership puts the parties involved in the cooperation on an equal basis of their respective roles. In addition to the roles and the relationship of the parties to one and another, the concern about the environment of local communities is reflected in two declarations, that is, the Balong Declaration and the Karassing Declaration, and the so-called "samaturu'' cultural element which simply means 'common commitment’, and it can be used as a point of departure of the objectives set in relations to the environment and forest sustainability cannot be achieved without the participations of all stakeholders. One of the forms of such partcipations is a partnership. The team of researchers of the Forestry Research Agency of Makassar (FORDA) plays their roles in facilitating the establishment of partnerships through a series of research activities. An initiative was taken to bring all relevant stakeholders to sit together to discuss the development of private forests. This activity can be viewed as a partnership initiation or inception phase. As for the implementation phase, among others, includes the implementation of the | 29
agreement, the simplification of rules and policies, the provision of market information, improvement of the quality of community’s woods, and so on. The activities from the initiation/inception phase up to the implementation phase are mostly conducted in the forms of facilitation process and collaborative learning with relevant actors or stakeholders in the community and private forest observers. Of course, these transition processes from the status quo to the agreed conditions need an adequte transition time. The policies at the national level in the form of Regulation of the Minister of Forestry Number: P.39/Forestry-II/2013 on the Empowerment of Local Communities through Forestry Partnerships, enables a broader scope of facilitation. Although this Regulation is intended to the development of forest areas, it will be relevant to the establishment of a partnership in private forests, since the forests belong to the community, and need a simple process. II.
OVERVIEW OF PRIVATE FORESTS IN BULUKUMBA
The total area of private forest development in Bulukumba covers approximately 14,000 ha and they are included into the 10 top private forest development areas in South Sulawesi Province (South Sulawesi Provincial Forestry Office, 2013). Meanwhile, the existing private forest areas which are now selected to be the location of a partnership discusssed in this article reach 21,800 ha (Kusumedi et al., 2007). These forest areas cover approximately 72% of all existing forests in the Bulukumba and they reflect the importance of the position of local communities in forest management in Bulukumba (Bisjoe, 2007). The average production of private forests in Bulukumba is 20,000 m3 per year with various species of woods such as teak (Tectona grandis), bitti (Vitex cofassus), and mixed timber species. Bitti, which is an important wood species in the 30 |
traditional Phinisi boat building, is grouped into a mixed timber species (Bulukumba Forestry and Plantation Service Office, 2012). The existing private forests in Bulukumba are scattered in several sub-districts and their sizes are varied. In two subdistricts there are villages selected as the research locations, namely, Ujung Loe Sub-District and Herlang Sub-District. The private forests in these two sub-districts cover approximately 15% of all existing community forests in Bulukumba. While at the village level, the areas of private forests, both at Balong and Karassing Village reach approximately 50% of each village area (Bisjoe, 2011). Under these circumstances, therefore, the communities living in these two sub-districts are highly dependent upon the existence of private forests. In addition to native species which grow naturally on community lands, there are other species of timber trees which are classiffied into fast growing species such as mahogany (Swietenia mahogany), Albizia (Paraserianthes falcataria), and Gmelina or white teak (Gmelina arborea), and rubber trees (Hevea braziliensis). The presence of these timber species cannot be separated from the interaction between the community and government agencies such as the Bukukumba Forest Service Office, wood processing industries, such as PT Palopo Alam Lestari (PT PAL), and the rubber plantation company PT Lonsum Plantation. There are a number of timber crops planted in between the seasonal crops and plantation crops as reported by Sumirat et al. (2005), such as maize, cashew and coconut. Thus, these activities indicate that there have been ideas of improving the community’s long-term, medium, short-term revenues. Yet the utilization and management of farmers’ lands were not optimal. This is indicated by the lack of spacing and cleaning of crops such as ring weeding, pruning, thinning, creation of fire breakes, and other silvicultural activities. | 31
In general, the community sell their timbers grown on their smallholder in the forms of tree stands or sold under wholesale scheme to industries or entreprenuers through middlemen who are locally known as ‘peluncur’ or intermediary traders. Under these systems, the community is the price takers set by the ‘peluncur’ or middlemen, but they are exempted from operational and administrative costs and from other possible risks. Even though the community are used to ‘tahu beres’ habit, which simply means ’no problem, and others do’ in fact such sales arrangement will potentially cause losses to the community, and the farmers will only get around 20–30% of the selling prices if the transaction is made on the basis of cubic meter calculation and quality classes. The analysis of community revenue in Balong Village and village Karassing Village shows that the total income of the community of the community forest products ranges from IDR1,720,000–4,354,000 (Bisjoe, 2007; Kusumedi et al., 2007) or by 10–18% of total sales prices of timber which constitute as margin prices received by the farmers (ACIAR, 2008). The interaction between residents in the two villlages, that is, Balong Village and Karassing Village, and external stakeholders, either from the government or private sector, is one of the factors driving the formation of forest farmer groups on the basis of common interests (Sumirat et al., 2005). According to them, the objective of group formation is to facilitate the arrangement of tree seeds and seedlings which are given to individual farmers. In addition, the farmers will use the group as a means of discussing any matters related to their smallholders.
32 |
III. WHY IS IT NECESSARY TO ENTER INTO A PRIVATE FOREST PARTNERSHIP? It is necessary to keep the sustainability of private forest management in order to continue to provide benefits, especially to the community as the forest owners. One of the supports is the development of the cooperation among all relevant parties or stakeholders in the form of a private forest partnership. Race (2008) states that the partnership is required to realize mutually benefit, equitable and secured agreements, especially those between the companies and forest farmers who have entred into a forestry partnership. Figure 1 illustrates the linkages among the three pillars of development driving force with private forests. Based on this illustration, it is understood how important it is to establish a partnership among the three pillars since they are simultaneously the stakeholders who are actively involved in the management of private forests, namely, government (state), private sector, and civil society (Bisjoe, 2007; Kusumedi et al., 2007). GOVERNMENT (STATE)
PRIVATE FOREST
PRIVATE SECTOR
CIVIL SOCIETY
Figure 1. The linkages among three pillars of development driving force
| 33
1. Government (State) Within the scope of private forests, the role of local government is to provide the legal basis for each of the stakeholders in managing and utilizing community forests. Kusumedi et al. (2007), state that there are nine local regulations and one regent decision related to the management and utilization of private forests prepared by five technical agencies in Bulukumba District. Furthermore, it is stated that there is some overlapping between regulations, so that the implementation of such rules or policies is not optimal and tends to cause detrimental effects to the community such as the imposition double levies or dues upon one object. In line with the spirit of partnership, it is recommended that relevant agencies should review those rules and policies. 2. Private Sector Private sectors as the capital owners acts as market that accommodates wood products from the forests in Bulukumba, including private forests. Currently there are three woodbased companies in Bulukumba, namely, PT PAL that processes raw materials into semi-finished materials, in the form of industry, which is dominated by a mixed timber species and softwood species of private forests; PT Zanur that processes raw materials into lumberseri wood veneer for plywood and jointed board, which are dominated by rubber woods; and PT AMIL that processes raw materials into a jointed wooden board, especially from teak. While PT Lonsum Plantation is a company that manages a rubber plantation and rejuvenation of rubber woods to wood processing industries. In addition, there are also a number of sawmill industries and furniture industries rangin from small-scale to large-scale industries, and traditional phinisi boat industry, all of which are smallholder timber plantations markets. Sustainable sales of smallholder timber from the smallholder to the companies or industries are considered as an embryo of a partnership, and the assistance of plant seeds to the community functions 34 |
as a form of realization of CSR (Corporate Social Responsibility) program. 3. Civil Society Society as one of the stakeholders involved in the management of community forest, plays an important role because of its position as the owner of woodlands with a total area of around 72% of the forests. This position, therefore, is very significant in determining the performance of community forest management (Bisjoe, 2007; Kusumedi, 2007). The Balong and Karassing Village communities are potentially to be developed, because they are selected as the target groups of several programs sponsored either by government agencies or non-government organizations. The interactions through those programs may generate both positive and negative impacts upon the management of private forests in the future. Positive impacts can be seen, among others, in terms of capacity building and an increase in knowledge for farmers. On the other hand, negative impacts, among others, will be in terms of increasing land conversions from forestry business to non-forestry business due to various factors such as commodity competitors, sales and purchase of lands, business certainty of forest commodities, and etc. Positioning stakeholders of private forests in a bond format such as a partnership may build and develop interactive communication and information sharing among the actors involved in private forests. Despite the fact that the decision related to forest management remains in the hands of the smallholder as the owners, the roles of other stakeholders in information sharing and other forms of services will affect the community in making decisions. Therefore, a bond format like partnership will be beneficial to all stakeholders, especially to the community who are usually identical to the weak party and they tend to be the victims of a policy.
| 35
IV. INITIATION AND IMPLEMENTATION OF PRIVATE FOREST PARTNERSHIP The term ‘initiation’ used in this article as a start-up or starting phase understanding, while terms ’implementation’ means the process of putting a decision or plan into effect, or the execution phase of an activity. The word ‘initiation’ is derived from Latin word ‘initium’ and English word ‘initiate’ which has a variety of meanings associated with any rites or traditions. While the term ’implementation’ means the execution or performance (Ministry of Education, 2003). Both terms are often used in project management as a series of events or cycles consisting of the initiation phase, planning phase, implementation phase, controlling, and the closing of the project (the closeout phase). The initiation phase and implementation phase are two main phases specifically discussed here, while the other three phases are included into one of the previous phases. The initiation phase consists of several activities, namely identification of problems, defining the choice of solutions to problems, and recommendations for the best solutions. Meanwhile, the goals and plans which have been determined in the initiation phase will be executed in the implementation phase (Brown, 1996). Community collaborative learning approach applied in FORDA–ACIAR collaborative research in Bulukumba has agreed that the private forest partnership as an on-goingprogram, not as a project. For this reason, since the start of the activities the close out phase was not discussed. In addition, the phases of the activities were simplified into two phases: initiation phase, consisting of the planning phase and the implementation phase, and the latter includes the controlling phase. The initiation phase includes the identification of problems, alternative solutions, and recommenddation materials. Furthermore, the implementation 36 |
phase includes the execution of all series of activities needed to achieve the goals. The results of the identification of problems in the management of private forests were presented at the meeting of representatives of stakeholders. In addition to clarification, the meeting tried to agree on the problems in the management of private forests in Bulukumba, which include, among others: ineffective (not optimal) institutions within all stakeholders, there are no binding rules both intra and interstakeholder mechanisms, the lack of transparency in the determination of market prices for smallholder timber, ineffectve (not optimal) supply of timber for industries’ demand, especially from within Bulukumba District. Moreover, in line with the existing problems, several alternative solutions proposed include capacity building of smallholder timber growers, institutional strengthening at the level of farmers, timber companies, and other stakeholders, the review of local policies on private forest management, and the review of the applicable sales-purchase systems between the actors or managers of community forests. Data and information for the analysis of problems were collected through a series of field visits and Focus Group Discussion (FGD). The analyses include stakeholder analysis, institutional analysis, policy analysis, Cost-Benefit Analysis (CBA), market analysis, and the study of partnership model. Some of those analyses were examined in other articles of this Book. Based on the results of analyses, recommendation materials were prepared and they were simultaneously tested together with stakeholders in the field. As a part of series of interactive actions, the implementation phase has formulated, executed, evaluated, and redefined all the recommended activities to achieve the research objectives, namely, the creation of a partnership among stakeholders involved in the management of private forests.
| 37
Some research recommendations jointly conducted by stakeholders, are as follows 1) the formulation of Cooperative Partnership Agreement (SPK) , which contains the agreement among stakeholders involved in the partnership and enforceability of such agreement; 2) capacity building of smallholder timber growers in taking the inventory of tree stands, wood and tree measurements, and general forestry entrepreneurship; 3) strengthening of farmer forest groups; 4) the establishment of wood-based-entrepreneurs group namely the Indonesian Timber Entrepreneurs (HIPKI) of Bulukumba District; 5) the establishment of Communication Forum for Private Forests (FKHR), and 6) the efforts of revising Regional Regulation (PERDA) on private forests to allow providing more incentives to the development of private forests. Figure 2 shows that the processes of the initiation phase and the implementation phase are not absolutely separated, but they are composed of a series of interactive processes illustrated by three recurring series. The execution of the implementation phase does not necessarily wait for the completion of the initiation phase, but the process should complementarily keep on running in between the initiation phase and the implementation phase. This is due to the fact that the process of private forest management should not wait for the collection of results of the research first and then be applied later. In accordance with the existing mechanisms, the process continues as usual while making some necessary improvement, including the preparation of rules and policies needed.
38 |
PROCESS IMPLEMENTATION AND CONTROLLING
OUTPUT
INPUT PARTNERSHIP EMBRYO
INITIATION AND PLANNING
REALIZATION OF PARTNERSHIP
Figure 2. The iterative process of initiation towards implementation of partnership
Input is understood as an overall capacity shared by all stakeholders of private forests in the (initial) existing condition, which can be regarded as a partnership embryo. While output is meant as an overall capacity shared by all stakeholders in the final or expected condition of the private forests condition, which can be regarded as a form of partnership that is dynamic, corresponding iterative processes of of the initiation/planning phases up to implementtation/controlling phases. The results of CBA show that the present private forest plantation business is still marginal or not financially rewarding. For example, the cases of Balong Village and village Karassing Village where direct expenditures of forest farmers actually exceeded the revenue estimates. Although farmers receive free assistance of tree seedlings, they have to bear quite large labor and administrative costs at the time of harvesting. According to Race (2008), the farmers as the price takers tend to suffer losses because of a lack of knowledge about the market and the prices based on the species and the 'grades' of woods. The results of analysis also show that the profit margin for farmers ranges from 10–18% for all species and 'grades' of woods, while the profit margin for the | 39
middlemen is around 50% for teak and 84% for mixed timber tree species. To increase profit margin for farmers, there are opportunities to build a partnership between industries and wood-based companies. However, it is not as easy as expected. For this purpose, the farmers need to improve their knowledge of silviculture, measurements and price estimates, the administrative process of harvesting and sales of woods, and establish relationships with contractors who have the equipment and skills, where all the roles are performed by the middlemen. To reconcile the interests of all stakeholders in the private forests in Bulukumba, the establishment of Communication Forum for private Forests (FKHR) has been initiated. Gradually, mutual trust and understanding–as a partnership prerequisite–are built among stakeholders by understanding their respective interests, problems, and goals. The activities of the forum are expected to reflect common goals of the management of private forests which requires large and long term investments (ACIAR, 2008). The effort of creating a partnership of private forest management in Bulukumba is a long process starting from the initiation to the implementation phases which require facilitation and control by all parties. In addition, the socialization of research results needs to be done in order to a partnership program that will be able to run well although collaborative research activities have been completed. V.
CONCLUSION
The processes of the initiation and implementation of private forest partnership in Bulukumba will be able to run well with the support of all stakeholders and the integration of private forest management actors. Most of the available forests (72%) 40 |
in Bulukumba are private forests which are still adhered to samaturu (common commitment) culture in realizing common interests. The partnership between the community and other private forest stakeholders has held a number of meetings to discuss common goals in private forest management and agreed on some follow-up agreements. Relevant stakeholders have formulated programs which become their main tasks in accordance with their respective capacities. Yet, the sustainability of mutually built partnership programs of private forests will be greatly depend upon the commitment of each stakeholder. BIBLIOGRAPHY ACIAR. (2008). Project Final Report. Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. ACIAR. Canberra. Australia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba. (2011). Kabupaten Bulukumba dalam Angka 2011. Bulukumba. Bisjoe, A.R.H. (2007). Peran Kelembagaan yang Mendukung Kemitraan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Bulukumba. Kertas Kerja dalam Loka Tulis. Kerja sama CIFOR dan Inspirit. Bogor. Tidak diterbitkan. Bisjoe, A.R.H. (2011). Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Makalah Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Litbang Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Brown, M. (1996). Manajemen Proyek yang Sukses dalam Sepekan. British Institute of Management. Megapoin. Jakarta. Indonesia.
| 41
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. (2012). Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. Bulukumba. Tidak diterbitkan. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2013). Rencana Pengembangan Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada acara seminar hutan rakyat di Makassar. Kusumedi, P., Bisjoe, A.R.H., Rohadi, D., & Nawir, A.A. (2007). Laporan Dampak Kebijakan terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Unpublished. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan. (2013). Race, D. (2008). Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Canberra. Unpublished manuscript. Race, D., Bisjoe, A.R.H., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A.W., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. The International Forestry Review, Vol. II (1). Sumirat, B.K., Kadir, A.W., Bisjoe, A.R.H., Hayati, N., Nurhaedah, & Purwanti, R. (2005). Forestry Partnership Profile in Bulukumba District (Scoping Review Report). FORDA Sulawesi, Ministry of Forestry. Makassar. Unpublished.
42 |
ASPEK FINANSIAL DAN EKONOMI DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Abd. Kadir Wakka dan Achmad Rizal H. Bisjoe ABSTRAK Kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba bertujuan antara lain meningkatkan penerimaan petani dari penjualan kayunya. Melalui kemitraan disepakati adanya pembagian dan pengaturan peran antara pihak yang bermitra, yaitu petani hutan rakyat, pengusaha, dan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Potensi peningkatan penerimaan oleh mitra dimungkinkan melalui perbaikan mekanisme jual-beli kayu, kesepakatan harga jual yang ‘fair’, kebijakan insentif pengelolaan hutan rakyat, dan sistem penjualan kayu. Pada tulisan ini ditelaah nilai finansial dan manfaat ekonomi pengelolaan hutan rakyat dengan pola kemitraan. Sebagai bagian dari hasil kerja sama penelitian antara Badan Litbang Kehutanan dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi singkat tentang pentingnya aspek ekonomi dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba. Kata kunci: aspek ekonomi, kemitraan, hutan rakyat, Kabupaten Bulukumba
I.
PENDAHULUAN
Kabupaten Bulukumba memiliki luas wilayah 1.154,67 km 2 atau 1,85% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 10 kecamatan dengan 125 desa/kelurahan. Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki area hutan rakyat dalam skala yang cukup luas. Hal ini terlihat dari data luas hutan berdasarkan penggunaan di Kabupaten Bulukumba dan persentasenya yang terdiri atas hutan lindung seluas 3.553 ha (11%), hutan produksi terbatas seluas 509 ha (2%), hutan suaka alam seluas 3.475 ha (11%), | 43
hutan produksi seluas 931 ha (3%), hutan rakyat seluas 21.843 ha (72%), hutan bakau (mangrove) yaitu jalur perlindungan 503,1 ha dan jalur budidaya 262,15 ha atau sekitar 1% dari total luas kawasan hutan (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005). Proporsi sebaran hutan di Bulukumba–sebagaimana dipaparkan sebelumnya–membutuhkan pendekatan yang lebih spesifik agar kesinambungan/kelestarian hasil hutan rakyat dapat tercapai, mengingat luasan hutan rakyat yang dominan, yakni 72% dari luas hutan yang ada di Bulukumba. Luasan tersebut cukup signifikan dalam menopang hutan negara yang meliputi 28% luas hutan yang ada, termasuk kebutuhan industri primer/sekunder serta kebutuhan masyarakat terhadap kayu. Pendekatan pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba yang dikaji melalui kerja sama penelitian antara Balai Penelitian Kehutanan Makassar dengan ACIAR bersifat integratif dan holistik dengan beberapa aspek, satu diantaranya adalah aspek ekonomi. Dalam hal ini, dikaji pola kemitraan yang sudah ada yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan petani dari penjualan kayunya, di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, pengusaha memperoleh jaminan ketersediaan bahan baku kayu. Adapun pemerintah, akan terbantu dari pengamanan dan perlindungan hutan, baik dalam kawasan maupun luar kawasan. Potensi peningkatan penerimaan oleh mitra dimungkinkan melalui perbaikan mekanisme jual-beli kayu, kesepakatan harga jual yang ‘fair’, kebijakan insentif pengelolaan hutan rakyat, dan sistem penjualan kayu. II.
KEMITRAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
A.
Definisi dan Manfaat Kemitraan
Suatu kegiatan/usaha yang dilakukan diharapkan dapat mencapai tujuan/sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam usaha mencapai tujuan/sasaran suatu kegiatan tidak 44 |
jarang ditemui berbagai kendala seperti kendala dalam hal permodalan, teknologi, sumber daya manusia maupun dalam hal pemasaran produk. Kendala-kendala tersebut di atas pada umumnya dapat diatasi dengan melakukan kerja sama/ bermitra dengan pihak lain. Proses dalam mencapai tujuan suatu usaha dengan melakukan kerja sama dengan pihak lain lazimnya disebut dengan kemitraan (partnership). Definisi kemitraan (partnership) telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti Roberts (2004) yang mendefinisikan kemitraan (partnership) sebagai sebuah hubungan antara stakeholder yang berkomitmen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Definisi yang dikemukakan oleh Roberts ini mencakup proses konsultasi yang terorganisir sampai pada terjadinya perjanjian kontrak kerjasama. Lank (2006) mendefinisikan sebagai suatu usaha dalam mengakses keterampilan yang tidak dimiliki atau suatu usaha untuk menetralisir berbagai ancaman yang dapat menghambat pencapaian suatu tujuan. Demikian halnya dengan Wolff (2010) yang mendefinisikan kemitraan (partnership/collaboration) sebagai sebuah proses dalam rangka untuk memberikan layanan terbaik kepada pihak yang membutuhkan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh sehingga mendorong suatu pihak untuk melakukan kemitraan dengan pihak lain (Lank, 2006), yaitu: 1. Mengefektifkan pelaksanaan kegiatan penelitian; 2. Memperbesar pengaruh dalam proses pembuatan keputusan ataupun terhadap pihak lain; 3. Meningkatkan peluang dalam memenangkan persaingan usaha; 4. Lebih cepat lebih baik, dan lebih murah dalam mengembangkan dan mendistribusikan suatu produk, jasa, atau pasar; 5. Terjadi proses pembelajaran yang lebih baik dan mendalam; 6. Menghemat biaya. | 45
Di Indonesia pada awal tahun 1990-an, pola kemitraan sering dikonotasikan dengan manajemen inti–plasma antara petani dan perusahaan atau model bapak angkat antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar (Suporahardjo, 2005; Sanudin, 2009). Interaksi antara stakeholders lebih banyak diarahkan oleh pemerintah melalui perusahaan sehingga dialog dua arah sangat jarang terjadi (Suporahardjo, 2005). Pola kemitraan lainnya adalah kemitraan antara industri pengolahan kayu dengan kelompok tani dalam hal kesepakatan pasokan bahan baku dengan cara bagi hasil (Mayers, 2000). Kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba adalah kemitraan antara industri pengolahan kayu PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) dengan kelompok tani dalam hal penyediaan bibit tanaman kehutanan oleh pihak perusahaan untuk dikembangkan pada lahan milik anggota kelompok tani dengan harapan anggota kelompok tani tersebut akan memiliki ikatan moril untuk menjual kayu hasil hutan rakyat kepada PT PAL yang telah memasok bibit tanaman kehutanan. B.
Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba
Potensi untuk mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat di Bulukumba sangat besar. Pengembangan kemitraan ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain (Suwarno et al., 2007; Kusumedi et al., 2007): 1. Adanya embrio kemitraan antar masyarakat/Kelompok Tani Penghijauan (KTP) dengan pengusaha dalam hal penyediaan bibit untuk ditanam pada areal bekas tebangan hutan rakyat dan belum secara nyata dituangkan dalam suatu surat perjanjian kerja sama kemitraan. 2. Terintegrasinya pelaku pasar yang menyebabkan pasar untuk kayu hasil hutan rakyat lebih banyak tersedia.
46 |
3. Adanya lembaga di tingkat petani, yang menjadi aktor pendorong di tingkat desa. 4. Adanya dukungan kebijakan dari pemerintah setempat yang tertuang dalam Renstra Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba tahun 2005–2010. Memperhatikan potensi pengembangan kemitraan sebagaimana disebutkan, maka aktor penting dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba adalah 1) Dinas Kehutanan Bulukumba sebagai perwakilan pemerintahan, 2) masyarakat/KTP, dan 3) PT PAL dan perusahaan kayu lainnya. Pola kemitraan antar-stakeholder dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba disajikan pada Gambar 1.
PEMDA (DINAS KEHUTANAN)
PT. PAL
MASYARAKAT (KTP)
MITRA ANTARA (PELUNCUR) PENGUSAHA/ NON PT. PAL
Gambar 1. Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba
| 47
Adapun peran masing-masing aktor dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba diuraikan sebagai berikut (Kusumedi et al., 2007; Suwarno et al., 2007; Kusumedi & Nawir, 2010): 1. Dinas Kehutanan Bulukumba. Dinas Kehutanan Bulukumba memfasilitasi kemitraan yang sederhana antara masyarakat dan PT PAL. Selain peran fasilitasi, Dinas Kehutanan Bulukumba juga berperan mengakomodasi kepentingan stakeholder yang bermitra, memberikan panduan dalam pelaksanaan pengelolaan hutan lestari, dan legalisasi IPKHR. Hasil hutan kayu yang diperdagangkan dalam kemitraan ini adalah sengon (Paraserianthes falcataria), gmelina (Gmelina arborea), karet (Hevea braziliensis) dan jenis kayu lainnya. Dinas Kehutanan menfasilitasi pemberian/pelayanan izin dan dokumen pendukung (IPKHR, SKSHH-SKSKB, tim cruising) untuk melancarkan proses pemungutan hasi hutan rakyat oleh pengusaha, sedangkan peran Dishut untuk masyarakat adalah untuk mediasi dan fasilitasi dalam hal sosialisasi kebijakan/program, advis teknis kehutanan dan pengembangan kemitraan dengan pihak lainnya. 2. Masyarakat. Masyarakat sebagai pemilik lahan menerima bantuan bibit sengon (Paraserianthes falcataria), gmelina (Gmelina arborea), dan bibit lainnya dari PT PAL maupun dari perusahaan lainnya. Bantuan mulai tahun 2004 hingga sekarang dengan syarat masyarakat harus memelihara tegakan tersebut dan tidak diperkenankan memindahtangankan ke pihak lain. Selama ini, pemberian bibit melalui KTP dan mekanisme pemberiannya dilakukan untuk anggotanya masing-masing, walaupun dianggap pemberian bibit ini belum merata karena belum semua anggota menerimanya. 3. PT PAL dan perusahaan kayu lainnya. PT PAL merupakan perusahaan perkayuan yang terlibat dalam embrio kemitraan, dimotivasi oleh Dinas Kehutanan Bulukumba 48 |
untuk menggunakan/membeli kayu sengon dan gmelina yang dihasilkan dari hutan rakyat. Terkait dengan hal ini, PT PAL melakukan kerja sama dengan mitra antara (middlemen) yang melakukan pengumpulan kayu dari masyarakat dan melakukan pemasokan ke PT PAL. Dalam hal ini, PT PAL hanya menerima kayu lunak seperti sengon, gmelina, kayu randu dan kayu rita dan tidak menerima kayu keras seperti jati, bitti, dan mahoni dengan standar mutu kayu yang telah ditentukan baik panjang, diameter maupun standar mutu lainnya. Kemitraan antara PT. PAL dengan masyarakat dilakukan melalui pembagian bibit sengon dan gmelina untuk ditanam pada lahan masyarakat, baik pada lahan yang baru akan ditanami tanaman kayu maupun pada areal bekas tebangan. Hal ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan kayu bahan baku PT PAL, meskipun selama ini pasokan bahan baku kayu sebagian besar dipenuhi dari kegiatan replanting kayu karet milik PT Lonsum di Bulukumba. Selain PT PAL, terdapat perusahaan lain yang juga menerima kayu hasil hutan rakyat seperti jati, bitti, sengon, karet, mahoni, dan jati putih yang dipasok oleh mitra antara (middlemen). Perusahaan kayu ini menjual kayu dalam bentuk bantalan keluar Kabupaten Bulukumba, seperti ke Makassar dan antarpulau, terutama ke Pulau Jawa. III. ASPEK FINANSIAL DAN EKONOMI POLA KEMITRAAN A.
Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Bulukumba
Analisis finansial dimaksudkan untuk mengetahui apakah pengusahaan hutan rakyat melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bulukumba menguntungkan bagi masyarakat. Salah satu desa di Kabupaten Bulukumba yang telah mengembangkan hutan rakyat | 49
melalui pola kemitraan adalah Desa Balong, Kecamatan Ujungloe. Di Desa Balong, terdapat KTP Pembangunan Bersama dengan jumlah anggota mencapai 87 KK dan luas areal hutan rakyat yang dikembangkan dengan pola kemitraan adalah 54,75 ha. Jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan pada areal hutan rakyat pola kemitraan tersebut adalah sengon (Paraserianthes falcataria), jati putih (Gmelina arborea), dan mahoni (Swietenia mahagoni). KTP Pembangunan Bersama menjalin kemitraan dengan PT PAL dalam mengembangkan hutan rakyat di Desa Balong. Kemitraan tersebut dimulai sejak tahun 2004. Dalam Kemitraan tersebut, pihak PT PAL menyiapkan bibit tanaman kehutanan untuk ditanam, sedangkan milik anggota KTP Pembangunan Bersama menyiapkan lahan dan tenaga kerja. Pemberian bibit tanaman kehutanan oleh PT PAL kepada anggota KTP yang disertai berita acara serah terima bibit tanaman kehutanan tidak serta-merta mengharuskan anggota KTP menjual kayu hasil hutan rakyat kepada PT PAL. Pemberian bibit tanaman kehutanan tersebut diharapkan dapat menjadi ikatan moril bagi anggota KTP untuk menjual kayu hasil hutan rakyat kepada PT PAL sesuai dengan harga yang berlaku di Kabupaten Bulukumba. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa pengusahaan hutan rakyat pola kemitraan yang dilakukan oleh KTP Pembangunan Bersama di Desa Balong, Kecamatan Ujungloe secara finansial, layak untuk dikembangkan. Hal ini tergambar dari nilai Net Present Value (NPV) selama satu daur pengusahaan (25 tahun) mencapai Rp12.622.021 dengan nilai Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 1,01 dan Internal Rate of Return (IRR) sebesar 13%. Pendapatan yang diperoleh dari hasil kayu hutan rakyat pola kemitraan di Desa Balong dapat mencapai Rp67.522.631/tahun/KK (Kusumedi et al., 2007; Kusumedi & Nawir, 2010). Hal ini menunjukan bahwa pola kemitraan dalam pengusahaan hutan rakyat di Bulukumba
50 |
menguntungkan bagi masyarakat dan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga. B.
Manfaat Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Bulukumba
Kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba diharapkan memberikan dampak positif, baik bagi stakeholder yang terlibat di dalamnya maupun bagi pembangunan wilayah. Hasil penjualan kayu hutan rakyat dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat petani (Widyaningsih & Diniyati, 2010; Irawanti et al., 2012; Bisjoe et al., 2012). Pengembangan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Bulukumba akan meningkatkan pendapatan masyarakat hingga Rp3,5 juta per kepala keluarga per tahun. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perbaikan sistem pembelian kayu dari mitra antara melalui koperasi KTP dengan satuan kubikasi yang jelas dan dukungan kebijakan dari Dinas Kehutanan dalam pelayanan administrasi perkayuan satu pintu yang dapat meningkatkan efisiensi biaya dan nilai kayu hutan rakyat (Suwarno et al., 2007). Pengembangan hutan rakyat pola kemitraan selain berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani hutan rakyat, juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja, khususnya pada kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu hutan rakyat (Sanudin, 2009) dan pada industri pengolahan kayu. Kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu hasil hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba umumnya dilakukan oleh mitra antara yang berfungsi memasok kayu pada PT PAL maupun pada industri sawmill. Kondisi ini akan mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bulukumba. Pengembangan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Bulukumba juga berdampak terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor kehutanan. Apabila pengelo| 51
laan hutan rakyat terus dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya, PAD sektor kehutanan pada tahun 2027 akan mengalami peningkatan dari Rp130,4 juta menjadi Rp206,4 juta yang bersumber dari retribusi kayu akibat adanya peningkatan volume kayu rakyat. Peningkatan kapasitas produksi industri perkayuan juga meningkatkan sumbangan terhadap PAD Kabupaten Bulukumba melalui pajak dan retribusi kayu olahan (Suwarno et al., 2007). IV. KESIMPULAN Kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba diawali dengan penyediaan bibit tanaman kehutanan oleh perusahaan untuk dikembangkan pada lahan milik anggota kelompok tani yang menjadi ikatan moril bagi petani untuk menjual kayu hasil hutan rakyat kepada perusahaan yang telah memasok bibit tanaman kehutanan. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa aktor penting dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, yaitu Dinas Kehutanan Bulukumba sebagai perwakilan pemerintahan, masyarakat atau kelompok petani, dan perusahaan kayu. Pengembangan hutan rakyat pola kemitraan di Kabupaten Bulukumba dapat meningkatkan pendapatan masyarakat hingga Rp3,5 juta per kepala keluarga per tahun. Pengembangan tersebut melalui perbaikan sistem pembelian kayu dari mitra antara seperti koperasi dan dukungan kebijakan dari Dinas Kehutanan dalam pelayanan administrasi perkayuan satu pintu, serta peningkatan efisiensi biaya dan nilai kayu hutan rakyat. Selain itu, pengembangan berdampak pula pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD.
52 |
DAFTAR PUSTAKA Bisjoe, A.R.H., Nurhaedah & Hapsari, E. (2012). Kajian Strategi Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat di Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(4): 216–228. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Rencana Master Plan/Konsepsi Pembangunan Kehutanan Kabupaten Bulukumba Menuju Tahun 2025. Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba Irawanti, S., Suka, A.P. & Ekawati, S. (2012). Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten Pati. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(3): 126–139. Kusumedi, P. & Nawir, A.A. (2010). Analisis Pengelolaan dan Finansial Hutan Rakyat Kemitraan Di Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 1–21. Kusumedi, P., Nawir, A.A., Suwarno, A., Trison, S. & Tim FORDA Makassar. (2007). Kajian Mengenai Sistem Bagi Hasil yang Menguntungkan dalam Pengembangan Kemitraan Hutan Tanaman Kayu Masyarakat. Studi Kasus: Kabupaten Bulukumba. (Laporan Hasil Penelitian). BPK Makassar kerjasama dengan CIFOR. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Lank, E. (2006). Collaborative Advantage: How Organization Win by Working Together. New York. Palgrave Macmillan. Mayers, J. (2000). Company–Community Forestry Partnerships: a Growing Phenomenon. Unasylva, 200(51): 33–41. Roberts, J.M. (2004). Alliances, Coalitions, and Partnerships: Building Collaborative Organizations. Canada. New Society Publisher. | 53
Sanudin. (2009). Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(2): 131–149. Suporahardjo. (2005). Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor. Pustaka Latin. Suwarno, A., Nawir, A.A, Kusumedi, P. & Tim Forda. (2007). Model Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pemasaran Kayu Rakyat di Kabupaten Bulukumba. (Laporan Hasil Penelitian). BPK Makassar kerjasama dengan CIFOR. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Widyaningsih, T.S. & Diniyati, D. (2010). Kontribusi Ekonomi dan Sistem Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Pola Wanafarma di Majenang, Cilacap. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 55–71. Wolff, T. (2010). The Power of Collaborative Solution: Six Principles and Effective Tool for Building Healthy Communities. San Francisco. Jossey-Bass.
54 |
FINANCIAL AND ECONOMIC ASPECTS OF PRIVATE FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP Abd. Kadir Wakka and Achmad Rizal H. Bisjoe ABSTRACT Private forest management partnership in Bulukumba aims to improve farmers' revenues from the sale of their woods. Through partnerships it is agreed that there is division of roles between the parties in partnership, that is, private forest farmers, entrepreneurs, and government as a facilitator and regulator. Potential revenue increase by partners is made possible through improved sale-purchase mechanism of woods, 'fair' selling price agreement, the policy on private forest management incentives and wood sales system. This paper examines the financial value and economic benefits of private forest management under partnership scheme. As part of the results of research collaboration between Forestry Research and Development Agency (FORDA) and Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), this paper is expected to provide brief information on the importance of the economic aspects of private forest management partnership in Bulukumba. Keywords: economic aspects, partnerships, community forests, Bulukumba
I.
INTRODUCTION
Bulukumba covers total area of around 1,200 km2 or 1.85% of the area of South Sulawesi and in term of government administration it is divided into 10 (ten) sub-districts consisting of 125 villages. Bulukumba District is one of the districts in South Sulawesi Province, which has a relatively large-scale private forest area. This can be seen from the data based of forest area on the basis of forest utilization and its percentage in Bulukumba which consists of protected forest area of around 3,500 ha (11%), limited production forest area of around 500 ha (2%), forest preserves covering 3,500 ha | 55
(11%), production forest area of around 900 ha (3%), private forest covering an area of 21,000 ha (72%), mangrove forests, namely, the protection path of around 500 ha and around 250 ha of cultivation lines, or about 1% of the total forest area (Forestry Service Office Bulukumba, 2005). The proportion of forest distribution in Bulukumba as described previously, requires a more specific approach in order that sustainability and/or sustainable yield of private forests can be achieved, due to the fact that community area is dominant, that is, 72% of the existing forest area in Bulukumba. This size is quite significant in sustaining state forests which cover 28% of the existing forest area, including the needs for primary and/or secondary industries and needs for woods by community. Approaches to private forest management in Bulukumba which are studied through research collaboration between the Forestry Research Agency of Makassar and ACIAR are integrated and holistic with some aspects and one of them is the economic aspect. In this case, the existing partnership is reviewed in the hope that it will help to increase famers’ revenues from the sales of woods. On the other hand, entrepreneurs obtain guarantee of the availability of wood raw materials. In this way, it is likely for the government to ascertain the security and protection of forests, both within and outside forest areas. Potential increase in partners’ revenues is made possible through improved wood sales mechanisms, agreed ‘fair’ selling prices, the policy on private forest management incentives, and wood sales system. II.
PRIVATE FOREST MANAGEMENT PARTNERSHIP
A.
Definition and Benefits of Partnership
Any activity and/or business done is expected to achieve the goals/targets that have been set previously. In the effort of 56 |
achieving these goals/targets it is not uncommon that any activity will face various constraints such as those in terms of capital, technology, human resources and even marketing of products. In general, those constraints can be solved by entering into a cooperation/partnership with other parties. The process in achieving the goal of a business through cooperation with other parties is commonly referred to as a partnership. The definitions of partnership have been made by some experts, such as Roberts (2004) who defines a partnership as a relationship between the stakeholders who are committed to achieving the goals set. Another definition proposed by Roberts which includes consultation process organized down to the partnership agreements. Next, Lank (2006) defines it as an attempt to access the skills that are not owned or an attempt to neutralize any threats that may hinder the achievement of a goal. Similarly, Wolff (2010) defines partnership and/or collaboration as a process in order to provide the best services to those in need. Some of the benefits that can be obtained so as to encourage a party to enter into a partnership with the other parties (Lank, 2006), namely are as follows: 1. Making the implementation of research activities effective; 2. Extending the influence in the decision-making process or to other parties; 3. Increasing the chances of winning business competitions; 4. Making it faster, better and cheaper in developing and distributing a product, service or market; 5. There is better and deeper learning process; 6. Saving costs. In Indonesia, in the early 1990s, a partnership pattern was often connoted with nucleus–plasma management between farmers and companies or foster-father-models among small | 57
entrepreneurs and large-scale-entrepreneurs (Suporahardjo, 2005; Sanudin, 2009). Interaction among stakeholders is more directed by the government through the companies, so a two-way dialogue is very rare (Suporahardjo, 2005). Other partnership schemes are partnerships between wood processing industries and farmer groups in terms of raw material supply agreement under profit-sharing schemes (Mayers, 2000). The partnership in the management of private forests in Bulukumba is a partnership between the wood processing industry PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) and farmer groups in terms of the provision of forest plant seedlings by the company to be developed on woodlands owned by the members of farmer groups in the hope of the members of such farmer groups will have some moral bonds or obligations to sell woods from community forests to PT PAL, which has provided the farmers with forestry plant seedlings. B.
Partnership of Private Forest Management in Bulukumba
Potential to develop partnerships of private forests management in Bulukumba is very large. This partnership development is supported by several factors, among others, as follows (Suwarno et al., 2007; Kusumedi et al., 2007): 1. The partnership embryo between community/Farmer Forest Group (KTP) and entrepreneurs in the provision of seedlings to be planted in the logged private forest areas is not expressly put in any partnership cooperation agreement. 2. Integration of market players that leads to the existence of more markets for forest wood products. 3. The existence of institutions at the level of farmers who become driving actors at the village level.
58 |
4. The existence of supporting policies from local government set out in the 2005–2010 Bulukumba Forestry Service Strategic Plan. In consideration of the foregoing potential for the development of partnership, the important actors involved in private forests management partnerships in Bulukumba are (1) Bulukumba Forestry Service as a representative of government; (2) community/Farmer Forest Group (KTP), and (3) PT PAL and other wood-based companies. Interstakeholder partnership scheme in the private forests management in Bulukumba is illustrated in Figure 1.
LOCAL GOVERNMENT (DINAS KEHUTANAN)
PT PAL
COMMUNITY (KTP)
MIDLEMAN (PELUNCUR) COMPANY / NON-PT PAL
Figure 1. Private forest management partnership in Bulukumba
| 59
The roles of each actor in the private forest management partnership in Bulukumba can be described as follows: (Kusumedi et al., 2007; Suwarno et al., 2007; Kusumedi & Nawir, 2010): 1. Bulukumba Forestry Service. Bulukumba Forestry Service facilitates a simple partnership between the community and PT PAL. In addition to its facilitation role, Bulukumba Forestry Service also serves to accommodate the interests of stakeholders in the partnership; provides guidance in the implementation of sustainable forestry management and legalization of Licence for Timber Utilisation of Private Forests (IPKHR). Forest wood products traded under this partnership is sengon (Paraserianthes falcataria), gmelina (Gmelina arborea), rubber wood (Hevea braziliensis) and other wood species. Forestry Service facilitates the granting/licensing service and supporting documents such as IPKHR, Certificate of Legality of Forest Products (SKSHH), Certificate of Logs Legality (SKSKB), and a cruising team to facilitate the harvesting of community forest products by entrepreneurs, while the roles of the Forestry Service for the community are to provide mediation and facilitation of socialization of policies/programs, forestry technical advices and the development of partnerships with other parties. 2. Community. The community as woodland owners who receive seed aid of sengon (Paraserianthes falcataria) and gmelina (Gmelina arborea) and other seedlings from PT PAL or from other companies started since 2004 up to now, on condition that the community must maintain such forest stands and are not allowed to transfer them to other parties. Until then the provision of seedlings through Farmer Forest Group (KTP) and its provision mechanism for each of its members has been conducted although these seedlings have not been evenly distributed since not all members of KTP have received them. 60 |
3. PT PAL and other timber companies. PT. PAL is a logging company that is involved in the embryo of partnership, being motivated by the Bulukumba Forestry Service to use/buy falcata and gmelina generated from community forests. In relation to this, PT. PAL has been in cooperation with middlemen who perform the collection of woods from the community and supply woods to PT. PAL. In this case, PT. PAL only accepts softwood like sengon, gmelina, randu wood (Ceiba pentandra (L.) and rita wood, and it does not accept hard wood such as teak, mahogany, and bitti wood with quality standards that have been determined in terms of length, diameter, and other quality standards. Partnerships between the community and PT. PAL is conducted through the distribution of seedlings of gmelina and sengon to be planted on community woodlands, either on the new woodlands to be planted with trees or the logged areas. This is done to ensure the supply of wood raw materials to PT. PAL, although so far, the supply of wood raw material is mostly met from rubber wood replanting activities of PT. Lonsum in Bulukumba. In addition to PT. PAL, there are also other companies that accept community’s wood products such as teak, bitti wood, albizia, rubber wood, mahogany, white teak and others which are supplied by middlemen. This timber company sells woods in the forms of pads out of Bulukumba District, such as to Makassar and inter-islands, especially to Java Island. III. FINANCIAL AND ECONOMIC ASPECTS OF PARTNERSHIP A.
Financial Analysis of Private Forest Concession under Partnership Scheme in Bulukumba
Financial analysis is intended to determine whether private forest concession under partnership scheme undertaken by | 61
the community in Bulukumba generates benefits to community. One of the villages located in Bulukumba which has developed its private forests through a partnership scheme is Balong Village, Ujungloe Sub-District. In Balong village there is Pembangunan Bersama Farmer Forest Group (KTP), and the number of its members reaches 87 family heads and the size of private forest area developed under this partnership scheme reaches around 50 ha. Species of forestry plantations developed in this private forest area are sengon (Paraserianthes falcataria), white teak (Gmelina arborea) and mahogany (Swietenia mahagoni). Pembangunan Bersama Farmers Group (KTP) is in partnership with PT. PAL in developing private forest located in Balong Village. This partnership started in 2004. In this partnership PT. PAL is obliged to prepare forest plant seedlings to be planted, while the members of Pembangunan Bersama are to prepare the lands and workers. The provision of forestry plant seedlings by PT. PAL to members of KTP, which is recorded in the minutes of hand over of forest plant seedlings do not necessarily require the members of KTP to sell timber from private forests to PT PAL. Of course, the provision of forestry plant seedlings is expected to be morally binding for members of KTP to sell timber from private forests to PT. PAL in accordance with the prevailing prices in Bulukumba. The results of the financial analysis show that private forest management under a partnership scheme undertaken by Pembangunan Bersama in Balong Village, Ujungloe SubDistrict, was financially feasible to develop. This is illustrated by the value of Net Present Value (NPV) for the cultivation cycle (25 years) totaling IDR12,622,021, with the value of Benefit Cost Ratio (BCR) of 1.01 and Internal Rate of Return (IRR) of 13%. Revenue earned from community forest woods in Balong Village under a partnership scheme could reach IDR67,522,631 per family head per year (Kusumedi et al., 62 |
2007; Kusumedi & Nawir, 2010). This suggests that a partnership scheme in the private forest management in Bulukumba was beneficial for the community society and it could be a promising source of family income. B.
Economic Benefits of Private Forests Management under a Partnership Scheme in Bulukumba
Private forest partnership management in Bulukumba is expected to give positive impacts, both for stakeholders who are involved in it and for the development of the region. Furthermore, private forest wood sales can be a source of income for the farmers (Widyaningsih & Diniyati, 2010; Irawanti et al., 2012; Bisjoe et al., 2012). Private forest development partnership in Bulukumba will increase incomes of up to Rp3.5 million per household per year. This is made possible by the improvement of wood procurement system among partners through KTP’s cooperatives with clear cubic units and supporting policies from Forestry Service related to administrative services under One-Stop-Service to improve cost efficiency and the value of private forest woods (Suwarno et al., 2007). Private forest development under a partnership scheme not only gives positive impacts on income increase of private forest farmers, but it also gives positive impacts on the creation of employment, especially in logging activities and community wood transportation (Sanudin, 2009) and in the wood processing industry. Logging activities and wood transportation from private forests in Bulukumba are generally carried out by middlemen who work on the wood supply for PT PAL and for the sawmill industry. As a result, this condition will eventually reduce unemployment rate and improve community welfare in Bulukumba. Private forests development under a partnership scheme in Bulukumba also helps to increase Original Regional Revenue | 63
(PAD) of forestry sector. If the management of private forests continues to be developed and its quality is enhanced as well, in 2027 the forestry sector revenue is likely to increase from IDR130.4 million to IDR206.4 million originated from wood fees due to an increase in the volume of community woods. The increased production capacity of the wood industry will also significantly contribute to revenue increase in Bulukumba through taxes and levies on processed woods (Suwarno et al., 2007). IV. CONCLUSION Private forest management partnership in Bulukumba starts with the provision of forest plant seedlings by the company to be developed on lands owned by farmer group members which become moral bond or obligations for farmers to sell woods from private forests to the company that has supplied the forestry plant seedlings. In its development the process, there are several important actors in private forest management partnerships in Bulukumba, namely Bulukumba Forestry Service as a government representative, community or farmers group, and timber companies. Through the improvement of wood purchasing system between the middlemen through cooperatives and supporting policy from Forestry Service in timber administrative services under One-Stop-Service, as well as the improvement of cost efficiency and value of private forest woods, the private forest development partnership in Bulukumba can improve community’s income to IDR3.5 million per family head per year. In addition, it gives a positive impact on the creation of employment opportunities and the Original Regional Revenue (PAD) enhancement.
64 |
BIBLIOGRAPHY Bisjoe, A.R.H., Nurhaedah & Hapsari, E. (2012). Kajian Strategi Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat di Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(4): 216–228. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Rencana Master Plan/Konsepsi Pembangunan Kehutanan Kabupaten Bulukumba Menuju Tahun 2025. Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba Irawanti, S., Suka, A.P. & Ekawati, S. (2012). Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten Pati. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 9(3): 126–139. Kusumedi, P. & Nawir, A.A. (2010). Analisis Pengelolaan dan Finansial Hutan Rakyat Kemitraan Di Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 1–21. Kusumedi, P., Nawir, A.A., Suwarno, A., Trison, S. & Tim FORDA Makassar. (2007). Kajian Mengenai Sistem Bagi Hasil yang Menguntungkan dalam Pengembangan Kemitraan Hutan Tanaman Kayu Masyarakat. Studi Kasus: Kabupaten Bulukumba. (Laporan Hasil Penelitian). Balai Penelitian Kehutanan Makassar kerjasama dengan Center For International Forestry Research. Makassar. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Lank, E. (2006). Collaborative Advantage: HowOrganization Win by Working Together. New York. Palgrave Macmillan. Mayers, J. (2000). Company–Community Forestry Partnerships: a Growing Phenomenon. Unasylva, 200(51): 33–41. Roberts, J.M. (2004). Alliances, Coalitions, and Partnerships: Building Collaborative Organizations. Canada. New Society Publisher. | 65
Sanudin. (2009). Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(2): 131–149. Suporahardjo. (2005). Manajemen Kolaborasi. Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor. Pustaka Latin. Suwarno, A., Nawir, A.A, Kusumedi, P. & Tim Forda. (2007). Model Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pemasaran Kayu Rakyat di Kabupaten Bulukumba. (Laporan Hasil Penelitian). Balai Penelitian Kehutanan Makassar kerjasama dengan Center For International Forestry Research. Makassar. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Widyaningsih, T.S. & Diniyati, D. (2010). Kontribusi Ekonomi dan Sistem Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Pola Wanafarma di Majenang, Cilacap. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 55–71. Wolff, T. (2010). The Power of Collaborative Solution: Six Principles and EffectiveTool for Building Healthy Communities. San Francisco. Jossey-Bass.
66 |
ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN KEMITRAAN Nur Hayati ABSTRAK Analisis stakeholder penting dilakukan dalam mengidentifikasi komunitas atau kelompok masyarakat yang paling terpengaruh oleh suatu kegiatan kemitraan kehutanan. Analisis stakeholder juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dan sejauh mana implementasi kegiatan pembangunan bermanfaat bagi mereka. Kepentingan dan pengaruh merupakan kunci dalam analisis stakeholder. Kepentingan antara lain berkaitan dengan harapan, manfaat, sumber daya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan hubungan. Analisis stakeholder merupakan suatu langkah yang penting dalam penentuan upaya pengembangan kemitraan kehutanan yang akan dilaksanakan. Keberhasilan dalam penentuan kebijakan publik dan dukungan terhadap penyelesaian satu masalah tertentu sangat tergantung pada stakeholder yang dipilih. Kesalahan pemilihan stakeholder dan pesan yang disampaikan akan menentukan keberhasilan pengelolaan hutan yang akan dilakukan. Kata kunci: stakeholder, identifikasi, kemitraan, pengelolaan, kehutanan
I.
PENDAHULUAN
Pengembangan hutan rakyat pola kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu sekarang dan masa yang akan datang. Sejak produksi kayu bulat dari hutan alam menurun, mau tidak mau, alternatifnya adalah dengan mendayagunakan lahan-lahan di luar kawasan hutan, baik yang produktif maupun yang kurang produktif . Hal ini disebabkan industri kayu memerlukan bahan baku secara berkesinambungan, sedangkan petani pemilik lahan | 67
memerlukan modal, pengetahuan teknis, dan kepastian pemasaran. Pembangunan hutan rakyat kemitraan tidak hanya menyangkut teknis silvikultur saja, tetapi juga menyangkut manajerial yang berkaitan dengan faktor sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat, kemitraan membutuhkan keterlibatan berbagai stakeholder yang dilandasi oleh tujuan memperoleh manfaat. Analisis stakeholder perlu dilakukan sedini mungkin pada awal kegiatan kemitraan untuk mengidentifikasi berbagai kelompok yang tertarik, berkaitan dan berminat dengan isu tertentu seperti kehutanan, pertanian, lingkungan, kesehatan dan lain-lain (Kusumobroto, 2009). Identifikasi pandangan dan karakteristik dari setiap stakeholder ini sangat penting, yang merupakan dasar untuk pelaksanaan tahap berikutnya dalam pengembangan kemitraan kehutanan. Identifikasi yang spesifik ini dapat menghasilkan suatu “profil stakeholder”. Semakin spesifik informasi pada setiap stakeholder, semakin mudah untuk memastikan ketepatan informasi, pesan, dan investasi yang akan dilakukan. Analisis stakeholder bermanfaat dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling banyak terkena pengaruh (dampak) dari suatu kegiatan pembangunan (Race & Millar, 2006). Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan dan manfaat pembangunan bagi mereka. Suatu kegiatan dapat memberikan manfaat bagi sebagian masyarakat, namun dapat pula merugikan sebagian masyarakat lainnya. Oleh karena itu, analisis stakeholder biasanya berhubungan dengan beberapa elemen, seperti eksistensi kelompok masyarakat, dampak, dan konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program pembangunan. 68 |
II.
PENGERTIAN ANALISIS STAKEHOLDER
Dari aspek semantik, stakeholder didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Hornby, 1995). Dalam implementasi program pembangunan, stakeholder memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah stakeholder digunakan untuk mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, yang mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Race & Millar, 2006). Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan stakeholder atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan. Perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh satu kelompok tertentu. Stakeholder adalah siapa saja yang berkepentingan atau terkena dampak atas suatu proyek/program, yang mana informasi dan peran aktif mereka sangat diperlukan, termasuk dalam menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan proyek/program tersebut. Pemegang kendali dapat berupa individu, kelompok, atau lembaga. Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes (dalam Usahid, 2008) mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai stakeholder ini. Dalam tulisannya tersebut, beberapa definisi stakeholder yang dikemukakan, antara lain Freeman (1984) mendefinisikan | 69
stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat memengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu, ia juga menyatakan bahwa stakeholder sering diidentifikasi dengan dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif terhadap isu; Biset (1998) secara singkat mendefinisikan stekeholder sebagai orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan; serta Grimble & Wellard (1996) menyatakan bahwa dasar tertentu yang dapat diidentifikasi dari stakeholher adalah dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki. Pandanganpandangan tersebut menunjukan bahwa pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stakeholder sebagai suatu isu, tetapi juga sifat hubungan stakeholder dengan isu, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder itu. Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk mengenal stakeholder. Terdapat prinsip analisis stakeholder, yaitu 1) keterlibatan semua pihak, mencakup semua pihak dalam strata yang luas, mulai dari kelompok marginal sampai pada kelompok elite; 2) relevan, keterlibatan tidak berarti mencakup semuanya, tapi hanya pada perwakilan stakeholder yang relevan, yakni mereka yang memiliki peran penting dalam proses; dan 3) kepekaan gender, baik laki-laki maupun perempuan harus memilki akses yang sama dalam proses pengambilan keputusan (Udayabdurrahman, 2014). Dengan demikian, analisis stakeholder menjadi alat penting dalam mengidentifikasi para pelaku. Pelaku ini meliputi orang dan organisasi yang terlibat ataupun terkena dampak dari suatu perencanaan. Pemahaman yang jelas atas peran dan kontribusi potensial dari berbagai stakeholder merupakan prasyarat utama bagi proses pengembangan kemitraan. Untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas, analisis stakeholder harus menguji dan mengidentifikasi berbagai dimensi yang berbeda-beda. Misalnya, analisis ini harus mampu memisahkan antara kelompok yang relevan dengan 70 |
kelompok yang berkepentingan dalam sektor umum, swasta dan organisasi. Pada pemisahan itu akan terlihat jelas potensi mereka sehingga tingkat keterwakilan dapat lebih proporsional, misalnya terkait dengan masalah gender, etnis, kemiskinan dan sebagainya. Namun, hal yang perlu segera disadari bahwa analisis stakeholder ini hanya menyediakan alat untuk mengidentifikasi potensi stakeholder dan tidak menjamin bahwa mereka akan terlibat secara aktif di dalamnya. III. IDENTIFIKASI STAKEHOLDER Stakeholder adalah perorangan dan kelompok yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan (Crosby, 1992). Sementara itu, Salam & Noguchi (2006) menyatakan bahwa stakeholder adalah semua pihak, baik secara individu maupun kelompok, yang dapat dipengaruhi dan memengaruhi pengambilan keputusan, serta pencapaian tujuan suatu kegiatan. Dengan demikian, stakeholder dapat dibedakan secara garis besar atas tiga kelompok, yaitu: 1. Stakeholder utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2. Stakeholder penunjang, yakni yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, stakeholder penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal. 3. Stakeholder kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.
| 71
Identifikasi stakeholder melalui analisis stakeholder dilakukan agar diketahui sebagian besar masyarakat/kelompok yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan, khususnya dalam rangka pengembangan kemitraan di Kabupaten Bulukumba. Terdapat tiga unsur yang saling terkait Untuk mengidentifikasi stakeholder, yaitu 1) isu yang dapat berupa masalah, manfaat, dan kerugian; 2) wilayah (border) isu dalam hal ini lokasi/spasial; dan 3) aktor, baik personal maupun institusi yang terkait dengan isu tersebut. Beberapa pertanyaan untuk mengidentifikasi stakeholder pengembangan kemitraan, yaitu: 1. Siapa yang memengaruhi kemitraan (positif atau negatif)? 2. Siapa yang secara pasif (tidak bersuara) khususnya dalam usaha yang telah dibuat? 3. Siapa yang menjadi wakil yang berpengaruh? 4. Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa yang telah diikuti? 5. Siapa yang dapat membuat apa yang diikuti menjadi lebih efektif melalui keikutsertaannya atau tidak efektif bila tidak berpartisipasi atau yang berseberangan? 6. Siapa yang memberikan kontribusi finansial dan pengelolaan sumber daya? 7. Perilaku apa saja yang perlu dirubah supaya berhasil? Aktor-aktor inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai stakeholder. Sementara itu, analisis stakeholder adalah alat atau proses yang bermanfaat untuk mengidentifikasi kelompok pihak terkait dan menjelaskan tentang sifat, peranan dan minat kelompok tersebut. Apabila telah dilaksanakan, akan muncul stakeholder (pihak-pihak terkait) yang perlu diajak untuk bermitra. Partisipasi pihak-pihak terkait ini diharapkan akan menghasilkan peningkatan efektivitas, peningkatan efisiensi, peningkatan 'sustainabilitas', memungkinkan dam72 |
pak yang sustainable, peningkatan transparansi dan pertanggungjawaban, serta peningkatan kesetaraan. Menurut Krishna & Lovell (1985), terdapat paling tidak empat alasan penting terkait partisipasi dalam menunjang keberhasilan suatu program/kegiatan. Pertama, partisipasi diperlukan untuk meningkatkan rencana pengembangan program/kegiatan secara umum dan kegiatan prioritas secara khusus. Kedua, partisipasi dikehendaki agar implementasi kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, partisipasi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan program/kegiatan. Keempat, partisipasi dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi kegiatan. Oleh karena itu, partisipasi merupakan suatu tatanan mekanisme bagi para penerima manfaat dari suatu kegiatan. Hasil diskusi terfokus (Focus Group Discussion) mengenai kasus pengembangan kemitraan di Kabupaten Bulukumba menunjukan bahwa di dua desa sampel diidentifikasi ada beberapa pihak terkait. Pihak terkait tersebut dikelompokkan menjadi stakeholder langsung (primer) sebagai pihak-pihak yang mendapat manfaat atau dirugikan secara langsung oleh suatu kegiatan dan stakeholder tidak langsung (sekunder) sebagai pihak yang memiliki kepentingan secara tidak langsung, atau pihak yang tergantung pada sebagian kekayaan atau bisnis yang dihasilkan oleh sumber daya (Townsley dalam Wakka, 2013). Tabel 1. Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Balong dan Desa Karassing Desa Balong Desa Karassing Tidak Tidak Langsung Langsung langsung langsung Pemilik lahan Tokoh masya- Pemilik lahan Tokoh agama rakat (Imam dusun) Kelompok Kelompok Tani Peng Tokoh agama Tani Peng Tokoh masyahijauan Pem- Sawmill hijuan Suka rakat bangunan Maju LSM (KPSA-LH) LKMD
| 73
Desa Balong Tidak Langsung langsung Bersama Badan Perwa Dishut kilan Desa Kabupaten (BPD) Bulukumba Kepala Dusun PT PAL Forum Anti Mitra Antara Maksiat (Format) LSM Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) Dinas Pertanian Dispenda PKK Perkebunan Pengembangan Usaha Ternak Kawasan Indonesia Timur (PUTKATI) Serikat Petani Balong (SPB)
Desa Karassing Tidak Langsung langsung Kelompok Kepala Desa Tani Peng Badan Perwahijauan Suka kilan Desa Makmur (BPD) Dishut Kab. Kepala Dusun Bulukumba LPMD Perantara RT/RW (Pengusaha) PKK Koperasi
Seperti disebut sebelumnya, walaupun pihak-pihak terkait sudah diketahui, belum tentu semua akan dilibatkan dalam pengembangan kemitraan partisipatif. Sebabnya, arti dari partisipasi tidak sama bagi setiap orang tergantung situasi dan kebutuhannya. Partisipasi merupakan unsur penting dalam suatu kegiatan, namun dalam praktik sering disalah gunakan. Banyak hal yang dianggap sebagai partisipasi, tetapi nyatanya tidak melibatkan para pihak terkait apalagi yang 74 |
pihak terkait utama dan primer dalam pengambilan keputusan atau kegiatan-kegiatan selanjutnya. Peran para pihak terkait yang terlibat dalam pengembangan kemitraan kehutanan di Kabupaten Bulukumba sangat tergantung dari sudut pandang para pihak terkait tersebut dalam menyikapi tentang keberadaan hutan itu sendiri. Dari hasil identifikasi pihak terkait secara langsung, petani merupakan stakeholder berbentuk individu yang mempunyai peran dalam penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil. Sementara itu, stakeholder yang berupa kelompok meliputi kelompok tani, Dishut, perantara/pengusaha/PT PAL, Kelompok Tani Penghijauan, dan koperasi. Peranan mereka meliputi kegiatan penyiapan bibit, pembibitan, kontrol, koodinasi dengan instansi-instansi terkait, penyuluhan, sosialisasi kebijakan yang ada dan informasi harga beli kayu, fasilitator antara petani dengan industri, penyedia saprodi, pembeli, kontrol terhadap pemberian bibit yang telah diberikan, dan pemasaran hasil tanaman kehutanan yang telah dipanen. Stakeholder yang terlibat tidak langsung yang berupa individu adalah tokoh agama (imam dusun), tokoh masyarakat, kepala desa, dan kepala dusun. Perannya meliputi sebagai motivator (memberikan motivasi kepada petani), kontrol, dan mediator. Sementara itu, stakeholder yang berupa kelompok/lembaga adalah LKMD/LPMD, Badan Perwakilan Desa (BPD), Forum Anti Maksiat (Format), LSM, Badan Keswadayaan masyarakat (BKM), Dinas Pertanian, Dispenda, PKK, RT/RW, sawmill, Perkebunan, Pengembangan Usaha Ternak Kawasan Indonesia Timur (PUTKATI), dan Serikat Petani Balong (SPB). Peran stakeholder ini antara lain dalam perencanaan, pengusulan Perdes, pengawasan, pendampingan, advokasi, fasilitator, dan mediator apabila terjadi konflik dalam pengelolaan hutan rakyat. Race & Millar (2006) menekankan beberapa intisari dalam analisis stakeholder yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu 1) stakeholder itu sendiri (individu atau kelompok | 75
yang memiliki atau terkena pengaruh dari kegiatan pembangunan), 2) partisipasi (keterlibatan), dan 3) keterkaitan sebagai bentuk dari partisipasi yang bersifat lebih dari sekedar konsultasi. Sementara itu, alur lingkaran operasionalisasi kegiatan perlu juga dipahami dalam analisis stakeholder, mengingat implementasi program pembangunan umumnya memiliki dimensi sosial dalam setiap tahap pelaksanaannya. IV. KESIMPULAN Identifikasi dan analisis stakeholder merupakan perangkat (tools) yang vital untuk memperoleh pemahaman mengenai siapa saja para stakeholder yang terlibat. Analisis stakeholder merupakan suatu langkah yang penting dalam penentuan upaya pengembangan kemitraan kehutanan yang akan kita laksanakan. Keberhasilan dalam penentuan kebijakan publik dan dukungan terhadap penyelesaian suatu masalah tertentu sangat tergantung pada stakeholder yang kita pilih. Kesalahan pemilihan stakeholder dan pesan yang kita sampaikan akan menentukan keberhasilan pengelolaan hutan yang akan dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Crosby, B.L. (1992). Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Gonsalves, J., Becker, T., Braun, A., Campilon, D., de Chaves, H., Fajber, E., Capiriri, M., Caminade, J.R. & Vernooy, R. (2005). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book (glossary). International Potato Center–Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. 76 |
Hornby, A.S. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Udayabdurrahman (2014). Modul Perencanaan PartisipatifIdentifikasi dan Analisis Stakeholders. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/250770337/ModulPerencanaan-Partisipatif-Identifikasi-Dan-analisisStakeholders#scribd. Usahid, H. (2008). Mengenal Stakeholder. Diakses dari http://hmp-humas-usahid.blogspot.com/2008/09/ mengenal-stakeholder.html. Krishna, R. & Lovell, C. (1985). Rural and Development in Asia and the Pacific. The Synopsis of ADB Regional Seminar on Rural Development in Asia and the Pacific, 15−23 October 1984. Asian Development Bank, Manila. Kusumobroto, B.S. (2009). Analisis “Stakeholder” dalam Pengembangan Strategi Advokasi. Diakses dari www. promosikesehatan.com/?act=download &id=16&f...type. Race, D. & Millar, J. (2006). Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research–Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia. Salam, Md. Abdus & Noguchi, T. (2006). Evaluating Capacity Development for Participatory Forest Management in Bangladesh’s Sal Forests Based on ‘4Rs’ Stakeholder Analysis. Forest policy and Economic, 8(2006): 785–796. Doi:10.1016/j.forpol.2004.12.004.ScienceDirect. Wakka, A.K. (2013). Analisis Stakeholder Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(1): 11–21.
| 77
STAKEHOLDER ANALYSIS OF PARTNERSHIPS MANAGEMENT Nur Hayati ABSTRACT Stakeholder analysis plays an important role in identifying the most affected smallholders or community groups by forestry partnerships activities. This analysis is also useful in determining the priorities of the smallholders or community groups who are needed and to what extent the implementation of development activities will be beneficial to them. Both interests and influences are the keys to the stakeholder analysis. Interests, among others, are related to expectations, benefits, resources, commitment, potential conflicts, and inter-relations among group members. Therefore, stakeholder analysis is an important step in determining efforts to be taken in forestry partnerships development. The success in the determination of public policy and support for the resolution of a particular problem depends on the stakeholders that we choose. Mistakes in selecting stakeholders and messages to be conveyed to the communities or community groups will determine the success of forest management to be conducted. Keywords: stakeholders, identification, partnerships, management, forestry
I.
INTRODUCTION
Private forest development under partnership scheme is one of the alternatives to meet both present and future needs of wood raw materials. Due to the decline in production of logs from natural forests, the logical alternatives to overcome the problems are to maximize the utilization of lands, either productive or unproductive ones. This is because any timber industry requires sustain raw materials, while the smallholders or land owners are in need of capital, technical knowledge, and marketing certainty. 78 |
Private forest development partnership involves not only technical silviculture, but it is also concerned with managerial aspects related to social factors, economics and culture of local community. Therefore, to support the success of private forest partnership development, the involvement of various stakeholders, which is guided by the intention of obtaining benefits, is needed. Stakeholder analysis needs to be done as early as possible during the initial partnership activities to identify various groups interested in the scheme, involved and interested in specific issues such as forestry, agriculture, environment, health and others (Kusumobroto, 2009). Identification of points of view and characteristics of each stakeholder is very important since its results will be the basis for the implementation of the next stage in forestry partnership development. This specific identification can produce a "stakeholder profile". The more specific information on each stakeholder is, the easier it is to ensure the accuracy of information, messages, and investment to be conducted in the future. Besides, stakeholder analysis is useful in identifying the community or community groups who are the most affected by the impacts of any development activity (Race & Millar, 2006). This analysis is also useful in determining the priorities of the communities or groups who are required in the implementation of activities and benefits of development for them. Any activity may provide benefits for some people, but it may also be detrimental to some other communities. Therefore, stakeholder analysis is usually associated with some elements such as the existence of community groups, impacts, and consequences arising out of the implementation of development programs.
| 79
II.
DEFINITION OF STAKEHOLDER ANALYSIS
From semantic point of view, a “stakeholder” is defined as an individual, an organization, and the like who has a share or concern in business or industry (Hornby, 1995). On the other hand, in the implementation of development programs, a “stakeholder” has different definitions and meanings. The term “stakeholder” is used to describe a community or an organization which permanently gets the impacts of the activities or policies, where they concern with the results of the activities or policies. It is important to realize that communities do not always receive fair impacts. Some communities may bear the costs while some other communities may actually benefits from an activity or policy (Race & Millar, 2006). Gonsalves et al. (2005) describe “stakeholder” as who gives impacts and/or who receives impacts or to be affected by policies, programs, and development activities. Those groups of people may be males or females, communities, socioeconomic groups, or institutions in various dimensions at each level of the community. Each group has its own resources and needs which must be represented in the decision making process in development activities. It is necessary to note that the decision cannot be implemented effectively by one particular group. A “stakeholder” is any party interested in or affected by a project/program, in which information and their active roles are indispensable, including those roles in exercising control functions over the implementation of the projects/programs. The controlling parties may be individuals, groups or institutions. In a book entitled Cultivating Peace, Ramizes (in Usahid, 2008) identifies various opinions of a stakeholder. In his book, some definitions stakeholders put forward, namely Freeman (1984) defines a stakeholder as a group or individual who can affect or are affected by the achievement of certain goals, he also stated that the stakeholders are often 80 |
identified with a certain basis, i.e. in terms of strength and interest relative to the issue; Biset (1998) briefly defines stekeholder as anyone with an interest or attention to the problem; as well as Grimble & Wellard (1996) states the basis of certain identifiable from stakeholher is important in terms of position and influence. The foregoing points of view show that stakeholder identification not only answers the question of who stakeholders in an issue are but it also reveals the nature of relationship, attitudes, points of view, and influences of stakeholders upon the issue. These aspects are very important to be analysed in stakeholder identification. The main principles of stakeholder analysis, are as follows 1) the involvement of all stakeholders, including all parties in wider strata, ranging from marginal groups to the elites; 2) be relevant, in which the involvement does not mean to cover everything, but it is only concerned with the representatives of relevant stakeholders, that is, those who have important roles in the process; and 3) gender sensitivity, in which both men and women should have the same access to the decisionmaking process (Udayabdurrahman, 2014). That is why stakeholder analysis becomes an important tool in identifying actors. These actors include persons and organizations who are involved in or affected by any plan. A clear understanding of roles and potential contributions of the various stakeholders is a major prerequisite for the process of partnership development. To obtain a complete and clear picture, stakeholder analysis should examine and identify a variety of different dimensions. For example, this analysis must be able to distinguish between relevant groups from interested parties in the public sectors, private sectors, and organizations. Under this separation it will be obvious that their potentials and the level of representation will be more proportional, such as the issues related to gender, ethnicity, poverty, etc. However, it should be immediately realized that stakeholder analysis only | 81
provides a tool to identify stakeholders’ potentials, and it does not guarantee that they will be actively involved in it. III. STAKEHOLDER IDENTIFICATION Stakeholders are individuals and groups who are actively involved in the activities, or those who are affected by, both positive and negative impacts, the results of the implementation of activities (Crosby, 1992). Meanwhile, according to Salam & Noguchi (2006), stakeholders are all parties, either individually or collectively, who can be affected by, and influence decision-making as well as the achievement of goals of an activity. In this sense, generally, stakeholders can be divided into three groups, namely: 1. Major stakeholders, namely, those who receive positive or negative impacts (beyond their own willingness) of an activity. 2. Supporting stakeholders, that is, are those who become middlemen to facilitate the process of delivering the activity. These stakeholders can be classified into financiers, implementers, supervisors, and advocacy organizations such as government organizations, NGOs, and private sectors. In some activities, stakeholders may support individuals or key groups who have both formal and informal interests. 3. Key stakeholders, namely, are those who have strong or important influence upon problems, needs, and attention to the smoothness of an activity. In order that most of communities/groups involved in the management of forest resources, especially in the context of partnerships development in Bulukumba, it is necessary to identify stakeholders through stakeholder analysis. Stakeholder identification involves three interrelated elements, i.e. 82 |
1) the issues that could be a problem, benefits, losses; 2) regional (or border) issue which in this case is the location/spatial; and 3) the actors, that is, either persons or institutions who are associated with the issue. Some questions that can be raised to identify stakeholders involved in partnerships development are as follows: 1. Who affect negatively)?
the
partnership
(either
positively
or
2. Who are passively (not expressing any oral suggestions or comments) involved, especially in the efforts that have been made? 3. Who become influential representatives? 4. Who are responsible for what have been followed? 5. Who can make what to be followed and become more effective through their participation or ineffective without participation or being the opposite side? 6. Who provide financial contribution and support to resource management? 7. What behaviours need to be changed in order to be successful? These actors are then identified as stakeholders. Meanwhile, stakeholder analysis is a useful tool or process to identify groups of stakeholders and clarify the nature, roles and interests of the groups. Once this process has been implemented, stakeholders will appear as whom need to be invite to enter into a partnership. Participation of these stakeholders is expected to generate effectiveness, increased efficiency, improved 'sustainability', and to enable sustainable impacts, to increase transparency and accountability, and equality. According to Krishna & Lovell (1985), there are at least four reasons for the importance of participation in the success of a program/an activity. First, participation is necessary to improve the program/activity development in | 83
general and, in particular, priority activities. Second, participation is required so that the implementation of activities will be in accordance with the needs of community. Third, participation is required to ensure the continuity of the programs/activities. Fourth, participation can increase equality in the implementation of activities. Therefore, participation serves as a mechanism for the beneficiaries of the programs/activities. The results of Focus Group Discussion on partnership development in Bulukumba show that there are a few stakeholders who could be identified in the samples taken from two villages. Those stakeholders are grouped into direct or primary stakeholders, who get benefits or directly get detrimental impacts from an activity, and indirect or secondary stakeholders who have indirect interests, or stakeholders who depend on some of wealth or business generated by the available resources (Townsley in Wakka, 2013). Table 1. Stakeholders involved in forest resources management in Balong Village and Karassing Village. Balong Village Direct Indirect Involvement Involvement Land owners Community Farmer Forest leaders Group “Pem- Religion bangunan leaders Bersama” Sawmill Forestry Village Services office Community of Bulukumba Resilience District Board (LKMD) Wood-based Village industry (PT RepresenPAL) tative Board Middlemen (BPD )
84 |
Karassing Village Direct Indirect Involvement Involvement Land owners Religion Farmer Forest leaders Group “Suka Community Maju” leaders Farmer Forest NGO (KPSAGroup “Suka LH) Makmur” Village leaders Forestry Village Services office Represenof Bulukumba tative Board District (BPD ) Middlemen Hamlet Cooperatives leaders
Balong Village Direct Indirect Involvement Involvement Hamlet leaders Forum Against Immorality (Format) NGO Community Self-Reliance Agency (BKM) Agriculture Service Office Local Revenue Service Office (DISPENDA) Family Welfare Movement (PKK) Plantation Service Livestock Business Development in Eastern Indonesia (PUTKATI) Balong Farmers’ Union (SPB)
Karassing Village Direct Indirect Involvement Involvement Village Empowerment Board (LPMD) Neighbourhoods Associations (RT/RW) Family Welfare Movement (PKK)
As mentioned previously, eventhough the stakeholders have been identified, not all of them will be involved in participatory partnership development. This is because the meaning of participation will not be the same to each person, but it | 85
depends upon the situation and needs. Although participation is an important element in an activity, in practice it is often misused. Many things may be considered as participation, but in fact they do not involve stakeholders, especially the main and primary stakeholders in decision-making or follow-up activities. The roles of stakeholders involved in forestry partnerships development in Bulukumba greatly depend on the points of view of those stakeholders in addressing the existence of the forest itself. The identification results of direct stakeholders shows that farmers are individual stakeholders who have roles in land preparation, seed preparation, planting, maintenance, harvesting and marketing. Moreover, stakeholder groups include farmers groups, Forestry Services office, intermediaries/entrepreneurs/PT PAL, Farmer Forest Group and cooperatives. Their roles are associated with seedlings preparation, control, coordination with related institutions, extension, socialisation of existing policies and formation on wood purchase price, being facilitators between farmers and industry, providers of inputs, buyers, control over the provision of seedlings that have been granted, and marketing of harvested forest products. Meanwhile, stakeholders who are indirectly involved in the programs and/or activities such as village religious leaders, community leaders, village leaders, and hamlet leaders which are mostly of individuals. Their roles may be as motivators (by providing motivation to farmers), controllers, and mediators. On the other hand, stakeholders may be in the forms of groups/organisations such as Village Community Resilience Board (LKMD), Village Empowerment Board (LPMD) , Village Representative Board (BPD ), Forum Against Immorality (Format), NGOs, Community Self-Reliance Agency (BKM), Agriculture Service Office, Local Revenue Service Office (DISPENDA), Family Welfare Movement (PKK), Neighbourhoods Associations (RT/RW), sawmill, Plantation 86 |
Service, Livestock Business Development in Eastern Indonesia (PUTKATI), and Balong Farmers’ Union (SPB). The roles of these stakeholders are, among others, associated with planning, preparation for village regulation (Perdes), supervision, mentoring, advocacy, facilitator and mediator in case of conflicts in the management of private forests. Meanwhile, according to Race & Millar (2006), stakeholder analysis emphasizes some essential elements which require special attention, namely 1) Stakeholders themselves (either individuals or groups who receive or are affected by the impacts of development activities), 2) participation (or involvement), and 3) the relevance as a form of participation which is more than as a merely consultation. In addition, in stakeholder analysis, it is necessary to understand the flow of operational circle of activities. This is due to the fact that generally every stage of the implementation of development programs involves some social dimension. IV. CONCLUSION Stakeholder Identification and analysis are vital tools to get better understanding of who the stakeholders that are involved in any program or activity. Stakeholder analysis is an important step in determining forestry partnership development efforts to be carried out. The success in the determination of public policy and support for the resolution of a particular problem depends on the stakeholders that we choose. Mistakes in selecting stakeholders and messages to be conveyed will determine the success of forest management to be done.
| 87
BIBLIOGRAPHY Crosby, B.L. (1992). Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Gonsalves, J., Becker, T., Braun, A., Campilon, D., de Chaves , H., E. Fajber, E., Capiriri, M., Caminade, JR., & Vernooy, R. (2005). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource. Hornby, A.S. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Krishna, R. & Lovell, C. (1985). Rural and Development in Asia and the Pacific. The Synopsis of ADB Regional Seminar on Rural Development in Asia and the Pacific, 15−23 October 1984. Asian Development Bank, Manila. Kusumobroto, B.S. (2009). Analisis “Stakeholder” dalam Pengembangan Strategi Advokasi. Diakses dari www. promosikesehatan.com/?act=download&id=16&f...type. Race, D. & Millar, J. (2006). Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research–Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia. Salam, Md. Abdus & Noguchi,T. (2006). Evaluating Capacity Development for Participatory Forest Management in Bangladesh’s Sal Forests Based on ‘4Rs’ Stakeholder Analysis. Forest policy and Economic, 8(2006): 785–796. Doi:10.1016/j.forpol.2004.12.004.ScienceDirect. Udayabdurrahman (2014). Modul Perencanaan PartisipatifIdentifikasi dan Analisis Stakeholders. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/250770337/ModulPerencanaan-Partisipatif-Identifikasi-Dan-analisisStakeholders#scribd. 88 |
Usahid, H. (2008). Mengenal Stakeholder. Diakses dari http://hmp-humas-usahid.blogspot.com/2008/09/ mengenal-stakeholder.html. Wakka, A.K. (2013). Analisis Stakeholder Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 20(1): 11–21.
| 89
BAGAIMANA PETANI HUTAN RAKYAT BERMITRA? Bugi Sumirat ABSTRAK Amanah UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan perlunya keberpihakan kepada rakyat untuk keberhasilan pengelolaan hutan. Hal ini menunjukan pentingnya pemberian manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Masyarakat yang menggabungkan diri ke dalam suatu kelompok berbasis kehutanan, dicoba didefinisikan dan digolongkan ke dalam pengertian kelompok tani hutan–selaras dengan pengertian umum, ‘forest farmer’. Dari pengamatan terhadap kegiatan kerja sama Badan Litbang Kehutanan dengan ACIAR pada penelitian tentang kemitraan, ada sisi menarik untuk diungkap, yaitu melihat bagaimana petani hutan itu bermitra dan apa yang diharapkan dari kemitraan tersebut. Pada umumnya petani hutan menunjukan keinginannya untuk bermitra, terutama dengan perusahan/industri berbasis kayu. Hanya saja dalam kenyataannya, petani hutan masih menunjukan keraguan, antara lain dalam hal jangka waktu kemitraan, proses kemitraan, dan manfaat mengikuti proses kemitraan. Pada kondisi tersebut, pemerintah pusat maupun daerah perlu memberikan perhatian dan dukungan secara terus-menerus dengan menyesuaikan sistem pendekatan. Jika selama ini lebih bersifat top-down, maka dapat disesuaikan dengan lebih bersifat bottom-up. Hal ini bertujuan agar lebih banyak produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat petani hutan, sehingga dampak positif pembangunan di sektor kehutanan dapat dirasakan masyarakat dalam arti luas. Kata kunci: kelompok tani hutan, kemitraan, kehutanan, petani hutan rakyat
I.
PENDAHULUAN
Dari tahun 2005 sampai dengan 2007, Balai Penelitian Kehutanan Makassar mendapat kepercayaan menjadi Pemimpin Proyek untuk wilayah Indonesia sebagai bagian dari kerja | 91
sama penelitian bilateral antara Indonesia dengan Australia. Kegiatan penelitian tersebut bertemakan “Community partnerships for plantation forestry: enhancing rural incomes from forestry in eastern Indonesia and Australia” (Kemitraan masyarakat dalam bidang hutan tanaman untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan melalui sektor kehutanan di wilayah timur Indonesia dan Australia). Peneliti-peneliti yang terlibat di dalamnya memiliki latar belakang yang beragam dan dari institusi yang berbeda pula, seperti Balai Penelitian Kehutanan Makassar (BPKM) di Makassar, Charles Sturt University (CSU) di Albury-NSW, Australia, Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor, dan World Wild Fund (WWF) Indonesia di Mataram (Race, 2008). Lokasi penelitian dari kegiatan ini adalah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; dan Green Triangle Region di wilayah tenggara Australia (Race, 2008). Berikut ini akan disampaikan beberapa informasi ataupun kesan yang penulis peroleh selama terlibat dalam melakukan kegiatan penelitian tersebut di Kabupaten Bulukumba. II.
MENDEFINISIKAN PETANI HUTAN
Beberapa pertanyaan sempat mengemuka ketika mencoba untuk mencari arti dan pengertian tentang kata petani hutan, yang di kalangan peneliti luar negeri umumnya disebut dengan istilah forest farmer, misalnya: Apa yang dimaksud dengan petani hutan? Apakah petani hutan berbeda dengan petani lainnya? Apa keuntungan menjadi petani hutan?
92 |
Tidaklah mudah untuk mencari penggunaan kata petani hutan dalam literatur Indonesia. Istilah petani hutan belum terlalu populer digunakan, bahkan di kalangan rimbawan sendiri. Biasanya terhadap petani-petani yang terlibat atau dilibatkan dalam sektor kehutanan, istilah umum yang digunakan yaitu petani, ataupun jika tergabung dalam kelompok maka istilah yang digunakan adalah kelompok tani. Dibandingkan petani hutan, istilah yang sering ditemui adalah Kelompok Tani Penghijauan (KTP) sebagai bentuk bahwa mereka terlibat dalam kegiatan penghijauan. Berdasarkan tambahan informasi yang diperoleh melalui komunikasi pribadi dengan salah seorang pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), terdapat informasi bahwa istilah kelompok tani hutan sudah dikenal di Pulau Jawa, walaupun tidak semua menggunakan istilah tersebut. Di Jawa Barat misalnya, terdapat kelompok tani yang menamakan dirinya dengan kelompok tani hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Andalan (KTHA). Kemudian sejak tahun 2001, Perusahaan Umum Negara Perhutani meluncurkan program yang diberi nama Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dalam pengertian PHBM ini, kelompok tani hutan–yang dikenal dengan istilah pesanggem–telah termasuk di dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan daya cakup yang lebih luas, yaitu meliputi masyarakat desa lainnya. Pesanggem memiliki arti orang yang bercocok tanam di kawasan hutan (baik hutan negara yang dikelola perhutani maupun lainnya), di luar pengertian kelompok tani yang mengusahakan komoditas kehutanan yang ditanam di lahan milik sendiri ataupun di luar kawasan hutan. Kelompok tani ini biasanya masuk ke dalam binaan Departemen Kehutanan ataupun Dinas Kehutanan (Krisnadi, 2010). Ditambahkan pula bahwa sampai dengan saat ini, data mengenai kelompok tani hutan di luar Pulau Jawa belum tercatat oleh HKTI. Walaupun HKTI memiliki Komite Kehutanan di dalam jajaran kepengurusannya, komite ini belum berjalan secara maksimal. | 93
Dalam tulisan ini, istilah yang digunakan adalah petani hutan, atau tepatnya petani hutan rakyat [karena lokasi penelitian berada dalam areal hutan rakyat]. Hal ini untuk lebih memusatkan perhatian bahwa petani yang tergabung dalam kelompok tani dimaksud memiliki kegiatan yang berhubungan dengan sektor kehutanan. Mereka memiliki dan mengelola tanaman komoditas kehutanan yang berada di dalam areal milik petani yang disebut sebagai hutan rakyat. Hal ini juga terlepas dari situasi di lapangan sesungguhnya yang mana petani hutan rakyat tersebut juga mengusahakan komoditas lain selain komoditas kehutanan. Berkenaan dengan istilah inti petani hutan, hal ini telah selaras dengan sebutan forest farmer yang banyak digunakan seperti disebutkan di atas. Secara faktual, istilah umum yang lebih banyak digunakan adalah partisipasi masyarakat ataupun masyarakat sekitar hutan dibandingkan dengan petani hutan (Kusumanto & Sirait, 2000; Sumargo et al., 2011) III. PETANI HUTAN DI BULUKUMBA Di Desa Balong, kebanyakan petani hutan menanam tanaman komoditas kehutanan jenis sengon (Paraserianthes falcataria), sedangkan di Desa Karassing, komoditas kehutanan yang ditanam kebanyakan dari jenis sengon, jati putih (Gmelina arborea), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), bitti (Vitex cofassus) dan bayam (Intsia bijuga) (Sumirat et al., 2005). Petani-petani hutan di Bulukumba ini pun menangani komoditas lain sebagai penghasilan utamanya, tidak semata-mata bergantung pada komoditas kehutanan. Mereka juga memiliki kebun, sawah, dan ternak; bergantung dari kemampuan serta keinginannya. Untuk itulah, kegiatan pertaniannya tidak bersifat monokultur. Sistem penanaman komoditas kehutanan dengan mekanisme tersebut dikenal dengan sebutan hutan rakyat (farm forest) yang mana inti dari pengertian hutan rakyat adalah berada dalam lahan milik masyarakat. 94 |
Gambar 1. Ketua KTP Suka Makmur dan Ketua KTP Suka Maju (Foto: Sumirat, 2005)
Gambar 2. Penulis bersama ketua KTH/KTP Pembangunan Bersama (Foto: FORDA Makassar, 2005)
| 95
IV. MENGAPA MENJADI PETANI HUTAN Dalam wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa petani hutan terungkap beberapa alasan mengapa mereka memilih untuk terlibat dalam sektor kehutanan menjadi seorang petani hutan. Mudah Beberapa petani hutan menyatakan bahwa menjadi petani hutan itu ternyata mudah. Tanaman tidak memerlukan perawatan seperti yang biasa mereka lakukan dengan komoditas pertanian (misalnya tanaman kakao). Proses yang diperlukan hanya menanam tanaman kehutanan, perawatan dilakukan seperlunya pada tahun pertama, setelah itu sudah tidak memerlukan perawatan lagi hingga saat panen. Beberapa petani hutan bahkan telah mengonversi sebagian besar lahannya untuk ditanami tanaman kehutanan. Melihat contoh Sebagian petani hutan lainnya berpendapat bahwa mereka termotivasi untuk menanam komoditas kehutanan, termasuk menjadi petani hutan dan masuk ke dalam kelompok tani hutan, karena mereka melihat contoh dari beberapa petani hutan yang telah mendulang hasil dari penjualan kayunya. Mereka memperoleh informasi bahwa sekali menjual hasil panen kayu maka petani hutan dapat memperoleh hasil yang cukup menggiurkan. Petani-petani hutan itupun ingin mengalami keberhasilan seperti contoh tersebut. Padahal, penuturan mereka menyatakan pula bahwa pada waktu dulu, hutan-hutan yang ada ditebang dan diganti oleh tanaman semusim, misalnya jagung. Dengan menanam jagung, mereka mengharapkan akan memperoleh hasil panen dan keuntungan yang cepat (keuntungan jangka pendek). Investasi tunai Dengan menanam tanaman kehutanan, mereka mengatakan bahwa tanaman-tanamannya tersebut dapat dijadikan inves96 |
tasi tunai oleh para petani hutan. Sebagai contoh, beberapa petani hutan menyatakan bahwa mereka telah menjual beberapa pohon kayunya pada saat mereka memiliki keperluan menikahkan dan sebagai tambahan biaya menyekolahkan anak-anaknya, serta dipakai untuk keperluan perbaikan rumah. Hasil tanaman kayu yang telah ditebang, dan siap dimanfaatkan, baik untuk keperluan sendiri maupun dijual, seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kayu hasil hutan rakyat di Desa Karassing, Bulukumba (Foto: Sumirat, 2005)
V.
KETERLIBATAN PETANI HUTAN DALAM PROGRAM KEMITRAAN
Pada saat kegiatan penelitian ini dilaksanakan, kegairahan yang cukup tinggi tertangkap dari para anggota kelompok untuk berpartisipasi lebih jauh dalam proses kemitraan, terutama bermitra dengan perusahaan pemasok bahan baku untuk veneer ataupun dengan perusahaan-perusahaan berbasis kayu lainnya. Kegairahan yang sempat tertangkap ini umumnya disebabkan adanya gambaran terhadap ‘keuntungan’ yang akan diperoleh jika mereka terlibat dalam | 97
kemitraan tersebut. Namun demikian, tertangkap pula adanya ‘kegamangan’ yang muncul dengan kemitraan tersebut, terutama dari segi jangka waktu. Beberapa ekspresi petani hutan yang muncul, seperti: “...saya masih belum memahami bagaimana program kemitraan antara kelompok tani dengan perusahaan perusahaan dapat berjalan dengan baik...”. “...yang saya mengerti, kalau ada kemitraan, kita pasti akan memperoleh keuntungan...”. “...kalau kemitraan itu berjangka waktu panjang dan pada akhirnya, di saat kayu dipanen, dan ternyata ada pembeli lain yang menawarkan harga lebih baik dari yang ditawarkan perusahaan, itu bagaimana?” Dengan demikian, sewaktu penulis melakukan wawancara kembali dengan beberapa petani hutan dalam kapasitas yang berbeda, sebagian besar petani hutan yang diwawancarai terkait dengan kemitraan menyatakan bahwa mereka sangat menginginkan dilakukannya dialog dan sosialisasi kemitraan yang intensif terhadap semua petani hutan yang terlibat. Mereka masih belum terlalu memahami tentang bagaimana berjalannya suatu program kemitraan antara petani hutan dan perusahaan. Walaupun di ‘atas kertas’, mereka sepertinya sudah cukup yakin akan memperloleh keuntungan apabila kemitraan antara petani hutan dengan perusahaan berbasis kayu tersebut dapat berjalan dengan baik. Pertanyaan yang terkait dengan kemitraan kemudian muncul. Misalnya, bila program kemitraan telah dijalankan, apakah petani hutan akan betul-betul memperoleh manfaat atau keuntungan dari program kemitraan itu? Seperti telah diketahui bahwa tujuan dari kemitraan adalah untuk lebih melibatkan petani hutan dalam kegiatan kehutanan yang sifatnya komersial di Indonesia, serta memberikan 98 |
keuntungan kepada pihak-pihak yang bermitra, terutama petani-petani hutan. Kemitraan perlu mewujudkan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, berkeadilan dan terjamin keamanannya, dan ini perlu diciptakan terutama antara petani hutan dengan perusahaan yang bermitra dengan petani hutan tersebut (Race, 2008). Kalau petani hutan belum memperoleh keuntungan dari program kemitraan dimaksud, penyebabnya tentu perlu dicari, kemudian diambil langkah-langkah perbaikannya. Karena, hal ini berarti tujuan dari program kemitraan itu belum terwujud. Penelitian ini memperlihatkan hasil yang juga perlu dicermati. Berdasarkan analisa Cost and Benefit Analyses (CBA) yang dilakukan, program kemitraan ini tampaknya belum memberikan kontribusi yang positif bagi petani hutan seperti yang diharapkan. Beberapa penyebab yang memungkinkan hal ini terjadi adalah petani hutan memiliki pengetahuan yang minim mengenai situasi pasar kayu yang sebenarnya dan ketidakmampuan petani untuk menilai nilai jual kayu dari jenis kayu yg berbeda (Race et al., 2009). Implementasi yang nyata dari pernyataan di atas, terutama terkait tentang minimnya pengetahuan petani hutan mengenai harga kayu di pasaran, adalah ketika penulis mendapat informasi langsung dari masyarakat bahwa mereka sering menjual pohon pada waktu yang lalu dalam bentuk hamparan, tidak dalam bentuk pohon/batangan, apalagi dalam hitungan meter kubik. Pada penjualan pohon dengan sistem hamparan, pembeli akan lebih diuntungkan. Hal ini karena pembeli dapat menilai berapa kubikasi kayu yang akan diperoleh dari suatu hamparan dari jenis kayu tersebut, kemudian menghitung berapa rupiah keuntungan yang akan diperoleh. Sementara, petani hutan hanya dapat memberikan penilaian bahwa mereka sudah diuntungkan dengan penjualan tersebut karena akan menerima hasil penjualan hamparan tersebut dalam bentuk tunai dan dalam jumlah | 99
yang sudah cukup besar [menurut ukuran mereka]. Petani tersebut tidak menyadari bahwa setiap pohon memiliki kubikasi tersendiri dan setiap meter kubik kayu memiliki nilai jual yang berbeda tergantung dari jenis kayunya. VI. PEMERINTAH SEBAGAI PENDUKUNG Terlepas dari program kemitraan seperti disebutkan di atas, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan secara tegas telah menyatakan betapa pentingnya untuk melibatkan petani hutan ataupun masyarakat sekitar hutan secara umum dalam program-program kehutanan. Menteri Kehutanan periode 2009–2014, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat. Untuk itulah, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan akan diajak bekerja sama menanam pohon yang bermanfaat dan cocok (Arie, 2009). Peran dan partisipasi masyarakat perlu ditekankan, terlebih bila melihat bahwa sebanyak enam belas ribu desa di Indonesia ini berada di dalam kawasan hutan (Antara, 2009; Wibowo & Manan, 2009). Merekalah yang mempunyai akses terdekat terhadap hutan-hutan yang berada di sekitarnya. Penekanan di atas juga diperlukan untuk menghindari kesan yang secara umum sudah tertanam terhadap Pemerintah yaitu bahwa kebijakan-kebijakannya tidak berpihak kepada pemberian kesempatan pada masyarakat dalam pengelolaan hutan (Nanang & Inoue, 2000). Dukungan dari pemerintah yang sudah jelas tersebut memerlukan tindakan yang lebih nyata di lapangan. Beberapa tindakan yang diperlukan misalnya pemerintah menyerap apa yang diinginkan masyarakat sesungguhnya. Secara umum, pembangunan sektor kehutanan memperlihatkan kecenderungan yang tidak terlalu jauh dari pembangunan desa di Indonesia. Arah pembangunan bergerak dari atas ke bawah atau lebih dikenal dengan istilah top-down, bukan dari bawah ke atas atau bottom-up (Hernowo, 2010). Seorang tokoh masyarakat di Bulukumba yang juga pernah terlibat secara 100 |
langsung dalam kegiatan di sektor kehutanan pernah menyatakan kepada penulis bahwa apabila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan kehutanan yang bersifat dari bawah ke atas tentunya akan memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembangunan yang bersifat sebaliknya. Pada proses bottom-up, masyarakat lebih bergairah karena masyarakat lebih merasa dihargai. Walaupun belum dikaji secara langsung, pendapat ini dianggap memiliki nilai kebenaran. Ditambahkannya pula, sifat pembangunan kehutanan yang top-down menyebabkan munculnya kelompok tani hutan ‘papan nama’. Artinya, kelompok tani hutan dimaksud terlihat ada dan sangat aktif sewaktu akan dilibatkan dalam kegiatan kehutanan. Tetapi, apabila kegiatan kemudian berhenti karena telah berakhir masa waktunya, kelompok tani hutan itupun akan berangsurangsur menjadi tidak aktif pula. Pihak Dinas Kehutanan pun menyadari bahwa terdapat banyak kelompok tani hutan yang bersifat ‘papan nama’ ini. Namun, pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba mengakui bahwa ketiga kelompok tani hutan yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini tidak termasuk ke dalam kelompok tani hutan ‘papan nama’ dimaksud. Ketiga kelompok tani hutan tersebut termasuk kelompok tani hutan yang dapat dijadikan contoh karena–walaupun tidak ada kegiatan dari dinas–kelompok tani hutan tersebut dapat terus berjalan. VII. KESIMPULAN Meneliti petani hutan merupakan kegiatan yang menarik dan menantang karena sifat masyarakat yang dinamis, dan perlu dilakukan secara berkesinambungan agar dapat diobservasi bagaimana kedinamisannya itu. Hal ini perlu dilakukan, terutama untuk mengetahui secara lebih meyakinkan lagi seberapa jauh program-program kehutanan ataupun interaksi petani-petani hutan dengan hutan dapat betul-betul memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan petani-petani | 101
hutan di pedesaan. Dengan demikian, apa yang telah dicitacitakan dan tertuang dalam Undang Undang tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dapat tercipta dari sisi fungsi produksi hutan, yaitu “...keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan...”. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kapasitas petani hutan, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan dasar tentang hutan dan kehutanan. Dalam hal ini, termasuk pula pengetahuan tentang harga-harga kayu di pasaran. Peningkatan kapasitas ini amat penting bila kita menganggap mereka adalah salah satu aktor dalam pembangunan sektor kehutanan, bukan hanya sebagai objek pembangunan. Dengan demikian, mereka akan lebih mengerti mengenai jenis pohon yang ditanam dan keuntungan yang akan diperoleh nantinya. Dalam kaitannya dengan program kemitraan, aspirasi yang muncul dan berkembang di masing-masing pihak yang bermitra perlu diperhatikan. Perhatian ini perlu terus diupayakan untuk menjamin terciptanya kemitraan seperti yang diharapkan, yaitu memberikan keuntungan yang aman dan berkeadilan kepada para pihak yang bermitra. DAFTAR PUSTAKA Antara. (2009). 16.000 Desa di Indonesia Berada di Hutan [Electronic Version]. Antara News. Arie, N.L. (2009). 500 Ribu Ha Hutan Direhabilitasi. Koran Tempo, p. A8. Hernowo, M. (2010). Jalan Panjang Kemandirian Desa. Kompas. Krisnadi, A.D. (2010). Kelompok Tani dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. In Sumirat, B.K. (Ed.). Albury, Australia. 102 |
Kusumanto, Y. & Sirait, M.T. (2000). Community participation in forest resource management in Indonesia: policies, practices, constraints and opportunity, Southeast Asia Policy Research Working Paper No. 28 (pp. 23). Bogor, Indonesia: International Centre for Research in Agroforestry, SEA Regional Research Programme, Asian Development Bank and ASB-Indonesia. Nanang, M. & Inoue, M. (2000). Local Forest Management in Indonesia: A Contradiction Between National Forest Policy and Reality. International Review for Environmental Strategies, 1(1): 175–191. Race, D. (2008). Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. Canberra, Australia: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Race, D., Bisjoe, A.R., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. International Forestry Review, 11(1): 10. Sumargo, W., Nanggara, S.G., Nainggolan, F.A. & Apriani, I. (2011). Potret keadaan hutan Indonesia Periode tahun 2000–2009 (Portrait of Indonesian forest condition 2000–2009 period) (First ed.). Bogor: Forest Watch Indonesia. Sumirat, B.K., Kadir, A., Bisjoe, A.R., Hayati, N., Nurhaedah & Purwanti, R. (2005). Forestry Partnership Profile in Bulukumba District: A Scoping Review Report. Makassar, Indonesia: Forestry Research and Development Agency Sulawesi. Wibowo, E.A. & Manan (2009). Target Penanaman Pohon 1 Miliar (1 billion, target for planting trees). Koran Tempo, 22 Desember 2009, hal. A7.
| 103
HOW DO PRIVATE FOREST FARMERS ESTABLISH A PARTNERSHIP? Bugi Sumirat ABSTRACT The mandate contained in Law No. 41 of 1999 on the Forestry expresses the need for alignment to the community for the success of forest management. This shows the importance of the provision of benefits for the communities living in and surrounding the forests. The community who gets involved in a forestry-based-group forestry, can be defined and classified in the meaning of farmer forest groups–in line with a general sense of 'forest farmers'. Based on the results of observation of the collaborative activities between the Forestry Research Development Agency (FORDA) and ACIAR (Australian Center for International Agriculture Research) on partnership research, there is an interesting phenomenon to be revealed, that is, how private forest farmers establish or enter into or a partnership and what to be expected from such a partnership. In general, private forest farmers express their desire to enter into a partnership, especially with wood-based companies or industries. However, in reality private forest farmers are still in doubt, among others, in relation to the period of a partnership, the partnership process, and the benefits of taking part in the partnership process. Under these circumstances, both central and local governments need to give ongoing attention and support by adjusting the approaches used. Adopting bottom-up raher than top-down approaches may help to foster better relationships between private sectors and private forest farmers. In this way, it is expected that there will be more policies which are suitable for the needs of private forest farmers, so that positive impacts of development in the forestry sector can be enjoyed by the community in a broader sense. Keywords:
104 |
forest farmer groups, partnership, forestry, private forest farmers
I.
INTRODUCTION
From 2005 to 2007, the Forestry Research Agency of Makassar won the trust of becoming the Project Leader for Indonesia as part of bilateral research collaboration between Indonesia and Australia. The theme of research activities was: Community partnerships for plantation forestry: enhancing rural incomes from forestry in eastern Indonesia and Australia. Researchers involved in this project have got diverse backgrounds and are from different institutions such as the Forestry Research Institute of Makassar (BKPM) in Makassar, Charles Sturt University (CSU) in Albury-NSW, Australia, Center for International Forestry Research (CIFOR ) in Bogor and World Wildlife Fund (WWF) Indonesia in Mataram (Race, 2008). Locations of research for the foregoing activities are in Bulukumba District, South Sulawesi, Sumbawa District, West Nusa Tenggara, and Green Triangle Region in southeastern Australia (Race, 2008). The following are some information and impressions that I obtained during my engagement in research activities in Bulukumba. II.
DEFINING FOREST FARMER
Some questions are raised when trying to find meanings and understanding of the Indonesian words or phrase “petani hutan”, who among foreign researchers are commonly referred to as “forest farmer”. The common questions are as follows: • What do we mean by forest farmer? • Are forest farmer different from other farmers? • What advantages farmer forest get? | 105
It is not easy to find the use of the Indonesian words or phrase “petani hutan” or forest farmer in Indonesian literature. The term forest farmer is not popular even among foresters themselves. Usually the farmers who are engaged or involved in the forestry sector are commonly called “farmer”, or if they are involved in groups, they will be called farmer group. Instead the words or phrase “forest farmer”, we often encounter the words or phrase farmer forest group (KTP) which denotes that they are involved in reboisation activities. Referring to some information obtained through my personal communication with one of the board of the Indonesian Farmers Association (HKTI), that In Java Island the term “farmer forest group” has been known although not all communities use the term “farmer forest groups”. In West Java, for example, there is a “farmer group” calling tehmselves as “farmer forest group”, namely, Andalan Farmer Forest Group (KTHA). Then, since 2001, the State Owned Forestry Company (Perhutani) launched a program called Community Based Forest Management (CBFM). In a sense that CBFM is a forest farmer group–which is in local language known as “pesanggem”–that has been included into the Village Community Forestry Agency (LMDH), composed of wider coverage and power, including other surrounding villages. The term “pesanggem” simply means people who plant crops in forest areas (either in state forest areas managed by Perhutani or in other type of lands), in addition to the meaning of “farmer group” who undertake forestry commodities planted or grown in privately owned lands or outside forest areas. This type of farmer group is usually under the supervision of the Ministry of Foresty or the Forestry Service Office (Krisnadi, 2010). Furthermore, the data related to farmer forest groups outside Java Island have not been recorded by HKTI despite the fact that it has got a Forestry Committee within its management structure.
106 |
In this article, the term forest farmer or private forest farmers are used (since the location of the research is private forest areas) in order to concentrate our attention that the smallholders or farmers who are members of this farmer group are those who conduct or do activities related to the forestry sector, own and manage forestry commodity timber which are grown in their smallholder, so that they are referred to private forests. In reality, however, forest farmers also undertake other commodities in addition to forestry commodities. With regard to the core of the words or phrase “forest farmers”, the meaning examined here has been in line with the term forest farmer, which has been widely used. As a matter of fact, in general, the term community participation or community around the forests are more widely used compared to the term forest farmers (Kusumanto & Sirait, 2000; Sumargo et al., 2011) III. PRIVATE FOREST FARMERS IN BULUKUMBA In Balong Village, most of private forest farmers plant forestry commodities such as sengon (Paraserianthes falcataria), while in Karassing Village, people grow other forestry commodities like sengon, white teak (Gmelina arborea), teak (Tectona grandis), mahogany (Switenia mahogany), bitti (Vitex cofassus), and bayam tree (Intsia bijuga) (Sumirat et al., 2005). Private forest farmers in Bulukumba also undertake other commodities for their main incomes; they are not solely depending upon forestry commodities. Some farmers own estates, paddy fields, and livestock, depending on their capabilities and desires. For this reason, people’s agricultural activities are non-monoculture. Forestry commodity plantation using this mechanism is known as private or farm forest, where the core of the sense of private forest is that it is located in private-owned lands or their smallholders.
| 107
Figure 1. Chairman of Suka Makmur Farmer Forest Group (KTP) and Chairman of Suka Maju KTP (Photo: Sumirat, 2005)
Figure 2. The author with the Chairman of Pembangunan Bersama Farmer Forest Group (KTH/KTP) of Balong Village (Photo: FORDA Makassar, 2005)
108 |
IV. WHY PEOPLE BECOME PRIVATE FOREST FARMERS My Interviews with private forest farmers revealed some reasons why they decided to become private forest farmers. Those reasons are as follows: • Easy Some private forest farmers said that it was easy to become private forest farmers. Timber trees relatively require lower maitenance compared to what farmers usually do with agricultural commodities (such as cocoa crops). The process starts with planting tree seedlings and the next step is to do reasonable maintenance during the first year, and after that the trees no longer require further treatment until they are ready to be harvested. For this reason, some private forest farmers even have converted most of their lands to be planted with timber trees. • Learning from examples While other private forest farmers said that they were motivated to plant forestry commodities, including to be private forest farmers, because they have learned from some farmers who have obtained a lot of benefits from the sales of their timber. They were informed that once the private forest farmers sell their timber they would get considerable benefits. That is why most of private forest farmers wanted to experience the same success as that made by their predecessors. In fact, in the past a lot of forest areas were cleared and they were replaced by seasonal crops such as corn. By planting the corn, for exampe, they expected to obtain quick or short-term yields and profits. • Cash investment It is said that private forest farmers grow forest plants as a cash investment. For example, some of them stated that they would sell some timber trees when members of their families | 109
wanted to get married. Besides that forestry crops could be a source of additional incomes to cover the costs of their children’s education, or to be used for the renovation of their houses. As illustarted in Figure 3, the yields of woody plants which have been cut down will be ready to be used either to meet their own needs or for sales.
Figure 3. Timber produced from private forest program in Karassing Village, Bulukumba District (Photo: Sumirat, 2005)
V.
PRIVATE FOREST FARMERS’ INVOLVEMENT IN PARTNERSHIP PROGRAMS
When these research activities were carried out, members of private farmers’ group were very keen to participate much further in the process of partnership, particularly in establishing or entering into partnerships, both with the companies supplying raw materials for veneer and with other wood-based-companies. 110 |
Enthusiasm expressed by private forest farmers was generally trigerred by an image of 'profits' to be obtained if they are involved in partnerships. On the other hand, they also showed a feeling of 'uncertainty' with respect to the partnerships, especially in relation to its period. The following are some of the impressions expressed by private forest farmers: "...I still don’t understand how a partnership between farmers’ groups with companies may run well...". "...As I understand, if there is a partnership, we will certainly gain benefits...". "...If it’s a long-term partnership and in the end, when the timber are harvested, and it appears that other buyers offer better priced than those offered by the companies, then, what will we do?" When the writer conducted other interviews with some private forest farmers in their different capacities, most of them stated that they really wanted to have a dialogue and conduct intensive socialisation on a partnership to all private forest farmers involved. They still did not really understand how a partnership between the farmers and companies would run well. In fact, they believed that they would get benefits if the partnership between private forest farmers and woodbased companies ran well. Questions related to the partnership were then raised. The private forest farmers wondered whether they would really get benefits or adavantages if the partnership programs have been running. As it has been known that the purpose of a partnership is to get private forest farmers involved in commercial forestry activities in Indonesia and they would provide mutual benefits to all parties to the partnership. In relation to this, | 111
Race (2008) points out that it is necessary to establish a mutually benefitial, fair, secured, and equitable cooperation, especially between private forest farmers and wood-based companies that are involved in the partnerships. If private forest farmers have not benefited from partnership programs, it is necessary to find out what the causes are and what corrective measures are to be taken. If this situation happens, it means that the purpose of the partnership programs has not been achieved yet. Based on Cost and Benefit Analyses (CBA) performed, it seemed that the partnership program has not contributed positively to private forest farmers as expected. This happened because, among others, private forest farmers have little knowledge about the actual situation of timber market, and they do not have enough ability to estimate or calculate the sale values for differet species of woods (Race et al., 2009). The writer realised that it was true that private forest farmers were lacking of knowledge about timber prices in the market. They told the writer that in the past they used to sell their woods in the forms of standing trees, not in the forms of logs and/or sawn timber, noron the basis of cubic meter calculation. Under this sale mechanism the buyers will get more profits because they can assess how many cubic meters of woods that they will get from any tree stand of timber tree species. Then they will be able to estimate how much profits they will get from such a purchase. On the contrary, private forest farmers consider that they will get reasonable profits from tree stand sales mechanism without realising that each tree has its own cubic meter calculation and each cubic meter of timber has its own different selling value depending upon the species of woods.
112 |
VI. GOVERNMENT AS A SUPPORT Apart from the foreging partnership programs, the government through the Ministry of Forestry has expressly stated how important it is to have private forest farmers or communities living in and around the forests involved in forestry programs. During his tenure (2009–2014) Forestry Minister, Zulkifli Hasan, stated that forest management could not be done without the involvement of communities. For this reason, people living in and around forest areas would be invited to work together to plant beneficial and suitable trees (Arie, 2009). The roles of community participation should be emphasized due to the fact that as many as sixteen thousand villages in Indonesia are located in forest areas (Antara, 2009; Wibowo & Manan, 2009). Certainly, those villagers or communities have the closest access to the forests which are located in their surroundings. That emphasis is also necessary to avoid the impression that generally the government policies are not in support of providing more opportunities for local communities to get involved in forest management (Nanang & Inoue, 2000). With clear and positive supports from the government, more concrete actions in the field need to be conducted. For example, it is necessary for the government to identify and absorb what people actually need. In general, a tendency in forestry sector development is closely related to village development in Indonesia. Village development is mostly carried out top-down rather than bottom-up (Hernowo, 2010). A community leader in Bulukumba, who happened to be directly involved in forestry sector activities, told the writer that if the community is involved in bottom-up forestry development process, the results will be much better compared to those conducted top-down. Under bottom-up| 113
scheme people are more motivated because they consider that their work is more appreciated. Although this information has not been directly observed, it seems to be true. In addition, top-down forestry development program may lead the emergence of some passive private forest farmers. This means when the farmers are invited to get involved in forestry activities, the groups will be in existence and even actively involved. However, once the activities stop as the period of the projects is over, the same private farmers will gradually become inactive again. In fact, the Bulukumba Forestry Service Office realises that there are many inactive/passive forest farmers’ groups. However, three forest farmers’ groups that are involved in these research activities are not included into those inactive groups. They belong to active groups that are taken as pilotproject-groups because without any foresrtry activities sponsored by the Forestry Service Office, those forest farmers’ groups will keep on running. VII. CONCLUSION Observing private forest farmers is both interesting and challenging. This is due to the fact that the community is dynamic and, therefore, an on-going observation needs to be done. In this way, it is likely to know to what extent forestry programs can actually provide benefist to increase private forest farmers’ incomes in rural community forest areas. As clearly stipulated in Law No. 41 of 1999 concerning the Forestry, especially in relation to forest functions, “...community empowerment is the key to successful forestry management...". Another thing which needs more attention is capacity building for private forest farmers, particularly with regards to basic knowledge about forest and forestry. This basic knowledge includes how to calculate market prices of woods. 114 |
This capacity is very important if we assume that private forest farmers are one of the important actors in forestry sector, and they are not merely as the objects of development. Thus, in the end they will get more knowledge about the species of trees they plant. Furthermore, being equipped with such an understanding they will be able to estimate the amount of benefits they will get in the future. In relation to the partnership program, it is necessary to keep in mind the emerging and developing aspirations from each partner (stakeholder). This needs to be done in order to ensure the establishment of an effective and efficient partnership which provides mutual, safe, and equitable benefits to all parties involved. BIBLIOGRAPHY Antara. (2009). 16.000 Desa di Indonesia Berada di Hutan [Electronic Version]. Antara News. Arie, N.L. (2009). 500 Ribu Ha Hutan Direhabilitasi. Koran Tempo, p. A8. Hernowo, M. (2010). Jalan Panjang Kemandirian Desa. Kompas. Krisnadi, A.D. (2010). Kelompok Tani dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. In Sumirat, B.K. (Ed.). Albury, Australia. Kusumanto, Y. & Sirait, M.T. (2000). Community participation in forest resource management in Indonesia: policies, practices, constraints and opportunity, Southeast Asia Policy Research Working Paper No. 28 (pp. 23). Bogor, Indonesia: International Centre for Research in Agroforestry, SEA Regional Research Programme, Asian Development Bank and ASB-Indonesia.
| 115
Nanang, M. & Inoue, M. (2000). Local Forest Management in Indonesia: A Contradiction Between National Forest Policy and Reality. International Review for Environmental Strategies, 1(1): 175–191. Race, D. (2008). Community Partnerships for Plantation Forestry: Enhancing Rural Incomes from Forestry in Eastern Indonesia and Australia. Canberra, Australia: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Race, D., Bisjoe, A.R., Hakim, R., Hayati, N., Julmansyah, Kadir, A., et al. (2009). Partnerships for involving small-scale growers in commercial forestry: lessons from Australia and Indonesia. International Forestry Review, 11(1): 10. Sumargo, W., Nanggara, S.G., Nainggolan, F.A. & Apriani, I. (2011). Potret keadaan hutan Indonesia Periode tahun 2000–2009 (Portrait of Indonesian forest condition 2000–2009 period) (First ed.). Bogor: Forest Watch Indonesia. Sumirat, B. K., Kadir, A., Bisjoe, A. R., Hayati, N., Nurhaedah, & Purwanti, R. (2005). Forestry Partnership Profile in Bulukumba District: A Scoping Review Report. Makassar, Indonesia: Forestry Research and Development Agency Sulawesi. Wibowo, E.A. & Manan (2009). Target Penanaman Pohon 1 Miliar (1 billion, target for planting trees). Koran Tempo, 22 Desember 2009, hal. A7.
116 |
MENCERMATI PROSES PENDAMPINGAN KEMITRAAN HUTAN RAKYAT DARI SUDUT PANDANG SEORANG PETANI DESA BALONG Andarias Ruru dan Abd. Rahim ABSTRAK Pengembangan hutan rakyat di Bulukumba telah berlangsung sebelum adanya kerja sama penelitian antara Indonesia dan Australia, di mana salah satu lokasi pengamatannya adalah Desa Balong. Peran penting kerja sama penelitian dimaksud adalah mendorong keterlibatan semua pihak atau stakeholder secara proporsional dalam pengembangan hutan rakyat, sehingga semua pihak memperoleh manfaat dari hutan rakyat secara adil. Beberapa perwakilan pihak terkait telah mengikuti berbagai pelatihan selama pendampingan. Dalam berproses ke arah pembangunan mekanisme pengelolaan yang baik, proses ini dapat memunculkan masalah sehubungan dengan adanya perubahan dan penyesuaian yang diperlukan. Untuk itu, semua pihak yang terlibat; baik masyarakat, petani hutan rakyat, pengusaha kayu, maupun pemerintah; diharapkan tetap berkomitmen sesuai porsi tanggung jawab masingmasing. Tulisan ini mencoba mengungkapkan pandangan seorang petani hutan rakyat tentang proses pendampingan kemitraan hutan rakyat yang berlangsung di desanya dalam bahasa yang sederhana agar lebih mudah dipahami oleh pembaca. Kata kunci: pendampingan, kemitraan, hutan rakyat
I.
PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibedakan berdasarkan kepemilikannya menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau sering disebut hutan rakyat. Sasaran pengembangan hutan rakyat meliputi lahan milik, lahan marga, dan kawasan hutan produksi yang dikonversi yang tidak berhutan. | 117
Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun di lahan milik atau gabungan dari lahan milik, yang ditanami pohon dan dikelola dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah. Sementara itu, hutan rakyat menurut Kamus Kehutanan (1990) dalam Kusumedi (2003) adalah lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terus-menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman. Hutan milik yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan atau hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya, yang secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Selain di atas lahan milik, hutan rakyat dapat pula dibangun di atas lahan hutan produksi dengan kontrol dari Departemen Kehutanan atau Departemen lain yang terkait (Simon, 1998). Hutan rakyat dapat juga dipahami sebagai sekumpulan pohon berkayu yang tumbuh di atas hamparan lahan milik oleh masyarakat. Sebagai contoh, sekitar 72% hutan yang ada di Bulukumba merupakan hutan milik dan sangat bergantung pada kemauan masyarakat (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005; Bisjoe et al., 2006). Keberhasilan suatu kegiatan pembangunan pada umumnya dan pengembangan hutan rakyat pada khususnya tidak terlepas dari partisipasi aktif dari anggota masyarakat (baik partisipasi ide, tenaga, maupun partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan hutan rakyat), selain peran semua pihak tidak bisa dikesampingkan. Fenomena ini akan terjadi apabila adanya pemberdayaan masyarakat dan kemitraan dari multi-stakeholder dalam setiap program pembangunan yang dilaksanakan. Partisipasi masyarakat pedesaan dalam pembangunan hutan rakyat pada saat ini bukan lagi masalah mau atau tidak mau ikut berpartisipasi, melainkan lebih pada 118 |
sejauh mana partipasi tersebut dapat diperoleh manfaat ataupun hasil bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka di masa yang akan datang (Kusumedi, 2003). Dari kegiatan pengelolaan hutan rakyat, kita seharusnya dapat belajar dari kearifan masyarakat dalam pemanfaatan lahan sehingga mampu berfungsi, baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial. Pengalaman dan kearifan ini dilakukan secara terus menerus, waktu demi waktu, hari demi hari, dan akan diwariskan untuk generasi selanjutnya sehingga menjadi tulang punggung dan paradigma baru atau era baru dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Beberapa kearifan yang dapat kita pelajari dalam pengelolaan hutan secara umum adalah (Kusumedi, 2003): 1. Kemampuan dan kesabaran masyarakat desa yang secara alamiah mampu membangkitkan kesadaran masyarakatnya untuk berupaya merubah alam sehingga sumber daya alam yang ada mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dengan swadaya masyarakat maupun dengan adanya program dari pemerintah. 2. Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dalam melakukan pemilihan jenis tanaman, pemeliharaan, dan pola tanam yang sesuai dengan karakteristik lahannya. 3. Perkembangan hutan rakyat ternyata melalui suatu proses yang sangat panjang oleh petani dari waktu ke waktu, yang secara terus menerus mencoba berbagai macam tanaman dan pola tanam pada lahannya. Perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial, ekonomi, dan budaya setempat dalam menunjang kelestariannya. Namun, kini terdapat pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan, yakni model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. | 119
Model semacam ini, contohnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), sebagian tidak digolongkan sebagai hutan rakyat terutama karena dominasi kepentingan pengusaha. II.
GAMBARAN UMUM WILAYAH BALONG
A.
Kondisi Umum
Desa Balong terletak pada ketinggian 96 meter dpl, curah hujan rata-rata 350 mm per tahun. Musim kering berlangsung sangat panjang dan suhu udara dapat mencapai 460C. Beberapa wilayah, terutama lahan datar di pinggir Sungai Balantiang sepanjang 60 km dari Kindang, terlihat hamparan sawah pengairan. Berdasarkan data desa, kemampuan tanah memiliki kedalaman eletrik tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah halus. Pada umumnya, tanah berdrainase baik dan tidak ada erosi. Banjir yang terjadi di kawasan ini adalah kiriman dari daerah hulu Sungai Kindang, Tamaona, dan Anrang. Jenis tanah bervariasi antardusun, namun yang paling umum adalah Glanosol (BPS Kabupaten Bulukumba, 2011). Luas lahan kritis sekitar 350 ha dan hutan alam sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, hutan rakyat sangat berkembang yang direspons dengan baik oleh masyarakat. Desa Balong dihuni oleh 514 kepala keluarga dengan struktur penduduk terdiri dari 984 laki-laki dan 1.074 wanita. Angka ini berdasarkan total populasi dari 2.054 jiwa. Penduduknya hidup berdekatan satu sama lain membentuk pemukiman yang tersebar sehingga mempermudah jalan masuk ke kebunkebun untuk mengangkut hasil pertanian mereka. B.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Balong
1. Aspek sosial Aspek sosial masyarakat desa terbagi ke dalam beberapa status sosial. Status sosial pada masa lalu ditentukan berdasarkan penghormatan yang diperoleh dari masyarakat atau 120 |
pengetahuan yang tinggi tentang tradisi desa. Namun, sebagian besar status sosial tidak didapatkan saat ini karena kekayaan yang dimiliki. Tingkat sosial dapat dengan jelas dilihat dari bentuk ruang seperti jumlah tingkat hubungan pada sisi depan rumah di bagian bawah atap. Kekayaan juga tercermin dari akses pendidikan yang lebih baik, kesehatan, sumber air, listrik, alat transportasi, dan kekuasaan, serta penghormatan. Dalam hal keagamaan, hampir 100% penduduk beragama Islam. Bahasa yang digunakan penduduk adalah Bahasa Konjo dan sebagian kecil Bahasa Bugis. Tidak semua penduduk bisa berbahasa Indonesia. Dari pengalaman yang tidak mampu berbahasa Indonesia, biasanya mereka tergolong miskin. Namun, asumsi ini tentu tidak kuat karena masih banyak faktor yang dapat memengaruhi kemiskinan, selain bahasa. 2. Aspek ekonomi Jika dilihat dari aspek pertanian, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan; masyarakat Desa Balong sesungguhnya memiliki potensi. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan pada setiap aspek, walaupun datanya tidak lengkap. Khususnya di bidang kehutanan, pemahaman mereka meningkat dengan adanya inisiasi kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta yang dapat memberi pengertian dasar yang berharga bagi semua stakeholder. Hasil pengamatan ini menunjukan bahwa meskipun banyak keterbatasan, Desa Balong kaya akan potensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk mendayagunakan potensi ini, komitmen dari pihak yang berwenang sangat diperlukan. Selain itu, kesadaran diri, pengenalan diri keterbatasan atau kelemahan sampai kepada kepekaan mengontrol diri merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat untuk mencapai tujuan kolektif sangatlah diperlukan.
| 121
Kondisi di bidang ekonomi tercermin dari kondisi rumah, lahan pertanian, dan kriteria lainnya. Dalam pengamatan ini, kami membuat pengelompokan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai berikut: tuan tanah [pihak yang menggunakan dan menyewa buruh-buruh tani], petani sedang, petani miskin, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). III. PENGAMATAN PROSES PENDAMPINGAN Berdasarkan data sebelumnya, mata pencaharian masyarakat Desa Balong umumnya bergantung pada hasil pertanian. Berdasarkan geografis desa tersebut, sebagian besar penduduknya adalah bertani (sawah dan kebun), holtikultura, serta ternak (seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, ayam bebek dan itik). Pada lahan milik masyarakat Desa Balong terlihat hutan rakyat dengan beberapa komoditas pohon kayu, yakni jati (Tectona grandis), bitti (Vitex cofassus), sengon (Paraserianthes falcataria), dan tanaman rimba campuran lainnya. Pada umumnya, masyarakat sudah memiliki pengetahuan tentang pertanian kehutanan dan ternak. Hal ini ditandai dengan beberapa masyarakat sudah melakukan penanaman tanaman campuran, yaitu tanaman kayu-kayuan, tanaman pertanian, dan tanaman semusim. Bahkan, terdapat pula tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum). Khusus di bidang peternakan, masyarakat peternak di desa ini sudah memanfaatkan teknologi inseminasi buatan. Sejak otonomi daerah, banyak kegiatan yang diadakan bagi pembangunan pertanian, seperti pengadaan bibit jagung kuning dan kakao yang diperoleh secara gratis. Kegiatan inseminasi buatan juga sudah dikembangkan dan diadopsi oleh pemilik ternak sapi. Sementara itu, kegiatan untuk perkebunan sudah dikembangkan kelapa hibrida yang disebarkan oleh pemerintah kepada para petani. 122 |
Sejak tahun 2004, PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) menjalin kemitraan dengan para petani di Bulukumba, termasuk di Desa Balong. Perusahaan membagikan berbagai jenis bibit tanaman kayu secara gratis, yaitu sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), dan jati putih (Gmelina arborea). Hal yang diharapkan petani nantinya adalah mereka menjadi penyedia bahan baku di PT PAL itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan Focus Group Discussion (FGD) petani hutan rakyat di Desa Balong [kegiatan kerja sama penelitian ACIAR dengan Balai Penelitian Kehutanan Makassar] menunjukan bahwa petani hutan rakyat pada umumnya mempunyai kekuatan, kelemahan, ancaman, dan kesempatan dalam mengelola bidang pertanian dan kehutanan, yaitu: Kekuatan - Masyarakat senang dengan ide penanaman pohon - Pembagian bibit gratis dari perusahaan - Adanya pernyataan sikap deklarasi Karassing dan Balong sebagai komitmen semua stakeholder - Potensi lahan
Kelemahan - Sebagian lahan tidak subur - Harga hasil panen rendah - Prosedur pengurusan dokumen yang panjang - Kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan
Ancaman - Adanya celah untuk KKN dan kepentingan pribadi - Kemungkinan gagalnya lahir pemimpin dari kalangan sosial terpandang yang empati kepada masyarakat
Peluang - Meningkatnya taraf hidup masyarakat - Menambah kesempatan kerja - Perbaikan kesuburan tanah - Usaha untuk menggunakan pupuk organik - Sumber daya untuk pupuk organik (serasah, daundaunan dan lain-lain)
| 123
Berdasarkan uraian di atas, minat petani hutan rakyat untuk budi daya pohon semakin meningkat seiring dengan naiknya harga kayu. Hal ini sangat direspons oleh warga masyarakat, baik secara swadaya maupun melalui proyek. Namun, hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana petani hutan rakyat dapat memengaruhi penentuan harga kayu. Melalui kemitraan, pertanyaan ini terjawab dengan memberikan suatu pelatihan atau pengetahuan kepada petani tentang kewirausahaan, terutama teknik penghitungan volume kayu dengan tujuan dapat mengukur dan mengetahui volume kayu mereka. Hal ini dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk mengetahui standar harga yang saling menguntungkan dan tidak menjual kayu secara hamparan. Selain kekuatan-kekuatan positif tersebut, kondisi alam seperti lahan kritis dapat dipulihkan. Pemulihan dilakukan dengan menanam tanaman pionir seperti akasia (Acacia mangium) yang memiliki akar cepat menembus bebatuan. Kemudian, lahan ditanami tanaman pokok kayu-kayuan, seperti mahoni atau jati putih. Keterbatasan lainnya adalah sumber daya manusia dalam hal perancangan organisasi, seperti Himpunan Pengusaha Kayu Indonesia (HIPKI) dan Forum Komunikasi Hutan Rakyat (FKHR) yang dimulai dari perencanaan sumber daya manusia. Keterbatasan tersebut juga terjadi pada analisis pekerjaan tim kerja (sistem sosioteknik) hingga sistem informasi, pola rekrutmen, interview, pola mempekerjakan, promosi, pelayanan, dan orientasi tugas masing-masing. Hal-hal lain yang termasuk dalam manajemen sumber daya manusia juga menjadi kendala. Hal-hal tersebut mencakup masalah pembinaan, penggunaan, dan perlindungan tenaga kerja. Sementara itu, manajemen personalia lebih banyak berkaitan dengan sumber daya manusia dalam perusahaan yang tugasnya mempelajari dan mengembangkan potensi sumber daya manusia secara efektif dalam organisasi untuk mencapai tujuan. 124 |
Sebagai contoh, pada saat studi banding ke Industri Plywood Palopo di Kabupaten Luwu, banyak peserta dari Bulukumba terkesan dan heran dengan kegiatan pabrik kayu lapis tersebut. Perusahaan dapat mempekerjakan ribuan tenaga kerja dan memanfaatkan kayu yang diusahakan oleh masyarakat melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Petani yang menanam pohon kayu di lahan miliknya diberi biaya pemeliharaan dan kompensasi jika ada kebutuhan mendesak. Jadi, pada kondisi ekonomi yang demikian, pendidikan anakanak mereka akan terjamin. Itulah yang menjadi bahan pembanding karena di Bulukumba, khususya di Desa Balong, pendidikan masyarakat masih rendah yang berdampak pada ketidaktahuan untuk berbuat yang lebih baik. Semuanya berawal dari ekonomi yang belum memadai. Oleh sebab itu, kehadiran PT PAL di Bulukumba yang merupakan industri veneer diharapkan dapat meningkatkan kapasitasnya menjadi pabrik plywood yang bahan bakunya bersumber dari masyarakat penanam kayu, baik swadaya maupun proyek. IV. KESIMPULAN Hasil pengalaman dan pengamatan selama berlangsungnya penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kekuatan dan potensi paling besar dari Desa Balong adalah perencanaan dan pengelolaan yang baik. Pemimpin (top leader) mulai dari tingkat bawah akan menanggapi masalah dan realitas kesehatan, pendidikan, pertanian, ekonomi, dan khususnya pembangunan bidang kehutanan dengan menawarkan tindakan perbaikan dengan cara yang mudah dan meyakinkan. Kepekaan masyarakat terhadap penanaman pohon atau jenis kayu-kayuan dan prediksi keuntungan masa depan sangat kuat untuk jenis usaha hutan rakyat melalui pola kemitraan tiga sektor (pengusaha, masyarakat, dan pemerintah). Masalah tanaman kayu rakyat sekarang ini bukan lagi terkait teknis dan pengaruh alam semata, tetapi faktor birokrasilah yang tidak mempermudah masyarakat sehingga menurunkan | 125
semangat masyarakat untuk menanam kayu. Namun, kondisi ini bukan kesalahan proses perencanaan atau sistem manajemen pemerintahan desa karena telah tercapai segala kemajuan desa selama ini. Kehadiran PT PAL di Bulukumba yang merupakan industri veener dapat meningkatkan kapasitasnya menjadi pabrik plywood yang bahan bakunya diperoleh dari masyarakat penanam kayu, baik yang dilaksanakan secara swadaya maupun keproyekan, terutama pada lahan milik petani hutan rakyat. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba. (2011). Kabupaten Bulukumba dalam Angka 2010. Bulukumba Bisjoe, A.R.H., Kusumedi, P. & Hayati, N. (2006). Laporan Kegiatan kerja sama Penelitian ACIAR dengan Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Departemen Kehutanan. (1999). Undang-Undang No. 41/ 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. (2010). Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. Bulukumba. Tidak diterbitkan. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Rencana Master Plan Konsepsi Pembangunan Kehutanan Kab. Bulukumba-Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Tidak diterbitkan. Kusumedi, P. (2003). Belajar dari Kearifan Rakyat. Eboni. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil HutanBalai Penelitian dan Pengembangan Sulawesi. Kusumedi, P. (2003). Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Rakyat. Eboni. Badan Penelitian dan 126 |
Pengembangan Kehutanan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan-Balai Penelitian dan Pengembangan Sulawesi. Kusumedi, P., Bisjoe, A.R.H, Rohadi, D. & Nawir, A.A. (2007). Laporan Dampak Kebijakan terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Tidak diterbitkan. Kusumedi, P., Nawir, A.A., Suwarno, A. & Trison, S. (2007). Laporan Kajian Mengenai Sistem Bagi Hasil yang Menguntungkan dalam Pengembangan Kemitraan Hutan Tanaman Kayu Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Bulukumba). Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Tidak diterbitkan. Simon, H. (1998). Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta.
| 127
OBSERVING FACILITATION PROCESS OF PRIVATE FORESTRY PARTNERSHIPS: FROM THE PERSPECTIVE OF BALONG VILLAGE FARMER Andarias Ruru and Abdul Rahim ABSTRACT Private forest Development in Bulukumba has been going on prior to research collaboration between Indonesia and Australia, and one of its observation locations is in Balong Village. The important roles of such research collaboration are intended to encourage proportional involvement of all parties or stakeholders in private forest development, so that all stakeholders benefit equally from their smallholders. Some representatives of stakeholders have participated in various trainings during facilitation. During the process towards the development of good management mechanism, some problems appear in connection with necessary changes and adjustments. To that end, all parties involved, either community, private forest farmers, timber processing companies or government are expected to remain proportionately committed to their respective responsibilities. This paper tries to examine private forest farmers’ perspective on private forest partnership facilitation process which took place in their village in simple language in order that it can be easily understood by the readers. Keywords: facilitation, partnership, private forest
I.
INTRODUCTION
Pursuant to Law No. 41 of 1999 on the Forestry, the ownership of forest is divided into state forests and private forests. Private forests are forests which grow on woodlands assigned as private property which is commonly referred to as private forests. The target of private forest development includes private lands, clan lands, and forest production areas converted into non-forested lands. 128 |
Private forests are forests which are developed on private lands or farmer’s smallholder or a combination of private lands planted with trees and managed by their owners or by business entities based on the provisions which have been outlined by the government. Meanwhile, according to the Dictionary of Forestry (1990) in Kusumedi (2003), private forests are private lands belong to community or indigenous people or property or communal ownership, which are continuously cultivated for forest crops business, that is, species of wood, either those which grow naturally or crop yields. Private forests are lands owned by community which are planted with trees or forests developed independently by the community, the aims of which are to produce timber or their derivatives which economically may increase income and welfare of the community. Other than developed on private lands, private forests can also be developed on production forest lands under the control of Ministry of Forestry or other relevant Ministries (Simon, 1998). Private forests can also be understood as a collection of timber trees that grow on the area of lands owned by the community, so that in Bulukumba, forests are very depend upon the goodwill of community where in 72% of forests are private forests (Bulukumba Forestry Service, 2005; Bisjoe et al., 2006). Generally, the success of any development activity, and private forest development in particular, cannot be separated from active participation of community members (both in terms of participation of ideas, energy, and participation in the implementation of private forest development program), in addition to the roles of all parties which cannot be excluded. This phenomenon will occur if community empowerment is carried out and there is a partnership of multi-stakeholders in any development program implemented. Rural community participation in private forest development at this time is no longer a problem of willing or | 129
unwilling to participate but rather to what extent through such participation may get benefits as well as the results of the improvement of their socio-economic life in the future (Kusumedi, 2003). From private forest management activities we should be able to learn from the wisdom of the community in land use, so that they can function well economically, ecologically and socially. These experience and wisdom are carried out continuously, from time to time, day by day and will be passed to the next generation to become the backbone and a new paradigm or a new era in forest management in Indonesia. Some wisdom that can be learned from forest management in general is (Kusumedi, 2003) as follows: 1. The ability and patience of village communities who are naturally able to raise the awareness of their people to attempt to change the nature so that the existing natural resources will be capable of meeting their needs both under self-help-community programs and government programs. 2. Local knowledge possessed by communities in choosing species of plant, maintenance and cropping patterns which are in conformity with the characteristics of the existing lands. 3. The development of private forests takes place through a very lengthy process by farmers from time to time, continuously by trying different tree species and cropping patterns on their smallholders. The development is greatly influenced by the social, economic and cultural conditions in supporting sustainability of forests. However, now there are some changes or combinations, that is, some models of forest management under a partnership scheme, for example, those carried out in collaboration between forestry companies such as State Owned Forestry 130 |
Company (Perhutani), forest concessionaires (HPH), Forest Industrial Timber Plantations Concession (HPHTI) and people living around the forests; or also carried out between entrepreneurs and farmers living in the surrounding of plantations. These models, such as Joint Community Forest Management (PHBM), are usually not classified as community forests mainly because they are dominated by corporate interests. II.
GENERAL DESCRIPTION OF BALONG VILLAGE
A.
General Conditions
Balong Village lies at an altitude of 96 m asl, with the average rainfall of 350 mm per year. The dry season lasts very long and the temperature may reach 460C. Some areas mainly the 60 km plain located in the edge of River Balantiang extending from Kindang are seen irrigated rice fields. Based on the available data this village has its electrical carrying capacity of more than 90 cm depth with fine soil texture. In general, it has got good drainage, and there is no erosion. Flooding occuring in this area comes from headwaters of River Kindang, River Tamaona and River Anrang. Soil types vary among hamlets, but the most common type of land is Glanosol (Bulukumba Statistics Agency, 2011). The size of critical land area reaches 350 ha and there are no natural forests anymore. On the contrary, private forests are developing rapidly and these activities are well responded by the communities. Balong Village is inhabited by 514 families consisting of 984 males and 1,074 females. This figure is based on the total population of 2,054 inhabitants. They live close to each other by establishing scattered settlements to facilitate some access to streets or small paths leading to their smallholders for the transportation of their agricultural products.
| 131
B.
Socio-Economic Conditions of Balong Village Community
1. Social Aspects Social aspects of rural community can be divided into several social status, past social status was determined based on the respect obtained from the community or from broad and highly respectable knowledge about the traditions of the village. However, currently most of the social status is not obtained because of the wealth owned. Social levels can be clearly seen from the existing spaces such as the number of levels of relationship established in front sides of the houses at the bottoms of roofs. Wealth is also reflected in better access to education, health, water supply, electricity, transportation, power and respect. In terms of religious affairs, nearly 100% of the population is Muslim. Residents in Balong Village use Konjo language while a few others use Bugis language and not all of them can speak Indonesian. Those who are not able to speak Indonesian are usually classified as poor; of course this assumption is not strong or questionable because there are some other factors which may affect poverty, in addition to poor Indonesian language ability. 2. Economic Aspects In terms of agricultural, economic, educational, and community health aspects; residents in Balong Village have their own potential although the results of observations on each aspect are not complete. Particularly in forestry management, people’s understanding was improving after the initiation of a partnership between the government, the community and the private sectors, which could provide all stakeholders with basic and valuable understanding. The results of these observations show that despite many limitations, Balong Village is rich in potential to improve its 132 |
people's lives. In order to utilize this potential, the commitment of relevant authorities is badly needed. In addition, selfawareness, self-recognition, limitations or weaknesses up to the sensitivity of self-control are shared responsibility of the entire community to achieve their collective goals. People’s economic conditions are reflected in the conditions of their homes, farmlands, and other criteria. In these observations, groupings on the levels of social welfare are made as follows: landlords (that is, those who utilize and hire landless peasants), moderate farmers, poor farmers, and civil servants. III. OBSERVATION OF FACILITATION PROCESS Based on previous data it can be concluded that the livelihood of the community in Balong Village is generally depended upon agriculture. Seen from geographical distribution, most of villagers earn their living from farming (by cultivating rice fields and smallholders), horticulture and livestock (such as cattle, buffalo, horses, goats, chickens, ducks and Manila ducks.) On the other hand, private forests are planted on private lands, namely, teak (Tectona grandis), bitti (Vitex cofassus), albizia (Paraserianthes falcataria), and other mixed timber tree species as well. In general, the community has got some knowledge of agroforestry and livestock farming. This can be seen from the fatcs some people have been cultivating mixed plants in which there are timber plants, seasonal agricultural crops and even there are forage crops such as elephant grass (Pennisetum purpureum), because in this village, especially in livestock farming, artificial insemination has been used. Since the introduction of regional autonomy or decentralization, there have been many agricultural development activities conducted, such as the provisions of free yellow | 133
corn and cocoa seedlings. Artificial insemination has also been developed with the owners of cattle farming. Especially for plantations, the government has also introduced hybrid coconut plantations to local farmers. Since 2004, a partnership between PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) and farmers in Bulukumba has been established, including that in Balong Village, by distributing tree seedlings, namely, sengon, mahogany (Swietenia mahagoni) and white teak (Gmelina arborea). The farmers are expected to be sustainable suppliers of raw materials to PT PAL itself. Based on the results of direct observations and the results of Focus Group Discussion (FGD) of community forest farmers in Balong Village [activities of ACIAR research collaborative with the FORDA Makassar] show that private forest farmers have their own strengths, weaknesses, threats, and opportunities in managing agriculture and forestry, that is, as follows:
Strengths - Community are pleased with the idea tree planting; - The distribution of free seeds from the company; - The existence of Karassing and Balong statement declaration as the commitment of all stakeholders; - Land potential.
134 |
Weaknesses - Most of the lands are not fertile; - Low prices of harvest crop yields; - Lengthy procedures of obtaining documents; - Lack of knowledge of entrepreneurship.
Threats - There are opportunities for Corruption, Collusion, and Nepotism (in Indonesian is commonly referred as KKN) personal interests - The possibility of failure of the emergence leadera from respected social circles who have empathy to the community.
Opportunities - Increasing community's living standard; - Creating job (employment) opportunities - Improving soil fertility - Introducing the use organic fertilizers; - Maximizing the utilization of available sources for organic fertilizers (litters, leaves, and others)
Based on the above description, the interests of private forest farmers for tree cultivation will increase along with the increase in wood prices. This phenomenon is well responded by community members either independently or through projects. However, the question is how private forest farmers can affect the pricing of timber. Through a partnership, the question is answered by giving some training or knowledge to the farmers about entrepreneurship, wood volume calculation techniques. The training aims to make the community able to measure and determine the volumes of their timber. This is done in order that the community is highly motivated to know a mutually beneficial price standard and not to sell timber in the form of tree stands. In addition to these positive strengths, the natural conditions such as degraded land can be restored. It can be done by planting plants such as Acacia mangium which has roots that rapidly penetrate rocks which then to be planted with woody plants such as mahogany or white teak. In addition, there are limitations include human resources associated with the designing of the organization, such as Association of Indonesian Timber Concession Holders (HIPKI) and Communication Forum for Community Forests (CFCF) | 135
which is started with human resource planning. Analysis of team work (under sosio-technique) has been done up to information system, recruitment patterns, interviewing, hiring, promotion, services and orientation of task of each. Human resources management includes coaching or development issues, utilization, and protection. Meanwhile, personnel management is more associated with human resources within the company where their duty is to learn and develop the potentials of human resources effectively within the organization to achieve their goals. For example, during a comparative study to the Palopo Plywood Industry in Luwu District, the participants from Bulukumba were impressed and surprised by plywood factory activity. The industry could employ thousands of workers and utilize wood cultivated by the community through a mutually beneficial partnership. Farmers who plant timber trees on their own lands are given maintenance costs and compensation if there is an urgent need. Under improved economic conditions, education of their children will be ensured. This becomes a comparative material, because in Bulukumba, especially in Balong Village, community education is still low and it may lead to a detrimental impact in the form of unconsciousness to do better. All these are originated from inadequate economic conditions. The presence of PT PAL in Bulukumba, which is veneer industry, will be able to improve its capacity to be a plywood factory that the raw materials will come from tree-plantingcommunity, either by means of self-help-activities or through projects. IV. CONCLUSION Based on the experience and observations during the study, it can be concluded that the greatest strengths and potentials of Balong Village lie in good planning and management. Top leaders from the lower levels will respond to issues and 136 |
realities associated with health, education, agriculture, economy, and in particular the development in forestry sector by offering improvement or remedial actions in easy and reassuring ways. Community sensitivity to tree planting or wood species and prediction of future profits are very strong for community forestry business through a three-sector partnership scheme which is composed of entrepreneurs, communities, and governments. The present problems of timber community are not only technical and the influence of nature, but they are also associated with complicated bureaucracy who does not facilitate the community, and thus it discourages the community to plant trees. This is not to blame the process of planning or management system of village governmnet because we highly appreciate all progress which has been achieved so far. The presence of PT PAL in Bulukumba as a veneer industry can improve its capacity to be a plywood factory by utilizing raw materials derived from timber community, either implemented independently or through projects on private lands of private forest farmers. BIBLIOGRAPHY Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba. (2011). Kabupaten Bulukumba dalam Angka 2010. Bulukumba Bisjoe, A.R.H., Kusumedi, P. & Hayati, N. (2006). Laporan Kegiatan kerja sama Penelitian ACIAR dengan Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Departemen Kehutanan. (1999). Undang-Undang No. 41/ 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. (2010). Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba. Bulukumba. Unpublished. | 137
Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Rencana Master Plan Konsepsi Pembangunan Kehutanan Kab. Bulukumba-Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Unpublished. Kusumedi, P. (2003). Belajar dari Kearifan Rakyat. Eboni Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil HutanBalai Penelitian dan Pengembangan Sulawesi. Kusumedi, P. (2003) Partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Eboni Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan-Balai Penelitian dan Pengembangan Sulawesi. Kusumedi, P., Bisjoe A.R.H, Rohadi, D. & Nawir, A.A. (2007). Laporan Dampak Kebijakan terhadap Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Unpublished. Kusumedi, P., Nawir, A.A., Suwarno, A. & Trison, S. (2007). Laporan Kajian Mengenai Sistem Bagi Hasil yang Menguntungkan dalam Pengembangan Kemitraan Hutan Tanaman Kayu Masyarakat (Studi Kasus: Kabupaten Bulukumba). Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Unpublished.
138 |
PERAN PELAKU PASAR PADA DISTRIBUSI KAYU HUTAN RAKYAT DALAM KONTEKS KEMITRAAN Rini Purwanti ABSTRAK Hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba didominasi tanaman kehutanan jenis jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), jati putih (Gmelina arborea), dan bitti (Vitex cofassus). Kayu dari hutan rakyat diperuntukkan bagi keperluan pembangunan rumah, pembuatan mebel, perahu, dan untuk industri skala kecil. Kegiatan pemasaran kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba melibatkan banyak pihak. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi para pelaku pasar yang ada dalam kegiatan distribusi/pemasaran kayu hutan rakyat di Bulukumba dan peran masing-masing pihak. Kegiatan tata niaga/pemasaran kayu hutan rakyat melibatkan lima pelaku pasar: petani, mitra antara, industri sawmill, PT PAL, dan pemerintah. Petani merupakan penghasil kayu. Mitra antara merupakan perpanjangan tangan dari industri, selain membeli kayu yang berasal dari desa-desa untuk kemudian dijual lagi ke industri sawmill. Industri sawmill berperan mengolah kayu menjadi papan atau sawn timber dan merupakan pemberi modal kepada mitra antara. Industri PT PAL berperan mengolah kayu menjadi veneer. Sementara, pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator dalam hal penatausahaan hasil hutan. Ketiga pihak (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dilibatkan dalam kegiatan kemitraan kehutanan yang sedang dilaksanakan. Program kemitraan ini dilaksanakan di Desa Balong dan Desa Karassing. Terpilihnya kedua desa ini karena sudah terdapat embrio kemitraan dan adanya keinginan yang kuat dari masyarakat untuk melakukan perbaikan di bidang pengelolaan hutan. Melalui kegiatan kemitraan ini, pihak-pihak yang bermitra diharapkan menjalankan peran masing-masing sesuai fungsinya sehingga tidak ada lagi pihak yang berperan paling dominan. Dengan demikian, tingkat pendapatan petani dapat meningkat sebagai dampak dari kegiatan kemitraan yang sedang dilaksanakan, dan revitalisasi petani ke arah yang lebih baik dapat tercapai. Kata kunci: hutan rakyat, pelaku pasar, kemitraan
| 139
I.
PENDAHULUAN
Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah disebut hutan hak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hutan hak adalah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik (Zain, 1998). Darusman & Hardjanto (2006) mengartikan hutan rakyat sebagai tanaman kayu yang ditanam pada lahanlahan milik masyarakat. Keberadaan hutan rakyat di Indonesia semakin penting karena turut menyumbang pasokan kebutuhan kayu bagi industri perkayuan. Selain itu, hutan rakyat merupakan salah satu sarana dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di pedesaan (Pramono et al., 2010). Sementara itu, Awang et al. (2002) menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat; baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam. Kabupaten Bulukumba memiliki hutan negara sekitar 8.400 ha yang terdiri dari hutan lindung 3.500 ha (42%), hutan hutan produksi 500 ha (6%), hutan suaka alam 3400 ha (42%), dan hutan produksi terbatas 900 ha (10%). Sementara, luas hutan hak milik (hutan rakyat) di Kabupaten Bulukumba adalah sekitar 21.800 ha yang tersebar di sembilan kecamatan (Gantarang, Ujungloe, Gantarang, Bontobahari, Bontotiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, Kindang) dan hanya satu kecamatan (Ujungbulu) yang tidak mempunyai hutan rakyat yang signifikan (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005). Hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba terdiri dari tanaman kehutanan, seperti pohon jati (Tectona grandis), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), jati putih (Gmelina arborea), dan bitti (Vitex cofassus); sedangkan tanaman perta140 |
nian adalah kakao, kopi, merica, cengkeh, mente dan lain-lain (Social Community Foundation, 2013). Eksploitasi hutan dengan pola non-HPH telah dilakukan oleh masyarakat luas dalam skala kecil dan menggunakan teknologi sederhana (tradisional), baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun sebagai sumber pendapatan. Jenis-jenis kayu yang umum diusahakan–dikenal sebagai kayu lokal–diperuntukkan bagi keperluan pembangunan rumah, mebel, perahu, bahan bakar, dan untuk keperluan industri skala kecil. Mengingat besarnya manfaat hasil produksi hutan tersebut, proses pemasaran dibutuhkan untuk meningkatkan nilai produksi hutan. Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Stanton, 2001). Dalam usaha menyalurkan kayu tersebut dari produsen ke konsumen, petani kayu memerlukan para pelaku pasar atau lembaga-lembaga distribusi yang dapat membantu dan mempermudah kelancaran arus komoditi tersebut. Pelaku pasar adalah orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran/ tata niaga kayu. Di Kabupaten Bulukumba, terdapat beberapa orang atau lembaga yang berperan dalam kegiatan pemasaran kayu hutan rakyat. Mengingat begitu banyak pelaku pasar, peran masing-masing pelaku pasar perlu diketahui, dan siapa di antara para pelaku pasar tersebut yang paling berperan dalam pemasaran kayu hutan rakyat di Bulukumba. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi para pelaku pasar yang ada dalam kegiatan distribusi/pemasaran kayu hutan rakyat di Bulukumba, serta peran mereka masing-masing. Sasaran penelitian ini adalah teridentifikasi pelaku pasar, peran masing-masing, dan siapa pelaku yang paling berperan | 141
dalam kegiatan pemasaran kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini menerapkan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status suatu objek, set kondisi, sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1983). Metode deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik populasi atau bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, ataupun mempelajari implikasi. Metode ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah, keadaan, atau peristiwa sebagaimana adanya (Wirartha, 2006). II.
IDENTIFIKASI PELAKU PASAR
1. Petani Petani, dalam hal ini petani hutan rakyat adalah orang yang memiliki kayu yang tumbuh di lahan milik dan berhak untuk melakukan penjualan terhadap kayu yang dimilikinya. Berdasarkan pengamatan, petani umumnya menjual kayu mereka dalam bentuk pohon berdiri atau tegakan. Jadi, kayu yang dijual bukan berdasarkan volume tetapi berdasarkan diameter saja. Semakin besar diameter batang, semakin mahal harganya. Biasanya, petani menjual kayunya karena ada desakan ekonomi, misalnya untuk kegiatan perkawinan, syukuran, atau karena hal lain. Sebagian masyarakat juga menebang pohon untuk keperluan pembangunan rumah. Jenis kayu yang umumnya dijual oleh petani adalah jati, mangga, bitti, dan sengon. Pembeli datang ke petani untuk melakukan transaksi jual beli, kemudian melakukan penebangan dan pengangkutan kayu. Jadi, semua biaya-biaya administrasi ditanggung oleh pembeli [dalam hal ini disebut 142 |
pedagang perantara]. Harga kayu biasanya tergantung pada jenis kayu, diameter, dan jarak lokasi pembelian. Hambatan yang dialami petani kayu pada umumnya adalah harga kayu yang belum memiliki standar. Meskipun penentuan harga kayu mengenal kompromi, harga kebanyakan masih ditentukan oleh pembeli. Hal ini terjadi karena petani tidak mau repot untuk melakukan pengurusan dokumen sehingga semua urusan diserahkan kepada mitra antara. Jadi, pada kondisi ini, petani hanya sebagai penerima harga (price taker) dan belum dapat menentukan harga sendiri. Peran petani yang terbatas dalam proses pemasaran membatasi pula pendapatan mereka. Peran petani terbatas karena mereka memiliki keterbatasan dalam hal-hal sebagai berikut (Roshetko & Yulianti, 2002): ketersediaan modal dan tenaga kerja; akses terhadap informasi pasar mengenai permintaan dan harga; pengetahuan tentang spesifikasi kualitas produk dan kaitannya dengan pilihan pasar; hubungan dengan pasar yang sifatnya tidak permanen (mereka mungkin hanya mengetahui pengumpul/pedagang lokal atau selalu menunggu pedagang berkunjung ke daerah mereka); dan tidak ada kelompok atau koperasi yang terbentuk yang memenuhi syarat untuk menjalankan kegiatan pemasaran. 2. Mitra Antara Mitra antara atau pedagang pengumpul merupakan lembaga pemasaran yang membeli kayu dari produsen, kemudian dijual ke pedagang besar atau konsumen. Di Kabupaten Bulukumba, mitra antara yang mandiri melakukan pembelian kayu langsung ke petani, mengumpulkan, dan selanjutnya dijual ke industri dalam bentuk bantalan. Terdapat pula mitra antara yang merupakan perpanjangan tangan dari industri, | 143
terutama industri yang mempunyai izin. Sebagian mitra antara memiliki kendala dalam memperoleh izin mendirikan usaha sehingga jalan satu-satunya adalah dengan berlindung di balik industri yang berizin tersebut. Selain itu, mereka juga mendapat modal dari industri untuk mencari kayu yang akan dijual, mengurus semua dokumennya, dan mengangkut semua kayu itu ke industri. 3. Industri/Perusahaan Di Kabupaten Bulukumba, terdapat banyak industri pengolahan kayu. Industri tersebut antara lain industri penggergajian (sawmill), industri kerajinan, dan industri perahu. Industri sawmill yaitu industri yang mempunyai mesin sawmill dan mengolah log menjadi bantalan dan dari bantalan menjadi sawn timber. Rata-rata kebutuhan bahan baku industri sawmill ini adalah 100–150 m3/bulan. Kayu-kayu yang sudah diolah digunakan oleh pembeli dari dalam dan luar Bulukumba. Hasil identifikasi menunjukan bahwa industri berbasis kayu yang dijumpai di Bulukumba umumnya adalah industri kerajinan, industri mebel, dan industri perahu. Industri kerajinan merupakan industri yang mengolah kayu menjadi barang kerajinan. Selain itu, terdapat pula industri mebel, kusen, perabot rumah tangga, dan sebagainya. Bahan baku umumnya diperoleh dari industri sawmill. Rata-rata kebutuhan bahan baku industri ini adalah 2 m 3/bulan untuk kayu jati dan 1 m3 untuk kayu cenrana. Hasil kerajinan kebanyakan dipesan oleh masyarakat di sekitar Bulukumba. Industri perahu merupakan industri yang mengolah kayu menjadi perahu. Perahu yang biasa dibuat adalah sejenis perahu phinisi yang digunakan untuk berlayar dan untuk menangkap ikan bagi nelayan. Bahan baku untuk pembuatan perahu dulunya kebanyakan dari kayu bitti, tetapi karena saat ini kayu bitti sudah mulai langka, bahan baku yang digunakan berasal dari kayu lain, seperti jati, besi, bayam, meranti, 144 |
merbau, dan jenis lain, kecuali bagian “kelu” yang masih dibuat dari kayu bitti. Sebanyak 20% bahan baku diperoleh dari dalam Bulukumba dan 80% diperoleh dari luar Bulukumba. Daerah asal bahan baku itu antara lain Kabupaten Bantaeng, Sinjai, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Kebutuhan bahan baku tergantung dari ukuran perahu yang akan dibuat. Pembuatan satu buah perahu biasanya memakan waktu sekitar dua bulan untuk perahu kecil dan dapat mencapai tujuh bulan untuk sebuah perahu besar. Jumlah Industri phinisi yang ada di Bulukumba sebanyak 21 buah, tetapi yang mempunyai Surat Izin Usaha hanya enam industri saja. Kebanyakan industri yang ada hanyalah cabang dari industri besar yang mempunyai surat izin. Mitra antara dan industri yang tidak mempunya izin biasanya merupakan perpanjangan tangan dari industri-industri yang sudah berizin. 4. PT PALOPO ALAM LESTARI (PAL) PT PAL merupakan salah satu industri yang bergerak dalam mengolah kayu log menjadi veneer. Bahan bakunya antara lain jenis kayu sengon, gmelina, dan mahoni. Bahan baku berasal dari dalam ataupun dari luar Bulukumba. Saat ini, bahan baku terbesar masih dipasok oleh PT London Sumatera (LONSUM) yang menyuplai kayu karet hasil peremajaan. Rata-rata kebutuhan bahan baku PT PAL adalah 18.000 m3/tahun. PT PAL mengolah kayu log menjadi veneer, kemudian veneer dibuat menjadi plywood oleh PT PAMPLI di Palopo, Sulawesi Selatan. 5. Pemerintah Pemerintah [dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba dan dinas-dinas yang terkait] berperan sebagai fasilitator dan regulator yang menghubungkan antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Peran fasilitator terkait dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat dan pelaku | 145
pasar lainnya, serta dalam hal Penatausahaan Hasil Hutan Rakyat (PUHHR), seperti masalah penebangan dan pengangkutan kayu berdasarkan Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB). Sementara itu, peran regulator terkait dengan pembuatan aturan main atau kebijakan yang mendukung kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, seperti dalam bentuk peraturan daerah. III. DISTRIBUSI KAYU HUTAN RAKYAT DI BULUKUMBA Distribusi adalah proses yang menunjukan penyaluran barang dari produsen sampai ke tangan konsumen (Kotler, 2005). Kegiatan distribusi kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba selama ini banyak dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal dapat berupa aktoraktor yang secara langsung bergerak dalam kegiatan pemasaran kayu (petani, mitra antara, industri, PT PAL) dan aktor-aktor yang tidak secara langsung bergerak, tetapi mereka mempunyai pengaruh dalam kegiatan pemasaran kayu ini (Dinas Kehutanan dan Dinas Pendapatan Daerah, 2005). Sementara itu, faktor eksternal yang berpengaruh adalah pelaku pasar di luar Bulukumba. Mereka melakukan pembelian kayu dengan cara memesan melalui pedagang yang ada dan terkadang mereka juga langsung datang ke lokasi dan langsung melakukan transaksi dengan para petani. Kehadiran pelaku ini dapat memengaruhi harga yang sudah ada di pasaran. Tetapi, hal ini justru menguntungkan petani karena dapat memperoleh harga yang lebih tinggi. Kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat di Bulukumba, selain digunakan oleh konsumen dalam Bulukumba, juga digunakan oleh konsumen di luar Bulukumba, seperti Makassar dan bahkan sebagian dikirim ke Pulau Jawa dan sebagainya. Jumlah kayu yang keluar Bulukumba untuk tahun 2002 dan 2003 masing-masing sebanyak 1.243,1419 m3 dan 934,4158 m3. Sementara itu, jumlah kayu yang masuk ke Bulukumba untuk dua tahun terakhir masing-masing seba146 |
nyak 2.205,4899 m3 dan 2.913,9172 m3 (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005). Banyaknya kayu yang keluar dari Bulukumba dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain banyaknya permintaan dari luar Bulukumba, harga yang lebih besar jika dibandingkan dengan harga di dalam Bulukumba, dan struktur pasar di luar yang juga lebih bervariasi. Effendi (2011) menyatakan bahwa beberapa permasalahan dalam distribusi kayu rakyat secara terinci dapat dikelompokkan ke dalam lembaga yang terlibat dalam saluran tata niaganya, antara lain: 1. Petani sebagai produsen kayu rakyat: a) organisasi petani lemah, b) kemampuan ekonomi rendah, c) profit margin rendah (kecil), d) pengetahuan/keterampilan rendah, dan e) sharing terhadap kerusakan lingkungan besar (erosi, tata air, oksigen, iklim mikro, mengurangi defisit bahan baku nasional). 2. Pedagang perantara: a) pedagang membeli dalam bentuk tegakan dengan harga yang rendah, b) margin profit cukup besar, c) sharing terhadap lingkungan rendah, dan d) informasi pasar ke produsen kurang lancar. 3. Industri kayu rakyat (sawmill): a) kemampuan teknologi rendah, b) menghasilkan banyak limbah (belum dimanfaatkan secara efisien), pemborosan sumber daya alam, c) sharing terhadap pemeliharaan kualitas lingkungan rendah, d) margin profit besar (tidak proporsional), e) komitmen pengusaha terhadap peningkatan kesejahteraan petani rendah. 4. Pengusaha/eksportir kayu olahan: a) pasokan tidak kontinyu, b) menghendaki kualitas kayu yang tinggi, c) harga terlalu rendah, d) perhatian terhadap lingkungan kurang. 5. Pemerintah daerah sebagai faktor produksi: a) kemampuan terbatas (SDM, fasilitas), b) peraturan perundangan lemah, c) organisasi belum efektif.
| 147
IV. KESIMPULAN Beberapa pelaku pasar kayu hutan rakyat yang diidentifikasi di Bulukumba, antara lain petani, pedagang perantara, industri, PT PAL, dan pemerintah. Petani sebagai penghasil bahan baku; pengusaha merupakan pihak yang paling berperan dalam kegiatan pemasaran kayu, terutama mereka yang mempunyai izin usaha dan mempunyai modal yang besar; dan pemerintah yang berperan sebagai fasilitator dan regulator dalam peredaran kayu di Bulukumba sehingga kayu yang ditebang dapat segera diolah ataupun dikirim ke luar daerah disertai dokumen SKSHH. Melalui kegiatan kemitraan diharapkan semua pelaku pasar dapat memerankan peran mereka masing-masing sesuai dengan yang diharapkan dan tidak terdapat peran yang mendominasi. Pembagian peran yang merata diharapkan berdampak pada pembagian margin keuntungan yang merata. Dengan demikian, semua masalah yang timbul dapat terselesaikan dan semua pihak yang bermitra dapat saling bekerja sama dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan rakyat, yaitu “hutan lestari rakyat sejahtera”. DAFTAR PUSTAKA Awang, S.A., Andayani, W., Himmah, B., Widayanti, W.T. & Affianti, A. (2002). Hutan Rakyat (Sosial Ekonomi dan Pemasaran). Yogyakarta: BPFE. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Darusman, D. & Hardjanto. (2006). Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil PeneLitian Hasil Hutan: 4–13. Diakses dari http://storage.jak-stik.ac.id pada tanggal 27 Februari 2014.
148 |
Effendi, R. (2011). Kajian Tata Niaga Kayu Rakyat di Pulau Jawa Bagian Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 8 No. 4, Oktober 2011, Hal. 251–258. Bogor. Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran. PT. Intan Sejati Klaten. Nazir, M. (1983). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Pramono, A.A., Fauzi, M.A., Widyani, N., Heriansyah, I. & Roshetko, J.M. (2010). Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan untuk Petani. CIFOR, Bogor, Indonesia. Roshetko, J.M. & Yulianti. (2002). Pemasaran untuk Hasil-hasil Wanatani di Tingkat Petani. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara. International Centre For Research In Agroforestry Dan Winrock International, Bali. Social Community Foundation. (2013). Sekilas Kajian Pengelolaan Hutan Hak di Bulukumba. Diakses dari http:// scf.or.id pada tanggal 27 Februari 2014. Stanton, W.J. (2001). Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Wirartha, I.M. (2006). Metode Penelitian Sosial Ekonomi. CV. Andi Offset, Yogyakarta. Zain, A.S. (1998). Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta.
| 149
THE ROLES OF MARKET PLAYERS IN THE DISTRIBUTION OF TIMBER PRIVATE FOREST IN THE CONTEXT OF PARTNERSHIPS Rini Purwanti ABSTRACT Private forests (PF) located in Bulukumba are dominated by species of timber trees such as teak (Tectona grandis), Albizia (Paraserianthes valcataria), mahogany (Swietenia mahogany), white teak (Gmelina arborea), and bitti (Vitex cofassus). Woods from PF are intended for the purposes of construction of houses, making furniture industry, boat industry, and for small-scale industries. Private forest timber marketing activities in Bulukumba involves multiple parties. The aims of this study are to identify the existing market players and their respective roles in the activities of distribution and/or marketing of private forest timber in Bulukumba. Business and/or marketing activities of private forest timber involve five market players, namely, farmers, middlemen; sawmill industries, PT.PAL and government. Farmers as wood producers, middlemen as representatives of industries, in addition to buying timber from villages, they will resell the timber to sawmill industries. The roles of sawmill industries are to process timber into sawn woods or planks and as capital providers to middlemen. PT PAL industry plays a role to process woods into veneer while the government acts as facilitator and regulator in the management of forest products. The three parties (namely: community, private sector, and government) are involved in the existing forestry partnership activities. This partnership program is implemented in Balong Village and Karassing Village. These two villages were selected because there have been partnership embryos and strong desires of community in the villages to make improvements in forest management. It is hoped that through these partnership activities all parties involved in the partnerships will play their respective roles as expected, so that there will be no parties who play the most dominant roles. Under these circumstances, the level of farmers' income can be increased as the effects of the activities of partnerships being implemented, and the revitalization of farmers towards better condition can be achieved. Keywords: private forests, market players, partnerships
150 |
I.
INTRODUCTION
Forests which are located on lands subject to land rights are referred to as right forests. Right forests are further explained that they are grown or planted on private lands (Zain, 1998). Darusman & Hardjanto (2006) define private forest as forest plantations which are planted on community or private lands. The existence of private forests in Indonesia is increasingly important as they are contributing to the supply of timber for the needs of woods industry. In addition, private forests are one of the means of improving the welfare of community, especially for those living in rural areas (Pramono et al., 2010). Meanwhile, Awang et al. (2002) state that private forests are the forests, the management of which is carried out by the forest community organizations both on lands owned by individuals, communal lands, traditional lands, or on lands acquired by the state. Private forests are commonly composed of an ecosystem of unit of life ranging from perennial crops, non-timber forest products, animals, fruit trees, seasonal farming units, farms, goods and services, as well as outdoor recreation. Bulukumba District has got approximately 8,400 ha of state forests consisting of 3,500 ha for protected forests (42%), 500 ha for production forests (6%), 3,400 ha for forest preserves (42%), and 900 ha for limited production forests (10%). Meanwhile, the area of right forests or private forests in Bulukumba is approximately 21,800 ha which is spread over nine sub-districts (Gantarang, Ujungloe, Gantarang, Bontobahari, Bontotiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, and Kindang), and only one sub-district (Ujungbulu) which does not have significant private forests (Bulukumba Forest Service, 2005). Private forests in Bulukumba consists of forest trees such as teak (Tectona grandis), albizia (Paraserianthes falcataria), mahogany (Swietenia mahagoni), white teak (Gmelina arborea), and bitti (Vitex cofassus), while agricultural
| 151
crops are composed of cocoa, coffee, pepper, cloves, cashew and others (Social Community Foundation, 2013). Forest exploitation under non-concession rights has been done by community on a small scale by using simple or traditional technology, both for self-subsistence and as a source of income. Species of timber which are commonly cultivated are known as local timber, intended for the purposes of construction of houses, furniture industry, boat industry, fuel, and for the needs of small-scale industry. In view of such great benefits of forest production, sound marketing processes is required to increase the value of forest production. Marketing is a whole system of business activities aimed at planning, pricing, promoting and distributing goods or services that satisfy the needs of both the existing and potential buyers (Stanton, 2001). In the efforts of distributing such woods from producers to consumers, forest farmers require marketing players or distribution agencies which can help and facilitate smooth flow of the commodity. Market players in this context are those who are involved in marketing activities and/or in wood business system. In Bulukumba, there are some people or institutions that play roles in the private forest timber or timber marketing activities. Since there are so many market players, it is important to know the roles of each of them, as well as whom among the market players that is the most responsible for the marketing of private forest timber in Bulukumba. The objectives of this study are to identify the existing market players in distribution or marketing activities of private forest timber and their respective roles in Bulukumba. Therefore, the targets of this study are the identification of market players, the roles of each market player, and revealing the most active and responsible parties for the marketing activities of private forest timber in Bulukumba are. 152 |
This study applies descriptive analysis method. Descriptive analysis is a method in researching the status of an object, a set of conditions, the system of thought or the class of events at the present moment (Nazir, 1983). Descriptive method aims to describe systematically and accurately the facts and characteristics of population or a particular field. This study tries to describe a situation or an event. Data are collected solely descriptive in nature and they are not intended to seek explanations, test hypotheses, make predictions, and to study the implications. This method is limited to revealing a problem, situation or an event as it is (Wirartha, 2006). II.
IDENTIFICATION OF MARKET PLAYERS
1. Farmers In this case, private forest farmers are people who have grown timber on their smallholders and have got the rights to make sales of their timber. Based on the observations, most of the farmers sell their timber in the form of tree stands. In this way, the timber sold not on the basis of volume but on the basis of diameter only. The larger the diameter of the trunk, the more expensive the price will be. Farmers usually sell the timber because of some economic pressure; for instance, when they are to meet the needs for marriage or wedding activities of their families, thanksgivings, or because of other matters. Meanwhile, other people also harvest their timber trees for the construction of houses. Most of the species of timber sold by farmers are teak, mango, bitti and sengon. Usually buyers come to the farmers and then sale-purchase transaction will be in the forms of logging and wood transport. Under this scheme all administrative costs will be borne by the buyers and most of transactions are done by middlemen. Timber prices usually depend on the species of wood, diameters, and the distance of purchase location.
| 153
In general, barriers experienced by farmers are associated with non-standard prices of timber. Although timber pricing may be able to be compromised, but mostly buyers still determine the prices. This situation occurs due to the fact that farmers do not want to be bothered to arrange the necessary documents and farmers usually let all matters associated with the sales of woods be carried out or taken care by middlemen or intermediary traders. In this way, farmers only act as price takers and they do not have any bargaining power in determining their own prices. Restricted roles of farmers in marketing process also limit their income. These restricted roles are mainly caused by limited of (Roshetko & Yulianti, 2002): capital and labours availability; access to market information and demand; knowledge about product quality specifications and its connection with market choices; non permanent relationships with markets that they may only know the timber collectors or local traders, or they might always wait for the traders to visit them; and there are no groups or cooperatives established which are qualified enough to carry out marketing activities. 2. Middlemen Middlemen or collectors act as a marketing ‘institution’ which purchase timber from producers which are then sold to wholesalers or consumers. In Bulukumba independent middlemen purchase timber directly from the farmers, or collect timber and then sell them to industry in the form of logs. Besides, there are intermediary traders who are in fact the representatives of local industries, especially of those who have got their business permits. Most of middlemen or intermediary trades have some difficulties in obtaining their business permits to establish their own business legal entities, so that the only way that they can do is to seek 154 |
protection or hide behind industries which have got their licenses. In addition, they also often get some capitals from such industries to find timber to be sold, by doing all types of the arrangement of all necessary documents and/or paperwork and then transport all timber to industries concerned. 3. Industries/Corporation There are many wood based-processing industries in Bulukumba. These industries include sawmills, handicrafts, and boat industry. Sawmill industry is the industry that has a sawmill machinery and it processes logs into pads and from pads into sawn timber. The average needs for sawmill industry's raw material is around 100–150 m3 per month. The woods that have been processed are used by buyers both from within and outside Bulukumba. The results of the identification of the wood-based industries in Bulukumba show, among others, that the existing industries consist of craft industry, furniture industry, and industry. Craft industry is an industry which processes woods into handicrafts. In addition, there are furniture industries, frames, house furnishing and so on. Raw materials for these industries are generally obtained from the sawmill industry. The need for raw materials of this industry for teak is around 2 m3 per month and for cenrana is 1 m3. Meanwhile, the handicrafts are mostly ordered by communities living around Bulukumba. Boat industry is an industry which assembles or processes planks of wood into boats. The commonest types of boats built are the phinisi boats used both for sailing and fishing. In the past, the main raw materials of building the boats are bitti woods, but because now this kind of woods is so scarce, other species of woods are used such as such as teak, iron wood, bayam wood, meranti, merbau and other kinds of woods, except for the construction of "kelu" or the skeleton of boat, | 155
which is still much used up to now, is made from bitti. A total of 20% of raw materials obtained from within Bulukumba and another 80% is from outside Bulukumba. The origins of those raw materials, among others, are Bantaeng District, Sinjai District, Southeast Sulawesi, Maluku and Irian or Papua. The amount of raw materials needed for building boats depends on the sizes of the boats that will be built. It usually takes about two months to build a small boat, but it may even take up to seven months to build a larger boat. At present, there are 21 phinisi industries in Bulukumba but only six of them have got their Business Licenses. Most of the existing industries are branches of large industries which have got business permits. Middlemen and industries who currently do not have business permits usually act as representatives of industries which have obtained their own licenses. 4. PT PALOPO ALAM LESTARI (PAL) PT PAL is one of the industries engaged in the processing of logs into veneer. Raw materials used by this industry, among others, are sengon, gmelina and mahogany, which are coming from both within and outside Bulukumba. Currently most of the raw materials are supplied by PT London Sumatra (LONSUM), which supplies rubber wood (as the result of rejuvenation). The average amount of raw materials needed by PT PAL is around 18,000 m3 per year. Firstly, PT PAL processes logs into veneer and then the veneer is made into plywood by PT PAMPLI located in Palopo, South Sulawesi. 5. Government In this case the government refers to Bulukumba Forest Service and other related agencies which act as facilitators and regulators that link communities and companies. The roles of facilitators in this context are related to providing services to the community and market players in the form of 156 |
the management of private forest products (which is commonly referred to as “PUHHR”) such as matters related to woods harvesting and log transport document (that is, Certificate of Logs Legality (SKSKB)). Meanwhile, the roles of the regulator are related to the making of rules or policies which support private forest management activities in Bulukumba. These rules or policies are usually stipulated in the Regional Regulation (PERDA). III. DISTRIBUTION OF PRIVATE FOREST TIMBER IN BULUKUMBA Distribution is the process of moving goods from producers or manufacturers to consumers (Kotler, 2005). So far, private forest timber distribution activities in Bulukumba District so far are influenced by both internal and external conditions. Internal conditions involve actors who are directly engaged in wood marketing activities that is, farmers, middlemen or intermediary traders, industries, and PT PAL as well as other actors who are not directly engaged but having some influence in wood marketing activities (Forestry Services and regional Revenue Services, 2005). External factors, on the other hand, are influential marketing players outside Bulukumba. They purchase timber by ordering through existing traders and sometimes they come directly to locations and immediately make purchase transactions (farmgate price) with farmers. The presence of these actors can influence prices which are already applicable in the market. This situation, however; is actually beneficial to the farmers because sometimes they may get higher prices. Timber coming from private forests in Bulukumba is not only for consumers consumers within Bulukumba but also used by consumers outside Bulukumba, such as from Makassar. They are even often shipped to Java Island and other islands as well. The amount of timber that comes out of Bulukumba in 2002 and 2003 was totaling around 1,250 m 3 and around 950 | 157
m3. Meanwhile, the amount of woods that went into Bulukumba for the last two years was around 2,200 m 3 and around 2,900 m3 (Bulukumba District Forestry Service Office, 2005). Great amount of woods coming out of Bulukumba has been influenced by several factors such as the number of requests from outside Bulukumba, higher prices than those in Bulukumba, and more varied market structures outside Bulukumba. Effendi (2011) states that in detail, some problems related to the distribution of community timber can be grouped into institutions or agencies involved in the channels of their trade system, among others, are as follows: 1. Farmers as community timber producers: a) farmers’ organization is weak, b) low economic capacity, c) low (small) profit margin, d) lack of knowledge or skills and e) greater sharing against environmental damages (erosion, water management, oxygen, microclimate, reducing deficit of national raw materials). 2. Middlemen: a) traders purchase timber in the form of tree stands with lower prices, b) bigger profit margin, c) lower sharing on environmental sustainability, and d) market information to producers is limited. 3. Community wood Industry (sawmill): a) low technological ability, b) generates a lot of waste (not used efficiently yet), waste of natural resources, c) low sharing of maintenance of environmental quality, d) larger profit margin (disproportionately), e) company’s low commitment to improving the welfare of farmers. 4. Entrepreneurs/exporters of processed woods: a) the supply is not continuous b) require a high quality of woods, c) the price is too low, d) lack of environmental concerns. 5. Local government as a production factor: a) having limited ability (lack of human resources and facilities), b) weak legislation, and c) ineffective organization. 158 |
IV. CONCLUSION Some of the identified market players of private forest timber in Bulukumba, among others: farmers, middlemen, industries, PT PAL, and the government. Farmers as producers of raw materials while entrepreneurs are those who are the most responsible for the marketing activities of the woods, especially those who have got business licenses and bigger capitals while the government serves as a facilitator and regulator in timber circulation in Bukukumba, so that the harvested timber or logs in Bulukumba can be immediately processed or shipped outside the region covered by Certificate of Legal Forestry Products (SKSHH). It is expected that through partnership activities all market players can play their respective roles, and there are no longer dominating roles. Equitable division of roles is expected to generate positive impacts on the equitable distribution of profit margins. Thus, all problems that arise can be resolved and all parties in the partnerships can work together to achieve the objectives of community forest management, that is, to establish "sustainable forests and prosperous people ". BIBLIOGRAPHY Awang, S.A., Andayani, W., Himmah, B., Widayanti, W.T. & Affianti, A. (2002). Hutan Rakyat (Sosial Ekonomi dan Pemasaran). Yogyakarta: BPFE. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Darusman, D. & Hardjanto. (2006). Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil PeneLitian Hasil Hutan: 4–13. Diakses dari http://storage.jak-stik.ac.id pada tanggal 27 Februari 2014. | 159
Effendi, R. (2011). Kajian Tata Niaga Kayu Rakyat di Pulau Jawa Bagian Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 8 No. 4, Oktober 2011, Hal. 251–258. Bogor. Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran. PT. Intan Sejati Klaten. Nazir, M. (1983). Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Pramono, A.A., Fauzi, M.A., Widyani, N., Heriansyah, I. & Roshetko, J.M. (2010). Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan untuk Petani. CIFOR, Bogor, Indonesia. Roshetko, J.M. & Yulianti. (2002). Pemasaran untuk Hasil-hasil Wanatani di Tingkat Petani. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara. International Centre For Research In Agroforestry Dan Winrock International, Bali. Social Community Foundation. (2013). Sekilas Kajian Pengelolaan Hutan Hak di Bulukumba. Diakses dari http:// scf.or.id pada tanggal 27 Februari 2014. Stanton, W. J. (2001). Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Wirartha, I.M. (2006). Metode Penelitian Sosial Ekonomi. CV. Andi Offset, Yogyakarta. Zain, A.S. (1998). Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta.
160 |
DISTRIBUSI MARGIN TATA NIAGA KAYU HUTAN RAKYAT DALAM MENDUKUNG KEMITRAAN Nurhaedah Muin ABSTRAK Kehadiran beberapa pelaku pasar dapat memengaruhi distribusi margin tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba dalam mendukung kemitraan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat empat jalur distribusi kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, yaitu: 1) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill– Pedagang Kayu, 2) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill–Industri Perahu, 3) Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill– Industri Mebel, dan 4) Petani–Mitra Antara–PT Palopo Alam Lestari (PT PAL). Jalur distribusi yang ada menunjukan margin yang tidak merata, yang mana petani sebagai produsen menerima harga yang rendah dibandingkan dengan Mitra Antara ataupun pengusaha. Distribusi margin sangat bervariasi, namun rata-rata margin terbesar pada tiap saluran pemasaran diperoleh Mitra Antara, yaitu 49–84%, baik untuk kayu jati maupun rimba campuran. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan kelompok tani dan transparansi harga perlu dilakukan agar margin tata niaga dapat terdistribusi merata. Kata kunci: margin, tata niaga, hutan rakyat, kemitraan
I.
PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu di Kabupaten Bulukumba umumnya dipenuhi dari hasil hutan rakyat. Hutan rakyat berperan sebagai penyuplai kayu, baik untuk kebutuhan masyarakat lokal maupun industri. Keberadaan beberapa industri kayu di Bulukumba dapat memengaruhi harga kayu sehingga memotivasi masyarakat untuk mengelola hutan rakyat. Salah satu faktor penting dalam pemasaran kayu adalah tata niaga kayu. Tata niaga kayu di Kabupaten Bulukumba, khususnya kayu hutan rakyat, masih belum optimal dirasakan | 161
oleh masyarakat karena penerimaan yang diperoleh belum sesuai dengan pengorbanan yang dilakukan. Margin adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Kotler, 2005). Sementara itu, saluran distribusi suatu barang dapat diartikan sebagai saluran yang dilalui dalam proses pengaliran suatu barang dari produsen hingga ke konsumen akhir. Panjangnya saluran distribusi setiap jenis barang berbeda-beda, tergantung pada banyaknya lembaga distribusi atau pemasaran. Kondisi yang adil adalah kondisi di mana pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam tata niaga mendapatkan harga yang layak sesuai dengan kontribusinya. Sistem tata niaga yang efisien dapat dicapai apabila barang dipindahkan dari konsumen ke produsen dengan biaya yang minimal, sedangkan nilai tambah yang dihasilkan terbagi secara proporsional di antara lembaga yang terlibat ([Mosher, 1966; Mubyarto, 1989; Koch, 1983] dalam Darma et al., 1996). Di Kabupaten Bulukumba, pihak yang bertindak sebagai produsen hutan rakyat adalah petani. Petani menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri (hamparan) kepada mitra antara. Selanjutnya, mitra antara menjual ke industri sawmill (PT PAL), industri mebel, industri perahu, pedagang lokal, dan pedagang antarpulau. Kehadiran beberapa pelaku pasar kayu hutan rakyat menjadi salah satu alasan perlunya diketahui distribusi margin tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba dalam mendukung kemitraan. Tulisan ini menguraikan tentang kebutuhan kayu hutan rakyat bagi industri di Kabupaten Bulukumba, jalur distribusi kayu hutan rakyat, distribusi margin pada tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten, serta distribusi margin melalui skenario kemitraan.
162 |
II.
KEBUTUHAN KAYU HUTAN RAKYAT BAGI INDUSTRI DI KABUPATEN BULUKUMBA
Kabupaten Bulukumba memiliki luas pengembangan hutan rakyat sekitar 14.000 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2013). Namun dari data IPKHR tahun 2005, Kabupaten Bulukumba hanya dapat memproduksi kayu sekitar 20.000 m3/tahun. Sementara, industri di Kabupaten Bulukumba membutuhkan kayu hutan rakyat sebesar 572.100 m3 per tahun (Tabel 1). Jadi, terdapat kekurangan pasokan bahan baku sekitar 552.100m 3/tahun. Di lain pihak, sektor kehutanan juga dibebani oleh target PAD yang setiap tahunnya cenderung meningkat dengan nilai rata-rata berkisar 8,7–20% (2004–2006) sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan dalam pengelolaan hutan rakyat di daerah tersebut. Pada Tabel 1 disajikan kebutuhan kayu hutan rakyat bagi industri di Kabupaten Bulukumba. Tabel 1. Jumlah rata-rata kebutuhan kayu hutan rakyat bagi industri di Kabupaten Bulukumba No. Jenis Usaha/ Jumlah Industri (unit) 1. Industri sawmill 11 2. Industri perahu 21 3. Industri mebel 65 4. PT PAL 1 Jumlah Sumber: Dinas Kehutanan, 2005
Kebutuhan (m3/tahun) 9.840 4.560 2.340 18.000
Total Kebutuhan (m3/tahun) 108.240 95.760 152.100 216.000 572.100
III. JALUR DISTRIBUSI DAN MARGIN TATA NIAGA KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BULUKUMBA Jalur distribusi kayu hutan rakyat menggambarkan proses pendistribusian kayu dari petani di lahan milik sebagai produsen kayu sampai ke konsumen (Effendi, 2011). Jalur tata niaga kayu jati dan rimba campuran yang terdiri dari | 163
sengon, bitti, gmelina, mahoni dari petani ke konsumen di Kabupaten Bulukumba memiliki empat jalur distribusi, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill–Pedagang Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill –Industri Perahu Petani–Mitra Antara–Industri Sawmill–Industri Kerajinan Petani–Mitra Antara–PT PAL
Jalur Distribusi 1; jalur distribusi ini terjadi karena petani menjual kayunya ke Mitra Antara (MA) yang langsung datang ke lahan petani. MA melakukan pembelian kayu dari para petani, melakukan kegiatan penebangan, sekaligus mengangkut langsung keluar dari hutan. MA ini juga melakukan pengurusan semua biaya administrasi yang harus dikeluarkan untuk melakukan kegiatan cruising kayu. MA ini biasanya diberi modal awal oleh industri sehingga mereka mempunyai keterikatan dengan pihak industri. Setelah itu, kayu-kayu diangkut ke industri, selanjutnya diangkut ke Makassar dan sebagian dikirim ke Surabaya atau tempat lain. Jalur Distribusi 2; jalur distribusi ini terjadi karena adanya industri perahu yang membutuhkan bahan baku untuk pembuatan kapal/perahu. Industri perahu ini membutuhkan kayu dalam jumlah yang cukup besar sehingga mereka bekerja sama dengan MA pada beberapa industri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sumber bahan baku berasal dari Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, Irian, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Jalur Distribusi 3; jalur distribusi ini terjadi karena adanya industri-industri mebel ataupun kerajinan di Kabupaten Bulukumba yang membuat perabot rumah tangga, seperti lemari dan kursi. Industri kerajinan ini mengambil bahan baku mereka dari MA dan industri sawmil yang ada di Kabupaten Bulukumba. Jalur distribusi 4; jalur distribusi ini terjadi karena PT PAL membutuhkan bahan baku untuk pembuatan veneer sebagai 164 |
bahan baku plywood. Perusahaan melakukan pembelian kayu dari MA yang langsung membeli dari petani. Jadi, semua biaya administrasi dapat ditanggung oleh perusahaan atau MA, namun hal ini akan berpengaruh terhadap harga pembelian pada PT PAL Biasanya, petani menerima harga bersih dari MA setelah dikurangi dengan semua pengeluaran untuk biaya administrasi. A.
Distribusi Margin Tata Niaga Kayu Jati di Kabupaten Bulukumba
Analisis margin tata niaga dapat digunakan untuk mengetahui distribusi margin tata niaga yang terdiri dari biaya dan keuntungan dari setiap aktivitas lembaga pemasaran yang berperan aktif, serta untuk mengetahui bagian harga (farmer share) yang diterima petani (Hakim et al., 2009). Margin tata niaga kayu jati merupakan perbedaan harga yang diterima petani sebagai produsen terhadap harga yang diterima konsumen (pedagang kayu dan industri). Kayu jati dianalisis dengan menggunakan jalur tata niaga 1, 2, dan 3. Pada berbagai jalur distribusi, petani menjual kayu jati dalam bentuk pohon berdiri dan kadang-kadang dalam bentuk hamparan kepada MA. Harga jual tanpa memperhitungkan umur pohon dengan harga rata-rata Rp1.000.000/m3. Namun, harga jualnya sangat rendah dibandingkan dengan harga jual oleh MA dalam bentuk bantalan, yaitu Rp1.950.000/m3. Margin tata niaga kayu jati jalur 1 pada tingkat MA mencapai 49% yang terdiri dari biaya pemasaran 21% dan keuntungan pemasaran 27%. Artinya, keuntungan pemasaran total yang diperoleh lebih besar dari biaya pemasaran total yang dikeluarkan, dan kondisi ini berlaku pula pada jalur 2 dan 3 pada tingkat MA. Pada jalur 2, margin tata niaga mencapai 112% yang tersebar pada MA, industri sawmill, dan industri perahu. Dari nilai | 165
margin 112% tersebut, persentase tertinggi diperoleh MA, yaitu 49%. Margin tata niaga kayu jati pada jalur 3 mencapai 137% dan persentase tertinggi diperoleh industri mebel lemari, yaitu 53,28% dan terendah adalah industri mebel kursi, yaitu 12,5%. B.
Margin Tata Niaga Kayu Rimba Campuran di Kabupaten Bulukumba
Jalur distribusi untuk jenis kayu rimba campuran (kayu sengon, bitti, pude, gmelina, rita, dan mangga) yang ditemukan pada tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba adalah jalur 1, 2, dan 4. Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani sebagai produsen adalah sama dengan kayu jati, yaitu dalam bentuk pohon berdiri dan kadangkadang dalam bentuk hamparan kepada MA. Harga jual tanpa memperhitungkan umur pohon dengan harga rata-rata Rp190.000/m3. Namun, harga jualnya sangat rendah dibandingkan dengan harga jual oleh MA dalam bentuk bantalan, yaitu Rp1.200.000/m3. Margin tata niaga pada jalur 2 mencapai 157% yang tersebar pada MA, Industri sawmill, dan Industri perahu. Namun, di antara tiga pelaku pasar, persentase margin tertinggi diperoleh MA dengan margin sebesar 84%. Margin tata niaga pada jalur 3 mencapai 177% yang tersebar pada MA, industri sawmill, dan PT PAL. Pada jalur ini, margin terbesar diperoleh MA sebesar 84%, sedangkan PT PAL memperoleh sebesar 68,75% . Menurut Nurhaedah & Purwanti (2007), distribusi margin yang belum merata antara pelaku yang terlibat dalam tata niaga kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
166 |
Pemberian izin tidak berdasarkan potensi, tetapi target PAD Kondisi saat penelitian, pemberian izin diatur oleh Perda No. 60/2001 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Hak dengan batasan-batasan/tergantung dari pemohon izin dari tingkat perorangan, CV/badan usaha, koperasi maupun PT, mulai dari IPKHR dengan luasan 100–200 ha dengan target bulanan sekitar 200 m3/bulan. Sementara, kondisi potensi HR yang ada hanya dapat memenuhi sekitar 20.000 m3/tahun (data IPKHR, 2005), sedangkan industri membutuhkan kayu hutan rakyat sebesar 572.100 m3/tahun. Jadi, terdapat kekurangan pasokan bahan baku sekitar 552.000 m3/tahun. Di lain pihak, taget PAD setiap tahunnya selalu meningkat, rata-rata berkisar 8,7–20% dalam kurun waktu 2004–2006. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai aturan retribusi, pajak, tarif, dan berbagai biaya informal yang menjadi beban bagi pelaku pasar dan menekan harga di tingkat petani. Pasokan kayu masuk dan keluar Kabupaten Bulukumba tidak dibatasi Belum ada regulasi yang mengatur mengenai kayu masuk dan keluar Kabupaten Bulukumba. Regulasi tersebut dalam bentuk proteksi untuk membatasi bentuk produk yang masuk dan keluar, baik dalam bentuk log, bantalan maupun sawn timber yang juga akan berpengaruh pada keberlanjutan proses produksi industri perkayuan, khususnya sawmill. Akibatnya, industri kekurangan bahan baku karena dijual keluar daerah dalam bentuk bantalan. Saat penelitian, terdapat beberapa industri yang tidak beroperasi karena kekurangan pasokan bahan baku. Keterbatasan kesempatan untuk mengolah kayu mengakibatkan keterbatasan pula dalam memperoleh margin keuntungan.
| 167
Harga kayu di Makassar dan Pulau Jawa lebih kompetitif dibandingkan dengan harga di Kabupaten Bulukumba Harga kayu jati dalam bentuk log di pasar lokal Kabupaten Bulukumba berkisar Rp1.000.000–2.000.000/m3, sedangkan jenis rimba campuran yang terdiri dari kayu sengon, pulai, bitti, pude, dan mangga berkisar Rp1.150.000– 1.250.000/m3. Sebaliknya, harga kayu di Makassar berkisar Rp.2.000.000–3.000.000/m3. Hal ini menyebabkan kayu lebih banyak dijual keluar Bulukumba sehingga margin keuntungan diperoleh pedagang dari luar kabupaten. Efisiensi tata niaga dapat dicapai, antara lain apabila sarana dan prasarana perhubungan (transpor dan komunikasi) baik sehingga jarak antara produsen dan konsumen lebih dekat, serta struktur pasar yang kompetitif ([Mosher, 1966; Mubyarto, 1989; Koch, 1983] dalam Darma et al., 1996). C.
Distribusi Margin Melalui Skenario Kemitraan
Sesuai dengan konsep kemitraan yang dipaparkan pada tulisan sebelumnya, yaitu aspek finansial dan ekonomi dalam kemitraan pengelolaan hutan rakyat (Wakka & Bisjoe, 2014), masing-masing aktor dalam skenario kemitraan diharapkan dapat melaksanakan perannya mewujudkan salah satu tujuan kemitraan, yaitu tata niaga yang efisien dan saling menguntungkan. Sebelum adanya skenario kemitraan, petani umumnya menjual kayu secara perorangan dalam bentuk pohon berdiri atau hamparan. Oleh sebab itu, setelah adanya skenario kemitraan ini diharapkan petani tidak lagi menjual perorangan, tetapi lebih memberdayakan kelompok tani (KTP) yang produktif untuk sarana penjualan kayu secara kolektif. Selain itu, kelompok tani nantinya diharapkan pula menjadi mitra bagi perusahaan atau industri. Bila hal ini dapat terwujud, berarti terjadi pemotongan jalur distribusi dari petani langsung ke 168 |
industri. Pemotongan jalur distribusi tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatan harga kayu yang diterima masyarakat dan margin tata niaga akan lebih merata. Selain itu, KTP bersama anggotanya diharapkan pula dapat melakukan inventarisasi tegakan sehingga petani tidak lagi menjual kayunya dalam bentuk hamparan tetapi dalam bentuk kubikasi dan mempunyai rencana tebangan untuk semua anggota KTP, termasuk jatah tebang per kelompok. Pemberdayaan kelompok memungkinkan petani untuk mengelola kelompoknya, baik dalam hal keuangan maupun pendistribusian bantuan secara merata, seperti bibit dari mitra. Keterkaitannya dengan pengusaha, skenario kemitraan diharapkan menjadikan petani memiliki posisi tawar dengan para pengusaha dalam menentukan harga. Penentuan harga tidak lagi didominasi oleh MA ataupun para pengusaha, tetapi petani pun [dalam hal ini KTP] memiliki kekuatan dalam menentukan harga ataupun jumlah kayu yang akan dijual. Jika petani dapat memiliki komitmen dengan kelompoknya, pengusaha tidak akan mempermainkan harga, bahkan kemungkinan petani dapat mematok harga sesuai dengan kontribusinya, mulai dari penanaman kayu hingga pemanenan. Jika skenario ini berjalan, masing-masing pihak tentunya akan mendapatkan kontribusi sesuai dengan pengorbanannya. Bahkan, jika masing-masing pihak memiliki keterikatan untuk saling membutuhkan (petani sebagai produsen membutuhkan pengusaha sebagai pembeli atau konsumen, sebaliknya industri sebagai konsumen memerlukan bahan baku untuk keberlanjutan usahanya), masingmasing pihak dapat memiliki kekuatan dalam penentuan harga. Penentuan harga tidak lagi didominasi oleh salah satu pihak, tetapi negosiasi dalam penentuan harga menjadi sebuah kebutuhan, yang mana pihak-pihak yang terlibat dalam tata niaga merasa saling memerlukan. Melalui skenario kemitraan, pihak pengusaha atau industri (sebagai konsumen pada posisi ke dua setelah MA) yang merupakan pihak | 169
pemilik modal, baik dalam bentuk dana tunai maupun sarana, dapat berhubungan langsung dengan KTP dalam proses pembelian kayu. Dalam hal pengurusan dokumen, setelah adanya skenario kemitraan, pengurusan cruising dan pengambilan SKSHH diharapkan dapat dilakukan melalui satu pintu. Jika skenario ini berjalan, terdapat pemotongan biaya pada tingkat MA ataupun pihak yang nantinya berhubungan dengan hal ini. Efisiensi biaya pada berbagai tingkat diharapkan dapat memperkuat harga, baik pada tingkat petani sebagai produsen maupun pengusaha/industri sebagai konsumen, serta nilai margin akan merata pada pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran. Kendala saat ini adalah harga beli pengusaha/industri pada tingkat petani sangat tidak berimbang dengan harga jual pada tingkat MA ataupun pengusaha [dalam hal ini industri]. Namun, hal ini tidak dapat ditekan karena pihak pengusaha ataupun MA memiliki kewajiban untuk mengeluarkan berbagai biaya yang seharusnya dapat ditekan. Dengan demikian, hal ini sangat berpengaruh pada kesenjangan harga yang diterima petani sebagai produsen dan pengusaha sebagai konsumen, yang pada akhirnya menimbulkan nilai margin yang tidak merata. Jika saat ini, pengusaha memiliki peran sebagai pemberi bibit kepada petani tanpa disertai aturan untuk menjual kayunya kepada pengusaha pemberi bibit. Pada masa depan, hal ini akan berpengaruh kepada keberlanjutan penyediaan bibit sebagai salah satu motivasi masyarakat untuk menanam tanaman kayu. Melalui skenario kemitraan, petani sebagai produsen diharapkan menjual kayunya kepada pengusaha yang memberikan bantuan bibit agar masing-masing pihak mendapatkan keuntungan sesuai posisinya, baik produsen (dalam hal ini berbentuk kemudahan dalam menanam) maupun konsumen sebagai pihak yang membutuhkan keberlanjutan penyediaan bahan baku. Para pengusaha diharapkan pula memberikan bibit secara merata dengan 170 |
prioritas kepada petani yang telah memanen hutan rakyatnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku ke depan. Dengan demikian, industri berjalan stabil dan harga ataupun margin yang diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tata niaga akan terdistribusi secara merata. Terkait dengan kondisi petani, setelah adanya skenario kemitraan diharapkan petani dapat menaksir jumlah biaya yang dikeluarkan, mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga panen kayu. Dengan demikian, petani tidak lagi menjual dalam bentuk pohon, tetapi dalam bentuk kubikasi dengan memperhitungkan umur pohon dan diameter kayu. Hal ini akan berpengaruh pada harga yang akan diterima oleh petani sebagai produsen kayu. Namun, hal ini harus diimbangi dengan penguatan daya beli oleh pihak pengusaha, misalnya dengan menerapkan standardisasi harga pembelian kayu sehingga pembelian kayu dapat dilakukan dengan sistem grading. D.
Revitalisasi Petani Dalam Jalur Tata Niaga
Revitalisasi adalah proses, cara, atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2015). Revitalisasi pendapatan petani hutan rakyat dapat dilakukan melalui beberapa aspek, antara lain akses informasi tata niaga dan kelembagaan. Pendapatan petani dapat ditingkatkan melalui pemberian akses informasi yang luas. Pengetahuan terhadap informasi harga standar ataupun perkembangan harga kayu di pasaran akan sangat membantu petani dalam menentukan posisi harga jual. Petani dapat mengakses informasi secara luas melalui penguatan kelembagaan, dalam hal ini kelompok tani. Petani juga dapat memperoleh harga yang layak sesuai dengan kontribusinya melalui transformasi sistem penjualan kayu dari pohon berdiri ke bentuk kubikasi. Hal ini memung| 171
kinkan jika petani memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara menaksir volume kayu dan perhitungan kubikasi. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui keikutsertaan dalam training inventarisasi tegakan dan training yang bersifat meningkatkan pengetahuan petani, baik teknis maupun nonteknis. Penguatan kelembagaan merupakan salah satu pilihan dalam memperkuat posisi masyarakat, bukan hanya sekedar meningkatkan frekuensi pertemuan antaranggota kelompok, tetapi juga memperkuat nilai-nilai yang sudah dianut sehingga ada ikatan moral antaranggota untuk bersama-sama berjuang meningkatkan kesejahteraan mereka. Posisi sebagai penerima harga (price taker) dapat bergeser menjadi mitra bagi pengusaha dan memotong margin di tingkat MA. Biayabiaya yang dikeluarkan oleh MA diambil alih oleh petani yang dilakukan secara kolektif sehingga distribusi margin lebih tinggi pada tingkat petani. Secara kelompok, petani juga dapat mengadakan mesin sawmill sehingga dapat menjual kayu dalam bentuk yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. IV. KESIMPULAN Terdapat empat jalur distribusi kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Khusus kayu jati, jalur distribusinya melalui jalur 1, 2, dan 3; sedangkan jalur distribusi kayu rimba campuran adalah jalur 1, 2, dan 4. Analisis margin menunjukan bahwa petani menerima harga yang sama pada berbagai jalur distribusi untuk jenis kayu sama. Rata-rata persentase margin tertinggi diperoleh Mitra Antara, yaitu sekitar 49% untuk kayu jati dan 84% untuk kayu rimba campuran. Permasalahan tata niaga yang dominan berada pada tingkat petani. Namun, terdapat peluang perbaikan melalui skenario kemitraan, yaitu dengan pemberdayaan kelompok tani, peningkatan kapasitas, dukungan kebijakan, dan transparansi informasi. 172 |
DAFTAR PUSTAKA Astana, S., Sabarudi & Muttaqin, Z. (2002). Evaluasi Kebijakan yang Mendistorsi Pasar Kayu. Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor. Darma, R., Qamri, N. & Mulyadi, D. (1996). Analisis pemasaran kayu lokal di Kabupaten Polmas. Buletin Penelitian Kehutanan 1(2). Ujung Pandang. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Departemen Kehutanan. (2002). Revaluasi Nilai Kayu. Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor. Effendi, R. (2011). Kajian Tata Niaga Kayu Rakyat di Pulau Jawa Bagian Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8(4): 251–258. Bogor. Hakim, I., Indartik & Suryandari, E.Y. (2009). Kajian Tata Niaga dan Pasar Kayu Sengon di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 6(2): 99–115. Bogor. Joel, C., Tukan, M., Yulianti, Roshetko, J.M. & Darusman, D. (2000). Pemasaran Kayu dari Lahan Petani di Provinsi Lampung. ICRAF, Bappeda Lampung dan Institut Pertanian Bogor. Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran. PT Intan Sejati. Klaten. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Web.id. Revitalisasi. Diakses 22 Januari 2015. Nurhaedah & Purwanti, R. (2007). Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba. Laporan kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Wakka, A.K. & Bisjoe, A.R.H. (2014). Aspek Finansial dan Ekonomi dalam Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat. Draft Buku ACIAR. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. | 173
MARGIN DISTRIBUTION OF PRIVATE FOREST TIMBER TRADE IN SUPPORTING PARTNERSHIPS Nurhaedah Muin ABSTRACT The presence of some market players may affect margin distribution of private forest timber trade in Bulukumba in supporting partnerships. The results of this study show that there are four distribution channels of private forest timber in Bulukumba, as follows: 1) Farmer–Middlemen–Sawmill Industries–Wood Traders, 2) Farmers–Middlemen–Sawmill Industries–Boat Building Industries, 3) Farmers–Middlemen–Sawmill Industries–Furniture Industries, and 4) Farmers–Middlemen–PT Palopo Alam Lestari (PT PAL). The existing distribution channels show uneven margins, in which farmers as producers receive lower prices compared to the prices received by middlemen or entrepreneurs. Margin distribution varies, but on the average the largest margin in each marketing channel either for teak or mixed-timber tree- wood is of middlemen which lie in a range of 49–84%. Therefore, it is necessary to empower farmer groups and establish price transparency, so that the margins of trade system can be evenly distributed. Keywords: margins, trade system, private forests, partnership
I.
INTRODUCTION
In general, the demand for woods in Bulukumba District is met from the private forests. These forests act as a timber supplier to satisfy both the needs for local communities and industries. The existence of some wood-based industries in Bulukumba can affect the prices of woods and, therefore, this situation motivates people to manage private forests. One important factor in wood marketing is wood trade system. People think that the marketing of wood, particularly for private forest woods in Bulukumba is still not yet optimal 174 |
because the revenue obtained from wood business is not in balance with the sacrifices or efforts that they make. Margin is a term used to express the differences in prices paid to the first sellers and the prices paid by the final buyers (Kotler, 2005). While the distribution channel of goods may mean a channel through which the flow process of goods goes from producers up to final consumers. The length of each type of goods distribution channels varies, depending on the number of the distribution or marketing agencies. A fair condition is a condition in which the actors who are directly involved in the trade system to get decent prices in accordance with their contributions. Efficient trade system can be achieved when goods can be transferred from producers to consumers with minimum costs and the generated added value can be proportionally shared among the agencies involved ([Mosher, 1966; Mubyarto, 1989; Koch, 1983] in Darma et al., 1996). In Bulukumba District, farmers are the main private forest producers. They sell their timber in the form of standing trees (tree stands) to middlemen or intermediary traders. Furthermore, middlemen will sell the timber to sawmill industries (PT PAL), furniture industries, boat industries, and local traders as well as inter-island traders. The presence of some wood market players is one of the reasons why people need to know the information on margin distribution of trading system in private forest woods in Bulukumba District in supporting of the partnerships. This paper examines the needs for private forest timber for industries in Bulukumba District, distribution channels of private forest timber, margin distribution in trade system of private forest timber in the District as well as the margin distribution through a partnership scenario.
| 175
II.
THE NEEDS FOR PRIVATE FOREST TIMBER FOR INDUSTRIES IN BULUKUMBA DISTRICT
The location for the development of private forests in Bulukumba District covers the area of 14,000 ha (South Sulawesi Provincial Forestry Office, 2013). However, according to the data of the Permit for Utilization of Private Forest Timber (IPKHR), Bulukumba District can only produce 20,000 m3 per year. While the needs for private forest timber for industries in Bulukumba District is around 572,100 m 3 per year (Table 1). Consequently, there is a shortage of supply of raw materials around 552,100 m3 per year. On the other hand, the forestry sector is subject to achieving the original regional revenue target which from year to year tends to increase by 8.7–20% (2004–2006), and this target creates a gap in the management of community forests in the region. Table 1 illustrates the needs for community forest woods for industries in Bulukumba District. Table 1. The average of total demand of private forest timber for industry purposes in Bulukumba District. No. Types of Business 1. 2. 3. 4.
Sawmill Industries Boat-BuildingIndustries Furniture Industries PT PAL
Number of Industry (unit) 11
Total Amount of Needs (m3 per year) 108,240
21
4,560
95,760
65
2,340
152,100
1
18,000
216,000
Total Source: Forestry Services, 2005
176 |
Needs (m3 per year) 9,840
572,100
III. DISTRIBUTION CHANNELS AND MARGIN OF TRADE SYSTEM OF PRIVATE FOREST TIMBER IN BULUKUMBA DISTRICT Distribution channels of private forest timber show the distribution process of timber from farmers on their smallholder as timber producers to consumers (Effendi, 2011). The trade system channels of teak and mixed timber tree, which are composed of sengon, bitti, gmelina, and mahogany from farmers to consumers in Bulukumba. So far, the existing distribution channels are as follows: 1. Farmers–Middlemen–Sawmill Industries–Traders 2. Farmers–Middlemen–Sawmill Industries–Boat Industries 3. Farmers–Middlemen–Sawmill Industries–Handicraft Industries 4. Farmers–Middlemen–PT PAL Distribution Channel 1; this distribution channel works when the farmers sell their timber to middlemen or intermediary traders who directly come to farmers’ smallholder. Middlemen buy woods from the farmers, do the felling and then immediately transport the timber out of their smallholder. In addition, middlemen bear administration costs incurred to conduct timber cruising. Usually the middlemen are provided with initial capitals by industries, so that they are bound with industries. After that the timber will be firstly transported to industries and then to Makassar and the rest will be sent to Surabaya or other places. Distribution Channel 2; this distribution channel works when boat industries require raw materials for building boats or ships. These industries usually require a great quantity of woods. To meet these needs the boat industries collaborate with middlemen who work for several industries. Most of raw materials are derived from Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, Papua, Maluku, and Southeast Sulawesi. | 177
Distribution Channel 3; this distribution channel takes place due to the existence of furniture or craft industries in Bulukumba which produce household furniture such as cabinets, chairs and others. Most of these craft industries get their raw materials from middlemen and sawmill industries in Bulukumba. Distribution Channel 4; this distribution channels operates because PT PAL requires raw materials for manufacturing veneer to be used as raw materials of manufacturing Plywood. The company purchases woods from middlemen who directly purchase woods from farmers. In this way, all administrative costs will be either borne by the company or middlemen, but the latter will affect the purchase price paid by PT PAL. Usually farmers will receive net prices from middlemen after being deducted by all expenses arising out for administrative costs. A.
Margin Distribution of Teak Trade System in Bulukumba District
Margin analysis of trade system can be used to determine margin distribution of trade system which consists of costs and benefits of each activity of marketing agencies that play active roles and to identify farmer’s share received by farmers (Hakim et al., 2009). Margin of teak trade system is the difference between prices received by farmers as producers and the prices received by consumers (wood traders and industries). Teak is analyzed by using business administration channels 1, 2, and 3. In various distribution channels, farmers sell teak in the form of standing trees and sometimes in the form of tree stands to middlemen regardless of their ages at average price of IDR1,000,000/m3. However, this farmers’ selling price is very
178 |
low compared middlemen’s selling price of IDR1,950,000/m3 when teak is sold in the form of square planks. Margin of teak trade system in channel 1 at the level of middlemen reaches 49%, it is consisting of 21% for marketing cost and 27% for marketing profits. This means that a total marketing benefit gained is greater than the total marketing costs incurred, and this condition is applicable to channels 2 and 3 at the level of middlemen. In channel 2, the margin of trade system reaches 112% which is scattered among middlemen, sawmill industries and boat industries, and the highest percentage obtained by middlemen amounting to 49%. The margin of teak trade system in channel 3 reaches 137% and the highest percentage obtained by cabinet-furniture-industries amounting to 53.28% and the lowest margin is obtained by chair-furnitureindustries, that is, 12.5%. B.
Margin of Trading System of Mixed Timber Tree in Bulukumba District
Distribution channels for mixed timber tree (falcata, bitti, pude, gmelina, rita, mango) identified in private forest timber trade system in Bulukumba are channels 1, 2, and 4. Sales system applied by the farmers as producers are similar to the system applied to teak, that is, in the forms of tree stands and sometimes in the form of standing trees sold to middlemen, regardless of the ages of trees at the average price of IDR190,000/m3, but the selling price is very low compared to that of middlemen at IDR1,200,000/m3 in the form of square planks. Trading system margin in channel reaches 157% spread over among middlemen, sawmill industries and boat industries, but among these three market players, the highest margin percentage is obtained by middlemen at 84%. | 179
Trading system margin in channel 3 reaches 177% spread over among middlemen, sawmill industries and PT PAL. In this channel, the largest amount is obtained by middlemen by a margin of 84% while PT PAL by a margin of 68.75%. According to Nurhaedah & Purwanti (2007), uneven margin distribution among players involved in trade system or marketing of community forest woods in Bulukumba is influenced by several factors, among others, as follows: Issuance of permits is not based on potentials but on the target of Regional Original Revenue (PAD). The condition when this study was conducted, indicated that the issuance of permits is regulated by Regulation No. 60 of 2001 on Forest Management and Utilization Rights with certain limitations and/or depending upon the applications for permits ranging from individuals, business legal entities (enterprises), cooperatives and Limited Liability Companies (Co. Ltd) from Permit for Utilization of Community Forest Woods (IPKHR) with an area of 100–200 ha with monthly targets of approximately 200 m3 per month. While the condition of the existing community forest potentials, based on IPKHR data in the year of 2005, can only meet about 20,000 m 3 per year. Meanwhile, the existing industries require woods from private forest as much as 572,100 m3 per year. Therefore, there is a shortage of supply of raw timber materials of 552,000 m3 per year. On the other hand, the Regional Original Revenue (PAD) target is constantly increasing from year to year at the average ranging from 8.7–20% during the period of 2004–2006. This situation led to the issuance of various rules on levies, taxes, tariffs and various informal costs, which then become burdens on market players and prices at the level of farmers, were badly suppressed.
180 |
Supply of timber into and out of Bulukumba was not restricted. There are no regulations regulating the entry and exit of timber in the form of protection to limit the timber products that enter and exit Bulukumba District, either in the form of logs, sawn timber and square planks, which will also affect the sustainability of the production process, especially for sawmillindustry. As a result, the existing industries face the shortage of raw materials due to the fact that great quantity of woods is sold out of the region in the form of square planks. When the research was conducted, it was revealed that some industries were not in operation due to shortages of supply of raw materials. Restricted opportunities of timber processing also resulted in restricted profit margins. Prices in Makassar and Java Island are more competitive than those in Bulukumba District. Wood prices in local market of Bulukumba District based on the wood species are varied, that is, around IDR1,000,000–2,000,000 for teakwood per m3 in the form of logs, while those of mixed jungle woods consisting of falcata, pulai, bitti, pude, and mango are ranging between IDR1,150,000–1,250,000/m3, while in Makassar the prices are ranging from IDR2,000,000–3,000,000/m3. These differences cause more timber was sold out of Bulukumba District, so that much more profit margins go to the traders from outside Bukukumba District. Trade system efficiency can be achieved, among others, when the means and infrastructure (transportation and communication) are running well, so that the distance between producers and consumers will be closer and market structure will be more competitive as well ([Mosher, 1966; Mubyarto, 1989; Koch, 1983] in Darma et al., 1996). | 181
C.
Margin Distribution Through a Partnership Scenario
Financial and economic aspects in the concept of partnership of community forest woods management have been examined in previous articles (Wakka & Bisjoe, 2014). It is hoped that through a partnership scenario each actor in the partnership will be able to carry out its roles in realizing the objectives of the partnership. One of the objectives is to establish an efficient and mutually beneficial trade system. Prior to the existence of a partnership scenario, the farmers generally sell their woods individually in the form of tree stands. It is hoped that after partnership scenario has been in operation the farmers will not sell their woods individually anymore but it will be more empowering more productive Farmer Forest Group (KTP) as a means of collective sales of timber. Besides, Farmer Groups will be partners to the company or industries. If this partnership can be realized it means that there is a shorter distance of distribution channels operating from the farmers directly to industries. It is expected that such a reduction in the distance of the distribution channels will give positive impacts upon the increase in wood prices received by the community and the margin of trade system will be more evenly distributed as well. In addition, it is expected that the KTPs in cooperation with its members will be able to conduct an inventory of tree stands, so that farmers will no longer sell woods in the forms of tree stands but on the basis of quantity of cubic meters along with well managed felling plans, including logging quota for each group. The empowerment of the farmer groups will allow the farmers to manage their respective groups, both in terms of financing and even distribution of assistance such as seeds or seedlings from the partners. The associated of entrepreneurs, it is expected that through a partnership scheme the farmers will have a better bargaining position in determining wood prices. Through this partnership scheme the pricing may not be dominated by the 182 |
Middlemen or entrepreneurs, but the farmers will be actively involved, so that the farmers, which in this case the Farmer Forest Group (KTP), will have the power to determine prices and the amount of woods to be sold. If farmers have a commitment with their groups, entrepreneurs cannot play with prices anymore, but it is even possible for farmers to set prices according to their contributions starting with tree planting up to wood or timber harvesting. If this scenario runs well, each party will certainly get a contribution in accordance with their sacrifices. If each party has a commitment or bond to mutually satisfy needs to one another, in which farmers as producers require entrepreneurs or companies as buyers or consumers, and on the contrary, industries as consumers require raw materials for the sustainability of their business, each party will have the power to set the prices. In this way, the pricing is no longer dominated by one party, but negotiation in setting the pricing becomes a necessity and in the end the parties involved in the trade system will feel that they mutually need each other. Through a partnership scenario, entrepreneurs or industries as consumers in the second position after Middlemen as the owners of capital, either in cash funds or facilities, may directly communicate with the Farmer Fores Group (KTP) in the process of timber purchasing. After a partnership scenario has been established, the arrangement of documents such as those associated with timber cruising and Certificate of Legality of Forest Products (SKSHH) will be processed under One Stop Shop mechanism. If this scenario runs well, there will be some reduction of costs at the level of middlemen or with the parties who will be involved in this matter. Cost efficiency at various levels is expected to strengthen the prices, both at the level of farmers as producers and entrepreneurs or industries as consumers. In addition, the value of the margin will be evenly distributed to the parties involved in marketing. The present problem is that the purchase prices by entrepreneurs/industries at the | 183
level of farmers are not in balance with the selling process at the level of middlemen or intermediary traders or entrepreneurs/industries. This condition still cannot be minimized because entrepreneurs or middlemen have to pay some more costs, which in fact can be reduced. This condition greatly influences the gaps or differences in prices received by farmers as producers and entrepreneurs as consumers, which in turn will result in uneven values of margin distribution. At present, although entrepreneurs play roles as seedling providers to the farmers, there is no any rule or obligation requiring the farmers to sell their woods to entrepreneurs who provide the seedling. As a result, in the future, the sustainability of the supply of seedlings as one of motivations for famer to plant timber trees may be affected. It is hoped that through a partnership scenario the farmers as producers will sell their timber to entrepreneurs who provide them with seedlings assistance. In this way, each party will enjoy benefits in accordance with its position, either as producers, which in this case will be reflected in the easement of planting, or as consumers who require sustainable supply of raw materials. Furthermore, it is also expected that entrepreneurs will provide even priorities to the farmers who have harvested their private forests to ensure the sustainable availability of raw materials in the future, so that industries will remain stable and the prices and margins received by the parties involved in the trade system will be evenly distributed. When a partnership scenario has been running, the farmers are expected to be able to estimate the amount of costs incurred beginning from the planting, maintenance and up to harvesting, so that farmers will no longer sell the timber in the form of tree stands, but in the forms of cubic calculation by taking into account the ages of trees and timber diameters. If this mechanism has been operating well, it will affect the prices that will be received by farmers as producers of woods. 184 |
However, this mechanism should be accompanied by a strengthening of purchasing power by the entrepreneurs, for example, by applying a standardization of purchasing price of timber, so that timber purchases will be made under wood grading system. D.
Farmers’ Revitalization in Trade System Channels
Revitalization is a process, method, an act of reviving or resurrection of something (KBBI, 2015). Revitalization of income of private forest farmers can be done through several aspects, among others, the access to trading system information, institutions and others. Farmers' income can be increased by providing better and wider access to information. Knowledge of standard price information and developments in the market prices of timber will greatly assist farmers in determining the position of the selling prices. Farmers should be able to access information widely through institutional strengthening which can be done through the farmer groups. Farmers also can obtain decent prices according to their contributions through the transformation of trade system of timber from tree stands into the form of cubic meter calculation. This can be done if farmers have sufficient knowledge about how to estimate the volume of woods and do cubic meter calculations. The farmers can get these skills through trainings on how to take an inventory of tree stands and other training which will help to improve farmers’ knowledge of both technical and non-technical. Institutional strengthening is one of the options in strengthening the position of the community. This can be done not only to increase the frequency of meetings between members of groups, but it also reinforces the values that have been adopted, so that there will be moral bonds among the | 185
members of groups in the efforts of struggling to collectively improve their welfare. The position as a price taker can be shifted into a partner for entrepreneurs and reduction or cut of margin at the level of middlemen. The costs incurred by middlemen will be taken over by farmers which can be done collectively, so that margin distribution at the level of farmers will be much higher. Under a cooperation of well-managedfarmers’ groups, the farmers can also procure sawmill machineries by themselves, so that they can process the woods into products which will have higher sale values. IV. CONCLUSION There are four distribution channels of private forest timber in Bulukumba District. Especially for teakwood, it is sold through distribution channels 1, 2, and 3, while mixed timber treeds are sold through distribution channels 1, 2, and 4. The result of margin analysis shows that farmers receive the same prices in various distribution channels for the same species of woods. The average percentage of the highest margins is obtained by Middlemen, which ranges from 49% for teak to 84% for mixed timber trees. The most dominant problems of the existing trade system are at the level of farmers, but through a partnership scenario, there will be opportunities for improvement, namely, by means of providing capacity building, policy support and information transparency to the farmers. BIBLIOGRAPHY Astana, S., Sabarudi & Muttaqin, Z. (2002). Evaluasi Kebijakan yang Mendistorsi Pasar Kayu. Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor.
186 |
Darma, R., Qamri, N. & Mulyadi, D. (1996). Analisis pemasaran kayu lokal di Kabupaten Polmas. Buletin Penelitian Kehutanan 1(2). Ujung Pandang. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Departemen Kehutanan. (2002). Revaluasi Nilai Kayu. Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor. Effendi, R. (2011). Kajian Tata Niaga Kayu Rakyat di Pulau Jawa Bagian Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8 (4): 251–258. Bogor. Hakim, I., Indartik & Suryandari, E.Y. (2009). Kajian Tata Niaga dan Pasar Kayu Sengon di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 6(2): 99–115. Bogor. Joel, C., Tukan, M., Yulianti, Roshetko, J.M. & Darusman, D. (2000). Pemasaran Kayu dari Lahan Petani di Provinsi Lampung. ICRAF, Bappeda Lampung dan Institut Pertanian Bogor. Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran. PT Intan Sejati. Klaten. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Web.id. Revitalisasi. Diakses 22 Januari 2015. Nurhaedah & Purwanti, R. (2007). Analisis Pemasaran Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Bulukumba. Laporan kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Wakka, A.K. & Bisjoe, A.R.H. (2014). Aspek Finansial dan Ekonomi dalam Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat. Draft Buku ACIAR. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
| 187
PENGETAHUAN INVENTARISASI HUTAN BAGI MASYARAKAT PENGELOLA HUTAN RAKYAT Zainuddin dan Arman Hermawan ABSTRAK Inventarisasi hutan merupakan satu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan, serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Dimensi kayu; seperti diameter, tinggi, dan volume kayu; lazim ditentukan melalui pengukuran secara langsung dengan bantuan alat ukur tertentu. Ditinjau dari objek, dimensi, dan tujuannya; pengukuran dimensi pohon dapat didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengukuran dimensi pohon, yaitu diameter, tinggi atau volume kayu berdiri ataupun rebah, serta pengukuran pertumbuhan kayu (riap) dan hasil hutan non kayu. Tujuan utama pengukuran dimensi pohon adalah menentukan isi (volume), baik pohon maupun tegakan. Sasaran pokok dari pengukuran dimensi pohon adalah kayu dan hasil hutan lainnya. Diameter merupakan salah satu parameter pohon yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaannya. Karena keterbatasan alat yang tersedia, pengukuran keliling (K) seringkali lebih banyak dilakukan, kemudian dikonversi ke diameter (D). Dalam mengukur diameter, bagian yang lazim dipilih adalah diameter setinggi dad. Hal ini karena pengukurannya paling mudah dan mempunyai korelasi yang kuat dengan parameter lain yang penting, seperti luas bidang dasar dan volume batang. Inventarisasi dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi hutan rakyat, meliputi kondisi tegakan (jenis, jumlah, ukuran, volume, struktur tegakan) dan kondisi lahan kawasan (luas dan topografi). Data yang dihasilkan menjadi bahan untuk menyusun perencanaan pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Kata kunci: inventarisasi hutan, diameter pohon, tinggi pohon, volume batang, luas bidang dasar, hutan rakyat
| 189
I.
PENDAHULUAN
Di banyak Negara, pengelolaan hutan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya pada hutan milik, mulai mengalami perubahan, dari yang semula bersifat subsisten menjadi model usaha. Hal ini juga terjadi di Indonesia, perkembangan hutan rakyat mengalami peningkatan yang cukup pesat mulai tahun 1990-an. Perkembangan tersebut menjadi prioritas Kementerian Kehutanan dengan berbagai program yang dicanangkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu pilihan strategi yang digunakan untuk menarik investasi masyarakat ke dalam hutan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat desa pada umumnya. Pengelolaan hutan rakyat juga merupakan strategi transisi untuk beralih dari penggunaan hasil hutan alam ke penggunaan hasil hutan tanaman. Pengelolaan hutan rakyat di Indonesia berkembang sudah dari sejak lama dan digeluti oleh kalangan masyarakat Indonesia, walaupun pengelolaannya masih bersifat tradisional. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat masih sendiri-sendiri dengan swadaya murni tanpa ada campur tangan pemerintah, baik yang dilakukan dalam pola monokultur maupun pola tanam campuran dengan sistem agroforestry (Usman, 2001). Kemudian, Usman (2001) melaporkan bahwa luas hutan rakyat di Indonesia mencapai 1,3 juta ha pada tahun 1999 dengan jenis-jenis tanaman yang sudah akrab dengan masyarakat. Hutan rakyat selain menghasilkan kayu juga nonkayu, di antaranya buah-buahan, getah, dan hasil-hasil lainnya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat mendukung ketahanan pangan. Di Sulawesi Selatan, luasan kawasan hutan rakyat cukup besar, yaitu sekitar 220.000 ha atau 7,40% dari luas kawasan hutan di Sulawesi Selatan. Luasan tersebut merupakan 17,19% dari
190 |
luas seluruh hutan rakyat di Indonesia (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Pertumbuhan jumlah penduduk dan laju pembangunan yang pesat berimplikasi pada meningkatnya permintaan kayu secara tajam. Di lain pihak, persediaan kayu semakin menipis dengan berkurangnya luas hutan yang ada sebagai akibat dari kegiatan pembalakan liar dan konversi hutan untuk pembangunan lain di luar kehutanan. Untuk memenuhi kebutuhan kayu yang semakin berkurang jumlahnya, berbagai usaha telah dilaksanakan; baik yang berhubungan dengan perbaikan sistem pengelolaan hutan, perbaikan sifatsifat kayu melalui teknik-teknik silvikultur dan pemuliaan pohon maupun teknik-teknik yang berhubungan dengan kemanfaatan kayu, mulai dari pemanenan sampai ke industri. Pengelolaan hutan yang baik harus didasarkan pada perencanaan yang didukung informasi yang akurat dan dapat dipercaya yang berhubungan dengan keadaan hutan itu sendiri, mulai dari kondisi permudaan, potensi hutan, dan pertumbuhannya. Harga kayu semakin menarik dari hari ke hari, bahkan banyak petani yang mempunyai sawah dikonversi menjadi hutan rakyat. Namun, hal yang lebih penting dari semua usaha yang telah dilakukan oleh petani hutan rakyat tersebut adalah kondisi ini seolah menjadi tidak berarti ketika petani lemah dalam transaksi pohon/kayu. Untuk mengatasi masalah dalam transaksi pohon ini, petani hutan rakyat perlu dibekali pengetahuan dan pelatihan tentang inventarisasi pohon agar nantinya dapat mengukur dan mengetahui taksiran volume kayu per pohonnya dan potensi kayu yang ada di lahannya. Hal ini dimaksudkan agar ke depannya, transaksi kayu yang dilakukan petani tidak lagi dalam bentuk hamparan dan harga tidak lagi bergantung pada pedagang/pengusaha kayu. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi keka-
| 191
yaan alam hutan/lahan, dan lingkungannya secara lengkap (pasal 13, ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999). II.
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BULUKUMBA
Dalam UU No.41/1999, hutan rakyat dimaksudkan sebagai hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Pemberian definisi ini untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturanaturan masyarakat lokal (biasa disebut masyarakat hukum adat). Menurut Keputusan Menhut No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997, luas minimal hutan rakyat adalah 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/ atau jenis tanaman lainnya >50%, dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektare. Dengan areal seluas itu, pertumbuhan pepohonan bertajuk yang menutupi lebih dari separuh areal diharapkan sudah dapat mencapai suatu keseimbangan persekutuan hidup dan sudah mampu memberikan manfaat produksi, perlindungan, pengaturan tata air, dan pengaruh terhadap iklim. Hutan Rakyat mulai diperhitungkan saat mulai terasanya kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara; baik itu sebagai kayu pertukangan, kayu industri, maupun kayu bakar. Selain itu, hutan rakyat juga berfungsi untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan, dan untuk pengentasan kemiskinan. Pengembangan hutan rakyat mulai terlihat pada tahun 1952, ketika Dinas Pertanian Rakyat memperkenalkan Gerakan Karang Kitri, yaitu gerakan menanami lahan-lahan kosong untuk antisipasi terjadinya erosi. Gerakan Karang Kitri pada saat itu masih kurang memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat. Pada 192 |
tahun 1964–1965, Indonesia mengalami kekurangan bahan pangan. Saat itu, Hutan Rakyat diarahkan pada jenis tanaman pangan/palawija. Tahun 1976, penanaman mulai digalakkan di lahan milik yang disebut program penghijauan. Penekanannya pada aspek konservasi sehingga jenis tanaman tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, hutan rakyat sangat membantu memenuhi bahan baku industri kayu dan cukup meningkatkan perekonomian masyarakat (Suharjito & Darusman, 1998). Landasan utama dalam pengembangan hutan rakyat haruslah memperhatikan aspirasi dan keterlibatan masyarakat. Bahkan, pemerintah harus mendorong keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 70 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Mengingat arti penting peran hutan rakyat, keberadaannya perlu terus dipelihara dan dikembangkan. Supriadi (2002) menyatakan pengembangan hutan rakyat bertujuan, antara lain: a. Meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan b. Memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna bahan baku kayu untuk industri c. Terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik, khususnya lahan milik rakyat. d. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kegiatan berusaha dan meningkatkan pendapatan negara e. Memberdayakan masyarakat pedesaan. Selanjutnya, Supriadi (2002) mengemukakan tiga pola yang dapat diterapkan dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu:
| 193
a. Pola swadaya; yang mana hutan rakyat dibangun oleh kelompok/perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok/perorangan itu sendiri. b. Pola subsidi; yang mana hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. c. Pola kemitraan; yang mana hutan rakyat dibangun atas kerja sama masyarakat dan perusahaan swasta ataupun dengan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004), daerah memiliki keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing guna kesejahteraan penduduk kota/kabupaten tersebut. Dengan demikian, peraturan tentang pengelolaan hutan hak ini perlu disesuaikan kembali dengan kondisi, kebutuhan, dan potensi daerah sehingga pelaksanaan aturan tidak merugikan masyarakat. Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya hutan rakyat, diantaranya 1) keuntungan ekologis, yaitu sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mencegah banjr, erosi, mengatur tata air, dan sebagai sarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup, seperti penyerap karbon dioksida dan produsen oksigen; 2) keuntungan ekonomis, yaitu menambah pendapatan petani dengan peningkatan volume produksi kayu dan keanekaragaman hasil, serta berkembangnya industri kecil sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan peranan jaringan ekonomi rakyat; dan 3) keuntungan sosial, yaitu mengurangi pengangguran dan memberikan intensitas kesempatan kerja sepanjang musim sehingga angka penggangguran di desa dapat sekecil mungkin ditekan melalui banyaknya kesempatan kerja yang tersedia (Soemitro,1985; Mindawati et al., 2006). 194 |
Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba dapat merehabilitasi dan memunculkan mata air pada lahan yang sudah kritis. Dari aspek ekonomi, hutan rakyat Bulukumba mampu memasok 24.236 m3 kayu bulat, dengan perkiraan jumlah perputaran uang mencapai Rp1,2 milyar. Sementara dari aspek sosial, hutan rakyat mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005). Terpenuhinya fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial dalam pengelolaan hutan rakyat menunjukan bahwa masyarakat di Kabupaten Bulukumba dapat mengelola hutan secara lestari. Salah satu karakteristik dari hutan rakyat adalah memiliki jangka waktu pertumbuhan relatif lama. Sifat pertumbuhan hutan rakyat memakan waktu yang relatif lama sehingga menyebabkan masyarakat yang berpenghasilan rendah kurang responsif untuk mengembangkan hutan rakyat secara murni swadana. Campur tangan pemerintah dalam pengusahaan hutan rakyat dapat memberikan dampak positif terhadap produktivitas hutan dan kualitas lingkungan. Campur tangan tersebut dapat pula menimbulkan dampak negatif apabila kebijakan pemerintah akan membebani pemilik hutan yang menyebabkan berkurangnya keuntungan pemilik hutan dan mengurangi minat pemilik untuk mengelola hutan sehingga pada akhirnya mereka mengalihkan penggunaan hutan untuk tujuan lain. Oleh karena itu, pengaturan pengusahaan hutan rakyat beserta program pembangunannya harus dapat menyediakan insentif untuk memperkaya pengusahaan hutan rakyat dan memberikan keuntungan bagi pemilik hutan. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan kehutanan di lapangan dipengaruhi oleh berbagai hal. Tidak hanya bergantung pada tersedianya faktor teknis, namun juga tergantung antara lain oleh faktor ekonomi, institusi, dan faktor sosial. Selain itu, perencanaan yang matang diperlukan sesuai dengan kondisi dan potensi yang terdapat dalam masyarakat. Selain diperlu| 195
kan kesamaan persepsi dan komitmen dari banyak pihak (masyarakat dan sektor terkait), dana yang besar dan tepat waktu, infrastruktur ekonomi, dan sistem insentif perlu dikembangkan untuk mendukung kegiatan pengusahaan hutan rakyat. Sejauh ini, faktor-faktor tersebut sulit terlaksana secara simultan sehingga mengakibatkan berbagai kegagalan dalam pelaksanaan di tingkat lapangan. Hal tersebut merupakan tantangan dalam pengembangan pengusahaan hutan rakyat ke depan guna meningkatkan kualitas, keterpaduan, dan keberhasilan kegiatan pengusahaan hutan rakyat. Penyelenggaraan pembangunan, termasuk pengusahaan hutan rakyat diharapkan dapat mewujudkan efisiensi alokasi pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan. Namun, tidak mustahil bahwa pilihan-pilihan masyarakat hanya akan mendorong pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan tanpa memperhatikan aspek-aspek pelestariannya. Hal ini dapat terjadi apabila masyarakat tidak memperoleh insentif yang memadai dalam upaya pelestarian sumber daya tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan pengusahaan hutan rakyat perlu menyertakan pendekatan sistem insentif/disinsentif guna menjamin tercapainya tujuan pengusahaan hutan rakyat, baik pada tingkat masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas tersebut maupun pada tingkat kebijakan yang melibatkan berbagai instansi pemerintah. Pada umumnya, pola penanaman tegakan hutan di Bulukumba adalah sistem polikultur atau agroforestry. Jenis tanaman hutan rakyat yang banyak dikembangkan oleh masyarakat, di antaranya sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), gmelina (Gmelina arborea), bitti (Vitex cofassus), suren (Toona sureni), jati (Tectona grandis), dan pulai (Alstonia spp.). Tanaman tersebut bercampur dengan tanaman jenis multi purpose tree species (MPTS), seperti rambutan (Nephellium lappacium), durian (Durio zibethinus), dan mangga (Mangifera indica). Selain itu, 196 |
tanaman juga bercampur dengan jenis tanaman perkebunan, seperti kakao (Theobroma cacao), petai (Parkia speciosa), kopi (Coffea robusta), dan cengkeh (Syzygium aromaticum). Luas rata-rata lahan yang dimiliki petani sekitar 0,5–1 ha. Kegiatan pemeliharaan tanaman hutan rakyat oleh masyarakat sangat jarang dilakukan sehingga kualitas kayu yang dihasilkan kurang bagus. Petani hutan rakyat belum dapat menghitung dengan benar potensi kayu yang dimiliki sehingga petani cenderung menjual kayu yang dihasilkan dalam bentuk hamparan. Kondisi tersebut dapat merugikan petani dalam proses perdagangan kayu hutan rakyat. Hal ini disebabkan petani hutan rakyat belum mengetahui dan belum berpengalaman dalam menaksir atau menghitung volume kayu, bahkan belum pernah dibekali pengetahuan atau pelatihan tentang inventarisasi hutan. III. PENGETAHUAN INVENTARISASI HUTAN BAGI MASYARAKAT PADA LAHAN HUTAN RAKYAT A.
Pentingnya Kegiatan Inventarisasi Hutan
Inventarisasi hutan biasa juga diistilahkan sebagai “perisalahan” (risalah hutan) dan/atau timber cruising dalam lingkup yang lebih terbatas. Dalam sistem pengelolaan hutan konvensional, inventarisasi hutan (hutan rakyat) diperlukan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalammya pada saat tertentu (Simon, 1996). Hutan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan dominasi pohonpohonan selalu mengalami perubahan setiap waktu. Oleh sebab itu, jumlah kekayaan yang terkandung di dalam hutan juga selalu berubah-ubah. Pengertian dari inventarisasi hutan itu sendiri yaitu suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan, serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Suatu inventarisasi hutan lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan dan pemilikannya; penaksiran | 197
volume (parameter lain, semisal berat) pohon-pohon yang masih berdiri, penaksiran tambah-tumbuh, dan pengeluaran hasil (Husch, 1987). Pengertian inventarisasi hutan (timber cruising) dalam lingkup yang lebih terbatas yaitu suatu kegiatan pencatatan, pengukuran, dan penandaan pohon dalam areal lahan hutan yang diukur untuk mengetahui jenis, diameter, jumlah pohon yang akan ditebang dan yang dilindungi, serta pencatatan data lapangan lainnya. Dalam sistem pengelolaan hutan modern, inventarisasi hutan tidak hanya berkepentingan dengan hutan dan kawasannya saja. Masalah-masalah di luar hutan dan kawasan hutan mempunyai arti yang tidak kalah pentingnya sehingga data/informasinya harus dikumpulkan pula secara cermat dengan persiapan yang memadai. Tergantung pada tujuan inventarisasi hutan, kecermatan pencatatan masing-masing informasi tersebut akan berbeda-beda. Untuk informasi yang dianggap penting tentu saja diperlukan data yang lebih akurat dibandingkan dengan informasi lain yang mempunyai kedudukan kurang penting dalam inventarisasi hutan. Jadi, tingkat kecermatan yang dicatat dalam inventarisasi hutan ditentukan oleh tujuan inventarisasi hutan yang diinginkan. Kegiatan inventarisasi hutan ini sangat penting untuk diketahui para petani hutan rakyat agar nantinya petani bisa mengetahui atau menaksir potensi kayu yang dimiliki di lahannya. Hal ini perlu terdapat keterlibatan pemerintah setempat [dalam hal ini pemerintah Kabupaten Bulukumba dan pihak-pihak terkait] untuk melaksanakan kegiatan pelatihan inventarisasi hutan kepada petani. Dengan demikian, pada masa yang akan datang, petani tidak lagi diperdaya dalam menjual kayunya dalam bentuk hamparan kepada pedagang kayu/pengusaha kayu sehingga kehidupan petani dapat lebih sejahtera. Dimensi kayu (diameter, tinggi, dan volume kayu) lazim ditentukan melalui pengukuran secara langsung dengan bantuan alat ukur tertentu. Teknik langsung ataupun tidak 198 |
langsung sering dilakukan agar pengukuran lebih efisien, tanpa mengurangi tingkat ketelitian hasil dari pengukuran. Penaksiran atau perkiraan merupakan cara pengukuran lain yang tidak langsung berdasarkan pengukuran secara kasat mata (okuler) tanpa bantuan alat ukur, tetapi hasil pengukurannya merupakan pendekatan yang sangat kasar. Populasi dalam inventarisasi hutan adalah areal hutan yang termasuk dalam wilayah kerja pengelolaan hutan yang diketahui gambaran keadaan dan potensinya. Menurut Iwan (2004), manfaat dari inventarisasi hutan ini untuk mengetahui dan mengerti cara melakukan pengukuran dimensi kayu; mengetahui, mengolah data dan menentukan volume kayu untuk tegakan yang masih berdiri (standing stock); serta dapat menentukan taksiran volume dari potensi sumber daya alam hutan/lahan tersebut. B.
Merencanakan dan Melaksanakan Kegiatan Inventarisasi Hutan
Meskipun dalam pelaksanaan inventarisasi hutan (potensi pohon) cukup bervariasi sesuai dengan tujuan inventarisasi, keadaan hutan, dan wilayah yang dihadapi; terdapat satu kesamaan di dalam merencanakannya. Informasi yang diperlukan dalam inventarisasi hutan dapat bervariasi dari inventarisasi yang cakupannya bersifat nasional hingga inventarisasi yang bersifat rinci untuk kerja praktis. Namun, pada pokoknya, isi keduanya adalah berusaha memperoleh informasi tentang sumber daya hutan yang ada. Untuk dapat mengelola sumber daya hutan dan menggunakan hasilnya secara bijaksana pada berbagai tingkatan, keterangan tentang letak hutan, luas, taksiran volume kayu, dan riapnya sangat diperlukan. Secara garis besar, terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan kegiatan inventarisasi hutan (Simon, 1996; Iwan, 2004), yakni 1) mempersiapkan dokumen yang diperlukan | 199
seperti bukti kepemilikan lahan (sertifikat, girik, letter C, SPPT, surat keterangan desa, atau akte jual beli) dalam rangka untuk memastikan status kepemilikan lahan; 2) membentuk tim inventarisasi yang disesuaikan dengan jumlah atau luas lahan yang akan diinventarisasi; dan 3) melaksanakan kegiatan inventarisasi pohon untuk melakukan pengukuran diameter, tinggi pohon dan taksiran volume pohon (setelah persiapan dokumen sudah selesai). Penentuan pengukuran diameter minimal dan pembagian selang/interval kelas diameter mengacu pada kesepakatan kelompok dalam menentukan diameter minimal suatu jenis pohon yang boleh dipanen. Cara Menentukan Diameter Pohon Cara melakukan pengukuran diameter pohon (pengukuran keliling/garis tengah) dilakukan pada ketinggian 130 cm dari tanah (diameter setinggi dada/dbh). Penggunaan tongkat dapat dilakukan untuk mempermudah pengukuran diameter tersebut. Caranya dengan membuat tongkat sepanjang 130 cm yang nantinya digunakan untuk menandai tempat pengukuran keliling/garis tengah batang pohon yang akan diukur sehingga pengukuran yang diperoleh lebih seragam dan lebih cepat. Pengukuran diameter pohon agar dapat langsung dibaca dan diketahui diameter dapat menggunakan alat ukur phi-band. Penggunaan pita meter dapat dilakukan, tetapi tidak langsung dapat dibaca dan diketahui diameternya. Penggunaan pita meter hanya mendapatkan ukuran keliling dari batang pohon yang diukur saja sehingga nilai diameter harus dihitung dengan cara membagi hasil pengukuran keliling yang diperoleh tersebut dengan nilai phi 3,14. Cara Mengukur Tinggi Pohon Pengukuran tinggi pohon biasanya diukur sampai ketinggian batang yang dapat dimanfaatkan atau masih bisa digunakan (biasanya ketinggian batang hingga terdapatnya cabang utama). Beberapa alat yang biasanya diper200 |
gunakan untuk mengukur tinggi pohon, antara lain christenmeter, haga hypsometer, dan galah yang dinyatakan dalam satuan meter. Cara Menentukan Penomoran dan Penandaan Pohon Penomoran dan penandaan pohon dilakukan khususnya pada pohon yang berdiameter di atas ketentuan untuk dapat ditebang. Hal ini diperlukan dalam rangka penerapan lacak balak. Selain itu, penomoran dapat juga dilakukan pada pohon dengan diameter lebih kecil sesuai dengan kebutuhan. Idealnya, sistem penomoran pohon ini memuat informasi tentang nomor pohon, nomor/identitas anggota, nomor lahan, nomor/identitas kelompok, dan ukuran pohon. Penandaan pada batang bisa menggunakan cat, plastik, plat seng, tinta dan marking crayon. Cara Menentukan Volume Pohon Walaupun batang pohon mempunyai bentuk tidak teratur, log atau kayu bulat dapat dianggap mirip dengan silinder, lebih-lebih kalau panjang batang relatif terbatas. Bedanya, luas penampang kedua ujung log tidak sama seperti pada silinder dan permukaan bagian sisi log tidak halus. Oleh karena itu, rumus volume untuk menghitung batang pohon juga mengambil rumus silinder dengan memasukkan faktor koreksi karena perbedaan luas penampang dan bentuk permukaan yang tidak halus, serta tidak mirip seperti silinder tersebut. Jadi, rumus umum untuk menentukan penaksiran volume batang kayu atau pohon dapat ditulis sebagai berikut (Simon, 1996; Iwan, 2004):
V = 1/4 π x d² x h x f Yang mana V d h f
= = = =
volume kayu diameter setinggi dada tinggi pohon angka faktor bentuk yang nilainya 0,7
| 201
Pencatatan Hasil Inventarisasi Dari hasil inventarisasi yang dilakukan, data yang diperoleh kemudian dicatat dalam tally sheet (buku pencatatan) sebagai bagian dan bahan informasi hasil inventarisasi. Tally sheet dibuat untuk kelompok lahan yang diinventarisasi dan selanjutnya dikumpulkan dalam satu buku inventarisasi. Tally sheet memuat semua data tentang pohon yang telah diinventarisasi. Selain itu, tally sheet memuat pula informasi kondisi lahan yang ada, seperti keberadaan sungai atau mata air pada lokasi yang diinventarisasi. Inventarisasi dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi hutan, meliputi kondisi tegakan (jenis, jumlah, ukuran, volume, struktur tegakan), kondisi lahan kawasan (luas dan topografi). Data yang dihasilkan menjadi bahan untuk menyusun perencanaan pengelolaan hutan secara lestari. IV. KESIMPULAN Kegiatan jual beli kayu masih bersifat perseorangan. Pemasaran kayu biasanya dilakukan dalam bentuk hamparan dengan harga jual rendah dan seringkali dipermainkan oleh pedagang/pengusaha sehingga petani dirugikan. Untuk itu, petani hutan rakyat perlu dibekali dengan pengetahuan dan pelatihan tentang inventarisasi hutan (potensi kayu) dalam rangka untuk mengetahui taksiran volume kayu per pohon yang dimiliki. Dengan pelatihan dan pengetahuan inventarisasi pohon ini, petani hutan rakyat nantinya diharapkan dapat memperoleh berbagai manfaat, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun ekologi. Pada masa mendatang, petani juga tidak lagi menjual kayunya dalam bentuk hamparan, tetapi dalam bentuk kubikasi dengan harga yang layak sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat. 202 |
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Kehutanan dan UNHAS. (1997). Studi Pengembangan Hutan Rakyat Wilayah Sulawesi Selatan dengan pendekatan SSEKI. Laporan Akhir Kerja sama Badan Litbanghut dengan Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS, Ujung pandang. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba (2005). Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2004). Statistik Kehutanan. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Husch, B. (1987). Perencanaan Inventarisasi Hutan, diterjemahkan oleh Agus Setyarso, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1987. Mindawati, N., Widiarti, A. & Rustaman, B. ( 2006). Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Simon, H. (1996). Metode Inventore Hutan. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta. Iwan, S. (2004). Mata Ajaran I Diklat Inventarisasi Hutan Angkatan II Tahun 2004. Makassar. Balai Diklat Kehutanan Makassar. Soemitro. (1985). Laporan Survai Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Supriadi, D. (2002). Pengembangan Hutan Rakyat Indonesia. Jurnal Hutan Rakyat IV (1) . Pustaka Hutan Rakyat. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. | 203
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Usman, M. (2001). Memposisikan hutan rakyat sebagai aktualisasi ekonomi kerakyatan. Makalah hutan rakyat disampaikan pada seminar MPI Reformasi di Riau.
204 |
KNOWLEDGE ABOUT FOREST INVENTORY FOR PRIVATE FOREST SMALLHOLDERS Zainuddin and Arman Hermawan ABSTRACT Forest inventory is an attempt to describe the quantity and quality of forest trees as well as various characteristics of the smallholders where they grow. Tree dimensions such as diameter, height and volume of timberd are commonly determined through direct measurement with the help of certain measuring devices. Judging from its object, dimensions and objectives, the measurement of treedimensions can be defined as knowledge about the measurement of tree dimensions, namely, the diameter, height or volume of standing trees or logs and the measurement of the growth of trees (increment) and non-timber forest products. The main objectives of measurement of tree dimensions are to determine the volume, either logs or tree stands. The primary targets of the measurement of tree dimensions are trees and other forest products. Tree diameter is one of the tree parameters which has significant importance in the collection of data on the potential of forests for management purposes. Due to the limited tools, circumference measurement (K) is often done, and then its result will be converted into diameter (D). In measuring tree diameter the commonest method used is the diameter at breast height (DBH) because its measurement is easy enough and it has strong correlation with other important parameters, such as basal area and trunk volume. Inventory is carried out to obtain information about the sate of community forests, including the sate of tree stands (species, number, size, volume, standing structure), the state of woodland areas (the size and topography). The collected data will provide comprehensive information or materials for the preparation of strategic and sustainable management planning of private forest. Keywords: forest inventory, tree diameter, tree height, trunk volume, basal area, private forest
| 205
I.
INTRODUCTION
In many countries forest management carried out by the community, especially in privately owned forests, began to change from initially in the form of a subsystem into a business model. Similarly, this kind of change happened in Indonesia where the development of community forests has undergone rapid improvement since the 1990s. Such development becomes the priority of the Ministry of Forestry by launching various programs, for example, Social Forestry Program (HKM), Village Forest Program (HD), and the People Forest Plantation Program (HTR). Private forest management is one of the strategies used to attract community investment into the forests, provide employment opportunities and improve the welfare of farmers and rural communities in general. In addition, private forest management is a transitional strategy to switch from the use of natural forest products to the use of forest plantation products. The private forests have been developed for a long time in Indonesian and they are traditionally managed by the owners. Private forest management is mostly done by the community themselves in pure self-help management without any government interference, either in monoculture or mixed cropping under agroforestry system (Usman, 2001). Furthermore, Usman (2001) reported the size of private forests in Indonesia reached 1.3 million ha in 1999 consisting of species of plants which have been familiar with the community. Private forests not only produce forest products but they also produce non-forest-products such as fruits, rubber, and other products which have economic values and are expected to support food security. Private forest areas in South Sulawesi are quite large covering the areas of around 220,000 ha or 7.40% of the existing forests in South Sulawesi (South Sulawesi Provincial Forestry Office, 2004) and this size constitutes of 17.19% of the entire existing private forest areas in Indonesia. 206 |
Rapid population growth and the rapid pace of development have caused great implications upon the sharp increase in the demand for woods, while wood supplies are getting more limited due to the loss of forest areas as a result of illegal logging practices and the conversions of forests into other development purposes outside the forestry. In order to meet the needs for increasingly limited woods, various attempts have been made, namely, the efforts which are related to the improvement forest management system, the improvement of the properties of woods by means of the techniques of silviculture and tree breeding or through the techniques related to the utilization of woods beginning from harvesting to the industry. Good forest management should be based on a planning which is supported by accurate and reliable information associated with the state of the forest itself, ranging from the regeneration conditions, forest potentials and their growth. Wood prices even more attractive from time to time and because of this many farmers have converted their rice fields into private forests. But the most important thing to be considered among all efforts made by the private forest farmers is that the farmers will be meaningless when they are very weak in tree or timber transactions. For this reason, in order to address farmers’ problem associated with tree or timber transaction, it is necessary to equip private forest farmers with the knowledge and training on tree inventory in order that they will be able to measure and determine the estimate of volume of wood per tree and the available timber potentials in their smallholders. In this way, in the future private forest farmers will no longer make transactions in the forms of tree stands and the selling prices will not be depend upon traders or entrepreneurs. For these reasons, a forest inventory will be conducted to know and obtain comprehensive data and information on forest resources, natural wealth potentials and environment thereof (Article 13, paragraph (1) of Law No. 41/1999). | 207
II.
PRIVATE FOREST MANAGEMENT IN BULUKUMBA DISTRICT
According to Law No.41 of 1999, private forests refer to as the forests growing on farmland which are subject to property rights. This definition has been made to differentiate private forests from the state forests. The latter are forests which are not subject to property rights or they are simply called state lands. According to this meaning, state lands include the lands which are under the control of community under adat or customary provisions or rules or local community rules (which is commonly referred to as the customary law community). According to the Decree of the Minister of Forestry No. 49/kpts-II/1997 dated 20th January 1997, the minimum area of community forest is 0.25 ha with timber tree crown cover or other plant species of >50%, and/or in the first year containing minimum of 500 timber trees per hectare. Under these circumstances it is hoped that the growth of trees covering the smallholder will cover more than half of the entire area and it will be able to create the balance of life unity and be able to generate benefits in terms of production, protection, water management system, and positive impacts upon climate. Private forests began to be taken into account when forest products from state forests were no longer sufficient, either for carpentry, or industry, or firewood. In addition, private forests play important roles in the conservation of critical and degraded lands, land conservation, forest protection, and poverty alleviation. Private forests began to appear in 1952 when the Agriculture Service Office introduced Karang Kitri Movement, that is, a planting movement on empty lands to anticipate the occurrence of erosion. But at that time little attention was paid to the social and economic aspects of community. During 1964–1965 Indonesia experienced shortages of food stuff and private forests were directed towards the species of staple food or non-staple crops. In 208 |
1976, tree planting in owned lands which were called regreening program. The emphasis of this program was on the conservation aspect, so the species of plants were not in accordance with the wishes of the community. In their next development, private forests were very helpful in meeting the needs for raw materials of wood industries and helped to improve the community's economy (Suharjito & Darusman, 1998). In connection with the foregoing, the primary foundation of private forest development should pay attention to attention to people’s participation. In this way, the community is encouraged to take part in forestry development, and the government is even obliged to encourage community’s participation through various effective and efficient forestry development activities (Article 70 of Law No. 41 of 1999). In view of their important roles, the existence of private forests should be maintained and developed. According to Supriadi (2002), the objectives of private forest development, among others, are as follows: a. To increase income of rural communities and to improve welfare in the effort of reducing poverty; b. To meet the needs of people who use timber raw materials for industries; c. To maintain water management system and good environmental conditions, especially on lands privately owned by the community; d. To create job opportunities, improve business activities and increase State Revenue; e. To empower rural communities. Furthermore, Supriadi (2002) states that there are three patterns which may be applied to the development of private forests, namely: | 209
a. A self-help pattern, in which private forests are developed by groups or individuals with capital ability and labors from the groups or individuals themselves; b. Subsidy pattern, where private forests are built or developed by means of subsidies or assistance either partly or wholly; c. Partnership pattern, in which private forests are built on the cooperation between the community and private companies. Under Law No. 32 of 2004 on the Regional Government, the regions have the flexibility to manage their own internal affairs by taking into account the conditions and potentials of respective region for the improvement of people’s welfare in respective municipality/district. Therefore, regulations related to the management of forest rights must be readjusted to the conditions, needs and potentials of Bulukumba District in order to the implementation of such regulations will not cause any detrimental effects to the community. The advantages that can be obtained from in private forests, among others, are: 1) ecological benefits, that is, as community life support in preventing floods, erosion, management of water system, and as a means of maintaining the quality of the environment such as carbon dioxide absorber and oxygen producers; 2) economic benefits, that is, to increase farmers’ income by increasing the volume of timber production and diversity of products and the development of small industries as one of efforts to increase the roles of people's economic networks; and 3) social benefits, that is, to minimize unemployment and create employment opportunities and intensify employment opportunities throughout the season, so that unemployment rate in the village can be reduced to the smallest rate through many available job opportunities (Soemitro, 1985; Mindawati et al., 2006). 210 |
The development of private forests in Bulukumba District can rehabilitate critical lands. From economic aspects, the Bulukumba private forests are able to supply 24,236 m 3 of logs, with an estimate turnover of IDR1.2 billion. While from social aspects, private forests are able to create employment opportunities and improve the welfare of the community (Bulukumba District Forest Service, 2005). These successful fulfillments of ecological, economic, social functions in private forest management show that people in Bulukumba are able to manage their forests sustainably. One of the characteristics of private forests is that they have a relatively long period of growth. Such a long period of growth of private forests makes low income people less responsive to develop private forests purely under self-help-financing scheme. Government intervention in the private forest concessions can give positive impacts on forest productivity and environmental quality. On the contrary, such an intervention may give negative impacts when government policy causes burdens upon the owners of private forests as it may reduce benefits obtained by the owners of private forests and lower their interests to manage private forests and in the end they may modify the use of forests into other purposes. Therefore, regulations on private forest exploitation and their development programs should be able to provide incentives to enrich private forest management and provide benefits to forest owners. Successful implementation of forestry activities in the field is influenced by many things and it is not only depending on the availability of technical factors, but it is also depending partly on economic factors, institutional and social factors. In addition, it is necessary to have a well prepared and careful planning in accordance with the conditions and the potential contained in the community. Besides, it is also necessary to have a common perception and commitment of many parties (the community and related sectors), large funds and timely, | 211
economic infrastructure and incentive systems which need to be developed to support private forest management activities. So far, it was difficult to implement these factors simultaneously and they led to various failures in the implementation at the field level. This is a challenge in the future development of private forest management in order to improve the quality, coherence and success of private forest management activities. Implementation of development, including private forest management, is expected to realize the efficient allocation of utilization of forest resources and lands. However, it is not impossible that community’s choices will encourage the utilization of forest resources and lands without paying attention to preservation aspects. This may happen if the communities do not obtain adequate incentives in the effort of conservation of these resources. Therefore, the implementation of forest management need to apply incentives/ disincentives approaches, particularly in order to ensure the attainment of the objectives of private forest concessions, both at the level of community who are directly involved in such activities and at the level of policy which involves various government agencies. In general, planting patterns of forest stands in Bulukumba are polyculture or agro-forestry systems. While contribution plants to the private forests which can be considered to contribute to the community is by planting species of trade woods such as sengon, mahogany, gmelina, bitti, suren, teak and rita which are mixed with plant species of MPTS (MultiPurpose Tree Species) such as rambutan (Nephellium lappacium), durian (Durio zibenthinus), and mango (Mangifera indica). They are also mixed with the species of plantation crops such as cocoa (Theobroma cacao), petai (Parkia speciosa), coffee (Coffea robusta), and cloves (Syzygium aromaticum). The average area of woodlands owned by farmers is ranges between 0.5 and 1 ha. 212 |
Forest plant maintenance activities by the community are very rarely done and, therefore, the quality of products is not very good. Besides, private forest farmers were not able to calculate the true potentials of timber that they owned, so that they usually sold their timber in the forms of tree stands. These conditions would cause detrimental effects to the farmers in the process of private forest products transactions. This is because private forest farmers do not know and, have got no experience, how estimate or calculate the volume of timber, and they have never been equipped with the knowledge of or training on forest inventory. III. KNOWLEDGE OF FOREST INVENTORY FOR THE COMMUNITY ON PRIVATE FOREST LAND A.
The Importance of Forest Inventory Activity
Forest inventory is commonly referred to as the “description” (forestry description), and/or timber cruising in a more limited scope. In the conventional forest management system, forest inventory (in private forests) is required to determine the standing stock in the forests at any given moment (Simon, 1996). Forest as a plant community association dominated by vegetation is constantly changing from time to time. Therefore, the amount of wealth contained within the forests is also always changing. Forest inventory itself is taken to mean an attempt to describe the quantity and quality of forest trees as well as various characteristics of the area of land where they grow. A comprehensive forest inventory in terms of timber assessment should contain a description of the forested areas and their ownership; assessment of volume (other parameters such as weight) of trees which are still standing and assessment of the added-growing and extraction of products (Husch, 1987). The definition of forest inventory (timber cruising) in a more limited scope refers to a recording, measuring and marking activities of trees in woodland area which is measured to determine the species, | 213
diameter, number of trees to be felled and protected as well as the species, number and volume of trees which will be cut as well as other field data recording. In modern forest management system, forest inventory is not only concerned with forests and forest areas alone. The problems outside the forests and forest areas have important meanings and, therefore, they should also be carefully collected with adequate preparation. Depending on the purposes of forestry inventory, the precision of registration of any information will vary. For important information, of course more accurate data must be compared with other information which are less important in any forest inventory. This means that the level of precision recorded in forest inventory is determined by the purposes or objectives of the forest inventory. These forest inventory activities are very important to know about private forest farmers in order that the farmers will be able to know or estimate the potency of standing stock is in their smallholders. It is necessary for local government to get involved in the forest inventory activities, which is in this case is the government of Bulukumba District in particular, and other relevant parties (stakeholders) to conduct training activities on forest inventory for the farmers. In this way, it is hoped that in the future the farmers will no longer be cheated when selling their timber in the forms of tree stands to traders/entrepreneurs, and it is expected that through these training activities farmers’ living standard will improve as well. Timber tree dimensions such as diameter, height and volume are commonly determined through direct measurement with the help of certain measuring devices. Direct or indirect measurement techniques are often used for more efficient measurement, without reducing the level of accuracy of the measurement results. Prediction is another measurement technique which is not directly based on the measurement by 214 |
naked eyes (or ocular) without the help of measuring instruments, and the result of the measurement is very rough approach. The population of forest inventory is forest areas which are included in the working areas of forest management and the description of their conditions and potentials are known. The benefits of forest inventory (Iwan, 2004) are, among others, to know and understand how to do a tree-dimensional measurements; to know, process data, and determine the volume of woods or timber for standing stock, and to be able to estimate the volume of the forest/land resources. B.
Forest Inventory Planning
In spite of the fact that in the implementation of forest inventory (to indentify tree potentials) is greatly varied, there are some types of forest inventory, depend upon their objectives and the conditions of forests and other areas being faced, but the planning of those different types of forestry inventory will be similar. The information needed in any forest inventory may be varied such as the inventory with national scope up to detailed inventories for practical purposes, but basically the contents of both are to get information about forest resources faced by each forest inventory. In order to manage forest resources and utilize their products wisely at various levels, it is necessary to get information about the location, size or width, the estimation of volume of woods and increments of the forests. Generally, there are several steps to be taken in carrying out forest inventory activities (Simon, 1996; Iwan, 2004); they are as follows 1) documents needed consisting of proofs of land ownership (certificates, ownership temporary [girik], letter C, Periodic Tax Return [SPPT], village Certification Letter, SalePurchase document) to ensure the tenure of farmers’ land; 2) building the inventory team which is adjusted to the number | 215
of farm lands to be inventoried; and 3) conducting to measure the diameter and height of trees and estimate the volume of woods [after the documents have been completed]. The determination of minimum diameter and distribution of class interval diameter should refer to the agreement of groups in determining minimum diameter of tree species which are allowed to be harvested. Methods of Measuring Diameter Tree Methods of measuring tree diameter (that is, measuring the diameter or circumference of a tree) must be taken at the height of 130 cm above the ground level (diameter at breast height, or DBH). For more convenience, firstly, it is possible to use a stick with a length of 130 cm. Then this stick is used to mark the position of diameter or circumference measurements on tree trunks, so that measurements can be more uniform and faster (Husch, 1987). Under this measurement of diameter of a tree, it can be directly read and known by using a measurement device, i.e.: phi-band (can immediately give you the diameter), or using a meter tape but the diameter of a tree cannot be read or known directly and only its circumference measurement of the trunk that is measured (and in order to determine the value of the diameter, and the result of circumference measurement must be divided by phi 3.14). Measurement of Tree Height Tree height is a measurment of the height of the trunk which can be utilized (usually the height of trunk up to the point of main branch). The tree height is determined by using measuring devices such as Christenmeter, Haga Hypsometer, stick and the results will be expressed in meter units.
216 |
Numbering and Marking the Trees Numbering and marking are mainly done on trees with diameters above provisions on the allowable limits to be cut down, as they are required in the application of the chain of custody. But numbering can also be done on a tree with a diameter smaller as needed. The numbering system should ideally contain information of tree numbers, number/identity of members, number of farmland, number/identity of groups, and the size of the trees. Markings on the trunk can be done by using Chinese-inkpaint, Indian ink, plastic plates, zinc plate, marking crayons. Method of Determining Tree Volume Although we know trunk has an irregular shape, logs can be considered as being similar to cylinder, especially if the length of the trunk is relatively limited. The difference in sectional areas of both ends of the logs is not the same as in the cylinder and on the inner surface side of the log is not smooth. Therefore, the formula for calculating the volume of tree trunks also apply the cylinder formula by entering correction factors due to differences in crosssectional areas and the shape of the surface is not smooth and not exactly the same as the cylinder. So, the common formula for determining the estimate of volume of woods or tree trunks can be written as follows (Simon, 1996; Iwan, 2004):
V = 1/4 π x d² x h x f Where V d h f
= = = =
volume of wood diameter of breast height (dbh) height of tree factor number whose value is 0.7
| 217
Recording of Results The results of inventories should be recorded in tally sheets or note books and materials as parts and information of the results of the inventory. Tally Sheets are made for groups of inventoried farmlands, which henceforth will be collected in an inventory book. These tally sheets contain all data of the inventoried trees and, in addition, they also describe the conditions or states of the existing farmlands such as the existence of a river or a spring on the location being inventoried. An inventory is carried out to obtain information about the conditions or states of private forests, covering stand condtions (species , number, size, volume, stand structure), the conditions of farmland (width and topography). The collected data will be used for the preparation of sustainable private forest management planning. IV. CONCLUSION The marketing of timber is mostly done individually. The most of the timber sales are done in the forms of tree stands, so the selling prices are low and the farmers are often cheated or manipulated by traders resulting in detrimental effects to the farmers. That is why the private forest farmers need to be equipped with the knowledge of forest inventory (to know their timber potency) in order to determine the estimation of volume of woods per tree owned. With this training on tree inventory knowledge, it is hoped that private forest farmers can obtain various benefits in terms of economic, social and ecological, and in the future they will not sell their timber in the forms of tree stands with decent prices so as to improve their welfare.
218 |
BIBLIOGRAPHY Badan Litbang Kehutanan dan UNHAS. (1997). Studi Pengembangan Hutan Rakyat Wilayah Sulawesi Selatan dengan pendekatan SSEKI. Laporan Akhir Kerja sama Badan Litbanghut dengan Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS, Ujung pandang. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba (2005). Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2004). Statistik Kehutanan. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Husch, B. (1987). Perencanaan Inventarisasi Hutan, diterjemahkan oleh Agus Setyarso, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), 1987. Mindawati, N., Widiarti, A. & Rustaman, B. ( 2006). Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Simon, H. (1996). Metode Inventore Hutan. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta. Iwan, S. (2004). Mata Ajaran I Diklat Inventarisasi Hutan Angkatan II Tahun 2004. Makassar. Balai Diklat Kehutanan Makassar. Soemitro. (1985). Laporan Survai Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Supriadi, D. (2002). Pengembangan Hutan Rakyat Indonesia. Jurnal Hutan Rakyat IV (1) . Pustaka Hutan Rakyat. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat (1997). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. | 219
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Usman, M. (2001). Memposisikan hutan rakyat sebagai aktualisasi ekonomi kerakyatan. Makalah hutan rakyat disampaikan pada seminar MPI Reformasi di Riau.
220 |
PEMANFAATAN KAYU HUTAN RAKYAT Wahyudi Isnan ABSTRAK Keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba sangat membantu dalam pemenuhan kayu bagi masyarakat dan industri. Kayu hutan rakyat di daerah ini, selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan lokal berupa pembangunan rumah tinggal dan perabot rumah, juga mendukung keberadaan berbagai industri kayu, baik industri skala besar maupun industri kecil. Beberapa jenis kayu hutan rakyat yang dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan skala rumah tangga, antara lain jati lokal, bitti, jati putih, dan gmelina; sedangkan untuk kebutuhan industri, baik industri sawmill, phinisi, dan veneer, meliputi jati dan rimba campuran. Pentingnya hutan rakyat sebagai pendukung industri berbahan kayu memerlukan perhatian pemerintah berupa kebijakan yang mendukung pengembangan hutan rakyat. Kata kunci: pemanfaatan, hutan rakyat, Bulukumba
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan pembangunan kehutanan menuntut untuk memperhatikan dan memperhitungkan keberadaan hutan rakyat. Hal ini terkait dengan berkurangnya hasil kayu dari hutan alam, baik hasil kayu sebagai bahan kayu pertukangan, kayu industri, maupun kayu bakar. Selain itu, semakin bertambahnya penduduk dan semakin banyak industri berbasis kayu menuntut semakin besarnya kebutuhan bahan baku kayu yang harus dipasok. Oleh karena itu, wajar bila pemerintah mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan, antara lain melalui pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu| 221
kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektare (SK Menteri Kehutanan No 49/Kpts-II/1997). Di Kabupaten Bulukumba, desain hutan rakyat lebih menyerupai kebun masyarakat yang di dalamnya terdapat tanaman kehutanan, perkebunan, dan tanaman bawah. Pengelolaan hutan rakyat umumnya dilaksanakan dengan pola agroforestry, yaitu mengombinasikan antara tanaman kehutanan, perkebunan, dan tanaman semusim. Hutan rakyat ini ada yang terletak di lokasi sekitar rumah tinggal dan ada pula yang letaknya agak jauh dari rumah. Kayu dari hutan rakyat dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk pasar lokal Kabupaten Bulukumba dan luar Kabupaten Bulukumba, terutama untuk memasok bahan baku bagi industri, baik industri skala kecil maupun skala besar. Untuk itu, pemanfaatan hutan rakyat yang semakin meluas hendaknya diiringi kebijakan yang mendukung pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. II.
POTENSI HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BULUKUMBA
Kabupaten Bulukumba memiliki hutan negara seluas 8.453 ha, yang terdiri dari hutan lindung 3.538 ha (42%), hutan produksi 509 ha (6%), hutan suaka alam 3.475 ha (41%) dan hutan produksi terbatas 931 ha (11%). Sementara itu, luas hutan hak/hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba sekitar 21.800 ha (72%) (Dinas Kehutanan Bulukumba, 2005) yang tersebar di sembilan kecamatan (Gantarang, Ujungloe, Bontobahari, Bontotiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, dan Kindang) dan hanya satu kecamatan (Ujungbulu) yang tidak mempunyai hutan rakyat. Secara keseluruhan, luas hutan negara dan hutan rakyat adalah 30.296 ha. Dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Bulukumba yang luasnya mencapai 115.467 ha, total luas 222 |
hutan negara dan hutan rakyat tersebut hanya sebesar 26,24%. (Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, 2005). Berikut penyebaran hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Tabel 1. Penyebaran hutan rakyat Kabupaten Bulukumba tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kecamatan Gantarang Ujungbulu Ujungloe Bontobahari Bontotiro Herlang Kajang Bulukumpa Rilau Ale Kindang Jumlah
Luas (ha) 1.591,50 1.467,90 4.280,85 1.576,15 1.684,65 2.289,35 3.448,90 2.826,10 2.667,60 21.843,00
Keterangan
Desa Karassing
Desa Balong
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, 2007
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba (2012), Kabupaten Bulukumba memiliki hutan di luar kawasan hutan negara seluas 39.000 ha dengan perkiraan luas hutan rakyat seluas 22.500 ha dan hutan adat atau hutan milik lainnya seluas 17.400 ha. Rencana pengembangan hutan rakyat yang akan dilakukan sekitar 10.800 ha (Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, 2013). Dibandingkan dengan luas hutan rakyat tahun 2005, yaitu 21.800 ha, terdapat peningkatan luasan hutan rakyat sekitar 600 ha. Hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba selain ditumbuhi oleh berbagai jenis tanam kehutanan juga tanaman perkebunan dan pertanian. Jenis–jenis kayu yang ditanam umumnya jenis kayu perdagangan seperti gmelina, bitti, jati, jabon, suren, | 223
sengon, dan mahoni dengan tanaman perkebunan seperti kakao, petai, kopi dan cengkeh. Sedangkan untuk jenis tanaman semusim seperti jagung, umbi-umbian, kacangkacangan pada hutan rakyat masih jarang dilakukan. Luasan rata-rata kepemilikan hutan rakyat oleh petani antara 0,5–1,0 ha (Hayati et al., 2013). III. PEMANFAAATAN KAYU HUTAN RAKYAT Kayu yang berasal dari hutan rakyat yang pada umumnya berumur muda dan berdiameter kecil (<25 cm) sudah tentu bermutu rendah. Namun, mengingat pasokan kayu dari sumber utama (hutan alam/hutan tanaman) semakin menurun bahkan hampir habis, pemakai kayu sudah lama cenderung memilih kayu-kayu tersebut (Abdurachman & Hadjib, 2006). Kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba, selain menyuplai kayu pada beberapa skala industri juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan lokal masyarakat seperti pembangunan rumah tinggal. Struktur industri yang terdapat di Kabupaten Bulukumba yang memanfaatkan kayu hutan rakyat, yaitu: 1. Industri Skala Besar: PT PAL, PT Zanur, dan PT AMIL PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) sebagai industri veneer membutuhkan bahan baku industri sebesar 3200 m 3/tahun yang berasal dari hasil hutan rakyat di Bulukumba. Menurut (Kusumedi & Nawir, 2010), kondisi ini menyebabkan adanya kekurangan pasokan sebesar lebih kurang 5.585 m³/tahun. Sisa kekurangan bahan bakunya berasal dari replanting kayu karet dari PT Lonsum sekitar 12.200–15.000 m³. PT Zanur Hijau Lestari memproduksi kayu olahan berupa finger jointed laminating board dengan memanfaatkan kayu hasil replanting tanaman karet dari PT Lonsum dan kayu jenis fast growing dari hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Sedangkan PT AMIL memproduksi flooring dengan bahan 224 |
kayu Jati lokal yang berasal dari kayu hutan rakyat yang berada di Kabupaten Bulukumba dan sekitarnya. 2. Industri Skala Menengah (Industri Sawmill) Industri sawmill yaitu industri yang mempunyai mesin sawmill sendiri dan mengolah kayu dari log menjadi bantalan, dan dari bantalan menjadi sawn timber. Kebutuhan bahan baku industri kayu sawmill sebesar 24.228 m³ yang berasal dari hasil hutan kayu rakyat di Bulukumba (Kusumedi & Nawir, 2010). Jumlah industri sawmill yang ada di Bulukumba sebanyak 11 buah, namun terdapat pula industri yang hanya merupakan cabang dari industri besar dan mempunyai izin. 3. Industri Skala Kecil (Industri Kerajinan Mebel) Berbagai jenis industri mebel dengan produk yang berbeda terdapat di Kabupaten Bulukumba. Beberapa industri kerajinan khusus memproduksi kursi, meja, lemari dan bangku sekolah saja, sedangkan industry lainnya menghasilkan beberapa produk sekaligus. 4. Industri Perahu Industri perahu atau kapal kayu yang dikenal dengan industri phinisi di Kabupaten Bulukumba sebagian besar suplai bahan baku utama dipenuhi dari hutan rakyat. Kebutuhan kayu dari industri ini juga berbeda sesuai kategori usaha, yaitu skala besar, menengah, dan kecil yang didasarkan pada ukuran kapal/perahu. Bahan baku berasal dari pedagang perantara, baik yang berasal dari Kabupaten Bulukumba sendiri maupun yang berasal dari luar Bulukumba, seperti dari Maluku, Bantaeng, dan Sulawesi Tenggara. Kebutuhan bahan baku rata-rata adalah 100 m3/bulan. Pada Tabel 2 disajikan perkembangan jumlah industri berbasis kayu di Kabupaten Bulukumba.
| 225
Tabel 2. Perkembangan jumlah industri berbasis kayu di Kabupaten Bulukumba No.
Jenis Industri
Jumlah Industri (Tahun 2005)
(Tahun 2013)
1.
Industri Sawmill
11
58
2.
Industrie Perahu
21
27
3.
Industrie Mebel
65
12
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bulukumba, 2005; Hayati et al., 2013
Data Tabel 2 menunjukan bahwa terdapat peningkatan jumlah industri sawmill dan industri perahu dari tahun 2005 hingga tahun 2013. Peningkatan jumlah industri tentunya perlu dibarengi dengan peningkatan produksi kayu dari hutan rakyat sehingga pengembangan hutan rakyat perlu menjadi perhatian. Secara umum, industri kayu hampir terdapat di semua kecamatan di Kabupaten Bulukumba dengan jenis produk yang dihasilkan mulai dari balok, papan, sawn timber, bantalan hingga menjadi mebel, seperti lemari, kusen, dipan, dan perabot rumah tangga. IV. JENIS-JENIS KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BULUKUMBA Jenis-jenis kayu hutan rakyat yang ada di Kabupaten Bulukumba yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu, antara lain: 1. Jati (Tectona grandis) Kayu jati atau jati lokal merupakan salah satu jenis kayu hutan rakyat yang banyak diusahakan dan juga dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Bulukumba. Pemanfaatan kayu jati oleh masyarakat, antara lain diolah menjadi 226 |
perabot/mebel, bahan untuk mendirikan kantor pemerintahan, dan rumah tinggal. Penduduk Kabupaten Bulukumba merupakan etnis Bugis Makassar sehingga bentuk rumahnya masih didominasi dengan adat rumah panggung kayu. Selain itu, terdapat perusahaan berbahan baku khusus kayu jati di Kabupaten Bulukumba, yaitu PT AMIL dengan produk utama flooring. 2. Bitti (Vitex cofassus) Kayu bitti oleh masyarakat Bulukumba dikenal dengan nama na’nasa dan telah lama di jadikan salah satu bahan pembuatan kapal phinisi. Selain awet terhadap serangan hama perusak kayu, kayu bitti juga awet terkena air laut. Menurut Whitemore (1989), tanaman bitti (Vitex cofassus Reinw.) termasuk ke dalam Ordo Tubiflorae, Suku Verbenaceae. Di Indonesia, tanaman bitti tersebar di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua. Tanaman bitti dapat tumbuh baik pada ketinggian 800 m dpl. Namun, tanaman ini juga dapat tumbuh hingga ketinggian 2.000 m dpl. Umumnya, jenis ini tumbuh sebagai pohonpohon kodominan di hutan dataran rendah dengan kondisi iklim yang ideal adalah tipe A, B, dan C. Tanaman bitti termasuk tanaman toleran yang memerlukan cahaya penuh dalam pertumbuhannya. Pada musim kemarau, tanaman ini menggugurkan daunnya. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah-tanah yang berkapur. Tinggi pohon bitti dapat mencapai 40 m dengan diameter batang 130 cm dan tumbuh tanpa banir. Kayu bitti tergolong jenis sedang hingga berat, kelas kuat I–II, dan kelas awet I–II. Tekstur kayunya padat, kayu gubal berwarna putih, sedangkan kayu terasnya kuning muda, keras, dan padat. Kayu ini berserat halus dan tidak mudah terbelah. Tekstur kayu bervariasi dari agak halus hingga kasar dan merata. Kayunya bermanfaat sebagai bahan pembuat perahu phinisi, tiang rumah panggung, dan bahan bangunan rumah lainnya. | 227
Sebagai komponen utama perahu phinisi, kayu bitti umumnya digunakan pada bagian perahu yang bersentuhan dengan air laut dan bagian khusus yang disebut “kelu”. Pemanfaatan lain yang umum dijumpai di Kabupaten Bulukumba antara lain sebagai bahan baku mebel, rumah, dan peralatan rumah tangga (Darmojo et al., 2013). Salah satu kendala bagi petani dalam budi daya bitti adalah daur yang panjang, namun harganya masih diberlakukan sebagai kayu rimba campuran. 3. Sengon (Paraserianthes falcataria) Sengon merupakan salah satu jenis kayu yang masuk dalam famili Leguminosae dengan sinonim Albizia moluccana Miq., A. falcate Backer, dan A. falcataria (L.) Fosberg. Nama lokal/ daerah di Indonesia, antara lain sengon (umum); jeungjing (Sunda); sengon laut (Jawa); sika (Maluku); tedehu pute (Sulawesi); bae, wahogon (Papua). Sengon memiliki daerah sebaran alami di Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Bismarck. Jenis ini banyak ditanam di daerah tropis dan merupakan spesies pionir, terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Tempat tumbuhnya mulai pantai hingga ketinggian 1.600 m dpl dan tumbuh optimum pada ketinggian 0–800 m dpl. Tanaman dapat beradaptasi pada iklim monsun dan lembab dengan curah hujan 200– 2.700 mm/tahun dan bulan kering hingga empat bulan. Jenis ini dapat ditanam pada tapak yang tidak subur tanpa dipupuk, namun tidak tumbuh subur pada lahan berdrainase jelek. Sengon termasuk spesies yang memerlukan cahaya dan merupakan salah satu spesies paling cepat tumbuh di dunia. Kemampuan tumbuhnya hingga mencapai tinggi 8 m dalam tahun pertama penanaman. Penampilan botani sengon merupakan pohon berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 40 m, dan tinggi batang bebas cabang 20 m. Tanaman sengon tidak berbanir, memiliki kulit licin berwarna kelabu muda, dan batangnya 228 |
bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, dan selalu hijau. Daun majemuk memiliki panjang mencapai 40 cm, terdiri dari 8–15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15–25 helai daun. Dari segi kegunaan, sengon merupakan kayu serbaguna untuk konstruksi ringan, kerajinan tangan, kotak cerutu, veneer, kayu lapis, korek api, alat musik, dan pulp. Daun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Di Ambon, kulit batang digunakan untuk penyamak jaring, kadang-kadang sebagai pengganti sabun. Sengon ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan penghijauan. Di Bulukumba, kayu sengon banyak digunakan sebagai bahan pembuatan perabot/ mebel dan veneer. Sebagai jenis serbaguna, bagian tanaman sengon dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan, mulai daun hingga perakarannya. Daun sengon, sebagaimana famili Mimosaceae lainnya, merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Jenis ternak seperti sapi, kerbau, kambing menyukai daun sengon tersebut. Sistem perakaran tanaman sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Hal ini menguntungkan bagi akar dan lingkungan sekitarnya. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian, pohon sengon dapat membuat tanah di sekitarnya menjadi lebih subur. Selanjutnya, tanah ini dapat ditanami dengan tanaman palawija sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani penggarapnya. Bagian yang memberikan manfaat yang paling besar dari pohon sengon adalah batang kayunya. Harga kayu sengon yang mencapai Rp1.050.000 untuk bantalan dan Rp300.000 untuk log cukup menggiurkan bagi masyarakat yang memiliki hutan rakyat. Kayu sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam bentuk kayu olahan berupa papan papan | 229
dengan ukuran tertentu sebagai bahan baku pembuat peti, papan penyekat, pengecoran semen dalam kontruksi, industri korek api, pensil, papan partikel, bahan baku industri pulp, dan sebagainya. 4. Mahoni (Swietenia mahagoni) Mahoni termasuk tanaman ordo Sapindales dan family Meliaceae. Mahoni dapat tumbuh liar di beberapa hutan, seperti hutan jati dan tempat-tempat lain dekat pantai. Biasanya, mahoni juga ditanam sebagai pohon pelindung di tepi jalan. Tanaman berbentuk pohon dengan tinggi 5–25 m, memiliki perakaran tunggang, berbatang bulat dan bercabang banyak, serta kayunya bergetah. Daun majemuk menyirip genap dengan helai daun berbentuk bulat telur, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, tulang menyirip, dan panjang 3–15 cm. Daun muda berwarna kemerahan, sedangkan bila sudah tua berubah hijau. Bunganya merupakan bunga majemuk dan tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Ibu tangkai bunga berbentuk silindris dan berwarna coklat muda. Kelopak bunga terpisah (lepas) satu sama lain, bentuknya seperti sendok, dan warnanya hijau. Mahkota bunga berbentuk silindris, berwarna kuning kecoklatan, dengan benang sari melekat pada mahkota dan kepala sari berwarna putih, atau kuning kecoklatan. Mahoni baru berbunga setelah berumur tujuh tahun. Buahnya berbentuk kotak dan bulat telur, berlekuk lima, dan berwarna coklat. Biji berbentuk pipih, berwarna hitam atau coklat. Mahoni adalah pohon penghasil kayu keras untuk berbagai perabot. Biasanya, kayu mahoni di Kabupaten Bulukumba digunakan sebagai perabot rumah tangga dan bahan konstruksi bangunan rumah tinggal.
230 |
5. Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Nama botani Gmelina arborea Roxb. dari family Verbenaceae dan dikenal oleh masyarakat dengan gmelina atau jati putih. Jenis ini tumbuh pada ketinggian tempat sekitar 90–1.500 m dpl. Tanaman tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan sekitar 760–4.500 mm/tahun dan juga dapat tumbuh pada tanah marginal. Tanaman gmelina banyak ditanam sebagai tanaman pelindung, walaupun sebagian besar dimanfaatkan sebagai tanaman komersial. Semua bagian pohon dapat dimanfaatkan untuk dijual, mulai batang gelondongan, cabang, bahkan ranting. Kayu gmelina digunakan sebagai konstruksi ringan, peti kemas, pulp, dan veneer. Di Kabupaten Bulukumba, tanaman gmelina atau yang dikenal masyarakat sebagai tanaman jati putih umumnya digunakan sebagai bahan pembuatan perabot rumah tangga dan bahan pembuatan veener. Selain itu, jenis ini tahan terhadap api sehingga cocok sebagai tanaman sekat bakar. Tegakan jenis ini bila terserang api maka beberapa saat setelah musim hujan dapat tumbuh kembali dengan banyak cabang.
Nurhaedah et al., (2012) menyatakan bahwa dalam mendukung keberadaan hutan rakyat, beberapa industri secara swadaya membagikan bibit tanaman hutan rakyat kepada masyarakat secara cuma-cuma. Namun, pengangkutan bibit tersebut dibebankan kepada masyarakat peminat. Sampai saat ini, belum ada kesepakatan khusus antara masyarakat dengan industri pemberi bibit terkait penjualan kayu dari bibit yang diperoleh secara cuma-cuma. Hal tersebut perlu menjadi pemikiran ke depan agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara masyarakat dan industri yang berbasis kayu. Meskipun masyarakat, pemerintah, dan pengusaha aktif mendukung pengembangan hutan rakyat, beberapa jenis kayu | 231
yang merupakan kebutuhan masyarakat dan industri masih didatangkan dari luar daerah, bahkan luar provinsi. Untuk itu, dukungan dari berbagai pihak masih diperlukan dalam pengembangan hutan rakyat di Bulukumba. V.
KESIMPULAN
Keberadaan berbagai industri berbahan baku kayu di Kabupaten Bulukumba menjadikan hutan rakyat memiliki nilai penting. Kayu dari hutan rakyat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; baik industri besar penghasil kayu veener, industri perahu, maupun industri kecil seperti industri kerajinan rumah tangga. Pemanfaatan juga untuk kebutuhan lokal berupa komponen pembuatan rumah tinggal. Jenis kayu hutan rakyat yang banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal masyarakat, antara lain jati, gmelina, dan bitti. Sementara itu, kebutuhan industri banyak menggunakan jati dan rimba campuran (sengon, bitti, pulai, gmelina, kapuk, dan lain-lain). Mengingat manfaat kayu hutan rakyat yang semakin luas, beberapa perusahaan berbasis kayu telah menjalin kerja sama dengan masyarakat melalui pemberian bibit tanaman kehutanan secara cuma-cuma kepada masyarakat sebagai bentuk motivasi pengembangan hutan rakyat. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman & Hadjib, N. (2006). Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan (hal 130–148). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Darmojo, P.D., Malamassam, D. & Restu, M. (2013). Nilai tegakan berbasis produksi kayu dan produksi benih pada tegakan sumber benih Bitti (Vitex cofassus Reinw.) di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan 232 |
Jurnal Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2007). Penyebaran hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2013). Rencana Pengembangan Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan. Makalah yang disampaikan pada acara seminar hutan rakyat di Hotel Horison Makassar. Hayati, N., Bisjoe, A.R.H. & Wakka, A.K. (2013). Analisis Rantai Nilai Kayu CBCF di Kabupaten Bulukumba. Laporan Hasil Penelitian kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Kusumedi, P. & Nawir, A. (2010). Analisis pengelolaan dan finansial hutan rakyat kemitraan di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 1–21. Nurhaedah, Bisjoe, A.R.H. & Widianto, T. (2012). Analisis Dimensi Sosial Pengelolaan Hutan Rakyat CBCF di Kabupaten Bulukumba. Laporan Hasil Penelitian kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 49/Kpts-II/1997. Tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. (1997). Whitmore. (1989). Tree Flora of Indonesia Check List for Sulawesi. Forestry Research and Development Agency. Forest and Development Centre. Bogor.
| 233
THE UTILIZATION OF PRIVATE FOREST TIMBER Wahyudi Isnan ABSTRACT The existence of private forests in Bulukumba District is very helpful in the fulfilment of timber supply for both the community and industries. Private forest timber in this region in addition to be used to meet local needs in the form of residential houses development and furniture is also used to support the existence of various wood-based industries both large-scale and small-scale- industries. Some species of woods are utilized by the community for household needs, among others, local teak, bitti , white teak and Gmelina, while for the needs of sawmill industries, phinisi boat industries and veneer, includes teak and mixed timber tree. The importance of private forests as a support to wood-based industries requires a great attention of the government. This support can be in the form of developing policies to support the development of private forests. Keywords: utilization, private forests, Bulukumba
I.
INTRODUCTION
The development of forestry development needs to pay attention to and take into account the existence of private forests. This is associated with the shortage of wood products from natural forests, either for the materials of carpentry, or wood industries, or firewood. In addition, the increasing population and growing number of wood-based industries have caused the increasing demand of wood raw materials to be supplied. Therefore, it is reasonable if the government invites the community to participate in forestry development, among others, by encouraging the community to take part in the development of private forests. Private forests are the forests that are owned by people with a minimum area of 0.25 ha with crown cover and timber trees 234 |
or other species of more than 50% and/or in the first year having at least 500 plants per hectare (Ministrial Decree No. 49/Kpts-II/1997). In Bulukumba, the design of private forests is more like a community garden in which there are forest trees, plantations and lower plants. Private forest management is typically in the form of agroforestry which combines forestry crops, plantations and crops. Some of these private forests are located at locations around people’s residences and some others are located farther away. Woods from private forests can be utilized to meet both the needs of local markets in and those outside Bulukumba District. The timber is mostly used as raw materials for industries, both small-scale and large-scale industries. Therefore, the increasing utilization of private forests should be accompanied by policies that support the development of private forestry in Bulukumba District. II.
POTENCY OF PRIVATE FOREST IN BULUKUMBA DISTRICT
Bulukumba District has got state forests covering an area of 8,400 ha, which consist of 3,500 ha for protected forest (42%), 500 ha for production forest (6%), 3,400 ha (41%) for forest preserves, and 900 ha (11%) limited production forest. Meanwhile, community forests cover approximately 21,800 ha, that is about 72% of the existing forests (Bulukumba Forest Service, 2005). These private forests are spread over nine districts (Gantarang, Ujungloe, Bontobahari, Bontotiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, and Kindang) and only one sub-district (Ujungbulu) which does not have private forest at all. As a whole, both the state forests and private forest cover the areas of around 21,800 ha. Comparing to the size of Bulukumba District which covers 1,200 km 2, the total forest | 235
areas is only 26% (Bulukumba Forestry Service, 2005). The distribution of private forests in Bulukumba is as follows. Table 1. The distribution of private forests in Bulukumba District, 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sub-District Gantarang Ujungbulu Ujungloe Bontobahari Bontotiro Herlang Kajang Bulukumpa Rilau Ale Kindang Jumlah
Width (in ha) 1,591.50 1,467.90 4,280.85 1,576.15 1,684.65 2,289.35 3,448.90 2,826.10 2,667.60 21,843.00
Remark
Karassing Village
Balong Village
Source: Forestry and Plantation Service Office, Bulukumba District, 2007
According to Bulukumba Forestry and Plantation Service Office (2012), the forests outside the state forests are estimated to cover the area of 39,000 ha, which consist of 22,500 ha for private forests and 17,400 ha indigenous or traditional (adat) forests or other private forests. The private forest development plans of around 10,800 ha (Forest Service South Sulawesi, 2013). Compared to the size of private forests in 2005 which is covering the area of 21,800 ha, there is an increase in private forest area of about 600 ha. Private forests in Bulukumba District are not only composed of forestry plant species but also of plantation plants and agricultural crops. Generally, timber tree species which are planted are commercial timber species such as gmelina, bitti, teak, jabon, suren, sengon, and mahogany togther with 236 |
plantation crops such as cocoa, banana, coffee and cloves. While seasonal crops such as maize, rubers, and nuts are rare in private forests. The average area of private forests ranges between 0.5 and 1.0 ha (Hayati et al., 2013). III. THE UTILIZATION OF PRIVATE FOREST TIMBER Timber coming from private forests are generally young age, having small diameters (<25 cm) and of course they are low quality, but because the timber supply from primary sources (natural forests or forest plantation) is drastically decreasing, the utilization of timber tends to shift to low quality timber instead (Abdurachman & Hadjib, 2006). In addition to supply raw materials for industries, private forest timber in Bulukumba District are utlized to meet local needs of the community such as for the construction of residential houses. While the structure of wood-based indusries in Bulukumba District is as follows: 1. Large-Scale Industries: PT PAL, PT Zanur and PT AMIL PT Palopo Alam Lestari (PT PAL) as a veneer industry requires raw materials of about 3,200 m3 per year which are from private forests. According to Kusumedi & Nawir (2010), these conditions have caused a shortage of supply of approximately 5,500 m³ per year. While the remaining shortage of raw materials can be fullfilled by woods coming from replanting of rubber wood from PT Lonsum which are totaling around 12,200–15,000 m³. PT Zanur Hijau Lestari (name of the wood-based industry) produces processed woods in the forms of finger jointed laminating board by utilizing timber produced from replanting of rubber trees from PT Lonsum and fast growing wood species planted in community. While PT. AMIL produces flooring whose raw materials are local teaks from private
| 237
forests that are planted in surrounding areas of Bulukumba District. 2. Medium-Scale Industries (Sawmill Industries) The available sawmill industries in Bulukumba District are those which their own sawmill machineries and they process logs into square planks, and the planks are then processed into sawn timber. The needs for Industrial raw material are about 24,228 m³, which are coming from community forest products in the Bulukumba (Kusumedi & Nawir, 2010). Currently, there are 11 sawmill industries in Bulukumba, but some of them are branches of larger industries which have got licenses. 3. Small-Scale Industries (Furniture Industries) There are some different types of furniture industries in Bulukumba District. These industries produce different products such as craft industry which is specialized in producing chairs, tables, cabinets, and school benches while others simultaneously produce multiple products. 4. Boat Industry Most of raw materials for boat industry which is well known as the phinisi boat industry are derived from private forest woods. The demand of woods for this industry is varied depends upon category of business or industry, namely, large, medium and small. This classification is made based on the sizes of boats. Most of raw materials are from middlemen or intermediary traders either those who are from Bulukumba or those who are from outside Bulukumba such as of Maluku, Bantaeng and Southeast Sulawesi. The average need for raw materials is around 100 m3 per month. The growing number of woodbased-industries in Bulukumba is as follows: 238 |
Table 2. The development of wood-based-industries in Bulukumba District No.
Types of Industry
1.
Number of Industry (in 2005)
(in 2013)
Sawmill Industries
11
58
2.
Boat Industries
21
27
3.
Furniture Industries
65
12
Source: Forestry and Plantation Service Office, Bulukumba District, 2005; Hayati et al., 2013
The data Table 2 shows that there was an increasing number of sawmill and boat industries from 2005 to 2013. Certainly, the increase in the number of industries should be coupled with an increase in timber production from private forests. That is why the development of private forests needs to be given more attention. Currently wood-based industries spread over in almost all the districts in Bulukumba with various types of products such as beams, boards, sawn timber, and square planks up to furniture such as cabinets, frames, beds, home furnishings and others. IV. SPECIES OF PRIVATE FOREST TIMBER IN BULUKUMBA DISTRICT The species of private forest timber which are used to meet the needs of wood-based industries in Bulukumba Districts are as follows: 1. Teak (Tectona grandis) Locak teak is one of the private forest wood species which is commonly cultivated and utilized by the community in Bulukumba District. The community, among others, utilizes teak for making furniture, and raw materials for the | 239
construction of government offices and residential homes. Bulukumba District is inhibited by Makassar and Bugis tribe who mostly built their house in a traditional wooden house style. In addition, there is special teak-based company, namely PT AMIL, which mainly produces flooring. 2. Bitti (Vitex cofassus) Bitti is commonly known as "na'nasa" which has been utlized as one of raw materials for the phinisi boat since a long time ago. This wood is not only durable against wood destroying pests, but it is also durable againts sea water. According to Whitemore (1989), bitti plants (Vitex cofassus Reinw.) belong to Tubiflorae Order, Verbenaceae family. In Indonesia, bitti plants spread across Sulawesi, Maluku and Papua Island. These plants grow well at the height of 800 meters above sea level, but the plant can grow up to a height of 2,000 m asl. Generally bitti grow as codominant trees in lowland forests under an ideal climate conditions of A, B and C. Bitti plants are included into tolerant plants which require great deal of light in their growth. During the dry season, the leaves of these plants usually fall down, and they can grow well in calcareous soils. The height of bitti trees may reach 40 m with a trunk diameter of 130 cm which grows without any buttresses. Bitti wood is classified as being moderate to heavy, while its strength is categorized into class I–II and its durability is of class I–II. Its texture is solid, and the color of its sapwood is white and its core is light yellow, hard and solid. Its grain is soft and it is not easily split. The texture of this wood varies from fine to coarse and somewhat even. Bitti is very useful for the phinisi boat industry, the poles of traditional wooden houses and for other home building materials. As the main component of the phinisi boat, bitti is commonly used on the parts which are in direct contact with sea water 240 |
and for a special section called “kelu” or the bottom of the boat. Besides, bitti is utlized for other uses such as raw materials for furniture, homes and household appliances such as kitchen utensils (Darmojo et al., 2013). One obstacle for farmers in cultivating bitti is its long life cycle while its price is still treated as a mixed timber tree. 3. Sengon (Paraserianthes falcataria) Sengon is included into Leguminosae family, which is synonym with Albizia moluccana Miq., A. falcate Backer and A. falcataria (L.) Fosberg. Its local name is known as sengon (general); jeungjing (Sundanese); sea Albizia (Javanese); sika (Moluccan language); tedehu pute (Sulawesi); bae, wahogon (Papua). Natural distribution areas of sengon are spread over Maluku, Papua New Guinea, Solomon Islands and Bismarck. Sengon is commonly planted in the tropical areas.This wood is categorized as a pioneer species, which is mainly found in secondary lowland rain forests or lower montane forests. The tree grows well in coastal area up to 1,600 m asl, or at the optimum of 0–800 m asl. It is able to adapt to monsoon climate and humidity with rainfall of 200–2,700 mm per year with the dry months up to four months. Sengon can be grown on infertile land without any fertlizers. However, it will grow on any lands with bad drainage. It is one of the fast growing species in the world and is capable of growing up to 8 meters per year in the first year of planting. Botanical appearance of sengon is a medium to large tree, and its height which may reach 40 m, and the height of branchfree trunk may reach 20 m; having no buttresses, smooth barks, light gray in color, and the trunk is rounded rather straight. The diameter of a mature tree may reach 100 cm or even more. It has got shield-shaped canopy, spaced far, and is always green; compound leaves which may reach 40 cm in
| 241
length, consisting of 8–15 pairs of leaf stalk with 15–25 leaves. In terms of utilization, sengon is a multi-purpose tree used for light construction, handicrafts, cigar boxes, veneer, plywood, matches, musical instruments, pulp. Its leaves can be used for animal feeds (such as chicken and goats). In Ambon its bark is used for tanning nets and sometimes as a substitute for soap. Sengon is planted as shade trees, ornamental plants, reforestation and re-greening. In Bulukumba District, sengon widely used as raw materials for furniture and veneer. Sengon tree is a multipurpose tree since most of its parts can be used for various purposes. Sengon leaves like those of other Mimosaceae family are excellent fodder and high in protein which is very good for livestock such as cattle, buffalos, and goats like to eat sengon leaves very much. Its plant root system contains a lot of root nodules as the results of symbiosis with Rhizobium bacteria. It is advantageous for the roots and surrounding areas. The existence of root nodules can help porosity of the soil and the provision of nitrogen in the soil. Thus sengon can make the surrounding soil becomes more fertile. Furthermore, this land can be planted with crops so as to increase farmers' income. The part of sengon tree which provides greater benefit is the trunk. With its price reaches IDR1,050,000 for square planks and IDR300,000 for logs, it is quite tempting for the community who have got private forests. Sengon is commonly cultivated for various purposes in the form of processed wood such as boards with certain sizes as raw materials for coffer making, insulation boards cement casting in construction, match industry, pencils, particle board, raw materials for paper pulp industry and so on.
242 |
4. Mahogany (Swietenia mahagoni) Mahogany is included into Sapindales order, Meliaceae family, with its local name is mahoni. Mahogany can grow wild in some forests such as teak and other places near the beach. Usually it is also planted as shade trees on the roadside. Its height may reach 5–25 m. It has got tap roots, rounded trunk, with many branches and resinous woods. It has got pinnately compound leaves, with strands of oval, pointed edge and base, flat edge, pinnately bones with a length 3–15 cm in length. Young leaves are reddish and when they are getting old the leaves turn to green. It has got compound flowers arranged in a bouquet out of leaf axial; cylindrical base of flower stalk cylindrical with light brown color; the petals of flowers will be off one another, shaped like a spoon and green in color; cylindrical crown, brownish yellow, stamens attached to the corolla, white anthers, and tawny. Mahogany will start flowering after the age of seven. It has box-type-flower, oval, five-hollow-flower, and brown in color; flat seeds, and black or brown in color. Mahogany produces hardwood for a variety of furniture. In Bulukumba mahogany is usually used for making home furnishings and residential building construction materials. 5. Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Botanical name gmelina arborea Roxb is derived from Verbenaceae family which is known as gmelina or white teak, growning at the altitudes between 90–1,500 m asl. It grows well in areas with rainfall of 760–4,500 mm per year and it also can grow well on marginal lands. Gmelina trees are planted as shade plants which are mostly used as commercial crops. All parts of the tree can be used for sales, ranging from trunk logs, branches and even twigs. Gmelina wood may be used for light constructions, containers, pulp and veneer. In Bulukumba, gmelina plants which are | 243
known as white teak is commonly used for the materials for home furnishings and for producing veneer. In addition, this species of wood is fire resistant which makes it suitable as a mangrove bulkhead plant. This kind of stand when attacked by fire but after some time after the rainy season it will regrow with many branches. The results of observation by Nurhaedah et al., (2012) reveal that in support of the existence of community forests, some industries indepedently distribute private forests seedlings to the community for free. However, the seedlings transportation cost will be borne by the interested community. Until now there is no special agreement between the community and the seedling providers (seedlings are distributed freely) in relation to the next sales of harvested woods. However, it is necessary to be considered in the future in order to make it mutually beneficial between the community and wood-based industries. Despite the fact that the community, government, and entrepreneurs actively support the development of private forests, some timber species are still coming from outside the province. For this reason, it is necessary for all relevant parties to support the development of private forests in Bulukumba. V.
CONCLUSION
The existence of a variety of wood-based industries in Bulukumba District has encouraged private forests to have important values. The timber produced from forests are utilized for various purposes both by large-scale industries producing veneer and the phinisi boat and small-scale industries such as household handicraft industries and local demand in the form of residential building development raw materials. Species of timber trees which are much used to meet the needs of local communities, among others, are teak, 244 |
gmelina and bitti. While for the woods which are much used to meet the needs of industries include teak and mixed timber trees (sengon, bitti, pulai, gmelina, kapok tree and others). Since the benefits of private forests are increasingly widespread, some wood-based companies enter into a partnership with the community through the provision of forest plant seedlings for free as a form of motivation to the development of private forests. BIBLIOGRAPHY Abdurachman & Hadjib, N. (2006). Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan (hal. 130–148). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Darmojo, P.D., Malamassam, D. & Restu, M. (2013). Nilai tegakan berbasis produksi kayu dan produksi benih pada tegakan sumber benih Bitti (Vitex cofassus Reinw.) di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan Jurnal Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2005). Statistik Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. (2007). Penyebaran hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba. Bulukumba. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. (2013). Rencana Pengembangan Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan. Makalah yang disampaikan pada acara seminar hutan rakyat di Hotel Horison Makassar. Hayati, N., Bisjoe, A.R.H. & Wakka, A.K. (2013). Analisis Rantai Nilai Kayu CBCF di Kabupaten Bulukumba. Laporan
| 245
Hasil Penelitian kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Kusumedi, P. & Nawir, A. (2010). Analisis pengelolaan dan finansial hutan rakyat kemitraan di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(1): 1–21. Nurhaedah, Bisjoe, A.R.H. & Widianto, T. (2012). Analisis Dimensi Sosial Pengelolaan Hutan Rakyat CBCF di Kabupaten Bulukumba. Laporan Hasil Penelitian kerja sama FORDA dan ACIAR. Tidak dipublikasi. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 49/Kpts-II/1997. Tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat. (1997). Whitmore. (1989). Tree Flora of Indonesia Check List for Sulawesi. Forestry Research and Development Agency. Forest and Development Centre. Bogor.
246 |
PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI PERAHU PHINISI Supardi ABSTRAK Phinisi adalah perahu layar tradisional khas asal Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan, tepatnya Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Perahu ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. Umumnya, perahu phinisi digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau, alat transportasi, dan alat pencari ikan. Namun, kegunaannya kini sudah bergeser menjadi perahu pesiar mewah yang telah dilengkapi kemudi mesin. Perahu phinisi memiliki peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Bulukumba karena budaya masyarakat Bonto Bahari sebagai pembuat perahu phinisi, adanya permintaan lokal dan luar negeri, dan Bulukumba merupakan penghasil kayu hutan rakyat. Adapun tantangannya, yaitu terbatasnya bahan baku kayu dari hutan rakyat, rancang bangun perahu phinisi belum mendapat hak paten, dan adanya intervensi pihak asing dalam pembuatan perahu phinisi. Kata kunci: perahu phinisi, peluang, tantangan
I.
PENDAHULUAN
Perahu phinisi adalah perahu layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Perahu phinisi mulai dikenal sejak abad 14. Saat itu, perahu phinisi banyak digunakan dalam perdagangan antarpulau (Wicaksono, 2012). Industri perahu phinisi awalnya hanya merupakan industri tradisional dengan komponen penyusun kayu dan layar. Namun, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, saat ini, pembuatannya sudah menggunakan mesin dan | 247
ukurannya sudah bervariasi sesuai pesanan yang ada. Perahu phinisi sebagai perahu barang berubah fungsi menjadi perahu pesiar komersial mewah atau perahu ekspedisi yang dibiayai oleh investor lokal ataupun asing. Salah satu contoh perahu pesiar mewah terbaru yang berlayar di bawah bendera Indonesia adalah “Silolona”. Perahu tersebut memiliki interior mewah yang dilengkapi peralatan menyelam dan permainan air untuk wisata bahari, diawaki oleh tenaga yang terlatih, dan didukung dengan teknologi modern (Ali, 2009). Perahu phinisi yang dibuat di Bulukumba memiliki keunikan pada saat pembuatannya karena dipimpin seorang Punggawa dan prosesnya tanpa menggunakan catatan. Catatan seperti perhitungan ukuran, desain perahu, dan perinciannya tidak direkam dalam bentuk tulisan ataupun bentuk lain. Semua pengetahuan yang dimiliki seorang Punggawa tersimpan di “kepalanya” dan diturunkan selama beratus-ratus tahun secara lisan. Oleh karena itu, Bulukumba mendapatkan julukan sebagai Bumi Para Ahli Pembuat Perahu (Wahyudi, 2011). Meskipun perahu phinisi sudah digunakan sampai ke dunia internasional, industri perahu phinisi sama halnya dengan industri lain yang pada umumnya memiliki banyak tantangan. Namun demikian, industri ini masih memiliki banyak peluang untuk dikembangkan. II.
SEKILAS TENTANG PERAHU PHINISI
Sejarah perahu tradisional tidak terlepas dengan perkembangan budaya Sulawesi Selatan pada khususnya dan tidak terlepas dari lingkup sejarah perjalanan kebaharian bangsa Indonesia pada umumnya. Sejarah kebaharian Suku Bugis dan Makassar berkaitan dengan perkembangan perahu sejak adanya cikal bakal perahu hingga terciptanya perahu phinisi dalam konteks kebaharian di tanah air. Phinisi adalah perahu layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari Suku Bugis 248 |
dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan, tepatnya dari Tanah Lemo dan Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Industri perahu merupakan bagian dari industri pedesaan. Peranannya dalam memacu perkembangan desa pantai tidak dapat diabaikan, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi regional. Salah satu bentuk industri pedesaan itu adalah industri pembuatan perahu. Orang-orang Bugis membuat perahu untuk keperluan angkutan antarpulau, sebagai alat transportasi untuk merantau, dan keperluan menangkap ikan. Perahu tersebut sekaligus telah menjadi simbol budaya maritim mereka (Amar, 2013). Pelaut Bugis Makassar sejak ratusan tahun yang lalu memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan karena mampu berlayar ke berbagai belahan bumi. Mereka mengarungi samudera yang luas hanya menggunakan perahu phinisi yang terbuat dari kayu dengan mengandalkan ilmu navigasi alam. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam buku seorang doktor antropologi yang berasal dari Amerika Serikat yang bernama Gene Ammerell: “Navigasi barat sangat matematis dan tergantung pada alat-alat mekanis seperti Global Positioning System (GPS), kompas magnetik dan lainnya. Ketika alat itu tidak bekerja, pelaut tidak bisa berbuat apapun. Sementara, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, cuaca, dan kemampuan membaca laut. Bukankah itu menakjubkan” (Darmawan, 2013). Phinisi adalah sebuah perahu layar yang menggunakan jenis layar sekunar dan umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau Perahu ini memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar: tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. Keberadaan dua tiang dan tujuh helai layar tersebut mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia (Sabir, 2012). | 249
Pada abad ke-13 dan 14 yang merupakan masa berkembangnya Kerajaan Bugis, terdapat salah satu hasil karya sastra terbesar orang Bugis yang lahir pada masa itu, yaitu “I La Galigo”. Karya sastra yang memiliki lebih dari 6.000 halaman ini berisi cerita asal-muasal orang Bugis. Kisah yang termasuk di dalamnya adalah tentang perahu phinisi yang pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu. Perahu tersebut digunakan untuk berlayar menuju negeri Tiongkok ketika hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil melaksanakan pelayaran yang tercatat di dalam kitab tersebut ke negeri Tiongkok dengan menggunakan perahu phinisi dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan phinisi ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu, perahu diterjang gelombang besar dan phinisi terbelah tiga yang terdampar di Desa Ara, Tanah Beru, dan Tanah Lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan perahu tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan “Phinisi” (Ond, 2013).
Gambar 1. Proses pembuatan perahu phinisi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Foto: Supardi, 2012)
250 |
Ketangguhan perahu phinisi buatan anak negeri pernah diujicobakan dengan melakukan perjalanan melintasi samudera ke berbagai negara, antara lain 1) pelayaran perahu “Phinisi Nusantara” dari Jakarta ke Vancouver, Canada, pada tahun 1986, dengan tujuan promosi budaya; 2) pelayaran perahu paddewakang bernama “Hati Maregge” dari Makassar ke tanah Maregge, Australia Utara, pada tahun 1988 di bawah sponsor Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan Museum Ilmu dan Seni Darwin; 3) pelayaran perahu phinisi “Amanna Gappa” ke Madagaskar pada tahun 1991 dengan tujuan membuktikan bahwa perahu phinisi layak berlayar di samudera, sekaligus untuk membuktikan mobilitas warga suku Bugis Makassar ke Madagaskar beberapa tahun silam; dan 4) pelayaran perahu phinisi “Damar Sagara” ke Jepang pada tahun 1992 yang bertujuan membuktikan keunggulan perahu tradisional phinisi, sekaligus untuk promosi budaya. Keempat peristiwa pelayaran tersebut membuktikan bahwa karya yang diciptakan oleh pengrajin perahu di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, adalah sebuah karya yang luar biasa dan diakui oleh dunia internasional (Amar, 2013). Harapan kita, warisan bangsa ini terus dilanjutkan oleh generasi penerus dengan mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian, industri pembuatan perahu phinisi tetap bertahan dan mengharumkan nama bangsa di dunia internasional. III. BAHAN BAKU KAYU PENYUSUN PERAHU PHINISI Bahan baku kayu dalam pembuatan perahu phinisi di Bonto Bahari adalah kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu bitti (Vitex cofassus), jati (Tectona grandis), nyamplung (Callopyllum inophyllum), gmelina (Gmelina arborea), dan kayu rimba campuran. Kayu lokal yang berasal dari Bulukumba sekitar 40% yang terdiri dari kayu bitti, jati, gmelina, dan rimba campuran; sedangkan sekitar 60% berasal dari Sulawesi Tenggara dengan jenis kayu ulin [hasil | 251
wawancara dengan Bapak Darwis, pembuat perahu phinisi pada Februari 2013]. Selanjutnya, beliau menyebutkan bahwa perahu phinisi yang bermuatan 35 ton memerlukan kayu sebanyak 50 m3. A.
Kayu Besi/Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri)
Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) sering juga disebut kayu besi karena sifat kayunya yang kuat dan awet. Jenis ini termasuk dalam famili Lauraceaea yang tumbuh secara alami di hutan Kalimantan, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka, Belitung, dan Sulawesi. Tinggi pohon dapat mencapai 35 m dengan panjang batang bebas cabang sekitar 5–20 m, berdiameter hingga 100 cm, dan kadang-kadang hingga 150 cm. Ulin umumnya tumbuh pada ketinggian 5–400 m di atas permukaan laut dengan topografi datar hingga miring dan tumbuh terpencar atau mengelompok dalam hutan campuran. Ulin sangat jarang dijumpai di habitat rawa-rawa atau basah (Hamdani & Rengganis, 2012). Keistimewaan kayu ulin, selain kuat dan awet (termasuk dalam kelas kuat I dan kelas awet I), adalah tahan terhadap serangan rayap dan serangga penggerek. Kayu ulin juga tahan terhadap perubahan suhu, kelembaban, dan pengaruh air laut. Oleh karena itu, jenis ini banyak digunakan untuk konstruksi jembatan, dermaga, bangunan yang terendam air, bantalan rel kereta api, perahu, dan lain-lain. Ulin sebagai bahan baku furnitur jarang dijumpai karena sifat kayunya yang sangat berat dan keras. Kayu ulin dapat digergaji dan diserut dengan hasil baik, tetapi sangat cepat menumpulkan alat-alat karena kayunya sangat keras. Kayu ulin dapat dibor dan dibubut dengan baik, tetapi sukar direkat dengan perekat sintetik dan harus dibor dahulu sebelum disekrup atau dipaku karena cenderung untuk pecah dalam arah radial (Hamdani & Rengganis, 2012). Kayu ini sangat cocok untuk pembuatan perahu phinisi, terutama di bagian yang berhubungan 252 |
langsung dengan air laut, seperti bagian lunas (bagian paling dasar) dan badan perahu. B.
Kayu Bitti (Vitex cofassus Reinw)
Bitti (Vitex cofassus Reinw) merupakan jenis kayu unggulan Sulawesi Selatan. Bitti termasuk dalam famili verbenaceae. Tinggi tanaman bitti mampu mencapai 45 meter dengan diameter 80 cm. Kayu bitti banyak digunakan sebagai kayu perkakas, konstruksi rumah, dan sebagai bahan untuk membuat perahu phinisi. Jenis tanaman ini termasuk mudah tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi, dan termasuk tanaman yang mempunyai kecepatan pertumbuhan sedang. Jenis ini mempunyai kemampuan tumbuh yang tinggi, tahan terhadap kebakaran, dan bila terbakar akan segera bertunas kembali. Potensi kayu bitti banyak terlihat di pesisir pantai yang memanjang di tanah Beru Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Oleh karena itu, jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai salah satu jenis andalan yang unggul (Prasetyawati, 2013). Kayu bitti adalah kayu yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan rangka perahu kerena memiliki kelas kuat II dan III, serta bentuknya banyak yang bengkok sehingga sangat cocok digunakan dalam pembuatan rangka pada pembuatan perahu phinisi. Kekuatan yang dihasilkan jenis kayu tersebut sanggup menahan kerasnya ombak di laut dan juga tahan terhadap air laut untuk waktu lama. Hasil wawancara dengan Bapak H. Abdullah [salah satu pembuat perahu phinisi di Bonto Bahari dan anggota tim Phinisi Nusantara di arena Expo ’86 di Vancouver] menunjukan bahwa kayu bitti yang ada di Tanah Beru Kecamatan Bonto Bahari berasal dari Kabupaten Bulukumba dan sebagian dari Kendari. Khusus kayu bitti dari Kendari, harganya lebih mahal karena berdiameter besar dan memiliki ongkos kirim yang tidak sedikit. | 253
Gambar 2. Tanaman bitti hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba
(Foto: Supardi, 2012) C.
Kayu Jati (Tectona grandis)
Jati (Tectona grandis Linn.F) merupakan jenis tanaman komersial yang telah lama dibudidayakan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Kelebihan kayu jati terletak pada keawetan, kekuatan, dan tekstur yang indah sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Kayu jati dapat dimanfaatkan untuk konstruksi berat, kayu bangunan, bantalan rel kereta api, perahu, peti, mebel, dan lain-lain (Mahfudz et al., 2005). Jati banyak dikembangkan dalam program Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat di Pulau Sulawesi, terutama di Kabupaten Konawe Selatan dan Pulau Muna (Kurniawan, 2012). Hasil wawancara dengan Bapak H. Abdullah pada tahun 2012 menunjukan bahwa: kayu jati yang dibutuhkan dalam pembuatan perahu phinisi dapat mencapai 30% atau tergantung pesanan pembeli. Kayu jati ini sangat bagus untuk pembuatan perahu phinisi. Harga jati pada pasar lokal tergantung dari diameternya, yaitu 1) kayu berdiameter 15–19 cm memiliki 254 |
harga Rp1.700.000/m3, 2) kayu berdiameter 20–30 cm memiliki harga Rp2.800.000/m3, dan 3) kayu berdiameter 30–35 cm memiliki harga Rp3.500.000/m3. IV. PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI PERAHU PHINISI A.
Peluang Industri Perahu Phinisi
Hasil wawancara dengan beberapa pemilik industri perahu phinisi di Bonto Bahari menunjukan bahwa industri perahu phinisi di Kabupaten Bulukumba masih memiliki peluang untuk dikembangkan dengan beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Budaya Masyarakat Bonto Bahari sebagai pembuat perahu phinisi Di Bonto Bahari yang berarti “tanah laut”, banyak perahu yang dibuat oleh masyarakat setempat setiap hari di pinggir laut. Hal ini mengingat mayoritas penduduk Bonto Bahari menggantungkan hidupnya pada laut. Kepiawaian penduduk setempat merakit perahu dan membangun tradisi bahari selama ratusan tahun, yang diwariskan dari orang tua mereka, menyebabkan lahirnya julukan Butta Panrita Lopi (negeri para ahli pembuat perahu). 2. Adanya permintaan baik lokal maupun dari luar negeri Usaha pembuatan perahu phinisi yang ditekuni oleh Bapak H. Abdullah dimulai sejak tahun 1986. Keahlian tersebut diperoleh dari dari orang tuanya. Hingga saat ini, perahu phinisi buatannya bukan hanya digunakan oleh masyarakat dari Indonesia, tetapi sudah sampai ke mancanegara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Belanda, bahkan Amerika. Beliau menerima pesanan perahu dari luar negeri sejak tahun 1990. Pesanan perahu tersebut ada yang disertai dengan gambar, tetapi ada juga yang tidak. Semua pesanan tersebut | 255
diterima, asal sesuai dengan harga dan kesepakatan yang dimuat dalam perjanjian pemesanan perahu. Harga perahu sesuai dengan kapasitas ukuran. Perahu dengan kapasitas sekitar 10 ton berharga di bawah Rp30 juta-an, sedangkan perahu dengan kapasitas 250 ton berharga di atas Rp1 milyar. Jenis kayu yang digunakan disesuaikan dengan pesanan si pembeli. Apabila pesanan perahu disetujui, pembayaran panjar (uang muka) dilakukan pada awal pembuatan, yaitu sebesar 30% sebagai modal awal pembuatan perahu. 3. Bulukumba merupakan penghasil kayu hutan rakyat Kabupaten Bulukumba mempunyai kawasan hutan seluas 8.453 ha dengan hutan rakyat mencapai 72% atau seluas 22.273 ha. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan lahan untuk hutan rakyat cukup tinggi (Bisjoe et al., 2012). Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan dan/atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Pengelolaan hutan berbasis hutan rakyat memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengelolaan hutan pada hutan negara, yaitu tidak terkendala oleh peraturan-peraturan yang mengikat di dalamnya. Hal ini karena hutan tersebut memang murni berada pada tanah hak sehingga rakyat leluasa melakukan upaya pengelolaan pada lahan hutan miliknya. Sebaliknya, pengelolaan hutan pada hutan negara memiliki kendala utama yang terkait dengan peraturan-peraturan yang mengikatnya, mulai dari perizinan hingga pelaporan yang harus dilakukan masyarakat dalam mengelola hutan (Sulawesi Community Foundation, 2013). Beberapa data dan fakta yang diperoleh menunjukan bahwa manfaat hutan rakyat mencakup tiga hal: ekonomi, sosial, dan ekologi. Secara ekonomi, hutan rakyat di Bulukumba yang luas totalnya hanya 22.500 ha ternyata mampu memasok 256 |
24.200 m3 kayu bulat dengan perkiraan jumlah perputaran uang mencapai Rp1,2 milyar (Sulawesi Community Foundation, 2013). Keberadaan hutan rakyat di Bulukumba ini akan mendorong peningkatan industri perahu phinisi. Permintaan kayu rakyat terbesar di Bulukumba berasal dari Kecamatan Kajang, Herlang, dan Bontotiro. Jumlah tempat pengumpulan kayu rakyat rata-rata 15 hingga 30 lokasi. Volume rata-rata pengangkutan kayu ke sawmill skala kecil sebanyak 4–5 m3 dengan intensitas pengangkutan rata-rata 2–3 kali per minggu atau rata-rata volume angkut setiap bulan sebanyak 40 m3. Jika dihitung jumlah sawmill kecil sebanyak 50 sawmill, permintaan kayu tersebut adalah sebanyak 2.000 m3/bulan atau 24.000 m3/tahun. Sementara, industri primer besar di Bulukumba berjumlah 10 industri dan rata-rata permintaan kayu setiap bulannya masingmasing sebanyak 150 m3 dengan kalkulasi 1.500 m3/bulan atau 18.000 m3/tahun (Sulawesi Community Foundation, 2013). B.
Tantangan Industri Perahu Phinisi
Industri phinisi sudah lama di Kabupaten Bulukumba, namun seiring dengan perkembangan zaman, industri ini menghadapi beberapa tantangan. Tantangan yang dihadapi dalam pembuatan perahu phinisi yang perlu diperhatikan, khususnya di Bonto Bahari dan Bira, antara lain: 1. Keterbatasan bahan baku kayu dari hutan rakyat Keterbatasan bahan baku untuk pembuatan perahu phinisi terungkap dari hasil wawancara dengan Bapak H. Abdullah [salah satu pembuat perahu phinisi] pada tahun 2012, yaitu terhadap ketersediaan bahan baku utama dari jenis kayu besi, bitti, jati, nyamplung, dan gmelina. Pasokan bahan baku kayu yang ada di Kabupaten Bulukumba, khususnya dari hutan rakyat, sangat terbatas. Untuk menyiasati kekurangan bahan | 257
baku kayu bitti, para pembuat perahu menggantinya dengan kayu nyamplung (Calophyllum inophyllum L) yang berasal dari Sinjai sebagai bahan pembuatan tiang rangka/tulang rusuk perahu. 2. Rancang bangun perahu phinisi belum mendapat hak paten Hasil wawancara dengan Bapak H. Damang [pembuat perahu Phinisi Nusantara] pada tahun 2012 mengungkapkan bahwa pesanan pembuatan perahu phinisi dari dalam negeri sudah berkurang sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan harga perahu phinisi terbilang mahal, yaitu di atas Rp1 milyar untuk kapasitas 250 ton sehingga kebanyakan warga tidak mampu membelinya. Pesanan perahu phinisi datang dari luar negeri. Namun, warga Bulukumba memiliki kekhawatiran karena rancang bangun perahu phinisi asli warisan nenek moyang tersebut belum memiliki hak paten hingga sekarang. Apabila dibiarkan, boleh jadi kita yang membuat perahunya, tetapi bangsa lain yang memiliki hak patennya. Apalagi, perahu phinisi yang sudah dirakit tidak memiliki tanda atau label bahwa perahu tersebut buatan Indonesia. 3. Intervensi pihak asing dalam pembuatan perahu phinisi Hasil wawancara dengan Bapak H. Abdullah pada tahun 2012 mengungkapkan bahwa terhadap pesanan perahu phinisi di Kabupaten Bulukumba, khususnya di Bira, orang dari luar negeri sudah turut mengatur, baik dalam hal pengadaan bahan baku kayu maupun dalam hal pemakaian tenaga kerja. Mereka sudah secara terang-terangan membeli kayu di masyarakat dengan harga lebih tinggi dengan selisih rata-rata Rp500.000/m3, dan dianggap merusak harga pasar. Dalam hal upah buruh pun, mereka sudah memberikan upah buruh sebesar Rp100.000/hari/orang, yang seharusnya hanya Rp75.000/hari/orang. Melihat kondisi tersebut, pemerintah setempat perlu mengatur kontrak dengan pembeli dari luar negeri. 258 |
V.
KESIMPULAN
Perahu phinisi merupakan salah satu ikon Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Perahu phinisi akan selalu ada, sepanjang ahlinya masih ada, tersedia bahan baku, dan terdapat permintaan dari konsumen. Saat ini, perahu phinisi tidak hanya menggunakan layar saja sebagai daya dorong, namun telah mengikuti perkembangan zaman dengan menambah mesin sebagai tenaga daya dorong. Perahu juga dilengkapi dengan kemudi manual dan kemudi mesin. Walaupun sudah ada modernisasi produk, ritual dan urutan pengerjaan perahu phinisi masih menggunakan cara-cara tradisional yang dipertahankan secara turun-temurun oleh para punggawa (pembuat perahu) dan panrita lopi (ahli pembuat perahu). Peran perahu phinisi juga telah bergeser dari perahu barang menjadi perahu pesiar mewah. Peluang perahu phinisi di Kabupaten Bulukumba didukung oleh beberapa kondisi, antara lain 1) adanya budaya masyarakat setempat sebagai pembuat perahu phinisi; 2) adanya permintaan, baik lokal maupun luar negeri; dan 3) Bulukumba merupakan penghasil kayu hutan rakyat sebagai bahan baku pembuatan perahu phinisi. Sementara itu, tantangan dalam pembuatan perahu phinisi, antara lain 1) terbatasnya bahan baku dalam pembuatan perahu phinisi, 2) belum mendapat hak paten dari pemerintah, dan 3) adanya intervensi dari pihak asing. DAFTAR PUSTAKA Ali, A. (2009). Perahu Phinisi. http://arifuddinali.blogspot. com/2009/07/perahu-pinisi.html. Amar, S. (2013). Asal-usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai Versi)
| 259
Badan Revitalisasi Industri Kehutanan. (2007). Mengenal Ulin. http://www.brikonline.com. Bisjoe, A.R.H., Nurhaedah & Hapsari, E. (2012). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat. di Kabupaten Barru, Bulukumba, dan Sidrap, Sulawesi Selatan, Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Darmawan, Y. (2013). Melihat Perahu Bugis di Amerika. http://www.timur-angin.com/2013/04/melihatperahu-bugis-di-amerika.html. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (1999). Panduan Kehutanan Indonesia. Dephutbun RI. Jakarta. Hamdani, E. & Rengganis, D. (2012). Pelestarian Kayu Ulin (Eusideroxylon zwegeri) di Kalimantan yang Kini Terancam Punah Keberadaanya. http://erfanipb. blogspot.com/2011/02/laporan-ksdah.html Ilmu Hutan. (2013). Daftar Nama Ilmiah Pohon, http:// ilmuhutan.com/daftar-nama-ilmiah-pohon. IPB. (2011). Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). http://repository.ipb.ac.id. Kurniawan, E. (2012). Teknik Okulasi Jati. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Mahfudz, Fauzi, A., Yuliah, Herawan, T., Prasetyono & Supriyanto, H. (2005). Sekilas Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan. Ond, I. (2013). Sejarah Perahu Phinisi. http://irfan-ond. blogspot.com/2013/10/sejarah-perahu-phinisi.html. Prasetyawati, C.A. (2013). Eksplorasi Benih Bitti (Vitex cofassus) di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Sabir, F. (2012). Perahu Phinisi. http://naval-info.blogspot. com/2012/01/perahu-phinisi.html 260 |
Sulawesi Community Foundation. (2013). Sekilas Kajian Pengelolaan Huatan Hak di Bulukumba. http:// scf.or.id/sekilas-kajian-pengelolaan-hutan-hak-dibulukumba Wahyudi, A. (2011). Proses Pembuatan Kapal Phinisi. http:// apriswahyudi-yudi.blogspot.com/2011/08/prosespembuatan-kapal-phinisi.html. Wicaksono, R.D. (2012). Kapal Phinisi, Museum Bahari. http://ujpunj2012.blogspot.com/2012/12/kapalphinisi-museum-bahari.html
| 261
THE OPPORTUNITIES AND THREATS OF PHINISI BOAT INDUSTRY Supardi ABSTRACT The phinisi boat is a typical traditional Indonesian sailing boat originated from the Buginese and Makassarese , which is precisely built by residents of Bonto Bahari Sub District, Bulukumba District. This boat is generally has two main masts and seven sails, three of them located in the front end,the other two located in the front, and the other two are located at the back. This boat is generally used for inter-insular goods transportation, a means of transportation, and as a fishing boat within Indonesian archipelago. However, nowadays the usage of the phinisi boat has shifted into a luxury cruise boat. The phinisi boat has got opportunities to be developed in Bulukumba District because of deeply-rooted culture of Bonto Bahari SubDistrict as a phinisi boat builder, the presence of local and overseas demands, and the reality that Bulukumba is a private forest timber producer. On the other hand, the threats to the phinisi boat industry are limited raw materials from private forests. The patent to the Phinis boat design is not granted yet and the involvement of foreign intervention in the phinisi boat industry. Keywords: phinisi boat, opportunities, threats I.
INTRODUCTION
The phinisi boat is a pride-sailing boat of Makassarese . The phinisi boats had been well known since the 14th century. Since then the phinisi boat was widely used in inter-insular trades by Buginese and Makassarese people known as passompe or wanderes (Wicaksono, 2012). 262 |
The phinisi boat industry was initially only as a traditional industry with construction components of wood and sails, but along with the demands and todays’s modern time development this boat industry has been using machines and their sizes are varied in accordance with the existing orders. The phinisi boat which was used for goods trasnportation has now been converted into a luxury commercial cruise boat and expedition financed by local and foreign investors. For example, the latest luxury cruise boat called Silolona was sailing under the Indonesian cruise boat flag which has a luxurious interior being equiped with diving equipment, water games for marine tourism and trained crews and reinforced with modern technologies (Ali, 2009) The phinisi boat is unique at the time when it is built because an Officer locally known as Punggawa, who is in charge of guiding the building process, does not use any notes. The notes associated with the details of boat such as the calculation of size, boat design, and its details are not recorded in written forms or in any other forms whatsoever. All knowledge possessed by the Officer is stored in the Officer’s head, and it is handed down for hundreds of years orally. For this reason, Bulukumba has been labelled as the homeland of boat experts (Wahyudi, 2011). Despite the fact the phinisi boat has been used internationally, like any other industries, it faces a number of threats. Yet, it still has some opportunities to be developed. II.
AN OVERVIEW OF THE PHINISI BOAT
The history of this traditional boat is closely related to the South Sulawesi cultural development in particular and, it cannot be separated from the scope of the maritime history of the Indonesian nation in general. Maritime history of the Buginese and Makassarese is associated with the initial development of boat since the forerunner of boat until the | 263
creation of the phinisi boat in the context of maritime in Indonesia. The phinisi boat is a typical traditional Indonesian sailboat of Bugis and Makassar tribes in South Sulawesi, and they are precisely domiciled in Tanah Lemo and Ara Village of Bonto Bahari Sub District, Bulukumba District. Boat industry is a part of the rural industry. It plays an important role in encouraging the development of coastal villages which should not be ignored, especially in creating employment opportunities and in enhancing economic growth. One of the rural industries is a boat industry. Buginese people have been used to build phinisi boat for inter-insular transport purposes, as a means of transportation to go wandering and for fishing purposes. Such a phinisi boat has simultaneously become a symbol of their maritime culture (Amar, 2013). Since hundreds of years ago Buginese and Makassarese sailors had a very amazing capability of being able to sail to various parts of the worldwide by wading huge oceans only by using wooden phinisi boats relying on natural navigation science, as expressed in a book written by Gene Ammerell (?) as follows: "Western navigation is very mathematical and dependent upon mechanical devices such as the Global Positioning System (GPS), magnetic compass and others. If those devices do no work, the sailors will not be able to do anything. Meanwhile, Buginese’s navigation system relies on stars, wind direction, weather, and the capability of reading the sea. It is amazing, isn’t it?" (Darmawan, 2013). The phinisi boat is a sailboat which uses sails of schooner type and generally, it has been used for inter-insular goods transportation. The phinisi boat has two main masts and seven sails, that is, three of them are located at the front end, another two are located in the front, and the other two are located at the back. The two masts and seven strands of sail have the meaning that Indonesian nation ancestors were able to navigate the world's seven major oceans (Sabir, 2012). 264 |
In the 13th century and 14 which is a period of development of the Kingdom of Bugis, there is one of the greatest literary works of the Bugis people were created in these periods, namely "I La Galigo" (Ond, 2013). The literary work which has more than 6,000 pages contains the origin story of the Bugis. The book also tells the story of the first phinisi boat built by Sawerigading, the Prince of Luwu Kingdom. This boat was used to sail to the country of China when intending to propose Chinese princess named We Cudai. Sawerigading successfully carrried out the sailing to China as recorded in the book by using phinisi boat and then married the princess We Cudai. After a long stay in China, Sawerigading went back to his hometown, Luwu, by using phinisi boat. Shortly before entering Luwu, the phinisi boat was hit by a big wave and it was broken into three and they stranded in Ara Village, Tanah Beru and Tanah Lemo. The communities living in these three villages then re-built the parts of the broken boat into a new boat which was later renamed phinisi (Ond, 2013).
Figure 1. The process of the phinisi boat making in Bulukumba District, South Sulawesi (Photo: Supardi, 2012)
| 265
The toughness of domestically-built phinisi boat has ever been tested by traveling across the ocean to various countries, among others: 1) the Nusantara Phinisi boat was sailing event from Jakarta to Vancouver, Canada in 1986 with the purpose of cultural promotion; 2) paddewakang boat was sailing with a boat named Hati Maregge from Makassar to Maregge land in Northern Australia in 1988 under the sponsorship of Hasanuddin University in collaboration with the Science and Art Museum of Darwin; 3) the Amanna Gappa Phinisi boat was sailing to Madagascar in 1991 with the aims to prove that the phinisi boat is seaworthy for an ocean sailing and at the same time to prove the mobility of the Buginese and Makassarese to Madagascar a few years ago (Amar, 2013); and 4) the Damar Sagara Phinisi boat cruise to Japan in 1992 with the aims to prove the superiority of traditional phinisi boat and for the cultural promotion purposes. The aforementioned four voyage events proved that the works created by boat craftsmen in Bulukumba District, South Sulawesi, are remarkable works and have been recognized by the international community (Amar, 2013). It is hoped that this national heritage must be continued by the next generation along with the development of the times. Thus, in this way, the phinisi boat industry will remain in existence and be able to popularize the name of Indonesian nation throughout the world. III. RAW MATERIALS FOR BOAT BUILDING Raw materials used for the phinisi boat in Bonto Bahari are the finest tropical hardwoods: ironwood (Eusideroxylon zwageri), bitti (Vitex cofassus), teak (Tectona grandis), nyamplung (Callopyllum inophyllum), gmelina (Gmelina arborea), and mixed timber trees. Local hardwood from Bulukumba is amounting to 40%, consisting of bitti, teak, gmelina, and mixed timber trees; while another 60% comes from Southeast Sulawesi with the species of iron wood [the 266 |
interview with Mr. Darwis, phinisi boat builder, in 2012]. It was also stated that the phinisi boat with 35 tons death weight requires at least 50 m3 of woods. A.
Ironwood/Ulin Wood (Eusideroxylon zwageri)
Ulin wood (Eusideroxylon zwageri) is also often called ironwood because of the nature and typical characteristics of the wood which are strong and durable, being included into the family Lauraceaea. This wood grows naturally in the forests of Kalimantan, Jambi, South Sumatra, Bangka, Belitung, and Sulawesi. The tree height may reach 35 m in length with a branch-free trunk of 5–20 m, a diameter of up to 100 cm, and sometimes it may reach up to 150 cm. Ulin wood generally grows at an altitude of 5–400 m asl with a flat lowland to sloping terrain, and it often grows scattered or clustered in mixed forests. Ulin wood is very rarely found in swampy or wet habitats (Hamdani & Rengganis, 2012). The specialty of ironwood, in addition to being strong and durable (being classified into class I in strength and class 1 in durability) is resistant to termites and borer insects. Ironwood is also resistant to changes in temperature, humidity, and the influence of sea water. Therefore, this species of wood is widely used for heavy constructions such as the construction of bridges, docks, submerged (under water) construction, railway sleepers, boat building, and others. Ulin is seldom used for the raw material of furniture because as the nature of timber is very heavy and hard. Ironwood can be sawn and planed with good results, but the tools will get dull very quickly as the wood is very hard. Ironwood can be drilled and turned in a lathe with good results, but it is difficult to be glued with adhesive synthetic glue and it should be drilled first before screwing or nailing, because it tends to break apart in radial direction (Hamdani & Rengganis, 2012). Ironwood is very suitable for the phinisi boat especially for the sections which are directly in contact | 267
with sea water such as the keel (the bottom of boat) and the body of the boat. B.
Bitti Wood (Vitex cofassus Reinw)
Bitti (Vitex cofassus) is a species of high quality wood in South Sulawesi. Bitti is included into the family of verbenaceae. The height of bitti may reach 45 m with a diameter of 80 cm. Bitti is widely used as furnishing woods, home construction and as raw materials for the phinisi boat. This species is classified into an easy-to-grow plant and it does not require high growth requirements and it is included into a mediumgrowth-rate plant. This species has high ability to grow and it is resistant to fire, and when there is a fire it will soon sprout again. Therefore, it has the potential to be developed as one of the mainstays of superior-high-quality species (Prasetyawati, 2013).
Figure 2. Bitti plant in private forest in Bulukumba (Photo: Supardi, 2012)
268 |
Bitti (Vitex cofassus Reinw) is originated from the Verbenaceae is a kind of needed in makiing the frame of a boat as it is classified into classes II and III in strenght and because of its crooked shapes it is suitable for being used in making of a phinisi boat frame. The strength obtained from this wood species is capable of withstanding the rigors of the waves in the sea and it is also resistant to sea water for a long time. Bitti can be easily seen along the coast in Tanah Beru of Bonto Bahari Sub-District in Bulukumba District. The interview with Mr. H. Abdullah in 2012 [one of phinisi boat builders in Bonto Bahari and of the members of Nusantara phinisi Team at the expo arena 86 in Vancouver] revealed that most of bitti in Tanah Beru of Bonto Bahari Sub District was derived from Bulukumba while the rest was from Kendari. Special bitti from Kendari was usually more expensive because of its larger diameter and shipment costs.” C.
Teak (Tectona grandis)
Teak (Tectona grandis Linn.F.) is a commercial plant species that has long been cultivated in Indonesia, particularly in Java Island. The superiority of teak wood lies in its durability; strength and wonderful texture making it have a high commercial value. Teak can be used for heavy constructions, railway sleepers, boats, crates, furniture, and others (Mahfudz et al., 2005). Teakwood has been developed in Industrial Forest Plantation (HTI) and private forest programs in Sulawesi Island, especially in South Konawe and Muna Island (Kurniawan, 2012). The interview with Mr. H. Abdullah in 2012, revealed that teak is required in the phinisi boat may reach 30%, or depend upon the buyer's order. Teak is very good for phinisi boat. The prices of local teak vary, depend upon its diameters, namely: 1) the diameter of 15–19 cm at the price of IDR1,700,000/m3, 2) the diameter of 20–30 cm at the price of IDR2,800,000/m3, | 269
and 3) the diameter of 30–35 cm at the price of IDR3,500,000/m3. IV. OPPORTUNITIES AND THREATS TO PHINISI BOAT INDUSTRY A.
Opportunities of Phinisi Boat Industry
The results of interviews with some owners of the phinisi boat industry in Bonto Bahari indicated that the phinisi boat industry in Bulukumba District still has opportunities to be developed by considering several factors, among others, as follows: 1. The culture of Bonto Bahari community as the phinisi boat builders Bonto Bahari, which means "land of the sea", every day shows many boats on the seafront which is built by the local community. It caused that the majority of Bonto Bahari residents depend on the sea. The expertise local residents to build phinisi boats and build maritime tradition for hundreds of years are inherited from their parents and, so that this district is well known as Butta Panrita Lopi, which means “the homeland of the phinisi boat builders.” 2. There are demands, both domestic and from other countries The phinisi boat business which is seriously and deeply developed by Mr. H. Abdullah began in 1986. He obtained the expertise from his parents. Until now, the phinisi boat built by him is not only used by Indonesia people, but is also used by foreign people such as the buyers from Malaysia, Thailand, Singapore, the Netherlands, and even America. He began to receive orders from foreign countries since 1990. Some of the boat orders are made with their pictures while the rest are without pictures. Every order will be accepted on condition 270 |
that it should match with prices and the agreed deal. The contracts of boat building will describe clearly the prices and capacities of the boats being ordered beginning from the dead weight of 10 tons with the price less than IDR30 million up to the dead weight of 250 tons with the price of more than IDR1 billion. The types of wood to be used will be in accordance with the orders from the buyers. When the orders are agreed, the buyers are subjected to give down payment of 30% of the total prices as the initial capital by boat builders. 3. Bulukumba District is a producer of private forest timber Bulukumba District covers woodlands of 21,800 ha and 72% of which is private forests totaling 14,000 ha. Community’s knowledge and awareness of the utiization of woodlands for community forests are quite high (Bisjoe et al., 2012). Private forests are forests which grow on private lands with a minimum area of 0.25 ha. The crown cover is dominated by wood plants and/or with a minimum of the first year annual plants of 500 trees (MoF, 1999). Private forest-based forest management has advantages over forest management in state forests, namely, in that it is not constrained by binding rules since those forests are grown in pure private lands, so that the community can freely make any efforts to manage their own smallholders. While the main constraint faced in the forest management in state forests, is the regulations imposed, ranging from complicated licensing to reporting which should be obtained and made by the community in managing the forests (Sulawesi Community Foundation, 2013). Based on some data and facts obtained it can be concluded that private forests provide economic, social, and ecological benefits. In terms of economic, total area of private forests in Bulukumba was only 14,000 ha, but it were able to supply 24,200 m3 of logs with an estimated turnover reaching IDR1.2 billion (Sulawesi Community Foundation, 2013). The | 271
existence of private forests in this Bulukumba will boost phinisi boat industry. The biggest amount of demand for community timber in Bulukumba is from Kajang, Herlang, and Bontotiro Sub Districts, and the number of community log yards or log ponds around 15 to 30 locations. Total average volume of timber transportation to small-scale sawmills of 4–5 m3 with the transport intensity at average of 2–3 times per week, so that the average amount of transport volume is 40 m 3 per month. When calculated the number of small sawmills as many as 50, so that wood demand reached 2,000 m 3 per month or 24,000 m3 per year. While, the number of primary industries in Bulukumba totaling 10 industries and the average demand for wood per month of each reached 150 m 3 with the calculation of 1,500 m3 per month or 18,000 m3 per year (Sulawesi Community Foundation, 2013). B.
Threats to Phinisi Boat Industry
The phinisi industry has been operating for a long time in Bulukumba District, but along with the changing of era, this industry has faced some threats. The threats faced in the phinisi boat industry, especially in Bonto Bahari and Bira which need to be considered, among others, are as follows: 1. Limited wood raw materials from private forests Limited raw materials for the phinisi boat were revealed from the interview with Mr. H. Abdullah in 2012 [one of phinisi boat builders] that the main raw materials in the phinisi boat industry are iron wood, bitti, teak, nyamplung and gmelina. The problems with the raw materials, especially from private forests, in Bulukumba District, that they are very limited. To deal with the shortage of bitti raw materials, the phinisi boat builders usually replace them with nyamplung (Calophyllum
272 |
inophyllum L) obtained from Sinjai District to be used for raw materials of frame pole or the sides of boat. 2. The patent to phinisi boat design not yet granted During the interview with Mr. H. Damang in 2012 [the Nusantara phinisi boat builder] it was revealed that for the few domestic orders for phinisi boat were decreasing. This decrease was caused by expensive prices of the phinisi boats, which may over IDR 1 billion for a boat with dead weight or capacity of 250 tons, and most people cannot afford it. Currently, most of orders for phinisi boat come from abroad. However, Bulukumba residents are worried about this ancestral heritage because the patent to the original design of the phinisi boat has not been granted yet. If this condition is left unchecked, it is likely that we who build the boat, but the patent right will be owned by other nations. Moreover, so far many of the phinisi boats which have been built have got no marks or labels that they were built in Indonesia. 3. The intervention of foreign parties in the phinisi boat industry The interview with Mr. H. Abdullah in 2012 it was revealed that the orders for the phinisi boat in Bulukumba District, especially in Bira, has been intervened by foreign parties, both in terms of the procurement of raw materials and the utilization and/or provision of manpower. They have openly bought woods from the community at higher prices, with an average difference of IDR500,000/m3, and they even undermine the existing market prices. In addition, they have given higher wage at IDR100,000/day per person, which actually should have been only at IDR75,000/day per person. In consideration of this phenomenon, it is necessary for local government to provide comprehensive guideline and rules on the preparation of contracts between the phinisi boat builders and foreign buyers.
| 273
V.
CONCLUSION
The phinisi boat is one of the icons of Bulukumba District, South Sulawesi Province. The phinisi boat will always be in existence on condition that it has its own experts; it is supported by the availability of raw materials, and there are demands from consumers. Today, the phinisi boat not only uses sails for its driving force, but along with the development of the times it also uses machines as its driving power. It is also equipped with manual steering wheel and steering engine. Although there has been some modernization of product, the ritual and the order of execution of the phinisi boat building still use traditional methods which are maintained from generation to generation by the Penggawa (boat builders) and the Panrita Lopi (boat building experts). The roles of the phinisi boat have also been shifted from the boat for goods transportation purposes into a luxury cruise boat. Meanwhile, the opportunities of the phinisi boat building in Bulukumba District supported by some conditions, among others, are as follows: 1) the existence of local culture as the phinisi boat builders; 2) there are demands, both domestic and from other countries; and 3) Bulukumba District is a producer of private forest timber to be as raw materials for the phinisi boat building. On the other hand, the threats to the phinisi boat making, among others, are as follows: 1) limited wood raw materials from private forests for the phinisi boat building, 2) the government has not yet granted the patent to the phinisi boat building design yet, and 3) there has been some intervention of foreign parties in the phinisi boat building industry. BIBLIOGRAPHY Ali, A. (2009). Perahu Phinisi. http://arifuddinali.blogspot. com/2009/07/perahu-pinisi.html. 274 |
Amar, S. (2013). Asal-usul dan Keahlian Pembuatan Perahu Pinisi di Tanah Lemo Bulukumba (Tinjauan dalam Berbagai Versi) Badan Revitalisasi Industri Kehutanan. (2007). Mengenal Ulin. http://www.brikonline.com. Bisjoe, A.R.H., Nurhaedah & Hapsari, E. (2012). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Rakyat. di Kabupaten Barru, Bulukumba, dan Sidrap, Sulawesi Selatan, Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar. Darmawan, Y. (2013). Melihat Perahu Bugis di Amerika. http://www.timur-angin.com/2013/04/melihatperahu-bugis-di-amerika.html. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. (1999). Panduan Kehutanan Indonesia. Dephutbun RI. Jakarta. Hamdani, E. & Rengganis, D. (2012). Pelestarian Kayu Ulin (Eusideroxylon zwegeri) di Kalimantan yang Kini Terancam Punah Keberadaanya. http://erfanipb. blogspot.com/2011/02/laporan-ksdah.html Ilmu Hutan. (2013). Daftar Nama Ilmiah Pohon, http:// ilmuhutan.com/daftar-nama-ilmiah-pohon. IPB. (2011). Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). http://repository.ipb.ac.id. Kurniawan, E. (2012). Teknik Okulasi Jati. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Mahfudz, Fauzi, A., Yuliah, Herawan, T., Prasetyono & Supriyanto, H. (2005). Sekilas Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan. Ond, I. (2013). Sejarah Perahu Phinisi. http://irfan-ond. blogspot.com/2013/10/sejarah-perahu-phinisi.html.
| 275
Prasetyawati, C.A. (2013). Eksplorasi Benih Bitti (Vitex cofassus) di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Sabir, F. (2012). Perahu Phinisi. http://naval-info.blogspot. com/2012/01/perahu-phinisi.html Sulawesi Community Foundation, (2013). Sekilas Kajian Pengelolaan Huatan Hak di Bulukumba. http:// scf.or.id/sekilas-kajian-pengelolaan-hutan-hak-dibulukumba Wahyudi, A. (2011). Proses Pembuatan Kapal Phinisi. http:// apriswahyudi-yudi.blogspot.com/2011/08/prosespembuatan-kapal-phinisi.html. Wicaksono, R.D. (2012). Kapal Phinisi, Museum Bahari. http://ujpunj2012.blogspot.com/2012/12/kapalphinisi-museum-bahari.html
276 |
EPILOG Bumi Panrita Lopi…, Tanah Kelahiran Para Ahli Pembuat Perahu …Bumi Panrita Lopi…; kata-kata itu yang terpampang dengan huruf besar di gerbang kedatangan memasuki Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Terasa megah, terasa masyhur ke seantero negeri, terasa percaya diri, terasa keyakinan muncul, dan berani mengklaim bahwa kami lah ahli-ahli pembuat perahu itu. Perahu tradisional yang sudah sangat terkenal, perahu Phinisi. Beberapa tahun yang lampau, ketika masih awal-awal bertugas di Sulawesi Selatan, saya diajak rekan mengunjungi pantai berpasir putih, yang juga terkenal itu, di ujung Kabupaten Bulukumba, yaitu Pantai Bira. Selepas dari sana, kami sempatkan berkeliling di sekitar tempat pembuatan perahu di Desa Tana Beru, Kecamatan Bonto Bahari. Satu kata yang muncul pertama kali adalah "luar biasa." Di tengah rumah-rumah tradisional, rumah panggung, berjejer bakal-bakal perahu kayu–Perahu Phinisi–yang akan mulai dibuat, sedang dibuat, atau sudah siap untuk diluncurkan menemui pemesannya. Perahu-perahu itu seperti raksasa besar berdiri dengan tegaknya di tengah-tengah kecilnya para pembuat perahu. Siap menjelajahi belahan dunia manapun. Namun, bukan tentang perahu phinisi melulu isi buku yang berjudul Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Pembelajaran dari Bulukumba, Sulawesi Selatan ini. Artikel tentang phinisi termuat di bagian akhir tulisan. Cerita tentang phinisi di awal epilog ini memperlihatkan betapa Bulukumba, yang menjadi lokasi kegiatan kerja sama penelitian ACIAR dan FORDA selama dua periode kerja sama ini, yakin dapat menabalkan diri sebagai pemilik industri khas di kabupatennya, yaitu industri pembuatan perahu phinisi. | 277
Perahu phinisi berbahan dasar kayu. Hampir semua bagian tubuh kapal hanya memerlukan kayu dan kayu. Pada masa awalnya, phinisi menggunakan kayu yang sebagian besar bersumber hanya dari daerah Bulukumba, terutama kayu bitti (Vitex cofassus); kayu khas Bulukumba yang sangat diperlukan sebagai bahan pembuatan bagian rangka dalam perahu. Sangat diperlukan karena bentuk kayunya yang bengkok, tidak lurus. Pembuatan bagian rangka dalam Phinisi memang memerlukan kayu yang berbentuk bengkok seperti yang dimiliki kayu bitti ini. Kayu, perahu, dan manusia adalah tiga kesatuan utuh untuk melihat ikon Bulukumba seperti disebutkan di atas. Berbicara mengenai kayu, berarti harus membicarakan mengenai pohon sebagai asal-muasal kayu. Manusia terlibat dalam kedua hal tersebut. Pohon; pembicaraan terkait dengan proses penanaman (tentunya tentang proses yang terjadi di lahan milik–hutan rakyat), pemeliharaan, dan seterusnya. Kayu, sebagai produk utamanya; dalam perjalanannya membutuhkan proses pemanenan, seperti penebangan dan pengangkutan, hingga proses penjualan, pengolahan, dan produksi, baik dengan hasil akhir perahu maupun bentuk lain seperti furnitur. Pada kedua proses ini, peran petani hutan rakyat dan pihak-pihak terkait (stakeholder) menjadi terlihat sangat diperlukan. Ketika petani hutan rakyat ingin menanam tanaman kayu, petani memerlukan bibit yang biasanya disuplai oleh Dinas Kehutanan setempat ataupun perusahaan berbasis kayu. Ketika petani hutan rakyat ingin menjual tanaman kayunya, petani biasanya memerlukan mitra antara untuk memproses penebangan hingga langsung menjualnya melalui mitra antara tersebut. Demikian pula dengan pihak pengolah dan perusahaan berbasis kayu, mereka memerlukan kayu yang salah satunya bersumber dari petani hutan ini sebagai bahan bakunya. Dalam lingkaran proses inilah kemitraan menjadi suatu bahasan penting. Berawal dari salah satu tujuan 278 |
mengeksplorasi kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyatlah, kegiatan penelitian ini dilakukan. Pengalaman-pengalaman yang dianggap baik perlu dibagikan kepada khalayak. Dari keterlibatan dalam kegiatan penelitian kemitraan di bidang kehutanan tersebut, pengalaman mereka dituangkan ke dalam buku ini. Para penulis terlibat langsung dalam proyek kerja sama penelitian antara ACIAR dan FORDA Makassar yang berlangsung pada periode 2005–2007 lalu. Mengingat bentuknya adalah curahan pengalaman dari sudut pandang penulis yang didasarkan pada hasil penelitian dan studi literatur, para penulis dalam buku ini diberi kebebasan untuk memilih topik tulisan. Tulisan pun memilih format yang bersifat semiilmiah populer. Buku yang disusun berdasarkan urutan topik kegiatan penelitian kolaboratif ini menekankan pada proses kemitraan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Mengapa Bulukumba menjadi pilihan lokus kegiatan penelitian ini? Bulukumba memiliki arti khusus dalam kegiatan penelitian kerja sama antara ACIAR (Australian Center for International Agricultural Research) dan FORDA (Forestry Research and Development Agency) Makassar. Pertama, Bulukumba merupakan lokasi kegiatan penelitian pertama yang berbentuk kerja sama kolaboratif antara FORDA Makassar dengan negara lain (Australia). Kedua, Bulukumba telah memiliki embrio kemitraan antara petani-petani Hutan Rakyat dengan pengusaha berbasis kayu. Ketiga, Bulukumba memiliki industri/perusahaan berbasis kayu yang keberadaannya menyerap kayu hasil hutan rakyat, termasuk industri perahu Phinisi. Gayut dengan upaya merangkai tulisan di atas, sungguh tepatlah jika buku ini diawali dengan artikel yang berusaha memotret proses awal dari sebuah kemitraan, bagaimana sebuah kemitraan itu diinisiasi, dan pelaksanaannya. Semuanya tertuang dalam artikel yang ditulis oleh Achmad Rizal H. | 279
Bisjoe yang berjudul Inisiasi dan Implementasi Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat. Dalam tulisan tersebut, terpotret bahwa kemitraan belum dilembagakan dan hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa kemitraan tidak berjalan secara optimal. Sementara, hal lain adalah bahwa keberhasilan pengelolaan hutan rakyat bergantung pada beberapa pihak, antara lain petani, kelompok tani, pedagang perantara, industry, dan pemerintah setempat. Namun, catatan penting dari proses tersebut adalah bahwa proses inisiasi dan implementasi kemitraan hutan rakyat di Bulukumba dapat berjalan dengan adanya dukungan semua stakeholder serta terintegrasinya pelaku pengelolaan hutan rakyat. Selanjutnya, Abdul Kadir dan Achmad Rizal H. Bisjoe, dalam tulisan berikutnya yang berjudul Aspek Finansial dan Ekonomi dalam Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat, menyoroti pentingnya kemitraan dilihat dari sudut pembagian dan pengaturan peran antara pihak yang bermitra. Hal ini dapat ditunjang melalui perbaikan mekanisme jual-beli kayu. Namun, hal terpenting yang ingin disampaikan para penulisnya adalah pembaca dapat menerima informasi singkat tentang pentingnya aspek ekonomi jika ingin melihat kemitraan pengelolaan hutan rakyat. Aspek ekonomi termasuk ke dalam faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam sebuah [proses] kemitraan. Dalam sebuah proses kemitraan, hal lain yang tidak kalah penting adalah mengidentifikasi stakeholder atau para pihak yang terlibat dalam proses kemitraan. Hal itu yang ingin ditekankan oleh Nur Hayati dalam tulisannya yang bertajuk Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Kemitraan. Tulisan ini mengungkap manfaat mengidentifikasi stakeholder, baik terhadap kegiatan pembangunan maupun manfaat bagi para stakeholder itu sendiri. Menganalisis stakeholder dinilai penting dan perlu dilakukan sedini mungkin karena merupakan salah satu faktor dalam menentukan kebijakan publik dan dukungan terhadap penyelesaian suatu masalah. Namun, hal 280 |
tersebut bergantung pada stakeholder yang dipilih. Dalam hal ini, kesalahan pemilihan stakeholder dan pesan yang akan disampaikan termasuk hal-hal yang dapat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat yang akan dilakukan. Dalam proses kemitraan hutan rakyat, petani hutan rakyat merupakan salah satu faktor utama seperti diamanahkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Termasuk dalam amanah tersebut adalah perlunya keberpihakan kepada rakyat untuk keberhasilan pengelolaan hutan. Kebijakan yang terbaru, penegasan tentang kemitraan dapat ditemukan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan. Tulisan tentang Bagaimana Petani Hutan Rakyat Bermitra?, yang ditulis oleh Bugi Sumirat, menyoroti definisi petani hutan yang dirasakan belum cukup populer di Indonesia. Hal lain adalah bagaimana petani hutan rakyat itu bermitra dan apa yang diharapkan dari kemitraan tersebut. Ternyata, terungkap bahwa petani hutan rakyat masih menunjukan keraguan dalam hal kemitraan terkait dengan jangka waktu kemitraan, proses kemitraan, dan manfaat ikut dalam kemitraan itu sendiri. Dalam kondisi seperti inilah, pemerintah pusat ataupun daerah perlu memberikan perhatian dan dukungan yang berkelanjutan untuk “mengawal” proses kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat. Semuanya dengan satu tujuan, yaitu agar kemitraan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak yang bermitra, terutama untuk peningkatan pendapatan para petani hutan rakyat di pedesaan. Selaras dengan tulisan di atas, terdapat tulisan yang berjudul Mencermati Proses Pendampingan Kemitraan Hutan Rakyat: dari Sudut Pandang Seorang Petani di Desa Balong. Dalam tulisan ini, Andarias Ruru dan Abdul Rahim [penulis-penulisnya] berusaha bersikap jujur atas apa yang dicermatinya selama terlibat dalam kegiatan penelitian. Walau terlihat sebagai sudut pandang yang sederhana, yaitu | 281
sudut pandang seorang petani, isi tulisan tidak sesederhana yang diperkirakan. Tampaknya, hal ini merupakan cerminan dari proses kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat itu sendiri; bahwa membicarakan kemitraan, berarti membicarakan suatu permasalahan yang cukup kompleks. Apalagi, hal yang berusaha dirangkul dalam wadah kemitraan ini adalah tiga sektor yang telah memiliki kepentingan masing-masing: pengusaha, masyarakat (petani hutan rakyat), dan pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh Dinas Kehutanan Bulukumba). Kemudian, masalah birokrasi yang ada ditengarai lebih mendominasi dibandingkan dengan permasalahan teknis yang dihadapi oleh petani hutan rakyat. Hasil pencermatan ini diharapkan dapat merubah hambatan tersebut menjadi sebuah peluang untuk perbaikan pengelolaan hutan rakyat di masa depan. Jika tulisan sebelumnya tentang pola kemitraan mengidentifikasi tiga sektor yang perlu diperhatikan, yaitu pengusaha, masyarakat dan pemerintah; Rini Purwanti, dalam tulisan berjudul Peran Pelaku Pasar dalam Distribusi Kayu Hutan Rakyat dalam Konteks Kemitraan, justeru lebih menyoroti pelaku pasar dan perannya. Teridentifikasi dalam tulisannya bahwa terdapat lima pelaku pasar dalam distribusi kayu hutan rakyat, yaitu petani hutan rakyat, mitra antara, industri sawmill, PT PAL, dan pemerintah [walau pemerintah di sini dilihat sebagai fasilitator dan regulator]. Tulisan ini juga menekankan pada pentingnya stakeholder yang berada di dalam suatu kemitraan untuk menjalankan perannya masingmasing sesuai yang diharapkan. Hal ini untuk menghindari terjadinya dominasi pada salah satu pihak. Selain itu, dengan dijalankan peran stakeholder yang bermitra sesuai perannya masing-masing, pembagian margin keuntungan dapat merata dan yang utama adalah tingkat pendapatan petani dapat meningkat. Margin keuntungan yang merata dianggap penting dalam konteks kemitraan seperti disinggung dalam tulisan sebelum282 |
nya. Nurhaedah, pada tulisan selanjutnya, menulis pula tentang margin, tetapi dari sisi distribusi margin pada tata niaga kayu. Judul lengkap tulisan tersebut adalah Distribusi Margin Tata Niaga Kayu Hutan Rakyat dalam Mendukung Kemitraan. Dalam tulisan ini, teridentifikasi bahwa terdapat empat jalur distribusi kayu hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba. Namun, keempat jalur yang ada tersebut menunjukan bahwa margin yang diperoleh tidak merata. Petani, sebagai produsen, menerima harga yang rendah pada semua jalur distribusi tersebut; lebih rendah jika dibandingkan dengan yang diperoleh pihak lain, baik mitra antara (sebesar 49–84%) maupun pengusaha. Bagaimana mengatasi ketimpangan ini? Nurhaedah menyarankan perlunya upaya pemberdayaan kelompok tani, dukungan kebijakan, dan transparansi harga. Hal ini diyakini dapat membuat margin tata niaga terdistribusi merata, namun dalam suatu kondisi di mana dilakukan sebuah skenario kemitraan yang baik. Selesai membicarakan tentang margin, baik keuntungan maupun tata niaga; buku ini kemudian menyajikan tulisan tentang Pengetahuan Inventarisasi Hutan bagi Masyarakat Pengelola Hutan Rakyat yang ditulis oleh Zainuddin dan Arman Hermawan. Masih terkait dengan tulisan sebelumnya, yaitu tentang pentingnya pemberdayaan kelompok tani; tulisan ini menyajikan pentingnya pemberdayaan tersebut melalui [salah satunya] pemberian tambahan pengetahuan inventarisasi pohon milik petani yang dilakukan oleh para petani itu sendiri. Dengan tambahan pengetahuan ini, petani hutan rakyat diharapkan dapat dengan cara sederhana mengetahui kuantitas dan kualitas tanaman kayu miliknya, misalnya tentang diameter, tinggi, dan volume kayu yang diukur secara sederhana pula. Manfaat pengetahuan ini bagi petani adalah agar petani dapat meningkat pengetahuannya tentang pengelolaan hutan rakyat miliknya. Saat ini, penjualan kayu milik petani ditengarai masih sering dilakukan dalam bentuk hamparan. Hal ini menyebabkan harga jual menjadi rendah; petani pun, sekali lagi, hanya menjadi sasaran per| 283
mainan para pedagang/pengusaha. Petani kembali menjadi subjek yang paling merugi. Oleh sebab itu, pengetahuan ini diharapkan dapat membuat petani dapat menentukan penjualan tanaman kayunya dengan harga yang lebih layak. Tujuannya hanya satu, yaitu meningkatkan kesejahteraan para petani hutan rakyat. Pada tulisan-tulisan sebelumnya, petani hutan rakyat dan yang melingkupinya masih menjadi topik utama pembahasan. Tulisan berikutnya–ditulis oleh Wahyudi Isnan–membahas tentang kayu dan bagaimana pemanfaatannya, yaitu dalam tulisan yang berjudul Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat. Mengapa pemanfaatan kayu hutan rakyat ini dianggap penting? Hal ini disebabkan keberadaan hutan rakyat dapat memenuhi kebutuhan kayu bagi masyarakat, seperti untuk pembuatan rumah tinggal [rumah khas masyarakat daerah setempat dan Sulawesi pada umumnya berbahan utama kayu], perabot/peralatan rumah tangga, dan industri berbasis kayu, baik skala besar maupun kecil. Kayu-kayu yang diperlukan adalah kayu jati dan rimba campuran (sengon, bitti, pulai, gmelina, kapuk, dan lain-lain), baik untuk kebutuhan lokal maupun untuk kebutuhan industry, seperti sawmill, phinisi, dan veneer. Melihat pentingnya hutan rakyat sebagai pendukung industri berbahan kayu, hal masih dirasa perlu yaitu meminta kembali perhatian pemerintah berupa kebijakan yang mendukung pengembangan hutan rakyat. Tulisan terakhir, yang ditulis oleh Supardi, mencoba melihat salah satu produk akhir dari perjalanan jauh tanaman kayu hutan rakyat, yaitu tentang Peluang dan Tantangan Industri Perahu Phinisi. Seperti telah disampaikan di awal epilog, terdapat keahlian khusus yang dimiliki masyarakat di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, yaitu membuat perahu yang diberi nama perahu phinisi. Tulisan ini menceritakan pula sedikit informasi tentang riwayat perahu phinisi. Memperhitungkan peluang dan tantangan merupakan langkah penting untuk suatu hal yang berhubungan dengan 284 |
usaha ataupun industri, termasuk dalam industri perahu phinisi. Masyarakat Bulukumba–daerah penghasil kayu hutan rakyat–melihat keberadaan industri ini sebagai faktor unggulan yang dimilikinya. Pesanan perahu terus mengalir; permintaan lokal dan mancanegara terhadap phinisi datang tiada henti. Namun, keterbatasan bahan baku kayu hutan rakyat [yang kini mulai terasa dampaknya] dan hal lainnya, seperti rancang bangun perahu, menjadi suatu tantangan yang perlu diperhatikan. Perahu phinisi sebagai ikon Bulukumba [dan juga nasional] perlu terus diperhatikan keberadaannya, termasuk dengan memperhatikan peluang dan tantangannya. Hal ini karena keberadaan perahu phinisi diyakini akan bergantung pada beberapa kondisi, antara lain sepanjang ahlinya masih ada, terdapat ketersediaan bahan baku, dan adanya permintaan konsumen. Membicarakan hutan rakyat, petani hutan rakyat, proses produksi, penyerapan hasil produksi hingga margin keuntungan, serta segala permasalahan yang melingkupinya; merupakan suatu pembicaraan yang sangat kompleks. Kemitraan dianggap sebagai suatu keniscayaan yang diperlukan, salah satunya untuk “mengawal” perbaikan dalam pengelolaan hutan rakyat yang berkesinambungan, serta memberikan keuntungan yang berkeadilan bagi para pelaku kemitraan itu sendiri. Bulukumba–sebagai lokus penelitian bersama ACIAR–FORDA yang terkait dengan kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat (forestry partnership) ini–menguak banyak hal yang tentunya sangat perlu diperhatikan bagi para pemangku kebijakan (decision maker), baik di tingkat lokal maupun nasional. Tentunya, hal ini jika kita ingin melihat pengelolaan hutan rakyat ke arah yang lebih baik. Apabila harapan di atas dapat terwujud [entah kapan] di masa depan, slogan Bulukumba yang dengan bangga menyebut diri sebagai Bumi Panrita Lopi atau tempatnya para ahli pembuat perahu dapat bertambah makna dengan berani pula menye| 285
but diri sebagai tempatnya bagi mereka yang ingin belajar tentang kemitraan dalam pengelolaan hutan rakyat yang baik. Hal tersebut hanya dapat terjadi jika hal-hal yang telah banyak direkomendasikan dari hasil-hasil penelitian kolaboratif ACIAR–FORDA, termasuk yang tertuang sebagai catatan dalam buku ini, dapat diimplementasikan. Semoga. Makassar, Maret 2016 Atas nama tim penulis, Bugi Sumirat
286 |
EPILOGUE Bumi Panrita Lopi..., the Homeland of Boat Building Experts The phrase “Bumi Panrita Lopi” (which means the Homeland of Boat Building Experts) is displayed in large capital letters at the arrival gate to Bulukumba District, South Sulawesi Province. The connotation of this phrase is that the people of Bulukumba District feel that they grandiose, famous all over the country, confident, and dare to claim that they are boat building experts. The famous traditional boat, which is now very famous, is referred to the phinisi boat. Several years ago, during the initial period of my service in South Sulawesi, I was invited by colleagues of mine to visit the well known and white sandy beach called Bira Beach, which is located at the tip of Bulukumba District. After visiting the beach, we were touring around the boat industry located at Tana Beru Village in Bonto Bahari Sub District. One word which was coming out of my mouth at that time was "incredible." Amidst the traditional houses, which are mostly wooden houses built on stilts, there were long scores of wooden boat frames line up waiting to be built–the phinisi boats–which will soon be built, while others were under construction, and the rest were ready to be launched, to be submitted to the buyers. Those boats were like big giants standing upright amidst the small boat builders. They seemed to be ready to explore any parts of the world. However, this book not only tells about the phinisi boat but it is entitled Private Forest Management Partnerships: Lessons Learned from Bulukumba, South Sulawesi. The articles describing about the phinisi boat contained in the latter parts of this work. The story of the phinisi boat at the beginning of this epilogue is intended to show how Bulukum| 287
ba, which was selected to be the location of research cooperation activities between ACIAR and FORDA during the two periods of this cooperation, claims itself to be the owner of this typical industry within the district, that is, the phinisi boat industry. The main raw materials of the phinisi boat are woods. Almost all parts of the body of the boat are made from woods. In its early days, most of woods used for the hinisi boat building were from the Bulukumba region, especially bitti (Vitex cofassus), that is, typical woods of Bulukumba, which were needed as raw materials for building the inner hull frames of the phinisi boat. These woods were badly needed because of its naturally curved shapes, not straight, making them easier to construct. The construction of the inner hull frames of the phinisi boat requires curved-shaped-woods like those of bitti. From the above description, it can be concluded that woods, boats and human beings are three unified whole to look at the icons of Bulukumba. Speaking about woods, it means that it is necessary to talk about timber trees as the origins of the woods. Human beings are involved in both cases. Trees are associated with planting processes (that is, talking about the process that occurs on private woodlands–Private Forests), maintenance and so on. Woods, as the main products of trees, involve a series of processes, namely, harvesting processes such as logging, hauling up to the sales, processing and production, both in the forms of end products like boats and other forms such as furniture. In these two processes, the roles of both private forest farmers and related stakeholders are indispensable. When private forest farmers wish to plant timber trees, farmers need the seedlings which are usually supplied by either both local forest service and wood-based companies. Next, when the private forest farmers want to sell their timber, the farmers usually require middlemen or intermediary traders for dealing with logging process and 288 |
then directly sell their timber to middlemen. Similarly, the processing agents and wood-based companies, they need woods, some of which are originated from these forest farmers to be used as raw materials. In this circle of processes, a partnership becomes an important topic of discussion. Thus, this research was conducted to explore the importance of a partnership in the private forest management. Interesting experiences which are considered good should be shared with the public. From the researchers’ involvement in the partnership research activities in the field of forestry, all of these are embodied in this book. The authors were directly involved in research collaboration projects between ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) and FORDA (Forestry Research and Development Agency) Makassar during the period of 2005– 2007. Since this is an experience sharing from the points of view of authors based on the results of research and literature reviews, the authors in this book were given the freedom and flexibility to choose the topics of their writings. By choosing semi-popular-scientific format, this book is compiled based on the order of topics of collaborative research activities which emphasize on the process of private forest partnership in Bulukumba District. Why Bulukumba was selected as the location for these research activities? The answer to this question is that Bulukumba has a special meaning in the collaborative research activities between ACIAR and FORDA Makassar. First, Bulukumba was the first location for the research activities in the form of a collaborative research between FORDA Makassar and another country, Australia. Second, there, in Bulukumba, has an embryo of partnership between forest farmers and wood-based company. Third, there are wood-based-companies in Bulukumba which whose existence | 289
absorbs private forest wood products, including woods for raw materials of the phinisi boat industry. In accordance with the foregoing arrangement, this book starts with articles which try to examine the initial processes of a partnership; how a partnership is initiated, and how it is implemented. These all are embodied in the articles by Achmad Rizal H. Bisjoe, entitled The Initiation and Implementation of Private Forest Management partnerships. This writing describes that the partnership has not been institutionalized, and this condition has become one of the causes why the partnership was not running optimally. Meanwhile, another aspect was that the success of private forest management was dependent on several related stakeholders, among others, the farmers, farmer groups, middlemen, industries, and local government. However, an important note taken from such processes was that the processes of initiation and implementation of private forest partnerships in Bulukumba were running well with the support of all relevant stakeholders and the integration of private forest management actors. Next, Abdul Kadir and Achmad Rizal H. Bisjoe, in the article entitled: Financial and Economic Aspects of Private Forest Management Partnerships, highlight the importance of a partnership from the points of division and arrangement of roles between the parties involved in the partnership. This could be supported by improving the existing sales mechanism of woods. However, the most important factor that the authors want to convey the readers to be able to get brief information about the importance of the economic aspects when they look into a partnership of private forest management. Economic aspects are included into the factors which should always be considered in a process of partnership. Another important item in the partnership process is the identification of relevant stakeholders or parties involved in 290 |
the processes of partnerships. This is emphasized by Nur Hayati in her article entitled: Analysis of Stakeholders in Partnership Management. This article looks at the benefits of identifying stakeholders, both the benefits in the development activities and the benefits for the stakeholders themselves. Analyzing stakeholders are considered important and it needs to be done as early as possible as it is one of the factors in determining public policy and support for the resolution to a problem. However, this will depend on the selected stakeholders. In this case, the selection of stakeholders and the messages to be delivered will determine the success of private forest management to be carried out. In the process of private forest partnerships, private forest farmers are one of the major factors as mandated in the Law No. 41 of 1999 concerning the Forestry, including the need for alignment to the community for the success of forest management. Most recently, the confirmation of a partnership can be found in the Regulation of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia Number P.39/Menhut-II/2013 concerning the Empowerment of Local Community through Forestry Partnerships. The article entitled HowDo Forest Farmers Establish a Partnership? by Bugi Sumirat, highlights the definition of forest farmers, which is considered not quite popular in Indonesia. Next, the article addresses how private forest farmers establish a partnership and what is expected from such a partnership. Apparently, it is revealed that private forest farmers are still in doubt about the period of a partnership, the process of partnership, and the benefits of taking part in the partnership itself. Under these circumstances, it is necessary for both central and local governments to pay attention and give on-going supports to 'oversee' the process of partnership in the management of private forests. The main purpose of the partnership program is to enable all relevant parties or stakeholders to enjoy its benefits, especially in increasing private forest farmers’ incomes in rural areas. | 291
In harmony with the foregoing articles, there follows writing entitled Observing Facilitating Process of Community Forestry Partnership of Private Forests: from the Perspective of Balong Village Farmers by Andarias Ruru dan Abdul Rahim. In this article, the authors honestly analyze what they observed during their engagement in the research activities. Although the authors tried to look into the matters from a simple perspective, namely, from the perspective of farmers, the ideas contained in this article are not that simple. Apparently the problem observed during the research was a reflection of partnerships in the management of private forest itself, that is, when talking about partnership, it means talking about a fairly complex problem. Moreover, the parties who are invited to get involved in a partnership are three sectors who had their respective interests, namely, entrepreneurs, community (private forest farmers), and the government (in this case is represented by the Forestry Service Office of Bulukumba District). Then, it is presumed that the existing problem of bureaucracy is more dominating than the technical problems faced by private forest farmers. The results of this observation are expected to alter such a barrier to be an opportunity of improving the management of private forests in the future. If the previous article, there are three sectors that need to be considered in the identification of partnership pattern, namely, entrepreneurs, communities and governments, while Rini Purwanti, in her article entitled The Roles of Market Players in the Distribution of Private Forest Timber in the Context of Partnerships, highlights the market players and their roles. It is identified that there are five market players in the distribution of private forest timber, namely, private forest farmers, middlemen, sawmill industry, PT PAL, and the government (although the government here is considered more to as a facilitator and regulator). This article emphasizes the importance of stakeholders who are engaged in a partnership and how they run their respective expected roles. 292 |
This is to avoid the one-party dominance. In addition, when the performance of roles of stakeholders in partnership is carried out in accordance with their respective roles, the division of profit margins can be evenly distributed and, in the end, the most important factor is that the level of farmers' income can be increased. Even profit margins are considered important in the context of the partnership as mentioned in previous writings. Furthermore, Nurhaedah also highlights the margins from the points of the distribution of margins in timber trade system. The article is entitled: Margin Distribution of Private Forest Timber Trade System in Support of Partnerships. In this article, there are four private forest timber distribution channels in Bulukumba District. However, of the four existing channels, all of them indicate that the margins are unevenly distributed, where farmers as producers receive lower prices (as low as the prices in other distribution channels), when compared with the prices obtained either by middlemen (that is, by 49–84%) and entrepreneurs. In relation to this, Nurhaedah suggests how this gap should be resolved. According to her, it is necessary to empower farmer groups; provide policy support, and encourage price transparency. In this way, it is believed that margins in timber trade system may be evenly distributed and the trade system of private forest timber should be carried out under a good partnership scenario. Besides discussing the distribution margins, both in terms of profits and trade system, this Book presents the writing on Knowledge about Forest Inventory for Forest private Forest Managers by Zainuddin and Arman Hermawan. Still related to the previous article, which is about the importance of empowering farmers groups, this article re-confirms the same aspect through, among other things, the provision of additional knowledge about inventory of trees owned by the farmers which is done by the farmers themselves. With this | 293
additional knowledge, it is expected that private forest farmers, in a simple method, will be able to know the quantity and quality of their timber trees, for example, how to measure diameters, heights and volumes of trees. The benefits of this knowledge for the farmers are to enable them to be able to increase their knowledge about their smallholder management. It is presumed that the timber sales from the farmers are often still done in the forms of tree stands. This type of transaction makes the selling prices lower, and again, the farmers, become the object of tricks by traders/ entrepreneurs. Under these circumstances the farmers will be the most vulnerable and subject to greater losses. Thus, the farmers’ knowledge of inventory of trees will make them able to determine the sales of their timber under decent prices. Thus, one of the aims of equipping the farmers with the inventory knowledge is to improve the welfare of the private forest farmers. In previous writings, private forest farmers and their surrounding is still the main focus of discussion, and the article that follows entitled The Utilization of Private Forest Timber by Wahyudi Isnan, discusses the woods and how to utilize them. Why the utilization of forest trees is considered important? This is due to the fact that the existence of private forests is able to meet the demand for woods from the community, for instance, for furniture manufacturing where typical community homes (and in Sulawesi in general) are made from woods. Similarly, most of raw materials of local small and large scale furniture and household appliance industries are woods. The woods needed, both for local communities and industries such as sawmills, veneer, the phinisi boat building, are teak and mixed timber trees (sengon, bitti, pulai, gmelina, kapok trees and others). Considering the importance of private forests as the support to wood-based industries, it is still necessary for the government to make forestry policies that support the development of private forests. 294 |
The last article entitled Opportunities and Threats to Phinisi Boat Industry is written by Supardi, in which he discusses one of the end products of the long journey of private forest timber. As mentioned at the beginning of the epilogue, the residents in Bonto Bahari Sub District, Bulukumba District, have got special expertise in boat building which is well known worldwide as the phinisi boat. A brief history of the phinisi boat is discussed in this writing as well. Taking into account the opportunities and threats to any business or industry is essential, including those to the phinisi boat industry. Bulukumba as a private forest timber producer looks into the existence of this industry as the advantage for Bulukumba. It is also to continue fulfilling local and foreign demands for the phinisi boat. However, negative impacts of limited raw materials from private forest timber began appear, and another threats is related to its design. It is necessary to pay attention to sustainability of the phinisi boat as Bulukumba (and national) icon by taking into account the opportunities and threats described above. It appears that the existence of the phinisi boat is dependent upon several conditions, among others, the availability of its building experts, raw materials, and demands from consumers. Talking about private forests, private forest farmers, production processes, the absorption of production to the distribution of profit margins and as all of problems associated with them is a very complex discussion. Moreover, entering into a partnership is deemed necessary to “oversee” the improvement in sustainable private forest management and to give equitable benefits to all relevant stakeholders involved in the partnership itself. Bulukumba as a locus for ACIAR–FORDA research which is associated with a (forestry) partnership in community management, reveals many aspects that would really need to be considered by decision makers (or policy makers), both at | 295
local and national levels, and in this way we look forwards to having better private forest management in the future. If the foregoing expectations can be realized, sometime in the future, the slogan in which Bulukumba proudly call itself as the Bumi Panrita Lopi, which means the homeland of boat building experts, Bulukumba may also call itself a place where people can learn about good private forest management partnerships. The latter may take place if the recommendations based on the results of ACIAR–FORDA collaborative research, including those set out in this book as notes, can be implemented. Hopefully… Makassar, March 2016 On behalf of team of authors, Bugi Sumirat
296 |
INDEKS INDEX A ACIAR, 1, 2, 9, 10, 17, 18, 22, 27, 32, 33, 34, 36, 37, 41, 46, 51, 52, 53, 55, 56, 71, 72, 98, 112, 115, 129, 131, 144, 153, 157, 167, 171, 217, 218, 236, 289, 304, 305, 342, 343, 344, 351, 352, 354, 355, 356, 363, 364
53, 56, 69, 84, 85, 116, 153, 157, 158, 159, 171, 172, 218, 236, 321, 322, 339 Balong Declaration, 38 Balong Village, 37, 41, 50, 79, 80, 107, 134, 136, 160, 163, 164, 165, 166, 167, 170, 189, 292, 359
Advices, 77
BCR, 65, 80
Advis, 62
Beneficial, 45, 80, 100, 141, 169, 197, 229, 302
Agreement, 11, 38, 48, 71, 74, 75, 269, 302 Agroforestry, 129, 144, 166, 186, 200, 239, 246, 258, 265, 275, 291 Alat ukur, 7, 237, 249, 251 Analisis, 1, 4, 22, 28, 31, 63, 64, 68, 69, 84, 86, 87, 88, 90, 92, 96, 97, 98, 99, 112, 113, 155, 177, 207, 216, 217, 235, 236, 289, 304, 345 Analysis, 9, 12, 28, 41, 47, 50, 79, 80, 97, 99, 100, 101, 102, 104, 105, 106, 111, 112, 113, 169, 191, 225, 234, 357 Ancaman, 58, 153, 154 Aparat, 1
B Badan Litbang Kehutanan, 17, 18, 27, 55, 115, 254, 272 Balai Penelitian Kehutanan Makassar, 1, 19, 33, 34, 52,
Benefit, 12, 28, 42, 47, 65, 80, 124, 140, 160, 225, 300 Biaya, 22, 31, 58, 66, 67, 88, 122, 156, 178, 202, 206, 207, 209, 213, 214, 215, 243 Bitti, 3, 5, 7, 11, 13, 15, 17, 20, 36, 39, 62, 63, 78, 79, 119, 135, 152, 166, 174, 176, 178, 181, 188, 190, 192, 195, 205, 208, 210, 223, 226, 228, 246, 265, 274, 277, 281, 282, 287, 288, 290, 293, 297, 298, 303, 311, 312, 313, 314, 318, 322, 329, 330, 331, 332, 336, 340, 342, 350, 354, 362 Boat, 13, 14, 15, 39, 44, 188, 190, 194, 219, 221, 222, 223, 224, 226, 290, 295, 296, 297, 298, 303, 324, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 335, 336, 337, 338, 353, 354, 356, 362, 363 Bottom-up, 115, 126, 131, 142
| 297
Bulukumba, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 24, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 43, 46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 92, 93, 94, 95, 105, 107, 109, 116, 117, 119, 122, 126, 127, 129, 132, 134, 135, 138, 142, 145, 146, 147, 150, 153, 155, 157, 158, 160, 161, 164, 167, 169, 171, 172, 174, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 188, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197,륌198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 216, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 234, 235, 236, 241, 244, 246, 249, 254, 259, 262, 263, 265, 267, 272, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 300, 301, 302, 303, 304, 306, 307, 308, 310, 311, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 324, 325, 326, 328, 329, 331, 332, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 347, 348, 350, 351, 353, 354, 356, 357, 359, 360, 362, 363
C
butta panrita lopi, 315, 333
Consumers, 191, 193, 196, 197, 220, 223, 225, 229, 230, 231, 232, 337, 363
298 |
Capital, 43, 73, 101, 188, 193, 231, 262, 334, 353 CBA, 28, 30, 47, 50, 124, 140 Challenge, 264 Characteristics, 14, 101, 163, 191, 256, 263, 266, 329 Charles Sturt University, 98, 112, 116, 132 Civil society, 18, 23, 25, 37, 42, 44 Collaboration, 9, 10, 36, 58, 71, 72, 74, 132, 160, 163, 328, 355 Commodity, 45, 134, 135, 191 Community, 1, 9, 12, 14, 15, 33, 34, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 51, 52, 53, 69, 71, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 98, 100, 101, 102, 103, 107, 110, 112, 116, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 141, 142, 143, 144, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 176, 186, 188, 189, 190, 196, 197, 198, 199, 200, 222, 227, 229, 230, 233, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 290, 291, 292, 294, 295, 297, 300, 302, 303, 317, 318, 322, 329, 333, 334, 335, 337, 340, 358, 362, 363 Conflicts, 100, 110 Consequently, 222
Context, 9, 37, 105, 188, 191, 196, 326, 359, 360 Corporate Social Responsibility (CSR), 25
252, 256, 257, 266, 267, 269, 270, 271, 282, 283, 298, 299, 330, 332, 349
Critical land, 164
Dimensi, 6, 89, 90, 97, 237, 249, 250, 289, 304
Cruising, 62, 77, 206, 213, 224, 231, 248, 266
Dimensions, 14, 98, 103, 104, 112, 256, 267
Cubic meter, 41, 140, 233
Dinas Kehutanan, 1, 20, 21, 34, 53, 56, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 83, 118, 127, 148, 157, 158, 171, 176, 182, 183, 185, 199, 204, 205, 217, 235, 240, 245, 254, 272, 276, 277, 280, 288, 304, 343, 347
D DBH (dbh), 251, 256, 269, 271 Definisi, 57, 88, 89, 241, 346 Deklarasi Balong, 18 Deklarasi Karassing, 18 Demand, 47, 193, 220, 222, 258, 291, 295, 303, 335, 362 Desa Balong, 18, 20, 22, 25, 30, 64, 94, 119, 146, 150, 151, 152, 153, 156, 175, 277, 346 Desa Karassing, 18, 20, 22, 25, 30, 94, 119, 122, 175, 276 Desain, 275, 307 Deskriptif, 177 Development, 9, 11, 12, 13, 15, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 48, 71, 75, 76, 77, 81, 82, 83, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 109, 110, 111, 112, 129, 131, 142, 143, 144, 145, 160, 161, 162, 163, 166, 169, 170, 221, 257, 258, 260, 261, 262, 263, 264, 289, 290, 291, 293, 296, 302, 303, 305, 325, 326, 327, 329, 337, 344, 355, 357, 362 Diameter, 6, 14, 63, 78, 178, 192, 214, 237, 238, 248, 249, 251,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 34, 53, 157, 171 Distribusi, 5, 6, 174, 177, 182, 183, 201, 202, 203, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 215, 216, 347, 348 Distribution, 13, 14, 72, 78, 166, 167, 188, 191, 196, 197, 199, 219, 220, 221, 223, 224, 225, 226, 227, 229, 231, 234, 269, 292, 299, 359, 360, 361, 363 Distribution channels, 14, 219, 220, 223, 224, 230, 234, 360 District (sub-district), 10, 13, 14, 15, 35, 37, 39, 40, 43, 47, 48, 54, 72, 79, 80, 107, 129, 132, 138, 145, 169, 190, 195, 196, 197, 220, 221, 222, 223, 225, 226, 228, 234, 259, 262, 263, 267, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 300, 302, 324, 326, 328, 332, 333, 334, 336, 337, 338, 353, 354, 356, 359, 360, 362
| 299
E Economic, 11, 71, 73, 79, 81, 99, 103, 113, 162, 163, 164, 165, 166, 170, 192, 198, 229, 258, 260, 262, 263, 264, 272, 326, 335, 357 Economy, 9, 170, 260 Ekonomi, 1, 3, 55, 57, 63, 65, 68, 69, 83, 84, 85, 87, 89, 148, 149, 150, 151, 152, 156, 178, 184, 185, 186, 199, 200, 211, 216, 217, 218, 235, 236, 239, 242, 244, 245, 254, 255, 273, 289, 304, 308, 317, 345 Empower, 14, 107, 219, 261, 360 Empowerment, 38, 110, 143, 162, 230, 358 Existing Condition, 30, 49 Expected Condition, 30, 49
F Facilitator, 11, 71, 110, 188, 199, 360 Faktor Bentuk, 253 Farm Forest, 119, 135 Farmer Groups, 14, 37, 41, 74, 132, 219, 229, 233, 356, 360 Fasilitator, 3, 55, 96, 174, 182, 185, 347 Financial, 11, 71, 79, 80, 106, 229, 357 FKHR, 29, 31, 48, 50, 155 Flooring, 279, 281, 294, 297 Focus Group Discussion (FGD), 28, 47, 93, 107, 153, 167
300 |
FORDA (Forda), 1, 2, 9, 10, 35, 36, 37, 38, 46, 54, 68, 69, 71, 84, 85, 120, 131, 136, 167, 217, 236, 289, 304, 305, 342, 343, 344, 351, 352, 354, 355, 356, 363, 364 Forest Farmers, 10, 11, 37, 42, 50, 71, 81, 131, 134, 136, 137, 139, 140, 142, 143, 160, 167, 168, 191, 259, 265, 272, 355, 356, 358, 359, 361 Forest Plantation, 257, 294, 332 Forestry, 1, 9, 10, 12, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 42, 45, 48, 52, 53, 54, 69, 71, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 100, 101, 107, 109, 111, 116, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 139, 141, 142, 143, 144, 145, 160, 161, 163, 165, 167, 170, 188, 197, 199, 221, 223, 257, 258, 260, 261, 264, 266, 267, 268, 289, 290, 291, 292, 293, 296, 305, 344, 351, 355, 358, 362, 363
G Gender, 90, 104 Glanosol, 150, 164 Gmelina, 5, 7, 13, 15, 21, 40, 61, 62, 64, 77, 78, 79, 119, 135, 153, 167, 174, 176, 181, 188, 190, 195, 205, 208, 223, 226, 246, 265, 274, 277, 286, 287, 290, 293, 301, 303, 311, 318, 329, 336, 350, 362 Government, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 71, 72,
73, 74, 76, 82, 105, 141, 160, 161, 162, 165, 166, 188, 196, 198, 258, 261, 262, 263, 265, 267, 290, 291, 297, 302, 337, 338, 356, 359, 360, 362
249, 253, 254, 255, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 284, 286, 287, 288, 289, 303, 304, 305, 306, 314, 316, 317, 318, 320, 321, 339, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, 350, 351, 352
Hamparan, 22, 125, 147, 150, 155, 203, 208, 211, 241, 247, 249, 253, 349
Hutan Tanaman, 68, 84, 116, 158, 172, 186, 200, 217, 235, 239, 254, 272, 278, 314
H
HIPKI, 29, 48, 155, 169 HKTI, 117, 133 Holistic, 72 Holistik, 56 HPH, 149, 163, 176 HTI, 314, 332 Hutan Desa (HD), 239, 257 Hutan Kemasyarakatan (HKm), 239, 257 Hutan Milik, 32, 147, 239, 277 Hutan Negara, 56, 118, 147, 176, 241, 242, 276, 277, 317 Hutan Rakyat, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 52, 53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84, 85, 87, 96, 115, 116, 118, 119, 122, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 172, 174, 175, 176, 177, 178, 182, 183, 184, 185, 186, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 208, 209, 211, 215, 216, 217, 218, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248,
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 239, 257
I I La Galigo, 309, 327 Identification, 46, 100, 101, 103, 104, 105, 109, 111, 191, 192, 194, 357, 359 Identifikasi, 27, 28, 86, 87, 91, 92, 95, 97, 98, 113, 178, 180 Implementasi, 3, 4, 17, 19, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 88, 93, 96, 125, 344 Implementation, 11, 12, 36, 38, 43, 45, 46, 47, 48, 51, 74, 77, 100, 101, 102, 103, 105, 107, 111, 162, 262, 264, 268, 357 Industri, 2, 5, 6, 7, 18, 21, 22, 24, 28, 29, 31, 56, 59, 66, 87, 88, 96, 115, 155, 157, 174, 175, 176, 180, 181, 183, 184, 185, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 240, 242, 243, 244, 274, 275, 278, 279, 280, 281, 285, 286, 287, 306, 307, 308, 311, 314, 315, 317, 318, 321, 338, 342, 344, 347, 350
| 301
Industries, 10, 13, 15, 37, 40, 41, 44, 47, 50, 72, 74, 131, 188, 193, 194, 195, 197, 198, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 260, 261, 262, 290, 291, 294, 295, 296, 297, 302, 325, 326, 335, 356, 362
Iteratif, 28, 29, 30
Industry, 13, 14, 15, 44, 75, 81, 82, 101, 102, 107, 110, 169, 171, 188, 189, 190, 193, 194, 195, 198, 222, 258, 260, 274, 279, 294, 295, 296, 298, 300, 324, 325, 326, 329, 333, 335, 336, 337, 338, 344, 350, 353, 354, 356, 359, 362
Jati, 3, 5, 7, 17, 20, 21, 25, 31, 62, 63, 64, 119, 152, 153, 155, 159, 174, 176, 178, 180, 181, 186, 200, 201, 205, 207, 208, 210, 216, 247, 274, 277, 279, 281, 285, 286, 287, 311, 314, 318, 322, 339, 350
Inisiasi, 3, 17, 19, 26, 27, 29, 30, 32, 151, 344 Initiation, 11, 36, 38, 45, 46, 48, 49, 51, 165, 356 Institusi, 92, 116, 245 Institutions, 47, 75, 103, 106, 110, 132, 191, 197, 233 Integratif, 1, 56 Integration, 51, 75, 357 Interaction, 40, 41, 74 Interaksi, 21, 22, 26, 58, 127 Intermediary Traders, 37, 41, 193, 197, 221, 231, 296, 355 Inventarisasi, 6, 29, 212, 215, 237, 238, 240, 247, 248, 249, 250, 253, 254, 255, 272, 273, 348 Inventory, 14, 48, 230, 233, 256, 257, 259, 265, 266, 267, 268, 271, 361 IRR, 65, 80
302 |
Iterative, 49
J Jalur Distribusi, 6, 201, 205, 206, 212, 216, 348 Jarak tanam, 21
Jati putih, 5, 63, 174, 176, 274
K Kabupaten, 2, 3, 5, 6, 7, 20, 21, 24, 28, 29, 33, 34, 52, 53, 55, 56, 59, 60, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84, 85, 92, 93, 94, 95, 116, 117, 127, 148, 150, 155, 157, 158, 171, 172, 174, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 199, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 216, 217, 235, 236, 241, 244, 249, 254, 272, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 285, 286, 288, 289, 303, 304, 306, 308, 310, 311, 313, 314, 315, 316, 318, 319, 320, 321, 339, 341, 343, 348, 350 Karakteristik, 6, 87, 149, 177, 237, 245, 248 Karassing Declaration, 38
Karassing Village, 37, 40, 41, 44, 50, 107, 135, 138, 189, 292 Karet, 21, 25, 61, 63, 182, 278, 279 Kayu bulat, 87, 182, 244, 252, 317 Kebijakan, 1, 4, 5, 7, 19, 24, 26, 28, 30, 34, 53, 55, 57, 60, 62, 65, 67, 69, 84, 86, 88, 89, 96, 97, 115, 126, 158, 172, 182, 216, 235, 245, 246, 274, 275, 345, 346, 348, 350, 351 Kebutuhan, 5, 7, 28, 56, 87, 89, 91, 93, 115, 149, 156, 175, 176, 177, 180, 181, 182, 202, 203, 204, 206, 213, 240, 243, 244, 252, 274, 275, 278, 279, 280, 281, 287, 349 Kecamatan, 18, 20, 56, 64, 65, 176, 276, 281, 306, 308, 313, 317, 341, 350 Kehutanan, 1, 4, 19, 26, 29, 33, 34, 52, 53, 56, 59, 61, 64, 66, 67, 68, 69, 83, 84, 85, 86, 87, 95, 97, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 147, 149, 151, 152, 153, 156, 157, 158, 171, 172, 174, 176, 185, 199, 204, 216, 217, 218, 235, 236, 239, 240, 242, 245, 254, 255, 272, 273, 274, 275, 277, 287, 288, 289, 303, 304, 305, 316, 321, 322, 338, 339, 343, 346 Kekuatan, 89, 153, 155, 156, 212, 313, 314 Kelemahan, 151, 153 Kelembagaan, 1, 28, 33, 52, 215
Kelompok, 2, 4, 6, 18, 20, 22, 28, 29, 59, 67, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 115, 117, 118, 121, 123, 127, 128, 144, 179, 201, 211, 215, 216, 243, 251, 252, 253, 344, 348, 349 Kelompok Tani, 6, 18, 22, 29, 59, 67, 94, 95, 115, 117, 118, 121, 123, 127, 128, 144, 201, 211, 215, 216, 344, 348, 349 Kelu, 181, 195, 282, 298 Kemitraan, 1, 3, 4, 5, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 52, 53, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 84, 85, 86, 87, 90, 92, 93, 95, 97, 115, 116, 122, 123, 124, 125, 128, 146, 148, 151, 153, 154, 155, 156, 158, 172, 174, 175, 185, 201, 203, 211, 212, 213, 214, 216, 218, 236, 243, 289, 304, 341, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 351 Kepercayaan, 116 Kesepakatan, 4, 18, 19, 23, 29, 32, 55, 57, 59, 251, 286, 316 Keuntungan, 31, 117, 122, 123, 124, 125, 128, 156, 185, 207, 210, 211, 214, 244, 245, 348, 351 Knowledge, 14, 45, 50, 101, 140, 143, 163, 164, 166, 167, 168, 193, 198, 233, 257, 260, 266, 267, 272, 326, 335, 362 Komoditas, 26, 118, 119, 121, 147, 152
| 303
Kompetitor, 26 Konflik, 86, 96 Konsekuensi, 88
Mahoni, 5, 21, 63, 64, 119, 153, 155, 174, 176, 181, 205, 246, 277, 285, 301
L
Management, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 51, 52, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 82, 99, 100, 105, 106, 107, 110, 111, 112, 128, 129, 131, 133, 141, 143, 144, 160, 162, 163, 165, 169, 170, 171, 188, 189, 196, 198, 199, 222, 227, 229, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 266, 268, 271, 334, 353, 356, 357, 358, 359, 363, 364
Labor, 50
Managers, 14, 47, 97, 112, 361
Lahan, 7, 21, 22, 25, 26, 59, 62, 63, 64, 67, 68, 83, 87, 94, 95, 118, 119, 147, 148, 150, 152, 153, 155, 156, 157, 175, 178, 205, 217, 235, 238, 241, 242, 243, 244, 246, 247, 248, 250, 252, 253, 283, 316, 317, 321, 339, 342
Margin, 6, 13, 14, 22, 31, 41, 50, 184, 185, 198, 201, 202, 203, 205, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 219, 220, 221, 223, 225, 226, 227, 229, 230, 231, 234, 348, 351, 360 Marginal lands, 301
Lahan kritis, 150
Maritim, 308
Lessons learned, 9, 354
Maritime, 326, 333
LMDH, 118, 133
Market players, 13, 75, 188, 189, 191, 192, 196, 198, 199, 219, 221, 226, 228, 359
Konsumen, 177, 179, 182, 183, 202, 205, 207, 211, 212, 213, 214, 320, 351 Konteks, 1, 174, 308, 347, 348 KTHA, 117, 133 KTP, 59, 60, 62, 64, 65, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 117, 120, 133, 136, 211, 212, 229, 230 Kubikasi, 22, 65, 125, 212, 214, 215, 254
Log, 180, 181, 196, 210, 252, 270, 279, 284, 335 Lumberseri, 25, 44
Market prices, 47, 143, 233, 337
M
Masyarakat, 1, 4, 7, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 32, 34, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 84, 86, 87, 88, 89, 92, 93, 96, 115, 116, 118, 119, 125, 126, 127, 146, 147,
Mahogany, 13, 40, 78, 79, 135, 167, 169, 188, 190, 195, 223, 265, 293, 300, 301
304 |
Market structure, 229
148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 156, 157, 158, 172, 174, 175, 176, 178, 180, 182, 202, 212, 213, 215, 237, 239, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 274, 275, 278, 281, 282, 284, 286, 287, 306, 310, 315, 316, 317, 319, 320, 346, 347, 349, 350
O Officer, 325 Officials, 9 Opportunity, 129, 144, 359 Optimal, 3, 17, 21, 24, 28, 40, 43, 47, 202, 220, 344 Optimum, 283, 299
Measurement, 14, 256, 267, 269
P
Middlemen, 10, 13, 14, 18, 22, 31, 37, 41, 50, 62, 63, 78, 79, 81, 83, 105, 107, 188, 192, 193, 195, 196, 198, 219, 221, 223, 224, 225, 226, 230, 231, 234, 296, 355, 356, 359, 360
PAD, 66, 67, 82, 83, 204, 209, 227
Mitra, 1, 2, 4, 6, 18, 22, 31, 55, 57, 62, 63, 65, 66, 67, 94, 128, 174, 179, 181, 183, 201, 203, 205, 211, 215, 216, 343, 347, 348 Mitra antara, 6, 174, 179, 201, 203, 343 Mixed timber, 11, 39, 223, 234, 290, 303, 329, 362 Modal, 24, 87, 174, 179, 180, 185, 206, 213, 243, 316 Motivasi, 96, 213, 288
Palopo Alam Lestari, 6, 13, 14, 21, 40, 59, 75, 153, 167, 181, 195, 201, 219, 278, 294 Para pihak, 95, 128, 345 Partnership, 9, 12, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 54, 57, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 100, 101, 104, 106, 107, 109, 111, 129, 131, 132, 138, 139, 140, 141, 143, 145, 160, 162, 163, 165, 167, 168, 169, 170, 188, 199, 219, 221, 229, 230, 231, 232, 234, 262, 303, 351, 355, 356, 357, 358, 359, 360, 363
Motivation, 110, 303
Pasokan, 28, 59, 63, 175, 184, 204, 209, 210, 278, 318
N
Pelaku pasar, 5, 6, 60, 174, 175, 177, 178, 182, 183, 184, 185, 201, 203, 208, 210, 347
Navigasi, 309 Navigation, 327 Nilai Finansial, 55
Peluang, 7, 31, 58, 68, 83, 154, 216, 306, 308, 315, 320, 347, 350
| 305
Pemanfaatan, 7, 24, 68, 83, 148, 209, 246, 274, 275, 281, 282, 287, 288, 303, 321, 339, 349 Pemangkasan, 21 Pembelajaran, 1, 19, 27, 58, 341 Pemberdayaan, 6, 19, 34, 53, 148, 201, 212, 216, 346, 348, 349 Pembersihan, 21 Pembinaan, 155, 186, 200 Pemerintah, 2, 3, 4, 6, 7, 18, 22, 23, 24, 25, 55, 57, 58, 60, 115, 125, 126, 146, 147, 149, 151, 153, 157, 174, 182, 184, 185, 239, 242, 243, 245, 246, 249, 274, 275, 287, 319, 320, 344, 346, 347, 350 Pendampingan, 5, 19, 32, 96, 146, 152, 346 Pengelola, 6, 28, 237, 348 Pengelolaan, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 17, 18, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 52, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 65, 67, 68, 69, 84, 85, 86, 92, 94, 96, 97, 99, 113, 118, 126, 127, 146, 148, 149, 156, 175, 182, 185, 186, 200, 204, 209, 211, 218, 236, 238, 239, 240, 241,륌244, 245, 248, 250, 253, 275, 289, 304, 317, 322, 340, 341, 343, 344, 345, 346, 347, 349, 351 Pengembangan, 3, 4, 5, 7, 17, 19, 20, 23, 29, 34, 53, 59, 60, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84, 86, 87, 90, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 112, 146, 147, 148, 158, 172, 203, 242, 243, 244, 246, 254, 255,
306 |
272, 273, 274, 275, 277, 281, 287, 288, 303, 304, 322, 339, 350 Pengetahuan, 6, 26, 31, 87, 124, 125, 128, 149, 150, 152, 153, 154, 179, 184, 215, 237, 238, 240, 247, 254, 308, 317, 349 Penghijauan, 29, 59, 95, 117, 242, 284 Pengukuran, 7, 29, 31, 237, 248, 249, 250, 251 Pengusaha, 2, 3, 18, 22, 28, 29, 55, 57, 58, 59, 62, 94, 95, 146, 149, 155, 157, 184, 185, 201, 212, 213, 214, 215, 241, 249, 253, 287, 344, 347, 348, 349 Penjarangan, 21 People, 12, 13, 102, 103, 134, 135, 136, 141, 142, 161, 162, 163, 165, 166, 191, 192, 199, 220, 221, 257, 261, 262, 263, 291, 325, 326, 327, 333, 336, 353, 364 Perahu, 5, 6, 7, 20, 25, 174, 176, 180, 181, 201, 203, 204, 205, 206, 208, 279, 280, 282, 287, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 338, 339, 340, 341, 342, 344, 350, 351 Perantara, 91, 94, 95, 178, 184, 185, 280, 344 Perencanaan, 7, 27, 30, 90, 96, 98, 113, 155, 156, 157, 238, 240, 245, 253, 254, 272 Pesanggem, 118, 133 PHBM, 118, 149, 163
Phinisi, 7, 15, 20, 25, 39, 44, 181, 194, 195, 274, 279, 282, 290, 295, 297, 298, 303, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 324, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 335, 336, 337, 338, 340, 341, 342, 344, 350, 353, 354, 356, 362
Produsen, 6, 177, 179, 182, 184, 201, 202, 205, 207, 208, 211, 212, 213, 214, 244, 348
Planning, 46, 49, 110, 169, 170, 171, 190, 257, 258, 264, 268, 271
Programme, 129, 144
Policy, 9, 11, 12, 45, 47, 71, 73, 83, 99, 100, 102, 111, 113, 129, 144, 234, 263, 265, 357, 360, 363
Province, 39, 72, 302, 337, 353
Primary, 72, 107, 109, 256, 261, 294, 335 Primer, 56, 93, 95, 317 Private Forest, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 36, 37, 38, 39, 42, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 100, 101, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 160, 161, 162, 167, 168, 171, 188, 189, 191, 192, 196, 198, 219, 220, 221, 222, 223, 226, 227, 233, 234, 256, 257, 259, 261, 263, 264, 265, 266, 267, 271, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 297, 324, 331, 332, 334, 338, 353, 355, 356, 357, 358, 359, 360, 361, 362, 363, 364 Producer, 15, 324, 334, 338, 362
Program, 4, 12, 25, 27, 32, 44, 46, 51, 62, 88, 89, 93, 96, 103, 107, 111, 118, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 133, 138, 140, 142, 143, 148, 149, 162, 175, 188, 239, 242, 245, 257, 260, 288, 303, 314, 358 Projects, 10, 98, 103, 112, 142, 168, 170, 171, 355 Provinsi, 20, 33, 34, 52, 53, 56, 99, 113, 158, 172, 204, 217, 235, 240, 254, 272, 287, 288, 303, 304, 320, 341 Proyek, 2, 27, 33, 52, 89, 116, 154, 156, 343 Pruning, 21, 40 PT PAL, 24, 40, 44, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 75, 76, 77, 78, 80, 81, 94, 95, 107, 110, 153, 156, 157, 167, 170, 171, 174, 181, 183, 185, 188, 195, 197, 198, 201, 203, 204, 205, 206, 209, 219, 221, 222, 223, 224, 227, 278, 294, 347, 359 PUHHR, 182, 196 Punggawa, 307, 320, 325
R Reboisasi, 284 Reforestation, 300 Re-greening, 260, 300 Regulasi, 210
| 307
Regulation, 38, 48, 110, 196, 227, 358 Regulator, 3, 11, 55, 71, 174, 182, 185, 188, 196, 199, 347, 360
Silvikultur, 21, 31, 87, 240 Skenario, 203, 211, 212, 213, 214, 216, 348
Replanting, 63, 78, 278, 279, 294
SKSHH, 62, 77, 185, 199, 213, 231
Retribusi, 24, 66, 209
SKSKB, 182, 196
Revitalisasi, 175, 214, 217, 235, 321, 338
Smallholder, 14, 41, 44, 45, 47, 48, 134, 161, 223, 224, 261, 362
Revitalization, 189, 233 Rimba campuran, 3, 7, 17, 20, 24, 31, 152, 201, 205, 208, 210, 216, 274, 283, 287, 311, 350 Ring weeding, 21, 40
S Sawmill, 6, 7, 13, 14, 15, 25, 44, 66, 81, 94, 96, 107, 110, 174, 180, 184, 188, 194, 198, 201, 203, 204, 205, 208, 209, 210, 216, 219, 221, 222, 223, 224, 226, 227, 234, 274, 279, 280, 290, 295, 296, 317, 347, 350, 359 Sawn timber, 140, 228, 297 Scenario, 221, 229, 230, 231, 232, 234, 361 Secondary, 72, 107, 299 Sekunder, 56, 93, 283 Semantik, 88 Sengon, 5, 21, 61, 62, 63, 64, 68, 77, 78, 79, 83, 119, 135, 152, 153, 167, 174, 176, 178, 181, 192, 195, 205, 208, 210, 217, 223, 235, 246, 265, 277, 283, 284, 287, 293, 298, 299, 300, 303, 350, 362 Silviculture, 50, 101, 258
308 |
Spacing, 21, 40 SPK, 29, 48 Stakeholder(s), 1, 4, 5, 9, 12, 13, 26, 28, 29, 32, 38, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 57, 58, 60, 61, 65, 73, 74, 76, 77, 81, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 111, 112, 113, 143, 146, 148, 151, 153, 160, 162, 165, 167, 267, 342, 344, 345, 347, 355, 356, 357, 358, 360, 363 State Forest, 134 Sulawesi Selatan, 1, 3, 17, 20, 33, 34, 52, 53, 56, 68, 83, 84, 99, 113, 116, 158, 172, 182, 204, 240, 254, 272, 277, 288, 289, 303, 304, 306, 307, 308, 310, 311, 312, 320, 321, 322, 339, 340, 341, 342 Supply, 15, 47, 74, 78, 81, 165, 189, 198, 222, 227, 228, 232, 263, 290, 294, 335 Sustainable, 10, 11, 15, 36, 44, 72, 77, 93, 97, 106, 112, 167, 199, 232, 257, 271, 363
T Tanaman semusim, 21, 121, 152, 275, 277 Tantangan, 7, 246, 306, 307, 315, 318, 320, 350 Tata niaga, 6, 174, 177, 186, 200, 201, 202, 203, 205, 207, 208, 209, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 235, 348 Tenaga kerja, 31, 64, 66, 67, 155, 179, 239, 308, 319 Thinning, 21, 41 Timber, 11, 13, 14, 15, 36, 37, 39, 40, 41, 44, 47, 48, 50, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 101, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 160, 161, 163, 166, 168, 169, 170, 174, 180, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 210, 219, 220, 221, 222, 223, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 248, 256, 259, 260, 261, 262, 265, 266, 267, 268, 271, 279, 281, 290, 291, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 302,
303, 324, 329, 330, 334, 335, 338, 354, 355, 359, 360, 361, 362 Tools, 97, 111, 256, 330 Top leader, 156 Top-down, 115, 126, 131, 142 Transparansi, 6, 28, 93, 201, 216, 348 Transparency, 14, 47, 106, 219, 234, 360 Trust, 31, 50, 132
U Utilization, 15, 40, 43, 72, 101, 168, 169, 221, 227, 258, 264, 290, 291, 293, 294, 299, 337, 361
V Veneer, 7, 15, 24, 44, 123, 138, 156, 170, 171, 174, 181, 188, 195, 206, 224, 274, 278, 284, 286, 290, 294, 299, 302, 303, 350, 362
| 309
BIODATA PENULIS Achmad Rizal Hak Bisjoe; lahir di Balikpapan pada tanggal 6 Mei 1964. Di kota tersebut, dia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah. Gelar Sarjana Kehutanan diperolehnya dari Universitas Mulawarman, Samarinda pada tahun 1988. Kemudian, berbekal dukungan beasiswa dari Bappenas, penulis memperoleh gelar Master Teknik dari UGM pada tahun 2005. Ia menikah dengan St. Munirah M. Idrus, S.Pd. Penulis pernah berkiprah pada lembaga konsultan manajemen di Balikpapan, Jakarta, dan Banjarmasin (1989–1992). Ia juga pernah bekerja pada lembaga pendidikan di Makassar (1992–1994). Selanjutnya, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (1994–2001) dan pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar (2001–sekarang). Jabatan penulis saat ini sebagai Peneliti Madya bidang kepakaran Sosiologi Kehutanan. Penulis berperan sebagai editor majalah ilmiah dan sejumlah prosiding seminar. Ia juga aktif dalam tim kerja sama penelitian dengan ACIAR Australia. Saat ini, penulis aktif sebagai pembina pada sebuah yayasan pendidikan di Maros. Sejumlah karya tulis ilmiahnya telah dipublikasikan pada jurnal penelitian kehutanan dan berbagai prosiding seminar, termasuk beberapa buah buku, seperti Kumpulan Karya Ilmiah BPK Makassar: Iptek Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat (2012) dan Social Forestry di Sulawesi (2014). Penulis dapat dihubungi melalui alamat email:
[email protected].
| 311
Abd. Kadir Wakka; salah satu Peneliti Madya bidang Sosial Ekonomi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar. Ia dilahirkan di Ujung Pandang (Makassar) pada tanggal 18 Nopember 1974. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan di Makassar, kemudiaan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Kabupaten Gowa. Pada tahun 2008, ia menyelesaikan tingkat pendidikan Sarjana (S1) pada Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Tingkat Pendidikan Magister (S2) diselesaikan penulis pada Program Studi Administrasi Pembangunan Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan UNHAS pada tahun 2007. Gelar Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) diraih tahun 2013. Terdapat lebih kurang 40 buah karya tulis ilmiah (KTI) yang telah dihasilkan
312 |
penulis, baik dalam bentuk prosiding maupun jurnal, serta menjadi salah satu penulis dalam buku Kumpulan Karya Ilmiah BPK Makassar: Iptek Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat (2012) dan buku Social Forestry di Sulawesi (2014). Untuk informasi lebih lanjut tentang penulis dapat melalui email:
[email protected] atau
[email protected].
Nur Hayati; dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, tanggal 1 April 1976. Penulis menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Surakarta. Ia merupakan lulusan Sarjana Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 1999 dan Magister Science Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2009. Pada tahun 2001 hingga
| 313
sekarang, penulis bertugas sebagai peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar, yang mendalami bidang ekonomi kehutanan. Info lebih lanjut, silakan kontak lewat email:
[email protected].
Bugi Sumirat. Seorang praktisi dan pemerhati lingkungan dan peneliti bidang Sosiologi Kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16, Makassar. Peneliti yang memiliki nama lengkap Bugi Kabul Sumirat ini lahir dan besar di Jakarta, serta menamatkan sarjananya dari Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta. Ia melanjutkan ke Program Pasca Sarjana di School of Environmental Sciences, Charles Sturt University, Albury, NSW, Australia (beasiswa John Allwright Fellowship) dengan topik thesis “Modal Sosial pada Kelompok Tani Hutan di Indonesia (Sosial Capital of Farmer Forest Group in Indonesia)”. Beberapa publikasi ilmiah, nasional dan internasional, tulisan semi populer dan populer telah dihasilkan sepanjang karir kepenelitiannya, termasuk beberapa buah buku, salah satunya adalah buku Social Forestry di Sulawesi (2014). Tercatat, beberapa video dan poster kegiatan penelitian telah dihasilkannya pula. Di luar ‘dunia seriusnya’, ia menulis beberapa buku kompilasi, seperti buku Bait-bait Hati (2011), Parcel Cinta di Hari Raya (2012), dan Hitam Putih Bogor (2013). Informasi lebih jauh tentangnya dapat dilihat dalam website pribadinya:
314 |
bugisumirat.wordpress.com. Pertanyaan lebih lanjut dapat diajukan melalui kicauan di @kangbugi atau dapat langsung melalui email:
[email protected].
Andarias Ruru. Penulis dilahirkan di Barana’ Kabupaten Tana Toraja, tanggal 25 Mei 1979. Ia lulus SKMA Ujung Pandang tahun 1999 dan lulus Sarjana Fakultas Pertanian dan Kehutanan di Universitas Satria Makassar tahun 2008 dalam bidang Budi Daya Hutan. Penulis bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar sejak tahun 2000
| 315
hingga sekarang dengan jabatan Teknisi Litkayasa di Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi. Alamat email:
[email protected].
Abdul Rahim. Sehari-hari, penulis menikmati hawa segar udara Palangisang, sebuah desa di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, di ia dilahiran pada tanggal 8 Agustus 1958. Ia bekerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba di Jalan Sultan Hasanuddin No. 43, Bulukumba. Ia menamatkan pendidikan Diploma Tiga di Fakultas Pertanian, Jurusan Penyuluhan pada tahun 1986, serta Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian pada tahun 1998. Pemilik hobi membudidayakan lebah madu ini sangat tertarik untuk menerapkan filosofi kebaikan lebah madu dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk kehidupan berdemokrasi dalam pandangannya. Iapun tertantang untuk dapat terus berbagi pengalaman terutama tentang sistem dan perubahan pola perilaku dan selalu berupaya menerapkan pola pikir global namun bertindak lokal. Ia dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
316 |
Rini Purwanti; lahir di Sragen pada tanggal 28 Maret 1979. Ia menamatkan SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Takalar, yaitu di SDN No. 1 Pattalassang Kab. Takalar (lulus tahun 1991), SMPN 2 Takalar (lulus tahun 1994), dan SMUN 3 Takalar (lulus tahun 1997). Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi ke Universitas Hasanuddin pada Fakultas Pertanian dan Kehutanan Jurusan Kehutanan dan lulus pada tahun 2002. Tahun 2012, ia melanjutkan studi ke Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan lulus pada tahun 2015. Sejak tahun 2005, ia bekerja sebagai Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi yang telah berganti nama menjadi Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar pada tahun 2010 dengan bidang kepakaran Ekonomi Kehutanan. Untuk informasi lebih lanjut, dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
| 317
Nurhaedah Muin; lahir di Kabupaten Soppeng tanggal 29 Juli 1969. Pada tahun 1994, penulis menyelesaikan Sarjananya di Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin di Makassar, Program Pasca Sarjana diselesaikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tahun 2009. Pada tahun 2001, penulis mulai bergabung sebagai staf peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16 hingga sekarang. Jabatan fungsional saat ini adalah Peneliti Muda bidang kepakaran Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), dan bergabung dalam kelompok peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
318 |
Zainuddin; lahir di Bajoe, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, pada 25 Nopember 1975. Penulis menyelesaikan sekolah Madrasyah Ibtida’yah dan SMP di Kabupaten Bone. Penulis adalah alumni SKMA Ujung Pandang Tahun 1996. Menyelesaikan program Sarjana pada Fakultas Pertanian dan Kehutanan Jurusan Kehutanan di Unversitas Satria Makassar. Saat ini, penulis sedang menempuh program Magister Agroekoteknologi di Universitas Muslim Indonesia. Penulis mulai bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar sejak Oktober 1996. Jabatan terakhir adalah sebagai Teknisi Litkayasa Penyelia. Motto hidup “Banyak Diam Banyak Kerja”. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan guna peningkatan kualitas dan penulisan selanjutnya. Untuk itu, silakan kirim kritik dan saran ke alamat email:
[email protected].
| 319
Arman Hermawan; lahir di Bulukumba tanggal 26 Maret 1981. Ia menyelesaikan pendidikan di SKMA Ujung Pandang pada tahun 1999 dan langsung magang di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Bulukumba selama 7 bulan dengan lokasi di Desa Karassing. Bergabung dengan Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar sejak Maret 2000 dengan jabatan Calon Teknisi Litkayasa. Jabatan saat ini adalah sebagai Teknisi Litkayasa Penyelia. Tulisan “Pengetahuan Inventarisasi Hutan Bagi Masyarakat Pengelola Hutan Rakyat (Desa Balong dan Desa Karassing, Kab. Bulukumba)” adalah tulisan perdana dan merupakan hasil dari pelatihan Inventarisasi yang dilakukan oleh Pengelola Hutan Rakyat di Kab. Bulukumba dalam rangka kegiatan kerja sama ACIAR. Untuk informasi tentang tulisan ini, silakan ditujukan ke email:
[email protected].
320 |
Wahyudi Isnan; lahir di Praya pada tanggal 06 Agustus 1979. Penulis menamatkan SD dan SMP di Praya Kabupaten Lombok Tengah, yaitu di SDN No. 4 Praya (lulus tahun 1992) dan SMPN 1 Praya (lulus tahun 1995). Pendidikan SMU diselesaikan pada SKMA Ujung Pandang (lulus tahun 1998). Penulis mulai bekerja pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar pada tahun 1999. Pendidikan Sarjana (lulus tahun 2007) dan Pasca Sarjana (lulus tahun 2013) ditempuh di Universitas Hasanuddin pada Fakultas Kehutanan. Email:
[email protected].
Supardi; lahir di Pangkep pada tanggal 06 Juli 1980. Di kota tersebut, penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, kemudian melanjutkan ke Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) di Makassar, lulus pada tahun 2001. Penulis lalu melanjutkan pendidikan sarjana kehutanan di Universitas Satria Makassar dan lulus pada tahun 2008. Ia bekerja di Litbang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Timur (DAS IBT) di
| 321
Makassar dari tahun 2001–2007. Selanjutnya, penulis bekerja di Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar sejak tahun 2007 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Nur Afni, S.Pd. Ia aktif dalam tim kerja sama penelitian dengan ACIAR Australia sejak tahun 2009 dan pernah ikut pelatihan MTG (Master Tree Grower) pada tahun 2014 di Kabupaten Bulukumba dan Konawe Selatan. Alamat email:
[email protected].
322 |
Diterbitkan untuk/Published for: BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MAKASSAR BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Penelitian berkolaborasi dengan /Research collaboration with:
ISBN 978-602-6961-04-4
9 786026 961044
MANAJEMEN HUTAN