VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN
Berdasarkan hasil estimasi parameter 12 persamaan perilaku yang disajikan dalam Bab V dapat ditarik substansi temuan empiris bahwa, pertumbuhan ekonomi adalah faktor dominan penentu degradasi lingkungan di Jawa Barat. Hal ini tercermin pada besarnya angka elastisitas setiap parameter perkembangan output ekonomi terhadap lahan kritis per kapita, BODp, TDSp, CO dan CO2p. Sedangkan kondisi sosial ekonomi yang ditunjukan oleh angka Gini Rasio dan tingkat kemiskinan kurang responsif terhadap tingkat pencemaran air baik jangka pendek maupun jangka panjang, hanya variabel GR terhadap luas lahan kritis per kapita yang elastis dalam jangka panjang. Melalui simulasi historis dengan skenario yang sudah diungkapkan dalam Bab IV akan dibuktikan bagaimanakah dampak dari pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan. 6.1. Pengaruh Kenaikan PDRB Variabel PDRB didahulukan sebagai variabel yang mengalami perubahan karena perubahan kualitas lingkungan dalam perspektif ekonomi lingkungan terjadi karena adanya aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. PDRB merupakan total produksi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat yang ada di suatu wilayah selama kurun waktu tertentu. Dari sisi lapangan usaha PDRB mencakup 9 sektor ekonomi, yakni sektor primer, sekunder dan tersier.
Proses
113
produksi sektor sekunder yakni industri pengolahan yang mengolah bahan-bahan mentah disinyalir banyak menimbulkan limbah yang kembali ke alam. Dengan menaikan nilai variabel PDRB secara bertahap mulai dari sebesar 1 persen kemudian 2 persen dan 3 persen dari nilai aktualnya, ternyata memiliki dampak berantai ke seluruh variabel endogen dalam model ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 24. Simulasi historis ini menggunakan model yang telah diuji validasinya dan menggunakan data historis dari tahun 1974 - 2004. Tabel 24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap MakroekonomiLingkungan Jawa Barat Variabel AGRO INDS JASA GR PR LK TG KN TDSP BODP COP CO2P Yt SA SI SJ PRDA PRDI PRDJ
Keterangan Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa Gini Rasio Jumlah Penduduk Miskin Lahan Kritis Perkapita Tambang dan Galian Kontruksi Total Dissolved Solid percapita Biologi oxigen demand percapita Carbon Monoksida Carbon Dioksida perkapita PDRB/kapita Pangsa Pertanian Pangsa Industri Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK Pertanian Produktivitas TK Industri Produktivitas TK Jasa-Jasa
1% 0.9885 2.1555 0.6525 -0.0935 -0.1354 -0.8264 0.0987 0.2912 1.5385 2.2410 2.1311 2.9377 0.9985 -0.0623 0.3370 -0.1531 0.9897 2.3808 0.6223
Kenaikan PDRB 2% 3% 1.9769 2.9654 4.3109 6.4664 1.3050 1.9575 -0.1869 -0.2804 -0.2708 -0.4062 -1.6529 -2.4793 0.1974 0.2960 0.5824 0.8736 3.0769 4.6154 4.4820 6.7230 4.2622 6.3933 5.8754 8.8132 1.9970 2.9955 -0.1246 -0.1869 0.6740 1.0110 -0.3062 -0.4593 1.9793 2.9690 4.7615 7.1423 1.2446 1.8670
Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa kenaikan PDRB sebesar 1 persen berdampak pada naiknya seluruh output sektor ekonomi. Peningkatan tersebut terjadi
114
melalui transmisi PDRB per kapita yang naik sebesar 1 persen dan indikator kualitas lingkungan. Karena terdapat indikator kualitas lingkungan yang berdampak positif terhadap output sektor ekonomi, maka ketika estimasi parameter tersebut meningkat sebagai dampak dari naiknya PDRB per kapita akan mendorong peningkatan output. Pengaruh ini ternyata mendominasi estimasi parameter indikator kualitas lingkungan lainnya yang memiliki arah negatif. Industri pengolahan paling tinggi diantara sektor ekonomi lainnya yakni mencapai 2.16 persen sehingga berdampak pada meningkatnya pangsa sektor ini dalam PDRB Jawa Barat sebesar 1.47 persen. Hal ini bersumber dari peningkatan C02p ketika PDRB per kapita naik. Kenaikan output sektor industri pengolahan meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya sampai 2.38 persen. Selanjutnya peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan ini dapat memperbaiki ketimpangan pendapatan, tercermin pada turunnya angka GR sebesar 0.09 persen. Penurunan angka GR disumbang pula oleh meningkatnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian sebagai dampak dari naiknya output sektor pertanian yang lebih besar dari sektor jasa. Meningkatnya PDRB sebesar 1 persen berdampak pula pada turunnya tingkat kemiskinan sebesar 0.71 persen. Berdasarkan gambaran dampak berantai dari kenaikan PDRB terhadap output sektor ekonomi melalui peningkatan PDRB per kapita dan indikator kualitas lingkungan sudah nampak bahwa peningkatan PDRB sebesar 1 persen memperburuk kualitas lingkungan kecuali lahan kritis per kapita. Hal ini tercermin dengan naiknya
115
TDSp sebesar 1.54 persen dan BODp 2.24 persen. Jumlah CO dan CO2p juga meningkat masing-masing sebesar 2.13 persen dan 2.94 persen. Namun tidak demikian untuk lahan kritis, ternyata LKp turun sebesar 0.83 persen. Penurunan ini tidak lepas karena pengaruh dari turunnya variabel kemisinan dan GR. Penurunan angka kemiskinan dan GR ini dapat mengeliminir kenaikan output sektor pertambangan dan penggalian yang mencapai 0.1 persen. Sebenarnya dalam persamaan indikator kualitas lingkungan lainnya juga terdapat variabel kemiskinan dan GR, namun karena kuatnya pengaruh peningkatan PDRB per kapita sehingga tetap menambah jumlah CO, CO2p, TDSp dan BODp. Namun jika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) dianggap eksogen, ternyata dampak dari pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen tidak berpengaruh terhadap LKP sementara kenaikan BODp dan TDSp lebih besar lagi. Hal ini terbukti dari hasil simulasi ketika variabel kemiskinan dianggap eksogen seperti yang bisa dilihat pada Tabel 25. Artinya, pertumbuhan ekonomi saja belum bisa diandalkan untuk mengatasi lahan kritis. Ketika ekonomi tumbuh yang tidak berpengaruh terhadap kemiskinan, luas lahan kritis relatif tetap sementara jumlah BODp dan TDSp semakin besar. Padahal ketika kemiskinan bersifat endogen, pertumbuhan ekonomi berdampak pada turunnya kemiskinan, luas lahan kritis per kapita turun dan kenaikan jumlah BODp serta TDSp lebih rendah. Jadi penurunan jumlah penduduk miskin secara langsung dapat mengendalikan luas lahan kritis per kapita dan juga jumlah BODp dan TDSp.
116
Tabel 25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap MakroekonomiLingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Eksogen Variable
Keterangan
AGRO INDS JASA LKP TG KN TDSP BODP CO CO2P YT SA SI SJ PRDA PRDI PRDJ
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa Lahan Kritis Perkapita Tambang dan Galian Kontruksi Total Dissolved Solid percapita Biologi oxigen demand percapita Carbon Monoksida Carbon Dioksida perkapita PDRB per kapita Pangsa Pertanian Pangsa Industri Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK Pertanian Produktivitas TK Industri Produktivitas TK Jasa-Jasa
Nilai Dasar 20268702 34354320 41147038 0.0120 10422803 5554335 0.0389 0.006137 675563 0.3404 3.1848 21.6800 22.6288 37.3867 4.1608 16.5524 7.3274
PDRB Naik 1% Nilai %∆ 20494268 1.1129 35054926 2.0394 41415522 0.6525 0.0120 0.0000 10433088 0.0987 5570509 0.2912 0.0396 1.7995 0.006296 2.5908 689960 2.1311 0.3504 2.9377 3.2166 0.9985 21.6355 -0.2053 22.9420 1.3841 37.2336 -0.4095 4.2072 1.1152 16.9299 2.2806 7.3730 0.6223
Dengan demikian kunci mengatasi lahan kritis adalah melalui perbaikan tingkat pendapatan masyarakat. Semakin rendah tingkat kemiskinan semakin terkendali luas lahan kritis per kapita. Hasil studi empiris ini sesuai dengan fakta di lapangan yakni lokasi survey di Kecamatan Arjasari dan Rongga Kabupaten Bandung dimana sebagian besar masyarakatnya miskin dan merupakan daerah lahan kritis terluas di Kabupaten Bandung. Karena alasan untuk mempertahankan hidup mereka terpaksa bercocok tanam sayuran di lahan yang kemiringannya lebih dari 35 derajat dan memangkas pohon-pohon tinggi yang dianggap mengahalangi penyinaran ke tanaman mereka. GRLK yang dicanangkan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada tahun 2003 melalui pola pemberdayaan masyarakat sekitar lahan kritis perlu lebih
117
diintensifkan agar secara perlahan pendapatan mereka meningkat dan semakin peduli akan konservasi lahan.Kenaikan PDRB 2 persen dan 3 persen memiliki dampak linier yang semakin tinggi terhadap seluruh variabel endogen. Artinya nilai-nilai variabel tersebut berubah apakah naik atau turun sesuai perubahannya sebesar dua kali lipat untuk kenaikan PDRB sebesar 2 persen dan tiga kali lipat untuk kenaikan PDRB sebesar 3 persen. 6.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Dalam skenario yang pertama tentang dampak pertumbuhan ekonomi dengan menganggap variabel kemiskinan dan ketimpangan pendapatan eksogen terbukti bahwa kemiskinan turut memperburuk kualitas lingkungan. Untuk lebih memperkuat temuan tersebut maka skenario selanjutnya adalah jika tingkat kemiskinan naik 0.5 persen dan ketimpangan pendapatan (GR) naik sebesar 0.02. Tabel 26 menunjukan bagaimana dampaknya terhadap makroekonomi-lingkungan Jawa Barat. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa ketika tingkat kemiskinan naik 0.5 persen dan GR naik 0.02 dapat menurunkan tingkat output seluruh sektor ekonomi, sehingga PDRB dan PDRB per kapita pun menurun. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat menurun seperti ditujukan oleh turunnya PDRB per kapita sebesar 7.77 persen. Kondisi ini mendorong perambahan hutan dan eksploitasi lahan secara berlebihan. Akibatnya LKp meningkat 10.66 persen yakni sebesar 0.0013 hektar. Dengan asumsi jumlah penduduk Jawa Barat 40 juta orang berarti kenaikan sebesar 10.66 persen atau 0.0013 hektar ekivalen dengan 52 000 hektar.
118
Tabel 26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Variable
Keterangan
AGRO INDS JASA LKP TG KN TDSP BODP CO CO2P PDRB Yt SA SI SJ PRDA PRDI PRDJ
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa Lahan Kritis Perkapita Tambang dan Galian Kontruksi Total Dissolved Solid percapita Biologi oxigen demand percapita Carbon Monoksida Carbon Dioksida perkapita Produk Domestik Regional Bruto PDRB/kapita Pangsa Pertanian Pangsa Industri Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK Pertanian Produktivitas TK Industri Produktivitas TK Jasa-Jasa
Kenaikan PR 0.5% GR 0.02 -8.2971 -14.7651 -4.4484 10.6557 -0.8181 -2.3572 -8.0679 -11.6773 -12.6084 -17.1287 -8.1285 -7.7667 -0.2134 -7.2666 3.2405 -8.4135 -14.5987 -3.8699
Fakta di lapangan menunjukan bahwa ketika krisis ekonomi terjadi dan sampai saat ini dimana perekonomian belum pulih sebagaimana mestinya tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan sangat mengkhawatirkan. Penjarahan hutan oleh masyarakat sebenarnya terkait dengan kelompok masyarakat yang bermodal yang memanfaatkan lemahnya perangkat hukum dan kemiskinan masyarakat sekitar. Dapat dimengerti jika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan semakin tinggi dampaknya semakin besar. Tidak demikian untuk kasus pencemaran air dan udara, dengan turunnya output sektor ekonomi konsisten dengan skenario yang pertama, maka tingkat
119
pencemaran air dan udara berkurang. Nampak di tabel jumlah TDSp turun sebesar 8.07 persen, BODp turun 11.67 persen, CO turun 12.61 persen dan CO2p turun 17.13 persen. Hal ini semakin memperkuat temuan di skenario yang pertama bahwa tingkat pencemaran air dan udara sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Pengaruh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang positif terhadap BODp dan TDSp relatif rendah sehingga tereliminir oleh pengaruh dari PDRB per kapita. Penurunan PDRB per kapita sebesar 8.13 persen sebagai akibat dari naiknya kemiskinan 0.5 persen dan GR 0.02 ternyata menimbulkan dampak terhadap turunnya indikator kualitas air dan udara dalam proporsi yang lebih besar. Untuk membuang pengaruh perubahan PDRB yang berarti pertumbuhan ekonomi dianggap eksogen, berarti kemiskinan berdampak langsung terhadap degradasi lingkungan ternyata luas lahan kritis per kapita naik dalam persentase yang lebih besar, tingkat pencemaran air pun meningkat. Hasil simulasi untuk kasus ini dapat membuktikannya sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 27 di bawah ini. Dengan membuang pengaruh PDRB, terbukti kemiskinan turut memperburuk kualitas lingkungan yakni meningkatnya luas lahan kritis per kapita, BODp dan TDSp. Padahal kedua indikator kualitas air ini membaik jika PDRB bersifat endogen. Memperlakukan PDRB sebagai variabel eksogen di sini memperkuat hasil simulasi sebelumnya bahwa kemiskinan menentukan degradasi lingkungan.
120
Tabel 27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Eksogen Variabel
Keterangan
AGRO INDS JASA LKP TG KN TDSP BODP CO CO2P YT SA SI SJ PRDA PRDI PRDJ
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa Lahan Kritis Perkapita Tambang dan Galian Kontruksi Total Dissolved Solid percapita Biologi oxigen demand percapita Carbon Monoksida Carbon Dioksida perkapita PDRB/kapita Pangsa Pertanian Pangsa Industri Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK Pertanian Produktivitas TK Industri Produktivitas TK Jasa-Jasa
Jika PDRB Eksogen Nilai Dasar Simulasi Δ% 20268702 19905195 -1.7934 34354320 32880008 -4.2915 41147038 41147038 0.0000 0.012 0.0134 11.6667 10422803 10422803 0.0000 5554335 5554335 0.0000 0.0389 0.0406 4.3702 0.006137 0.0065 5.9149 675563 675563 0.0000 0.3404 0.3404 0.0000 3.1848 3.1848 0.0000 21.6800 21.3144 -0.3656 22.6288 21.3663 -1.2625 37.3867 37.3867 0.0000 4.1608 4.0870 -1.7737 16.5524 15.6998 -5.1509 7.3274 7.3274 0.0000
Berdasarkan keempat skenario ini nampak bahwa penyebab utama masalah lahan kritis adalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Temuan ini mendukung pemikiran Hayami, Andersen dan studi empiris sebelumnya yang dibahas di Bab II Studi Literatur yakni studi Barros, et.al dan Grepperud. Pertumbuhan ekonomi memiliki potensi untuk mengendalikan lahan kritis jika tumbuh dalam persentase yang cukup besar (lebih dari 1 persen). Sementara penyebab utama masalah pencemaran air dan pencemaran udara adalah pertumbuhan ekonomi. Perubahan seluruh indikator kualitas air dan udara sangat responsif terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi, artinya ketika ekonomi tumbuh 1 persen kenaikan jumlah CO,
121
CO2p, BODp dan TDSp lebih dari 1 persen. Kemiskinan pun turut memperburuk kualitas air. Dengan demikian masih terjadi trade off antara perkembangan lahan kritis dengan pencemaran air dan pencemaran udara ketika ekonomi tumbuh. Hal ini secara implisit mengisyaratkan bahwa menangani lahan kritis relatif lebih mudah dibandingkan dengan yang lainnya ketika ekonomi tumbuh signifikan. Fakta ini selaras dengan eksistensi tipe hak kepemilikan diantara lahan kritis dengan air dan udara, juga tipe kerusakan dan dampaknya. Lahan dimiliki secara jelas yakni pribadi (masyarakat) dan negara (Perhutani) sehingga lebih mudah dalam merancang pola dan mekanisme kebijakan, siapa sasarannya dan bagaimana aturan mainnya agar luas lahan kritis dapat berkurang. Kerusakan dapat teridentifikasi dengan mudah karena menyangkut lokasi tertentu. Dampak sangat terasa dengan munculnya banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau. Dengan demikian ketika pendapatan naik mendorong alokasi untuk konservasi lahan semakin besar. Melalui hubungan ini pula dampak kemiskinan menjadi konsisten dengan luas lahan kritis, bahwa semakin rendah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan semakin tinggi upaya konservasi lahan. Sedangkan kasus pencemaran air dan udara terkait erat dengan sifat open access, sulit menetapkan siapa yang paling bertanggungjawab. Pencemaran air dan udara
memerlukan
pengukuran
secara
akurat
untuk
menentukan
tingkat
pencemarannya. Sifat pencemaran bisa lintas batas wilayah administrasi sehingga
122
mendorong sikap kurang peduli. Efek langsung tidak terasa dalam jangka pendek bahkan dimungkinkan lintas generasi. Oleh karena itu kenaikan pendapatan masih mendorong peningkatan polusi air dan udara. Skenario kenaikan dalam proporsi yang sama memiliki dampak yang linier terhadap seluruh variabel endogen bahwa perubahannya dua kali lipat dibandingkan dengan kenaikan skenario yang pertama. 6.3. Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah kunci katalisator dari kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama untuk kasus di lahan marjinal dan pembuangan kotoran ke badan air. Oleh karena itu dicoba disimulasikan kenaikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0.15 persen dari angka aktualnya. Dampak kenaikan pertumbuhan penduduk terhadap kondisi makroekonomi dan lingkungan Jawa Barat bisa dilihat pada Tabel 28. Kenaikan pertumbuhan penduduk sebesar 0.1 persen meningkatkan kemiskinan sebesar 2.1 persen. Selanjutnya dampak kenaikan kemiskinan ini memperburuk kualitas lingkungan. Hal ini tercermin pada luas lahan kritis per kapita yang naik 0.87 persen, jumlah TDSp naik 0.62 persen, jumlah BODp naik 1.22 persen, jumlah CO naik 0.61 persen dan jumlah CO2p naik 0.79 persen. Produktivitas lingkungan yang menurun ternyata masih mampu mendorong kenaikan output. Sektor pertanian mengalami peningkatan output tertinggi karena kenaikan BODp yang terjadi dalam persentase yang besar memiliki pengaruh dominan dibandingkan
123
dengan lahan kritis dan TDSp. Tabel 28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk 0.15% Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Variabel
Keterangan
AGRO INDS JASA GR PR LKP TG KN TDSP BODP CO CO2P PDRB YT SA SI SJ PRDA PRDI PRDJ
Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Jasa Gini Rasio Poverty Lahan Kritis Perkapita Tambang dan Galian Kontruksi Total Dissolved Solid percapita Biologi oxigen demand percapita Carbon Monoksida Carbon Dioksida perkapita Produk Domestik Regional Bruto PDRB per kapita Pangsa Pertanian Pangsa Industri Pangsa Jasa-Jasa Produktivitas TK Pertanian Produktivitas TK Industri Produktivitas TK Jasa-Jasa
Pertumbuhan Penduduk Naik 1% Naik 2% 0.5807 0.8544 0.2920 0.3465 0.1705 0.2225 -0.0634 -0.0634 1.2655 2.1046 0.0000 0.8696 0.0290 0.0382 0.0831 0.1095 0.4141 0.6211 0.8465 1.2214 0.4653 0.6080 0.5905 0.7941 0.2668 0.3534 0.2631 0.3472 0.3903 0.5540 -0.0525 -0.1031 -0.1028 -0.1353 0.5721 0.8445 0.2370 0.2769 0.1559 0.2021
Kenaikan output sektor industri pengolahan dan jasa terjadi dalam persentase yang kecil sehingga berdampak pada membaiknya kondisi distribusi pendapatan. Ekonomi keseluruhan tumbuh 0.35 persen, inilah yang membuat kualitas air dan udara tetap naik.
124
6.4. Substansi Hasil Simulasi Historis Hasil simulasi historis 1974 - 2004 menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat yang seiring dengan proses industrialisasi berdampak buruk pada kualitas air dan udara. Fakta ini mendorong Teori EKC sisi kiri sebelum titik balik. Artinya, industri yang berkembang di Jawa Barat adalah tipe industri yang banyak menimbulkan polusi. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan karakteristik input dan atau teknologi yang tidak ramah lingkungan. Terdapat temuan lain untuk kasus lahan kritis bahwa dampak dari kenaikan PDRB dapat menurunkan LKp. Elaborasi terhadap variabel lainnya menunjukan bahwa fakta tersebut tidak lepas dari pengaruh membaiknya tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Artinya, ekonomi tumbuh saja belum cukup dapat menurunkan LKp. Penurunan LKp lebih didorong oleh turunnya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Temuan ini dapat memperkaya makna Teori EKC, bahwa hubungan yang berbalik arah setelah mencapai titik balik belum tentu berlaku secara utuh. Kasus hubungan antara lahan kritis di Jawa Barat dengan pertumbuhan ekonomi sudah berbalik arah ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar berkualitas dapat menurunkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan lain kata, jika ekonomi tumbuh tinggi namun berdampak kecil terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi maka ada kecenderungan LKp tetap meningkat. Atau kondisi lain ketika pertumbuhan penduduk begitu tingginya sehingga tingkat kemiskinan meningkat dikhawatirkan pula akan mendorong peningkatan LKp.
125
Berdasarkan temuan empiris tersebut terdapat dua permasalahan yang terkait dengan masalah pencemaran air, pencemaran udara dan lahan kritis ini, yakni jumlah limbah dan emisi yang meningkat seiring dengan peningkatan outputnya dan meningkatnya lahan kritis jika kemiskinan bertambah. Perubahan kemiskinan tidak semata-mata terkait dengan pertumbuhan ekonomi namun juga pertumbuhan penduduk, dan Jawa Barat sangat riskan dengan masalah yang terakhir ini. Tingkat migrasi ke Jawa Barat sangat tinggi karena posisi strategis sebagai penyangga ibu kota negara. Dalam merespon kedua masalah tersebut pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan lingkungan sebagaimana sudah diungkapkan dalam Bab II, namun masih sulit menemukan kebijakan pengendalian arus migrasi. Dalam bab berikutnya akan dibahas sejauhmana efektivitas implementasi ragam kebijakan lingkungan tersebut.
126
Daftar Isi : VI. DAMPAK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN TERHADAP DEGRADASI LINGKUNGAN ................................................................................ 112 6.1. Pengaruh Kenaikan PDRB ................................................................................. 112 6.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan .......... 117 6.3. Pengaruh Kenaikan Pertumbuhan Penduduk ..................................................... 122 6.4. Substansi Hasil Simulasi Historis ...................................................................... 124 Tabel : Tabel 24. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap MakroekonomiLingkungan Jawa Barat ............................................................................................. 113 Tabel 25. Simulasi Historis Dampak Kenaikan PDRB Terhadap MakroekonomiLingkungan Jawa Barat Jika Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Eksogen . 116 Tabel 26. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat ............................... 118 Tabel 27. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat Jika PDRB Eksogen 120 Tabel 28. Simulasi Historis Dampak Kenaikan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Makroekonomi-Lingkungan Jawa Barat 123 Gambar :