VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
6.1.
Hasil Spesifikasi Model Model yang dibangun dalam penelitian Dampak Komposisi Belanja
Pemerintah ini diestimasi dengan menggunakan metode two stages squares (2SLS). Dari spesifikasi model maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil pendugaan ekonomi model penelitian ini cukup baik juga sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Dari 18 persamaan perilaku yang diestimasi, sebagian besar persamaan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.8040 sampai 0.9999. Hanya terdapat tiga (3) persamaan yang mempunyai R2 kurang dari 0.8 yaitu persamaan Tingkat Pengangguran (0.7717), Jumlah Penduduk Miskin (0.7255), dan Investasi Pemerintah (0.5590). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variables) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen. Dari indikator statistik diketahui bawah variasi variabel penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, disamping itu setiap
persamaan struktural mempunyai
besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic). Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Dalam studi ini taraf α yang digunakan α = 0.01, α = 0.05 dan α = 0.10. Berdasarkan hasil uji statistik
142
durbin-w (dw), terdapat beberapa persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena model dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan model dalam penelitian terdapat 26 persamaan, yang terdiri delanpan (8) persamaan identitas dan 16 persamaan perilaku atau persamaan struktural. Adapun persamaan identititas dalam penelitian ini terdiri : 1. PDBIt
= CONSt + INVTt + INVGt + CGOVt + (EXPOIMPO)t
(3.1)
2. YDt
= Yt - RTAXt + (SNBMt + SBBMt)
(3.3)
3. TREVt
= RDOMt + HBHt
(3.9)
4. RDOMt = RTAXt + PNBPt
(3.10)
5. BTOTt
= BTUSt + BTDRt
(3.12)
6. BTUSt
= BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt
(3.13)
7. BTDRt
= BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt
(3.20)
8. GPDBIt = (PDBIt – PDBIt-1)/PDBIt-1 * 100
(3.24)
Sementara persamaan perilaku dalam penelitian ini terdiri dari 18 persamaan berikut : 1.
1. CON St
= a0 + a1YDt + a2 LCONSt-1 + et
(3.2)
143
2. CGOVt
= b0 + b1RDOMt + b2DKt + b3LCGOVt-1 + et
(3.4)
3. INVTt
= c0 + c1PDBI + c2SBINVt + c3 LINVTt-1 + et
(3.5)
4. INVGt
= d0 + d1SBI3t + d2BMDLt + d3DKt + d4LINVTt-1 + et
(3.6)
5. EXPOt
= e0 + e1EXRRt + e2IHEt + e3INVTt + e4GIWLt + e5EXPOt-1 + et
(3.7)
6. IMPOt
= f0 + f1IHMt + f2PDBIt + f3LIMPOt-1 + et
(3.8)
7. RTAXt
= g0+ g1 GDBIt + g2 BTOTt + g3 LRTAXt-1 + et
8. BPGWt
= h0 + h1PNSt + h2INFLt + h3RTAXt + h4DOt + (3.14) h5LBPGWt-1 + et
9. BBRGt
= i0 + i1INVGt + i2TREVt + i3LBBRGt-1 + et
(3.15)
10. BMDLt
= j0 + j1RDOMt + j2DSPAt + j3LBMDLt-1 + et
(3.16)
11. BUTGt
= k0 + k1DFISt k4LBUTGt-1 + et
12. SNBMt
= l0 + l1PUNEMt + l2NPOVt-1 + l3LSNBMt-1 + et
13. SBBMt
= m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + j3LSBBMt-1 + (3.19) et = n0 + l1RDOMt + l2PNPOVt + l3LBDAKt-1 + et (3.21)
14. BDAKt
+k2LIBOR3t
+k3DEBTt
(3.11)
+ (3.17)
(3.18)
15. BDAUt
= o0 + o1RDOMt + o2PDBIt + o3 LGPOPIt + (3.22) o4DAUt-1 + et
16. BDBHt
= p0 + p1RMGSt + p2RNMGSt + p3GPDBIt+ (3.23) p4LBDBHt-1 +et
17. PUNEMt
= q0 + q1WAGEt + q2 TOTIt + q3LPUNEMt-1 + et
18. NPOVt
= r0 + r1 GPDBIt + r2 TSUBt + r3 PUNEMt + r4 (3.26) INFLt + r5 LNPOVt-1 + et
dimana : PDBIt CONSt CGOVt INVTt INVGt TOTIt
= = = = = =
Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) Total konsumsi (Rp Miliar) Konsumsi pemerintah (Rp Miliar) Total investasi (Rp Miliar) Total Investasi Pemerintah (Rp Miliar) Total Investasi (Rp Miliar)
(3.25)
144
EXPOt IMPOt YDt DKt SBINVtt SBI3t EXRRt IHEt GIWLt IHMt TREVt RDOMt HBHt RTAXt PNBPt BTOTt BTUSt BTDRt BPGWt BBRGt BMDLt BUTGt SNBMt SBBMt BLAINt PNSt INFLt GPDBIt DOt DSPAt DFISt LIBOR3t DEBTt PUNEM t NPOVt-1 POILt IMPMt RMGSt RNMGSt
6.2.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Ekspor (Rp Miliar) Impor (Rp Miliar) Pendapatan disposabel (Rp Miliar) Dummy Krisis Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (persen) Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (persen) Nilai Tukar Riil ($ US/Rp) Indeks Harga Ekspor Pertumbuhan Ekonomi Dunia (persen ) Indeks Harga Impor Total penerimaan negara (Rp Miliar) Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) Penerimaan dari hibah (Rp Miliar) Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar) Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) Belanja transfer daerah (Rp Miliar) Belanja Pegawai (Rp Miliar) Belanja Barang (Rp Miliar) Belanja Modal (Rp Miliar) Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) Subsidi Non BBM (Rp Miliar) Subsidi BBM (Rp Miliar) Belanja lain-lain (Rp Miliar) Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) Tingkat Inflasi (persen) Pertumbuhan Ekonomi (persen) Dummy otonomi daerah Dummy perubahan struktur APBN Defisit Anggaran (Rp Miliar) Suku bunga Dunia Riil (persen) Stok Utang Pemerintah (RP Miliar) Tingkat Pengangguran (juta orang) Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) Harga Minyak Mentah Dunia (Rp) Impor Migas (US$) Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar)
Hasil Pendugaan Model
6.2.1. Blok Pendapatan Nasional Blok pendapatan nasional merupakan blok yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam menciptakan pendapatan nasional. Seperti diketahui bahwa
145
perhitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari sektor Konsumsi, Investasi, Pemerintah dan Sektor Luar Negeri. Dengan demikian dalam model persamaan pendapatan nasional merupakan persamaan identitas, bukan persamaan perilaku. Masing-masing variabel yang membentuk pendapatan nasional mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antar variabel pada blok pendapatan nasional maka akan dilakukan pendugaan terhadap perilaku masingmasing variabel. Dalam blok pendapatan nasional terdapat enam (6) persamaan perilaku yaitu persamaan Konsumsi Rumah Tangga (CONS), Konsumsi Pemerintah (CONG), Investasi Swasta (INVT), Investasi Pemerintah (INVG), Ekspor (EXPO), dan Impor (IMPO). Hasil dari pendugaan model diketahui bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh variabel lag atau konsumsi tahun sebelumnya dan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Hasil pendugaan perilaku konsumsi rumah tangga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa respon konsumsi rumah tangga terhadap perubahan pendapatan disposable cukup elastis dalam jangka panjang. Pengaruh variabel lag yang signifikan menunjukkan pola konsumsi masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah tidak banyak berpengaruh terhadap pola dan
distribusi pendapatan disposable masyarakat.
146
Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini (Gini Coefficient) Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan bahwa kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1 ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada level 0.36 dan 0.37. Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level 0.33. Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat.
Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Variable
Intercept Yd LCONS Uji F = 7948.43
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Pr > |t|
-21657.4 0.174135
0.0143
0.28492
0.79108
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR 1.3638
Intercept
<.0001 a
Disposable Income
<.0001 a
Lag Konsumsi Swasta
R2 = 0.99768
DW=1.2884
0.01
Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan melalui Pajak Penghasilan (PPh) masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun
147
juga harus dibebankan Pada Pajak Pertambahan nilai (PPn) untuk barang-barang mewah. Sementara mekanisme subsidi harus ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, baik melalui subsidi input maupun subsidi output. Subsidi input dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas pembiayaan maupun peralatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga para pelaku UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memperoleh peningkatan pendapatan. Konsumsi
rumahtangga
merupakan
kontributor
terbesar
dalam
pembentukan pendapatan nasional di Indonesia. Porsi konsumsi rumah tangga rata-rata menyumbang hampir 60 persen terhadap total pendapatan nasional. Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Besarnya porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi ini ibarat pedang bermata dua. Satu sisi besarnya konsumsi, melalui efek pengganda (multiplier effect), akan berdampak positif mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Disisi lain, besarnya konsumsi menunjukkan tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Tentu saja kondisi ini akan mempengaruhi besaran pembentukan modal tetap yang akan diinvestasikan dalam perekonomian. Sementara itu hasil pendugaan untuk perilaku konsumsi pemerintah (CONG) menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah dipengaruhi secara positif oleh penerimaan domestik, pengaruh krisis ekonomi dan konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Namun variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah adalah variabel lag nya atau konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pola belanja pemerintah tidak mengalami banyak perubahan hanya berdasarkan pola historis tahun
148
sebelumnya. Sementara itu penerimaan domestik hanya memiliki elastisitas yang relatif kecil terhadap besarnya konsumsi pemerintah. Dalam jangka pendek elastisitas penerimaan domestik terhadap konsumsi pemerintah hanya 0.04 dan dalam jangka panjang sebesar 0.71. Artinya penerimaan domestik tidak signifikan mempengaruhi konsumsi pemerintah. Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi pemerintah adalah konsumsi pemerintah tahun sebelumnya. Koefisien parameter lag konsumsi pemerintah adalah sebesar 0.9422. Dengan demikian berarti pola dan perilaku konsumsi pemerintah lebih banyak merujuk pada pola tahun sebelumnya. Atau dengan kata lain, faktor yang menentukan besarnya konsumsi pemerintah adalah menggunakan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Hal ini juga bisa dilihat bahwa hampir tidak pernah ada perubahan yang signifikan dalam pola konsumsi pemerintah. Pola konsumsi pemerintah tercermin dalam komposisi belanja rutin, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja pembayaran utang, dan belanja lain-lain. Hampir tiap tahun komposisi belanja rutin tidak ada perubahan yang signifikan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pemerintah adalah pengaruh krisis ekonomi. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi konsumsi pemerintah mengalami perubahan yang signifikan, antara lain disebabkan oleh peningkatan inflasi, suku bunga dan fluktuasi nilai tukar. Inflasi telah menyebabkan hargaharga meningkat tajam sehingga menambah beban pengeluaran konsumsi pemerintah. Inflasi telah mendorong kenaikan porsi belanja rutin pemerintah, utamanya yaitu belanja pegawai, belanja barang dan subsidi. Sementara
149
kenaikkan suku bunga
dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan
terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah.
Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Variable
Parameter Estimate
Intercept
5646.629
RDOM
0.019354
dk LCONG Uji F = 1454.77
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR 0.0263
Intercept
0.0031 a
Penerimaan dalam Negeri
17120.53
0.0650 b
Dummy Krisis
0.942246
<.0001 a
Lag Cons Pemerintah
0.0409
Prop F = <.0001
0.7090
R2 = 0.98744
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf
DW=2.037197
0.01 dan 0.05
Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi. Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu 1.31. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap
150
investasi hanya sebesar -0.02 dan -0.11. Artinya investasi swasta di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga riil. Kondisi ini dapat juga dipengaruhi oleh adanya rigiditas perubahan suku bunga. Tingkat suku bunga investasi di Indonesia relatif sangat rigid atau kaku untuk berubah. Kekakuan ini antara lain disebabkan pengaruh struktur perbankan di Indonesia yang cenderung oligopoli atau terjadi kartel. Pangsa pasar perbankan hanya didominasi oleh beberapa bank besar saja. Rendahnya pengaruh perubahan suku bunga riil terhadap investasi juga menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain diluar suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap investasi. Variabel lain yang menentukan minat investasi diluar faktor suku bunga, diantaranya seperti faktor iklim investasi, cost of doing bussines dan tersedianya infrastruktur yang memadai.
Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Swasta Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-2322.85
SBINV
-490.49
-0.02661
PDBI
0.073881
0.33533
LINVT
0.743766
Uji F = 344.71
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.8132
Intercept
-0.104
0.4499
Suku Bunga Investasi
1.3087
0.0056 a
Produk Domestik Bruto
<.0001 a
Lag Investasi Swasta
R2 = 0.96636
DW=1.283074
0.01
Rendahnya minat investasi swasta di Indonesia disebabkan adalah iklim investasi yang tidak kondusif, seperti berbelitnya proses perijinan dan lamanya birokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain iklim investasi di Indonesia masih kurang menarik. Hal ini ditunjukkan oleh peringkat daya tarik investasi Indonesia masih berada para peringkat ke 129. Rendahnya peringkat daya tarik
151
Indonesia untuk berinvestasi bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki potensi untuk berinvestasi. Potensi sumber daya (resource base) Indonesia sangat berlimpah,
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Investor
kurang tertarik berinvestasi di Indonesia karena lamanya proses perijinan untuk mulai berinvestasi (45 hari) dan banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha sebagaimana ditunjukkan Tabel 30.
Tabel 30. Biaya Transaksi Perijinan Mulai Usaha NEGARA
Peringkat Daya Saing
Singapura 1 Malaysia 18 Thailand 17 Brunei 83 Vietnam 98 INDONESIA 129 Filipina 136 Kamboja 138 Laos 165 Sumber : World Bank, 2011
Jumlah Hari Mulai Bisnis 3 6 29 101 44 45 35 856 93
Jumlah Prosedur Mulai Bisnis 3 4 5 15 9 8 15 9 7
Biaya (% thd Pendapatan/ kapita) 0,7 16,4 6,2 11,8 10,6 17,9 19,2 109,7 7,6
Kondisi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh perilaku investasi pemerintah. Tabel 31 menunjukkan hasil pendugaan terhadap Investasi Pemerintah, dimana Investasi pemerintah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga SBI, krisis ekonomi dan belanja modal. Tingkat suku bunga SBI dan krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif sementara belanja modal mempunyai hubungan yang positif terhadap investasi pemerintah. Jika terjadi kenaikkan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi Pemerintah sekitar Rp581 miliar. Demikian juga krisis ekonomi telah berdampak pada berkurangnya investasi pemerintah. Dengan adanya krisis pengeluaran
152
pemerintah yang bersifat rutin meningkat sehingga porsi pengeluaran untuk investasi jadi semakin berkurang. Faktor lain yang menentukan besarnya Investasi Pemerintah adalah belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan untuk investasi. Sayangnya, belanja modal yang menjadi investasi pemerintah relatif sangat kecil. Jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp1 miliar maka investasi pemerintah hanya naik sebesar Rp 0,29 miliar. Artinya dari besarnya belanja modal pemerintah, hanya sekitar 30 persen yang berbentuk investasi pemerintah. Hal ini sekaligus mengindikasikan terjadinya inefisiensi, kebocoran atau
ketidak efektifan dari belanja modal
pemerintah. Ketidakefektifan belanja modal bisa jadi dipengaruhi oleh pola penyerapan anggaran yang buruk, dimana rata-rata penyerapan anggaran terkonsentrasi pada triwulan III dan bahkan akhir triwulan IV. Dengan singkatnya waktu penyerapan anggaran, niscaya akan berdampak pada kualitas penyerapan anggaran. Belanja modal yang yang dialokasikan dengan waktu kurang dari 6 bulan, tentu tidak akan menghasilkan pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari investasi pemerintah. Rendahnya porsi belanja modal dan singkatnya waktu penyerapan anggaran berakibat pada alokasi belanja modal tidak sepenuhnya
diperuntukkan pada
pembangunan infrastruktur baru.
Pembangunan infrastruktur hanya berupa perbaikan dari infrastruktur yang telah ada dan hanya bersifat tambal sulam. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, dimana dengan proporsi belanja modal yang sangat kecil masih menghadapi kualitas alokasi anggaran yang tidak tepat.
153
Permasalahan ini akan berimplikasi pada efektifitas peranan belanja modal yang seharusnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hasil pendugaan persamaan ini hanya memiliki derajat kepercayaan sebesar 57.9 persen, namun mempunyai tingkat kesalahan yang relatif kecil, yaitu kurang dari 1 persen. Artinya secara statistik pendugaan ini signifikan, namun masih ada variabel lain yang mempengaruhi perilaku investasi pemerintah diluar faktor suku bunga dan belanja modal.
Tabel 31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Intercept SBI3 BMDL dk LINVG Uji F =11.67
Pr > |t|
Variable
ELR
16260.38
0.0064
Intercept
-462.6
-0.11005
0.0000
0.1723 c
SBI3
0.292368
0.15927
0.0000
0.0660 b
Belanja Modal
-13269.6
0.0503b
Dummy Krisis
0.61136
0.0013 a
Lag Invesasi Pemerintah
Prop F = <.0001
R2 = 0.57149
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
DW=2.240126
0.01, 0.05 dan 0.10.
Hasil pendugaan pada persamaan ekspor menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai tukar rupiah. Elastisitas nilai tukar riil terhadap ekspor Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya ketika nilai tukar riil mengalami depresiasi 1 persen, maka dalam jangka pendek ekspor hanya meningkat sebesar 0.01 persen. Tingkat respon yang rendah antara ekspor dengan nilai tukar riil ini disebabkan karena besarnya bahan baku impor pada struktur produk-produk ekspor Indonesia. Jadi ketika rupiah mengalami depresiasi, tidak secara otomatis akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dari sisi harga.
154
Disamping itu, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas primer yang memiliki permintaan inelastis terhadap perubahan harga. Tabel 32 menunjukkan disamping dipengaruhi nilai tukar riil, kinerja ekspor juga dipengaruhi secara positif oleh indeks harga ekspor, investasi swasta dan permintaan dunia. Namun ketiga variabel ini juga mempunyai tingkat respon yang inelastis terhadap perubahan. Indeks harga ekspor hanya mempunyai elastisitas sebesar 0.19 dan permintaan dunia sebesar 0.05. Sementara investasi swasta relatif cukup mempunyai dampak terhadap kinerja ekspor dengan elastisitas sebesar 0.58. Variabel lag tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor dikarenakan kinerja ekspor sangat dinamis tergantung pada kondisi perekonomian global.
Tabel 32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
88807.66
EXRR
-3.05396
-0.01261
IHE
34055.77
INVT GIWL Uji F =258.38
Pr > |t|
Variable
ELR 0.0003
Intercept
-
0.5186
Nilai Tukar Riil
0.19135
-
<.0001 a
Indeks Harga Export
1.128624
0.5784
-
<.0001 a
Investasi Swasta
9067.399
0.0464
0.2111 c R2 = 0.96724
Prop F = <.0001
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Pertumb. Ekonomi Dunia DW=1.233002
0.01 dan 0.10.
Sementara itu hasil pendugaan dari persamaan impor pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap impor. Setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar Rp1 miliar berpengaruh pada peningkatan impor sebesar 0.21 miliar. Atau dalam jangka pendek setiap terjadi kenaikkan pendapatan nasional 1 persen maka akan terjadi peningkatan impor sebesar 0.64 persen. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi penurunan
155
pendapatan nasional, penurunan permintaan impor juga tidak terlalu signifikan. Dalam jangka panjang hubungan pendapatan nasional dengan permintaan impor cukup elastis, yaitu sebesar 1.64. Demikian juga indeks harga impor mempunyai hubungan yang sangat tidak elastis terhadap permintaan impor. Setiap terjadi kenaikan indeks harga impor 1 persen hanya berdampak penurunan permintaan impor sebesar 0.08 dalam jangka pendek dan 0.22 dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat tinggi, sehingga perubahan harga tidak akan berdampak signifikan terhadap perilaku impor. Hal ini disebabkan permintaan impor Indonesia tidak hanya terbatas pada barang konsumsi, namun juga permintaan terhadap impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Impor Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-44520.5
IHM
-14753.1
-0.08863
-0.2265
0.1245 c
IHM
PDBI
0.212936
0.64269
1.6426
0.0005 a
Produk Domestik Bruto
<.0001 a
Lag Import
LIMPO
0.0885
0.60874
Uji F =247.57
Prop F = <.0001
R2 = 0.95377
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept
DW=1.984543
0.01 dan 0.10.
6.2.2. Blok Fiskal Pada blok fiskal akan dianalisis mengenai perilaku penerimaan pemerintah dan perilaku belanja pemerintah. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka porsi analisis untuk belanja pemerintah akan lebih detail per jenis belanja. Sementara perilaku penerimaan pemerintah hanya akan dianalisis dari perilaku total penerimaan yang bersumber dari pajak. Seperti diketahui kontributor terbesar
156
dari penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karenanya dalam model simultan ini, hanya perilaku penerimaan pajak yang akan diestimasi. Hasil pendugaan model perilaku Pajak pada Tabel 34 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan ekonomi. Namun, kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan penerimaan pajak relatif masih sangat kecil, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka penerimaan pajak hanya meningkat sebesar 0.03 persen dalam jangka pendek dan 0.04 dalam jangka panjang. Respon ini sekaligus menunjukkan masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, dimana tax ratio Indonesia baru mencapai 12.5 persen terhadap GDP. Sementara total belanja pemerintah berpengaruh relatif lebih elastis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Setiap kenaikkan 1 persen total belanja pemerintah, berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sebesar 0.94 persen dalam jangka pendek dan 1.07 persen dalam jangka panjang. Artinya total belanja pemerintah relatif mampu mendorong peningkatan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami karena kontributor utama penerimaan pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan dan pertambahan nilai. Sementara komponen terbesar total belanja pemerintah adalah untuk belanja pegawai, sehingga ketika terjadi peningkatan belanja pemerintah akan diikuti dengan penerimaan pajak. Tabel 34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-9723.07
GPDBI
823.3645
0.03574
0.0405
0.1775 c
Pertumbuhan Ekonomi
BTOT
0.599909
0.94491
1.0707
<.0001 a
Total Belanja
LRTAX
0.117506
0.0690 b
Lag Perimaan dari Pajak
Uji F = 3283.16
0.0232
Prop F = <.0001
R2 = 0.99636
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept
DW=1.849262
0.01, 0.05. dan 0.10
157
Sisi blok fiskal yang lain ada blok belanja pemerintah yang akan dianalisis secara detail per jenis belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun belanja transfer daerah. Belanja Pemerintah pusat terdiri dari enam (6) persamaan, yaitu Belanja Pegawai (BPGW), Belanja Barang (BBRG), Belanja Modal (BMDL), Pembayaran Bunga Utang (BTUG), dan Belanja Subsidi BBM (SBBM), dan Belanja Subsidi Non BBM (SNBM). Sementara pendugaan terhadap belanja transfer daerah terdiri 3 persamaan yaitu belanja Dana Alokasi Umum (BDAU), Belanja Dana Alokasi Khusus (BDAK), dan Belanja Dana Bagi Hasil (BDBH).
6.2.2.1. Belanja Pegawai Belanja pegawai merupakan jenis belanja rutin dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, baik untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS) maupun untuk gaji Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI). Gambar 32 menunjukkan komposisi dari alokasi belanja pegawai selama tahun 2006-2010. Komponen terbesar belanja pegawai adalah untuk pembayaran uang pensiun dan uang tunggu. Komposisi belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk PNS dan TNI/POLRI hampir sama, dimana kebutuhan untuk pembayaran gaji PNS mencapai sekitar Rp31 triliun dan untuk TNI/POLRI sekitar Rp28 triliun. Diluar untuk gaji dan tunjangan, komponen belanja pegawai juga dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pejabat negara sekitar 568 miliar dan untuk honorarium, lembur dan vakasi sekitar Rp5.6 triliun. Alokasi belanja pegawai dalam APBN merupakan belanja rutin dan mengambil porsi terbesar dalam komposisi belanja pemerintah pusat. Tingginya beban belanja pegwai terkait dengan luasnya wilayah teritorial Indonesia, sehingga memerlukan jumlah aparatur pemerintahan yang cukup besar.
158
134
Lainnya
99
Tunjangan Kesehatan Veteran
1.068
Belanja Asuransi Kesehatan
36.902
Belanja Pensiunan dan Uang Tunggu 5.614
Tunjangan Khusus & Belanja Pegawai…
5.206
Honorarium, Lembur, Vakasi Gaji dan Tunjangan Non…
568 567
Gaji dan Tunjangan Pejabat Negara
28.929
Gaji dan Tunjangan TNI/POLRI
31.390
Gaji dan Tunjangan PNS 0
10.000
20.000
30.000
40.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pegawai pada Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah PNS, penerimaan pajak dan kebijakan pemekaran wilayah mempunyai pengaruh yang positif terhadap besarnya belanja pegawai. Kebijakan pemekaran wilayah sejak tahun 2001 mempunyai hubungan dan dampak signifikan terhadap besarnya belanja pegawai. Akibat kebijakan pemekaran wilayah ini, terjadi peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang signifikan dan berujung pada meningkatnya gaji pegawai. Hasil dari pendugaan model, akibat kebijakan pemekaran wilayah ini berdampak pada peningkatan belanja pegawai sekitar Rp 9.4 triliun. Peningkatan belanja pegawai disamping disebabkan oleh peningkatan jumlah PNS, juga disebabkan oleh inflasi dan penerimaan pajak. Untuk mengimbangi laju inflasi, pemerintah telah melakukan kenaikan gaji berkala
159
untuk PNS. Sumbangan inflasi terhadap peningkatan belanja pegawai sebesar 0.02 persen dalam jangka pendek. Penerimaan pajak mempunyai elastisitas sedikit lebih besar daripada inflasi yaitu 0.20 persen. Secara umum variabel yang paling signifikan terhadap besarnya belanja pegawai adalah belanja pegawai tahun sebelumnya. Komposisi belanja pegawai juga hanya mengikuti pola dari tahuntahun sebelumnya. Artinya struktur besarnya gaji pokok, tunjangan, honorarium dan sebagainya sudah ditentukan polanya. Terbukti walaupun terjadi kenaikkan gaji berkala dari gaji PNSdan TNI/Polri namun jumlah dan besarnya sudah ditentukan secara fixed dengan formula yang ada. Jadi perubahan besarnya gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri tidak serta merta mengikuti perkembangan inflasi maupun besarnya penerimaan negara dari pajak. Kenaikkan besarnya gaji pegawai lebih ditentukan keputusan politik dari pemerintah.
Tabel 35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-816.713
PNS
0.000527
0.05996
0.3536
0.3045 c
INFL
47.90445
0.02412
0.1423
0.3622
RTAX
0.039853
0.1960
1.156
0.0163 b
Penerimaan Pajak
DO
9415.279
0.051 b
Dummy Otonomi Daerah
LBPGW
0.830453
<.0001 a
Lag Belanja Pegawai
Uji F = 670.23
0.6043
Prop F = <.0001
R2 = 0.98996
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept Jumlah PNS Tingkat Inflasi
DW=2.624111
0.01, 0.05. dan 0.10
6.2.2.2. Belanja Barang Belanja barang adalah alokasi anggaran untuk membiayai keperluan operasional birokrasi, baik dalam bentuk pembelian barang maupun jasa. Komponen terbesar belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang
160
operasional, seperti Alat Tulis Kantor (ATK), peralatan serta untuk keperluan perjalanan dinas. Dari gambar 30 dapat dilihat, alokasi belanja barang terbesar adalah untuk belanja barang operasional, yaitu selama 2006-2010 rata-rata sebesar Rp21 triliun dan untuk belanja barang non operasional sekitar Rp14 triliun. Komposisi antara belanja barang operasional dan non operasional ini hampir setara, sehingga besar kemungkinan terjadinya peluang tumpang tindih atau doble anggaran. Komponen yang cukup besar berikutnya adalah belanja perjalanan dinas yang mencapai 12.5 triliun, yang meliputi perjalanan dinas di dalam dan ke luar negeri. Porsi perjalanan dinas menyedot alokasi anggaran cukup besar jika dibandingkan dengan total belanja yang dibutuhkan untuk belanja barang operasional maupun non operasional. Porsi perjalanan dinas mencapai 12.5 persen, hampir sama dengan porsi belanja non operasional 14.9 persen. Perjalanan dinas yang berkontribusi besar adalah perjalanan dinas ke luar negeri.
3.471
Belanja Barang BLU
12.503
Perjalanan
9.671
Belanja Jasa
14.914
Barang Non Operasional
20.959
Barang Operasional 0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun 2006-2010
161
Hasil estimasi terhadap persamaan belanja barang Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel investasi Pemerintah, total penerimaan negara dan variabel lag belanja barang memiliki hubungan dengan arah positif terhadap belanja barang. Idealnya besarnya belanja barang sejalan dengan besarnya investasi pemerinatah. Karena belanja barang digunakan untuk menunjang kebutuhan operasional mapun non operasional dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Belanja barang dan investasi pemerintah mempunyai hubungan yang inelastis. Setiap kenaikan investasi pemerintah sebesar 1 persen hanya berpengaruh pada peningkatan belanja barang sebesar 0.03 persen. Artinya penentuan besarnya kebutuhan belanja barang tidak ditentukan oleh volume kegiatan pemerintah. Padahal setiap investasi pemerintah mustinya harus dibarengi dengan biaya operasional seperti biaya pemeliharaan dari aset-aset pemerintah. Namun hubungan belanja barang dan investasi pemerintah ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Belanja barang juga tidak dipengaruhi cukup elastis oleh total penerimaan negara. Elastisitas jangka pendek penerimaan negara terhadap belanja barang hanya sebesar 0.23. Namun dalam jangka panjang total penerimaan negara mempunyai hubungan yang sangat elastis terhadap belanja barang, yaitu 24.26. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi belanja barang adalah variabel lag belanja barang itu sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa pola belanja pemerintah hanya mengikuti pola belanja yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir tidak ada perubahan dari komposisi belanja barang dari tahun ke tahun. Faktor fundamental, seperti kegiatan pemerintah yang di proksi dari Investasi Pemerintah, yang seharusnya berpengaruh paling signifikan
162
terhadap belanja barang justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik.
Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-703.527
INVG
0.009238
0.03237
TREV
0.01588
0.23098
LBBRG
Pr > |t| 0.6489
Intercept
3.3996
0.8102
Investasi Pemerintah
24.2573
0.0487 a
Total Penerimaan
<.0001a
Lag Belanja Barang
0.990478
Uji F = 402.45
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR
R2 = 0.97105
DW=2.398695
0.01.
6.2.2.3. Belanja Modal Belanja modal memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian. Belanja
modal
dapat
digunakan untuk
membiayai
berbagai
keperluan
pembangunan infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur yang memadai maka akan mendorong terjadinya peningkatan investasi dan peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan Investasi juga akan berdampak pada peningkatan kinerja ekspor dan dapat mengurangi permintaan impor. Dengan adanya peningkatan belanja modal maka peranan stimulus fiskal dalam perekonomian akan lebih optimal. Penggunaan belanja modal terbesar adalah untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan. Ketiga infrastruktur ini memang sangat besar peranannya dalam menunjang kinerja sektor riil. Disamping itu pembangunan infrastruktur, belanja modal juga dipergunakan untuk pembelian peralatan dan mesin untuk kebutuhan jangka panjang atau bersifat investasi. Sementara peralatan untuk keperluan operasional dialokasikan dari belanja barang. Namun data selama tahun 2006-2010, belanja modal juga dipergunakan untuk pembangunan gedung dengan porsi yang masih cukup signifikan, yaitu mencapai Rp14 triliun. Sementara untuk
163
pembangunan infrastruktur jalan hanya sekitar Rp28 triliun, serta peralatan dan mesin sebesar Rp21 triliun.
794
BLU, Bergulir & lainnya
2.976
Fisik Lainnya 212
Pemeliharaan
28.290
Jalan, irigasi, Jaringan 14.060
Gedung
21.676
Peralatan & Mesin 1.625
Tanah 0
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun 2006-2010
Hasil estimasi pada persamaan belanja modal Tabel 37 menunjukkan penerimaan dalam negeri mempunyai hubungan yang positif namun hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap besarnya belanja modal. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp1 miliar yang dialokasikan untuk belanja modal hanya sebesar Rp 0.03 miliar. Karenanya, elastisitas penerimaan domestik terhadap belanja modal hanya sebesar 0.22 dalam jangka pendek dan 0.55 dalam jangka panjang. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya proporsi belanja modal pada struktur belanja pemerintah. Padahal belanja modal semestinya merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri. Karena dengan adanya peningkatan belanja modal, maka akan meningkatkan investasi, ekspor dan juga konsumsi. Peningkatan sektor-sektor
164
tersebut yang pada akhirnya menjadi sumber penerimaan negara baik melalui mekanisme pajak maupun non pajak. Dalam model ini juga ditunjukkan adanya pengaruh perubahan struktur anggaran terhadap belanja modal. Sebelum tahun 2001, komponen belanja modal merupakan belanja pembangunan. Dalam komponen belanja pembangunan juga termasuk dalam belanja pembangunan yang diperuntukkan untuk daerah. Sementara setelah tahun 2001, komponen belanja modal hanya merupakan komponen belanja pemerintah pusat.
Tabel 37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
4628.47
0.0259
RDOM
0.030049
DSPA
4709.395
0.5098
Dummy Perubahan Anggaran
LBMDL
0.578954
0.0001a
Lag Belanja Modal
Uji F = 93.57
Prop F = <.0001
0.22798
Keterangan : a nyata pada taraf
0.54145
0.0187 a
R2 = 0.88633
Intercept Penerimaan Dalam Negeri
DW=2.180795
0.01
6.2.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang Komponen belanja pembayaran bunga utang terbesar adalah untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan bunga utang dalam negeri. Data selama 2006-2010 menunjukkan beban bunga utang dalam negeri jangka panjang ratarata mencapai Rp 27 triliun. Sementara beban pembayaran utang luar negeri jangka panjang telah mencapai Rp 55 triliun. Disamping pembayaran beban bunga utang jangka panjang, belanja bunga juga harus dialokasikan untuk pembayaran imbalan dan discount terhadap Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Utang Negara (SUN). Dalam tiga tahun terakhir jumlah SBSN
165
maupun SUN telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran imbal jasa SUN dan SBSN.
1.189
Pembayaran Denda
29
Imbalan SBSN DN
469
Loss on Bound Redemption Buy Back…
208
SUN LN
3.737
Discount SUN DN
400
Imbalan SBSN LN
1.997
Imbalan SBSN DN
27.856
Bunga Utang LN-Jangka Panjang
55.198
Bunga Utang DN-Jangka Panjang 0
10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pemerintah untuk pembayaran bunga utang Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi besarnya beban pembayaran bunga utang adalah besarnya akumulasi atau stok utang pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya penambahan utang baru pemerintah secara terus menerus. Elastisitas stok utang pemerintah terhadap beban pembayaran bunga utang adalah sebesar 0.64 dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang elastisitasnya lebih rendah yaitu 0.12. Hal ini dikarenakan dalam jangka panjang stok utang pemerintah tentu mengalami penurunan akibat pembayaran cicilan pokok utang.
166
Besarnya pengaruh akumulasi utang terhadap beban pembayaran bunga disebabkan oleh kebijakan defisit fiskal yang selalu ditutup dengan utang baru. Hasil pendugaan, defisit fiskal mempunyai hubungan yang positif terhadap beban = 10%. Dengan demikian
pembayaran bunga dengan taraf kepercayaan
kebijakan defisit anggaran yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada peningkatan beban anggaran itu sendiri pada tahun berikutnya.
Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-2404.62
0.6603
DFIS
0.134982
0.06496
0.1427
0.2404 c
LIBOR3
120.0732
0.00076
0.0017
0.8381
DEBT
0.056453
0.63788
0.1240
<.0001 a
Stok Utang Pemerintah
LBUTG
0.544715
<.0001 a
Lag Belanja Pemby. Utang
Uji F = 117.25
Prop F = <.0001
R2 = 0.93055
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept Defisit Fiskal LIBOR3
DW=1.754319
0.01 dan 0.10.
Hal yang menarik dari pendugaan perilaku persamaan pembayaran bunga ini adalah bahwa suku bunga internasional mempunyai hubungan yang tidak signifikan secara statistik. Suku bunga internasional yang di proxy dari suku bunga LIBOR 3 bulan merupakan variabel yang menentukan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Jika hasil pendugaan besarnya tingkat bunga secara statistik tidak signifikan artinya bahwa beban terbesar beban pembayaran bunga utang bukan terletak pada besar kecilnya tingkat suku bunga, namun namun pada besarnya akumulasi utang pemerintah. Tingkat suku bunga yang rendah sering menjadi justifikasi atau pembenaran pemerintah untuk selalu menambah utang baru. Walaupun dengan suku bunga yang rendah, namun jika
167
stok utang pemerintah terus bertambah maka beban pembayaran bunga akan sangat besar. Elastisitas suku bunga riil terhadap beban pembayaran utang pemerintah juga relatif tidak elastis. Hal ini disebabkan hampir semua utang Pemerintah adalah utang jangka panjang dimana beban tingkat suku bunga sudah ditentukan secara tertentu pada awal perjanjian. Artinya perubahan tingkat suku bunga pada utang pemerintah relatif kecil. Oleh sebab itu, kedepan faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan besar kecilnya utang baru adalah tidak hanya memperhatikan rendahnya tingkat bunga namun juga posisi stok atau akumulasi utang pemerintah. Pemerintah selalu menggunakan indikator untuk mengukur tingkat aman dari utang pemerintah adalah rasio utang terhadap GDP dan rasio utang terhadap ekspor. Likuiditas perekonomian seharusnya dilihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hanya dilihat dari rasio stok utang terhadap GDP, dimana pada tahun 2010 rasio utang Indonesia masih dalam level 41.9 persen memang masih berada pada level batas aman. Namun pembayaran bunga dan pokok utang ini kini sudah menjadi beban berat dalam APBN. Tabel 39 menunjukkan bahwa rasio beban bunga dan pokok terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 17.5 persen dan terhadap penerimaan pajak sebesar 24 persen. Artinya bahwa sekitar 24 persen dari hasil penerimaan pajak dari masyarakat habis untuk membayar bunga utang pemerintah. Apalagi jika dilihat dari posisi akumulasi utang pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri sudah mencapai 97.77 persen. Besarnya akumulasi utang ini berpotensi menimbulkan jebakan utang (debt trap).
168
Tabel 39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia (Rp Miliar) No
Uraian
1980
1990
556 925 9 933 2 912 8 895 407.7
950 478 42 193 22 011 32 867
1 389 770 205 335 115 913 188 392
2 310 690 992 248 723 307 697 407
4 959.2
50 068.1
754 8 147
12,577 83 119
57,691 630 951
105 650.2 173,681
4.10 14.00 4.58
11.75 22.53 15.09
24.38 43.19 26.58
10.65 14.61 15.15
Rasio F terhadap B
7.59
29.81
28.10
17.50
Rasio F terhadap C Rasio F terhadap D Rasio G terhadap A
25.90 8.48 1.46
57.14 38.27 8.74
49.77 30.62 45.40
24.01 24.90 41.98
Rasio G terhadap B
82.02
197.00
307.28
97.77
A B C D E
Pendapatan Nasional (GDP) Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan Pajak Total Belanja Pusat Pembayaran Bunga Utang
F G
Pembayaran Bunga + Pokok Stok Utang Pemerintah (%) Rasio E terhadap B Rasio E terhadap C Rasio E terhadap D
2000
2010
970 102
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Berbagai Tahun
6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM Kebijakan belanja subsidi Non BBM terbesar adalah untuk subsidi listrik, selebihnya dengan porsi yang relatif kecil diperuntukkan untuk subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih dan lainnya. Subsidi non BBM ini idealnya adalah ditujukan
untuk
pengangguaran.
program
pengentasan
kemiskinan
dan
pengurangan
Subsidi non BBM semestinya tidak hanya ditujukan untuk
program-program peningkatan konsumsi masyarakat seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dan Beras untuk masyarakat miskin (Raskin). Subsidi Non BBM akan lebih baik kalau dialokasikan untuk kegiatan yang meningkatkan produktifitas, seperti subsidi benih, peralatan pertanian ataupun subsidi pupuk. Dengan demikian akan dapat meningkatkan produktifitas di sektor
169
pertanian dan dengan sendirinya akan berkontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Subsidi juga dapat diberikan pada pemotongan pajak untuk usaha kecil dan menengah agar masyarakat miskin dapat meningkatkan usaha produktif, sehingga akan meningkatkan investasi.
822
Subsidi Lainnya
1.373
Subsidi PSO
12.973
Subsidi Pajak
12.270
Subsidi Pupuk 1.074
Subsidi Benih
50.904
Subsidi Listrik 10.428
Subsidi Pangan 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010 Hasil pendugaan dari persamaan belanja subsidi non BBM pada Tabel 40 menunjukkan bahwa belanja subsidi Non BBM dipengaruhi secara positif oleh jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Besarnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran mempunyai hubungan positif terhadap besarnya belanja subsidi non BBM. Hal ini ditunjukan dengan koefisien parameter, dimana setiap kenaikkan 1 juta penduduk miskin, memerlukan tambahan alokasi belanja subsidi non bbm sebesar Rp170 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.73. Sayangnya belanja non subsidi BBm ini diberikan dalam bentuk Bantuan langsung tunai (BLT) yang hanya berpengaruh pada peningkatan konsumsi masyarakat. Juga
170
ketika jumlah pengangguran meningkat 1 persen, maka belanja subsidi non BBM naik sebesar Rp 343 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.24. Dalam jangka panjang, baik tingkat pengangguran maupun tingkat kemiskinan mempunyai hubungan yang sangat elastis (Tabel 38). Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Intercept
-6 361.93
PUNEM
343.6425
0.24470
LNPOV
170.9685
0.73419
LSNBM
0.993466
Uji F = 49.35
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.3868
Intercept
37.45
0.5033
Tingkat Pengangguran
112.36
0.4306
Lag Juml. Penduduk Miskin
<.0001 a
Lag Belanja Sub Non BBM
R2 = 0.80439
DW=2.219149
0.01
6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM Belanja subsidi BBM memakan porsi terbesar dari besarnya subsidi yang diberikan pemerintah, terutama untuk subsdi premium, minyak tanah dan minyak solar (Tabel 3). Data 2008 menunjukkan penurunan besarnya subsidi untuk minyak tanah karena adanya program konversi terhadap gas elpiji. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa subsidi premium tidak tepat sasaran, karena penerimanya lebih banyak golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Besarnya subsidi BBM selalu menimbulkan kontroversi, hal ini dikarenakan BBM merupakan bahan bakar yang terkait langsung dengan kegiatan produksi maupun konsumsi masyarakat. Kenaikkan harga BBM pasti akan disertai dengan kenaikkan harga barang-barang dan akhirnya akan berdampak pada tingkat inflasi. Secara teoritis, sebanrnya inflasi tidak selalu berakibat negatif terhadap perekonomian. Kenaikan harga juga diperlukan untuk merangsang terjadinya peningkatan aggregat supply. Jika kenaikkan harga ini dapat dikendalikan maka
171
kenaikkan aggregat supply justru akan diikuti oleh kenaikkan permintaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
8.882
Subsidi Elpiji
26.512
Subsidi Minyak Tanah
23.851
Subsidi Minyak Solar
30.548
Subsidi Premium
0
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 36. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010 Hasil estimasi dari persamaan belanja subsidi BBM pada Tabel 41 menunjukkan besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan besarnya impor migas. Faktor utama besarnya subsidi BBM, sebenarnya bukan terletak pada perubahan harga minyak dunia, namun lebih dikarenakan kebutuhan impor migas yang cukup besar. Dalam model ini harga minyak mentah dunia telah dikonversi dalam mata uang rupiah, sehingga dapat langsung dihubungkan dengan kebutuhan besarnya subsidi. Hasil estimasi menunjukkan setiap terjadi kenaikkan 1 persen harga minyak mentah dunia, menyebabkan kenaikkan kebutuhan belanja subsidi BBM sebesar 0.02 persen. Namun jika terjadi kenaikan impor migas, terutama BBM, akan meningkatkan belanja subsidi sebesar 16.55 persen. Artinya, besarnya kebutuhan belanja subsidi BBM sebanrnya bukan disebabkan oleh kenaikkan harga minyak mentah dunia, tapi
172
karena besarnya kebutuhan impor migas untuk memenuhi tingginya permintaan BBM di dalam negeri.
Sebagian besar kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri
berasal dari impor. Bahkan Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. Padahal pada tahun 1980-an Indonesia masih menjadi negara net eksportir BBM. Peningkatan kebutuhan konsumsi terhadap BBM dalam negeri telah menyebabkan hubungan yang sangat erat antara besarnya kebutuhan impor dengan besarnya subsidi BBM. Setiap kenaikkan Rp1 miliar impor BBM telah berdampak pada peningkatan subsidi BBM sekiatar Rp1.34 miliar. Tabel 41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-16 304.5
POILR
0.191491
0.02236
IMPM
1.341059
16.54799
LSBBM
0.002516
Uji F = 85.11
Prop F = <.0001
Keterangan : a pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.012
Intercept
0.0224
0.8381
Harga Minyak Mentah Riil
16.5897
<.0001a
Impor Migas
0.9842
Lag Belanja Subsidi BBM
R2 = 0.87643
DW=1.757323
0.01
Permintaan terbesar konsumsi BBM adalah untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat, terutama kebutuhan premium. Ketiadaan transportasi publik yang memadai menyebabkan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat ini menyebabkan daya tampung ruas jalan menjadi tidak memadai. Akibatnya hampir di semua kota besar terjadi kemacetan, sehingga mengakibatkan pemborosan penggunaan BBM dan semakin meningkatnya kebutuhan BBM. Sementara pemerintah belum mempunyai grand strategi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Oleh karenanya setiap terjadi kenaikkan harga minyak dunia, pasti akan menimbulkan polemik
173
6.2.2.7. Belanja Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana transfer daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK diperuntukkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Kegiatan khusus daerah yang menjadi prioritas nasional utamanya adalah program pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Dengan demikian, semestinya besarnya alokasi DAK dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hasil pendugaan Belanja Dana Alokasi Khusus pada Tabel 42 menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat kemiskinan tidak mempunyai pengaruh yang cukup elastis (hanya 0.29 persen) dalam menentukan besarnya DAK. Namun pengaruh tingkat kemiskinan terhadap DAK cukup besar, dimana setiap kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan mengakibatkan belanja DAK meningkat sebesar Rp 4.09 triliun.
Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Variabel
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Intercept
-1 244.02
0.3143
RDOM
0.008843
0.57490
2.0729
<.0001 a
PNPOV
4 095.655
0.29543
1.0652
0.4725
LBDAK
0.722654
<.0001 a
Uji F = 293.59 Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR
R2 = 0.96073
Intercept Penerimaan dalam Negeri Tingkat Kemiskinan Lag Belanja Daerah DAK DW=1.570737
0.01
Namun hubungan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol atau tingkat kesalahan dari pendugaan ini cukup besar. Sementara penerimaan dalam negeri juga memiliki hubungan yang positif dengan belanja DAK, dengan
174
pengaruh yang tidak terlalu besar. Namun, secara statistik hubungan antara penerimaan dalam negeri dan belanja DAK mempunyai hubungan yang signifikan denagan tingkat
= 0.01 dan ditunjukkan dengan tingkat kesalahan yang sangat
kecil dibawah 1 persen.
6.2.2.8. Belanja Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk menjalankan tugas pelayanan pemerintahan di tingkat daerah. Oleh sebab itu, salah satu formulasi penentuan besarnya DAU adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah daerah. Hasil estimasi dari persamaan belanja DAU seperti dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya belanja DAU. Setiap kenaikan 1 juta jumlah penduduk berpengaruh pada peningkatan dana DAU sebesar Rp240 miliar. Atau peningkatan 1 persen jumlah penduduk berdampak pada peningkatan DAU sebesar 0.03 persen. Namun korelasi antara jumlah penduduk dan DAU ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Sementara jumlah penerimaan dalam negeri dan pendapatan domestik bruto juga berpengaruh positif. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1 miliar maka yang akan dialokasikan pada peningkatan belanja DAU sebesar Rp0.11 miliar. Atau setiap peningkatan 1 persen penerimaan domestik dialokasikan untuk belanja DAU sebesar 0.58 persen. Namun hubungan ketiga variabel tersebut dengan belanja DAU secara statistik tidak signifikan dengan tingkat kesalahan kesalahan pendugaan yang masih cukup besar. Variabel yang signifikan hanyalah besarnya belanja DAU pada tahun sebelumnya. Bisa jadi
175
penentuan formula besarnya DAU hanya mengikuti pada pola tahun-tahun sebelumnya saja.
Tabel 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Dana Alokasi Umum Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-1 456.97
RDOM
0.118351
0.58192
1.1607
PDBI
-0.00017
-0.00494
-0.00985
0.9686
Produk Domestik Bruto
GPOPI
740.9836
0.03483
0.06947
0.6557
Pertumbuhan Penduduk
LBDAU
0.498646
Uji F = 777.17
0.7837
<.0001 a
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
<.0001 a
R2 = 0.98887
Intercept Penerimaan dalam Negeri
Lag Belanja Daerah DAU DW=1.959068
0.01
6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil Belanja Bagi hasil merupakan dana transfer daerah yang ditujukan untuk memenuhi asas keadilan dan pemerataan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui sumber daya alam baik yang berbentuk migas maupun non migas dihasilkan oleh daerah. Untuk itu harus adanya pembagian yang proporsional terhadap hasil sumber daya tersebut antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil pendugaan untuk persamaan Belanja Dana Bagi Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerimaan migas mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap belanja dana bagi hasil. Hal ini dikarenakan belanja bagi hasil sebagian besar berasal dari penerimaan migas. Setiap kenaikan Rp1 miliar penerimaan non migas yang dialokasikan untuk belanja bagi hasil sebesar Rp0,1 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.29. Sementara peningkatan penerimaan migas Rp1 miliar hanya berpengaruh terhadap besarnya dana bagi hasil sebesar Rp0.88 miliar atau elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.36. penerimaan,
pertumbuhan ekonomi
juga
berpengaruh
Disamping
signifikan,
setiap
176
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan belanja dana bagi hasil sebesar Rp78 miliar atau sebesar 0.03 persen.
Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer daerah Dana Bagi Hasil Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-1 258.84
RNMGS
0.099113
0.29013
0.5607
<.0001 a
Penerimaan Non Migas
RMGS
0.87792
0.36723
0.7097
<.0001 a
Penerimaan Migas
GPDBI
78.46814
0.02934
0.0567
0.4291
LBDBH
0.482529
Uji F = 1648.12
0.0859
<.0001 a
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
R2 = 0.99472
Intercept
Pertumbuhan Ekonomi Lag Belanja DBH DW=1.437371
0.01
6.2.3. Blok Kinerja Perekonomian Pada blok kinerja perekonomian digunakan untuk mengukur perilaku dari indikator kinerja perekonomian, utamanya adalah pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskianan. Namun demikian, karena persamaan pertumbuhan ekonomi merupakan persamaan identitas bukan persamaan perilaku maka yang dapat diestimasi hanya persamaan tingkat kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Untuk melihat tingkat kesempatan kerja akan di proxy dengan perilaku tingkat pengangguran. Hasil estimasi dari persamaan tingkat pengangguran diketahui bahwa tingkat pengangguran sangat dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata tingkat upah riil. Jika tingkat upah riil naik sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran akan naik sebesar 0.42 persen. Sedangkan total investasi berpengaruh negatif dan secara statistik cukup signifikan terhadap tingkat pengangguran. Namun secara ekonomi, total investasi hanya berpengaruh kecil terhadap pengurangan pengangguran. Setiap kenaikkan 1 persen investasi total,
177
maka tingkat pengangguran akan turun sangat kecil sekali seperti yang ditunjukkan Tabel 45. Tabel 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
1.524157
0.0133
WAGE
0.000013
0.42936
1.1124
0.0016 a
Tingkat Upah
TOTI
-6.38E-06
-3.07E-01
-1.653E-05
0.0156 a
Total Investasi
LPUNEM
0.614013
<.0001 a
Lag Tingk. Pengangguran
Uji F = 40.58
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
R2 = 0.77179
Intercept
DW=1.872554
0.01
Relatif kecilnya pengaruh tingkat Investasi terhadap pengangguran ini disebabkan karena pertumbuhan tingkat investasi yang rendah dan pertumbuhan investasi terbesar berada pada sektor-setor non tradable. Sektor-sektor non tradabe seperti sektor jasa dan pengangkutan merupakan sektor yang relatif padat modal, sehingga tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara sektorsektor pertanian dan industri cenderung pertumbuhannya menurun dan menyerap investasi yang relatif rendah. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kenaikan tingkat upah riil dengan tingkat pengangguran disebabkan karena kondisi faktor pasar tenaga kerja yang mengalami over supply tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat pengangguran terbuka yang cukup besar. Disamping pengangguran terbuka, jumlah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh atau tingkat pengangguran terselubung mencapai 33 persen. Di tengah rendahnya tingkat Investasi kondisi pasar tenaga kerja yang seperti ini akan cenderung membuat upah riil cenderung tidak berubah atau rigid. Disisi lain tingginya tingkat inflasi membuat tuntutan pekerja terhadap kenaikkan upah menjadi suatu keniscayaan. Tuntutan kenaikkan
178
upah inilah yang mendorong meningkatnya biaya produksi dan selanjutnya cenderung berdampak pada menurunnya ekspansi penyerapan tenaga kerja. Tabel 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia Uraian
2007
2008
2009
2010
PENDUDUK 15 THN KEATAS
164 118 323
166 641 050
169 328 208
172 070 339
1. ANGKATAN KERJA (AK)
109 941 359
111 947 265
113 833 280
116 527 546
66.99
67.18
67.23
67.72
99 930 217
102 552 750
104 870 663
108 207 767
68.34 109 670 399
90.89
91.61
92.13
92.86
93.44
69 031 794
69 213 385
70 902 834
72 450 960
72 447 648
Tingkat Partisipasi AK (%) a. Bekerja Tingkat kesempatan Kerja(%) i. Pekerja Penuh Penyerapan Kerja Penuh(%) ii. Pekerja Tidak Penuh Pengang. Terselubung (%) b. Pengangguran Terbuka
2011 171 756 077 117 370 485
69.08
67.49
67.61
66.96
66.06
30 898 423
33 339 365
33 967 829
35 756 807
37 222 751
30.92
32.51
32.39
33.04
33.94
10 011 142
9 394 515
8 962 617
8 319 779
7 700 086
Tingkat pengang.Terbuka (%)
9.11
8.39
7.87
7.14
6.56
2. BUKAN ANGKATAN KERJA
54 176 964
54 693 785
55 494 928
55 542 793
54 385 592
a. Sekolah
13 777 378
13 226 066
13 810 846
14 011 778
13 104 294
b. Mengurus Rumahtangga
31 989 042
32 770 941
33 346 950
32 971 456
32 890 423
8 410 544
8 696 778
8 337 132
8 559 559
8 390 875
c. Lainnya
Sumber : Sakernas, BPS
Sementara itu hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif antara besarnya pertumbuhan ekonomi dan total subsidi pemerintah. Elastisitas jangka pendek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 0.01 dan dalam jangka panjang sebesar 0.05. Artinya setiap kenaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 0.01 persen dalam jangka pendek dan 0.05 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak pro poor dan pro job. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu memperluas lapangan kerja sehingga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
179
Demikian juga total subsidi pemerintah, elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang sangat kecil sekali seperti ditunjukkan Tabel 47. Artinya peningkatan belanja subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap upaya penurunan kemiskinan (pro poor).
Hal ini dikarenakan upaya penangulangan
kemiskinan oleh pemerintah hanya bersifat adhoc seperti BLT dan Raskin yang tidak berdampak pada pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan adanya tambahan Rp100 ribu per bulan maka sebagian penduduk miskin sudah bergeser dari garis kemiskinan Rp 233 ribu. Namun jika dilihat dari hasil pendugaan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, maka dapat tarik kesimpulan bahwa program BLT juga belum berpengaruh besar terhadap pergeseran penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Rendahnya pengaruh kebijakan subsidi terhadap pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa program subsidi yang seharusnya ditujukan untuk asas pemerataan dan keadilan bagi penduduk miskin tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan proporsi belanja subsidi terbesar adalah subsidi energi atau subsidi BBM. Dimana subsidi BBM sebagian besar yang menikmati adalah penduduk golongan menengah keatas. Sementara subsidi non BBM yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin porsinya relatif kecil. Faktor lain yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin adalah tingkat inflasi. Walaupun tingkat elastisitasnya jangka pendek maupun jangka pendek tidak cukup elastis, namun inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga-harga secara umum yang meningkat tajam membuat daya beli masyarakat menurun dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, tingkat pengangguran juga mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk. Pengangguran
180
yang meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Namun hubungan antara pengangguran dan jumlah penduduk miskin secara statististik tidak berbeda nyata dengan nol.
Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin Variable
Intercept GPDBI TSUB PUNEM INFL LNPOV
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
5.891078
0.1356
Intercept
-0.06716
-0.01024
-0.0516
0.783
-5.23E-06
-5.51E-03
-0.0278
0.6566
Total Subsidi
0.050175
0.00832
0.0419
0.8649
Tingkat Pengangguran
0.095047
0.03417
0.1722
0.1253 b
Tingkat Inflasi
<.0001 a
Lag Jumlah Penduduk Miskin
0.801552
Uji F =21.74
Prop F = <.0001
R2 =0.76172
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf
6.3.
Variable
ELR Pertumbuhan Ekonomi
DW=1.62589
0.01 dan 0.05.
Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi model yang digunakan adalah Root Means Percent Square Error (RMSPE) yaitu untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality Coefficient (U), bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik (Pindyck and Rubinfield, 1991).
181
Tabel 48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah
Variabel
Keterangan
N Obs
Mean Actual
Mean Predicted
Mean Abs % Error
RMSE % Error
U
CONS
Konsumsi Rumah Tangga
6
1 166 431
1 175 936
1.02
1.24
0.0058
CONG
Konsumsi Pemerintah
6
166 171
164 122
1.84
2.94
0.0169
INVT
Investasi Swasta
6
465 933
477 674
2.61
3.24
0.0154
INVG
Investasi Pemerintah
6
70 858
76 741
11.45
13.61
0.0656
EXPO
Export
6
939 967
942 488
4.55
6.16
0.0305
IMPO
Import
6
743 922
714 045
6.79
7.71
0.0407
BPGW
Belanja Pegawai
6
101 085
104 621
5.22
6.76
0.0213
BBRG
Belanja Barang
6
60 849
53 083
16.17
18.11
0.0775
BMDL
Belanja Modal
6
63 510
71 657
19.67
35.56
0.0892
BUTG
Belanja Peby. Bunga Utang
6
82 447
77 410
8.94
9.44
0.0478
SNBM
Belanja Subsidi Non BBM
6
35 922
30 971
46.92
58.73
0.2068
SBBM
Belanja Subsidi BBM
6
129 919
123 001
18.12
21.25
0.1374
BDAK
Belanja Daerah DAK
6
16 503
14 602
20.20
24.58
0.0991
BDAU
Belanja Daerah DAU
6
161 452
158 232
7.18
9.51
0.0375
BDBH
Belanja Daerah Bagi Hasil
6
70 711
69 012
6.32
7.72
0.0327
RTAX
Penerimaan Pajak
6
541 526
528 619
6.78
7.63
0.0390
PUNEM
Tingkat Pengangguran
6
9.02
8.36
6.85
7.97
0.0475
NPOV
Jumlah Penduduk Miskin
6
35.03
32.97
5.61
6.78
0.0373
RDOM
Penerimaan dalam Negeri
6
775 805
762 899
4.68
5.26
0.0272
PDBI
Produk Domestik Bruto
6
2 077 370
2 134 847
2.74
2.86
0.0143
BTUS
Total Belanja Pusat
6
555 940
542 949
8.02
10.17
0.0477
BTDR
BTDR
6
262 609
255 788
5.25
6.91
0.0296
TOTB
Total Belanja Pemerintah
6
818 548
798 738
6.31
8.07
0.0356
Dari 23 persamaan yang divalidasi terdapat 16 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 10 persen, 3 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 20 persen dan hanya satu persamaan yang RMSE 59 persen, yaitu persamaan belanja subsidi non BBM. Beberapa variabel yang memiliki RSMPE cukup besar ini tidak dapat dihindarkan karena beberapa variabel dalam model tersebut berbentuk persamaan identitas. Faktor lainnya adalah simulasi hanya dilakukan untuk data 6 tahun terakhir, sementara pendugaannya dilakukan untuk data selam 40 tahun, dimana struktur belanja pemerintah mengalami beberapa kali perubahan. Pemilihan 6
182
tahun terakhir dalam simulasi dengan pertimbangan struktur APBN mulai tahun 2006 sudah tidak mengalami perubahan lagi. Semua klasifikasi data sudah sama dan dengan sistem perhitungan data pada variabel makro ekonomi juga sama. Sedangkan dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini dapat dijadikan sebagai sebuah evaluasi model untuk melihat alternatif kebijakan, karena rata-rata nilai U-Theil berada di bahwa 0.03. Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi maupun alternatif kebijakan. Dalam kajian ini model tidak digunakan untuk meramalkan, melainkan hanya untuk melihat bagaimana dampak perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap kinerja perekonomian khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Hasil dari validasi model diringkas dalam Tabel 48.
6.4.
Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak
dari perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Simulasi berangkat dari hipotesis bahwa jika proporsi belanja modal dinaikkan maka akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Terdapat 3 skenario yang akan dilakukan dalam simulasi kebijakan terkait dengan perubahan komposisi belanja pemerintah. Pada dasarnya, simulasi yang akan dilakukan adalah untuk melihat dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah. Skenario yang dilakukan adalah jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Pertimbangan kenaikan belanja modal
183
sebesar Rp 20 triliun adalah berdasarkan rata-rata besarnya defisit anggaran selama tahun 2005-2010 adalah sekitar Rp 20 triliun. Idealnya kebijakan defisit anggaran adalah untuk tujuan stimulus fiskal, yaitu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendorong kinerja perekonomian. Stimulus fiskal yang efektif untuk memacu perekonomian adalah belanja modal terutama untuk pembangunan infrastruktur. Simulasi dilakukan dengan tahun dasar atau base line data antara tahun 2005-2010, dimana selama 6 tahun terakhir diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi aktual rata-rata sebesar 5.79 persen, dengan tingkat pengangguran sebesar 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 35 juta orang. Dari 3 simulasi akan diketahui komposisi belanja yang paling besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Adapun 3 simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. 2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 1 persen dari 0.29 menjadi 0.39. 3. Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.
184
6.4.1.
Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Simulasi pertama, perubahan komposisi belanja pemerintah pusat
dilakukan melalui pergeseran dari belanja pegawai, belanja subsidi BBM, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang dimana masing-masing dikurangi sebesar Rp5 trliun. Dengan demikian terdapat penghematan belanja pemerintah pusat sebesar Rp 20 triliun dan dialokasikan untuk peningkatan belanja modal. Dalam skenario pertama ini diasumsikan belum ada perubahan dari pola belanja pemerintah. Dampak dari pergeseran ini berdampak pada pengurangan belanja pegawai sebesar 4.23 persen, belanja barang turun 9.43 persen, belanja subsidi BBM turun 4.07 persen dan belanja pembayaran bunga utang turun 6.46 persen. Pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, penurunan belanja pegawai. Penurunan belanja pegawai dapat dilakukan melalui beberapa langkah : (1) melakukan relokasi dan resdistribusi PNS penempatan PNS. Seperti diketahui, setiap terjadi kebijakan pemekaran wilayah maka akan diikuti dengan penerimaan PNS baru. Kebutuhan PNS untuk daerah pemekaran sebenarnya dapat dilakukan dengan menggeser penempatan PNS dari tempat asal daerah pemekaran atau menggeser PNS dari tempat yang kurang produktif. Demikian juga ketika terjadi pembentukan lembaga negara baru atau badan baru tidak serta merta diikuti dengan rekruitmen PNS baru, dan (2) moratorium Pegawai Negeri Sipil, penghentian sementara untuk penerimaan PNS baru baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selama tahun 2006 – 2010 terjadi peningkatan PNS yang sangat drastis. Dari Tabel 49 dapat dilihat pada tahun 2007 jumlah PNS mengalami peningkatan
185
sebesar 9.18 persen. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah PNS naik sebesar 10.8 persen.
Tabel 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010 Tahun
Jumlah
% Pertumbuhan
2003
3.648.005
2004
3.587.337
-1,66
2005
3.662.336
2,09
2006
3.725.231
1,72
2007
4.067.201
9,18
2008
4.083.360
0,40
2009
4.524.205
10,80
2010
4.598.100
1,63
Sumber : Badan Kepegawaian Negara, 2010
Kedua, Pengurangan subsidi BBM. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi alokasi subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Hasil pendugaan sebelumnya menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Selama tahun 2006-2010 rata-rata porsi subsidi BBM mencapai sekitar Rp 129 triliun. Hasil pembahasan di bab sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, karena yang menikmati adalah lebih banyak golongan menegah keatas. Disisi lain, BBM merupakan sumber energi utama. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM cukup besar, tidak hanya untuk kebutuhan transportasi tapi juga untuk kepentingan produksi. Apalagi sumber energi utama lainnya seperti listrik juga masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakunya. Dengan demikian jika subsidi BBM dikurangi, dikhawatirkan akan mempunyai efek ganda
186
(multiplier effect) sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Kekhawatiran tersebut dijawab dengan hasil hasil penelitian Ikhsan (2005), menyebutkan bahwa elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 50 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi secara langsung sebesar 2.8 persen. Jika diperhitungkan dampak tidak langsung, dimana kenaikkan BBM juga akan mendorong kenaikan harga input lain, maka dapat dihitung dengan dikalikan proporsi biaya produksi yang berasal dari nonBBM, maka diperoleh dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi antara 2.6 persen-2.7 persen. Jadi, dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi bervariasi antarai 3.8 persen - 6.2 persen. Tampak jelas bahwa karena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya non BBM, maka kenaikkan harga BBM sebenarnya akan berkontribusi besar terhadap inflasi. Alasan paling fundamental pengurangan subsidi BBM ini adalah karena subsidi BBM tidak tepat sasaran. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen. Sementara 25 kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen. Disamping itu, BBM bersubsidi terbesar adalah untuk Premium yaitu sebesar 60 persen, sisanya untuk minyak solar 34 persen dan minyak tanah 6 persen. Gambar 37 menunjukkan penggunaan premium terbesar adalah untuk transportasi darat sebesar 89 persen, khususnya untuk mobil pribadi sebesar 53 persen dan Motor sebesar 40 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi terbesar adalah untuk kendaraan pribadi yaitu hampir mencapai 93
187
persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah menciptakan transportasi massa (publict transport) yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM.
Perikanan
3%
Usaha Kecil
1%
Rumah Tangga
6%
Transportasi… 0%
53%
Mobil… Mobil…
1%
Transportasi Air
3%
Umum
89% 50% 100%
4% 40%
Motor 0%
50% 100%
Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011 Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011
Ketiga pengurangan belanja barang. Komposisi belanja barang terdiri dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24 persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk
188
itu porsi alokasi belanja barang ini masih bisa diefisienkan dengan dilakukan pergeseran untuk porsi belanja modal. Keempat,
pengurangann
belanja
pembayaran
bunga
utang.
Pengurangan pembayaran bunga utang dimungkinkan jika adanya negosiasi untuk melakukan moratorium dengan pihak kreditur. Seperti ditunjukkan gambar 35 dimana porsi terbesar pembayaran bunga utang adalah untuk utang jangka panjang. Dengan demikian dapat dilakukan renegosisasi agar adanya kesepakatam moratorium utang pemerintah, baik dalam bentuk pembayaran cicilan pokok maupun pengurangan tingkat suku bunga. Jika pemerintah berhasil melakukan moratorium utang luar negeri, maka belanja pembayaran bunga utang masih dimungkinkan dikurangi sebesar Rp5 triliun. Moratorium utang pemerintah dimungkinkan karena sejak sebelum krisis ekonomi terjadi (Pelita V), neraca utang luar negeri pemerintah sudah mengalami net negative transfer. Artinya besarnya utang baru yang diterima pemerintah lebih kecil dibandingkan besarnya kewajiban yang harus dibayarkan oleh pemerintah. Disamping itu, porsi untuk pembayaran beban bunga utang saja selama 20062010 telah mencapai sekitar 14 persen. Jumlah ini belum termasuk untuk pembayaran beban cicilan pokok utang. Moratorium utang pemerintah ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk penundaan atau penghentian sementara kewajiban membayar cicilan dan bunga utang, tetapi juga bisa dilakukan renegosisasi besarnya beban cicilan dan tingkat suku bunga serta reshedulling waktu jatuh tempo. Dengan pertimbangan tersebut diatas maka, skenario pergeseran belanja pemerintah pusat tersebut masih mungkin dilakukan. Pengurangan belanja rutin
189
pemerintah pusat tersebut tentu saja akan menimbulkan dampak negatif. Namun jika penghematan tersebut dapat direalokasikan pada pembangunan infrastruktur, maka dampak negatif tersebut dapat di offset melalui peningkatan investasi. Dengan adanya pembangunan infrastruktur maka akan memperlancar arus distribusi barang dan dapat menekan biaya distribusi. Penyediaan infrastuktur juga akan memperlancar proses produksi dan mendorong tumbuhnya investasi baru. Tabel 50 menunjukkan hasil pergeseran belanja rutin pemerintah pusat, telah berdampak pada peningkatan belanja modal sebesar 28.62 persen. Dampak negatif dari penurunan subsidi dan belanja pegawai telah dinetralisir dengan meningkatnya semua kinerja sektor riil, yaitu kenaikan pada Investasi Pemerintah (7.67 persen), Investasi swasta (0.20 persen), ekspor (0.11 persen), konsumsi masyarakat (0.14 persen), dan penerimaan pajak (1.06 persen). Secara keseluruhan dampak realokasi belanja pemerintah ini menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar sebesar 0.33 persen. Demikian juga tingkat pengangguran menurun sebesar 0,83 persen serta jumlah penduduk miskin menurun sebesar 0.02 persen. Dari simulasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa dampak perubahan komposisi belanja pemerintah yang berasal dari pergeseran belanja rutin untuk direalokasikan ke belanja modal hanya berdampak kecil terhadap perbaikan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena terjadinya inefisiensi pada belanja modal, sehingga dampak negatif dari pengurangan belanja rutin tidak dapat dinetralisir secara penuh oleh peningkatan kinerja Investasi maupun ekspor.
190
Tabel 50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Simulasi 1
Dasar 1 176 363
Nilai 1 178 045
% 0.14
CONS
Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar
CONG INVT INVG EXPO IMPO BPGW
Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor Impor Belanja Pegawai
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
164 187
164 076
-0.07
477 848
478 782
0.20
77 483
83 426
7.67
942 685
943 739
0.11
714 478
716 890
0.34
104 632
99 632
-4.78
53 104
48 104
-9.42
71 663
91 663
27.91
77 410
72 410
-6.46
BBRG BMDL BUTG SNBM SBBM BDAK
Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pembyr. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM Belanja Daerah DAK
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BDAU
Belanja Daerah DAU
BDBH RTAX PUNEM NPOV RDOM
31 068
31 058
-0.03
123 001
118 001
-4.07
14 604
14 630
0.18
Rp Miliar
158 253
158 953
0.44
Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar
69 014
69 025
0.02
528 735
534 315
1.06
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan Dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
8.35
8.28
-0.83
33.27
33.26
-0.02
763 015
768 595
0.73
2 143 110
0.33
543 085
551 075
1.47
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2 136 021 255 813
256 551
0.29
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar
798 898
807 626
1.09
6.4.2. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal Pada simulasi kedua diskenariokan tanpa adanya pergeseran komposisi belanja pemerintah, tapi hanya melalui jika terjadi efisiensi alokasi belanja modal. Artinya pola dan komposisi belanja modal benar-benar difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu terdapat perubahan dari pola perencanaan dan penyerapan anggaran. Kualitas alokasi belanja modal ditingkatkan melalui perbaikan pola penyerapan anggaran, misalnya pelaksanaan tender pembangunan infrastruktur harus sudah dilaksanakan sejak awal tahun.
191
Dengan demikian kualitas pembangunan infrastruktur dapat ditingkatkan dan peran stimulus fiskal akan lebih optimal. Berdasarkan hasil pendugaan kontribusi belanja infrastruktur terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.29. Dalam skenario ini dilakukan peningkatan efisiensi sebesar 10 persen, yaitu menjadi 0.39. Tabel 51 menunjukkan hasil simulasi efisiensi alokasi belanja modal. Secara keseluruhan, jika terdapat efisiensi alokasi belanja modal dampaknya lebih efektif daripada pergeseran komposisi belanja pemerintah seperti pada skenario 1. Dampak dari efisiensi belanja modal mampu meningkatkan Investasi Pemerintah (17.42 persen), Investasi swasta (0.61 persen), ekspor (0.35 persen), konsumsi masyarakat (0.59 persen), dan penerimaan pajak (0.08 persen). Hasil akhir dari efisiennya ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.91 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 2.22 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.17 persen. Dampak efisiensi alokasi belanja modal ini jauh lebih baik jika dibandingankan dengan hasil simulasi pertama dengan melakukan pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang utama dalam komposisi belanja pemerintah lebih disebabkan adanya inefisiensi alokasi anggaran. Dalam hal ini, alokasi belanja untuk modal tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Hal yang berpengaruh cukup signifikan lainnya adalah kualitas penyerapan anggaran. Jika sebagian besar penyerapan anggaran, termasuk belanja modal dilaksanakan pada triwulan III dan triwulan IV, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pembangunan infrastruktur yang ada tidak akan optimal.
192
Tabel 51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Simulasi 2 %
Dasar 1 176 363 164 187 477 848 77 483 942 685 714 478 104 632
Nilai 1 183 353 164 212 480 747 90 982 945 957 721 654 104 675
53 104
53 467
0.68
71 663
71 686
0.03
77 410
77 410
0.00
31 068
30 885
-0.59
123 001
123 001
0.00
0.59
CONS CONG INVT INVG EXPO IMPO BPGW
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor Impor Belanja Pegawai
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BBRG BMDL
Rp Miliar Rp Miliar
BUTG SNBM SBBM
Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pembyr. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM
BDAK
Belanja Daerah DAK
Rp Miliar
14 604
14 612
0.06
158 253
158 329
0.05
69 014
69 041
0.04
528 735
529 157
0.08
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BDAU BDBH RTAX
Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
PUNEM NPOV RDOM
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar
6.4.3.
0.02 0.61 17.42 0.35 1.00 0.04
8.35
8.16
-2.22
33.27
33.21
-0.17
763 015 2 136 021 543 085
763 437 2 155 529 543 331
0.06
255 813
255 925
0.04
798 898
799 257
0.04
0.91 0.05
Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Pada simulasi ketiga, merupakan gabungan dari skenario pertama dan
kedua. Artinya pada simulasi ketiga ini diasumsikan terdapat peningkatan belanja modal yang berasal dari pergeseran belanja rutin dibarengi dengan peningkatan efisiensi belanja modal.
Hasil simulasi ditunjukkan oleh Tabel 52, dimana
melalui skenario ketiga ini dampak terhadap kinerja perekonomian lebih optimal. Dampak dari pergeseran belanja pemerintah pusat dan efisiensi belanja modal mampu meningkatkan Investasi Pemerintah (27.69 persen), Investasi swasta (0.87 persen), ekspor (0.50 persen), konsumsi masyarakat (0.48 persen), dan
193
penerimaan pajak (1.08 persen). Hasil akhir dari pergeseran dan efisiensi ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1.37 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 3.33 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.21 persen. Tabel 52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai Dasar
CONS CONG INVT INVG EXPO
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
1 175 936 164 122 477 674 76 741 942 488
IMPO BPGW BBRG BMDL BUTG SNBM SBBM
Impor Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pemb. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
714 045 104 621 53 083 71 657.1 77 409.9 30 970.5 123 001
BDAK BDAU BDBH RTAX
Belanja Daerah DAK Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
PUNEM NPOV RDOM
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Simulasi 3 Nilai 1 185 971
% 0.82
164 088
-0.06
482 027
0.87
989 41.2
27.69
947 402
0.50
724 971
1.47
99 632
-4.78
48 103.8
-9.42
91 663.1
27.91
72 409.9
-6.46
30 858.5
-0.67
118 001
-4.07
14 601.7 158 232 690 12.1 528 619
14 633.5
0.20
8.36 32.97 762 899
158 980
0.46
690 57.2
0.06
534 449
1.08
8.07
-3.33
33.20
-0.21
768 729
0.75
2 134 847 542 949 255 788
2 165 390
1.37
550 876
1.43
256 613
0.31
798 738
807 489
1.08
Kelebihan dari skenario ketiga ini tidak hanya menghasilkan kinerja perekonomian yang lebih baik, namun juga prosentase penurunan masing-masing belanja rutin juga lebih rendah dibandingkan pada simulasi pertama. Sebagai contoh pengurangan belanjan pegawai 5 triliun hanya berdampak pada
194
pengurangan belanja pegawai sebesar 0.78 persen, demikian juga untuk pengurangan belanja rutin lainnya (Tabel 52).
6.5.
Alternatif Pilihan Kebijakan Dalam setiap keputusan kebijakan publik, masing-masing pilihan
kebijakan yang akan diambil pemerintah mempunyai implikasi dan dampak atas pilihan kebijakan diambil. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Namun untuk mencapai pilihan kebijakan yang terbaik tentu saja bukan masalah yang mudah dan sederhana. Sebagai salah satu acuan, kebijakan publik yang baik adalah jika dapat meminimalisir dampak negatif dan dapat mengoptimalkan dampak positif yang akan diminati oleh sebagian besar masyarakat. Berdasarkan 4 hasil simulasi terhadap perubahan komposisi belanja pemerintah, maka dapat dipilih alternatif komposisi belanja yang mempunyai dampak paling optimal bagi masyarakat. Tabel 53 menunjukan perbandingan antara dampak yang ditimbulkan dari 3 skenario perubahan komposisi belanja pemerintah. Secara umum hasil simulasi 3 berdampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi maupun pengurangan jumlah penduduk miskin, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1.37 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang 3.33 persen. Secara umum hasil dari 3 simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa belanja pemerintah tidak mempunyai akan dampak besar terhadap kinerja perekonomian jika tidak disertai perbaikan, baik dari pola perencanaan maupun implementasi anggaran.
195
Tabel 53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Sim 1
Sim 2
Sim 3
0.14
% 0.59
% 0.82
-0.07
0.02
-0.06
0.20
0.61
0.87
7.67
17.42
27.69
0.11
0.35
0.50
Dasar CONS CONG INVT INVG EXPO
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
1 175 936 164 122 477 674 76 741 942 488
IMPO BPGW BBRG BMDL
Impor Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pemb. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
714 045 104 621 53 083 71 657.1
Rp Miliar Rp Miliar
77 409.9 30 970.5
Belanja Subsidi BBM Belanja Daerah DAK Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
BUTG SNBM SBBM BDAK BDAU BDBH RTAX PUNEM NPOV RDOM PDBI BTUS BTDR TOTB
0.34
1.00
1.47
-4.78
0.04
-4.78
-9.42
0.68
-9.42
27.91
0.03
27.91
-6.46
0.00
-6.46
-0.03
-0.59
-0.67
123 001 14 601.7 158 232 69 012.1 528 619
-4.07
0.00
-4.07
0.18
0.06
0.20
0.44
0.05
0.46
0.02
0.04
0.06
1.06
0.08
1.08
8.36 32.97 762 899
-0.83
-2.22
-3.33
-0.02
-0.17
-0.21
0.73
0.06
0.75
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2 134 847 542 949 255 788
0.33
0.91
1.37
1.47
0.05
1.43
0.29
0.04
0.31
Total Belanja
Rp Miliar
798 738
1.09
0.04
1.08
Hal ini dapat diperbandingkan dengan pembahasan yang ada pada bab sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian di Negara lain. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan komposisi belanja di Thailand, diman komposisi belanja modal Thailand sekitar 20 persen dari total anggaran pemerintah, namun Thailand mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar 7.9 persen. Disamping itu, berdasarkan hasil penelitian Wan dan Sebastian (2011) angka elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan di Thailand sebesar -5.62 jika menggunakan garis kemiskinan US$1.25 per hari, dan
196
-1.28 jika menggunakan garis kemiskinan US$2 per hari. Artinya setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi di Thailand mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 1.28 persen. Sementara nilai elastisitas kemiskinan Indonesia hanya sebesar -0.88 artinya jika pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen. Jika garis kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen. Jika garis kemiskinan dinaikan menjadi US$2 perhari, elastisitas kemiskinan di Indonesia semakin rendah lagi yaitu hanya -0.34. Jadi setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0.34 persen.