DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
ENNY SRI HARTATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:
DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis pada perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Enny Sri Hartati A 161050131
vi
ABSTRACT
ENNY SRI HARTATI. The Impact of Government Spending Composition on Economic Growth, Employment Opportunity, and Poverty Rate (RINA OKTAVIANI as Chairperson, DIDIK J. RACHBINI and MUHAMMAD FIRDAUS as the Members of the Advisory Committee)
The Indonesian government spending composition after the 1997 crisis has been dominated by recurrent spending. This condition had caused the fiscal space to occupy 4-5 percent of Gross Domestic Product (GDP) during 2006-2010. The lack of fiscal space had resulted in limited role of fiscal policy to stimulate the economy. Furthermore, the economy has grown at the rate of 5.7 percent in yearly average; unemployment rate at 9.49 percent per year; and the average populations of poor people has reached 33.5 million people. The shifting of government spending composition is necessary, especially to raise the portion of capital spending. By using simultaneous equations model, the simulation result indicate that effective capital spending improvement should focus on infrastructure funding. A simulation of shifting government spending composition through the increasing capital spending in the amount of Rp 20 trillion only increase economic growth by about 0.33 percent, reduce unemployment by about 0.83 percent and poverty by about 0.02 percent. Meanwhile, if the increasing capital spending becomes more efficient, the economy will grow by about 1.37 percent, while unemployment and poverty will decrease by about 3.33 percent and 0.21 percent, respectively. To increase the affect of government spending on economic growth, employment and poverty alleviation, the composition of government spending should be fundamentally changed, specifically to increase the share in capital spending and the efficiency of capital spending utilization.
Keywords: government spending, fiscal space, budget composition, economic growth.
RINGKASAN
ENNY SRI HARTATI. Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua Komisi Pembimbing, DIDIK J. RACHBINI dan MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Komposisi belanja pemerintah Indonesia setelah krisis ekonomi 1997 semakin didominasi oleh belanja rutin. Jika sebelum krisis rata-rata proporsi belanja rutin sebesar 60 persen dan belanja pembangunan 40 persen, namun pada tahun 2010 belanja rutin hampir mencapai 80 persen. Peningkatan porsi belanja rutin tersebut, awalnya merupakan konsekuensi dampak dari krisis. Sebagaimana diketahui, krisis telah mengakibatkan tingginya inflasi, tingkat suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Pada tahun 1998 inflasi mencapai 77 persen, suku bunga SBI 3 bulan mencapai 50 persen dan Rupiah terdepresiasi hingga berada pada level Rp9 875 per dollar (235 persen). Instabilitas sektor moneter tersebut tentunya berpengaruh pada belanja rutin Pemerintah, utamanya untuk belanja gaji pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang. Selama enam (6) tahun terakhir kondisi makro ekonomi Indonesia relatif berada dalam kondisi yang stabil. Selama 2006-2010 rata-rata tingkat inflasi sudah kembali berada pada kisaran 6.8 persen, suku bunga SBI 3 bulan sekitar 8.7 persen dan nilai tukar relatif stabil berada pada kisaran Rp9 499 per dolar. Namun demikian porsi belanja rutin Pemerintah tetap terus mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar pada belanja subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Selama 2006-2010, belanja subsidi rata-rata meningkat sebesar 19.7%, terutama untuk subsidi BBM. Kenaikkan subsidi BBM disebabkan oleh peningkatan konsumsi BBM rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 2010 konsumsi BBM Indonesia sekitar 1.3 juta barel per hari. Sementara produksi kilang minyak Indonesia rata-rata hanya mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Indonesia merupakan negara importer neto BBM, sementara harga BBM ditentukan oleh Pemerintah (administered Price). Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia kebutuhan subsidi menjadi membengkak. Demikian juga belanja pegawai rata-rata meningkat sebesar 22.48 persen. Peningkatan ini disamping dipicu oleh inflasi juga didorong adanya kebijakan pemekaran wilayah sehingga jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengalami peningkatan drastis. Disisi lain defisit anggaran yang dibiayai dengan utang, telah berdampak pada meningkatnya akumulasi utang pemerintah, sehingga porsi beban pembayaran bunga utang mencapai 14.7 persen dari total belanja pusat. Tingginya beban belanja rutin tersebut berakibat belanja modal hanya mendapatkan porsi sekitar 12.5 persen, sehingga sangat terbatas untuk dapat membiayai pembangunan infrastruktur. Proporsi belanja modal tersebut jelas tidak ideal, apalagi jika dibandingkan dengan proporsi belanja modal negara-negara lain. Malaysia mempunyai porsi belanja modal mencapai 31 persen, Thailand 20.2 persen, dan Vietnam 28.4 persen. Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal hanya berkisar 4-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Rendahnya ruang
viii
fiskal berakibat pada terbatasnya peran kebijakan fiskal untuk menstimulus perekonomian. Hasilnya pertumbuhan ekonomi 2006-2010 rata-rata hanya mencapai 5.7 persen dengan tingkat pengangguran 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin masih 33.5 juta orang. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang akan mendorong kinerja perekonomian. Hasil simulasi dengan menggunakan model persamaan simultan menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun demikian, peningkatan belanja modal akan lebih efektif jika disertai dengan efisiensi alokasi belanja modal. Peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Namun jika peningkatan belanja modal disertai peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen. Salah satu catatan penting dari hasil studi ini adalah bahwa belanja pemerintah mempunyai dampak yang rendah terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0.05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01 persen. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Pada tahun 2010 alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi ekonomi hanya 11.6 persen, sementara untuk pelayanan umum sebesar 63.8 persen. Peningkatkan peran stimulus fiskal dapat dioptimalkan dengan perubahan komposisi belanja dan kebijakan anggaran pemerintah. Kebijakan anggaran utamanya harus memenuhi tiga fungsi, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBN harus mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, yaitu pertumbuhan yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan (pro Job dan pro Poor). Untuk itu diperlukan peningkatan belanja modal dan porsi belanja untuk fungsi ekonomi.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2. Dr. Arif Budimanta Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI)
DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
ENNY SRI HARTATI
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Desertasi
: Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan
Nama Mahasiswa
: Enny Sri Hartati
Nomor Pokok
: A161050131
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani,MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini, M.Sc Anggota
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota
Mengetahui :
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana, IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 30 Januari 2012
Tanggal Pengesahan :
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juli 1971 sebagai putri kedua dari Bapak M. Setyobudi dan Ibu Sri Suharni. Pendidikan dasar penulis selesaikan di kabupaten Sragen, yaitu di SDN Celep III ( 1983-1986). Selanjutnya SMP dan SMA di kabupaten Karanganyar, yaitu SMPN I Mojogedang (1983-1986) dan SMAN I Karanganyar (1986-1989). Pada tahun 1989 penulis melanjutkan studi S1 pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan S2 di jurusan Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2005 penulis melanjutkan S3 di jurusan yang sama yaitu Ilmu EKonomi Pertanian. Saat ini penulis menjadi direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Jakarta, dan sebagai staf pengajar tidak tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta.
KATA PENGANTAR
Alhamdullilahiirobbilalamin, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan ridhoNYA yang telah memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Desertasi dengan judul “Dampak Komposisi Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Tingkat Kemiskinan” diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Didik J. Rachbini,MSc dan Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing penyelesaian penelitian dan penulisan desertasi ini. Ucapan terimakasih juga saya tujukan kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) serta seluruh Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat.
2.
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, sebagai dosen penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan desertasi ini.
3.
Dr. Prasetijono Widjojo Malang Joedo, MA, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
(Bappenas)
dan
Dr.
Arif
Budimanta, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan pertanyaan dan masukan yang bersifat teoritis dan implementatif sehingga semakin mempertajam analisis serta sangat berguna dalam menyempurnakan naskah desertasi ini. 4.
Dewan Pendiri, Komisaris dan Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Jakarta, lembaga riset sebagai “kawah
candradimuka” bagi penulis, yang telah memberi kesempatan dan mendorong penulis untuk menempuh program Doktor. 5.
Rekan-rekan peneliti dan seluruh staf INDEF, terutama Mas Erani, Eko, Tauhid, Eisha, Heri, Pak Sugiyono, Abra, Imad, Herta, Edy, Edo,Udin, Trisia, Lia, Pipin, dan Perta yang telah memberi banyak masukkan, kritikan dan bantuan terhadap penyelesaian penyusunan desertasi ini.
6.
Dr. Rasidin yang telah dengan sabar menemani diskusi dan membantu pengolahan data desertasi ini
7.
Rekan-rekan program doktor EPN Elys, Bu Dewi, mbak Aida, mbak Niken, Pak Maryadi, Pak Eka, Pak Alla, Pak Dudi, Pak Ibrahim, Pak Roni, terimakasih atas segala kebersamaan dan dukungannya.
8.
Seluruh staf sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, terutama mbak Yani, mbak Ruby, mbak Kokom, pak Husin yang dengan kesabaran dan ketulusannya selalu membantu dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan desertasi ini.
9.
Terakhir kepada yang tercinta Bapak/Ibu, kakak, adik-adik, keponakan serta keluarga besarku yang dengan penuh cinta kasih selalu memberikan semangat dan do’a yang tiada hentinya di sepanjang kehidupan penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu penulisan desertasi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga bantuan Bapak/Ibu menjadikan desertasi ini sebagai dokumentasi ilmu yang bermanfaat yang akan membawa amal kebaikan di dunia dan akherat. Saya yakin, penulisan desertasi ini ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, oleh karenanya saya berharap ada peneliti yang berminat untuk membuat penelitian yang lebih komprehensif dan sempurna di masa yang akan datang. Terakhir, saya berharap semoga penulisan desertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya dapat berkontribusi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang “baldatun thoyyibatun warobbun ghofur”. Amin. Bogor,
Februari 2012
Enny Sri Hartati x
DAFTAR ISI
Halaman Daftar Tabel ……………………………………….......………………. xv Daftar Gambar……………………….……….....………...…..…..…... xix Daftar Lampiran……………………..……….....……….….……….... xxi I.
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah............................................................................ 11
II.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................…...........
18
1.3.1. Tujuan Penelitian ..................................................................
18
1.3.2. Kegunaan Penelitian .....….....................................................
18
1.3.3. Hipotesis Penelitian .....….......................................................
18
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
19
1.5 Kebaruan Penelitian ……...................................................................
19
1.6 Keterbatasan Penelitian .....….............................................................
20
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
21
2.1 Peran Pemerintah dalam Perekonomian............................................
21
2.2 Peran Kebijakan Fiskal …………………........................................
23
2.3 Komponen Kebijakan Fiskal ……....................................................
28
2.3.1. Penerimaan Pemerintah ………………………….................. 28 2.3.2. Pengeluaran Pemerintah ………………………...................... 31 2.3.3. Keseimbangan Fiskal ……………………………….............. 33 2.3.4. Desentralisasi Fiskal ……………………….……................... 34 2.4 Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja dan Kemiskinan.............. 37 2.5 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................................
43
2.6 Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan .........................................................................
49
2.7 Penelitian Terdahulu …………..…..…….........................................
52
III.
2.7.1 Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri ...………...….….......
52
2.7.2 Penelitian Studi Kasus di Indonesia ……………..................
57
2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian ………………...............................
60
METODOLOGI PENELITIAN ……................................……...…… 63 3.1. Model Persamaan Simultan ………..…............................................
63
3.2. Spesifikasi Model ...…………..…..….............................................
65
3.3. Identifikasi dan Pendugaan Model ….…………............................
71
3.4. Evaluasi Model ……………………………..................................
72
3.5. Kesesuaian Model ……………………………..............................
73
3.6. Validasi Model…………………………….……………...………... 74
IV.
V.
3.7. Simulasi Model….……….……………………....…........................
75
3.8. Jenis dan Sumber Data ………………...…....…....……..................
77
KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA …………………….………
79
4.1. Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand…………...……….…..
80
4.2. Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia………………………......
86
4.3. Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura ……………….…...…
92
4.4. Komposisi Belanja Pemerintah China …………………….……….
96
4.5. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Beberapa Negara …...…………………...……...
99
PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ………………………………...…….. 105 5.1. Periode Sebelum Krisis Ekonomi Tahun 1969/1970 -1996/1997...… 108 5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara…………………........................ 110 5.1.2. Realisasi Belanja Negara ………………….…………….....… 113 5.1.2.1. Belanja Pegawai…………………………….......…..... 114 5.1.2.2. Belanja Barang………………………………...……... 114 5.1.2.3. Belanja Subsidi………………………………...…….. 115 5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang………….……….. 118 5.1.2.5. Belanja Pembangunan………………………..…….… 118 5.1.2.6. Belanja Transfer Daerah……………............................ 119
xii
5.1.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan …….………….... 120 5.1.4. Kinerja Perekonomian………………………………….……. 123 5.2. Periode Setelah Krisis Ekonomi, Tahun 1997 – 2010..………..…….. 126 5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara ……………………………......... 126 5.2.2. Realisasi Belanja Negara ……………..………………………. 128 5.2.2.1. Belanja Pegawai………..........................…................. 130 5.2.2.2. Belanja Barang…….......………………...…….......... 130 5.2.2.3. Belanja Subsidi…………………………..…….……. 133 5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang …………......…..............
133
5.2.2.5. Belanja Modal………………….………….……….. . 134 5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah……………….. 135 5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan ……….…........… 137 5.2.4. Kinerja Perekonomian………..…………………………….... 139 VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN……………..…………..……....................... 141 6.1. Hasil Spesifikasi Model……………………………………………...... 141 6.2. Hasil Pendugaan Model ……...……………………………………….. 144 6.2.1. Blok Pendapatan Nasional……………………….…………...... 144 6.2.2. Blok Fiskal………..…………………………………………..... 155 6.2.2.1. Belanja Pegawai………….………………………......... 157 6.2.2.2. Belanja Barang…………………………………… ....... 159 6.2.2.3. Belanja Modal……………………………………. ....... 162 6.2.2.4. Belanja Pembayaraan Bunga Utang………………........ 164 6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM……………………….. ...... 168 6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM…………………………….. ....... 170 6.2.2.7. Dana Alokasi Khusus ……….…………….………........ 173 6.2.2.8. Dana Alokasi Umum ……….…………………...…...... 174 6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil …………………………........ 175 6.2.3.Blok Kinerja Perekonomian……………………………....…..... 176 6.3. Validasi Model….…………………………………………………...... 180 6.4. Simulasi Kebijakan…………………………………………………..... 182
xiii
6.4.1. Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat …………. ........ 184 6.4.2. Dampak Efisiensi Belanja Modal ………..…………………...... 190 6.4.3. Dampak Pergeseran Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal …...………………………………….................. 192 6.5. Alternatif Pilihan Kebijakan ………………………………………..... 194 VII. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..…..…... 197 7.1. Simpulan ..............................................................................................
197
7.2. Saran-saran ..........................................................................................
199
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 204 LAMPIRAN …………………………………………………………….
xiv
209
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara, Tahun 2010 …………………..
2
2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2005- 2011 ……………………………………………………
4
3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010……………………..
14
4. Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja Pemerintah ……………………………………………….……
72
5. Jenis dan Sumber Data dalam Persamaan Simultan…………..
78
6. Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut Klasifikasi Ekonomi …………………………………………...
81
7. Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara Indonesia dan Thailand, Tahun 2011 ………………..…………
82
8. Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi…
83
9. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDB Thailand…………..
84
10. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis………….
87
11. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor …...…..
88
12. Produk Domenstik Bruto Malaysia, Tahun 2005-2010 ……..
91
13. Total Pengeluaran Pemerintah Singapura Menurut Sektor, Tahun 2011 …………………………………..………….......…
93
14. Alokasi Anggaran Singapura Menurut Klasifikasi Ekonomi…..
94
15. Produk Domenstik Bruto Singapura, Tahun 2005-2010 ……..
95
16. Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi ……….
97
17. Pendapatan Perkapita Negara ASEAN ……………………….
99
18. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Perkapita antar Negara ASEAN …………………………………...……... 100 19. Elastisitas Kemiskinan tehadap Pertumbuhan Ekonomi.………
103
20. Konversi APBN dalam I-Account…………...…………………
107
21. Komposisi Penerimaan Negara Pada Masa Orde Baru, Tahun 1969/1970 – 1996/1997…………………………………..……. 112 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Sebelum Krisis, Tahun 1969/1970 1996/1997……………………………..…………… 115 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan…………………….
121
24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, Tahun 2000-2011…………………...………………………….. 129 25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011……………………..
132
26. Perkembangan Difisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi…………...…………………….. 138 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumahtangga…...………..
146
28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah………….……..
149
29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Total………………………...
150
30. Biaya Transaksi Mulai Usaha ……………….………………....
151
31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah………………….
153
32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor………………………………...
154
33. Hasil Estimasi Perilaku Impor……………………………….....
155
34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak …………………….
156
35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai………………………
159
36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang………………………..
162
37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal………………………...
164
38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang…………….
166
39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia…………….….....
170
40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM……………
170
41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM…………………
172
xvi
..
42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah…….………... 174 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah……….…...… 175 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Dana Bagi Hasil……………………………………………………………. 176 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran………………... 177 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia.
178
47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin……………..
180
48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah …………………..………………………………… 181 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010..
185
50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat ……
190
51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal …………..........
192
52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal……………………………………... 193 53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan …………………….……………......... 195
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xviii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1. 2.
Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010 ….
Halaman 3
Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan pembentukan Modal Domestik Bruto……………....……………..
6
Rata-rata proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010 …………….……...………………
13
4.
Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011……….…..............
16
5.
Tingkat Penyerapan Anggaran K/L Per Quartal, Tahun 20052010....................................................................................................
17
6.
Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian ………………
27
7.
Jalur Efek Black Grant dan Jalur Efek Spesific Grant ……………...
37
8.
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………….……...
45
9.
Perubahan Budget Line Karena adanya Pengeluaran Pemerintah ….
46
10.
Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah………....……….....
48
11.
Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi……………………………………….……..
50
12.
Kerangka Alur Pemikiran Penelitian…………………………..……
62
13.
Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi Belanja Pemerintah …………………………..……………………..
64
14.
Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun 2000-2010 ............................
85
15.
Perkembangan Sektor Tradeable, Non Tradeable dan PDB Thailand ............................................................................................
86
16.
Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun 2000-2010 ….……..……
95
17.
Pertumbuhan GDP China, Tahun 2000-2010 …..………….........
98
18.
Perbandingan Tingkat Kemiskinan antar Negara, Tahun 2010......
101
3.
19.
Tingkat Pengangguran Beberapa Negara, Tahun2009 .................
102
20.
Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Orde Baru ……..
111
21.
Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis………………………………….…………………
113
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis 1997 …………………….…...…………………...
120
Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis 1997 …………..................................................................................
122
22.
23.
24.
Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I – Pelita III ………………..…………..... 124
25.
Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita IV – Pelita VI ……………………..……... 125
26.
Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010 ……………..………...……………………….
127
Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010 …………..…………….….……………….………….
128
Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan daerah Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010 ………………………..………………...
136
Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis 1997 …………..……………………………….…….......................
139
Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi……………………….......
140
31.
Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010…..
158
32.
Komposisi Penggunaan Belanja Barang Tahun 2006-2010........
160
33.
Komposisi Penggunaan Belanja Modal tahun 2006-2010……..
163
34.
Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang Tahun 2006-2010 ..
165
35.
Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010……..
169
35.
Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010……..
171
37.
Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011…….
187
27.
28.
29.
30.
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Penerimaan dan Belanja Negara, 1969/1970 – 2010 .............
211
2. Komposisi Belanja Daerah dan Pembiayaan APBN, 1969/1970 –2010 ...................................................................
219
3. Data Utama untuk Model Simultan .......................................
227
4. Hasil Pendugaan Persamaan Simultan ...................................
235
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan tahun 1995-1996 tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan pada 1998 menjadi minus 13.13 persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun 2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5 persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu 16.36 persen dan tingkat kemiskinan masih mencapai 14.03 persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi secara
signifikan terhadap penurunan
tingkat
kemiskinan
dan tingkat
pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai 13.06 persen dan tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat
2
pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi sebesar 15.27 persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar 17.53 persen. Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum terjadi
peningkatan
penciptaan lapangan kerja
yang signifikan dalam
perekonomian. Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen, seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4 persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1 persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi Beberapa Negara pada Tahun 2010 (%) No
Negara
1.
Malaysia
B. Modal thd Pengeluaran 31.1
Infrastruktur Ranking 26
Pertumbuhan Ekonomi 7.2
Pengangguran
2.
Singapura
11.6
3
14.5
2.8
3.
Vietnam
28.4
90
6.8
2.7
4.
Indonesia
8.4
76
6.1
7.1
5.
Thailand
20.2
42
7,9
1,0
6.
China
10,4
44
10,4
4,1
3.4
Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011 Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah
3
adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi mencapai 56.7 persen. Peranan
investasi terhadap pembentukan PDB baru
mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada peningkatam konsumsi masyarakat.
1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 * 2010 ** Konsumsi Rumah tangga
Konsumsi Pemerintah
Investasi
Ekspor
Impor
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010
Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan
di
sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor
4
antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di kawasan Indonesia barat, karena
rendahnya pembangunan infrastruktur di
Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42. Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah, mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian.
Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 20052010 (Rp Miliar) KETERANGAN
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
495.2
638
707.8
981.6
848.8
992.4
493.9
636.2
706.1
979.3
847.1
990.5
347
409.2
491
658.7
619.9
743.3
12.7
12.3
12.4
13.3
11.9
11.9
146.9
227
215.1
320.6
227.2
247.2
1.3
1.8
1.7
2.3
1.7
1.9
509.6
667.1
757.6
985.7
937.4
1126.1
I. Belanja Pemerintah Pusat
361.2
440
504.6
693.4
628.8
781.5
II. Transfer ke Daerah
150.5
226.2
253.3
292.4
308.6
344.6
-14.4
-29.1
-49.8
-4.1
-88.6
-133.7
% thd PDB
-0.5
-0.9
-1.3
-0.1
-1.6
-2.1
D. Pembiayaan
8.9
29.4
42.5
84.1
112.6
133.7
19.1
56.3
69
102.5
128.1
133.9
-10.3
-26.6
-26.6
-18.4
-15.5
-0.2
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan DN 1 . Perpajakan Tax Ratio (% thd PDB) 2. PNBP II. Hibah B. Belanja Negara
C.Surplus/(Defisit) Anggaran
I. Pembiayaan Dalam Negeri II. Pembiayaan Luar Negeri
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011 Keterangan:*Data APBN-P 2010
5
Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126 triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin (sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen). Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan, seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto. Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi melalui pembangunan infrastruktur. APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran
6
pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian.
1200000 1000000 800000 600000 400000 200000
Pembentukan Modal Domestik Bruto
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Total Belanja Pemerintah
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan Pembentukan Modal Domestik Bruto
Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak. Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.
7
Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negaranegara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen, Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah, disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah. Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik 1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07 persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar 2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan pertambahan
penerimaan
pajak
jauh lebih cepat
dibanding Indonesia.
Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak. Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran pada APBN-P 2010 sekitar Rp 1 126.1 triliun. Sementara penerimaan negara yang
8
ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ 169.22 miliar atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp. 71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah. Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi
9
Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya, pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth). Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN. Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian, kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan
10
pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian. Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik akan menjadi
sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan
devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab perumusan masalah. Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4 persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini
11
tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah. Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran sebesar 7.1 persen. Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran. Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 20052014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,
12
yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment).
1.2.
Perumusan Masalah Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil
sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain :
pertama, postur anggaran didominasi oleh
pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89 persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98 persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama tahun 2005-2010 porsi belanja modal hanya sebesar 12.52 persen.
13
Bantuan Sosial; 8,98
Belanja Lain-lain; 4,81
Belanja Pegawai; 18,89
Belanja Hibah; 0,08 Belanja Barang; 12,20 Subsidi ; 27,81
Pembayaran Bunga Utang ; 14,77
Belanja Modal; 12,52
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis Pengeluaran, Tahun 2005-2010
Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran. Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008 mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0 persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk
besar
dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.
14
Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010 (Rp triliun) Jenis Subsidi Subsidi Energi 1. Subsidi BBM 2. Subsidi Listrik Subsidi Non-Energi 1. Subsidi Pangan 2. Subsidi Pupuk 3. Subsidi Benih 4. PSO 5. Kredit Program 6. Subsidi Minyak Goreng 7. Subsidi Kedele 8. Subsidi Pajak 9. Subsidi Lainnya Jumlah
2005 Real. 104.4 95.6 8.9 16.3 6.4 2.5 0.1 0.9 0.1 6.2 120.8
2006 Real. 94.6 64.2 30.4 12.8 5.3 3.2 0.1 1.8 0.3 1.9 0.3 107.4
2007 Real. 116,9 83,8 33,1 33,3 6,6 6,3 0,5 1 0,3 0 17,1 1,5 150.2
2008 Real 223 139.1 83.9 52.3 12.1 15.2 1 1.7 0.9 0.2 0.1 21 275.3
2009 Real. 94.6 45 49.5 43.5 13 18.3 1.6 1.3 1.1 8.2 138.1
2010 APBNP 144 88.9 55.1 57.3 13.9 18.4 2.3 1.4 2.9 18.4 201.3
Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011 The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40 persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun 2010. Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89 persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3 persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana
15
pendapatannya hanya sebesar Rp211.726 per kapita per bulan, kecil kemungkinan dapat memiliki kendaraan bermotor. Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar fiscal space yang tersedia,
akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh
Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran untuk daerah. Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB. Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan ruang gerak fiskal selama 2005-2010 tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen. Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat, seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk
16
Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
19,9
18,5
15,52 13,16
12,64
2009 Belanja Negara
12,49
5,03
4,87
5,37
4,38
2008
17,5
17,5
2010 APBN-P Belanja Mengikat
2011 APBN Ruang Fiskal
Sumber: Kementerian Keuangan,2011 Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011
Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun 2005-2010, penyerapan anggaran pada triwulan I sebesar 11.13 persen, triwulan II sebesar 21.40 persen, triwulan III sebesar 24.46 persen serta triwulan IV sebesar 43.01 persen. Bila ditelusuri lebih jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV. Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah perDIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang
17
karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya. 60,00
52,96 45,45
50,00
45,11
44,03
41,59
41,31
43,01
%
40,00 30,00 20,00 10,00 -
7,36
10,63
10,23
11,02
11,94
11,32
11,13
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Triwulan I
7,36
10,63
10,23
11,02
11,94
11,32
11,13
Triwulan II
12,89
18,77
20,85
20,88
22,51
21,36
21,40
Triwulan III
26,79
25,15
23,81
26,79
23,96
23,29
24,46
Triwulan IV
52,96
45,45
45,11
41,31
41,59
44,03
43,01
Sumber: Kementerian Keuangan, 2010. Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun 20052010
Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran.
Inefesiensi juga
bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6 tahun terakhir (2005-2010) penyerapannnya hanya 87 persen saja.
Artinya
terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per tahun. Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan.
18
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk 1.
Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2.
Membuat
simulasi
alternatif
komposisi
belanja
pemerintah
guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia.
1.3.2. Kegunaan Penelitian 1.
Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2.
Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan di Indonesia.
1.3.3. Hipotesis Penelitian 1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. 2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.
19
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi
belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan Indonesia.
1.5.
Kebaruan Penelitian Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah
temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain adalah : 1.
Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun. Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya.
2.
Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi
20
pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal. 3.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen.
1.6.
Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1.
Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia.
2.
penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan sesuai perubahan rezim pemerintahan.
3.
penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus.
4.
Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peran Pemerintah Dalam Perekonomian Salah satu peranan pemerintah dalam perekonomian tercermin dalam
kebijakan fiskal. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Penyusunan APBN memiliki tujuan sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam melaksanakan kegiatan kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, anggaran pendapatan dan belanja negara harus dirumuskan sedemikian rupa yang mencakup perkiraan periodik dari semua pengeluaran dan sumber penerimaan. Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki enam (6) fungsi yaitu: 1.
Fungsi otorisasi, dimana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan
22
2.
Fungsi perencanaan, dimana APBN menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. APBN disusun untuk merencanakan target penerimaan dan pengeluaran keuangan negara.
3.
Fungsi pengawasan, dimana APBN menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4.
Fungsi stabilisasi memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian, utamanya untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi. APBN diharapkan dapat berfungsi menjaga kestabilan arus uang dan arus barang sehingga dapat mencegah terjadinya inflasi yang tinggi maupun deflasi yang akan mengakibatkan kelesuan perekonomian (resesi).
5.
Fungsi alokasi mengurangi
dimana anggaran negara harus diarahkan untuk
pengangguran
dan
pemborosan
sumber
daya
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi
serta alokasi
terutama berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods). APBN ditentukan besarnya anggaran pengeluaran masing-masing bidang, ini berarti di APBN sektor pembangunan, departemen dan lembaga telah ditentukan dengan jelas. Sehingga melalui APBN kita dapat mengetahui sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
23
6.
Fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan, pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di masyarakat. Pendapatan negara yang dihimpun dari berbagai sumber akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di berbagai sektor pembangunan dan di berbagai departemen. Penggunaan dana harus dapat didistribusikan untuk berbagai sektor pembangunan secara optimal. Sedangkan asas penyusunan APBN dikenal dengan tiga azas yaitu:
pertama, azas anggaran seimbang. Semua pengeluaran didasarkan pada penerimaan. Pada akhirnya terdapat kesamaan jumlah antara pengeluaran dan penerimaan, dengan kata lain APBN seimbang adalah jumlah pendapatan negara yang diperkirakan diterima akan dapat menutupi semua pengeluaran yang direncanakan (pengeluaran = penerimaan). Kedua, azas anggaran surplus. Jumlah penerimaan
yang
direncanakan
pemerintah
melebihi
dari
pengeluaran
(Pengeluaran < Penerimaan). Penetapan anggaran seperti ini dilakukan pada negara yang memiliki masa kenaikan (prosperity). Ketiga, azas anggaran defisit. Anggaran yang ditetapkan oleh suatu negara apabila jumlah pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara (pengeluaran > penerimaan negara). Anggaran defisit dapat digunakan secara sadar untuk mendorong negara keluar dari resesi seperti anjuran Keynes.
2.2.
Peran Kebijakan Fiskal Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau
pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi
24
swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi output (Y) dalam keseimbangan makro: Y = C + I + G + (X-M) ……………………….…………………… (2.1) Menurut Keynes dalam perekonomian yang mengalami krisis dan depresi, permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja penuh (full employment level). Keseimbangan makro perekonomian terbuka, dalam Model MundellFleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis r = r*. Konsumsi tergantung pada disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar (e). Sehingga persamaan (2.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (2.2) sebagai persamaan pasar barang atau fungsi IS. Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) ………….………………………….(2.2) Keseimbangan pasar uang, permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:
25
M/P = L(r*,Y) ….………………………………..……………………(2.3) Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming, dijelaskan melalui dua persamaan: Y
= C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) …………..………………….(2.4) M/P = L(r*,Y) ……………………………………………………….........(2.5)
Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M), tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y) dan nilai tukar (e). Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva AS adalah horizontal atau cenderung landai. Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi berada pada kondisi
unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat
memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku, diasumsikan upah tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak sempurna (0
26
sehingga peningkatan G dapat meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y. Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P1 dan suku bunga r1 akan meningkatkan permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM 1, menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect. Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output, agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Peningkatan AD akan berdampak memperketat pasar uang, sehingga akan berakibat meningkatkan r dan menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva permintaan tenaga kerja bergeser ke atas. Karena asumsi imperfect informations (0
27
LM2
r B
LM1
r3 r2
IS2 A
r1
IS1 0
Y1 Y3
Y2
P
Y
AS
P2
B A
P1
AD2 AD1
0
Y1
Y3
Y2
Y
Y Y3 A
Y1
0
N1
B
Y=Y(N)
N2
N
W
P2e.g(N) B 1
w2
P1e.g(N)
w1
W2D=P2.f
A
W1D=P1.f
0
N1
N2
N
Sumber: Mankiw, 2003 Gambar 6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian
28
2.3.
Komponen Kebijakan Fiskal
2.3.1. Penerimaan Pemerintah Sumber penerimaan pemerintah adalah berasal dari pajak, non pajak, dan hibah. Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambanan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bea meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al., 2002). Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan nilai (PPn) mempunyai efek atau transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan ekspansi usaha perusahaan (James dan Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh dan PPn sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari sisi pajak, intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan efektif dengan instrumen PPh dan PPn. Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees (1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang, ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai seorang konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T berbentuk:
29 n i 2
swx1 T ( swx1 ) …………..…………………………………...(2.6)
qi xi
Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan: n
xi ( s) ( s)ds i 2 0
z G …………………………….…(2.7)
0
zG
dimana,
swx1 ( s) ( s)ds
:
pengenaan
pajak
pemerintah.
Dengan
teknologi
linear
memungkinkan untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n menjadi 1. Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai variabel riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S) ditentukan dari identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk U x x1 self selection diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa atau us s Ul Ull dalam dalam notasi us . Pendekatan orde pertama Hamiltonian 2 s s 1
2
untuk maksimisasi dapat ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai: n
H
U
swx1
xi
( s)
i 2
x1U x1
………………………. (2.8)
s
Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa
U xk
xn xk
………………………………………………………..(2.9)
U xn
Syarat perlu untuk optimalitas adalah:
1
U xk U xn
x1 U x1xk s
U x1xn
U xk U xn
0, k
2,...,n
…………(2.10)
Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:
30
U xk U xn
1 tk 1
…………………………………………………………. (2.11)
Substitusi persamaan (2.11) ke dalam (2.10), dan setelah disusun ulang, pajak optimal (tk) dapat ditulis sebagai:
tk
x1U xk s
d log
U xk U xn
dx1
,k
2,...,n 1
…………………………(2.12)
d log Hasil dari (2.12) menyatakan dua fakta. Pertama jika
U xk U xn
0
,
dx1 untuk semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan secara lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak optimal (tk) untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and Stiglitz (1976). Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan dan pajak penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil ini diturunkan dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal dari rumah tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang lemah antara pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai. Konsekuensi kedua dari (2.12) adalah anggapan semua variabel lainnya konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak lebih besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976) menekankan kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi
31
paling tinggi pada barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan tinggi.
2.3.2. Pengeluaran Pemerintah Struktur pengeluaran/belanja pemerintah menurut I-Account APBN meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2) dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyesuaaian. Pendekatan untuk melihat keterkaitan antara belanja negara dan pendanaannya adalah melalui apa yang dikenal dengan Government's (public sector's) financial balance, yang persamaannya ditulis sebagai berikut: (T- Cg - Ig) = Bgp +∆H + Bgf……………………………………… (2.13) dimana: T
T= penerimaan pajak (tax revenue)
Cg
= konsumsi pemerintah (government consumption)
Ig
= investasi pemerintah (government investment)
Bgp
= pinjaman pemerintah dari sektor swasta (government borrowing from private sector)
∆H
= perubahan stok dari pencetakan uang (stock change in highpowered money)
Bgf
= pinjaman pemerintah dari luar negeri (government borrowing from foreigners)
Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan persamaan menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan belanja atau expenditure, maka dapat juga dibiayai melalui peningkatan penerimaan pajak tanpa mempengaruhi defisit fiskal. Tingkat belanja pemerintah yang memadai ditentukan oleh penerimaan dan defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran
32
pemerintah tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan maka akan menyebabkan defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari sumber pendanaan untuk menutup defisit melalui: (1) pinjaman dari sektor swasta, (2) mencetak uang (money creation) dan (3) pinjaman dari luar negeri. Selain itu, masih ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan simpanan devisa (dapat menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara (privatisasi), dan (3) akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit umumnya dilakukan dengan kombinasi antara berbagai sumber pendanaan tersebut. Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah tersebut melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis: (T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X)…….…………………………………..…..(2.14) dimana: T
= penerimaan pajak (tax revenue)
Cg
= konsumsi pemerintah (government consumption)
Ig
= investasi pemerintah (government investment)
Sp
= tabungan swasta (private saving)
Ip
= investasi swasta(private investment)
M
= Impor
X
= Ekspor
(M - X) menggambarkan external current account defisit. Melalui pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah saving-investment gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit. Selanjutnya bila pendekatan pertama (2.13) dan kedua (2.14 digabungkan, diperoleh persamaan sebagai berikut. Sp - Ip = Bgp + ∆H- Bpf………………………………………….….…...(2.15)
33
M - X = Bgf + Bpf……………………..…………………………...…....(2.16) dimana: Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri.
Persamaan (2.15) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan persamaan (2.16) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber dari foreign saving.
2.3.3. Keseimbangan Fiskal Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit anggaran luar negeri
adalah pengeluaran mata
uang asing dikurangi
penerimaannya. Defisit total pemerintah dalam neraca anggaran dengan memperhitungkan defisit anggaran luar negeri dan domestik dirumuskan (Subagjo, 2005): D = (GD+FG) - (RD+RF) – KG……….………………………….. (2.17) KG = K-KP…………….……………………………………………. (2.18) K = RE + CA…………..………………………………………….. (2.19) dimana: CA
= current account dalam neraca pembayaran
D
= neraca anggaran (defisit/surplus)
FG
= pengeluaran pemerintah luar negeri
34
GD
= pengeluaran pemerintah domestik
K
= arus kapital total
KG
= arus kapital pemerintah
KP
= arus kapital swasta
RD
= penerimaan pemerintah domestik
RE
= cadangan devisa
RF
= penerimaan pemerintah luar negeri
Pada
persamaan
(2.19)
diasumsikan
bahwa
bank
sentral
akan
meningkatkan kredit neto kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto. Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran. Secara agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik (r), tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan pemerintah (R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut: D = d(r,r*,B,R)……………………………………………………….…… (2.20) Komponen fiskal antara lain meliputi variabel-variabel pengeluaran, penerimaan pajak, defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar negeri)
sebagai sumber pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif
pembiayaan melalui pencetakan uang tidak diperhitungkan sebagai sumber pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan mengenai posisi independent bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak bisa mencetak uang untuk menutup gap dalam anggarannya.
35
2.3.4. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi
fiskal
antar
tingkat
pemerintahan
menggambarkan
hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al., 1998 dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu: (1) internalisasi spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan (equalization) fiskal antar yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama (Oates, 1999), yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat (unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus (specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia diistilahkan Dana Alokasi Umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah.
36
Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan pada Gambar 7 dan 8. Posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan (grant) ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi masing-masing adalah G1 dan H1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 7 akan bergeser dari AB menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G2 dan H2. Konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang G maupun H meningkat, menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu I2 dimana I2 > I1. Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik (specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya produksi barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah daerah kini berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G 2’. Berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G. Bantuan spesifik juga meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F' yang terletak pada indifference curve I2 dimana I2 > I1. Dampak spesifik grant tidak dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut. Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang H, tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti
37
tampak dalam Gambar 7, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi H. Secara teoretis disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect, sedangkan specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution effect dan price effect.
Barang H
Barang H
C
A
I2
I1
H2 H1
0
E
G1
A I1 I2 H1
F
G2
E
H2
B
D Barang G 0
G1
F’
G'2
B
D’ Barang G
Sumber: Oates, 1999 Gambar 7. Jalur Efek Block Grant dan Jalur Efek Specific Grant
2.4.
Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kemiskinan Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan
kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan
38
itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu negara dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat dalam jumlah yang banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan standar hidup yang mana berdampak pula bagi penurunan tingkat pengangguran dalam jangka panjang. Todaro (1997) secara spesifik menyebutkan ada tiga faktor utama pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Sementara Harrod-Domard berusaha memadukan pandangan kaum Klasik yang dianggap terlalu menekankan pada sisi penawaran (Supply Side) dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Menurut Harrod-Domard investasi memainkan peran ganda, disatu sisi investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity), disisi
lain
akan
menciptakan
permintaan
(demand
creating)
dalam
perekonomian. Oleh kerena itu, H-D menyatakan bahwa investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Aspek yang dikembangkan adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori Keynes, pengeluaran investsi (I) mempengaruhi permintaan agregat (D) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Menurut H-D, pengeluaran investasi tidak hanya berpengaruh terhadap permintaan agregat (melalui proses multiplier), tetapi juga terhadap penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Secara
39
sederhana kaitan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam versi model H-D dapat dinyatakan misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu dari pendapatan nasional (Y). S=sY
.................................................................................(2.21)
Sementara itu, Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili oleh ∆K. I= ∆K
..................................................................................(2.22)
Namun demikian, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, maka : K/Y = k atau ∆K/∆Y = k Akhirnya ∆K = k∆Y
.........................(2.23)
Mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut : S = I ................................................................................................(2.24) Dari persamaan (2.21) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.22) dan (2.23), dapat diketahui bahwasanya I = ∆K = k∆Y. Dengan demikian, `identitas' tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (2.24) adalah sebagai berikut: S=sY=k∆Y=∆k=1 ..........................................................................(2.25) atau bisa diringkas menjadi sY = k∆Y
..................................................................................(2.26)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.26) dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dengan k, maka akan didapat :
40
∆Y/Y= s/k ......................................................................................(2.27) dimana : ∆Y/Y
= pertumbuhan ekonomi
s
= tingkat tabungan nasional
k
= ICOR (Incremental Capital Output Ratio)
Y
= output nasional atan GNP
K
= stock kapital
I
= investasi
Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y) ditentukan secara bersama-samna oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio modal output nasional (k), dan memiliki makna secara ekonomi bahwa agar suatu perekonomian dapat tumbuh, maka perekonomian harus menabung dan menginvestasikan proporsi tertentu dari GNP-nya. Semakin banyak suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan, semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000; Perkin, et al, 2001). Pertumbuhan ekonomi mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah penurunan kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu situasi di mana pendapatan tahunan individu masyarakat tidak dapat memenuhi standar pengeluaran minimum yang dibutuhkan individu untuk dapat hidup layak. Secara absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar hidupnya secara absolut berada di bawah garis kemiskinan. Secara umum, kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar standar atas setiap aspek kehidupan. Kemiskinan dapat dihitung berdasarkan ukuran kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh
41
lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/ pengeluaran penduduk, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Sementara
untuk
mengukur
kemiskinan
absolut,
Bank
Dunia
menggunakan dua ukuran kemiskinan absolut, yaitu dengan kriteria US$ 1 perkapita per hari dan US$ 2, perkapita per hari. Jika menggunakan ukuran US$ 1 perkapita per hari diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut. Sedangkan jika menggunakan US$ 2 perkapita per hari, maka lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Indonesia menggunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS, dimana BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Seseorang dikatakan miskin apabila kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari atau setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan dan kebutuhan non makanan minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas dengan besaran yang berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.
42
Kemiskinan tidak hanya dihitung dari pertumbuhan pendapatan yang berada diatas garis kemiskinan secara nominal. Variabel inflasi juga harus menjadi pertimbangan, karena laju inflasi akan mengurangi daya beli pendapatan masyarakat. Jika terjadi pertumbuhan pendapatan lambat sementara laju inflasi relatif tinggi, maka akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satusatunya variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain seperti laju inflasi, juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Mekanisme
transmisi
dampak
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
kemiskinan, tidak semata-mata langsung terjadi. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi baru merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Namun masih diperlukan syarat kecukupan (sufficient condition), yaitu bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana orang miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Disamping kemiskinan, pertumbuhan ekonomi juga harus berdampak pada pengurangan
pengangguran
atau
penciptaan
lapangan
kerja. Pengertian
pengangguran adalah tidak hanya penduduk yang tidak bekerja, tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discouraged workers) atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja (Putong, 2003).
43
Penelitian Arthur Okun dalam Putong (2003) mengatakan apabila GNP tumbuh sebesar 2,5 persen diatas tren yang telah dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen. Jadi rasio pertumbuhan ekonomi dan penurunan pengangguran adalah 1 persen dibandingkan 2,5 persen atau sebesar 0,4 persen. Artinya, jika tingkat pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen, maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu agar bisa tumbuh sebesar 5 persen diatas rata-rata tren pertumbuhannya.
2.5.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001): Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang: y = c(y-t(y)) + i(r) + g …………………………………………………(2.28) dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang: M = l(r) + k(y)………………………..……………………………(2.29) Po dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari satu atau 0 < c’, t’ < 1, slope investasi dan permintaan uang i’ < 0 dan l’ < 0, serta slope transaksi permintaan uang k’ > 0 (tanda [’] menunjukkan nilai tertentu). Dengan menurunkan persamaan (2.28), diperoleh: dy = c’ (dy – t’ dy) + i’ dr + dg = c’ (1-t’)dy + i’dr + dg………………………………………….. (2.30) M Menurunkan persamaan (2.29) dengan — konstan, akan diperoleh: P
44
0 = l’ dr + k’ dy k' dr = - — dy l dengan mensubstitusikan ke persamaan (2.30) diperoleh:
1
dy
1 c' (1 t ' )
i' k ' l'
dg
……………………………………………(2.31)
Karena c’ (1 – t’) kurang dari satu dan
i' k ' l'
positif maka multiplier tersebut
i' k ' , = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari l' i' k ' peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM, dan l' bernilai positif.
merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi:
dy Artinya,
dg 1 c' (1 t ' ) perubahan
1 …………………………………… (2.32) dg 1 MPC
pengeluaran
pemerintah
(g)
meskipun
kecil
akan
menghasilkan perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect tersebut. Efek perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang horizontal. Berdasarkan persamaan (2.32), output atau pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut : AS
AD C
I
G
NX
(2.33)
Pada persamaan (2.33), masing-masing komponen pembentuk output berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Pada penelitian ini, perubahan terhadap pengeluaran pemerintah (∆G) dapat dilihat berdasarkan struktur anggaran pada APBN. Pada Gambar 8 terlihat jika terjadi peningkatan salah satu variabel AD misalnya pengeluaran pemerintah dan variabel yang lain dianggap tetap, maka Aggregate Demand bergeser ke kanan atas yang
45
menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari (Y1) ke (Y2) dan tingkat harga umum menjadi naik dari (P1) ke (P2).
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sukirno (2000) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah adalah bagian dari kebijakan fiskal, yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah untuk menstabilkan harga, output perekonomian, mendorong kesempatan kerja, serta memacu pertumbuhan ekonomi. Secara teori dampak pengeluaran pemerintah jika dihubungkan dengan konsep budget line dapat diilustrasikan sebagai berikut (Sukirno, 2000): Dari Gambar 9. terlihat bahwa pada awalnya dengan anggaran tertentu area konsumsi berada pada pilihan yang dibatasi oleh budget line AB. Adanya pengeluaran pemerintah untuk barang sosial, misalnya subsidi obat untuk
46
meningkatkan akses terhadap kesehatan membuat budget line bergeser ke kanan (AC). Artinya pengeluaran pemerintah dapat memperluas pilihan masyarakat. Jika peningkatan pengeluaran pemerintah digunakan untuk fasilitas publik yang mendorong perekonomian seperti jalan, jembatan, kilang minyak, pelabuhan, dan infrastruktur fisik lainnya maka akan menaikkan aggregat demand yang memicu investasi sehingga pada akhirnya meningkatkan produksi (pertumbuhan ekonomi) dan penyerapan tenaga kerja.
Barang Lain
A
0
B
C
Barang Sosial
Sumber: Sukirno, 2000 Gambar 9. Perubahan Budget Line Karena Adanya Pengeluaran Pemerintah Dari berbagai studi empiris pengeluaran pemerintah terbukti dapat memperbaiki kegagalan pasar. Menurut Mangkoesoebroto (1993) perkembangan teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Rostow dan Musgrave, (2) Hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah, dan (3) Teori Peacock & Wiseman tentang pembayaran pajak.
47
Rostow dan Musgrave mengembangkan model pembangunan yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa aktivitas pembangunan ekonomi pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan pensiun, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan lain-lain (Mangkoesoebroto,1993). Wagner mengemukakan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP (Gross National Product). Teori ini didasarkan pada pengamatan di negara-negara Eropa, USA, dan Jepang pada abad ke-19 (Mangkoesoebroto, 1993). Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu Hukum Wagner: ―Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat‖. Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam Gambar 11 di mana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993). Teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah
48
(Mangkoesoebroto, 1993). Teori ini sering disebut ―The Displacement Effect‖, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993). Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah pungutan pajak.
Sumber: Mangkoesoebroto, 1993 Gambar 10. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
untuk menaikkan
49
Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut ―Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat, oleh karena itu dalam keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.‖ Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti tangga seperti yang terlihat pada Gambar 10.
2.6.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Kenaikan pendapatan nasional dan tingkat harga umum akan mendorong
kenaikan terhadap kesempatan kerja. Pertama, jika pendapatan nasional meningkat berarti produksi nasional meningkat. Kenaikan produksi nasional akan mendorong penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan faktor produksi lainnya. Artinya pertumbuhan mendorong pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Disisi lain, kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan kenaikan tingkat harga umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini menyebabkan upah riil (W/P) di pasar tenaga kerja menjadi turun. Penurunan tingkat upah riil akan menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. Perusahaan akan menggunakan tenaga kerja tambahan selama produk marginal tenaga kerja (marginal product of labour, MPL) melebihi biaya tambahan karena menggunakan tenaga kerja tambahan (MPL > W/P). Kemiringan kurva MPL yang negatif mencerminkan permintaan tenaga kerja, dimana perusahaan akan
50
mempekerjakan tenaga kerja tambahan jika tingkat upah riil mengalami penurunan. Secara ringkas bagaimana upah riil mempengaruhi permintaan tenaga kerja disajikan pada Gambar 11.
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 11. Dampak Pertumbuhan terhadap Kesempatan Kerja Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan penyediaan lapangan kerja yang layak untuk seluruh masyarakat. Alokasi APBN harus dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja. Ketika ekonomi pasar gagal untuk mengalokasikan sumberdaya secara efisien, pengeluaran pemerintah dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut. Menurut Rao (1998) kegagalan pasar dapat disebabkan oleh: (1) Tidak semua barang dan jasa diperdagangkan, ada barang publik yang mempunyai karakteristik non excludable dan non rivalry, (2) beberapa jenis barang mempunyai karakteristik increasing return to scale.
51
Masyarakat dapat memeroleh harga lebih rendah dan output lebih tinggi jika pemerintah berperan sebagai produsen atau memberikan subsidi untuk menutup biaya, (3) adanya eksternalitas, sehingga dampak sosial kurang diperhitungkan, dan (4) adanya informasi asimetri antara produsen dan konsumen merupakan suatu keniscayaan dalam ekonomi, oleh karena itu intervensi pemerintah diperlukan untuk meminimasi asimetri yang terjadi. Hubungan antara Pendapatan Nasional (GDP) dan pengangguran dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun diambil dari nama Arthur Okun, nama ekonom yang pertama kali mempelajari hubungan antara pendapatan nasional dan pengangguran. Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan GDP riil. Hal itu dapat dijelaskan melalui fakta bahwa ketika GDP riil meningkat para pekerja membantu dalam proses memproduksi barang sedangkan para penganggur tidak. Oleh karena itu, peningkatan dalam tingkat pengangguran akan menyebabkan GDP riil turun. Formula hukum Okun adalah bahwa perubahan persentase dalam GDP riil = 3% - 2 x perubahan dalam tingkat pengangguran. Berdasarkan formula tersebut, jika tingkat pengangguran tetap sama, maka GDP riil tumbuh sekitar 3 persen. Pertumbuhan produksi barang serta jasa yang normal ini merupakan hasil dari pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi. Selain itu, untuk setiap poin persentase kenaikan tingkat pengangguran, pertumbuhan GDP riil biasanya turun sekitar 2 persen (Mankiw, 2003). Dalam Siregar (2005), Hukum Okun juga menyatakan bahwa laju pengangguran berbanding terbalik dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal, atau :
52
ut = -q(gt – gtn) + et…………………..……………………………(2.34) dimana : ut = laju pengangguran gt = laju pertumbuhan ekonomi gtn= laju pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal q = konstanta positif e = faktorfaktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol. Studi empiris yang dilakukan oleh Hassan (2009) di Bangladesh menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan upah pekerja memainkan peran penting dalam mengurangi kemiskinan. Diantara kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Bangladesh, pengeluaran pemerintah pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pembangunan pertanian secara signifikan berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
2.7.
Penelitian Terdahulu
2.7.1
Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri Shenggen et al. (1999) melakukan studi mengenai hubungan antara
belanja pemerintah, pertumbuhan, dan kemiskinan di pedesaan India. Studi tersebut menggunakan data dari tahun 1970 sampai 1993 dan menggunakan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek dari berbagai jenis belanja pemerintah terhadap kemiskinan pedesaan dan pertumbuhan produktifitas di India. Hasil studi menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk peningkatan produktifitas (seperti penelitian pertanian dan ekstensifikasi pertanian), infrastruktur desa (seperti jalan dan pendidikan), dan pembangunan pedesaan yang secara langsung tertuju pada masyarakat miskin desa, semuanya berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan desa.
53
Studi tentang belanja pemerintah, tenaga kerja dan kemiskinan di Bangladesh dilakukan oleh Gazi Mainul (2008). Studi ini menekankan pada hubungan antara belanja publik dengan pengurangan kemiskinan. Kesimpulan studi menunjukkan terdapat hubungan antara kedua hal tersebut dan sekaligus mejawab melalui saluran mana belanja publik tersebut dapat mengurangi kemiskinan, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi yang terarah, menghasilkan tenaga kerja dan menaikkan upah nasional. Dengan menggunakan data nasional dari tahun 1995-2006, studi tersebut menemukan bahwa sebagian besar belanja pemerintah seperti pembangunan pertanian dan pedesaan, pendidikan, dan kesehatan, secara langsung dapat mengurangi tingkat kemiskinan nasional. Mehmood dan Sadiq (2010) melakukan studi mengenai hubungan antara belanja pemerintah dan kemiskinan, menggunakan analisis kointegrasi. Analasis menggunakan data tahunan Pakistan antara tahun 1976 dan 2010. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemiskinan berkurang akibat peningkatan penghematan belanja publik dan peningkatan pengiriman uang. Belanja pemerintah dapat menstimulasi perekonomian dalam jangka panjang melalui permintaan agregat. Dalam penelitian tersebut telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara kemiskinan dan pengeluaran pemerintah bersama dengan pengiriman uang dan modal manusia. Belanja pemerintah dan kemiskinan memiliki hubungan yang terbalik. Belanja pemerintah memiliki hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang tetapi sayangnya dalam kasus negara-negara berkembang seperi Pakistan, keseimbangan anggaran hanya dapat dicapai melalui pembatasan belanja pemerintah yang memiliki efek negatif terhadap produktifitas dan efisiensi dalam sistem ekonomi.
54
Kweka dan Morissey (2000), meneliti tentang pengaruh pengeluaran sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi di Tanzania periode 1965-1996 dengan menggunakan data runtun waktu (time series) selama 32 tahun. Metode analisis yang digunakan yaitu metode Error Correction Model (ECM) dan pendekatan kointegrasi Johansen serta Engel-Granger. Kweka dan Morissey menggunakan empat variabel bebas, yaitu investasi swasta yang menggunakan data pembentukan swasta, pengeluaran pemerintah yang produktif atau investasi fisik yang diproksikan dengan data pengeluaran pembangunan atau modal total pemerintah, pengeluaran konsumsi pemerintah yang merupakan jumlah pengeluaran pemerintah yang bersifat konsumsi dikurangi pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan, dan pengeluaran modal manusia yang merupakan pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Kesimpulan penelitian Kweka dan Morissey adalah disatu sisi peningkatan pengeluaran produktif (investasi fisik) mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang negatif ini diperkirakan karena adanya ketidakefisienan investasi publik yang terjadi di Tanzania pada periode penelitian. Namun di sisi lain, pengeluaran konsumsi pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pada waktu tertentu berpengaruh pula terhadap konsumsi swasta. Gupta et al. (2005) menemukan bahwa kondisi anggaran yang kuat secara umum berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Komposisi investasi publik juga berpengaruh dimana: negara dengan pengeluaran yang terkonsentrasi pada pembayaran gaji cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih rendah, sedangkan negara yang
55
mengalokasikan pada barang dan jasa non gaji/rutin dan barang modal menikmati ekspansi output yang lebih cepat. Gupta et al. (2005) mengukur hubungan antara komposisi pengeluaran, penyesuaian fiskal dan pertumbuhan diestimasi dengan regresi tingkat PDB riil per kapita terhadap beberapa variable regressor, termasuk variable fiskal dan variable control lainnya. Model yang ada diestimasi dengan panel data menggunakan least-squares dummy variable (LSDV). Gupta et al. (2005) menyadari bahwa masalah umum dalam literatur mengenai kebijakan fiskal adalah keberadaan endogeneity atau reverse causality. Hal ini dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi itu sendiri mempengaruhi variable fiskal (variable dependen mempengaruhi variable independen). Contoh ketika pertumbuhan ekonomi melambat, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB meningkat jika tingkat pengeluaran nominal tetap. Untuk mengatasi ini, model dapat diestimasi dengan munggunakan estimator GMM. Estimasi GMM mengontrol endogeneity dengan menggunakan nilai lagged value dari tingkat endogen dan variable instrumental. Paternostro, Rajaram, dan Tiongson (2007) memahami bahwa pengeluaran publik memiliki dampak terhadap pertumbuhan dan distribusi yang kompleks dan sulit dihitung. Namun komposisi pengeluaran publik telah menjadi instrumen utama yang dicari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menyadari efek dari pengeluaran publik terhadap pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan (pro-poor, pro-job, pro-growth). Rekomendasi kebijakan perlu disesuaikan dan didasarkan pada analisis empiris yang memperhitungkan lag dan lead dari efek terhadap ekuitas dan pertumbuhan maupun kemiskinan.
56
Hoffer (2010) melihat peran pengeluaran pemerintah terhadap kesempatan kerja dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Hoffer dalam kondisi perlambatan ekonomi, investasi publik (public investment) memiliki intensitas penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding pemotongan pajak. Syaratnya, peningkatan investasi publik harus disertai dengan perbaikan kelembagaan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tidak menurun. Penyediaan infrastruktur dan layanan publik yang berkualitas merupakan kunci untuk
mengurangi
ketidaksetaraan,
meningkatkan
tenaga
kerja,
serta
memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan (Hoffer, 2010). Kondisi ini akan lebih baik lagi jika didukung dengan pendidikan yang berkualitas, pelayanan kesehatan yang memadai, perumahan yang terjangkau, serta pelayanan publik yang dapat diakses secara bebas. Adanya sarana dan prasarana publik tersebut akan mengurangi kebutuhan tabungan individu dan meningkatkan
proporsi
pendapatan
masyarakat.
Dampaknya
tentu
saja
pertumbuhan ekonomi akan meningkat mengingat proprsi pendapatan masyarakat akan lebih banyak yang dibelanjakan daripada ditabung. Pemikiran Jackson (2010) senada dengan Hoffer (2010) namun dengan sedikit tambahan, yaitu mengizinkan bagi pemerintah untuk membuat atau menambah defisit anggarannya sepanjang penambahan tersebut dibelanjakan bagi infrastruktur publik. Menurut Jackson, infrastruktur publik yang baik dan pelayanan publik yang efektif adalah kunci untuk mendorong produktivitas sektor swasta, khususnya yang bergerak di bidang industri strategis. Belanja publik untuk infrastrukturt yang meningkat akan mendorong produktivitas ekonomi yang pada akhirnya mampu menciptakan lapangan kerja.
57
2.7.2
Penelitian Studi Kasus di Indonesia Sihotang (2003), meneliti dampak kebijakan fiskal terhadap pendapatan
nasional di Indonesia periode 1969-2000. Peneliti menggunakan model persamaan simultan dengan metode pendugaan parameter yang digunakan yaitu metode Two Stage Least Square (TSLS). Persamaan simultan terdiri dari 14 persamaan termasuk persamaan identitas, yaitu pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi, ekspor, impor, pendapatan nasional,pendapatan disposibel, permintaan uang, penawaran uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, tingkat pengangguran, laju inflasi, tingkat suku bunga, dan tingkat upah. Selain mengestimasi persamaan-persamaan tersebut, Sihotang juga melakukan analisis simulasi kebijakan fiskal yaitu dengan mengkombinasikan berbagai variabel fiskal dengan menggunakan data tahun 1969-2000 dimana persentase perubahan variabel fiskal tersebut disesuaikan dengan rata-rata persentase perubahannya dari tahun 1969-2000. Kesimpulannya bahwa secara umum variabel-variabel kebijakan fiskal kurang berpengaruh terhadap pendapatan nasional, konsumsi, investasi, ekspor, impor, permintaan uang, penawaran uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, upah, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan pendapatan disposibel. Kebijakan fiskal hanya memiliki dampak kecil terhadap pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sutriono (2006), meneliti tentang hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode 1970-2003. Metode yang digunakan adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Variabel yang digunakan yaitu PDB, total pengeluaran pemerintah riil,
58
realisasi pengeluaran rutin riil dan realisasi pengeluaran pembangunan riil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara perubahan (peningkatan atau penurunan) total pengeluaran pemerintah dengan perubahan (peningkatan atau penurunan) PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi perubahan PDB karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara perubahan pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausal positif dan signifikan terhadap perubahan PDB. Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur, dan transportasi serta pendidikan terhadap PDB dan pengaruh positif perubahan PDB terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat
keharusan
(necessary
condition)
bagi
pengurangan
kemiskinan.
Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan tersebut efektif mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Hal ini berarti pertumbuhan dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang mungkin hanya terjadi pada sektor moderen yang hanya padat modal. Balisacan et al. (2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia
memiliki
catatan yang mengesankan mengenai
pertumbuhan
59
ekonomi dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan kuat untuk tingkat agregat. Panel data yang dibangun dari 285 Kota/Kabupaten menyatakan perbedaan yang besar pada perubahan dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi subnasional, dan parameter-parameter spesifik lokal. Hasil
dari
analisis ekonometrika
menunjukkan bahwa selain pertumbuhan ekonomi, ada faktor lain yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat miskin, diantaranya adalah infrastruktur, sumberdaya manusia, insentif harga pertanian, dan akses terhadap teknologi. Studi tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia juga dilakukan oleh Suryahadi et al. (2006). Studi ini menekankan pada dampak lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan diperdalam dengan membedakan pertumbuhan dan kemiskinan ke dalam komposisi sektoral dan lokasi. Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sektor kecuali pertanian perkotaan. Selain itu pertumbuhan pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan, yang merupakan kontributor terbesar kemiskinan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk mempercepat
pengurangan
kemiskinan
adalah
dengan
menekankan pada pertanian di perdesaan dan jasa di perkotaan. Suryadarma
dan
Suryahadi
(2007) melakukan
studi
mengenai
60
pengaruh pertumbuhan pada sektor swasta terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia untuk melihat dampak pertumbuhan di sektor publik dan swasta terhadap kemiskinan. Pertumbuhan belanja modal swasta digunakan sebagai proksi
dari
sektor
swasta
dan
pertumbuhan
pengeluaran
konsumsi
pemerintah sebagai indikator sektor publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan di kedua
sektor
tersebut
secara
signifikan
mengurangi
kemiskinan, selain itu juga menghasilkan elastisitas yang relatif sama. Oleh karena itu, pertumbuhan pengeluaran baik di sektor publik maupun swasta akan mengurangi kemiskinan dua kali lebih cepat daripada hanya berharap dari pengeluaran publik saja. Implikasinya, sangat penting bagi pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha dalam negeri sehingga sektor swasta dapat berkembang dan pada akhirnya mempercepat pengurangan kemiskinan.
2.8.
Kerangka Pemikiran Penelitian Deduksi dari uraian pada tinjauan teori dan studi sejenis sebelumnya
menunjukkan terdapat keterkaitan dan pengaruh yang erat antara perubahan komposisi belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam hal ini, mekanisme transmisi dampak perubahan komposisi belanja Pemerintah adalah melalui perubahan keseimbangan Produk Domestik Bruto atau Pendapatan Nasional. Secara umum peruntukan belanja Pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu belanja pemerintah pusat dan belanja transfer untuk pemerintah daerah. Belanja pemerintah pusat terdiri dari (1) Belanja Pegawai, (2) Belanja
61
Subsidi, (3) Belanja Pembayaran Bunga Utang, (4) Belanja Modal, (5) Belanja Barang, dan (6) Belanja Lainnya. Sementara itu belanja transfer ke daerah terdiri 3 jenis, yaitu belanja dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Selama tahun 1970-2010 kebijakan komposisi belanja pemerintah didominasi oleh belanja rutin dan rendahnya porsi belanja modal. Akibatnya alokasi belanja untuk infrastruktur sangat terbatas dan selanjutnya peran stimulus fiskal pemerintah terutama dalam mendorong Investasi Swasta dan Ekspor menjadi tidak optimal. Hasilnya Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah disertai pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Bertolak dari dasar pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini ditarik hipotesis bahwa jika terdapat perubahan komposisi belanja pemerintah dalam bentuk peningkatan porsi belanja modal, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat, diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hipotesis ini berdasarkan asumsi bahwa kenaikan belanja modal akan efektif untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan adanya infrastruktur yang memadai akan mendorong peningkatan investasi swasta dan selanjutnya mendorong peningkatan produksi dan pendapatan nasional yang pada gilirannya juga akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan kinerja ekspor. Peningkatan kinerja makroekonomi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Kerangka pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian tersebut dapat dilihat dalam bagan alur pemikiran yang disajikan pada Gambar 12.
62
Alokasi Belanja Pemerintah
Belanja Lainnya
Belanja Barang
Belamja Modal
PUSAT
Pembyrn Bunga Utang
Subsidi
Belanja Pegawaii
DAERAH (DAU, DAK, DBH)
Komposisi Belanja Pusat selama 1970-2010 didominasi Belanja Rutin
Stimulus Fiskal Tidak Optimal
Pertumbuhan Rendah
Pengangguran tinggi
Kemiskinan tinggi
Ekspor Impor
Konsumsi Investasi
Perumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Kemiskinan
Gambar 12. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian
Keseimbangan Eksternal
Keseimbangan Internal
Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah
63
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Model Persamaan Simultan Penelitian ini menganalisis perilaku kebijakan fiskal, khususnya komposisi
belanja Pemerintah. Permasalahan yang dihadapi adalah format kebijakan fiskal di Indonesia terus mengalami berbagai perubahan. Diantaranya adalah perubahan tahun penganggaran, yaitu terjadi perubahan siklus anggaran yang semula menggunakan tahun fiskal (bulan Maret-April), mulai tahun 2000 berubah menjadi menggunakan tahun kelender (bulan Januari sampai Desember). Perubahan kebijakan ini tentunya mempengaruhi ketersediaan data runtun waktu (time-series). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 19702010. Dengan demikian data belanja pemerintah sebelum tahun 2000 menggunakan data tahun fiskal. Sejalan dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak dari komposisi belanja pemerintah, maka pilihan alat analasisnya yang digunakan adalah metode ekonometrika persamaan simultan. Persamaan simultan dipilih karena variabel kebijakan fiskal dan variabel makro ekonomi memiliki hubungan saling mempengaruhi. Dimana variabel bebas di dalam satu atau lebih persamaan juga menjadi variabel bebas di persamaan lain. Artinya satu variabel bisa memiliki dua peran yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Model persamaan simultan digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antar variabel terkait, yaitu antara variabel fiskal dengan variabel non fiskal maupun dengan variabel makro ekonomi. Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam Gambar 13.
Blok Fiskal
TREV
RDOM
RTA X
PN S HB H
PNP B
RMG S
RNM GS
POI L IMP M LIB OR DE BT
Blok Pendapatan Nasional
BPGW
CONS
BBRG
CONG
INFL
SBBM
INVT
SBI NV
BTU S
SNBM BUTG
EXPO BTO T
BMDL BDBH
DEFI S
INVG
IMPO IHM
SBI3 EXR R IHE GIW L
BTD R
BDAK
PDBI GPOP I
BDAU
YD Blok Kinerja PUNEM NPOV
: Variabel eksogen
64
: Variabel endogen
Gambar 13. Diagram Keterkaitan antar Variabel dalam Model Komposisi Belanja Pemerintah
WAG E
65
3.2.
Spesifikasi Model Pada penelitian ini, perumusan model ekonometrika yang dibangun
didasarkan pada kerangka teori ekonomi dan fakta empiris yang menunjukkan keterkaitan antara kebijakan fiskal yang dimanifistasikan dalam komposisi belanja pemerintah dengan kinerja perekonomian, terutama pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan tingkat kemiskinan. Dengan menganalisis struktur APBN dari sisi
penerimaan dan pengeluaran, maka dampak dari kebijakan
komposisi belanja pemerintah dapat dilihat secara simultan dari peubah-peubah yang mempengaruhinya. Model persamaan yang dibangun pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut : A.
Blok Pendapatan Nasional
1.
Pendapatan Nasional PDBIt
dimana : PDBIt CONSt CGOVt INVGt INVTt EXPOt IMPOt
= CONSt + CGOVt + INVGt + INVTt + (EXPOIMPO)t = = = = = = =
(3.1)
Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) Konsumsi Rumah Tangga (Rp Miliar) Konsumsi Pemerintah (Rp Miliar) Investasi Pemerintah (Rp Miliar) Investasi Swasta (Rp Miliar) Ekspor (Rp Miliar) Impor (Rp Miliar)
2.
Konsumsi Rumah Tangga CONSt = a0 + a1YDt + a2YLCONSt-1 + et ………... (3.2) Hipotesis = a1 > 0 ; 0
3.
Pendapatan Disposabel YDt = Yt - RTAXt + (SNBMt + SBBMt)
dimana : YDt
= Pendapatan disposabel (Rp Miliar)
……..….
(3.3)
66
PDBIt RTAXt SNBMt SBBMt
= = = =
Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) Subsidi BBM (Rp Miliar) Subsidi Non BBM (Rp Miliar)
4.
Konsumsi Pemerintah CGOVt = b0 + b1RDOMt + b2DKt + b3LCGOVt-1 + et …. (3.4) Hipotesis = b1, b2, b3 > 0 ; 0 < b3 <1 dimana : CGOVt = Konsumsi Pemerintah (Rp Miliar) RDOMt = Penerimaan Domestik (Rp Miliar) DKt = Dummy Krisis LCGOVt-1 = Konsumsi Pemerintah tahun sebelumnya (Rp Miliar) 5.
Investasi Swasta INVTt = c0 + c1PDBI + c2SBINVt + c3LINVTt-1 + et ... Hipotesis = c1,c3 > 0 ; c2 < 0 ; 0 < c3 <1 dimana : INVTt = Investasi (Rp Miliar) PDBIt = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) SBINVtt = Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (%) LINVTt-1 = Investasi pada tahun sebelumnya (Rp Miliar) Investasi Pemerintah INVGt = d0 + d1SBI3t + d2BMDLt + d3DKt + d4LINVGt-1 + et Hipotesis = d2,d4 > 0 ; d1,d3 < 0 ; 0 < d3 <1 dimana : INVGt = Investasi Pemerintah (Rp Miliar) SBI3t = Tingkat Suku Bunga SBI 3 bulan (%) BMDLt = Belanja Modal (Rp Miliar) DKt = Dummy Krisis LINVGt-1 = Total Investasi pada tahun sebelumnya (Rp Miliar)
(3.5)
6.
7.
Ekspor EXPOt
Hipotesis dimana : EXPOt EXRRt IHEt INVTt GIWLt 8.
Impor IMPOt Hipotesis
= e0 + e1EXRRt + e2IHEt + e3INVTt + e4GIWLt + et = e2, e3, e4 > 0 ; e1 < 0 ; 0 < e3 <1 = = = = =
(3.6)
(3.7)
Ekspor (Rp juta) Nilai Tukar Riil (Rp/US$) Indeks Harga Ekspor Total Investasi (Rp Miliar) Pertumbuhan Ekonomi Dunia (% )
= f0 + f1IHMt + f2PDBIt + f3LIMPOt-1 + et = f1, f3 > 0 ; f1< 0 ; 0 < f3 <1
(3.8)
67
dimana : IMPOt IHMt PDBIt LIMPOt-1
B.
= = = =
Impor (Rp Miliar) Indeks Harga Impor Pendapatan Domestik Bruto (Rp Miliar ) Impor pada tahun sebelumnya (Rp Miliar)
Blok Fiskal
Penerimaan Negara 9.
Total Penerimaan Negara TREVt = RDOMt + HBHt
dimana : TREVt RDOMt HBHt 10.
11.
= Total penerimaan negara (Rp Miliar) = Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) = Penerimaan dari hibah (Rp Miliar)
Penerimaan Dalam Negeri RDOMt = RTAXt + PNBPt
dimana : RDOMt RTAXt PNBPt
(3.10)
= Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) = Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) = Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar)
Penerimaan Negara dari Pajak RTAXt = g0+ g1 GPDBIt + g2 BTOTt + g3 LRTAXt-1 + et Hipotesis = g1, g2, g3 > 0 ; 0 < g3 <1
dimana : RTAXt GPDBIt BTOTt RTAXt-1
(3.9)
= = = =
(3.11)
Penerimaan negara dari Pajak (Rp Miliar) Pertumbuhan Ekonomi (%) Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) Penerimaan dari Pajak tahun sebelumnya(Rp Miliar)
Belanja Pemerintah 12.
Belanja Pemerintah BTOTt = BTUSt + BTDRt dimana : BTOTt = Total belanja pemerintah (Rp Miliar) BTUSt = Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) BTDRt = Belanja transfer daerah (Rp Miliar)
(3.12)
68
13.
Belanja Pemerintah Pusat BTUSt = BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt
dimana : BTUSt BPGWt BBRGt BMDLt BUTGt SNBMt SBBMt BLAINt
= = = = = = = =
(3.13)
Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) Belanja Pegawai (Rp Miliar) Belanja Barang (Rp Miliar) Belanja Modal (Rp Miliar) Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) Subsidi Non BBM (Rp Miliar) Subsidi BBM (Rp Miliar) Belanja lain-lain (Rp Miliar)
14.
Belanja Pegawai BPGWt = h0 + h1PNSt + h2INFLt + h3RTAXt + h4DOt + h5LBPGWt-1 + et Hipotesis = h1, h2, h3, h4 > 0 ; 0 < h3 <1 dimana : BPGWt = Belanja Pegawai (Rp Miliar) PNSt = Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) INFLt = Tingkat Inflasi (%) RTAXt = Penerimaan Pajak (Rp Miliar) DOt = Dummy otonomi daerah LBPGWt-1 = Belanja Pegawai tahun sebelumnya (Rp Miliar)
Belanja Barang BBRGt = i0 + i1INVGt + i2TREVt + i3LBBRGt-1 + et Hipotesis = i1, i2, i3 > 0 ; 0 < i3 <1 dimana : BBRGt = Belanja Barang (Rp Miliar) INVGt = Investasi Pemerintah (Rp Miliar) TREVt = Total penerimaan negara (Rp Miliar) LBBRG t-1 = Belanja Barang tahun sebelumnya (Rp Miliar)
(3.14)
15.
Belanja Modal BMDLt = Hipotesis = dimana : BMDLt = RDOMt = DSPAt = LBMDLt-1 =
(3.15)
16.
17.
j0 + j1RDOMt + j2DSPAt + j3LBMDLt-1 + et j1, j2, j3> 0 ; 0 < j3 <1
(3.16)
Belanja Modal (Rp Miliar) Total Penerimaan Dalam Negeri (RP Miliar) Dummy Perubahan Struktur APBN Belanja Modal Tahun Sebelumnya (Rp juta)
Pembayaran Bunga Utang BUTGt = k0 + k1DFISt +k2 LIBOR3t +k3DEBTt + k4LBUTGt-1 + et Hipotesis = k1, k2, k3, k4 > 0 ; 0 < k3 <1
(3.17)
69
dimana : BUTGt DFISt LIBOR3t DEBTt LBUTGt-1
= = = = =
Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) Defisit Anggaran (Rp Miliar) Suku bunga Dunia Riil (%) Stok Utang Baru Pemerintah (RP Miliar) Pembayaran Bunga Utang Tahun Sebelumnya (Rp Miliar)
18.
Belanja Subsidi Non BBM SNBMt = l0 + l1PUNEMt + l2NPOVt-1 + l3LSNBMt-1 + et (3.18) Hipotesis = l1, l2, l3 > 0 ; 0 < l3 <1 dimana : SNBMt = Belanja Subsidi Non BBM (Rp Miliar) PUNEM t = Tingkat Pengangguran (juta orang) NPOVt-1 = Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) LSNBMt-1 = Belanja Subsidi Non BBM tahun sebelumnya (Rp Miliar)
19.
Belanja Subsidi BBM SBBMt = m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + m3LSBBMt-1 + et (3.19) Hipotesis = m1, m2, m3 > 0 ; 0 < m3 <1 dimana : SBBMt = Belanja Subsidi BBM (Rp Miliar) POILt = Harga Minyak Mentah Dunia (Rp) IMPMt = Impor Migas (US$) LSBBMt-1 = Belanja Subsidi BBM tahun sebelumnya (Rp Miliar)
20.
Belanja Transfer Daerah BTDRt = BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt
dimana : BTDRt BDAUt BDAKt BDBHt BDOPt 21.
= = = = =
Belanja transfer daerah (Rp Miliar) Belanja Dana Alokasi Umum (Rp Miliar) Belanja Dana Alokasi Khusus (Rp Miliar) Belanja Dana Bagi Hasil (Rp Miliar) Belanja Dana Otsus dan Penyesuaian (Rp Miliar)
Dana Alokasi Khusus BDAKt = n0 + l1RDOMt + l2PNPOVt + l3LBDAKt-1 + et Hipotesis = l1, l2, l3 > 0 ; 0 < l3 <1
dimana : BDAKt RDOMt PNPOVt LBDAKt-1
= = = =
(3.20)
Belanja Dana alokasi khusus (Rp Miliar) Penerimaan Dalam Negeri (Rp Miliar) Tingkat Kemiskinan (%) Dana alokasi khusus tahun sebelumnya (Rp Miliar)
(3.21)
70
22.
Dana Alokasi Umum BDAUt = o0 + o1RDOMt + o2PDBIt + o3GPOPIt + (3.22) o4LDAUt-1 + et Hipotesis = o1, o2, o3, o4 > 0 ; 0 < o3 <1 dimana : BDAUt = Belanja Dana Alokasi Umum (Rp Miliar) RDOMt = Penerimaan Dalam Negeri (Rp Miliar) PDBIt = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar GPOPIt = Pertumbuhan Penduduk Indonesia (%) LBDAUt-1 = Belanja Dana Alokasi Umum Tahun Sebelumnya (Rp Miliar)
23.
Belanja Dana Bagi Hasil BDBHt = p0 + p1RMGSt + p2RNMGSt + p3GPDBIt+ (3.23) p4LBDBHt-1 +et Hipotesis = p1, p2, p3, p4 > 0 ; 0 < p3 <1
dimana : BDBHt RMGSt RNMGSt GPDBIt LBDBHt-1
C.
= = = = =
Belanja Dana Bagi Hasil (Rp Miliar) Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar) Pertumbuhan Ekonomi (%) Belanja Dana Bagi Hasil Tahun Sebelumnya (Rp Miliar)
Blok Kinerja Perekonomian
24.
Pertumbuhan Ekonomi (Identitas) GPDBIt = (PDBIt – LPDBIt-1)/LPDBIt-1 * 100 (3.24) dimana : GPDBIt = Pertumbuhan ekonomi (%) PDBIt = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar) PDBIt-1 = Produk Domestik Bruto tahun sebelumnya (Rp Miliar) 25.
Tingkat Pengagguran PUNEMt = q0 + q1WAGEt + q2 TOTIt + q3 LPUNEMt-1 + et (3.25) Hipotesis = q1, q3 > 0 ; q2< 0 ; 0 < q3 <1 dimana : PUNEMt = Tingkat Pengangguran (%) WAGEt = Tingkat Upah Riil (Rp Miliar) TOTI t = Total Investasi (Rp Miliar) LPUNEMt-1 = Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya (orang) 26.
Tingkat Kemiskinan NPOVt = r0 + r1 GPDBIt + r2 TSUBt + r3 PUNEMt + r4 (3.26) INFLt + r5 LNPOVt-1 + et Hipotesis = r3, r4, r5 > 0 ; r1, r2 < 0 ; 0 < r3 <1
71
dimana : NPOVt GPDBIt TSUBt PUNEMt INFLt LNPOVt-1 3.3.
= = = = = =
Jumlah Penduduk Miskin (juta orang) Pertumbuhan ekonomi (%) Total Subsidi (Rp Miliar) Tingkat Pengangguran (%) Tingkat Inflasi (%) Jumlah penduduk Miskin tahun sebelumnya (%)
Identifikasi dan Pendugaan Model Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan
simultan. Pada model persamaan simultan, identifikasi model ditentukan atas dasar ”order condition” sebagai syarat keharusan dan ”rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K–M)>(G–1) dimana: K = total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined M = jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K-M) > (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (over identified) (K-M) = (G-1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) (K-M)<(G-1)
= maka persamaan dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified)
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan ini
72
tidak teridentifikasi. Karena itu dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut, atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977).
Tabel 4. Identifikasi Model Persamaan Simultan Komposisi Belanja Pemerintah
Persamaan
K
M
G
Keterangan
1. Konsumsi Rumahtangga
26
4
18
Overidentified
2. Konsumsi Pemerintah
26
5
18
Overidentified
3. Total Investasi
26
4
18
Overidentified
4. Investasi Pemerintah
26
4
18
Overidentified
5. Ekspor
26
7
18
Overidentified
6. Impor
26
4
18
Overidentified
7. Penerimaan Total
26
3
18
Overidentified
8. Belanja Pegawai
26
6
18
Overidentified
9. Belanja Barang
26
4
18
Overidentified
10. Belanja Modal
26
4
18
Overidentified
11. Pembayaran Bunga Utang
26
5
18
Overidentified
12. Subsidi Non BBM
26
4
18
Overidentified
13. Subsidi BBM
26
4
18
Overidentified
14. Belanja DAK
26
4
18
Overidentified
15. Belanja DAU
26
5
18
Overidentified
16. Belanja DBH
26
5
18
Overidentified
17. Tingkat Pengangguran
26
4
18
Overidentified
18. Tingkat Kemiskinan
26
4
18
Overidentified
73
3.4.
Evaluasi Model Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk melakukan evalusi model
ekonometrika, yaitu pengujian berdasarkan kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonomi (Intriligator, Bodkin dan Hsiao, 1996). Evaluasi model berdasarkan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian sebelum dilakukan estimasi model, perlu disusun hipotesis agar dapat dibandingkan dengan hasil estimasi, sehingga dapat diketahui apakah hasil estimasi tersebut telah sesuai secara ekonomi. Lebih lanjut Koutsoyiannis (1977) menyatakan untuk evaluasi model berdasarkan kriteria statistika dapat dilakukan dengan cara melihat besarnya nilai koefisien determinasi (R 2), uji t dan uji F. Pada kriteria ekonometrika dilakukan dengan uji pelanggaran OLS antara lain uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas.
3.5.
Kesesuaian Model Kesesuaian model (Goodness of Fit) dihitung dengan nilai koefisien
determinasi R2. Koefisien determinasi R2 bertujuan untuk mengukur keragaman peubah tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh peubah tidak bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model karena semakin besar keragaman peubah tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh peubah bebas. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut (Koutsoyiannis, 1977) :
R2
JKR JKT
1
JKG JKT
dimana : JKR JKT JKG
= Jumlah Kuadrat Regresi = Jumlah Kuadrat Total = Jumlah Kuadrat Galat
74
3.6.
Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah Root Means Square Error (RMSE), Root Means Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
RMSE =
RMSPE =
U
1 n
1 n
n
Yt s
2
t 1
Yt s
n
=
2
Yt a Yt a
t 1
1 n 1 n
Yt a
n
Yt s
Yt a
2
t 1
n
Yt s
2
t 1
1 n
n
Yt a
2
t 1
dimana:
Yt s
= nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Yt a
= nilai aktual variabel observasi
n
= jumlah periode observasi
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara
75
1 dan 0. Jika U=0 maka pendugaan model sempurna, jika U=1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R 2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik. 3.7.
Simulasi Model Pada dasarnya tujuan dilakukan simulasi model adalah (1) menguji dan
mengevaluasi model, (2) mengevaluasi kebijakan-kebijakan pada masa lampau, dan (3) membuat peramalan untuk masa yang akan datang (Pindyck dan Rubinfield, 1998). Melalui analisis simulasi dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model dapat diketahui. Namun demikian, pada penelitian ini, simulasi yang dilakukan hanya untuk mengevaluasi kebijakan di masa lalu, tidak digunakan untuk peramalan dimasa yang akan datang. Simulasi ditujukan untuk mengetahui dampak jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah (APBN) terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan. Dalam penelitian ini, simulasi kebijakan dipilih dalam periode 2006-2010. Pemilihan jangka waktu untuk melakukan simulasi dikarenakan selama periode tersebut sudah tidak ada lagi perubahan dalam struktur APBN Indonesia. Demikian juga semua data variabel diluar anggaran yang digunakan adalah data aktual dengan metode perhitungan yang sama sehingga diharapkan data selama periode tersebut terjamin tingkat validitasnya. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu dengan cara menaikkan belanja modal. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian bahwa jika belanja modal mengalami
76
peningkatan maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penurunan tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Alasan peningkatan belanja modal dalam simulasi ini dikarenakan berdasarkan tinjauan teori maupun hasil penelitian sebelumnya, belanja modal mempunyai pengaruh sangat besar dalam memberikan dorongan atau stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi. Simulasi kebijakan dilakukan dengan meningkatkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Kenaikkan Rp 20 triliun didasarkan pada rata-rata defisit APBN selama tahun 2006-2010 rata-rata sekitar Rp 24 triliun. Sesuai dengan teori, kebijakan defisit anggaran, idealnya adalah agar terjadi peningkatan peran stimulus fiskal dalam perekonomian. Untuk itu, dalam skenario kebijakan ini diasumsikan jika besarnya defisit anggaran digunakan untuk membiayai infrastruktur melalui belanja modal. Dengan adanya kenaikan belanja modal, tentu saja akan menggeser belanja pemerintah yang lain. Beberapa simulasi perubahan komposisi anggaran yang akan dibuat adalah sebagai berikut : 1.
Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang.
2.
Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 10% dari 0.29 menjadi 0.39.
77
3.
Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.
3.8.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini keseluruhan data yang digunakan adalah data
sekunder yang berasal dari berbagai publikasi resmi dari lembaga pemerintah Indonesia maupun publikasi resmi lembaga internasional. Data untuk menyusun persamaan simultan adalah data runtun waktu (time series) selama 40 tahun, yaitu dari tahun 1970 sampai 2010. Untuk menghindari nilai nominal dengan nilai riil karena terdapat perbedaan waktu yang cukup panjang, maka semua data menggunakan tahun dasar tahun 2000. Demikian juga dengan beberapa indikator moneter, data yang digunakan telah menggunakan nilai riil, yaitu data yang telah memperhitungkan tingkat inflasi. Adapun data Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah data realisasi APBN yang bersumber dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit dan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia. Namun demikian terdapat beberapa kendala dalam penggunaan data APBN, karena terjadi perubahan penggunaan tahun anggaran. Data APBN tahun 1970 sampai dengan tahun 2000 menggunakan tahun anggaran April-Maret. Sementara sejak tahun 2001 menggunakan tahun kalender yang dimulai dari Januari Desember. Dalam penelitian ini, perbedaan tahun anggaran tersebut diasumsikan sama.
Secara
detail jenis data dan sumber data yang digunakan dalam model simultan diuraikan dalam Tabel 5.
78
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Dalam Persamaan Simultan No
Variabel
Keterangan
Satuan
Sumber Data
1
PDBIt
Produk Domestik Bruto
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
2
CONSt
Total konsumsi
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
3
CGOVt
Konsumsi pemerintah
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
4
INVTt
Total investasi
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
5
INVGt
Total Investasi Pemerintah
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
6
EXPOt
Ekspor
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
7
IMPOt
Impor
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
8
YDt
Pendapatan disposabel
Rp Miliar
Biro Pusat Statistik
9
SBINVtt
Tingkat Suku Bunga Investasi Riil
%
Bank Indonesia
10
SBI3t
Tingkat suku bunga SBI 3 bulan
%
Bank Indonesia
11
EXRRt
Nilai Tukar Riil
Rp/$US
Bank Indonesia
12
IHEt
Indeks Harga Ekspor
13
GIWLt
Pertumbuhan Ekonomi Dunia
14
IHMt
Indeks Harga Impor
15
TREVt
Total penerimaan negara
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
16
RDOMt
Penerimaan dalam negeri
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
17
HBHt
Penerimaan dari hibah
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
18
RTAXt
Penerimaan negara dari pajak
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
19
PNBPt
Penerimaan negara bukan pajak
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
20
BTOTt
Total Belanja Pemerintah
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
21
BTUSt
Belanja pemerintah pusat
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
22
BTDRt
Belanja transfer daerah
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
23
BPGWt
Belanja Pegawai
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
24
BBRGt
Belanja Barang
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
25
BMDLt
Belanja Modal
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
26
BUTGt
Pembayaran Bunga Utang
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
27
SNBMt
Subsidi Non BBM
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
28
SBBMt
Subsidi BBM
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
29
PLAINt
Belanja lain-lain
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
30
PNSt
Jumlah Pegawai Negeri Sipil
Ribu orang
Biro Pusat Statistik
31
INFLt
Tingkat Inflasi
%
Biro Pusat Statistik
32
GPDBIt
Pertumbuhan Ekonomi
%
Biro Pusat Statistik
34
DFISt
Defisit Anggaran
Rp Miliar
LKPP, Kemenkeu
35
SBWRt
Suku bunga Dunia Riil (Sibor 3
Biro Pusat Statistik %
World Bank Biro Pusat Statistik
%
World Bank
bulan) 36
PUNEM t
Tingkat Pengangguran
37
POILt
Harga Minyak Mentah Dunia
38
IMPMt
Impor Migas
juta orang
Biro Pusat Statistik
Rp
Kementerian ESDM
US$
Biro Pusat Statistik
IV. KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH BEBERAPA NEGARA DAN KINERJA PEREKONOMIANNYA
Fungsi utama anggaran pemerintah dalam perekonomian suatu negara adalah fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi stabilisasi anggaran bisa dilakukan oleh negara dalam kondisi krisis ekonomi dan bisa juga dilakukan tidak dalam krisis ekonomi seperti untuk fine tuning perekonomian. Fine tuning perekonomian dilakukan oleh pemerintah untuk menggerakkan perekonomian sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian suatu negara ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan seluruh warga negara. Penyusunan anggaran harus diarahkan untuk menciptakan kesejahtaraan seluruh warga negara. Komposisi anggaran belanja pemerintah harus benar-benar produktif menciptakan stimulus perekonomian. Fungsi stimulus belanja pemerintah akan tercermin dalam kontribusinya terhadap kinerja perekonomian. Idealnya, semakin besar anggaran belanja pemerintah maka daya stimulus terhadap perekonomian akan semakin besar. Kontribusi belanja pemerintah tidak hanya dilihat dari besar kecilnya atau naik turunnya alokasi anggaran tiap tahun. Efektifitas belanja pemerintah dilihat dari dampaknya terhadap kinerja seluruh variabel makro ekonomi. Untuk melihat efektifitas belanja pemerintah diperlukan ukuran yang obyektif, diantaranya dengan melakukan perbandingan dengan belanja pemerintah
negara lain.
Perbandingan tidak dilihat dari besaran volume belanja namun dilihat dari proporsi dan komposisinya serta dihubungkan dengan kinerja perekonomiannya. Perbandingan komposisi belanja antar negara sekaligus dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi apakah komposisi belanja pemerintah
80
Indonesia sudah proporsional dan cukup efektif menstimulus perekonomian. Dalam melakukan perbandingan, maka dipilih negara-negara yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Selain persamaan karakteristik, juga diambil negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi untuk dijadikan acuan. Berikut beberapa komposisi belanja pemerintah negara-negara ASEAN + China serta kinerja perekonomian masing-masing negara. 4.1.
Komposisi Anggaran Pemerintah Thailand Thailand dikenal sebagai salah satu negara ASEAN yang sekarang sedang
meningkat perekonomiannya, bahkan banyak yang memprediksikan Thailand berpotensi menjadi macan ASEAN. Thailand telah berhasil keluar dari krisis ekonomi tahun 1998, padahal Thailand adalah negara pertama yang terkena dampak krisis ekonomi terparah. Tetapi memasuki tahun 2000 Thailand berhasil menjadi leader dalam hal negara penghasil komoditi pertanian terbesar di ASEAN. Beberapa komoditi hasil pertanian tropika lebih terkenal dengan nama Thailand seperti Durian Montong, Jambu Bangkok, dan Beras Thailand. Thailand sebagai negara berkembang tentunya memiliki karakteristik perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Salah satu sektor yang berhasil dikembangkan oleh Thailand adalah sektor pertanian. Terbukti hampir setiap tahun Indonesia mengimpor berbagai komoditas pangan dari Thailand, terutama beras. Thailand yang dulu tertinggal oleh Indonesia saat ini melesat dengan program unggulannya yaitu sektor pertanian. Padahal potensi sektor pertanian Indonesia tidak kalah dari Thailand, bahkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang lebih kaya dan melimpah. Permasalahannya adalah Thailand mampu mengolah dan mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki secara optimal dan produktif.
81
Tabel 6. Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Thailand Menurut Klasifikasi Ekonomi (juta baht) GFS Classification
FY 2010
FY 2011
Changes Over the FY 2010 Amount (%)
Amount
(%)
Amount
(%)
Budget appropriation
1 700 000
100
2 070 000
100
370 000
21.8
Expenses
1 519 866
89.4
1 776 710
85.8
256 844
16.9
Compensation of employees
598 793
35.2
636 329
30.7
37 536
6.3
Wages and Salaries
571 969
33.6
605 417
29.2
33 448
5.8
Social Contributions
26 824
1.6
30 913
1.5
4 088
15.2
Use of goods and services
286 898
16.9
346 440
16.7
59 542
20.8
Interest payments
158 451
9.3
178 862
8.6
20 410
12.9
Domestic Interest
153 273
9
175 254
8.4
21 981
14.3
Foreign interest
5 178
0.3
3 608
0.2
-1 571
-30.3
Subsidies
23 567
1.4
74 172
3.6
50 604
214.7
To Public Corporations
23 151
1.4
73 375
3.6
50 224
216.9
To non- Financial public corporations To Financial public corporations To Private Enterprises
17 525
1
15 854
0.8
-1 671
-9.5
5 626
0.4
57 521
2.8
51 895
922.4
381
91.4
416
-
797
-
275 657
16.2
328 197
15.9
52 540
19.1
1 387
0.1
1 478
0.1
91
6.6
To other government unit
274 270
16.1
326 719
15.8
52 499
19.1
Current
258 300
15.2
301 687
14.6
43 388
16.8
Capital
15 970
0.9
25 031
1.2
9 062
56.7
Social benefits
147 601
8.7
169 320
8.2
21 719
14.7
Other expenses
28 898
1.7
43 391
2.1
14 493
50.2
Current
12 731
0.7
13 185
0.6
454
3.6
Capital
16 167
1
30 206
1.5
14 039
86.8
141
8.3
251 711
12.2
111 106
79
34
-
Grants To international organizations
Acquisition of nonfinancial assets Purchase of equity Principal repayment Account Balance
39 495 -
838
-
804
2.3
10 395
0.5
-29 100
2 357.2 -73.7
-
30 346
1.5
30 346
100
Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011 Perkembangan ekonomi Thailand tentunya tidak terlepas dari peran alokasi belanja pemerintah dalam menstimulus perekonomiannya. Tabel 6 memperlihatkan komposisi alokasi belanja pemerintah Thailand tahun 2011
82
paling besar adalah belanja pegawai yaitu sekitar 30 persen atau sekitar sepertiga dari total alokasi anggaran belanja pemerintah. Hal ini tidak berbeda jauh dengan Indonesia di mana salah satu alokasi yang paling besar dalam anggaran pembiayaan negara adalah belanja pegawai sebesar 21.9 persen dari total seluruh anggaran belanja pemerintah. Hal yang membedakan dengan Indonesia adalah alokasi per jenis belanja. Jika alokasi belanja pemerintah Indonesia terbesar kedua setelah gaji pegawai adalah untuk subsidi, maka subsidi di Thailand sangat kecil, yaitu hanya sebesar 1.4 persen pada tahun 2010 dan 3.6 persen pada tahun 2011. Stimulus yang dilakukan Pemerintah Thailand melalui alokasi belanja dalam bentuk grants yaitu 16.2 persen pada 2010 dan 15.9 persen pada 2011. Selain dilihat dari per jenis belanja, komposisi belanja pemerintah Thailand juga dapat dilihat dari sisi fungsi. Tabel 7 menunjukkan perbandingan komposisi belanja pemerintah Indonesia dan Thailand dimana terdapat perbedaan yang mencolok antara porsi belanja untuk fungsi ekonomi. Besarnya alokasi belanja untuk fungsi ekonomi inilah yang menyebabkan fungsi stimulus fiskal di Thailand lebih optimal dibandingkan Indonesia. Tabel 7.
Perbandingan Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi antara Indonesia dan Thailand Tahun 2011 (%) Alokasi Budget
Indonesia
Thailand
Pelayanan Umum 63.8 25.1 Pertahanan 5.5 8.1 Ketertiban dan Kemanan 2.4 5.9 Ekonomi 11.6 20.5 Lingkungan Hidup 1.3 0.1 Perumahan & Fasilitas Umum 2.8 2.3 Kesehatan 1.6 10.1 Pariwisata, Budaya, & Agama 0.5 0.8 Pendidikan 10 20.4 Perlindungan Sosial 0.5 6.7 Sumber: Kementerian Keuangan dan Bureau of The Budget of Thailand
83
Efektifitas stimulus fiskal di Thailand terlihat jelas pada alokasi pada sektor pertanian yang masuk ke dalam alokasi fungsi ekonomi. Alokasi fungsi ekonomi untuk sektor pertanian di Indonesia sebesar 1.2 persen dari total 11.6 persen untuk fungsi ekonomi. Hal ini berbeda jauh dengan Thailand di mana dari fungsi ekonomi besarnya anggaran mencapai 20 persen dari total anggaran tahun 2011. Sedangkan anggaran untuk sektor pertanian sebesar 7.2 persen dari total anggaran pemerintah Thailand. Oleh karena itu, sektor pertanian di Indonesia kalah jauh dibandingkan sektor pertanian Thailand. Tabel 8 menunjukkan alokasi anggaran yang cukup proporsional di Thailand, sehingga menghasilkan kinerja sektor pertanian yang sangat bagus.
Tabel 8. Komposisi Belanja Pemerintah Thailand di Bidang Ekonomi (Juta Baht) No
Economic Affairs
FY 2010
FY 2011
1 2 3 4 5 6 7 8
General Economic, commercial and Labour Affairs Agriculture, Forestry, Fishery, and Hunting Fuel and Energy Mining, Manufacturing, and Contruction Transport Communication Other Industries Economic Affairs not elsewhere Classified
28 080.70 77 860.10 2 597.60 8 293.70 61 120.80 1 055.70 13 309.80 95 542.30
36 227.20 149 535.00 2 744.40 11 420.70 89 549.60 1 723.30 15 028.10 118 456.60
Total Economic Affairs Percentage of the Total Budget
287 860.70 16.90
424 684.90 20.50
Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011
Tabel 9 menunjukkan telah terjadi transformasi struktural dalam perekonomian Thailand, di mana terjadi pergeseran dari sektor sektor pertanian beralih ke sektor manufaktur. Pada tahun 2010 sektor manufaktur menyumbang 40 persen dari total PDB Thailand sedangkan sektor pertanian hanya 8.3 persen
84
dari total PDB. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi Thailand selama 10 tahun terakhir cukup tinggi, rata-rata di atas 5 persen, terkecuali tahun 2009 ketika terjadi krisis ekonomi. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Thailand mampu mencapai 7.81 persen.
Tabel 9. Kontribusi Sektoral terhadap PDB Thailand, Tahun 2005-2010 (%) Sektor
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Agriculture
9.0
9.0
8.7
8.8
9.2
8.3
Mining
2.3
2.3
2.2
2.2
2.3
2.2
Manufacturing
38.9
39.2
39.6
40.1
38.6
40.8
Electricity, gas, and water
3.3
3.3
3.3
3.4
3.5
3.6
Construction
2.4
2.4
2.4
2.2
2.2
2.2
Trade
14.0
13.8
13.9
13.7
14.0
13.3
Transport and communications
10.0
10.1
10.1
9.8
9.7
9.4
Finance
7.5
7.4
7.4
7.6
7.9
7.8
Public administration
3.0
2.8
2.8
2.8
2.9
2.8
Others
9.6
9.7
9.6
9.4
9.8
9.8
Sumber: Bureau of The Budget of Thailand, 2011 Thailand menyadari bahwa sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki nilai tambah tinggi. Oleh karenanya kebijakan ekonomi Thailand sangat mendukung untuk terjadinya industrialisasi. Sumbangan sektor manufaktur Thailand terhadap PDB mencapai 40.8 persen, yang didukung dengan berbagai program pemerintah untuk mendorong industri manufaktur antara lain melalui pembangunan infrastruktur dan pembiayaan. Anggaran yang dialokasikan langsung untuk sektor industri manufaktur relatif kecil, yaitu hanya sekitar 0.55 persen. Namun dukungan pemerintah diberikan melalui alokasi anggaran yang cukup besar terhadap pembangunan infrastruktur ekonomi yang mendukung terjadinya industrialisasi. Industri hilir berkembang pesat di Thailand, termasuk
85
industri yang berbasis tehnologi, seperti industri elektronika, komputer serta komponennya. Output industri elektronika Thailand diekspor ke berbagai negara, termasuk yang membanjiri pasar Indonesia. Hal lain yang menarik dari perekonomian Thailand adalah jika pada krisis ekonomi tahun 1998 Thailand merupakan negara menjadi pemicu krisis, namun justru Thailand negara pertama yang lepas dari krisis ekonomi. Krisis baht telah memberikan pelajaran yang sangat berguna bagi Thailand untuk melakukan efisiensi dan pembenahan. Gambar 14 menunjukkan pada tahun 2003 perekonomian Thailand sudah mampu tumbuh 7.14 persen. Walaupun selama 2005-2008 terjadi penurunan, bahkan puncaknya pada saat krisis global 2009 Thailand tumbuh minus 3.33 persen, namun pada tahun 2010 Thailand mampu bangkit tumbuh 7.8 persen.
Pertumbuhan GDP Thailand (%) 10 8
7,80
7,14
6
6,34
5,32
4,60
4
5,09
5,04 2,48
2,17
2
0 -2
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 (2,33)
-4
Sumber: World Bank, 2011 Gambar 14. Pertumbuhan GDP Thailand, Tahun 2000 -2010
Dukungan
pertumbuhan
sektor
tradeable
membuat
konfigurasi
perekonomian Thailand berbeda dengan Indonesia, meskipun ekonomi kedua negara ini sama-sama berbasis sumber daya alam. Hal ini terlihat dari Gambar 15
86
di mana perkembangan PDB Thailand sangat dipengaruhi oleh kinerja 3 sektor yang memproduksi barang-barang tradeable dan jasa, yaitu industri manufaktur, perhotelan, dan transportasi.
Sumber: Worldbank, 2010 Gambar 15. Perkembangan Sektor Tradeable, Non-tradeable dan PDB Thailand
4.2.
Komposisi Belanja Pemerintah Malaysia Seperti negara berkembang pada umumnya pos untuk gaji pegawai di
Malaysia menempati pos paling besar. Proporsi untuk gaji pegawai mencapai 28 persen dari total pengeluaran negara. Walaupun porsi untuk gaji pegawai menempati urutan pertama, besarnya porsi untuk gaji pegawai sebenarnya telah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 30.6 persen dari total pengeluaran negara. Hal yang menarik dari postur anggaran di Malaysia adalah penurunan persentase untuk pos subsidi antara tahun 2010 dan 2011. Tabel 10 menunjukkan
87
pada tahun 2010 pemerintah Malaysia mengalokasikan subsidi sebesar 16.4 persen dari belanja pemerintah, tetapi pada 2011 turun menjadi 14.6 persen atau turun 1.8 persen. Padahal sebagaimana di negara berkembang pada umumnya pos subsidi merupakan pos yang paling sensitif dan mengandung risiko dan biaya politik yang sangat besar. Peningkatan subsidi pada tahun 2010 sama seperti yang terjadi di Indonesia yaitu disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia. Malaysia mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia tersebut dan tetap mempertahankan harga eceran bahan bakar minyak untuk masyarakatnya. Tetapi untuk tahun 2011 subsidi tersebut dikurangi dengan asumsi harga minyak dunia tidak akan mengalami kenaikan seperti pada tahun 2010.
Tabel 10. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Jenis RM million
Details Emoluments Debt service charges Grants to state goverments Pensions and service Supplies and Services Subsidies grants to statutory bodies Refunds and write-off Others total % of GDP
Share (%)
2009
2010
2011
2009
2010
2011
42 778 14 222 4 895 10 146 26 372
46 626 15 886 4 856 10 810 23 590
45 562 18 517 5 510 12 296 28 232
27.2 9.1 3.1 6.5 16.8
30.6 10.4 3.2 7.1 15.5
28.0 11.4 3.4 7.6 17.3
20 345 12 024 555 25 731 157 067 23.1
24 933 11 891 1 115 12 453 152 158 19.6
23 704 13 165 1 083 14 736 162 805 19.4
13.0 7.7 0.4 16.4 100.0
16.4 7.8 0.7 8.2 100.0
14.6 8.1 0.7 9.1 100.0
Sumber: Ministry of Finance Malaysia Jika dilihat pengeluaran negara secara sektoral maka sektor pengembangan ekonomi menempati urutan pertama dengan 57.6 persen dari total anggaran negara. Anggaran ini naik dari tahun sebelumnya sebesar 50.2 persen. Walaupun anggaran untuk pengembangan ekonomi mengalami peningkatan sebesar 7.4
88
persen, anggaran untuk sektor pertanian dan pengembangan perdesaan mengalami pengurangan yang cukup signifikan. Anggaran untuk sektor pertanian terus mengalami penurunan dari tahun 2009. Tahun 2009 anggaran untuk sektor pertanian sebesar 11,1 persen dari total anggaran kemudian pada tahun 2010 berkurang menjadi 5.8 persen dan turun lagi pada tahun 2011 menjadi hanya 1.7 persen. Pada tahun 2010 anggaran sebesar 5,8 persen dari total anggaran belanja pemerintah digunakan untuk mengintensifkan modernisasi dan komesialisasi sektor pertanian dengan mengadopsi sistem pertanian modern dan mengadopsi aplikasi terbaik dengan melakukan value-added untuk setiap komoditas hasil pertanian. Dengan adanya modernisasi sektor pertanian pada tahun 2010 diharapkan sektor pertanian menjadi lebih produktif sehingga anggaran pengembangan sektor pertanian bisa dikurangi pada tahun 2011 menjadi hanya 1.7 persen saja. Tabel 11. Alokasi Belanja Pemerintah Malaysia menurut Sektor, Tahun 2009-2011 Details
RM million
Share (%)
2009
2010
2011
2009
2010
2011
26 428
27 123
28 315
53.4
50.2
57.6
Agriculture and rural development Trade and industry Transport Social Services of which: Education and training Health
5 508 5 592 8 531 17 381
3 136 4 711 1 904 21 197
836 9 621 9 644 15 539
11.1 11.3 17.2 35.1
5.8 8.7 14.6 39.2
1.7 19.6 19.6 31.6
10 840 2 575
11 702 3 594
10 363 2 212
21.9 5.2
21.7 6.7
21.1 4.5
Housing Security General Administration Total
1 420 3 956 1 749 49 515
1 181 3 914 1 809 54 042
903 4 373 955 49 182
2.9 8.0 3.5 100.0
2.2 7.2 3.3 100.0
1.8 8.9 1.9 100.0
7.3
7.0
5.9
Economic services of which:
% of GDP
Sumber: Ministry of Finance Malaysia
89
Hal yang sebaliknya ditunjukkan Tabel 11, dimana proporsi untuk sektor perdagangan mengalami peningkatan yang cukup besar dari 8.7 persen pada tahun 2010 menjadi 19.6 persen pada tahun 2011, atau meningkat 10.9 persen. Hal ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan sektor pertanian pada tahun 2010. Setelah pemerintah mengadopsi sistem dan metode pertanian modern maka fokus utama dari
pengembangan
ekonomi
dari
hasil
komoditas
pertanian
adalah
mendistribusikannya ke dalam pasar. Oleh karena itu, pemerintah Malaysia menaikkan anggaran untuk sektor perdagangan menjadi 19.6 persen guna mendukung hasil komoditas pertanian yang dihasilkan. Anggaran untuk sektor jasa sosial mengalami penurunan pada tahun 2011 yaitu hanya sekitar 31.6 persen, padahal pada tahun 2010 anggaran untuk jasa sosial ini mencapai 39.2 persen. Sektor jasa sosial ini terdiri dari tiga sub sektor utama yaitu sektor pendidikan dan pelatihan, sub sektor kesehatan, dan sub sektor perumahan. Sub sektor pendidikan hampir sama persis dengan Indonesia di mana proporsi untuk sektor pendidikan lebih dari 20 persen dari total anggaran belanja pemerintah dan hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Sub sektor yang mengalami perubahan signifikan adalah sub sektor kesehatan dan perumahan. Sub sektor kesehatan mengalami penurunan yang paling besar yaitu sebesar 2.2 persen dari yang tadinya 6.7 pada tahun 2010 menjadi 4.5 pada tahun 2011. Penurunan ini sebenarnya cukup masuk akal karena anggaran sebesar 6.7 persen pada tahun 2010 dipergunakan untuk membangun rumah sakit, pembelian peralatan rumah sakit, pelatihan tenaga medis, pembelian obat dan peralatan kesehatan, dan perawatan bangunan rumah sakit dan klinik. Oleh karena itu, pada tahun 2011
90
pembangunan rumah sakit sudah selesai dan anggaran tahun 2011 sudah tidak ada lagi untuk pembangunan rumah sakit. Program perumahan Rakyat (PPR) pada tahun 2010 dipergunakan untuk membangun rumah terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan. Selain program PPR, program perumahan juga digunakan untuk rehabilitas beberapa projek perumahan yang ditinggalkan. Program pembangunan PPR ini diproyeksikan akan selesai pada akhir tahun 2010 sehingga anggaran perumahan untuk anggaran tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Anggaran untuk sektor keamanan mengalami peningkatan dari 7.2 persen pada tahun 2010 menjadi 8.9 persen pada tahun 2011. Anggaran sektor kemanan ini terdiri dari dua sub sektor yaitu sub sektor pertahanan dan sub sektor keamanan dalam negeri. Porsi untuk sub sektor pertahanan jauh lebih besar dari sub sektor keamanan dalam negeri. Prosi untuk sub sektor pertahanan negara mencapai 69 persen dari porsi untuk sektor kemanan dan sub sektor keamanan dalam negeri hanya 31 persen dari total anggaran untuk sektor kemanan. Hal ini memperlihatkan
keseriusan
pemerintah
Malaysia
dalam
menciptakan
perlindungan dari bahaya luar negeri. Sedangkan untuk keamanan dalam negeri selama ini dirasa tenang sehingga tidak ada anggaran besar yang harus dikeluarkan. Anggaran untuk sektor administrasi umum juga mengalami penurunan sebesar 1.4 persen, dari 3.3 persen pada tahun 2010 menjadi 1.9 persen pada tahun 2011. Anggaran pada tahun 2010 dipergunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas dari sistem sektor publik. Program yang diprioritaskan adalah sistem komputerisasi di seluruh departemen pemerintah yaitu pembuatan aplikasi baru
91
dan pengembangan aplikasi lama untuk e-government. Selain itu, anggaran pada tahun 2010 juga digunakan untuk pengadaan tanah, pembangunan gedung, renovasi, dan perawatan gedung dan fasilitas pemerintah serta pelatihan tenaga peradilan. Pada tahun 2011 diproyeksikan pengadaan tanah dan pembangunan gedung baru sudah tidak ada oleh karena itu anggaran untuk sektor administrasi umum mengalami penurunan. Jika alokasi anggaran di atas dibandingkan dengan GDP tahun 2010 berdasarkan sektor ekonomi maka terlihat bahwa ada tiga sektor ekonomi yang paling besar memberikan share terhadap GDP yaitu, manufaktur (26.9 persen), finance (16.7 persen), dan perdagangan (15.6 persen) sebagaimana ditunjukkan Tabel 12.
Tabel 12. Produk Domestik Bruto Malaysia, Tahun 2005-2010 (Juta RM) Details
2005
2006
2007
2008
2009
2010
449 .250
475 .526
506 .341
530 .683
522 .001
559 .554
Agriculture
35 .835
37 .701
38 .177
39 .825
40 .083
40 .916
Mining
42 .472
42 .030
42 .881
41 .831
39 .209
39 .270
137 .940
147 .154
151 .257
153 .078
138 .784
154 .640
Electricity, gas, and water
13 .851
14 .523
15 .106
15 .475
15 .604
16 .879
Construction
14 .685
14 .639
15 .707
16 .365
17 .329
18 .220
Trade
61 .346
65 .492
74 .380
82 .040
83 .472
89 .779
32 .870
35 .185
38 .191
40 .974
41 .713
44 .944
65 .541
71 .253
80 .893
85 .996
90 .004
96 .194
Public administration
30 .371
33 .412
35 .099
38 .335
39 .671
41 .981
Others b Less: Imputed bank service charges Plus: Taxes on imports
26 .064
27 .234
28 .737
30 .252
31 .580
32 .833
17 .742
18 .385
19 .607
20 .412
21 .897
23 .171
6 .017
5 .287
5 .521
6 .924
6 .449
7 .068
Net factor income from abroad
(24 .956)
(19 .742)
(23 .522)
(36 .360)
(24 .565)
(42 .721)
GNI
424 .295
455 .784
482 .819
494 .323
497 .436
516 .833
GDP by industrial origin at 1987 2000 market prices
Manufacturing
Transport and communications Finance
a
Sumber : world bank, 2011
92
Sektor perdagangan memberikan kontribusi 15.6 persen terhadap PDB, dan anggaran pemerintah untuk sektor perdagangan dan industri adalah 8.7 persen dari total anggaran pemerintah Malaysia. Hal ini mununjukkan produktivitas pemerintah dalam meningkatkan sektor perdagangan di mana hanya 8.7 persen anggaran bisa menaikkan 15.6 persen dari total PDB Malaysia.
4.3
Komposisi Anggaran Pemerintah Singapura Perekonomian singapura telah mencapai kondisi matang dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi. Singapura masuk pada kategori negara-negara yang berpenghasilan tinggi. Jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia jauh lebih tertinggal. Potensi sumber daya Singapura tidak melimpah seperti Indonesia, namun perekonomian Singapura maju pesat dengan mengandalkan sektor jasa dan perdagangan. Kemajuan perekonomian Singapura didukung kemajuan teknologi dan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah Singapura berperan sebagai regulator dan penyedia layanan publik secara optimal. Kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi di Singapura merupakan daya tarik utama bagi investor. Dukungan Pemerintah Singapura terhadap iklim usaha yang kondusif terlihat dalam komposisi belanja pemerintah. Struktur anggaran belanja pemerintah Singapura cukup sederhana, hanya terbagi ke dalam 4 fungsi utama yaitu
Social
Development,
Security
and
External
Relation,
Economic
Development, dan Government Administration. Dari struktur ini terlihat jelas posisi dan peranan pemerintah, yaitu pemerintah sebagai regulator dan pelayan kepentingan publik, termasuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sementara jalannya roda perekonomian lebih banyak dilakukan oleh swasta. Melalui kebijakan seperti ini Singapura telah masuk ke dalam jajaran negara maju.
93
Dalam menyusun belanja pemerintah, sejak awal komposisi pengalokasian anggaran masing-masing bidang sudah jelas antara belanja yang bersifat untuk kepentingan operasional atau rutin (operating) dengan anggaran yang digunakan untuk pembangunan (development). Tabel 13 menunjukkan bahwa setiap kegiatan dan program jelas output dan sasarannya, termasuk pengalokasian anggarannya. Porsi
anggaran belanja yang bersifat operasional cukup besar mengingat
perekonomian Singapura berbasis pada penyediaan sektor jasa.
Tabel 13. Total Pengeluaran Pemerintah Singapura menurut Sektor Tahun 2011 (S$ juta) Sector/ Ministry
Operating $
Social Development
Development
%
$
%
Total $
%
17 384
48.4
3 707
33.1
21 091
44.8
Education
9 767
27.2
1 144
10.2
10 911
23.2
Health
3 580
10.0
497
4.4
4 077
8.7
Nasional Development Community Development Youth and sport The Environment and Water Resources
1 031
2.9
1 539
13.7
2 570
5.5
1 775
4.9
57
0.5
1 832
3.9
727
2.0
411
3.7
1 138
2.4
504
1.4
59
0.5
563
1.2
Security & External Relations
14 986
41.7
789
7.0
15 775
33.5
Defence
11 595
32.3
480
4.3
12 075
25.6
3 029
8.4
264
2.4
3 293
7.0
362
1.0
45
0.4
407
0.9
2 133
5.9
6 410
57.2
8 544
18.1
Transport
476
1.3
3 592
32.1
4 068
8.6
Trade and Industriy
655
1.8
2 484
22.2
3 139
6.7
Manpower Information, Comunications and the Arts Government Administration
854
2.4
69
0.6
922
2.0
149
0.4
266
2.4
415
0.9
1 398
3.9
292
2.6
1 690
3.6
Finance
613
1.7
145
1.3
757
1.6
Organs of State
336
0.9
23
0.2
359
0.8
Prime Ministers Office
313
0.9
35
0.3
348
0.7
Law
137
0.4
89
0.8
226
0.5
35 902
100.0
11 198
100.0
47 100
100.0
Information, Comunications and the Art
Home Affairs Foreign Affairs Economic Development
TOTAL EXPENDITURE
Sumber: Statistics Singapore, 2011
94
Jika dilihat dari klasifikasi anggaran menurut ekonomi, Tabel 14 menunjukkan porsi terbesar belanja pemerintah Singapura adalah untuk membiayai belanja operasional, yaitu 48.31 persen. Sementara belanja pemerintah yang bersifat bansos/bantuan sosial (grant) dan pengeluaran modal relatif kecil. Hal ini bisa dipahami karena keberadaan Singapura sebagai negara yang sudah maju di mana penyediaan infrastruktur sudah relatif lengkap.
Tabel 14. Alokasi Anggaran Singapura menurut Klasifikasi Ekonomi, Tahun 2011 Uraian
Jumlah ( $)
%
60 399 952 757
74.52
39 160 188 757 5 750 593 617
48.31 7.09
15 504 851 440
19.13
6 246 060 100
7.71
- Other Consolidated Fundoutlays
21 239 764 000
26.20
Development estimatesoutlays
20 656 869 000
25.48
TOTAL
81 056 821 757
100.00
Main Estimates Outlays - Operating Expenditure a. Expenditure on Manpower b. Other Operating Expenditure c. Grants, Subventions & Capital Injections to Organisations
Sumber: Statistics Singapore, 2011 Jika dilihat kontribusi sektoral terhadap GDP Singapura, Tabel 15 menunjukkan
bahwa pada tahun 2010 subsektor yang paling memberikan
kontribusi besar adalah manufaktur (27.6 persen), finance (23.8 persen), dan perdagangan (18.5 persen). Alokasi anggaran pemerintah untuk subsektor perdagangan dan industri Singapura hanya 6.7 persen atau sekitar 3.1 miliar dollar Singapura tetapi dari anggaran sebesar itu Singapura dapat menghasilkan 18.5 persen share terhadap PDB negara tersebut, atau sekitar 50 miliar dollar Singapura.
95
Tabel 15. Produk Domestik Bruto Singapura, Tahun 2005-2010 (juta dollar) At Constant Prices i
2005
2006
2007
2008
2009
2010
208
2 269
2 468
2 505
248
284
763.7
32.9
45.5
16.1
587.0
560.7
106.6
110.3
111.7
107.0
105.2
105.1
53 463.9
59 838.0
63 393.0
60 738.5
58 217.8
75 479.4
3 237.0
3 445.1
3 590.6
3 672.0
3 658.8
3 897.1
GDP by industrial origin at 2005 market prices Agriculture
d
Mining Manufacturing Electricity, gas, and water Construction Trade e Transport and communications Finance
f
g
Public administration Taxes on products
6 275.3
6 446.7
7 498.5
9 008.2
10 544.6
11 187.9
38 586.4
42 147.0
45 377.9
46 710.6
44 117.6
50 503.1
28 809.8
30 214.3
32 757.4
34 212.6
32 082.4
33 708.7
42 178.2
47 126.8
53 895.4
57 046.7
59 490.1
64 910.1
26 610.3
27 393.5
28 078.6
28 704.6
29 899.1
33 222.4
9 496.2
10 211.2
12 142.4
10 315.9
10 471.4
11 546.9
Sumber : World bank, 2011 Selain itu, kekuatan ekonomi Singapura dapat dikatakan sudah mapan dan kuat. Ini terbukti dari cepatnya recovery yang dialami Singapura setelah krisis ekonomi global tahun 2009 sebagai ditunjukkan Gambar 16. Setelah sempat terperosok pada pertumbuhan yang negatif, pada tahun 2010 Singapura tumbuh positif 14.5 persen. Indonesia cukup aman dari dampak krisis global tahun 2009 tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010 tidak begitu besar.
Pertumbuhan GDP Singapura (%) 16,0 14,5
14,0 12,0 10,0 8,0
8,7
8,8
6,0
4,0 2,0
1,5
0,0 -2,0
2006
2007
2008
-0,8 2009
Sumber: World Bank, 2011 Gambar 16. Pertumbuhan GDP Singapura, Tahun 2000 -2010
2010
96
4.4.
Komposisi Belanja Pemerintah China China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia
tentunya memiliki permasalahan perekonomian yang tidak sederhana. Jumlah penduduk yang sangat banyak tersebut menjadi permasalahan pemerintahan China dalam upaya melakukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Luasnya wilayah China dan besarnya jumlah penduduk di China mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan di beberapa wilayah. Tetapi bila dibandingkan dengan Indonesia, kemajuan China jauh melebihi kemajuan Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini neraca perdagangan Indonesia dengan China selalu mengalami defisit sehingga China lebih banyak mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia. Tabel 16 memperlihatkan alokasi belanja pemerintah China berdasarkan fungsi alokasi. Alokasi belanja pemerintah untuk sektor pertanian cukup tinggi di mana alokasinya mencapai 7.9 persen dan hal ini sangat jauh dengan Indonesia di mana alokasi belanja APBN tahun 2011 untuk sektor pertanian hanya 1.2 persen. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika perkembangan sektor pertanian China sangat pesat dan hasil pertaniannya “membanjiri” pasar di Indonesia. Pemerintah China sangat concern terhadap sektor pertanian di negaranya sehingga pertumbuhan sektor pertanian di China sangat tinggi. Hal lain yang cukup menarik adalah alokasi anggaran untuk pendidikan di China tidak sebesar di Indonesia. Anggaran pendidikan Indonesia wajib mencapai 20 persen dari total APBN tetapi di China hanya sebesar 4.5 persen. Tetapi dengan anggaran pendidikan yang relatif lebih kecil, pendidikan di China lebih berkualitas dan bisa disejajarkan dengan negara maju. Banyak mahasiswa yang berasal dari ASEAN termasuk Indonesia yang belajar di China. Ini membuktikan
97
bahwa dengan anggaran yang tidak terlalu besar tersebut China mampu membangun peradaban yang jauh lebih baik daripada Indonesia yang anggarannya jauh lebih besar. China jauh lebih produktif dalam memanfaatkan anggaran.
Tabel 16. Alokasi Anggaran China Tahun 2009 Menurut Fungsi Description Amount Agriculture, fisheries, others 344.7 Social security 335.1 Social services 131.4 Health care 118.1 Education 198.1 Public housing 49.3 Transportation 188.7 Environmental protection 123.7 Culture 28 Science and Technology 146.1 Military spending 472.9 Public security 116.1 Debt servicing 137.2 Others 1 997.3 Total 4 386.7 Sumber: The government's budget statement Hang Seng Bank, 2009
% 7.9 7.6 3.0 2.7 4.5 1.1 4.3 2.8 0.6 3.3 10.8 2.6 3.1 45.5 100.0
Tabel 16 menunjukkan anggaran untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga tidak terlalu besar, yaitu hanya sekitar 3.3 persen dari total anggaran pemerintah. Tetapi dengan anggaran yang relatif kecil tersebut China sudah mampu menduplikasi berbagai produk yang dibuat oleh negara-negara maju. Bahkan banyak sekali produk teknologi China yang membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini yang harus menjadi perhatian dan pembelajaran pemerintah Indonesia supaya bisa meniru apa yang bisa dilakukan China. Besar kecilnya anggaran belanja pemerintah tidak berpengaruh signifikan jika produktivitas dan
98
keseriusan pemerintah tidak ada. Anggaran yang besar belum tentu mampu meningkatkan kemampuan bangsa Indonesia untuk bersaing pada level internasional. Sangat banyak kemungkinan yang menyebabkan hal ini, tetapi korupsi dan kebocoran anggaran ditenggarai sebagai penyebab utama dari kegagalan pemerintah memanfaatkan anggaran APBN yang tersedia. Dengan alokasi anggaran Pemerintah China untuk sektor ekonomi yang relatif lebih besar, China menghasilkan pertumbuhan GDP yang sangat tinggi. Gambar 17 menunjukkan pertumbuhan ekonomi China rata-rata diatas 9 persen setiap tahunnya, jauh melebihi pertumbuhan GDP Indonesia. Dengan demikian alokasi anggaran Pemerintah China dapat disimpulkan lebih produktif dibanding Indonesia. selalu Keseriusan pemerintah China dalam menumbuhkan ekonominya patut
dicontoh
oleh
pemerintah Indonesia.
Bahkan
sektor manufaktur
menyumbang 40 persen dari total PDB China yang mencapai 31 414.3 miliar CNY.
Pertumbuhan GDP China (%) 35
30,3
30 25 20
15 12,7 10
8,3
9,1
10,0
14,2
10,1
9,6
9,2
10,3
5 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: World Bank, 2011 Gambar 17. Pertumbuhan GDP China, Tahun 2000 -2010
2009
2010
99
4.5.
Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Beberapa Negara Perbaikan kinerja perekonomian suatu negara akan berdampak pada
kemakmuran masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, seharusnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Indikator kesejahteraan antara lain ditunjukkan oleh peningkatan
pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan yang menurun. Tabel 17 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara telah berdampak signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan perkapitanya. Malaysia pada tahun 2008 memiliki angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4.81 persen menghasilakn pendapatan perkapita sebesar US$5 155.
Diantara
negara ASEAN pendapatan perkapita Indonesia yang paling rendah. PDB per kapita Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 2000 memang menunjukkan peningkatan dari US$397 pada 1980 menjadi US$1 083 pada 2008. Namun, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, terlihat bahwa pendapatan per kapita Indonesia merupakan yang terendah, masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand seperti yang terlihat pada Tabel 17. Padahal, sebelum krisis ekonomi Indonesia mempunyai angka pertumbuhan rata-rata diatas 7 persen. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki angka pertumbuhan penduduk yang cukup besar. Tabel 17. Pendapatan Per Kapita Negara ASEAN, Tahun 2000-2008 (US$) Country Indonesia
2000 800
2001 818
2002 844
2003 872
2004 904
2005 943
2006 983
2007 1 033
2008 1 083
Malaysia
4 030
3 965
4 096
4 251
4 455
4 609
4 789
5 009
5 155
Singapore
23 019
21 869
22 571
23 704
25 651
26 886
28 234
29 185
27 991
Thailand
1 968
1 991
2 072
2 193
2 305
2 387
2 490
2 594
2 645
Sumber: World Development Indicators, The World Bank, 2010
100
Sementara itu, Tabel 18 menunjukkan pertumbuhan rata-rata PDB riil per kapita beberapa negara ASEAN antar periode waktu selama periode 1951-2008. Pendapatan per kapita Indonesia dan Malaysia mengalami pertumbuhan tertinggi pada periode 1971-1980. Thailand mengalami rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita tertinggi pada 1981-1990, sementara Singapura pada 1961-1970. Namun secara rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita Indonesia mengalami pertumbuhan terendah diantara negara-negara ASEAN. Rendahnya pendapatan perkapita
Indonesia
sekaligus
menunjukkan
rendahnya
produktifitas
perekonomian domestik. Pendapatan perkapita merupakan ukuran yang relatif obyektif untuk membandingkan prestasi kenerja perekonomian antara negara.
Tabel 18. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita antar Negara ASEAN (%) Periode
Indonesia
Malaysia
Singapore
Thailand
1951–1960
4.0
3.6
5.4
5.7
1961–1970
1.9
3.5
7.4
5.0
1971–1980
5.4
5.3
7.2
4.4
1981–1990
4.5
3.2
5.0
6.0
1991–2000
2.9
4.6
4.7
3.6
2001–2008
3.9
3.1
2.6
3.8
Sumber: World Development Indicators, The World Bank, 2010
Ketertinggalan Indonesia tidak hanya dari sisi pendapatan per kapita, namun juga dalam hal tingkat kemiskinan dan pengangguran. Kondisi ini tentunya kontras dengan posisi perekonomian Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara. Gambar 18 menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia justru paling buruk diantara negara-negara di Asia Tenggara. Berdasarkan data publikasi Asian Development Bank (ADB) pada 2010, dengan menggunakan garis biaya hidup
101
US$1.25 per hari masih terdapat 29 persen penduduk Indonesia hidup di bawah standar tersebut. Negara yang ditampilkan dalam Gambar 18 hanya negara yang memiliki tingkat kemiskinan diatas 10 persen. Posisi kemiskinan di Indonesia masih lebih buruk dibandingkan Myanmar, Kamboja, Philipina, dan Vietnam.
Sumber: Asian Development Bank, 2010 Gambar 18. Perbandingan Tingkat Kemiskinan antar Negara, Tahun 2010
Ironi lainnya terlihat dari data tingkat pengangguran, di mana dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi, sebesar 8.1 persen pada 2009. Sementara itu, Thailand yang pada tahun 2009 mengalami penjalaran krisis global masih dapat menjaga tingkat penganggurannya pada level 1.5 persen. Singapura sebagai negara yang pada 2009 mengalami dampak krisis global yang sangat parah masih dapat menjaga tingkat pengangguran sebesar 4.1 persen. Namun, Indonesia yang berhasil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi positif pada 2009 justru tidak
102
mampu berbuat banyak untuk menekan tingkat pengangguran. Gambar 19 menunjukkan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi diantara negara ASEAN.
8,1 7,5
4,3
4,0
3,7
4,1 2,4 1,5
China
India
Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand Viet Nam
Sumber: Asean Development Bank, 2010 Gambar 19. Tingkat Pengangguran Beberapa Negara Tahun 2009
Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia menjadi sebuah paradok. Indonesia yang merupakan negara terbesar di ASEAN justru paling tertinggal tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ini menuntut dilakukannya berbagai perbaikan, utamanya melihat peran negara dalam mengelola perekonomian yang fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari kualitas pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai. Salah satunya terkait dengan kemampuan pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Semakin banyak penduduk miskin yang keluar dari kemiskinan berarti semakin berkualitas pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian pula sebaliknya,
103
semakin sedikit tingkat kemiskinan yang dapat diturunkan, semakin tidak berkualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Wan dan Sebastian (2011) meneliti tentang kemiskinan di Asia Pasifik dengan menggunakan garis kemiskinan US$1.25 per hari dan US$2 per hari. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
elastisitas
kemiskinan
terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negaranegara lain (Tabel 19). Dengan garis kemiskinan US$1.25 per hari nilai elastisitas kemiskinan Indonesia sebesar -0.88 artinya jika pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen, ceteris paribus. Jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 per hari maka setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0.34 persen.
Tabel 19. Elastisitas Kemiskinan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Garis Kemiskinan Negara US$1,25 Per Hari US$2 Per Hari –0.92 –0.48 China –0.88 –0.34 Indonesia –2.99 –2.59 Malaysia –1.08 –0.57 Philipina –5.62 –1.28 Thailand –0.98 –0.48 Viet Nam Sumber: Wan dan Sebastian, 2011
Kualitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan di beberapa negara lain justru lebih baik dibanding Indonesia. Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan Wan dan Sebastian (2011) dengan garis kemiskinan US$2 per hari, setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi Malaysia mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 2.59 persen. Demikian pula Thailand, di mana setiap 1
104
persen pertumbuhan ekonominya mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1.28 persen, ceteris paribus. Baik dihitung dengan US$1.25 maupun US$2 per hari, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menurunkan tingkat kemiskinan masih kalah dibandingkan Viet Nam maupun Philipina, apalagi terhadap Malaysia, Thailand dan China. Kualitas pertumbuhan ekonomi beberapa negara tersebut tidak lepas dari efektifitas alokasi anggaran negara dan keberpihakan kebijakan ekonomi pada sektor yang memiliki dampak besar dalam pengurangan tingkat kemiskinan.
V. PERKEMBANGAN KOMPOSISI ANGGARAN PEMERINTAH, PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal Indonesia. Komposisi APBN menunjukkan arah, kebijakan dan politik anggaran yang diambil oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Idealnya komposisi APBN disusun berdasarkan permasalahan dan tujuan prioritas pembangunan yang sedang dihadapi. Dengan demikian kebijakan anggaran mampu berperan optimal dalam menstimulus perekonomian. Struktur APBN Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak tahun 2001. Sebelum tahun 2001, struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk scrontro yaitu sisi pendapatan negara diletakkan berdampingan dengan sisi belanja negara. Bentuk ini dikenal dengan istilah T-Account.
Mulai tahun
anggaran 2001 struktur dan format APBN dibuat dalam bentuk staffel, yaitu komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom. Komponen pendapatan di bagian atas, sedangkan komponen bagian belanja ditempatkan di bawahnya. Selain itu juga terdapat komponen pembiayaan sehingga dengan format ini dapat terlihat adanya surplus atau defisit anggaran, serta sumber pembiayaannya dari dalam negeri maupun luar negeri. Bentuk ini dikenal dengan istilah I-Account. Dalam format baru tersebut juga dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara sehingga sesuai dengan struktur dan format Goverment Finance Statistics (GFS). Dengan demikian struktur dan format APBN telah disesuaikan dan
106
mengarah kepada standar internasional dalam statistik keuangan Pemerintah. Demikian juga periode tahun anggaran disesuaikan yang semula menggunakan tahun anggaran (April-Maret) menjadi tahun kalender (Januari Desember). Selain perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, mulai APBN tahun anggaran 2005 dilakukan perubahan format APBN yaitu perubahan substansial terhadap format belanja negara khususnya format anggaran belanja pemerintah pusat. Perubahan tersebut intinya mencakup 2 (dua) hal yaitu : 1.
Penerapan sistem penganggran secara terpadu (unified budget), melalui penyatuan anggaran rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan.
2.
Reklasifikasi rincian belanja negara menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya dirinci menurut sektor dan jenis belanja.
Penerapan sistem penganggaran secara terpadu pertama kali digunakan pada APBN tahun anggran 2005. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara secara terpadu yaitu: (1) dalam format dan struktur I-Account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, karena pos belanja ke daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi, (3) semua pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.
107
Tabel 20. Konversi APBN dalam I-Account Format Lama
Format Baru
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin a. Belanja Pegawai b. Belanja Barang c. Pembayaran Bunga Utang d. Subsidi e. Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak II. Penerimaan Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lainnya II. Belanja Ke Daerah 1. Dana Perimbangan 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian C. Keseimbangan Primer D. Surplus/Defisit Anggaran E. Pembiayaan
Sumber : Sekretariat Jendral DPR RI, 2010
Perubahan format anggaran belanja negara yang mendasar dimaksud untuk mencapai 2 (dua) sasaran. Pertama, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara, melalui : (1) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara, dan (2) meningkatkan antara keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi atau yang disebut anggaran berbasis kinerja (performance based budget). Kedua, untuk menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional.
108
Perubahan struktur anggaran diharapkan mampu mengoptimalkan peran kebijakan fiskal dalam memberikan stimulus perekonomian, terutama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Dalam bab ini akan dideskripsikan mengenai perkembangan komposisi APBN Indonesia antar periode waktu, yaitu periode sebelum krisis ekonomi 1997 dan periode setelah krisis ekonomi 1997. Disamping profil belanja pemerintah, juga akan diulas kinerja perekonomian dalam periode waktu yang sama. Dengan demikian akan mendapatkan gambaran dan perbandingan antara kebijakan komposisi belanja pemerintah dengan kinerja pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan antara periode sebelum krisis ekonomi dan periode setelah krisis ekonomi 1997.
5.1.
Periode Sebelum Krisis Ekonomi, Tahun 1969/1970-1996/1997 Pada periode sebelum krisis ekonomi 1997, dimulai sejak periode
pemerintahan orde baru. Pada masa pemerintahan orde baru kebijakan pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Panjang
(RPJM/RPJP).
Target
pencapaian
RPJM
dan
RPJP
dilaksanakan secara periodik melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pembangunan Jangka Panjang Pertama, dimulai dari Pelita I sampai dengan Pelita V, dimana Pelita I (1969/1970 – 1973/1974), Pelita II (1974/1975-1978/1979) Pelita III (1979/1980-1983/1984), Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989), Pelita V (1989/1990-1994/1995). Pembangunan Jangka Panjang kedua mustinya dimulai dari Pelita VI (1995/1996 – 1996/1997). Namun, Pelita VI belum tuntas dilaksanakan, karena terjadinya krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan
109
pergantian rezim pemerintahan yang diikuti perubahan kebijakan pembangunan ekonomi. Dokumen RPJM yang dijadikan acuan perencanaan dan pentahapan pembangunan dalam setiap Pelita. Pada masa orde baru masing-masing Pelita memiliki prioritas pembangunan yang akan dicapai melalui tahapan perencanaan pembangunan selama 5 tahun. Pelita I menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian serta stabilisasi ekonomi dengan melakukan pengendalian inflasi dan penyediaan kebutuhan pangan dan sandang. Prioritas Pelita II menitik beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Sasaran yang hendak dicapai adalah peningkatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana) melalui upaya peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Fokus Pelita III adalah pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Kebijakan yang diambil pada masa ini melalui program Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang diikuti stabilisasi dan pemerataan. Pada masa itu dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar proses transisi ekonomi dari sektor pertanian ke industri. Selanjutnya pada pelita IV, menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Kebijakan ini diiringi dengan peningkatan kemampuan ekonomi dalam negeri dengan mengurangi ketergantungan pada sektor ekspor migas dan mendorong ekspor non-migas. Selanjutnya pada Pelita V, pemerintah lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan
110
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Periodisasi kebijakan pembangunan ekonomi pada masa orde baru tersebut seharusnya diiring dengan kebijakan fiskal pemerintah, yang tercermin dalam kebijakan anggaran pemerintah. Prioritas pembangunan pada masing-masing periode tersebut seharusnya terealisasi dalam dokumen Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan APBN merupakan acuan bagi pelaksanaan program-program pemerintah dalam mewujudkan sasaran dan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan.
5.1.1. Realisasi Penerimaan Negara Pada periode Pelita I, porsi terbesar penerimaan pemerintah berasal dari pajak, yaitu sebesar Rp 513 miliar atau sekitar 60 persen. Kontributor utama adalah pajak dalam negeri yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan PPNBM. Sedangkan proporsi pajak perdagangan internasional sebesar 22.87 persen atau sekitar Rp117.36 miliar, terbesar berasal dari pajak bea masuk sebesar Rp85,14 miliar. Pada Pelita II, terjadi pergeseran penerimaan negara, dimana penerimaan dari pajak turun 40.66 persen atau Rp2.9 triliun. Penerimaan bukan pajak meningkat menjadi 59.34 persen. Peningkatan penerimaan bukan pajak bersumber dari pendapatan migas yang mencapai Rp 1.6 triliun. Perkembangan realisasi penerimaan Pemerintah selama periode orde baru atau sebelum krisis ditunjukkan dalam Gambar 20.
111
Pada Pelita III penerimaan masih didominasi oleh penerimaan bukan pajak sekitar 71.04 persen yang berasal dari Penerimaan Migas. Pada periode ini terjadi momentum booming oil, dimana harga minyak dunia tinggi dan posisi Indonesia sebagai negara eksportir migas sehingga mendongkrak penerimaan pemerintah. Penerimaan dari sektor migas mencapai Rp7.8 triliun atau meningkat hampir 7 kali lipat dari periode Pelita II. Tingginya penerimaan migas masih berlanjut sampai awal pelita IV. Namun secara keseluruhan, pada pelita IV penerimaan pajak dan bukan pajak cenderung berimbang. Penerimaan dari pajak sekitar 42.13 persen dan 57.87 persen berasal dari penerimaan bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak selain bersumber dari penerimaan migas, juga bersumber dari laba BUMN yang meningkat hampir 4 kali lipat dari pelita III.
50.000,00 45.000,00 40.000,00 35.000,00 30.000,00 25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00 Pelita I
Pelita II
Pelita III
Penerimaan Perpajakan
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Penerimaan Bukan Pajak
Sumber : Nota Keuangan RI, Periode 1969/1970-1996/1997 Gambar 20. Komposisi Penerimaan Negara selama Periode Sebelum Krisis Pada Pelita V, terjadi pergeseran sumber penerimaan negara, dimana penerimaan kembali didominasi oleh penerimaan pajak sebesar 58.65 persen, karena turunnya penerimaan migas. Penerimaan negara bukan pajak yang
112
bersumber dari laba BUMN meningkat hampir 3 kali lipat dibandingkan pelita dari periode sebelumnya. Sementara itu, proporsi penerimaan pajak dalam negeri terhadap total penerimaan negara meningkat dari pelita IV. Kontributor terbesar penerimaan pajak dalam negeri adalah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 10,2 triliun (39,31 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp 9,6 triliun (36,94 persen). Sedangkan penerimaan dari Bea Masuk mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi Rp 2,8 triliun pada Pelita V.
Tabel 21. Komposisi Penerimaan Negara pada Masa Sebelum Krisis, Tahun 1969/1970 – 1996/1997 (%) Pelita I
Pelita II
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Penerimaan Dalam Negeri
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
1. Penerimaan Perpajakan a. Penerimaan Pajak DN i. Pajak Penghasilan (PPh) ii. PPN dan PPn-BM
59.99 37.12 15.65 10.89
40.7
29.0
42.1
58.7
29.2
23.0
36.3
52.1
13.3
12.0
14.1
23.1
8.4
5.0
14.3
21.7
65.7 61.6 29.7 23.7
iii. PBB dan BPHTB iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internsonal i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak
1.53 7.61 1.45 22.87 16.59 6.28 40.0
2.1
0.9
1.2
2.2
4.8
4.7
5.3
4.5
0.5
0.3
1.3
0.6
11.5
6.0
5.9
6.6
8.5
4.2
5.3
6.5
3.0
1.7
0.5
0.1
59.3
71.0
57.9
41.3
a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
30.16 4.17 5.68
54.5
68.0
50.0
33.5
4.3
3.0
6.9
6.8
0.6
0.0
1.0
1.0
Penerimaan
2.7 4.9 0.6 4.1 4.0 0.2 34.3 22.3 10.9 1.1
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997 Pada periode Pelita VI, penerimaan negara mencapai Rp 74.44 triliun, dimana 65.70 persen bersumber dari pajak. Proporsi penerimaan migas semakin menurun. Kontributor terbesar penerimaan pajak bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 22.14 triliun (45.27 persen), diikuti oleh PPN dan PPN-BM sebesar Rp 17.97 triliun (36.09 persen). Sedangkan proporsi pajak
113
perdagangan internasional mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu sebesar 4.13 persen (Rp3.07 triliun). Penerimaan negara dari Bea Masuk hanya mengalami peningkatan kecil, dari Rp 2.8 triliun pada Pelita V menjadi Rp 2.9 triliun pada Pelita VI. 5.1.2. Realisasi Belanja Negara Komposisi belanja Pemerintah selama periode sebelum krisis ditunjukkan Gambar 21. Pada Pelita I, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan relatif seimbang dengan belanja rutin. Proporsi pengeluaran rutin sekitar 683 persen dan pengeluaran pembangunan sebesar 31.7 persen. Belanja pembangunan dalam Pelita II rata-rata sebesar Rp 1.83 triliun dan belanja rutin sebesar Rp 1.49 triliun. Pada Pelita III belanja pembangunan meningkat mencapai Rp 7.03 triliun (47.47 persen) sedangkan belanja rutin sebesar Rp 6.35 triliun (52.53 persen). Pada pelita IV, belanja pembangunan mulai mengalami penurunan dibandingkan Pelita III. 60.000
50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 Pelita I
Pelita II
Belanja Rutin
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Belanja Pembangunan
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997 Gambar 21. Komposisi Belanja Rutin dan Pembangunan selama Periode Sebelum Krisis
114
Belanja pembangunan dalam Pelita III mencapai Rp 10,25 triliun (40 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 15.29 triliun (60 persen). Pada pelita V, proporsi anggaran untuk belanja pembangunan sedikit meningkat dibandingkan proporsi pada pelita IV. Belanja pembangunan mencapai Rp 22.41 triliun (41 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 31.69 triliun (59 persen). Pada Pelita VI proporsi anggaran untuk belanja pembangunan menurun cukup signifikan. Belanja pembangunan pada Pelita VI hanya mencapai Rp 31.8 triliun (37 persen) sedangkan belanja rutinnya sebesar Rp 52.73 triliun (63 persen). Komposisi detail belanja Pemerintah ditunjukkan Tabel 22.
5.1.2.1. Belanja Pegawai Pengeluaran anggaran rutin terbesar pada pelita I adalah untuk belanja pegawai sebesar 29.7 persen. Proporsi ini semakin meningkat pada Pelita II, belanja pegawai menjadi 49.71 persen. Seiring dengan peningkatan penerimaan dari Migas, total belanja pemerintah meningkat cukup signifikan, sehingga proporsi belanja pegawai menurun menjadi sekitar 38.98 persen. Penurunan proporsi ini tidak berarti terjadi penurunan belanja pegawai, namun lebih disebabkan oleh peningkatan belanja subsidi BBM yang meningkat karena tingginya harga minyak dunia. Selanjutnya sejak Pelita IV, proporsi untuk belanja pegawai kembali relatif stabil sekitar 45 persen.
5.1.2.2. Belanja Barang Pengeluaran pemerintah untuk belanja barang pada Pelita I dan Pelita II relatif cukup tinggi yaitu sebesar 33.4 persen dan 25.48 persen. Belanja barang terutama dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan peralatan operasional dan
115
pemeliharaan peralatan. Seiring dengan meningkatnya investasi pemerintah pada barang-barang modal maka belanja pemeliharaan juga meningkat. Disamping itu, dengan adanya inflasi yang cukup tinggi pada pelita I dan II menyebabkan belanja peralatan juga meningkat. Namun karena meningkatnya belanja subsidi BBM maupun subsidi Non BBM pada pelita III dan Pelita IV, maka porsi belanja barang menurun cukup drastis. Padahal belanja barang penting untuk mendukung kegiatan operasional birokrasi. Belanja barang dapat dialokasikan dengan pembelian peralatan-peralatan yang mengikuti perkembangan tehnologi. Dengan tehnologi yang modern, maka fungsi pelayanan dari pemerintah akan lebih cepat, mudah, murah dan efisien.
Tabel 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Sebelum Krisis, Tahun 1969/1970 – 1996/1997 (%) Jenis Belanja 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Bunga Utang i. Dalam negeri ii. Luar Negeri 4. Subsidi i. BBM ii. Non-BBM 5. Lainnya
Pelita I
Pelita II
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
43.52 33.40 3.60 0.00 3.60 2.48
49.71 25.48 6.74 0.00 6.74 12.41
38.98 16.27 10.97 0.00 10.97 30.48
45.53 13.42 29.72 0.00 29.72 9.56
45.95 12.90 29.09 0.00 29.09 9.79
47.28 20.78 22.86 0.00 22.86 3.83
0.00 2.48
3.82 8.59
24.81 5.67
3.05 6.51
7.54 2.25
2.48 1.35
17.01
5.66
3.30
1.78
2.28
5.25
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
5.1.2.3. Belanja Subsidi Porsi belanja subsidi pada Pelita I hanya untuk subsidi non BBM, yaitu subsidi pangan sebesar 1.7 persen. Pada pelita II mulai muncul subsidi BBM sebesar Rp 51.84 miliar. Subsidi beras dan gandum mencapai tingkat tertinggi dalam tahun anggaran 1980/1981 yaitu sebesar Rp 281.7 miliar. Tingginya subsidi
116
pangan dalam tahun anggaran 1980/1981 terutama disebabkan oleh kenaikan harga beras di luar negeri dan meningkatnya impor beras karena terbatasnya produksi di dalam negeri. Seiring tercapainya swasembada beras dan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, maka sejak 1983/1984, alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi pangan tidak disediakan lagi. Namun disisi lain terjadi peningkatan pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Subsidi BBM diberikan karena BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional, mengingat peningkatan harga BBM mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi. Subsidi BBM diberikan sejak tahun anggaran 1977/1978, kebutuhan subsidi BBM yang cukup besar mulai dirasakan sejak
awal Pelita III, sehubungan dengan harga rninyak mentah yang terus
meningkat dengan cukup cepat. Subsidi BBM merupakan selisih antara hasil penjualan BBM di dalam negeri dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan BBM. Oleh karena itu, besar kecilnya subsidi BBM sangat ditentukan oleh hasil penjualan BBM dalam negeri yang besarnya tergantung kepada harga penjualan dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri. Selain itu, subsidi BBM juga ditentukan oleh biaya pengadaan BBM, yang basarnya dipengaruhi oleh biaya pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya
distribusi BBM. Mengingat biaya
pembelian rninyak mentah merupakan komponen terbesar dalam pengadaan BBM, maka subsidi BBM yang diberikan sering kali berbeda dengan perhitungan semula karena pengaruh gejolak harga minyak mentah di pasar intemasional yang sulit diduga arahnya.
117
Pelita IV beban subsidi BBM mengalami penurunan yang cukup drastis, dari Rp 1.3 triliun (24.81 persen) pada Pelita III menjadi Rp 288 miliar (3.05 persen) pada Pelita IV. Penurunan proporsi ini selain karena terjadi penurunan subsidi BBM akibat penurunan harga rninyak mentah dunia, juga lebih disebabkan adanya peningkatan yang cukup besar pada pembayaran bunga utang. Bahkan dalam tahun anggaran 1986/1987, dimana harga minyak mentah jauh lebih rendah dari harga yang ditetapkan dalam APBN, diperoleh Laba Bersih Minyak (LBM) sebesar Rp 1 010.8 miliar. Subsidi BBM terbesar diberikan dalam tahun anggaran 1990/1991 yang mencapai Rp 3 305.7 miliar. Besarnya subsidi BBM tersebut selain disebabkan oleh peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional akibat terjadinya krisis teluk, juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri yang cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektivitas pengeluaran rutin, penghematan pemakaian devisa negara, serta mencegah pemborosan penggunaan energi dan mendukung kebijaksanaan diversifIkasi energi, maka secara berkala telah diupayakan pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga jual BBM di dalam negeri pada tingkat yang wajar. Penyesuaian harga jual BBM selama Pelita V telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu dalam tahun 1990, 1991, dan 1993. Dengan berbagai upaya tersebut dan dengan adanya kecenderungan penurunan harga minyak mentah pada rakhir pelita V, maka realisasi subsidi BBM dalam tahun 1991-1993 mengalami penurunan. Dalam tahun anggaran 1995/1996 diperoleh LBM sebesar Rp 487.6 miliar. Sementara itu dalam APBN 1996/1997 alokasi pengeluaran rutin untuk subsidi BBM tidak disediakan oleh karena diperkirakan akan masih diterima laba bersih minyak. Perkembangan
118
subsidi pangan dan subsidi BBM sejak tahun anggaran 1969/1970 sampai dengan tahun anggaran 1996/1997.
5.1.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang Pada Pelita I pembayaran untuk bunga utang masih relatif sangat kecil hanya sekitar 2.5 persen. Pada Pelita II. pemerintah sudah mulai mengeluarkan anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 91.5 miliar. Komposisi belanja antara pengeluaran rutin dan pembangunan sampai Pelita III relatif proporsional. Namun seiiring berakhirnya era boom oil. Indonesia mulai tergantung pada pembiayaan yang bersumber utang luar negeri. Alhasil pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok meningkat. Sebagai konsekuensinya porsi anggaran pembayaran bunga utang meningkat cukup tajam. Sementara pada pelita IV. peningkatan belanja rutin disebabkan terjadi peningkatan beban bunga utang mencapai puncaknya yaitu meningkat hampir 5 kali lipat. dari Rp 582 miliar (10.97persen) pada Pelita III menjadi Rp 2.8 triliun (30persen) pada Pelita IV.
5.1.2.5. Belanja Pembangunan Pada periode ini ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Kesehatan/Puskesmas sebesar Rp 11.94 miliar, Inpres Pasar Rp 520 juta. dan Inpres Penghijauan/Reboisasi Rp 15.3 miliar. Pada III ada penambahan program pembangunan di daerah berupa Inpres Penunjang Jalan sebesar Rp 37.6 miliar. Selain itu, anggaran pembangunan berupa Inpres SD juga mengalami peningkatan signifikan menjadi Rp 327.9 miliar. Pada pelita IV, peningkatan signifikan pada belanja pembangunan terjadi pada karena Inpres Penunjang Jalan yakni sebesar Rp 120 miliar. Pada Pelita VI tidak ada lagi alokasi anggaran
119
berupa Inpres Penunjang Jalan, dan digantikan dengan Inpres Desa Tertinggal sebesar Rp 473.37 triliun. Pada periode ini memasuki permulaan krisis, dimana beban pemerintah untuk membayar bunga utang serta pokok utang mencapai puncaknya. Ditambah lagi kondisi defisit neraca pembayaran yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan mata uang dolar, yang pada periode selanjutnya akan membawa pada situasi sulit. 5.1.2.6. Belanja Transfer Daerah Selama orde baru komposisi didominasi belanja pemerintah pusat dan yang langsung ke daerah relatif kecil. Namun mayoritas anggaran yang di daerah berupa anggaran pembangunan. Komposisi anggaran belanja daerah antara lain terdiri dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur melalui Inpres. Pada Pelita I, anggaran belanja belanja daerah baru mencapai Rp 67.28 miliar atau 11.54 persen. Namun demikian, hampir seluruh belanja ke daerah dialokasikan untuk belanja pembangunan dalam bentuk anggaran program dan proyek berupa dana bagi hasil dari Ipeda/PBB; Dana Alokasi Umum yang terdiri dari Inpres Desa/Inpres Kabupaten/Dati II dan Inpres Propinsi/Dati I; Dana Alokasi Khusus berupa Inpres SD. Pada Pelita II, anggaran belanja daerah meningkat cukup signikan menjadi Rp635 miliar atau 20.59 persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja untuk daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus yang
ditujukan
untuk
Inpres
Kesehatan/Puskesmas
dan
Inpres
Penghijauan/Reboisasi. Pada pelita III, secara nominal anggaran belanja daerah meningkat menjadi Rp2.1 triliun, namun secara proporsi turun menjadi 17.40 persen. Hal ini disebabkan peningkatan anggaran belanja pemerintah pusat untuk pembayaran bunga utang luar negeri yang mencapai Rp 528.86 miliar serta untuk
120
Subsidi BBM sebesar Rp 1.3 triliun. Padahal pada Pelita II, subsidi untuk BBM baru mencapai Rp 51 miliar. 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 Belanja Pusat
Pelita I 515,62
Pelita II 2.453,12
Pelita III 10.339,5
Pelita IV 17.627,2
Pelita V 36.464,7
Pelita VI 51.855,6
Belanja Daerah
67,28
635,98
2.178,12
4.054,16
8.712,32
16.096,5
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997 Gambar 22. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Selama Periode Sebelum Krisis 1997
Pada Pelita IV, anggaran belanja daerah sebesar Rp4 triliun atau 18.70 persen. Demikian juga pada Pelita V, untuk anggaran belanja daerah sebesar Rp 8.7 triliun (19.28 persen). Selanjutnya pada Pelita VI, terjadi peningkatan yang cukup besar pada belanja daerah melalui belanja pembangunan Inpres Penunjang Jalan mencapai 8 kali lipat sebesar Rp 832 miliar. Selain itu, pada pelita V sudah tidak ada lagi alokasi anggaran untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang.
5.1.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Selama orde baru, walaupun pemerintah menerapkan kebijakan anggaran berimbang, pada kenyataannya besarnya penerimaan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan belanja pemerintah. Tabel 23 menunjukkan kekurangan sumber pembiayaan yang ditutup dengan utang. Selama Pelita I sampai dengan Pelita III, kekurangan pembiayaan untuk belanja pemerintah atau defisit anggaran
121
masih cukup rendah. Pada Pelita I defisit anggaran baru mencapai Rp 69.80 miliar dan ditutup dengan utang luar negeri. Namun seiring dengan membengkaknya belanja rutin pemerintah, mulai pelita III defisit anggaran semakin meningkat menjadi 1 triliun yang diikuti peningkatan penarikan utang baru. Peningkatan utang baru terbesar terjadi pada pelita IV, terutama ketika era oil boom telah berakhir. Kondisi ini sangat ironis, disaat penerimaan negara meningkat cukup besar karena peningkatan penerimaan dari migas, disisi lain utang luar negeri justru meningkat cukup besar. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan belanja belanja rutin akibat besarnya beban subsidi. Jadi akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia, maka pemerintah mengeluarkan anggaran subsidi BBM untuk menekan harga minyak di dalam negeri tidak naik.
Tabel 23. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Uraian
Pelita I
Pelita II
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan 1. Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan Dalam Negeri b. Non Perbankan DN
-69.8 69.8 -16.8 -11.9 -4.9
-148.0 148.0 -71.8 -63.6 -8.2
-1 003.8 1 003.8 -60.9 -21.0 -39.9
-1 801.3 1 801.3 -126.8 -101.2 -25.7
-926.1 926.1 -471.4 -266.8 -204.6
6 491.3 -6 491.3 -2 633.6 -529.3 -2 104.3
2. Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN
86.6 110.9
219.8 334.8
1 064.7 1 600.7
1 928.1 5 160.6
1 397.5 9 707.5
-3 857.7 10 248.9
-24.3
-115.1
-536.0
-3 232.5
-8 309.9
-14 106.6
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997
Disamping menimbulkan beban subsidi, kenaikkan harga minyak dunia juga memicu terjadinya inflasi. Sebagai akibat tingginya harga minyak, penerimaan negara dari ekspor migas meningkat secara signifikan. Hal ini berdampak pada peningkatan belanja pemerintah, terutama porsi belanja rutin pemerintah untuk gaji pegawai. Peningkatan gaji ini yang mendorong terjadinya
122
inflasi akibat mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan porsi belanja rutin ini yang selanjutnya menciptakan peningkatan defisit anggaran dan ketergantungan pada utang luar negeri. Pada periode selanjutnya beban pembayaran bunga mendominasi komposisi belanja rutin pemerintah. Ironisnya Gambar 23 menunjukkan bahwa mulai Pelita V Indonesia sudah mengalami net negatif transfer untuk penarikan utang luar negeri baru. Artinya besarnya penarikan utang baru lebih besar dari beban pembayaran total bunga dan cicilan pokok. Hasilnya walaupun kebijakan anggaran defisit, namun tidak ada sumber pembiayaan
tambahan
untuk
meningkatkan
belanja
pemerintah
dalam
menstimulus perekonomian.
25.000,00 20.000,00 15.000,00
10.000,00 5.000,00 (5.000,00)
Pelita I
Pelita II
Pelita III
Pelita IV
Pelita V
Pelita VI
(10.000,00) (15.000,00) Total Bunga & Cicilan Pokok
(miliar Rp) Bunga & Cicilan Pokok Penarikan Pinjaman LN Net Transfer
Pelita I 37 111 74
Penarikan Pinjaman LN
Pelita II 207 335 128
Pelita III 1,119 1,601 482
Pelita IV 6 045 5 161 -885
Net Transfer
Pelita V 13 648 9 707 -3 941
Pelita VI 20 563 10 249 -10 314
Sumber : Nota Keuangan RI, Tahun 1969/1970-1996/1997 Gambar 23. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997
123
5.1.4. Kinerja Perekonomian Pertumbuhan ekonomi selama Pelita I sampai II cukup tinggi, dimana ratarata 7 persen pertahun, tabungan pemerintah meningkat, penerimaan devisa meningkat terutama berasal dari sektor migas. Gambar 24 mengilustrasikan bahwa pada pertengahan era 1970-an perekonomian Indonesia mengalami gangguan harga minyak dunia turun dan kuota produksi minyak juga turun. Akibatnya ekspor neto turun 38 persen dan ekspor nonmigas turun 30 persen, sedangkan impor nonmigas meningkat. Neraca berjalan defisit US$ 2.7 miliar pada tahun 1981 dan US$6.7 miliar pada tahun 1982, sehingga pertumbuhan ekonomi hanya 2.24 persen pada tahun 1982. Implikasinya terjadi penghematan angaran belanja pada tahun 1983-1984, disertai peningkatan pinjaman luar negeri dan kebijakan devaluasi rupiah pada tahun 1983. Juga dilakukan penjadwalan ulang proyek pemerintah dan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 1984 serta pengurangan subsidi pupuk/pestisida. Keberhasilan dalam Pelita I yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4 persen setahun. Hal ini terjait dengan alokasi belanja pemerintah untuk mendorong berdirinya industri pupuk, semen, dan tekstil. Disamping itu juga dialokasikan belanja untuk perbaikan infrastruktur jalan raya dan banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik dan disertai semakin meningkatnya anggaran untuk sektor pendidikan. Pada Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan pendapatan per kapita rata-rata penduduk 7 persen. Alokasi belanja banyak diperuntukkan perbaikan irigasi, jalan dan jembatan. Pelita III program untuk mendukung terciptanya swa-sembada pangan gencar dilaksanakan. Alhasil pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25.8 ton dan mencapai swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO
124
(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985, dan merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
35 30 25 20 15 10
5
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
0
Penduduk Miskin
Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 24. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita I – Pelita III
Namun prestasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama pelita I sampai pelita III tersebut tidak diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang signifikan. Gambar 24 menunjukkan jumlah penduduk miskin tetap tinggi dengan tingkat pengurangan yang relatif lambat, rata-rata pertahun hanya berkurang 1.5 persen. Pertumbuhan ekonomi hanya berdampak kecil terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Pada awal Pelita I jumlah penduduk miskin sekitar 25.8 persen, namun pada 1980 justru meningkat menjadi 28.7 persen. Upaya penurunan tingkat pengangguran lebih ironis lagi. Pada Pelita I dan II tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan, jika pada awal pelita I tahun 1970 tingkat pengangguran sebesar 3.8
125
persen, maka pada tahun 1973 meningkat menjadi 10.4 persen, dan baru tahun 1980 tingkat pengangguran turun hingga 1.7 persen. Namun selama tahun 19731976 pengangguran sangat tinggi, rata-rata sebesar persen 8.4 persen. Pada tahun 1979/1980 tingkat pengangguran baru mengalami penurunan yang cukup berarti. Gambar 25 menunjukkan menginjak Pelita IV, pemerintah menerapkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, dampaknya pada Pelita V perekonomian Indonesia tumbuh 6.7 persen/tahun. Selama PJP I pertumbuhan ekonomi sebesar 6.7 persen per tahun, pendapatan perkapita naik dari US$70 pada tahun 1969 meningkat menjadi US$770 pada tahun 1993. Sebagai dampaknya, penduduk miskin pada pelita IV berkurang hingga 14.55 persen. Namun pada pelita V jumlah penduduk miskin kembali meningkat menjadi 19.7 persen. Demikian juga tingkat pengangguran, selama pelita IV sampai pelita V justru terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 tingkat pengangguran mencapai 7.2 persen.
25,00
20,00 15,00 10,00 5,00
Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Penduduk Miskin
Sumber : Biro Pusat Statistik Gambar 25. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pelita IV – Pelita VI
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0,00
126
Secara umum dapat disimpulkan, selama periode sebelum krisis ekonomi keberhasilan program swasembada pangan telah berdampak signifikan pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin menurun drastis sampai dengan tahun 1992/1993. Namun disisi lain angka penganguran justru meningkat, walaupun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Kondisi ini dapat diartikan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menciptakan kesempatan kerja. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa belanja pemerintah tidak mampu menstimulus kinerja sektor riil yang mampu menciptakan lapangan kerja baru.
5.2.
Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun 1997 – 2010
5.2.1. Realisasi Penerimaan Negara Pada periode setelah krisis ekonomi, sumber penerimaan negara terbesar berasal dari penerimaan perpajakan. Gambar 26 menunjukkan pada tahun 2005, realisasi penerimaan dari pajak sebesar Rp347 triliun dengan tax ratio sebesar 12.7 persen terhadap PDB. Pada tahun yang sama, penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak sebesar Rp146.9 triliun. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2008 penerimaan pajak mencapai Rp6 587 triliun, lalu pada tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp 619.9 triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak mengalami fluktuasi dari tahun 2005 sampai tahun 2009. Penerimaan perpajakan masih ditopang oleh penerimaan pajak dalam negeri, terutama dari pajak penghasilan nonmigas yang pada tahun 2005 sebesar Rp 140.4 triliun dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2009 mencapai Rp267.6 triliun. Jika dilihat dari tax ratio, penerimaan dari pajak masih
127
tergolong sangat rendah. Seyongganya Pemerintah mampu mendorong reformasi administrasi perpajakan serta langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan sehingga tax ratio dapat meningkat menjadi sekitar 14 persen. 800 700 600 500 400 300 200 100 0 P. Perpajakan
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 71 102 113 116 186 210 242 281 347 409 491 659 620 743
P. Bukan Pajak 41
54
75
89
115
88
P. Perpajakan
99
123 147 227 215 321 227 247
P. Bukan Pajak
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 26. Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri Periode Paska Krisis Tahun 1997-2010
Penerimaan pajak masih didominasi oleh pajak penghasilan dan pajak PPn sebagaimana terlihat dalam Gambar 27. Pajak perdagangan internasional terutama dalam bentuk bea masuk mengalami peningkatan pada tahun 2005 hingga tahun 2008, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor akibat krisis keuangan global. Sementara penerimaan pajak ketiga berasal dari cukai, khususnya cukai dari industri hasil tembakau.
128
400,0
350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0
PPh
PPn
Cukai
PBB & BPHTB
Bea Masuk
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
-
Pajak Lainnya
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 27. Komposisi Penerimaan Perpajakan Periode Paska Krisis, Tahun 1997-2010
5.2.2. Realisasi Belanja Negara Dalam kurun waktu pasca krisis (2000-2010), anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan
129
gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah lembaga non-struktural. Selama enam tahun terakhir (2005-2010), sebagian besar dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun 2010. Alokasi belanja terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, 2000 – 2010. (%) Jenis Belanja
2000
2001
2002
2004
2005
2007
2008
2009
2010
Subsidi
33.3
29.7
17.9
30.8
33.4
29.8
39.7
22.0
25.8
Belanja Pegawai
15.7
14.9
17.6
17.7
15.0
17.9
16.3
20.3
20.8
Pemb. Bunga Utang
26.6
33.5
39.1
21.0
18.1
15.8
12.8
14.9
13.5
Belanja Barang
5.1
3.8
5.7
5.2
8.1
10.8
8.1
12.8
14.4
Belanja Modal
13.7
16.0
16.7
20.7
9.1
12.7
10.5
12.1
12.2
5.6
2.2
3.0
4.6
16.3
13.0
12.7
17.9
13.4
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Belanja Lain-Lain Belanja Pusat
Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun 2000-2010 Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Selanjutnya, belanja barang ternyata juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat, bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada
130
periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010 menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN 2011.
5.2.2.1. Belanja Pegawai Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu 2005-2010 mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu sekitar 21.61 persen pada APBN tahun 2011. Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun 2010.
5.2.2.2. Belanja Barang Dalam periode 2005-2010, anggaran belanja barang secara nominal terus mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga
131
terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4 persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai 16.47 persen pada APBN tahun 2011. Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya. Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan peningkatan belanja barang.
5.2.2.3. Belanja Subsidi Dalam rentang waktu 2000-2010, realisasi anggaran belanja subsidi mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun (33.43 persen) pada tahun 2005, menjadi Rp138.1 (21.96 persen) triliun pada tahun 2009. Disamping itu, persentase belanja subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40 persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi, dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM. Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya yaitu (1) meningkatnya harga minyak mentah dunia, (2) fluktuasi nilai tukar rupiah, (3) meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi industri otomotif, (4) ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan nasional.
132
Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3 triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp40.7 triliun pada tahun 2011.
Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011 Uraian
2005
Subsidi Energi 104.4 1. Subsidi BBM 95.6 2. Subsidi Listrik 8.9 Subsidi NonEnergi 16.3 1. Subsidi Pangan 6.4 2. Subsidi Pupuk 2.5 3. Subsidi Benih 0.1 4. PSO 0.9 5. Kredit Program 0.1 6.Minyak Goreng 7. Subsidi Kedele 8. Subsidi Pajak 6.2 9. Subsidi Lainnya Jumlah 120.8 Sumber: Kementerian Keuangan
(Triliun Rupiah) 2009 2010
2006
2007
2008
94.6 64.2 30.4
116.9 83.8 33.1
223 139.1 83.9
94.6 45 49.5
144 88.9 55.1
12.8 5.3 3.2 0.1 1.8 0.3 1.9 0.3 107.4
33.3 6.6 6.3 0.5 1 0.3 0 17.1 1.5 150.2
52.3 12.1 15.2 1 1.7 0.9 0.2 0.1 21 275.3
43.5 13 18.3 1.6 1.3 1.1 8.2 138.1
57.3 13.9 18.4 2.3 1.4 2.9 18.4 201.3
133
Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp51 triliun pada tahun 2011. Dengan mempertimbangkan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar masyarakat.
5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata 12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada tahun 2010. Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri. Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit anggaran yang sangat bergantung dari utang. Dalam periode 2005-2011, defisit APBN berada pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun (0.5 persen terhadap PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahuntahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun (1.3 persen terhadap PDB), yang
134
bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami penurunan menjadi Rp4.1 triliun (0.1 persen terhadap PDB). Penurunan defisit anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), serta lonjakan penerimaan perpajakan yang jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun (1.6 persen dari PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009 dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia.
5.2.2.5. Belanja Modal Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar 16.24 persen pada APBN tahun 2011. Proporsi tersebut masih sangat kecil jika
135
dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan domestic conectivity.
5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2006-2010), anggaran belanja pemerintah daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari 258.9 triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada tahun 2005 ada sekitar 389 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 524 daerah. Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN 2011. Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7 triliun pada APBN 2011. Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang
136
mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian.
1.200 1.000
345 292
800 253
600
226
Belanja Pemerintah Pusat
2009
440 505
693 629
2008
2005
2004
2003
2002
2001
21 76
361 27 261 224 256 297 202 188 146
2007
2000
98
2006
33
1998
30
120
1997
200
1999
81
130
782
2010
150
400
0
309
Belanja Daerah
Sumber: Kementerian Keuangan, 2011 Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Paska Krisis, Tahun 1997-2010
Periode
Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tandatanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin
137
dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar
28.50 persen. Terakhir Dana
Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata.
5.2.3. Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan Sejak terjadi perubahan struktur APBN dari T-Account menjadi I-Account, dimana komponen pendapatan negara dan belanja di satukan dalam satu kolom, dapat langsung diketahui ABPN dalam keadaan surplus ataupun defisit. Dengan format ini juga langsung terlihat sumber pembiayaan defisit anggaran, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejak pasca krisis ekonomi 1997, defisit anggaran pemerintah terus membengkak, dimana pada tahun 2009 dan 2010
138
defisit anggaran mencapai Rp112 triliun dan Rp133 triliun. Pada periode sebelumnya defisit anggaran paling besar hanya mencapai Rp40 triliun.
Tabel 26. Perkembangan Defisit Anggaran dan Sumber Pembiayaan, Periode Pasca Krisis Ekonomi (Rp Miliar) Uraian Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan 1. Pembiayaan Dalam Negeri
1999
2000
2001
2002
2003
2004
-43 884
-16 132
-40 485
-23 652
-35 109
-23 810
43 884
16 232
40 485
23 652
35 109
20 796
14 497
5 937
30 218
17 024
34 562
48 553
a. Perbankan Dalam Negeri
-2 117
-12 964
-1 228
-8 140
10 705
22 713
b. Non Perbankan DN
16 613
18 900
31 445
25 164
23 857
25 841
29 388
10 196
10 267
6 628
575
-28 057
49 584
178 184
26 152
18 887
20 360
18 434
-20 196
-7 623
-15 885
-12 259
-19 812
-46 491
2008
2009 -112 583
2010 -133 748 133 748 133 903
2. Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN Uraian
2005
2006
2007
-14 408
-29 142
-49 844
-4 121
11 219
29 416
42 457
84 072
21 491
55 982
66 309
102 478
112 583 128 133
a. Perbankan Dalam Negeri
-2 453
18 913
8 420
16 159
41 057
45 477
b. Non Perbankan DN
23 942
37 069
57 889
86 318
87 076
88 426
-10 272
-26 566
-23 852
-19 100
-15 550
-156 58 662 -68 031
Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan 1. Pembiayaan Dalam Negeri
2. Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN b. Pembayaran Pokok Utang LN
26 840
26 115
34 070
44 074
50 219
-37 112
-52 681
-57 923
-63 175
-63 435
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010.
Sementara itu, sejak tahun 2001 sumber pembiayaan defisit anggaran terjadi pergeseran yang signifikan. Gambar 29 menunjukkan sebelum krisis sumber pembiayaan defisit didominasi oleh utang luar negeri beralih bersumber dari utang dalam negeri. Perubahan kebijakan ini didorong oleh terjadinya fluktuasi nilai tukar yang cukup tinggi sehingga berdampak pada peningkatan stok utang dan besarnya beban cicilan dan bunga utang. Sumber pembiayaan dalam negeri dipilih, disamping untuk mengoptimalkan potensi pendanaan dalam negeri, juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Permasalahannya, karena besarnya
139
kebutuhan pendanaan pemerintah untuk menutup defisit anggaran menyebabkan suku bunga obligasi dan Surat Utang Negara menjadi sangat tinggi.
Pada
akhirnya perubahan kebijakan sumber pembiayaan defisit ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan beban pembayaran bunga utang.
200.000 150.000 100.000 50.000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (50.000) (100.000) Total Bunga & Cicilan Pokok
Penarikan Pinjaman LN
Net Transfer
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, 1999-2010. Gambar 29. Net Transfer Utang Luar Negeri Selama Periode Sebelum Krisis Tahun 1997
5.2.4. Kinerja perekonomian Pasca krisis ekonomi 1997, kinerja perekonomian yang tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum krisis mencapai 7-8 persen, pada tahun 1998 pertumbuhan mengalami minus sekiatar 13 persen. Gambar 30 menunjukkan, selama 2000-2003 pertumbuhan hanya mencapai sekitar 4 persen. Pada tahun 2004-2006 pertumbuhan mengalami kenaikkan mencapai sekitar 5
140
persen. Pada tahun 2007-2008, pertumbuhan ekonomi relatif menuju pemulihan, yaitu mencapai 6 persen. Namun pada tahun 2009, ketika terjadi krisis keuangan global pertumbuhan ekonomi kembali turun menjadi 4,59 persen. Ironisnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berhasil menciptakan lapangan kerja yang memadai. Terbukti tingkat pengangguran justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005 dan 2006 tingkat pengangguran terbuka justru meningkat mencapai 11.2 persen dan 10.3 persen. Demikian jumlah penduduk miskin hanya mengalami berkurang rata-rata sebesar 4.1 persen. Artinya prosentase pengurangan jumlah penduduk miskin ini lebih kecil dari rata-rata tingkat pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan.
30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
-10,00
1998
-5,00
1997
0,00
-15,00 -20,00 Pertumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Penduduk Miskin
Sumber : Nota Keuangan dan LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 1999-2010. Gambar
30. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Selama Periode Pasca Krisis Ekonomi (Persen)
VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN
6.1.
Hasil Spesifikasi Model Model yang dibangun dalam penelitian Dampak Komposisi Belanja
Pemerintah ini diestimasi dengan menggunakan metode two stages squares (2SLS). Dari spesifikasi model maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil pendugaan ekonomi model penelitian ini cukup baik juga sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Dari 18 persamaan perilaku yang diestimasi, sebagian besar persamaan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.8040 sampai 0.9999. Hanya terdapat tiga (3) persamaan yang mempunyai R2 kurang dari 0.8 yaitu persamaan Tingkat Pengangguran (0.7717), Jumlah Penduduk Miskin (0.7255), dan Investasi Pemerintah (0.5590). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variables) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen. Dari indikator statistik diketahui bawah variasi variabel penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, disamping itu setiap
persamaan struktural mempunyai
besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic). Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Dalam studi ini taraf α yang digunakan α = 0.01, α = 0.05 dan α = 0.10. Berdasarkan hasil uji statistik
142
durbin-w (dw), terdapat beberapa persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena model dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan model dalam penelitian terdapat 26 persamaan, yang terdiri delanpan (8) persamaan identitas dan 16 persamaan perilaku atau persamaan struktural. Adapun persamaan identititas dalam penelitian ini terdiri : 1. PDBIt
= CONSt + INVTt + INVGt + CGOVt + (EXPOIMPO)t
(3.1)
2. YDt
= Yt - RTAXt + (SNBMt + SBBMt)
(3.3)
3. TREVt
= RDOMt + HBHt
(3.9)
4. RDOMt = RTAXt + PNBPt
(3.10)
5. BTOTt
= BTUSt + BTDRt
(3.12)
6. BTUSt
= BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt
(3.13)
7. BTDRt
= BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt
(3.20)
8. GPDBIt = (PDBIt – PDBIt-1)/PDBIt-1 * 100
(3.24)
Sementara persamaan perilaku dalam penelitian ini terdiri dari 18 persamaan berikut : 1.
1. CON St
= a0 + a1YDt + a2 LCONSt-1 + et
(3.2)
143
2. CGOVt
= b0 + b1RDOMt + b2DKt + b3LCGOVt-1 + et
(3.4)
3. INVTt
= c0 + c1PDBI + c2SBINVt + c3 LINVTt-1 + et
(3.5)
4. INVGt
= d0 + d1SBI3t + d2BMDLt + d3DKt + d4LINVTt-1 + et
(3.6)
5. EXPOt
= e0 + e1EXRRt + e2IHEt + e3INVTt + e4GIWLt + e5EXPOt-1 + et
(3.7)
6. IMPOt
= f0 + f1IHMt + f2PDBIt + f3LIMPOt-1 + et
(3.8)
7. RTAXt
= g0+ g1 GDBIt + g2 BTOTt + g3 LRTAXt-1 + et
8. BPGWt
= h0 + h1PNSt + h2INFLt + h3RTAXt + h4DOt + (3.14) h5LBPGWt-1 + et
9. BBRGt
= i0 + i1INVGt + i2TREVt + i3LBBRGt-1 + et
(3.15)
10. BMDLt
= j0 + j1RDOMt + j2DSPAt + j3LBMDLt-1 + et
(3.16)
11. BUTGt
= k0 + k1DFISt k4LBUTGt-1 + et
12. SNBMt
= l0 + l1PUNEMt + l2NPOVt-1 + l3LSNBMt-1 + et
13. SBBMt
= m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + j3LSBBMt-1 + (3.19) et = n0 + l1RDOMt + l2PNPOVt + l3LBDAKt-1 + et (3.21)
14. BDAKt
+k2LIBOR3t
+k3DEBTt
(3.11)
+ (3.17)
(3.18)
15. BDAUt
= o0 + o1RDOMt + o2PDBIt + o3 LGPOPIt + (3.22) o4DAUt-1 + et
16. BDBHt
= p0 + p1RMGSt + p2RNMGSt + p3GPDBIt+ (3.23) p4LBDBHt-1 +et
17. PUNEMt
= q0 + q1WAGEt + q2 TOTIt + q3LPUNEMt-1 + et
18. NPOVt
= r0 + r1 GPDBIt + r2 TSUBt + r3 PUNEMt + r4 (3.26) INFLt + r5 LNPOVt-1 + et
dimana : PDBIt CONSt CGOVt INVTt INVGt TOTIt
= = = = = =
Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) Total konsumsi (Rp Miliar) Konsumsi pemerintah (Rp Miliar) Total investasi (Rp Miliar) Total Investasi Pemerintah (Rp Miliar) Total Investasi (Rp Miliar)
(3.25)
144
EXPOt IMPOt YDt DKt SBINVtt SBI3t EXRRt IHEt GIWLt IHMt TREVt RDOMt HBHt RTAXt PNBPt BTOTt BTUSt BTDRt BPGWt BBRGt BMDLt BUTGt SNBMt SBBMt BLAINt PNSt INFLt GPDBIt DOt DSPAt DFISt LIBOR3t DEBTt PUNEM t NPOVt-1 POILt IMPMt RMGSt RNMGSt
6.2.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Ekspor (Rp Miliar) Impor (Rp Miliar) Pendapatan disposabel (Rp Miliar) Dummy Krisis Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (persen) Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (persen) Nilai Tukar Riil ($ US/Rp) Indeks Harga Ekspor Pertumbuhan Ekonomi Dunia (persen ) Indeks Harga Impor Total penerimaan negara (Rp Miliar) Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) Penerimaan dari hibah (Rp Miliar) Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar) Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) Belanja transfer daerah (Rp Miliar) Belanja Pegawai (Rp Miliar) Belanja Barang (Rp Miliar) Belanja Modal (Rp Miliar) Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) Subsidi Non BBM (Rp Miliar) Subsidi BBM (Rp Miliar) Belanja lain-lain (Rp Miliar) Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) Tingkat Inflasi (persen) Pertumbuhan Ekonomi (persen) Dummy otonomi daerah Dummy perubahan struktur APBN Defisit Anggaran (Rp Miliar) Suku bunga Dunia Riil (persen) Stok Utang Pemerintah (RP Miliar) Tingkat Pengangguran (juta orang) Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) Harga Minyak Mentah Dunia (Rp) Impor Migas (US$) Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar)
Hasil Pendugaan Model
6.2.1. Blok Pendapatan Nasional Blok pendapatan nasional merupakan blok yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam menciptakan pendapatan nasional. Seperti diketahui bahwa
145
perhitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari sektor Konsumsi, Investasi, Pemerintah dan Sektor Luar Negeri. Dengan demikian dalam model persamaan pendapatan nasional merupakan persamaan identitas, bukan persamaan perilaku. Masing-masing variabel yang membentuk pendapatan nasional mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antar variabel pada blok pendapatan nasional maka akan dilakukan pendugaan terhadap perilaku masingmasing variabel. Dalam blok pendapatan nasional terdapat enam (6) persamaan perilaku yaitu persamaan Konsumsi Rumah Tangga (CONS), Konsumsi Pemerintah (CONG), Investasi Swasta (INVT), Investasi Pemerintah (INVG), Ekspor (EXPO), dan Impor (IMPO). Hasil dari pendugaan model diketahui bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh variabel lag atau konsumsi tahun sebelumnya dan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Hasil pendugaan perilaku konsumsi rumah tangga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa respon konsumsi rumah tangga terhadap perubahan pendapatan disposable cukup elastis dalam jangka panjang. Pengaruh variabel lag yang signifikan menunjukkan pola konsumsi masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah tidak banyak berpengaruh terhadap pola dan
distribusi pendapatan disposable masyarakat.
146
Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini (Gini Coefficient) Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan bahwa kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1 ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada level 0.36 dan 0.37. Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level 0.33. Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat.
Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Variable
Intercept Yd LCONS Uji F = 7948.43
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Pr > |t|
-21657.4 0.174135
0.0143
0.28492
0.79108
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR 1.3638
Intercept
<.0001 a
Disposable Income
<.0001 a
Lag Konsumsi Swasta
R2 = 0.99768
DW=1.2884
0.01
Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan melalui Pajak Penghasilan (PPh) masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun
147
juga harus dibebankan Pada Pajak Pertambahan nilai (PPn) untuk barang-barang mewah. Sementara mekanisme subsidi harus ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, baik melalui subsidi input maupun subsidi output. Subsidi input dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas pembiayaan maupun peralatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga para pelaku UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memperoleh peningkatan pendapatan. Konsumsi
rumahtangga
merupakan
kontributor
terbesar
dalam
pembentukan pendapatan nasional di Indonesia. Porsi konsumsi rumah tangga rata-rata menyumbang hampir 60 persen terhadap total pendapatan nasional. Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Besarnya porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi ini ibarat pedang bermata dua. Satu sisi besarnya konsumsi, melalui efek pengganda (multiplier effect), akan berdampak positif mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Disisi lain, besarnya konsumsi menunjukkan tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Tentu saja kondisi ini akan mempengaruhi besaran pembentukan modal tetap yang akan diinvestasikan dalam perekonomian. Sementara itu hasil pendugaan untuk perilaku konsumsi pemerintah (CONG) menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah dipengaruhi secara positif oleh penerimaan domestik, pengaruh krisis ekonomi dan konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Namun variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah adalah variabel lag nya atau konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pola belanja pemerintah tidak mengalami banyak perubahan hanya berdasarkan pola historis tahun
148
sebelumnya. Sementara itu penerimaan domestik hanya memiliki elastisitas yang relatif kecil terhadap besarnya konsumsi pemerintah. Dalam jangka pendek elastisitas penerimaan domestik terhadap konsumsi pemerintah hanya 0.04 dan dalam jangka panjang sebesar 0.71. Artinya penerimaan domestik tidak signifikan mempengaruhi konsumsi pemerintah. Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi pemerintah adalah konsumsi pemerintah tahun sebelumnya. Koefisien parameter lag konsumsi pemerintah adalah sebesar 0.9422. Dengan demikian berarti pola dan perilaku konsumsi pemerintah lebih banyak merujuk pada pola tahun sebelumnya. Atau dengan kata lain, faktor yang menentukan besarnya konsumsi pemerintah adalah menggunakan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Hal ini juga bisa dilihat bahwa hampir tidak pernah ada perubahan yang signifikan dalam pola konsumsi pemerintah. Pola konsumsi pemerintah tercermin dalam komposisi belanja rutin, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja pembayaran utang, dan belanja lain-lain. Hampir tiap tahun komposisi belanja rutin tidak ada perubahan yang signifikan. Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pemerintah adalah pengaruh krisis ekonomi. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi konsumsi pemerintah mengalami perubahan yang signifikan, antara lain disebabkan oleh peningkatan inflasi, suku bunga dan fluktuasi nilai tukar. Inflasi telah menyebabkan hargaharga meningkat tajam sehingga menambah beban pengeluaran konsumsi pemerintah. Inflasi telah mendorong kenaikan porsi belanja rutin pemerintah, utamanya yaitu belanja pegawai, belanja barang dan subsidi. Sementara
149
kenaikkan suku bunga
dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan
terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah.
Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Variable
Parameter Estimate
Intercept
5646.629
RDOM
0.019354
dk LCONG Uji F = 1454.77
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR 0.0263
Intercept
0.0031 a
Penerimaan dalam Negeri
17120.53
0.0650 b
Dummy Krisis
0.942246
<.0001 a
Lag Cons Pemerintah
0.0409
Prop F = <.0001
0.7090
R2 = 0.98744
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf
DW=2.037197
0.01 dan 0.05
Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi. Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu 1.31. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap
150
investasi hanya sebesar -0.02 dan -0.11. Artinya investasi swasta di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga riil. Kondisi ini dapat juga dipengaruhi oleh adanya rigiditas perubahan suku bunga. Tingkat suku bunga investasi di Indonesia relatif sangat rigid atau kaku untuk berubah. Kekakuan ini antara lain disebabkan pengaruh struktur perbankan di Indonesia yang cenderung oligopoli atau terjadi kartel. Pangsa pasar perbankan hanya didominasi oleh beberapa bank besar saja. Rendahnya pengaruh perubahan suku bunga riil terhadap investasi juga menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain diluar suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap investasi. Variabel lain yang menentukan minat investasi diluar faktor suku bunga, diantaranya seperti faktor iklim investasi, cost of doing bussines dan tersedianya infrastruktur yang memadai.
Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Swasta Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-2322.85
SBINV
-490.49
-0.02661
PDBI
0.073881
0.33533
LINVT
0.743766
Uji F = 344.71
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.8132
Intercept
-0.104
0.4499
Suku Bunga Investasi
1.3087
0.0056 a
Produk Domestik Bruto
<.0001 a
Lag Investasi Swasta
R2 = 0.96636
DW=1.283074
0.01
Rendahnya minat investasi swasta di Indonesia disebabkan adalah iklim investasi yang tidak kondusif, seperti berbelitnya proses perijinan dan lamanya birokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain iklim investasi di Indonesia masih kurang menarik. Hal ini ditunjukkan oleh peringkat daya tarik investasi Indonesia masih berada para peringkat ke 129. Rendahnya peringkat daya tarik
151
Indonesia untuk berinvestasi bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki potensi untuk berinvestasi. Potensi sumber daya (resource base) Indonesia sangat berlimpah,
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Investor
kurang tertarik berinvestasi di Indonesia karena lamanya proses perijinan untuk mulai berinvestasi (45 hari) dan banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha sebagaimana ditunjukkan Tabel 30.
Tabel 30. Biaya Transaksi Perijinan Mulai Usaha NEGARA
Peringkat Daya Saing
Singapura 1 Malaysia 18 Thailand 17 Brunei 83 Vietnam 98 INDONESIA 129 Filipina 136 Kamboja 138 Laos 165 Sumber : World Bank, 2011
Jumlah Hari Mulai Bisnis 3 6 29 101 44 45 35 856 93
Jumlah Prosedur Mulai Bisnis 3 4 5 15 9 8 15 9 7
Biaya (% thd Pendapatan/ kapita) 0,7 16,4 6,2 11,8 10,6 17,9 19,2 109,7 7,6
Kondisi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh perilaku investasi pemerintah. Tabel 31 menunjukkan hasil pendugaan terhadap Investasi Pemerintah, dimana Investasi pemerintah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga SBI, krisis ekonomi dan belanja modal. Tingkat suku bunga SBI dan krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif sementara belanja modal mempunyai hubungan yang positif terhadap investasi pemerintah. Jika terjadi kenaikkan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi Pemerintah sekitar Rp581 miliar. Demikian juga krisis ekonomi telah berdampak pada berkurangnya investasi pemerintah. Dengan adanya krisis pengeluaran
152
pemerintah yang bersifat rutin meningkat sehingga porsi pengeluaran untuk investasi jadi semakin berkurang. Faktor lain yang menentukan besarnya Investasi Pemerintah adalah belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan untuk investasi. Sayangnya, belanja modal yang menjadi investasi pemerintah relatif sangat kecil. Jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp1 miliar maka investasi pemerintah hanya naik sebesar Rp 0,29 miliar. Artinya dari besarnya belanja modal pemerintah, hanya sekitar 30 persen yang berbentuk investasi pemerintah. Hal ini sekaligus mengindikasikan terjadinya inefisiensi, kebocoran atau
ketidak efektifan dari belanja modal
pemerintah. Ketidakefektifan belanja modal bisa jadi dipengaruhi oleh pola penyerapan anggaran yang buruk, dimana rata-rata penyerapan anggaran terkonsentrasi pada triwulan III dan bahkan akhir triwulan IV. Dengan singkatnya waktu penyerapan anggaran, niscaya akan berdampak pada kualitas penyerapan anggaran. Belanja modal yang yang dialokasikan dengan waktu kurang dari 6 bulan, tentu tidak akan menghasilkan pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari investasi pemerintah. Rendahnya porsi belanja modal dan singkatnya waktu penyerapan anggaran berakibat pada alokasi belanja modal tidak sepenuhnya
diperuntukkan pada
pembangunan infrastruktur baru.
Pembangunan infrastruktur hanya berupa perbaikan dari infrastruktur yang telah ada dan hanya bersifat tambal sulam. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, dimana dengan proporsi belanja modal yang sangat kecil masih menghadapi kualitas alokasi anggaran yang tidak tepat.
153
Permasalahan ini akan berimplikasi pada efektifitas peranan belanja modal yang seharusnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hasil pendugaan persamaan ini hanya memiliki derajat kepercayaan sebesar 57.9 persen, namun mempunyai tingkat kesalahan yang relatif kecil, yaitu kurang dari 1 persen. Artinya secara statistik pendugaan ini signifikan, namun masih ada variabel lain yang mempengaruhi perilaku investasi pemerintah diluar faktor suku bunga dan belanja modal.
Tabel 31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Intercept SBI3 BMDL dk LINVG Uji F =11.67
Pr > |t|
Variable
ELR
16260.38
0.0064
Intercept
-462.6
-0.11005
0.0000
0.1723 c
SBI3
0.292368
0.15927
0.0000
0.0660 b
Belanja Modal
-13269.6
0.0503b
Dummy Krisis
0.61136
0.0013 a
Lag Invesasi Pemerintah
Prop F = <.0001
R2 = 0.57149
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
DW=2.240126
0.01, 0.05 dan 0.10.
Hasil pendugaan pada persamaan ekspor menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai tukar rupiah. Elastisitas nilai tukar riil terhadap ekspor Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya ketika nilai tukar riil mengalami depresiasi 1 persen, maka dalam jangka pendek ekspor hanya meningkat sebesar 0.01 persen. Tingkat respon yang rendah antara ekspor dengan nilai tukar riil ini disebabkan karena besarnya bahan baku impor pada struktur produk-produk ekspor Indonesia. Jadi ketika rupiah mengalami depresiasi, tidak secara otomatis akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dari sisi harga.
154
Disamping itu, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas primer yang memiliki permintaan inelastis terhadap perubahan harga. Tabel 32 menunjukkan disamping dipengaruhi nilai tukar riil, kinerja ekspor juga dipengaruhi secara positif oleh indeks harga ekspor, investasi swasta dan permintaan dunia. Namun ketiga variabel ini juga mempunyai tingkat respon yang inelastis terhadap perubahan. Indeks harga ekspor hanya mempunyai elastisitas sebesar 0.19 dan permintaan dunia sebesar 0.05. Sementara investasi swasta relatif cukup mempunyai dampak terhadap kinerja ekspor dengan elastisitas sebesar 0.58. Variabel lag tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor dikarenakan kinerja ekspor sangat dinamis tergantung pada kondisi perekonomian global.
Tabel 32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
88807.66
EXRR
-3.05396
-0.01261
IHE
34055.77
INVT GIWL Uji F =258.38
Pr > |t|
Variable
ELR 0.0003
Intercept
-
0.5186
Nilai Tukar Riil
0.19135
-
<.0001 a
Indeks Harga Export
1.128624
0.5784
-
<.0001 a
Investasi Swasta
9067.399
0.0464
0.2111 c R2 = 0.96724
Prop F = <.0001
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Pertumb. Ekonomi Dunia DW=1.233002
0.01 dan 0.10.
Sementara itu hasil pendugaan dari persamaan impor pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap impor. Setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar Rp1 miliar berpengaruh pada peningkatan impor sebesar 0.21 miliar. Atau dalam jangka pendek setiap terjadi kenaikkan pendapatan nasional 1 persen maka akan terjadi peningkatan impor sebesar 0.64 persen. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi penurunan
155
pendapatan nasional, penurunan permintaan impor juga tidak terlalu signifikan. Dalam jangka panjang hubungan pendapatan nasional dengan permintaan impor cukup elastis, yaitu sebesar 1.64. Demikian juga indeks harga impor mempunyai hubungan yang sangat tidak elastis terhadap permintaan impor. Setiap terjadi kenaikan indeks harga impor 1 persen hanya berdampak penurunan permintaan impor sebesar 0.08 dalam jangka pendek dan 0.22 dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat tinggi, sehingga perubahan harga tidak akan berdampak signifikan terhadap perilaku impor. Hal ini disebabkan permintaan impor Indonesia tidak hanya terbatas pada barang konsumsi, namun juga permintaan terhadap impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal.
Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Impor Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-44520.5
IHM
-14753.1
-0.08863
-0.2265
0.1245 c
IHM
PDBI
0.212936
0.64269
1.6426
0.0005 a
Produk Domestik Bruto
<.0001 a
Lag Import
LIMPO
0.0885
0.60874
Uji F =247.57
Prop F = <.0001
R2 = 0.95377
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept
DW=1.984543
0.01 dan 0.10.
6.2.2. Blok Fiskal Pada blok fiskal akan dianalisis mengenai perilaku penerimaan pemerintah dan perilaku belanja pemerintah. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka porsi analisis untuk belanja pemerintah akan lebih detail per jenis belanja. Sementara perilaku penerimaan pemerintah hanya akan dianalisis dari perilaku total penerimaan yang bersumber dari pajak. Seperti diketahui kontributor terbesar
156
dari penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karenanya dalam model simultan ini, hanya perilaku penerimaan pajak yang akan diestimasi. Hasil pendugaan model perilaku Pajak pada Tabel 34 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan ekonomi. Namun, kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan penerimaan pajak relatif masih sangat kecil, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka penerimaan pajak hanya meningkat sebesar 0.03 persen dalam jangka pendek dan 0.04 dalam jangka panjang. Respon ini sekaligus menunjukkan masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, dimana tax ratio Indonesia baru mencapai 12.5 persen terhadap GDP. Sementara total belanja pemerintah berpengaruh relatif lebih elastis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Setiap kenaikkan 1 persen total belanja pemerintah, berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sebesar 0.94 persen dalam jangka pendek dan 1.07 persen dalam jangka panjang. Artinya total belanja pemerintah relatif mampu mendorong peningkatan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami karena kontributor utama penerimaan pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan dan pertambahan nilai. Sementara komponen terbesar total belanja pemerintah adalah untuk belanja pegawai, sehingga ketika terjadi peningkatan belanja pemerintah akan diikuti dengan penerimaan pajak. Tabel 34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-9723.07
GPDBI
823.3645
0.03574
0.0405
0.1775 c
Pertumbuhan Ekonomi
BTOT
0.599909
0.94491
1.0707
<.0001 a
Total Belanja
LRTAX
0.117506
0.0690 b
Lag Perimaan dari Pajak
Uji F = 3283.16
0.0232
Prop F = <.0001
R2 = 0.99636
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept
DW=1.849262
0.01, 0.05. dan 0.10
157
Sisi blok fiskal yang lain ada blok belanja pemerintah yang akan dianalisis secara detail per jenis belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun belanja transfer daerah. Belanja Pemerintah pusat terdiri dari enam (6) persamaan, yaitu Belanja Pegawai (BPGW), Belanja Barang (BBRG), Belanja Modal (BMDL), Pembayaran Bunga Utang (BTUG), dan Belanja Subsidi BBM (SBBM), dan Belanja Subsidi Non BBM (SNBM). Sementara pendugaan terhadap belanja transfer daerah terdiri 3 persamaan yaitu belanja Dana Alokasi Umum (BDAU), Belanja Dana Alokasi Khusus (BDAK), dan Belanja Dana Bagi Hasil (BDBH).
6.2.2.1. Belanja Pegawai Belanja pegawai merupakan jenis belanja rutin dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, baik untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS) maupun untuk gaji Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI). Gambar 32 menunjukkan komposisi dari alokasi belanja pegawai selama tahun 2006-2010. Komponen terbesar belanja pegawai adalah untuk pembayaran uang pensiun dan uang tunggu. Komposisi belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk PNS dan TNI/POLRI hampir sama, dimana kebutuhan untuk pembayaran gaji PNS mencapai sekitar Rp31 triliun dan untuk TNI/POLRI sekitar Rp28 triliun. Diluar untuk gaji dan tunjangan, komponen belanja pegawai juga dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pejabat negara sekitar 568 miliar dan untuk honorarium, lembur dan vakasi sekitar Rp5.6 triliun. Alokasi belanja pegawai dalam APBN merupakan belanja rutin dan mengambil porsi terbesar dalam komposisi belanja pemerintah pusat. Tingginya beban belanja pegwai terkait dengan luasnya wilayah teritorial Indonesia, sehingga memerlukan jumlah aparatur pemerintahan yang cukup besar.
158
134
Lainnya
99
Tunjangan Kesehatan Veteran
1.068
Belanja Asuransi Kesehatan
36.902
Belanja Pensiunan dan Uang Tunggu 5.614
Tunjangan Khusus & Belanja Pegawai…
5.206
Honorarium, Lembur, Vakasi Gaji dan Tunjangan Non…
568 567
Gaji dan Tunjangan Pejabat Negara
28.929
Gaji dan Tunjangan TNI/POLRI
31.390
Gaji dan Tunjangan PNS 0
10.000
20.000
30.000
40.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pegawai pada Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah PNS, penerimaan pajak dan kebijakan pemekaran wilayah mempunyai pengaruh yang positif terhadap besarnya belanja pegawai. Kebijakan pemekaran wilayah sejak tahun 2001 mempunyai hubungan dan dampak signifikan terhadap besarnya belanja pegawai. Akibat kebijakan pemekaran wilayah ini, terjadi peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang signifikan dan berujung pada meningkatnya gaji pegawai. Hasil dari pendugaan model, akibat kebijakan pemekaran wilayah ini berdampak pada peningkatan belanja pegawai sekitar Rp 9.4 triliun. Peningkatan belanja pegawai disamping disebabkan oleh peningkatan jumlah PNS, juga disebabkan oleh inflasi dan penerimaan pajak. Untuk mengimbangi laju inflasi, pemerintah telah melakukan kenaikan gaji berkala
159
untuk PNS. Sumbangan inflasi terhadap peningkatan belanja pegawai sebesar 0.02 persen dalam jangka pendek. Penerimaan pajak mempunyai elastisitas sedikit lebih besar daripada inflasi yaitu 0.20 persen. Secara umum variabel yang paling signifikan terhadap besarnya belanja pegawai adalah belanja pegawai tahun sebelumnya. Komposisi belanja pegawai juga hanya mengikuti pola dari tahuntahun sebelumnya. Artinya struktur besarnya gaji pokok, tunjangan, honorarium dan sebagainya sudah ditentukan polanya. Terbukti walaupun terjadi kenaikkan gaji berkala dari gaji PNSdan TNI/Polri namun jumlah dan besarnya sudah ditentukan secara fixed dengan formula yang ada. Jadi perubahan besarnya gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri tidak serta merta mengikuti perkembangan inflasi maupun besarnya penerimaan negara dari pajak. Kenaikkan besarnya gaji pegawai lebih ditentukan keputusan politik dari pemerintah.
Tabel 35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-816.713
PNS
0.000527
0.05996
0.3536
0.3045 c
INFL
47.90445
0.02412
0.1423
0.3622
RTAX
0.039853
0.1960
1.156
0.0163 b
Penerimaan Pajak
DO
9415.279
0.051 b
Dummy Otonomi Daerah
LBPGW
0.830453
<.0001 a
Lag Belanja Pegawai
Uji F = 670.23
0.6043
Prop F = <.0001
R2 = 0.98996
Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept Jumlah PNS Tingkat Inflasi
DW=2.624111
0.01, 0.05. dan 0.10
6.2.2.2. Belanja Barang Belanja barang adalah alokasi anggaran untuk membiayai keperluan operasional birokrasi, baik dalam bentuk pembelian barang maupun jasa. Komponen terbesar belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang
160
operasional, seperti Alat Tulis Kantor (ATK), peralatan serta untuk keperluan perjalanan dinas. Dari gambar 30 dapat dilihat, alokasi belanja barang terbesar adalah untuk belanja barang operasional, yaitu selama 2006-2010 rata-rata sebesar Rp21 triliun dan untuk belanja barang non operasional sekitar Rp14 triliun. Komposisi antara belanja barang operasional dan non operasional ini hampir setara, sehingga besar kemungkinan terjadinya peluang tumpang tindih atau doble anggaran. Komponen yang cukup besar berikutnya adalah belanja perjalanan dinas yang mencapai 12.5 triliun, yang meliputi perjalanan dinas di dalam dan ke luar negeri. Porsi perjalanan dinas menyedot alokasi anggaran cukup besar jika dibandingkan dengan total belanja yang dibutuhkan untuk belanja barang operasional maupun non operasional. Porsi perjalanan dinas mencapai 12.5 persen, hampir sama dengan porsi belanja non operasional 14.9 persen. Perjalanan dinas yang berkontribusi besar adalah perjalanan dinas ke luar negeri.
3.471
Belanja Barang BLU
12.503
Perjalanan
9.671
Belanja Jasa
14.914
Barang Non Operasional
20.959
Barang Operasional 0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun 2006-2010
161
Hasil estimasi terhadap persamaan belanja barang Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel investasi Pemerintah, total penerimaan negara dan variabel lag belanja barang memiliki hubungan dengan arah positif terhadap belanja barang. Idealnya besarnya belanja barang sejalan dengan besarnya investasi pemerinatah. Karena belanja barang digunakan untuk menunjang kebutuhan operasional mapun non operasional dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Belanja barang dan investasi pemerintah mempunyai hubungan yang inelastis. Setiap kenaikan investasi pemerintah sebesar 1 persen hanya berpengaruh pada peningkatan belanja barang sebesar 0.03 persen. Artinya penentuan besarnya kebutuhan belanja barang tidak ditentukan oleh volume kegiatan pemerintah. Padahal setiap investasi pemerintah mustinya harus dibarengi dengan biaya operasional seperti biaya pemeliharaan dari aset-aset pemerintah. Namun hubungan belanja barang dan investasi pemerintah ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Belanja barang juga tidak dipengaruhi cukup elastis oleh total penerimaan negara. Elastisitas jangka pendek penerimaan negara terhadap belanja barang hanya sebesar 0.23. Namun dalam jangka panjang total penerimaan negara mempunyai hubungan yang sangat elastis terhadap belanja barang, yaitu 24.26. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi belanja barang adalah variabel lag belanja barang itu sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa pola belanja pemerintah hanya mengikuti pola belanja yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir tidak ada perubahan dari komposisi belanja barang dari tahun ke tahun. Faktor fundamental, seperti kegiatan pemerintah yang di proksi dari Investasi Pemerintah, yang seharusnya berpengaruh paling signifikan
162
terhadap belanja barang justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik.
Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-703.527
INVG
0.009238
0.03237
TREV
0.01588
0.23098
LBBRG
Pr > |t| 0.6489
Intercept
3.3996
0.8102
Investasi Pemerintah
24.2573
0.0487 a
Total Penerimaan
<.0001a
Lag Belanja Barang
0.990478
Uji F = 402.45
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR
R2 = 0.97105
DW=2.398695
0.01.
6.2.2.3. Belanja Modal Belanja modal memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian. Belanja
modal
dapat
digunakan untuk
membiayai
berbagai
keperluan
pembangunan infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur yang memadai maka akan mendorong terjadinya peningkatan investasi dan peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan Investasi juga akan berdampak pada peningkatan kinerja ekspor dan dapat mengurangi permintaan impor. Dengan adanya peningkatan belanja modal maka peranan stimulus fiskal dalam perekonomian akan lebih optimal. Penggunaan belanja modal terbesar adalah untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan. Ketiga infrastruktur ini memang sangat besar peranannya dalam menunjang kinerja sektor riil. Disamping itu pembangunan infrastruktur, belanja modal juga dipergunakan untuk pembelian peralatan dan mesin untuk kebutuhan jangka panjang atau bersifat investasi. Sementara peralatan untuk keperluan operasional dialokasikan dari belanja barang. Namun data selama tahun 2006-2010, belanja modal juga dipergunakan untuk pembangunan gedung dengan porsi yang masih cukup signifikan, yaitu mencapai Rp14 triliun. Sementara untuk
163
pembangunan infrastruktur jalan hanya sekitar Rp28 triliun, serta peralatan dan mesin sebesar Rp21 triliun.
794
BLU, Bergulir & lainnya
2.976
Fisik Lainnya 212
Pemeliharaan
28.290
Jalan, irigasi, Jaringan 14.060
Gedung
21.676
Peralatan & Mesin 1.625
Tanah 0
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun 2006-2010
Hasil estimasi pada persamaan belanja modal Tabel 37 menunjukkan penerimaan dalam negeri mempunyai hubungan yang positif namun hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap besarnya belanja modal. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp1 miliar yang dialokasikan untuk belanja modal hanya sebesar Rp 0.03 miliar. Karenanya, elastisitas penerimaan domestik terhadap belanja modal hanya sebesar 0.22 dalam jangka pendek dan 0.55 dalam jangka panjang. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya proporsi belanja modal pada struktur belanja pemerintah. Padahal belanja modal semestinya merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri. Karena dengan adanya peningkatan belanja modal, maka akan meningkatkan investasi, ekspor dan juga konsumsi. Peningkatan sektor-sektor
164
tersebut yang pada akhirnya menjadi sumber penerimaan negara baik melalui mekanisme pajak maupun non pajak. Dalam model ini juga ditunjukkan adanya pengaruh perubahan struktur anggaran terhadap belanja modal. Sebelum tahun 2001, komponen belanja modal merupakan belanja pembangunan. Dalam komponen belanja pembangunan juga termasuk dalam belanja pembangunan yang diperuntukkan untuk daerah. Sementara setelah tahun 2001, komponen belanja modal hanya merupakan komponen belanja pemerintah pusat.
Tabel 37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
4628.47
0.0259
RDOM
0.030049
DSPA
4709.395
0.5098
Dummy Perubahan Anggaran
LBMDL
0.578954
0.0001a
Lag Belanja Modal
Uji F = 93.57
Prop F = <.0001
0.22798
Keterangan : a nyata pada taraf
0.54145
0.0187 a
R2 = 0.88633
Intercept Penerimaan Dalam Negeri
DW=2.180795
0.01
6.2.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang Komponen belanja pembayaran bunga utang terbesar adalah untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan bunga utang dalam negeri. Data selama 2006-2010 menunjukkan beban bunga utang dalam negeri jangka panjang ratarata mencapai Rp 27 triliun. Sementara beban pembayaran utang luar negeri jangka panjang telah mencapai Rp 55 triliun. Disamping pembayaran beban bunga utang jangka panjang, belanja bunga juga harus dialokasikan untuk pembayaran imbalan dan discount terhadap Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Utang Negara (SUN). Dalam tiga tahun terakhir jumlah SBSN
165
maupun SUN telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran imbal jasa SUN dan SBSN.
1.189
Pembayaran Denda
29
Imbalan SBSN DN
469
Loss on Bound Redemption Buy Back…
208
SUN LN
3.737
Discount SUN DN
400
Imbalan SBSN LN
1.997
Imbalan SBSN DN
27.856
Bunga Utang LN-Jangka Panjang
55.198
Bunga Utang DN-Jangka Panjang 0
10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun 2006-2010
Hasil pendugaan dari persamaan belanja pemerintah untuk pembayaran bunga utang Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi besarnya beban pembayaran bunga utang adalah besarnya akumulasi atau stok utang pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya penambahan utang baru pemerintah secara terus menerus. Elastisitas stok utang pemerintah terhadap beban pembayaran bunga utang adalah sebesar 0.64 dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang elastisitasnya lebih rendah yaitu 0.12. Hal ini dikarenakan dalam jangka panjang stok utang pemerintah tentu mengalami penurunan akibat pembayaran cicilan pokok utang.
166
Besarnya pengaruh akumulasi utang terhadap beban pembayaran bunga disebabkan oleh kebijakan defisit fiskal yang selalu ditutup dengan utang baru. Hasil pendugaan, defisit fiskal mempunyai hubungan yang positif terhadap beban = 10%. Dengan demikian
pembayaran bunga dengan taraf kepercayaan
kebijakan defisit anggaran yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada peningkatan beban anggaran itu sendiri pada tahun berikutnya.
Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-2404.62
0.6603
DFIS
0.134982
0.06496
0.1427
0.2404 c
LIBOR3
120.0732
0.00076
0.0017
0.8381
DEBT
0.056453
0.63788
0.1240
<.0001 a
Stok Utang Pemerintah
LBUTG
0.544715
<.0001 a
Lag Belanja Pemby. Utang
Uji F = 117.25
Prop F = <.0001
R2 = 0.93055
Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf
Intercept Defisit Fiskal LIBOR3
DW=1.754319
0.01 dan 0.10.
Hal yang menarik dari pendugaan perilaku persamaan pembayaran bunga ini adalah bahwa suku bunga internasional mempunyai hubungan yang tidak signifikan secara statistik. Suku bunga internasional yang di proxy dari suku bunga LIBOR 3 bulan merupakan variabel yang menentukan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Jika hasil pendugaan besarnya tingkat bunga secara statistik tidak signifikan artinya bahwa beban terbesar beban pembayaran bunga utang bukan terletak pada besar kecilnya tingkat suku bunga, namun namun pada besarnya akumulasi utang pemerintah. Tingkat suku bunga yang rendah sering menjadi justifikasi atau pembenaran pemerintah untuk selalu menambah utang baru. Walaupun dengan suku bunga yang rendah, namun jika
167
stok utang pemerintah terus bertambah maka beban pembayaran bunga akan sangat besar. Elastisitas suku bunga riil terhadap beban pembayaran utang pemerintah juga relatif tidak elastis. Hal ini disebabkan hampir semua utang Pemerintah adalah utang jangka panjang dimana beban tingkat suku bunga sudah ditentukan secara tertentu pada awal perjanjian. Artinya perubahan tingkat suku bunga pada utang pemerintah relatif kecil. Oleh sebab itu, kedepan faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan besar kecilnya utang baru adalah tidak hanya memperhatikan rendahnya tingkat bunga namun juga posisi stok atau akumulasi utang pemerintah. Pemerintah selalu menggunakan indikator untuk mengukur tingkat aman dari utang pemerintah adalah rasio utang terhadap GDP dan rasio utang terhadap ekspor. Likuiditas perekonomian seharusnya dilihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hanya dilihat dari rasio stok utang terhadap GDP, dimana pada tahun 2010 rasio utang Indonesia masih dalam level 41.9 persen memang masih berada pada level batas aman. Namun pembayaran bunga dan pokok utang ini kini sudah menjadi beban berat dalam APBN. Tabel 39 menunjukkan bahwa rasio beban bunga dan pokok terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 17.5 persen dan terhadap penerimaan pajak sebesar 24 persen. Artinya bahwa sekitar 24 persen dari hasil penerimaan pajak dari masyarakat habis untuk membayar bunga utang pemerintah. Apalagi jika dilihat dari posisi akumulasi utang pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri sudah mencapai 97.77 persen. Besarnya akumulasi utang ini berpotensi menimbulkan jebakan utang (debt trap).
168
Tabel 39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia (Rp Miliar) No
Uraian
1980
1990
556 925 9 933 2 912 8 895 407.7
950 478 42 193 22 011 32 867
1 389 770 205 335 115 913 188 392
2 310 690 992 248 723 307 697 407
4 959.2
50 068.1
754 8 147
12,577 83 119
57,691 630 951
105 650.2 173,681
4.10 14.00 4.58
11.75 22.53 15.09
24.38 43.19 26.58
10.65 14.61 15.15
Rasio F terhadap B
7.59
29.81
28.10
17.50
Rasio F terhadap C Rasio F terhadap D Rasio G terhadap A
25.90 8.48 1.46
57.14 38.27 8.74
49.77 30.62 45.40
24.01 24.90 41.98
Rasio G terhadap B
82.02
197.00
307.28
97.77
A B C D E
Pendapatan Nasional (GDP) Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan Pajak Total Belanja Pusat Pembayaran Bunga Utang
F G
Pembayaran Bunga + Pokok Stok Utang Pemerintah (%) Rasio E terhadap B Rasio E terhadap C Rasio E terhadap D
2000
2010
970 102
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Berbagai Tahun
6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM Kebijakan belanja subsidi Non BBM terbesar adalah untuk subsidi listrik, selebihnya dengan porsi yang relatif kecil diperuntukkan untuk subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih dan lainnya. Subsidi non BBM ini idealnya adalah ditujukan
untuk
pengangguaran.
program
pengentasan
kemiskinan
dan
pengurangan
Subsidi non BBM semestinya tidak hanya ditujukan untuk
program-program peningkatan konsumsi masyarakat seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dan Beras untuk masyarakat miskin (Raskin). Subsidi Non BBM akan lebih baik kalau dialokasikan untuk kegiatan yang meningkatkan produktifitas, seperti subsidi benih, peralatan pertanian ataupun subsidi pupuk. Dengan demikian akan dapat meningkatkan produktifitas di sektor
169
pertanian dan dengan sendirinya akan berkontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Subsidi juga dapat diberikan pada pemotongan pajak untuk usaha kecil dan menengah agar masyarakat miskin dapat meningkatkan usaha produktif, sehingga akan meningkatkan investasi.
822
Subsidi Lainnya
1.373
Subsidi PSO
12.973
Subsidi Pajak
12.270
Subsidi Pupuk 1.074
Subsidi Benih
50.904
Subsidi Listrik 10.428
Subsidi Pangan 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010 Hasil pendugaan dari persamaan belanja subsidi non BBM pada Tabel 40 menunjukkan bahwa belanja subsidi Non BBM dipengaruhi secara positif oleh jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Besarnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran mempunyai hubungan positif terhadap besarnya belanja subsidi non BBM. Hal ini ditunjukan dengan koefisien parameter, dimana setiap kenaikkan 1 juta penduduk miskin, memerlukan tambahan alokasi belanja subsidi non bbm sebesar Rp170 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.73. Sayangnya belanja non subsidi BBm ini diberikan dalam bentuk Bantuan langsung tunai (BLT) yang hanya berpengaruh pada peningkatan konsumsi masyarakat. Juga
170
ketika jumlah pengangguran meningkat 1 persen, maka belanja subsidi non BBM naik sebesar Rp 343 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.24. Dalam jangka panjang, baik tingkat pengangguran maupun tingkat kemiskinan mempunyai hubungan yang sangat elastis (Tabel 38). Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Intercept
-6 361.93
PUNEM
343.6425
0.24470
LNPOV
170.9685
0.73419
LSNBM
0.993466
Uji F = 49.35
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.3868
Intercept
37.45
0.5033
Tingkat Pengangguran
112.36
0.4306
Lag Juml. Penduduk Miskin
<.0001 a
Lag Belanja Sub Non BBM
R2 = 0.80439
DW=2.219149
0.01
6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM Belanja subsidi BBM memakan porsi terbesar dari besarnya subsidi yang diberikan pemerintah, terutama untuk subsdi premium, minyak tanah dan minyak solar (Tabel 3). Data 2008 menunjukkan penurunan besarnya subsidi untuk minyak tanah karena adanya program konversi terhadap gas elpiji. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa subsidi premium tidak tepat sasaran, karena penerimanya lebih banyak golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Besarnya subsidi BBM selalu menimbulkan kontroversi, hal ini dikarenakan BBM merupakan bahan bakar yang terkait langsung dengan kegiatan produksi maupun konsumsi masyarakat. Kenaikkan harga BBM pasti akan disertai dengan kenaikkan harga barang-barang dan akhirnya akan berdampak pada tingkat inflasi. Secara teoritis, sebanrnya inflasi tidak selalu berakibat negatif terhadap perekonomian. Kenaikan harga juga diperlukan untuk merangsang terjadinya peningkatan aggregat supply. Jika kenaikkan harga ini dapat dikendalikan maka
171
kenaikkan aggregat supply justru akan diikuti oleh kenaikkan permintaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.
8.882
Subsidi Elpiji
26.512
Subsidi Minyak Tanah
23.851
Subsidi Minyak Solar
30.548
Subsidi Premium
0
5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000
Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010 Gambar 36. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010 Hasil estimasi dari persamaan belanja subsidi BBM pada Tabel 41 menunjukkan besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan besarnya impor migas. Faktor utama besarnya subsidi BBM, sebenarnya bukan terletak pada perubahan harga minyak dunia, namun lebih dikarenakan kebutuhan impor migas yang cukup besar. Dalam model ini harga minyak mentah dunia telah dikonversi dalam mata uang rupiah, sehingga dapat langsung dihubungkan dengan kebutuhan besarnya subsidi. Hasil estimasi menunjukkan setiap terjadi kenaikkan 1 persen harga minyak mentah dunia, menyebabkan kenaikkan kebutuhan belanja subsidi BBM sebesar 0.02 persen. Namun jika terjadi kenaikan impor migas, terutama BBM, akan meningkatkan belanja subsidi sebesar 16.55 persen. Artinya, besarnya kebutuhan belanja subsidi BBM sebanrnya bukan disebabkan oleh kenaikkan harga minyak mentah dunia, tapi
172
karena besarnya kebutuhan impor migas untuk memenuhi tingginya permintaan BBM di dalam negeri.
Sebagian besar kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri
berasal dari impor. Bahkan Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. Padahal pada tahun 1980-an Indonesia masih menjadi negara net eksportir BBM. Peningkatan kebutuhan konsumsi terhadap BBM dalam negeri telah menyebabkan hubungan yang sangat erat antara besarnya kebutuhan impor dengan besarnya subsidi BBM. Setiap kenaikkan Rp1 miliar impor BBM telah berdampak pada peningkatan subsidi BBM sekiatar Rp1.34 miliar. Tabel 41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM Variable
Elastisitas
Parameter Estimate
ESR
Intercept
-16 304.5
POILR
0.191491
0.02236
IMPM
1.341059
16.54799
LSBBM
0.002516
Uji F = 85.11
Prop F = <.0001
Keterangan : a pada taraf
Pr > |t|
Variable
ELR 0.012
Intercept
0.0224
0.8381
Harga Minyak Mentah Riil
16.5897
<.0001a
Impor Migas
0.9842
Lag Belanja Subsidi BBM
R2 = 0.87643
DW=1.757323
0.01
Permintaan terbesar konsumsi BBM adalah untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat, terutama kebutuhan premium. Ketiadaan transportasi publik yang memadai menyebabkan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat ini menyebabkan daya tampung ruas jalan menjadi tidak memadai. Akibatnya hampir di semua kota besar terjadi kemacetan, sehingga mengakibatkan pemborosan penggunaan BBM dan semakin meningkatnya kebutuhan BBM. Sementara pemerintah belum mempunyai grand strategi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Oleh karenanya setiap terjadi kenaikkan harga minyak dunia, pasti akan menimbulkan polemik
173
6.2.2.7. Belanja Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana transfer daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK diperuntukkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Kegiatan khusus daerah yang menjadi prioritas nasional utamanya adalah program pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Dengan demikian, semestinya besarnya alokasi DAK dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hasil pendugaan Belanja Dana Alokasi Khusus pada Tabel 42 menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat kemiskinan tidak mempunyai pengaruh yang cukup elastis (hanya 0.29 persen) dalam menentukan besarnya DAK. Namun pengaruh tingkat kemiskinan terhadap DAK cukup besar, dimana setiap kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan mengakibatkan belanja DAK meningkat sebesar Rp 4.09 triliun.
Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Variabel
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Intercept
-1 244.02
0.3143
RDOM
0.008843
0.57490
2.0729
<.0001 a
PNPOV
4 095.655
0.29543
1.0652
0.4725
LBDAK
0.722654
<.0001 a
Uji F = 293.59 Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
Variable
ELR
R2 = 0.96073
Intercept Penerimaan dalam Negeri Tingkat Kemiskinan Lag Belanja Daerah DAK DW=1.570737
0.01
Namun hubungan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol atau tingkat kesalahan dari pendugaan ini cukup besar. Sementara penerimaan dalam negeri juga memiliki hubungan yang positif dengan belanja DAK, dengan
174
pengaruh yang tidak terlalu besar. Namun, secara statistik hubungan antara penerimaan dalam negeri dan belanja DAK mempunyai hubungan yang signifikan denagan tingkat
= 0.01 dan ditunjukkan dengan tingkat kesalahan yang sangat
kecil dibawah 1 persen.
6.2.2.8. Belanja Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk menjalankan tugas pelayanan pemerintahan di tingkat daerah. Oleh sebab itu, salah satu formulasi penentuan besarnya DAU adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah daerah. Hasil estimasi dari persamaan belanja DAU seperti dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya belanja DAU. Setiap kenaikan 1 juta jumlah penduduk berpengaruh pada peningkatan dana DAU sebesar Rp240 miliar. Atau peningkatan 1 persen jumlah penduduk berdampak pada peningkatan DAU sebesar 0.03 persen. Namun korelasi antara jumlah penduduk dan DAU ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Sementara jumlah penerimaan dalam negeri dan pendapatan domestik bruto juga berpengaruh positif. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1 miliar maka yang akan dialokasikan pada peningkatan belanja DAU sebesar Rp0.11 miliar. Atau setiap peningkatan 1 persen penerimaan domestik dialokasikan untuk belanja DAU sebesar 0.58 persen. Namun hubungan ketiga variabel tersebut dengan belanja DAU secara statistik tidak signifikan dengan tingkat kesalahan kesalahan pendugaan yang masih cukup besar. Variabel yang signifikan hanyalah besarnya belanja DAU pada tahun sebelumnya. Bisa jadi
175
penentuan formula besarnya DAU hanya mengikuti pada pola tahun-tahun sebelumnya saja.
Tabel 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Dana Alokasi Umum Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-1 456.97
RDOM
0.118351
0.58192
1.1607
PDBI
-0.00017
-0.00494
-0.00985
0.9686
Produk Domestik Bruto
GPOPI
740.9836
0.03483
0.06947
0.6557
Pertumbuhan Penduduk
LBDAU
0.498646
Uji F = 777.17
0.7837
<.0001 a
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
<.0001 a
R2 = 0.98887
Intercept Penerimaan dalam Negeri
Lag Belanja Daerah DAU DW=1.959068
0.01
6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil Belanja Bagi hasil merupakan dana transfer daerah yang ditujukan untuk memenuhi asas keadilan dan pemerataan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui sumber daya alam baik yang berbentuk migas maupun non migas dihasilkan oleh daerah. Untuk itu harus adanya pembagian yang proporsional terhadap hasil sumber daya tersebut antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil pendugaan untuk persamaan Belanja Dana Bagi Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerimaan migas mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap belanja dana bagi hasil. Hal ini dikarenakan belanja bagi hasil sebagian besar berasal dari penerimaan migas. Setiap kenaikan Rp1 miliar penerimaan non migas yang dialokasikan untuk belanja bagi hasil sebesar Rp0,1 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.29. Sementara peningkatan penerimaan migas Rp1 miliar hanya berpengaruh terhadap besarnya dana bagi hasil sebesar Rp0.88 miliar atau elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.36. penerimaan,
pertumbuhan ekonomi
juga
berpengaruh
Disamping
signifikan,
setiap
176
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan belanja dana bagi hasil sebesar Rp78 miliar atau sebesar 0.03 persen.
Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer daerah Dana Bagi Hasil Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
-1 258.84
RNMGS
0.099113
0.29013
0.5607
<.0001 a
Penerimaan Non Migas
RMGS
0.87792
0.36723
0.7097
<.0001 a
Penerimaan Migas
GPDBI
78.46814
0.02934
0.0567
0.4291
LBDBH
0.482529
Uji F = 1648.12
0.0859
<.0001 a
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
R2 = 0.99472
Intercept
Pertumbuhan Ekonomi Lag Belanja DBH DW=1.437371
0.01
6.2.3. Blok Kinerja Perekonomian Pada blok kinerja perekonomian digunakan untuk mengukur perilaku dari indikator kinerja perekonomian, utamanya adalah pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskianan. Namun demikian, karena persamaan pertumbuhan ekonomi merupakan persamaan identitas bukan persamaan perilaku maka yang dapat diestimasi hanya persamaan tingkat kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Untuk melihat tingkat kesempatan kerja akan di proxy dengan perilaku tingkat pengangguran. Hasil estimasi dari persamaan tingkat pengangguran diketahui bahwa tingkat pengangguran sangat dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata tingkat upah riil. Jika tingkat upah riil naik sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran akan naik sebesar 0.42 persen. Sedangkan total investasi berpengaruh negatif dan secara statistik cukup signifikan terhadap tingkat pengangguran. Namun secara ekonomi, total investasi hanya berpengaruh kecil terhadap pengurangan pengangguran. Setiap kenaikkan 1 persen investasi total,
177
maka tingkat pengangguran akan turun sangat kecil sekali seperti yang ditunjukkan Tabel 45. Tabel 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran Variable
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
Variable
ELR
Intercept
1.524157
0.0133
WAGE
0.000013
0.42936
1.1124
0.0016 a
Tingkat Upah
TOTI
-6.38E-06
-3.07E-01
-1.653E-05
0.0156 a
Total Investasi
LPUNEM
0.614013
<.0001 a
Lag Tingk. Pengangguran
Uji F = 40.58
Prop F = <.0001
Keterangan : a nyata pada taraf
R2 = 0.77179
Intercept
DW=1.872554
0.01
Relatif kecilnya pengaruh tingkat Investasi terhadap pengangguran ini disebabkan karena pertumbuhan tingkat investasi yang rendah dan pertumbuhan investasi terbesar berada pada sektor-setor non tradable. Sektor-sektor non tradabe seperti sektor jasa dan pengangkutan merupakan sektor yang relatif padat modal, sehingga tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara sektorsektor pertanian dan industri cenderung pertumbuhannya menurun dan menyerap investasi yang relatif rendah. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kenaikan tingkat upah riil dengan tingkat pengangguran disebabkan karena kondisi faktor pasar tenaga kerja yang mengalami over supply tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat pengangguran terbuka yang cukup besar. Disamping pengangguran terbuka, jumlah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh atau tingkat pengangguran terselubung mencapai 33 persen. Di tengah rendahnya tingkat Investasi kondisi pasar tenaga kerja yang seperti ini akan cenderung membuat upah riil cenderung tidak berubah atau rigid. Disisi lain tingginya tingkat inflasi membuat tuntutan pekerja terhadap kenaikkan upah menjadi suatu keniscayaan. Tuntutan kenaikkan
178
upah inilah yang mendorong meningkatnya biaya produksi dan selanjutnya cenderung berdampak pada menurunnya ekspansi penyerapan tenaga kerja. Tabel 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia Uraian
2007
2008
2009
2010
PENDUDUK 15 THN KEATAS
164 118 323
166 641 050
169 328 208
172 070 339
1. ANGKATAN KERJA (AK)
109 941 359
111 947 265
113 833 280
116 527 546
66.99
67.18
67.23
67.72
99 930 217
102 552 750
104 870 663
108 207 767
68.34 109 670 399
90.89
91.61
92.13
92.86
93.44
69 031 794
69 213 385
70 902 834
72 450 960
72 447 648
Tingkat Partisipasi AK (%) a. Bekerja Tingkat kesempatan Kerja(%) i. Pekerja Penuh Penyerapan Kerja Penuh(%) ii. Pekerja Tidak Penuh Pengang. Terselubung (%) b. Pengangguran Terbuka
2011 171 756 077 117 370 485
69.08
67.49
67.61
66.96
66.06
30 898 423
33 339 365
33 967 829
35 756 807
37 222 751
30.92
32.51
32.39
33.04
33.94
10 011 142
9 394 515
8 962 617
8 319 779
7 700 086
Tingkat pengang.Terbuka (%)
9.11
8.39
7.87
7.14
6.56
2. BUKAN ANGKATAN KERJA
54 176 964
54 693 785
55 494 928
55 542 793
54 385 592
a. Sekolah
13 777 378
13 226 066
13 810 846
14 011 778
13 104 294
b. Mengurus Rumahtangga
31 989 042
32 770 941
33 346 950
32 971 456
32 890 423
8 410 544
8 696 778
8 337 132
8 559 559
8 390 875
c. Lainnya
Sumber : Sakernas, BPS
Sementara itu hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif antara besarnya pertumbuhan ekonomi dan total subsidi pemerintah. Elastisitas jangka pendek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 0.01 dan dalam jangka panjang sebesar 0.05. Artinya setiap kenaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 0.01 persen dalam jangka pendek dan 0.05 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak pro poor dan pro job. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu memperluas lapangan kerja sehingga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.
179
Demikian juga total subsidi pemerintah, elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang sangat kecil sekali seperti ditunjukkan Tabel 47. Artinya peningkatan belanja subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap upaya penurunan kemiskinan (pro poor).
Hal ini dikarenakan upaya penangulangan
kemiskinan oleh pemerintah hanya bersifat adhoc seperti BLT dan Raskin yang tidak berdampak pada pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan adanya tambahan Rp100 ribu per bulan maka sebagian penduduk miskin sudah bergeser dari garis kemiskinan Rp 233 ribu. Namun jika dilihat dari hasil pendugaan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, maka dapat tarik kesimpulan bahwa program BLT juga belum berpengaruh besar terhadap pergeseran penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Rendahnya pengaruh kebijakan subsidi terhadap pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa program subsidi yang seharusnya ditujukan untuk asas pemerataan dan keadilan bagi penduduk miskin tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan proporsi belanja subsidi terbesar adalah subsidi energi atau subsidi BBM. Dimana subsidi BBM sebagian besar yang menikmati adalah penduduk golongan menengah keatas. Sementara subsidi non BBM yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin porsinya relatif kecil. Faktor lain yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin adalah tingkat inflasi. Walaupun tingkat elastisitasnya jangka pendek maupun jangka pendek tidak cukup elastis, namun inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga-harga secara umum yang meningkat tajam membuat daya beli masyarakat menurun dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, tingkat pengangguran juga mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk. Pengangguran
180
yang meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Namun hubungan antara pengangguran dan jumlah penduduk miskin secara statististik tidak berbeda nyata dengan nol.
Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin Variable
Intercept GPDBI TSUB PUNEM INFL LNPOV
Parameter Estimate
Elastisitas ESR
Pr > |t|
5.891078
0.1356
Intercept
-0.06716
-0.01024
-0.0516
0.783
-5.23E-06
-5.51E-03
-0.0278
0.6566
Total Subsidi
0.050175
0.00832
0.0419
0.8649
Tingkat Pengangguran
0.095047
0.03417
0.1722
0.1253 b
Tingkat Inflasi
<.0001 a
Lag Jumlah Penduduk Miskin
0.801552
Uji F =21.74
Prop F = <.0001
R2 =0.76172
Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf
6.3.
Variable
ELR Pertumbuhan Ekonomi
DW=1.62589
0.01 dan 0.05.
Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi model yang digunakan adalah Root Means Percent Square Error (RMSPE) yaitu untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality Coefficient (U), bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik (Pindyck and Rubinfield, 1991).
181
Tabel 48. Hasil Ringkasan Validasi Model Komposisi Belanja Pemerintah
Variabel
Keterangan
N Obs
Mean Actual
Mean Predicted
Mean Abs % Error
RMSE % Error
U
CONS
Konsumsi Rumah Tangga
6
1 166 431
1 175 936
1.02
1.24
0.0058
CONG
Konsumsi Pemerintah
6
166 171
164 122
1.84
2.94
0.0169
INVT
Investasi Swasta
6
465 933
477 674
2.61
3.24
0.0154
INVG
Investasi Pemerintah
6
70 858
76 741
11.45
13.61
0.0656
EXPO
Export
6
939 967
942 488
4.55
6.16
0.0305
IMPO
Import
6
743 922
714 045
6.79
7.71
0.0407
BPGW
Belanja Pegawai
6
101 085
104 621
5.22
6.76
0.0213
BBRG
Belanja Barang
6
60 849
53 083
16.17
18.11
0.0775
BMDL
Belanja Modal
6
63 510
71 657
19.67
35.56
0.0892
BUTG
Belanja Peby. Bunga Utang
6
82 447
77 410
8.94
9.44
0.0478
SNBM
Belanja Subsidi Non BBM
6
35 922
30 971
46.92
58.73
0.2068
SBBM
Belanja Subsidi BBM
6
129 919
123 001
18.12
21.25
0.1374
BDAK
Belanja Daerah DAK
6
16 503
14 602
20.20
24.58
0.0991
BDAU
Belanja Daerah DAU
6
161 452
158 232
7.18
9.51
0.0375
BDBH
Belanja Daerah Bagi Hasil
6
70 711
69 012
6.32
7.72
0.0327
RTAX
Penerimaan Pajak
6
541 526
528 619
6.78
7.63
0.0390
PUNEM
Tingkat Pengangguran
6
9.02
8.36
6.85
7.97
0.0475
NPOV
Jumlah Penduduk Miskin
6
35.03
32.97
5.61
6.78
0.0373
RDOM
Penerimaan dalam Negeri
6
775 805
762 899
4.68
5.26
0.0272
PDBI
Produk Domestik Bruto
6
2 077 370
2 134 847
2.74
2.86
0.0143
BTUS
Total Belanja Pusat
6
555 940
542 949
8.02
10.17
0.0477
BTDR
BTDR
6
262 609
255 788
5.25
6.91
0.0296
TOTB
Total Belanja Pemerintah
6
818 548
798 738
6.31
8.07
0.0356
Dari 23 persamaan yang divalidasi terdapat 16 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 10 persen, 3 persamaan yang memiliki RMSE dibawah 20 persen dan hanya satu persamaan yang RMSE 59 persen, yaitu persamaan belanja subsidi non BBM. Beberapa variabel yang memiliki RSMPE cukup besar ini tidak dapat dihindarkan karena beberapa variabel dalam model tersebut berbentuk persamaan identitas. Faktor lainnya adalah simulasi hanya dilakukan untuk data 6 tahun terakhir, sementara pendugaannya dilakukan untuk data selam 40 tahun, dimana struktur belanja pemerintah mengalami beberapa kali perubahan. Pemilihan 6
182
tahun terakhir dalam simulasi dengan pertimbangan struktur APBN mulai tahun 2006 sudah tidak mengalami perubahan lagi. Semua klasifikasi data sudah sama dan dengan sistem perhitungan data pada variabel makro ekonomi juga sama. Sedangkan dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini dapat dijadikan sebagai sebuah evaluasi model untuk melihat alternatif kebijakan, karena rata-rata nilai U-Theil berada di bahwa 0.03. Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi maupun alternatif kebijakan. Dalam kajian ini model tidak digunakan untuk meramalkan, melainkan hanya untuk melihat bagaimana dampak perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap kinerja perekonomian khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Hasil dari validasi model diringkas dalam Tabel 48.
6.4.
Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak
dari perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Simulasi berangkat dari hipotesis bahwa jika proporsi belanja modal dinaikkan maka akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Terdapat 3 skenario yang akan dilakukan dalam simulasi kebijakan terkait dengan perubahan komposisi belanja pemerintah. Pada dasarnya, simulasi yang akan dilakukan adalah untuk melihat dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah. Skenario yang dilakukan adalah jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Pertimbangan kenaikan belanja modal
183
sebesar Rp 20 triliun adalah berdasarkan rata-rata besarnya defisit anggaran selama tahun 2005-2010 adalah sekitar Rp 20 triliun. Idealnya kebijakan defisit anggaran adalah untuk tujuan stimulus fiskal, yaitu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendorong kinerja perekonomian. Stimulus fiskal yang efektif untuk memacu perekonomian adalah belanja modal terutama untuk pembangunan infrastruktur. Simulasi dilakukan dengan tahun dasar atau base line data antara tahun 2005-2010, dimana selama 6 tahun terakhir diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi aktual rata-rata sebesar 5.79 persen, dengan tingkat pengangguran sebesar 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 35 juta orang. Dari 3 simulasi akan diketahui komposisi belanja yang paling besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Adapun 3 simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. 2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 1 persen dari 0.29 menjadi 0.39. 3. Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.
184
6.4.1.
Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Simulasi pertama, perubahan komposisi belanja pemerintah pusat
dilakukan melalui pergeseran dari belanja pegawai, belanja subsidi BBM, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang dimana masing-masing dikurangi sebesar Rp5 trliun. Dengan demikian terdapat penghematan belanja pemerintah pusat sebesar Rp 20 triliun dan dialokasikan untuk peningkatan belanja modal. Dalam skenario pertama ini diasumsikan belum ada perubahan dari pola belanja pemerintah. Dampak dari pergeseran ini berdampak pada pengurangan belanja pegawai sebesar 4.23 persen, belanja barang turun 9.43 persen, belanja subsidi BBM turun 4.07 persen dan belanja pembayaran bunga utang turun 6.46 persen. Pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, penurunan belanja pegawai. Penurunan belanja pegawai dapat dilakukan melalui beberapa langkah : (1) melakukan relokasi dan resdistribusi PNS penempatan PNS. Seperti diketahui, setiap terjadi kebijakan pemekaran wilayah maka akan diikuti dengan penerimaan PNS baru. Kebutuhan PNS untuk daerah pemekaran sebenarnya dapat dilakukan dengan menggeser penempatan PNS dari tempat asal daerah pemekaran atau menggeser PNS dari tempat yang kurang produktif. Demikian juga ketika terjadi pembentukan lembaga negara baru atau badan baru tidak serta merta diikuti dengan rekruitmen PNS baru, dan (2) moratorium Pegawai Negeri Sipil, penghentian sementara untuk penerimaan PNS baru baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selama tahun 2006 – 2010 terjadi peningkatan PNS yang sangat drastis. Dari Tabel 49 dapat dilihat pada tahun 2007 jumlah PNS mengalami peningkatan
185
sebesar 9.18 persen. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah PNS naik sebesar 10.8 persen.
Tabel 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010 Tahun
Jumlah
% Pertumbuhan
2003
3.648.005
2004
3.587.337
-1,66
2005
3.662.336
2,09
2006
3.725.231
1,72
2007
4.067.201
9,18
2008
4.083.360
0,40
2009
4.524.205
10,80
2010
4.598.100
1,63
Sumber : Badan Kepegawaian Negara, 2010
Kedua, Pengurangan subsidi BBM. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi alokasi subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Hasil pendugaan sebelumnya menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Selama tahun 2006-2010 rata-rata porsi subsidi BBM mencapai sekitar Rp 129 triliun. Hasil pembahasan di bab sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, karena yang menikmati adalah lebih banyak golongan menegah keatas. Disisi lain, BBM merupakan sumber energi utama. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM cukup besar, tidak hanya untuk kebutuhan transportasi tapi juga untuk kepentingan produksi. Apalagi sumber energi utama lainnya seperti listrik juga masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakunya. Dengan demikian jika subsidi BBM dikurangi, dikhawatirkan akan mempunyai efek ganda
186
(multiplier effect) sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Kekhawatiran tersebut dijawab dengan hasil hasil penelitian Ikhsan (2005), menyebutkan bahwa elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 50 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi secara langsung sebesar 2.8 persen. Jika diperhitungkan dampak tidak langsung, dimana kenaikkan BBM juga akan mendorong kenaikan harga input lain, maka dapat dihitung dengan dikalikan proporsi biaya produksi yang berasal dari nonBBM, maka diperoleh dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi antara 2.6 persen-2.7 persen. Jadi, dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi bervariasi antarai 3.8 persen - 6.2 persen. Tampak jelas bahwa karena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya non BBM, maka kenaikkan harga BBM sebenarnya akan berkontribusi besar terhadap inflasi. Alasan paling fundamental pengurangan subsidi BBM ini adalah karena subsidi BBM tidak tepat sasaran. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen. Sementara 25 kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen. Disamping itu, BBM bersubsidi terbesar adalah untuk Premium yaitu sebesar 60 persen, sisanya untuk minyak solar 34 persen dan minyak tanah 6 persen. Gambar 37 menunjukkan penggunaan premium terbesar adalah untuk transportasi darat sebesar 89 persen, khususnya untuk mobil pribadi sebesar 53 persen dan Motor sebesar 40 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi terbesar adalah untuk kendaraan pribadi yaitu hampir mencapai 93
187
persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah menciptakan transportasi massa (publict transport) yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM.
Perikanan
3%
Usaha Kecil
1%
Rumah Tangga
6%
Transportasi… 0%
53%
Mobil… Mobil…
1%
Transportasi Air
3%
Umum
89% 50% 100%
4% 40%
Motor 0%
50% 100%
Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011 Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011
Ketiga pengurangan belanja barang. Komposisi belanja barang terdiri dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24 persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk
188
itu porsi alokasi belanja barang ini masih bisa diefisienkan dengan dilakukan pergeseran untuk porsi belanja modal. Keempat,
pengurangann
belanja
pembayaran
bunga
utang.
Pengurangan pembayaran bunga utang dimungkinkan jika adanya negosiasi untuk melakukan moratorium dengan pihak kreditur. Seperti ditunjukkan gambar 35 dimana porsi terbesar pembayaran bunga utang adalah untuk utang jangka panjang. Dengan demikian dapat dilakukan renegosisasi agar adanya kesepakatam moratorium utang pemerintah, baik dalam bentuk pembayaran cicilan pokok maupun pengurangan tingkat suku bunga. Jika pemerintah berhasil melakukan moratorium utang luar negeri, maka belanja pembayaran bunga utang masih dimungkinkan dikurangi sebesar Rp5 triliun. Moratorium utang pemerintah dimungkinkan karena sejak sebelum krisis ekonomi terjadi (Pelita V), neraca utang luar negeri pemerintah sudah mengalami net negative transfer. Artinya besarnya utang baru yang diterima pemerintah lebih kecil dibandingkan besarnya kewajiban yang harus dibayarkan oleh pemerintah. Disamping itu, porsi untuk pembayaran beban bunga utang saja selama 20062010 telah mencapai sekitar 14 persen. Jumlah ini belum termasuk untuk pembayaran beban cicilan pokok utang. Moratorium utang pemerintah ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk penundaan atau penghentian sementara kewajiban membayar cicilan dan bunga utang, tetapi juga bisa dilakukan renegosisasi besarnya beban cicilan dan tingkat suku bunga serta reshedulling waktu jatuh tempo. Dengan pertimbangan tersebut diatas maka, skenario pergeseran belanja pemerintah pusat tersebut masih mungkin dilakukan. Pengurangan belanja rutin
189
pemerintah pusat tersebut tentu saja akan menimbulkan dampak negatif. Namun jika penghematan tersebut dapat direalokasikan pada pembangunan infrastruktur, maka dampak negatif tersebut dapat di offset melalui peningkatan investasi. Dengan adanya pembangunan infrastruktur maka akan memperlancar arus distribusi barang dan dapat menekan biaya distribusi. Penyediaan infrastuktur juga akan memperlancar proses produksi dan mendorong tumbuhnya investasi baru. Tabel 50 menunjukkan hasil pergeseran belanja rutin pemerintah pusat, telah berdampak pada peningkatan belanja modal sebesar 28.62 persen. Dampak negatif dari penurunan subsidi dan belanja pegawai telah dinetralisir dengan meningkatnya semua kinerja sektor riil, yaitu kenaikan pada Investasi Pemerintah (7.67 persen), Investasi swasta (0.20 persen), ekspor (0.11 persen), konsumsi masyarakat (0.14 persen), dan penerimaan pajak (1.06 persen). Secara keseluruhan dampak realokasi belanja pemerintah ini menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar sebesar 0.33 persen. Demikian juga tingkat pengangguran menurun sebesar 0,83 persen serta jumlah penduduk miskin menurun sebesar 0.02 persen. Dari simulasi pertama ini dapat disimpulkan bahwa dampak perubahan komposisi belanja pemerintah yang berasal dari pergeseran belanja rutin untuk direalokasikan ke belanja modal hanya berdampak kecil terhadap perbaikan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena terjadinya inefisiensi pada belanja modal, sehingga dampak negatif dari pengurangan belanja rutin tidak dapat dinetralisir secara penuh oleh peningkatan kinerja Investasi maupun ekspor.
190
Tabel 50. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Simulasi 1
Dasar 1 176 363
Nilai 1 178 045
% 0.14
CONS
Konsumsi Rumah Tangga
Rp Miliar
CONG INVT INVG EXPO IMPO BPGW
Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor Impor Belanja Pegawai
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
164 187
164 076
-0.07
477 848
478 782
0.20
77 483
83 426
7.67
942 685
943 739
0.11
714 478
716 890
0.34
104 632
99 632
-4.78
53 104
48 104
-9.42
71 663
91 663
27.91
77 410
72 410
-6.46
BBRG BMDL BUTG SNBM SBBM BDAK
Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pembyr. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM Belanja Daerah DAK
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BDAU
Belanja Daerah DAU
BDBH RTAX PUNEM NPOV RDOM
31 068
31 058
-0.03
123 001
118 001
-4.07
14 604
14 630
0.18
Rp Miliar
158 253
158 953
0.44
Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar
69 014
69 025
0.02
528 735
534 315
1.06
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan Dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
8.35
8.28
-0.83
33.27
33.26
-0.02
763 015
768 595
0.73
2 143 110
0.33
543 085
551 075
1.47
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2 136 021 255 813
256 551
0.29
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar
798 898
807 626
1.09
6.4.2. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal Pada simulasi kedua diskenariokan tanpa adanya pergeseran komposisi belanja pemerintah, tapi hanya melalui jika terjadi efisiensi alokasi belanja modal. Artinya pola dan komposisi belanja modal benar-benar difokuskan untuk pembangunan infrastruktur. Disamping itu terdapat perubahan dari pola perencanaan dan penyerapan anggaran. Kualitas alokasi belanja modal ditingkatkan melalui perbaikan pola penyerapan anggaran, misalnya pelaksanaan tender pembangunan infrastruktur harus sudah dilaksanakan sejak awal tahun.
191
Dengan demikian kualitas pembangunan infrastruktur dapat ditingkatkan dan peran stimulus fiskal akan lebih optimal. Berdasarkan hasil pendugaan kontribusi belanja infrastruktur terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.29. Dalam skenario ini dilakukan peningkatan efisiensi sebesar 10 persen, yaitu menjadi 0.39. Tabel 51 menunjukkan hasil simulasi efisiensi alokasi belanja modal. Secara keseluruhan, jika terdapat efisiensi alokasi belanja modal dampaknya lebih efektif daripada pergeseran komposisi belanja pemerintah seperti pada skenario 1. Dampak dari efisiensi belanja modal mampu meningkatkan Investasi Pemerintah (17.42 persen), Investasi swasta (0.61 persen), ekspor (0.35 persen), konsumsi masyarakat (0.59 persen), dan penerimaan pajak (0.08 persen). Hasil akhir dari efisiennya ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.91 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 2.22 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.17 persen. Dampak efisiensi alokasi belanja modal ini jauh lebih baik jika dibandingankan dengan hasil simulasi pertama dengan melakukan pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang utama dalam komposisi belanja pemerintah lebih disebabkan adanya inefisiensi alokasi anggaran. Dalam hal ini, alokasi belanja untuk modal tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Hal yang berpengaruh cukup signifikan lainnya adalah kualitas penyerapan anggaran. Jika sebagian besar penyerapan anggaran, termasuk belanja modal dilaksanakan pada triwulan III dan triwulan IV, maka dapat dipastikan bahwa kualitas pembangunan infrastruktur yang ada tidak akan optimal.
192
Tabel 51. Dampak Peningkatan Efisiensi Belanja Modal Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Simulasi 2 %
Dasar 1 176 363 164 187 477 848 77 483 942 685 714 478 104 632
Nilai 1 183 353 164 212 480 747 90 982 945 957 721 654 104 675
53 104
53 467
0.68
71 663
71 686
0.03
77 410
77 410
0.00
31 068
30 885
-0.59
123 001
123 001
0.00
0.59
CONS CONG INVT INVG EXPO IMPO BPGW
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor Impor Belanja Pegawai
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BBRG BMDL
Rp Miliar Rp Miliar
BUTG SNBM SBBM
Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pembyr. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM
BDAK
Belanja Daerah DAK
Rp Miliar
14 604
14 612
0.06
158 253
158 329
0.05
69 014
69 041
0.04
528 735
529 157
0.08
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
BDAU BDBH RTAX
Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
PUNEM NPOV RDOM
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar
6.4.3.
0.02 0.61 17.42 0.35 1.00 0.04
8.35
8.16
-2.22
33.27
33.21
-0.17
763 015 2 136 021 543 085
763 437 2 155 529 543 331
0.06
255 813
255 925
0.04
798 898
799 257
0.04
0.91 0.05
Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Pada simulasi ketiga, merupakan gabungan dari skenario pertama dan
kedua. Artinya pada simulasi ketiga ini diasumsikan terdapat peningkatan belanja modal yang berasal dari pergeseran belanja rutin dibarengi dengan peningkatan efisiensi belanja modal.
Hasil simulasi ditunjukkan oleh Tabel 52, dimana
melalui skenario ketiga ini dampak terhadap kinerja perekonomian lebih optimal. Dampak dari pergeseran belanja pemerintah pusat dan efisiensi belanja modal mampu meningkatkan Investasi Pemerintah (27.69 persen), Investasi swasta (0.87 persen), ekspor (0.50 persen), konsumsi masyarakat (0.48 persen), dan
193
penerimaan pajak (1.08 persen). Hasil akhir dari pergeseran dan efisiensi ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1.37 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 3.33 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 0.21 persen. Tabel 52. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Efisiensi Belanja Modal Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai Dasar
CONS CONG INVT INVG EXPO
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
1 175 936 164 122 477 674 76 741 942 488
IMPO BPGW BBRG BMDL BUTG SNBM SBBM
Impor Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pemb. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM Belanja Subsidi BBM
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
714 045 104 621 53 083 71 657.1 77 409.9 30 970.5 123 001
BDAK BDAU BDBH RTAX
Belanja Daerah DAK Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
PUNEM NPOV RDOM
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
PDBI BTUS BTDR
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
TOTB
Total Belanja
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Simulasi 3 Nilai 1 185 971
% 0.82
164 088
-0.06
482 027
0.87
989 41.2
27.69
947 402
0.50
724 971
1.47
99 632
-4.78
48 103.8
-9.42
91 663.1
27.91
72 409.9
-6.46
30 858.5
-0.67
118 001
-4.07
14 601.7 158 232 690 12.1 528 619
14 633.5
0.20
8.36 32.97 762 899
158 980
0.46
690 57.2
0.06
534 449
1.08
8.07
-3.33
33.20
-0.21
768 729
0.75
2 134 847 542 949 255 788
2 165 390
1.37
550 876
1.43
256 613
0.31
798 738
807 489
1.08
Kelebihan dari skenario ketiga ini tidak hanya menghasilkan kinerja perekonomian yang lebih baik, namun juga prosentase penurunan masing-masing belanja rutin juga lebih rendah dibandingkan pada simulasi pertama. Sebagai contoh pengurangan belanjan pegawai 5 triliun hanya berdampak pada
194
pengurangan belanja pegawai sebesar 0.78 persen, demikian juga untuk pengurangan belanja rutin lainnya (Tabel 52).
6.5.
Alternatif Pilihan Kebijakan Dalam setiap keputusan kebijakan publik, masing-masing pilihan
kebijakan yang akan diambil pemerintah mempunyai implikasi dan dampak atas pilihan kebijakan diambil. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Namun untuk mencapai pilihan kebijakan yang terbaik tentu saja bukan masalah yang mudah dan sederhana. Sebagai salah satu acuan, kebijakan publik yang baik adalah jika dapat meminimalisir dampak negatif dan dapat mengoptimalkan dampak positif yang akan diminati oleh sebagian besar masyarakat. Berdasarkan 4 hasil simulasi terhadap perubahan komposisi belanja pemerintah, maka dapat dipilih alternatif komposisi belanja yang mempunyai dampak paling optimal bagi masyarakat. Tabel 53 menunjukan perbandingan antara dampak yang ditimbulkan dari 3 skenario perubahan komposisi belanja pemerintah. Secara umum hasil simulasi 3 berdampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi maupun pengurangan jumlah penduduk miskin, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 1.37 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang 3.33 persen. Secara umum hasil dari 3 simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa belanja pemerintah tidak mempunyai akan dampak besar terhadap kinerja perekonomian jika tidak disertai perbaikan, baik dari pola perencanaan maupun implementasi anggaran.
195
Tabel 53. Perbandingan Dampak Perubahan Komposisi Belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan Variabel
Keterangan
Satuan
Nilai
Sim 1
Sim 2
Sim 3
0.14
% 0.59
% 0.82
-0.07
0.02
-0.06
0.20
0.61
0.87
7.67
17.42
27.69
0.11
0.35
0.50
Dasar CONS CONG INVT INVG EXPO
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Investasi Swasta Investais Pemerintah Ekspor
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
1 175 936 164 122 477 674 76 741 942 488
IMPO BPGW BBRG BMDL
Impor Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Pemb. Bunga Utang Belanja Subsidi Non BBM
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
714 045 104 621 53 083 71 657.1
Rp Miliar Rp Miliar
77 409.9 30 970.5
Belanja Subsidi BBM Belanja Daerah DAK Belanja Daerah DAU Belanja Daerah Bagi Hasil Penerimaan Pajak
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Miskin Penerimaan dalam Negeri
% Juta Orang Rp Miliar
BUTG SNBM SBBM BDAK BDAU BDBH RTAX PUNEM NPOV RDOM PDBI BTUS BTDR TOTB
0.34
1.00
1.47
-4.78
0.04
-4.78
-9.42
0.68
-9.42
27.91
0.03
27.91
-6.46
0.00
-6.46
-0.03
-0.59
-0.67
123 001 14 601.7 158 232 69 012.1 528 619
-4.07
0.00
-4.07
0.18
0.06
0.20
0.44
0.05
0.46
0.02
0.04
0.06
1.06
0.08
1.08
8.36 32.97 762 899
-0.83
-2.22
-3.33
-0.02
-0.17
-0.21
0.73
0.06
0.75
Produk Domestik Bruto Total Belanja Pusat Total Belanja Daerah
Rp Miliar Rp Miliar Rp Miliar
2 134 847 542 949 255 788
0.33
0.91
1.37
1.47
0.05
1.43
0.29
0.04
0.31
Total Belanja
Rp Miliar
798 738
1.09
0.04
1.08
Hal ini dapat diperbandingkan dengan pembahasan yang ada pada bab sebelumnya, terutama jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian di Negara lain. Sebagai contoh, jika dibandingkan dengan komposisi belanja di Thailand, diman komposisi belanja modal Thailand sekitar 20 persen dari total anggaran pemerintah, namun Thailand mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar 7.9 persen. Disamping itu, berdasarkan hasil penelitian Wan dan Sebastian (2011) angka elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan di Thailand sebesar -5.62 jika menggunakan garis kemiskinan US$1.25 per hari, dan
196
-1.28 jika menggunakan garis kemiskinan US$2 per hari. Artinya setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi di Thailand mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 1.28 persen. Sementara nilai elastisitas kemiskinan Indonesia hanya sebesar -0.88 artinya jika pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1 persen maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen. Jika garis kemiskinan akan berkurang sebesar 0.88 persen. Jika garis kemiskinan dinaikan menjadi US$2 perhari, elastisitas kemiskinan di Indonesia semakin rendah lagi yaitu hanya -0.34. Jadi setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya akan menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 0.34 persen.
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan Berdasarkan
hasil
pembahasan
yang
telah
dikemukakan,
dapat
disimpulkan bahwa : 1.
Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan umum. Konsekuensinya Indonesia hanya mempunyai anggaran untuk belanja modal sebesar 8.4 persen, sementara Malaysia sebesar 31.1 persen dan Thailand 20.3 persen. Rendahnya porsi belanja modal berdampak pada rendahnya ruang fiskal pemerintah, yaitu rata-rata hanya sekitar 4-5 persen. Akibatnya fungsi stimulus fiskal tidak optimal, utamanya dalam mendorong pertumbuhan investasi swasta dan kinerja ekspor.
Hasilnya
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
lebih
rendah
dibandingkan Malysia dan Thailand. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Malaysia mencapai 7.2 persen dan Thailand sebesar 7.9 persen, dan Indonesia hanya sebesar 6.1 persen. Selanjutnya, Indonesia masih mempunyai tingkat pengangguran terbuka sebesar 7.1 persen, sementara Malaysia tinggal 3.4 persen dan Thailand hanya 1.0 persen. 2.
Rendahnya peran belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan disebabkan oleh komposisi belanja yang tidak proporsional dan tidak efektif. Selama 2006-2010, proporsi belanja pemerintah didominasi oleh belanja subsidi terutama subsidi BBM untuk premium (27.8 persen), gaji pegawai (18.89 persen), pembayaran bunga utang (14.77 persen), dan
198
belanja barang (12.20 persen) sementara belanja modal hanya 12.20 persen. Disisi lain, ketidakefektifan belanja pemerintah disebabkan pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun sebelumnya dan hampir tidak ada perubahan pola belanja dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan dari hasil pendugaan terhadap semua perilaku persamaan belanja pemerintah dimana mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan variabel lag-nya. 3.
Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal, harus dilakukan perubahan komposisi belanja pemerintah, yaitu dengan meningkatkan belanja modal. Namun peningkatan belanja modal saja belum cukup jika tidak disertai oleh perubahan pola alokasi dan penyerapan anggran. Peningkatan belanja modal hanya akan efektif jika disertai dengan efisiensi dan fokus untuk pembangunan infrastruktur. Hasil pendugaan kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.29, artinya setiap peningkatan belanja modal Rp1 miliar, hanya terdapat peningkatan investasi pemerintah sebesar Rp0.29 miliar.
4.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun dengan pola yang ada hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.33 persen, pengangguran turun 0.83 persen dan kemiskinan turun 0.02 persen. Sementara jika terjadi efisiensi alokasi belanja modal, tanpa ada peningkatan porsi belanja modal justru berdampak lebih besar, yaitu pertumbuhan ekonomi pertumbuhan ekonomi meningkat sebesar 0.91 persen. Sementara tingkat pengangguran berkurang sebesar 2.22 persen dan jumlah penduduk miskin berkurang
199 sebesar 0.17 persen.
Namun jika peningkatan belanja modal disertai
peningkatan efisiensi maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat lebih tinggi lagi yaitu sebesar 1.37 persen, pengangguran turun 3.33 persen dan kemiskinan turun 0.21 persen. 5.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan hanya sebesar 0.01 dalam jangka pendek dan 0,05 dalam jangka panjang. Artinya setiap pertumbuhan ekonomi 1% hanya mampu mengurangi penduduk miskin 0.01%. Hasil simulasi juga menunjukkan perubahan komposisi belanja Pemerintah, melalui peningkatan belanja modal, juga belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Hal ini dikarenakan rendahnya alokasi belanja pemerintah untuk fungsi ekonomi. Dengan demikian visi pemerintah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro job dan pro poor, belum terefleksi dalam komposisi belanja pemerintah.
7.2.
Saran-Saran Implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan penelitian
ini adalah : 1. Kebijakan anggaran pemerintah Indonesia harus dilakukan perubahan yang mendasarl, terutama adalah harus ada peningkatan ruang gerak fiskal melalui pergeseran proporsi belanja rutin dan belanja pembangunan yang tercermin dalam alokasi belanja modal, khususnya belanja infrastruktur. 2.
Perubahan komposisi anggaran untuk meningkatkan belanja modal antara lain dapat dilakukan dengan: (a) penurunan proporsi belanja pegawai melalui
200
kebijakan moratorium pegawai negeri sipil (PNS) atau dengan kebijakan zero growth, serta mengevaluasi kebijakan pemekaran wilayah, (c) penurunan proporsi pembayaran bunga utang melalui moratorium utang luar negeri melalui renegosiasi dengan negara-negara donor terutama untuk pembayaran bunga dan cicilan utang jangka panjang, (c) penurunan porsi belanja subsidi BBM, dan (d) efisiensi belanja barang agar tidak terjadi tumpang tindih anggaran, terutama kejelasan antara nomenklatur belanja barang operasional dan non operasional, serta antara belanja jasa dan perjalanan dinas. 3. Untuk meningkatkan efektifitas peran belanja Pemerintah, perubahan komposisi belanja juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas perencanaan dan pola penyerapan anggaran, utamanya peningkatan efisiensi belanja modal. Proses perencanaan harus terintegrasi antar sektor dan wilayah agar dapat mengurangi tumpang tindih anggaran. Peningkatan efisensi belanja modal dapat dilakukan melalui perbaikan pola penyerapan anggaran yang terdistribusi secara proporsional pada setiap triwulan. Proses penyerapan anggaran untuk pembangunan infrastruktur harus sudah dimulai sejak awal tahun anggaran agar tersedia cukup waktu pelaksanaan pembangunan infrastruktur. 4. Adanya perbaikan mekanisme perencanaan anggaran dan indikator yang jelas sesuai target yang telah ditetapkan dalam rencana strategis Pemerintah. Perencanaan anggaran harus berbasis pada program prioritas disertai dengan target output dan outcame yang jelas, tidak hanya berdasarkan pada pola historis tahun sebelumnya. Penyusunan belanja pemerintah harus mengacu
201 pada pencapaian program pemerintah, yaitu program pro growth, pro job dan pro poor. 5. Untuk meningkatkan peran stimulus fiskal pemerintah diperlukan perubahan kebijakan belanja pemerintah secara mendasar, tidak hanya dilakukan perubahan komposisi belanja Pemerintah, namun juga perubahan kebijakan anggaran. Alokasi belanja Pemerintah harus memenuhi tiga peran utamanya, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. APBN harus mampu mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkualitas, yaitu pertumbuhan yang mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan (pro Job dan pro Poor). Dengan demikian disamping peningkatan belanja modal, juga diperlukan peningkatan porsi belanja untuk fungsi ekonomi. 6. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih komprehensif, yaitu dengan mempertimbangkan efisiensi alokasi belanja menurut sektor dan alokasi belanja daerah. Disamping itu juga perlu dilihat dampak alokasi belanja pemerintah terhadap sisi penawaran (agrgate supply) serta faktor lag, yaitu berapa lama dampak dari kebijakan belanja pemerintah efektif berpengaruh terhadap kinerja perekonomian.
202
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA
Adam, F. G and B. Gangnes. 2010. The Employment Effects of Fiscal Policy: How Costly Are ARRA Jobs?. Working Papers 2010-16, University of Hawaii Economic Research Organization, University of Hawaii, Manoa. ADB. 2010. Asian Development Outlook 2009. Asian Development Bank, Bangkok. Agell, J., T. Lindh, and H. Ohlsson. 1997. Growth and the public sector: A Critical Review Essay. European Journal of Political Economy, 13 : 33-52. Aschauer, D. A. 1988. The Equilibrium Approach To Fiscal Policy. Journal of Money, Credit and Banking, 20 : 41-62. Atkinson, A.B. and J.E. Stiglizt. 1976. The Structure of Indirect Taxation and Economic Efficiency. Journal of Public Economiscs, 1 : 97-119. BPS. 1970- 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 1970-2010. Indikator Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bafadal, A. 2005. Dampak Defisit dan Utang Pemerintah terhadap stabilitas Makroekonomi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bailey, S. J. 2004. Strategic Public Finance. Palgrave Macmillan, Hampshire. Balisacan, A., E.M. Pernia, dan A. Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty in Indonesia. ERD Working Paper Series No. 25. Asian Development Bank, Manila. Barro, R.J. 1991. Economic Growth in A Cross Section of Countries. Quarterly Journal of Economics, 106 : 407-430. Bohn,
Henning. 1992. Endogenous Government Spending and Ricardian Equivalence. The Economic Journal, 102 : 588-597.
Bose, N., M.E. Haque, and D.R. Osborn. 2003. Public Expenditure and Economic Growth: A Disaggregated Analysis for Developing Countries. Center for Growth and Business Cycle Research Discussion Paper Series No. 30. University of Manchester.
204
Cashin, P. 1995. Government Spending, Taxes and Economic Growth. IMF Staff Papers, Palgrave Macmillan, 42(2) : 237-269. Dabla-Norris, E. and J. M. Matovu. 2002. Composition of Government Expenditures and Demand for Education in Developing Countries. International Monetary Fund Working Paper No. 02/78, Washington. Darsono. 2008. Analisis keefektifan kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian dengan penekanan pada agroindustri di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Devarajan, S. Swaroop, V. and H. Zou. 1996. The Composition of Public Expenditure and Economic Growth. Journal of Monetary Economics, 37: 313-344. Dollar, D. & A. Kraay. 2002. Growth is Good for The Poor, Journal of Economic Growth, 7 : 195–225. Easterly, W. and S. Rebelo. (1993). Fiscal Policy and Economic Growth. An Empirical Investigation. Journal of Monetary Economics, 32 : 417-458 . Enders, Walter and Bong-Soo Lee. 1990. Current Account and Budget Deficits: Twins or Distant Cousins? The Review of Economics and Statistics, 72(3) : 373-81. Fan, S., P.L. Huong, and T.Q. Long. 2003. Government spending and poverty reduction in Vietnam, Mimeo. International Food Policy Research Institute, Washington DC. Fan, S., P. Hazell, and S. Thorat. 1999. Linkages beetween Government Spending, Growth, and Poverty in Rural India. IFPRI Research Reports. Feldstein, M.1988. The Effect of Fiscal Policies When Incomes are Uncertain: A Contradiction to Ricardian Equivalence, American Economic Review, 78(1) : 14-23. Foster, J. and M. Sze´kely. 2001. Is Growth Good for the Poor?: Tracking Low Incomes Using General Means, RES Working Paper Series No. 453. Inter American Development Bank Research Department, Washington DC. Gupta, S. Clements, B. Baldacci, E. and C. Mulas-Granados. 2005. Fiscal Policy, Expenditure Composition and Growth in Low-Income Countries. Journal of International Money and Finance, 24 : 441-463.
205
Gujarati, D. N. 1999. Basic Econometrics. Third Edition, Mc. Graw-Hill, International Edition, New York. Hansson, P. and M. Henrekson. 1994. A new Framework for Testing The Effect of Government Spending on Growth and Productivity. Public Choice, 81(4) : 381-401. Hassan, G.M. 2009. Public Expenditure, Employment and Poverty in Bangladesh: An Empirical Analysis. Draft of the research report prepared for the CPD-UNDP project, Pro Poor Macroeconomic Policy. Hess, P. and C. Ross. 2000. Economic Development : Theories, Evidence and Policies. The Dryden Press, North Carolina. Hoffer, F. 2010. Don’t Waste The Crisis: The Case for Sustained Public Investment and Wage-Led Recovery Policies. ILO Publication, Geneva Hutahaean, P., Purwiyanto, Askolani, dan S.L. Rahayu. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Fiskal. Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan RI, Jakarta. International Labour Organization. 2011. Building A Sustainable Future with Decent Work in Asia and The Pacific. Report of the Director-General in 15th Asia and the Pacific Regional Meeting, Kyoto, Japan, April 2011. Ikhsan, Mohamad. 2005. Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 terhadap Kemiskinan, LPEM Working Paper No 10, LPEM-FEUI, Jakarta. Intriligator, M., R. Bodkin and C.Hsiao.1996. Econometrics Model, Techniques and Applications. Prentice-Hall Inc, New Jersey. Jackson, A. 2010. Beyond “stimulus”: Fiscal policy after the Great Recession. ILO Publication, Geneva. James, S. and C. Nobes. 1992. The Economics of Taxation . Fourth Edition. Prentice Hall International, New York. Jha, R., Biswal, B. and U. D. Biswal. 2001. An Empirical Analysis of the Impact of Public Expenditures on Education and Health on Poverty in Indian States, ASARC Working Paper No. 2001–05. Australia South Asia Research Centre. Australian National University, Canberra, Australia. Jung, H. S. and E. Thorbecke. 2003. The Impact of Public Education Expenditure on Human Capital, Growth, and Poverty in Tanzania and Zambia: A General Equilibrium Approach. Journal of Policy Modeling, 25 : 701–725.
206
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Expotition of Econometrics Methods. Second Edition. Harper and Row Publishers Inc, New York. Keynes, J.M. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. Harcourt, Brace and World, New York. Kementerian Keuangan. 1970-2010. Kementerian Keuangan, Jakarta.
Nota
Keuangan
Kementerian Keuangan. 1970-2010. Laporan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Republik
Indonesia.
Pemerintah
Pusat.
Kneller, R. Bleaney, M.F. and N. Gemmell. 1999. Fiscal Policy and Growth: Evidence from OECD Countries. Journal of Public Economics, 74 : 171-190. Kweka, J. P. dan O. Morissey. 2000. Government Spending and Economic Growth in Tanzania, 1965-1996. Credit Research Paper, 00/6 : 1-37. Mainul, G.H. 2008. Public Expenditure, Employment and Poverty in Bangladesh: An Empirical Analysis. CPD-UNDP Project. Mankiw, N.G. 2003. Macoeconomics. Fifth Edition. Worth Publishers. New York. Mankiw, N.G., D. Romer, and D. Weil. 1992. A Contribution to The Empirics of Economic Growth. Quarterly Journal of Economics, 107 : 407-37. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE, Yogyakarta. Mehmood, R and S. Sadiq. 2010. The Relationship beetween Government Expenditure and Poverty: A Cointegration Analysis. Romanian Journal of Fiscal Policy, 1(1) : 29-37. Miller, S.M. and F.S. Russek. 1997. Fiscal Structures and Economic Growth. Economic Inquiry, 35: 603-613. Mirrlees, J.A. 1976. An Exploration in The Theory of Optimum Income Taxation. Review of Economic Studies, 38 : 175-208. Myles, G.D. 1997. Public Economics. Cambridge University Press, Cambridge. Nixon, J. and G. Urga. 1997. Unemployment and the Capital Stock: Modelling the Supply Side of the UK Economy. Centre for Economic Forecasting, DP 18– 97, London Business School,London.
207
Odedokun, M.O. 2001. Public Finance and Economic Growth. WIDER discussion paper 72/2001. Paternostro, S., Anand Rajaram and Erwin R. Tiongson. 2007. How Does the Composition of Public Spending Matter? Oxford Development Studies, 35 (1) : 47-82. Putong, Iskandar. 2003. Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi 2. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Pyndick, R.S dan D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forcast. Fourth Edition. McGraw-Hill, New York. Sukirno, Sadono.2000. Makroekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta. Sutriono, E. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregressive (VAR). Tesis Magister Ekonomi. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Rachbini, Didik J. 2001. Ekonomi Politik Utang. Ghalia, Jakarta: Rao, M. G. 1998. Accommodating Public Expenditure Policies: The Case of Fast Growing Asian Economies. World Development, 26 (4): 673-694. Revesz, J.T. 1986. On Some Advantages of Progressive Indirect Taxation. Public Finance, 41 : 99-182. Rock, L.L., R.C. Craigwell, and R.C. Sealy. 1989. Public Defisits and Private Consumption: Empirical Evidence From Small Open Economies. Applied Economics, 21: 697-710. Romer, D. 2001. Advance Macoeconomics. Second Edition. McGraw-Hill Book Co, New York. Setiyaji, G. dan H. Amir. 2005. Evaluasi Kinerja Sistem perpajakan Indonesia. Jurnal Ekonomi. Universitas Indonusa Unggul. Edisi November, http://www.iei.or.id. Shenggen, F. and P. Hazell. 2001. Returns to Public Investments in The Less-Favored Areas of India and China. American Journal of Agricultural Economics, 83 : 1217–1222.
208
Sihotang, D. A. H. 2003. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Pendapatan Nasional di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. dan D. Wahyuniarti. 2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Prosiding Seminar. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Siregar, H. 2006. Perbaikan Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi : Mendorong Investasi dan Menciptakan lapangan Kerja. Jurnal Ekonomi Politik dan Keuangan. INDEF, Jakarta. Soediyono. 1985. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan permintaan Aggregatif. Liberty, Yogyakarta. Suryadarma, D. dan A. Suryahadi. 2007. The Impact of Private Growth Sector on Poverty Reduction : Evidence from Indonesia. SMERU Working Paper, The SMERU Research Institute, Jakarta. Suryahadi, A., D. Suryadarma. dan A. Sumarto. 2006. Economic Growth and Poverty. SMERU Working Paper, The SMERU Research Institute, Jakarta. The World Bank. 2010. World Development Indicators 2009. The World Bank Group, Washington, D.C. ______________. 2010. Global Development Finance 2009. The World Bank Group, Washington, D.C. Todaro, M.P. 1997. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keenam. Terjemahan. PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta. Warr, P. 2003. Fiscal policies and poverty incidence: the case of Thailand, Asian Economic Journal, 17 : 27–44 Wan, Guanghua dan Iva Sebastian. 2011. Poverty in Asia and the Pacific: An Update. ADB Economics Working Paper. No. 267, Manila. Winoto, J. dan H. Siregar. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur dalam Menggerakan Sektor Riil. Makalah Sidang Pleno ISEI IX, Jakarta.
LAMPIRAN
210
Halaman ini sengaja dikosongkan
211
Lampiran 1. Penerimaan dan Belanja Negara 1969/1970 – 2010 (Rp Miliar) Jenis Penerimaan/ Belanja
1969/ 1970
1970/ 1971
1971/ 1972
1972/ 1973
Rata-rata (%)
1973/ 1974
Share
Growth
Penerimaan Dalam Negeri
246.2
338.6
413.7
591.8
975.2
100
0.41
1. Penerimaan Perpajakan
173.1
220.8
259.1
339.1
546.9
59.99
0.33
a. Penerimaan Pajak DN
107.7
106.2
161.7
228.3
348.3
37.12
0.34
41.7
49.2
77.5
91
142
15.65
0.36
ii. PPN dan PPn-BM
30
39.8
39.3
67.4
102.8
10.89
0.36
iii. PBB dan BPHTB
0.1
-
0.2
13.4
25.5
1.53
3
32.5
12.9
38.1
49.1
62.6
7.61
0.18
3.4
4.3
6.6
7.4
15.4
1.45
0.46
65.4
114.6
97.4
110.8
198.6
22.87
0.32
i. Bea Masuk
58.3
93.4
69
76.1
128.9
16.59
0.22
ii. Pajak Ekspor
7.1
21.2
28.4
34.7
69.7
6.28
0.77
73.1
117.8
154.6
252.7
428.3
40
0.56
48.3
68.8
112.7
196.5
347.5
30.16
0.64
7.4
19
13.6
23.2
43.8
4.17
0.56
17.4
30
28.3
33
37
5.68
0.21
305
378.7
435.6
602.1
856.7
100
0.29
1. Pengeluaran Rutin
201.2
283.1
310
396.9
569.1
68.3
0.3
a. Belanja Pegawai
89.4
119.2
148.5
175.3
233.6
29.7
0.27
b. Belanja Barang
63.2
84.9
83.9
109.3
246.7
22.8
0.41
4
7.9
11.1
15.1
25.2
2.5
0.58
i. Dalam negeri
-
-
-
-
-
-
ii. Luar Negeri
4
7.9
11.1
15.1
25.2
2.5
d. Subsidi
-
9.6
1
-
33
1.7
i. BBM
-
-
-
-
-
-
ii. Non-BBM
-
9.6
1
-
33
1.7
44.6
61.5
65.5
97.2
30.6
11.6
-0.09
103.8
95.6
125.6
205.2
287.6
31.7
0.29
90.9
71.3
109.8
170.9
238.3
26.4
0.27
83.4
67.5
101.8
129.2
157.8
20.9
0.17
7.5
3.8
8
41.7
80.5
5.5
0.81
12.9
24.3
15.8
34.3
49.3
5.3
0.4
i. Pajak Penghasilan (PPh)
iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internasional
2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
Belanja Pemerintah Pusat
c. Bunga Utang
e. Lainnya 2. Pengeluaran pembangunan a. Pembiayaan Rupiah i. Departemen/Lembaga ii. Lainnya b. Pembiayaan Proyek
0.58
212
Lampiran 1. Lanjutan Rata-rata (%)
1974/ 1975
1975/ 1976
1976/ 1977
1977/ 1978
1978/ 1979
Share
Growth
Penerimaan Dalam Negeri
1 770.6
2 244.3
2 866.5
3 513.9
4 310.3
100.0
0.25
1. Penerimaan Perpajakan
737.6
931.9
1 150.7
1 422.4
1 736.4
40.7
0.24
a. Penerimaan Pajak Dn
506.6
642.8
832.3
1 050.1
1 257.3
29.2
0.26
i. Pajak Penghasilan (PPh)
229.7
301.9
378.5
488.8
562.0
13.3
0.25
ii. PPN dan PPn-BM
154.1
199.4
262.5
293.0
328.1
8.4
0.21
iii. PBB dan BPHTB
29.6
36.3
46.5
80.1
117.0
2.1
0.41
iv. Cukai
75.9
85.6
132.9
174.9
232.6
4.8
0.32
v. Pajak Lainnya
17.3
19.6
11.9
13.3
17.6
0.5
0.00
231.0
289.1
318.4
372.3
479.1
11.5
0.20
i. Bea Masuk
160.3
228.1
254.2
292.4
320.9
8.5
0.19
ii. Pajak Ekspor
70.7
61.0
64.2
79.9
158.2
3.0
0.22
1 033.0
1 312.4
1 715.8
2 091.5
2 573.9
59.3
0.26
957.3
1 200.6
1 586.8
1 938.9
2 328.0
54.5
0.25
75.7
111.7
102.8
142.6
199.5
4.3
0.27
-
0.1
26.2
10.0
46.4
0.6
Belanja Pemerintah Pusat
1 926.8
2 647.2
3 087.7
3 464.0
4 319.8
100.0
0.20
1. Pengeluaran Rutin
1 565.1
2 160.5
2 503.7
2 646.4
3 389.9
79.4
0.20
a. Belanja Pegawai
1 029.5
1 083.5
1 209.9
1 501.5
1 965.9
44.0
0.20
b. Belanja Barang
376.8
552.7
626.0
844.4
975.5
21.9
0.30
c. Bunga Utang
330.2
283.8
337.1
370.2
408.9
11.2
0.10
i. Dalam negeri
25.0
44.6
97.6
67.8
222.5
3.0
0.70
ii. Luar Negeri
-
-
-
-
-
-
d. Subsidi
25.0
44.6
97.6
67.8
222.5
3.0
0.70
i. BBM
297.2
136.7
-
112.0
296.7
5.5
0.00
-
-
-
62.2
197.0
1.7
297.2
136.7
-
49.8
99.7
3.8
-0.20
0.3
65.7
149.2
107.1
62.3
2.5
2.80
535.6
1 077.0
1 293.8
1 144.9
1 424.0
35.4
0.30
i. Departemen/Lembaga
366.1
647.1
991.3
934.2
1 038.6
25.8
0.30
ii. Lainnya
221.9
456.4
568.7
673.4
858.1
18.0
0.40
45.8
65.0
422.6
93.9
13.3
4.1
-0.30
Jenis Penerimaan
b. Pajak Perdag.Internasional
2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
ii. Non-BBM e Lainnya 2. Pengeluaran pembangunan a. Pembiayaan Rupiah
b. Pembiayaan Proyek
213
Lampiran 1. Lanjutan 1979/ 1980
1980/ 1981
Penerimaan Dalam Negeri
6 733.2
1. Penerimaan Perpajakan a. Penerimaan Pajak DN
Rata-rata (%)
1981/ 1982
1982/ 1983
1983/ 1984
Share
Growth
9 933.3
12 162.4
12 373.8
16 366.7
100.0
0.2
2 283.9
2 911.7
3 201.8
3 770.5
4 504.3
29.0
0.2
1 543.0
2 130.7
2 566.7
3 170.7
3 808.9
23.0
0.3
i. Pajak Penghasilan (PPh)
798.7
1 113.1
1 343.5
1 676.4
1 970.0
12.0
0.3
ii. PPN dan PPn-BM
331.3
463.4
560.9
706.4
813.8
5.0
0.3
iii. PBB dan BPHTB
74.9
94.8
101.9
115.8
156.4
0.9
0.2
318.7
433.0
526.9
632.0
822.0
4.7
0.3
19.4
26.4
33.5
40.1
46.7
0.3
0.2
740.9
781.0
635.1
599.8
695.4
6.0
0.0
i. Bea Masuk
351.2
478.4
507.9
516.9
591.8
4.2
0.1
ii. Pajak Ekspor
389.7
302.6
127.2
82.9
103.6
1.7
-0.3
4 449.3
7 021.6
8 960.6
8 603.3
11 862.4
71.0
0.3
4 260.3
6 773.6
8 627.9
8 160.4
11 350.1
68.0
0.3
188.9
247.4
332.7
442.9
512.3
3.0
0.3
0.1
0.6
0.0
0.0
0.0
0.0
-1.0
Belanja Pemerintah Pusat
5 847.3
8 852.9
10 967.0
11 246.4
14 784.2
100.0
0.26
1. Pengeluaran Rutin
3 030.6
4 473.7
5 618.8
5 407.9
8 031.6
51.4
0.28
a. Belanja Pegawai
1 282.4
1 778.4
2 169.8
2 372.8
2 750.8
20.0
0.21
b. Belanja Barang
557.9
694.4
957.5
1 068.5
1 043.6
8.4
0.17
c. Bunga Utang
309.9
407.7
460.7
620.0
1 116.0
5.6
0.38
i. Dalam negeri
-
-
-
-
-
-
0.38
ii. Luar Negeri
309.9
407.7
460.7
620.0
1 116.0
5.6
0.47
d. Subsidi
672.8
1 305.9
1 695.0
1 321.2
3 101.2
15.7
0.51
i. BBM
534.9
1 021.7
1 316.4
961.5
2 754.9
12.7
0.26
ii. Non-BBM
137.9
284.2
378.6
359.7
346.3
2.9
(0.44)
207.6
287.3
335.8
25.4
20.0
1.7
0.24
2. Pengeluaran pembangunan
2 816.7
4 379.2
5 348.2
5 838.5
6 752.6
48.6
0.19
a. Pembiayaan Rupiah
2 106.0
3 322.7
3 834.6
3 847.6
4 224.4
33.5
0.18
1 539.6
2 460.3
2 782.2
3 221.1
3 024.4
25.2
0.21
566.4
862.4
1 052.4
626.5
1 200.0
8.3
0.37
710.7
1 056.5
1 513.6
1 990.9
2 528.2
15.1
Jenis Penerimaan
iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internasional
2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
e. Lainnya
i. Departemen/Lembaga ii. Lainnya b. Pembiayaan Proyek
214
Lampiran 1. Lanjutan Rata-rata (%)
1984/ 1985
1985/ 1986
1986/ 1987
1987/ 1988
1988/ 1989
Share
Growth
Penerimaan Dalam Negeri
15 931.3
20 939.4
17 385.3
21 730.7
23 413.8
100.0
0.1
1. Penerimaan Perpajakan
4 793.7
6 329.5
8 482.3
9 930.5
12 344.6
42.1
0.3
a. Penerimaan Pajak DN
4 166.9
5 606.9
7 132.7
8 308.7
10 827.6
36.3
0.3
2 042.4
2 070.9
2 602.7
2 876.2
4 432.3
14.1
0.2
ii. PPN dan PPn-BM
873.5
2 190.8
2 985.6
3 826.3
4 367.4
14.3
0.5
iii. PBB dan BPHTB
212.7
164.7
239.3
211.9
361.9
1.2
0.1
iv. Cukai
873.8
879.9
1 002.6
1 105.4
1 410.4
5.3
0.1
v. Pajak Lainnya
164.5
300.6
302.5
288.9
255.6
1.3
0.1
626.8
722.6
1 349.6
1 621.8
1 517.0
5.9
0.2
i. Bea Masuk
541.3
674.3
1 269.3
1 441.5
1 376.1
5.3
0.3
ii. Pajak Ekspor
85.5
48.3
80.3
180.3
140.9
0.5
0.1
11 137.6
14 609.9
8 903.0
11 800.2
11 069.2
57.9
0.0
10 429.9
12 924.6
6 687.2
10 083.3
9 536.4
50.0
0.0
707.7
1 685.3
1 205.0
1 716.9
1 532.8
6.9
0.2
0.0
0.0
1 010.8
0.0
0.0
1.0
13 173.6
18 218.7
16 456.6
18 187.8
22 099.3
100.0
0.1
1. Pengeluaran Rutin
7 072.5
8 809.0
9 344.4
10 566.8
11 527.0
53.7
0.1
a. Belanja Pegawai
3 140.8
3 929.7
4 438.4
4 545.1
5 489.2
24.4
0.1
b. Belanja Barang
1 165.0
1 351.2
1 311.0
1 296.1
1 226.6
7.2
0.0
c. Bunga Utang
1 496.7
1 704.1
2 988.0
3 431.4
4 443.4
16.0
0.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1 496.7
1 704.1
2 988.0
3 431.4
4 443.4
16.0
0.3
d. Subsidi
1 240.0
1 367.3
467.2
1 165.2
282.3
5.1
-0.3
i. BBM
507.6
450.0
0.0
401.8
82.3
1.6
-0.4
ii. Non-BBM
732.4
917.3
467.2
763.4
200.0
3.5
-0.3
30.0
456.7
139.8
129.0
85.5
1.0
0.3
2. Pengeluaran pembangunan
6 101.1
9 409.7
7 112.2
7 621.0
10 572.3
46.3
0.1
a. Pembiayaan Rupiah
4 389.7
6 649.4
3 390.4
3 468.1
3 113.9
23.8
-0.1
i. Departemen/Lembaga
2 679.5
4 860.6
2 660.2
3 150.6
2 365.2
17.8
0.0
ii. Lainnya
1 710.2
1 788.8
730.2
317.5
748.7
6.0
-0.2
1 711.4
2 760.3
3 721.8
4 152.9
7 458.4
22.5
0.4
Jenis Penerimaan
i. Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Perdag. Internasional
2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
Belanja Pemerintah Pusat
i. Dalam negeri ii. Luar Negeri
e. Lainnya
b. Pembiayaan Proyek
215
Lampiran 1. Lanjutan Jenis Penerimaan
1989/ 1990
1990/ 1991
1991/ 1992
1992/ 1993
1993/ 1994
Rata-rata (%) Share
Growth
Penerimaan Dalam Negeri
31 504.2
42 193.0
42 582.0
48 862.6
56 113.1
100.0
0.16
1. Penerimaan Perpajakan
16 084.1
22 010.9
24 919.3
30 091.5
36 665.1
58.7
0.2
a. Penerimaan Pajak DN
14 018.6
19 171.3
22 031.1
26 859.4
33 096.1
52.1
0.2
i. Pajak Penghasilan (PPh)
5 754.8
8 250.0
9 727.0
12 516.3
14 758.9
23.1
0.3
ii. PPN dan PPn-BM
5 986.1
8 119.2
9 145.9
10 742.3
13 943.5
21.7
0.2
iii. PBB dan BPHTB
604.4
785.8
944.4
1 106.8
1 484.5
2.2
0.3
1 482.2
1 799.8
1 915.0
2 241.6
2 625.8
4.5
0.2
191.1
216.5
298.8
252.4
283.4
0.6
0.1
2 065.5
2 839.6
2 888.2
3 232.1
3 569.0
6.6
0.1
1 892.2
2 799.8
2 871.1
3 223.3
3 555.3
6.5
0.2
173.3
39.8
17.1
8.8
13.7
0.1
-0.5
15 420.1
20 182.1
17 662.7
18 771.1
19 448.0
41.3
0.1
13 381.3
17 740.0
15 069.6
15 330.8
12 503.4
33.5
0.0
2 038.8
2 442.1
2 593.1
3 440.3
4 624.0
6.8
0.2
-
-
-
-
2 320.6
1.0
Belanja Pemerintah Pusat
27 202.8
32 628.1
35 851.3
41 353.6
45 287.9
1. Pengeluaran Rutin
14 722.6
17 641.7
17 190.2
19 658.3
22 550.6
50.3
0.1
a. Belanja Pegawai
6 205.5
7 088.0
8 169.7
9 554.2
11 144.8
23.1
0.2
b. Belanja Barang
1 703.5
1 842.1
2 328.1
2 928.5
3 032.1
6.5
0.2
c. Bunga Utang
4 738.5
4 959.2
5 051.8
5 784.9
6 157.4
14.6
0.1
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
4 738.5
4 959.2
5 051.8
5 784.9
6 157.4
14.6
0.1
d. Subsidi
1 857.7
3 570.4
1 229.9
866.8
1 454.9
4.9
-0.1
i. BBM
707.3
3 305.7
929.9
691.8
1 279.9
3.8
0.2
1 150.4
264.7
300.0
175.0
175.0
1.1
-0.4
217.4
182.0
410.7
523.9
761.4
1.1
0.4
12 480.2
14 986.4
18 661.1
21 695.3
22 737.3
49.7
0.2
5 115.7
7 951.6
10 071.5
11 113.9
11 984.8
25.4
0.2
i. Departemen/Lembaga
3 153.7
5 134.1
7 483.7
10 032.8
10 915.7
20.1
0.4
ii. Lainnya
1 962.0
2 817.5
2 587.8
1 081.1
1 069.1
5.2
-0.1
7 364.5
7 034.8
8 589.6
10 581.4
10 752.5
24.3
0.1
iv. Cukai v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdag. Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas b. PBPB Lainnya c. LBM
i. Dalam negeri ii. Luar Negeri
ii. Non-BBM e. Lainnya 2. Pengeluaran pembangunan a. Pembiayaan Rupiah
b. Pembiayaan Proyek
0.1
216
Lampiran 1. Lanjutan Jenis Penerimaan
1994/ 1995
1995/ 1996
1996/ 1997
1997/ 1998
1998/ 1999
1999/ 2000
Penerimaan Dalam Negeri
62 686.4
73 013.9
87 630.3
112 275.5
156 470.2
187 819.3
1. Penerimaan Perpajakan
40 710.5
48 686.3
57 339.9
112 275.5
156 408.4
187 819.3
a. Penerimaan Pajak DN
37 372.4
45 470.8
54 680.0
70 934.2
102 394.4
112 904.8
i. Pajak Penghasilan (PPh)
18 350.1
21 012.0
27 062.1
67 807.0
95 458.6
107 869.2
ii. PPN dan PPn-BM
14 086.8
18 519.4
20 351.2
34 388.3
55 944.2
59 682.8
iii. PBB dan BPHTB
1 632.1
1 893.9
2 413.2
25 198.8
27 803.2
33 087.0
iv. Cukai
3 000.9
3 592.7
4 262.8
2 640.9
3 565.3
4 107.3
302.5
452.8
590.7
5 101.2
7 732.9
10 381.2
3 338.1
3 215.5
2 659.9
477.8
413.0
610.9
3 218.0
3 029.4
2 578.9
3 127.2
6 935.8
5 035.6
120.1
186.1
81.0
2 998.7
2 305.6
4 177.0
21 975.9
24 327.6
30 290.4
128.5
4 630.2
858.6
13 537.4
16 054.7
20 137.1
41 341.3
54 014.0
74 914.5
b. PBPB Lainnya
6 432.7
7 785.3
10 153.3
30 559.0
41 368.3
58 481.6
c. LBM
2 005.8
487.6
-
10 782.3
12 645.7
16 432.9
Belanja Pemerintah Pusat
47 877.4
48 283.9
59 405.6
76 150.9
146 019.6
201 767.7
1. Pengeluaran Rutin
25 353.7
26 857.8
32 508.5
48 363.5
104 452.6
156 580.3
a. Belanja Pegawai
12 595.5
13 001.4
14 455.2
17 269.0
23 216.1
32 718.8
b. Belanja Barang
4 318.9
5 175.1
8 108.5
8 999.3
9 862.4
10 764.5
c. Bunga Utang
6 144.6
6 615.0
6 610.0
10 817.6
32 864.3
42 909.8
i. Dalam negeri
-
-
-
-
8 384.8
22 230.4
ii. Luar Negeri
6 144.6
6 615.0
6 610.0
10 817.6
24 479.5
20 679.4
1 501.8
143.0
1 602.2
10 521.9
35 785.7
66 091.7
i. BBM
686.8
-
1 416.1
9 814.3
28 606.6
40 923.4
ii. Non-BBM
815.0
143.0
186.1
707.6
7 179.1
25 168.3
792.9
1 923.3
1 732.6
755.7
2 724.1
4 095.5
22 523.7
21 426.1
26 897.1
27 787.4
41 567.0
45 187.4
12 685.9
12 417.3
14 997.0
13 401.8
15 386.0
20 804.3
11 239.2
10 980.3
12 159.2
12 061.9
13 067.9
13 358.5
1 446.7
1 437.0
2 837.8
1 339.9
2 318.1
7 445.8
9 837.8
9 008.8
11 900.1
14 385.6
26 181.0
24 383.1
v. Pajak Lainnya b. Pajak Perdggn Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak a. Migas
d. Subsidi
e Lainnya 2. Pengeluaran pembangunan a. Pembiayaan Rupiah i. Departemen/Lembaga ii. Lainnya b. Pembiayaan Proyek
217
Lampiran 1. Lanjutan 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Pendapatan dan Hibah
205 334.5
301 077.7
298 527.6
341 396.1
403 366.7
495 224.2
I. Penerimaan Dalam Negeri
205 334.5
300 599.5
298 527.6
340 928.3
403 104.6
493 919.4
1. Penerimaan Perpajakan
115 912.5
185 540.9
210 087.5
242 048.1
280 558.8
347 031.0
a. Pajak Dalam Negeri
108 884.2
175 973.9
199 512.1
230 933.9
267 817.0
331 791.9
A.
i. Pajak Penghasilan
57 073.0
94 576.0
101 873.5
115 015.6
119 514.5
175 541.2
- Migas
18 651.5
23 101.6
17 469.1
18 962.5
22 946.6
35 143.2
- Non Migas
38 421.5
71 474.4
84 404.4
96 053.1
96 567.9
140 398.0
35 231.8
55 957.0
65 153.0
77 081.5
102 572.7
101 296.8
3 525.3
5 246.2
6 228.0
8 761.5
11 767.0
16 216.7
930.8
1 416.7
1 599.7
2 143.8
2 918.2
3 431.9
11 286.6
17 394.1
23 188.6
26 277.2
29 172.5
33 256.2
836.7
1 383.9
1 469.3
1 654.3
1 872.1
2 050.4
7 028.3
9 567.0
10 575.4
11 114.3
12 741.8
15 239.1
6 697.1
9 025.8
10 344.4
10 884.6
12 444.0
14 920.9
331.2
541.2
231.0
229.7
297.8
318.2
89 422.0
115 058.6
88 440.0
98 880.2
122 545.8
146 888.4
76 290.1
85 671.8
64 755.1
67 510.0
91 543.0
110 467.3
66 661.0
81 040.9
60 011.0
61 501.9
85 259.0
103 762.0
ii. Non Migas
9 629.1
4 630.9
4 744.1
6 008.1
6 284.0
6 705.3
b. Bagian Laba BUMN
4 017.8
8 836.7
9 760.2
12 616.6
9 817.5
12 835.2
ii.Pajak Pertambahan Nilai iii.Pajak Bumi dan Bangunan iv.BPHTB v.Cukai vi.Pajak Lainnya b.Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor 2.Penerimaan Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas
c. Surplus Bank Indonesia
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
9 114.1
20 550.1
13 924.7
18 753.5
21 185.2
23 585.9
0.0
478.2
0.1
467.7
262.1
1 304.8
Belanja Negara
221 466.7
341 562.6
322 179.7
376 505.2
427 176.6
509 632.5
Belanja Pemerintah Pusat
188 391.9
260 508.2
223 975.6
256 190.9
297 464.0
361 155.2
1. Belanja Pegawai
29 612.9
38 713.1
39 479.6
47 661.5
52 743.2
54 254.2
2 Belanja Barang
9 604.8
9 930.9
12 776.9
14 991.5
15 518.1
29 171.7
3 Belanja Modal
25 814.8
41 585.0
37 324.7
69 247.0
61 450.2
32 888.8
4 Pembayaran Bunga Utang
50 068.1
87 142.3
87 667.0
65 350.6
62 485.6
65 199.6
a. Utang Dalam Negeri
31 237.9
58 197.0
62 260.6
46 356.0
42 600.0
b. Utang Luar Negeri
18 830.2
28 945.3
25 406.4
18 994.6
22 599.6
62 745.3
77 443.4
40 006.3
43 898.6
91 529.1
120 765.3
53 809.6
68 360.8
31 161.7
300 379.0
69 024.5
104 449.1
8 935.7
9 062.6
8 844.6
13 860.7
22 504.6
16 316.2
d. PNBP Lainnya II. Hibah
B.
5 Subsidi a.Subsidi Energi b. Subsidi Non Energi
24 903.5
6 Bantuan Sosial 7 Belanja Lain-Lain
10 546.0
5 693.5
6 721.1
15 041.7
13 737.8
33 972.1
218
Lampiran 1. Lanjutan 2006
2007
2008
2009
2010
A. Pendapatan dan Hibah
637 987.1
707 806.1
981 609.4
848 763.2
992 398.8
I. Penerimaan Dalam Negeri
636 153.1
706 108.3
979 305.4
847 096.6
990 502.3
1. Penerimaan Perpajakan
409 203.0
490 988.6
658 700.8
619 922.2
743 325.9
a. Pajak Dalam Negeri
395 971.5
470 051.8
622 358.7
601 251.8
720 764.5
208 833.1
238 430.9
327 497.7
317 615.0
362 219.0
43 187.9
44 000.5
77 018.9
50 043.7
55 382.4 306 836.6
Jenis Penerimaan
i. Pajak Penghasilan - Migas - Non Migas ii.Pajak Pertambahan Nilai iii.Pajak Bumi dan Bangunan iv.BPHTB v.Cukai vi.Pajak Lainnya b.Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak a. Penerimaan SDA i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. Surplus Bank Indonesia d. PNBP Lainnya II. Hibah
165 645.2
194 430.5
250 478.8
267 571.3
123 035.9
154 526.8
209 647.4
193 067.5
262 963.0
20 858.5
23 723.5
25 354.3
24 270.2
25 319.2
3 184.5
5 953.4
5 573.1
6 464.5
7 155.5
37 772.1
44 679.5
51 251.8
56 718.5
59 265.9
2 287.4
2 737.7
3 034.3
3 116.0
3 841.9
13 231.5
20 936.8
36 342.1
18 670.4
22 561.4
12 140.4
16 699.4
22 763.8
18 105.5
17 106.8
1 091.1
4 237.4
13 578.3
565.0
5 454.6
226 950.1
215 119.7
320 604.6
227 174.4
247 176.4
167 473.8
132 892.6
224 463.0
138 959.2
164 726.7 151 719.9
158 086.1
124 783.7
211 617.0
125 752.0
9 387.7
8 108.9
12 846.0
13 207.3
13 006.9
21 450.6
23 222.5
29 088.4
26 049.5
29 500.0
1 522.5
13 669.3
0.0
36 503.2
45 335.3
63 319.0
53 796.1
43 462.8
1 834.1
1 697.7
2 304.0
1 666.6
1 896.5
667 128.9
757 649.9
985 730.7
937 382
1 042 117
Belanja Pemerintah Pusat
440 032.2
504 623.3
693 355.9
628 812.4
781 533.6
1. Belanja Pegawai
73 252.3
90 424.9
112 829.9
127 669.7
162 659.0
2. Belanja Barang
47 181.9
54 511.4
55 963.5
80 667.9
112 594.0
3. belanja Modal
54 951.9
64 288.7
72 772.5
75 870.8
95 024.6
4. Pembayaran Bunga Utang
79 082.6
79 806.4
88 429.8
93 782.1
105 650.2
a. Utang DN
54 908.3
54 079.4
59 887.0
63 755.9
71 857.6
b. Utang LN
24 174.3
25 727.0
28 542.8
30 026.2
33 792.6
107 431.8
150 214.5
275 291.5
138 082.2
201 263.0
a.Subsidi Energi
94 605.4
118 865.9
223 013.2
94 585.9
143 997.1
b. Subsidi Non Energi
12 826.4
33 348.6
52 278.2
43 496.3
57 265.9
40 708.6
49 756.3
57 740.8
73 813.6
71 172.8
30 238.1
38 926.2
32 926.7
B. Belanja negara
5 Subsidi
6 Bantuan Sosial 7 Belanja Lain-Lain
37 423.1
15 621.2
219
Lampiran 2. Komposisi Belanja Daerah dan Pembiayaan APBN 1969/1970 –2010 (miliar Rp) Rata-rata (%)
1969/
1970/
1971/
1972/
1973/
1970
1971
1972
1973
1974
Share
Growth
Anggaran Belanja Untuk Daerah
7.5
33
37.5
58.3
200.1
100
1.27
1. Dana Perimbangan
4.6
32.2
35.1
55
196.8
96.2
1.56
-
-
-
15.2
19.5
10.3
2.6
31.9
34.9
39.3
45.7
45.9
1.05
2.6
5.6
5.3
5.7
5.7
7.4
0.22
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
-
5.6
8.8
12.8
19.2
13.8
iii. Inpres Provinsi/Dati I
-
20.7
20.8
20.8
20.8
24.7
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
2
0.3
0.2
0.5
131.6
40
1.85
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
2
0.3
0.2
0.5
114.4
34.9
1.75
ii. Dana Pembangunan Daerah
-
-
-
-
17.2
5.1
-
-
-
-
17.2
5.1
2.9
0.8
2.4
3.3
3.3
3.8
Keseimbangan Primer
-62.3
-65.2
-48.3
-53.5
-56.4
0
Surplus/Defesit Anggaran
-66.3
-73.1
-59.4
-68.6
-81.6
0.1
66.3
73.1
59.4
68.6
81.6
100
0.1
-7
-8.9
-19.2
-28.1
-20.7
-24
0.3
a. Perbankan dalam negeri
-5.3
-6.7
-13.6
-21.7
-12.1
-17
0.2
b. Non-Perbankan Dalam Negeri
-1.7
-2.2
-5.6
-6.4
-8.6
-7
0.5
i. Privatisasi
0
0
0
0
0
0
ii. Hasil Penjualan Aset BPPN
0
0
0
0
0
0
iii. Surat Utang/Obligasi Negara net
0
0
0
0
0
0
-1.7
-2.2
-5.6
-6.4
-8.6
-7
0.5
73.3
82
78.6
96.7
102.3
124
0.1
82.1
99.5
108.6
121.5
142.9
158.9
0.1
i. Pinjaman program
69.2
75.2
92.8
87.2
93.6
119.8
0.1
ii. Pinjaman proyek
12.9
24.3
15.8
34.3
49.3
39.1
0.4
-8.8
-17.5
-30
-24.8
-40.6
-34.9
0.5
Uraian
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB b. Dana Alokasi Umum (DAU) i. Inpres Desa
- Inpres SD 2. Dana Otsus dan Penyeimbang
0.03
Pembiayaan APBN
Pembiayaan Anggaran 1. Pembiayaan Dalam Negeri
iv. Pembayaran tunggakan/utang 2. Pembiayaan Luar negeri neto a. Penarikan pinjaman luar negeri
b. Pembayaran pokok utang LN
220
Lampiran 2. Lanjutan 1974/
1975/
1976/
1977/
1978/
1975
1976
1977
1978
1979
361.7
486.7
584.0
817.6
358.3
482.5
579.7
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB
28.0
34.6
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
100.5
i. Inpres Desa
Rata-rata (%)
Jenis Pengeluaran Share
Growth
929.9
100.0
0.27
811.3
921.2
99.2
0.27
42.2
52.5
63.1
6.9
0.23
124.1
145.6
165.2
178.1
22.4
0.15
11.4
14.4
19.8
23.1
24.0
2.9
0.20
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
41.2
55.6
62.4
68.5
69.1
9.3
0.14
iii. Inpres Provinsi/Dati I
47.9
54.1
63.4
73.6
85.0
10.2
0.15
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
229.8
323.8
391.9
593.6
680.0
69.8
0.31
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
209.3
264.0
306.6
471.7
507.8
55.3
0.25
20.5
59.8
85.3
121.9
172.2
14.5
0.70
20.5
48.6
55.3
84.9
111.6
10.1
0.53
- Inpres Puskesmas
-
11.2
14.0
11.6
22.9
1.9
- Inpres Pasar
-
-
-
0.8
1.8
0.1
- Inpres Reboisasi
-
-
16.0
24.6
35.9
2.4
3.4
4.2
4.3
6.3
8.7
0.8
Keseimbangan Primer
-131.2
-358.3
-123.6
117.7
213.0
Surplus/Defesit Anggaran
-156.2
-402.9
-221.2
49.9
-9.5
156.2
402.9
221.2
-49.9
9.5
100.0
-0.5
-13.2
-20.4
-36.5
-150.3
-138.5
-48.5
0.8
a. Perbankan dalam negeri
-6.8
-19.0
-15.4
-147.1
-129.7
-43.0
1.1
b. Non-Perbankan DN
-6.4
-1.4
-21.1
-3.2
-8.8
-5.5
0.1
-6.4
-1.4
-21.1
-3.2
-8.8
-5.5
0.1
2. Pembiayaan Luar negeri neto
169.4
423.3
257.7
100.4
148.0
148.5
0.0
a. Penarikan pinjaman LN
207.1
450.4
325.2
253.6
437.9
226.3
0.2
i. Pinjaman program
37.6
20.5
22.7
42.9
52.5
23.8
0.1
ii. Pinjaman proyek
169.5
429.9
302.5
210.7
385.4
202.5
0.2
-37.7
-27.1
-67.5
-153.2
-289.9
-77.8
0.7
Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan
ii. Dana Pembangunan Daerah - Inpres SD
2. Dana Otsus dan Penyeimbang
Pembiayaan Anggaran 1. Pembiayaan Dalam Negeri
Pembayaran tunggakan/utang
b. Pembayaran pokok utang LN
0.26
-0.5
221
Lampiran 2. Lanjutan Rata-rata (%)
1979/
1980/
1981/
1982/
1983/
1980
1981
1982
1983
1984
Share
Growth
1 237.6
1 759.1
2 332.3
2 558.1
3 003.5
100.0
0.2
1 230.9
1 752.9
2 326.3
2 551.7
2 996.9
99.7
0.2
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB
111.4
90.5
95.6
105.2
137.6
5.0
0.1
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
232.3
336.6
445.2
639.8
535.9
20.1
0.2
i. Inpres Desa
59.0
50.7
70.4
89.6
91.6
3.3
0.1
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
70.5
118.9
162.0
297.2
191.2
7.7
0.3
iii. Inpres Provinsi/Dati I
102.8
167.0
212.8
253.0
253.1
9.1
0.3
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
887.2
1 325.8
1 785.5
1 806.7
2 323.4
74.6
0.3
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
672.5
971.9
1 233.0
1 315.9
1 545.4
52.7
0.2
ii. Dana Pembangunan Daerah
214.7
353.9
552.5
490.8
778.0
21.9
0.4
148.4
245.9
371.4
309.4
564.5
15.1
0.4
- Inpres Keshtn/Puskesmas
15.2
30.9
53.5
71.1
63.7
2.2
0.4
- Inpres Pasar
12.5
2.5
2.1
4.5
13.9
0.3
0.0
- Inpres Penunjang Jalan
13.0
26.0
54.9
49.3
44.8
1.7
0.4
- Inpres Reboisasi
25.6
48.6
70.6
56.5
91.1
2.7
0.4
6.7
6.2
6.0
6.4
6.6
0.3
0.0
-41.8
-271.0
-676.2
-810.7
-305.0
0.6
-351.7
-678.7
-1136.9
-1430.7
-1421.0
0.4
351.7
678.7
1136.9
1430.7
1421.0
100.0
0.4
1. Pembiayaan Dalam Negeri
-85.7
-95.6
32.9
9.4
-165.3
-6.1
0.2
a. Perbankan dalam negeri
10.6
-53.8
48.1
27.9
-137.6
-2.1
-96.3
-41.8
-15.2
-18.5
-27.7
-4.0
i. Privatisasi
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
ii. Hasil Penj. Aset BPPN
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
iii. Surat Obligasi N net
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
-96.3
-41.8
-15.2
-18.5
-27.7
-4.0
-0.3
2. Pembiayaan Luar negeri neto
437.4
774.3
1104.0
1421.3
1586.3
106.1
0.4
a. Penarikan pinjaman LN
775.1
1120.6
1558.6
2006.0
2543.1
159.5
0.3
i. Pinjaman program
64.4
64.1
45.0
15.1
14.9
4.1
-0.3
ii. Pinjaman proyek
710.7
1056.5
1513.6
1990.9
2528.2
155.4
0.4
-337.7
-346.3
-454.6
-584.7
-956.8
-53.4
0.3
Jenis Penerimaan Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan
- Inpres SD
2. Dana Otsus dan Penyeimbang Keseimbangan Primer Surplus/Defesit Anggaran Pembiayaan Anggaran
b. Non-Perbankan DN
iv. Pembyrn tunggakan/utang
b. Pembayaran pokok utang LN
-0.3
222
Lampiran 2. Lanjutan Rata-rata (%)
1984/
1985/
1986/
1987/
1988/
1985
1986
1987
1988
1989
3 328.1
3 908.8
4 281.2
4 196.7
4 556.0
100.0
0.1
3 324.7
3 904.8
4 274.0
4 192.0
4 550.3
99.9
0.1
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB
166.2
116.7
215.4
169.3
327.2
4.9
0.2
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
540.4
563.1
567.3
656.1
796.8
15.4
0.1
92.8
98.6
85.5
113.3
111.5
2.5
0.0
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
194.6
184.5
188.3
262.3
360.7
5.9
0.2
iii. Inpres Provinsi/Dati I
253.0
280.0
293.5
280.5
324.6
7.1
0.1
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
2 618.1
3 225.0
3 491.3
3 366.6
3 426.3
79.6
0.1
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
1 786.8
2 495.7
2 769.4
2 811.2
3 011.1
63.5
0.1
831.3
729.3
721.9
555.4
415.2
16.0
-0.2
572.1
536.1
497.7
241.1
130.3
9.8
-0.3
- Inpres Puskesmas
71.1
94.4
109.1
93.1
90.2
2.3
0.1
- Inpres Pasar
25.5
4.5
11.4
2.9
3.5
0.2
-0.4
101.2
70.8
73.5
184.4
175.0
3.0
0.1
61.4
23.5
30.2
33.9
16.2
0.8
-0.3
3.4
4.0
7.2
4.7
5.7
0.1
0.1
926.3
516.0
-364.5
2 777.6
1 201.9
0.1
-570.4
-1 188.1
-3 352.5
-653.8
-3 241.5
0.5
570.4
1 188.1
3 352.5
653.8
3 241.5
100.0
38.7
-42.4
-90.4
-175.8
-364.3
-7.0
68.7
-22.4
-90.4
-175.8
-286.0
-5.6
-30.0
-20.0
0.0
0.0
-78.3
-1.4
0.3
-30.0
-20.0
0.0
0.0
-78.3
-1.4
0.3
531.7
1 230.5
3 442.9
829.6
3 605.8
107.0
0.6
1 780.7
2 829.5
5 513.0
5 555.6
10 124.3
286.5
0.5
69.3
69.2
1 791.2
684.5
2 665.9
58.6
1.5
1 711.4
2 760.3
3 721.8
4 871.1
7 458.4
227.9
0.4
-1 249.0
-1 599.0
-2 070.1
-4 726.0
-6 518.5
-179.5
0.5
Jenis Pengeluaran Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan
i. Inpres Desa
ii. Dana Pembangunan Daerah - Inpres SD
- Inpres Penunjang Jalan - Inpres Reboisasi 2. Dana Otsus dan Penyeimbang Keseimbangan Primer Surplus/Defesit Anggaran Pembiayaan Anggaran 1. Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan dalam negeri b. Non-Perbankan DN Pembayaran tunggakan/utang 2. Pembiayaan Luar negeri net a. Penarikan pinjaman LN i. Pinjaman program ii. Pinjaman proyek b. Pembay. pokok utang LN
Share
Growth
0.5
223
Lampiran 2. Lanjutan Rata-rata (%)
1989/
1990/
1991/
1992/
1993/
1990
1991
1992
1993
1994
5 340.6
6 887.2
8 489.8
10 419.5
12 424.5
100.0
0.2
5 340.6
6 887.2
8 489.8
10 419.5
12 424.5
100.0
0.2
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB
543.4
687.5
859.2
983.1
1 333.5
10.1
0.3
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
720.6
1 062.0
1 414.2
1 828.5
2 048.7
16.2
0.3
i. Inpres Desa
132.1
180.7
248.9
326.3
391.6
2.9
0.3
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
269.9
399.6
583.4
802.1
915.7
6.8
0.4
iii. Inpres Provinsi/Dati I
318.6
481.7
581.9
700.1
741.4
6.5
0.2
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
4 076.6
5 137.7
6 216.4
7 607.9
9 042.3
73.6
0.2
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
3 577.3
3 887.5
4 376.4
5 383.5
6 908.7
55.4
0.2
499.3
1 250.2
1 840.0
2 224.4
2 133.6
18.2
0.4
99.6
369.2
515.2
645.4
595.4
5.1
0.6
101.4
174.4
267.4
315.7
340.4
2.8
0.4
7.8
12.8
4.7
1.7
3.0
0.1
-0.2
274.4
660.9
978.7
1 165.3
1 083.7
9.6
0.4
16.1
32.9
74.0
96.3
111.1
0.8
0.6
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
3 699.3
7 636.9
3 292.7
2 874.4
4 558.1
0.1
-1 039.2
2 677.7
-1 759.1
-2 910.5
-1 599.3
0.1
1 039.2
-2 677.7
1 759.1
2 910.5
1 599.3
0.1
1. Pembiayaan Dalam Negeri
-254.0
-3 441.3
-669.8
276.2
1 731.7
-50.9
a. Perbankan dalam negeri
-105.4
-3 202.6
-429.6
551.2
1 852.4
-28.8
b. Non-Perbankan DN
-148.6
-238.7
-240.2
-275.0
-120.7
-22.1
i. Privatisasi
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
ii. Hasil Penjualan Aset BPPN
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
iii. Surat Utang/Obligasi net
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
iv. Pembyrn tunggakan/utang
-148.6
-238.7
-240.2
-275.0
-120.7
-22.1
2. Pembiayaan Luar negeri net
1 293.2
763.6
2 428.9
2 634.3
-132.4
150.9
a. Penarikan pinjaman LN
8 330.3
8 381.5
9 975.1
11 097.9
10 752.5
1 048.2
0.1
965.8
1 346.7
1 385.5
516.5
0.0
91.0
-1.0
7 364.5
7 034.8
8 589.6
10 581.4
10 752.5
957.2
0.1
-7 037.1
-7 617.9
-7 546.2
-8 463.6
-10 884.9
-897.3
0.1
Jenis Pengeluaran Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan
ii. Dana Pemb. Daerah - Inpres SD - Inpres Puskesmas - Inpres Pasar - Inpres Penunjang Jalan - Inpres Reboisasi 2. Dana Otsus dan Penyeimbang Keseimbangan Primer Surplus/Defesit Anggaran Pembiayaan Anggaran
i. Pinjaman program ii. Pinjaman proyek b. Pembayaran pokok utang LN
Share
Growth
-0.1
-0.1
224
Lampiran 2. Lanjutan 1994/
1995/
1996/
1997/
1998/
1999/
1995
1996
1997
1998
1999
2000
14 625.4
15 438.2
18 226.1
20 904.2
26 649.6
29 936.0
14 625.4
15 438.2
18 226.1
20 904.2
26 649.6
29 936.0
a. Dana Bagi Hasil/Ipeda/PBB
1 683.2
1 723.5
2 396.3
2 352.2
3 702.5
3 992.7
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
4 322.0
4 156.6
4 792.7
5 514.5
6 034.6
7 076.4
432.6
425.9
457.6
467.0
474.0
811.5
ii. Inpres Kabupaten/Dati II
2 558.3
2 474.2
2 940.7
3 439.5
3 828.3
4 258.7
iii. Inpres Provinsi/Dati I
1 331.1
1 256.5
1 394.4
1 608.0
1 732.3
2 006.2
c. Dana Alokasi Khusu (DAK)
8 620.2
9 558.1
11 037.1
13 037.5
16 912.5
18 866.9
i. SDO (Dana Rutin Daerah)
7 272.4
8 226.6
9 357.5
11 060.5
13 074.2
17 485.2
ii. Dana Pembangunan Daerah
1 347.8
1 331.5
1 679.6
1 977.0
3 838.3
1 381.7
- Inpres SD
538.1
494.4
591.5
657.8
591.1
- Inpres Kesehatan/Puskesmas
412.0
338.7
564.1
592.2
814.0
- Inpres Desa Tertinggal
397.7
498.4
524.0
463.6
217.5
263.4
2 215.7
Jenis Pengeluaran Anggaran Belanja Untuk Daerah 1. Dana Perimbangan
i. Inpres Desa
- Bantuan dan Perluasan JPS 2. Dana Otsus dan Penyeimbang
-
1 381.7 -
0.0
0.0
0.0
6 328.2
15 906.8
16 608.6
26 038.0
16 665.3
-974.6
183.6
9 291.8
9 998.6
15 220.4
-16 199.0
-43 884.4
-183.6
-9 291.8
-9 998.6
-15 220.4
16 199.0
43 884.4
2 132.4
-4 426.6
-5 606.7
-10 939.0
-4 799.2)
14 496.6
2 236.5
-2 807.0
-1 017.5
-9 311.3
-6 433.2)
-2 116.7
-104.1
-1 619.6
-4 589.2
-1 627.7
1 634.0
16 613.3
i. Privatisasi
0.0
0.0
0.0
0.0
1 634.0
3 727.2
ii. Hasil Penjualan Aset BPPN
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
12 886.1
iii. Surat Utang/Obligasi net
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
-104.1
-1 619.6
-4 589.2
-1 627.7
0.0
0.0
-2 316.0
-4 865.2
-4 391.9
-4 281.4
20 998.2
29 387.8
9 837.8
9 008.8
11 900.1
14 385.6
51 044.9
49 584.0
0.0
0.0
0.0
24 925.7
25 200.9
9 837.8
9 008.8
11 900.1
14 385.6
26 119.2
24 383.1
-12 153.8
-13 874.0
-16 292.0
-18 667.0
-30 046.7
-20 196.2
Keseimbangan Primer Surplus/Defesit Anggaran Pembiayaan Anggaran 1. Pembiayaan Dalam Negeri a. Perbankan dalam negeri b. Non-Perbankan Dalam Negeri
iv. Pembyarn tunggakan/utang 2. Pembiayaan Luar negeri neto a. Penarikan pinjaman luar negeri i. Pinjaman program ii. Pinjaman proyek b. Pembayaran pokok utang LN
-
225
Lampiran 2. Lanjutan 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Belanja Daerah
33 075
81 054
98 204
120 314
129 723
150 464
1. Dana Perimbangan
33 075
81 054
94 657
111 070
122 868
143 221
a. Dana Bagi Hasil
4 268
20 008
24 884
31 370
36 700
49 692
28 807
60 346
69 159
76 978
82 131
88 765
701
613
2 723
4 036
4 764
3 548
9 244
6 855
7 243
Jenis Pengeluaran
b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Otsus & Penyesuaian 3. Dana Otonomi Khusus
1 775
4. Dana Penyesuaian
5 467
Keseimbangan Primer
33 936
46 657
64 015
30 242
38 676
50 791
-16 132
-40 485
-23 652
-35 109
-23 810
-14 408
16 232
40 485
23 652
35 109
20 796
11 219
1. Pembiayaan Dalam Negeri
5 937
30 218
17 024
34 562
48 553
21 491
a. Perbankan Dalam Negeri
-12 964
-1 228
-8 140
10 705
22 713
-2 453
b. Non Perbankan Dalam Negeri
18 900
31 445
25 164
23 857
25 841
23 942
i. Privatisasi & Restrukturisasi
18 900
31 445
27 104
26 961
19 270
6 564
-1 939
-3 105
6 570
22 575
Surplus/Defisit Anggaran Pembiayaan
ii. Surat Utang Negara (Neto) iii. PMN Secondary M. Facility 2. Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN (Bruto) i. Pinjaman Program ii. Pinjaman Proyek b. Pembayaran Pokok Utang LN
-5 195 10 196
10 267
6 628
575
-28 057
-10 272
178 184
26 152
18 887
20 360
18 434
26 840
849
6 416
7 170
1 792
5 059
12 265
16 970
19 736
11 717
18 568
13 375
14 576
-7 623
-15 885
-12 259
-19 812
-46 491
-37 112
226
Lampiran 2. Lanjutan 2006
2007
2008
2009
2010
Belanja Daerah
226 180
253 263
292 434
308 585
344 613
1. Dana Perimbangan
222 131
243 967
278 715
287 252
314 363
a. Dana Bagi Hasil
64 900
62 942
78 420
76 130
89 618
b. Dana Alokasi Umum
145 664
164 787
179 507
186 414
203 607
c. Dana Alokasi Khusus
11 566
16 238
20 787
24 707
21 138
2. Dana Otsus & Penyesuaian
4 049
9 296
13 719
21 334
30 250
3. Dana Otonomi Khusus
3 488
4 046
7 510
9 527
9 100
4. Dana Penyesuaian
561
5 250
6 209
11 807
21 150
Keseimbangan Primer
49 941
29 963
84 309
-29 142
-49 844
-4 121
Pembiayaan
29 416
42 457
84 072
1. Pembiayaan Dalam Negeri
55 982
66 309
102 478
128 133
133 903
a. Perbankan Dalam Negeri
18 913
8 420
16 159
41 057
45 477
b. Non Perbankan Dalam Negeri
37 069
57 889
86 318
87 076
88 426
i. Privatisasi & Restrukturisasi
3 084
2 717
2 892
ii. Surat Utang Negara (Neto)
35 986
57 172
85 923
iii. PMN Secondary M. Facility
-2 000
-2 000
-2 500
-26 566
-23 852
-19 100
-15 550
-156
26 115
34 070
44 074
50 219
58 662
i. Pinjaman Program
13 580
19 608
29 602
30 100
28 938
ii. Pinjaman Proyek
12 535
14 463
14 473
20 118
29 724
-52 681
-57 923
-63 175
-63 435
-68 031
Jenis Pengeluaran
Surplus/Defisit Anggaran
2. Pembiayaan Luar Negeri a. Penarikan Pinjaman LN (Bruto)
b. Pembayaran Pokok Utang LN
227
Lampiran 3. Data Utama untuk Model Simultan Tahun
PDBI
1970
271 918
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
291 017 311 498 336 742 362 451 380 491 406 694 442 326
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
GPDBI
CONS
CGOV
INVG
INVT
TOTI
131 617
16 676
6 690
18 029
24 718
7.02 7.04 8.10 7.63 4.98 6.89 8.76
137 506 146 789 150 851 171 724 178 818 189 358 202 570
17 964 17 625 24 065 21 544 28 082 30 139 35 103
6 691 5 444 6 742 19 914 18 440 14 300 14 933
23 227 30 172 34 930 29 761 38 486 46 042 55 009
29 918 35 617 41 672 49 675 56 926 60 341 69 942
472 258 506 848 556 925 601 073 614 576 640 345 685 012
6.77 7.32 9.88 7.93 2.25 4.19 6.98
219 004 247 680 279 228 325 887 336 845 362 149 376 610
38 857 45 206 50 066 55 155 59 696 59 118 61 135
15 282 21 120 28 606 48 138 49 028 47 073 19 363
65 195 62 914 71 296 62 889 76 426 88 195 107 766
80 477 84 033 99 902 111 027 125 454 135 268 127 129
1985 1986 1987 1988 1989 1990
701 961 743 114 779 719 824 791 886 292 950 478
2.47 5.86 4.93 5.78 7.46 7.24
380 502 388 830 401 682 417 261 434 580 477 499
65 806 67 637 67 523 72 636 80 255 82 831
51 020 37 191 39 751 41 490 42 714 48 152
85 275 111 652 117 257 133 612 155 791 179 275
136 295 148 843 157 008 175 102 198 505 227 426
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
1 018 960 1 082 201 1 152 506 1 239 404 1 341 283 1 446 147 1 514 114
7.20 6.21 6.50 7.54 8.22 7.82 4.70
512 363 526 987 557 703 632 249 711 813 781 008 844 214
88 653 93 822 93 900 96 065 97 352 99 974 100 035
58 403 64 414 69 757 59 013 37 306 70 458 90 763
183 864 189 817 198 940 246 645 311 129 328 550 342 432
242 267 254 232 268 697 305 658 348 435 399 008 433 195
1998 1999 2000 2001 2002 2003
1 315 361 1 326 484 1 389 770 1 442 984 1 505 216 1 577 171
-13.13 0.85 4.77 3.83 4.31 4.78
790 144 826 754 856 798 886 736 920 750 956 593
84 658 85 246 90 780 97 646 110 334 121 404
4 806 33 370 34 149 40 367 44 001 55 065
285 399 200 606 241 732 253 426 263 584 254 366
290 205 233 975 275 881 293 793 307 585 309 431
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 656 517 1 750 815 1 847 127 1 963 092 2 082 104 2 177 742 2 310 690
5.03 5.69 5.50 6.28 6.06 4.59 6.10
1 004 109 1 043 805 1 076 928 1 130 847 1 191 191 1 249 011 1 306 801
126 249 134 626 147 564 153 310 169 297 195 834 196 398
59 451 72 836 66 620 72 044 70 941 79 036 85 752
295 415 320 664 337 100 369 570 422 281 431 064 467 692
354 866 393 501 403 719 441 614 493 223 510 100 553 444
228
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
EXPO
IMPO
TSUB
YD
TREV
RDOM
RTAX
1970
112 555
30 903
9.6
271 706
339
339
221
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
125 821 154 541 192 834 199 826 180 376 202 930 248 323
33 967 43 198 52 428 66 511 71 755 77 566 94 773
1.0 0.0 33.0 297.2 136.7 0.0 112.0
290 759 311 159 336 228 362 010 379 696 405 543 441 015
414 592 975 1 771 2 244 2 867 3 514
414 592 975 1 771 2 244 2 867 3 514
259 339 547 738 932 1 151 1 422
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
252 921 259 429 244 806 238 953 205 649 218 564 232 857
109 557 131 663 151 568 192 583 208 388 234 083 216 494
296.7 673 1 306 1 695 1 321 3 101 1 240
470 819 505 237 555 319 599 566 612 127 638 942 681 458
4 310 6 733 9 933 12 162 12 374 16 367 15 931
4 310 6 733 9 933 12 162 12 374 16 367 15 931
1 736 2 284 2 912 3 202 3 771 4 504 4 794
1985 1986 1987 1988 1989 1990
214 684 247 343 283 513 286 494 316 422 317 850
227 919 237 419 242 112 196 850 223 313 274 927
1 367 467 1 165 282 1 858 3 570
696 998 735 099 770 954 812 728 872 065 932 037
20 939 17 385 21 731 23 414 31 504 42 193
20 939 17 385 21 731 23 414 31 504 42 193
6 330 8 482 9 931 12 345 16 084 22 011
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
395 779 436 916 465 791 516 676 556 570 598 647 645 341
315 796 342 277 357 466 430 015 520 055 555 755 637 541
1 230 867 1 455 1 502 179 1 660 21 121
995 271 1 052 976 1 117 296 1 196 464 1 292 776 1 390 467 1 464 301
42 582 48 863 56 113 66 418 71 340 86 278 112 924
42 582 48 863 56 113 66 418 71 340 86 278 112 924
24 919 30 092 36 665 44 442 48 686 57 340 70 934
1998 1999 2000 2001 2002 2003
717 514 490 691 569 490 573 163 566 188 599 516
603 814 358 211 423 318 441 012 422 271 428 875
34 615 1 230 62 745 77 450 43 627 43 899
1 247 581 1 302 795 1 336 603 1 334 893 1 338 756 1 379 022
156 470 42 582 205 335 301 078 298 527 341 396
156 408 42 582 205 335 300 600 298 527 340 928
102 395 24 919 115 913 185 541 210 087 242 048
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
680 621 793 613 868 257 942 431 1 031 866 932 249 1 071 385
543 184 639 702 694 605 756 895 832 820 708 529 830 982
91 529 120 765 107 432 150 215 275 291 138 082 192 707
1 467 487 1 524 549 1 545 356 1 622 318 1 698 694 1 695 902 1 780 090
403 367 495 224 637 987 707 806 981 609 848 763 995 271
403 105 493 919 636 153 706 108 979 305 847 097 992 248
280 559 347 031 409 203 490 989 658 701 619 922 723 307
229
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
PNBP
RMGS
RNMGS
BTOT
BTUS
BRTN
BPGW
1970
118
69
49
412
379
283
119
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
155 253 428 1 033 1 312 1 716 2 092
113 197 348 957 1 201 1 587 1 939
42 56 81 76 112 129 153
473 660 1 057 1 927 2 647 3 088 3 464
436 602 857 1 565 2 161 2 504 2 646
310 397 569 1 030 1 084 1 210 1 502
149 175 234 377 553 626 844
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
2 574 4 449 7 022 8 961 8 603 11 862 11 138
2 328 4 260 6 774 8 628 8 160 11 350 10 430
246 189 248 333 443 512 708
4 320 7 141 10 654 13 315 13 823 17 815 15 367
3 390 5 944 8 895 10 982 11 265 14 812 12 064
1 966 3 127 4 516 5 634 5 426 8 059 7 103
976 1 282 1 778 2 170 2 373 2 751 3 141
1985 1986 1987 1988 1989 1990
14 610 8 903 11 800 11 069 15 420 20 182
12 925 6 687 10 083 9 536 13 381 17 740
1 685 1 205 1 717 1 533 2 039 2 442
22 148 20 738 22 384 26 734 32 692 39 754
18 239 16 457 18 188 22 178 27 351 32 867
8 829 9 344 10 567 11 605 14 871 17 880
3 930 4 438 4 545 5 489 6 206 7 088
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
17 663 18 771 19 448 21 976 22 654 28 938 41 990
15 070 15 331 12 503 13 537 16 055 20 137 31 208
2 593 3 440 6 945 8 438 6 599 8 801 10 783
44 581 52 048 57 833 62 607 65 342 82 221 109 302
36 092 41 629 45 409 47 982 49 904 63 995 88 377
17 431 19 933 22 671 25 458 28 477 37 098 60 590
8 170 9 554 11 145 12 596 13 001 14 455 17 269
1998 1999 2000 2001 2002 2003
54 013 na 89 422 115 059 88 440 98 880
41 368 17 663 76 290 85 672 64 755 67 510
12 645 4 109 13 132 34 018 28 429 37 379
172 670 44 581 221 467 341 565 322 180 376 505
146 020 36 092 188 392 260 510 223 976 256 191
103 261 17 431 162 577 218 920 186 651 186 944
23 216 8 170 29 613 38 710 39 480 47 661
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
122 546 146 888 226 950 215 120 320 605 227 174 268 942
91 543 110 467 167 474 132 893 224 463 138 959 168 826
37 287 43 126 68 864 90 336 108 987 101 423 116 209
427 187 511 619 666 212 757 650 985 731 937 382 1 042 117
297 464 361 155 440 032 504 387 693 356 628 812 697 407
236 014 328 266 385 081 440 098 620 584 552 942 617 049
52 743 54 254 73 252 90 425 112 830 127 670 148 078
230
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
BBRG
BMDL
BUTG
BSUB
SNBM
SBBM
BLAIN
BDAU
1970
85
96
7.9
9.6
9.6
0.0
61.5
31.9
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
84 109 247 330 284 337 370
126 205 288 536 1 077 1 294 1 145
11.1 15.1 25.2 25.0 44.6 98 68
1.0 0.0 33.0 297.2 136.7 0 112
1.0 0.0 33.0 297.2 136.7 0.0 50
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 62
65.5 97.2 30.6 0.3 65.7 149.2 107
34.9 39.3 45.7 100.5 124.1 145.6 165
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
409 558 694 958 1 069 1 044 1 165
1 424 2 817 4 379 5 348 5 839 6 753 4 961
223 310 408 461 620 1 116 1 497
297 673 1 306 1 695 1 321 3 101 1 240
100 138 284 379 360 346 732
197 535 1 022 1 316 962 2 755 508
62 304 329 351 44 48 60
178 1 126 1 669 2 237 2 453 2 866 3 137
1985 1986 1987 1988 1989 1990
1 351 1 311 1 296 1 227 1 704 1 842
9 410 7 112 7 621 10 572 12 480 14 986
1 704 2 988 3 431 4 443 4 739 4 959
1 367 467 1 165 282 1 858 3 570
917 467 763 200 1 150 265
450 0 402 82 707 3 306
477 140 129 164 366 422
3 792 4 066 4 027 4 229 4 797 6 200
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
2 328 2 929 3 032 4 319 5 175 8 109 8 999
18 661 21 695 22 737 22 524 21 426 26 897 27 787
5 052 5 785 6 157 6 145 6 615 6 610 10 818
1 230 867 1 455 1 502 179 1 660 21 121
300 175 175 815 143 186 708
930 692 1 280 687 0 1 416 9 814
651 799 883 896 3 508 6 264 2 383
7 631 9 436 11 091 12 942 13 715 15 830 18 572
1998 1999 2000 2001 2002 2003
9 862 2 328 9 605 9 930 12 777 14 991
42 759 18 661 25 815 41 590 37 325 69 247
32 865 5 052 50 068 87 140 87 667 65 351
34 615 1 230 62 745 77 450 43 627 43 899
7 179 25 168 8 936 9 063 8 845 13 861
28 607 40 923 53 810 68 361 31 162 300 379
2 703 651 10 546 5 690 3 100 15 042
22 947 7 631 28 807 60 346 69 159 76 978
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
15 518 29 172 47 182 54 511 55 964 80 668 97 597
61 450 32 889 54 952 64 289 72 773 75 871 80 287
62 486 65 200 79 083 79 806 88 430 93 782 88 383
91 529 120 765 107 432 150 215 275 291 138 082 192 707
22 505 16 316 12 826 33 349 52 278 43 496 57 266
69 025 104 449 94 605 118 866 223 013 94 586 143 997
13 738 58 875 78 131 65 141 88 068 112 739 90 355
82 131 88 765 145 664 164 787 179 507 186 414 203 572
231
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
BDBH
BDAK
BTDR
DFIS
DEBT
SBI 3
Libor 3
1970
0.0
0.3
33.0
-73.1
1 008
0.0
8.5
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
0.0 15.2 19.5 28.0 34.6 42.2 53
0.2 0.5 131.6 229.8 323.8 391.9 594
37.5 58.3 200 362 487 584 818
-59.4 -68.6 -82 -156 -403 -221 50
1 264 1 501 1 837 2 013 2 744 3 442 4 006
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
6.6 5.4 9.4 10.9 7.0 5.6 6.1
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
63 71 91 96 105 138 166
680 0 0 0 0 0 0
930 1 198 1 759 2 332 2 558 3 004 3 303
-10 -352 -679 -1 137 -1 431 -1 421 -570
5 008 7 336 8 147 8 813 11 083 18 137 22 150
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.5 16.8
8.9 12.1 14.2 16.9 13.3 9.7 10.9
1985 1986 1987 1988 1989 1990
117 215 169 327 543 688
0 0 0 0 0 0
3 909 4 281 4 197 4 556 5 341 6 888
-1 188 -3 353 -654 -3 242 -1 039 2 678
28 132 40 441 63 158 65 725 70 051 83 119
16.0 15.0 16.5 16.5 15.2 16.9
8.4 6.9 7.2 8.0 9.3 8.3
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
859 983 1 334 1 683 1 724 2 396 2 352
0 0 0 0 0 0 0
8 490 10 419 12 425 14 625 15 439 18 226 20 924
-1 759 -2 911 -1 599 184 9 292 9 999 15 220
89 164 99 001 109 488 126 669 134 013 129 520 156 693
20.0 16.4 11.5 11.0 14.3 14.1 12.3
6.0 3.9 3.3 4.7 6.0 5.5 5.8
1998 1999 2000 2001 2002 2003
3 703 859 4 268 20 008 24 884 31 369
0 0 0 701 613 2 723
26 650 8 490 33 075 81 055 94 656 111 070
-16 199 -43 884 -16 132 -40 485 -23 652 -35 109
674 092 594 781 630 951 712 144 693 642 693 956
50.0 25.4 12.3 16.4 15.2 10.2
5.6 5.4 6.2 2.0 1.4 1.2
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
36 700 49 692 64 900 62 942 78 420 76 130 92 184
4 037 4 764 11 566 16 238 20 787 24 707 20 956
122 868 143 221 222 130 243 967 278 714 287 251 316 712
-23 810 -14 408 -29 142 -49 844 -4 121 -88 619 -91 552
699 459 737 646 667 814 704 869 830 651 940 889 970 102
7.4 9.1 12.0 8.0 9.5 7.5 6.6
2.8 4.7 5.4 4.6 1.8 0.25 0.30
232
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
EXR
INFL
IHE
IHM
GIWL
POIL
1970
363
15.56
0.131
0.077
5.10
2.2
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
392 415 415 415 415 415 415
3.82 6.62 31.03 41.05 19.03 19.75 10.99
0.161 0.173 0.190 0.690 0.655 0.726 0.792
0.095 0.102 0.113 0.408 0.387 0.430 0.468
4.50 5.35 6.84 2.77 1.91 5.11 4.35
2.7 2.9 3.2 11.6 11.0 12.2 13.3
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
442 623 627 632 661 909 1026
8.25 16.12 18.01 12.24 9.49 11.77 10.53
0.798 1.798 2.185 2.101 1.935 1.762 1.702
0.472 1.063 1.292 1.243 1.144 1.042 1.007
4.54 3.74 2.18 2.18 1.13 3.00 4.76
13.4 30.2 36.7 35.3 32.5 29.6 28.6
1985 1986 1987 1988 1989 1990
1111 1283 1644 1686 1770 1849
4.71 5.90 9.16 8.04 6.49 7.44
1.631 0.845 1.083 0.881 1.065 1.369
0.965 0.500 0.641 0.521 0.630 0.810
3.79 3.70 3.92 4.74 3.79 2.94
27.4 14.2 18.2 14.8 17.9 23.0
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
1954 2033 2089 2164 2253 2347 2952
9.52 4.94 9.77 9.24 8.64 6.47 11.05
1.155 1.131 1.000 0.952 1.024 1.214 1.149
0.683 0.669 0.592 0.563 0.606 0.718 0.680
1.64 2.37 2.43 3.83 3.70 4.08 4.24
19.4 19.0 16.8 16.0 17.2 20.4 19.3
1998 1999 2000 2001 2002 2003
9875 7809 8534 10266 9261 8571
77.63 2.01 9.35 12.55 10.03 5.06
0.780 0.982 1.690 1.464 1.399 1.399
0.461 0.581 1.000 0.866 0.827 0.827
2.73 3.77 4.84 2.54 3.11 4.03
13.1 16.5 28.4 24.6 23.5 23.5
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
8985 9751 9141 9164 9757 10356 9078
6.40 17.11 6.60 6.59 11.06 2.78 6.96
2.193 3.093 3.720 4.173 2.857 2.389 2.439
1.298 1.830 2.201 2.468 1.690 1.413 1.443
5.26 4.85 5.43 5.23 3.20 3.77 3.77
36.9 52.0 62.5 70.1 48.0 61.6 79.4
233
Lampiran 3. Lanjutan Tahun
POPI
NPOV
WAGE
PUNEM
PNS
1970
119.5
31.5
72.0
3.8
1 400 050
1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977
122.5 125.6 128.8 132.0 135.7 136.2 136.6
31.7 31.8 32.0 32.1 32.3 32.4 32.6
77.7 79.9 82.1 95.1 115.7 148.4 163.7
2.8 6.7 10.4 8.0 5.8 9.3 7.1
1 462 875 1 525 699 1 588 523 1 651 348 1 714 172 1 776 996 1 839 821
1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984
139.8 143.0 147.5 151.3 154.7 158.1 161.6
32.7 32.9 42.3 40.6 38.7 36.9 35.0
180.6 228.8 289.9 367.4 465.5 526.1 594.6
7.8 4.8 1.7 2.4 3.0 3.6 2.8
1 923 755 1 990 882 1 956 864 2 073 301 2 196 667 2 628 474 2 785 645
1985 1986 1987 1988 1989 1990
164.6 168.4 172.0 175.6 179.1 179.5
33.3 31.7 30.0 29.1 28.1 27.2
672.0 759.4 820.7 856.1 926.0 1076.1
2.1 2.6 2.6 2.8 1.2 2.5
2 956 082 3 159 652 3 403 408 3 529 640 3 541 961 3 587 337
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
184.4 184.5 187.6 190.7 194.8 196.8 199.9
26.8 26.3 25.9 28.6 31.3 34.0 41.8
1219.8 1391.4 1721.9 1888.1 2259.9 2485.3 2888.8
2.6 2.7 2.8 4.4 7.2 4.9 4.7
3 648 005 3 655 428 3 662 336 3 725 231 3 771 285 3 876 892 3 932 766
1998 1999 2000 2001 2002 2003
201.6 203.9 205.8 208.6 211.4 214.3
49.5 48.4 38.7 37.9 38.4 37.3
3387.0 4163.4 5162.4 6371.9 7197.2 8070.3
5.5 6.4 6.1 8.1 9.1 9.6
3 945 778 3 965 778 4 005 861 4 009 347 4 030 220 4 060 432
2004 2005
217.1 219.9
36.2 35.1
8593.0 9630.2
9.9 11.2
4 067 201 4 083 360
2006
222.1
39.3
6832.8
10.3
4 090 437
2007 2008 2009 2010
225.6 228.5 231.8 237.6
37.2 35.0 32.52 31.03
7113.4 7394.0 6999.8 7226.2
9.1 8.4 7.87 7.41
4 094 346 4 094 346 4 524 205 4 598 100
234
Halaman ini sengaja dikosongkan
235
Lampiran 4. Hasil Pendugaan Persamaan Simultan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
CONS
Dependent Variable
CONS Konsumsi Swasta
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
2 4.851E12 2.426E12
Error
37 1.129E10 3.0515E8
Corrected Total
39 4.862E12
F Value
Pr > F
7948.43 <.0001
Root MSE
17468.6831 R-Square
0.99768
Dependent Mean
590804.437 Adj R-Sq
0.99755
2.95676
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Variable Error t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-21657.4
8420.242
-2.57
Yd
1
0.174135
0.035650
4.88
LCONS
1
0.791080
0.050508
15.66
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0143 Intercept <.0001 Disposable Income <.0001 Lag Konsumsi Swasta
1.288478 40 0.340642
236
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
CONG
Dependent Variable
CONG Konsumsi Pemerintah
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
3 8.092E10 4.046E10
Model Error
36
Corrected Total
39 8.194E10
F Value
Pr > F
1454.77 <.0001
1.029E9 27811710
Root MSE
5273.68091 R-Square
0.98744
Dependent Mean
84089.6861 Adj R-Sq
0.98676
6.27150
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
5646.629
2404.936
2.35
0.0243 Intercept
RDOM
1
0.019354
0.006113
3.17
0.0031 Penerimaan dalam Negeri
dk
1
17120.53
12300.73
1.39
0.0650 Dummy Krisis
LCONG
1
0.942246
0.039390
23.92
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 Lag Cons Pemerintah
2.037197 40 -0.10606
237
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
INVT
Dependent Variable
INVT Investasi Swasta
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
3 8.139E11 2.713E11
Error
36 2.833E10 7.8708E8
Corrected Total
39 8.436E11
F Value
Pr > F
344.71 <.0001
Root MSE
28054.9878 R-Square
0.96636
Dependent Mean
231584.750 Adj R-Sq
0.96356
12.11435
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Variable Error t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-2322.85
9760.358
-0.24
0.8132 Intercept
SBINV
1
-490.490
642.1475
-0.76
0.4499 Suku Bunga Investasi
PDBI
1
0.073881
0.025053
2.95
0.0056 Produk Domestik Bruto
LINVT
1
0.743766
0.118067
6.30
<.0001 Lag Total Investasi
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.283074 40 0.356734
238
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
INVG
Dependent Variable
INVG Investais Pemerintah
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
4 1.187E10 2.9686E9
Error
35 8.9037E9 2.5439E8
Corrected Total
39 2.049E10
F Value
Pr > F
11.67 <.0001
Root MSE
15949.6243 R-Square
0.57149
Dependent Mean
43046.6532 Adj R-Sq
0.52251
37.05195
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
16260.38
5611.762
2.90
SBI3
1
-462.600
332.0239
-1.39
BMDL
1
0.292368
0.154056
1.90
0.0660 Belanja Modal
dk
1
-13269.6
14016.77
-1.85
0.0503 Dummy Krisis
LINVG
1
0.611360
0.174786
3.50
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0064 Intercept 0.1723 SBI3
0.0013 Lag Invesasi Pemerintah
2.240126 40 -0.13532
239
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
EXPO
Dependent Variable
EXPO
Label
Export
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
4 2.645E12 6.612E11
Model Error
35 8.957E10
Corrected Total
39 2.768E12
Pr > F
258.38 <.0001
2.559E9
Root MSE
50586.9369 R-Square
0.96724
Dependent Mean
451921.038 Adj R-Sq
0.96350
11.19376
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
88807.66
22301.32
3.98
EXRR
1
-3.05396
4.683310
-0.65
IHE
1
34055.77
5997.813
5.68
INVT
1
1.128624
0.105347
10.71
GIWL
1
9067.399
7117.383
1.27
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0003 Intercept 0.5186 Nilai Tukar Riil <.0001 Indeks Harga Export <.0001 Investasi Swasta 0.2111 Pertumbuah Ekonomi Dunia
1.233002 40 0.381524
240
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
IMPO
Dependent Variable
IMPO
Label
Import
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
3 2.028E12 6.761E11
Model Error
36 9.832E10
Corrected Total
39 2.135E12
Pr > F
247.57 <.0001
2.731E9
Root MSE
52258.8963 R-Square
0.95377
Dependent Mean
348254.910 Adj R-Sq
0.94992
15.00593
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-44520.5
25428.75
-1.75
0.0885 Intercept
IHM
1
-14753.1
9380.777
-1.57
0.1245 IHM
PDBI
1
0.212936
0.055996
3.80
0.0005 Produk Domestik Bruto
LIMPO
1
0.608740
0.111013
5.48
<.0001 Lag Import
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.984543 40 -0.01066
241
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
RTAX
Dependent Variable
RTAX Penerimaan Pajak
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
3 1.539E12 5.131E11
Error
36 5.6264E9 1.5629E8
Corrected Total
39 1.545E12
F Value
Pr > F
3283.16 <.0001
Root MSE
12501.5359 R-Square
0.99636
Dependent Mean
120686.610 Adj R-Sq
0.99605
10.35868
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-9723.07
4100.771
-2.37
GPDBI
1
823.3645
598.6386
1.38
BTOT
1
0.599909
0.036732
16.33
LRTAX
1
0.117506
0.062685
1.87
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0232 Intercept 0.1775 Pertumbuhan Ekonomi <.0001 Total Belanja 0.0690 Lag Perimaan dari Pajak
1.849262 40 0.016791
242
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
BPGW
Dependent Variable
BPGW Belanja Pegawai
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
5 5.359E10 1.072E10
Error
34 5.4371E8 15991381
Corrected Total
39 5.428E10
F Value
Pr > F
670.23 <.0001
Root MSE
3998.92249 R-Square
0.98996
Dependent Mean
24535.3900 Adj R-Sq
0.98848
16.29859
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-816.713
1561.191
-0.52
PNS
1
0.000527
0.000505
1.04
0.3045 Jumlah PNS
INFL
1
47.90445
51.86603
0.92
0.3622 Tingkat Inflasi
RTAX
1
0.039853
0.015775
2.53
0.0163 Penerimaan Pajak
DO
1
9415.279
4654.331
2.02
0.0510 Dummy Otonomi Daerah
LBPGW
1
0.830453
0.083087
9.99
<.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.6043 Intercept
2.624111 40 -0.3157
243
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
BBRG
Dependent Variable
BBRG Belanja Barang
Label
Analysis of Variance Source
Sum of Squares
DF
Mean Square
F Value
3 1.974E10 6.5812E9
Model Error
36
Corrected Total
39 2.033E10
Pr > F
402.45 <.0001
5.887E8 16352752
Root MSE
4043.85365 R-Square
0.97105
Dependent Mean
12284.5800 Adj R-Sq
0.96863
32.91813
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-703.527
1532.198
-0.46
INVG
1
0.009238
0.038175
0.24
0.8102 Investais Pemerintah
TREV
1
0.015880
0.007784
2.04
0.0487 Total Penerimaan
LBBRG
1
0.990478
0.117170
8.45
<.0001 Lag Belanja Barang
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.6489 Intercept
2.398695 40 -0.20288
244
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
BMDL
Dependent Variable
BMDL Belanja Modal
Label
Analysis of Variance Source
DF
Model
3
Sum of Squares
Mean Square
F Value
2.01E10 6.6992E9
Error
36 2.5774E9 71593082
Corrected Total
39 2.293E10
Pr > F
93.57 <.0001
Root MSE
8461.26953 R-Square
0.88633
Dependent Mean
23450.1550 Adj R-Sq
0.87686
36.08193
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
4628.470
1992.332
2.32
0.0259 Intercept
RDOM
1
0.030049
0.012201
2.46
0.0187 Penerimaan dalam Negeri
DSPA
1
4709.395
7074.114
0.67
0.5098 Dummy Struktur Perubahan Anggaran
LBMDL
1
0.578954
0.135132
4.28
0.0001 Lag Belanja Modal
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.180795 40 -0.09596
245
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
BUTG
Dependent Variable
BUTG Belanja Pembayaran Hutang
Label
Analysis of Variance Sum of Squares
Mean Square
Source
DF
Model
4
4.26E10 1.065E10
Error
35
3.179E9 90828126
Corrected Total
39 4.578E10
F Value
Pr > F
117.25 <.0001
Root MSE
9530.37909 R-Square
0.93055
Dependent Mean
23991.9850 Adj R-Sq
0.92262
39.72318
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-2404.62
5424.134
-0.44
DFIS
1
0.134982
0.113027
1.19
0.2404 Defisit Fiskal
LIBOR3
1
120.0732
583.2860
0.21
0.8381 LIBOR3
DEBT
1
0.056453
0.011977
4.71
<.0001 Stok Utang Pemerintah
LBUTG
1
0.544715
0.116756
4.67
<.0001 Lag Belanja Pembayaran Hutang
0.6603 Intercept
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.754319 40 0.121279
246
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
SNBM
Dependent Variable
SNBM Belanja Subsidi Non BBM
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
3 6.8478E9 2.2826E9
Error
36 1.6653E9 46257992
Corrected Total
39 8.5132E9
F Value
Pr > F
49.35 <.0001
Root MSE
6801.32279 R-Square
0.80439
Dependent Mean
8005.26025 Adj R-Sq
0.78808
84.96067
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Variable Error t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-6361.93
7262.324
-0.88
PUNEM
1
343.6425
508.3249
0.68
0.5033 Tingkat Pengangguran
LNPOV
1
170.9685
214.4751
0.80
0.4306 Lag Jumlah Penduduk Miskin
LSNBM
1
0.993466
0.108128
9.19
<.0001 Lag Belanja Sub Non BBM
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.3868 Intercept
2.219149 40 -0.15545
247
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
SBBM
Dependent Variable
SBBM Belanja Subsidi BBM
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
3 8.623E10 2.874E10
Error
36 1.216E10 3.3772E8
Corrected Total
39 9.839E10
F Value
Pr > F
85.11 <.0001
Root MSE
18377.1213 R-Square
0.87643
Dependent Mean
28222.8076 Adj R-Sq
0.86613
65.11443
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-16304.5
6163.633
-2.65
POILR
1
0.191491
0.930705
0.21
0.8381 Harga Minyak Mentah Riil
IMPM
1
1.341059
0.172340
7.78
<.0001 Impor Migas
LSBBM
1
0.002516
0.125797
0.02
0.9842 Lag Belanja Subsidi BBM
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0120 Intercept
1.757323 40 0.099971
248
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
BDAK
Dependent Variable
BDAK Belanja Daerah DAK
Label
Analysis of Variance Source
DF
Model
3
Sum of Squares
Mean Square
F Value
1.574E9 5.2468E8
Error
36 64335233
Corrected Total
39
Pr > F
293.59 <.0001
1787090
1.628E9
Root MSE
1336.82079 R-Square
0.96073
Dependent Mean
2736.63500 Adj R-Sq
0.95746
48.84907
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-1244.02
1218.993
-1.02
RDOM
1
0.008843
0.001659
5.33
<.0001 Penerimaan dalam Negeri
PNPOV
1
4095.655
5640.447
0.73
0.4725 Tingkat Kemiskinan
LBDAK
1
0.722654
0.077561
9.32
<.0001 Lag Belanja Daerah DAK
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.3143 Intercept
1.570737 40 0.02291
249
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
BDAU
Dependent Variable
BDAU Belanja Daerah DAU
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
4 1.344E11 3.361E10
Error
35 1.5137E9 43248496
Corrected Total
39 1.362E11
F Value
Pr > F
777.17 <.0001
Root MSE
6576.35890 R-Square
0.98887
Dependent Mean
36183.9050 Adj R-Sq
0.98759
18.17482
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-1456.97
5266.019
-0.28
RDOM
1
0.118351
0.018598
6.36
PDBI
1
-0.00017
0.004342
-0.04
0.9686 Produk Domestik Bruto
GPOPI
1
740.9836
1647.899
0.45
0.6557 Pertumbuhan Penduduk
LBDAU
1
0.498646
0.090711
5.50
<.0001 Lag Belanja Daerah DAU
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.7837 Intercept <.0001 Penerimaan dalam Negeri
1.959068 40 0.005339
250
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model
BDBH
Dependent Variable
BDBH Belanja Daerah Bagi Hasil
Label
Analysis of Variance Sum of Squares
Source
DF
Model
4
Error
35
Corrected Total
39 2.664E10
Mean Square
2.65E10 6.6253E9 1.407E8
F Value
Pr > F
1648.12 <.0001
4019895
Root MSE
2004.96755 R-Square
0.99472
Dependent Mean
14009.3200 Adj R-Sq
0.99412
14.31167
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Variable Error t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
-1258.84
712.3766
-1.77
RMGS
1
0.099113
0.016617
5.96
<.0001 Penerimaan Migas
RMGS2
1
2.297792
0.356604
6.44
<.0001 Penerimaan Non-Migas
GPDBI
1
78.46814
98.07469
0.80
0.4291 Pertumbuhan Ekonomi
LBDBH
1
0.482529
0.059017
8.18
<.0001 Lag Belanja Daerah Bagi Hasil
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.0859 Intercept
1.437371 40 0.256334
251
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
PUNEM
Dependent Variable
PUNEM Tingkat Pengangguran
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
3 258.6717 86.22390
Error
36 76.48622 2.124617
Corrected Total
39 335.1579
F Value
Pr > F
40.58 <.0001
Root MSE
1.45761 R-Square
0.77179
Dependent Mean
5.70040 Adj R-Sq
0.75277
25.57025
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
1.524157
0.585393
2.60
0.0133 Intercept
WAGE
1
0.000013
3.848E-6
3.43
0.0016 Tingkat Upah
TOTI
1
-6.38E-6
2.511E-6
-2.54
0.0156 Total Investasi
LPUNEM
1
0.614013
0.104468
5.88
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
<.0001 Lag Tingkat Pengangguran
1.872554 40 0.032677
252
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation
Model
NPOV
Dependent Variable
NPOV Jumlah Penduduk Miskin
Label
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
5 861.7639 172.3528
Error
34 269.5698 7.928525
Corrected Total
39 1139.301
Root MSE Dependent Mean
F Value
Pr > F
21.74 <.0001
2.81576 R-Square
0.76172
34.36515 Adj R-Sq
0.72668
8.19366
Coeff Var
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
Variable t Value Pr > |t| Label
Intercept
1
5.891078
3.854043
1.53
GPDBI
1
-0.06716
0.241942
-0.28
0.7830 Pertumbuhan Ekonomi
TSUB
1
-5.23E-6
0.000012
-0.45
0.6566 Total Subsidi BBM dan Non BBM
PUNEM
1
0.050175
0.292772
0.17
0.8649 Tingkat Pengangguran
INFL
1
0.095047
0.060475
1.57
0.1253 Tingkat Inflasi
LNPOV
1
0.801552
0.098052
8.17
<.0001 Lag Jumlah Penduduk Miskin
0.1356 Intercept
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.62589 40 0.185962