BAB XII. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Pokok bahasan Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian dalam kasus konflik pengelolaan hutan rakyat di Blitar, Jawa Timur.
Judul Penelitian Konflik dan Upaya Meredam oleh Masyarakat (Kasus Kelompok Tani Hutan Rakyat “Jati Mulyo Lestari” di Blitar)
Pendahuluan Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) “Jati Mulyo Lestari” Kec. Panggungrejo Kab. Blitar. Desa ini dipilih karena telah memenuhi kriteria mempunyai interaksi dengan hutan rakyat yang dikelolanya secara intensif dan telah lulus sertifikasi Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Penelitian ini menggunakan pendekatan “perspektif kualitatif” untuk pendalaman analisis dan interpretasi data tentang interaksi sosial dan budaya masyarakat dengan sumber daya hutan rakyat yang dikelolanya. Responden diambil secara purposive dengan cara snowball system. Data-data sekunder diperoleh dari hasil survey/ pengamatan oleh LSM Persepsi, dan apabila terdapat informasi data/ hasil yang meragukan barulah dicheck di tingkat lapang. Informasi data sosial ekonomi dan budaya masyarakat diperoleh dari interview masyarakat melalui KTHR setempat tentang imteraksi dan pengelolaan hutan yang relevan. Pertanyaan/ interview dibuat dalam suatu pedoman yang telah dibakukan. Interview dilakukan terhadap aktor terpilih, seperti ketua KTHR, kepala desa, ketua bidang kelola hutan rakyat, bahkan sampai ke Dinas Kehutanan terkait, termasuk kepada LSM dan anggota masyarakat KTHR.
Perilaku Masyarakat Dalam Meredam Konflik Didalam upaya meredam konflik antar anggota ataupun dengan lembaga diluar kelompok kondisi lahan kelola harus jelas, tegas batas-batasnya di dalam bahsa lain adalah harus “clean and clear”. Upaya yang dimaksud adalah: 1
1. Kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan a. Pengelola lahan adalah warga komunitas Keanggotaan FMU JATI MULYA LESTARI di wilayah masing-masing desa didasarkan atas minat (based on interest) untuk bergabung dalam pengelolaan hutan lestari, merupakan warga dusun yang telah teridentifikasi berminat dan memiliki hutan rakyat baik berupa tegal maupun pekarangan. Fungsi FMU JATI MULYA LESTARI merupakan forum penyatuan dari KTHR pada 6 blok Hamparan Hutan Rakyat, yakni Desa Kalitengah, Sumbersih, Kaligambir, Sumberagung, Margomulyo dan Bumiayu di Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Domisili sebagian besar anggota adalah di permukaan dekat wilayah yang diajukan, dan terdapat beberapa pemilik yang tinggal di desa lain (kurang dari 5 % dari total pemilik lahan). Pengelola hutan adalah warga setempat yang mendapat mandat dari pemilik untuk mengelola hutan berdasar hubungan kerja, kekerabatan keluarga atau kepercayaan, seperti karena ditinggal “Boro” ke luar daerah. Pengelola hutan tergabung dalam kelompok Tani dusun yang ada di tiap desa lokasi. b. Pengelola hutan adalah pemilik lahan Semua anggota adalah pemilik lahan hutan, ditandai dengan frekuensi rata-rata kunjungan ke lahan tegalan (1-3 kali seminggu), pekarangan (tiap hari). Kegiatan kelompok di tingkat desa melibatkan semua lahan yang telah teridentifikasi dan disepakati beserta pemilik/ penggarapannya sebagai petak ajuan sertifikasi yang ada pada wilayah desa tersebut. Ada beberapa lahan yang digarap oleh orang lain (bukan pemilik/anggota KTHR). Kegiatan semacam ini biasanya sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak (pemilik lahan dan penggarap) utamanya terhadap pembagian hasil yang dilakukan perjanjian secara lisan. Secara umum jumlah lahan yang di miliki anggota luar <5% dari total luasan lahan secara keseluruhan. 2
Adanya kejelasan keanggotaan kelompok serta kepemilikan lahan maka kelompok dapat mendokumentasikan data tersebut. Luas hutan rakyat total adalah 805,27 ha dengan anggota 1392 kk atau rata-rata kepemilikan 0,59 ha/kk. Bentuk-bentuk pengalihan kelola ada, seperti sewa, “senden” (jual-beli), digarap orang lain, tetapi jumlah tidak banyak. c. Status lahan tidak dalam sengketa dengan warga anggota komunitasnya yang lain amupun dengan pihak di luar komunitasnya. Anggota kelompok sudah mempunyai bukti kemilikan lahan yang sah dan diakui oleh publik (masyarakat maupun pemerintah) yaitu sertifikat, letter C, yang ditunjukkan dengan SPPT. Dengan adanya bukti ini maka kelompok sudah dapat mendokumentasikan bukti tersebut. Batas-batas masing-masing kepemilikan lahan berupa: o Batas buatan: fisik lahan/hutan yang dikelola antara lain berupa patok, teras, tumpukanbatu/beteng di dua desa yang masuk wilayah kelola FMU. o Batas alam: sungai, alur parit, jalan,punggung bukit. Untuk menjaga agar batas-batas tersebut tetap jelas dan tidak menimbulkan
permasalahan
maka
masing-masing
pemilik
lahan
mengadakan pemeliharaan baik dengan memperbaikit eras, patok, maupun tanaman. Sampai dengan saat ini belum pernah terjadi klaim lahan dari pihak lain. Permasalahan yang sering muncul di tingkat anggota adalah masalah pewarisan. Permasalahan ini dapat diselesaikan di tingkat anggota, tokoh masyarakat dan biasanya sudah dapat diselesaikan pada tingkat Kepala Dusun. Dokumentasi tentang sengketa, atau klaim tidak ada, termasuk pewarisan kepada anak. Jual beli tanah yang terjadi diutamakan keluarga terdekat atau tetangga terdekat, sehingga klaim kalau ada cepat terselesaikan, seperti jual beli kepada tetangga yang pernahjadi TKI/ TKW di luar negeri.
3
d. Kejelasan batas-batas areal tanah/ hutan yang dipergunakan Kejelasan batas-batas areal tanah/ hutan disepakati secara bersama-sama antar pemilik lahan dan disesuaikan dengan bukti kepemilikan yang sah. Untuk mengetahui kejelasan batas-batas tanah/ hutan di tingkat desa telah dibuat peta desa yang telah diakui di tingkat desa maupun kecamatan dan peta ini sebagai rujukan utama bagi kantor pajak untuk mengeluarkan SPPT. Terdapat keputusan FMU untuk penetapan luas dan peta kawasan pengelolaan utan sertifikasi. Bukti pisik batas kepemilikan umumnya berupa patok, tanaman jarak atau tanaman lain yang telah disepakati kedua belah pihak. Sudah dibuat peta partisipatif di setiap blok hamparan, masing-masing anggota telah bersepakat tentang lahan dan batas antar pemilik lahan. Pohon-pohon batas jarang menjadi sengketa, tetapi selalu dengan kesadaran bermusyawarah, bermufakat, dan cara penyelesaiannya.
e. Digunakan tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang berkeadilan terhadap sengketa klaim yang terjadi. Sejauh ini belum pernah terjadi sengketa lahan antar pemiliknya. Ada beberapa institusi lokal yang dijadikan wadah penyelesaian masalah seperti RT dan kepala dusun. Pada umumnya sengketa dapat terselesaikan di tingkat paling bawah yaitu antar pemilik yang bermasalah tanpa harus melibatkan institusi di atasnya. Jika ada sengketa yang belum terselesaikan maka baru diambil tindakan melibatkan RT, Kepala Dusun dan pemerintahan desa serta melibatkan sesepuh yang ada di masyarakat. Mekanisme penyelesaian masalah ini tidak tertulis tetapi sudah menjadi budaya masyarakat setempat. Dalam penyelesaian masalah tidak ada paksaan maupun manipulasi karena dilakukan secara musyawarah. Telah dibuat SOP penyelesaian sengketa dan telah disosialisasikan.
4
Terbangun Pola Hubungan Sosial yang Setara dalam Proses Produksi a. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar. Tidak semua pemilik lahan dapat menyelesaikan pekerjaan pengolahan lahannya. Ada kebutuhan tenaga kerja untuk meyelesaikan pekerjaan pengolahan lahan. Sistem pengupahan yang digunakan biasanya mengacu pada upah UMR maupun upah buruh pada desa atau tetangga desa dan disesuaikan dengan tingkat pekerjaannya. Sebagai contoh dalam satu hari upahnya sebesar antara 35-45 ribu/ hari dengan mendapat 3 kali makan. Sekalipun tidak tertulis sistem dan nominal pengupahan telah difahami antara pekerja dengan pemilik pekerjaan. Dalam sistem pengupahan ini belum pernah terjadi sengketa. Bagi pemilik lahan yang menggarapkan lahannya kepada orang lain biasanya sudah ada kesepakatan bagi hasil untuk hasil non kayu. Misalnya apabila pemilik lahan berkontribusi untuk biaya saprodi maka pola bagi hasil 50 : 50, (maro) tetapi jika pemilik lahan tidak berkontribusi maka pemilik lahan mendapatkan 1/3 bagian (mertelu). UMR di Kab. Blitar Rp 947.000 dan ternyata terlampaui upah setempat baik tenaga kasar ataupun ahli. b. Tingkat upah disepakati dan atau diatas UMR.
Kelembagaan dan Kompensasi a. PembagianKewenanganjelasdandemokratisdalamorganisasipenyelenggaraan PHBM. Unit pengelolaan terkecil ada pada keluarga, sedangkan unit pengusahaan ada pada FMU. Pembagian tugas dilakukan secara demokratis melalui musyawarah dan penyesuaian dengan kemampuan ataupun kapasitas personal. Organisasi kelompok sudah mempunyai struktur organisasi. Anggota maupun pengurus kelompok sudah mempunyai tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang jelas.
5
Tugas, tanggung jawab, hak, dan kewajiban tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat. Kesepakatan bersama yang dihasilkan dalam musyawarah wajib dilaksanakan semua anggota kelompok. Ada peringatan, sanksi bagi anggota yang tidak melaksanakan kesepakatan, sedangkan bagi yang melaksanakan belum ada penghargaan di tingkat kelompok. Secara sosial budaya tidak semua aturan di kelompok atau yang berlaku di masyarakat ada secara tertulis, akan tetapi dipatuhi masyarakat seperti upah buruh, santunan kepada tetangga, dll. b. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok disepakati seluruh warga komunitas. Kesepakatan secara informal, rencek dalam penebangan panen dapat diakses semua warga desa baik anggota maupun bukan anggota. Sementara itu, daun jati juga bebas untuk dimanfaatkan oleh siapapun terutama bagi industri rumah tangga yang hendak memanfaatkannya. Terdapat mekanisme penanganan keluhan dan kompensasi kerugian yang pada umumnya tidak tertulis. Berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi oleh ketua kelompok, tokoh masyarakat, RT, Kasun, atau perangkat desa. Sebelum Permenhut 30 2012 tentang Penatausahaan Kayu, ditingkat kabupaten ada retribusi penebangan dan pengangkutan kayu rakyat, dimana sebagian hasilnya sekalipun melalui mekanisme APBD sebagaian dikembalikan untuk pengelolaan hutan rakyat. FMU ini sudah berdiri akan tetapi relatif baru sehingga alokasi dana belum terpikirkan, sehingga dana kompensasi juga belum ada.
Kesimpulan Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah: 1. Perilaku masyarakat didalam meredam konflik sosial sudah bagus diantaranya kejelasan penguasaan lahan maupun hak kelola, kemudian kalau terjadi konflik telah
6
dilakukan melalui resolusi konflik yang telah diatur secara adat dengan proses yang telah lazim. 2. Masyarakat telah berusaha membuat kelembagaa KTHR, sudah jelas tugas, kewajiban, hak. Peranan setiap komponen organisasi perlu ditingkatkan, berikut kompensasi dan sanksi secara organisasi. Hasil Pembelajaran Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh kasus konflik dalam pengelolaan hutan rakyat di Indonesia.
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus konflik dalam pengelolaan hutan rakyat (4) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan -
Terangkan berbagai hal yang dapat menjadi pemicu munculnya konflik dalam pengelolaan hutan rakyat ! Berikan contoh kasusnya !
7
DAFTAR PUSTAKA
Awang S.A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Awang S.A. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2008. Konflik Kepentingan antara Masyarakat dan Pemerintah di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan (SMP). FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2010. Konflik dan Upaya Meredam oleh Masyarakat (Kasus Kelompok Tani Hutan Rakyat “Jati Mulyo Lestari” di Blitar). FKT UGM. Yogyakarta Panggabean S.R., 2007, Manajemen Konflik; Handout Mata Kuliah Governance dan Manajemen Konflik Politik, Program Pascasarjana, Jurusan Ilmu Politik, UGM Pruit D.G., dan Rubin J.Z., 2004, Teori Konflik Sosia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Siswoko B.D. 2008. Perlawanan Masyarakat Desa Hutan terhadap Perum Perhutani. FKT UGM. Yogyakarta Siswoko B.D. 2010. Analisis Konflik dalam Penambangan Ilegal di BKPH Ngliron, KPH Randublatung. FKT UGM. Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Sukisno, 1999, Kesejahteraan Masyarakat dalam Hubungannya dengan Pencurian Kayu Jati di BKPH Pojok KPH Purwodadi, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Usman S., 2007, Analisis Konflik Sosial, Jurusan Sosiologi, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Yasmi Y., 2007, Institutionalization of Conflict Capability in the Management of Natural Resources. PhD Thesis Wageningen University, Wageningen, Netherland. Zartman W., 1997, Governance and Conflict Management, Brooking Institution Press, Washington D.C.
8