KELEMBAGAAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN INSTITUTIONAL OF FOREST MANAGEMENT UNIT IN SULAWESI SELATAN
Moehammad Taoefiq Riyadi, Yusran Jusuf, Mas’ud Junus
Alamat Koresponden Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fakultas Kehutanan universitas Hasanuddin JL. Perintis Kemerdekaan KM 10 Makassar No. HP: 08122896964
[email protected]
ABSTRAK Sejak desentralisasi diberlakukan, sebagian pengurusan hutan dilimpahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pembentukan KPHL/P merupakan salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 88/Menhut-II/2011 Provinsi Sulawesi Selatan terbagi ke dalam 10 unit KPHL/P. Penelitian ini bertujuan menemukan model kelembagaan KPHP Model Jeneberang.Penelitian ini dilaksankaan pada bulan Februari sampai dengan April 2012 di wilayah KPHP Model Jeneberang yang meliputi: kabupaten Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Sinjai dan Takalar.Metode analisis yang digunakan adalah analisis kesenjangan dan analisis kuadran. Hasil penelitian ini menemukan model kelembagaan yang ideal dan model kelembagaan berdasarkan kondisi aktual di lapangan beserta strategi pengembangan KPHP Model Jeneberang. Kata Kunci: KPHP Model Jeneberang, analisis kesenjangan, analisis kuadran
ABSTRACT This study aims to find out a model for the institution of Forest Management Unit. It is expected that the model can be useful in creating an efficient and effective forest management.This research was conducted from February until April 2012 in the area of the Model Institution of Forest Management Unit in Jeneberang. It covered several districs: Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Sinjai and Takalar. The mothods of analysis used in this research were gap analysis and quadrant analysis.The result of this research are models of institution of Forest Management Unit in Jeneberang and the strategies in developing the model institution in Jeneberang Keywords: Model Institution of Forest Management Unit in Jeneberang, Gap analysis, Quadrant analysis
PENDAHULUAN Undang undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP 6 Tahun 2007 jo. PP 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan penyusunan pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan mengamanahkan pembentukan wilayah pengelolaan dilaksanakan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Kesatuan Pengelolaan hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dikelola secara efisien dan lestari (PP.6 Tahun 2007). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.SK.434/Menhut-II/2009, Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai kawasan hutan seluas 2,1 juta Ha yang didominasi oleh Hutan lindung seluas 1,2 juta Ha, hutan produksi seluas 641 ribu Ha, dan kawasan konservasi seluas 851 ribu Ha. Hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2009/2010 dalam statistik planologi kehutanan tahun 2010 menunjukkan kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari hutan primer seluas 609 Ha, hutan sekunder seluas 739 Ha, hutan tanaman seluas 11 Ha, dan non hutan seluas 758 Ha. Dari sumber yang sama juga diketahui dalam kurun waktu 2006-2009 telah terjadi deforestasi sebesar 3 ribu Ha per tahun.
Pembentukan wilayah KPH melalui beberapa tahapan yaitu: Rancang bangun KPH, arahan pencadangan KPH, usulan penetapan KPH, dan penetapan KPH. Wilayah KPH Sulawesi Selatan didasarkan pada pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini didasarkan bahwa hutan di Provinsi Sulawesi Selatan didominasi hutan lindung dan sebagian besar merupakan lahan yang tidak produktif atau lahan kritis. Sebagai konsep awal pencadangan KPH di Sulawesi Selatan ditetapkan pewilayahan KPH ke dalam 22 DAS mikro. Jika pewilayahan pengelolaan hutan berdasar DAS makro, maka Sulawesi Selatan terbagi ke dalam 3 DAS, yaitu DAS Jeneberang, DAS Bila-Walanae, dan DAS Saddang. Berdasarkan dua konsep pewilayahan tersebut, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan merancang pembangunan wilayah KPH ke dalam pewilayahan DAS Meso yang terdiri dari 10 DAS yaitu KPH Nolling-Gilireng, KPH Rongkong, KPH Kalena, KPH Malili-Larona, KPH Saddang, KPH Bila, KPH Walanae, KPH MarosSawitto, KPH Jeneberang, dan KPH Selayar, Ds. Sehingga dikeluarkan SK penetapan dari Menteri Kehutanan tentang wilayah KPHL dan KPHP provinsi Sulawesi Selatan Nomor SK.88/Menhut-II/2011. Karena dibentuk menggunakan pendekatan ekosistem DAS, maka batasbatas KPH mengabaikan batas-batas adminstratif. Beberapa KPH dibentuk lintas kabupaten/kota, sehingga membutuhkan strategi khusus dalam pengelolaannya KPH Jeneberang merupakan salah satu KPH di provinsi Sulawesi Selatan dengan wilayah seluas 160.854 Ha yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.88/Menhut-II/2011. Berdasarkan fungsi hutannya, KPH Jeneberang terdiri dari Hutan lindung seluas 60.451 Ha, hutan produksi terbatas seluas 54.932 Ha, dan hutan produksi seluas 45.471 Ha. Karena KPH ditetapkan atas fungsi hutan yang dominan (pasal 6 PP.6 Tahun 2007), maka KPH Jeneberang termasuk KPH Produksi. KPH Jeneberang merupakan KPH pertama (model) yang dibangun di Provinsi Sulawesi Selatan, dan diharapkan menjadi percontohan bagi KPH-KPH yang lain. Penetapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.715/Menhut-II/2012. Karena pembagian wilayah KPHP Model Jeneberang yang mengikuti batas DAS sebagai batas wilayah, mengakibatkan wilayah KPHP Model Jeneberang sangat luas. Berdasarkan batas administrasi, wilayah KPHP Model Jeneberang melintasi 7 kabupaten/kota yaitu: Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Sinjai dan Takalar. Luasnya wilayah dan pengelolaan lintas kabupaten ini dapat berpotensi menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam pengelolaan hutan.Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model kelembagaan pengelolaan KPHP Model Jeneberang.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah wilayah KPHP Model Jeneberang yang meliputi: Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Sinjai dan Takalar. Pengumpulan Data Data primer diperoleh melalui wawancara dengan stakeholder terkait dengan bantuan kuesioner. Data primer meliputi persepsi dan harapan stakeholder terhadap KPHP Model Jeneberang dan Permendagri Nomor 61 Tahun 2010. Data sekunder diperoleh melalui sumber lain yang mendukung berupa laporan, peta, peraturan perundangan, dan hasil penelitian yang telah dilakukan. Data sekunder meliputi: kondisi umum wilayah KPHP Model Jeneberang, kondisi sosial ekonomi, dan peraturan pendukung KPHP Model Jeneberang. Stakeholder yang menjadi responden antara lain: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Biro Organisasi Provinsi Sulawesi Selatan Dinas Kehutanan Kabupaten (Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Sinjai, dan Takalar), BPKH Wilayah VII Makassar, BPDAS Jeneberang-Walanae, BP2HP Wilayah XV, Universitas dan LSM.
Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai kondisi dan pandangan terhadap kelembagaan KPHP Model Jeneberang. Analisis ini juga digunakan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi biofisik dan sosial ekonomi KPHP Model Jeneberang. Analisis Kesenjangan Analisis ini digunakan untuk mengukur kesenjangan antara persepsi dan ekspektasi stakeholder terhadap Permendagri 61 Tahun 2010 terhadap KPHP Model Jeneberang. Analisis Kuadran Analisis ini digunakan untuk menentukan indikator apa saja yang perlu mendapat intervensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum KPHP Model Jeneberang Wilayah KPHP Model Jeneberang
Secara geografis wilayah KPHP Model Jeneberang berbatasan dengan Kabupaten Wajo, Maros dan Soppeng di sebelah utara, Teluk Bone di sebelah timur, Kota Makassar di sebelah barat, dan laut Flores di sebelah selatan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.88/Menhut-II/2011 KPHP Model Jeneberang ditetapkan seluas 160.584 Ha dan secara administratif wilayah KPHP Model Jeneberang terletak pada tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Bone, Bulukumba, Bantaeng, Gowa, Jeneponto, Sinjai dan Takalar.Adapun pembagian wilayah KPHP Model Jeneberang disajikan pada Tabel 1. Dari penelitian diketahui bahwa Kabupaten Gowa mendominasi wilayah KPHP Model Jeneberang dengan luas kawasan hutan 61.888,23 Ha (39%), diikuti Kabupaten Bone dengan luas kawasan hutan 56.952,28 Ha (35%). Kabupaten Takalar dengan luas kawasan hutan seluas 3.644,66 Ha (2%) menjadi kabupaten dengan luas terkecil dibandingkan kabupaten-kabupaten lainnya Kondisi biofisik Berdasarkan fungsinya, KPHP Model Jeneberang terdiri dari Hutan lindung seluas 60.451 Ha, hutan produksi terbatas seluas 54.932 Ha, dan hutan produksi seluas 45.471 Ha. Meskipun sebagian besar kawasan hutan di wilayah KPHP Model Jeneberang merupakan hutan dengan fungsi lindung, namun berdasarkan penutupan lahan tahun 2011 (hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010) didominasi oleh Pertanian Lahan Kering Campur (42%), Semak (25%) dan hutan sekunder (20%). Pada lahan yang berpenutupan pertanian lahan kering campur seluas 66.873,63 Ha terdiri dari hutan produksi terbatas seluas 25.074 Ha, Hutan lindung seluas 22.701 Ha, dan hutan produksi tetap seluas 19.097 Ha. Pada lahan berpenutupan Semak, terdiri dari hutan lindung seluas 14.647 Ha, hutan produksi terbatas seluas 12.471 Ha, dan hutan produksi tetap seluas 12.786 Ha. Sedangkan pada lahan yang berpenutupan hutan sekunder terdiri dari hutan produksi terbatas seluas 12.831 Ha, hutan lindung seluas 10.340 Ha, dan hutan produksi tetap seluas 8.587 Ha Kondisi sosial ekonomi Secara keseluruhan kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kabupaten yang sedang berkembang termasuk tujuh kabupaten yang berada di wilayah KPHP Model Jeneberang sehingga menyebabkan peningkatan jumlah pemukim baru yang datang dari berbagai tempat ke dalam wilayah ini baik secara terencana maupun tidak terencana.
Berdasarkan data statistik tahun 2009-2010 wilayah KPHP Model Jeneberang secara ratarata memiliki tingkat kepadatan penduduk yang padat yaitu 266 jiwa/km2. Angka tersebut merupakan tingkat kepadatan penduduk yang lebih tinggi dari rata-rata kepadatan penduduk provinsi Sulawesi Selatan sebesar 167,73 jiwa/km2. Hal ini mengindikasikan wilayah KPHP Model Jeneberang sangat berpotensi terjadinya tekanan terhadap hutan. Kepadatan penduduk di wilayah KPHP Model Jeneberang ditunjukkan dalamtabel 2. Seperti sebagian besar penduduk di provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, masyarakat di wilayah KPHP Model Jeneberang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Untuk mendukung kebutuhannya tersebut, wilayah ini terdapat sawah penghasil beras seluas 21.762 Ha. Selain beras, kebutuhan lain berupa aneka usaha tani dapat dijumpai pada pertanian lahan kering seluas 402.703 Ha. Pertanian jenis ini menghasilkan berbagai pangan alternatif untuk tujuan komersil maupun non komersil selain beras antara lain sayur-sayuran, jagung, ubi-ubian, kacangkacangan, kelapa, lada, vanili, kakao, kelapa sawit, cengkeh dan kopi (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2009). Kelembagaan KPH yang sudah ada Balai wilayah Pengelolaan Hutan Sebagai konsep awal pengelolaan hutan lingkup Sulawesi Selatan telah dibentuk Balai Wilayah Pengelolaan Hutan pada tahun 2009 berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Wilayah Pengelolaan Hutan (BWPH) pada Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan UPTD KPH pada Kabupaten Bone Diantara ketujuh kabupaten yang menjadi wilayah KPHP Model Jeneberang, hanya Kabupaten Bone yang telah membentuk lembaga KPH di wilayahnya. Berdasarkan Peraturan Bupati Bone nomor 28 Tahun 2008 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone telah dibentuk tujuh unit KPH. Kelembagaan KPHP Model Jeneberang berdasarkan persepsi dan harapan Stakeholder Untuk mengetahui tingkat persepsi dan harapan stakeholder berkaitan dengan kelembagaan KPHP Model Jeneberang, dilakukan pengukuran terhadap variabel yang berkaitan dengan kelembagaan KPHP Model Jeneberang. Variabel-variabel tersebut selanjutnya dijabarkan atas indikator-indikator. Adapun variabel yang diukur disajikan pada Tabel 3. Analisis Kesenjangan
Skoring dilakukan dengan menggunakan skala likert, dimana diberikan skor 3 untuk jawaban setuju, skor 2 ragu-ragu dan, skor 1 untuk tidak setuju. Berdasarkan penghitungan diketahui sebagaii berikut: Negative Ranks atau selisih antara persepsi dan harapan terdapat 16 responden yang bernilai negatif. Hal ini menunjukkan terdapat 16 responden memiliki harapan lebih tinggi daripada persepsinya. Nilai rata-rata rangkingnya =11,84 dengan jumlah rangking negatif = 189,50. Positive Ranksatau selisih antara persepsi dan harapan terdapat 14 responden yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan terdapat 14 responden yang memiliki harapan lebih kecil daripada persepsinya. Nilai rata-rata rangkingnya = 19,68 dengan jumlah rangking positif = 275,50. Ties atau tidak ada perbedaan antara persepsi dan harapan. Terdapat 2 data yang bernilai ties. Dari proses penghitungan diketahui zhitung = 0,374 Karena zhitung> ztabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima Hal ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara persepsi dan harapan Analisis Kuadran Untuk melakukan analisis kuadran dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1)
Menghitung rata-rata persepsi dan harapan dari masing-masing responden ̅= =
2)
∑ ∑
Menggambar diagram kartesius Dalam diagram kartesius terdiri dari empat bagian yang dipisahkan oleh suatu garis tegak
lurus pada titik ( , ). Dari tabel 13 diketahui nilai = 2,63, dan
a)
= 2,54.
Melakukan plotting nilai rata-rata persepsi dan harapan ke dalam diagram kartesius Setelah dilakukanplotting, dihasilkan diagram kartesius disajikan pada Gambar 1. Kuadran A merupakan kuadran prioritas utama. Yang menempati kuadran ini adalah indikator-indikator dengan harapan lebih tinggi
daripada persepsi sehingga diperlukan perhatian yang lebih untuk mengakomodir harapan dari para responden. Indikator yang berada pada kuadran ini adalah indikator nomor 2, 4, 5, 7, 8, 10,
12, 13. Pada indikator-indikator tersebut responden mempunyai harapan lebih tinggi terhadap Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 daripada persepsinya. Dengan kata lain indikator-indikator tersebut belum memenuhi harapan stakeholder Kuadran B merupakan kuadran untuk dipertahankan. Yang menempati kuadran ini adalah indikator-indikator yang mempunyai kesesuiaian antara persepsi dan harapan. Indikator yang menempati kuadran ini adalah indikator nomor 1, 3, 9, 20, 24, 26, 27, 28, 31. Pada indikator-indikator tersebut tingkat persepsi dan harapan responden sama tinggi. Dengan kata lain harapan responden terhadap KPHP Model Jeneberang dapat dipenuhi Permendagri nomor 61 Tahun 2010. Kuadran C merupakan kuadran dengan prioritas rendah. Kuadan ini ditempati oleh indikator yang mempunyai tingkat persepsi dan harapan yang sama-sama rendah. Sehingga tidak begitu berpengaruh. Yang termasuk ke dalam kuadran ini adalah indikator nomor 6, 11, 14, 19, 22, 25, 29, 30, 32. Pada indikator-indikator tersebut tingkat persepsi dan harapan responden sama rendahnya. Dengan kata lain responden tidak begitu mengharapkan Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 memenuhi indikator-indikator tersebut Kuadran D merupakan kuadran dengan persepsi yang berlebihan. Kuadran ini merupakan kuadran dengan tingkat persepsi lebih rendah daripada tingkat harapan. Yang termasuk ke dalam kuadran ini adalah indikator nomor 15, 16, 17, 18. Tingkat persepsi yang rendah ini menunjukkan bahwa responden tidak bersepakat dengan indikatorindikator tersebut Model kelembagaan KPHP Model Jeneberang Model kelembagaan KPHP Model Jeneberang berbentuk UPTD Kabupaten Model ini merupakan kelembagaan KPHP Model Jeneberang berdasarkan persepsi dan harapan stakeholder. Bentuk ini dapat dikembangkan menjadi SKPD Kabupaten sehingga amanat Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 dapat terpenuhi. Dengan demikian UPTD KPH berada dibawah Kepala Dinas yang menangani kehutanan pada tiap-tiap daerah. KPH menjalankan tugas mengelola hutan pada tingkat lapangan didukung oleh sumberdaya manusia yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati. Model kelembagaan KPHP Model Jeneberang berbentuk UPTD Provinsi Model ini merupakan kelembagaan yang mungkin diterapkan pada KPHP Model Jeneberang saat ini. Kelembagaan ini diawali dengan merubah nomenklatur Balai Wilayah
Pengelolaan Hutan menjadi KPHP Model Jeneberang berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan. Pada perkembangannya, kelembagaan ini dapat diupayakan menjadi SKPD provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. dalam melaksanakan peneglolaan hutan di tingkat lapangan, KPH didukung oleh sumberdaya manusia yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur. Model Kelembagaan KPHP Model Jeneberang berbentuk SKPD Kabupaten dan UPTD Provinsi Model ini merupakan kelembagaan alternatif yang menjadi pemungkin terbentuknya kelembagaan KPHP Model Jeneberang. Model ini menawarkan pembangian peran antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dalam pengelolaan hutan di tingkat lapangan. Pada pengelolaan hutan tingkat lapangan dilakukan oleh SKPD kabupaten, namun tetap di bawah pengurusan hutan provinsi. Hal ini didasari oleh luasnya kawasan KPHP Model Jeneberang dan melintasi tujuh wilayah administratif kabupaten.
KESIMPULAN DAN SARAN Walaupun secara umum Permendagri nomor 61 Tahun 2010 sudah memenuhi harapan, namun masih terdapat beberapa indikator yang belum dapat memenuhi harapan stakeholder. Indikator-indikator tersebut berkaitan dengan berkaitan dengan tugas dan fungsi, pembentukan dan kedudukan KPHP Model Jeneberang. Berdasarkan penelitian diketahui terdapat kesenjangan antara persepsi dan harapan stakeholder terhadap Permendagri nomor 61 Tahun 2010. Dimana tingkat persepsi lebih tinggi dibandingkan tingkat harapannya. Kelembagaan KPHP Model Jeneberang dapat dibentuk dalam beberapa model diantaranya dengan menyesuaikan dengan Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 ataupun dengan memanfaatkan kelembagaan yang sudah terbentuk saat ini dengan merubah nomenklatur dan struktur organisasinya. Bila menitikberatkan pada persepsi dan harapan stakeholder, maka UPTD padakabupatenmerupakan model yang tepat. Untuk dapat memenuhi amanat Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 maka bentuk organisasi harus dirubah menjadi SKPD. Bilamengacu pada pewilayahan KPH di Sulawesi Selatan, maka bentuk UPTD provinsi merupakan model paling tepat. Dalam perkembangannya bentuk ini harus dirubah menjadi SKPD provinsi sehingga KPH dapat mandiri dan amanat Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 dapat terpenuhi. Namun apabila menitikberatkan pada koordinasi antara kabupaten dan provinsi, maka model gabungan antara SKPD kabupaten dan
UPTD provinsi dapat dipilih.Keadaan wilayah KPHP Model Jeneberang yang melintasi tujuh kabupaten telah menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda. Segala kerumitan yang ada hendaknya tidak dijadikan sebagai kendala dalam pembentukan kelembagaannya. Segala permasalahan tersebut seyogyanya dibarengi dengan penentuan strategi sehingga kelembagaan KPHP Model Jeneberang dapat terwujud.Meskipun tidak memenuhi kriteria kelembagaan KPH sesuai amanah Permendagri Nomor 61 Tahun 2010, model dengan bentuk UPTD provinsi merupakan alternatif yang lebih layak diterapkan pada KPHP Model Jeneberang saat ini. Apabila KPHP Model Jeneberang telah mandiri, maka pewilayahan KPH dapat ditinjau kembali. Dengan demikian kelembagaan ini dapat dijadikan acuan untuk membentuk kelembagaan KPHP Model Jeneberang sesuai Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi Kehutanan, (2008). Buku Pintar Bidang Planologi Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan-Departemen Kehutanan Badan Planologi Kehutanan, (2009). Statistik Planologi Kehutanan Tahun 2008. Direktorat Jenderal Planologi Departemen Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, (2009). Rancang Bangun Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Tidak diterbitkan Hariadi Kartodihardjo, Bramasto Nugroho, Haryanto R. Putro, (2011). Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan, dan Implementasi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Jakarta Peraturan Menteri Dalam Negeri No 61 Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP di Daerah Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No 6 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Menteri Kehutanan No P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH Peraturan Menteri Kehutanan No P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP Peraturan Menteri Kehutanan No P.42/Menhut-II/2011 tentang Standar Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan Pada KPHL dan KPHP Peraturan Menteri Kehutanan No P.41/Menhut-II/2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana dan Prasarana KPHL dan KPHL Model Peraturan Menteri Kehutanan No P.54/Menhut-II/2011 tentang Perubahan atas Permenhut No 41/menhut-II/2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana dan Prasarana KPHL dan KPHL Model Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
LAMPIRAN Tabel 1. Wilayah KPHP Model Jeneberang berdasarkan fungsi hutan dan batas administrasi Luas (Ha) Hutan Hutan Hutan Kabupaten Lindung Produksi Produksi Jumlah % Terbatas Tetap Bantaeng 2.787,52 1.098,93 2.547,83 6.434,28 4,00 Bone 16.455,82 27.501,04 12.995,18 56.952,04 35,41 Bulukumba 5.140,27 0 1.785,80 6.926,07 4,31 Gowa 19.691,96 18.345,43 23.850,84 61.888,23 38,47 Jeneponto 6.375,04 272,97 735,32 7.383,33 4,59 Sinjai 9.912,75 7.713,29 0 17.626,04 10,96 Takalar 87,69 0,92 3.556,05 3.644,66 2,27 Jumlah 60.451,05 54.932,58 45.471,02 160.854,65 100 Tabel 2. KPHP Model Jeneberang berdasarkan jumlah penduduk dan batas administrasi Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas Kepadatan No. Kabupaten 2 Laki-laki Perempuan Total (KM ) (Jiwa/km2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bantaeng Bone Bulukumba Gowa Jeneponto Sinjai Takalar Jumlah
84.143 331.059 188.310 305.202 161.414 110.225 123.944 1.304.297
89.164 368.415 206.346 312.115 172.761 118.079 134.030 1.400.910
173.307 699.474 386.239 617.317 334.175 228.304 257.974 2.696.790
395,83 4.559,00 1.154,67 1.883,33 749,79 819,96 566,51 10.129,09
438 153 335 328 446 278 455 266
Tabel 3. Variabel penelitian Variabel No Indikator Tugas dan 1. Terdukungnya inventarisasi hutan Fungsi 2. Terbaginya unit pengelolaan ke dalam blok 3. Terbaginya unit pengelolaan ke dalam petak 4. Terselenggaranya tata batas 5. Terselenggaranya pemetaan 6. Terwujudnya rencana pengelolaan jangka panjang 7. Terwujudnya rencana pengelolaan jangka pendek 8. Terwujudnya pemanfaatan sesuai perundangan 9. Terwujudnya jasa lingkungan sesuai perundangan 10. Terwujudnya hasil hutan kayu/non kayu yang optimal 11. Terselenggaranya pungutan hasil hutan kayu/non kayu yang optimal 12 Terwujudnya penggunaan kawasan hutan sesuai perundangan
Variabel
Pembentukan
Kedudukan Organisasi Kepegawaian dan Eselon
Tata Kerja
Pembinaan Pembiayaan
No Indikator 13. Terwujudnya rehabilitasi hutan dan reklamasi 14. Terselenggaranya perlindungan hutan 15. Terwujudnya organisasi dalam sebuah SKPD Penetapan KPH lintas kabupaten dalam satu provinsi ditetapkan oleh 16. provinsi 17. Penetapan KPH kabupaten oleh perda kabupaten 18. Terwujudnya pertanggungjawaban kepada gubernur melalui sekda 19. Terwujudnya pertanggungjawaban kepada bupati melalui sekda 20. Terwujudnya resort 21. Terwujudnya pertanggungjawaban resort kepada kepala KPH 22. Tersedianya SDM yang berkompetensi 23. Adanya jabatan struktural eselon III.a dalam kepemimpinan KPH tipe A Adanya jabatan struktural eselon IV.a dalam kepemimpinan KPH tipe B 24. dan seksi KPH tipe A Adanya jabatan struktural eselon IVb dalam subagian tata usaha KPH 25. tipe B Terselenggaranya fungsi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi oleh 26. kepala KPH 27. Terlaksananya sistem pengendalian internal oleh kepala KPH Terlaksananya koordinasi antara atasan dan bawahan dalam 28. pertanggungjawaban kepala KPH 29. Terlaksananya pembinaan dan pengawasan oleh kepala KPH 30. Terlaksananya pembinaan umum oleh Menteri Dalam negeri 31. Terlaksananya pembinaan teknis oleh Menteri Kehutanan Tersedianya anggaran melalui APBD dan sumberdana lain sesuai 32. perundangan
Gambar 1. Diagram Kartesius persepsi dan harapan