PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA ISLAMI CURUG CIGANGSA (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
ALDILLA ADELIA I34080072
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
ABSTRACT Eco-tourism as one of tourism activity, that attracts attention from many participant. As a tourism activity, eco-tourism not only offering a beauty of nature but also the unique of social and cultural in some community. The research explained about the local community perception towards eco-tourism development. The research is conducted in Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. The purposes of this research are 1) to analyze level of knowledge and attitude towards myth’s and norm in Kampung Batusuhunan. That may support to protect the community from any devastating effect from tourism, 2) to analyze the local community perception in the development of “Waterfall Cigangsa Islamic Eco-tourism” area, 3) to analyze people expectations about ”Waterfall Cigangsa Islamic Eco-tourism” development. The methodology of research is based on qualitative and quantitative approaches. A quantitative data are earned from the questionnaire, while the qualitative data are earned from the open question. The results of this research showed 1) characteristic of respondent unrelated to level of knowledge and attitude towards myth’s and norm in Kampung Batusuhunan because on the best of age and sex the local people have a high level of knowledge and a firm attitudes to against the norm and myth’s, 2) the result also proved, some respondent approved to the Islamic Eco-tourism development at Kampung Batusuhunan because this idea may prevent negative effect from the ecotourism development, 3) people expectations about “Waterfall Cigangsa Islamic Ecotourism” development mainly in economic sector because the respondents want an economic progress for the local people and Kampung Batusuhunan. Key words: Ecotourism, Myths, Norms, Perceptions, Impact, Expectations.
iii
RINGKASAN ALDILLA ADELIA Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan RINA MARDIANA dan ARYA HADI DHARMAWAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi serta menganalisis hubungan antara jenis kelamin dan tingkat usia terhadap tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma, persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata, dan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kampung ini memiliki potensi alam berupa Curug Cigangsa yang saat ini dikembangkan sebagai kawasan “Ekowisata Islami”. Metode yang digunakan adalah kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif.
Metode
kuantitatif
menggunakan
instrumen
kuesioner
untuk
mengetahui karakteristik masyarakat, hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap mitos dan norma, persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata, dan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata. Hasil yang didapat kemudian dipertajam melalui metode kualitatif. Metode kualitatif menggunakan instrumen wawancara mendalam melalui pertanyaan terbuka. Populasi dari penelitian ini adalah individu yang bermukim di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 30 orang yang dipilih menggunakan Stratified Random Sampling. Responden dibagi menjadi dua kategori berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Pembagian golongan usia dibagi berdasarkan Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), yaitu golongan usia muda (18-30 tahun), golongan usia menengah (31-50) dan golongan usia tua (>51 tahun). Jumlah pembagian responden menjadi 15 orang pria dan 15 orang wanita yang berasal dari golongan usia muda, menengah dan tua. Berdasarkan data profil
iv
Kampung Batusuhunan, terdapat 107 jiwa penduduk yang terbagi ke dalam 33 KK dengan jumlah pria 54 orang dan wanita 53 orang. Masyarakat Kampung Batusuhunan umumnya merupakan masyarakat asli yang sudah secara turuntemurun tinggal di Kampung Batusuhunan. Penelitian ini menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan jenis kelamin dan tingkat usia. Data menunjukkan bahwa baik berdasarkan jenis kelamin maupun tingkat usia, masyarakat memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang ada serta memiliki keinginan yang kuat untuk melestarikannya. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma akan mempengaruhi sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Penelitian ini juga menganalisis sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Didapatkan hasil bahwa berdasarkan jenis kelamin, pria memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan wanita, sedangkan berdasarkan tingkat usia, golongan usia muda memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan masyarakat dari golongan usia lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap awal pembentukan ekowisata tidak semua masyarakat menyetujui ide pembentukannya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu masyarakat mengikuti keputusan bersama dengan syarat konsep ekowisata yang digunakan menggunakan nama “Ekowisata Islami” dan yang mengerjakan harus masyarakat setempat. Berdasarkan data yang diperoleh sebagian besar masyarakat Kampung Batusuhunan berpendapat bahwa tidak akan ada kemungkinan munculnya dampak negatif dari pengembangan kawasan ini dikarenakan sudah menggunakan konsep “Ekowisata Islami”. Penelitian ini juga menganalisis bagaimana hubungan jenis kelamin dan tingkat usia terhadap harapan masyarakat dalam pengembangan kawasan ekowisata. Masyarakat Kampung Batusuhunan memiliki harapan yang tinggi dalam bidang ekonomi dibandingkan dalam bidang ekologi dan sosial budaya, hal ini disebabkan masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendapatan untuk masyarakat dan Kampung Batusuhunan.
v
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA ISLAMI CURUG CIGANGSA (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: ALDILLA ADELIA I34080072
Skripsi Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vi
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGANMASYARAKAT
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama Mahasiswa
:
Aldilla Adelia
NIM
:
I34080072
Judul Skripsi
:
Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana pada Depertemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Rina Mardiana, SP, MSi. NIP. 19800105 200912 2 002
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc. Agr. NIP. 19630914 199003 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Kelulusan: __________________________
vii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA ISLAMI CURUG CIGANGSA (KASUS: KAMPUNG BATUSUHUNAN, KELURAHAN SURADE, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU, SERTA TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN
KECUALI
DALAM
SEBAGAI
NASKAH.
BAHAN
DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor,
Agustus 2012
ALDILLA ADELIA I34080072
viii
RIWAYAT HIDUP Aldilla Adelia atau biasa dipanggil Dilla (Penulis) dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Agustus 1990, tepatnya pada hari Minggu. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Chaidar Sungkar dan Ibu Tintin Supartina. Penulis memiliki seorang kakak bernama Ratna Dinarsih dan seorang adik bernama Farhat Sungkar. Ayah penulis merupakan keturunan Arab dan Ibu penulis merupakan keturunan Jawa. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Al-Munawwar Bogor pada tahun 1994-1996, lalu belajar di Sekolah Dasar Negeri Polisi 5 Bogor pada tahun 1996-2002. Setelah lulus penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 2 Bogor tahun 2002-2005, kemudian SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah naungan Fakultas Ekologi Manusia. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis diterima menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota divisi Public Relation (2009-2011). Selanjutnya penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Sekretaris COMMNEX 2011, Divisi Acara COMMNEX 2, Sekretaris CSR Essential, Divisi Sponsorship INDEX 2011, Divisi Sponsorship SCHOFA, Divisi Acara LONIART, Divisi Publikasi dan Dokumentasi MPD 46.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa (Kasus: Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap konsep “Ekowisata Islami” yang dikembangkan di Curug Cigangsa berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin. Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui sejauh mana kesiapan masyarakat untuk mencegah dampak negatif dan juga harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini nantinya dapat berguna bagi banyak pihak dan dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Agustus 2012
Aldilla Adelia NIM. I34080072
x
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala ucapan syukur, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang selalu memberikan kekuatan dalam setiap langkah hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pihak-pihak yang telah membantu penulis tersebut antara lain: 1. Ibu Rina Mardiana, SP, MSi dan Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa sabar dalam memberikan arahan, nasehat, bimbingan, dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 2. Seluruh warga Kelurahan Surade dan Kampung Batusuhunan juga para aparat desa atas kesediaannya membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 3. Ibunda (Tintin Supartina) dan Ayahanda (Chaidar Sungkar) juga Jidah (Elo Sungkar) yang selama ini selalu memberikan bimbingan, dukungan, doa serta curahan perhatiannya kepada penulis sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. 4. Kakak tercinta Ratna Dinarsih, adik tersayang Farhat Sungkar, keponakan satusatunya Raihan Mufih Manaf, dan seluruh keluarga besar. Terima kasih atas curahan perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini. 5. Eryan Fadlin Sudiman, selalu jadi semangat walaupun posisi tidak ditempat. 6. My Beloved Girl Husnul Khotimah dan Siti Aulia Andhini. My Faithful Bestfriends Septi Agusning, Putri Ekasari, Fami Rahmania dan Trie Wiyata Lestari yang senantiasa selalu sabar dalam memberi dukungan, curahan perhatian, dan kasih sayang kepada penulis baik sebagai sahabat terbaik dan sebagai penyemangat setia. 7. Sahabat-sahabat tercinta seluruh SKPM 45 termasuk di dalamnya Pradiana, Galer (penerjemah abstrak), Farhan, Didit, Rauf, Pulung, Banet, Indra, Agung, Jabbar, Ahong, Giway, Oji, Reza, Elbie, Selvi, Mila, Mareta, Robi, Bejo, Age,
xi
Leha, Yulan, Ory, Ipit, Dini, Syakir, Dinda Testa, Arin, Icin, Drucella, Niko dan semuanya yang namanya tidak dapat disebutkan satu-satu tetapi akan tertulis selamanya di hati. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik sepanjang masa. 8. Kakak-kakak tersayang dan adik-adik tercinta KPM 43, 44, 46 yang mengisi hari-hari di KPM dengan kegembiraan. 9. Seluruh Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis. 10. Staf tata usaha Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat khususnya Mba Dini, Mba Nissa dan Mba Maria serta seluruh Staf Sekretariat KPM lainnya yang selalu memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 11. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas dorongan, doa, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karenaitu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi akademisi, pemerintah, masyarakat luas dan memberikan sumbangan yang nyata untuk dunia ekowisata di Indonesia.
Bogor,
Agustus 2012
Aldilla Adelia NIM. I34080072
xii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
5
1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka .............................................................................
7
2.1.1 Ekowisata ................................................................................
7
2.1.1.1 Pengertian Ekowisata .....................................................
7
2.1.1.2 Prinsip dan Karakteristik Ekowisata .............................
8
2.1.1.3 Potensi Ekowisata dan Dampaknya ...............................
10
2.1.2 Masyarakat Adat .....................................................................
13
2.1.3 Kearifan Lokal ........................................................................
14
2.1.4 Persepsi ...................................................................................
16
2.2 Kerangka Pemikiran ..........................................................................
16
2.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................
18
2.4 Definisi Operasional ..........................................................................
19
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Metode Penelitian ..............................................................................
21
3.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................................
21
3.3 Lokasi dan Waktu .............................................................................
21
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................................
22
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...............................................
23
xiii
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Surade .................................................
25
4.1.1 Kondisi Geografis, Topografi, Demografi Kelurahan Surade ...
25
4.1.2 Kondisi Infrastruktur ................................................................
26
4.1.3 Kondisi Penduduk ...................................................................
27
4.2 Gambaran Umum Kampung Batusuhunan ........................................
28
4.3 Gambaran Umum Curug Cigangsa ...................................................
29
4.3.1 Sejarah Ekowisata Islami Curug Cigangsa ..............................
29
4.3.2 Ekowisata Islami Curug Cigangsa ...........................................
31
4.4 Kebijakan Pengembangan Kawasan menjadi Kawasan Ekowisata ...
32
4.5 Karakteristik Responden ..................................................................
33
BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 5.1 Gambaran Sosial Budaya Masyarakat Lokal ....................................
36
5.2 Bentuk-bentuk Norma dan Mitos di Kampung Batusuhunan ............
37
5.3 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Mitos dan Norma .......
40
5.3.1 Pengetahuan Masyarakat terhadap Mitos dan Norma ................
40
5.3.2 Sikap Masyarakat dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif ........................................................................................
42
5.3.3 Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma .......
44
5.4 Ikhtisar .............................................................................................
47
BAB VI 6.1
6.2
6.3
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN EKOWISATA Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa ...................................................................
49
Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Ekowisata ..........................
53
6.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kemungkinan Dampak Negatif
53
6.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Proporsi Dampak Ekowisata ...
55
6.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Konsep Ekowisata Islami ........
57
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata ..................................................
59
xiv
Ikhtisar ….. .....................................................................................
60
BAB VII HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN EKOWISATA 7.1 Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata ...............
62
6.4
7.2
Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma dengan Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata........................................................................................
7.3
7.4
63
Hubungan Harapan Masyarakat dengan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata............................................. ....
64
Ikhtisar ..........................................................................................
65
BAB VIII PENUTUP 8.1
Kesimpulan .....................................................................................
67
8.2
Saran ………. .................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
70
LAMPIRAN ..........................................................................................
72
xv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Jenis Kelamin, Tahun 2012 ......................................................
26
Tabel 2. Jumlah Infrastruktur Kelurahan Surade, Tahun 2012 ................
26
Tabel 3. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 .........................................................
41
Tabel 4. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap dalam Menghadapi Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 .........................................................
43
Tabel 5. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 .........................................................
45
Tabel 6. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap
Pengembangan
Ekowisata
di
Kampung
Batusuhunan, Tahun 2012 .........................................................
50
Tabel 7. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap
Kemungkinan
Dampak
Negatif
dalam
Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 ........................................................................................
54
Tabel 8. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap
Proporsi
Dampak
Ekowisata
di
Kampung
Batusuhunan, Tahun 2012 .......................................................
56
Tabel 9. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Konsep Ekowisata Islami sebagai Pencegah Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 .....
58
xvi
Tabel 10. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos-norma dan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 …......................................................................................
59
Tabel 11. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 .........................................................
62
Tabel 12. Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Harapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 ….....................................................
63
Tabel 13. Persentase Responden berdasarkan Harapan dan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 …....................................................
65
xvii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Gambar 1.
Halaman
Kerangka
Pemikiran
Persepsi
Masyarakat
terhadap
Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa Gambar 2.
Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2012 .....................................................
Gambar 3.
28
Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 ...................................
Gambar 5.
27
PersentasePenduduk Kelurahan Surade menurut Mata Pencaharian, Tahun 2012 ....................................................
Gambar 4.
18
Persentase
Responden
menurut
Jenis
Pekerjaan
34
di
Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 ..................................
35
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1. Kerangka Sampling ............................................................
73
Lampiran 2. Daftar Nama Responden ....................................................
75
Lampiran 3. Kuesioner ... .......................................................................
76
Lampiran 4. Panduan Pertanyaan ...........................................................
82
Lampiran 5. Peta Kelurahan Surade........................................................
83
Lampiran 6. Dokumentasi .....................................................................
84
xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri), dan nomos (peraturan) atau „undang-undang‟ sehingga otonomi dapat diartikan sebagai peraturan sendiri atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri (Salam 2007). Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lahirnya otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah dengan keterlibatan berbagai pihak dari daerah tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadikan kemampuan masyarakat daerah menjadi semakin berkembang dan maju. Kebijakan otonomi daerah, menuntut adanya suatu upaya dari tiap stakeholder dan masyarakat yang ada di daerah tersebut untuk membangun daerah masing-masing guna menambah pendapatan daerah. Salah satu jalan keluar yang diambil oleh masyarakat adalah dengan menggali sumberdaya daerah yang ada dan mengelola itu menjadi suatu sumber pendapatan daerah. Sektor pariwisata dan ekowisata sangat cocok dijadikan sumber pendapatan daerah mengingat Indonesia sebagai
salah
satu
negara
megabiodeversity
atau
memiliki
berbagai
keanekaragaman hayati dan didukung keindahan alamnya yang mempesona, serta memiliki beranekaragam budaya, berpeluang sangat besar untuk mengandalkan pariwisata alam (ekowisata) sebagai sumber pendapatan. Pada saat ini, konsep ekowisata telah berkembang pesat. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata juga disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab. Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi
2
pengembangan, ekowisata juga menggunakan strategi konservasi, oleh karena itu ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Kegiatan ekowisata tidak hanya menawarkan keindahan alam sebagai obyek wisata, tetapi juga meliputi kehidupan masyarakat daerah sekitar. Masyarakat lokal biasanya memiliki keunikan budaya yang dianggap dapat menjadi sesuatu yang berpotensi untuk menarik minat wisatawan. Wisatawan tidak saja dapat menikmati keindahan alam, tetapi juga dapat mempelajari kehidupan masyarakat lokal yang memiliki keunikan masing-masing. Kehidupan masyarakat lokal umumnya masih erat dengan kearifan lokal, tradisi, religi, dan ritus-ritus kebudayaan yang kesemuanya itu menjadi daya tarik sendiri bagi tiaptiap daerah. Dalam perkembangan ekowisata, akan memunculkan dampak baik negatif maupun positif. Dampak positif yang diharapkan dari pengembangan kawasan ekowisata adalah terpeliharanya lingkungan hidup serta dimanfaatkannya lingkungan hidup tersebut menjadi jasa lingkungan yang memberdayakan ekonomi lokal. Dampak positif yang dihasilkan dari kegiatan ekowisata akan memberikan pengaruh nyata bagi kemajuan masyarakat lokal. Dampak positif yang dihasilkan biasanya terlihat dari adanya peningkatan pendapatan masyarakat dan kemajuan daerah tujuan ekowisata. Akan tetapi, perkembangan ekowisata yang tidak terorganisir dengan baik, hanya akan memberikan dampak negatif baik terhadap lingkungan maupun terhadap kehidupan sosial budaya komunitas lokal. Oleh karena itu, dalam pengembangan ekowisata dibutuhkan suatu pedoman atau prinsip yang dipegang masyarakat sebagai mekanisme untuk mereduksi dampak negatif yang akan masuk ke dalam komunitas mereka. Pengetahuan, mitos dan keyakinan yang dipercaya masyarakat adat lokal tentu saja memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap tingkah laku dan cara hidup masyarakat. Apabila hal itu terus dilestarikan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, kemungkinan masuknya dampak negatif dari perkembangan ekowisata dapat dihindari. Keyakinan masyarakat yang kuat akan mencegah masuknya pengaruh-pengaruh negatif dari luar.
3
Salah satu wilayah yang memiliki potensi sebagai kawasan ekowisata ialah Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah yang masuk ke dalam rencana pengembangan prioritas di Kelurahan Surade. Surade sendiri ialah sebuah kelurahan yang terletak di selatan Kabupaten Sukabumi. Jarak dari kota Sukabumi menuju Surade sekitar 100 km. Kelurahan Surade merupakan kelurahan yang paling maju dan strategis dalam mendukung visi Sukabumi Selatan di bidang pariwisata. Kampung Batusuhunan terletak di bagian selatan Kelurahan Surade. Kampung Batusuhunan sendiri menjadi prioritas pertama dalam rencana pembangunan karena terdapat curug yang berpotensi untuk dijadikan kawasan ekowisata, yang diberi nama Curug Cigangsa. Curug Cigangsa terdiri dari dua tingkat dan diperkirakan terbentuk akibat gempa yang cukup kuat sehingga mengakibatkan longsor. Curug ini memiliki debit air yang kecil, hal ini dikarenakan di bagian hulunya dibendung untuk keperluan irigasi. Di sekitar lokasi ini juga terdapat sebuah batu. Batu ini oleh masyarakat setempat disebut dengan Batu Masigit, atau Batu Masjid. Kampung Batusuhunan, selain memilki keindahan alam yang oleh orang-orang disebut “the little Niagara” juga memiliki keunikan sendiri yaitu masyarakatnya yang merupakan masyarakat adat dan Islam yang sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam. Sehingga konsep ekowisata yang ditawarkan di Kampung Batusuhunan adalah “Ekowisata Islami” yang sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat yang masih sangat Islami. Mengingat ekowisata di Kampung Batusuhunan ini merupakan ekowisata yang baru saja berkembang, maka konsep ekowisata Islami ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dan wisatawan agar dampak negatif dari ekowisata yang biasanya muncul dapat dihindari. Masyarakat sebagai pelaksana kegiatan ekowisata ini tentunya menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan, oleh karena itu persepsi masyarakat terhadap perkembangan konsep “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan akan sangat menentukan keberlanjutan konsep ini. Persepsi masyarakat akan dibedakan berdasarkan dua kategori, yaitu berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin. Hal ini dikarenakan jenis kelamin dan golongan umur masyarakat akan membedakan persepsi masing-masing masyarakat dalam pengembangan kawasan
4
“Ekowisata Islami”, terhadap upaya pencegahan dampak negatif dan persepsi masyarakat terhadap kesiapan infrastruktur ekowisata. 1.2 Rumusan Masalah Adanya otonomi daerah telah menjadikan masing-masing daerah berusaha menambah pendapatan daerah guna memajukan daerahnya. Salah satu langkah yang banyak ditempuh oleh pemerintah daerah antara lain dengan membuka suatu kawasan yang awalnya hanya sebuah pemukiman biasa, menjadi kawasan ekowisata. Ekowisata sendiri berbeda dengan pariwisata pada umumnya. Pariwisata yang hanya mementingkan kebutuhan wisatawan tidak sesuai dengan konsep konservasi lingkungan. Daerah tujuan ekowisata biasanya adalah daerah yang memiliki potensi alam yang indah, juga potensi kebudayaan berupa cara hidup atau kebiasaan hidup masyarakat yang dinilai unik. Pengembangan suatu kawasan menjadi sebuah kawasan ekowisata telah menjadikan kawasan tersebut mulai terbuka dengan dunia luar melalui interaksi sosial dengan wisatawan. Masyarakat yang tadinya hidup dengan ketentuan dan cara hidupnya masing-masing, kini mulai terpengaruh dengan dunia luar. Pengembangan kawasan ekowisata dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dampak positif merupakan suatu hasil yang diharapkan dan dampak negatif merupakan suatu hal yang sebaiknya dihindari. Dampak negatif dari kegiatan ekowisata antara lain ialah terancamnya lingkungan hidup akibat dibangunnya sarana dan prasarana ekowisata, lunturnya kebudayaan masyarakat dan dampak-dampak negatif lain yang nantinya hanya merugikan masyarakat sebagai komunitas lokal yang mendiami kawasan tersebut. Kampung Batusuhunan yang terdapat di Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi merupakan sebuah kawasan yang sedang dalam pengembangan untuk dijadikan kawasan ekowisata. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat adat yang masih memegang teguh pedoman dan prinsipprinsip Islam. Berkembangnya kawasan ini menjadi sebuah kawasan ekowisata dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan juga kehidupan sosial budaya masyarakat berupa pergeseran nilai-nilai tradisi yang selama ini dipegang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penyaring yang menjadi
5
pedoman bagi masyarakat sekitar agar dampak negatif dari kegiatan ekowisata dapat dihindari. Masyarakat adat merupakan masyarakat yang memiliki norma, mitos, dan kepercayaan sendiri. Norma, mitos dan kepercayaan itu biasanya dijadikan pedoman dalam cara hidup masyarakat. Norma, mitos dan kepercayaan biasanya bersifat turun-temurun dan dilestarikan oleh masyarakat adat. Seperangkat norma dan sistem religi tersebut diharapkan dapat menjadi penyaring pengaruh dari luar terhadap kemungkinan munculnya dampak negatif dari aktivitas ekowisata (berupa hadirnya wisatawan) yang memberikan dampak merugikan kepada masyarakat setempat. Persepsi masyarakat setempat dan harapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata juga akan sangat menentukan keberlanjutan ekowisata tersebut. Untuk itu, studi ini diarahkan untuk mengkaji lebih dalam mengenai konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan landasan oleh masyarakat setempat untuk mengembangkan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Adapun pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”? 3. Bagaimana harapan masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. 2. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”. 3. Mengkaji harapan masyarakat terhadap pengembangan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”.
6
1.4
Kegunaan Penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, maka penelitian ini akan bermanfaat
bagi kalangan akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Secara khusus kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan serta menjadi literatur bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai konsep ekowisata dan hubungannya dengan masyarakat. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai persepsi dan harapan masyarakat adat Kampung Batusuhunan dalam pengembangan ekowisata Curug Cigangsa. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk semakin mempersiapkan diri terhadap kemungkinan dampak negatif yang akan timbul dari kegiatan ekowisata melalui penguatan kearifan lokal yang sudah ada.
7
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ekowisata 2.1.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata
merupakan
salah
satu
bentuk
kegiatan
wisata
yang
mengedepankan kelestarian sumberdaya pariwisata. TIES (2002) dalam Damanik dan Weber (2006) menyatakan ekowisata dapat dipandang sebagai perjalanan pariwisata yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan memperhatikan
kesejahteraan
masyarakat
lokal.
Ekowisata
juga
dapat
didefinisikan sebagai kegiatan pariwisata yang memberikan dampak kecil terhadap kerusakan alam dan budaya lokal sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal melalui perluasan lapangan kerja. Hal yang sama dikemukakan oleh Hidayati et al. (2003) yang mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke suatu lokasi dengan melakukan konservasi alam dan menjaga kesejahteraan penduduk di sekitar lokasi wisata. Seperti yang dikemukakan oleh Tafalas (2010), ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bertanggung jawab, karena selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, ekowisata juga memikirkan dan mengembangkan konservasi lingkungan. Ekowisata dapat memberikan manfaat sebagai lapangan kerja baru yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sekitar. Damanik dan Weber (2006) mendefinisikan ekowisata ke dalam tiga perspektif, yaitu ekowisata sebagai produk,
ekowisata
sebagai
pasar
dan
ekowisata
sebagai
pendekatan
pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan sebuah perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Dengan kata lain, ekowisata ialah suatu bentuk kegiatan wisata yang menjual keindahan alam juga kehidupan masyarakatnya. Ekowisata memikirkan keberlanjutan lingkungan dan secara aktif menyumbang dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat juga dalam mengkonservasi lingkungan.
8
Fennell (1999) dalam Hidayati et al. (2003) mendefinisikan ekowisata sebagai kegiatan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada lingkungan. Ekowisata tidak
bersifat
konsumtif
dan
berorientasi
lokal
(dalam
hal
kontrol,
manfaat/keuntungan yang dapat diambil dari skala usaha). Sedangkan Wood (2002) dalam Hidayati et al. (2003) mendefinisikan bahwa ekowisata sebagai kegiatan wisata bertanggungjawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, dengan mengikutsertakan pula sebagian kegiatan wisata pedesaaan dan wisata budaya.
2.1.1.2 Prinsip dan Karakteristik Ekowisata TIES (2000) dalam Damanik dan Weber (2006) mengidentifikasi beberapa prinsip ekowisata yang harus diikuti oleh pelaksana dan partisipator, yaitu: a. Meminimalkan dampak negatif; b. Membangun kesadaran serta menghormati budaya dan lingkungan; c. Memberikan pengalaman positif bagi pengunjung dan masyarakat sekitar; d. Memberikan manfaat finansial secara langsung bagi konservasi; e. Memberikan manfaat finansial bagi masyarakat setempat; f. Menumbuhkan kepekaan sosial, lingkungan dan politik bagi masyarakat; dan g. Mendukung hak asasi manusia dan perjanjian buruh. Ekowisata berbeda dengan kegiatan pariwisata lainnya karena ekowisata memiliki karakteristik yang spesifik dengan adanya kepedulian pada pelestarian lingkungan dan pemberian manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Menurut Hidayati et al. (2003), kegiatan ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan seperti: (1) berbasis pada wisata alam; (2) menekankan pada kegiatan konservasi; (3) mengacu pada pembangunan pariwisata yang berkelanjutan; (4) berkaitan dengan kegiatan pengembangan pendidikan; (5) mengakomodasikan budaya lokal; dan (7) memberi kontribusi positif pada ekonomi lokal. The Ecotourism Society (dalam Fandeli 2000:115-116) menjelaskan terdapat tujuh prinsip yang bila dilaksanakan maka ekowisata akan menjamin
9
keberlanjutan ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan. Tujuh prinsip tersebut, yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya yang disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat; 2. Pendidikan konservasi lingkungan, dengan mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi; 3. Menghasilkan pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan; 4. Adanya partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pengawasan; 5. Memberikan keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat; 6. Menjaga keharmonisan dengan alam; dan 7. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Ekowisata sendiri adalah hal yang berbeda dengan pariwisata. Ekowisata merupakan bagian dari konsep pariwisata. Menurut Damanik dan Weber (2006), ekowisata memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan pariwisata, yaitu: 1. Aktivitas wisata berkaitan dengan konservasi lingkungan; 2. Penyedia jasa wisata tidak hanya menyiapkan atraksi untuk menarik tamu, tetapi juga menawarkan peluang bagi mereka untuk lebih menghargai lingkungan; 3. Kegiatan wisata yang berbasis alam; 4. Organisasi perjalanan (tour operator) menunjukkan tanggung jawab finansial dalam pelestarian lingkungan hijau yang dikunjungi atau dinikmati oleh wisatawan dan wisatawan juga melakukan kegiatan yang terkait dengan konservasi; 5. Kegiatan wisata dilakukan tidak hanya dengan tujuan untuk menikmati keindahan dan kekayaan alam, tetapi juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk pelestarian objek daya tarik wisata (ODTW); 6. Perjalanan wisata menggunakan alat transportasi dan akomodasi lokal;
10
7. Pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk mendukung kegiatan konservasi lokal, tetapi juga untuk membantu pengembangan masyarakat setempat secara berkelanjutan; 8. Perjalanan wisata menggunakan tekonologi sederhana yang tersedia di daerah tujuan wisata; dan 9. Kegiatan wisata berskala kecil. Ekowisata ialah suatu bentuk pariwisata yang memikirkan keberlanjutan dan merupakan bagian dari pariwisata berkelanjutan. Dalam prakteknya, ekowisata
mengadopsi
prinsip-prinsip
pariwisata
berkelanjutan
yang
membedakannya dengan wisata lain. Berdasarkan UNEP (2000) dalam Damanik dan Weber (2006), prinsip-prinsip tersebut terlihat dalam kegiatan ekowisata seperti (a) secara aktif menyumbang untuk kegiatan konservasi alam dan budaya; (b) melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan, pengelolaan wisata, serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan (c) dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompok kecil. 2.1.1.3 Potensi Ekowisata dan Dampaknya Ekowisata merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan. Pengelolaan ekowisata yang baik akan menyebabkan beberapa keuntungan dalam berbagai aspek. Akan tetapi, apabila tidak dikelola dengan benar, maka ekowisata dapat berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif terhadap kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan kacamata ekonomi makro, ekowisata memberikan beberapa dampak positif (Yoeti 2008), yaitu: 1. Menciptakan kesempatan berusaha; 2. Menciptakan kesempatan kerja; 3. Meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar; 4. Meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah; 5. Meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB);
11
6. Mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya; dan 7. Memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran mengalami surplus, dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran Indonesia, dan sebaliknya. Pengembangan ekowisata tidak saja memberikan dampak positif, tetapi juga dapat memberikan beberapa dampak negatif, antara lain (Yoeti 2008): 1. Sumber-sumber hayati menjadi rusak, yang menyebabkan Indonesia akan kehilangan daya tariknya untuk jangka panjang; 2. Pembuangan sampah sembarangan yang selain menyebabkan bau tidak sedap, juga dapat membuat tanaman di sekitarnya mati; 3. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya; dan 4. Terjadi demonstration effect, kepribadian anak-anak muda rusak. Cara berpakaian anak-anak sudah mendunia berkaos oblong dan bercelana kedodoran. Yoeti
(2008)
mengemukakan
bahwa
kegiatan
ekowisata
dapat
memberikan dampak pada berbagai aspek seperti sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan negatif : a. Dampak ekowisata terhadap sosial-budaya: Kegiatan ekowisata yang menyajikan kehidupan sosial budaya masyarakat, secara tidak langsung telah memberikan dampak bagi kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar tempat wisata. Dampak yang diberikan antara lain, dengan adanya kegiatan ekowisata, masyarakat semakin melestarikan budaya dan adat istiadat mereka. Hal ini dikarenakan budaya dan adat istiadat akan semakin menarik minat wisatawan untuk mengunjungi daerah mereka. Dampak tersebut merupakan dampak yang diharapkan dari kegiatan ekowisata. Akan tetapi, kegiatan ekowisata juga dapat memberikan dampak negatif berupa lunturnya adat istiadat dan kebudayaan masyarakar sekitar. Hal ini dikarenakan, dengan adanya ekowisata maka akan semakin terbukanya akses masyarakat terhadap dunia luar yang dibawa oleh para wisatawan. Hal ini dapat membuat masyarakat lokal yang tadinya menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan mereka, menjadi mulai tertarik dengan kebudayaan yang datang dari luar. Dampak negatif ini menjadi persoalan yang harus segera diatasi, mengingat kegiatan ekowisata tidak saja
12
mempertontonkan keindahan alam, tetapi juga mempertunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat sekitar yang dianggap unik dan menarik bagi para wisatawan. b. Dampak ekowisata terhadap ekonomi: Ekowisata yang semakin diminati oleh para wisatawan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap sektor perekonomian pemerintah daerah juga masyarakat di sekitar tempat wisata. Menurut Sedarmayanti (2005) kegiatan ekowisata yang banyak menarik minat wisatawan telah memberikan sumbangan devisa untuk negara dan juga telah membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat tidak saja mendapatkan pekerjaan, tetapi juga dapat menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru yang menunjang kegiatan pariwisata. c. Dampak ekowisata terhadap lingkungan: Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang menonjolkan kelestarian lingkungan menjadikan kegiatan ini lebih memperhatikan kondisi lingkungan daerah sekitar tempat wisata. Pemerintah daerah beserta aktor-aktor penunjang pariwisata lainnya berusaha melestarikan lingkungan dengan tujuan untuk menarik minat wisatawan. Keinginan wisatawan terhadap lingkungan hidup yang tenang, bersih dan jauh dari polusi menjadikan ekowisata banyak dipilih orang sebagai bentuk pariwisata yang diinginkan. Ekowisata sebagai kegiatan pariwisata yang bertanggung jawab juga menuntut adanya keterlibatan dari wisatawan untuk ikut melestarikan daerah yang dijadikan tujuan wisata. Konsep ekowisata secara tidak langsung juga dapat dijadikan jalan keluar mengenai permasalahan lingkungan yang selama ini menjadi perhatian orang banyak. Kegiatan pariwisata yang dulu hanya memikirkan keinginan dan kepuasan wisatawan tanpa memikirkan dampak yang dialami oleh lingkungan semakin lama semakin ditinggalkan. Oleh karena itu, ekowisata secara tidak langsung telah memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar tempat wisata.
2.1.2
Masyarakat Adat Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990). Masyarakat yang mendiami
13
suatu daerah dan memiliki kebudayaan sendiri yang telah ada secara turuntemurun dinamakan masyarakat adat. Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelumnya, yang berkembang di daerah mereka dan menganggap diri mereka berbeda dengan komunitas lain yang sekarang mendiami daerah tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat tetapi bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan tradisi leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan dirangkum oleh berbagai sumber menyebutkan bahwa masyarakat adat memiliki lima ciri yang berbeda dengan masyarakat biasa. Karakteristik masyarakat tersebut antara lain: (1) sekelompok orang yang membentuk masyarakat atau komunitas; (2) memiliki lokasi yang merupakan tempat tinggal mereka; (3) memiliki aturan dan hukum yang jelas; (4) kondisi kultural, budaya dan ekonomi yang khas sehingga berbeda dengan masyarakat lainnya; dan (5) berasal dari keturunan yang sama. Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata (Damanik dan Weber 2006). Masyarakat lokal juga merupakan pemilik dari atraksi wisata yang dipertunjukkan untuk wisatawan. Air, tanah, hutan dan lanskap merupakan sumberdaya pariwisata milik masyarakat yang juga dikonsumsi oleh wisatawan. Masyarakat adat juga memiliki kearifan lokal, kebudayaan, tradisi, dan sistem religi yang dapat dijadikan landasan atau prinsip dalam perkembangan ekowisata.
2.1.3 Kearifan Lokal Menurut Keraf (2002) kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntut perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
14
ekologis. Kearifan lokal bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya yang sekaligus membentuk, dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari. Kearifan lokal yang terdapat di masyarakat biasanya tercermin dalam norma, mitos, nilai, kebudayaan, tradisi, dan sistem religi yang menjadi pedoman hidup dalam kehidupan masyarakat adat. Berikut ini akan dijelaskan mengenai norma dan mitos. Norma dan mitos merupakan bagian dari kearifan lokal dikarenakan norma dan mitos merupakan sesuatu yang berasal dari masyarakat dan dipercayai sebagai sebuah kepercayaan yang dianut bersama. A.
Norma Norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam
suatu kelompok masyarakat. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatankesepakatan sosial masyarakat dan sering disebut dengan peraturan sosial. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Pelanggaran dalam norma yang berlaku biasanya akan diberikan hukuman. Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Berdasarkan pendapat beberapa sosiolog dalam buku “Pengantar Sosiologi” karya Setiadi dan Kolip (2010), di dalam norma terdapat tingkatan-tingkatan yang membedakan norma yang satu dan lainnya. Tingkatan norma tersebut antara lain: a.
Cara (usage): suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus;
15
b.
Kebiasaan (folkways): suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar;
c.
Tata kelakuan (mores): sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggotaanggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan; dan
d.
Adat istiadat (custom): kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. B.
Mitos Mitos adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi para dewa atau makhluk
setengah dewa yang terjadi di dunia lain dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang punya cerita atau para penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya. Menurut Armstrong (2005), mitos adalah sarana masyarakat kuno untuk menemukan kebenaran
dalam
kehidupannya.
Fungsi
mitos
sendiri
adalah
untuk
memperpanjang harapan manusia yang mengalami kekerasan, ketertindasan, dan ketakutan. Mitos adalah pemandu yang dapat memberikan saran untuk bagaimana seharusnya manusia bertindak. Mitos akan dianggap benar apabila mitos itu dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat. Manusia modern sama sekali tidak dapat menghapuskan seluruh masa lampaunya karena dia hasil produksi dari masa lampau. Manusia modern akan menerima warisan dari masa lampau yang terus melekat dalam pikirannya, warisan itu antara lain adalah mitos (Eliade 1963 dalam Susanto 1987). 2.1.4 Persepsi Persepsi pada hakikatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Menurut Young (1951) persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan
16
stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan, dan lain-lain. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap, yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula (Polak 1991). DeVito (1997) mengemukakan bahwa karakteristik seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Lionberger dan Gwin (1982) juga mengatakan bahwa karakteristik personal dapat mempengaruhi penerimaan individu terhadap perubahan unsur. Karakteristik tersebut dapat terdiri dari pendidikan, tempat tinggal, kedudukan, usia, dan jenis kelamin. Jenis kelamin dan usia seseorang akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut memberikan persepsi mengenai suatu benda atau situasi. Hal ini dikarenakan persepsi yang diberikan antara pria dan wanita akan berbeda. Usia juga akan menentukan persepsi seseorang. Orangtua dan anaknya akan memberikan persepsi yang berbeda mengenai suatu benda yang sama.
2.2
Kerangka Pemikiran Kampung Batusuhunan merupakan salah satu kampung di Kelurahan
Surade yang sedang dijadikan prioritas utama dalam pembangunan. Mengingat di Kampung Batusuhunan terdapat potensi ekowisata berupa Curug Cigangsa dan Batu Masigit, maka ekowisata dijadikan titik awal pembangunan di Kampung Batusuhunan. Masyarakat sebagai pemilik kawasan dan sebagai pelaksana kegiatan ekowisata tentu saja memiliki peran penting dalam kegiatan ekowisata. Penelitian ini melihat hubungan karakteristik masyarakat yang terdiri dari jenis kelamin dan tingkat usia dengan tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma, tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma, persepsi masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan dan hubungan karakteristik masyarakat dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata.
17
Perkembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan tentu saja akan sangat bergantung pada persepsi masyarakat lokal yang mendiami daerah tersebut. Sehingga persepsi masyarakat lokal terhadap pengembangan kawasan ekowisata
Curug
Cigangsa
menjadi
faktor
penting
yang
menentukan
perkembangan “Ekowisata Islami” yang akan dilaksanakan. “Ekowisata Islami” merupakan ekowisata yang dalam pelaksanaannya berpedoman dengan mitos dan norma yang dibuat berdasarkan kaidah Islam. Hal ini menjadikan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma menjadi sangat penting dalam pengembangan kawasan “Ekowisata Islami”. Pada pelaksanaanya, tentu saja akan terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan yang datang ke lokasi ekowisata, oleh karena itu tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma juga menjadi sangat penting. Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata menjadikan masyarakat
setempat
pengembangan
memiliki
ekowisata.
harapan
Harapan
yang
masyarakat
berbeda-beda terhadap
terhadap
pengembangan
ekowisata dilihat berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Harapan masyarakat nantinya
akan
berhubungan
dengan
persepsi
masyarakat
lokal
dalam
pengembangan kawasan ekowisata. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1.
18
Karakteristik Masyarakat
Jenis Kelamin Tingkat Usia
Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma
Tingkatan Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma
Keterangan :
Persepsi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan (Ekowisata Islami)
Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata Ekonomi Ekologi Sosial budaya
: Berhubungan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa.
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Terdapat
hubungan
antara
karakteristik
masyarakat
dengan
tingkat
pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma. 2. Terdapat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma. 3. Terdapat
hubungan antara karakteristik
masyarakat
dengan persepsi
masyarakat dalam pengembangan kawasan ekowisata. 4. Terdapat
hubungan antara
karakteristik
masyarakat
dengan
harapan
masyarakat dalam pengembangan ekowisata. 5. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata.
19
6. Terdapat hubungan antara tingkatan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma dengan harapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. 7. Terdapat hubungan antara harapan masyarakat dengan persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata. 2.4 Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: 1. Untuk melihat karakteristik masyarakat, salah satunya diukur dari tingkat usia. Tingkat Usia responden yaitu rentang waktu saat lahir sampai saat pengambilan data, dihitung saat ulang tahun terakhir dan diukur dalam satuan tahun, diukur dengan skala interval, dengan batasan usia : (Havighurst 1950 dalam Mugniesyah 2006) a. Golongan usia muda
: 18 tahun – 30 tahun
b. Golongan usia menengah : 31 tahun – 50 tahun c. Golongan usia tua : > 51 tahun 2. Jenis kelamin menjadi indikator karakteristik masyarakat yang dipahami sebagai status biologis individu yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, diukur dengan skala nominal. 3. Tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma, ialah kedalaman masyarakat (responden) dalam mengetahui dan memahami mitos-mitos dan normanorma yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan skala nominal. Nilai : Tidak Tahu = 1, Tahu = 2 a. Rendah : skor 10-15 b. Tinggi
: skor 16-20
4. Tingkatan sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma, yaitu respon berupa sikap apa yang akan dibentuk oleh masyarakat ketika terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang
20
diberlakukan di Kampung Batusuhunan. Sikap masyarakat diukur dengan menggunakan skala ordinal. Nilai : Diam saja = 1, Menegur = 2, Memberi Sanksi = 3 a. Rendah : skor 9-15 b. Sedang
: skor 16-22
c. Tinggi
: skor 23-27
5. Persepsi masyarakat lokal dalam pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, diukur melalui indikator pendapat masyarakat terhadap pengembangan kawasan “Ekowisata Islami” Curug Cigangsa, pendapat masyarakat terhadap kemungkinan dampak negatif, pendapat masyarakat mengenai proporsi dampak ekowisata dan pendapat masyarakat terhadap konsep “Ekowisata Islami”. 6. Harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata, yaitu ekspektasi ke masa
depan
yang
diinginkan
oleh
masyarakat
(responden)
dari
perkembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan, dilihat dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya.
21
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 1.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh
data kualitatif. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan
menguji
hipotesa
yang
telah dirumuskan sebelumnya
(Singarimbun dan Effendi 1989). Data kuantitatif didapatkan melalui kuesioner kepada responden. Data kualitatif didapatkan melalui pertanyaan terbuka kepada responden dan hasil konsultasi atau wawancara mendalam antara peneliti dan informan. 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan/hasil kuesioner yang dilakukan melalui wawancara langsung kepada responden. Selain itu, dilakukan juga wawancara mendalam kepada informan. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai arsip/dokumen-dokumen Pemerintah Kelurahan Surade dan Kampung Batusuhunan. 3.3 Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di lokasi tempat dikembangkannya kawasan ekowisata Curug Cigangsa, yaitu di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan observasi melalui internet dan studi langsung pada tempat dengan pertimbangan: 1. Kampung Batusuhunan memiliki potensi ekologi berupa Curug Cigangsa yang memiliki keindahan yang masih alami. Di kampung ini juga terdapat prasasti Batu Masigit/Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat sekitar yang 100 persen beragama Islam.
22
2. Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang lokasinya paling dekat dengan Curug Cigangsa, sehingga kegiatan ekowisata yang dilakukan di Curug Cigangsa akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan. 3. Kampung Batusuhunan merupakan kawasan yang menjadi prioritas pertama dalam pembangunan wilayah Kelurahan Surade karena selama ini wilayah Kampung Batusuhunan kurang berkembang dibandingkan dengan kampungkampung di Kelurahan Surade lainnya Penelitian dilakukan selama enam bulan dengan kegiatan penelitian yang meliputi survei lokasi, penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung dengan pendekatan kualitatif untuk memperkaya data. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survai yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatory yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 2006). Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya diduga. Populasi sasaran dari penelitian ini adalah masyarakat Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Unit analisisnya adalah individu dikarenakan penelitian ini ingin melihat persepsi masing-masing individu masyarakat yang dapat mewakili persepsi masyarakat Kampung Batusuhunan secara keseluruhan. Jumlah penduduk di Kampung Batusuhunan berjumlah 107 jiwa, dengan jumlah pria sebanyak 54 jiwa, dan wanita sebanyak 53 jiwa. Pemilihan responden dilakukan secara Stratified Random Sampling dan dibagi berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin. Pembagian berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan usia disebabkan penelitian ini ingin melihat hubungan antara jenis kelamin dan tingkatan usia terhadap persepsi masyarakat. Jumlah responden yang dipilih sebanyak 30 orang dengan pembagian 15 orang wanita di golongan usia muda, menengah dan tua, dan 15 pria di golongan usia muda,
23
menengah dan tua. Pembagian usia ini dibagi menjadi tiga dengan mengambil referensi menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006). Pembagian jumlah responden dilakukan seimbang (15 pria dan 15 wanita) dikarenakan untuk membandingkan persepsi responden, maka jumlah responden yang dibandingkan sebaiknya sama rata. Pengambilan responden dilakukan dengan mengelompokkan masyarakat Kampung Batusuhunan ke dalam tiga golongan usia, kemudian dari tiga kelompok tersebut masing-masing diambil 5 orang pria dan 5 orang wanita. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Sebuah kuesioner berupa sekumpulan pertanyaan yang diajukan pada responden dan informan untuk dijawab. Pertanyaan untuk responden berupa pertanyaan tertutup yang sudah disertai jawaban pertanyaan dan pertanyaan terbuka untuk menggali informasi data kualitatif. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan informan kunci. Informan kunci merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, pihak lain dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan secara purposive, informan kunci yang dipilih adalah tokoh adat Kampung Batusuhunan.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data hasil kuesioner dari responden diolah dengan menggunakan program microsoft excel 2007. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung melalui wawancara dengan informan serta pembicaraan dengan responden yang dilakukan melalui wawancara dengan pertanyaan terbuka. Data ini digunakan untuk mempertajam hasil penelitian. Data kualitatif akan diolah melalui tiga tahapan, antara lain reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sugiyono (2008) mendefinisikan tahaptahap analisis data sebagai berikut: 1. Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema serta pola data yang diperoleh; 2. Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain; untuk mempermudah peneliti dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh;
24
3. Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian. Data kuantitatif diperoleh melalui penyebaran kuesioner di lapangan yang diperkuat dengan teknik wawancara langsung dengan responden. Pengolahan data dilakukan dengan tabel frekuensi untuk menghitung persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu untuk melihat adanya pengaruh karakteristik responden dengan beberapa hal.
25
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Surade 4.1.1
Kondisi Geografis, Topografi, dan Demografi Kelurahan Surade Secara Geografis Kelurahan Surade mempunyai luas 622,05 Ha, berada di
sebelah selatan wilayah Kabupaten Sukabumi yang secara umum terbagi dua kategori lahan, yaitu sebelah utara dan selatan mayoritas didominasi oleh lahan kering, perumahan dan perkotaan. Sebelah barat dan timur didominasi oleh lahan basah pesawahan. Adapun batas-batas administrasi Kelurahan Surade adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Citanglar; 2. Sebelah timur berbatasan Desa Jagamukti; 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Buniwangi dan Desa Pasiripis; dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Kadaleman. Kelurahan Surade bertempat cukup jauh dari pusat Kabupaten Sukabumi. Jarak tempuh perjalanan dari pusat Kabupaten adalah sepanjang 63 km. Sedangkan jarak tempuh dari Kota Bogor adalah sepanjang 117,5 km dan jarak tempuh dari Kota Bandung adalah sepanjang 217,5 km. Kondisi Topografi Kelurahan Surade memiliki ketinggian 116 meter di atas permukaan laut (dpl) dan secara umum wilayah Kelurahan Surade memiliki ketinggian berkisar antara 15-300 meter dpl. Rata-rata suhu udara berkisar antara 150C-250C, dengan suhu rata-rata 260C. Bentuk permukaan tanah (morfologi) relatif datar di seluruh bagian kelurahan, baik di bagian utara, timur, selatan maupun barat wilayah Kelurahan Surade. Secara demografi, jumlah penduduk Kelurahan Surade cenderung tetap dengan mutasi lahir, mati, pindah datang, dan pindah pergi. Jumlah penduduk Kelurahan Surade berjumlah 9.238 Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.763 KK. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Surade sebagian besar bekerja sebagai petani, buruh tani, sektor perdagangan dan jasa. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk Kelurahan Surade dapat dilihat pada Tabel 1.
26
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Jenis Kelamin, Tahun 2012 Jenis Kelamin Pria Wanita Total
Jumlah Penduduk (jiwa) 4.630 4.608 9.238
Total Persentase (%) 50,1 49,9 100,0
Sumber : Profil Kelurahan, 2012
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1, jumlah penduduk Kelurahan Surade terdiri dari 9.238 jiwa dengan jumlah pria (50,1 persen) lebih banyak dari wanita (49,9 persen). 4.1.2 Kondisi Infrastruktur Secara umum infrastruktur dasar di Kelurahan Surade cukup memadai. Hal ini dibuktikan dengan tersedianya prasarana pendidikan seperti PAUD, Taman Kanak-kanak, RA, Sekolah Dasar, Madrasah, SMK, Pondok Pesantren, dan Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan sarana kesehatan dan peribadatan yang sudah tersedia dan tersebar di berbagai wilayah Kelurahan Surade. Prasarana peribadatan yang terdapat di Kelurahan surade antara lain masjid dan mushola, sedangkan prasarana kesehatan antara lain puskesmas, posyandu, klinik dokter, dan poskesdes. Jumlah infrastruktur yang terdapat di Kelurahan Surade dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Infrastruktur Kelurahan Surade, Tahun 2012 Infrastruktur Kelurahan Surade Kondisi Prasarana PAUD Taman Kanak-kanak RA Sekolah Dasar Negeri Madrasah SMK Swasta Pondok Pesantren Perguruan Tinggi Puskesmas Posyandu Klinik Dokter Poskesdes Masjid Mushola Sumber : Profil Kelurahan, 2012
Jumlah (buah) 8 2 10 6 8 2 7 2 1 12 4 1 28 46
27
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah infrastruktur yang mendominasi di Kelurahan Surade adalah infrastruktur yang berhubungan dengan agama Islam, seperti pondok pesantren, madrasah, masjid dan mushola yang jumlahnya lebih besar dibandingkan sarana dan prasarana lainnya. Hal ini semakin menandakan bahwa Kelurahan Surade merupakan wilayah yang kebanyakan penduduknya memeluk agama Islam.
4.1.3 Kondisi Penduduk Masyarakat yang tinggal di Kelurahan Surade apabila dilihat berdasarkan aspek agama dikenal sebagai masyarakat Islami. Hal ini dikarenakan hampir seratus persen penduduk Kelurahan Surade beragama Islam. Oleh karena itu, adanya konsep “Ekowisata Islami” di Curug Cigangsa menjadi suatu hal yang wajar mengingat hampir seluruh penduduk Kelurahan Surade memeluk agama Islam. Jumlah penganut agama Islam di Kelurahan Surade berjumlah 9.233 orang (99,9 persen), penganut agama Kristen 4 orang (0,04 persen), dan Katolik 1 orang (0,01 persen). Kelurahan Surade merupakan kelurahan yang cukup besar di Kabupaten Sukabumi. Tingkat pendidikan penduduk juga tersebar mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Strata 3, dengan jumlah terbesar ialah penduduk yang menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar. Rincian jumlah penduduk dengan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Gambar 2.
Tingkat Pendidikan Penduduk 1.38
0.53
1.66
0.09
0.2
SD
13.06
SMP SMA 22.6
60.4
D-1 D-3 S-1
Sumber : Profil Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi 2012
Gambar 2. Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Tingkat Pendidikan, Tahun 2012
28
Penduduk Kelurahan Surade memiliki mata pencaharian yang terbagi ke dalam beberapa bidang profesi. Terdapat 1.099 orang (51,8 persen) yang bekerja sebagai buruh tani, 508 orang (23,9 persen) sebagai petani dan sisanya (24,3 persen) tersebar sebagai buruh serabutan, PNS, dan peternak. Untuk rinciannya dapat dilihat pada Gambar 3.
Mata Pencaharian Penduduk 60
51.8
50 40 30
23.9 persentase
14.5
20 7.4
10
2.4
0 Petani
Buruh tani
Buruh serabutan
PNS
Peternak
Sumber : Profil Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi 2012
Gambar 3. Persentase Penduduk Kelurahan Surade menurut Mata Pencaharian, Tahun 2012 Berdasarkan persentase pada Gambar 3 mata pencaharian penduduk Kelurahan Surade mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan petani. Hal ini mengingat kondisi alam yang sangat sesuai untuk pertanian, maka hampir sebagian besar penduduk Kelurahan Surade berprofesi dalam bidang pertanian.
4.2 Gambaran Umum Kampung Batusuhunan Batusuhunan merupakan nama salah satu kampung yang terdapat di Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Nama Batusuhunan sudah ada sejak jaman nenek moyang. Pemberian nama ini dikarenakan terdapat batu-batu yang bersusun di tengah bendungan. Susunan batu ini berbentuk seperti rumah, oleh karena itu para nenek moyang memberi nama Batusuhunan (batu yang bersusun) untuk kampung ini.
29
Batusuhunan merupakan kawasan yang memiliki unsur Islam yang sangat kuat. Masyarakat Kampung Batusuhunan yang 100 persen beragama Islam mengatakan sering mendengar suara adzan dan suara orang sholat di dekat bendungan. Hal ini dipercaya masyarakat sebagai pertanda bahwa di Kampung Batusuhunan terdapat penunggu yang beragama Islam yang menjaga kampung tersebut. Menurut informan kunci yang merupakan tokoh adat di Kampung Batusuhunan, disana terdapat makam salah satu Wali Songo sehingga banyak orang yang mengunjungi Kampung Batusuhunan untuk ziarah ke makam tersebut. Berikut penuturan tokoh adat di Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun). “… dari bendungan sering terdengar suara adzan dan suara orang yang sedang sholat. Masyarakat setempat percaya bahwa Kampung Batusuhunan dilindungi oleh penunggu yang juga beragama Islam. Kami tidak keberatan dan tidak takut selama tidak ada yang diganggu. Di sini juga terdapat makam salah satu Wali Songo, oleh karena itu sejak dahulu memang sudah banyak orang yang datang ke Kampung Batusuhunan untuk berziarah …”
Kampung Batusuhunan terdapat di RW 08 Kelurahan Surade. Kampung ini memiliki 107 jiwa penduduk yang terbagi ke dalam 33 KK dengan jumlah pria 54 jiwa (50,5 persen) dan wanita 53 jiwa (49,5 persen). Penduduk di Kampung Batusuhunan 100 persen beragama Islam, oleh karena itu adanya konsep “Ekowisata Islami” sebagai konsep ekowisata di Curug Cigangsa sangat didukung oleh masyarakat Kampung Batusuhunan sebagai pengelola dan penanggung jawab lokasi Curug Cigangsa tersebut. Konsep ini diharapkan dapat mencegah adanya perubahan gaya hidup, kebudayaan dan orientasi masyarakat yang awalnya berpedoman dengan ajaran Islam menjadi terpengaruh oleh beberapa budaya dari luar yang tidak sesuai dengan prinsip masyarakat Kampung Batusuhunan.
4.3 Gambaran Umum Curug Cigangsa 4.3.1
Sejarah Ekowisata Islami Curug Cigangsa
Curug Cigangsa merupakan salah satu kekayaan alam yang terdapat di Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi. Curug Cigangsa terdiri dari dua tingkat dan diperkirakan terbentuk akibat gempa yang cukup kuat sehingga mengakibatkan longsor. Curug ini memiliki debit air yang kecil, hal ini dikarenakan di bagian hulunya dibendung untuk keperluan irigasi.
30
Curug Cigangsa memiliki dinding batu yang berwarna kehitaman sebagai landasan air mengalir. Pada awalnya Curug Cigangsa ini belum dijadikan lokasi ekowisata. Baru pada tahun 2008 tercetus gagasan oleh pemerintah daerah untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata. Hal ini tidak dapat langsung terlaksana dikarenakan masyarakat setempat tidak setuju dengan dibukanya kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata. Masyarakat merasa apabila kawasan ini dibuka menjadi kawasan ekowisata, maka akan banyak pengaruh dari luar yang masuk ke lingkungan masyarakat setempat. Masyarakat juga tidak ingin apabila kawasan Curug Cigangsa yang juga merupakan kawasan keramat menjadi rusak akibat tingkah laku wisatawan yang tidak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan yang melekat pada diri masyarakat. Pada tahun 2010, muncul kembali ide untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata oleh PLP-BK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas). PLP-BK ialah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan ditempatkan di enam kabupaten tiap provinsi. Tujuan utama pembentukan PLPBK ialah untuk menciptakan tatanan kehidupan dan hunian yang tertata secara selaras, sehat, produktif, berjati diri, dan berkelanjutan. Fokus utama PLP-BK adalah pada penguatan dan pengembangan sosial kapital melalui pengokohan nilai-nilai universal dan kearifan lokal, penguatan pelayanan masyarakat di bidang ekonomi, lingkungan, sosial, serta membuka ruang kreativitas dan inovasi di masyarakat untuk menciptakan sumberdaya pembangunan pemukiman. Ciri utama PLP-BK ialah Community Based Management, yakni menangani persoalan pemukiman melalui perencanaan, pelaksanaan, serta pengelolaan hasil-hasil pembangunan yang dipelihara dan dikelola oleh masyarakat setempat. Tujuan dari PLP-BK membuka kawasan ini adalah untuk memajukan masyarakat Kampung Batusuhunan. Setelah adanya pembicaraan yang cukup memakan waktu lama, akhirnya masyarakat Kampung Batusuhunan setuju apabila kawasan ini dibuka untuk umum dengan syarat jenis ekowisata yang ditawarkan adalah “Ekowisata Islami” sehingga segala tingkah laku wisatawan yang ada harus sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Masyarakat juga mengajukan syarat, yaitu segala bentuk pembangunan yang akan dilakukan di Curug Cigangsa dan
31
segala hal yang berhubungan dengan Curug Cigangsa harus dilakukan oleh masyarakat Kampung Batusuhunan.
4.3.2
Ekowisata Islami Curug Cigangsa
Bentuk ekowisata yang ditawarkan di Curug Cigangsa merupakan bentuk ekowisata yang sedikit lain dengan ekowisata kebanyakan. Konsep ekowisata yang ditawarkan ialah konsep “Ekowisata Islami”, sehingga segala peraturan yang terdapat di lokasi ekowisata telah disesuaikan dengan kaidah-kaidah Islam. Curug Cigangsa sendiri memiliki pemandangan yang sangat indah dengan batu-batu yang terbentuk alami. Bantuan dana dari pemerintah pusat telah menjadikan jalan menuju lokasi curug menjadi lebih mudah untuk dilewati. Jalanan yang curam kini sudah dibangun menjadi anak-anak tangga sehingga para wisatawan tidak akan kesulitan untuk menuju ke bawah curug. Di tengah perjalanan menuju curug juga telah disediakan beberapa tempat untuk beristirahat, sehingga para wisatawan yang merasa lelah dapat beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Selain curug, di lokasi ini (bagian bawah curug) juga terdapat keunikan lain, yakni “Batu Masigit”. Batu Masigit merupakan batu-batu besar yang tersusun ke atas sehingga menyerupai masjid. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Batu Masigit pada jaman dahulu digunakan oleh para Wali Songo sebagai tempat untuk musyawarah. Hal ini yang menjadikan lokasi ini menjadi wilayah yang suci sehingga apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kaidah-kaidah Islam akan mendapatkan teguran dari penunggu curug (mitos). Nuansa Islami akan terasa ketika kita memasuki jalan masuk Kampung Batusuhunan. Sebuah gapura yang bertuliskan “Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa” akan menyambut kita. Penduduk Kampung Batusuhunan ialah penganut agama Islam, oleh karena itu hampir seluruh penduduk wanita memakai jilbab/penutup kepala yang menambah kesan Islami di kampung tersebut. Konsep “Ekowisata Islami Curug Cigangsa” bukanlah jenis ekowisata yang menawarkan perjalanan religius, akan tetapi jenis ekowisata yang segala peraturan dalam pengembangan dan pelaksanaanya berpedoman pada kaidah-kaidah Islam. Penggunaan konsep ini diharapkan oleh masyarakat dapat menjadikan ekowisata
32
di lokasi tersebut berbeda dengan lokasi ekowisata di kebanyakan tempat yang saat ini semakin terpengaruh oleh konsep pariwisata. Walaupun belum sepenuhnya mengikuti kaidah Islam, akan tetapi segala norma yang dibuat sudah berpedoman pada kaidah-kaidah Islam.
4.4
Kebijakan Pengembangan Kawasan menjadi Kawasan Ekowisata Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan yang baru, tentu saja
memerlukan suatu persiapan dan keterlibatan dari berbagai stakeholders. Curug Cigangsa yang pada awalnya merupakan kekayaan alam yang belum tersentuh oleh tangan manusia dan hanya menjadi tempat wisata bagi masyarakat setempat khususnya masyarakat Kampung Batusuhunan, kini mulai dibuka untuk masyarakat luas dan dijadikan lokasi ekowisata. Pengembangan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata pada awal mulanya adalah suatu ide dari pemerintah yang dicetuskan melalui PLP-BK. Ide ini pada awalnya tidak mendapatkan sambutan dari masyarakat setempat. Setelah perundingan selama beberapa tahun, akhirnya masyarakat Kampung Batusuhunan setuju dengan syarat pengembangan ekowisata di Curug Cigangsa menggunakan nama “Ekowisata Islami” yang kesemua peraturannya berdasarkan pada kaidah Islam dan dalam pengembangan juga pengelolaannya harus melibatkan masyarakat lokal. Pada tahun 2010, setelah adanya persetujuan untuk membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, pemerintah Kelurahan Surade mulai mengajukan proposal dana kepada pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi untuk melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan Curug Cigangsa yang sebelumnya masih sangat alami. Bantuan awal yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui PLP-BK ialah berjumlah sekitar 300 juta Rupiah. Bantuan dana ini digunakan oleh masyarakat untuk membangun infrastruktur penunjang kawasan wisata. Sampai saat ini, bantuan dana tersebut sudah dialokasikan untuk membangun jalan setapak dan tangga-tangga kecil yang dapat memudahkan wisatawan untuk mengunjungi Curug Cigangsa. Masyarakat juga membuat tiga buah tempat bersantai dan istirahat di tiga titik kawasan Curug Cigangsa. Selain itu, masyarakat sudah menyiapkan tiga bangunan tempat pembuangan sampah
33
akhir, beserta beberapa tong sampah yang disimpan di sekitar Curug Cigangsa. Bantuan dana tersebut juga digunakan untuk membuat dua buah toilet umum dan bangunan loket untuk pembelian tiket. Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh masyarakat, maka segala kegiatan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh masyarakat setempat. Kegiatan tersebut berupa pembangunan infrastruktur, pembagian kerja dalam bidang ekowisata, penegakan peraturan dan hal-hal lainnya. Hal ini merupakan bentuk keterlibatan dan dukungan masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa. Meskipun pada awalnya pengembangan kawasan ini menimbulkan beberapa perbedaan pendapat antara pihak yang setuju dan tidak setuju, akan tetapi saat ini seluruh pihak yang terlibat sama-sama mendukung pengembangan kawasan “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”. 4.5 Karakteristik Responden Karakteristik penduduk yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah 15 pria dan 15 wanita yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga rentang usia yang telah dibagi menurut Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), yaitu usia golongan muda: 18-30 tahun, usia golongan menengah : 31-50 tahun dan usia golongan tua: >51 tahun. Responden yang telah dibagi ke dalam tiga golongan usia tersebut kemudian dibagi berdasarkan jenis kelamin dengan komposisi lima orang pria dan lima orang wanita di tiap golongan usia, sehingga jumlah total responden menjadi 30 orang. Pembagian ini dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan pengaruh tingkat usia dan jenis kelamin terhadap persepsi masyarakat dalam pengembangan kawasan “Ekowisata Islami”, dalam upaya pencegahan kemungkinan munculnya dampak negatif, dan persepsi masyarakat mengenai kesiapan infrastruktur ekowisata yang sudah ada saat ini. Semua responden yang terpilih merupakan warga asli Kampung Batusuhunan yang sudah menempati Kampung Batusuhunan selama kurun waktu yang lama sehingga sudah mengenal Kampung Batusuhunan dengan sangat baik. Tingkat pendidikan responden sangat beraneka ragam dan tersebar seperti yang disajikan pada Gambar 4.
34
Tingkat Pendidikan Responden 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gambar 4.
36.6 26.7
26.7 10
Persentase (%)
Persentase Responden menurut Tingkat Pendidikan di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Tingkat pendidikan responden terbagi ke dalam empat golongan, yaitu SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi (PT). Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa jumlah responden yang hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar paling banyak dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Persentase jumlah responden yang menempuh tingkat pendidikan hingga SMP dan SMA berjumlah sama yakni sebanyak 26,7 persen dan yang menempuh pendidikan sampai Perguruan Tinggi berjumlah 10 persen. Berdasarkan jenis pekerjaan, 30 responden yang terpilih juga memiliki berbagai jenis pekerjaan yang berbeda. Terdapat lima kelompok pekerjaan, antara lain pelajar, petani, pegawai swasta, pegawai negeri, dan ibu rumahtangga. Hal ini dikarenakan responden terbagi ke dalam tiga golongan usia yang berbeda sehingga jenis pekerjaan responden juga berbeda dimulai dari pelajar, petani hingga ibu rumahtangga. Persentase pembagian jenis pekerjaan responden akan disajikan pada Gambar 5.
35
Jenis Pekerjaan Responden 40 35 30 25 20 15 10 5 0
36.7
20
20
16.7 Persentase (%) 6.6
Pegawai Swasta
Pegawai Negeri
Pelajar
Ibu Rumah tangga
Petani
Gambar 5. Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Data yang disajikan pada Gambar 5 menampilkan persentase jenis pekerjaan dari 30 responden yang diteliti. Responden terbanyak bekerja di rumah sebagai ibu rumahtangga. Pekerjaan responden yang terbanyak selanjutnya ialah sebagai petani dan pegawai negeri (20 persen). Selanjutnya sebagi pegawai swasta (16,7 persen) dan sisanya sebagai pelajar SMA (6,6 persen).
36
BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan semua masyarakatnya memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat Kampung Batusuhunan 100 persen beragama Islam, akan tetapi masyarakat sangat menghargai dan mentoleransi agama lain selain Islam. Mazhab Islam yang dijadikan pedoman oleh masyarakat ialah Islam yang dibawa oleh Wali Songo. Hal ini dikarenakan pada jaman dahulu, Kampung Batusuhunan dijadikan tempat pertemuan para Wali Songo dan menurut tokoh adat yang dijadikan informan kunci, di Kampung Batusuhunan juga terdapat makam salah satu Wali Songo yang menjadikan Kampung Batusuhunan sudah dikenal masyarakat luas sejak dahulu karena banyak orang yang berziarah ke makam tersebut. Hal ini diutarakan oleh tokoh adat Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun). “… disini terdapat makam salah satu Wali Songo. Oleh karena itu memang sudah sejak dulu Kampung Batusuhunan dikenal masyarakat luas karena banyak yang sering datang ziarah kesini …”
Kampung Batusuhunan sendiri sebenarnya merupakan nama lain dari RT 14. Setiap
RT
di Kelurahan Surade
memiliki
nama
sendiri-sendiri
yang
membedakannya dengan RT lain. Pemimpin di Kampung Batusuhunan ialah seorang Kepala RT. Selain Kepala RT, tokoh berpengaruh lainnya di Kampung Batusuhunan adalah tokoh adat/tokoh agama yang mengaku sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi. Tokoh adat sangat dipercaya oleh masyarakat setempat dalam setiap pengambilan keputusan. Sebelum adanya pengembangan lokasi “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”, Kampung Batusuhunan merupakan wilayah yang paling kurang terlihat perkembangannya di Kelurahan Surade. Hal ini dapat disebabkan lokasi Kampung Batusuhunan yang paling jauh dari pusat Kelurahan Surade. Masyarakat setempat merupakan masyarakat asli yang masih kental dengan adat istiadat setempat. Akan tetapi, hal ini tidak menjadikan masyarakat Kampung Batusuhunan menutup diri
37
terhadap modernitas. Masyarakat sangat menyambut dengan baik segala perubahan dan kemajuan yang datang dari luar, selama hal itu tidak keluar dari prinsip-prinsip Islam. Gaya hidup dan pergaulan masyarakat Kampung Batusuhunan sangat berpedoman dengan kaidah-kaidah Islam. Pergaulan antar lawan jenis, gaya berpakaian, gaya hidup, dan hal-hal lainnya sangat berpedoman pada ajaran Islam. Dengan ciri sosial-budaya yang demikian, maka dalam penelitian ini akan dideskripsikan bentuk-bentuk norma dan mitos yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan juga akan dianalisis persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata.
5.2 Bentuk-bentuk Norma dan Mitos di Kampung Batusuhunan Data kualitatif di lapangan menunjukkan masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat Islam yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam dan menerapkan dalam kesehariannya. Norma-norma dan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini masyarakat bersifat turun-temurun diperoleh dari para nenek moyang yang ada di Kampung Batusuhunan. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat asli yang sudah dari dulu mendiami kawasan tersebut, sehingga segala peraturan, norma dan mitos yang ada juga bersifat turuntemurun dan mendarah daging dalam diri masyarakat. Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa ditaati masyarakat karena sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama Islam. Norma-norma tersebut antara lain: 1. Norma untuk tidak membuang sampah sembarangan baik di Kampung Batusuhunan maupun Curug Cigangsa. 2. Norma yang melarang menebang pohon sembarangan. 3. Norma yang melarang meminum minuman keras/alkohol. 4. Norma yang melarang untuk menggunakan narkotika. 5. Norma yang melarang wanita dan pria yang bukan muhrim berdua-duaan di lokasi ekowisata. 6. Norma yang melarang untuk membuat bangunan mencurigakan di lokasi ekowisata.
38
7. Norma yang melarang untuk berada di lokasi Curug Cigangsa setelah pukul 5 sore. 8. Norma yang melarang untuk merusak/mengotori kawasan Curug Cigangsa. Kesemua norma tersebut ditaati dan dijadikan pedoman masyarakat dalam pengembangan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Norma-norma yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dibuat berdasarkan kaidah-kaidah Islam dan aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Norma-norma itu sendiri bermanfaat bagi kelestarian lingkungan Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa, dan juga bermanfaat untuk melestarikan kebudayaan masyarakat yang terkenal Islami dan masih menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur. Masyarakat Kampung Batusuhunan sendiri tidak ada yang keberatan dengan norma-norma yang telah ada sejak jaman dahulu tersebut. Masyarakat menganggap bahwa norma-norma yang telah ada merupakan hal baik dan harus terus dilestarikan. Hal-hal yang dilarang dalam norma dan dijadikan mitos tersebut merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Sehingga alasan mengapa norma dan mitos itu ada ialah karena masyarakat Kampung Batusuhunan mentaati, menghormati dan ingin menjalankan ajaran Islam. Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan merupakan norma-norma yang sudah ada sejak jaman leluhur. Norma-norma tersebut diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui nasihat-nasihat yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Norma-norma tersebut ditegakkan melalui pemberian sanksi kepada masyarakat yang melanggarnya. Sampai saat ini belum pernah ada masyarakat yang melanggar norma tersebut, tetapi melalui wawancara dengan informan kunci, bentuk sanksi yang akan diberikan kepada masyarakat jika ada yang melanggar antara lain ditegur, dinasihati dan bahkan ada yang akan dilaporkan pada pihak yang berwajib. Pengembangan kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata juga semakin membuat masyarakat melestarikan norma-norma yang ada. Normanorma yang telah disebutkan di atas tadi, juga ditunjang oleh beberapa mitos yang dipercaya masyarakat sekitar. Mitos ini sudah berkembang sejak jaman leluhur. Mitos-mitos yang dipercaya masyarakat antara lain:
39
1. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila ada yang berenang di Curug Cigangsa tanpa menggunakan pakaian, maka akan celaka. 2. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila mengambil foto secara sembarangan, maka akan muncul sosok anak kecil di dalam foto tersebut. 3. Terdapat mitos yang mengatakan, sering terdengar suara adzan dari lokasi Curug Cigangsa. 4. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila kita sembarangan bicara, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 5. Terdapat mitos yang mengatakan, apabila ada yang ingin meminum minuman keras di Curug Cigangsa, maka botol minuman tersebut akan jatuh dengan sendirinya. 6. Terdapat mitos yang mengatakan, batu yang ada di Batu Masigit, akan jatuh dan naik dengan sendirinya apabila di kawasan tersebut dijadikan tempat yang tidak sesuai dengan kaidah Islam. Kesemua mitos tersebut sudah ada sejak jaman leluhur. Mitos-mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dan diwariskan turun-temurun melalui pembicaraan dari mulut ke mulut antara orangtua kepada anaknya, antar tetangga, antar teman, dan lain-lain. Masyarakat setempat mempercayai adanya mitos ini dikarenakan sudah ada beberapa bukti nyata. Saat ini, berdasarkan mitos-mitos dan norma yang sudah ada, dapat dilihat bahwa kehidupan bermasyarakat yang terjadi di Kampung Batusuhunan tidak terlepas dari ajaran Islam. Semua norma dan mitos dibuat dan ada sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi pedoman bagi masyarakat. Masyarakat mempercayai norma dan mitos tersebut, karena sejalan dengan keinginan mereka dan kepercayaan mereka. Kampung Batusuhunan sendiri merupakan kampung dimana para Wali Songo sering melakukan pertemuan. Pertemuan dilakukan di lokasi Batu Masigit. Oleh sebab itu, Batu Masigit dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Berikut penuturan salah satu warga (APS/49 tahun) “… dahulu pernah Batu Masigit ada yang jatuh. Tidak terdengar bunyinya sama sekali tetapi tiba-tiba sudah ada di bawah. Keesokan harinya sudah naik lagi ke atas. Tidak ada yang tahu tiba-tiba sudah ada di atas lagi. Itu terjadi ketika Curug Cigangsa baru akan dibuka menjadi kawasan ekowisata…”
40
Selain mempercayai norma dan mitos yang ada, masyarakat juga akan memberikan sanksi terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan yang melanggar norma dan mitos tersebut. Terutama norma dan mitos yang berhubungan dengan kaidah Islam. Penegakan peraturan ini dilakukan oleh para tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Norma dan mitos tersebut semakin dilestarikan sebagai pendukung konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep dalam kegiatan ekowisata yang ada di Curug Cigangsa. Adanya norma-norma dan mitos tersebut, diharapkan dapat mencegah dampak negatif yang mungkin muncul dari pengembangan kawasan ekowisata di Curug Cigangsa.
5.3 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Mitos dan Norma 5.3.1
Pengetahuan Masyarakat terhadap Mitos dan Norma Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang masih menjunjung
tinggi kearifan lokal berupa norma-norma dan mitos-mitos yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya norma dan mitos, maka masyarakat lokal akan mampu meredam dampak negatif yang mungkin hadir dengan adanya ekowisata di Curug Cigangsa. Pada sub bab ini, dilihat hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan mitos dan norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan. Dengan asumsi bahwa adanya tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma, maka diharapkan masyarakat mampu dan siap terhadap datangnya ekowisata di Kampung Batusuhunan. Responden yang diteliti dibagi ke dalam tiga tingkat usia berdasarkan Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) dan berdasarkan jenis kelamin. Pembagian tersebut antara lain golongan usia muda yang berkisar antara usia 18 tahun-30 tahun, golongan umur menengah antara 31 tahun-50 tahun, dan golongan umur tua, yaitu lebih dari 51 tahun. Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dibagikan, maka dapat dilihat bahwa setiap tingkatan usia dan jenis kelamin memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang terdapat di lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Untuk lebih jelasnya, data dan persentase responden dapat dilihat pada Tabel 3.
41
Tabel 3. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Karakteristik Jenis Kelamin Tingkat Usia
Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma Rendah (%) Tinggi (%) Pria 0 100,0 Wanita 0 100,0 Muda 0 100,0 Menengah 0 100,0 Tua 0 100,0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Tingkat pengetahuan akan dikatakan tinggi apabila jumlah skor yang dihasilkan responden berkisar antara angka 16-20, sedangkan tingkat pengetahuan akan dikatakan rendah apabila jumlah skor yang dihasilkan responden berkisar antara angka 10-15. Skor tersebut ditentukan melalui perhitungan nilai maksimum dan minimum berdasarkan jawaban responden. Sebanyak 100 persen responden dari tiap tingkatan usia dan jenis kelamin memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang ada di Curug Cigangsa. Data tersebut menunjukkan sebanyak 100 persen responden sangat mengetahui mengenai norma-norma dan mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Responden merupakan masyarakat asli Kampung Batusuhunan, sehingga responden sangat mengetahui mengenai norma-norma dan mitos-mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. 2. Norma-norma dan mitos-mitos yang ada sangat berkaitan dengan aturan dan ajaran yang ada dalam agama Islam, sehingga responden yang 100 persen beragama Islam sudah sangat mengenal norma-norma tersebut sejak kecil. 3. Sebelum berkembang menjadi kawasan ekowisata, responden (masyarakat) Kampung Batusuhunan sudah sepakat akan mengembangkan konsep “Ekowisata Islami” sebagai bentuk ekowisata Curug Cigangsa. Konsep “Ekowisata Islami” sendiri akan dapat dilaksanakan apabila norma-norma yang sudah ada semakin dilestarikan dan dikembangkan menjadi aturan-aturan
42
ekowisata di Curug Cigangsa. Oleh sebab itu, responden semakin melestarikan mitos dan norma dalam rangka mengembangkan konsep “Ekowisata Islami”. 4. Segala bentuk norma dan mitos yang diberikan dalam kuesioner, merupakan norma dan mitos yang sudah ada sejak jaman leluhur, sehingga tingkat pengetahuan responden terhadap norma dan mitos tersebut sangat tinggi karena responden sudah sangat mengenal mitos dan norma tersebut sejak masih kecil. 5. Tingkat kedekatan antara masing-masing warga di Kampung Batusuhunan sangat tinggi, sehinga masing-masing individu sangat mengenal norma dan mitos yang ada melalui pembicaraan sehari-hari antar warga. Berdasarkan data pada Tabel 3, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh responden yang merupakan masyarakat asli Kampung Batusuhunan memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa baik jenis kelamin maupun tingkat usia tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat pengetahuan.
5.3.2 Sikap Masyarakat dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif Masyarakat Kampung Batusuhunan sebagai masyarakat yang mengelola ekowisata di Curug Cigangsa tentu saja memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan ekowisata tersebut. Pengembangan ekowisata yang tidak disiapkan dengan matang akan memunculkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut merupakan suatu hal yang sebisa mungkin harus dihindari, oleh karena itu dibutuhkan tindakan dari masyarakat sebagai pelaku utama dari kegiatan ekowisata. Sub bab ini melihat sikap apa yang akan ditunjukkan masyarakat ketika dampak negatif dari ekowisata muncul di “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”. Sikap yang ditunjukkan terbagi ke dalam tiga pilihan, antara lain mendukung adanya dampak negatif, diam saja, dan mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif. Responden dibagi ke dalam dua karakteristik, yaitu berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia.
43
Tabel 4. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Sikap dalam Menghadapi Kemungkinan Karakteristik Dampak Negatif Ekowisata Mencari Cara Mendukung Diam Saja Meminimalisir (%) (%) Dampak Negatif (%) Jenis Pria 0 0 100,0 Kelamin Wanita 0 0 100,0 Tingkat Muda 0 0 100,0 Usia Menengah 0 0 100,0 Tua 0 0 100,0
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sebanyak 100 persen masyarakat baik berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia memilih akan mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif ketika dampak negatif itu nanti muncul dalam “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”. Hal ini menunjukkan masyarakat sudah memahami bahwa dampak negatif merupakan suatu hal yang dapat mengancam keberlanjutan konsep “Ekowisata Islami”. Persentase angka 100 persen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Responden tidak ingin konsep “Ekowisata Islami” tidak mengalami keberlanjutan dan tidak ingin nantinya ekowisata di Curug Cigangsa hanya akan menjadi ekowisata seperti pada umumnya. 2. Responden sudah sangat memahami bahwa dampak negatif merupakan suatu hal yang harus dihindari dan dicari alternatif penyelesaiannya demi keberlanjutan ekowisata di Curug Cigangsa. Masyarakat sebagai aktor utama dalam pengembangan ekowisata sudah menyadari
bahwa
dampak
negatif
dari
ekowisata
harus
dicari
jalan
penyelesaiannya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat telah bersiap-siap menghadapi dampak negatif yang akan muncul. Mitos dan norma dijadikan salah satu upaya untuk mencegah dampak negatif dari ekowisata. Pada sub bab selanjutnya, akan dibahas mengenai sikap yang akan dilakukan masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma di Kampung Batusuhunan.
44
5.3.3 Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma Masyarakat Kampung Batusuhunan ialah masyarakat yang mengatur segala kegiatan yang ada di Curug Cigangsa. Hal ini yang menjadikan sikap masyarakat terhadap penegakan mitos dan norma sangat penting. Sikap masyarakat akan menentukan keberlangsungan konsep “Ekowisata Islami” yang ada di Curug Cigangsa. Pada penelitian ini, selain dilihat hubungan karakteristik masyarakat dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma, juga dilihat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat dilihat perbedaan jenis kelamin dan tingkat usia dalam memberikan pengaruh terhadap sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Masing-masing responden memiliki pendapat sendiri terhadap sikap apa yang akan mereka lakukan terhadap wisatawan yang melanggar norma dan mitos. Seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (LUK/18). “… apabila ada wisatawan yang melanggar norma-norma disini, saya mungkin hanya akan menegur, tetapi kalau sudah kelewatan seperti memakai narkoba, mungkin akan saya laporkan kepada pihak yang berwajib. Kalau hanya cara berpakaian mungkin saya akan diam saja…” Data dari 30 responden yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini akan disajikan dalam Tabel 5. Dalam tabel akan terlihat bagaimana hubungan jenis kelamin dan tingkat usia dengan sikap yang akan ditunjukkan masyarakat apabila terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang ada. Sebanyak 30 responden telah diberikan kuesioner yang berisi sembilan pertanyaan mengenai sikap apa yang akan responden ambil ketika norma-norma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dilanggar oleh wisatawan. Apabila sikap yang ditunjukkan masyarakat tergolong tinggi, maka masyarakat setempat menganggap mitos dan norma tersebut penting untuk dilestarikan, sedangkan apabila sikap yang ditunjukkan rendah, maka masyarakat setempat belum menganggap bahwa mitos dan norma yang ada di Kampung Batusuhunan penting sebagai salah satu upaya pencegahan dampak negatif.
45
Tabel 5. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Karakteristik Jenis Kelamin Tingkat Usia
Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Pria 0 93,3 6,7 Wanita 0 100,0 0 Muda 0 90,0 10,0 Menengah 0 100,0 0 Tua 0 100,0 0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data yang telah disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan hubungan antara tingkatan usia dan jenis kelamin dengan sikap yang ditunjukkan masyarakat apabila terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang terdapat di Curug Cigangsa yang telah disesuaikan dengan konsep “Ekowisata Islami”. Sikap masyarakat akan dikatakan “rendah” apabila skor yang dihasilkan berkisar antara angka 9-15, “sedang” apabila berkisar antara angka 16-22 dan “tinggi” apabila berkisar di angka 23-27. Sanksi yang “tinggi” dapat berupa pelaporan terhadap pihak yang berwajib atau sanksi-sanksi yang berat lainnya. Sikap yang “sedang”/sewajarnya ialah berupa teguran dan peringatan terhadap wisatawan. Sedangkan sikap “rendah” ialah ketika masyarakat hanya diam saja ketika ada wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Banyaknya persentase sikap “sedang” menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Batusuhunan masih dapat memberikan toleransi terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang berlaku disana. Sikap “rendah”, “sedang” dan “tinggi” yang ditunjukkan oleh responden tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Responden yang akan menunjukkan sikap “tinggi” memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi akan masuknya pengaruh dari luar ke dalam lingkungan Kampung Batusuhunan dikarenakan responden merasa sikap masyarakat masih dapat berubah-ubah, yang nantinya dianggap akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang sebelumnya sangat Islami. Responden pada golongan usia muda yang akan memberikan sikap “tinggi” juga memiliki emosi yang masih lebih berapi-api dibandingkan responden yang sudah lebih dewasa dikarenakan masih terbawa jiwa muda, sehingga ketika ditanyakan
46
apa tindakan yang akan diambil apabila terdapat wisatawan yang melanggar, maka responden golongan usia muda tersebut akan memberikan sikap yang lebih tegas kepada para wisatawan. Terdapat angka 6,7 persen yang menunjukkan sikap “tinggi” pada salah satu responden pria, hal
ini
disebabkan responden pria memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan dengan responden wanita. Sifat wanita yang lebih mementingkan perasaan seseorang mempengaruhi bentuk tindakan yang diambil ketika terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. 2. Responden yang memberikan sikap yang “sedang” percaya bahwa masyarakat Kampung Batusuhunan tidak akan dengan mudahnya terpengaruh dengan segala hal negatif yang dibawa oleh wisatawan ke dalam lingkungan mereka karena masyarakat sudah memiliki mitos dan norma yang membentuk prinsip yang kuat. Responden pada golongan usia menengah dan usia tua beranggapan bahwa wisatawan memiliki privasi sendiri dimana masyarakat setempat tidak dapat bertindak dengan cara yang berlebihan (masih ada batasan) ketika wisatawan tersebut melanggar norma dan mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (ZAE/63 tahun). “… saya hanya akan menegur masyarakat apabila ada yang melanggar norma yang ada. Hal ini dikarenakan saya yakin wisatawan akan faham kalau sudah ditegur satu kali, sehingga tidak perlu memberikan sanksi lebih …”
Sikap “sedang” pada responden wanita juga disebabkan responden wanita masih menghargai wisatawan yang datang dengan segala kebudayaan dan kebiasaannya yang berbeda-beda yang seringkali bertolak belakang dengan norma-norma yang dilestarikan masyarakat setempat. Sehingga sikap yang ditunjukkan masih cenderung wajar yang hanya berupa teguran dan peringatan yang dinilai sudah cukup untuk mencegah pelanggaran mitos dan norma untuk kedua kalinya. 3. Angka 0 persen pada sikap “rendah” menunjukkan baik pada responden pria dan wanita kemungkinan untuk mengikuti dan terpengaruh oleh sikap-sikap
47
wisatawan yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan sekitar memiliki kemungkinan yang sangat kecil dikarenakan responden yakin akan prinsip masing-masing yang masih sangat menjunjung tinggi norma yang ada. Sikap responden akan tergolong “rendah” apabila responden diam saja dan bahkan mengikuti ketika wisatawan bertindak sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (DAS/35 tahun). “… kalau kami mengikuti tingkah laku wisatawan yang buruk, itu tidak akan mungkin. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat masih menjunjung tinggi norma-norma yang dilestarikan selama ini …”
Berdasarkan data pada Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa sikap yang akan ditunjukkan masyarakat setempat apabila terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang ada sudah cukup tegas karena sebagian besar masyarakat akan memberikan teguran terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Hal ini cukup memperlihatkan bahwa masyarakat sudah menganggap pelanggaran mitos dan norma itu merupakan hal yang penting untuk ditegakkan.
5.4
Ikhtisar Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata akan memberikan
banyak dampak. Dampak tersebut disebabkan masuknya pengaruh dari luar ke dalam lingkungan masyarakat setempat. Dampak positif merupakan hasil yang diharapkan dari pengembangan kawasan ini, akan tetapi dampak negatif juga memiliki kemungkinan untuk muncul apabila masyarakat sekitar tidak siap dan tidak memiliki penangkal dampak negatif tersebut. Norma dan mitos dapat dijadikan salah satu cara untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan ekowisata. Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma akan menentukan keberlangsungan mitos dan norma tersebut sebagai landasan konsep “Ekowisata Islami”. Berdasarkan data yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Masyarakat Kampung Batusuhunan sangat menghargai dan menghormati segala norma-norma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan juga Curug Cigangsa. Norma-norma dan mitos-mitos sudah ada sejak jaman leluhur dan semakin dilestarikan ketika Curug Cigangsa dibuka menjadi
48
kawasan ekowisata. Hal ini disebabkan masyarakat lokal tidak menginginkan terjadinya perubahan budaya akibat datangnya wisatawan. 2. Tingkatan usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat Kampung Batusuhunan sangat memahami dan mengetahui normanorma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Norma-norma dan mitos yang sudah ada sejak jaman dahulu dijadikan pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari, dan juga sebagai pedoman dalam pengembangan dan pelaksanan kegiatan ekowisata di Curug Cigangsa. 3. Pengembangan
kawasan
ekowisata
menyebabkan
ada
kemungkinan
munculnya dampak negatif bagi masyarakat dan lokasi ekowisata. Dampak negatif sebisa mungkin harus dihindari. Hal ini menjadikan 100 persen responden menjawab akan mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif yang berkemungkinan muncul dari pengeembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. 4. Sikap yang ditunjukkan masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma cukup berbeda berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Responden yang berasal dari golongan usia muda akan memberikan sikap yang “tinggi” apabila terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Sikap yang “tinggi” ditunjukkan dengan pemberian sanksi terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Pada golongan usia menengah dan tua, hasil data di lapangan menunjukkan bahwa golongan usia ini akan memberikan sikap yang “sedang”/wajar terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang ada. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 6,7 persen responden pria menjawab akan memberikan sikap yang “tinggi”, dan sebanyak 93,3 persen menjawab akan memberikan sikap “sedang”. Pada responden wanita, sebanyak 100 persen responden menjawab akan menunjukkan sikap yang “sedang”/wajar terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma.
49
BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN EKOWISATA 6.1
Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa Mulai tahun 2012, Curug Cigangsa telah dibuka menjadi daerah tujuan
wisata. Diduga akan terjadi friksi-friksi sosial dengan dibukanya tempat tujuan wisata tersebut. Dalam sub bab ini, dilihat bagaimana persepsi masyarakat atas pengembangan kawasan ekowisata tersebut. Khususnya apakah secara sosial masyarakat lokal siap menghadapi friksi dan konsekuensi atas hadirnya sebuah kawasan wisata. Hal-hal yang diukur dalam sub bab ini ialah persentase masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan dibukanya kawasan ekowisata berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin. Curug Cigangsa merupakan salah satu tempat ekowisata yang terdapat di Kabupaten Sukabumi. Seperti kebanyakan ekowisata di Kabupaten Sukabumi lainnya, ekowisata Curug Cigangsa juga menawarkan keindahan alam dan beberapa keunikan yang membedakannya dengan lokasi ekowisata lainnya. Keunikan tersebut antara lain munculnya konsep “Ekowisata Islami”. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang telah diajukan kepada seluruh responden dan satu informan kunci, awal mulanya pencetusan ide untuk membuka lokasi Curug Cigangsa menjadi kawasan ekowisata, dilakukan oleh PLP-BK. Pencetusan ide ini pada awal mulanya tidak mendapat sambutan hangat dari masyarakat Kampung Batusuhunan. Masyarakat tidak setuju apabila Curug Cigangsa dijadikan obyek wisata. Setelah dua tahun berlalu sejak dicetuskannya ide ini, maka masyarakat Kampung Batusuhunan diwakili oleh tokoh adat yang dipercaya masyarakat menyetujui ide yang dicetuskan oleh PLP-BK. Persetujuan ini juga diikuti oleh beberapa syarat yang diajukan masyarakat. Syarat tersebut antara lain untuk mengangkat konsep “Ekowisata Islami” menjadi konsep ekowisata Curug Cigangsa, dan ikut melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan dan pengelolaan lokasi ekowisata. Seperti yang dikemukakan oleh informan kunci (HBY/70 tahun).
50
“... kami setuju untuk menjadikan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata dengan dua syarat, yaitu memakai konsep “Ekowisata Islami” dan yang mengerjakan harus masyarakat setempat. Ini dikarenakan, dengan memakai nama Islami, maka diharapkan segala kegiatan di Curug Cigangsa tidak akan keluar dan kaidah-kaidah Islam ...” Hampir semua responden menjawab awalnya mereka tidak setuju dengan dibukanya Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata. Akan tetapi, dengan adanya konsep “Ekowisata Islami”, sebagian besar responden yakin bahwa dibukanya lokasi ekowisata Curug Cigangsa tidak akan/hanya akan memberikan dampak negatif yang kecil terhadap masyarakat dan lingkungan. Berikut ini adalah jumlah responden yang setuju dan tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata saat ini berdasarkan data yang telah diambil di lapangan. Jumlah dan persentase responden yang setuju dan tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata dibagi berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Data yang telah diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Karakteristik Jenis Kelamin Tingkat Usia
Pria Wanita Muda Menengah Tua
Persepsi terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Setuju (%) Tidak Setuju (%) 80,0 20,0 86,7 13,3 90,0 10,0 80,0 20,0 80,0 20,0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pria yang tidak setuju dengan pengembangan kawasan saat ini lebih tinggi dari jumlah wanita yang tidak setuju. Sehingga jumlah responden yang setuju dengan pengembangan ekowisata lebih banyak responden wanita daripada responden pria. Akan tetapi, sebagian besar responden menyetujui pengembangan kawasan ini menjadi kawasan ekowisata. Data-data tersebut dapat disebabkan beberapa hal, antara lain : 1. Responden wanita cenderung lebih mengikuti keputusan dari pusat selama itu dinilai tidak merugikan mereka. Sehingga ketika dicetuskannya ide untuk
51
membuka kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, lebih banyak responden wanita yang setuju dibandingkan dengan responden pria. Hal ini disebabkan peran wanita dalam masyarakat Kampung Batusuhunan kurang dianggap dan tidak terlalu terlihat dibandingkan peran pria. 2. Lebih banyak responden pria yang tidak setuju dengan pengembangan kawasan dibandingkan dengan responden wanita dikarenakan responden pria masih memiliki tingkat ketakutan yang lebih akan munculnya kemungkinan dampak negatif dari ekowisata terhadap kehidupan masyarakat setempat dibandingkan responden wanita. Hal ini disebabkan responden pria khawatir kebudayaan Islami yang selama ini dijalankan di Kampung Batusuhunan akan luntur akibat pengaruh dari luar dan nantinya dapat merubah gaya hidup masyarakat. 3. Responden di Kampung Batusuhunan sudah yakin terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa dengan konsep “Ekowisata Islami”. Sehingga ketika kawasan ini sudah direncanakan untuk dibuka, lebih banyak responden yang setuju. Sedangkan berdasarkan tingkatan usia, golongan usia menengah dan tua yang saat ini tidak setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa lebih banyak dibandingkan responden yang berasal dari golongan usia muda. Hal ini dapat disebabkan: 1. Responden pada golongan usia menengah dan tua lebih takut akan kemungkinan munculnya dampak negatif dari kegiatan ekowisata terhadap kehidupan masyarakat Kampung Batusuhunan. Responden pada golongan usia menengah dan tua tidak ingin kehidupan masyarakat yang selama ini sangat Islami menjadi mengikuti gaya hidup wisatawan yang datang dari berbagai tempat. 2. Responden pada golongan usia muda lebih setuju dengan pengembangan kawasan dikarenakan golongan usia muda memiliki kepercayaan bahwa pengembangan kawasan ekowisata ini akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Responden pada golongan usia muda lebih sering mengunjungi tempat-tempat lain di luar Kampung
52
Batusuhunan dan sampai saat ini hal itu tidak merubah gaya hidup mereka yang sangat Islami. Berdasarkan data kualitatif, responden yang setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata memiliki beberapa alasan, antara lain : a. Kampung Batusuhunan akan lebih maju dengan adanya pengembangan kawasan ekowisata. b. Pendapatan masyarakat setempat akan meningkat. c. Terbukanya lapangan pekerjaan baru. d. Semakin banyaknya wisatawan yang mengunjungi Curug Cigangsa. e. Infrastruktur semakin lengkap karena mendapat bantuan dana dari pemerintah. Sedangkan ketidaksetujuan warga disebabkan ketakutan akan berubahnya fungsi Curug Cigangsa yang awalnya hanya untuk tempat wisata menjadi tempat untuk berbuat hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti yang diutarakan oleh salah satu warga yang tidak setuju (MRH/46 tahun). “… saya tidak setuju karena saya takut nantinya Curug Cigangsa akan dijadikan tempat mesum oleh para wisatawan. Tapi setelah dibangun, mau bagaimana lagi. Saya harus menerima karena lebih banyak yang setuju …”
Setelah mendapat persetujuan dari masyarakat dan dana dari pemerintah kabupaten sudah turun, pembangunan infrastruktur mulai dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal ini merupakan salah satu bentuk dukungan yang dilakukan masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa. Pembangunan infrastruktur berfokus pada pembangunan jalan setapak dan tangga-tangga kecil di Curug Cigangsa yang nantinya akan memudahkan wisatawan. Masyarakat juga membangun tempat pembuangan sampah akhir yang terdiri dari tiga bagian dan juga penyediaan tempat sampah kecil di beberapa lokasi di Curug Cigangsa. Untuk kenyamanan wisatawan, masyarakat juga membuat tiga tempat untuk beristirahat yang terbagi di beberapa lokasi di Curug Cigangsa. Toilet untuk wisatawan juga sudah tersedia dengan jumlah dan kondisi yang cukup memadai. Pembukaan kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata telah membawa pengaruh, baik terhadap kondisi kampung dan Curug Cigangsa sendiri. Jalan di curug yang tadinya cukup terjal, kini sudah nyaman untuk dilewati.
53
Masyarakat menggunakan nama “Ekowisata Islami” sebagi konsep ekowisata agar segala peraturan dan pedoman dalam pengembangannya didasarkan kaidahkaidah dan ketentuan-ketentuan yang diajarkan Islam sehingga diharapkan semua wisatawan yang datang dan berkunjung ke Curug Cigangsa, akan menghormati norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Hal ini bertujuan agar segala dampak negatif yang biasanya timbul dari pengembangan kawasan ekowisata, seperti perubahan gaya hidup dan berpakaian masyarakat, lunturnya kebudayaan, perubahan orientasi hidup masyarakat, dan dampak negatif lainnya dapat dihindari. Hal ini membuktikan masyarakat setempat sudah dapat mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif dan sudah dapat melihat kemungkinan dampak positif dari ekowisata. Oleh karena itu, pada sub bab selanjutnya akan dilihat persepsi masyarakat terhadap dampak ekowisata.
6.2
Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Ekowisata
6.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kemungkinan Dampak Negatif Ekowisata Curug Cigangsa merupakan kebanggaan masyarakat Kampung Batusuhunan. Dengan dibukanya kawasan ini menjadi kawasan ekowisata, masyarakat mulai merasakan dampak positif yang didapatkan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat antara lain, terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat setempat, peningkatan pendapatan kampung dan masyarakat, kemajuan Kampung Batusuhunan, lingkungan yang semakin lestari dan kebudayaan yang semakin lestari. Hal ini disebabkan, dengan adanya lokasi ekowisata Curug Cigangsa, masyarakat sebagai pengelola dan penanggung jawab kawasan mendapatkan lahan pekerjaan baru. Masyarakat dapat menjadi tour guide, penyedia jasa catering, penjaga loket tiket, dan lain-lain. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu responden (APS/49 tahun) “… uang tiket sebesar Rp. 2000,- /tiket akan dimasukkan ke dalam kas kampung. Uang ini akan dipakai untuk pengelolaan. Apabila ada yang memakai jasa guide sebesar Rp. 25.000,- , sebanyak 20 persen akan disumbangkan ke dalam uang kas. Uang kas ini nantinya akan dibagi kepada seluruh KK (33 KK) pada saat Idul Fitri…”
54
Walaupun sampai saat ini baru dampak positif yang dirasakan masyarakat, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan kawasan menjadi kawasan ekowisata akan menimbulkan dampak negatif. Dalam masyarakat Kampung Batusuhunan, hal ini belum terlalu dirasakan karena pembukaan lokasi ekowisata Curug Cigangsa ini sendiri masih terbilang baru. Dampak negatif tersebut biasanya dapat berupa lunturnya kebudayaan, perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang mengikuti perilaku wisatawan dan kerusakan lingkungan di sekitar kawasan ekowisata akibat banyaknya orang luar yang masuk dan tidak menjaga lingkungan kawasan ekowisata. Data persentase responden yang menjawab ada atau tidaknya kemungkinan dampak negatif dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Kemungkinan Dampak Negatif dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Kemungkinan Dampak Negatif Ada Dampak Tidak Ada Belum Dapat Negatif (%) Dampak Terlihat (%) Negatif (%) Jenis Pria 46,7 33,3 20,0 Kelamin Wanita 33,3 66,7 0 Tingkat Muda 50,0 40,0 10,0 Usia Menengah 50,0 40,0 10,0 Tua 20,0 70,0 10,0 Karakteristik
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data pada Tabel 7 menunjukkan responden yang berpendapat bahwa akan muncul dampak negatif dari pengembangan ekowisata lebih banyak jumlah responden pria dibandingkan wanita, dan responden yang termasuk ke dalam golongan usia muda dan menengah. Perbedaan persepsi para responden ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Responden yang menjawab bahwa akan ada dampak negatif dari ekowisata beranggapan dalam suatu kegiatan ekowisata yang menjadikan kawasan tertentu terbuka aksesnya dengan dunia luar akan membuat banyaknya pengaruh luar masuk ke dalam kawasan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebiasaan juga tata cara hidup masyarakat setempat.
55
2. Responden yang menjawab bahwa tidak akan ada dampak negatif yang muncul dalam ekowisata Curug Cigangsa disebabkan masyarakat sangat percaya diri dan yakin bahwa mereka tidak akan mengikuti sikap dan perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan tradisi setempat. Mereka juga menganggap bahwa konsep “Ekowisata Islami” sudah pasti akan mencegah kemungkinan dampak negatif, karena para wisatawan dengan sendirinya akan mematuhi dan mengikuti peraturan dan kebiasaan yang ada di Kampung Batusuhunan. 3. Responden lainnya yang menjawab kemungkinan ada tidaknya dampak negatif belum dapat terlihat disebabkan lokasi ekowisata belum teralu lama dibuka dan belum terlalu banyak wisatawan yang datang. Masyarakat dan tokoh agama yang ada di Kampung Batusuhunan sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan dampak negatif yang akan muncul dari kegiatan wisata. Seperti yang dituturkan oleh tokoh adat Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun). “… menurut saya dampak negatif itu akan ada, seperti perubahan pada masyarakat kampung sini. Tetapi, kami sudah mencoba untuk menghindari dampak negatif tersebut dengan cara memberikan peraturan yang ketat dan memberikan ceramah agama bagi masyarakat Kampung Batusuhunan. Apabila ada warga setempat yang ketahuan mabuk-mabukan atau memakai narkoba, maka kami akan memberikan sanksi keras. Konsep “Ekowisata Islami” ini juga diharapkan dapat menjadi pencegah munculnya dampak negatif tersebut ...”
Berdasarkan penuturan tokoh adat Kampung Batusuhunan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat sudah mengantisipasi kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. Antisipasi dilakukan melalui persiapan diri yang semakin matang sehingga masyarakat tidak akan terpengaruh dengan budaya dari luar yang dibawa wisatawan. Pada sub bab selanjutnya akan dilihat seperti apa persepsi masyarakat terhadap proporsi dampak yang dihasilkan dari kegiatan ekowisata. 6.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Proporsi Dampak Ekowisata Kegiatan ekowisata yang dilaksanakan di Kampung Batusuhunan merupakan suatu kegiatan yang baru saja berjalan. Hal ini menyebabkan dampakdampak yang dihasilkan dari ekowisata baik itu dampak positif maupun negatif
56
belum dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi, masyarakat sebagai pengelola kawasan dan menjadi aktor utama dalam kegiatan ekowisata sudah dapat meramalkan mengenai akan ada atau tidaknya dampak negatif dari ekowisata dan sebesar apa dampak negatif itu akan muncul dibandingkan dengan kemunculan dampak positif dari ekowisata. Hal ini disebabkan masyarakat setempat merupakan aktor yang paling mengenal kawasan Kampung Batusuhunan berikut tata cara atau kebiasaan hidup masyarakat setempat yang akan sangat berpengaruh terhadap kemunculan dampak ngetaif dari ekowisata. Data pada Tabel 8 akan menjelaskan proporsi dampak ekowisata yang akan muncul menurut masyarakat setempat. Tabel 8. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Proporsi Dampak Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Proporsi Dampak Ekowisata Karakteristik > Negatif Seimbang > Positif Belum (%) (%) (%) Tahu (%) Jenis Pria 0 6,7 80,0 13,3 Kelamin Wanita 0 0 100,0 0 Tingkat Muda 0 0 100,0 0 Usia Menengah 0 10,0 80,0 10,0 Tua 0 0 90,0 10,0
Total (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa persentase jumlah responden yang paling banyak ialah responden yang beranggapan bahwa dampak positif yang akan muncul lebih besar dibandingkan dampak negatif. Sebanyak 6,7 persen (pria) dan 10 persen (golongan usia menengah) beranggapan bahwa dampak yang akan muncul seimbang antara dampak positif dan negatif. Sedangkan 13,3 persen (pria) dan 10 persen (golongan usia menengah dan tua) beranggapan bahwa dampak ekowisata yang akan muncul belum dapat terlihat mengingat ekowisata Curug Cigangsa merupakan ekowisata yang baru saja berkembang. Angka-angka pada persentase tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain : 1. Responden yang beranggapan bahwa dampak positif yang akan muncul lebih besar dibandingkan dampak negatif ialah responden yang yakin dan percaya bahwa konsep “Ekowisata Islami” dapat menjadi pencegah munculnya dampak negatif dari ekowisata. Sehingga ekowisata di Curug Cigangsa akan
57
memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat juga kawasan Kampung Batusuhunan. 2. Responden yang beranggapan dampak positif dan negatif yang akan muncul seimbang
merupakan
responden
yang
menganggap
bahwa
dalam
pengembangannya suatu ekowisata akan memunculkan dampak yang beraneka ragam baik itu positif dan negatif, sehingga responden merasa akan sulit untuk menghindari dampak negatif tersebut. 3. Angka 0 persen pada pilihan “lebih besar dampak negatif” disebabkan saat ini responden
sudah
dapat
merasakan
dampak
positif
dari
ekowisata
dibandingkan dengan dampak negatif. Dampak positif tersebut antara lain peningkatan pendapatan dan terbukanya lapangan pekerjaan. Proporsi dampak ekowisata yang telah dijelaskan di Tabel 8 keberadaannya tidak terlepas dari adanya konsep “Ekowisata Islami” sebagai konsep ekowisata yang dikembangkan di Kampung Batusuhunan. Pada sub bab selanjutnya akan dilihat bagaimana pendapat responden mengenai konsep ekowisata Islami sebagai salah satu upaya pencegahan kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 6.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Konsep Ekowisata Islami Konsep ekowisata yang dikembangkan di Curug Cigangsa ialah konsep “Ekowisata Islami”. Ekowisata Islami tersebut ialah suatu bentuk kegiatan ekowisata yang dalam penegakan peraturannya berlandaskan kaidah-kaidah Islam dan berpedoman pada ajaran Islam. Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, konsep ekowisata ini merupakan konsep ekowisata yang diajukan oleh masyarakat setempat sebagai syarat pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Konsep ekowisata ini digunakan dengan harapan agar dampakdampak negatif dari ekowisata dapat dihindari, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua responden beranggapan bahwa konsep ekowisata Islami ini dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif. Angka-angka persentase pendapat responden dapat dilihat pada Tabel 9.
58
Tabel 9. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Persepsi terhadap Konsep Ekowisata Islami sebagai Pencegah Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Konsep Ekowisata Islami sebagai Pencegah Dampak Negatif Ekowisata Dapat (%) Tidak Dapat (%) Pria 93,3 6,7 Wanita 100,0 0 Muda 90,0 10,0 Menengah 100,0 0 Tua 100,0 0
Karakteristik
Jenis Kelamin Tingkat Usia
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Pada Tabel 9 dapat dilihat persentase responden yang beranggapan bahwa konsep ekowisata Islami dapat/tidak dapat menjadi pencegah kemungkinan dampak negatif. Persentase responden yang menganggap bahwa konsep ekowisata Islami tidak dapat mencegah kemungkinan munculnya dampak negatif hanya sebagian kecil dari jumlah seluruh responden. Hal ini disebabkan, : 1. Sebagian besar responden sudah yakin bahwa konsep ekowisata Islami yang diajukan oleh mereka sebagai syarat pengembangan ekowisata dapat menjadi salah satu jalan keluar dalam mencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 2. Sebagian kecil responden yang menjawab bahwa konsep ekowisata Islami belum dapat menjadi pencegah munculnya ekowisata beranggapan bahwa dalam pengembangannya suatu kegiatan ekowisata akan memunculkan dampak positif dan negatif dalam satu paket, sehingga akan sulit untuk mencegah munculnya dampak negatif tersebut. Persepsi masyarakat terhadap konsep ekowisata ini merupakan suatu hal penting mengingat masyarakat merupakan aktor utama dari pengembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Pada bab selanjutnya akan dilihat bagaimana hubungan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata.
59
6.3
Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Pengembangan Ekowisata
dengan
Persepsi
Masyarakat
Mitos dan norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan, oleh masyarakat setempat dijadikan suatu landasan dalam pengembangan konsep “Ekowisata Islami” di Kampung Batusuhunan. Mitos dan norma tersebut merupakan tata cara dan kebiasaan hidup masyarakat setempat yang berpedoman pada kaidah Islam dan sudah dilestarikan sejak jaman leluhur. Masyarakat setempat sebagai pengelola kawasan ekowisata sejak awal pembukaan hingga pengelolaannya saat ini menjadikan pendapat masyarakat setempat terhadap pengembangan kawasan sangat penting untuk diteliti. Pada sub bab ini akan dilihat hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat
terhadap
pengembangan
kawasan
ekowisata
di
Kampung
Batusuhunan. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata.
Tabel 10. Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos-norma dan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012
Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos-norma Rendah Tinggi
Persepsi terhadap Pengembangan Ekowisata Setuju (%) Tidak Setuju (%) 0 0 83,3 16,7
Total (%) 0 100,0
Pada Tabel 10, dapat dilihat persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata. Berdasarkan tabel hubungan antara karakteristik masyarakat dengan tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma (pada hal. 41), semua responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma. Sehingga pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa tidak ada responden yang menempati kolom “tingkat pengetahuan rendah”. Persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi terhadap mitos dan norma sebanyak 83,3 persen menyetujui adanya ekowisata di Kampung
60
Batusuhunan saat ini, dan 16,7 persen lainnya tidak setuju. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain: 1. Responden yang setuju merupakan responden yang menganggap bahwa adanya ekowisata di wilayah mereka akan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat juga bagi lingkungan setempat. 2. Responden yang tidak setuju merupakan responden yang masih merasa khawatir bahwa konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep ekowisata belum dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif ekowisata. Tabel 10 menunjukkan bahwa walaupun responden tersebut memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma tidak berarti responden tersebut yakin bahwa mitos dan norma yang ada dapat menjadi pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. 6.4
Ikhtisar Pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa tidak terlepas dari
pengaruh dan dukungan warga setempat. Persepsi dan penilaian masyarakat sangat penting dalam pengembangan kawasan ini. Berdasarkan hasil yang didapatkan di lapangan, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pengembangan ekowisata Curug Cigangsa pada awalnya tidak mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat dan para tokoh yang ada di Kampung Batusuhunan. Akan tetapi akhirnya pengembangan kawasan ini disetujui dengan syarat bentuk ekowisata yang ditawarkan di Curug Cigangsa adalah “Ekowisata Islami”. Konsep “Ekowisata Islami” yang ditawarkan di Curug Cigangsa bukanlah ekowisata religius, tetapi ekowisata yang kesemua peraturan dan pedoman dalam pembangunan dan pelaksanaannya didasarkan pada kaidah-kaidah dan aturan yang diajarkan agama Islam. Berdasarkan data yang diambil di lapangan, sebanyak 80 persen pria setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata, sedangkan 20 persen lainnya tidak setuju dan terpaksa mengikuti keputusan. Pada wanita, sebanyak 86,7 persen wanita setuju dengan rencana pengembangan dan 13,3 persen sisanya tidak setuju terhadap rencana pengembangan kawasan ekowisata. Jumlah tersebut didapat berdasarkan hasil kuesioner yang dibagi menurut jenis kelamin. Berdasarkan
61
pembagian tingkat usia, responden dibagi menjadi tiga golongan, dan didapatkan hasil bahwa pada golongan usia muda, responden lebih banyak yang setuju dengan pengembangan kawasan dibandingkan responden yang tidak setuju dengan perbandingan 90 persen setuju dan 10 persen tidak setuju. Pada golongan usia menengah dan tua, sebanyak 80 persen responden setuju dengan rencana pengembangan dan 20 persen lainnya tidak setuju. 2. Dalam pengembangannya, ekowisata di Curug Cigangsa akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi lingkungan dan juga masyarakat. Dampak positif dapat berupa peningkatan pendapatan, terbukanya lapangan pekerjaan, dan kemajuan Kampung Batusuhunan. Dampak positif ini sudah dapat dirasakan oleh masyarakat setempat, sedangkan dampak negatif belum dapat dirasakan langsung. Sebanyak 40 persen responden mengatakan bahwa dampak negatif berkemungkinan muncul ketika kawasan ini semakin berkembang nanti. Sedangkan 50 persen lainnya menjawab tidak akan ada dampak negatif yang akan muncul dikarenakan konsep “Ekowisata Islami” yang dipakai di Curug Cigangsa. Sebanyak 10 persen lainnya menjawab kemungkinan muncul atau tidaknya dampak negatif belum dapat terlihat dan belum dapat di prediksi mengingat lokasi ekowisata ini baru saja dikembangkan. 3. Hampir seluruh responden berpendapat bahwa konsep “Ekowisata Islami” yang digunakan sebagai konsep ekowisata di Kampung Batusuhunan dapat dijadikan pencegah kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. Sebagian besar responden juga berpendapat bahwa dampak positif akan memberikan proporsi yang lebih besar dibandingan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat Kampung Batusuhunan.
62
BAB VII HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN EKOWISATA 7.1
Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata tentu saja akan
menumbuhkan harapan dalam diri masyarakat agar ekowisata tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan masyarakat juga lingkungan setempat. Pada penelitian ini harapan masyarakat dibagi menjadi tiga sektor, antara lain sektor ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Sub bab ini akan melihat hubungan antara karakteristik masyarakat yang terdiri dari jenis kelamin dan tingkat usia dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Persentase responden dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Harapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Harapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata Ekonomi Ekologi Sosial Budaya (%) (%) (%) Pria 75,0 10,0 15,0 Wanita 77,8 16,7 5,5 Muda 71,4 14,3 14,3 Menengah 64,3 21,4 14,3 Tua 100,0 0 0
Karakteristik
Jenis Kelamin Tingkat Usia
Total (%)
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa jumlah persentase responden terbesar berada pada sektor ekonomi. Sedangkan untuk sektor ekologi dan sosial budaya, jumlah persentase responden tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain : 1. Responden merupakan masyarakat asli Kampung Batusuhunan yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Pendapatan masyarakat dalam bidang pertanian dianggap oleh masyarakat setempat belum cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sehingga adanya ekowisata diharapkan dapat menambah pendapatan masyarakat.
63
2. Curug (air terjun) Cigangsa merupakan kekayaan alam yang sebelumnya masih sangat alami. Sehingga masyarakat berharap dengan adanya ekowisata, maka Curug Cigangsa akan semakin dilestarikan dan mendapatkan perbaikan di jalan-jalan menuju lokasi curug. 3. Responden berharap dengan adanya ekowisata, maka kebudayaan Islam yang dimiliki oleh masyarakat setempat akan semakin dilestarikan. Harapan responden baik berdasarkan jenis kelamin maupun tingkat usia, lebih banyak berada pada sektor ekonomi dibandingkan pada sektor ekologi dan sosial budaya. Pada bab selanjutnya, akan dilihat hubungan antara sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata. 7.2
Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma dengan Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata Mitos dan Norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan dilestarikan
sebagai pedoman dalam mengelola ekowisata Islami di Curug Cigangsa. Wisatawan yang datang merupakan orang luar yang sebelumnya tidak mengetahui mitos dan norma tersebut, sehingga akan besar kemungkinan wisatawan tersebut melanggar mitos dan norma yang selama ini dilestarikan. Sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma merupakan salah satu upaya pencegahan dampak negatif yang dipengaruhi oleh tingkah laku wisatawan. Pada sub bab ini dilihat bagaimana hubungan sikap masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma dengan harapan masyarakat dalam pengembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Data yang telah diperoleh dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase Responden berdasarkan Sikap dan Harapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Sikap Rendah Sedang Tinggi Total
Harapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata Ekonomi (%) Ekologi (%) Sosial Budaya (%) 0 0 0 73,8 10,5 10,5 2,6 2,6 0
Total (%) 0 94,8 5,2 100,0
64
Pada Tabel 12, dapat dilihat bahwa sebanyak 94,8 persen responden yang memiliki sikap sedang
memiliki
harapan yang
berbeda-beda terhadap
pengembangan kawasan ekowisata dengan jumlah terbesar berada pada sektor ekonomi. Sedangkan pada sikap responden yang “tinggi”, tidak ada responden yang memiliki harapan pada sektor sosial budaya dan hanya memilih sektor ekonomi dan ekologi. Hal ini disebabkan, : 1. Sebagian besar responden akan menunjukkan sikap “sedang” terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma dan sebagian besar responden tersebut mengingkan adanya peningkatan dalam bidang ekonomi dari dibukanya kawasan ekowisata dikarenakan kondisi masyarakat yang selama ini hanya bergantung pada bidang pertanian. 2. Responden yang akan menunjukkan sikap “tinggi” hanya sebagian kecil dari jumlah keseluruhan responden dan merepresentasikan masyarakat yang menginginkan adanya peningkatan ekonomi
juga perbaikan ekologi
dibandingkan dengan pelestarian sosial budaya. Hal ini disebabkan responden menganggap bahwa Kampung Batusuhunan kurang maju baik dalam bidang ekonomi juga dalam bidang infrastruktur dibandingkan dengan kampung lainnya di Kelurahan Surade. Tabel 12 menunjukkan bahwa walaupun sikap yang akan ditunjukkan responden terhadap pelanggaran mitos dan norma itu tinggi dikarenakan ketakutan akan masuknya dampak negatif, akan tetapi harapan responden tetap berada pada sektor ekonomi. Pada sub bab selanjutnya, akan dilihat hubungan antara harapan masyarakat dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata. Hal ini dikarenakan penelitian ini juga ingin melihat harapan masyarakat terhadap aspek yang mana yang mendorongnya untuk menyetujui pengembangan kawasan ekowisata. 7.3
Hubungan Harapan Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata
dengan
Persepsi
Masyarakat
Masyarakat sebagai aktor utama dalam pengembangan kawasan dimulai dari persetujuan akan ide dibukanya kawasan Curug Cigangsa menjadi kawasan ekowisata hingga pengelolaan ekowisata itu sendiri tentu saja didorong oleh harapan dari masyarakat yang berbeda-beda tiap individu. Masing-masing
65
masyarakat memiliki keinginan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing. Pada Tabel 13, akan dilihat hubungan antara harapan masyarakat dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan. Tabel 13. Persentase Responden berdasarkan Harapan dan Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012 Persepsi terhadap Pengembangan Ekowisata Setuju (%) Tidak Setuju (%) 63,2 13,2 10,5 2,6 10,5 0
Harapan Ekonomi Ekologi Sosial Budaya Total
Total (%) 76,4 13,1 10,5 100,0
Pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa responden yang setuju dengan pengembangan kawasan ekowisata sebagian besar didukung oleh harapan akan aspek ekonomi. Kondisi Kampung Batusuhunan yang masih kurang maju dalam bidang infrastruktur dan pendapatan kampung dibandingkan kampung-kampung yang terdapat di Kelurahan Surade lainnya menjadi salah satu motif bagi masyarakat untuk menyetujui pengembangan kawasan ini. Terdapat juga responden yang tidak setuju dengan pengembangan kawasan, akan tetapi tetap memiliki harapan pada aspek ekonomi. Tingginya persentase pada aspek ekonomi menunjukkan
bahwa
masyarakat
Kampung
Batusuhunan
menyetujui
pengembangan kawasan ini karena didorong oleh keinginan untuk mendapat peningkatan taraf ekonomi baik bagi diri sendiri maupun bagi Kampung Batusuhunan. 7.4
Ikhtisar Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata didasarkan pada
keinginan dan harapan berbagai pihak untuk kemajuan masyarakat dan lokasi tempat dikembangkannya ekowisata. Masyarakat sebagai aktor utama kegiatan ekowisata di Kampung Batusuhunan menjadikan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata sangat penting untuk diteliti.
66
1. Hubungan antara karakteristik masyarakat dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata menunjukkan bahwa sebagian besar responden baik berdasarkan jenis kelamin maupun tingkat usia memiliki harapan yang tinggi dalam aspek ekonomi mengingat kondisi ekonomi masyarakat Kampung Batusuhunan yang rendah dibandingkan dengan kondisi ekonomi masyarakat kampung-kampung lainnya di Kelurahan Surade. 2. Hubungan antara sikap masyarakat dengan harapan masyarakat terhadap pengembangan kawasan ekowisata menunjukkan bahwa sikap responden yang akan menunjukkan sikap sedang merupakan responden yang memiliki harapan paling tinggi terhadap bidang ekonomi kemudian baru disusul dengan bidang ekologi dan sosial budaya. Responden yang akan menunjukkan sikap tinggi juga memiliki harapan paling besar pada bidang ekonomi dibandingkan dengan bidang ekologi maupun sosial budaya. 3. Hubungan antara harapan masyarakat dengan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata menunjukkan bahwa responden yang setuju dengan pengembangan kawasan merupakan responden yang memiliki harapan tinggi dalam bidang ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa motif utama
masyarakat
menyetujui
ide
pengembangan
mengingingkan peningkatan dalam bidang ekonomi.
dikarenakan
67
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan Ekowisata Islami yang ditawarkan di Curug Cigangsa dikembangkan dan dikelola berdasarkan mitos dan norma yang dipercaya dan dianut masyarakat setempat. Norma dan mitos tersebut sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama Islam. Dengan adanya mitos dan norma maka terbangun tata aturan/pedoman dalam mengelola ekowisata. Mitos, norma dan aturan adat lokal yang berbasis Islam dianggap dapat menjadi penangkal dampak negatif yang mungkin hadir seiring dengan hadirnya wisatawan ke lokasi tersebut. Tingkat pengetahuan responden terhadap mitos dan norma baik berdasarkan jenis kelamin maupun tingkat usia sangat tinggi. Hal ini dikarenakan responden merupakan masyarakat asli sehingga sudah sangat mengenal mitos dan norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan dapat menegakkan mitos dan norma tersebut pada wisatawan. Sikap yang ditunjukkan responden terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma terbagi menjadi dua sikap, yaitu sikap “sedang” dan “tinggi”. Berdasarkan jenis kelamin, sikap responden pria lebih “tinggi” dibandingkan responden wanita, hal ini disebabkan responden pria memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi akan masuknya dampak negatif di Kampung Batusuhunan. Berdasarkan tingkat usia, responden yang berasal dari golongan usia muda akan menunjukkan sikap “tinggi”, sedangkan responden yang berasal dari golongan usia tua dan menengah akan menunjukkan sikap “sedang”. Hal ini disebabkan responden yang berasal dari golongan usia menengah dan tua lebih yakin akan pengaruh konsep “Ekowisata Islami” sebagai penyaring kemungkinan dampak negatif dari ekowisata. Tingkat pengetahuan yang tinggi dan sikap yang cukup tegas menunjukkan bahwa masyarakat sudah sangat memahami dan mengenal mitos dan norma yang ada sehingga dapat menegakkan mitos dan norma tersebut ketika ada wisatawan yang melanggar. Sikap yang ditunjukkan responden terhadap kemungkinan munculnya dampak negatif juga sangat positif. Seluruh responden menjawab akan mencari cara untuk meminimalisir kemungkinan munculnya dampak negatif dari ekowisata. Hal ini disebabkan responden menyadari bahwa dampak negatif yang mungkin muncul dapat
68
menggeser konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep ekowisata di Kampung Batusuhunan. Hasil penelitian terhadap persepsi masyarakat Kampung Batusuhunan menurut jenis kelamin dan tingkat usia menunjukkan bahwa, sebagian besar responden menyetujui pengembangan kawasan ekowisata Curug Cigangsa dengan syarat bentuk ekowisata yang ditawarkan adalah “Ekowisata Islami”. Hal ini dikarenakan dengan adanya konsep “Ekowisata Islami”, responden memiliki harapan bahwa dampak negatif dari ekowisata dapat dihindari dan diminimalisir karena peraturan dalam pengembangan ekowisata berpedoman pada kaidahkaidah Islam. Proporsi dampak ekowisata menurut responden ialah akan lebih banyak dampak positif yang muncul dibandingkan dengan dampak negatif dari ekowisata. Hal ini dikarenakan saat ini responden sudah merasakan dampak positif dari ekowisata berupa peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan pekerjaan dalam bidang ekowisata. Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata didorong oleh adanya harapan dari beberapa pihak untuk kemajuan ekonomi masyarakat dan wilayah ekowisata. Masyarakat Batusuhunan sebagai aktor utama dari kegiatan ekowisata di Curug Cigangsa memiliki harapan yang tinggi dalam aspek ekonomi dibandingkan dengan aspek ekologi juga sosial budaya. Hal ini dikarenakan masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendapatan baik untuk masingmasing individu maupun untuk Kampung Batusuhunan secara keseluruhan. Harapan terhadap aspek ekonomi yang menjadi pendorong paling besar pada masyarakat untuk menyetujui pengembangan kawasan ekowisata.
8.2 Saran Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian, ada beberapa saran yang akan dikemukakan oleh peneliti. Pengembangan kawasan ekowisata yang pada awalnya menuai pro dan kontra, sebenarnya memiliki sisi positif. Dengan dibukanya suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata, akan membuat kawasan tersebut menjadi lebih maju dan akan menambah pendapatan masyarakat setempat akibat terbukanya lapangan kerja baru. Akan tetapi, pengembangan kawasan ekowisata
69
juga dapat menimbulkan dampak negatif ketika tidak adanya persiapan dari pemerintah dan masyarakat. Kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat, dapat menjadi salah satu pedoman dan pencegah munculnya dampak negatif dari ekowisata. Pada penelitian ini, mitos dan norma yang menjadi aturan dan pedoman cara hidup masyarakat sebaiknya terus dilestarikan dan dikembangkan. Hal ini dapat menjadi salah satu jalan yang sangat efektif dalam mencegah masuknya dampak negatif dari ekowisata. Konsep “Ekowisata Islami” yang ditawarkan di Curug Cigangsa merupakan salah satu langkah yang sangat baik, karena dengan adanya konsep seperti ini, maka Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa akan dapat lebih terjaga dari dampak negatif akibat adanya pengembangan kawasan ekowisata. Hal ini dikarenakan, pengembangan kawasan ekowisata yang tidak diiringi persiapan yang cukup baik akan memunculkan dampak negatif bagi lingkungan maupun bagi kehidupan masyarakat setempat.
70
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong Karen. 2005. A short history of myth. Canon Gate Book. Damanik J dan Weber HF. 2006. Perencanaan ekowisata: dari teori ke aplikasi. Yogyakarta [ID]: Andi. DeVito JA. 1997. Komunikasi antar manusia. Kuliah Dasar. Edisi Kelima: Professional Books. Fandeli C. 2000. Pengusahaan ekowisata. Yogyakarta [ID]: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hidayati, Mujiyani, Rachmawati L, Zaelani A. 2003. Ekowisata : pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta [ID]: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Keraf SA. 2002. Etika lingkungan. Jakarta [ID]: Buku Kompas. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta [ID]: Rineka Cipta. Lionberger HF dan Gwin PH. 1982. Communication strategy : a guide for agricultural change agents. Illinois : The Interstate Printers and Publishers. Mitchell B, B Setiawan, dan Dwita H R. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan lingkungan. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. Mugniesyah SS. 2006. Pendidikan orang dewasa. Bogor [ID]: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Polak B. 1991. Poverty, policy and industrialization : lessons from the distant. Washington DC [US]: The World Bank. Salam DS. 2007. Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, nilai, dan sumberdaya. Jakarta [ID]: Djambatan. Sedarmayanti. 2005. Membangun kebudayaan dan pariwisata (bunga rampai tulisan pariwisata). Bandung [ID]: Penerbit Mandar Maju. Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2010. Pengantar sosiologi. Jakarta [ID]: Kencana. Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Dalam: Singarimbun Masri dan Effendi Sofian, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES.
71
Soemarwoto O. 1996. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta [ID]: Djambatan. Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung [ID]: Alfabeta. Susanto P.S Hary. 1987. Mitos dalam pemikiran mircea eliade. Jakarta [ID]: Kanisius Tafalas M. 2010. Dampak pengembangan ekowisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. studi kasus ekowisata bahari Pulau Mansuar Kabupaten Raja Ampat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Yoeti OA. 2008. Ekonomi pariwisata: introduksi, informasi, dan implementasi. Jakarta [ID]: Kompas. Young K. 1951. Handbook of social phychology. London [UK]: Routledge and Kegan Paul.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Kerangka Sampling
Kerangka Sampling Masyarakat Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat No
Nama
Golongan Umur Muda Tua Menengah Muda Muda Muda Tua Muda Menengah Menengah Muda
Jenis Kelamin Pria Wanita Wanita Wanita Wanita Pria Pria Pria Pria Pria Wanita
No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
FIK AAS ENI NUR MIR FAN EMA PRI DAP HUR LEN
12 13 14 15 16 17 18 19
DIN HIL MH SRI MAR GIN SUR RAN
20 21
MA FEN
22 23 24 25 26
Jenis Kelamin Wanita Pria Pria Pria Pria Wanita Pria Pria Pria Wanita Pria
ALU RUD YAT NIA FAN APS LUK WAS
Golongan Umur Tua Tua Menengah Tua Tua Menengah Muda Muda Muda Menengah Di bawah batas umur Muda Menengah Tua Muda Muda Menengah Muda Menengah
56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
YES UJA DAS UM KOM NET MUH UDI YUD PUR HAB
Wanita Pria Pria Wanita Wanita Pria Pria Wanita
67 68 69 70 71 72 73 74
Wanita Wanita
RIM GUN SAR MIN QUS
Muda Muda Tua Menengah Muda Muda Tua Di bawah batas umur Tua Di bawah batas umur Muda Tua Tua Tua Tua
75 76
RUS ZAE
Menengah Tua
Pria Pria
Wanita Pria Wanita Wanita Wanita
77 78 79 80 81
MRL AAN FAD RIZ DAN
Wanita Pria Pria Pria Pria
Muda
Pria
82
MUM
Muda
Pria
83
CEC
Menengah Muda Muda Muda Di bawah batas umur Di bawah batas umur Menengah
27
TED
28
FIK
Pria Pria Wanita Wanita Wanita Wanita Pria Pria
Wanita
Pria
74
No
Nama
Golongan Umur Muda Tua Tua Tua Tua Muda Menengah
Jenis Kelamin Pria Pria Wanita Pria Wanita Wanita Pria
No
Nama
29 30 31 32 33 34 35
MRP PIJ NEN KAR NM ANT NAN
84 85 86 87 88 89 90
SUM KIL ELO SIS EDI RAD IKH
36 37 38 39 40
ISM CUC AGU RAT ERI
Menengah Menengah Menengah Menengah Di bawah batas umur Tua
Wanita Wanita Pria Wanita Pria
91 92 93 94 95
IJA FIR HAN SEL IRM
41
QUL
Wanita
96
WIT
42 43 44 45 46 47 48 49
RIS WAT JUL YUL HUS JEK SIT LUL
Wanita Wanita Pria Wanita Pria Pria Wanita Wanita
97 98 99 100 101 102 103 104
ULI UDI FAR DWI UNU HIR SAR DON
ANA PUD
Muda Menengah Muda Muda Tua Muda Menengah Di bawah batas umur Muda Tua
50 51
Wanita Pria
105 106
MIM RID
52 53 54 55
KOS SEN TIN RIK
Tua Muda Menengah Muda
Pria Pria Wanita Wanita
107
WAN
Keterangan :
Golongan Umur Menengah Tua Tua Muda Menengah Muda Di bawah batas umur Menengah Muda Muda Muda Muda
Jenis Kelamin Wanita Pria Wanita Wanita Pria Pria Pria
Di bawah batas umur Menengah Tua Muda Muda Tua Muda Muda Muda
Wanita
Tua Di bawah batas umur Menengah
Wanita Pria
Responden Golongan umur muda : 18-30 tahun Golongan umur menengah : 31-50 tahun Golongan umur tua : >51 tahun
Wanita Pria Wanita Wanita Wanita
Wanita Pria Pria Wanita Pria Wanita Wanita Pria
Wanita
75
Lampiran 2. Daftar Nama Responden
Daftar Nama Responden Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama LUK PRI MRP RIZ GIN CEC EDI RUD DAS AGU UDI UNU KOM PUD ZAE NUR ANT MAR YUL NIA IJA CUC SUM APS MRL SAR MA ELO QUL MIM
Muda Muda Muda Muda Muda Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Tua Tua Tua Tua Tua Muda Muda Muda Muda Muda Menengah Menengah Menengah Menengah Menengah Tua Tua Tua Tua Tua
Jenis Kelamin L L L L L L L L L L L L L L L P P P P P P P P P P P P P P P
76
Lampiran 3. Kuesioner
KUESIONER
Diisi oleh peneliti Nomor Responden
:
Hari/tanggal wawancara :
Peneliti bernama Aldilla Adelia, adalah seorang mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini peneliti sedang menyelesaikan skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata Islami Curug Cigangsa” sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di kuesioner ini dengan jujur dan sesuai keadaan Anda yang sebenarnya. Hasil dan kerahasiaan jawaban Anda semata-mata hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian dan penulisan skripsi saja. Terimakasih atas bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/I untuk pengisian kuesioner ini.
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2012
77
BAGIAN I Karakteristik Responden 1. Nama : ……………………………………………...……. 2. Jenis Kelamin* : 1. Laki-laki 2. Perempuan 3. Tempat, Tanggal Lahir : ……………………………………………………. 4. Agama : ……………………………………………………. 5. Alamat : …………………………………………………..... 6. No. HP/Telp. : …………………………………………………..... 7. Pendidikan terakhir* : 1. Tidak Sekolah 2. SD/Madrasah Ibtidaiyah 3. SMP/ Madrasah Tsanawiyah 4. SMA/ Madrasah Aliyah 5. Diploma/ Perguruan Tinggi 8. Pekerjaan*
: 1. Petani/ nelayan 2. Buruh tani/ nelayan/ perkebunan/kehutanan 3. Pegawai negeri 4. Pegawai swasta 5. Mahasiswa 6. Pelajar 7. Ibu Rumah Tangga 8. Tidak bekerja/pensiunan 9. Lainnya, sebutkan ………………………….. 9.Berapakah pendapatan anda selama satu bulan, sebutkan:…………………………... Keterangan: *) Lingkari jawaban yang sesuai
78
BAGIAN II Persepsi terhadap Pengembangan Kawasan Ekowisata (Dapat memilih lebih dari 1 pilihan, dan dapat menuliskan jawaban yang lain pada bagian yang telah disediakan) 1. Yang pertama kali mengusulkan ide untuk membuka kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. a. LSM c. Pemerintah Kecamatan/Kabupaten e. ……………… b. Pemerintah Desa d. Masyarakat/Tokoh desa Alasan…………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… 2. Saya setuju dengan rencana pengembangan tersebut. a. Tidak b. Ya Alasan…………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… 3. Dampak positif yang akan dihasilkan dari kegiatan ekowisata di Kampung Batusuhunan. a. Peningkatan pendapatan kampung dan masyarakat b. Kemajuan wilayah Kampung Batusuhunan c. Membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat d. Kebudayaan di Kampung Batusuhunan semakin lestari e. Lingkungan menjadi lestari karena semakin dijaga f. Lainnya………………………………………………………………… ………………….. 4. Selain dampak positif, akan muncul dampak negatif dari kegiatan ekowisata. a. Ya b. Tidak Alasan…………………………………………………………………… ……………. 5. Sikap yang akan saya lakukan dengan dampak negatif yang akan muncul tersebut. a. Mendukung b. Diam saja c. Mencoba mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif tersebut 6. Proporsi antara dampak positif dengan dampak negatif yang akan muncul dari pengembangan kawasan ekowisata di Kampung Batusuhunan. a. Lebih besar dampak negatif b. Seimbang antara dampak negatif dan positif c. Lebih besar dampak positif
79
Alasan…………………………………………………………………… …………………………………………………………………………… 7. Konsep “Ekowisata Islami” dapat menjadi penyaring kemungkinan dampak negatif yang akan muncul dari pengembangan kawasan ekowisata. a. Tidak dapat b. Dapat Alasan…………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………
BAGIAN III Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenai Mitos dan Norma yang Ada. ( Beri tanda ceklis (√) pada kolom yang telah disediakan dan isi kolom yang kosong apabila terdapat norma-norma dan mitos-mitos lainnya) No Bentuk Tidak Tahu Apa Bentuknya Tahu (Lisan/Tulisan) 1 Terdapat norma yang melarang membuang sampah sembarangan di lokasi ekowisata 2
3
4
5
6
7
8
Terdapat norma yang melarang menebang pohon sembarangan di lokasi ekowisata Terdapat norma yang melarang meminum minuman keras di lokasi ekowisata Terdapat norma yang melarang untuk menggunakan narkotika di lokasi ekowisata Terdapat norma yang melarang wanita dan pria yang bukan muhrim untuk berdua-duaan di lokasi ekowisata Terdapat norma yang melarang untuk membuat bangunan mencurigakan di sekitar lokasi ekowisata Terdapat norma yang melarang untuk mengunjungi lokasi ekowisata setelah pukul 5 sore Terdapat norma yang melarang
80
No
9
10
Bentuk
Tidak Tahu
Tahu
Apa Bentuknya (Lisan/Tulisan)
untuk mencoret-coret / merusak kawasan ekowisata Terdapat mitos yang mengatakan bahwa siapapun tidak boleh mandi dengan keadaan pakaian (terbuka semua) di Curug Cigangsa Terdapat mitos yang mengatakan bahwa tidak akan ada yang dapat meminum minuman keras di Curug Cigangsa karena botol minuman tersebut akan jatuh dengan sendirinya
BAGIAN IV Sikap Masyarakat terhadap Wisatawan yang Melanggar Mitos dan Norma (Beri tanda ceklis (√) pada kolom yang telah disediakan) No
Potensi Dampak Negatif
1.
Jika ada wisatawan yang membuang sampah sembarangan
2.
Jika ada wisatawan yang menebang pohon
3.
Jika ada wisatawan yang meminum minuman keras
4.
Jika ada wisatawan yang menggunakan narkotika
5.
Jika ada wisatawan yang memakai pakaian yang terbuka (tank top/Rok mini, Celana mini)
Diam Saja
Menegur
Memberi Sanksi
81
No
Potensi Dampak Negatif
6.
Jika ada wisatawan yang bukan muhrim berduaduaan di lokasi ekowisata
7.
Jika ada wisatawan yang mandi di Curug Cigangsa tanpa menggunakan pakaian
8.
Jika ada wisatawan yang masih berada di kawasan ekowisata setelah jam 5 sore
9.
Jika ada wisatawan yang mencoret-coret/ merusak di lokasi ekowisata.
Diam Saja
Menegur
Memberi Sanksi
82
Lampiran 4. Panduan Pertanyaan PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM Tujuan Informan Hari / Tanggal Lokasi Wawancara Nama : Jabatan :
: Mengetahui persepsi informan terhadap pengembangan kawasan “Ekowisata Islam” di Kampung Batusuhunan : Tokoh adat dan Kepala Kampung Batusuhunan, Kelurahan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. : :
Pertanyaan Penelitian : 1. Sejak kapan di Kampung Batusuhunan direncanakan untuk dijadikan kawasan ekowisata? 2. Apa alasan Kampung Batusuhunan dijadikan kawasan ekowisata? 3. Bagaimana perkembangan daerah Kampung Batusuhunan setelah adanya rencana pengembangan kawasan ekowisata? 4. Bagaimana tanggapan masyarakat lokal terhadap rencana pengembangan Kampung Batusuhunan sebagai kawasan ekowisata? 5. Dampak positif apa saja yang diharapkan dari berkembangnya kawasan Kampung Batusuhunan sebagai kawasan Ekowisata ? 6. Menurut anda, apakah akan ada dampak negatif yang muncul ketika Kampung Batusuhunan terbuka sebagai kawasan ekowisata ? Jika ada, apa saja ? 7. Apa saja yang menjadi penguat untuk menghindari masuknya hal-hal negatif kepada masyarakat lokal? 8. Apakah anda optimis bahwa konsep “Ekowisata Islam” dapat dijadikan penyaring dalam menghindari dampak-dampak negatif yang akan muncul dari kegiatan ekowisata ? 9. Apabila hal-hal negatif yang dibawa wisatawan mempengaruhi masyarakat lokal, tindakan apa yang akan diambil ? 10. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila terdapat wisatawan yang meminum minuman keras? 11. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila wisatawan terlibat perkelahian dengan wisatawan lain ataupun dengan warga sekitar ? 12. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila terdapat wisatawan yang menggunakan narkoba di lokasi ekowisata ? 13. Tindakan apa yang akan dilakukan apabila wisatawan yang datang melakukan perbuatan tidak senonoh antara lawan jenis yang bukan muhrim di lokasi ekowisata ?
83
Lampiran 5. Peta Kelurahan Surade
Peta Kelurahan Surade
Lokasi Penelitian Kampung Batusuhunan, dan Curug Cigangsa
84
Lampiran 6. Dokumentasi
Tempat untuk Wisatawan Beristirahat
Kondisi Tempat Pembuangan Sampah
Jalan Setapak Menuju Curug Cigangsa
Anak Tangga Menuju Batu Masigit
Kondisi Bagian Bawah Curug Cigangsa
Curug Cigangsa
85
Kegiatan Saat Pembangunan oleh Masyarakat
Tempat Pembelian Loket
Tempat Pembuangan Sampah Akhir
Toilet Umum
Bendungan di Kampung Batusuhunan
Kolam dimana Wisatawan dilarang Masuk ke Dalam