EFEKTIVITAS KELOMPOK TANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Study Kasus Hutan Rakyat Wonogiri) Oleh: Sulistya Ekawati, Nana Haryanti dan Dewi Subaktini Ringkasan Hutan rakyat merupakan bagian kehidupan dari masyarakat di Kabupaten Wonogiri. Hutan rakyat tidak hanya dipandang sebagai suatu komoditas kayu yang bernilai ekonomi, namun disadari keberadaannya sebagai penjaga keseimbangan ekosistem. Pembangunan hutan rakyat sangat tergantung pada dukungan kelembagaan yang kuat dan stabil. Penelitian ini dilakukan pada tiga kelompok tani, yang mewakili jenis tanaman hutan rakyat yang dominan di lokasi kajian, seperti jati, mahoni dan pinus. Pengumpulan data pada kajian ini dilakukankan dengan metode partisipatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kelompok tani hutan rakyat merupakan organisasi statis, karena kurang dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Kegiatan kelompok yang mengarah pada upaya peningkatan produksi kayu belum nampak, hal ini disebabkan karena hutan rakyat merupakan usaha tani sampingan. Pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan sampai dengan pemasaran dilakukan secara perorangan, belum terkoordinasi secara kelompok. Oleh karena kelompok tani hutan rakyat perlu mendapat bimbingan dan pelatihan dalam rangka pengembangan kelompok, baik yang menyangkut aspek teknis(pengelolaan tanaman) maupun aspek kelembagaan (penataan organisasi). Kata kunci : hutan rakyat, kelembagaan, kelompok tani hutan rakyat
PENDAHULUAN Hutan rakyat adalah hutan milik rakyat, ulayat dan adat yang secara terus menerus dikembangkan untuk usaha perhutanan (jenis kayu-kayuan) baik secara alami maupun hutan buatan. Perkembangan hutan rakyat secara umum tidak dapat dilepaskan dari peranan keswadayaan masyarakat dan dukungan Program Inpres Penghijauan. Di Kabupaten Wonogiri, sampai saat ini keberadaan hutan rakyat telah terbukti mampu menjadi katup pengaman ekonomi sekaligus ekologi bagi kawasankawasan tertentu (Awang, 2001). Bagi masyarakat daerah tersebut, hutan rakyat sudah menjadi suatu bagian dari sistem kehidupan. Hutan rakyat tidak hanya dipandang sebagai suatu komoditas yang bernilai ekonomi, namun disadari keberadaannya sebagai penjaga keseimbangan ekosistem. Namun demikian dalam perkembangannya masih dijumpai beberapa kendala antara lain : pemilikan lahan yang sempit, status lahan yang belum jelas, kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan, kurang modal dan kurang mantapnya kelembagaan. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan hutan rakyat, salah satu langkah yang
perlu ditempuh adalah dukungan kelembagaan yang kuat dan mapan. Dukungan kelembagaan ini dimulai dari pemilihan jenis, pembibitan, teknik penanaman, teknik pemeliharaan (pemangkasan dan penjarangan), pemungutan hasil dan pemasaran. Pernyataan ini didukung oleh pendapat de Vries dalam Sajogya (1982) yang mengatakan bahwa petani yang miskin masih terbuka jalan asalkan dengan kekuatan berkelompok atau berorganisasi. Hal tersebut senada dengan pendapat Becker, dkk (1996) dalam Awang (2001) bahwa kelembagaan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan dukungan kelembagaan yang mantap akan mampu mendorong petani untuk mengembangkan hutan rakyatnya. Tulisan ini mencoba untuk melihat aspek keorganisasian kelompok tani hutan rakyat (struktur organisasi, keanggotaan, dinamisasi, hak dan kewajiban, aturan, aset, daya akomodasi/aspirasi), pengembangan kelembagaan, kegiatan produktif serta mekanisme kerja/koordinasi kelompok tani hutan rakyat dengan lembaga lain. II. DISKRIPSI LOKASI Luas hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri adalah 16.202 Ha, dengan jenis tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus (Pinus merkusii), akasia (Acacia auriculiformis), sengon (Paraserianthes falcataria) dan cendana (Santalum album). Pemilihan kelompok tani yang dijadikan obyek kajian berdasarkan jenis tanaman dominan pada areal hutan rakyat tersebut. Jenis tanaman yang dominan adalah mahoni-jati dan pinus. Jenis tanaman dijadikan dasar pemilihan kelompok tani hutan rakyat, dengan asumsi jenis tanaman yang berbeda akan membutuhkan pengelolaan yang berbeda. Secara lengkap lokasi kajian adalah sebagai berikut : Tabel 1. Perincian Lokasi Desa-Desa Kajian No
1. 2. 3.
Kelompok Tani Gondangrejo Ngudi Rejeki Wonodadi
Desa
Sumberejo Ngelo Karangtengah
Kecamatan Baturetno Jatiroto Karangtengah
Jenis Tanaman
Mahoni, jati Jati, mahoni Pinus, cengkeh
III. PENGUMPULAN DATA Data dikumpulkan dengan pendekatan partisipatif, dengan cara melakukan observasi terhadap kondisi kelembagaan yang ada, wawancara semi terstruktur dan focus group discussion pada petani anggota kelompok tani hutan rakyat. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif. Beberapa parameter yang diamati dari kelompok tani hutan rakyat adalah: struktur, keanggotaan, dinamisasi kelompok, hak dan kewajiban, aturan organisasi, aset, daya aspirasi, pengembangan kelembagaan dan kegiatan produktif.
IV. HASIL A. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Rakyat Organisasi dipahami sebagai suatu sistem dari pekerjaan-pekerjaan yang dirumuskan dengan baik. Masing-masing pekerjaan mengandung sejumlah wewenang, tugas, dan tanggung jawab tertentu, keseluruhannya disusun secara sadar untuk memungkinkan orang-orang dari badan usaha itu bekerja sama dengan efektif dalam mencapai tujuan mereka (Allen, 1958 dalam Sutarto, 1998). Di lokasi ditemukan perbedaan struktur organisasi dari ketiga kelompok tani hutan rakyat. 1.
Kelompok Tani Gondangrejo Kelompok tani Gondangrejo mempunyai struktur organisasi yang cukup lengkap, dengan beberapa seksi sebagai berikut :
Ketua
Wakil Ketua
Bendahara
Seksi Tanaman Pangan
Seksi Peternak an
Sekretaris
Seksi Lingkungan
Seksi Perkebu nan
Seksi EmponEmpon
Seksi Pemb. Hama &
Seksi Rehab Teras
Gambar 1. Struktur Organisasi Kelompok Tani Gondangrejo Struktur organisasi tani Gondangrejo dibentuk murni dari musyawarah antar anggota. Masing-masing bagian menjalankan fungsi dan tugas masingmasing. Hal ini karena setiap seksi yang dibentuk merupakan keinginan dan kebutuhan anggotanya, dengan harapan dapat membantu petani menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Kelompok tani hutan rakyat ini juga menjadi salah satu kelompok tani teladan yang kerap kali menjadi bahan studi banding bagi kelompok tani yang lain. Karena tumbuh dari masyarakat sendiri, maka tingkat partisipasi anggotanyapun sangat tinggi. Kelompok tani ini dapat berkembang dengan baik karena dibutuhkan oleh anggotanya. Suatu sistem norma yang mengatur tindakan manusia dipelihara dan dianut manakala sistem norma tersebut dianggap memiliki fungsi dan dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun ketika suatu lembaga atau norma sudah dianggap tidak lagi efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka ia akan ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sumner dalam Soekanto (1990) suatu lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Misalnya kebutuhan hidup kekerabatan, menimbulkan lembaga perkawinan dan keluarga. Kebutuhan akan mata pencaharian menimbulkan lembaga pertanian, peternakan, industri dan lain-lain. Demikian pula dengan seksi-seksi yang terdapat pada kelompok tani Gondangrejo, yang dibentuk berdasarkan kebutuhan anggota kelompok. Orangorang yang memegang jabatan dalam setiap seksi dipilih dari anggota yang memiliki keahlian dibidang tersebut. Setiap seksi bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di bidangnya. 2. Kelompok Tani Ngudi Rejeki dan Wonodadi Struktur organisasi pada kelompok tani Ngudi Rejeki dan Kelompok Tani Wonodadi sama, merupakan struktur organisasi yang sangat sederhana yaitu dari ketua dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara. Ketua
Bendahara
Sekretaris
Gambar 2. Struktur Organisasi Kelompok Tani Ngudi Rejeki/ Wonodadi Struktur organisasi pada kelompok tani tersebut memperlihatkan bahwa kelompok tani ini tidak memiliki aktivitas yang baik sebagaimana fungsi yang diharapkan, yaitu menjadi wadah pembinaan dan penunjang kegiatan hutan rakyat. Tidak adanya seksi-seksi memperlihatkan bahwa kelompok tani hutan rakyat ini tidak memiliki komitmen untuk mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui usaha perhutanan dan pertanian. Kelompok tani ini hanya dibentuk untuk memenuhi persyaratan administratif saja, dan tidak dipersiapkan untuk menjadi wadah beraktivitas bagi anggotanya. Model struktur organisasi seperti ini dipilih, karena organisasi ini belum mempunyai program dalam pengelolaan hutan rakyat yang jelas. Di samping itu petani belum cukup pengetahuan untuk berorganisasi, sehingga dipilih bentuk struktur oragnisasi yang sangat sederhana berdasarkan kebutuhan yang dihadapi petani saat itu. Restrukturisasi organisasi belum pernah dilakukan. Jika ada restrukturisasi organisasi hal itu disebabkan karena semata-mata orang yang bersangkutan berhalangan tetap (meninggal).
B. Keanggotaan Keanggotaan kelompok tani hutan rakyat pada masing-masing kelompok berlaku otomatis terhadap seluruh masyarakat yang ada pada Dukuh/Rukun Tetangga. Keanggotaan tidak melalui mekanisme pendaftaran terlebih dahulu. Semua anggota masyarakat yang tergabung dalam arisan selapanan Dukuh/RT otomatis menjadi anggota kelompok tani hutan rakyat. Alasan petani bersedia menjadi anggota dan manfaat yang dapat mereka rasakan setelah menjadi anggota pada Tabel 2. Tabel 2. Alasan Petani Menjadi Anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat Kelompok Tani Gondangrejo
Ngudi Rejeki
Wonodadi
Alasan Menjadi Anggota Kelompok -Memecahkan permasalahan kelompok
secara
- Meringankan permasalahan yang dihadapi karena dipecahkan bersamasama - Media silaturahmi -Meningkatkan pendapatan -Menambah pengetahuan - Media silaturahmi
Alasan Bersedia Menanam Kayu
Manfaat Sebagai Anggota Kelompok
- Sebagai tabungan, - Menumbuhkan mata air
- Informasi pertanian dan kehutanan yang diperoleh semakin banyak - Dapat saling membagi pengalaman - Bersilaturahmi dengan tetangga
- Agar tanah tidak gundul - Hasil hutan rakyat dapat dimanfaatkan
- Tanaman kayu tidak membutuh kan pemeliharaan intensif - Sebagai tabungan
- Masalah lebih mudah dipecahkan - Mengerti keorganisasian dan kerjasama dengan kelompok
Sumber : Hasil Diskusi kelompok, 2002 Berdasarkan Tabel 2. dapat disimpulkan bahwa keanggotaan kelompok tani hutan rakyat didasarkan pada keinginan petani untuk memecahkan permasalahan secara kelompok dan menambah pengetahuan mengenai pengelolaan tanaman hutan. Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa manfaat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan rakyat dalam kaitannya dengan peningkatan produksi belum terlihat. Suatu kelompok tani dapat berkembang dan menjalankan fungsinya dengan baik apabila masyarakat dapat merasakan keuntungan-keuntungan dari keikutsertaannya sebagai anggota kelompok tani. Jika tidak bermanfaat, maka kelompok tani tersebut akan ditinggalkan anggotanya dan tidak berjalan seperti yang diharapkan. C. Dinamisasi Kelompok Dinamisasi kelompok direfleksikan dengan frekwensi pertemuan dan prosentase jumlah anggota yang hadir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah anggota kelompok, prosen kehadiran anggota dan jadual pertemuan kelompok No 1. 2. 3.
Kelompok Tani
Gondangrejo Ngudi Rejeki Wonodadi
Jumlah Anggota (orang) 72 48 42
Prosentase Kehadiran Anggota (%) 100 90 90
Jadwal Pertemuan
Malam Minggu Kliwon Malam Selasa Wage Malam Sabtu Legi
Dari Tabel 3 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir semua kelompok tani hutan rakyat mengadakan pertemuan kelompok setiap 35 hari sekali (selapanan) dan pertemuan tersebut hampir dihadiri oleh semua anggota. Tingginya prosentase kehadiran menandakan bahwa pada dasarnya anggota memiliki antusiasme yang kuat, dan mengharapkan suatu nilai positif dengan kehadirannya. Tetapi, antusiasme anggota dalam menghadiri pertemuan kelompok tersebut, lebih disebabkan karena pertemuan kelompok merupakan media silaturahmi antar anggota masyarakat. Jumlah anggota kelompok tani di atas, ditentukan berdasarkan letak geografis tempat tinggal petani. Embrio terbentuknya kelompok tani hutan rakyat bermula dari kelompok arisan dan yasinan Rukun Tetangga (RT), maka jumlah anggota RT secara otomatis menjadi kelompok tani hutan rakyat. Apabila dalam perkembangannya anggota kelompok terlalu banyak (lebih dari 100 orang), maka dirasakan terlalu banyak, sehingga kelompok tani tersebut dipecah menjadi dua. Jumlah anggota kelompok tani yang ideal untuk memobilisasi anggota agar efektif adalah apabila masing-masing anggota dapat terlayani aspirasinya dan pengurus dapat melayani dan memonitor anggota kelompoknya. Tema yang dibahas dalam pertemuan keeelompok adalah : yasinan, arisan, simpan pinjam, budidaya pertanian, dan masalah lain yang sedang dihadapi anggota kelompok. Masalah pengelolaan hutan rakyat hanya dibicarakan dalam pertemuan kalau ada hal-hal yang dianggap khusus atau penting, misalnya ada masalah kebakaran areal hutan rakyat. Hal ini karena dasar pembentukan kelompok tani hutan rakyat adalah kelompok-kelompok arisan atau yasinan, sehingga pada saat masalah pengelolaan hutan rakyat tidak lagi menjadi topik yang hangat maka kelompokkelompok yang ada beralih ke fungsi semula. Selain itu hasil usaha tani hutan rakyat merupakan usaha tani sampingan bagi petani dan tanaman kayu kurang menghendaki pemeliharaan yang intensif. D. Hak dan Kewajiban Anggota Kelompok Setiap organisasi memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada anggotanya. Peraturan mengenai hak dan kewajiban dibuat untuk menjamin terpenuhinya kepentingan setiap anggota. Hak yang dimiliki masing-masing anggota antara lain, hak mengemukakan pendapat, mendapatkan kemudahan dalam memperoleh saprodi, mendapat sumbangan dana jika terdapat anggota keluarga yang meninggal, hak memperoleh bantuan kayu bakar jika mempunyai hajatan, serta memilih dan dipilih menjadi pengurus. Kewajiban anggota pada masing-masing kelompok adalah membayar iuran wajib, menghadiri pertemuan kelompok dan mentaati aturan kelompok. Hak dan
kewajiban anggota kelompok melekat pada setiap anggota, dan setiap anggota dengan kesadarannya mematuhi kewajiban yang dibebankan. E. Aturan Organisasi Dalam menjalankan organisasi kelompok tani hutan rakyat belum terdapat aturan formal (seperti AD/ART) pada ketiga kelompok tani hutan rakyat yang diteliti. Aturan yang ada biasanya berupa awig-awig dan aturan tidak tertulis yang dibuat pada acara tertentu, misalnya pada saat pencalonan diri mengikuti lomba penghijauan dan konservasi alam. Aturan yang dibuat oleh masing-masing kelompok adalah sebagai berikut : Tabel 4. Aturan Kelompok Tani Hutan Rakyat Kelompok Tani
Aturan Yang Dibuat
No
1.
Gondangrejo
-
2.
Ngudi Rejeki
-
3.
Wonodadi
-
Menebang 1 pohon yang belum siap tebang, wajib menanam 30 batang sampai hidup Menggembala ternak pada lokasi penghijauan wajib menanam 100 pohon sampai hidup Anggota yang tidak mengikuti kegiatan penghijauan, lahannya dikelola kelompok Merusak pohon pada lokasi penghijauan, harus menanam 100 pohon sampai hidup Merusak tanaman pada areal hutan rakyat, wajib menyediakan batu 1 truk untuk kelompok Menebang pohon diharuskan menanam kembali
Berbagai aturan tersebut dibuat melalui kesepakatan dalam rembug kelompok yang dipandu oleh penyuluh. Aturan organisasi belum disertai dengan sanksi-sanksi yang dikenakan kepada anggota kelompok. Walaupun belum ada sanksi, kegiatan menanam tanaman baru sebagai pengganti tanaman yang ditebang sudah merupakan bagian hidup (the way of life) atau melembaga dalam kehidupan petani. F. Aset Organisasi Berkembangnya suatu organisasi juga harus didukung sarana dan prasarana yang memadai. Berdasar hasil penelitian sarana yang dimiliki ketiga kelompok tani hutan rakyat belum mampu menunjang setiap kegiatan mereka, apalagi untuk mendukung pengembangan hutan rakyat sendiri. Aset organisasi yang dimiliki sangat sederhana berupa papan tulis, kursi, meja, mesin tik dan almari. Hanya kelompok tani hutan rakyat Wonodadi yang memiliki sprayer, dan jumlahnya hanya 2 buah. Melihat minimnya sarana yang dimiliki sangat sulit untuk membentuk kelompok tani hutan rakyat menjadi suatu kelompok yang kuat, yang bisa diandalkan untuk menjadi wadah beroganisasi anggotanya.
G. Daya Aspirasi Daya aspirasi anggota masing-masing kelompok tani hutan rakyat cukup tinggi. Setiap masalah dan kepentingan dibahas dalam pertemuan reguler setiap 35 hari (selapanan). Pertemuan juga dapat dilakukan sewaktu-waktu, jika memang ada hal yang perlu dibahas demi kepentingan anggota dan lembaga. Beberapa permasalahan yang ditemui antara lain: petani sulit untuk diberi pengertian tentang jarak tanam, kekurangan modal dan lemahnya posisi petani dalam perdagangan kayu sengon. Karena keterbatasan kemampuan kelompok, banyak dari permasalahan tersebut yang tidak dapat diselesaikan pemecahannya oleh kelompok. Seharusnya penyelesaian masalah ini menjadi perhatian dari Instansi terkait (Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri). H. Pengembangan Kelembagaan Kelompok tani hutan rakyat merupakan kelompok masyarakat yang telah dipengaruhi oleh ekonomi pasar, tetapi belum ada mekanisme ke arah peningkatan kapasitas kelembagaan dalam hubungannya dengan kegiatan produksi. Petani hutan rakyat hanya menunggu tanaman kayu ditanam menjadi besar tanpa kegiatan pemeliharaan yang intensif. Walaupun sudah ada usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota melalui pelatihan dan kursus, tetapi materi kursus yang diikuti belum mengarah ke usaha-usaha peningkatan produksi hutan rakyat. Pelatihan/kursus yang pernah diikuti kelompok antara lain budidaya lebah madu, Hutan Cadangan Pangan (HCP), pelatihan konservasi tanah dan sebagainya. Berbagai pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan tidak selalu sesuai dengan kondisi setempat. Sehingga kurang berguna karena tidak bisa diterapkan. Pelatihan yang diadakan juga belum menyentuh upaya penguatan keorganisasian. Selain itu kesempatan mengikuti pelatihan hanya diberikan kepada ketua kelompok saja, walaupun hasil yang diperoleh dari pelatihan kemudian disebarluaskan kepada seluruh anggota. Dari segi pemasaran posisi petani juga sangat lemah, karena pada umumnya penjualan produksi kayu dilakukan secara perorangan, tidak dikoordinasikan secara kelompok. Akibatnya petani tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pedagang. Pengembangan kelembagaan kurang berjalan.Restrukturisasi organisasi tidak pernah dilakukan, pergantian pengurus dilakukan jika orang yang bersangkutan berhalangan tetap. Suatu organisasi akan berjalan dan melaksanakan fungsinya dengan baik jika anggotanya memahami cara berorganisasi dan bagaimana mengelola organisasinya. Oleh karena itu pelatihan managemen organisasi sangat diperlukan dalam usaha pengembangan organisasi, dan permasalahan ini justru tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
I.
Kegiatan Produktif
Kegiatan kelompok yang mengarah pada upaya peningkatan produksi kayu mulai dari pembibitan sampai dengan pemanenan belum tampak. Hal ini terutama disebabkan karena usaha tani hutan rakyat masih merupakan usaha sampingan. Disamping itu tanaman kayu tidak memerlukan perawatan yang intensif sebagai syarat pertumbuhannya. Sejak semula pembentukan kelompok tani hutan rakyat memang tidak diarahkan oleh pemerintah sebagai unit usaha yang berorientasi profit. Pembentukan kelompok tani ini lebih sebagai wadah agar kegiatan penghijauan memiliki organisasi yang mantap bagi keberlanjutannya. Namun karena pembinaannya tidak dilakukan secara menyeluruh mulai dari pembibitan sampai dengan masalah pemasaran, akibatnya kegiatan hanya berkisar masalah pembibitan dan pemeliharaan awal saja, petani kurang memperhatikan aspek pemasaran. Rendahnya kemampuan kelompok dalam hal penanganan masalah produksi terutama disebabkan lemahnya pendampingan oleh instansi terkait. Akibatnya kelompok tani hutan rakyat tidak memiliki kemampuan yang baik untuk mengakses informasi pasar. Kelompok tani hutan rakyat juga tidak dapat diandalkan sebagai wadah berhimpun bagi anggotanya, agar memiliki bargaining position yang seimbang dengan pengepul dan pemilik modal lainnya. Disamping kurangnya bimbingan dan pendampingan, rendahnya kualitas sumber daya manusia juga menjadi penghambat berkembangnya hutan rakyat. masyarakat desa pada umumnya berpendidikan rendah, sehingga tingkat inisiatifnya juga rendah. J. Koordinasi Mekanisme kerja kelompok tani hutan rakyat tidak terlepas dari koordinasi kelompok tani hutan rakyat dengan lembaga lainnya. Terdapat dua kategori lembaga yang terlibat dan bertanggung jawab pada pengembangan hutan rakyat, yaitu lembaga tingkat desa dan tingkat kabupaten/propinsi. Berdasar hasil penelitian lembaga tingkat desa yang memiliki kaitan dengan pengembangan hutan rakyat antara lain, Lembaga Persatuan Pemuda (LPP), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pemerintahan Desa, pengepul, dan koperasi. LPP terlibat pada penanaman pada turus jalan, LPMD terlibat pada dukungan moril pada kelompok tani hutan rakyat. Pemerintahan desa terlibat dalam hal perinjinan penebangan, koperasi terlibat dalam hal penyaluran saprodi dan pengepul terlibat dalam pemasaran. Secara khusus pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan, khususnya Seksi Konservasi. Keterkaitan Dinas dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Solo hanya sebagai fasilitator dalam penyediaan lokasi untuk kegiatan pembuatan model hutan rakyat, yang dilakukan oleh BPDAS Solo. Koordinasi di tingkat kabupaten antara BPDAS Solo, Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri dalam penanganan hutan rakyat kurang begitu jelas kelihatan. Keterlibatan Dinas hanya sebatas pada menerbitkan surat ijin pengangkutan kayu, itupun diajukan bukan atas nama kelompok melainkan atas nama si penebang dan pengangkut kayu atau bahkan diajukan oleh para pengepul kayu.
Kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan seperti kegiatan pembinaan kelompok dan penyuluhan kurang dilakukan dengan alasan keterbatasan dana dan Sumber Daya Manusia. Setelah Otonomi Daerah diberlakukan semua Penyuluh Kehutanan berada di bawah wewenang Kantor Informasi Penyuluh Pertanian, karena berbeda Instansi, koordinasi antara Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan dengan penyuluh sulit dilakukan. K. PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Kegiatan pengelolaan hutan rakyat pada masing-masing kelompok tani hampir sama untuk jenis tanaman yang sama, oleh karena itu pengelolaan hutan rakyat akan dibahas per jenis tanaman 1. Hutan Rakyat Jati dan Mahoni di kelompok Tani Gondangrejo dan Ngudi Rejeki Bibit yang digunakan oleh petani hutan rakyat di lokasi kajian umumnya berasal dari anakan alami yang ada di sekitar desa tersebut. Bibit tersebut ditanam dengan jarak tanam yang cukup rapat dan tidak beraturan. Petani di lokasi kajian memilih jarak tanam yang rapat dengan beberapa alasan sebagai berikut : 1) sebagai tabungan, jika dilakukan penebangan, 2) untuk mendapatkan kayu yang lurus dan 3) mengurangi erosi karena lahannya miring. Di lahan yang berbatu dan sedikit tanah, petani memilih hutan rakyat sistem monokultur (murni tanaman kayu-kayuan), sedangkan pada lahan yang agak subur, petani menanam hutan rakyatnya dengan sistem campuran dengan tanaman palawija. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah pemupukan dengan pupuk kandang pada awal penanaman, penyiangan dan pendangiran sampai tanaman berumur tiga tahun. Kegiatan pemangkasan dilakukan pada tanaman jati, sedangkan pada mahoni tidak dilakukan kegiatan pemangkasan. Petani biasanya menjual jatinya pada umur 15 – 25 tahun dan mahoni umur 10 tahunan atau sesuai kebutuhan (seperti menyekolahkan anak, hajatan, ada keluarga yang sakit dan mendirikan/memperbaiki rumah). Petani menjual kayunya dengan sistem pohon berdiri kepada pedagang pengumpul dengan atau tanpa perantara. Pengelolaan hutan rakyat, mulai dari pembibitan sampai dengan pemasaran dilaksanakan secara perorangan, belum ada kegiatan yang dikoordinir oleh kelompok.
2. Hutan Rakyat Pinus dan Cengkeh di Kelompok Tani Wonodadi Bibit tanaman pinus diperoleh petani dengan mencabut anakan alami dari kawasan hutan milik Perhutani yang berdekatan dengan lokasi desa kajian atau tumbuh secara alami karena biji pinus yang diterbangkan angin. Tanaman pinus ditanam dengan dengan jarak tanam yang tidak rapat (antara 6 x 8 m ), dengan alasan agar dapat ditanami tanaman cengkeh dan palawija dibawahnya. Petani memanen tanaman pinus pada umur ± 10 tahun atau sesuai kebutuhan.
Pemungutan hasil dilakukan dengan sistem pohon berdiri pada pedagang pengumpul. Pengelolaan hutan rakyat, mulai dari pembibitan sampai dengan pemasaran dilaksanakan secara perorangan, belum ada kegiatan yang dikoordinir oleh kelompok.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Struktur organisasi kelompok tani hutan rakyat di Wonogiri relatif sangat sederhana. Hanya struktur organisasi kelompok tani Gondangrejo yang relatif sudah tertata dengan baik, karena dibentuk oleh anggotanya sendiri berdasarkan kebutuhan anggota. 2. Keanggotaan kelompok tani hutan rakyat berlaku otomatis terhadap seluruh masyarakat yang ada pada dukuh/Rukun Tetangga tersebut, tanpa melalui mekanisme pendaftaran terlebih dahulu. 3. Kelompok tani hutan rakyat mengadakan pertemuan kelompok setiap 35 hari sekali dan dalam pertemuan hampir semua anggota hadir. Hal ini menunjukkan antusiasme yang kuat dari anggota. Tema yang dibahas dalam pertemuan adalah yasinan, arisan, simpan pinjam, budidaya bertanian dan lain-lain. Masalah hutan rakyat kurang mendapat waktu dalam pertemuan kelompok, karena sejarah berdirinya kelompok tani hutan rakyat, berawal dari kelompok Rukun Tetangga, dimana kelompok tersebut berdiri dengan tujuan utama untuk mempererat tali silaturahmi dengan masyarakat dengan melakukan kegiatan arisan, yasinan dan lain-lain. 4. Dalam menjalankan organisasi kelompok tani, belum aturan formal, seperti AD/ART. Aturan yang ada berupa awig-awig yang dibuat pada acara tertentu. Walaupun hanya berupa awig-awig, anggota kelompok mematuhi aturan yang sudah disepakati. 5. Secara keseluruhan kelompok tani belum mempunyai asset organisasi yang cukup untuk mendukung kegiatan kelompok. 6. Daya aspirasi anggota kelompok tani hutan rakyat cukup tinggi. Masalah yang ada dibicarakan dalam pertemuan reguler 35 hari sekali. 7. Belum ada mekanisme ke arah peningkatan kapasitas kelembagaan dalam hubungannya dengan kegiatan produksi. Walaupun sudah ada upaya peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan, tetapi tidak selalu sesuai dengan kondisi setempat. Restrukturisasi organisasi tidak pernah dilakukan, kecuali jika pengurus yang bersangkutan berhalangan tetap. 8. Kegiatan kelompok yang mengarah pada upaya peningkatan produksi belum tampak, hal ini disebabkan karena usaha tani hutan rakyat merupakan usaha tani sampingan. Disamping itu tanaman kayu tidak memerlukan perawatan yang intensif sebagai syarat pertumbuhannya. 9. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan masih bersifat perorangan, belum ada ikatan kerjasama secara kelompok.
10. Lembaga tingkat desa yang memiliki kaitan dengan kelompok tani hutan rakyat adalah : LPP, LPMD, PKK, pemerintahan desa, koperasi dan pengepul. Keterlibatan tersebut mulai dukungan moril, kredit saprodi, penyaluran saprodi, pemasaran sampai perijinan penebangan. Koordinasi di tingkat kabupaten antara kelompok tani hutan rakyat dengan Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan dan BPDAS kurang jelas. Keterlibatan dinas sebatas pada penerbitan surat ijin pengangkutan kayu, itupun diajukan bukan atas nama kelompok melainkan atas nama perorangan atau pengepul. B. Saran 1. Kelompok tani hutan rakyat perlu mendapatkan bimbingan dan pelatihan dalam rangka pengembangan kelembagaan kelompok, baik yang menyangkut aspek teknis (pengelolaan tanaman) maupun aspek kelembagaan (penataan organisasi). 2. Koordinasi antar anggota dalam pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan sampai dengan pemasaran perlu dijalin, agar keberadaan hutan rakyat dapat lebih memberikan manfaat dalam kehidupan petani. 3. Perlu ditingkatkan koordinasi antara Dinas kehutanan terkait dengan kelompok tani, sehingga terjalin hubungan kerjasama yang saling mendukung. 4. Ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan ditingkat kelompok, seperti menetapkan jaminan pasar dan kestabilan kayu rakyat, oleh karena itu pemerintah diharapkan campur tangan agar petani mau menanam tanaman kayu-kayuan, sehingga kelestarian hutan rakyat dapat terjaga.
DAFTAR PUSTAKA Awang,S.A. dkk. 1999. Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Tengah: Harapan dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Volume 1 Nomer 1. Pustaka Hutan Rakyat. Yogyakarta. Awang, S.A. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Debut Press. Yogyakarta. Darmawan, D.A. 2001. Analisa Kelembagaan. Paper Diskusi Pengelolaan DAS Terpadu dalam Rangka Otonomi Daerah. Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Ditjen RRI, 1995. Hutan Rakyat dan Peranannya dalam Pembangunan Daerah. Majalah MKI. Edisi No. 06, Th. 1995/1996. Departemen Kehutanan, Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Donie, S. 1996. Kajian Aspek Kelembagaan Pengusahaan Hutan Rakyat di DAS Solo. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta. Prastowo, H. 1997. Peranan Hutan Rakyat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Studi Kasus di Lahan Kritis. Prosiding Ekpose Hasil Penelitian BTR Palembang, Palembang. Sajogya. 1982. Bunga Rampai Ekonomi Desa (ed). Yayasan Agro Ekonomika. Jakarta. Sutarto. 1998. Dasar-Dasar Organisasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.