75
BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI
Tingginya homogenitas warga dalam hal pendidikan, agama bahkan suku dan budaya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap persepsi warga mengenai keadaan lingkungannya. Bahkan dalam beberapa hal, persepsi antar warga nampak sama. Perbedaan persepsi sedikit nampak mengenai perubahan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang didasarkan oleh mata pencaharian serta penguasaan lahan. Persepsi warga terhadap lingkungan disajikan dalam bentuk tabulasi angka dan persentase yang menunjukkan popularitas jawaban responden. Seberapa besar responden memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan akan merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. 6.1 Persepsi terhadap Lingkungan Pengukuran persepsi terhadap lingkungan dilakukan kepada warga Kampung Sirnagalih yang secara riil merupakan korban longsor yang telah mengalami kerugian secara materiil. Lebih dari 60 persen warga mengalami kerusakan tempat tinggal bahkan kehilangan rumah dan mereka yang bekerja sebagai petani terancam kehilangan mata pencaharian sebab lahan garapan juga mengalami kerusakan. Persepsi para warga terhadap lingkungan merupakan titik awal mengetahui sejauhmana mereka memahami kondisi lingkungan yang telah diklaim sebagai daerah rawan longsor. Indikator persepsi warga terhadap lingkungan terbagi dalam 3 kategori yakni penyebab longsor, kondisi lingkungan (kualitas fisik kampung; iklim, tanah, sungai, hutan), serta dampak yang ditimbulkan oleh longsor. 6.1.1 Penyebab Longsor Secara teknis dan keilmuan, penyebab longsor di kedua kampung telah banyak dianalisis oleh para pihak seperti Dinas ESDM, ahli kehutanan IPB dan pakar geologi ITB. Secara non teknis, berdasarkan pengalaman dan kedekatan terhadap lingkungan sekitar, faktor penyebab longsor juga dapat diketahui melalui persepsi warga.
76
Hasil pengukuran persepsi lingkungan menunjukkan bahwa berbagai faktor utama yang diprediksi oleh berbagai ahli/pakar geologi sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di Kampung Sirnagalih, sebagian besar juga dipahami oleh warga. Dari berbagai pilihan yang disediakan pada kuesioner, mayoritas warga memilih bahwa kondisi tanah merupakan faktor utama terjadinya longsor di kampung mereka. Beberapa warga mengatakan bahwa “kampung mereka dulu aman-aman saja tapi sekarang tanahnya memang sudah tidak baik”. Pengetahuan warga tentang kondisi tanah yang tidak baik diperoleh dari hasil pengamatan warga sehari-hari yang menyaksikan pergeseran tanah. Selain itu, hasil kajian dari pihak Dinas ESDM Kab. Bogor yang ditransformasikan ke warga semakin memperkuat pandangan warga terhadap kondisi lahan di kampung mereka. Pada tabel 15 terlihat bahwa, selain faktor tanah, warga setuju bahwa realitas longsor di Sirnagalih juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab lainnya. Hal tersebut terlihat dari variasi jawaban responden yang juga memilih faktor lain, sehingga dapat dikatakan bahwa longsor tidak disebabkan oleh faktor tunggal namun oleh banyak faktor. Tabel 16 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Penyebab Longsor Kondisi tanah yang tidak baik Bercocoktanam di lahan miring Hujan deras (iklim) Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai Membangun rumah di perbukitan Kerusakan Hutan Takdir Tuhan
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
98 93 82 80 80 75 55
2 7 18 20 20 25 45
Faktor lain yang dipilih oleh warga sebagai aktivitas yang ikut menjadi penyebab terjadinya longsor adalah bercocoktanam di lahan miring. Meski kondisi riil di Kampung Sirnagalih pemanfaatan lahan miring masih tergolong baik sebab jenis tanaman yang banyak ditanam adalah tanaman tahunan seperti Sengon dan Puspa. Pemanfaatan lahan miring lainnya adalah sebagai sawah tadah hujan dengan sistem terasering. Terasering merupakan salah satu cara pengelolaan lahan yang cocok untuk daerah miring. Pemahaman warga tentang pemanfaatan lahan miring sebagai lahan garapan cukup memadai.
77
Faktor lainnya adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Warga memilih jawaban bahwa pemanfaatan lahan tidak sesuai di kampung mereka sehingga menyebabkan longsor. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tersebut adalah pemanfaatan lahan sebagai rumah-tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan faktor penyebab longsor lainnya yakni dibangunnya rumah di areal perbukitan. Dari beberapa faktor teknis yang dianggap sebagai penyebab longsor, terdapat faktor non teknis yang juga dipilih oleh sebagian warga sebagai faktor mutlak penyebab terjadinya longsor, yakni tingginya curah hujan dan takdir Tuhan. Peristiwa longsor yang terjadi kerap diiringi oleh hujan deras. Kondisi tersebut dianggap warga sebagai faktor penyebab longsor yang sulit untuk dihindari, demikian halnya dengan Takdir Tuhan. Sebagai makhluk beragama, warga meyakini bahwa setiap peristiwa terjadi karena ijin Tuhan, meski di sisi lain sebagian besar responden juga setuju bahwa faktor teknis seperti kondisi tanah, kesalahan dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan serta kerusakan hutan ikut menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor yang dipilih warga sebagai penyebab terjadinya longsor. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan rakyat (kebun campuran/talun) yang dikelola dan dimanfaatkan secara pribadi. Hutan rakyat di Kampung Sirnagalih ada 2 bentuk yakni hutan bersama yang dikeramatkan disebut Gunung Batu Kaca serta hutan rakyat berupa kebun talun. Kondisi kedua jenis hutan tersebut berbeda. Hutan Gunung Batu Kaca masih terjaga kelestariannya bahkan masih virgin. Berbeda dengan kondisi kebun talun, meski masih terlihat „hijau‟ namun kerapatannya sudah renggang. Kerapatan antar
pohon
berkurang
akibat
penebangan
yang
dilakukan.
Meskipun
penebangan dilakukan masih berskala kecil karena masih mempertimbangkan usia pohon dan kebutuhan namun diameter pohon pengganti tidak lagi sebesar pohon-pohon sebelumnya. Pohon tua sudah tidak banyak dibandingkan pohon muda. Perubahan tersebut dianggap oleh warga bahwa kondisi hutan di kampung mereka sudah tidak sebaik dulu. Sebagian kecil masih terdapat responden yang memilih menjawab bahwa kerusakan hutan tidaklah menjadi penyebab longsor (25 persen) dengan alasan bahwa mereka masih melihat kampung Sirnagalih masih „hijau‟. Secara ekologis kondisi Sirnagalih sebenarnya masih dikelilingi oleh tanaman bambu dan
78
berbagai jenis tanaman tahunan lainnya (seperti Sengon, Puspa, Lame dan Afrika) meski secara kualitas dan kuantitas telah mengalami penurunan. Seberapa jauh dampak dari kerusakan hutan tersebut juga terlihat dari gejala-gejala fisik lingkungan seperti yang terlihat pada tabel 16. Sebagian besar responden menjawab bahwa tanda-tanda kerusakan hutan telah mereka rasakan yakni ketersediaan air di musim kemarau menjadi berkurang, sebagian tanah terlihat kering dan agak retak, di musim hujan air sungai berubah warna menjadi keruh, jumlah pohon (kerapatan) pun mulai berkurang sehingga nampak renggang karena pohon-pohon yang ada sekarang memiliki diameter yang kecil (lebih banyak pohon baru). Tabel 16
No.
Persepsi Warga tentang Tanda-tanda Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) Tanda-tanda Kerusakan Hutan (Leuweung Titipan)
Distribusi Responden (%) Ya
1. 2. 3. 4.
Persediaan air berkurang di musim kemarau Tanah kering dan retak di musim kemarau Air sungai keruh-coklat di musim hujan Jumlah pohon berkurang
95 95 95 95
Tidak 5 5 5 5
Pada tabel 17, lebih jauh menggali tentang penyebab kerusakan hutan di leuweung titipan. Kerusakan hutan titipan disebabkan karena adanya kebutuhan terhadap kayu oleh warga itu sendiri. Sebagian besar responden menjawab bahwa pemilik lahan menebang pohon mereka untuk kebutuhan membangun rumah. Selain itu, pohon dengan jenis kayu-kayuan yang ditanam juga dijadikan sebagai alat investasi yang bisa dijual untuk kebutuhan yang mendesak. Ketika warga mengalami kesulitan perekonomian maka pohon yang mereka miliki menjadi sumber nafkah lainnya. Kondisi tersebut biasanya terjadi jika warga benar-benar membutuhkan biaya dan tidak dapat diperoleh dari sumber lainnya. Pemilik tanaman akan memilih pohon yang akan ditebang berdasarkan usia. Biasanya usia pohon yang ditebang paling rendah 4 sampai 5 tahun. Tanaman yang paling sering diambil adalah tanaman Bambu dan Jenjeng (Sengon). Selain tuntutan kebutuhan, faktor lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah hujan deras dan angin kencang, meskipun bencana alam tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan besar. Sebagian kecil responden juga menjawab bahwa pencurian kayu pernah menjadi penyebab rusaknya hutan
79
mereka, namun sebagian besar responden menjawab bahwa pencurian kayu terjadi di waktu lampau dan dilakukan oleh orang luar. Pada rentang waktu 5 sampai 7 tahun terakhir sudah tidak ada lagi pencurian kayu di kampung mereka. Tabel 17 No.
Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55) Faktor Penyebab Kerusakan Hutan ( Leuweung Titipan)
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Pengambilan kayu untuk membangun rumah
89
11
2.
Pengambilan kayu untuk dijual
78
22
3.
Bencana alam (hujan deras dan angin kencang)
71
29
4.
Pencurian kayu (illegal loging) oleh orang luar
25
75
Mengacu pada tabel 18 di atas, maka ke-4 faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori. Pertama, faktor internal dimana penyebab kerusakan hutan disebabkan oleh perilaku warga dari Kampung Sirnagalih sendiri. Kedua, faktor eksternal dimana penyebabnya berasal bukan dari perilaku warga Sirnagalih melainkan karena alam dan karena perilaku orang luar (illegal loging). 6.1.2 Kondisi Lingkungan sebagai Daerah Rawan Longsor Indikator lain tentang persepsi warga terhadap lingkungan adalah pandangan warga tentang kondisi lingkungan mereka secara umum. Khususnya aspek-aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di daerah mereka. (1)
Kondisi Hutan Rakyat (Leuweung Tutupan dan Leuweung Titipan) Peristiwa longsor merupakan fenomena alam yang tidak mengenal batas
administrasi. Secara geografis, kerusakan ekosistem akan mempengaruhi unsurunsur kehidupan lainnya, seperti kerusakan hutan yang akan berdampak pada berkurangnya debit air, hilangnya kekuatan tanah, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut maka secara umum perlu diketahui bagaimana pandangan warga terhadap seluruh kondisi hutan yang ada di desa mereka dan di sekitarnya. Pada gambar 14 terlihat sebagian besar responden setuju bahwa kondisi hutan di sekitar mereka sebagian telah rusak namun sebagian lagi masih bagus (sedang). Responden yang memilih setuju bahwa hutan mereka masih bagus
80
adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca yang merupakan hutan keramat yang dijaga dan dilindungi. Meskipun status hutan tersebut adalah hutan milik bersama (hutan wakaf) desa yang memungkinkan warga untuk mengakses dan memanfaatkannya namun warga tidak berani memanfaatkan isi hutan tersebut apalagi merusaknya. Gambar 14 Persepsi warga tentang Kondisi Hutan di Desa Sukaraksa dan sekitarnya
24%
25%
51%
(2)
Bagus
Rusak
Sedang
Kondisi (Struktur) Tanah Faktor penyebab utama terjadinya longsor yang dipilih oleh warga adalah
kondisi tanah yang memang tidak baik, labil dan rapuh. Secara teknis, warga memang tidak mengerti unsur-unsur yang terkandung dalam tanah di kampung mereka, namun warga telah banyak mendapatkan informasi dari berbagai pihak yang ahli di bidangnya, yang menyatakan bahwa tanah di daerah mereka tergolong labil sehingga mudah longsor. Informasi tersebut diterima karena sesuai dengan kondisi yang ada yakni tanah retak yang terjadi di rumah dan lahan garapan mereka. Diterimanya informasi tersebut oleh warga terlihat jelas dari gambar 15 dimana 54 responden menjawab bahwa kondisi tanah termasuk labil (mudah longsor). Gambar 15 Persepsi Warga tentang Kondisi (Struktur) Tanah Mudah Longsor 2%
98% Mudah Longsor
Tidak Mudah Longsor
81
(3)
Kesesuaian Pemanfaatan Lahan di Dalam Kampung Faktor penyebab longsor lainnya yang dipilih oleh responden terkait
dengan kondisi tanah yang tidak baik adalah pemanfaatan lahan di dalam kampung. Lahan di dalam kampung sebagian besar dipergunakan untuk pemukiman, sawah, kebun campuran (talun), serta ada sebagian kecil yang pernah dimanfaatkan sebagai lahan penambangan batubara. Pada tabel 18, sebagian besar warga setuju bahwa peruntukan lahan sebagai kebun-tegalan masih cocok. Alasan responden berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa lahan yang ditanami pohon justru membantu mencegah longsor besar, ada yang mengatakan jika berubah menjadi lahan kering (bukan sawah) masih cocok, ada juga yang mengatakan bahwa lahan mereka dari dulu adalah hutan dan kebun sehingga masih sesuai dengan kondisi tanah. Hanya sebagian kecil responden yang setuju bahwa pemukiman, persawahan dan penambangan batu bara masih sesuai di kampung mereka. Tabel 18 Persepsi Warga tentang Kesesuaian Pemanfaatan-Penggunaan Lahan di Dalam Kampung (n=55) No.
Pemanfaatan-Penggunaan Lahan
Distribusi Responden (%) S TS
1.
Pemukiman
7
93
2.
Persawahan
11
89
3.
Kebun & Tegalan
67
36
4.
Penambangan batu bara
5
95
Keterangan : S = Sesuai
TS = Tidak Sesuai
Mengacu pada tabel 18, semakin menegaskan bahwa bagi warga, lahan (leuweung titipan) pada kampung mereka sebenarnya tidak lagi sesuai untuk dijadikan sebagai pemukiman, sawah dan areal penambangan. Mereka menganggap bahwa kerusakan lahan yang menimbukan retakan-retakan tanah, tidak lagi kondusif untuk dijadikan sebagai tempat tinggal begitupun dengan menerapkan pola lahan basah (sawah), terlebih lagi dengan melakukan penambangan batu bara. (4)
Kondisi Iklim (Curah Hujan) Tingginya curah hujan di beberapa tempat disinyalir menjadi salah satu
pemicu terjadinya bencana longsor. Desa Sukaraksa memiliki curah hujan yang
82
cukup tinggi, namun sejauhmana warga memahami kondisi tersebut sebagai suatu penyebab terjadinya longsor cukup penting untuk diketahui. Peristiwa longsor dan tingginya curah hujan di Desa Sukaraksa merupakan satu mata rantai hubungan sebab akibat yang tidak dapat dibantah. Para responden memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda tentang curah hujan (3.000 mm3 setiap tahun) di daerah mereka. Pengetahuan warga tentang iklim atau curah hujan terlihat pada gambar 16. Mayoritas responden setuju bahwa curah hujan di daerah mereka termasuk tinggi sehingga menyebabkan terjadinya longsor. Hal tersebut mereka pahami sebab peristiwa longsor yang terjadi selalu diawali dengan hujan deras. Sebagian kecil menjawab curah hujan termasuk sedang dengan asumsi bahwa dari dulu hingga sekarang curah hujan di tempat mereka tidak mengalami perubahan, sehingga mereka menganggap curah hujan di kampung mereka adalah curah hujan yang biasa saja-sedang. Sebagian lagi ada yang menjawab curah hujan rendah karena dalam waktu-waktu tertentu (musim kemarau) hujan tidak ada. Artinya, kehadiran hujan di daerah mereka dengan daerah yang lain tidak jauh berbeda, tetap berdasarkan musim. Gambar 16 Persepsi Warga tentang Iklim (Curah Hujan)
9% 9%
82%
Tinggi
Sedang
Rendah
6.1.3 Dampak Bencana Longsor Aspek lain yang sangat penting untuk diketahui adalah bagaimana masyarakat setempat melihat longsor sebagai suatu fenomena alam yang membahayakan. Seluruh responden setuju bahwa longsor sebagai peristiwa yang membahayakan karena beberapa dampak yang ditimbulkan oleh longsor. Mereka setuju bahwa longsor berbahaya sebab dapat menyebabkan kematian,
83
merusak tempat tinggal, merusak lahan dan tanaman, hingga menimbulkan trauma (tabel 19). Pada tabel 19, terlihat bahwa kerusakan rumah, lahan garapan, dan tanaman merupakan kerusakan yang bersifat materil yang menggambarkan tingginya keprihatinan dan kekhawatiran warga terhadap harta benda mereka. Warga menganggap bahwa kerusakan harta benda tersebut akan mengganggu kestabilan kondisi perekonomian mereka. Saat ini, bahaya tersebut lebih diartikan oleh warga sebagai bahaya yang mengancam harta benda dan sumber penghidupan mereka. Tabel 19 Persepsi warga tentang Dampak Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Dampak Longsor Menyebabkan kematian Merusak rumah Merusak lahan garapan Merusak tanaman Menimbulkan trauma
Distribusi Responden (%) Ya Tidak 91 100 100 100 100
9 0 0 0 0
6.2 Persepsi terhadap Kemampuan Diri Setelah melihat bagaimana persepsi warga terhadap lingkungan yang secara kualitas telah mengalami penurunan, maka hal penting berikutnya adalah mengetahui bagaimana warga melihat dan menilai kelayakan kampung mereka untuk tetap dihuni dan dijadikan sebagai tempat untuk bergantung hidup. Penilaian tersebut akan berdampak pada optimisme warga (self efficacy) dalam mengukur kapasitas mereka, sanggup atau tidak bertahan hidup serta mampukah melakukan upaya-upaya (adaptasi) yang dapat memperbaiki kondisi lahan di kampung mereka. Pada gambar 17 memperlihatkan bahwa mayoritas responden menjawab kampung mereka sudah tidak layak untuk dihuni. Alasan mereka hampir sama bahwa kondisi kampung tidak lagi memberikan keleluasaan untuk berinteraksi, baik kepada sesama warga maupun kepada lingkungan. Artinya, bahwa kondisi warga yang sebagian besar tinggal di hunian sementara (Huntara) menyulitkan mereka untuk beraktivitas seperti dulu. Berbagai fasilitas peribadi yang biasa dinikmati kini harus dibagi dan dinikmati bersama, seperti air bersih, kamar mandi bahkan ketenangan. Aktivitas terhadap lingkungan seperti menggarap lahanpun
84
mulai berubah karena kerusakan yang ditimbulkan oleh longsor. Warga menganggap kesulitan-kesulitan tersebut sebagai ukuran bahwa kampung mereka tidak lagi memberikan kenyamanan sehingga tidak lagi layak untuk ditempati seperti kampung-kampung lainnya. Gambar 17 Persepsi Warga tentang Kelayakan Kampung untuk Tetap Dihuni
15%
85%
Layak
Tidak layak
6.2.1 Kemampuan Bertahan Hidup Banyaknya warga yang setuju bahwa kampung mereka tadak lagi layak dijadikan sebagai tempat tinggal bukan berarti dengan serta merta mereka pergi mencari tempat baru dan meninggalkan kampung serta lahan garapan mereka. Hingga saat ini belum ada satupun warga yang telah menyatakan diri pindah ke tempat lain dengan alasan mencari tempat yang lebih aman. Tabel 20 menggambarkan berbagai faktor penyebab yang masih menjadi pertimbangan warga sehingga masih tetap bertahan meskipun telah mengetahui kondisi kampung yang tidak lagi layak untuk dihuni. Mayoritas memilih alasan bertahan karena mereka tidak memiliki lahan lain. Sebagian lagi menjawab karena lahan-tanah yang mereka tempati adalah tanah (warisan) leluhur. Hanya sebagian kecil yang setuju bahwa kampung mereka masih nyaman dan aman. Pilihan responden bahwa lahan mereka masih subur juga rendah. Pilihan jawaban para responden tersebut sangat beragam karena alasan mereka yang juga berbeda-beda. Warga yang merasa nyaman karena mereka warga telah akrab dan mengenal kampung mereka sejak kecil. Secara psikologis, ikatan emosional telah terbangun. Sebagian lagi ada yang menganggap masih aman terlebih setelah mereka diungsikan ke tenda dan Huntara meskipun hanya bersifat sementara. Jawaban lain yang kurang menjadi alasan warga adalah karena lahan mereka mengandung batu bara, sering
85
mendapat bantuan dari pihak lain serta tidak memiliki kerabat yang dapat menolong. Berbagai pertimbangan tersebut menjadi alasan warga mengapa masih bertahan. Namun jika ditanya lebih jauh tentang faktor yang paling sulit untuk mereka atasi adalah tidak adanya lahan lain untuk pindah. Beberapa responden yang kebetulan memiliki lahan lain juga merasa enggan pindah karena merasa bahwa di tempat baru nanti mereka belum tentu memiliki nasib yang lebih baik. Tabel 20 Penyebab Warga Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Faktor Penyebab
Distribusi Responden (%)
Tidak memiliki lahan lain Masih merasa nyaman Masih merasa aman Tidak memiliki keluarga di luar kampung-desa Warisan leluhur Kesuburan lahan Sering mendapat bantuan dari pihak luar Tanah mengandung batubara
Ya 96 56 56 53 38 27 13 5
Tidak 4 44 44 47 62 73 87 95
Dengan berbagai jawaban tersebut, secara riil warga memang tetap bertahan. Mereka menganggap bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik untuk bisa keluar dari kampung. Sebelum pilihan hidup yang lebih baik ada maka pilihan untuk tetap bertahan dengan kondisi yang sulit menjadi konsekwensi warga untuk mampu bertahan. Dari seluruh responden, sebagian besar warga memilih menjawab bahwa mereka masih sanggup untuk bertahan menjalani aktivitas hidup sehari-hari di kampung. Sebagaimana terlihat pada gambar 18. Meskipun di sisi lain sebagian warga menjawab bahwa mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertahan namun pada akhirnya tetap memaksakan diri untuk surive di kampung dengan kondisi yang sulit. Hal tersebut semakin memperkuat keadaan warga yang memang tidak memiliki alternatif penghidupan lain yang lebih baik.
86
Gambar 18 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Bertahan Hidup 4%
Mampu
Tidak Mampu
96%
Pilihan
untuk
tetap
bertahan
dan
kesanggupan
diri
untuk
tidak
meninggalkan kampung berdampak pada munculnya beberapa alternatif cara bertahan hidup. Secara praktis, warga memahami dasar bertahan hidup yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari yakni pangan. Pada tabel 21, terlihat beberapa cara bertahan hidup yang dipilih oleh warga. Seluruh responden memilih jawaban tentang perlunya mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan lain. Sebagian juga memilih untuk merubah cara bercocok tanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Mayoritas warga di kedua kampung masih tergantung dengan keberadaan lahan. Jawaban lain yang dipilih adalah meminta bantuan. Peristiwa longsor yang membawa kerusakan ekologis mengancam sumber nafkah sehingga warga mulai berfikir untuk mengupayakan cara-cara sebagai bentuk survive. Pertama, mencari alternatif nafkah lainnya yang tidak berbasis lahan. Sebagian warga mulai beternak kambing meskipun masih dalam jumlah yang kecil. Sebagian lagi menganggap bahwa pekerjaan di sektor jasa seperti menjadi tukang ojek, berdagang hingga mencari pekerjaan ke kampung-desa tetangga merupakan alternatif mata pencaharian yang paling memungkinkan untuk dilakukan, mengingat minimnya lapangan kerja yang tersedia di dalam desa. Kedua, merubah pola bercocoktanam dengan menyesuaikan kondisi lahan saat ini. Hal tersebut dilakukan oleh warga khususnya mereka yang bekerja sebagai petani sekaligus sebagai pemilik lahan dimana lahan garapan telah mengalami kerusakan. Selain pola bercocoktanam, pemilihan jenis tanaman juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan pangan dan kondisi tanah. Mereka yang menjadikan perubahan pola bercocoktanam sebagai strategi bertahan hidup adalah mereka yang bergantung hidup dari lahan (bertani). Pada umumnya mereka adalah para petani yang berkuasa atas lahan garapan (pemilik dan
87
penyewa). Meski demikian, tidak semua petani (buruh tani) merasa sanggup merubah pola bercocoktanam sebab mereka bukan sebagai pemilik lahan sehingga tidak mempunyai wewenang untuk melakukan perubahan. Ketiga, meminta bantuan dari pihak lain juga menjadi salah satu alternatif strategi bertahan, yakni kepada pemerintah dan keluarga. Banyak warga yang memilih cara ini karena mereka menyadari bahwa permasalahan yang mereka hadapi tidak dapat diselesaikan sendiri. Warga membedakan jenis bantuan yang diharapkan. Kepada pemerintah warga lebih berharap bantuan yang bersifat materiil dan non materiil yang sustainable. Materiil disini berupa bantuan untuk pembangunan tempat tinggal yang lebih layak di lahan yang aman, sedangkan non materiil berupa pengembangan kapasitas warga berupa transformasi pengetahuan melalui penyuluhan serta membuka lapangan kerja yang tidak berbasis lahan. Kepada kerabat keluarga, warga lebih memilih meminta bantuan yang bersifat temporer pada kondisi darurat, sedangkan kepada sesama tetangga warga lebih membangun kekuatan dan kerjasama (toleransi) dalam menghadapi perubahan lingkungan. Tabel 21 Persepsi Warga tentang Cara Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor (n=55) No.
Distribusi Responden (%)
Cara Bertahan
Ya
Tidak
1.
Mencari pekerjaan tambahan
100
-
2.
Merubah pola bercocoktanam
60
40
3.
Meminta bantuan dari pihak lain (Pemerintah, Keluarga dan sesama Tetangga)
64
36
6.2.2 Kemampuan Mencegah Longsor Selain kemampuan diri untuk tetap bertahan, kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan warga melakukan tindakantindakan untuk mencegah longsor. Pada penjelasan sebelumnya, secara eksplisit, mayoritas responden menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk mencegah
longsor
susulan
disebabkan
oleh
pemahaman
warga
yang
menganggap bahwa penyebab longsor lebih kepada faktor non teknis yakni takdir Tuhan serta faktor teknis yakni kondisi tanah, iklim dan seterusnya. Ketidaksanggupan tersebut sebenarnya merupakan gambaran warga yang lebih menilai longsor sebagai peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan jika Tuhan telah berkehendak. Namun secara implisit, sikap dan perilaku warga serta
88
keinginan warga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sangat terlihat. Hal tersebut terlihat pada gambar 19. Gambar 19 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor
20%
Mampu
Tidak Mampu
80%
Alasan sebagian kecil responden yang menyatakan ketidaksanggupannya lebih kepada rendahnya pendidikan serta kemampuan finansial. Warga menganggap ke-2 alasan tersebut merupakan kendala yang membuat warga merasa tidak mempunyai daya untuk mencegah longsor. namun demikian, kemampuan warga mencegah longsor tidak dapat dipahami secara eksplisit. Cara-tindakan dan keseharian warga dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan bentuk-upaya warga untuk mencegah terjadinya longsor atau minimal dapat meminimalisir tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor. Pada tabel 22 terlihat bentuk-bentuk upaya warga untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperparah kondisi fisik lingkungan dan tetap mempertahankan pola perilaku yang dianggap masih relevan dengan kondisi lahan merupakan bentuk upaya pencegahan terjadinya lonsor. Sebagian perilaku merupakan bentuk tindakan adaptasi dan adjusment yang telah ada selama ini, seperti tetap melestarikan hutan Gunung Batu Kaca, mempertahankan tanaman bambu serta menanam kembali setelah melakukan penebangan. Adapun bentuk pencegahan lainnya seperti melaksanakan pola tanam kering, tidak mendirikan rumah di titik longsor, dan lain-lain adalah cara baru yang mucul dan diyakini oleh warga dapat mencegah atau setidaknya dapat meminimalisir frekwensi bahaya longsor. Beberapa adaptasi ekologi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah terjadinya longsor besar dan berharap dapat memperpanjang usia kampung mereka. Beberapa tindakan yang telah dilakukan dan akan tetap dipertahankan adalah tidak melakukan penebangan pohon sebelum masa panen (termasuk menjaga kampung mereka dari aktivitas illegal loging yang pernah terjadi), setiap
89
pohon yang tiba masa panen boleh ditebang dengan melakukan kembali penanaman ulang, tetap mempertahankan habitat bambu, mengganti pola tanam basah ke pola tanam kering agar tanah tidak jenuh, tidak lagi membangun rumah di titik longsor, selain untuk keamanan juga untuk menghindari terjadinya kelebihan beban terhadap tanah yang rawan, serta membuat aliran air di sekitar tempat tinggal untuk menjaga terjadinya genangan air yang dapat membuat tanah semakin jenuh. Tabel 22 Persepsi Warga tentang Cara (Mekanisme) Pencegahan Longsor (n=55) No.
Distribusi Responden (%) Ya Tidak
Cara Pencegahan
1.
Tidak menebang pohon sembarangan
95
5
2.
Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu)
95
5
3.
Melakukan penanaman ulang
67
33
4.
Melaksanakan pola lahan kering
67
33
5.
Tidak mendirikan rumah di titik longsor
98
2
6.
Membuat drainase (aliran air)
93
7
Untuk mendukung perubahan yang dilakukan oleh warga, maka pada tabel 23 memperlihatkan beberapa faktor yang dianggap oleh warga sebagai pendukung keberhasilan perubahan tersebut. Warga setuju bahwa tindakan yang mereka lakukan hanya mampu berhasil jika upaya-upaya tersebut dipahami dan disadari bersama melalui partisipasi serta kerjasama warga. Perihal lainnya yang juga penting adalah dibuatnya aturan-aturan beserta sanksi yang menjadi kesepakatan bersama antar warga. Aturan tersebut dianggap penting agar dapat mengikat menjadi kontrol para warga dalam menjaga kelestarian kampung mereka. Upaya tersebut merupakan faktor internal yang
menjadi
dasar
utama
terbangunnya
kelembagaan
lokal
untuk
menanggulangi longsor. Tabel 23 memperlihatkan faktor pendukung yang secara internal harus dibangun antar warga.
90
Tabel 23 Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan MencegahMenanggulangi Longsor (n=55) No.
Faktor Pendukung Keberhasilan PencegahanPenanggulangan Longsor
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Peningkatan kesadaran dan partisipasi warga
98
2
2.
Kerjasama antar warga
98
2
3.
Membuat aturan tentang upaya penanggulangan longsor
98
2
4.
Memberikan sanksi bagi warga yang melanggar aturan tentang penanggulangan longsor
91
9
Mengacu pada tabel 23 terlihat bahwa pemberian sanksi kepada warga yang melanggar aturan lebih rendah dibandingkan ke-3 unsur pendukung lainnya. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya toleransi warga terhadap sesama dan lebih memilih untuk memperkuat ke-3 unsur lainnya yakni meningkatkan kesadaran dan partisipasi, membangun kerjasama serta membuat aturan penanggulangan longsor. Secara internal, warga Sirnagalih akhirnya memahami bahwa mereka mampu melakukan upaya pencegahan terhadap bencana longsor. Selanjutnya, pada tabel 24 warga juga setuju bahwa faktor eksternal sangat dibutuhkan. Sebagian warga setuju dan berharap adanya dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, keahlian dan kemampuan yang lebih baik. Selain pemerintah, keluarga-kerabat juga menjadi pilihan untuk meminta bantuan dalam keadaan terdesak. Satu faktor lain yang dipilih oleh seluruh responden sebagai satu kekuatan yang sangat besar adalah kehendak Tuhan untuk tidak memberikan bencana longsor di kampung mereka. Warga yakin bahwa sebesar apapun usaha yang mereka lakukan hanya dapat berhasil jika Tuhan berkehendak. Keyakinan tersebut merupakan satu bentuk pemahaman warga terhadap ajaran agama Islam yang dianut yakni manusia wajib mempercayai adanya takdir baik dan takdir buruk. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa warga benar-benar menyadari peristiwa longsor sebagai peristiwa yang juga disebabkan oleh kondisi alam dan mereka tidak memiliki alternatif penghidupan lainnya sehingga hanya bisa berserah diri dan mengharapkan pertolongan kepada Tuhan.
91
Tabel 24
No.
Persepsi Warga tentang Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Pencegahan-Penanggulangan Longsor (n=55)
Pihak yang Dianggap Mampu Membantu
Distribusi Responden (%) Ya
Tidak
1.
Warga Kampung
87
13
2.
Pihak lain (Pemerintah & Keluarga)
67
33
3.
Tuhan
100
-
Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden setuju dalam memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan. Kesamaan tersebut merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. Persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Bell, dkk sangat terlihat dari hasil pengukuran persepsi warga di Kampung Sirnagalih. Persepsi warga terhadap lingkungannya memperlihatkan bahwa kondisi daerah yang rawan longsor telah menyebabkan lingkungan sekitar mereka menjadi tidak seimbang (homeo statis). Akibatnya, muncul tekanan yang menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan tersebut, sebagai makhluk adaptif, warga melakukan berbagai upaya penyesuaian (coping) yang mengarah pada adaptasi dimana terjadi perubahan sikap dan perilaku. Persepsi warga terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakantindakan adaptif. Begitupun sebaliknya, tindakan adaptasi yang muncul dan perlahan membentuk suatu pola akan menggambarkan representasi sosial warga terhadap daya adaptasi dan kemampuan untuk membentuk suatu tatanan norma-nilai yang menjadi panduan baru dalam menghadapi perubahan lingkungan. Begitupun persepsi terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan-tindakan adaptif. 6.3
Ikhtisar Pemahaman warga tentang bahaya longsor, kualitas lingkungan, bentuk
adaptasi yang dipahami sebagai cara bertahan hidup dan kemampuan diri untuk bertahan,
merupakan
konsep
yang
telah
melahirkan
pemahaman
dan
92
pemaknaan bersama. Hampir semua warga memberikan pandangan yang serupa dalam beberapa hal, sehingga tingkat homogenitas jawaban responden pada akhirnya memperlihatkan persepsi mereka secara nyata berdasarkan keeratan hubungan terhadap lingkungan sekitar. Persentase persepsi warga dalam memaknai bersama terhadap bahaya longsor sangat tinggi. Begitupun dengan persepsi warga tentang kondisi kampung mereka yang telah rusak. Pada gambar 20 memperlihatkan tingginya grafik kesamaan persepsi dalam memaknai bahaya longsor. Persepsi tersebut seiring dengan tingginya kesamaan warga mempersepsikan kemampuan mereka untuk bertahan dan melakukan tindakan adaptasi. Tingkat kesamaan warga dalam menpersepsikan lingkungan dan kemampuan diri, merepresentasikan kemampuan warga dalam mengenali perubahan lingkungan serta mengenali kapasitas mereka dalam menciptakan pola adaptasi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Tingginya tingkat kesamaan cara pandang (persepsi) para warga menjadi modal dasar untuk menciptakan penanganan-penanggulangan bencana, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak luar, seperti pemerintah dan pihak pemerhati bencana lainnya. Peran dan partisipasi aktif masyarakat untuk saling melindungi dan bersikap toleran lebih mudah dilakukan dibandingkan jika persepsi antar warga terhadap keadaan lingkungan saling berbeda. Gambar 20 Tingkat Keragaman Persepsi Masyarakat Sirnagalih 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Tinggi Sedang Rendah
Bahaya Longsor
Kerusakan Lingkungan
Kemampuan Bertahan & Mencegah Longsor
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Kesamaan cara pandang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan
yang
mengarah
pada
tindakan
adaptasi
yang
mampu
93
menyeimbangkan kehidupan-aktivitas warga terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang mengalami penurunan kualitas seyogyanya mendapatkan
perlakuan
yang
berbeda
agar
sustainabilitas
kehidupan
masyarakat di Kampung Sirnagalih bisa bertahan lebih lama tanpa menanggung resiko tinggi. Pada
akhirnya,
cara
pandang
(persepsi)
yang
sama
juga
akan
memudahkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan (konsensus) yang diakui bersama. Kesepakatan atau konsensus secara tidak langsung akan merangsang munculnya
kontrol
sosial
dalam
masyarakat,
baik
norma
yang
telah
terinternalisasi ataupun sekedar nilai-etika yang harus ditaati bersama, demi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.