ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi
Lanskap Nagari Simanau yang dimanfaatkan masyarakat berdasarkan kontur alamnya. Foto Heriyadi/ Dok KKI Warsi
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Asap Hilang Banjir yang Datang / Elviza Diana.........................................................................................…....4 INTRODUKSI • Mempertanyakan Kelanjutan Hutan Desa / Sukmareni................…..........................................……………....5 LAPORAN UTAMA • Riuh PBHM di Sumbar / Riche Rahma Dewita/ Ferdinal Asmin .................…...............................................…7 • Jalan Panjang Untuk Mewujudkan Inisiatif Hutan Desa di Tanah Papua / Marta Hendra, Staff KKI Warsi – Manajer Program Hutan Desa di Kaimana Papua Barat kerjasama The Samdhana Institute dan KKI Warsi ....10 • PRISAI di Bujang Raba / (Sukmareni/Tim TFCA-REDD+)…...........................................….............................14 • PT MAP Gunduli Perbukitan Curam Dilema Bujang Raba / Herma Yulis.......................................................16 FOKUS • Energi Alternatif di Jorong Simancuang / Elviza Diana.…...................................................................................18 • Menaruh Harapan Pada Komoditi Bertingkat / Herma Yulis…...........................................................................21 • Menghidupkan Kearifan Lokal yang Nyaris Dilupakan / Herma Yulis.................................................................24 GIS SPOT • Deteksi Dini Hot Spot (Titik Panas) Menggunakan Google Earth / Sofyan Agus Salim....………….....….…….26 DARI HULU KE HILIR...... • Ketika Abrasi Batanghari Mengintai / Elviza Diana.......................................................……...............................27 • Menghijaukan Ibukota / Yulqori / Elviza Diana…................................................................................................29 WAWANCARA • / Sukmareni.............................………………………..........................................................................................31 SUARA RIMBA • Dana Sehat Ala Orang Rimba / Kurniawan....……............................................................................................33 • Merintis Pendidikan Formal Untuk Kelompok Roni / Karlina.......................................................…...................35 AKTUAL • Perebutan Sumber Daya Berujung Bencanan / Sukmareni...............................................................................37 • Lolos EDP Benor FM Lanjut ke Tahap Berikutnya / Sukmareni.........................................…………...…….....40 • 20 Aliansi Bentuk Forum Kampanye Perubahan Iklim / Elviza Diana..........…………....................................41 • Belajar REDD+ di Kota Cantik / Elviza Diana..................…………… ….........................................................42 • Hadiah Dari Alam / Elviza Diana..................………........................................................................................44 MATAHATI • Warga Bujang Raba Manfaatkan PLTKA / Herma Yulis...................................................................................47 • Kuntoro: Sisakan Hutan Untuk Orang Rimba / Sukmareni.............. ..................................................................47 SELINGAN • Pengalaman Pendampingan di Tanah Papua / Martha Hendra............................................................…........49 • Dibawah Payung Sumpah Pemuda / Elviza Diana.........................................................................................51 KAJIAN • Menakar Regulasi Pengakuan Masyarakat Adat dan Hutan Adat / Ilham Kurniawan.......................................52
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Dari Editor Salam Lestari
P
engelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) sudah saatnya diterapkan dan didukung sepenuhnya oleh para pihak. PHBM merupakan salah satu skema ampuh untuk mengurai berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam yang kini menjerat kita. Konflik lahan, konflik satwa, bencana ekologi hingga perubahan iklim bisa ditangani jika pengelolaan sumber daya hutan dilakukan secara bijaksana dengan pijakan kearifan lokal dan akan bermanfaat global. Sejauh ini sudah terbukti bahwa pengelolaan hutan yang berbasis industri tidak mampu untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat sekitarnya, tetapi malah memberikan dampak rusaknya ekologi yang berujung bencana. Di pihak lain pengelolaan hutan oleh masyarakat terbukti dilakukan secara lestari dan berkelanjutan dengan teknologi sederhana yang mereka terapkan. Ini terjadi karena masyarakat sangat erat dengan hutannya, dari segala aspek kehidupan.
Foto Cover : Nagari Simanau Solok Sumatera Barat. Heriyadi /Dok KKI Warsi Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Terkait ini Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat kembali menjadi laporan utama Alam Sumatera kali ini. Sumatera Barat dengan targetnya 250 ribu ha Hutan Nagari, Papua yang juga tengah berjuang untuk hak kelola merupakan bagian dari cerita PHBM kali ini. Tak lupa di Alam Sumatera ini juga disuguhkan aneka cerita dari kelompok asli minoritas yang terus berjuang untuk pendidikan dan kesehatan. Sejumlah rubrik lain juga kami sajikan dengan harapan pembaca setia menyukainya. Akhirul Kalam semoga sajian Alam Sumatera kali ini bisa menjadi inspirasi para pihak untuk mulai mengelola sumber daya secara bijak. Kritik dan saran akan selalu kami nantikan untuk perbaikan Alam Sumatera di masa depan.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Asap Hilang, Banjir yang Datang Tak henti-hentinya bencana itu datang... Bongkahan-bongkahan tanah yang pecah baru saja menikmati tiap tetes air Napas ini baru saja hilang dari sesak dan pekatnya asap Warna daun baru saja kembali hijau Dan kita baru saja melihat pelangi Tapi, Langit kembali menjadi kelabu Menghitam, dan meluapkan aliran sungai Menghempas dan menenggelamkan.....
H
ampir setengah tahun penantian untuk tiap tetes hujan, ternyata tak lagi menjadi berkah. Impian petani agar sawah-sawahnya dapat terari dengan hasil panen yang memuaskan. Ternyata harus pupus karena berhektar-hektar sawah itu bukan lagi terairi bahkan telah terendam air. Bencana Banjir dan longsor masih mendominasi Jambi sepanjang 2012, diawal dan penghujung tahun banjir kembali menghampiri hampir semua Kabupetan Kota di Provinsi Jambi. Siaga Banjir itu status Jambi kini. Pada 9 Desember 2012 tinggi muka air 13,30 meter, sudah mendekati level siaga satu pada level 13,87 meter yang artinya kondisi kritis dan berbahaya. Meski statusnya nyaris siaga satu namun kondisi ini sudah dianggap ‘biasa’ karena banjir telah menjadi bencana yang sedang berulang tahun . Banjir yang terjadi setiap tahunnya, merupakakan catatan samar yang tak pernah teratasi. Langkah yang dilakukan pemerintah selama ini, hanya sebatas memoles cantik dampak banjir dengan bantuan-bantuan yang diberikan atau sekedar simulasi yang diberikan kepada masyarkat menganggulangi bencana. Banjir seolah hanya fenomena alam yang harus dirasakan setiap tahun oleh penduduk Jambi. Banjir bukan takdir Tuhan yang tak terelakkan, ada rentetan akar permasalahan yang membuat Jambi setiap tahunnya terendam. Buruknya tata kelola sumber daya alam merupakan penyebab utama berulangtahunnya banjir . Coba kita lihat, berapa banyak izin-izin yang dikeluarkan untuk pengelolaan sumber daya alam yang diberikan. Tanpa memperhatikan dampak yang terjadi, dan banjir adalah buah dari keserakahan tersebut. Tutupan hutan Jambi
sudah jauh di bawah 30 % sebagai syarat untuk kesembangan ekosistem. Tingginya alih fungsi lahan menyebabkan tutupan hutan semakin menyusut tiap tahunnya. Tidak hanya itu, di daerah hulu-hulu sungai pun tak luput dari berbagai aktivitas perambahan dan pembalakan. Hilangnya hutan juga seiring dengan semakin meningkatnya lahan kritis di Jambi. Data Balai Pengelolaan DAS Provinsi Jambi 2011 yang wilayah kerja yang meliputi DAS Batanghari, DAS Mendahara, DAS Betara Pengabuan dan DAS Air Hitam mencatat 80,54 persen dari keempat DAS tersebut berada dalam kondisi kritis (potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis) hanya 19, 46 persen lokasi yang teridentifikasi sebagai lahan tidak kritis dari total luasan DAS yang mencapai 5.204.121 ha. Kerusakan DAS ini mencerminkan buruknya pengelolaan hutan. Anehnya upaya untuk menghilangkan huttan terus saja berlanjut. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah mengusulkan untuk alih fungsi hutan seluas 25 ha. Ini tentu menambah mirisnya harapan untuk mengusir banjir. Padahal idealnya, jika luas DAS Batanghari 4,9 juta ha, idealnya daerah tangkapan airnya minimal 1,5 juta ha. Meski ada beragam upaya untuk memulihkan hutandengan gerakan penanaman satu milyar pohon, namun perlu dipertanyakan dimana pohon-pohon itu di tanam. Di pinggir jalan, di taman-taman yang hanya dilakukan secara simbolik, apakah kemudian pohon-pohon ini diurus dan dirawat sehingga memang menghijaukan? Lantas bagaimana daerah hulu sana yang sudah gundul apakah di tanami pohon dengan baik dan dirawat sehingga hutan kembali muncul? Pertanyaan yang terus menggelitik ketika kepekaan pada sumber daya semakin luntur dan kini menuai bencana, banjir hingga pertengahan Maret nanti dan kemudian asap pada Juli nanti siap menanti kita. Pesimis? Tentu tidak boleh, tak ada kata pesimis dalam perjuangan, nun di desa-desa sana masih ada masyarakat yang berjuang mengelola alamnya secara lestari dan berkelanjutan, mari kita dukung mereka, semoga usaha yang dilakukan masyarakat ini, membuka mata para pihak untuk memulihkan alam yang tengah sekarat, sembari berharap bencana akan surut dan menghindari kita. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Foto: Heriyadi Asyari/ dok. KKI Warsi
Mempertanyakan Kelanjutan Hutan Desa
‘
Meningkatkan Kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan’ demikian tujuan diselenggarakannya Hutan Desa yang termaktub di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Tujuan yang sangat mulia ditengah perebutan antara masyarakat dengan perusahaan untuk mengakses sumber daya alam yang tersisa.
masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dalam bentuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat dan kemitraan. Kemudian disusul dengan keluarnya Permenhut 49. Keluarnya aturan ini disambut semarak disejumlah daerah. Hampir semua daerah berupaya menjadi yang pertama mendapatkan legalitas, pengelola hutan di kawasan hutan negara.
Sejak era 70-an kran investasi dibuka selebar-lebarnya untuk mengelola sumber daya yang ada. Perusahaanperusahaan pun dengan leluasa menguasai hampir seluruh kawasan hutan, diawali dengan HPH, kemudian HTI dan perkebunan sawit. Sedangkan masyarakat di dalam dan sekitarnya hanya menjadi penonton, atas pengurasan sumber daya di sekitar mereka.
Dalam pengajuan hak kelola hutan desa, terdapat tahapan-tahapan panjang yang harus dilakukan masyarakat termasuk penyediaan peta dengan skala yang ditentukan. Mulai dari pengajuan oleh masyarakat ke Bupati lengkap dengan peta kawasan yang dimohonkan untuk ditetapkan menjadi areal kerja hutan desa. Kemudian dari Bupati mengajukan kepada Menteri kehutanan. Dalam pengajuan ini terdapat langkah yang panjang harus ditempuh. Butuh waktu panjang untuk mendapatkan hak kelola hutan desa.
Barulah ketika era reformasi digulirkan keberpihakan pada rakyat mulai sedikit ditampilkan. Setelah UU 41 tentang Kehutanan disahkan, dan pada 2007 dikeluarkannya PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan yang mengatur keterlibatan
Berdasarkan data yang di himpun Warsi, hingga 2011 dari 100.000 ha kawasan hutan desa yang ditargetkan baru 321.815 ha yang terverifikasi dan baru menda-
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
5
INTRODUKSI
6
patkan penetapan areal kerja hutan desa seluas 70.531 ha dan 3.563 ha sudah mendapatkan SK HPHD. Jika dibandingkan dengan HTI, dalam luasan sangat jauh tertinggal. Hingga 2011 terdapat 249 unit HTI di Indonesia dengan luas 10.046.839 ha, atau 0,7 persen dibandingkan penetapan areal kerja hutan desa. Padahal terdapat 48,8 juta penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar hutan dan kesulitan untuk mengakses sumber daya hutan, dengan hampir separonya merupakan masyarakat miskin. Lantas bagaimana masyarakat akan sejahtera dengan sumber dayanya? Ketika keberpihakan ini masih setengah hati untuk dilakukan. Ketika areal yang tersedia semakin sempit dan perusahaan juga sangat gencar untuk terus menguasai kawasan-kawasan tersisa. Ketika masyarakat tidak mampu untuk menyediakan dana segar untuk menyokong penguasa yang korup, sehingga izin-izin lebih mudah untuk sampai ke tangan pengusaha yang mampu menyenangkan si pemberi izin. Ketika perebutan untuk mengakses lahan berlangsung, di pihak lain, kawasan yang sudah ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa juga belum memperlihatkan kemajuan. Kewajiban pemerintah untuk kelanjutan hutan desa ini masih saja kabur. Dalam pasal 9 Permenhut 49 tahun 2008 jelas disebutkan bahwa harus adanya fasilitasi oleh pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota kepada kelompok yang sudah mendapatkan penetapan areal kerja hutan desa. Fasilitasi ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga desa dalam mengelola sumber daya hutan. Fasilitasi ini yang seharusnya dilakukan sesuai dengan permenhut ini diantaranya: pendidikan dan latihan; pengembangan kelembagaan; bimbingan penyusunan rencana kerja hutan desa; bimbingan teknologi; pemberian informasi pasar dan modal; dan pengembangan usaha. Namun dalam kenyataannya, fasilitasi ini belum terlihat wujudnya. Sementara di sisi lain, harusnya pemerintah melihat bahwa upaya masyarakat mengelola hutan mela-
LAPORAN UTAMA
lui hutan desa dan hutan kemasyarakatan merupakan salah satu langkah untuk menyelamatkan sumber daya hutan sekaligus mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitarnya. Bahkan sudah seharusnya pemerintah tidak hanya memberikan hak kelola berupa hutan desa atau hutan kemasyarakatan yang hanya memperbolehkan masyarakat mengelola areal kerja hutan desa 35 tahun, tetapi mulai memikirkan untuk memberikan pengakuan penuh pada hak kelola masyarakat yang bisa di wariskan kepada anak cucu kelak guna menyangga kehidupan mereka. Dengan pengakuan ini, masyarakat dapat terus menerapkan pengetahuan mereka secara langsung pada kawasan yang sebenarnya sudah dikelola secara turun temurun secara arif dan bijaksana untuk menopang kehidupan mereka sekaligus sebagai benteng mereka dari bencana-bencana ekologis. Kini yang terlihat baru keberpihakan setengah hati pemerintah pada masyarakat sudah seharusnya di hentikan. Bukti-bukti yang diperlihatkan masyarakat yang mengelola sumber daya dengan kearifan lokal untuk keberlanjutan harusnya mampu membuka penuh mata penguasa untuk serius memperlihatkan keberpihakannya pada masyarakat. Jambi dan Sumatera Barat merupakan daerah yang saat ini gencar berjuang untuk mendapatkan hak kelola hutan desa. Di Jambi sudah ada 25 desa yang mengantongi SK Penetapan Areal kerja Hutan Desa dan di Sumbar terdapat dua nagari. Hanya saja saat ini yang perlu untuk di Sumatera Barat tengah gencar dilakukan upaya untuk mendapatkan hak kelola hutan desa dengan target 250.000 ha. Di Jambipun sejumlah kawasan hutan tersisa coba difasilitasikan untuk dikelola dengan skema hutan desa termasuk di kawasan hutan lindung gambut. Semoga langkah ini mendapat dukungan dari semua pihak, sehingga masyarakat sejahtera dengan sumber dayanya sebagaimana tujuan Hutan Desa terwujud dan nyata adanya. Dan tentu kita masih harus menunggu langkah kongkrit dan keberpihakan yang nyata dari Negara untuk keadilan dan kedaulatan sumber daya sebelum habis di bagi para penguasa. (Sukmareni)
Lanskap Hutan Nagari Simanau. Foto: Heriyadi Asyari/dok.KKI Warsi
Riuh PHBM di Sumbar
P
engelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) menjadi tidak asing lagi di Sumatera Barat. Pengusulan areal PHBM , dukungan pemerintah dan pemahaman masyarakat terkait dengan PHBM ini menjadi poin pendukung yang teramat penting. Sumatera Barat menargetkan skema PHBM ini sebesar minimal 250.000 hektar. Dari target tersebut, telah dirinci oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat untuk memperluas skema PHBM itu pada masing-masing Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat dengan total arahan indikatif seluas 500.000 hektar. Melihat jumlah target dan total arahan indikatif perluasan skema PHBM di Sumatera Barat, ternyata ada yang optimis dan juga ada yang pesimis hal tersebut bisa dicapai. Yang optimis pasti memberikan apresiasi terhadap apa yang telah dicanangkan Sumatera Barat. Tapi yang pesimis tentunya pasti meragukan kemampuan Sumatera Barat untuk mencapai hal tersebut. Namun optimisme dan pesimisme tersebut tentunya didasari pada suatu keinginan untuk kemajuan pengelolaan hutan Sumatera Barat yang lebih baik kedepannya.
Foto: Heriyadi Asyari/ dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Total luas kawasan hutan di provinsi Sumatera Barat tahun 2007 mencapai 2.599.386 Ha (61,46%). Luas Hutan Lindung dan PPA mencapai sekitar 41,56% dari luas Provinsi Sumatera Barat, dan Hutan Produksi mencapai 19,93%. Dari 518 nagari yang terdapat di Sumatera Barat, 57,7% diantaranya berada dalam dan sekitar kawasan hutan. Disisi lain, secara adat diakui bahwa “ rumpuik sahalai alah bapunyo, tanah sabidang alah bamilik” artinya, dalam pengaturan adat ; tak ada lahan (baik berupa kawasan hutan atau areal pemukiman) yang tak bertuan, lahan menjadi harta pusako tinggi yang penguasaan dan pengelolaannya komunal dan terbagi – bagi dalam kepemilikan suku, kaum dan nagari yang disebut ulayat. Meski dalam pengetahuan lokal masyarakat telah mengatur pola pemanfaatan yang berkelanjutan dan mempertimbangkan fungsi hutan, dalam pepatah Minangkabau “nan bancah jadian ka sawah, nan lereang jadian ka parak, ka rimbo babungo kayu, ka sawah babungo padi”.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
7
8
LAPORAN UTAMA Praktek kearifan lokal menunjukkan bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi ekonomis saja, hutan memiliki fungsi sosial, identitas suku, kaum dan nagari, fungsi religius. Kekuatan sosial – budaya masyarakat Minangkabau menjadi modal dasar untuk mengurangi friksi antara masyarakat dan Negara (satu sisi, hutan lindung diakui sebagai kawasan hutan Negara sekaligus diakui sebagai ulayat). Pengalaman masyarakat Minangkabau dalam Solok Regeling, dimana kesepakatan rakyat Minangkabau dengan pemerintah Hindia Belanda di Solok untuk membagi ulayat nagari menjadi hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan produksi. Kepemilikan tetap diakui sebagai ulayat nagari, pengawasan terhadap pelanggaran tetap menjadi kewenangan nagari, jorong dan kaum, pemerintah nagari dapat menghukum si pelanggar sesuai dengan hukuman adat masing – masing nagari, bungo kayu dipungut oleh Kapalo Nagari. Hubungan erat masyarakat dengan hutan ini, memperlihatkan sebenarnya konsep PHBM sudah berjalan sejak dahulunya. PHBM di Sumatera Barat dilakukan dengan pendekatan strategi kehutanan sosial (social forestry). Dengan strategi ini diharapkan merupakan payung bagi semua jenis aktifitas pengelolaan sumber daya alam berbasis hutan dan lahan. Dalam kerangka strategi social forestry tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan, yaitu (1) memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2) mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3) melakukan kajian means end values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5) menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan. Jadi, skema CBFM sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan terkait dengan kehutanan digunakan sebagai alat/media untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dan lahan yang lebih baik. Yang lebih penting dari itu adalah menjamin bahwa proses sebagaimana diprasyaratkan dalam strategi social forestry tersebut secara konsisten dijalankan dalam mengembangkan berbagai praktek kelola hutan dan lahan. Hal yang juga menjadi perhatian penting dalam pengembangan PHBM di Sumatera Barat adalah aktualisasi kapasitas rimbawan profesional dalam menstimulasi peran aktif masyarakat lokal dalam skala tertentu dan mengembangkan aneka aktifitas pengelolaan hutan sebagai alat memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Pengembangan cara-cara menstimulasi masyarakat lokal untuk mengintensifkan pengelolaan hutan terdiri dari menjamin akses terhadap lahan, insentif finansial, dukungan teknis, penyuluhan, penyusunan kerangka kelembagaan yang tepat, aspek legalitas, kebijakan tenure, penguatan kelembagaan kehutanan dan lain sebagainya.
LAPORAN UTAMA
Peta Jalan Implementasi PHBM Dalam rangka pencapaian target pengembangan PHBM di Sumatera Barat, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan telah mengelaborasi langkahlangkah strategis pencapaian target dalam buku Rencana Kerja Pengembangan Perhutanan Sosial Tahun 2012 – 2017. Buku ini merupakan peta jalan (roadmap) pencapaian target perluasan skema PHBM yang menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan, uraian target masing-masing kabupaten/kota dan dukungan pihak yang diperlukan. Dalam peta jalan tersebut, pengembangan social forestry menjadi instrumen penting promosi pengelolaan hutan sesuai dengan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat/nagari. Oleh karena itu, tujuan implementasi PHBM adalah untuk mewujudkan pembangunan hutan dan kehutanan yang arif dan bijaksana melalui optimalisasi peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan basis kearifan lokal di tingkat nagari menuju hutan lestari masyarakat sejahtera. Arahan kebijakan strategis, sasaran dan langkah-langkah dalam peta jalan tersebut sesuai dengan esensi tahapan pada strategi social forestry yang dipahami oleh Sumatera Barat. Artinya, dalam pengembangan PHBM, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat mengedepankan langkah-langkah memahami basis sosial ekonomi masyarakat secara komprehensif dan holistik dengan memperhatikan kondisi ekologis yang ada. Pentingnya sebuah proses dalam mengembangkan PHBM diuraikan dalam rencana-rencana kegiatan yang memperkuat KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisitas), mendorong FPIC dan/atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, mengembangkan upaya fasilitasi intensif, mengembangkan pondasi kemitraan yang kuat, dan menjamin mekanisme kendali yang efektif melalui pemantauan dan penilaian secara berjenjang. Peta jalan tersebut juga mendapatkan respon positif dari kabupaten/kota se-Sumatera Barat. Beberapa kabupaten/kota telah merespon target yang dicanangkan oleh Gubernur tersebut. Sesuai dengan peta jalan yang telah disusun, Sumatera Barat saat ini lebih menitik beratkan pada tahapan memahami karakter sosial ekonomi masyarakat dan menemukenali subsistemsubsistem yang mempengaruhi pembangunan wilayah serta mendorong upaya membangun kesepakatan di tingkat tapak melalui pemberian sosialisasi, penyuluhan, bimbingan kelembagaan, dan pemetaan partisipatif terhadap areal-areal yang telah, sedang dan akan menjadi areal kelola masyarakat.
Manau salah satu hasil hutan non kayu yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan ekonomi masyarakat nagari. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Rasionalisasi Strategi Untuk menjalankan peta jalan tersebut, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pengembangan Perhutanan Sosial. Pokja ini terdiri dari unsur Pemerintah Pusat (BPDAS Indragiri Rokan, BPDAS Batanghari, dan BPDAS Agam Kuantan), unsur Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat) dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (KKI-Warsi). Ide dasar pembentukan Pokja ini adalah sebagai pusat layanan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota), Masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Pokja ini dapat langsung memberikan pelayanan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat yang ingin mendapatkan informasi dan fasilitasi, membangun jejaring kerja, dan menjadi alat pengendali capaian target sesuai dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan. Namun kedepan, keberadaan Pokja diharapkan dapat mendorong peningkatan kapasitas SDM pada berbagai level dalam memahami kebijakan strategis PHBM yang telah diluncurkan dan menjadi pemicu bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen yang kuat dari para pihak untuk mendukung pengembangan PHBM. Upaya kongkrit lainnya yang telah didorong oleh Pokja adalah mentransfer roh PHBM ini sebagai kebijakan
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
strategis yang akan dijalankan pada berbagai praktek pemanfaatan sumber daya berbasiskan hutan dan lahan. Sebagai contoh, dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Propinsi untuk implementasi REDD+, Sumatera Barat juga mengembangkan kebijakan strategis PHBM ini sebagai basis implementasi REDD+. Sumatera Barat menilai bahwa PHBM menjadi alternatif terbaik upaya pengurangan deforestasi dan degradasi dengan tetap memperhatikan perbaikan kesejahteraan masyarakat. PHBM juga menjadi jawaban yang logis untuk menjembatani corporate dan masyarakat dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk mencapai keuntungan ekonomi dan ekologis yang dicita-citakan. Akhirnya, semua target yang telah ditetapkan dapat dicapai secara rasional dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki Sumatera Barat. Optimisme dan pesimisme adalah seperti sebuah proses yang akan bermuara pada tumbuh dan berkembangnya skemaskema PHBM. Pasti akan ada pengalaman yang baik dan yang buruk dalam implementasinya. Namun kita harus tetap berkomitmen, jadikan pengalaman sebagai pelajaran untuk memperbaiki proses yang telah, sedang dan akan dijalani. (Riche Rahma Dewita/ Ferdinal Asmin)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
9
10
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Jalan Panjang Untuk Mewujudkan Inisiatif Hutan Desa di Tanah Papua
“
Bapa-Bapa dan Ibu-Ibu jika perusahaan bisa masuk dan mengelola hutan kami mengapa kami tidak bisa seperti perusahaan ibu, kami ingin mengelola hutan kami sendiri, jika perusahaan bisa bayar pajak kami masyarakat kampung juga bisa bayar pajak ke Pemerintah, jadi tolong kabulkan permohonan hutan desa kami ibu“ Petikan ungkapan di atas terlontar dari salah seorang tokoh masyarakat Kampung Esania sewaktu FGD antara tim verifikasi Hutan Desa dan warga masyarakat di kantor balai Kampung Esania Distrik Buruway Kabupaten Kaimana Papua Barat. Tim verifikasi Hutan Desa ini terdiri dari Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial (BPDAS PS), Badan Pengelola DAS Remu Ransiki, Dinas Kehutanan dan Pekebunan Propinsi Papua Barat, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XVII Manokwari, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kaimana dan LSM pendamping. Kegiatan tim Verifikasi Hutan desa ini berlangsung selama tiga hari pada Maret lalu. Kegiatan verifikasi diawali dengan diskusi antara tim dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kaimana yang dilanjutkan dengan kunjungan dan Fokus Group Diskusi (FGD) bersama masyarakat Kampung Esania. Dalam FGD dengan masyarakat kampung berharap dukungan pemerintah terhadap Hutan Desa mereka. Pada kesempatan itu Masyarakat Kampung Esania sepakat untuk melestarikan hutan, tidak mengalihkan fungsi kawasan dan tidak menyerahkan atau memperjual belikan lahan dalam kawasan kepada pihak lain. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Kepala Kampung Esania yang sekaligus menjadi berita acara pertemuaan antara Tim verifikasi Hutan Desa dengan Masyarakat Kampung Esania.
Sekilas Tentang Kampung Esania Kampung Esania merupakan satu-satunya kampung yang mengusulkan pencadangan areal Hutan Desa ke Menteri Kehutanan, Kampung ini sekaligus akan menjadi model dalam PHBM di Provinsi Papua Barat. Kampung Esania dengan jumlah penduduk 325 jiwa atau 72 KK, secara administratif terletak di Distrik Buruway Kabupaten Kaimana. Wilayah Kampung Esania, terbagi ke dalam 2 dusun besar yaitu Dusun Naroba dan Dusun Kuna, yang di dalamnya terdapat wilayah adat berdasarkan marga besar, diantaranya : wilayah adat Marga Naroba, wilayah adat Marga Natraka, wilayah adat Marga Goga, wilayah adat Marga Aboda dan wilayah adat Marga Kurdouw.
Masyarakat di wilayah ini mengenal sistim marga yang menunjukkan garis keluarga berdasarkan perkawinan patrilinear ( marga di turunkan dari marga Ayah ). Hampir semua marga di Kampung Esania ini berasal dari masyarakat adat Suku Madewana. Umumnya masyarakat yang tinggal di Kampung Esania merupakan masyarakat asli Kampung Esania dan hanya ada beberapa warga masyarakat pendatang yang menetap sementara waktu karena tuntutan profesi ( Guru, Mantri, Pendeta dan Pedagang). Berdasarkan hasil studi Livelihoods and Landscape Strategy (LLS) yang dilakukan Samdhana Institute – IUCN pada 2010, mata pencaharian utama masyarakat Kampung ini adalah berkebun secara tradisional, memanfaatkan hasil hutan baik berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu, mencari hasil sungai dan laut serta berburu. Walaupun Hutan menyediakan semua untuk kehidupan masyarakat Kampung Esania bukan berarti setiap warga kampung boleh mengambil hasil hutan tersebut secara semena-mena dan sembarangan. Bagi Masyarakat Kampung Esania telah mengenal batas-batas wilayah adat dalam memanfaatkan dan mengambil hasil hutan. Hamparan Hutan dan seluruh wilayah Kampung Esania telah di bagi habis menjadi wilayah-wilayah tertentu yang menjadi milik satu kelompok atau marga.Umumnya kepemilikan ini berdasarkan marga besar yang berkuasa pada sebuah wilayah/areal besar. Adapun marga-marga yang dianggap sebagai tuan tanah/pemilik lahan di Kampung Esania adalah Naroba, Natraka, Kurdouw, Goga dan Aboda. Pada wilayah marga besar ini pula terdapat beberapa marga yang berdasarkan garis keluarga yang bukan marga asli Kampung Esania, namum di berikan tempat oleh marga-marga besar untuk memanfaatkan lahan dan hutan. Marga-marga yang diberikan tempat ini ini adalah Badu ,Betina, Toge dan Nanggewa yang jumlahnya relatif kecil. Dalam pemanfaatan lahan dan hutan harus mendapatkan ijin dari marga-marga besar ini melalui kepala marga atau yang dikenal pertuanan.
Masa lalu Kampung Esania: salah satu titik lokasi logging di Papua. Walaupun masyarakat Kampung Esania telah membagi wilayah hutan dan wilayah adatnya berdasarkan margamarga, bukan berarti hutan dan wilayah adat tersebut aman dan bisa mereka kendalikan sepenuhnya. Pada peride 2001-2003 merupakan masa-masa maraknya aktifitas pembalakan kayu di tanah Papua, kampung
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Diskusi masyarakat Esania untuk hutan desa. Foto: Dok. Perdu Manokwari
Esania juga tidak luput juga dari aktifitas pembalakan kayu. Waktu itu masyarakat Kampung Esania hanya memperoleh kompensasi dari setiap kayu yang di muat ke tongkang-tongkang yang berada di sungai depan Kampung Esania. Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat Kampung Esania masing-masing marga/petuanan hanya memperoleh 70 juta– 80 jt setiap kali muat. Masyarakat sendiri tidak tahu berapa kubik kayu yang di ambil dan jenis-jenis kayu apa saja yang di tebang dan lokasinya dimana. Mereka hanya melihat tongkang-tongkang berisi muatan log-log setinggi pohon kelapa yang membuat bodi tongkang nyaris tenggelam di sungai. log-log yang keluarpun berdiameter 5-7 meter dan rata-rata semua log tersebut merupakan kayu merbau yang merupakan kayu andalan dari Tanah Papua. Di awal kegiatan HPH masyarakat kampung merasa senang, para pengusaha kayu datang dan memberi uang sinara (sinara merupakan tanda jadi izin masuk ke wilayah adat/tanah marga tertentu) ke masing-masing petuanan, memberikan mesin-mesin tempel, chainsaw, genset dan kebutuhan lainya. Namun lama kelamaan masyarakat kampung merasa di tipu oleh pihak perusahaan, mereka hanya menerima sedikit saja dari hasil hutan di tanah adatnya sendiri. Ketika warga bertanya
atau mempermasalahkannya, pihak perusahaanpun datang ke kampung dengan membawa uang kontan dan masalah pun reda dan selesai. Suasana itu terus berlanjut sampai ada Operasi Hutan Lestari pada tahun 2004. Pada periode 2001 -2003 merupakan masa bergelimang uang bagi masyarakat di kabupaten Kaimana. Aktifitas pembelakan liar telah menjadikan putaran uang di Kaimana meningkat drastis. Tempat-tempat hiburan pun mulai berdiri dan para pendatang dari luar mulai meningkat ke Kaimana. Berlimpahnya uang waktu itu tidak memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, hal itu juga di rasakan oleh masyarakat Kampung Esania. Keberadaan HPH tidak meninggalkan bekas yang baik bagi penghidupan masyarakat Kampung Esania. Uang yang di terima ketika masa HPH tidak ada arti, kebanyakan uang tersebut habis untuk foya-foya dan kesenangan lainnya. Pasca aktifitas pembalakan oleh HPH, masyarakat Kampung Esania kembali hidup seperti semula, meramu dan mengumpulkan hasil-hasil hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktifitas mengambil kayu di wilayah adat masih terus di lakukan namun jumlahnya sudah sedikit karena kayu telah banyak berkurang, aktifitas mengambil kayu ini juga terbentur
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
11
12
LAPORAN UTAMA dengan masalah perizinan dan rendahnya harga jual yang diterima masyarakat. Pengalaman masa lalu ini menjadi salah satu alasan bagi masyarakat Kampung Esania mengusulkan wilayah adatnya menjadi Hutan Desa. Mereka ingin wilayah adatnya di akui oleh negara, mengelola wilayah adatnya untuk mensejahterakan masyarakat kampung. Dari Pemetaan Wilayah Adat ke inisiatif Hutan Desa Sebagai Model PHBM di Papua Barat, Kampung Esania telah mendapat pendampingan dari LSM ( PEMALI Kaimana, PERDU Manokwari dan The Samdhana Institute ) semenjak tahun 2008. Kemudian Warsi ikut bergabung padaawal 2012 untuk membantu fasilitasi pendampingan Hutan Desa di Papua. Kegiatan awal LSM ini adalah melakukan survei kehidupan sosial, pemetaan wilayah adat masyarakat yang ada di sepanjang Jazirah Bomberay. Kegiatan pemetaan wilayah adat dilakukan secara partisipatif dengan terlebih dahulu masyarakat kampung di bekali dengan pelatihan pemetaan dan GPS. Dari Peta hasil pemetaan partisipatif ini diketahui bahwa hampir sebagian wilayah adat kampung Esania berada dalam wilayah konsesi PT. Hanurata Unit III. Sebagian lagi berada dalam kawasan Hutan Produksi terbatas dan Hutan Produksi yang dapat di konversi, dan hanya sebagian kecil saja wilayah adat yang yang tidak terbebani hak atau berada di kawasan APL. Hasil Pemetaan Partisipatif ini mulai menyadarkan masyarakat Kampung Esania, bahwa selama ini wilayah adat yang mereka miliki secara turun temurun telah di kuasai oleh Perusahaan dan Negara. Yang lebih miris lagi adalah seluruh wilayah pemukimam masyarakat masuk konsesi PT. Hanurata unit III. Secara pasti masyarakat tidak mengetahui kapan PT. Hanurata unit III memiliki wilayah konsesi yang mencaplok hampir semua wilayah adat dan areal pemukimam masyarakat. Menurut pengakuan masyarakat, selama ini tidak pernah pihak perusahaan PT. Hanurata unit III melakukan sosialisasi ke masyarakat Kampung Esania. Dari Hasil Pemetaan pertisipatif dan diskusi kritis antara pendamping dan masyarakat Kampung Esania pada waktu itu, di sepakatilah oleh seluruh warga masyarakat Kampung Esania untuk membuat surat usulan Hutan Desa dari Kepala Kampung Esania kepada Bupati Kaimana Nomor : 09/ES/2011 tanggal 28 Mei 2011 tentang Permohonan Usulan Areal Hutan Desa. Surat usulan dari kampung Esania ini di tindak lanjuti oleh Bupati Kaimana ke Menteri Kehutanan dengan usulan penetapan areal kerja Hutan Desa dari Bupati Kaimana dengan surat Nomor : 522.71/866 tanggal 19 Agustus tahun 2011 perihal Permohonan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa.
LAPORAN UTAMA
Hal yang menarik dari pengusulan Hutan Desa di Kampung Esania ini adalah hampir sebagian kawasan yang di usulkan di bebani hak. Kawasan hutan di Kampung Esania yang diusulkan merupakan Kawasan Hutan Produksi, dengan luas ± 26.205, 80 Ha. Areal ini berada pada kawasan hutan dengan status hutan produksi terbatas 3.300, 10 Ha, Hutan Produksi 16.657,70 Ha, Hutan Produksi yang dapat dikonrversi 4.706,40 Ha . Bila mengacu kepada Permenhut No. 49/MenhutII/2008 maka kawasan Hutan Desa yang di usulkan oleh masyarakat Kampung Esania tidak bisa diakomodir dalam skema Hutan Desa karena belum clear dan clean status haknya. Namun dalam praktek keseharianya, sampai saat ini masyarakat Kampung Esania masih memanfaatkan kawasan tersebut secara turun temurun melalui marga-marga yang ada. Kawasan tersebut menjadi sumber penghidupan masyarakat Kampung Esania karena berfungsi sebagai penyediaan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan sebagai identitas diri dan budaya mereka. Faktanya saat ini, secara de jure kawasan hutan mereka telah di kotak-kotak dan di bagi-bagi pengelolaannya oleh negara ke perusahaanperusahaan pemegang konsesi. Inilah yang menjadi ganjalan terkait usulan Hutan desa di Kampung Esania, aturan hukum negara bertolak belakang dengan praktek-praktek atau kebiasaan yang telah ada secara turun temurun yang berlaku di masyarakat Kampung Esania. Bila kita memang ingin mewujudkan tujuan Hutan Desa untuk mensejahterakan masyarakat di sekitarnya maka sudah saatnya peluang itu diberikan kepada masyarakat Kampung Esania. Salah satu peluang tinggal menunggu kebijakan Bupati Kaimana untuk tidak merekomendasikan perpanjangan ijin konsesi PT. Hanurata unit III pada wilayah yang masuk dalam usulan Hutan Desa Kampung Esania. Informasi terakhir yang diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kaimana adalah Bupati telah menyetujui untuk tidak memperpanjang ijin Konsesi PT.Hanurata yang masuk dalam rekomendasi usulan Hutan Desa Kampung Esania. Kini dukungan dari Bupati Kaimana perlu direspon dengan mempersiapkan masyarakat Kampung Esania untuk bisa mengelola Hutan Desa nantinya secara lebih bermartabat dan berdaulat di tanahnya sendiri. Butuh Dukungan Semua Pihak Penguatan kapasitas masyarakat dan mendorong kegiatan ekonomi produktif di kampung merupakan alternatif dalam mengisi waktu sebelum SK Penetapan Hutan Desa keluar. Seperti yang telah di uraikan di atas bahwa masyarakat Kampung Esania untuk memperoleh uang tunai atau sumber pendapatan utama adalah dengan memanfaatkan hasil hutan kayu. Ketergantungan yang cukup tinggi masyarakat Kampung Esania
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
nisiasi pembentukan Koperasi Usaha Tani Madewana pada akhir Tahun 2010. KUT Madewana ini berpusat di Kampung Esania dan anggotanya tersebar di kampungKampung lain yang berada di Distrik Buruway. Usaha pokok KUT ini adalah menampung dan konsolidasi hasil perkebunan dan hasil hutan, hasil perikanan dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan pokok melalui usaha kios sembako. Saat ini KUT Madewana telah memiliki dua buah Kios sembako yang ada di kampung Esania dan Kampung Yarona. Walaupun kedua kios itu bergerak dengan modal terbatas namun usaha kios ini sangat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Keberadaannya bisa memangkas waktu dan jarak bagi masyarakat untuk memperoleh kebutuhan pokok dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Kini KUT Madewana sedang berupaya untuk mencari peluang modal usaha agar bisa menampung hasil-hasil pala, sagu, kopra dan ikan dari masyarakat kampung. Harapannya dengan adanya modal usaha bisa menampung hasil-hasil perkebunan dan perikanan dalam jumlah yang sedang dan kecil atau bisa langsung di tukar dengan kebutuhan sembako di kios.
Pemetaan calon hutan desa oleh masyarakat kampung Esania. Foto: Dok. Perdu Manokwari
terhadap kayu perlu di cari jalan keluarnya dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada di kampung. Potensi yang sangat menjanjikan di kampung adalah sagu, hasil ikan, kopra dan pala. Namun semua potensi yang dimiliki itu tidak bernilai ekonomi karena tidak adanya akses pemasaran dan modal. Seringkali hasil-hasil ikan, kopra dan pala yang di jual masyarakat ke kota tidak sebanding dengan biaya transportasi yang dikeluarkan. Sulitnya pemasaran menjadikan hasil-hasil bumi yang mereka bawa ke kota di beli dengan harga rendah, walaupun mereka sadar itu semua tidak bisa menutupi biaya transportasi apalagi untuk membeli kebutuhan pokok. Keadaan ini menjadikan hampir semua masyarakat Kampung Esania bekerja/mengusahakan sesuatu hanya sebatas untuk makan saja (subsistensi). Jika kekurangan bahan makanan mereka tinggal mencari sagu, ikan dan berburu ke hutan. Sesekali kali mereka memanfaatkan hasil kayu, menjadi tukang atau buruh bila ada proyek di kampung untuk memenuhi kebutuhan akan gula, kopi, rokok dan sandang. Mencermati situasi ini The Samdhana Institute dan Perdu Manokwari sebagai pendamping masyarakat mengi-
Dalam mendukung persiapan pengelolaan Hutan Desa di kampung Esania ke depannya, saat ini masyarakat kampung Esania masih dalam proses pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa ( LPHD ) dan penyusunan Perkam tentang pengelolaan Sumber Daya Alam di kampung Esania. Hal yang manarik dari proses pembentukan LPHD ini adalah kepengurusan Lembaga ini terdiri dari perwakilan-perwakilan dari masing-masing marga. Guna memperoleh dukungan dari para pihak terhadap inisiatif Hutan Desa di Tanah Papua ini, pada Bulan November 2010 di bentuklah POKJA Hutan Desa di Kabupaten Kaimana. Pokja ini terdiri dari instansi-instansi terkait, Lembaga masyarakat Adat Papua, NGO dan masyarakat Kampung Esania. Para pihak ini di harapkan memberikan dukungan untuk Kampung Esania sebagai model PHBM di tanah Papua Barat. Walaupun saat ini SK POKJA Hutan Desa masih dalam proses oleh Bupati Kaimana, peran Pemerintah Daerah melalui SKPD terkait untuk segera memberikan akses modal, pemasaran dan pembangunan infrastruktur di Kampung Esania. Dukungan Pemerintah ini bisa disinergikan dengan kegiatan pendampingan dan penguatan kapasitas yang dilakukan oleh pendamping sebagai langkah awal jalan panjang Hutan Desa sebagai model PHBM di tanah Papua Barat. Semoga saja dukunganpara pihak untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dengan sumber dayanya segera terwujud, tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk generasi mendatang. (Marta Hendra, Staff KKI Warsi – Menejer Program Hutan Desa di Kaimana Papua Barat kerjasama The Samdhana Institute dan KKI Warsi )
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
13
LAPORAN UTAMA
14
PRISAI di Bujang Raba
M
anfaat jasa lingkungan yang salah satunya berupa penyerapan dan penyimpanan karbon merupakan salah satu manfaat hutan desa. Besaran karbon tersimpan di dalam kawasan hutan merupakan salah satu nilai yang diperhitungkan dalam skema perdagangan karbon dalam rangka menyelamatkan hutan tropis tersisa yang pada bertujuan untuk menyelamatkan iklim global. Sejumlah inisiatif juga sudah mulai berjalan, seperti adanya kerjasama antara Indonesia dan Norwegia untuk menyelamatkan hutan Indonesia. Menekan laju kerusakan dan penghilangan hutan dengan skema REDD + merupakan salah satu konsep untuk menyelamatkan iklim global yang terus dimatangkan para pihak. Dalam perjalannya, REDD+ rencananya akan mulai diimplementasikan sehingga sejumlah perangkatpun harus dipersiapkan, salah satunya yang kini dalam tahap uji coba adalah kerangak pengaman (safeguard). Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ telah menyusun Prinsip, Kriteria dan Indikator Safeguards Indonesia (PRISAI). Safeguard ini mulai diujicobakan di Bujang Raba di Kabupaten Bungo Jambi. Bujang Raba dipilih sebagai ujicoba safeguard ini disebabkan pada lanskap di barat Kabupaten Bungo ini telah berkembang berbagai praktek pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan adat di Dusun Batu Kerbau, Baru Pelepat dan Senamat Ulu, Hutan Desa di Dusun Lubuk Beringin, Senamat Ulu, Laman Panjang dan Buat. Di samping itu, praktek pengelolaan kebun karet campur sebagai cerminan keterpaduan fungsi ekologi dan ekonomi. Di beberapa dusun tersebut juga tengah berkembang sumber energi dari PLTKA dan microhidro yang ramah lingkungan sebagai salah satu manfaat dari stabilitas sumber air yang masih terjaga, disamping mendukung kebutuhan air sebagai sumber irigasi areal persawahan yang dikelola secara organik. Berbagai kearifan yang dikembangkan oleh masyarakat pada Bujang Raba telah ikut berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui skema penyerapan karbon dan stok karbon. Berdasarkan beberapa pengukuran karbon yang dilakukan, untuk hutan alam stok karbon yang ada mencapai angka 250 ton/Ha. Kalau kita kalkulasi dengan luasan hutan alam pada Bujang Raba ± 109 ribu, maka stok karbon yang tersedia lebih dari 27 juta ton.
ngan semakin berkembangnya komitmen antar negara dalam kerangka mencegah terjadinya perubahan iklim yang diformulasi dalam skema REDD dan diperbaharui ke skema REDD+ maka inisiatif masyarakat di ekosistem Bujang Raba ini akan semakin menarik dan sangat layak untuk dihargai. Atas dasar ini, KKI WARSI bersama dengan stakeholder terkait aktif mendorong ekosistem ini menjadi “Model Area Belajar Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”. Salah satu aktifitas yang akan dilakukan untuk merancang ini menjadi model areal belajar adalah melalui uji coba safeguards (PRISAI) yang didukung oleh Satgas REDD+. Dalam konteks uji coba PRISAI, KKI WARSI akan melakukan uji coba dulu di kawasan hutan lindung yang telah mendapatkan legalitas skema hutan desa di wilayah administrasi Dusun Senamat Ulu, Sungai Mengkuang Laman Panjang, Sangi Letung Buat, Lubuk Beringin dan Sungai Telang. Diujicobakannya PRISAI di lanskap ini bertujuan untuk melakukan tinjau ulang tahapan proses yang telah dilakukan dalam kerangka memperkuat hak masyararkat melalu skema hutan desa dan hutan adat di ekosistem Bujang Raba. Selain itu juga untuk memberikan masukan untuk penyempurnaan PRISAI berdasarkan temuan-temuan lapangan di lanskap Bujang Raba. Salah satu prinsip safeguards yang sangat penting untuk dicermati adalah bagaimana manfaat REDD+ ini
LAPORAN UTAMA benar-benar terdistribusi secara adil kepada pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan dalam konteks pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yaitu masyarakat desa dan adat sebagai pelaku utama. Telaah bersama guna mencermati mekanisme distribusi manfaat pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi landasan awal dalam merumuskan dan merancang mekanisme distribusi manfaat dari REDD+ ini nantinya. Oleh karena itu, studi komprehensif terkait dengan mekanisme distribusi manfaat menjadi suatu kebutuhan guna memastikan manfaat REDD+ ini terdistribusi secara adil. Sehingga diperoleh gambaran komprehensif tentang mekanisme distribusi manfaat REDD+ secara adil di ekosistem Bujang Raba. Mekanisme distribusi manfaat REDD+ harus didesain secara adil sehingga dapat memenuhi prinsip-prinsip kerangka pengaman REDD+. Dari penelitian ini memperlihatkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti hutan hutan desa berpotensi besar untuk menjadi salah satu saluran pelaksanaan REDD+ di tingkat masyarakat dengan mengacu pada prinsip keadilan distribusi manfaat tersebut. Penelitian ini juga memaparkan bahwa hutan desa dapat menjadi salah satu upaya perbaikan sistem tenurial bagi masyarakat setempat sehingga mereka memiliki modal awal yang cukup besar dalam pengelolaan hutan secara lestari, termasuk di dalamnya adalah penyediaan jasa lingkungan berupa karbon hutan. Namun demikian, mengingat sebagian besar pengelola hutan desa tidak memiliki pengetahuan yang cukup menge-
nai konsep pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan kerusakan hutan (REDD+) maka upaya sosialisasi mengenai konsep ini perlu dilakukan. Desain kelembagaan pembayaran untuk jasa lingkungan (Payments for Ecosystem Services/PES) untuk REDD+ di hutan desa yang diusulkan oleh penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem distribusi manfaat yang mampu mengkompensasi biaya korbanan masyarakat pengelola hutan desa, menumbuhkan kesadaran konservasi sumberdaya hutan, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan memungkinkan partisipasi yang luas dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, desain PES untuk REDD+ tersebut dapat mendukung prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hutan Desa merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang masih sangat potensial untuk dikembangkan. Hingga tahun 2007, dari hasil studi di 15 provinsi, sekitar 24.86% desa berada di sekitar kawasan hutan dan sekitar 4.08% berada di dalam kawasan hutan (Departemen Kehutanan dan BPS, 2007). Desa-desa tersebut didiami oleh sekitar 17.9 juta orang (Departemen Kehutanan dan BPS, 2007). Dengan demikian, jika hutan desa dikembangan di seluruh Indonesia, maka akan memiliki dampak yang sangat besar bagi kelestarian hutan dan pembangunan masyarakat sekitar hutan. (Sukmareni/Tim TFCA-REDD+)
Pemanfaatan rotan dari kawasan hutan desa dan karet dari kebun oleh masyarakat desa. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Model pengelolaan lanskap Bujang Raba yang diinisiasi oleh masyarakat ini, turut berkontribusi terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Inisiatif ini juga mendukung komitmen Pemerintah Indonesia yang akan menurunkan emisi sampai ke angka 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan luar negeri. De-
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
15
LAPORAN UTAMA
16
PT MAP Gunduli Perbukitan Curam Dilema Bujang Raba
P
engelolaan hutan lestari dan berkelanjutan merupakan harapan untuk menyelamatkan bumi dari berbagai persoalan yang kini membelit kita. Kesadaran dari para pihak untuk ambil bagian dalam penyelamatan lingkungan masih harus terus dikampanyekan. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan pengelolaan lestari dan berkelanjutan, diantaranya adalah memperkecil konflik pemanfaatan sumber daya. Jambi sudah terbelit dengan sejumlah konflik agrarian, yang belum kunjung selesai. Namun bibit konflik baru masih terus bermunculan akibat pengelolaan sumber daya yang tidak melibatkan peran serta masyarakat. Aktivitas pembukaan konsesi perkebunan dan tambang, seringkali memicu terjadinya gesekan antara perusahaan dengan masyarakat. Hal itu diperparah pula karena kadang-kadang perusahaan melakukan aktivitas di lapangan tanpa mempertimbangkan kondisi wilayah dan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Beberapa daerah di Kabupaten Bungo juga memiliki benih konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan. Salah satunya adalah konflik antara masyarakat dari beberapa desa di Kecamatan Batin III Ulu dengan PT Malaka Agro Perkasa (MAP). Perusahaan tersebut dituding banyak melakukan pelanggaran yang merugikan masyarakat. Antara lain melakukan penggundulan kawasan perbukitan curam hingga membabat hutan di pinggiran sungai. Dalam jangka waktu panjang hal itu dikhawatirkan akan mengakibatkan sungai bakal mengalami kekeringan. Konflik semakin meruncing karena terjadi tumpang tindih dalam penguasaan lahan. Masyarakat mengklaim bahwa sebagian lahan mereka dicaplok oleh perusahaan. Selain masyarakat desa, lahan milik Orang Rimba di kawasan ini juga diserobot pihak perusahaan. Sejarah keberadaan PT MAP di Kabupaten Bungo berawal ketika perusahaan ini mengajukan permohonan IUPHHK-HTI seluas ±24.545 hektar yang berlokasi di kelompok Hutan Sungai Senamat. Namun berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No. S.244/Menhut-VI/2009 perihal perintah Pemenuhan Kewajiban SP-1 IUPHHKHTI adalah seluas ±23.425 hektar atau berkurang 1.120 hektar dari permohonan yang semula diajukan pihak PT MAP. Setelah berhasil mendapatkan izin IUPHHK HTI melalui SK No. 570/Menhut-II/2009 tanggal 28 September 2009, areal izin usaha PT MAP diketahui meliputi sejumlah dusun di Kabupaten Bungo. Yaitu dusun Aur Cino,
dan Dusun Senamat Ulu (Kecamatan Bathin III Ulu), Dusun Lubuk Mayan, Dusun Rantau Pandan, Dusun Rantau Duku, Dusun Talang Sungai Bungo (Kecamatan Rantau Pandan), Dusun Senamat, Dusun Sungai Beringin, Dusun Rantel, Dusun Baru Pelepat, Dusun Batu Kerbau (Kecamatan Pelepat) dan Dusun Datar dan Dusun Tebing Tinggi (Kecamatan Muko-Muko Bathin VII). Sebelum menjadi milik PT MAP areal ini dulu merupakan eks HPH PT Mugitriman. Begitu masa berlaku izin PT Mugitriman habis areal itu selanjutnya dikelola oleh PT Inhutani V Pelepat Ulu, yang kemudian izinnya dicabut oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK No. 1063/Kpts-II/2002 tanggal 13 Desember 2001.
LAPORAN UTAMA tanaman sawit yang ditanam dalam areal izin usaha PT MAP. Ada kemungkinan HGU memperluas daerahnya sampai ke wilayah HTI dan HTI membiarkannya karena mereka masih milik satu grup perusahaan. Tidak hanya itu saja pelanggaran yang mereka lakukan. Perusahaan juga melanggar pasa 50 ayat (3) C UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
PT MAP berhasil menguasai areal eks PT Mugitriman tersebut setelah mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Dukungan pemerintah daerah atas permohonan IUPHHK-HTI PT MAP disampaikan melalui Surat rekomendasi Bupati Kab. Bungo No. 522/1418/Hutbun tanggal 15 Juli 2008 dan surat rekomendasi Gubernur Provinsi jambi No. 522/3003/Dishut/2008 tanggal 22 Juli 2008 dengan pertimbangan bahwa kondisi areal tersebut saat itu merupakan areal open access alias tidak memiliki pengelola, sehingga rawan terjadi illegal loging, perambahan dan kebakaran hutan.
Sementara yang terlihat di lapangan, perusahaan melakukan land clearing tanpa memedulikan aturan yang tertuang dalam pasal tersebut. Mereka juga tidak peduli dengan keluhan masyarakat yang menyesalkan hal itu. Perusahaan tetap menggunduli kawasan perbukitan yang termasuk kawasan topografi curam, yaitu mencapai ketinggian 40 derjat lebih. Hal itu sangat berbahaya bagi penyelamatan ekosistem. Selain bisa menjadi pemicu terjadinya longsor dan banjir, penghancuran kawasan hutan di perbukitan seperti ini juga akan mengurangi debit air yang akan mengalir ke sejumlah sungai di kawasan tersebut.
Jika melihat rencana kegiatan PT. MAP, dari total areal seluas ±23,245 hektar semuanya dapat digunakan sebagai areal kelola. Pihak perusahaan merencanakan areal layak kelola itu untuk tanaman pokok seluas ±15.192 hektar (65,36%), tanaman unggulan seluas ±2.331 hektar (10,03%), tanaman kehidupan seluas ±1.192 hektar (5,13%), kawasan lindung seluas ±3.703% hektar (15,93%), serta areal tidak efektif lainnya seperti untuk sarana dan prasarana seluas ± 827 hektar (3,56%).
Padahal, masyarakat di daerah ini membutuhkan air sungai yang terjaga dengan baik untuk berbagai keperluan. Selain untuk keperluan pertanian, masyarakat di daerah ini juga mengandalkan aliran sungai untuk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air (PLTKA). Apabila kawasan hutan terus mengalami kerusakan, maka lambat laun pasokan air akan semakin menipis dan menyulitkan masyarakat setempat memanfaatkan PLTKA maupun mengolah lahan pertanian.
Namun, ketika perusahaan mulai melakukan aktivitas di lapangan ternyata banyak ditemukan pelanggaran hukum yang bisa merugikan masyarakat sekitar. Pada areal lahan itu warga menemukan bahwa PT MAP menanam tanaman non kehutanan. Perusahaan telah lalai menjaga kawasan sehingga tanaman sawit HGU ditanam dalam areal izin usaha IUPHHK HTI. Hal itu berlawanan dengan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 71 bagian d PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, yakni setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya. Akan tetapi warga menemukan adanya
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Land clearing PT MAP. Foto: Heriyadi Asyari/ Dok. KKI Warsi
Persoalan lain yang juga melilit keberadaan PT MAP, pihak perusahaan tidak melakukan penataan batas hingga 28 September 2010. Padahal itu wajib dilaksanakan oleh setiap pemegang izin usaha dan diatur dalam Pasal 71 huruf c PP. No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Di dalam peraturan itu dijelaskan bahwa setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman. Keberadaan PT MAP di Kabupaten Bungo menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Meski perusahaan bersedia memberikan ganti rugi lahan bagi masyarakat, namun hingga saat ini tidak semua masyarakat mau menerima. Meski mendapat penolakan dari sebagian warga, tapi perusahaan tetap melakukan aktivitas di lapangan berupa aktivitas land clearing. Sekretaris dusun Senamat Ulu, Ali mengatakan, sebagian sesap yang ada di lahan masyarakat terpaksa diserahkan ke pihak perusahaan. Mereka mengaku tak berdaya menolak karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Namun, setelah perusahaan melakukan land clearing mereka merasa sangat cemas begitu melihat kawasan di perbukitan yang sangat curam juga diratakan menggunakan alat berat. Mereka khawatir kondisi itu akan membuat udara mengalami pencemaran karena hutan habis dibabat. Pembabatan hutan yang dilakukan perusahaan juga akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan lanskap di sekitar Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba). “Kami juga takut nanti terjadi banjir karena tak ada lagi penampung air. Apa pemerintah tidak melihat, kenapa lahan dengan ketinggian begitu dibiarkan di land clearing. Nanti dusun Aurcino, Sekampil, dan Sungai Beringin yang akan merasakan langsung dampaknya.” keluhnya. Nampaknya masih butuh waktu dan jalan berliku untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
17
18
“Cabang-cabang ini, yang pertama yang dekat tank digester gasnya untuk pembuang. Jika tidak digunakan atau ada kerusakan pada kompornya, ”sebut Zulfiardi Gas akan yang berasal dari tank digester atas akan dibuang melalui kran yang ada jika tidak digunakan. Ini untuk mengatasi terjadinya ledakan, Zulfiardi melarang anak-anak bermain di sekitar pengolahan biogas yang juga sudah dipagarnya. Sistem keamanan terpadu yang dibuatnya, diyakininya dapat menghindarkan bahaya yang akan terjadi. “Pengalaman kami baru-baru memakai biogas ini. Pertama-tama kan kuatir, gas kan berbahaya. Tetapi kami kan bayak melihat tetangga-tetangga lain di luar sana menggunakan gas elpiji. Disitu juga kami mengambil contohnya bagaimana cara mengatasinya yang berbahaya itu. Jadi cara mengatasinya kami ditempat biogas ini kami pagar seperti sekarang ini. Dan dirumahnya di kompornya ada magnetnya tidak dipakai. Jadi ketika kami menghidupkan kompornya kami menggunakan korek,” sebutnya
Selain melepaskan magnet pada kompor gasnya, Zulfiardi juga menambahkan stop kran di saluran gasnya. Stop kran ini akan dilepaskan jika dia akan menggunakan gas, dan akan ditutup jika tidak dipakai. Dengan stop kran, keluarnya gas akan dapat dikontrol. Pelatihan Biogas KKI Warsi Salah satu poin yang diusung United Nations Enviromental Program (UNEP) dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, diantaranya menggantikan energi fosil dengan energi yang terbarukan. Dimana sekarang ini energi fosil menjadi energi utama bagi industri dan ekonomi dunia, disamping pasokan sudah mulai menipis, energi fosil juga berdampak negatif terhadap
Instalasi biogas di Jorong Simancuang. Foto Elviza Diana/dok. KKI Warsi Memasak menggunakan bahan bakar biogas. Foto: Elviza Diana/ dok. KKI Warsi
Energi Alternatif di Jorong Simancuang
S
ejak tiga bulan yang lalu, Zulfiardi (34) tidak perlu memikirkan akan mengambil kayu di hutan untuk digunakan sebagai bahan bakarnya. Salah satu warga Jorong Simancuang, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barati ini cukup mengandalkan kotoran sapi yang berada di balakang rumahnya. Dia mengolah kotoran sapi tersebut menjadi sumber energi bahan bakar pengganti kayu yang biasanya digunakan masyarakat di daerah ini. Dengan hanya mengandalkan satu ekor sapi miliknya, Zulfiardi mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar sehari-harinya. Pagi itu, Zulfiardi telah sibuk di kandang sapi miliknya. Dengan menggunakan sekop, ayah tiga orang anak ini mulai mengambil setumpuk kotoran sapi kemudian memasukkannya ke dalam bak pengaduk yang sudah disiapkan. Zulfiardi mulai melakukan proses pengolahan biogas.
Kotoran sapi dimasukkan ke dalam bak pengaduk kemudian dicampur dengan air sisa-sisa makanan dan diaduk. Lalu dimasukkan ke dalam tank digester untuk difermentasi. Hasil fermentasi ini yang menghasilkan gas, yang kemudian di salurkan ke rumah. Tak banyak peralatan yang digunakan untuk membuat biogas ini. Cukup dengan sepasang penampung yang disebut dengan tank digester , pipa dan selang sederhana. Ada dua tank digester yang digunakan ditempatkan dibawah dan diatas. Tank digester dibawah terbuat dari dua lapis, terdiri dari dua plastik putih yang ukurannya disesuaikan dengan pengguna, kemudian dijahitkan dengan sebuah terpal, begitupun dengan tank digester yang diatas yang berguna menampung gas. Sementara untuk selang penyalur dari kandang sapi ke dapurnya, hanya menggunakan selang berwarna putih sekitar 15 meter, dan ditambah satu batang paralon yang akan dipasangkan stop krannya sebanyak tiga cabang.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
20
21
lingkungan. Dan diyakini pula bahwa akar permasalahan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dunia sangat terkait dengan konsumsi energi fosil yang sudah berlangsung dari awal revolusi industri di Eropa. UNFCCC (2009) menyampaikan bahwa penggunaan energi fosil telah menyumbang dua per tiga dari total emisi gas rumah kaca (GRK) secara global. Dan bahkan biaya adaptasi akibat perubahan iklim pada tahun 2030 dapat mencapai US$ 50-130 miliar, dimana sekitar 60% nya akan ditanggung oleh negara berkembang. Untuk itu dalam konsep green economy merekomendasikan agar negara-negara di dunia segera melakukan investasi untuk menggantikan energi fosil menjadi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Dilatar belakangi dengan itu, KKI Warsi juga melakukan pengembangan energi terbarukan ini melalui pemanfaat biogas sebagai pengganti bahan bakar fosil dan kayu. Warsi mengajak sekitar 20 peserta yang berasal dari berbagai desa yang tersebar di Jambi dan Sumatera Barat untuk melakukan pelatihan pembuatan energi panas dari kotoran ternak (energi biogas). Zulfiardi mengaku pelatihan yang diikutinya ini sangat bermanfaat, dan berharap teman-temannya yang lain bisa mempraktekkan pembuatan biogas tersebut. Dengan menganut prinsip 3M, Murah, Mudah dan Mampu diharapkan teknologi biogas ini dapat digunakan masyarakat di berbagai tempat. Pelatih pembelajaran biogas , Hamdani menyebutkan bahwa teknologi biogas ini merupakan teknologi yang bisa digunakan secara berkelompok maupun individu. “Semua orang bisa mengaplikasikan teknik pembuatan biogas ini, dikarenakan tekniknya mudah, peralatannya juga mudah didapat dan dengan harga terjangkau” ujarnya. Hanya dengan biaya sekitar 1 juta hingga 3 juta, kita sudah bisa membuat biogas tersebut. “Sebelumnya pemerintah sudah menggerakkan pengembangan teknologi biogas ini. Namun dengan biaya sekitar 24 juta. Tentu saja ini menjadi sebuah mimpi bagi masyarakat. Namun kita berupaya mem-
buat teknologi ini menjadi nyata untuk semua kalangan masyarakat,” jelasnya. Berbeda dengan pengalaman Zulfiardi di jorong Simancuang, M. Razi salah seorang warga Desa Senamat Ulu, Kecamatan Bathin Tiga Ulu, Kabuaten Bungo, salah satu peserta pelatihan biogas yang dilaksanakan oleh Warsi telah melakukan uji coba di desanya. Sejak pertengahan September lalu, dia telah menyiapkan kotoran sapi untuk diolah menjadi biogas. Dan rencananya jika berhasil biogas ini akan digunakannya sebagai bahan bakar pengganti minyak dan energi listrik alternatif. “Ini baru ujui coba, kalau nanti bisa berhasil akan dimanfaatkan untuk pengganti bahan bakar sekaligus energi listrik terutama untuk penerangan,” ujarnya. Teknologi Beragam Manfaat Untuk dapat memenuhi pemakaian selama tiga hari, kita juga harus menyiapkan setidaknya tiga hari kotoran sapi yang dikumpulkan. Erinaldi, Spesialis Green Ekonomi KKI Warsi menyebutkan pengolahan biogas ini membutuhkan bakteri anaerob. Bakteri yang tidak membutuhkan udara bebas ini yang akan membantu proses pembentukkan gas. Bakteri ini didapatkan dari air sisa-sisa makanan sapi yang sengaja dikumpulkan dan dipakai untuk pencampur kotoran sapi.
Menaruh Harapan Pada Komoditi Bertingkat
P
engembangan komoditi bertingkat memang belum terlalu familiar bagi sebagian masyarakat di sekitar kawasan lanskap Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo. Meski komoditi bertingkat ini masih terbilang baru, namun ia menawarkan sebuah harapan besar untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat.
seperti ini akan memberikan tekanan yang semakin intensif terhadap kawasan hutan. Sebab lahan yang bisa dialihfungsikan sebagai lokasi berkebun tidak akan pernah bertambah, sementara jumlah penduduk dari tahun ke tahun selalu meningkat. Sehingga dibutuhkan solusi lain agar masyarakat tetap bisa mencari nafkah tanpa merusak kawasan hutan di sekitarnya.
Jika diartikan secara sederhana, pengembangan komoditi bertingkat merupakan salah satu cara untuk memperkuat ekonomi penduduk melalui optimalisasi lahan perkebunan. Yaitu dengan membudidayakan beberapa jenis tanaman yang menjanjikan secara ekonomi di dalam satu hamparan lahan perkebunan. Sebelum mengenal komoditi bertingkat masyarakat hanya menanam satu jenis tanaman dalam satu lahan. Apabila ingin membudidayakan jenis tanaman lain mereka akan membuka lahan baru lagi. Saat itu mereka masih terbiasa melakukan pola ladang berpindah. Kondisi
Salah satu solusi yang perlu didukung adalah pengembangan komoditi bertingkat. Masyarakat di sekitar Bujang Raba mulai melirik komoditi bertingkat setelah mendapat masukan dan bimbingan dari fasilitator Warsi. Sejak itu, mereka memilih melakukan pengembangan komodiditi bertingkat sebagai solusi meningkatkan nilai ekonomi. Begitu ada masyarakat yang mencoba, ternyata hal itu memang terbukti dapat meningkatkan taraf perekonomian penduduk yang mayoritas menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun.
Mengatur pemanfaatan lahan untuk meningkatkan kesejahteraan. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
“Untuk tiga hari kotoran sapi itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dapur selama tiga hari.Hanya yang jadi persoalan ketika kita mengumpulkan gas pertama dari kotoran sapi yang ada karena satu ekor, membutuhkan waktu selama 20 hari baru menghasilkan gas yang bisa dimanfaatkan” ulasnya. Penggunaan biogas untuk bahan bakar keluarga diakui Zulfiardi lebih murah ketimbang menggunakan kayu bakar. Selain itu, limbah terakhir dari biogas ini, bisa dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman cabainya. “ Ga ada efek sampingnya kalau langsung diberikan pada tanaman, dan kalau sudah dikeringkan malah bisa jadi pupuk organik super. Dan hasil panen bisa berlimpah kalau menggunakan pupuk ini,”ucapnya (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
22
23
Potensi peningkatan ekonomi dari pengembangan komoditi bertingkat ini cukup besar. Dalam satu hamparan lahan penduduk bisa menanam tiga macam komoditi perkebunan sekaligus. Sekali mendayung, tiga pulau terlampaui. Ini barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan betapa besarnya manfaat ekonomi yang bakal diperoleh. Meski bisa menjanjikan pendapatan yang besar, namun agar pola berkebun seperti ini bisa memberikan hasil yang maksimal petani juga harus jeli memilih jenis tanaman yang akan dikembangkan. Karena tidak semua tanaman bisa dikembangkan dalam satu lahan secara bersamaan dengan tanaman lainnya. Ketika memilih melakukan pengembangan komoditi bertingkat, penduduk di sekitar kawasan lanskap Bujang Raba memilih tanaman coklat (kakao) dan kapulaga (gardamunggu) sebagai pelengkap pohon karet yang lebih dulu ditanam. Untuk tanaman paling atas dipilih pohon karet sebagai tanaman utama, kemudian di bawahnya ada pohon coklat dan kapulaga. Ketiga jenis tanaman ini bisa hidup berdampingan dalam satu hamparan lahan. Sehingga ia akan sangat berguna sebagai penopang perekonomian masyarakat. Meski pengembangan komoditi bertingkat ini masih baru mereka lakukan, namun sebagian petani mengaku sudah mulai merasakan keuntungan secara finansial. “Saat ini kami sudah mulai merasakan manfaatnya,” kata Iskandar, salah seorang warga Senamat Ulu barubaru ini. Dulu, ketika mereka hanya menanam karet, hasilnya baru terlihat sekitar enam tahun berikutnya. Sementara dengan menerapkan pola pengembangan komoditi bertingkat, sebelum karet bisa dipanen mereka sudah bisa menikmati hasil yang didapat dari lahan tersebut. Yaitu dari tanaman kaupalaga dan tanaman coklat yang lebih dulu bisa dipanen dibandingkan karet. Melihat peluang tersebut, maka cara pengelolaan lahan seperti ini diyakini akan memberikan keuntungan berlipat ganda. Dengan pola itu mereka bisa mengoptimalkan fungsi lahan untuk budidaya beberapa jenis tanaman perkebunan pada waktu bersamaan. Selain berguna untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, pengembangan komoditi bertingkat juga akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap ka-
wasan hutan. Hal itu sangat beralasan, karena laju degradasi hutan di negeri ini sangat pesat. Data statistik Dephut 2009 menyebutkan, degaradasi hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta hektar/tahun, dengan luas hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hekatar dari 132,9 juta hektar kawasan hutan Indonesia. Sementara lahan kritis mencapai 30 juta hektar lebih. Pengembangan komoditi bertingkat diharapkan bisa memiliki peran dalam rangka mengurangi derasnya laju degradasi hutan. Hal itu sangat memungkinkan karena ia dilakukan pada kebun karet masyarakat yang selama ini belum tergarap secara optimal. Bukan menganjurkan pembukaan lahan-lahan baru. Namun, masyarakat diarahkan agar menanam coklat di sela pohon-pohon karet, kemudian di bawahnya ditanami tanaman kapulaga. Penggabungan antara tanaman karet, coklat, dan kapulaga juga melalui sebuah pertimbangan yang matang. Sebab, pohon coklat termasuk jenis tanaman pertanian yang membutuhkan pohon pelindung. Tanpa memiliki pohon pelindung pertumbuhan tanaman coklat akan kurang bagus. Sehingga ia sangat cocok ketika dikembangkan di dalam kebun karet. Pohon karet yang sudah besar dan rindang sekaligus berfungsi sebagai pohon pelindung bagi tanaman coklat. Demikian pula halnya dengan kapulaga. Kapulaga termasuk jenis tanaman herbal berumpun. Bentuknya hampir mirip dengan tanaman lengkuas. Ia bisa tumbuh mencapai ketinggian 2-3 meter di bawah kelebatan pohon coklat dan karet. Sehingga ketiga tanaman ini juga akan cocok bila dibudidayakan bersamaan dengan coklat dan karet. Saat ini sekitar 2.000 batang pohon kakao dan 4.000 rumpun kapulaga sudah ditanam oleh masyarakat di sekitar kawasan Bujang Raba. Yaitu di Desa Senamat Ulu, Mengkuang Laman Panjang, Lubuk Beringin dan Sengi Letung. Dalam rangka memenuhi kebutuhan bibit, penduduk berusaha melakukan pembibitan kakao sendiri. Saat ini sudah ada sekitar 10 ribu bibit yang sudah siap ditanam. Namun, jumlah tersebut masih belum mencukupi kebutuhan bibit yang diperlukan oleh petani. Diperkirakan kebutuhan bibit baru akan tercukupi jika sudah ada sekitar 50 ribu bibit. Jika sudah memiliki bibit sebanyak jumlah ini baru akan bisa memenuhi kebutuhan bibit yang dibutuhkan oleh petani di sekitar Bujang Raba.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Pengembangan komoditi bertingkat diharapkan bisa meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa harus melakukan perluasan lahan pertanian. Sebab dari mengelola satu lahan saja masyarakat sudah berpeluang memiliki pendapatan dari hasil penjualan beberapa komoditas. Dalam siklus 2 minggu, mereka bisa memiliki pendapatan dari hasil menyadap karet, sementara pohon kakao untuk penghasilan mingguan, dan kapulaga bisa untuk penghasilan bulanan. Dari satu lahan perkebunan masyarakat akan bisa meraup hasil besar untuk menopang perekonomian keluarga. Pengembangan tanaman bertingkat ini ditargetkan menjadi proyek percontohan untuk peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan tanpa harus mengubah fungsi hutan. Harapannya, kawasan hutan tetap akan terjaga namun perekonomian penduduk juga akan semakin membaik. Karena jika penduduk di sekitar kawasan hutan sudah hidup sejahtera, mereka tentu akan semakin terpanggil menjaga kawasan hutan untuk menyelamatkan masa depan mereka sendiri. Antisipasi Perladangan Berpindah-pindah Selama ini kegiatan ladang berpindah sudah menjadi kelaziman yang dilakukan petani di desa-desa. Untuk mengatasi kebiasaan buruk pola ladang berpindah tersebut dibutuhkan sebuah solusi yang bisa diterima oleh petani. Solusi yang ditawarkan harus memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Hal itu kemudian mendorong KKI Warsi mengajak masyarakat mengembangkan komoditi bertingkat di sekitar kawasan Bujang Raba. Tujuannya untuk mengurangi laju perladangan berpindah-pindah yang dikhawatirkan akan mengancam kelestarian lanskap. Dampaknya saat ini sudah mulai terasa, penduduk desa Senamat Ulu, misalnya, saat ini tak lagi melirik cara ladang berpindah-pindah. Mereka sudah dibekali dengan pemahaman bahwa perladangan berpindah hanya akan menimbulkan banyak dampak negatif. Selain menyebabkan hutan yang tersedia lama kelamaan akan habis, debit air yang dibutuhkan penduduk juga akan menurun. Belum lagi dampak bencana alam yang bisa merugikan mereka sendiri jika lingkungan tak lagi hijau. Pengembangan komoditi bertingkat ini diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi kegiatan perladangan berpindah yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan
masyarakat desa. Sebab melalui komoditi bertingkat mereka berpeluang meraup penghasilan yang lebih besar. Di atas lahan tersebut mereka bisa menanami beberapa jenis komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan beberapa masyarakat di Desa Senamat Ulu mengaku sudah mulai memetik hasil dari pengembangan komoditi bertingkat tersebut. Gaya penanaman dengan pola tumpang sari seperti ini ternyata layak dicoba karena terbukti bisa meningkatkan perekonomian masyarakat yang selama ini masih menggantungkan hidup dari sektor perkebunan. Fasilitator KKI Warsi, Desrizal Alira mengatakan, ide pengembangan komoditi bertingkat itu mendapat respons positif dari masyarakat Desa Senamat Ulu. Mereka sangat antusias mengembangkan komoditas coklat dan kapulaga di dalam kebun karet mereka untuk gantungan mata pencaharian. “Untuk tanaman paling atas ada karet, kemudian di bawahnya ditanami coklat. Sementara untuk tanaman muda kita anjurkan masyarakat menanam kapulaga,” katanya. Cara tersebut menurutnya sangat cocok dikembangkan di sekitar kawasan lanskap Bujang Raba yang penduduknya mayoritas bertani. Karena menjelang tanaman coklat bisa menghasilkan uang, petani sudah bisa mendapatkan uang dari hasil memanen tanaman kapulaga. Selanjutnya, ketika kapulaga sudah tidak menghasilkan, giliran pohon coklat yang akan dipanen. Dan untuk tanaman jangka panjang adalah pohon karet. Jadi, dengan mengelola satu lahan perkebunan saja petani sudah bisa mendapatkan tiga penghasilan sekaligus. Disini terjadi peningkatan jumlah penghasilan yang mereka peroleh dibandingkan kalau hanya menanam satu komoditas saja. “Selain bisa mengantisipasi perladangan berpindah, melalui pengembangan komoditi bertingkat ini penghasilan yang akan diterima masyarakat juga akan bertingkat,” ungkap Desrizal. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
24
25
Anyaman Senamat Ulu. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Menghidupkan Kearifan Lokal yang Nyaris Dilupakan
S
abtu pagi, 29 September 2012. Sekelompok ibu-ibu di Senamat Ulu, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, duduk membentuk lingkaran di bawah cucuran atap sebuah rumah. Hanya ber-alas tikar pandan yang tampak kusam. Pagi itu cuaca cerah. Sehingga matahari leluasa menyepuh mereka yang sedang asik berceloteh diselingi tawa cekikikan. Tangannya terampil menyusun bilah-bilah bambu yang telah dihaluskan. Merangkainya menjadi sebuah anyaman. Mereka adalah anggota kelompok kerajinan Ulu Batang Senamat yang baru saja terbentuk. Kelompok ini berusaha menghidupkan kearifan lokal desa yang nyaris dilupakan. Sebelum mengenal barang-barang produksi pabrik, masyarakat desa sebenarnya sudah memiliki kearifan lokal membuat anyaman untuk keperluan peralatan rumah tangga. Bahkan, dulu hampir semua perempuan desa bisa membuat anyaman. Mulai dari membuat tikar, bakul, keranjang, ambung, niru, dan aneka kebutuhan rumah tangga lainnya dikerjakan sendiri. Bahan baku anyaman ini pun sangat beragam. Ada yang dibuat dari bahan baku pandan, bambu, rotan, maupun jenis bahan baku lainnya yang mudah didapat. Setiap keluarga bisa membuat anyaman sehingga tak perlu lagi membeli. Saat itu mereka belum mengenal produk pabrik seperti yang terjadi sekarang ini.
Namun, sejak peralatan rumah tangga olahan pabrik mulai merajalela di pasaran, kegiatan pembuatan anyaman mengalami penurunan. Bahkan, belakangan ini sudah sangat minim masyarakat yang tertarik belajar membuat anyaman. Orang-orang lebih senang menggunakan produk pabrik yang memang lebih praktis dan menawarkan harga yang bervariasi. Tergantung berapa jumlah persediaan uang yang akan dibelanjakan. Mulai dari produk yang berukalitas rendah dengan harga miring, hingga produk berkualitas bagus dengan harga lebih tinggi, semuanya tersedia di pasar. Karena terlanjur merasa dimanja, akhirnya kreativitas membuat anyaman yang merupakan kearifan lokal masyarakat desa pun nyaris punah. Bahkan saat ini orang yang masih menguasai keterampilan itu sudah sangat sedikit. Dan lebih mirisnya lagi, kelompok yang tersisa itu pun sudah jarang membuat anyaman: mereka ikut ketagihan menggunakan hasil olahan pabrik. Tanpa disadari terjadi sebuah pergeseran nilai akibat terjangan modernisasi yang amat dahsyat. Bagi masyarakat desa, dulu orangtua akan merasa malu jika anak gadisnya tak bisa menganyam. Namun sekarang nilai-nilai seperti itu sudah tidak berlaku lagi. Bahkan, saat ini sudah sangat langka ada anak gadis yang masih terampil menganyam seperti zaman dulu. Kemampuan itu mulai punah dilindas modernisasi yang kian kencang. Sehingga lambat laun kearifan lokal itu pun terancam punah dan dilupakan oleh masyarakat. Padahal, jika cermat melihat peluang, memiliki kearifian lokal seperti ini adalah sebuah peluang yang menarik. Ia bisa menjadi penyokong ekonomi masyarakat jika ditekuni bersungguh-sungguh. Ketika di desa orang merasa enggan menekuni tradisi itu, sebaliknya masyarakat kota semakin gandrung memburu hasil kerajinan tersebut. Banyak masyarakat urban yang merindukan untuk kembali ke alam. Salah satunya terlihat dengan kecenderungan mereka menggunakan peralatan rumah tangga yang bukan hasil pabrikan. Baik untuk sekedar pajangan maupun untuk digunakan sehari-hari. Ini merupakan sebuah peluang menarik bagi perajin anyaman yang memiliki keahlian di bidang itu. Dengan mengkombinasikan antara sentuhan seni, kemasan yang memikat, serta promosi yang menarik, produk kerajinan seperti ini berpeluang dijual hingga ke pasar dunia. Dengan kata lain, bagi masyarakat yang serius menekuni ini masih terbuka sebuah pasar besar yang akan menampung hasil kreativitas mereka. Ting-
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
gal bagaimana mencari celah untuk memasarkan agar ia bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Meski kreativitas mengayam ini sudah banyak ditinggalkan, namun tidak demikian halnya di Dusun Senamat Ulu. Beberapa waktu lalu sekelompok ibu-ibu di dusun ini berusaha meneruskan pelestarian kearifan lokal itu. Sebagai langkah awal, mereka yang memiliki keahlian mengayam berembug bersama sehingga akhirnya terbentuk sebuah komunitas yang dikasih nama kelompok kerajinan Ulu Batang Senamat. Melalui wadah ini mereka berusaha menghidupkan lagi kearifan lokal membuat anyaman dengan bersinergi dalam sebuah kelompok. Bak gayung bersambut, pembentukan kelompok itu mendapat lampu hijau karena dusun Senamat Ulu yang berada di sekitar kawasan lanskap Bujang Raba saat ini sedang menggeliat menjadi kawasan ekowisata. Sehingga produk anyaman yang dihasilkan kelompok kerajinan ini bisa menjadi suvenir bagi pengunjung yang datang kesana. Ketua kelompok kerajinan Ulu Batang Senamat Nuraini mengatakan, ide pembentukan kelompok kerajinan itu bermula ketika mereka mengikuti studi banding ke Bogor dan Semarang beberapa waktu lalu. Disana mereka melihat hasil kerajinan tangan dari berbagai daerah yang dikemas dengan sangat menarik. Selain tampil dengan kemasan cantik, ternyata produk itu laku keras meski dibandrol dengan harga yang cukup tinggi. Berawal dari sana, ia bersama ibu-ibu di desanya berusaha membentuk sebuah kelompok untuk menghasilkan produk kerajinan seperti itu. Baik berupa anyaman untuk keperluan sehari-hari maupun berupa suvenir yang dibuat dalam ukuran lebih kecil. Mereka tak ingin membuang peluang emas itu begitu saja. “Kami baru bentuk kelompok selamo duo bulan ko lah,” kata Nuraini. Meski sudah resmi memiliki kelompok, namun mereka menekuni aktivitas membuat kerajinan anyaman sebagai selingan mengisi waktu senggang. Pekerjaan utama mereka tetap bekerja mengolah kebun. Mereka memanfaatkan waktu sore dan malam untuk ajang kumpul-kumpul dan menganyam. Kegiatan ini sangat positif dan bisa memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat.
Sejauh ini, anggota kelompok kerajinan Ulu Batang Senamat telah menghasilkan produk anyaman berupa bakul, ambung, niru, tikar, baki, cangok, tempat tisu, dan aneka jenis anyaman lainnya. Mereka tak pernah ragu akan kehabisan bahan baku. Sebab, bahan baku yang digunakan semua diambil dari dalam hutan yang mereka jaga dengan baik. Dan lagi, dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) tersebut mereka bisa menyadarkan masyarakat desa akan pentingnya menjaga kawasan hutan. Masyarakat tak perlu lagi membabat hutan untuk pemenuhan ekonomi, karna masih banyak hasil hutan selain kayu yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya adalah memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk bahan baku kreativitas anyaman seperti yang dipelopori kelompok ibu-ibu di Senamat Ulu. “Ado sekitar 20 motif yang saat ini sudah kami buat. Sekedar untuk selingan mengisi waktu luang, Kami jual dengan hargo macam-macam. Mulai dari sepuluh ribu, bahkan ada yang sampai seratus ribu,” kata Nuraini. Ali, Sekretaris Dusun Senamat Ulu mengatakan, mereka sangat mendukung kreativitas ibu-ibu dalam kelompok kerajinan tersebut. Apalagi bahan baku yang dibutuhkan semuanya tersedia di sekitar kawasan mereka. “Bahan baku diambil di luar hutan desa. Biasanya di kebun karet masyarakat. Dan kalau mau ambil bambu biasanya ditanya dulu pada yang punya kebun. Karena disini bambu tidak dijual belikan. Yang penting cara ngambilnya yang baik,” ujarnya. Ali menambahkan, selain memberikan kesibukan mengisi waktu luang bagi ibu-ibu, kegiatan itu berpeluang meningkatkan ekonomi masyarakat. Hanya saja, saat ini mereka masih memiliki kendala untuk memasarkan hasil kerajinan anyaman tersebut. “Kalau pemasaran keluar yang rutin sekarang ini belum ada. Baru di lingkungan dusun dan penjajakan ke daerah yang dekat dulu, seperti Bungo dan lain-lain,” tandasnya. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
GIS SPOT
26
DARI HULU KE HILIR
Ketika Abrasi Batanghari Mengintai
E
Gambar olahan: Sofyan Agus Salim/Dok KKI Warsi
Deteksi Dini Hot Spot (Titik Panas) Menggunakan Google Earth
B
eberapa bulan yang lalu banyak media cetak menuliskan tentang titik-titik api di Jambi, bahkan salah satu media menulis “Ratusan Titik Api Ancam Hutan Jambi Selama Kemarau” pada headline-nya. Dari informasi ini banyak sekali pertanyaan yang muncul. Apa sih titik api itu? Ratusan titik api itu banyak, dimana saja sih lokasi nya??. Dari pertanyaan tersebut kita coba jelaskan satu persatu.
Apa sih titik api itu?. Titik api juga disebut firespot merupakan lokasi yang benar-benar terjadi kebakaran. Beda dengan hotspot atau titik panas. Hotspot yang diperoleh dari data satelit NOOA hanya indikasi bahwa daerah tersebut rentan terjadi kebakaran. Tidak semua Hotspot itu api, sehingga perlu cek langsung ke lapangan. Kalau titik api memang lokasi tersebut sedang terbakar dan segera harus dipadamkan.
en Keserawati, demikian nama lengkap bocah perempuan berusia lima tahun yang menjadi korban dalam bencana abrasi Sungai Batanghari di Desa Pulau Kayu Aro, Kecamatan Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi . Bencana Abrasi ini meluluh lantakkan dua rumah, dan memaksa 90 warga mengungsi ke rumah sanak saudaranya. Peristiwa naas yang merenggut nyawa Een ini bermula ketika dia bersama ibu dan kakak perempuannya mandi di jamban sungai Batanghari yang berada tak jauh dari rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB, Kamis, (23/8).
Sejak kepergian Een, warga Desa Pulau Kayu Aro masih khawatir dengan adanya abrasi susulan. Mereka memilih mengungsi ke rumah sanak saudara terutama malam hari. Keluarga Een, juga sudah bisa mengikhlaskan kepergiannya.
Sebelumnya, menurut keterangan ibunya, Surya(40) puteri bungsu dari tiga bersaudara ini tidak mau ikut mandi di jamban dan memilih jajan di warung dekat rumahnya. Namun, entah kenapa akhirnya Een menyusul ibu dan saudara perempuannya ke jamban. Belum sempat mandi, jamban tempat mereka mandi terbalik dan diikuti suara dentuman tanah.
Bencana Abrasi ini, sudah dimulai sejak Senin, (20/8) dan terus berlanjut selama lima kali berturut hingga terakhir merenggut nyawa Een.
“Saya tertindih di bawah jamban, sambil terus berteriak minta tolong dan mano anak sayo, mano anak sayo,”kata Surya, Rabu (4/9).
“Sayo sudah berupaya ikhkas dengan kepergian Een, dan berharap dengan kejadian ini pemerintah biso cepat tanggap mencarikan solusi mengatasi longsor ini,” kata istri Efendi, yang keseharian suaminya bekerja sebagai pencari ikan.
“Pertama kali abrasi sejak lebaran keduo, terus berlanjut sedikit-sedikit hingga Kamis, (23/8) yang paling parah dan menghancurkan dua rumah serta satu korban jiwa,” jelas Rahman, Sekretaris Desa Pulau Kayu Aro.
Sementara saat itu, Een dan kakak perempuannya Anggraini terhempas ke samping sungai dan masih bergantung pada jamban. Hingga akhirnya Een terlepas dari gantungan kakaknya dan terseret arus sungai. Jasad Een akhirnya berhasil ditemukan warga setelah berusaha mencari selama sehari semalam di daerah Desa Kedaton, yang merupakan desa tetangga berjarak lebih kurang tujuh kilo meter dari lokasi kejadian.
Ratusan titik api itu banyak, dimana saja sih lokasi nya??. Ratusan titik api itu banyak sekali. Berita ini mungkin benar, mungkin juga tidak. Jika itu diturunkan dari data NOAA maka itu baru data titik panas, untuk jumlah titik api sebenarnya harus turun kelapangan. Lalu bagaimana cara kita untuk mengetahui titik panas. NOOA memberikan data ini secara gratis dapat di download di http://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/ firms/active-fire-data#tab-content-2. Data yang tersedia di dalam website tersebut actual 24h dan 48h. Sedangkan untuk data archieve kita harus memesannya terlebih dahulu. Data dapat kita download dalam berbagai format data seperti : Shp, KML, WMS, TXT. Karena topik kita menggunakan Google Earth sebagai alat bantu untuk mendeteksi titik panas maka data yang kita gunakan adalah data dalam format KML. Dari data KML yang sudah kita download tadi lalu kita buka dengan menggunakan aplikasi Google Earth. Maka akan tampil secara spasial data yang didapat dari NOAA tadi. Pada tiap titiknya terdapat inforamasi : Latitiude, Longitude, Data Acquired, Time, Confidende [ 0-100 ], Satelite. Latitude dan Longitude adalah informasi lokasi titik tersebut, Data Acquired adalah tanggal data, Time adalah Jam Pengambilan data, Confidence adalah tingkat kepercayaan menunjuukan itu titik api atau bukan dengan skala 100 %, sedangkan Satelite adalah nama satelit yang digunakan untuk mengambil data ini. Setelah data tersebut tampil pada google earth baru kita dapat menganalisa lebih lanjut dengan cara groundcek kelapangan dengan panduan dari data spasial titik panas tadi. (Sofyan Agus Salim) ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Abrasi Batanghari menghantui masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
27
DARI HULU KE HILIR
28
Kejadian abrasi ini dikatakan, Kepala Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Batanghari Provinsi Jambi, Garendel Siboro disebabkan kerusakan hutan yang teramat parah yang menyebabkan sedimentasi dan berujung pada abrasi. “Secara teoritis, pendangkalan atau sedimentasi membuat arus menghempas ke pinggir sungai, ini dikarenakan air menjadi tidak tertampung di jalur sungai,” jelasnya. Tingginya alih fungsi kawasan di hulu Sungai Batanghari, dan pengundulan kawasan memperparah sedimentasi. “Masalah ini tidak akan tuntas dengan hanya menanam pohon secuil-cuil, sementara alih fungsi hutan dibiarakan dimana-mana,” kata Garendel. Garendel juga menghimbau seluruh pihak untuk lebih peduli dengan lingkungan melalui bencana abrasi yang terjadi. Seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah Nomor 38 tahun 2011, juga dijelaskan terkait dengan garis sempadan sungai minimal 100 meter untuk sungai besar dan 50 meter untuk sungai kecil. “Sempadan sungai jangan dipakai untuk pemukiman atau pertanian, karena fungsinya untuk penyangga antara ekosistem sungai dan daratan sekaligus batas perlindungan sungai” lanjutnya. Data dari Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Jambi menyatakan, sekitar 100 kilometer Daerah Aliran Sungai Batanghari rawan tanah longsor. Kondisi tanah di sepanjang aliran Sungai Batanghari mulai dari Kabupaten Muarojambi tepatnya Sengeti hingga kawasan ilir sepanjang 100 Km hingga Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat merupakan kawasan tanah endapan yang rawan longsor.
DARI HULU KE HILIR
Isak tangis kehilangan Een bagi orang-orang terdekatnya telah usai, namun bencana abrasi masih terus mengintai. Tidak hanya bagi masyarakat Desa Pulau Kayu Aro, namun juga masyarakat yang hidup di sepanjang sungai Batanghari. Ada sekitar 3,5 juta masyarakat Jambi dan sebagian wilayah Sumatera Barat yang menggantungkan dalam memenuhi berbagai kebutuhan pasokan air. Kebutuhan terbesar adalah untuk sektor pertanian, yakni sumber irigasi puluhan ribu hektar lahan persawahan, ribuan hektar untuk lahan perikanan, hingga sumber kebutuhan air minum bagi penduduk di dua provinsi. Tawaran pembuatan turap, dinding penahan yang dibuat di tebing sungai menjadi sebuah hal penting sebagai sebuah solusi. Namun ini tidak akan efektif mengingat pembangunan ini hanya di beberapa wilayah saja dan memakan biaya yang besar. Perlunya pengelolaan sumberdaya alam di daerah aliran sungai dengan pendekatan bioregion menjadi sebuah langkah untuk penanggulangan kritisnya kondisi Sungai Batanghari dan bencana abrasi dan seperti yang diungkapkan Rudi Syaf, Manajer komunikasi KKI Warsi “Pendekatan bioregion, maksudnya pengelolaan wilayah atau teritori tanah dan air yang cakupannya tidak ditentukan oleh batasan administrasi, politik, tetapi oleh batasan geografi komunitas manusia dan sistim ekologinya. Dengan cara ini diharapkan sumber daya alam, terutama kawasan DAS Batanghari perlu dilihat secara holistrik dan komprehensif serta masyarakat dapat terlibat penuh dalam semua level pengelolaannya” jelasnya Laki-laki berkacamata ini juga menambahkan, masyarakat harus mengambil hikmah dari kejadian tersebut dengan kesadaran untuk lebih menjaga lingkungan, termasuk perlindungan terhadap kawasan-kawasan DAS Batanghari. (Elviza Diana)
Pondok Ranggon salah satu bakal model pengelolaan ruang hijau Jakarta. Foto Yulqari/Dok KKI Warsi
Menghijaukan Ibukota
G
unungan Sampah, macet yang luar biasa, polusi udara, gersang, panas dan banjir tahunan. Merupakan gambaran ibukota terkait persoalan lingkungan di ibukota Jakarta. Permasalahan lingkungan hidup tersebut, semakin menambah daftar panjang permasalahan di Kota Jakarta. Padahal sebagai ikon Negara Indonesia, Jakarta perlu ditata menjadi kota yang nyaman dan aman untuk ditempati. Semua orang pasti sepakat, bahwa Jakarta butuh warna baru dalam penataan ruangnya. Tidak hanya mengedepankan pembangunan yang terfokus pada kepentingan pemilik modal saja, tapi butuh konsep Jakarta hijau untuk pembangunan berkelanjutan. Setidaknya, Jakarta butuh sedikit suasana ‘rimba’ di tengah hiruk-pikuknya. Melihat tantangan itu, KKI Warsi yang merupakan sebuah lembaga yang selama ini bersama masyarakat melakukan upaya-upaya konservasi, terpanggil untuk ikut bagian menghijaukan Jakarta. Ide untuk menghijaukan Ibu Kota ini berawal dari sebuah kesepakatan rencana strategis KKI Warsi. Pertemuan informal yang bercerita tentang isu global perubahan iklim dan persoalannya, pengalaman dan kegiatan yang telah dan akan dilakukan oleh beberapa orang pemer-
Tumpukan sedimentasi jadikan pinggiran aliran sungai rawan longsor. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
hati lingkungan. Pertemuan ini melahirkan persamaan persepsi terkait perlunya pengoptimalisasi ruang terbuka hijau di Jakarta. Ruang terbuka hijau ini, akan dilakukan dengan tindakan penanaman yang melibatkan masyarakat miskin kota sebagai pelaksana teknis. Pertemuan dilanjutkan di Balai Kota Jakarta dengan mengundang Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan, Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta dan beberapa SKPD yang terkait dengan pengelolaan ruang hijau Kota Jakarta. Hasil pertemuan ini menyimpulkan beberapa kesepakatan sebagai rencana tindak lanjut, yaitu dapat memilih beberapa lokasi yang dapat menjadi areal model, tinjau lapangan dan perlu dilakukan kajian awal. Lokasi ruang hijau milik pemerintah daerah yang dapat dilihat sebagai model diantaranya adalah Tanah Timbul di Angke dan Kalibaru, Peternakan Sapi di Pondok Ranggon, budidaya ikan di Pondok Bamboo. Bekunjung ke Pondok Ranggon Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan, Kelautan dan Kehutanan DKI Jakarta mengundang KKI Warsi untuk
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
29
DARI HULU KE HILIR
30
melakukan kunjungan lapangan di salah satu lokasi yang telah direncanakan, ke peternakan sapi dan kambing masyarakat di Kelurahan Pondok Ranggon , Cipayung Jakarta Timur November lalu. Keunikan kelompok peternak di sini adalah mereka merupakan peternak yang berasal dari Kuningan, Jakarta yang melakukan relokalisasi sejak 1992 lalu. Di daerah sebelumnya mereka juga sudah melakukan kegiatan beternak sebagai sumber ekonomi utama dan tetap di lanjutkan di Pondok Ranggon. Peternakan di Pondok Ranggon ini,sudah menjadi tempat kunjungan belajar dari siswa dan penelitian mahasiswa. Di Pondok ranggon ada dua kelompok peternak, yaitu kelompok tani peternak swdaya yang memelihara sapi perah dan pengemukan dan keompok tani gabungan (Gapoktan) yang memelihara kambing. Kelompok tani yang berjumlah 30 orang ini memelihara sekitar 1.100 sapi dengan kepemilikan antara 45 – 100 per petani. Untuk mengurus ribuan sapi itu, kelompok tani membutuhkan sekitar 80 orang pekerja kandang. Pekerja kandang yang biasanya disebut dengan bujang, bertugas membersihkan dan memeras susu setiap harinya. Bujang hanya terikat sebagai pekerja biasa yang dibayarkan upahnya setiap bulan. Selain itu, bujang dapat mengumpulkan kotoran ternak dan dikeringkan yang laku dijual seharga Rp.4.000 setiap karung sebagai pendapatan tambahan. Seekor ternak, rata-rata membutuhkan biaya sebesar Rp15.000 – 20.000 setiap hari untuk pakan yang terdiri dari ampas tahu yang diamil dari daerah sekitar (depok, bekasi, cakung), campuran konsentrat dan berbagai jenis rumput (ilalang, lalang digunakan juga). Dari 1.100 sapi ini, rata-rata dapat menghasilkan sekitar 3.000 liter susu segar setiap harinya, yang dapat dipasarkan melalui koperasi dengan harga Rp.3.300 per liter dan pemasaran secara mengecer seharga Rp.4.500 – 4.700 per liter. Pembeli bebas datang ke lokasi dan belum ada kontrak kerja sama. Peternakan ini juga sudah menghasilkan yogurt dan susu.
WAWANCARA
Tim bertemu di Rumah Rahmani mantan Ketua Kelompok Tani Ternak Swadaya Pondok Ranggon. Lelaki ini mempunyai 45 ekor ternak sapi perah dimana 27 ekor sudah berproduksi menghasilkan susu. Menurutnya, ada beberapa kendala dalam pengolahan peternakannya, diantaranya adalah polusi udara dari kotoran hewan. Meski telah dibuat bak penampung untuk kotoran hewan, namun belum adanya teknologi pengolahan dan pemanfaatannya, akan menimbulkan luapan dan pencemaran air bagi wilayah pemukiman yang berada di bawahnya. Pencemaran air ini sangat merugikan kegiatan budidaya ikan kolam warga, karena dapat menyebab kematian bagi ikan Sistem pembuangan limbah dari kotoran ternak yang selama ini dilakukan hanya sekedar memisahkan kotoran padat dan cair. Kotoran padat, biasanya dikeringkan, sementara kotoran cair di salurkan lewat parit pembuangan yang sudah ada, mulai dari kandang sampai ke bak penampungan yang berukuran besar. Ada dua tempat penampungan kotoran cair dari kandang, yaitu tempat penampungan pertama yang terletak sangat dekat dengan lokasi pemukiman penduduk/ peternak di atas lahan seluas 400 m² dan tempat penampungan kedua yang terletak agak jauh dari lokasi pemukiman di atas lahan seluas 2.000 m². Setelah kunjungan ke lapangan ini, ada beberapa langkah lagi yang harus ditindaklanjuti, KKI Warsi dalam mengusung mimpi besar menghijaukan Ibu Kota Jakarta. KKI Warsi bersama tim perlu meramu kajian di tingkat lapangan, dan mendiskusikannya kepada kelompok peternak, masyarakat kelurahan. Sehingga akan bisa dilanjutkan dengan diskusi tingkat pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini semua akan disusun dalam rencana pelaksanaan kegiatan yang dibungkus dengan isu besar perubahan iklim, kegiatan penanaman yang melibatkan masyarakat miskin. (Yulqori/Elviza Diana)
Hutan Desa merupakan daerah tangkapan air yang menjamin ketersediaan sumber air dan kelangsungan biota sungai sebagai pendukung kehidupan masyarakat sekitar. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Mekanisme Distribusi Manfaat di Hutan Desa
D
alam tahap menjelang implementasi REDD+ yang dibutuhkan salah satunya adalah kerangka pengaman (safeguard). Prinsip safeguards yang sangat penting adalah mekanisme distribusi manfaat/Benefit Distribution Mechanism’s (BDMs) secara adil kepada pemegang hak dan pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Apa dan bagaimana mekanisme distribusi manfaat ini dilakukan? Warsi bekerjasama dengan Dr. Soni Trison (Dosen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB) dan Timnya melakukan kajian terkait ini di kawasan Hutan Desa yang terdapat di Bukit Panjang Rantau Bayur
beragam insentif kebijakan atau pasar untuk jasa lingkungan seperti kualitas air, keindahan pemandangan, keanekaragam hayati dan stok karbon hutan.
Berikut petikan wawancara Alam Sumatera dengan Dr. Soni Trison
Sebuah sistem distribusi manfaat yang berfungsi dengan baik harus memenuhi beberapa syarat berikut: memerhatikan hak-hak para pemangku kepentingan (stakeholders); menentukan jenis dan tingkatan insentif yang tepat; menciptakan mekanisme pengelolaan manfaat yang kokoh; mengedepankan penyediaan dana yang efektif dan transparan; dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif
Apa Sebenarnya BDM’s ini, terkait dengan safeguard REDD+? BDM’s merupakan seperangkat aturan main, peraturan perundang-undangan, kebijakan dan mekanisme pembagian manfaat baik uang maupun bentuk lain dari
Suasana kampung Pondok Ranggon. Foto: Yulqori/dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Salah satu prinsip safeguards yang sangat penting untuk dicermati adalah bagaimana manfaat REDD+ ini dapat benar-benar terdistribusi secara adil kepada pemegang hak dan pemangku kepentingan terutama masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Apa syarat distrubusi manfaat yang baik sehingga bisa menberikan rasa keadilan bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan?
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
31
32
WAWANCARA Komponen-komponen data apa saja yang dihitung dalam mekanisme distrubusi manfaat di kawasan Bukit Panjang Rantau Bayur? Ada banyak data yang mesti kita hitung, pertama data pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan aspek yang diteliti berupa eksistensi kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, kemantapan struktur organisasi kelembagaan tersebut dan hambatan utama pembangunan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kedua yang kita hitung adalah data dukungan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, dengan aspek yang diteliti meliputi, bentuk struktur masyarakat sekitar hutan (pemerintahan formal, misalnya desa atau pemerintahan berbasis adat), eksistensi lembaga keuangan yang beroperasi di daerah tersebut dan pengalaman masyarakat sekitar hutan dengan program pemberdayaan masyarakat. Ketiga yang kita hitung adalah data finansial REDD+, dengan aspeknya pembangunan Hutan Desa, biaya korbanan utama masyarakat jika mereka mengikuti program REDD+ dan besarnya upah yang diharapkan oleh masyarakat jika mereka dilibatkan dalam aktivitas pemantauan stok karbon. Dan yang keempat yang juga kita hitung adalah data tenurial, dengan aspek berupa persaingan dan konflik penggunaan lahan, tingkat kekuatan klaim atas lahan hutan, pengetahuan masyarakat atas hukum dan hak atas lahan, tata kelola dan kebijakan pertanahan/kehutanan, definisi dan pengakuan hak atas lahan hutan dan resolusi konflik yang diupayakan. Setelah melakukan kalkulasi manfaat dari Bujang Raba berapa nilai manfaat yang diterima masyarakat dari kawasan setiap tahunnya? Dengan asumsi bahwa skema REDD+ yang akan dijalankan adalah REDD+ berbasis nasional, maka pendanaan REDD+ akan mengikuti mekanisme fiskal nasional, yaitu dana perimbangan pusat dan daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah diatur bahwa dari sumber penerimaan negara dari pemanfaatan sumberdaya alam, pe-
SUARA RIMBA
merintah daerah memperoleh 80% dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) serta 40% dari dana alokasi khusus dalam bentuk Dana Reboisasi. Lebih lanjut, untuk Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber-sumber penerimaan ini, diatur bahwa daerah penghasil memperoleh bagian terbesar yaitu 64% dari IHPH dan 32% dari PSDH untuk kabupaten/kota penghasil, serta 40% dari DR digunakan untuk rehabilitasi di daerah penghasil. Data rata-rata DAK-DR tahun 2001-2003 di Provinsi Jambi adalah Rp 600 miliar, sementara itu, data sensus penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga di provinsi Jambi adalah sebesar 770.610 keluarga. Hasil penelitian Kementerian Kehutanan dan BPS menunjukkan bahwa sekitar 20% dari total rumah tangga nasional tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan Dengan demikian, estimasi rumah tangga yang tinggal di dalam dan sekitar hutan di Provinsi Jambi adalah 154.122 keluarga. Jika dana DAK-DR dialokasikan untuk rehabilitasi hutan, maka dana DAK-DR per rumah tangga yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan adalah Rp3.8 juta/rumah tangga. Apa yang menjadi rekomendasi dari kajian BDM’s ini? Desain kelembagaan PES untuk REDD+ di hutan desa yang diusulkan oleh penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem distribusi manfaat yang mampu mengkompensasi biaya korbanan masyarakat pengelola hutan desa, menumbuhkan kesadaran konservasi sumberdaya hutan, meningkatkan kapasitas masyarakat, dan memungkinkan partisipasi yang luas dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, desain PES untuk REDD+ tersebut dapat mendukung prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, kelestarian dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Mekanisme distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat sekitar hutan desa hendaknya dirancang untuk memberikan kompensasi atas potensi pendapatan masyarakat yang hilang akibat kegiatan REDD+.
Kristiawan, fasilitator kesehatan Warsi memeriksa kesehatan Orang Rimba. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Dana Sehat Ala Orang Rimba
I
nteraksi yang tinggi dengan masyarakat sekitar dan perubahan hutan tempat hidup Orang Rimba menyebabkan semakin sering terserang penyakit. Penyakit yang menyinggahipun mulai beragam dan sulit ditangani dengan pengobatan ala Orang Rimba. Hutan yang terbuka, menyebabkan Orang Rimba kesulitan memperoleh bahan pangan, ini juga yang menjadi pemicu bermunculannya sejumlah penyakit hampir di setiap kelompok Orang Rimba. Data Warsi sepanjang September-Oktober tercatat lima kasus kematian anak-anak rimba. Dua bayi kembar Bekenje yang lahir dengan bobot badan rendah; satu anak Bebingkai usia 2 tahun sakit batuk pilek; dan satu anak Mangku Besemen sakit kekurangan makanan; satu anak Prado usia 4 tahun sakit batuk pilek. Selambai salah satu penghulu Orang Rimba kelompok Kedudung Muda menyebutkan banyak penyakit yang mematikan menyerang Orang Rimba. Orang Rimba sudah berupaya untuk menangani penyakit yang menyerang mereka secara adat kebiasaan Orang Rimba. Hutan yang terbuka menyebabkan Orang Rimba kesulitan untuk menemukan tanaman obat yang mereka yakini dapat menyebuhkan penyakit yang menyerangnya. Selain itu, mencoba pengobatan medis di pusat-pusat kesehatan juga sudah dilakukan Orang Rimba.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Pada banyak kasus untuk menjangkau pelayanan fasilitas kesehatan publik dari Puskesmas sampai ke rumah sakit rujukan yang berada di Bangko dan Sarolangun juga sudah coba dilakukan Orang Rimba. Sayangnya usaha yang mereka lakukan seringkali terlambat dikarenakan ketidak siapan Orang Rimba dalam pembiayaan. Memang untuk pelayanan kesehatan di fasilitas publik bisa didapatkan Orang Rimba secara gratis. Namun untuk berobat keluar juga membutuhkan biaya lain, seperti ongkos menuju pusat pelayanan kesehatan, biaya makan dan biaya kebutuhan lain waktu menunggui pasien. Bagi Orang Rimba ketersediaan dana dadakan untuk pengobatan ini nyaris tidak ada. Ini yang menyebabkan mereka kesulitan jika harus ada Orang Rimba yang sakit dan harus di rawat di layanan fasilitas publik yang rata-rata jauh dari pemukiman mereka. Ketika menghadapi persoalan ini, Orang Rimba dihadapkan pada pilihan memaksakan membawa anggota keluarganya yang sakit berobat keluar dengan ketidak mampuan keluarga mencukupi kebutuhan makan saat berada di pelayanan kesehatan umum. Atau pilihan membiarkan Orang Rimba yang sakit di rawat di dalam rimba tetapi mereka dapat memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Pilihan ini sering diambil oleh Orang Riba, sehingga angka angka kesakitan dan kematian menjadi tinggi.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
33
34
SUARA RIMBA Fenomena keterlambatan penanganan sering terjadi pada OR baik yang di TNBD maupun Jalan Lintas Sumatra. Tentu hal ini harus dicarikan solusi dan terobosan yang dapat meminimalisir persoalan keterlambatan mengakses Puskesmas dan rumah sakit. Dari diskusi panjang dengan Orang Rimba untuk mengantisipasi keterlambatan penanganan dan ketidaksiapan mereka harusnya menyediakan sebuah anggaran yang dapat diakses oleh Orang Rimba ketika mereka membutuhkan sewaktu-waktu. Jika mengacu pada usaha pemeliharaan masyarakat yang sekarang ini berkembang, Orang Rimba sebenarnya bisa mengadopsi kegiatan yang sudah berkembang di masyarakat secara umum seperti upaya penyediaan dana sehat. Dana sehat adalah paya pemeliharaan kesehatan, dari, oleh dan untuk masyarakat, yang diselenggarakan berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan dengan pembiayaan secara pra upaya dengan tujuan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Ciri khas dana sehat adalah dana yang berasal dari masyarakat dalam bentuk uang atau modal dan benda yang dikelola oleh masyarakat untuk kepentingan dan kesehatan masyarakat sendiri. Dana sehat pada awalnya dapat diartikan sebagai kegiatan masyarakat secara gotong royong dalam mengumpulan dana untuk membantu anggotanya dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Dana sehat mulai berkembang sejak tahun 1950. Berbagai istilah penyebutan dana sehat di masyarakat seperti dana sehat, dana kesehatan, koperasi kesehatan masyarakat dan sebagainya. Dana sehat pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk kesehatan, tapi juga digunakan untuk perbaikan rumah, membangun jamban, sumber air bersih dan sebagainya. Pada tahun 1970 an dana sehat semakin berkembang di pulau Jawa yang dikaitkan dengan program Pengembangan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Pelaksanaan dana sehat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Iuran dana tidak hanya dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk natura (hasil bumi, kerajinan dan sebagainya). Pada tahun 1980 an dikembangkan DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyarakat), Dana sehat dicantumkan didalam UU No. 23 tahun 1972 tentang kesehatan yang menyebutkan “Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat” (JPKM). Sebagai cara penyelenggaraan dan penjelasan pemeliharaan kesehatan sebagai upaya kesehatan paripurna (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), terpadu, berkesinambungan dengan mutu yang terjamin dan bertujuan melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. JPKM merupakan landasan bagi setiap penyelenggaraan upaya pemulihan kesehatan
SUARA RIMBA
yang berazaskan usaha bersama dan kekeluargaan dan pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya. Program JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta serta bidang penyelenggaraan yang membiayainya dilakukan secara pra upaya dan dikelola berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Kaitan JPKM dan dana sehat : pada JPKM dapat ditempatkan dana sehat karena pemeliharaan kesehatan didukung oleh kontribusi pembiayaan dari masyarakat. Pemaparan yang sangat rumit di atas mendapat respon yang baik dalam pertemuan tersebut. Mereka bersepakat untuk mencoba melakukan upaya penyediaan dana sehat. Inisiasi dana sehat ini mendapat sambutan di Kelompok Orang Rimba Kedudung Muda. Mereka bersepakat untuk penyediaan dana sehat ini yang menjadi peserta dana sehat. Keanggotaan dalam upaya penyediaan dana sehat berdasarkan musyawarah di Simpang Telentam di didasarkan pada rumah tangga atau bubung. Pada setiap rumah tangga akan berkewajiban membayar iuran setiap bulan sebesar Rp 70 ribu. Penentuan setiap bubung sebelumnya akan dilakukan penilain dari para penghulu Orang Rimba. Iuran mulai di kumpulkan pada awal November oleh para penghulu serta Spintak (kader pendidikan) yang dipercaya untuk mengelola dana sehat. Semua iuran yang telah di kumpulkan berdasarkan hasil keputusan akan di pegang oleh Bebayang dan Bebingkai. Kedepan Bebingkai dan Bebayang yang akan di bantu oleh Spintak akan menyampaikan laporan setiap satu bulan sekali terkait pemasukan dan pengeluaran dari dana sehat ini. Pengelolaan dan keuntungan dari anggota dana sehat berdasarkan musyawarah bersama antara lain: 1. Jumlah bantuan dana yang akan di berikan untuk pengobatan ke puskesmas terdekat sebesar 50 ribu rupiah untuk setiap kasunya. 2. Bantuan akan diberikan pada anggota yang sakit dan dilakukan perawatan rawat inap di rumah sakit berupa makan sebanyak 2 kali, rokok yang di sesuai dengan kebutuhan. 3. Jika masih anak-anak jumlah orang yang akan di tanggung sebanyak 3 orang dan apabila rerayo yang sakit maka jumlah orang yang ditanggung sebanyak 2 orang. Upaya peyediaan dana sehat ini masih merupakan uji coba OR di kelompok Kedudung muda, akan tetapi ke depan harapannya semua kelompok Orang Rimba akan membuat kegiatan ini. Selain dapat menjaminkan peningkatan derajat kesehatan, kegiatan ini juga menjadi wadah mempererat kepedulian sesama Orang Rimba yang sekarang ini semakin memudar. (Kristiawan)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Anak Rimba tengah belajar di sekolah formal. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Merintis Pendidikan Formal Untuk Kelompok Roni
T
ak ada yang salah dengan Giyan, Jaini, Jaita, Dina, Masini dan Teliday. Kulit mereka sawo matang seperti warna kulit kebanyakan anak negeri ini. Secara fisik, juga tak ada yang ‘aneh’ dengan mereka. Mereka terlihat sebagai anak-anak yang sehat, dengan sorot mata kanak-kanak yang polos dan cerdas. Tak ada juga yang salah dengan seragam merah putih yang mereka kenakan, rapi dan bersih. Pendeknya, mereka terlihat sama sekali tak berbeda dengan anak-anak lain. Namun, begitu ke-6 anak ini memasuki gerbang sekolah, sontak anak-anak lain yang sedang menunggu masuk sekolah di halaman, bergerak mendekat, membentuk gerombolan untuk selanjutnya merubung Giyan dan teman-temannya. Mereka mengejek dan tertawa: huu, bau...! hu...kubu!...Beberapa berlagak menutup hidung. Pun ketika anak-anak di bawa masuk ke ruang guru, di pintu masuk dan jendela, anak-anak sekolah yang lain masih melongokkan kepala, takjub memandangi Giyan dan teman-temannya. Sesekali masih terdengar celoteh dan tawa mengejek di antara mereka. Mereka baru beranjak setelah guru-guru mengahalau mereka. Giyan dan teman-temannya terlihat tabah, meski beberapa anak yang lebih kecil terlihat tertunduk malu. Yah, bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak-anak ini, meski mungkin ejekan seperti itu memang sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari mereka.
Giyan, Jaini, Jaita, Dina, Masini dan Teliday adalah anak-anak Suku Orang Rimba Kelompok Roni, salah satu kelompok Orang Rimba yang tinggal di pinggir Jalan Lintas Sumatera. Tepatnya, di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang,Kabupaten Merangin, Jambi. Meskipun disebut sebagai Orang Rimba, tapi Orang Rimba di Jalan Lintas, termasuk Kelompok Roni, sebenarnya sudah tak punya lagi rimba. Hutan yang merupakan ruang hidup mereka, sejak puluhan tahun yang lalu telah diubah menjadi areal pemukiman transmigrasi dan perkebunan sawit. Orang Rimba di sepanjang Jalan Lintas ini tinggal di bawah kebun-kebun sawit milik warga desa transmigran atau milik perusahaan. Meski ada juga sebagian yang sudah dimukimkan oleh Dinas Sosial. Orang Rimba Kelompok Roni (sekitar 10 KK) adalah termasuk yang belum dimukimkan. Mereka tinggal di belakang desa, membangun sesudungon (pondok kecil beratap terpal plastik) di bawah kebun sawit milik warga desa. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka lakukan dengan menyadap karet yang tak seberapa luasnya (sekitar 1 ha untuk disadap 2-3 keluarga) dan berburu babi yang hasilnya juga kadang tak seberapa.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
35
36
SUARA RIMBA Sudah sejak lama mereka tinggal di tempat itu. Karena di situlah tempat nenek moyang mereka. Meski mereka sadar bahwa tanah itu bukan lagi miliki mereka, tapi mereka juga tak punya pilihan untuk pindah ke tempat lain. Jika pun pindah, biasanya hanya karena kondisi tertentu seperti melangun (pindah karena terjadi kematian), namun akhirnya akan kembali lagi ke tempat tersebut. Jarak pemukiman Kelompok Roni dengan pusat desa hanya berjarak sekitar 300 meter. Tapi kedua kelompok ini (Orang Rimba dan Orang Desa) seolah hidup di dunia yang berbeda. Warga desa, yang mayoritas adalah pendatang dari Jawa (transmigran), umumnya tinggal di rumah-rumah permanen dengan penghidupan sehari-hari yang layak (setidaknya setiap kepala keluarga transmigran mendapat jatah lahan 3 ½ ha yang kemudian ditanami sawit atau karet). Di sisi lain, Orang Rimba, yang notabene telah tinggal di tempat itu sejak sekian generasi, justru nyaris tak punya apa-apa. Ironis memang. Interaksi di antara kedua kelompok masyarakat ini juga terbatas. Hanya sekadar tahu sama tahu. Warga desa mengambil jarak, menyebut Orang Rimba sebagai ‘kubu’ yang berkonotasi: bodoh, kotor, bau, mistis, tak bisa dididik dan suka membuat onar (terutama mencuri). Sementara Orang Rimba juga tak berani berbaur, merasa malu dan rendah diri ketika berhadapan dengan Orang Desa. Sejak sekitar 4 tahun yang lalu, KKI Warsi berusaha memfasilitasi untuk terjadinya intergrasi antara Orang Rimba Kelompok Roni dengan Desa. Integrasi dirasa sebagai pilihan terbaik agar Orang Rimba ini mempunyai catatan administratif sehingga bisa mengakses berbagai fasilitas publik hingga bantuan dari pemerintah. Karena bagaimanapun, nyaris tak mungkin lagi mengembalikan Orang Rimba ini ke kehidupan ‘rimba’ mereka. Namun, itu juga tak mudah. Pihak desa sempat merasa keberatan ketika Roni dan anggota kelompoknya didaftarkan sebagai warga desa mereka. Alasannya, ada kekhawatiran dari pihak desa jika kelompok Orang Rimba ini membuat onar, justru akan merusak nama baik desa. Usaha lain yang coba dilakukan adalah dengan memasukkan anak-anak usia sekolah ke sekolah formal terdekat. Harapannya, jika ada anak-anak bersekolah, mereka tak akan lagi dianggap sebagai ‘bodoh dan tak bisa dididik’ di samping juga, dengan sekolah diharapkan anak-anak kelak bisa memiliki lebih banyak pilihan untuk bertahan hidup dibanding generasi orangtua mereka sekarang. Di awal, para orangtua Kelompok Roni menolak inisiatif ini. Mereka berpikir akan sia-sia dan memalukan saja anakanak bersekolah di luar sementara mereka masih tinggal di sesudungon. Penghidupan mereka juga jauh dari stabil. Akhirnya, Warsi melakukan kerjasama dengan pihak Dinas Pendidikan di Merangin untuk memberikan pendidikan ke kelompok melalui paket Keaksaraan Formal (KF). Namun dalam prakteknya, kegiatan ini juga tak berjalan maksimal karena keterbatasan tutor.
Setelah dilakukan berbagai pendekatan, akhirnya pada tahun ajaran 2012, Roni dan kelompoknya bersedia untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Tercatat, ada 6 anak usia sekolah di kelompok ini. Sebelum didaftarkan ke sekolah formal, terlebih dulu dilakukan kegiatan belajar di kelompok sebagai persiapan. Awalnya, juga tak mudah mencarikan guru kunjung ini. Ketika coba ditanyakan pada warga sekitar, justru terdengar celetukan sinis: “untuk apa mendidik ‘kubu’? nanti justru kalau mereka tambah pintar akan tambah pintar bikin onar.” Meski juga ada beberapa warga yang merespon positif dan malah membantu mencarikan calon guru. Maka kemudian ditemukanlah seorang guru, Rostiati, yang sehari-hari bekerja sebagai guru honorer di SD 63/VI Rejosari, Pamenang. Kegiatan belajar di kelompok pun dimulai. Seminggu 3 kali dengan waktu belajar yang fleksibel. Sejak awal, anak-anak ini terlihat sangat antusias belajar meskipun sarana belajarnya sangat alakadarnya: dua bangku kecil dari potongan-potongan kayu dan satu meja sederhana di bawah pohon sawit. Ketika dibicarakan tentang rencana masuk ke sekolah, mereka tambah antusias. Sang Guru juga mengungkapkan kekagumannya pada anak-anak ini, karena ternyata mereka—jauh dari anggapan umum selama ini tentang ‘kubu’—adalah anak-anak cerdas, baik dan sopan. Upaya memasukkan anak-anak Rimba di sepanjang Jalan Lintas ini sudah dilakukan Warsi sejak tahun 2009 lalu, dimana tercatat ada 17 anak yang didaftarkan ke sekolah formal. Namun, dalam perjalanannya, jumlah ini mengalami penyusutan. Hingga akhir tahun ajaran 2011/2012, tinggal 7 anak saja yang aktif. Faktor ekonomi dan motivasi masih menjadi kendala utama. Untuk masalah pertama, memang belum ditemukan jalan keluarnya. Namun untuk masalah kedua, pengertian tentang pentingnya bersekolah terus coba diberikan. Hingga pada tahun ajaran ini, selain 6 anak Orang Rimba dari Kelompok Roni di atas, ada 7 anak lagi dari Kelompok Orang Rimba Jalan Lintas lain yang didaftarkan. Harapannya, dengan memasukkan anak-anak Rimba ke sekolah, bisa menjadi jembatan kecil terjadinya proses komunikasi dan interaksi yang lebih baik antara Orang Rimba dengan Orang Desa. Dengan demikian, kesaling pahaman perlahan bisa terwujud dan hubungan yang lebih baik akan terbentuk. Pada akhirnya, Orang Rimba dan Orang Desa bisa hidup berdampingan dengan sejajar. Di samping juga bahwa ke depan, dengan pendidikan, diharapkan Orang Rimba bisa memiliki cukup kompetensi untuk bisa berkompetisi dalam meraih berbagai peluang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Ini bukan proses yang mudah dan butuh waktu yang tak cepat. Untuk itu, kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan. Terutama negara, yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar negara ini untuk menjaminkan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. (Karlina/Fasilitator Pendidikan KKI Warsi)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
AKTUAL
Banjir yang menyerang Jambi setiap musim hujan. Foto: dok. KKI Warsi
Perebutan Sumber Daya Berujung Bencana
T
ahun berganti, ketidakseimbangan ekosistem akibat pengeloaannya di Jambi semakin tidak terkendali. Konflik dan bencana silih berganti, mempersuram pengelolaan sumber dala alam kita. Dari perhitungan yang dilakukan Warsi, illegal logging menempati urutan teratas untuk persoalan sumber daya alam Jambi, tercatat 38 kasus dengan jumlah temuan sekitar 904,5 kubik (kayu jenis meranti, pulai, marsawa), 928 batang kayu bulian serta 579 keping kayu dari berbagai jenis kayu hutan. Kerugian akibat aksi illegal logging ini diperkirakan lebih dari Rp 12,1 milyar. Padahal sejak beberapa tahun belakangan, illegal logging dianggap sudah redup di bumi Jambi, ternyata tidak. Aksi-aksi pembalakan kayu terus berlanjut meski Presiden RI sudah mengeluarkan Instruski no 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu dalam Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Indonesia. Berkaca pada kasus illegal logging yang terjadi di tahun ini, instruksi presiden ini seolah tak ada gaungnya. Penebangan kayu tak jua mampu diberantas. Dilihat dari sebaran kasus illegal logging di Jambi terlihat hampir merata di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi. Kawasan lindung dan konservasi diperkirakan yang paling sering di babat dan kayunya dicuri. Kayu Bulian keberadaannya kini diperkirakan hanya tersisa di dalam kawasan konservasi dan lindung. Kayu bulian nyaris punah karena penebangan yang membabi buta di kala illegal logging merata di Jambi dekade 90-an
hingga awal 2000. Apalagi, kayu yang terkenal sangat keras dan tahan puluhan tahun terendam air ini, sangat sulit dikembangbiakan. Sehingga keberadaannya akan punah jika tidak dilakukan pengendalian aksi illegal logging. Pun demikian dengan nasib kayu-kayu alam lannya, meranti, marwasa, pulai juga merupakan kayukayu dari hutan alam yang ditebang secara illegal. Maraknya aksi illegal logging ini memperlihatkan koordinasi dan kerjasama aparat masih terlihat longgar atau mungkin ada kesengajaan alias baking-bekingan penguasa di balik lancarnya aksi illegal logging ini. Instruksi Presiden kepada Menko Polhukam, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Trasmigrasi dan Tenaga Kerja, Mentri Lingkungan Hidup, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, Gubernur dan Bupati Walikota, untuk melakukan percepatan penghentian illegal logging masih belum berjalan dengan baik . Melihat perkembangan yang terjadi di Jambi, kasus illegal logging ini biasanya akan disusul dengan kasus perambahan dan pencaplokan kawasan hutan. Bekas-bekas tebangan liar ini dalam waktu singkat akan berubah menjadi areal perkebunan. Saat ini kasus perambahan juga terjadi hampir disemua kawasan yang ada di Jambi hingga ke kawasan konservasi. Perambahan di lembah
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
37
38 38
AKTUAL
Tabel persoalan pengelolaan sumber daya alam Jambi 2012
Ilegal loging masih tinggi di Provinsi Jambi. Foto: Lander Rana Jaya/dok. KKI Warsi
Masurai sekitar TNKS, di PT REKI, di hutan produksi koridor WKS di wilayah Tebo, hingga perambahan di TNBD merupakan kasus perambahan yang menonjol di tahun 2012 ini. Entah siapa yang mengawali yang jelas aksi perambahan ini tidak akan mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermodal. Di PT REKI misalnya perambahan kini sudah mencapai angka 17 ha, dari 46 ribu REKI di Provinsi Jambi. Kawasan hutan yang terbuka lebar mulai ditumbuhi sawit. Sangat mustahil ini dilakukan petani biasa alias masyarakat awam, jika tak ada pemodal yang menyokong aktifitas tersebut. Untuk membersihkan kawasan membutuhkan dana 2 juta perhektar, pembelian bibit, pemupukan dan perawatan tanaman dan kebutuhan sehari-hari siapa yang menanggungnya? Pun demikian di sekitar wilayah Tebo, sejak dibukanya koridor yang menghubungkan kawasan HTI WKS di Tebo dengan perusahaan pulb di Tanjung Jabung Barat, koridor yang dibuka di dalam hutan produksi itu, ibarat gula yang memanggil semut. Ratusan pendatang telah mengkapling dan menggarap kawasan hutan ini. Terakhir terjadi bentrok antara warga perambah dengan PT Lestari Asri Jaya yang juga beroperasi di daerah yang hampir sama. Klaim lahan saling diajukan, dan berbuntut pada aksi penyerangan dan menimbulkan korban tewas. Gambaran kasus perambahan ini dengan konflik yang ditimbulkannya semakin memperpanjang daftar konflik pengelolaan sumber daya alam Jambi. Di tahun ini
terdapat 35 kasus dengan luas laha yang sengketakan lebih dari 135.686,6 ha, melibatkan masyarakat dari berbagai kabupaten dengan perusahaan yang berada disekitarnya. Konflik ini sebagian besar merupakan konflik lanjutan tahun sebelumnya. Konflik-konflik ini telah melahirkan persoalan sosial baru bagi Jambi yang menyita waktu, dana yang tidak sedikit untuk mengurainya, hingga memberikan solusi yang menguntungkan baik bagi masyarakat maupun bagi sumber dayanya. Tidak adil juga ketika semua klaim lahan harus dipenuhi, dan yang dikorbankan sumber daya. Karena ini akan berdampak pada penghancura sumber daya yang akhirnya berujung bencana ekologis. Seiring denga aksi illegal logging, perambahan dan konflik perebutan sumber daya, juga meningkatkan pada bencana ekologis yang diderita negeri ini. Banjir asap, banjir air hingga longsor merupakan bencana yang hadir akibat pengekspolitasian sumber daya alam. Gambut yang dicincang-cincang untuk HTI dan perkebunan dengan menghadirkan kanal-kanal telah menyebabkan air gambut hilang pada musim kemarau sehingga mudah tersulut kebakaran yang kemudian menghasilkan asap dan sulit dikendalikan. Bahkan upaya menyiramkan ribuan ton garam yang menghabiskan dana hampi Rp 3,4 M tak kunjung membuahkan hasil. Hutan alam yang digunduli menghilangkan kemampuannya menyerap air hujan, dan menyebabkan aliran permukaan, disertai dengan erosi dan pendangkalan sungai. Banjirpun tak terelakkan di musim hujan. Bahkan daerah hulu yang 10 tahun lalu tak pernah banjir kini menjadi langganan banjir.
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Diolah dari berbagai sumber
Lantas bagaimana penanganannya, sepanjang ini penanganan masih sebatas ke proyekan. Belum ada grand design untuk pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan. Penanganan masalah hanya bersifar sopadik menebar garam untuk membuat hujan, memberi bantuan untuk warga terkena banjir, baru sebatas itu yang dilakukan. Tetapi bagaimana upaya untuk memulihkan kondisi lingkungan yang sudah sekarat ini belum ada dilakukan. Malahan yang terjadi adalah pengekploiasian terus menerus sumber daya yang masih tersisa. Kita lihat saat ini, dari 5,2 luas Jambi sudah diekploitasi untuk berbagai peruntukkan, 776.652 ha untuk HTI, 72.095 ha HPH aktif, 329.000 ha HPH tidak aktif dan statusnya dikembalikan ke negara, 574.514 ha perkebunan sawit, 434.646 ha pertambangan. Terlihat jelas betapa Jambi sudah dikapling-kapling oleh sekelompok orang saja, yang bernama pengusaha. Ironinya ketika banjir merajalela, longsor dimana-mana, kabut asap yang menimbulkan gangguan sesak napas hingga manusia tewas diserang satwa yang kehilangan habitatnya, seolah tak ada yang peduli untuk menyebuhkan kerusakan yang sudah ditimbulkan. Dimana letak keadilan pengelolaan sumber daya, dimana keberpihakan pada masa depan anak cucu kelak, suatu yang sulit di jawab jika berkaca pada apa yang terjadi di tahun ini.
Namun kita tidak pantas harus berputus asa, usaha dan terus berjuang untuk keadilan pengelolaan sumber daya dan mendesak penguasa untuk merubah imagenya tentang sumber daya sekaligus mendesak pemerintah untuk melakukan sejumlah perubahan, yaitu: 1. Mempercepat perluasan hak keloal masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat (PHBM) 2. Mendorong dilaksanakannya Safeguard (kerangka pengaman) dan FPIC (Free Prior Informed Con sent) pada perizinan kawasan. 3. Mendorong penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam setiap kebijakan pemerin tah 4. Mendorong pemerintah mengakomodir kawasan kelola masyaralat dalam RTRW 5. Mendorong pemerintah untuk memperbaiki kondisi lahan gambut di Jambi. 6. Meminta pemerintah untuk mengalokasikan ka wasan untuk tempat hidup dan berpenghidupan ko munitas asli marginal. 7. Menyelesaikan bencana ekologis (banjir dan long sor) dan kebakaran lahan dilakukan dengan menye luruh dan tidak bersifat keproyekan. 8. Mengembalikan tutupan hutan Jambi minimal 30 persen. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
39 39
40
AKTUAL
AKTUAL
Lolos EDP Benor FM Lanjut ke Tahap Berikutnya
20 Aliansi Bentuk Forum Kampanye Perubahan Iklim
P
erubahan iklim menjadi topik hangat yang dihadapi berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan kenyataan tentang semakin meningkatnya volume emisi gas rumah kaca yang lebih besar dari 440 ppm dan peningkatan suhu hingga 2 0C, membuat ketakutan akan dampak dari perubahan iklim. Berbagai penanganan pun dilakukan, baik dalam upaya mitigasi maupun adaptasi. Pemerintah Indonesia melakukan sebuah kebijakan sebagai langkah mitigasi dengan komitmen menurunkan 26 persen emisi hingga 2020 dengan upaya sendiri dan 41 persen apabila ada bantuan dari luar dengan target pertumbuhan ekonomi tujuh persen.
S
etelah melakukan Evaluasi Dengan Pendapat (EDP) dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jambi beberapa waktu lalu, radio benor FM dinyatakan layak untuk mengikuti tahap selanjutnya proses perizinan lembaga penyiaran di Jambi. Benor FM yang merupakan satu-satunya lembaga penyiaran yang ditujukan untuk Orang Rimba-komonitas adat di Provinsi Jambi, kehadirannya di sambut hangat oleh banyak pihak termasuk KPI Pusat. Yazirwan Uyun, komisioner KPI Pusat yang hadir dalam kegiatan EDP tersebut, menyebutkan benor FM layak untuk di dukung. “Ini sangat bagus, kalau bisa ini menjadi pilot projek untuk memberdayakan masyarakat kita di daerah tertinggal lainnya, di Kalimantan, Papua dan daerah perbatasan, ini patut kita dukung,”sebut mantan penyiar TVRI ini. Benor FM memang mengundang simpati banyak kalangan, mengingat radio ini merupakan satu-satunya radio yang ditujukan untuk komonitas adat di Jambi. Melalui radio yang berstudio dipinggir Taman Nasional Bukit Duabelas ini, akan disiarkan beragam program untuk mengembangkan program Warsi yang selama ini sudah berjalan bersama Orang Rimba yaitu pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi. Awalnya Benor FM dirancang sebagai radio komunitas, untuk melayani komunitas Orang Rimba dan masyarakat desa disekitarnya. Hanya saja, melihat sebaran Orang Rimba di TNBD seluas 60.500 ha dan dan desa-desa sekitarnya yang mencapai 24 desa, akan sulit radio komunitas untuk menjangkau sebaran Orang Rimba. Atas dasar inilah kemudian dalam perizinanannya Benor dijadikan sebagi radio swasta, namun konten tetap sebagai radio komonitas. Pilihan ini diambil lebih untuk mencapai tujuan menjangkau Orang Rimba di TNBD sehingga beragam informasi dan program siaran yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup Orang Rimba bisa berjalan. Hingga saat ini, Benor FM meski belum memiliki iain resmi untuk bersiaran, tetapi sudah mengembangkan live streaming untuk siaran radio ini. Orang Rimbapun terlibat dalam menjalankan radio ini. Tembuku Orang Rimba yang juga Kader Pendidikan Warsi sudah aktif bergabung di radio ini. Meski dalam proses belajat Tembuku mulai berlatih untuk menjadi penyiar dan menguasai program-program radio.
Kahadiran Banyak program yang diusung dengan kehadiran radio ini, terutaanya untuk menyebarkan pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekomoni Orang Rimba serta mengantisipasi konflik antara Orang Rimba dengan Orang Desa. Untuk pendidikan dikembangkan program siaran yang bermuatan siaran pendidikan. Hal ini dilakukan mengingat hingga saat ini masih banyak Orang Rimba yang belum terjangkau pendidikan. Dalam rancanangannya, disetiap kelompok Orang Rimba akan dikembangkan kelompok-kelompok pendengar. Disetiap kelompok pendengar akan di pandu kader, sehingga anak-anak rimba bisa mengikuti materi pelajaran yang disampaikan melalui radio. Dari segi kesehatan juga dipersiapkan program siaran radio yang bermuatan untuk meningkatkan derajat kesehatan Orang Rimba. Komunitas asli marginal ini sangat rentan dengan berbagai penyakit akibat pola hidup yang mereka jalani. Untuk itu penyadaran akan pentingnya menjaga kebersihan haris terus menetus disampaikan kepada Orang Rimba. Tentu juga yang paling penting melalui radio ini adalah adanya upaya untuk meningkatkan ekonomi Orang Rimba. Informasi harga dan perkembangan pasar merupakan yang akan menjadi muatan siaran pengembangan ekonomi. Hal penting lainnya tentu menjadikan radio sebagai media untuk menumbuhkan kesepahaman antara Orang Rimba dengan masyarakat sekitarnya. Banyak konflik yang terjadi antara Orang Rimba dan Orang Desa diakibatkan ketidak saling pahaman akan budaya masing-masing. Semoga dengan proses panjang untuk berdirinya radio ini dan segera mengudara secara legal dapat segera terwujud. Sehingga rangkaian tujuan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat Orang Rimba juga bisa terwujud. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Terlepas dari gegap gempitanya upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan hanya berlangsung dikalangan tertentu saja. Masyarakat yang sbenarnya berada di garis paling depan yang berhadapan langsung dengan perubahan iklim, masih banyak yang belum tersentuh kampanye menyeluruh isu ini. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai emisi karbon dan perubahan iklim menjadi sebuah tantangan dalam pembangunan jaringan kampanye yang efektif dan terpadu. Minimnya informasi yang didapatkan masyarakat tentu akan menghambat target penurunan emisi nasional. Atas dasar ini, 20 aliansi yang terdiri dari pemerintah, perguruan tinggi, LSM di Jambi membentuk sebuah forum kampanye bersama dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi. Forum ini berusaha mensinergikan kegiatan kampanye yang terpadu hingga masyarakat dari berbagai kalangan dapat mengerti tentang perubahan iklim, dan upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan. Nelly Akbar, Koordinator Project KKI Warsi menyebutkan dengan kegiatan workshop membangun jaringan multi pihak untuk pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi, dilakukan untuk menjaring aspirasi multi pihak untuk proses kampanye pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi “Ini merupakan langkah awal yang dilakukan Warsi bersama pemerintah, perguruan tinggi dan LSM sehingga terbentuk strategi kampanye dan penyebaran informasi tentang pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi” Jaringan ini nantinya dijadikan sebagai ajang belajar bersama bagi pengembangan kapasitas terkait isu lingkungan dan pembangunan rendah karbon di Jambi.
Senada dengan itu, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Fisik Bappeda Provinsi Jambi Doni Iskandar menyebutkan Jambi berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon. Komitmen itu tertuang dalam Perda RTRW yang diperkirakan akan di sahkan akhir tahun ini. Dalam Ranperda RTRW Provinsi Jambi, terlihat pembagian tiga zona, zona konservasi, zona produksi dan zona distribusi. Wilayah Barat yang meliputi Kabupaten Bungo, Sarolangun, Merangin, Kerinci untuk zona konservasi. Semenatar wilayah tengah yang meliputi sebagian Bungo, Merangin, Sarolangun , Muaro jambi dan Tebo untuk zona produksi. Sementara wilayah sepanjang pantai Timur yang meliputi Kabupaten Tanjungjabung Barat, Tanjungjabung Timur, Kota Jambi dan sebagian Muaro Jambi menjadi zona distribusi. Untuk zona konservasi, memang sangat dihindarkan adanya pengembangan manufaktur meski industri kecil sekalipun. Zona ini diprioritaskan sebagai kawasan penyelamatan yang menunjang keberlanjutan ekosistem. Sementara untuk zona distribusi ini nantinya akan dilakukan fokus pembangunan transportasi maupun industri manufaktur skala besar. “Setelah ini disahkan diharapkan menjadi arahan dalam pembangunan Jambi ke depan yang berkelanjutan,” imbuhnya. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jambi sendiri telah mulai berupaya dalam mengakselerasi kompatibilitas program pembangunan ekonomi daerah dengan mencanangkan proses perencanaan pembangunan yang mencerminkan pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan strategi pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang menekankan pola keseimbangan antara konservasi dan ekstraksi sumber daya alam. Upaya tersebut ditekankan dengan menyebutkan secara eksplisit dalam Rancangan RPJMD Jambi 2011-2015, bahwa misi pembangunan Jambi yang ke 4, yaitu “meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam yang optimal dan berwawasan lingkungan”. Komitmen ini, dikatakan Doni sangat membutuhkan dukungan para pihak terutama masyarakat. Dengan adanya forum kampanye bersama ini, diharapkan masyarakat bisa mengetahui dan turut serta dalam pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
41
42
AKTUAL
43
Belajar REDD+ ke Kalteng
K
ota cantik, demikian sebutan untuk ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Sebutan itu tak hanya sebuah slogan belaka, memasuki Palangkaraya mata kita akan disejukkan dengan hamparan hijaunya hutan yang asri. Provinsi terbesar di Pulau Kalimanatan ini dipilih menjadi tujuan belajar implementasi REDD+. Kalimantan Tengah merupakan lokasi percontohan (pilot project) program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD+).
Perjalanan menuju lokasi ditempuh dalam waktu sekitar dua jam perjalanan darat. Dan kemudian dilanjutkan satu setengah jam perjalanan menelusuri Sungai Kapuas. Perjalanan melalui sungai merupakan perjalanan yang sangat mengasikkan, karena banyak sekali yang dilihat selama berada di atas speed boat. Sepanjang perjalanan peserta disuguhi pemandangan pemukiman masyarakat di pingggir sungai, toko atau kedai, penjual minyak eceran di atas sungai. Banyak juga terlihat shawmil kayu dipinggiran sungai.
Pada tanggal 13 Juni 2008, pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia menandatangani kesepakatan kerjasama Indonesia Australia Forest Climate Partnership (IAFCP) selama kurun waktu 2008 – 2012, yang bertujuan untuk mendukung pencapaian pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) di Indonesia melalui peng-urangan deforestasi, mendorong reforestasi dan meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari. Pemerintah Australia memberikan dana sebesar AUS$ 40 juta untuk program kerjasama ini, yang dibagi untuk pendanaan kegiatan Pengembangan Kebijakan dan Kapasitas dan Manajemen Program sebesar 10 juta dollar AUS, sisanya 30 juta dollar AUS untuk program pengembangan demonstrasi Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP).
Sementara itu di kiri-kanan jalan, hutan gambut membentang sejauh mata memandang. Kondisinya variatif. Di beberapa lokasi tampak masih utuh dengan rimbunan pepohonan yang lebat. Sebagian lainnya sudah rusak, hanya tersisa hamparan rumput ilalang. Kubangankubangan besar berpasir putih bekas galian tambang juga terlihat.
Lokasi pilot program KFCP secara administratif pemerintahan berada di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng), dengan luas areal 120.000 hektar. Ada tujuh desa di dalam dan sekitar lokasi proyek. Ketujuh desa tersebut berada di Kabupaten Kapuas, Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah, yaitu : Desa Mantangai Hulu, Desa Kalumpang,Desa Katimpun, Desa Sei Ahas, Desa Katunjung, Desa Tumbang Muroi, dan Desa Petak Puti. Areal proyek KFCP ini berada dalam eks areal proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang diprogramkan pada rezim pemerintahan Orde Baru untuk menghasilkan padi setara dua juta ton beras per tahun. Mega proyek PLG yang mempunyai luas lahan 1.457.100 hektar tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan dan terbengkalai, menyisakan lahan gambut yang rusak. Salah satu desa areal kerja KFCP adalah Desa Kalumpang dan Desa Katimpun, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Nah, untuk melihat bagaimana program ini dijalankan, KKI Warsi bersama tim yang terdiri dari pemerintah provinsi dan kabupaten, Komda REDD+ Jambi, wartawan dan perwakilan masyarakat adat (Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat) melakukan perjalanan ke Kalimantan Tengah mengunjungi kedua desa tersebut.
Setelah melalui perjalanan panjang, rombonganpun sampai di Desa Kalimpang. Pemasukan yang diperoleh warga dari KFCP ini berasal dari insentif pembibitan pohon. Desa Kalumpang memang difokuskan dalam pembibitan tidak mencakup penanaman karena wilayah hutannya masih tergolong baik. Basman, fasilitator KFCP menyebutkan ada banyak program yang dilakukan, diantaranya pembibitan dan penanaman, penyelesaian batas desa, sekolah lapang, rehabilitasi lahan gambut. Sudah ada 1.006 hektar penanaman di lima desa dan produksi bibit 1.218.000 batang di tujuh desa. Pekerjaan pemulihan gambutpun telah berjalan dengan pemulihan bekas kanal di bekas pengembangan lahan gambut. Hanafi, Ketua program KFCP menyebutkan program ini bertujuan mendemonstrasikan pendekatan yang kredibel, adil dan efektif untuk mengurangi gas rumah kaca dari penggundulan dan perusakan hutan, terutama kerusakan lahan gambut. Untuk memenuhi tujuan tersebut ada empat komponen yang harus dipenuhi, diantaranya adalah mengurangi deforestasi dan degradasi hutan rawa gambut, estiminasi emisi gas rumah kaca KFCP terkait incas, ujicoba mekanisme insentif gas rumah kaca REDD+ yang praktis dan efektif, dan pengembangan manajemen/ kapasitas teknis dan kesiapan REDD+ tingkat Provinisi/ Kabupaten-Kota/ Kecamatan/Desa. Bagaimana pelibatan masyarakat, ini akan menjadi pertanyaan yang akan sering didengar terkait dengan manfaat program KFCP untuk masyarakat setempat. Hanafi menjelaskan bahwa dalam program tersebut masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan REDD+,
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Foto bersama dalam rangka kunjungan belajar ke Kalteng. Foto: Emmi Primadona/dok. KKI Warsi
KFCP membuat kesepakatan resmi dengan tujuh desa di Kecamatan Mantangai dan Timpah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Melalui perjanjian ini KFCP mendanai dan membantu masyarakat setempat untuk melaksanakan kegiatan REDD+, serta menyusun pengaturan tata kelola pemerintah. “Perjanjian Desa merupakan langkah awal menuju pembentukan lembaga yang berkesinambungan di REDD+ dan dapat digunakan untuk mengelola dan mendanai kegiatan berbasis masyarakat seperti program peningkatan mata pendaharian hingga program lainnya,” jelasnya. Perjanjian desa mengurai prinsip-prinsip dan kerangka acuan agar KFCP dapat memberikan bantuan teknis dan keuangan untuk kegiatan yang dikelola masyarakat di masa akan datang. Misalnya kegiatan penanaman kembali pada lahan gambut yang rusak dengan cara menghambat kanal-kanal kecil yang mengalirkan air jauh dari kawasan lahan gambut yang beresiko pada meningkat emisi yang disebabbkan oleh kebakaran atau pelepasan gas oleh lahan gambut. Kegiatan ini harus disetujui oleh KFCP dan desa-desa . Kegiatan ini juga harus dilaksanakan sesuai dengan rencana pemba-ngunan desa. Kedua belah pihak harus mematuhi standar dan perlindungan tertentu untuk memastikan bahwa dana yang dikeluarkan dikelola dengan baik. Dan kesempatan serta manfaat dirasakan bersama antar desa-desa, dan terlindunginya hak-hak masyarakat setempat dan lingkungannya. Ada dua tim dibentuk di setiap desa untuk mengawasi pelaksanaan: Tim Pengelola Kegiatan (TPK) dan Tim Pengawas (TP). Tim Pengelola Kegiatan bertanggung
jawab untuk mengelola seluruh kegiatan yang dilakukan di bawah Perjanjian Desa, menerima dan memproses pembayaran dari KFCP dan mendistribusikan pembayaran ini kepada anggota masyarakat. Sementara Tim Pengawas (TP) bertanggung jawab untuk memantau pekerjaan dan mutu, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dari TPK. Anggota tim ini dipilih oleh masyarakat melalui musyawarah desa dan pergantian anggotanya ditentukan oleh masyarakat. Meski program-program KFCP telah mulai diimpelamentasikan sejak Juli 2010, hingga saat ini masih banyak ditemui kendala. Hanafi menyebutkan belum disepakati kerangka kebijakan san finacial REDD+ itu sendiri akan menjadi sandungan untuk terwujudnya program-program yang sudah dilaksanakan. Selain itu, masyarakat masih berorientari pada manfaat jangka pendek dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait dengan pengelolaan REDD+ menyebabkan masih tingginya deforestasi dan degradasi yang terjadi. Kedepannya, Hanafi mengungkapkan KFCP akan melakukan review terhadap kelembagaan dan skema pembayaran yang sedang berjalan. Tak hanya itu, KFCP juga harus menyelesaikan tanggung jawab terkait dengan penyelesaian batas desa, penataan wilayah kelola adat, wilayah produktif masyarakat, wilayah hutan desa/ Hkm, sehingga program-programnya dapat berjalan dan meminimalisir konflik yang terjadi. Sosialisasi dan koordinasi dengan semua stakeholder akan semakin memperjelas peran dan tanggung jawab kelembagaan lokal dan regional dalam REDD+. Ini juga akan berimbas pada meningkatnya good governance untuk aspek pembayaran dan distribusi manfaat REDD+. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
AKTUAL
44
Penyembelihan kerbau, tradisi masyarakat Simancuang sebelum memulai musim tanam. Foto: Eviza Diana/dok. KKI Warsi
Hadiah Dari Alam
S
eperti kata pepatah lama, kita akan memetik dari apa yang telah kita tanam. Begitupun dengan hakikat dengan penjagaan terhadap alam. Buktinya saja, apa yang diperoleh dari masyarakat jorong Simancuang. Komitmen untuk menjaga hutan, membuat masyarakatnya mendapatkan sebuah hadiah yang amat bermakna dari alam. Bagaimana tidak, ketika beribu-ribu hektar sawah mengalami kekeringan, dan terancam fuso akibat fenomena el nino yang dipicu karena perubahan iklim. Namun ini tentu saja tidak berlaku bagi sawah di jorong ini, bahkan untuk tahun ini mereka bahkan menyepakati melakukan dua kali musim tanam. Simancuang, hanyalah sebuah perkampungan sederhana nun jauh di pedalaman Solok Selatan Sumatera Barat. Secara administratif kampung ini merupakan salah satu jorong dari Kanagarian Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Satu hal yang patut dipelajari dari masyarakat ini adalah kearifan mereka dalam mengelola sumber daya yang ada di sekitar mereka.
Mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada hasil persawahan. Sejak 1974 awal berdirinya jorong ini, masyarakat Simancuang telah menerapkan aturan yang ketat dalam mengelola sumber daya alam mereka. Mereka membagi kawasan pengelolaan berdasarkan kontur wilayah yang merupakan hulu Sungai Batang Simancuang. Untuk areal persawahan dibuat di pinggir aliran sungai. Tiap-tiap orang mendapatkan lahan sawah dengan ukuran lebar 50 meter diukur dari pinggiran aliran sungai sedangkan panjang lahan tergantung pada kemampuan mereka untuk membuka lahan. Membuat sawah di kepala-kepala aliran sungai dimaksudkan agar lahan-lahan sawah mendapatkan distribusi air yang cukup. Aktifitas petani sawah ini, juga menghadirkan tradisi mandarahi kapalo banda, suatu tradisi untuk mengucapkan syukur terhadap hasil panen. Tradisi mendarahi kepalo banda sudah dilakukan sejak tahun 1984, yang pada awalnya hewan yang disembelih yaitu kambing. Setahun kemudian diganti dengan sapi dan seterusnya setelah delapan kali acara dilakukan penggantian hewan yang disembelih kembali dilakukan. Masyarakat bersepakat menggunakan kerbau, dikarenakan tingkat
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
AKTUAL
Kebersamaan dalam tradisi mendarahi kapalo banda. Foto: Elviza Diana/dok. KKI Warsi
perekonomian yang semakin baik. Proses mandarahi kapalo banda dilakukan setiap setelah panen padi, tiaptiap orang memberikan 10 sukek padi (bisa juga dibayar dengan uang yang setara dengan Rp 80.000). Padi dan uang ini digunakan oleh pengurus masjid yang akan untuk membeli seekor kerbau dan seperangkat bumbu. Dalam menentukan hari yang tepat untuk melaksanakan tradisi turun menurun ini melalui musyawarah. Seluruh anggota masyarakat berkumpul di mesjid, dan para tokoh masyarakat atau yang disebut akan menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan ritual. Wali Jorong Simancung Datuk Lelo Dirajo Jalaludin, menyebutkan banyak sekali makna yang dapat diambil dalam ritual tersebut diantaranya, semangat gotong royong yang kental. “Tradisi ini terus menerus dipertahankan karena ada unsur gotong royong yang perlu tetap dilestarikan. Selain itu, makna dari ritual mendaharai kepalo banda lebih kepada ritual penanaman padi bersama, atau orangorang di sini menyebutnya dengan turun ke sawah besamo” , ujarnya. Selain kebersamaan, kegiatan turun ke sawah secara bersama-sama juga perlu dilakukan guna mengusir hama. “Dulu, sebelum adanya tradisi ini, di jorong pernah menghadapi serangan hama, tikus. Yang terjadi
dikarenakan tidak samanya masa tanam di tiap-tiap masyarakatnya,” tambahnya Tradisi ini benar-benar mengakar pada masyarakat Simancuang yang saat ini ada sekitar 150 kepala keluarga. Denda akan diberikan jika ada masyarakat yang tidak mengikuti tradisi ini. Biasanya jika ada yang ketahuan tidak mengikuti ketentuan turun ke sawah ini akan dikenakan denda sejumlah uang atau barang. Hasil pengumpulan denda ini dipergunakan untuk membangun fasilitas publik di Jorong Simancuang. Untuk Sang Penjaga Hutan Tradisi mendarahi kapalo banda, biasanya dilaksanakan tiga kali dalam kurun waktu dua tahun, namun untuk tahun ini tradisi mendarahi kepalo banda dilakukan dua kali. Ini dilakukan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Berdasarkan hasil Kajian Spesialis Ekonomi Hijau KKI Warsi Erinaldi, diketahui bahwa sawah menjadi sumber pendapatan masyarakat di Jorong Simancuang. Dan rata-rata kepemilikan hanya seperempat hektar dengan hasil rata-rata hanya 400 ribu tiap bulannya. Ini tentu saja tidak mencukupi, maka diinisiasi untuk musim tanam ditingkatkan menjadi dua kali dalam setahun agar penghasilan masyarakat meningkat. Maka itu disepakati dengan adanya kalender musim,
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
45
AKTUAL
46
MATAHATI
Warga Bujang Raba Manfaatkan PLTKA
A
liran sungai Batang Senamat yang masih sangat bagus dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga kincir air (PLTKA) untuk penerangan rumah warga di Senamat Ulu. Setiap PLTKA bisa menghasilkan daya sebesar 5 ribu kw. Warga yang tersebar di sekitar kawasan Bujang Raba memanfaatkan pembangkit listrik tenaga kincir air karena Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak kunjung tersalur ke daerah ini. Meski usulan sering diajukan, namun tetap belum dikabulkan. Rio Dusun Senamat Ulu, Jerimi menuturkan, ia bersama 100 kepala keluarga lainnya sudah berkali-kali mengusulkan agar Pemkab Bungo dan PLN segera membangun instalasi jaringan listrik ke desa itu. Namun, usaha yang mereka perjuangkan selama bertahun-tahun itu belum juga berhasil mengetuk kebijakan PLN untuk menerangi desa mereka. “Sudah bertahun tahun kami hidup tanpa PLN. Setiap kali kami tanya, alasannya karena jarak dan lokasi yang sangat jauh sehingga belum bisa dibangun jaringan listrik PLN,” ungkap Jerimi.
Masyarakat Simancuang. Foto: Elviza Diana/dok. KKI Warsi
di situ akan dijelaskan kapan musim tanam, panen dan lainnya yang bisa diketahui seluruh masyarakat. Percepatan masa tanam ini dilakukan mengingat potensi air sebagai sumber perairan irigasi yang cukup baik di Jorong Simancuang. Masyarakat sangat bersyukur dengan adanya sumber air yang mencukupi berasal dari Hutan Lindung Bukit Karang hitam yang selama ini mereka jaga, meski musim kemarau panjang sekalipun. “Menyangkut dengan perairan sawah cukup memadai, dan sumber air ini berasal dari hutan lindung Bukit Panjang Karang Hitam. Selama hutan ini terjaga, maka sumber air untuk sawah kami juga insyaallah tidak ada masalah,” jelas Pendra Warga Simancuang. Hutan Lindung Bukit Panjang Karang Hitam mengelilingi Jorong Simancuang, yang berada di lembah yang disekelilinginya merupakan kawasan perbukitan hijau dan rimbun. Masyarakat Jorong Simancuang sangat percaya dengan menjaga hutan berarti mereka bisa terselamatkan dari bencana, diantaranya longsor dan kekeringan. Dan saat ini sekeliling kawasan lindung Bukit Panjang Karang Hitam seluas 580 hektar telah ditetapkan menteri kehutanan sebagai kawasan hutan nagari.
Longsor yang pernah terjadi di sebalah barat jorong Simancuang pada kawasan Bukit Panjang Karang Hitam, menjadi salah satu titik balik masyarakat untuk menetapkan aturan ketat dalam membuka kawasan hutan dan menebang pohon. Masyarakat sepakat tidak boleh menebang kayu dan membuka lahan di Bukit Panjang. Pembukaan lahan hanya boleh dilakukan di kaki-kaki bukit. Sampai saat ini aturan ini dianggap sebagai aturan adat dan masih berlaku. Sejauh ini, aturan ini tidak pernah dilanggar oleh masyarakat Simancuang, jikapun ada orang luar yang mencoba menebang pohon di bukit ini, masyarakat Simancuang akan cepat memberi tahu dan menghentikan aktifitasnya. Daerah-daerah yang bertetangga dengan Simancung telah mengetahui aturan ini dan turut mematuhinya. Bagi masyarakat Simancuang menjaga hutan artinya menjaga kehidupan. Ini dikarenakan dengan kearifan lokal untuk tidak merusak hutan, berarti mereka terhindar dari bencana. Namun ketika konsep kompensasi dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD +) sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon. Konsep ini memungkinkan peluang untuk kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat dengan baik.Kendati demikian hingga saat ini belum ada kepastian bentuk skema maupun dukungan finansialnya. Terlepas dari rentetan diskusi panjang internasional terkait dengan skema ini, sang penjaga hutan Simancuang sudah bisa mendapatkan manfaat langsung dari komitmen mereka untuk menjaga hutannya. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Kondisi seperti itu tak hanya dialami oleh warga Senamat Ulu. Hal serupa juga dialami masyarakat di beberapa dusun lainnya di sekitar kawasan Bujang Raba. Mereka bernasib sama, menanti kapan kepastian listrik PLN akan dialirkan ke rumah-rumah mereka. Bahkan warga di kawasan ini mulai lelah menunggu kepastian yang tak jelas. Setiap mengajukan usulan mereka hanya menerima janji-janji yang entah kapan akan ditepati. Hingga akhir 2012, PLN belum juga menyalurkan pasokan listrik ke lima desa yang berada di sekitar kaki kawasan Bujang Raba. Suntuk dengan janji-janji, akhirnya warga kembali melirik PLTKA sebagai tumpuan penerangan. Alasan yang sering didengungkan pihak PLN ketika warga mengajukan usulan adalah soal jarak yang amat jauh. Pusat kota Kabupaten Bungo menuju kawasan Bujang Raba berjarak sekitar 50 kilometer. Akses jarak yang sulit dijangkau dari kota kabupaten menjadi alasan kenapa kawasan ini masih belum menerima pasokan listrik dari PLN. Untungnya di kawasan ini terdapat beberapa batang sungai yang masih terjaga dengan baik untuk pembangunan PLTKA. Akhirnya mereka berusaha melawan gelap di malam hari dengan memanfaatkan listrik tenaga kincir air. Saat ini di Dusun Senamat Ulu terdapat empat unit PLTKA dengan kapasitas masing-masing kincir sebesar 5 ribu kw. Dari satu kincir akan bisa memenuhi kebutu-
Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
han penerangan sekitar 8 hingga 14 unit rumah. Agar dapat menikmati penerangan dari PLTKA mereka ada yang mengelola PLTKA secara berkelompok, dan sebagian lainnya yang tak tergabung dalam kelompok tetap bisa menyalurkan arus dengan membayar iuran bulanan. Iuran bulanan berkisar antara Rp.20.000 hingga Rp.50.000,- per bulan. Patokan harga ditentukan kapasitas listrik yang digunakan. Sementara di dusun Lubuk Beringin terdapat 3 unit PLTKA berkapasitas 5 ribu kw. Disini setiap KK dipatok iuran bulanan sekitar Rp 15.000 hinga Rp 20.000 ribu per bulan. Hapani, salah seorang pemilik PLTKA di dusun Senamat Ulu mengatakan, pada saat membangun pertamakali ia menghabiskan biaya Rp. 15 juta. Namun setelah itu ia tak perlu lagi mengeluarkan biaya besar. Setiap bulan ia hanya butuh dana sekitar Rp. 150 ribu untuk biaya perawatan. Sementara penggantian tali kincir hanya dilakukan selama 6 bulanan sekali. Biayanya juga tidak terlalu besar, hanya Rp 50 ribu per meter. Dari kincir miliknya ia masih bisa menyalurkan listrik ke beberapa rumah tetangga. Bukan keluarganya sendiri yang memanfaatkannya. Karena digunakan bersama beberapa warga lainnya, biaya yang dikeluarkan memang terasa jauh lebih kecil dibandingkan menggunakan mesin diesel yang dalam sebulan bisa menghabiskan uang hingga jutaan rupiah. Ia sudah menggunakan PLTKA selama 5 tahun lebih. Namun ia menyayangkan PLTKA yang ia kelola saat ini baru bisa menerangi 7 unit rumah. Meski daya yang dihasilkan oleh PLTKA itu sebenarnya mencapai 5 ribu kw, tapi ternyata tidak keluar semuanya. Sehingga jumlah rumah yang terlayani masih sangat sedikit. “Mungkin karena air yang agak kecil. Kalau dulu air besar sekali. Tapi karena orang banyak merambah hutan
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
47
MATAHATI
48
MATAHATI
Lain halnya jika mereka memilih menggunakan mesin diesel. Karena pada mesin diesel penyalaan bahan bakar terjadi karena bahan bakar dinjeksikan ke dalam silinder yang berisi udara dengan kondisi temperatur dan tekanan tinggi. Sehingga mesin diesel disebut juga dengan mesin dengan penyalaan kompresi. Dan mesin dengan penyalaan kompresi akan menghasilkan emisi gas buang yang cukup tinggi dan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Air untuk listrik. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
sekarang jadi kecil. Dulu saya pernah juga beli genset, tapi tidak sanggup beli BBM akhirnya saya pindah menggunakan PLTKA,” ungkap Hapani. PLTKA Lebih Unggul Dibandingkan Diesel Menggunakan PLTKA untuk penerangan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan menggunakan mesin diesel. Memanfaatkan PLTKA cukup dengan mengandalkan aliran sungai maka listrik sudah bisa menyala ke rumah-rumah penduduk. Tidak perlu lagi bergantung pada bahan bakar minyak (BBM) yang mahal dan susah didapat oleh masyarakat desa. Jika dibandingkan dengan menggunakan mesin diesel, biaya penggunaan PLTKA memang relatif lebih murah. Apalagi saat ini harga solar di desa sudah di atas Rp 10 ribu per liter. Sedangkan satu mesin diesel membutuhkan enam liter bahan bakar setiap malam untuk memenuhi kebutuhan penerangan selama enam jam. Sehingga jika menggunakan mesin diesel bisa diasumsikan bahwa satu mesin akan membutuhkan Rp 60 ribu per malam. Apabila dari satu mesin diesel ini kemudian disambungkan untuk lima rumah, misalnya, maka setiap rumah harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 12 ribu per malam atau Rp 360 ribu per bulan. Angka ini sudah lumayan tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan pembangkit listrik kincir air yang hanya berjumlah puluhan ribu rupiah per bulan. Menggunakan PLTKA tidak hanya jauh lebih hemat, namun juga lebih ramah lingkungan karena tidak banyak menimbulkan polusi. Sehingga keputusan warga untuk kembali menggunakan PLTKA merupakan pilihan tepat. Di samping hemat biaya, pemanfaatan PLTKA juga tidak akan membahayakan lingkungan sekitar. Sebab, sumber polusi akibat pembakaran bahan bakar fosil bisa dihilangkan.
Tingginya kadar nitrogen oksid (NOx), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2) dan partikel emisi lainnya yang berhubungan dengan bahan bakar diesel sebenarnya merupakan isu yang telah muncul sejak lama. Namun demikian, hingga kini mesin diesel tetap masih banyak digunakan dalam dunia transportasi maupun dunia industri. Hal itu disebabkan karakteristik dari mesin diesel yang memiliki rasio kompresi tinggi sehingga mampu menghasilkan daya yang sangat besar. Meski memiliki banyak keuntungan, namun warga akan bisa memanfaatkan PLTKA selama kawasan hutan yang berada di bagian hulu sungai sebagai daerah tangkapan air masih terjaga dengan baik. Jika hutan dirusak maka keinginan untuk menggunakan PLTKA akan tinggal harapan saja. Dengan begitu, akan mendorong masyarakat untuk tetap menjaga kawasan hutan yang di hulu Batang Senamat. Karena apabila hutan di kawasan itu tidak dijaga, maka mereka sendiri yang akan merasakan dampaknya. Debit air akan mengecil dan mereka tak bisa lagi memanfaatkan aliran sungai untuk menggerakkan PLTKA sebagai sumber penerangan. Banyak keuntungan yang akan didapat oleh penduduk di sekitar kawasan hutan melalui pemanfaatan PLTKA. Pertama, PLTKA berfungsi sebagai penyedia penerangan di setiap rumah penduduk. Kedua, sebagai pendukung upaya pemberdayaan perkenomian masyarakat yang bergantung dengan penggunaan energi listrik. Ketiga, pengembangan PLTKA diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat agar menjaga kawasan hutan. Selama masyarakat di sekitar Bujang Raba tetap menjaga kawasan hutan, mereka masih berpeluang memiliki pasokan air untuk PLTKA. Sebab, ekosistem Bujang Raba berfungsi sebagai hulu DAS dan memiliki banyak mata air yang kemudian membentuk pola aliran dendritik. Mata air ini kemudian mengalir ke sungai utama di bagian hilir yang berada di bagian Timur Pulau Sumatera. Ada beberapa batang sungai yang berhulu ke sini, yaitu sungai Batang Bungo, Batang Senamat dan Batang Pelepat dalam SubDAS Batangtebo dengan DAS utamanya adalah DAS Batanghari. Sehingga kawasan ekosistem ini berperan penting dalam sistem hidrologi untuk mengatur tata air dan pengendali erosi daerah di bagian hilir. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Kuntoro di kantor Warsi. Foto: Yenni/dok. KKI Warsi
Kuntoro: Sisakan Hutan Untuk Orang Rimba
O
rang rimba menjadi salah satu perhatian Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangun Subroto dalam kunjungannya ke Jambi beberapa waktu silam. Menurut Kuntoro kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam hutan dengan menjaga pelestarian hutan merupakan paket yang sejalan. Terkait Orang Rimba yang hidup menyebar di dalam hutan-hutan sekunder di provinsi Jambi, Kuntoro akan berusaha untuk bernegosiasi dengan para pihak untuk ketersediaan ruang bagi Orang Rimba. “Kita harus upayakan apa yang bisa dikompromikan untuk Orang Rimba,”sebut Kuntoro yang meminta disiapkan data dan peta sebaran Orang Rimba di Provinsi Jambi. Sejauh ini, Orang Rimba masih cendrung dijadikan sebagai kelompok minoritas yang sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Pengakuan atas keberadaan mereka masih belum terwujud, hal ini menyebabkan Orang Rimba seolah menumpang di rumahnya sendiri. Perusahaan masih saja dengan legalitas negara menguasai semua kawasan hidup Orang Rimba dan ini tentu mengundang keprihatinan bagi pihak yang memahami bahwa indigeneous people bukan untuk menunggu pemusnahan, akan menjadikan mereka bagian dari kehidupan bersama untuk kehidupan yang lebih baik. Sebagian Orang Rimba tidak mengetahui perubahan apa yang terjadi dengan lingkungan mereka. Tiba-tiba saja hutan yang menjadi rumah mereka di land clearing dan dijadikan tanaman monokultur. Akibatnya Orang Rimba sulit untuk melanjutkan hidupnya. Padahal dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
2007, sudah mendeklarasikan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Deklarasi ini, menjadi titik puncak dari pembahasan dan negosiasi selama bertahun-tahun antara para pemerintah dan masyarakat adat. Boleh dibilang ini merupakan pencapaian berarti, karena memberikan suatu kerangka yang sama bagi masyarakat internasional untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat. Indonesia merupakan negara yang segara meratifikasi ketentuan PBB ini, dalam konsep Free Prior Informed Consent (FPIC). Dengan FPIC, masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek investasi dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak. “Dengan FPIC semua masyarakat harus mengetahui hak mereka dan juga mengetahui perubahan lingkungan yang akan terjadi. Perusahaan harus menjelaskan perubahan lingkungan yang akan terjadi baik ditanyakan atau tidak oleh masyarakat. (FPIC) lebih tajam dari AMDAL, jika AMDAL hanya konsultasi publik, ini bukan. Kita akan jadikan suatu kewajiban. Yang paling penting rakyat bisa menuntut dan bisa tidak memberikan persetujuan, jika kehadiran perusahaan merugikan masyarakat,”sebut Kuntoro. FPIC menurut Kuntoro merupakan salah satu strategi untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk Orang Rimba. “Ini tugas kita. Kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, itu hal yang paling penting jika ingin menyelamatkan hutan. Dan ini tidak bisa dilakukan satu orang atau lembaga saja, tetapi harus dikompromikan bersama,”sebutnya. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
49
SELINGAN
50
SELINGAN
Pengalaman Pendampingan di Tanah Papua
Di Bawah Payung Sumpah Pemuda
U
R
ngkapan Apalah artinya sebuah nama sepertinya tidak berlaku bagi ku di Kaimana Papua. Nama di Papua sangat berarti, nama menandakan identitas, asal usul dan jati diri. Ada pengalaman berkesan bagiku ketika menginjakkan kaki pada hari-hari pertama di tanah Papua. Kebetulan kantor tempatku bertugas merupakan kompleks perumahan. Pada saat awal-awal datang ke Papua aku sering duduk santai di depan kantor, kebetulan di depan kantor ada tetangga yang sudah menjadi nenek –nenek.
pendampingan aku harus menyebrangi lautan Arafuru selama 1 jam dan menyisir Sungai Buru Way selama setengah jam dengan long boat. Lokasi kampung berada sebelah barat dari Kota Kaimana. Pertama-tama menyebrangi lautan ada perasaan cemas dan takut maklum belum terbiasa naik long boat, apalagi ketika musim timur datang ketinggian ombak bisa mencapai 2-4 meter. Alhamdulillah di kantorku tidak terlalu memaksakan bila cuaca buruk harus ke kampung sehingga belum pernah menemui ombak besar selama ini.
Waktu itu aku melihat nenek di depan rumah dan aku pun menyapanya:” Pagi mama?, “Pagi”, sahut nenek dan nenekpun memangil saya dan kamipun berkenalan dan berjabat tangan. Dengan Pedenya “ namaku Marta mama? sambil berjabat tangan aku lihat nenek sedikit heran dan bingung. “Marta, namamu Marta?”tanya nenek dengan heran. “ Iya,” jawabku dengan yakin. Tidak berapa lama nenek bicara. “Nama marta itu nama perempuan dan tidak baik buatmu, mulai sekarang namamu saya ganti, dan mulai sekarang kamu saya panggil Marten ya,” kata nenek sambil dia memegang erat tanganku. “Iya, mama, terima kasih,” jawabku dengan sedikit bingung, dan semenjak itu nenek memanggilku Marten.
Biasanya untuk ke kampung kita membawa bekal bahan makanan dan minuman. Kita akan turun ke kota seminggu sekali atau bisa juga ketika bahan makanan habis. Kalaupun masih ada kegiatan dan bahan makanan habis biasanya kita turun ke kota sebentar untuk belanja bahan makanan dan beli bahan bakar bensin atau solar untuk penerangan di kampung.
Masalah nama bukan di situ saja, seringkali rekan-rekan yang baru kenal di Papua sering menutup perbincangan di sms dengan terima kasih ibu, ini ibu Marta ya? “Ya,” jawabku dengan senyuman pahit hehehe… Tawaran ke papua merupakan salah satu keinginan untuk belajar, mengenal dan melihat langsung realitas yang sebenarnya terjadi di tanah Papua. Keinginan itu harus di tebus dengan meninggalkan istri dalam jangka waktu tertentu. Dan benar sekali, pendapat dan image ku tentang Papua sebelum ke ke sana berubah drastis. Ketika aku melihat dan mendengarkan langsung kehidupan sehari-hari mereka. Yaa, mereka ingin berdaulat di tanah sendiri dan bermartabat dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Sebuah perjuangan yang tiada henti bagi masyarakat Papua. Hal yang menarik ketika pertama kali ke Papua adalah masyarakatnya ramah, sopan dan santun. Hampir setiap kali berpapasan atau numpang lewat depan mereka mereka selalu menyapa. Selamat pagi, selamat siang, selamat malam, permisi, merupakan ungkapan mereka ketika bertemu atau hanya sekedar lewat. Di Papua Warsi bersama Samdhana memfasilitasi untuk pengembangan hutan desa di Kabupaten Kaimana, tepatnya di desa Esania. Untuk menuju kampung tempat
Meski mendambakan kedaulatan dalam mengelola sumber dayanya, namun isu Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) masih sangat lemah di tengah masyarakat. Informasi-informasi tentang terbukanya kesempatan masyarakat mengelola kawasan hutan, sama sekali belum di dapatkan. Yang ada justru perusahaan yang terus mengkapling-kapling tanah Papua. Masyarakat cendrung tidak tau kalau tanah mereka sudah habis dikuasai. Yang ada justru pelemahan masyarakat dengan meredam konflik sesaat. Perusahaan memberikan sejumlah konpensasi atas kehadirannya, namun dampak lainnya atas kehadiran perusahan itu sama sekali tidak diberitahukan kepada masyarakat. Sehingga bagaimana idealnya mengelo sumber daya alam, khususnya hutan yang menjadi gantungan hidup masyarakat kini dan nanti harus dijelaskan dengan rinci, media film dan foto salah satu yang paling cepat untuk memberikan pandangan pada masyarakat. Namun tak jarang diskusi juga macet, karena masyarakat lebih menginginkan ada perbuatan atau contoh dulu baru berbicara. Kita tidak akan bisa bicara koperasi kalau kita tidak mempraktekan cara-cara koperasi itu bagaimana, bicara tentang pertanian kalau kita tidak praktekkan cara bercocok tanam, pembibitan pala dan sebagainya. intinya sebagai pendamping di tanah Papua harus tinggal dan menetap di kampung dan berbuat bersamasama dengan masyarakat kampung. Aksi dulu baru bicara. Kini setahun sudah aku menetap di Papua, terus berupaya mendorong masyarakat untuk mendapatkan legalitas hak kelolanya dan mendorong pengembangan ekonomi bagi masyarakat Papua. (Martha Hendra).
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
iuh, sorak-sorai para peserta berbagai lomba mampu memecahkan keheningan rimba Taman Nasional Bukit Dua Belas. Berbagai lomba yang diadakan KKI Warsi dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Sekitar ratusan anak, berkumpul di kantor lapangan KKI Warsi yang tepatnya di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Semua peserta yang terdiri dari rombongan anak rimba dan anak desa di sekitar TNBD berbaur menjadi satu. Melebur dalam keceriaan, bersenandung dengan nyanyian persatuan, dan membahana untuk meraih kemenangan. Beteguh, demikian nama anak rimba yang mengikuti perlombaan tersebut. Bocah berusia kurang lebih 12 tahun ini berhasil menduduki peringkat dua dalam lomba cerdas cermat yang diikuti 15 tim dari anak desa dan rimba.
kis, lomba cerdas cermat, lomba peci target, lomba tarik tambang,lomba lari karung, lomba lari kelereng, lomba makan kerupuk dan lomba catur. Berbagai perlombaan ini, diharapkan dapat menjembatani perbedaan yang ada antara anak rimba dan desa, Furwoko salah seorang panitia menambahkan terbinanya rasa kebersamaan dan kesetaraan menjadi tujuan penting dengan terselenggarakannya lomba-lomba tersebut.
“Sebutkan kepanjangan dari TNBD? ” Ucap Karlina, salah seorang panitia lomba melemparkan berbagai pertanyaan untuk lomba cerdas cermat tersebut. Pertanyaan itu berhasil dijawab dengan cepat dan tepat oleh Beteguh. Istilah TNBD, bukan istilah baru bagi anak rimba. Dia dan komunitasnya,tersebar di Taman Nasional Bukit Duabelas seluas 60.500 hektar yang didiami Orang Rimba yang saat ini berjumlah kurang lebih 1.689 jiwa yang tersebar di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka menggantungkan hidup dan harapannya di TNBD ini. Dan sejak dikukuhkan Tahun 2000, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tentang TNBD ini semakin memantapkan posisi orang rimba di Kawasan Bukit Dua Belas, karena hanya TNBD sebagai satu-satunya taman nasional yang penetapannya diperuntukan sebagai kawasan hidup komunitas adat. Di kawasan taman nasional ini, di dalam banyak dihuni berbagai satwa paling dilindungi mulai dari siamang, macan, kijang, kucing hutan, beberapa jenis kera serta berbagai jenis pepohonan langka asli pedalaman Provinsi Jambi.
Tak hanya anak rimba yang menikmati rentetan perlombaan itu, Nursoleh, bocah laki-laki berusia 11 tahun ini terhanyut dalam suasana kegembiraan yang dari pagi telah dibuka dengan lomba makan kerupuk. Dia merupakan salah satu peserta lomba cerdas cermat, meski mengaku sempat tegang Soleh demikian sapaan akrabnya merasa lomba ini menambah pengetahuannya. “Banyak soal-soal ilmu pengetahuan umum terutama terkait dengan lingkungan yang semula tidak tahu menjadi tahu,” ujarnya.
Karlina, menyebutkan ada beberapa soal terkait lomba cerdas cermat yang merupakan terkait dengan materi pelajaran sekolah dasar, ada materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, matematika dan Bahasa Indonesia . Beteduh, selaku ketua panitia perlombaan mengatakan ajang lomba ini merupakan bentuk dari persatuan antara anak rimba dan anak desa. “Kamia samo dengan kanti desa,acaranyo melawon,” sebutnya Ada sembilan macam jenis perlombaan yang dilakukan, diantara adalah Lomba baca Puisi, lomba melu-
“Kita berharap dengan adanya berbagai macam perlombaan ini mampu mempererat rasa kebersamaan antara anak rimba dan desa. Dan yang terpenting juga menunjukkan kesetaraan antara anak rimba dan desa. Mereka ditempatkan dalam status yang sama sebagai peserta lomba dan setiap orang memperoleh kesempat yang sama untuk jadi pemenang,” jelasnya.
Acara demi acara telah belangsung, dan tiba lah saat pemberian hadiah. Semua peserta harap-harap cemas menanti namanya dipanggil. Terlihat Bepak Ngeretek, membawakan tas kain berwarna-warni bertuliskan Warsi untuk diserahkan pada para pemenang. Di dalam tas itu berisi baju kaos dan peralatan tulis. Nursoleh, namanya disebut untuk mewakili tim nya dalam lomba cerdas cermat. Dia pun maju dengan langkah tegap, sebagai pemenang pertama dalam lomba cerdas cermat tersebut dan berhasil mengungguli 13 tim lainnya. Dan yang tak kalah seru ketika pengumuman juara pertama tarik tambang putera, Beteduh, Bedingen, Sekola, Bedewo dan Besiar telah sejak tadi bersorak gembira ketika mengetahui tim mereka berhasil menjadi pemenang. Gemuruh teriakan pemenang dan keceriaan di wajahwajah polos anak-anak ini menyiratkan pesan persatuan yang diamanahkan pemuda sejak 84 tahun yang lalu mengalir dalam jiwa-jiwa mereka. Meski bagi Orang Rimba, tidak begitu tahu tentang apa itu sumpah pemuda namun hari ini semuanya bersatu dalam satu tumpah darah, satu bangsa dan satu Bahasa Indonesia. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
51
52
KAJIAN
KAJIAN
Menakar Regulasi Pengakuan Masyarakat Adat dan Hutan Adat
H
utan adat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat dalam mengelola kawasan hutan disekitar mereka. Namun sayangnya kawasan kelola rakyat yang berupa hutan adat ini belum bisa diakui legalitasnya oleh Negara. Hal ini terjadi karena sistim hukum kita mengharuskan adanya pengakuan masyarakat adat, untuk pengakuan kawasan adat termasuk hutan. Pengakuan masyarakat hukum adat termaktub dalam UUD 1945. Dalam UUD ini, Negara menjamin pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat seserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, UUD juga menyebutkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional merupakan hak asasi harus dihormati dan selaras dengan perkebangan zaman dan peradaban. Regulasi Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dalam perkembangannya pengakuan dan pengelolaan SDA oleh masyarakat yang dijewantahkan dalam peraturan perundang-undang di Indonesia, berikut beberapa UU yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat : 1.Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Pasal 3 UU ini juga mengatur dalam bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat diakui sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara. Selain itu, Pasal 5 UUPA juga menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan lainnya. 2.Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nations on Convention Biological Diversity) Berdasarkan Pasal 8 (j) Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) Indonesia berkewajiban “untuk menghormati dan melindungi pengetahuan tradisional yang terkait dengan pemanfaatan berkelanjutan Keanekaragaman Hayati, termasuk mendorong pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan pengetahuan
tradisional tersebut.”Berdasarkan Konvensi ini lahirlah Protokol Nagoya. Salah satu tujuan Protokol Nagoya adalah mengatur akses atas pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik serta mengatur pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaannya. 3.Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 UU ini mengatur bahwa dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum masyarakat, dan Pemerintah. Selain itu, identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat juga dilindungi selaras dengan perkembangan zaman. 4.UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan Undang-undang ini mengatur bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan Negara. Pasal 67 Ayat (1) mengatur hak masyarakat hukum adat antara lain: a.Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan; b.Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c.Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) di atas menyatakan bahwa sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a.Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschap); b.Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c.Ada wilayah hukum adat yang jelas; d.Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e.Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 5.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
Diskusi masyarakat untuk pengelolaan hutan adat. Foto: dok. KKI Warsi
dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan Hukum Adat dan Kearifan Lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya alam sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 Ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dalam Peraturan Daerah/Perda setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (3). 6. UU 32 tahun 2009 tentang PPLH Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009, Pasal 63 Ayat (1) butir (t) disebutkan bahwa tugas dan wewenang pemerintah adalah menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tugas pemerintah propinsi berdasarkan Pasal 63 Ayat (2) butir (n) adalah menetapkan kebijakan mengenai tata-cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di tingkat propinsi. Sedangkan tugas dari pemerintah provinsi berdasarkan pasal 63 Ayat (3) butir (k) adalah melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. 7. UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Dalam UU No 32 Tahun 2004 mengatur mengenai sistim pemerintahan dan pembagian kewenangan sesuai dengan tingkat kewenangannya. UU ini juga memberikan pengaturan berkenaan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah. UU ini mengatur kelembagaan masyarakat paling kecil sebagai Desa atau nama lainnya sebagai: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, ber-
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
53
KAJIAN
54
dasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 2 Ayat (9) undangundang ini menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga ada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan: “Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. 8.UU 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Undang-undang ini tidak mengatur secara khusus tentang masyarakat hukum adat tetapi mengatur ruang dalam rangka menjamin keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. 9.Bahkan dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Analisis Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat Ada empat poin penting terkait pengakuan masyarakat adat baik yang terdapat dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yaitu (1) masyarakat hukum adat itu masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai pula dengan prinsip negara kesatuan RI, dan (4) eksistensinya diatur dengan undangundang. Selain dalam UUD 1945 pengakuan masyarakat adat tergambar dalam pasal 67 ayat (2) UUK bahwa pengukuhan keberadaan atau hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 67 ayat (1) UUK ditetapkan dalam Perda. Ketentuan pasal 67 ayat (3) ini sejalan dengan Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 (pasal 6) dan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (pasal 2 ayat 2
huruf F) sama-sama menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian dan penetapan hak ulayat diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Menurut Permennag Nomor 5 Tahun 1999, pemerintah daerah berwenang untuk menentukan dan memeberikan pengakuan terhadap ulayat di daerahnya masing-masing melalui peraturan daerah. Dalam rangka membuat Perda ini pemda membentuk tim khusus untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang keberadaan hak ulayat didaerahnya. Tim peneliti ini terdiri dari Pemda, pap pakar hukum adat, masyarakat hukum adat bersangkutan, LSM dan instansi yang mengelolan SDA. Jika hasil penelitian menunjukan bahwa hal ulayat di daerah bersangkutal betul-betul eksis berdasarkan criteria yang ditentukan dan merasa perlu diatur, maka Pemda bersama dengan DPRD mengupayakan lahirnya Perda tentang Pengakuan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Berbicara pengakuan masyarakat hukum adat perlu kita membahas keberadaan Surat Mentri Kehutanan No. S.75/Menhut-II/2004, 12 maret 2004, perihal SE masalah hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat hukum adat. Perlu dikritisi bahwa SE ini merupakan edaran yang ditujukan kepada gubenur dan Bupati/walikota untuk mengingatkan persoalan masyarakat hukum adat yang ada dalam UUK. Pada butir 2 huruf a SE ini menyatakan bahwa apabila diwilayah gubenur, bupati .walikota terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat didalam kawasan yang selama ini telah dibebani oleh HPH/IUPHHK maka perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang di daerah bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian ini harus mengaju pada criteria yang ada pada penjelsan pasal 67 ayat (3) UUK. Jika hasil penelitian menyatakan ada masyarakat hukum adat maka pemda dan DPRD menetapkannya melalui perda Provinsi dan kemudian disampaikan kepada Kemnhut untuk dinilai apakah diterima atau tidaknya. Menguatnya peran pemerintah daerah pasca reformasi ditandai dengan lahirnya UU 22 tahun 1999 kemudian diganti dengan UU 12 Tahun 2008 sebagaimana revisi kedua UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang menitik beratkan otonomi daerah pada kabupaten/kota maka sejalan dengan Kepmen dan Keppres ini telah muncul sejumlah perda yang mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat adat tertentu, seperti perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten bungo, perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
KAJIAN Baduy dan Perda Kabupaten Kampar No 12/1999 tentang Tanah Hak Ulayat, Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Dalam kajian ini perlu kiranya penulis menjabarkan lahirnya istilah hutan adat. Karena dalam peraturan perundang-undangan ada istilah masyarakat hukum adat dan ada hutan adat. Penyebutan Penyebutan hutan adat diawali dengan lahirnya UU 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan (UUK). Pasal 5 ayat (1) UUK menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri atas hutan hak dan hutan negara. Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah sedangkan hutan negara adalah hutan yang tidak dibebani oleh hak atas tanah. Kedudukan hutan adat berdasarkan pasal 5 ayat (1) UUK mengatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat dan dalam penjelasanya disebutkan bahwa hutan adat yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat. Selanjutnya dalam pasal 37 UUK mengatakan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Artinya hutan adat sebagai bagian dari hutan negara dalam penentuan kawasannya dilakukan oleh negara. Hal ini sejalan dengan PP 44 Tahun 2004 Tentang perencanaan hutan dan keputusan Menhut No 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan. Pada pasal 5 dan 16 PP 44 tahun 2004 tergambar bahwa kewenangan pengukuhan kawasan hutan berada di ta-ngan menteri kehutanan. Wewenang pemerintah derah terbatas pada penentuan batas-batas kawasan hutan. Dalam implementasinya khususnya di Jambi sudah terdapat Perda pengakuaan masyarakat adat yaitu perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten bungo. Disamping itu kabupaten Bungo juga memiliki Perda Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Terkait dengan pengukuhan hutan adat di Kabupaten Muaro Bungo sudah ditetapkan dalam Keputusan Bupati seperti Keputusan Bupati nomor 48/Hutbun Tahun 2009 Tentang Pengukuhan Hutan adat Dusun Senamat Ulu Kecamatan Batin III Ulu kabupaten Bungo dan Keputusan Bupati Nomor 1249 Tahun 2002 tentang pengukuhan kawasan Hutan adat Desa batukerbau kecamatan pelepat kabupaten Bungo. Walaupun pada kenyataannya terdapat SK bupati terkait pengakuan hutan adat merupakan dasar hukum terkait dengan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat yang menurut penulis merupakan kebijakan dan kewenangan pemerintah yang diberikan dalam peraturan perundangundangan baik itu UU Pemda, UUPPLH, Keppres dan Kepmen Agraria diatas. Artinya SK bupati ini merupakan legalisasi pengakuan masyarakat adat terhadap hutan yang telah dikelola selama ini sebagi implikasi dari otonomi daerah dimana dalam sektor kehutanan tidak hanya dikelola oleh pemerintah pusat tetapi juga melibatkan Pemerintah Daerah. Terkait dengan pengakuan masyarakat adat yang berada di kawasan hutan dapat diartikan bahwa pengakuan masyarakat adat dilakukan oleh Pemda sedangkan penentuaan kawasan hutan dilakukan oleh Pemenrintah (kemenhut). Artinya kawasan hutan (ulayat) masyarakat hukum adat berada dikukuhkan oleh Mentri kehutanan. (Ilham Kurniawan D/Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)
Hutan adat wujud kearifan lokal masyarakat mengelola sumber daya alam. Foto: dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012
55
ALAM SUMATERA, edisi DESEMBER 2012