BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan . Pokok bahasan a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000) dalam Supriono, dkk. (2011).
Adapun Cox (1995) dalam Supriono, dkk. (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, normanorma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Senada dengan beberapa pernyataan di atas, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturanaturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
Secara sederhana, modal sosial dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Jika anggota kelompok itu yakin bahwa anggota yang lain dapat dipercaya dan jujur, mereka akan saling percaya. Kepercayaan itu seperti pelumas yang membuat kelompok atau organisasi dapat dijalankan secara lebih efisien (Fukuyama, 2005). Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara gotong royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaanperbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan 1
tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ’kelompok kita’ dan ’kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul ’kambing hitam’ (Suharto, 2007).
Modal sosial juga menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Sarageldin, 1999) dalam Supriono, dkk. (2011). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999).
Namun demikian Fukuyama (2000) dalam Supriono, dkk. (2011) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada normanorma yang dianut bersama oleh para anggotanya.
Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, 2
saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Senada dengan itu, Coleman (1999) juga menyatakan adanya tiga elemen penting dalam modal sosial, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini diyakini menentukan corak karakter (physical character) suatu masyarakat. Sejalan dengan definisi dan dimensi modal sosial, maka kajian terkait tipologi modal sosial berkenaan dengan bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.
(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen). Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bonded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki feodal, kohesifitas yang bersifat bonding. 3
(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilainilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.
Mengikuti Colemen (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang untuk), yang mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (internal maupun eksternal). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbolsimbol dan kepercayaankepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat.
Menurut Suharto (2011), meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya 4
dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagai cara mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini terutama terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial dapat diinvestasikan bagi kegiatan di masa depan.
Lebih lanjut Suharto (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ‘kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul ‘kambing hitam’.
Modal sosial bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (selfreinforcing) (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988 dalam Suharto, 2011). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995 dalam Suharto, 2011).
Merujuk pada Ridell (1997) (dalam Suharto, 2011), ada tiga parameter modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan (networks). Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995) dalam Suharto (2011), kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan normanorma yang dianut bersama. kepercayaan 5
sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011), kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama.
Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal sosial yang baik melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995 dalam Suharto, 2011). Kerusakan modal sosial akan menimbulakn anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011).
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996 dalam Suharto, 2011). Putnam (1995) dalam Suharto (2011), berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yangg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005) dalam Suharto, 2011): 1. Perasaan identitas 2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi 3. Sistem kepercayaan dan ideologi 4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan 5. Ketakutan-ketakutan 6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat 7. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial) 6
8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu 9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya 10. Tingkat kepercayaan 11. Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya 12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan
Partha dan Ismail S. (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Solow (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau normanorma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000 dalam Supriono, 2011). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akusisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus
mengadopsi
kebajikan-kebajikan
seperti
kesetiaan,
kejujuran,
dan
dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.
Bank Dunia (1999) dalam Supriono, meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial di dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Supriono, 2011). Dimensi sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999 dalam 7
Supriono, 2011). Minimal ada 4 kategori mengenai modal sosial yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001 dalam Supriono, 2011).
Coleman (1990) menjelaskan bahwa modal sosial (social capital) merupakan struktur hubungan atau relasi diantara dua atau banyak aktor yang mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan produktif. Modal sosial memicu munculnya aktifitas bersama dengan biaya yang sangat murah dan memfasilitasi adanya kerjasama antar aktor tersebut. Ada beberapa kategori atau diskripsi mengenai modal sosial, tetapi paling tidak ada 4 hal yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik dan pertukaran, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001). Sedangkan menurut Pennington & Rydin (1999), istilah modal sosial mencakup beberapa hal berikut : - tingkat kepercayaan - keluasan jaringan - intensitas hubungan dalam jaringan - pengetahuan dalam melakukan interaksi - kewajiban dan harapan dalam hubungan tersebut serta hubungan timbal balik - bentuk-bentuk pengetahuan lokal - pelaksanaan norma-norma - keberadaan dan konsistensi dalam menerapkan sangsi untuk setiap pelanggaran
b. Contoh Wujud Modal Sosial Masyarakat Desa Jono, Bojonegoro Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jono memunculkan potensi modal sosial yang produktif. Kultur yang dibangun secara kolektif, memberikan warna tersendiri bagi karakter masyarakat Jono. Karakter tersebut merupakan wujud nilai-nilai yang saling berkaitan dengan elemen-elemen dalam modal sosial. Mengutip pernyataan Coleman (1999), bahwasanya modal sosial memiliki tiga elemen penting yang diyakini menentukan corak karakter masyarakat, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini pula yang menjadi wujud modal sosial masyarakat Desa Jono dalam mentransformasikan 8
nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliknya. Selanjutnya, di bawah ini akan di bahas lebih jelas terkait elemenelemen modal sosial masyarakat Desa Jono, beserta esensi nilai-nilai modal sosial yang ditransformasikan dalam kehidupan sosial budayanya.
1. Kepercayaan (Trust) Kepercayaan memainkan perannya dalam menciptakan kerukunan hidup masyarakat Jono. Dalam konteks modal sosial, elemen kepercayaan dipahami sebagai ruh yang menghubungkan jaringan-jaringan kerja dalam dimensi nilai dan norma yang saling terintegrasi. Adanya trust (kepercayaan) sebagai bagian elemen utama modal sosial, menjadi atribut kuat untuk membangun solidaritas masyarakat Jono yang disatukan dalam persamaan kultur. Masyarakat Jono menyadari potensi kultur tersebut sebagai kekuatan untuk mempersatukan banyak kepala dengan satu visi yang progresif, yakni terbina kerukunan hidup bersosial dan beragama. Hal ini pun tak dapat dipungkiri juga dipicu oleh kapasitas dan kapabilitas key person atau local strong man di Desa Jono untuk mengorganisir dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat.
Tumbuhnya sikap saling mempercayai, baik antar anggota masyarakat, antar masyarakat dengan pemimpin desa, atau antara masyarakat dengan pihak luar, memberikan manfaat yang positif untuk menepis kesenjangan sosial di antara anggota masyarakat. Ragam seni budaya yang ada di Jono menjadi salah satu media mempererat tali silaturahim masyarakat. Terlepas dari dominasi agama Islam di Desa Jono, nyatanya mereka mampu membentuk ikatan sosial (social glue), tanpa membedakan latar belakang agama, jabatan, pendidikan, dan status sosial lainnya. Meski demikian, kepercayaan yang dibangun atas dasar religiusitas maupun dalam bentuk trust (rasa saling percaya) yang lebih mengarah pada sisi asosiatif tersebut, berjalan beriringan tanpa ada kendala yang signifikan dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat.
Relasi yang terbangun berdasarkan kepercayaan di Desa Jono menampakkan asosiasi sosial yang sehat, produktif, berkarakter, dan beretika. Rasa saling percaya semakin menumbuhkan sikap empati, senasib sepenanggungan, dan tepo seliro. Sangat jarang dijumpai konflik di antara masyarakat, apalagi sampai terseskalasi menjadi tindak kekerasan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelompok tertentu dalam 9
skala minoritas yang belum memahami esensi kepercayaan tersebut. Kelompok minoritas itu cenderung kontra terhadap upaya positif masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup bersama demi kemajuan Desa Jono. “Mayoritas masyarakat di Jono guyub rukun, hanya ada kelompok tertentu yg kontra/pasif terhadap dinamika perkembangan desa. Mereka bisanya hanya duduk dan ngrasani (menggunjing), tapi tidak mau berusaha berbuat lebih. Secara umum, masyarakat Jono terbuka dengan perubahan yg positif, sikap gotong-royong dan saling percaya.” (wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012).
Kepercayaan (trust) kian tumbuh seiring upaya kebersamaan masyarakat Jono menciptakan public spaces yang demokratis dan berkeadilan, terutama dalam ranah kehidupan politik. Tumbuhnya kepercayaan tersebut juga didukung oleh kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin. Hal ini ditunjukkan masyarakat Jono terhadap kepemimpinan Kepala Desa atau Lurah yang menjabat pada periode saat ini (20082014), yaitu Pak Dasuki. Kepemimpinan beliau yang baik dan dinilai mampu mengayomi kepentingan desa, dirasakan warga sebagai salah satu poin positif terciptanya keharmonisan dalam masyarakat. Gaya kepemimpinan yang srawung lan pangerten dari seorang Lurah Jono direspon positif pula dengan guyubnya warga untuk bergotong-royong membangun desa. Agenda kepengurusan Pak Lurah selama periode berjalan dinilai berhasil dan cukup representatif bagi kepentingan masyarakat dan Desa Jono, terutama dalam merintis identitas Desa Wisata Budaya. “Jujur saya katakan program Pak Lurah itu kalau raport saya menilai lebih dari 10, kalau angka mungkin boleh 20 bisa sampai 20, jadi melebihi target, melebihi program apa yang dikerjakan.” (wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012). Di sinilah tercermin nilai-nilai modal sosial yang terbangun dalam jati diri masyarakat Jono,
seperti
sikap
saling
percaya
mempercayai,
sikap
partisipatif,
sikap
memperhatikan, serta saling memberi dan menerima. 2. Norma-Norma Sosial (Shared Norms) Nilai dan norma terintegrasi dalam sebuah konstruksi tata aturan yang berlaku umum dalam sistem kehidupan masyarakat Jono. Norma-norma tersebut dibuat oleh masyarakat Jono sebagai sebuah aturan hidup yang ditaati bersama, dan tentunya ada 10
mekanisme sanksi yang mengikutinya. Dinamika masyarakat Jono selalu terikat pada nilai dan norma sebagai acuan dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, terutama dalam konteks tradisi budaya lokal. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa norma-norma sosial menopang kepercayaan yang berupa harapan terhadap kejujuran, keteraturan, dan perilaku kooperatif dalam sebuah masyarakat. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang mengarah pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. Berlakunya norma juga mendukung kesetaraan hak dan kewajiban dalam masyarakat, di mana akses terhadap suatu sumberdaya memang dibutuhkan kontrol sosial yang berkeadilan, terutama di era desentralisasi semacam ini.
Sistem kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jono mengandung nilai dan norma sebagai pandangan hidup bersama. Nilai-nilai budaya tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar berlaku sesuai hakikatnya sebagai makhluk sosial yang hidup selaras dengan alam, layaknya ajaran masyarakat Samin dahulu. Sebagai contoh adalah tradisi kemisan (kerja bakti massal setiap hari kamis), di mana masyarakat bergotong-royong membersihkan lingkungan Desa Jono. Adat ini bukan hanya sebatas prosesi kultural semata, tapi di balik itu mengajarkan masyarakat Jono untuk lebih menghargai lingkungan dengan cara menjaga kebersihannya, termasuk melestarikan fungsi hutan. Ragam budaya religi di Desa Jono, seperti manganan, tahlilan, sedekah bumi, nyadran dan lain sebagainya, sejatinya juga mengandung ajaran hidup yang positif, yakni bentuk rasa syukur, sikap empati, kebersamaan, kekeluargaan, dan solidaritas. Bukan lantas mengesampingkan hukum agama, namun masyarakat Jono memahami akulturasi budaya Islam-Jawa tersebut sebagai bagian sistem kehidupan yang saling menguatkan.
Semarak modal sosial yang tercermin dalam sikap-sikap demokratis, partisipatif, serta berkeadilan, menjadikan masyarakat Jono lebih bijak dalam mengambil segala keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Contohnya dalam ranah politik lokal, di Desa Jono terdapat tradisi pulung (secara harfiah berarti keisteimewaan) untuk mekanisme pemilihan kepala desa. Tradisi ini merupakan terapan tradisi Jawa kuno yang mengatur norma-norma kehidupan politik desa dalam menentukan calon pemimpin di wilayahnya. Seperti pada prosesi pemilihan Lurah Jono tahun 2008 silam, 11
masyarakat secara partisipatif menggunakan hak pilihnya dengan menunjuk calon Lurah yang mempunyai etos kerja, kejujuran, kecerdasan, dedikasi, hubungan elit dengan Lurah sebelumnya, serta kedekatannya dengan warga. Jadi tidak semata-mata garis keturunan Lurah yang boleh menjabat sebagai penggantinya, tetapi personal yang dipandang secara obyektif berkapasitas untuk menyandang jabatan tersebut. Jika terbukti ada pelanggaran terhadap peraturan dan norma yang berlaku, maka masyarakat tidak segan-segan untuk mengganti pemimpinnya.
Dimensi norma sosial berupa aturan formal tertulis maupun aturan non formal yang melekat dalam tradisi budaya sebagai suatu lembaga (sistem tata aturan). Wujud lembaga formal seperti ini biasanya tertulis pada tata aturan institusi atau kelembagaan formal. Sebagai contoh adalah Pemerintahan Desa Jono yang mempunyai aturan-aturan formal dalam menjalankan mekanisme tata kelola rumah tangga desa. Selain itu, di Desa Jono juga terdapat banyak kelembagaan formal lainnya seperti Desa wisata Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), PKK, Posyandu, Karang Taruna, Paguyuban Seni, LMDH, Koperasi LMDH, home industry (industri lokal), dan lain sebagainya. Tiap lembaga tersebut memiliki peraturan-peraturan (baik formal maupun non formal) yang berfungsi mengatur jalannya roda kelembagaan, menjembatani konflik dalam dinamika kelembagaan, serta menciptakan ketertiban dalam kelembagaan. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga stabilitas lembaga dalam mewujudkan visi dan misinya masing-masing demi mendukung kemajuan desa.
3. Jaringan Sosial (Social Networking) Jaringan sosial memudahkan masyarakat Jono dalam mencapai tujuan bersama, serta memberikan manfaat secara personal maupun komunal. Idealnya, ketika modal sosial bekerja, maka aktivitas kolektif masyarakat tidak berjalan searah, tetapi menciptakan jaringan kerja yang produktif dan mendukung tujuan bersama. Putnam (1998) dalam Eko (2004), juga menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerja sama di antara warga negara dan institusi mereka. Dalam analogi yang sederhana, Putnam (1993 b) dalam Eko (2004) menyatakan bahwa bekerja bersama-sama adalah lebih mudah dalam sebuah komunitas yang diberkahi dengan persediaan (stock) modal sosial yang banyak. 12
Jejaring tersebut merupakan sumber daya dan bagian dari hubungan kepercayaan dan norma yang lebih luas, serta memungkinkan suatu komunitas masyarakat untuk mencapai tujuan mereka lebih mudah.
Jaringan sosial masyarakat Desa Jono memiliki dimensi yang luas, baik jaringan secara personal (antar individu), maupun jaringan secara komunal dalam wujud relasi antar institusi atau organisasi. Hubungan yang dibangun antar individu berdasarkan kepercayaan dan norma, menciptakan jaringan sosial yang mengarah pada pola simbiosis mutualisme. Misalnya dalam hal ini, ketika salah satu warga mempunyai hajat keluarga seperti nikahan, khitanan, atau membangun rumah, maka secara serentak masyarakat Jono akan bergotong-royong untuk saling sengkuyungan (tolongmenolong). Hal ini berlaku pula untuk kegiatan kolektif desa seperti pemavingan jalan, pembuatan kandang kelompok, perbaikan saluran irigasi, penghijauan hutan, dan lain sebagainya. Jaringan kerja semacam itu dapat meringankan pekerjaan berat dan mengurangi anggaran berlebih . “Nek kerja bekti niku wis umum, jamane pake mbahe wis ana (kalau kerja bakti itu sudah umum, jaman nenek moyang sudah ada). Alhamdulillah masyarakat mriki taksih remen (sini masih suka) gotong-royong kangge (untuk) kemajuan desa.” (wawancara dengan Lurah Jono, 16 Juni 2012).
a. Relasi antara Modal Sosial dengan Pengelolaan SDH (Kasus di BKPH Ngliron, KPH Randublatung) Berdasarkan definisi di atas, adanya perbedaan tata nilai yang dijumpai oleh peneliti di Desa Ngliron dan Desa Semanggi akan menimbulkan interaksi masyarakat yang berbeda terhadap sumberdaya hutan. Tata nilai yang terdapat di Desa Ngliron seperti kebersamaan masyarakat dalam gotong royong ataupun sambatan kini sudah mulai bergeser untuk ditinggalkan masyarakat. Adanya tata nilai yang baik ini luntur dari seharusnya tata nilai yang ada di dalam masyarakat pedesaan akan mempersulit pihak pengelola hutan yaitu Perhutani untuk mengajak masyarakat Ngliron dalam membangun hutan di KPH Randublatung ini dengan basis pengelolaan hutan lestari yang salah satunya harus mempertimbangkan aspek sosial. Dampak yang kurang bagus akibat lunturnya tata nilai gotong royong yang ada di Desa Ngliron ini akan mempersulit pihak Perhutani untuk mengajak mengadakan pertemuan demi membahas kemajuan hutan dan 13
untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan di Desa Ngliron. Demikian adalah salah satu contoh dampak dari lunturnya tata nilai terhadap interaksi tidak langsung, yaitu interaksi masyarakat Desa Ngliron terhadap pihak Perhutani.
Etos kerja yang dimiliki pesanggem dari Desa Ngliron menurut informan kurang telaten dalam merawat tanaman tumpangsari dan tanaman hutan milik Perhutani. Padahal Perhutani sangat membutuhkan tangan-tangan pesanggem untuk merawat dan memelihara tanaman jati mereka agar persentase keberhasilan tanaman jati tinggi. Apalagi tanaman jati KU muda yang masih butuh perhatian lebih untuk mereka hidup. Menurut informan dengan adanya tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem Desa Ngliron ini persentase keberhasilan dari tanaman hutannya kurang berhasil. Ini dampak yang akibat tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem Desa Ngliron. Hal ini berkait dengan adanya masyarakat yang mayoritas memiliki lahan sawah milik individu, sehingga secara psikologis masyarakat Ngliron merasa tidak terlalu bergantung dengan tumpangsari yang diberikan oleh Perhutani. Masyarakat masih merasa tercukupi kebutuhannya dengan hasil sawah yang dimiliki sendiri sehingga masyarakat kurang telaten untuk mengurus tanaman hutan.
Tata nilai peradaban yang sudah maju dipengaruhi oleh lebih tingginya tingkat pendidikan masyarakat di Desa Ngliron ini membawa dampak baik untuk hutan. Dengan semakin banyaknya masyarakat Ngliron yang mengeyam di bangku pendidikan berarti semakin banyak orang pintar karena sekolah sehingga pengetahuan dan daya serap terhadap pentingnya ketersediaan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka lebih tinggi daripada masyarakat yang tingkat pendidikannya lebih rendah secara kualitas dan kuantitas. Menurut informan, masyarakat di Desa Ngliron memiliki rasa kesadaran akan pentingnya keberadaan hutan untuk hidup masyarakat sekitar dan masyarakat di luar hutan. Masyarakat Desa Ngliron memiliki jiwa melindungi hutan dari gangguan pencurian atau kehilangan pohon. Kondisi hutan di Desa Ngliron lebih kondusif dari segi keamanan hutan. Demikian tata nilai yang baik yang perlu dipertahankan oleh masyarakat Desa Ngliron untuk menjaga hutan dari pencurian dan kehilangan pohon.
14
Masyarakat Desa Semanggi yang sekitar 75% menggantungkan hidupnya pada tumpangsari di lahan Perhutani secara psikologis rasa kebergantungan terhadap hutan menjadi lebih tinggi. Kondisi geografis yang ada di Desa Semanggi dengan sempitnya lahan sawah yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menggarap di lahan sawah dan dengan intensitas yang sering dan banyak yang mendapatkan jatah tumpangsari atau tahunan membuat masyarakat Desa Semanggi memiliki keuletan dan ketelatenan dalam merawat dan memelihara tanaman musimannya dan tanaman hutan milik Perhutani. Tata nilai yang dimiliki masyarakat Desa Semanggi ini merupakan tata nilai yang perlu dipertahankan oleh masyarakat untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan hutan yang lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Dengan tata nilai baik yang dimiliki oleh masyarakat Desa Semanggi ini dapat menimbulkan interaksi masyarakat terhadap hutan yang bagus untuk bersama membangun hutan.
Gotong royong atau sambatan yang masih kental terdapat di Desa Semanggi, akan lebih mempermudah masyarakat Desa Semanggi untuk menggarap lahan tumpangsari sehingga juga dapat berdampak pada keberhasilan tanaman hutan. Selain interaksi secara langsung, dengan masih guyub dan patuhnya masyarakat Desa Semanggi terhadap perintah perangkat desa atau dari Perhutani ini akan mempermudah menggerakkan masyarakat Desa Semanggi untuk diajak berdiskusi atau membahasa kepentingan keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Agar lebih mudah dipahami, berikut tabel relasi tata nilai yang ada di kedua desa tersebut dengan interaksi masyarakat yang terjadi pada hutan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak Perhutani.
Tingginya kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam bersama-sama membangun hutan tidak bisa dipungkiri karena
Perhutani juga bisa mengikuti tata nilai yang
mendarah daging di masyarakat. Adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya pencurian kayu di Ngliron dan Desa Semanggi juga tidak luput dari tata nilai dan interaksi masyarakat yang ada di kedua desa tersebut. Sikap disiplin dan kesadaran terhadap pentingnya hutan sehingga akan lebih mudah bagi pihak Perhutani untuk mengajak bersama-sama mengamankan hutan yang berada di Desa Ngliron.
15
Hasil Pembelajaran Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh modal sosial dalam sebuah masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan dan kelestarian sumberdaya hutan
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus yang menunjukkan adanya relasi antara kearifan lokal dengan pengelolaan hutan (4) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan -
Terangkan yang dimaksud dengan modal sosial dan berikan contohnya terutama yang berhubungan dengan pengelolaan hutan !
-
Jelaskan strategi pengelolaan hutan yang sebaiknya diterapkan pada sebuah wilayah ketika masyarakat di sekitarnya telah memiliki dan belum memiliki modal sosial serta berikan contoh kasusnya !
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta. Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta
17
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel
Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta
18