5
DINAMIKA KELOMPOK TANI HUTAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
SENTOT PURWANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
6
DINAMIKA KELOMPOK TANI HUTAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
SENTOT PURWANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
7
RINGKASAN SENTOT PURWANTO. Dinamika Kelompok Tani Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh SONI TRISON. Pembangunan hutan rakyat merupakan suatu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk petani hutan rakyat melalui usaha-usaha terkait. Salah satu upaya dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat yaitu dengan membentuk suatu kelembagaan hutan. Kelembagaan itu sendiri memiliki dua arti, yaitu suatu perangkat peraturan dan suatu organisasi yang membuat dan mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. Kelompok Tani Hutan (KTH) merupakan bagian dari kelembagaan hutan yang ditujukan untuk mewadahi kegiatan pengelolaan hutan rakyat mulai dari sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil hingga sub sistem pemasaran hasil. Dengan demikian hutan rakyat tersebut mampu menjadi salah satu unit usaha yang mapan. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian, menganalisis tingkat kedinamisan KTH terhadap pengelolaan hutan rakyat dan menganalisis tingkat pengaruh dinamika KTH dalam pengelolaan hutan rakyat. Untuk mengukur tingkat kedinamisan KTH, digunakan kuantifikasi penilaian dengan model Skala Likert dan skor dari hasil penilaian dikategorikan kedalam kelas kategori tingkat kedinamisan KTH. Sedangkan untuk mengetahui tingkat pengaruh dinamika KTH dalam pengelolaan hutan rakyat menggunakan Uji Korelasi Jenjang Spearman. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Jugalajaya dilakukan secara individual pada tingkat kepala keluarga. Kegiatannya pun hanya pada tingkat persiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan, sedangkan pemanenannya dilakukan oleh tengkulak. Secara kumulatif, tingkat kedinamisan KTH Kuningsari II dan Mandiri II masih tergolong rendah dengan skor rata-rata 42,63 % dari skor harapan maksimum. Hal ini disebabkan karena belum adanya tujuan dan rencana kegiatan yang spesifik dan tertulis, sehingga anggota kelompok belum mampu menemukan tujuan idealnya dalam berkelompok. Selama ini kegiatan yang dilaksanakan KTH masih sebatas dari adanya bantuan atau proyek yang datang dari pemerintah atau dinas terkait. Hal ini menggambarkan kelompok belum mampu menjadi wadah kerjasama dan tempat belajar bagi para petani hutan rakyat. Keadaan tersebut juga menggambarkan dinamika KTH memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat pada sub sistem produksi.
(Kata kunci: Hutan Rakyat dan Dinamika Kelompok Tani Hutan)
5
SUMMARY SENTOT PURWANTO. Forest Farmers Group Dynamics for Management Forest Community (Cases on Forest Farmers Group in the Village Jugalajaya, Jasinga District, Bogor District. Under Supervision of SONI TRISON. Community forest development of is an effort to improve the welfare of society, includes forest farmers community through related businesses. One of efforts in community forest management development is establish a forest institutional. Institutional has two meanings, i.e. a set of regulations and an organization creates and oversees the implementation of these regulations. Forest Farmers Group (KTH) is part of forest institutional designed to accommodate the activities of community forest management activities from production subsystems, product processing sub-system to product marketing sub-systems. Thus, community forests could be one of the established business units. The purposes of this research are to define the community forest management at the research site, to analyze the level of KTH dynamism and the level of dynamics influence to community forest management. To measure the level of KTH dynamism, used assessment quantification through Likert Scale models then scores categorized into grade-level category of KTH dynamism. While to identify the influence level of KTH dynamism in community forests management used Spearman Correlation Test Level. Forest management activities in Jugalajaya are conducted individually at the level of household leader. The activities were at the level of land preparation, planting, and maintenance only, while harvesting were conducted by middlemen. Cumulatively, the level of KTH dynamism KTH Mandiri Kuningsari II and II still low relatively with average score 42,63% of the expectations maximum score. It‟s due to the absence of written specific goals and action plans, so that group members have not been able for finding the ideal aim of being group. So far the activities conducted by KTH still limited to any assistance or projects from government or related institutions. This illustrates that the group has not been able to be platform of cooperation and education for forest farmers. It also describes that the dynamics of KTH has no significant influence to the community forest management in the sub-production system.
(Keywords: Community Forest, Forest Farmers Group Dynamics)
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Dinamika Kelompok Tani Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor) adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Sentot Purwanto NRP. E14061457
5
Judul Skripsi
: Dinamika Kelompok Tani Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Nama
: Sentot Purwanto
NRP
: E14061457
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Soni Trison, S.Hut., M.Si NIP. 19771123 200701 1 002
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus:
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 12 September 1988 sebagai anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Sukijo dan Ibu Yati. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Melalui program mayor-minor penulis masuk ke Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2007/2008. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Himpunan Profesi Mahasiswa Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2007-2008, staf Media Informasi dan Komunikasi (Medikom) Himpunan Profesi Mahasiswa FMSC tahun 2008-2009, panitia Bina Corp Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2008, dan panitia Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan tahun 2008. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Baturaden-Cilacap, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Gunung Walat, Sukabumi dan di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten serta Praktek Kerja Lapang (PKL) pada tahun 2010 di PT Balikpapan Forest Industries, Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Dinamika Kelompok Tani Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor) dibimbing oleh Soni Trison, S.Hut., M.Si.
6
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala nikmat, rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis mampu membuka pikiran dan semangat untuk menggali ilmu baru melalui penyusunan skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas limpahan kasih sayang dan untaian doa yang tulus di setiap helaian nafasnya serta kakakku Dewi Astuti, Sri Mayasari dan Yudi Warno Kusumo atas doa dan dukungannya. 2. Bapak Soni Trison, S.Hut., M.Si selaku pembimbing yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bantuan, dukungan dan masukan positif dalam proses penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku penguji dari Departemen Teknologi Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekowisata, dan Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS selaku penguji dari Departemen Silvikultur. 4. Keluarga besar Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Wilayah Cigudeg Kabupaten Bogor atas bantuan data dan informasi yang diberikan selama pelaksanaan penelitian. 5. Keluarga besar Bapak Tata S. PAI, Kelompok Tani Hutan Kuningsari II, Bapak Suwanda, Bapak Mansyur dan Kelompok Tani Hutan Mandiri II, Bapak Enjen serta seluruh responden atas kerjasamanya. 6. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku Ketua Departemen Manajemen Hutan, Staff TU dan AJMP (Pak Syaiful, Pak Edi, Bu Asih, dll.), Mamang dan Bibi serta seluruh keluarga besar Departemen Manajemen Hutan. 7. Keluarga besar Manajemen Hutan 43 khususnya Andi, Kris, Budi, Andre, Yayat, Bayu, Suke, Ani, Hania, Miranti, Elisda, Suci, Andin, May, Dola, Sifa, Afriyani, Putri, Ifah atas kebersamaannya.
7
8. Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) yang telah memberikan beasiswa sehingga memperlancar dalam penyelesaian skripsi. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang selalu memberikan doa dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala nikmat, rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian untuk penyusunan skripsi yang berjudul Dinamika Kelompok Tani Hutan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus pada Kelompok Tani Hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Soni Trison, S.Hut., M.Si selaku pembimbing. Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor beserta Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Wilayah Cigudeg yang telah membantu menyediakan data dan informasi pendukung dalam pengumpulan data di lokasi penelitian Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang........................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5 2.1 Pengertian Hutan Rakyat ........................................................... 5 2.2 Karakteristik Hutan Rakyat ........................................................ 6 2.3 Pengertian Dinamika Kelompok ................................................ 7 2.4 Unsur-unsur Dinamika Kelompok .............................................. 8 BAB I
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 12 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 12 3.2 Alat dan Sasaran Penelitian ........................................................ 12 3.3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .......................................... 12 3.4 Metode Pemilihan Responden .................................................... 12 3.5 Batasan Penelitian ...................................................................... 12 3.6 Kerangka Berfikir dan Hipotesis Penelitian ................................ 13 3.7 Metode Analisis Data................................................................. 14
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 17 4.1 Kondisi Geografis ...................................................................... 17 4.2 Topografi ................................................................................... 18 4.3 Jenis Tanah ................................................................................ 18 4.4 Iklim .......................................................................................... 18 4.5 Pemerintahan dan Kependudukan .............................................. 18
iii
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 21 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................... 21 5.1.1 Sub sistem produksi .......................................................... 21 5.1.2 Sub sistem pengolahan hasil .............................................. 25 5.1.3 Sub sistem pemasaran hasil ............................................... 25 5.2 Dinamika Kelompok Tani Hutan ................................................. 27 5.2.1 Sejarah kelompok tani hutan ............................................. 27 5.2.2 Unsur dinamika kelompok tani hutan ................................ 28 5.2.3 Uji korelasi unsur dinamika kelompok .............................. 39 5.3 Hubungan Dinamika Kelompok dengan Pengelolaan Hutan Rakyat .............................................................................. 40 5.4 Arah Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani .................. 41 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 44 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 44 6.2 Saran ........................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 46 LAMPIRAN ..................................................................................................... 48
iv
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Tetapan nilai pilihan jawaban responden ..................................................... 15 2. Jenis-jenis penggunaan lahan di Desa Jugalajaya ......................................... 17 3. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya.............. 19 4. Jenis mata pencaharian masyarakat di Desa Jugalajaya................................ 19 5. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jugalajaya ..................................... 20 6. Kegiatan OMOT di KTH Mandiri II ............................................................ 22 7. Informasi mengenai KTH ............................................................................ 28 8. Skor dinamika KTH .................................................................................... 29 9. Tingkat hubungan dinamika KTH dengan pengelolaan hutan rakyat ............ 40 10. Unsur-unsur dinamika kelompok yang masih perlu pengembangan dan pembinaan ............................................................................................ 41
v
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Hubungan dinamika kelompok terhadap sub sistem produksi ...................... 14 2. Tegakan sengon monokultur dan campuran di Desa Jugalajaya ................... 23 3. Saluran pemasaran kayu sengon di Desa Jugalajaya .................................... 25 4. Pertemuan KTH Mandiri II di Desa Jugalajaya............................................ 38 5. Model sinergisitas kelembagaan yang diadopsi dari model kelembagaan sebagai target pengembangan Djoni dan Abidin (2000) ............................... 43
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Hasil uji validitas dan reliabilitas dinamika kelompok ................................. 49 2. Hasil uji validitas dan reliabilitas pengelolaan hutan rakyat ......................... 53 3. Hasil uji korelasi unsur dinamika kelompok ................................................ 54
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan hutan rakyat merupakan salah satu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun para petani melalui terbentuknya unit-unit usaha terkait. Upaya tersebut merupakan salah satu strategi guna mengimbangi peningkatan kebutuhan kayu baik lokal, nasional, maupun pemenuhan ekspor. Selain itu, pembangunan hutan rakyat ditujukan untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup yaitu peningkatan fungsi hutan seperti penahan erosi, memperbaiki kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan tata air. Pengembangan
pengelolaan
hutan rakyat
memerlukan penyesuaian
kelembagaan yang sekarang sudah ada. Kelembagaan hutan yang diinginkan adalah kelembagaan yang dapat mewadahi terselenggaranya pengelolaan hutan rakyat sehingga dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan hutan. Kelompok Tani Hutan (KTH) merupakan bagian dari kelembagaan hutan yang diharapkan mampu mengakomodasikan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan seperti penanaman, pemeliharaan, pemanenan, penanganan pasca panen, pengembangan usaha serta penyuluhan terhadap petani hutan. Dengan demikian diharapkan hutan rakyat tersebut seakan-akan sebagai salah satu unit usaha yang mapan. Kelompok tani sebagai lembaga pelaksana pembangunan di tingkat desa, sampai saat ini tetap menarik untuk ditelaah, karena meskipun kelompok tani telah terbentuk lebih dari dua dasawarsa yang lalu sebagai satu jenis institusi sosial penting pada masyarakat, masih ada kelompok tani yang belum menunjukkan kinerja ataupun prestasi kerja yang cukup baik. Hal ini terjadi, disamping karena kondisi usaha petani yang kurang menggembirakan juga diakibatkan adanya ketidakpastian kebijakan pemerintah. Pemerintah dalam upaya mempercepat proses pembangunan telah mencoba melakukan berbagai pendekatan. Pendekatan yang selama ini dilakukan cenderung bersifat pendekatan pembangunan institusi, yang tidak terlepas dari
2
asumsinya bahwa masyarakat pedesaan tidak dapat mengupayakan perubahan sendiri tetapi diperlukan kehadiran pihak luar atau pemerintah. Peran pemerintah yang masih dominan khususnya dalam perencanaan dan penyusunan programprogram pemberdayaan KTH yang kurang memperhatikan aspirasi dan kurang melibatkan peran aktif masyarakat, dapat mengakibatkan ketergantungan KTH terhadap campur tangan pemerintah tetap tinggi dan tidak berlajutnya program. Hal ini disebabkan kurangnya dukungan dan rasa memiliki terhadap program tersebut. Bantuan yang diberikan pada umumnya adalah dalam rangka pelaksanaan suatu program atau proyek tertentu. Sebagian besar kelompok yang terbentuk sekarang ini termasuk KTH, pada kenyataannya merupakan bagian dalam pengembangan masyarakat yang dirancang untuk mengakses proyek, sehingga sulit dipisahkan apakah kelompok masyarakat itu timbul dari motivasi masyarakat sendiri ataukah terbentuk karena proyek. Kelompok yang dibentuk karena adanya proyek, tidak akan mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, ketika proyek selesai kelompok pun bubar. Demikian pula halnya dengan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh masyarakat untuk mendapatkan bantuan, ketika bantuan tak kunjung datang maka aktivitas semakin surut dan akhirnya menghilang. Dengan kata lain, KTH tersebut tidak bisa menjaga tingkat kedinamisan yang pernah dicapainya, sehingga tidak dapat berfungsi sepenuhnya sebagai tempat kerjasama, media berkomunikasi dan tempat yang efektif dan efisien untuk belajar dan bekerja dalam usaha taninya. 1.2 Perumusan Masalah Pembangunan dan pengembangan pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat menuju masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera. Menyadari kondisi dan potensi masyarakat yang beragam, maka pemberdayaan melalui pendekatan kelompok-kelompok menjadi lebih efisien. Kelompok tani dipandang sebagai unsur yang esensial dalam usaha peningkatan kualitas sumberdaya petani hutan rakyat melalui kegiatan pendidikan non formal (penyuluhan). Dengan kelompok tani, memungkinkan petani hutan rakyat untuk berubah perilakunya, karena petani dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dan berinteraksi di dalam meningkatkan usaha taninya.
3
Jika kelompok dianggap dapat menjadi wadah peningkatan kualitas petani hutan rakyat, sehingga petani menjadi berdaya maka yang akan menjadi pertanyaannya adalah sebenarnya seberapa besar peran yang dimiliki kelompok untuk itu. Peran kelompok disini didekati dengan teori dinamika kelompok, yaitu yang menggambarkan kekuatan-kekuatan yang harus dimiliki kelompok sehingga kelompok dapat bergerak aktif mencapai tujuannya. Kelompok tani hutan perlu dilakukan pembinaan dan pengembangan yang intensif melalui program-program penyuluhan, sehingga keberadaannya dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kemampuan anggotanya. Mengingat masih banyak keberadaan kelompok yang kurang dinamis dan kurang berperan dalam meningkatkan kemampuan anggotanya, karena lebih mementingkan terealisasinya program pembangunan. Akibatnya anggota kelompok semakin tergantung pada adanya bantuan program-program pemerintah dan lembaga penyandang dana lainnya. Kondisi tersebut merupakan masalah yang harus segera dipecahkan, sehingga KTH dapat
menjadi wadah untuk meningkatkan
kemampuan anggotanya dalam mengelola usaha taninya. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan dinamika KTH dilakukan oleh Yunasaf (1997), Sudaryanti (2002) dan Diniyati (2003). Ketiga penelitian tersebut mencoba melihat hubungan unsur dinamika kelompok dengan keberhasilan usaha tani. Yunasaf (1997) menyatakan bahwa dinamika suatu kelompok dipengaruhi oleh peranan pemimpin dan latar belakang berdirinya kelompok. Penelitian Sudaryanti (2002) menyatakan bahwa KTH yang dinamis dapat merubah perilaku anggota. Perubahan perilaku ini ditunjukkan oleh adanya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota. Selanjutnya Diniyati (2003) menyatakan bahwa terbentuknya kelompok tani merupakan suatu media pemersatu dan penggerak masyarakat desa, khususnya petani-petani dalam melaksanakan program pemerintah terutama untuk pengembangan hutan rakyat, namun demikian peranan setiap anggota tersebut sangat dipengaruhi oleh keaktifan untuk berinteraksi dalam mencapai tujuan kelompok tersebut.
4
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Sejauhmana pengelolaan hutan rakyat? 2. Sejauhmana tingkat kedinamisan KTH dalam pengelolaan hutan rakyat? 3. Sejauhmana dinamika KTH berpengaruh terhadap pengelolaan hutan rakyat? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengelolaan hutan rakyat. 2. Menganalisis tingkat kedinamisan KTH dalam pengelolaan hutan rakyat. 3. Menganalisis tingkat pengaruh dinamika KTH terhadap pengelolaan hutan rakyat. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak yang memerlukan, yaitu: 1. Bagi masyarakat khususnya petani hutan rakyat di lokasi penelitian, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi KTH dalam melaksanakan kegiatannya. 2. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan
dalam
pertimbangan
penyusunan
kebijakan
dan
penyempurnaan kebijakan atau program yang telah diterapkan mengenai metode atau pola pemberdayaan dan pengembangan KTH, terutama untuk membangun kemandirian KTH tersebut. 3. Bagi pengembangan ilmu sosial khususnya pengembangan masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk kepentingan penelitian lebih lanjut.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hutan Rakyat Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Menurut Hardjanto (2000), hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik. Walaupun hutan rakyat di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total hutan, namun tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan masyarakat juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya. Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya, diantaranya: 1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari 0,25 ha atau kurang sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa bahkan melebihinya. 2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain yaitu hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal, biasanya juga dikelola untuk tujuantujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat. 3. Hutan kemasyarakatan, yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat, biasanya berbentuk KTH atau koperasi. Model ini jarang disebut sebagai hutan rakyat dan umumnya dianggap terpisah. Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh penduduk desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Selain itu, petani dapat memperoleh tambahan
6
pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat baik dalam bentuk pohon berdiri maupun dalam bentuk bahan bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mampu mencukupi (Suharjito 2000). Menurut Jaffar (1993), pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk: 1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau area yang tidak produktif secara optimal dan lestari. 2. Membantu keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat. 3. Membantu dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku kayu industri serta bahan bakar. 4. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di pedesaan. 5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan hulu daerah aliran sungai. Departemen
Kehutanan (1997),
menegaskan bahwa tujuan pokok
pengembangan hutan rakyat adalah : 1. Memenuhi kebutuhan kayu 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat 3. Memperluas kesempatan kerja 4. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan 2.2 Karakteristik Hutan Rakyat Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, yaitu minimal harus memiliki 0,25 ha. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit. Dengan sempitnya pemilikan lahan setiap keluarga, ini mendorong kepada pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada umumnya pemilik berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan, tanaman konsumsi sehari-hari. Karenanya hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki lahan diatas rata-rata, pada lahan marginal (yang tidak/kurang dapat menghasilkan komoditi pangan) serta pada lahan-lahan terlantar.
7
Adapun beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat menurut Hardjanto (2000), adalah sebagai berikut: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari 10 % dari pendapatan total. 2.3 Pengertian Dinamika Kelompok Di dalam setiap sistem sosial selalu terdapat keinginan dari masing-masing individu untuk menyatu baik berdasarkan keinginan bersama, keyakinan yang sama, tujuan yang sama, asal usul yang sama dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu keinginan yang wajar karena dalam diri manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul atau berkelompok. Kelompok adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar adanya kesamaan, berinteraksi melalui pola/struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama dalam kurun waktu yang relatif panjang (Soedijanto 2001). Menurut Mardikanto (1993), kelompok adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi serta memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Dari definisi tersebut jelas bahwa kelompok merupakan kumpulan orang yang memiliki tujuan, sedangkan kumpulan orang yang tidak memiliki tujuan tidak dapat disebut sebagai kelompok. Kelompok-kelompok dari sistem sosial tersebut tidak statis tetapi dinamis atau bergerak, hidup, aktif dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pergerakan kekuatan yang ada dalam kelompok itulah yang disebut dinamika kelompok. Dinamika kelompok diartikan sebagai suatu studi yang menganalisis berbagai kekuatan yang menentukan perilaku anggota dan perilaku kelompok yang menyebabkan terjadinya gerak perubahan dalam kelompok untuk mencapai
8
tujuan bersama yang telah ditetapkan (Syamsu et al. 1991). Dinamika kelompok merupakan kajian terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan, untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok tersebut (Mardikanto 1992). Dinamika kelompok akan mencakup faktor-faktor yang menyebabkan suatu kelompok hidup, bergerak, aktif dan efektif dalam mencapai tujuannya. 2.4 Unsur-unsur Dinamika Kelompok Analisis terhadap dinamika kelompok dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (a) pendekatan sosiologis dan (b) pendekatan psikososial (Margono 2001). Pendekatan sosiologis lebih mengacu pada analisis terhadap bagian-bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap proses sistem sosial tersebut. Sedangkan pendekatan psikososial lebih menekankan pada faktorfaktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu sendiri (Mardikanto 1992). Analisis dinamika kelompok menurut pendekatan psikososial adalah: (a) tujuan kelompok, (b) struktur kelompok, (c) fungsi tugas kelompok, (d) pembinaan dan pengembangan kelompok, (e) kekompakan kelompok, (f) suasana kelompok, (g) tekanan kelompok, (h) efektivitas kelompok, dan (i) maksud terselubung. Analisis dinamika kelompok berdasarkan pendekatan sosiologis yaitu memandang kelompok sebagai suatu sistem sosial, menurut Margono (2001) unsur-unsurnya adalah: (1) tujuan, (2) keyakinan, (3) sentimen, (4) norma, (5) sanksi, (6) peranan kedudukan, (7) kewenangan/kekuasaan, (8) jenjang sosial, (9) fasilitas, (10) tekanan dan ketegangan. Idealnya suatu kelompok harus memiliki kesepuluh unsur tersebut, masing-masing unsur akan berpengaruh pada interaksi anggota dalam kelompok dan akan berpengaruh pada perilaku individu serta perilaku kelompok. Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mardikanto (1992), untuk melakukan analisis terhadap dinamika kelompok pada hakekatnya dapat dilakukan melalui dua macam pendekatan, yakni: (1) pendekatan sosiologis, yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap bagian-bagian atau komponen kelompok dan
9
analisis terhadap proses sistem sosial tersebut; dan (2) pendekatan psikososial atau psikologis, yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu sendiri. Dari kedua pendekatan tersebut, yaitu pendekatan psikososial dan pendekatan sosiologis, dipilih pendekatan
psikososial
penggambaran
dinamika
karena
pendekatan
kelompok
ditinjau
ini
lebih
dari
menitikberatkan
faktor-faktor
yang
membentuknya. Dalam penelitian ini, penelaahan unsur-unsur dinamika kelompok mengacu kepada Slamet (1978), yaitu unsur-unsur yang dianggap mempengaruhi kedinamisan kelompok dapat mencakup: tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas, pembinaan dan pemeliharaan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok, efektivitas kelompok, dan agenda terselubung. Uraian unsur-unsur dari pendekatan psikologis adalah sebagai berikut: 1. Tujuan kelompok diartikan sebagai apa yang ingin dicapai oleh kelompok (Slamet 1978). Purwanto dan Huraerah (2006) mendefinisikan tujuan kelompok sebagai hasil akhir atau keadaan yang diinginkan oleh semua anggota kelompok. Sutarto (1993) membedakan tujuan kelompok menjadi tujuan pokok dan tujuan tambahan, tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek serta tujuan individu. Menurut Slamet (1978), tujuan kelompok harus memiliki hubungan antara tujuan pribadi anggota-anggotanya, kejelasan dan formalitas tujuan kelompok. Tujuan ini sangat penting artinya bagi suatu kelompok, sehingga dapat menentukan arah kegiatan kelompok dan kedinamisan suatu kelompok. 2. Struktur kelompok didefinisikan sebagai bagaimana kelompok itu mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang ingin diinginkan (Slamet 1978). Dalam hal ini, menyangkut struktur kekuasaan atau pengambilan keputusan, struktur tugas atau pembagian pekerjaan, dan struktur komunikasi, yaitu bagaimana aliran-aliran komunikasi terjadi dalam kelompok tersebut. Sudaryanti (2002) mengartikan struktur kelompok adalah bagaimana kelompok tersebut mengatur dirinya sendiri. Setiap kelompok memiliki struktur yang berbeda. Ketidak jelasan struktur akan menyebabkan ketidak
10
jelasan peran, wewenang, kewajiban setiap anggota sehingga pelaksanaan kegiatan tidak dapat berlangsung secara efektif. 3. Fungsi tugas kelompok diartikan sebagai apa yang seharusnya dilakukan di dalam kelompok sehingga tujuan dapat dicapai. Purwanto dan Huraerah (2006) mendefiniskan fungsi tugas sebagai seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok sesuai dengan fungsi dan kedudukan dalam struktur kelompok. Menurut Soedijanto (1980), tugas kelompok meliputi: (1) memberi kepuasan, yakni tugas yang dipilih harus memberi kepuasan kepada para anggota sehingga termotivasi untuk melaksanakan dalam rangka mencapai tujuan; (2) mencari dan memberi keterangan, yakni mencari dan memberi keterangan sebanyak mungkin kepada para anggota tentang segala hal dalam rangka mencapai tujuan kelompok; (3) koordinasi, yakni bagaimana kelompok mengatur dirinya sendiri dalam melakukan tugas-tugas guna mencapai tujuannya; (4) inisiasi, yakni bagaimana usaha kelompok untuk dapat menimbulkan inisiatif bagi para anggotanya; (5) desiminasi, yakni cara bagaimana ide-ide dan gagasan disebarkan kepada seluruh anggota; dan (6) klarifikasi, yakni kemampuan kelompok untuk menjelaskan segala sesuatu yang masih diragukan dalam rangka mencapai tujuan kelompok. 4. Pembinaan dan pemeliharaan kelompok adalah usaha menjaga kehidupan kelompok (Slamet 1978). Purwanto dan Huraerah (2006) mendefinisikan pembinaan dan pemeliharaan kelompok yaitu upaya kelompok untuk tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan kelompok. Menurut Slamet (1978), usaha yang dilakukan dalam pembinaan dan pemeliharaan kelompok adalah: (1) menimbulkan partisipasi; (2) menyediakan fasilitas; (3) menumbuhkan aktivitas; (4) melakukan koordinasi; (5) adanya komunikasi; (6) menciptakan norma; (7) mengadakan sosialisasi; dan (8) mendapatkan anggota baru. 5. Kekompakan kelompok atau kesatuan kelompok adalah adanya keterikatan yang kuat diantara anggota kelompok (Slamet 1978). Purwanto dan Huraerah (2006) mengartikan kekompakan kelompok sebagai rasa keterikatan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Menurut Slamet (1978) faktor-faktor yang
11
mempengaruhi
kekompakan
kelompok
meliputi:
(1)
kepemimpinan
kelompok; (2) keanggotaan kelompok; (3) nilai tujuan kelompok, (4) homogenitas kelompok; (5) integrasi; (6) kerjasama kelompok; dan (7) besarnya kelompok. 6. Suasana kelompok adalah keadaan moral, sikap dan perasaan-perasaan umum yang terdapat dalam kelompok (Slamet 1978). Purwanto dan Huraerah (2006) memberi pengertian suasana kelompok sebagai lingkungan fisik dan nonfisik (emosional) yang akan mempengaruhi perasaan setiap anggota kelompok terhadap
kelompoknya.
Menurut
Slamet
(1978)
suasana
kelompok
dipengaruhi oleh: (1) ketegangan, (2) keramahtamahan, (3) kebebasan, (4) keadaan lingkungan fisik, dan (5) pelaksanaan prinsip demokrasi. 7. Tekanan kelompok adalah sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan ketegangan dalam kelompok. Purwanto dan Huraerah (2006) mengartikan tekanan kelompok sebagai tekanan-tekanan atau ketegangan dalam kelompok yang menyebabkan kelompok tersebut berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok. Menurut Slamet (1978), tekanan kelompok dapat bersumber: (1) dari dalam, tuntutan/keinginan dari para anggota, dan (2) dari luar, berupa tuntutan dan harapan pihak luar. 8. Efektivitas kelompok diartikan Purwanto dan Huraerah (2006) sebagai keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya, yang dapat dilihat pada tercapainya keadaan atau perubahan-perubahan (fisik maupun nonfisik) yang memuaskan anggotanya. Menurut Slamet (1978), efektivitas kelompok harus dilihat dari: (1) segi produktivitasnya, yaitu keberhasilan mencapai tujuan kelompok; (2) moral, berupa semangat dan sikap para anggotanya; dan (3) kepuasan, yakni keberhasilan anggota mencapai tujuan-tujuan pribadinya. 9. Agenda terselubung adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok, yang diketahui oleh semua anggotanya, tetapi tidak dinyatakan secara tertulis. Slamet (1978) mengartikan agenda terselubung lebih jauh, yaitu sebagai maksud-maksud terselubung yang mengacu kepada tujuan yang tidak nampak, yang dapat bersumber dari anggota, pimpinan maupun kelompok itu sendiri.
12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan selama kurang lebih dua bulan yaitu Bulan Juni - Juli 2010. 3.2 Alat dan Sasaran Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain kuesioner, kamera digital, seperangkat komputer, software SPSS (Statistic Programme for Social Science) 17.0, dan software Excel 2007. Sasaran penelitiannya adalah KTH di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. 3.3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari para anggota KTH. Data primer ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, berdasarkan daftar pertanyaan atau kuesioner serta pengamatan langsung terhadap keberadaan kelompok dan keadaan usaha hutan rakyat anggota. Data sekunder, khususnya yang mencakup data mengenai KTH diperoleh dari BP3K Wilayah Cigudeg. Data sekunder lainnya diperoleh dari data monografi Desa Jugalajaya dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor. 3.4 Metode Pemilihan Responden Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan pendekatan nonprobability melalui metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti. Kelompok tani hutan yang diambil sebanyak dua kelompok yaitu KTH Kuningsari II dan KTH Mandiri II, dimana masing-masing kelompok dipilih 25 responden. 3.5 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel atau peubah, yaitu aspek dinamika kelompok tani sebagai peubah bebas, dan sub sistem produksi
13
pengelolaan hutan rakyat sebagai peubah terpengaruh. Dinamika kelompok dalam penelitian ini hanya dilihat dari aspek psikososial dengan mengukur komponen: tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan dan pemeliharaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok dan efektivitas kelompok, sedangkan sub sistem pengelolaan hutan rakyat hanya dilihat dari unsur sub sistem produksi, yaitu penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. 3.6 Kerangka Berfikir dan Hipotesis Penelitian Kerangka Berfikir Perkembangan suatu kelompok sosial termasuk di dalamnya KTH, sekurang-kurangnya akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berkaitan dengan adanya iklim yang kondusif yang diberikan pemegang kebijaksanaan sehingga organisasi atau kelompok diberikan kemudahan melaui peraturan atau perundang-undangan dan berbagai bentuk pembinaan lainnya. Selanjutnya faktor internal adalah faktor yang bersumber dan terjadi dalam organisasi atau kelompok tersebut. Salah satu aspek faktor internal yaitu dinamika kelompok. Dinamika Kelompok diartikan sebagai suatu studi yang menganalisis berbagai kekuatan yang menentukan perilaku anggota dan perilaku kelompok yang menyebabkan terjadinya gerak perubahan dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan (Syamsu dkk. 1991). Kelompok tani yang dinamis biasanya ditandai oleh adanya kegiatankegiatan atau interaksi, baik di dalam kelompok maupun dengan pihak-pihak luar kelompok tersebut sebagai upaya mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Dengan menggunakan pendekatan psikososial, tingkat kedinamisan KTH tersebut dapat dilihat dari unsur-unsurnya. Dengan adanya parameter berupa aspek dinamika kelompok tersebut, maka KTH terbuka peluang untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat yang optimal. Aspek yang akan dikaji dalam pengelolaan hutan rakyat yang optimal bisa dilihat dari kualitas sub sistem pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengelolaan hasil dan sub sistem pemasaran hasil. Namun dalam penelitian ini yang akan dikaji hanya sub sistem produksi pengelolaan hutan rakyat.
14
Hipotesis Penelitian Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: ada hubungan yang nyata antara dinamika kelompok tani dengan sub sistem produksi pengelolaan hutan rakyat. Berikut gambar hubungan yang menunjukkan unsur dinamika kelompok dengan sub sistem produksi pengelolaan hutan rakyat. Dinamika Kelompok
Sub Sistem Produksi
Dilihat dari unsur-unsur:
Dilihat dari unsur-unsur:
1. Tujuan kelompok
1. Penanaman
2. Struktur kelompok
2. Pemeliharaan
3. Fungsi tugas kelompok
3. Pemanenan
4. Pembinaan dan pemeliharaan kelompok 5. Kekompakan kelompok 6. Suasana kelompok 7. Tekanan kelompok 8. Efektivitas kelompok Gambar 1 Hubungan dinamika kelompok terhadap sub sistem produksi. 3.7 Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan ke dalam empat tahap, yaitu (1) pengukuran terhadap unsur dinamika kelompok, (2) uji validitas dan reliabilitas, (3) pengukuran tingkat kedinamisan kelompok, dan (4) uji korelasi spearman. Masing-masing tahap akan dijelaskan sebagai berikut. Pengukuran Unsur Dinamika KTH Pengukuran terhadap unsur dinamika KTH digunakan statistik deskriptif yaitu terhadap aspek-aspek dinamika kelompok dengan menggunakan opsi jawaban model Skala Likert, yaitu dengan kuantifikasi penilaian yang disajikan pada Tabel 1.
15
Tabel 1 Tetapan nilai pilihan jawaban responden Nilai/Skor
Jawaban Responden
5
Sangat setuju
4
Setuju
3
Ragu-ragu
2
Tidak Setuju
1
Sangat Tidak Setuju
Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dilakukan untuk menentukan keabsahan dari pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini. Uji ini menunjukkan sejauh mana skor, nilai atau ukuran yang diperoleh benar-benar menyatakan hasil pengukuran dari pertanyaan yang diajukan. Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi antara variabel dengan skor total variabel. Adapun kriteria dan keputusan uji validitas ini adalah sebagai berikut. Kriteria: H0
: tidak ada hubungan antara pertanyaan dengan total (tidak valid)
H1
: ada hubungan antara pertanyaan dengan total (valid)
Keputusan: tolak H0 jika nilai sig. (2-tailed) kurang dari alpha 5% Uji Reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama. Suatu kuesioner dikatakan reliabel jika kuesioner tersebut dapat digunakan berulang-ulang kepada kelompok yang sama dan menghasilkan data yang sama. Uji reliabilitas dilakukan dengan metode satu kali pengukuran yaitu menggunakan korelasi Cronbach’s Alpha (α) dengan bantuan software SPSS. Jika ralpha positif dan nilainya lebih besar dari r tabel maka pengukuran yang kita gunakan reliabel. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan software SPSS (Uyanto 2009). Pengukuran Tingkat Kedinamisan Kelompok Menurut Yunasaf (1997), untuk mengetahui tingkat kedinamisan kelompok didasarkan pada kriteria atau kelas kategori, yang didasarkan atas perhitungan selisih antara skor harapan tertinggi dengan skor harapan terendah, yang dibagi
16
menjadi 5 kelas dengan skala yang sama, sehingga diperoleh kelas kategori sebagai berikut: (1) Sangat rendah, dengan skor kurang dari 36 % dari skor harapan maksimum; (2) Rendah, dengan skor lebih atau sama dengan 36 % sampai dengan kurang dari 52 % dari skor harapan maksimum; (3) Sedang atau cukup, dengan skor lebih atau sama dengan 52 % sampai dengan kurang dari 68 % dari skor harapan maksimum; (4) Tinggi, dengan skor lebih atau sama dengan 68 % sampai dengan kurang dari 84 % dari skor harapan maksimum; (5) Sangat tinggi, dengan skor lebih atau sama dengan 84 % dari skor harapan maksimum. Analisis Hubungan Antar Peubah Dalam penelitian ini, analisis hubungan antar peubah dilakukan untuk melihat keterkaitan antara peubah yang satu dengan peubah yang lainnya, dalam hal ini peubah yang dimaksud yaitu unsur dinamika kelompok dengan sub sistem produksi pengelolaan hutan rakyat. Pengujian hubungan (korelasi) antara satu peubah dengan peubah lainnya tersebut didasarkan atas hipotesis sebagai berikut: H0
: tidak terdapat hubungan (korelasi) antara satu peubah dengan peubah lainnya.
H1
: terdapat hubungan (korelasi) antara satu peubah dengan peubah lainnya. Untuk menguji erat tidaknya hubungan antar peubah tersebut, digunakan
Uji Korelasi Jenjang Spearman dengan statistik uji sebagai berikut: rs=1-
6
𝑑𝑖
𝑛 (𝑛 2 − 1)
Dua peubah dikatakan memiliki hubungan yang nyata antara satu dengan yang lainnya apabila dapat dibuktikan bahwa tolak H0 jika angka probabilitas (Asymp. Sig.) < nilai α (Alpha), dan dikatakan tidak memiliki hubungan yang nyata antara satu peubah dengan peubah lainnya apabila dapat dibuktikan bahwa terima H0 jika angka probabilitas (Asymp. Sig.) > nilai α (Alpha) (Siegel 1992). Pengujian uji korelasi spearman, menggunakan software SPSS.
17
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Desa Jugalajaya merupakan salah satu desa dari 16 desa yang ada di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor dengan ketinggian di atas permukaan laut sebesar 207 m dpl. Desa Jugalajaya terletak di 060 52„ 42,5“ LS dan 1060 41„ 42,8” BT dengan luas wilayah sebesar 1.159 ha. Penggunaan lahan di Desa Jugalajaya didominasi oleh hutan rakyat, yaitu sebesar 63,93% dari luas wilayahnya. Jenis tata guna lahan yang ada di Desa Jugalajaya untuk lebih jelasnya disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Jenis-jenis penggunaan lahan di Desa Jugalajaya No
Tata Guna Lahan
Luas (ha)
Persentase (%)
1
Hutan rakyat
741
63,93
2
Hutan negara
51
4,40
3
Perkebunan rakyat
126
10,87
4
Perkebunan negara
125
10,79
5
Tanah sawah
114
9,84
6
Tanah perusahaan swasta
2
0,17
Total
1.159
100,00
Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2009)
Adapun batas-batas Desa Jugalajaya secara administrasi adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pamegarsari b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pangradin c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukajaya d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Curug dan Desa Wirajaya Sedangkan wilayahnya terbagi kedalam tiga wilayah administratif, yaitu: a. Dusun sebanyak 2 dusun b. Rukun Warga (RW) sebanyak 5 RW c. Rukun Tetangga (RT) sebanyak 26 RT
18
4.2 Topografi Secara umum wilayah Desa Jugalajaya berbukit-bukit dengan ketinggian 207 m dpl. Lahan di wilayah Desa Jugalajaya sebagian besar didominasi oleh perkebunan seperti kebun campuran sengon dengan tanaman lain serta kebun monokultur karet atau sengon dan sisanya persawahan dengan jenis tingkat kelerengan datar, landai dan curam. Tingkat kelerengan yang datar dan landai ditanami dengan jenis tanaman pertanian dan kebun campuran seperti padi, sengon, dan karet. Sedangkan untuk tingkat kelerengan yang curam digunakan untuk tanaman kopi. 4.3 Jenis Tanah Kondisi tanah banyak dipengaruhi oleh batuan induk dan faktor lain pembentuknya. Kecamatan Jasinga memiliki jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) pada lahan kering dengan persentase 80% dan sisanya merupakan jenis tanah Aluveral yang terdapat pada lahan basah (sawah). PMK merupakan tanah yang mengalami penimbunan liat di horizon bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. 4.4 Iklim Kecamatan Jasinga memiliki suhu rata-rata tiap bulan sebesar 260 C dengan suhu terendah 21,80 C dan suhu tertinggi sebesar 30,40 C. Kelembaban udara sebesar 70% dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.000-4.000 mm, dengan curah hujan terbesar pada Bulan Desember. Musim hujan umumnya dimulai pada Bulan September. Pada Bulan Januari, hujan mulai berkurang ke tingkat paling rendah dari Bulan Juni hingga Bulan Agustus. Kecamatan Jasinga (2007) memiliki curah hujan sebesar 1.561,3 mm/tahun dengan 125 hari hujan dalam satu tahun. 4.5 Pemerintahan dan Kependudukan Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga memiliki jumlah penduduk 5.128 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.667 jiwa dan perempuan sebanyak 2.459 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.413 KK. Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya yang tertinggi yaitu pada
19
kelompok umur 7 – 12 tahun sebesar 24,83%, dan yang terendah pada kelompok umur > 60 tahun sebesar 2,83%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah
Persentase
(Tahun)
Laki-laki
Perempuan
(Jiwa)
(%)
1
0–4
347
325
672
13,11
2
5–6
183
161
344
6,71
3
7 – 12
644
629
1.273
4
13 – 15
253
237
490
5
16 – 18
194
178
372
6
19 – 25
255
226
481
7
26 – 35
213
197
410
8
36 – 45
218
197
415
9
46 – 50
137
119
256
10
51 – 60
145
123
268
11
> 60
78
67
145
2.667
2.459
5.126
No
Kelompok Umur
Jumlah
24,83 9,56 7,26 9,38 8,00 8,10 4,99 5,23 2,83 100,00
Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2009)
Mata pencaharian di Desa Jugalajaya didominasi oleh petani sebesar 67,45 % dan sisanya bermata pencaharian sebagai buruh, pedagang, wiraswasta, PNS, pensiunan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis mata pencaharian masyarakat di Desa Jugalajaya No 1
Jenis Mata Pencaharian Utama
Jumlah (KK)
Persentase (%)
Petani -
Petani pemilik tanah
318
22,51
-
Buruh tani
635
44,94
2
Buruh bangunan
61
4,32
3
Pedagang
35
2,48
4
Pengemudi/jasa
110
7,78
5
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
16
1,13
6
TNI/POLRI
-
-
20
Tabel 4 (lanjutan) No
Jenis Mata Pencaharian Utama
Jumlah (KK)
Persentase (%)
7
Pensiunan
10
0,71
8
Industri kecil
10
0,71
9
Lain-lain
218
15,43
1.413
100,00
Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2009)
Masyarakat Desa Jugalajaya penduduknya menganut agama Islam. Sedangkan untuk bidang pendidikan, di Desa Jugalajaya masih rendah, sebagian besar pendidikan masyarakat hanya sampai sekolah dasar (SD). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jugalajaya No
Jenis Tingkat Pendidikan
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
1
Belum sekolah
1.082
21,43
2
Tidak tamat SD
825
16,34
3
Tamat SD/sederajat
1.725
34,17
4
Tamat SLTP/sederajat
836
16,56
5
Tamat SLTA/sederajat
442
8,76
6
Tamat perguruan tinggi
24
0,48
7
Buta huruf
114
2,26
5.048
100,00
Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2009)
21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat Pengelolaan hutan rakyat terbagi menjadi tiga sub sistem yang saling terkait. Ketiga sub sistem tersebut yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil, dan sub sistem pemasaran hasil. 5.1.1 Sub sistem produksi Sub sistem produksi meliputi kegiatan persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Dari kedua KTH yang diteliti, kegiatan sub sistem produksi hanya dilakukan mulai dari kegiatan persiapan lahan hingga kegiatan pemeliharaan, sedangkan untuk kegiatan pemanenan dilakukan oleh para tengkulak dengan sistem penjualan oleh tengkulak ke petani yaitu sistem borongan per luasan lahan. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian dilakukan secara individual pada tingkat kepala keluarga. Oleh karena itu, areal hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu lokasi tertentu tetapi cenderung membentuk suatu pola penyebaran yang tidak teratur sesuai dengan kepemilikan lahan dari petani dengan luas lahan yang berbeda satu sama lainnya. Dalam kegiatan persiapan lahan, mayoritas petani hanya melakukan pembakaran lahan bekas tebangan untuk menghilangkan semak belukar dan sisa aktivitas pemanenan, pembuatan lubang tanam dan pemupukan. Sebagian besar, petani mempersiapkan bibit dengan mengandalkan trubusan (tunas yang tumbuh dari tunggak bekas kayu tebangan) sehingga bibit yang telah cukup umur ditanam untuk keperluan sendiri. Namun, ada sebagian dari petani mempersiapkan bibitnya dengan cara membeli ke petani lain dengan harga satu bibit seharga Rp. 1.000,- per bibit. Selain dari hasil trubusan dan membeli ke petani lain, kebutuhan bibit biasanya diperoleh dari bantuan/proyek yang datang dari pemerintah atau dinas lainnya. Contohnya, pada tahun 2009 bantuan bibit dari kegiatan Penanaman One Man One Tree (OMOT) yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Das Citarum Ciliwung, dengan jumlah bibit sengon sebanyak 2.500 bibit (Anonim 2009).
22
Tabel 6 Kegiatan OMOT di KTH Mandiri II Jenis
Jumlah Bibit
Albizia
2.500
Duren
15
Manggis
15
Suren
500
Jumlah
3.030
Sumber: Data OMOT BPDas Citarum Ciliwung (2009)
Dari kedua KTH yang diteliti, pola tanam yang dilakukan ada dua jenis, yaitu pola tanam satu jenis tanaman atau monokultur (sengon atau karet saja) dan pola tanam campuran (sengon dan karet atau jenis lain). Sebagian besar pohon sengon yang ditanam secara campuran dengan pohon lain memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pohon sengon yang ditanam secara monokultur. Hal ini dikarenakan kebutuhan unsur hara tanaman sengon dengan jenis lain berbeda sehingga tidak terjadi perebutan unsur hara. Berbeda dengan yang ditanam secara monokultur, selain terjadi perebutan unsur hara juga rentan terhadap serangan hama penyakit. Dalam pengaturan jarak tanam, petani masih kurang memperhatikan hal tersebut. Alasannya, karena disesuaikan dengan kondisi luas lahan. Sebagian besar, petani tidak memperhatikan berapa volume kayu yang nanti akan dipanen, tetapi mereka lebih memfokuskan untuk memaksimalkan jumlah batang yang mereka miliki dari lahan tersebut. Dalam hal penentuan daur sengon pun, petani masih sangat tergantung dengan kebutuhan ekonominya sehingga meskipun belum masak tebang mereka akan menjual atau menebangnya. Sebagian besar petani yang diteliti, menjual pohon sengonnya dibawah umur 6 tahun. Hal ini tidak menutup kemungkinan diakibatkan oleh semakin tingginya biaya hidup atau tingkat kekonsumtifan masyarakat yang semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tuntutan hidup.
23
Gambar 2 Tegakan sengon monokultur dan campuran di Desa Jugalajaya. Dalam kegiatan pemeliharaan, mayoritas petani melakukan kegiatan penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, dan pemberantasan hama dan penyakit. Hanya sebagian dari petani yang melakukan kegiatan penyulaman dan penjarangan. Kegiatan pemeliharaan diatas yang dilakukan oleh petani tergolong masih sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi petani yang bersangkutan. Khususnya pada kegiatan pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit. Kedua kegiatan tersebut dapat terlaksana apabila tersedia atau tidaknya dana yang dimiliki oleh petani untuk membeli pupuk dan obat pemberantas hama sengon. Sebagian besar masyarakat menggunakan pupuk kandang yang dicampur dengan pupuk kimia. Pemupukan dilakukan pada tiga bulan sekali pada tahun pertama dan dilakukan selama tiga tahun. Dalam hal pemberantasan hama dan penyakit, masalah yang dihadapi yaitu ulat pemakan daun (Eurema sp.) dan ulat pengganggu akar yaitu uret/kuuk (Leucopholis rorida). Dalam pengendaliannya, untuk pengendalian Eurema sp., biasanya petani menggunakan pestisda, sedangkan untuk pengendalian Leucopholis rorida, biasanya petani menggunakan obat yaitu furadan 3G. Menurut Atmosuseno (1994) dan Siregar et al. (2008), untuk pengendalian Eurema sp. dapat digunakan pestisida untuk memberantas hama tersebut. Namun ada sebagian petani yang membiarkannya karena terpaut dengan dana. Dalam kegiatan pemeliharaan pada sub kegiatan penyiangan, pendangiran dan pemangkasan cabang, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dari gulma (rumput) dan ranting percabangan untuk pakan ternak serta pemenuhan kebutuhan kayu bakar untuk memasak. Pada kegiatan penyulaman, dilakukan apabila salah
24
satu atau beberapa dari pohon tersebut mati. Kegiatan ini dilakukan pada saat umur pohon masih dibawah satu tahun. Untuk kegiatan penjarangan, sebagian besar petani tidak melakukan kegiatan ini. Alasannya karena petani tidak ingin mengurangi jumlah pohon yang ada di lahannya. Selain itu, perlu tambahan biaya untuk menebang pohon tersebut. Namun ada juga petani yang melakukan penjarangan disebabkan kebutuhan ekonomi yaitu pada saat memerlukan tambahan biaya untuk kebutuhan yang mendesak seperti untuk keperluan masuk biaya sekolah, acara resepsi pernikahan dan pembangunan rumah. Dalam kegiatan pemanenan, petani menjual kayu ke tengkulak dengan sistem borongan, sehingga kegiatan pemanenan mulai dari penebangan hingga pengangkutan ditanggung oleh tengkulak. Biaya pemanenannya pun ditanggung oleh tengkulak. Pada umumnya, pemanenan dilakukan dengan menggunakan chainsaw yang dilakukan oleh para tengkulak. Dari hasil wawancara dengan tengkulak, biaya yang digunakan untuk pemanenan diperoleh dari pemilik industri penggergajian. Sistem kerjasama antara tengkulak dengan industri penggergajian yaitu sebagai mitra, dimana pemilik industri penggergajian memberikan dana kepada tengkulak, kemudian tengkulak yang mencari informasi ke petani yang akan menjual kayunya. Jadi, petani dan pemilik industri penggergajian menanggungkan resikonya kepada tengkulak. Hal ini menunjukkan, petani berada di posisi yang pasif karena tidak memiliki kisaran harga yang pasti (Rp per m3) untuk tegakan sengon di lahan miliknya. Tengkulak melakukan transaksi jual beli dengan petani dengan sistem borongan per hamparan. Transaksi yang dilakukan tengkulak berdasarkan taksiran diameter dan tinggi pohon. Khusus tinggi pohon, dipakai tinggi pohon batang komersial yang merupakan ukuran tinggi batang yang laku dijual di pasar perdagangan sekaligus syarat kayu masuk ke industri penggergajian yaitu berkisar antara 2,8 meter sampai 4 meter. Untuk kegiatan penebangan, diperlukan 2 orang pekerja dengan upah penebang yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 200.000,- per hari untuk dua orang pekerja. Sedangkan untuk kegiatan pengangkutan diperlukan 6-7 orang dengan asumsi lokasi penebangan dekat dengan jalan, dengan upah harian sebesar Rp. 35.000,- per hari per orang serta diperlukan 12 orang dengan asumsi lokasi penebangan jauh dengan jalan, dengan upah harian sebesar Rp.
25
40.000,- per hari per orang. Dalam sekali panen, biasanya jumlah kayu yang dapat diangkut dalam bentuk log atau jika terjadi gergajian dalam bentuk sortimen, mencapai 4-5 truk dengan kapasitas 4-5 m3 per truk untuk ukuran kayu berdiameter lebih dari 18 cm dan 3 m3 per truk untuk ukuran kayu berdiameter kurang dari 18 cm. 5.1.2 Sub sistem pengolahan hasil Sub sistem pengolahan hasil yaitu suatu proses hingga dihasilkan bentuk produk akhir yang dijual oleh para petani hutan rakyat atau dipakai sendiri. Dari kedua KTH yang diteliti, tidak dijumpai petani yang menjual kayu sengon dalam bentuk kayu olahan. Hal ini dikarenakan pemanenan dilakukan oleh tengkulak, petani hanya berperan sampai tahap pemeliharaan saja. Alasan ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan petani berfikir praktis sehingga lebih memilih menyerahkan kegiatan pemanenan dilakukan oleh tengkulak. Hal ini disebabkan karena kebutuhan ekonomi dan dilatarbelakangi oleh penghematan dana untuk keperluan biaya pemanenan dan pengangkutan. 5.1.3 Sub sistem pemasaran hasil Sub sitem pemasaran hasil adalah kegiatan atau proses penjualan kayu rakyat (dalam penelitian ini dikhususkan jenis sengon) dari petani sebagai produsen kepada pembeli/konsumen, baik melalui perantara (tengkulak) maupun tidak. Hasil kayu dari hutan rakyat di lokasi penelitian dipasarkan ke wilayah Kecamatan Jasinga, Kecamatan Cigudeg dan bahkan sampai ke Provinsi Banten. Sistem pemasaran yang terjadi di kedua KTH yang diteliti yaitu petani langsung menjual ke tengkulak. Dari kondisi tersebut, dapat digambarkan saluran pemasarannya, seperti disajikan pada Gambar 3. Petani
Tengkulak
Industri Penggergajian Gambar 3 Saluran pemasaran kayu sengon di Desa Jugalajaya.
26
Dari hasil wawancara dengan industri penggergajian, hasil produk kayu olahan yang dihasilkan dari log kayu sengon berupa papan, balok, kaso dan reng dengan ukuran-ukuran tertentu. Produk kayu yang dihasilkan dari satu log kayu sengon dengan ukuran diameter > 20 cm adalah balok (10 cm x 10 cm x 3 m), papan (3 cm x 20 cm x 3 m), kaso (4 cm x 6 cm x 3 m) dan reng (2 cm x 5 cm x 3 m). Sedangkan untuk ukuran diameter yang lebih kecil biasanya digunakan untuk membuat sortimen kaso dan reng. Selain itu, hasil dari sisa gergajian biasanya dimanfaatkan untuk peruntukkan kayu bakar. Limbah ini biasanya dijual dengan satuan per truk. Satu truk untuk mengangkut limbah tersebut berkisar 6-8 m3. Ada juga sisa hasil gesekan yaitu serbuk gergajian. Limbah ini pun dipakai sebagai media budidaya jamur. 5.2 Dinamika KTH 5.2.1 Sejarah KTH Secara garis besar latar belakang atau dasar berdirinya kelompok tani dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Pertama, kelompok yang berdiri karena ada dorongan dari luar, baik karena ada program bantuan atau proyek. Kedua, kelompok tani yang terbentuk karena dorongan dari dalam, yaitu masyarakat atau petani itu sendiri. Usia atau lama berdirinya kelompok tidak menjamin tercapainya peningkatan kelas kelompok. Sebaliknya, kelompok yang didirikan dari bawah atau inisiatif masyarakat sendiri dapat menjadi modal dasar bagi berkembangnya kelompok secara lebih baik. Kelompok tani hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor dibentuk dari keinginan masyarakat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha tani. Keadaan ini didukung dengan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya yang mayoritas petaninya menanam kayu sengon. Pada saat itu trend kayu sengon sedang naik di pasar perdagangan sebagai bahan baku kayu pertukangan, karena kayu sengon memiliki daur yang relatif pendek dibandingkan dengan kayu jenis lain. Hal ini mendorong petani untuk semakin berkembang dalam usaha taninya terutama usaha dalam bertani kayu sengon. Kebutuhan industri penggergajian terhadap bahan baku kayu sengon yang begitu besar, ternyata tidak sejalan dengan kemampuan petani dalam mengelola hutan rakyat
27
terutama dalam menyediakan bahan baku kayu sengon tersebut. Selain itu, lahir keinginan petani akan pentingnya pengetahuan dan teknologi mengenai usaha taninya mendorong untuk mengelola hutan rakyat lebih optimal dan membawa pada kemampuan produktivitas kayu sengon meningkat. Dari kedua kondisi tersebut, lahirlah keinginan-keinginan petani untuk memperoleh bantuan dalam menjalankan usaha taninya. Keinginan-keinginan tersebut ternyata tidak bisa diwujudkan apabila petani melakukannya secara individual. Pemerintah Daerah setempat mengusulkan untuk membentuk suatu kelompok-kelompok tani agar petani bisa lebih mandiri dan bantuan atau proyek yang datang pun tepat sasaran, transparan dan efektif. Keadaan ini didukung oleh BP3K Wilayah Cigudeg dan memperoleh Instruksi dari Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor untuk membentuk suatu kelompok-kelompok tani. Dengan demikian lahirlah kelompok-kelompok tani yang bergerak di bidang pertanian dan kehutanan. Secara umum kedua KTH yang diteliti yaitu KTH Kuningsari II dan Mandiri II, terbentuk karena dorongan dari dalam yaitu masyarakat atau petani itu sendiri. Kelompok tani hutan yang dibentuk mengacu pada format organisasi modern dengan struktur kepengurusan dan elemen organisasi yang sangat kompleks, lengkap dan tertata rapi serta didukung oleh pranata hukum formal. Dukungan yang diperoleh tidak hanya dari masyarakat setempat tetapi juga oleh pemerintah melalui instansi yang terkait. Mardikanto (1992) mengemukakan bahwa kelompok tani bukan lagi suatu kelompok-kelompok informal tetapi lebih tepat sebagai kelompok formal atau organisasi yang berstruktur rangkap pamrihpaksaan. Namun demikian, derajat keformalan kelompok-kelompok tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Informasi mengenai KTH yang diteliti disajikan dalam Tabel 7.
28
Tabel 7 Informasi Mengenai KTH Informasi
KTH Kuningsari II
Kelompok
KTH Mandiri II
Tahun Berdiri
2009
2000
Struktur
Ketua
Ketua
Kepengurusan
Sekretaris
Sekretaris
Bendahara
Bendahara
Seksi-seksi:
Seksi-seksi:
- Humas
- Humas
- Sapras
- Produksi
- POPT (Peramalan
- Pengendalian Hama
Organisme Pengganggu Tumbuhan) - Usaha
- P3A Mitra Cai (Pengurus Petani Pengguna Air)
- P3A Mitra Cai (Pengurus Petani Pengguna Air) Jumlah Anggota
50 orang
50 orang
Sumber: Data Sekunder KTH
5.2.2 Unsur dinamika KTH Sebelum masuk ke pembahasan aspek dinamika KTH, dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Dari pengolahan hasil uji validitas menunjukkan tidak semua pernyataan dalam kuesioner valid. Sebagian besar tolak H 0, terima H1 dengan nilai sig 2-tailed kurang dari 5% (valid). Pertanyaan-pertanyaan yang valid pada aspek dinamika kelompok yang diteliti telah memenuhi syarat untuk digunakan dalam menilai tingkat kedinamisan kelompok. Sedangkan untuk pertanyaan yang tidak valid, tidak dapat digunakan untuk pengolahan analisis statistik berikutnya sehingga dikeluarkan dari analisis penelitian dan tidak dapat diolah lebih lanjut. Tahapan selanjutnya yaitu pengolahan hasil uji reliabilitas. Dari pengolahan hasil uji reliabilitas, diperoleh nilai rata-rata Alfa Croncbah yaitu lebih besar dari 0,50. Ini menunjukkan bahwa tingkat reliabilitas kuesioner tersebut tergolong tinggi, artinya pertanyaan pada kuesioner yang disebarkan
29
dapat digunakan untuk dijadikan alat ukur dalam penelitian ini. Hasil uji validitas dan reliabilitas disajikan pada Lampiran 1. Dinamika KTH adalah kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam kelompok petani hutan yang menentukan atau mempengaruhi perilaku kelompok dan anggota-anggotanya dalam rangka pencapaian tujuan secara efektif. Dinamika kelompok ini diukur dengan cara mengetahui jumlah skor dari delapan komponen indikatornya, yang meliputi: (1) tujuan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) fungsi tugas kelompok, (4) pembinaan dan pemeliharaan kelompok, (5) kekompakan kelompok, (6) suasana kelompok, (7) tekanan kelompok, dan (8) efektivitas kelompok. Skor dinamika kedua KTH yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Skor dinamika KTH
No
Unsur Dinamika Kelompok
KTH
KTH
Skor
KuningSari II
Mandiri II
Rata-rata
Skor1)
Skor1)
Total2)
1.
Tujuan kelompok
37,60
38,80
38,20
2.
Struktur kelompok
29,60
21,92
25,76
3.
Fungsi dan tugas kelompok
43,09
42,17
42,63
4.
Pembinaan dan pemeliharaan kelompok
46,33
51,42
48,88
5.
Kekompakan kelompok
57,87
55,82
56,85
6.
Suasana kelompok
37,00
36,60
36,80
7.
Tekanan kelompok
44,93
43,33
44,13
8.
Efektivitas kelompok
49,13
46,53
47,83
43,19
42,07
42,63
Dinamika kelompok
Keterangan: 1) Skor rata-rata posisi atau median (dalam persentase dari skor harapan maksimum) 2) Skor rata-rata dari KTH Kuningsari II dengan KTH Mandiri II (dalam persentase)
Tujuan Kelompok Tujuan kelompok adalah keadaan atau hasil akhir yang ingin dicapai oleh kelompok. Ada 3 sub indikator yang digunakan di dalam melihat tujuan ini, yaitu: (1) sifat dan kejelasan tujuan, (2) penjabaran tujuan (pembuatan rencana kerja dan Rencana Definitif Kelompok (RDK) / Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
30
(RDKK), dan (3) kesesuaian rencana kerja dan RDK/RDKK dengan keinginan dan kebutuhan anggota. Dari hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa tujuan kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor mencapai 38,20 % dari skor harapan maksimum. Tujuan KTH yang rata-rata tergolong masih rendah, terlihat dari: (1) belum ada tujuan kelompok yang spesifik, yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai oleh kelompok, dan (2) belum adanya upaya kelompok di dalam merumuskan tujuan kelompok secara tertulis, termasuk di dalam penyusunan rencana kegiatan atau kerja kelompok. Tujuan dan latar belakang berdirinya KTH merupakan keinginan masyarakat untuk memperoleh bantuan usaha. Tujuan yang bersifat spesifik, yang muncul dari KTH sendiri sejauh ini tidak ada. Umumnya KTH belum dapat merumuskan tujuan atau arah yang ingin dicapai oleh kelompok secara jelas. Demikan pula dalam hal rencana kerja atau kegiatan, KTH belum merumuskannya, sehingga para petani hutan rakyat yang tergabung dalam KTH tidak mengetahui apalagi memahami tujuan hakiki dari kelompok. Para petani hutan rakyat mengatakan sejauh ini belum pernah ada pertemuan khusus yang membahas tentang tujuan dan kegiatan kelompok. Mereka beranggapan bahwa tujuan kelompok hanya untuk memudahkan dalam memperoleh bantuan dari pemerintah ataupun dari dinas terkait. Karena belum spesifiknya tujuan dari berkelompok dan kegiatan kelompok lebih banyak menunggu ketika bantuan datang, hal tersebut dapat menjadi penyebab kurang berkembangnya kelompok untuk menjadi dinamis. Keadaan tersebut tentunya kurang mendukung untuk berkembangnya usaha para petani hutan rakyat. Hasil penelitian Yunasaf (2008) menunjukkan bahwa suatu kelompok tani sebenarnya dapat memiliki tujuan yang lebih spesifik, sehingga dapat mendorong dinamisnya kelompok tani tersebut. Tujuan yang bersifat spesifik tersebut sudah lebih menggambarkan hal-hal yang konkrit yang harus dicapai oleh kelompok dan relatif dekat dengan hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para anggotanya.
31
Struktur Kelompok Struktur kelompok adalah susunan hierarki mengenai hubungan-hubungan berdasarkan peranan dan status di dalam kelompok. Dalam melihat struktur kelompok ini digunakan 3 sub indikator, yaitu (1) struktur pengambilan keputusan, (2) struktur tugas, dan (3) struktur komunikasi. Hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa struktur kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong sangat rendah, dengan rata-rata skor mencapai 25,76 % dari skor harapan maksimum. Struktur KTH yang rata-rata masih tergolong sangat rendah terlihat dari masih lemahnya kelompok di dalam menyusun hierarki mengenai hubungan-hubungan atas dasar peranan dan status di kelompok. Kedua KTH yang diteliti umumnya sudah memiliki kelengkapan di dalam struktur kepengurusannya, namun struktur tersebut hanya sebagai formalitas saja. Pengaturan kelompok petani di dalam mengatur hubungan atas dasar peran dan status di kelompok, khususnya dilihat dari segi struktur kekuasaan, struktur tugas dan struktur komunikasi belum mendukung untuk berkembangnya kelompok. Dilihat dari struktur kekuasaan atau kewenangan, umumnya kelompok hanya dikendalikan oleh seorang ketuanya saja. Tidak ada unsur lainnya, baik itu sekretaris atau anggota lainnya yang ikut di dalam pengaturan kelompok. Oleh karena itu, dalam pengaturan tugas dan komunikasi pun semuanya terfokus pada ketua kelompok. Rendahnya struktur kelompok dari kedua KTH yang diteliti menunjukkan bahwa KTH tersebut belum mampu menjadi wadah kerjasama bagi para petani hutan rakyat. Hasil penelitian Yunasaf (2008) mengungkapkan bahwa suatu kelompok tani yang memiliki kelengkapan dan hubungan yang optimal didalam struktur kelompok dapat mencerminkan kemampuannya di dalam mengatur diri kelompok dalam mencapai tujuannya. Kelompok tani tersebut memiliki struktur kepengurusan yang relatif lengkap, yaitu terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi, juga dibagi habis ke dalam regu-regu. Pembagian regu-regu didasarkan atas kedekatan domisili anggota. Adanya regu tersebut untuk lebih memudahkan kelompok di dalam menangani dan memantau kinerja dari usaha petani. Kelompok pun memiliki jadwal pertemuan rutin, dua minggu sekali untuk
32
ketua regu, satu bulan sekali dengan para anggota, dan setiap tahunnya melakukan rapat tahunan di kelompok. Fungsi Tugas Kelompok Fungsi tugas kelompok adalah segala hal yang harus dilakukan oleh kelompok dalam rangka pencapaian tujuan. Untuk melihat hal tersebut digunakan 3 sub indikator, yaitu fungsi tugas kelompok dalam: (1) fungsi tugas memberi kepuasan; (2) fungsi tugas memberi informasi; (3) fungsi tugas koordinasi; dan (4) fungsi tugas memberi penjelasan. Hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa fungsi tugas kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor mencapai 42,63 % dari skor harapan maksimum. Rata-rata masih rendahnya fungsi tugas KTH terlihat dari usaha KTH cenderung baru bersifat sebatas menerima bantuan/proyek dari pemerintah atau dinas terkait dan sebagai penyalur sarana produksi yang dibutuhkan industri penggergajian skala kecil dengan motif menjual atas dasar kebutuhan pribadi dan penjualannya dilakukan secara individual. Kecenderungan masih rendahnya fungsi tugas KTH di dalam pelaksanaan pemberian informasi terlihat dari masih kurangnya upaya KTH di dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh petani hutan rakyat, baik dilihat dari segi
cakupan
informasi
yang
diberikan
maupun
dari
sarana
untuk
tersampaikannya informasi tersebut. Informasi yang diberikan oleh KTH, umumnya hanya sebatas dari pihak dinas atau pemerintah. Hal ini pun sifatnya temporer dan terbatas. Dari kedua KTH yang diteliti, tidak dijumpai upaya kelompok dalam membuat atau menyediakan papan informasi di dalam membantu tersebarnya informasi. Informasi yang ada biasanya dilakukan ketika pertemuan ataupun ketua kelompok memberikan informasi langsung kepada anggota secara individu. Fungsi tugas KTH dalam pemberian penjelasan juga masih tergolong rendah. Umumnya KTH belum memiliki atau menyediakan waktu khusus di dalam membahas atau menjelaskan berbagai hal yang menyangkut kepentingan kelompok maupun anggota. Pemberian penjelasan sifatnya insidental, hanya sewaktu-waktu saja. Hal inipun lebih banyak menyangkut penjelasan yang harus
33
disampaikan atas perintah pemerintah atau dinas terkait. Kelompok pun cenderung belum banyak melakukan upaya di dalam memfasilitasi para anggotanya untuk mengenal secara lengkap dan utuh perihal hak-haknya sebagai anggota. Melihat masih rendahnya fungsi tugas KTH tersebut menunjukkan bahwa kelompok tani relatif belum memiliki dorongan yang kuat di dalam memfasilitasi anggota-anggotanya di dalam mencapai tujuannya. Hal ini tentunya perlu dibenahi bila ingin melihat kelompok dapat lebih berperan di dalam menguatkan anggotaanggotanya. Salah satu penyebab yang mendasar, yaitu kurang berfungsinya KTH di dalam memenuhi kepentingan atau kebutuhan para anggotanya yang berkaitan dengan proses pembentukan dan pembinaannya. Karena rata-rata KTH tersebut lahir karena keinginan masyarakat memperoleh bantuan dari pemerintah ataupun dinas terkait. Pembinaan dan Pemeliharaan Kelompok Pembinaan dan pemeliharaan kelompok adalah usaha kelompok dalam menjaga kehidupannya. Untuk melihat hal ini digunakan 4 sub indikator, yang terdiri dari: (1) upaya menumbuhkan aktivitas, (2) upaya menyediakan fasilitas, (3) penciptaan norma, dan (4) mendapatkan anggota baru. Hasil penelitian sebagaimana tampak pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pembinaan dan pemeliharaan kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor mencapai 48,88 % dari skor harapan maksimum. Pembinaan dan pemeliharaan KTH yang umumnya tergolong rendah terlihat dari belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya. Hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pemeliharaan kelompok, biasanya terkait dengan adanya bantuan yang datang atau kunjungan dari pemerintah ataupun dinas terkait. Dalam menumbuhkan aktivitas misalnya, pada kedua KTH yang diteliti belum dijumpai adanya kegiatan-kegiatan yang diadakan kelompok yang sudah teratur dilaksanakan. Kelompok baru mengadakan pertemuan, apabila ada pihak dinas akan memberikan penyuluhan/bantuan kepada masyarakat. Contohnya, bila BP3K Wilayah Cigudeg akan mengadakan kegiatan penyuluhan, barulah para anggota
34
diundang untuk berkumpul di kelompok. Kegiatan penyuluhan inipun tidak sama dari segi frekuensi maupun penekanan materinya. Penyediaan fasilitas kelompok pun juga amat terbatas. Misalnya pada KTH Kuningsari II, KTH tersebut tidak memiliki tempat khusus sebagai tempat pertemuan para anggota-anggotanya. Bila ada pertemuan atau kegiatan lainnya yang dihadiri para anggota, biasanya menggunakan mushalla yang ada di dusunnya. Fasilitas lainnya yang langsung dikelola kelompok pun umumnya tidak ada. Namun, kondisi ini berbeda dengan KTH Mandiri II. Kelompok tani hutan Mandiri II memiliki tempat pertemuan khusus sebagai tempat pertemuan atau kegiatan, akan tetapi tempat ini biasanya hanya digunakan untuk menerima tamu yang akan berkunjung atau meninjau kelompok dalam pengelolaan sengon. Pada kedua KTH yang diteliti sejauh ini belum dijumpai adanya upaya penciptaan norma atau aturan-aturan di kelompok, baik yang berhubungan dengan keanggotaan kelompok maupun ketentuan pertemuan berkala atau rutin di kelompok. Apalagi membuat aturan yang berkaitan dengan pihak lain, peraturan semacam ini tidak ada. Ada aturan sebagai kesepakatan di kelompok tapi sifatnya tidak mengikat, yaitu simpanan atau tabungan dari penyisihan hasil sadapan karet. Hal ini hanya dijumpai pada KTH Mandiri II saja, yang dilakukan bagi anggota yang berminat. Dalam penerimaan anggota baru di kelompok, biasanya petani tertarik pada saat ada bantuan tani datang. Mayoritas motivasi petani hutan rakyat
ingin
bergabung ke KTH karena ingin mendapatkan bantuan, alasannya agar lebih mudah mendapatkan bantuan dari pemerintah atau dinas terkait ketimbang mereka bertani secara individu. Syarat menjadi anggota kelompok di kedua KTH yang diteliti umumnya masih tergolong sederhana yaitu hanya menyerahkan KTP dan surat kepemilikan luas lahan. Dengan demikian, petani sah menjadi anggota kelompok. Melihat masih rendahnya tingkat pembinaan dan pemeliharaan kelompok dari kedua KTH yang diteliti menyebabkan keadaan kelompok tersebut relatif kurang berkembang. Hal ini perlu diperbaiki bila ingin kelompok petani menjadi dinamis, terutama melalui upaya menumbuhkan aktivitas, penyediaan fasilitas dan penciptaan norma.
35
Kekompakan Kelompok Kekompakan kelompok adalah rasa keterikatan anggota terhadap kelompok. Ada 3 sub indikator yang digunakan dalam melihat hal ini, yaitu: (1) kepemimpinan kelompok, (2) nilai tujuan kelompok, dan (3) kerukunan dan kerjasama kelompok. Hasil penelitian sebagaimana tampak pada Tabel 8 menujukkan bahwa kekompakan kelompok dari kedua KTH yang diteliti tergolong cukup/sedang, dengan rata-rata skor sebesar 56,85 % dari skor harapan maksimum. Kekompakan kelompok yang tergolong cukup/sedang ini terlihat dari kepemimpinan kelompok pada kedua KTH tergolong cukup baik. Ketua kelompok dan susunan kepengurusannya merupakan hasil musyawarah dan mufakat. Ketua kelompok memiliki wibawa sebagai seorang pemimpin dan dipandang anggota memiliki kemampuan dalam memimpin. Hal ini terlihat dari tidak adanya pertentangan atau perselisihan yang dapat merugikan kelompok. Namun, keadaan seperti ini ternyata tidak mendukung suasana yang kondusif bagi munculnya kerjasama di kedua kelompok tersebut. Secara umum, selama ini tidak ada bentuk-bentuk kerjasama yang spesifik yang berasal dari kelompok, yang dapat dilaksanakan oleh semua anggota di kelompok. Kerjasama yang muncul sifatnya insidental atau hanya sewaktu-waktu saja. Hal ini disebabkan tidak jelasnya nilai tujuan dari kelompok, sehingga bagi para anggota tidak ada yang dapat dijadikan semacam tujuan idealnya dari berkelompok dan anggota sulit untuk mempunyai rasa keterikatan dikelompoknya. Dengan demikian, kedua KTH yang diteliti cenderung masih kurang dinamis. Hal ini merupakan salah satu cerminan bahwa KTH tersebut relatif belum berperan optimal di dalam menunjang pencapaian keberhasilan dari usaha taninya. Suasana Kelompok Suasana kelompok adalah keadaan moral, sikap dan perasaan yang terdapat di dalam kelompok. Ada 2 sub indikator yang digunakan dalam melihat hal tersebut, yaitu: (1) interaksi di kelompok, dan (2) lingkungan fisik. Hasil penelitian sebagaimana tampak pada Tabel 8 menunjukkan bahwa suasana kelompok dari kedua KTH yang diteliti tergolong rendah, dengan ratarata skor mencapai 36,80 % dari skor harapan maksimum. Suasana kelompok
36
yang tergolong masih rendah terlihat dari masih lemahnya kelompok di dalam memunculkan keadaan moral, sikap dan perasaan yang menunjang untuk dinamisnya kelompok. Rendahnya suasana kelompok tersebut disebabkan oleh kadar interaksi di kelompok yang relatif lebih terbatas dan dari faktor lingkungan yang tidak mendukung. Interaksi yang terjadi diantara pengurus, pengurus dengan anggota, dan interkasi antar anggota belum merupakan bagian dari interaksi yang bersifat substantif, umumnya hanya berkisar sebagai bagian dari rutinitas seharihari, seperti bertemu ketika pulang berkebun, atau datang ke ketua kelompok bila ada kebutuhan. Proses saling pengaruh mempengaruhi yang berkaitan dengan adanya kesadaran kepemilikan identitas sosial kelompok belum intensif terjadi. Penyebab lain, dipengaruhi oleh keadaan lingkungan fisik yaitu kelompok bukan sebagai wilayah pelayanan sebagai penyedia sarana produksi dan penyerap hasil produksi. Usaha tani yang dilakukan sifatnya masih pribadi bukan sebagai salah satu penyedia sarana produksi yang dikelola atau dihimpun oleh kelompok. Tekanan Kelompok Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan ketegangan dalam kelompok yang menyebabkan timbulnya usaha keras untuk mencapai tujuan kelompok. Ada 2 sub indikator di dalam melihat tekanan kelompok, yaitu: (1) tekanan dari dalam, dan (2) tekanan dari luar. Hasil penelitian sebagaimana tampak pada Tabel 8 menunjukkan bahwa tekanan kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor mencapai 44,13 % dari skor harapan maksimum. Tekanan KTH yang rata-rata masih tergolong rendah terlihat dari masih lemahnya tekanan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar kelompok di dalam mendorong pencapaian tujuan kelompok. Dari dalam kelompok sendiri kurang muncul adanya keinginan atau tuntutan dari para anggota di dalam memperjuangkan kepentingannya, contohnya dari kedua KTH yang diteliti, masing-masing anggota tidak pernah menuntut kepada kelompok untuk memiliki sarana dan prasarana yang mendukung dalam bertani. Keinginan yang diajukan ke kelompok hanya sebatas ucapan saja, tidak ada usaha untuk mencapai untuk memenuhi tujuan tersebut. Sedangkan tekanan kelompok yang berasal dari luar juga relatif masih rendah. Ketegangan yang timbul di kelompok terbilang rendah sehingga tidak
37
cukup untuk memberikan pengaruh yang positif bagi tercapainya kemajuan atau keberhasilan kegiatan di kelompoknya. Tuntutan dari pemerintah maupun dari dinas yang terkait agar kelompok berprestasi atau berkembang kurang dirasakan oleh anggota kelompok. Hal ini terlihat dari pemerintah atau dinas terkait hanya memberikan bantuan, tanpa memperhitungkan dampak dari bantuan tersebut. Di satu sisi bantuan tersebut memberikan hal positif untuk petani, tetapi di sisi lain bantuan yang sudah diterima oleh petani cenderung bersifat memanjakan kelompok, bukan mendidik agar kelompok lebih bisa mandiri. Efektivitas Kelompok Efektivitas kelompok adalah keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya. Untuk melihat hal tersebut, digunakan 3 sub indikator, yaitu dilihat dari: (1) tingkat peran anggota dalam kegiatan kelompok, (2) tingkat keberhasilan kegiatan kelompok, dan (3) moral anggota. Hasil penelitian sebagaimana tampak pada Tabel 8 menunjukkan bahwa efektivitas kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor sebesar 47,83 % dari skor harapan maksimum. Efektivitas KTH yang rata-rata masih tergolong rendah, terlihat dari belum berhasilnya KTH di dalam mencapai tujuannya. Peran anggota dalam kegiatan kelompok hanya sebatas pada usaha menghadiri kegiatan pertemuan berkala atau rutin kelompok saja. Tidak ada kegiatan kelompok, yang keberhasilannya menjadi kebanggaan anggotanya. Kegiatan kelompok yang terlaksana hanya pertemuan rutin atau berkala. Itupun frekuensinya sangat rendah, sehingga sulit untuk dicapainya kemajuan bagi kelompok maupun para anggotanya. Contohnya, pertemuan yang dilakukan oleh KTH Mandiri II pada saat membahas kegiatan usaha taninya, seperti disajikan pada Gambar 4. Oleh karena itu dari kedua KTH yang diteliti, tidak ada fasilitas yang dimiliki oleh kelompok yang dapat mendukung usaha para anggota.
38
Gambar 4 Pertemuan KTH Mandiri II di Desa Jugalajaya. Dengan demikian, secara kumulatif tingkatan dinamika kelompok dari kedua KTH yang diteliti masih tergolong rendah, dengan rata-rata skor sebesar 42,63 % dari skor harapan maksimum. Dinamika KTH yang rata-rata tergolong rendah, terlihat dari masih rendahnya faktor-faktor atau kekuatan yang mampu menggerakkan perilaku kelompok dan anggota-anggota untuk mencapai tujuannya secara efektif. Dengan masih rendahnya dinamika KTH tersebut, pada dasarnya menggambarkan pula masih rendahnya peran kelompok di dalam mendorong tercapainya kedinamisan tani hutan. Lemahnya unsur-unsur dari dinamika KTH ini tercermin dari: (1) masih rendahnya tingkat kepemimpinan ketua kelompok; (2) tidak adanya tujuan yang spesifik yang muncul dari kelompok; (3) terbatasnya struktur kekuasaan atau kewenangan, umumnya kelompok hanya dikendalikan oleh seorang ketuanya saja, karenanya dalam pengaturan tugas dan komunikasi pun semuanya terfokus pada ketua kelompok; (4) pelaksanaan fungsi tugas kelompok, yang bersumber langsung dari inisiatif kelompok tergolong jarang, lebih banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya bantuan/proyek dari pemerintah; (5) belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya; (6) rasa keterikatan anggota terhadap kelompok umumnya hanya sebatas sebagai bagian dari keanggotaan kelompok; dan (7) interaksi antar anggota belum merupakan bagian dari interaksi yang bersifat substantif, umumnya hanya berkisar sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari, belum didasarkan atas adanya kesadaran kepemilikan identitas sosial yang kuat. Melihat gambaran tingkatan dinamika KTH yang rata-rata masih tergolong rendah menunjukkan bahwa KTH tersebut
39
belum mampu sebagaimana dikemukakan oleh Hubeis (2000) menjadi wadah kerjasama sebagai suatu unit sosial dengan kaidah dan norma yang disepakati anggota sehingga menjadi kelembagaan yang mapan dan berpengaruh. 5.2.3 Uji korelasi unsur dinamika kelompok Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ada hubungan yang nyata diantara unsur-unsur dinamika kelompok. Dari kedelapan unsur yang diteliti, hanya unsur tujuan kelompok dan suasana kelompok yang tidak berhubungan dengan unsur dinamika kelompok yang lain. Tujuan kelompok dan suasana kelompok memiliki nilai Assymp. Sig lebih dari nilai alpha sehingga Hipotesis H0 diterima. Hal ini disebabkan kedua KTH yang diteliti tidak memiliki tujuan yang spesifik dan tertulis serta interaksi yang sifatnya masih dalam kegiatan sehari-hari, belum mencerminkan interaksi yang sifatnya subtantif sehingga parameter tersebut tidak bisa menjelaskan pengaruhnya terhadap unsur dinamika kelompok yang lain. Sedangkan unsur dinamika kelompok lain seperti struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan dan pemeliharaan kelompok, kekompakan kelompok, tekanan kelompok dan efektivitas kelompok menunjukkan hubungan yang nyata diantara unsur-unsur dinamika kelompok. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Assymp. Sig kurang dari nilai alpha sehingga Hipotesis H0 ditolak, H1 diterima. Struktur dan fungsi tugas kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan tekanan kelompok, maupun sebaliknya. Sedangkan pembinaan dan pemeliharaan kelompok serta kekompakan kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan tekanan dan efektivitas kelompok, maupun sebaliknya. Selanjutnya tekanan kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan efektivitas kelompok, maupun sebaliknya. Dengan demikian, mayoritas unsur dinamika kelompok yang saling berhubungan sangat dipengaruhi oleh unsur tekanan kelompok. Hubungan diantara tekanan kelompok dengan struktur dan fungsi tugas kelompok menandakan bahwa keadaan susunan hierarki mengenai hubunganhubungan berdasarkan peranan dan status di dalam kelompok dan segala hal yang harus dilakukan oleh kelompok dalam rangka pencapaian tujuan masih dipengaruhi oleh pihak luar yaitu pemerintah atau dinas terkait. Hal ini bisa dilihat dari struktur kepengurusan yang tidak berjalan dan usaha KTH yang cenderung
40
bersifat sebatas menerima bantuan/proyek dari pemerintah atau dinas terkait. Kemudian hubungan diantara tekanan kelompok dengan pembinaan dan pemeliharaan kelompok serta kekompakan kelompok. Hubungan ini bisa dilihat dari belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya. Hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pemeliharaan kelompok, biasanya terkait dengan adanya bantuan yang datang atau kunjungan dari pemerintah ataupun dinas terkait sedangkan yang berkaitan dengan kekompakan kelompok selama ini tidak ada bentuk-bentuk kerjasama yang spesifik yang berasal dari kelompok, yang dapat dilaksanakan oleh semua anggota di kelompok. Kerjasama yang muncul sifatnya insidental atau hanya sewaktu-waktu saja. Selanjutnya hubungan diantara tekanan kelompok dengan efektivitas kelompok. Hubungan ini terlihat dari belum adanya kemauan atau keinginan anggota untuk berusaha lebiih baik lagi, sehingga anggota kelompok cenderung statis dalam usaha taninya. Hasil uji korelasi unsur dinamika kelompok tani disajikan pada Lampiran 2. 5.3 Hubungan Dinamika KTH dengan Pengelolaan Hutan Rakyat Hubungan antara unsur dinamika KTH dengan pengelolaan hutan rakyat khususnya sub sistem produksi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Tingkat hubungan dinamika KTH dengan pengelolaan hutan rakyat A1 Spearman's rho
A1
Correlation
A2
A3
A4
1,000
-0,155
0,195
-0,515**
.
0,283
0,175
0,000
50
50
50
50
Coefficient Sig. (2-tailed) N
Keterangan:
A1 = Dinamika Kelompok Tani Hutan A2 = Penanaman A3 = Pemeliharaan A4 = Pemanenan
Hasil analisis SPSS sebagaimana terlihat pada Tabel 9, menunjukkan bahwa dinamika KTH memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat pada sub sistem produksi. Hal ini ditunjukan oleh nilai sig. (2-tailed) pada kegiatan penanaman dan pemeliharaan lebih dari 5%, yaitu tolak H0. Hubungan yang tidak nyata ini tergambar pada kedua KTH yang melakukan kegiatan usaha
41
taninya secara individual. Sedangkan pada kegiatan pemanenan, terima H1 dengan nilai sig. (2-tailed) kurang dari 5%, artinya memiliki pengaruh yang nyata terhadap pengelolaan hutan rakyat pada sub sistem produksi. Namun kegiatan pemanenan ini berkorelasi negatif yang artinya bila salah satu peubah dinaikkan, maka peubah yang lainnya akan turun. Hubungan ini mengindikasikan bahwa apabila kelompok memiliki aturan mengenai harga jual kayu sengon, maka pemanenan yang dilakukan oleh tengkulak dapat diminimalkan, sebaliknya apabila kelompok tidak memiliki peran atas kesepakatan penjualan kayu sengon petani, maka akan terus diatur harga jual kayu sengon tersebut oleh tengkulak. 5.4 Arah Pengembangan dan Pembinaan Kelompok Tani Kelompok tani hutan merupakan kelompok sosial yang bersifat dinamis, karena adanya interaksi sosial antar anggota kelompoknya. Menurut Soekanto (1990) interaksi sosial dapat terjadi apabila memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Namun interaksi yang terjadi dapat bersifat positif yang mengarah pada kerjasama dan dapat juga bersifat negatif yang mengarah pada pertentangan atau bahkan tidak menghasilkan interaksi sosial. Maka dari itu perlu analisis target pengembangan model dinamika kelompok, yang tidak terlepas dari faktor-faktor pendukungnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10 Unsur-unsur dinamika kelompok yang masih perlu pengembangan dan pembinaan No.
Unsur Dinamika Kelompok
Skor Rata-rata Total (%)
1.
Tujuan kelompok
38,20
2.
Struktur kelompok
25,76
3.
Fungsi dan tugas kelompok
42,63
4.
Pembinaan dan pemeliharaan kelompok
48,88
5.
Kekompakan kelompok
56,85
6.
Suasana kelompok
36,80
7.
Tekanan kelompok
44,13
8.
Efektivitas kelompok
47,83
Dinamika Kelompok
42,63
42
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa target pertama yang menjadi prioritas pengembangan adalah struktur kelompok yang memiliki nilai skor rata-rata total paling kecil yaitu 25,76%. Arah pengembangan dan pembinaan yang perlu dilakukan yaitu pembagian tugas yang harus lebih jelas yakni memaksimalkan status dan peran di kelompok agar peran dari masing-masing anggota lebih bisa difungsikan dan struktur tugas kelompok tidak lagi terfokus pada ketua kelompoknya saja. Selain itu, perlu dikaji kembali baik mengurangi ataupun menambahkan struktur kepengurusan kelompok, agar struktur tersebut lebih efisien. Selanjutnya target prioritas pengembangan kedua, yaitu untuk suasana kelompok sebesar 36,80%, tujuan kelompok sebesar 38,20%, fungsi tugas kelompok sebesar 42,63% dan tekanan kelompok sebesar 44,13%. Target pembinaan tujuan kelompok yaitu adanya kejelasan tujuan serta informasi yang akan disampaikan kepada para anggota, dapat dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi yang lebih intensif, sehingga seluruh anggota dapat mengerti dan memahaminya dan akhirnya dapat melaksanakan apa yang diinginkan kelompok. Sedangkan arah pengembangan dan pembinaan tekanan kelompok khususnya untuk tekanan dari dalam yaitu tidak ada penghargaan bagi yang berprestasi dan tidak diberi hukuman bagi yang melanggar ketentuan atau norma yang berlaku. Dengan demikian anggota tidak merasakan adanya penghargaan dan hukuman terhadap hasil yang dicapai, maka prioritas yang diperlukan adalah dengan penegakan norma (aturan-aturan) yang terlebih dahulu disepakati dan ditaati oleh seluruh anggota kelompok. Target terakhir yang menjadi prioritas pembinaan adalah efektivitas kelompok sebesar 47,83%, pembinaan dan pemeliharaan kelompok sebesar 48,88% dan kekompakan kelompok sebesar 56,85%. Target efektivitas kelompok yang perlu diperhatikan adalah keanggotaan ini harus benar-benar atas keinginan sendiri dan bukan karena ikut-ikutan orang lain, karena dasar keanggotaan ini akan berdampak terhadap respon anggota terhadap keberadaan kelompoknya, dan akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok. Target pembinaan lebih diarahkan pada pembangunan fasilitas yang dimiliki kelompok, sehingga apabila fasilitas yang dimiliki cukup memadai maka aktifitas anggota dapat lebih
43
diperbanyak sehingga mendorong untuk menarik anggota baru. Sedangkan target pembinaan kekompakan kelompok yaitu jadwal pertemuan yang harus disepakati dan ditaati bersama. Namun demikian keberhasilan KTH tidak terlepas dari kelembagaan-kelembagaan yang mendukungnya, seperti diilustrasikan pada Gambar 5.
Lembaga Perekonomian Desa, seperti koperasi, pasar, kios, bank rakyat, toko Lembaga Pemerintah, seperti instansi terkait dengan kegiatan kelompok tani yaitu Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dll
Kelompok tani sebagai salah satu bentuk kelembagaan sosial
Lembaga-lembaga masyarakat seperti adat, swadaya, pendidikan, penelitian Gambar 5 Model sinergisitas kelembagaan yang diadopsi dari model kelembagaan sebagai target pengembangan Djoni dan Abidin (2000). Keberhasilan KTH tidak terlepas dari dukungan kelembagaan perekonomian desa, seperti bank rakyat dan koperasi yang dapat menyediakan bantuan dana, pasar tempat terjadinya transaksi hasil dari hutan rakyat, serta kios-kios yang dapat menyediakan sarana produksi bagi kegiatan hutan rakyat. Demikian juga dukungan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti adanya pendampingan tenaga ahli dari lembaga pendidikan, hasil penelitian yang mendukung peningkatan pengembangan hutan rakyat. Demikian juga hubungan antara lembaga masyarakat dengan lembaga perekonomian desa, hasilnya dapat meningkatkan perkembangan kelompok tani dengan cara meningkatkan perkembangan hutan rakyatnya. Dengan demikian kelembagaan-kelembagaan tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi, sehingga tercipta sinergisitas untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan perkembangan hutan rakyat melalui pengembangan kelompok tani yang mandiri dan profesional.
44
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Jugalajaya dilakukan secara individual pada tingkat kepala keluarga. Kegiatan yang dilakukan hanya pada sub sistem produksi saja, sedangkan sub sistem pengolahan hasil dan pemasaran hasil dilakukan oleh industri penggergajian. Sub sistem produksi yang dilakukan petani meliputi persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan dilakukan oleh tengkulak dengan sistem penjualan borongan per hamparan lahan. 2. Tingkat kedinamisan kelompok dari kedua KTH yang diteliti tergolong masih rendah. Dinamika KTH yang rata-rata masih tergolong rendah, terlihat dari masih rendahnya faktor-faktor atau kekuatan yang mampu menggerakkan perilaku kelompok dan anggota-anggota untuk mencapai tujuannya secara efektif. Lemahnya unsur-unsur dari dinamika KTH ini tercermin dari: (1) masih rendahnya tingkat kepemimpinan ketua kelompok; (2) tidak adanya tujuan yang spesifik yang muncul dari kelompok; (3) terbatasnya struktur kekuasaan atau kewenangan, umumnya kelompok hanya dikendalikan oleh seorang ketuanya saja, karenanya dalam pengaturan tugas dan komunikasi pun semuanya terfokus pada ketua kelompok; (4) pelaksanaan fungsi tugas kelompok, yang bersumber langsung dari inisiatif kelompok tergolong jarang, lebih banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya bantuan/proyek dari pemerintah; (5) belum adanya usaha-usaha yang spesifik yang berasal dari kelompok untuk menjaga kehidupannya; (6) rasa keterikatan anggota terhadap kelompok umumnya hanya sebatas sebagai bagian dari keanggotaan kelompok; dan (7) interaksi antar anggota belum merupakan bagian dari interaksi yang bersifat substantif, umumnya hanya berkisar sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari, belum didasarkan atas adanya kesadaran kepemilikan identitas sosial yang kuat. 3. Keberadaan kelompok yang telah diukur dari aspek dinamika kelompok ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap kegiatan sub sistem produksi
45
pengelolaan hutan rakyat. Hubungan yang ditunjukkan bersifat negatif, artinya apabila peubah yang satu dinaikkan maka peubah yang lain akan turun. Saat ini kelompok hanya dalam posisi sebagai media untuk memperoleh bantuan atau proyek, bukan sebagai wadah konsultasi, wahana kerjasama, mitra kerja dan wadah belajar bagi petani hutan rakyat. 6.2 Saran 1. Perlu pembenahan kelompok khususnya menetapkan tujuan dan rencana kegiatan,
agar
kelompok
berfungsi
sebagaimana
mestinya
melalui
pendampingan. 2. Sebaiknya kelompok membuat kesepakatan mengenai aturan-aturan kerjasama dengan pihak luar dan aturan mengenai harga jual kayu sengon dengan sistem kubikasi. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengkaji proses terbentuknya kelompok dan pembinaan dari dinas terkait terhadap dinamika kelompok yang dapat mempengaruhi pengelolaan hutan rakyat.
46
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Laporan Penanaman Kegiatan One man One Tree (OMOT) Balai Pengelolaan Das Citarum Ciliwung. http://www.bpdasctw.info/FileDownloadan/Data_OMOT_2009. [28 Oktober 2010] Atmosuseno BS. 1994. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya. Departemen Kehutanan. 1997. Handbook of Indonesian Forestry. Jakarta: Kopkarhutan. Djoni dan Abidin J. 2000. Dinamika Kelompok di Kalangan Kelompok Tani Pondok Pesantren (PONTREN) Pelaksana Usahatani Model Wanatani di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Pengembangan Model Wanatani Di DAS Citanduy. Laporan Kajian Kelembagaan, Sosiologis, Ekonomi dan Biofisik. Kerjasama Universitas Siliwangi Dengan Balai RLKT DAS Cimanuk-Citanduy Ditjen RLPS-DEPHUTBUN RI. Tasikmalaya. Tidak diterbitkan. Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Di dalam: Didik Suharjito. Hutan Rakyat di Jawa Perannya Dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hubeis
AVS. 2000. Suatu Pikiran tentang Kelembagaan Petani. Jakarta: Deptanhut.
Kebijakan
Pemberdayaan
Jaffar. 1993. Pembangunan Hutan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam: Awang. Gurat Hutan Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Kehutanan Masyarakat. Mardikanto T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, University Press. . 1993. Penyuluhan Pembangunan Universitas Sebelas Maret, University Press.
Pertanian.
Surakarta:
Margono S. 2001. Kelompok Organisasi dan Kelompok Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. Purwanto dan Huraerah A. 2006. Dinamika Kelompok: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama. Siegel S. 1992. Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Siregar IZ, Yunanto T, Ratnasari J. 2008. Kayu Sengon. Depok: Penebar Swadaya. Slamet M. 1978. Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Ed Ke-3. Bogor : IPB. Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
47
Soedijanto L. 1980. Organisasi, Kelompok dan Kepemimpinan. Pendidikan Guru Pertanian, Institut Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian Ciawi, Bogor. Sudaryanti S. 2002. Dinamika Kelompok Tani Hutan (Kasus pada Program Perhutanan Sosial Desa Kemang BKPH Ciranjang Selatan, Kabupaten Cianjur) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Peranannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Sutarto. 1993. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Syamsu S., Yusril M dan Suwarto F. 1991. Dinamika Kelompok dan Kepemimpinan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan Uyanto SS. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Yogyakarta. Yunasaf U. 1997. Perilaku Kepemimpinan Kontaktani Menurut Anggota Kelompok Tani (Kasus pada Kelompok Tani Ternak Ayam Buras di Kabupaten Ciamis) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. . 2008. Dinamika Kelompok Peternak Sapi Perah dan Keberdayaan Anggotanya di Kabupaten Bandung [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1 Hasil uji validitas dan reliabilitas dinamika kelompok
p3
1. Tujuan kelompok p4
Correlations p1
p2
p3
p4
p5
p6
total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,646(**) 0,000 50 -0,095 0,512 50 0,327(*) 0,020 50 0,646(**) 0,000 50 0,327(*) 0,020 50 0,211 0,141 50 1 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,255
p5
p6
p7
p8
total
50
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,841
N of Items 5
3. Fungsi tugas kelompok
N of Items
Correlations 4
p1
p2
Correlations
p2
Total 50 0,135 0,352 50 0,633(**) 0,000 50 0,633(**) 0,000 50 0,798(**) 0,000 50 0,790(**) 0,000 50 0,754(**) 0,000 50 1
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
2. Struktur kelompok
p1
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Total 0,093 0,522 50 0,090 0,534
p3
p4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Total 0,682(**) 0,000 50 0,502(**) 0,000 50 0,480(**) 0,000 50 0,056 0,700
50
p5
p6
p7
p8
p9
total
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 50 0,218 0,128 50 0,514(**) 0,000 50 0,562(**) 0,000 50 0,368(**) 0,009 50 0,296(*) 0,037 50 1
p6
p7
p8
p9
p10
p11 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
p12
Reliability Statistics
p13
Cronbach's Alpha 0,529
N of Items
total
7
4. Pembinaan dan pemeliharaan kelompok Correlations p1
p2
p3
p4
p5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Total 0,343(*) 0,015 50 0,533(**) 0,000 50 0,599(**) 0,000 50 0,495(**) 0,000 50 0,456(**)
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,001 50 0,578(**) 0,000 50 0,310(*) 0,028 50 0,533(**) 0,000 50 -0,134 0,353 50 0,466(**) 0,001 50 -0,191 0,183 50 0,352(*) 0,012 50 0,343(*) 0,015 50 1 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,539
N of Items 11
5. Kekompakan kelompok Correlations p1
p2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Total 0,495(**) 0,000 50 0,341(*)
51
p3
p4
p5
p6
p7
p8
p9
total
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,016 50 0,856(**) 0,000 50 0,916(**) 0,000 50 0,916(**) 0,000 50 0,757(**) 0,000 50 0,534(**) 0,000 50 0,470(**) 0,001 50 0,470(**) 0,001 50 1 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
p4
p5
total
9
Cronbach's Alpha 0,676
p2
p3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
p1
p2
p5 Total 0,868(**) 0,000 50 0,868(**) 0,000 50 0,868(**)
4
Correlations
6. Suasana kelompok
p1
N of Items
7. Tekanan kelompok
p4
Correlations
50
Reliability Statistics
p3
N of Items
Total 0,000 50 0,055 0,703 50 0,428(**) 0,002 50 1
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,820
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
p6
total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,632(**) 0,000 50 0,621(**) 0,000 50 0,775(**) 0,000 50 0,893(**) 0,000 50 0,893(**) 0,000 50 0,637(**) 0,000 50 1 50
52
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
p13
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,845
N of Items
p14 6 total
8. Efektivitas kelompok Correlations p1
p2
p3
p4
p5
p6
p7
p8
p9
p10
p11
p12
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation
Total 0,763(**) 0,000 50 0,836(**) 0,000 50 0,836(**) 0,000 50 0,763(**) 0,000 50 0,394(**) 0,005 50 0,706(**) 0,000 50 0,794(**) 0,000 50 0,660(**) 0,000 50 -0,095 0,513 50 0,631(**) 0,000 50 0,475(**) 0,000 50 0,565(**)
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,000 50 0,617(**) 0,000 50 0,165 0,251 50 1 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Relibility Statistics Cronbach's Alpha 0,793
N of Items 12
53
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas pengelolaan hutan rakyat
Reliability Statistics
1. Penanaman
Cronbach's Alpha 0,29
Correlations u1
u2
total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Total 0,463** 0,001 50 0,983** 0,000 50 1 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics Cronbach's Alpha 0,208
N of Items 4
3. Pemanenan Correlations u1
u2
total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
2
2. Pemeliharaan
Cronbach's Alpha 0,849
Correlations
p2
p3
p4
total
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
N of Items
Reliability Statistics
p1
Total 0,952** 0,000 50 0,922** 0,000 50 1
total 0,424** 0,002 50 0,332* 0,019 50 0,299* 0,035 50 0,853** 0,000 50 1
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
50
N of Items 2
54
Lampiran 2 Hasil uji korelasi unsur dinamika kelompok
Spearman's rho
TJK
STK
FTGK
PPK
KKLP
SKLP
TKLP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
TJK 1,000 , 50 -0,183 0,204 50 0,035 0,811 50 0,089 0,540 50 0,115 0,427 50 -0,258 0,070 50 0,254 0,075
Correlations STK FTGK -0,183 0,035 0,204 0,811 50 50 1,000 0,240 0, 0,093 50 50 0,240 1,000 0,093 0, 50 50 -0,215 -0,265 0,133 0,063 50 50 0,086 0,080 0,554 0,580 50 50 -0,024 -0,065 0,867 0,655 50 50 ** 0,554 0,369** 0,000 0,008
PPK 0,089 0,540 50 -0,215 0,133 50 -0,265 0,063 50 1,000 0, 50 0,114 0,429 50 0,206 0,151 50 0,371** 0,008
KKLP 0,115 0,427 50 0,086 0,554 50 0,080 0,580 50 0,114 0,429 50 1,000 0, 50 0,212 0,139 50 0,501** 0,000
SKLP -0,258 0,070 50 -0,024 0,867 50 -0,065 0,655 50 0,206 0,151 50 0,212 0,139 50 1,000 0, 50 0,253 0,077
TKLP 0,254 0,075 50 0,554** 0,000 50 0,369** 0,008 50 0,371** 0,008 50 0,501** 0,000 50 0,253 0,077 50 1,000 0,
EKLP 0,038 0,795 50 -0,019 0,898 50 -0,169 0,239 50 0,549** 0,000 50 0,304* 0,032 50 0,276 0,053 50 0,373** 0,008
55
TJK N 50 EKLP Correlation Coefficient 0,038 Sig. (2-tailed) 0,795 N 50 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations STK FTGK 50 50 -0,019 -0,169 0,898 0,239 50 50
PPK 50 0,549** 0,000 50
KKLP 50 0,304* 0,032 50
SKLP 50 0,276 0,053 50
TKLP 50 0,373** 0,008 50
EKLP 50 1,000 0, 50