49
BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN EKOWISATA 6.1
Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa Mulai tahun 2012, Curug Cigangsa telah dibuka menjadi daerah tujuan
wisata. Diduga akan terjadi friksi-friksi sosial dengan dibukanya tempat tujuan wisata tersebut. Dalam sub bab ini, dilihat bagaimana persepsi masyarakat atas pengembangan kawasan ekowisata tersebut. Khususnya apakah secara sosial masyarakat lokal siap menghadapi friksi dan konsekuensi atas hadirnya sebuah kawasan wisata. Hal-hal yang diukur dalam sub bab ini ialah persentase masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan dibukanya kawasan ekowisata berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin. Curug Cigangsa merupakan salah satu tempat ekowisata yang terdapat di Kabupaten Sukabumi. Seperti kebanyakan ekowisata di Kabupaten Sukabumi lainnya, ekowisata Curug Cigangsa juga menawarkan keindahan alam dan beberapa keunikan yang membedakannya dengan lokasi ekowisata lainnya. Keunikan tersebut antara lain munculnya konsep “Ekowisata Islami”. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang telah diajukan kepada seluruh responden dan satu informan kunci, awal mulanya pencetusan ide untuk membuka lokasi Curug Cigangsa menjadi kawasan ekowisata, dilakukan oleh PLP-BK. Pencetusan ide ini pada awal mulanya tidak mendapat sambutan hangat dari masyarakat Kampung Batusuhunan. Masyarakat tidak setuju apabila Curug Cigangsa dijadikan obyek wisata. Setelah dua tahun berlalu sejak dicetuskannya ide ini, maka masyarakat Kampung Batusuhunan diwakili oleh tokoh adat yang dipercaya masyarakat menyetujui ide yang dicetuskan oleh PLP-BK. Persetujuan ini juga diikuti oleh beberapa syarat yang diajukan masyarakat. Syarat tersebut antara lain untuk mengangkat konsep “Ekowisata Islami” menjadi konsep ekowisata Curug Cigangsa, dan ikut melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan dan pengelolaan lokasi ekowisata. Seperti yang dikemukakan oleh informan kunci (HBY/70 tahun).
50
“... kami setuju untuk menjadikan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata dengan dua syarat, yaitu memakai konsep “Ekowisata Islami” dan yang mengerjakan harus masyarakat setempat. Ini dikarenakan, dengan memakai nama Islami, maka diharapkan segala kegiatan di Curug Cigangsa tidak akan keluar dan kaidah-kaidah Islam ...” Hampir semua responden menjawab awalnya mereka tidak setuju dengan dibukanya Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata. Akan tetapi, dengan adanya konsep “Ekowisata Islami”, sebagian besar responden yakin bahwa dibukanya lokasi ekowisata Curug Cigangsa tidak akan/hanya akan memberikan dampak negatif yang kecil terhadap masyarakat dan lingkungan. Berikut ini adalah jumlah responden yang setuju dan tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata saat ini berdasarkan data yang telah diambil di lapangan. Jumlah dan persentase responden yang setuju dan tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata dibagi berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Data yang telah diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Karakteristik Jenis Kelamin Tingkat Usia
Pria Wanita Muda Menengah Tua
Persepsi terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Setuju (%) Tidak Setuju (%) 80,0 20,0 86,7 13,3 90,0 10,0 80,0 20,0 80,0 20,0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pria yang tidak setuju dengan pengembangan kawasan saat ini lebih tinggi dari jumlah wanita yang tidak setuju. Sehingga jumlah responden yang setuju dengan pengembangan ekowisata lebih banyak responden wanita daripada responden pria. Akan tetapi, sebagian besar responden menyetujui pengembangan kawasan ini menjadi kawasan ekowisata. Data-data tersebut dapat disebabkan beberapa hal, antara lain : 1. Responden wanita cenderung lebih mengikuti keputusan dari pusat selama itu dinilai tidak merugikan mereka. Sehingga ketika dicetuskannya ide untuk
51
membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, lebih banyak responden wanita yang setuju dibandingkan dengan responden pria. Hal ini disebabkan peran wanita dalam masyarakat Kampung Batusuhunan kurang dianggap dan tidak terlalu terlihat dibandingkan peran pria. 2. Lebih banyak responden pria yang tidak setuju dengan pengembangan kawasan dibandingkan dengan responden wanita dikarenakan responden pria masih memiliki tingkat ketakutan yang lebih akan munculnya kemungkinan dampak negatif dari ekowisata terhadap kehidupan masyarakat setempat dibandingkan responden wanita. Hal ini disebabkan responden pria khawatir kebudayaan Islami yang selama ini dijalankan di Kampung Batusuhunan akan luntur akibat pengaruh dari luar dan nantinya dapat merubah gaya hidup masyarakat. 3. Responden di Kampung Batusuhunan sudah yakin terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa dengan konsep “Ekowisata Islami”. Sehingga ketika kawasan ini sudah direncanakan untuk dibuka, lebih banyak responden yang setuju. Sedangkan berdasarkan tingkatan usia, golongan usia menengah dan tua yang saat ini tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa lebih banyak dibandingkan responden yang berasal dari golongan usia muda. Hal ini dapat disebabkan: 1. Responden pada golongan usia menengah dan tua lebih takut akan kemungkinan munculnya dampak negatif dari kegiatan ekowisata terhadap kehidupan masyarakat Kampung Batusuhunan. Responden pada golongan usia menengah dan tua tidak ingin kehidupan masyarakat yang selama ini sangat Islami menjadi mengikuti gaya hidup wisatawan yang datang dari berbagai tempat. 2. Responden pada golongan usia muda lebih setuju dengan pengembangan kawasan dikarenakan golongan usia muda memiliki kepercayaan bahwa pengembangan kawasan ekowisata ini akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Responden pada golongan usia muda lebih sering mengunjungi tempat-tempat lain di luar Kampung
52
Batusuhunan dan sampai saat ini hal itu tidak merubah gaya hidup mereka yang sangat Islami. Berdasarkan data kualitatif, responden yang setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata memiliki beberapa alasan, antara lain : a. Kampung Batusuhunan akan lebih maju dengan adanya pengembangan kawasan ekowisata. b. Pendapatan masyarakat setempat akan meningkat. c. Terbukanya lapangan pekerjaan baru. d. Semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi Curug Cigangsa. e. Infrastruktur semakin lengkap karena mendapat bantuan dana dari pemerintah. Sedangkan ketidaksetujuan warga disebabkan ketakutan akan berubahnya fungsi Curug Cigangsa yang awalnya hanya untuk tempat wisata menjadi tempat untuk berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti yang diutarakan oleh salah satu warga yang tidak setuju (MRH/46 tahun). “… saya tidak setuju karena saya takut nantinya Curug Cigangsa akan dijadikan tempat mesum oleh para wisatawan. Tapi setelah dibangun, mau bagaimana lagi. Saya harus menerima karena lebih banyak yang setuju …”
Setelah mendapat persetujuan dari masyarakat dan dana dari pemerintah kabupaten sudah turun, pembangunan infrastruktur mulai dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini merupakan salah satu bentuk dukungan yang dilakukan masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa. Pembangunan infrastruktur berfokus pada pembangunan jalan setapak dan tangga-tangga kecil di Curug Cigangsa yang nantinya akan memudahkan wisatawan. Masyarakat juga membangun tempat pembuangan sampah akhir yang terdiri dari tiga bagian dan juga penyediaan tempat sampah kecil di beberapa lokasi di Curug Cigangsa. Untuk kenyamanan wisatawan, masyarakat juga membuat tiga tempat untuk beristirahat yang terbagi di beberapa lokasi di Curug Cigangsa. Toilet untuk wisatawan juga sudah tersedia dengan jumlah dan kondisi yang cukup memadai. Pembukaan kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata telah membawa pengaruh, baik terhadap kondisi kampung dan Curug Cigangsa sendiri. Jalan di curug yang tadinya cukup terjal, kini sudah nyaman untuk dilewati.
53
Masyarakat menggunakan nama “Ekowisata Islami” sebagi konsep ekowisata agar segala peraturan dan pedoman dalam pengembangannya didasarkan kaidahkaidah dan ketentuan-ketentuan yang diajarkan Islam sehingga diharapkan semua wisatawan yang datang dan berkunjung ke Curug Cigangsa, akan menghormati norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Hal ini bertujuan agar segala dampak negatif yang biasanya timbul dari pengembangan kawasan ekowisata, seperti perubahan gaya hidup dan berpakaian masyarakat, lunturnya kebudayaan, perubahan orientasi hidup masyarakat, dan dampak negatif lainnya dapat dihindari. Hal ini membuktikan masyarakat setempat sudah dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif dan sudah dapat melihat kemungkinan dampak positif dari ekowisata. Oleh karena itu, pada sub bab selanjutnya akan dilihat persepsi masyarakat terhadap dampak ekowisata.
6.2
Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Ekowisata
6.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kemungkinan Dampak Negatif Ekowisata Curug Cigangsa merupakan kebanggaan masyarakat Kampung Batusuhunan. Dengan dibukanya kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, masyarakat mulai merasakan dampak positif yang didapatkan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat antara lain, terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat setempat, peningkatan pendapatan kampung dan masyarakat, kemajuan Kampung Batusuhunan, lingkungan yang semakin lestari dan kebudayaan yang semakin lestari. Hal ini disebabkan, dengan adanya lokasi ekowisata Curug Cigangsa, masyarakat sebagai pengelola dan penanggung jawab kawasan mendapatkan lahan pekerjaan baru. Masyarakat dapat menjadi tour guide, penyedia jasa catering, penjaga loket tiket, dan lain-lain. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu responden (APS/49 tahun) “… uang tiket sebesar Rp. 2000,- /tiket akan dimasukkan ke dalam kas kampung. Uang ini akan dipakai untuk pengelolaan. Apabila ada yang memakai jasa guide sebesar Rp. 25.000,- , sebanyak 20 persen akan disumbangkan ke dalam uang kas. Uang kas ini nantinya akan dibagi kepada seluruh KK (33 KK) pada saat Idul Fitri…”
54
Walaupun sampai saat ini baru dampak positif yang dirasakan masyarakat, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan kawasan menjadi kawasan ekowisata akan menimbulkan dampak negatif. Dalam masyarakat Kampung Batusuhunan, hal ini belum terlalu dirasakan karena pembukaan lokasi ekowisata Curug Cigangsa ini sendiri masih terbilang baru. Dampak negatif tersebut biasanya dapat berupa lunturnya kebudayaan, perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang mengikuti perilaku wisatawan dan kerusakan lingkungan di sekitar kawasan ekowisata akibat banyaknya orang luar yang masuk dan tidak menjaga lingkungan kawasan ekowisata. Data persentase responden yang menjawab ada atau tidaknya kemungkinan dampak negatif dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Kemungkinan Dampak Negatif dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Kemungkinan Dampak Negatif Ada Dampak Tidak Ada Belum Dapat Negatif (%) Dampak Terlihat (%) Negatif (%) Jenis Pria 46,7 33,3 20,0 Kelamin Wanita 33,3 66,7 0 Tingkat Muda 50,0 40,0 10,0 Usia Menengah 50,0 40,0 10,0 Tua 20,0 70,0 10,0 Karakteristik
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data pada Tabel 7 menunjukkan responden yang berpendapat bahwa akan muncul dampak negatif dari pengembangan ekowisata lebih banyak jumlah responden pria dibandingkan wanita, dan responden yang termasuk ke dalam golongan usia muda dan menengah. Perbedaan persepsi para responden ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Responden yang menjawab bahwa akan ada dampak negatif dari ekowisata beranggapan dalam suatu kegiatan ekowisata yang menjadikan kawasan tertentu terbuka aksesnya dengan dunia luar akan membuat banyaknya pengaruh luar masuk ke dalam kawasan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebiasaan juga tata cara hidup masyarakat setempat.
55
2. Responden yang menjawab bahwa tidak akan ada dampak negatif yang muncul dalam ekowisata Curug Cigangsa disebabkan masyarakat sangat percaya diri dan yakin bahwa mereka tidak akan mengikuti sikap dan perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan tradisi setempat. Mereka juga menganggap bahwa konsep “Ekowisata Islami” sudah pasti akan mencegah kemungkinan dampak negatif, karena para wisatawan dengan sendirinya akan mematuhi dan mengikuti peraturan dan kebiasaan yang ada di Kampung Batusuhunan. 3. Responden lainnya yang menjawab kemungkinan ada tidaknya dampak negatif belum dapat terlihat disebabkan lokasi ekowisata belum teralu lama dibuka dan belum terlalu banyak wisatawan yang datang. Masyarakat dan tokoh agama yang ada di Kampung Batusuhunan sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan dampak negatif yang akan muncul dari kegiatan wisata. Seperti yang dituturkan oleh tokoh adat Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun). “… menurut saya dampak negatif itu akan ada, seperti perubahan pada masyarakat kampung sini. Tetapi, kami sudah mencoba untuk menghindari dampak negatif tersebut dengan cara memberikan peraturan yang ketat dan memberikan ceramah agama bagi masyarakat Kampung Batusuhunan. Apabila ada warga setempat yang ketahuan mabuk-mabukan atau memakai narkoba, maka kami akan memberikan sanksi keras. Konsep “Ekowisata Islami” ini juga diharapkan dapat menjadi pencegah munculnya dampak negatif tersebut ...”
Berdasarkan penuturan tokoh adat Kampung Batusuhunan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat sudah mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. Antisipasi dilakukan melalui persiapan diri yang semakin matang sehingga masyarakat tidak akan terpengaruh dengan budaya dari luar yang dibawa wisatawan. Pada sub bab selanjutnya akan dilihat seperti apa persepsi masyarakat terhadap proporsi dampak yang dihasilkan dari kegiatan ekowisata. 6.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Proporsi Dampak Ekowisata Kegiatan ekowisata yang dilaksanakan di Kampung Batusuhunan merupakan suatu kegiatan yang baru saja berjalan. Hal ini menyebabkan dampakdampak yang dihasilkan dari ekowisata baik itu dampak positif maupun negatif
56
belum dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi, masyarakat sebagai pengelola kawasan dan menjadi aktor utama dalam kegiatan ekowisata sudah dapat meramalkan mengenai akan ada atau tidaknya dampak negatif dari ekowisata dan sebesar apa dampak negatif itu akan muncul dibandingkan dengan kemunculan dampak positif dari ekowisata. Hal ini disebabkan masyarakat setempat merupakan aktor yang paling mengenal kawasan Kampung Batusuhunan berikut tata cara atau kebiasaan hidup masyarakat setempat yang akan sangat berpengaruh terhadap kemunculan dampak ngetaif dari ekowisata. Data pada Tabel 8 akan menjelaskan proporsi dampak ekowisata yang akan muncul menurut masyarakat setempat. Tabel 8. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Proporsi Dampak Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Proporsi Dampak Ekowisata Karakteristik > Negatif Seimbang > Positif Belum (%) (%) (%) Tahu (%) Jenis Pria 0 6,7 80,0 13,3 Kelamin Wanita 0 0 100,0 0 Tingkat Muda 0 0 100,0 0 Usia Menengah 0 10,0 80,0 10,0 Tua 0 0 90,0 10,0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa persentase jumlah responden yang paling banyak ialah responden yang beranggapan bahwa dampak positif yang akan muncul lebih besar dibandingkan dampak negatif. Sebanyak 6,7 persen (pria) dan 10 persen (golongan usia menengah) beranggapan bahwa dampak yang akan muncul seimbang antara dampak positif dan negatif. Sedangkan 13,3 persen (pria) dan 10 persen (golongan usia menengah dan tua) beranggapan bahwa dampak ekowisata yang akan muncul belum dapat terlihat mengingat ekowisata Curug Cigangsa merupakan ekowisata yang baru saja berkembang. Angka-angka pada persentase tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain : 1. Responden yang beranggapan bahwa dampak positif yang akan muncul lebih besar dibandingkan dampak negatif ialah responden yang yakin dan percaya bahwa konsep “Ekowisata Islami” dapat menjadi pencegah munculnya dampak negatif dari ekowisata. Sehingga ekowisata di Curug Cigangsa akan
57
memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat juga kawasan Kampung Batusuhunan. 2. Responden yang beranggapan dampak positif dan negatif yang akan muncul seimbang
merupakan
responden
yang
menganggap
bahwa
dalam
pengembangannya suatu ekowisata akan memunculkan dampak yang beraneka ragam baik itu positif dan negatif, sehingga responden merasa akan sulit untuk menghindari dampak negatif tersebut. 3. Angka 0 persen pada pilihan “lebih besar dampak negatif” disebabkan saat ini responden
sudah
dapat
merasakan
dampak
positif
dari
ekowisata
dibandingkan dengan dampak negatif. Dampak positif tersebut antara lain peningkatan pendapatan dan terbukanya lapangan pekerjaan. Proporsi dampak ekowisata yang telah dijelaskan di Tabel 8 keberadaannya tidak terlepas dari adanya konsep “Ekowisata Islami” sebagai konsep ekowisata yang dikembangkan di Kampung Batusuhunan. Pada sub bab selanjutnya akan dilihat bagaimana pendapat responden mengenai konsep ekowisata Islami sebagai salah satu upaya pencegahan kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 6.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Konsep Ekowisata Islami Konsep ekowisata yang dikembangkan di Curug Cigangsa ialah konsep “Ekowisata Islami”. Ekowisata Islami tersebut ialah suatu bentuk kegiatan ekowisata yang dalam penegakan peraturannya berlandaskan kaidah-kaidah Islam dan berpedoman pada ajaran Islam. Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, konsep ekowisata ini merupakan konsep ekowisata yang diajukan oleh masyarakat setempat sebagai syarat pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Konsep ekowisata ini digunakan dengan harapan agar dampakdampak negatif dari ekowisata dapat dihindari, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua responden beranggapan bahwa konsep ekowisata Islami ini dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif. Angka-angka persentase pendapat responden dapat dilihat pada Tabel 9.
58
Tabel 9. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Konsep Ekowisata Islami sebagai Pencegah Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Konsep Ekowisata Islami sebagai Pencegah Dampak Negatif Ekowisata Dapat (%) Tidak Dapat (%) Pria 93,3 6,7 Wanita 100,0 0 Muda 90,0 10,0 Menengah 100,0 0 Tua 100,0 0
Karakteristik
Jenis Kelamin Tingkat Usia
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Pada Tabel 9 dapat dilihat persentase responden yang beranggapan bahwa konsep ekowisata Islami dapat/tidak dapat menjadi pencegah kemungkinan dampak negatif. Persentase responden yang menganggap bahwa konsep ekowisata Islami tidak dapat mencegah kemungkinan munculnya dampak negatif hanya sebagian kecil dari jumlah seluruh responden. Hal ini disebabkan, : 1. Sebagian besar responden sudah yakin bahwa konsep ekowisata Islami yang diajukan oleh mereka sebagai syarat pengembangan ekowisata dapat menjadi salah satu jalan keluar dalam mencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 2. Sebagian kecil responden yang menjawab bahwa konsep ekowisata Islami belum dapat menjadi pencegah munculnya ekowisata beranggapan bahwa dalam pengembangannya suatu kegiatan ekowisata akan memunculkan dampak positif dan negatif dalam satu paket, sehingga akan sulit untuk mencegah munculnya dampak negatif tersebut. Persepsi masyarakat terhadap konsep ekowisata ini merupakan suatu hal penting mengingat masyarakat merupakan aktor utama dari pengembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Pada bab selanjutnya akan dilihat bagaimana hubungan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata.
59
6.3
Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Pengembangan Ekowisata
dengan
Persepsi
Masyarakat
Mitos dan norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan, oleh masyarakat setempat dijadikan suatu landasan dalam pengembangan konsep “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan. Mitos dan norma tersebut merupakan tata cara dan kebiasaan hidup masyarakat setempat yang berpedoman pada kaidah Islam dan sudah dilestarikan sejak jaman leluhur. Masyarakat setempat sebagai pengelola kawasan ekowisata sejak awal pembukaan hingga pengelolaannya saat ini menjadikan pendapat masyarakat setempat terhadap pengembangan kawasan sangat penting untuk diteliti. Pada sub bab ini akan dilihat hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat
terhadap
pengembangan
kawasan
ekowisata
di
Kampung
Batusuhunan. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata.
Tabel 10. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos-norma dan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos-norma Rendah Tinggi
Persepsi terhadap Pengembangan Ekowisata Setuju (%) Tidak Setuju (%) 0 0 83,3 16,7
Total (%) 0 100,0
Pada Tabel 10, dapat dilihat persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata. Berdasarkan tabel hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma (pada hal. 41), semua responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma. Sehingga pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa tidak ada responden yang menempati kolom “tingkat pengetahuan rendah”. Persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi terhadap mitos dan norma sebanyak 83,3 persen menyetujui adanya ekowisata di Kampung
60
Batusuhunan saat ini, dan 16,7 persen lainnya tidak setuju. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Responden yang setuju merupakan responden yang menganggap bahwa adanya ekowisata di wilayah mereka akan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat juga bagi lingkungan setempat. 2. Responden yang tidak setuju merupakan responden yang masih merasa khawatir bahwa konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep ekowisata belum dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif ekowisata. Tabel 10 menunjukkan bahwa walaupun responden tersebut memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma tidak berarti responden tersebut yakin bahwa mitos dan norma yang ada dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 6.4
Ikhtisar Pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa tidak terlepas dari
pengaruh dan dukungan warga setempat. Persepsi dan penilaian masyarakat sangat penting dalam pengembangan kawasan ini. Berdasarkan hasil yang didapatkan di lapangan, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pengembangan ekowisata Curug Cigangsa pada awalnya tidak mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat dan para tokoh yang ada di Kampung Batusuhunan. Akan tetapi akhirnya pengembangan kawasan ini disetujui dengan syarat bentuk ekowisata yang ditawarkan di Curug Cigangsa adalah “Ekowisata Islami”. Konsep “Ekowisata Islami” yang ditawarkan di Curug Cigangsa bukanlah ekowisata religius, tetapi ekowisata yang kesemua peraturan dan pedoman dalam pembangunan dan pelaksanaannya didasarkan pada kaidah-kaidah dan aturan yang diajarkan agama Islam. Berdasarkan data yang diambil di lapangan, sebanyak 80 persen pria setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata, sedangkan 20 persen lainnya tidak setuju dan terpaksa mengikuti keputusan. Pada wanita, sebanyak 86,7 persen wanita setuju dengan rencana pengembangan dan 13,3 persen sisanya tidak setuju terhadap rencana pengembangan kawasan ekowisata. Jumlah tersebut didapat berdasarkan hasil kuesioner yang dibagi menurut jenis kelamin. Berdasarkan
61
pembagian tingkat usia, responden dibagi menjadi tiga golongan, dan didapatkan hasil bahwa pada golongan usia muda, responden lebih banyak yang setuju dengan pengembangan kawasan dibandingkan responden yang tidak setuju dengan perbandingan 90 persen setuju dan 10 persen tidak setuju. Pada golongan usia menengah dan tua, sebanyak 80 persen responden setuju dengan rencana pengembangan dan 20 persen lainnya tidak setuju. 2. Dalam pengembangannya, ekowisata di Curug Cigangsa akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi lingkungan dan juga masyarakat. Dampak positif dapat berupa peningkatan pendapatan, terbukanya lapangan pekerjaan, dan kemajuan Kampung Batusuhunan. Dampak positif ini sudah dapat dirasakan oleh masyarakat setempat, sedangkan dampak negatif belum dapat dirasakan langsung. Sebanyak 40 persen responden mengatakan bahwa dampak negatif berkemungkinan muncul ketika kawasan ini semakin berkembang nanti. Sedangkan 50 persen lainnya menjawab tidak akan ada dampak negatif yang akan muncul dikarenakan konsep “Ekowisata Islami” yang dipakai di Curug Cigangsa. Sebanyak 10 persen lainnya menjawab kemungkinan muncul atau tidaknya dampak negatif belum dapat terlihat dan belum dapat di prediksi mengingat lokasi ekowisata ini baru saja dikembangkan. 3. Hampir seluruh responden berpendapat bahwa konsep “Ekowisata Islami” yang digunakan sebagai konsep ekowisata di Kampung Batusuhunan dapat dijadikan pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. Sebagian besar responden juga berpendapat bahwa dampak positif akan memberikan proporsi yang lebih besar dibandingan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat Kampung Batusuhunan.