BAB XI. Konflik dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) . Pokok bahasan Perundangan yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah UUPK 41/99 sebagai pengganti UUPK 5/67. UUPK 41/99 ini dikatakan lebih populis dan mengakui eksistensi hukum adat. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Di dalam pasal 3 selanjutnya disebutkan bahwa penyelenggaraan Kehutanan bertujuan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional. b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang lestari dan seimbang. c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap perubahan eksternal. e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Peran masyarakat atau partisipasi terhadap pengelolaan hutan diberikan kelonggaran yang memadai yang ditekankan kepada pemberdayaan masyarakat seperti tertera di pasal 68 : 1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh hutan. 2) Selain hak diatas (pasal 1) masyarakat dapat : Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan lainnya.
1
Memberi masukan dan saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan. Melakukan pengawasan terhadap pelaksaaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. 3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan sesuai dengan perundangan yang berlaku. 4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selanjutnya masyarakat memiliki hak tanggung jawab gugat seperti disebutkan dalam pasal 71 5) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/kpts – 11/2001 tentang Hutan Kemasyarakatan (Hkm) lebih rinci menunjukkan bahwa, Hkm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya (pasal 1 ayat 1). Selanjutnya mengenai pemanfaatan hutan (pasal 1 ayat 2), disebutkan bahwa pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam ; a) pemanfaatan kawasan, b) pemanfaatan jasa lingkungan, c) pemanfaatan hasil hutan kayu, d) pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, e) pemungutan hasil hutan kayu, f) pemungutan hasil hutan buka kayu. Sementara itu kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah pengelolaan Hkm adalah kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi yang tidak dibebani ijin lain di bidang kehutanan.
Dalam bab ini akan disajikan contoh kasus konflik dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Kalibiru Hargowilis, BDH Kulonprogo, DIY.
2
Latar Belakang Indonesia adalah Negara berkembang, yang salah satu ciri Negara berkembang ini adalah pertumbuhan penduduk yang relatif cepat yang mengakibatkan pengusahaan lahan petani semakin sempit dan cenderung semakin tidak cukup untuk hidup layak. Gejala menyempitnya lahan pertanian ini bagi petani lebih dirasakan di pulau Jawa. Menyempitnya lahan untuk pertanian ini berimbas kepada kerusakan sumber daya hutan terutama yang berada di desa yang secara langsung disebabkan oleh kekurangan lahan garapan bagi petani, pemenuhan sumber kayu bakar ataupun hijauan makanan ternak, maupun diakibatkan oleh pencurian kayu. Pada tahun 1963, seorang peneliti Anthropologi dari Amerika Serikat menulis tentang “involusi pertanian”, yang dimaksudkan sebagai batas akhir dari kemampuan lahan sawah untuk bisa menampung tambahan tenaga kerja baru. Kemudian yang menarik, menurut peneliti ini yaitu Clifford Geertz adalah kemampuan petani untuk terus menerus memenuhi kebutuhan hidupnya meskipun lahan yang dimilikinya semakin sempit (Achmad FS, 2011). Permasalahan yang timbul kemudian adalah seberapa banyak, luas garapan petani pengelola lahan ataupun hutan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Permasalahan inilah kemudian yang akan dibahas dengan pertanyaan lebih lanjut, berapakah tekanan penduduk terhadap lahan kelola, baik lahan milik (atau setelah memperoleh lahan hutan). Kemudian seberapa besar strata kemiskinan penduduk sekitar hutan, apakah merata kemiskinannya ataupun ada yang bisa hidup cukup. Selanjutnya seberapa besar pengelola hutan negara harus membantu petani, misalnya berapa hektar lahan garapan yang diperlukan/th, dan lain-lain. Obyek dari studi ini dipilih masyarakat desa sekitar hutan negara yaitu desa Hargowilis Kec. Kokap Kab. Kulonprogo karena desa ini awalnya dahulu (1996) termasuk desa miskin yang dibantu pemerintah dengan proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT), juga termasuk desa daerah tangkapan waduk Sermo (catchment-area). Di pihak lain, hutan negara ini termasuk Hutan Lindung yang tidak boleh digarap/ dikerjakan dengan pengelolaan lahan seperti layaknya daerah pertanian, dan hanya boleh dimanfaatkan dari hasil nonkayu.
3
Hasil Penelitian Penelitian dilakukan di areal Hkm di dn. Kalibiru, ds. Hargowilis, Kec. Kokap, Kab. Kulonprogo, Provinsi D.I. Yogyakarta. Dusun Kalibiru berjarak 40 km dari Yogyakarta ke arah barat dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Secara umum dusun Kalibiru berada di puncak perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 700-800 mdpl. Keadaan geografi curam sampai dengan sangat curam antara kemiringan 30% sampai 100% atau lebih. Areal Hkm yang dikelola masyarakat dn. Kalibiru termasuk kedalam petak 28 dan 29, termasuk RPH Sermo, BDH Kulonprogo, dengan status kawasan Fungsi Hutan Lindung. Luas areal Hkm 29 ha terbagi kedalam 7 blok yang masing-masing blok antara 3-5 ha. Kelompok Tani Hutan dn. Kalibiru dinamakan UM-KTH Mandiri, dengan harapan supaya masyarakat bisa mandiri tidak mengharapkan bantuan dari luar. Pada awalnya Desa Hargowilis adalah desa terbelakang, akses menuju keluar desa begitu sulitnya, harus berjalan kaki dari desa ke pasar Pengasih misalnya sejauh 35 km turun gunung. Seorang ibu namanya Bu Parlan (isteri ketua Hkm lama) mengatakan, kalau ingin membuat rumah tembok harus membeli semen ke pasar bawah (Sermo atau Pengasih) harus di gendong berjalan naik turun gunung sejauh 3km. Sementara Pak Parlan sendiri mengatakan, kalau mencari rumput sampai sejauh 5 km ke Gunung Kelir di perbatasan dengan daerah Purworejo. Oleh karena itu benar sekali bahwa tahun 1996, desa ini termasuk desa miskin, termasuk desa yang dibantu pemerintah dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Desa Hargowilis, termasuk desa yang relatif maju, walaupun akses tetap sukar, dengan penduduk 7371 jiwa telah memiliki Pasar 2 unit, koperasi 1 unit, Bank (BRI) 1 unit, kios/ warung/ toko sebanyak 23 buah. Perlu diketahui bahwa ds Hargowilis adalah desa tangkapan area (catchment area) untuk waduk sermo, sehingga perlu pengelolaan/ konservasi lingkungan yang lebih prioritas dibandingkan sebagai fungsi lainnya (produksi). Tekanan Penduduk terhadap lahan di dalam penelitian ini memiliki ke-khasan secara khusus, yaitu bahwa nilai produksi lahan adalah standar sesuai dengan kemampuan lahan saat ini, artinya tidak dipengaruhi oleh bahwa nantinya hasil outputnya diserang penyakit atau hama tikus atau lainnya. Hampir sama dengan pengertian tegakan hutan di dalam pengertian “Standing Stock”. 4
Hasil Penelitian TP dibagi kedalam 5 kategori meliputi (tabel 1): Tabel 1. Tekanan Penduduk terhadap Lahan Masyarakat Hkm No.
Uraiantentang TP
Nilai TP
1 Terhadaplahanmilik
5,6
2 Terhadaplahanmilik + Hkm
3,47
3 Terhadaplahanmilik
+
Hkm
Keterangan
+ 3,36
hasilternak 4 Teerhadaplahanmilik + Hkm + 0,71 Hasilternak + pekerjaansampingan (TP Total) 5 Terhadappendapatan
total 1,67
tidaktermasukpegawai PNS/pensiunan
Disebutkan bahwa jumlah petani responden adalah 30 keluarga petani yang dirandom dari 162 keluarga petani anggota . Setelah dihitung dari pendapatan total yaitu pendapatan dari lahan milik, lahan Hkm hasil ternak, upah memburuh, gaji pegawai atau hak pensiaun bagi responden yang juga pegawai atau pensiunan, maka diperoleh pendapatan rata-rata per tahun per keluarga tani adalah Rp 8.953.933,- atau setara beras 1119,241 kg. Pendapatan sebesar setelah diperhitungkan dengan jumlah rata-rata tanggungan keluarga 3,25 orang/kk maka pendapatan per kepala adalah 1.119,241:3,25 = 344,38 kg beras/ kepala/ tahun atau dengan angka susut 10% diperoleh pendapatan sebesar 310,32 kg beras atau di dalam nilai rupiah Rp 2.482.560,-/kapita/tahun. Sementara itu pendapatan per keluarga per tahun sebesar Rp 8.953.933 x 90% = Rp 8.058.540. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani nyaris di bawah garis kecukupan yaitu 320 kg beras/ kepala/ tahun. Akan tetapi setelah diperiksa dan dihitung pendapatan setiap keluarga petani ternyata hanya 7 keluarga yang berada di atas garis kemiskinan, 5 keluarga berada pada strata miskin dan 18 keluarga miskin.
Pembahasan Tekanan Penduduk terhadap lahan yang hanya dihitung dari lahan milik ternyata diketemukan angka 5,6 yang berarti kalau hanya dari lahan milik para petani jauh tidak 5
bisa hidup layak, karena kebutuhan untuk hidup layak 5,6 x sebanyak produksi lahan milik yang ada. Tanpa ada lahan dari pemerintah kehidupan petani sangat kekurangan. Setelah diperoleh garapan dari Hkm ternyata TP juga masih rendah, hanya menurun menjadi 3,47, tetap masih belum mencukupi untuk hidup layak. Perlu diketahui bahwa luas lahan milik rata-rata adalah 0,54 ha sedangkan rata-rata luas lahan andil persanggem 0,31 ha atau jumlah total 0,85 ha. Menurut teori Hardjosudiro (1976) kepemilikan petani ini sudah mendekati 1 bahu (0,64 ha sawah tadah hujan + 0,3 ha pekarangan), sehingga mestinya relatif cukup. Petani amat akrab dengan ternak, sehingga hasil ternak dapat menjadi andalan untuk menutup kebutuhan. Setelah dimasakkan hasil dari ternak ternyata tidak cukup membantu, hanya menurunkan angka TP menjadi 3,36 atau turun 0,11. Setelah diperiksa kepemilikan ternak responden hanya ada 3 orang yang memiliki ternak (hanya 1 ekor sapi dan 3 ekor kambing). Petani sebenarnya sudah sadar, bahwa tanpa hasil sampingan dari lahan mereka akan kekurangan untuk menutup kebutuhan. Mereka bekerja serabutan di bidang lain seperti buruh bangunan, pertukangan, buruh angkut kayu, dll. Ternyata dari 30 responden terdapat 20 orang petani yang bekerja serabutan, dan 5 orang lainnya adalah pegawai negeri sipil (PNS dan Pensiunan) sedangkan sisanya 5 orang benar-benar hanya mengandalkan sebagai petani. Berbeda dengan penelitian untuk menghitung TP dan Pendapatan Petani yang bersifat deskriptif kuantitatif, maka penelitian tentang keinginan masyarakat dilakukan dengan metoda deskriptif kualitatif. Dipilih beberapa tokoh masyarakat yang tahu perkembangan Hkm, tokoh adat, Kyai atau ustadz, maupun ibu rumah tangga terpilih. Beberapa informasi yang dapat disarikan dari wawancara dengan tokoh masyarakat setempat adalah: 1) Mereka ingin hidup sejahtera seimbang dengan alam pemberian yang Maha Kuasa, mereka tidak ingin alam rusak karena ulah manusia (Bio-Eko Centris). 2) Lingkungan alam mereka (areal Hkm dan lainnya) dengan topografi yang sangat curam sampai bergelombang (kemiringan 45% sampai 100%), sehingga rentan terhadap kerusakan, tetapi mereka harus hidup, maka kehidupan harus selaras dan seimbang dengan alam.
6
3) Mereka tetap mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini, walaupun mereka (masyarakat) tetap ingin mandiri mengelola dirinya sendiri. Sekarang ini keadaan dn Kalibiru dan Unit manajemen Hkm ini telah berusaha mengubah kawasan hutan ini menjadi hutan wisata yang cukup menjanjikan. Dusun Kalibiru yang terletak di atas perbukitan bisa melihat pemandangan yang indah, terlihat kota Yogyakarta, Magelang, Gunung Merapi dan sekitarnya yang amat menawan wisatawan. Sebagai contoh bahwa setiap hari wisatawan domestik rata-rata mencapai 20-50 orang, dan bahkan 1 Suro kemarin tercatat lebih dari 300 sepeda motor naik ke kawasan wisata ini. Perlu diketahui bahwa setiap pengunjung membayar Rp 2000,-(dan parkir sepeda motor Rp 1000,-) sehingga bisa dihitung berapa besar pemasukan setiap hari. Telah tersedia rumah-rumah pondok (homestay) sebanyak 12 unit dan akan terus bertambah.
Keinginan Masyarakat dan Harapan Masa Depan Berbeda dengan penelitian untuk menghitung TP dan Pendapatan Petani yang bersifat deskriptif kuantitatif, maka penelitian tentang keinginan masyarakat dilakukan dengan metoda deskriptif kualitatif. Dipilih beberapa tokoh masyarakat yang tahu perkembangan Hkm, tokoh adat, Kyai atau ustadz, maupun ibu rumah tangga terpilih. Menurut Pak Parlan (ketua Hkm lama), bahwa dulu sekitar tahun 1998 dan sebelumnya lahan hutan Hkm yang sekarang dikelola masyarakat adalah “gundul” atau tanah kosong, akibat kegagalan tanaman, ataupun pencurian kayu. Justru karena tanah kosong tersebut mereka bisa menanam ketela pohon untuk dibuat “gaplek”, dan relatif cukup untuk biaya hidup. Kata Pak Parlan,”Rumiyin tanah Hkm niku kados oro-oro, nanging saget ditanduri telo kaspo, jagung, benguk, mriki penghasil gaplek (olahan ketela) sing saget kangge gesang, sinten mawon saget nggarap mboten ngangge izin, sak kiyatipun tenogo, lajeng sakniki ajeng nandur pun rekoso, sampunkebak wit-witan”. Ibu Parlan menambahi,”Jaman riyin tiyang dahar gaplek kalih sayur terong niku biasa, asring kalih geblek-tempe benguk, cah enom sakniki nek mboten sekul (dari beras), mboten purun”. Sementara Pak Parjan (ketua Hkm baru) mengatakan,”Riyin tanduran wit niku namung akasia, jati alit-alit, sono keling, terus kangge panggonan wedhus, sakniki wit-witan tambah kathah, ageng-ageng sisa-sisa jama riyin”.
7
Salah seorang “ketua adat”, yaitu Pak Sudarajo, mengatakan bahwa masyarakat disini tetap mempertahankan tradisi lama, dengan melakukan upacara adat tertentu setiap tahun, dengantujuan agar masyarakat tetap sejahtera hidup selaras dengan alam yang telah diciptakan oleh yang Maha Kuasa untuk kita semua. Kata beliau,”Mbenjang kemis pahing malem jumat pon (tanggal 15-11-2013) wonten upacara adat merti dusun naminipun “suran”ingkang dipun pusataken wonten elapar, ingkang bade diestreni saking kraton (Yogyakarta). Macam-macam sesajian dipun “adani” saben taun wonten werni 18 (delapan belas), diantaranya sego golong, tumpeng alus, tumpeng robyong, jenang suro, tumpeng gepak, ambengan, kupat, jenang 7 werni, lepet, jajan pasar, gedhang rojo, kembang setaman,lan sanes-sanesipun, ingkang sedoyo mengke kersanipun kesejahteraan selaras kalih alam, saking berkah sing kuwoso”. “Kalih niku lho mas rak wit-witan Akasia niku pun sami ambruk anideki 20-25 cm ngantos 27 wit, kok mboten angsal disuwun, niku mangke rak nggih naming bosok dados sitik to mas, pemerintah niku nggih aneh, ngoten nggih ngoten ning nggih sing wicaksono”. Keadaan inilah salah satu dilematis yang harus dipecahkan pemerintah. Hasil Pembelajaran Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh kasus konflik dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia.
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus konflik dalam pengelolaan HKm
Kuis dan latihan -
Terangkan berbagai hal yang dapat menjadi pemicu munculnya konflik dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan ! Berikan contoh kasusnya !
8
DAFTAR PUSTAKA
Awang S.A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Awang S.A. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2008. Konflik Kepentingan antara Masyarakat dan Pemerintah di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan (SMP). FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2010. Konflik dan Upaya Meredam oleh Masyarakat (Kasus Kelompok Tani Hutan Rakyat “Jati Mulyo Lestari” di Blitar). FKT UGM. Yogyakarta Panggabean S.R., 2007, Manajemen Konflik; Handout Mata Kuliah Governance dan Manajemen Konflik Politik, Program Pascasarjana, Jurusan Ilmu Politik, UGM Pruit D.G., dan Rubin J.Z., 2004, Teori Konflik Sosia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Siswoko B.D. 2008. Perlawanan Masyarakat Desa Hutan terhadap Perum Perhutani. FKT UGM. Yogyakarta Siswoko B.D. 2010. Analisis Konflik dalam Penambangan Ilegal di BKPH Ngliron, KPH Randublatung. FKT UGM. Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Sukisno, 1999, Kesejahteraan Masyarakat dalam Hubungannya dengan Pencurian Kayu Jati di BKPH Pojok KPH Purwodadi, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Usman S., 2007, Analisis Konflik Sosial, Jurusan Sosiologi, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Yasmi Y., 2007, Institutionalization of Conflict Capability in the Management of Natural Resources. PhD Thesis Wageningen University, Wageningen, Netherland. Zartman W., 1997, Governance and Conflict Management, Brooking Institution Press, Washington D.C.
9