IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)
AGUSTINA NURHAENI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Abstract AGUSTINA NURHAENI. Implications of the Appointment of Conservations Areas to Forest Area and Farm Area. (Supervised by: MARTUA SIHALOHO) Forest displace function in Cirompang Village from production forest become conservation forest generates polemic to community. Community accessibility to forest is also closed although it cannot be completely done until now. Forbidden access to the forest doesn’t decrease level of forest management because community finally realizes that the damage of forest is also their loss so that they decide to preserve nature using their own rule in area which they can manage by themselves. Government decision to make forest in Cirompang Village as conservation area will harm community. If it is closed, farmer will lose their farm area which large is a half from Cirompang village. This will be effected their income although there are others factors that influence their income, like their earnings from SPPT and from another sector besides agriculture. Participative mapping is selected to solve the problems of village area system. Participative map that contains boundary system and farm system can prove that they can manage their farm with their own mores without ignoring preservation of the nature.
Keyword: community, conservation, management of forest, farm area, participative mapping.
RINGKASAN AGUSTINA NURHAENI. Implikasi Penunjukan Areal Konservasi Terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan. (di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO). Penelitian ini hendak mengetahui sejauh mana penunjukan areal konservasi yang berarti pengalihfungsian hutan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Cirompang dilihat dari beberapa aspek, yaitu aksesibilitas yang diasumsikan berimbas kepada pengelolaan hutan lestari dan penyempitan luas lahan akibat adanya penunjukan kawasan terhadap pendapatan petani. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat bagaimana langkah-langkah masyarakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Penunjukan areal konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi hutan sebagai bentuk pelestarian alam. Hal ini sebenarnya sudah dibicarakan oleh para perwakilan desa namun sayangnya tidak semua masyarakat mendapatkan informasi tersebut. Berita ini baru menjadi perbincangan hangat ketika Lembaga Swadaya Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (LSM RMI) melakukan upaya pendampingan dalam usaha mempertahankan lahan garapan yang diusahakan masyarakat secara turun temurun. Peresmian areal konservasi ini memang belum dilaksanakan dan masyarakat masih dapat berjuang mempertahankan lahan garapan kehutanan yang selama ini sudah digarap masyarakat walaupun aksesnya terhadap hutan kini sudah tertutup. Masyarakat mengusahakan lahan garapan yang ada untuk mempertahankan kelestarian ekosistem yang ada seperti menanam kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan garapan. Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian survey digunakan untuk menganalisis luas lahan dan pendapatan petani dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis sedangkan untuk melihat aksesibilitas dan pengelolaan hutan serta bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik yang ada, digunakan metode wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel non-probabilita, yaitu teknik penarikan sampel purposive atau disebut juga judgmental sampling. Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang karena dianggap telah dapat mewakili pendapat masyarakat tentang keadaan hutan dan lahan garapan di Desa Cirompang saat ini. Aksesibilitas dan pengelolaan hutan lestari didapatkan dengan wawancara mendalam yang didukung oleh data dari kuesioner untuk menguatkan hasil penelitian. Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang diperoleh dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling). Sebelum penunjukan areal konservasi masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal (sesuai dengan adat-istiadat Kasepuhan). Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Hutan
di Desa Cirompang sampai pada masa Perhutani dibiarkan tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Masyarakat mengelola hutan dengan cara mereka. Setelah penunjukan areal konservasi Masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan, walaupun ada sebagian yang memberi pernyataan bahwa akses ke dalam hutan masih ada karena kurangnya pengawasan dari pihak taman nasional. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan. Adanya penurunan kualitas hutan yang cukup signifikan yang kemudian berpengaruh kepada kondisi alam di sekitarnya, seperti terjadinya banjir ketika hujan lebat ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan. Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki lahan yang terbilang luas, yaitu di atas satu hektar sedangkan penghasilan yang didapat hanya berkisar antara lima juta sampai sepuluh juta. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memang memiliki korelasi namun tidak kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani, seperti pendapatan non-pertanian yang jumlahnya bervariasi dari sangat kecil hingga terbilang besar. Pendapatan non-pertanian tersebut ada yang merupakan pekerjaan sambilan dikala tidak bertani, seperti ojek dan buruh bangunan atau pekerjaan yang ditekuni setiap hari seperti guru. Pemetaan partisipatif dipilih sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa di Desa Cirompang. Adanya peta yang disetujui semua pihak yang terkait dengan tata ruang Desa Cirompang menjadi dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan pengelolaan lahan mereka sehingga mereka dapat mengelola lahan tersebut walaupun menggunakan aturan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kasepuhan berperan untuk mengurusi masalah internal, sementara hubungan eksternal ditangani oleh kepala desa.
IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)
Oleh: Agustina Nurhaeni I34051365
SKRIPSI Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
SKRIPSI Judul
:
IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Desa Cirompang, Kec. Sobang, Kab. Lebak, Jawa Barat)
Nama Mahasiswa
:
Agustina Nurhaeni
Nomor Mahasiswa
:
I34051365
Major
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP, MSi NIP. 197704172006041007
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 195808271983031001
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “IMPLIKASI PENUNJUKAN AREAL KONSERVASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA TULISAN INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2009
Agustina Nurhaeni I34051365
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan perlindungan serta kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan”. Penulisan skripsi ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kawasan Hutan Halimun merupakan daerah yang sarat akan konflik, mulai dari pengelolaan, pemilikan, juga penguasaan akan sumberdaya yang ada. Sejak tahun 2003, pengelolaan kawasan ini berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tahun yang sama diadakan pula perluasan areal konservasi yang banyak menuai kontroversi karena arealnya memakan tanah milik masyarakat desa di sekitarnya. Keresahan masyarakat pun mulai timbul karena jika areal tersebut benar-benar disahkan sebagai areal konservasi, maka banyak dari mereka yang akan kehilangan mata pencaharian karena hilangnya akses terhadap hutan dan lahan yang telah mereka miliki dan kelola. Berawal dari kenyataan tersebut, penulis mencoba mengidentifikasi hingga sejauhmana hilangnya aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dan bagaimana pula imbasnya terhadap pengelolaan hutan. Di sisi yang lain, penulis juga mencoba melihat seberapa besar hilangnya tanah milik warga yang kemudian berimbas pada pendapatan mereka. Muara dari penelitian ini diharapkan dapat melihat resolusi konflik yang dapat diterima oleh semua pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya hutan, terutama di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat menambah wawasan para pembaca dan meningkatkan semangat untuk lebih banyak belajar lagi. Penulis juga berharap dengan adanya tulisan ini, semakin terbuka apa yang seharusnya dilakukan segenap pihak demi kemajuan bangsa ini. Bogor, Agustus 2009
Agustina Nurhaeni I34051365
RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 6 Agustus 1987 dari Ibu bernama Hj. Sri Winarni, SH dan ayah bernama Ir. H. Ermadi. Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara dengan adik kandung bernama Afrida Fatharani dan Anang Winardi yang masing-masing berusia delapan belas tahun dan enam belas tahun. Saat ini penulis bertempat tinggal di Jalan Kresek Indah 71 Rt 02/ Rw 03 Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Awal memulai pendidikan dengan masuk Taman Kanak-Kanak Isriyati di Semarang. Penulis pindah ke Jakarta dan meneruskan pendidikan di sana hingga tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 39 Cijantung, Jakarta Timur, setelah itu penulis meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor. Pada semester 3, penulis masuk ke Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) merupakan organisasi terakhir yang diikuti penulis dengan jabatan sebagai Sekretaris I. Penulis pernah juga masuk ke dalam komunitas radio IPB, Agri fm sebagai penyiar dan staf bagian produksi. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Sosiologi Umum selama satu semester dan mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi selama dua semester ditambah dengan semester pendek. Penulis juga menjadi anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA Negeri 39 dengan jabatan sebagai Sekretaris Bidang Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (Sekbid. PPBN). Prestasi yang sudah pernah diraih oleh penulis adalah masuk sebagai finalis lima besar lomba presenter pada acara Commnex (Communication and Community Expo) dan finalis lima besar lomba karya tulis ilmiah Corporate Social Responsibility Bank Rakyat Indonesia (CSR BRI) pada acara Commnex.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini, mulai dari survey, penelitian, hingga penulisan, baik itu bantuan moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada: − Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dan telah membentuk sikap kritis penulis dalam menggunakan teori untuk menganalisis fakta sosial yang ada serta dorongan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. − Ir. H. Ermadi dan Hj. Sri Winarni, SH, orang tua yang dengan kerja keras dan doa serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat menempuh pendidikan dengan baik. − Afrida Fatharani dan Anang Winardi, adik-adikku tercinta yang senantiasa menghibur dan menjadi penyemangat. − Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku dosen pembimbing akademik untuk bimbingan dan nasehat selama tiga tahun. − Ismail Saleh untuk semua dukungan dan semangatnya serta menjadi tempat bercerita di saat senang dan susah. − Teman-teman KPM 42 yang tidak bisa disebutkan satu per satu namun tidak mengurangi rasa sayangku pada kalian, untuk semua bantuan serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian penyusunan skripsi ini. − Teman-teman kost di Puri Fikriyyah (Ryu yang sudah membantu membuatkan abstract dan juga Ibu Wiwin dan Pak Maman yang sudah menjaga selama tiga tahun di sana). − Whenny Sasfira Adly selaku teman satu bimbingan untuk diskusi dan koordinasinya selama melakukan bimbingan. − Teman-teman dari LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI), terutama Bapak Bagus dan Ibu Nia, atas kerjasama dan masukan serta dukungannya pada saat pre survey dan penelitian. − Bapak Imam dari LSM Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) untuk ilmu membuat peta, menggunakan GPS, dan diskusi yang bermanfaat. − Warga Desa Cirompang atas sambutannya dengan tangan terbuka dengan kedatangan peneliti, terutama Kepala Desa serta Olot Amir beserta keluarganya yang menyambut peneliti dengan hangat dan memberikan pengalaman juga kenangan yang tidak terlupakan. − Ibu Maria dan Ibu Annisa, serta segenap staf kesekretariatan KPM untuk bantuannya dan menjadi tempat bertanya dalam hal proses administrasi penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI…………………………………………………………………... i DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. iii DAFTAR TABEL……………………………………………………………... iv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………………... 1 1.2 Perumusan Masalah...……………………………………………… 3 1.3 Tujuan Penelitian..…………………………………………………. 5 1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………….. 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………... 6 2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional...……………………... 6 2.1.2 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak…….………………..8 2.1.3 Aksesibilitas Masyarakat……………………………………… 13 2.1.4 Pengelolaan Hutan Lestari…………………………..…………14 2.1.5 Lahan Masyarakat……………………..……………………… 15 2.1.6 Pendapatan Petani…………………………………………….. 16 2.1.7 Konflik Agraria……………………………………………….. 17 2.1.8 Proses Menyeimbangkan Kekuasaan…………………………. 18 2.1.9 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat……………………... 20 2.1.10 Pengetahuan Lokal……………………………………………. 21 2.2 Kerangka Pemikiran..……………………………………………….24 2.2.1 Kerangka Berpikir…… ………………………………………. 24 2.2.2 Hipotesis Uji…………………………………………………... 26 2.2.3 Hipotesis Pengarah……………………………………………. 26 2.2.4 Definisi Operasional…………………………………………... 26 2.2.5 Definisi Konseptual…………………………………………… 28 BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian…………………..……………………………… 30 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………. 31 3.3 Teknik Pengumpulan Data…………..…………………………….. 31 3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………. 33 BAB IV 4.1
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Desa Cirompang……………… 34
ii
4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Letak Administratif dan Geografis………………………………… 35 Fasilitas Fisik………………………………………………………. 36 Kelembagaan Masyarakat………………………………………….. 41 Kependudukan……………………………………………………... 42 Tata Guna Lahan…………………………………………………… 44
BAB V 5.1
PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan…………………………..48 5.1.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi……………………… 48 5.1.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi……………………….. 49 Pengelolaan Hutan Lestari…………………………………………. 50 5.2.1 Sebelum Penunjukan Areal Konservasi……………………… 50 5.2.2 Setelah Penunjukan Areal Konservasi……………………….. 51 Hubungan Aksesibiltas dengan Pengelolaan Hutan Lestari……….. 52 Luas Lahan…………………………………………………………. 53 Pendapatan Petani………………………………………………….. 56 Hubungan Luas Lahan dan Pendapatan Petani…………………….. 59
5.2
5.3 5.4 5.5 5.6 BAB VI
PROSES MENUJU PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT 6.1 Tahapan Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat………...62 6.1.1 Diskusi Informal Ranah Masyarakat………………………… 62 6.1.2 Diskusi Para Stakeholder…………………………………….. 63 6.1.3 Pemetaan Partisipatif………………………………………… 64 6.1.4 Pengesahan Peta dan Penandatanganan Perjanjian…………... 67 6.2 Pengetahuan Lokal…………………………………………………. 68 6.3 Peranan Kasepuhan dalam Menyelesaikan Konflik……………….. 69
BAB VII KESIMPULAN…………………………………………………….. 71 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 72 LAMPIRAN…………………………………………………………………….75
iii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak……………. 10 Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat Berdasarkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat………………………………………………. 14 Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria……………………………. 17 Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan………………………………. 19 Gambar 5. Kerangka Pemikiran Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan.……………………..……….. 25 Gambar 6. Warung Kelontong di Desa Cirompang……………………………. 37 Gambar 7. Leuit atau Lumbung Padi…………………………………………... 38 Gambar 8. Mandi Cuci Kakus (MCK) Umum………………………………….38 Gambar 9. Masjid-Masjid di Desa Cirompang………………………………… 39 Gambar 10. Jembatan-Jembatan di Kampung Lembur Besar…………………. 40 Gambar 11. Kantor dan Balai Desa Cirompang……………………………….. 40 Gambar 12. Sekolah Dasar Negeri Cirompang………………………………....41 Gambar 13. Padi Besar yang Dipocong………………………………………... 58
iv
DAFTAR TABEL Tabel 1. Asal-Usul Masyarakat di Desa Cirompang…………………………... 34 Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Cirompang Tahun 2008...............................42 Tabel 3. Sumber Penghidupan di Desa Cirompang Tahun 2008......................... 43 Tabel 4. Tingkat Pendidikan di Desa Cirompang Tahun 2008............................ 44 Tabel 5. Tata Guna Lahan di Desa Cirompang Tahun 2008............................... 45 Tabel 6. Mata Air dan Sungai di Desa Cirompang.............................................. 47 Tabel 7. Perbandingan Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Periode Sebelum dan Sesudah Penunjukan Areal Konservasi…………….......53 Tabel 8. Luas Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009…..................... 55 Tabel 9. Luas Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009..…….………….. 55 Tabel 10. Luas Lahan Keseluruhan di Desa Cirompang Tahun 2009……....... 56 Tabel 11. Pendapatan dari Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009…. 57 Tabel 12. Pendapatan dari Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009……. 57 Tabel 13. Pendapatan Keseluruhan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009...... 59 Tabel 14. Pendapatan dari Non-Pertanian di Desa Cirompang Tahun 2009…... 59 Tabel 15. Tabulasi Silang Luas Lahan Keseluruhan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009……………………………………….. 60 Tabel 16. Tabulasi Silang Luas Lahan Garapan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009……………………………………………... 61
v
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner………………………………………………………….75 Lampiran 2. Panduan Pertanyaan……………………………………………… 80 Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Informan……………………………… 82 Lampiran 4. Ringkasan Data Kuesioner……………………………………….. 91
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Luas daratan Indonesia adalah sekitar 192 juta hektar dan dari luasan
tersebut yang berupa kawasan hutan 147 juta hektar. Selanjutnya berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilaporkan bahwa kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 64 juta hektar yang terbagi atas hutan produksi tetap (HP) 33 juta hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 31 juta hektar, hutan lindung 29,5 juta hektar, hutan konservasi 30,5 juta hektar, hutan suaka alam dan wisata 19 juta hektar (Soetarto et al. 2000). Sesuai
dengan
Keppres
32
Tahun
1979
tentang
Pokok-pokok
Kebijaksanaan dalam Rangka Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Perkebunan Besar Milik Swasta dan Negara serta Perkebunan Besar Baru, areal hutan yang dapat dikonversi untuk kepentingan lain termasuk perkebunan mencakup lahan seluas 30,5 juta hektar. Dari luasan hutan konversi tersebut yang telah digunakan untuk berbagai kepentingan pembangunan non-kehutanan seperti untuk perkebunan, transmigrasi dan lainnya terus mengalami penurunan dan pada tahun 1984 hanya tinggal 8,4 juta hektar (Soetarto et al. 2000). Penggunaan hutan paling besar adalah untuk hutan produksi dimana hutan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, diantaranya untuk dijadikan ladang berpindah, persawahan, pemukiman, lahan perindustrian maupun lahan perkebunan. Perebutan lahan hutan yang awalnya merupakan open access
kini menjadi persengketaan, dan tidak jarang berujung pada konflik mendalam. Penyebabnya bukan saja perebutan sumber-sumber daya alam di dalamnya tetapi juga proses klaim dan tata guna lahan yang sampai saat ini masih banyak terjadi penyimpangan. Kawasan hutan Halimun yang sekarang ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Keberadaan kurang lebih 100.000 jiwa penduduk dalam kawasan baik masyarakat asli (adat kasepuhan) maupun masyarakat lokal dan pendatang menjadi persoalan tersendiri selain keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kepentingan investasi pertambangan untuk eksploitasi sumberdaya alam Halimun pun tidak kunjung reda sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda, hal yang secara prinsip bertentangan dengan kepentingan konservasi kawasan. Pada sisi lain, hak-hak masyarakat (adat dan lokal) tidak diperhatikan dalam perebutan sumberdaya alam tersebut. Pengakuan masyarakat adat kasepuhan misalnya tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat (Priatna, 2008). Tahun 1992 muncul kebijakan tentang pengalihfungsian kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, pengelolaannya pun diserahkan kepada pihak PPA dalam bahasa masyarakat setempat (sekarang taman nasional). Alih fungsi ini bersamaan dengan pemancangan tata batas kawasan secara sepihak, dimana masyarakat tidak mengetahuinya. Wilayah desa Cirompang merupakan wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi tahun 1992 (Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun) dengan luas 40.000 hektar atau pasca perluasan (tahun 2003) menjadi 113.357 hektar disebut dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tataran masyarakat dan lapangan hampir tidak
2
terjadi benturan, akan tetapi kecemasan masih tetap ada. Alasannya adalah perbedaan kepentingan antara masyarakat yang menginginkan ada kombinasi produksi dan konservasi disatu pihak, sedangkan di pihak lain taman nasional yang masih cenderung mempertahankan aspek konservasi (Priatna, 2008). Perbedaan sudut pandang antara pihak-pihak yang berkepentingan tersebut akan berpengaruh ke semua aspek kehidupan masyarakat. Apabila klaim tata guna hutan konservasi tersebut sudah disahkan dan masyarakat tidak bertindak sesegera mungkin, maka mereka akan kehilangan lahan garapan yang merupakan sumber penghidupan sehari-hari. Hilangnya hak kepemilikan lahan tersebut bukan hanya berdampak pada para penggarap saja tetapi juga pada masyarakat secara tidak langsung. Harga kebutuhan pokok akan meningkat, mengingat hampir semua kebutuhan pangan dipenuhi dari hasil alam desa mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan analisis masalah secara partisipatif untuk mendapatkan resolusi yang tepat, sehingga masyarakat dapat mengatasi masalahnya dengan didasari oleh pengetahuan yang mereka miliki digabung dengan adanya pengetahuan perkembangan undang-undang yang ada serta teknologi modern yang telah tersedia.
1.2
Perumusan Masalah Ketidaktahuan masyarakat akan peraturan perundangan serta posisi
mereka yang berada di pihak yang lemah merupakan peluang bagi pihak-pihak yang lain untuk menguasai sumberdaya yang ada. Masyarakat akhirnya kehilangan mata pencaharian dan sumber penghidupan sehari-hari, padahal jika dicermati, kebanyakan dari mereka sangat bergantung pada sumberdaya yang
3
disediakan oleh alam untuk mencukupi kebutuhan mereka. Fenomena seperti inilah yang kemudian menimbulkan konflik, baik laten, permukaan, maupun terbuka. Lahan di Desa Cirompang merupakan sumber penghidupan utama. Lahan SPPT digunakan sebagai persawahan dan tempat tinggal kini merupakan hak mereka karena sudah memiliki sertifikat, sedangkan lahan garapan kehutanan masih menjadi konflik karena adanya penunjukan areal konservasi sehingga sewaktu-waktu lahan yang kini mereka garap menjadi perkebunan tersebut dapat ditutup oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Ketika konflik ini terus-menerus mengalami eskalasi sehingga mencapai puncaknya, maka yang terjadi adalah konflik yang diiringi oleh tindakan anarkis sebagai wujud pemberontakan. Namun tidak semua konflik berakhir anarkis, sebagian yang lainnya dapat diselesaikan dengan jalan damai, baik melalui mediasi maupun negoisasi. Adanya keterbukaan serta wadah untuk menyampaikan aspirasi pihakpihak yang terkait untuk dapat berkomunikasi serta mensejajarkan stakeholders merupakan jalan terbaik yang dapat ditempuh. Sementara pemerintah memahami bahwa peraturan adat dan pengetahuan dapat membantu mereka dalam melestarikan hutan yang ada, masyarakat juga dapat memahami dan menghormati peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada penelitian ini, yaitu: a. Bagaimana aksesibilitas masyarakat dan pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya penunjukan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang?
4
b. Apakah luas lahan garapan dan luas lahan keseluruhan (variabel x) memiliki keterkaitan dengan pendapatan petani (variabel y)? c. Bagaimanakah dinamika penyelesaian konflik menuju Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengkaji aksesibilitas masyarakat dan pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya penunjukan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang. b. Mengidentifikasi luas lahan garapan dan luas lahan keseluruhan (variabel x) dan kaitannya dengan pendapatan petani (variabel y). c. Mengetahui dinamika penyelesaia konflik menuju Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk
menambah wawasan mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi di desa-desa berkonflik seperti Desa Cirompang. Bagi akademisi diharapkan laporan ini dapat memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang terkait, semoga dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam mengambil keputusan khususnya untuk permasalahan yang terjadi di Desa Cirompang. 5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma nutfah, prioritas pengelolaannya diarahkan kepada upaya menjaga kelestarian ekologis, sementara pembangunan ekonomi dan sosial diarahkan kepada bentuk-bentuk kegiatan yang tidak mengganggu fungsi ekologis yang dibebankan kepada kawasan konservasi tersebut (Ngadiono, 2004). Menurut
Ngadiono
(2004),
taman
nasional
merupakan
kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Fungsi taman nasional adalah sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaan taman nasional terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, serta untuk menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan daerah penyangga yang dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat di sekitarnya dapat dilaksanakan
dengan memanfaatkan potensi yang ada dalm kawasan taman nasional sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Taman nasional dengan segala cirinya dan berbagai bentuk ekosistem di dalamnya merupakan suatu kawasan yang sangat penting dijaga kelestariannya. Dalam suatu ekosistem dijumpai hubungan timbal balik antara manusia, tumbuhan, binatang, makhluk isi alam lainnya, suhu, keadaan cuaca, udara, dan lain-lain yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai komponen biotik dan abiotik. Pembentukan taman nasional merupakan salah satu upaya melindungi tipe-tipe ekosistem yang khas, sehingga dalam langkah gerak pembangunan yang gencar ini tetap dapat dipelihara keselarasan antara manusia dengan ekosistem dalam rangkaian kurun waktu dan gerak yang dinamis. Kondisi demikian diharapkan agar ekosistem tetap berada dalam keseimbangan (Arifin, 1990). Menurut Suratmo sebagaimana dikutip Arifin (1990), banyak definisi dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya akan berbeda untuk negara yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain keadaan areal yang ada, luas arealnya, kebutuhan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, masyarakatnya, adat kebiasaan, dan lain sebagainya. Masih menurut Arifin (1990), pengertian taman nasional tidak hanya mencakup kawasan alamiah yang berupa hutan saja, tetapi juga kawasan terrestrial dan bahkan perairan pada umumnya, yang secara kesatuan memiliki keunikan ekologis, biologis, dan geologis. Sesuatu yang penting dikemukakan bahwa dalam pengembangannya, taman nasional terbagi dalam beberapa zonasi
7
yang ditujukan sesuai dengan peruntukannya dengan berbagai pertimbangan agar upaya perlindungan dan konservasi dapat tercapai.
2.1.2
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10
Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka (TNGH) yang luasnya 40 000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS). Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MPJICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.
8
Kawasan TNGHS dihuni oleh masyarakat kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (Desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu: leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan
menggunakan
tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007). Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga (RT) miskin. Secara umum jumlah RT miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin berjumlah 15.699 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT atau 15% dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk Desa Wangun Jaya). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah
9
berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena), pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007).
Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007) Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi, berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007-2026, terdapat bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-masing, yaitu: a. Zona Inti dan Zona Rimba (=ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda) Pengidentifikasian zona ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang dilakukan dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-
10
daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara keseluruhan. Zona ini meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa. b. Zona Rehabilitasi (=Zre, warna biru muda) Wilayah yang menjadi zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan dataran rendah, areal yang rusak akibat PETI, koridor Gunung Halimun-Salak dan sebagainya. Di masa depan, setelah ekosistem dinilai pulih kembali, zona rehabilitasi ini dapat ditetapkan sebagai zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan. c. Penetapan Zona Pemanfaatan (=ZP, warna hijau) Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif, seperti seputar Stasiun Penelitian Cikaniki, Cangkuang, dan sebagainya. Untuk zona pemanfaatan yang meiliki obyek wisata dan merupakan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dengan dilandaskan pada MoU kerjasama pengelolaam wisata antara BTNGHS dan Perhutani dengan mekanisme pembagian keuntungan yang jelas. Khusus zona pemanfaatan yang merupakan jalur-jalur pendakian dan wilayah-wilayah yang rawan pengunjung akan tetap dikelola oleh BTNGHS. d. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah (=Zona Khusus, ZKh, warna abu-abu tua)
11
Wilayah-wilayah yang telah ada sarana SUTET serta wilayah kuasa pengelolaan PT. Chevron Geothermal Salak di kawasan Gunung Salak dan PT. antam di daerah Cikidang-Gunung Sibentang Gading yang terletak di Kabupaten Lebak, dimasukkan ke dalam zona khusus. Demikian pula dengan jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS, MKK site, yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang. e. Zona untuk Tujuan Sosial Budaya (=Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua) Penelusuran sejarah pengelolaan perlu dilakukan untuk menentukan zonasi ini. Areal yang penting bagi kegiatan religi budaya, seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. Sedangkan wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat sekitar hutan. Dalam peta ini, wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa kasepuhan adalah masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. f. Zona Lainnya (=ZL, warna putih) Zona ini tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini adalah bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.
12
2.1.3
Aksesibilitas Masyarakat Aksesibilitas seperti yang diterangkan oleh Adiwibowo (2008) memiliki
beberapa tingkatan, secara umum terbagi atas: hanya memiliki akses dan kontrol, di tingkatan selanjutnya, masyarakat memiliki kewenangan menjaga sumberdaya, mengelola sumberdaya dan yang teratas adalah dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut serta mengolahnya dengan cara mereka. Hal ini juga dijabarkan ke dalam suatu segitiga yang menggambarkan tingkatan-tingkatan dalam betuk yang lain. Di level paling bawah, masyarakat mempunyai kewenangan mengatur diri sendiri untuk akses serta kontrol terhadap sumberdaya alam. Pada level-level selanjutnya, yaitu masyarakat mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal, mengelola sendiri, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan, dan tindak lanjut, selanjutnya masyarakat dapat membangun jaring kerja untuk pengelolaan hutan dan pengembangan ekonomi dan yang terakhir yaitu memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dari hutan yang telah mereka kelola. Selain itu, kelima tingkatan di atas masih dibagi lagi dalam tiga tingkatan penataan. Tata kuasa ditempatkan sebagai tingkatan yang paling rendah, dimana masyarakat hanya mempunyai akses dan kontrol namun masih berada di bawah pemerintah, yang kedua yaitu tata kelola, dimana masyarakat dapat mengolah sumberdaya hutan dengan cara mereka sendiri, dan yang terakhir adalah tata produksi, dimana masyarakat sudah mampu mendistribusikan manfaat-manfaat yang mereka peroleh dengan baik.
13
Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat berdasarkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Adiwibowo, 2008) 2.1.4
Pengelolaan Hutan Lestari Menurut Ngadiono (2004), pengelolaan hutan lestari merupakan
keharusan bagi seluruh pelaku pengelolaan hutan di Indonesia. Hutan sebagai sebuah SDA yang dapat diperbaharui harus dipandang sebagai resource capital, human capital, dan social capital yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan secara lestari dan lintas generasi. Ketiga kelestarian fungsi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan adanya saling keterkaitan antar kelestarian fungsi tersebut. Pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari (sustainable forest management) apabila ketiga kelestarian fungsi tersebut telah terpenuhi berdasarkan berbagai kriteria dan indikator yang sudah ditetapkan. Kaidah pengelolaan hutan lestari mulai mengemuka pada era 90-an ketika kesadaran akan kelestarian ekosistem dibakukan oleh pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1990. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa dalam setiap pengelolaan
14
SDA harus dilakukan pengawetan terhadap plasma nutfah, flora, fauna dan ekosistem unik. Selain itu juga perlu dilakukan perlindungan sistem penyangga kehidupan sekaligus perlu dilakukan pemanfaatan secara lintas generasi (Ngadiono, 2004).
2.1.5
Lahan Masyarakat Menurut FAO sebagaimana dikutip Munibah (2008), lahan merupakan
suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk di dalamnya adalah akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan juga akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Arsyad seperti dikutip Munibah (2008), menyatakan bahwa sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan nonpertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan nonpertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaan, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Lahan pertanian bisa berupa lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang digarap petani, yang disebut sebagai lahan garapan. Semakin besar persentase luas lahan milik dari luas lahan pengusahaan, maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif besar keuntungannya daripada berusaha tani pada lahan milik orang lain karena berusaha tani pada lahan milik orang lain resikonya akan lebih besar daripada berusaha tani pada lahan milik sendiri. Dengan
15
menggarap lahan milik orang lain, paling tidak si peggarap harus membayar sewa, bagi hasil, dan bentuk lainnya. Selain itu, kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Suatu waktu apabila lahan tersebut dijual pemiliknya, atau diganti penggarapnya, maka petani tersebut akan kehilangan lahannya (Ruswandi 2005).
2.1.6
Pendapatan Petani Pendapatan pertanian menggambarkan tingkat produktivitas lahan tersebut
yang digunakan untuk usaha tani. Dalam ekonomi lahan, pendapatan usaha tani disebut land rent (keuntungan bersih atas penggunaan lahan). Usaha tani merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga tani (Ruswandi, 2005). Usahatani di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh petani-petani kecil dengan cara tradisional. Keterbatasan sumberdaya (khususnya lahan dan modal) menjadi ciri yang utama sehingga petani berusaha untuk memilih dan memutuskan model usahatani dalam memenuhi kebutuhan keluarga melalui usaha yang beresiko rendah. Peningkatan produksi dan produktivitas dapat ditempuh dengan tetap memperhatikan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Petani akan mengalokasikan penggunaan sumberdaya usahataninya, khususnya melalui penambahan jumlah dan jenis input jika diyakini bahwa usaha tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi dsn pendapatan. Bagi keluarga petani dengan keterbatasan pemilikan lahan, keamanan produksi dan pendapatan merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelangsungan hidupnya sangat bergantung akan hal ini sehingga untuk menjamin
16
kelangsungan cara hidupnya, petani juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, misalnya inovasi teknologi baru. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang berubah, akhirnya menentukan keberlanjutan pertanian (Priyanti, 2007).
2.1.7
Konflik Agraria Menurut Fisher et al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Komunitas
Sumber-sumber Agraria Swasta
Pemerintah
Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Suhendar et al. 2002) Konflik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan yang tidak seimbang banyak terjadi di tanah-tanah perkebunan. Konfik ini memicu terjadinya pendudukan tanah-tanah perkebunan yang HGU-nya belum berakhir oleh masyarakat tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya. Sumber konflik pertanahan yang terjadi antara lain disebabkan oleh (Suhendar et al. 2002): a. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan merata; b. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non-pertanian; c. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red);
17
d. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat); e. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemgang hak atas tanah dalam pembebasan tanah. Empat faktor yang biasanya menjadi pemicu konflik (Fermata, 2006), yaitu: sejarah lokal, dimana masyarakat merasa tanah itu miliknya karena mereka yang lebih dahulu tinggal; intervensi asing berupa campur tangan pihak luar terhadap
permasalahan
yang
ada;
kebijakan
pemerintah
yang
tidak
memperhatikan hak ulayat dan masyarakat, dan; dinamika internal, dimana tanah yang tersisa dan alternatif strategi bertahan hidup lainnya tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan mereka.
2.1.8
Proses Menyeimbangkan Kekuasaan Kerapkali para ahli di masa Orde Baru meragukan kehandalan pengelolaan
sumberdaya hutan oleh komunitas lokal. Keraguan itu umumnya bersandar pada fenomena
tragedy
of
common,
yaitu
kerusakan
sumberdaya
akibat
penyalahgunaan berlebihan tatkala sumberdaya tersebut ditetapkan sebagai “milik umum”. Padahal, tragedi itu lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumberdaya tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kelimpahan sumberdayanya (resource endowment) atau tatkala kelembagaan pada komunitas lokal justru sedang mengalami proses marjinalisasi sedemikian rupa. (Suhendar et al. 2002) Strategi konfrontasi nampaknya kini sudah mulai dikurangi, berganti dengan cara yang lebih halus namun lebih ampuh untuk menyelesaikan masalah18
masalah yang ada. Mulai dari strategi pengelolaan multipihak, negosiasi, mediasi hingga advokasi kebijakan pun ditempuh. LSM-LSM tidak lagi selalu berlawanan arah dengan pemerintah namun kini stakeholders dirangkul untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih ‘manusiawi’ seraya mengelola sumberdaya yang ada secara lebih lestari.
Penindasan, Ketidakadilan, Konflik Laten (Kekuasaan tidak seimbang)
Perubahan sikap
Kesadaran
Mobilisasi, Pemberdayaan
Konfrontasi, Konflik Negoisasi, Mediasi
Perubahan hubungan, Keseimbangan, Kekuasaan baru
Hubungan yang disetujui (Kekuasaan yang seimbang)
Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher et al. 2001) Gambar 3 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Adanya kesadaran masing-masing pihak dibutuhkan agar muncul mobilisasi dan pemberdayaan yang sebenarnya sangat riskan terhadap konfrontasi dan konflik dan apabila itu terjadi, maka perlu dimunculkan kembali kesadaran semua pihak. Kesadaran tersebut dapat dimunculkan baik melalui negoisasi, mediasi maupun diskusi formal dan informal lainnya. Siklus ini akan terus berputar sampai terbentuk hubungan yang disetujui oleh stakeholders atas sumberdaya hutan tersebut. Tanpa hal ini, intervensi pada
19
satu pihak akan terus terjadi dan konflik tidak akan mencapai titik penyelesaian sehingga ketika muncul konflik yang baru, konflik yang belum selesai tersebut akan terakumulasi sehingga pada akhirnya tidak terbendung lagi dan berakibat pada hancurnya sumberdaya yang ada. 2.1.9
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Menurut Khususiyah (2009), Memasuki era reformasi, menghadapi krisis
ekonomi dan adanya euforia otonomi daerah, sejak 2001 diterapkan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang merupakan hasil pembelajaran
yang
disempurnakan
secara
bertahap
tentang
perlunya
mengakomodasi aspek sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sesuai Keputusan
Ketua
Dewan
Pengawas
Perum
Perhutani
Nomor
136/KPTS/DIR/2001, PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa, atau Peru Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara dan proposional. Pemberdayaan masyarakat bukan suatu program tetapi built in dalam pengelolaan hutan. Proses pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Khususiyah, 2009). a. Perencanaan menggunakan metoda participatory rural appraisal (PRA) b. Pengambilan keputusan bersama dalam pengelolaan hutan c. Ada pembagian wewenang yang jelas
20
d. Pendekatan kelompok masyarakat dalam bentuk wilayah/blok hutan yang secara administratif termasuk wilayah desa e. Menumbuhkan perekonomian rakyat f. Membangun sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat tentang arti dan fungsi sumberdaya hutan. PHBM merupakan Perhutanan Sosial Plus jiwa bersama, berdaya, berbagi, transparan, dan sederhana. Masih menurut Khususiyah (2009), dalam hal ini, PHBM dapat dianggap sebagai praktek social forestry yang lebih difokuskan di kawasan utan produksi khususnya hutan tanman di Pulau Jawa serta hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tujuannya untuk memecahkan masalah tekanan sosial ekonomi penduduk desa di dalam atau sekitar kawasan hutan terhadap sumberdaya hutan, sehingga aspek sosial dan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan utama. Untuk memperbaiki implementasi di lapangan, PHBM sesuai Keputusan Dewan Pengawas (selaku pengurus perusahaan) Nomor 136/Kpts/Dir/2001 disempurnakan menjadi PHBM Plus sesuai SK 268/Kpts/Dir/2007.
2.1.10 Pengetahuan Lokal Menurut Pratomo (2005), pengetahuan lokal suatu masyarakat yang hidup di lingkungan spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan
secara
turun-temurun.
Adakalanya
suatu
terkonogi
yang
dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem mata pencaharian mereka. Teknologi
21
eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama kemungkinan akan menjadi suatu ‘kearifan lokal’. Pada banyak kasus masyarakat lokal tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga tidak mudah untuk diakses oleh orang di luar lingkungan masyarakat tersebut. Pengetahuan masyarakat lokal umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka. Walker et al. dalam Pratomo (2005) mengidentifikasi empat alasan utama mengapa harus memasukkan pengetahuan lokal ke dalam penelitian dan program pembangunan agar lebih efisien dan efektif, yaitu: a. Masyarakat lokal telah mengembangkan pengetahuan yang melengkapi pengetahuan ilmiah b. Teknis yang dikembangkan secara lokal dapat melengkapi sumberdaya ilmuwan yang terbatas c. Kombinasi efektif sektor formal dan informal menghindarkan terjadinya duplikasi d. Kolaborasi, efektif memperbaiki sasaran serta fokus penelitian ilmiah. Prasodjo (2005) mengemukakan bahwa adanya keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya, penting untuk digali dan dipetakan dalam rangka membantu merumuskan pembangunan lokal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, finansial, manusia, sosial, dan fisik/infrastruktur 22
yang berkesinambungan melalui cara-cara membangun komunikasi yang efektif dengan orang lokal dan membuat aksi bersama yang telah mempertimbangkan kendala pengalaman yang dirasakan secara lokal. Dalam kaitan ini memahami pengetahuan lokal berfungsi sebagai: (1) sarana untuk berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal, dan (2) dasar untuk melakukan kajian atau aksi bersama masyarakat yang tepat karena telah mempertimbangkan kendala dan potensi pengalaman lokal. Kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dikemukakan Berkes dalam Prasodjo (2005) dalam tiga hal, yaitu: a. Self interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi karena kekuatannya yang datang dari “dalam” dan bukan dari luar. b. Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad (summation of millennia of ecological adaptation of human groups). c. Pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumberdaya alam yang efektif karena dukungan local dan tingkat adaptasi serta pertimbangan kepraktisan yang tinggi. Menurut Prasodjo (2005) pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis
maupun
supranatural.
Pengetahuan
dalam
bentuk
pragmatis
menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, lahan, air, udara, mineral, dan lain-lain), baik yang diakui sebagai milik sendiri, umum/kolektif, maupun aset pemerintah, yang berakibat langsung pada perubahan landscape dan perubahan stok (perubahan biodiversity, perubahan cadangan
23
karbon, perubagan kualitas dan kuantitas air, dan lain-lain), serta fungsi-fungsi dari komponen agroekosistem itu. Sedangkan pengetahuan lokal yang berupa pengetahuan
supranatural
dapat
ditelusuri
melalui
bentuk-bentuk
dasar
aturan/norma yang dihasilkan oleh kepercayaan/budaya, agama dan moral.
2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1
Kerangka Berpikir Adanya penunjukan areal konservasi yang batasnya masuk ke Desa
Cirompang menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat. Batas yang ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memakan sebagian besar hutan milik desa dan lahan garapan masyarakat. Imbasnya atas klaim hutan adalah berkurangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan yang akan berpengaruh pada pengelolaan hutan secara lestari. Sedangkan lahan masyarakat yang terkena klaim, baik lahan milik, lahan pengusahaan maupun lahan garapan kemungkinan juga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat di bidang pertanian. Fenomena ini kemudian menimbulkan konflik sumberdaya, mengingat hampir seluruh kebutuhan pangan dipenuhi dari dalam desa sendiri dan untuk memperbaiki keadaan perlu adanya proses menyeimbangkan kekuasaan dengan menimbulkan rasa saling percaya diantara para stakeholder sehingga mereka dapat sejajar dalam mengelola hutan. Luasnya areal hutan yang tidak memungkinkan dapat diawasi oleh pemerintah secara keseluruhan, akan dibantu oleh masyarakat menggunakan asas simbiosis mutualisme, dimana masyarakat juga dapat mengelola hutan dengan cara dan hukum yang mereka miliki serta memanfaatkan hasilnya untuk kelangsungan hidup masyarakat lokal sehingga
24
kemudian menimbulkan sinergi yang harmonis antar stakeholders, terutama pemerintah dan masyarakat dalam mengelola areal hutan.
Penunjukan areal konservasi
Aksesibilitas masyarakat
Lahan Masyarakat a. SPPT b. Garapan
Pengelolaan hutan lestari Pendapatan petani
Konflik Agraria
Proses menyeimbangkan kekuasaan
Pengelolaan hutan bersama masyarakat
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan
25
2.2.2
Hipotesis Uji Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa pola yang akan dikaji
dalam penelitian ini, yaitu: a. Terjadi penurunan luas lahan garapan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani. b. Terjadi penurunan luas lahan keseluruhan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani.
2.2.3
Hipotesis Pengarah
a. Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan mempengaruhi pengelolaan hutan lestari. b. Bentuk penyelesaian konflik menuju ke arah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
2.2.4
Definisi Operasional
a. Taman Nasional Areal konservasi bagi daerah hutan yang ditunjuk oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan b. Lahan dan areal Sebidang tanah yang digunakan dan/atau oleh suatu pihak untuk tujuan tertentu. Pada penelitian kali ini, lahan yang dimiliki masyarakat dibedakan atas: 26
− Luas lahan SPPT (Surat Peringatan Pajak Terhutang) yaitu lahan yang dimiliki sendiri oleh masyarakat. − Luas lahan garapan yaitu luas lahan yang dikelola petani sebagai kebun namun masuk pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. − Luas lahan keseluruhan adalah luas lahan SPPT ditambah dengan luas lahan garapan. Untuk luas lahan, baik SPPT, garapan, maupun keseluruhan akan dikategorikan sebagai berikut: 1 = < 0,5 hektar 2 = 0,5 - 1 hektar 3 = > 1 hektar c. Pendapatan petani Materi yang didapatkan oleh petani baik itu pemilik, penggarap, maupun pemilik penggarap baik dari bidang pertanian maupun non-pertanian. Pada pendapatan akan dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu: − Pendapatan dari pertanian, yang masih dikategorikan menjadi: pendapatan dari lahan SPPT dan pendapatan dari lahan garapan − Pendapatan dari non pertanian Hasil data dikategorikan berdasarkan: 1 = < Rp. 1.000.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan < Rp 5.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan
27
2 = Rp 1.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan Rp 5.000.000,00 – Rp. 10.000.000,00 untuk keseluruhan pendapatan 3 = > Rp 2.500.000,00 per tahun untuk hasil pertanian dan non pertanian dan > Rp 10.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan
2.2.5
Definisi Konseptual
a. Konflik sumberdaya Adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengelola hutan. Dalam hal ini antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai pemerintah dengan masyarakat lokal. b. Proses menyeimbangkan kekuasaan Adalah tahapan dimana para pemangku kepentingan atas suatu sumberdaya menuju posisi yang sejajar, tidak ada yang dominan maupun marjinal, semua pihak memiliki bargaining position yang sama. c. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat Sistem tata kelola hutan dimana masyarakat sebagi pengelola yang didampingi oleh pihak-pihak yang terkait demi tercapainya pengelolaan hutan yang lestari dan terpenuhinya tujuan masing-masing stakeholder yang dalam hal ini masyarakat untuk memenuhi kebutuhan subsistennya sedangkan pemerintah d. Pengelolaan hutan Kegiatan memelihara, menjaga dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan indikator kelestarian sebagai berikut
28
− Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil − Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil − Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder Dari indikator tersebut, dibuat pernyataan-pernyataan yang akan diukur dengan skala 1= Sangat tidak setuju, 2= Tidak setuju, 3= Setuju, dan 4 = Sangat Setuju e. Aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dapat diketahui dengan melakukan perbandingan pada setiap masa kekuasaan. Tingkatan dari yang rendah hingga tinggi digunakan adalah sebagai berikut adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kewenangan untuk mengatur akses dan kontrol terhadap hutan; 2. Mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal; 3. Mengelola sendiri (perencanaan-pelaksanaan-pemeriksaan-tindak lanjut); 4. Membangun jaring kerja pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan mengembangkan ekonomi; 5. Memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dengan tujuan konservasi atau pelestarian hutan.
29
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1
Metode Penelitian Peneliti menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian
survey digunakan untuk menganalisis luas lahan dan pendapatan petani dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis yang sama kepada banyak orang untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis. Sedangkan untuk melihat aksesibilitas dan pengelolaan hutan serta bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik yang ada, digunakan metode wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan kepada orang-orang yang dianggap mengetahui permasalahan tersebut. Kemudian seluruh data akan direduksi, disajikan, dan ditarik kesimpulan melalui verifikasi. Untuk aksesibilitas dan pengelolaan hutan, metode kualitatif akan didukung oleh kuantitatif berupa kuesioner untuk menguatkan hasil. Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian ini berupa tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori (Prasetyo dan Lina, 2006).
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang,
Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan didasarkan pada pencarian wilayah dimana lokasi penelitian mengalami konflik laten dengan akar yang pendek sehingga masih lebih mudah diangkat ke permukaan untuk diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan dan melalui peradilan. Data ini akan mendukung data yang sudah ditemukan oleh peneliti sebelumnya untuk mendapatkan izin atas lahan garapan yang saat ini sudah diklaim sebagai bagian dari kawasan TNGHS namun belum disahkan sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka atas lahan tersebut. Selain itu, hampir seluruh kebutuhan akan bahan pangan dipenuhi sendiri dari dalam desa, sehingga ketika terjadi klaim lahan, kemungkinan dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pelaku di sektor pertanian saja tapi juga sektor-sektor lainnya.
3.3
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer
diambil dari kuesioner yang telah diisi oleh para responden dan wawancara mendalam dengan beberapa informan. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen dan literatur-literatur lain yang relevan sebagai tambahan juga bahan pembanding untuk data yang sudah yang sudah ditemukan di lapangan. Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah tentang luas lahan dan tingkat pendapatan petani, digunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel non-probabilita,
31
yaitu teknik penarikan sampel purposive atau disebut juga judgmental sampling yang digunakan untuk menentukan kriteria khusus terhadap sampel. Penelitian kali ini menggunakan sampel petani, baik pemilik maupun penggarap (buruh tani) baik di lahan sawah maupun kebun yang berada di Kampung Lembur Besar (perkampungan besar) karena responden dalam penelitian ini dianggap orang yang dekat dengan pusat pemerintahan desa dan memahami serta merasakan dampak langsung dari perluasan areal konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peneliti mengambil sampel sebanyak 30 orang karena dianggap telah dapat mewakili pendapat masyarakat tentang keadaan hutan dan lahan garapan di Desa Cirompang saat ini. Aksesibilitas dan pengelolaan hutan lestari didapatkan dengan wawancara mendalam yang didukung oleh data dari kuesioner untuk menguatkan hasil penelitian. Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang diperoleh dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling) dengan mengetahui satu nama informan, kemudian dari informan inilah peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya dan begitu seterusnya. Selain menggunakan teknik wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan berperan serta dimana peneliti ikut juga melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik responden maupun informan dalam usaha memperoleh pengakuan atas lahan mereka.
32
3.4
Teknik Analisis Data Data pengelolaan hutan lestari dianalisis dengan menggunakan skala yang
terdiri dari empat point yang bergerak dari ekstrim negatif diberi nilai +1 ke ekstrim positif diberi nilai +4. Pernyataan-pernyataan yang ada pada kuesioner untuk pengelolaan hutan diacu pada kriteria yang ditetapkan oleh CIFOR sebagai acuan generik dalam melihat pengelolaan hutan yang lestari. Sedangkan pada aksesibilitas akan digunakan skala ordinal mulai dari mempunyai kewenangan untuk mengatur akses dan kontrol terhadap hutan dengan nilai +1 sampai memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekologi dan ekonomi dengan nilai +5. Pengolahan data luas lahan dan pendapatan petani akan dilakukan dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Sebelum dimasukkan ke dalam tabel, terlebih dahulu data-data berbentuk nominal tersebut dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan untuk memudahkan pengolahan. Data kualitatif diolah sejak awal pengumpulan data. Analisis data kualitatif, baik primer maupun sekunder diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan juga diorganisir sehingga dapat langsung menjawab perumusan masalah yang ada. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan dinamika konflik serta bentuk penyelesaiannya. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan bersama dengan informan sebelum peneliti menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
33
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
4.1
Sejarah dan Asal-Usul Masyarakat Desa Cirompang Menurut sejarah yang terdapat dalam Peta Wilayah Administratif Desa
Cirompang, masyarakat yang bermukim di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat, dimana pendahulunya datang ke Cirompang pada masa penjajahan Belanda-Jepang. Bila dilihat dari runutan asal-usulnya, terdapat masyarakat Cirompang dari keturunan Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Ciptagelar-Sirnaresmi yang merupakan masyarakat adat di sekitar dan dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Sebutan atau nama Cirompang sendiri berasal dari cerita setempat yaitu nama sebuah bukit (Gunung Rompang), dimana tanah yang berada di gunung tersebut tidak utuh karena dipakai untuk melempar burung garuda sehingga tampak rarompang/bahasa sunda (tidak utuh). Tabel 1. Asal-Usul Masyarakat di Desa Cirompang No
Asal Kasepuhan
Runutan
1
Citorek
Olot Sarsiah - Olot Sawa - Olot Sahali - Olot Amir (Sekarang)
2
Ciptagelar
Olot Selat - Olot Jasim - Olot-Sali - Olot Opon (Sekarang)
3
Ciptagelar
Olot Sata - Olot Nalan - Olot Nasir (Sekarang)
Sumber: Priatna, 2008
Wilayah administratif Desa Cirompang merupakan pemekaran dari wilayah induknya, yaitu Desa Citujah yang kemudian dimekarkan menjadi 3 desa
(Citujah, Majasari, Sukamaju). Desa Sukamaju kemudian dimekarkan menjadi Desa Sukamaju dan Desa Cirompang 1 . Masyarakat mulai menggarap di kawasan hutan sebelum tahun 1942. Pada masa DI/TII masyarakat masih melakukan kegiatan pertaniannya di kawasan garapan kehutanan. Meskipun demikian, pada masa DI/TII masyarakat mengalami ketakutan pada saat menggarap lahan walaupun tidak mengganggu aktivitas masyarakat dalam menggarap lahan. Sampai saat ini, ada masyarakat Citorek yang ikut menggarap di Desa Cirompang terutama di kawasan kehutanan (garapan Blok Cibebek). Pada masa Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dilakukan penanaman jenis kayu mahoni dan meranti dengan mempekerjakan masyarakat. Tahun 1992, masuk PPA (sebutan masyarakat untuk TNGH) terjadi perubahan atau alih fungsi dari hutan produksi (PT Perum Perhutani Unit III) ke hutan konservasi (TNGH). Kemudian dilakukan pembuatan tata batas di perbatasan lahan milik (ber-SPPT) dan lahan kehutanan. Pada masa pembuatan tata batas ini masyarakat Cirompang ada yang ikut dalam pembuatan tata batas.
4.2
Letak Administratif dan Geografis Wilayah Desa Cirompang berada di Sekitar Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak secara geografis sedangkan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak-Banten. Luas wilayah
1
Hasil Kajian Partisipatif Masyarakat Desa Cirompang Tahun 2008-2009.
35
Desa Cirompang mencapai lebih kurang 637,50 hektar, sedangkan batas-batas administratif Wilayah Desa Cirompang diantaranya meliputi 2 : Barat : Berbatasan Dengan Desa Sindang Laya Kec. Sobang (Batas Alam : Sungai Citujah). Utara : Berbatasan Dengan Desa Sukaresmi Kec. Sobang (Batas Alam : Sungai Cikiruh, Pasir Pinang, Jalan Raya Cibeas-Cimerak). Timur : Berbatasan Dengan Desa Sukamaju Kec. Sobang (Batas Alam : Sungai Cibitung, Pamatang Pasir Pinang, Jalan Saidun). Selatan : Berbatasan Dengan Desa Citorek Timur-Tengan-Barat Kec Cibeber (Batas Alam : Gunung Kendeng Membujur Dari Barat ke Timur).
4.3
Fasilitas Fisik
a) Listrik b) Kebutuhan listrik di Desa Cirompang sudah terakomodasi dengan baik. Dari hasil observasi, hampir semua rumah sudah memiliki televisi sehingga kebutuhan akan informasi dan hiburan dapat terpenuhi. c) Jalan Aspal Jalan utama di Kampung Lembur Besar yang merupakan pusat administrasi, umumnya sudah diaspal dan keadaannya masih cukup baik, namun kebanyakan jalan-jalan lain di Desa Cirompang masih berbatu. Beberapa jalan sudah diaspal tetapi saat ini kondisinya sudah rusak berat dan membentuk lubang-lubang besar. Jalan menuju wilayah Desa Cirompang dapat ditempuh
2
. Hasil Kajian dan Pemetaan Partisipatif Mayarakat Desa Cirompang Tahun 2008-2009.
36
dengan menggunakan kendaraan roda dua (umum/ojeg) dan kendaraan roda empat, dengan kondisi jalan aspal dan sebagian masih berbatu. Jarak ke pusat pemerintahan Kecamatan Sobang lebih kurang 3-4 km dengan waktu tempuh 20 menit. Sedangkan jarak ke pusat pemerintahan Kabupaten Lebak 70 km dengan waktu tempuh 3 jam (kendaraan ojeg dan mini bus) 3 . d) Warung Kelontong Beberapa warga membuka warung kelontong kecil di depan rumahnya, beberapa benda yang dijual antara lain seperti sabun, mie instan, makanan ringan, dan lain-lain. Uniknya, tidak ditemukan adanya penjual gula putih. Masyarakat di Desa Cirompang menggunakan gula aren atau gula merah sebagai pemanis makanan maupun minuman. Tidak ditemukan juga warung yang menjual nasi dan lauk-pauk, semua dipenuhi di dalam rumah tangga masing-masing dari hasil pertanian mereka.
Gamba r 6. Warung Kelontong di Desa Cirompang e) Leuit dan Penggilingan Padi Leuit adalah sebutan masyarakat Desa Cirompang untuk lumbung padi. Setiap keluarga memiliki leuit. Jumlahnya berbeda-beda, tergantung hasil pertanian berupa beras dari keluarga tersebut, ukurannya pun berbeda-beda. Selain itu
3
. Daftar Isian Potensi Desa Cirompang. Badan Pemberdayaan Masyarakat Provisni Banten Tahun 2007.
37
juga terdapat tempat penggilingan padi yang sudah menggunakan mesin sehingga masyarakat tidak perlu lagi menumbuk padi setelah dipanen.
Gambar 7. Leuit atau Lumbung Padi f) Mandi Cuci Kakus (MCK) Umum Sarana MCK umum yang berada tepat di depan rumah Lurah merupakan Program Pengembangan Kecamatan dengan biaya sebesar Rp 42.888.000,-. Lokasinya cukup strategis, namun tidak banyak yang memanfaatkan keberadaan MCK ini. Masyarakat Desa Cirompang umumnya sudah memiliki kamar mandi sendiri, namun berdasarkan hasil pengamatan, kamar mandi yang berada di rumah-rumah tidak dilengkapi dengan kakus. Hingga saat ini mereka masih memanfaatkan sungai untuk melakukan aktivitas MCK.
Gambar 8. Mandi Cuci Kakus (MCK) Umum
38
g) Masjid Masyarakat Desa Cirompang sangat kental akan Islam. Sebagian besar ibu-ibu dan remaja putri menggunakan jilbab. Salah satu fasilitas yang mudah dijumpai adalah keberadaan masjid. Umumnya bangunan-bangunannya masih sangat terawat dan ada yang sedang berada dalam tahap renovasi. Di Kampung Lembur Besar terdapat 3 masjid yang salah satunya sedang diperbaiki.
Gambar 9. Masjid-Masjid di Desa Cirompang h) Jembatan Desa Cirompang dilewati oleh banyak sungai. Keberadaan jembatan adalah salah satu fasilitas yang penting untuk menunjang mobilitas masyarakat. Di dalam pemukiman, dapat dijumpai jembatan-jembatan kecil sebagai penghubung jalan. Jembatan-jembatan dengan ukuran lebih besar dapat dijumpai apabila keluar dari pemukiman menuju sawah maupun hutan.
39
Gambar 10. Jembatan-Jembatan di Kampung Lembur Besar i) Kantor Balai Desa Kantor Balai Desa Cirompang berupa suatu ruangan yang tidak terlalu luas. Kantor ini digunakan untuk menyimpan arsip-arsip desa, juga sebagai tempat untuk melakukan musyawarah dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan administrasi desa. Keberadaan balai desa yang sekaligus adalah tempat tinggal sekretaris desa memungkinkan terlayaninya keluhan warga dengan lebih cepat.
Gambar 11. Kantor dan Balai Desa Cirompang j) Sekolah Dasar Satu-satunya bangunan pendidikan yang ada di Desa Cirompang adalah Sekolah Dasar (SD) Negeri Cirompang. Pada pagi hari, tempat ini digunakan untuk belajar formal, sedangkan sore harinya digunakan sebagai tempat
40
mengaji anak-anak di Desa Cirompang. Guru-guru di sekolah tersebut umumnya adalah orang dari Desa Cirompang sendiri dan sebagian besar sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah guru yang ada sudah terbilang memadai, setiap kelas mempunyai guru tersendiri ditambah dengan guru olahraga dan pendidikan agama. Untuk mendapatkan pendidikan tingkat lanjut seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masyarakat harus ke Desa Ciparasi yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama dua jam.
Gambar 12. Sekolah Dasar Negeri Cirompang
4.4
Kelembagaan Masyarakat Masyarakat mempunyai kelembagaan yang dalam keseharian berhubungan
dengan tata kehidupan di Desa Cirompang. Secara umum kelembagaan yang ada terbagi menjadi dua, yaitu kelembagaan yang terkait dengan adat (Kasepuhan) dimana kewenangannya mengatur dalam urusan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) atau dalam bahasa setempat disebut tatanen. Kemudian terdapat kelembagaan yang terkait dengan pemerintahan, yaitu (Desa dan BPD) serta kelembagaan di tiap kampung (RW/Pangiwa, RT). Dimana kewenangannya
41
mengatur segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan, juga bila terjadi perselisihan di masyarakat. Selain kelembagaan formal, terdapat pula kelembagaan keagamaan berupa majelis taklim, dimana masyarakat berkumpul mengadakan pengajian sekaligus sebagai perekat silaturahmi antar warga. Para anggota majelis taklim berkumpul rutin setiap minggunya. Bagi perempuan, pengajian diadakan setiap hari Jumat sedangkan bagi laki-laki diadakan setiap hari minggu.
4.5
Kependudukan Sampai akhir tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 1. 414 Jiwa (455
KK), dengan jumlah perempuan lebih kurang 674 Jiwa dan laki-laki 740 Jiwa yang tersebar di enam kampung. 4 Tabel 2. Jumlah Penduduk di Desa Cirompang Tahun 2008 Nama Kampung
Jumlah KK
Jumlah Jiwa
Cirompang
231
718
Pasir Muncang
23
75
Cibama Pasir
86
260
Cibama Lebak
49
155
Muhara
33
104
Sinargalih
31
102
Sumber: Priatna, 2008
4
. Hasil Kajian Partisipatif Masyarakat Tahun 2008-2009 dan Daftar Isian Potensi Desa Cirompang 2007
42
Dominasi sumber penghidupan seluruhnya berada dan diperoleh di lahan milik dan lahan garapan. Hal ini menunjukkan bahwa selain milik, lahan kehutanan memang menjadi tumpuan utama masyarakat Cirompang karena masyarakat melakukan kegiatan pertanian sebagian besar di lahan kehutanan. Tabel 3. Sumber Penghidupan di Desa Cirompang Tahun 2008 No
Sumber Penghidupan
Jumlah (Jiwa)
1
Tani
187
2
Buruh Tani
180
3
Buruh Swasta
33
4
PNS
4
5
Pengrajin
8
6
Pedagang
10
7
Pertenak
15
Sumber: Priatna, 2008
Masyarakat umumnya telah menempuh pendidikan hingga sekolah dasar (SD), gambaran pendidikan di Desa Cirompang sampai akhir tahun 2008 dapat dilihat dalam tabel tingkat pendidikan 5 .
5
. Daftar Isian Potensi Desa Cirompang Tahun 2007.
43
Tabel 4. Tingkat Pendidikan di Desa Cirompang Tahun 2008 Tingkat Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
Belum Sekolah
170
Tidak Pernah Sekolah
87
Sekolah Dasar (SD) Tidak Tamat
206
Sekolah Dasar Tamat
216
SLTP
65
SLTA
26
Perguruan Tinggi
16
Sumber: Priatna, 2008
4.6
Tata Guna Lahan Pemanfaatan lahan di Desa Cirompang dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kategori, diantaranya lembur atau pemukiman masyarakat yang biasanya berkumpul di suatu tempat sekaligus sebagai pusat aktivitas interaksi masyarakat. Sawah, huma dan kebun sebagai tempat bekerja. Hutan sebagai penjaga keseimbangan alam dan dungus sebagai pusat pemeliharaan mata air. 6
6
. Hasil Kajian Partisipatif Masyarakat Desa Cirompang Tahun 2008-2009.
44
Tabel 5. Tata Guna Lahan di Desa Cirompang Tahun 2008 Status Lahan (Ha) Kategori
Ciri-Ciri
Lembur/Pemukiman
Aktifitas Sosial-Ekonomi
Sawah
Tanaman Pangan (Padi, Sayur)
Huma
Palawija dan Sayur
Kebun
Tanaman Kayu dan Buah
Leuweung (Hutan)
Diisi oleh vegetasi (tanaman) hutan
SPPT
Kehutanan
7,324
-
268,457
-
307, 959
53, 742
Sumber: Priatna, 2008
Keberadaannya di kawasan hulu dan dataran tinggi serta di sekitar kawasan hutan membuat Desa Cirompang dialiri sungai dan mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat serta mengalir ke kawasan hilir (Jabotabek). Terdapat sungai (Cirompang, Cikatomas, Cilulumpang, Sungai Ciodeng, Sungai Citujah) hulu dari sungai-sungai tersebut berada di sekitar Pasir Lame dan Gunung
Kendeng
(Area
Kebun
Campuran
Kayu-Buah/Dudukuhan,
Leuweung/hutan) 7 . Sebaran vegetasi yang ada mencakup tanaman hutan (Kayu Rasamala, Puspa, Mahoni, Pasang, Maranti). Terdapat juga sebaran tanaman kebun campuran kayu dan buah/dudukuhan (Afrika, Jengjeng, Aren, Nangka, Durian, Rambutan, Picung, Bambu, Kopi, Dadap, Kelapa), selain itu tanaman pangan yang di budidayakan di sawah dan huma (Padi, Jagung, Kacang Panjang, Pisang, Waluh, Kukuk, Singkong, Ubi, Lengkuas/Laja, Jahe). Termasuk tanaman obat (Cecenet, Capeu, Kumis Ucing, Jawer Kotok). Tanaman pangan utama (pokok) 7
Hasil Kajian Partisipatif Masyarakat Desa Cirompang Tahun 2008-2009.
45
adalah padi yang dibudidayakan di sawah (Sri Kuning, Raja wesi, Gantang, Cere, Ketan Jangkung, Ketan Langasari, Ciherang, Pandanwangi, Super Sadane) 8 .
8
Hasil Kajian Partisipatif Masyarakat Desa Cirompang Tahun 2008-2009.
46
Tabel 6. Mata Air dan Sungai di Desa Cirompang Lokasi Nama Mata Air
Sungai
Muara Nama Blok
Status Lahan
Cisitu Hiang
Cieusing
Ciwalang-Citujah
Citilu
Garapan
Citilu
Cieusing
Ciwalang-Citujah
Citilu
Garapan
Cibentang
Cieusing
Ciwalang-Citujah
Cibentang
Garapan
Cieusing
Cieusing
Ciwalang-Citujah
Cieusing
Garapan
Ciwalang
Ciwalang
Ciwalang-Citujah
Lebak Walang
Garapan
Cidaisah
Ciwalang
Ciwalang-Citujah
Cidaisah
Garapan
Cilimus Dengklok
Ciwalang
Ciwalang-Citujah
Pasir Reueun
SPPT
Cilulumpang
Cirompang
Cirompang-Citujah
Lebak Gintung
SPPT
Cikatomas
Cirompang
Cirompang-Citujah
Pasir Peuteuy
SPPT
Ciodeng
Ciodeng
Cirompang-Citujah
Gunung Kendeng
Garapan
Cibebek
Ciodeng
Cirompang-Citujah
Cibebek
Garapan
Cisamping
Ciodeng
Cirompang-Citujah
Pasir Ipis
Garapan
Cibungbas
Cirompang
Cirompang-Citujah
Lebak Kareo
Garapan
Cicurug Dua
Cirompang
Cirompang-Citujah
Curug Dua
Garapan
Cibama
Cibama
Cibama-Citujah
Pasir Erang
Garapan
Cibitung
Cibama
Cibama-Citujah
Pasir Erang
Garapan
Cipasir Pinang
Cibama
Cibama-Citujah
Pasir Pinang
SPPT
Cikiruh
Cibama
Cibama-Citujah
Pasir Pinang
SPPT
Cimukti
Citujah
Citujah
Pasir Pogor
SPPT
Sumber: Priatna, 2008
47
BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN
5.1
Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hutan
5.1.1
Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Keberadaan masyarakat Desa Cirompang dimulai dengan adanya
pembukaan lahan pada Abad ke-17 dan secara turun-temurun mereka hidup di wilayah itu sehingga kemudian membentuk suatu pemukiman. Masyarakat di sana kemudian dikenal dengan masyarakat Kasepuhan yang dipimpin oleh seorang sesepuh atau yang biasa dipanggil Olot. Seperti halnya masyarakat Kasepuhan lainnya, mereka memiliki adat-istiadat yang masih terjaga hingga sekarang. Data yang didapatkan di lapangan (lihat di lampiran 4, aksesibilitas sebelum penunjukan areal konservasi), membuktikan semua responden sepakat bahwa sebelum adanya penunjukan areal konservasi, masyarakat masih dapat dengan leluasa memasuki hutan dan menjaga hutan dengan cara lokal (sesuai dengan adat-istiadat Kasepuhan). Masyarakat juga diperbolehkan mengambil hasil hutan tanpa merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut. Hutan di Desa Cirompang luasnya 53.742 hektar. Hutan inilah yang masih dijaga kelestariannya oleh masyarakat sebagai penyeimbang alam. Tahun 1978, muncul PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Lebak sebagai pihak lain yang berbeda kepentingan dan diberi kepercayaan oleh Pemerintah untuk mengelola wilayah tersebut. Pada masa ini, tidak pernah terjadi benturan antara Perhutani dengan masyarakat karena masyarakat masih diperbolehkan memasuki hutan untuk
sekedar mencari buah-buahan atau kayu bakar namun dilarang untuk merusak hutan seperti menebang pohon secara besar-besaran. Hutan di Desa Cirompang masih terjaga kelestariannya karena tidak tersentuh oleh modal-modal asing seperti pemilik perkebunan atau tengkulatengkulak kayu sekalipun pada saat Perhutani berkuasa lahan tersebut difungsikan sebagai hutan produksi. Masyarakat diberi kepercayaan untuk menjaga hutan dengan jalan memberikan akses masyarakat ke dalam hutan sementara masyarakat menyadari sepenuhnya apabila hutan rusak, mereka yang pertama kali merasakan imbasnya.
5.1.2
Setelah Penunjukan Areal Konservasi Tahun 1992 terjadi alih fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi hutan
konservasi, pengelolaannya berada di bawah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Muncul kekhawatiran di masyarakat, bukan hanya karena mereka tidak diperbolehkan lagi mengambil hasil hutan namun juga kekhawatiran akan kelestarian hutan yang mereka jaga. Tahun 2003 terjadi perluasan areal konservasi dari 40.000 hektar menjadi 113.357 hektar di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kekurangan personil sangat terasa manakala hutan kemudian terancam oleh pihak asing yang ingin mengekploitasi hasil hutan. Masyarakat sebenarnya mengetahui hal itu, namun tidak bisa bertindak apa-apa mengingat mereka tidak memiliki payung hukum yang kuat atas lahan hutan tersebut. Data yang dikumpulkan (lihat lampiran 4, aksesibilitas setelah penunjukan areal konservasi) menggambarkan dengan jelas bahwa setelah adanya penunjukan 49
areal konservasi. Masyarakat tidak diperbolehkan lagi masuk ke hutan, walaupun ada sebagian yang memberi pernyataan bahwa akses ke dalam hutan masih ada karena kurangnya pengawasan dari pihak taman nasional.
5.2
Pengelolaan Hutan Lestari
5.2.1
Sebelum Penunjukan Areal Konservasi Hutan di Desa Cirompang pada masa penguasaan Perhutani dibiarkan
tetap hijau atau digunakan sebagai hutan lindung sebagai penyeimbang alam. Pada masa itu, masyarakat hanya mengambil hasil hutan seperti buah-buahan dan kayu bakar tanpa menebang kayu secara besar-besaran karena mereka menyadari pentingnya keberadaan hutan. Untuk kebutuhan kayu gelondongan, mereka memenuhinya dengan jalan tebang tanam yang diaplikasikan pada lahan kehutanan yang menjadi lahan garapan mereka. Hutan Desa Cirompang tidak tersentuh oleh modal asing walaupun pada masa itu hutan difungsikan sebagai hutan produksi turut menyumbang kelestarian hutan Desa Cirompang. Perhutani mempercayakan keberadaan hutan di tangan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengelola hutan dengan cara mereka sendiri walaupun tetap di bawah pengawasan Perhutani. Data dari lapangan menggambarkan bahwa sebelum penunjukan hutan Cirompang sebagai areal konservasi, kelestariannya jauh lebih terjaga. Ini dibuktikan dengan penjumlahan skor dari tiap pernyataan yang diberikan responden. Sekitar 93 persen jumlah skor dari tiap responden berada di atas ratarata dari jumlah tengah yang ditetapkan yaitu 80 (Lampiran 4, Pengelolaan hutan lestari sebelum penunjukan). 50
5.2.2
Setelah Penunjukan Areal Konservasi Tahun 1992 ketika pengelolaan hutan diserahkan dari Perhutani ke Taman
Nasional Gunung Halimun dan terjadi alih fungsi hutan, masyarakat tidak mengetahui sepenuhnya atau terkesan sepihak walaupun ada beberapa warga yang ikut serta dalam pertemuan yang membahas tentang alih fungsi tersebut. Setelah adanya patok dari taman nasional, masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan. Dengan pembatasan ini, pengelolaan hutan otomatis harus memenuhi aturan-aturan yang diberlakukan oleh taman nasional. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan, namun mereka tetap berusaha menjaga keberadaan hutan dengan cara mereka sendiri. Masyarakat tetap menjaga keberadaan hulu cai (mata air) dengan jalan tidak menebang pohonpohon yang berada 50 meter di sekeliling mata air tersebut karena mereka menyadari alam yang memberi mereka kehidupan. Oleh karena itu keberadaannya harus tetap dijaga untuk kelangsungan hidup di masa depan. Mereka juga menanami sebagian besar lahan kehutanan yang telah mereka buka dengan kayukayuan dan buah-buahan walaupun ada sebagian yang telah dirubah menjadi pesawahan sehingga air dapat terserap dengan baik. Data yang terkumpul di lapangan menggambarkan bahwa pengelolaan hutan setelah adanya penunjukan areal konservasi mengalami penurunan yang cukup signifikan yang kemudian berpengaruh kepada kondisi alam di sekitarnya, seperti terjadinya banjir ketika hujan lebat ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan (Lampiran 4, Pengelolaan hutan lestari setelah penunjukan).
51
5.3
Hubungan antara Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Hilangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan karena adanya
penunjukan dan pengalifungsian hutan sebagai lahan konservasi akan mengubah tata cara pengelolaan hutan yang awalnya dikelola dengan berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat diganti dengan peraturan-peraturan taman nasional. Hal ini berdampak pada pengelolaan hutan karena dengan personil yang terbatas, sangat sulit bagi petugas taman nasional menjangkau dan mengawasi seluruh areal yang ada sehingga acapkali terjadi penebangan liar. Kejadian penebangan liar tidak saja merusak hutan namun juga menimbulkan saling curiga diantara stakeholders. Keresahan muncul di ranah masyarakat karena mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka khawatir jika pihak taman nasional menyalahkan mereka atas kerusakan tersebut namun di sisi lain, masyarakat juga curiga dengan keberadaan para pelaku penebangan liar tersebut yang selalu lolos dari pengawasan.
52
Tabel 7. Perbandingan Aksesibilitas dan Pengelolaan Hutan Lestari Periode Sebelum dan Sesudah Penunjukan Areal Konservasi Periode Sebelum Penunjukan Areal Konservasi
Aksesibilitas
Pengelolaan Hutan Lestari
Masyarakat masih dapat dengan
Hutan di Desa Cirompang sampai
leluasa memasuki hutan dan menjaga
pada masa Perhutani dibiarkan tetap
hutan dengan cara lokal (sesuai
hijau atau digunakan sebagai hutan
dengan adat-istiadat Kasepuhan).
lindung sebagai penyeimbang alam.
Masyarakat juga diperbolehkan
Masyarakat mengelola hutan dengan
mengambil hasil hutan tanpa
cara mereka.
merusaknya selain diberi akses dan kontrol terhadap hutan tersebut.
Masyarakat tidak diperbolehkan lagi
Masyarakat tidak lagi memiliki akses
masuk ke hutan, walaupun ada
terhadap hutan. Adanya penurunan
Areal
sebagian yang memberi pernyataan
kualitas hutan yang cukup signifikan
Konservasi
bahwa akses ke dalam hutan masih
yang kemudian berpengaruh kepada
ada karena kurangnya pengawasan
kondisi alam di sekitarnya, seperti
dari pihak taman nasional.
terjadinya banjir ketika hujan lebat
Setelah Penunjukan
ataupun debit air yang menurun drastis apabila musim kemarau berkepanjangan
5.4
Luas Lahan Garapan Tahun 1700-an, merupakan awal keberadaan masyarakat Desa Cirompang.
Pada saat itu, hutan masih merupakan open resources atau sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun meski secara de jure keberadaannya tetap di tangan
53
Belanda. Leluhur masyarakat Cirompang membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lahan garapan kemudian secara turun-temurun mereka mengelola sumberdaya yang ada di sana sehingga terbentuklah suatu perkampungan dan kemudian menjadi suatu desa. Tahun 1978 pemerintah memberikan kewenangan kepada PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten untuk mengelola kawasan sebagai hutan produksi. Pada saat ini akses masyarakat mulai dibatasi walaupun masyarakat juga masih boleh menanami dengan prosedur yang telah ditentukan dan sistem bagi hasil dengan pembagian 50 persen untuk masyarakat dan 50 persen untuk Perhutani. Tahun 1992, Pemerintah melimpahkan kewenangan PT Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten kepada Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan mengubah fungsi kawasan sebagai areal konservasi dan Desa Cirompang masuk ke dalamnya. Timbul keresahan di masyarakat, mereka merasa tidak lagi aman melakukan kegiatan bercocok tanam di lahan mereka yang telah di klaim oleh TNGH padahal lahan tersebut luasnya hampir setengah desa. Luas lahan garapan yang berada di kawasan konservasi seluas 307.909 hektar sedangkan luas lahan ber-SPPT seluas 268.457 hektar dari keseluruhan desa yaitu 637.482 hektar. Hingga kini, penunjukkan tersebut belum disahkan sehingga masyarakat masih mempunyai kesempatan untuk mempertahankan lahan garapan yang sudah dibuka.
54
Tabel 8. Luas Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 0,5 hektar
11
36,7
0,5 – 1 hektar
13
43,3
> 1 hektar
6
20
Jumlah
30
100
Masyarakat Desa Cirompang umumnya memiliki tanah garapan yang tidak terlalu luas, rata-rata antara 0,5 – 1 hektar. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa responden umumnya memiliki luas lahan garapan 0,5 – 1 hektar. Hasil yang diperoleh dari lahan garapan tidak dijual namun digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menanam buah-buahan serta kayu-kayuan seperti durian, nangka, kopi, kayu sengon afrika, kayu kiamon, dan kayu albasia. Buah yang dihasilkan sebagian besar dikonsumsi sendiri oleh masyarakat sedangkan kayu digunakan sebagai kayu bakar dan bahan membangun rumah. Tabel 9. Luas Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 0,5 hektar
7
23,3
0,5 – 1 hektar
12
40
> 1 hektar
11
36,7
Jumlah
30
100
Umumnya masyarakat Cirompang memiliki lahan garapan yang luasnya setara dengan lahan SPPT yang dimiliki. Apabila penunjukan areal konservasi itu disahkan, masyarakat akan kehilangan setengah tanah yang mereka miliki untuk digarap saat ini. Umumnya lahan SPPT digunakan sebagai lahan persawahan sedangkan lahan garapan digunakan sebagai perkebunan. Walaupun ada beberapa
55
juga yang telah mengubah lahan garapan miliknya menjadi lahan persawahan. Lokasi lahan garapan yang dekat dengan hutan, harus tetap dijaga kualitasnya sebagai penyeimbang alam, mengingat kini masyarakat sudah tidak memiliki akses terhadap hutan. Tabel 10. Luas Lahan Keseluruhan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Luas Lahan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 0,5 hektar
5
16,7
0,5 – 1 hektar
5
16,7
> 1 hektar
20
66,6
Jumlah
30
100
Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki luas lahan digarap keseluruhan yang luas yaitu di atas satu hektar yang terdiri dari lahan SPPT dan lahan garapan kehutanan. Lahan tersebut dijadikan persawahan (terutama di lahan SPPT) dan perkebunan (terutama di lahan garapan). Lahan garapan yang meliputi hampir setengah Desa Cirompang sangat berarti bagi masyarakat, bukah hanya karena menyumbang dari segi ekonomi namun juga sebagai penopang keseimbangan ekosistem alam. 5.5
Pendapatan Petani Kebutuhan akan pangan di Desa Cirompang, hampir seluruhnya dipenuhi
dari dalam desa. Untuk kebutuhan beras, mereka mengandalkan hasil dari lahan SPPT dan sebagian kecil lahan garapan yang telah diubah menjadi sawah. Sedangkan untuk lauk-pauk, mereka mengandalkan hasil lahan kehutanan yang berbentuk kebun atau huma dan tanaman yang ditanam di pekarangan rumah seperti singkong dan pepaya serta hasil dari kolam ikan. Sekitar 90 persen masyarakat Desa Cirompang memiliki pekerjaan utama bertani dan masing56
masing memiliki lumbung padi untuk menyimpang hasil pertanian tersebut sehingga tidak dijumpai adanya warung yang menjual beras ataupun berdagang nasi dan lauk pauk. Tabel 11. Pendapatan dari Lahan Garapan di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 1 juta
23
76,7
1 juta – 2,5 juta
4
13,3
> 2,5 juta
3
10
Jumlah
30
100
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan dari lahan garapan sangat kecil, yaitu di bawah satu juta per tahun namun keberadaan lahan garapan bagi masyarakat sangat penting karena penghasilan dari lahan garapan digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan sehari-hari, seperti pendidikan, hiburan, dan lain-lain. “lamun lahan garapan mah baru bisa dipanen kayuna enam taun sekali. Paling menang lima sampai enam juta, jadi lamun dikira-kira setahun berarti menang sejutaan neng…” (Sarmin,32 thn) “Uang dari nebang kayu ti lahan garapan biasana kanggo keperluan anak sekolah, nambahin uang kebutuhan sehari-hari atau disimpan buat kalau ada kebutuhan tibatiba.” (Sarmin,32 thn)
Tabel 12. Pendapatan dari Lahan SPPT di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 1 juta
13
43,3
1 juta – 2,5 juta
12
40
> 2,5 juta
5
16,7
Jumlah
30
100
57
Pendapatan dari lahan SPPT merupakan pendapatan utama bagi masyarakat yang pekerjaan utamanya adalah bertani. Sebenarnya hasil pertanian jarang sekali dijual oleh masyarakat namun dari hasil panen yang didapat, dapat dikira-kira berapa penghasilan yang mereka dapat dalam sekali panen. Untuk padi besar, biasa dihitung per pocong (sekepal orang dewasa) dengan harga jual sepuluh ribu rupiah per pocong sedangkan untuk padi besar, biasanya dijual per karung dengan harga dua ratus ribu per karung. Hasil pendapatan dari lahan sawah didapatkan dari konversi tersebut karena kebanyakan dari mereka tidak dapat memperkirakan berapa harga jual hasil panen tersebut apabila dijual kepada pihak lain.
Gambar 13. Padi Besar yang Dipocong Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki pendapatan keseluruhan sebesar lima juta sampai dengan sepuluh juta rupiah per tahun. Pendapatan ini diperoleh dari lahan SPPT, lahan garapan, dan non-pertanian. Bagi masyarakat yang pekerjaan utamanya bertani, sebagian besar mengandalkan lahan SPPT sebagai lahan utama sedangkan sebagian dari mereka mengandalkan hasil dari non-pertanian.
Lahan
garapan
berkontribusi
pada
tersedianya
cadangan
penghasilan manakala petani harus memenuhi kebutuhan yang tidak terduga atau di luar kebutuhan seharj-hari. (Tabel 13).
58
Tabel 13. Pendapatan Keseluruhan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 5 juta
11
36,7
5 juta – 10 juta
13
43,3
> 10 juta
6
20
Jumlah
30
100
Pendapatan
dari
non-pertanian
merupakan
faktor
yang
perlu
diperhitungkan. Setelah diamati, masyarakat yang memiliki penghasilan besar, rata-rata memiliki pekerjaan di luar pertanian, kebanyakan sebagai guru atau pegawai negeri sipil. Terlihat bahwa pendapatan dari non-pertanian menyumbang besar bagi kehidupan sebagian responden. Sedangkan yang memiliki pendapatan non-pertanian kecil biasanya berprofesi sebagai tukang ojek karena hanya sebagai pekerjaan sambilan di sela-sela bertani dan tidak dilakukan setiap hari (Tabel 14). Tabel 14. Pendapatan dari Non-Pertanian di Desa Cirompang Tahun 2009 Kategori Pendapatan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
< 1 juta
3
12,5
1 juta – 2,5 juta
8
33,3
> 2,5 juta
13
54,2
Jumlah
24
100
5.6
Hubungan antara Luas Lahan dan Pendapatan Petani Keterkaitan antara luas lahan keseluruhan dan pendapatan petani
ditampilkan melalui tabulasi silang. Luas lahan keseluruhan sebagai variabel independen dan pendapatan keseluruhan sebagai variabel dependen.
59
Tabel 15. Tabulasi Silang Luas Lahan Keseluruhan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Pendapatan
Luas Lahan Keseluruhan (x)
Jumlah
Keseluruhan (y)
< 0,5 hektar
0,5 – 1 hektar
> 1 hektar
Responden
< 5 juta
4
1
6
11
5 juta – 10 juta
0
3
10
13
> 10 juta
1
1
4
6
Jumlah
5
5
20
30
Responden
Umumnya masyarakat Desa Cirompang memiliki lahan yang terbilang luas, yaitu di atas satu hektar sedangkan penghasilan yang didapat hanya berkisar antara lima juta sampai sepuluh juta. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memang memiliki korelasi namun tidak kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani, seperti pendapatan non-pertanian yang jumlahnya bervariasi dari sangat kecil hingga terbilang besar. Pendapatan non-pertanian tersebut ada yang merupakan pekerjaan sambilan dikala tidak bertani, seperti ojek dan buruh bangunan atau pekerjaan yang ditekuni setiap hari seperti guru. Keterkaitan antara luas lahan garapan dan pendapatan petani ditampilkan melalui tabulasi silang. Luas lahan garapan sebagai variabel independen dan pendapatan keseluruhan sebagai variabel dependen. Berikut ini data yang menggambarkan kedua variabel tersebut:
60
Tabel 16. Tabulasi Silang Luas Lahan Garapan dan Pendapatan Petani di Desa Cirompang Tahun 2009 Pendapatan
Luas Lahan Garapan (x)
Jumlah
Keseluruhan (y)
< 0,5 hektar
0,5 – 1 hektar
> 1 hektar
Responden
< 5 juta
4
6
1
11
5 juta – 10 juta
6
3
4
13
> 10 juta
1
4
1
6
Jumlah
11
13
6
30
Responden
Tabel di atas menggambarkan sebaran yang cukup normal namun tidak beraturan, artinya luas lahan garapan berkorelasi dengan pendapatan keseluruhan namun tidak cukup kuat. Lemahnya hubungan kedua variabel tersebut karena hasil dari lahan garapan terbilang sangat kecil apabila dikonversikan ke rupiah namun hasil dari kebun tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari seperti lauk pauk dan buah-buahan. Selain itu, adanya faktor pendapatan non-pertanian juga menjadi penyebab lemahnya hubungan antara luas lahan garapan dan pendapatan petani tersebut.
61
BAB VI PROSES MENUJU PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
6.1
Tahapan Menuju Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
6.1.1
Diskusi Informal Ranah Masyarakat Sengketa lahan di Desa Cirompang berlangsung sejak adanya penunjukan
kawasan hutan yang dialihfungsikan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi pada tahun 1992. Beberapa petinggi desa sebenarnya sudah mengetahui konsekuensi apabila hal itu benar-benar disahkan, yaitu mereka akan kehilangan lahan garapan kehutanan dan hutan yang mereka miliki dengan luas sekitar 371.701 hektar atau dengan kata lain lebih dari setengah luas desa. Isu-isu ini mulai diperbincangkan ketika Lembaga Swadaya Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (LSM RMI) datang ke Desa Cirompang sekitar pertengahan tahun 2007 atas permintaan Kepala Desa yang ingin masyarakatnya dapat menggarap dengan aman di lahan yang sudah ada sekarang. Anggota LSM RMI mulai melakukan “pendekatan” kepada masyarakat, melakukan tukar pikiran untuk mengetahui sejauh mana sengketa telah berlangsung dan untuk menyusun strategi penyelesaian sengketa lahan tersebut. Dibantu oleh kepala desa juga sesepuh-sesepuh desa, LSM RMI mulai sering menggelar diskusi-dikusi dengan masyarakat. Biasanya masyarakat dikumpulkan di rumah Olot Amir atau di Balai Desa untuk membicarakan rencana-rencana yang akan dilakukan untuk memperjuangkan hak masyarakat tersebut. Biasanya
para pria baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga, selepas sholat isya berkumpul di tempat Olot Amir untuk sekedar berbincang-bincang ataupun membicarakan masalah seputar Desa Cirompang. Masyarakat tahu apabila posisi tawarnya dalam sengketa ini sangat lemah. Mereka tidak memiliki payung hukum yang kuat selain sejarah warisan leluhur, karena tanah yang sudah diakui negara menjadi milik masyarakat Cirompang hanyalah lahan yang ber-SPPT (Surat Peringatan Pajak Terhutang). Lahan garapan merupakan lahan kehutanan yang masuk ke dalam areal Desa Cirompang dan sebagian besar dari lahan tersebut dijadikan warga sebagai kebun dan sawah. Saat ini masyarakat merasa resah karena lahan yang ditanami buah-buahan serta kayu-kayuan tersebut suatu saat dapat diambil oleh pihak taman nasional dan masyarakat tidak dapat mengambil hasilnya. Oleh karenanya masyarakat meminta agar mereka dapat menggarap dengan tenang lahan yang sudah dibuka tersebut sembari menjaga hutan. masyarakat menyadari apabila hutan rusak, mereka pihak pertama yang akan terkena imbasnya.
6.1.2
Diskusi Para Stakeholder LSM RMI kemudian mencoba melakukan mediasi tahap awal, yaitu
mempertemukan stakeholders untuk mendiskusikan sengketa yang terjadi di Desa Cirompang. Para perangkat desa, perwakilan masyarakat dan perwakilan dari pihak kasepuhan berangkat ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Kabupaten Lebak, didampingi oleh pihak LSM. Pertemuan tersebut membahas hal-hal yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan
sengketa
tersebut.
Masyarakat
menyampaikan
maksud 63
kedatangannya yaitu ingin tenang dalam menggarap lahan sembari menjaga hutan. Hal ini akan bersimbiosis mutualisme dengan tujuan Taman Nasional, yaitu menjadikan lahan tersebut sebagai areal konservasi. Masyarakat juga berjanji apabila diberi ijin mengelola hutan berdampingan dengan Taman Nasional, mereka akan membantu mengamankan hutan dari penebangan liar oleh orangorang yang tidak bertanggung jawab. Selain melakukan diskusi dengan pihak Taman Nasional, masyarakat juga melakukan diskusi dengan pihak Pemerintah Daerah untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Diskusi yang diadakan di beberapa tempat terpisah tersebut juga mengutarakan maksud masyarakat untuk memastikan daerah yang masuk ke dalam wilayah Desa Cirompang dengan adanya Program Pemetaan Partisipatif. Dalam hal ini masyarakat akan dibantu oleh LSM RMI dan Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (LSM JKPP). Pemetaan akan dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan sebelumnya diberikan pelatihan oleh anggota dari LSM JKPP. Sementara dalam hal ini LSM RMI berfungsi sebagai pembuka jalur untuk masuknya LSM JKPP serta penghubung dengan lembagalembaga dan pihak-pihak lain.
6.1.3
Pemetaan Partisipatif Lembaga-lembaga yang memelopori gerakan pemetaan partisipatif
mendapatkan ide dari kegiatan pemetaan yang dilakukan di Indonesia dan/atau dari pengalaman negara-negara yang sebelumnya telah melakukan pemetaan bersama masyarakat. Alix Flavelle juga berpengaruh dalam menularkan ide pemetaan partisipatif kepada Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Dalam sebuah
64
kunjungan ke Kanada, Direktur YTM, Arianto Sangaji, mendapatkan jalan keluar dari masalah ketiadaan bukti tertulis penguasaan wilayah oleh masyarakat adat melalui pemetaan, berdasarkan paparan Alix Flavelle tentang pengalamannya melakukan pemetaan wilayah masyarakat adat di Kanada. YTM kemudian mengundang Alix Flavelle untuk memberikan pelatihan pemetaan di Taman Nasional Lore Lindu pada tahun 1995. Tujuan dari diadakannya pemetaan partisipatif adalah untuk menegaskan wilayah-wilayah yang menjadi hak milik masyarakat serta sebagai media advokasi ketika berhadapan dengan pihak-pihak luar yang ingin mengeksploitasi sumberdaya alam wilayah tersebut. Terdapat beberapa tujuan khusus dari adanya pemetaan partisipatif di Indonesia: a. menjadi alat pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput; b. mendapatkan pengakuan hak dan perlindungan hukum atas sumber daya yang diklaim masyarakat; c. memungkinkan masyarakat untuk mengetahui potensi sumber daya alam mereka; d. mendorong pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara demokratis, adil dan berkelanjutan; e. menjadi alat/media resolusi konflik sumber daya alam dengan pihak luar (terutama negara dan pengusaha) dan dalam masyarakat; f. mendapatkan kepastian batas-batas garapan dan luasan yang digarap secara rinci.
65
Sejarah pemetaan partisipatif di atas memberikan gambaran tentang pemetaan partisipatif yang ada di Desa Cirompang. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui masyarakat untuk mendapatkan hasil berupa peta desa yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Pada tahap awal, JKPP dan RMI mengadakan focus group discussion (FGD) pada tanggal 30 Maret 2009. FGD ini bertujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat kegunaan dari diadakannya program pemetaan partisipatif serta menyusun jadwal pelatihan pemetaan partisipatif juga mendata siapa saja yang bersedia ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Tanggal 1 sampai 4 April 2009 diadakan pelatihan pemetaan partisipatif. Peserta didominasi oleh laki-laki dengan komposisi laki-laki 85 persen dan perempuan 15 persen. Pelatihan selama empat hari tersebut diadakan mulai siang hari sekitar pukul 13.00 WIB sampai tengah malam sekitar pukul 24.00 WIB. Di akhir pelatihan, masyarakat mencoba menggambar Kampung Lembur Besar setelah titik-titiknya diukur menggunakan global positioning system (GPS) setelah itu kemudian luasnya dihitung secara manual menggunakan kalkulator. Tanggal 11 sampai 18 April 2009 dilakukan pengambilan titik-titik batas Desa Cirompang, batas kampung, sarana dan prasarana umum, sungai, dan lainlain. Perlu waktu selama seminggu dan tiga tim, satu tim terdiri dari minimal tiga orang, yaitu ketua tim, pengambil titik (pemegang GPS), dan pencatat titik. Tiga tim tersebut dibagi menjadi dua tim mengambil titik-titik batas desa dan satu tim mengambil titik-titik di dalam desa. Tanggal 18 sampai 21 April 2009 dilakukan penggambaran peta secara manual. Seluruhnya dilakukan oleh masyarakat sendiri sedangkan pihak RMI dan JKPP hanya memantau. Setelah peta manual selesai
66
dibuat, peta tersebut dibawa oleh JKPP untuk dimasukkan titik-titiknya dan dibuat peta digitalnya.
6.1.4
Pengesahan Peta dan Penandatanganan Perjanjian Peta yang dibuat oleh masyarakat yang sudah dalam bentuk digital
kemudian dicopy sebanyak tiga lembar. Satu diletakkan di rumah sesepuh (Olot Amir) sebagai dokumentasi, satu menjadi dokumentasi RMI dan satu lagi dibawa untuk ditandatangani bersama dengan pihak-pihak yang terkait tata ruang Desa Cirompang. Pengesahan peta tersebut membutuhkan tanda tangan dari perwakilan tiap desa tetangga atau yang berbatasan dengan Desa Cirompang, Pemerintah Daerah dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Tanggal 9 Juni 2009, RMI berusaha memfasilitasi masyarakat untuk dapat segera mengesahkan peta yang telah dibuat dengan mengadakan pertemuan di Kecamatan Rangkas. Pada saat itu, desa-desa tetangga sudah dimintai persetujuan atas peta yang telah dibuat dan sudah bersedia untuk menandatangani peta tersebut. Pihak RMI yang diwakili oleh Pak Bagus Priatna berangkat dari Desa Cirompang bersama dengan dua orang perwakilan masyarakat yaitu Pak Suherman dan Pak Asep. Rencananya dalam pertemuan tersebut perwakilan dari masyarakat akan mempresentasikan proses pembuatan peta dan peta itu sendiri namun rencana ini gagal karena pihak dari Pemerintah Daerah tidak bisa datang dalam pertemuan tersebut. RMI kembali memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan persetujuan semua pihak atas peta yang telah mereka buat. Pada tanggal 29 Juni 2009, semua skaholder yang terkait dengan pengelolaan dan tata ruang lahan Desa Cirompang
67
berkumpul di Kecamatan Rangkas untuk mengesahkan peta sekaligus menandatangani perjanjian-perjanjian dari hasil diskusi-diskusi sebelumnya dan telah dibuat secara tertulis sehingga memiliki payung hukum yang kuat.
6.2
Pengetahuan Lokal Hutan di Desa Cirompang masih dapat dikatakan lestari. Hal ini
dibuktikan dengan masih tersedianya air dan masih terdapat biota air di sungai walaupun kini debit airnya berkurang di musim kemarau dan meluap pada musim hujan. Keadaan ini tidak terlepas dari pengelolaan hutan yang ada di Desa Cirompang. Peran masyarakat sangat mempengaruhi keadaan hutan walaupun kini pengelolaannya berada di bawah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat merupakan komunitas yang paling dekat dengan hutan dan mengetahui apa yang terjadi secara mendetail. Walaupun masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan, mereka tetap berusaha memelihara ekosistemnya dengan menanami lahan garapan mereka dengan kayu-kayuan dan buah-buahan sehingga iklim, debit air sungai dan kebutuhan sehari-hari seperti lauk-pauk dan kayu untuk membangun rumah tetap mereka peroleh. Hasil observasi menunjukkan bahwa saat ini tidak ada lembaga khusus di masyarakat yang mengurusi tentang keberadaan hutan. Dahulu sebelum dialihfungsikan, kasepuhan yang menetapkan aturan-aturan tentang bagaimana hutan harus dijaga seperti tidak boleh menebang pohon di sekitar hulu cai sejauh tujuh tombak dan hanya boleh mengambil hasil hutan berupa ranting kering dan buah-buahan.
68
LSM RMI melihat bahwa masih ada semangat juang masyarakat untuk mempertahankan hutan sementara itu indigenous knowledge masyarakat juga masih dipertahankan. Hal inilah yang kemudian dimodifikasi oleh LSM RMI agar dapat diterima oleh pihak Taman Nasional, seperti adanya aturan bahwa tidak boleh menebang pohon di sekitar hulu cai sejauh tujuh tombak karena penunggu hulu cai akan marah dimodifikasi menjadi tidak boleh menebang pohon di sekitar hulu cai sejauh 50 meter karena areal tersebut merupakan resapan air yang efektif dan dapat menahan erosi dari aliran hulu cai tersebut, selain itu dengan adanya aturan itu, hulu cai tetap terjaga keberadaannya dan tidak kering di musim kemarau.
6.3
Peranan Kasepuhan dalam Menyelesaikan Konflik Kasepuhan merupakan lembaga kemasyarakatan yang paling dihormati di
lingkungan Desa Cirompang. Dalam menyelesaikan sengketa, perangkat desa juga bekerjasama dengan kasepuhan. Untuk hubungan-hubungan di luar desa atau eksternal, kepala desa lebih memegang peranan sedangkan untuk masalahmasalah internal, seperti mengumpulkan warga untuk melakukan musyawarah, berkordinasi dengan warga, membuka jalan LSM RMI untuk masuk ke lingkungan Desa Cirompang diserahkan kepada kasepuhan. Hampir setiap malam setelah isya, masyarakat, terutama yang laki-laki berkumpul di rumah Olot Amir untuk mendiskusikan berbagai hal, bahkan hanya untuk sekedar bercengkrama mempererat tali silaturahmi. Masyarakat merasa, bahwa rumah tersebut seperti rumah kedua mereka yang terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung ke sana.
69
Kini kasepuhan terkesan tidak lagi memiliki daya bagi masyarakat di luar desa, namun untuk masyarakat Desa Cirompang sendiri, kasepuhan adalah suri tauladan bagi mereka, masyarakat sangat menghormati anggota kasepuhan dan adat yang dipegangnya. Salah satu penerus kasepuhan adalah Pak Ateng, anak dari Olot Amir, beliaulah yang aktif membantu RMI dalam mengkoordinasi warga sehingga setiap rencana dan tahapan-tahapan yang dilalui untuk menyelesaikan sengketa dapat berjalan baik.
70
BAB VII KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan saat ini memang terbilang lemah namun hal ini tidak berpengaruh terhadap pengelolaan hutan karena hutan di Desa Cirompang masih terbilang lestari. Masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap hutan, namun masyarakat masih memiliki kesadaran untuk menjaga alamnya dengan jalan menanami lahan garapannya dengan buah-buahan dan kayu-kayuan serta tidak mengkonversikannya menjadi areal persawahan. 2. Luas lahan garapan di Desa Cirompang yang meliputi lebih dari setengah luas desa berkolerasi namun tidak signifikan terhadap pendapatan petani. Luas lahan keseluruhan apabila dihubungkan dengan pendapatan petani juga berkolerasi namun tidak kuat, karena terdapat pendapatan non-pertanian yang jumlahnya dapat berpengaruh besar terhadap pendapatan petani sehingga luas lahan keseluruhan bukan faktor utama dalam menentukan pendapatan petani. Namun lahan tersebut saat ini digunakan petani sebagai pengganti hutan untuk menyeimbangkan ekosistem. 3. Pemetaan partisipatif dipilih sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa di Desa Cirompang. Adanya peta yang disetujui semua pihak yang terkait dengan tata ruang Desa Cirompang menjadi dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan pengelolaan lahan mereka sehingga mereka dapat mengelola lahan tersebut walaupun menggunakan aturan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kasepuhan berperan untuk mengurusi masalah internal, sementara hubungan eksternal ditangani oleh kepala desa.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo. 2008. Butir-Butir Pokok Small Grant Programme for the Promotion of Tropical Forest. Makalah dipresentasikan dalam RTM Bogor . Bogor: Institut Pertanian Bogor. Amiruddin.
1997.
Dampak
Sosial
Ekonomi
dan
Sosial
Budaya
dari
Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arifin, Hadi Susilo. 1990. Studi Potensi Pengembangan Bumi Perkemahan di Taman Nasional Gede Pengrango dan Sekitarnya. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 2007. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah). Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Fermata, Wydia. 2006. Reklaiming Lahan Sebagai Bentuk Resistensi Masyarakat Desa Hutan (Kasus Perlawanan Masyarakat Desa Margaharja, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat terhadap Perum Perhutani). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fisher, Simon, Dekha Ibrahim Hadi, Jawed Ludin, Richard Smith, Steve Williams, Sue Williams. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra. Khususiyah, Noviana. 2009. Analisis Dampak Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) terhadap Pendapatan Masyarakat dan Lingkungan
di DAS Konto Malang. Tesis. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Munibah, Khursatul. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten). Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia-Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. Prasetyo, Bambang, Lina M. J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Prasodjo, Nuraini W. 2005. Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy: Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam. Bogor: Pusat Studi Pembangunan. Pratomo, Arief. 2005. Kajian Pengetahuan Lokal untuk Meningkatkan Kinerja Pengelolaan Taman Nasional Karimun Jawa. Tesis. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Priyanti, Atien. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Terhadap
Alokasi
Waktu
Kerja,
Pendapatan
dan
Pengeluaran
Rumahtangga Petani. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Priyatna, Bagus. 2008. Keberadaan Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Desa Cirompang Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak-Banten. Rimbawan Muda Indonesia: Bogor. Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.
73
Suhendar, Endang, et. al. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan AKATIGA. Soetarto, Endriatmo, MT Felix Sitorus, Satyawan Sunito, Rachmat Pambudy. 2000. Penguasaan Lahan dan Pola Usaha serta Pemberdayaan BPN dan Pemda Dalam Rangka Partisipasi Rakyat di Sektor Perkebunan. Prosiding Lokakarya. Bogor: Pustaka Wirausahawan Muda.
74
LAMPIRAN I KUESIONER IMPLIKASI PERLUASAN AREAL KONSERVASI TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Peneliti bernama Agustina Nurhaeni, merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Peneliti berharap Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan jujur, identitas dan jawaban Bapak/Ibu dijamin kerahasiaannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini.
No. Responden
Umur
...........tahun
Jenis kelamin
1) Laki-laki 2) Perempuan
Alamat
……………………………………… ……………………… Kampung: .………….............
Pendidikan terakhir
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Tidak bersekolah SD SLTP SLTA D1-D2-D3 S1 S2 ke atas
Lama tinggal di lokasi
1) 2) 3) 4)
Kurang dari satu tahun Antara 1 – 9,99 tahun Antara 10 – 20 tahun Lebih dari 20 tahun
Status kependudukan
1) Asli 2) Pendatang, dari…………
Status perkawinan
1) 2) 3) 4)
Jumlah tanggungan
Laki-laki : ..............orang Perempuan : ………...orang
Lokasi Wawancara Hari/Tanggal Wawancara
I. KARAKTERISTIK INDIVIDU Nama
Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati
Apakah anda memiliki pekerjaan? Pekerjaan utama
ditegakkan pelaksanaannya
1) Ya 2) Tidak
Cara-cara untuk mengatasi konflik berjalan baik
1) Petani/Buruh Tani
Akses terhadap sumberdaya dianggap adil oleh masyarakat lokal
2) Pegawai Negeri Sipil (PNS) 3) Pegawai swasta
Masyarakat lokal merasakan keamanan aksesnya terhadap sumberdaya
4) Wiraswasta/usahawan
Mekanisme distribusi manfaat dianggap adil oleh masyarakat lokal
5) Pelajar 6) Lainnya:....................
Adanya kesempatan bagi masyarakat lokal dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan untuk memperoleh pekerjaan dari perusahaan-perusahaan kehutanan
II. PENGELOLAAN HUTAN SAAT INI Keterangan: beri tanda (x) pada salah satu kotak dari setiap baris dari setiap kategori (sebelum dan sesudah penunjukan). (1) = Sangat tidak setuju, (2) = Tidak setuju, (4) = Setuju, (3) = Sangat Setuju Pernyataan
Ganti rugi terhadap kerusakan diberikan secara adil Berbagai hasil hutan digunakan secara optimal dan adil
Sebelum Penunjukan
Setelah Penunjukan
1
1
2
3
4
2
3
4
Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil Kepemilikan dan hak pemanfaatan sumberdaya jelas Berbagai aturan dan norma dalam penggunaan sumberdaya dipantau dan
Masyarakat menanamkan modal di lingkungannya (misalnya waktu, tenaga, uang) Tingkat migrasi keluar rendah Masyarakat menyadari pentingnya keseimbangan antara jumlah penduduk dengan pemanfaatan sumberdaya alam Anak-anak mendapatkan pendidikan (formal dan informal) tentang pengelolaan
sumberdaya alam
berbagai kepentingan dan hak pihak lainnya
Perusakan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal jarang terjadi
Pengelolaan hutan mencerminkan kepentingan dan hak-hak masyarakat
Masyarakat memelihara hubungan batin dengan lahan hutan
Tingkat konflik yang ada dapat diterima oleh semua pihak
Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil > 50% dari pegawaiDepartemen Kehutanan dan Perkebunan dan karyawan HPH dapat berbicara dalam satu atau beberapa bahasa lokal, atau > 50% wanita lokal dapat menggunakan bahasa yang digunakan oleh HPH dalam berinteraksi Pihak yang berkepentingan bertemu dengan frekuensi yang cukup Kontribusi masing-masing pihak saling dihormati dan dihargai secara wajar Adanya rencana/peta-peta yang menunjukkan pengintegrasian berbagai penggunaan hutan oleh berbagai pihak yang berbeda Rencana yang diperbarui, studi-studi dasar dan peta dapat diperoleh dengan mudah, yang menunjukkan rincian kawasan seperti penebangan hutan dan pembangunan jalan, disertai kerangka waktu Stusi-studi dasar tentang sistem masyarakat lokal juga tersedia dan diacu Pegawai pengelola hutan mengakui adanya
Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder Berbagai kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia tetap dalam keadaan stabil atau membaik Migrasi masuk dan/atau pertambahan penduduk secara alami selaras dengan pemeliharaan hutan Pihak pengelola hutan bekerjasama dengan petugas kesehatan masyarakat dalam mengatasi berbagai penyakit yang berkaitan dengan pengelolaan hutan Status gizi masyarakat lokal cukup baik Para pegawai yang bekerja di bidang kehutanan memperhatikan persyaratan dan keamanan kerja Para pengelola hutan dapat menjelaskan keterkaitan antara budaya masyarakat dengan hutan lokal Rencana-rencana pengelolaan hutan mencerminkan perhatian terhadap isu-isu yang terkait dengan kebudayaan
Tidak ada tanda-tanda tentang adanya perpecahan budaya
III. AKSESIBILITAS MASYARAKAT Tingkatan
Periode Sebelum Penunjukan
…………………….hektar
Luas lahan SPPT
…………………….hektar
Luas lahan sawah di SPPT
…………………….hektar
Luas lahan sawah di lahan garapan
…………………….hektar
Tanaman yang ditanam di lahan garapan
1. 2. 3.
Usaha lain di lahan SPPT
1. 2. 3.
Adakah lahan yang anda kelola saat ini bukan milik sendiri (lahan gadai/sewa)?
Ada / Tidak
Luas lahan bukan milik sendiri
…………………….hektar
Adakah lahan milik yang anda sewakan/gadaikan?
Ada / Tidak
Setelah Penunjukan
Dapat keluar masuk hutan serta ikut mengawasi kelestarian hutan Aturan yang digunakan untuk mengelola hutan adalah aturan yang dibuat oleh Sesepuh desa/ Warga desa Aturan tersebut diterapkan dan diawasi sendiri oleh masyarakat tanpa ada campur tangan pihak lain (pemerintah atau swasta) Selain pelestarian, ada manfaat yang dapat diambil dari hutan (misal, kayukayuan atau buah)
Luas lahan milik sendiri yang digadaikan/disewakan
Masyarakat dapat merasakan manfaat hutan yang lestari (misal, air selalu berlimpah, tidak pernah ada banjir atau longsor) dan timbul rasa memiliki terhadap hutan tersebut
…………………….hektar
V. PENDAPATAN PETANI
IV. KEPEMILIKAN DAN LUAS LAHAN Luas lahan milik
Luas lahan garapan
…………………….hektar
Berapakah penghasilan anda per tahun?
Rp………………………/th
Apakah anda memiliki pekerjaan selain sebagai petani?
Ya / Tidak
Sebutkan!
1. 2. 3.
Dari mana saja sumber penghasilan yang anda miliki?
1. 2. 3.
Berapakah penghasilan dari lahan garapan?
Rp………………………/th
Berapakah penghasilan dari lahan SPPT?
Rp………………………/th
Berapakah penghasilan anda dari non pertanian?
Rp………………………/th
Catatan Enumerator
LAMPIRAN II PANDUAN PERTANYAAN
1.
Menurut anda, siapa saja yang saat ini berkepentingan atas hutan di Desa Cirompang dan apa saja yang mereka butuhkan dari hutan di Desa Cirompang?
2.
Apa saja bentuk kegiatan yang mereka lakukan?
3.
Apakah pernah terjadi masalah antar pihak-pihak yang berkepentingan tersebut?
4.
Apa yang menjadi penyebab keributan atau keresahan tersebut? Bagaimana prosesnya?
5.
Bagaimana cara para pihak menyelesaikan masalah tersebut?
6.
Bagaimana cara masyarakat untuk menjaga hutan yang ada di Desa Cirompang?
7.
Apakah hal tersebut masih dilakukan pasca klaim dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak? Jelaskan!
8.
Bagaimana masyarakat menyikapi adanya klaim lahan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak? Jelaskan!
9.
Bagaimana posisi masyarakat dalam menghadapi pihak-pihak tersebut?
10. Apa tindakan masyarakat atas klaim yang lahan tersebut dan mengapa masyarakat memilih melakukan tindakan tersebut? 11. Adakah negoisasi atau mediasi yang terjadi? Jelaskan prosesnya!
80
12. Adakah kekerasan yang terjadi akibat klaim tersebut sebagai usaha penyelesaian konflik? Jelaskan! 13. Apakah tuntutan dari masyarakat kepada pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak? Jelaskan! 14. Bagaimana respon dan tindakan pihak Balai menanggapi tuntutan tersebut? 15. Bagaimana tahapan-tahapan yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi keresahan akibat klaim tersebut? 16. Sudah sampai manakah langkah yang dilakukan masyarakat? Jelaskan! 17. Apa peran kepala desa dalam penyelesaian konflik tersebut? 18. Apa pula peran ketua adat/Olot dalam penyelesaian konflik tersebut? 19. Apa harapan masyarakat ke depannya? 20. Bagaimana cara mewujudkan harapan tersebut?
81
LAMPIRAN III
Nama Informan
: Bapak BP
Tanggal Wawancara : 2 Juni 2009 Waktu
: 09.00 – 11.00 Informan saya hari ini adalah salah satu anggota Lembaga Swadaya
Masyarakat
Rimbawan Muda Indonesia (RMI). Namanya Bapak BP, beliau
adalah koordinator dari RMI untuk menangani masalah-masalah yang ada di Desa Cirompang. Wawancara saya dengan Bapak BP berlangsung dalam suasana santai dan informal. Bicara soal lahan yang ada di Cirompang, katanya ini merupakan hal yang sangat sensitif. Sejak adanya penunjukan kawasan konservasi di tahun 1992, lahan Cirompang secara de jure sudah bukan lagi hak milik warga desa, namun secara de facto, sampai saat ini masyarakat masih memanfaatkan lahan kebun di dalam kawasan yang mereka sebut dengan lahan garapan. Mereka menyadari, jika suatu saat kawasan konservasi itu benar-benar disahkan, ereka akan kehilangan sebagian besar mata pencaharian mereka. Menurut Bapak BP, lahan masyarakat Cirompang terbagi dalam tiga kategori besar, yaitu lahan hutan, lahan garapan, dan lahan SPPT. Lahan hutan adalah lahan yang biasa disebut dengan leuweung titipan, dimana areal tersebut sama sekali tidak boleh disentuh. Lahan garapan adalah lahan yang mereka tanami dengan pohon kayu-kayuan dan buah-buahan serta ada sebagian kecil sawah disana. Ini yang biasa disebut dengan leuweung tutupan, dimana lahan ini dipersiapkan untuk keturunan atau generasi selanjutnya, dan yang ketiga adalah
82
lahan SPPT dan leuweung garapan. Di lahan inilah terdapat pemukiman warga dan pesawahan. Areal ini menjadi sentral aktivitas warga Desa Cirompang. Lahan yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi meliputi lahan hutan dan garapan. Oleh karena itu masyarakat mulai merasakan keresahan manakala mereka menggarap di lahan tersebut. Perasaan khawatir akan diusir atau malah dibawa ke meja hijau sering datang menghampiri. Masyarakat pun berusaha menyelesaikan kesimpangsiuran atas status lahan garapan yang masih mereka kelola hingga saat ini. Bapak BP menjelaskan bahwa untuk mendapatkan hak kelola atas lahan tersebut, dibutuhkan koordinasi dari berbagai pihak serta satu pegangan yang kuat bagi masyarakat desa untuk dapat mempertahankan wilayahnya. Ide yang kemudian digagas adalah dengan membuat pemetaan partisipatif. Pada tanggal 1 hingga 3 April 2009 diadakan pelatihan pemetaan partisipatif. Hal ini ditujukan agar nantinya masyarakat dapat membuat sendiri peta desanya. Setelah itu, pada pertengahan April, masyarakat mulai menentukan titik-titik yang akan digambar pada peta dan membuat peta secara manual. Peta ini dikerjakan oleh tujuh orang dengan lama pengerjaan tiga hari. Setelah itu, peta dibawa oleh JKPP untuk dibuat secara digital. Rencana selanjutnya adalah koordinasi dengan Bappeda dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak untuk mengesahkan peta tersebut. Saat ini pihak RMI sendiri sedang mengusahakan kehadiran pihak Bappeda dan Instansi-instansi terkait lainnya.
83
Nama Informan
: Bapak AW
Tanggal Wawancara : 8 Juni 2009 Waktu
: 21.00 – 23.00
Informan saya hari ini adalah salah satu anak dari Sesepuh yang ada di sana. Saya banyak berbincang-bincang dengan Bapak AW tentang keadaan hutan, lahan dan juga bagaimana masyarakat melihat konflik yang terjadi dari sudut pandang mereka. Bapak AW merupakan salah satu tokoh yang aktif di Desa Cirompang. Profesi utamanya adalah sebagai guru di Sekolah Dasar sembari bertani. Apabila tidak sempat mengolah lahannya, beliau menyerahkan lahannya untuk digarap oleh orang lain dengan sistem bagi hasil. Desa Cirompang masih memberlakukan penanaman padi besar walaupun sudah diselingi oleh padi kecil, sehingga dalam setahun mereka bisa memanen 2 kali. Menanam padi besar merupakan suatu keharusan bagi masyarakat Cirompang dan hal ini tidak boleh dihilangkan dengan tujuan menjaga kesuburan tanah. Pengetahuan ini didapatkan masyarakat Cirompang dari pengalaman mereka karena dahulu pada saat hanya menanam padi besar, hasilnya jauh lebih banyak daripada saat ini. Laki-laki biasanya hanya mencangkul saja sementara perempuan mengerjakan hampir seluruh tahapan dalam proses penanaman padi hingga pemanenan. Sementara pemuda di Desa Cirompang saat ini selain mencari pekerjaan di kota, mereka diupah untuk memikul kayu-kayu yang sudah ditebang dari lahan kehutanan ke jalan raya. Ayah Pak AW adalah salah satu pewaris orang yang membuka Desa Cirompang. Awalnya, Kasepuhan ini merupakan cabang dari Kasepuhan Citorek. 84
Buyut dari Pak AW dari Bogor mengembara ke Cirompang kemudian membuka lahan dan mempunyai keturunan sampai terjadi Desa Cirompang. Ayah Pak AW sendiri merupakan keturunan ke-empat. Beliau juga menceritakan legenda Desa Cirompang: “Katanya orang tua dulu, ada gunung yang rompang atau hilang sebagian. Dulu di Gunung Bongkok ada manuk gerudera atau elang jawa dilempari dengan tanah, ngambilnya dari gunung rompang dilempar ke Gunung Bongkok, makanya gunungnya bengkok dan kebetulan di Citujah atau berkumpulnya atau sasaran lemparnya ke sana, makanya di Kampung Citujah banyak batu yang seperti cetakan tangan tapi sekarang udah dijual ke orang Korea jadi sekarang udah abis.”
Untuk lahan kehutanan, sementara yang banyak diproduksi adalah jenis kayu-kayuan. Pemilik dan penggarap lahan adalah orang dari Desa Cirompang sendiri dan mereka kebanyakan mengerjakan lahan miliknya sendiri. Hutan yang ada di kawasan Taman Nasional yang awalnya masih utuh, sekarang sudah agak gundul akibat orang-orang yang tidak bertanggung jawab, imbasnya hewanhewan seperti babi hutan dan monyet turun karena kekurangan makanan. Selain itu, gundulnya hutan juga berpengaruh pada air. Dahulu airnya besar, jernih, dan apabila memancing ikan di sungai, hasilnya banyak. Namun sekarang, terjadi pendangkalan dan apabila terjadi hujan, air langsung turun dalam jumlah yang besar dan kadang-kadag sampai menyebabkan banjir, apabila musim kemarau beberapa hari air sudah mulai mengering. Beberapa bulan yang lalu, beberapa aktivis dari RMI mencoba melakukan pendidikan lingkungan hidup pada siswa sekolah dasar. Mereka diajak untuk turun langsung ke sungai, melihat seberapa layak air sungai tersebut untuk 85
menopang kehidupan. Hasilnya, air tersebut memang masih layak karena masih ada biota air tawar yang hidup di dalamnya namun sudah berada pada ambang kelayakan. Keinginan masyarakat sendiri sebenarnya tidak bertentangan dengan Balai Taman Nasional, prinsipnya “leweung hejo, masyarakat ngejo”, airpun tetap melimpah. Pada saat ini masyarakat dibayangi oleh Taman Nasional, ketika menggarap lahannya kemudian timbul perasaan cemas nantinya hasilnya tidak bisa diambil karena berada di kawasan Taman Nasional sehingga tanah tersebut tidak ditanami apa-apa dan hal ini juga yang menyumbang adanya kegundulan. Menurut pak AW kalau kita menanam di lahan Taman Nasional, jika tanaman itu ditebang, akan mendapatkan sanksi. Yang diinginkan masyarakat adalah garapan yang ada sekarang, biarkan digarap masyarakat dengan tenang sementara itu masyarakat juga tetap akan menjaga hutan yang masih ada. Pak AW menjelaskan kepada saya, bahwa banyak pihak yang berkepentingan atas hutan di Desa Cirompang, namun yang saat ini sangat dominan adalah masyarakat desa itu sendiri dan pihak Balai TNGHS. Masyarakat memerlukan lahan untuk memenuhi kebutuhan mereka sedangkan pihak Balai membutuhkan areal konservasi untuk melestarikan ekosistem hutan hujan tropis yang ada. Sebenarnya sampai saat ini, belum ada benturan antara pemerintah dengan masyarakat, karena keduanya cukup kooperatif di lapangan. Walaupun sudah ditetapkan sebagai areal konservasi, namun masyarakat hingga saat ini masih diperbolehkan untuk menggarap. Komunikasi yang baik dan manajemen yang transparan sepertinya merupakan salah satu solusi yang baik tanpa harus memunculkan konflik yang
86
lebih berkepanjangan lagi karena walau bagaimanapun, masyarakat membutuhkan hutan untuk tetap bertahan hidup dan mempertahankan ekosistem lingkungannya dan hutan pula membutuhkan masyarakat untuk menjaganya.
Nama Informan
: Ibu FTM
Tanggal Wawancara : 9 Juni 2009 Waktu
: 15.00 – 17.00
Wawancara saya dengan Bu FTM berlangsung di Balai Desa karena kebetulan rumah bu FTM berada di belakang Balai Desa. Bu FTM merupakan istri dari sekretaris desa Cirompang, beliau aktif dalam kegiatan-kegiatan di Kecamatan, sehingga saya mencoba menggali informasi tentang isu penunjukan kawasan konservasi dari Bu FTM. Menurut Bu FTM, perempuan di sini yang lebih aktif di sawah, walaupun masih muda dan memiliki anak kecil, mereka tetap pergi ke sawah sambil menggendong anaknya. Walaupun tidak memiliki sawah, biasanya apabila sedang panen, mereka ikut membantu panen, apabila dapat 5 kepal, mereka dapat 1 kepal. Pemilik sawah tersebut adalah orang Cirompang sendiri, hal ini menggambarkan asas kekeluargaan yang sangat erat. Panen dilakukan 2 kali, padi besar dan padi kecil. Jadi ketika musim kemarau datang, masyarakat tidak kesulitan pangan. Panen yang pertama adalah panen padi besar dengan menggunakan ani-ani dan yang kedua panen padi kecil, yaitu padi pelita . Padi besar lama tanamnya selama tujuh bulan sedangkan padi kecil sekitar tiga bulan sepuluh hari.
87
Pihak Kasepuhan sendiri sudah mengetahui adanya klaim ini dan memberitahukannya pada masyarakat, namun karena sampai saat ini klaim tersebut belum sapai pada tahap disahkan dan masyarakat masih boleh menggarap, belum ada tindakan. Apabila klaim dari Taman Nasional benar disahkan, imbasnya akan sangat besar mengingat tanah milik di Desa Cirompang hanya sedikit dan lahan untuk digarap lebih besar di lahan kehutanan atau garapan (hampir 80 persen). Di Kecamatan sendiri, isu ini hanya dibahas pada saat sedang hangat-hangatnya sementara di kemudian hari sudah jarang dibahas. Isu pencurian kayu juga sudah lama ada, tapi masyarakat tidak berani bertindak karena lahan itu dianggap milik kehutanan sedangkan sebenarnya masyarakat juga masih menyadari bahwa wilayah itu masih termasuk Desa Cirompang (terjadi kesimpangsiuran pemilikan dan penguasaan). Tanaman yang ada di hulu cai (sekitar mata air), sebetulnya adalah massyarakat yang menanam dan kemudian hanya diambil buahnya karena mereka menyadari akibat apabila hulu cai gundul, namun saat ini, hal itu tidak diperbolehkan oleh Taman Nasional. Imbas dari gundulnya hutan itu adalah, air menjadi kecil, sawah-sawah kering sehingga masyarakat bingung, apabila ditanami pohon, mereka tidak memiliki lagi bahan pangan pokok yaitu beras, namun apabila ditanami padi hasilnya juga tidak memuaskan. Kekeringan sering terjadi terutama pada tanah yang miring. Banyak juga terjadi longsor sehingga pemukiman banyak yang pindah ke Kampung Lembur Besar. Pada masa Perhutani, ada bagi hasil antara masyarakat dan Perhutani. Masyarakat sendiri merasa merekalah yang berhak atas tanah karena mereka yang menempati lahan
88
ini lebih dulu (sekitar Abad 17-an). Semua penduduk asli ini apabila dirunut merupakan saudara. Masyarakat mengetahui kalau lahan yang ada di kawasan Taman Nasional dan di hulu cai sebenarnya sudah gundul akibat adanya campur tangan asing. Ketika masyarakat mengadukan hal ini ke Taman Nasional, mereka berdalih adanya keterbatasan petugas sementara untuk mengeluarkan kayu-kayu itu tentunya harus melalui pos-pos yang ditentukan. Ketika ada pertemuan antara perangkat desa, Taman Nasional, dan RMI, ada polhut yang mengatakan bahwa seharusnya masyarakat berani ke sana untuk mencegah penebangan liar, namun pada kenyataannya masyarakat tidak mempunyai kekuatan hokum untuk melakukan itu karena lahan tersebut sudah diklaim oleh Taman Nasional. Perjanjian dengan Taman Nasional, apabila masyarakat dapat menggarap dengan tenag, mereka siap menanami hutan yang sudah gundul dengan pohon buah-buahan dan kayu-kayuan yang ketika ditebang harus langsung ditanami kembali karena sebagian besar masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Hal ini diberlakukan untuk tanah yang sudah digarap masyarakat saat ini sedangkan yang masih utuh (leuweung titipan) tidak akan diganggu atau akan terus dilindungi oleh masyarakat. Terdapat pula aturan adat bahwa mat air tidak boleh ditebangi pohon-pohonnya sejauh tujuh tombak. Dulu waktu masyarakat meminta izin untuk menebang dua pohon untuk dijadikan mushala, ada pengusaha yang mencatut nama Desa Cirompang dan mereka menebang secara besar-besaran, akibatnya wargalah yang dituduh telah melakukannya. Warga tidak bisa membela diri karena ada ketakutan terhadap
89
Pemerintah dan Asing. Makanya masyarakat penting untuk diberi penyuluhan agar lebih terbuka.
90
LAMPIRAN 4
Aksesibilitas Masyarakat No. Resp.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Sebelum
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
2
1
1
0
1
0
2
0
2
5
1
1
2
0
1
0
2
1
Penunjukan Sesudah Penunjukan
Pengelolaan Hutan Lestari No. Resp.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
86
86
79
86
88
86
91
88
86
84
76
88
84
84
89
92
76
84
86
88
81
80
88
90
92
91
91
94
81
90
72
72
74
72
76
72
71
80
73
72
69
76
77
78
76
68
69
77
72
76
70
76
83
71
71
65
71
73
70
71
Sebelum Penunjukan Setelah Penunjukan