BAB VI. Kebudayaan dan Relasinya terhadap Pengelolaan Hutan
. Pokok Bahasan Cara hidup manusia dengan bebagai macam sistem tindakan tadi dijadikan sebagai objek penelitian dan analisis oleh ilmu antropologi sehingga aspek belajar merupakan aspek pokok. Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan”atau culture, ilmu antropologi berbeda dengan ilmu lain. Kalau dalam bahasa sehari-hari “kebudayaan” dibatasi hanya pada hal-hal yang indah (seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusasteraan dan filsafat) saja. Sedangkan dalam ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktuwaktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan minum dengan alatalat, cara-cara dan sopan santun atau protokol yang sering kali sangat rumit, harus dipelajarinya dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud biologisnya yang telah ditentukan oleh alam, tetapi merombak cara berjalannya dengan gaya seperti prajurit, berjalan dengan gaya lemah lembut, berjalan seperti peragawati dan sebagainya, yang semuanya harus dipelajarinya dahulu. Kata “kebudayaan“ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhiyang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan:”hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. 1
Demikianlah “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” disini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama. Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”. Di samping istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir adalah sama dengan istilah Inggris civilization. Istilah tersebut bias dipakai untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.
a. Wujud Kebudayaan Talcott Parsons bersama dengan seorang ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya, berjudul The World of Man (1959: hlm. 11-12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts, pengaran berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
2
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.
Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya atau cultural system. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang sangat besar seperti pabrik baja: ada benda-benda yang amat kompleks dan canggih, seperti komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak, suatu kapal tangki minyak; ada bangunan hasil senin arsitek seperti suatu candi yang indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju. 3
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai tadi, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya
manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya,
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin manjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula polapola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.
Sungguhpun ketiga wujud dari kebudayaan tadi saling berkaitan, tetapi untuk keperluan analisis perlu diadakan pemisahan antara tiap-tiap wujud itu. Hal ini sering dilupakan; tidak hanya dalam diskusi-diskusi atau dalam pekerjaan sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan tadi sering dikacaukan, tetapi juga dalam analisis ilmiah oleh para sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan atau ahli masyarakat, dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara ketiga hal terurai tadi.
Seorang sarjana antropologi dapat meneliti hanya sistem budaya atau adat dari suatu kebudayaan tertentu. Dalam pekerjaan itu ia akan mengkhususkan perhatiannya terutama pada cita-cita, nilai budaya, dan pandangan hidup, norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia yang menjadi warga masyarakat bersangkutan. Ia dapat juga meneliti tindakan, aktivitas-aktivitas dan karya manusia itu sendiri, tetapi dapat juga mengkhususkan perhatiannya pada hasil karya manusia yang bisa berupa benda peralatan, benda kesenian, atau bangunan.
Kebudayaan sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh antropologi budaya. Akan tetapi, walaupun demikian, seseorang yang memperdalam perhatiannya terhadap sosiologi sehinnga memusatkan perhatiannya terhadap masyarakat, tak dapat menyampingkan kebudayaan dengan begitu saja karena di dalam kehidupan nyata, keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwitunggal. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Walaupun secara teoretis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. 4
Dua antropolog terkemuka, yaitu Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, mengemukakan bahwa Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Kemudian, Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang super-organic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasnya seolah-olah tidak ada batasnya. Dengan demikian, sukar sekali untuk mendapatkan pembatasan pengertian atau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya termasuk dalam pengertian tersebut. Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. Akan tetapi, apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyrakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat, dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta merupakan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.
5
Kebudayaan sebagaimana diterangkan di atas dimiliki oleh setiap masyarakat. Perbedaannya terletak pada kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna daripada kebudayaan masyarakat lain, di dalam perkembangannya untuk memenuhi segala keperluan masyarakatnya. Di dalam hubungan di atas, biasanya diberikan nama “peradaban” (civilization) kepada kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi.
Untuk kepentingan analisis, maka dari sudut struktur dan tingkatan dikenal adanya super-culture yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Suatu super-culture biasanya dapat dijabarkan ke dalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan etnik, profesi, dan seterusnya. Di dalam suatu culture mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan “induk”, yang lazimnya dinamakan sub-culture. Akan tetapi, apabila kebudayaan khusus tadi bertentangan dengan kebudayaan “induk”, gejala tersebut disebut counter culture.
Counter-culture tidak selalu harus diberi arti negatif karena adanya gejala tersebut tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk dianggap kurang dapat menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan. Secara analitis dapat diadakan pembedaan antara penyimpangan dengan penyelewengan, keduanya merupakan counterculture. Kalau ada unsur kebudayaan luar ingin diperkenalkan ke dalam suatu masyarakat, pertama-tama harus dicegah pengualifikasian unsur tersebut sebagai penyelewengan. Oleh karena itu, di dalam memperkenalkan unsur kebudayaan yang relatif baru, senantiasa harus ditonjolkan manfaat atau kegunaan riel yang ternyata lebih besar bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan lama [adat-istiadat yang telah tertanam].
b. Unsur-unsur Kebudayaan Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Misalnya dalam kebudayaan Indonesia dapat dijumpai unsur besar seperti
6
umpamanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, di samping adanya unsur-unsur kecil seperti sisir, kancing, baju, peniti, dan lain-lainnya yang dijual di pinggir jalan. Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan tadi. Misalnya, Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu: 1. Alat-alat teknologi; 2. Sistem ekonomi; 3. Keluarga; 4. Kekuasaan politik.
Bronislaw Malinowski, yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan, antara lain: 1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya, 2. Organisasi ekonomi, 3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama, 4. Organisasi kekuatan.
Masing-masing unsur tersebut, beberapa macam unsur-unsur kebudayaan, untuk kepentingan ilmiah dan analisisnya diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok atau besar kebudayaan, lazim disebut cultural universals. Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di mana pun didunia ini. Para antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam belum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. Antropolog C. Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu.
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu: 1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan sebagainya);
7
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya); 3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan); 4. Bahasa (lisan maupun tertulis); 5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); 6. Sistem pengetahuan; 7. Religi (sistem kepercayaan).
c. Relasi antara Kebudayaan dengan Pengelolaan Hutan Salah satu contoh lain yang dapat dikemukakan disini adalah hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Sumardi, dkk (1997) di desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta yang menunjukkan bahwa kelestarian hutan sangat berkaitan erat dengan adanya kepercayaan dan tata nilai adat yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sistem nilai adat sangat besar pengaruhnya terhadap usaha pelestarian lingkungan (hutan). Kecenderungan terhadap peran nilai budaya yang begitu besar, membuat masyarakat sekitar hutan dalam mengolah dan memanfaatkan hutan selalu memandang dari sisi nilai budaya (adat) yang dikandungnya. Sehingga usaha pelestarian lingkungan khususnya hutan di Kecamatan Kokap berjalan cukup baik. Dengan demikian, maka hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya sangat besar pula dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pola-pola kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Kasus Kebudayaan Masyarakat Baduy dalam Pengelolaan Hutan 1. Misi Kehidupan Masyarakat Baduy Setiap manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi, mengemban sebuah misi kehidupan. Tugas manusia dalam ajaran agama Islam adalah untuk menjadi penguasa di bumi. Hal tersebut di firmankan oleh Allah dalam Al-Quran surat AlBaqarah ayat 30. “Aku hendak menjadikan khalifah (penguasa) di Bumi” Masyarakat Baduy juga memiliki misi kehidupan. Misi mulia yang terbentuk berdasarkan kepercayaan agama mereka. Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka 8
adalah keturunan langsung dari Nabi Adam. Keyakinan tersebut bukanlah nilai normatif sebagai asal-usul kehidupan, melainkan menjadi acuan masyarakat Baduy dalam menjalankan misi kehidupannya. Misi kehidupan masyarakat Baduy yaitu menjaga titipan Allah atas Nabi Adam. Jaro Tangtu Nalim dari Cikertawana yang merupakan Key Informan dalam penelitian ini mengungkapkan, “Ari kahirupan urang Baduy teh titipan ti adam tunggal anu disebut wiwitan”. Terjemahan bebas “Kehidupan orang Baduy adalah titipan dari seorang Adam yang disebut wiwitan”.
Masyarakat Baduy berdasarkan kepercayaan tersebut membagi hutan menjadi 2 bagian besar, yaitu: hutan titipan dan hutan tutupan. Hal ini dikatakan oleh Jaro Nangtu Nalim ketika wawancara pertama kali dimulai. “Hutan dimana-mana geh kedah dijaga, aya hutan titipan jeung hutan tutupan. Tutupan mah bisa dibuka, lamun ari titipan teu bisa dibuka. Soalna eta mah titipan nu kuasa” Terjemahan bebas “Hutan dimana-mana harus dijaga, ada hutan titipan dan hutan tutupan. Hutan tutupan bisa dibuka, kalau hutan titipan tidak bisa dibuka. Sebab itu adalah titipan dari yang maha kuasa”. Hutan titipan yang dimaksud adalah hutan larangan. Prakteknya dilapangan, hutan larangan tidak boleh diambil hasilnya sekalipun merupakan pohon yang telah tumbang. Kayu yang diperkenankan oleh adat untuk dimanfaatkan adalah berasal dari hutan tutupan. Kondisi hutan Baduy hingga saat ini keberadaannya masih terjaga dengan baik. Warga tidak ada yang merusaknya bahkan turut menjaganya. Pihak yang melakukan pengawasan terhadap pengamanan hutan adalah semua warga Baduy, sebab menjaga titipan adalah tanggung jawab dari semua warga Baduy.
2. Kepercayaan Terhadap Hutan Setiap hari masyarakat Baduy senantiasa berinteraksi dengan hutan. Setidaknya keperluan warga masuk kedalam hutan adalah untuk mengambil kayu bakar. Interaksi masyarakat yang berlangsung setiap hari tersebut, tidaklah menimbulkan kerusakan. Hal ini terjadi sebab masyarakat Baduy memiliki konsepsi dan persepsi khsusus terhadap hutan dan lingkungannya. Persepsi yang terbangun bukan hanya karena ketergantungan 9
masyarakat terhadap hutan, air, udara, atau satwa. Pemahaman untuk menjaga hutan lebih didasari atas kepercayaan mereka terhadap hutan.
Hutan bagi masyarakat Baduy adalah merupakan titipan, seperti telah dijelaskan pada misi kehidupan masyarakat Baduy. Kepercayaan ini oleh banyak pihak ditafsirkan sebagai kepercayaan terhadap ruh nenek moyang (Animisme), karena ajaran tersebut berdasarkan warisan ilmu yang diturunkan turun-temurun dari leluhur. Sementara itu, masyarakat Baduy tidak mengakui mereka penganut Animisme. Masyarakat Baduy meyakini bahwa mereka adalah orang yang beragama, Jaro menyebutnya dengan Agama Sunda Wiwitan. Tetapi juga tersebutkan dalam wawancara, Jaro Nalim mengatakan bahwa mereka beragama Islam. “Islam teh ada 2, Islam Nabi jeung Islam Batara” Terjemahan bebas “Islam itu ada 2 yaitu Islam Nabi dan Islam Batara”. Masyarakat Baduy memang cenderung kental nilai Islamnya. Hal ini ditunjukkan dengan mereka yang melakukan sunat, puasa, tidak mau di potret, dan bersyahadat.
Memandang ajaran agama, warga masyarakat Baduy menganggap ada 12 agama yang diturunkan oleh Allah ke Bumi. Terdapat 12 agama yang diturunkan di Baduy namun 11 agama lain keluar dari Baduy. Satu agama tetap dibiarkan ada dihutan untuk menjaga titipan, itulah agama orang Baduy. Hal tersebut dikatakan oleh Jaro masyarakat Baduy Dalam,“Agama sunda wiwitan, sebab seluruh negara-bangsa kedah ngabantu ka wiwitan. Agama aya 12 cuma nu 11 di cicingkeun kaluar. Anu hiji mah ditinggalkeun di leuweung die, anu paling kolot” Terjemahan bebas : “Agama Sunda Wiwitan, sebab seluruh negara banga musti membantu melindungi wiwitan. Agama ada 12 Cuma 11 dibiarkan keluar. Tinggal satu yang merupakan yang tertua ditinggalkan didalam hutan”
Wiwitan dalam bahasa Indonesia berarti awal. Selain itu, wiwitan juga dapat berarti pepohonan. Tidak ada makna yang berlawanan dari kedua hal diatas. Wiwitan pada definisi pertama, mengisyaratkan Baduy sebagai generasi awal di muka bumi. Wiwitan pada arti kedua berarti ajaran dasar agama Baduy adalah menjaga pepohonan dan melestarikan lingkungan.
10
3. Sejarah Penjagaan Hutan Cikal-bakal masyarakat Baduy merupakan tentara kerajaan Padjajaran yang diutus khusus untuk menjaga hutan di Pegunungan Kendeng. Hal itu karena Pegunungan Kendeng adalah daerah hulu dari Sungai Ciujung Barat, yang merupakan arus sungai dalam lintas lalu perdagangan di Banten (Prasetya, 2008).
Misi khusus yang terungkap dari temuan para Arkeolog diatas, secara tidak langsung menyatakan bahwa nenek moyang masyarakat Baduy adalah Jagawana hutan (penjaga hutan). Hal tersebut berarti Baduy secara sistemik kemasyarakatan adalah masyarakat yang di bentuk untuk menjaga hutan. Oleh karenanya, sistem yang ada dan berbagai ketentuan yang dibuat dan berlaku hingga saat ini yang diturunkan secara turun-temurun merupakan derivasi dari misi utamanya yaitu melindungi hutan agar tetap bisa menghasilkan air yang baik.
Orientasi masyarakat Baduy dalam pengelolaan hutan adalah air. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya jenis tanaman Ficus sp (beringin) yang dikonservasi oleh masyarakat Baduy. Tidak ada satupun masyarakat Baduy yang berani untuk menebang pohon beringin. Bukan karena perawakan pohon yang angker dan menyeramkan, melainkan masyarakat mengetahui pohon beringin adalah pohon yang baik dalam siklus hidrologi tanah. Banyak jenis beringin berdiameter raksasa yang terdapat di Baduy, antara lain: Ficus benjamina, Ficus elastica, Ficus anulata (Gambar 7). Hal ini juga terungkap dari perkataan Jaro Tangtu Nalim mengenai peran hutan terhadap air. “Kedahna mah leuweung tong di pelakan, soalna ngaruh ka cai. Makana ulah digundulkeun kudu bener-bener dijaga” Terjemahan bebas : “Sepatutnya hutan tidak boleh dirusak, sebab akan berpengaruh ke air. Makanya jangan digundulkan harus benar-benar dijaga” 4. Kelembagaan Adat Keberadaan lembaga adat yang masih di patuhi oleh para warganya, merupakan prasyarat sebuah komunitas masyarakat adat mendapatkan pengakuan hutan ulayat. Kelembagaan adat yang masih berfungsi, membuatnya dapat melakukan pengaturan terhadap warga masyarakat. Keberadaan lembaga adat juga memudahkan pola 11
koordinasi antara adat dengan pemerintahan Republik Indonesia. Hal yang terpenting dalam kelembagaan adat adalah pengakuan eksistensi lembaga adat oleh anggota masyarakat.
Tokoh utama dalam lembaga adat Baduy adalah Puun, yang merupakan pimpinan tertinggi masyarakat Baduy. Kepala adat (Puun) merupakan orang suci yang paling dekat dengan Tuhan. Kepercayaan Puun sebagai kepanjangan tangan Tuhan dimuka bumi terbentuk karena Puun-lah yang paling mengerti ajaran-ajaran nenek moyang (pewaris agama Sunda Wiwitan). Kepemimpinan Puun dapat digantikan oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Puun. Jabatan Puun yang diwariskan secara turun-temurun ini, memudahkan dalam proses pengakaderan.
Jalannya kehidupan masyarakat Baduy tidak pernah terlepas dari arahan Puun dan perkataan Puun haruslah diikuti. Menyangkut cara berpakaian, menyangkut kepemilikan lahan, menyangkut pemanfaatan hasil hutan, bahkan untuk persoalan mendapat suntikan dokter karena sakit, warga Baduy perlu untuk meminta izin Puun terlebih dahulu. Kisah mengenai warga yang sakit dan akan diberikan suntikan dimuat pada Harian Online Suara Karya (Anonim, 2007). Kepercayaan masyarakat Baduy mengenai ajaran leluhur dan Puun merupakan kepanjangan tangan tuhan, membuat masyarakat Baduy tidak berani melanggar aturan-aturan yang dibuat oleh kapuunan. Kepatuhan (mutlak) para anggota masyarakat Baduy terhadap pimpinan merupakan rahasia sukses berjalannya harmoniasi di Baduy. 5. Struktur Adat Baduy Pemerintahan adat masyarakat Baduy secara tradisional bercorak kesukuan yang disebut kapuunan. Istilah kapuunan karena Puun merupakan pimpinan tertinggi di pemerintahan adat. Puun di wilayah Baduy ada tiga orang, masing-masing Puun bertempat tinggal di tiap kampung Baduy Dalam, yaitu Puun Cikeusik, Puun Cikertawana, dan Puun Cibeo. Mereka bertiga selain menjadi pimpinan pada masingmasing kampung tempat tinggalnya adalah merupakan pemegang kekuasaan tradisional di seluruh kampung Baduy. Lembaga kapuunan memiliki beberapa jabatan yang masing-masing jabatan memegang dan bertanggung jawab pada urusan khas. Berikut ini akan diuraikan masing-masing jabatan dalam lembaga kapuunan tersebut. 12
a. Puun Puun merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut pikukuh (peraturan adat) jabatan Puun berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal yang tidak memungkinkan. Jabatan Puun bisa diwariskan kepada keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan Puun tidak ditentukan, jangka waktu jabatan ditentukan oleh kemampuan seseorang memegang jabatan Puun. Puun dapat menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan mengundurkan diri karena usia tua. b. Girang Seurat Girang Seurat atau kadang disebut Seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah Puun yang melaksanakan tugas sebagai Sekertaris Puun. Setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu Puun harus melalui Girang Seurat. Kedatangan tamu dari luar yang bermaksud menemui Puun, lebih sering diwakilkan oleh Girang Seurat. c. Baresan Baresan termasuk dalam anggota sidang kapuunan atau semacam majelis. Saat ini baresan beranggotakan 27 orang, yang tersebar di Cikeusik sejumlah 11 orang, 9 orang di Cibeo, dan 7 orang di Cikertawana. Mereka juga dapat menggantikan Puun dalam menerima tamu dan menggantikan Puun dalam berbagai upacara adat. d. Jaro Jaro merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. tugas Jaro sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Dikenal empat jabatan Jaro di Baduy yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan dan Jaro Pamarentah. 1) Jaro Tangtu bertugas sebagai pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga tangtu. Ia bekerja sama dengan Girang Seurat mendampingi Puun dalam pelaksanaan upacara adat atau menjadi utusan kepala desa ke luar Desa Kanekes. 2) Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali warga tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro Dangka berjumlah sembilan orang, tujuh orang berada di luar Desa Kanekes dan dua lainnya berada di dalam desa. 3) Kesembilan Jaro ditambah dengan tiga orang Jaro Tangtu disebut dengan Jaro Dua Belas yang dikepalai oleh salah seorang diantara mereka. Pemimpin Jaro Dua Belas ini disebut Jaro Tanggungan 12. 4) Jaro Pamarentah bertugas sebagai penghubung pemerintahan adat dan masyarakat Baduy dengan pemerintah dan bertindak sebagai Kepala Desa Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Tugas Jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur.
13
e. Tangkesan. Tangkesan merupakan dukun kepala dan merupakan tabib bagi masyarakat. Merupakan dukun karena merupakan juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang Baduy. Tangkesan terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi Puun.
6. Sistem Struktur Modern Struktur adat pada masyarakat Baduy, tidak dapat dikatakan merupakan produk masyarakat primitif. Hal ini dapat kita cermati dari struktur dan fungsi lembaga adat yang kompleks. Strukturnya dapat kita persamakan dengan yang diterapkan oleh lembaga-lembaga saat ini. Hal yang dimaksud tersebut, antara lain: a. Kepala pemerintahan Baduy bersifat presidium yang diketuai oleh 3 kepala adat; b. Kepala adat telah memiliki sekretaris (Girang seurat). Keinginan bertemu kepala adat, maka harus menemui sekretaris terlebih dahulu; c. Kepala adat hanya berperan atas fungsi spiritual, fungsi teknis lapangan dikerjakan oleh Jaro yang merupakan wakil kepala adat; d. Mengenal Dewan Sidang Kapuunan yang disebut dengan Baresan; e. Adanya sistem “kementrian koordinator”. Keberadaan Jaro 7, yaitu koordinator atas 7 struktur kepala. Keberadaan Jaro 12, yaitu koordinator atas 12 struktur kepala; f. Adanya Jaro Pemerintah, yang berfungsi untuk mensinergiskan antara aturan adat dengan aturan formal Negara Republik Indonesia. Jaro Pemerintah disebut juga sebagai Mentri Luar Negeri masyarakat adat Baduy.
7. Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Baduy Masyarakat adat sering disebut indigenous people atau penduduk asli. Sebutan indigenous dikarenakan akar turun menurun mereka menjadi satu kesatuan tak terpisah dengan tanah dan wilayah yang mereka huni atau akan huni. Oleh karena masyarakatnya disebut sebagai indigenous people, maka pengetahuan yang tebentuk dari masyarakat tersebut disebut sebagai indigenous knowledge.
Indigenous knowledge mengandung pengertian, pengetahuan yang terbentuk pada masyarakat adat berlangsung turun-temurun. Pengetahuannya merupakan kristalisasi ilmu yang telah dikumpulkan selama berabad-abad oleh beberapa generasi yang 14
diteruskan secara estafet. Oleh karenanya, pengetahun-pengetahuan ini musti dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Pengetahuan pengelolaan hutan masyarakat Baduy terbentuk dari interaksi berkepanjangan dengan hutan
yang
dilakukan
setiap
hari.
Masyarakat
Baduy
telah
menghasilkan
“kesempurnaan pengetahuan” dari proses trial and error eksperimen yang berkepanjangan.
Tujuan pengelolaan hutan pada masyarakat modern berorientasi pada memberikan hasil ekonomi yang sebesar-besarnya. Hal inilah yang membuat implementasi dilapangan bersifat eksploitatif dan merusak. Sedangkan tujuan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat adalah untuk mewujudkan keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial-budaya, dan menjamin ekologi yang sehat dan lestari. Serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap anggota masyarakat sekitarnya.
Hutan bagi masyarakat Baduy lebih dari sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan jasa lingkungan. Seperti telah dijelaskan, masyarakat Baduy melihat hutan sebagai titipan (religiusitas). Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Sarfi Hutauruk (Ketua Komisi IV DPR RI), masyarakat lokal yang telah hidup menyatu dengan ekosistem hutan secara turun-temurun, tidak melihat peran hutan sebagai penghasil ekonomi dan ekologi saja, mereka juga melihat peran hutan dalam hal sosio-kultural dan religiusitas (Anonim, 2009a). Bagi masyarakat Baduy, peran hutan pada sisi sosiokultural dan religiusitas lebih dikedepankan daripada peran ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan pada masyarakat Baduy cenderung menganut jalan pikiran harmoni dengan alam sekitarnya. Berbeda halnya dengan masyarakat modern yang senantiasa berusaha memanipulasi alam hutan untuk memberikan hasil seperti yang mereka inginkan.
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa instansi kehutanan Republik Indonesia, antara lain: PERHUTANI Provinsi Banten, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, DISHUTBUN Provinsi Banten, para narasumber menyebutkan bahwa instansinya tidak terkait dengan pengelolaan hutan pada kawasan hutan Baduy. 15
Masyarakat Baduy melakukan pengelolaan hutan secara mandiri. Pemerintah Provinsi yang diwakili DISHUTBUN berpendapat, hutan Baduy bukan merupakan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Mentri Kehutanan sehingga tidak ada tanggung jawab pihak provinsi dalam melakukan pengelolaan. Padahal sebelum diberikannya hak ulayat pada tahun 2001, berdasarkan catatan Iskandar (1991) hutan Baduy merupakan kawasan yang masuk ke dalam wilayah, RPH Baduy, BKPH Cipanas, KPH Banten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Hutan pada masyarakat Baduy bukanlah merupakan kawasan hutan. Kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Tanah pada masyarakat Baduy adalah merupakan tanah ulayat. Kekuatan hukum kepemilikan lahan Baduy ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Berdasarkan Pasal 4 Perda Ulayat (Anonim, 2001), tanggung jawab pengelolaan hutan Baduy sepenuhnya berada di tangan masyarakat Baduy. “Segala peruntukan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy”
Keberadaan tanah Baduy yang merupakan tanah ulayat, seharusnya tidak berarti pemerintah harus berlepas diri terhadap pelestarian sumber daya hayati dan penjagaan keberadaan hutan Baduy. Kekayaan alam di Baduy harus dilindungi oleh semua pihak. Jaro Nalim mengatakan Baduy adalah merupakan celengan negara dan celengan agama. “Cengcelengan Agama, cengcelengan negara eta istilahna” Terjemahan bebas “Istilahnya adalah celengan negara dan celengan agama”
a. Lembaga Adat Dalam Pengelolaan Hutan Struktur adat pada masyarakat Baduy bertugas menghantarkan masyarakat sukses dalam menjalankan misi kehidupan. Ada 3 hal pokok yang dikerjakan oleh lembaga adat agar warga masyarakat berhasil melaksanakan misi kehidupannya. Pertama, memberikan nasihat-nasihat kepada warga masyarakat. Kedua, menjaga nilai adat yang diturunkan 16
oleh para leluhur. Ketiga, mengeluarkan serangkaian aturan untuk mengatur kehidupan warga. Tugas pokok lembaga adat diatas akan dibawah ini.
Puun pada masyarakat Baduy ada 3 orang, tiga pemimpin ini bertempat tinggal dikampung-kampung yang berbeda pada pada kawasan Baduy Dalam. Kampungkampung tersebut adalah Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Pada masyarakat Baduy kepimipinan ini sering disebut sebagai Tritunggal. Secara tersirat bermakna tiga pemimpin tapi satu tujuan. Untuk mencapai tujuan yang satu, ketiga Puun tersebut mempunyai wewenang tugas yang berlainan tetap saling melengkapi. a. Wewenang kapuunan Cikeusik adalah menyangkut urusan keagamaan. b. Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan Baduy. c. Wewenang kapuunan Cikertawana menyangkut urusan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Wewenang-wewenang ini diketahui dari berbagai kondisi lapangan. Puun Cikeusik sebagai pimpinan agama, dapat kita ketahui dari adanya keberadan tempat suci masyarakat Baduy di Kampung Cikeusik. Begitupun acara-acara upacara adat seperti kawalu (puasa masyarakat Baduy) dipimpin oleh Puun Cikeusik. Tugas Puun Cibeo adalah fungsi sosial, yaitu menerima tamu yang akan berkunjung berwisata ataupun penelitian ke Desa Kanekes. Begitu juga halnya, lokasi Baduy Dalam yang dapat dikunjungi masyarakat umum hanyalah kampung Cibeo. Menyangkut urusan lingkungan dan kehutanan adalah fungsi khusus dari Puun Cikertawana. Hal ini dapat kita ketahui dari asal kata Cikertawana yaitu kerta dan wana. Kerta berarti subur atau makmur dan wana berarti hutan.
Puun akan berinteraksi dengan warga berdasarkan fungsinya masingmasing. Akan terjadi kerja yang saling komplementer (melengkapi) dari para Puun. Puun Cikeusik sebagai pimpinan agama akan memberikan wejangan kepada warga menyangkut hal-hal yang berbau pendidikan agama dan kepercayaan. Puun Cibeo akan memberikan nasihat seputar permasalahan sosial. Puun Cikertawana akan memberikan pengetahuan kepada warga mengenai seluk-beluk tentang lingkungan di Baduy. 17
Proses transfer informasi pengetahuan kepada warga masyarakat, terjadi ketika warga bersilaturahmi ketempat Puun ataupun pada acara-acara adat. Pada saat itulah terjadi pembentukan karakter masyarakat Baduy sehingga menjadi pribadi yang seimbang, antara kehidupan agamanya, sosial dan lingkungan.
Pembentukan karakter ini
disederhanakan dalam gambar berikut (Gambar 9).
Kerusakan hutan yang terjadi saat ini adalah karena ketidakseimbangan informasi yang didapat oleh pengelola hutan ataupun masyarakat. Penekanan pengetahuan akan hutan yang bertitik berat terhadap manfaat hutan secara ekonomi membuat manusia bersifat eksploitatif. Cara pandang “economicus” tersebut telah mengantarkan manusia menjadi pribadi yang egosentris. Sebagai mahkluk yang diciptakan paling mulia, manusia bertindak
hanya
mementingkan dirinya tanpa
melihat
kepentingan
mahkluk
Allah lainnya. Keraf (2002)
berdasarkan
hasil
tesisnya
menyimpulkan, masalah
lingkungan
adalah masalah moral manusia. Oleh karena itu, pembenahan lingkungan ini dapat kita upayakan sebagaimana masyarakat Baduy telah berhasil melaksanakannya, yaitu menitikberatkan kepada fondasi filosofis nilai ketuhanan bukan pada nilai ekonomi.
b. Peradilan Adat Hukum tidak berjalan bila tidak ada kekuatan pemaksa. Oleh karenanya, terdapat sangsi dalam aturan adat. Namun, tegaknya hukum di Baduy bukan hanya didasarkan oleh adanya sangsi-sangsi yang akan diberikan bila seseorang melanggar. Ada beberapa kontrol bagi masyarakat Baduy untuk hidupnya selaras dan tidak melanggar aturan. a. Kesadaran Individu: Kesadaran individu ini berakar pada keyakinan pada warga masyarakat. Bagi masyarakat Baduy, orang yang melakukan perbuatan salah di 18
dunia, maka kelak di akhirat akan mendapatkan ganjaran dari Tuhan Yang Maha Agung. b. Kontrol Masyarakat: Masyarakat Baduy memiliki filosofi kehidupan, orang yang makin banyak melanggar aturan maka derajat kemanusiaannya semakin rendah. Terlihat dalam perilakunya dilapangan, masyarakat yang kerap melakukan pelanggaran akan berjalan dengan kepala menunduk layaknya orang bersalah. Orang-orang yang berbuat salah, dalam pergaulanpun secara tidak langsung mengalami pengucilan oleh warga. c. Kontrol Petinggi Adat: Kokolot Lembur (kepala kampung) merupakan struktur terkecil dalam lembaga adat. Kepala kampung merupakan orang yang berwibawa dikampung, mereka merupakan pimpinan spiritual yang memberikan nasihatnasihat kepada untuk berlaku hidup yang baik. Sebagai tindakan lapangan yang dilakukan oleh struktur adat, pada masyarakat Baduy dikenal istilah bebersih. Istilah bebersih dapat dipersamakan dengan Inspeksi Mendadak. Bebersih ini merupakan kegiatan inspeksi dari struktur adat memasuki rumah-rumah warga. Bila ketahuan ada warga yang membawa alat elektronik sebagaimana dilarang oleh adat, maka alat tersebut akan disita dan dimusnahkan. Tiga tahun terakhir aktivitas bebersih ini sudah tidak terjadi di Baduy. Girang seurat yang tugasnya melakukan hal ini, saat ini sudah dalam kondisi tua (renta).
Peradilan adat di Baduy mengakui keberadaan hukum positif yang berlaku di pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak seperti halnya Suku Kubu dari Jambi yang menolak diberlakukannya hukum positif bagi mereka. Orang-orang suku Kubu melihat hukum positif sebagai sesuatu yang sama artinya dengan tidak mengakui
keberadaan
hukum
adat
(Anonim,
2009c).
Masyarakat
Baduy
mempersilahkan kepada aparat penegak hukum mengadili secara konstitutional apabila ada warga Baduy yang melakukan pelanggaran hukum. Seperti halnya dalam penangkapan pencuri kayu, masyarakat Baduy bekerja sama dengan pemerintah RI. Hal ini terungkap dari pernyataan Jaro, bahwa tugas mereka hanyalah mengawasi bukan menangkap. “Ari kami mah biasana cuma mariksa doang. Lamun nangkepan mah lain tugas kami” Terjemahan bebas “Tugas kami hanya memeriksa saja. Kalau menangkap bukan merupakan tugas kami” 19
Penjelasan tersebut dilanjutkan dengan menerangkan adanya komunikasi masyarakat Baduy dengan pihak kepolisian. Pihak kepolisian juga melakukan patroli di sekitar hutan-hutan Baduy pada waktu-waktu tertentu.
Irisan antara hukum positif dan hukum adat pernah terjadi pada tahun 2004. Pada tahun tersebut ada warga Baduy bernama melakukan pembunuhan terhadap Kasmiyah. Bagi masyarakat Baduy, pembunuhan atau meneteskan darah seorang manusia adalah tergolong pelanggaran yang berat. Sudah pasti warga tersebut akan mendapatkan hukuman dari adat. Namun, karena terdakwa juga telah melanggar hukum positif maka terdakwa juga dibawa ke pengadilan untuk diadili. Pengadilan memutuskan warga Baduy tersebut mendapatkan hukuman pidana penjara selama 4 bulan. Empat bulan penjara merupakan keringanan pidana, hal tersebut karena warga Baduy yang bersangkutan akan mendapat hukuman dari adat. Selepas dipenjara oleh pemerintah, Sadim kembali di “penjara” selama 40 hari oleh adat. Tetapi baru berlangsung 2 minggu dilokasi pengasingan, Sadim telah meninggal dunia (Anonim, 2009b).
Hukuman yang diberikan oleh adat disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. a. Hukuman Ringan: Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan Si pelanggar aturan oleh Puun untuk diberikan peringatan. Termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain, cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy. b. Hukuman Berat: Hukuman berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, Si terhukum juga akan dimasukan ke dalam rumah tahanan adat selama 40 hari. Termasuk kedalam pelanggaran berat, antara lain: membunuh, menebang pohon, berzinah, dan berpakaian ala orang kota.
Konsep penjara tidak dikenal dalam hukum adat, karena mengurung Si pelaku bagi hukum adat bukanlah jalan terbaik. Rutannya Orang Baduy atau lebih tepat disebut tahanan adat, berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus atau menjaganya. Selama 40 hari Si pelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan 20
sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. c. Penyelesaian Sengketa Permasalahan yang terjadi antara warga pada sekup kampung, maka akan diselesaikan oleh Kokolot Lembur (kepala kampung). Permasalahan yang tidak dapat diselesaikan Kokolot Lembur maka akan meminta bantuan Jaro untuk menyelesaikannya. Persoalan besar dan pelik yang tidak dapat diselesaikan Jaro, maka Puun akan turun tangan untuk menyelesaikan. Permasalahan yang sampai ke Puun akan dibawa pada sidang kapuunan. Sidang kapuunan dihadiri oleh Puun, Jaro, Baresan dan Girang seurat yang dipimpin oleh Puun.
Puun dalam struktur adat lebih berperan pada fungsi spiritual. Teknis pelaksanaan dari Puun pada tataran lapangan akan dilaksanakan oleh Jaro. Jaro bertugas mengawasi jalannya aturan kapuunan dan penjagaan nilai adat. Masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat juga merupakan tugas dari Jaro untuk menyelesaikan. Jaro tangtu Nalim mengatakan “Ari aya masalah di masyarakat langsung diselesaikan di imah Jaro” Terjemahan bebas “Apabila ada masalah di masyarakakat akan diselesaikan di rumah Jaro”. Wawancara yang dilakukan terhadap warga, menyangkut permasalahan pencurian kayu. Informan mengatakan, mereka akan langsung melapor kepada Jaro bila melihat adanya pencurian kayu di hutan.
d. Bentuk-Bentuk Pengelolaan Hutan 1. Tata Guna Lahan Tata guna lahan di Baduy dibedakan menjadi tiga zonasi, yaitu: a. Lahan Pemukiman Merupakan zona yang terdapat pada kaki bukit, berada didaerah yang datar. Hal ini dimaksudkan supaya terhindar dari angin ketika terjadi badai dan juga agar warga tidak sulit untuk mendapatkan air. Air dialirkan ke pemukiman-pemukiman warga yang mengalir dari dindingdinding bukit, kemudian disambungkan dengan selang alami berupa bambu menuju pemukiman warga (Gambar 11). Gambar 11. Pemukiman Baduy di Kampung Cipaler
21
b. Lahan Perladangan Letak lahan perladangan berada diatas pemukiman. Lahan perladangan digunakan oleh warga sebagai lahan pertanian, kebun ataupun kebun campur. Pada kawasan ini terjadi praktek Agroforestry. Lahan bekas ladang akan dibiarkan atau diberakan selama kurun waktu 3-5 tahun. Lahan ini akan terbentuk menjadi hutan sekunder, oleh masyarakat Baduy disebut sebagai reuma. c. Lahan Hutan Lahan hutan ditunjukkan untuk areal konservasi dan keberadaanya tidak boleh dikonversi menjadi bentuk apapun. Hanya dimanfaatkan kayunya secara terbatas, pengambilan kayu di zona ini harus mendapat persetujuan dari Puun. Lahan hutan yang dimaksud merupakan hutan larangan. Lahan hutan ini difungsikan sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area). Oleh masyarakat Baduy diistilahkan dengan Cocomplokan atau Gentong Bumi (Gambar 13).
22
2. Pembagian Kawasan Hutan Kawasan hutan di Baduy dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu Hutan Larangan, Hutan Dungus dan Hutan Produksi. a. Hutan Larangan atau Gentong Bumi atau Cocomplokan adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan hutan larangan tidak diperkenankan bagi warga untuk mengambil kayunya. b. Hutan Dungus atau hutan mata air adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. c. Hutan Kampung (Gambar 14) adalah hutan yang berada disekitar kampung. Fungsi pokok hutan kampung adalah sebagai pengatur iklim (Climate regulator), sehingga udara disekeliling kampung Baduy terasa sejuk. d. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Masyarakat Baduy membangun hutan produksi di lahan perladangan mereka. Pasca dilakukan pemanenan warga akan melakukan penanaman bibit tanaman. Hutan produksi ini letaknya di reuma atau menjadi kebun campur dengan tanaman pertanian.
3. Tapal Batas Tapal batas merupakan penanda batas kawasan. Batas yang jelas merupakan hal yang penting, untuk menghindari terjadinya konflik. Masyarakat Baduy mengenal beberapa penanda yang berfungsi sebagai tapal batas. a. Jembatan Bambu (Gambar 15): Jembatan yang menghubungkan dan memisahkan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Bentuknya adalah jembatan yang melintas diatas sungai Ciujung. b. Munggur atau Bukit: Bentang alam baduy yang berbukit-bukit (Gambar 16), menjadi pemisah antar kampung satu dengan lainnya. Kita tidak dapat melihat kampung yang berlainan pada satu garis lurus pandangan.
23
c. Han Juang: Merupakan nama jenis tanaman yang berfungsi sebagai penanda batas lahan garapan. Tanaman ini hanya berfungsi sebagai pembatas saja dan keberadaannya tidak dibudidayakan. d. Pagar Bambu: Berfungsi seperti tanaman han juang, yaitu untuk membedakan batas lahan garapan antar kebun warga. Berbentuk pagar dengan ketinggian sekitar 1,5 meter.
4. Rehabilitasi Lahan Pembalakan liar membuat hutan di kawasan Baduy mengalami kerusakan. Menanggulangi kerusakan yang terjadi, masyarakat Baduy pernah mendapat bantuan tanaman dari pemerintah. Namun, bantuan tersebut ditolak oleh struktur adat. Penolakan ini terkait dengan konsep rehabilitasi pada adat Baduy. Konsep rehabilitasi tersebut antara lain : a. Masyarakat Baduy hanya mengenal suksesi alam, yaitu membiarkan hutan berproses tanpa perlakuan manusia. Termasuk manusia dilarang untuk mengambil pohon yang tumbang, karena hal tersebut dapat mengganggu proses suksesi. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Jaro, “Jadi alam mah teu meunang dipelakan ku kami, cingken tumbuh sorangan papohonan mah. Soalna papohonan mah tumbuh sorangan ari leuweng mati” Terjemahan bebas “Hutan (alam) tidak perlu kami beri perlakuan, pohon dapat tumbuh dengan sendirinya. Ketika ada yang mati, maka dari tempat tersebut akan tumbuh anakan yang baru” b. Keberadaan jenis tanaman yang bukan berasal dari daerah asal Baduy, akan mengancam kelangsungan vegetasi asli Baduy. Rehabilitasi yang benar adalah dengan mengambil tanaman asli dari daerah tersebut. c. Tanaman yang di tawarkan oleh pemerintah merupakan tanaman produk GNRHL, seperti Jati, Rambutan, Mangga, Mahoni, dan Durian. Menurut masyarakat Baduy jenis tanaman GNRHL tidak tepat untuk ditanam di hutan, karena tanaman tersebut adalah tanaman kebun. Tentu saja bantuan bibit tersebut ditolak sebagai jenis tanaman rehabilitasi bagi hutan Baduy.
24
Model rehabilitasi lahan yang membiarkan mekanisme alam bekerja, membuat vegetasi hutan Baduy memiliki heterogenitas yang tinggi. Bertolak belakang dengan konsep penanaman yang dikembangkan saat ini, yaitu penanaman monokultur. Padahal konsep penanaman monokultur memiliki kelemahan, yaitu mudah terserang penyakit. Oleh karena itu, konsep rehabilitasi lahan yang dikembangkan masyarakat Baduy, tidak bisa tergantikan oleh konsepsi modern. 5. Larangan Penggembalaan Keberadaan hewan ternak merupakan salah satu penyebab tingginya laju deforestasi. Tingginya aktivitas penggembalaan didalam hutan telah membuat beberapa dampak, yaitu: pembukaan lahan hutan menjadi lahan peternakan, merusak anakan tanaman, memadatkan tanah, dan merusak kualitas kayu. Pada masyarakat Baduy terdapat ketentuan adat yang melarang hewan berkaki 4 untuk masuk kedalam hutan. Hewanhewan seperti Kambing, Sapi, Kerbau, dilarang masuk ke dalam hutan.
Larangan hewan Kerbau masuk ke dalam hutan, bukanlah karena berbagai dampak yang dapat ditimbulkan seperti telah dituliskan di atas. Menempatkan sesuatu pada tempat asalnya, merupakan kunci bagi keseimbangan ekosistem. Masyarakat Baduy tidak memperbolehkan hewan Kerbau masuk ke dalam hutan, dikarenakan Kerbau tempat hidup asalnya bukanlah di hutan. Perihal keberadaan hewan berkaki 4 lain yang berada di hutan yaitu Anjing, Jaro Tangtu member penjelasan, “Anjing itu dari zamannya nabi sebelum manusia ada sudah ada, makanya anjing mah boleh dipelihara dan masuk kedalam hutan” 6. Pemanfaatan Hasil Hutan Hutan merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi masyarakat Baduy. Kebutuhan hidup masyarakat Baduy, baik sandang, pangan dan papan, semuanya mengandalkan dari hutan. Berikut kebutuhan-kebutuhan masyarakat Baduy yang memanfaatkan hasil hutan.
25
a. Sandang: Masyarakat Baduy menggunakan pakaian yang dirajut dari bahan dasar serat dedaunan yang mereka anyam sendiri. Keadaan tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat Baduy Dalam. Hasil anyamannya berupa kain putih. Sedangkan masyarakat Baduy Luar yang berpakaian hitam (Gambar 17), mendapatkan bahan pakaian dari Kota sekitarnya. Masyarakat Baduy juga mengenal asesoris penampilan, yaitu koja dan romal. Koja adalah tas jaring-jaring yang terbuat dari kayu teureup. Romal adalah ikat kepala yang berkain biru dengan motif batik. b. Pangan: Kebutuhan makanan masyarakat Baduy diperoleh dari berladang. Masyarakat Baduy tidak pernah kekurangan beras karena mereka punya gudang persediaan pangan yang disebut dengan leuit. Menurut kasepuhan, beras di dalam leuit bahkan ada yang sampai berumur 50 tahun. Laukpauk berupa ikan dapat diperoleh masyarakat dari sungai. Buah-buahan
banyak
tedapat di alam, yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy antara lain: Rambutan, Durian, Dukuh, Kokosan,
Manggis, Keranji,
Jagung, dan Langsat
c. Papan: Kebutuhan kayu untuk membangun rumah pada masyarakat Baduy, diperkenankan untuk mengambil dari kawasan hutan. Selain untuk kebutuhan rumah, dilarang untuk mengambil kayu dari hutan. Seperti dikatakan oleh Jaro Nalim, “Leuweung meunang dicandak hasilna ari bener kanggo kabutuhan siga imah eta moal naon dibuka”. Terjemahan bebasnya : “Hasil hutan berupa kayu dapat diambil, bila untuk membuat rumah. Selain itu tidak diperkenankan”. Permukiman orang Baduy tersusun atas kayu, bambu, kiray (daun rumbia), ijuk pohon aren, rotan dan batu (Gambar 18 dan 19). Kebutuhan kayu bakar anggota masyarakat tidak dipenuhi dari kayu yang berasal dari hutan. Kayu bakar diperoleh masyarakat dari lahan bekas perladangan yang disebut reuma. 26
Hasil Pembelajaran (1)Mampu memahami dan menjelaskan konsep kebudayaan, wujud kebudayan dan unsur-unsur kebudayan (2)Mampu memberikan contoh kebudayan masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Diskusi dan menjawab kuis (4) Mencari kasus relasi antara budaya masyarakat dengan pengelolaan hutan kemudian menganalisisnya
Kuis dan latihan - Jelaskan yang dimaksud dengan kebudayaan, wujud serta unsur-unsur dari kebudayaan tersebut berikut contoh-contohnya dalam konteks pengelolaan hutan ! - Terangkan relasi atau keterkaitan antara budaya masyarakat dengan kegiatan pengelolaan hutan dan berikan contoh kasusnya di lapangan !
27
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta. Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta
28
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel
Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta
29