LAMPIRAN
99
Lampiran 1 Profil Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI PHBM) Untuk pengawalan proses dan penggalian ide-ide kreatif dalam pelaksanaan sistem PHBM di Kuningan, semua pihak menyepakati membentuk wadah kolaborasi yang lebih operasional untuk melayani kebutuhan masyarakat desa hutan serta para pihak di Kabupaten, sehingga pada tahun 2000 dibentuk lembaga kolaborasi dengan nama Advisory Working Group (AWG) PHBM. Pada tahun 2002 anggota dari AWG PHBM mendapat pengakuan dan pengukuhan dari Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455/KLH/2002 bulan Agustus tahun 2002 dengan nama Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI PHBM), sebagai lembaga kolaborasi multipihak yang mengawal sistem PHBM di Kuningan. Lembaga kolaborasi ini anggotanya berasal dari unsur Pemerintah Daerah/Kabupaten (Dinas-dinas Pemkab Kuningan), LSM, Perum Perhutani dan Tokoh Masyarakat yang jumlahnya mencapai ± 21 Orang. Produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga LPI PHBM dalam mengawal implementasi sistem PHBM Kuningan yaitu : a. MoU antara Bupati Kuningan dengan Dirut Perum Perhutani tentang Penyusunan Protokolprotokol baru dalam pengelolaan hutan negara di Kabupaten Kuningan; b. Konsepsi sistem PHBM dan Pokok-pokok Implementasi sistem PHBM; c. Rencana Strategis implementasi sistem PHBM Kuningan; d. Prinsip, Kriteria dan Indikator PHBM Kuningan; e. Tahapan proses implementasi PHBM di Desa Hutan. f. Draft Naskah Nota Kesepahaman Bersama dan Nota Perjanjian Kerjasama sistem PHBM. g. Pengkajian Pola Pemanfaatan dan Tata Guna Lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ; h. Mempersiapkan konsepsi Taman Nasional Gunung Ciremai yang Kolaboratif berbasis masyarakat ; i. Memberikan input untuk Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang saat ini masih sedang disusun secara bersama-sama.
100
Lampiran 2 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.424/Menhut-II/2004
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.424/Menhut-II/2004 TENTANG PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN LINDUNG PADA KELOMPOK HUTAN GUNUNG CIREMAI SELUAS ± 15.500 (LIMA BELAS RIBU LIMA RATUS) HEKTAR TERLETAK DI KABUPATEN KUNINGAN DAN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT MENJADI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
MENTERI KEHUTANAN, Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 telah ditunjuk areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816.603 (delapan ratus enam belas ribu enam ratus tiga) hektar sebagai kawasan hutan diantaranya Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka; b. bahwa Kawasan Hutan Lindung tersebut butir a merupakan ekosistem yang relatif masih utuh dengan tipe hutan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, dan hutan pegunungan yang diantaranya memiliki vegetasi hutan alam primer; c. bahwa Kawasan Hutan Lindung tersebut butir a memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi antara lain berbagai jenis flora seperti Pinus (Pinus merkusii), Saninten (Castanopsis javanica), Randu tiang (Fagraera blumii), Nangsi (Villubrunes rubescens), Mahang (Macaranga denticulatan), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Medang (Elacocarpus stipularis), Beringin (Ficus sp.), diantaranya jenis langka seperti Lampeni (Ardisia cymosa), dan Kandaca (Platea latifolia), berbagai jenis satwa langka seperti Macan kumbang (Phantera pardus), Kijang (Muntiacus muntjak), Landak (Zaglossus brujini), Surili (presbytis comata), berbagai jenis burung yang dilindungi seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsii), berbagai jenis reptil seperti Ular sanca (Phyton sp.) dan berbagai jenis burung; d. bahwa kawasan hutan tersebut butir a selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, merupakan daerah resapan air bagi kawasan di bawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon 101
serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai PDAM, dan industri, memiliki potensi ekowisata seperti panorama alam yang indah, keindahan air terjun Curug Sawer dan Curug Sabuk, hasil hutan non kayu seperti tumbuhan obat, budidaya lebah madu dan kupu-kupu, potensi untuk penelitian dan pendidikan, situs budaya, dan bangunan bersejarah, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan; e. bahwa dengan sistem pengelolaan Taman Nasional, diharapkan mampu untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem Gunung Ciremai secara optimal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; f. bahwa berhubung dengan itu, untuk menjamin perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan potensi kawasan hutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka dipandang perlu untuk mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai seluas ± 15.500 (lima belas ribu lima ratus) hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional, dengan Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990; 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992; 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997; 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999; 5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002; 11. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; 12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001; 13. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003; 14. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 jo. Nomor SK.48/Menhut-II/2004. Memperhatikan : 1. Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004; 2. Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2394/hutbun tanggal 13 Agustus 2004. MEMUTUSKAN
102
Menetapkan : PERTAMA
: Mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas ± 15.500 (lima belas ribu lima ratus) hektar, terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai.
KEDUA
: Batas sementara Taman Nasional tersebut diktum PERTAMA, adalah sebagaimana terlukis pada peta lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan setelah diadakan penataan batas di lapangan.
KETIGA
: Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk melakukan pengelolaan atas Taman Nasional Gunung Ciremai.
KEEMPAT
: Memerintahkan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini.
KELIMA
: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 19 Oktober 2004 MENTERI KEHUTANAN . MUHAMMAD PRAKOSA
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. 2. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 3. Menteri Dalam Negeri. 4. Menteri Pertanian. 5. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. 7. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 8. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan. 9. Gubernur Jawa Barat. 10. Bupati Kuningan. 11. Bupati Majalengka. 12. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 13. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. 14. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka. 15. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 16. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta.
103
Lampiran 3
Desa-desa di Sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah membuat Kesepakatan dengan Perhutani KPH Kuningan
DESA-DESA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI YANG SUDAH MEMBUAT KESEPAKATAN DENGAN PERHUTANI KPH KUNINGAN S.D. BULAN : DESEMBER 2004 Kesepakatan Yang Dibuat No.
Desa dan Tahun
Kecamatan
NKB
Luas di NKB (Ha)
NPK
1
Pajambon (PHBM 2001)
Kramatmulya
√
30
√
2
Pasawahan
√
789,6
√
3
Pasawahan (PHBM 2002) Padabeunghar (PHBM 2002)
4
Kaduela (PHBM 2002)
Pasawahan
√
91,4 975,66
Pasawahan
√
1200,46
√
5
Setianegara (PHBM 2002)
Cilimus
√
6
Linggasana (PHBM 2002)
Cilimus
√
341,29
7
Jalaksana
√
367,54
8
Sayana (PHBM 2002) Babakan Mulya (PHBM 2002)
9
Seda (PHBM 2002)
Mandirancan
10
Trijaya (PHBM 2002)
Mandirancan
√
405,14
√
11
Sagarahiang (PHBM 2002)
Darma
√
588,25
√
12
Singkup (PHBM 2003)
Pasawahan
64,6
13
Paniis (PHBM 2003)
Pasawahan
37,45
14
Cibuntu (PHBM 2003) Randobawa Girang (PHBM 2003)
Pasawahan
935,72
Karangsari (PHBM 2003) Gunung sirah (PHBM 2003)
Darma
72,63
Darma
324,5
Cilimus
19
Linggarjati (PHBM 2003) Bandorasa kulon (PHBM 2003)
20
Cibeureum (PHBM 2003)
Cilimus
21
Sukamukti (PHBM 2003)
Jalaksana
413,15
22
Jalaksana
7,14
23
Manis Kidul (PHBM 2003) Sangkanerang (PHBM 2003)
24
Puncak (PHBM 2003)
Cigugur
√
211,7
25
Cisantana (PHBM 2003)
Cigugur
√
722,34
26
Padamatang (PHBM 2004)
Pasawahan
15 16 17 18
Jumlah
Jalaksana
Mandirancan
√
21,25 281,25
√
√
Cilimus
Jalaksana
√
12,05
394,83
√
253,85 √
√
12,56
83,44
√
7,25 8645,05
104
Lampiran 4 Peta Taman Nasional Gunung Ciremai
Gambar 1. Peta Taman Nasional Gunung Ciremai Ciremai
Gunung Ciremai
105
Lampiran 5 Notulensi Pertemuan LPI tanggal 25 Oktober 2004
NOTULENSI PERTEMUAN LPI Hari / Tgl. : Selasa, 25 Oktober 2004 Waktu
: 20.00 – 22.45 WIB
Tempat
: Perum Perhutani
Partisipan : Usep Sumirat, Cucu Suparman, Komaruddin, Avo Juhartono, Amallo (AKAR) , Eman Sulaeman (AKAR) , Andri S (AKAR). Agenda
: Klarifikasi Kebenaran Penetapan Taman Nasional Ciremai.
Usep Sumirat: Berdasarkan data yang kami terima (email yang kami punya) , bahwa Gunung Ciremai saat ini sudah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional sebelum Menhut diganti. Untuk hal tersebut saya mohon masukan rekan-rekan semuanya, bagaimana kita menyikapi hal ini. Amallo : Menyimak isi dari email tersebut bahwa betul kalau Ciremai telah ditetapkan sebagai Taman Nasional, hal ini menunjukkan bahwa diantara rekan kita (stakeholder Kuningan) ada yang berkhianat tentang kebersamaan & kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai dalam PHBM. Sebetulnya saya bersikeras pada saat pembahasan Perda PHBM bahwa apapun bentuknya ke depan hutan di Kuningan harus dikelola secara bersama-sama dengan ujung tombaknya masyarakat. Karena Sekarang sudah ada penunjukkan Ciremai, mari kita lakukan caracara untuk mengkalrifikasi hal ini, agar lembaga-lembaga yang mengambil inisiatif, melegalisasi dan mendorong seperti (Pemkab Kuningan/Bupati/Dishutbun; FAHUTAN UNIKU (Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan) dan DPRD) bertanggung jawab dan berdialog dengan kita serta masyarakat. Apa yang menjadi motivasi pengusulan Taman Nasional? Apa tidak mempertimbangkan baik buruknya untuk akses masyarakat dan kewenangan daerah?. Padahal dengan PHBM kita dulu berjuang untuk memperbesar akses para pihak (Pemda dan Masyarakat) untuk terlibat secara aktif dalam system pengelolaan hutan. Avo Juhartono : Kita 2 kali dikhianati melalui pengingkaran dari hasil kesepakatan yaitu; a. Pertama, pada saat rapat di Bapeda Kuningan (sebelum berangkat ke Jakarta) bahwa yang hadir kesana kalau digiring untuk menjustifikasi usulan perubahan Ciremai menjadi Taman Nasional kita menolak, saat itu pimpinan rapat Bapak Usmadi setuju kalau ke Jakarta hanya memenuhi undangan Dephut. b. Kedua, kesimpulan pimpinan rapat di Jakarta bahwa Ciremai perlu dikaji lebih dahulu oleh Tim terpadu dan tidak ada kesimpulan rapat kalau Ciremai harus menjadi Taman Nasional, sebab LPI PHBM, LSM AKAR dan Wakil KTH (Kelompok Tani Hutan) menolak secara tegas kalau rapat saat 106
itu harus menanda tangani Berita Acara atau menyetujui Ciremai menjadi Taman Nasional. Cucu Suparman : Lembaga pengusul sangat pandai menyusun strategi, sehingga kita semua bisa dikelabui termasuk Bupati. Karena hal ini sudah terjadi, kita harus menyiapkan beberapa opsi yang sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat serta stakeholder Kuningan. Komaruddin : Sepengetahuan saya, apabila jadi Taman Nasional, akses masyarakat sangat terbatas, apalagi kalau menyimak PP No 68/1998 celah masyarakat untuk memanfaatkan kawasan sangat kecil, apalagi vegetasi dalam kawasan Taman Nasional harus dibailkkan kepada kondisi alaminya. Sehingga peluang masyarakat untuk tumpangsari baik itu tanaman tahunan maupun semusim pasti akan dibatasi bahkan dihilangkan di zona tertentu. Ammallo : Pengingkaran janji-janji tersebut mungkin merupakan startegi dari awal. Kondisi ini menunjukkan bahwa kewenangan dalam pengelolaan hutan diserahkan kembali kepada Pusat, padahal dengan MoU PHBM dan Prinsipprinsipnya kita ingin mensejajarkan para pihak dalam posisi yang sejajar mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan. KESIMPULANNYA 1. Kita tidak menyerah, tapi kita harus mencari beberapa strategi yaitu bagaimana kalau Taman Nasional itu : a. Kita terima dengan syarat harus ada jaminan mengakomodasi kepentingan masyarakat, maksudnya punya kesepakatan untuk berkolaborasi secara legal, terjamin dan disepakati bersama, dalam bentuk tertulis (seperti MoU PHBM). b. Kita Tolak bila tidak mengakomodasi kepentingan kita di daerah, SK agar dicabut, sebab prosesnya dilanggar sendiri. 2. Kita harus mencari mediator, dengan alternatif LPI PHBM; Forum Peduli Ciremai atau kita minta LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) ? 3. Disepakati agar LATIN untuk memediasi sekaligus diharapkan bisa menghadirkan dari Dephut (minimal dari BAPLAN dan Ditjen PHKA). Tapi yang harus hadir seorang pejabat pengambil keputusan (Dirjen atau Direktur) dan siap menanda tangani MoU untuk berkolaborasi dalam system, pengelolaan kawasan hutannya. 4. Partisipan: Stakeholder Kuningan agar diperbesar lembaga-lembaga yang saat ini segaris dengan kita (menolak kehadiran Taman Nasional) seperti WALHI, dan kalau memungkinkan ajak dari stakeholder dari Kabupaten Majalengka. 5. Kita harus merancang acara ini secara baik, termasuk membangun pemahaman yang benar kepada masyarakat sekitar hutan, khususnya tentang akses masyarakat apabila Ciremai sudah menjadi Taman Nasional. (Saat pertemuan di Jakarta banyak dihembuskan angin surga yang belum ada buktinya di lapangan). 6. Sebelum melangkah ke arah sana, AKAR akan membuat public opinion melalui media massa yang intinya : pengingkaran akan janji-janji, proses penetapan yang tidak mencerminkan kepentingan pihak lain bahkan melanggar aturan yang sudah dibuat, Pemda yang tidak mempertimbangkan resiko di kemudian hari (banyak
107
energi yang sudah dibuat akan mubazir) dan penanggalan hak-hak masyarakat selama ini. (Mudah-mudahan Kompas dan PR). 7. LPI agar mengambil peran untuk membangun public opinion sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang sama dengan kita-kita pada saat dialog multipihak tersebut. 8. Perda PHBM agar dicermati kembali, bahkan system PHBM harus diberlakukan disemua kawasan hutan yang masuk dalam wilayah Kuningan. 9. Komunikasi diantara kita harus ditingkatkan, untuk merapatkan barisan dan membangun pemahaman yang sejalan berkaitan dengan hal ini serta menjadi cermin kita semua. Notulis : us.
108
Lampiran 6 Informasi tentang Taman Nasional dan Hutan Lindung Definisi
Taman Nasional Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
Kriteria kawasan
Kriteria kawasan Taman Nasional adalah: • kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; • memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; • memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; • memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; • merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Tujuan Pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan: • sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; • sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; • untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Lembaga Pengelola
UPT (Unit Pengelola Teknis)Taman Nasional di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan
Peraturan yang terkait
PP 68/1998 ttg Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan
Hutan Lindung Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kriteria kawasan hutan lindung adalah : • Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau; • Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau; • Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih. Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidroologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani. Sedangkan di Yogyakarta dan luar Jawa hutan lindung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. Keppres RI No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, 109
SK Menhut No. 32/2001 ttg Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan
Hal-hal yang dilarang
Hal-hal yang diperbolehkan
Upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional dan Taman Hutan Raya dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungssi kawasan, yaitu: • merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya; • merusak keindahan alam dan gejala alam; • mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan; • melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. • memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan; • membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.
Kawasan Taman Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya. Zona inti dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • ilmu pengetahuan; • pendidikan; dan atau • kegiatan penunjang budidaya. Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • pariwisata alan dan rekreasi; • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • pendidikan (karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut); dan atau • kegiatan penunjang budidaya. Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • ilmu pengetahuan; • pendidikan; • kegiatan penunjang budidaya; • wisata alam terbatas
Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan SK Menhut No. 32/2001 ttg Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.
Pengelolaan kegiatan budi daya dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan.
110
Lampiran 7
Proses Usulan Kawasan Konservasi menurut Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2002 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 tanggal 23 Januari 2004
PROSES USULAN KAWASAN KONSERVASI Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 jo No. SK.48/Kpts-II/2004 23 Januari 2004 KAJIAN DATA & INFORMASI POTENSI SDAH&E
IDENTIFIKASI DAN KAJIAN PERMASALAHAN DAN USULAN KAWASAN KONSERVASI
USULAN KAWASAN KONSERVASI KEPADA MENTERI KEHUTANAN Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Rekomendasi Bupati dan Gubernur Peta sekala minimal 1 : 100.000
PENYUSUNAN RANCANGAN STRATEGI DAN TINDAK LANJUT USULAN KAWASAN KONSERVASI
KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI UNTUK MEMBANGUN PERSEPSI, PENGERTIAN, KESEPAKATAN DAN DUKUNGAN TERHADAP USULAN KAWASAN KONSERVASI
PERTIMBANGAN TEKNIS ESELON I TERKAIT INTERNAL DEPARTEMEN KEHUTANAN
PENELITIAN TIM TERPADU (Pusat dan Daerah) Kompetensi dan otoritas ilmiah, independen dan obyektif
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI
PERSETUJUAN ATAU PENOLAKAN MENTERI KEHUTANAN
TATA BATAS DI LAPANGAN
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN KONSERVASI
111
Lampiran 8 Materi Dialog Taman Nasional Gunung Ciremai A. DISHUTBUN 1. Mengapa proses menuju TN tidak dilaksanakan secara bersama? 2. Atas dasar apa Dishutbun membuat surat usulan ke Menhut untuk ditandatangani Bupati? 3. Mengapa Dishutbun sebagai staf Bupati tidak pernah melakukan kajian terhadap gagasan Uniku? 4. Apakah sistem PHBM belum cukup untuk menjamin kelestarian pengelolaan Gunung Ciremai? 5. Bagaimana posisi Bapak Kadishutbun sebagai Kadishutbun Kuningan atau sebagai orang Pusat? 6. Bagaimana Bapak menghubungkan kewenangan Taman Nasional dengan Perda Pendakian dan retribusi pendakian? 7. Bagaimana bentuk akses masyarakat terhadap TN? 8. Dengan menerima kajian Uniku apakah Dishutbun merasa bahwa Dishutbun tidak mampu mengelola Kawasan Ciremai. Cat : Apabila kesimpulan Dishutbun tetap mengelak tidak pernah membuat usulan ke Menhut, Dishutbun harus membuat surat penolakan TN ke Menhut. B. UNIKU : 1. Sesuai dengan pernyataan Pak Dekan pada saat rapat tanggal 7 Oktober di Bapeda, bahwa Bapak menyatakan kajian belum lengkap dan merupakan lontaran gagasan awal. 2. Motivasi apa yang menjadi latar belakang gagasan Uniku untuk merubah kawasan gunung Ciremai menjadi TN? C. BAPPEDA : 1. Bagaimana pemahaman bapak tentang Taman Nasional dan PHBM? 2. Bagaimana Bapak menghubungkan RUTR dan RDTR dengan kewenangan Taman Nasional? 3. Bagaimana alokasi dana untuk RUTR dan RDTR? D. DPRD 1. Bgm proses terbitnya srt dukungan no. 061/266/DPRD tgl 1 Sept 2004 tentang mendukung usulan pengelolaan kawasan hutan gunung ciremai sbg kawasan pelestarian alam. 2. Apakah dukungan tsb berdasarkan aspiratif atau substantif atau sekedar formatif? 3. Bagaimana Bapak menghubungkan Perda-perda mengenai RUTR dan RDTR dengan kewenangan Taman Nasional? E. BUPATI Untuk mengetahui input yang sebenarnya yang masuk ke Bupati. F. Gubernur Laporan proses perkembangan di Kuningan & mempertanyakan proses surat usulan Gubernur Jabar. G. Departemen Kehutanan Mempertanyakan proses ke luarnya SK Menhut ttg TNGC yang melanggar ketentuan proses pengusulan kawasan konservasi yang peraturannya dibuat Dephut sendiri.
112
Lampiran 9
Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut tanggal 22 Oktober 2004
Tempat & waktu: Kantor PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam) Bogor, 22 Oktober 2004 Hadir: Arif, Bowie, Budjo (LATIN) dan Pak Agus Sriyanto Proses penetapan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional telah berjalan sejak seminar yang membahas Gunung Ciremai yang diselenggarakan oleh UNIKU. Sejak itu proses berjalan terus dan menimbulkan pro dan kontra di antara stakeholder Kuningan. Proses terakhir yang terjadi adalah pertemuan yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan di Jakarta dengan mengundang para stakeholder dari Kabupaten Kuningan dan Majalengka pada tanggal 8 Oktober 2004. Sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda bahwa Gunung Ciremai akan segera ditetapkan menjadi Taman Nasional, walaupun disadari bahwa ‘bola’ sudah berada di tangan Departemen Kehutanan. Oleh karena itu dilakukan upaya untuk mencari informasi sejauh mana ‘bola’ akan dimainkan oleh Dephut. Hari Jumat, 22 Oktober 2004, LATIN mendapat kesempatan untuk diskusi dengan Pak Agus Sriyanto, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, yang juga terlibat dalam proses penetapan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Berikut adalah catatan pertemuan tsb.: 1. Menteri Kehutanan (Prakosa) telah menandatangani SK penetapan 10 taman nasional di Indonesia, salah satunya adalah Gunung Ciremai. Penandatangan SK ini dilakukan sebelum Prakosa turun dari jabatannya sebagai Menteri Kehutanan. Dasar keluarnya SK adalah UU No. 41 yang memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan. 2. Menurut Pak Agus, proses penandatangan SK tsb., khususnya untuk Gunung Ciremai sudah melalui prosedur yang berlaku (lihat lampiran). Pak Agus menyatakan bahwa salah satu hal yang mempercepat proses penandatangan SK Ciremai adalah keinginan dari pihak Kuningan sendiri (baik dari Pemda dan DPRD) yang mengusulkan agar Ciremai dijadikan Taman Nasional. Selain itu dalam pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 yang juga dihadiri oleh berbagai stakeholder, termasuk dari LSM juga kelihatan mendukung. Pak Agus sedikit menceritakan bahwa walaupun dalam pertemuan tsb. terjadi pro dan kontra tetapi pada akhir pertemuan, tampaknya rencana penetapan TN Ciremai didukung. 3. Dalam diskusi juga disampaikan bahwa di kawasan Gunung Ciremai sudah ada Program PHBM, dimana sudah terjadi penandatanganan perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan Perhutani, yang menyangkut beberapa jenis tanaman seperti pinus, serta menyangkut akses masyarakat untuk mengelola lahan di kawasan hutan dengan sistem tumpang sari. 4. Menanggapi hal tsb. Pak Agus mengatakan bahwa konsep Taman Nasional yang akan dibangun adalah konsep Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif, yang melibatkan masyarakat dan stakeholder lain. Untuk itu, dalam jangka pendek perlu ada masa transisi dimana proses-proses yang sudah terjadi sebelumnya akan disepakati kembali dengan pengelola yang baru. Dalam pengelolaan TN secara kolaboratif itu juga tidak akan terjadi pengusiran masyarakat dari dalam kawasan. Kegiatan-kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan TN antara lain menebang pohon, melakukan penambangan. Kegiatan-kegiatan yang menunjang kehidupan masyarakat tetap diperbolehkan seperti pemanfaatan hasil 113
hutan non kayu. Kegiatan tsb. bisa dilakukan di zona lain, sesuai dengan PP No. 68/1998, Pasal 30 (2) (lihat lampiran). 5. Peranan stakeholder setempat dimungkinkan dalam pengelolaan Taman Nasional, misalnya terlibat dalam Dewan Pengelola (semacam steering committee) Taman Nasional yang memberi arahan kepada Pengelola TN yang ditunjuk pemerintah. Untuk sementara dalam masa transisi ini, pengelola TN Ciremai diserahkan kepada BKSDA Jabar II yang berkedudukan di Ciamis, yang dikepalai oleh Ir. Ikin Zainal Mutaqin. 6. Proses pengelolaan TN secara kolaboratif ini ingin dikembangkan oleh Ditjen PHKA (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Dephut setelah melihat begitu banyaknya kawasan konservasi yang menghadapi konflik karena dikelola dengan cara-cara konvensional, yang hanya mengandalkan pada upaya perlindungan semata, dengan menerapkan berbagai larangan. 7. Namun disadari bahwa saat ini Dephut masih sedang mencari bentuk, dan diyakini bahwa penerapan manajemen kolaborasi harus mempertimbangkan karakteristik setempat, sehingga penerapannya harus site spesific. 8. Di sisi lain, ternyata dari segi legal aspect atau peraturan perundangan, Ditjen PHKA masih belum punya aturan yang bisa memayungi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif. Demikian catatan pertemuan yang terkait dengan proses penetapan kawasan Gunung Ciremai menjadi kawasan Taman Nasional.
114
Lampiran 10
Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II tanggal 14 Desember 2004
Arif/LATIN menerima undangan dari BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Jabar (Jawa Barat) II yang berkantor di Ciamis melalui sms dari Yeti (staf BKSDA Jabar II) pada hari Senin 13 Desember 2004. Yeti meminta LATIN untuk memberi masukan tentang konsep rencana pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai yang sedang dia susun dan harus diserahkan kepada Departemen Kehutanan di Jakarta pada hari Kamis, 16 Desember 2004. Komunikasi informal melalui sms ini sudah beberapa kali dilakukan, khususnya setelah Gunung Ciremai ditunjuk menjadi kawasan Taman Nasional. Komunikasi informal ini bisa terjadi karena sebelumnya, sudah ada kerjasama antara LATIN dengan BKSDA Jabar II, untuk kasus pengelolaan hutan di Kabupaten Garut dan ketika LATIN memfasilitasi workshop pengelolaan Suaka Margasatwa Gunung Sawal secara kolaboratif. Saat ini, kawasan TN G. Ciremai memang berada di bawah tanggung jawab BKSDA Jabar II, sebelum Balai Taman Nasional G. Ciremai dibentuk. Salah satu tugas BKSDA Jabar II adalah mempersiapkan pra-kondisi untuk menyusun rencana pengelolaan TN G. Ciremai. Sehubungan dengan hal itu, LATIN diminta memberi masukan kepada BKSDA Jabar II. Pertemuan dilaksanakan pada hari Selasa, 14 Desember 2004 di kantor BKSDA Jabar II Ciamis dari jam 14.00 – 16.00. Pertemuan hanya dihadiri oleh Arif Aliadi (LATIN), Ikin (Kepala BKSDA Jabar II) dan Yeti (staf BKSDA Jabar II yang diminta Pak Ikin untuk membuat draft rencana pengelolaan TN Gunung Ciremai). Dalam pertemuan itu, LATIN memberi usulan tertulis sebanyak 3 halaman (terlampir). Suasana pertemuan cukup terbuka dan santai. Pertemuan membahas beberapa topik, yaitu konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai menurut BKSDA dan LATIN, posisi BKSDA, kekuatiran BKSDA dan peluang masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Konsep BKSDA tentang pengelolaan TN Gunung Ciremai dimulai dari tahap sosialisasi, dilanjutkan dengan pengembangan kelembagaan yang meliputi pelaksanaan PRA (Participatory Rapid Appraisal), pembentukan Kelompok Konservasi Desa, dan pembentukan forum-forum konservasi. Pengembangan kelembagaan harus diikuti dengan pengembangan ekonomi masyarakat yang meliputi pengelolaan jasa lingkungan berupa air, budidaya anggrek, penangkaran rusa, dan budidaya jamur. Usulan LATIN tentang pengelolaan TN Gunung Ciremai bisa dilihat pada Lampiran catatan proses ini. Posisi BKSDA Jabar II dalam perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional adalah: • Melaksanakan Keputusan Menteri Kehutanan dan tidak berwenang mengambil keputusan • Selalu berpegang pada aturan yang sudah ditetapkan • Takut berinisiatif dan mengambil keputusan sendiri karena pernah ditegur atasan • Tidak akan menerima tuntutan untuk mencabut SK 424 • Akan melakukan dialog Selain membahas posisi BKSDA Jabar II, dibahas pula kekuatiran BKSDA Jabar II, yaitu: • kuatir masyarakat ditunggangi, sehingga hanya akan bicara dengan aparat desa formal seperti kepala desa, BPD dan perangkat desa lainnya. • Apabila SK dicabut atau ditunda pemberlakuannya maka akan terjadi kekosongan pengelola sehingga membuka peluang penjarahan baru dan situasi anarkis • Ada target waktu dan output sehingga dialog mungkin membawa hasil yang tidak optimal BKSDA Jabar II juga menyampaikan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, yaitu: • Masyarakat bisa menyusun peta partisipatif untuk wilayah PHBM
115
• MPTs dan berbagai tumbuhan lain yang ditanam dan dirawat masyarakat akan memperoleh kompensasi Pembelajaran (lessons learned) yang diperoleh peneliti dari pertemuan dengan BKSDA Jabar II adalah: • BKSDA akan menjadikan dialog sebagai cara utama untuk mempersiapkan pengelolaan TN G Ciremai. Yang perlu diberi masukan adalah bagaimana cara melaksanakan dialog yang konstruktif untuk menemukan solusi bersama (bukan dialog yang bertahan pada posisi masing-masing), serta perlu diberi informasi tentang siapa saja yang perlu diajak berdialog. • Gambaran tentang pola PHBM bagi BKSDA juga kurang jelas, terutama tentang jenisjenis tanaman yang sudah ditanam masyarakat. Oleh karena itu perlu informasi tentang PHBM di Kuningan. Lampiran Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II USULAN DARI LATIN TENTANG PENYUSUNAN KONSEP PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI Oleh: Arif Aliadi Penyusunan konsep pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai pada saat ini menurut kami dari LATIN belum tepat saatnya untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena situasi di lapangan masih belum kondusif. Masyarakat masih resah dengan kebijakan penetapan kawasan TN Gunung Ciremai. Banyak pertanyaan yang mengganjal di masyarakat tentang kebijakan ini, terkait dengan keterlibatan mereka selama ini dalam PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti ? Hal ini wajar sekali muncul karena dalam PHBM, masyarakat telah berkontribusi terhadap kawasan hutan dengan menanam berbagai jenis tanaman buah-buahan dan tanaman pokok kehutanan seperti pinus. Secara fisik, pola PHBM telah menghasilkan suatu kebun campuran atau agroforestri yang merupakan kombinasi tanaman kehutanan dengan buah-buahan dan tanaman lain yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat seperti kopi, pisang dan berbagai tanaman palawija (sampai kira-kira 3 tahun). Masyarakat berharap bahwa mereka juga akan dapat memanen buah-buahan dan memperoleh sebagian keuntungan dari pemanenan pohon pinus. Semua itu diatur dalam perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan Perum Perhutani dalam bentuk Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dan Nota Kesepakatan Bersama (NKB). Penetapan TN Gunung Ciremai telah terjadi dan masyarakat semakin kuatir apakah pola PHBM tetap bisa diakomodir di dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai ditetapkan menjadi Taman Nasional. Kekuatiran mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya selama proses penetapan TN Gunung Ciremai. Pertanyaanpertanyaan itu antara lain: • Bagaimana hasil kayu dan non kayu yang sudah diatur dalam perjanjian kerjasama (NPK) ? • Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, maka bagaimana kompensasi yang akan diterima masyarakat sebagai konsekuensi dari tidak terlaksananya NPK dan NKB ?
116
• • •
Apa bentuk kompensasinya, bagaimana menghitungnya dan siapa yang menjamin bahwa kompensasi itu akan diberlakukan ? Kalau tidak dengan PHBM, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai ? Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai?
Pertanyaan-pertanyaan tsb. sebenarnya sudah diajukan kepada Bupati Kuningan melalui surat dari Lembaga Pelayanan Implementasi (LPI) PHBM tanggal 1 Oktober 2004, dan juga diajukan secara lisan kepada pihak Departemen Kehutanan dalam rapat tanggal 8 Oktober 2004 di Jakarta. Namun, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ada yang menjawabnya secara tuntas dan masyarakat masih dalam keadaan bingung. Ketika masyarakat masih bingung, tiba-tiba saja terbit SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Proses menjadikan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional tidak mengikuti prosedur seperti diatur dalam Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut no. 70/KptsII/2001 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 23 Januari 2004 tentang Proses Usulan Kawasan Konservasi, yaitu: 1. Kajian data dan informasi potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya 2. identifikasi dan kajian permasalahan dan usulan kawasan konservasi 3. penyusunan rancangan strategi dan tindak lanjut usulan kawasan konservasi 4. komunikasi dan sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan dukungan terhadap usulan kawasan konservasi 5. usulan kawasan konservasi kepada Menteri Kehutanan (Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan, Rekomendasi Bupati dan Gubernur, Peta skala minimal 1:100.000) 6. Penelitian tim terpadu (pusat dan daerah) yang kompeten, mempunyai otoritas ilmiah, independen dan obyektif 7. persetujuan atau penolakan Menteri Kehutanan 8. Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan konservasi 9. tata batas di lapangan 10. keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan kawasan konservasi Dari kesepuluh langkah proses tsb., paling tidak langkah keempat, kelima dan keenam tidak dilakukan dengan tepat. Proses komunikasi dan sosialisasi yang dibangun tidak bertujuan untuk membangun persepsi, pengertian dan kesepakatan, melainkan bertujuan untuk melegitimasi usulan yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten. Jadi memang betul ada beberapa pertemuan misalnya tanggal 7 Oktober 2004 di Bappeda Kuningan dan 8 Oktober 2004 di Departemen Kehutanan Jakarta, tetapi pertemuanpertemuan tsb. Belum mencapai suatu persepsi dan pengertian yang sama tentang usulan TN Gunung Ciremai, apalagi kesepakatan. Begitu pula dengan rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat, yang baru turun tanggal 22 Oktober 2004, justru setelah SK Menhut No. 424 terbit tanggal 19 Oktober 2004. Demikian pula dengan proses penelitian tim terpadu (pusat dan daerah), yang ternyata tidak ada. Jadi setelah pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 di Departemen Kehutanan Jakarta, masyarakat dan stakeholder di Kabupaten Kuningan masih menunggu turunnya Tim Terpadu tsb., dengan harapan dapat menyalurkan aspirasinya dengan lebih tepat dan dalam proses yang tidak tergesa-gesa. Namun, kenyataannya Tim Terpadu tsb. tidak pernah ada dan tanggal 19 Oktober 2004 langsung terbit SK Menhut No. 424. Proses keluarnya SK Menhut No. 424 yang tidak memenuhi prosedur tsb. juga menjadi pertanyaan dan keresahan masyarakat, karena masyarakat menjadi bingung bagaimana mereka dapat menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah (Departemen Kehutanan). 117
Oleh karena itu, kami dari LATIN mengusulkan kepada Departemen Kehutanan, bahwa sebelum Rencana Pengelolaan Kawasan TN Gunung Ciremai disusun, perlu dilakukan dialog atau konsultasi dengan masyarakat dan stakeholder di kedua kabupaten untuk berdiskusi tentang konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai, melalui proses dialog yang terbuka, jujur dan transparan, serta tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Proses dialog bisa dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diutarakan oleh masyarakat, seperti tertulis di bagian atas tulisan ini. Proses dialog ini penting dilakukan untuk mengatasi kekuatiran dan keresahan yang dihadapi oleh masyarakat. Proses dialog itu juga penting untuk membangun rasa saling percaya antara masyarakat dengan pemerintah. Oleh karena itu perlu disadari bahwa proses dialog ini akan memakan waktu cukup lama, diperkirakan bisa sampai satu tahun. Proses dialog yang diusulkan adalah sbb.: • Pertemuan dengan seluruh stakeholder untuk memahami hak, tanggung jawab, manfaat yang diperoleh dari kawasan hutan, serta hubungan di antara stakeholder pada saat ini • Pertemuan dengan seluruh stakeholder untuk memahami posisi, kekuatiran dan harapan masing-masing pihak • Pertemuan untuk mencari titik temu berdasarkan kekuatiran dan harapan masingmasing pihak, serta menyusun rencana tindak lanjut • Menyepakati kriteria dan indikator untuk memonitor perkembangan pelaksanaan rencana tindak lanjut. • Melakukan rencana tindak lanjut tsb. • Melakukan proses monitoring secara reguler. Demikian usulan dari LATIN terhadap rencana penyusunan konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai. Kami berharap proses dialog seperti diusulkan di atas dapat menjadi bibit bagi pengelolaan TN Gunung Ciremai yang kolaboratif, dengan melibatkan banyak pihak (multi-pihak).
118
Lampiran 11
Hadir
:
Tujuan
:
Tempat : Waktu :
Catatan Pertemuan antara Peneliti bersama sebagian Anggota LPI PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut
Arif (LATIN/Peneliti), Usep Sumirat (LPI PHBM/Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kuningan), Rachmat Firmansyah (LSM KANOPI), dan Pak Agus Sriyanto (Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut) Mempertanyakan dan meminta klarifikasi atas proses penetapan TN Gunung Ciremai yang tidak sesuai dengan prosedur. Kantor Subdit Pengembangan Kawasan Konservasi/PIKA, jl. Pajajaran Bogor 10.30 – 12.30
Proses pertemuan cukup lancar dan Pak Agus juga bersikap terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang proses perubahan status Gunung Ciremai. Beberapa pertanyaan dan jawaban yang muncul dalam pertemuan adalah:
1.
2.
3.
Mengapa Kepmenhut No. 424 keluar pada tanggal 19 Oktober 2004, sebelum ada surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober 2004? Pak Agus menjawab bahwa surat dukungan Gubernur bisa menyusul karena surat dari Bupati sudah dianggap cukup. Mengapa Kepmenhut No. 424 tidak dilengkapi dengan peta TN Gunung Ciremai? Pak Agus menjawab bahwa peta yang tidak terlampir ada di Biro Hukum dan merupakan rahasia negara yang tidak bisa diperoleh sembarangan. Mengapa tidak ada proses konsultasi dengan stakeholder Kuningan sebelum Kepmenhut 424 keluar? Pak Agus menjawab bahwa proses konsultasi dengan stakeholder Kuningan sudah terjadi pada tanggal 8 Oktober sehingga tim tidak perlu datang ke lapangan, karena sudah percaya dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan bahwa proses sosialisasi sudah beres.
Dalam pertemuan juga digali posisi Pak Agus terhadap perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai. Posisi Pak Agus adalah: • Tidak akan mendukung pencabutan sk 424 • Akan menjalankan proses dialog sesuai dengan Kepmenhutn No. 19/2004 tentang kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi • Dalam proses dialog masih ada kemungkinan terjadinya perubahan fungsi kawasan selain TN, tetapi selama ini belum ada pengalaman seperti itu. • PHBM dianggap eksploitatif, berdasarkan pengalaman melihat PHBM di sekitar TN Halimun • Proses dialog akan menghasilkan peta yang sudah lengkap dengan zonasinya, rencana tindak lanjut untuk menyusun pengelolaan kawasan, dsb. Selain menggali posisi Pak Agus, digali pula kekuatiran Pak Agus, baik terhadap PHBM maupun tuntutan LPI PHBM untuk mencabut Kepmenhut 424. Kekuatiran Pak Agus adalah: • Apakah PHBM di Kuningan eksploitatif seperti yang dijumpai di sekitar TN Halimun salak? • Pencabutan Kepmenhut akan berdampak pada tidak tersedianya dana untuk melakukan proses dialog Pak Agus juga menyampaikan beberapa informasi lain yaitu tentang proses tata batas dan organisasi pengelola TN Gunung Ciremai. Badan planologi akan melakukan proses tata batas secara partisipatif, yang secara teknis di lapangan akan dilakukan oleh Badan Pemantapan Kehutanan (BPK) Jogja. Untuk pengelola TN Gunung Ciremai akan dipersiapkan UPT Balai TN Gunung Ciremai.
119
Pembelajaran (lessons learned) yang diperoleh peneliti dan LPI PHBM dari pertemuan ini adalah: • terjadi sharing kekuatiran, tentang PHBM di Kuningan yang eksploitatif dan sejauh mana sistem TN bisa fleksibel menerima PHBM. Oleh karena itu perlu disiapkan informasi tentang PHBM di Kuningan yang jelas dan argumentatif, serta meminta kejelasan informasi tentang fleksibilitas sistem TN dalam mengadopsi PHBM. • ada proses klarifikasi tentang proses penetapan TNGC • disepakati bahwa dialog adalah jalan yang akan ditempuh, bukan provokasi atau anarki
120
Lampiran 12
Kronologis Peristiwa dalam Perubahan Status Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
Waktu
Peristiwa
5 Juli 2003
Seminar Sehari tentang Masa Depan Kawasan Hutan Gunung Ciremai oleh STIKKU (Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Kuningan) di Gedung DPRD Kuningan
Jan-Mei 2004
Kajian tentang Pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai, oleh Fakultas Kehutanan UNIKU. Pada halaman 12, disebut beberapa kemungkinan pengelolaan kawasan Gunung Ciremai yaitu: (a) KPHL, (b) Tahura, (c) TN, dan (d) TWA.
26 Juli 2004
Bupati Kuningan telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan pengkajian perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan pelestarian alam, melalui Surat Nomor 522/1480/Dishutbun Perihal: Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam,
13 Agustus 2004
Bupati Kuningan menyampaikan surat kepada Ketua DPRD Kabupaten Kuningan (surat Nomor 522.6/1653/ Dishutbun Perihal Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam/KPA).
1 September 2004
Pimpinan DPRD Kabupaten Kuningan menyampaikan surat No. 661/266/DPRD kepada Menteri Kehutanan Perihal Dukungan Atas Usulan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
8 Oktober 2004
Pertemuan atau Rapat Rencana Pengkajian Tim Terpadu atas Usulan Perubahan Fungsi Hutan Lindung – Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas serta Perubahan Status Bukan Hutan menjadi Kawasan Pelestarian Alam Gunung Ciremai di Provinsi Jawa Barat
19 Oktober 2004
Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi TNGC.
22 Oktober 2004
Gubernur Jawa Barat menyampaikan surat Nomor: 522/3325/ Binprod Kepada Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia perihal 121
Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam. 25 Oktober 2004
Diadakan diskusi tentang Kebenaran Penetapan Taman Nasional Ciremai, diskusi diadakan di kantor Perum Perhutani KPH Kuningan.
30 Oktober 2004
Perwakilan petani dari Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) menyampaikan pengaduan kepada LPI PHBM Kuningan, diterima oleh Ketua LPI PHBM
1-4 Nov 2004
Pelatihan social forestry oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuningan, sekaligus dinyatakan bahwa Dishutbun Kuningan siap berdialog tentang penetapan TN Gunung Ciremai
3 November 2004
Pertemuan di ruang Dispenda Kuningan, antara Kepala Dishutbun, Dekan Fakultas Kehutanan UNIKU dengan camat, kepala-kepala dinas, kepala-kepala desa sekitar Gunung Ciremai. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa Bupati meminta peserta yang hadir untuk mengamankan Surat Keputusan TN Gunung Ciremai karena merupakan kebijakan Menteri Kehutanan. Yang menentang berarti melanggar hukum.
6 November 2004
PMTH bertemu dengan LSM pendamping (KANOPI). Peserta menyepakati (a) membuat surat ke Menteri Kehutanan untuk menyatakan menolak TNGC, (b) PMTH mengadakan konsolidasi petani dengan mengadakan pertemuan per wilayah, (c) menolak segala jenis dialog apabila hanya berupa pengarahan dan dilakukan dengan pihak yang tidak lengkap dan tidak melibatkan pembuat keputusan.
6 November 2004
Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengundang LPI PHBM untuk buka puasa bersama, dan sekaligus membahas masalah TN Gunung Ciremai, dengan Dekan Fahutan UNIKU sebagai nara sumber. Dalam dialog itu, Kepala Dishutbun menyatakan bahwa TN Gunung Ciremai sudah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan, dan sistem pengelolaan TN Gunung Ciremai akan menggunakan PHBM. Kadishutbun juga meminta silang pendapat tentang TN Gunung Ciremai dihentikan dan jangan ada upaya untuk membangun opini publik yang sifatnya sepihak.
7 November 2004
PMTH mengadakan pertemuan petani di wilayah Gunung Ciremai bagian Masyarakat sepakat selatan-tengah (Kecamatan Darma-Cigugur). menolak dan siap menandatangani surat pernyataan
8 November 2004
Sebagian anggota LPI PHBM berdiskusi untuk menyusun rencana dialog (a) dengan Dishutbun, UNIKU, DPRD, Bupati, Departemen Kehutanan, (b) menyusun materi dialog untuk setiap lembaga yang akan diajak dialog
122
9 November 2004
Sebagian anggota LPI PHBM melanjutkan pertemuan untuk membahas surat Gubernur Jawa Barat tanggal 22 Oktober 2004 tentang pengkajian usulan perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan pelestarian alam Menyepakati bahwa LPI PHBM tidak bisa digunakan sebagai lembaga untuk menyelesaikan konflik TN Gunung Ciremai karena di dalamnya ada Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta dinas-dinas yang lain, yang mempunyai kepentingan. Oleh karena itu sebagian anggota LPI PHBM bersepakat membentuk Para Penggiat PHBM, yang terdiri atas Avo Juhartono, Frederik Amalo, Komarudin, Rachmat Firmansyah, Sanusi K. Widjaja dan Usep Sumirat.
10 November 2004
PMTH mengadakan pertemuan petani sekitar Gunung Ciremai wilayah tengah-utara (Kecamantan Jalaksana-Pasawahan) di Balai Desa Linggarjati.
11 November 2004
Diadakan diskusi penggiat PHBM Kuningan dengan Dishutbun Kuningan untuk menyikapi penetapan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional.
14 Desember 2004
Penggiat PHBM Kuningan mengirim surat kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Jawa Barat, Bupati Kuningan dan Majalengka, Pimpinan DPRD Kuningan dan Majalengka tentang hasil diskusi tanggal 11 November 2004.
14 Desember 2004
Pertemuan LATIN dengan Kepala BKSDA Jabar II di Ciamis dilanjutkan pertemuan LATIN dengan Para Penggiat PHBM di Kuningan
15 Desember 2004
Pertemuan LATIN, Para Penggiat PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi, Ditjen PHKA Departemen Kehutanan di Bogor.
30 Desember 2004
BKSDA Jabar II ditunjuk sebagai pengelola TN Gunung Ciremai sampai terbentuknya organisasi TNGC yang definitif berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHKA No: SK.140/IV/Set-3/2004
123
Lampiran 13 Bahan Rapat tanggal 8 Oktober 2004
124
125
Lampiran 14 Surat Para Penggiat PHBM Kuningan tanggal 14 Desember 2004
PARA PENGGIAT PHBM KUNINGAN No. : Istimewa-04/PP_PHBM Kng/XII/2004 Lamp. : 1 (satu) berkas Hal. : Hasil Diskusi TNGC Kepada Yth.: 1. Menteri Kehutanan 2. Gubernur Provinsi Jawa Barat 3. Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka 4. Pimpinan DRPD Kuningan dan DPRD Majalengka diTempat Dengan Hormat, Bersama ini kami sampaikan hasil diskusi tentang Taman Nasional Gunung Ciremai dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Nopember 2004 sebagaimana terlampir. Maksud kami melakukan diskusi tersebut adalah untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya dari masalah Taman Nasional Gunung Ciremai yang selama ini berkembang atau banyak dibicarakan serta untuk menemukan solusi bagi para pihak. Hasil diskusi tersebut kemudian kami rujukan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan pengetahuan serta pengalaman kami dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan hutan kolaboratif (sistem PHBM di Kuningan) maupun dalam penyelenggaraan pengelolaan Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia. Semula kami bermaksud melengkapinya dengan hasil audiensi dengan Bupati Kuningan. Namun setelah 2 (dua) kali kami meminta audiensi dengan Beliau tidak terlaksana (mengingat berbagai kesibukannya) maka hasil diskusi ini kami sampaikan tanpa dilengkapi dengan hasil audiensi tersebut. Dengan disampaikannya hasil ini, kami berharap agar duduk persoalan tentang masalah Taman Nasional Gunung Ciremai menjadi jelas, sehingga semua pihak yang berkepentingan bisa memahami dan mengambil sikap secara bijaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Atas perhatiannya, kami haturkan terima kasih. Kuningan, 14 Desember 2004 Para Penggiat PHBM Kuningan, Avo Juhartono
Frederik Amallo
Komarudin
Rachmat Firmansyah
Sanusi Wijaya K.
Usep Sumirat 126
Tembusan disampaikan Kepada Yth.: 1. Menko Kesra di Jakarta; 2. Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta; 3. Mensesneg di Jakarta; 4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat di Bandung; 5. Kepala BPLHD Provinsi Jawa Barat di Bandung; 6. Kepala Bakorwil Cirebon di Cirebon; 7. Kepala Badan/Dinas lingkup Pemkab Kuningan dan Majalengka; 8. Kepala Desa se-lereng Gunung Ciremai; 9. Para Pihak lainnya yang berkepentingan (sebagai akuntabilitas moral dan sosial kami). Lampiran: Hasil Diskusi 11 Nopember 2004 RANGKUMAN HASIL DISKUSI TENTANG TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DENGAN DISHUTBUN KABUPATEN KUNINGAN Kamis, 11 Nopember 2004 Guna menggali informasi tentang permasalahan yang berhubungan dengan upaya Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk menjadikan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, kami para penggiat PHBM Kuningan (di luar para penggiat PHBM dari Dishutbun Kuningan) telah melakukan diskusi dengan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan sebagai unit kerja Pemerintah Kabupaten di bidang kehutanan dan perkebunan pada tanggal 11 Nopember 2004 di RM Laksana-Sangkanurip. Maksud kami melakukan diskusi tersebut adalah untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya dari isu Taman Nasional yang selama ini berkembang atau banyak dibicarakan serta untuk menemukan solusi bagi para pihak, terutama bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Departemen Kehutanan. Menyimak diskusi tersebut ternyata masih terdapat perbedaan yang prinsipil antara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan dengan kami dari unsur Penggiat PHBM Kuningan (Avo Juhartono, Frederik Amallo, Komarudin, Rachmat Firmansyah, Sanusi Wijaya K., dan Usep Sumirat). Berikut ini kami sajikan rangkuman hasil diskusi tersebut yang merupakan hasil dari proses-proses, a.) menyimak ungkapan-ungkapan Kadishutbun yang ada dalam kaset rekaman; b.) merujukkannya dengan peraturan perundangan yang berlaku; dan c.) pengetahuan dan pengalaman kami di dalam hal penyelenggaraan sistem pengelolaan hutan kolaboratif —yaitu sistem PHBM di Kabupaten Kuningan— dan penyelenggaraan pengelolaan Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia. Rangkuman tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1.
Prosedur Keluarnya SK Menhut No. SK.424/Kpts-II/2004 Kadishutbun beranggapan bahwa proses keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, sudah prosedural. Sedangkan menurut pemahaman kami, proses keluarnya SK dimaksud tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh: [1] UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (Pasal 19); dan [2] Kepmenhut No. 70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan jo No. 48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 127
tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; yang menetapkan setidaknya ada 8 (delapan) langkah/tahapan proses untuk sampai kepada keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Konservasi. Adapun ketidaksesuaian tersebut antara lain terletak pada tahapan proses berikut: a.
Tidak dilaksanakannya tahapan proses “Komunikasi dan Sosialisasi untuk Membangun Persepsi, Pengertian, Kesepakatan, dan Dukungan terhadap Usulan Kawasan Konservasi”. Sedangkan Kadishutbun dalam kaitan ini menganggap bahwa proses tersebut sudah dilakukan yaitu dengan diadakannya Seminar Sehari tanggal 5 Juli 2003 tentang Masa Depan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai yang diselenggarakan STIKKU di Gedung DPRD Kuningan. Menurut kami, seminar tersebut tidak bisa dianggap memenuhi tahapan proses sebagaimana diatur dalam aturan di atas. Selain karena seminarnya cuma sehari dan baru satu kali, juga pembahasannya tidak intensif. Dan yang lebih penting lagi dari seminar tersebut menyimpulkan bahwa bentuk pengelolaan kawasan Gunung Ciremai ke depan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan tidak mengarahkan kepada satu pilihan Taman Nasional, melainkan setidaknya tiga bentuk pilihan (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan KPHL) yang urutan-urutan penulisan itu sama sekali tidak untuk menunjukkan prioritas pilihan. Pada waktu itu juga dikemukakan bahwa seminar ini tidak untuk menetapkan bentuk-bentuk pengelolaan kawasan Gunung Ciremai karena penentuan dan penetapannya akan dibicarakan lebih lanjut secara bersama-sama melalui beberapa kali seminar dan pengkajian.
b.
Pada tahapan proses “Usulan Kawasan Konservasi kepada Menteri Kehutanan”, surat rekomendasi yang diajukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat ke Menteri Kehutanan, tercatat tanggal 22 OKTOBER 2004 dengan No. 522/3325/Binprod perihal Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai Menjadi Kawasan Pelestarian Alam, sedangkan SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004, tercatat tanggal 19 OKTOBER 2004. Padahal menurut prosedur sebagaimana disebut di atas, harusnya penerbitan SK Menhut tersebut dilakukan setelah diterbitkannya surat rekomendasi Gubernur. Selanjutnya, mengapa juga surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat yang jelas-jelas menurut ketentuan Proses Usulan Kawasan Konservasi sangat dibutuhkan, tidak dimasukkan dalam konsideran ‘Memperhatikan’ dari SK Menhut tersebut? Untuk yang satu ini kami mengetahuinya, yaitu karena SK Menhut diterbitkan sebelum adanya surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan: “Apakah surat Gubernur Jawa Barat yang terlambat terbit?” atau “SK Menhut yang diterbitkan terburu-buru?” Padahal di dalam surat Gubernur itu jelas-jelas tercantum permohonan untuk melakukan pengkajian ke lapangan terlebih dahulu. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa penerbitan SK Menhut tersebut tidak menganut Tertib Administrasi Pemerintahan yang baik atau dengan kata lain cacat prosedur. Dengan demikian, kami menilai bahwa proses perjalanan menuju terbitnya SK Menhut dimaksud tidak sesuai dengan prosedur atau hal ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Kadishutbun.
c.
Tahapan proses “Penelitian Tim Terpadu (Pusat dan Daerah)” tidak pernah dilaksanakan. Sedangkan menurut Kadishutbun, peserta rapat di Dephut pada tanggal 8 Oktober 2004 merupakan Tim Terpadu yang melakukan penelitian. Padahal pada materi/bahan rapat tersebut secara jelas dan tegas tertulis bahwa, -
Dalam poin C nomor 4 disebutkan: “Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Kehutanan dengan surat Nomor ………, tanggal ………, mohon untuk segera menerjunkan Tim Terpadu ke lapangan guna meneliti secara cermat usulan dimaksud bersama-sama Tim dari Provinsi.”
128
-
Dalam poin C nomor 5 disebutkan: “Sesuai ketentuan dalam SK Menhut Nomor 70/KptsII/2001 jo Nomor SK. 48/Menhut-II/2004, usulan perubahan fungsi hutan perubahan status bukan hutan menjadi Kawasan Pelestarian Alam dimaksud masih diperlukan kelengkapan rekomendasi kegiatan penelitian/pengkajian oleh Tim Terpadu.”
-
Dalam poin C nomor 6 disebutkan: “Tim Terpadu yang terdiri dari unsur LIPI, KLH, Dephut, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dan KPH Kuningan dan Majalengka direncanakan melaksanakan pengkajian secara komprehensif dengan fasilitasi dari pemohon (Pemerintah Kabupaten Kuningan, Majalengka, dan Kabupaten/Kota Cirebon).”
Sampai saat ini, bukannya Tim Terpadu yang turun ke lapangan untuk melakukan penelitian, tapi malah langsung keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. 2.
Kajian Fakultas Kehutanan UNIKU Menurut pemahaman kami, hasil kajian pihak Fakultas Kehutanan UNIKU tentang Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai seharusnya perlu dikaji ulang oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan c/q Dinas Kehutanan dan Perkebunan, karena secara substansial kajian tersebut belum menjangkau pada aspek kebijakan Pemkab dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat. Misalnya: [1] nasib atau kedudukan Perda No. 38/2002 tentang RUTR Gunung Ciremai, Perda No. 14/2004 tentang Pengelolaan Pendakian Gunung Ciremai, serta Perda No. 15/2004 tentang Retribusi Pendakian Gunung Ciremai; [2] nasib MoU PHBM antara Bupati Kuningan dengan Direktur Umum Perum Perhutani sepanjang yang menyangkut kawasan Gunung Ciremai; [3] nasib NKB dan NPK antara masyarakat desa hutan di lereng Gunung Ciremai dengan Perhutani KPH Kuningan; dan terutama yang ke-[4] konsekuensi logis atau kompensasi untuk petani-petani hutan yang telah banyak melakukan “investasi” di dalam kawasan. Ketika hal tersebut dibicarakan dengan Kadishutbun, tidak secara eksplisit menjawab apakah Pemkab melakukan pengkajian ulang atau tidak terhadap hasil kajian Fakultas Kehutanan UNIKU tersebut. Padahal disinilah letak pentingnya kenapa kaji ulang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan c/q Dinas Kehutanan dan Perkebunan karena menyangkut pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat.
3.
Akses Masyarakat Menurut Kadishutbun, dengan PP 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan PP 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, akses masyarakat akan tetap terjamin seperti dalam PHBM sekarang ini. Sementara menurut pemikiran kami, landasan hukum tersebut belum cukup kuat karena konteknya berbeda dengan realitas yang saat ini ada dan sedang dilaksanakan oleh masyarakat. Selain itu belum ada bukti konkrit di lapangan dari pihak pengelola Taman Nasional-Taman Nasional di tempat lain di Indonesia yang benar-benar kolaboratif dengan masyarakat, bahkan cenderung akses masyarakat sangat dibatasi. Padahal sistem pengelolaan Taman Nasional-Taman Nasional tersebut juga diatur oleh PP 68/1998 dan PP 18/1994. Selain itu dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional oleh pihak pengelola Taman Nasional, hingga saat ini juga belum ada bukti yang penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Selain itu, tidak semua desa hutan di lereng Gunung Ciremai memiliki potensi wisata yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud oleh PP 18/1994. Sehingga kegiatan mereka selama ini berupa pengelolaan hutan yang berbasiskan lahan melalui pamanfaatan ruang untuk penghijauan (misalnya dengan budidaya tanaman buah-buahan) dengan menganut sistem sharing. Dengan berubahnya fungsi kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional maka harapan masyarakat desa yang tidak memiliki potensi wisata untuk mendapatkan sharing hasil dari investasi yang sudah banyak dilaksanakannya, menjadi hilang 129
karena sistem pengelolaan Taman Nasional berbeda. Bahkan di desa hutan yang memiliki potensi wisata pun, sebagian besar masyarakatnya tetap memanfaatkan lahan untuk menanam pohon buah-buahan. Jadi menurut pemahaman kami, PP 68/1998 dan PP 18/1994 belum bisa menjamin dilaksanakannya sistem PHBM (pengelolaan hutan kolaboratif) sebagaimana yang sedang dijalankan sekarang ini oleh masyarakat di lereng Gunung Ciremai bila ditetapkan menjadi Taman Nasional. Hal ini diperkuat oleh adanya pernyataan Kepala Subdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA – Dephut, bahwa “Dari segi legal aspect atau peraturan perundangan, Ditjen PHKA masih belum punya aturan yang bisa memayungi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif.” Tapi di pihak lain, Kadishutbun selalu menekankan bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional di Kuningan, NANTI AKAN BERBEDA dengan Taman Nasional-Taman Nasional yang lain yang sudah ada. 4.
Surat Usulan Bupati No. 522/1480/Dishutbun yang Meminta Pengkajian Menurut informasi yang kami terima dari Kadishutbun, bahwa surat usulan yang diajukan Bupati Kuningan ke Menteri Kehutanan berbentuk permintaan pengkajian. Sementara jawaban dari Departemen Kehutanan adalah langsung keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. Sehingga, berarti ada ketidaksesuaian antara yang “diminta” dengan yang “diberikan”. Tapi dalam hal ini, Kadishutbun menyatakan bahwa itu sudah bukan urusan daerah (kabupaten), melainkan sudah merupakan persoalan departemen. Menurut hemat kami, sekalipun hal tersebut merupakan keputusan Departemen Kehutanan, sudah selayaknya dan wajar apabila Pemkab membuat tanggapan resmi kepada Departemen Kehutanan terhadap terbitnya SK Menhut dimaksud untuk meluruskan kembali sesuai surat usulan/permohonan yang disampaian terdahulu oleh Pemkab kepada Menteri Kehutanan. Atau tegasnya untuk meminta pencabutan/penangguhan sementara pelaksanaan SK Menhut tersebut. Hal ini secara administratif pemerintahan merupakan hal yang dibenarkan dan bukan sesuatu hal yang dilarang atau bukan perbuatan yang tidak fatsun, bahkan merupakan feed back yang mempunyai nilai positif dan korektif. Dihubungkan dengan surat Gubernur No. 522/3325/Binprod pun maka tanggapan dari Pemkab Kuningan yang isinya meminta pencabutan/penangguhan dan kembali pada surat usulan terdahulu, akan sangat sejalan dengan isi surat Gubernur tersebut. Selain itu, dengan langkah tersebut akan menambah kredibilitas dan respek yang sangat positif dari para pihak terhadap Pemerintah Kabupaten Kuningan. Sebaliknya apabila Pemkab turut mengamankan SK dimaksud; pertama, akan menguras energi yang banyak; kedua, khawatir akan menimbulkan penilaian bahwa Pemkab sama-sama tidak cermat serta dikhawatirkan pula akan mendapatkan resistensi dari para pihak yang memahami permasalahan tersebut. Selain itu, penyelenggaraan Taman Nasional bukan merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten sebab Balai Taman Nasional merupakan unit kerja Departemen Kehutanan.
5.
Bentuk Sistem Pengelolaan Hutan di Taman Nasional Pihak Dishutbun mengajak kami untuk menyusun konsep sistem pengelolaan hutan Taman Nasional ke depan yang kolaboratif. Dalam hubungan ini sesungguhnya —sekalipun kami tidak pernah mengklaim sebagai orang-orang ahli di bidang kehutanan— sedikit atau banyak kami sudah memiliki gambaran tentang sistem pengelolaan Taman Nasional yang kolaboratif, baik yang menyangkut aspek legal maupun aspek-aspek sosial dan teknikal. Akan tetapi, yang menjadi titik persoalan adalah bukan terletak pada kesediaan atau ketidaksediaan kami untuk menggagas hal tersebut, melainkan lebih kepada hal-hal yang menyangkut proses perjalanan dan output berupa SK Menhut yang cacat prosedur. Sehingga menurut hemat kami, konsep sistem pengelolaan Taman Nasional yang harus disiapkan (yang oleh Kadishutbun disebut position paper) seharusnya disiapkan sebelum 130
Pemerintah Kabupaten Kuningan melayangkan surat usulan. Apabila hal tersebut dilaksanakan maka pengajuan position paper dari Pemerintah Kabupaten Kuningan akan mempunyai posisi tawar yang kuat. Sebaliknya, apabila konsep position paper itu baru akan dirancang dan diajukan sekarang, kami meragukan (pesimis) akan keberhasilannya mengingat itu tadi: aturan-aturan yang mengatur Taman Nasional, bukti-bukti empiris dari Taman Nasional-Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia, dan perencanaannya yang bersifat sentralistis. 6.
Kebiasaan Kolaborasi yang Ditinggalkan Menurut hemat kami, Dishutbun telah meninggalkan kebiasaan kolaborasi yang selama ini sudah terbangun, minimal untuk mengajak berdiskusi masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama dalam sistem pengelolaan hutan kolaboratif dan yang terutama karena masyarakat desa hutan-lah yang akan terkena dampak langsung dari perubahan fungsi kawasan tersebut. Padahal Dishutbun sendiri merupakan salah satu pihak yang turut menggagas dan mengembangkan pola pengelolaan hutan kolaboratif di Kuningan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilainya. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen kolaborasi dengan jiwa kebersamaan, kepercayaan, partisipatif, egaliter, dan demokratis telah dilanggar sendiri oleh pihak Dishutbun. Akibatnya, ke depannya pun kami meragukan dalam pengelolaan Taman Nasional di Kuningan akan kolaboratif sebagaimana yang selalu diungkapkan oleh Kadishutbun. Singkatnya, jangankan kolaboratif dan partisipatif dalam pengelolaannya nanti kalau dalam proses awalnya saja sudah tidak dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif.
7.
Ide Dasar Munculnya Taman Nasional Memperhatikan proses perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Ciremai, menimbulkan pertanyaan pada kami, “Sesungguhnya siapa yang menggagas untuk menjadikan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional?” Kami semula memperkirakan bahwa gagasan tersebut muncul dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau dari Fakultas Kehutanan UNIKU. Mengingat pertama, Fakultas Kehutanan UNIKU (atau STIKKU pada saat itu) telah melaksanakan seminar sehari di Kuningan tanggal 5 Juli 2003 dan kedua, Fakultas Kehutanan UNIKU melakukan ekspos di Departemen Kehutanan tanggal 8 Oktober 2004, yang keduanya didukung dan difasilitasi oleh Dishutbun. Tapi ketika kami menanyakannya, ternyata Kadishutbun menjawab bahwa ide dasar tersebut dari Bupati.
Secara ringkas kami kemukakan bahwa proses pembentukan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan sangat jauh dari prinsip Pengelolaan Hutan yang Baik (Good Forest Governance). Sementara bentuk pengelolaan TNGC ke depan yang kolaboratif, belum ada aturan yang dapat menjaminnya secara eksplisit serta belum ada bukti empiris pada Taman Nasional-Taman Nasional lain yang telah ada di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, kami memohon dengan sangat: a)
Dishutbun Kabupaten Kuningan/Bupati Kuningan dan Dishutbun Kabupaten Majalengka/Bupati Majalengka —melalui surat— mengklarifikasi ke pihak Departemen Kehutanan agar meninjau kembali atau mencabut/menangguhkan sementara SK No. 424/Kpts-II/2004 serta meminta Departemen Kehutanan agar menempuh ulang tahapan Proses Usulan Kawasan Konservasi sebagaimana yang diatur dengan Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 jo SK No. 48/Kpts-II/2004.
b) DPRD Kabupaten Kuningan mengirim surat klarifikasi ke Departemen Kehutanan agar menangguhkan SK No. 424/Kpts-II/2004 karena surat dukungan DPRD Kabupaten Kuningan No. 061/266/DPRD tanggal 1 September 2004 baru sebatas memberi dukungan terhadap surat usulan Bupati Kuningan No. 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 yang berisi permintaan pengkajian. c)
Gubernur Jawa Barat —juga melalui surat— mengklarifikasi ke pihak Departemen Kehutanan karena surat rekomendasi yang dikeluarkan tidak menjadi dasar dalam konsideran 131
‘Memperhatikan’ dari SK Menhut tersebut, padahal dalam Pasal 18 Kepmenhut No. 48/KptsII/2004, rekomendasi Gubernur merupakan salah satu lampiran yang harus disertakan. Dan Gubernur Jawa Barat juga perlu meminta Departemen Kehutanan untuk melakukan pengkajian lapangan oleh Tim Terpadu antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten setempat sehingga sesuai dengan bunyi surat rekomendasi Gubernur dimaksud. d) Departemen Kehutanan menangguhkan pemberlakuan SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 serta mencermati dan menempuh ulang tahapan Proses Usulan Kawasan Konservasi sebagaimana diatur dengan Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 jo SK No. 48/KptsII/2004. Hal lain yang perlu kami tegaskan adalah bahwa permasalahan yang mendasar terletak pada adanya perbedaan-perbedaan sebagaimana yang terungkap di atas. Bukan pada sikap dan tindakan mendukung atau tidak mendukung kepada salah satu institusi, apakah itu kepada Pemerintah Kabupaten, Perhutani, ataupun lembaga Taman Nasional. Dalam kaitan ini, kami tidak memihak kepada proses dan prosedur yang dijalani sekarang serta kepada output berupa terbitnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. Dan hal lain yang juga perlu ditegaskan adalah bahwa apa yang kami lakukan ini sangat jauh dari sikap tendensius serta tidak untuk mengharapkan berbagai kepentingan proyek bagi kami. Kami sangat mendukung ungkapan, bahwa yang penting adalah bagaimana menyelamatkan kawasan Gunung Ciremai dari proses degradasi. Solusi yang paling tepat untuk hal itu adalah: Pertama;
Menggencarkan penyelenggaraan implementasi PHBM di lereng Gunung Ciremai secara konsekuen dan benar oleh para pihak di Kabupaten Kuningan dengan tetap menganut pertimbangan ekologis dan sosial ekonomi masyarakat dari apa yang sudah dan sedang dilakukan sekarang.
Kedua;
Lebih mengoptimalkan peran Pemerintah Kabupaten dalam pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengaturan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kepada masyarakat secara intensif.
Ketiga;
Mengefektifkan proyek-proyek GNRHL dan APBD di kawasan Gunung Ciremai.
Keempat;
Menutup Galian C secara konsekuen dan berkelanjutan dengan memberikan solusi yang bersifat ekonomis bagi masyarakat yang sebelumnya bekerja dalam kegiatan tersebut.
Kelima;
Melaksanakan reklamasi secara sungguh-sungguh terhadap lahan-lahan eks Galian C.
Keenam;
Menindak secara tegas pelaku illegal logging, dari hulu sampai ke hilir.
Ketujuh;
Memberikan jalan ke luar secara ekonomis bagi masyarakat yang menjadikan kawasan yang tidak layak menjadi kebun sayuran.
Dengan demikian maka usaha untuk menyelamatkan kawasan Gunung Ciremai tersebut, menurut hemat kami tidak perlu repot-repot dengan mencari bentuk lain untuk pengelolaannya. Karena dengan melakukan hal tersebut berarti merupakan satu langkah mundur.
132
Lampiran 15 Daftar Stakeholder Yang Terkait dengan TN Gunung Ciremai Parapihak
Kepentingan Utama Konservasi Sumberdaya Hutan
Hak
Departemen Kehutanan
-
Perum Perhutani
- Wilayah kelola
- kelola hutan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Masyarakat Lokal
- Pembangunan SDH - Akses lahan - Sumber penghidupan - Konservasi SDH
- pengaturan dan pengendalian - pemanfaatan SDH - Akses
- Pengelolaan wilayah administrasi - pembangunan wilayah
- Regulasi
Dinas Pertanian
- pembangunan pertanian
- koordinasi kegiatan pertanian
Dinas Pariwisata Daerah
- pariwisata
DIS SDAP
- pelestarian SDA
- koordinasi pariwisata ?
BKSDA Jabar II Bupati Badan Perencana Pembangunan Daerah
-
Regulasi Kelola Hutan
-Pengelolaan
- koordinasi pembangunan
Kepentingan Keterlibatan Tinggi. Dukungan kebijakan Rendah. Tidak mempunyai peran dalam pengelolaan Tinggi. Wilayah teritorial Tinggi. Penerima dampak/manfaat langsung Tinggi. Koordinasi pengelolaan Kawasan Konservasi Tinggi. Dukungan kebijakan
Pengaruh Besar. Berpengaruh pada semua aspek kebijakan Besar. Akses kebijakan dan pendanaan Besar. Koordinasi pengelolaan SDH wilayah Besar. Potensi SDM, implementasi, kontrol Besar. Otoritas pengelolaan Besar. Berpengaruh dalam tataran kebijakan
Rendah. menyediakan dukungan hanya pada program yang terkait dengan program institusinya Tinggi. Tinggi intensitas pemanfaatan lahan utk pertanian Tinggi. Koordinasi
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi
?
?
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
133
Dinas LHK
- kelestarian SD dan lingkungan
Dinas Pendapatan Daerah
-pendapatan asli daerah - kontinyuitas pasokan air - kontinyuitas pasokan air -penggunaan kawasan utk kegiatan
PDAM Pengusaha Air Minum Kemasan Pecinta Alam/Penggiat Alam Terbuka Sekunder Badan Pemberdayaan Masyarakat PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia) LPI
Tinggi. Dukungan terhadap kegiatan konservasi Rendah
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
Tinggi. Pemanfaat SDA Tinggi. Pemanfaat SDA Tinggi. SDM
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
- Pemberdayaan masyarakat - konsumen wisata - pemanfaatan jasa
rendah
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
rendah
kecil
- Kelestarian SDH
Tinggi. Support dalam komunikasi parapihak Tinggi. interest
Besar. Kekuatan Koordinasi dan implementasi Besar. Mobilisasi sumberdaya, advokasi Besar. Academic authority
LSM
- kelestarian SDH
Perguruan Tinggi (UNIKU)
- field research
TNI
- pemanfaatan kawasan untuk latihan - good forest governance
DPRD Donor Internasional
- Kelestarian SDH dan lingkungan - Penyaluran dana
- Koordinasi pendapatan Pemanfaatan air Pemanfaatan air Akses
- sinkronisasi program - pelibatan dalam proses - Aplikasi teori - pemanfaatan kawasan - kontrol
Rendah. Tidak bergerak dalam tataran operasional Kecil. Tidak bergerak dalam tataran operasional Rendah. Tidak bergerak dalam tataran operasional Rendah. Global issue
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
kecil Besar. Dukungan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan lokal Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi
134
Lampiran 16 Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai
NOTA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA
BALAI KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM (BKSDA) JAWA BARAT II DENGAN
PEMERINTAH DESA PAJAMBON KECAMATAN KRAMATMULYA KABUPATEN KUNINGAN TENTANG IMPLEMENTASI SISTEM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Nomor: S.2557/IV-K.12/2005 Nomor:141/02/Pem/07/2005 Pada hari ini Senin tanggal Sebelas bulan Juli tahun Dua Ribu Lima, bertempat di Balai Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan, kami yang bertandatangan di bawah ini: 1. Nama : Ir. Ikin Zainal Mutaqin Jabatan : Kepala BKSDA Jabar II Alamat : Jl. R.A.A. Kusumasubrata No. 11 Ciamis 46213 Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Balai KSDA Jabar II, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Dirjen PHKA No.: SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004 tentang Penunjukan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 2. Nama : A. Supriyadi Jabatan : Kepala Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Alamat : Dusun Manis RT 02 RW 01 Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Dalam hal ini bertindak selaku Pemerintah Desa Pajambon dan atas nama masyarakat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Sepakat untuk melaksanakan implementasi Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang ada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II sebagai perwujudan dari Visi dan Misi Sistem PHBM Kuningan serta Visi dan Misi Departemen Kehutanan dengan ketentuan sebagai berikut. Pasal 1
135
LANDASAN Landasan yang dijadikan pedoman oleh kedua belah pihak di atas dalam membangun kesepakatan ini adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22.
UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. PP Nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. PP Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6187/KPTS-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai KSDA. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/KPTS-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Lindung pada Komplek Hutan Gunung Ciremai Seluas + 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan, Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Surat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dam Konservasi Alam Nomor S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai. Surat Direktur Konservasi Kawasan Nomor S.41/IV/KK-1/2005 tanggal 31 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Penunjukkan Taman Nasional Gunung Ciremai. Peraturan Bupati Kuningan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Kewenangan Camat dalam Kabupaten Kuningan. Perdes Desa Pajambon Nomor 8 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Wisata. Pokok-pokok Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan tanggal 17 April 2001. Prinsip, Kriteria, dan Indikator PHBM Kuningan tanggal 4 September 2001. Pasal 2 TUJUAN
Tujuan kesepakatan bersama ini adalah untuk menjaga, melindungi, dan memanfaatkan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan serta mengoptimalkan fungsi hutan sehingga
136
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 3 PRINSIP Prinsip yang dipegang dan dikembangkan dalam pelaksanaan kerjasama ini adalah: 1. Prinsip saling percaya; 2. Prinsip kesepahaman; 3. Prinsip kesetaraan; 4. Prinsip keadilan; 5. Prinsip keterbukaan; 6. Prinsip kebersamaan; 7. Prinsip berbagi peran dan tanggung jawab; 8. Prinsip kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 9. Prinsip kelestarian sosial budaya. Pasal 4 BIDANG KERJASAMA 1. Kesepakatan bersama ini meliputi proses/kegiatan pengelolaan hutan negara yang turut wilayah administratif Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II seluas 30 Hektar (Peta dan Berita Acara Pengesahan Batas Wilayah terlampir) yang penetapan zonasinya akan dilakukan kemudian secara bersama-sama. 2. Ruang lingkup kerjasama pengelolaan hutan sebagaimana ayat (1) di atas meliputi: a. Penyusunan rencana; b. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; c. Rehabilitasi kawasan; d. Perlindungan dan pengamanan hutan; e. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. Pengembangan wisata alam; g. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di bidang pengembangan wisata alam; Pasal 5 KELEMBAGAAN 1. Kedua belah pihak sepakat untuk menjadikan Forum PHBM Desa Pajambon sebagai media untuk bermusyawarah, tukar informasi, koordinasi, dan penyelesaian masalah yang timbul dalam melaksanakan Sistem PHBM Kuningan . 2. Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Lembaga Pengelola yang terdiri dari unsur BKSDA Jabar II, Pemerintah Desa Pajambon, dan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon dengan ketentuan yang diatur tersendiri.
Pasal 6
137
KEWAJIBAN DAN HAK Kedua belah pihak berkewajiban: 1. Menjamin status dan fungsi hutan sebagai asset negara yang tidak boleh disewakan dan atau diperjualbelikan. 2. Masing-masing pihak sepakat untuk mengutamakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. 3. Memegang teguh kesepakatan yang telah dibangun bersama dan prinsip-prinsip PHBM yang diwujudkan dalam Forum PHBM Desa Pajambon. 4. Menjamin/mendukung sepenuhnya terhadap keberlangsungan fungsi, tugas, dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon. 5. Menyusun rencana kegiatan PHBM dan aturan-aturan secara bersama dalam mengimplementasikan Sistem PHBM melalui Forum PHBM Desa Pajambon. 6. Melakukan monitoring, evaluasi, pengawasan, pengamanan, dan perlindungan hutan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama. 7. Untuk menjamin keberlangsungan fungsi dan manfaat ekosistem hutan kedua belah pihak sepakat untuk menjalani kerjasama dengan pihak-pihak lain. 8. Berbagi di dalam memberikan masukan dan melakukan proses dalam pelaksanaan Sistem PHBM. 9. Menghormati dan memahami peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. 10. Bertanggung jawab atas pelanggaran masing-masing pihak terhadap kesepakatankesepakatan yang telah dibangun bersama. 11. Saling memberikan informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan Sistem PHBM. Kedua belah pihak berhak: 1. Mendapatkan manfaat dari masukan-masukan dan proses-proses yang dilaksanakan dalam implementasi sistem PHBM . 2. Mendapatkan informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan sistem PHBM . 3. Mengeluarkan pendapat dan saling memberikan koreksi serta kontribusi. Pasal 7 PELAKSANAAN 1. Pelaksanaan setiap bidang kerjasama sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) berpedoman pada: a. Kaidah kelestarian hutan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan nilai manfaat secara lestari. b. Perencanaan dan aturan yang disepakati dalam Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya serta peraturan perundang-undangan yang terkait. 2. Pelaksanaan setiap bidang kerjasama sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepakatan Bersama ini, dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan kedua belah pihak. 3. Setiap bidang kerjasama memuat tentang mekanisme sharing (input, proses, dan output), ketentuan teknis, dan ketentuan lain yang dituangkan dalam Nota Perjanjian Kemitraan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Nota Kesepakatan Bersama ini. 4. Dalam pelaksanaan kemitraan ini PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dapat melibatkan pihak/unsur terkait lain atas dasar kesepakatan Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya.
138
5. Setiap Nota Perjanjian Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) ditandatangani oleh Kepala Balai KSDA Jabar II dan Ketua POKTAPEPAR dan diketahui oleh Ketua Forum PHBM, Ketua BPD, Kepala Desa Pajambon serta Camat Kramatmulya. 6. Perjanjian-perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disetujui oleh Bupati Kuningan. Pasal 8 JANGKA WAKTU Kesepakatan bersama ini berlaku sejak ditandatangani dan dapat dibatalkan atas kesepakatan para pihak. Pasal 9 PERSELISIHAN 1. Segala bentuk perselisihan, diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kedua belah pihak dan atau melalui Forum PHBM Desa Pajambon, Forum PHBM Kecamatan Kramatmulya sampai ke Forum PHBM Kabupaten Kuningan. 2. Apabila penyelesaian yang dimaksud pasal 9 ayat (1) di atas tidak tercapai, diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Pasal 10 FORCE MAJUURE 1. Apabila terjadi hal-hal di luar kemampuan para pihak yang merupakan force majuure, seperti bencana alam, kebakaran hutan, musibah yang menimpa pengunjung, serta peristiwa-peristiwa di luar kemampuan para pihak maka kedua belah pihak bersama-sama melakukan penanggulangan. 2. Pada saat terjadi force majuure, PIHAK KEDUA segera melaporkan kepada PIHAK PERTAMA paling lama 1 kali 24 jam, baik secara lisan maupun tertulis. 3. Dalam melakukan penanggulangan force majuure tersebut, berkoordinasi dengan para pihak terkait. Pasal 11 PENUTUP 1. Nota kesepakatan ini dibangun bersama sebagai landasan/payung hukum para pihak dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan. 2. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-hal lain yang belum diatur dalam Nota Kesepakatan Bersama ini, diatur atau disepakati kemudian dalam bentuk addendum yang mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Nota Kesepakatan Bersama ini.
PIHAK PERTAMA Kepala Balai KSDA Jabar II,
PIHAK KEDUA Kepala Desa Pajambon,
139
Ir. IKIN ZAINAL MUTAQIN
A. SUPRIYADI Saksi-saksi:
Ketua Forum PHBM Desa Pajambon,
Ketua POKTAPEPAR Desa Pajambon,
KUSMANSYAH
MULYADI
Ketua BPD Desa Pajambon,
Camat Kramatmulya,
S. ANDRIES A.F.
Drs. ALI JUMENA S.P. Menyetujui: BUPATI KUNINGAN,
H. AANG HAMID SUGANDA
140
Lampiran 17
Nota Perjanjian Kerjasama antara BKSDA Jabar II dengan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai NOTA PERJANJIAN KEMITRAAN
ANTARA
BALAI KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM (BKSDA) JAWA BARAT II DENGAN KELOMPOK TANI PENGGERAK PARIWISATA (POKTAPEPAR) DESA PAJAMBON KECAMATAN KRAMATMULYA KABUPATEN KUNINGAN TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LEMBAH CILENGKRANG MELALUI SISTEM PHBM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Nomor: S 2558/IV-K.12/2005 Nomor: 02/Poktapepar/07/2005 Pada hari ini Selasa tanggal Dua Belas bulan Juli tahun 2005, bertempat di Balai Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan, kami yang bertandatangan di bawah ini: 3. Nama : Ir. Ikin Zainal Mutaqin Jabatan : Kepala BKSDA Jabar II Alamat : Jl. R.A.A. Kusumasubrata No. 11 Ciamis 46213 Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Balai KSDA Jabar II, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Dirjen PHKA No.: SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004 tentang Penunjukan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 4. Nama : Mulyadi Jabatan : Ketua Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Alamat : Dusun Wage RT 8 RW 04 Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Lembah Cilengkrang Desa Pajambon dan atas nama masyarakat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Kedua belah pihak sepakat melakukan perjanjian kemitraan dalam rangka pelaksanaan implementasi Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang ada di bawah pengelolaan BKSDA Jawa Barat II dengan ketentuan sebagai berikut. Pasal 1 LANDASAN
141
Landasan perjanjian kemitraan ini adalah: 1. PP Nomor 59 tahun 1998 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 878/KPTS-II/1992 tentang Tarif Pungutan Masuk Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. 3. Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon Nomor S2557/IV-K.12/2005 dan Nomor 141/02/Pem/07/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai; Pasal 2 TUJUAN DAN SASARAN 1. Tujuan perjanjian kemitraan ini adalah: a. Merealisasikan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan Bersama; b. Terjaminnya kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai melalui optimalisasi fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. c. Untuk memperjelas peran, tanggung jawab, kewajiban dan hak para pihak dalam pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan Lembah Cilengkrang. 2. Sasaran perjanjian kemitraan ini adalah terpeliharanya keutuhan dan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya melalui pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan Lembah Cilengkrang di Taman Nasional Gunung Ciremai, serta terpenuhinya wahana pendidikan konservasi, ilmu pengetahuan, penelitian, dan rekreasi bagi masyarakat. Pasal 3 OBYEK DAN RUANG LINGKUP KEMITRAAN 1. Obyek kemitraan ini adalah: a. Kawasan hutan Lembah Cilengkrang Taman Nasional Gunung Ciremai seluas 30 Ha yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II; b. Pengelolaan bersama kawasan hutan pada ayat (1) poin (a) tersebut di atas untuk kegiatan wisata alam dan jasa lingkungan, rehabilitasi, perlindungan, dan pelestarian alam dengan sistem berbagi peran, berbagi tanggung jawab, dan berbagi manfaat. 2. Ruang lingkup kemitraan ini adalah: a. Penyusunan rencana pengelolaan, rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, promosi dan informasi; b. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di bidang pengelolaan, pengembangan wisata alam dan jasa lingkungan.
Pasal 4 RENCANA PENGELOLAAN
142
Rencana pengelolaan yang disepakati adalah sebagai berikut: Jenis Kegiatan 1. Wisata Alam 2. Bumi Perkemahan 3. Rehabilitasi
4. Potensi Lainnya
Lokasi/Blok
Volume
Cipanas Kopi Gede, Hambulu Kopi Gede, Hambulu, Cipanas, Curug Sabu Kopi Gede, Hambulu
0,5 Ha 1 Ha
5. Jasa Lingkungan
Rencana Kelola
Ket.
28,5 Ha
57 jenis ………
Tanaman Obat P.M.
CATATAN: Rencana Pengelolaan sesuai dengan potensi yang ada dan karakteristik wilayah setempat akan disusun secara bersama-sama yang difasilitasi oleh para pihak selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditandatanganinya perjanjian kemitraan ini dan dibuatkan addendum yang tidak terpisahkan dari surat perjanjian ini. Pasal 5 KEWAJIBAN DAN HAK PIHAK PERTAMA 1. PIHAK PERTAMA berkewajiban: a. Memberikan bimbingan dan binaan teknis serta fasilitasi kepada pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon demi kelancaran dan peningkatan fungsi dan manfaat hutan; b. Melakukan monitoring dan evaluasi secara sendiri dan atau bersama-sama pihak yang berkepentingan; c. Menyediakan sarana dan pra-sarana sesuai program; d. Melaksanakan pengadaan tiket masuk pengunjung dan jasa lainnya di kawasan hutan Lembah Cilengkrang; e. Mengupayakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Desa Pajambon; f. Menjaga, memelihara, dan mengefektifkan fungsi, tugas dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon; g. Bersama-sama PIHAK KEDUA dan Forum PHBM Desa Pajambon melaksanakan rehabilitasi, pengawasan, pemeliharaan, pengamanan, perlindungan, promosi, dan informasi; h. Menyampaikan setiap rencana kegiatan yang terkait dengan Nota Perjanjian Kemitraan ini kepada pihak PIHAK KEDUA dan Forum PHBM Desa Pajambon; i. Melaksanakan pengaturan, pengamanan serta memantau dampak negatif pengunjung dalam rangka menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung; j. Membangun jaringan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan bidang kemitraan. 2. PIHAK PERTAMA berhak:
143
a. Melakukan koreksi, teguran, peringatan, dan pembatalan perjanjian kemitraan ini bila terjadi penyimpangan prinsipil dari kesepakatan yang telah dibuat melalui musyawarah Forum PHBM Desa Pajambon; b. Mendapatkan laporan secara periodik dan insidental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; c. Mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain sebagai akibat dibatalkannya perjanjian kemitraan dengan PIHAK KEDUA setelah mempertimbangkan saran/pendapat Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; d. Mengkoordinasikan pemanfaatan dana dari PIHAK KEDUA untuk kegiatan konservasi yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini.
Pasal 6 KEWAJIBAN DAN HAK PIHAK KEDUA 1. PIHAK KEDUA berkewajiban: a. Menjamin status dan fungsi hutan sebagai asset negara yang tidak boleh disewakan dan diperjualbelikan; b. Menyediakan sarana dan pra-sarana sesuai dengan program; c. Membantu PIHAK PERTAMA dalam penyelenggaran retribusi karcis masuk pengunjung dan jasa lainnya di kawasan hutan Lembah Cilengkrang; d. Melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan serta kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai; e. Memperhatikan kaidah kelestarian dan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga tidak merusak lingkungan; f. Memberikan laporan kepada PIHAK PERTAMA secara periodik dan insindental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; g. Setiap anggota POKTAPEPAR turut berperan aktif dalam menghindari, mencegah, dan menghentikan terhadap upaya-upaya pihak lain yang akan mengganggu dan merusak kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; h. Bersama-sama PIHAK PERTAMA dan atau Forum PHBM Desa Pajambon terlibat dalam proses rehabilitasi, pengawasan, evaluasi, pemeliharaan, pengamanan, perlindungan serta promosi dan informasi; i. Menjaga, memelihara, dan mengefektifkan fungsi, tugas, dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon; j. Membangun jaringan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan bidang kemitraan; k. Melaksanakan pengaturan, pengamanan serta memantau dampak negatif pengunjung dalam rangka menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung; l. Mengkoordinir seluruh anggota POKTAPEPAR serta menyusun dan menyepakati aturan-aturan POKTAPEPAR demi tercapainya tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini; m. Mentaati dan menjalankan petunjuk-petunjuk teknis dari PIHAK PERTAMA yang tidak tercantum dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, tetapi berkaitan langsung dengan pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini; n. Memberikan kontribusi dalam bentuk apapun terhadap proses pengelolaan guna mendapatkan sharing manfaat yang sebesar-besarnya melalui musyawarah dengan PIHAK PERTAMA dan Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya;
144
o. Menyisihkan sebagian hasil yang didapat untuk kepentingan kegiatan konservasi kawasan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini. 2. PIHAK KEDUA berhak: a. Mendapatkan seluruh hak yang merupakan kewajiban PIHAK PERTAMA sebagaimana diatur dalam huruf (a) s/d huruf (h) ayat (1) pasal 6 Nota Perjanjian Kemitraan ini; b. Mengoptimalkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk pengembangan budidaya sepanjang tidak merusak ekosistem alaminya; c. Mengajukan saran dan masukan atau koreksian terhadap kebijaksanaan PIHAK PERTAMA untuk mendukung kelancaran pengelolaan; d. Mendapatkan sharing manfaat sesuai dengan nilai kontribusi yang diberikan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 7 MONITORING DAN EVALUASI 1. Monitoring merupakan salah satu fungsi pengelolaan yang dimaksudkan untuk mengawasi seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kerjasama yang dimaksud pada pasal 3 dan mengendalikan hal-hal yang bersifat mengganggu, menghambat, dan menggagalkan tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini. 2. Monitoring dilaksanakan secara periodik maupun insidental; 3. Evaluasi dilakukan minimal setiap 1 (satu) tahun sekali untuk mengukur tingkat keberhasilan atas pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini yang dilakukan bersama oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA, dan Forum PHBM Desa Pajambon terhadap seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kemitraan yang dimaksud pasal 3. 4. Evaluasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon untuk menentukan berlanjut atau tidaknya Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 8 TARIF DAN MEKANISME SHARING 1. Besarnya tarif masuk pengunjung ke obyek wisata alam dan jasa lingkungan lainnya ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku; 2. Tarif masuk pengunjung terdiri dari: a. Penerimaan Negara Bukan Pajak; b. Biaya operasional pengelolaan yang ditimbulkan dengan adanya kesepakatan kemitraan ini dibebankan kepada pengunjung dengan cara menambahkan pada biaya pokok tiket masuk atas dasar kesepakatan; c. Biaya asuransi kecelakaan pengunjung. 3. Perimbangan pembagian hasil tiket masuk wisata alam sebagaimana dimaksud huruf (a) ayat 2 di atas ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku; 4. Para pihak yang berhak mendapatkan sharing output sebagaimana dimaksud huruf (b) ayat 2 di atas adalah PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa, Pemerintah Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, dan Kegiatan Konservasi yang besarnya didasarkan atas hasil musyawarah;
145
5. Sharing output yang bersumber dari kawasan hutan Lembah Cilengkrang di luar penyelenggaraan wisata alam sepenuhnya menjadi hak PIHAK KEDUA yang pengaturan lebih lanjut sejalan dengan maksud ayat 4 di atas. 6. Ruang lingkup sharing: a. Sharing meliputi sharing peran, tanggung jawab, input, proses, maupun output; b. Sharing dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan peningkatan kualitas sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya atas dasar saling menguntungkan; 7. Pelaksanaan sharing output: a. Sharing ouput dari penyelenggaraan wisata alam dilakukan setiap akhir bulan. b. Sharing output di luar sebagaimana huruf (a) ayat 7 di atas dilakukan pada saat diperolehnya pemanfaatan hasil kegiatan. 8. Nilai sharing output: Sharing output masing-masing pihak sebagaimana dimaksud ayat (4) pasal 8 adalah sebagai berikut:
No. 1. 2. 3. 4.
Pihak yang Berhak Mendapatkan Sharing Manfaat PIHAK KEDUA PEMERINTAH DESA FORUM PHBM DESA PAJAMBON DANA KONSERVASI
Wisata Alam 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
Jenis Kegiatan Bumi Perkemahan 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
Di Luar Wisata Alam 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
9. Penyerahan sharing output: a. Penyerahan sharing output dilakukan secara terbuka dengan proses administrasi yang tertib sesuai dengan aturan yang disepakati bersama melalui Forum PHBM Desa Pajambon. b. Penyerahan sharing output dilakukan dalam bentuk uang. c. Penyerahan sharing output dari kegiatan di luar wisata alam sepenuhnya hak PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa Pajambon, Pemerintahan Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, dan Kegiatan Konservasi. Pasal 9 JANGKA WAKTU 1. Nota Perjanjian Kemitraan ini berlaku sejak ditandatanganinya Nota Perjanjian Kemitraan ini untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atas hasil evaluasi sebagaimana ayat (3) pasal 7; 2. Setelah jangka waktu tersebut ayat (1) di atas, Nota Perjanjian Kemitraan ini bisa diperpanjang atas permohonan PIHAK KEDUA; 3. Perjanjian kemitraan ini berakhir apabila: a. Jangka waktu berakhir dan tidak diperpanjang; b. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA merasa tidak memungkinkan lagi melanjutkan kerjasama kemitraan ini.
146
Pasal 10 SANKSI 1. Apabila berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi salah satu pihak tidak memenuhi sebagian atau seluruh kewajibannya, dikenakan sanksi yang diatur berdasarkan musyawarah dan mufakat di antara kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon. 2. Sanksi yang dimaksud ayat (1) pasal 10 di antaranya berupa peringatan, koreksian, pencabutan, dan pembatalan Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 11 FORCE MAJUURE 1. Apabila terjadi hal-hal di luar kemampuan para pihak di tingkat desa yang merupakan force majuure, seperti bencana alam, kebakaran hutan, musibah yang menimpa pengunjung, serta peristiwa-peristiwa di luar kemampuan para pihak di tingkat desa maka semua pihak secara bersama-sama untuk melakukan penanggulangan. 2. Pada saat terjadi force majuure, PIHAK KEDUA segera melaporkan kepada PIHAK PERTAMA paling lama 1 kali 24 jam, baik secara lisan maupun tertulis. 3. Dalam melakukan penanggulangan force majuure tersebut, berkoordinasi dengan para pihak terkait lainnya. Pasal 12 PERSELISIHAN 1. Segala bentuk perselisihan, diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kedua belah pihak dan atau melalui Forum PHBM Desa Pajambon, Forum PHBM Kecamatan sampai ke Forum PHBM Kabupaten Kuningan. 2. Apabila penyelesaian yang dimaksud pasal 12 ayat (1) di atas tidak tercapai, diselesaikan melalui melalui jalur hukum yang berlaku. Pasal 13 LAIN LAIN 1. Apabila PIHAK KEDUA sudah cukup layak dan bermaksud untuk mendapatkan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) sesuai peraturan perundangan yang berlaku maka dapat mengajukan permohonannya ke Menteri Kehutanan RI atas rekomendasi PIHAK PERTAMA; 2. Dalam hal pelayanan pengunjung ke obyek wisata alam, PIHAK KEDUA menggunakan tiket masuk yang diterbitkan oleh Perum Perhutani KPH Kuningan sampai diterbitkannya tiket masuk oleh PIHAK PERTAMA. Pasal 14 PENUTUP 1. Nota Perjanjian Kemitraan ini dibuat sesungguhnya oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh para pihak lain sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon.
147
2. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-hal lain yang belum diatur dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, diatur kemudiaan dalam bentuk addendum yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini. PIHAK PERTAMA Kepala BKSDA Jabar II,
PIHAK KEDUA Ketua POKTAPEPAR,
Ir. Ikin Zainal Mutaqin
Mulyadi Saksi-saksi:
Ketua Forum PHBM Desa Pajambon,
Ketua BPD Desa Pajambon,
KUSMANSYAH
S. ANDRIES A.F.
Kepala Desa Pajambon,
Camat Kramatmulya,
A. SUPRIYADI
Drs. ALI JUMENA S.P. Menyetujui: BUPATI KUNINGAN,
H. AANG HAMID SUGANDA
148