BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH) mayoritas berumur 20 – 60 tahun
(90,7 %). Tingkat pendidikan petani sangat rendah, rata-rata tidak
lulus sekolah dasar. Responden terbanyak tidak lulus SD (53,7%), lulus sekolah dasar (33,3%). Berdasarkan jenis kelamin, petani laki-laki (87%), petani wanita (13%).
Pendidikan
1.9 11.1 33.3
53.7
Tdk lulus SD SD SMP SMA
Gambar 2 Tingkat pendidikan responden
Tingkat pendidikan yang rendah akan berkaitan dengan sumber daya manusia pelaku PHBM di lapangan. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh terhadap bentuk parisipasi dalam program yang cenderung menjadi pengikut dan mempunyai daya tawar yang rendah. Anggota kelompok tani masih belum menyadari posisinya sebagai mitra dengan Perhutani. Pekerjaan responden dikelompokkan menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sambilan, karena dalam kehidupan sehari-hari banyak penggarap yang tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan saja, tetapi mengerjakan pekerjaan lain yang berbeda dengan pekerjaan utama. Misalnya mereka bertani pada musim hujan, tetapi pada saat kemarau mereka berjualan makanan di Jakarta. Mayoritas penggarap pekerjaan utamanya adalah petani (59,3%) dan pedagang (20,4%). Sedangkan untuk pekerjaan sambilan, mayoritas petani (44,4%), disusul pedagang (18,5%), dan pekerjaan lain-lain (33,3%). Dengan mayoritas penduduk sebagai petani maka kebutuhan masyarakat terhadap
67
terhadap sumberdaya lahan sangat penting. Untuk itu kemudahan untuk mengakses terhadap sumber day hutan sangat diharapkan masyarakat. Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan (%) Pekerjaan Petani Pedagang Bangunan Karyawan Sopir Lain-lain Total
Utama 59,3 20,4 3,7 5,6 1,9 9,3 100
sambilan 44,4 18,5 1,9 1,9 33,3 100
6.2 Keterbatsan Sumber Daya Lahan Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar desa sekitar hutan termasuk desa tertinggal. Perhatian terhadap peningkatan kemakmuran masyarakat
sekitar hutan tidak hanya sekedar bantuan yang bersifat belas
kasihan saja, tetapi diharapkan mampu mendorong peningkatan kesejahteraan menuju kemandirian. Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan penghasilan ( % ) Penghasilan per bulan
Pendapatan per 2 thn dari PHBM
< 500.000
501 – 750
751 – 1 jt
77,8
18,5
1,9
1 jt
1,9
< 500
500000750.000
>750.000
95,7
4,3
0
Berdasarkan penghasilan responden setiap bulan, kebanyakan petani dalam kategori miskin karena penghasilan rata-rata per bulan < Rp 500.000 sebanyak (77,8%), yang mempunya penghasilan antara Rp 501.000– Rp 750.000 (18,5%), dan hanya (1,9%) yang penghasilannya di atas satu juta rupiah. Penghasilan tambahan dari PHBM yang diterima petani mayoritas di bawah Rp 500.000 setiap dilakukan penjarangan.
68
Lahan Milik 1.89 5.66 35.85
< 0,25 ha 0,25 – 0,5 ha 0,51 – 1 ha 56.6
>1 ha
Gambar 3 , Distribusi Lahan Milik Rakyat
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki, kebanyakan petani memiliki lahan di bawah 0,5 hektar; kemudian penggarap yang memiliki lahan di bawah 0,25 hektar sebanyak (35,85%), yang memiliki lahan antara 0,25 sampai 0,5 hektar (56,6%), dan hanya (1,89%) yang memiliki lahan di atas satu hektar. Lahan garapan yang dikelola dalam program PHBM, rata-rata juga sempit. Luas lahan garapan di bawah 0,25 hektar sebanyak (30,2%), antara 0,25 sampai 0,5 hektar (49,05%), dan hanya (3,77%) yang memiliki lahan di atas satu hektar. Besarnya penghasilan responden berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pekerjaan sambilan, luas lahan milik
dan luas
lahan garapan. Berdasarkan tabulasi silang dan uji chi square antara penghasilan per bulan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pekerjaan sambilan, luas lahan milik dan luas lahan garapan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 14 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan petani Variable Value
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided)
69
Pendidikan Pekerjaan utama Lahan milik Pekerjaan sambilan Lahan garapan
67.417 29.840 59.453 6.622
9 15 9 9
0.000 0.013 0.000 0.676
8.926
9
0.444
+++ +++ +++
Peubah yang berhubungan secara signifikan dengan penghasilan responden pada tingkat kepercayaan 95% (ditunjukkan dengan nilai ‘Asymp. Sig. (2-sided)’ kurang dari 0.05) adalah tingkat pendidikan, pekerjaan utama responden dan luas lahan yang dimiliki oleh responden tersebut. Sedangkan hubungan penghasilan per bulan dengan pekerjaan sambilan dan lahan garapan tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Luas lahan milik berhubungan langsung dengan pendapatan semakin luas semakin besar pendapatan, demikian juga dengan pendidikan semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang mendapatkan pengahasilan yang baik. Tabulasi
silang
juga
dilakukan
untuk
melihat
hubungan
antara
pendapatan tambahan dari PHBM dengan peubah lainnya. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil pada Tabel 15. Berdasarkan hasil Tabel 15 di bawah, peubah yang secara signifikan berhubungan dengan penghasilan tambahan dari PHBM pada tingkat kepercayaan 95% hanyalah peubah lahan garapan.
Tabel 15 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan penghasilan tambahan Variable Pendidikan Pekerjaan utama Lahan milik Pekerjaan sambilan Lahan garapan Lama ikut PHBM
Value 0.427 3.638 0.403 0.357 13.367 0.495
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 3 0.935 5 0.603 3 0.940 3 0.949 3 0.004 +++ 3 0.920
Berdasarkan data di atas, lalu muncul sebuah pertanyaan: Apakah PHBM menguntungkan atau tidak bagi responden. Dengan menghubungkan peubah ini dengan peningkatan penghasilan dan bertambahnya penghasilan, didapatkan hasil pada Tabel 16. Tabel
16
Hasil uji peubah yang berhubungan dengan keuntungan
responden
70
Variable Pendapatan meningkat Penghasilan bertambah
Value 12.894
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 2 0.002 +++
15.451
2
0.000
+++
Berdasarkan hasil pada tabel 18 dapat dikatakan bahwa menguntungkan atau tidaknya PHBM secara signifikan memiliki hubungan pada tingkat kepercayaan 95% dengan pendapatan meningkat dan penambahan penghasilan. Hasil tabulasi silang dan uji chi square antara penyerapan tenaga kerja dan usaha produktif menunjukkan bahwa keduanya memilki hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, sebagaimana terlihat dalam tanel 17 berikut:
Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja Variable Penyerapan tenaga kerja Frekuensi kayu bakar
Value 18.143 12.114
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 4 0.001 +++ 6
0.059 +++
Tabulasi silang dan uji chi squre antara frekuensi pengambilan kayu bakar dan tambahan penghasilan yang diperoleh menunjukkan hubungan yang signifikan pada tingkat kepercayaan 90% saja. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 18 berikut:
Table 18 Hasil uji hubungan peubah frekuensi kayu bakar dengan penghasilan Variable
Pearson chi square Value Df Asymp. Sig. (2-sided) Frekuensi kayu bakar 12.114 6 0.059 +++ 6.3 Berkurangnya Kebakaran Hutan dan Pencurian Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan sangat berpengaruh terhadap kelestarian hutan dan menetukan keberhasilan pengelolaan hutan yang baik. Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian hutan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Masyarakat desa hutan sejak zaman kolonial Belanda sampai sekarang, belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah bahkan pengabaian
71
terhadap perikehidupan masyarakat desa hutan terus terjadi. Baru,
pemerintahan
lebih
mengutamakan
membangun
Semasa Orde sentra-sentra
pertumbuhan di pusat-pusat kota dan daerah-daerah satelit yang berada disekitarnya. Akibatnya, pembangunan tumbuh tidak merata dan desa hutan yang secara geografis berada jauh dari pusat pertumbuhan diabaikan. Ketika otonomi daerah mulai dilaksanakan, daerah yang memiliki APBD kecil berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya dan menekan pengeluaran sekecil-kecilnya, sehingga permasalahan sosial dan pelayanan masyarakat kurang diperhatikan. Desa hutan yang secara sosial ekonomi membutuhkan perhatian yang besar untuk mengejar ketertinggalannya juga tidak diperhatikan. Di Jawa dan Madura, jumlah desa hutan lebih dari 6.000 desa, sebagian besar terdapat di sepanjang batas hutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Jumlah desa hutan ada 18.784 desa atau 26,6% dari jumlah seluruh desa di Indonesia, atau sebesar 58% dari desa tertinggal yang ada, yakni 32.379 desa. Terdapat korelasi yang kuat antara persentase jumlah desa hutan di suatu daerah dengan besaran angka kemiskinan dan nilai Indek Pembangunan Manusia (IPM). Hal tersebut menunjukan bahwa desa hutan telah sejak lama menjadi
kantong-kantong
kemiskinan.
Namun
kenyataannya,
upaya
pengentasan kemiskinan yang tengah diupayakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, seringkali tidak menyentuh komunitas masyarakat desa di sekitar hutan. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara holistik, belum dipandang sebagai sebuah bagian tidak terpisahkan dari pembangunan wilayah oleh banyak pemerintah daerah. Masyarakat desa hutan cenderung dipandang sebagai bagian dari program kehutanan sehingga dianggap urusan Kementerian Kehutanan dan pengelola hutan negara. Proses pemberdayaan masyarakat desa hutan, dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab Perhutani. Sementara Perum Perhutani dan komunitas kehutanan memandang bahwa desa hutan dan masyarakatnya tidak ada bedanya dengan desa-desa lainnya yakni merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
72
Perhutani sebagai perusahaan yang harus menghasilkan keuntungan harus diberikan beban untuk ikut memperhatikan desa hutan. Inisiatif dan prakarsa pemberdayaan masyarakat berasal dari Perhutani sehingga wajar jika terjadi bias dengan kepentingan Perhutani. Fokus utama program adalah untuk mengamankan hutan. Permasalahan penting yang krusial untuk diatasi dalam pengelolaan hutan
adalah masalah pencurian dan kebakaran hutan. Salah satu langkah
preventif yang dilakukan untuk menangani kebakaran dan pencurian adalah diadakannya giliran jaga dari para petani penggarap. Kejadian kebakaran hutan dicoba dihubungkan dengan giliran jaga. Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil sebagai berikut : Table 19 hubungan antara kebakaran dan giliran jaga Variable Giliran jaga Giliran jaga
Value 11.019 8.721
Pearson chi square Asymp. Sig. (2-sided) Df 8 0.088 6 0.190
Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa hubungan kebakaran hutan dan giliran jaga signifikan pada tingkat kepercayaan 90%. Untuk melihat apakah pencurian kayu hutan signifikan dengan giliran jaga
berhubungan secara
diuji dengan menggunakan uji chi square
sebagaimana terlihat pada Tabel 20 berikut:
Tabel 20 Hasil uji hubungan giliran jaga dengan pencurian kayu. Variable
Giliran jaga
Pearson chi square Value
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
8.721
6
0.190
Dari hasil uji pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa hubungan antara pencurian kayu dengan giliran jaga tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95% atau 90%.
6.4 Berkurangnya Sumber Mata Air setelah Penanaman Akasia
73
Pengelolaan hutan secara berkelanjutan mempunyai arti menciptakan kondisi sumberdaya hutan yang keberadaannya terjamin secara mantap dan berfungsi optimal secara terus menerus. Untuk mewujudkannya diperlukan tingkat produktivitas dan kualitas hutan yang tinggi, tingkat erosi yang minimal, debit air sungai yang relatif stabil, terpeliharanya keanekaragaman jenis hayati dan lingkungan, serta kondisi biofisik lingkungan yang baik. Hutan tropis Indonesia memiliki peran strategis untuk kehidupan ekologis di bumi. Dengan luas kawasan hutan nomor tiga setelah Brasil dan Zaire, hutan tropis Indonesia merupakan paru-paru dunia yang berpengaruh terhadap gejala pemanasan global. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sedikitnya 12 juta hektar kawasan hutan di Indonesia dalam kondisi terlantar. Hutan primer hanya tersisa 43 juta hektar.
Deforestry saat ini mencapai 1,1
juta hektar per tahun, sedangkan pada masa orde baru mencapai 3 juta hektar per tahun. Hutan di Indonesia yang semula meliputi 70 persen dari seluruh permukaan daratan, atau sekitar 130 juta hektar, secara sistematis mengalami deforestrasi, bahkan 42 juta hektar sudah nyaris tanpa vegetasi. Degradasi sumberdaya hutan yang sudah melampaui batas tidak menguntungkan bagi kepentingan ekologi atau lingkungan. Eksploitasi dan eksplorasi hutan yang berlebihan dan melampuai batas daya dukung lingkungan, hanya akan menghasilkan nilai ekonomi yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya pemulihan. Memang hutan termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan penghijauan, tetapi dalam pelaksanaannya rehabilitasi tidak mudah dilaksanakan. Pemanfaatan hutan dengan alasan kepentingan ekonomi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, dan aspek sosial budaya masyarakat sekitar hutan. Kondisi kawasan hutan di BKPH Parung Panjang sekarang ini berbeda jauh dengan kondisi hutan sebelumnya. Pada era orde lama hutan sangat bagus dengan jenis tegakan puspa, mahoni, tambesu. Mata air banyak ditemukan di sekitar hutan, sumber mata air tetap ada meski sudah kemarau lebih dari tiga bulan. Banyak rumput untuk pakan ternak, dan jamur merah (kunir). Fauna juga beragam: babi hutan, kelinci, ayam hutan, berbagai burung, ular, dan banyak ikan . Ketika jenis tanaman diganti dengan accacia mangium , biodiversitas flora dan fauna menurun. Sekarang sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber.
74
Saat ini tanaman acasia merupakan andalan untuk produksi kayu dari BKPH Parung Panjang. Produksi pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 21 berikut : Tabel 21 produksi tebangan tahun 2009 Parung Panjang (m3) Jenis tebangan A.2 B.1 E Jumlah
Produksi 2.130,47 3.926,66 375,95 6.433,08
(Sumber : Perhutani BKPH Parung Panjang 2009)
Hubungan antara peubah lingkungan dengan peubah lainnya dilakukan uji chi square pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil uji hubungan peubah yang berkaitan dengan lingkungan Variable Sarana prasarana Tingkat kebakaran Peningkatan reboisasi Pengurangan pencurian Ketersediaan air
Dari hasil tersebut
Value 11.487 17.430 12.743 5.023 1.396
Pearson chi square Df Asymp. Sig. (2-sided) 2 0.003 +++ 4 0.002 +++ 2 0.002 +++ 4 0.285 2 0.497
terlihat bahwa kondisi hutan berhubungan secara
signifikan dengan sarana prasarana, tingkat kebakaran dan peningkatan reboisasi pada tingkat kepercayaan 95%. Variabel-variabel lain seperti pengurangan pencurian dan ketersediaan air tidak berhubungan secara signifikan.
6.5 Ikhtisar Sebagian besar desa sekitar hutan termasuk desa tertinggal. Tingkat pendidikan petani sangat rendah, tidak lulus SD (53,7%), lulus sekolah dasar (33,3%). Penghasilan petani rata-rata per bulan < Rp 500.000 sebanyak (77,8%), Rp 501.000– Rp 750.000 (18,5%). Penghasilan tambahan dari PHBM bawah Rp 500.000 setiap dilakukan penjarangan. Mayoritas petani memiliki lahan di bawah 0,5 hektar sebanyak (92,45%).Luas lahan garapan dari PHBM juga sempit < 0,25 hektar (30,2%), antara 0,25 sampai 0,5 hektar (49,05%). Mayoritas penggarap adalah petani (59,3%) dan pedagang (20,4%).
75
Peubah yang berhubungan secara signifikan dengan penghasilan responden adalah tingkat pendidikan, pekerjaan utama responden dan luas lahan milik. Peubah yang secara signifikan berhubungan dengan penghasilan tambahan dari PHBM hanyalah peubah lahan garapan. Peubah penyerapan tenaga kerja dan usaha produktif menunjukkan hubungan yang signifikan. Desa hutan telah sejak lama menjadi kantong-kantong kemiskinan. Upaya pengentasan kemiskinan belum memperhatikan desa di sekitar hutan. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan PHBM adalah pencurian kayu dan kebakaran hutan. Langkah yang dilakukan untuk menangani kebakaran dan pencurian adalah diadakannya giliran jaga, Hubungan kebakaran hutan dengan giliran jaga signifikan tetapi hubungan antara pencurian kayu dengan giliran jaga tidak signifikan.
76