MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)
YUMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya
menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan
Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari: Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
April 2011
YUMI NIM. I 361070131
ii
ABSTRACT YUMI. 2011. Model of Farmers’ Learning Development in implementing
Sustainable Private Forest Management (Cases in Gunung Kidul District in Yogyakarta and Wonogiri District in Central Java). Under Advisory Committee by SUMARDJO as chairperson, DARWIS S GANI and BASITA GINTING SUGIHEN as members. Forest Management is facing the challenge of implementing the sustainable forest management which includes private forest. Successfully gained the Ecolabel Certificate, some private forest management units in Central Java and Yogyakarta’s districts prove that the small units run by farmers are able to implement the sustainable forest management. The farmers’ success in implementing the sustainable forest management must have been gained through learning process. How the learning process was and what determinant factors influencing the farmers’ learning process of the sustainable private forest management were, were the research questions of this study. The study used explanatory survey method on 200 farmers in Gunung Kidul and Wonogiri who had succeeded in gaining the Ecolabel Certificate and 60 farmers who had not got certification for their private forestry as comparison. Data collection was conducted from December 2009 to February 2010. The data were analyzed by using descriptive technique and Structural Equations Model (SEM). The conclusions are : (1) farmers’ learning intensity is low. It was influenced by farmers’ learning-support institutions, local institutions, extension agents’ competences, and farmers’ individual characteristic; (2) learning-support institutions and the informal local institutions have an important role in the farmers’ learning process; (3) farmers’ learning intensity can be improved by strengthening collaboration of the learning-support institutions and improving the extension agents’ competences. (Keyword: sustainable private forest management, farmers’ learning process, support system of learning-support institutions, local institutions)
iii
RINGKASAN YUMI. 2011. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh: SUMARDJO, DARWIS S GANI, dan BASITA GINTING SUGIHEN. Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penting dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan, khususnya dalam rehabilitasi hutan dan lahan serta peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat ialah berkaitan dengan adanya issue global warming dan ekolabel, yang mensyaratkan kayu-kayu bersertifikat sebagai ketentuan untuk dapat masuk pasar kayu internasional. Unit manajemen pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, yang dikelola oleh masyarakat setempat telah membuktikan bahwa rakyat telah mampu mengelola hutan secara lestari dan mendapatkan sertifikat Ekolabel. Keberhasilan tersebut melewati suatu proses belajar, yang pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat ke arah kemandirian dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar petani dan bagaimana mengembangkan pembelajaran petani tersebut, merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (2) Menganalisis kelembagaan yang berperanan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (3) Merumuskan konsep model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. Desain penelitian adalah survey, dan penelitian bersifat penelitian penjelasan (Explanatory Survey) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di lokasi yang terdapat unit pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Populasi adalah petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri. Teknik pengambilan sampel ialah dengan metode stratified random sampling dengan strata tingkat keaktivan dalam kelompok (pengurus dan bukan pengurus). Disamping itu di masing-masing kabupaten dipilih satu kelompok tani non sertifikasi pada satu desa sebagai perbandingan. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 200 orang petani sertifikasi dan 60 orang petani non sertifikasi sebagai pembanding. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Februari 2010. Pengumpulan data sekunder dan data primer menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif menggunakan program SPSS 16.0 sedangkan statistik inferensial menggunakan analisa Structural Equation Model (SEM) program LISREL 8.70.
iv
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) dan non sertifikasi berbeda nyata pada tujuh peubah penelitian. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan antara petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, terutama dalam hal kompetensi penyuluh/pendamping, pendekatan pembelajaran, kelembagaan pendukung pembelajaran, intensitas belajar petani dan perilaku petani. Analisa Structural Equation Model (SEM) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping (X2), yang dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R2= 0,78. Sedangkan perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara langsung oleh peubah: Intensitas Belajar (Y1) dan Karakteristik petani (X1), yang dituliskan dengan persamaan: Y2= 0,51*Y1 +0,40*X1, R2= 0,72. Kelembagaan yang berperan penting dalam pembelajaran petani HRL dalam penelitian ini ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani (eksternal) dan kelembagaan masyarakat (internal). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang terintegrasi dan berkolaborasi dengan baik menghasilkan intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari yang lebih baik. Kelengkapan unsur pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dan masyarakat terbukti menghasilkan peningkatan intensitas belajar. Kelengkapan fungsi pendidikan, penelitian, penyuluhan dan pemasaran dalam kelembagaan pendukung berperan dalam peningkatan pembelajaran petani pengelola Hutan Rakyat Lestari. Kelembagaan masyarakat, baik dari sisi aturan maupun organisasi berperan penting dalam pembelajaran petani sertifikasi. Adanya aturan mengenai penebangan dan penanaman kembali yang diwariskan turun temurun, kepercayaan terhadap pemimpin, budaya gotong royong dan bekerja keras, lembaga informal dalam masyarakat seperti: arisan, kelompok pengajian kelompok tani sangat berperan dalam pembelajaran petani sertifikasi. Aturan dan organisasi formal yang dibentuk untuk memenuhi persyaratan dalam proses sertifikasi (seperti pembentukan Forum Komunitas Petani Sertifikasi-FKPS, Koperasi) belum sepenuhnya dapat diterima dan dijalankan dengan baik oleh petani sertifikasi, karena petani belum sepenuhnya menyadari peranan dan merasakan manfaat keberadaan organisasi tersebut. Model pengembangan pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) perlu dijabarkan ke dalam strategi pengembangan pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari yaitu: (1) Strategi penguatan dan pengembangan kelembagaan pendukung pembelajaran yang kolaboratif dan sistemik melalui dukungan kegiatan berkelanjutan dan dukungan personil yang kompeten serta (2) Strategi peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping, terutama kemampuan menganalisa permasalahan, meningkatkan kapasitas penyuluh/pendamping, dan meningkatkan wawasan teknis petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
v
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
MODEL PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)
YUMI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vii
Penguji pada Ujian Tertutup :
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. (Fakultas Kehutanan IPB) Prof.(Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto,SKM.APU (Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka :
Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Kementerian Kehutanan RI) Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc. (Fakultas Kehutanan IPB)
viii
Judul Penelitian
: Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah) Nama : Yumi NRP : I.361070131 Program Studi/Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA. Anggota
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian: 14 Maret 2011
Tanggal Lulus :
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 6 Agustus 1968, sebagai puteri kedua dari tiga bersaudara, dari ayah Memet Krisna Sukarno (Alm) dan ibu Yoshie Kuwabara Sukarno, menikah dengan Martino Anderias Therik. Pendidikan sarjana ditempuh Penulis pada tahun 1987 di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1992. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program master di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dengan beasiswa pendidikan dari Kementerian Kehutanan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program Doktor pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari Kementerian Kehutanan, dan menyelesaikannya pada tahun 2011. Saat ini penulis bekerja di Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Pada tahun 1995 sampai dengan 2010 penulis bekerja di Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Sebelumnya pada tahun 1993-1994 penulis sempat bekerja di Proyek Environmental Management in Indonesia (EMDI), proyek bantuan Pemerintah Kanada pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
x
PRAKATA Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Kasih karena hanya atas karunia dan kemurahan-Nya disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari” disusun berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Darwis Gani, M.A. dan Bapak Dr. Ir. Basita Sugihen Ginting, M.A. selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan sabar dan tulus ikhlas mengarahkan dan membimbing sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. dan Bapak Prof.(Ris). Dr. Ign.Djoko Susanto, SKM.APU selaku penguji pada ujian tertutup, serta Bapak Dr.Ir. Eka Widodo Soegiri, MM dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc. selaku penguji pada ujian terbuka. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Kehutanan, Ibu Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kehutanan, Bapak
Sekjen Kementerian Kehutanan, Bapak Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan, Bapak Kepala Biro Kepegawaian, Bapak Kepala Pusat Diklat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti tugas belajar ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia beserta jajarannya, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat beserta jajarannya, Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Staf Pengajar di Program Studi PPN, dan staf sekretariat
Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan yang telah mendukung selama perkuliahan dan penyelesaian studi di IPB. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ibu Kepala Dinas, pejabat dan staf di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Gunung Kidul, Bapak Kepala Dinas, pejabat dan staf di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Wonogiri,
xi
khususnya kepada Bapak Sunyoto dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Gunung Kidul, dan Bapak Agus Tri dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Wonogiri. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peneliti/staf pengajar di Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR)–Universitas Gajah Mada terutama Ibu Wahyu Tri Widayanti, Ibu Bariatul Himmah. Ucapan dan terima kasih juga kepada para penyuluh kehutanan di BP2KP Kabupaten Gunung Kidul (Bapak Supriadi, Bapak Diyarno, Bapak Mulyadi, Bapak Widyanto), penyuluh kehutanan di Dishutbun Kab. Wonogiri (Bapak Eko Kadarmanto dan Bapak Kusnanto), Bapak Senen dan keluarga, Bapak Prambudi dan keluarga, Bapak Siman dan keluarga, Adik Milla, Vyta dan Laeli, yang telah sangat membantu dalam proses pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mbak Nana, Diani, adik Ganjar Samiaji (alm), beserta keluarga yang telah memberi bantuan selama pengambilan data di lapangan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada orang tua terkasih (Alm. Papa Memet Krisna Sukarno dan Mama Yoshie Kuwabara), mertua terkasih (Alm. Papa Yohanes L. Therik dan Mama Mieke Therik-Rotti), kakak Hanako H. Sukarno dan adik Yoshino M. Sukarno beserta keluarga, serta keluarga lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kepada para sahabat, terutama teman-teman seperjuangan Angkatan 2007 Program Studi PPN-IPB (Adi Riyanto, Yunita, Tin Herawati, Ibu Puji Winarni, Rayuddin, Bapak Ramli Toha, Bapak Narso, Bapak Dwi Sadono, M. Ikbal, Sapar, beserta keluarga), para sahabat di Kementerian Kehutanan (Ibu Djunaida Hak, Ibu Ryke, Endang D.Hastuti, Suwandi, Victor, Hendro Asmoro, Sri Ramadoan, Ristianasari, Kusdamayanti, Maya Ambinari), Forum Karyasiswa Kementerian Kehutanan, Pelayan Teruna, Gerakan Pemuda, Pengurus UP2M, sahabat di GPIB Zebaoth Bogor (Yanti, Haryani, Hapsari, Didi, beserta keluarga), alumni PMK IPB (Pemter, Ade Dewiana, David Tobing, beserta keluarga), yang dengan tulus senantiasa mendoakan, membantu dan memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Yumi
xii
April 2011
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR …………………………….....……………… ............
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang
…...............................................................................
1
Perumusan Masalah ..............................................................................
4
Tujuan Penelitian ...................................................................................
4
Manfaat Penelitian ..............................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA Teori belajar ……................................................................................
6
Pembelajaran dan Proses belajar ...........................................................
10
Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar ............…………............
13
Karakteristik Individu Pembelajar ..................................................
15
Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar
...............................
16
Pendekatan Pembelajaran ................................................................
20
Kelembagaan Masyarakat ................................................................
23
Kelembagaan Pendukung Proses Belajar ........................................
28
Perubahan Perilaku Sebagai Hasil Proses Belajar ...............................
34
Penyuluhan Merupakan Pembelajaran Masyarakat ………...................
42
Hutan Rakyat ……………………………………………....................
44
Sistem Sertifikasi Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari …….............
49
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpiikir …………………………………………..............
54
Hipotesis Penelitian …………………………….......………...............
64
METODE PENELITIAN Desain Penelitian ...................................................................................
66
Lokasi dan Waktu
..............................................................................
67
Populasi dan Sampel..............................................................................
67
Pengumpulan Data ..............................................................................
68
Jenis Data ............................................................................................
69
xiii
Halaman Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian…………….................
69
Pengolahan dan Analisis Data
...........................................................
72
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian……............
77
DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri
.....................
87
Hutan Rakyat di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri ..........................
87
Sejarah Hutan Rakyat .........................................................................
87
Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ......................................................
90
Deskripsi Peubah Penelitian ................................................................
96
Karakteristik Individu Petani...........................................................
96
Kompetensi penyuluh .....................................................................
102
Pendekatan pembelajaran ................................................................
112
Kelembagaan Masyarakat ................................................................
118
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran ........................................
127
Intensitas Belajar Petani ................................................................
138
Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat ..........................
145
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI Faktor Yang Mempengaruhi Intensitas Belajar Petani ..........................
155
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Petani Mengelola HRL............ ..
171
Peran Penting Kelembagaan dalam Proses Pembelajaran Petani..........
180
Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan HRL..
187
Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan HRL
198
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
........................................................................................
204
Saran ......................................................................................................
207
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...
211
LAMPIRAN .................................................................................................
220
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perbandingan Perangkat Kelembagaan Pembelajaran Lama Dan Baru..
31
2.
Klasifikasi Jenjang Perubahan Perilaku ...............................................
36
3.
Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja Unjuk Kerja dan Contoh......
38
4.
Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar
..................
44
5.
Perbandingan Intensitas Belajar ”Tinggi yang Memberdayakan Petani” dan ”Rendah yang Memperdayakan Petani” …..............
56
Perbandingan Ciri Penyuluh sebagai ”Insider” yang bekerja sama dan Penyuluh sebagai ”Outsider” yang bekerja untuk masyarakat........
57
Perbandingan Pendekatan Pembelajaran (Learning) dan “Pengajaran” (Teaching) .......................................................................................
59
8.
Ciri Kelembagaan Masyarakat Yang ”Dinamis” dan ”Statis” ..............
60
9.
Ciri Kelembagaan Pendukung ”Kolaboratif” dan ”Non Kolaboratif”....
61
10.
Perbandingan Karakteristik Petani “Responsif” dengan Petani ”Tidak Responsif” terhadap Proses Belajar ....................................
62
Perbandingan Perilaku ”Pro Lestari” dan ”Kontra Lestari” dalam Pengelolaan Hutan Rakyat .............................................................
63
12.
Perincian Jumlah Responden Penelitian ...............................................
68
13.
Reliabilitas Peubah Penelitian
.............................................................
72
14.
Indikator dan Parameter Peubah Karakteristik Petani …........................
77
15.
Indikator dan Parameter Kompetensi Penyuluh……………...…...........
78
16.
Indikator dan Parameter Kompetensi Peubah Pendekatan Pembelajaran……......................................…................................
80
17.
Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Masyarakat…...............
81
18.
Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Pendukung Pembelajaran..................................................................................
83
19.
Indikator dan Parameter Peubah Intensitas Belajar Petani…..................
84
20.
Indikator dan Parameter Peubah Perilaku Petani ……..…..................
85
21.
Perbandingan Karakteristik Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dan Hutan Rakyat Non Sertifikasi di Kab.Gunung Kidul dan Wonogiri .........................................................................................
97
6.
7.
11.
xv
Halaman 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Perbandingan Kompetensi Penyuluh/Pendamping di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri.........................................................................
103
Perbandingan Pendekatan Pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
113
Perbandingan Kelembagaan Masyarakat pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
119
Perbandingan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
128
Perbandingan Intensitas Belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab.Gunung Kidul dan Wonogiri .......................
139
Perbandingan Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
146
Perbandingan Pengetahuan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
149
Perbandingan Sikap Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...............................................
151
Perbandingan Keterampilan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri...................................
153
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Konseptual penelitian .............................................................
55
2.
Bagan Kerangka Berpiikir ......................................................................
65
3.
Model Hipotetik Persamaan Struktural
...............................................
75
4.
Model Y1. Model Intensitas Belajar Petani HRL ................................
76
5.
Model Y2. Model Perilaku Petani HRL ...............................................
76
6.
Model Lengkap Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari.................
154
7.
Model Pengembangan Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari........
187
8.
Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani HRL................................
198
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 3 penyelenggaraan kehutanan bertujuan
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
yang
berkeadilan
dan
berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan, serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenhut, 2010). Penjabaran Undang-Undang dimaksud dalam pelaksanaannya masih kurang optimal. Masih banyak ditemukan pemanfaatan hutan yang berlebihan dengan mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan secara ekologis dan sosial, yang mengakibatkan peningkatkan laju deforestasi dan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Kemenhut (2010) laju deforestasi antara tahun 2000 – 2005 mencapai 1,08 juta hektar/tahun. Hutan dan lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar, terdiri dari lahan sangat kritis: 6,9 juta hektar, 23,3 kritis dan 47,6 agak kritis. Kerusakan hutan dan lahan semakin memperburuk kondisi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan, yang saat ini diperkirakan sebanyak 30-35% dari jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (48,8 juta penduduk). Di sisi lain kebutuhan kayu untuk memenuhi stok industri kehutanan dalam maupun luar negeri masih sangat kurang. Kebutuhan kayu nasional diprediksi dalam 20 tahun ini 50-60 juta m3 per tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya sebesar 25-30 juta m3 per tahun. Dengan kondisi tersebut, defisit kebutuhan kayu sebesar 25-30 juta m3 per tahun (CIFOR, 2005). Kebutuhan kayu tersebut tidak dapat dipenuhi dengan mengandalkan hutan alam, yang kondisinya semakin kritis dan hutan tanaman industri semata. Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Rakyat saat ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut. Hutan Rakyat, yang
2
dikembangkan di lahan-lahan milik masyarakat, bertujuan selain untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, memenuhi permintaan pasar terhadap kebutuhan kayu, juga meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pengelola. Kayu rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang sedang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 50%, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 40% (BRIK, 2010). Hutan rakyat dan industri pengolahan hasilnya merupakan pilihan teknologi budidaya dan industri yang tepat guna bagi wilayah-wilayah yang berlahan marjinal dengan kondisi sosio budaya tradisional (Darusman, 2002). Peluang pengembangan hutan rakyat dan industri pengolahannya di Indonesia masih terbuka luas. Sejak tahun 2002 hingga sekarang Hutan Rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, sejak 2002 telah meningkatkan luas Hutan Rakyat di daerah-daerah kritis seluas 1.102.912 hektar, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri (Kemenhut, 2010). Pengembangan
hutan
rakyat
secara
umum
menghadapi
permasalahan-
permasalahan yang dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan
(Mindawati
et.al.,
2006).
Permasalahan
pada
sub
sistem
kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; dan (c) kurang komunikasi baik antar multipihak. Selain itu pengembangan hutan rakyat menghadapi tantangan yaitu adanya tuntutan dunia internasional yang memberlakukan sertifikat “Ekolabel” bagi kayukayu yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari, dan isu global warming
yang
menghendaki
adanya
pengelolaan
hutan
secara
berkelanjutan/lestari. Sertifikasi Ekolabel selain menjadi tantangan bagi
3
pengembangan hutan rakyat di masa mendatang, juga mempunyai nilai strategis. Dengan adanya sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat, yang oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dinamakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), diharapkan harga jual kayu meningkat dan dapat menembus pasar internasional sehingga berdampak positif terhadap kehidupan masyarakatnya. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, telah berhasil membuktikan bahwa Hutan Rakyat dapat diandalkan sebagai pemasok kayu bagi pasaran nasional dan internasional sekaligus menjadi contoh pengelolaan hutan secara lestari dan dapat mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan. Sertifikat ekolabel juga diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat, karena diharapkan kayu bersertifikat ekolabel memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani dengan kearifan tradisionalnya dalam pengelolaan hutan secara lestari, serta pengelolaan hutan yang kolaboratif karena melibatkan proses kerja sama berbagai pihak, yaitu Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi pemerhati pengembangan hutan rakyat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh berbagai pihak telah meningkatkan kapasitas kelembagaan petani, yang saat ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat, khususnya di Indonesia. Keberhasilan-keberhasilan
pengelolaan
hutan
berbasis
masyarakat,
termasuk di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri dapat dijadikan teladan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan, lebih khusus lagi dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Tetapi kemampuan masyarakat tersebut perlu terus didukung oleh suatu proses belajar berkelanjutan sehingga masyarakat dapat menyadari permasalahan dan potensi yang dimilikinya, termotivasi untuk melatih dan meningkatkan kapasitas dirinya sehingga mampu mengatasi permasalahannya, menghadapi tantangan dan mengembangkan potensinya.
4
Proses belajar masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam Undang-Undang
tersebut
dinyatakan
bahwa
penyuluhan
adalah
proses
pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan
dan
sumberdaya
lainnya,
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Dephut, 2006). Perumusan Masalah Penelitian Proses belajar masyarakat di dalam dan sekitar hutan pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Penyuluhan kehutanan terus berupaya mengembangkan paradigma penyuluhan ke arah pemberdayaan masyarakat. Namun, sampai dengan saat ini belum memiliki acuan yang jelas bagaimana pendekatan pembelajaran masyarakat yang baik, khususnya pada petani hutan, yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Program-program penyuluhan kehutanan sampai dengan saat ini masih lebih banyak bersifat sekedar kegiatan pemberian bantuan (filantropi), yang tidak memberdayakan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan suatu konsep awal acuan model penyuluhan kehutanan yang dapat memberdayakan petani sehingga petani dapat mandiri dalam mengelola hutan secara lestari. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor manakah yang menjadi penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari? 2. Seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran
petani dalam pengelola hutan rakyat lestari?
5
3. Bagaimanakah model dan strategi penyuluhan kehutanan yang dapat mengembangkan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; 2. Menganalisis seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; 3. Merumuskan konsep model dan strategi penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan dan manfaat
praktis.
menyumbangkan
Manfaat
keilmuan
dalam
hal
ini
adalah
penelitian
perkembangan dalam kajian ilmu penyuluhan khususnya
pendidikan non formal berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan. Sedangkan manfaat praktis ialah penelitian ini memberikan masukan bagi instansi terkait di Pusat, daerah, dan pihak lainnya yang berkepentingan dalam pengembangan pembangunan kehutanan
berkelanjutan
yang
berbasis
masyarakat,
khususnya
dalam
pengembangan pengelolaan hutan rakyat lestari. Diharapkan konsep model penyuluhan kehutanan yang didapatkan dari penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Nilai kebaruan atau novelty penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu model penyuluhan kehutanan dan pengelolaan hutan rakyat lestari. Selama ini penelitian dalam bidang penyuluhan kehutanan belum ada kajian yang mendalam terhadap model pembelajaran petani, khususnya pada aspek kelembagaan. Dalam bidang kehutanan, penelitian mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari (sertifikasi) belum banyak dilakukan, khususnya penelitian yang difokuskan pada proses pembelajaran petani.
TINJAUAN PUSTAKA Teori Belajar Menurut Soemanto (2006) teori belajar berkembang sejalan dengan perkembangan teori psikologi pendidikan. Tiga aliran psikologi pendidikan yang mendasari teori belajar yaitu : (1) Teori belajar dari psikologi behavioristik Tokoh-tokoh aliran ini sering disebut contemporary behaviorists atau S-R psychologists. Menurut teori ini tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terhadap jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya. Pandangan ini mempercayai bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Jadi kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Aliran behavioristik
dipelopori
oleh
Thorndike.
Selanjutnya
tokoh-tokoh
yang
mengembangkan aliran behavioristik ialah Pavlov, Watson, Skinner, Wabon, dan Ghuthrie. (2) Teori belajar dari psikologi kognitif Menurut teori ini, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisis, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Kaum kognitis berpandangan bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap hubunganhubungan yang ada di dalam suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan. Tokoh pelopor aliran ini ialah Mex Werheimer, yang dikenal dengan teori belajar Gestalt. Tokoh selanjutnya pada aliran kognitif ialah Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, teori belajar Cognitive-Field Lewin, teori belajar cognitive development Piaget, dan Jerome Bruner dengan Discovery Learning.
7
(3) Teori belajar dari psikologi humanistik Perhatian psikologi humanistik yang terutama pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Tujuan utama pada pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada mereka. Psikologi humanistik ini timbul pada akhir tahun 1940-an dan masuk dalam dunia pendidikan pada tahun 1960-1970-an. Beberapa tokoh humanistik antara lain Comb, Maslow dan Rogers. Penggolongan teori belajar yang lain menurut Tan et. al. (2001), selain teori belajar kognitif dan behavior, dikenal teori belajar neo-behavior atau sering juga disebut neo-kognitif. Teori ini mempercayai bahwa perubahan perilaku dapat diamati dan dipengaruhi oleh proses internal. Salah satu teori yang termasuk golongan ini ialah teori belajar sosial yang dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut teori belajar sosial, tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku dan faktor lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977). Selanjutnya dalam perkembangan teori belajar, muncul teori yang menjelaskan bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) sebagai pencetus teori ini, melakukan percobaan belajar yang non-direktif dengan menggunakan prinsip “self determination” dan “self-directions” dengan pendekatan “learner centered”. Menurut Rogers, pembelajaran memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka untuk meningkatkan kemandirian dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
8
Teori lainnya berkaitan dengan permasalahan sosial, Freire (1984) mengungkapkan
bahwa
pembelajaran
perlu
menggunakan
konsep
“conscientization” dan konsep “praxis”. “Conscientization” menekankan pengembangan kesadaran diri peserta didik untuk memahami lingkungannya melalui pendidikan “membebaskan”, yaitu pendidikan yang memperlakukan peserta didik sebagai subyek yang aktif. “Praxis” menekankan cara berfikir reflektif sebagai kunci keberhasilan dalam belajar dan merupakan fungsi manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan menelaah dengan kritis, berinteraksi, dan mengubah dunia kehidupannya. Freire mengemukakan bahwa proses penyadaran dapat dilakukan dengan pendidikan yang humanis dan dialogis (interaktif). Freire mendobrak pendidikan sistem gaya bank dan mengubahnya menjadi pendidikan ”hadap masalah” (problem-posing education), dimana guru dan murid dijadikan sebagai subjek dan menjadikan
dialog
sebagai
unsur
terpenting
dalam
pendidikan.
Freire
mengemukakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yaitu pengajar dan pelajar sebagai subyek yang sadar (cognitive), dan realitas dunia sebagai obyek yang tersadari (cognizable). Metode pendidikan yang di kemukakan oleh Freire mendasarkan diri pada dialog, yang merupakan hubungan horizontal antar pribadi. Selain teori belajar di atas, dikenal juga teori belajar orang dewasa (andragogi), Knowles (1980) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar. Teori andragogi yang pertama dikembangkan oleh Knowles, didukung oleh para pakar pendidikan lainnya, seperti Darkenwald dan Meriam, Patricia Gross dan Jarvis. Inti teori andragogi adalah teknologi keterlibatan diri peserta didik. Artinya bahwa kunci keberhasilan dalam proses pembelajaran peserta didik terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran. Asumsi yang dijadikan landasan dalam teori andragogi adalah : (1) orang dewasa mempunyai konsep diri; (2) orang dewasa memiliki akumulasi pengalaman; (3) orang dewasa mempunyai kesiapan untuk belajar; (4) orang dewasa berharap dapat segera menerapkan perolehan belajarnya; dan (5) orang dewasa memiliki kemampuan untuk belajar.
9
Belajar bagi orang dewasa mengarah pada proses pemenuhan kebutuhan belajar dan pencapaian tujuan belajar. Orang dewasa merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadinya akan tercapai melalui belajar. Proses belajar akan terpusatkan pada pengalaman sendiri melalui interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Kualitas belajar akan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian seni membelajarkan orang dewasa merupakan upaya mengelola lingkungan dan interaksinya dengan peserta didik melalui proses pembelajaran. Implikasinya dalam proses pembelajaran diperlukan penggunaan metode dan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara intensif dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, merangsang dan melaksanakan kegiatan belajar, serta menilai proses, hasil dan dampak pembelajaran (Sudjana, 2000). Dalam perkembangan teori belajar muncul pembelajaran partisipatif. Menurut teori ini kegiatan pembelajaran akan efektif apabila peserta didik merasa butuh belajar, menyadari bahwa belajar itu penting bagi perubahan dirinya, serta ikut ambil bagian secara aktif dalam merancang apa yang akan dipelajari, menentukan cara-cara dalam mempelajari dan merasakan manfaat dapat diperoleh dari kegiatan pembelajaran. Oleh karenanya prinsip pembelajaran partisipatif adalah : (1) berdasarkan kebutuhan belajar. Pentingnya kebutuhan belajar didasarkan asumsi bahwa peserta didik akan belajar secara efektif apabila semua komponen program pembelajaran dapat membantu peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya; (2) berorientasi pada tujuan kegiatan pembelajaran (learner centered). Kegiatan pembelajaran partisipatif direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan belajar disusun berdasarkan kebutuhan belajar dengan mempertimbangkan pengalaman peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada lingkungan kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk dapat merumuskan tujuan belajar secara tepat dan proses belajar dapat berjalan dengan baik, perlu dilakukan identifikasi potensi, sumber-sumber bahkan hambatan yang akan dihadapi; (3) berpusat pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran didasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan peserta didik. Peserta didik
10
diikutkan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembelajaran; (4) berangkat dari pengalaman belajar (experiental learning). Pembelajaran partisipatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik dan lebih menitikberatkan pada pendekatan pemecahan masalah.
Pembelajaran dan Proses Belajar Pembelajaran berasal dari kata dasar belajar. Pembelajaran adalah suatu disiplin yang menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki proses belajar. Sasaran utamanya adalah mempreskripsikan strategi yang optimal untuk mendorong prakarsa dan memudahkan belajar. Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan agar terjadinya proses belajar pada diri pembelajar (Dwiyogo, 2008). Bruner (1964) membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal, yang dapat mempermudah proses belajar. Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas dan prestasi hidup manusia merupakan hasil dari proses belajar. Proses belajar dapat berlangsung pada pendidikan formal, informal dan nonformal. Sehubungan dengan hal tersebut, Coombs (1973) memberikan pengertian yang berbeda bagi ketiga jenis pendidikan tersebut. Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi dan yang setaraf dengan itu, termasuk ke dalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan secara terus menerus. Pendidikan informal adalah proses belajar yang berlangsung sepanjang hayat sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari. Pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, pekerjaan, permainan,
11
pasar, perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal adalah kegiatan yang terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Winkel (1991) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seorang yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu. Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan, tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan; dalam bergaul dengan orang, dalam memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun, tidak sembarang berada di tengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Dengan demikian Winkel (1991) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Perubahan-perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Marzano (1992) mengungkapkan bahwa belajar merupakan upaya pemberian makna oleh pembelajar kepada pengalamannya. Prosesnya mengarah pada pengembangan struktur kognitif dan dilakukan baik secara mandiri maupun secara sosial. Tujuan utama pembelajaran adalah membelajarkan pembelajar. Kegiatan belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar yaitu: (1) Memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar; (2) Mau dan mampu mendapatkan dan mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta membangun sikapnya; (3) Mau dan mampu memperluas serta memperdalam pengetahuan dan ketrampilan serta memantapkan sikapnya; (4) Mau dan mampu menerapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikapnya secara bermakna; dan (5) Mau dan mampu membangun kebiasaan berpikir, bersikap dan bekerja produktif.
12
Menurut Sudjana (2000), belajar dapat merupakan suatu hasil dan sebuah proses. Belajar sebagai hasil merupakan upaya yang disengaja oleh seseorang yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan belajar sebagai proses merupakan perilaku mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku. Penyesuaian tingkah laku dapat terwujud melalui kegiatan belajar, bukan karena akibat langsung dari pertumbuhan seseorang yang melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian belajar sebagai proses adalah kegiatan seseorang yang dilakukan secara sengaja melalui penyesuaian tingkah laku dirinya dalam upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid, murid dan murid, guru dan guru serta guru dan pegawai mempengaruhi hasil belajar. Interaksi guru dan murid sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal, komunikasi verbal dan non verbal. Interaksi guru dan murid terjadi jika ada komunikasi dua arah dan seimbang. Demikian interaksi sesama murid, akan mendukung pencapaian tujuan kelompok. Kekohesivan kelompok sangat berperan dalam mendukung proses belajar. Freire (1984) memberikan perhatian pada proses belajar yang dialogis atau interaktif antara guru dan murid. Guru dan murid sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar. Proses belajar diawali dengan penyadaran warga belajar secara bertahap atas masalah yang dihadapi, sehingga warga belajar mampu menafsirkan masalah, mampu merefleksikan dan melihat hubungan sebab akibat permasalahan yang dihadapinya dengan kondisi dan realitas yang ada, serta dapat mengambil tindakan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Dwiyogo (2008) menyatakan bahwa kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran visioner (masa depan), dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, melalui apa saja. Artinya pembelajaran tidak tergantung pada suatu tempat tertentu seperti ruangan kelas, pada suatu waktu tertentu dengan sumber belajar yang tidak terbatas pada guru atau dosen.
13
Faktor Yang Mempengaruhi Proses Belajar Proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, Suryabrata (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu: (1) faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan (2) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar. Faktor yang berasal dari luar diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor non sosial dan faktor sosial. Faktor non sosial dalam hal ini ialah : lokasi/tempat belajar, fasilitas belajar dan lainnya, sedangkan faktor sosial ialah kehadiran orang lain dalam proses belajar. Faktor yang berasal dari dalam diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis. Faktor fisiologis dalam hal ini ialah kondisi jasmani, panca indra dan lainnya; sedangkan faktor psikologis yaitu motif, kebutuhan atau cita-cita. Tan et. al. (2001) menyebutkan faktor eksternal yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial juga mempengaruhi proses belajar. Lingkungan fisik dalam hal ini ialah aksesibilitas, zone kegiatan visibilitas dan lainnya, sedangkan lingkungan sosial diantaranya ialah komunitas belajar, tingkat kekohesivan, norma dan tujuan belajar. Soemanto (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1)
Faktor-faktor stimuli belajar Stimuli belajar yaitu segala hal di luar individu yang merangsang individu itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini mencakup materiil, penegasan, serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar.
(2)
Faktor-faktor metode belajar Metode yang digunakan oleh guru/fasilitator menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar
(3)
Faktor-faktor individual Faktor individual sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar seseorang. Faktor-faktor individual menyangkut beberapa hal, yaitu : (a) kematangan; (b) faktor usia kronologis; (c) faktor perbedaan jenis kelamin; (d) pengalaman sebelumnya; (e) kapasitas mental; (f) kondisi kesehatan jasmani; (g) kondisi kesehatan rohani; dan (h) motivasi.
14
Klausmeier dan Goodwin (1971) menyebutkan ada sembilan faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu : (1)
Tujuan belajar Proses belajar dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, apa yang diharapkan dan diinginkan dari proses pembelajaran tersebut;
(2)
Materi pembelajaran Setiap orang yang belajar, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan pada suatu bidang tertentu. Semakin dewasa orang yang belajar cenderung akan mendekati suatu minat atau keahlian dalam suatu bidang tertentu;
(3)
Media dan teknologi dalam pembelajaran Bangunan sekolah dilengkapi dengan perlengkapan audio, audio visual, komputer, ruangan untuk kegiatan belajar kelompok dan lainnya;
(4)
Karakteristik dan perilaku orang yang belajar Untuk memperoleh proses belajar yang efektif sangat ditentukan oleh karakteristik
dan
perilaku
pengetahuan/intelektual,
orang
yang
kemampuan
belajar
baik
psikomotorik
dan
kemampuan fisik
serta
karakteristik sikap; (5)
Karakteristik pengajar Kemampuan intelektual, ketrampilan dan sikap guru sangat berpengaruh terhadap efektifnya suatu proses belajar;
(6)
Interaksi pengajar dan orang yang belajar Interaksi pengajar dan orang yang belajar diantaranya ialah bagaimana komunikasi antara pengajar dan yang diajar, bagaimana cara pengajar menerangkan atau mengajar dan lainnya;
(7) Organisasi, organisasi kependidikan baik penyelenggaraan pendidikan, maupun organisasi keprofesian guru; (8)
Karakteristik fisik, seperti ruangan, sarana dan fasilitas lembaga pendidikan sangat menentukan keberhasilan proses belajar; dan
(9)
Hubungan rumah-sekolah dan komunitas, sekolah menjalankan fungsi sosial dimana rumah dan tetangga dimana murid berasal memberikan pengaruh terhadap proses belajar.
15
Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar secara umum terbagi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar antara lain adalah: kompetensi pengajar; pendekatan atau metode pengajaran yang digunakan; lingkungan sosial dimana pembelajar tinggal atau bermasyarakat; dan kelembagaan yang memfasilitasi proses belajar. Faktor internal yang mempengaruhi proses belajar adalah karakteritik individu pembelajar itu sendiri. Faktor internal dan eksternal tersebut, bila dikaitkan dengan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka dapat disesuaikan menjadi: (1) kompetensi penyuluh dalam proses belajar; (2) pendekatan pembelajaran; (3) kelembagaan masyarakat; (4) kelembagaan pendukung pembelajaran masyarakat; dan (5) karakteristik petani pembelajar.
Karakteristik Individu Pembelajar Karakteristik individu pembelajar merupakan faktor internal yang mempengaruhi proses belajar, yang akan dikaji dalam penelitian ini. Berkaitan dengan faktor individual yang mempengaruhi proses belajar, Tan et.al (2001) menyebutkan bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam pembelajaran. Motivasi merupakan kekuatan yang menguatkan, memelihara, dan mengarahkan perilaku ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Penelitian dan teori-teori menyebutkan bahwa motivasi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Menurut Soemanto (2006) motivasi intrinsik ialah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik ialah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Bila dikaitkan dengan faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar di atas, seluruh faktor-faktor eksternal tersebut dapat menjadi motivasi eksternal bagi orang yang belajar. Bila dikaitkan dengan proses belajar dalam pendidikan nonformal, Sumardjo (1999) mengungkapkan bahwa karakteristik : ciri komunikasi, kepribadian, status sosial, motivasi intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi proses pembelajaran petani. Soedijanto (2004) mengungkapkan bahwa pengalaman, baik
16
yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang.
Sebaliknya
seseorang
yang
pernah
memiliki
pengalaman
mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Sejalan dengan itu, Soebiyanto (1998) mengungkapkan bahwa karakteristik pribadi petani (pengalaman berusahatani, motivasi, dan pendidikan formal) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Demikian juga dengan karakteristik ekonomi (penguasaan lahan dan pemilikan alat produksi) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Suparno (2001) mengemukakan faktor individual lain yang mempengaruhi proses belajar yaitu: konsep diri, locus of control, kecemasan. dan motivasi. Konsep diri ialah penilaian atau penghargaan yang diberikan oleh individu terhadap diri sendiri, dapat bernilai positif, negatif atau di antara keduanya. Untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Contohnya: saya dapat berprestasi dan memiliki pemikiran yang baik untuk dikembangkan. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang.
Locus of control
adalah cara bagaimana seseorang mempersepsi dan meletakkan hubungan antara perilaku dirinya dengan konsekuensi-konsekuensi dan apakah ia menerima tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Kecemasan digambarkan sebagai keadaan emosi yang dihubungkan dengan rasa takut, tetapi obyek rasa takut itu tidak jelas.
Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar Konsep kompetensi diawali pada tahun 1973 oleh Mc. Clelland, dan dikembangkan oleh Boyatzis pada tahun 1982. Beberapa definisi kompetensi antara lain: (1)
Boyatzis (1984) Kemampuan (ability) dan ketrampilan (skill) yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan/tugas guna mencapai tujuan. Kemampuan menggambarkan sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental dan fisik.
17
Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan. (2)
Spencer dan Spencer (1993) : Kompetensi merupakan segala bentuk tentang motif, sikap, ketrampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting, untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior.
(3)
Samana (1994) Seseorang dikatakan kompeten apabila seseorang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Kecakapan kerja tersebut diwujudkan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan masyarakat yang dilayani.
(4)
Sumardjo (2006) Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan petunjuk kerja yang ditetapkan. Rogers (1983) mengemukakan bahwa seorang penyuluh dikatakan
kompeten apabila dia berhasil melaksanakan serangkaian tugasnya yang mencakup : (1) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat sasarannya; (2) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara/mediator antara sumber-sumber inovasi dengan pemerintah, lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya; dan (3) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya. Menurut Spencer dan Spencer (1993) berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan, kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu “threshold” dan “differentiating”. Threshold competencies merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik utama tersebut adalah pengetahuan atau keahlian dasar terkait dengan bidang kompetensinya. Differentiating competencies adalah faktor-faktor yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu yang berkinerja baik dengan yang berkinerja rendah. Dalam konteks penyuluhan, Sumardjo (2008) menyatakan bahwa threshold competencies
18
atau keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja sama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Sedangkan Differentiating competencies dalam konteks penyuluh adalah menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya. Chamala dan Shingi (1997) mengungkapkan bahwa penyuluh ke depan harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting, yaitu: (1) pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3) pengembangan sumberdaya manusia; serta (4) pemecahan masalah dan pendidikan. Peranan pemberdayaan dalam hal ini ialah kegiatan membantu masyarakat untuk membangun, mengembangkan dan meningkatkan kekuasaan (power) masyarakat melalui kemitraan, pembagian peran dan bekerja sama. Kekuasaan dalam pemberdayaan berasal dari menggali energi laten yang tersembunyi, yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan membangun kegiatan bersama untuk kepentingan bersama. Peranan pengelolaan kelompok atau organisasi masyarakat dalam hal ini ialah: Penyuluh harus menguasai prinsip pengelolaan kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar masyarakat terutama kelompok yang lemah dapat mengembangkan diri mereka secara mandiri. Pemahaman terhadap struktur, hukum, aturan dan peranan akan menolong pemimpin lokal untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengawasi program sehingga dapat menjalankan peranannya dengan baik. Peranan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dimaksudkan sebagai upaya memberdayakan dan memberikan peran kepada semua orang dalam masyarakat. Pengembangan kapabilitas secara teknis harus dikombinasikan dengan kapabilitas manajemen. Kompetensi penyuluh dalam hal ini adalah melatih anggota baik secara individu maupun kelompok untuk mengembangkan ketrampilan dan meningkatkan kapasitas dalam manajemen organisasi, seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Peranan pemecahan permasalahan dan pendidikan dalam hal ini adalah penyuluh memiliki kemampuan bukan untuk mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan masyarakat, tetapi untuk membantu masyarakat agar mereka dapat mengambil solusi bagi permasalahan mereka sendiri. Peranan dalam pendidikan dalam hal ini mengubah
19
metode ceramah kepada pendekatan learning by doing dan merangsang petani dan organisasi petani untuk melaksanakan percobaan atau penelitian dan proyek pembelajaran dengan berbuat (action-learning project). Berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, Sumardjo (2006) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya yaitu : (1) kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif; (2) kemampuan bersinergi kerja sama dalam tim; (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan inovasi; (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau ketrampilan analisis masalah, (5) keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan desain komunikasi multimedia; (6) berwawasan luas dan membangun jejaring kerja; (7) pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani; dan (8) ketrampilan berpikir logis. Nuryanto
(2008)
mengungkapkan
bahwa
berdasarkan
tugas-tugas
penyuluh, tuntutan kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat merumuskan kompetensi dalam pembangunan pertanian yaitu: (1) keefektivan komunikasi; (2) pemanfaatan media internet, (3) membangun jejaring kerja; (4) mengakses informasi; (5) pemahaman inovasi; (6) bekerja sama dalam tim; (7) analisis masalah; (8) berpikir secara sistem/logis; (9) pemahaman potensi wilayah; dan (10) pemahaman kebutuhan petani. Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, menetapkan empat kompetensi yang perlu dikuasai oleh Penyuluh Kehutanan yaitu: (1) menguasai teknologi penyuluhan kehutanan, yaitu mengembangkan sistem, metode, materi dan alat bantu; (2) menguasai teknologi pemberdayaan pendampingan masyarakat, yaitu strategi, pengembangan kapasitas, produktivitas, kapabilitas, mobilitas; (3) menguasai substansi sektor kehutanan, yaitu isu-isu, kebijakan pembangunan, teknologi, kontribusi; serta (4) menguasai substansi agrisilvobisnis dan sosial ekonomi, yaitu penyediaan sarana produksi, produksi/budidaya,
pengolahan
hasil/pasca
panen,
pemasaran,
lembaga
pendukung. Sejalan dengan Chamala dan Shingi (1997), Moyo dan Hagmann (1999) menegaskan bahwa penyuluhan yang efektif di masa mendatang membutuhkan perubahan secara radikal, dari penyuluhan yang mengandalkan kemampuan
20
penyuluh dari segi teknis menjadi lebih luas yaitu kompetensi penyuluh dalam mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah. Kompetensi utama yang dibutuhkan oleh penyuluh menurut Moyo dan Hagmann (1999) ialah : (1) pemahaman dan orientasi mendalam terhadap visi pembangunan partisipatif yang dititikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia dan kemandirian sebagai tujuan penyuluhan; (2) memiliki pandangan terhadap berbagai pendekatan dan metode penyuluhan dan mengkombinasikannya dengan berbagai elemen yang ditemui
dalam
pekerjaannya;
(3)
memahami
secara
mendalam
proses
pembelajaran dan pendekatan sistem; (4) kreatif menemukan metode dan cara yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran; (5) kemampuan berkomunikasi dan keahlian memfasilitasi yang didasarkan pada sikap positif pada klien; (6) kemampuan melakukan komunikasi dan menjembatani hubungan dengan berbagai pihak/institusi; (7) pengetahuan teknis berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara efektif dan keamanan pangan, dalam hal ini pengetahuan secara umum, bukan pengetahuan spesifik terhadap suatu komoditi dan lainnya; (8) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen dan organisasi penyuluhan. Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi ialah kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sesuai dengan standar kerja yang ditetapkan atau bahkan dapat mencapai sasaran ideal yang diharapkan. Berkaitan dengan penyuluhan kehutanan, kompetensi yang perlu dan diharapkan dimiliki oleh penyuluh kehutanan adalah: (1) kemampuan mengembangkan komunikasi; (2) kemampuan mengenali dan memahami kebutuhan petani; (3) kemampuan menganalisa masalah; (4) kemampuan mengembangkan kemitraan; (5) kemampuan mengembangkan kapasitas/SDM petani; (6) kemampuan mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani; (7) kemampuan mengembangkan teknis pengelolaan hutan secara lestari.
Pendekatan Pembelajaran Prinsip utama dalam pertanian berkelanjutan menurut Roling dan Pretty (1997) adalah pandangan baru mengenai pembelajaran (learning). Pembelajaran
21
(learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Pengajaran (teaching) lebih menekankan transfer pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Pengajaran merupakan model yang umum dalam kurikulum pendidikan pada banyak organisasi. Pada institusi pendidikan, paradigma pengajaran ditekankan pada penyampaian materi pelajaran kepada murid/peserta, tidak memberikan tekanan pada proses pengembangan diri dan peningkatan kemampuan belajar pada peserta. Roling dan Pretty (1997) mengemukakan untuk pembelajaran pertanian berkelanjutan membutuhkan transformasi mendasar pada tujuan, strategi, teori, persepsi, ketrampilan, pekerja organisasi dan tenaga profesional. Pergeseran dari pengajaran ke pembelajaran menggeser fokus pembelajaran dari apa yang kita pelajari ke arah bagaimana kita belajar dan dengan siapa kita belajar. Empat elemen mendasar yang diperlukan dalam pembelajaran adalah : (1)
Sistem informasi Pertanian berkelanjutan harus menciptakan perubahan lingkungan sehingga petani dapat melakukan observasi, pencatatan dan pemantauan;
(2)
Kerangka kerja konseptual Pertanian berkelanjutan merupakan pengetahuan intensif sehingga petani harus memiliki pengetahuan luas yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan;
(3)
Ketrampilan Petani membutuhkan ketrampilan yang lebih luas berkaitan dengan usahanya;
(4)
Sistem manajemen yang lebih tinggi tingkatannya Pertanian berkelanjutan membutuhkan manajemen yang bersifat sistemik. Dalam penyuluhan pertanian sudah lama digunakan model difusi inovasi
atau transfer teknologi dalam pembangunan pertanian, dimana teknologi ditransfer dari peneliti kepada petani. Pendekatan dengan sistem Latihan dan Kunjungan (Training and Visit – T & V) banyak dikembangkan di negara-negara berkembang sejak tahun 1967, yang diawali di Turki (Roling dan Pretty, 1997). Perubahan paradigma penyuluhan menggeser pendekatan T & V atau pendekatan direktif ke arah pendekatan penyuluhan partisipatif.
Pengertian partisipatif
22
menurut Moyo dan Hagmann (1999) adalah masyarakat petani mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri, melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap kegiatan. Inti partisipatif ialah proses interaktif dan pemberdayaan. Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, peserta harus melalui proses : (1) menjadi sadar; (2) berminat; (3) terlibat aktif dalam pengalaman pembelajaran (dalam hal ini negosiasi); (4) terbentuk praktek dan rutinitas beradaptasi. Sedangkan Moyo dan Hagmann (1999) menyatakan proses pembelajaran dalam Participatory Extension Approach (PEA) terdiri dari 4 fase dan 12 tahap yaitu : (1) fase I : mempersiapkan masyarakat/komunitas: mobilisasi sosial; (2) fase II: perencanaan aksi tingkat komunitas; (3) fase III: pelaksanaan/pengalaman petani; dan (4) fase IV: monitoring proses melalui sharing pengalaman dan ide. Kolb (1984), diacu dalam Leeuwis (2004), memperkenalkan model pembelajaran ”experiental learning” yang digunakan secara luas. Inti model pembelajaran ini ialah bagaimana masyarakat belajar melalui pengalaman. Tipe pembelajaran ini sangat ”berkuasa” (powerful), kesimpulan diambil oleh masyarakat sendiri berdasarkan pengalaman mereka sendiri untuk mendapatkan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pandangan yang diformulasikan oleh orang lain berdasarkan pengalaman yang tidak dapat diidentifikasi oleh peserta belajar. Pendekatan ini juga sering kali dikaitkan dengan ”learning by doing” atau ”discovery learning”. Model pembelajaran ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi dari interaksi berkelanjutan antara proses berpikir dan bertindak: tindakan konkrit merupakan hasil dari pengalaman tertentu, yang direfleksikan, sehingga menghasilkan perubahan kognisi, sehingga dapat mengakibatkan tindakan atau aksi baru. Model ini mengimplikasikan bahwa pembelajaran dapat diperluas dengan mendukung secara aktif langkah dasar dan proses perubahan selama proses belajar, dengan menawarkan kesempatan pembelajaran yang baru.
23
Kelembagaan Masyarakat Kesuksesan sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya bergantung pada motivasi, ketrampilan dan pengetahuan individu petani, tetapi pada tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal secara keseluruhan (Pretty, 1995). Sejalan dengan itu Ostrom (1990), diacu dalam Pretty (1995), menegaskan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan disebabkan oleh fokus pengelolaan tanpa mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi tersebut.
Hasil studi Bank Dunia terhadap proyek
pembangunan pertanian selama ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek secara berkelanjutan terjadi bila memberikan perhatian pada pembangunan kelembagaan dan partisipasi masyarakat (Cernea, 1988). Menurut Uphoff (1986) istilah kelembagaan atau institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan ’social institution’ dan ’social organization’ berada pada level yang sama. Kelembagaan seringkali digunakan untuk mencakup kedua pengertian tersebut. Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Kelembagaan masyarakat atau lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial merupakan terjemahan langsung istilah “social institution”. Belum ada kesepakatan mengenai istilah Indonesia untuk social institution, Soekanto (2006) menggunakan
istilah
pranata
sosial,
bangunan
sosial
atau
lembaga
kemasyarakatan. Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi antara lain: a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan; b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara;
24
c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial: artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Uphoff (1992), diacu dalam Pretty (1995), menggunakan istilah “lokal” untuk institusi atau kelembagaan masyarakat, karena memiliki karakteristik khusus. Institusi atau kelembagaan lokal dalam hal ini berarti menjadi dasar untuk kegiatan kolektif, untuk membentuk konsensus, untuk menjalankan peran dan tanggung jawab koordinasi, dan untuk mengumpulkan, menganalisa dan mengevaluasi informasi. Fungsi organisasi dan institusi lokal menurut Uphoff (1992); Cernea (1991, 1993); Curtis (1991); Norton (1992); IFAP (1992) adalah : (a) Mengatur sumberdaya (tenaga kerja) untuk menghasilkan produk lebih banyak; (b) Menggerakkan sumberdaya material untuk menolong produksi lebih banyak (kredit, tabungan, pemasaran); (c) Menolong beberapa kelompok untuk mencapai
akses
baru
untuk
sumberdaya
produktif;
(d)
Mengamankan
keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam; (e) Menyediakan infrastruktur sosial pada tingkat desa; (f) Mempengaruhi kebijakan institusi yang mempengaruhi mereka; (g) Menyediakan keterkaitan antara petani, peneliti dan pelayanan penyuluhan; (h) Meningkatkan akses populasi penduduk desa kepada informasi; (i) Meningkatkan aliran informasi dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat; (j) Meningkatkan kohesi sosial; (k) Menyediakan kerangka kerja untuk
kegiatan
kerjasama;
(l)
Membantu
mengatur
masyarakat
untuk
menghasilkan dan menggunakan pengetahuan dan penelitian mereka untuk advokasi hak mereka; dan (m) Menjadi mediator untuk akses terhadap sumberdaya bagi kelompok terpilih. Menurut Ostrom (1990) dan Roling (1994), diacu dalam Pretty (1995), proses pembentukan kelompok mandiri pada tingkat lokal harus merupakan sebuah proses dalam masyarakat itu sendiri (organik) dan harus tidak ditekan atau dikerjakan terlalu cepat. The International Federation of Agricultural ProceduresIFAP (1992) menyatakan ada empat elemen penting dalam mendukung penguatan organisasi petani, yaitu: (1) mengembangkan kemampuan keuangan (financial) dengan sumberdaya yang dimiliki, terutama yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari anggota kelompok; (2) pembentukan struktur pemilihan wakil petani; (3)
memperoleh pengakuan sebagai legitimasi suara petani; dan (4)
25
mengembangkan perencanaan mandiri, pengelolaan dan penyediaan pelayanan yang efektif. Untuk
pembangunan
pertanian
berkelanjutan,
Pretty
(1995)
mengungkapkan enam tipe kelompok atau institusi lokal yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan pertanian berkelanjutan, yaitu: (1) organisasi komunitas/masyarakat, seperti kelompok tani; (2) kelompok pengelolaan sumberdaya alam, seperti untuk kelompok petani pengguna irigasi; (3) kelompok petani peneliti; (4) kelompok penyuluhan petani kepada petani (farmers to farmers); (5) kelompok pengelola kredit; dan (6) kelompok konsumen. Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya adalah tentang value, norm, custom, mores, folksway, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran. Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan faktor-faktor yang menyebabkan perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut disetarakan dengan apa yang disebut Koentjaraningrat (1997) dengan “wujud ideel kebudayaan” yaitu berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang disebut sebagai adat istiadat atau adat. Wujud ideel kebudayaan terbagi menjadi 4 lapisan mulai dari yang paling abstrak yaitu sistem nilai-budaya, sistem norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara (usage), kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto, 2006).
26
Pengendalian sosial menurut Soekanto (2006) mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat, atau mencapai
keadaan
damai
melalui
keserasian
antara
kepastian
dengan
keadilan/kesebandingan. Pengendalian sosial yang umumnya diterapkan lebih dulu adalah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya nasehatnasehat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya adalah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian bila diperlukan pengendalian sosial yang lebih keras. Pelanggaran terhadap norma memiliki hukuman (sanksi) yang berbeda sesuai dengan level kekuatan yang mengikat. Soekanto (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa pengendalian sosial berkaitan erat dengan konformitas (conformity) dan penyimpangan (deviation). Konformitas merupakan proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Penyimpangan (deviasi) merupakan penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kaidah dalam masyarakat berfungsi sebagai pengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dengan masyarakatnya. Dalam masyarakat homogen dan tradisional, konformitas warga masyarakat cenderung kuat. Misalnya masyarakat di desa terpencil, dimana tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat, warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengadakan konformitas terhadap kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. Masyarakat di kota keadaannya berbeda, karena anggota masyarakat selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kotanya. Adanya peralatan modern di bidang komunikasi massa memungkinkan orang kota mengikuti perkembangan dan perubahan. Dengan demikian konformitas rendah sehingga institusionalisasi sulit terjadi. Konformitas biasanya menghasilkan ketaatan dan kepatuhan. Penyimpangan (deviasi) pada masyarakat tradisional yang relatif statis tidak akan disukai. Deviasi terhadap kaidah-kaidah dalam masyarakat yang tradisional memerlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri. Namun,
27
bila masyarakat tradisional tersebut merasakan manfaat dari suatu deviasi tertentu, penyimpangan tersebut akan diterima. Penyimpangan (deviasi) akan terjadi jika terdapat ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut. Selain
”aspek
kelembagaan”,
kelembagaan
berisikan
”aspek
keorganisasian”. Fokus utama aspek keorganisasian adalah ”struktur”. Struktur dalam kelembagaan sangat penting karena menyediakan kejelasan tentang bagianbagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsifungsi
yang
berbeda,
penjenjangan
antar
bagian,
konfigurasi
otoritas,
kesalinghubungan antar otoritas, serta berhubungan dengan lingkungan sekitar. Struktur mencakup beberapa pemahaman sebagai berikut : (1) menggambarkan bagaimana hubungan antar bagian dalam lembaga secara keseluruhan; (2) tujuan; (3) peran dan keterkaitan antar bagian; (4) keanggotaan; (5) kepemimpinan; dan (6) konflik. Tujuan merupakan salah satu ciri kelembagaan modern (”organisasi”), yang biasanya pembentukan kelembagaan secara sengaja karena adanya tujuan tertentu. Ketika kelembagaan yang ada dipandang tidak memadai untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka disepakati untuk membentuk kelembagaan baru. Namun pada hakekatnya semua kelembagaan pasti memiliki tujuan, baik kelembagaan tradisional maupun modern. Suatu kelembagaan dibangun karena ada tujuan, dan akan tetap eksis sepanjang masih mampu digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Peran mengacu pada sekumpulan harapan dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang yang memiliki posisi tertentu. Adanya kejelasan peran, keterkaitan hubungan antar peran, tingkat integrasi sosial dan kohesi sosial yang terbentuk dalam suatu kelembagaan akan mengarah kepada iklim kerja sama dan koordinasi dalam kelembagaan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi eksistensi kelembagaan tersebut. Kepemimpinan penting karena menjadi kunci keberhasilan suatu kelembagaan.
Soekanto
(2006)
mendefinisikan
kepemimpinan
sebagai
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (yaitu orang yang dipimpinnya atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut bertingkah
28
laku sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Kepemimpinan kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Kepemimpinan sebagai kedudukan, merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Kepemimpinan sebagai suatu proses sosial meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Setelah mengkaji beberapa literatur mengenai kelembagaan masyarakat di atas, dapat disimpulkan dalam penelitian ini kelembagaan mengandung pengertian institusi dan organisasi. Sebagai institusi, kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang disepakati bersama untuk menjadi pedoman dalam bertingkahlaku. Dalam pengertian sebagai organisasi, kelembagaan merupakan sekumpulan orang yang memiliki peran tertentu yang terstruktur untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu kelembagaan masyarakat dalam penelitian ini diwakili oleh peubah yang mengandung pengertian institusi dan organisasi, yaitu : (1) kejelasan norma; (2) penegakan sanksi; (3) tingkat konformitas; (4) tingkat deviasi; (5) kesesuaian tujuan; (6) kepemimpinan; dan (7) kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian.
Kelembagaan pendukung proses belajar Pretty (1995) mengemukakan bahwa untuk sistem pertanian berkelanjutan, selain teknologi konservasi sumberdaya alam dan pengembangan kelompok atau kelembagaan lokal, dibutuhkan unsur penting lainnya yaitu kelembagaan eksternal yang diorganisir, yang bekerja sama dengan kelembagaan lainnya dan petani. Pada era modernisasi, kelembagaan eksternal cenderung mengabaikan pengetahuan dan inisiatif masyarakat lokal. Menurut Pretty (1995) untuk pertanian berkelanjutan, kelembagaan atau organisasi eksternal harus mengubah pola atau cara kerja mereka yaitu lebih ke arah multidisipliner, lebih banyak melibatkan komunitas petani (lebih partisipatif) dalam penelitian, penyuluhan dan kegiatan pembangunan, serta melakukan perubahan (evolusi) proses pembelajaran dalam organisasi dan pengembangan tenaga profesional pertanian itu sendiri secara menyeluruh.
29
Dalam sistem pertanian berkelanjutan pendekatan penyuluhan direktif perlu diubah mengarah kepada pendekatan sistem penyuluhan partisipatif, yang dimulai dari organisasi pembelajaran. Beberapa perubahan antara lain adalah penyuluhan perlu membangun sistem komunikasi tradisional dan melibatkan para petani dalam proses penyuluhan. Sistem insentif perlu diberikan kepada pekerja atau penyuluh di lapangan yang dapat bekerja sama dan menjalin hubungan yang erat dengan petani. Partisipasi petani yang menjadi bagian dari penyuluhan harus benar-benar interaktif dan pemberdayaan. Hal ini merupakan perubahan dari sebelumnya dimana partisipasi hanya dilihat dari kehadiran petani dalam pertemuan atau adanya keterwakilan petani dalam suatu komite. Bagi
kelembagaan
eksternal
yang
mendukung
sistem
pertanian
berkelanjutan, baik kelembagaan penelitian, penyuluhan maupun perencanaan, baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah harus melembagakan pendekatan dan struktur yang mendorong pembelajaran. Hasil penelitian Narayan (1993), diacu dalam Pretty (1995), terhadap pentingnya partisipasi dalam proyek pengairan
menunjukkan
bahwa
keterlibatan
masyarakat
atau
partisipasi
masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh : sejauh mana kelembagaan eksternal tersebut mengakomodir orientasi utama atau nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan masyarakat lokal untuk mengambil keputusan. Tiga ranah kemampuan pembelajaran yang dapat ditingkatkan oleh kelembagaan pertanian ialah: (1) Mendukung penelitian dan menghormati perbedaan; (2) Mendukung keterkaitan dan kerja kelompok; dan (3) Pemantauan dan evaluasi diri untuk peningkatan pembelajaran. Kelembagaan eksternal berkaitan dengan pengembangan pertanian berkelanjutan perlu mendukung upayaupaya untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Adanya perbedaan harus dipandang sebagai pengayaan pemahaman yang memperluas keilmuan dari berbagai sudut pandang. Kelembagaan atau organisasi pembelajaran memerlukan analisa kolektif dan hubungan yang baik antar berbagai macam institusi/lembaga. Dengan bekerja
30
sama dalam kelompok, dapat melakukan pendekatan terhadap situasi dari berbagai perspektif, dapat memantau pekerjaan satu dengan lainnya dan dapat mengerjakan bermacam-macam tugas secara simultan. Bekerja sama dalam suatu kelompok memiliki daya atau kekuatan yang sangat besar dan produktif jika berfungsi dengan baik, serta output yang dihasilkan pun memiliki nilai yang lebih besar daripada penjumlahan anggota secara individual. Menurut Handy (1985), diacu dalam Pretty (1995) sebuah kelompok dapat menjalankan fungsi sebagai sebuah tim, perlu melalui beberapa tahapan yaitu: (1) pembentukan atau forming; (2) merebut perhatian/menyerang atau storming; (3) membentuk norma atau norming; dan (4) menampilkan kinerja atau performing. Pada tahap awal, merupakan kumpulan individu dengan agenda dan keahlian masing-masing dan tidak ada berbagi pengalaman. Namun lama kelamaan mereka saling mengenal, pada tahap ini nilai-nilai dan prinsip personal ditantang, peranan dan tanggung jawab diterima atau ditolak, dan tujuan kelompok mulai didefinisikan lebih jelas. Bila pada tahap ini lebih banyak konflik daripada kesepakatan maka kelompok ini akan bubar atau terpecah. Tetapi bila pada tahapan ini banyak ditemukan kesepakatan, akan meningkatkan kohesi kelompok. Pada tahapan pembentukan norma, anggota kelompok memahami peranannya dalam hubungan satu dengan lainnya dan membangun visi dan tujuan bersama, serta menentukan identitas dan norma perilaku kelompok secara jelas. Pada tahapan ini kelompok yang bermitra ini sudah ajeg atau mapan. Pada saat norma bersama terbentuk, kelompok siap untuk melakukan aksi dan memasuki tahapan performing. Pada tahapan ini kelompok ini dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja. Pemantauan dan evaluasi diri yang dilakukan oleh masing-masing lembaga eksternal sangat penting dalam proses pembelajaran. Dengan adanya evaluasi oleh masing-masing kelembagaan dapat merefleksikan tugas dan tanggung jawab lembaga atau organisasinya sendiri, maupun tanggung jawab bersama, dan kemudian merancang perubahan baik untuk organisasinya secara individual maupun secara kelompok atau kolaborasi.
31
Untuk pertanian berkelanjutan diperlukan kelembagaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim yang multidisipliner, fleksibel dan heterogen, serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Kelembagaan tersebut harus dapat beroperasi dalam keadaan turbulensi. Kelembagaan ini harus realistik dan cepat menanggapi masukan, sehingga memiliki respons adaptif untuk perubahan. Lingkungan pembelajaran harus dititikberatkan pada pemecahan masalah, interaktif dan berdasarkan kondisi di lapangan (Tabel 1). Tabel 1. Perbandingan perangkat kelembagaan pembelajaran lama dan baru
Model pengambilan keputusan
Perangkat kelembagaan lama Sentralistik dan standar
Perangkat kelembagaan baru Desentralisasi, fleksibel dan partisipatif
Model perencanaan dan penyampaian teknologi atau pelayanan
Satu rancangan, paket tertentu, didorong oleh penawaran
Desain pelibatan, pilihan luas, ditarik oleh permintaan
Respons terhadap perubahan eksternal
Mengumpulkan data sebelum bertindak
Bertindak secepatnya dan memantau konsekuensinya
Model pembelajaran di lapangan
Pembelajaran di lapangan oleh turis pembangunan pedesaan dan survey menggunakan kuesioner, kesalahan disembunyikan atau diabaikan
Pembelajaran dengan dialog dan sistem pembelajaran partisipatif, kesalahan tidak dihukum
Model internal
pembelajaran Pembelajaran satu arah, mengabaikan umpan balik dari peserta yang memberikan dampak kesan yang tidak baik
Pembelajaran dua arah dengan penyediaan waktu untuk merefleksikan pengalaman, menggunakan pemantauan partisipasi dan evaluasi diri
Pentingnya kreativitas
Ditekan bila tidak sesuai dengan prosedur dan struktur yang ada
Ditantang untuk mencoba atau mengalami, dan kesalahan tidak dihukum
Keterkaitan, hubungan dan gabungan (persekutuan)
Lembaga bekerja terisolasi, individu dalam kelembagaan bekerja sendiri
Kelembagaan terkait secara formal dan informal satu dengan lainnya; individu terkait dengan tekanan tugas dan kelompok informal
Sumber: Diadaptasi dari Pretty (1995).
32
Sejalan dengan pendapat tersebut, Moyo dan Hagman (1999) berpendapat bahwa dalam mengembangkan penyuluhan partisipatif, diperlukan peningkatan kapabilitas pelayanan organisasi penyuluhan. Perubahan orientasi penyuluhan dari yang berbasis kompetensi teknis kepada pengembangan kapasitas masyarakat untuk pemecahan masalah, membutuhkan transformasi organisasi dan pendekatan penyuluhan
yang
dilakukan.
Sumardjo
(1999)
mengemukakan
bahwa
kelembagaan kemitraan antara petani dengan investor swasta di dalam sistem agribisnis yang berhasil mengembangkan kerjasama saling menguntungkan dan berkesinambungan terbukti merupakan salah satu penerap model pola penyuluhan dengan model komunikasi konvergen yang ideal. Untuk mengkaji kelembagaan pendukung proses belajar petani, dalam penelitian ini digunakan pengertian kelembagaan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1992). Kelembagaan sosial, atau pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1992) adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda, yang disebut economic institutions antara lain pertanian, peternakan, koperasi, industri dan lainnya. Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia akan pendidikan supaya menjadi masyarakat yang berguna adalah educational institutions, contohnya adalah
pesantren, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah dan lainnya. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992) menyebutkan bahwa pranata sosial berpusat pada suatu kelakuan berpola, dengan komponen-komponennya yaitu : (1) sistem norma; (2) tata kelakukan; (3) peralatan; dan (4) manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola tersebut. Sistem norma diturunkan dari nilai-nilai, sehingga sistem nilai berada lebih tinggi dari sistem norma. Untuk memahami sistem nilai merupakan upaya yang paling sulit, karena bersifat abstrak. Lebih mudah untuk melihat sistem norma, yang berpretensi menggambarkan sistem nilai. Nilai (value) merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
33
buruk. Ia mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan, memberi perasaan identitas, dan menentukan seperangkat tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kelompok masyarakat tersebut. Karena itu, nilai merupakan unsur pokok dan fundamental dalam masyarakat, serta menjadi tonggak bangunan struktur sosial. Di masyarakat umum juga dikenal nilai dan norma kelembagaan, yaitu nilai dan norma yang hidup pada satu kelembagaan tertentu saja. Nilai dan norma dalam satu kelembagaan adalah spesifik, meskipun tatanan nilai dan norma yang ada di lingkungan ikut mempengaruhinya. Untuk memahami nilai, digunakan kerangka Kluckhon (1961), diacu dalam Koentjaraningrat (1992) yaitu konsep orientasi nilai budaya manusia yang ditentukan berdasarkan lima masalah dalam hidup. Masalah dasar dalam hidup tersebut adalah: (1) hakekat hidup; (2) hakekat karya; (3) persepsi manusia tentang waktu; (4) pandangan manusia terhadap alam; dan (5) hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya. Mengacu
pada
tiga
wujud
kebudayaan
yang
dikemukakan
Koentjaraningrat (1992) yaitu wujud ideel, wujud kelakuan, dan wujud fisik, maka sistem nilai dan norma termasuk ke dalam wujud pertama kebudayaan yaitu wujud ideel. Tata kelakuan termasuk ke dalam wujud kedua yaitu wujud kelakuan. Tata kelakuan adalah segala aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelembagaan atau pranata dalam rangka mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam masyarakat. Personel dan fasilitas atau peralatan fisik merupakan wujud ketiga kebudayaan, yaitu wujud fisik. Berkaitan dengan personel, untuk pembangunan pertanian berkelanjutan sangat diperlukan perubahan peranan profesional pembangunan. Pergeseran dari tipe pengajaran (teaching) kepada pembelajaran (learning) membutuhkan konsep, nilai, metode dan perilaku baru para profesional pembangunan (Pretty,1995). Profesional yang baru dalam pembangunan berkelanjutan, perlu bekerja multidisipliner, bekerja sama dan ada keterkaitan dengan disiplin ilmu lain, juga memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat baik di kota dan di desa, serta memiliki kesadaran terus menerus mengenai interaksi dan pembangunan.
34
Para penyuluh atau tenaga kerja yang bekerja dan berhubungan dengan masyarakat (pendamping) harus memahami benar bahwa konsep penyuluhan ke depan adalah bekerja bersama masyarakat, bukan bekerja untuk masyarakat: menolong masyarakat untuk menjadi mandiri, bukan membuat masyarakat bergantung kepada para penyuluh; menjadikan masyarakat aktor inti dalam drama, dan bukan di samping panggung atau menjadi penonton. Penggunaan metode penyuluhan partisipatif harus dilengkapi dengan kegiatan menciptakan kelembagaan yang tepat untuk maju dan lingkungan belajar yang tepat bagi individu sehingga dapat mengembangkan kapasitas mereka dalam pemecahan masalah. Organisasi eksternal baik pemerintah dan non pemerintah bekerja sinergis dan saling melengkapi dalam pembangunan masyarakat. Organisasi non pemerintah berperan dalam mengembangkan ketrampilan masyarakat dalam manajemen kelompok atau kelembagaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia. Pemerintah berperan dalam meningkatkan kemampuan dan ketrampilan teknis dan memberikan fasilitas. Interaksi antar pemerintah, organisasi non pemerintah dan masyarakat terjalin dalam forum formal seperti pertemuan, pelatihan, dan lainnya. Di masa mendatang diharapkan kemitraan dapat dikembangkan melalui interaksi informal dimana masing-masing pihak mengerti tugas dan peran utama yang diembannya, serta mengembangkan kepercayaan dan kesadaran akan pentingnya peran dan kegiatan satu sama lainnya (Pretty, 1995). Chamala dan Shingi (1997) menguraikan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh kelembagaan eksternal (pemerintah dan non pemerintah) dalam mendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, khususnya dalam penguatan kelembagaan petani : (1) meningkatkan kapabilitas teknis tenaga penyuluh; (2) meningkatkan ketrampilan tenaga pendamping masyarakat dalam manajemen kelompok; (3) meningkatkan sikap mental dan komitmen terhadap kelompok; (4) penggunaan metode perencanaan partisipatif: pendekatan direktif ke partisipatif, top down atau bottom-up, atau memadukan metode untuk memaksimalkan partisipasi; (5) Perbedaan cara atau tujuan: beberapa kelompok dibentuk sebagai salah satu cara pengembangan, sementara kelompok lainnya dibentuk untuk menerima subsidi dari pemerintah. Kelompok dapat menerima pertolongan, tetapi
35
juga perlu memobilisasi sumberdaya mereka dimiliki; (6) Memberi dukungan kepada petugas penyuluh lapangan.
Perubahan Perilaku sebagai Hasil Proses Belajar Hasil dari suatu proses belajar ialah adanya perubahan perilaku. Deskripsi hasil belajar banyak dikemukakan para ahli, dengan sudut pandang dan terminologi masing-masing, beberapa di antaranya yang banyak dikenal ialah Bloom et. al (1956), Merril (1983), Gagne (1985), Marzano (2000) dan yang terakhir revisi dari Taksonomi Bloom, yang diperkenalkan oleh Anderson dan Krathwohl (2001). Taksonomi tujuan pendidikan yang dikenal dengan Taksonomi Bloom merupakan acuan yang telah banyak digunakan dalam mengukur hasil suatu proses belajar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, maupun di seluruh dunia. Taksonomi tujuan pendidikan tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik (Tabel 2). Ranah kognitif berkaitan dengan kemampuan untuk mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari, dan membentuk kemampuan berpikir. Ranah afektif berkaitan dengan kemampuan dalam bentuk respon minat (sikap mental). Ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan dalam mengaplikasikan teori dalam bentuk praktek (Suparno, 2001). Ranah kognitif mempunyai enam tingkatan, dari tingkat paling rendah yang menunjukkan kemampuan sederhana, sampai tingkat paling tinggi yang menunjukkan kemampuan lebih kompleks. Keenam tingkatan itu ialah (1) pengetahuan, yaitu kegiatan-kegiatan untuk mengingat berbagai informasi yang pernah diketahui tentang fakta, metode atau teknik maupun mengingat hal-hal yang bersifat aturan, prinsip-prinsip, atau generalisasi; (2) pemahaman, yaitu kemampuan untuk menangkap arti dari apa yang tersaji, kemampuan untuk menterjemahkan dari satu bentuk ke bentuk yang lain dalam kata-kata, angka, maupun interpretasi berbentuk penjelasan, ringkasan, prediksi dan hubungan sebab-akibat; (3) aplikasi, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipelajari dalam situasi yang baru; (4) analisis, yaitu kemampuan menguraikan bahan-bahan yang telah dipelajari menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian sehingga struktur dari yang dipelajari itu menjadi lebih jelas.
36
Kemampuan menganalisis ini akan memungkinkan seseorang memahami hubungan-hubungan dan dapat mengenali bagian-bagian dari seuatu keseluruhan dengan baik. (5) sintesis ialah kemampuan mengkombinasikan unsur-unsur yang terpisah-pisah sehingga menjadi bentuk kesatuan yang baru; dan (6) evaluasi, yaitu kemampuan memberi penilaian terhadap bahan-bahan ataupun fakta berdasarkan kriteria tertentu. Tabel 2. Klasifikasi Jenjang Perubahan Perilaku Aspek Perilaku Pengetahuan (Kognitif)
Jenjang (1) Mengetahui
(2) Memahami (3) Menggunakan (4) Menganalisis (5) Mensintesa (6) Mengevaluasi Sikap (Afektif)
(1) Menerima (2) Menanggapi (3) Menilai (4) Mengorganisir (5) Menghayati
Ketrampilan (Psikomotorik)
(1) Menyadari (2) (3) (4) (5)
Menyiapkan diri Mencoba-coba Terbiasa Trampil
(6) Adaptasi (7) Mencipta
Keterangan Mengetahui spesifikasi Mengetahui pengertian Mengetahui prinsip/teori Menerjemahkan sendiri, mengartikan dan mengeksplorasi Menggunakan pengetahuan untuk kegiatan praktis dalam kehidupan sehari-hari Menganalisis unsur-unsur hubungan prinsip Menyusun dan mengkombinasikan bagianbagian sehingga membentuk kesatuan Menilai pengertian, kegiatan Menyadari kemauan untuk menerima Memperhatikan secara selektif Menanggapi dengan diam, kemauan menanggapi, menunjukkan kepuasannya Menerima nilai-nilai, memilih nilai-nilai, menunjukkan kesepakatan Mengembangkan konsep, nilai-nilai Mengubah sikap, menunjukkan sikap yang mantap Membedakan rangsangan, memilih isyarat Menterjemahkan Sikap mental, fisik, emosi Menirukan, mencoba dengan kesalahan Melakukan dengan benar Trampil dalam ketidakpastian, trampil secara otomatis Menggabungkan dengan ketrampilan lain Menciptakan ketrampilan baru
Sumber: Diadaptasi dari Seng et. al. (2001).
Ranah afektif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut: (1) Menerima atau menaruh perhatian, yang diwujudkan dalam keinginan untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang berhubungan dengan obyek. Selanjutnya memberikan perhatian secara terpilih selective attention, yaitu berupa perhatian pada bagianbagian khusus dari obyek; (2) Memberi respon, yaitu keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan secara sukarela; (3) memberi penilaian,
37
yaitu kegiatan yang telah diikuti dengan baik dan bertanggung jawab bahkan memberikan refleksi tentang kegiatan tersebut, mulai tumbuh rasa pengabdian dan melibatkan diri secara aktif; (4) pengorganisasian, yaitu berdasarkan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan, dibandingkan dengan standar etika dan lainnya sehingga membentuk konseptualisasi nilai; (5) karakterisasi, yaitu tahapan dimana individu siap menilai apa yang telah diyakininya, bila penilaian atau pandangan yang diyakininya harus dibuah/direvisi. Ranah psikomotorik atau keterampilan adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Tujuh tahapan dalam ranah psikomotorik yaitu: (1) menyadari ialah dapat membeda-bedakan, memilih dan menyadari rangsangan, isyarat; (2) menyiapkan diri dalam mental, fisik, emosi; (3) mencoba-coba yaitu mulai melakukan/meniru walaupun masih melakukan kesalahan; (4) terbiasa ialah sudah melakukan dengan benar; (5) trampil ialah sudah cekatan melakukan dengan benar; (6) adaptasi ialah dapat menyesuaikan dan menggabungkan dengan ketrampilan lain; dan (7) mencipta ialah dapat menghasilkan ketrampilan baru. Merril (1983), diacu dalam Dwiyogo (2008) mengajukan teori yang dinamakan Component Display Theory untuk menjelaskan hasil belajar. Menurutnya hasil belajar pada dasarnya terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi isi dan dimensi unjuk kerja. Dimensi isi terdiri atas empat jenis, yaitu : fakta, konsep, prosedur, dan prinsip. Fakta adalah suatu informasi yang masing-masing berdiri sendiri seperti nama, tanggal, atau peristiwa. Konsep adalah suatu kelompok objek, peristiwa atau simbol yang semuanya mempunyai karakteristik dan dapat diidentifikasi dengan nama yang sama. Prosedur adalah urutan tindakan langkah demi langkah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip adalah suatu hubungan sebab akibat atau saling berhubungan antar konsep yang digunakan untuk menginterpretasikan keadaan. Dimensi unjuk kerja terdiri atas tiga jenis, yaitu: mengingat, menggunakan dan menemukan. Mengingat adalah unjuk kerja untuk mengingat informasiinformasi yang telah diperolehnya dalam memori jangka panjang. Menggunakan adalah unjuk kerja yang mempersyaratkan aplikasi berbagai abstraksi dalam berbagai masalah. Menemukan adalah unjuk kerja yang mensyarakatkan penemuan hal baru melalui kegiatan analisis dan sintesis.
38
Kedua dimensi tersebut dihubungkan sehingga dapat diklasifikasikan hubungan dimensi isi dan unjuk kerja. Hubungan keduanya disilangkan menghasilkan sepuluh jenis, yaitu: (1) mengingat fakta; (2) mengingat konsep; (3) mengingat prosedur; (4) mengingat prinsip; (5) menggunakan konsep; (6) menggunakan prosedur; (7) menggunakan prinsip; (8) menemukan konsep; (9) menemukan prosedur; dan (10) menemukan prinsip. Hasil belajar menurut Gagne (1985), diacu dalam Dwiyogo (2008), terdiri dari lima golongan kompetensi, yaitu: (1) informasi verbal, (2) ketrampilan intelektual, (3) strategi kognitif; (4) ketrampilan motorik, dan (5) sikap. Kelima ragam belajar tersebut masing-masing diperoleh dengan cara yang berbeda. Artinya, masing-masing memerlukan ketrampilan prasyarat yang berbeda dan perangkat langkah proses kognitif yang berbeda pula. Penjelasan lebih lengkap lima ragam kapabilitas belajar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja/Unjuk Kerja Kategori Kapabilitas Belajar
Kapabilitas
Kinerja/Unjuk kerja
Contoh
Informasi verbal
Pengungkapan informasi yang disimpan (fakta, label)
Menyatakan atau mengkomunikasikan informasi
Menjelaskan definisi pencemaran lingkungan
Ketrampilan intelektual
Operasi mental yang memungkinkan merespon terhadap lingkungan
Berinteraksi dengan lingkungan menggunakan lambang
Membedakan warna merah dan biru; menghitung luas segi tiga
Strategi kognitif
Proses pengontrolan yang mengatur berpikir dan belajar pada diri pembelajar
Mengelola secara efisien kegiatan mengingat, berpikir dan belajar
Membuat satu set kartu catatan untuk penulisan karya ilmiah
Keterampilan motorik
Kemampuan, kemulusan dalam melakukan serangkaian gerakan fisik
Mendemonstrasikan serangkaian gerakan fisik atau tindakan
Mengikat tali sepatu; menirukan cara menari
Memilih tindakan pribadi untuk mendekati atau menjauhi orang, objek atau peristiwa
Memilih mengunjungi museum seni daripada menonton konser
Sikap
Melakukan tindakan positif atau negatif terhadap orang, objek atau peristiwa Sumber : Dwiyogo (2008)
39
Marzano (2000) mengusulkan taksonomi baru untuk menjawab keterbatasan taksonomi Bloom. Taksonomi yang dikembangkan Marzano dibuat dari tiga sistem dan domain pengetahuan. Ketiga sistem tersebut adalah Sistem Diri (Self-system), Sistem Metakognitif dan Sistem Kognitif. Pada saat berhadapan dengan pilihan untuk memulai tugas baru, Sistem Diri memutuskan apakah melanjutkan kebiasaan yang dijalankan saat ini atau masuk dalam aktivitas baru; Sistem Metakognitif mengatur berbagai tujuan dan menjaga tingkat pencapaian tujuan-tujuan tersebut; Sistem Kognitif memproses seluruh informasi yang dibutuhkan, dan domain pengetahuan menyediakan isinya. Marzano berpendapat bahwa pengetahuan adalah bahan bakar yang memberi tenaga pada proses berpikir. Pengetahuan adalah sebuah faktor penting dalam berpikir. Tanpa adanya kecukupan informasi tentang mata pelajaran, sistem-sistem yang lain hanya bekerja sedikit sekali dan tidak akan dapat merekayasa proses belajar dengan sukses. Menurut Marzano pengetahuan dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu: informasi, prosedur mental, dan prosedur fisik. Informasi terdiri dari pengorganisasian beragam gagasan, seperti prinsipprinsip, penyederhanaan, dan rincian, seperti kamus istilah dan fakta-fakta. Berbagai prinsip dan penyederhanaan tersebut penting karena hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk dapat menyimpan lebih banyak informasi dengan usaha yang lebih sedikit dengan menempatkan beragam konsep ke dalam bebagai kategori. Prosedur Mental adalah berbagai prosedur mental yang mencakup mulai dari beragam proses yang rumit sampai kepada tugas-tugas yang lebih sederhana seperti taktik: membaca peta dan lainnya, algoritma : perhitungan yang panjan dan lainnya; serta aturan-aturan tunggal: aturan permodalan dan lainnya. Prosedur fisik adalah kemampuan fisik yang dibutuhkan seperti membaca buku, gerakan mata, dan lainnya. Proses mental pada Sistem Kognitif dilaksanakan dari domain pengetahuan, proses ini memberi banyak orang akses informasi dan prosedur dalam ingatan mereka dan membantunya memanipulasi dan menggunakan pengetahuan ini. Sistem kognitif ini terdiri dari empat komponen yaitu : penarikan pengetahuan, pemahaman, analisis dan penggunaan pengetahuan. Setiap proses
40
terbentuk dari seluruh proses sebelumnya. Sistem Metakognitif adalah ”pengendalian misi” dari proses berpikir dan mengatur semua sistem lainnya. Sistem ini menentukan berbagai tujuan dan membuat berbagai keputusan tentang informasi apa yang dibutuhkan dan proses kognitif apa yang sangat sesuai dengan tujuan. Kemudian memantau berbagai proses dan membuat perubahan sebagaimana dibutuhkan. Sistem Diri Sendiri meliputi berbagai sikap, keyakinan dan perasaan yang menentukan motivasi seseorang untuk menyelesaikan tugas. Berbagai faktor yang berkontribusi untuk motivasi ialah: kepentingan, keefektifan dan emosi. Kepentingan adalah tanggapan seseorang dalam menentukan seberapa penting tugas tersebut untuk dirinya: apakah yang ingin dia pelajari, apakah yakin bahwa ia membutuhkannya. Keefektifan mengacu kepada keyakinan banyak orang mengenai kemampuan mereka menyelesaikan sebuah tugas dengan sukses. Seseorang yang memiliki keyakinan tinggi akan kemampuan yang dimilikinya dari berbagai sumber untuk sukses, akan dapat mengerjakan tugas dan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapinya. Emosi memiliki dampak besar terhadap motivasi, seseorang yang efektif menggunakan kecakapan metakognitifny untuk membantu berdamai dengan berbagai tanggapan emosional dan mengambil keuntungan dari berbagai tanggapan positif. Anderson dan Krathwohl (2001) melakukan revisi dan penyesuaian atas taksonomi Bloom. Revisi yang dilakukan oleh Anderson dan Krathwohl adalah merevisi dimensi kognitif dari satu dimensi dengan enam tingkatan, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sinstesis dan evaluasi menjadi dua dimensi yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Klasifikasi proses kognitif dibagi menjadi enam kategori yaitu : (1) Mengingat (Remembering), (2) Memahami (Understanding); (3) Menerapkan (Applying); (4) Menganalisa (Analysing); (5) Mengevaluasi (Evaluating); dan (6) Berkreasi (Creating). Proses mengingat (remembering) terdiri atas pengenalan kembali dan memanggil ulang (recall) informasi yang sesuai dari ingatan jangka panjang. Proses memahami (understanding) adalah kemampuan untuk mengartikan dan memaknai dari bahan pendidikan, seperti bahan bacaan dan penjelasan guru.
41
Kecakapan turunan (subskill) dari proses ini mencakup mengartikan dan memaknai
sendiri,
mencontohkan,
membuat
klasifikasi,
meringkas,
menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Proses ketiga, yaitu menerapkan (applying), mengacu kepada penggunaan sebuah prosedur yang telah dipelajari baik dalam situasi yang telah dikenal maupun pada situasi yang baru. Proses berikutnya adalah menganalisis (analyzing), terdiri dari memecah pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil dan memikirkan bagaimana bagianbagian tersebut berhubungan dengan struktur keseluruhan seutuhnya. Para siswa menganalisis dengan membedakan, mengorganisasikan, dan memberikan atribut yang bersesuaian. Mengevaluasi, yang merupakan puncak dari taksonomi yang asli, adalah proses kelima dari enam proses di dalam versi yang diperbaiki. Evaluasi tersebut mencakup pemeriksaan (checking) dan pengritisian (critiquing). Menciptakan (creating), proses yang tidak termasuk dalam taksonomi yang lebih dulu, dan merupakan komponen tertinggi dari versi yang baru ini. Kecakapan ini melibatkan usaha untuk meletakkan berbagai hal secara bersama untuk menghasilkan suatu pengetahuan baru. Agar berhasil menghasilkan sesuatu yang baru, para pelajar membangkitkan, merencanakan dan menghasilkan. Revisi taksonomi lebih menegaskan ’dimensi proses’ yang menjadi prinsip teori kognitif, yaitu bagaimana sebuah pengetahuan itu diproses dalam otak manusia. Revisi taksonomi ini juga lebih melihat fungsi otak dalam satu kesatuan ranah (domain). Dimensi pengetahuan diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu:
(1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual, (3) pengetahuan
prosedural dan (4) pengetahuan metakognisi. Pengetahuan Faktual adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu pemisahan elemen isi dan sedikit informasi. Meliputi istilah pengetahuan, pengetahuan umum dan elemenelemen. Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang lebih rumit dalam bentuk pengetahuan yang tersusun. Meliputi pengetahuan pengklasifikasian kategori, prinsip-prinsip dan generalisasi, teori-teori, model-model, dan struktur. Pengetahuan prosedural adalah ‘pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu’. Meliputi pengetahuan ketrampilan dan algoritma, teknik-teknik dan metode-metode, maupun kriteria penentuan penggunaan pengetahuan atau pembenaran ‘ketika melakukan apa’ dalam domain dan disiplin khusus. Terakhir,
42
pengetahuan metakognitif adalah ‘pengetahuan mengenai pengertian umum maupun kesadaran, dan pengetahuan tentang salah satu pengertian itu sendiri’. Meliputi pengetahuan strategi, pengetahuan tentang tugas-tugas, termasuk pengetahuan kontekstual dan kondisional, dan pengetahuan itu sendiri Penyuluhan Merupakan Pembelajaran Masyarakat Penyuluhan pada dasarnya merupakan proses pembelajaran masyarakat, yang bertujuan mencapai perubahan perilaku individu (Sumardjo, 1999). Falsafah dasar penyuluhan menurut Slamet (1995) adalah : (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi; (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Oleh karena itu, pada falsafah penyuluhan bermakna “Menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” (To help people to help themselves through educational means to improve their level of living). Penyuluhan sebagai proses pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Sebagai
proses
demokrasi,
penyuluh
harus
mampu
mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak sasaran
penyuluhan
berfikir,
berdiskusi,
menyelesaikan
masalahnya,
merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Penyuluhan sebagai proses kontinyu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang ada tersebut (real need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need) oleh sasaran (Sumardjo, 1999). Selanjutnya Sumardjo (1999) menyebutkan bahwa penyuluhan sebagai proses pembelajaran petani harus menerapkan azas-azas penyuluhan sebagai
43
berikut Azas kemitraan berarti menempatkan sasaran/petani bukan sebagai murid, tetapi sebagai teman dan partner (mitra) belajar bagi penyuluh atau pihak-pihak yang berperan sebagai penyuluh. Azas pengalaman nyata, bermakna bahwa proses belajar yang berlangsung menyangkut situasi nyata yang dihadapi petani pada saat itu dan dalam menghadapi kehidupan menyambut masa depannya. Azas kebersamaan berarti pembelajaran menekankan kelompok merupakan media belajar yang penting, interaksi di dalamnya merupakan media belajar yang efektif. Setiap anggota kelompok perlu mempunyai kesadaran bahwa permasalahan anggota kelompok juga menjadi permasalahannya. Azas kesinambungan berarti menekankan bahwa hasil belajar menimbulkan efek ganda (multiplier effect) sehingga pembelajaran perlu berkembang dan berkesinambungan sesuai dengan perkembangan tingkat kebutuhan petani pada masa itu.
Azas manfaat yaitu
menekankan bahwa materi penyuluhan harus sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran belajar dan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah yang dihadapi sekarang. Azas kesesuaian artinya bahwa materi penyuluhan yang dipilih secara teknik sesuai dengan lingkungan fisik dan dari segi non teknis tidak bertentangan dengan sistem norma dan sistem sosial setempat dan penerapannya sesuai dengan tingkat kemampuan peserta belajar (petani). Azas lokalitas artinya menekankan bahwa materi dan metoda penyuluhan perlu memperhatikan kesesuaian materi, kondisi masyarakat dan sarana penyuluhan serta prasarana setempat (lokal). Azas keterpaduan yaitu mengembangkan kekompakan antara materi penyuluhan sehingga lebih sesuai dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dengan pembahasan antar materi maupun antara berbagai pihak yang berperan sebagai penyuluh terintegrasi untuk tujuan yang jelas, yaitu mengatasi permasalahan sasaran penyuluhan. Paradigma penyuluhan saat ini juga telah mengalami pergeseran, penyuluhan bukan lagi merupakan transfer pengetahuan dan teknologi dari penyuluh kepada petani tetapi merupakan
proses belajar (learning process).
Sejalan dengan itu, Chambers (1993) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan nyata antara program pembangunan yang dijalankan dengan menggunakan pendekatan “cetak biru” dan “proses belajar” sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
44
Perbedaan tersebut baik dalam hal munculnya ide, tahapan pendekatan, desain program, organisasi, sumberdaya, fokus manajemen, komunikasi, kepemimpinan, pengaruh yang dihasilkan dan lainnya. Hasil atau pengaruh dari pendekatan yang digunakan merupakan unsur penting yang perlu menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan pembangunan. Pengaruh atau hasil yang dicapai pada pendekatan proses belajar adalah pemberdayaan, sedangkan pendekatan cetak biru membangkitkan ketergantungan. Tabel 4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar Cetak Biru
Proses Belajar
Ide berawal dari
Kota besar
Desa
Tahap pertama
Pengumpulan data dan rencana
Kesadaran dan tindakan
Desain
Statis, oleh ahli
Berkembang, rakyat terlibat
Organisasi pendukung
Ada atau dibangun dari atas
Dibangun dari bawah dan tersebar
Sumberdaya utama
Dana dan tenaga teknis dari pusat
Rakyat setempat dan aset mereka
Pelatihan dan pengembangan staf
Di kelas dan didaktik
Belajar dari lapang melalui tindakan
Implementasi
Cepat dan tersebar luas
Bertahap, lokal, dan dekat rakyat
Fokus manajemen
Menghabiskan anggaran dan menyelesaikan proyek tepat waktu
Penyempurnaan dan performasi terus menerus
Isi tindakan
Standar
Beragam
Komunikasi
Vertikal, menata ke bawah, lapor ke atas
Menyamping; saling belajar dan berbagi pengalaman
Kepemimpinan
Posisional, berubah
Personal, berlanjut
Evaluasi
Eksternal, sebentarsebentar
Internal, terus menerus
Kesalahan
Dipendam
Dicakup
Membangkitkan ketergantungan Sumber : Diadaptasi dari Chambers (1993)
Pengaruh
Pemberdayaan
45
Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon. Menurut Dictionary of Forestry yang diedit oleh Helms (1998), hutan (forest) didefinisikan : An ecosystem characterized by a more or less dense and extensive tree cover, often consisting of stands varying in characteristics such as species composition, structure, age class, and associated processes, and commonly including meadows, strams, fish and wildlife (suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, klas umur, dan proses-proses terkait, dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan dan satwa liar). Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan satusnya hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak tersebut sering disebut hutan rakyat. Selanjutnya mengenai hutan hak diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak). Hutan hak menurut peraturan tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang diatasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota. Tanah yang telah dibebani alas titel atau hak atas tanah berupa sertifikat hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai, dapat ditunjuk sebagai hutan hak menurut fungsinya. Hutan hak mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan tak dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan.
46
Pengertian hutan rakyat sampai dengan saat ini sangat beragam, pengertian hutan rakyat menurut Undang-Undang dimaksud berdasarkan status pemilikan tanahnya, bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Kepmenhut 369/Kpts-V/2003 menjelaskan hutan rakyat (HR) lebih rinci yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Sedangkan hutan rakyat campuran ialah : (1) areal hutan rakyat yang ditanami dengan tanaman kayu-kayuan yang dicampur dengan tanaman pertanian dengan perbandingan penutupan tajuk tanaman kayukayuan lebih dari 50% (Kepmenhut 101/Kpts-II/1996); (2) sistem penanaman hutan dengan tanaman tumpangsari jenis tanaman pangan atau perkebunan yang ditanam sebagai tanaman pencampur dengan memanfaatkan ruang tumbuh yang belum terkena naungan selama 2-3 tahun dan hasil akhirnya berupa tanaman kayu-kayuan (Kepdirjen 109/Kpts/V/1997). Hutan rakyat murni (HRM) adalah kegiatan usaha hutan rakyat dimana tanaman yang diusahakan secara keseluruhannya adalah tanaman kayu-kayuan (Kepdirjen 109/Kpts-V/1997) dan Hutan rakyat swadaya adalah lahan miliki atau lahan marga yang ditanaman tanaman pohon kayu-kayuan dan buah-buahan yang dilaksanakan oleh kelompok tani secara swadaya (Kepmenhut 679/Kpts-II/1996). Pada mulanya pengembangan hutan rakyat berasal dari kegiatan penghijauan untuk rehabilitasi lahan milik masyarakat. Pada perkembangannya kegiatan hutan rakyat berkembang menjadi unit usaha masyarakat yang bertujuan disamping untuk rehabilitasi lahan juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dari hasil penjualan dan pemanfaatan kayu. Peranan hutan rakyat berkembang dan menjadi signifikan setelah adanya permintaan untuk pemenuhan kebutuhan kayu. Pada saat ini permintaan kayu semakin meningkat di lain pihak kapasitas produksi dari hutan alam cenderung menurun. Disamping itu kayu dari hutan rakyat saat ini memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Kondisi ini menjadi peluang yang sangat potensial untuk pengembangan hutan rakyat lebih lanjut, yang akan mendorong berkembangnya usaha rakyat di pedesaan.
47
Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu alternatif pengelolaan hutan di Indonesia yang berorientasi kepada pemberdayaan ekonomi yang berbasiskan rakyat kecil (ekonomi kerakyatan).
Hutan rakyat perlu terus
dikembangkan, karena telah dibuktikan melalui berbagai penelitian bahwa hutan rakyat memberikan manfaat baik dari segi ekonomis maupun segi ekologis. Dari dari segi ekonomi, hutan rakyat dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kayu bakar, kayu perkakas dan hasil hutan lainnya, juga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Dari segi ekologis, hutan rakyat dapat merehabilitasi lahan kritis, menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, perbaikan tata air dan lainnya. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat 1.272.505,61 hektar yang tersebar di 24 propinsi di antaranya diperkirakan seluas 500.000 hektar terdapat di Jawa. Potensi tegakan tanaman kayu tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3 yang terutama terdiri dari kayu sengon, jati, akasia, sonokeling, mahoni dan jenis tanaman buahbuahan (Dephut, 2009). Keberadaan hutan rakyat di Jawa, sebagaimana hutan rakyat lainnya tidak semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Oleh karena itu ada berbagai macam pengelolaan hutan rakyat, yang bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya yang dikembangkan masyarakat berdasarkan kebudayaannya, misalnya : hutan rakyat dengan sistem agroforestry kebun campuran dan pekarangan di daerah Kalimendong dan Jonggolsari, Wonosobo; dan di Sukabumi
dikembangkan hutan rakyat dengan
tanaman sengon yang dikombinasi dengan tanaman padi pada saat musim hujan dan dengan pisang atau kelapa bila sengon sudah rimbun (Suhardjito, 2000). Keberhasilan pembangunan hutan rakyat akan memberikan sumbangan yang positif terhadap pembangunan nasional, dalam bentuk : (a) memberikan produksi kayu dan hasil hutan ikutan; (b) memperluas kesempatan kerja dan aksesibilitas di pedesaan; (c) memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan tanah dari gangguan erosi; (d) meningkatkan penguraian oksida karbon (CO2) dan polutan lain di udara karena adanya peningkatan proses
48
fotosintesis di permukaan bumi; (e) menjaga agar kadar oksigen di udara tetap pada tingkat yang menguntungkan bagi mahluk hidup; dan (f) menyediakan habitat untuk menjaga keragaman hayati (biodiversity) flora dan fauna. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dikaji oleh Badan Litbang Kehutanan dari beberapa lokasi hutan rakyat, permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan hutan rakyat dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan (Mindawati et.al., 2006). Permasalahan pada sub sistem produksi antara lain: (a) keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam teknik silvikultur; (b) keterbatasan modal masyarakat; (c) luas pemilikan lahan yang sempit dan lokasi yang terpencar menyulitkan pengelolaan dalam satu kesatuan manajemen; (d) pembinaan tidak berkelanjutan dan hanya diarahkan pada kegiatan keproyekan jangka pendek. Permasalahan pada sub sistem pengolahan hasil terutama pada penanganan pasca panen yang lemah. Hal ini disebabkan oleh: (a) keterbatasan modal petani; (b) keterbatasan pengetahuan petani dalam pengolahan kayu dan limbah kayu; dan (c) produk kayu belum sesuai dengan persyaratan yang diminta pasar. Permasalahan pada sub sistem pemasaran disebabkan oleh: (a) pemasaran masih dilakukan perorangan sehingga posisi tawar petani lemah; (b) belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat; (c) peraturan yang berkaitan dengan izin tebang bagi petani masih dirasakan cukup rumit; dan (d) belum ada jaminan tentang kejelasan pasar dan perlindungan harga kayu rakyat yang wajar. Permasalahan pada sub sistem kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; (c) kurang komunikasi baik antar multipihak. Selain itu pelaksanaan pembangunan hutan rakyat masih kurang memperhatikan kaitan antar sektor maupun antar sub sektor untuk keberhasilan seluruh sistem; aturan organisasi seringkali tidak jelas; dan
49
peraturan perundangan yang menyangkut hutan rakyat masih terbatas baik di tingkat pusat maupun daerah, dan belum ada rencana strategis pengembangan hutan rakyat pada setiap kabupaten sehingga sulit diketahui potensi dan sebaran lokasi hutan rakyat. Akibatnya data dan informasi mengenai perkiraan produksi kayu rakyat masih belum akurat.
Sistem Sertifikasi Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari Pengelolaan
Hutan
Berkelanjutan/Lestari
(Sustainable
Forest
Management) merupakan salah satu perwujudan komitmen bangsa Indonesia terhadap kesepakatan internasional Biodiversity Convention tahun 1992 di Rio de Janeiro, yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1994. Penerapan sertifikasi Ekolabel yang merupakan persyaratan untuk memasuki pasaran kayu global, mulai diterapkan pada tahun 2000 terhadap kayu hasil hutan produksi. Sertifikasi Ekolabel merupakan salah satu kebijakan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia, juga merupakan “ruang” intervensi organisasi non pemerintah (ornop) terhadap pasar kayu global. Bagi ornop, sertifikasi ekolabel dapat menjadi instrumen efektif untuk mendorong proses demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia, antara lain melalui transparansi informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi (LEI, 2007). Komitmen berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari telah melahirkan berbagai ukuran/standar kelestarian yang dituangkan ke dalam bentuk seperangkat kriteria dan indikator ataupun ke dalam bentuk ‘prinsip’ dan kriteria. Ukuran/standar kelestarian tersebut ada yang secara khusus diarahkan untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suatu ‘Forest Management Unit’ (FMU) sebagai suatu persyaratan untuk memperoleh sertifikat untuk memenuhi permintaan pasar ataupun yang digunakan terbatas pada upaya untuk mendorong FMU untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari. Ukuran/standar kelestarian tersebut telah banyak dikembangkan, baik oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah dengan cakupan nasional, regional maupun
internasional.
Beberapa
lembaga
yang
telah
mengembangkan
50
ukuran/standar kelestarian antara lain : ‘International Timber Tropical Organization’ (ITTO), ‘Forest Stewardship Council (FSC) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), ‘Pan-European Forest Certification’ (PEFC), Center For International
Forestry
Research
(CIFOR)
dan
Kementerian
Kehutanan
(Kemenhut). Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Lestari yang dirumuskan oleh lembaga-lembaga tersebut berbeda-beda, namun secara umum mencakup aspek-aspek yang hampir sama, yaitu minimal mencakup aspek kesehatan hutan atau kelestarian hutan secara fisik, ekologi, biologi, aspek ekonomi hutan serta aspek sosial hutan terhadap kehidupan masyarakat. Berbeda degan institusi lainnya, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) membedakan kriteria dan indikator pengelolaan hutan di hutan alam, hutan produksi, maupun Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBML). CIFOR secara lebih rinci dan khusus menekankan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang dikelola oleh masyarakat. Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat mendapat perhatian khusus, karena sebelum ini
dianggap sebagai sebuah
anakronisme di era modern, merusak hutan, tidak efisien dan tidak produktif (Ritchie et.al., 2001). Pandangan ini menyebabkan terhambatnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, bahkan berdampak pada hilangnya sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Beberapa dekade terakhir, pandangan tersebut telah terbantahkan dengan terbuktinya keberhasilan pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat secara tradisional, antara lain pengelolaan repong damar di Krui Lampung, kebun kemenyan di Tapanuli Utara, pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul. CIFOR merumuskan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat secara Lestari (PHML), yang disimpulkan dalam empat prinsip pengelolaan
hutan
secara
lestari,
yaitu:
(1)
kesejahteraan
masyarakat
(kelembagaan) terjamin; (2) kesejahteraan rakyat terjamin; (3) kesehatan lansekap hutan terjamin; dan (4) lindungan eksternal mendukung PHML. Kesejahteraan masyarakat terjamin dalam hal ini ialah kemampuan masyarakat untuk mengelola, mengembangkan peraturan manajemen dan menjalankannya, serta mengelola wilayahnya yang telah diakui secara de jure. Kemampuan masyarakat tersebut
51
digolongkan ke dalam empat bagian : (a) lembaga/organisasi masyarakat dan partisipasi; (b) mekanisme pengelolaan lokal (norma, peraturan, undang-undang dan lainnya); (c) manajemen konflik; dan (d) kewenangan untuk mengelola (status kepemilikan) (Ritchie et.al., 2001). Kesejahteraan rakyat dalam hal ini ialah seberapa jauh hutan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat, masyarakat memperoleh kesejahteraan lebih tinggi dengan berinteraksi dengan hutan serta kesempatan masyarakat untuk mempertahankan
kepentingan
pribadi
untuk
menjaga
kelangsungan
hidup/kelestarian hutan. Kesejahteraan rakyat diuraikan ke dalam empat bagian, yaitu : (a) kesehatan dan makanan; (b) kesejahteraan (mata pencaharian, pembagian
biaya
dan
keuntungan,
kesetaraan);
(c)
kebijaksanaan
dan
kebersamaan dalam berbagi ilmu pengetahuan; dan (d) kesepakatan kepemilikan lahan di dalam masyarakat. Kesehatan lansekap hutan terjamin dihasilkan dari sistem pengelolaan hutan yang ditetapkan. Sistem pengelolaan hutan tersebut terdiri dari lima bagian, yaitu : (a) perencanaan (zonasi dan kawasan dilindungi); (b) pengelolaan fungsi ekosistem; (c) intervensi produktif; (d) kesehatan hutan; dan (e) keanekaragaman lanskap. Prinsip lingkungan eksternal yang mendukung PML ialah seberapa jauh masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mengelola hutan secara lestari, serta bagaimana “kesehatan” hubungan kemitraan tersebut. Prinsip ini terdiri dari empat bagian yaitu : (a) hubungan dengan pihak ketiga; (b) kebijakan dan kerangka hukum; (c) ekonomi; dan (d) pendidikan dan informasi. LEI (2007) menetapkan secara khusus kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yang diperuntukkan bagi unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia ke dalam kategori Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Hutan yang dapat dikategorikan ke dalam PHBML antara lain hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat, dan hutan lainnya yang dikelola oleh masyarakat. Kriteria dan
indikator sertifikasi PHBML
menurut LEI terbagi ke dalam tiga bagian yaitu : (1) Kelestarian fungsi produksi; (2) Kelestarian fungsi ekologi dan (3) Kelestarian fungsi sosial.
52
Kelestarian fungsi produksi ialah terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya. Kelestarian fungsi produksi dibagi ke dalam tiga kriteria yaitu : (a) Kelestarian sumberdaya, (b) Kelestarian hasil, dan (c) Kelestarian usaha. Kelestarian sumberdaya hutan adalah terjaminnya kemantapan dan keamanan kawasan hutan berbasis masyarakat sehingga memberikan kepastian usaha jangka panjang. Kelestarian hasil adalah keberlanjutan dan atau peningkatan produksi hasil hutan dari waktu ke waktu akibat peningkatan upaya pengelolaan hutan. Kelestarian usaha adalah kemampuan unit manajemen dalam mengelola hutan berbasis masyarakat untuk memberikan keuntungan dalam batasbatas kemampuan daya dukung hutan. Kelestarian fungsi ekologi adalah terjaminnya fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam unit manajemen. Kelestarian fungsi ekologi terdiri dari dua kriteria yaitu : (a) Stabilitas ekosistem, dan (b) Sintasan spesifik langka/endemik/dilindungi. Kestabilan ekosistem dalam hal ini ialah ukuran keseimbangan dinamis dari struktur dan fungsi ekosistem hutan berikut komponen-komponennya sehingga menjamin kapasitas produksi optimum sesuai dengan batas-batas daya lenting ekologisnya. Sintasan spesies endemik/langka/dilindungi adalah kemampuan spesies flora-fauna endemik/langka/dilindungi untuk beradaptasi dengan habitat hutan berbasis masyarakat. Kelestarian
fungsi
sosial
ialah
terjaminnya
keberlanjutan
fungsi
pengusahaan hutan bagi kehidupan masyarakat setempat yang tergantung pada hutan, baik langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi. Kelestarian fungsi sosial terdiri dari empat kriteria yaitu : (a) Kejelasan sistem tenurial lahan dan hutan komunitas; (b) Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas; (c) Terbangunnya pola hubungan sosial yang simetris dalam proses produksi; dan (d) Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas. Kejelasan sistem tenurial dalam hal ini adalah keberadaan serangkaian hak dan kewajiban yang mengatur hubungan antar pihak-pihak yang mengelola dan memanfaatkan hutan yang bersumber dari pihak-pihak pengelola dan yang menjamin kehidupan masyarakat secara lintas generasi tidak diabaikan akibat keberadaan unit manajemen, sebagaimana tergambarkan dalam tata batas yang
53
terdefinisikan secara jelas dan telah disepakati oleh pihak yang terkait di dalamnya.
Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi masyarakat
dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat tetap dapat berlangsung, termasuk terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka, bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat secara lintas generasi. Keadilan manfaat adalah upaya-upaya untuk menciptakan pembagian manfaat secara adil antara pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat ternyata telah terbukti dapat memenuhi kriteria dan indikator kelestarian yang ditetapkan oleh lembagalembaga tersebut. Sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini LEI, FSC bekerja sama dengan berbagai pihak telah mengeluarkan sertifikat Ekolabel bagi enam unit pengelolaan hutan yang dikelola oleh masyarakat, dua di antaranya ialah Hutan Rakyat di Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunung Kidul.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pengelolaan hutan rakyat secara lestari merupakan salah satu peluang baik bagi pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Hutan rakyat yang dikelola secara lestari oleh masyarakat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan sekaligus dapat mendukung percepatan rehabilitasi hutan dan lahan, dan membantu memenuhi kebutuhan kayu untuk industri baik di dalam maupun di luar negeri. Pengelolaan hutan rakyat secara lestari oleh masyarakat merupakan salah satu upaya untuk menghadapi tantangan dunia internasional yang menghendaki sertifikasi “Ecolabelling” bagi kayu-kayu yang berasal dari negara tropis sebagai bukti kayu berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, sekaligus dapat berperan penting dalam menanggapi isu Global Warming. Kegagalan pemerintah dalam program-program pembangunan kehutanan sebelum ini menyebabkan kerusakan hutan yang semakin parah dan ketergantungan masyarakat pada program-program bantuan pemerintah. Visi pembangunan kehutanan “Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera” akan sulit dicapai bila tidak didukung oleh proses pembelajaran masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Program pembangunan kehutanan di masa mendatang, diharapkan lebih menekankan proses pembelajaran masyarakat sehingga masyarakat dengan kesadaran, kemauan dan ketrampilannya sendiri dapat menolong diri mereka sendiri untuk meningkatkan pendapatan, sekaligus melestarikan hutan untuk pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Keberhasilan petani pengelola hutan rakyat memperoleh sertifikat Ekolabel di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan hasil dari proses belajar masyarakat yang intensif dalam mengelola hutan secara lestari. Hasil dari intensitas belajar tersebut terwujud pada perilaku masyarakat dalam mengelola hutan rakyat secara lestari (Y2). Intensitas belajar masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Y1) dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara garis besar, intensitas belajar masyarakat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal yang mempengaruhi intensitas belajar dalam penelitian ini adalah
55
karakteristik petani sebagai peserta belajar (X1). Faktor eksternal yang mempengaruhi intensitas belajar dalam penelitian ini dibatasi empat variabel yaitu : (X2) Kompetensi Penyuluh/Pendamping; (X3) Pendekatan Pembelajaran; (X4) Kelembagaan Masyarakat; dan (X5) Kelembagaan Pendukung Pembelajaran. Faktor Eksternal X2. Kompetensi penyuluh/ pendamping X3. Pendekatan Pembelajaran X4. Kelembagaan Masyarakat
Y1. Intensitas Belajar Petani
X5. Kelembagaan pendukung pembelajaran
Y2. Perilaku Petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi)
Faktor Internal X1. Karakteristik petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi)
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian Intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan lestari sangat bergantung pada interaksi yang terjadi antara : (1) petani dengan fasilitator/penyuluh, (2) petani dengan petani lainnya; (3) petani dengan kelompok; (4) petani dengan materi belajar; dan (5) petani dengan lingkungan belajarnya. Interaksi yang baik dihasilkan dari proses belajar yang baik. Proses belajar yang baik antara lain ditunjukkan oleh proses belajar yang dialogis atau ”interaktif”. Intensitas belajar tinggi dihasilkan dari proses belajar yang interaktif akan memberdayakan peserta belajar, sebaliknya proses belajar yang ”pasif” atau yang menempatkan peserta belajar sebagai obyek, bukan subyek dalam proses belajar akan menyebabkan petani yang tidak berdaya. Dalam intensitas belajar yang tinggi, frekuensi dan intensitas komunikasi banyak, komunikasi dilakukan dengan berbagai cara, serta manfaat adanya interaksi sangat mendukung proses belajar. Sebaliknya pada intensitas belajar yang rendah, frekuensi dan intensitas komunikasi kurang, komunikasi dilakukan secara terbatas, dan manfaat interaksi bagi proses belajar
56
kurang dirasakan. Perbandingan antara intensitas belajar ”tinggi” yang memberdayakan petani dan intensitas belajar ”rendah” yang memperdayakan petani diuraikan pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Intensitas Belajar ”Tinggi dan Memberdayakan Petani” dengan Intensitas Belajar ”Rendah dan Memperdayakan Petani” Tingkat Interaksi Petani Fasilitator
• • • • •
Petani – Petani
• • • •
Petani – Kelompok Tani
• • • •
Petani – Materi belajar
• • •
Petani – lingkungan belajar
• • •
Intensitas Belajar ”Tinggi dan Memberdayakan Petani” Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi banyak Komunikasi dilakukan dengan berbagai cara informal, formal Interaksi didasarkan pada hubungan pertemanan Interaksi dapat menggali permasalahan petani, dan ditemukan alternatif solusi bagi permasalahan petani Manfaat interaksi sangat dirasakan dalam meningkatkan kapasitas petani Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi banyak Komunikasi dilakukan dengan berbagai cara informal, formal Adanya interaksi dapat tergali permasalahan petani, dan ditemukan solusi bagi permasalahan petani Manfaat interaksi sangat dirasakan dalam mendukung proses belajar petani Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi banyak Komunikasi dilakukan dengan berbagai cara informal, formal Adanya interaksi dapat menggali permasalahan petani, dan menemukan solusi bagi permasalahan petani Manfaat interaksi sangat dirasakan dalam mendukung proses belajar petani Frekuensi dan intensitas petani mencari dan mendapatkan materi belajar banyak Materi didapatkan dengan berbagai cara dalam berbagai kesempatan dan berbagai bentuk materi Manfaat interaksi sangat dirasakan dalam mendukung proses belajar petani Frekuensi dan intensitas petani mendapatkan materi belajar dari lingkungan banyak Lingkungan belajar menyediakan banyak akses , kesempatan dan kemudahan petani untuk belajar Manfaat interaksi sangat dirasakan dalam mendukung proses belajar petani
• • • • • • • • •
Intensitas Belajar ”Rendah dan Memperdayakan Petani” Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi sedikit Komunikasi dilakukan sangat terbatas pada pertemuan rutin yang formil Interaksi didasarkan pada hubungan guru-murid, atasan-bawahan dan bersifat kaku Interaksi tidak sampai menyentuh permasalahan yang dihadapi petani Manfaat interaksi dalam proses belajar petani kurang atau tidak dirasakan Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi sedikit Komunikasi dilakukan sangat terbatas pada pertemuan rutin Interaksi tidak sampai menyentuh permasalahan yang dihadapi petani Manfaat interaksi dalam proses belajar petani kurang atau tidak dirasakan
• Frekuensi dan intensitas bertemu/berkomunikasi sedikit • Komunikasi dilakukan sangat terbatas pada pertemuan rutin • Interaksi tidak sampai menyentuh permasalahan yang dihadapi petani • Manfaat interaksi dalam proses belajar petani kurang atau tidak dirasakan • Frekuensi dan intensitas petani mencari dan mendapatkan materi belajar sedikit • Materi didapatkan hanya pada saat pertemuan dan bentuk materi tidak bervariasi • Manfaat interaksi dalam proses belajar petani kurang atau tidak dirasakan • Frekuensi dan intensitas petani mendapatkan materi belajar dari lingkungan sedikit • Petani sulit berinteraksi dengan lingkungan belajar; akses, kesempatan untuk belajar sulit didapatkan • Manfaat interaksi dalam proses belajar petani kurang atau tidak dirasakan
57
Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2) dalam penelitian diukur dari penilaian petani terhadap kemampuan penyuluh/pendamping, baik kemampuan teknis
pengelolaan
hutan
lestari,
kemampuan
komunikasi,
manajemen,
peningkatan SDM petani dan lainnya yang diperlukan untuk pengembangan pengeloloaan hutan rakyat lestari.
Untuk pengembangan pengelolaan hutan
rakyat lestari sangat dibutuhkan penyuluh/pendamping yang dapat berlaku sebagai ”insider”
yang
dapat
bekerja
bersama
masyarakat,
dan
bukan
penyuluh/pendamping yang bertindak sebagai ”outsider” yang bekerja untuk masyarakat. Untuk itu dibutuhkan kemampuan penyuluh/pendamping dalam : (1) mengembangkan komunikasi; (2) mengenali dan memahami kebutuhan petani; (3) menganalisa masalah; (4) mengembangkan kemitraan; (5) mengembangkan kapasitas/SDM petani; (6) mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani; dan (7) mengembangkan wawasan teknis pengelolaan hutan lestari.
Tabel 6. Perbandingan Antara Penyuluh yang Bertindak Sebagai ”Insider” dan ”Outsider” Ciri
Mengembangkan komunikasi
•
Mengenali dan memahami kebutuhan petani
•
Menganalisa masalah
Mengembangkan kemitraan
•
• •
Penyuluh bertindak sebagai ”insider”yang bekerja bersama masyarakat Lebih banyak menggunakan komunikasi dua arah, dialog, diskusi Sangat terbuka terhadap masukan dan tanggapan dari petani Sangat peka terhadap kondisi dan situasi yang dihadapi petani Sangat memahami kebutuhan petani Selalu memberikan perhatian dan fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan petani
• Mampu menggali dan memahami permasalahan petani, mengidentifikasi penyebab permasalahan dengan tepat • Mampu membantu petani dalam pengambilan keputusan dengan memberikan atau menawarkan sejumlah alternatif solusi permasalahan • Memiliki inisiatif untuk mengadakan kerjasama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan proses belajar • Memiliki kemampuan dalam menjaga dan meningkatkan kemitraan dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan proses belajar
Penyuluh bertindak sebagai ”outsider” yang bekerja untuk masyarakat • Lebih sering menggunakan komunikasi satu arah • Sulit menerima masukan dan tanggapan dari petani • Kurang peka terhadap kondisi dan situasi yang dihadapi petani • Sering salah memahami kebutuhan petani • Fokus pada upaya pemenuhan target yang ditetapkan institusi pembina • Identifikasi dan analisa masalah menggunakan ”kaca mata” penyuluh atau ditinjau dari sudut pandang penyuluh • Mencarikan dan atau mengambil solusi untuk memecahkan permasalahan petani • Kurang memiliki kesadaran, inisiatif dan kemampuan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak yg berkaitan dengan proses belajar • Kurang mampu menjaga dan meningkatkan kemitraan dengan pihak-pihak tertentu berkaitan dengan proses belajar
58
lanjutan Tabel 6. Ciri
Mengembangkan kapasitas/ SDM petani
Mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani
Mengembangkan wawasan teknis pengelolaan hutan lestari
Penyuluh bertindak sebagai ”insider”yang bekerja bersama masyarakat • Mampu membangkitkan motivasi petani untuk belajar • Selalu berorientasi untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani, • Mampu merencanakan dan melatih petani untuk dapat mengembangkan usahanya • Memiliki perhatian pada upaya penguatan dan pengembangan kelembagaan petani • Memiliki perhatian pada manajemen organisasi petani • Mampu mengembangkan kemampuan petani dalam manajemen, penguatan dan pengembangaan kelembagaan petani • Aktif mencari informasi dari berbagai sumber mengenai pengelolaan hutan lestari • Selalu memberikan informasi terkini tentang teknis pengelolaan hutan lestari yang baru diperolehnya
• •
• • • •
Penyuluh bertindak sebagai ”outsider” yang bekerja untuk masyarakat Kurang mampu membangkitkan motivasi petani untuk belajar; Lebih berorientasi pada peningkatan ekonomi petani dan cenderung mengabaikan peningkatan SDM petani; Kurang atau tidak dapat merencanakan dan melatih atau meningkatkan SDM petani Perhatian terhadap upaya penguatan dan pengembangan kelompok hampir atau tidak ada; Kurang memberikan perhatian pada manajemen organisasi petani; Kurang atau tidak dapat mengembangkan manajemen dan pengembangan kelembagaan petani
• Sumber informasi mengenai pengelolaan hutan lestari terbatas; • Jarang memberikan informasi terkini berkaitan teknis pengelolaan hutan lestari
Pendekatan pembelajaran (X3) yang digunakan sangat mempengaruhi proses belajar petani dan output yang dihasilkan dari proses belajar tersebut. Perbedaan pendekatan pembelajaran juga dipengaruhi oleh tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar tersebut. Pendekatan partisipatif ”pembelajaran” (learning) bertujuan untuk memberdayakan peserta belajar, sehingga materi, metode pembelajaran yang digunakan, model komunikasi, tahapan belajar, cara pembelajaran yang berbeda dengan pendekatan ”pengajaran” (teaching). Pendekatan top down ”pengajaran” sangat tepat digunakan untuk tujuan transfer teknologi, dan bila hasil yang ingin dicapai adalah penguasaan teknologi tertentu oleh peserta belajar. Pendekatan ”pembelajaran” lebih ditititkberatkan kepada kebutuhan dan kondisi peserta belajar. Materi belajar disesuaikan dengan kebutuhan peserta belajar, terutama untuk menjawab persamalahan yang dihadapi oleh peserta belajar. Demikian dengan metode pembelajaran dan model komunikasi yang digunakan, semuanya difokuskan pada upaya meningkatkan kemampuan peserta
59
belajar. Pendekatan ”pengajaran” lebih difokuskan pada upaya penyerapan materi pelajaran
oleh
peserta
belajar,
dan
kurang
memperhatikan
kebutuhan,
permasalahan yang dihadapi oleh peserta belajar. Untuk lebih jelasnya perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan diuraikan berdasarkan unsur: (1) ketersediaan materi; (2) kesesuaian kebutuhan belajar; (3) model komunikasi; (4) tahapan pembelajaran; dan (5) cara pembelajaran dapat dilihat pada Tabel7.
Tabel 7. Perbandingan Pendekatan ”Pembelajaran” (Learning) dan ”Pengajaran” (Teaching) Ciri
Pendekatan ”Pembelajaran” (Learning) Materi belajar ditentukan bersamasama oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan minat belajar Jumlah dan jenis materi belajar cukup tersedia dan sangat bervariasi, sesuai dengan kebutuhan dan minat petani Materi belajar sangat menarik dan dapat membantu pemecahan masalah bagi masyarakat Metode pembelajaran mudah diikuti dan menarik perhatian petani Metode yang digunakan sesuai dengan kondisi petani Model komunikasi sesuai dengan keinginan masyarakat, lebih menekankan hubungan informal (hubungan interpersonal) Lebih banyak menggunakan model komunikasi dua arah, (dialog) dan memusat (konvergen)
Pendekatan ”Pengajaran” (Teaching) • Materi ditentukan oleh organisasi penyuluhan/pendampingan • Jenis materi belajar terbatas dan sudah ditentukan/paket • Materi kurang/tidak menarik bagi masyarakat dan tidak membantu pemecahan masalah bagi masyarakat
Kemudahan tahapan pembelajaran
• Langkah-langkah pembelajaran jelas dan mudah dimengerti oleh petani • Petani mudah mengikuti langkah pembelajaran • Diawali dengan membangkitkan kesadaran masyarakat
Kesesuaian cara pembelajaran
Semua menggunakan prinsip andragogy (Pendidikan Orang Dewasa) • Experiental Learning • Learning by doing • Discovery Learning
• Langkah-langkah pembelajaran kurang/tidak jelas dan sulit dimengeri oleh petani • Petani sulit mengikuti langkah pembelajaran • Langsung terfokus pada pemberian materi Lebih cenderung menggunakan prinsip paedagogy • Ceramah • Diskusi • Seminar
Ketersediaan dan kesesuaian materi
• •
•
Kesesuaian metode belajar
• •
Kesesuaian model komunikasi
•
•
• Metode pembelajaran sulit diikuti petani • Metode yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi petani • Model komunikasi kurang sesuai dengan keinginan masyarakat karena bersifat formal/kaku • Lebih banyak menggunakan model komunikasi linier (satu arah)
60
Kelembagaan masyarakat (X4) yang mempengaruhi proses belajar dalam hal ini ialah seberapa jauh lembaga sosial dalam masyarakat tersebut berfungsi dengan baik, ditinjau dari aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian. Aspek kelembagaan masyarakat dalam penelitian meliputi: (1) kejelasan norma; (2) penegakan sanksi; (3) penjaga keutuhan masyarakat (konformitas-conformity) dan (4) penyimpangan
(deviation).
Sedangkan aspek keorganisasian pada
kelembagaan masyarakat dalam penelitian ini ialah: (5) kesesuaian tujuan; (6) kepemimpinan; dan (7) kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian.
Tabel 8. Ciri Kelembagaan Masyarakat yang ”Dinamis” dan ”Statis” Ciri Kejelasan norma
Penegakan sanksi
Konformitas (penjaga keutuhan masyarakat) Penyimpangan
Kesesuaian tujuan
Kepemimpinan
Kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian
Kelembagaan masyarakat yang ”dinamis” • Norma dipahami, dapat disebutkan dan dijelaskan oleh petani • Petani merasakan manfaat norma/nilai dalam mendukung proses belajar • Norma dipatuhi oleh petani • Sanksi diketahui dan dapat dijelaskan oleh petani • Sanksi disetujui oleh petani • Sanksi diterapkan secara baik • Kesediaan petani untuk mematuhi peraturan/norma yang berlaku • Petani mampu menyesuaikan diri dengan norma/nilai yang berlaku • Petani dapat menerima adanya perbedaan nilai/norma yang baru • Petani mau menerima perbedaan nilai/norma yang baru • Organisasi berjalan sesuai dengan tujuan bersama yang telah ditetapkan • Tujuan organisasi sesuai dengan tujuan masing-masing anggota
• • • • • • • • • • • •
• Kepemimpinan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama • Kepemimpinan dijalankan sesuai dengan harapan anggota/pengurus
•
• Tiap anggota/pengurus berperan sesuai dengan yang diharapkan • Hubungan antar anggota/pengurus sangat erat dan saling melengkapi
•
•
•
Kelembagaan masyarakat yang ”statis” Norma tidak/kurang dipahami, oleh petani Petani belum/tidak merasakan manfaat norma/nilai dalam mendukung proses belajar Norma tidak/kurang dipatuhi oleh petani Sanksi tidak diketahui dan tidak dapat dijelaskan oleh petani Sanksi tidak disetujui oleh petani Sanksi tidak diterapkan secara baik Petani tidak mau mematuhi peraturan/norma yang berlaku Petani tidak mampu menyesuaikan diri dengan norma/nilai yang berlaku Petani belum/tidak dapat menerima perbedaan nilai/norma yang baru Petani tidak/belum mau menerima perbedaan nilai/norma yang baru Organisasi berjalan tidak sesuai/menyimpang dari tujuan bersama yang telah ditetapkan Tujuan organisasi ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu, kurang sesuai dengan tujuan masing-masing anggota Kepemimpinan ditentukan oleh pihak tertentu, tidak berdasarkan kesepakatan bersama Kepemimpinan dijalankan sesuai dengan tuntutan pihak luar Tiap anggota/pengurus tidak berperan sesuai harapan Hubungan antar anggota/pengurus kurang baik, cenderung formil.
61
Kelembagaan pendukung proses belajar petani (X5) dalam hal ini ialah kelembagaan eksternal di luar kelembagaan masyarakat yang ikut berperan dalam proses pembelajaran masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari, antara lain instansi pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi dan lainnya. Berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat secara lestari, kelembagaan pendukung yang kolaboratif atau dapat bekerja sama dengan baik, akan menghasilkan proses belajar yang baik pula. Indikator kelembagaan pendukung dalam penelitian ini ialah : (1) sistem nilai; (2) kegiatan yang dilakukan; (3) dukungan fasilitas; (4) dukungan personil.
Tabel 9. Perbandingan Kelembagaan pendukung yang ”kolaboratif” dan ”non kolaboratif” Ciri Kesesuaian sistem nilai : 1. nilai terhadap manusia; 2. nilai terhadap hutan Kegiatan yang dilakukan
Dukungan fasilitas
Dukungan personil
Kelembagaan pendukung yang ”kolaboratif” • Kesesuaian penilaian kelembagaan pendukung terhadap hubungan antar manusia dengan nilai yang dianut petani • Kesesuaian penilaian kelembagaan pendukung terhadap hutan dengan nilai yang dianut petani • Kesesuaian kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani • Kegiatan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat • Kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan kesepakatan lembaga lainnya • Anggaran yang disediakan cukup dan disesuaikan dengan kebutuhan petani • Informasi yang diberikan up to date dan sesuai dengan kebutuhan petani • Sarana dan prasarana yang diberikan cukup dan disesuaikan dengan kebutuhan petani • Dukungan fasilitas yang cukup bagi personil di lapangan, pelatihan, tunjangan dan lainnya • Jumlah dan kualitas personil di lapangan sesuai kebutuhan • Personil memiliki sikap mental dan kepedulian yang tinggi terhadap proses belajar petani.
•
•
• • •
• • • • • •
Kelembagaan pendukung yang ”non kolaboratif” Kelembagaan pendukung menganut penilaian terhadap hubungan antar manusia yang berbeda atau bertentangan dengan nilai yang dianut petani; Kelembagaan pendukung menganut penilaian terhadap hutan yang berbeda atau bertentangan dengan nilai yang dianut petani; Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan target program yang telah ditetapkan lembaga/organisasi Kegiatan yang dilakukan untuk masyarakat Kegiatan dilakukan sesuai dengan tujuan organisasinya tanpa berkoordinasi atau memperdulikan kesepakatan yg dibuat bersama Anggaran tersedia sesuai dengan yang sudah diprogramkan Informasi yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang dikuasai oleh organisasi Sarana dan prasarana yang diberikan sesuai dengan yang dianggarkan Kurang memberikan fasilitas bagi personil di lapangan berupa tunjangan maupun pelatihan. Jumlah personil yang ditempatkan sesuai dengan ketersediaan anggaran Personil hanya menjalankan tugas, tidak atau kurang kepedulian terhadap proses belajar petani
62
Karakteristik petani (X1), merupakan faktor internal yang berpengaruh pada proses belajar petani dalam pengelolaan hutan lestari. Pada penelitian ini karakteristik petani yang akan diteliti dibatasi pada: (1) umur; (2) pengalaman; (3) status sosial-ekonomi; (4) motivasi intrinsik; (5) motivasi ekstrinsik; dan (6) konsep diri. Karakteristik petani yang memiliki kesadaran, kemauan dan keinginan tinggi untuk belajar, dengan kata lain ”responsif’ terhadap proses belajar, berbeda dengan karakteristik petani yang ”tidak responsif”. Perbedaan karakteristik petani tersebut akan mempengaruhi proses belajar, maupun hasil dari proses belajar. Tabel 10. Perbandingan karakteristik Petani ”Responsif” dan ”Tidak Responsif” terhadap Proses Belajar Karakteristik Umur Pengalaman
Status sosial ekonomi
Motivasi intrinsik
Motivasi ekstrinsik Konsep diri
Petani ”Responsif” Tidak menjadi kendala petani dalam proses belajar Pengalaman menjadi modal utama dalam proses belajar Status sosial ekonomi tidak menjadi kendala dalam proses belajar, semua golongan dapat berpartisipasi Motivasi intrinsik menjadi kekuatan pendorong dalam proses belajar Motivasi ekstrinsik menjadi kekuatan penarik dalam proses belajar Lebih banyak pernyataan positif daripada pernyataan negatif dalam diri petani yang mendukung proses belajar
Petani ”Tidak Responsif” Menjadi alasan/kendala keterlibatan petani dalam proses belajar Kurang berpengalaman, sehingga menjadi alasan menghindari proses belajar Status sosial ekonomi menjadi kendala/penghalang dalam proses belajar Tidak memiliki/kurang motivasi intrinsik dalam proses belajar Tidak termotivasi oleh daya tarik ekstrinsik Lebih banyak pernyataan negatif daripada pernyataan positif dalam diri petani sehingga menghambat proses belajar
Hasil proses belajar masyarakat adalah pencapaian tujuan belajar yaitu perilaku individu petani dalam pengelolaan hutan lestari (Y2). Pengukuran hasil belajar menggunakan tabel taksonomi Bloom sebagaimana Tabel 2. Hasil belajar dinilai dari ranah pengetahuan, ranah afektif dan ranah psikomotorik dalam pengelolaan hutan rakyat lestari, yang mencakup tiga aspek yaitu : (1) kelestarian fungsi produksi, (2) kelestarian fungsi ekologi; dan (3) kelestarian fungsi sosial. Kelestarian fungsi produksi meliputi kelestarian sumberdaya, kelestarian hasil dan kelestarian usaha, yang difokuskan pada kegiatan pengamanan hutan, kelestarian produksi dan manajemen usaha.
63
Kelestarian fungsi ekologi mencakup aspek kelestarian ekosistem dan keberadaan flora dan fauna endemik/langka. Kelestarian ekosistem difokuskan pada kegiatan pemeliharaan struktur dan fungsi ekosistem. Kelestarian fungsi sosial mencakup aspek keadilan manfaat, kelembagaan dan pola hubungan sosial/kemitraan. Perilaku yang diharapkan sebagai hasil belajar dalam penelitian ini digambarkan sebagai perilaku ”Pro Lestari” (Tabel 11). Tabel 11. Perbandingan Perilaku ”Pro Lestari” dan ”Kontra Lestari” dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Ranah/ aspek Pengetahuan / produksi
Perilaku ”Pro Lestari”
Perilaku ”Kontra Lestari”
Petani mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi pentingnya keamanan hutan, kelestarian hasil, dan kemampuan manajemen usaha. Petani mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi pentingnya struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka.
Petani tidak mengetahui dan mengerti keamanan hutan, kelestarian hasil, dan kemampuan manajemen usaha.
Pengetahuan / Sosial
Petani mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi pentingnya keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan.
Petani tidak mengetahui dan mengerti pentingnya keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan.
Sikap / Produksi
Petani menyadari, menghayati, dan mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan pengamanan hutan, pelestarian hasil dan manajemen usaha. Petani menyadari, menghayati dan mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka.
Petani tidak menyadari, tidak menghayati, dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan pengamanan hutan, pelestarian hasil dan manajemen usaha. Petani tidak menyadari, tidak menghayati dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka. Petani tidak menyadari, tidak menghayati, dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan dengan pengembangan keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan Belum pernah mencoba, tidak cakap menjalankan kegiatan berkaitan pengamanan hutan, pelestarian hasil dan manajemen usaha Belum pernah mencoba, tidak cakap menjalankan kegiatan berkaitan menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka. Belum pernah mencoba, tidak cakap menjalankan kegiatan berkaitan dengan pengembangan keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan
Pengetahuan / Ekologi
Sikap / Ekologi
Sikap Sosial
/
Ketrampilan/ Produksi Ketrampilan / Ekologi Ketrampilan / Sosial
Petani menyadari, menghayati, dan mau melibatkan diri dalam kegiatan berkaitan dengan pengembangan keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan Petani cakap dan aktif menjalankan kegiatan berkaitan pengamanan hutan, pelestarian hasil dan manajemen usaha. Petani cakap dan aktif menjalankan kegiatan berkaitan menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka. Petani cakap dan aktif menjalankan kegiatan berkaitan dengan pengembangan keadilan manfaat, kelembagaan masyarakat dan pola hubungan sosial/kemitraan
Petani tidak mengetahui dan mengerti pentingnya struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka.
64
Perilaku masyarakat (aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan) dalam pengelolaan hutan rakyat) ”Pro Lestari” berdampak pada pengelolaan hutan rakyat yang lestari. Dengan pengelolaan hutan rakyat yang lestari (sertifikasi) diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat karena kayu dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dan dapat menembus pasar internasional. Sebagai hasil akhir, diharapkan masyarakat akan lebih termotivasi untuk mempertahankan kelestarian hutan. Diharapkan hasil akhir dari kegiatan belajar masyarakat ini ialah tercapainya visi Kementerian Kehutanan ”Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera” . Gambaran kerangka pikir penelitian secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Karakteristik petani, kompetensi penyuluh/pendamping, pendekatan pembelajaran, kelembagaan masyarakat dan kelembagaan pendukung berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani;
2.
Intensitas belajar petani, kelembagaan masyarakat, karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.
9 Kelembagaan Masyarakat ( X4) X 4.1. Kejelasan norma X 4.2. Penegakan sanksi X 4.3. Konformitas X 4.4. Penyimpangan X 4.5. Kesesuaian tujuan X 4.6. Kepemimpinan X 4.7. Kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran (X5) X 5.1. Kesesuaian sistem nilai X 5.2. Kesesuaian kegiatan/aktivitas X 5.3. Dukungan fasilitas X 5.4. Dukungan personil
Karakteristik Petani (X1) X 1.1. Umur X 1.2. Pengalaman X 1.3. Status Sosial-Ekonomi X 1.4. Motivasi ekstrinsik X 1.5. Motivasi intrinsik X 1.6. Konsep diri
Keberhasilan Proses Belajar Intensitas Belajar Petani Pengelola Hutan Rakyat (Y1) Tingkat interaksi antara: Y 1.1. Petani - Fasilitator Y 1.2. Petani - Petani Y 1.3. Petani - Kelompok Tani Y 1.4. Petani - Materi belajar Y 1.5. Petani - Lingkungan belajar
Perilaku Petani Mengelola Hutan Rakyat (Y2) Tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam kelestarian fungsi: Y 2.1. Produksi Y 2.2. Ekologi Y 2.3. Sosial
Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2) Kemampuan penyuluh/pendamping dalam: X 2.1. Mengembangkan komunikasi X 2.2. Mengenali dan memahami kebutuhan petani X 2.3. Menganalisa masalah X 2.4. Mengembangkan kemitraan X 2.5. Mengembangkan kapasitas/SDM petani X 2.6. Mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani X 2.7.Mengembangkan wasasan teknis pengelolaan hutan lestari
Pendekatan Pembelajaran (X3) X 3.1. Ketersediaan materi X 3.2. Kesesuaian metode belajar X 3.3. Kesesuaian model komunikasi X 3.4. Kemudahan tahapan pembelajaran X 3.5. Kesesuaian cara pembelajaran
Gambar 2. Kerangka Berpikir Menyangkut Hubungan Antar Peubah Penelitian
Hutan lestari, Masyarakat sejahtera
10
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah survey, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai situasi atau kejadian dari sampel ke populasi sehingga dapat dibuat kesimpulan tentang karakteristik, sikap atau perilaku populasi (Babbie,1990, diacu dalam Creswell, 2002). Penelitian ini juga bersifat penelitian penjelasan (Explanatory Research) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubahpeubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Model teoritis yang akan diuji dalam penelitian ini meliputi hubungan kausalitas antara indikator-indikator terhadap peubah dan hubungan kausalitas antara peubah-peubah penelitian.
Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di wilayah terdapat unit usaha hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat dan telah berhasil mendapatkan sertifikat Ekolabel untuk kategori Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML). Petani hutan rakyat di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah merupakan kelompok petani hutan rakyat yang pertama kali mendapatkan sertifikat Ekolabel untuk kelompok PHBML pada tahun 2004. Gabungan kelompok tani di : (1) Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar; (2) Desa Dengok, Kecamatan Playen, dan (3) Desa Girisekar, Kecamatan Panggang di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan sertifikasi PHBML pada tahun 2006. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang hasil pembelajaran petani tentang Hutan Rakyat Lestari, sebagai pembanding di masing-masing kecamatan dipilih satu desa lain yang berdekatan, yang telah mengembangkan hutan rakyat tetapi belum mendapatkan sertifikat Ekolabel. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kantor Dinas
67 Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, ditetapkan desa lain yang berdekatan dalam satu kecamatan. Di Kabupaten Gunung Kidul, ditetapkan Desa Giri Wungu, Kecamatan Panggang dan Desa Nglipar, Kecamatan Nglipar, serta di Kabupaten Wonogiri ditetapkan Desa Kudi, Kecamatan Batuwarno.
Penelitian di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten
Wonogiri tersebut dilakukan pada bulan Desember 2009 – Februari 2010.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini ialah petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, yang seluruhnya berjumlah 2.405 orang, dengan perincian 765 orang di Gunung Kidul dan 1.640 di Wonogiri. Populasi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri relatif homogen, dilihat dari pengalaman mengelola hutan rakyat, kondisi sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, kondisi fisik wilayah, yaitu termasuk wilayah pengunungan kapur Selatan dan luas lahan garapan. Penentuan sampel penelitian menggunakan syarat minimal Structural Equation Modelling (SEM) yaitu 100-150 sampel. Wijanto (2008) dan Kusnendi (2008) menjelaskan bahwa penggunaan SEM dengan metode estimasi maximum likelihood memerlukan sampel sebanyak lima kali indikator-indikator (observed variables) yang ada dalam model. Dalam penelitian ini digunakan indikator sebanyak 35, sehingga diperlukan sampel minimal 35 x 5 = 175. Teknik pengambilan sampel ialah dengan metode stratified random sampling, dengan strata tingkat keaktivan dalam kelompok (pengurus dan bukan pengurus), dengan jumlah responden dari kedua kabupaten 200 orang. Sedangkan jumlah responden dari desa yang belum mengelola hutan rakyat belum disertifikasi disesuaikan dengan jumlah sampel minimal yang dipersyaratkan untuk uji statistik, yaitu masing-masing kecamatan 30 orang. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 200 orang petani hutan rakyat lestari (sertifikasi), dan sebagai pembanding 60 orang petani hutan rakyat belum disertifikasi dengan perincian pada Tabel 12.
68 Tabel 12. Perincian Jumlah Responden Penelitian Kabupaten/ Kecamatan
Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) Desa/Dusun
Nama Kelompok
Gunung Kidul 1. Nglipar Kedungkeris -Pringsurat -Kedungkeris
2. Playen
-Sendowo Kidul Dengok
3. Panggang
Giri Sekar - Pijenan - Jeruken - Blimbing
Wonogiri Batuwarno Selopuro - Pagersengon - Jarak - Sudan Sumberejo JUMLAH
Sumber Rejeki Ngudi Makmur Tani Makmur Marsudi Tani
Hutan Rakyat belum/non sertifikasi Jumlah Desa/ Nama Jumlah (orang) Dusun Kelompok (orang) 100 30 Nglipar Marsudi 10 Tani 16 19 16 9 Giri Wungu
Trubus Subur Sekar Eko Jati
Sekar Wungu
18 12 10 100 Kudi
Percabaan Ngudi Rejeki Ngudi Rahayu Gondang Rejo
20
30 30
24 40 18 18 200
Pengumpulan data Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi langsung di lapangan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur kepada responden dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan kunci untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, serta diskusi dalam pertemuan-pertemuan kelompok. Observasi langsung di lapangan dilakukan untuk memperbandingkan hasil wawancara dengan kenyataan di lapangan, atau bahkan dapat mempertajam hasil wawancara.
60
69 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan ialah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur dan wawancara mendalam. Data sekunder berupa data potensi wilayah, potensi bidang kehutanan, pengelolaan hutan rakyat, dan penyuluhan kehutanan didapat dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Gunung Kidul, Biro Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Universitas Gadjah Mada, LSM Pendamping dan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP). Data
primer
diperlukan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) baik di Kabupaten Gunung Kidul maupun Kabupaten Wonogiri. Data primer yang dikumpulkan dari responden melalui kuesioner yang dibuat dengan skala Likert. Alternatif tiap jawaban ditransformasikan menjadi data kuantitatif, dengan cara pemberian skor. Menurut Sevilla et.al. (1993) skor yang diperoleh dengan menggunakan skala Likert dapat dipertimbangkan sebagai data interval walaupun pada dasarnya adalah ordinal. Data primer dari informan kunci diperlukan untuk analisa kualitatif proses pembelajaran yang berlangsung dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. Sedangkan data sekunder diperlukan untuk mengetahui latar belakang atau sejarah desa yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Validitas
Validitas atau kesahihan menyangkut ketepatan dalam penggunaan alat ukur (Black dan Champion, 1999) Suatu alat ukur dikatakan valid atau sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Sebagai alat ukur untuk pengumpulan data, kuesioner harus dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Validitas kuesioner tersebut bersandar pada logika dan pembuktian statistik.
70 Validitas dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu validitas konstruk
(construct validity); validitas isi (content validity) dan validitas
konkuren. Validitas konstruk ini bertumpu pada model analogi konsep belajar Klausmeier dan Goodwin (1971) dan Suryabrata (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran. Validitas isi berdasarkan pada (1) pendapat ahli baik dari berbagai kajian pustaka maupun pendapat pakar (pembimbing dan nara sumber lainnya) dalam rangka pencapaian tujuan, (2) uji kesahihan logika, yaitu membandingkan teori belajar, teori komunikasi dalam kaitannya dengan proses pembelajaran petani. Validitas konkuren didasarkan pada hubungan yang teratur antara proses pembelajaran petani dengan faktor internal, faktor eksternal dan kelestarian hutan dari fungsi produksi, ekologis dan sosial. Validitas dapat dilihat melalui korelasi sederhana antara skor yang dicapai antar peubah dari masing-masing konsep yang diukur. Menurut Ancok (1995), cara mengukur validitas ialah dengan (1) mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur; (2) melakukan uji coba skala pengukur tersebut pada sejumlah responden; (3) mempersiapkan tabel tabulasi jawaban; (4) menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi product moment : N (∑XY) – (∑X ∑Y) r
=
√ [N∑X2 - (∑X) 2] [N∑Y2 – (∑Y)2]
Keterangan: r = korelasi product moment X = skor pertanyaan no.1 Y = skor total XY = skor pernyataan no.1 dikalikan skor total Angka korelasi yang diperoleh dibandingkan dengan angka kritik Tabel Korelasi Nilai – r. Dari tabel korelasi tersebut diketahui bahwa untuk N=30, angka kritik untuk taraf signifikansi 5% adalah 0,361. Jadi, semua nilai korelasi yang diperoleh dibandingkan dengan angka kritik Tabel Korelasi Nilai – r, jika nilai korelasi > 0,361 maka dikatakan bahwa pertanyaan tersebut valid atau sahih dan jika nilai r < 0,361 dapat dikatakan pertanyaan tidak valid. Ketidakvalidan
71 tersebut dapat disebabkan oleh susunan kata-kata atau kalimat yang kurang baik sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penyesuaian atau koreksi terhadap pertanyaan yang memiliki nilai r < 0,361 atau pertanyaannya tersebut dihilangkan bila tidak terlalu mendukung indikator penelitian atau dapat diwakilkan oleh pertanyaan lainnya.
Reliabilitas Reliabilitas atau keterandalan menyangkut kemampuan alat ukur untuk mengukur gejala secara konsisten, teliti dan sebagai alat ukur yang tepat dalam mengukur gejala yang sama (Black dan Champion, 1999). Untuk menguji reliabilitas atau keterandalan kuesioner digunakan rumus Cronbach’s Alpha: Σ σ2 item
N α =
1N–1
σ2 total
(Kountur, 2006)
Keterangan: α = Cronbach’s Alpha N = banyaknya pertanyaan σ2 item = variance dari pertanyaan σ2 total = variance dari skor Suatu instrumen dikatakan reliabel atau handal, jika peubah-peubah yang diteliti memiliki nilai Cronbach’s Alpha (α) ≥ 0,6. Dalam penelitian ini untuk menilai validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, dilakukan uji coba instrumen kepada 27 orang responden yang berasal dari Desa Pringsurat, Kec. Nglipar; Desa Giri Sekar, Kecamatan Panggang, dan Desa Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil perhitungan validitas terhadap 27 orang dengan jumlah pertanyaan sebanyak 192 butir, didapatkan nilai yang bervariasi mulai dari 0,28 – 0,832. Dengan jumlah responden 27 orang (n=27), dari tabel korelasi nilai - r diketahui bahwa angka kritik adalah 0,381. Berdasarkan angka kritik itu diteliti pertanyaan-pertanyaan yang memiliki nilai r < 0,381, dan dilakukan penyesuaian
72 pertanyaan dan beberapa pertanyaan yang dianggap tidak terlalu mendukung peubah penelitian tidak digunakan. Hasil perhitungan reliabilitas atau keterandalan instrumen penelitian, terhadap tujuh peubah mendapatkan nilai cronbach’s alpha > 0,6 untuk masingmasing peubah (Tabel 13). Dengan demikian kuesioner yang digunakan untuk penelitian ini reliabel atau handal. Tabel 13. Reliabilitas Peubah Penelitian No Peubah Nilai Cronbach’s Alpha 1 Karakteristik petani 0,682 (reliabel) 2 Kompetensi Penyuluh/Pendamping 0,872 (reliabel) 3 Pendekatan pembelajaran 0,771 (reliabel) 4 Kelembagaan Masyarakat 0,802 (reliabel) 5 Kelembagaan Pendukung Pembelajaran 0,820 (reliabel) 6 Tingkat intensitas belajar petani 0,757 (reliabel) 7 Tingkat perilaku petani pengelola HRL 0,866 (reliabel) Keterangan: Nilai Cronbach’s Alpha (α) ≥ 0,6 = reliabel Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai sebaran responden pada setiap peubah. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk melakukan estimasi terhadap populasi (generalisasi) dalam rangka melihat sejauhmana peubah-peubah saling berhubungan dan mempengaruhi serta melihat kecocokan model penelitian yang dirancang (model hipotetik) dengan model sesungguhnya. Selain itu, statistik inferensial (uji beda) digunakan juga untuk melihat perbedaan antar peubah di kedua kabupaten dan antar tipe hutan rakyat (Hutan Rakyat Lestari – sertifikasi dan hutan rakyat non sertifikasi). Untuk pengujian secara statistika, hasil pengukuran peubah-peubah penelitian melalui indikator-indikator dan parameter-parameternya,
yang
menggunakan skala nominal dan ordinal ditransformasi terlebih dahulu dalam bentuk skala interval atau skala ratio (Sumardjo, 1999). Rumus transformasi yang digunakan adalah transformasi indeks indikator sebagai berikut :
73 Jumlah skor yang dicapai per indikator - jumlah skor terkecil Indeks indikator =
X 100 Jumlah skor maksimum tiap peubah
Dalam penelitian ini, pengukuran indikator menggunakan parameter skala 1-4, sehingga nilai indeks transformasi minimum (0) dicapai bila semua parameter setiap indikator yang diukur bernilai 1. Sedangkan nilai maksimum (100) bila semua parameter setiap indikator bernilai 4, sehingga sebaran data merupakan skala interval dengan nilai berkisar antara 0-100. Pengelompokan kategori menggunakan tiga tingkatan yaitu: nilai 0-50 kategori ”rendah”, 51-75 kategori ”sedang”, dan 76-100 kategori ”tinggi”. Pengolahan data untuk statistik deskriptif dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. Statistik inferensial yang digunakan dalam penelitian ini ialah SEM. SEM adalah suatu teknik statistik yang mampu menganalisis pola hubungan antara konstruk (konsep) laten dan indikatornya, konstruk laten yang satu dengan lainnya, serta kesalahan pengukuran secara langsung (Yamin dan Kurniawan, 2009). Konstruk (konsep) laten menurut Yamin dan Kurniawan (2009) adalah konsep yang membuat peneliti mendefinisikan ketentuan konseptual, namun tidak secara langsung, tetapi diukur perkiraan berdasarkan indikator. Konstruk adalah dasar untuk membentuk hubungan kausal sehingga mempunyai konsep kemungkinan yang paling representatif. Konstruk (konsep) laten tidak dapat diukur
secara
langsung
dan
membutuhkan
indikator-indikator
untuk
mengukurnya, yang dinamakan peubah manifes. Pengolahan data dengan SEM memiliki dua keunggulan, yaitu: (1) mempunyai kemampuan untuk mengestimasi hubungan antar peubah yang bersifat multiple relationship. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstruk dependent dan independent); (2) mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola hubungan antara konstruk (konsep) laten dan peubah manifes (peubah indikator). Konstruk laten dalam penelitian terdiri dari lima konstruk laten dependen dan dua konstruk laten independen. Konstruk laten dependen dalam penelitian ini adalah : X1-Karakteristik petani; X2- Kompetensi penyuluh/pendamping; X3Pendekatan pembelajaran; X4-Kelembagaan masyarakat; dan X5- Kelembagaan pendukung pembelajaran. Sedangkan konstruk laten independen dalam penelitian ini adalah: Y1-Intensitas Belajar Petani; dan Y2-Perilaku petani mengelola Hutan
74 rakyat lestari. Konstruk laten dependen : karakteristik petani diukur dengan 6 peubah manifes (X 1.1-1.6 ); kompetensi penyuluh/pendamping diukur dengan 7 peubah manifes (X 2.1-2.7 ); pendekatan pembelajaran diukur dengan 5 peubah manifes (X 3.1-3.5 ); kelembagaan masyarakat diukur dengan 7 peubah manifes (X 4.1-4.7 ); kelembagaan pendukung pembelajaran diukur dengan 4 peubah manifes (X 5.1-5.4 ). Sedangkan konstruk laten independen : intensitas belajar petani diukur dengan 5 peubah manifes (Y 1.1-1.5 ) dan perilaku petani diukur dengan 3 peubah manifes (Y 2.1-2.5 ) . Pengolahan data dengan SEM dilakukan melalui dua tahapan, tahap pertama adalah membuat model pengukuran dari data yang dikumpulkan, dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis) dan tahap yang kedua adalah membuat model struktural yang menggambarkan hubungan antar peubah. Pada setiap tahapan SEM dilakukan uji kebermaknaan yaitu menghilangkan indikator yang mempunyai nilai muatan faktor standar < 0,5 dan t-value <1,96 sampai mendapatkan model yang fit, yaitu Goodness of Fit Test (GFT) memenuhi persyaratan. Persyaratan GFT antara lain nilai Comparative Fit Index (CFI),
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA). Model
dikatakan fit dengan data apabila dihasilkan CFI≥ 0,90; RMSEA ≤ 0,08. GFT digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian antara data yang dikumpulkan dengan model yang diajukan. Jika nilai yang diperoleh belum memenuhi kriteria GFT, maka dilakukan perbaikan model. Jika telah memenuhi persyaratan GFT, maka dikatakan model fit dengan data. Dengan kata lain, model dapat diberlakukan bagi populasi penelitian (Kusnendi, 2008; Wijayanto, 2008). Model pengukuran dan model struktural membentuk model lengkap. Pengolahan dan analisis data menggunakan bantuan program SPSS 16.0, dan LISREL (Linear Structural Relations) 8.70. Model yang dihasilkan menjawab permasalahan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani dan tingkat perilaku petani dalam mengelola
Hutan
Rakyat
Lestari
(sertifikasi).
Model
yang
dihasilkan
diperbandingkan dengan model hipotetik persamaan (Gambar 3) yang disusun berdasarkan kerangka berpikir sebelumnya.
δ 5.1
X5.1
δ 5.2
X5.2
δ 5.3
X5.3
δ 5.4
X5.4
δ 4.1
δ 4.2
δ 4.3
δ 4.4
δ 4.5
δ 4.6
δ 4.7
δ 1.1
δ 1.2
δ 1.3
δ 1.4
δ 1.5
δ 1.6
X4.1
X4.2
X4.3
X4.4
X4.5
X4.6
X4.7
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
X1.6
λx4.1
λx4.2 λx4.3 λx4.4 λx4.5 λx4.6 λx4.7
λx1.1 λx1.2 λx1.3 λx1.4 λx1.5
X1
X4
λx5.1 λx5.2 λx5.3
γ2.4 γ1.5
λx2.1
X2.1
δ 2.2
λx2.2 λx2.3 λx2.4
X2.2
δ 2.3
X2.3
δ 2.4 δ 2.5
λx2.5 X2.4
λx2.6 λx2.7
X2.6
δ 2.6
X2.7
X3.1
δ 2.7
δ 3.1
X3.2
δ 3..2
ε 1.1
X3.3
δ 3.3
Y1.2
ε 1.2
λx3.5 λx3.4
λx3.1 λx3.2 λx3.3
X2.5
λy1.1 λy1.2 Y1.1
ζx3
X3
γ2.1
X3.5 X3.4
λy1.5
ζ2
ε 1.5
Y1.3
ε 1.3
Y2.2
λy2.2
Y1.5 Y1.4
λy2.1
Y2
ζ1
λy1.3 λy1.4
ε 2.1
λy2.1 β2.1
Y1
γ 1.3
X2
ζx2
Y2.1
γ1.4
γ 1.2 δ 2.1
γ1.1
X5
λx5.4
λx1.6
ε 1.4
δ 3.5
δ 3.4
Gambar 3. Model Hipotetik Persamaan Struktural
Y2.3
ε 2.2 ε 2.3
Keterangan: X1 = karakteristik petani X2 = kompetensi penyuluh/pendamping X3 = pendekatan pembelajaran X4 = kelembagaan masyarakat X5 = kelembagaan pendukung pembelajaran Y1 = intensitas belajar petani
γ = koefisien jalur endogen
peubah eksogen thdp peubah laten
ζ = koefisien kesalahan persamaan struktural β = koefisien jalur peubah endogen trhdp peubah endogen lainnya
76
Selanjutnya diperbandingkan juga model Y1 (intensitas belajar petani) dan Y2 (perilaku petani dalam mengelola hutan rakyat lestari), yang dihasilkan dari pengolahan data dengan model hipotetik persamaan struktural berdasarkan path diagram dari model persamaan struktural di atas (Gambar 4 dan Gambar 5).
X1
γ1.1
X2
γ1.2
X3
Y1
ζ1
γ1.3 γ1.4
X4 γ1.5 X5
Keterangan: X1 = karakteristik petani X2 = kompetensi penyuluh/pendamping X3 = pendekatan pembelajaran X4 = kelembagaan masyarakat X5 = kelembagaan pendukung pembelajaran Y1 = intensitas belajar petani
γ=
koefisien jalur peubah eksogen terhadap peubah laten endogen
ζ = koefisien kesalahan persamaan struktural
Y 1 = γ 1.1 X 1 + γ 1.2 X 2 + γ 1.3 X 3 + γ 1.4 X 4 + γ 1.5 X 5 + ζ 1 (Persamaan Struktural) Gambar 4. Model Y 1. Model Intensitas Belajar Petani Pengelola Hutan Rakyat Lestari
X1
γ2.1
X4
γ2.4
Y2
Y1
β2.1
Keterangan: X1 = karakteristik petani X4 = kelembagaan masyarakat Y2 = intensitas belajar petani
β=
ζ2
koefisien jalur peubah endogen terhadap peubah endogen lainnya
ζ = koefisien kesalahan persamaan struktural
Y 2 = γ 2.1 X 1 + γ 2.4 X 4 + β 2. 1 Y 1 + ζ 2 (Persamaan Struktural) Gambar 5. Model Y 2. Model Perilaku Petani Pengelola Hutan Rakyat Lestari
77
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Penelitian
Karakterisik Petani (X1) Karakteristik petani adalah sejumlah faktor dalam diri pelaku utama pengelola hutan rakyat, yang diduga mempengaruhi proses maupun hasil belajar dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Tabel 14. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Karakteristik Petani (X1) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X1.1. Umur
Jumlah tahun sejak responden dilahirkan sampai saat menjadi responden dalam penelitian.
Jumlah tahun
1. ≤ 40 thn 2. 41 -50 thn 3. ≥ 51 thn
X1.2. Pengalaman
Jumlah tahun sejak awal responden mulai mengelola hutan rakyat sampai dengan saat ini
Jumlah tahun
1. ≤ 10 thn. 2. 11 -25 thn 3. ≥ 26 thn
X1.3. Status sosial ekonomi
Tingkat kedudukan individu dalam masyarakat dilihat dari jabatan dalam kelompok/ organisasi masyarakat dan kepemilikan barang berharga
1. Kepemilikan rumah dan barang berharga 2. Kepemilikan lahan 3. Status dan luas lahan yang dikelola: 4. Jabatan formal/informal yang pernah dipegang
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X1.4. Motivasi intrinsik
Dorongan dari dalam diri individu petani untuk mengembangkan diri melalui proses belajar (HRL)
1. Dorongan mengikuti HRL 2. Keinginan petani untuk mempelajari hal-hal baru. 3.Keseriusan dan ketekunan dalam mengikuti proses belajar
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X1.5. Motivasi ekstrinsik
Daya tarik di luar diri individu petani sehingga memiliki keinginan untuk mengembangkan diri melalui proses belajar (HRL)
1. Faktor yg menarik minat mengikuti HRL 2. Ketersediaan imbalan dalam proses belajar. 3. Dukungan fasilitas 4. Pemaksaan/ himbauan dari pihak lain
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X1.6. Konsep diri
Pernyataan-pernyataan positif dan negatif tentang dirinya, berkaitan dengan proses belajar petani, khusunya dalam HRL.
1. Banyaknya pernyataan positif dalam diri petani yang mendukung proses belajar 2. Banyaknya pernyataan negatif dalam petani yang menghambat proses belajar
Skor terkoreksi: 1. negatif 2. sedang 3. positif
78
Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2) Kompetensi penyuluh dalam hal ini ialah kemampuan penyuluh/ pendamping dalam memfasilitasi dan meningkatkan kapasitas petani untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi petani, terutama berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat secara lestari, yang diukur dari persepsi petani terhadap kemampuan penyuluh/pendamping. Tabel 15. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Kompetensi Penyuluh (X2) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
Kemampuan penyuluh/ pendamping dalam: X2.1. Mengembangkan komunikasi
Kemampuan penyuluh/pendamping dalam : Menyampaikan informasi, menerima masukan, mendengarkan permasalahan petani, dan mengendalikan situasi.
1. Ketepatan waktu komunikasi 2. Keterbukaan menerima masukan 3. Keleluasaan mengungkapkan permasalahan kepada penyuluh 4. Kemampuan mencairkan dan menghidupkan suasana, memancing umpan balik
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X2.2. Mengenali dan memahami kebutuhan petani
Kepekaan dan kepedulian terhadap petani dan permasalahannya
1. Kepekaan terhadap kondisi dan situasi yang dihadapi petani; 2. Kemampuan menggali kebutuhan petani; 3. Keberpihakan pada kepentingan petani.
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X2.3. Menganalisa masalah
Kemampuan menggali, mengidentifikasi dan mencermati permasalahan yang dihadapi petani.
1. Kemampuan menggali dan memahami permasalahan: 2. Kemampuan mengidentifikasi masalah; 3. Kemampuan membantu masyarakat mencari alternatif solusi terhadap permasalahan.
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X2.4. Mengembangkan kemitraan
Kemampuan menjalin, memelihara dan meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak.
1. Inisiatif mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak 2. Kemampuan memelihara dan meningkatkan kemitraan
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X2.5. Mengembangkan kapasitas/ SDM petani
Kepedulian dan perhatian yang diberikan pada upaya peningkatan kemampuan petani dalam segala aspek, terutama yang berkaitan dengan usaha HRL.
1. Kemampuan membangkitkan motivasi petani untuk belajar 2. Orientasi untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani, dalam hal teknis, sosial 3. Kemampuan merencanakan dan melatih petani untuk dapat mengembangkan .
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
79
Lanjutan Tabel 15. Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X2.6. Mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani
Perhatian dan kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan penggalian dan penguatan norma/nilai yang berkembang di masyarakat dan pengelolaan organisasi/kelompok masyarakat.
1. Perhatian pada upaya penggalian dan penguatan norma/nilai yang berkembang dalam masyarakat 2. Perhatian pada manajemen organisasi/kelompok petani 3. Kemampuan mengembangkan kapasitas petani dalam manajemen organisasi (perencanaan, administrasi dll)
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
X2.7. Mengembangkan wawasan teknis pengelolaan hutan lestari
Segala upaya yang dilakukan penyuluh/pendamping untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan berkaitan dengan pengelolaan HRL.
1. Keaktivan mencari informasi dari berbagai sumber 2. Frekuensi memberikan informasi terkini berkaitan pengelolaan hutan lestari
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Pendekatan Pembelajaran (X3) Pendekatan pembelajaran adalah berbagai cara atau metode yang digunakan dalam menyampaikan informasi atau substansi penyuluhan dalam proses perubahan perilaku petani, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat secara lestari, sehingga petani dapat dengan mudah memahami dan mengaplikasikannya dalam usahatani yang mereka lakukan. Pendekatan pembelajaran ini diukur dengan persepsi petani terhadap kesesuaian berbagai cara atau metode yang digunakan, kesesuaian materi yang disampaikan dengan kebutuhan petani dan lainnya. Selanjutnya peubah pendekatan pembelajaran ini digali lebih dalam baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif atau menggunakan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci terhadap beberapa hal berkaitan: (1) cara belajar dan tahapan-tahapan belajar bagaimana yang sangat sesuai menurut persepsi petani; (2) Atas dasar apa kesesuaian cara belajar dan tahapan-tahapan belajar tersebut menurut persepsi petani; dan (3) cara atau metode belajar serta
80
materi belajar apa yang sebenarnya sangat sesuai dan dibutuhkan oleh masyarakat pengelola hutan lestari.
Tabel 16. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Pendekatan Pembelajaran (X3) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X3.1. Ketersediaan dan kesesuaian materi
Kecukupan jumlah, jenis dan manfaat materi dalam memenuhi kebutuhan belajar petani
1. Kecukupan jumlah dan jenis materi 2. Keragaman bentuk materi 3. Kesesuaian materi dengan kebutuhan masyarakat
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
X3.2. Kesesuaian dengan metode belajar
Ketertarikan, kemudahan petani dalam mengikuti cara belajar yang digunakan
1. Ketertarikan petani pada metode pembelajaran yang digunakan 2. Kemudahan petani mengikuti metode pembelajaran 3. Kesesuaian metode dengan kebutuhan petani
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
X3.3. Kesesuaian model komunikasi
Kemudahan menangkap pesan/informasi, ketertarikan petani terhadap cara penyuluh/pendamping berinteraksi dengan petani
1. Kesesuaian model komunikasi yang digunakan 2. Kemampuan model komunikasi meningkatkan hubungan dengan petani 3. Kemampuan model komunikasi meningkatkan interaksi dalam proses belajar.
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai/tepat 2. cukup sesuai /tepat 3. sesuai/tepat
X3.4. Kemudahan tahapan pembelajaran
Kejelasan langkah belajar sehingga petani tidak sulit mengikuti, bahkan mau menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
1. Kejelasan langkah-langkah dalam pembelajaran 2. Kemudahan mengikuti langkah-langkah pembelajaran 3. Kemauan petani mentaati langkah-langkah pembelajaran dengan benar.
Skor terkoreksi: 1. sulit 2. sedang 3. mudah
X3.5. Kesesuaian Cara pembelajaran
Ketertarikan dan kemudahan petani untuk mengikuti metode/teknik pembelajaran yang digunakan.
1. Penggunaan variasi cara pembelajaran 2. Kemudahan cara belajar 3. Respons petani terhadap penggunaan cara belajar.
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai/tepat 2. cukup sesuai/ tepat 3. sesuai/tepat
81
Kelembagaan Masyarakat (X4) Peubah kelembagaan masyarakat dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aturan-aturan, nilai dan kesepakatan dalam masyarakat atau organisasi masyarakat, dan aspek organisasi masyarakat seperti kepemimpinan, tujuan, hubungan antar bagian, yang berdampak positif terhadap pembelajaran masyarakat dalam mengelola hutan rakyat secara lestari. Aspek kelembagaan ini diukur dari persepsi petani terhadap aspek-aspek kelembagaan tersebut.
Tabel 17. Definisi operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Kelembagaan Masyarakat (X4) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X4.1. Kejelasan Norma/ Nilai
Seberapa jauh aturan, kebenaran yang diakui masyarakat secara turun temurun, telah dipahami, ditaati dan bermanfaat bagi petani khususnya dalam pembelajaran HRL.
1. Pemahaman petani terhadap norma/nilai dalam kelompok 2. Manfaat norma/nilai dalam menjadi pedoman 3. Kepatuhan terhadap norma/nilai
Skor terkoreksi: 1. tidak jelas 2. cukup jelas 3. jelas
X4.2. Penegakan sanksi
Seberapa jauh konsekuensi terhadap suatu pelanggaran dipahami, didukung dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat.
1.Pemahaman terhadap sanksi bagi pelanggaran 2.Sikap terhadap pemberian sanksi 3.Manfaat pemberian sanksi terhadap pelanggaran
Skor terkoreksi: 1. tidak tegas 2. cukup tegas 3. tegas
X4.3. Konformitas/ Conformity
Kemauan dan kemampuan masyarakat/petani mendukung nilainilai/aturan yang berlaku dalam masyarakat
1.Kemauan/ kesediaan petani untuk mematuhi nilai/norma/aturan 2. Kemampuan petani untuk menyesuaikan dengan norma/nilai yang berlaku.
Skor terkoreksi: 1. tidak mendukung 2. cukup mendukung 3. mendukung
X4.4. Toleransi terhadap Deviasi
Kemauan dan kesediaan masyarakat untuk menerima nilai/nilai atau aturan/aturan yang berbeda dengan yang selama ini dianutnya.
1. Sikap menerima perbedaan nilai/aturan/norma 2. Kesediaan untuk menyepakati dan mematuhi aturan yang baru
Skor terkoreksi: 1. tidak toleran 2. cukup toleran 3. toleran
82
Lanjutan Tabel 17. Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X4.5. Kesesuaian tujuan
Seberapa jauh organisasi melakukan kegiatan berdasarkan arah dan output yang telah disepakati dan ditetapkan bersama
1. Organisasi berjalan untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan 2. Kesesuaian tujuan organisasi dengan tujuan anggota
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
X4.6. Kepemimpinan
Seberapa besar pengaruh seseorang dalam mengarahkan dan menggerakan orang lain untuk mengikuti kesepakatan dan harapan bersama
1. Kepemimpinan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama 2. Kepemimpinan dijalankan sesuai dengan harapan anggota/pengurus
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai harapan 2. cukup sesuai harapan 3. sesuai harapan
X4.7. Kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian
Kejelasan tugas dan wewenang serta keselarasan hubungan antar personil, baik sebagai pengurus maupun anggota.
1. Adanya pembagian tugas dan wewenang 2. Tiap anggota/pengurus berperan sesuai dengan yang diharapkan 3. Hubungan antar anggota/pengurus sangat erat dan saling melengkapi
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran (X5) Kelembagaan pendukung pembelajaran dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sejumlah aturan atau kebijakan, kegiatan, fasilitas, dan personil berperan penting dalam menghasilkan proses belajar petani yang baik, khususnya dalam mengembangkan hutan rakyat secara lestari. Dalam penelitian ini kelembagaan pendukung pembelajaran ini dinilai dari persepsi atau penilaian petani terhadap sejumlah aturan, kegiatan, fasilitas dan personil dari multipihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari, di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, seperti: Dinas Kehutanan Kabupaten, Pemda Kabupaten atau Provinsi, Perguruan Tinggi, dan LSM. Selain menggunakan sejumlah parameter pada Tabel 18, informasi lebih dalam mengenai kelembagaan didapatkan melalui wawancara mendalam melalui tokoh kunci.
83
Tabel 18. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Kelembagaan Pendukung Pembelajaran (X5) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
X5.1. Sistem nilai : (Nilai terhadap hutan dan manusia)
Seberapa jauh persamaan pandangan antara penyuluh/pendamping dengan petani terhadap hutan dan hubungan antar manusia.
1. Kesesuaian sistem nilai instansi dengan nilai yang dianut petani terhadap hubungan antar manusia; 2. Kesesuaian sistem nilai instansi dengan nilai yang dianut petani terhadap hutan
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
X5.2. Kegiatan yang dilakukan
Seberapa banyak aktivitas yang dilakukan bersama masyarakat sehingga dapat mendukung tercapainya kesepakatan bersama, dapat memenuhi kebutuhan serta dapat menjawab permasa-lahan petani.
1. Kesesuaian kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani 2. Pelaksanaan kegiatan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat 3. Kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan kesepakatan lembaga
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai/ mendukung 2. cukup sesuai/ mendukung 3. sesuai/ mendukung
X5.3. Dukungan fasilitas
Seberapa banyak anggaran, informasi, sarana dan prasarana yang diberikan untuk menjawab kebutuhan petani, khususnya dalam kegiatan pembelajaran.
1. Anggaran yang disediakan cukup dan disesuaikan dengan kebutuhan petani 2. Kesesuaian informasi yang diberikan: up to date dan sesuai dengan kebutuhan petani 3. Sarana dan prasarana yang diberikan cukup dan disesuaikan dengan kebutuhan petani
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai 2. cukup sesuai 3. sesuai
X5.4. Dukungan personil
Kesesuaian jumlah dan kualitas personil yang ditugaskan untuk membantu proses belajar petani khususnya dalam pengelolaan HRL.
1. Kesesuaian jumlah dan kualitas personil di lapangan dengan kebutuhan petani 2. Personil memiliki sikap mental dan kepedulian yang tinggi terhadap proses belajar petani.
Skor terkoreksi: 1. tidak sesuai/ kompeten 2. cukup sesuai/ kompeten 3. sesuai/kompeten
Intensitas Belajar Petani (Y1) Intensitas belajar dalam penelitian ini adalah tingkat interaksi yang terjadi dalam proses perbaikan perilaku petani. Tingkat interaksi tersebut didefinisikan sebagai hubungan yang dilakukan dalam mendukung proses belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.
84
Tabel 19. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Intensitas Belajar Petani (Y1) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
Y1.1. Interaksi Penyuluh dengan Petani
Kuantitas dan kualitas hubungan yang dilakukan oleh fasilitator dengan peserta belajar untuk mendukung proses belajar.
1. Frekuensi melakukan hubungan/komunikasi 2. Cara yang digunakan dalam berinteraksi 3. Dasar interaksi/hubungan dalam proses belajar 4. Dampak adanya interaksi terhadap permasalahan petani 5. Manfaat interaksi dalam meningkatkan kapasitas petani
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Y1.2. Interaksi Petani dengan Petani
Kuantitas dan kualitas hubungan yang dilakukan oleh sesama peserta belajar untuk mendukung proses belajar.
1. Frekuensi melakukan hubungan/komunikasi 2. Cara yang digunakan dalam berinteraksi 3. Dampak adanya interaksi terhadap permasalahan petani 4. Manfaat interaksi dalam meningkatkan kapasitas petani
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Y1.3. Interaksi Petani dengan Kelompok Tani
Kuantitas dan kualitas hubungan yang dilakukan oleh peserta belajar dengan anggota/ pengurus organisasi petani untuk mendukung proses belajar.
1. Frekuensi melakukan hubungan/komunikasi 2. Cara yang digunakan dalam berinteraksi 3. Dampak adanya interaksi terhadap permasalahan petani 4. Manfaat interaksi dalam meningkatkan kapasitas petani
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Y1.4. Interaksi dengan materi belajar
Kuantitas, cara, dan manfaat yang dirasakan petani akibat mengakses bahan ajar guna mendukung proses belajar.
1. Frekuensi melakukan hubungan/komunikasi 2. Cara yang digunakan dalam berinteraksi 3. Dampak adanya interaksi terhadap permasalahan petani 4. Manfaat interaksi dalam meningkatkan kapasitas petani
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Y1.5. Interaksi petani dengan lingkungan belajar
Kuantitas, intensitas dan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana belajar untuk mendukung proses belajar.
1. Frekuensi dan intensitas berhubungan dgn lingkungan belajar 2. Kemudahan akses dan kesempatan 3. Manfaat beradaptasi dengan lingkungan dalam meningkatkan kapasitas petani
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
85
Perilaku Petani Dalam Mengelola Hutan Rakyat Secara Lestari (Y2) Perilaku petani dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hasil proses belajar yang berwujud perubahan/perbaikan perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Perilaku petani dalam pengelolaan hutan lestari mencakup dimensi kognitif dan dimensi pengetahuan tentang kelestarian fungsi produksi, ekologi dan sosial.
Tabel 20. Definisi Operasional, Parameter dan Pengukuran Peubah Perilaku Petani (Y2) Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Pengukuran
Y2.1. Kelestarian fungsi produksi
Tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani dalam menjaga keamanan hutan dan kelestarian hasil, serta menjalankan manajemen usaha.
1. Pengetahuan petani (mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi) tentang pentingnya keamanan hutan, kelestarian hasil, dan kemampuan manajemen usaha; 2. Sikap petani (menyadari, menghayati, dan mau melibatkan diri) terhadap upaya penjagaan keamanan hutan dan kelestarian hasil, serta manajemen usaha; 3.Ketrampilan petani (cakap dan aktif) dalam menjalankan kegiatan berkaitan pengamanan hutan, pelestarian hasil dan manajemen usaha.
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
Y2.2. Kelestarian fungsi ekologi
Tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani dalam menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka.
1. Pengetahuan petani (mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi) tentang pentingnya menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka; 2. Sikap petani (menyadari, menghayati, dan mau melibatkan diri) terhadap upaya menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka; 3. Ketrampilan petani (cakap dan aktif) dalam menjalankan kegiatan berkaitan upaya menjaga struktur dan fungsi ekosistem hutan, keberadaan flora dan fauna endemik/langka;
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
86
Lanjutan Tabel 20. Indikator
Definisi Operasional
Parameter
Y2.3. Kelestarian fungsi sosial
Tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani dalam melaksanakan pembagian manfaat usaha secara adil, mengembangkan kelembagaan masyarakat dan mengembangkan pola hubungan sosial/kemitraan.
1. Pengetahuan petani (mengetahui, mengerti, dapat menilai dan mengevaluasi) tentang pentingnya melaksanakan pembagian manfaat usaha secara adil, mengembangkan kelembagaan masyarakat dan mengembangkan pola hubungan sosial/kemitraan. 2. Sikap petani (menyadari, menghayati, dan mau melibatkan diri) terhadap upaya pembagian manfaat usaha secara adil, pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengembangan pola hubungan sosial/kemitraan; 3. Ketrampilan petani (cakap dan aktif) dalam upaya pembagian manfaat usaha secara adil, pengembangan kelembagaan masyarakat dan pengembangan pola hubungan sosial/kemitraan.
Pengukuran
Skor terkoreksi: 1. rendah 2. sedang 3. tinggi
DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak kurang lebih 39 km. Luas wilayah seluruhnya 1.485,36 km² atau sekitar 46,63% dari total luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunung Kidul terletak antara 7°46´ - 8°09´
Lintang Selatan dan 110°21´ –
110°50´ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Gunung Kidul didominasi perbukitan dengan batuan kapur. Secara administrasi pemerintahan, wilayah Kabupaten Gunung Kidul dibagi menjadi 18 wilayah kecamatan dan 144 desa. Kabupaten Wonogiri terletak di ujung tenggara wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonogiri berada 32 km di sebelah selatan Kota Solo, dengan jarak ke ibu kota Provinsi (Semarang) sejauh 133 km. Luas wilayah seluruhnya ± 182.236,0236 hektar, terbentang pada posisi antara 7°32´ - 8°15´ Lintang Selatan dan 110°41´ - 111°18´ Bujur Timur, pada ketinggian antara 106-600 meter di atas permukaan laut). Sebagian besar wilayah Wonogiri didominasi perbukitan dengan batuan kapur, termasuk jajaran pegunung Seribu yang merupakan mata air hulu Bengawan Solo. Jenis macam tanah mulai dari litosol, regosol sampai dengan grumusol, dari bahan induk yang beragam yaitu endapan, batuan, dan volkan. Suhu rata-rata antara 24° -32° C dengan kelembaban rata-rata sepanjang tahun 83%. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Wonogiri dibagi menjadi 25 kecamatan dan 294 desa.
Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki luasan yang cukup besar dibandingkan dengan luasan hutan negara yang ada di wilayah tersebut. Menurut data statistik Kabupaten Gunung Kidul (2009) luas hutan rakyat 30.000 hektar yang tersebar di 18 kecamatan, sementara luas hutan negara 8.560 hektar. Luas hutan rakyat di Wonogiri 36.293 hektar yang tersebar di 25 kecamatan, sedangkan hutan negara seluas 16.268 hektar.
87
Dengan cakupan luasan tersebut, potensi hutan rakyat dapat dilihat dari volume kayu yang dihasilkan per tahun yang cukup tinggi, di Gunung Kidul 122.460 m3 dan Wonogiri 264.159,1 m3. Bila harga kayu dirata-ratakan menggunakan harga jual kayu mahoni (20-29 cm) Rp. 740.000/m3, maka pendapatan per tahun dari hasil kayu hutan rakyat di Gunung Kidul kurang lebih 95 milyar dan di Wonogiri 195 milyar. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa hutan rakyat, walaupun dikelola oleh masyarakat dalam skala usaha yang kecil (rata-rata di bawah 0,75 ha), namun telah terbukti dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat mendukung penyediaan bahan baku bagi kebutuhan industri serta terjamin kelestariannya. Keberadaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bukan saja secara ekonomi, tetapi juga nilai sosial budaya dan ekologis. Dengan dikembangkannya hutan rakyat di Wonogiri, telah terbukti menimbulkan tiga sumber-sumber mata air baru yang menjadi sumber air bagi kota Wonogiri. Selain itu keberadaan hutan rakyat yang baik telah menciptakan iklim mikro yang sehat, bahkan dapat menyerap karbon dari polusi udara. Selain manfaat dari sisi ekonomi dan ekologi, hutan rakyat memberikan manfaat pada perkembangan sosial budaya masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Tanpa disadari keberadaan hutan rakyat telah melestarikan dan mengembangkan budaya, antara lain budaya ”gotong royong”, budaya gemar menanam dan budaya bekerja keras, bahkan ”budaya jati” pada masyarakat di kedua lokasi penelitian.
Sejarah Hutan Rakyat Sebagian lokasi penelitian di Gunung Kidul dan Wonogiri termasuk ke dalam Zona Pegunungan Seribu (Sewu) atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dua desa lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi lokasi penelitian adalah satu desa terletak di Zona Ledoksari (tengah) yaitu Desa Dengok, Kecamatan Playen dan desa lainnya
88
terletak di Zona utara yaitu Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar. Walaupun terletak di zona yang berbeda, tetapi secara umum memiliki banyak persamaan ditinjau dari sejarah hutan rakyatnya. Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et.al. (2001) dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: (1) sebelum tahun 1960 periode kritis; (2) 1960-1970 periode penanaman mandiri; (3) 1970-1985 periode intensifikasi; dan (4) 1985-sekarang periode pemudaan alam. Periode 1 (sebelum tahun 1960), yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon Jawa, terus ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperburuk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar. Periode 2 (1960-1970), karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat beserta beberapa tokoh masyarakat kemudian mulai mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni dan jati. Pada periode ini, penanaman tanaman kayukayuan oleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anakan-anakan kayu alam, baik di lingkungan mereka maupun dari lahan negara yang sudah berhutan. Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok tani. Pada periode 3 (1970-1985), yang disebut penanaman intensif, pemerintah sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU (Mantri-Lurah) – yang dilakukan oleh Perum PERHUTANI dan proyek penghijauan oleh Kementerian Kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah
89
dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun Katalina (sejenis lamtoro) melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan Kebun Bibit Desa (KBD). Khusus di Gunung Kidul, penanaman secara intensif terjadi ketika Bupati Gunung Kidul dijabat oleh Bapak Ir. Darmokum Darmokusumo. Pada saat itu pemerintah banyak memberikan bantuan bibit jati untuk ditanam di lahan-lahan milik masyarakat. Tingginya perhatian Bupati Gunung Kidul terhadap masalah penghijauan ditunjang oleh latar belakang pendidikannya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Pada periode 4 (1985-2002), ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat
melakukan
permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada lahan-lahan yang mayoritas berbatu penanaman dilakukan di sela-sela batu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat lebih suka melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al (2001) pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong.
90
Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasannya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al (2001) mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok menjadi lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada ”paguyuban” sebagai wujud dari social rasionallity mereka. Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan World Wildlife Fund (WWF) untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno. Sedangkan di Gunung Kidul pada tahun 2004 dimulai program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) di empat kabupaten, yaitu Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang dan Purworejo. Lokasi di Gunung Kidul termasuk Desa Girisekar dan Desa Dengok, yang menjadi lokasi penelitian. Kepedulian dan keseriusan Pemerintah Daerah Kab. Gunung Kidul terhadap perkembangan hutan rakyat semakin meningkat, di antaranya terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari. Selain itu didukungnya program sertifikasi PHBML di tiga desa, sebagai kelanjutan Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pendampingan untuk proses sertifikasi PHBML bagi Kabupaten Gunung Kidul.
91
Pada bulan Oktober 2004, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri mendapatkan sertifikat Ekolabel (PHBML) yang pertama dengan luas cakupan 809,95 hektar. Dua tahun kemudian menyusul Paguyuban Wana Manunggal Lestari, Kabupaten Gunung Kidul mendapat sertifikat PHBML yaitu
pada
tanggal 20 September 2006 yang mencakup luasan 815,18 hektar.
Sistem pengelolaan hutan rakyat Awang et.al (2001) menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan (termasuk daerah Gunung Kidul dan Wonogiri), dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan rakyat tersebut ialah: (1) tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya di sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; (2) tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; (3) tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Di antara pohon-pohon tersebut ditanam tanaman pangan dan sayur-sayuran. Dilihat dari susunan jenisnya, hutan rakyat di kedua lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan dan tanaman buah-buahan; (2) hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman keras. Pada kelompok ini dapat dijumpai tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sebagian besar hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri menggunakan sistem agroforestry dan jarang sekali yang monokultur. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh masyarakat adalah mereka membutuhkan tanaman pangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanam ketela pohon, jagung, kedelai, dan lainnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, bila ada sisa baru mereka menjualnya. Selain itu juga mereka menanam hijauan makanan ternak (HMT) untuk pakan ternak. Hampir semua keluarga di kedua lokasi penelitian memelihara sedikitnya ayam, kambing dan ternak sapi.
92
Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan kemudahan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah akasia (Acacia auriculiformis) jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahogany). Awal mulanya penanaman tanaman keras ini sebagai langkah awal untuk memperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akar pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunannya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah di sekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah, dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa ada pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yang relatif datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga pernah bekerja sebagai buruh tanam (Awang et.al, 2001). Pada periode penanaman intensif, jenis tanaman yang ditanam lebih beragam. Bibit berasal dari Kebun Bibit Desa yang dibuat masyarakat dengan bimbingan tenaga penyuluh kehutanan. Bibit-bibit tanaman yang ditanam pada periode ini di antaranya ialah mahoni, jati, akasia, mangga, melinjo, pete, kelapa dan bibit tanaman keras lainnya. Penanaman dilakukan dengan pengajiran dan disesuaikan dengan kontur, dengan sistem tumpang sari. Kegiatan pemeliharaan tanaman hutan rakyat di kedua lokasi penelitian hampir tidak ada, biasanya hanya dilakukan pada tanaman muda yang berumur kurang dari satu tahun. Pemeliharaan sebatas pendangiran tanah dan kadang-kadang melakukan pemagaran sederhana.
93
Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang penggembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini berjalan sangat efektif dan dipatuhi sesama warga. Gangguan pencurian kayu sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan ”tepo seliro” (tenggang rasa) yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya. Pemanenan dilakukan tidak mengunakan sistem pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga sistem ini sering dikatakan ”tebang butuh”, yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian, bagi masyarakat pohon merupakan tabungan yang akan digunakan sebagai alternatif terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada (seperti ternak ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya). Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagai alternatif terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhkan pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak. Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan sistem ”tebang butuh”, tetapi mereka tetap memperhatikan sistem tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual ataupun dipakai sendiri dan tidak mengelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya sistem ”tebang butuh” sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. Menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah dan volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relatif kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga
94
besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasanya diterapkan pada hutan negara. Bagi petani setempat, yang penting adalah terjaminnya kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan sehingga mereka dapat secara kontinu memanen produksi kayu miliknya (Arupa, 1999). Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran dari harga kayu sesuai kesepakatan dengan pedagang. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya atau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung. Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang memang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani. Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri.
Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di beberapa desa di pegunungan Kapur Selatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu petani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Pengurus
95
kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat, sehingga sangat banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa (Ketua RT/RW dan Kepala Dusun). Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan. Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik Individu Petani Karakteristik petani hutan rakyat yang telah disertifikasi dan non sertifikasi berbeda nyata dalam semua indikator karakteristik kecuali pada tingkat sosial ekonomi. Walaupun demikian, perbedaan rataan umur dan pengalaman antara petani sertifikasi dan non sertifikasi tidak terpaut terlalu jauh. Perbedaan yang sangat mencolok antara karakteristik petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi adalah pada motivasi ekstrinsik dan konsep diri. Motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani hutan rakyat sertifikasi termasuk dalam kategori tinggi dan positif (80 dan 76), sedangkan motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani non sertifikasi adalah rendah (30) bahkan sangat negatif (14). Motivasi ekstrinsik yang rendah dan konsep diri yang negatif pada petani hutan rakyat non sertifikasi dapat dipahami karena sebagian besar petani hutan rakyat non sertifikasi belum mendapatkan pemahaman tentang hutan rakyat lestari, atau sekalipun pernah mendengar tentang Hutan Rakyat Lestari belum memiliki pemahaman yang benar tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dimaksud. Hal tersebut dapat disebabkan oleh belum adanya sosialisasi, pendampingan atau pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) oleh lembaga manapun di lokasi hutan rakyat non sertifikasi. Hal menarik dalam perbandingan karakteristik petani di kedua lokasi penelitian adalah motivasi intrinsik. Petani hutan rakyat non sertifikasi ternyata memiliki motivasi intrinsik ”sedang” (rataan 68) walaupun motivasi ekstrinsiknya rendah, dan petani hutan rakyat sertifikasi memiliki motivasi yang tinggi (86). Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan keinginan petani untuk mengembangkan
96
hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri cukup tinggi sekalipun pada lokasi yang belum mendapatkan sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Tabel 21. Perbandingan Karakteristik Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dan Non Sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Karakteristik
Kategori
Umur (tahun)
≤ 40 41 -50 ≥ 51
2
Rataan Pengalaman (tahun)
3
Rataan Tingkat sosial ekonomi
4
Skor Rataan Motivasi intrinsik
5
Skor Rataan Motivasi ekstrinsik
6
Skor Rataan Konsep diri
Skor Rataan
≤ 10 11 -25 ≥ 26 Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Negatif Sedang Positif
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 31 13 22 23 35 29 46 52 49 51 49 53 24 10 17 36 40 38 40 50 45 25 22 27 35 43 39 57 51 54 8 6 7 b b 35c 36 34 2 3 2 12 25 18 86 72 79 86 88 84 2 4 3 23 50 36 75 46 60 80 85 75 4 18 11 14 41 27 82 41 61 76 84 68
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 37 37 37 40 23 32 23 40 32 47 45a 49a 20 73 47 43 7 25 34 20 28 18 23 13 30 50 73 63 47 25 7 3 2 32c 37 27 0, 27 13 43 70 57 57 3 30 67 79 56 90 93 92 10 7 8 0 0 0 30 30d 29d 86 97 92 13 3 8 0 0 0 14 24 3
Keterangan: - Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; Hutan rakyat non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah/negatif (0-50); Sedang (51-75); Tinggi/positif (76-100), tk sosek: rendah (≤ 33,0), sedang (33,1-67,0), tinggi (≥ 67,1).
Umur Petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten sebagian besar tergolong berusia lanjut (tua) dengan rataan 51 tahun. Rataan umur petani non sertifikasi di kedua kabupaten tidak terpaut jauh, yaitu 47. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa petani pengelola hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri sebagian besar berusia tua. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk berusia muda (30-40 tahun) di kedua kabupaten
97
tersebut bekerja di luar desa, atau merantau ke luar kabupaten, yang dalam istilah mereka adalah mboro. Hal ini juga sangat berkaitan dengan latar belakang sejarah, dimana kedua kabupaten ini beberapa puluh tahun lalu termasuk desa miskin, dengan kondisi tanah yang sangat kritis dan tidak bisa ditanami. Pada saat itu banyak pemuda yang mboro untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kebiasaan tersebut terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dikuatirkan kondisi ini akan menjadi permasalahan dalam pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang, karena hanya petani lanjut usia yang masih tinggal di desa dan mengelola hutan rakyat. Bila tidak ada generasi penerus, dikuatirkan usaha Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang akan redup bahkan menghilang.
Pengalaman Sebagian besar petani sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sudah cukup lama mengelola hutan rakyat (rataan 24 tahun). Untuk petani non sertifikasi pun tidak berbeda nyata, yaitu dengan rataan 18. Hal ini dapat dijelaskan dan sejalan dengan perkembangan hutan rakyat di kedua kabupaten. Hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri berkembang kurang lebih pada tahun 1970. Pengelolaan hutan rakyat diperkenalkan kepada responden sebagian besar ketika masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Pada waktu itu di Wonogiri dikenal dengan kegiatan Karang Kitri. Responden mengakui pengenalan dan pendidikan untuk gemar menanam pohon telah mereka dapatkan sejak usia remaja. Pada waktu itu orang tua telah mengajari untuk menanami lahan yang gersang dengan pohon-pohonan, walaupun bukan dengan teknik penanaman yang benar, karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan jarak tanam ideal. Semakin mereka merasakan manfaatnya, semakin mereka gemar menanam, sehingga telah membudaya bagi masyarakat. Walaupun tidak semua responden adalah petani, tetapi menanam pohon-pohonan juga dilakukan oleh anggota kelompok tani yang bukan petani, seperti guru, karyawan, PNS dan lainnya.
98
Tingkat Sosial dan Ekonomi Tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat sosial ekonomi responden di kedua kabupaten, baik petani pengelola hutan rakyat sertifikasi maupun hutan rakyat non sertifikasi. Nilai rataan tingkat sosial ekonomi petani sertifikasi di kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri 35. Demikian pula dengan petani non sertifikasi di kedua kabupaten dengan nilai rataan 32. Pendidikan sebagian besar responden adalah Sekolah Dasar dan bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani baik di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri telah memiliki rumah sendiri dengan bangunan permanen, memiliki kendaraan bermotor roda dua.
Pada kedua lokasi penelitian, sebagian besar pengurus
kelompok adalah tokoh masyarakat atau pemimpin setempat, seperti kepala lingkungan atau dusun, guru maupun tokoh agama.
Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori tinggi dengan skor rataan 86. Motivasi intrinsik petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan cukup tinggi, yaitu di Gunung Kidul tergolong kategori ’tinggi’ dengan skor rataan 79, sedangkan di Wonogiri tergolong kategori ’sedang’ dengan skor rataan 56. Motivasi intrinsik yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya mengelola hutan rakyat. Masyarakat, khususnya di Gunung Kidul sudah merasakan manfaat hutan rakyat yang dikelolanya baik dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga mereka terus memiliki dorongan dan minat yang tinggi untuk mengelola hutan rakyat. Beberapa hal yang dapat menjadi bukti tingginya minat dan kesadaran masyarakat untuk menanam, antara lain : pertama, mereka telah menanam dan mengevaluasi sendiri tanaman apa yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologis. Pada awalnya mereka menanami lahan mereka dengan akasia (Acacia auriculiformis) dan jati (Tectona grandis). Setelah dievaluasi ternyata akasia banyak “memakan” air dan harga jual kurang baik sehingga mereka mengganti dengan tanaman mahoni. Namun beberapa tahun terakhir karena harga jual mahoni kurang memuaskan, masyarakat khususnya di
99
Kabupaten Wonogiri, sedang mencoba untuk menanam dan mengganti tanaman mahoni dengan sengon laut (Paraserianthes falcataria). Mereka mencoba dan membeli sendiri bibit sengon laut. Kedua, masyarakat saat ini lebih suka menanam halaman pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara mereka memilih menanam tanaman pangan di hutan negara dengan pola Hutan Kemasyarakatan. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, dimana desa bersebelahan dengan hutan negara yang ditanami tanaman kayu putih dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan di bawah tanaman kayu putih dengan sistem hutan kemasyarakatan. Ketiga, minat dan kebutuhan masyarakat yang tinggi untuk menanam tanaman kayu-kayu di Kabupaten Wonogiri menyebabkan berkembangnya pedagang keliling tanaman kayu-kayuan yang masuk ke desa-desa.
Motivasi Ekstrinsik Terdapat perbedaan yang nyata antara motivasi ekstrinsik petani sertifikasi dan non sertifikasi. Motivasi ekstrinsik petani sertifikasi di kedua kabupaten tersebut tergolong ”tinggi” dengan skor rataan 80. Sedangkan motivasi ekstrinsik petani non sertifikasi di kedua kabupaten adalah ”rendah” dengan skor rataan 30. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa di lokasi hutan rakyat sertifikasi ada pihakpihak di luar yang terlibat dalam proses pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Misalnya di Gunung Kidul, banyak sekali pihak yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran masyarakat dan memberikan motivasi kepada masyarakat, misalnya pendamping atau penyuluh baik dari Perguruan Tinggi, LSM maupun dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sementara petani non sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sama sekali belum mendapatkan pembelajaran dari pihak lain. Tidak ada pihak lain di luar masyarakat desa yang mendampingi atau memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Motivasi petani Wonogiri untuk mengelola hutan rakyat lebih banyak berasal dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik). Bila karakteristik petani sertifikasi dianalisis lebih dalam, terdapat perbedaan yang cukup menyolok antara motivasi ekstrinsik di kedua lokasi
100
penelitian. Motivasi ekstrinsik 75% petani sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ”tinggi” dengan skor rataan 85, sedangkan di Wonogiri termasuk sedang (50%) dengan skor rataan 75. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di Gunung Kidul sangat banyak pihak yang ikut memberikan motivasi kepada petani untuk mengelola Hutan Rakyat secara Lestari, yaitu baik dari Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian yang diwujudkan dengan penempatan penyuluh untuk membina masyarakat. Selain itu keberadaan kelompok tani hutan rakyat berjalan cukup baik, di bawah Paguyuban kelompok tani hutan rakyat: “Manunggal Lestari”. Kepercayaan petani di Gunung Kidul kepada pihak luar, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, seperti kepada Perguruan Tinggi dan pemerintah sangat tinggi. Mereka berpendapat bahwa semua ‘program’ dan kegiatan yang dibawa oleh pemerintah ke desa pasti mempunyai dampak yang baik bagi masyarakat sehingga mereka mau mengikuti program dan kegiatan tersebut, walaupun tidak jarang mereka harus menunggu atau menjalankan proses yang cukup panjang untuk dapat menikmati hasilnya. Hal yang berbeda di Wonogiri, keterlibatan pihak luar dalam pengembangan hutan rakyat kurang. Hal tersebut berkaitan dengan cikal bakal terbentuknya hutan rakyat di Wonogiri, dimana masyarakat secara swadaya mengembangkannya. Berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, khususnya dalam proses sertifikasi lebih banyak keterlibatan LSM yaitu PERSEPSI (Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial), sementara dukungan pemerintah sangat kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari penempatan penyuluh kehutanan satu orang di satu kecamatan. Dukungan LSM tersebut hanya menyentuh beberapa personil saja sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar petani. Keberadaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang berjalan kurang harmonis kurang memberikan motivasi masyarakat untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.
Konsep diri Terdapat perbedaan yang nyata antara konsep diri petani sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Konsep diri petani sertifikasi positif dengan
101
skor rataan 76, sedangkan petani non sertifikasi memiliki konsep diri yang sangat negatif yaitu 14. Selanjutnya bila dianalisis lebih mendalam, terlihat juga perbedaan antara petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif dengan skor rataan 84, sedangkan konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri tergolong sedang dengan skor rataan 68. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Walaupun belum menikmati hasil atau manfaat sertifikasi dalam hal premium price, namun petani di Gunung Kidul tetap memiliki keyakinan terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri, petani sertifikasi sudah banyak yang kecewa karena “iming-iming” kenaikan harga jual kayu yang dijanjikan oleh pihak LSM tidak terealisasi. Selain itu, timbul kecemburuan sosial dan tidak berjalannya organisasi FKPS, serta kurangnya penghargaan atau perhatian dari pemerintah menyebabkan konsep diri petani khususnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari cenderung menjadi negatif. Konsep diri petani non sertifikasi di Gunung Kidul maupun Wonogiri tergolong rendah, bahkan sangat rendah, yaitu dengan skor rataan 24 dan 3. Petani non sertifikasi di kedua lokasi sebagian besar masih belum memiliki pemahaman yang benar mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari sehingga konsep diri tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) masih negatif.
Kompetensi Penyuluh/Pendamping Kompetensi Penyuluh Kehutanan dan pendamping dalam proses pembelajaran sertifikasi Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata pada tujuh indikatornya, walaupun nilai skor rataannya berada pada kategori yang sama, yaitu ”rendah”. Skor rataan untuk kompetensi penyuluh/pendamping Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) pada kisaran nilai 40, sedangkan skor rataan untuk non sertifikasi pada kisaran nilai 20. Hal yang menarik ialah terdapat perbedaan yang nyata pada penilaian petani sertifikasi terhadap kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping antara kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai
102
kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari “sedang” dalam semua indikatornya, ditunjukkan dengan skor rataan kisaran nilai 60. Sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri, dan petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian menilai kompetensi penyuluh dan pendamping “rendah” bahkan sangat rendah dengan skor rataan pada kisaran nilai 20, 30, dan 40, bahkan kisaran nilai 10. Tabel 22. Perbandingan antara Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Kompetensi Penyuluh/ Pendamping Komunikasi
Kategori
Menggali kebutuhan petani
Rendah
22
82
52
57
97
41
18
29
10
3
7
Tinggi
37
0
18
33
0
17
65
27
46
45
14
29
29
91
60
60
97
78,
Rendah
Menganalisa permasalahan petani
Sedang
37
9
23
7
3
5
34
0
17
33
0
17
61
27
46
45
14
28
Rendah
24
93
58
60
100
80
Sedang
48
7
27
13
0
7
Tinggi
28
0
14
27
0
13
61
23
42
42
13
28
Rendah
23
94
58
73
100
87
Sedang
34
6
20
27
0
13
Tinggi
43
0
21
0
0
0
64
24
44
35
13
24
Rendah
35
94
64
73
97
85
Sedang
30
6
18
10
3
7
Tinggi
35
0
17
17
0
8
60
22
41
33
14
23
31
97
64
70
100
85
Skor Rataan 4
Menjalin kemitraan
Skor Rataan 5
Mengembangkan kapasitas petani Skor Rataan
6
Menguatkan kelembagaan petani
Rendah Sedang
30
3
16
7
0
7
Tinggi
39
0
19
23
0
8
62
19
41
34
13
23
Rendah
27
99
63
93
100
97
Sedang
34
1
17
7
0
3
Tinggi
39
0
19
0
0
0
62
20
41
17
0
8
Skor Rataan 7
Mengembangkan wawasan teknis petani Skor Rataan
77
Tinggi Skor Rataan 3
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Sedang Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi): n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200;non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
103
Kondisi ini dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa penyuluh kehutanan (PNS) di Wonogiri sangat jarang, bahkan beberapa responden menyatakan tidak pernah dikunjungi penyuluh. Sebagai perbandingan, di Wonogiri dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang penyuluh kehutanan, sementara wilayah binaan mencakup 8-10 desa. Sementara di Gunung Kidul dalam satu kecamatan ditugaskan tiga orang penyuluh kehutanan yang tersebar di 9-12 wilayah binaan, sehingga satu orang penyuluh kehutanan bertugas membina kurang lebih tiga sampai empat desa. Belum lagi di masing-masing kecamatan terdapat supervisor penyuluh kehutanan. Walaupun dari sisi jumlah pendamping dalam proses sertifikasi PHBML dari pihak LSM tidak berbeda yaitu seorang pendamping dari LSM menangani satu kecamatan, namun intensitas pendampingan yang dilakukan oleh LSM di Wonogiri sangat berbeda dengan di Gunung Kidul. Proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu sehingga selain pendamping dari LSM, Perguruan Tinggi juga melibatkan penyuluh kehutanan. Proses pembelajaran masyarakat di tiga desa sertifikasi didampingi oleh LSM yang berbeda. Namun semua pendamping telah mendapatkan pembekalan untuk mendampingi masyarakat yang berbeda namun dengan materi yang relatif sama. Petani sertifikasi di Wonogiri sangat jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari penyuluh dan pendamping. Memang ada beberapa kali pertemuan untuk sosialisasi mengenai sertifikasi/HRL, dan ada beberapa kali pelatihan untuk meningkatkan wawasan teknis dan kapasitas petani berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari seperti pemetaaan partisipatif, pengelolaan hasil panen dan lainnya, namun hanya melibatkan beberapa pengurus saja. Dengan intensitas pertemuan yang sangat kecil, penyuluh dan pendamping kurang dapat memahami dan menggali kebutuhan, permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh petani. Kenyataan yang menarik ialah dengan memperbandingkan nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping di lokasi non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Terlihat bahwa skor rataan kompetensi penyuluh kehutanan di lokasi non sertifikasi di Gunung Kidul masih lebih tinggi (pada kisaran nilai 30 dan 40)
104
dari nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping yang dinilai oleh petani sertifikasi di Wonogiri (pada kisaran nilai 20). Kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa
masyarakat di Gunung Kidul, sekalipun belum
mendapatkan pendampingan mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), namun menilai kompetensi penyuluh lebih baik daripada di petani sertifikasi Wonogiri, sekalipun telah mendapatkan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Hal tersebut dimungkinkan karena petani di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pembelajaran mengenai sertifikasi HRL, namun tetap mendapatkan pembelajaran dari penyuluh pada saat pertemuan kelompok, sekalipun masih sangat minim. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul, walaupun jarang masih datang ke kelompok (pengurus) dan pertemuan kelompok, terutama bila diminta kehadirannya. Dikaitkan dengan paradigma dalam penelitian ini, kompetensi penyuluh dan pendamping yang diharapkan adalah penyuluh yang “insider” yang bekerja bersama masyarakat dan bukan penyuluh yang bertindak sebagai “outsider”, yang bekerja untuk masyarakat. Pada kenyataannya, berdasarkan tujuh indikator pengukuran dapat disimpulkan bahwa penyuluh dan pendamping dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih bertindak sebagai penyuluh dan pendamping yang “outsider” dilihat dari tujuh indikator kemampuan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Kemampuan berkomunikasi Penyuluh dan pendamping sebenarnya sudah banyak menggunakan komunikasi dua arah (dialog) maupun komunikasi banyak arah (diskusi) dalam pendekatan kepada petani. Tetapi karena intensitas pertemuan dengan penyuluh sangat jarang (kecuali para pengurus kelompok), maka petani menilai sulit untuk berkomunikasi, terbuka dan menjalin hubungan yang erat dengan penyuluh dan pendamping. Dilihat dari skor rataan kompetensi penyuluh dan pendamping, terbukti bahwa kemampuan berkomunikasi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi sedang (41%) dan tinggi (37%).
105
Sementara sebagian besar petani sertifikasi (82%) di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebelum proses pendampingan dalam rangka sertifikasi hutan rakyat di Gunung Kidul, Perguruan Tinggi dalam hal ini Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Universitas Gajah Mada telah melakukan pendampingan Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) pada tahun 2000, khususnya di Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar. Selain itu penyuluh kehutanan juga sudah melaksanakan kegiatannya, terutama sejak program penghijauan dan rehalibitasi hutan dan lahan dilakukan. Dengan demikian masyarakat sudah mengenal dan berkomunikasi dengan penyuluh kehutanan, walaupun tidak dengan intensitas yang tinggi. Komunikasi dan hubungan yang baik dengan penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul tidak hanya terbatas pada proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari saja, tetapi terus berlanjut sampai dengan penelitian dilakukan, walaupun tidak seintensif pada saat pendampingan proses sertifikasi. Beberapa hal yang mendukung kelancaran komunikasi penyuluh dan pendamping dengan petani sertifikasi di Gunung Kidul ialah: pendamping masih terus memantau, terutama saat ini memantau perkembangan koperasi Wana Manunggal Lestari. Hal ini sangat berbeda dengan Wonogiri, komunikasi yang dilakukan dengan pendamping sebatas pada proses sertifikasi, dan terbatas pada pertemuan kelompok pada saat sosialisasi dan pemetaan lahan milik di lapangan. Pasca proses sertifikasi, komunikasi dengan pendamping tidak berlanjut. Hanya Ketua Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang bertemu dan berkomunikasi dengan pendamping.
Demikian juga dengan penyuluh kehutanan, karena
keterbatasan tenaga penyuluh kehutanan dan fokus kegiatan dari Dinas Kehutanan tidak mencakup kedua desa sertifikasi dimaksud, maka penyuluh kehutanan sudah lama tidak mengunjungi dan membina petani sertifikasi di kedua desa tersebut.
Kemampuan menggali kebutuhan petani Terdapat perbedaan yang nyata antara kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menggali kebutuhan petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dinilai memiliki
106
kompetensi ‘sedang’ dengan skor rataan 61 sementara di Wonogiri dinilai ‘rendah” dengan skor rataan 22.
Penyuluh dan pendamping pada kedua
kabupaten tersebut tidak ada yang berdomisili di desa yang didampingi. Hampir semua pendamping berasal dari luar desa, sehingga dalam melakukan pendampingan hanya pada saat diperlukan akan tinggal di desa selama beberapa hari saja. Dengan demikian sosialisasi yang baik, hubungan yang erat, intensitas pertemuan dengan petani yang didampingi kurang berjalan dengan baik. Selain itu penggunaan pendekatan yang kurang partisipatif menyebabkan sulitnya penyuluh dan pendamping peka terhadap kondisi yang dihadapi petani, kurang dapat memahami kebutuhan dan permasalahan petani dan kurang fokus dalam memberikan perhatian pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan petani. Selain itu, pada kenyataannya dalam proses pendampingan yang dilakukan selama proses sertifikasi, tidak semua pendamping atau penyuluh mengikuti proses dari awal sampai akhir. Misalnya LSM yang mendampingi di Kec. Girisekar (Arupa) tidak memiliki pendamping yang tetap untuk mendampingi proses sertifikasi dan seringkali harus mengganti pendampingnya. Hal ini sedikit banyak
mempengaruhi
kepercayaan
dan
keterbukaan
petani
terhadap
pendampingnya. Di sisi lain, khususnya di Desa Jeruken, Kec. Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul, petani mengungkapkan bahwa mereka sangat menghargai dan merasakan manfaat dari keberadaan pendamping yang tinggal menetap di desa. Menurut pengalaman mereka, pendamping yang tinggal menetap di desa dapat bersosialisasi sangat baik dengan masyarakat, intensitas bertemu lebih banyak, bukan saja dalam kegiatan formal kelompok tani hutan rakyat HR tetapi juga dalam kegiatan non formal seperti kegiatan sosial dan keagamaan akan membuat petani lebih dekat,
lebih terbuka kepada pendamping sehingga
pendamping juga dapat lebih memahami permasalahan dan kebutuhan petani yang didampinginya.
Kemampuan menganalisa permasalahan Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, di Gunung Kidul skor rataan 61
107
termasuk kategori “sedang” sedangkan di Wonogiri skor rataan 23 termasuk kategori “rendah”. Persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai kemampuan penyuluh dan pendamping “tinggi” dalam menganalisa permasalahan tidak berbeda jauh dengan penilaian “sedang” yaitu 34% dan 37%. Sedangkan di Wonogiri hampir semua petani sertifikasi (93%) menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan, memberikan alternatif pemecahan permasalahan “rendah”. Kenyataan ini sebenarnya sejalan dengan kemampuan komunikasi dan kemampuan mengenali kebutuhan petani, yaitu sesuai dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Kemampuan menjalin kemitraan Sama dengan indikator lainnya, terdapat perbedaan yang nyata dalam kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menjalin kemitraan antara penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam menjalin kemitraan “sedang” dengan skor rataan 64 sedangkan di Wonogiri “rendah” dengan skor rataan 44. Dilihat dari skor rataan di kedua kabupaten, kemampuan pendamping dan penyuluh menjalin kemitraan merupakan indikator kedua terbaik setelah kemampuan komunikasi. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat proses sertifikasi di kedua kabupaten melibatkan pihak-pihak di luar pendamping atau penyuluh itu sendiri. Proses sertifikasi di Gunung Kidul merupakan kerjasama kelompok kerja (POKJA) Hutan Rakyat Lestari yang dibentuk oleh Bupati Kab. Gunung Kidul dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005, yang beranggotakan Perguruan Tinggi, Lembaga
108
Swadaya Masyarakat (LSM), pihak pemerintah dan masyarakat (Ketua Petani HR). Pendamping dan penyuluh di Gunung Kidul dimudahkan untuk melakukan kerja sama dengan adanya Pokja HRL tersebut. Walaupun tidak ada Pokja HRL seperti di Gunung Kidul, sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri merupakan yg pertama di Indonesia, dan merupakan kerja sama antara LSM PERSEPSI dengan World Wildlife Fund (WWF) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dengan demikian pendamping dan penyuluh juga tidak mengalami kesulitan untuk menjalin kemitraan, khususnya berkaitan dengan pelatihan, magang, dan lainnya.
Kemampuan meningkatkan kapasitas petani Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam meningkatkan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dinilai “sedang” dengan skor rataan 60 sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 22. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani sebenarnya sangat berkaitan dengan fokus perhatian, program, kegiatan dan anggaran institusi tempat mereka bekerja. Misalnya dalam kegiatan pemetaan, magang dan studi banding petani ke usaha furniture, pendamping dan penyuluh tidak mampu melakukannya tanpa adanya program dan dukungan anggaran dan insitusi tempat bekerja ataupun mitra kerjanya. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (94%) menilai kemampuan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani rendah. Hal ini dapat dipahami karena hampir tidak ada pelatihan bagi petani berkaitan dengan pengelolaan HRL. Sekalipun diadakan kegiatan peningkatan kapasitas, seperti magang untuk pengolahan limbah kayu hanya melibatkan beberapa orang saja. Demikian juga dengan kegiatan pemetaaan lahan milik, yang seharusnya dipahami oleh semua anggota yang memiliki lahan, tetapi pada kenyataannya hanya melibatkan sebagian pengurus saja. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani berkaitan dengan kemampuan sebelumnya yaitu mengadakan komunikasi, mengenali kebutuhan petani dan menganalisa permasalahan, mencarikan alternatif solusi bagi petani. Peningkatan kapasitas petani seharusnya merupakan salah satu
109
alternatif penyelesaian permasalahan petani dan pemenuhan kebutuhan petani, sehingga merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun kenyataannya peningkatan kapasitas petani kurang mendapatkan perhatian dari pendamping dan penyuluh karena kelemahan dalam komunikasi, pemahaman terhadap kebutuhan dan permasalahan petani. Salah satu contoh baik di Gunung Kidul, khususnya di Kec.Panggang, Desa Girisekar adalah petani dilatih untuk dapat mengembangkan usaha lain sebagai alternatif untuk menanggulangi permasalahan mereka mengatasi kebiasaan ‘tebang butuh’ kayu-kayu dengan diameter kecil. Pendamping berupaya untuk mencarikan jalan keluar bagi permasalahan petani berkaitan dengan mengadakan pelatihan untuk mengembangkan usaha pembuatan kompos, minyak Virgin Coconut Oil (VCO) dan lainnya. Sebaliknya di Wonogiri, pendamping dengan menjaring LSM maupun badan internasional berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan limbah kayu dengan melatih beberapa anggota kelompok tani. Walaupun baik, namun petani sendiri menilai bahwa upaya itu hanya melibatkan sedikit orang dan bukan merupakan pemecahan permasalahan yang sedang dihadapi sebagian besar petani dalam pengelolaan HRL.
Kemampuan mengembangkan kelembagaan petani Dalam hal kemampuan pendamping dan penyuluh mengembangkan kelembagaan petani juga terdapat perbedaan nyata antara petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani di Gunung Kidul tergolong “sedang” dengan skor rataan 62, sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 19. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (97%) menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam mengembangkan kelembagaan petani rendah. Sedangkan persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai “tinggi” kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani masih cukup banyak yaitu 39%, dan menilai “sedang” 30%. Perbedaan yang sangat menyolok ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) pendampingan
110
sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan lebih dahulu dibandingkan dengan Wonogiri; (2) sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul telah mendapatkan pendampingan dalam kegiatan Rancang Bangun Unit Manajemen HRL sehingga pengembangan kelembagaan lebih baik; (3) pendampingan yang dilakukan di Wonogiri cenderung lebih banyak ditujukan untuk memenuhi persyaratan administrasi pengajuan dokumen sertifikasi daripada penguatan dan pengembangan kelembagaan petani.
Kemampuan dan wawasan teknis Terdapat perbedaan nyata antara penilaian terhadap kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis ‘sedang” yaitu dengan skor rataan 62 sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis “rendah” dengan skor rataan 20. Perbedaan yang cukup menyolok ini terutama karena latar belakang pendidikan pendamping. Pendamping di Wonogiri berasal dari LSM PERSEPSI, dengan berlatar belakang pendidikan sebagian besar dari ilmu sosial, bukan dari ilmu kehutanan. Sedangkan di Gunung Kidul, selain PKHR yang merupakan institusi bagian dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, juga LSM Shorea dan Arupa yang merupakan LSM yang khusus bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan, dimana sebagian besar anggotanya merupakan alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Dalam proses pendampingan di Gunung Kidul, petani bukan saja diajarkan mengenai pemetaan, tetapi juga cara menaksir diameter pohon, ketinggian pohon dan lainnya yang belum pernah diketahui oleh petani. Mereka juga diajarkan penghitungan hasil tebangan per tahun (etat) untuk menjamin tidak terjadi over cuttting dan sistem permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan. Walaupun menurut petani agak rumit, tetapi wawasan mereka tentang teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari menjadi berkembang.
111
Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran yang digunakan penyuluh dan pendamping kepada petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten dinilai berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Walaupun penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten termasuk pada kategori yang sama, yaitu kategori “rendah” tetapi memiliki rentang skor rataan yang jauh. Skor rataan untuk semua indikator pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian berkisar antara nilai 40 dan 50, sedangkan skor rataan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di kedua kabupaten berkisar antara 0 dan 10. Perbedaan yang cukup menyolok ini dapat dimengerti mengingat petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian sudah mendapatkan pendampingan dan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dari penyuluh dan pendamping. Sedangkan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri belum pernah mendapatkan pendampingan atau pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Walaupun pembelajaran HRL yang diperoleh dari penyuluh dan pendamping di Wonogiri juga tergolong masih rendah dibandingkan di Gunung Kidul. Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ke dalam kategori “sedang” dengan skor rataan antara 50 sampai 70, sedangkan di Wonogiri termasuk dalam kategori “rendah” dengan skor rataan berkisar antara 20 dan 30. Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani non sertifikasi di Wonogiri adalah 0, karena semua petani yang menjadi responden belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh atau pendamping sehingga tidak dapat memberikan penilaian terhadap pendekatan pembelajaran yang diterima. Pembelajaran mereka tentang hutan rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka. Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran ini tidak terlepas dari penilaian terhadap kompetensi penyuluh dan pendamping. Menurut petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri, Penyuluh dan Pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kegiatan pembelajaran, sehingga mereka menilai “rendah”, baik kompetensi maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan.
112
Tabel 23. Perbandingan Penilaian terhadap Pendekatan Pembelajaran Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No 1
Pendekatan Pembelajaran Materi pembelajaran
Kategori Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 2
Metoda pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 3
Model pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 4
Tahapan pembelajaran
Sulit Sedang Mudah
Skor Rataan 5
Cara pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 26 97 61 50 3 26 24 0 12 60 27 43 25 91 58 41 9 25 34 0 17 46 63 29 21 80 50 38 18 28 41 2 21 48 65 31 27 86 56 53 14 33 20 0 10 45 59 31 29 96 56 52 4 33 19 0 10 43 59 26
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 93 100 97 7 0 3 0 0 0 9 0 4 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 93 100 97 7 0 3 0 0 0 5 11 0
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; hutan rakyat non sertifikasi n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Tidak sesuai/sulit (0-50); Cukup sesuai/Sedang (51-75); Sesuai/Tinggi (76-100)
Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan dalam penelitian ini, Penyuluh dan pendamping, di kedua lokasi penelitian cenderung lebih menggunakan pendekatan “pengajaran” (teaching) dibandingkan dengan “pembelajaran” (learning). Hal tersebut dapat dilihat dari uraian lima indikator atau sub variabel materi, metode, model, tahapan dan cara pembelajaran sebagai berikut di bawah ini.
Materi Pembelajaran Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul terhadap materi pembelajaran, dilihat dari skor rataan tergolong “cukup sesuai” dengan nilai 59, sedangkan di Wonogiri tergolong “tidak sesuai” dengan nilai 27. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (93%) menilai materi pembelajaran “tidak sesuai” karena sebagian kecil pengurus yang dilibatkan dalam pertemuan atau pelatihan
113
Hutan Rakyat Lestari sehingga petani hutan rakyat sertifikasi lainnya merasa tidak pernah terlibat dalam pembelajaran dan mendapatkan materi pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari satu kali pun, sampai dengan proses sertifikasi selesai dilaksanakan. Materi pembelajaran, di Gunung Kidul terutama yang berkaitan dengan proses sertifikasi, merupakan paket materi pelajaran yang telah disepakati bersama oleh beberapa LSM pendamping. Demikian juga dengan jenis, jumlah materi pembelajaran lebih banyak ditentukan dan disediakan oleh LSM pendamping. Materi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi PHBML. Masyarakat tidak dilibatkan dalam menentukan materi pembelajaran yang ingin dipelajari berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masyarakat diajarkan mengenai cara menghitung tinggi pohon, etat dan lainnya yang sulit dipahami dan masyarakat sendiri tidak mengerti keterkaitan materi pembelajaran tersebut dengan kehidupan mereka sehari-hari. Materi pembelajaran berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian belum dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan “tebang butuh”. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu. Walaupun demikian, khususnya pada pembelajaran di Gunung Kidul, materi pembelajaran tidak secara kaku mengikuti target, pada pelaksanaannya di lapangan penyuluh dan pendamping melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.
114
Metode Pembelajaran Terdapat perbedaan yang nyata dalam hal penilaian metode pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari antara petani di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai metode yang digunakan “cukup sesuai” dengan skor rataan 63, sedangkan petani sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri menilai “tidak sesuai” dengan skor rataan 29. Penilaian tersebut disebabkan adanya perbedaan dalam metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran di kedua lokasi penelitian. Metode pembelajaran di Gunung Kidul lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal-tanggal tertentu. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan, sehingga petani hutan rakyat sertifikasi khususnya di Wonogiri menilai tidak sesuai metode pembelajaran yang digunakan. Khusus di Gunung Kidul, selain pertemuan rutin dan praktek juga dilakukan demplot pertanian organik tanaman padi, studi banding ke pertanian organik di Kaliurang yang telah berhasil. Pendekatan lainnya seperti pendekatan perorangan dilakukan oleh para penyuluh/pendamping, hanya kepada pengurus kelompok atau tokoh masyarakat dengan mengunjungi rumah maupun tempat berladang.
Penyuluh dan
pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengunjungi anggota biasa, sehingga dapat dimaklumi bila anggota kelompok banyak yang tidak mengetahui siapa penyuluh atau pendamping yang bertugas mendampingi mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Model Pembelajaran Penilaian petani terhadap model pembelajaran, tidak berbeda dengan indikator lainnya, petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai model pembelajaran “cukup sesuai” dan di Wonogiri “tidak sesuai”.
Model
pembelajaran HRL di kedua lokasi sebenarnya sama, yaitu lebih banyak diskusi. Namun karena petani di Gunung Kidul memiliki kesempatan lebih banyak untuk
115
berdiskusi dengan penyuluh dan pendamping lebih banyak, maka petani di Gunung Kidul menilai model pembelajaran lebih baik dibandingkan petani di Wongiri yang sangat jarang mendapatkan kesempatan berdiskusi bahkan bertemu dengan penyuluh dan pendamping. Diskusi kelompok, dengan model komunikasi dua arah, yang paling sering dilakukan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Sebenarnya metode diskusi ini cukup baik, namun dalam diskusi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Tahapan pembelajaran Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran “sedang” dengan skor rataan 59, sedangkan petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai tahapan pembelajaran “sulit” dengan skor rataan 31. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran relatif mudah diikuti dan jelas, walaupun begitu mereka merasakan banyak waktu yang dibutuhkan, dan tenaga yang dicurahkan terutama pada proses pengajuan usulan sertifikasi. Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai “sulit” karena sebagian besar petani Hutan Rakyat Lestari tidak terlalu paham mengenai tahapan pembelajaran tersebut dan hanya beberapa pengurus yang terlibat dalam proses pembelajaran. Tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham “trickle down effect”, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik. Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, khususnya di Wonogiri tidak dahului dengan proses penyadaran masyarakat akan pentingnya sertifikasi, bahkan lebih cenderung provokatif dengan menekankan “peningkatan harga jual kayu yang tinggi”. Oleh karena itu, pada waktu penelitian ini dilakukan, banyak masyarakat
116
yang kurang paham mengenai sertifikasi, bahkan ironisnya ada beberapa responden yang tidak mengetahui bahwa hutan mereka telah memperoleh sertifikasi. Pada sisi lain, masyarakat merasa ‘ditipu” oleh LSM pendamping karena janji peningkatan harga jual kayu yang tinggi tidak mereka dapatkan.
Cara Pembelajaran Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi terhadap cara pembelajaran di Gunung Kidul tergolong “cukup sesuai” dengan skor rataan 59, sedangkan di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor rataan 26. Cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari - sertifikasi baik di Gunung Kidul dan Wonogiri selain menggunakan pertemuan kelompok, juga menerapkan praktek di lapangan. Walaupun banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun sangat disayangkan belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kurang menerapkan experiental learning, yang didasarkan pada pengalaman petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Misalnya, petani sebenarnya sudah punya cara tradisional dalam menentukan tinggi dan volume kayu, tanpa menggunakan peralatan canggih. Namun, karena kebutuhan pemenuhan persyaratan sertifikasi, maka yang digunakan
adalah
cara-cara
dengan
standar
yang
berlaku
tanpa
mempertimbangkan dan mengadopsi kearifan masyarakat. Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan, khususnya cara pembelajaran, lebih cenderung mendekati paedagogi daripada andragogi. Alasan paling mendasar adalah dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, masyarakat petani lebih ditempatkan sebagai obyek, sasaran pembelajaran sertifikasi, dan tidak dilibatkan sejak awal proses pembelajaran sampai dengan mengevaluasi hasilnya. Pengalaman dan ketrampilan mereka dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari kurang mendapat perhatian, kearifan mereka dalam melakukan pengukuran dan lainnya kurang mendapat perhatian. Pembelajaran lebih berorientasi pada kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat, dan kurang berorientasi pada kebutuhan dan pemecahan permasalahan yang dihadapi petani.
117
Kelembagaan Masyarakat Terdapat perbedaan nyata antara penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi dengan non sertifikasi di kedua kabupaten pada taraf uji 0,05. Penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten bervariasi pada tujuh indikatornya. Penilaian paling tinggi di kedua kabupaten tersebut ialah pada indikator kepemimpinan dengan skor rataan 77, sedangkan indikator terendah ialah penegakan sanksi dengan skor rataan 45.
Sedangkan penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani non
sertifikasi di kedua kabupaten berada pada kategori rendah dengan skor rataan antara 14 – 33. Kepemimpinan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dinilai ”sesuai harapan” oleh petani hutan rakyat sertifikasi dalam mendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Salah satu alasan mendasar ialah sebagian besar pengurus kelompok tani adalah tokoh masyarakat dan aparat yang dipercaya dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian pemimpin kelompok, yang juga menjadi pemimpin di masyarakat sangat mendukung dan menjadi bagian dalam pembelajaran dan pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masyarakat tersebut. Sanksi, yang dikenakan kepada setiap pelanggaran, bukan saja kurang ditegakkan dengan baik, tetapi juga kurang dipahami oleh masyarakat. Sanksisanksi tersebut baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri umumnya tidak tertulis dan kurang disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga tidak dapat diwariskan secara turun temurun dan akhirnya menghilang. Oleh karenanya penilaian terhadap penegakan sanksi di kedua lokasi penelitian adalah ”tidak ada”. Kenyataan menarik lainnya ialah penilaian kelembagaan masyarakat pada petani non sertifikasi di Gunung Kidul cukup baik, yaitu empat kategori termasuk pada kategori sedang sedangkan dua kategori lainnya mendekati sedang (skor rataan 48 – 50). Sedangkan pada petani hutan rakyat non sertifikasi di Wonogiri termasuk pada kategori rendah bahkan sangat rendah, karena menilai 0 pada empat indikator, sedangkan tiga indikator lainnya pada kategori ”rendah” ( skor rataan 4 – 14). Kondisi ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat di Gunung Kidul masih cukup kuat mengakar, sekalipun pada masyarakat yang
118
belum mendapatkan pendampingan atau pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri relatif kurang cukup mengakar pada masyarakatnya, hanya pada masyarakat yang telah mendapatkan pendampingan Hutan Rakyat Lestari, kelembagaan masyarakat relatif lebih baik. Tabel 24. Perbandingan Penilaian terhadap Kelembagaan Masyarakat oleh Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Karakteristik Kejelasan norma
Kategori
31
41
36
20
100
60
Cukup jelas
44
44
44
70
0
35
15
20
10
0
5
a
58
57
0
29
Jelas Tidak tegas
36
73
54
67
100
83
Cukup tegas
35
23
29
33
0
17
Tegas
29
4
16
0
0
0
56
34
45
29
0
14
Tidak mendukung
28
53
40
50
100
75
Cukup mendukung
58
44
51
50
0
25
Mendukung
14
3
8
0
0
0
Konfirmasi
61
54
57
49
0
25
Toleransi terhadap nilai
Tidak toleran
14
24
19
40
100
70
Cukup toleran
57
67
62
60
0
30
baru
Toleran
29
9
19
0
0
0
69
60
65
51
0
26
Kesesuaian
Tidak sesuai
16
34
25
53
97
75
tujuan
Cukup Sesuai
51
40
45
40
3
22
Sesuai
33
26
29
7
0
3
67
60
63
48
4
26
Tidak sesuai
5
12
8
47
97
72
Cukup sesuai
29
41
35
47
3
25
Sesuai
66
47
56
7
0
3
80
73
77
50
14
32
Skor Rataan 6
7
57
sanksi
Skor Rataan 5
a
Penegakkan
Skor Rataan 4
25 60
Skor Rataan 3
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Tidak jelas
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestari sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Kepemimpinan
Skor Rataan Keterkaitan antar
Tidak sesuai
9
19
14
50
97
73
bagian dalam
Cukup sesuai
57
50
53
40
3
22
kepengurusan
Sesuai
34
31
32
10
0
5
70
65
68
54
12
33
Skor Rataan
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200;hutan rakyat non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Skor Rataan:Tidak sesuai/tegas/mendukung (0-50);Cukup sesuai/tegas/mendukung (51-75); Sesuai/tegas/mendukung (76-100)
Kelembagaan masyarakat berkaitan dengan hutan rakyat di kedua lokasi penelitian tidak terlalu berbeda bentuknya, yaitu adanya aturan-aturan, nilai, kesepakatan dalam masyarakat berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat.
119
Aturan-aturan tersebut ada yang tidak tertulis, namun telah dijalankan turun temurun sejak awal pengelolaan hutan rakyat misalnya aturan melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon sampai hidup segera setelah melakukan penebangan. Di tiap lokasi penelitian ditemui aturan ini, baik tertulis maupun tidak tertulis, namun jumlah pohon yang ditanam bervariasi ada yang menetapkan lima pohon, sepuluh pohon dan lainnya. Demikian juga dengan sanksi, ada sanksi yang tertulis maupun tidak tertulis namun terus diwariskan turun temurun seperti sanksi bagi masyarakat yang tidak melakukan penanaman setelah penebangan, biasanya sanksi ditetapkan dengan membayar denda. Namun baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sanksi ini tidak secara tegas dilaksanakan. Sedangkan kelembagaan ditinjau dari sisi organisasi yang berkaitan dengan hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri terdapat organisasi petani pengelola hutan rakyat. Keberadaan organisasi Kelompok Tani di Wonogiri relatif lebih lama, yaitu dibentuk kurang lebih pada tahun 1970, yang dibentuk bersamaan dengan pengembangan hutan rakyat secara swadaya, khususnya Kelompok Tani Percabaan di Dusun Pagersengon, Desa Selopuro, Kec. Batuwarno, Wonogiri. Kelompok tani ini menjadi pelopor gerakan penanaman tanaman kayu-kayuan di Desa Selopuro. Kelompok tani ini sampai dengan saat ini masih berjalan dengan baik. Seiring dengan perkembangan sertifikasi hutan rakyat, dibentuklah organisasi baru yaitu Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang merupakan gabungan dari kelompok tani-kelompok tani yang ada di tiap dusun.
Namun, sebagaimana biasanya pembentukan organisasi atau
kelompok oleh pihak luar, dalam hal ini LSM yang tidak benar-benar berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat, akhirnya kurang berjalan dengan baik. Sekalipun FKPS ini telah memiliki visi dan misi yang sangat jelas. Sebagian kelompok tani di Gunung Kidul baru dibentuk dan didampingi berkaitan dengan penguatan kelompok, yaitu program Rancang Bangun Unit Manajemen HRL. Khususnya untuk kelompok tani di Desa Dengok, Kec. Playen dan Desa Giri Sekar, Kec. Panggang. Sedangkan di Desa Kedungkeris, kelompok Tani lebih relatif lebih lama dibentuk yaitu kurang lebih pada tahun 1990 dan masih berjalan dengan baik, walaupun lebih kepada arisan simpan pinjam,
120
misalnya KTHR Ngudi Makmur yang dibentuk pada tahun 1996, dimana pertemuan masih berjalan setiap Senin Legi. Selain kelompok tani yang dibentuk di tiap dusun, terdapat Gabungan Kelompok Manunggal Lestari,
yang mewadahi kelompok-kelompok tani di
wilayah tersebut, khususnya berkaitan dengan pengajuan sertifikasi. Berkaitan dengan pemasaran dan lainnya, di Gunung Kidul telah dibentuk Koperasi Wana Manunggal Lestari dengan Akte Notaris No.31 tanggal 21 September 2006. Keanggotan koperasi ini adalah semua anggota kelompok tani secara otomatis menjadi anggota. Untuk memperlancar koordinasi dengan ketiga desa, maka kepengurusan koperasi ditetapkan dengan melibatkan tokoh atau pengurus dari tiga desa sebagai perwakilan. Organisasi kelompok tani di kedua lokasi penelitian dibentuk dengan pola organisasi modern, namun belum dapat dijalankan layaknya sebuah organisasi modern. Sudah ada aturan tertulis AD/ART, sudah ada pembagian tugas, namun belum dijalankan dengan benar. Dari segi kepemimpinan, hampir semua ketua kelompok tani hutan rakyat, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri adalah tokoh masyarakat seperti kepala Dusun dan ketua RT/RW. Dengan demikian ada nilai plus dan minus berkaitan dengan kepemimpinan model seperti itu. Masyarakat di kedua lokasi penelitian menilai arisan dan Kelompok Tani atau KTHR sebagai organisasi non formal yang paling berpengaruh dalam pembelajaran masyarakat tentang hutan rakyat lestari. Keberadaan FKPS, Paguyuban Kelompok Tani dan Koperasi belum berperan sebagaimana mereka kehendaki.
Kejelasan Norma Norma atau nilai-nilai berlaku dan diyakini dalam masyarakat di kedua lokasi penelitian dinilai ”cukup jelas” oleh responden, terutama berkaitan dengan aturan tidak tertulis, hal ini ditunjukkan dengan skor rataan 58, yang termasuk pada kategori ”cukup jelas”. Masyarakat memahami adanya aturan penanaman setelah penebangan, dan aturan menunda penebangan kayu-kayu yang kurang dari diameter 15 cm. Masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri cukup memahami dengan baik, dan mentaatinya. Tidak ada perbedaan nyata antara masyarakat
121
Gunung Kidul dan Wonogiri dalam persepsi terhadap kejelasan norma berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari di wilayah mereka. Beberapa aturan tersebut kemudian dijadikan aturan tertulis di beberapa kelompok tani, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Beberapa responden menyatakan bahwa adanya perubahan perilaku masyarakat dalam menebang kayu setelah adanya aturan tertulis yang disusun bersama dan disosialisasikan dalam pertemuan kelompok khususnya dalam penebangan pohon-pohon yang masih muda. Sesuai dengan progam Rancang Bangun UMHRL dalam mempersiapkan unit manajemen pengelolaan HRL, kelompok tani di Gunung Kidul telah memiliki AD/ART, misalnya Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat (PPHR) Ngudi Lestari di Desa Dengok yang dibentuk pada tanggal 18 Desember 2004. PPHR Ngudi Lestari telah menyusun aturan internal pada dua kali pertemuan dan telah disahkan pada tanggal 28 Januari 2005. Aturan internal itu antara lain adalah aturan keuangan simpan pinjam. Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Wonogiri, yang dibentuk sebagai unit manajemen pengelola hutan rakyat berlingkup desa/kelurahan, merupakan wadah gabungan kelompok tani yang lebih kecil, yang berada di dusun. FKPS dibentuk sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan sertifikasi, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat. Walaupun sudah memiliki kepengurusan yang jelas, visi dan misi yang jelas, dan ada pembagian tugas yang jelas, FKPS tidak dapat berjalan baik, bahkan menjadi pemicu timbulnya kecemburuan sosial di Desa Selopuro, Kec. Batuwarno.
Penegakan Sanksi Penegakkan sanksi pada suatu pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati bersama, di Gunung Kidul dinilai ”cukup tegas” dengan skor rataan 56 sedangkan di Wonogiri termasuk kategori ’tidak tegas” dengan skor rataan 34. Sebagian besar responden di Wonogiri menyatakan tidak mengetahui adanya sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam pengelolaan hutan rakyat. Ketidaktahuan masyarakat tersebut dapat disebabkan beberapa alasan, di antaranya adalah karena kurangnya sosialisasi, atau karena kurang ditegakkannya sanksi tersebut, sehingga
122
lama kelamaan ’luntur’ tergerus oleh waktu, sekalipun sanksi tersebut merupakan aturan yang telah diwariskan turun-temurun. Sebagai contoh di Wonogiri, khususnya di Dusun Pagersengon, ada sanksi tidak tertulis, yang telah berlaku sejak awal pembentukan kelompok tani. Di antaranya ialah bagi anggota kelompok tani yang menebang pohon sebelum mencapai umur tertentu, yaitu berupa keharusan menanam 60 bibit tanaman keras dan memeliharanya sampai tumbuh. Selain itu sanksi dikenakan bagi mereka yang tidak mengelola lahannya, sanksi dikenakan dengan pengelolaan lahan oleh kelompok dan hasilnya dibagi antara pemilik dan kelompok. Dalam prakteknya sanksi tersebut tidak dilaksanakan dengan tegas, seringkali diganti dengan sanksi lain seperti kewajiban membayar kas desa atau lainnya.
Konformitas Tingkat konformitas petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi tergolong ”cukup mendukung” dengan skor rataan 61 dan 57. Masyarakat petani pengelola hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih memegang aturan-aturan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya sambatan, yaitu gotong royong dalam membersihkan lahan untuk penanaman, membangun rumah, dan lainnya. Rukun jagong, yang tetap dijalankan oleh warga di kedua loaksi penelitian walaupun seringkali memberatkan.
Rukun
menyelenggarakan
jagong
hajatan
yaitu
(khitanan,
acara
bersama
pernikahan,
menghadiri
kelahiran,
dan
kematian,
membangun dan memperbaiki rumuh), dengan sukarela warga memberikan bantuan dalam bentuk uang. Acara sosial ini tetap terus dijaga sebagai pengikat kohesivitas anggota kemasyarakatan. Walaupun tergolong desa yang cukup maju, masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih menjaga nilai-nilai budaya masyarakat, dan tetap sedia mematuhi aturan-aturan atau nilai-nilai yang telah diwarisi turun temurun. Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri berlaku juga kegiatan ”bersih desa” yaitu bersama-sama melakukan pembersihan lingkungan tempat tinggal, tegalan, maupun pekarangan di lingkungan dusun. Misalnya di Dusun Sudan, Desa Selopuro, Kec. Batuwarno, Wongiri, masyarakat petani secara sukarela
123
mengikuti kegiatan ”bersih desa” setiap hari Jumat. Kegiatan ini juga dijadikan sarana untuk mempererat hubungan sesama warga dusun, menjalin komunikasi, dan menyebarkan informasi di antara masyarakat lingkungan/dusun.
Toleransi Tingkat toleransi masyarakat di kedua lokasi penelitian tergolong “cukup toleran” dengan skor rataan 69 dan 60. Masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri walaupun memiliki tingkat konformitas yang cukup tinggi, namun juga cukup mudah menerima nilai-nilai baru, khususnya yang membawa kemajuan untuk mereka. Masyarakat Gunung Kidul menilai bahwa segala program Pemerintah pasti baik untuk mereka sehingga mereka dengan mudah dapat menerima segala bentuk campur tangan Pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan pengembangan hutan rakyat. Sebaliknya mereka juga dapat mengurangi atau menghapuskan secara perlahan-lahan kebiasaan-kebiasaan turun temurun yang dinilai kurang baik oleh masyarakat sendiri. Sebagai contoh di Desa Kedungkeris, dikemukakan oleh salah seorang pamong, tokoh masyarakat yang juga menjadi pengurus KTHR Ngudi Rahayu, bahwa adanya kebiasaan untuk memberikan natura kepada yang sedang melaksanakan kenduri beberapa tahun belakangan telah diganti dengan pemberian bantuan berupa uang, karena dinilai lebih praktis oleh masyarakat. Awal mulanya agak sulit, tetapi seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mau mengubahnya karena dinilai lebih praktis. Kesesuaian Tujuan Masyarakat di kedua lokasi penelitian menilai “cukup sesuai” pencapaian tujuan organisasi kelompok tani sampai dengan saat ini. Keberadaan kelompok tani saat ini lebih sebagai wadah untuk arisan, pertemuan rutin tetap berjalan tetapi tidak lagi menjadi wadah pembelajaran, tukar menukar informasi dan pengalaman, pembahasan permasalahan yang dihadapi petani dan lainnya. Kelompok tani yang ada, khususnya di Wonogiri, tidak lagi mendapatkan pendampingan atau pembinaan dari Pemerintah maupun LSM. Dengan demikian tujuan kelompok tani, visi dan misi yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam AD/ART organisasi tidak lagi diperjuangkan bersama untuk pencapaiannya.
124
Lebih memprihatinkan lagi keberadaan FKPS di Desa Selopuro, yang mempunyai tugas melakukan pengawasan dan koordinasi KPS-KPS yang ada di dalamnya dan menyelesaikan persoalan yang timbul antar KPS, justru keberadaannya menimbulkan permasalahan di lingkungan petani. Kondisi demikian dapat menjadi gambaran bahwa organisasi modern “bentukan” LSM Pendamping yang dibentuk semata-mata hanya untuk memenuhi persyaratan, dengan segala stuktur dan aturan-aturannya, dan tanpa didahului oleh proses penyadaran masyarakat, ternyata tidak dapat mengakar di masyarakat, khususnya di Wonogiri. Tujuan, visi dan misi yang baik, hanyalah sebatas di atas kertas dan tidak menjadi
pemacu semangat bagi masyarakat untuk
memperjuangkannya. Kepemimpinan Ada perbedaan penilaian kepemimpinan dalam organisasi atau kelompok pengelola hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Masyarakat di Gunung Kidul menilai kepemimpinan “sesuai harapan” dengan skor rataan 80, sementara masyarakat di Wonogiri menilai kepemimpinan “cukup sesuai harapan” dengan skor rataan 73. Pemimpin dalam organisasi atau kelompok pengelola hutan rakyat sebagian besar adalah aparat pemerintah, seperti Kepala dusun, Ketua RT/RW. Dari sepuluh kelompok tani yang menjadi responden penelitian ini, enam ketua kelompok merangkap aparat desa. Sementara empat kelompok lainnya, diketuai mantan PNS dan guru, yang juga merupakan tokoh masyarakat. Sebenarnya ketua atau pemimpin kelompok dipilih oleh anggota, hanya biasanya mereka memilih orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, stasus sosial dan posisinya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan bila aparat desa yang terpilih. Perangkapan jabatan tersebut di satu sisi menguntungkan karena memudahkan akses kelompok tani dengan pihak luar, seperti instansi pemerintah, pedagang, dan lainnya, serta kemudahan masuknya program dan bantuan pemerintah dalam berbagai bidang. Sebagai contoh adalah
Kelompok Tani
Makmur, di Desa Sendowo Kidul, Kec, Nglipar, Gunung Kidul, ketua kelompok selain Kepala Dusun juga sebagai Kontak Tani Nasional Andalan (KTNA)
125
sehingga sudah beberapa kali mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian, berupa pembangunan lumbung desa maupun fasilitasi jalan produksi. Demikian juga dengan kegiatan hutan rakyat menjadi lebih berkembang dan program sertifikasi tidak menemui banyak kendala di masyarakat karena didukung oleh ketua kelompok yang adalah aparat desa atau tokoh masyarakat. Di sisi lain perangkapan jabatan tersebut akan mempengaruhi gaya kepemimpinan, sehingga cenderung ke arah birokratis dan kurang demokratis. Namun, dilihat dari persepsi dan penilaian responden
petani hutan rakyat
khususnya di Gunung Kidul yang memberikan penilaian tinggi untuk kepemimpinan sehingga kelihatannya masyarakat Gunung Kidul puas dengan kepemimpinan dalam kelompok tani sampai dengan saat ini. Sementara di Wonogiri adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan lebih cenderung kepada kepemimpinan FKPS, bukan terhadap kepemimpinan dalam Kelompok Tani, sehingga penilaian terhadap kepemimpinan kelompok tani masih dinilai “cukup sesuai harapan”.
Keterkaitan antar bagian Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, telah disusun kepengurusan kelompok tani dengan pembagian tugas yang cukup jelas. Minimal terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara, sementara keberadaan bagian lain berbeda antara kelompok yang satu dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Struktur organisasi berikut susunan nama pengurus bahkan di lima kelompok tani, dari sepuluh kelompok tani yang diteliti, terpampang di sekretariat kelompok, yang merupakan rumah ketua kelompok. Dengan demikian semua anggota tahu dengan pasti kepengurusan dan tugas-tugasnya. Pada lima kelompok tani lainnya, tidak terdapat papan struktur organisasi tetapi susunan kepengurusan semua terdapat di dalam AD/ART. Walaupun sudah ada pembagian tugas yang sangat jelas, bahkan tertuang di AD/ART, namun kelihatannya belum ada keterkaitan dalam melaksanakan tugas pengelolaan hutan rakyat. Bahkan untuk beberapa kelompok tani khususnya di Wonogiri kelihatannya hanya sekedar tertera dalam AD/ART, tanpa diketahui dengan jelas tugas masing-masing pengurus.
126
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Terdapat perbedaan nyata dalam penilaian kelembagaan pendukung pemebelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi dengan petani hutan rakyat non sertifikasi di kedua kabupaten. Tiga indikator dari empat indikator kelembagaan pendukung pembelajaran di kedua kabupaten dinilai “cukup sesuai” oleh petani sertifikasi, sedangkan petani non sertifikasi di kedua kabupaten menilai “tidak sesuai” semua indikator kelembagaan pendukung pembelajaran. Bahkan petani non sertifikasi di Wonogiri menilai tiga kategori dengan ‘0’, artinya sangat rendah karena memang mereka belum pernah mendapatkan dukungan kegiatan, fasilitas dan personil dari kelembagaan pendukung pembelajaran mana pun, baik pemerintah, LSM maupun Perguruan Tinggi. Bila dikaji lebih dalam, ternyata terdapat perbedaan nyata antara penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Skor rataan penilaian petani sertifikasi di Gunung Kidul terhadap dukungan kelembagaan pendukung pembelajaran eksternal berkisar antara 63–72 (tergolong ”cukup sesuai”), sedangkan skor rataan di Wonogiri berkisar antara 33-37 (tergolong ”tidak sesuai”).
Perbedaan mendasar yang membedakan pembelajaran Hutan Rakyat
Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri adalah sinergitas kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul direncanakan, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi secara terpadu oleh suatu Kelompok Kerja, yang dinamakan POKJA Hutan Rakyat Lestari yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati Kabupaten Gunung Kidul. Pokja, yang ditetapkan pada tanggal 20 September 2005 tersebut, terdiri dari berbagai kalangan, baik pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat petani. Pokja dibentuk berdasarkan pemikiran bahwa pengelolaan hutan rakyat secara lestari harus dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi dan sinkron dengan pembangunan sektor lainnya dan berwawasan lingkungan. Lembaga pendukung pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul yang dinilai berpengaruh oleh masyarakat Gunung Kidul ialah Pusat Kajian Hutan
127
Rakyat (PKHR) – Universitas Gadjah Mada (UGM), Dinas Kehutanan Kabupaten Gunung Kidul, LSM Shorea, dan LSM Arupa.
Tabel 25. Perbandingan Penilaian terhadap Kelembagaan Pendukung Pembelajaran oleh Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran petani
Kategori Tidak Sesuai
11
58
34
27
97
62
Nilai
Cukup Sesuai
55
36
45
50
3
27
Sesuai
34
6
20
23
0
12
67
37
52
60
14
37
Dukungan
Tidak sesuai
9
83
46
70
100
85
kegiatan
Cukup sesuai
58
16
37
23
0
12
Sesuai
33
1
17
7
0
3
72
34
53
35
2
19
Skor Rataan 3
Dukungan
Tidak sesuai
17
91
54
97
100
98
fasilitas
Cukup sesuai
62
9
35
3
0
2
Sesuai
21
0
10
0
0
0
63
33
48
23
2
12
Tidak sesuai
13
87
50
93
100
97
Cukup sesuai
55
13
34
7
0
3
Skor Rataan 4
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Kesesuaian
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Dukungan personil
Sesuai Skor Rataan
32
0
16
0
0
0
69
34
52
17
2
9
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Tidak sesuai (0-50); Cukup sesuai (51-75); Sesuai (76-100)
Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Gunung Kidul dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 186 Tahun 2008 memiliki tugas pokok menyelenggarakan urusan rumah tangga Pemda di bidang kehutanan dan perkebunan. Sedangkan fungsinya antara lain : penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang kehutanan dan perkebunan, perumusan kebijakan teknis di bidang kehutanan dan perkebunan, pelaksanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air; pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan hutan hak dan hutan kemasyarakatan; pembinaan dan pengendalian usaha di bidang kehutanan dan perkebunan. Visi Dishutbun sampai dengan tahun 2011 ialah: “Terwujudnya Sumberdaya Kehutanan dan Perkebunan yang Lestari dan Berdaya Saing untuk peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” Visi tersebut dijabarkan dalam misi: (1) Merehabilitasi lahan kritis dan potensial kritis; (2)
128
Mewujudkan perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (3) Mewujudkan peningkatan produksi, produktivitas, nilai tambah dan daya saing produk kehutanan dan perkebunan; (4) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta SDM kehutanan dan perkebunan; dan (5) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi baik intern dinas maupun dengan stakeholders. PKHR dibentuk pada tahun 2000, sebagai salah satu langkah yang dilakukan Fakultas Kehutanan UGM dalam mengembangkan kegiatan dan program berkaitan dengan social forestry dan community forestry. PKHR melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan pemberdayaan community forestry di Indonesia. PKHR telah melakukan kegiatan penelitian di lapangan mengenai hutan rakyat, model pengelolaan khepong, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM),
rancang
bangun
sosial
dalam
program
Hutan
Kemasyarakatan (HKm), rancang bangun unit manajemen Hutan Rakyat. Untuk meningkatkan
kapasitas
staf
dilakukan
pelatihan,
lokakarya,
penelitian,
pengembangan pendidikan staf, dan lainnya. Sedangkan dalam pemberdayaan masyarakat, dilakukan kegiatan pengembangan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan rakyat; pemetaan partisipatif areal hutan rakyat, pelatihan dan lokakarya peningkatan manajemen hutan rakyat untuk dinas/instansi terkait, mendorong dan memfasilitasi proses pengajuan sertifikasi untuk pengelolaan hutan rakyat; dan pengembangan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat dan LMDH. Yayasan
Shorea
merupakan
lembaga
swadaya
masyarakat
yang
memberikan perhatian pada pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan Shorea antara lain pendampingan masyarakat, advokasi kebijakan, penelitian dan pengembangan, pelayanan konsultasi dan informasi, pelayanan pendidikan dan pelatihan, pengembangan bisnis ekonomi, dan menjalin kerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai visi dan tujuan yang sama dengan Shorea. Program-program yang sedang dijalankan sampai dengan penelitian dilakukan ialah penguatan hutan rakyat bersertifikat, penguatan dan pengembangan HKm, pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Desa, pengembangan Hutan Kota dan Hutan Konservasi.
129
Lembaga Arupa merupakan LSM/NGO yang bergerak di bidang pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Organisasi ini dibentuk oleh alumni muda Fakultas Kehutanan UGM dengan dilandasi semangat untuk melakukan koreksi kritis atas problematika pengelolaan sumberdaya alam pada umumnya dan secara khusus sumber daya hutan. Visi Arupa ialah terwujudnya masyarakat sipil yang berdaya secara ekonomi-sosial-politik: untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil, lestari, demokratis dan berkelanjutan, menuju kesejahteraan masyarakat. Misi Arupa : (1) pemberdayaan
masyarakat
desa
hutan
untuk
mewujudkan
pengelolaan
sumberdaya hutan berbasis masyarakat; (2) mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat melalui studi, penguatan kelembagaan lokal dan pendampingan masyarakat; (3) melakukan advokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang devolutif, aspiratif dan partisipatif dengan landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan; (4) menumbuhkembangkan alternatif usaha ekonomi rakyat menuju pemberdayaan masyarakat sipil; dan (5) penyelamatan sumberdaya hutan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Berbeda dengan Gunung Kidul, lembaga pendukung pembelajaran Hutan Rakyat
Lestari
(sertifikasi)
di
Wonogiri
yang
berpengaruh,
walaupun
pengaruhnya tidak terlalu besar, menurut masyarakat ialah Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Wonogiri serta Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI). Dishutbun Kab. Wonogiri dibentuk sesuai dengan Perda Kab.Wonogiri Nomor 11 Tahun 2008, memiliki tugas pokok fungsi sesuai Peraturan Bupati nomor 20 Tahun 2008 yaitu melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan, dan perkebunan berdasarkan azaz otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sedangkan fungsinya antara lain: perumusan kebijakan teknis dan perencanaan program kerja bidang kehutanan dan perkebunan; penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan dan perkebunan; pembinaan dan fasilitasi bidang kehutanan dan perkebunan lingkup kabupaten dan lainnya. Visi Dishutbun Wonogiri sampai dengan tahun 2010 ialah: ”Terwujudnya Sistem Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan secara Lestari, Tangguh, Mandiri
130
yang Berdaya saing Guna Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” Visi dimaksud dituangkan dalam misi, antara lain: (1) menjamin keberadaan hutan dan lahan perkebunan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (2) mengoptimalkan aneka fungsi hutan, lahan dan ekosistem perairan yang berfungsi untuk konservasi, lindung dan produksi guna mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; (3) Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); dan (4) Mendorong peran serta masyarakat dan penumbuhan kelembagaan dalam upaya pemberdayaan petani perkebunan dan masyarakat hutan dan lainnya. Berbeda dengan Gunung Kidul, Dishutbun Wonogiri masih mencakup tugas yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat, antara lain mendorong peran serta masyarakat dan penumbuhan kelembagaan dalam upaya pemberdayaan petani perkebunan dan masyarakat hutan. Tugas ini tidak lepas dari keberadaan para penyuluh / tenaga fungsional kehutanan dan perkebunan yang terdapat dalam struktur organisasi Dishutbun. Berbeda dengan Wonogiri, tenaga fungsional penyuluh kehutanan di Gunung Kidul telah dialihkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP). PERSEPSI tumbuh dari program LP3ES di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sejak tahun 1979 dan berdiri sebagai organisasi mandiri sejak tahun 1993. Keanggotan PERSEPSI terdiri dari para ilmuwan dan praktisi dalam bidang ekonomi dan sosial. Lembaga ini bersifat indipenden, nirlaba, non partisan dan non pemerintah. Nilai-nilai yang dianut PERSEPSI ialah keadilan, kebebasan, demokrasi, kesetaraan, solidaritas dan kelestarian. Prinsip dasar PERSEPSI adalah partisipasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, keberpihakan yang rasional, keragaman, kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan, transparansi, akuntabilitas dan berwawasan lingkungan. Visi PERSEPSI ialah: terwujudnya masyarakat sejahtera, makmur dan merata, dengan tatanan kehidupan yang demokratis, berkeadilan gender, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Visi tersebut dijabarkan ke dalam misi: (1) mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan gender dan bertumpu pada sumberdaya lokal; (2) meningkatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya politik, ekonomi dan budaya; (3) meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat
131
sipil melalui pendidikan kritis dan advokasi; dan (4) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Kesesuaian Nilai Menurut sejarah hutan rakyat, sekitar tahun 1950 ada perbedaan nilai hutan dan kayu antara masyarakat dengan pemerintah. Pada saat itu masyarakat dilarang menanam tanaman kayu-kayuan, khususnya jati karena sebagai pengelola hutan negara, Dinas Kehutanan tidak ingin mendapatkan kesulitan dalam memantau peredaran kayu di wilayahnya. Misalnya, jika ada kelompok masyarakat yang menanam jati di lahan milik sementara jati juga ditanam di hutan negara akan menyulitkan mengidentifikasi asal kayu tersebut. Sehingga masyarakat menanam tanaman kayu-kayuan secara sembunyi-sembunyi. Perbedaan nilai hutan dan kayu pada saat itu menyebabkan masyarakat begitu sulit memasuki kawasan hutan negara, yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka. Pada saat itu pemerintah menilai hutan sebagai kawasan konservasi yang harus dilindungi, termasuk dari masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman terhadap hutan. Saat ini sudah ada kesesuaian nilai hutan dan kayu bagi masyarakat dengan Dinas Kehutanan. Bahkan di Gunung Kidul lahan hutan negara yang dikelola Dinas Kehutanan Propinsi, yang pada saat ini ditanami dengan tanaman kayu putih, dapat juga dikelola oleh masyarakat dengan menanami lahan ”bahon” tersebut dengan tanaman pangan. Dengan demikian masyarakat, khususnya di Gunung Kidul lebih senang menanami pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka menanam tanaman palawija di ’bahon”. Dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) ini Dinas Kehutanan mendapat keuntungan dengan terpeliharanya tanaman kayu putih, dan masyarakat dapat ikut menggunakan lahan negara ”bahon” untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hutan dan kayu mempunyai nilai yang sangat penting bagi masyarakat Gunung Kidul maupun Wonogiri, baik nilai ekonomis maupun ekologis. Bernilai ekonomi, karena hutan dan kayu merupakan tabungan maupun sumber pendapatan, yang berguna baik bagi generasi saat ini maupun bagi generasi yang akan datang.
Kayu yang dijual dapat memenuhi kebutuhan keuangan dalam
132
jumlah yang cukup besar, maupun untuk keperluan sehari-hari seperti kayu ’rencek” dan arang. Bernilai ekologis, karena fungsi hutan sebagai pelestarian sumber air dan penyebab iklim sejuk di lingkungan tempat tinggal mereka. Bila melihat visi dan misi Dishutbun, LSM pendamping baik di Gunung Kidul maupun di Wonogiri kelihatannya sudah sejalan. Semua lembaga pendukung tersebut memiliki visi yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Hutan dikelola dengan tujuan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Namun
pada
kenyataannya,
dalam
pelaksanaanya
ternyata
masyarakat, khususnya para petani pengelola hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri belum melihat adanya kesamaan nilai antara pemerintah dan masyarakat. Skor rataan untuk kesesuaian nilai di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor 37. Baik dengan Dishutbun maupun PERSEPSI, masyarakat menilai kurang kesesuaian nilai. Sebagai contoh, seorang tokoh menyebutkan bahwa apa yang menjadi permasalahan pokok masyarakat dalam usaha hutan rakyat lestari (sertifikasi) ialah harga jual kayu dan alternatif usaha, kurang menjadi perhatian dari Dishutbun maupun PERSEPSI. Dishutbun menilai fokus perhatian saat ini lebih diarahkan kepada daerah atau lokasi yang masih banyak lahan kritisnya, sedangkan Selopuro dan Sumberejo karena sudah mendapatkan sertifikasi ’lestari’ hutannya, dan masyarakatnya dianggap mandiri dalam pelestarian sumberdaya alam, kurang menjadi prioritas. Sedangkan PERSEPSI menganggap target utamanya, yaitu diperolehnya sertifikat ekolabel telah tercapai, dengan demikian tugas utama PERSEPSI di Wonogiri telah selesai. Masalah premium price yang belum tercapai, bukan semata-mata masalah yang harus dipecahkan oleh PERSEPSI, tetapi terkait dengan banyak pihak lainnya. Sementara masyarakat di Gunung Kidul menilai kesesuaian nilai antara masyarakat dengan lembaga pendukung, baik Dishutbun, PKHR, Shorea dan Arupa berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari skor rataan kesesuaian nilai termasuk kategori ”cukup sesuai”. Artinya sampai dengan saat penelitian dilakukan, masyarakat cukup puas dengan adanya kesesuaian nilai antara petani hutan rakyat sertifikasi Gunung Kidul dengan lembaga pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul.
133
Dukungan kegiatan Dukungan kegiatan, khususnya berkaitan dengan pembelajaran dan pengembangan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri dinilai berbeda oleh petani responden penelitian. Dukungan kegiatan lembaga pendukung di Gunung Kidul dinilai ”cukup sesuai” dengan skor rataan 72, sedangkan di Wonogiri termasuk kategori ”tidak sesuai” dengan skor rataan 34. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai sejak adanya pendampingan dari PKHR, Lembaga Arupa, Yayasan Shorea dan Dishutbun (yang tergabung dalam Pokja HRL), cukup banyak kegiatan bermanfaat yang difasilitasi oleh lembaga pendukung tersebut. Kegiatan tersebut baik berupa pelatihan, magang, studi banding bagi para pengurus/anggota kelompok. Selain itu bantuan-bantuan dari berbagai pihak maupun kegiatan kunjungan-kunjungan, termasuk Belajar Antar Petani, Pelatihan petani se-ASEAN yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan pihak perguruan Tinggi, maupun LSM telah meningkatkan aktivitas pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul. Berbeda dengan Gunung Kidul, di Wonogiri walaupun dengan adanya pendampingan dari PERSEPSI, memang ada kegiatan tetapi hanya berkaitan dengan proses pengajuan sertifikasi yaitu pemetaan, inventarisir hutan dan lainnya. Bekerja sama dengan WWF telah dilakukan pelatihan dan magang beberapa tenaga muda untuk mengolah limbah industri kehutanan. Sedangkan kegiatan dari Dishutbun, khususnya melalui dana APBD, yang dilakukan di Desa Selopuro dan Sumberejo sampai dengan penelitian dilakukan belum ada. Sebenarnya dalam anggaran Dishutbun tersedia anggaran dana untuk pelatihan pelestarian hutan, pengembangan hutan rakyat, pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), namun diprioritaskan di lokasi yang masih banyak terdapat lahan kritis. Desa Selopuro dan Sumberejo tidak menjadi prioritas kegiatan dalam beberapa tahun ini karena dianggap masyarakatnya sudah mandiri dalam menjaga kelestarian hutan. Dan ini juga yang telah menyebabkan kekecewaan masyarakat, khususnya di Desa Selopuro. Justru keberhasilan masyarakat mengembangkan hutan rakyat secara swadaya, bahkan sampai mendapatkan sertifikat ekolabel
134
belum mendapat apresiasi dari Dishutbun. Beberapa pihak menyatakan sertifikat ekolabel itulah penghargaan bagi masyarakat, tetapi masyarakat sendiri sebenarnya belum merasakan manfaat sertifikasi dari harga kayu. Padahal masyarakat memiliki pengharapan yang sangat tinggi terhadap meningkatnya harga kayu sertifikasi, tetapi sampai dengan penelitian ini dilakukan harga kayu masih tetap sama. Sertifikat ekolabel,
menurut mereka justru menimbulkan
ketidakadilan dan kecemburuan sosial.
Dukungan fasilitas Dukungan fasilitas yang diberikan lembaga pendukung pembelajaran masyarakat, khususnya pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), dinilai sudah cukup baik oleh masyarakat Gunung Kidul. Sedangkan bagi masyarakat Wonogiri dukungan fasilitas dari lembaga pendukung masih kurang. Hal ini dapat terlihat dari skor rataan di Gunung Kidul termasuk ”cukup sesuai” dengan nilai 63, sementara di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor rataan 33. Adanya POKJA yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul, dan diketuai oleh Asisten Administrasi Pembangunan Setda Kab. Gunung Kidul, Wakil Ketua I Kepala Bappeda Gunungkidul, dan wakil ketua dari PKHR memberikan dampak besar terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul. Sampai dengan penelitian ini dilakukan telah beberapa kali dilaksanakan pertemuan Pokja untuk merumuskan Draf Perda Kabupaten Gunung Kidul tentang Pengelolaan Hutan Rakyat. Pada tataran masyarakat keberadaan POKJA tersebut tidak langsung dirasakan, tetapi melalui Pokja masalah pengembangan hutan rakyat dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat tidak hanya menjadi perhatian dinas teknis, tetapi Pemerintah Daerah secara menyeluruh. Dan adanya kemitaraan dengan Perguruan Tinggi dan LSM semakin memperkuat dan memperluas pengembangan HRL dengan menjaring kemitraan dengan donordonor baik dari dalam maupun luar negeri. Sarana dan prasarana yang dapat dinikmati oleh kelompok tani di Gunung Kidul antara lain ialah peralatan perbengkelan dan furniture, perlengkapan sound system untuk pertemuan besar di balai desa dan lainnya. Untuk petani hutan
135
rakyat sertifikasi di Wonogiri, secara umum penganggaran dari Dishutbun memang diprioritaskan pada lokasi dengan persentasi lahan-lahan kritis yang tinggi. Tetapi PERSEPSI, yang menjalin kemitraan dengan WWF dan LEI telah berupaya untuk memberikan fasilitas berupa bengkel kerja pengolahan limbah kayu. Pemasaran produk ini juga difasilitasi oleh WWF dengan membuka galery Green Living di Jakarta. Sayangnya pengelolaan usaha bengkel ini tidak melibatkan banyak pengurus/petani hutan rakyat lestari/sertifikasi, sehingga kurang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, justru memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat karena menimbulkan kecemburuan sosial, yang merusak hubungan persaudaraan yang selama ini telah terjalin dengan baik. Ada perbedaan antara fasilitas yang diberikan oleh lembaga pendukung untuk penyuluh dengan pendamping. Penyuluh kehutanan di kedua lokasi penelitian tidak mendapatkan fasilitas khusus untuk melakukan pendampingan dalam kegiatan pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari. Penyuluh kehutanan di Wonogiri maupun Gunung Kidul banyak yang tidak tinggal di wilayah binaan sehingga untuk menjangkau masyarakat binaan mengalami kesulitan, karena biaya dan fasilitasi yang diberikan oleh Pemda kurang memadai. Sedangkan pendamping dari Perguruan Tinggi dan LSM, biasanya mendapatkan bantuan fasilitas dari pemberi donor, seperti Ford Foundation, WWF dan lainnya sehingga walaupun pada kenyataan tidak sering tinggal di desa dalam waktu yang cukup lama, namun dapat seringkali
mengunjungi masyarakat yang didampingnya.
Demikian juga dengan sarana dan prasarana dalam melakukan pembelajaran, tersedia anggarannya. Dukungan personil Penilaian dukungan personil yang diberikan oleh lembaga pendukung dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari antara Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai dukungan personil yang mendukung pembelajaran ”cukup sesuai/kompeten” dengan skor rataan 69. Sedangkan penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri terhadap dukungan personil tergolong ”tidak sesuai/kompeten” dengan skor rataan 34.
136
Perbedaan penilaian terhadap dukungan personil di Gunung Kidul dan Wonogiri, khususnya bagi penyuluh kehutanan, dapat dipahami bila ditinjau dari penempatan jumlah penyuluh kehutanan dibandingkan dengan luasnya wilayah binaan yang ada. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul berjumlah 38 orang, tersebar ke dalam 18 kecamatan. Setiap kecamatan ditempatkan tiga orang penyuluh kehutanan, sehingga seorang penyuluh kehutanan dapat membina tiga sampai dengan empat desa. Selain itu di tiap kecamatan juga ditempatkan seorang koordinator atau supervisor penyuluh. Sedangkan di Wonogiri, terdapat 55 orang Penyuluh Kehutanan yang tersebar di 25 kecamatan. Bila satu kecamatan terdiri dari 12-16 desa, seorang penyuluh kehutanan membina delapan sampai sepuluh desa. Selain itu, dari sisi peningkatan kapasitas, penyuluh kehutanan di Gunung Kidul
lebih
banyak
mendapatkan
peluang
untuk
pelatihan.
Biasanya
penyelenggaraan pelatihan di tingkat propinsi akan melibatkan wakil dari kabupaten, karena Wonogiri termasuk ke dalam propinsi Jawa Tengah dengan jumlah penyuluh kehutanan yang sangat banyak sehingga peluang untuk terlibat dalam kegiatan pelatihan sangat sedikit. Sedangkan penyuluh Gunung Kidul, yang termasuk wilayah propinsi DI Yogyakarta dengan jumlah penyuluh relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Wonogiri, mendapatkan peluang lebih besar untuk mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas. Para penyuluh kehutanan, dan penyuluh teknis secara umum, mengakui sangat minimnya pembinaan maupun pelatihan yang didapatkan, terutama sejak Otonomi Daerah diberlakukan. Mereka menyatakan bahwa sangat sedikit sekali kesempatan mereka untuk mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas, khususnya berkaitan dengan tugas utama mereka dalam bidang teknis kehutanan. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat sangat jarang mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi penyuluh kehutanan. Saat ini para penyuluh kehutanan hanya mendapatkan kesempatan pelatihan yang diadakan oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai salah satu insitusi pembina. Dan kesempatan untuk dapat mengikuti pelatihan
yang diadakan Kementerian Kehutanan juga sangat terbatas, tidak
setiap tahun dari tiap kabupaten seorang penyuluh kehutanan dilibatkan dalam pelatihan.
137
Tenaga pendamping dari LSM, terutama untuk Gunung Kidul, sangat kompeten untuk masalah teknis kehutanan, karena sebagian besar dari pendamping adalah alumni dari Fakultas Kehutanan UGM. Namun khusus untuk ketrampilan pendampingan dan kesediaan berbaur dalam kehidupan masyarakat masih perlu ditingkatkan. Dari pernyataan mereka bahwa mereka sangat tertolong bila pendamping mau berbaur dengan kehidupan masyarakat, tidak hanya berkaitan dengan teknis kehutanan atau pengembangan hutan rakyat. Dengan adanya kerjasama yang baik, pendamping di Gunung Kidul telah dilatih terlebih dahulu berkaitan dengan proses pembelajaran masyarakat khususnya berkaitan dengan proses sertifikasi. Sehingga materi pembelajaran telah dikuasai terlebih dahulu oleh para pendamping, dan relatif sama antara ketiga desa yang didampingi. Walaupun dalam pelaksanaannya sangat banyak penyesuaian, disesuaikan dengan kondisi fisik, lingkungan dan sosial masyarakat yang dihadapinya. Untuk menjadi pendamping, diperlukan kompetensi khusus, yang belum tentu dimiliki oleh semua LSM. Pekerjaan pendamping tidak dapat dikerjakan oleh siapa saja, tetapi membutuhkan ketrampilan khusus. Inilah yang sering disalahmengertikan oleh kebanyakan orang, bahwa pendamping atau penyuluh dapat dilakukan oleh siapa saja.
Intensitas Belajar Intensitas belajar yang dalam penelitian ini dilihat dari tingkat interaksi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dengan : penyuluh, sesama petani, pengurus dan anggota kelompok tani, materi belajar dan lingkungan belajar. Terdapat perbedaan nyata antara intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Dua indikator intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari tergolong ”sedang”, sedangkan tiga indikator lainnya tergolong ”rendah”. Sedangkan pada petani non sertifikasi semua indikator intensitas belajar tergolong ”rendah” bahkan sangat rendah karena terdapat dua indikator yang mempunyai nilai skor rataan kurang dari 10. Intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi yang bernilai sedang ialah pada interaksi
138
petani dengan : petani dan kelompok tani; sedangkan bernilai rendah pada interaksi petani dengan: penyuluh, materi belajar dan lingkungan belajar. Jika dikaji lebih mendalam ternyata intensitas pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri juga berbeda nyata. Semua indikator intensitas pembelajaran di Gunung Kidul tergolong ”sedang”, sedangkan di Wonogiri dari lima indikator, hanya satu indikator yang termasuk dalam kategori sedang yaitu pada interaksi antara petani dengan petani, selebihnya rendah.
Tabel 26. Perbandingan Penilaian terhadap Intensitas Belajar Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No 1
Intensitas Belajar Petani Interaksi petani dengan penyuluh
Kategori
3
4
Interaksi petani dengan petani Skor Rataan Interaksi petani dengan kelompok tani Skor Rataan Interaksi petani dengan materi pembelajaran
32
84
58
63
90
77
Sedang
58
14
36
30
10
20
Tinggi
10
2
6
7
0
3
52
27
40
30
6
18
10
18
14
20
90
55
Sedang
69
74
71
60
10
35
Tinggi
21
8
14
20
0
10
Rendah
65
57
61
57
5
31
Rendah
13
27
20
50
97
73
Sedang
75
70
72
43
3
23
Tinggi
12
3
7
7
0
3
57
49
53
47
4
25
Rendah
33
84
58
83
100
92
Sedang
59
15
37
17
0
8
Tinggi 5
Skor Rataan Interaksi petani dengan lingkungan belajar
8
1
4
0
0
0
51
24
38
11
0
6
Rendah
34
60
47
83
100
92
Sedang
57
40
48
17
0
8
9
0
4
0
0
0
49
38
44
14
0
7
Tinggi Skor Rataan
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Rendah
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Interaksi antara Penyuluh dengan Petani Interaksi petani dengan penyuluh atau pendamping di Gunung Kidul tergolong “sedang” dengan skor rataan 52 sedangkan di Wonogiri tergolong “rendah” dengan skor rataan 27. Sebagian besar petani (63%) di Wonogiri sangat
139
jarang bertemu dengan penyuluh atau pendamping, bahkan beberapa orang menyebutkan sampai dengan penelitian ini dilakukan belum pernah bertemu dengan penyuluh atau pendamping. Hal ini dapat dimaklumi mengingat latar belakang sejarah pengembangan hutan rakyat di Wonogiri, khususnya di Desa Selopuro dimana masyarakat secara swadaya melakukan penanaman tanaman keras dengan mengikuti teladan tokoh masyarakatnya. Campur tangan pemerintah menyusul setelah adanya kesadaran dan gerakan penanaman oleh masyarakat. Kehadiran penyuluh pada saat program penghijauan sekitar tahun 1970 tidak diketahui oleh masyarakat luas, karena frekuensi kehadiran yang jarang dan kunjungan hanya dilakukan kepada beberapa orang pengurus kelompok atau tokoh masyarakat setempat. Hubungan yang terjalin dengan penyuluh lebih bersifat formal, sebatas ’petugas pemerintah’ dan petani sebagai sasaran penyuluhan. Kondisi tersebut terus berlangsung lama, sampai dengan saat penelitian dilakukan. Berbeda dengan Wonogiri, frekuensi petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul bertemu dengan penyuluh dan pendamping lebih sering, terutama pada saat pendampingan sertifikasi hutan rakyat dan juga sebelumnya pada Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL). Pertemuan dengan penyuluh atau pendamping (dari LSM Shorea dan Arupa) di Desa Girisekar dan Desa Dengok, biasanya pada kegiatan pertemuan kelompok atau diskusi lainnya yang berkaitan dengan proses sertifikasi atau RBUMHRL. Untuk Desa Kedungkeris frekuensi lebih banyak dan hubungan lebih akrab karena pendamping yang berasal dari PKHR telah mendampingi secara rutin dari tahun 2000 terus sampai saat penelitian dilakukan. Namun diakui oleh masyarakat Gunung Kidul, karena pertemuan dengan pendamping atau penyuluh lebih sering dalam pertemuan formal sehingga walaupun hubungannya akrab, tetapi masih dirasakan ada ‘jarak’. Hal tersebut juga disebabkan oleh penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan masyarakat dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan pengalaman mereka, beberapa petani di Desa Girisekar menyatakan bahwa intensitas hubungan mereka dengan penyuluh/pendamping sangat tinggi bila pendamping tinggal bersama dengan masyarakat. Manfaat interaksi dengan penyuluh/pendamping bila intensitas pertemuan dan hubungan
140
tinggi sangat banyak, yang paling penting ialah penyuluh/pendamping dapat berempati, mendalami permasalahan yang dihadapi petani dan kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh petani. Interaksi Petani dengan Petani Frekuensi dan intensitas hubungan antar petani dalam pembelajaran pengelolaan hutan rakyat tergolong “sedang” untuk kedua lokasi penelitian, dengan skor rataan 65 dan 57. Hubungan yang baik antar petani, baik untuk permasalahan umum maupun yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani, ditunjang oleh masih kuatnya hubungan persaudaraan pada masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri. Hubungan persaudaraan masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih cukup baik, dibuktikan dengan masih berjalannya dan kentalnya budaya “sambatan”, rukun jagong dan lainnya. Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan pengalaman mereka hidup bersama, mulai dari saat-saat sulit menghadapi kondisi lahan yang tandus, kekeringan dan kelaparan, kemudian berjuang bersama hingga mencapai kondisi lingkungan yang baik, dan perekonomian yang lebih baik. Interaksi yang baik antar petani, dan masih kentalnya hubungan persaudaraan membuat situasi yang aman dalam berusahatani, tidak ada konflik berkaitan dengan batas lahan, hampir tidak ada kasus pencurian di ladang, saling menghormati dan ikut menjaga lahan usaha tetangganya dengan menjaga jarak tanam di perbatasan lahannya. Di Wonogiri masih berlaku budaya “kentongan” dimana masyarakat saling mengingatkan dengan membunyikan kentongan bila ada bahaya seperti bencana alam, kematian dan pertemuan sesama warga. Interaksi antar petani yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, sebagai contoh di Desa Selopuro Kec. Batuwarno, Wonogiri, petani saling memberikan informasi mengenai jenis pohon yang diyakini bisa lebih menguntungkan dibandingkan dengan mahoni, yang selama ini mereka budidayakan. Pada saat penelitian dilakukan ada keinginan petani untuk menggantikan tanaman mahoni dengan tanaman lain yaitu sengon laut (Paraserianthes falcataria). Beberapa petani secara sengaja mencoba menanam terlebih dahulu, kemudian menceritakan kepada petani lainnya, baik mengenai harga bibit, pertumbuhannya, keunggulan dan keuntungannya menanam jenis ini.
141
Khusus Desa Kedungkeris, di Kabupaten Gunung Kidul, telah menjadi tempat berkumpul dan belajarnya petani dari luar daerah, bahkan luar negeri. Sarana ini bukan saja berguna bagi petani tamu, tetapi juga bagi petani pengelola hutan rakyat di Gunung Kidul karena mendapat tambahan pengetahuan dalam pengembangan hutan rakyat. Interaksi antara Petani dan Kelompok Tani Terdapat perbedaan nyata antara interaksi petani hutan rakyat sertifikasi dengan kelompok tani di kedua lokasi penelitian. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai interaksi dengan kelompok tani termasuk kategori ”sedang” dengan skor rataan 57, sedangkan petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai ”rendah” dengan skor rataan 49. Perbedaan penilaian tersebut antara lain disebabkan oleh eksistensi kelompok tani di Gunung Kidul, khususnya di Desa Dengok, Kec. Playen dan Desa Girisekar, Kec.Panggang yang relatif masih baru dibentuk yaitu pada tahun 2004 dan 2006. Kelompok-kelompok tani tersebut masih berjalan cukup baik, apalagi sampai dengan saat ini kegiatan pendampingan dari PKHR masih terus berlanjut, terutama berkaitan dengan pilot project RBUMHRL. Frekuensi dan intensitas pertemuan dengan kelompok tani masih cukup baik berjalan di Gunung Kidul. Walaupun ada juga kelompok tani di yang tidak berjalan baik, seperti kelompok tani ”Sekar Eko Jati”
di Dusun
Blimbing, Desa Giri Sekar, Kec. Panggang. Kelompok tani tidak berjalan dengan baik sehingga interaksi petani dengan kelompok tani rendah. Pada sisi lain, rendahnya interaksi petani hutan rakyat sertifikasi dengan kelompok tani di Wonogiri akibat adanya permasalahan di Wonogiri, berkaitan dengan kekecewaan anggota terhadap kepengurusan terutama FKPS. Walaupun bukan terhadap kelompok tani langsung, namun FKPS merupakan wadah paguyuban kelompok tani yang seharusnya menaungi kelompok tani. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, belum ada upaya untuk menyelesaikannya. Ditambah lagi dengan tidak adanya atau sangat terbatasnya penyuluh dan tidak adanya lagi tenaga pendamping di Wonogiri menyebabkan kelompok tani tidak berjalan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kegiatan kelompok tani di Wonogiri yang berkaitan dengan hutan rakyat hampir tidak ada lagi. Selain karena kekecewaan terhadap lembaga pendamping,
142
juga karena kekecewaan terhadap kepengurusan FKPS yang tidak menurut penilaian mereka bertindak tidak terbuka dan tidak adil. Dengan demikian di Wonogiri, frekuensi dan intensitas anggota bertemu dengan pengurus atau anggota lainnya dalam kelompok menjadi sangat kurang. Pertemuan kelompok lebih banyak digunakan untuk arisan simpan pinjam, dan kurang sekali digunakan untuk wadah pembelajaran bersama oleh masyarakat. Akibatnya tidak banyak manfaat yang bisa didapatkan oleh anggota dari interaksi dengan kelompok tani. Interaksi antara Petani dengan Materi Pembelajaran Interaksi petani dengan materi belajar di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, dimana Gunung Kidul tergolong ”sedang” dengan skor rataan 51, sedangkan di Wonogiri tergolong ”rendah” dengan nilai skor rataan yang kecil yaitu 24. Adanya perbedaan yang cukup mencolok ini berkaitan juga dengan keberadaan kelompok tani di Wonogiri yang sudah tidak terlalu aktif menjadi tempat pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari. Walaupun pada saat pendampingan sertifikasi sebenarnya ada cukup banyak materi pembelajaran yang dapat diambil oleh beberapa orang petani yang mengikuti kegiatan pemetaan partisipatif, inventaris tegakan pohon dan lainnya. Interaksi petani dengan materi belajar di Gunung Kidul cukup baik, walaupun kesempatan berinteraksi tersebut tidak merata karena lebih banyak kesempatan yang diperoleh pengurus kelompok tani dan tokoh masyarakat. Berkaitan dengan HRL, materi belajar yang didapatkan petani ialah pemetaan partisipatif, inventarisasi tegakan pohon, dan perencanaan pengelolaan hutan rakyat. Sebagian besar materi merupakan ’given’ dari lembaga pendukung pendampingan. Namun ada beberapa materi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan petani, misalnya petani di Desa Dengok, menghadapi permasalahan kesulitan pupuk karena harga yang sangat mahal. Oleh karena itu, mereka sangat menginginkan materi pembelajaran mengenai pembuatan pupuk organik, yang berasal dari bahan-bahan lokal. Berdasarkan keinginan dan kebutuhan tersebut pendamping memfasilitasi pelatihan, kemudian membuat demplot, bahkan mendampingi petani melakukan studi banding ke pengelolaan pertanian organik
143
di Kaliurang. Desa Dengok, memang masih memiliki lahan datar yang cukup luas untuk pengembangan tanaman pertanian. Sebenarnya petani di Wonogiri menginginkan materi pembelajaran berkaitan
dengan
permasalahan
mereka,
khususnya
untuk
menghindari
penebangan kayu yang belum cukup besar karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka berharap mendapatkan materi pembelajaran mengenai pengolahan kayu pasca panen, budidaya ikan menggunakan terpal dan lainnya. Namun, keinginan tersebut kurang mendapat perhatian lembaga pendukung. Mereka tetap mendapatkan pelatihan yang melibatkan 2-3 orang pengurus, namun dengan materi pengolahan limbah kayu, yang berlainan dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dengan bahasa mereka, mereka berkeluh kesah mengenai usaha pengolahan limbah kayu yang dioperasikan di Desa Selopuro : ” Masalah besar harga jual kayu justru tidak ditangani, diperhatikan dan diperjuangkan dengan baik, masalah yang kecil-kecil dan tidak berharga, seperti ”sampahsampah” malah diurusin….” Interaksi dengan materi belajar ini akan sangat banyak manfaatnya bila sesuai
dengan
kebutuhan
petani
dan
dapat
membantu
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, nilai manfaat intensitas dengan materi belajar, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri petani masih belum cukup besar karena belum sesuai dengan kebutuhan dan penyelesaian masalah yang mereka hadapi khususnya berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari.
Interaksi Petani dengan Lingkungan Belajar Interaksi petani dengan lingkungan belajar di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori ”rendah” dengan skor rataan 49 dan 38. Petani sedikit memiliki akses untuk berinteraksi dengan lingkungan belajar, yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Lingkungan belajar dalam hal ini hal-hal yang mendukung proses belajar Hutan Rakyat Lestari, baik sarana prasarana, institusi yang mendukung proses belajar dan lainnya. Sebenarnya sudah dibuat demplot untuk percontohan di Gunung Kidul, yaitu Koperasi Wana Manunggal Lestari yang mewadahi petani sertifikasi di Gunung Kidul. Tetapi
144
aksesnya sangat terbatas, karena letaknya di Desa Dengok, sehingga sulit bagi petani dari Desa Kedungkeris maupun Desa Girisekar karena memerlukan waktu kurang lebih 1 jam dengan kendaraan pribadi untuk mencapai demplot tersebut. Transportasi umum yang menghubungkan ketiga desa tersebut tergolong agak sulit, karena tidak tersedia setiap saat, harus menunggu kurang lebih 1 jam untuk mendapatkan kendaraan umum. Demikian juga akses bagi anggota terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan pembelajaran, sangat sulit dijangkau. Misalnya untuk petani di Gunung Kidul akses agak sulit untuk mencapai sekretariat LSM pendamping, atau Dinas Kehutanan atau UGM sedangkan untuk petani di Wonogiri sulit juga untuk dapat mencapai LSM pendamping atau Dinas Kehutanan, yang letaknya di ibukota kabupaten dengan jarak kurang lebih 90 km dari desa. Lingkungan belajar yang paling mudah dijangkau oleh semua petani hanyalah tegalan, pekarangan tempat mereka mengelola lahannya saja. Tanpa adanya introduksi atau pendampingan yang baik, lahan atau pekarangan yang sebenarnya adalah lingkungan belajar yang sangat baik bagi petani, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Padahal sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari interaksi dengan lahan usaha, pekarangan, atau tegalan yang mereka miliki sebagai lingkungan belajar.
Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam mengelola hutan berbeda nyata dengan petani hutan rakyat non sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Perilaku petani sertifikasi tergolong sedang, sedangkan perilaku petani non sertifikasi tergolong rendah. Bila dikaji mendalam ternyata terdapat perbedaan juga antara perilaku kelola hutan petani sertifikasi maupun perilaku petani non sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Pada petani sertifikasi, aspek produksi dan ekologi di Gunung Kidul dan Wonogiri masuk dalam kategori yang sama, yaitu “sedang”. Tetapi pada aspek sosial, perilaku petani Gunung Kidul tergolong “tinggi” sedangkan di Wonogiri termasuk “sedang”. Perilaku petani non sertifikasi di Gunung Kidul tergolong ”sedang” pada aspek sosial dan ekologi, sedangkan di Wonogiri tergolong ”rendah” pada semua aspeknya.
145
Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul ”tinggi” pada aspek sosial, hal ini sangat berkaitan dengan budaya yang berkembang di masyarakat, seperti budaya sambatan, kepercayaan satu dengan lainnya, dan kapasitas sosial lainnya. Terlebih lagi untuk masyarakat di Dusun Pijenan dan Jeruken, Desa Girisekar, cikal bakal kelompok tani hutan rakyat yang dibentuk berasal dari kelompok shalawatan, sehingga jiwa kebersamaan dan kekeluargaan telah tertanam. Dengan demikian tidak menyulitkan pengembangan nilai-nilai sosial yang merupakan salah satu persyaratan sertifikasi dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Di sisi lain, hutan rakyat sebagian besar dibudidayakan di lahan milik masyarakat dengan batasan yang jelas, sehingga hampir tidak ada konflik yang terjadi berkaitan dengan batasan lahan milik. Tabel 27. Perilaku Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri Ditinjau dari Aspek Ekonomi, Ekologi dan Sosial
No 1
Perilaku Petani Aspek Produksi
Kategori
Aspek ekologi
14
27
20
56
97
77
Sedang
63
60
62
27
3
15
Tinggi
23
13
18
27
0
8
65
60
63
49
30
40
Rendah
16
42
29
53
97
75
Sedang
63
42
52
30
3
17
Tinggi
21
16
18
17
0
8
64
56
60
51
29
40
Rendah
2
13
7
23
97
60
Sedang
26
39
33
47
3
25
Tinggi
72
48
60
30
0
15
80
71
75
66
35
50
Skor Rataan 3
Aspek sosial
Skor Rataan
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Rendah
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Tabel 28 menunjukkan bahwa perilaku petani hutan rakyat sertifikasi baik Gunung Kidul maupun Wonogiri lebih baik (rataan skor lebih tinggi) pada aspek produksi dibandingkan aspek ekologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, ditinjau dari sejarah pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri, hutan rakyat awal mulanya dikembangkan lebih untuk mengatasi masalah lahan kritis di wilayah tersebut. Namun seiring dengan berjalannya
146
waktu, setelah kayu-kayu dapat ditebang dan masyarakat telah menikmati hasil yang cukup besar dari penjualan kayu-kayu tersebut, tujuan mereka mengelola hutan rakyat sudah bergeser lebih kepada kebutuhan ekonomi (produksi). Bagi mereka hutan rakyat adalah tabungan sekaligus sumber pendapatan harian bagi mereka. Keberadaan hutan rakyat bagi mereka lebih dipandang sebagai entitas ekonomi dibandingkan dengan entitas konservasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Awang et.al (2002) yang menyebutkan bahwa kesadaran menanam tanaman kayu
sudah
tinggi
meskipun bukan karena
alasan
konservasi atau pertimbangan kelestarian lingkungan. Pertimbangan kayu jati laku dijual tampak lebih berperan. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan awal berkembangnya tanaman jati sekitar tahun 1950, pohon ditanam dengan maksud untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem kehidupan. Meskipun perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat belum mengacu pada aspek-aspek manajemen hutan, tetapi perilaku petani hutan rakyat dalam menjaga kelestarian sudah terbukti dan sangat mendukung nilai ekonomi, ekologi dan sosial. Konsep kelestarian yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat sangat sederhana, yaitu adanya kewajiban penanaman kembali setelah dilakukan penebangan pohon, selain itu penanaman dilakukan kapan saja meskipun tidak dilakukan penebangan. Adanya kearifan lokal petani hutan rakyat tersebut di atas, dan juga adanya konsep ”tebang butuh” menyelamatkan kondisi hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani hutan rakyat betul-betul menyadari apa yang akan terjadi jika mereka menebang terlalu banyak. Selain itu adanya modal sosial masyarakat Gunung Kidul dengan ”budaya jati” yang sulit dihilangkan dalam kultur mereka,
menyebabkan kelestarian produksi terjamin. Menurut PKHR
(2008) kemampuan produksi hutan rakyat di Gunung Kidul 34-40 m³ per hektar tetapi baru ditebang 16 m³ per hektar, sehingga masih ada potensi yang bisa dimanfaatkan sekitar 24 m³. Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam aspek ekologi baik di kedua lokasi penelitian tergolong paling rendah, walaupun masih termasuk ke dalam kategori “sedang”. Petani hutan rakyat sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, belum menyadari pentingnya menjaga hutan sebagai suatu ekosistem. Mereka belum menyadari pentingnya menjaga kelestarian jenis, kelestarian fauna
147
dan flora yang terdapat di hutan rakyat. Fokus mereka hanyalah pada tanaman kayu, yang dapat tumbuh tanpa pemeliharaan yang intensif, dan tanaman pangan sebagai sumber pangan mereka sehari-hari. Masyarakat baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih belum menyadari dan belum memiliki kepedulian menjaga kelestarian flora dan fauna yang ada di lahan hutan rakyat yang dikelolanya. Mereka berpendapat : “hanya buang-buang waktu saja mengurusi dan memperhatikan kehidupan fauna dan flora di lahan”.
Ranah Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat, dapat dikaji lebih dalam dengan membandingkan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam aspek produksi, ekologi dan sosial. Bila dikaji lebih dalam, terdapat perbedaan pengetahuan petani hutan rakyat sertifikasi dalam pengelolaan hutan dari aspek produksi, ekologi dan sosial. Terdapat perbedaan nyata antara pengetahuan petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Pengetahuan petani sertifikasi dalam ketiga aspek tergolong ”sedang” dan ”tinggi” sedangkan pengetahuan petani non sertifikasi pada aspek sosial ”sedang” tetapi pada aspek produksi dan ekologi tergolong ”rendah”. Tetapi yang menarik adalah terdapat persamaan antara petani sertifikasi dan non sertifikasi yaitu dari ketiga aspek Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), pengetahuan tentang aspek sosial mendapatkan nilai lebih baik dibandingkan aspek produksi dan aspek ekologi. Pengetahuan masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri berkaitan dengan aspek produksi ini belum banyak, belum ada kesadaran akan pentingnya menjaga mutu dan kualitas kayu, sehingga perlu dipelihara dengan baik untuk dapat bersaing. Ini juga yang jadi kelemahan, bahwa oleh pedagang lokal, tidak terlihat perbedaan kualitas kayu sertifikasi dengan kayu non sertifikasi tetapi harga lebih mahal. Dengan demikian pedagang lokal mencari yang lebih murah. Pengetahuan dalam bidang ekologi lebih banyak dibangun berdasarkan pengalaman yang mereka alami, masih terbatas pada fungsi kayu dalam menyerap air. Sebagai contoh di Kelompok Tani Pagersengon, akasia ditebang karena menurut
pengalaman
mereka,
dengan
budidaya
tanaman
akasia
yang
dikembangkan pada saat proyek penghijauan, sumber mata air menjadi kering,
148
tetapi setelah aksia ditebang dan diganti dengan kayu jati, sumber mata air muncul dan tidak kering. Pengetahuan lokal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat lebih menyukai tanaman jati. Aspek ekologi lainnya yang berasal dari kearifan lokal ialah dalam bidang konservasi tanah. Masyarakat dengan pengalaman di masa lalu telah membuktikan bahwa dengan adanya tanaman keras, maka lahan yang gersang berangsur-angsur subur kembali. Dari pengalaman, mereka telah belajar bahwa dengan menanam tanaman keras di lahan kritis, maka perakaran tanaman keras dapat membelah lapisan batu kapur, dan daun-daunan tanaman keras yang gugur dan membusuk di atas tanah dapat menjadi kompos yang menyuburkan tanah. Mereka juga telah mengembangkan terasering, dengan memanfaatkan batu-batuan yang banyak tersedia di lahan untuk dijadikan teras bangku. Dari pengalaman mereka dapat pengetahuan bahwa terasering dengan batu-batuan dapat mengurangi erosi tanah. Pengetahuan mereka tentang konservasi tanah juga berkembang dengan adanya proyek penghijauan yang memperkenalkan hijauan makanan ternak (HMT) sebagai tanaman teras, dan tanaman lamtoro untuk menyuburkan tanah. Tabel 28. Perbandingan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No
Pengetahuan Petani
1
Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial
Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 33 42 38 45 46 35 22 12 17 57 60 55 33 46 40 30 33 31 37 21 29 61 66 57 10 12 11 22 33 27 68 55 62 83 86 81
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 30 93 62 47 7 27 23 0 12 39 61 18 63 90 77 17 10 13 20 0 10 37 51 23 7 97 52 23 3 13 70 0 35 56 76 35
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
149
Dalam aspek ekologi, bila mengikuti persyaratan yang menjadi indikator PHBML, terdapat indikator mengenai konservasi flora dan fauna. Baik masyarakat di kedua lokasi penelitian, pada kenyataaan belum banyak mengetahui tentang pentingnya konservasi flora dan fauna. Mereka belum menyadari dan belum memiliki kepekaan terhadap pentingnya konservasi fauna dan flora. Petani hutan rakyat sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul,
sudah
mendapatkan pengetahuan mengenai penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat, inventarisasi hutan, mengatur hasil tebangan dan lainnya dari para pendamping, tetapi tidak semua mendapatkan pengetahuan ini, hanya pengurus yang mengikuti pelatihan. Sayangnya pengetahuan yang didapatkan oleh pengurus
dari
pelatihan
tersebut
sangat
jarang
bahkan
tidak
pernah
disosialisasikan kepada anggota. Dengan demikian pengetahuan petani hutan rakyat sebagian besar merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman mereka sendiri atau pengalaman nenek moyang, yang diwariskan turun temurun.
Ranah Afektif Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Sikap petani dalam pengelolaan hutan rakyat, khususnya di Gunung Kidul, tergolong “tinggi” ditinjau dari aspek produksi dan aspek sosial tetapi “sedang” untuk aspek ekologi. Sedangkan sikap petani hutan rakyat di Wonogiri “sedang” baik dalam aspek produksi, ekologi dan sosial. Namun untuk aspek sosial mendekati “tinggi”. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sikap “sosial” yang tinggi dalam pengelolaan hutan rakyat sangat ditunjang oleh budaya dan modal sosial masyarakat di kedua lokasi penelitian. Sikap petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari aspek ekologi cenderung lebih rendah daripada aspek lainnya, karena sebagian besar masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri belum mengerti pentingnya keberadaan dan fungsi fauna dan flora yang ada di hutan. Mereka hanya memperhatikan keberadaan kayu dan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis, yang ditanam di lahan mereka saja. Mereka berpendapat tidak ada gunanya dan hanya buang-buang waktu saja memperdulikan dan memperhatikan kehidupan fauna dan flora yang ada di lahan mereka. Bagi mereka yang penting tanaman kayu dan tanaman palawija yang
150
mereka tanam terpelihara dengan baik, mata air tidak menjadi kering, sudah cukup. Tabel 29. Perbandingan Sikap Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No
Sikap petani Hutan Rakyat
1
Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial
Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 2 10 6 39 49 44 59 41 50 73 78 69 12 10 11 50 70 60 38 20 29 66 69 63 0 0 0 20 53 36 80 47 64 78 82 75
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 23 93 58 77 3 40 0 3 2 61 78 44 10 97 53 53 3 28 37 0 18 52 66 38 7 64 35 23 33 28 70 3 37 65 76 54
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Petani hutan rakyat di kedua lokasi penelitian sebenarnya sangat mendukung penebangan sesuai umur untuk menjamin kualitas, dan pengaturan hasil panen, tetapi hal ini sangat sulit diterapkan karena mereka tidak punya alternatif lain yang dapat menggantikan cara penebangan kayu untuk mendapatkan uang cash, sesuai dengan kebutuhannya yang mendesak saat itu. Kelompok tani, pendamping pun tidak mempunyai kewenangan melarang keras petani untuk menebang kayu, karena mereka menanam tanaman kayu-kayuan sebagai tabungan untuk kebutuhan mendesak mereka maupun untuk generasi yang akan datang. Ranah Psikomotorik Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Ternyata sikap dan pengetahuan yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, tidak secara otomatis menghasilkan ketrampilan yang baik pada petani dalam mengelola hutan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul memiliki pengetahuan,
151
sikap yang tergolong “tinggi”, bahkan sangat tinggi dengan skor rataan berkisar nilai 80 pada aspek sosial tetapi dalam ranah ketrampilan ternyata termasuk “sedang” (Tabel 30). Tabel 30. Perbandingan Ketrampilan Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No 1
Ketrampilan Petani Hutan Rakyat Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 23 63 43 62 33 48 15 4 9 51 57 44 33 66 49 56 31 44 11 3 7 50 55 45 10 47 28 50 45 48 40 8 24 60 71 47
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 70 97 83 27 3 15 3 0 2 37 47 27 53 100 77 47 0 23 0 0 0 36 47 26 37 100 68 53 0 27 10 0 5 34 53 15
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul sangat mengetahui dan memahami nilai-nilai sosial, serta mendukung nilai-nilai sosial dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, namun hanya sedikit yang menerapkannya atau mempraktekkannya dalam mengelola hutan rakyat. Mereka lebih sering menjalankan atau mengelola hutan rakyat secara individual, dan jarang sekali melakukannya dalam semangat kebersamaan dalam kelompok. Hal tersebut sangat terlihat nyata di Wonogiri, skor rataan untuk ranah ketrampilan dalam aspek sosial bahkan “rendah”. Khusus di Wonogiri ditemukan adanya konflik internal dan kecemburuan sosial, kurangnya pembinaan dan tidak berlanjutnya pendampingan telah menurunkan semangat dan penerapan nilai-nilai sosial dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Demikian dalam hal pemasaran, yang sebenarnya sangat penting untuk dilakukan secara komunal, akhirnya karena sistem FKPS tidak berjalan dengan baik mereka lebih suka menjual kayu perseorangan. Hal tersebut sejalan
152
dengan penelitian Awang et.al (2007) bahwa selama ini pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat terfokus pada individu keluarga atau belum ada pada tataran aksi kolektif sehingga sering terjadi pemanfaatan hutan rakyat yang di luar kaidah-kaidah kebersamaan dalam menata lingkungan. Rendahnya ketrampilan petani hutan rakyat dalam menerapkan aspek produksi terutama adalah dalam melakukan perencanaan dan metode pengaturan hasil hutan sesuai dengan manajemen kelestarian hutan. Petani hutan rakyat belum
terbiasa
melakukan
perencanaan
penanaman,
pemeliharaan
dan
peningkatan kualitas tegakan yang memadai, perencanaan pengaturan hasil hutan yang menjamin kepastian hasil lestari serta perencanaan pemasaran. Petani hutan rakyat baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih menghadapi permasalahan, terutama berkaitan dengan pemanenan hasil hutan rakyat, baik pada penentuan batas minimum ukuran pohon yang boleh ditebang, maupun dalam mengatasi kebutuhan yang mendesak (tebang butuh) sementara tidak ada kayu yang dapat ditebang pada batas minimum ukuran pohon yang boleh ditebang. Petani hutan rakyat juga belum memiliki posisi tawar yang baik, karena penjualan kayu oleh petani hanya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dan ingin segera mendapatkan uang, sehingga harga jual kayu ditentukan oleh tengkulak.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PEMBELAJARAN PETANI Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari diketahui dari hasil analisis model persamaan struktural sebagaimana pada Gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu : (1) faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani (Y1); dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2).
Chi-Square=340,15, df=347, P-value=0,05934, RMSEA=0.073, CFI=0,98
Gambar 6. Model Lengkap Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Sertifikasi)
152
Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Belajar Petani Hasil analisis SEM menunjukkan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani berturut-turut dari nilai koefisien yang paling besar yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh/Pendamping (X2). Pendekatan pembelajaran (X3) dalam penelitian ini ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Hubungan antara intensitas belajar petani dengan peubah yang mempengaruhinya dapat dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R2 = 0,78 Artinya secara simultan pengaruh keempat peubah tersebut pada intensitas belajar petani sebesar 0,78. Hal ini mempunyai makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut sebesar 78 persen, sedangkan sisanya sebesar 22 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Dengan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 dalam penelitian ini diterima, walaupun tidak semua peubah pada hipotesis 1 diterima. Hipotesis 1 penelitian ini adalah intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dipengaruhi oleh karakteristik petani, kompetensi penyuluh/ pendamping,
pendekatan
pembelajaran,
kelembagaan
masyarakat
dan
kelembagaan pendukung. Satu peubah dalam penelitian ini yaitu pendekatan pembelajaran ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua kabupaten secara keseluruhan tergolong rendah. Rendahnya intensitas belajar petani tersebut disebabkan oleh belum baik faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa intensitas belajar petani yang rendah ini disebabkan oleh lemahnya
lemahnya kelembagaan pendukung pembelajaran petani,
dinamika
kelembagaan
masyarakat,
rendahnya
kompetensi
penyuluh/pendamping, dan konsep diri dan motivasi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) yang tidak maksimal.
153
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Faktor yang menjadi penentu intensitas belajar petani sertifikasi ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Hal tersebut dapat dianalisis dari adanya perbedaan intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul tergolong sedang, sedangkan di Wonogiri tergolong rendah. Perbedaan intensitas belajar petani di kedua lokasi penelitian ternyata dipengaruhi kuat oleh adanya perbedaan kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda khususnya berkaitan dengan keberadaan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari (Pokja HRL), yang merupakan tim kerja khusus yang dibentuk Bupati untuk mengembangkan Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul. Pokja Hutan Rakyat Lestari ini melibatkan berbagai unsur, baik Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Keberadaan Pokja Hutan Rakyat Lestari telah menyebabkan kegiatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dapat berlangsung dengan lebih baik karena melibatkan berbagai pihak yang berperan aktif untuk mencapai tujuan bersama. Pokja HRL bukan saja melibatkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan dari unsur Pemerintah Daerah, tetapi juga Bappeda, yang memberikan dampak yang positif terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Menurut hasil analisis SEM, aspek kelembagaan pendukung yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi ialah dukungan kegiatan dan dukungan personil. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk dukungan atau fasilitasi yang langsung bersentuhan, dirasakan dan dinikmati oleh petani adalah kegiatan pembelajaran dan kehadiran penyuluh/pendamping di desa untuk mendampingi petani dalam mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Dukungan kegiatan dan dukungan personil yang diberikan kelembagaan pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda, sehingga menyebabkan perbedaan intensitas belajar petaninya. Dukungan kegiatan bermanfaat di Gunung Kidul yang difasilitasi lembaga pendukung, sejak adanya pendampingan dari PKHR, Lembaga Arupa, Yayasan Shorea dan Dishutbun (yang tergabung dalam Pokja HRL), cukup banyak. Kegiatan tersebut berupa
154
pelatihan, magang, studi banding bagi para pengurus/anggota kelompok. Selain itu bantuan-bantuan dari berbagai pihak maupun kegiatan kunjungan-kunjungan, termasuk Belajar Antar Petani, Pelatihan petani se-ASEAN yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi (PT), maupun LSM telah meningkatkan aktivitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul. Bahkan sampai pada saat penelitian dilakukan, kegiatan pelatihan masih terus dijalankan. Walaupun kegiatan pendampingan berkaitan dengan proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari telah selesai, tetapi kegiatan pemeliharaan dan pemantapan hasil sertifikasi terus dilakukan. Sementara di Wonogiri dukungan kegiatan oleh lembaga pendukung pembelajaran petani sertifikasi sangat terbatas, bahkan setelah proses sertifikasi selesai, tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan untuk pemantapan Hutan Rakyat Lestari atau yang sudah disertifikasi. Memang ada usaha perbengkelan yang terus dijalankan, hanya tidak dikelola dengan baik dan kurang melibatkan pengurus atau anggota lainnya, sehingga hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. Demikian juga dengan dukungan personil untuk pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Dengan adanya Pokja HRL, terdapat kerja sama yang baik antara personil yang ditempatkan untuk mendampingi pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul, khsususnya di antara pendamping dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi. Walaupun memang diakui sampai dengan saat ini, sekalipun institusi pembina mereka tergabung dalam satu kelompok kerja (POKJA), namun untuk tim yang bertugas langsung mendampingi masyarakat di desa masih belum bersinergi dengan baik, terutama antara LSM, PT dengan penyuluh dari Pemda. Sebagai contoh berkaitan dengan kompetensi penyuluh dan pendamping, khusus pendamping dari PT dan LSM sering diadakan pertemuan, pelatihan dan sharing tentang permasalahan dan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada masyarakat. Penyuluh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul atau saat ini Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) belum terlibat banyak dalam pertemuan tersebut, padahal bila dapat bersinergi dalam pertemuan dan pelatihan ini, akan mempunyai dampak yang sangat baik, karena antara penyuluh dari LSM, Perguruan Tinggi,
155
dan Pemda
dapat saling melengkapi dan berbagi pengalaman dalam
mendampingi masyarakat Gunung Kidul. Aspek kelembagaan pendukung lainnya yang berpotensi terhadap intensitas belajar petani ialah kesamaan nilai hutan antara masyarakat dan Pemerintah. Kesamaan nilai ini menjadi modal utama bagi terjadinya kolaborasi atau kemitraan yang baik antara masyarakat, Pemerintah dan Lembaga lainnya yang berkepentingan dalam Hutan Rakyat Lestari. Adanya Keputusan Bupati tentang pembentukan Pokja HRL maupun peraturan-peraturan daerah lainnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari (seperti Perda Hutan Rakyat Lestari yang pada saat penelitian belum tersusun, masih dilakukan perumusan bersama oleh Pokja HRL) sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan pembelajaran masyarakat mengenai Hutan Rakyat Lestari. Dukungan
anggaran
yang
diberikan
oleh
lembaga
pendukung
pembelajaran juga merupakan aspek kelembagaan pendukung pembelajaran yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Dengan adanya Pokja di Gunung Kidul, maka anggaran untuk kegiatan Hutan Rakyat Lestari termasuk di dalamnya pembelajaran masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Sebagai contoh, keterlibatan PKHR UGM dalam pendampingan pembelajaran masyarakat Gunung Kidul tentang Hutan Rakyat Lestari secara tidak langsung menarik dukungan pendanaan dari donor PKHR, dalam hal ini Ford Foundation. Dengan demikian pendanaan sertifikasi hutan rakyat/Hutan Rakyat Lestari tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemda, dalam hal ini Dinas Kehutanan sebagai instansi pembina teknis, saja, tetapi merupakan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Kelembagaan Masyarakat Hampir semua aspek kelembagaan masyarakat di kedua kabupaten termasuk kategori sedang, tetapi kelembagaan masyarakat mempunyai pengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Lembaga informal dalam masyarakat seperti arisan, sampai dengan saat ini berjalan baik di Gunung Kidul maupun di Wonogiri. Lembaga ini berlangsung cukup lama dan cukup diminati oleh warga. Petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri mengakui bahwa
156
arisan menjadi lembaga yang mempunyai peranan dalam pembelajaran petani. Wadah ini bila ditinjau dari segi ekonomi/keuangan tidak terlalu besar manfaatnya, karena mereka hanya mengumpulkan Rp. 1000-2000/bulan. Tetapi wadah ini menjadi daya tarik bagi petani untuk berkumpul, bersosialisasi dan saling tukar menukar informasi dan hiburan petani setelah seharian bekerja di ladang. Salah satu contoh di Desa Kedungkeris, Gunung Kidul dimana peneliti mendapatkan kesempatan untuk menghadirinya, terdapat suasana kekeluargaan dan akrab, walaupun tidak secara langsung menjadi wadah untuk pembelajaran masyarakat, khususnya melalui interaksi antar petani. Organisasi formal lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, FKPS (di Wonogiri), Koperasi Wana Manunggal Lestari (di Gunung Kidul) dan lainnya diakui juga berperan, tetapi sebagian besar petani mengakui bahwa peranan organisasi formal tersebut dalam pembelajaran petani berada di bawah urutan setelah arisan. Artinya organisasi formal tersebut belum dapat sepenuhnya berperan sebagai wadah pembelajaran yang paling efektif bagi petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Dari hasil analisis SEM, diperoleh hasil bahwa aspek kelembagaaan masyarakat yang paling berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah norma/nilai,
kemudian
diikuti
dengan
aspek
kesamaan
tujuan,
dan
kepemimpinan. Norma atau nilai-nilai yang diyakini dan dijalankan oleh masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri memberikan pengaruh yang baik terhadap intensitas belajar petani sertifikasi. Beberapa contoh nilai-nilai dalam masyarakat yang mendukung intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari ialah kepercayaan kepada pemimpin/pemerintah, aturan tentang kewajiban melakukan penanaman setelah penebangan, gotong royong/sambatan, dan nilai hidup/budaya kerja keras. Petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul sangat mempercayai pemerintah dan pemimpinnya. Hal ini terbukti, ketika sertifikasi Hutan Rakyat Lestari belum menampakkan hasil yang diharapkan yaitu kenaikan harga jual kayu (premium price) mereka mengaku kecewa tetapi tidak mempersalahkan pemimpin atau pemerintah yang telah mengenalkan dan
157
membawa mereka untuk memperoleh sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Mereka tetap percaya bahwa pemerintah selalu berniat baik untuk memajukan masyarakatnya.
Kepercayaan masyarakat Gunung Kidul terhadap pemerintah
merupakan kapital sosial yang potensial dalam pengembangan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul. Hal ini ditegaskan oleh Fukuyama (1995), yang diacu dalam Field (2010). Menurut Fukuyama kepercayaan adalah unsur dasar kapital sosial. Kapital sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan abadi di tengah-tengah masyarakat atau pada bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial, komunitas bergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan. Field (2010) menegaskan bahwa jaringan dengan kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan rendah. Hal ini terbukti di Forum Komunitas Petani Sertifikasi di Wonogiri, jaringan tidak berfungsi dengan baik karena petani tidak mempercayai pengurus FKPS. Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, terdapat norma atau aturanaturan tidak tertulis berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari, yang masih dipegang oleh masyarakat dan diwariskan secara turun temurun baik. Misalnya kewajiban menanam, dan memelihara pohon yang ditanam, tidak lama setelah menebang di lahannya. Wajib tanam berbeda dalam hal jumlahnya, baik antar dusun maupun desa di Kabupaten Wonogiri dan Gunung Kidul. Norma ini bahkan di beberapa kelompok sudah menjadi aturan tertulis yang dituangkan dalam AD/ART Kelompok tani. Norma dan aturan tidak tertulis, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri, juga merupakan kapital sosial, yang tidak dapat dipisahkan dengan jaringan dan kepercayaan. Menurut Fukuyama (1999), yang diacu dalam Field (2010), norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan secara berulang-ulang. Budaya gotong royong juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi. Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Desa Selopuro dan Sumberejo Wonogiri memulai kegiatan hutan rakyat dengan gotong royong melakukan penanaman sekitar tahun 1970. Budaya gotong royong sudah mengakar pada masyarakat Gunung Kidul maupun Wonogiri, sehingga tidak sulit
158
bagi masyarakat untuk mempelajari dan memiliki sikap positif terhadap Hutan Rakyat Lestari khususnya dalam aspek sosial. Walaupun dalam penerapannya, masih sulit bagi masyarakat untuk bekerja sama dan masih banyak mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara individual. Masyarakat masih belum terbiasa berorganisasi secara formal, sehingga sulit bagi masyarakat untuk dapat mengelola kelompok tani sebagai kelompok formal. Apalagi bila kelompok itu memang sengaja dibentuk oleh lembaga eksternal pendukung pembelajaran untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan sertifikat ekolabel tanpa adanya
kesadaran dan kebutuhan masyarakat untuk membentuknya. Sebagai contoh, salah satu kelompok tani di Desa Girisekar yaitu Kelompok Sekar Eko Jati, yang pada saat penelitian dilakukan sudah ”mati”, karena memang kelompok ini dibentuk pada pertengahan proses sertifikasi di Gunung Kidul tanpa adanya sosialisasi dan pendekatan, hanya untuk memenuhi persyaratan luasan Hutan Rakyat Lestari. Sebaliknya Kelompok Tani Percabaan di Wonogiri, yang tumbuh sekitar tahun 1970 secara swadaya karena kebutuhan masyarakat sendiri, yang pada saat itu sedang giat-giatnya bergotong royong melakukan penanaman di dusun Jarak. Sampai dengan saat ini kelompok tersebut masih berjalan dengan baik, walaupun memang belum dapat mengikuti dinamika organisasi modern seperti yang diharapkan, dengan adanya pembagian tugas yang baik dan keterkaitan antar bagian dalam menjalankan organisasi. Kesesuaian tujuan organisasi kemasyarakatan dengan tujuan anggota, menjadi indikator yang cukup kuat merefleksikan kelembagaan masyarakat, yang mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Kesesuaian tujuan ini penting bagi kelangsungan organisasi dan partisipasi anggota dalam mempertahankan organisasi tersebut. Bila kesesuaian tujuan ini tidak tercapai, organisasi tersebut cenderung akan sulit berkembang, bahkan seringkali ”mati”. Pada penelitian ini ditemukan beberapa bukti yang menguatkan pernyataan ini. Berkaitan dengan persyaratan sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), ada ketentuan mengenai keberadaan organisasi atau kelembagaan masyarakat yang menyokong manajemen Hutan Rakyat Lestari. Sehingga untuk keperluan tersebut maka dibentuklah Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML) di Gunung Kidul, Forum Komunitas Petani
159
Sertifikasi (FKPS) dan Tempat Pengelolaan Kayu Sertifikasi (TPKS), serta kelompok tani di beberapa desa yang memang belum ada kelompok tani, seperti di Dusun Belimbing, Desa Girisekar, Gunung Kidul. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk lebih kepada kepentingan perolehan sertifikat tanpa didahului dengan proses penyadaran, sosialisasi dan pembentukan kesepahaman mengenai visi, misi dan tujuan organisasi, sehingga akhirnya masyarakat tidak merasa bahwa dirinya sebagai bagian dari organisasi dan merasa perlu untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasi tersebut. Oleh karenanya maka kelangsungan dan dinamika kelompok atau organisasi tersebut perlahan-lahan memudar, kritis bahkan mati. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, tidak seperti organisasi-organisasi lainnya yang disebutkan di atas, saat ini masih terus berjalan dan diupayakan pengembangannya.
Pendampingan terhadap koperasi sampai
dengan saat ini masih terus dilakukan oleh LSM Shorea. Belum banyak manfaat yang telah didapatkan anggota, tetapi sedikit banyak telah menjadi wadah pembelajaran masyarakat juga dalam mengembangkan usaha Hutan Rakyat Lestari. Koperasi yang letaknya di Desa Dengok, menyulitkan komunikasi dan pengembangannya, mungkin ke depan perlu lebih disederhanakan, dan dibentuk unit-unit keuangan yang lebih sederhana di desa atau kecamatan sebagai cabang dari koperasi tk kabupaten. Kepemimpinan merupakan aspek kelembagaan masyarakat yang cukup potensial mempengaruhi intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari. Kepemimpinan di kedua kabupaten cukup berpengaruh untuk kelangsungan dan dinamika kelompok tani. Sebagian besar ketua kelompok Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) adalah kepala dusun, yang merupakan kepercayaan masyarakat dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian segi positif dari ketua kelompok yang merangkap kepala dusun ialah dinamika kelompok cukup terjaga, apalagi dengan kepala dusun yang juga menjadi ketua Gabungan Kelompok Tani Pertanian (Gapoktan) ataupun Ketua Tani Nasional Andalan (KTNA). Kelompok yang dikepalai oleh tokoh-tokoh ini relatif lebih maju, karena luasnya jaringan informasi maupun anggaran yang dapat diakses oleh ketua memberi dampak
160
positif bukan saja pada dusun tetapi juga kepada kelompok tani yang dipimpinnya. Aspek-aspek kelembagaan masyarakat lainnya seperti sanksi, keterkaitan antar bagian, toleransi juga mempengaruhi intensitas belajar petani sertifikasi tetapi tidak sama potensinya dengan ketiga aspek di atas. Sanksi, baik di Wonogiri dan Gunung Kidul belum dilaksanakan dengan baik. Penerapan sanksi, sangat jarang dilakukan, tidak ada orang yang ditunjuk untuk menjadi ”penegak hukum atau sanksi’ bila aturan tidak dijalankan oleh masyarakat. Menurut mereka, selama ini jarang sekali sanksi diterapkan, karena jarang juga masyarakat yang melakukan pelanggaran, khususnya berkaitan dengan kewajiban tanam dan pelihara setelah penebangan, menurut mereka menanam sudah menjadi budaya mereka sehingga dengan kesadaran sendiri mereka akan melakukan penanaman, bahkan dalam jumlah melebihi dari aturan yang ada. Bila sanksi dapat diterapkan dengan baik, maka kelembagaan masyarakat di kedua lokasi penelitian menjadi lebih baik lagi dalam mendukung intensitas pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Toleransi masyarakat terhadap nilai-nilai baru di kedua lokasi penelitian tidak sulit. Khususnya di Gunung Kidul, mereka sangat terbuka apalagi bila inovasi atau nilai baru diperkenalkan oleh pemerintah. Mereka percaya bahwa tidak mungkin Pemerintah akan menyengsarakan rakyatnya. Hal tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa atau ”kraton/kerajaan”
dengan sistem
pemerintahan kesultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Demikian juga dengan diperkenalkannya Hutan Rakyat Lestari kepada masyarakat. Mereka menyambut baik, dan tidak merasa kecewa bila sampai dengan saat ini belum mencapai hasil yang mereka harapkan yaitu tingginya harga kayu sertifikasi.
Karakteristik Petani Dilihat dari koefisien regresinya, pengaruh peubah karakteristik petani terhadap intensitas belajar adalah sama kuatnya dengan pengaruh kelembagaan masyarakat. Aspek karakteristik petani dalam penelitian yang secara nyata berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani secara berturut-turut dari yang paling besar potensinya yaitu konsep diri petani, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
161
Konsep diri yang positif sangat berpengaruh terhadap proses belajar seseorang. Konsep diri dapat dibentuk dari pengalaman seseorang. Konsep diri terhadap Hutan Rakyat Lestari petani sertifikasi di Gunung Kidul positif, sehingga berpengaruh terhadap intensitas belajar di Gunung Kidul yang cenderung sedang. Sementara konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri cenderung negatif terutama disebabkan oleh kekecewaan terhadap LSM pendamping, dan pengurus FKPS sehingga membentuk konsep diri yang negatif terhadap Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif ini juga berpengaruh terhadap intensitas belajar petani di Wonogiri yang cenderung rendah. Motivasi ekstrinsik sangat berkaitan dengan dukungan dari kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki motivasi ekstrinsik yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani sertifikasi di Wonogiri. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul lebih banyak melibatkan institusi dari berbagai unsur dan solid, tergabung dalam Pokja dengan kegiatan yang berkelanjutan, bahkan setelah sertifikat diperoleh. Sementara di Wonogiri kelembagaan pendukung pembelajaran hanya melibatkan satu unsur saja yaitu LSM (tidak ada PT maupun Pemda) dan kegiatan tidak berkelanjutan sehingga motivasi ekstrinsik petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) kurang berkembang. Motivasi intrinsik petani baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari adalah tinggi, terlebih lagi di Gunung Kidul, sekalipun pada lokasi non sertifikasi, motivasi intrinsik petani terhadap hutan rakyat tinggi. Untuk masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri mengembangkan hutan rakyat, yang secara sederhana dilaksanakan dengan menanam pohon, sudah dilakukan dengan kesadaran yang tinggi, bahkan sudah membudaya. Pengalaman keberhasilan mengembangkan hutan rakyat dan manfaat yang sudah dirasakan oleh masyarakat petani, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul mendorong mereka untuk terus mau mengembangkan hutan rakyat. Pengalaman inilah yang membentuk motivasi intrinsik yang tinggi pada petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deci dan Ryan (1985), diacu dalam Tan et. al (2001) dimana murid-murid
162
yang memiliki motivasi intrinsik mencapai hasil yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya memiliki motivasi ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan Soedijanto (1994) dan Suparno (2001). Soedijanto (1994) menyatakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar maka ia telah memiliki perasaaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang.
Sebaliknya
seseorang
yang
pernah
memiliki
pengalaman
mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk berhasil. Suparno (2001) mengemukakan bahwa untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang. Sejalan dengan ini Marzano (1992) juga mengungkapkan bahwa belajar akan efektif jika melalui lima dimensi belajar, diantaranya adalah memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar.
Kompetensi Penyuluh Penilaian kompetensi penyuluh dan pendamping oleh petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara umum cenderung rendah, walaupun terdapat perbedaan nyata antara penilaian petani di kedua lokasi penelitian. Petani di Gunung Kidul menilai kompetensi petani cenderung sedang, sedangkan di Wonogiri cenderung rendah. Walaupun secara umum kompetensi petani bernilai rendah, tetapi secara nyata kompetensi penyuluh mempengaruhi intensitas pembelajaran petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa aspek kompetensi penyuluh yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani ialah kemampuan penyuluh dalam: (1) menganalisis permasalahan; (2) meningkatkan kapasitas petani; dan (3) mengembangkan wawasan teknis petani. Intensitas pertemuan petani dengan penyuluh yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan
163
penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, khususnya pendampingan dalam proses sertifikasi Ekolabel, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul berpendapat bahwa kompetensi penyuluh atau pendamping dalam menganalisis permasalahan nyata yang dihadapi petani, dapat ditingkatkan bila penyuluh atau pendamping tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya. Petani sertifikasi di Dusun Pijenan dan Jeruken, Desa Giri Sekar, Gunung Kidul mengungkapkan pengalaman mereka didampingi oleh pendamping dari LSM Shorea, yang tinggal bersama dengan masyarakat. Dengan kebersamaan hidup dengan petani sertifikasi, baik dalam kegiatan formal maupun informal, pendamping
dapat
merasakan dan meningkatkan ”empati” sehingga dapat mendalami permasalahan sesungguhnya yang dirasakan oleh petani. Bagi petani sertifikasi, penyuluh dan pendamping yang mau dan dapat tinggal bersama dengan masyarakat yang didampingi menjadi harapan untuk dapat meningkatkan intensitas pembelajaran mereka. Peningkatan kapasitas petani merupakan aspek kompetensi penyuluh yang dinilai cukup berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani HRL. Peningkatan kapasitas petani, khususnya di Gunung Kidul, selain berkaitan dengan pengelolaan atau manajemen usaha maupun kelompok, juga berkaitan dengan kemampuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, termasuk penanganan pasca panen. Peningkatan kapasitas petani tidak dapat dilakukan hanya dengan pertemuan atau diskusi selama satu sampai dua jam saja. Peningkatan kapasitas petani memerlukan frekuensi dan interaksi yang lebih banyak, baik dengan penyuluh, materi belajar maupun lingkungan belajar. Sebagai contoh: peningkatan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan baik dengan pelatihan, magang maupun studi banding, menghasilkan interaksi yang lebih baik antara petani dengan penyuluh, maupun petani dengan materi dan lingkungan belajar. Dengan demikian untuk pengembangan intensitas belajar petani sertifikasi di masa mendatang perlu lebih difokuskan pada kegiatan-
164
kegiatan untuk meningkatkan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi penyuluh dalam mengembangkan atau meningkatkan wawasan teknis kehutanan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dinilai masih kurang oleh petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri. Petani sertifikasi, khususnya di Wonogiri mendapatkan pembelajaran mengenai budidaya tanaman kayu-kayuan lebih banyak secara turun menurun (informal), dan tanpa melalui pembelajaran formal ataupun nonformal lainnya. Salah satu kelemahan pendamping di Wonogiri adalah kurangnya tenaga teknis yang berkaitan dengan teknis kehutanan, karena sebagian besar pendamping dari LSM PERSEPSI bukan berlatar belakang pendidikan kehutanan. Sementara pendamping di Gunung Kidul, berlatar belakang pendidikan kehutanan, tetapi kelemahanannya adalah kurang mengakomodir pengetahuan lokal masyarakat. Hal tersebut diakui oleh salah seorang pamong, bahwa sebenarnya mereka sudah tahu cara menghitung tinggi pohon, volume pohon dengan cara dan kearifan masyarakat dan sudah terbukti cukup akurat. Tetapi mereka diajarkan cara lain yang menurut mereka cukup membingungkan dan lebih sulit. Pembelajaran lebih baik bila dapat mengkombinasikan antara pengetahuan teknis dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Pengetahuan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari yang baru, yang dikombinasikan dengan pengetahuan lokal masyarakat, sesuai dengan kebutuhan, mudah dipahami dan diterapkan oleh petani sertifikasi menjadi hal-hal menarik yang dapat meningkatkan intensitas belajar petani. Pentingnya mengakomodir apa yang telah dimiliki oleh masyarakat dalam pengelolaan usaha kehutanan ini sejalan dengan pendapat Darusman (2001) bahwa strategi pengembangan usaha masyarakat akan membuahkan hasil yang baik jika strategi yang diterapkan berprinsip pada apa yang dimiliki masyarakat, apa yang berkembang di masyarakat dan bukan dengan cara mengintroduksikan sesuatu hal yang baru, yang sesungguhnya tidak dikuasai, bahkan tidak disukai oleh masyarakat.
165
Pendekatan pembelajaran Berkaitan dengan pendekatan pembelajaran hal yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap intensitas belajar petani sertifikasi sangat kecil atau bahkan tidak nyata. Artinya pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Hal ini bertentangan dengan banyak pendapat berkaitan dengan proses pembelajaran di antaranya ialah Sumanto (2006), Goodwin (1971), van den Ban (1999) dan Sudjana (2000). Semua pendapat menyatakan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh pendekatan atau metode yang digunakan oleh fasilitator dalam proses belajar. Metode atau pendekatan pembelajaran yang berbeda menghasilkan proses dan hasil belajar yang berbeda pula. Sudjana (2000) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang berpusatkan kepada peserta didik menghasilkan keterlibatan peserta didik yang tinggi, umpan balik lebih akurat, dan proses belajar dapat dilakukan lebih optimal dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang berpusatkan pada pendidik atau fasilitator. Keberhasilan petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam memperoleh sertifikasi Ekolabel ternyata bukan merupakan hasil dari pembelajaran selama proses pendampingan yang berlangsung beberapa tahun. Keberhasilan tersebut lebih merupakan proses belajar mandiri secara arif oleh petani yang telah berlangsung puluhan tahun. Proses belajar masyarakat di kedua lokasi penelitian diawali oleh kesadaran kritis berkaitan dengan permasalahan kesulitan hidup dan kondisi alam yang sangat kritis, dan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Pembelajaran mereka tentang Hutan Rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka. Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Rogers (1969), bahwa peserta didik merupakan pelaku yang aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers mencetuskan teori belajar yang non-direktif dengan menggunakan prinsip “self determination” dan “selfdirections”
dengan
pendekatan
“learner
centered”.
Menurut
Rogers,
pembelajaran memberikan kebebasan yang luas kepada peserta didik untuk
166
menentukan apa yang ingin ia pelajari sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Menurut teori ini, perilaku merupakan perwujudan diri peserta didik melalui upaya mereka dalam mengembangkan dirinya. Adanya perkembangan diri peserta didik memberi kemungkinan kepada mereka
untuk
meningkatkan
kemandirian
dalam
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Pendekatan
pembelajaran
yang
digunakan
oleh
penyuluh
atau
pendamping, terutama di Wonogiri dinilai sangat rendah oleh petani sertifikasi. Mereka bahkan banyak yang mengaku belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh ataupun pendamping. Bahkan ada yang mengaku sampai usia mereka saat ini belum pernah bertemu dengan penyuluh ataupun pendamping. Proses pembelajaran di Gunung Kidul jauh lebih baik, karena lebih sering mendapatkan pendampingan dan pembelajaran dari penyuluh dan pendamping, khususnya di Desa Kedung Keris sehingga pendekatan pembelajaran dinilai sedang oleh petani. Secara keseluruhan, penilaian petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian adalah rendah, dilihat dari nilai skor rataannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas pembelajaran petani. Pendekatan pembelajaran atau pendampingan petani, khususnya berkaitan dengan
Hutan
Rakyat
Lestari,
dilihat
dari
lima
indikator
yang
merepresentasikannya, lebih cenderung menggunakan pendekatan mengajar (teaching) daripada pembelajaran (learning).
Pertama, dalam hal materi
pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping, petani kurang dilibatkan. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan “tebang butuh”. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu.
167
Kedua, metode pembelajaran lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal tertentu tiap bulan. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti
pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan
lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan. Ketiga, model pembelajaran lebih banyak diskusi kelompok, tapi masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Keempat, tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham “trickle down effect”, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik.
Kelima, cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kurang menggunakan experiental learning,
discovery learning, dan cara
pembelajaran andragogi lainnya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (sertifikasi) di kedua lokasi penelitian ternyata masih belum menerapkan empat prinsip pembelajaran orang dewasa yang diperkenalkan oleh Knowles (1979). Keempat prinsip mendasar dalam pendidikan orang dewasa tersebut ialah: (1) Orang dewasa memiliki konsep diri sehingga mampu mengambil keputusan sendiri, memikul tanggung jawab dan menyadari tugas dan perannya. Oleh karenanya perlu diciptakan iklim belajar yang sesuai keadaan orang dewasa dengan melibatkan peserta belajar dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, perencanaan belajar, proses belajar mengajar dan mengevaluasi kemajuan dalam proses belajarnya; (2) orang dewasa memiliki banyak pengalaman, yang membentuk pendapat dan kepribadian orang tersebut. Sehingga dalam pembelajaran perlu dimanfaatkan dan digali kekayaan pengalaman yang dimiliki
168
orang dewasa, proses belajar ditekankan pada aplikasi praktis dan belajar dari pengalamannya; (3) orang dewasa memiliki kesiapan belajar, berdasarkan kebutuhan yang dirasakan; dan (4) orientasi belajar orang dewasa adalah aplikasi belajar langsung dimanfaatkan sehingga materi pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah dan pengalaman belajar dirancang berdasarkan masalah atau fokus perhatian peserta belajar. Bila
dikaitkan
dengan
strategi
pengembangan
masyarakat
yang
diperkenalkan oleh Batten, diacu dalam Isbandi (2003), pendekatan pembelajaran di kedua lokasi penelitian sebenarnya dapat dilakukan dengan pendekatan non direktif karena tingkat kesadaran kritis masyarakat terhadap pengelolaan hutan rakyat yang sudah tinggi. Pendekatan nondirektif, atau lebih dikenal dengan pendekatan partisipatif dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pada pendekatan ini penyuluh dan pendamping tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang ”baik” atau ”buruk” bagi suatu masyarakat. Pemeran utama dalam perubahan tersebut adalah masyarakat itu sendiri, penyuluh lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri, serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Tujuan dari pendekatan non direktif adalam upaya pengembangan masyarakat adalah agar masyarakat memperoleh pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka.
Faktor yang mempengaruhi Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat Lestari Hasil analisis SEM pada Gambar 6 menunjukkan bahwa perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara nyata oleh peubah : Intensitas belajar (Y1) dan karakteristik petani (X1). Faktor Kelembagaan masyarakat (X4) tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hubungan antara Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Y2) dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya dituliskan dengan persamaan: Y2
= 0,51*Y1 + 0,40*X1,
R2 = 0,72. Dari persamaan tersebut,
169
dapat disimpulkan bahwa peubah yang paling berpengaruh terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari ialah Intensitas Belajar. Selanjutnya peubah lain yang mempengaruhi perilaku petani ialah karakteristik individu petani. Secara simultan pengaruh kedua peubah tersebut pada perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari adalah sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error.
Dengan demikian, hipotesis 2 dalam penelitian ini
diterima, walaupun ada satu peubah yang ditolak atau tidak berpengaruh secara langsung, yaitu kelembagaan masyarakat (X4). Perilaku petani mengelola Hutan Rakyat Lestari dalam penelitian ini secara umum tergolong sedang untuk aspek produksi dan ekologi, dan tinggi untuk aspek sosial. Namun, tingginya perilaku sosial, bila dikaji lebih mendalam ternyata tidak pada semua ranah ”tinggi”. Tingginya ranah pengetahuan dan sikap ternyata tidak berimplikasi terhadap ranah ketrampilan, karena pada ranah ketrampilan tergolong rendah. Artinya walaupun petani baik dalam wawasan atau pengetahuan dan memiliki sikap positif terhadap aspek sosial Hutan Rakyat Lestari, namun belum diimbangi dengan
ketrampilannya menerapkan aspek
sosial Hutan Rakyat Lestari. Petani dalam melaksanakan usaha Hutan Rakyat Lestari lebih banyak melakukannya secara individu, dan belum banyak dikerjakan bersama secara berkelompok. Keberadaan kelompok tani yang diharapkan menjadi unit manajemen dalam Hutan Rakyat Lestari belum berjalan dengan baik dan mendukung perilaku positif dari anggotanya.
Intensitas Belajar Hasil analisis SEM mengungkapkan bahwa intensitas belajar petani memberikan pengaruh nyata terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari, walaupun secara keseluruhan intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi cenderung rendah. Artinya baik buruknya perilaku petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri dipengaruhi kuat oleh tingkat intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh lima aspek berikut, dari nilai tertinggi sampai
170
terendah yaitu interaksi antara : (1) petani dengan penyuluh atau pendamping; (2) petani dengan materi pembelajaran; (3) petani dengan lingkungan belajar; (4) petani dengan kelompok tani; dan (5) petani dengan petani. Intensitas belajar yang tinggi akan mempengaruhi perilaku yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Bila dikaitkan dengan tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, maka rendahnya tingkat intensitas belajar petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian, terutama dipengaruhi oleh : rendahnya intensitas interaksi petani dengan penyuluh/pendamping, intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran, dan intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar. Interaksi petani dengan penyuluh/pendamping Rendahnya interaksi petani dan penyuluh/pendamping antara lain karena : (1) keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan, terutama yang ditugaskan untuk mendampingi, khususnya di Wonogiri. Perhatian pemerintah, khususnya, Dinas Kehutanan sebagai induk pembina penyuluh, lebih kepada lokasi-lokasi dengan persentasi lahan kritis yang luas. Penempatan penyuluh lebih banyak disesuikan dengan program rehabilitasi lahan kritis. Desa Sumberejo dan Selopuro di Wonogiri merupakan daerah yang sudah dianggap berhasil dalam pelestarian alam dan lingkungan, dan sedikit lahan kritis sehingga kurang mendapat perhatian fokus pemerintah; (2) penyuluh dan pendamping tidak tinggal bersama dengan masyarakat. Penyuluh dan pendamping biasanya datang ketika ada kegiatan atau kadang-kadang pada pertemuan kelompok. Dengan demikian sangat jarang frekuensi pertemuan, begitu juga dengan intensitas hubungan yang terjalin dengan penyuluh lebih bersifat formal, sebatas ’petugas pemerintah’ atau ”petugas pendamping” dan petani sebagai sasaran penyuluhan. Walaupun di Gunung Kidul, interaksi lebih baik, namun petani menginginkan intensitas pertemuan yang lebih banyak
dengan
penyuluh
dan
pendamping.
Manfaat
interaksi
dengan
penyuluh/pendamping bila intensitas pertemuan dan hubungan tinggi sangat banyak, yang paling penting ialah penyuluh/pendamping dapat berempati, mendalami permasalahan yang dihadapi petani dan kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh petani. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan
171
bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid mempengaruhi hasil belajar. Interaksi antara penyuluh dan petani, yang diharapkan oleh petani sebenarnya seperti yang diungkapkan wanita Aborigin Australi, yang dikutip dalam Suharto (2005) : ”If you have come to help me you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together”. Untuk dapat bekerja sama dengan petani, penyuluh dan pendamping harus melihat perjuangan petani sebagai bagian dari perjuangan penyuluh dan pendamping juga, bukan dengan maksud sekedar menolong petani. Berkaitan dengan pendekatan pengembangan masyarakat (community development), peran penyuluh dan pendamping menurut Batten dalam Isbandi (2003) adalah sebagai katalisator, pemercepat perubahan (enabler) yang mempercepat terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat untuk menentukan arah langkahnya sendiri (self-determination) dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri (self-help). Havelock (1973) menyebutkan empat hal yang perlu diperhatikan oleh penyuluh atau pendamping sebagai agen pembaharu agar dapat membantu kliennya memecahkan masalah: (1) sikap bersahabat; (2) kesamaan, agen pembaharu yang efektif adalah yang dirasakan sama dengan kliennya, dalam arti cara berpakaian, gaya bicara dan lainnya; (3) manfaat: keberadaan agen pembaharu harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat; dan (4) responsif: seorang agen pembaharu harus selalu menjadi seorang pendengar yang baik dan penuh perhatian. Interaksi petani dengan materi belajar, khususnya di Wonogiri sangat rendah. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya interaksi tersebut adalah: (1) rendahnya intensitas pertemuan dengan Penyuluh dan pendamping, bahkan di Wonogiri banyak petani hutan rakyat sertifikasi yang sama sekali tidak mengetahui penyuluh atau pendampingnya. Padahal pertemuan kelompok sekaligus arisan berjalan cukup baik, dengan jumlah kehadiran anggota yang cukup banyak 50% lebih di tiap-tiap kelompok. Sebenarnya pertemuan kelompok secara rutin atau arisan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas pembelajaran dan interaksi petani dengan materi pembelajaran; (2) materi pembelajaran lebih banyak given, tidak sesuai dengan permasalahan dan
172
kebutuhan petani.
Dan seringkali hanya diberikan kepada beberapa orang
pengurus kelompok saja. Petani di Wonogiri menginginkan materi pembelajaran berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi, khususnya untuk mengatasi penebangan kayu yang belum cukup besar karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka berharap mendapatkan materi pembelajaran mengenai pengolahan kayu pasca panen, budidaya ikan di bawah tegakan dan lainnya. Namun, keinginan tersebut kurang mendapat perhatian lembaga pendukung. Interaksi petani dengan lingkungan belajar di Wonogiri sangat rendah. Petani sedikit memiliki akses untuk berinteraksi dengan lingkungan belajar, yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lingkungan belajar dalam hal ini hal-hal yang mendukung proses belajar Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), baik sarana prasarana, institusi yang mendukung proses belajar dan lainnya. Misalnya, di Wonogiri telah dibuat tempat penampungan kayu, bengkel kerja, di Gunung Kidul telah ada koperasi, tetapi sulit dijangkau petani karena letaknya tidak strategis. Sebenarnya hampir semua kelompok memiliki tempat pertemuan yang tetap, umumnya di rumah ketua kelompok, namun sekretariat yang umumnya mudah dijangkau anggota belum difasilitasi menjadi salah satu sarana atau lingkungan belajar yang baik bagi anggotanya. Lingkungan belajar yang paling mudah dijangkau oleh semua petani sebenarnya tegalan, kebun dan pekarangan tempat mereka mengelola lahan, tetapi tanpa adanya pendampingan yang baik, lingkungan tersebut tidak menjadi lingkungan belajar yang baik bagi petani. Padahal sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari interaksi dengan lahan usaha, pekarangan, atau tegalan yang mereka miliki sebagai lingkungan belajar. Memperhatikan interaksi petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) dengan penyuluh, materi belajar dan lingkungan belajar, dikaitkan dengan kecenderungan pembelajaran menurut Dwiyogo (2008), dapat dikatakan pembelajaran di kedua lokasi penelitian masih lebih cenderung ke arah pembelajaran tradisional, dimana pembelajaran masih sangat tergantung dari guru, terbatas pada tempat dan waktu tertentu. Pengembangan pembelajaran bagi petani pengelola hutan rakyat lestari lebih diarahkan kepada pembelajaran visioner, dimana pembelajaran dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja
173
dan melalui apa saja. Petani pengelola hutan rakyat lestari sebenenarnya telah memiliki motivasi intrinsik yang sangat tinggi, bahkan di Gunung Kidul dengan konsep diri yang tinggi, sehingga dapat diarahkan pada pembelajaran visioner sehingga petani dapat mengembangkan pembelajaran mandiri dengan tidak tergantung pada penyuluh, tempat dan waktu tertentu saja.
Karakteristik petani Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam penelitian ini termasuk kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata karakteristik petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian terhadap perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Karakteristik petani dalam penelitian ini direfleksikan oleh aspek, secara berurutan dari nilai koefisien yang paling tinggi: konsep diri, motivasi ekstrinsik, dan motivasi intrinsik. Artinya selain peubah intensitas belajar, konsep diri, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri secara nyata mempengaruhi perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri
yang positif menghasilkan perilaku yang baik dalam
pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, demikian sebaliknya konsep diri yang negatif menghasilkan perilaku yang kurang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Hal ini terungkap dari hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa petani di Wonogiri walaupun mempunyai motivasi intrinsik yang tinggi, tetapi karena adanya konflik internal, kecemburuan sosial, ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, kurangnya pembinaan dan tidak berlanjutnya pendampingan telah menurunkan semangat petani bahkan menghasilkan konsep diri yang negatif terhadap perkembangan Hutan Rakyat Lestari. Konsep diri yang negatif tersebut telah menghambat pengembangan Hutan Rakyat Lestari, khususnya berkaitan dengan penerapan nilai-nilai sosial dalam pengelolaan hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh dalam hal pemasaran, yang sebenarnya sangat penting untuk dilakukan secara komunal, akhirnya karena sistem FKPS tidak berjalan, dan ketidakpercayaan anggota terhadap pengurus, tidak dapat akhirnya petani lebih suka menjual kayu secara perseorangan.
berjalan baik, dan
174
Motivasi ekstrinsik yang kurang baik, akan berdampak negatif terhadap perilaku petani, sekalipun motivasi intrinsiknya baik. Hal ini terbukti di Wonogiri, dimana motivasi intrinsik petani tinggi, namun kurang didukung atau difasilitasi oleh kelembagaan pendukung pembelajaran dan lingkungan belajar yang baik sehingga menimbulkan motivasi ekstrinsik yang kurang baik. Bahkan motivasi ekstrinsik semakin buruk dengan adanya ketidakpercayaan terhadap LSM pendamping, dan hubungan yang kurang harmonis dengan pengurus FKPS menyebabkan konsep diri petani terhadap Hutan Rakyat Lestari menjadi negatif. LSM pendamping, yang dianggap telah “ingkar janji” dan ketidakterbukaan pengurus FKPS menyebabkan perilaku petani yang kurang baik. Dengan pengalaman yang kurang baik, konsep diri dan motivasi ekstrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri kurang baik, sehingga menyebabkan intensitas belajar yang cenderung rendah. Tetapi karena motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sangat tinggi, petani tetap mau terus belajar mengembangkan Hutan Rakyat Lestari secara mandiri, walaupun kurang didukung oleh lembaga pendukung pembelajaran sehingga perilaku petani huta rakyat sertifikasi di Wonogiri masih tergolong sedang. Motivasi intrinsik petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian yang sangat tinggi, yang dibentuk melalui pengalaman, telah mempengaruhi pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri lebih banyak mendapatkan pengetahuan melalui pembelajaran sendiri dan turun temurun dari orang tua mereka. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan pembelajaran sendiri ini, yang disebut kearifan lokal, telah membentuk kesadaran mereka tentang pentingnya Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kesadaran yang
kemudian
memotivasi
mereka
untuk
lebih
banyak
belajar
dan
mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Sebagai contoh pertama, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri mendapatkan pengetahuan tentang nilai ekonomi kayu karena didorong motivasi intrinsik ingin mengembangkan hutan rakyat dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri sekarang mulai mengganti tanaman mahoni dengan tanaman sengon laut, karena mempunyai nilai ekonomi kayu yang lebih tinggi. Mereka mau
175
melakukan percobaan dan penghitungan keuntungan sendiri, dengan biaya sendiri karena motivasi intrinsik yang sangat tinggi. Contoh kedua, dari segi ekologi, karena telah merasakan manfaat dari tanaman kayu-kayuan dalam memunculkan mata-mata air baru, dan didorong untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik lagi, petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri membandingbandingkan penyerapan air oleh tanaman. Dan hasilnya mereka mendapatkan bahwa tanaman akasia sangat rakus air dan tidak dapat menahan air dengan baik dibandingkan tanaman jati. Dengan demikian pengetahuan, sikap dan ketrampilan mereka dalam mengembangkan Hutan Rakyat Lestari menjadi lebih baik.
Kelembagaan Masyarakat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Tetapi kelembagaan masyarakat memberikan pengaruh tidak langsung terhadap perilaku petani sertifikasi. Artinya, keberadaan kelompok tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, dalam penelitian ini tidak memberikan pengaruh langsung terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Keberadaan kelompok tani dan kelembagaan lainnya memberikan pengaruh terhadap intensitas belajar petani, yang kemudian intensitas belajar petani tersebut berpengaruh terhadap perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Kelompok Tani dan kelembagaan masyarakat lainnya, seperti Koperasi, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) dan lainnya masih bersifat terlalu formal, dan banyak yang dibentuk hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Kelembagaan ini sebenarnya diharapkan dapat menjadi wadah pengembangan kapasitas petani hutan rakyat sertifikasi, khususnya dalam pengembangan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat baik dalam aspek ekologi, produksi dan sosial. Namun karena sifat kelembagaan ini lebih ke arah organisasi modern dan formal, sehingga sulit diikuti dan dijalankan oleh masyarakat yang belum terbiasa dalam berorganisasi. Selain itu masyarakat belum menyadari pentingnya keberadaan organisasi dan merasakan manfaat dari keberadaan organisasi tersebut dalam usaha hutan rakyat yang mereka kelola.
176
Sementara organisasi yang tumbuh dari masyarakat seperti arisan, kelompok pengajian, belum difasilitasi menjadi media pembelajaran dan pembentukan perilaku petani, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Padahal keberadaan kelompok sosial masyarakat seperti ini bila dikembangkan dan difasilitasi dengan baik dapat menjadi kapital sosial masyarakat yang sangat potensial untuk peningkatan perilaku positif bagi petani hutan rakyat sertifikasi.
Pengaruh Faktor Lain Dari hasil analisa SEM didapatkan bahwa peubah intensitas belajar dan karakteritik individu petani secara simultan mempengaruhi perilaku petani mengelola hutan rakyat (lestari) sebesar 0,72. Hal ini mengandung makna bahwa keragaman data yang bisa dijelaskan oleh model tersebut adalah 72 persen, sedangkan sisanya 28 persen dijelaskan oleh peubah lain (yang belum terdapat dalam model) dan error. Peubah lain yang diduga mempengaruhi perilaku petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi), yang dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya adalah perilaku non konsumtif petani dan pola pengelolaan ekonomi rumah tangga. Perilaku petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat (sertifikasi) tergolong sedang dalam aspek produksi dan aspek ekologi, dan tinggi dalam aspek sosial. Perilaku lestari petani tersebut diduga dipengaruhi juga oleh perilaku non konsumtif petani hutan rakyat (sertifikasi). Bila perilaku petani pengelola hutan rakyat konsumtif, tidak akan ditemui hutan rakyat dengan kelestarian produksi dan kelestarian hasil hutan, karena semua kayu yang mempunyai nilai jual cukup tinggi akan ditebang untuk dijual. Hal ini yang menjadi kekuatiran banyak pihak terhadap keberlanjutan dan kelestarian hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri di masa mendatang. Mengingat semakin meningkatnya harga kayu baik akibat semakin menipisnya stok kayu dari hutan alam atau hutan produksi, dikuatirkan hutan rakyat akan mengalami hal yang sama sebagaimana pengeksploitasian hutan alam yang telah rusak. Perilaku petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang tidak konsumtif diharapkan dapat mencegah terjadinya
177
over cutting yang akan mengancam kelestarian sumberdaya hutan, baik dari segi produksi, ekologi dan sosial. Demikian juga
dalam pola pengelolaan ekonomi rumah tangga, bila
petani pengelola hutan rakyat (sertifikasi) tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangga dengan baik, maka mereka tidak akan memperhatikan dan memperdulikan kearifan ”tebang butuh”. Bila petani hutan rakyat tidak dapat mengelola ekonomi rumah tangganya dengan baik, maka petani cenderung memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan kurang memikirkan adanya tabungan bagi masa depan atau keperluan mendesak. Padahal kenyataan yang ada, baik petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul maupun Wonogiri melakukan ”tebang butuh”, yaitu membatasi penebangan kayu hanya jika ada keperluan mendesak dan tidak ada alternatif lainnya yang dapat dimanfaatkan. Petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki pola mengelola ekonomi rumah tangga yang baik, mereka sangat memperhatikan keperluan tabungan, bahkan bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga anak dan cucu mereka. Latar belakang kehidupan petani di masa lalu yang sangat sulit, telah membentuk perilaku petani yang sangat menghargai sumberdaya yang dimiliki untuk dikelola dengan baik, sehingga berdampak pada perilaku pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik. Pola pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik membentuk kesadaran untuk menabung dengan cara penanaman pohon segera setelah penebangan dilakukan. Kebiasaan menanam (setelah penebangan) bahkan sudah membudaya bagi petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri, sehingga membentuk perilaku lestari petani hutan rakyat (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri.
Peran Penting Kelembagaan dalam Proses Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa faktor kelembagaan memegang peranan penting dalam proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi, baik kelembagaan eksternal pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, maupun kelembagaan internal masyarakat. Kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, terutama di Gunung Kidul menunjukkan bahwa adanya kelembagaan pendukung yang bersinergi dan berkolaborasi dengan baik dapat
178
berdampak pada proses pembelajaran petani sertifikasi yang baik, sehingga menghasilkan intensitas belajar yang lebih baik di Gunung Kidul. Beberapa hal keunggulan kelembagaan yang berkolaborasi dan sistemik antara lain pertama dengan adanya komitmen bersama lembaga atau institusi untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari berdampak pada keseriusan lembaga atau institusi yang terlibat untuk memberikan perhatian, mengalokasikan dana dan kegiatan, juga menempatkan personil untuk mendukung pembelajaran petani tentang Hutan Rakyat Lestari.
Kedua, keterlibatan berbagai institusi
dengan fungsi yang beragam, yaitu penelitian, pendidikan, penyuluhan dan pemasaran-perkreditan, akan melengkapi proses pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi. Sebagai contoh, fungsi penelitian yang dilakukan oleh pihak Perguruan Tinggi akan menghasilkan temuan-temuan atau inovasi yang penting untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Hasil-hasil temuan atau inovasi tersebut perlu disosialisasikan kepada petani melalui penyuluh dan pendamping. Oleh karena itu dibutuhkan institusi yang berfungsi pendidikan maupun penyuluhan. Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis Pemda maupun Kementerian Kehutanan untuk meningkatkan kapasitas penyuluh dan pendamping perlu bekerja sama dan terkait dengan fungsi penelitian, sehingga penyuluh dan pendamping dapat ditingkatkan kapasitasnya berkaitan dengan hasil temuan institusi penelitian, berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari baik teknis maupun aspek sosial lainnya. Fungsi penyuluhan yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat akan saling melengkapi dalam mempersiapkan dan memfasilitasi tenaga penyuluh dan pendamping, sehingga dapat melakukan tugas pendampingan petani hutan rakyat sertifikasi dengan baik. Fungsi pemasaran dan perkreditan merupakan peran penting dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yang sampai dengan saat ini belum berjalan dengan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Kelemahan petani hutan rakyat sertifikasi terutama dalam hal pemasaran, sehingga belum ada peningkatan pendapatan secara nyata dari kayu yang dipanen dari hutan rakyat yang telah memperoleh sertifikasi. Kelembagaan pemasaran penting untuk meningkatkan posisi tawar petani yang masih rendah dalam penentuan harga jual kayu hutan
179
rakyat. Rendahnya posisi tawar petani karena adanya kebutuhan mendesak untuk memperoleh uang kontan, sehingga harga jual kayu biasanya ditentukan oleh tengkulak. Menurut Widayanti et. al, (2005), permasalahan pemasaran ini dapat dipecahkan apabila kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat telah kuat atau dikelola oleh organisasi yang profesional, yang dibentuk dari pemilik hutan rakyat. Keberadaan kelembagaan pemasaran menjadi aspek penting dalam meningkatkan intensitas belajar petani dalam mengembangkan pengelolaan hutan rakyat lestari, karena kelembagaan pemasaran yang berjalan baik akan lebih memotivasi petani untuk mengembangkan usaha hutan rakyat lestari dan akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Lembaga perkreditan sangat penting bagi petani hutan rakyat sertifikasi untuk mencegah petani menebang pohon di bawah standar, pada saat dibutuhkan yaitu pada saat kebutuhan keluarga yang besar dan mendesak, seperti hajatan, menyekolahkan anak, biaya pengobatan sakit dan lainnya. Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul, sebenarnya dibentuk untuk melakukan fungsi ini, namun belum dapat berjalan baik. Sejalan dengan pentingnya lembaga perkreditan, Prihadi (2010) menyatakan bahwa fasilitas ”kredit tunda tebang” mendukung pelaksanaan penundaan penebangan bagi kayu-kayu yang masih belum memenuhi standar. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kredit tunda tebang telah meningkatkan keunggulan kompetitif dan memiliki tingkat efisiensi lebih baik dibandingkan tanpa adanya kredit tunda tebang. Keterkaitan antara fungsi penelitian, fungsi pendidikan, fungsi penyuluhan dan fungsi pemasaran-perkreditan dalam pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi merupakan hal penting. Sampai dengan saat ini koperasi belum termasuk dalam Pokja, demikian juga keterlibatan pihak swasta yang berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Padahal cukup banyak pihak swasta yang dapat dilibatkan menjadi mitra untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari, misalnya perusahaan furniture, perusahaan air minum, yang mendapatkan manfaat dari kelestarian hutan.
Beberapa perusahaan yang telah menjalin kerjasama
dengan Koperasi Wana Manunggal Lestari di Gunung Kidul antara lain ialah Java furniture Lestari (Jakarta), CV. Airlangga Mebelindo Design, Surabaya, CV. Alpin Furniture, Jakarta, UD Ellika, Jepara dan UD Karya Jati, Jepara.
180
Keterlibatan swasta dalam POKJA diharapkan dapat ikut merumuskan konsep pemasaran hasil Hutan Rakyat Lestari sehingga mendapatkan hasil yang lebih tinggi, dan petani memiliki posisi tawar yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kraenzel (2001) bahwa pendekatan whole person yang dipopulerkan oleh Apps (1996) dalam pendidikan orang dewasa, dibutuhkan dalam membangun hubungan dalam pemasaran hasil pertanian, agar petani mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Perspektif hubungan kerja dalam
pemasaran hasil pertanian telah bergeser dari yang berorientasi pada pengawasan (control oriented), dikenal dengan ”I win you loose” ke arah orientasi pada komitmen (commitment oriented) untuk mencapai tujuan bersama, dikenal dengan ”I win you win” (win-win solution). Bila dikaitkan dengan pendapat Reed (2004) berkaitan dengan jenis hubungan antar institusi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, hubungan antar institusi pendukung pembelajaran di Gunung Kidul dapat dikatakan termasuk jenis kolaborasi (collaboration). Reed (2004) membedakan kerja sama (cooperation),
kolaborasi (collaboration) dan kemitraan sesungguhnya (true
partnership). Kolaborasi adalah tipe hubungan antar institusi dimana misi institusi yang bermitra saling tumpang tindih (overlap), dan masing-masing pihak menyepakati peranan yang setara dari misinya melalui perencanaan bersama. Tingkatan hubungan kolaborasi lebih tinggi dari kerja sama (cooperation) tetapi di bawah true partnership. Kerja sama adalah hubungan dengan saling berbagi kegiatan, sebagai hasil dari ajakan dari pihak lainnya. Permintaan yang sesuai dengan misi, nilai dan tujuan pihak yang diajak akan ditanggapi positif oleh pihak yang dilibatkan. Kegiatan di Gunung Kidul telah direncanakan bersama antar institusi yang terlibat dalam Pokja, dan telah disepakati peranan yang menjadi tanggung jawab masing-masing pihak. Tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan, belum bersinergi seperti yang diharapkan. Handy (1985), yang diacu dalam Pretty (1997), menyatakan bentuk kolaborasi dimulai dengan forming, storming, norming, dan performing, maka di Gunung Kidul dapat dikatakan sudah mencapai tahapan performing dimana Pokja dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja. Hal tersebut dapat terbukti dengan didapatkannya sertifikasi Ekolabel pada kayu hutan rakyat
181
dari wilayah binaan mereka dan langkah nyata ke arah terbitnya Peraturan Daerah tentang Hutan Rakyat Lestari yang dirumuskan bersama oleh Pokja. Sedangkan di Wonogiri dapat dikatakan belum memasuki tahapan manapun, termasuk tahapan forming. Karena sejak dari awal kegiatan sertifikasi tidak ada kesepakatan dan kesepahaman antara Pemda (Dinas Kehutanan) dan LSM pendamping. Berkaitan dengan hal tersebut, Pretty (1995) menegaskan bahwa untuk pertanian berkelanjutan diperlukan kelembagaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim yang multidisipliner, fleksibel dan heterogen, serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian untuk proses pembelajaran petani yang baik, pertama-tama perubahan bukan pada petani, tetapi paradigma kelembagaan pendukung pembelajaran, sekaligus mindset para pengambil kebijakan pada kelembagaan tersebut.
Wollenberg
(2005) menekankan bahwa pengelolaan kolaboratif dapat berjalan baik jika kelompok kepentingan mencoba untuk terlibat dalam proses yang berkembang dan berkelanjutan untuk saling memahami pengetahuan, tujuan, kepentingan, kapasitas dan aksi masing-masing. Kolaborasi juga dapat ditingkatkan dengan menjamin bahwa tidak ada pandangan atau pengetahuan dari satu kelompok pun yang mendominasi proses ini. Pembelajaran bersama mengakui bahwa kelompok kepentingan membawa pengetahuan yang berbeda (termasuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif, metode pembelajaran, tempat pengalaman sejarah) pada proses kolaborasi tersebut. Pengetahuan dan pengalaman ini dapat menjadi aset bagi penyelesaian masalah. Pembelajaran bersama juga mendorong persepsi saling ketergantungan (interdependency) dan saling menghargai. Sejalan dengan hal tersebut, Nemarundwe (2005) mengungkapkan bahwa ada tiga persyaratan untuk kolaborasi, yaitu perlu fasilitasi pembelajaran dari pengalaman yang efektif, kekuasaan yang setara dalam proses pembelajaran tersebut dan kesediaan untuk aktif dalam proses multi tahap dalam kolaborasi. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat (internal) di kedua lokasi penelitian memiliki peran penting dalam proses pembelajaran petani. Kelembagaan informal seperti arisan, gotong royong, kelompok pengajian ternyata lebih disukai sebagai wadah pembelajaran bagi petani hutan rakyat sertifikasi, sedangkan kelompok formal yang dibentuk sebagai
182
persyaratan dalam proses sertifikasi seperti beberapa kelompok tani, koperasi, forum komunitas petani, kurang dinamis, dan kurang diminati oleh petani sebagai wadah pembelajaran. Salah satu alasan adalah para petani hutan rakyat sertifikasi, baik di Wonogiri maupun Gunung Kidul, belum terbiasa dengan struktur organisasi yang kaku, dengan peraturan dan tujuan organisasi yang kurang sesuai atau tidak menjawab kebutuhan mereka. Soetomo (2008) menyatakan bahwa kunci pertama keberhasilan program eksternal adalah apabila dapat mendorong munculnya aktivitas lokal. Apabila dampak keberlanjutan yang diharapkan, maka aktivitas lokal tersebut harus dapat menolong munculnya aktivitas lokal berikutnya sehingga akan tercapai suatu siklus kemandirian dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagai syarat agar aktivitas lokal tersebut dapat mendorong aktivitas berikutnya perlu adanya manfaat yang dirasakan pada tingkat warga masyarakat maupun pada tingkat komunitas, sehingga dapat memperkuat institusi yang mendorong kesinambungan aktivitas tersebut. Nemarundwe (2005) mengungkapkan dari pengalaman kolaborasi kelembagaan pengelolaan hutan di Zimbabwe, bahwa untuk meningkatkan peluang terjadinya pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu ada kolaborasi antara kelembagaan informal dan formal yaitu dengan saling berbagai tanggung jawab. Arisan dan gotong royong yang berkembang baik di kedua lokasi penelitian, yang didasarkan oleh persahabatan, kekerabatan dan kepercayaan merupakan kapital sosial yang perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Hubungan sosial pada masyarakat ini menjadi kekuatan yang sangat mendukung proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan bila terus dilestarikan dapat membentuk kapital lainnya, kapital manusia, kapital fisik dan lainnya. Dengan kapital sosial, kapital manusia dan kapital fisik yang berasal dari masyarakat sendiri akan sangat mendukung keberlanjutan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Lawang (2005) menegaskan bahwa bila semua kapital yang tersedia di dalam masyarakat (manusia, fisik dan sosial) dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam suatu program, maka bukan saja mencapai tujuan yang diinginkan tetapi juga menghasilkan keberlanjutan program itu sendiri. Nilai-nilai hidup/budaya kerja keras, yang sangat kental terlihat di Gunung Kidul maupun Wonogiri, juga mempengaruhi pembelajaran petani hutan rakyat
183
lestari (sertifikasi). Kesulitan hidup di waktu yang lampau karena kondisi fisik lahan dan alam yang sangat kritis telah menempa dan membentuk sikap mental penduduk di Gunung Kidul dan Wonogiri sebagai pekerja keras. Tidak jarang pada saat penelitian ditemui orang-orang yang sudah lanjut usia masih bekerja di ladang, bahkan membawa pakan ternak dalam jumlah yang sangat banyak. Tidak jarang para wanita setengah baya memanen hasil ladang dan membawanya untuk dijual di pasar dengan berjalan kaki berkilo meter.
Mereka tetap melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat sekalipun secara finansial kebutuhan mereka telah terpenuhi karena ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah berhasil dalam pekerjaan di kota-kota besar, bahkan di luar negeri. Kepemimpinan yang kuat mengakar dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari juga terlihat pada Kelompok Tani Percabaan di Desa Selopuro maupun di Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Sumberejo. Dilihat dari latar belakang sejarah hutan rakyat, dimana masyarakat digerakkan untuk bersama-sama melakukan penanaman di lahan kritis, dimulai dari contoh yang diberikan oleh pemimpin, ternyata membuahkan hasil yang baik, yaitu tumbuhnya budaya menanam dalam masyarakat di Wonogiri. Pengaruh pemimpin, yang terus ada sampai dengan penelitian ini dilakukan merupakan faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan pembelajaran petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Djogo (2005) bahwa dalam upaya pembangunan berkelanjutan kepemimpinan lingkungan menjadi salah satu andalan. Kepemimpinan lingkungan dapat dibangun atau sudah eksis di dalam sebuah masyarakat tradisional atau masyarakat dan institusi pedesaan. Kepemimpinan lingkungan biasanya muncul karena adanya persoalan serius di bidang lingkungan atau pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Kepemimpinan lingkungan pada dasarnya ialah bagaimana kita memimpin, bersikap dan bertindak sehingga orang lain mau bertindak sehingga orang lain mau berbuat baik untuk lingkungan. Sejalan dengan hal tersebut Cao dan Zhang (2005), belajar dari pengalaman
pengelolaan
hutan
berbasis
komunitas
di
Yunnan,
China
mengungkapkan bahwa nilai-nilai budaya bersama menciptakan dasar yang kuat untuk negosiasi dan kompromi yang berhasil, yang membawa pada pengelolaan
184
hutan secara lebih efektif. Tetapi nilai-nilai bersama saja tidak cukup, tanpa kepemimpinan yang efektif dalam proses-proses informal untuk membangun konsensus, upaya pengelolaan hutan bisa gagal.
Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Model lengkap yang menggambarkan hubungan semua peubah yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, dapat dianalisis dari persamaan struktural yang dihasilkan dari analisis SEM, dan secara sederhana digambarkan pada Gambar 7.
Kompetensi penyuluh (X2)
Karakteristik petani (X1)
Intensitas Belajar Petani (Y1)
Perilaku Petani (Y2)
Kelembagaan masyarakat (X4) Kelembagaan Pendukung pembelajaran (X5)
Gambar 7. Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Sesuai dengan model yang didapat dari hasil penelitian, perilaku petani di kedua lokasi penelitian, yang tergolong sedang,
dapat ditingkatkan dengan
memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, yaitu: (1) Intensitas belajar petani; dan (2) Karakteristik petani. Dan untuk meningkatkan intensitas belajar petani perlu diperhatikan peningkatan aspek yang berpengaruh yaitu : (1) Kelembagaan pendukung pembelajaran; dan (2) Kompetensi Penyuluh.
185
Pengembangan Perilaku Petani Lestari melalui Peningkatan Intensitas Belajar Petani Peningkatan perilaku positif petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan intensitas belajar petani. Intensitas belajar petani di Gunung Kidul dan Wonogiri, yang saat ini cenderung sedang, dapat ditingkatkan dengan mengembangkan intensitas interaksi antara petani dengan penyuluh, materi belajar, kelompok tani, petani lainnya, dan lingkungan belajar. Dari hasil penelitian terlihat bahwa aspek intensitas interaksi penyuluh/pendamping dengan petani merupakan indikator yang paling dominan merepresentasikan intensitas belajar petani. Intensitas interaksi petani dengan penyuluh bukan saja ditingkatkan melalui peningkatan frekuensi pertemuan dengan penyuluh, tetapi juga dari kualitas atau intensitas pertemuan. Komunikasi dengan penyuluh dan pendamping berkelanjutan baik secara formal maupun informal, dengan konteks hubungan pertemanan dan bukan sebagai guru dengan murid. Setiap interaksi yang dilakukan oleh petani dengan penyuluh atau pendamping, dapat membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi atau meningkatkan perilaku petani. Intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran ditingkatkan dengan cara memfasilitasi materi pembelajaran, dalam berbagai bentuk (cetakan, audio visual, dan lainnya), yang mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan dan minat petani. Pengadaan materi pembelajaran, terutama dikaitkan dengan pencarian solusi terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Penyuluh dan pendamping juga perlu meningkatkan kapasitas petani agar dapat mencari informasi secara mandiri, baik melalui kerja sama dengan institusi pendukung pembelajaran maupun melalui media telekomunikasi. Intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar ditingkatkan dengan meningkatkan kapasitas petani dalam mendapatkan akses kepada sumber informasi, institusi pendukung pembelajaran ataupun sumber pembelajaran lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat juga akan membuka peluang petani untuk mendapatkan pelajaran melalui kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, seperti metode Sekolah Lapang dan lainnya.
186
Intensitas interaksi petani dengan kelompok tani dapat ditingkatkan melalui manajemen kelompok yang lebih baik (perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengawasan), sehingga kelompok dapat berjalan dinamis dan aktif dalam mencapai tujuan bersama. Dan tiap-tiap anggota dan bagian dapat berperan aktif dalam menjalankan fungsinya. Intensitas interaksi petani dengan petani ditingkatkan kapasitasnya sehingga interaksi antar petani menjadi lebih berkualitas, dalam arti setiap petani dapat menjadi sumber informasi terpercaya bagi sesama petani (dikenal dengan istilah farmer to farmer).
Peningkatan Intensitas Belajar Petani melalui Penguatan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Petani Untuk meningkatkan intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari perlu memperhatikan peubah yang mempunyai pengaruh paling besar yaitu kelembagaan pendukung pembelajaran petani. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang relatif kolaboratif
di Gunung Kidul
menghasilkan intensitas belajar petani yang cukup baik. Sedangkan kelembagaan pendukung yang kurang kolaboratif seperti di Wonogiri, menghasilkan intensitas belajar petani yang rendah atau kurang baik. Salah satu kelemahan dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul ialah kurangnya keterlibatan swasta. Baik pada pelaksanaan di lapangan, maupun dalam Pokja masih sangat kurang atau bahkan belum ada keterlibatan pihak swasta, khususnya yang berkaitan dengan pemasaran, penting sekali dilibatkan. Memang saat ini di Gunung Kidul baru dilaksanakan pengembangan Hutan Rakyat Lestari yang penekanannya
pada
pengelolaan hutan secara lestari, bukan pada sertifikasinya. Saat ini fokus masih terarah pada sosialisasi Hutan Rakyat Lestari, belum dikaitkan dengan program pasca panen atau pemasarannya sehingga belum melibatkan pihak swasta. Namun untuk peningkatan pengaruh kelembagaan pendukung pembelajaran pada intensitas belajar petani di masa mendatang perlu dikembangkan dengan melibatkan pihak swasta dalam Pokja ini. Selain kelemahan pada kelembagaan pemasaran, kelemahan yang ada dalam kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari baik di
187
Gunung Kidul dan Wonogiri ialah kurangnya mengakomodir kebutuhan, nilainilai masyarakat dalam pembelajaran. Sebagai contoh: kebiasaan petani hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri melakukan sistem ”tebang butuh” dalam pemanenan dan penanaman sejumlah pohon segera setelah penebangan sebenarnya merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat dalam melakukan metode pengaturan hasil hutan, yang menghasilkan kelestarian hutan. Bahkan dapat dikatakan mendekati keadaan hutan normal yang dikenal dalam manajemen hutan, di antaranya ialah dengan adanya sebaran kelas umur normal, volume/ persediaan normal dan pertumbuhan normal (Meyer et.al, 1961). Tetapi berkaitan dengan persyaratan sertifikasi, pihak eksternal ingin mengubah kebiasaan ”tebang butuh” petani hutan rakyat sertifikasi dengan metode pengaturan hasil yang biasa diterapkan pada hutan negara. Soetomo (2008) menyatakan bahwa faktor penghambat yang sering dijumpai kelembagaan eksternal dalam belajar dari pengetahuan dan kearifan lokal adalah adanya kesenjangan komunikasi antara pihak eksternal tersebut dengan masyarakat, sehingga kurang mampu memahami kerangka fikir masyarakat lokal. Selain itu, kendala juga disebabkan oleh kenyataan bahwa masih adanya prasangka bahwa masyarakat lokal khususnya masyarakat desa memiliki pengetahuan yang rendah sehingga masyarakat desa bukan sumber pengetahuan, sebaliknya di sisi yang lain pihak eksternal yang melaksanakan program di desa sebagai pihak yang lebih menguasai pengetahuan. Selanjutnya Soetomo (2008) menyebutkan bahwa dalam proses belajar sosial, hubungan dan kedudukan antara pihak eksternal dan masyarakat lokal tidak bersifat vertikal, melainkan horisontal karena pihak eksternal sekedar sebagi mitra. Melalui proses belajar tersebut masyarakat belajar untuk memahami dan memberi makna bahwa ide dari pihak eksternal dapat memberi manfaat sehingga mereka dapat menerimanya. Sebaliknya, apabila dalam proses belajar tersebut masyarakat menilai ide tersebut tidak bermanfaat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat dapat menolaknya. Oleh karena itu dalam proses belajar sosial, komunikasi dialogis, yang bersifat dua arah bukan instruksi atau perintah yang bersifat satu arah, berperan sangat penting.
188
Saat ini para penyuluh dan pendamping petani pengelola hutan rakyat lestari (sertifikasi) di Gunung Kidul dan Wonogiri, maupun institusi pembinanya masih cenderung lebih banyak menekankan kompetensi teknis dan belum banyak mengembangkan kapasitas masyarakat sesuai dengan minat serta kebutuhan petani untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan penelitian Narayan (1993), yang diacu dalam Pretty (1997), yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh sejauhmana kelembagaan eksternal mengakomodir orientasi utama atau nilainilai, kebutuhan dan minat masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengambil keputusan. Keberadaan BP2KP di Gunung Kidul seharusnya dapat meningkatkan pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Saat ini BP2KP belum terlibat dalam Pokja Hutan Rakyat Lestari, tetapi sebagai institusi yang memiliki tupoksi dalam pemberdayaan masyarakat dan instansi pembina para penyuluh kehutanan maka sudah seharusnya BP2KP dilibatkan Pokja. Bahkan peranan BP2KP dalam menyusun program pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, pelatihan penyuluh pendamping sebagai pelaksana teknis pembelajaran masyarakat di lapangan sangat penting bagi pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Mengacu kepada Pretty (1997) serta Moyo dan Hagman (1999) untuk pembangunan berkelanjutan diperlukan kelembagaaan atau organisasi yang lebih terdesentralisasi, merupakan tim multidisipliner, fleksibel dan heterogen serta output sesuai dengan permintaan atau kebutuhan petani. Kelembagaan eksternal harus realistik, cepat menanggapi masukan sehingga perlu memiliki respons adaptif untuk perubahan. Pembelajaran harus ditetapkan pada pemecahan masalah, interaktif dan berdasarkan kondisi di lapangan. Keterkaitan antara kelembagaan pendukung pembelajaran yang lebih baik, ialah bagaimana mengkaitkan antara penelitian, penyuluhan, pendidikan bagi masyarakat. Masing-masing lembaga mempunyai tugas pokok dan fungsi berlainan namun memiliki keterkaitan dan saling melengkapi, bekerja secara sinergis sehingga proses pembelajaran masyarakat dapat berjalan lebih baik. Hal
189
ini sejalan dengan pendapat Roling (1989) Rivera dan Schram (1987), yang diacu dalam Rivera et.al. (2005) bahwa sekumpulan institusi menjadi sebuah sistem jika komponennya terkait satu dengan lainnya, dan institusi yang terpisah tersebut saling terhubung sehingga dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam berbagai kegiatan untuk saling berbagi sumberdaya manusia, fisik dan finansial untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Sistem ini dikenal dengan Agricultural Knowledge Information System (AKIS), yang terdiri dari tiga institusi yaitu penelitian, penyuluhan, kelembagaan pendidikan pertanian dengan petani sebagai pusat dari tujuan sistem tersebut, yaitu pelayanan terhadap petani. Seiring dengan perkembangannya AKIS berkembang menjadi AKIS/RD, yang mengutarakan empat mayor subsistem dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, yaitu : (1) subsistem penciptaan pengetahuan; (2) subsistem difusi pengetahuan; (3) subsistem penggunaan pengetahuan; (4) subsistem pendukung pertanian, terdiri dari kredit, input dan fungsi pasar. Pernyataan ini menguatkan hasil penelitian di atas bahwa dalam Pokja perlu dimasukkan pihak swasta yang tergolong dalam subsistem pendukung: yang menyediakan kredit, dan khususnya pemasaran. Bila dikaitkan dengan AKIS/RD, Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dapat dikatakan atau berfungsi sebagai sebuah sistem, yang terdiri dari subsistem pendidikan, penelitian, penyuluhan, informasi dan pemasaran sebagai subsistem tambahan dari keanggotan Pokja yang ada saat ini. Kelembagaan pendukung pembelajaran yang berkolaborasi, sudah merupakan keharusan dalam pengelolaan kehutanan berkelanjutan ke depan. Mengacu pada AKIS, yang disebarkan oleh FAO (2005), diperlukan pendekatan sistem dalam penyuluhan. Sistem penyuluhan terdiri dari lima sub sistem yang saling terkait, yaitu sub sistem penelitian, sub sistem pendidikan, sub sistem pendukung
(support system), sub sistem penyuluhan dan sub sistem petani.
Semua sub sistem ini saling terkait satu dengan yang lainnya dan masing-masing sub sistem memiliki peran dan fungsi yang berbeda, dan saling interdependensi. Dikaitkan dengan model AKIS yang dikembangkan oleh FAO, maka satu sub sistem yang belum ada dalam Pokja yaitu keterlibatan support system, yang melayani kredit, pemasaran dan lainnya.
190
Pokja Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, merupakan salah satu bentuk kolaborasi kelembagaan pendukung, yang menghasilkan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) yang lebih baik dibandingkan dengan Wonogiri. Pada kelembagaan pendukung pembelajaran di Wonogiri kurang adanya kerja sama, bahkan cenderung mengarah kepada hubungan yang kurang harmonis. Dan bila dikaitkan dengan AKIS, masih sangat jauh dari yang diharapkan, karena pada kelembagaan pendukung di Wonogiri baru terdapat satu sub sistem yaitu penyuluhan saja, sedangkan sub sistem lainnya tidak ada. Dengan kolaborasi yang lebih baik, diharapkan terdapat kesamaan visi, misi dan tujuan sistem yang mengikat semua sub sistem di dalamnya, sehingga walaupun masing-masing lembaga sebagai sub sistem tetap menjalankan fungsi dan
perannya
masing-masing,
tetapi
secara
bersamaan
mereka
juga
memperjuangkan tujuan sistem dimana mereka bergabung. Dengan demikian perlu ada pembagian peran dan tugas, yang tegas, yang mencakup penyediaan sarana, prasarana, fasilitas dan personil pendukung
yang menjamin tercapai
tujuan bersama. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Mattesich et.al. (2001) yang mendefinisikan kolaborasi sebagai hubungan yang saling menguntungkan dan didefinisikan secara jelas antara dua atau lebih organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan tersebut mencakup komitmen terhadap tujuan bersama, struktur yang dikembangkan bersama dan tanggung jawab yang dibagi, kewenangan dan pertanggungjawaban bersama, dan berbagi sumberdaya dan pahala. Selanjutnya Mattesich et. al. (2001) mengungkapkan bahwa faktor yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak ialah konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada; adanya saling menghormati, kesepahaman dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya antar pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak, keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat, pemenuhan kepentingan setiap pihak; frekuensi komunikasi; dan ketersediaan sumberdaya. Salah satu faktor penting untuk mewujudkan kolaborasi tersebut adalah kesejajaran kapasitas sehingga semua pihak yang berkolaborasi mampu untuk
191
berbagi kewenangan, peran dan tanggung jawab, berbagi resiko dan keuntungan dan saling kontrol. Ketidakseimbangan kapasitas para pihak dapat mengganggu kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equity) antar pihak dalam suatu kolaborasi, oleh karena itu perlu peningkatan kapasitas para pihak yang berkolaborasi. Seringkali masyarakat atau petani sebagai pihak dengan kapasitas yang lemah dalam suatu kolaborasi, oleh karenanya Chaskin et.al (2001) mengungkapkan kombinasi
empat
strategi
utama
dalam
peningkatan
kapasitas,
yaitu:
pengembangan kepemimpinan, pengembangan organisasi, pengorganisasian masyarakat dan pengembangan kolaborasi antar organisasi. Peningkatan kapasitas petani tersebut dapat dilakukan melalui pertemuan kelompok, diskusi petani dengan lembaga pendukung dan personilnya, diskusi petani dengan para penyuluh dan pendamping, studi banding dan pelatihan-pelatihan. Dikaitkan
dengan
hasil
SEM,
aspek
kelembagaan
pendukung
pembelajaran yang mempengaruhi intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi, terutama adalah dukungan kegiatan dan personil yang kompeten. Maka untuk pengembangan intensitas belajar, perlu diwujudkan kegiatan nyata kelembagaan pendukung yang berkolaborasi secara sinergis, yang dapat memenuhi kebutuhan dan membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga kelembagaan pendukung perlu mendukung personilpersonil yang kompeten dan dapat bersinergi dengan personil dari lembaga lain serta dapat saling melengkapi dalam pendampingan pembelajaran melalui kegiatan bersama. Untuk itu penting bagi kelembagaan pendukung pembelajaran mengadakan pelatihan bersama dan peningkatan kapasitas personil-personil agar dapat melakukan pendampingan petani dengan baik. Selain dari itu kelembagaan pendukung pembelajaran perlu terus mensosialisasikan visi, misi dan tujuan bersama sehingga dapat
dicapai kesepahaman, kepercayaan dan kesepakatan
bersama.
Peningkatan Intensitas Belajar Petani Melalui Peningkatan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Dalam penelitian ini kompetensi penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dan Wonogiri secara keseluruhan cenderung rendah, tetapi kompetensi
192
penyuluh atau pendamping berpengaruh nyata terhadap intensitas belajar petani. Jadi, untuk dapat meningkatkan intensitas belajar petani, penyuluh atau pendamping perlu meningkatkan kemampuannya, khususnya dalam
dalam
kemampuan menganalisis permasalahan, peningkatan kapasitas petani, dan peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Ketiga aspek tersebut ialah aspek yang kuat merefleksikan kompetensi penyuluh dan pendamping. Penyuluh diharapkan dapat lebih memahami permasalahan nyata yang dihadapi petani sehingga dapat lebih berempati pada petani. Dalam hal ini kemampuan yang diharapkan dari penyuluh ialah kemampuan bukan untuk mencarikan pemecahan masalah yang tepat untuk permasalahan petani, tetapi untuk membantu petani agar mereka dapat mengambil solusi bagi permasalahan mereka sendiri. Di sisi lain penyuluh dan pendamping diharapkan dapat mencapai target-target yang ditentukan oleh institusi pembinanya. Penyuluh dan pendamping dikatakan kompeten bila dapat mencari titik temu dan memadukan antara kepentingan petani yang didampinginya dengan kepentingan dan target yang diharapkan oleh institusi pembinanya. Hal ini sejalan dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluhan merupakan alat kebijakan yang tepat jika kepentingan utama petani bertepatan dengan kepentingan agen penyuluhan. Kondisi yang ada saat ini ialah penyuluh dan pendamping masih lebih banyak membela kepentingan insitusi tempat mereka bernaung dan kurang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan petani. Hal ini dapat disebabkan oleh latar belakang penyuluh kehutanan, yang pada saat direkrut pertama kali sebagai pegawai honorer proyek penghijauan. Paradigma penyuluhan pada saat itu lebih menekankan keberhasilan proyek penghijauan, sehingga penyuluh kehutanan ditanamkan untuk ”memobilisasi” penduduk untuk melakukan kegiatan penanaman. Perubahan paradigma penyuluhan ini masih belum dipahami oleh penyuluh kehutanan, bahkan oleh pejabat pengambil kebijakan dan penyelenggara penyuluhan kehutanan baik di pusat maupun pemda. Oleh karena itu sangat dibutuhkan perubahan mindset penyuluhan ini melalui pelatihan atau sosialisasi
193
baik pada pejabat pengambil keputusan di Pusat maupun penyelenggara penyuluhan kehutanan di daerah, sampai kepada penyuluh kehutanan di lapangan. Kepekaan penyuluh kehutanan atau pendamping terhadap permasalahan riil yang dihadapi petani, dapat dikembangkan bila penyuluh tinggal dan hidup bersama-sama masyarakat. Oleh karenanya dalam kebijakan penempatan penyuluh dan pendamping perlu ditegaskan penyuluh tinggal bersama dengan masyarakat yang didampinginya sehingga perlu juga diperhitungkan konsekuensi biaya untuk memfasilitasi penyuluh dan pendamping tinggal di desa sekitar masyarakat yang didampinginya. Di sisi lain jumlah penyuluh kehutanan yang ada saat ini sangat terbatas, sehingga perlu dikembangkan ”penyuluh atau pendamping” swadaya dari masyarakat sendiri, dengan melatih petani ’maju” setempat yang mau dan dapat diandalkan untuk membantu teman petani lainnya. Penyuluhan kehutanan berkelanjutan yang diharapkan ke depan ialah penyuluh yang memberi perhatian dan fokus pada peningkatan kapasitas petani yang didampinginya, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kapasitas petani dalam hal ini juga meliputi kapasitas dalam teknis Hutan Rakyat Lestari, kapasitas dalam mengelola usahatani berkelanjutan, kapasitas manajemen kelompok dan lainnya. Peningkatan kapasitas petani, perlu disesuaikan dengan minat dan kebutuhan petani dan difokuskan pada pemecahan permasalahan dan pengembangan usahatani Hutan Rakyat Lestari. Penentuan kebutuhan pelatihan tersebut ditentukan bersama-sama dengan petani hutan rakyat sertifikasi, sehingga kebutuhan pelatihan bukan saja ditentukan berdasarkan sudut pandang penyelenggara penyuluhan saja, tetapi dikombinasikan dengan minat dan kebutuhan petani. Dengan demikian diharapkan petani memiliki motivasi tinggi untuk ditingkatkan kapasitasnya. Peningkatan wawasan teknis kehutanan, khususnya pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, perlu dikembangkan sesuai dengan minat, budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, bukan hanya mengintroduksi hal-hal baru yang sulit atau tidak dikenal masyarakat. Oleh karena itu penting sekali menggali potensi, kebiasaan, minat yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, sebelum menetapkan jenis peningkatan wawasan teknis yang dibutuhkan petani. Dengan demikian peningkatan wawasan teknis sekaligus juga menggali,
194
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Kompetensi
penyuluh
dan
pendamping
yang
dibutuhkan
untuk
meningkatkan intensitas belajar petani tersebut, berkaitan dan sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting yaitu : pemberdayaan; pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat; pengembangan sumberdaya petani; serta pemecahan masalah dan pendidikan. Oleh karena itu perlu direncanakan dengan baik, peningkatan kompetensi penyuluh berkaitan dengan peranan tersebut. Keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan dalam kelembagaan pendukung sebagai suatu sistem dalam hal ini sangat penting. Dengan adanya keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan pendidikan, dapat dipersiapkan dengan baik pelatihan penyuluh dan pendamping sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh lembaga penyuluhan. Sejalan dengan hal tersebut, Sumardjo (2010) mengemukakan empat kompetensi yang perlu dimiliki oleh penyuluh yaitu: (1) kompetensi personal yaitu kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian penyuluh yang tercermin dari kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motivasi berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya;
(2)
kompetensi
sosial
menyangkut
kemampuan-kemampuan
berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerja sama dan bersinergi, mengembangkan
kesetiakawanan,
kohesif
dan
mampu
saling
percaya
mempercayai; (3) kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan mengubah pengetahuan, ketrampilan dan sikap sasaran penyuluhan; dan (4) kompetensi komunikasi inovatif menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan.
195
Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari merupakan penjabaran dari model pengembangan pembelajaran petani yang dihasilkan dari analisis SEM. Strategi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (Gambar 8) terdiri dari input (masukan), proses, output (keluaran), dan outcome (hasil).
Gambar 8. Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
196
Input
dalam
strategi
pengembangan
pembelajaran
petani
dalam
pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, terdiri dari: (1) Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik; dan (2) Kompetensi Penyuluh dan pendamping. Proses dalam strategi pengembangan pembelajaran petani ialah peningkatan intensitas belajar petani, sedangkan output (keluaran) yang dihasilkan dari proses pembelajaran ialah perilaku ”lestari” petani hutan rakyat lestari (sertifikasi). Outcome (hasil) dari proses pembelajaran atau peningkatan intensitas belajar petani ialah hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Strategi pengembangan pembelajaran petani dijabarkan ke dalam dua strategi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu : (1) Pengembangan Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik; dan (2) Peningkatan Kompetensi Penyuluh. Penjabaran strategi masing-masing input tersebut lebih ditekankan pada aspek-aspek yang paling berpotensi mempengaruhi pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, sesuai dengan temuan penelitian ini.
Pengembangan Kelembagaan Pendukung yang Kolaboratif dan Sistemik Strategi pertama untuk pengembangan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) di masa mendatang ialah dengan pengembangan kelembagaan pendukung yang kolaboratif dan sistemik. Kelembagaan pendukung yang kolaboratif dalam ini ialah dapat melibatkan semua institusi atau organisasi yang berkaitan dengan pengembangan Hutan Rakyat Lestari, yang menjalankan fungsi penyuluhan, pendidikan, penelitian dan pemasaran-perkreditan, tetapi memiliki visi, misi dan tujuan yang sama, dengan fokus kepada kepentingan petani. Kolaborasi yang diharapkan dalam pengelolaan hutan, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari ialah kolaborasi sampai dengan tingkatan performing (Handy (1985), yang dikutip Pretty (1995), di mana semua lembaga pendukung pembelajaran dapat bekerja sama dalam satu tim secara efektif. Tim ini memiliki pandangan dan kekuasaan untuk mendukung pembelajaran, dan tingkat kepercayaan diri tim tercapai pada saat semua anggota tim mencapai
197
kesediaan untuk menanggung resiko bersama dan berupaya menghasilkan ide-ide mereka sendiri. Austin (2000) menyebutkan tahapan integratif sebagai tahapan tertinggi dalam kolaborasi. Pada tahapan integratif, misi mitra kerja, masyarakat dan kegiatan dilakukan secara lebih kolektif dan mengalami integrasi organisasi. Nilai individu meningkat menjadi nilai bersama; masing-masing budaya organisasi dipengaruhi budaya lainnya; proses dan prosedur dilembagakan untuk mengelola kompleksitas hubungan yang semakin besar. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang sistemik, berarti kelembagaan pendukung tersebut terintegrasi dalam suatu sistem, yang terdiri dari dari berbagai organisasi dengan berbagai fungsi sebagai subsistem. Di mana masing-masing subsistem memiliki visi, misi, dan tujuan masing-masing, tetapi sebagai bagian dari sistem yang lebih besar juga mendukung dan menjalankan visi, misi dan misi kelembagaan pendukung. Sub sistem-sub sistem tersebut saling terkait satu dengan lainnya dan saling mendukung. Berkaitan dengan kelembagaan pendukung pembelajaran petani sebagai suatu sistem, Pokja Hutan Rakyat di Gunung Kidul dapat dikembangkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub sistem-sub sistem yang saling terkait satu dengan lainnya. Saat ini Pokja Hutan Rakyat di Gunung Kidul belum melibatkan BP2KP sebagai sub sistem penyuluhan dan Koperasi Wana Manunggal atau pihak swasta lainnya sebagai subsistem yang menjalankan fungsi pemasaran atau bantuan perkreditan, dan kegiatan pendukung lainnya. Untuk meningkatkan tahapan kolaborasi kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian, diperlukan upaya-upaya yang berbeda karena tingkatan atau tahapan kolaborasi kelembagaan pendukung tersebut berbeda. Kelembagaan pendukung secara bersama perlu menekankan dukungannya pada kegiatan nyata, yang sesuai dengan kebutuhan petani dan menempatkan personil pendamping yang kompeten. Secara umum upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari yang kolaboratif dan sistemik ialah sebagai berikut :
198
a. Membentuk kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang kolaboratif dan sistemik dengan melibatkan institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi penyuluhan, pendidikan, penelitian dan pemasaran-perkreditan, yang memiliki kesamaan visi, misi dan tujuan dengan fokus pada pemberdayaan petani hutan rakyat lestari (sertifikasi); b. Menetapkan visi, misi, dan tujuan bersama, dan menjabarkannya dalam program dan kegiatan bersama. Kegiatan yang dilaksanakan lebih difokuskan pada pemberdayaan petani yang berkelanjutan, dan saling terkait antara satu organisasi dengan organisasi lainnya; c. Menetapkan aturan, kesepakatan dan kesepahaman bersama (berkaitan dengan sharing sumberdaya, peran dan lainnya), yang selalu disosialisasikan kepada semua organisasi yang terlibat; d. Masing-masing institusi menjalankan perannya, sesuai dengan yang disepakati bersama, dan menempatkan personil pendamping yang kompeten. Untuk mendapatkan personil yang kompeten sangat perlu dilakukan pelatihan bersama bagi para pendamping di lapangan, selain untuk mencapai kesepahaman bersama di tingkat lapangan, sharing pengalaman juga saling melengkapi; e. Semua lembaga pendukung pembelajaran yang terkait dalam tim kerja, memantau dan melakukan evalusi terhadap hasil pekerjaan yang dilakukan bersama.
Peningkatan Kompetensi Penyuluh/Pendamping Strategi kedua pengembangan pembelajaran petani hutan rakyat lestari (sertifikasi) ialah peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping. Sebelum meningkatkan kompetensi penyuluh dan pendamping, terlebih dahulu penyuluh dan pendamping perlu menyadari bahwa tugas utamanya adalah menolong petani hutan rakyat sertifikasi agar mereka dapat menolong dirinya sendiri untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari. Tugas penyuluh dan pendamping adalah mempersiapkan petani sertifikasi agar memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri segala hal yang berkaitan dengan usaha Hutan Rakyat Lestari
199
dan pengembangannya. Pretty (1995) menyebutkannya bahwa konsep penyuluhan ke depan adalah bekerja bersama masyarakat, bukan bekerja untuk masyarakat. Dengan demikian kompetensi penyuluh dan pendamping yang perlu ditingkatkan bukan hanya meningkatkan kemampuan teknis, tetapi lebih luas lagi yaitu kompetensi penyuluh dalam mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Chamala dan Shingi (1997) serta Moyo dan Hagmann (1999). Chamala dan Shingi (1997) menegaskan bahwa kompetensi penyuluh yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan ialah kompetensi dalam menjalankan empat peranan, yaitu: (1) pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3) pengembangan sumberdaya manusia; dan (4) pemecahan masalah dan pendidikan. Berkaitan dengan peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian, terutama kemampuan dalam menganalisis permasalahan petani, meningkatkan kapasitas petani dan peningkatan wawasan teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut : a. Penyusunan bersama semua kelembagaan pendukung pembelajaran tentang kompetensi standar yang harus dimiliki oleh penyuluh dan pendamping secara umum, dan secara khusus kompetensi yang berkaitan dengan pendampingan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari; b. Sosialisasi tentang visi dan misi yang akan dicapai baik oleh organisasi induk tempat penyuluh bernaung, juga visi dan misi kolaborasi kelembagaan pendukung, seperti Pokja dan lainnya; c. Sosialisasi terus menerus tentang peranan penyuluh dan pendamping dalam pemberdayaan, pengelolaan kelompok dan organisasi, pengembangan SDM dan pemecahan masalah dan pendidik. Penting menanamkan konsep bekerja bersama masyarakat pada penyuluh dan pendamping; d. Merancang bersama-sama kebutuhan dan prioritas pelatihan atau bentuk peningkatan kompetensi lainnya bagi penyuluh dan pendamping Hutan Rakyat Lestari; e. Pelaksanaan pelatihan secara bersama penyuluh dan pendamping untuk lebih meningkatkan dan membangun kesepahaman dalam tim. Hal ini menjadi penting,
karena
baik
di
Gunung
Kidul
maupun
Wonogiri
terjadi
200
kesalahpahaman dan saling curiga mencurigai antara penyuluh (PNS) dengan pendamping dari LSM; f. Dalam pelatihan atau magang, atau bentuk peningkatan kompetensi lainnya selalu ditekankan mengenai pentingnya bekerja tim dalam jaringan. Dengan demikian, teladan kemitraan antara penyuluh dan pendamping pasti akan berdampak pada hubungan kerja sama dan kemitraan pada masyarakat yang didampinginya; g. Pemberian penghargaan kepada
penyuluh dan pendamping yang telah
memiliki kompetensi tinggi dan berhasil mendampingi petani hutan rakyat sertifikasi sehingga petani mandiri dalam mengelola dan mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Intensitas belajar petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari secara umum tergolong rendah. Terdapat perbedaan intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul tergolong sedang sedangkan di Kabupaten Wonogiri tergolong rendah. Aspek intensitas belajar petani yang berpotensi menjadi penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari adalah intensitas interaksi petani dengan penyuluh, intensitas interaksi petani dengan materi pembelajaran, dan intensitas interaksi petani dengan lingkungan belajar.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri ialah: (a) lemahnya kelembagaan pendukung pembelajaran petani, (b) lemahnya dinamika kelembagaan masyarakat, (c) rendahnya kompetensi penyuluh/pendamping, dan (d) konsep diri dan motivasi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari yang tidak maksimal. Aspek pendekatan pembelajaran tidak berpengaruh nyata terhadap
intensitas belajar petani di Kabupaten
Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri karena petani Hutan Rakyat Lestari lebih banyak mendapatkan pembelajaran Hutan Rakyat yang diwariskan turun menurun dari orang tua mereka.
Perilaku petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dalam mengelola Hutan Rakyat berbeda nyata dengan petani non sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri. Performans perilaku petani sertifikasi tergolong kategori sedang, sedangkan performans perilaku petani non sertifikasi tergolong kategori rendah. Terdapat perbedaan nyata antara perilaku kelola hutan petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Perbedaan terutama terletak pada aspek sosial, dimana perilaku aspek sosial Hutan Rakyat Lestari
205
petani di Kabupaten Gunung Kidul tergolong tinggi sedangkan di Kabupaten Wonogiri tergolong sedang.
Performans perilaku petani sertifikasi dalam penelitian ini secara umum tergolong sedang untuk aspek produksi dan ekologi, dan tergolong tinggi untuk aspek sosial. Tingginya perilaku sosial pada ranah pengetahuan dan sikap, tidak diikuti pada ranah ketrampilan. Artinya walaupun petani baik dalam wawasan atau pengetahuan dan memiliki sikap positif terhadap aspek sosial Hutan Rakyat Lestari, namun belum diimbangi dengan ketrampilan dalam menerapkan segi sosial Hutan Rakyat Lestari. Petani dalam melaksanakan usaha Hutan Rakyat Lestari lebih banyak melakukannya secara individu, dan belum banyak dikerjakan bersama secara berkelompok.
Perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari dipengaruhi oleh faktor-faktor: (a) intensitas belajar petani dan (b) karakteristik petani. Aspek karakteristik petani yang berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani ialah : konsep diri petani, motivasi ekstrinsik, dan motivasi intrinsik.
2. Aspek kelembagaan yang berperan penting dalam proses pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari ialah kelembagaan pendukung pembelajaran dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan pendukung yang mempengaruhi pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri ialah peran Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Organisasi non Pemerintah (Ornop) atau Lembawa Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan masyarakat, khususnya kelembagaan masyarakat informal seperti kelompok arisan, kelompok yasinan/pengajian, gotong royong berperan lebih besar dalam proses pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari, dibandingkan kelembagaan formal yang dibentuk untuk memenuhi persyaratan sertifikasi, dan kurang sesuai dengan budaya masyarakat.
206
3. Model pengembangan pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari sesuai dengan hasil penelitian ini adalah melalui peningkatan intensitas belajar petani. Peningkatan intensitas belajar petani dapat dilakukan melalui : (a) Peningkatan kolaborasi kelembagaan pendukung pembelajaran dan (b) Peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping. Strategi pengembangan kelembagaan pendukung yang kolaboratif dan sistemik dilakukan dengan: (a) Membentuk kelembagaan pendukung pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari yang kolaboratif dan sistemik; (b) Menetapkan visi, misi, dan tujuan bersama, dan menjabarkannya dalam program dan kegiatan bersama. Kegiatan difokuskan pada kegiatan pemberdayaan petani, sesuai dengan nilai, kebutuhan riil dan minat petani, serta berkelanjutan; (c) Merekrut dan menempatkan personil di lapangan yang memiliki kompetensi dan kepedulian tinggi terhadap pemberdayaan petani.
Strategi peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping, dilakukan dengan: (a) Penyusunan bersama standar kompetensi penyuluh dan pendamping secara umum, dan secara khusus kompetensi yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari; (b) Peningkatan kepedulian dan kepekaan penyuluh/pendamping terhadap permasalahan dan kebutuhan riil petani; (c) Peningkatan kompetensi melalui pelatihan-pelatihan, yang lebih difokuskan kepada peningkatan kemampuan penyuluh dan pendamping dalam : menganalisa permasalahan petani, meningkatkan kapasitas petani, dan memadukan wawasan teknis Hutan Rakyat Lestari dengan pengetahuan lokal petani sertifikasi; (d) Pemberian penghargaan kepada
penyuluh dan
pendamping yang telah memiliki kompetensi tinggi dan berhasil mendampingi petani
sertifikasi
sehingga
petani
mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.
mandiri
dalam
mengelola
dan
207
Saran
1. Pengembangan Hutan Rakyat Lestari, khususnya sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di masa mendatang perlu lebih memperhatikan proses pembelajaran petani. Proses sertifikasi PHBML bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan sertifikat Ekolabel dengan memberikan bantuan kepada petani, tetapi dukungan lebih difokuskan kepada proses pembelajaran petani untuk menanamkan kesadaran mengenai pentingnya mengembangkan pengelolaan Hutan Rakyat secara lestari; 2. Kesadaran kritis masyarakat dan proses belajar mandiri secara arif dalam menjaga kelestarian hutan rakyat merupakan modal dasar yang sangat potensial dan perlu dimanfaatkan secara maksimal dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri. Perlu perubahan pendekatan pembelajaran dalam pengembangan Hutan Rakyat Lestari, dari yang lebih cenderung fokus pada pengajaran (teaching) ke arah pendekatan pembelajaran (learning), dengan cara: (a) mengembangkan pembelajaran mandiri (self determination, self directions, learner centered), dengan memberikan informasi dan akses seluas-luasnya kepada petani untuk dapat mencari, menentukan dan menemukan sumber-sumber pembelajaran yang dibutuhkan oleh petani; (b) materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan petani dan ditujukan untuk mengatasi permasalahan khususnya berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari; (c) lebih banyak menggunakan metode pembelajaran learning by doing, experiental learning, discovery learning yang lebih memberikan kesempatan petani untuk menggali potensi dan mengembangkan kearifannya dalam mengelola hutan rakyat lestari;
(d)
mengembangkan
dialog,
diskusi
serta
hubungan
setara
(pertemanan/kemitraan) yang akrab antara penyuluh dan petani, sehingga memberikan peluang lebih banyak untuk saling belajar;
3. Organisasi masyarakat penting untuk pengembangan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari namun masih sangat lemah dalam aspek manajemen sehingga perlu dikuatkan antara lain dengan: (a) peningkatan kapasitas pengelola
208
koperasi,
dengan
pendampingan
dari
lembaga
perkoperasian;
(b)
pengembangan fungsi koperasi sebagai penyediaan kredit untuk mengatasi permasalahan kebutuhan mendesak yang dihadapi petani dan mengurangi kebiasaan memanen kayu di bawah ukuran standar; (c) peningkatan wawasan dan kapasitas pengurus Forum/Gabungan Kelompok Petani Sertifikasi khususnya dalam manajemen organisasi, pengambilan keputusan dan meningkatkan bargaining position petani; (d) penguatan dan peningkatan kapasitas tokoh masyarakat dalam memfasilitasi kelompok-kelompok informal dalam masyarakat menjadi kelompok belajar masyarakat yang efektif untuk pengembangan Hutan Rakyat Lestari;
4. Untuk menjalankan strategi pengembangan kelembagaan pendukung yang kolaboratif dan sistemik serta strategi peningkatan kompetensi penyuluh dan pendamping diperlukan koordinasi, komunikasi dan kerja sama yang efektif antara berbagai stakeholder di pusat dan daerah. Secara rinci saran yang diberikan adalah: (1) Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, berperan penting dalam merumuskan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan penyuluhan kehutanan, khususnya peningkatan kompetensi penyuluh dan peningkatan kolaborasi dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. Kebijakan berkaitan peningkatan kompetensi penyuluh antara lain : (a) penetapan standar kompetensi penyuluh untuk perekrutan penyuluh maupun peningkatan pangkat dan jabatan penyuluh; (b) pendidikan lanjutan untuk penyuluh yang berprestasi, (c) peningkatan kapasitas penyuluh secara rutin dan berkelanjutan, dengan jumlah peserta dan anggaran tiap tahun yang memadai sehingga minimal setiap dua tahun sekali seorang penyuluh mendapatkan kesempatan untuk ditingkatkan kapasitasnya. Hal ini penting mengingat kondisi saat ini kesempatan dan peluang seorang penyuluh untuk mendapatkan pelatihan khususnya berkaitan dengan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat sangat minim, karena minimnya anggaran untuk pelatihan/peningkatan kapasitas SDM penyuluh; (d) penetapan dan pemenuhan standar sarana dan prasarana bagi penyuluh untuk dapat
209
mengembangkan pendekatan pembelajaran kepada petani; (e) penetapan dan pemberlakuan sistem insentif bagi penyuluh berprestasi; (f) memberikan
perhatian
pada
pemberdayaan
penyuluh
swadaya,
pendamping dan tokoh masyarakat menjadi mitra penyuluh PNS dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan di lapangan.
Kebijakan berkaitan peningkatan kolaborasi dalam penyuluhan kehutanan antara lain: (a) penguatan kerja sama berkelanjutan dan konkrit melalui kegiatan bersama penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat antar unit kerja Kementerian Kehutanan baik di Pusat dan Daerah. Forum-forum kerja yang telah dibentuk, seperti Forum Pemberdayaan Masyarakat dan lainnya ditindaklanjuti dengan anggaran dan kegiatan besama yang berkelanjutan dan konkrit; (b) pemantapan dan penguatan kolaborasi dengan lembaga penelitian, lembaga pendidikan, lembaga perkreditan dan pemasaran baik institusi pemerintah, organisasi non pemerintah maupun pihak swasta dengan merumuskan bersama visi, misi, tujuan bersama, dengan pembagian peran yang setara, dan dituangkan dalam kegiatan bersama secara berkelanjutan; (c) kebijakan dan langkah konkrit untuk melibatkan pihak swasta dalam kegiatan pembelajaran masyarakat, khususnya dalam pengembangan hutan rakyat lestari, di antaranya dengan menekankan implementasi kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR);
(2)
Pemerintah Daerah, dalam hal ini institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan, seperti Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat
kabupaten,
maupun
organisasi
lainnya
yang
menangani
penyuluhan kehutanan, yaitu Dinas Kehutanan dan dinas lainnya perlu memberi perhatian pada upaya meningkatkan kompetensi penyuluh dengan : (a) mendorong dan memberikan kesempatan kepada penyuluh untuk meningkatkan kompetensinya baik melalui pendidikan formal dan informal; (b) mengadakan pembinaan pembentukan sikap mental penyuluh
210
yang positif terhadap pemberdayaan masyarakat, pelatihan teknis dan peningkatan ketrampilan
secara rutin dan berkelanjutan, yang dilakukan
terintegrasi dengan lembaga pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya; (c) memberikan akses dan peluang kepada penyuluh untuk dapat mengembangkan kapasitas dirinya melalui kerja sama dengan stakeholder; (d) mensosialisasikan, menjalankan dan mengembangkan sistem kerja kolaborasi dengan berbagai unsur pemerintah, lembaga pendidikan, penelitian, swasta dan masyarakat, yang diwujudkan dalam wadah penyuluhan terkecil yaitu pada tingkat desa atau kecamatan.
211
DAFTAR PUSTAKA Ancok D. 1995. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Di dalam: Metode Penelitian Survai. Ed Revisi (Editor: Masri Singarimbun dan Sofian Effendi). Jakarta: LP3ES Anderson LW, Krathwohl DR, Airasian PW, Cruikshank KA, Mayer RE, Pintrich PR, Raths J, Wittrock MC. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Longman, Inc. [Arupa]. Aliansi Volunteer Pecinta Alam. 1999. Kemandirian Rakyat dalam Mengelola Hutan, Sebuah Pelajaran Berharga dari Lapangan. Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat di Gunung Kidul. Yogyakarta: Arupa. Austin JE. 2000. The Collaboration Challenge: How Nonprofits and Bussinesses Succeed Through Strategic Alliances. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Awang SA, Sepsiaji D, Himmah B. 2002. Etnologi Manusia di Hutan Rakyat. Yogyakarta: Sinergi Press. Awang SA, Santoso H, Widayanti WT, Nugroho Y. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta: CV Debut Press. Awang SA, Widayanti WT, Himmah B. 2005. Manajemen Sistem Hutan Rakyat Menuju Model Sertifikasi. Di dalam Jurnal Hutan Rakyat 7:1-24. Awang SA, Wiyono SB, Sandiyo S. 2007. Unit Manajemen Hutan Rakyat: Proses Konstruksi Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Banyumili. Babari A, Prijono OS. 1996. Pendidikan sebagai Sarana Pemberdayaan dalam Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre Strategic and International Studies. Bandura A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliff, New Jersey: PreticeHall. Black JA, Champion DJ. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Bloom BS. 1973. Taxonomy of Educational Objectives. Handbook I and II. New York: David McKay Company; Inc. New York for Longmanns. Boyatzis RE. 1984. The Competent Manager: A Model for Effective Performance. New York: John Willy & Sons. [BPS] Biro Pusat Statistika. 2009. Gunung Kidul dalam Angka. Gunung Kidul: BPS
212
[BPS] Biro Pusat Statistika. 2008. Wonogiri dalam Angka. Wonogiri: BPS. [BRIK] Badan Revitalisasi Industri Kehutanan. 2010. Hutan Rakyat : Peran yang Makin Nyata. http://www.brikonline.co.html [15 Juli 2010] Brown VS. 2004. Collaboration Framework: Building and Sustaining Positive Change on Communication Strategies for Multiple Partner Involvement in Forest Extension. Di dalam: Proceedings of 7 th IUFRO Extension Working Party Symposium; 27 September -1 October, 2004, Orvieto and Rome, Italy. 2004. Bruner JS. 1964. The source of cognitive growth. American Pscyhologist. New York: Wiley. Cao G, Zhang L. 2005. Pemikiran Kembali Tentang Konsensus dalam Pluralisme: Belajar Dari Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas di Yunnan, China. Di dalam: Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Editor: Wollenberg E et al. Bogor: Pustaka Latin. Cernea MM, editor. 1988. Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press Chamala S, Shingi PM. 1997. Establishing and Strengthening Farmer Organizations. Di dalam: Improving Agricultural Extension. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Chambers R. 1993. Challenging The Professions. Frontiers for rural development. London: Intermediate Technology Publications Ltd. Chaskin RJ, Brown P, Venkatesh S, Vidal A. 2001. Building Community Capacity. New York: Aldine de Gruyter. CIFOR [Center for International Forestry Research]. 2005. Sintesis: Restrukturisasi Industri Kehutanan & Skenario Masa Depan. 6. Harapan ke Depan : Revitalisasi Industri (s/d Thn 2020). http: //www.cifor. cgiar.org/.../ Attachment36-Sarsito-Jakarta/. [15 Juli 2009] Coombs PH. 1973. New Path Learning. New York: International Council for Educational Development. Creswell JW. 2002. Desain Penelitian. Chrysnanda dan Hastobroto B, penterjemah. Jakarta: KIK-UI Press. Terjemahan : Research Design. Cronbach L. 1954. Educational Psychology. New Harcourt: Grace. Dahama OP, Bhatnagar OP. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi, Calcutta: Oxford & IBH Publishing Co.
213
Darusman D. 2001. Komparasi Antar Usaha Kehutana Masyarakat. Di dalam : Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta: Debut Pr. Darusman D. 2002. Hutan Rakyat: Pengembangan Strategis Kehutanan. Di dalam : Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial dan Yayasan Dani Hanidah. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2001. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 132/Menhut-II/2004 tentang Pedoman Penyuluhan Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Data Strategis Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Djogo T. 2005. Kepemimpinan Lingkungan: Kelembagaan, Kekuasaan dan Konstituen dalam Urgensi Kepemimpinan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Di dalam: Indonesian Journal for Sustainable Future 1:1-28. Dwiyogo DW. 2008. Pembelajaran Visioner. Malang: Wineka Media. Erlina D. 2009. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulon Progo Provinsi DI Yogyakarta), [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agricultural Organization of The United Nations. 2005. Enhancing Coordination Among AKIS/RD Actors: An analytical and Comparative Review of Country Studies on Agricultural Knowledge and Information System For Rural Development (AKIS/RD). Rome: Food And Agricultural Organization of The United Nations. Field J. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Franz NK. 2003. Transformative Learning in Extension Staff Partnerships: Facilitating Personal, Joint, and organizational Change. Di dalam Journal of Extension 39. http://joe.org/joe/2003april/a1.shtml [6 agustus 2010] Freire P. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. Jakarta: PT Sangkala Pulsar.
214
Fukuyama. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. London: Hamish Hamilton. Havelock RG. 1973. The Change Agent’s Guide to Innovation in Education. Englewood Cliff NJ: Educational Tenology Publications. Helm J. 1998. Dictionary of Forestry. United States of America: The Society of American Foresters and CABI Publishing. Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat Di Indonesia. Jakarta: Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Hubeis AVS dkk. 1992. Penyuluhan Pembangunan Di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Jakarta : PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Indiyah H. 2010. Kelembagan Penyuluhan Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Komunitas Petani Sertifikasi Percabaan, Dusun Pagersengon Kalurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah), [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Isbandi RA. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarkaat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan. Kerlinger FN. 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kingsley HL.1957. The Nature dan Conditions of Learning. Engliwood Clifts: N.J,Prentice-Hall. Klausmeier HJ, Goodwin W. 1971. Learning and Human Abilites: Educational Pschology. Fourth Ed. New York: Harper & Row Publisher. Knowles M. 1979. The Adult Learner: A Neglected Species. Second Edition. Texas: Gulf Publishing Company. Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Korten FF, Bagadion BU. 1988. Pendekatan Proses Belajar. Di dalam Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembangunan. Editor: Cernea MM. Jakarta: UI Press.
215
Korten DC. (ed.) 1986. Community Management : Asian Experience and Perspectives. Connecticut : Kumarian Press. Kountur R. 2006. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Penerbit PPM. Kraenzel DG. 2001. Building Working Relationships in Agricultural Marketing. Di dalam Journal of Extension 39. http://joe.org/joe/2001february/ttl.html [6 agustus 2010] Kuncahyo B. 2006. Model Simulasi Pengaturan Hasil Lestari Yang Berbasis Kebutuhan Masyarakat Desa Hutan [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup sampel dengan LISREL. Bandung: Alfabeta. Lawang RMZ. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta: FISIP UI Press. Leeuwis C. 2004. Communication for Rural Innovation: Rethinking Agricultural Extension. Third Edition. Carlton, Victoria : Blackwell Publishing company. [LEI] Lembaga Ekolabel Indonesia. 2007. Prosedur Sertifikasi Ekolabel. Yogyakarta: Qalam. Malo M, Triningtyas S. 1998. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Pusat Angar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial-UI. Marius JA. 2007. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marzano RJ. 2000. Designing a new taxonomy of educational objectives. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. Marzano RJ. 1992. Dimension of Thinking: A framework for Curriculum and Instruction. Alexandria: ASCD. Mattesich PW,M Murray-Close, BR Monsey. 2001. Collaboration: What Makes it Work. Saint Paul, Minnesota: Amherst H. Wilder Foundation. Mindawati N, Widiarti A, Rustaman B. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. Moyo E, Hagmann J. 1999. A Learning Together Through Participatory Extension. Zimbabwe: Department of Agricultural, Technical and Extension Services (AGRITEX).
216
Nemarundwe N. 2005. Kolaborasi Kelembagaan dan Shared Learning Untuk Pengelolaan Hutan di Distrik Chivi, Zimbabwe. Di Dalam Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Editor: Wollenberg E et. al. Bogor: Pustaka Latin. Norland ER. 2003. Best Practices in Extension Forestry: What we know and what we do. Di dalam : Proceedings of IUFRO Forestry Extension Conference, 28 September – 2 October 2003, Troutdale, Oregon USAH. 2003. hlm 301309. Nuryanto BG. 2008. Kompetensi Penyuluh dalam Pembangunan Pertanian di Provinsi Jawa Barat. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [PKHR] Pusat Kajian Hutan Rakyat. 2008. Pertemuan Para Pihak Tentang Raperda Pengelolaan Hutan Rakyat. http://www.pkhr.ugm.ac.id/page 2 [24 Februari 2011] Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture: Policies and Practise for Sustainability and Self-Reliance. London: Earthscan Publications Ltd. Prihadi D. 2010. Kelembagaan Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat dalam Rangka Pembangunan Hutan di Pulau Jawa [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Reed
AS. 2004. Strategic Realtionships: Engaging for Cooperation, Collaboration and Partnerships. Di dalam Proceedings of IUFRO Forestry Extension Conference, 28 September – 2 October 2003, Troutdale, Oregon USAH. 2003.
Ritchie B, McDougall C, Haggith M, de Oliveira NB. 2001. Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola Oleh Masyarakat (Community Managed Forest). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR) Rivera WM, Qamar MK, Mwandemere HK. 2005. Enhancing Coordination Among AKIS/RD Actors: An Analytical and Comparative Review of Country Studies on Agricultural Knowledge and Information Systems For Rural Development (AKIS/RD). Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roling N, Pretty JN. 1997. Extension’s Role in Sustainable Agricultural Development. Di dalam : Improving Agricultural Extension A Reference Manual. Editor: Swanson BE, Bentz RP, Sofranko AJ. Rome : Food and Agricultue Organization of The United Nations. Rogers C. 1969. Freedom To Learn. Ohio: Charles E Merrill Publishing Company.
217
Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovation. New York: The Free Press; A Division of Macmillan Publishing Co, Inc. Samana A. 1994. Profesionalisme Keguruan (Kompetensi dan Pengembangannya). Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Kanisius. Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sevilla CG, Ochave JA, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Tuwu A, penterjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods. Singarimbun M, Sofian E (Ed). 1989. Metode Penelitian Survai. Ed ke-2. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Slamet M. 1995. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong abad XXI. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Soebiyanto FX. 1998. Peranan Kelompok dalam Mengembangkan Kemandirian Petani dan Ketangguhan Berusahatani. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soedijanto P. 2004. Menata Kembali Penyuluhan Pertanian di Era Pembangunan Agribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian. Soekantor S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Soemanto WS. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Soetomo. 2008. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Spencer LM, Spencer SM. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sudjana SHD. 2000. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Alfabeta. Suhardjito D dkk. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Yogyakarta: Studi Kolaboratif FKKM.
218
Suhardjito D. 2006. Berbagi Pengalaman Pendampingan Masyarakat Desa dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan IPB bekerja sama dengan Debut Press Jogyakarta. Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Suhartiningsih A. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Institusi Lokal. Yogyakarta: Aditya Media bekerja sama dengan Jurusan Sosiatri Fisipol Universitas Gadjah Mada. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 2006. Kompetensi Penyuluh, makalah dalam Pertemeuan KPPN dengan Departemen Pertanian di Batam pada April 2006. Sumardjo. 2008. Penyuluhan Pembangunan Pilar Pendukung Kemajuan dan Kemandirian Masyarakat. Di dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Editor: Yustina I, Sudradjat A. Medan: Pustaka Bangsa Press 2007. Sumardjo. 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi ilmiah Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press. Suparno AS. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas. Suryabrata, S. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pr. Swanson BE, Bentz RP, Sufanko AJ (Editor). 1997. Improving Agricultural Extension: A reference Manual. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Tan SO, Parsons RD, Hinson SL, Brown DS. 2001. Educational Psychology. A Practitioner-Research Approach (An Asian Edition). Singapore: Seng Lee Press. Uphoff N. 1986. Local Institution Development An Analitical Sourcebook with Cases. West Hartford Connecticut: Cornell University, Kumarian Press. Van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
219
White SA, Nair KS, Ascroft J. 2004. Participatory Communication: Working for Change and Development. New Delhi: Sage Publications India Pvt Ltd. Whittaker JO. 1970. Introduction to Psychology. Tokyo: Toppan Company, Limited. Widayanti TW, Himmah B, Awang SA. 2005. Manajemen Sistem Hutan Rakyat Menuju Model Sertifikasi. Pengalaman di Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Di dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol.VII No.3 Tahun 2005. Yogyakarta: PKHR. Widyaningsih TS. 2009. Telaah Kritis Atas Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Hutan. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Wijayanto SH. 2008. Structural Equation Modelling dengan Lisrel 8.8: Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu Winkel WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Wollenberg E, Edmunds D, Buck L, Fox J, Brodt S (Editor). 2005. Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor: Pustaka Latin. Yamin S, Kurniawan H. 2009. Structural Equation Modeling. Belajar lebih Mudah Teknik Analisis Data Kuesioner dengan Lisrel-PLS. Jakarta: Penerbit Salemba Infotek.
220
Model pengukuran awal variabel penelitian (standadized solutions)
221
Model pengukuran awal variabel penelitian (t-value)
222
Model pengukuran perbaikan (standardized solutions)
223
Model pengukuran perbaikan (t-value)
224
Model struktural awal (standardized solutions)
225
Model struktural awal (t-value)
226
Model struktural pembelajaran petani HRL (standardized solutions)
227
Model struktural pembelajaran petani HRL (t-value)
228
DATE: 10/8/2010 TIME: 20:10
L I S R E L
8.70
BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\DATA PENELITIAN OLAH 2\data dasar SPSS\CFALL2R3.Spl: observed variables UMUR PENGAL SOSEK MOTINS MOTEKS KONSDIR KOMKASI KEBUT ANALMAS MITRA KAPTAS LEMBAG WASTEK MAT MET MODAL TAHAP CARBEL NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN NILAI KEG FAS PERSON PLTANI TANI2 TANIKT TANIMAT TANILB PRIPOD PRIEKO PRISOS raw data from file trnshrl.psf sample size 200 latent variable kartani kompeten pdktbel lembmas lmbpdkg intebel prilaku relationships KONSDIR = 1*kartani MOTINS MOTEKS = kartani KOMKASI KEBUT ANALMAS MITRA KAPTAS LEMBAG WASTEK = kompeten NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN = lembmas NILAI KEG FAS PERSON = lmbpdkg PLTANI TANI2 TANIKT TANIMAT TANILB = intebel PRIPOD PRIEKO PRISOS = prilaku intebel = kompeten kartani lembmas lmbpdkg prilaku = intebel kartani let let let let let let let let let let let let let let
error error error error error error error error error error error error error error
of of of of of of of of of of of of of of
KEBUT and KOMKASI free TANIKT and TANI2 free SANKSI and MOTEKS free LEMBAG and KAPTAS free TANILB and TANIKT free PERSON and FAS free KAITAN and TUJ free TOLER and KONFIR free ANALMAS and KEBUT free LEMBAG and MITRA free PIM and KEBUT free PERSON and WASTEK free FAS and KONFIR free PRIEKO and TANIKT free
229
let let let let
error error error error
of of of of
KEG and LEMBAG free KONSDIR and MOTINS free PRIEKO and TANIMAT free PRISOS and TANI2 free
options: EF path diagram end of problems Sample Size =
200
Covariance Matrix
PLTANI TANI2 TANIKT TANIMAT TANILB PRIPOD PRIEKO PRISOS MOTINS MOTEKS KONSDIR KOMKASI KEBUT ANALMAS MITRA KAPTAS LEMBAG WASTEK NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN NILAI KEG FAS PERSON
PLTANI -------6.25 2.20 2.43 5.14 3.61 2.16 2.19 2.33 1.51 2.09 2.56 5.70 5.16 5.57 5.73 5.82 5.99 5.51 3.07 5.12 1.80 1.59 2.61 2.19 1.59 3.92 4.63 3.17 3.92
TANI2 --------
TANIKT --------
TANIMAT --------
TANILB --------
PRIPOD --------
2.67 1.73 2.14 1.20 1.00 1.07 0.72 0.59 1.39 1.61 2.27 2.07 2.06 2.00 2.18 2.46 2.09 1.29 2.35 1.25 0.85 1.04 1.10 0.87 1.16 1.82 1.26 1.47
2.63 2.31 2.29 1.07 1.37 0.95 0.59 1.07 1.61 2.18 1.99 2.29 2.16 2.30 2.52 2.29 1.85 2.20 1.17 0.97 1.45 1.07 1.01 1.46 1.71 1.38 1.57
6.33 3.77 2.11 1.57 2.34 1.57 2.18 2.42 5.07 4.58 4.57 4.76 4.85 4.94 4.48 3.16 5.54 1.88 1.61 2.71 2.52 1.65 3.61 4.64 2.92 3.62
5.26 1.58 1.73 1.84 1.14 0.89 1.67 3.27 3.08 3.66 3.70 3.54 3.55 3.37 2.90 2.44 1.67 1.55 2.48 1.78 1.43 2.57 2.91 2.22 2.70
2.03 1.54 1.45 0.95 1.06 1.28 2.09 1.65 1.71 1.89 1.93 1.80 1.62 1.54 1.98 0.77 0.78 1.64 1.29 1.02 1.27 1.50 1.00 1.29
PRISOS --------
MOTINS --------
MOTEKS --------
KONSDIR --------
KOMKASI --------
2.04 0.99 0.92 1.30 2.28 1.97 2.20 2.15
1.80 1.06 0.99 1.31 1.01 1.30 1.34
2.38 1.66 2.04 1.79 1.89 2.01
3.67 3.63 3.18 3.26 3.36
10.38 9.34 8.82 9.06
Covariance Matrix
PRIEKO PRISOS MOTINS MOTEKS KONSDIR KOMKASI KEBUT ANALMAS MITRA
PRIEKO -------2.54 1.37 0.67 0.90 1.70 2.30 1.87 2.19 2.25
230
KAPTAS LEMBAG WASTEK NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN NILAI KEG FAS PERSON
2.14 2.14 2.22 1.53 1.33 0.73 0.84 1.58 1.08 0.94 1.64 1.73 1.33 1.71
2.19 2.04 2.04 1.61 2.27 0.98 0.96 1.57 1.52 0.86 1.75 1.86 1.23 1.71
1.43 1.20 1.17 1.32 1.93 0.48 0.83 1.06 1.22 0.74 0.65 1.07 0.62 0.84
2.26 2.18 1.95 1.38 3.23 0.88 0.91 1.12 1.32 0.72 1.31 1.69 1.08 1.31
3.40 3.51 3.37 1.75 2.63 1.24 1.55 1.67 1.45 1.29 2.41 2.51 1.97 2.65
8.89 9.14 9.05 4.19 5.29 2.16 2.50 3.43 2.75 2.72 5.07 6.11 4.67 6.04
ANALMAS --------
MITRA --------
KAPTAS --------
LEMBAG --------
WASTEK --------
9.32 8.97 8.94 9.26 9.19 3.81 5.00 2.14 2.27 3.04 2.63 2.12 4.96 5.68 4.33 5.48
9.81 8.98 9.13 9.19 3.84 4.95 2.01 2.12 2.99 2.59 2.14 4.68 5.68 4.41 5.59
9.50 9.50 9.24 3.79 5.41 2.09 2.25 3.04 2.71 2.25 4.80 5.59 4.39 5.50
10.62 9.55 3.55 5.09 2.19 1.98 2.75 2.31 2.18 4.90 6.12 4.53 5.51
10.02 3.76 4.98 2.28 2.27 2.75 2.30 2.07 4.79 5.67 4.49 5.76
SANKSI --------
KONFIR --------
TOLER --------
TUJ --------
PIM --------
11.22 2.09 2.58 3.02 3.05 1.75 3.30 4.51 2.47 3.60
3.23 1.73 1.57 1.25 0.92 1.53 1.62 1.60 1.78
3.60 1.67 1.51 1.19 2.01 2.06 1.60 2.22
4.15 1.94 2.12 2.31 2.33 1.70 2.45
3.54 1.65 1.60 1.80 1.43 1.85
KEG --------
FAS --------
PERSON --------
Covariance Matrix
KEBUT ANALMAS MITRA KAPTAS LEMBAG WASTEK NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN NILAI KEG FAS PERSON
KEBUT -------9.75 8.69 8.55 8.49 8.93 8.79 3.67 4.80 1.98 2.31 3.26 2.16 2.43 4.92 5.87 4.23 5.71
Covariance Matrix
NORMA SANKSI KONFIR TOLER TUJ PIM KAITAN NILAI KEG FAS PERSON
NORMA -------5.81 4.71 1.97 2.43 2.75 2.34 2.09 2.48 2.71 2.08 2.87
Covariance Matrix
KAITAN NILAI
KAITAN -------3.00 1.72
NILAI -------6.93
231
KEG FAS PERSON
1.58 1.19 1.72
5.21 3.53 4.91
7.50 4.21 5.35
4.48 4.59
Number of Iterations = 40 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations PLTANI = 2.29*intebel, Errorvar.= 1.02 , R² = 0.84 (0.16) 6.52 TANI2 = 0.97*intebel, Errorvar.= 1.69 , R² = 0.36 (0.10) (0.17) 9.69 9.72 TANIKT = 1.05*intebel, Errorvar.= 1.58 , R² = 0.41 (0.098) (0.16) 10.65 9.99 TANIMAT = 2.24*intebel, Errorvar.= 1.28 , R² = 0.80 (0.11) (0.18) 19.55 7.07 TANILB = 1.63*intebel, Errorvar.= 2.61 , R² = 0.50 (0.13) (0.28) 12.48 9.34 PRIPOD = 1.21*prilaku, Errorvar.= 0.57 , R² = 0.72 (0.079) 7.21 PRIEKO = 1.22*prilaku, Errorvar.= 1.06 , R² = 0.59 (0.098) (0.13) 12.51 8.35 PRISOS = 1.22*prilaku, Errorvar.= 0.58 , R² = 0.72 (0.084) (0.082) 14.43 7.15 MOTINS = 0.62*kartani, Errorvar.= 0.94 , R² = 0.48 (0.077) (0.12) 8.09 7.55 MOTEKS = 0.74*kartani, Errorvar.= 1.14 , R² = 0.52 (0.079) (0.14) 9.36 8.17 KONSDIR = 1.00*kartani, Errorvar.= 1.44 , R² = 0.61 (0.23) 6.35
6.66
232
KOMKASI = 2.97*kompeten, Errorvar.= 1.57 , R² = 0.85 (0.17) (0.17) 17.09 9.28 KEBUT = 2.84*kompeten, Errorvar.= 1.71 , R² = 0.83 (0.17) (0.17) 16.73 9.89 ANALMAS = 2.99*kompeten, Errorvar.= 0.40 , R² = 0.96 (0.16) (0.057) 19.09 7.12 MITRA = 3.00*kompeten, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.92 (0.16) (0.093) 18.40 8.41 KAPTAS = 3.00*kompeten, Errorvar.= 0.50 , R² = 0.95 (0.16) (0.067) 18.90 7.53 LEMBAG = 3.11*kompeten, Errorvar.= 1.03 , R² = 0.90 (0.17) (0.12) 18.09 8.34 WASTEK = 3.07*kompeten, Errorvar.= 0.60 , R² = 0.94 (0.16) (0.075) 18.78 7.98 NORMA = 1.87*lembmas, Errorvar.= 2.32 , R² = 0.60 (0.15) (0.29) 12.43 8.02 SANKSI = 2.36*lembmas, Errorvar.= 5.67 , R² = 0.50 (0.22) (0.65) 10.99 8.69 KONFIR = 1.01*lembmas, Errorvar.= 2.24 , R² = 0.31 (0.12) (0.24) 8.18 9.40 TOLER = 1.16*lembmas, Errorvar.= 2.25 , R² = 0.37 (0.13) (0.25) 9.07 9.18 TUJ = 1.48*lembmas, Errorvar.= 1.96 , R² = 0.53 (0.13) (0.23) 11.33 8.49 PIM = 1.29*lembmas, Errorvar.= 1.82 , R² = 0.48 (0.12) (0.21) 10.75 8.79 KAITAN = 1.04*lembmas, Errorvar.= 1.91 , R² = 0.36 (0.12) (0.21) 8.83 9.17
233
NILAI = 2.13*lmbpdkg, Errorvar.= 2.39 , R² = 0.65 (0.16) (0.29) 13.52 8.34 KEG = 2.44*lmbpdkg, Errorvar.= 1.64 , R² = 0.78 (0.16) (0.25) 15.65 6.66 FAS = 1.73*lmbpdkg, Errorvar.= 1.48 , R² = 0.67 (0.13) (0.19) 13.70 7.97 PERSON = 2.27*lmbpdkg, Errorvar.= 1.55 , R² = 0.77 (0.15) (0.22) 15.34 6.95 Error Covariance for TANIKT and TANI2 = 0.74 (0.12) 6.22 Error Covariance for TANILB and TANIKT = 0.69 (0.14) 4.94 Error Covariance for PRIEKO and TANIKT = 0.27 (0.079) 3.40 Error Covariance for PRIEKO and TANIMAT = -0.62 (0.11) -5.59 Error Covariance for PRISOS and TANI2 = -0.25 (0.074) -3.35 Error Covariance for KONSDIR and MOTINS = -0.39 (0.12) -3.18 Error Covariance for KEBUT and KOMKASI = 0.92 (0.13) 6.92 Error Covariance for ANALMAS and KEBUT = 0.24 (0.060) 4.02 Error Covariance for LEMBAG and MITRA = -0.17 (0.068) -2.44 Error Covariance for LEMBAG and KAPTAS = 0.21 (0.071) 3.03
234
Error Covariance for SANKSI and MOTEKS = 1.18 (0.23) 5.24 Error Covariance for TOLER and KONFIR = 0.56 (0.18) 3.18 Error Covariance for PIM and KEBUT = -0.39 (0.11) -3.64 Error Covariance for KAITAN and TUJ = 0.58 (0.17) 3.51 Error Covariance for KEG and LEMBAG = 0.40 (0.11) 3.58 Error Covariance for FAS and KONFIR = 0.36 (0.12) 3.00 Error Covariance for PERSON and WASTEK = 0.21 (0.075) 2.82 Error Covariance for PERSON and FAS = 0.66 (0.16) 4.01 Structural Equations
intebel=0.18*kartani+0.17*kompeten+0.26*lembmas+0.31*lmbpdkg Errorvar.= 0.22 , R² = 0.78 (0.060) (0.078) (0.098) (0.086) (0.038) 2.93 2.15 2.65 3.65 5.99 prilaku = 0.51*intebel + 0.27*kartani, Errorvar.= 0.28 , R² = 0.72 (0.098) (0.071) (0.055) 5.14 3.78 5.15
Reduced Form Equations intebel = 0.18*kartani + 0.17*kompeten + 0.26*lembmas + 0.31*lmbpdkg, Errorvar.= 0.22, R² = 0.78 (0.060) (0.078) (0.098) (0.086) 2.93 2.15 2.65 3.65 prilaku = 0.36*kartani + 0.085*kompeten + 0.13*lembmas + 0.16*lmbpdkg, Errorvar.= 0.34, R² = 0.66 (0.069) (0.043) (0.057) (0.053) 5.13 1.98 2.31 3.02
235
Covariance Matrix of Independent Variables kartani -------2.23 (0.38) 5.85
kompeten --------
kompeten
0.91 (0.12) 7.70
1.00
lembmas
1.15 (0.12) 9.27
0.68 (0.05) 14.98
1.00
lmbpdkg
0.89 (0.12) 7.33
0.79 (0.03) 25.45
0.69 (0.05) 14.76
kartani
lembmas --------
lmbpdkg --------
1.00
Covariance Matrix of Latent Variables
intebel prilaku kartani kompeten lembmas lmbpdkg
intebel -------1.00 0.80 1.12 0.75 0.79 0.78
prilaku --------
kartani --------
kompeten --------
lembmas --------
lmbpdkg --------
1.00 1.16 0.62 0.71 0.63
2.23 0.91 1.15 0.89
1.00 0.68 0.79
1.00 0.69
1.00
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 347 Minimum Fit Function Chi-Square = 386.29 (P = 0.06739) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 340.15 (P = 0.05934) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 368.06 90 Percent Confidence Interval for NCP = (295.35 ; 448.54) Minimum Fit Function Value = 3.85 Population Discrepancy Function Value (F0) = 1.85 90 Percent Confidence Interval for F0 = (1.48 ; 2.25) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.073 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.065 ; 0.081) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 4.48 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (4.11 ; 4.88) ECVI for Saturated Model = 4.37 ECVI for Independence Model = 106.05 Chi-Square for Independence Model with 406 Degrees of Freedom = 21045.16 Independence AIC = 21103.16 Model AIC = 891.06 Saturated AIC = 870.00 Independence CAIC = 21227.81
236
Model CAIC = 1269.32 Saturated CAIC = 2739.77 Normed Fit Index (NFI) = 0.96 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.98 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.82 Comparative Fit Index (CFI) = 0.98 Incremental Fit Index (IFI) = 0.98 Relative Fit Index (RFI) = 0.96 Critical N (CN) = 107.81 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.27 Standardized RMR = 0.054 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.80 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.75 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.64 The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate KONSDIR kompeten 16.0 0.68 KONSDIR lmbpdkg 13.2 0.66 KOMKASI kartani 8.4 0.20 KOMKASI lembmas 11.9 0.40 KAPTAS kartani 7.9 0.14 LEMBAG lembmas 10.0 -0.33 WASTEK lembmas 9.3 -0.28 prilaku kompeten 8.9 -0.24 The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate MOTEKS TANI2 8.4 0.24 SANKSI TANILB 9.9 -0.78 KONFIR TANI2 9.5 0.35 PIM PRISOS 8.4 0.24 KEG TANIMAT 13.1 0.46 Total and Indirect Effects Total Effects of KSI on ETA
intebel
prilaku
kartani -------0.18 (0.06) 2.93
kompeten -------0.17 (0.08) 2.15
lembmas -------0.26 (0.10) 2.65
lmbpdkg -------0.31 (0.09) 3.65
0.36 (0.07) 5.13
0.08 (0.04) 1.98
0.13 (0.06) 2.31
0.16 (0.05) 3.02
Indirect Effects of KSI on ETA
intebel
kartani -------- -
kompeten -------- -
lembmas -------- -
lmbpdkg -------- -
237
prilaku
0.09 (0.03) 2.67
0.08 (0.04) 1.98
0.13 (0.06) 2.31
0.16 (0.05) 3.02
Total Effects of ETA on ETA
intebel prilaku
intebel -------- -
prilaku -------- -
0.51 (0.10) 5.14
- -
Largest Eigenvalue of B*B' (Stability Index) is Total Effects of ETA on Y intebel -------2.29
prilaku -------- -
TANI2
0.97 (0.10) 9.69
- -
TANIKT
1.05 (0.10) 10.65
- -
TANIMAT
2.24 (0.11) 19.55
- -
TANILB
1.63 (0.13) 12.48
- -
PRIPOD
0.61 (0.12) 5.14
1.21
PRIEKO
0.62 (0.12) 5.09
1.22 (0.10) 12.51
PRISOS
0.61 (0.12) 5.14
1.22 (0.08) 14.43
PLTANI
Indirect Effects of ETA on Y
PLTANI TANI2
intebel -------- - -
prilaku -------- - -
0.255
238
TANIKT
- -
- -
TANIMAT
- -
- -
TANILB
- -
- -
PRIPOD
0.61 (0.12) 5.14
- -
PRIEKO
0.62 (0.12) 5.09
- -
PRISOS
0.61 (0.12) 5.14
- -
Total Effects of KSI on Y kartani -------0.40 (0.14) 2.93
kompeten -------0.38 (0.18) 2.15
lembmas -------0.59 (0.22) 2.65
lmbpdkg -------0.72 (0.20) 3.65
TANI2
0.17 (0.06) 2.83
0.16 (0.08) 2.11
0.25 (0.10) 2.57
0.31 (0.09) 3.46
TANIKT
0.19 (0.07) 2.85
0.18 (0.08) 2.12
0.27 (0.10) 2.59
0.33 (0.09) 3.50
TANIMAT
0.40 (0.14) 2.92
0.38 (0.17) 2.15
0.58 (0.22) 2.65
0.70 (0.19) 3.65
TANILB
0.29 (0.10) 2.87
0.27 (0.13) 2.13
0.42 (0.16) 2.61
0.51 (0.14) 3.55
PRIPOD
0.43 (0.08) 5.13
0.10 (0.05) 1.98
0.16 (0.07) 2.31
0.19 (0.06) 3.02
PRIEKO
0.44 (0.09) 5.01
0.10 (0.05) 1.97
0.16 (0.07) 2.30
0.19 (0.06) 3.00
PRISOS
0.43 (0.08) 5.13
0.10 (0.05) 1.98
0.16 (0.07) 2.31
0.19 (0.06) 3.02
PLTANI
Time used:
0.453 Seconds