MODEL PENINGKATAN PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM MENGELOLA HUTAN KEMIRI RAKYAT (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan)
ADI RIYANTO SUPRAYITNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan) adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor,
April 2011
Adi Riyanto Suprayitno
ii
ABSTRACT ADI RIYANTO SUPRAYITNO. Participation Improvement Model of Farmer who Live Around the Forest in Managing The Community Candlenut Forest (The Case of Candlenut Forest Management in Bulusaraung Mountainrange in Maros District of South Sulawesi Province). Advisory Committee: SUMARDJO (as a chairman), DARWIS S. GANI and BASITA GINTING SUGIHEN (as members). Candlenut forest in Maros District has a function as a buffer zone for the surrounding environment. Farmers who live around the candlenut forest in Maros District have been participating in planting, managing and utilizing that forest since 1826. The existence of candlenut forest is an evidence of successful farmers’ participation. Nowadays, however, the quality of candlenut forest is decreasing much. This phenomenon is presumed because of the declining of farmers’ participation in managing the forest.The objectives of this research were: (1) to analyze the determinant factors that can increase the farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest, (2) to analyze the impact of farmers’ participation toward candlenut forest function sustainability, (3) to formulate an effective model to increase farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest. The data were collected on January-March 2010 by using some methods: questionnare list, interview, observation, and reviewing existing documents. Units of analizing were 204 heads of farmer households. The data were analyzed using: (1) descriptive statistics, and (2) inferensial statistics based on SEM using LISREL 8.70 software programming. The conclusion of the study are: (1) The level of farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest is low. This condition is influenced by farmers’ ability and motivation. Farmers’ ability and motivation are in moderate level. The factors which influence farmers’ ability are farmers’ characteristics, farmers’ cosmopolite, intensity of forestry extention agents roles, and social cultural environment support. While, the factors which influence farmers’ motivation are farmers’ ability and provision of opportunity, (2) Farmers’ participation bring about positive impact to candlenut forest function sustainability, and (3) The effective participation improvement model is increasing farmers’ participation by increasing four critical aspects, namely: intensity of forestry extention agent roles, farmers’ ability, farmers’ motivation, and provision of opportunity to participate. Key words: Participation, Farmers living around the forest, Forest management, Community candlenut forest.
iii
RINGKASAN ADI RIYANTO SUPRAYITNO. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan). Komisi Pembimbing: SUMARDJO (Ketua), DARWIS S. GANI dan BASITA GINTING SUGIHEN (masing-masing sebagai anggota). Hutan kemiri rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan bagi lingkungan sekitarnya. Hutan kemiri rakyat yang terjaga kuantitas dan kualitasnya akan dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki lahan yang labil dan tidak produktif, serta dapat mengendalikan dan mengurangi erosi, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan debit air pada sumber-sumber mata air sungai Walanae. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros sesungguhnya sejak lama telah dilakukan oleh petani sekitar kawasan hutan secara turun temurun. Selama berpuluh-puluh tahun dari generasi ke generasi petani sekitar hutan telah mengelola tanaman kemiri untuk dimanfaatkan buahnya. Pada saat ini hutan kemiri rakyat kawasan pegunungan Bulusaraung mengalami penurunan kualitas, ditunjukkan oleh komposisi tegakan kemiri yang didominasi oleh tegakan berusia tua (56 tahun) dan tidak produktif. Kondisi ini berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar, khususnya sistem tata air yang sangat penting bagi sektor pertanian serta aspek kehidupan lainnya. Fenomena ini diduga karena partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat yang telah berjalan selama ratusan tahun, pada saat ini, sedang mengalami degradasi. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, (2) menganalisis dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, dan (3) merumuskan model efektif dalam upaya meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan Maret 2010 pada petani sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros, dengan pertimbangan bahwa hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung merupakan areal hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan. Desain penelitian adalah ex post facto (causal-comparatif). Unit analisis adalah rumah tangga petani. Jumlah populasi 10.091 kepala keluarga. Jumlah sampel penelitian 204 kepala rumah tangga. Pengambilan sampel dilakukan dengan multistage cluster sampling, dengan jumlah sampel tidak proporsional. Analisis data menggunakan: (1) statistik deskriptif, (2) statistik inferensial menggunakan SEM dengan bantuan software LISREL 8.70. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri tergolong rendah dan bersifat parsial atau tidak ideal, karena terbatas hanya pada dua tahapan partisipasi yaitu partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dan partisipasi dalam menikmati atau memanfaatkan hasil hutan, dimana kedua tahapan partisipasi tersebut masuk dalam kategori rendah. Faktor-faktor yang secara langsung
iv
berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani sekitar hutan kemiri adalah: (a) belum optimalnya tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri, yang ditandainya dengan rendahnya aspek kemampuan manajerial petani. Belum optimalnya kemampuan petani sekitar hutan kemiri sangat dipengaruhi oleh rendahnya intensitas peran penyuluh kehutanan, baik peran sebagai fasilitator maupun sebagai pendidik, dan (b) belum optimalnya tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri karena masih berada dalam kategori sedang. Belum optimalnya motivasi petani dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan manajerial petani sekitar hutan dan rendahnya ketersediaan kesempatan/peluang terutama dukungan pemerintah; (2) partisipasi petani sekitar hutan kemiri berdampak positif terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri, (3) Model peningkatan partisipasi yang efektif adalah peningkatan partisipasi petani melalui (1) dukungan motivasi petani dalam hal motivasi untuk meningkatkan pendapatan, motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan dan motivasi untuk melestarikan hutan; dan (2) dukungan kemampuan petani dalam hal kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat adalah: : (1) strategi peningkatan motivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, dengan langkah-langkah strategis: (a) menata dan menyesuaikan kembali antara perencanaan pembangunan kehutanan nasional dan pengembangan wilayah kabupaten (b) memberikan peluang pada petani untuk mengelola hutan kemiri dalam bentuk pemberian kewenangan/kepastian hak kelola kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri, (c) merumuskan dan menetapkan peraturan daerah yang mendukung pengelolaan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan, (d) melakukan peremajaan tanaman kemiri yang tidak produktif, (e) mendorong dan mengembangkan terciptanya industri rumah tangga; (2) strategi peningkatan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri, dengan langkah-langkah strategis: (a) meningkatkan dan memperkuat kemampuan teknis, kemampuan sosial dan kemampuan manjerial petani dalam mengelola hutan kemiri, (b) mengembangkan dan meningkatkan intensitas peran penyuluh kehutanan terutama peran fasilitator dan peran pendidik, sebagai faktor penting yang berpengaruh pada peningkatan kemampuan petani. Kata Kunci: Partisipasi, Petani Sekitar Hutan, Pengelolaan Hutan, Hutan Kemiri Rakyat
v
©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang (1)
(2)
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
MODEL PENINGKATAN PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM MENGELOLA HUTAN KEMIRI RAKYAT (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan)
OLEH : ADI RIYANTO SUPRAYITNO
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vii
Penguji Luar Komisi
:
Penguji Ujian Tertutup
: 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A (Fakultas Kehutanan IPB) 2. Prof (Ris). Dr. Ign Djoko Susanto, SKM, APU (Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Penguji Ujian Terbuka
: 1. Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, M.M (Kementerian Kehutanan RI) 2. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc (Fakultas Kehutanan IPB)
viii
Judul Disertasi
Nama NIM
: Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan) : Adi Riyanto Suprayitno : I.361070141
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A Anggota
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 21 Maret 2011
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil disusun. Pada saat ini keberadaan hutan di Indonesia mengalami deforestasi. Salah satu faktor yang menentukan terjaganya eksistensi dan kualitas hutan adalah partisipasi petani yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola hutan secara lestari. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tema yang dipilih untuk disertasi ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dengan judul Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat. Banyak pihak yang telah membantu mulai dari awal penulis menjadi mahasiswa S3 Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai dengan tersusunnya disertasi ini, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S, Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A, dan Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu memberikan arahan, bimbingan, dan masukan serta membagikan pengetahuannya sehingga penulis dapat menyusun disertasi ini.
2.
Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa S3 Sekolah Pascasarjana IPB.
3.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB beserta staf yang dengan ikhlas telah memberikan pelayanan administrasi, dan seluruh staf dosen pada Program Studi/Mayor PPN yang telah memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk fasilitasi dan pelayanan kuliah selama penulis menjalani proses belajar.
4.
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A dan Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, M.M dan Dr. Ir. Leti Sudawati, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
5.
Prof. Dr. Ir. Daud Malammasam, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc dari Universitas Hasanuddin yang telah
xv x
memberikan rekomendasi kelayakan sehingga penulis dapat diterima di Program S3 pada Program Studi/Mayor PPN Sekolah Pascasarjana IPB. 6.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan cq Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan dan membiayai penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB.
7.
Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (BDK) Makassar beserta staf yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.
8.
Ayah dan (Alm) Ibu tercinta yang telah memelihara, merawat, menjaga dan membesarkan penulis dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh, serta tiada henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan penulis.
9.
Adik-adik tersayang serta Bapak dan Ibu mertua dan saudara-saudara ipar yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.
10. Rekan-rekan seperjuangan PPN angkatan 2007 serta semua pihak yang telah banyak membantu dan mendorong mulai dari awal sampai terselesainya disertasi ini. 11. Bapak Darwis Masing, S.Hut, Bapak Mursalim, Bapak Usman, Bapak Asso, Ibu Karnia, Bapak Sangkala selaku enumerator yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data lapangan, serta Bapak Azis dan keluarga yang dengan ikhlas telah memberikan tempat bernaung bagi penulis ketika penulis melaksanakan penelitian. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri dan kedua putera tercinta atas doa, ketabahan, kesabaran, dan dengan penuh pengertian serta keikhlasan telah mendampingi penulis selama penulis mengikuti pendidikan S3. Semoga amal baik mereka mendapat pahala dari Allah SWT. Akhirul kata semoga disertasi ini dapat membawa manfaat kepada semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, April 2011
Adi Riyanto Suprayitno
xvi xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1968 dari Ayah Soewarno (purnawirawan TNI AD) dan Ibu (Alm) Soepiyati, sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Abepura di Jayapura, kemudian pada tahun 1978 pindah ke SD Negeri 07 Pagi Tanjung Duren Jakarta Barat hingga lulus pada tahun 1981. Tahun 1984 lulus dari SMP Negeri Cibinong Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA Negeri Cibinong Bogor, lulus pada tahun 1987. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA, Program Studi Pendidikan Matematika di Universitas Cenderawasih Jayapura dan lulus pada tahun 1994. Sebelumnya pada tahun 1988-1989 penulis pernah menjadi mahasiswa di Akademi Teknik Pekerjaan Umum Jayapura (sekarang Universitas Sains dan Teknologi Jayapura). Pada tahun 1995 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil lingkup Kementerian Kehutanan dan bekerja pada Sekolah Kehutanan Menengah Atas Ujung Pandang sebagai tenaga edukatif (guru matematika) sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan atas biaya dari Kementerian Kehutanan, lulus pada tahun 2004. Tahun 2004 penulis beralih tugas menjadi staf pada seksi penyelenggara pendidikan dan pelatihan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar. Sejak tahun 2006 penulis diangkat menjadi Widyaiswara sampai dengan sekarang. Kesempatan mengikuti pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Imu Penyuluhan Pembangunan penulis peroleh pada tahun 2007 atas biaya Kementerian Kehutanan. Penulis menikah dengan Nurdiana pada tahun 1998 dan dianugerahi dua orang putera Yudhistira Panji Wicaksana dan Satria Wiratama Sangga Buana.
xvii xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
xxii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxv
PENDAHULUAN ………………….....……………………………..…….....
1
Latar Belakang …………….….......………………………………..…..
1
Perumusan Masalah ……....………....………………………………....
7
Tujuan Penelitian ....................................................................................
8
Kegunaan Penelitian…….………………………………………….…..
8
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................…....
10
Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan..............................................
10
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan......................................................................................
20
Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan ......
21
Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan..................................
27
Faktor yang Mempengaruhi Motivasi, Kemampuan, dan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan.........................................
34
Karakteristik Individu Petani .........................................................
35
Tingkat Kekosmopolitan Petani.....................................................
38
Peran Penyuluh Kehutanan ...........................................................
40
Lingkungan Sosial Budaya ............................................................
44
Kesempatan atau Peluang bagi Petani untuk Berpartisi dalam Mengelola Hutan.................................................................
46
Azas Keberlanjutan (sustainability) dalam Pengelolaan Hutan Rakyat .....................................................................................................
49
Model-Model Pengelolaan Hutan Partisipatif ........................................
53
Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung ..................
59
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung ........................................................................
60
xix xiii
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ..................................................
66
Kerangka Berpikir ................................................................…......….....
66
Hipotesis Penelitian ........................................................................….....
80
METODE PENELITIAN .................................................................................
81
Desain Penelitian ........................................................................….........
81
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................... ..........................................
81
Populasi dan Sampel ...............................................................................
81
Teknik Pengumpulan Data ......................................................................
83
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ......................................
84
Pengolahan dan Analisis Data .................................................................
85
Konseptualisasi dan Definisi Operasional ...............................................
89
DESKRIPSI`UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................................
99
Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat ................................................
99
Deskripsi Peubah-Peubah Penelitian ......................................................
103
Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat ...........
103
Tingkat Kekosmopolitan Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat .......
113
Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan .............................................
117
Dukungan Lingkungan Sosial Budaya ............................................
121
Ketersediaan Kesempatan/ Peluang bagi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat .........
130
Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat .......................................................................
138
Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ..........................................
143
Tingkat Partisipasi Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ..............................................................................................
147
Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat .................................
153
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU TINGKAT PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM MENGELOLA HUTAN KEMIRI RAKYAT .........................................................................................................
158
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ......................................
159
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat .................
160
xiv xx
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ..............................................................................
172
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat .................
185
Dampak Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat terhadap Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat .....................................................................................................
195
Model dan Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat .................................................
200
Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ..................................................
200
Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui Dukungan Motivasi untuk Berpartisipasi ............................
203
Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui Dukungan Kemampuan Petani ............................................
205
Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ..................................................
207
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
221
Kesimpulan .............................................................................................
221
Saran .......................................................................................................
224
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
227
LAMPIRAN .....................................................................................................
241
xv xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Ciri-ciri partisipasi petani yang optimal dan belum optimal ...................
68
2. Ciri-ciri petani yang mampu dan belum mampu dalam mengelola hutan kemiri secara lestari .......................................................................
70
3. Ciri-ciri petani yang termotivasi dan belum termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri ..........................................
72
4. Ciri-ciri faktor-faktor yang ideal dan belum ideal yang mempengaruhi partisipasi petani.......................................................................................
75
5. Ciri-ciri manfaat yang dapat dipetik dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan .....................................................
78
6. Rincian Sampel Penelitian .......................................................................
83
7. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran karakteristik individu petani.....................................................................
90
8. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran tingkat kekosmopolitan petani..................................................................
91
9. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran Intensitas peran penyuluh kehutanan .......................................................
92
10. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran dukungan lingkungan sosial .....................................................................
93
11. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran kesempatan/peluang .................................................................................
94
12. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi.............................................
95
13. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri......................
96
14. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri.........................
97
15. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran tingkat keberlanjutan fungsi hutan kemiri................................................
98
16. Jumlah penduduk di sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros ....
101
17. Jarak ibukota kecamatan dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi...
102
18. Sebaran karakteristik individu petani sekitar hutan kemiri rakyat ...........
104
19. Sebaran tingkat kekosmopolitan petani sekitar hutan kemiri rakyat........
114
20. Sebaran intensitas peran penyuluh kehutanan .........................................
117
xvi xxiii
21. Sebaran dukungan lingkungan sosial budaya ..........................................
121
22. Sebaran ketersediaan kesempatan/peluang untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat .................................................................
131
23. Sebaran tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat .......................................................................................................
139
24. Aspek-aspek dalam kemampuan teknis petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ................................................................
140
25. Aspek-aspek dalam kemampuan manajerial petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ................................................................
142
26. Aspek-aspek dalam kemampuan sosial petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ................................................................
143
27. Sebaran tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat ..................................................................................
144
28. Sebaran tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat.............................................................................................
148
29. Sebaran keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat yang dirasakan petani sekitar hutan ..................................................................................
154
30. Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar peubah penelitian ..................................................................................................
159
xvii xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Delapan tangga partisipasi (Arrnstein, 1969) ..........................................
15
2. Kerangka konseptual peubah-peubah yang mempengaruhi partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat ...........................................
73
3. Kerangka operasional penelitian peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ............................................
79
4. Diagram jalur model hipotetik persamaan struktural peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ....
86
5. Model struktural/diagram lintasan Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat (standardized) ..........................................................................................
158
6. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat....................................................... 160 7. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat...........
173
8. Jalur pemasaran produksi kemiri Kabupaten Maros ................................ 182 9. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam mengelolaa hutan kemiri rakyat...................................................... 185 10. Diagram jalur dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat..........
195
11. Model peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ............................................................................................
202
12. Alur strategi peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ..................................................................................
220
xviii xxv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Uji beda dengan analisis varians (ANAVA) berdasarkan metode Tuckey dan Benferroni menggunakan SPSS 16.0 ...................................
242
2.
Tahapan analisis SEM menggunakan LISREL 8.70 ................................
254
3.
Hasil uji validitas dan reliabilitas instrument penelitian menggunakan SPSS 16.0 .................................................................................................
280
xxvii xix
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai anugerah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan yang sangat banyak manfaatnya bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Hutan memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan, namun pada saat ini eksistensi hutan mengalami berbagai tekanan, terjadi deforestasi hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia. Penurunan kuantitas dan kualitas hutan Indonesia telah banyak dikemukakan berbagai peneliti dari banyak lembaga penelitian, kalangan LSM, media massa, maupun pihak pemerintah. Pada tahun 1986, Bank Dunia telah memberikan peringatan atas kondisi hutan di Indonesia bahwa “dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu tanpa perhatian” (Fuad dan Maskanah, 2000). MoF/FAO pada tahun 1991 menyebutkan, bahwa rata-rata laju deforestasi di Indonesia dalam rentang tahun 1982 sampai dengan 1990 adalah 1,3 juta ha per tahun. Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa pada tahun 30-an tercatat bahwa luas hutan di Indonesia adalah + 144 juta ha dan berkurang menjadi + 119,3 juta ha pada tahun 80-an. Hal ini berarti dalam rentang waktu selama 50 tahun terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 17,15% (24,7 juta ha) atau setara dengan 490.000 ha per tahun, bahkan menurut Hinrichs (2008) bahwa deforestasi hutan di Indonesia telah mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia selain disebabkan oleh faktor alam, disebabkan pula oleh beberapa proyek pembangunan dan pemanfaatan hasil hutan yang tidak terkendali oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, ditambah lagi ancaman-ancaman lainnya seperti illegal logging, serta implementasi kebijakan pengelolaan hutan yang tidak berpihak pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu lebih bertumpu pada paradigma timber based management dimana pengelolaan hutan cenderung berorientasi pada pengeksploitasian hasil hutan berupa kayu yang berbasis pada upaya peningkatan atau pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan sebagian diserahkan kepada swasta (pemilik modal besar)
2 dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan, peran masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan. Padahal menurut Awang (2003a) terdapat jutaan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar hutan kehidupannya tergantung kepada produksi dan juga hasil hutan. Masyarakat sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan pada umumnya hanya dijadikan penonton, tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tersebut, bahkan sering keberadaan masyarakat sekitar hutan dianggap sebagai ancaman. Penikmat utama dari keuntungan pengeksplotasian hutan hanya para pemilik modal besar (capital) tersebut. Akibatnya, ketergantungan hidup masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang telah berjalan sejak lama, pada akhirnya terhalang oleh kebijakan pembangunan kehutanan tersebut. Sistem perekonomian rakyat yang bersifat subsisten, sistem jaringan keamanan sosial tradisonal, dan nilai-nilai kearifan lokal mulai memudar bahkan hilang. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan akhirnya terasing dan terpinggirkan dari arena pengelolaan hutan. Fakta menunjukkan bahwa pengelolaan hutan berbasis pemerintah dan privatisasi pengelolaan kawasan hutan dalam bentuk pemberian konsesi HPH kepada swasta atau pemilik modal besar ternyata memperlihatkan kegagalan pengelolaan hutan bahkan menimbulkan kerusakan hutan yang terjadi secara sistematis, karena adanya pengeksploitasian kayu yang tidak taat azas. Pengalaman masa lalu tersebut menyadarkan pemerintah untuk menggeser paradigma lama pengelolaan hutan. Pemerintah menyadari bahwa masyarakat sekitar hutan merupakan ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku positip masyarakat dalam berinteraksi dengan hutan dapat menjaga eksistensi hutan. Pemerintah melalui Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) selanjutnya meletakkan paradigma baru pembangunan kehutanan yang bertumpu pada pendekatan ekosistem yang dikenal dengan resource based management yang berbasis pada forest community based development (Pusbinluhhut, 2002). Paradigma baru ini merupakan model pembangunan yang berpusat pada rakyat atau masyarakat sekitar hutan. Model pembangunan ini menghargai dan
3 mempertimbangkan prakarsa dan kekhasan masyarakat setempat. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dianggap penting untuk dapat menjaga eksistensi dan merehabilitasi hutan yang pada saat ini kondisinya parah. Dengan terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan hutan maka diharapkan akan kembali muncul rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Barber et al. (1999) bahwa diperlukan pengakuan terhadap pengelolaan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dan dalam hutan sebagai pihak yang secara langsung berhubungan dengan hutan sehingga masyarakat lokal tersebut dapat menjaga kelestarian lingkungan dan tetap memberikan kebutuhan ekonomi bagi kehidupan mereka. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah mengembangkan hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sumber pendapatan petani, serta sumber kayu energi dan kayu pertukangan (Wollenberg dan Ingles, 1998). Selain memiliki manfaat langsung hutan rakyat juga memiliki peran yang sangat penting bagi perlidungan lingkungan (Darusman, 2002). Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3 dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha (Darusman dan Hardjanto, 2006). Kegiatan hutan rakyat akan memberikan dampak positip bagi rumah tangga pedesaan, tenaga kerja, industri, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Berbagai bukti keberhasilan praktek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di tanah air yang telah terdokumentasi antara lain repong damar di Krui Lampung, kebun karet di Jambi, Kebun rotan di Bentian, lembo di Kalimatan Timur dan kemenyan di Tapanuli Selatan ternyata mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial secara adil dan lestari. Salah satu hutan rakyat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan yang tumbuh dan
4 tersebar di sepanjang kawasan pegunungan Bantimurung Bulusaraung pada tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Cenrana, Kecamatan Camba dan Kecamatan Mallawa, yang luasnya sekitar 9.341 Ha (Dishut Kab. Maros, 2009). Ketiga wilayah kecamatan tersebut merupakan areal hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan. Keberadaan hutan kemiri rakyat selain memberikan manfaat ekonomi bagi petani, juga memiliki fungsi perlindungan lingkungan yang sangat penting bagi kabupaten sekitarnya meliputi Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo, karena 95% lokasinya terletak di bagian hulu DAS yang sangat kritis yaitu DAS Walanae. DAS Walanae juga merupakan salah satu sistem penyangga hidrologi Danau Tempe. Pengembangan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros sangat bermanfaat bukan saja sebagai sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga bermanfaat dalam menunjang daya dukung lahan dan hutan. Dari aspek ekologi, keberadaan hutan kemiri rakyat ini sangat strategis dalam menjaga kualitas lingkungan karena letaknya di hulu daerah aliran sungai (DAS) Walanae yang merupakan daerah tangkapan air. Hutan kemiri yang terjaga kuantitas dan kualitasnya akan dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki lahan yang labil dan tidak produktif, serta dapat mengendalikan dan mengurangi erosi, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan debit air pada sumber-sumber mata air sungai Walanae. Selain itu tanaman kemiri juga dapat menjadi tanaman pelindung untuk lahan kritis dan lahan marjinal karena dapat menekan pertumbuhan alang-alang. Hal ini sejalan dengan Penelitian Subaktini et al. (2002) pada hutan rakyat Wonogiri yang
menyebutkan bahwa pada awalnya, masyarakat mengalami
kesulitan memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama pada musim kemarau. Setelah berkembangnya hutan rakyat maka kekurangan air tersebut dapat diatasi bahkan kualitas dan debit air meningkat. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, sumber air tersebut dipergunakan pula oleh PDAM untuk pasokan bahan baku air minum. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri di Kabupaten Maros sesungguhnya sejak lama telah dilakukan oleh petani sekitar kawasan hutan secara turun temurun. Selama berpuluh-puluh tahun dari generasi ke generasi petani sekitar hutan telah mengelola tanaman kemiri yang secara fisik menampilkan
5 wujud yang setara kualitasnya dengan hutan alam, bahkan antara tahun 1960-an sampai 1980 Kabupaten Maros dikenal sebagai penghasil kemiri terbesar dengan kualitas terbaik di Indonesia. Saat itu kemiri merupakan simbol status sosial dan menjadi primadona masyarakat karena menjadi sumber pendapatan utama yang menyejahterakan masyarakat (Yusran, 2005), dengan demikian bagi petani, hutan kemiri memiliki nilai psikologis, historis dan sosiologis, dan telah menjadi bagian dari aktivitas hidup mereka. Petani sekitar hutan secara sadar maupun tidak telah memfungsikan areal di mana tanaman kemiri ditanam sebagai kawasan penyangga. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros memiliki perbedaan dibandingkan hutan rakyat lain terutama yang berada di Pulau Jawa. Pada hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, pemanfaatannya ditekankan pada upaya memperoleh hasil hutan non kayu yaitu buah kemiri, walaupun pada saat ini kayu kemiri juga mulai dimanfaatkan karena adanya permintaan pasar meskipun tidak banyak. Hutan kemiri yang ada sekarang ini adalah peninggalan/harta pusaka atau warisan dari para orang tua mereka yang perlu dijaga eksistensinya. Masyarakat atau petani sekitar hutan kemiri menyebut hutan kemiri yang dikelolanya dengan sebutan dare’ ampiri (kebun kemiri). Dengan kata lain, petani sekitar hutan kemiri menganggapnya bukan sebagai
hutan
melainkan sebagai kebun (dare’), karena keberadaannya merupakan hasil budidaya dan pengelolaan yang sengaja dilakukan oleh pendahulu mereka dan masih dilanjutkan sampai dengan sekarang. Selain menjadi sumber pendapatan rumah tangga masyarakat, kemiri juga merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi mulai dari kebutuhan rumah tangga sampai produk industri. Kemiri mempunyai nilai ekonomi yang dapat digunakan sebagai bahan produk mulai dari penyedap makanan sampai bahan baku industri dan perabot rumah tangga. Kemiri merupakan komoditi yang mempunyai prospek pasar yang cukup luas di dalam negeri serta adanya permintaan dari luar negeri. Sebagian besar dari total produksi buah kemiri di Indonesia (95%) diperuntukan bagi kebutuhan domestik/dalam negeri, sisanya yang 5% diekspor, terutama ke Singapura, Malaysia, Belanda dan Saudi Arabia (BPKU 1994; Paimin 1997; Rosman dan Djauhariya, 2006).
6 Buah kemiri merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Maros. Dari 26.928 ton produksi kemiri Sulawesi Selatan, 5.654,88 ton (21%) berasal dari Kabupaten Maros (Kabupaten Maros, 2002). Permintaan terbesar buah kemiri untuk kebutuhan dalam negeri berasal dari pulau Jawa. Pemasaran produksi kemiri yang berasal dari Sulawesi Selatan, termasuk yang berasal dari kawasan Pegunungan Bulusaraung, pertama-tama dikumpulkan di Surabaya sebelum didistribusikan ke daerah lainnya di Pulau Jawa. Permintaan kemiri sebagai bumbu masak lebih besar dibandingkan untuk peruntukan lainnya, terutama di daerah Jakarta (Paimin, 1997). Pada saat ini, hutan kemiri rakyat kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros mengalami penurunan kualitas. Penurunan kualitas hutan kemiri rakyat ini berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar, khususnya sistem tata air yang sangat penting bagi sektor pertanian serta aspek kehidupan lainnya. Hasil pengukuran potensi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros yang dilakukan oleh Yusran (1999) menunjukkan bahwa komposisi tegakan kemiri tidak ideal yaitu 79% pohon kemiri termasuk kategori umur tua atau tidak produktif (> 35 tahun), hanya 19% umur produktif (10 – 35 tahun) dan 2% umur muda (< 10 tahun), dengan rata-rata umur adalah 45 tahun (umur tua/tidak produktif), dengan demikian pada saat ini usia rata-rata pohon kemiri telah mencapai 56 tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi kemiri. Apabila, penurunan kualitas hutan kemiri tidak segera ditangani maka akan semakin berakibat buruk bagi ekologi hutan dan akan berdampak pula bagi pendapatan atau ekonomi rumah tangga petani sekitar hutan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian Yusran berikutnya (2005) yang menyimpulkan bahwa kondisi hutan kemiri masih menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas ekonomi dan ekologi dari tahun ke tahun. Gambaran penurunan kualitas hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros dapat diteliti dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah dari sisi partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri tersebut. Penurunan kualitas hutan kemiri rakyat, mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan kemiri rakyat belum atau tidak dilakukan secara optimal oleh petani sekitar hutan. Keterlibatan atau partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola dan
7 memanfaatkan hutan kemiri yang telah berjalan sejak dulu, dengan demikian, pada saat ini dapat dikatakan sedang mengalami penurunan atau degradasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian dalam rangka mengungkapkan dan menganalisis secara mendalam berbagai fakta empirik yang mempengaruhi partisipasi petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros melalui analisis kuantitatif dan kualitatif, selanjutnya berdasarkan kajian tersebut akan disusun suatu model yang efektif untuk meningkatkan partisipasi petani sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros.
Perumusan Masalah Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang pada umumnya berprofesi sebagai petani merupakan elemen krusial terdepan yang dapat menjadi pilar bagi terselenggaranya pengelolaan kawasan hutan yang lestari. Oleh karena itu, partisipasi mereka merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan hutan yang lestari. Penguatan partisipasi masyarakat lokal menjadi sangat penting dalam pengelolaan hutan dalam rangka mencegah eksploitasi yang berlebihan pada kegiatan pemanfaatannya terkait dengan pemenuhan kebutuhan petani dan untuk memberikan dukungan pada kegiatan konservasi lingkungan yang simultan dan sinergi. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka diharapkan akan terbangun rasa memiliki dan tanggung jawab dalam diri setiap anggota masyarakat terhadap keberlangsungan eksistensi hutan. Keberadaan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros tidak terlepas dari usaha-usaha petani sekitar hutan dalam pembudidayaan dan pengelolaan hutan tersebut yang sudah dilakukan sejak dulu bahkan sebelum Indonesia merdeka, namun demikian, pada saat ini hutan kemiri rakyat yang dikelola dan dimanfaatkan petani sekitar hutan mengalami penurunan kualitas yang ditandai dengan rata-rata usia tanaman kemiri sekitar 56 tahun (usia tua/tidak produktif; > 35 tahun). Kondisi ini secara pasti berpengaruh pada ekologi hutan kemiri rakyat dan berdampak pula pada menurunnya produktivitas kemiri. Proses ini, cepat atau lambat juga akan sangat berpengaruh pada pendapatan petani sekitar hutan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan kualitas partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros dalam mengelola hutan tersebut.
8 Penurunan tingkat partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros merupakan akibat dari interaksi berbagai faktor. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar, yaitu mengapa partisipasi petani yang selama ini telah berjalan mengalami degradasi? Berdasarkan argumen tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh mana terdapat faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros? 2. Sejauh mana dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros? 3. Bagaimana model yang efektif dalam upaya meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros?
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros. 2. Menganalisis dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros. 3. Merumuskan model efektif yang dapat meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berciri ilmiah bagi pengembangan Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam rangka membina, meningkatkan, dan mengembangkan partisipasi petani sekitar hutan. Sumbangan pemikiran yang berciri ilmiah tersebut merupakan sebuah novelty atau kebaruan, karena selama ini sepengetahuan peneliti belum ada penelitian di bidang ilmu penyuluhan pembangunan pada lokus tersebut, dengan demikian diharapkan penelitian ini akan menghasilkan model baru yang efektif dalam
9 perspektif ilmu penyuluhan pembangunan yang bercirikan spesifik lokal dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri di Kabupaten Maros. Disamping itu, secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Maros dan Kementerian Kehutanan serta instansi lain terkait guna menyusun langkah-langkah strategis pembangunan kehutanan
berbasis
masyarakat
dengan
program-program
yang
dapat
meningkatkan dan mengembangkan partisipasi petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dan berdampak pada kelestarian dan peningkatan taraf hidup petani yang tinggal di sekitar hutan kemiri tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Partisipasi telah menjadi lintasan sejarah yang panjang bagi berbagai pembangunan di berbagai negara di dunia (Pretty, 1995). Hal ini berarti pemerintah berbagai negara telah menyadari pentingnya keterlibatan rakyat atau masyarakat dalam kegiatan pembangunan negaranya. Menurut Pretty terdapat dua pendapat yang berbeda namun saling melengkapi dalam memandang partisipasi. Pertama, partisipasi dipandang sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pembangunan. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa jika rakyat dilibatkan, maka besar peluangnya mereka akan sepakat dan memberikan dukungan serta dorongan pada kegiatan pembangunan tersebut. Pandangan kedua, partisipasi dilihat sebagai hak rakyat. Tujuannya adalah untuk menginisiasi mobilisasi menuju terciptanya aksi bersama, pemberdayaan, dan pembangunan serta penguatan kelembagaan. Secara etimologis partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in (ambil bagian), dengan demikian partisipasi dalam pembangunan berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dalam suatu proses atau kegiatan pembangunan. Agak berbeda dengan makna etimologis tersebut, Davis (1967) memberikan pengertian partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional individu dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan kelompok dan saling berbagi tanggung jawab di antara anggota-anggota kelompok. Dengan kata lain, Davis melihat partisipasi dari situasi kelompok, dimana paling tidak terdapat tiga hal pokok, yaitu: 1. Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi 2. Partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok. 3. Partisipasi merupakan tangung jawab terhadap kelompok. Senada dengan pendapat Davis, Mubyarto (1984) memberikan pengertian partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
11 Kesediaan berarti adanya unsur kerelaan yang melibatkan aspek emosional dan mental dari orang yang terlibat. Unsur kemampuan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mubyarto lebih ditekankan untuk menghargai adanya perbedaan individu. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda bentuk partisipasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing orang tersebut. Ditinjau dari perannya, partisipasi memiliki fungsi ganda yaitu sebagai alat dan sekaligus tujuan pembangunan masyarakat (Cary, 1970). Sebagai alat pembangunan, partisipasi berperan sebagai penggerak dan pengarah proses perubahan sosial yang dikehendaki, demokratisasi kehidupan sosial ekonomi serta berasaskan
kepada
pemerataan
dan
keadilan
sosial,
pemerataan
hasil
pembangunan yang bertumpu pada kepercayaan kemampuan masyarakat sendiri. Sebagai tujuan pembangunan, partisipasi merupakan bentuk nyata kehidupan mayarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh karena itu untuk menjamin kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan harus tetap diperhatikan dan dikembangkan. Isworo (2001) mengemukakan alasan tentang pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembangunan adalah: 1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, sehingga partisipasi merupakan dalil logis. 2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting. 3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik bagi arus informasi tentang sikap, aspirasi dan kebutuhan serta kondisi daerah. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya suatu pembangunan. 4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki. 5. Partisipasi memperluas zona (kawasan) penerimaan proyek pembangunan. 6. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. 7. Partisipasi menopang pembangunan 8. Partisipasi meyediakan lingkungan kondusif bagi aktualisasi potensi manusia maupun bagi pertumbuhan manusia secara kualitatif.
12 9. Partisipasi merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan masyarakat agar mampu mengelola program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah. 10. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokrasi individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri. Partisipasi dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda (Koentjaraningrat, 1992), yaitu: 1. Partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan khusus. 2. Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan. Pada tipe partisipasi pertama, masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan atau dipaksa oleh penguasa untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek pembangunan yang khusus, biasanya bersifat fisik. Bila masyarakat ikut serta berdasarkan keyakinannya bahwa proyek akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar, tanpa mengharap upah yang tinggi. Sebaliknya, jika masyarakat diperintah atau dipaksa oleh penguasa untuk ikut menyumbangkan tenaga dan harta kepada proyeknya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi terdapat proyek pembangunan, biasanya yang tidak bersifat fisik dan yang memerlukan partisipasi tidak atas perintah atau paksaaan dari orang lain, tetapi atas dasar kemauan mereka sendiri Upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat terkait dengan pembangunan pedesaan, pada awalnya, bukan pekerjaan yang mudah karena menyangkut perubahan sikap mental dan budaya yang kemungkinan sudah melembaga dalam masyarakat bersangkutan (Khairudin 1992). Menyangkut hal tersebut, pendapat Ife (1995) dapat digunakan sebagai titik tolak untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Menurut Ife agar masyarakat terdorong untuk berpartisipasi perlu diperhatikan dan dipertimbangkan beberapa persyaratan (condition) berikut: 1. Anggota-anggota masyarakat akan berpartisipasi apabila isu atau kegiatan yang ditawarkan dianggap penting oleh mereka.
13 2. Kegiatan yang ditawarkan kepada masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat dirasakan akan memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupannya atau membawa perubahan yang lebih baik. 3. Apapun bentuk partisipasi dari setiap anggota masyarakat harus dihargai dan diberi nilai tinggi. 4. Tersedia peluang atau kesempatan bagi setiap angota masyarakat untuk berpartisipasi dan apapun bentuk patisipasi tersebut harus didukung. 5. Struktur dan proses kegiatan bukan merupakan sesuatu yang asing bagi anggota-anggota masyarakat. Artinya harus kompatibilitas dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Pendapat lain dinyatakan oleh Hartoyo (1996) bahwa kegiatan atau program
pembangunan
yang
memerlukan
partisipasi
masyarakat
harus
memperhatikan hal-hal berikut: 1. Adanya kegiatan yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat. 2. Kegiatan tersebut harus memiliki tujuan, yaitu menciptakan tingkat kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. 3. Kegiatan tersebut sangat diperlukan adanya partisipasi nyata dari seluruh anggota masyarakat. Namun demikian, seringkali program pembangunan bagi masyarakat desa tidak relevan dengan kebutuhan warga desa, sehingga kurang berhasil dalam pencapaiannya, karena warga desa kurang merasa memiliki program tersebut. Oleh karena itu, seorang ahli Community Development, Chamber (1992) menyarankan perlunya warga masyarakat desa dilibatkan dalam perencanaan dan perumusan kegiatan pembangunan. Chamber memperkenalkan pendekatan pembangunan yang melibatkan masyarakat desa yang dikenal dengan PRA (Participatory Rural Appraisal). Kata kunci atau penekanan dari pendekatan ini adalah partisipasi dan pemberdayaan. Menurut Chamber, PRA merupakan sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan. Metoda PRA bertujuan menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Kritik
14 PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program pembangunan selalu diturunkan dari atas (top down) dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui suatu penjajagan kebutuhan (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas atau lembaga ahli-ahli penelitian. Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up). Pemikiran Chambers sejalan dengan pendapat Arnstein (1969) yang walaupun lawas namun sampai sekarang masih dapat diimplementasikan bahwa partisipasi masyarakat adalah bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Menurut Arnstein partisipasi harus dipandang sebagai proses pembagian kekuatan/ kekuasaan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang terpinggirkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam perubahan sosial. Partisipasi masyarakat terkait dengan bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan partisipasi masyarakat berdasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan keputusan atau produk akhir. Arnstein menekankan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk partisipasi yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan betuk partisipasi yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil akhir dari suatu proses. Kedelapan anak tangga tersebut dikelompokkan atas tiga tingkatan, sebagaimana berikut:
15
8
Pengawasan Masyarakat
7
Pendelegasian Kekuasaaan
6
Kemitraan
5
Penentraman
4
Konsultasi
3
Penginformasian
2
Terapi
Kekuasaan Masyarakat
Tokenisme
Non Partisipasi 1
Manipulasi
Gambar 1: Delapan Tangga Partisipasi (Arnstein, 1969) Dua tangga terbawah diklasifikasikan sebagai non-partisipasi. Sasaran yang sesungguhnya dari kedua tangga ini adalah untuk mendidik dan mengobati masyarakat sehingga dapat memperoleh dukungan. Sementara itu, anak tangga ketiga sampai kelima dikategorikan sebagai partisipasi bersifat tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Oleh karena itu, partisipasi boleh dikatakan dimulai pada anak tangga ketiga di mana masyarakat sudah memiliki suara, namun pengambilan keputusan masih berada di tangan pemegang kekuasaan, dengan kata lain masyarakat belum memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan. Partisipasi demikian tergolong ke dalam kategori partisipasi semu. Dengan demikian, apabila partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini maka upaya perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik kecil kemungkinan akan terjadi.
16 Anak tangga keenam hingga kedelapan dikelompokkan sebagai partisipasi berdasarkan kekuatan warga masyarakat (citizen power). Partisipasi riil dimulai pada anak tangga keenam yang ditandai dengan proses negosiasi. Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pada anak tangga ketujuh dan kedelapan, masyarakat mendapatkan peluang secara mayoritas dalam pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijaksanaan tertentu yang sekaligus mengarahkan mereka kepada pemberdayaan. Sedangkan, menurut Pretty (1995), berdasarkan pada derajat keterlibatan atau sejauhmana masyarakat terlibat dalam kegiatan atau aktivitas pembangunan, partisipasi dibagi ke dalam tujuh tipologi, yaitu: 1. Partisipasi pasif, di mana masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Partisipasi pasif, dengan demikian, merupakan tindakan sepihak dari pihak administratur atau manajemen proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat. Sumber informasi yang dihargai oleh pemerintah adalah pendapat para profesional. 2. Partisipasi memberikan informasi, di mana masyarakat memberikan jawaban yang diajukan oleh pihak luar baik melalui kuesioner atau pendekatan lain yang sejenis. Masyarakat tidak memiliki peluang untuk mempengaruhi hasil atau laporan kerja, karena temuan atau kesimpulan/keputusan yang dihasilkan tidak diinformasikan kembali kepada masyarakat untuk mendapatkan ketepatannya. 3. Partisipasi konsultatif, di mana masyarakat dimintai tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; dan pihak luar itu pada dasarnya tidak berkompeten untuk “mewakili” pandangan masyarakat. 4. Partisipasi dengan imbalan material, di mana masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan material lainnya. Kebanyakan penelitian “on farm” masuk dalam kategori ini, yaitu masyarakat menyediakan lahan dan tenaga kerjanya,
17 namun tidak terlibat dalam proses eksperimentasi dan proses pembelajaran. Proses seperti ini yang selalu dianggap sebagai partisipasi, sehingga masyarakat tidak memiliki pijakan untuk melanjutkan kegiatannya ketika imbalan dihentikan. 5. Partisipasi fungsional, di mana masyarakat membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat kemungkinan bisa bersifat interaktif dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi cenderung terjadi setelah keputusan pokoknya telah dibuat oleh pihak luar, dengan demikian kelembagaan ini cenderung bergantung pada inisiatif pihak luar dan/atau fasilitator, namun demikian bisa diarahkan pada terciptanya “sef-dependent”. 6. Partisipasi interaktif, di mana terjadi proses analisis bersama (joint analysis) dalam rangka pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan institusi lokal atau penguatan terhadap institusi lokal yang telah ada. Proses ini melibatkan melibatkan metodelogi yang multidisiplin yang membutuhkan perspektif yang majemuk serta membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal, dengan demikian masyarakat memiliki wewenang yang jelas untuk memelihara struktur dan kegiatannya. 7. Partisipasi swakarsa, di mana masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk
melakukan perubahan sistem.
Mereka
membangun hubungan
konsultatif dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi tetap memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Mobilisasi inisiatif swakarsa dan kegiatan bersama seperti ini kemungkinan tidak akan mengganggu atau menantang distribusi ketidasetaraan kesejahteraan dan kekuasaan yang ada, atau mungkin juga malah sebaliknya. Bentuk partisipasi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hoofsteede (Khairuddin, 1992), sebagai berikut: 1. Partisipasi inisiasi adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin komunitas, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat
18 mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan masyarakat. 2. Partisipasi Legitimasi adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut. 3. Partisipasi eksekusi adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan. Dari ketiga tahapan partisipasi di atas, partisipasi inisiasi mempunyai kadar yang lebih tinggi dibandingkan partisipasi legitimasi atau eksekusi. Di sini masyarakat tidak lagi menjadi obyek pembangunan, tetapi sudah dapat menentukan dan mengusulkan segala sesuatu sesuai rencana yang akan dilaksanakan. Apabila masyarakat ikut hanya dalam tahap pembicaraan saja, padahal proyek yang dibangun sudah jelas wujudnya, maka masyarakat hanya berpartisipasi pada tingkat legitimasi saja. Sedangkan partisipasi eksekusi merupakan bentuk partisipasi yang terendah dari semua tingkatan partisipasi di atas. Pada bentuk partisipasi ini, masyarakat hanya turut serta dalam pelaksanaan proyek, tanpa ikut serta menentukan dan membicarakana proyek tersebut. Uphoff dan Cohen (Ndraha, 1990) memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu: (1) partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pembuatan keputusan, (2) partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan, (3) partisipasi
dalam
menerima,
memelihara,
dan
mengembangkan
hasil
pembangunan, dan (4) partisipasi dalam menilai pembangunan. Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan bahwa partisipasi hanya bersifat parsial, dengan demikian partisipasi yang sesungguhnya harus meliputi keempat tahapan tersebut. Slamet (2003) meninjau partisipasi dari bentuk kegiatan dan membaginya menjadi lima bentuk, yaitu: 1. Ikut memberi input dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. 4. Tidak memberi input tapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan. 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.
19 Agar pembangunan dapat efektif diperlukan partisipasi dari seluruh warga masyarakat (Khairuddin, 1992), yang hendaknya meliputi: 1. Partisipasi dalam pemikiran, misalnya dalam pengidentifikasian masalah. 2. Partisipasi dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan sumbangan uang dan bahan-bahan guna kepentingan pembangunan masyarakat. 3. Partisipasi dalam penyelesaian tenaga, misalnya turut serta dalam kegiatan kerja bakti melaksanakan pembangunan. 4. Partisipasi menikmati hasil pembangunan, misalnya memanfaatkan DAM yang telah dibangun oleh pemerintah. Indikator keberhasilan pembangunan bisa diukur dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi masyarakat. Agar tumbuh partisipasi, paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi (Slamet, 2003), yaitu: (1) adanya kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, dan (3) adanya kemauan dari masyarakat untuk berpartisipasi. Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa keterlibatan atau partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan secara lestari sangat diperlukan, demikian pula dengan dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros. Pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros telah dipraktekkan oleh petani sekitar hutan dalam kurun waktu yang sangat panjang dari generasi ke generas sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, dengan kata lain partisipasi petani yang selama ini telah berjalan merupakan partisipasi swakarsa karena inisiatif pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan kemiri berasal dari masyarakat dengan berlandaskan pada pengetahuan lokal yang dimiliki. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan, idealnya tidak dalam bentuk tenaga kerja atau melaksanakan kegiatan saja, tetapi juga melibatkan dan memberikan peluang bagi petani untuk berinisiatif dan menetapkan keputusan yang muncul dari dalam petani itu sendiri (bottom-up), sebagaimana yang telah dibahas oleh para pakar di atas yaitu perlu adanya partisipasi petani dalam merencanakan dan membuat keputusan. Pada kenyataannya di lapangan derajat
20 atau tingkatan partisipasi masyarakat berbeda-beda satu dengan lainnya, demikian pula dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri berada dalam suatu rentang tingkatan partisipasi. Derajat partisipasi petani bergantung pada kesadaran dan seberapa besar manfaat yang dirasakan akan diperoleh dari partisipasinya dalam mengelola hutan kemiri. Mencermati dan mempertimbangkan bahwa keterlibatan petani sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri telah berlangsung sejak lama, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan bahwa partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan bulusaraung merupakan upaya petani sekitar hutan, yang melibatkan upaya mental maupun emosional, dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri baik perseorangan maupun kelompok mulai dari merencanakan kegiatan pengelolaan hutan, melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan, memanfaatkan, serta melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap jalannya proses dan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Melihat begitu pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, Siagian (1988) menyatakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan.
Karena
pada
prinsipnya
masyarakat
yang
pada
akhirnya
melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan, dalam hal ini rakyat akan banyak memegang peranan secara sekaligus yaitu sebagai obyek dan subyek pembangunan. Untuk itu dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan perlu ditumbuhkan dan dikembangkan partisipasi aktif petani sekitar hutan melalui upaya pembangunan kesadaran, pemberian hak dan tanggung jawab, perubahan sikap mental, pandangan hidup, cara berfikir dan cara bekerja. Lebih lanjut, Siagian menegaskan bahwa partisipasi secara sadar akan semakin meningkat apabila hasil pembangunan dapat dinikmati langsung dan memberikan keuntungan kepada masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat Slamet (2003) bahwa partisipasi harus dilandasi oleh tujuan memperoleh manfaat untuk yang berpartisipasi dan bukan sekedar dilandasi kesediaan berkorban saja. Kedua pendapat tersebut sejalan dengan teori pertukaran (exchange theory) yang
21 dikemukakan oleh Blau (Ndraha, 1990) bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun demikian, untuk menggerakkan dan mendorong petani agar mau berpartisipasi serta mempertahankan partisipasi yang selama ini telah berjalan bukan pekerjaan mudah. Hal ini dapat disadari karena adanya berbagai faktor atau variabel yang mungkin membuat petani tidak terdorong/tergerak atau tidak mau berpartisipasi, demikian pula ada keterlibatan banyak faktor atau variabel yang memungkinkan para petani tetap konsisten dan antusias, mau dan mampu mempertahankan serta meningkatkan partisipasinya dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung yang selama ini telah berlangsung. Faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Salah satu syarat untuk tumbuhnya partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet (2003) adalah adanya kemauan dari masyarakat. Kemauan atau keinginan dalam bahasa Inggris identik dengan kata wish/will/ want. Konsep keinginan/kemauan berkaitan erat dengan konsep motivasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Thoha (1999) dan Handoko (1997) bahwa terkadang istilah motivasi dipakai silih berganti dengan istilah kebutuhan (need), keinginan (want/wish/will), dorongan (drive), desakan (urge) atau impuls. Kemauan atau keinginan akan menjadi pendorong dan pengarah anggotaanggota masyarakat untuk mengerahkan kemampuannya untuk berpartisipasi. Hal ini berarti membahas kemauan/keinginan seseorang untuk bertindak sama dengan membahas motivasinya. Dengan kemauan atau keinginan yang kuat, masyarakat akan berupaya mengerahkan segenap kemampuannya untuk teribat dalam suatu kegiatan tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Terry (Hasibuan, 1999) bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. Motivasi terlihat dalam dua segi yang berbeda: 1. Dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi dipandang sebagai suatu usaha positip dalam menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan daya serta potensi
22 manusia, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. 2. Dilihat dari segi pasif/statis, motivasi dipandang sebagai kebutuhan sekaligus juga sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia ke arah yang dinginkan Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980), kemauan (want) pada suatu saat akan berfungsi sebagai kebutuhan sehingga manusia tidak akan (belum) puas apabila kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Kondisi ini yang mendorong manusia untuk bertindak. Pace dan Faules (2001) menyatakan bahwa motivasi merujuk kepada kondisi dasar yang mendorong tindakan. Kondisi dasar adalah kebutuhan dan/atau keinginan yang ada dalam diri individu. Terdapat berbagai kebutuhan dan/atau keinginan yang memotivasi individu untuk bertindak dalam rangka memenuhi atau memuaskan kebutuhan dan/atau keinginan tersebut. Seseorang akan termotivasi selama kebutuhan dan keinginan tersebut belum terpenuhi (Kohler et al.,1976). Motivasi memberikan penjelasan bagaimana manusia melakukan sesuatu tanpa dipaksa. Secara esensial terdapat dua aspek yang memotivasi seseorang untuk bertindak, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia, dan (2) adanya upaya-upaya yang dilakukan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Implikasinya bahwa membahas tentang kemauan masyarakat untuk berpartisipasi sama dengan membahas motivasi masyarakat untuk berpartisipasi (Leagens dan Loomis, 1971). Tingkat kebutuhan seseorang berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula bidang kebutuhan itu sendiri tidak sama antara orang yang satu dengan lainnya. Sehingga nilai intensitas kebutuhan juga akan berbeda-beda bagi seseorang dengan orang lainnya (Wahjosumidjo, 1987). Para individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan mana saja yang bersifat prepoten atau yang paling kuat pada saat tertentu. Prepotensi suatu kebutuhan tergantung pada situasi individual yang berlaku dan pengalaman-pengalaman yang baru saja dialami (Winardi, 2002). Kebutuhan yang berbeda-beda tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Latar belakang pendidikan, tinggi rendah kedudukan, berbagai pengalaman masa lampau, cita-cita atau harapan masa depan, serta pandangan
23 hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap berbagai macam kebutuhan tersebut. Motivasi mempersoalkan bagaimana individu terdorong untuk mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan hidupnya demikian dikemukakan oleh Hasibuan (1999). Individu yang mempunyai motivasi akan bersedia mencurahkan energi fisik dan mentalnya untuk melakukan pekerjaan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan hutan secara lestari maka motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan merupakan hal yang penting karena dengan adanya motivasi diharapkan setiap petani sekitar hutan mau berpartisipasi dalam arti mau bekerja keras dan antusias untuk mengelola hutan sehingga tercapai
produktivitas yang tinggi dengan
mengedepankan kelestarian hutan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thoha (1999) bahwa selain terletak pada kemampuannya, orang bekerja juga bergantung pada keinginannya untuk bekerja atau bergantung pada motivasi dan kekuatan yang dikandung oleh motivasi tersebut. Dorongan atau keinginan tersebut yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut. Hal ini berarti bahwa individu yang sangat termotivasi akan melaksanakan upaya substansial, guna mendukung tujuan-tujuan produksinya. Individu yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual, dengan demikian termasuk di dalammnya kinerja partisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri. Motivasi merupakan kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar (Winardi, 2002). Artinya, motivasi adalah pengaruh, baik yang berasal dari luar (ekstrinsik) maupun dari dalam (instrinsik) individu, yang menyebabkan atau menimbulkan suatu perilaku (Leagens dan Loomis, 1971; Lewis, 1987). Jung (1987) mengemukakan terdapat dua aspek yang berkaitan dengan motivasi bekerja, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik dari
24 pekerjaan adalah untuk memenuhi kebutuhan individu seperti mengembangkan kreativitas, untuk berprestasi, untuk melibatkan diri, membimbing orang lain dan mengatur organisasi. Motivasi ekstrinsik timbul jika yang mendorong individu untuk bertindak adalah hal-hal yang berasal dari luar individu, seperti: gaji, kondisi lingkungan kerja, pekerjaan, kebijaksanaan/peraturan tempat bekerja. Sardiman (2000) menjelaskan kata motif (motive) diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata motif, maka motivasi (motivation) dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Terdapat dua macam motivasi, yaitu : 1. Motivasi instrinsik Motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena di dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. 2. Motivasi ekstrinsik Motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Lebih lanjut, Sardiman (2000) mengemukakan bahwa terdapat tiga fungsi motivasi terhadap perilaku seseorang yaitu: 1. Mendorong manusia untuk berbuat Motivasi dianggap sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2. Menentukan arah perbuatan Motivasi dapat mengarahkan perilaku kepada tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3. Menyeleksi perbuatan Menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
25 Chung dan Megginson (1981) merumuskan motivasi sebagai perilaku yang mengarah pada tujuan. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan, dengan demikian orang yang termotivasi adalah mereka yang mengetahui bahwa apa yang dilakukannya akan membantu dalam pencapaian tujuan mereka. Sejalan dengan pendapat Chung dan Megginson, Handoko (1997) mengartikan motivasi sebagai keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya. Menurut Gomez (1995) motivasi setiap individu akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinyapun akan berbeda, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh sarana motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan akan growth dan achievement. Dari berbagai pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa kebutuhan dan/atau keingingan berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang dirasakan dan dialami individu pada titik waktu tertentu. Kekurangan-kekurangan tersebut dapat bersifat fisiologi (misalnya sandang, pangan), psikologi (misalnya kebutuhan akan penghargaan diri) atau sosiologi (kebutuhan untuk dapat berinteraksi secara sosial). Kebutuhan dan/atau keinginan dapat menjadi alat untuk mengenergi, atau pemicu-pemicu yang menyebabkan timbulnya reaksireaksi perilaku. Kebutuhan dan/atau keinginan akan mendorong orang untuk mau bekerja. Masing-masing kebutuhan dan/atau keinginan tidak sama kekuatan tuntutan pemenuhannya, Tumbuhnya kekuatan itu satu sama lain juga berbedabeda waktunya. Seluruh kebutuhan dan/atau keinginan tidak timbul dalam waktu yang bersamaan, walaupun terkadang beberapa kebutuhan dan/atau keinginan dapat muncul sekaligus, sehingga orang harus menentukan pilihannya yang mana yang harus dipenuhinya terlebih dahulu. Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dapat terjadi disebabkan oleh tiga hal (Khairuddin, 1992), yaitu:
26 1. Takut/terpaksa 2. Ikut-ikutan 3. Kesadaran Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut biasanya merupakan akibat dari adanya perintah yang kaku dari pemegang kekuasaan, sehingga masyarakat seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah ditentukan. Partisipasi dengan ikut-ikutan, hanya didorong oleh rasa solidaritas, rasa tidak enak, sungkan yang tinggi di antara sesama masyarakat. Keikutsertaan mereka bukan karena dorongan hati nurani sendiri, tetapi merupakan wujud kebersamaan saja. Motivasi partisipasi yang ketiga adalah kesadaran, yaitu partisipasi yang timbul karena kehendak dari pribadi anggota anggota masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan yang timbul dari hati nurani sendiri. Dalam hal ini, masyarakat menerima pembangunan karena mereka sadar bahwa pembangunan tersebut semata-mata untuk kepentingan mereka juga. Dari berbagai pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan refleksi kesadaran dan kemauan atau keinginan yang ada pada diri anggota masyarakat. Keinginan atau kemauan tersebut yang mendorong petani sekitar hutan untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan, dengan kata lain pentingnya motivasi dalam kegiatan pengelolaan hutan adalah karena motivasi merupakan hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku masyarakat, supaya mau bekerja giat dan antusias dalam mencapai hasil yang optimal demi peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, yang meliputi motivasi petani dalam bentuk keinginan untuk meningkatkan pendapatan, motivasi petani dalam bentuk keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri, dan motivasi dalam bentuk keinginan untuk melestarikan hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya adalah petani, yang sangat mengharapkan adanya perubahan dalam tingkat kesejahteraan hidupnya. Indikator dari terjadinya perubahan positip dalam kesejahteraan hidup adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga. Kartasapoetra (1991) menyatakan setiap petani dan
27 keluarganya ingin
meningkatkan
produksi dalam
usaha
taninya untuk
mendapatkan income yang sebesar-besarnya, mereka ingin hidup sejahtera Masyarakat sekitar hutan yang kebanyakan petani telah menetap di sekitar hutan dan berinteraksi dengan hutan dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga, walaupun dianggap tradisional, memiliki kemampuan yang memadai dalam mengelola hutan, sebagaimana telah terbukti di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek pengelolaan hutan yang berhasil dengan baik dilakukan oleh masyarakat tani
yang tinggal di sekitar hutan, antara lain
pengelolaan repong damar di Krui Lampung, parak di Koto Malintang Agam Sumatera Barat, dan masih banyak lainnya. Keberadaan kemampuan dalam mengelola hutan menjadi salah satu unsur yang mendasari masyarakat sekitar hutan untuk tetap mengelola hutan yang telah menjadi bagian dari aktivitas hidup mereka. Suporahardjo (2000) menyatakan di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek atau perilaku positip masyarakat sekitar hutan dalam mengelola hutan yang dilandasi oleh kearifan yang dimiliki, di mana pengelolaan hutan dilakukan secara produktif dan lestari. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan mereka untuk selalu berusaha menjaga eksistensi dan kelestarian hutan. Keinginan melestarikan hutan kemiri selain akibat dari pengaruh pengetahuan dan kearifan yang dimiliki, juga disebabkan oleh kebiasaan petani memberikan dan meninggalkan warisan pada keturunannya. Petani seperti ini memiliki keinginan untuk menjaga dan terus melestarikan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Tadjuddin (2000) bahwa di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek pengelolaan hutan yang mengedepankan prinsip kelestarian hutan. Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan Kemampuan (ability) merupakan kapasitas individu yang memungkinkan individu tersebut dapat melakukan tugas-tugas yang bersifat mental dan fisik. Kemampuan berkembang sepanjang waktu melalui interaksi bakat/bawaan dan pengalaman, serta bersifat menetap/permanen atau bertahan lama dalam diri individu (Desimone et. al, 2002). Robin (2003) mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, yang meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
28 Kemampuan intelektual adalah kapasitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut adanya stamina, ketangkasan atau keterampilan, dan kekuatan. Klausmeier dan Goodwin (1975) mengelaborasi kemampuan menjadi kemampuan kognitif, kemampuan mental, dan ke mampuan psikomotorik. Kemampuan merupakan hal pokok yang mendasari pencapaian prestasi kerja dan mendasari berbagai keterampilan pada ranah kognitif dan psikomotor. Hasibuan (2001) mendefinisikan kemampuan sebagai total dari semua keahlian yang diperlukan untuk mencapai hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Kemampuan merupakan kumpulan pengetahuan dan keterampilan (tanpa menperhatikan cara mendapatkannya) yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Kemampuan (ability) merupakan konsep yang sering disandingkan dengan konsep kompetensi (competency/competence) bahkan terkadang dipertukarkan penggunaannya, sebagaimana tercantum dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary bahwa competence diartikan sama dengan being competent, ability. Definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai hasil kerja yang superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin (Susanto, 2003). Spencer dan Spencer (1993) mengemukakan bahwa kompetensi adalah karakteristik-karakteristik mendalam dan terukur pada diri seseorang yang menunjukan cara berperilaku atau berpikir dalam situasi dan tugas kerja tertentu yang bertahan dalam waktu lama pada diri orang tersebut. Pendapat Spencer dan Spencer, senada dengan pendapat Robert dan Kinicki (1991) tentang kemampuan. Kemampuan, menurut Robert dan Kinicki (1991), adalah karakteristik yang luas dan mapan yang bertanggungjawab atas kinerja maksimum seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan mental dan fisik. Dilihat dari persyaratan keberhasilan suatu pekerjaan. Spencer dan Spencer (1993) kemudian mengklasifikasikan kemampuan atau kompetensi tersebut menjadi dua tingkatan yaitu:
29 1. Kemampuan ambang batas (threshold competency) Kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Dikatakan minimal karena sekedar terpenuhinya standard kerja minimal yang dipersyaratkan, tidak lebih, sehingga pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik. 2. Kemampuan yang membedakan (differentiating competency) Kemampuan unggul yaitu kemampuan yang dapat membedakan antara seseorang yang memiliki kinerja superior dengan yang tidak memiliki kinerja superior. Dikatakan superior, apabila kinerja seseorang berada di atas rata-rata kebanyakan orang, dengan kata lain mampu melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang melakukan pekerjaan yang sama Mendiknas melalui Surat Keputusan No. 045/U/2002 menyatakan bahwa kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa elemen-elemen kompetensi meliputi: 1. Landasan kepribadian 2. Penguasaan ilmu dan keterampilan 3. Kemampuan berkarya 4. Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai 5. Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya Mirabile
(Kismiyati,
2004)
mendefinisikan
kompetensi
sebagai
pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanakan dan/atau untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan, yang merupakan dasar bagi penciptaan nilai dalam suatu organisasi. Menurut definisi ini, faktor-faktor kompetensi yang sangat
penting
keberhasilan,
bagi
meliputi:
perseorangan pengetahuan
maupun organisasi teknis,
untuk
pengkoordinasian
mencapai pekerjaan,
penyelesaian dan pemecahan masalah, komunikasi dan layanan, dan akuntabilitas. Sedarmayanti (2003) mengkompilasi berbagai pengertian kompetensi sebagai berikut:
30 1. Konsep luas, membuat kemampuan, mentrasfer keahlian dan kemampuan kepada situasi baru dalam wilayah kerja. 2. Kemampuan dan kemauan untuk melakukan pekerjaan. 3. Dimensi perilaku yang memengaruhi kinerja. 4. Karakteristik individu yang dapat dihitung dan diukur secara konsisten, dapat dibuktikan untuk membedakan secara nyata antara kinerja yang efektif dengan yang tidak efektif. 5. Kemampuan dasar dan kualitas kinerja yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik. 6. Bakat, sifat dan keahlian individu yang dapat dibuktikan, dapat dihubungkan dengan kinerja yang efektif dan baik sekali. Mengacu pada kompilasi tersebut, Sedarmayanti kemudian membagi kompetensi menjadi tiga macam sebagai berikut: 1. Kompetensi teknis, yaitu pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru. 2. Kompetensi konseptual, yaitu kemampuan melihat gambar besar (imajinatif), untuk menguji berbagai pengandaian, dan mengubah perspektif. 3. Kompetensi untuk hidup dalam ketergantungan, yaitu kemampuan yang diperlukan guna berinteraksi efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan mendengar,
berkomunikasi,
mendapat
alternatif
lain,
menciptakan
kesepakatan menang-menang, dan beroperasi secara efektif dalam sistem. Sedikit berbeda dengan Sedarmayanti, Soesarsono (2002) menyatakan secara umum kompetensi dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Kompetensi personal yaitu kemampuan seseorang yang dihubungkan dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya. 2. Kompetensi sosial yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain. 3. Kompetensi profesional yaitu seperangkat kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan profesinya atau melaksanakan tugas tertentu. UNESCO (2005) mengkategorikan kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu secara lebih mendasar dengan mengaitkannya pada proses perkembangan
31 manusia dan proses belajar yang dialami oleh manusia. Menurut UNESCO bahwa terdapat empat kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh individu untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul di dalam masyarakatnya. Empat kemampuan tersebut adalah: 1. Learning to be, dapat dinyatakan sebagai kemampuan personal Kemampuan personal merupakan potensi individu yang terkait dengan konsep diri, yaitu cara bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kemampuan personal membuat setiap individu berbeda satu dengan lainnya. Dengan kemampuan personal, seseorang dapat dan sanggup melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya. 2. Learning to live together, identik dengan kemampuan sosial/relasional Kemampuan yang memungkinkan individu membangun hubungan dengan orang lain (interpersonal competency) dan masyarakat lainnya (social competency). 3. Learning to know, dapat dinyatakan sebagai kemampuan kognitif Kemampuan dalam menggunakan, meningkatkan dan mendayagunakan intelektual. Terdapat tiga instrumen untuk mengembangkan kemampuan ini yaitu belajar tentang cara belajar (learning how to learn), mengajar tentang cara mengajar (teaching how to teach), dan mengetahui tentang cara mengetahui (knowing how to know). 4. Learning to do, dapat dinyatakan sebagai kemampuan produktif Kemampuan yang terkait dengan upaya individu membangun dirinya menjadi individu yang produktif, kreatif, dan inovatif. Kemampuan produktif terekspresi dalam bentuk kemampuan mengarahkan (directing), mengelola (managing), koordinasi/kerjasama (coordinating), pengawasan dan evaluasi terhadap produksi sendiri (self-management), produksi kelompok sendiri (comanagement),
atau
produksi
kelompok
lain
(group
management).
Kemampuan ini dapat menciptakan ruang enterpreneur bagi individu. Menurut Maskun (1995), tingkat kemampuan masyarakat merupakan prasyarat bagi perkembangan masyarakat desa di masa mendatang, Menurutnya bahwa tingkat kemampuan masyarakat desa dapat dilihat dari dua segi, yaitu: (1) tingkat kemampuan di bidang teknologi, dan (2) kemampuan masyarakat dalam
32 mengantisipasi tingkat kehidupan dan perkembangan yang akan mereka hadapi. Lebih lanjut Maskun menjelaskan bahwa terdapat beberapa kemampuan yang diperlukan oleh masyarakat demi tercapainya perkembangan masyarakat desa, yaitu: 1. Kemampuan dalam mengidentifikasi potensi alam dan lingkungannya. 2. Kemampuan mengantisipasi bahaya dan hambatan atau kendala alam yang dapat mengacam pemenuhan kebutuhan hidup 3. Kemampuan berinovasi untuk menciptakan pola hidup yang lebih efisien. 4. Kemampuan
menetralisir
belenggu-belenggu
sosial
yang
menghambat
perkembangan. 5. Kemampuan melaksanakan fungsi manajemen dan kepemimpinan 6. Kemampuan melaksanakan fungsi manajemen dan organisasi atau usaha pembangunan desa yang dilaksanakan oleh masyarakat. 7. Kemampuan untuk “mengawinkan” teknologi yang dimiliki dengan proses produksi masyarakat. 8. Kemampuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan nasional. 9. Kemampuan untuk menetralisir kondisi birokratis pada administrasi pemerintah dengan memakai sistem yang mangkus dan didasarkan pada usaha yang sangkil. Terkait dengan pengembangan masyarakat, Sunartiningsih (2004) mengemukakan bahwa dalam pengertian kemampuan warga masyarakat terkandung dua unsur pokok. Pertama, adalah komitmen, kesadaran dan tanggung jawab sosial setiap warga masyarakat bahwa peningkatan kehidupan dan kesejahteraan adalah menjadi tanggung jawab masyarakat sendiri, bukan pihak lain. Kedua, untuk mengaktualisasikan unsur yang pertama warga masyarakat perlu memiliki kapasitas untuk melakuan identifikasi kebutuhan, identifikasi sumberdaya dan peluang serta kemampuan pengelolaannya. Mengacu dari berbagai penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap positip yang dimilikinya. Kemampuan merupakan daya atau kesanggupan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Individu dengan kemampuan yang memadai akan sanggup melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan baik. Artinya
33 kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan refleksi dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa setiap perilaku seseorang adalah refleksi dari kemampuan yang dimilikinya. Seseorang yang berkemampuan adalah seseorang yang penuh percaya diri karena menguasai pengetahuan dalam bidangnya, memiliki keterampilan serta sikap positip dalam mengerjakan hal-hal yang terkait dengan bidang itu sesuai dengan tata nilai atau ketentuan yang dipersyaratkan. Hal ini berarti, kemampuan merupakan faktor yang perlu dimiliki seseorang, sehingga dapat melaksanakan kegiatan dengan baik. Dengan demikian dalam konteks partisipasi petani dalam pengelolaan hutan, dapat dinyatakan bahwa kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri merupakan kombinasi dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terakumulasi dalam diri petani sekitar hutan yang membuatnya sanggup berpartisipasi secara baik dalam pengelolaan hutan kemiri, yang meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis berkaitan dengan kaidah-kaidah teknis mengelola hutan, dan apabila kaidah-kaidah tersebut diketahui, dipahami, dan dipatuhi oleh petani sekitar hutan maka hutan yang dikelola oleh petani akan lestari. Kaidahkaidah tersebut tercakup dalam bidang silvikultur (teknis budidaya tanaman hutan). Pengetahuan, sikap dan keterampilan di bidang teknis budidaya tanaman hutan (silvikultur) terutama kemiri, perlu dimiliki oleh petani sekitar kawasan hutan kemiri sehingga mereka
mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan
pengelolaan hutan secara lestari. Seorang petani dalam menjalankan usaha taninya akan dihadapkan pada pengambilan keputusan penting seperti pasokan dan layanan yang dibutuhkan, modal yang diperlukan, dan banyak hal lainnya. Hal ini membutuhkan kemampuan manajerial yang baik (Lionberger dan Gwin, 1982). petani yang memiliki kemampuan manajerial dalam pengelolaan hutan adalah petani yang mampu merencanakan, mengatur, menggerakan/mengarahkan orang atau tenaga kerja, dan mengevaluasi kegiatan pengelolaan hutan, baik yang dikelola sendiri maupun yang dikelola oleh kelompok sehingga pelaksanaan pengelolaan hutan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
34 Dalam menjalankan usaha tani, para petani akan menjumpai berbagai hal atau variabel yang akan mempengaruhi kelancaran usaha taninya, seperti adanya kebutuhan-kebutahan akan informasi, suplai/pasokan, modal/kredit, tenaga kerja, dan pemasaran (Lionberger dan Gwin, 1982). Untuk memperoleh semua itu, petani akan mencarinya atau berhubungan dengan pihak lain. Oleh karena itu, kemampuan membangun dan menjalin hubungan dengan pihak lain, dengan kata lain kemampuan sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi, Kemampuan, dan Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Partisipasi, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2003), bergantung pada kemauan dan kemampuan, dengan kata lain bergantung pada motivasi dan kemampuan yang dimiliki oleh pelaku partisipasi. Selanjutnya, motivasi dan kemampuan itu sendiri dapat dipengaruhi, termodifikasi atau berubah oleh berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar individu. Teori proses memandang timbulnya motivasi sebagai akibat dari adanya faktor ekternal (Handoko, 1997). Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2002) yang mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya baik secara positif atau secara negatif, tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan. Sama halnya dengan motivasi, menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) bahwa kemampuan dapat mengalami perubahan. Dengan demikian kemampuan petani dalam pengelolaan hutan dapat berubah, baik berubah ke arah yang lebih baik ataupun ke arah yang tidak diinginkan. Perubahan kemampuan dapat terjadi melalui proses belajar, sebagaimana dinyatakan oleh Seng (2001) bahwa proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Hal tersebut, sejalan dengan pendapat Lewin (Sarwono, 2002) yang menyatakan perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Demikian pula pendapat Bandura (1977) yang menyatakan bahwa pembelajaran sosial merupakan interaksi dari tiga faktor yaitu perilaku, faktor
35 individu, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah: Karakteristik Individu Petani Karakteristik individu adalah sifat atau ciri-ciri khas yang dimiliki seseorang. Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan bahwa faktor-faktor atau peubah-peubah penting dalam mengkaji masyarakat tani adalah peubah personal seperti umur, pendidikan, dan karakter psikologis. Peubah-peubah tersebut merupakan karakteristik yang melekat pada diri individu petani. Thoha (1999) mengemukakan bahwa dalam organisasi, karakteristik individu merupakan salah satu faktor penting yang membentuk perilaku dalam organisasi ketika berinteraksi dengan lingkungan organisasi. Menurut peneliti, makna lingkungan ini dapat saja diperluas tidak saja pada konteks organisasi, tetapi juga pada konteks lingkungan secara umum. Karakteristik inidividu petani yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: umur, pengalaman mengelola hutan kemiri, pendidikan forman dan non formal, pendapatan keluarga, tanggungan keluarga, dan kebergantungan terhadap sumberdaya hutan. Umur seseorang mencerminkan akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang dilaluinya (Padmowihardjo, 1999). Halim (1992) menyatakan umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakan dari setiap orang berdasarkan umur yang melekat padanya. Menurut Klausmeier dan Goodwin (1966) umur pelajar maupun pengajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efesiensi belajar. Rakhmat (2002) mengemukakan kelompok orang tua memiliki pola tindakan yang berbeda dengan kelompok anak muda. Mengacu pada pendapat Rakhmat tersebut, dikaitkan dengan pengelolaan hutan kemiri, diduga bahwa terdapat perbedaan perilaku petani ditinjau dari usianya. Petani yang berusia lebih tua akan memiliki perbedaan perilaku dengan petani yang berusia lebih muda. Hal ini sejalan dengan pendapat Salkind (1985) bahwa umur secara kronologis dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu. Penelitian Aziz (1995) dan Siahaan (2002) menyimpulkan bahwa umur berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh
36 Suparta (2001) mendapatkan bahwa umur berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam beragribisnis. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu (Sarwono, 2002). Artinya bahwa apa yang telah dialami individu akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang datang padanya. Menurut Azwar (2003) tidak adanya pengalaman sama sekali pada diri seseorang terhadap suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatip terhadap objek tersebut. Padmowihardjo (1999) menyatakan pengalaman berkaitan dengan dimensi waktu, dengan kata lain pengetahuan akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini sejalan dengan pendapat Rakhmat (2002) yang menyatakan secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu, dengan demikian terkait dengan pengelolaan hutan dapat dinyatakan bahwa pengalaman dalam mengelola hutan kemiri akan berkaitan pola perilaku petani terhadap hutan yang pada akhirnya akan menentukan tingkat motivasi, tingkat kompetensi dan tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Keluaran pendidikan baik formal maupun non formal adalah terjadinya perubahan perilaku dalam bentuk kepemilikan kemampuan yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, sebagaimana dinyatakan Slamet (2003) bahwa perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pendidikan berupa: perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, perubahan dalam ketrampilan atau kebisaan dalam melakukan sesuatu, dan perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999), pendidikan merupakan sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitiannya, Aziz (1995) menyimpulkan bahwa pendidikan berhubungan dengan pengetahuan petani tentang perladangan berpindah, dengan demikian bila dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan hutan, maka pendidikan yang pernah dijalani oleh petani baik formal dan non formal akan memberikan kontribusi terhadap pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam pengelolaan hutan tersebut. Tujuan pendidikan, dengan demikian, adalah untuk
37 mengembangkan kapasitas masyarakat agar bisa menikmati hidup layak. Artinya melalui pendidikan yang cukup maka pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang akan bertambah, sehingga dengan pengetahuan yang luas dan keterampilan yang baik seseorang diharapkan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan produktif. Pendapatan keluarga adalah perolehan uang yang didapat oleh kepala keluarga dan anggota keluarganya dari berbagai kegiatan yang dilakukan, yang sumber perolehannya bisa berasal dari kegiatan di luar usaha kehutanan, dan dari kegiatan pemanfaatan hutan. Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa setiap petani dan keluarganya ingin meningkatkan produksi dalam usaha taninya untuk mendapatkan income atau pendapatan yang sebesar-besarnya, mereka ingin hidup sejahtera. Sahidu (1998) mengemukakan bahwa pendapatan usaha tani merupakan sumber motivasi bagi petani dan merupakan faktor kuat yang mendorong timbulnya kemauan, timbulnya kemampuan, serta terwujudnya kinerja partisipasi petani. Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan pendapatan adalah besarnya jumlah keluarga yang ditanggung. Banyaknya anggota keluarga yang ditanggung mengakibatkan petani memerlukan tambahan pengeluaran atau mencari pendapatan yang lebih tinggi untuk membiayai anggota keluarga yang ditanggungnya. Hal ini akan mendorong petani untuk lebih giat beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Soekartawi (1988) jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan tingkat pendapatan bersih usaha tani. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan komsumsi keluarga sehingga akan mengurangi modal untuk kegiatan usaha tani selanjutnya. Hernanto (1989) menyatakan bahwa jumlah tanggungan jiwa dalam satu keluarga menjadi tanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan untuk sejahtera. Kehidupan perekonomian dan budaya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, pada umumnya, sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan (Tadjudin, 2000). Kebanyakan petani tepian hutan masih berperilaku non adaptif dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan, demikian kesimpulan Santosa (2004). Sebagian besar masyarakat yang tinggal disekitar kawasan pelestarian
38 alam masih bergantung pada kawasan tersebut untuk memperoleh pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini merepresentasikan pola hidup sebagian besar masyarakat sekitar hutan yang ada di Indonesia (Riyanto, 2005). Kebergantungan masyarakat sekitar hutan pada keberadaan hutan tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi berlaku pula di negara-negara lain yang masyarakatnya tinggal di sekitar hutan, seperti di Tanzania, Uganda, Kenya, Thailand, Vietnam, China, Pilipina, Papua New Guinea, India (Hijweege, 2008; Cairns, 2007). Brookfield (2007) menemukakan bahwa masyarakat sekitar hutan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang ada di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan makanan, kayu, obat-obatan serta untuk kepentingan transaksi ekonomi/ peningkatan pendapatan. Tingkat Kekosmopolitan Petani Kekosmopolitan yaitu keterbukaan anggota-anggota masyarakat sekitar hutan pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Menurut Mosher (1978), keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahaan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usaha tani mereka. Hanafi (1986) dengan mengutip pendapat Rogers mengemukakan bahwa kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain didalam komunitasnya, yaitu: (1) individu tersebut memiliki status sosial, (2) partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, (4) lebih banyak menggunakan media massa, (5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada diluar komunitasnya. Tingkat kekosmopolitan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi kontak dengan pihak luar komunitas, aksesibilitas terhadap informasi pengelolaan hutan kemiri, dan keterdedahan terhadap media massa. Menurut Rogers, salah satu ciri petani kosmpolit adalah memiliki intensitas hubungan atau kontak yang lebih tinggi dengan pihak luar komunitas (Hanafi, 1988), yang dapat diartikan bahwa petani yang kosmopolit memiliki hubungan dengan petani-petani maju lain atau pihak-pihak lain yang berada di luar komunitasnya. Soekanto (2006) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial adalah adanya kontak dengan budaya lain. Bila
39 pendapat soekanto tersebut diterjemahkan pada konteks individu, dapat dimaknai bahwa perubahan perilaku seseorang diakibatkan oleh adanya kontak dengan pihak luar komunitas, sebagaimana kemudian ditegaskan oleh Soekanto bahwa pertemuan individu dari satu masyarakat dengan individu dari masyarakat lainnya memungkinkan terjadinya difusi. Agussabti (2002) dalam penelitiannya menyimpulkan perilaku petani dalam mengelola usaha tani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapat informasi baru untuk mengembangkan usaha taninya. Interaksi antar petani ini dapat berlaku juga bagi petani-petani lain yang berada di luar komunitas. Informasi adalah kegiatan pengumpulan atau pengolahan data sehingga dapat menghasilkan pengetahuan dan keterangan baru (Liliweri, 1997). Menurut Kincaid dan Schramm (1977) informasi adalah segala hal yang membantu dalam menyusun atau menukar pandangan tentang alam kehidupan yang dinyatakan dengan pengertian, gagasan, pemikiran, atau pengetahuan. Petani yang kosmopolit memiliki akses luas terhadap berbagai sumber informasi sehingga mereka memiliki informasi yang lebih banyak, sebagai akibatnya pengetahuan dan wawasan mereka lebih luas dibandingkan dengan kebanyakan petani lainnya. Informasi yang diperoleh bisa dalam bentuk inovasi atau teknologi pengelolaan hutan yang bermanfaat dan menguntungkan bagi kepentingan usaha tani. Banyaknya informasi yang dimiliki akan berdampak pada perilaku mereka. Kondisi ini sejalan dengan kesimpulan Pambudy (1999) yang menyatakan bahwa keterbukaan terhadap informasi peternakan berhubungan dengan perilaku para peternak. Media massa merupakan saluran komunikasi yang bersifat umum atau massal meliputi pers (surat kabar), radio, film, dan televisi dengan fungsi sosial yang kompleks (Arifin, 1994). Menurut teori komunikasi jarum hipodermik pesan-pesan yang disampaikan melalui media massa memiliki kekuatan atau pengaruh terhadap perilaku komunikan (Rakhmat, 2001). Menurut Rogers (Hanafi, 1986), komunikan atau petani yang kosmopolit akan lebih banyak menggunakan atau terdedah oleh media massa dibandingkan dengan kebanyakan
40 komunikan lainnya, dengan demikian mereka memiliki informasi yang lebih banyak. Jahi (1988) mengemukakan keterdedahan terhadap media massa akan memberikan kontribusi terhadap perbedaan perilaku. Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menimbulkan aspirasi, dan sebagainya. Pambudy (1999) menegaskan kesimpulannya bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan cara-cara untuk meningkatkan kualitas usaha tani peternak Peran Penyuluh Kehutanan Walter dan Marks (1981) memberikan dua definisi peran yang saling melengkapi. Pertama seperangkat harapan yang terkait dengan posisi formal di masyarakat. Kedua seperangkat perilaku aktual yang ditampilkan individu dalam situasi tertentu. Menurut Soekanto (2006) peranan merupakan fungsi, penyesuaian diri, dan suatu proses dari suatu kedudukan. Peranan menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kedudukan seseorang di masyarakat, dengan demikian peranan akan mengatur perilaku seseorang. Peranan menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesmpatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Peranan merupakan bentuk pelaksanaan tanggung jawab terhadap pekerjaan atau tugas (Lionberger dan Gwin, 1982). Menurut
Beebe dan
Masterson (1989) peranan yang ditampilkan seseorang muncul sebagai akibat: (1) adanya harapan pribadi untuk menampilkan perilaku tertentu (self konsep), (2) adanya persepsi orang lain atau kelompok berkaitan dengan kedudukan orang tersebut, dan (3) interaksi yang terjadi dengan orang lain. Pembangunan kehutanan, pada saat ini, diarahkan untuk memberikan peran dan partisipasi aktif masyarakat secara proporsional. Kegiatan penyuluhan kehutanan merupakan salah satu ujung tombak pembangunan kehutanan di lapangan, dengan demikian, penyuluh kehutanan memiliki peran yang penting dan strategis dalam upaya meningkatkan kapasitas masyarakat. Melalui kegiatan penyuluhan, penyuluh kehutanan membimbing, mendidik, dan mengajak petani
41 sekitar hutan sehingga pengetahuan dan keterampilan petani akan semakin berkembang serta memiliki sikap dan perilaku yang positip terhadap hutan dengan tujuan agar petani mau dan mampu untuk terlibat di dalam pengelolaan hutan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Darusman (2002) bahwa peranan kegiatan penyuluhan di bidang kehutanan menjadi semakin penting terkait dengan kebijakan kehutanan yang semakin mengutamakan peran serta masyarakat, dan bahkan memberi kesempatan kepada masyarakat (rakyat banyak) untuk menjadi pelaku ekonomi kehutanan. Demikian pula, Slamet (2003) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh profesionalisme penyuluhan. Peranan agen penyuluhan adalah membantu petani membentuk pendapat yang
sehat
dan
membuat
keputusan
efektif.
Petani
didorong
untuk
mengembangkan kebebasan yang luas di dalam pengambilan keputusan (Van Den Ban dan Hawkins, 1999). Hal ini mengandung makna bahwa melalui kegiatan penyuluhan, masyarakat diajak, diarahkan, dibimbing, dan dididik agar secara sadar mau belajar secara terus-menerus sehingga meningkat potensi dan kapasitas dirinya, dengan demikian mampu menganalisa kondisi dan potensi serta masalahmasalah yang dihadapinya serta dapat mengelola potensi yang dimilikinya, baik potensi personal maupun sumberdaya alam, menjadi sebuah kekuatan aktif yang dapat digunakan
dalam upaya-upaya memecahkan persoalan hidupnya serta
mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan, serta tetap peduli pada kelestarian wilayahnya. Melalui kegiatan penyuluhan, dengan demikian, diharapkan akan dapat dikembangkan lebih jauh pola pikir masyarakat yang kritis dan sistematis. Budiono (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan penyuluhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan kompetensi petani tepian hutan. Lioberger dan Gwin (1982) menyebutkan beberapa peran yang dapat ditampilkan oleh penyuluh, yaitu: pendengar yang baik, motivator, fasilitator proses, penghubung, pengembang kemampuan, pengajar keterampilan, pembantu pekerjaan, administrator program, pembantu kelompok, penjaga pagar, promotor, pemimpin lokal, konselor, pelindung, dan pembangun kelembagaan. Menurut Ife (1995) bahwa terdapat empat peranan dari pekerja pengembangan masyarakat,
42 yang juga dapat menjadi peran dari penyuluh kehutanan, yaitu: fasilitator, pendidik/educator, representatif, dan teknikal. Sedangkan, menurut Adi (2003) peranan pekerja pengembang masyarakat meliputi: pemercepat perubahan, perantara, pendidik, tenaga ahli, perencana sosial, advokat, dan aktivis. Penelitian akan
melihat
peran
penyuluh
kehutanan
sebagai
fasilitator,
sebagai
pendidik/edukator dan sebagai advokat. Menurut Ife (1995) peran fasilitator bagi pekerja pengembang masyarakat ditekankan pada upaya merangsang dan mendorong proses pembangunan masyarakat. Peran tersebut berlaku pula untuk penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan diharapkan mampu merangsang dan mendorong proses pembangunan masyarakat sekitar hutan kaitannya dengan pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat, yang merupakan wujud dari paradigma baru pembangunan kehutanan. Penyuluh dapat menggunakan berbagai variasi teknik fasilitasi untuk mengefektifkan, mempercepat dan memperlancar jalannya proses atau kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh petani sekitar hutan. Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan
kegiatan memfasilitasi pada beberapa aspek mirip
dengan kegiatan memotivasi tetapi kegiatan memfasilitasi mengharuskan fasilitator lebih aktif dibandingkan dengan kegiatan memotivasi. Kegiatan memfasilitasi berupaya mempercepat dan meningkatkan kualitas suatu proses. Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan mendidik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Asngari (2001) bahwa penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal. Implikasinya, penyuluh kehutanan sebagai pelaksana kegiatan penyuluhan kehutanan harus mampu berperan sebagai edukator/pendidik yang baik bagi petani sekitar hutan. Sebagai pendidik penyuluh kehutanan memiliki peran untuk meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan. Kemampuan seseorang dapat dikembangkan melalui kegiatan pendidikan dan/atau pengalaman (Klausmeier dan Goodwin, 1975; Spencer dan spencer, 1993). Menurut Sudjana (2000) proses pendidikan adalah interaktif di antara pendidik dengan peserta didik yang berwujud dalam proses pembelajaran. Pendidik berperan untuk membantu peserta didik melakukan belajar yang berdaya guna dan berhasil guna, dengan kata lain pendidik berperan membantu peserta
43 didik melakukan kegiatan belajar. Ife (1995) menyebutkan beberapa peran pendidik bagi pekerja pengembang masyarakat (community worker) meliputi membangkitkan kesadaran, melatih/membimbing, memberikan tantangan, serta menyediakan dan menyampaikan informasi. Istilah advokasi mempunyai banyak definisi, namun demikian
pada
intinya mengandung konsep yang berkaitan dengan hak asasi manusia (hak masyarakat). Menurut Black (2002), advokasi merupakan segala aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran publik di antara para pengambil keputusan dan khalayak umum atas sebuah masalah atau kelompok masalah, dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi Terkait dengan pengembangan masyarakat, advokasi diartikan sebagai bentuk peran mewakili atau atas nama masyarakat, yang dilakukan oleh pekerja pengembang masyarakat untuk menyuarakan atau menyampaikan kepentingan atau hak-hak masyarakat, dikarenakan masyarakat belum memiliki kemampuan dan/atau kekuatan untuk menyuarakannya sendiri (Ife, 1995). Peran advokasi merupakan peran yang aktif dan terarah (directive), dimana pekerja pengembang masyarakat menjalankan fungsi pembelaan yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan atau layanan, dikarenakan institusi yang seharusnya memberikan bantuan dan layanan tidak memperdulikan (Adi, 2003). Sebagai metode, advokasi merupakan metode yang ampuh untuk mempengaruhi pendapat publik atau orang lain, dan diharapkan juga dapat mengubah perilaku yang kurang menguntungkan Masyarakat petani yang tinggal disekitar hutan pada umumnya memiliki keterbatasan daya, dan sering menjadi pihak yang dirugikan dan termarjinalkan. Oleh karenanya, mereka membutuhkan pihak lain yang mampu membantu menyuarakan dan/atau mewakili untuk menyampaikan keinginan mereka mendapatkan hak dan perlakuan yang adil kepada pemerintah atau pihak lain yang berwenang. Pada situasi seperti ini, penyuluh kehutanan dapat menjalankan peran sebagai advokat bagi masyarakat petani. Dalam kegiatan advokasi tersebut terdapat unsur membela, memberi saran, memberi pertimbangan, memberi pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah, terkait dengan masalah pengelolaan hutan dengan penekanan keberpihakan pada kelompok yang
44 dirugikan. Kegiatan advokasi dalam pengelolaan hutan ini pada intinya berupaya mempengaruhi pengambil kebijakan atau pemerintah untuk menghasilkan kebijakan dan mereformasi kebijakan agar lebih berpihak pada kepentingan masyarakat serta mengakui bahkan melindungi hak masyarakat dengan tidak mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Dengan demikian, upaya advokasi yang dilakukan penyuluh kehutanan diharapkan dapat menciptakan perbaikan atau perubahan kebijakan yang akan menguntungkan kepentingan masyarakat. Lingkungan Sosial Budaya Lingkungan merupakan segala hal yang ada di sekitar manusia yang dapat dibedakan menjadi benda-benda yang mati dan benda-benda hidup, dengan kata lain ada lingkungan yang bersifat kealaman atau lingkungan fisik, dan ada lingkungan yang mengandung kehidupan atau lingkungan sosial (Walgito, 2003). Kedua jenis lingkungan ini, secara signifikan, akan mempengaruhi perilaku individu, sebagaimana yang dinyatakan Delgado (Rakhmat, 2002) bahwa respons otak dan perilaku individu dipengaruhi oleh setting atau suasana yang melingkupi individu tersebut, demikian pula Sarwono (2002) menyatakan bahwa individu akan merespons stimulus yang datang dari lingkungan dengan cara-cara tertentu. Soemarwoto (1999) mengemukakan lingkungan terdiri dari lingkungan biofisik (biotik, fisik) dan lingkungan sosial. Lingkungan biotik meliputi orgamisme hidup mencakup flora-fauna dan mikororganisme, sedangkan lingkungan fisik
meliputi benda mati antara lain tanah, air, dan udara.
Lingkungan sosial meliputi semua faktor atau kondisi dalam masyarakat yang dapat menimbulkan pengaruh atau perubahan sosiologis. Menurut Sampson (Rakhmat, 2001) terdapat beberapa faktor situasional yang dapat mempengaruhi perilaku individu diantaranya adalah: (1) lingkungan ekologis, yang meliputi faktor geografis dan faktor iklim atau meteorologis, dan (2) lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang didalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain, yang meliputi kelompok-kelompok sosial yang ada di sekitar individu baik individu tersebut sebagai anggota maupun tidak atau sekedar sebagai rujukan. Santosa (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku adaptif petani tepian hutan. Dukungan lingkungan sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini
45 adalah dukungan kearifan lokal, dukungan tokoh masyarakat, dan dukungan kelompok tani. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan pengaruh atau perubahan sosiologis adalah sistem nilai dan norma. Sistem nilai dan norma yang dianut oleh suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap perilaku anggota-anggota masyarakat tersebut ketika berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan. Sistem nilai nilai dan norma tersebut menjadi landasan kearifan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan. Mitchell et al. (2007) dan Soemarwoto (1999) mengemukakan masyarakat lokal telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal. Kearifan lingkungan, dengan demikian, merupakan bentuk perilaku positip masyarakat lokal dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah yang diwariskan secara turun temurun baik dalam bentuk lisan maupun bukan lisan. Menurut Suhardjito (2000) hutan diakrabi oleh masyarakat sekitar hutan dengan cara membangun kebudayaan termasuk di dalamnya menjaga sistem ekologi hutan tersebut. Petani yang tinggal di sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros juga memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan tanaman kemiri. Dalam suatu masyarakat terdapat sekelompok orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Mereka ini disebut sebagai tokoh masyarakat (Hanafie, 1986). Sarwono (2005) menyatakan untuk mengubah atau mendidik masyarakat seringkali diperlukan pengaruh dari tokoh-tokoh atau pemimpin masyarakat. Dengan demikian dalam konteks pengelolaan hutan, tokoh masyarakat memainkan peranan penting dalam mengajak masyarakat atau petani sekitar hutan untuk melestarikan hutan. Handayani (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan salah satu faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap frekuensi partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan adalah peranan tokoh masyarakat. Para petani biasanya menjadi bagian atau anggota dari kelompok tani. Kelompok mempunyai pengaruh terhadap perilaku anggota-anggotanya, yang meliputi pengaruh terhadap persepsi, pengaruh terhadap sikap, dan pengaruh terhadap tindakan individu (Santosa, 1992). Dengan demikian, nilai, norma,
46 interaksi dalam kelompok, kepemimpinan, dan dinamika kelompok memberikan kontribusi tersendiri terhadap bentuk pola interaksi anggotanya ketika berinteraksi dengan lingkungan di luar kelompok. Dalam konteks pengelolaan hutan, perilaku petani dalam mengelola hutan juga akan dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok di mana ia menjadi anggota. Dukungan kelompok akan memicu dan memacu petani untuk mau terlibat dalam pengelolaan hutan, sebagaimana yang dinyatakan Beebe dan Masterson (1989) bahwa kelompok memegang peranan penting bagi perkembangan kepribadian dan perilaku seseorang. Kesempatan atau Peluang bagi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Partisipasi akan berjalan apabila tersedia kesempatan atau peluang bagi masyarakat untuk meraihnya. Menurut Khairuddin (1992) kesempatan merupakan hal penting bagi setiap manusia yang hendak maju, termasuk petani. Ditegaskan oleh Khairuddin bahwa tekad yang kuat, namun kesempatan yang ada sangat kecil maka sulit bagi seseorang untuk mengembangkan dirinya. Menurut Slamet (2003) masyarakat tidak dapat merubah kualitas hidupnya dan pembangunan tidak akan tercapai apabila masyarakat tidak tergerak untuk memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada. Kesempatan dan peluang yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah luas dan status lahan, dukungan pemerintah, dukungan organisasi non pemerintah, kepastian pasar, dan dukungan bantuan permodalan/kredit. Luas lahan yang memadai dan status lahan yang jelas akan memacu petani untuk mengoptimalkan usahataninya. Keberadaan lahan garapan merupakan sebuah kesempatan yang dapat mendorong petani untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Kartasubrata (1986) dalam penelitiannya menyimpulkan luas lahan akan berpengaruh pada jenis dan intensitas partisipasi masyarakat. Pambudy (1999) juga menyimpulkan perilaku pertanian agribisnis sangat berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas usahanya maka semakin tinggi jiwa wirausaha mereka. Taufiqurrahman et. al (2003) menyatakan luas lahan memiliki hubungan terhadap kenaikan pendapatan petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Nusa Tenggara Barat. Kepastian akses dan hak masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya alam merupakan suatu prasyarat pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sebagaimana
47 ditegaskan Cairns (2007) bahwa ketidakpastian terhadap hak kepemilikan lahan memainkan peranan yang sangat penting dalam keputusan rumah tangga petani pengelola lahan tersebut. Sering terjadi konflik antara pemerintah yang mengklaim bahwa tanah yang digarap merupakan tanah negara dengan kenyataan yang ada yaitu masyarakat sebagai pengelola lahan. Barijadi (1996) dalam penelitiannya menyimpulkan kepastian hak atas tanah menstimulir petani untuk memanfaatkan lahan lebih baik dan memberikan pendapatan yang lebih besar, dibandingkan dengan lahan tanpa bukti hak. Hutan merupakan sumberdaya penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dikuasai oleh negara untuk dikelola dan digunakan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pada tataran implementasi, pelaksanaan pengelolaan hutan diatur oleh pemerintah yang berperan sebagai representasi negara. Pengelolaan hutan dapat dilaksanakan secara kolaborasi atau memberikan konsesi kepada pihak non pemerintah, termasuk masyarakat, yang secara bertanggung jawab mampu mengelolanya. Berbagai program pembangunan kehutanan berbasis masyarakat atau biasa dikenal dengan forest community based development (Pusbinluhhut, 2002) yang pada saat ini telah diluncurkan oleh pemerintah, di mana salah satunya adalah hutan rakyat, pada hakekatnya merupakan dukungan pemerintah pada masyarakat untuk memiliki akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Hal ini merupakan kesempatan bagi petani sekitar hutan untuk meraihnya. Pelaksanaan yang tepat di lapangan oleh pihak pemerintah atas kebijakan tersebut berupa jabaran-jabaran kebijakan ataupun kegiatan lain yang bersentuhan langsung dengan petani sekitar hutan akan merangsang petani sekitar hutan untuk meraih kesempatan tersebut. Kelancaran dan keberhasilan proses pembangunan masyarakat bukan tanggung jawab pemerintah semata, melainkan menjadi tanggung jawab semua warga negara. Pada prakteknya, terdapat berbagai program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak swasta (dunia usaha) dalam bentuk kemitraan, bantuan permodalan dan/atau atau pendampingan dengan tujuan untuk meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, pengembangan masyarakat pada saat ini sudah menjadi suatu kewajiban bagi
48 perusahan yang kegiatannya bersentuhan dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Lembaga swadaya massyarakat (LSM) juga memili peran strategis dalam kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Prijono (1996) menyatakan kegiatan
LSM
berkaitan
dengan
proses
dan
dampak
pembangunan,
pengembangan dan perubahan sosial, serta pemberdayaan rakyat. Berbagai program yang diluncurkan oleh swasta maupun pemerintah sering difasilitasi oleh LSM dalam bentuk pendampingan, selain kegiatan-kegiatan yang murni datang dari LSM itu sendiri. Program dan kegiatan yang disediakan oleh pihak swasta (dunia usaha) maupun LSM tersebut merupakan kesempatan bagi masyarakat desa untuk meraihnya. Selain kesempatan dalam bentuk kebijakan, faktor penting yang juga merupakan kesempatan atau peluang yang dapat mendorong petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan adalah ketersedian pasar. Mosher (1978) menyatakan ketersediaan pasar merupakan faktor esensial/penting dalam menggerakkan dan membangun pertanian. Kartasapoetra (1991) mengemukakan dengan adanya pasar bagi setiap jenis produksi usaha tani yang mudah dihubungi petani akan meningkatkan produksi usaha tani, menciptakan sistem perniagaan yang baik dan menguntungkan, memperlancar penyaluran dan penjualan produk usaha tani, dan meningkatkan kepercayaan petani akan usaha taninya. Tersedianya lembaga pasar akan menentukan apakah semua sistem sumberdaya di desa benar-benar akan memberikan manfaat kepada masyarakat. Dengan kata lain, secara kelembagaan, titik paling menentukan – artinya dapat positip atau negatip dampak keberadaan sumberdaya alam terhadap masyarakat di sebuah desa – sangat ditentukan oleh mekanisme pasar yang terbentuk di tengah masyarakat (Awang et al., 2000). Pentingnya pasar bagi pengembangan hutan rakyat dikemukakan oleh Suhardjito (2000) bahwa budidaya hutan rakyat di Jawa, dengan hasil utama adalah kayu, berkembang karena adanya pasar. Pasar itulah yeng menentukan pilihan jenis tanaman. Salah satu faktor yang menentukan kinerja kemampuan berpartisipasi petani pengguna lahan sawah dalam pembangunan pertanian adalah permodalan (Sahidu, 1998). Makeham dan Malcol (1991) mengemukakan bila pertanian
49 berubah dari corak subsisten ke komersial, maka kendala keuangan cenderung menjadi hal vital. Uang tunai harus tersedia bila diperlukan untuk pengeluaran hidup keluarga dan untuk membeli saprodi. Menurut Mubyarto (1989) masalah keuangan mempunyai hubungan dengan pola pembayaran tunai dan penerimaan petani yang sifatnya musiman. Apabila pembayaran-pembayaran ini tidak dapat dipenuhi dari pendapatan pada tahun sebelumnya, maka diperlukan bantuan permodalan atau kredit, dengan demikian kebutuhan kredit seharusnya disediakan oleh pemberi pinjaman/kredit atau bank, dan petani mampu membayar bunga kredit dan jumlah pinjaman pokok.
Azas Keberlanjutan (Sustainability) dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Sejarah hutan rakyat di Indonesia dimulai sejak zaman VOC, berupa hutan-hutan yang dihadiahkan VOC kepada pengikutnya yang dianggap berjasa. Setelah itu, pada tahun 1952 di Jawa lahir Gerakan Karang Kitri, yaitu gerakan yang dipelopori oleh Dinas Pertanian untuk menanami
tanah-tanah kosong
dengan jenis-jenis pohon-pohonan dengan melibatkan rakyat atau pemilik lahan yang bertujuan untuk melindungi tanah dari bahaya erosi. Sebagai hasil dari gerakan tersebut bermunculan hutan-hutan rakyat yang banyak terdapat di Jawa pada saat ini (IPB, 1990). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997 bahwa yang dimaksud dengan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang per hektar. UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan rakyat termasuk ke dalam kategori hutan hak. Istilah tersebut memberikan pengertian bahwa hutan rakyat berada di atas tanah yang dimiliki rakyat baik hak milik perseorangan maupun milik kelompok atau suatu badan hukum. Sedikit berbeda dengan SK Menhut dan UU tersebut, Simon (1995) menyatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibangun oleh masyarakat yang ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutan lainnya secara ekonomis. Hutan rakyat dapat dibangun di atas tanah milik tetapi dapat pula di atas lahan hutan negara dengan kontrol pemerintah. Sejalan dengan pendapat
50 Simon, Awang (2003) menyatakan ciri dari hutan rakyat adalah kegiatan penanaman pohon yang dilaksanakan di atas lahan milik rakyat dan dikelola oleh rakyat. Walaupun demikian kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon, dan manfaatnya untuk masyarakat. Hutan rakyat ada yang bersifat subsisten dan ada yang dengan tujuan komersial. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Saat ini keberadaan hutan rakyat menjadi sangat penting dan strategis. Peranan yang dimainkan tidak hanya sebagai kegiatan dalam rangka rehabilitasi lahan, tetapi hutan rakyat saat ini telah merupakan salah satu andalan dalam perekonomian masyarakat dan berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Wijayanto (2006) menyatakan bahwa usaha hutan rakyat merupakan suatu penerapan model usahatani yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas fisik per satuan luas lahan, mengoptimalkan lahan garapan, memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya hutan, dan memaksimumkan pendapatan usaha. Lebih lanjut dinyatakan oleh Wijayanto bahwa hutan rakyat yang diterima oleh masyarakat adalah hutan rakyat yang menguntungkan, jadi hutan rakyat yang terbangun bukan hanya suatu seni mendorong penanaman pepohonan kehutanan dengan terampil, akan tetapi akhirnya merupakan seni untuk membuat penghidupan di pedesaan lebih produktif dan menarik. Menarik dalam arti mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik, adanya sistem penguasaan dan tataguna lahan yang mantap, adanya peningkatan pendapatan, pengurangan resiko, dan curahan tenaga kerja yang berimbang, yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar hutan rakyat memenuhi fungsinya dengan baik, maka hutan rakyat perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara meskipun pelaksanaan pengurusan dan pengusahaannya dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya pengurusan hutan rakyat dilakukan sendiri oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan dari pemerintah. Fauziyah (2007) mengemukakan bahwa kebanyakan pengelolaan hutan rakyat masih dilakukan secara swadaya menurut kehendak pemiliknya, sehingga hasil produksi dan
51 kualitas tegakannya rendah karena belum menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari/berkelanjutan (sustainable forest management). Menurut Manan (1997) pengelolaan hutan sama dengan manajemen hutan yaitu penerapan metoda bisnis dan prinsip-prinsip teknis kehutanan dalam pengurusan suatu hutan. Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda (multiple use), yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia, dan tempat rekreasi. Sebagai kegiatan manajemen, dengan demikian, kegiatan pengelolaan hutan, termasuk pengelolaan hutan rakyat, meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam yang pada tataran pelaksanaannya mengedepankan terciptanya kelestarian hutan. Artinya membahas pengelolaan hutan tidak akan terlepas dari pembahasan atas kelestarian hutan. Asas kelestarian hutan menjadi landasan utama bagi kegiatan pengelolaan hutan. Dengan kata lain, pembahasan mengenai segala bentuk pengelolaan hutan akan selalu merupakan satu paket terpadu dengan pembahasan kelestarian hutan. Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan-pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Lebih lanjut Awang et al. menyatakan bahwa pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari. Yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berkebihan terhadap hasil hutan rakyat. Menurut Warsi (2003) pelestarian hutan merupakan berbagai praktek dan perbuatan yang dilakukan pada setiap kegiatan kehutanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sudah disepakati secara umum. Dalam kegiatan pelestarian hutan, seluruh jajaran baik pemerintah maupun masyarakat bersama-sama melestarikan hutan. Iskandar et al. (2003) menyebutkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan maka pengelolaan hutan harus mengandung tiga dimensi utama, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimensi tersebut berlaku pula dalam pengelolaan hutan rakyat. Pelestarian hutan, dengan demikian, merupakan suatu upaya atau
52 serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mempertahankan agar hutan dapat memberikan manfaat dan pengaruhnya yang positif secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Higman et al. (1999) mendefinisikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah sebagai suatu proses pengelolaan hutan untuk mencapai suatu tujuan atau lebih secara lebih jelas yaitu produksi hasil hutan dan jasa secara berkelanjutan tanpa mengurangi nilai dan produktivitas dimasa mendatang dan tanpa efek negatif baik fisik maupun sosial. Tadjuddin (1999) merinci kriteria keberlanjutan hutan, yang berangkat dari filosofi bahwa organisma kecil mampu memberikan aliran manfaat kepada organisma kecil lainnya, sejauh eksistensi setiap organisma kecil itu terjaga dengan baik. Karena itu, setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan dapat diterima apabila memenuhi empat prinsip sebagai berikut: 1.
Nilai lingkungan. Bahwa setiap intervensi oleh manusia tidak boleh melampui daya dukung sumberdaya hutan yang bersangkutan.
2.
Nilai ekonomi. Bahwa setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan untuk
kepentingan
produksi,
harus
mempertimbangkan
kelayakan
ekonominya. 3.
Nilai teknikal. Bahwa setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan harus dapat diterima secara teknikal. Artinya, bentuk intervensi harus sesuai dengan pengalaman empirik dan teknik silvikultur, baik aspek teknikal yang berasal dari dunia kademik maupun berasal dari pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal.
4.
Nilai sosial. Bahwa setiap intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan harus dapat diterima atau sesuai dengan tatanilai yang dianut oleh masyarakat lokal. Helms (Suhendang, 2002) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang. Konsep pengelolaan hutan lestari mencakup pemahaman bahwa hutan memiliki fungsi sebagai fungsi ekonomi, fungsi ekologis, dan fungsi sosial budaya.
53 Fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi. Hal ini berarti, sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, seperti untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Artinya, sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan (enabling condition) sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Fungsi sosial budaya adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari sumberdaya hutan, dengan demikian, adalah untuk menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.
Model-Model Pengelolaan Hutan Partisipatif Ide melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan muncul pada tahun 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan VIII Sedunia di Jakarta dengan tema Forest for People, pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penganggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara yang sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa pihak yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan (Hinrics et al., 2008). Mengacu pada hasil Konggres Kehutanan Dunia tersebut terjadi pergeseran
54 paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia yang melahirkan sistem baru pengelolaan hutan yang dinamakan strategi Social Forestry
atau perhutanan
sosial (Simon, 2009). Menurut Departemen Kehutanan, perhutanan sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat baik di kawasan hutan milik negara maupun milik pribadi atau kelompok. Pada tahun 2002 jajaran Departemen Kehutanan menempatkan perhutanan sosial di dalam birokrasi sebagai payung dari semua program dan kebijakan strategis. Perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari (CIFOR, 2003). Pada saat ini, berbagai bentuk dan model pengelolaan hutan partisipatif telah dikembangkan baik yang diperkenalkan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan), maupun non pemerintah. Model-model tersebut menggunakan terminologis yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya sama yaitu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Model-model pengelolaan hutan partisipatif tersebut antara lain: Hutan Kemasyarakatan (HKm) Model HKm merupakan salah satu kebijakan operasional dari paradigma pembangunan hutan untuk rakyat, sesungguhnya merupakan langkah kompromi yang strategis, terutama untuk mengeliminir berbagai persoalan sosial dalam hubungan pengelolaan sumberdaya hutan yang tejadi selama ini. Dengan fokus pengembangan pada aspek pemberdayaan masyarakat, maka implementasi program HKm sarat dengan dimensi sosial. Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 menyatakan bahwa hutan kemasyarakatan adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang betujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri untuk kegiatan hutan kemasyarakatan.
55 Pada tataran implementasi terjadi pembiasan yang menunjukkan kelemahan HKm, yaitu kegiatan yang dilaksanakan lebih menekankan pada pendekatan keproyekan. Pendekatan semacam ini menjadikan HKm kehilangan spirit aslinya, yakni upaya perubahan paradigma pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dari pekerja menjadi pengelola. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi, yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat, dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. (Perhutani, 2001). Dengan demikian, model PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi atau model kemitraan yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau pihak yang bekepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal. Pengelolaan hutan bersama masyarakat dilakukan di wilayah kerja perusahaan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan hasil perencanaan partisipatif. Pengelolaan dilakukan dengan tidak mengubah status kawasan hutan dan status tanah perusahaan. Penyusunan rencana PHBM dilakukan bersama antara perusahaan dan masyarakat desa hutan melalui perencanaan partisipatif dan diintegrasikan dengan pembangunan wilayah. Masyarakat desa hutan dalam program PHBM berhak: (1) menyusun rencana, melakukan monitoring dan evlaluasi bersama perusahaan; (2) memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya; (3) memperoleh fasilitasi dari perusahaan dan atau pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Dalam pelaksanaannya, masyarakat desa membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terwujud kelompok ekonomi, kelompok sosial maupun kelompok budaya yang tumbuh dari keswadayaan dan berbadan hukum.
56 Model Desa Konservasi (MDK) Desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang digagas oleh Departemen Kehutanan dalam rangka memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Model ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan. Model akses pemanfaatan ini bisa berbeda dari satu kawasan ke kawasan lain tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan (Dephut, 2008) Pembangunan MDK merupakan upaya konkrit pemberdayaan masyarakat disekitar dan didalam kawasan konservasi yang dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Dephut. 2009). Desa-desa yang menjadi model desa konservasi adalah desa – desa yang terletak di wilayah hulu dan dekat dengan kawasan konservasi. Desa konservasi adalah desa yang semua sendi kehidupannya selaras dengan alam. Desa yang memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam kegiatan perlindungan lingkungan hidup dan ikut mengelola kawasan tersebut. Pengembangan model desa konservasi menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu, guna mendukung tata kelola kawasan hutan dan konservasi yang lebih baik. Masyarakat yang ada di sekitar lokasi akan diberikan penyuluhan dan pengetahuan tentang pentingnya hutan untuk kehidupan masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaganya. Tujuan pembangunan MDK disekitar Kawasan Konservasi (KK) yaitu dari aspek ekologi/lingkungan, MDK dapat menyangga KK dari berbagai gangguan, memperluas habitat flora dan fauna yang ada di KK, menambah areal serapan air jika terletak dibagian hulu sungai, menangkal bencana alam berupa banjir, erosi, angin serta bencana lainnya. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat
57 untuk menambah pendapatan, potensi SDA yang ada dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai, dan diharapkan roda perekonomian pedesaan dapat berputar. Dari aspek sosial, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat, masyarakat diharapkan dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi, kesehatan masyarakat dapat meningkat karena kondisi lingkungan pedesaan yang sehat dan diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan berkurang. (Dephut. 2009). Pengelolaan Hutan Bersama Secara Adaptif (PHBA/Adaptive Collaboration Management) PHBA adalah model pendekatan pengelolaan hutan bersifat partisipatif yang menghubungkan pemangku kepentingan atas hutan, memberdayakan masyarakat lokal dan kelompok-kelompoknya, serta menguatkan kemampuan adaptasinya. PHBA berjuang untuk mengenal, membangun, dan menguatkan kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi tantangan dari lingkungan yang beubah-ubah (CIFOR, 2008). Model PHBA di Indonesia dikembangkan oleh CIFOR dibangun berdasarkan tujuan demokrasi, keadilan dan kesetaraan, mengakui pentingnya kekuasaan
dan
berjuang
untuk
menyeimbangkan
arena
dalam
proses
pemberdayaan. Model ini didasarkan atas prinsip bahwa pengelolaan hutan harus dapat memenuhi kebutuhan banyak pihak dan selalu disesuaikan dengan perkembangan di masyarakat dan pemerintah dalam aspek lingkungan, sosial, politik, ekonomi, dan kebijakan (CIFOR, 2003). Metode utama dalam model PHBA adalah penelitian aksi partisipasi (participatory action research-PAR) yang berorientasi pada proses, yang memungkinkan kelompok masyarakat bertindak bersama dalam daur iteratif penetapan tujuan, analisis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan peninjauan kembali capaian kemajuan (Kusumanto et.al., 2006). Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) PMDH
adalah
model
pengelolaan
hutan
yang
pelaksanaannya,
berdasarkan SK. Menhut 523/Kpts-II/1997, menjadi kewajiban dari perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Kewajiban dikenakan kepada setiap pemegang HPH dan
58 HPHTI dalam rangka beperan serta untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional yang berada di dalam dan sekitar hutan. Tujuan PMDH adalah membantu mewujudkan masyarakat desa hutan yang mandiri, sejahtera, dan sadar lingkungan (Anonim, 2000). Kenyataannya, hingga saat ini hasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu hal yang menghambat keberhasilan kegiatan PMDH adalah kurang optimalnya peranserta masyarakat desa binaan, di mana mereka kurang dilibatkan secara aktif dalam berbagai aspek kegiatan. Ada dua hal yang selama ini dianggap mendasari hal itu. Pertama, dalam pelaksanaannya masyarakat cenderung dijadikan objek saja dan kurang terlibat dalam merumuskan rencana serta penyusunan kebijakan. Kedua, dalam penerapan kebijakan, masyarakat hanya sebagai orang yang menerima bukan sebagai pelaku dan pelaksana, sehingga acapkali kebijakan kurang dipahami dan kurang. dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang memicu lahirnya “partisipasi semu” dengan motif yang beragam (karena upah atau maksud tertentu semata) (Soetrisno, 1995). Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) SHK sebenarnya adalah pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh rakyat itu sendiri. Penggunaan terminologi SHK digagas oleh para akademisi, peneliti/praktisi kehutanan, tokoh masyarakat adat, aktivis lingkungan dan sumberdaya alam, untuk membedakan dengan model pengelolaan hutan partisipatif yang digagas oleh pemerintah yang kental dengan kepentingan proyek. Jauhari (2009) menyatakan bahwa sistem Hutan Kerakyatan tidak hanya sekedar penamaan dari berbagai bentuk-bentuk pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh masyarakat, tetapi juga merupakan sistem alternatif (antitesis dari sistem pengelolaan hutan yang dipraktikkan oleh pemerintah). SHK yang memiliki 4 prinsip besar yaitu kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan dan kelestarian. Prinsip kemandirian dalam SHK, setiap pengelolaan hutan dan kawasan hutan pelaku utamanya adalah masyarakat lokal (adat) dengan bersandar kepada
59 kemampuan (daya lenting) diri masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi-sosial-budaya). Kebersamaan, praktik SHK dilakukan secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok masyarakat atau komunitas yang masih memegang teguh adat-istiadat atau berdasarkan aturan setempat (kesepakatan bersama antar kelompok-kelompok di masyarakat) yang mana usaha-usaha ekonomi atas hutan dan kawasan hutannya diperuntukkan demi pemenuhan kebutuhan bersama dalam satu-kesatuan sistem sosial (kolektif dalam pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan hidup kelompok-kelompoknya). Keberlanjutan, praktik SHK mengandung tujuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi-sosial-budaya) generasi berikutnya dari suatu komunitas lokal (adat) dan demi keberlangsungan sistem kelola hutan dan kawasan hutan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Kelestarian, praktik SHK sebagai praktik pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam membawa nilai-nilai penghormatan terhadap makhluk hidup lainnya (satwa dan tumbuhan yang dilindungi) dan turut menjaga alam dan lingkungan hidup dari kehancuran. SHK adalah sistem pengelolaan hutan dan kawasan hutan yang melandaskan keseimbangan ekosistem, dimana manusia adalah bagian dari penyimbang ekosistem alam yang ada.
Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan mempunyai potensi hutan kemiri yang cukup besar. Kabupaten Maros memiliki hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan yaitu 9.534 ha dimana penyebaran terluasnya berada pada kawasan pegunungan Bulusaraung yaitu 9.341 ha mulai dari kecamatan Malllawa seluas 5.056 ha, Camba seluas 2.215 ha, dan Cenrana seluas 2.070 ha, sisanya 193 ha menyebar di kecamatan Simbang, Bantimurung, Tompobulu dan lain-lain (Dishutbun Maros, 2009). Sejarah pengelolaan hutan kemiri di kawasan pegunungan Bulusaraung yang dilakukan oleh rakyat dan masih berlanjut sampai dengan sekarang dimulai sekitar tahun 1920-1930. Penanaman kemiri dilakukan oleh rakyat pada saat itu merupakan wujud kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda dalam mengadakan komoditi rempah-rempah untuk perdagangan Belanda. Lokasi
60 Penanaman kemiri dilakukan di daerah-daerah pegunungan yang terletak sekitar 2 – 10 km dari pusat pemukiman (UNHAS, 1996). Periode kedua penanaman kemiri yang dilakukan masyarakat berlangsung sekitar tahun 1940, ketika masyarakat bersembunyi atau mengungsi di daerah pegunungan dan daerah hutan untuk menghindari serangan tentara Jepang. Penanaman kemiri dilakukan secara besar-besaran dengan inisiatif sendiri dengan tujuan untuk penyediaan bumbu masak dan persediaan minyak bagi pelita selama masa pengungsian. Penanaman kemiri dilakukan dengan pola tanam tumpang sari, yaitu menanami tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah dan sayur-sayuran selama 3 tahun. Penanaman kemiri periode ketiga dilakukan pada tahun 1955 – 1960, yaitu pada saat terjadinya kekacauan akibat adanya pergolakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakar. Peperangan antara pemerintah dengan kelompok Kahar Muzakar, mengakibatkan masyarakat kembali mengungsi ke dalam hutan demi keamanan. Selama pengungsian tersebut masyarakat kembali membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan. Keberadaan hutan kemiri yang ada sekarang ini, dengan demikian, merupakan peninggalan dari pengelolaan usahatani yang dilakukan sekitar 80 - 90 tahun yang lalu.
Kearifan Lokal dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung Pada dasarnya dalam setiap komunitas atau masyarakat terdapat suatu mekanisme untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas atau masyarakat akan secara spontan mengunpulkan informasi, menciptakan nilai dan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu, termasuk cara untuk mengelola dan mengolah sumber daya alam demi menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup. Himpunan informasi dan cara tersebut dikembangkan menjadi suatu sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang kemudian dilestarikan dan diwariskan turun temurun yang dikenal sebagai kearifan lokal, sebagaimana dikemukakan oleh Mitchell et al. (2000) dan Soemarwoto (1999) bahwa masyarakat lokal telah mengembangkan pemahaman
61 terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal. Sebenarnya hampir semua, kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya, masyarakat di Indonesia memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri yang bersumber dari norma dan budaya masing-masing. Terminologis kearifan lokal merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris local wisdom. Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat, sedangkan wisdom sama dengan kearifan/kebijaksanaan (Echols dan Shadily, 1996). Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu dengan menggunakan akal budinya (kognisi) yang berlandaskan pada nilai-nilai atau gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh oleh masyarakat setempat melalui akumulasi pengalaman yang terintegrasi dengan pemahaman terhadap lingkungan alam dan budaya (Naritoom, 2007). Kearifan lokal, menurut Tjahyono et al. (2000), merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan. Amiruddin (2005) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
62 sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Menurut Rajab (2006) kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sistem pemenuhan kebutuhan tersebut meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi. Secara substansial, menurut Ridwan (2007), kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakat adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakat. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus yang dianggap baik dan benar oleh masyarakat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama bahkan melembaga Ahmad (2006) mengemukakan kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional dan ada pula yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, intervensi pemerintah, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat. Tetap fungsionalnya kearifan lokal tidak terlepas dari proses sosialisasi yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya. Lebih lanjut Ahmad menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:
63 1. Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi-sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hierarki dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam kehidupan sehari-hari; 2. Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuhtumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam; 3. Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pada dasarnya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki pengetahuan dan kearifan dalam memanfaatkan hutan demi keberlanjutan pemenuhan kebutuhan hidupnya (Tadjudin, 2002). Demikian pula dengan petani yang tinggal di sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros. Mereka juga memiliki kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan tanaman kemiri. Agusnawati (2006) dan Marzuki (2007) menyebutkan beberapa tahapan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri yang merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat tani sekitar kawasan Pegunungan Bulusaraung sebagai berikut: 1. Mangolo/Mappammula
persiapan
lahan
berupa
penebangan
pohon
(mattebang) dan pembukaan lahan, dipimpin oleh orang yang dituakan dalam wilayah tersebut dan disertai upacara tertentu. 2. Mattunu pembakaran dan pengolahan tanah serta penanaman tanaman kemiri. 3. Penanaman tanaman semusim disamping memelihara tanaman kemiri (maddare). Hal ini biasanya berlangsung selama kurang lebih tiga tahun sampai tanaman kemiri besar. 4. Pengaturan wilayah jangkauan panen berdasarkan posisi lahan. Untuk topografi datar buah kemiri yang jatuh pada lahan yang ada di sebelahnya menjadi hak pemilik lahan yang ada di sebelahnya dan sebaliknya, sedangkan untuk topografi miring disepakati bahwa pemilik lahan yang ada di bagian bawah merelakan lahan kemirinya antara 2 – 5 meter dipungut oleh pemilik lahan yang ada di bagian atasnya. 5. Penetapan waktu larangan panen oleh masyarakat umum dengan memasang tanda larangan yang disebut hompong (daun enau yang dibungkus kain putih
64 dan diikatkan pada batang pohon kemiri). Pada saat pemasangan dibacakan mantera-mantera sebagai kekuatan agar tidak dilanggar. 6. Makkampiri yaitu panen tahap pertama yang dilakukan oleh pemilik lahan atau orang yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut buah kemiri yang jatuh. 7. Mabbali yaitu panen tahap kedua yang dilakukan oleh pemilik lahan atau orang lain yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut sisa buah kemiri yang belum jatuh pada saat makkampiri. 8. Pelepasan tanda larangan (hompong) sebagai tanda dibukanya lahan untuk masyarakat umum. 9. Makkalice yaitu panen tahap ketiga yang dilakukan oleh masyarakat umum yang bukan pemilik lahan untuk dimiliki sendiri tanpa harus meminta izin dari pemilik lahan. 10. Maddeppa yaitu pengupasan tempurung kemiri dengan menggunakan alat yang berupa anyaman rotan yang dihentakkan pada batu datar. Selanjutnya, Agusnawati (2006) mengemukakan bahwa kelembagaan kepemilikan lahan hutan kemiri secara umum ada beberapa bentuk yaitu: 1. Pemilik Penggarap, yaitu petani yang mengelola dan mempertanggungjawabkan sendiri hutan kemirinya dan berhak sepenuhnya atas seluruh proses pengolahan dan hasilnya. 2. Teseng/Ruma, yaitu pemberian lahan kemiri kepada orang lain untuk dikelola dengan sistem bagi hasil dengan pemilik. 3. Sanra/Katenni, yaitu penyerahan lahan untuk dikelola oleh orang lain dengan ketentuan passanra/ pakkatenni (orang yang diserahi lahan) menyerahkan jaminan berupa uang kepada pemilik lahan. Pengelolaan lahan kembali kepada pemiliknya ketika sang pemilik lahan juga mengembalikan uang jaminan kepada
passanra/pakkatenni
sesuai
perjanjian yang telah
disepakati
sebelumnya. 4. Makkoko/Maddare, yaitu pemilik lahan menyerahkan lahannya yang sudah ditanami bibit tanaman kemiri kepada orang lain. Pakkoko/Paddare (orang yang diserahi lahan) akan menanami lahan tersebut dengan tanaman semusim dengan tidak merusak tanaman kemiri yang ada. Lama penyerahan kurang
65 lebih tiga tahun sampai tanaman semusim tidak bisa lagi diusahakan karena sudah tertutup tanaman kemiri. 5. Pabbere (pemberian) yaitu lahan kemiri diserahkan kepada orang lain. Biasanya merupakan pemberian orang tua kepada menantunya pada saat terjadi perkawinan. 6. Mana’ (pewarisan) yaitu pemilik menyerahkan lahannya kepada ahli warisnya. 7. Pembelian yaitu berpindahnya hak kepemilikan lahan karena terjadinya proses jual beli.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Keberadaan hutan perlu dijaga agar tidak mengalami degradasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Keberadaan masyarakat sekitar hutan yang pada umumnya petani di mana dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya sangat bergantung kepada keberadaan hutan, merupakan suatu kondisi yang tidak mungkin diabaikan begitu saja, sebagaimana dinyatakan Mubyarto (1992) bahwa sejak dulu, hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki interaksi yang kuat. Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, maka hutan menjadi sumber kehidupan bagi mereka. Pengelolaan hutan pada masa lalu kurang memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar hutan. Banyak program pembangunan kehutanan, pada saat itu, kurang bahkan tidak melibatkan peran serta masyarakat. Praktek-praktek pembangunan kehutanan cenderung menempatkan masyarakat hanya sebagai objek pembangunan. Padahal di lain pihak, pengelolaan hutan diharapkan dapat memberikan manfaat secara lestari, produktif, adil, dan efisien bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat sekitar hutan memiliki motivasi yang rendah dan tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya, sehingga mereka tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap tahapan proses atau kegiatan pembangunan kehutanan. Akibatnya masyarakat kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program tersebut dilakukan. Paradigma baru pembangunan kehutanan, pada saat ini, menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Untuk mengajak masyarakat turut serta melestarikan hutan berbagai program pembangunan kehutanan telah diluncurkan. Program-program kehutanan tersebut telah menitikberatkan pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat/masyarakat, artinya anggotaanggota masyarakat tidak lagi dilihat sebagai obyek pembangunan, melainkan dilihat sebagai subyek yang aktif yang memiliki inisiatif, kemauan, dan kemampuan dalam mengelola dan melestarikan hutan.
67 Paradigma ini telah memberikan peluang dan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Secara paradigmatis, partisipasi tersebut bukan sekedar masyarakat sebagai pelaksana pembangunan, tetapi menjadi pelaku utama dalam arti keterlibatan masyarakat bersifat menyeluruh yaitu mulai dari perencanaan sampai dengan melakukan evaluasi kegiatan pengelolaan hutan. Partisipasi seperti ini akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap keberhasilan kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan apabila partisipasi hanya bersifat parsial maka rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat atas keberhasilan kegiatan pengelolaan hutan rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Craig dan Mayo (1995) bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi anggota-anggota masyarakat. Keberadaan hutan kemiri Kabupaten Maros yang tumbuh dan tersebar di sepanjang kawasan Pegunungan Bulusaraung merupakan hasil budidaya tanaman kemiri yang dilakukan petani sekitar hutan secara turun temurun bahkan sebelum terbentuk negara Republik Indonensia. Hal tersebut merupakan bukti partisipasi dan keberhasilan petani sekitar hutan membangun kebun kemiri sehingga menyerupai bentuk hutan, oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros merupakan bentuk partisipasi swakarsa dalam membangun hutan. Partisipasi ini sesungguhnya dapat menjadi dukungan yang sangat berarti bagi terpeliharanya hutan kemiri. Ironisnya, pada saat ini, sedang terjadi penurunan kualitas hutan kemiri, yang ditandai dengan usia rata-rata tanaman kemiri yang sudah tua, yaitu 56 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Petani yang sebelumnya aktif terlibat dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pada saat ini tidak lagi memperhatikan keberlanjutan tanaman kemiri yang dapat berdampak pada menurunnya kualitas hutan dan produktivitas tanaman kemiri. Dengan kata lain partisipasi yang dilakukan petani, pada saat ini, belum optimal. Berikut adalah ciri-ciri partisipasi yang optimal dan belum optimal dari petani.
68 Tabel 1: Ciri-Ciri Partisipasi Petani yang Optimal dan Belum Optimal. Indikator Merencanakan kegiatan pengelolaan hutan
Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan
Memanfaatkan hasil kegiatan pengelolaan hutan
Mengevaluasi kegiatan Pengelolaan hutan
Partisipasi yang Optimal - selalu melakukan perencanaan sebelum melakukan kegiatan pengelolaan hutan (termasuk di dalamnya rencana monev dan pemasaran) - hadir dalam berbagai pertemuan terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan - sering memberikan usul dalam pertemuan - melakukan seleksi benih dan persemaian dengan baik dan benar - melakukan persiapan lahan dengan baik dan benar - melakukan penanaman dengan tepat, baik dan benar - melakukan penyiangan berkala - melakukan pemupukan berkala - melakukan pendangiran berkala - melakukan pemangkasan - melaksanakan diversifikasi tanaman dengan tepat - melakukan peremajaan - melakukan pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman - melaksanakan kegiatan perlindungan hutan - membuat teras - pemanenan dikakukan dengan baik dan benar - pemasaran hasil panen dengan benar - melakukan diversifikasi biji kemiri - pengambilan kayu untuk kayu bakar dilakukan secara benar - melakukan pengawasan, pengecekan secara berkala - melakukan penilaian secara teratur (setiap akhir masa panen) - melakukan perbaikan atas kegiatan pengolalaan hutan yang kurang tepat ketika dijumpai adanya kesalahan pengelolaan
Partisipasi yang Belum Optimal - Jarang atau tidak pernah mengawali kegiatan pengelolaan hutan dengan perencanaan (termasuk di dalamnya rencana monev dan pemasaran) - Jarang atu tidak pernah hadir dalam berbagai pertemuan terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan - Lebih banyak diam - belum atau tidak melakukan seleksi benih dan persemaian - melakukan persiapan lahan dengan cara yang kurang tepat - melakukan penanaman secara kurang tepat - tidak melakukan penyiangan berkala - tidak melakuan pemupukan berkala - tidak melakukan pendangiran berkala - tidak melakukan pemangkasan - melaksanakan diversifikasi tanaman secara kurang tepat - tidak melakukan peremajaan - tidak melakukan pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman - tidak melaksanakan kegiatan perlindungan hutan - tidak membuat teras - pemanenan dikakukan dengan dengan cara yang kuran tepat - pemasaran hasil panen dilakukan secara kurang tepat - belum melakukan diversifikasi biji kemiri - pengambilan kayu untuk kayu bakar dilakukan secara kurang tepat - melakukan pengawasan, pengecekan secara berkala - melakukan penilaian secara teratur (setiap akhir masa panen) - melakukan perbaikan atas kegiatan pengolalaan hutan yang kurang tepat ketika dijumpai adanya kesalahan pengelolaan
69
Suatu pekerjaan/kegiatan, termasuk partisipasi, memerlukan persyaratan kemampuan tertentu dalam pelaksanaannya. Tanpa kemampuan yang memadai maka suatu pekerjaan tidak dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan, begitupula dengan partisipasi. Partisipasi dalam mengelola hutan kemiri tidak dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan apabila para petani yang terlibat tidak memiliki kemampuan yang memadai. Kemampuan akan membedakan antara petani yang dapat dan sanggup mengelola hutan secara baik dan benar dengan petani yang belum dapat mengelola hutan secara baik dan benar, sebagaimana menurut Ndraha (1990) bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara partisipasi masyarakat dengan kemampuannya. Sejalan dengan Ndraha, Mubyarto (1984) menyatakan bahwa kemampuan masyarakat berkorelasi positip dengan kemampuannya untuk berpartisipasi. Kemampuan yang diharapkan dalam penelitian ini meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis adalah seperangkat kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan tentang budidaya tanaman kemiri, yang meliputi pembibitan, pemeliharaan lahan dan tanaman, dan pemanenan hasil. Dengan kemampuan teknis, diduga petani dapat dan sanggup melaksanakan secara fisik berbagai kegiatan pengelolaan hutan kemiri dengan berlandaskan pada prinsipprinsip kelestarian hutan. Kemampuan manajerial merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki oleh petani berupa pengetahuan, ketetrampilan, dan sikap yang berkaitan dengan cara merencanakan, mengorganisasikan, serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan hutan. Dengan adanya kemampuan manajerial yang memadai diduga petani dapat mengelola dan mengembangkan hutan kemiri secara baik dan benar. Kemampuan sosial adalah kemampuan petani untuk membangun hubungan interpersonal dalam kelompok, kemampuan bernegosiasi dan mengembangkan jejaring atau kemitraan dengan pihak lain, yang pada prinsipnya didasarkan pada kemampuan komunikasi anggota-petani. Berikut adalah ciri-ciri petani yang memliliki kemampuan dan yang belum memliki kemampuan dalam mengelola hutan kemiri secara lestari:
70 Tabel 2: Ciri-Ciri Petani yang Mampu dan Belum Mampu dalam Mengelola Hutan Kemiri secara Lestari Petani yang memiliki Petani yang belum Indikator kemampuan memiliki kemampuan Kemampuan teknis
Kemampuan manajerial
Kemampuan Sosial
- mampu melaksanakan kegiatan budidaya tanaman kemiri secara baik dan benar - mampu mengidentifikasi tanaman yang terserang hama dan penyakit - mampu melakukan kegiatan pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman - mampu melakukan kegiatan konservasi tanah dan air - mampu melakukan kegiatan perencanaan kegiatan pengelolaan hutan - mampu menggerakkan siapa saja yang akan terlibat dalam pengelolaan hutan - mampu melakukan kegiatan pengawasan dan penilaian terhadap kegiatan pengelolaan hutan - memiliki kemampuan berkomunkasi yang baik
- belum mampu melaksanakan kegiatan budidaya tanaman kemiri secara baik dan benar - belum mampu mengidentifikasi tanaman yang terserang hama dan penyakit - belum mampu melakukan kegiatan pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman - belum mampu melakukan kegiatan konservasi tanah dan air - belum mampu melakukan kegiatan perencanaan kegiatan pengelolaan hutan
- belum mampu menggerakkan siapa saja yang akan terlibat dalam pengelolaan hutan - belum mampu mela-kukan kegiatan peng-awasan dan penilaian terhadap kegiatan pengelolaan hutan - belum memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik - mampu bekerja sama - belum mampu bekerja dalam kelompok sama dalam kelompok - mampu bernegosiasi - belum mampu bernegosiasi dengan pihak lain dengan pihak lain kaitannya dengan kegiatan kaitannya dengan kegiatan pengelolaan hutan pengelolaan hutan - mampu berhubungan/ - belum mampu berhumembangun jaringan bungan/membangun kerja dan usaha dengan jaringan kerja dan usaha pihak lain terkait dengan dengan pihak lain terkait kegiatan pengelolaan dengan kegiatan hutan pengelolaan hutan
Disamping kemampuan yang memadai, diperlukan pula motivasi petani yang dapat mendorongnya untuk berpartisipasi dan untuk dapat mempertahankan
71 partisipasinya tersebut. Motivasi petani untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan merupakan indikasi adanya kemampuan awal untuk berkembang dan dikembangkan. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan sesungguhnya dilandasi oleh adanya keinginan untuk memperoleh sesuatu dari partisipasinya tersebut. Keinginan-keinginan tersebut akan mendorong dan mengarahkan serta mempertahankan partisipasi mereka. Keinginan-keinginan yang memotivasi petani untuk berpartisipasi tersebut meliputi: meningkatkan pendapatan, keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam pengelolaan hutan, serta keinginan untuk melestarikan hutan. Keinginan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga biasanya menjadi motivasi utama petani untuk berpartisipasi. Kontribusi suatu sumber pendapatan akan menentukan keputusan petani dalam berpartisipasi untuk mengelola hutan. Semakin besar sumbangan suatu sumber pendapatan terhadap total
pendapatan
rumah
tangga
akan
mendorong
petani
untuk
lebih
mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya untuk kegiatan tersebut. Keinginan untuk mendapat pengakuan atas kredibilitas sebagai pihak yang mampu mengelola hutan dilandasi oleh fakta bahwa sejak dulu mereka telah mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri tersebut dengan baik, walaupun dengan kemampuan tradisionil atau sederhana. Keinginan untuk menjaga hutan agar tetap lestari, dilandasi oleh kebiasaan petani di Sulawesi Selatan untuk memberikan warisan atau harta pusaka kepada keturunannya. Untuk dapat memberikan warisan kebun kemiri maka kebun tersebut harus tetap terjaga keberadaannya atau tetap lestari. Petani yang termotivasi oleh keinginan-keinginan tersebut, diduga akan antusias dan sepenuh hati serta semangat yang tinggi, untuk mengerahkan dan mencurahkan pikiran, energi, daya, dan tenaganya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan agar keinginannya terpenuhi. Sedangkan petani yang kurang motivasinya dalam arti kurang memiliki keinginan sebagaimana telah disebutkan, akan rendah semangatnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Kalaupun terlibat, kemungkinan besar mereka tidak dengan sepenuh hati akan mencurahkan pikiran dan tenaganya. Berikut adalah ciri-ciri ideal dan yang belum ideal motivasi berpartisipasi petani:
72 Tabel 3. Ciri-Ciri Petani yang Termotivasi dan Belum Termotivasi untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Petani yang belum Indikator Petani yang termotivasi termotivsi Keinginan untuk - adanya dorongan yang - belum adanya dorongan meningkatkan kuat untuk memperbaiki yang kuat untuk pendapatan rumah atau menambah memperbaiki atau tangga pendapatan untuk menambah pendapatan pemenuhan kebutuhan untuk pemenuhan hidup kebutuhan hidup - adanya dorongan yang - belum adanya dorongan kuat untuk memiliki yang kuat untuk tabungan memiliki tabungan - adanya dorongan yang - belum adanya dorongan kuat untuk bisa yang kuat untuk bisa menyekolahkan menyekolahkan anaknya anaknya Keinginan untuk - adanya dorongan yang - belum adanya dorongan mendapat pengakuan kuat untuk yang kuat untuk atas kemampuan dalam membuktikan mampu membuktikan mampu mengelola hutan melakukan praktek melakukan praktek pengelolaan hutan pengelolaan hutan dengan baik dan benar dengan baik dan benar - memiliki keyakinan - belum memiliki bahwa mampu keyakinan bahwa mampu melakukan kegiatan melakukan kegiatan pengelolaan hutan pengelolaan hutan dengan baik dan benar dengan baik dan benar Keinginan - kesadaran bahwa hutan - belum ada kesadaran Melestarikan hutan harus dilestarikan untuk bahwa hutan harus anak cucu dilestarikan untuk anak cucu - kesadaran pentingnya - belum ada kesadaran kelestarian hutan bagi pentingnya kelestarian kepentingan ekonomi hutan bagi kepentingan ekonomi - kesadaran pentingnya - belum adakesadaran kelestarian hutan bagi pentingnya kelestarian kepentingan ekologi hutan bagi kepentingan ekologi - kesadaran pentingnya - belum ada kesadaran kelestarian hutan bagi pentingnya kelestarian kepentingan sosial hutan bagi kepentingan sosial Keinginan atau motivasi bersifat fluktuatif bergantung pada situasi dan kondisi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Leagens dan Loomis (1971) bahwa
73 keinginan manusia dimodifikasi oleh pengalaman dan pola perkembangan kepribadiannya. Artinya bahwa sumber motivasi dapat berasal dari dalam diri/instrinsik dan juga dari luar diri/ekstrinsik (Jung, 1987; Sardiman, 2000). Sama halnya dengan motivasi, kemampuan juga dapat dikembangkan (Klausmeier dan Goodwin, 1975). Peningkatan dan pengembangan kemampuan dapat terjadi melalui proses proses belajar. Menurut teori belajar (Seng, 2001), bahwa proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor faktor internal (aliran kognisi/fungsional) dan berbagai faktor eksternal (aliran behavioral). Hal ini berarti, keberadaan motivasi untuk berpartisipasi dan kemampuan petani dalam mengelola hutan ditentukan oleh berbagai peubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Faktor-faktor atau peubah-peubah yang diduga berpengaruh pada tingkat motivasi, tingkat kemampuan petani yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri adalah karakteristik individu petani, tingkat kekosmopolitan, peran penyuluh kehutanan, lingkungan sosial budaya dan kesempatan/peluang yang ada bagi kelangsungan partisipasi. Hubungan antara peubah-peubah tersebut dan kemampuan, motivasi, serta partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri dapat divisualisasikan dalam kerangka konseptual berikut:
Karakteristik Individu Petani
Hutan Kemiri Lestari
Kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri
Kekosmopolitan Petani
Peran Penyuluh Kehutanan
Lingkungan Sosial Budaya
Motivasi petani untuk berpartisipasi
Kesempatan/ Peluang yang mendorong partisipasi petani
Partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri
Petani Sejahtera
Gambar 2: Kerangka konseptual peubah-peubah yang mempengaruhi partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat.
74 Karakteristik individu adalah segala sesuatu yang menjadi ciri khas dan melekat pada diri petani meliputi umur, pengalaman berinteraksi dengan hutan kemiri, pendidikan formal, pendidikan nonformal, tingkat pendapatan keluarga, jumlah tanggungan keluarga, serta ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Tingkat kekosmopolitan petani adalah keterbukaan anggota-anggota masyarakat sekitar hutan pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan, meliputi frekuensi dan intensitas kontak dengan pihak luar komunitas, aksesibilitas informasi/inovasi pengelolaan hutan, dan intensitas keterdedahan terhadap media masa. Penyuluh kehutanan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam membimbing, mendidik, dan mengajak masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu berperan serta dalam pengelolaan hutan. Interaksi antara penyuluh kehutanan dan petani akan memberikan pengaruh yang positip pada petani bergantung pada intensitas peran yang ditampilkan oleh penyuluh kehutanan. Dalam penelitian ini, peran yang diteliti meliputi peran sebagai fasilitator dan peran sebagai edukator atau pendidik serta peran advokat. Sebagai makhluk sosial, petani sekitar hutan tidak terlepas dari interaksi dengan sesamanya atau lingkungan sosialnya, artinya lingkungan sosial budaya di mana seseorang berada akan memberikan pengaruh pada orang tersebut. Interaksi sosial yang terjadi memliki kontribusi pada perilaku individu-individu petani, dengan kata lain dalam interaksi sosial terdapat proses saling mempengaruhi di antara individu-individu yang berdampak pada perilaku. Norma dan nilai budaya yang dianut petani juga memberikan pengaruh pada aktivitas petani. Norma dan nilai tersebut memiliki kekuatan mengikat bagi petani, yang berfungsi sebagai pemberi arah, petunjuk, dan pedoman bagi perilaku petani ketika berinteraksi dengan sesama dan berinteraksi dengan alam. Dukungan lingkungan sosial budaya diduga akan memberikan pengaruh yang berarti pada pembentukan kemampuan petani dan menimbulkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri, yang berujung pada terwujudnya partisipasi secara menyeluruh. Lingkungan sosial budaya yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah dukungan kearifan lokal, dukungan tokoh masyarakat, dan dukungan kelompok tani.
75 Kesempatan atau peluang yang tersedia merupakan salah satu penggerak partisipasi. Kesempatan atau peluang tidak akan berarti bagi petani apabila petani tidak berusaha untuk memanfaatkannya atau meraihnya. Pada saat ini, diduga terdapat beberapa kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh petani sekitar hutan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Kesempatan dan peluang tersebut meliputi luas lahan dan kepastian status lahan, dukungan pemerintah berupa pemberian ijin atau akses kepada petani untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, dukungan organisasi non pemerintah, adanya kepastian pasar, serta adanya bantuan permodalan atau kredit untuk usaha yang terkait dengan pengelolaan hutan kemiri. Berikut adalah ciri-ciri ideal dan belum ideal faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi petani. Tabel 4. Ciri-Ciri Faktor-Faktor yang Ideal dan Belum Ideal yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Indikator/Sub Ciri-Ciri Faktor yang Ciri-Ciri Faktor yang Indikator Ideal Belum Ideal Karakteristik Individu 1. Usia - Usia produktif - Usia tidak produktif 2. Pengalaman - Cukup lama berinteraksi - Tidak cukup lama berinteraksi dengan dengan keberadaan hutan berinteraksi dengan hutan kemiri kemiri keberadaan hutan kemiri 3. Pendidikan formal - Pernah mengikuti - Lamanya pendidikan pendidikan formal formal yang pernah selama 7 – 9 tahun diikuti kurang dari 7 tahun 4. Pendidikan non- Beberapa kali mengikuti - Belum pernah mengikuti formal pelatihan pengelolaan pelatihan pengelolaan hutan kemiri hutan kemiri 5. Tingkat pendapatan - Cukup untuk memenuhi - Belum Cukup untuk keluarga kebutuhan hidup, dan memenuhi kebutuhan sekolah anak, serta hidup, dan sekolah anak, tabungan serta tabungan 6. Jumlah tanggungan - Keluarga inti: istri dan - Lebih dari keluarga inti keluarga dua anak 7. Ketergantungan - Tidak terlalu bergantung - Sangat bergantung pada terhadap sumberdaya pada sumberdaya hutan sumberdaya hutan hutan - Berperilaku adaptif - Berperilaku non adaptif bersambung ……..
76 Tabel 4 (sambungan) Indikator/Sub Ciri-Ciri Faktor yang Indikator Ideal Tingkat Kekosmopolitan 1. Kontak dengan - frekuensi kontak dan pihak luar komunitas menjalin hubungan dengan pihak luar komunitas tinggi 2. Aksesibilitas - Mudah memperoleh informasi/inovasi berbagai informasi dan pengelolaan hutan inovasi pengelolaan hutan dari berbagai lembaga terkait 3. Keterdedahan - Sering membaca, terhadap media masa mendengar, dan menonton berbagai media masa Peran penyuluh Kehutanan 1. Fasilitator - Mampu berperan sebagai fasilitator yang baik pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri 2. Edukator/ pendidik - Mampu berperan sebagai pendidik yang baik pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri 3. Advokat - Mampu berperan sebagai advokator bagi masyarakat pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri Lingkungan Sosial 1. Dukungan kearifan - Terdapat nilai-nilai lokal lokal yang mengatur terciptanya pengelolaan hutan kemiri secara lestari - Penghayatan dan kepatuhan petani terhadap nilai-nilai positip lokal
Ciri-Ciri Faktor yang Belum Ideal
- frekuensi kontak dan menjalin hubungan dengan pihak luar komunitas rendah - Kesulitan memperoleh berbagai informasi dan inovasi pengelolaan hutan dari berbagai lembaga terkait - Jarang membaca, mendengar, dan menonton berbagai media masa
- Belum mampu berperan sebagai fasilitator yang baik pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri - Belum mampu berperan sebagai pendidik yang baik pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri - Belum mampu berperan sebagai advokator masyarakat pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri - Tidak terdapat nilai-nilai lokal yang mengatur terciptanya pengelolaan hutan kemiri secara lestari - Tidak menghayati dan patuh petani terhadap nilai-nilai positip lokal bersambung ……..
77
Tabel 4 (sambungan) Indikator/Sub Indikator 2. Dukungan tokoh masyarakat.
3. Dukungan kelompok tani
Kesempatan/Peluang 1. Luas lahan 2. Status Lahan 3. Dukungan Pemerintah
4. Dukungan Organisasi Non Pemerintah
5. Kepastian Pasar
6. Bantuan Permodalan
Ciri-Ciri Faktor yang Ideal - Tokoh masyarakat menyadari dan mendukung akan pentingnya pengelolaan hutan kemiri secara lestari - Kelembagaan kelompok tani jelas - Para anggota kelompok tani saling mendukung
Ciri-Ciri Faktor yang Belum Ideal - Tokoh masyarakat belum menyadari dan mendukung akan pentingnya pengelolaan hutan kemiri secara lestari - Kelembagaan kelompok tani kurang jelas - Para anggota kelompok tani tidak saling mendukung
- Keberadaan lahan cukup luas - Status kepemilikan lahan olahan jelas - Adanya ijin yang memperbolehkan petani mengelola hutan kemiri - Tersedianya peluang kolaborasi antara petani dan pihak pemerintah - Adanya lembaga swasta dan/atau LSM yang membantu dan mendampingi petani untuk membimbing dan memberdayakan petani - Tersedianya pasar untuk penjualan kemiri - Nilai jual kemiri yang layak dan relatif stabil - Terdapat lembaga keuangan yang memberikan bantuan permodalan/kredit lunak - Adanya program pemberdayaan dari pemerintah dalam bentuk bantuan permodalan
- Keberadaan lahan sempit - Status kepemilikinan lahan olahan tidak jelas - Tidak adanya ijin untuk mengelola hutan kemiri - Tidak adanya peluang kolaborasi antara petani dan pihak pemerintah - Tidak ada lembaga swasta dan/atau LSM yang membantu dan petani
- Belum tersedianya pasar untuk penjualan kemiri - Nilai jual yang tidak pasti - Tidak terdapat lembaga keuangan yang memberikan bantuan permodalan/kredit lunak - Tidak ada program pemberdayaan dari pemerintah dalam bentuk bantuan permodalan
Partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri secara baik dan benar, pada akhirnya diharapkan akan berujung pada
78 terciptanya keberlanjutan/kelestarian dari fungsi hutan kemiri yaitu keberlanjutan fungsi ekonomi, fungsi ekologis, dan fungsi sosial. Dengan kata lain, hutan kemiri yang lestari adalah hutan kemiri yang dapat memberikan manfaat ekonomi, manfaat ekologis, dan manfaat sosial bagi petani sekitar hutan dan juga bagi hutan kemiri itu sendiri secara berkelanjutan/berkesinambungan. Berikut adalah ciri-ciri manfaat yang dapat dipetik dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan: Tabel 5. Ciri-Ciri Manfaat yang Dapat Dipetik dari Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan dan Tidak Berkelanjutan
- Pendapatan petani bertambah
Nilai Manfaat dari Fungsi Hutan yang tidak Berkelanjutan - Tanaman kemiri produktivitasnya menurun - Pendapatan petani berkurang
Manfaat Ekologis
- Terciptanya kesuburan tanah - Terpeliharanya flora dan fauna hutan
- Kesuburan tanah menurun - Flora dan fauna hutan mengalami pemunahan
Manfaat Sosial
- Terbangun dan terpeliharanya hubungan sosial - Hutan masih berfungsi sebagai lapangan kerja pedesaaan
- Melemahnya hubungan sosial
Indikator Manfaat Ekonomi
Nilai Manfaat dari Fungsi Hutan Berkelanjutan - Tanaman kemiri tetap produktif
- Hutan tidak mampu berfungsi sebagai lapangan kerja pedesaaan
Atas dasar uraian di atas, maka dirancang atau dispesifikasikan model diagram jalur hubungan antar peubah sebagai kerangka operasional penelitian yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan penelitian, sebagai berikut:
79
Karakteristik Individu Petani (X1) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7
Umur Pengalaman mengelola hutan kemiri Pendidikan formal Pendidikan non-formal Tingkat pendapatan keluarga Jumlah tanggungan keluarga Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya hutan
Tingkat kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri (Y1) Y1.1 Kemampuan teknis Y1.2 Kemampuan manajerial Y1.3 Kemampuan sosial
Tingkat Kekosmopolitan Petani (X2) X2.1 Kontak dengan pihak luar komunitas X2.2 Aksesibilitas informasi/inovasi pengelolaan hutan X2.3 Keterdedahan terhadap media masa
Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan (X3) X3.1 Fasilitator X3.2 Edukator/Pendidik X3.3 Advokator
Dukungan Lingkungan Sosial Budaya (X4) X4.1 Dukungan kearifan lokal X4.2 Dukungan tokoh masyarakat X4.3 Dukungan kelompok Tani
Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri (Y2) Berupa kemauan/ keinginan untuk: Y2.1 Peningkatan pendapatan Y2.2 Pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan Y2.3 Melestarikan hutan
Tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri (Y3) Y3.1 Merencanakan kegiatan pengelolaaan hutan Y3.2 Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan Y3.3 Memanfaatkan hasil kegiatan pengelolaan hutan Y3.4 Mengevaluasi kegiatan pengelolaan hutan
Keberlanjutan manfaat hutan (Y4) Y4.1 Manfaat ekonomi Y4.2 Manfaat ekologis Y4.3 Manfaat sosial
Kesempatan/Peluang (X5) X5.1 Status lahan kemiri yang dikelola X5.2 Luas lahan kemiri yang dikelola X5.3 Dukungan pemerintah X5.4 Dukungan Organisasi Non Pemerintah X5.5 Kepastian pasar X5.6 Bantuan permodalan/Kredit
Gambar 3. Kerangka Operasional Penelitian Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat
80
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir penelitian, maka disusun beberapa buah hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Tingkat kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu petani, tingkat kekosmopolitan petani, intensitas peran penyuluh kehutanan, dan dukungan lingkungan sosial budaya. 2. Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu petani, tingkat kekosmopolitan petani, intensitas peran penyuluh kehutanan, dukungan lingkungan sosial budaya, dukungan kesempatan atau peluang, dan tingkat kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri. 3. Tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri kemiri dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kemampuan petani dalam pengelolaan hutan, tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan, dan dukungan kesempatan atau peluang. 4. Tingkat partisipasi petani sekitar hutan kemiri berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan (sustainability) manfaat hutan kemiri.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah ex post facto atau sering disebut sebagai penelitian causal-comparatif. Desain penelitian ex post facto digunakan untuk menjajagi kemungkinan hubungan kausalitas (sebab-akibat) di antara peubah bebas dan peubah terikat tanpa adanya manipulasi atau perlakuan dari peneliti terhadap peubah terikat (Kountor, 2006; Hadjar, 1996; Sevilla et.al., 1993). Desain ex post facto menfokuskan penyelidikan pada apa yang sebenarnya telah terjadi. Kountur (2007) mengemukakan bahwa peubah perlakuan atau peubah terikat pada desain penelitian ex post facto merupakan kejadian yang sudah terjadi. Oleh karena sudah terjadi maka tidak ada perlakuan (treatment) yang dikenakan atas peubah tersebut. Pengumpulan data dilakukan secara survey. Ciri khas pengumpulan data melalui survey adalah data dikumpulkan dari sejumlah responden dengan menggunakan kuesioner. Keuntungan utama dari survey adalah dimungkinkannya membuat generalisasi untuk populasi berdasarkan analisa terhadap sampel yang berasal dari populasi tersebut. Analisis hubungan kausalitas (sebab-akibat) atau pengaruh antara peubah bebas dan peubah terikat dilakukan melalui pemodelan Structural Equation Modelling (SEM).
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan pada desa-desa sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung merupakan areal hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan. Pengambilan data dilaksanakan dari bulan Januari 2010 sampai dengan Maret 2010.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah rumah tangga petani di sekitar kawasan hutan kemiri yang memiliki lahan dan/atau menggarap hutan kemiri di tiga kecamatan di kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel dilakukan
82 secara bertahap (multistage). Tahap pertama adalah menetapkan besarnya sampel penelitian. Besarnya sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus Slovin (Sevilla et.al, 1993), yaitu: N n =
1 + Ne2
di mana: n
=
ukuran sampel
N =
ukuran populasi
e
persen
=
kelonggaran
ketidaktelitian
(presisi)
karena
kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau dinginkan. Presisi yang akan digunakan adalah 8%. Atau dapat menggunakan rule of thumb (aturan) dalam SEM sebagaimana yang dinyatakan oleh Wijanto (2008) dan Kusnendi (2008) bahwa penggunaan SEM dengan metode estimasi maximum likelihood memerlukan sampel minimal 100150 responden, atau sebesar lima kali indikator-indikator (observed variables) yang ada dalam model. Jumlah kepala rumah tangga petani sekitar hutan kemiri adalah 10.091 jiwa. Apabila menggunakan rumus slovin di atas maka jumlah sampel penelitian minimal adalah sebesar 153,8675 atau 154 responden (pembulatan). Sedangkan, jika menggunakan kaidah (rule of thumb) SEM maka jumlah sampel minimal 100-150 responden atau menggunakan kaidah lima kali indikator-indikator penelitian (peubah manifest) yaitu 35 x 5 = 175 responden. Dalam penelitian ini sampel penelitian diambil sebanyak 204 kepala keluarga. Tahap kedua adalah penentuan desa atau wilayah (cluster) pada setiap kecamatan yang dilakukan secara acak (random sampling) dengan pertimbangan bahwa desa-desa di sekitar kawasan pegunungan Bulusaraung penduduknya memiliki karakteristik yang relatif homogen bila dilihat dari mata pencaharian, suku bangsa, dan budaya. Tahap ketiga adalah memilih dan menentukan banyaknya responden untuk masing-masing desa terpilih. Responden yang dipilih adalah kepala keluarga petani. Pemilihan dan penentuan responden untuk setiap kecamatan dilakukan secara acak tidak proporsional (disproporsianate random
83 sampling), yaitu dengan mempertimbangkan perbandingan luas hutan kemiri pada ketiga wilayah kecamatan. Diasumsikan daerah dengan luas hutan kemiri yang berbeda akan memberikan informasi partisipasi yang berbeda pada usahatani hutan rakyatnya. Kecamatan Mallawa memiliki luas hutan kemiri 5.056 Ha, Kecamatan Cenrana memiliki luas hutan 2.070 Ha dan luas hutan kemiri Kecamatan Camba adalah 2.215 Ha, dengan kata lain mempunyai perbandingan 2:1:1, maka ditentukan perbandingan atau proporsi untuk jumlah sampel per kecamatan yaitu 2:1:1, sehingga jumlah sampel untuk Kecamatan Mallawa adalah 100, untuk Kecamatan Cenrana 54, dan untuk Kecamatan Camba 50.
Kecamatan Cenrana Camba Mallawa
Tabel 6. Rincian Sampel Penelitian Jumlah Luas Perbandingan Jumlah Rumah Hutan Luas Lahan Penduduk Tangga Kemiri (Bobot (jiwa) (Ha) sampel) 14.339 3.646 2.070 1 14.315 3.551 2.215 1 11.892 2.994 5.056 2
Sampel (Jumlah Rumah Tangga) 54 50 100
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada petani yang menjadi responden melalui pengisisan kuesioner, wawancara dan observasi langsung. Data sekunder diperoleh dari kantor dinas kehutanan setempat, kantor kecamatan setempat, dan kantor desa setempat, serta instansi lain yang terkait. Kuesioner dibuat berdasarkan skala Likert. Pada setiap butir pertanyaan dan/atau pernyataan dalam kuesioner disediakan beberapa alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden sesuai dengan persepsi, perasaan dan kegiatan yang dialaminya. Alternatif jawaban pada setiap item ditransformasikan menjadi data kuantitatif (diberi skor). Sevilla et al. (1993) menyatakan bahwa skor yang diperoleh dengan menggunakan skala Likert biasanya dipertimbangkan sebagai data interval walaupun pada dasarnya adalah ordinal. Effendi (1995) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menentukan skor adalah dengan menggunakan skala Likert. Kerlinger (2002) menyatakan bahwa skala Likert tergolong ke dalam Skala Tingkat Sumatif/Summarated Rating Scales. Menurut Azwar (2003) total atau
84 jumlah skor dalam Summarated Rating Scales yang diperoleh dari setiap responden merupakan data interval karena dapat diletakkan sepanjang garis kontinuum.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, kuesioner diuji terlebih dahulu validitas dan realibilitasnya agar kelak dalam proses pengumpulan data dapat diperoleh data yang valid atau sah, serta memiliki konsistensi yang tinggi (reliabel), dengan kata lain diperoleh data yang akurat, tepat dan baik. Validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang digunakan mampu mengukur apa yang ingin diukur (Arikunto, 1998). Dalam penelitian ini, jenis validitas yang digunakan adalah validitas konstruk (construct validity) dan validitas isi (content validity), dengan cara menyusun alat ukur/kuesioner dengan memasukkan semua aspek yang dianggap sebagai kerangka konsep yang akan diukur. Untuk memperoleh kuesioner yang mempunyai validitas konstruk dan validitas isi yang tinggi, maka daftar pertanyaannya disusun dengan cara: a. Mempertimbangkan teori-teori yang relevan, b. Menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden, dan c. Berkonsultasi dengan komisi pembimbing. d. Mengujicobakan kuesioner. Reliabilitas menunjuk pada konsistensi suatu instrumen dalam mengukur fenomena yang sama dalam waktu yang berbeda (Ancok, 1995). Untuk menguji reliabilitas kuesioner digunakan rumus Cronbach’s Alpha.: 2item
N =
1N–1
2
(Kountur, 2006) total
Ket: = Cronbach’s Alpha N = banyaknya pertanyaan 2item = variance dari pertanyaan 2total = variance dari skor total
85 Setelah instrumen selesai disusun, kemudian instrumen diujicobakan. Responden untuk pengujian instrumen berjumlah 30 orang. Hasil uji coba dianalisis dengan korelasi pearson. Menurut Ancok dalam Singarimbun (1995) angka korelasi yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian dibandingkan dengan Tabel korelasi nilai r. Bila nilai korelasi dan reliabilitas hasil perhitungan lebih besar dari rtabel maka instrument tersebut dianggap valid dan reliabel. Untuk n=30 (responden uji coba) dengan = 5% diperoleh rtabel = 0,361. Berdasarkan hasil uji coba intrumen penelitian instrumen penelitian dianggap valid dan reliabel (lampiran 3) yaitu diperoleh 197 pertanyaan valid ( > rtabel = 0,361), demikian pula hasil pengujian reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen penelitian terbukti reliabel dengan koefisien reliabilitas berkisar antara 0,748 - 0,955.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisa data dilakukan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan dalam rangka memberikan gambaran mengenai sebaran responden pada setiap peubah, dengan memakai tabel distribusi frekuensi. Selanjutnya untuk melakukan estimasi atau pendugaan terhadap populasi (generalisasi) dalam rangka melihat sejauhmana peubah bebas mempengaruhi peubah terikat serta untuk melihat kecocokan model penelitian yang dirancang (model hipotetik) dengan model sesungguhnya, digunakan statistik inferensial yaitu menggunakan SEM. Pengolahan dan analisis data akan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan LISREL (Linear Structural Relationships). Untuk memudahkan analisis dan pengolahan data maka terlebih dahulu disusun model hipotetik persamaan struktural, dengan mengacu pada kerangka berpikir, sehingga terlihat jelas jalur pengaruh antara peubah laten eksogen (X1, X2, X3, X4, dan X5) dan peubah laten endogen (Y1, Y2, dan Y3), serta peubah laten (eksogen dan endogen) dengan indikator-indikator refleksinya, sebagaimana berikut:
86 δ1.1 X1.1
δ1.2
δ1.3
δ1.4
δ1.5
δ1.6
δ1.7
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
X1.6
X1.7
λx1.1
λx1.2 λx1.3 λx1.4 λx1.5
ε1.3
λx1.6 λx1.7
Y1.1
X2.1 X2.2
λx2.2
Y1.3
β2.1
X2.3
δ3.1
X3.1
δ3.2
X3.2 X3.2
λx3.1 λx3.2
γ1.4
γ2.4
X3
λx3.3 X4
λy2.1 λy2.2 λy2.3 Y2.3
Y2.3
Y2.3
ε2.1
ε2.2
ε2.3
λx4.1 λx4.2 λx4.3 X4.1
δ4.1
X4.2
δ4.2
X4.3
δ4.3
ζ2
ε51
Y4.3
β4.3
λy3.1
Y3
λy3.1 λy3.2
Y3.1
ε3.1
Y3.2
ε3.2
Y3.3
ε3.3
Y3.4
ε3.4
λy3.4 ζ3 γ35
γ2.5
X5
λx5.1 λx5.2 X 5.1
Y4.2
β3.2
Y2
γ2.3
ε 4.3
Y4
ζ4
β3.1
γ2.1
ε 4.2
λy4.1 λy4.2 λy4.3
Y1
γ2.2 γ1.3
δ3.3
Y1.2
Y4.1
ζ1
γ1.2
X2
λx2.3 δ2.3
ε1.3
γ1.1
λx2.1 δ2.2
ε1.2
λy1.1 λy1.2 λy1.3
X1 δ2.1
ε4.1
λx5.3 λx5.5 λx5.4
X 5.2
X 5.3
X 5.4
ε5.2
ε5.3
ε5.4
λx5.6
X 5.6 X 5.5
ε5.6
ε5.5
Gambar 4. Diagram Jalur Model Hipotetik Persamaan Struktural Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat
87 Beberapa penjelasan notasi LISREL pada model hipotetik persamaan struktural di atas, sebagai berikut: 1) λ (lamda) adalah loading factor (muatan faktor) yang menyatakan hubungan antara peubah laten eksogen (biasa diasumsikan sebagai peubah bebas) dan endogen (biasa diasumsikan sebagai peubah terikat) dengan indikatorindikatornya (peubah teramati/manifest). λ dapat juga dinyatakan sebagai kemampuan indikator dalam merefleksikan peubah laten. 2) δ (delta) adalah kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator peubah eksogen (peubah bebas). 3) ε (eta) adalah kesalahan pengukuran (measurement error) dari indikator peubah endogen (peubah terikat). 4) γ (gama) adalah koefisien pengaruh terstandarkan peubah eksogen terhadap peubah endogen. 5) β (beta) adalah koefisien pengaruh terstandarkan peubah endogen terhadap peubah endogen. 6) ζ (zeta) adalah kesalahan struktural (structural error) pada peubah endogen. Berdasarkan path diagram dari model hipotetik persamaan struktural tersebut dapat diidentifikasikan empat model yang menjadi dasar analisis data. Keempat model tersebut dapat dijabarkan menjadi empat persamaan struktural sebagaimana berikut: Model Y1: Model Kemampuan X1 X2 X3
γ1.1 γ1.2 γ1.3 γ1.4
Y1
ζ1
Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani X2 = Tingkat kekosmopolitan petani X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri
X4 Y1 = γ1.1 X1 + γ1.2 X2 + γ1.3 X3 + γ1.4 X4 + ζ1
88 Model Y2: Model Motivasi X1 X2 X3
Y1 γ2.1
β 2.1
γ2.2 Y2
γ2.3
ζ2
γ2.4 X4 γ2.5
Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani X2 = Tingkat kekosmopolitan petani X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya X5 = Kesempatan/peluang Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri Y2 = Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri
X5 Y2 = γ2.1 X1 + γ2.2 X2 + γ2.3 X3 + γ2.4 X4 + γ2.5 X5 + β2. 1 Y1 + ζ2 Model Y3: Model Partisipasi Y1
Y2
Keterangan: X5 = Kesempatan/peluang Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri Y2 = Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri Y3 = Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri
β3.1 β3.2
Y3
ζ3
γ3.5 X5 Y3 = β3.1 Y1 + β3. 2Y2 + γ3.5 X5 + ζ3
Model Y4: Model Keberlanjutan (Sustainability) Manfaat Hutan Y3
β4.3
Y4
ζ4
Y4 = β4.3 Y3 + ζ4 Keterangan: Y3 = Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri Y4 = Keberlanjutan manfaat hutan kemiri
89
Konseptualisasi dan Definisi Operasional Agar peubah-peubah yang diteliti mudah dipahami dan memiliki makna yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka perlu dilakukan konseptualisasi atau diberikan ketepatan makna sehingga tidak terjadi ambigu atau asosiasi yang berbeda-beda (Sevilla, et.al 1993). Selanjutnya agar konsep tersebut dapat diukur maka diberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat operasional. Kerlinger (2000) menyebutnya ”measured operational definition” atau definisi operasional yang dapat diukur. Untuk kepentingan pengujian secara statistik, perlu dilakukan transformasi agar semua data yang terkumpul memiliki kisaran yang sama. Mengacu pada Sumardjo (1999), pedoman transformasi dapat dilakukan dengan menentukan nilai indeks terkecil diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai indekss terbesar diberikan untuk jumlah skor tertinggi dari tiap indikator. Rumus umum transformasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Transformasi Indeks : Jumlah skor yang dicapai – Jumlah skor minimum ------------------------------------------------------------------------ x 100 Jumlah skor maksimum– skor minimum Jumlah skor minimum maupun maksimum yang dapat diharapkan dari setiap indikator akan berbeda atau tidak sama satu dengan lainnya, karena adanya perbedaan banyaknya item pertanyaan untuk setiap indikator tersebut, untuk itu dilakukan tranformasi indeks sehingga akan diperoleh kisaran nilai indeks yaitu 0100. Nilai indeks terkecil 0 akan sepadan dengan jumlah skor minimum dan nilai indeks terbesar 100 sepadan dengan jumlah skor maksimum dari tiap indikator. Konseptualisasi dan definisi operasional bagi peubah dan indikator dalam penelitian ini, adalah sebagaimana berikut:
90 1. Karakteristik Individu Petani (X1): ciri-ciri atau sifat-sifat khas individu yang melekat pada pribadi responden/petani yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Tabel 7. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Karakteristik Individu Petani. Parameter Kategori Indikator Definisi Operasional Pengukuran Pengukuran X1.1 Umur Masa hidup yang telah Dihitung mulai dari 1. 21-44 dilalui responden. tahun kelahiran dan 2. 45-54 dibulatkan ke ulang 3. 55-80 tahun terdekat pada saat penelitian dilakukan. X1.2 Pengalaman Lamanya responden Dihitung sejak awal 1. 10-22 berinteraksi tinggal di desa dan tinggal sampai 2. 23-30 dengan melakukan berbagai dengan waktu 3. 31-55 hutan kegiatan memanfaatkan penelitian kemiri hutan kemiri untuk dilaksanakan memenuhi (jumlah tahun). kebutuhan.hidupnya X1.3 Pendidikan Pendidikan formal yang Dihitung berdasarkan 1. 0-9 Formal yang pernah dan sedang lamanya (jumlah 2. 10-12 diikuti responden tahun) pendidikan 3. 13-16 formal yang pernah dan sedang diikuti. X1.4 Pendidikan Pelatihan yang terkait Diukur berdasarkan 1. 0-10 Non Formal dengan pengelolaan 2. 11-30 jumlah jam hutan yang pernah pelatihan yang 3. 21-35 diikuti oleh responden pernah diikuti. X1.5 Tingkat Jumlah uang yang Diukur berdasarkan 1. Rendah pendapatan diperoleh responden 2. Menengah banyaknya dalam satu bulan baik penghasilan yang 3. Tinggi yang bersumber dari diperoleh dalam satu usaha tani maupun usaha bulan dari usaha tani lainnya dan non usaha tani X1.6 Jumlah Banyak orang yang Diukur berdasarkan 1. Kecil tanggungan berada dalam satu rumah jumlah orang yang 2. Cukup keluarga tangga yang menjadi menjadi beban hidup besar beban hidup. 3. Besar X1.7 Tingkat Sejauhmana responden Diukur berdasarkan 1. Rendah Keterganmemanfaatkan hutan skor persepsi 2. Sedang tungan untuk pemenuhan responden tentang 3. Tinggi terhadap kebutuhan hidupnya sejauh mana hutan sumberdaya dimanfaatkan untuk hutan pemenuhan kebutuhan hidup
91 2. Tingkat Kekosmopolitan Petani (X2) adalah aktivitas responden/petani dalam melakukan hubungan atau kontak dengan berbagai sumber informasi baik yang berada di dalam maupun berada di luar lingkup petani sehubungan dengan pengelolaan hutan kemiri. Tabel 8. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Tingkat Kekosmopolitan Petani. Parameter Kategori Indikator Definisi Operasional Pengukuran Pengukuran X2.1 Kontak Upaya responden untuk Dihitung berdasarkan 1. Rendah dengan berhubungan dengan frekuensi responden 2. Sedang pihak pihak lain yang berada 3. Tinggi setiap bulannya luar luar komunitasnya dalam mencari komunitas dalam rangka mencari informasi di luar informasi tentang hal-hal komunitasnya yang terkait dengan pengelolaan hutan kemiri. X2.2 AksesiUpaya responden dalam Dihitung berdasarkan 1. Rendah bilitas mencari dan skor persepsi 2. Sedang informasi memperoleh berbagai responden terhadap 3. Tinggi pengeloinformasi pengelolaan kemudahan mencari laan hutan kemiri dari dan memperoleh hutan berbagai sumber informasi dan inovasi informasi legal dari lembagalembaga pemerintah maupun non pemerintah terkait dengan pengelolaan hutan kemiri X3.3 KeterdeSeberapa sering Dihitung berdasarkan 1. Rendah dahan responden memperoleh 2. Sedang jumlah jam per terhadap informasi dari media minggu responden 3. Tinggi media massa, baik cetak memanfaatkan media masa maupun elektronik massa 3. Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan (X2) adalah berbagai kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh penyuluh kehutanan dalam membantu, membimbing, dan mendidik responden/petani sekitar hutan mengelola hutan kemiri, yang diukur berdasarkan apa yang dialami responden.
92 Tabel 9. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Intensitas Penyuluh Kehutanan. Parameter Kategori Indikator Definisi Operasional Pengukuran Pengukuran X3.1 FasilitaKegiatan yang dilakukan Diukur berdasarkan 1. Rendah tor penyuluh dalam rangka skor persepsi 2. Sedang mendorong dan membantu responden terhadap 3. Tinggi petani dalam rangka intensitas kegiatan memperlancar proses penyuluh kehutanan kegiatan pengelolaan hutan dalam memfasilitasi petani X.3.2 EdukaKegiatan yang dilakukan Diukur berdasarkan 1. Rendah tor/Pen- oleh penyuluh kehutanan skor persepsi 2. Sedang didik dalam membangun responden terhadap 3. Tinggi kesadaran, memberikan intensitas kegiatan informasi, mengajar/ melatih penyuluh kehutanan petani terkait dengan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kegiatan edukasi/ pendidikan X.3.2 AdvoKegiatan yang dilakukan Diukur berdasarkan 1. Rendah kat oleh penyuluh kehutanan skor persepsi 2. Sedang memberikan nasehat, responden terhadap 3. Tinggi pertimbangan, masukan intensitas kegiatan kepada petani dan pihak lain penyuluh kehutanan dan/atau pemerintah dalam dalam melaksanakan rangka menjembatani kegiatan advokasi kepentingan petani dengan pihak lain dan/atau pemerintah kaitannya dengan kegiatan pengelolaan hutan kemiri 4. Dukungan Lingkungan Sosial Budaya (X4) adalah suasana yang melingkupi petani yang menjelaskan kualitas interaksi diantara responden dengan petani-petani lainnya, yang dilandasi oleh nilai-nilai positip atau kearifan yang berlaku.
93 Tabel 10. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Dukungan Lingkungan Sosial Budaya Parameter Kategori Indikator Definisi Operasional Pengukuran Pengukuran X4.1 Dukungan Sejauhmana aturan dan Diukur berdasarkan 1. Rendah kearifan pengetahuan yang skor persepsi 2. Sedang lokal bernilai positip yang responden tentang 3. Tinggi berlaku dalam sistem sejauh mana nilai sosial yang positip yang ada mempengaruhi perilaku dalam masyarakat responden dalam bersifat mengatur mengelola hutan. hubungan antar manusia dan mengatur hubungan antara manusia dan alam X4.2 Dukungan Sejauh mana tokoh Diukur berdasarkan 1. Rendah tokoh petani terlibat dan skor persepsi 2. Sedang masyaramendorong responden responden tentang 3. Tinggi kat untuk berpartisipasi sejauhmana tokoh dalam pengelolaan hutan masyarakat terlibat dan memberikan dukungan positip terhadap kegiatan pengelolaan hutan kemiri X4.3 Dukungan Seberapa sering aktivitas Diukur berdasarkan 1. Rendah kelompok kelompok tani dalam skor persepsi 2. Sedang tani pengelolaan hutan secara responden tentang 3. Tinggi lestari di mana seberapa sering responden merupakan kelompok salah satu anggotanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mampu mendorong anggota untuk terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri 4. Kesempatan/Peluang (X5) adalah segala sesuatu yang terkait dengan usahatani kemiri yang berada di luar responden, yang mana jika tersedia dan diraih, dikelola dan dimanfaatkan oleh responden akan memberikan manfaat atau keuntungan bagi responden tersebut.
94 Tabel 11. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Kesempatan/Peluang. Indikator Definisi Operasional Parameter Kategori Pengukuran Pengukuran X5.1 Luas lahan garapan
Jumlah areal lahan/areal yang dikelola responden dalam berusaha tani tanaman kemiri. Kejelasan status kepemilikan atas areal tanaman kemiri yang dikelola responden
Diukur berdasarkan satuan luas hektare (Ha)
1. Sempit 2. Sedang 3. Luas
Diukur berdasarkan ada/ tidaknya kejelasan hak kepemilikan atas status tanah yang diolah
X5.3 Dukungan Pemerintah
Sejauh mana pemerintah memberikan akses dan dukungan pada responden untuk mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri
X5.4 Dukungan Non Pemerintah
Seberapa tinggi intensitas kegiatan lembaga swasta dan/atau LSM yang ada memberikan bimbingan, bantuan, pengajaran kepada responden
X5.5 Kepastian Pasar
Sejauh mana keberadaan pasar dapat memberikan jaminan pemasaran atas produksi hutan kemiri dijual dengan harga yang layak
X5.6 Bantuan permodalan/ Kredit
Sejauh mana program pemerintah dan lembaga keuangan memberikan bantuan permodalan kepada responden
Diukur berdasarkan skor persepsi responden tentang sejauh mana pemerintah memberikan akses dan dukungan pada petani untuk mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri. Diukur berdasarkan skor persepsi responden tentang seberapa tinggi intensitas kegiatan lembaga swasta dan/atau LSM yang ada memberikan bimbingan, bantuan, pengajaran kepada petani Diukur berdasarkan skor persepsi responden tentang sejauh mana keberadaan pasar dapat memberikan jaminan pemasaran atas produksi hutan kemiri dijual dengan harga yang layak Diukur berdasarkan skor persepsi responden tentang sejauh mana program pemerintah dan lembaga keuangan memberikan bantuan permodalan
1. Kawasan Hutan dan/ atau Tanah Negara 2. Milik sendiri + Kawasan Hutan (dan/ atau Tanah Negara) 3. Milik sendiri+Kawa san Hutan (dan atau Tanah Negara) +Sewa 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
X5.2 Status lahan garapan
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
95 5. Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri (Y1) adalah seberapa kuat keinginan-keinginan dalam diri responden yang mendorongnya untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri. Tabel 12. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi. Indikator Definisi Operasional Parameter Kategori Pengukuran Pengukuran Y1.1 Keinginan Kemauan dari dalam diri Diukur berdasarkan 1. Rendah untuk responden yang skor persepsi 2. Sedang meningmendorongnya untuk responden tentang 3. Tinggi katkan berpartisipasi aktif kekuatan kemauan pendadengan tujuan dari dalam diri yang patan menambah penghasilan mendorongnya untuk rumah tangga berpartisipasi aktif dengan tujuan manambah penghasilan rumah tangga Y1.2 Keinginan Kemauan dari dalam diri Diukur berdasarkan 1. Rendah untuk responden yang skor persepsi 2. Sedang mendapat mendorongnya untuk responden tentang 3. Tinggi pengberpartisipasi aktif kekuatan kemauan akuan dengan tujuan dari dalam dirinya atas mendapatkan yang mendorongnya kemamkepercayaan dan untuk berpartisipasi puan dianggap mampu dalam aktif dengan tujuan dalam mengelola hutan secara mendapatkan mengelola lestari kepercayaan dan hutan dianggap mampu dalam mengelola hutan secara lestari Y1.3 Keinginan Kemauan responden atas Diukur berdasarkan 1. Rendah Melesdasar kesadaran sendiri skor persepsi 2. Sedang tarikan untuk menjaga responden tentang 3. Tinggi hutan kelestarian hutan yang kekuatan kemauan mendorongnya untuk dari dalam dirinya berpartisipasi secara untuk menjaga aktif dalam pengelolaan kelestarian hutan hutan
96 4. Tingkat kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri (Y2) adalah seberapa tinggi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh responden yang membuatnya mampu berpartisipasi
secara aktif dalam
mengelola hutan kemiri. Tabel 13. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Tingkat Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri. Indikator Definisi Operasional Parameter Kategori Pengukuran Pengukuran Y2.1 KemamTingkat pengetahuan, Diukur berdasarkan 1. Rendah puan sikap, dan keterampilan skor pengetahuan, 2. Sedang teknis responden dalam sikap, dan 3. Tinggi membudidayakan keterampilan tanaman kemiri dan responden perlindungan hutan Y2.2 KemamTingkat pengetahuan, Diukur berdasarkan 1. Rendah puan sikap, dan keterampilan skor pengetahuan, 2. Sedang Manajerial responden dalam sikap, dan 3. Tinggi merencanakan, keterampilan mengorganisasikan, responden menggerakan, serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan hutan kemiri Y2..3 KemamTingkat pengetahuan, Diukur berdasarkan 1. Rendah puan sikap, dan keterampilan skor pengetahuan, 2. Sedang Sosial responden dalam sikap, dan 3. Tinggi bernegosiasi, keterampilan membangun hubungan responden interpersonal, dan membangun jaringan kerjasama/ kemitraan sehubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan kemiri. 4. Tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri (Y3) adalah seberapa jauh keterlibatan petani dalam setiap tahapan kegiatan pengelolaan hutan kemiri.
97 Tabel 14. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Tingkat Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri. Indikator Definisi Operasional Parameter Kategori Pengukuran Pengukuran Y3.1 Merencana- Intensitas keterlibatan Diukur berdasarkan 1. Rendah kan kegiresponden dalam skor persepsi/ 2. Sedang atan penge- merencanakan berbagai perasaan responden 3. Tinggi lolaan kegiatan-kegiatan terhadap kegiatan hutan pengelolaan dan petencanaan perlidungan hutan baik pengelolaan hutan kegiatan yang berasal yang dilakukannya dari program pemerintah maupun kegiatan mandiri. Y3.2 MelakIntensitas keterlibatan Diukur berdasarkan 1. Rendah sanakan responden dalam skor persepsi/ 2. Sedang Kegiatan melaksanakan kegiatan perasaan responden 3. Tinggi pengelolaan budidaya tanaman hutan terhadap hutan (kemiri), dan pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan baik pengelolaan hutan pada kegiatan yang yang dilakukannya berasal dari program pemerintah maupun kegiatan mandiri. Y3.3 MemanSeberapa jauh responden Diukur berdasarkan 1. Rendah faatkan menikmati dan skor persepsi/ 2. Sedang hasil memanfaatkan hasil dari perasaan responden 3. Tinggi Kegiatan kegiatan pengelolaan terhadap kegiatan pengelolaan hutan kemiri pemanfaatan hasil hutan hutan yang dilakukannya Y.3.4 MengevaIntensitas keterlibatan Diukur berdasarkan 1. Rendah luasi responden dalam skor persepsi/ 2. Sedang kegiatan melakukan pengawasan perasaan responden 3. Tinggi Pengelodan penilaian terhadap terhadap kegiatan laan efisiensi dan efektivitas pengawasan dan hutan kegiatan pegelolaan penilaian hutan. pengelolaan hutan yang dilakukannya 4. Keberlanjutan (sustainability) manfaat hutan (Y4) adalah seberapa besar hutan dapat bermanfaat dan dimanfaatkan oleh petani dan bagi hutan itu sendiri secara berkesinambungan.
98 Tabel 15. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Kategori Pengukuran Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri. Indikator Definisi Operasional Parameter Kategori Pengukuran Pengukuran Y4.1 Manfaat Produktivitas hasil hutan Diukur berdasarkan 1. Rendah ekonomi dapat dipergunakan skor persepsi/ 2. Sedang untuk memenuhi perasaan responden 3. Tinggi kebutuhan hidup petani Y4.2 Manfaat Fungsi ekologi hutan Diukur berdasarkan 1. Rendah ekologis meningkat dan skor persepsi/ 2. Sedang terpelihara perasaan responden 3. Tinggi Y4.3 Manfaat Sejauhmana hutan dapat Diukur berdasarkan 1. Rendah sosial berfungsi sebagai skor persepsi/ 2. Sedang lapangan kerja, dan perasaan responden 3. Tinggi dapat memelihara keharmonisan hubungan sosial
DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat Sejarah Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Awal mula pembangunan dan pengelolaan hutan kemiri Kabupaten Maros oleh petani sekitar hutan terjadi pada saat pemerintah Hindia Belanda (VOC) berkuasa di Indonesia yaitu pada abad XIX tepatnya sejak tahun 1826. Pengembangan dan pengelolaan hutan kemiri dilakukan oleh masyarakat suku Bugis yang bermigrasi dari kerajaan Bone dengan membawa bekal tanaman kemiri sebagai hasil hubungan baik dengan VOC. Migrasi dalam jumlah besar ini dipimpin oleh putra Raja Bone XXVII dengan tujuan utama melakukan kerjasama perdagangan dengan VOC dalam bentuk penanaman kemiri pada lahan yang telah ditentukan dan disepakati. Produksi kemiri tersebut, kemudian, diekspor ke negeri Belanda dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rempah-rempah Eropa pada saat itu. Dengan mengajak penduduk asli, pembukaan lahan dan tanaman kemiri (mappamula dan maddare) pada mulanya dilakukan pada lahan dengan topografi berbukit sampai bergunung dengan cara membuka areal hutan dan padang ilalang atau semak belukar, sedangkan pada tanah dengan topografi datar dibuat sawah (menanaman padi) untuk kebutuhan atau konsumsi sendiri/rumah tangga. Penanaman kemiri dilakukan dengan pola tumpang sari dan perladangan berpindah dengan tanaman pokok adalah kemiri dan tanaman semusim sebagai tumpang sari seperti kacang tanah, jagung, cabe, tomat, ubi, jahe, dan pisang. Tanaman kemiri ini juga berfungsi sebagai pembatas (lakara) bagi kebun yang ditanami tanaman semusim. Pada perkembangan selanjutnya tanaman kemiri juga ditanam di sekitar lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggal/rumah (di atas areal/ tanah datar). Tanaman semusim ditanam selama 3-4 tahun, setelah tanaman kemiri mulai besar dan berproduksi maka pengelolan tanaman semusim dihentikan karena sudah tertutup naungan kemiri sehingga tidak mungkin lagi dilanjutkan. Selanjutnya dibuka lahan lain dengan pola penanaman yang sama. Begitu pula jika tanaman kemiri tidak produktif lagi, petani melakukan peremajaan (mallolo)
100 dengan pola penanaman yang sama. Pola penanaman ini telah menjamin keberlanjutan pengelolaan hutan kemiri oleh petani sampai tahun1980-an. Perluasan penanaman kemiri dilakukan pada tahun 1920-an dengan persetujuan dan kesepakatan dengan pihak Belanda. Untuk mengatur ketertiban pengelolaan kawasan hutan kemiri, oleh Pemerintah Belanda dibuat batas kawasan hutan berupa patok batu dan jalan setapak (balatu) yang membatasi antara hutan kemiri yang dikelola oleh rakyat yang berada di bawah bukit dengan hutan alam yang berada di atas bukit. Hutan alam ini tidak boleh dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Letak dan Luas Kawasan hutan kemiri pegunungan Bulusaraung di Kabupaten Maros secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Cenrana, Kecamatan Camba, dan Kecamatan Malawa. Ketiga kecamatan tersebut adalah pemekaran dari Distrik Camba. Luas wilayah ketiga kecamatan tersebut adalah 56,616 Ha, yang secara geografis terletak pada 4045’52’’ - 505’50’’ LS dan 119044’30’’ 119056’00’’ BT. Berdasarkan persentase luas wilayah Kecamatan terhadap keseluruhan luas Kabupaten Maros, maka persentase luas wilayah Kecamatan Cenrana terhadap keseluruhan luas Kabupaten Maros adalah 11%, Kecamatan Camba adalah 9% dan Kecamatan Malllawa sebesar 14%. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros (2009), total luas hutan kemiri dari ketiga wilayah kecamatan tersebut adalah
9.341 Ha, dengan
ketinggian dari permukaan laut 300 – 1.200 meter, dimana Kecamatan Mallawa adalah yang terluas hutan kemirinya yaitu 5.056 Ha, sedangkan Kecamatan Cenrana adalah 2.070 Ha dan Kecamatan Camba seluas 2.215 Ha. Sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, maka 7.934 Ha hutan kemiri rakyat berada dalam kawasan hutan negara dan 1.488 Ha berada di luar kawasan hutan negara, di mana 5.798 Ha merupakan kawasan hutan lindung dan 2.145 merupakan Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Keadaan topografi secara makro bervariasi mulai dari datar/landai sampai dengan bergunung. Sebagian besar (58%) wilayah tersebut memiliki kelerengan 25 - 40% (curam), sedangkan hanya 28,1% yang memiliki kelas lereng landai sampai dengan bergelombang. Batas-batas wilayah administrasi kawasan hutan
101 kemiri adalah di sebelah utara dan timur berbatasan dengan Kabupaten Bone, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bantimurung, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tompobulu.
Keadaan Iklim Kawasan hutan kemiri di Kabupaten Maros memiliki tipe iklim C atau agak basah. Hal ini terutama didasarkan atas indikator rata-rata jumlah bulan kering dan bulan basah, dimana tercatat rata-rata tiga bulan kering, satu bulan lembab dan delapan bulan basah. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 2000 – 3000 mm/th. Jumlah curah hujan yang terjadi setiap bulannya menyebar. Pada bulan Januari merupakan bulan terbasah, sedangkan bulan September merupakan bulan kering. Pada bulan Nopember curah hujan menanjak naik hingga mencapai puncak tertinggi pada bulan Januari (Stasiun Klimatologi Kabupaten Maros, 2009). Penduduk Jumlah penduduk pada desa-desa di sekitar kawasan hutan kemiri sebanyak 39.058 jiwa. Sebaran penduduk pada ketiga kecamatan tersebut adalah 14.339 jiwa di Kecamatan Cenrana dengan kepadatan penduduk 79 jiwa/km2, 14.315 jiwa di Kecamatan Camba dengan kepadatan penduduk sebesar 98 jiwa/km2. Kecamatan Mallawa memiliki jumlah penduduk sebanyak 11.892 jiwa dengan kepadatan penduduk 50 jiwa/km2. Keadaan penduduk di sekitar kawasan hutan kemiri pada ketiga kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 16. Jumlah Penduduk di Sekitar Kawasan Hutan Kemiri Rakyat Kabupaten Maros Jumlah Jumlah Penduduk Kepadatan Kecamatan Rumah Luas (km2) (jiwa) (jiwa/km2) Tangga Cenrana 14.339 3.646 180,97 79 Camba 14.315 3.551 145,36 98 Mallawa 11.892 2.994 235,92 50 Sumber: (1) Kabupaten Maros dalam Angka, 2009 (2) Kecamatan Cenrana dalam Angka, 2009 (3) Kecamatan Camba dalam Angka, 2009 (4) Kecamatan Mallawa dalam Angka, 2009
102 Keadaan Pemukiman Pola pemukiman penduduk pada umumnya berdekatan atau mengelompok berdasarkan atas kedekatan darah atau hubungan kekeluargaan. Pola pemukiman penduduk yang berada di sekitar jalan Poros Maros-Bone adalah linear atau berbaris mengikuti alur jalan poros dengan jumlah yang rumah cukup banyak sekitar 50-60 rumah per dusun (satuan pemukiman). Sedangkan pola pemukiman yang jauh dari jalan poros yang dekat dengan kawasan hutan pada umumnya mengelompok dengan jumlah 5-12 rumah mengikuti alur jalan pengerasan atau jalan desa. Bangunan rumah penduduk yang berada di sepanjang jalan poros MarosBone sebagian besar sudah bersifat permanen (rumah batu) dan terdapat beberapa rumah kayu beratap seng dengan kelas kayu kuat kayu nomor satu (kelas sangat awet) yang pada umumnya berasal dari Pulau Kalimantan, sedangkan bangunan rumah penduduk yang pemukimannya jauh dari jalan poros atau lebih terpencil pada umumnya menggunakan kayu dari pohon yang ditanam pada lahan milik atau pohon yang tumbuh alami dari dalam kawasan hutan dengan kelas kuat yang berbeda-beda diantaranya adalah kayu kemiri, dengan beratap seng. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana transportasi merupakan elemen yang sangat penting karena dapat memberikan kemudahan pemasaran hasil produksi pertanian ke daerah lain atau ke kota. Oleh karena itu, ketersediaan sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam mendukung kemajuan suatu daerah. Lokasi ibukota setiap kecamatan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dari ibukota kabupaten maupun ke ibukota propinsi melalui jalan poros Maros- Bone. Tabel 17. Jarak Ibukota Kecamatan dari Ibukota Kabupaten dan Ibukota Provinsi Jarak dari Ibukota Jarak dari Ibukota Kecamatan Ibukota Kecamatan Kabupaten (km) Provinsi (km) Cenrana Bengo 32 62 Camba Cempaniga 47 77 Mallawa Ladange 60 90 Sumber: (1) Kabupaten Maros dalam Angka, 2009 (2) Kecamatan Cenrana dalam Angka, 2009 (3) Kecamatan Camba dalam Angka, 2009 (4) Kecamatan Mallawa dalam Angka, 2009
103 Desa-desa yang berada disekitar wilayah hutan kemiri juga dapat diakses dengan menggunakan kendaraan roda dua dan beberapa dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat karena jalan yang dilalui sebagian sudah diaspal dan sebagian lagi masih berupa jalan pengerasan dari batu gunung, sedangkan akses untuk mencapai kawasan hutan kemiri dapat dilakukan melalui jalan setapak yang selama ini digunakan petani. Sarana dan prasarana kesehatan berupa Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sudah terdapat di setiap ibukota kecamatan. Puskesmas yang berada di Kecamatan Camba merupakan Puskesmas dengan fasilitas pelayanan yang paling lengkap dibandingkan dua kecamatan lainnya, karena sudah terdapat fasilitas rawat inap. Terdapat masing-masing satu pasar untuk setiap kecamatan, disamping itu terdapat beberapa pasar desa. Untuk Kecamatan Mallawa yang berbatasan dengan Kabupaten Bone, penduduknya lebih suka berbelanja ke pasar parigi di Bone untuk menjual hasil pertaniannya dan berbelanja keperluan sehari-hari karena pasar parigi merupakan pasar terbesar di Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone dimana persediaan barang konsumsi lebih lengkap. Pasar Cempaniga di Kecamatan Camba dianggap sebagai pusat pasar untuk tiga kecamatan lainnya karena sering dikunjungi penduduk dari dua kecamatan lainnya, dengan hari pasar dua kali dalam seminggu, sedangkan pasar Bengo dan pasar Mallawa walaupun periode buka pasar juga berlaku dua kali seminggu namun pengunjungnya hanya penduduk setempat.
Deskripsi Peubah-Peubah Penelitian Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat Karakteristik individu yang diamati sebagaimana yang tercantum dalam kerangka berpikir meliputi usia, pengalaman mengelola hutan kemiri atau lamanya responden berinteraksi dengan hutan, lamanya mengikuti pendidikan formal, lamanya mengikuti pendidikan non formal, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Usia responden masuk dalam kategori 45-54 tahun (rataan usia 49 tahun), pengalaman mengelola hutan masuk dalam kategori cukup lama (rataan
104 pengalaman 28 tahun), pendapatan per bulan masuk dalam kategori sedang (Rp. 945.804,-), dan jumlah tanggungan keluar cukup besar (rataan tanggungan 4 jiwa), sedangkan tiga indikator lainnya masuk dalam kategori rendah, yaitu lamanya mengikuti pendidikan formal (rataan 8 tahun), lamanya mengikuti pendidikan non formal (rataan 0,6 jpl atau setara dengan 29 menit), dan tingkat kebergantungan terhadap hutan (rataan skor 27). Tabel 18. Sebaran Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat Karakteristik Individu Usia (tahun)
Kategori 21-44 45-54 55-80
Rataaan tahun Pengalaman 10-22 Mengelola Hutan 23-30 (tahun) 31-55 Rataaan tahun Lamanya 0-9 Pendidikan 10-12 Formal (tahun) 13-16 Rataaan tahun Lamanya 0-10 Pendidikan Non 11-30 Formal (Jpl) 21-35 Rataaan jam pelajaran Pendapatan per Rendah bulan (Rupiah) Menengah Tinggi Rataaan rupiah Jumlah Kecil Tanggungan Cukup Besar Keluarga (Jiwa) Besar Rataaan jiwa Ketergantungan Rendah terhadap Hutan Sedang Kemiri (Skor) Tinggi Rataaan skor
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
35 28 37 50 30 37 33 29(a) 91 9 0 6(a)(b) 91 7 2 1,9 ≈ 87’(a)(b) 22 74 4 1.307.881(a)(b) 37 52 11 4(a) 69 22 9 39(a)(b)
24 40 36 51 66 22 12 22(a)(b) 90 8 2 9(a) 98 2 0 0,4 ≈ 16’(a) 50 50 0 882.693(a) 38 62 0 4(b) 96 4 0 22(a)
39 33 28 47 26 31 43 31(b) 58 41 1 8(b)) 100 0 0 0,1 ≈ 3’ (b) 64 35 1 781.838(b) 23 68 9 5(a)(b) 89 11 0 23(b)
Total (%) 34 33 33 49 37 30 33 28 74 25 1 8 96 3 1 0,6 ≈ 29’
50 49 1 945.804 30 63 7 4 85 13 2 27
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b)(c); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Pendapatan per bulan; Rendah = Rp. 208.333 - Rp. 739.999, Menengah = Rp. 740.000 – Rp. 2.899.999, Tinggi = Rp. 2.900.000 – Rp. 6.295.833 Tanggungan keluarga; Kecil = 1-3 jiwa, Cukup besar = 4-6 jiwa, Besar = 7-9 jiwa Rataan Skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
105 Karakteristik individu merupakan ciri khas yang melekat pada individu yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dan lingkungan individu tersebut. Karakteristik individu dapat menjadi pembeda yang khas antara satu individu dengan individu lainnya. Usia Responden Rentang usia responden berkisar antara 27 tahun sampai 80 tahun dengan rataan 49 tahun. Usia tersebut secara demografis merupakan usia produktif. Bila dilihat dari banyaknya responden nampak bahwa 34 % responden berusia antara 21-44 tahun, 33% responden berusia antara 45-54 tahun, dan 33% responden berusia antara 55-80 tahun. Terlihat lebih banyak responden yang masuk pada usia produktif. Menurut Klausmeier dan Goodwin (1966), usia merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas belajar. Hal ini berarti individu yang berada pada usia produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi, oleh karena itu dilihat dari faktor usia para petani sekitar kawasan hutan pegunungan Bulusaraung merupakan aset sumberdaya manusia (SDM) yang perlu diperhatikan untuk dikembangkan, mengingat bahwa pengelolaan hutan secara lestari membutuhkan SDM yang produktif sehingga mampu mengelola hutan dengan baik. Temuan ini sejalan dengan penelitian Yusran (2005), bahwa di kawasan sekitar hutan kawasan pegunungan Bulusaraung cukup tersedia tenaga kerja produktif yang dapat mendukung pengembangan usahatani hutan kemiri rakyat. Tidak terdapat perbedaan nyata usia antara tiga kecamatan tersebut. Keberadaan petani berusia 45-54 tahun di tiga kecamatan tersebut terlihat lebih banyak disebabkan para generasi penerus yang berusia muda cenderung mencari kerja di bidang lain seperti menjadi tukang ojek, buruh bangunan, atau sopir. Sebagian lainnya pergi merantau menjadi TKI ke Malaysia dan Arab Saudi, atau membuka kebun terutama coklat di daerah lain yaitu Sulawesi Tengah dan/atau Sulawesi Tenggara. Hal tersebut terjadi karena terbatasnya lahan pertanian dibandingan jumlah penduduk yang semakin bertambah banyak.
106 Pengalaman Mengelola Hutan Kemiri Pengalaman responden mengelola hutan kemiri berkisar dari 10 tahun sampai 55 tahun. Tabel 18 menunjukan bahwa 37% responden pengalamannya dalam mengelola hutan kemiri rakyat masuk dalam kategori 10-22 tahun, 30% responden memiliki pengalaman mengelola hutan kemiri rakyat di antara 23-30 tahun, dan sisanya (33%) memiliki pengalaman dalam mengelola hutan kemiri rakyat di antara 31-55 tahun. Dilihat dari rataan tahun pengalaman responden dalam mengelola hutan kemiri rakyat yaitu 28 tahun, dapat dikatakan, pengalaman responden dalam mengelola hutan kemiri rakyat telah berlangsung cukup lama. Kondisi tersebut merupakan perjalanan waktu atau suatu proses yang cukup lama dalam membentuk perilaku dan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, sebagaimana yang dinyataan oleh Sarwono (2002) bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu. Artinya bahwa apa yang telah dialami individu akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang datang padanya. Semakin berpengalaman petani sekitar hutan dalam berusahatani kemiri maka semakin tahu, cermat, dan memahami berbagai permasalahan usahatani kemiri yang dijalaninya. Pengalaman dalam mengelola hutan kemiri, dengan kata lain, berkaitan dengan pola perilaku petani terhadap hutan yang pada akhirnya akan menentukan tingkat motivasi, tingkat kemampuan dan tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Kondisi tersebut dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan dan pengembangan kemampuan petani. Pengalaman mengelola hutan kemiri antara petani Kecamatan Cenrana dan petani Kecamatan Camba, dan antara petani Kecamatan Camba dan petani Kecamatan Mallawa berbeda nyata, namun tidak terdapat perbedaan antara pengalaman mengelola hutan kemiri antara petani Kecamatan Cenrana dan petani Kecamatan Mallawa. Perbedaan tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan kemampuan, memacu motivasi dan meningkatan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri secara lestari.
107 Pendidikan Formal Lamanya mengikuti pendidikan formal responden berkisar dari 0 tahun (tidak sekolah) sampai 16 tahun. Secara umum tingkat pendidikan formal petani sekitar hutan kawasan pegunungan Bulusaraung tergolong rendah dengan rataan lamanya waktu mengikuti pendidikan formal adalah 8 tahun (setara dengan SMP kelas VII atau tidak lulus SMP). Sebagian besar responden (74%) tingkat pendidikannya rendah yaitu berada pada kisaran kategori 0-9 tahun. Rendahnya tingkat pendidikan petani dapat menjadi penyebab rendahnya kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri yang dapat menjadi penghambat bagi peningkatan produksi usahatani kemiri, karena taraf pendidikan yang rendah menimbulkan berbagai implikasi yang sifatnya mengurangi respons petani terhadap usaha untuk mengembangkan usahataninya, antara lain tidak berani mengadakan perubahan dan kurang mampu menyerap informasi. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi perkembangan kualitas pribadi dan kepribadian seseorang dan juga bagi kemajuan suatu masyarakat. Kualitas dan kekuatan suatu bangsa atau masyarakat bukan ditentukan oleh akumulasi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, tetapi bagaimana melahirkan kekuatan produktif swadaya bangsa atau masyarakat, dengan kata lain melahirkan SDM yang mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut dengan baik, yang dapat terwujud melalui proses pendidikan. Melalui pendidikan orang akan mampu untuk memikirkan dan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Rendahnya
tingkat
pendidikan
petani
mengindikasikan
perlunya
sosialisasi bagi masyarakat petani sekitar hutan kemiri tentang pentingnya pendidikan formal hak belajar sembilan tahun. Selain itu, perlu diadakan penambahan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai oleh pemerintah, sehingga generasi berikutnya dapat memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang layak. Saat ini di setiap desa terdapat satu buah SD, namun untuk sekolah lanjutan terpusat di ibukota kecamatan. Pada setiap kecamatan terdapat sebuah SMA negeri. Selain SMA negeri, di Kecamatan Camba terdapat sebuah SMA swasta dan sebuah Madrasah ‘Aliyah. Terdapat masing-masing satu SMP negeri di Kecamatan Mallawa dan Cenrana, sedangkan di Kecamatan Camba
108 terdapat dua SMP negeri, dan dua SMP swasta, serta sebuah Madrasah Tsanawiyah. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan formal pada petani di Kecamatan Cenrana dengan petani di dua Kecamatan lainnya, sedangkan pendidikan formal antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa secara statistik tidak berbeda nyata. Tingkat pendidikan formal responden di Kecamatan Camba cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, karena pada awalnya kecamatan Camba merupakan ibukota kecamatan sebelum terjadinya pemekaran atau berpisahnya kecamatan Cenrana dari kecamatan Camba, sehingga Kecamatan camba menjadi pusat pelayanan bagi masyarakat sekitar kawasan hutan kemiri, termasuk pendidikan, dimana ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan lebih lengkap, dibandingkan dua kecamatan lainnya. Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal yang pernah diikuti responden berkisar antara 0 jam pelajaran (Jpl) atau tidak pernah sampai 35 Jpl. Tabel 18 memperlihatkan rataan pendidikan non formal yang pernah diikuti responden yaitu sebesar 0,6 jpl atau setara dengan 29 menit. Hal ini berarti, pendidikan non formal responden berada dalam kategori 0-10 Jpl, dengan demikian tergolong rendah. Dilihat dari sebarannya, sebagian besar responden (96%) memiliki pendidikan non formal yang rendah. Terdapat perbedaan nyata antara pendidikan non formal pada petani di Kecamatan Cenrana dan petani di dua Kecamatan lainnya, sedangkan pendidikan non formal antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa secara statistik tidak berbeda nyata. Lamanya pendidikan non formal yang pernah diikuti petani di Kecamatan Cenrana cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Salah satu upaya mengembangkan sumberdaya manusia dalam organisasi agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik adalah melalui pelatihan (Saydam,1996; Siagian, 1997; Handoko, 1997; Ndraha, 1999; Hasibuan, 2001; Mangkuprawira, 2003;). Pendapat tersebut tidak terhenti pada lingkup organisasi formal semata, namun dapat diperluas maknanya pada lingkup masyarakat petani. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan, dengan demikian, menduduki
109 tempat penting dalam proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia petani. Melalui pelatihan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani akan menjad lebih berkembang. Pelatihan pada akhirnya akan dapat mengembangan kesempatan kerja dan berusaha bagi petani. Dari data yang terkumpul diketahui bahwa 196 responden (96%) tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Rendahnya pendidikan non formal atau pelatihan bukan berarti petani tidak mau mengikuti pelatihan,
namun lebih
disebabkan selama ini sangat kurang bahkan hampir tidak ada pendidikan non formal atau pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan kemiri bagi petani. Kondisi ini paling tidak menginformasikan bahwa pemerintah maupun pihak lain atau non pemerintah belum atau kurang memberi perhatian pada pentingnya meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Pelatihan yang terkait dengan budidaya dan pengelolaan kemiri pernah diadakan pada tahun 2004 oleh DAFEP (Decentralized Agricultural and Forestry Extension Project) dengan dana dari Bank Dunia dengan durasi 8 jpl, namun menurut petani alumni pelatihan bahwa hasil dari pelatihan tidak memberikan manfaat bagi mereka, karena tidak ada program lanjutan yang memberikan dorongan atau motivasi kepada petani untuk berusahatani kemiri. Hal ini mengakibatkan petani alumni pelatihan tidak tergerak untuk menerapkan pengetahuan yang diperolehnya dari pelatihan ke dalam usaha budidaya kemiri. Pelatihan lain yang pernah diadakan namun tidak terkait dengan budidaya dan pengelolaan tanaman kemiri adalah pelatihan pengendalian hama tanaman (PHT) tahun 1994 yang dilaksanakan oleh PLP (penyuluh lapangan pertanian) dari Dishutbun Pemkab Maros, pelatihan terkait dengan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) tahun 2005 diselenggarakan oleh Dishutbun Pemkab Maros, pelatihan masyarakat peduli api (MPA) tahun 2007 yang diselenggarakan oleh TN. Babul dan pelatihan sistem agroforestry tahun 2008 yang dibiayai dan diselenggarakan oleh DAFEP. Pendapatan Pendapatan responden berkisar antara Rp. 208.233 – Rp. 6.295.833 per bulan. Sumber pendapatan berasal dari usahatani maupun non usahatani (berdagang, beternak, buruh bangunan, tukang ojek), dengan rataan pendapatan
110 sebesar Rp. 945.804 per bulan, di mana kontribusi kemiri terhadap pendapatan tersebut sebesar Rp. 130.997. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada umumnya pendapatan rumah tangga responden berada pada kategori menengah. Jika rataan pendapatan dibagi dengan rata-rata jiwa yang berada dalam satu rumah tangga di lokasi penelitian yaitu sekitar 5 orang, diperoleh pendapatan per kapita yaitu sebesar Rp. 189.161 per bulannya. Dari data yang diperoleh, kontribusi kemiri terhadap total pendapatan rumah tangga petani relatif kecil yaitu sekitar 13,9%. Kecilnya kontribusi tersebut disebabkan masalah produktivitas, peremajaan, dan masalah pemasaran yang belum berjalan dengan baik. Sumber pendapatan yang memberikan sumbangan terbesar bagi total pendapatan rumah tangga petani sebagian besar berasal dari sektor pertanian, terutama padi, dan sektor perkebunan yaitu tanaman coklat dibandingkan dari sektor kemiri. Beberapa petani melakukan kegiatan penyadapan nira pohon aren (enau) yang tumbuh dalam kawasan hutan untuk dibuat gula aren (gula merah) atau dijual setiap 1-2 hari sekali apabila telah tertampung sekitar 3-5 liter. Terdapat beberapa petani yang juga melakukan transaksi perdagangan ternak sebagai sumber pendapatan mereka, terutama sapi dan kuda, yang dijual sebanyak 1-3 ekor setiap tahun saat menjelang hari raya Idhul Adha. Namun demikian, pemeliharaan sapi dan kuda pada umumnya belum menggunakan sistim kandang, tetapi dilepas begitu saja, dibiarkan mencari makan sendiri, sehingga sering masuk ke dalam kawasan hutan dan juga mengganggu kebun petani yang tidak dipagari. Terdapat perbedaan nyata tingkat pendapatan antara petani di Kecamatan Cenrana dan petani di dua Kecamatan lainnya, sedangkan tingkat pendapatan antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa secara statistik tidak berbeda nyata. Tingkat pendapatan petani di Kecamatan Cenrana cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Perbedaan ini terjadi disebabkan Kecamatan Cenrana letaknya lebih dekat dengan jalan poros Makassar-Bone dan juga lebih dekat dengan pusat Kota Maros dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, sehingga masyarakat lebih memiliki akses untuk
111 melakukan kegiatan ekonomi lain di luar sektor pertanian, seperti menjadi supir, membuka kios dipinggir ja lan, menjadi tukang batu, tukang ojek. Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga sebagian besar responden (63%) tergolong cukup besar (4 – 6 orang). Hal ini diperkuat dengan rataan jumlah tanggungan keluarga yaitu 4 orang. Jika dilihat dari aspek ketersediaan tenaga kerja bagi keluarga, jumlah anggota keluarga memberikan keuntungan karena pada umumnya berdasarkan kebiasaan bahwa setiap keluarga petani lebih banyak menggunakan
tenaga
kerja
keluarga dalam pengelolaan
hutan
kemiri,
dibandingkan dengan tenaga kerja dari luar. Hal ini berarti mengurangi biaya produksi. Sebaliknya, jika diteropong dari aspek finansial keluarga, kondisi tersebut memberikan beban bagi kepala keluarga dibandingkan jika tanggungan keluarga hanya keluarga inti yaitu istri dan dua anak. Kondisi ini akan mendorong kepala rumah tangga lebih keras berusaha untuk menafkahi keluarga, yang apabila usaha mencari nafkah ini tidak disikapi dengan bijak dapat menjadi ancaman bagi eksistensi hutan. Perbedaan nyata tanggungan keluarga hanya terjadi antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa, sedangkan tanggungan keluarga antara petani di Kecamatan Cenrana dan petani di dua Kecamatan lainnya tidak berbeda nyata. Tanggungan keluarga cenderung lebih rendah pada Kecamatan Camba. Ketergantungan Terhadap Hutan Kemiri Pada umumnya tingkat kebergantungan respoden terhadap hutan kemiri adalah rendah, yang ditunjukkan oleh rataan skor sebesar 27, dengan sebaran 85% responden tingkat kebergantungannya terhadap hutan rendah, 13% tingkat kebergantungannya
sedang,
dan
2%
tingkat
kebergantungannya
tinggi.
Rendahnya tingkat ketergantungan terhadap hutan bukan berarti petani sekitar kawasan pegunungan Bulusaraung tidak membutuhkan hutan, namun lebih disebabkan pada saat ini produksi kemiri tidak lagi mampu menjadi unsur utama pemenuhan kebutuhan biaya rumah tangga petani.
112 Disamping itu, telah terjadi diversifikasi jenis usaha dan pekerjaan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani antara lain menjadi tukang ojek, buruh bangunan, TKI, pedagang sayuran, pedagang ikan keliling, serta adanya komoditas pertanian lainnya yang lebih efisien dan menguntungkan seperti semangka, kacang-kacangan, dan yang paling utama adalah padi dan coklat. Pemanenan kemiri pada saat ini hanya menjadi salah satu faktor penunjang ekonomi rumah tangga bukan lagi sebagai unsur utama. Berbeda dengan tahun 1970-1980-an dimana menurut responden bahwa kemiri pada saat itu produktivitasnya tinggi sehingga mampu menjadi sumber utama pendapatan rumah tangga petani, karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar pada total pendapatan rumah tangga petani, sehingga pada saat itu banyak petani kemiri yang mampu menunaikan ibadah haji dengan biaya dari hasil tanaman kemiri, yang pada saat ini dikenal dengan istilah “haji kemiri”. Beberapa responden mengemukakan permasalahan produktivitas, sebagai berikut: Kotak 1: .....dulu waktu kecil kami sering membantu orang tua memanen/memungut buah kemiri dimana hasilnya bila dikupas bisa mencapai sekitar 300 kg – 800 kg bahkan lebih, tetapi sekarang paling banyak sekitar 20-60 kg saja ............ Rendahnya produktivitas kemiri terutama yang berada dalam kawasan hutan disebabkan tegakan yang ada sekarang ini adalah tegakan yang berumur tua (> 35 tahun) sebagai akibat tidak adanya peremajaan. Petani tidak berani melakukan peremajaan karena adanya larangan pemerintah. Larangan tersebut merupakan implikasi dari perubahan status lahan kemiri yang telah menjadi kawasan hutan. Penyebab lain adalah berasal dari tanaman kemiri itu sendiri. Menurut petani yang mencoba menanam kemiri pada lahan miliknya dengan menggunakan bibit yang berasal dari anakan alami bahwa ketika tanaman kemiri mulai memasuki usia berbuah yaitu 3-5 tahun terjadi gugur buah pada usia muda, dan kalaupun berbuah ternyata volume produksinya tidak banyak, atau produktivitas tetap tidak sebagus tegakan-tegakan kemiri masa lalu. Pengelolaan hutan kemiri sudah melewati sejarah yang cukup panjang atau berlangsung ratusan tahun dan berlangsung sampai dengan sekarang. Bentuk kebergantungan petani terhadap hutan kemiri pada saat ini lebih termanifestasi
113 oleh adanya ikatan atau keterkaitan psikologis antara petani sekitar hutan dan keberadaan hutan kemiri karena faktor historis dan kultural tersebut.
Petani
sekitar hutan kemiri, pada saat ini tetap memanfaatkan hutan kemiri dengan cara hanya memanen buah kemiri karena hanya kegiatan ini yang diperbolehkan oleh pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara, para petani menyatakan bahwa mereka tetap membutuhkan hutan kemiri karena berdasarkan sejarah hutan kemiri adalah milik mereka dan keberadaan tanaman kemiri yang penyebarannya mirip hutan merupakan hasil budidaya yang dilakukan oleh leluhur mereka. Hutan atau tanaman kemiri yang ada sekarang ini, dengan demikian, merupakan warisan leluhur. Perbedaan nyata tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya hutan terjadi antara petani di Kecamatan Cenrana dan petani di dua kecamatan lainnya. Petani di Kecamatan Cenrana cenderung lebih tergantung pada sumberdaya hutan dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya sedangkan tidak terdapat perbedaan nyata tingkat ketergantungan tehadap sumberdaya hutan antara petani Kecamatan Camba dan petani Kecamatan Mallawa. Petani di Kecamatan Cenrana lebih bergantung terhadap hutan karena luasan lahan mereka untuk berusaha tani tidak seluas petani Kecamatan Mallawa dan Camba, disamping itu lahan pertanian di Kecamatan ini lebih mengandalkan tadah hujan untuk pengairannya.
Tingkat Kekosmopolitan Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat Tingkat kekosmopolitan petani tergolong rendah, terlihat dari rendahnya semua indikator tingkat kekosmopolitan petani, yaitu kontak dengan pihak luar komunitas (11 kali dalam tiga tahun), aksesibilitas informasi pengelolaan hutan kemiri (rataan skor 3) dan keterdedahan terhadap media massa terkait dengan berita atau topik pengelolaan hutan kemiri (rataan keterdedahan 0,03 jam per minggu atau setara dengan 3 menit per minggu). Tingkat kekosmopolitan petani adalah keterbukaan anggota-anggota masyarakat sekitar hutan pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Petani yang kosmopolit berdasarkan kajian Rogers (Hanafi, 1986) akan lebih maju dibandingkan dengan dengan petani kebanyakan.
114 Tabel 19. Sebaran Tingkat Kekosmopolitan Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat Tingkat Kekosmopolitan Petani Kontak (frekuensi/3 tahun)
Kategori
Rendah Sedang Tinggi Rataaan frekuensi (kali)/bulan Rataaan frekuensi (kali)/3 tahun Aksesibilitas thd Rendah Informasi (Skor) Sedang Tinggi Rataaan skor Keterdedahan thd Rendah media massa Sedang (Jam/minggu) Tinggi Rataaan jam/minggu
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
96 4 0 0,05(a) 2(a) 100 0 0 6(a)(b) 96 2 2 0,13 ≈ 8’ (a)(b)
86 14 0 0,1(b) 4(b) 100 0 0 2(a) 100 0 0 0(a)
50 49 1 0,5(a)(b) 18(a)(b) 100 0 0 2(b) 100 0 0 0(b)
71 28 1 0,3 11 100 0 0 3 98 2 0 0,03≈ 2’
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Kontak; Rendah = tidak pernah, Sedang = 1 kali/bulan, Tinggi = > 2 kali/bulan Rataan Skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100 Keterdedahan thd media massa; Rendah = tidak pernah, Sedang = 1-2 jam/minggu Tinggi = 3 jam/minggu
Kontak Kontak yang dilakukan oleh responden dengan pihak luar komunitas dalam rangka memperoleh informasi tentang pengelolaan hutan kemiri berkisar antara 0 atau tidak pernah sampai dengan 2 kali dalam sebulan, dengan rataan frekuensi total sebesar 0,3 kali dalam sebulan atau jika dikonversi ke dalam ukuran frekuensi per tiga tahun maka dapat dikatakan bahwa dalam tiga tahun kontak yang dilakukan petani dengan pihak luar komunitas sekitar 11 kali. Frekuensi ini termasuk dalam kategori rendah. Kondisi ini diperkuat sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 19 yaitu terlihat 71% dari 204 responden tidak pernah melakukan kontak dengan pihak luar komunitas. Kontak yang dilakukan dengan pihak luar komunitas lebih pada membicarakan usahatani non kemiri atau dengan tujuan lain. Kalaupun muncul pembicaraan tentang kemiri ketika terjadi kontak, maka tema yang dibicarakan bukan tentang usaha budidaya kemiri, namun lebih pada upaya bagaimana memperjuangkan status kepemilikan dan/atau hak kelola lahan. Usahatani tanaman kemiri secara khusus tidak lagi menarik perhatian masyarakat karena
115 rendahnya produktivitas. Hal ini merupakan dampak dari terbatasnya akses untuk mengelola dan meremajakan tanaman kemiri. Terdapat perbedaan nyata frekuensi kontak antara petani di Kecamatan Mallawa dan petani di dua Kecamatan lainnya. Tidak terdapat perbedaan nyata frekuensi kontak antara petani di Kecamatan Cenrana dan petani di Kecamatan Camba. Frekuensi kontak dalam rangka memperoleh informasi tentang pengelolaan kemiri cenderung lebih banyak dilakukan oleh petani Kecamatan Mallawa, karena dimaklumi bahwa keberadaan hutan kemiri di kecamatan ini lebih luas dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, sehingga kebutuhan untuk memperoleh informasi pengelolaan hutan lebih relatif tinggi, namun secara kuantitatif jika dilihat dari rataan frekuensi sekitar 0,5 kali dalam sebulan atau setara dengan 18 kali dalam tiga tahun, maka unsur kontak pada Kecamatan Mallawa juga masuk dalam kategori rendah. Aksesibilitas terhadap Informasi Pengelolaan Hutan Kemiri Aksesibilitas petani terhadap informasi yang berkaitan dengan inovasi pengelolaan hutan kemiri pada umumnya tergolong rendah. Tingkat aksesibilitas semua responden (100%) terhadap informasi pengelolaan hutan kemiri tergolong rendah. Hal ini dipertegas dengan rendahnya rataan skor total yaitu 3. Sebagian besar petani merasakan bahwa ketersediaan informasi atau inovasi tentang prospek dan pengelolaan hutan kemiri tidak ada. Lembaga penyedia informasi kehutanan, pertanian dan perkebunan di sekitar desa atau tempat tinggal petani tidak ada, sehingga petani cenderung mengandalkan penyuluh dan tokoh masyarakat atau petani lain dalam rangka memperoleh informasi pertanian dan perkebunan. Kalaupun ada petani yang didatangi penyuluh atau kebetulan ada petani berkunjung ke kantor penyuluhan atau ke tempat tinggal penyuluh, mereka lebih suka mencari informasi tentang komoditas usahatani lain dibandingkan mencari tahu tentang informasi usahatani dan budidaya kemiri, dengan kata lain informasi tentang pengelolaan hutan kemiri tidak menjadi kebutuhan petani. Rendahnya aksesibilitas informasi juga disebabkan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah di mana kurang tertarik pada hal-hal yang bersifat inovasi, terlebih lagi pada tanaman kemiri yang bagi mereka sudah menurun produktivitasnya, serta karena terbatasnya akses untuk mengelola hutan kemiri.
116 Petani lebih banyak mengandalkan kemampuan usahatani yang diperolehnya sebagai warisan turun temurun dalam memanfaatkan hutan kemiri daripada mencari informasi. Faktor lain yang berperan sebagai penyebab rendahnya aksesibilitas terhadap informasi adalah lembaga penyedia informasi usaha dan budidaya kemiri seperti kantor dinas kehutanan dan Kantor Badan Pelaksana Penyuluhan letaknya di kota Maros, sehingga sedikit sekali masyarakat yang mau mencari informasi atau berkunjung ke lembaga tersebut. Terdapat perbedaan nyata antara aksesibilitas responden Kecamatan Cenrana dengan dua kecamatan lainnya. Sebagian responden di Kecamatan Cenrana cenderung lebih tinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya. Hal ini disebabkan Kecamatan Cenrana lebih dekat jaraknya ke kota Maros dibandingkan dua kecamatan lainnya, sehingga memungkinkan lebih banyak petani dari kecamatan Cenrana mendatangi kota Maros seraya mencari informasi yang dibutuhkan mereka. Keterdedahan Terhadap Media Massa Keterdedahan petani terhadap media massa berkaitan dengan informasi pengelolaan hutan rendah (rataan skor total 0,03 jam/minggu atau setara dengan 2 menit/minggu). Hampir tidak ada petani yang berupaya mencari informasi tentang pengelolaan kemiri. Perhatian petani tidak lagi pada usahatani atau budidaya kemiri, sehingga usaha untuk memperoleh informasi dari media massa hampir tidak ada. Para petani yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak berlangganan surat kabar atau majalah pertanian. Disamping itu, pada kenyataannya literatur cetak tentang kemiri sangat sulit dijumpai, terlebih lagi informasi melalui media elektronik bahkan tidak ada. Siaran radio RRI untuk pedesaan yang dapat ditangkap petani lebih sering menyiarkan tema usahatani sawah dan perkebunan namun bukan usahatani atau budidaya kemiri. Bila menonton TV, petani lebih cenderung mencari acara hiburan dan terkadang acara berita, karena pada kenyataannya menurut petani agenda atau acara yang ditayangkan oleh berbagai stasiun TV Nasional maupun swasta tidak pernah berkenaan dengan pengelolaan hutan.
117 Secara statistik terdapat perbedaan nyata keterdedahan terhadap media massa terkait dengan informasi pengelolaan hutan kemiri antara petani di Kecamatan Cenrana dan petani di dua Kecamatan lainnya. Keterdedahan terhadap media massa berkaitan dengan informasi tentang pengelolaan hutan kemiri antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa tidak berbeda nyata.
Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan Intensitas peran penyuluh kehutanan tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh rendahnya semua indikator intensitas peran penyuluhan kehutanan yaitu intensitas peran penyuluh kehutanan sebagai fasilitator dengan rataan skor 42, intensitas peran sebagai edukator/pendidik dengan rataan skor 43, dan intensitas peran penyuluh kehutanan sebagai advokat dengan rataan skor 29. Tabel 20. Sebaran Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan Sebagai fasilitator (Skor)
Kategori
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
Rendah Sedang Tinggi
55 26 19
72 16 12
71 13 16
67 17 16
47(a)(b)
38(a)
41(b)
42
52 28 20 51(a)(b) 100 0 0 14(a)(b)
76 12 12 39(a) 100 0 0 27(a)(c)
74 13 13 41(b) 93 7 0 39(b)(c)
68 17 15 43 97 3 0 29
Rataaan skor Sebagai pendidik Rendah (Skor) Sedang Tinggi Rataaan skor Sebagai Advokat Rendah (Skor) Sedang Tinggi Rataaan skor
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b)(c); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Penyuluh kehutanan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam membimbing, mendidik, dan mengajak petani sekitar hutan kemiri agar mau dan mampu berperan serta secara aktif dalam pengelolaan dan pemeliharaan hutan kemiri. Salah satu indikator keberhasilan kegiatan penyuluhan tersebut ditentukan oleh intensitas peran yang ditampilkan oleh penyuluh kehutanan.
118 Pada saat ini perbandingan antara jumlah penyuluh dan desa adalah satu desa satu penyuluh, namun keberadaan penyuluh kehutanan di setiap desa pada setiap kecamatan sangat terbatas. Yang terjadi adalah setiap penyuluh tersebut bersifat poliven atau terjadi rangkap peran. Bila ditinjau dari bidang yang ditangani, penyuluh yang ada di tiga kecamatan tersebut melakukan multiperan, dalam arti penyuluh yang ada sekarang ini merangkap sebagai penyuluh pertanian, perkebunan, dan juga kehutanan, padahal spesialisasi yang mereka miliki pada umumnya adalah di bidang pertanian. Penyuluh dengan spesialisasi sarjana kehutanan di Kecamatan Mallawa hanya dua orang, di Kecamatan Camba tidak ada penyuluh dengan spesialisasi kehutanan karena dua tahun lalu telah pensiun, dan hanya satu penyuluh kehutanan di Kecamatan Mallawa yang juga hampir memasuki usia pensiun. Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan sebagai Fasilitator Intensitas peran penyuluh kehutanan sebagai fasilitator, pada umumnya dipersepsikan rendah oleh responden yang ditunjukkan dengan rataan skor total sebesar 42. Terlihat (Tabel 20) bahwa sebagian besar (67%) responden mempersepsikan peran penyuluh sebagai fasilitator tergolong rendah, 17% responden mempersepsikan peran fasilitator yang dilakukan penyuluh tergolong sedang, dan 16% responden menyatakan tinggi. Penyuluh kurang memberikan dorongan kepada petani untuk mengelola hutan kemiri dengan baik. Hal ini disebabkan karena adanya kebijakan yang membatasi akses masyarakat terhadap hutan kemiri, dan rendahnya produktivitas tanaman kemiri. Kebijakan tersebut mengakibatkan melemahnya minat dan perhatian kegiatan petani sekitar hutan dalam arti terpaksa untuk mengelola hutan kemiri. Penyuluh akhirnya kurang bersemangat dalam memfasilitasi dan membimbing petani untuk melakukan pengelolaan hutan kemiri karena usaha tersebut dirasa akan sia-sia. Kegiatan fasilitasi yang biasa dilakukan dan materi penyuluhan yang disampaikan pennyuluh penekanannya lebih pada usahatani lahan basah atau persawahan dan perkebunan. Banyak penyuluh berdomisili di Kota Maros dan Makassar, dengan demikian jauh dari lokasi binaan. Kondisi ini juga menjadi menjadi salah satu penyebab rendahnya intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator. Seringkali
119 petani merasakan penyuluh tidak ada di tempat ketika mereka membutuhkan, sehingga mereka harus menunggu kedatangan penyuluh sesuai jadwal kunjungan penyuluhan. Petani juga merasakan bahwa frekuensi kunjungan penyuluh ke lokasi binaan dirasakan masih kurang. Kegiatan penyuluh dirasakan petani lebih banyak mempersiapkan para petani dalam menerima bantuan dari pemerintah terkait dengan adanya suatu proyek. Terdapat perbedaan nyata intensitas peran penyuluh sebagai fasilitator antara Kecamatan Cenrana dan dua kecamatan lainnya. Dari tabel terlihat ada kecenderungan bahwa intensitas penyuluh dalam berperan sebagai fasilitator di Kecamatan Cenrana lebih tinggi. Hal ini dapat dimaklumi, karena lokasi kecamatan Cenrana lebih dekat dengan jalan poros/utama dan lebih dekat dengan kota Maros dan Makassar sehingga akses ke tempat lokasi lebih cepat dan mudah bagi penyuluh untuk berkunjung. Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan sebagai Edukator/Pendidik Intensitas peran penyuluh sebagai edukator atau pendidik kaitannya dengan pengelolaan hutan kemiri dipersepsikan oleh responden rendah, yang ditandai dengan rataan skor total 43. Terlihat (Tabel 20) bahwa sebagian besar (68%) responden mempersepsikan peran pendidik tergolong rendah, 17% responden mempersepsikanya sedang, dan 15% responden menyatakan tinggi. Hal ini mengindikaskan bahwa penyuluh belum berperan sebagai pendidik yang baik pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Secara statistik, terdapat perbedaan nyata intensitas peran penyuluh sebagai educator atau pendidik antara Kecamatan Cenrana dan dua kecamatan lainnya. Pada Kecamatan Cenrana intensitas peran penyuluh sebagai pendidik lebih tinggi (rataan skor 51), diikuti oleh Kecamatan Mallawa (rataan skor 41) dan Kecamatan Camba (39). Hal ini disebabkan keberadaan penyuluh di Kecamatan Cenrana yang memiliki spesialisasi di bidang kehutanan lebih banyak yaitu dua orang dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, sehingga tranfer informasi dan ketersediaan materi tentang usahatani kemiri lebih tersedia dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Terbatasnya kemampuan penyuluh di bidang kehutanan merupakan salah satu penyebab rendahnya peran sebagai pendidik, sebagai contoh ketika petani
120 menanyakan tentang bagaimana menanggulangi pohon kemiri yang terserang penyakit, penyuluh tidak mampu secara langsung memberikan jawaban. Padahal menurut Lionberger dan Gwin (1982) salah satu faktor yang mendorong keberhasilan penyuluhan terletak pada kemampuan penyuluh dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh petani. Selain itu, di lokasi penelitan ketidaktertarikan petani dan rendahnya keinginan petani akan infomasi dan inovasi pengelolaan hutan kemiri mengakibatkan penyuluh hampir tidak penah berupaya melakukan bimbingan teknis tentang usahatani dan budidaya kemiri. Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan sebagai Advokat Persepsi responden terhadap peran penyuluh sebagai advokat pada umumnya rendah dengan rataan skor total sebesar 29. Peran penyuluh sebagai advokat merupakan peran dimana penyuluh memosisikan dirinya sebagai wakil petani dalam rangka membela dan membantu mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi petani kepada pemangku kepentingan tertentu terutama pemerintah untuk mempengaruhi pandangan, pendapat serta kebijakan pengelolaan hutan kemiri sehingga dapat lebih berpihak kepada petani. Pada Kecamatan Mallawa intensitas peran penyuluh sebagai advokat lebih tinggi (rataan skor 39), diikuti oleh Kecamatan Camba (rataan skor 27) dan Kecamatan Cenrana (14). Keterlibatan dan interaksi penyuluh dengan masyarakat petani seringkali membuat petani sekitar hutan menaruh harapan kepada penyuluh agar dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi tidak saja masalah usahatani tetapi juga permasalahan hak akses terhadap hutan kemiri. Petani, yang tidak mampu bersuara karena merasa telah terbentur oleh kebijakan yang ada, mengharapkan melalui penyuluh aspirasi mereka dapat tersampaikan kepada kepada pemerintah. Sementara itu sebagai pegawai negeri sipil atau tenaga yang digaji oleh pemerintah penyuluh terikat oleh aturan dan harus bersikap loyal kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan kemiri, seiring dengan perubahan status hutan yang mengakibatkan terbatasnya akses petani terhadap hutan, menjadi bagian dari tugas penyuluh untuk mengawal dan menyosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat sekitar hutan. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh Van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluh berada dalam situasi dilema karena berdiri di antara tiga kepentingan
121 yaitu kepentingan petani, kepentingan dirinya dan kepentingan organisasinya atau pemerintah. Kondisi kontradiksi tersebut mengakibatkan petani merasakan penyuluh belum banyak berpihak atau terpaksa tidak berpihak pada kepentingan petani. Terdapat perbedaan nyata peran penyuluh sebagai advokat pada ketiga kecamatan tersebut. Peran penyuluh sebagai advokat lebih tinggi intensitasnya di Kecamatan Mallawa, diikuti oleh Kecamatan Camba, kemudian Kecamatan Cenrana. Petani di Kecamatan Mallawa lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasinya kepada penyuluh. Hal ini dapat dimaklumi karena penyuluh kehutanan di Kecamatan Mallawa merupakan penyuluh senior sehingga kedekatan dan ikatan emosional dengan petani lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, sehingga oleh petani Kecamatan Mallawa penyuluh dipersepsikan lebih memahami permasalahan yang mereka hadapi. Dukungan Lingkungan Sosial Budaya Dukungan lingkungan sosial budaya secara umum cenderung rendah, terlihat dari rendahnya dukungan tokoh masyarakat (rataan skor 33) dan dukungan kelompok tani (rataan skor 18), kecuali dukungan kearifan lokal yang tergolong sedang (rataan skor 57). Tabel 21. Sebaran Dukungan Lingkungan Sosial Budaya Dukungan Lingkungan Sosial Budaya Dukungan kearifan lokal (Skor) Rataaan skor Dukungan Tokoh Masyarakat (Skor) Rataaan skor Dukungan kelompok tani (Skor) Rataaan skor
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
46 19 35 56 70 30 0 36(a) 93 7 0 18(a)
40 34 26 59 94 6 0 30(a) 100 0 0 24(a)
49 39 12 57 91 9 0 33 99 1 0 15
46 32 22 57 86 14 0 33 97 3 0 18
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
122 Lingkungan sosial, budaya dan alam memiliki pengaruh terhadap perilaku manusia (Soemarwoto, 1999; Rakhmat, 2002; Sarwono, 2002; Walgito, 2003; Santosa, 2004). Ndraha (1999) mengemukakan bahwa terdapat hubungan transaksi antara manusia dengan lingkungannya baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Manusia hidupnya bergantung pada dan dipengaruhi oleh lingkungan, demikian pula kontribusi dan perlakuan manusia kepada lingkungan akan memberikan nilai atau manfaat kepada lingkungan tersebut yang pada akhirnya berujung untuk kepentingan manusia itu sendiri yaitu agar manusia berbahagia (engineering life) dan hidup dengan nilai setinggi mungkin (accounting life). Dukungan Kearifan Lokal Praktek pengelolaan hutan kemiri yang dilakukan petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dilandasi oleh kearifan lokal yang ada dan telah berlaku secara turun temurun. Pada saat ini, dukungan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri di kabupaten Maros pada umumnya berada dalam kategori sedang, yang ditandai dengan rataan skor total sebesar 57. Terlihat (Tabel 21) bahwa sebagian besar responden (64%) memiliki persepsi yang cenderung tinggi terhadap dukungan kearifan lokal yaitu 32% responden menyatakan dukungan lingkungan sosial budaya terhadap praktek pengelolaan hutan kemiri rakyat tergolong sedang dan 22% responden menyatakan tinggi. Secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata dukungan kearifan lokal di antara tiga kecamatan tersebut. Hal ini berarti, kearifan lokal tersebut cukup mampu memberikan dukungan bagi pengelolaan hutan kemiri secara lestari pada tiga kecamatan tersebut, walaupun pada kenyataannya telah terjadi sedikit pergeseran atau kelunturan kekuatan, keterikatan dan penghayatan terhadap nilai kearifan lokal tersebut sebagai akibat diberlakukannya TGHK. Praktek praktek pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk kebun hutan sudah lama dikembangkan penduduk dalam bentuk dare’ ampiri (kebun kemiri). Tampilan kebun kemiri yang telah menyerupai hutan ini tidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi petani, tetapi juga menjamin kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Mengelola hutan bagi petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros memiliki cara tersendiri dan menjadi bagian dari sistem budaya mereka.
123 Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya, sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua petani. Aturan-aturan atau norma-norma tersebut merupakan kearifan lokal yang telah melembaga dan menjadi etos kerja dan menjadi sistem pengetahuan pengelolaan hutan bagi petani sekitar hutan kemiri. Mitchell et.al. (2007) mengemukakan bahwa sistem pengetahuan lokal sangat ampuh dan memiliki peran sangat besar sepanjang sejarah hidup manusia dalam menjaga keseimbangan lingkungan alam. Petani sekitar hutan kemiri kemiri Kabupaten Maros memiliki sistem nilai, pengetahuan, teknologi dan sistem kelembagaan dalam mengelola hutan kemiri. Meskipun tradisional namun mengandung kearifan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri. Kearifan dalam pemanfaatan hutan telah melembaga dan menjadi institusi lokal yang termanifestasi dalam praktek pengelolaan hutan kemiri yang meliputi kegiatan mappamula/makkoko, madare, makampiri dan maddepa. Di setiap kegiatan tersebut berbagai norma, nilai dan aturan yang merupakan unsur kearifan lokal dijadikan landasan sehingga menciptakan hubungan yang serasi antara petani dengan hutan kemiri, dan telah menciptakan hubungan yang harmonis di antara petani dalam pengelolaan hutan kemiri. 1. Mappamula Mappammula/makkoko adalah kegiatan untuk mempersiapkan lahan. Kegiatan ini disertai upacara atau ritual tertentu, dipimpin oleh orang yang dituakan atau sanro (dukun) yang dilaksanakan pada akhir musim kemarau yaitu bulan September dan Oktober yang meliputi penentuan lokasi, pembukaan lahan, pembersihan lokasi, pengadaan bibit dan pengolahan tanah. Terdapat empat macam pilihan lokasi, yaitu lebba (berada di antara gunung), empe (lokasi/lahan miring atau pinggiran gunung), lappa (lokasi terbuka, datar jauh dari gunung), dan garoppo (lahan yang berbatu). Pada umumnya para petani memilih lahan lebba. Lahan lappa biasanya digunakan petani untuk bercocoktanam tanaman semusim. Mappammula/makkoko diawali dengan menetapkan batas lahan yang akan dibuka, membersihkan tumbuhan bawah tegakan yaitu membabat semak dan alang-alang, selanjutnya menebang pohon-pohon yang besar. Kemudian
124 dilakukan pembakaran (mattunu) di atas areal yang telah dibersihan dengan maksud agar tanah menjadi panas sehingga benih kemiri mudah berkecambah. Kegiatan pembukaan lahan ini dikerjakan oleh pemilik lahan atau dipercayaan kepada pakkoko/paddare yaitu orang yang berkebun pada lahan milik orang lain dengan kesepakatan tertentu dengan pemiliknya. Setelah itu dilakukan pembersihan lahan dari sisa-sisa pembakaran dan penggemburan untuk persiapan penanaman (maddare). 2. Pengadaan Bibit Pengadaan bibit dilakukan dengan dua cara yaitu pengadaan benih atau pemilihan biji, dan mengambil anakan alami kemiri. Pengadaan benih dilakukan dengan cara memilih pohon induk sebagai sumber benih dengan kriteria masih produktif setiap tahun dan berbuah lebat, usia 15-25 tahun, memiliki batang yang besar dan tajuk yang yang lebar. Buah yang berkualitas baik untuk benih dicirikan dengan isinya yang utuh tidak pecah pada saat dikupas dan berasal dari buah kemiri yang berbiji kembar dua (kabba). Petani mengidentifikasikan biji kemiri dengan jantan dan betina. Biji betina bentuknya gepeng (pipih) dan dipangkalnya ada lekukan, sedangkan yang bentuknya bulat adalah biji jantan. Menurut petani, biji betina lebih mudah dan cepat tumbuh dibandingkan dengan biji jantan. Biji betina pada umumnya dihasilkan dari buah yang berbiji kembar. Pengambilan benih/biji dilakukan pada bulan November yakni pada akhir musim berbuah atau sekitar tiga bulan sebelum penanaman, kemudian dikeringkan selama satu hari (dijemur), setelah itu disimpan sampai pada waktu penanaman. Pengambilan anakan alami sebagai bibit dilakukan dengan memperhatikan induk pohon kemiri di atasnya yaitu pohon kemiri yang pertumbuhannya baik, batang tegak, sehat, tidk terserang hama/penyakit dan berbuah lebat. Pengambilan anakan alami dilakukan dengan sistem cabutan. 3. Maddare Maddare adalah kegiatan penanaman kemiri, dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan biji (tanpa melalui kegiatan persemaian), dengan pertimbangan bahwa biaya lebih murah dan pelaksanaannya lebih mudah jika dibandingkan penanaman dengan menggunakan bibit. Terdapat dua cara penanaman yaitu penanaman sebelum dan setelah pembakaran. Penanaman
125 sebelum pembakaran dilaksanakan dengan cara menanam biji ke dalam lubang sedalam 5 – 10 cm kemudian ditutup kembali, setelah itu di atas tanah tersebut dilakukan pembakaran kayu, daun kering, ranting sisa pembersihan. Sedangkan penanaman setelah pembakaran dilakukan dengan cara menanam biji ke dalam lubang sedalam 2-3 cm atau sedikit bagian dari biji tersebut terlihat menonjol ke permukaan tanah pada lahan yang telah mengalami pembakaran dan telah bersih. Menurut
petani, kemampuan berkecambah dengan penanaman sebelum
pembakaran lebih tinggi dibandingan dengan setelah pembakaran. Kegiatan penanaman dilakukan pada awal musim hujan, selanjutnya sambil menunggu tanaman kemiri besar dan berbuah serta tajuk lebat menutupi lahan, dilakukan penanaman tanaman semusim seperti kacang tanah, jagung dan sayur-sayuran selama 2-3 tahun. 4. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman kemiri pada umumnya dilakukan hanya pada saat panen (sekali dalam setahun), dengan melakukan penebasan atau pembersihan tanaman pengganggu untuk memudahkan memungut buah kemiri. Pemeliharaan berkala biasanya dilakukan petani pada waktu tertentu saja seperti saat berbunga atau pada saat mulai berbuah. Pemeliharaan rutin biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan relatif datar dimana biasanya di bawah tegakan kemiri dilakukan tumpang sari kacang tanah, jagung, sayur-sayuran atau cokelat. Pemeliharaan tanaman kemiri sejak ditanam sampai dengan berbuah (usia 0-3 tahun) biasanya dilakukan oleh pakokko karena sambil menunggu tanaman kemiri mulai berbuah oleh pakokko lahan tersebut dimanfaatkan dengan menanam tanaman semusim 5. Makkampiri Makkampiri adalah kegiatan pemanenan yang dilakukan bertepatan dengan awal musim hujan yaitu bulan Nopember atau Desember. Pemanenan dilakukan dengan cara memungut buah kemiri yang jatuh ke permukaan tanah. Hal ini dilakukan selain karena faktor ketinggian pohon juga karena buah kemiri yang jatuh ke atas tanah menurut petani memiliki kualitas yang
baik. Cara
pemungutan buah kemiri terdiri atas pemungutan yang dilakukan pada saat kulit luar buah kemiri terpisah dengan kulit dalam (makkacone) dan pemungutan
126 sebelum terpisah antara kulit luar buah kemiri dengan kulit dalamnya (makkaba). Petani
lebih
suka
melakukan
pemungutan
makkacone
karena
mudah
pelaksanaannya dan juga mudah membedakan buah kemiri yang hampa dengan yang berisi. Sedangkan pemungutan makkaba dirasakan lebih sulit karena kemiri masih kotor, dan sulit membedakan antara kemiri yang hampa dengan yang berisi. Pemanenan dilakukan secara bertahap yaitu panen raya (makkampiri), panen susulan (mabbali), dan panen akhir (makkalice). Makkampiri dilakukan oleh pemilik lahan atau orang yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut buah kemiri dengan kategori makkacone. Mabbali dilakukan oleh pemilik lahan atau orang lain yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut sisa buah kemiri yang belum jatuh pada saat makkampiri. Ketika tanaman kemiri sudah berbuah dan terlihat banyak, oleh petani pemilik lahan dengan bantuan dukun kampung (sanro), dipasang hompong (tanda larangan yang telah diberi mantera). Hompong adalah daun enau atau kain kafan/puitih (kaci) yang dipasang atau digantung pada batang kemiri dan akan dicabut setelah berakhirnya mabbali. Pemasangan hompong dimaksudkan sebagai peringatan kepada orang lain untuk tidak melakukan pemungutan buah kemiri pada lahan tersebut tanpa seizin pemiliknya, dengan kata lain untuk menghindari pencurian. Selain itu, hompong berfungsi untuk memperjelas status pengelolaan dan penguasaan tanaman kemiri dan juga untuk menegakkan nilai alempureng (kejujuran) serta nilai siri (harga diri) dalam diri masyarakat. Masyarakat percaya apabila mencuri buah kemiri yang jatuh pada lahan yang telah dipasangi hompong maka pencuri tersebut akan tertimpa musibah seperti umur pendek atau terkena penyakit parah. Setelah hompong dicabut oleh pemilik lahan yaitu setelah berakhirnya panen mabbali, maka diperbolehkan bagi masyarakat umum yang bukan pemilik lahan yang berminat untuk memungut dan memiliki buah kemiri tanpa harus meminta izin dari pemilik lahan atau biasa dikenal dengan makkalice. 6. Maddepa Sebelum dijual dan/atau digunakan untuk kebutuhan sendiri, kemiri yang terkumpul dikupas/dipecah. Kegiatan ini dikenal dengan sebutan maddepa yang dilaksanakan oleh pemilik kemiri beserta anggota keluarga, atau mengikutser-
127 takan masyarakat yang ada di sekitarnya dengan sistim bagi hasil apabila produksi kemirinya cukup banyak. Pengupasan/pemecahan (maddepa) dapat dilakukan langsung setelah pemungutan dari lapangan atau setelah disimpan pada tempat penyimpanan (abbibireng) yang dilakukan setelah melalui proses pengeringan. Alat yang digunakan untuk mengupas terlihat sangat sederhana, terdiri dari dua bagian yaitu alat untuk menghentakan biji kemiri yang terbuat dari rotan yang dianyam (paddepa), dan tempat atau landasan untuk menghentak biji kemiri yang terbuat dari batu sungai dengan permukaan datar. 7. Mallolo Kemiri yang sudah tua dan menurun produktivitasnya oleh petani sekitar hutan, sebelum adanya kebijakan TGHK, dilakukan upaya peremajaan atau biasa disebut dengan mallolo. Kegiatan mallolo ini pada dasarnya pengulangan dari kegiatan mappamula dan makkoko. Pada kegiatan mallolo tanaman kemiri yang sudah tua dan menurun produktivitasnya ditebang dan kayu hasil tebangan tersebut kemudian dibakar. Kegiatan mallolo biasanya dilakukan pada akhir musim kemarau atau menjelang musim hujan agar kayu dan ranting serta dedaunan hasil penebangan
cepat kering sehingga mudah dibakar. Proses
penanaman biji kemiri sama dengan proses maddare, yaitu biji kemiri ditanam atau ditabur sebelum dilakukan pembakaran. Setelah melalui proses pembakaran areal tersebut kemudian dibiarkan. Kurang lebih selama satu bulan dan memasuki musim hujan akan tumbuh tunas/kecambah pohon kemiri, untuk kemudian oleh petani diadakan seleksi bibit/anakan atau tunas yang baik sambil mengatur jarak tanam kemiri. Dukungan Tokoh Masyarakat Pada umum, dukungan tokoh masyarakat dalam pengelolaan hutan kemiri berada dalam kategori rendah, yang ditunjukkan dengan skor rataan total 33 (Tabel 21). Secara statistik, terdapat perbedaan nyata antara dukungan tokoh masyarakat pada Kecamatan Cenrana dan Kecamatan Camba, walaupun pada kenyataannya skor rataan keduanya masih berada dalam kategori rendah, yaitu 36 untuk Kecamatan Cenrana dan 30 untuk Kecamatan Camba. Dukungan tokoh masyarakat di Kecamatan Cenrana terlihat lebih tinggi karena petani di
128 Kecamatan Cenrana memiliki tingkat kebergantungan yang lebih tinggi terhadap hutan kemiri, termasuk tokoh masyarakatnya, dibandingkan dengan petani di dua kecamatan lainnya. Rendahnya dukungan tokoh masyarakat dalam mendukung pengelolaan hutan kemiri, disebabkan tokoh masyarakat ikut merasakan dampak dari diberlakukannya TGHK. Tokoh masyarakat juga memiliki lahan kemiri yang akhirnya ditetapkan sebagai kawasan hutan setelah diberlakukannya TGHK, sehingga mereka tidak lagi memiliki hak untuk mengelola hutan kemiri. Sama dengan petani lainnya, mereka hanya diberikan hak untuk mengakses hutan kemiri dalam bentuk pemungutan buah. Tokoh masyarakat merasakan bahwa prosedur penetapan kawasan hutan melalui TGHK bersifat topdown tanpa konsultasi publik atau melibatkan masyarakat lokal yang notabene petani sehingga berdampak pada dimasukkan tanaman kemiri yang selama ini mereka miliki ke dalam kawasan hutan. Prosedur penetapan kawasan hutan melalui TGHK, dengan demikian, tidak memberi peluang pada masyarakat untuk menyuarakan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasinya. Perubahan status kebun kemiri menjadi kawasan hutan, menimbulkan dilema bagi tokoh masyarakat. Di satu sisi, tokoh masyarakat juga ikut merasakan kekhawatiran akan keamanan akses ke lokasi hutan di mana terdapat tanaman kemiri miliknya karena kebijakan yang ada setelah diterapkannya TGHK tidak memberikan ruang bagi masyarakat termasuk tokoh masyarakat untuk mengelola kebun kemirinya yang berada dalam kawasan hutan. Di sisi lain, karena tokoh masyarakat adalah figur yang dihargai dan menjadi panutan serta dituruti oleh masyarakat, terdapat kecenderungan adanya usaha kooptasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap tokoh masyarakat agar mau mengajak warganya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan fisik pengelolaan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan, kecuali hanya kegiatan pemanenan dalam bentuk pemungutan buah kemiri, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu tokoh masyarakat berinisial AS (46 tahun), sebagai berikut:
129 Kotak 2: .............saya beberapa kali didatangi oleh aparat pemerintah untuk diberi arahan serta diminta agar saya menginformasikan dan mengajak masyarakat saya untuk tidak menggarap lahan atau melakukan pengelolaan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan. Masyarakat hanya diizinkan memanen buah kemiri. Padahal sebagian besar (85%) lahan di mana diatasnya terdapat tanaman kemiri yang tadinya dikelola oleh masyarakat. termasuk juga tanaman kemiri milik saya telah diklaim menjadi kawasan hutan.......... Dukungan Kelompok Tani Dukungan kelompok tani pada anggotanya terkait dengan pengelolaan hutan kemiri termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan skor total 18 (Tabel 21). Perbedaan nyata dukungan kelompok tani terjadi di antara Kecamatan Cenrana dan Kecamatan Camba, namun demikian keduanya tetap termasuk dalam kategori rendah dimana skor rataan dukungan kelompok tani di Kecamatan Cenrana adalah 18 dan di Kecamatan Camba 24. Secara formal berdasarkan Surat Keputusan Bupati Maros No. 111/KPTS/ 412.61/III/2007 tentang Pengukuhan Kelompok Tani-Nelayan Kabupaten Maros Tahun 2001 terdapat 181 kelompok tani yang tersebar di tiga kecamatan tersebut, dengan rincian di Kecamatan Cenrana terdapat 79 kelompok tani, 47 kelompok tani berada di Kecamatan Camba dan 45 kelompok tani berada di Kecamatan Mallawa. Namun pada umumnya menurut petani kelompok tersebut dibentuk tidak berdasarkan inisiatif petani, melainkan bentukan atau inisiatif pemerintah dengan tujuan mendukung proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau kehutanan yang diluncurkan pemerintah. Dalam wawancara terdapat beberapa petani yang lupa apakah mereka masih menjadi anggota kelompok atau tidak, bahkan ada di antara petani yang diwawancarai bertanya-tanya apakah kelompoknya masih ada atau sudah bubar, karena sudah lama tidak ada kegiatan kelompok. Disamping itu, sebagian petani yang menjadi anggota kelompok tidak memahami dengan pasti tujuan kelompoknya, karena keberadaan mereka dalam kelompok sekedar ikut-ikutan dengan harapan mendapat kemudahan memperoleh bantuan pemerintah, sehingga sebagian besar petani cenderung memahami bahwa tujuan terbentuknya kelompok adalah untuk mempermudah mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti pembagian bibit dan fasilitas lainnya jika ada
130 proyek yang diluncurkan pemerintah, karena keberadaan kelompok merupakan salah satu prasyarat untuk memperoleh bantuan. Kondisi tersebut mengakibatkan kinerja kelompok tidak optimal. Petani yang menjadi anggota kelompok berharap adanya bimbingan dan pembinaan secara berkesinambungan baik dari pemerintah maupun swasta sehingga dapat terbentuk kelompok yang mandiri. Kegitan pengelolaan kemiri bukan usaha kelompok melainkan usaha rumah tangga atau individu, kondisi ini juga yang menjadi penyebab rendahnya dukungan kelompok, karena interaksi dalam bentuk kerjasama dan berbagi terfokus pada kegiatan budidaya pertanian dan perkebunan, sedangkan pada kegiatan kehutanan khususnya pengelolaan hutan kemiri hampir tidak pernah diperhatikan oleh anggota-angota kelompok petani.
Ketersediaan Kesempatan/Peluang bagi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Ketersediaan kesempatan atau peluang, pada umumnya, tergolong rendah, yang dicirikan oleh rendahnya dukungan pemerintah (rataan skor 31), dukungan non pemerintah (rataan skor 4), dan bantuan permodalan/kredit (rataan skor 4), serta status kepemilikan dan luas lahan lebih banyak berada dalam kawasan hutan dan tanah negara (1,28 Ha) dari 2,1 Ha lahan yang dikelola petani. Hanya kepastian pasar yang tergolong sedang (rataan skor 64). Kesempatan merupakan hal penting bagi setiap manusia yang hendak maju, termasuk petani. Kesempatan atau peluang tidak akan berarti bagi petani apabila petani tidak berusaha untuk memanfaatkannya atau meraihnya. Menurut Slamet (2003) masyarakat tidak dapat merubah kualitas hidupnya dan pembangunan tidak akan tercapai apabila masyarakat tidak tergerak untuk memanfaatkan kesempatan atau peluang yang tersedia. Status Lahan Sasaran penelitian dibatasi pada petani yang mengelola hutan kemiri. Pengertian mengelola artinya ikut memanfaatkan. Oleh karena itu penelitian ini tidak mengkaji secara parsial status kepemilikan lahan misalnya perbedaan antara kawasan hutan/tanah negara, milik sendiri, atau sewa, karena pada kenyataannya keadaan petani tidak terfragmentasi seperti itu, mereka secara simultan mengelola
131 dan memanfaatkan lahan baik lahan kawasan hutan/tanah negara maupun milik sendiri atau sewa, sehingga sulit untuk mendapatkan petani yang benar-benar hanya mengelola lahan dengan status kepemilikan tunggal. Terlihat (Tabel 22) bahwa 87% responden menggarap/ mengelola tanaman kemirinya yang berada dalam kawasan hutan dan/atau tanah negara serta tanaman kemiri yang berada di atas lahan miliknya, 5% responden menggarap lahan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan dan/atau tanah negara, serta 8% responden mengelola tanaman kemiri yang berada di atas lahan miliknya, di dalam kawasan hutan dan juga menyewa lahan petani lainnya. Tabel 22. Sebaran Ketersediaan Kesempatan/Peluang untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Ketersediaan Kesempatan/ Peluang Status kepemilikan lahan Luas lahan (Ha)
Kategori KH dan/atau TN MS+KH (dan/atau+TN) MS+KH(dan/atau+TN)+SW
Sempit Sedang Luas Rataaan Hektar Dukungan Rendah pemerintah Sedang (Skor) Tinggi Rataaan Skor Dukungan Rendah non Sedang pemerintah Tinggi (Skor) Rataaan Skor Kepastian Rendah pasar (Skor) Sedang Tinggi Rataaan Skor Bantuan Rendah Permodalan/ Sedang Kredit (Skor) Tinggi Rataaan Skor
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
19 79 2
0 68 32
0 100 0
5 87 8
37 50 13 1,4(a)(b) 82 18 0 35(a) 100 0
10 44 46 2,3(a) 92 8 0 33(b) 100 0
3 45 52 2,4(b) 98 2 0 28(a)(b) 100 0
14 46 40 2,1 92 8 0 31 100 0
0
0
0
0
3 13 72 15 62(a) 100 0 0 1(a)
3 26 16 58 72(a)(b) 100 0 0 11(a)(b)
5 32 33 35 62(b) 100 0 0 1(b)
4 26 39 35 64 100 0 0 4
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Status kepemilikan lahan; KH=Kawasan Hutan, TN=Tanah Negara, MS=Milik Sendiri, SW=Sewa Luas lahan; Sempit = 0,5-0,9 Ha, Sedang = 1-1,9 Ha, Luas = 2-5 Ha Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
132 Status kepemilikan lahan di luar kawasan hutan berupa hak milik yang sebagian besar sudah bersertifikat, dan sebagian lainnya berupa rinci (bukti kepemilikan). Disamping itu, terdapat juga beberapa lahan yang belum memiliki sertifikat dimana kepemilikannya didasarkan pada pengakuan adat/masyarakat sekitar. Kepemilikan lahan kemiri bersifat perorangan dan dikelola secara sendiri atau keluarga. Kegiatan yang melibatkan orang lain biasanya dilakukan pada saat persiapan lahan sampai dengan penanaman dan ada saat panen. Lahan yang berada dalam kawasan hutan yang selama ini dimanfaatkan oleh petani, kebanyakan didasarkan atas warisan. Pada lahan bertopografi datar banyak dilakukan pola tanam campuran. Jenis tanaman selain kemiri yang banyak ditanam dengan pola tanam campuran adalah coklat yang ditanam di bawah tegakan kemiri, dengan alasan komoditas tersebut ada saat ini memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Sebagian besar tanaman kemiri rakyat, sejak diberlakukannya Tata Guna Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, masuk dalam kawasan hutan. Lahan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan, pada saat ini, menjadi fenomena kontroversi bagi masyarakat karena pemerintah dianggap bertindak sepihak, tidak adil dan telah merampas hak mereka. Penetapan areal atau lahan dimana di atasnya banyak terdapat tanaman kemiri yang ditanam petani menjadi kawasan hutan melalui kebijakan TGHK mengakibatkan terjadinya perubahan status hak penguasaan lahan dalam hal pengelolaannya. Pada awalnya setelah penetapan batas, pemerintah masih memberi peluang kepada petani untuk melakukan kegiatan pengelolaan tanaman kemiri dalam kawasan hutan. Namun sejak tahun 1994, pemerintah mulai melakukan sosialisasi batas kawasan hutan dan areal yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak diperbolehkan dikelola oleh petani. Hak yang masih diberikan kepada petani adalah memungut biji kemiri dan tidak diperkenankan melakukan kegiatan peremajaan, terlebih lagi untuk memanfaatkan kayunya. Penetapan status kawasan hutan melalui TGHK, dipersepsikan oleh masyarakat/petani sebagai tindakan tidak transparan, tidak adil atau sepihak yang dilakukan pemerintah. Petani menganggap bahwa TGHK tidak sesuai dengan penatagunaan lahan sebelumnya yang pernah dibuat oleh pemerintah Belanda bersama masyarakat pada tahun 1920-an. Menurut petani tanah yang dikelola
133 berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah Belanda tersebut adalah milik leluhur mereka yang pada saat ini telah diwarisan kepada mereka, namun pada saat ini statusnya telah “dipaksa” berubah menjadi kawasan hutan negara. Salah seorang petani di desa Padaelo Kecamatan Mallawa dengan inisial S (38 tahun) menyatakan: Kotak 3: ............ ketika dilakukan pemasangan patok pada tahun 1986 saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pada saat itu orang tua saya sempat menanyakan kepada petugas untuk apa patok tersebut. Jawaban yang diberikan oleh petugas bahwa tidak ada maksud apa-apa, patok ini sekedar untuk tanda saja. Namun demikian tanah dimana terdapat tanaman kemiri yang telah dikelola dan merupakan warisan dari kakek saya, ternyata ujung-ujungnya diklaim sebagai kawasan hutan dimana patok yang dipasang merupakan pembatas atau tanda kawasan hutan.......... Usman (2008) mengemukakan bahwa di banyak tempat, persoalan status lahan merupakan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Seringkali terjadi konflik-konflik sosial sebagai akibat dari ketidakseragaman antara konsep hak milik atas lahan berdasarkan undang-undang yang berlaku dengan aturan menurut pola penguasaan dan pemilikan lahan secara tradisional atau berdasarkan nilai dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. Luas Lahan Luas lahan yang dikelola petani menunjukkan asset yang dimiliki petani. Rata-rata luas lahan yang diolah responden untuk tanaman kemiri adalah 2,1 Ha, dimana sebagian dari lahan tersebut (1,2 Ha) merupakan kawasan hutan, tanah negara seluas 0,08 Ha, milik sendiri seluas 0,8 Ha dan sisanya sewa (0,02 Ha). Luas lahan dimana terdapat tegakan kemiri yang diolah oleh petani di antara ketiga kecamatan relatif bervariasi. Rata-rata luas lahan yang diolah petani antara Kecamatan Cenrana, secara statistik, berbeda nyata dengan dua kecamatan lainnya, sedangkan rata-rata luas lahan kemiri yang diolah dan dimanfaatkan petani antara kecamatan Camba dan Mallawa relatif sama. Cara petani memperoleh lahan pada umumnya melalui pewarisan, pemberian sebagai mas kawin atau syarat pernikahan, pemindahan hak melalui jual beli, serta melalui gadai dan bagi hasil. Dilihat dari aspek luas lahan, dengan
134 perhitungan, apabila di atas lahan seluas 2,1 Ha tersebut terdapat tegakan atau pohon kemiri dengan jarak tanam 5 X 5 m maka akan terdapat 840 pohon kemiri di atas lahan tersebut. Tanaman kemiri yang sehat dengan usia 4-6 tahun memiliki proyeksi produksi + 8 kg/pohon, sedangkan apabila usia kemiri diatas 10 tahun memiliki produksi + 20 kg/pohon. Dengan demikian, dari 840 pohon kemiri tersebut, secara kumulatif, petani akan dapat memanen + 6.720 kg buah kemiri/tahun pada saat usia tanaman 4-6 tahun, dan akan meningkat hasilnya sekitar + 16.800 kg/tahun pada saat usia tanaman kemiri lebih dari 10 tahun. Hal ini merupakan potensi dan peluang yang cukup besar untuk pengembangan hutan kemiri dan peningkatan pendapatan petani. Dengan kata lain, apabila lahan tersebut mampu dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka pengembangan usahatani kemiri dapat memberikan prospek yang baik untuk dikembangan, dan kemiri dapat kembali menjadi komoditas andalan petani. Dukungan Pemerintah Dukungan pemerintah yang dirasakan oleh responden adalah rendah, dengan rataan skor total 31. Terlihat (Tabel 22) bahwa sebagian besar responden (92%) merasakan bahwa dukungan pemerintah terhadap partisipasi mereka dalam mengelola hutan kemiri tergolong rendah dan 8% responden menyatakan sedang, tidak ada yang menyatakan tinggi (0%). Dukungan pemerintah merupakan hal penting dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan petani, sebagaimana
diamanatkan dalam pembukan UUD 1945 bahwa salah satu peran pemerintah adalah menyejahterakan rakyatnya. Dukungan pemerintah dirasakan oleh petani di Kecamatan Mallawa berbeda nyata dengan dua kecamatan lainnya, rataan skor tertinggi ke yang terendah yaitu dimulai dari Kecamatan Cenrana dengan rataan skor 35, Kecamatan Camba dengan rataan skor 33, dan yang terakhir adalah Kecamatan Mallawa dengan rataan skor 28. Rendahnya persepsi responden terhadap dukungan pemerintah merupakan akibat dari adanya kebijakan TGHK. Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (TGHK) sangat menentukan besarnya persepsi petani terhadap kesempatan untuk meraih dan memanfaatkan hutan kemiri.
135 Kebijakan-kebijakan TGHK telah membatasi akses petani ke lokasi tanaman kemiri dalam hutan. Petani hanya diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan berupa pemungutan buah kemiri. TGHK telah mengakibatkan sistem pengelolaan hutan yang telah dibangun petani sekitar hutan kemiri melemah, menghilangkan sumber pendapatan dengan berkurangnya volume produktivitas kemiri, serta melemahkan fungsi ekologi hutan kemiri karena tidak adanya pengelolaan hutan oleh petani sehingga yang tertinggal adalah tanaman kemiri yang berusia tua (> 35 tahun) sebagai akibat tidak dilakukannya peremajaan, sebagaimana penelitian Yusran (1999) dan Yusran (2005) bahwa sedang terjadi penurunan ekologi hutan kemiri Kabupaten Maros dari tahun ke tahun. Menurut Paimin (1994) dan Dephut (1994), produksi kemiri akan terus mengalami penurunan setelah berumur 35 tahun. Menurut petani belum ada kolaborasi pengelolaan hutan kemiri antara pemerintah dengan petani. Dengan ditetapkannya TGHK, menurut petani, peluang ke arah kolaborasi sulit untuk dilaksanakan karena masih terdapat perbedaan persepsi terhadap eksistensi hutan kemiri, bahkan timbul krisis kepercayaan petani kepada pemerintah serta menolak kebijakan TGHK. Hal ini ditandai ketika pada awal peneliti melakukan pengambilan data, sebagian besar petani cenderung bersikap curiga dan menanyakan untuk kepentingan apa penelitian dilaksanakan, mereka sempat menyatakan tanah mana lagi yang mau diambil pemerintah. Kebijakan TGHK telah membuat petani merasa ketakutan untuk mengelola tanaman kemirinya. Ketika ada petani yang nekat melakukan kegiatan penebangan tanaman kemiri dalam rangka mallolo maka akan bersentuhan dengan hukum. Kotak 4: .........Beberapa responden menceritakan bahwa pada tahun 2007, ada warga dengan inisial T (52) sempat berurusan dengan pihak berwajib dan diproses secara hukum karena bermaksud melakukan mallolo dengan menebang beberapa tegakan/tanaman kemiri miliknya yang berada dalam kawasan hutan...............
136 Dukungan Organisasi Non Pemerintah Dukungan organisasi non pemerintah, menurut responden, adalah rendah, yang ditunjukkan oleh rataan skor total 4. Seluruh responden (100%) merasakan bahwa dukungan organisasi non pemerintah tergolong rendah. Keberadaan organisasi non pemerintah diharapkan dapat memainkan peran dalam membantu, membimbing, mendampingi dan memberdayakan petani dan keluarganya sehingga dapat berusahatani dan usaha lainnya menuju peningkatan
kesejahteraan
hidup.
Rendahnya
dukungan
organisasi
non
pemerintah, menurut responden, karena tidak ada organisasi non pemerintah di desa mereka. Kalaupun ada kegiatan pendampingan dan pemberdayaan biasanya datang dari mahasiswa yang berasal dari beberapa perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang sedang melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa mereka, dengan demikian sifatnya temporer, dan tidak terkait dengan pengelolaan hutan kemiri. Kepastian Pasar Kepastian pasar merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong kesinambungan usahatani kemiri. Di lokasi penelitian pada umumnya pemasaran buah kemiri tidak menemui banyak hambatan (rataan skor 64 atau tergolong sedang), karena telah ada pihak yang siap menampung atau membeli produksi tersebut. Namun demikian, dalam jaringan transaksi jual beli kemiri, petani memiliki posisi tawar yang lebih rendah. Rendahnya posisi tawar disebabkan karena ketersediaan sumberdaya yang terbatas, tidak adanya bentuk usaha bersama, dan tidak menguasai informasi pasar. Harga kemiri lebih banyak ditentukan oleh pedagang yang membeli kemiri. Penjualan kemiri, oleh petani, dilakukan dalam bentuk kupas dan/atau dalam bentuk biji gelondongan. Penjualan dalam bentruk kemiri kupas lebih banyak dilakukan, oleh petani, karena harganya lebih tinggi dibandingkan dengan kemiri gelondongan. Terdapat perbedaan nyata kepastian pasar antara yang dirasakan oleh responden di Kecamatan Camba dan dua kecamatan lainnya. Petani di Kecamatan Camba merasakan lebih terjamin atau lebih pasti atas pasar kemiri yang ditandai dengan rataan skor 72, diikuti oleh Kecamatan Cenrana dengan rataan skor 62 dan Kecamatan Mallawa dengan rataan skor 62.
137 Petani biasanya akan menjual kemiri pada saat harga pembelian oleh pengecer maupun pedagang pengumpul sedang tinggi atau ketika mendesaknya kebutuhan akan uang tunai. Petani yang memiliki buah kemiri lebih dari 50 kg biasanya akan menjual langsung kepada pedagang besar di kota Makassar, sedangkan apabila kurang dari 50 kg petani menunggu kedatangan pedagang pengumpul lokal yang akan membeli buah kemiri mereka. Harga kemiri kupas pada saat penelitian dilaksanakan sebesar Rp. 7000,/kg - Rp. 8000,-/kg di tingkat pengecer lokal, namun bila dijual langsung ke Makassar seharga Rp. 10.000,-/kg, sedangkan dalam bentuk gelondongan adalah Rp. 2000 per 100 butir gelondongan di tingkat pengecer lokal. Penjualan kemiri gelondongan hanya dilakukan oleh petani yang memiliki jumlah kemiri sedikit, atau ketika didesak oleh kebutuhan uang tunai. Harga buah kemiri pada saat penelitian dilakukan lebih baik (Rp. 7000,-/kg - Rp. 8000,-/kg) dibandingkan dengan harga buah kemiri dua tahun terakhir (Rp. 4000,-/kg - Rp. 6000,-/kg). Bantuan Permodalan/Kredit Responden, pada umumnya, merasakan bahwa dukungan lembaga yang memberikan bantuan permodalan dalam usaha budidaya kemiri rendah (rataan skor total 4). Apa yang dirasakan petani di Kecamatan Camba terkait dengan bantuan permodalan berbeda nyata dengan responden di dua Kecamatan lainnya, sedangkan apa yang dirasakan antara petani Kecamatan Cenrana dan responden Kecamatan Mallawa secara statistik relatif sama atau tidak berbeda. Skor rataan tertinggi dukungan bantuan permodalan adalah Kecamatan Camba yaitu 11, diikuti oleh Kecamatan Mallawa (skor 1) dan Kecamatan Cenrana (skor 1). Modal merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Ketersediaan sumberdaya alam dan tenaga kerja untuk memanfaatkannya, jika tidak disertai modal yang memadai untuk pengadaan teknologi serta membiayai produksi, maka potensi sumberdaya alam tidak dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal atau bahkan hanya merupakan potensi belaka. Lembaga keuangan yang melayani penduduk di tiga kecamatan tersebut hanya ada satu yaitu BRI yang letaknya di Kecamatan Camba. Hal ini yang menyebabkan Kecamatan Camba memiliki skor tertinggi dukungan bantuan permodalan. Sebagian petani memanfaatkan BRI untuk menabung keuntungan usahatani dan/atau usaha lainnya untuk biaya naik
138 haji, dan untuk keperluan lain, namun jarang memanfaatkan layanan BRI untuk memperoleh modal atau pinjaman. Petani lebih mengandalkan modal sendiri untuk usahatani dan usaha lainnya. Apabila kekurangan modal, biasanya petani meminjam dari kerabat dan/atau sanak saudara/keluarga. Menurut petani untuk meminjam modal dari Bank memerlukan banyak persyaratan yang harus dipenuhi yang dianggap oleh mereka berbelit-belit padahal mereka membutuhkan uang dalam waktu yang cepat. Hal ini membuat petani tidak terlalu tertarik untuk meminjam uang dari bank. Lembaga keuangan lain yang sejatinya dapat berpotensi bagi penyediaan modal petani adalah KUD, tetapi pada kenyataannya keberadaan KUD di tiga kecamatan tersebut tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, rendahnya dukungan terhadap permodalan bagi petani ditandai dengan belum adanya program khusus dari pemerintah atau pihak lainnya dalam bentuk insentif atau bantuan permodalan dalam rangka menstimulasi petani mengembangkan usahatani kemiri, sebagaimana yang dikemukakan Mosher (1978) bahwa perlu adanya kredit produksi bagi petani untuk memperlancar atau menunjang pembangunan pertanian.
Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri cenderung sedang, yang dicirikan oleh aspek kemampuan teknis yang tergolong sedang (rataan skor 57) dan aspek kemampuan sosial yang juga tergolong sedang (rataan skor 68), kecuali aspek kemampuan manajerial yang masuk dalam kategori rendah (rataan skor 46). Kemampuan merupakan sekumpulan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki seseorang yang berkaitan satu sama lain dan memainkan peran penting bagi pencapaian hasil kerja. Demikian pula kegiatan pengelolaan hutan kemiri akan mencapai hasil yang baik, jika petani pengelola hutan tersebut memiliki kemampuan yang memadai. Kepemilikan kemampuan pada petani sekitar hutan kemiri meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial diharapkan dapat menumbuhkan dan mendorong keberlanjutan
139 proses pengelolaan hutan yang selama ini telah dilakukan petani dan meningkatkan keberlanjutan manfaat hutan yang dapat dinikmati petani. Tabel 23. Sebaran Tingkat Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Tingkat Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Kemampuan Teknis (Skor)
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Rataaan Skor Kemampuan Rendah manajerial (Skor) Sedang Tinggi Rataaan Skor Kemampuan sosial Rendah (Skor) Sedang Tinggi Rataaan Skor
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
26 74 0 58 44 56 0 53(a)(b) 11 56 33 67
16 84 0 59(a) 58 42 0 49(a)(c) 8 76 16 68
21 79 0 55(a) 89 11 0 41(b)(c) 2 81 17 69
21 79 0 57 70 30 0 46 6 73 21 68
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b)(c); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan Skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Kemampuan Teknis Kemampuan teknis responden, pada umumnya, berada dalam kategori sedang dengan rataan skor total 57 (Tabel 23). Perbedaan kemampuan teknis terjadi antara responden Kecamatan Camba dan Kecamatan Mallawa. Walaupun kemampuan teknis di tiga kecamatan tersebut berada dalam kategori sedang, namun bila dilihat berdasarkan urutan rataan skor maka kemampuan teknis tertinggi dimiliki oleh responden di Kecamatan Camba (rataan skor 59), diikuti oleh responden di Kecamatan Cenrana (rataan skor 58), dan yang terakhir adalah responden di Kecamatan Mallawa (rataan skor 55). Kemampuan teknis ditinjau dari aspek kognitif termasuk dalam kategori sedang, ditandai dengan rataan skor total 79, aspek afektif berada dalam kategori sedang (rataan skor total 65). Sedangkan, aspek psikomotor berada dalam kategori rendah dengan rataa skor total 42 (Tabel 24 ).
140 Tabel 24. Aspek-Aspek Kemampuan Teknis Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Aspek Kemampuan Teknis Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Psikomotor
Kecamatan Cenrana 71 74 38
Rataan Skor Kecamatan Kecamatan Camba Mallawa 81 82 65 59 45 43
Total 79 65 42
Keterangan: Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Temuan ini menunjukkan bahwa petani memiliki pemahaman dan keyakinan yang cukup baik tentang teknis pengelolaan hutan kemiri secara lestari meliputi teknik budidaya tanaman kemiri, identifikasi hama/penyakit tanaman kemiri, pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit, serta perlindungan hutan. Budidaya hutan rakyat dalam bentuk kebun kemiri, sebagai aktualisasi kemampuan teknis, pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros, walaupun dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap untuk dijual, semuanya dilakukan secara sederhana. Rendahnya aspek psikomotor bukan disebabkan oleh tidak terampilnya petani dalam mengelola tanaman kemiri, namun lebih disebabkan pada saat ini terbatasnya akses ke lahan kemiri yang berada dalam kawasan hutan, sehingga petani tidak lagi secara fisik melakukan pengelolaan tanaman kemiri. Padahal pada kenyataannya secara historis terbentuknya hutan kemiri yang ada pada saat ini merupakan hasil dari budidaya tanaman kemiri yang telah dilakukan oleh petani sekitar hutan secara turun temurun. Kenyataan tersebut merupakan bukti dari aktualisasi kemampuan teknis yang dimiliki petani, dengan demikian sejatinya petani sekitar hutan memiliki kemampuan teknis, dengan seluruh dimensinya yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, yang memadai dalam mengelola hutan kemiri. Kemampuan teknis yang dimiliki petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dalam mengelola hutan kemiri diperoleh melalui proses alih pengetahuan melalui pendidikan informal. Pendidikan informal pada umumnya diperoleh atau diturunkan dari orang tua dan sanak keluarga, terkadang juga dari tetangga, pertemanan, dan kelompok kecil informal sebagai pengayaan atau perbaikan dari pengalaman mengelola hutan kemiri secara bertahun-tahun. Orang tua merupakan
141 sumber utama pembentukan kemampuan teknis dalam pengelolaan hutan kemiri. Responden yang berusia > 50 tahun mengatakan bahwa dulu ketika mereka berusia sekitar usia 10-11 tahun oleh orang tuanya sudah dianggap mampu untuk diikutkan ke kebun untuk belajar mencangkul, menebang pohon, menanam kemiri dan memungut buah kemiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010) bahwa pendidikan, termasuk pendidikan informal, merupakan salah satu pilar utama bagi pengembangan kemandirian masyarakat. Kemandirian merupakan suatu prasyarat bagi masyarakat untuk berdaya dalam mengelola sumberdaya, termasuk sumberdaya hutan, dan beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan. Kemampuan Manajerial Kemampuan manajerial responden termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan skor total 46 (Tabel 23). Terdapat perbedaan nyata kemampuan manajerial dari responden di antara tiga kecamatan tersebut. Dilihat dari rataan skor masing-masing kecamatan kemampuan manajerial responden Kecamatan Cenrana menempati posisi tertinggi dengan kategori sedang (rataan skor 53), diikuti oleh Kecamatan Camba dengan kategori rendah (rataan skor 49), dan Kecamatan Mallawa dengan kategori rendah (rataan skor 41). Selain sebagai juru tani, Mosher (1978) mengemukakan petani juga merupakan manajer atau pengelola dari usahatani yang dilakukannya. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), pada dasarnya setiap petani memiliki kemampuan manajerial yang berbeda antara satu petani dengan petani lainnya. Petani dengan kemampuan manajerial yang baik akan berhasil mengelola usahataninya dengan baik. Aspek kognitif dan aspek afektif dari kemampuan manajerial pengelolaan hutan kemiri berada dalam kategori sedang (Tabel 25) dengan rataan skor total 60 untuk aspek kognitif dan 71 untuk aspek afektif, sedangkan aspek psikomotor berada dalam kategori rendah (rataan skor total 30). Hal tersebut menunjukkan bahwa responden tahu dan yakin pentingnya perencanaan, pengaturan, menggerakkan tenaga kerja, serta mengawasi dan menilai kegiatan usahatani kemiri dalam pengelolaan hutan kemiri secara lestari, namun secara faktual tidak
142 serta merta dikikuti oleh tindakan aplikatif atau keterampilan, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam konteks manajerial petani tahu, mau tetapi tidak mampu. Tabel 25. Aspek-Aspek Kemampuan Manajerial Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Aspek Kemampuan Manajerial Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Psikomotor
Kecamatan Cenrana 65 71 42
Rataan Skor Kecamatan Kecamatan Camba Mallawa 63 55 71 72 34 22
Total 60 71 30
Keterangan: Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Berdasarkan aspek psikomotor dari kemampuan manajerial pengelolaan hutan kemiri terdapat kecenderungan petani lebih suka melakukan budidaya tanaman kemiri hanya berdasarkan tradisi turun temurun atau apa adanya, belum dikelola secara profesional atau berdasarkan manajemen modern. Responden tidak melakukan secara tertulis perencanaan usahatani kemiri yang dikelolanya, pengaturan, pengawasan dan penilaian dilakukan seadanya hanya berdasarkan kebiasaan dalam arti tidak teroganisir dan sistematis, begitupula dengan menggerakkan tenaga kerja hanya berdasarkan kedekatan hubungan darah atau kekeluargaan. Kemampuan Sosial Secara umum kemampuan sosial responden berada dalam kategori sedang dengan rataan skor total 68 (Tabel 23). Kemampuan sosial responden di ketiga kecamatan, secara statistik, relatif sama. Walaupun kemampuan teknis di tiga kecamatan tersebut relatif sama (dalam kategori sedang), namun bila dilihat berdasarkan urutan besarnya rataan skor terdapat kecenderungan responden dari Kecamatan Mallawa memliki kemampuan sosial yang lebih tinggi (rataan skor 69), diikuti dengan Kecamatan Camba (rataan skor 68), dan Kecamatan Cenrana rataan skor 67. Ketiga aspek dari kemampuan sosial berada dalam kategori sedang, yang ditunjukkan dengan rataan skor total dari masing-masing aspek tersebut yaitu: rataan skor total 67 untuk aspek kognitif, 74 untuk aspek afektif, dan 64 untuk aspek psikomotor (Tabel 26).
143 Tabel 26. Aspek-Aspek Kemampuan Sosial Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Aspek Kemampuan Sosial Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Psikomotor
Kecamatan Cenrana 68 76 61
Rataan Skor Kecamatan Kecamatan Camba Mallawa 70 64 74 73 63 66
Total 67 74 64
Keterangan:Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Hal tersebut menunjukkan bahwa petani memiliki pemahaman, keyakinan, dan keterampilan yang memadai untuk berkomunikasi, bekerjasama, melakukan negosiasi,
mengantisipasi
dan
meminimalisir
timbulnya
konflik
ketika
berhubungan dengan orang lain dalam kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Artinya, dapat dikatakan bahwa secara memadai petani tahu, mau dan mampu menjalin hubungan dan interaksi sosial yang dinamis dengan pihak lain. Kemampuan sosial yang dimiliki petani kawasan hutan kemiri terbentuk melalui proses belajar sosial yang bersifat informal yang berlangsung dalam ruang interaksi dengan lingkungan sosialnya dan telah berjalan secara turun temurun. Kemampuan sosial petani, dengan demikian, merupakan internalisasi strategi adaptif petani untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai problema sosial yang muncul dan/atau dihadapi didalam lingkungan sosialnya. Dapat dikatakan bahwa terbentuknya perilaku petani termasuk didalamnya kemampuan sosial petani bersumber dari modal sosial dan/atau kultur masyarakat. Budaya menetapkan norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Norma-norma ini pada akhirnya mendorong terbentuknya kemampuan sosial dalam rangka menjaga harmonisasi hubungan kemasyarakatan. Kemampuan sosial yang dimiliki petani sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung, dengan demikian, terbentuk dan dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur dalam budaya, baik diturunkan dari orang-orang tua melalui paseng (pesan) atau dari dalam catatan lontara.
Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Motivasi petani sekitar hutan kemiri untuk tetap berpartisipasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri tergolong sedang, terlihat bahwa semua indikator motivasi untuk berpartisipasi berada dalam kategori sedang, yaitu
144 aspek motivasi untuk meningkatkan pendapatan dengan rataan skor 51, aspek motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri dengan rataan skor 68 dan aspek motivasi untuk melestarikan hutan kemiri dengan rataan skor 71. Tabel 27. Sebaran Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Meningkatkan pendapatan (Skor) Rataaan Skor Mendapatkan pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri (Skor) Rataaan Skor Melestarikan Hutan (Skor) Rataaan Skor
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
45 22 33 54 48 20
24 46 30 59(a) 12 20
76 12 12 46(a) 29 34
55 23 22 51 30 27
32 61(a) 43 31 26 62(a)(b)
68 78(a) 12 32 56 77(a)
37 67 8 59 33 73(b)
43 68 18 45 37 71
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Motif merupakan sumber dari tindakan yang bertujuan (Sarwono, 2002). Motif yang menjadi aktif disebut dengan motivasi (Sardiman, 2000). Motif menjadi aktif digerakan atau didorong oleh berbagai faktor yang kemudian menjadi tujuan yang hendak dicapai, baik internal maupun eksternal. Begitupula dengan petani sekitar hutan kemiri di Kabupaten Maros, motivasi untuk tetap mempertahankan keterlibatannnya dalam mengelola hutan kemiri memiliki tujuan. Motivasi untuk Meningkatan Pendapatan Peningkatan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga atau mencapai kesejahteraan yang lebih baik merupakan tujuan dari setiap petani, termasuk petani sekitar hutan kemiri. Sebagian besar responden (55%) memiliki motivasi rendah, 23% memiliki motivasi sedang, dan sisanya (22%) memiliki
145 motivasi yang tinggi untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan hutan kemiri. Motivasi untuk meningkatkan pendapatan pada petani sekitar hutan kemiri, dengan demikian pada umumnya, berada dalam kategori sedang yang ditunjang oleh rataan skor total 51. Namun bila dilihat secara parsial, terdapat perbedaan nyata motivasi untuk meningkatkan pendapatan di antara petani Kecamatan Mallawa dan dua kecamatan lainnya. Motivasi untuk meningkatkan pendapatan pada responden Kecamatan Mallawa memiliki kategori yang rendah (rataan skor 46), sedangkan dua kecamatan lainnya berada dalam kategori sedang, yang ditunjukkan oleh rataan skor 54 untuk Kecamatan Cenrana dan 59 untuk Kecamatan Camba. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun produktivitas tanaman kemiri mengalami penurunan dan kontribusinya relatif kecil terhadap pendapatan rumah tangga yaitu sekitar 13,9%, namun petani telah merasakan bahwa penjualan biji kemiri dapat membantu menambah keuangan rumah tangga, sehingga petani pada umumnya masih berminat untuk tetap mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri, dengan kata lain pada saat ini petani masih mengandalkan hasil dari tanaman kemiri sebagai salah satu sumber pendapatan rumah tangga meskipun hanya sebagai unsur penunjang. Disamping itu karena buah kemiri dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama (2-3 tahunan), maka pemanenan kemiri bagi petani merupakan salah satu usaha yang berfungsi sebagai tabungan yang sewatuwaktu dapat dijual jika ada kebutuhan biaya.
Motivasi Mendapatkan Pengakuan atas Kemampuan dalam Mengelola Hutan Pada umumnya motivasi petani untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah atas kemampuannya mengelola hutan kemiri berada dalam kategori sedang, dengan rataan skor total 68. Tabel 27 memperlihatkan bahwa sebagian besar respondem (43%) memiliki motivasi yang tinggi, 27% responden memiliki motivasi sedang, dan sisanya (30%) memiliki motivasi yang rendah untuk diakui kemampuannya oleh pemerintah dalam mengelola hutan kemiri. Walaupun berdasarkan perolehan rataan skor motivasi responden untuk mendapat pengakuan dari masing-masing kecamatan berada dalam kategori sedang namun secara statistik terdapat perbedaan nyata motivasi antara responden Kecamatan Cenrana
146 dan responden Kecamatan Camba. Jika dilihat dari rataan skor tiap-tiap kecamatan maka dapat diurutkan motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan dari yang tertinggi ke terendah yaitu Kecamatan Camba dengan rataan skor motivasi 78, Kecamatan Mallawa dengan rataan skor 67, dan Kecamatan Cenrana dengan rataan skor 61. Motivasi untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri, sebenarnya dipengaruhi oleh faktor historis bahwa terbentuknya kebun kemiri sehingga kualitasnya tampilannya menyerupai hutan merupakan usaha yang dilakukan oleh petani sekitar hutan secara turun temurun. Bahkan pada tahun 1979-1980-an petani merasakan secara langsung keuntungan besar yang diperoleh dari kemiri yang berproduktivitas tinggi pada saat itu. Fakta tersebut memberi keyakinan pada petani bahwa mereka mampu melakukan praktek pengelolaan hutan kemiri dengan baik. Menurut responden keberadaan hutan kemiri adalah bukti nyata atas kemampuan mereka dalam mengelola hutan kemiri, sehingga mereka memilki keinginan untuk membuktikan bahwa mereka masih tetap mampu melakukan praktek pengelolaan hutan kemiri dengan baik dan benar. Motivasi Melestarikan Hutan Kemiri Motivasi responden untuk melestarikan hutan kemiri, pada umumnya, berada dalam kategori sedang (rataan skor total 71). Bila dilihat dari persentase banyaknya responden yang termotivasi untuk melesatrikan hutan kemiri nampak bahwa sebagian besar responden (45%) memiliki motivasi sedang, 37% responden memiliki motivasi yang tinggi, sisanya (18%) memiliki motivasi rendah dalam melesatrikan hutan kemiri. Perbedaan nyata motivasi petani untuk melestarikan hutan kemiri, secara statistik, terjadi antara Kecamatan Cenrana dan dua kecamatan lainnya. Motivasi tertinggi dimiliki oleh responden di Kecamatan Camba (rataan skor 77), diikuti oleh responden Kecamatan Mallawa (rataan skor 73), dan responden yang terendah motivasinya untuk melestarikan hutan adalah responden di Kecamatan Cenrana (rataan skor 62), namun demikian ketiganya masih berada dalam kategori sedang. Responden menyadari bahwa hutan kemiri perlu dilestarikan agar bisa dinikmati oleh anak cucu. Hal ini terkait dengan tradisi masyarakat Sulawesi
147 Selatan yaitu memberikan warisan kepada anak cucunya, sebagaimana yang telah mereka alami bahwa hutan/tanaman kemiri yang ada sekarang merupakan warisan dari orang tua mereka. Walaupun kontribusinya kecil, namun selama ini responden telah merasakan manfaat hutan kemiri bagi perekonomian rumah tangga mereka. Apabila hutan kemiri rusak, sedikit banyak akan mengganggu pendapatan rumah tangga. Responden juga memahami bahwa hutan kemiri dapat menjaga kesimbangan ekologi sekitarnya terutama untuk menjaga tata air sungai Walanae. Menurut responden hutan kemiri memiliki nilai historis, sehingga secara psikologis ada ikatan antara mereka dengan keberadaan hutan kemiri. Pengelolaan hutan kemiri yang telah dilakukan secara turun temurun telah menciptakan interaksi dinamis dan harmonis di antara petani sekitar hutan dalam bentuk kelembagaan masyarakat atau kearifan lokal, sehingga eksistensi hutan harus tetap dipertahankan.
Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh rendahnya semua tahapan partisipasi yaitu partisipasi dalam merencanakan kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 6, partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 40, partisipai dalam memanfaatkan atau menikmati hasil kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 30, dan partisipasi dalam mengawasi dan menilai kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 11 (Tabel 28). Partisipasi merupakan keterlibatan aktif masyarakat dalam suatu kegiatan atau program pembangunan. Inisiatif kegiatan atau program dapat berasal dari luar masyarakat atau muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Sardjono (2004) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat dilibatkan pada setiap tahap situasi yang berpengaruh terhadap kehdupan mereka. Maksud dari partisipasi adalah untuk mendorong kemandirian masyarakat sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
148 Tabel 28. Sebaran Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Merencanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor)
Kecamatan Cenrana (%)
Kecamatan Camba (%)
Kecamatan Mallawa (%)
Total (%)
Rendah Sedang
100 0 0 17(a)(b) 89 11 0 32(a)(b) 85 15 0 30 98 2
100 0 0 4(a)(c) 76 24 0 43(a) 98 2 0 28 100 0
100 0 0 1(b)(c) 97 3 0 42(b) 100 0 0 31 100 0
100 0 0 6 90 10 0 40 96 4 0 30 99 1
Tinggi
0
0
0
0
10
14
11
11
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Rataaan Skor Melaksanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor)
Rendah Sedang Tinggi
Rataaan Skor Memanfaatkan Hasil Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor)
Rendah Sedang Tinggi
Rataaan Skor Mengawasi dan Menilai Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor) Rataaan Skor
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b)(c); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Merencanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan Kemiri Partisipasi seluruh responden (100%) pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri berada dalam kategori rendah. Hal ini didukung oleh nilai rataan skor total 6. Terdapat perbedaan nyata partisipasi responden pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri di antara tiga kecamatan tersebut. Walaupun ketiganya berada dalam kategori rendah, namun apabila diurutkan berdasarkan besarnya nilai rataan skor, maka partisipasi responden Kecamatan Cenrana pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri lebih tinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya (rataan skor 17), diikuti oleh responden Kecamatan Camba (rataan skor 4) dan responden Kecamatan Mallawa (rataan skor 1). Perencanaan merupakan langkah awal yang penting bagi keberhasilan suatu kegiatan. Perencanaan yang baik dan sistematis dapat memberikan arah dan menjadi pedoman bagi berlangsungnya suatu kegiatan. Menurut responden
149 perencanaan pengelolaan hutan kemiri yang mereka lakukan hanya berdasarkan pengalaman saja yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, karena menurut mereka budidaya tanaman kemiri adalah kegiatan yang tidak rumit. Proses budidaya kemiri sangat mudah dan tidak membutuhkan perlakuan yang istimewa. Biji kemiri cukup ditanam maka akan tumbuh sendiri, disamping itu proses pemeliharaannya tidak membutuhkan pengawasan yang intensif, sehingga tidak perlu repot untuk melakukan perencanaan yang terinci. Buktinya selama ini, menurut responden, tanaman kemiri yang ditanam secara turun temurun tumbuh dengan baik dan hasilnya dapat dilihat yaitu terbentuknya kebun kemiri yang menyerupai hutan. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri untuk lingkup pengelolaan skala mikro (rumah tangga). Untuk lingkup perencanaan pengelolaan hutan kemiri pada level yang lebih tinggi (makro), responden menyatakan mereka tidak pernah terlibat atau dilibatkan. Menurut responden, mereka tidak pernah mendapat undangan dari pihak pemerintah (Dishutbun dan/atau TN) untuk mengikuti pertemuan dalam rangka merencanakan pengelolaan hutan kemiri, bahkan responden terkadang bertanya-tanya apakah pertemuan dalam rangka merencanakan pengelolaan hutan kemiri pada level kebijakan (skala makro) ada atau tidak ada. Bagi responden apabila pertemuan untuk perencanaan pengelolaan hutan ada dan melibatkan petani, merupakan hal yang bagus, karena dapat menjadi wadah bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan pertanyaan yang berkaitan dengan hak-hak mereka atas hutan kemiri. Melaksanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan Partisipasi responden pada aspek pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan kemiri, pada umumnya berada dalam kategori rendah yang ditunjukkan oleh nilai rataan skor total sebesar 40. Sebagian besar responden (90%) rendah partisipasinya dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Secara statistik, terdapat perbedaan nyata partisipasi pada aspek pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan antara responden Kecamatan Cenrana dan responden pada dua kecamatan lainnya. Rendahnya pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan kemiri disebabkan responden tidak melakukan kegiatan perbenihan dan persemaian dengan baik dan
150 benar sesuai dengan kaidah silvikultur, kurang melakukan persiapan lahan untuk penanaman kemiri. Responden juga tidak lagi melakukan penanaman kemiri, kalaupun dilakukan penanaman dikerjakan seadanya dengan jarak tanam tidak teratur. Repsonden juga tidak pernah melakukan pemupukan pada tanaman kemiri karena biaya pupuk dirasakan mahal, tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari produksi kemiri, disamping itu tanaman kemiri yang ada sekarang ini pada umumnya sudah berusia tua (> 35 tahun) sehingga sudah tidak produktif dan tidak lagi memerlukan pupuk. Pemangkasan sebagai wahana memberikan ruang tumbuh bagi tanaman kemiri juga tidak dilaksanakan. Sementara itu penyiangan dilakukan hanya pada masa panen ketika hendak memungut buah kemiri yang jatuh ke tanah. Akibat diberlakukannya TGHK, peremajaan juga tidak dilaksanakan oleh responden, kalaupun ada yang melakukan peremajaan, hal tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan cara memindahkan atau menggunakan anakan yang berasal dari suksesi alami. Gangguan penyakit yang menyerang tanaman kemiri dibiarkan begitu saja oleh responden karena pada kenyataannya mereka tidak mampu melakukan pengobatan. Selain itu, karena bagian tanaman kemiri yang diserang penyakit, baik batang, dahan maupun daun, biasanya berada pada ketinggian sekitar 9-14 meter dari permukaan tanah, sehingga sulit untuk dijangkau. Gangguan hama yang sering terjadi, karena areal tanaman kemiri tidak dipagar, berasal dari babi hutan dan monyet serta ternak sapi yang tidak dikandangkan. Hanya beberapa petani yang memagar kebun kemirinya yang berada di lahan milik, sedangkan yang berada di dalam kawasan hutan tidak dipagari. Perlindungan hutan sudah tidak terlalu diperhatikan oleh responden karena pada saat ini hutan kemiri sudah “tidak” menjadi milik mereka lagi, sehingga kegiatan perlindungan yang dilakukan terhadap hutan kemiri tidak optimal, hanya sekedar saja sebatas menjaga agar buah kemiri yang jatuh ke tanah pada masa panen tidak diambil oleh pihak lain. Beberapa responden melakukan diversifikasi dengan melakukan pengayaan tanaman tanpa menebang pohon kemiri yang ada yaitu menanam pohon coklat di bawah tegakan kemiri, dan apabila lahan tersebut memiliki kelerengan yang agak curam mereka juga membuat teras sederhana/ seadanya.
151 Memanfaatkan Hasil Hutan Pada umumnya petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dalam memanfaatkan hasil hutan kemiri masuk dalam kategori rendah yang ditandai dengan rataan skor total sebesar 30. Hampir seluruh responden (96%) rendah partisipasinya dalam menikmati atau memanfaatkan hasil hutan kemiri. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan nyata dalam memnfaatkan hasil hutan kemiri di antara petani pada ketiga kecamatan yang diteliti. Seberapa besar hutan kemiri memberikan manfaat optimal bagi petani akan mempengaruhi keputusan petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaannya. Rendahnya responden menikmati atau memanfaatkan hasil hutan kemiri karena yang dimanfaatkan petani hanya berupa pemanenan atau pemungutan buah kemiri yang jatuh ke tanah. Petani tidak melakukan pemetikan karena pada umumnya tinggi pohon kemiri dapat mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 9-14 meter. Artinya, cabang atau ranting terdekat dari sebuah pohon kemiri dimana pada cabang atau ranting tersebut terdapat buah kemiri yang masak tingginya mencapai 9-14 meter, sehingga menurut petani lebih mudah atau praktis memungut buah masak yang jatuh ke tanah. Selain itu, menurunnya produktivitas kemiri berpengaruh pada pola pemanfaatan buah kemiri yang dipungut, yaitu penjualan biji kemiri cenderung tidak dilakukan setiap tahun. Biasanya petani mengumpulkan selama 2-3 tahunan agar jumlah buah yang terkumpul cukup banyak atau digunakan sebagai tabungan. Pada saat ini pemanfaatan buah kemiri cenderung hanya untuk keperluan dapur rumah tangga. Pemanfaatan buah kemiri masih dalam bentuk penjualan biji, belum dilakukan upaya membuat turunannya atau mengolah kemiri menjadi bahan jadi, misalnya dalam bentuk produk minyak gosok. Dengan kata lain, belum ada home industry untuk membuat produk turunan dari buah kemiri agar memiliki nilai jual yang lebih baik. Selain buah beberapa petani memanfaakan ranting-ranting pohon kemiri untuk keperluan kayu bakar, karena tidak semua petani menggunakan kompor minyak tanah danh/atau gas LPG. Pemanfaatan kayu kemiri masih dalam skala terbatas, cenderung untuk keperluan pribadi yaitu digunakan untuk bantalan (berbentuk balok) rumah. Hal ini dilakukan oleh petani yang tidak memiliki
152 banyak modal untuk membeli papan atau balok/bantalan sebagai bahan atau material membangun rumah. Kayu kemiri termasuk kayu kelas kuat IV (tidak awet) sehingga daya tahannya hanya sekitar satu tahunan. Pada saat ini, walaupun harganya tidak tinggi, sudah ada permintaan pasar terbatas terhadap kayu kemiri. Kayu kemiri yang dijual dalam bentuk bantalan (balok) atau papan, namun petani tidak bisa memanfaatkan hasil hutan berupa kayu kemiri tersebut, karena tanaman kemiri yang mereka miliki kebanyakan berada dalam kawasan hutan. Petani tidak diperbolehkan oleh pemerintah menebang pohon kemiri yang berada dalam kawasan hutan. Kayu kemiri yang boleh dimanfaatkan oleh petani hanya kayu kemiri yang berada pada lahan milik, namun hal ini tidak banyak dilakukan karena di atas lahan milik petani hanya berisi sedikit tegakan kemiri. Hanya sebagian kecil petani yang menjual kayu kemiri, yaitu petani dimana tanaman kemiri yang dimilikinya tidak jauh dari jalan poros dan mudah dijangkau oleh alat trasportasi sehingga meminimalkan biaya pengangkutan. Melakukan Kegiatan Pengawasan dan Penilaian Hampir seluruh responden (99%) sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros rendah partisipasinya dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada umumnya, petani sekitar hutan kemiri memiliki kategori rendah dalam kegiatan pengawasan dan penilaian terhadap pengelolaan hutan kemiri. Hal ini juga ditunjukkan oleh rataan skor total sebesar 11. Berdasarkan uji beda dengan ANAVA, tidak terdapat perbedaan nyata di antara petani tiga kecamatan yang diteliti dalam kegiatan pengawasan dan penilaian pengelolaan hutan kemiri (lampiran 1). Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan oleh seberapa intensif pengawasan dan penilaian yang dilakukan terhadap kegiatan tersebut sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan segera apabila dijumpai kesalahan dalam pelaksanaannya, serta perbaikan untuk kegiatan selanjutnya. Petani tidak melakukan pengawasan secara rutin dan pencatatan terhadap kesalahan atau hal-hal yang yang kurang tepat yang dijumpai dalam proses budidaya tanaman kemiri, karena petani menganggap bahwa tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah tumbuh dan tahan terhadap serangan penyakit, jadi cukup ditanam dan dibiarkan begitu saja maka akan tumbuh dengan sendirinya. Disamping itu, menurut petani tanaman kemiri yang
153 ada pada saat ini sudah berusia tua (> 35 tahun) sehingga tidak perlu dilakukan pengawasan karena sudah tidak produktif. Menurut petani kegiatan yang perlu dilakukan adalah peremajaan/ permudaan atau regenerasi tanaman kemiri. Penilaian pada akhir masa panen dalam bentuk melakukan pencatatan untuk melakukan perbandingan antara hasil yang diperoleh saat ini dengan hasil sebelumnya dan juga hal-hal yang terkait dengan kesalahan pengelolaan juga tidak dilakukan oleh petani. Selain karena petani sudah terbiasa dengan praktek yang dilakukan secara turun temurun dalam bentuk mengelola usahatani secara konvensional/sederhana atau apa adanya yaitu sekedar ditanam, dipanen dan hasilnya dijual tanpa mempertimbangkan kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga perlu perbaikan untuk keberhasilan panen berikutnya, juga karena pada saat ini akses petani terhadap tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan sudah dibatasi. Rasa memiliki petani terhadap keberadaan pohon kemiri yang ada dalam kawasan sedang mengalami proses pelunturan sebagai akibat kebijakan TGHK.
Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat Responden merasakan bahwa keberlanjutan manfaat hutan kemiri tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh rendahnya rataan skor setiap indikator yaitu keberlanjutan manfaat ekonomi dengan rataan skor 21, keberlanjutan manfaat ekologi dengan rataan skor 48, dan keberlanjutaan manfaat seosial dengan rataan skor 35. Hutan memiliki tiga fungsi atau manfaat penting yaitu fungsi ekonomi, fungsi ekologi, dan fungsi sosial. Pengelolaan hutan harus dilandasi pada upaya menjaga kelestariannya. Hal ini berarti harus mempertahankan keberlanjutan ketiga fungsi tersebut. Keberlanjutan manfaat hutan, secara normatif, merupakan ekstraksi aliran manfaat hutan pada tingkatan lestari, sehingga aliran manfaat itu dapat dinikmati dalam jangka waktu yang amat panjang. Dengan kata lain, keberlanjutan manfaat hutan adalah upaya untuk mengekalkan aliran manfaat sumberdaya hutan.
154 Tabel 29. Sebaran Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat yang Dirasakan Petani Sekitar Hutan Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri
Kategori
Keberlanjutan Manfaat Ekonomi (Skor)
Rendah Sedang Tinggi
Kecamatan Cenrana %
Kecamatan Camba %
Kecamatan Mallawa %
Total %
93 7 0 20 56 31 13
98 2 0 16(a) 76 12 12
87 13 0 24(a) 49 23 28
91 9 0 21 57 23 20
45
37(a)
54
(a)
48
76 20 4 37(a)
86 12 2 21(a)(b)
68 22 10 40(b)
75 19 6 35
Rataaan Skor Keberlanjutan Rendah Manfaat Ekologi Sedang (Skor) Tinggi Rataaan Skor Keberlanjutan Rendah Manfaat Sosial Sedang (Skor) Tinggi Rataaan Skor
Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5% Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100
Keberlanjutan Manfaat Ekonomi Hutan Kemiri Responden, pada umumnya, merasakan bahwa keberlanjutan manfaat ekonomi hutan kemiri tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh oleh rataan total skor sebesar 21. Sebagian besar (91,2%) responden merasakan bahwa keberlanjutan manfaat ekonomi hutan kemiri masuk dalam kategori rendah, dan sisanya (8,8%) merasakan bahwa manfaat hutan kemiri tergolong sedang. Terdapat perbedaan nyata keberlanjutan manfaat ekonomi hutan kemiri yang dirasakan petani antara petani di Kecamatan Camba dan petani Kecamatan Mallawa. Walaupun keberlanjutan manfaat ekonomi hutan dirasakan rendah oleh petani, namun apabila diurutkan berdasarkan rataan skor masing-masing kecamatan terlihat bahwa petani Kecamatan Mallawa cenderung lebih tinggi merasakan bahwa hutan kemiri memberikan manfaat ekonomi bagi mereka (rataan skor 24), dibandingkan dengan Kecamatan Cenrana (rataan skor 20) dan Kecamatan Camba (rataan skor 16). Rendahnya manfaat ekonomi yang dirasakan petani karena produktivitas tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan sudah menurun, karena banyak pohon yang berumur > 35 tahun, sebagai akibat tidak adanya peremajaan. Tidak
155 dilakukannya peremajaan merupakan akibat dari kebijakan TGHK, sehingga keberlanjutan manfaat ekonomi dirasakan rendah oleh petani, sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang petani sekitar hutan kemiri dalam kotak berikut: Kotak 5: .......L (52 tahun), seorang petani sekitar hutan kemiri menceritakan bahwa sebelum ditetapkannya TGHK pada tahun 1984 dia masih bisa menabung dalam bentuk buah kemiri dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, bahkan masih dapat diandalkan untuk membiayai anak sekolah, namun sekarang setelah TGHK semua kebun kemiri miliknya masuk dalam kawasan hutan sehingga dia tidak diperbolehkan mengelola kebun kemirinya. Akibatnya tanaman kemiri yang dulu dikelolanya pada saat ini rata-rata sudah berusia tua dan produktivitasnya sudah sangat menurun sehingga tidak mampu menjadi sumber pendapatan utama.... Selain usia, rendahnya produksi kemiri pada tegakan yang berusia muda diduga karena berkurangnya unsur hara dalam tanah yang dibutuhkan tanaman kemiri, dan juga ada kemungkinan tanaman kemiri muda berasal dari galur genetika (fenotip) yang kualitasnya tidak bagus karena sudah terlalu panjang turunan rantai fenotipnya. Hal tersebut berdampak pula pada pendapatan rumah tangga petani. Pemanfaatan kemiri tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama, kendatipun demikian petani merasa masih membutuhkan hasil hutan kemiri sebagai penunjang atau penambah pendapatan rumah tangga walaupun kontribusinya kecil (13,9%), karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa biji kemiri dapat disimpan dalam jangka waktu 2-3 tahunan sehingga oleh petani biji-biji kemiri dapat dikumpulkan agar lebih banyak jumlahnya dan dijadikan tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual bila mereka membutuhkan uang. Keberlanjutan Manfaat Ekologi Hutan Kemiri Keberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri, secara umum, dipersepsikan rendah oleh petani sekitar hutan, yang ditunjukkan oleh rataan skor total 48. Sebagian besar (57%) responden mempersepsikan bahwa keberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri rendah, selanjutnya 23% responden mempersepsikan sedang, dan sisanya (20%) responden mempersepsikan tinggi. Terdapat perbedaan
156 nyata antara petani di Kecamatan Camba dan petani di Kecamatan Mallawa dalam mempersepsikan atau merasakan keberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri. Walaupun
secara
umum
keberlanjutan
manfaat
ekologi
hutan
kemiri
dipersepsikan petani rendah, namun bila dilihat dari urutan besarnya rataan skor setiap kecamatan, terlihat keberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri oleh petani Kecamatan Mallawa cenderung dipersepsikan sedang dengan rataan skor 54, diikuti oleh petani Kecamatan Cenrana dalam kategori rendah (rataan skor 45), dan petani Kecamatan Camba dengan rataan skor 37 (kategori rendah). Petani merasakan bahwa kondisi tegakan kemiri di dalam kawasan hutan yang pada umumnya berusia tua berdampak pada penurunan atau melemahnya kualitas dan fungsi akar pohon kemiri untuk menahan dan menyimpan air, karena pohon kemiri yang ada pada saat ini sebagian besar dalam kondisi “sekarat” sebagai akibat usianya yang sudah tua dan pada akhirnya akan mati, sebagaimana dinyatakan oleh Dephut (1994) bahwa umur produktif tanaman kemiri mulai 5 tahun sampai 25-30 tahun. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan dan keberlanjutan ekologi terutama ketersediaan air bagi sungai Walanae. Selain karena usia tanaman kemiri sudah tua, juga ketidakberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri diduga karena terganggunya kesuburan tanah di mana telah terjadi penurunan kandungan atau berkurangnya salah satu unsur hara yang dibutuhkan tanaman kemiri. Tanaman kemiri adalah jenis tanaman berkayu, dimana pada umumnya tanaman berkayu membutuhkan ketersediaan unsur hara yang banyak atau memadai. Tanaman kemiri yang ada di dalam hutan sudah ditanam sejak lama sehingga dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya telah banyak menghabiskan unsur hara, sedangkan kemampuan tanah mengembalikan unsur hara secara alami belum optimal. Hal ini yang diduga mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi hutan kemiri, sebagaimana dikemukakan oleh Yusran (1999) dan Yusran (2005) bahwa kondisi hutan kemiri Kabupaten Maros mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun, yang secara langsung berdampak pula pada keberlanjutan manfaat ekonomi hutan kemiri. Keberlanjutan Manfaat Sosial Hutan Kemiri Keberlanjutan manfaat sosial hutan kemiri, pada umumnya dipersepsikan rendah oleh responden, yang ditunjukkan oleh rataan skor total 35. Sebagian besar
157 responden (75%) mempersepsikan bahwa keberlanjutan manfaat sosial hutan kemiri tergolong rendah, 19% responden mempersepsikan sedang, dan sisanya (6%) mempersepsikan tinggi. Dilihat dari rataan skor masing-masing kecamatan, berdasarkan uji beda dengan ANAVA, terdapat perbedaan nyata di antara petani pada tiga kecamatan yang diteliti dalam mempersepsikan atau merasakan keberlanjutan manfaat sosial hutan kemiri. Walaupun secara umum keberlanjutan manfaat ekologi hutan kemiri dipersepsikan petani rendah, namun bila dilihat dari urutan besarnya rataan skor setiap kecamatan, terlihat keberlanjutan manfaat sosial hutan kemiri di Kecamatan Mallawa lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya (rataan skor 40), diikuti oleh Kecamatan Cenrana (rataan skor 37), dan Kecamatan Camba (rataan skor 21). Rendahnya keberlanjutan manfaat sosial hutan kemiri yang dirasakan petani pada saat ini merupakan akibat perubahan status lahan yang sebelumnya danggap oleh petani sebagai kebun milik mereka, namun sejak diberlakukannya TGHK berubah statusnya menjadi kawasan hutan, yang kemudian berdampak pada terbatasnya akses bahkan ketiadaan akses kelola terhadap hutan kemiri. Berubahnya pola hubungan petani terhadap hutan kemiri yang selama ini telah terbiasa memanfaatkan hasil hutan, menjadi hanya boleh memungut buah kemiri sebenarnya bukan masalah sederhana di tengah meningkatnya kebutuhan hidup. Perubahan status tersebut berimplikasi pada fungsi sosial lainnya yaitu hutan kemiri sudah tidak lagi mampu berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja bagi tenaga kerja pedesaan, sehingga kebanyakan generasi muda pergi ke wilayah lain dalam rangka mencari lahan untuk berkebun, seperti ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, atau pergi ke negeri jiran Malaysia dan Arab Saudi untuk menjadi TKI. Hutan kemiri, dengan demikian, sudah tidak lagi mampu menjadi sumber utama pendapatan rumah tangga petani. Kontribusi hasil hutan kemiri dirasakan kecil dalam rangka mempertinggi kemampuan petani menyesuaikan diri dengan tuntutan ekonomi yang semakin menghimpit. Fungsi sosial hutan kemiri yang masih berlanjut dengan baik dan masih bertahan sampai dengan sekarang adalah keberadaan hutan kemiri telah membangun dan menciptakan pola hubungan dan interaksi sosial yang harmonis antar petani dalam memanfaatkan hutan kemiri.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU TINGKAT PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM MENGELOLA HUTAN KEMIRI RAKYAT Analisis terhadap faktor-faktor penentu tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat dilakukan dengan menggunakan SEM dengan bantuan program LISREL 8.70, memperoleh hasil akhir model struktural dalam bentuk diagram lintasan sebagaimana Gambar 5 berikut. Pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah penelitian disajikan dalam Tabel 30.
Chi-Square=182,06, df=154, p-value=0,06077, RMSEA=0,030, CFI=0,9782, GFI=0,9348
Gambar 5. Model Struktural/Diagram Lintasan Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Standardized)
159 Tabel 30. Pengaruh Langsung dan Pengaruh Tidak Langsung antar Peubah Penelitian KOEFISIEN PENGARUH
Pengaruh Antar Peubah
Tidak Langsung Melalui Langsung
Y1
Y2
X1
0,23
-
X2
0,28
-
X3
0,56
X4 X1 X2
Peubah Bebas
Peubah Terikat
Y1
X3
Total
Nilai t pada α= 0,05
-
0,23
2,06
-
0,28
4,01
-
-
0,56
6,42
-
-
-
0,25
2,26
-
-
-
0,13
1,96
-
-
-
-
0,15
3,49
-
Y3
Y1 dan Y2
Y2 dan Y3
Y1, Y2 dan Y3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,25
-
-
-
-
0,13
-
-
-
0,15
-
R2
0,79
-
0,31
-
-
-
-
-
0,31
4,65
X4
-
0,14
-
-
-
-
-
0,14
2,14
X5
0,33
-
-
-
-
-
-
0,33
3,94
Y1
0,55
-
-
-
-
-
-
0,55
6,13
X1
-
-
-
-
0,15
-
-
0,15
2,00
X2
-
-
-
-
0,18
-
-
0,18
3,72
-
-
-
-
-
0,37
-
-
0,37
5,26
-
-
-
-
-
0,16
-
-
0,16
2,19
-
X5
-
-
0,21
-
-
-
-
0,21
3,40
Y1
0,30
-
0,36
-
-
-
-
0,66
7,51
Y2
0,65
-
-
-
-
-
-
0,65
4,89
0,31
-
-
-
-
-
-
0,31
3,44
Y2
X3 Y3
X4
Y3
Y4
0,57
0,78 0,10
Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani X2 = Tingkat kekosmopolitan petani X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya X5 = Kesempatan/peluang Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri Y2 = Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri Y3 = Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri Y4 = Keberlanjutan manfaat hutan kemiri
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Pembahasan faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri merujuk pada temuan penelitian di atas (Gambar 5), ditambah dengan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian, serta dukungan teori dan hasil penelitian yang relevan untuk menunjang dan melengkapi
pembahasan.
Dalam
rangka
memudahkan
pembahasan
dan
penjelasan, maka dilakukan penyederhanaan/pemenggalan (cropping) terhadap Gambar 5 yang disesuaikan dengan setiap faktor yang dibahas.
160 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: 1.
karakteristik individu (X1);
2.
tingkat kekosmopolitan (X2);
3.
intensitas peran penyuluh kehutanan (X3); dan
4.
dukungan lingkungan sosial budaya (X4).
Gambar 6. Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani); X11 (Usia), X12 (Pengalaman mengelola hutan kemiri), X17 (Tingkat kebergantungan terhadap hutan kemiri) X2 = Tingkat kekosmopolitan petani; X22 (Aksesibilitas terhadap informasi budidaya dan mengelola hutan kemiri) X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan; X31 (Peran sebagai fasilitator), X32 (Peran sebagai edukator/pendidik) X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya; X41 (Dukungan kearifan lokal), X42 (Dukungan tokoh masyarakat) Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri; Y11 (Kemampuan teknis), Y12 (Kemampuan manajerial), Y13 (Kemampuan sosial)
Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: Y1 = 0,23X1 + 0,28X2 + 0,56X3 + 0,25X4 , R2 = 0,79..........................(Persamaan 1)
161 Mengacu pada Gambar 6, persamaan 1 dan Tabel 30 maka secara statistik peubah-peubah bebas sebagaimana yang diusulkan atau dirancang dalam hipotesis 1 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, dengan demikian hipotesis 1 diterima. Pengaruh keempat peubah tersebut bersifat langsung, dimana pengaruh terbesar (berdasarkan pada koefisien regresi terstandarkan) ada pada peubah intensitas peran penyuluh kehutanan, diikuti oleh peubah tingkat kekosmopolitan petani, selanjutnya peubah dukungan lingkungan sosial budaya, dan yang terakhir adalah pengaruh peubah karakteristik individu. 1.
Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan Intensitas peran penyuluh kehutanan merupakan faktor pertama yang
memberikan pengaruh paling kuat terhadap tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh indikator: (a) peran penyuluh kehutanan sebagai fasilitator; dan (b) peran penyuluh kehutanan sebagai pendidik atau edukator. Hal ini berarti bahwa intensitas peran penyuluh kehutanan akan meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin intens penyuluh kehutanan menjalankan perannya, baik peran sebagai fasilitator maupun peran sebagai pendidik, maka akan semakin meningkat kemampuan teknis, kemampuan sosial, dan kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Temuan ini sejalan dengan pendapat Awang (2004) bahwa salah satu unsur keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat atau petani sekitar hutan adalah adanya bimbingan teknis bagi petani tersebut. Temuan ini juga merupakan penguatan atas prinsip penyuluhan sebagaimana dikemukakan oleh Sumardjo (2010a) bahwa penyuluhan pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku seseorang atau individu, yang meliputi peningkatan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik/ konatif sehingga memiliki imdividualitas (human capital, bukan individualistis) yang siap mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya. Dengan demikian, sebagai sistem pendidikan non formal maka keluaran dari proses penyuluhan kehutanan adalah perubahan perilaku petani sekitar hutan kemiri, termasuk kemampuannya, ke arah yang lebih baik. Hal ini sejalan pula dengan
162 temuan penelitian Fatchiya (2010) yang mengkaji tingkat pengembangan kapasitas pembudidaya ikan. Fatchiya mengemukakan bahwa sebagai sistem pendidikan non formal, peran penyuluhan sangat penting dalam mengembangkan kapasitas pembudidaya ikan. Slamet (2003) menyatakan bahwa proses penyuluhan merupakan proses pemberdayaan, di mana hasilnya adalah masyarakat yang berdaya. Dengan demikian, penyuluh yang intens dalam menjalani perannya akan meningkatkan kemampuan petani, sebagaimana dinyatakan oleh Perkins dan Zimmerman (1995), proses pemberdayaan akan menghasilkan keberdayaan masyarakat berupa kemampuan menggunakan sumberdaya-sumberdaya. Terkait dengan pengelolaan hutan kemiri, intensitas peran penyuluh kehutanan sebagai pendidik/edukator memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri. Pengaruh peran penyuluh kehutanan sebagai pendidik, dengan demikian, berpotensi paling besar untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani sekitar hutan, baik dari aspek teknis, sosial, maupun manajerial sehingga dapat mengelola hutan kemiri dengan baik. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sudjana (2000) bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang bertujuan untuk mengembangkan potensi, membudayakan, dan memanusiakan manusia. Secara
operasional,
proses
pendidikan
dijabarkan
dalam
proses
pembelajaran yaitu kegiatan peserta didik untuk belajar, dan kegiatan pendidik yang berperan untuk membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar. Peran sebagai pendidik akan optimal apabila dilakukan oleh penyuluh melalui proses belajar mengajar yang bersifat partisipasif di mana di dalamnya terjadi proses alih dan saling berbagi pengetahuan, yang berimplikasi pada terjadinya perubahan atau peningkatan kemampuan petani sehingga dapat digunakan untuk mengelola hutan kemiri dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Spencer dan Spencer (1985) bahwa seseorang yang memiliki kompetensi, baik threshold competency maupun differentiating competency, akan mampu menyelesaikan pekerjaannya secara baik sesuai dengan kriteria pekerjaan tersebut. Sudjana (2000) menyatakan kegiatan pembelajaran partisipatif dapat diartikan sebagai upaya
pendidik
untuk mengikutsertakan
peserta
didik
dalam
kegiatan
163 pembelajaran. Keikutsertaan peserta didik diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program (program planning), pelaksanaan program (program implementation) dan penilaian program (program evaluation) kegiatan pembelajaran Intensitas peran penyuluhan kehutanan berikutnya yang berpotensi meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan kemiri dalam mengelola hutan kemiri adalah peran sebagai fasilitator. Melalui pelaksanaan peran fasilitator, penyuluh kehutanan merangsang, mendorong, membangkitkan semangat, membantu dan memudahkan masyarakat dalam proses-proses pembelajaran sosial, sehingga pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat baik pada aspek teknis, sosial, dan manajerial dapat meningkat yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan hutan kemiri. Seperti yang dikemukakan oleh Van Den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluh berperan membantu petani agar mampu menemukan sendiri pemecahan masalah dan mampu mengambil keputusan sendiri terkait dengan usahataninya. Kusumanto et. al (2006) mengemukakan bahwa salah satu unsur kunci fasilitasi adalah mengembangkan proses pengambilan keputusan bersama. Setiap pihak yang ada dalam masyarakat, dengan fasilitasi dari penyuluh kehutanan, memiliki peluang/kesempatan yang sama atau setara dalam proses pembelajaran sosial. Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat diambil bukan karena penggiringan atau dominasi keinginan satu pihak, namun merupakan keputusan bersama. Dalam proses fasilitasi pembelajaran sosial tersebut penyuluh kehutanan diharapkan dapat mendorong peran multipihak dalam menangani permasalahan kehidupan, kelestarian hutan, kompleksitas pihak yang berkepentingan terhadap hutan, dan pengelolaan hutan kemiri yang tidak efektif. Kusumanto et. al (2006) menyatakan bahwa salah satu unsur kunci fasilitasi lainnya adalah mendorong terciptanya arus komunikasi yang adil dan seimbang antra pemangku kepentingan yang ada dalam masyarakat. Peran utama fasilitator adalah mendampingi multipihak dalam berkomunikasi. Untuk itu para fasilitator, termasuk penyuluh kehutanan, harus memiliki indikator-indikator tentang kepatutan, keseimbangan, dan proses keadilan dlam proses komunikasi antara para pemangku kepentingan.
164 Fakta penelitian menunjukkan bahwa kedua peran tersebut (peran fasilitator dan peran pendidik) berada dalam kategori rendah. Penyebab hal ini bisa ditelusuri lebih jauh bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, eksistensi penyuluhan termasuk penyuluhan kehutanan kurang mendapat tempat di hati pemerintah daerah sebagai suatu kegiatan penting, sehingga perhatian terhadap kelembagaan penyuluhan cenderung terabaikan. Penyuluhan kehutanan oleh kebanyakan dianggap sebagai cost center, bukan kegiatan yang menguntungkan karena tidak dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah. Penyuluhan kehutanan belum dipertimbangkan sebagai kegiatan investasi yang memberikan manfaat baik jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan cenderung dianggap sebagai beban anggaran. Penyuluhan bisa diibaratkan seperti anak tiri. Akibatnya, banyak kegiatan penyuluhan kehutanan yang berjalan timpang. Kondisi ini juga menjadi penyebab lemahnya kinerja para penyuluh di lapangan. Sebagaimana dinyatakan oleh Sumardjo (2010) bahwa sejalan dengan implementasi otonomi daerah terjadi melemahnya komitmen pemerintah terhadap penyuluhan. Selain itu, pada saat ini, kuantitas tenaga penyuluh kehutanan semakin berkurang, sebagian besar penyuluh kehutanan memasuki masa pensiun, dan sebagian lagi mengalami alih tugas. Banyak penyuluh yang beralih tugas menjadi staf/non struktural atau pejabat struktural pada dinas-dinas yang ada di kabupaten. Menurut Pusbinluhhut (2008) jumlah penyuluh kehutanan masih sangat kurang dibandingkan dengan luasnya kawasan hutan, kompleksitas pembangunan kehutanan, serta jumlah penduduk miskin yang bermukim di sekitar hutan. Menurut perhitungan, kebutuhan penyuluh kehutanan di Indonesia adalah 21.689 orang. Sedangkan jumlah penyuluh kehutanan yang masih aktif sekarang ini hanya 4.054 orang. 54,6% di antaranya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dan menurut perhitungan bahwa 3 tahun mendatang jumah penyuluh kehutanan akan menurun sebagai akibat sebagian besar dari mereka memasuki masa pensiun sehingga diperkirakan jumlah penyuluh kehutanan yang tersisa adalah 2.291 orang. Di lokasi penelitian perbandingan antara jumlah penyuluh dan desa binaan dapat dikatakan ideal yaitu satu desa satu penyuluh, namun keberadaan penyuluh kehutanan di setiap desa pada setiap kecamatan sangat terbatas. Yang terjadi
165 adalah setiap penyuluh tersebut bersifat poliven atau terjadi rangkap peran. Bila ditinjau dari bidang yang ditangani, penyuluh yang ada di tiga kecamatan tersebut melakukan multiperan, dalam arti penyuluh yang ada sekarang ini merangkap sebagai penyuluh pertanian, perkebunan, dan juga kehutanan, padahal spesialisasi yang mereka miliki pada umumnya adalah di bidang pertanian. Penyuluh dengan spesialisasi sarjana kehutanan di Kecamatan Mallawa hanya dua orang, di Kecamatan Camba tidak ada penyuluh dengan spesialisasi kehutanan karena dua tahun lalu telah pensiun, dan hanya satu penyuluh kehutanan di Kecamatan Mallawa yang juga hampir memasuki usia pensiun. 2.
Tingkat kekosmopolitan petani Faktor kedua yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah tingkat kekosmopolitan petani yang direfleksikan atau dicirikan oleh sebuah indikator yaitu aksesibilitas petani terhadap informasi pengelolaan hutan kemiri. Semakin luas akses petani terhadap berbagai informasi pengelolaan hutan kemiri, maka akan semakin meningkat kemampuannya dalam mengelola hutan kemiri. Petani yang memiliki akses luas terhadap berbagai sumber informasi akan memiliki informasi yang lebih banyak, implikasinya pengetahuan dan wawasan mereka lebih luas, sikap mereka akan lebih baik, dan keterampilan mereka akan bertambah baik. Informasi yang diperoleh bisa dalam bentuk inovasi atau teknologi pengelolaan hutan yang bermanfaat dan menguntungkan bagi kepentingan usahatani kemiri. Seperti kesimpulan Pambudy (1999) bahwa keterbukaan terhadap informasi peternakan berhubungan nyata dengan perilaku para peternak. Fakta penelitian menunjukkan bahwa tingkat aksesisibilitas petani terhadap informasi pengelolaan hutan sebagai refleksi tingkat kekosmopolitan petani adalah rendah. Rendahnya aksesibilitas informasi merupakan akibat dari tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah sehingga kurang tertarik pada hal-hal yang bersifat inovasi, terlebih lagi pada tanaman kemiri yang bagi mereka sudah menurun produktivitasnya serta terbatasnya akses untuk mengelola hutan kemiri. Selain itu, ketersediaan literatur-literatur atau informasi dan inovasi yang terkait dengan pengelolaan hutan kemiri sangat terbatas.
166 3.
Dukungan Lingkungan Sosial Budaya Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan lingkungan sosial budaya, yang direfleksikan oleh dua indikatornya yaitu: (a) dukungan kearifan lokal; dan (b) dukungan tokoh masyarakat. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan lingkungan sosial budaya maka akan semakin meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Temuan ini sejalan dengan pendapat Delgado dalam Rakhmat (2002) yang menyatakan bahwa respons otak dan perilaku individu dipengaruhi oleh setting atau suasana yang melingkupi individu tersebut, begitu pula dengan Santosa (2004) menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku adaptif petani tepian hutan. Utama (2010) mengemukakan bahwa dukungan lingkungan merupakan kekuatan dan kualitas dari luar diri petani hutan yang secara langsung mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan. Indikator dari dukungan lingkungan sosial budaya yang paling berpotensi mempengaruhi tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan kearifan lokal. Kearifan lokal, dengan demikian, merupakan kekuatan potensial yang berpengaruh penting pada kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri secara lestari. Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Kearifan lokal ini telah melembaga dan telah menciptakan hubungan yang serasi antara petani dengan hutan kemiri, yang kemudian mendasari praktek pengelolaan hutan kemiri dan telah menciptakan hubungan yang harmonis di antara petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Praktek pengelolaan hutan kemiri yang dilandasi oleh pengetahuan dan kearifan lokal yang selama ini dilakukan meliputi kegiatan mappamula (persiapan lahan), pengadaan bibit, maddare (penanaman), pemeliharaan tanaman, makkampiri (pemungutan hasil) dan maddepa (pengolahan pasca panen)
167 kesemuanya secara langsung mempengaruhi terbentuknya kemampuan petani sekitar hutan kemiri. Nilai-nilai kearifan yang dianut petani sekitar hutan kemiri yang mendukung terciptanya praktek pengelolaan hutan kemiri yang baik, antara lain reso (usaha), anennungeng (ketekunan), sipatuwo (saling menghidupi) dan sipatokkong (saling membangun), serta adanya paseng (pesan) seperti manusia tercipta dari tanah maka berdosa manusia tersebut jika tidak mau mengolah tanahnya dengan baik (iya rupa tauwe ipancajiwi pole ritanae, namadosai narekko de’ nakkarawa tana), bertani dan mengolah tanah adalah pekerjaan terhormat dan banyak mendapat pahala (naiyya jamang pallaorumae sibawa pakkarawa tanae, iyanaritu jamang mallebi, namaega, appalanna). Fakta penelitian menunjukkan bahwa dukungan kearifan lokal dalam mengelola hutan kemiri berada dalam kategori sedang. Kearifan lokal dalam mengelola hutan kemiri rakyat, dengan demikian, perlu untuk dipertahankan eksistensinya bahkan ditingkatkan fungsinya karena memberikan pengaruh positif terhadap tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri secara lestari. Santoso (2008) mengemukakan masyarakat lokal memiliki hak untuk mengelola hutan berdasarkan kearifan yang mereka miliki sepanjang kearifan tersebut memenuhi azas kelestarian hutan. Pada saat ini, walaupun sebagian besar petani masih mempertahankannya, namun pada kenyataannya telah terjadi pergeseran atau memudarnya sebagian nilai kearifan lokal sebagai akibat dari perkembangan kehidupan sosial masyarakat dan masuknya orang luar yang tidak memiliki hubungan emosional dengan nilai-nilai tersebut ke dalam masyarakat petani sekitar hutan kemiri melalui proses pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga pada saat ini tidak semua petani sekitar hutan meyakini kesakralan atau kekuatan supranatural hompong. Kegiatan mabbali dan makkalice juga sudah mulai hilang, karena rendahnya produktivitas kemiri. Maddepa yang sebelumnya merupakan refleksi ciri kegotongroyongan dimana sistim bagi hasil tidak terikat oleh aturan besarnya jasa, pada saat ini karena tuntutan kebutuhan hidup cenderung bergeser kepada sistim pengupahan berdasarkan besarnya kontribusi jasa. Terbatasnya akses petani untuk mengelola hutan juga turut memberikan kontribusi memudarnya kearifan lokal dalam praktek pengelolaan hutan, antara
168 lain nilai yang mengatur petani untuk melakukan peremajaan tanaman kemiri (mallolo), yang pada hakikatnya merupakan operasionalisasi fungsi rehabilitasi dan konservasi, sudah tidak lagi dilaksanakan. Indikator dukungan lingkungan sosial budaya berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan tokoh masyarakat. Temuan ini sejalan dengan pendapat Rogers dan Shoemaker yang disarikan oleh Hanafie (1986) bahwa tokoh masyarakat memainkan peranan penting dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Tokoh masyarakat memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu.
Demikian pula, penelitian Waskito (2000) yang
mengungkapkan bahwa tokoh masyarakat di Desa Gunungsari Kabupaten Boyolali telah berhasil mengajak masyarakat untuk belajar bersama dan membangun hutan rakyat. Dengan demikian,peran tokoh masyarakat perlu mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan kemampuan dan memotivasi petani sekitar hutan untuk melestarikan hutan kemiri. Tokoh masyarakat
di lokasi penelitian, meliputi kepala desa, kepala
dusun, dan sanro (dukun/orang pintar), serta beberapa orang lainnya yang dianggap oleh petani sekitar hutan memiliki pengaruh, staus sosial dan kharisma/ kewibawaan serta memiliki pola pikir dan wawasan yang lebih luas dalam memandang kehidupan. Status sebagai tokoh masyarakat, mengakibatkan tokoh masyarakat bagaikan pusat informasi karena berada ditengah-tengah jaringan kontak dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap upaya pembangunan dan pengembangan masyarakat, termasuk upaya pembangunan kehutanan. Sebagian besar tokoh masyarakat tersebut adalah orang yang lebih kosmopolit dan lebih banyak mengkomunikasikan informasi ke luar yang oleh masyarakat kurang mampu dilakukan, serta lebih banyak menerima informasi dari luar yang oleh masyarakatnya jarang diperoleh. Kepemilikan informasi dan kemampuan kemudian disebarkan dan ditularkan kepada masyarakat.Tokoh masyarakat sekitar hutan kemiri terkadang memberikan informasi dan membantu petani memecahkan persoalan yang terkait dengan pengelolaan kemiri, sehingga pengetahuan petani dalam hal pengelolaan hutan kemiri secara lestari bertambah.
169 Fakta penelitian menunjukkan dukungan tokoh masyarakat terhadap petani untuk mengelola hutan kemiri tergolong rendah. Rendahnya dukungan tokoh masyarakat karena pada hakekatnya mereka adalah bagian dari masyarakat petani sekitar hutan sehingga merasakan hal yang sama dengan petani lainnya, yaitu tidak memiliki akses ke dalam hutan untuk mengelola hutan kemiri. Tokoh masyarakat, sama dengan petani lainnya, hanya diberikan hak untuk mengakses hutan kemiri dalam bentuk pemungutan buah, sehingga perhatian mereka terhadap upaya pengelolaan hutan kemiri juga rendah. Tokoh masyarakat juga mengalami ketidakpastian hak atas kepemilikan tanaman kemirinya yang berada dalam kawasan hutan. Tokoh masyarakat juga mengalami dilema karena sebagai tokoh masyarakat mereka dituntut oleh pemerintah agar mampu mengajak dan membawa masyarakatnya (petani) untuk tidak melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri. 4.
Karakteristik Individu Faktor keempat yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah karakteristik individu yang direfleksikan oleh tiga indikatornya, yaitu: (a) Umur; (b) pengalaman mengelola hutan kemiri; dan (c) ketergantungan terhadap hutan kemiri. Hal ini mengandung makna bahwa semakin tinggi karakteristik petani akan semakin mempengaruhi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Temuan penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian Syafiuddin (2007) yang menyimpulkan bahwa karakteristik pembudidaya rumput lain berpengaruh nyata terhadap kompetensi pembudidaya rumput laut dalam mengelola usahatani rumput laut. Umur petani merupakan indikator karakteristik individu yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini berarti perbedaan umur berimplikasi pada kemampuan yang dimiliki petani. Temuan ini sejalan dengan pendapat Dahama dan Bhatnagar (1980) yang mengemukakan bahwa usia mempengaruhi kemampuan petani. Seiring dengan bertambahnya usia, ada kemampuan yang bertahan atau menetap,
170 ada juga kemampuan yang kemudian menurun kapasitasnya. Kemampuan yang terkait dengan kegiatan mental biasanya relatif menetap atau bahkan lebih tinggi pada orang usia lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup dan kebijakan yang dimiliki. Petani sekitar hutan kemiri dengan usia lebih tua memiliki kemampuan mengelola hutan kemiri yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang berusia muda. Dapat dinyatakan bahwa petani sekitar hutan kemiri yang lebih tua memiliki pengetahuan, sikap positip, dan keterampilan dan wawasan yang lebih luas dalam mengelola hutan kemiri dibandingkan dengan petani yang berusia muda. Rakhmat (2002) mengemukakan bahwa kelompok orang tua memiliki pola tindakan yang berbeda dengan kelompok anak muda, begitupula penelitian Aziz (1995) dan Siahaan (2002) yang menyimpulkan bahwa umur berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat. Pendapat lain yang mendukung temuan ini adalah pendapat Salkind (1985) yang menyatakan bahwa umur secara kronologis dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu. Indikator karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap tingkat kemampuan petani adalah pengalaman mengelola hutan kemiri. Semakin lama petani sekitar hutan mengelola hutan kemiri, maka semakin tinggi kemampuannya dalam mengelola hutan tersebut. Petani yang memiliki pengalaman lebih lama dalam mengelola hutan kemiri memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan petani dengan pengalaman yang lebih singkat. Petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dengan pengalaman yang lebih lama telah lama berinteraksi, mempraktekan, mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri, sehingga kemampuan dalam mengelola hutan sudah menyatu dalam diri (terinternalisasi) dan menjadi bagian dari aktivitas hidupnya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono, (2002) bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu. Artinya bahwa apa yang telah dialami individu akan menjadi bekal dalam membentuk dan memberikan kontribusi psikologis bagi seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang datang padanya. Aktivitasaktivitas mengelola hutan kemiri yang selama ini dijalani atau dialami petani merupakan sebuah proses belajar informal yang membentuk kemampuan petani.
171 Indikator karakteristik individu lainnya yang mempengaruhi tingkat kemampuan petani adalah tingkat kebergantungan petani terhadap sumberdaya hutan. Semakin terikat petani dengan hutan kemiri, maka semakin tinggi kemampuannya dalam mengelola hutan kemiri. Aktivitas-aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga melalui pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri yang telah lama atau turun temurun dijalankan petani, secara psikologis, melahirkan keterikatan emosional petani dengan hutan kemiri. Petani tidak serta merta melepaskan diri dari keterikatannya terhadap hutan kemiri. Walaupun, fakta penelitian memperilhatkan bahwa ketergantungan petani sekitar hutan terhadap hutan adalah rendah, dalam arti hasil hutan kemiri tidak lagi menjadi sumber pendapatan utama, karena sumbangan kemiri pada pendapatan total rumah tangga sekitar 13,9%. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara, petani masih membutuhkan hutan kemiri untuk menambah pendapatan rumah tangga atau menjadikan hasil hutan kemiri sebagai tabungan. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa selain sebagai unsur penunjang pendapatan rumah tangga, petani sekitar hutan generasi saat ini tetap melakukan kegiatan pemanfaatan hutan kemiri, karena hutan kemiri bagi mereka memiliki nilai historis, nilai perjuangan orang tua/leluhur/pendahulu mereka. Nilai historis tersebut, membuat mereka
tidak mudah untuk melepaskan
keterikatannya dengan hutan kemiri. Aktivitas mengelola hutan kemiri yang dilakukan oleh pendahulu mereka telah memberikan peninggalan berupa nilainilai sosio kultural yang berbentuk kearifan lokal yang mengatur hubungan petani dengan Yang Maha Kuasa dan juga telah menciptakan keeratan hubungan antar petani dalam mengelola hutan kemiri, di mana sebagian besar dari nilai-nilai tersebut masih dipertahankan sampai dengan sekarang. Kebergantungan petani sekitar hutan Kabupaten Maros, dengan demikian, pada saat ini telah mengalami transformasi psikologis. Transformasi tersebut termanifestasi dalam bentuk keterikatan emosional terhadap hutan kemiri sebagai dampak dari faktor historis, sosiologis dan kultural. Petani sekitar hutan tetap merasa memiliki ikatan atau ketergantungan dengan hutan kemiri karena bagi mereka keberadaan hutan kemiri merupakan bagian dari sejarah perkembangan
172 masyarakat yang telah memberikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat, sebagaimana dikemukakan oleh seorang responden dengan inisial A (48 tahun): Kotak 6: ........setelah pemasangan patok (TGHK) pada tahun 1984, semua kebun kemiri milik saya masuk dalam kawasan hutan. Saya masih bertahan untuk mengelolanya karena kebun tersebut merupakan hasil jerih payah nenek dan orang tua saya yang kemudian diwariskan kepada saya.......
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: 1.
kesempatan atau peluang (X5); dan
2.
tingkat kemampuan petani (Y1). Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi petani
dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: Y2 = 0,33X5 + 0,55Y1 , R2 = 0,57 .................................................... (Persamaan 2) Semula diduga sebagaimana hipotesis 2 yang diusulkan bahwa tinggi rendahnya motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri dipengaruhi secara bersama-sama oleh karakteristik individu (X1), tingkat kekosmopolitan (X2), intensistas peran penyuluh kehutanan (X3), dan dukungan lingkungan sosial budaya (X4), ketersediaan kesempatan/ peluang (X5) dan tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri (Y1), namun temuan penelitian mengacu pada Gambar 7, persamaan 2 dan Tabel 30 menunjukkan bahwa tidak semua peubah bebas tersebut memiliki pengaruh nyata secara langsung terhadap tingkat motivasi petani. Oleh karena itu, hipotesis 2 tidak semuanya diterima, hanya dua peubah yang terbukti secara langsung bersama-sama berpengaruh positip terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.
173
Gambar 7. Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani); X11 (Usia), X12 (Pengalaman mengelola hutan kemiri), X17 (Tingkat kebergantungan terhadap hutan kemiri) X2 = Tingkat kekosmopolitan petani; X22 (Aksesibilitas terhadap informasi budidaya dan mengelola hutan kemiri) X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan; X31 (Peran sebagai fasilitator), X32 (Peran sebagai edukator/pendidik) X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya; X41 (Dukungan kearifan lokal), X42 (Dukungan tokoh masyarakat) X5 = Ketersediaan kesempatan/peluang; X53 (Dukungan pemerintah), X55 (Kepastian pasar) Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri; Y11 (Kemampuan teknis), Y12 (Kemampuan manajerial), Y13 (Kemampuan sosial) Y2 = Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelolan hutan kemiri; Y21 (Motivasi untuk meningkatkan pendapatan), Y22 (Motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri), Y23 (Motivasi melestarikan hutan)
Pengaruh kedua peubah tersebut bersifat langsung, dimana bila dilihat secara individual pengaruh terbesar (berdasarkan pada koefisien regresi terstandarkan) ada pada peubah tingkat kemampuan petani, diikuti oleh peubah ketersediaan peluang. Faktor-faktor lain yang secara tidak langsung (melalui peubah antara) memiliki pengaruh terhadap tingkat motivasi
petani untuk
berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah intensitas peran penyuluh kehutanan, tingkat kekosmopolitan dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu.
174 1.
Tingkat Kemampuan Petani dalam mengelola hutan kemiri Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri merupakan
faktor pertama yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh tiga indikatornya yaitu: (a) kemampuan teknis; (b) kemampuan sosial dan (c) kemampuan manajerial. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkat motivasinya untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Dengan kata lain, petani dengan tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
Budiono (2006) bahwa petani sekitar hutan dengan
kemampuan melestarikan hutan yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mengelola hutan secara lestari. Indikator kemampuan teknis berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Kemampuan teknis petani sekitar hutan terbentuk melalui proses belajar informal secara turun temurun yang bersifat praksis atau learning by doing dan telah menjadi bagian dari perilaku mereka sehari-hari yang meliputi teknik pengadaan/pemilihan
bibit,
penanaman,
pemeliharaan,
pemeliharaan
dan
perlindungan tanaman kemiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin (1975) bahwa kemampuan yang dimiliki inidvidu merupakan hasil dari proses perkembangan/kematangan diri (maturity) dan proses pembelajaran. Petani sekitar hutan yang memiliki kemampuan di bidang teknis pengelolaan hutan kemiri akan termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, karena mereka merasa yakin dan percaya diri telah memiliki modal pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang positip sebagai prasyarat untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa keberadaan hutan kemiri merupakan hasil budidaya yang dilakukan oleh petani sekitar hutan sejak dulu sampai dengan sekarang. Temuan penelitian ini sejalan
175 dengan pendapat Walter dan Marks (1981) bahwa kepemilikan kemampuan sebagai hasil proses learning by doing akan mendorong motivasi dan rasa percaya diri seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Indikator kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani adalah kemampuan sosial. Temuan penelitian ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa kemampuan sosial petani dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong atau kekuatan yang memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lippit et al. (1958) bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai kekuatan pendorong untuk terjadinya perubahan (change forces). Kemampuan sosial petani berkaitan dengan kemampuan petani untuk membangun hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, yang meliputi kemampuan bekerja sama, bernegosiasi, membangun jaringan, mengantisipasi dan meminimalisir timbulnya konflik ketika berhubungan dengan orang lain dalam kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Dengan kemampuan sosial petani mampu membangun kepercayaan dan hubungan harmonis di antara mereka serta mampu mengatasi dan menyelesaikan masalah atau konflik yang timbul dalam lingkungan sosialnya. Terbentuknya kemampuan sosial ini tidak terlepas dari pengaruh nilainilai yang bersumber dari sosial budaya yang berlaku dan telah terinternalisasi dalam diri mereka walaupun bersifat apa adanya, artinya kemampuan sosial timbul karena perkembangan inidividu dalam tatanan sosialnya yang terbentuk karena hubungan antarpribadi, hubungan antarkelompok, atau nilai-nilai sosial dan pranata-pranata. Hal ini, kemudian, mendorong dan menjadi modal petani untuk membangun keharmonisan dalam mengelola hutan kemiri. Rakhmat (2002) dan Sarwono (2002) mengemukakan bahwa proses belajar melalui interaksi dan hubungan sosial dapat melahirkan motif sosiogenik pada diri inidvidu yang berperan membentuk perilaku sosial. Motif sosiogenik adalah dorongan dari dalam diri untuk bertindak sebagai akibat atau adanya pengaruh orang laing. Hal ini berarti kemampuan yang terbentuk melalui proses belajar sosial di antara petani, secara psikologis, dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.
176 Dipertegas oleh Robert Zajonc dalam Sarwono (2005) bahwa keberadaan dan keterhubungan dengan orang lain (interaksi sosial) juga dapat melahirkan fasilitasi sosial.
Fasilitasi sosial merupakan suatu keadaan yang mendorong
seseorang untuk meningkatkan intensitas perilakunya sebagai akibat adanya kehadiran orang lain atau interaksi sosial. Situasi ini sejalan dengan konsep experiental learning sebagaimana dikemukakan oleh Walter dan Marks (1981) bahwa pada situasi sosial dimana di dalamnya terdapat interaksi sosial dapat menginisiasi dan menstimulasi timbulnya keinginan dalam diri seseorang untuk berkembang, berubah dan maju. Ditegaskan oleh keduanya bahwa keberadaan orang lain (fellow participants) merupakan suatu situasi experiental learning yang dapat memfasilitasi terjadinya perubahan, karena setiap individu dalam situasi tersebut akan saling memfasilitasi melalui pemberian rasa aman dan dukungan sebagai akibat kebersamaan mereka dalam situasi tersebut. Petani tetap ingin terlibat dalam mengelola hutan kemiri, karena petani yakin dan percaya bahwa dengan adanya kebersamaan di antara mereka maka hutan kemiri mampu dikelola dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa para petani sekitar hutan kemiri mampu menciptakan keharmonisan sosial dalam mengelola hutan kemiri yang merupakan bentuk implikasi dari kemampuan sosial yang dimilikinya. Indikator berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola huan kemiri. Berdasarkan temuan penelitian, dengan demikian, kemampuan manajerial merupakan
sumberdaya intrinsik petani
yang dapat
dimanfaatkan
dan
dikembangkan untuk kemajuan, perbaikan dan keberhasilan pengelolaan hutan kemiri. Keberadaan kebun kemiri rakyat yang menyerupai hutan merupakan manifestasi dari kemampuan manajerial petani dalam mengelola usahataninya. Petani sekitar hutan kemiri, dengan demikian, telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen, walaupun bersifat apa adanya, dalam menjalankan usahataninya, sebagaimana dikemukakan Lionberger dan Gwin (1982) bahwa pada hakekatnya
177 petani pedesaan telah memiliki kemampuan atau kecakapan manajerial dalam menjalankan usahataninya, yang berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya. Petani dengan kemampuan manajerial di atas rata-rata petani lainnya akan menjalankan usahataninya dengan lebih baik. Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri berada dalam kategori rendah, sedangkan dua indikator lainnya yaitu kemampuan teknis dan kemampuan sosial berada dalam kategori sedang. Rendahnya kemampuan manajerial petani disebabkan karena pengelolaan hutan kemiri masih dilaksanakan petani dengan manajemen apa adanya, artinya tidak dilakukan dengan kecermatan dan perhitungan sebagaimana manajemen modern yang dilakukan secara tertulis dan sistematis, namun demikian secara prinsip petani telah melakukan tahapan manajemen pengelolaan hutan yang memadai yaitu merencanakan, mengatur, menggerakkan tenaga kerja, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi usahataninya berdasarkan kebiasaan, pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki. Implikasinya bahwa perlu peningkatan kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Faktor-faktor lain yang dikaji dalam penelitian ini yaitu intensitas peran penyuluh kehutanan, tingkat kekosmopolitan, dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu, berdasarkan temuan penelitian (Gambar 7), memberikan pengaruh tidak langsung terhadap motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Keempat faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Semakin tinggi keempat faktor tersebut memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan merupakan faktor yang berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap peningkatan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa semakin intensif penyuluh kehutanan menjalankan perannya maka, secara langsung, akan
178 semakin meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Seiring dengan meningkatnya kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, maka motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan juga akan meningkat. Hal ini terjadi karena semakin meningkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka petani akan semakin percaya diri dan akhirnya terdorong untuk terlibat dalam pengelolalaan hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan, dengan demikian, memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri. 2.
Kesempatan/Peluang Faktor kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani
untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah ketersedian peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi, yang direfleksikan oleh indikator: (a) dukungan pemerintah; dan (b) kepastian pasar. Artinya, semakin tinggi ketersediaan atau semakin terbuka kesempatan/ peluang untuk berpartisipasi maka petani akan semakin termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini berarti partisipasi harus diartikulasikan sebagai pemberian peluang kepada petani sekitar hutan kemiri untuk berperan secara efektif dalam pembangunan kehutanan, menjadi aktor sosial, mengelola sumberdaya hutan, membuat keputusan dan mengawasi kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga motivasi yang merupakan daya dorong untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan semakin meningkat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Khairuddin (1992) dan Slamet (2003) bahwa kesempatan atau peluang untuk berpartisipasi harus tersedia agar masyarakat terdorong untuk membangun dan merubah kualitas hidupnya. Apabila kesempatan yang ada sangat kecil maka sulit bagi seseorang terdorong untuk mengembangkan dirinya. Indikator kesempatan atau peluang yang paling berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan pemerintah. Temuan ini memberikan penguatan pada paradigma pembangunan kehutananan sekarang ini yang bertumpu pada
179 pendekatan ekosistem
yang dikenal dengan resources based management
berbasis pada forest community based development. Artinya, semakin tinggi dukungan pemerintah kepada petani sekitar hutan untuk mengakses hutan maka akan semakin mendorong petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hutan merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karenanya berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai representasi negara, kemudian, memiliki wewenang untuk: (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan kawasan hutan, (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Implikasinya kemudian pemerintah membuat berbagai aturan, kebijakan atau regulasi terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Regulasi pengelolaan hutan yang membatasi akses dan keterlibatan masyarakat/ petani sekitar hutan untuk mengelola hutan akan mendorong petani untuk bersikap apatis, kehilangan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap hutan. Sebaliknya, apabila kebijakan pengelolaan hutan lebih berpihak pada kebutuhan dan kepentingan petani sekitar hutan, atau lebih mendukung petani untuk mengakses dan terlibat dalam pengelolaan hutan dengan pertimbangan bahwa petani sekitar hutan memahami dan telah memiliki kearifan untuk mengelola hutan secara lestari, maka akan melahirkan sikap positip petani terhadap pemerintah dan juga terhadap eksistensi hutan itu sendiri. Hal ini akan memotivasi petani untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sebagaimana yang selama ini telah dilakukan dan menjadi bagian dari budaya mereka. Rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap kelestarian hutan, dengan demikian, akan muncul karena hutan menjadi salah satu sumber pendapatan rumah petani, sebagaimana pendapat Ostrom (1990) serta Becker dan Gibson (1990) yang disitir
180 oleh Awang et. al (2000) bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal akan berhasil jika hutan tersebut memberikan nilai penting bagi masyarakat tersebut. Dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokal/petani sekitar hutan sesungguhnya telah terakomodasi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat lokal diberikan peluang yang lebih luas. Paling sedikit terdapat tiga bab yang berkaitan dengan dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokal, yakni: Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Bab X tentang Peranserta Masyarakat, dan Bab XI tentang Gugatan Perwakilan. Namun demikian, fakta penelitian menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros masuk dalam kategori rendah. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan sejauhmana kesungguhan pemerintah dalam memberikan dukungan kepada petani sekitar hutan kemiri untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan. Dukungan pemerintah untuk
memberikan
wewenang
dan
berbagi
tanggungjawab
(share
of
responsibility) kepada petani sekitar hutan kemiri masih sangat terbatas. Awang (2003a) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah adakah political will pemerintah untuk memberikan pengakuan atas kerja pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat. Seharusnya pemerintah mampu menjadi pengayom bagi keinginan masyarakat untuk mengelola hutan dengan pilar kelestarian melalui pendekatan multiguna, sehingga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat terwujud. Pada tataran implementasi, terdapat kesan bahwa petani sekitar hutan kemiri hanya diberi tanggungjawab atas kelestarian, tanpa diikuti dengan perangkat wewenang untuk memutuskan pola kelestarian itu sendiri. Pengelolaan hutan yang diharapkan demokratis dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan oleh UU No: 41/1999, pelaksanaannya masih terkesan ragu-ragu/belum sepenuh hati, sulit dan tidak taat azas sehingga belum terlihat secara nyata implementasinya di lapangan. Pelaksanaan kebijakan cenderung mengabaikan bahkan terkadang menegasikan hak-hak masyarakat lokal atau petani sekitar hutan, dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologis, historis, dan kultur serta pengetahuan dan kearifan lokal.
181 Kartodihardjo (Sardjono, 2004) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat sentralistik, diskriminatif dan represif akan berbuntut pada dehumanisasi dan degradasi sumberdaya alam. Kondisi ini pada akhirnya mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat tidak bisa tidak harus berangkat dari pengakuan dan penghormatan terhadap hak, tradisi, dan keberadaan masyarakat. Pengakuan tersebut hendaknya diwujudkan dalam bentuk perangkat hukum dan kebijakan yang benar-benar memihak kepentingan masyarakat lokal atau petani sekitar hutan, disertai konsistensi dukungan aparatur hukum formal dalam usaha penegakannya. Pemerintah, dengan demikian, perlu memberikan kesempatan kepada petani sekitar hutan untuk bisa memperoleh keuntungan dari keberadaan hutan kemiri dengan cara memberikan kewenangan kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri atau memberikan hak kelola terbatas (bukan hak kepemilikan) dalam jangka waktu tertentu dengan berbagai kesepakatan atau perjanjian. Perjanjian yang disepakati tersebut analog dengan kontrak sosial antara pemerintah dengan petani sekitar hutan yang mengikat kedua belah pihak. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan petani dan apa yang harus dilakukan dan diberikan pemerintah, dengan kata lain terdapat pembagian hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak. Seiring dengan pemberian kewenangan kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan atau pemberian hak kelola terbatas maka perlu diimbangi dengan terpeliharanya kearifan lokal serta peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Indikator peluang atau kesempatan berikutnya yang mempengaruhi tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kepastian pasar. Semakin tinggi dukungan atau tingkat kepastian pasar bagi komoditas kemiri, akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat. Tujuan akhir dari suatu usahatani adalah, selain untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, hasilnya dapat dijual atau memberikan keuntungan finansial. Oleh karena itu, dukungan
182 keberadaan dan kepastian pasar merupakan faktor penting, sebagaimana dinyatakan oleh Mosher (1978) bahwa ketersediaan pasar merupakan faktor esensial/penting dalam menggerakkan dan membangun pertanianHal ini sejalan dengan pendapat Awang et. al (2000) bahwa titik paling menentukan yang memberikan dampak positip atau negatip atas keberadaan sumberdaya alam terhadap masyarakat di sebuah desa adalah mekanisme pasar yang ada di tengah masyarakat tersebut. Pemasaran buah kemiri oleh petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros, pada umumnya, tidak menemui banyak hambatan karena telah ada pihak yang siap menampung atau membeli produksi kapan saja petani menjualnya. Pemasaran kemiri yang dilakukan petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros melalui beberapa jalur, sebagaimana skema pada Gambar 8. Gambar 8 memperlihatkan jalur pemasaran produksi kemiri Kabupaten Maros terbagi atas tiga jalur: Pedagang Pengumpul Antar Pulau
III
Petani
II
I
Pedagang Pengumpul Kecil (Kecamatan)
Pedagang Pengumpul Besar (Provinsi)
Pengecer Provinsi
Konsumen
Pengecer Lokal
Gambar 8. Jalur Pemasaran Produksi Kemiri Kabupaten Maros (1) Jalur I: petani kemiri menjual kemiri kepada pengecer lokal selanjutnya oleh pengecer lokal dijual ke konsumen desa. Jalur ini, pada umumnya, dilakukan apabila petani membutuhkan dana dalam waktu singkat. Kemiri yang dijual, biasanya, sudah dikupas dan jumlahnya sedikit. (2) Jalur II: petani kemiri menjual kemiri kepada pedagang pengumpul kecil kecamatan. Pedagang pengumpul kecil kecamatan, selanjutnya menjual kepada pedagang pengumpul besar provinsi, yang selanjutnya dijual kepada
183 pengecer povinsi di Kota Makassar, untuk selanjutnya dijual pada konsumen kota. (3) Jalur III: Jalur ini pada umumnya terjadi apabila petani memiliki kemiri dalam jumlah banyak dengan mempertimbangkan perolehan keuntungan yang lebih besar, serta tersedianya alat transportasi atau modal untuk digunakan membawa kemiri ke Kota Makassar untuk dijual kepada pedagang besar provinsi, yang kemudian dijual kepada pedagang pengumpul antar pulau. Selajutnya dijual kepada konsumen luar pulau. Walaupun pemasaran kemiri tidak menemui hambatan, namun struktur pasar kemiri ini bersifat monopsoni (pasar tunggal). Hal ini menjadi salah satu kendala bagi pengembangan pemasaran kemiri bagi petani karena
harga
pembelian yang berlaku di tingkat petani sangat bergantung pada pembelian oleh pedagang pengumpul berdasarkan harga pasaran yang ditetapkan oleh pasar tunggal. Dengan struktur pasar monopsoni maka informasi pasar berjalan satu arah dari pedagang ke petani, hal ini mengakibatkan petani tidak memiliki posisi tawar atau tidak bisa menetapkan harga sehingga harga kemiri di tingkat petani cenderung rendah karena keputusan besarnya harga ditentukan oleh mekanisme pasar tersebut. Harga kemiri dari tahun ke tahun, bila dilihat dari besarnya nominal uang dapat dikatakan relatif naik, namun bila ditinjau dari nilai uang yang berlaku dikaitkan dengan inflasi setiap tahun maka harga kemiri dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan bahkan bisa dikatakan turun. Kendala lain yang dirasakan oleh petani sekitar hutan dalam pemasaran kemiri adalah jarak pengangkutan dari lokasi tempat tinggal sampai ke pasar, sistem penyimpanan dan perlakuan (treatment) terhadap buah atau biji kemiri yang bersifat konvensional. Walaupun pada saat ini harga biji kemiri relatif tidak kompetitif dibandingkan dengan komoditas hasil hutan non kayu lainnya terutama coklat, namun petani tetap berminat mempertahankan keberadaaan hutan kemiri. Petani tetap termotivasi untuk mengelola hutan kemiri karena kepastian pasar ini memberikan jaminan atas keberlangsungan finansial rumah tangga. Petani merasakan bahwa biji kemiri sangat membantu dalam menunjang keuangan rumah tangga, karena biji kemiri dapat dijadikan sebagai dana cadangan atau
184 tabungan yang dapat diambil sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Dengan kata lain, hutan kemiri oleh petani sekitar hutan dijadikan sebagai sumber pendapatan dan merupakan faktor pengaman ekonomi rumah tangga petani. Setelah pemanenan petani tidak langsung menjual biji kemiri, karena dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama petani biasanya menyimpan biji kemiri dalam rentang waktu 2-3 tahun dan akan menjualnya kapan saja ketika mereka membutuhkan uang. Masuknya komoditas lain ke dalam sistem pengelolan hutan kemiri, tidak membuat petani meninggalkan kegiatan budidaya kemiri, namun disikapi dan ditindaklanjuti oleh petani dengan melakukan kegiatan pola tanam campuran (agroforestri) atau tumpang sari dengan komoditas lain tersebut. Menurut Yusran (2005) tanaman kemiri memiliki keistimewaan yaitu kemampuannya berasosiasi denngan tanaman lain sehingga memungkinkan untuk dipadukan dengan tanaman komersial lain dengan pola agroforestri, apabila tanaman kemiri tersebut ditanam dengan jarak tanam tertentu. Pola tanaman campuran ini dilakukan oleh petani, pada lahan yang bertopografi datar, sedangkan pada lahan bertopografi berombak-bergelombang umumnya ditanam dengann pola monokultur (murni kemiri). Pola pengelolaan kemiri dengan coklat merupakan pola pengelolaan yang relatif baru dan bersifat musiman, biasanya berkaitan dengan membaiknya harga komoditi coklat di pasaran, sehingga petani sekitar hutan kemiri tertarik menanam coklat di bawah tegakan kemiri. Namun demikian, penanaman coklat hasilnya terlihat tidak optimal karena pengaruh faktor fisik seperti keadan tanah, ketinggian tanah dari permukaan laut, cuaca, dan faktor fisik lainnya. Untuk tanaman hutan lain yang dapat dipanen kayunya, karena memiliki daur/masa panennya yang relatif lama (10-20 tahunan) tidak begitu diminati petani. Bagi petani sekitar hutan kemiri lebih baik menikmati hasil hutan yang bersifat jangka pendek namun memberikan kesinambungan pemenuhan kebutuhan
atau
jaminan
ekonomi
rumah
tangga
secara
berkelanjutan
dibandingkan dengan hasil yang banyak tetapi memerlukan atau harus menunggu dalam waktu yang lama dalam pemanfaatannya.
185 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: 1.
tingkat komampuan petani (Y1); dan
2.
tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri (Y2).
Gambar 9. Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Keterangan: X1 = Karakteristik indvidu petani); X11 (Usia), X12 (Pengalaman mengelola hutan kemiri), X17 (Tingkat kebergantungan terhadap hutan kemiri X2 = Tingkat kekosmopolitan petani; X22 (Aksesibilitas terhadap informasi budidaya dan mengelola hutan kemiri) X3 = Intensitas peran penyuluh kehutanan; X31 (Peran sebagai fasilitator), X32 (Peran sebagai edukator/pendidik) X4 = Dukungan lingkungan sosial budaya; X41 (Dukungan kearifan lokal), X42 (Dukungan tokoh masyarakat) X5 = Ketersediaan kesempatan/peluang; X53 (Dukungan pemerintah), X55 (Kepastian pasar) Y1 = Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri; Y11 (Kemampuan teknis), Y12 (Kemampuan manajerial), Y13 (Kemampuan sosial) Y2 = Tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri; Y21 (Motivasi untuk meningkatkan pendapatan), Y22 (Motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri), Y23 (Motivasi melestarikan hutan) Y3 = Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri; Y32 (Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri), Y33 (Memanfaatkan/menikmati hasil kegiatan pengelolaan hutan kemiri)
186 Persamaan struktural faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: Y3 = 0,30Y1 + 0,65Y2 , R2 = 0,78 ......................................................(Persamaan 3) Semula diduga sebagaimana hipotesis 3 yang diusulkan bahwa tinggi rendahnya partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri dipengaruhi secara bersama-sama oleh adanya kesempatan atau peluang (X5), tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri (Y1) dan tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri (Y2), namun temuan penelitian mengacu pada Gambar 9, persamaan 3 dan Tabel 30 menunjukkan bahwa tidak semua peubah bebas tersebut memiliki pengaruh nyata secara langsung terhadap tingkat partisipasi petani. Oleh karena itu, hipotesis 3 tidak semuanya diterima, hanya dua peubah yang terbukti secara langsung berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Pengaruh kedua peubah tersebut bersifat langsung, dimana bila dilihat secara individual pengaruh terbesar (berdasarkan pada koefisien regresi terstandarkan) ada pada peubah tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi, diikuti oleh tingkat kemampuan petani. Faktor-faktor lain yang secara tidak langsung (melalui peubah antara) memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah peubah intensitas peran penyuluh kehutanan (X3), ketersediaan kesempatan/ peluang (X5), tingkat kekosmopolitan (X2), dukungan lingkungan sosial budaya (X4), dan karakterisitik individu (X1). Selain memiliki pengaruh langsung, tingkat kemampuan petani (Y1) juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap partisipasi petani. 1.
Tingkat Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Faktor pertama yang memiliki pengaruh terbesar terhadap tingkat
partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah tingkat motivasi untuk berpartisipasi, yang direfleksikan oleh indikator: (a) motivasi untuk meningkatkan pendapatan; (b) motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri; (c) motivasi untuk melestarikan hutan.
187 Hal ini mengandung makna bahwa semakin tinggi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Temuan ini mendukung pendapat Slamet (2003) bahwa partipasi masyarakat dalam pembangunan tidak akan berjalan apabila tidak ada motivasi dalam diri anggota-anggota masyarakat. Cernea (1988) mengemukakan bahwa untuk memahami partisipasi masyarakat tidak cukup dengan melihat aktivitas fisik yang terjadi, melainkan juga perlu untuk melihat motivasi, latar belakang dan proses terjadinya aktivitas tersebut. Motivasi petani untuk berpartisipasi juga didukung oleh sejarah kesuksesan pengelolaan hutan kemiri di masa lalu. Hal ini menjadi penjelas mengapa petani sekitar hutan tetap tergerak untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri tanpa dipaksa. Motivasi tersebut yang mengarahkan, memperteguh, dan mempertahankan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri merupakan indikator yang berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi motivasi petani untuk mendapat pengakuan bahwa mereka telah memiliki kemampuan untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, maka semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam mengelola hutan kemiri. Fakta penelitian menunjukkan bahwa motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan mengelola hutan kemiri berada dalam kategori sedang. Temuan penelitian, dengan demikian, menjelaskan bahwa petani sekitar hutan kemiri termotivasi untuk tetap dapat berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri terutama ingin membuktikan bahwa mereka memiliki potensi dan kapasitas yang memadai untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, sebagaimana dikemukakan oleh Dhahama dan Bhatnagar (1980) bahwa pada diri petani terdapat keinginan untuk diakui (the wish for recognition) kemampuannya sebagai pihak yang mampu mengelola atau sebagai pembudidaya yang baik. Keinginan ini akan mendorong petani untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Rakhmat (2002) dan Santrock (2008) menyebut motif ini sebagai motif kompetensi. Dijelaskan oleh keduanya bahwa setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Orang termotivasi
188 untuk menghadapi lingkungan secara efektif, menguasai lingkungan sekitarnya, dan memproses informasi secara efisien. Perasaan mampu tersebut bergantung pada pengalaman, perkembangan kognitif, intelektual, sosial, dan emosional. Hal ini dapat dimaklumi karena petani sekitar hutan kemiri, pada umumnya, telah melakukan praktek pengelolaan hutan kemiri yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal dalam kurun waktu yang sangat lama dari generasi ke generasi, dengan demikian telah terbentuk dan menyatu dalam diri mereka kemampuan praktis dalam mengelola hutan kemiri. Keberadaan hutan kemiri pada saat ini merupakan bukti nyata bahwa petani sekitar hutan memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dalam pengelolaan hutan kemiri, dengan kata lain keberadaan hutan kemiri adalah bukti nyata keberhasilan petani dalam mengelola hutan kemiri. Dengan demikian, kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri merupakan potensi internal yang dimiliki petani sekitar hutan kemiri yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan hutan tersebut. Indikator kedua dari motivasi petani yang berpengaruh positip terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah motivasi untuk melestarikan hutan kemiri. Semakin termotivasi petani sekitar hutan untuk melestarikan hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan partisipasinya dalam mengelola hutan kemiri. Temuan ini mendukung temuan penelitian-penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek-praktek pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh masyarakat (Suhardjito dan Darusman, 1998; Suhardjito, 2000; Tadjudin, 2000; Fuad dan Maskanah, 2000; Darusman, 2001; Sardjono, 2004; Wijayanto, 2006). Praktekpraktek pengelolaan tersebut dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya hutan yang lestari bagi masa depan kehidupan mereka dan kehidupan banyak orang.Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa apabila dalam diri petani sekitar hutan kemiri terdapat kesadaran akan pentingnya eksistensi hutan kemiri yang lestari maka para petani tetap terdorong untuk menjaganya dan tetap ingin berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hal tersebut didukung oleh fakta penelitian yang menunjukkan bahwa motivasi untuk melestarikan hutan berada dalam kategori sedang. Artinya petani
189 sekitar hutan kemiri, pada dasarnya, telah memiliki cukup kesadaran akan arti pentingnya hutan yang lestari. Motivasi melestarikan hutan kemiri juga disebabkan secara psikologis petani sekitar hutan merasa memiliki ikatan emosional, historis, dan sosial
dengan keberadaan hutan kemiri. Selain itu,
disebabkan pula oleh adanya tradisi memberikan atau meninggalkan warisan berupa lahan sebagai jaminan atau rasa aman bagi kehidupan masa depan anak cucunya. Tradisi ini menjadi salah satu yang menginisiasi timbulnya motivasi untuk melestarikan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Awang (2003a) bahwa bagi masyarakat sekitar hutan, hutan dianggap sebagai cadangan lahan untuk keturunan dan masa depan keluaga, dan masyarakat. Indikator motivasi petani berikutnya yang berpotensi memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah motivasi untuk meningkatkan pendapatan. Semakin tinggi motivasi petani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya maka akan semakin tinggi tingkat partisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hutan kemiri, walaupun kontribusinya kecil terhadap total pendapatan rumah tangga, namun petani tetap berminat untuk berpartisipasi dalam mengelola dan memanfaatkannya. Hutan kemiri oleh petani sekitar hutan masih dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan tetap rumah tangga dan merupakan faktor pengaman atau jaminan ekonomi rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pendapat Dhama dan Bhatnagar (1980) yang mengemukakan bahwa petani memiliki keinginan untuk menjadi aman (the wish for security) dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga yang salah satunya adalah adanya jaminan peningkatan pendapatan, dan Awang (2003a) yang menyatakan bahwa bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, hutan
merupakan sumber
kehidupan keluarga, hutan juga sebagai penyumbang kayu dan bahan bangunan untuk kepentingan keluarga, dan hutan dapat berperan sebagai faktor produksi. Produksi buah kemiri bagi petani sekitar hutan dirasakan memberikan jaminan atau kepastian keamanan finansial. Sebagaimana telah disebutkan bahwa buah kemiri dapat disimpan dalam jangka waktu 2-3 tahunan, sehingga dapat berfungsi sebagai tabungan atau cadangan dana yang dapat dijual sewaktu-waktu apabila petani membutuhkan uang. Penelitian yang dilakukan Attar pada tahun 1998 (dalam Suhardjito, 2000) pada hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri Desa
190 Sumberejo menunjukkan temuan yang sama dengan temuan penelitian ini bahwa pengelolaan hutan rakyat merupakan usaha yang tetap diusahakan oleh petani dimana hasilnya, walaupun tidak menjadi sumber pendapatan pokok karena kontribusinya yang kecil terhadap total pendapatan rumah tangga, digunakan sebagai tabungan. 2.
Tingkat Kemampuan Petani dalam Pengalolaan Hutan Kemiri Faktor kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat partisipasi petani
dalam mengelola hutan kemiri adalah tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh tiga indikatornya yaitu: (a) kemampuan teknis; (b) kemampuan sosial; (c) kemampuan manajerial. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan partisipasi dalam mengelola hutan kemiri tersebut. Temuan ini mendukung pendapat Sardjono (2004) bahwa keberhasilan usaha kehutanan dipengaruhi oleh kemauan dan kemampuan masyarakat untuk bekerja dan bekerjasama. Slamet (2003) mengemukakan bahwa partipasi masyarakat dalam pembangunan memerlukan kemampuan dari anggotaanggota masyarakat dalam pelaksanaannya. Artinya, ketiadaan kemampuan pada masyarakat sebagai pelaku partisipasi, mengakibatkan partisipasi tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan. Zimmerman dan Rappaport (1995) juga mengemukakan bahwa kemampuan berhubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Indikator kemampuan teknis berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi kemampuan teknis petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin tinggi tingkat partisipasinya. Petani sekitar hutan kemiri pada dasarnya telah memiliki kemampuan teknis pengelolaan hutan kemiri yang memadai. Partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri sudah berjalan sejak lama, bahkan sebelum lahirnya negara Indonesia dimana kegiatan ini masih dipertahankan sampai dengan sekarang.
191 Sejarah panjang praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan kemiri telah membentuk kemampuan teknis petani dalam mengelola hutan kemiri. Johnson et. al (2008) menyebut proses perolehan kemampuan teknis ini sebagai proses concrete sequential learning yaitu peroleh kemampuan berdasarkan rangkaian situasi nyata yang dialami oleh petani. Petani sekitar hutan, dengan demikian, telah melakukan teknik silvikultur dalam mengelola hutan kemiri meliputi pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, walaupun bersifat sederhana. Petani sekitar hutan masih melakukan penanaman dan pengelolaan tanaman kemiri di lahan miliknya, begitupula yang berada dalam kawasan hutan walaupun sekedar memanfaatkan buahnya. Temuan penelitian ini mengindikasikan bahwa kemampuan teknis dalam mengelola hutan kemiri adalah salah satu tolok ukur keberhasilan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Kebun kemiri yang ada saat ini dimana anatominya telah menyerupai hutan merupakan bukti nyata dari aktualisasi kemampuan teknis petani sekitar hutan. Kemampuan teknis, dengan demikian, merupakan hal yang fundamental bagi petani untuk dapat mengelola secara fisik/teknis usahatani kemiri. Fakta penelitian mendapatkan bahwa kemampuan teknis petani sekitar hutan, pada umumnya, berada dalam kategori sedang. Artinya, bahwa petani memiliki kemampuan yang cukup baik atau dapat diandalkan untuk melakukan pengelolaan hutan kemiri. Disamping itu, temuan ini juga menunjukkan bahwa kemampuan teknis petani masih dapat ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga dapat berdampak pada hasil kerja dari kegiatan usahatani kemiri yang lebih baik dan lebih profesional, sebagaimana dinyatakan oleh Klaumeier dan Goodwin (1975) bahwa kemampuan yang dimiliki akan mempengaruhi seseorang dalam mempelajari dan melaksanakan tugas-tugas baru. Dengan demikian, upaya meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan agar menjadi lebih profesional dalam mengelola hutan kemiri perlu mendapat perhatian. Beberapa aspek kemampuan teknis yang perlu ditingkatkan adalah teknik persemaian untuk memilih benih dan menghasilkan bibit yang berkualitas baik karena dalam praktek keseharian petani sekitar hutan belum melakukan kegiatan persemaian secara benar. Selanjutnya, kemampuan mengindentifikasi penyakit
192 yang menyerang tanaman kemiri dan metode atau cara penanggulangannya perlu dikembangkan pula karena pada prakteknya ketika tanaman kemiri terserang penyakit, pertani tidak tahu jenis penyakit yang menyerang sehingga dibiarkan atau tidak dilakukan pengobatan pada tanaman kemiri tersebut. Kemampuan teknik pada aspek pengelolaan kesuburan tanah juga perlu ditingkatkan karena pada prakteknya tidak ada petani yang melaksanakan kegiatan pengelolan kesuburan tanah. Hal ini karena ada anggapan bahwa tanaman kemiri mudah tumbuh, walaupun tidak ada perlakuan khusus pada tanah sebagai media tumbuhnya. Pengembangan kemampuan teknis ini dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan non formal seperti penyuluhan, pelatihan dan kegiatan pengembangan lainnya seperti pendampingan, penerangan dan penyediaan informasi. Berdasarkan temuan penelitian, pendidikan non formal petani dalam bentuk pelatihan tergolong rendah bahkan nyaris tidak ada pelatihan yang pernah diikuti petani sekitar hutan. Indikator kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah kemampuan sosial. Semakin tinggi kemampuan sosial petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin tinggi tingkat partisipasinya. Temuan ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa kemampuan sosial petani dapat menjadi salah satu modal penting untuk meningkatkan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Fakta penelitian mendapatkan bahwa kemampuan sosial petani masuk dalam kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa petani sekitar hutan telah memiliki kemampuan sosial yang memadai untuk mengelola hutan kemiri. Kemampuan sosial petani dalam konteks partisipasinya dalam mengelola hutan kemiri akan memperlihatkan sejauhmana petani mampu membangun interaksi dan koordinasi serta kerjasama di antara petani, dan dengan pihak lain. Koordinasi dan kerjasama tersebut diperlukan dalam rangka membangun kesepakatan, mencegah dan menyelesaikan konflik, membangun rasa adil, membangun, kesetaraan dan membangun kebersamaan, untuk itu dibutuhkan kemampuan sosial yang baik. Petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros, dengan kemampuan sosial yang memadai, telah membuktikan hal tersebut. Mereka telah sejak lama mampu membangun interaksi dan kerjasama di antara mereka serta pihak lain dalam
193 kegiatan pengelolaan hutan kemiri, sehingga pengelolaan hutan kemiri berjalan dengan baik. Kemampuan sosial yang memadai ini juga telah memampukan petani untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah atau konflik yang timbul sehingga terjalin keharmonisan. Namun demikian, agar partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri dapat menjadi lebih bermakna maka kemampuan sosial petani dapat perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Indikator berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat partisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan partsipasinya dalam mengelola huan kemiri. Hal ini, sejalan dengan pendapat Mosher (1978) bahwa selain sebagai juru tani, petani juga merupakan pengelola atau manajer atas usahataninya. Artinya, bahwa kinerja petani dalam berusahatani selain ditentukan oleh kemampuan teknis, ditentukan pula oleh kemampuan manajerial. Petani dengan kemampuan manajerial yang baik akan mampu mengelola usahataninya dengan lebih baik dibandingkan dengan petani-petani yang memiliki kemampuan manajerial yang kurang baik (Lionberger dan Gwin, 1982). Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri berada dalam kategori rendah. Petani sekitar hutan kemiri, pada kenyataannya, telah melakukan kegiatan-kegiatan manajemen yaitu perencanaan, pengaturan, pendayagunaan tenaga kerja, pengawasan dan pengevaluasian atas usahatani yang dijalankannya, namun masih bersifat sederhana atau apa adanya yang didasarkan pada kebiasaan, pengetahuan dan kearifan lokal yang dimiliki, sehingga tampilan kemampuan ini terlihat rendah. Kemampuan manajerial, dengan demikian, perlu diperbaiki dan ditingkatkan agar hasil dari partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri semakin baik. Faktor-faktor lain, berdasarkan temuan penelitian (Gambar 9), yang secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah intensitas peran penyuluh kehutanan, ketersediaan kesempatan/peluang, tingkat kekosmopolitan petani, dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu.
194 Intensitas peran penyuluh kehutanan, tingkat kekosmopolitan petani, dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu mempengaruhi tingkat partsipasi petani dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Selanjutnya, tingkat kemampuan petani akan memberikan pengaruh pada motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini berarti, semakin tinggi keempat faktor tersebut memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan dan motivasi petani sekitar hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Sedangkan, faktor ketersediaan peluang memberikan pengaruh tidak langsung pada tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri melalui kontibusinya pada motivasi petani. Temuan penelitian ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa semakin tersedia atau terbuka lebar kesempatan/peluang bagi petani untuk berpartisipasi maka akan semakin termotivasi petani untuk meraih kesempatan tersebut, yang kemudian direfleksikan oleh petani dalam bentuk tindakan nyata yaitu semakin meningkat partisipasi mereka dalam mengelola hutan kemiri. Pada saat ini, kebijakan TGHK telah memagari terciptanya proses aktualisasi atau penyaluran motivasi petani, yaitu petani tidak bisa mengelola hutan kemiri. Oleh karena itu, peluang berupa dukungan pemerintah dalam bentuk pemberian hak kelola atau kewenangan kepada petani merupakan aspek utama yang akan mendorong petani untuk mau terlibat dalam mengelola hutan kemiri, karena pada dasarnya petani sekitar hutan telah memiliki motivasi yang dipicu oleh faktor historis dalam mengelola hutan kemiri. Peubah kemampuan selain memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat partisipasi petani, juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap tingkat partisipasi petani melalui pengaruhnya pada tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Peubah kemampuan, dengan demikian, memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri apabila dilihat dari pengaruh totalnya (gabungan pengaruh langsung dan tidak langsung), karena adanya kotribusi peubah lain yang memperkuat pengaruh peubah kemampuan terhadap tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri yaitu peubah motivasi. Artinya,
195 semakin tinggi tingkat kemampuan yang dimiliki petani maka petani akan semakin percaya diri bahwa mereka mampu untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, sehingga motivasinya untuk terlibat dalam mengelola hutan kemiri juga semakin meningkat, yang selanjutnya dorongan motivasi tersebut teraktualisasi dalam bentuk tindakan nyata berupa meningkatnya partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri.
Dampak Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat terhadap Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat Partisipasi petani sekitar hutan memberikan dampak positip terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat. Persamaan struktural dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri adalah: Y4 = 0,31Y3 , R2 = 0,10 ..................................................................... (Persamaan 4)
Gambar 10. Diagram Jalur Dampak Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri terhadap Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat Keterangan: Y3 = Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri; Y32 (Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri), Y33 (Memanfaatkan/menikmati hasil kegiatan pengelolaan hutan kemiri) Y4 = Keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri; Y41 (Keberlanjutan manfaat ekonomi), Y42 (Keberlanjutan manfaat ekologi), Y43 (Keberlanjutan manfaat sosial)
Mengacu pada Gambar 10, persamaan 4 dan Tabel 30 maka secara statistik peubah bebas sebagaimana yang diusulkan atau dirancang dalam hipotesis 4 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri, dengan demikian hipotesis 4 diterima. Artinya, partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri memberikan dampak positip pada keberlanjutan manfaat hutan kemiri.
196 Pengaruh partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri walaupun positip, namun belum optimal karena kontribusinya relatif kecil yaitu sekitar 10%. Kecilnya kontribusi partisipasi petani petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri terjadi karena belum optimalnya atau belum idealnya partisipasi petani sekitar hutan. Partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri masih bersifat parsial. Terlihat bahwa, di lokasi penelitian, tidak semua tahapan merefleksikan partisipasi petani. Partisipasi petani sekitar hutan kemiri hanya direfleksikan atau terbatas pada dua tahapan, yaitu: (a) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri; (b) menikmati atau memanfaatkan hasil dari pengelolaan hutan kemiri. Menurut Cernea (1988) terdapat tiga hal penting dalam menilai partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan, yaitu : (1) siapa saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut, apakah seluruh masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu saja, (2) apa bentuk partisipai yang dilakukan masyarakat, maksudnya apakah partisipasi terjadi pada seluruh tahapan partisipasi atau pada salah satu tahapan; perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, atau penilaian, dan (3) bagaimana terjadinya partisipasi, apakah secara sadar, terpaksa, atau ikut-ikutan. Lebih lanjut Cernea menyatakan bahwa apabila partisipasi terjadi pada kelompok-kelompok tertentu saja, dan bentuk kegiatannya hanya pada salah satu tahapan, serta tidak disertai dengan kesadaran, maka partisipasi yang terjadi adalah partisipasi semu. Mengacu pada pendapat Cernea tersebut, dapat dikatakan partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat, pada saat ini, merupakan partisipasi semu, karena terbatas pada dua tahapan saja. Partisipasi yang pada awal pembangunan dan pengelolaan hutan kemiri rakyat merupakan partisipasi swakarsa pada saat ini mengalami degradasi sehingga berubah kondisinya menjadi partisipasi semu. Selain itu, fakta penelitian telah mengungkapkan bahwa kedua tahapan partisipasi tersebut tergolong rendah. Kondisi ini, kemudian, berdampak pada keberlanjutan manfaat hutan. Keberadaan hutan kemiri yang seharusnya dapat memberikan manfaat ekonomi, manfaat sosial dan manfaat ekologi yang berkelanjutan ternyata dirasakan oleh petani semakin berkurang manfaatnya.
197 Rendahnya keberlanjutan manfaat hutan kemiri yang dirasakan petani sekitar hutan, dapat menjelaskan bahwa perlu optimalisasi pengelolaan hutan kemiri. Artinya jika partisipasi petani pada dua aspek tersebut ditingkatkan maka akan dapat mempertinggi tingkat keberlanjutan manfaat hutan. Disamping itu, secara teori, agar petani sekitar hutan mampu berpartisipasi secara utuh atau menyeluruh, tidak parsial, maka dinilai perlu untuk mengembangkan partisipasi pada dua tahapan lainnya yaitu tahapan merencanakan dan tahapan pengewasan serta penilaian kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Berdasarkan analisis SEM, indikator partisipasi petani yang berpotensi paling besar untuk meningkatkan keberlanjutan manfaat hutan adalah partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan kemiri. Semakin tinggi partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan, akan semakin mempertinggi tingkat keberlanjutan manfaat hutan dirasakan oleh petani. Partisipasi dalam pelaksanaan adalah bentuk keterlibatan petani dalam melakukan kegiatankegiatan pengelolaan hutan yang bersifat fisik seperti penanaman, pendangiran, pemangkasan, peremajaan atau permudaan tanaman, perlindungan tanaman, dan pemeliharaan kesuburan tanah. Kegiatan ini, jika dilakukan sesuai kaidah atau teknik budidaya tanaman maka akan berdampak pada meningkatnya nilai manfaat hutan kemiri bagi petani sekitar hutan baik dari aspek produktivitas, sosial, maupun ekologi. Indikator kedua dari partisipasi petani yang berpotensi mempertinggi keberlanjutan manfaat hutan adalah partisipasi dalam memanfaatkan hasil kegiatan pengelolaan hutan. Semakin tinggi partisipasi petani dalam menikmati atau memanfaatkan hasil kegiatan pengelolaan hutan kemiri, akan semakin mempertinggi tingkat keberlanjutan manfaat hutan dirasakan oleh petani. Partisipasi dalam memanfaatkan hutan kemiri dapat dikembangkan, tidak hanya dalam pemungutan buah dan kemudian dijual, namun perlu dilakukan upayaupaya diversifikasi terhadap buah kemiri yang dipanen yaitu mengolah buah kemiri menjadi
bahan jadi sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan sekedar menjual buahnya, misalnya diolah menjadi obat-obatan, minyak gosok yang terangkum dalam skala usaha industri rumah tangga. Kegiatan
198 ini, dapat meningkatkan keberlanjutan nilai manfaat hutan bagi petani sekitar hutan Rendahnya partisipasi petani sekitar hutan kemiri, yang hanya terefleksi oleh dua indikator tersebut, merupakan dampak dari penetapan TGHK. Kebun kemiri yang selama ini dibangun oleh masyarakat atau petani sekitar hutan secara swadaya, berdasarkan kriteria-kriteria TGHK, sebagian besar (85%) masuk dalam atau menjadi kawasan hutan. Akses petani untuk mengelola hutan kemiri yang berada dalam wilayah TGHK dibatasi bahkan dilarang, dan status pengusahaan dan kepemilikan lahan/tanah menjadi lemah. Lemahnya status penguasaan lahan kemiri mengakibatkan tidak adanya peremajaan yang berdampak pada rendahnya manfaat ekonomi, ekologi dan sosial dari hutan kemiri yang dirasakan petani sekitar hutan kemiri rakyat Petani sekitar hutan tidak lagi bisa mengelola hutan kemiri yang sebenarnya sudah sejak lama menjadi bagian dari aktivitas hidup dan budaya mereka sehari-hari. Kegiatan yang hanya boleh dilakukan petani pada tanaman kemiri yang berada dalam areal TGHK (kawasan hutan) adalah hanya memanfaatkan hasil hutan kemiri berupa pemanenan atau pemungutan buah kemiri. Sedangkan, pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk penanaman, peremajaan, perlidungan tanaman terkadang masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sebagian kecil petani, namun tidak dengan cara menebang pohon kemiri yang sudah tua, melainkan dengan cara pengayaan yaitu memindahkan anakan alami dan menanamnya di tempat yang lebih memberikan ruang tumbuh. Partisipasi petani sekitar hutan kemiri dalam mengelola hutan kemiri, dengan demikian, bersifat parsial atau tidak menyeluruh. Keterbatasan akses petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri berdampak pada menurunnya manfaat hutan kemiri tersebut, baik manfaat ekonomi, manfaat sosial, maupun manfaat ekologi. Petani tidak lagi melakukan permudaan atau peremajaan tanaman kemiri, sehingga komposisi tegakan kemiri tidak ideal. Hutan tanaman kemiri yang ada sekarang ini 79% didominasi oleh tanaman berusia tua (> 35 tahun). Hal ini mempengaruhi kualitas hutan kemiri, sebagaimana kesimpulan Yusran (1999) dan Yusran (2005) bahwa hutan kemiri di Kabupaten Maros mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun. Akibat
199 usia tua, maka produktivitas tanaman kemiri semakin menyusut sehingga mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani, usia tua taman kemiri juga mempengaruhi keseimbangan ekologi hutan. Dampak ekologi yang telah dirasakan petani sekitar hutan adalah berkurangnya sumber air pada musim kemarau baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan irigasi pertanian, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian petani bahwa, pada saat ini, debit air sungai Walanae mulai berkurang, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Menurut beberapa petani di daerah Camba, pada saat ini luas tanam pada sawah irigasi berkurang sekitar 50% karena berkurangnya air irigasi. Selain itu, keterbatasan akses petani juga mengakibatkan hutan tidak lagi dapat berfungsi sebagai penyedia lapangan kerja pedesaaan. Temuan penelitian ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa kegiatan pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros belum sesuai dengan semangat pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, termasuk di bidang kehutanan, yang selama ini ramai diusulkan, dipromosikan dan menjadi unsur penting belum terlihat nyata pada kegiatan pengelolaan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros. Pembangunan berkelanjutan seharusnya mengandung unsurunsur peningkatan produktivitas, adanya distribusi dan pemerataan manfaat bagi seluruh masyarakat, perlidungan atau pelestarian sumberdaya alam, dan partisipasi masyarakat secara menyeluruh yang berlangsung dalam jangka waktu yang amat panjang dari generasi ke generasi, sebagaimana dikemukakan oleh Ascher dan Healy (1990) dalam Soetomo (2008) bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang mampu memberikan manfaat kepada warga masyarakat dalam jangka panjang. Peningkatan nilai manfaat hutan kemiri, dengan demikian, merupakan faktor kunci peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang memihak pada petani, terutama menyangkut perizinan atau kepastian hak/kewenangan dalam mengelola tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan. Menurunnya nilai manfaat hutan kemiri, sebagai akibat tidak idealnya komposisi tegakan kemiri, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera diantisipasi, karena pada kenyataannya selain berfungsi meningkatkan pendapatan petani, hutan kemiri
200 juga memiliki manfaat tidak langsung yaitu untuk pengaturan tata air dan erosi bagi Kabupaten sekitarnya seperti Kabupaten Bonne, Wajo dan Soppeng. Keberdaan hutan kemiri dapat menjamin ketersediaan air untuk pertanian dan kebutuhan rumah tangga petani sepanjang tahun.
Model dan Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Berdasarkan temuan penelitian melalui analisa deskriptif dan analisa SEM dengan bantuan software LISREL 8.70 yang telah dikemukakan terdahulu, diketahui bahwa sebagian besar peubah masuk dalam kategori rendah, dan juga diketahui peubah-peubah mana yang mempengaruhi tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelolan hutan kemiri. Dengan demikian, dapat ditentukan peubah-peubah mana yang perlu mendapatkan prioritas untuk diperbaiki yang dituangkan dalam rancangan model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri Kabupaten Maros (Gambar 11), yang selanjutnya diteruskan dengan mengoperasionalisasikan model tersebut menjadi strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Perumusan model dan strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat, dengan demikian, sudah mempertimbangkan realitas atau fakta empirik yang diperoleh dari analisa deskriptif dan analisa SEM. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan Kemiri dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut. Model digunakan sebagai alat untuk menjelaskan fenomena (Mulyana, 2001). Model merupakan konstruksi teoritis yang dituangkan dalam bentuk diagram atau persamaan (Kusnendi, 2008). Menurut Rakhmat (2001) bahwa model dapat mempermudah dalam menganalisis masalah. Namun demikian, model pada umumnya tidak pernah sempurna dan final, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yollies (Sumaryo, 2009) bahwa, pertama, model harus bersifat dinamik, artinya model harus bersifat responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan, yang mana hubungan di antara berbagai komponen yang ada dalam model harus saling
201 mendukung. Kedua, model harus bersifat probabilitas, artinya memberikan peluang bagi pengembangan yang lebih maksimal. Model peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat yang diusulkan sebagaimana Gambar 11, memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri didukung secara langsung oleh tingkat kemampuan dan tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi. Sedangkan, tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi didukung secara langsung oleh adanya peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi. Terlihat pula bahwa tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri didukung secara langsung oleh karakteristik individu petani, tingkat kekosmopolitan petani, intensitas peran penyuluh kehutanan dan dukungan lingkungan sosial budaya. Tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri akan mendukung terwujudnya keberlanjutan manfaat hutan tersebut. Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri di atas dirancang dengan pendekatan masukan (input), proses (process), keluaran (output), dan dampak (outcome), dengan berpedoman pada model teoritis yang telah teruji melalui analisa SEM dengan sofware LISREL 8.70 (gambar 11). Masukan yang dimaksud dalam model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terdiri dari karakteristik individu, kekosmopolitan petani, peran penyuluh kehutanan, dan lingkungan sosial budaya. Karakteristik individu petani meliputi (1) usia, (2) pengalaman berinteraksi dengan hutan kemiri, dan (3) tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya hutan kemiri. Kekosmopoitan petani direfleksikan oleh aksesibilitas petani terhadap berbagai informasi pengelolaan hutan kemiri. Peran penyuluh kehutanan berkaitan dengan intensitas penyuluh dalam menjalankan perannya sebagai (1) fasilitator, dan (2) edukator/pendidik. Lingkungan sosial budaya berkaitan dengan seberapa besar lingkungan petani mendukung partisipasi yang meliputi: (1) dukungan kearifan lokal, dan (2) dukungan tokoh masyarakat.
202
Gambar 11. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat. Tahap selanjutnya dalam model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia petani dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan petani serta mendorong dan mengarahkan petani agar lebih termotivasi untuk turut serta atau berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri dan mau mempertahankan partisipasinya tersebut. Kemampuan petani yang perlu ditingkatkan meliputi (1) kemampuan teknis, (2) kemampuan manajerial, dan (3) kemampuan sosial. Motivasi petani yang perlu diperhatikan agar petani mau mendorong, mengarahkan dan mempertahankan partisipasinya terefleksi dalam bentuk: (1) keinginan/kemauan
untuk meningkatkan
pendapatan
rumah
tangga,
(2)
keinginan/kemauan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri, dan (3) keinginan/kemauan untuk melestarikan hutan.
203 Tahap akhir adalah hasil yang ingin dicapai, dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia petani, maka akan terjadi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Berdasarkan temuan penelitian partisipasi petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros, pada saat ini, hanya berada pada tahap melaksanakan dan menikmati hasil, artinya partisipasi petani sekitar hutan kemiri masih bersifat parsial. Idealnya, partisipasi petani sekitar hutan harus meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan atau menikmati hasil, dan pengawasan dan penilaian. Oleh karena itu, partisipasi yang dimaksudkan dalam model peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah partisipasi menyeluruh mulai dari (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pemanfaatan atau menikmati hasil, dan (4) pengawasan dan penilaian. Dampak yang diharapkan dari partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah terjadinya keberlanjutan fungsi atau manfaat hutan kemiri tersebut yaitu (1) keberlanjutan manfat ekonomi, (2) keberlanjutan manfaat ekologi, dan (3) keberlanjutan manfaat sosial, yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan petani dan lestarinya hutan kemiri. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui Dukungan Motivasi untuk Berpartisipasi Motivasi merupakan keinginan atau kemauan yang kuat dalam diri petani sehingga mendorong, mengarahkan dan mempertahankan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Dukungan motivasi memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap peningkatan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Dalam model ini dukungan motivasi meliputi keinginan/kemauan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, keinginan/kemauan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri, dan keinginan/ kemauan untuk melestarikan hutan. Keinginan/kemauan untuk meningkatkan pendapatan berkaitan dengan sejauhmana petani terpicu dan terpacu untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri dengan tujuan memperoleh penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kontribusi hutan kemiri sebagai salah satu sumber pendapatan atau tabungan akan menentukan keputusan para petani dalam berpartisipasi mengelola hutan dan akan
204 mendorong petani untuk lebih mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya untuk kegiatan pengelolaan tersebut, karena pada kenyataannya bagi petani kesinambungan perekonomian keluarga kadangkala lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat. Keinginan/kemauan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri merupakan unsur dukungan motivasi yang penting karena merupakan perwujudan aktualisasi diri petani yang ingin membuktikan bahwa selama ini mereka telah mampu mengelola hutan kemiri dengan baik. Hal ini mengandung arti bahwa pada dasarnya petani memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan kemiri dengan baik. Keinginan/kemauan untuk melestarikan hutan merupakan dorongan yang dilandasai oleh kesadaran bahwa hutan harus dilestarikan agar tetap dapat dimanfaatkan oleh anak cucu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi memberikan/ menghibahkan (berre) harta pusaka kepada sanak keluarga atau meninggalkan warisan (mana) kepada anak cucu.
Pemberian lahan kemiri
(pabbere) biasanya diberikan kepada anak atau keluarga dekat sebagai hadiah perkawinan untuk anak yang akan melangsungkan pernikahan atau dapat digunakan oleh anak tersebut sebagai mas kawin (mahar) apabila anak tersebut laki-laki. Warisan (mana) biasanya diberikan dengan pembagian yang dilakukan secara bijak kepada anak cucu. Kecenderungan pemberian mana terutama pada anak yang sangat berbakti mengurus orang tua sehingga sebelum meninggal orang tua memberikan amanah berupa pembagian porsi lahan kemiri sebagai warisan. Keinginan/kemauan melestarikan hutan juga dilandasi oleh kesadaran bahwa hutan kemiri penting bagi keberlanjutan ekonomi rumah tangga petani, penting bagi keberlanjutan ekologi, dan penting bagi keberlanjutan nilai-nilai sosial budaya setempat. Motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan dipengaruhi atau ditentukan oleh tersedianya kesempatan atau peluang pada petani untuk berpartisipasi berupa dukungan pemerintah dan kepastian pasar. Perlu adanya dukungan pemerintah dalam bentuk kerjasama dalam mengelola hutan kemiri dan/atau kebijakan-kebijakan yang memberikan hak kepada petani untuk mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri. Begitu pula dengan pasar,
205 struktur pasar yang jelas dengan harga jual kemiri yang kompetitif terhadap komoditas tanaman lainnya akan mendorong petani untuk lebih meningkatkan partisipasinya. Selain itu, untuk meningkatkan rasa percaya diri petani sehingga lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri perlu juga didukung oleh adanya kemampuan yang memadai pada diri petani baik kemampuan teknis, kemampuan manajerial, maupun kemampuan sosial. Peningkatan kemampuan petani, dengan demikian, merupakan suatu hal yang perlu diupayakan. Dengan meningkatnya kemampuan diharapkan petani lebih mau serta lebih mampu berperan dan berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui Dukungan Kemampuan Petani Kemampuan
yang
dimiliki
petani
meliputi
kemampuan
teknis,
kemampuan manajerial, dan kemampuan sosial akan memberikan dukungan pada kualitas atau tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri. Oleh karena kemampuan petani sekitar hutan kemiri pada saat ini masih bersifat apa adanya atau sederhana, maka kemampuan tersebut perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya. Kemampuan teknis budidaya tanaman kemiri perlu ditingkatkan agar petani dapat mengelola secara fisik hutan kemiri dengan baik. Oleh karena itu, materi berupa pengetahuan dan keterampilan teknik silvikultur perlu diajarkan kepada petani. Begitu pula kemampuan manajerial petani perlu ditingkatkan agar petani mampu melakukan pengelolaan hutan dengan manajemen yang baik mulai dari perencanaan sampai dengan pasca panen. Peningkatan kemampuan sosial petani perlu dilakukan sehingga petani sekitar hutan lebih mampu membangun kerjasama di antara petani dan pihak lain serta mampu membangun jaringan kerja atau jaringan usaha dengan pihak luar. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas peran penyuluh kehutanan terutama peran fasilitator dan peran peran pendidik. Penyuluh kehutanan diharapkan lebih intens dalam membantu petani sehingga kualitas kemampuan petani menjadi lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa
206 dalam pembangunan kehutanan penyuluh kehutanan merupakan ujung tombak di lapangan dalam membangun sumberdaya manusia atau masyarakat sekitar hutan, karena kegiatan penyuluh bersentuhan langsung dengan masyarakat. Keberadaan penyuluh kehutanan harus memberikan makna yang berarti bagi kehidupan petani sekitar hutan. Apabila petani membutuhkan bantuan, bimbingan, arahan, pengajaran, dan informasi dari penyuluh kehutanan maka penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak pembangunan kehutanan selalu siap memberikan bantuan, bimbingan, pengajaran, dan berbagi informasi sesuai dengan kebutuhan petani. Oleh karena itu menjadi penting untuk memperbaiki kualitas perannya agar upaya pengembangan sumberdaya manusia atau masyarakat sekitar hutan dapat tercapai secara optimal. Perbaikan kondisi lingkungan sosial budaya tidak kalah pentingnya dalam memberikan dukungan pada peningkatan kemampuan petani. Kearifan lokal atau nilai-nilai positip yang telah membudaya dalam masyarakat perlu dilestarikan karena terbukti telah efektif melahirkan praktek pengelolaan hutan yang baik. Hal ini berarti kearifan lokal yang mendasari praktek pengelolaan hutan kemiri telah memberikan kontribusi penting bagi pembentukan kemampuan petani sekitar hutan kemiri. Tokoh masyarakat sebagai orang yang menjadi panutan, perlu dirangkul dan diberdayakan sehingga lebih mau dan mampu menggerakkan masyarakatnya, sehingga masyarakat/petani sekitar hutan mau dan mampu belajar bersama dalam proses pembelajaran sosial dan diharapkan menjadi lebih kompeten dalam mengelola hutan kemiri. Kekosmopolitan petani sebagai salah satu faktor pendukung peningkatan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri dapat ditingkatkan dengan cara memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses sumber-sumber informasi atau lembaga-lembaga yang menyediakan berbagai informasi dan literatur terkait dengan budidaya dan pengembangan komoditas kemiri. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan infomasi itu sendiri, karena selama ini informasi dan literatur tentang kemiri masih sangat terbatas atau jarang tersedia. Karakteristik individu juga memberikan kontribusi pada kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Oleh karena itu, untuk
207 meningkatkan kemampuan petani perlu diperhatikan karakteristik individu dari para petani tersebut. Usia petani merupakan salah satu dimensi karakteristik individu yang harus dipertimbangkan. Para petani berusia muda pada umumnya memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang berusia tua dalam mengelola hutan kemiri, hal ini berkaitan dengan pengalaman dalam berinteraksi dengan hutan kemiri, serta tingkat kebergantungan mereka terhadap hutan. Petani yang berusia muda memiliki pengalaman yang lebih sedikit dalam berinteraksi dengan hutan kemiri dibandingkan dengan petani berusia tua, dan juga tingkat kebergantungan mereka terhadap hutan lebih rendah dibandingkan dengan petani yang berusia tua. Peningkatan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, dengan demikian, perlu difokuskan pada para petani berusia muda, sehingga dapat menjadi lebih mampu dalam mengelola hutan kemiri. Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat Demi mengimplementasikan secara lebih operasional model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat, maka diperlukan strategi. Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri, dengan demikian, merupakan jabaran operasional dari model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri yang telah dirumuskan melalui kajian deduktif dan pengujian secara empiris melalui analisis structural equation modelling (SEM) dengan program Lisrel 8.70. Strategi, dalam konteks organisasi, dinyatakan sebagai program umum untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi (Handoko, 1997). Pemaknaan terhadap kata organisasi dapat diperluas menjadi pemerintah, departemen, kementerian, ataupun masyarakat dimana pada hakikatnya eksistensinya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Terminologi strategi semula bersumber dari kalangan militer dan secara populer sering dinyatakan sebagai “kiat yang digunakan oleh para Jenderal untuk memenangkan suatu peperangan” (Siagian, 2002). Strategi, menurut Sudjana (2000), merupakan pola umum tentang keputusan atau tindakan. Strategi harus dipahami sebagai rencana atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan kegiatan. Strategi, dengan demikian, adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Sedangkan,
208 Mangkuprawira (2003) menyatakan bahwa strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat diformulasikan bahwa strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri Kabupaten Maros merupakan rumusan kebijakan berupa rencana tindakan secara umum untuk meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat memberikan pengarahan terpadu bagi berbagai pihak terkait dan bagi pencapaian tujuan pihak-pihak tersebut serta memberikan
pedoman
pemanfaatan berbagai sumberdaya yang digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan. Sama halnya dengan sifat model, strategi menurut Soetomo (2008) bersifat dinamis dan aktualisasinya banyak ditentukan oleh faktor waktu dan tempat. Rumusan strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat dirancang berdasarkan temuan penelitian adalah: 1.
meningkatkan motivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri; dan
2.
meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri. Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola
hutan kemiri rakyat melalui dukungan motivasi petani sekitar hutan dan dukungan kemampuan petani dalam pengelolaan hutan kemiri bertujuan agar petani tetap mau dan mampu
mempertahankan dan meningkatkan partisipasinya. Untuk
memotivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri dan meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri sehingga partisipasi petani dapat meningkat adalah menyusun kegiatan pokok yang merupakan langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis dirancang dengan mempertimbangkan fakta empiris besarnya pengaruh suatu aspek terhadap aspek lainnya. Jalur pengaruh yang lebih besar diprioritaskan untuk dilaksanakan terlebih dahulu.
209 1.
Peningkatan Motivasi Petani Sekitar Hutan agar tetap Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat. Strategi pertama untuk meningkatkan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah meningkatkan motivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Petani yang termotivasi akan penuh energi, terarah dan sekuat tenaga mempertahankan partisipasinya tersebut. Langkah-langkah strategis yang dilakukan adalah: a.
Melakukan penataan dan penyesuaian kembali antara perencanaan pembangunan
kehutanan
nasional
dan
pengembangan
wilayah
kabupaten. Perencanaan pembangunan kehutanan nasional dan pengembangan wilayah kabupaten terutama penataan peruntukan kawasan hutan perlu ditata kembali secara harmoni sehingga dapat berjalan selaras dengan mengedepankan aspek manusia. Penyelarasan ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang ada di tingkat grass root atau petani sekitar hutan. Penataan tata ruang penggunaan wilayah atau kawasan hutan, oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, dengan konsep paduserasi antara TGHK dan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten) hendaknya lebih bersifat humanis dengan mencermati kondisi obyektif atau faktual lapangan atau mempertimbangkan kondisi biofisik dan sosio-kultural yang ada di sekitar kawasan hutan kemiri dalam kerangka perspektif integrasi ekosistem, di mana hutan bukan ruang kosong yang tidak dihuni atau dibutuhkan manusia. Keberadaan petani sekitar hutan kemiri yang kehidupan sehari-harinya bergantung dari interaksinya dengan hutan kemiri merupakan sebuah keniscayaan, oleh karena itu tidak boleh diabaikan. Penataan lahan hutan trersebut hendaknya memadukan kondisi kawasan hutan dan kondisi sosial ekonomi petani sekitar hutan sehingga dapat meningkatkan semua fungsi hutan. Penataan ini sangat penting dilakukan, karena lahan kemiri yang telah dikelola petani sejak lama sebagian besar terdapat atau masuk dalam kawasan hutan yang berpotensi menimbulkan konflik antara kepentingan masyarakat dan
210 kepentingan
pembangunan
kehutanan.
Melalui penyelarasan
ini,
diharapkan lahir kebijakan pengembangan wilayah terutama peruntukan dan pengelolaan hutan yang menyeimbangkan antara keberadaan hutan dan keberadaan masyarakat, dalam arti keberlanjutan tiga fungsi pokok hutan yaitu fungsi ekonomi/produksi, fungsi ekologi, dan fungsi sosial harus tetap dikedepankan sehingga dapat mengantisipasi timbulnya konflik. b.
Menyediakan kesempatan/peluang bagi petani sekitar hutan agar dapat terus terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri. Upaya penyediaan kesempatan/peluang difokuskan dalam bentuk dukungan pemerintah berupa pengakuan atau pemberian kewenangan/kepastian hak kelola terbatas kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri. Petani sekitar hutan kemiri membutuhkan pengakuan atas hakhaknya, sekurang-kurangnya tidak ada gangguan formal ketika mereka melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Harus dipahami benar, bahwa hutan kemiri bagi petani sekitar hutan, selain merupakan bagian esensial untuk memasok kebutuhan konsumsi sehari-hari, juga berperan sebagai cadangan. Fungsi cadangan ini patut diperhatikan secara seksama. Legalitas pengelolaan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan kepada petani saat ini belum ada, oleh karena itu pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya legalitas tersebut dalam bentuk pemberian kepastian hak atau kewenangan kepada petani untuk mengelola hutan kemiri. Keberadaan hutan kemiri merupakan bukti keberhasilan praktek pengelolaan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat petani tersebut. Sejarah
pembangunan hutan
kemiri oleh
petani
sekitar
hutan
menunjukkan bahwa terdapat modal sosial yang kuat dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung. Mengacu pada fakta tersebut, dirasa perlu mempertimbangkan diberikannya hak kelola bagi petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri, dengan kata lain perlu dikedepankan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Salah
211 satu alternatif adalah sewa jangka panjang dari kawasan hutan negara dengan aturan yang memungkinkan perpanjangan, sepanjang semua persyaratan dipenuhi. Pemberian kewenangan atau hak kelola ini harus disertai dengan berbagai kesepakatan perjanjian dan pengaturan yang mengikat berupa pembagian hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan kemiri berdasarkan undang-undang dan peraturan lain yang berlaku. Oleh karena itu, perlu aturan main atau perangkat hukum yang jelas yang dapat menjamin rasa aman petani sekitar hutan dan meningkatkan kepercayaan petani sekitar hutan kepada pemerintah atas hak penguasaan yang diberikan kepada sehingga tidak ada keraguan atas proses pengelolaann yang dilaksanakan atas dasar sewa lahan tersebut dalam arti sewa lahan tersebut tidak terputus ditengah jalan. Aturan main harus jelas, tegas dan mudah untuk diterapkan serta memperhatikan aspek ekologi secara seksama dan sejauh mungkin harus menghindari tindakan “salah urus”. Dalam strategi ini petani sekitar hutan mempunyai hak untuk mengelola hutan kemiri, dan yang terpenting adalah memiliki pula tanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan di dalam pelaksanaan pengelolaannya,
sedangkan
kewajiban
pihak
pemerintah
adalah
memberikan bimbingan dan arahan dalam bentuk dukungan teknis, pelayanan, dan bantuan permodalan. Di dalam kesepakatan ini harus ada unsur pengawasan bersama agar tidak terjadi kegiatan pengelolaan yang seenaknya yang dapat mengakibatkan rusaknya hutan kemiri. Pemberian hak kelola tidak dimaksudkan untuk merubah fungsi kawasan hutan, tetapi sebagai salah satu bentuk kompensasi dan sebagai insentif yang diberikan kepada petani atas adanya nilai manfaat tidak langsung atau intangible benefits (perlindungan lingkungan) dari keberadaan hutan kemiri yang selama ini telah dikelola dengan baik oleh petani dan sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan atas jasa petani yang telah membangun kebun/hutan kemiri dan atas kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri.
212 c.
Menetapkan peraturan daerah yang mendukung pengelolaan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan. Telah banyak peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu UU No. 41/1999, SK. Menhut no. 31/2001 tentang Hutan Kemasyarakatan, PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan PP. No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagai payung pengelolaan hutan yang memberi peluang pemanfaatan kawasan hutan kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama atau subyek dalam pengelolaan hutan, namun sampai saat ini belum terimplementasi atau terwujud di lokasi penelitian, sementara itu petani sekitar hutan membutuhkan kepastian hak untuk dapat mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan kemiri tersebut. Hal tersebut terjadi karena pemerintah daerah belum memfasilitasi agar petani dapat secara legal mengelola tanaman kemirinya. Oleh karena itu, dirasa mendesak untuk mengeluarkan kebijakan dan program pengelolaan hutan dalam bentuk perda yang dapat diterima dan didukung oleh semua pihak dimana dalam perda tersebut petani sekitar hutan ditempatkan dan diakui sebagai pelaku utama (subyek) dari pengelolaan hutan,
meliputi
pengembangan
perda
tentang
kelembagaan
pemberdayaan,
lokal,
perda
pelestarian
tentang
dan
pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat, perda tentang pengakuan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dan perda tentang pengukuhan hutan kemiri sebagai hutan yang boleh dikelola oleh petani sekitar hutan. d.
Menstimulir petani untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri secara baik. Upaya ini perlu dikaitkan dengan keinginan petani untuk meningkatkan pendapatan dari produksi tanaman kemiri, dengan demikian perlu upaya peningkatan produktivitas tanaman kemiri melalui peremajaan tanaman kemiri yang tidak produktif.
213 Pada saat ini dinilai perlu untuk segera dilakukan peremajaan hutan kemiri, karena + 79% rata-rata usia tanaman kemiri di atas 35 tahun sehingga tidak lagi produktif. Upaya peremajaan dapat dilaksanakan secara partisipatif antara pemerintah bersama petani sekitar hutan. Upaya peremajaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan pola tebang pilih yaitu dengan cara membuat plot tebangan prioritas secara bergiliran (daur tebang) berdasarkan kriteria-kriteria teknis tingkat kelerengan serta luasan lahan. Daur tebang untuk peremajaan dapat menggunakan pola pengelolaan hutan yang telah menjadi kearifan lokal yaitu dengan cara meremajakan hutan kemiri yang tidak produktif dengan pola tumpang sari pada luasan lahan 0,25 Ha, dimana pengelolaan intensif dilakukan pada tiga tahun pertama. Setelah tumpang sari tidak dapat dilanjutkan lagi karena tertutu naungan tanaman kemiri yang sudah siap berproduksi, kemudian dilakukan peremajaan pada plot lainnya yang tidak produktif. e.
Mendorong dan mengembangkan terciptanya industri rumah tangga. Hutan kemiri rakyat hendaknya mulai dikembangkan ke arah skala usaha industri rumah tangga. Perlu dilakukan upaya pengayaan atau diversifikasi produksi kemiri, sehingga penjualan produk kemiri tidak hanya dalam bentuk biji kemiri, namun dalam bentuk lainnya seperti minyak kemiri, bahan obat-obatan, shampo dan produk turunan lainnya sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Untuk kepentingan tersebut, perlu adanya bantuan permodalan dan/atau kemitraan dengan pihak yang memiliki modal, serta menjamin adanya pasar
bagi
produk
turunan
tersebut.
Pelatihan-pelatihan
dan
pendampingan untuk kegiatan pengolahan pasca perlu diberikan kepada petani sehingga petani mampu mengolah biji kemiri menjadi produk yang benilai jual tinggi. Pelatihan ini hendaknya dilengkapi dengan upaya-upaya untuk menanamkan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan.
214 2.
Peningkatan Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat. Strategi kedua sebagai upaya meningkatkan partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri adalah meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri. Kemampuan merupakan daya atau kesanggupan petani untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Dengan kemampuan yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari maka keberlanjutan manfaat hutan akan dapat ditingkatkan. Langkah-langkah strategis yang dilakukan adalah: a. Meningkatkan dan memperkuat kemampuan (pengetahuan, sikap positip, dan keterampilan) petani sekitar hutan dalam hal kemampuan teknis, kemampuan manajerial, dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis yang perlu ditingkatkan meliputi meliputi teknik persemaian, teknik pemeliharaan, teknik pemanenan dan pengelohan pasca panen, Kemampuan manajerial yang perlu ditiungkatkan meliputi perencanaan, evaluasi dan monitoring, dan pemasaran. Kemampuan sosial yang dikembangkan meliputi kemampuan komunikasi, mediasi dan negosiasi. Peningkatan kemampuan petani meliputi pengetahuan, sikap positip dan keterampilan petani sekitar hutan sangat penting dilaksanakan agar terbangun kapasitas petani yang memberi dampak pada peningkatan taraf hidupnya. Peningkatan kapasitas di sini termasuk meningkatnya dorongan dari dalam diri petani untuk berubah semakin baik, meningkatnya kapasitas untuk mengidentifikasi sumberdaya, potensi dan peluang yang ada di wilayahnya serta meningkatnya kemampuan untuk memanfaatkan dan mengelola potensi sumberdaya dan peluang tersebut, dan yang tidak kalah penting yaitu meningkatnya kapasitas petani untuk merespons berbagai tantangan yang muncul. Peningkatan kapasitas petani sekitar hutan
akan memberikan
kontribusi sangat besar bagi pengembangan kapasitas masyarakat. Perlu adanya intervensi dari pihak luar masyarakat petani sekitar hutan kemiri baik dari pihak pemerintah maupun non pemerintah. Fungsi intervensi bukan untuk menciptakan ketergantungan, namun lebih bersifat sebagai
215 stimulan untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya potensi serta kemampuan petani, sehingga selanjutnya dalam proses perbaikan hidup petani diharapkan inisiatif, kreativitas serta pengembangan potensi muncul dari diri petani sendiri. Bentuk intervensi adalah menyelenggarakan pendidikan non formal baik dalam bentuk pelatihan maupun penyuluhan, karena berdasarkan temuan penelitian pelatihan formal terkait dengan pengelolaan hutan kemiri bagi petani sekitar hutan tidak ada, begitu pula dengan penyuluhan kehutanan terkait dengan pengelolaan hutan kemiri berdasarkan temuan penelitian tergolong rendah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan petani perlu dilakukan upaya identifikasi terhadap petani sekitar hutan berdasarkan kriteria usia, lamanya berinteraksi dengan hutan dan tingkat ketergantungan terhadap hutan kemiri. Identifikasi ini sangat penting karena dengan demikian akan dapat diketahui potensi yang dimiliki oleh petani sekitar hutan. Lebih lanjut informasi tentang potensi yang dimiliki petani tersebut akan menjadi bahan yang sangat menentukan bagi perencanaan dan kebijakan peningkatan dan pengembangan kualitas petani dan pembangunan kehutanan. Peningkatan dan pengembangan kualitas dimaksudkan untuk menambah potensi dan kemampuan petani tersebut sehingga lebih mampu berperan sebagai subjek pembangunan dalam mengelola hutan kemiri. Berdasarkan hasil identifikasi, dapat dilakukan kategorisasi atau pengelompokan sesuai dengan kelompok karakteristik untuk selanjutnya dapat diberikan upaya-upaya peningkatan kemampuan melalui pendidikan non formal dan/atau penyuluhan dimana materi dan metode
yang
digunakan disesuaikan dengan karakteristik tersebut. Memang harus diakui bahwa upaya peningkatan kualitas kemampuan petani melalui tahapan pendidikan non formal merupakan investasi yang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung, namun baru dapat dilihat dan dinikmati dalam jangka panjang di beberapa tahun ke depan. Di samping itu, pendidikan non formal juga sering di anggap sebagai investasi sosial yang besar yang akan mengurangi dana untuk program pembangunan yang lain. Akan tetapi dalam jangka panjang pemanfaatan tenaga kerja pedesaaan
216 yang terampil dalam mengelola hutan, hasil dari kegiatan pendidikan non formal tersebut, akan segera mensubstitusi pengorbanan tersebut. b. Mengembangkan dan meningkatkan intensitas peran penyuluh kehutanan terutama peran sebagai fasilitator dan pendidik. Faktor penting yang sangat berperan dalam upaya peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri adalah dukungan intensitas peran penyuluhan kehutanan. Pengembangan dan peningkatan intensitas peran penyuluh kehutanan perlu dilakukan agar interaksi penyuluh kehutanan dan petani sekitar hutan lebih berkualitas dan proses pembelajaran petani menjadi semakin kondusif yang diharapkan berujung pada peningkatan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Langkah-langkah strategis yang dilakukan dalam upaya Pengembangan dan peningkatan intensitas peran penyuluh kehutanan adalah: (1) Perlu adanya kejelasan peran penyuluh dalam bentuk adanya kepastian tugas atau bidang yang disuluhkan. Kejelasan peran diperlukan karena selama ini penyuluh kehutanan bersifat polivalen, dengan kata lain harus melakukan kegiatan penyuluhan tidak saja bidang kehutanan tetapi juga bidang lainnya, sehingga penguasaan khusus dibidang kehutanan sangat terbatas. Kenyataan di lapangan penyuluh yang berlatar belakang pendidikan kehutanan sangat terbatas, hal ini yang mengakibatkan timbulnya peran ganda (polivalen), oleh karena itu perlu dilakukan langkah selanjutnya; (2) Peningkatan kemampuan penyuluh kehutanan secara berkelanjutan dalam hal kemampuan memfasilitasi dan kemampuan mendidik agar kinerja penyuluh kehutanan semakin baik. Kemampuan fasiltasi meliputi kemampuan untuk menginspirasi, memberikan semangat, mengaktifkan, merangsang, memotivasi, memediasi dan negosiasi, membantu petani dalam membangun konsensus, mengembangkan dinamika kelompok, memanfaatkan keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki petani. Kemampuan mendidik yang perlu dikembangkan adalah kemampuan mendidik
217 secara partisipastif meliputi mendiagnosis kebutuhan belajar petani, merumuskan tujuan pembelajaran petani, merancang dan merumuskan materi belajar, mengelola proses belajar dan menciptakan iklim belajar, dan melakukan penilaian hasil pembelajaran. Peningkatan kemampuan penyuluh kehutanan perlu dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa kemampuan para penyuluh kehutanan perlu diasah dari waktu ke waktu, dan perlu terus dikembangkan keahliannya. Dengan demikian, perlu dirancang sistem pembinaan, pengembangan dan peningkatan kemampuan
penyuluh
berkesinambungan
yang
kehutanan
secara
memungkinkan
terencana
terciptanya
dan
penyuluh
kehutanan dengan kemampuan unggul, aktual, serta memiliki komitmen dan bermotivasi tinggi. Program pengembangan kemampuan penyuluh kehutanan perlu dimasukkan dalam daftar rencana kegiatan besama-sama dengan program kegiatan tahunan lainnya. Bila program peningkatan penyuluh kehutanan terpisah dari daftar rencana kegiatan tahunan, maka hal tersebut akan menjadi beban berat dan mungkin dilaksanakan secara sambilan yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi lembaga penyuluhan dan bagi para penyuluh itu sendiri. Peningkatan kemampuan penyuluh kehutanan dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan unutk mengikuti pendidikan formal, pelatihan maupun kegiatan pengembangan lainnya yang dilakukan dengan perencanaan yang baik, sesuai dengan kemampuan anggaran yang tersedia. Dalam strategi ini, kerjasama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan perlu dibangun. (3) Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif meliputi lingkungan fisik dan lingkungan organisasi. Lingkungan fisik berupa kelengkapan sarana dan fasilitas penyuluhan kehutanan perlu dimantapkan meliputi: bangunan, areal percontohan (demplot), mobilitas (sarana tranportasi), perlengkapan penyuluhan, dan biaya. Yang kesemuanya memerlukan alokasi
218 anggaran yang memadai. Pemenuhan biaya ini dapat diusahakan dari segala sumber (misalnya APBN, APBD, sumbangan dan lain sebagainya). Lingkungan organisasi perlu perlu dibangun ke arah yang kondusif untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman pada diri penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Lingkungan organisasi yang kondusif dapat dibangun dalam bentuk kejelasan tugas dan karir penyuluh, perbaikan sistem kerja, iklim komunikasi yang suportif dengan cara meyakinkan para penyuluh, termasuk penyuluh kehutanan, akan keberlanjutan eksistensi lembaga penyuluhan. Karena pada kenyataan di lokasi penelitian terdapat keraguan atau apriori pada diri penyuluh kehutanan akan masa depan penyuluhan. Hal ini terkait dengan pemberlakuan otoda yang berdampak pada eksistensi penyuluhan di daerah yaitu kegiatan penyuluhan kurang mendapat perhatian dihati para birokrat yang mengakibatkan macetnya kegiatankegiatan penyuluhan kehutanan di daerah. Menurut Pusbinluhhut (2010),
sejak
diberlakukannya
otoda
dimana
kewenangan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan berada di Pemerintah Kabupaten/Kota keadaan kelembagaan penyuluhan menjadi tidak tertata secara mantap. Situasi ini mengakibatkan timbulnya sikap pesismis pada diri penyuluh kehutanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan dan pemantapan pada lembaga penyuluhan kehutanan di daerah. (4) Mengembangkan sistem penghargaan atau insentif yang memadai bagi penyuluh kehutanan. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan merupakan tugas mulia. Pembangunan kehutanan yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dikatakan berhasil apabila mampu membawa masyarakat atau petani sekitar hutan ke arah keberdayaan dan/atau kemandirian yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan petani sekitar hutan, tingkat pengetahuan yang memadai, kesadaran petani sekitar hutan untuk berpartisipasi. Apabila masyarakat berada pada kondisi tidak
219 berdaya (powerless) maka akan menjadi beban pembangunan. Kemakmuran bangsa bukan disebabkan oleh akumulasi kekayaan sumberdaya alam melainkan dengan cara membangun sebanyak mungkin tenaga produktif sehingga tercipta kekuatan swadaya bangsa yang mampu mengelola sumberdaya alam tersebut dengan baik. Upaya memberdayakan petani sekitar hutan merupakan tugas penyuluh kehutanan. Tugas ini pada dasarnya identik dengan tugas seorang guru, namun dengan beban teritorial yang relatif lebih luas dan terkadang sulit. Oleh karena itu, tugas penyuluhan merupakan tugas mulia, dengan demikian sudah
sewajarnya perlu dihargai.
Untuk itu perlu dibangun sistem reward atau insentif yang dapat memicu dan memacu penyuluh kehutanan bekerja secara baik dan profesional. Tunjangan profesional penyuluh harus ditingkatkan, mengingat tugas penyuluh kehutanan tidak kalah pentingnya dengan tugas guru, dosen, atau pengajar di lembaga formal lainnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Biaya operasional kegiatan penyuluhan perlu juga diperhatikan ketersediaannya, agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan dengan efektif mengingat bahwa jangkauan wilayah kerja penyuluh kehutanan meliputi daerah-daerah pinggiran hutan yang memerlukan dukungan dana dan fasilitas operasional yang memadai. Skema alur strategi peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat disajikan pada Gambar 12 dengan pendekatan masukan (input), proses (process), dan keluaran (output).
220
INPUT
PROSES
OUTPUT
Dukungan Pemerintah pada: Penyuluh Kehutanan - Kejelasan tugas penyuluh - Peningkatan kemampuan - Lingkungan kerja kondusif - Sistem Insentif Petani Sekitar Hutan - Resinkronisasi pembangunan kehutanan nasional dengan pembangunan wilayah - Pemberian hak kelola hutan kemiri - Menetapkan Perda pengelolaan hutan kemiri oleh petani - Peremajaan tanaman kemiri - Mendorong terciptanya industri rumah tangga
Peningkatan Kapasitas Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola hutan Kemiri, berupa: - Peningkatan Kemampuan Petani - Peningkatan Motivasi Petani
Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan secara menyeluruh dalam Mengelola Hutan Kemiri, meliputi: - Perencanaan - Pelaksanaan - Pemanfaatan - Pengawasan/ Penilaian
Peningkatan Peran Penyuluh Kehutanan, sebagai: - Fasilitator - Pendidik/Edukator
Gambar 12. Alur Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat
221
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat tergolong rendah dan bersifat parsial atau tidak ideal, di mana hanya dua tahapan partisipasi yang merefleksikan tingkat partisipasi petani yaitu: a. partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri rakyat; b. partisipasi dalam menikmati atau memanfaatkan hasil hutan kemiri rakyat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat, adalah: a. Tingkat kemampuan petani dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri rakyat, ditandai dengan rendahnya aspek kemampuan manajerial petani. Kemampuan petani ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya intensitas peran penyuluh kehutanan, baik peran sebagai fasilitator maupun sebagai pendidik. b. Tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat berada dalam kategori sedang. Kondisi level motivasi petani saat ini dipengaruhi oleh kemampuan petani terutama rendahnya kemampuan manajerial petani, dan rendahnya ketersediaan kesempatan/peluang terutama dukungan pemerintah.
2.
Partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat memberikan dampak positip pada keberlanjutan hutan kemiri rakyat, namun, pada saat ini keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat dirasakan rendah oleh petani sekitar hutan, baik keberlanjutan manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial. Rendahnya keberlanjutan manfaat hutan kemiri takyat yang dirasakan petani dipengaruhi oleh rendahnya partisipasi petani yang terbatas hanya pada dua tahapan.
3.
Model efektif dalam upaya peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah meningkatkan partisipasi petani melalui (1) pengembangan motivasi petani dalam hal untuk meningkatkan pendapatan, untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan
222 dan untuk melestarikan hutan; dan (2) dukungan kemampuan petani dalam hal kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah: a. Strategi peningkatan motivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat, dengan langkah-langkah strategis: (1) Penataan dan penyesuaian kembali antara perencanaan pembangunan kehutanan
nasional
dan
pengembangan
wilayah
kabupaten.
Perencanaan pembangunan kehutanan nasional dan pengembangan wilayah kabupaten terutama penataan peruntukan kawasan hutan perlu ditata kembali secara harmoni sehingga dapat berjalan selaras dengan mengedepankan aspek manusia. (2) Pengembangan ketersediaan kesempatan/peluang bagi petani sekitar hutan agar dapat terus terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat, yang difokuskan pada
adanya
dukungan
pemerintah
berupa
pengakuan atau pemberian kewenangan/kepastian hak kelola terbatas kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri rakyat. (3) Perumusan dan penetapan peraturan daerah yang mendukung pengelolaan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan meliputi perda tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan kelembagaan lokal, perda tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis masyarakat, perda tentang pengakuan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dan perda tentang pengukuhan hutan kemiri sebagai hutan yang boleh dikelola oleh petani sekitar hutan. (4) Pengembangan stimulan bagi petani sekitar hutan kemiri rakyat untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri rakyat secara baik, yang difokuskan pada upaya peningkatan produktivitas tanaman kemiri melalui peremajaan tanaman kemiri yang tidak produktif. (5) Pengembangan upaya terciptanya industri rumah tangga petani sekitar hutan kemiri rakyat. Upaya yang tepat adalah melakukan pengayaan atau diversifikasi produksi kemiri yaitu mengembangkan penjualan produk kemiri tidak hanya dalam bentuk biji kemiri, namun dalam
223 bentuk lainnya seperti minyak kemiri, bahan obat-obatan, shampo dan produk turunan lainnya sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. b. Strategi peningkatan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat, dengan langkah-langkah strategis: (1) Peningkatan dan penguatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri rakyat, dalam hal: i. kemampuan
teknis
meliputi
teknik
persemaian,
teknik
pemeliharaan, teknik pemanenan dan pengelohan pasca panen; ii. kemampuan manajerial meliputi perencanaan, evaluasi dan monitoring, dan pemasaran; dan iii. kemampuan sosial meliputi kemampuan komunikasi, mediasi dan negosiasi. (2) Pengembangan dan peningkatan intensitas peran penyuluh kehutanan terutama peran fasilitator dan peran pendidik, sebagai faktor penting yang berpengaruh dalam peningkatan kemampuan petani. Langkah strategis yang dapat dilakukan adalah: i.
Adanya kejelasan peran penyuluh dalam bentuk adanya kepastian tugas atau bidang yang disuluhkan.
ii. Peningkatan berkelanjutan
kemampuan dalam
hal
penyuluh
kehutanan
kemampuan
memfasilitasi
secara dan
kemampuan mendidik agar kinerja penyuluh kehutanan semakin baik. iii. Penciptaan lingkungan kerja lembaga penyuluhan yang kondusif. Lingkungan fisik berupa kelengkapan sarana dan fasilitas penyuluhan kehutanan. Lingkungan organisasi berupa kejelasan tugas dan karir penyuluh, perbaikan sistem kerja, iklim komunikasi yang suportif, meyakinkan penyuluh kehutanan akan keberlanjutan eksistensi lembaga penyuluhan. iv. Pengembangan sistem penghargaan atau insentif yang memadai bagi penyuluh kehutanan.
224
Saran 1.
Dalam rangka meningkatkan kinerja partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, maka pemerintah baik pusat maupun daerah dinilai perlu lebih memahami kemampuan dan motivasi petani untuk tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat diberikan pelayanan dan perlakuan yang dapat merangsang semangat dan meningkatkan partisipasi petani.
2.
Upaya peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergi antara kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan petani sekitar hutan. Sinergitas pemerintah pusat, pemerintah daerah dan petani sekitar hutan kemiri dapat berjalan dengan baik apabila terdapat kesepahaman (kesamaan persepsi) terhadap fungsi/manfaat hutan serta bagaimana sistem pengelolaan yang terbaik, sehingga dapat menggerakan kegiatan ekonomi petani dan meningkatkan kelestarian hutan kemiri. Untuk itu, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu membangun dialog dengan petani sekitar hutan untuk membahas
dan
memperoleh
kesepakatan
dan
kesepahaman
dalam
pengelolaan hutan kemiri dalam hal: hak apa saja yang melekat pada petani sekitar hutan kemiri, lingkup petani mana yang memperoleh hak pengelolaan hutan kemiri, berapa lama hak pengelolaam dimiliki petani sekitar hutan, kewajiban apa saja yang melekat sebagai penyeimbang dari pemberian hak, hak dan kewajiban apa saja yang harus dijalankan pemerintah 3.
Mengingat partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat bersifat parsial dan merupakan partisipasi semu yaitu terbatas pada tahapan melaksanakan dan memanfaatkan hasil, maka: a. Petani sekitar hutan kemiri rakyat dinilai perlu untuk mengembangkan dan meningkatkan partisipasinya pada dua tahapan lainnya yaitu tahapan merencanakan serta tahapan mengawasi dan menilai hasil kegiatan pengelolaan hutan kemiri rakyat, sehingga partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat menjadi lebih optimal dan profesional
225 yang diharapkan akan berdampak pada keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat. b. Pemerintah perlu mendukung tercapainya partisipasi menyeluruh petani sekitar hutan kemiri dengan cara memotivasi dan meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan kemiri melalui pelatihan, bimbingan, pengajaran,
pendampingan
sehingga
petani
mau
dan
mampu
merencanakan dan melakukan pengawasan serta penilaian kegiatan pengelolaan hutan kemiri yang benar. 4.
Mengingat bahwa tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan petani dan dukungan kesempatan atau peluang, maka: a.
Petani sekitar hutan kemiri perlu meningkatkan kemampuannya terutama pada aspek kemampuan manajerial karena aspek ini berdasarkan temuan penelitian masih rendah.
b.
Pemerintah perlu memberikan kesempatan atau peluang kepada petani untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat. Berdasarkan temuan penelitian bahwa dukungan pemerintah kepada petani untuk mengelola hutan kemiri rakyat berada dalam kategori rendah, oleh karena itu diperlukan political will pemerintah berupa dukungan kebijakan atau peraturan yang memberikan kepastian kewenangan atau hak untuk mengelola hutan kemiri rakyat.
5.
Penyuluh kehutanan memiliki peran yang sangat penting terkait dengan peningkatan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat, maka penyuluh kehutanan perlu meningkatkan intensitas perannya dalam hal peran sebagai fasilitator dan pendidik, karena berdasarkan temuan penelitian kedua peran tersebut masih rendah, sehingga petani sekitar hutan kemiri terbantu dalam meningkatkan kemampuannya dalam mengelola hutan kemiri rakyat.
6.
Penyuluh kehutanan di lokasi penelitian memiliki keterbatasan pengetahuan kehutanan, karena penyuluh kehutanan di lokasi penelitian pada umumnya berlatar belakang ilmu teknis pertanian, maka pemerintah dinilai perlu
226 meningkatkan kemampuan penyuluh kehutanan terkait dengan ilmu penyuluhan dan ilmu teknis kehutanan melalui pendidikan dan pelatihan. 7.
Kearifan lokal merupakan sumberdaya internal masyarakat yang telah melahirkan praktek pengelolaan hutan kemiri rakyat dan telah terbukti dengan baik membangun hutan kemiri rakyat, maka dinilai perlu untuk menjaga dan melestarikan kearifan lokal tersebut dimana pemanfaatannya perlu penyesuaian diri dan ditransformasikan sesuai dengan perkembangan pembangunan kehutanan saat ini. Tatanilai, kebiasaan, adat dan budaya masyarakat yang mendasari praktek pengelolaan hutan kemiri rakyat yang bercirikan ramah lingkungan, produktif dan melestarikan hutan kemiri rakyat perlu dipertahankan, sebaliknya praktek yang mengancam kelestarian hutan kemiri rakyat harus ditinggalkan.
8.
Penelitian ini hanya mengungkapkan sebagian kecil faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, maka disarankan kepada para peneliti selanjutnya untuk dapat mengembangkan faktor lain sebagai komplemen penelitian ini sehingga tercapai gambaran yang yang lebih komprehensif berkaitan dengan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.
DAFTAR PUSTAKA
Adi IR 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Agusnawati. 2006. Peran Kaum Perempuan dalam Pengambilan Keputusan pada Masyarakat Pengelola Hutan Kemiri di Mario Pulana. Di Dalam Governace Brief Edisi Juni 2006 Nomor 28. Bogor: CIFOR. Agussabti. 2002. Kemandirian Petani Dalam Mengambil Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pasacasarjana IPB. Ahmad HA. 2006. Kearifan Lokal Menuju Keharmonisan Hidup Beragama Di Desa Gempolan, Gurah, Kediri, Jawa Timur. Laporan Hasil Penelitian. Jakarta: Balai Litbang Agama. Amiruddin. 2005. Unsur Lokalitas Pilkada. Dalam Suara Merdeka 30 Agustus 2005. Ancok. 1995. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Di Dalam Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Anonim. 2000. Pengantar dan Prinsip Dasar Pengelolaan PMDH. Jakarta: SFMP-Dephut-GTZ. Arifin. 1994. Strategi Komunikasi. Bandung: Armico. Arnstein SR. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Di Dalam Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35, No. 4, July 1969. New York: American Planning Association. Asngari, PS. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan, IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Awang SA, Suhardi, Safitri MA, Kustomo. 2000. Kelembagaan Kehutanan Masyarakat: Belajar dari Pengalaman. Yogyakarta: Aditya Media. Awang SA, Andayani W, Himmah B, Wiayati WT, Affianto A. 2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Yogyakarta: BPFE.
228 Awang SA. 2003. Hutan Desa: Realitas Tidak Terbantahkan Sebagai Alternatif Model Pengelolaan Hutan di Indonesia. Di Dalam Prosiding Seminar Hutan Desa: Alternatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Yayasan DAMAR & The Ford Foundation. _________. 2003a. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Center for Critical Social Studies & Kreasi Wacana Yogyakarta. _________. 2004. Dekontruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Aziz N. 1995. Hubungan Karakteristik Petani dengan Aktivitas Komunikasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Mereka Tentang Dampak Perladangan Berpindah dan Pola Pertanian Menetap [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Azwar. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Bandura A. 1977. Social Learning Theory. New York: Prentice Hall, Engle wood Cliffs. Barber CV, Johnson NC, Hafid E. 1999. Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika Serikat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Barijadi. 1996. Aspek Penguasaan dan Penggunaan Lahan dalam Pendayagunaan Lahan Tegalan: Studi Kasus di Kabupaten Malang [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Beebe SA, Masterson JT. 1989. Communicating in Small Groups: Principles and Practices. Glenview, Illinois: Harper CollinsPublishers. Black M. 2002. A Handbook on Advocacy – Child Domestic Workers: Finding a Voice. Anti-Slavery International. Sussex, UK: The Printed Word [BPKU] Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. 1994. Pedoman Teknis Budidaya Kemiri. Di Dalam Informasi Teknis Nomor 2/1994. Ujung Pandang: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Brookfield H. 2007. Working with and for Plants: Indigenous Fallow Management in Perspective. Di Dalam Cairns M, editor. Voices from the Forest: Integrating Indigenous Knowledege into Suistainable Upland Farming. Washinton DC: Resources for the Future Press Book. Budiono RP. 2006. Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung Di 12 Desa Di Provinsi Lampung [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
229 Cary LJ. 1970. Community Development as Process. Colombia: University of Missouri. Cairns M, editor. 2007. Voices from the Forest: Integrating Indigenous Knowledege into Sustainable Upland Farming. Washinton DC: Resources for the Future Press Book. Cernea MM. 1988. Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press. Chambers R. 1992. PRA Participatory Rural Appraisal: Memahami Desa Secara Partisipatif. Sukoco Y, penerjemah, Nugroho PA, editor. Yogyakarta: Kanisius/OXFAM kerjasama dengan Yayasan Mitra Tani. Terjemahan dari: Rural Appraisal: Rapid, Rilex & Participatory. Chung KH, Megginson LC. 1981. Organizational Behavior: Developing Managerial Skill. New York: Harper & Row Publishers. [CIFOR] Center for International Forestry Research. 2003. Perhutanan Sosial. Di Dalam Warta Kebijakan No. 9, Februari 2003. Bogor: CIFOR. _________. 2008. Pengelolaan Bersama Secara Adaptif Dapat Membantu Kita Menghadapi Perubahan Iklim. Di Dalam Brief No. 13 (Id), September 2008. Bogor: CIFOR. Craig G, Mayo M. 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. London: Zed Books. Dahama OP, Bhatnagar OP. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi, Calcutta: Oxford & IBH Publishing Co. Darusman D. 2001, editor. Resiliansi Kehutanan Masyarakat Di Indonesia. Yogyakarta: Debut Press. _________. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fahutan IPB bekerja sama dengan Yayasan Dani Hanifah. Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Di Dalam Prosiding Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. Davis K. 1967, Human Relations at Work: The Dynamic of Organization Behaviour. New York: McGraw-Hill Book Company.
230 [Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Model Desa Konservasi (MDK) Memberdayakan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi. Jakarta: Siaran Pers Nomor: 62/PIK-1/2009, Departemen Kehutanan. _________. 2008. Menteri Kehutanan Mencanangkan Pengembangan Desa Konservasi. Jakarta: Siaran Pers Nomor: S.73/II /PIK-1/2008, Departemen Kehutanan. _________. 1997. Pelestarian Hutan. Bogor: Departemen Kehutanan, Pusat Diklat Pegawai dan Sumberdaya Manusia Kehutanan. Desimone R, Werner J, Harris D. 2002. Human Resource Development. Fort Worth Texas: Harcourt College Publishers. Echols JM, Shadily H. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Effendi S. 1995. Prinsip-Prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala. Di Dalam Singarimbun M, Effendi S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Fatchiya A. 2010. Pola Pengembangan Kapasitas Pembudidaya Ikan Kolam Air Tawar Di Propinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fauziyah E. 2007. Pengelolaan dan Pengaturan Hasil Hutan Rakyat dengan Manajemen Pohon. Di Dalam Jurnal Penelitian Al Basia, Vol. 4, No. 1, Desember 2007. Ciamis: Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Fuad FH, Maskanah S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN. Gomes FC. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Hadjar I. 1996. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kwantitatif dalam Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Halim NR. 1992. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Perilaku Komunikasi Anggota Kelompok Simpan Pinjam KUD dan Pemanfaatan Kredit Pedesaan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hanafi A. 1986. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional. Handoko T. 1997. Manajemen. Edisi 2.Yogyakarta:BPFE.
231 Handayani S. 2008. Partisipasi Masyarakat Kampung Kota Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan Pemukiman [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hartoyo. 1996. Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta: Universitas Terbuka. Hasibuan MSP. 1999. Organisasi dan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.
Motivasi:
Dasar
Peningkatan
_________. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Higman S, Bas S, Judd N, Maters S, Nussbaum R 1999. The Sustainable Forestry Handbook. London: Earthscan Publications Ltd. Hijweege W, editor. 2008. Emergent Practice of Adaptive Collaborative Management in Natural Resources Management in Southern and Eastern Africa: Eight Case Studies Netherland: Wageningen University & Research Centre. Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia. Jakarta: GTZ. Ife J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives - Vision, Anallysis and Practice: Australia: Longman Australia Pty. Ltd. [IPB] Institut Pertanian Bogor. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Iskandar U, Ngadiono, Nugraha A. 2003. Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Isworo WI. 2001. Pemberdayaan Organisasi Lokal Tingkat Desa [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia. Jahi A. 1988. Media Siaran dalam Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. Di Dalam Jahi A, editor. Komunikasi Massa dan Pembangunan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Jauhari M. 2009. Emansipasi Rakyat atas Hutan dan Kawasan Hutan. Di Dalam Sistem Hutan Kerakyatan. http://www.kpshk.org/index.php [19 Oktober 2009] Johnson SB, Carter HS, Kaufman EK. 2008. Learning Styles of Farmers and Others Involved with the Maine Potato Industry. Di Dalam Journal of
232 Extension, Vol. 46, No. 4, August 2008. http://www.joe.org/joe/2008august /rb7.php. [5 Maret 2011] Jung J. 1987. Understanding Human Motivation: A Cognitive Approach. New York: Mc Millan Publishing Co, Inc. Kartaspoetra AG. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara. Kartasubrata J. 1986. Partisipasi Rakyat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Yoyakarta [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kerlinger FN. 2002. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Edisi ke-3. Simatupang, penerjemah. Koesoemanto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Foundation of Behavioral Research. Khairuddin H. 1992. Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan. Yogyakarta: Liberty. Kincaid LD, Schramm W. 1977. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3S. Kismiyati T. 2004. Kompetensi Pustakawan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perpustakaan Perguruan Tinggi, tanggal 28 September 2004 di Cisarua, Bogor. Klausmeier HJ, Goodwin W. 1975. Learning and Human Abilities: Educational Psychology. New York: Harper & Row Publisher. Koehler JW, Anatol KWE, Applbaum RL. 1976. Organizational Communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Koentjaraningrat. 1988. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Kountur R. 2006. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Penerbit PPM. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Kusumanto T, Yuliani L, Macoun P, Indriatmoko Y, Adnan H. 2006. Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia. Bogor: CIFOR. Leagens JP, Loomis CP. 1971. Behavioral Change in Agricultural: Concepts and Strategies for Influencing Transition. London, Ithaca: Cornel University Press.
233 Lewis PV. 1987. Organizational Communication: The Essence of Effective Management. Canada: John Wiley & Son, Inc. Liliweri A. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Illinois: The Interstate Printers & Publishers. Lippit R, Watson J, Westley B. 1958. The Dynamics of Planned Change. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Makeham JP, Malcol RL. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis. Teku BB, penerjemah. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Terjemahan dari: The Economics of Tropical Farm Management. Manan S. 1997. Hutan, Rimbawan, dan Masyarakat. Bogor: IPB Press. Mangkuprawira S. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Marzuki Y. 2007. Dare’ Ampiri: Wanatani Khas Maros-Sulawesi Selatan. Di Dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi Maluku dan Papua Kementerian Lingkungan Hidup RI bekerjasama dengan Masagena Press. Maskun S. 1995. Penyuluhan Pembangunan Masyarakat di Negara Berkembang. Di Dalam Hubeis AVS, Tjitropranoto P, Ruwiyanto W, editor. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Menyongsong Abad XXI, Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Mehrens WA, Lehmann IJ. 1978. Measurement and Evaluation in Education and Psychology. New York: Holt, Rinehart & Wilson. [Mendiknas] Menteri Pendidikan Nasional. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdiknas Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. MoF/FAO. 1991. Indonesian Tropical Forestry Action Programme: A Portfolio of Profiles of Technical Assistance and Investment Projects. Field Document 1. Mosher AT. 1978. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Yasaguna.
234 Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: P3PK UGM. _________. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. _________. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial-Antropologis di Propinsi Jambi. Yogyakarta: P3PK-UGM. Mulyana D. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Naritoom C. 2008. Local Widom: Indigenous Knowledge Systems. Nakhon Pathom, Bangkok: Kasetsart University. Ndraha T. 1990. Pembangunan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. _________. 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Pace RW, Faules DF. 2001. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Di Dalam Mulyana D, Kuswarno E, Gembirasari, penerjemah. Mulyana D, editor. Bandung: Remaja Rosdakarya. Padmowihardjo S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Paimin FR. 1997. Kemiri: Budidaya dan Prospek Bisnis. Jakarta: Penebar Swadaya. Pambudy R. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternak Ayam [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Perhutani. 2001. Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta : Perhutani. Perkins D, Zimmerman MA. 1995. Empowerment Theory, Research, and Application. Di Dalam American Journal of Community Psychology, Vol. 23, No. 5, Dec 1995. http//www.proquest.umi.com/pqdweb? [5 Maret 2011] Pretty JN. 1995. Regenerating Agricultural: Policies and Practice for Sustainability and Self Reliance. London: Earthscan Publication Ltd. Prijono
OS. 1996. Organisasi Non Pemerintah (NGOs): Peran dan Pemberdayaannya. Di dalam Prijono OS, Pranarka AMW, editor. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya. Jakarta CSIS.
235 [Pusbinluhhut] Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan 2002. Buku Saku Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Pusbinluhhut, Departemen Kehutanan. _________. 2004. Monitoring dan Evaluasi: Sebagai Media Belajar Bersama dari Pengalaman. Jakarta: Pusbinluhhut, Departemen Kehutanan. _________. 2008. Naskah Akademis Penyetaraan Batas Usia Pensiun Penyuluh Kehutanan. Jakarta: Pusbinluhhut, Departemen Kehutanan. _________. 2010. Rencana Strategis Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan Tahun 2010-2014. Jakarta: Pusbinluhhut, Kemeterian Kehutanan. Rakhmat J. 2001. Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung: Remaja Rosdakarya. _________. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rajab. 2006. Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil. Departemen Sosial. http/www.depsos.go.id/modules. [20 Mei 2009]. Ridwan N.A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Di Dalam Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya Vol, ,5 No. 1, Jan-Jun 2007. Purwekerto: P3M STAIN. Riyanto B. 2005. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Rizal I. 1997. Paket Silvikultur: Modul Pemeliharaan Hutan Bogor: Pusat Diklat Pegawai dan Sumberdaya Manusia Kehutanan, Departemen Kehutanan. Robert K, Kinicki A. 1991. Organizational Behaviour. Boston: Irwin, Inc. Robin SP. 2003. Organizational Behaviour. New York: Prentice Hall. Rosman R, Djauhariya E. 2006. Status Teknologi Budidaya Kemiri. Di Dalam Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, Edisi Khusus Volume XVIII No. 2, 2006. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Sahidu A. 1998. Partisipasi Masyarakat Tani Pengguna Lahan Sawah dalam Pembangunan Pertanian di Daerah Lombok NTB. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Salkind NJ. 1985. Theories of Human Development. New York: John Wiley & Sons, Inc.
236 Santosa S. 1992. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara. Santosa I. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Santoso I. 2008. Zoning Areal Hutan dan Konfliknya. Di Dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol. 5, No. 3, September 2008. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departeman Kehutanan. Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan. Wibowo T, penerjemah. Jakarta Kencana Prenada Media Group. Terjemahan dari: Educational Psychology. Sardiman AM. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sardjono MA. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta: Debut Press. Sarwono SW. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. ________. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka. Saydam G. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia: Suatu Pendekatan Mikro. Jakarta: Djambatan Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah: Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisiensi Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju. Seng TO, Parsons RD, Hinson SL, Browwn DS. 2001. Educational Psychology. A Practitioner-Research Approach (An Asian Edition). Singapore: Seng Lee Press. Setyowati AB, Suporahardjo. 2008. Hutan Kemasyarakatan dan Fantasi Hijau Pemerintah Daerah. Studi Kasus: Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Bogor: Pustaka LATIN. Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Alimuddin Tuwu, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods. Siagian SP. 1988. Bunga Rampai Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung.
237 _________. 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. _________. 2002. Manajemen Stratejik. Jakarta: Bumi aksara Siahaan M. 2002. Aktivitas Komunikasi dan Pengetahuan tentang Agroforestry dan Perladangan Berpindah. [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Simon H. 1995. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel Pengembangan Hutan Rakyat: Bandung 14-20 Januari 1995 _________. 2009. Kehutanan Masyarakat. Di Dalam Praktek Kehutanan Masyarakat, Pusat Data Kehutanan Masyarakat – Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat [20 Oktober 2009]. Slamet M. 2003. Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Soekanto S. 2006. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Soemarwoto O. 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Soesarsono. 2002. Pengantar Kewirausahaan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB. Soetomo. 2008. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Jakarta. Spencer LM, Spencer SM. 1993. Competence at Work. New York: John Wiley & Sons Inc. Subaktini D, Cahyono SA, Haryanti N, Setyaji T. 2002. Kajian Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Wonogiri. Di Dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Badan Litbang Kehutanan. Sudjana D. 2000. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production. Sudjiman H. 1993. Silvikultur. Bogor: Pusat Diklat Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan, Departemen Kehutanan.
238 Suhardjito D, Darusman D. 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Yogyakarta: Debut Press. Suhardjito D. 2000. Hutan Rakyat: Kreasi Budaya Bangsa. Di Dalam Suhardjito, editor. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: P3KM, Fahutan IPB. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian petani [disertasi]. Bogor: Program Pscasarjana, IPB _________. 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia Intitut Pertanian Bogor, 18 September 2010. Bogor: Intitut Pertanian Bogor. _________. 2010a. Falsafah dan Azas Penyuluhan. Makalah disampaikan dalam Refreshing bagi Pengelola Program Pengembangan Penyuluhan di Lingkup Kementerian Kehutanan di Jakarta, 8 Desember 2010. Sumaryo. 2009. Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat: Kasus di Provinsi Lampung [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Sunartiningsih A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Fisipol UGM & Aditya Media. Suparta N. 2001. Perilaku Agribisnis dan Kebutuhan Penyuluhan Peternak Ayam Ras Pedaging [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Susanto AB. 2003. Competency-Based HRM. http://www.jakartaconsulting.com/ extra _corner_archive12.shtml. [1 Nov 2003]. Syafiuddin. 2007. Hubungan Karakteristik Dengan Kompetensi Pembudidaya Rumput Laut (Eucheuma Spp) pada Tiga Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Tadjudin D. 1999. Pengelolaan Hutan Masa Depan dan Implikasinya Terhadap Strategi Pelatihan. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional “Reposisi Pendidikan dan Pelatihan Mendukung Implementasi Desentralisasi Menuju Pengelolaan Hutan yang Lestari”. DFID-Pusdiklat Dephutbun, Jakarta 22-23 September 1999.
239 _________. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka LATIN. Taufiqurrahman L, Awang SA, Widyanti W. 2003. Peranan Proyek Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Terhadap Pendapatan Masyarakat. Di Dalam Jurnal Hutan Rakyat, Vol. V, No. 1, Januari 2003. Yogyakarta: FKKM Thoha M. 1999. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Tjahjono PE, Suminar P, Aminuddin A, Hakim K. 2000. Pola Pelestarian Keanekaragaman Hayati Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat Sekitar Kawasan TNKS di Propinsi Bengkulu. Di Dalam Prosiding Hasil Penelitian SRG TNKS. Jakarta: Kehati. [UNESCO] United Nation Economic and Social Council Organization. 2005. Education for Human Development. Brasillia: Ayrton Senna Intitute. [UNHAS] Universitas Hasanuddin, 1996 Studi Pengembangan Hutan Rakyat Wilayah Sulawesi Selatan dengan Sistem SEKI. Kerjasama BPK Dephut dan Fapertahut Unhas. Makassar: Universitas Hasanuddin. Usman S. 2008. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utama S. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Melalui Pendekatan Kelompok (Kasus Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pada Areal Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I Provinsi Jawa Tengah) [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Van Den Ban AW, Hawkis HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Walgito B. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi. Walter GA, Marks SE. 1981. Experiental Learning And Change: Theory, Design and Practice. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Warsi. 2003. Wawasan Hutan Bagi Manusia: Fungsi Hutan. www.warsi.or.id/ WARSI-CBFM-Ind.htm [12 Agustus 2003]. Waskito B. 2000. Hutan Rakyat: Studi Kemungkinan Pengembangan (Kasus di Desa Gunngsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Di Dalam Hutan Rakyat Di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Suhardjito, penyunting. Bogor: P3KM-Fahutan IPB.
240 Wijanto SH. 2008. Structural Equation Modeling. Jakarta: Graha Ilmu. Wijayanto N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Di Dalam Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I: Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari. Ciamis: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Winardi J. 2002. Motivasi & Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Wollenberg E and Ingles A. 1998. Incomes from the Forest: Methods for the Developmentand Conservation of Forest Products for Local Communities. CIFOR: Bogor. Yusran. 1999. Analisis Model Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ________. 2005. Analisis Performansi dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zimmerman MA, Rappaport J. 1995. Citizen Participation, Perceived Control, and Psychlogical Empowerment. Di Dalam American Journal of Community Psychology, Vol. 23, No. 5, Dec 1995. http//www.proquest. umi.com/pqdweb? [5 Maret 2011] Zulkarnain I, Tatang H.S, Yushan D, Faozie A. 1993. Buku Pelajaran Perlidungan Hutan. Bogor: Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
242 Lampiran 1
UJI BEDA DENGAN ANALISIS VARIANS (ANAVA) BERDASARKAN METODE TUKEY DAN BENFERRONI MENGGUNAKAN SPSS 16.0 KARATERISTIK INDIVIDU Multiple Comparisons Dependent Variable UMUR
(I) (J) KECAMATAN KECAMATAN
Tukey HSD CENRANA CAMBA MALLAWA Bonferroni CENRANA CAMBA MALLAWA
PGLAMAN
Tukey HSD CENRANA CAMBA MALLAWA
CAMBA MALLAWA Tukey HSD CENRANA CAMBA
Bonferroni CENRANA CAMBA
-.9459259 1.8506684E0
.866
-5.315738
3.423886
.254
-1.235957
6.284105
CENRANA
.9459259 1.8506684E0
.866
-3.423886
5.315738
MALLAWA
3.4700000 1.6332567E0
.087
-.386458
7.326458
CENRANA
-2.5240741 1.5924188E0
.254
-6.284105
1.235957
CAMBA
-3.4700000 1.6332567E0
.087
-7.326458
.386458
CAMBA
-.9459259 1.8506684E0
1.000
-5.413778
3.521927
MALLAWA
2.5240741 1.5924188E0
.344
-1.320317
6.368465
CENRANA
.9459259 1.8506684E0
1.000
-3.521927
5.413778
MALLAWA
3.4700000 1.6332567E0
.105
-.472981
7.412981
CENRANA
-2.5240741 1.5924188E0
.344
-6.368465
1.320317
CAMBA
-3.4700000 1.6332567E0
.105
-7.412981
.472981
CAMBA
7.5992593* 1.8110906E0
.000
3.322899
11.875620
MALLAWA
-1.5307407 1.5583639E0
.589
-5.210361
2.148880
CENRANA
-7.5992593* 1.8110906E0
.000
-11.875620
-3.322899
MALLAWA
-9.1300000* 1.5983284E0
.000
-12.903985
-5.356015
1.5307407 1.5583639E0
.589
-2.148880
5.210361
9.1300000* 1.5983284E0
.000
5.356015
12.903985
CAMBA
7.5992593* 1.8110906E0
.000
3.226955
11.971564
MALLAWA
-1.5307407 1.5583639E0
.981
-5.292917
2.231435
CENRANA
-7.5992593* 1.8110906E0
.000
-11.971564
-3.226955
MALLAWA
-9.1300000* 1.5983284E0
.000
-12.988658
-5.271342
1.5307407 1.5583639E0
.981
-2.231435
5.292917
9.1300000* 1.5983284E0
.000
5.271342
12.988658 -.869355
CENRANA
CENRANA CAMBA
-2.5118519*
.6956174
.001
-4.154349
MALLAWA
-1.5518519*
.5985482
.027
-2.965148
-.138555
CENRANA
2.5118519*
.6956174
.001
.869355
4.154349
.9600000
.6138981
.264
-.489541
2.409541
1.5518519*
.5985482
.027
.138555
2.965148
CAMBA
-.9600000
.6138981
.264
-2.409541
.489541
CAMBA
-2.5118519*
.6956174
.001
-4.191200
-.832504
MALLAWA
-1.5518519*
.5985482
.031
-2.996857
-.106847
CENRANA
2.5118519*
.6956174
.001
.832504
4.191200
CENRANA
MALLAWA MALLAWA
Lower Bound Upper Bound
2.5240741 1.5924188E0
MALLAWA MALLAWA
Sig.
MALLAWA
CAMBA DIKFORM
95% Confidence Interval Std. Error
CAMBA
CAMBA Bonferroni CENRANA
Mean Difference (I-J)
CENRANA CAMBA
.9600000
.6138981
.358
-.522062
2.442062
1.5518519*
.5985482
.031
.106847
2.996857
-.9600000
.6138981
.358
-2.442062
.522062
243 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable
(I) (J) KECAMATAN KECAMATAN
DIKNFORM Tukey HSD CENRANA CAMBA
CAMBA
CAMBA
-.021820
3.190709
MALLAWA
1.8744444*
.5853448
.005
.492324
3.256565
CENRANA
-1.5844444
.6802727
.054
-3.190709
.021820
.2900000
.6003560
.879
-1.127565
1.707565
-1.8744444*
.5853448
.005
-3.256565
-.492324
-.2900000
.6003560
.879
-1.707565
1.127565
CENRANA CAMBA
1.5844444
.6802727
.063
-.057858
3.226747
MALLAWA
1.8744444*
.5853448
.005
.461315
3.287574
CENRANA
-1.5844444
.6802727
.063
-3.226747
.057858
.2900000
.6003560
1.000
-1.159369
1.739369
-1.8744444*
.5853448
.005
-3.287574
-.461315
-.2900000
.6003560
1.000
-1.739369
1.159369
CAMBA
4.2518799E5* 1.3416066E5
.005
1.084069E5
7.419691E5
MALLAWA
5.2604383E5* 1.1543935E5
.000
2.534676E5
7.986201E5
CENRANA
1.3416066E5 4.2518799E5*
.005 -7.419691E5 -1.084069E5
MALLAWA
1.0085583E5 1.1839981E5
CENRANA
1.1543935E5 5.2604383E5*
.000 -7.986201E5 -2.534676E5
CAMBA
-1.0085583E5 1.1839981E5
.671 -3.804223E5
1.787107E5
CAMBA
4.2518799E5* 1.3416066E5
.005
1.012996E5
7.490764E5
MALLAWA
5.2604383E5* 1.1543935E5
.000
2.473521E5
8.047356E5
CENRANA
1.3416066E5 4.2518799E5*
.005 -7.490764E5 -1.012996E5
MALLAWA
1.0085583E5 1.1839981E5
CENRANA
1.1543935E5 5.2604383E5*
CAMBA
-1.0085583E5 1.1839981E5
CENRANA CAMBA
INCOME
Tukey HSD CENRANA CAMBA
MALLAWA
Bonferroni CENRANA CAMBA
MALLAWA
TANGKEL
Tukey HSD CENRANA CAMBA MALLAWA
CAMBA
CAMBA MALLAWA
.671 -1.787107E5
1.000 -1.849830E5
3.804223E5
3.866947E5
.000 -8.047356E5 -2.473521E5 1.000 -3.866947E5
1.849830E5
.4896296
.2735821
.176
-.156354
1.135614
MALLAWA
-.3503704
.2354054
.299
-.906211
.205470
CENRANA
-.4896296
.2735821
.176
-1.135614
.156354
MALLAWA
-.8400000*
.2414424
.002
-1.410096
-.269904
CENRANA CAMBA
Bonferroni CENRANA
Lower Bound Upper Bound
.054
MALLAWA MALLAWA
Sig.
.6802727
CAMBA Bonferroni CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
1.5844444
MALLAWA MALLAWA
Mean Difference (I-J)
CAMBA
.3503704
.2354054
.299
-.205470
.906211
.8400000*
.2414424
.002
.269904
1.410096
.4896296
.2735821
.225
-.170848
1.150107
MALLAWA
-.3503704
.2354054
.415
-.918682
.217941
CENRANA
-.4896296
.2735821
.225
-1.150107
.170848
MALLAWA
-.8400000*
.2414424
.002
-1.422886
-.257114
.3503704
.2354054
.415
-.217941
.918682
.8400000*
.2414424
.002
.257114
1.422886
CENRANA CAMBA
244 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable TUNGSDH
(I) (J) KECAMATAN KECAMATAN
Tukey HSD CENRANA CAMBA
Mean Difference (I-J)
Bonferroni CENRANA CAMBA
Lower Bound Upper Bound
16.8874741* 4.3695067E0
.000
6.570163
27.204786
MALLAWA
15.7214741* 3.7597685E0
.000
6.843881
24.599067
CENRANA
-16.8874741* 4.3695067E0
.000
-27.204786
-6.570163
-1.1660000 3.8561884E0
.951
-10.271261
7.939261
-15.7214741* 3.7597685E0
.000
-24.599067
-6.843881
CAMBA
1.1660000 3.8561884E0
.951
-7.939261
10.271261
CAMBA
16.8874741* 4.3695067E0
.000
6.338685
27.436263
MALLAWA
15.7214741* 3.7597685E0
.000
6.644704
24.798244
CENRANA
-16.8874741* 4.3695067E0
.000
-27.436263
-6.338685
-1.1660000 3.8561884E0
1.000
-10.475545
8.143545
-15.7214741* 3.7597685E0
.000
-24.798244
-6.644704
1.1660000 3.8561884E0
1.000
-8.143545
10.475545
CENRANA
MALLAWA MALLAWA
Sig.
CAMBA
MALLAWA MALLAWA
95% Confidence Interval Std. Error
CENRANA CAMBA
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
TINGKAT KEKOSMOPOLITAN PETANI Multiple Comparisons Dependent Variable KONTAK
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA
CAMBA MALLAWA
CAMBA
CENRANA
CAMBA
CAMBA
.000
-.639203
-.306723 .296163
-.540503
-.199497
.4729630*
.0704047
.000
.306723
.639203
CAMBA
.3700000*
.0722102
.000
.199497
.540503
CAMBA
-.1029630
.0818225
.629
-.300498
.094572
-.4729630*
.0704047
.000
-.642933
-.302993
CENRANA
.1029630
.0818225
.629
-.094572
.300498
-.3700000*
.0722102
.000
-.544329
-.195671
.4729630*
.0704047
.000
.302993
.642933
.3700000*
.0722102
.000
.195671
.544329
CAMBA
3.8894815* 1.2439566E0
.006
.952242
6.826721
MALLAWA
3.5560815* 1.0703700E0
.003
1.028716
6.083447
CENRANA
-3.8894815* 1.2439566E0
.006
-6.826721
-.952242
-.3334000 1.0978198E0
.950
-2.925580
2.258780
-3.5560815* 1.0703700E0
.003
-6.083447
-1.028716
CAMBA
.3334000 1.0978198E0
.950
-2.258780
2.925580
CAMBA
3.8894815* 1.2439566E0
.006
.886342
6.892621
MALLAWA
3.5560815* 1.0703700E0
.003
.972012
6.140151
CENRANA
-3.8894815* 1.2439566E0
.006
-6.892621
-.886342
-.3334000 1.0978198E0
1.000
-2.983738
2.316938
-3.5560815* 1.0703700E0
.003
-6.140151
-.972012
.3334000 1.0978198E0
1.000
-2.316938
2.983738
MALLAWA CENRANA CENRANA
.090237
.0704047
-.090237
MALLAWA
Bonferroni
-.296163
-.4729630*
.000
CAMBA CENRANA
.420 .420
MALLAWA CENRANA Tukey HSD
.0818225
.0722102
MALLAWA
AKSES
Lower Bound Upper Bound
-.1029630
.0818225
MALLAWA CAMBA
Sig.
.1029630
MALLAWA CENRANA CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
-.3700000*
MALLAWA
Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA MALLAWA CENRANA CAMBA
245 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable DEDAH
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
Mean Difference (I-J)
Lower Bound Upper Bound
.1296296*
.0519675
.036
.006923
MALLAWA
.1296296*
.0447158
.012
.024046
.235213
CENRANA
-.1296296*
.0519675
.036
-.252336
-.006923
MALLAWA
CAMBA
Sig.
CAMBA
.252336
.0000000
.0458625
1.000
-.108291
.108291
-.1296296*
.0447158
.012
-.235213
-.024046
CAMBA
.0000000
.0458625
1.000
-.108291
.108291
CAMBA
.1296296*
.0519675
.040
.004170
.255089
MALLAWA
.1296296*
.0447158
.012
.021678
.237582
CENRANA
-.1296296*
.0519675
.040
-.255089
-.004170
MALLAWA CENRANA Bonferroni CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
MALLAWA MALLAWA CENRANA
.0000000
.0458625
1.000
-.110721
.110721
-.1296296*
.0447158
.012
-.237582
-.021678
.0000000
.0458625
1.000
-.110721
.110721
CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
INTENSITAS PERAN PENYULUHAN KEHUTANAN Multiple Comparisons Dependent Variable FASIL
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
CENRANA CAMBA
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
9.05445
5.67849
.025
-4.3536
22.4626
5.80445*
4.88609
.046
-5.7326
17.3415
CENRANA
-9.05445*
5.67849
.025
-22.4626
4.3536
MALLAWA
-3.25000
5.01140
.097
-15.0830
8.5830
-5.80445
4.88609
.046
-17.3415
5.7326
CAMBA
3.25000
5.01140
.097
-8.5830
15.0830
CAMBA
9.05445*
5.67849
.029
-4.6545
22.7634
MALLAWA
5.80445*
4.88609
.047
-5.9915
17.6004
CENRANA
-9.05445*
5.67849
.029
-22.7634
4.6545
MALLAWA
-3.25000
5.01140
1.000
-15.3484
8.8484
-5.80445*
4.88609
.047
-17.6004
5.9915
CAMBA
3.25000
5.01140
1.000
-8.8484
15.3484
CAMBA
12.38943*
5.45209
.042
-.4841
25.2629
MALLAWA
10.80653*
4.69128
.048
-.2706
21.8836
CENRANA
-12.38943*
5.45209
.042
-25.2629
.4841
-1.58290
4.81159
.099
-12.9441
9.7783
-10.80653*
4.69128
.048
-21.8836
.2706
CAMBA
1.58290
4.81159
.099
-9.7783
12.9441
CAMBA
12.38943*
5.45209
.047
-.7729
25.5518
MALLAWA
10.80653*
4.69128
.049
-.5191
22.1321
CENRANA
-12.38943*
5.45209
.047
-25.5518
.7729
-1.58290
4.81159
1.000
-13.1990
10.0332
-10.80653*
4.69128
.049
-22.1321
.5191
1.58290
4.81159
1.000
-10.0332
13.1990
MALLAWA CENRANA CENRANA CAMBA
Lower Bound Upper Bound
MALLAWA
MALLAWA
Bonferroni
Sig.
CAMBA
MALLAWA CENRANA EDUC
95% Confidence Interval Std. Error *
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA MALLAWA CENRANA CAMBA
246 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable ADVO
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
CENRANA CAMBA
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
Lower Bound Upper Bound
CAMBA
-12.94331*
2.98233
.000
-19.9852
-5.9014
MALLAWA
-25.11111*
2.56617
.000
-31.1704
-19.0519
CENRANA
12.94331*
2.98233
.000
5.9014
19.9852
MALLAWA
-12.16780*
2.63198
.000
-18.3824
-5.9532
25.11111*
2.56617
.000
19.0519
31.1704
CAMBA
12.16780*
2.63198
.000
5.9532
18.3824
CAMBA
-12.94331*
2.98233
.000
-20.1432
-5.7434
MALLAWA
-25.11111*
2.56617
.000
-31.3063
-18.9159
CENRANA
12.94331*
2.98233
.000
5.7434
20.1432
MALLAWA
-12.16780*
2.63198
.000
-18.5219
-5.8137
25.11111*
2.56617
.000
18.9159
31.3063
12.16780*
2.63198
.000
5.8137
18.5219
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
DUKUNGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA Multiple Comparisons Dependent Variable ARIFAN
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
CAMBA
CENRANA CAMBA
Tukey HSD
CENRANA
5.08016
.843
-14.8223
4.37125
.997
-10.6487
9.9942
CENRANA
2.82704
5.08016
.843
-9.1683
14.8223
MALLAWA
2.49980
4.48335
.843
-8.0863
13.0859
.32724
4.37125
.997
-9.9942
10.6487
CAMBA
-2.49980
4.48335
.843
-13.0859
8.0863
CAMBA
-2.82704
5.08016
1.000
-15.0915
9.4374
MALLAWA
-.32724
4.37125
1.000
-10.8802
10.2258
CENRANA
2.82704
5.08016
1.000
-9.4374
15.0915
MALLAWA
2.49980
4.48335
1.000
-8.3238
13.3234
.32724
4.37125
1.000
-10.2258
10.8802
CAMBA
-2.49980
4.48335
1.000
-13.3234
8.3238
CAMBA
6.68661*
2.81101
.048
.0492
13.3240
CENRANA CAMBA
9.1683
9.0649
3.35371
2.41875
.350
-2.3574
CENRANA
-6.68661*
2.81101
.048
-13.3240
-.0492
MALLAWA
-3.33290
2.48078
.373
-9.1905
2.5247 2.3574
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Lower Bound Upper Bound
-.32724
MALLAWA CAMBA
Sig.
-2.82704
MALLAWA CENRANA TOMAS
95% Confidence Interval Std. Error
MALLAWA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Mean Difference (I-J)
-3.35371
2.41875
.350
-9.0649
CAMBA
3.33290
2.48078
.373
-2.5247
9.1905
CAMBA
6.68661
2.81101
.055
-.0997
13.4729
MALLAWA
3.35371
2.41875
.501
-2.4856
9.1930
CENRANA
-6.68661
2.81101
.055
-13.4729
.0997
MALLAWA
-3.33290
2.48078
.542
-9.3219
2.6561
-3.35371
2.41875
.501
-9.1930
2.4856
3.33290
2.48078
.542
-2.6561
9.3219
MALLAWA CENRANA CAMBA
247 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable KLPOK
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
CENRANA CAMBA
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
Lower Bound Upper Bound
-5.89167*
2.42522
.042
-11.6181
-.1652
MALLAWA
2.88513
2.08680
.352
-2.0422
7.8125
CENRANA
5.89167*
2.42522
.042
.1652
11.6181
MALLAWA
8.77680*
2.14031
.000
3.7231
13.8305
-2.88513
2.08680
.352
-7.8125
2.0422
CAMBA
-8.77680*
2.14031
.000
-13.8305
-3.7231
CAMBA
CAMBA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Mean Difference (I-J)
-5.89167*
2.42522
.048
-11.7466
-.0367
MALLAWA
2.88513
2.08680
.505
-2.1528
7.9230
CENRANA
5.89167*
2.42522
.048
.0367
11.7466
MALLAWA
8.77680*
2.14031
.000
3.6097
13.9439
-2.88513
2.08680
.505
-7.9230
2.1528
-8.77680*
2.14031
.000
-13.9439
-3.6097
MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
KESEMPATAN/PELUANG Multiple Comparisons Dependent Variable LLAHAN
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA MALLAWA
Bonferroni
CENRANA CAMBA MALLAWA
DUKPEM
Tukey HSD
CENRANA CAMBA MALLAWA
Bonferroni
CENRANA CAMBA MALLAWA
Mean Difference (I-J)
95% Confidence Interval Std. Error
Sig.
CAMBA
-.8411111
*
.1522019
.000
-1.200491
MALLAWA
-.9931111*
.1309631
.000
-1.302342
-.683880
CENRANA
.8411111*
.1522019
.000
.481731
1.200491
MALLAWA
-.1520000
.1343216
.496
-.469161
.165161
CENRANA
.9931111*
.1309631
.000
.683880
1.302342
CAMBA
.1520000
.1343216
.496
-.165161
.469161
CAMBA
-.8411111*
.1522019
.000
-1.208554
-.473668
MALLAWA
-.9931111*
.1309631
.000
-1.309280
-.676942
CENRANA
.8411111*
.1522019
.000
.473668
1.208554
MALLAWA
-.1520000
.1343216
.777
-.476277
.172277
CENRANA
.9931111*
.1309631
.000
.676942
1.309280
Lower Bound Upper Bound -.481731
CAMBA
.1520000
.1343216
.777
-.172277
.476277
CAMBA
1.3298874
2.3039189E0
.832
-4.110143
6.769918
MALLAWA
6.4250674*
1.9824210E0
.004
1.744160
11.105974
CENRANA
-1.3298874
2.3039189E0
.832
-6.769918
4.110143
MALLAWA
5.0951800*
2.0332605E0
.035
.294230
9.896130
CENRANA
-6.4250674*
1.9824210E0
.004
-11.105974
-1.744160
CAMBA
-5.0951800*
2.0332605E0
.035
-9.896130
-.294230
CAMBA
1.3298874
2.3039189E0
1.000
-4.232195
6.891970
MALLAWA
6.4250674*
1.9824210E0
.004
1.639140
11.210995
CENRANA
-1.3298874
2.3039189E0
1.000
-6.891970
4.232195
MALLAWA
5.0951800*
2.0332605E0
.039
.186517
10.003843
CENRANA
-6.4250674*
1.9824210E0
.004
-11.210995
-1.639140
CAMBA
-5.0951800*
2.0332605E0
.039
-10.003843
-.186517
248 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable DUKNPEM
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA MALLAWA
Bonferroni
CENRANA CAMBA MALLAWA
PASAR
Tukey HSD
CENRANA CAMBA MALLAWA
Bonferroni
CENRANA CAMBA MALLAWA
Tukey HSD
CENRANA CAMBA MALLAWA
Bonferroni
CENRANA CAMBA MALLAWA
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
CAMBA
-.5307704
1.4370753E0
.928
-3.924003
MALLAWA
-2.3645704
1.2365401E0
.138
-5.284298
.555157
CENRANA
.5307704
1.4370753E0
.928
-2.862462
3.924003
MALLAWA
-1.8338000
1.2682514E0
.319
-4.828405
1.160805
CENRANA
2.3645704
1.2365401E0
.138
-.555157
5.284298
CAMBA
1.8338000
1.2682514E0
.319
-1.160805
4.828405
CAMBA
-.5307704
1.4370753E0
1.000
-4.000133
2.938592
MALLAWA
-2.3645704
1.2365401E0
.172
-5.349805
.620664
CENRANA
.5307704
1.4370753E0
1.000
-2.938592
4.000133
MALLAWA
-1.8338000
1.2682514E0
.449
-4.895591
1.227991
CENRANA
2.3645704
1.2365401E0
.172
-.620664
5.349805
CAMBA
1.8338000
1.2682514E0
.449
-1.227991
4.895591
CAMBA
-10.2857333*
3.8985871E0
.024
-19.491106
-1.080361
MALLAWA
.1582667
3.3545628E0
.999
-7.762552
8.079085
CENRANA
10.2857333*
3.8985871E0
.024
1.080361
19.491106
MALLAWA
10.4440000*
3.4405912E0
.008
2.320051
18.567949
CENRANA
-.1582667
3.3545628E0
.999
-8.079085
7.762552
CAMBA
-10.4440000*
3.4405912E0
.008
-18.567949
-2.320051
CAMBA
-10.2857333*
3.8985871E0
.027
-19.697637
-.873830
MALLAWA
.1582667
3.3545628E0
1.000
-7.940262
8.256796
CENRANA
10.2857333*
3.8985871E0
.027
.873830
19.697637
MALLAWA
10.4440000*
3.4405912E0
.008
2.137783
18.750217
CENRANA
-.1582667
3.3545628E0
1.000
-8.256796
7.940262
CAMBA
-10.4440000*
3.4405912E0
.008
-18.750217
-2.137783 3.588733
Lower Bound Upper Bound 2.862462
CAMBA
-.2829630
1.6397101E0
.984
-4.154659
MALLAWA
-4.1224630*
1.4108985E0
.011
-7.453887
-.791039
CENRANA
.2829630
1.6397101E0
.984
-3.588733
4.154659
MALLAWA
-3.8395000*
1.4470812E0
.023
-7.256359
-.422641
CENRANA
4.1224630*
1.4108985E0
.011
.791039
7.453887
CAMBA
3.8395000*
1.4470812E0
.023
.422641
7.256359
CAMBA
-.2829630
1.6397101E0
1.000
-4.241523
3.675598
MALLAWA
-4.1224630*
1.4108985E0
.012
-7.528630
-.716296
CENRANA
.2829630
1.6397101E0
1.000
-3.675598
4.241523
MALLAWA
-3.8395000*
1.4470812E0
.026
-7.333019
-.345981
CENRANA
4.1224630*
1.4108985E0
.012
.716296
7.528630
CAMBA
3.8395000*
1.4470812E0
.026
.345981
7.333019
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
249 Lampiran 1 (sambungan) TINGKAT KOMPETENSI PETANI Multiple Comparisons Dependent Variable KOMTEK
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
-4.438292
2.928603
MALLAWA
2.8116556 1.3422983E0
.093
-.357789
5.981100
CENRANA
.7548444 1.5599847E0
.879
-2.928603
4.438292
3.5665000* 1.3767218E0
.028
.315774
6.817226
-2.8116556 1.3422983E0
.093
-5.981100
.357789
-3.5665000* 1.3767218E0
.028
-6.817226
-.315774
CAMBA
-.7548444 1.5599847E0
1.000
-4.520933
3.011244
MALLAWA
2.8116556 1.3422983E0
.112
-.428898
6.052209
CENRANA
.7548444 1.5599847E0
1.000
-3.011244
4.520933
3.5665000* 1.3767218E0
.031
.242841
6.890159
-2.8116556 1.3422983E0
.112
-6.052209
.428898
CAMBA
-3.5665000* 1.3767218E0
.031
-6.890159
-.242841
CAMBA
4.2626519* 1.7714429E0
.045
.079908
8.445396
MALLAWA
12.1866519* 1.5242488E0
.000
8.587584
15.785719
CENRANA
-4.2626519* 1.7714429E0
.045
-8.445396
-.079908
MALLAWA
7.9240000* 1.5633385E0
.000
4.232634
11.615366
-12.1866519* 1.5242488E0
.000
-15.785719
-8.587584
CAMBA
-7.9240000* 1.5633385E0
.000
-11.615366
-4.232634
CAMBA
4.2626519 1.7714429E0
.051
-.013936
8.539240
MALLAWA
12.1866519* 1.5242488E0
.000
8.506836
15.866468
CENRANA
-4.2626519 1.7714429E0
.051
-8.539240
.013936
MALLAWA
7.9240000* 1.5633385E0
.000
4.149815
11.698185
-12.1866519* 1.5242488E0
.000
-15.866468
-8.506836
CAMBA
-7.9240000* 1.5633385E0
.000
-11.698185
-4.149815
CAMBA
-.4593259 2.1136741E0
.974
-5.450149
4.531497
-1.3201259 1.8187237E0
.748
-5.614510
2.974258
CENRANA
.4593259 2.1136741E0
.974
-4.531497
5.450149
MALLAWA
-.8608000 1.8653652E0
.889
-5.265314
3.543714
1.3201259 1.8187237E0
.748
-2.974258
5.614510
CAMBA
.8608000 1.8653652E0
.889
-3.543714
5.265314
CAMBA
-.4593259 2.1136741E0
1.000
-5.562122
4.643471
-1.3201259 1.8187237E0
1.000
-5.710858
3.070606
CENRANA
.4593259 2.1136741E0
1.000
-4.643471
5.562122
MALLAWA
-.8608000 1.8653652E0
1.000
-5.364133
3.642533
1.3201259 1.8187237E0
1.000
-3.070606
5.710858
.8608000 1.8653652E0
1.000
-3.642533
5.364133
MALLAWA MALLAWA CENRANA KOMJER
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
CENRANA CAMBA
MALLAWA CENRANA KOMSOS
Tukey HSD
CENRANA
MALLAWA CAMBA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
CENRANA
MALLAWA CAMBA
Lower Bound Upper Bound
.879
CAMBA
CAMBA
Sig.
-.7548444 1.5599847E0
MALLAWA CENRANA CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
CAMBA
MALLAWA
Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
250 Lampiran 1 (sambungan) TINGKAT MOTIVASI PETANI Multiple Comparisons Dependent Variable MTVDAPAT Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA
CAMBA MALLAWA
CAMBA
CENRANA
CENRANA CAMBA
CENRANA CAMBA
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
22.961393
.171
-17.317187
2.316491
CAMBA
-12.8928000* 4.2641716E0
.008
-22.961393
-2.824207
CAMBA
-5.3924519 4.8317987E0
.797
-17.057299
6.272395
7.5003481 4.1575504E0
.218
-2.536740
17.537436
CENRANA
5.3924519 4.8317987E0
.797
-6.272395
17.057299
12.8928000* 4.2641716E0
.008
2.598309
23.187291
-7.5003481 4.1575504E0
.218
-17.537436
2.536740
CAMBA
-12.8928000* 4.2641716E0
.008
-23.187291
-2.598309
CAMBA
-17.5305926* 4.7046462E0
.001
-28.639238
-6.421947
MALLAWA
-6.0306926 4.0481413E0
.298
-15.589194
3.527809
CENRANA
17.5305926* 4.7046462E0
.001
6.421947
28.639238
MALLAWA
11.4999000* 4.1519567E0
.017
1.696269
21.303531
6.0306926 4.0481413E0
.298
-3.527809
15.589194
CAMBA
-11.4999000* 4.1519567E0
.017
-21.303531
-1.696269
CAMBA
-17.5305926* 4.7046462E0
.001
-28.888470
-6.172715
MALLAWA
-6.0306926 4.0481413E0
.414
-15.803647
3.742262
CENRANA
17.5305926* 4.7046462E0
.001
6.172715
28.888470
MALLAWA
11.4999000* 4.1519567E0
.018
1.476316
21.523484
6.0306926 4.0481413E0
.414
-3.742262
15.803647
CAMBA
-11.4999000* 4.1519567E0
.018
-21.523484
-1.476316
CAMBA
-15.2844074* 3.6905538E0
.000
-23.998570
-6.570244
MALLAWA
-11.3680074* 3.1755594E0
.001
-18.866162
-3.869853
CENRANA
15.2844074* 3.6905538E0
.000
6.570244
23.998570
MALLAWA
CENRANA CAMBA
17.317187
-7.5003481 4.1575504E0
3.9164000 3.2569972E0
.453
-3.774046
11.606846
11.3680074* 3.1755594E0
.001
3.869853
18.866162
CAMBA
-3.9164000 3.2569972E0
.453
-11.606846
3.774046
CAMBA
-15.2844074* 3.6905538E0
.000
-24.194080
-6.374735
MALLAWA
-11.3680074* 3.1755594E0
.001
-19.034389
-3.701626
CENRANA
15.2844074* 3.6905538E0
.000
6.374735
24.194080
MALLAWA CENRANA Bonferroni
6.016427
-2.316491
16.801331
MALLAWA CENRANA MTVLSTRI
-16.801331
.171
2.824207
MALLAWA CENRANA Bonferroni
.505
7.5003481 4.1575504E0
-6.016427
MALLAWA CENRANA Tukey HSD
-5.3924519 4.8317987E0
.008
MALLAWA
MTVAKUA N
Lower Bound Upper Bound
.505
MALLAWA CAMBA
Sig.
5.3924519 4.8317987E0
MALLAWA CENRANA CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
12.8928000* 4.2641716E0
MALLAWA
Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
3.9164000 3.2569972E0
.692
-3.946588
11.779388
11.3680074* 3.1755594E0
.001
3.701626
19.034389
-3.9164000 3.2569972E0
.692
-11.779388
3.946588
251 Lampiran 1 (sambungan)
TINGKAT PARTISIPASI PETANI Multiple Comparisons Dependent Variable RENCANA
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
CAMBA
1.4393713E0
.000
10.115398
16.5146519* 1.2385158E0
.000
13.590259
19.439044
CENRANA
-13.5140519* 1.4393713E0
.000
-16.912706
-10.115398
3.0006000* 1.2702777E0
.050
.001211
5.999989
-16.5146519* 1.2385158E0
.000
-19.439044
-13.590259
CAMBA
-3.0006000* 1.2702777E0
.050
-5.999989
-.001211
CAMBA
13.5140519* 1.4393713E0
.000
10.039146
16.988958
MALLAWA
16.5146519* 1.2385158E0
.000
13.524648
19.504656
CENRANA
-13.5140519* 1.4393713E0
.000
-16.988958
-10.039146
MALLAWA
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
3.0006000 1.2702777E0
.057
-.066083
6.067283
.000
-19.504656
-13.524648
CAMBA
-3.0006000 1.2702777E0
.057
-6.067283
.066083
CAMBA
-10.2852815* 1.7893535E0
.000
-14.510316
-6.060247
MALLAWA
-9.9738815* 1.5396601E0
.000
-13.609338
-6.338425
CENRANA
10.2852815* 1.7893535E0
.000
6.060247
14.510316
MALLAWA
CENRANA CAMBA
.3114000 1.5791449E0
.979
-3.417289
4.040089
9.9738815* 1.5396601E0
.000
6.338425
13.609338
CAMBA
-.3114000 1.5791449E0
.979
-4.040089
3.417289
CAMBA
-10.2852815* 1.7893535E0
.000
-14.605109
-5.965454
MALLAWA
-9.9738815* 1.5396601E0
.000
-13.690903
-6.256860
CENRANA
10.2852815* 1.7893535E0
.000
5.965454
14.605109
MALLAWA
.3114000 1.5791449E0
1.000
-3.500945
4.123745
9.9738815* 1.5396601E0
.000
6.256860
13.690903
CAMBA
-.3114000 1.5791449E0
1.000
-4.123745
3.500945
CAMBA
2.1441926 2.8144094E0
.727
-4.501212
8.789597
MALLAWA
-.8560074 2.4216756E0
.933
-6.574086
4.862071
CENRANA
-2.1441926 2.8144094E0
.727
-8.789597
4.501212
MALLAWA
-3.0002000 2.4837799E0
.450
-8.864920
2.864520
.8560074 2.4216756E0
.933
-4.862071
6.574086
CAMBA
3.0002000 2.4837799E0
.450
-2.864520
8.864920
CAMBA
2.1441926 2.8144094E0
1.000
-4.650307
8.938692
MALLAWA
-.8560074 2.4216756E0
1.000
-6.702376
4.990361
CENRANA
-2.1441926 2.8144094E0
1.000
-8.938692
4.650307
MALLAWA
-3.0002000 2.4837799E0
.685
-8.996500
2.996100
.8560074 2.4216756E0
1.000
-4.990361
6.702376
3.0002000 2.4837799E0
.685
-2.996100
8.996500
MALLAWA CENRANA MANFAAT
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
CENRANA CAMBA
16.912706
-16.5146519* 1.2385158E0
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Lower Bound Upper Bound
13.5140519
MALLAWA CENRANA LAKSANA
*
Sig.
MALLAWA
MALLAWA CENRANA CENRANA
95% Confidence Interval Std. Error
CAMBA
MALLAWA
Bonferroni
Mean Difference (I-J)
MALLAWA CENRANA CAMBA
252 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable MONEV
Tukey HSD
(I) (J) KECAMATA KECAMATA N N CENRANA CAMBA
Mean Difference (I-J)
CAMBA
CENRANA CAMBA
Sig.
Lower Bound Upper Bound
-4.2573333 2.0677627E0
.101
-9.139750
.625083
MALLAWA
-.9900333 1.7792189E0
.843
-5.191138
3.211072
CENRANA
4.2573333 2.0677627E0
.101
-.625083
9.139750
MALLAWA
3.2673000 1.8248473E0
.175
-1.041543
7.576143
.9900333 1.7792189E0
.843
-3.211072
5.191138
CAMBA
-3.2673000 1.8248473E0
.175
-7.576143
1.041543
CAMBA
-4.2573333 2.0677627E0
.122
-9.249291
.734625
MALLAWA
-.9900333 1.7792189E0
1.000
-5.285394
3.305327
CENRANA
4.2573333 2.0677627E0
.122
-.734625
9.249291
MALLAWA
3.2673000 1.8248473E0
.225
-1.138216
7.672816
.9900333 1.7792189E0
1.000
-3.305327
5.285394
-3.2673000 1.8248473E0
.225
-7.672816
1.138216
MALLAWA CENRANA Bonferroni
95% Confidence Interval Std. Error
MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
KEBERLANJUTAN MANFAAT HUTAN Multiple Comparisons Dependent Variable EKO
Tukey HSD
(I) (J) Mean KECAMATA KECAMATA Difference (IN N J) CENRANA CAMBA
CAMBA
CENRANA CAMBA
Tukey HSD
CENRANA CAMBA
4.8706000 3.7295131E0
.394
-3.935554
13.676754
.480
-11.290608
3.864008
CENRANA
-4.8706000 3.7295131E0
.394
-13.676754
3.935554
MALLAWA
-8.5839000* 3.2913796E0
.026
-16.355530
-.812270
3.7133000 3.2090821E0
.480
-3.864008
11.290608
CAMBA
8.5839000* 3.2913796E0
.026
.812270
16.355530
CAMBA
4.8706000 3.7295131E0
.579
-4.133128
13.874328
MALLAWA
-3.7133000 3.2090821E0
.746
-11.460612
4.034012
CENRANA
-4.8706000 3.7295131E0
.579
-13.874328
4.133128
MALLAWA
-8.5839000* 3.2913796E0
.029
-16.529893
-.637907
3.7133000 3.2090821E0
.746
-4.034012
11.460612
CAMBA
8.5839000* 3.2913796E0
.029
.637907
16.529893
CAMBA
8.6320667 5.3189516E0
.238
-3.927081
21.191214
MALLAWA
-8.5686333 4.5767241E0
.149
-19.375228
2.237961
CENRANA
-8.6320667 5.3189516E0
.238
-21.191214
3.927081
-17.2007000* 4.6940950E0
.001
-28.284432
-6.116968
MALLAWA MALLAWA CENRANA Bonferroni
CENRANA CAMBA
Lower Bound Upper Bound
-3.7133000 3.2090821E0
MALLAWA CENRANA EKOL
Sig.
MALLAWA
MALLAWA CENRANA Bonferroni
95% Confidence Interval Std. Error
8.5686333 4.5767241E0
.149
-2.237961
19.375228
CAMBA
17.2007000* 4.6940950E0
.001
6.116968
28.284432
CAMBA
8.6320667 5.3189516E0
.319
-4.208857
21.472990
MALLAWA
-8.5686333 4.5767241E0
.188
-19.617683
2.480417
CENRANA
-8.6320667 5.3189516E0
.319
-21.472990
4.208857
-17.2007000* 4.6940950E0
.001
-28.533105
-5.868295
8.5686333 4.5767241E0
.188
-2.480417
19.617683
17.2007000* 4.6940950E0
.001
5.868295
28.533105
MALLAWA MALLAWA CENRANA CAMBA
253 Lampiran 1 (sambungan) Dependent Variable SOS
Tukey HSD
(I) (J) Mean KECAMATA KECAMATA Difference (IN N J) CENRANA
CENRANA
4.479946
-2.8205593 4.2026342E0
.781
-12.743850
7.102732
CENRANA
-16.0125407* 4.8841939E0
.004
-27.545136
-4.479946
MALLAWA
-18.8331000* 4.3104116E0
.000
-29.010876
-8.655324
2.8205593 4.2026342E0
.781
-7.102732
12.743850
CAMBA
18.8331000* 4.3104116E0
.000
8.655324
29.010876
CAMBA
16.0125407* 4.8841939E0
.004
4.221202
27.803879
-2.8205593 4.2026342E0
1.000
-12.966488
7.325369
CENRANA
-16.0125407* 4.8841939E0
.004
-27.803879
-4.221202
MALLAWA
-18.8331000* 4.3104116E0
.000
-29.239223
-8.426977
2.8205593 4.2026342E0
1.000
-7.325369
12.966488
18.8331000* 4.3104116E0
.000
8.426977
29.239223
MALLAWA CAMBA
Lower Bound Upper Bound
.004
MALLAWA CENRANA Bonferroni
Sig.
16.0125407* 4.8841939E0
CAMBA MALLAWA
CAMBA
95% Confidence Interval Std. Error
MALLAWA CENRANA CAMBA *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
27.545136
254 Lampiran 2
TAHAPAN ANALISIS SEM MENGGUNAKAN LISREL 8.70 1. Pendugaan Parameter Model Pengukuran Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan Kemiri Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelkolaan hutan kemiri rakyat menggunakan structural equation modelling (SEM) diawali dengan melakukan pendugaan atau pengujian terhadap parameter dari model (kerangka pikir). Pengujian model dilaksanakan dengan menggunakan prosedur dua tahap atau two step approach (Anderson dan Gerbing dalam Wijanto, 2008). Tahap pertama adalah pengujian secara simultan model pengukuran atau Confirmatory Factor Analysis (CFA) yang bertujuan untuk mengukur nilai dari parameter-parameter yang ada di dalam model (measurement model) atau memperoleh informasi indikator-indikator yang paling dominan atau paling kuat merefleksikan variabel-variabel penelitian. Pengujian CFA dilakukan dengan tahapan: 1) memeriksa adanya koefisien bobot faktor terstandarkan (standardized loading factor/SLF) > 1. Jika ada maka dilakukan perbaikan model, dengan cara menetapkan SLF = 1 atau error variance = 0. 2) memeriksa kemampuan indikator merefleksikan variabel, dengan cara: a)
menguji secara individual kebermaknaan (test of significance) dari setiap indikator, dengan cara mengevaluasi t-value dari SLF indikator-indikator dalam model ada yang < 1,96. Jika ada indikator dengan t-value < 1,96, maka dikeluarkan dari model.
b) Mengevaluasi SLF dari indikator-indikato dalam model < 0,50. Heir et. Al dalam Kusnendi (2008) dan Igbaria dalam Wijanto (2008) memberi nilai cut off untuk SLF dari sebuah indikator minimal 0,50, dengan demikian jika ada indikator dengan SLF < 0,50, maka indikator tersebut dikeluarkan (tidak diikutkan) dari model. 3) Uji kecocokan keseluran model (overall model fit test ) pengukuran, dilakukan dengan menggunakan ukuran Goodness of Fit Test (GFT) utama dengan kriteria p-value dari statistik uji chi-square > 0,05, nilai RMSEA < 0,08, nilai CFI > 0,90, dan nilai GFI > 0,90. GFT ditunjukkan untuk mengevaluasi kesesuaian antara data yang dikumpulkan dengan model yang diajukan. Jika nilai-nilai yang diperoleh belum memenuhi kriteria GFT, maka dilakukan perbaikan model. Jika telah memenuhi persyaratan GFT maka dikatakan model fit dengan data dengan kata lain model dapat diberlakukan (digeneralisasikan) bagi populasi penelitian (Kusnendi, 2008; Wijanto, 2008).
255 Lampiran 2 (sambungan) 4) Evaluasi terhadap reliabilitas model pengukuran (CFA), dilakukan dengan menghitung nilai construct reability (CR) dan variance extract (VE) dari SLF dan error variance menggunakan rumus:
CR =
(∑SLF)2
VE =
(∑SLF)2 + ∑e
(∑SLF)2 k
Reabilitas model pengukuran dikatakan baik apabila nilai CR > 0,70 dan nilai VE > 0,50. Setelah program LISREL 8.70 dijalankan diperoleh keluaran path diagram (diagram lintasan) model pengukuran/CFA sebagaimana proses analisis di bawah ini (Gambar 1 dan Gambar 2). Gambar 1 dan Gambar 2 memperlihatkan terdapat beberapa indikator dengan nilai tvalue < 1,96, nilai SLF < 0,50, dan juga ukuran GFT belum memenuhi kriteria uji kecocokan keseluruhan model yaitu nilai p-value = 0,00000 (< 0,05), nilai RMSEA = 0,110 (>0,08), nilai CFI = 0,7984 (<0,90) dan nilai GFI = 0,6647 (<0,90). Hal ini berarti terdapat beberapa indikator yang tidak mampu secara dominan merefleksikan variabel penelitian, serta model belum fit dengan data atau model belum mampu diberlakukan untuk populasi, dengan demikian model perlu diperbaiki. Perbaikan model dilakukan dengan cara mengeluarkan (trimming) indikator-indikator yang tidak signifikan atau memiliki SLF < 0,50 dan/atau t-value dari SLF < 1,96. DATE: 5/30/2010 TIME: 7:31 L I S R E L 8.70 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\Users\TOSHIBA PORTEGE\Documents\ANALISA DATA PENELITIANl\DATAa.Spl: Observed Variables UMUR PGLAMAN DIKFORM DIKNFORM INCOME TANGKEL TUNGSDH KONTAK AKSES DEDAH FASIL EDUC ADVO ARIFAN TOMAS KLPOK STLAHAN LLAHAN DUKPEM DUKNPEM PASAR MODAL KOMTEK KOMJER KOMSOS MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI RENCANA LAKSANA MANFAAT MONEV EKO EKOL SOS Raw Data from Files DATA.PSF Sample Size 204
256 Lampiran 2 (sambungan) Latent Variables KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK PELUANG KMPETNSI MOTIVASI PRTSPASI JUTFAAT Relationships PGLAMAN UMUR DIKFORM DIKNFORM INCOME TANGKEL TUNGSDH = KI AKSES KONTAK DEDAH = KOSMO FASIL EDUC ADVO = PRNPKL ARIFAN TOMAS KLPOK = DUKLINGK DUKPEM STLAHAN LLAHAN DUKNPEM PASAR MODAL = PELUANG KOMTEK KOMJER KOMSOS = KMPETNSI MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI = MOTIVASI LAKSANA RENCANA MANFAAT MONEV = PRTSPASI EKO EKOL SOS =JUTFAAT Options: AD=OFF ND=4 Path Diagram End of Problems Sample Size = 204 Number of Iterations = 44 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations UMUR = 0.7667*KI, Errorvar.= 40.9518, R² = 0.5469 (0.05724) (4.4715) 13.3946 9.1584 PGLAMAN = 9.3269*KI, Errorvar.= 14.3631, R² = 0.8541 (0.5450) (2.9120) 17.1132 4.9324 DIKFORM = - 0.2430*KI, Errorvar.= 8.3087 , R² = 0.3741 (0.02433) (0.8629) -9.9873 9.6286 DIKNFORM = - 0.02135*KI, Errorvar.= 12.4895, R² = 0.003059 (0.02803) (1.2400) -0.7616 10.0725 INCOME = - 0.07008*KI, Errorvar.= 62.4781, R² = 0.006566 (0.06271) (6.2045) -1.1175 10.0699 TANGKEL = 0.02652*KI, Errorvar.= 1.9817 , R² = 0.02898 (0.01120) (0.1971) 2.3683 10.0528 TUNGSDH = 0.08069*KI, Errorvar.= 1.4030 , R² = 0.2807 (0.009791) (0.1434) 8.2408 9.7851
257 Lampiran 2 (sambungan) KONTAK = 0.006291*KOSMO, Errorvar.= 0.2184 , R² = 0.0001811 (0.02720) (0.02168) 0.2313 10.0753 AKSES = 0.1938*KOSMO, Errorvar.= 0.09000, R² = 0.2945 (0.03173) 6.1089 DEDAH = - 0.04057*KOSMO, Errorvar.= 0.07106 , R² = 0.02263 (0.01649) (0.007015) -2.4598 10.1299 FASIL = 3.1689*PRNPKL, Errorvar.= 2.0528 , R² = 0.8303 (0.1964) (0.4380) 16.1316 4.6865 EDUC = 3.2041*PRNPKL, Errorvar.= 1.1048 , R² = 0.9028 (0.1859) (0.4110) 17.2379 2.6880 ADVO = 0.5232*PRNPKL, Errorvar.= 4.6173 , R² = 0.05597 (0.1579) (0.4601) 3.3140 10.0354 ARIFAN = 1.0894*DUKLINGK, Errorvar.= 1.0000, R² = 0.5427 (0.09481) 11.4901 TOMAS = 1.6582*DUKLINGK, Errorvar.= 2.0000, R² = 0.5789 (0.1373) 12.0760 KLPOK = 0.07420*DUKLINGK, Errorvar.= 1.3427 , R² = 0.004084 (0.09148) (0.1334) 0.8111 10.0639 STLAHAN = - 0.02000*PELUANG, Errorvar.= 0.8756 , R² = 0.002410 (0.03087) (0.08694) -0.6481 10.0707 LLAHAN = 0.09767*PELUANG, Errorvar.= 1.0452 , R² = 0.04604 (0.03498) (0.1046) 2.7926 9.9900 DUKPEM = 1.6568*PELUANG, Errorvar.= 1.1113 , R² = 0.8263 (0.1379) (0.6064) 12.0132 1.8326 DUKNPEM = - 0.003498*PELUANG, Errorvar.= 0.1951 , R² = 0.0003315 (0.01455) (0.01937) -0.2405 10.0742 PASAR = 0.5383*PELUANG, Errorvar.= 2.4202 , R² = 0.3876 (0.07639) (0.2976) 7.0468 8.1320
258 Lampiran 2 (sambungan) MODAL = 0.01405*PELUANG, Errorvar.= 0.08782 , R² = 0.01174 (0.009851) (0.008734) 1.4263 10.0549 KOMTEK = 5.4684*KMPETNSI, Errorvar.= 14.9807, R² = 0.6662 (0.4037) (2.0169) 13.5458 7.4277 KOMJER = 5.3283*KMPETNSI, Errorvar.= 39.5144, R² = 0.4181 (0.5339) (4.2079) 9.9802 9.3905 KOMSOS = 4.0669*KMPETNSI, Errorvar.= 20.8788, R² = 0.4420 (0.3935) (2.2446) 10.3356 9.3016 MTVDAPAT = 1.5684*MOTIVASI, Errorvar.= 2.6380 , R² = 0.4825 (0.1497) (0.3189) 10.4739 8.2718 MTVAKUAN = 1.1567*MOTIVASI, Errorvar.= 0.8570 , R² = 0.6096 (0.09479) (0.1229) 12.2030 6.9757 MTVLSTRI = 1.6783*MOTIVASI, Errorvar.= 2.7133 , R² = 0.5094 (0.1547) (0.3367) 10.8492 8.0574 RENCANA = 0.2238*PRTSPASI, Errorvar.= 3.2488 , R² = 0.01519 (0.1387) (0.3234) 1.6138 10.0446 LAKSANA = 5.4858*PRTSPASI, Errorvar.= 16.4628, R² = 0.6464 (0.4511) (2.9127) 12.1602 5.6521 MANFAAT = 1.4474*PRTSPASI, Errorvar.= 2.5195 , R² = 0.4540 (0.1451) (0.3027) 9.9787 8.3242 MONEV = 0.2899*PRTSPASI, Errorvar.= 2.4477 , R² = 0.03320 (0.1209) (0.2446) 2.3973 10.0077 EKO = 1.5713*JUTFAAT, Errorvar.= 2.8558 , R² = 0.4637 (0.1481) (0.3131) 10.6079 9.1202 EKOL = 2.6899*JUTFAAT, Errorvar.= 10.2557, R² = 0.4137 (0.2721) (1.0963) 9.8840 9.3550 SOS = 2.3417*JUTFAAT, Errorvar.= 4.2193 , R² = 0.5651 (0.1946) (0.5040) 12.0322 8.3716
259 Lampiran 2 (sambungan) Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 527 Minimum Fit Function Chi-Square = 1674.8295 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 1819.2307 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1292.2307 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1166.2122 ; 1425.8031) Minimum Fit Function Value = 8.2504 Population Discrepancy Function Value (F0) = 6.3657 90 Percent Confidence Interval for F0 = (5.7449 ; 7.0237) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.1099 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.1044 ; 0.1154) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.0000 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 9.9765 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (9.3557 ; 10.6345) ECVI for Saturated Model = 6.2069 ECVI for Independence Model = 31.3453 Chi-Square for Independence Model with 595 Degrees of Freedom = 6293.0956 Independence AIC = 6363.0956 Model AIC = 2025.2307 Saturated AIC = 1260.0000 Independence CAIC = 6514.2298 Model CAIC = 2469.9970 Saturated CAIC = 3980.4156 Normed Fit Index (NFI) = 0.7339 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.7726 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.6500 Comparative Fit Index (CFI) = 0.7986 Incremental Fit Index (IFI) = 0.8009 Relative Fit Index (RFI) = 0.6995 Critical N (CN) = 74.3854 Root Mean Square Residual (RMR) = 1.4453 Standardized RMR = 0.1096 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.6644 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.5988 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.5558 Time used: 0.047 Seconds
260
Gambar 1. Pendugaan Simultan Parameter (CFA)/Model Pengukuran (standardized (standardized)
261 Lampiran 2 (Sambungan Sambungan)
Gambar 2. Pendugaan Simultan Parameter (CFA)/Model Pengukuran (t-values values)
262 Lampiran 2 (sambungan) Dari Gambar 1 dan Gambar 2 terlihat bahwa indikator-indikator yang dikeluarkan dari model adalah X1.3 (pendidikan formal), X1.4 (pendidikan non formal), X1.5 (tingkat pendapatan), X1.6 (jumlah tanggungan keluarga), X2.1 (kontak dengan pihak luar komunitas), X2.3 (keterdedahan terhadap media massa), X3.3 (peran penyuluh sebagai advokator), X4.3 (dukungan kelompok tani), X5.1 (status lahan kemiri kemiri yang dikelola), X5.2 (luas lahan kemiri yang dikelola), X5.4 (dukungan organisasi non pemerintah), X5.6 (bantuan permodalan), Y1.1 (partisipasi dalam merencanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri), Y1.4 (partisipasi dalam melakukan pengawasan dan penilaian kegiatan pengelolaan hutan kemiri). Setelah trimming dan melewati proses perbaikan sebagaimana di bawah ini diperoleh hasil akhir CFA (Gambar 3 dan Gambar4). DATE: 5/30/2010 TIME: 8:00 L I S R E L 8.70 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\Users\TOSHIBA PORTEGE\Documents\ANALISA DATA PENELITIAN\DATAc.Spl: Observed Variables UMUR PGLAMAN DIKFORM DIKNFORM INCOME TANGKEL TUNGSDH KONTAK AKSES DEDAH FASIL EDUC ADVO ARIFAN TOMAS KLPOK STLAHAN LLAHAN DUKPEM DUKNPEM PASAR MODAL KOMTEK KOMJER KOMSOS MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI RENCANA LAKSANA MANFAAT MONEV EKO EKOL SOS Raw Data from Files DATA.PSF Sample Size 204 Latent Variables KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK PELUANG KMPETNSI MOTIVASI PRTSPASI JUTFAAT Relationships PGLAMAN UMUR TUNGSDH = KI AKSES = 1*KOSMO FASIL EDUC = PRNPKL ARIFAN TOMAS = DUKLINGK DUKPEM PASAR = PELUANG KOMTEK KOMJER KOMSOS = KMPETNSI MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI = MOTIVASI
263 Lampiran 2 (sambungan) LAKSANA MANFAAT = PRTSPASI EKO EKOL SOS =JUTFAAT Set error of LAKSANA and KOMJER free Set error of MTVLSTRI and KOMJER free Set error of KOMSOS and KOMJER free Set error of MTVAKUAN and KOMTEK free Set error of MANFAAT and KOMJER free Set error of MANFAAT and MTVAKUAN free Set error of MTVLSTRI and MANFAAT free Set error of PASAR and EDUC free Set error of AKSES and PGLAMAN free Let error of AKSES to 0 Options: AD=OFF ND=4 Path Diagram End of Problems Sample Size = 204 Number of Iterations = 14 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations UMUR = 6.9517*KI, Errorvar.= 42.0590, R² = 0.5347 (0.5843) (4.5127) 11.8974 9.3201 PGLAMAN = 9.2850*KI, Errorvar.= 12.2403, R² = 0.8757 (0.5465) (3.2339) 16.9892 3.7850 TUNGSDH = 0.7164*KI, Errorvar.= 1.4372 , R² = 0.2631 (0.09297) (0.1448) 7.7052 9.9258 AKSES = 0.3565*KOSMO,, R² = 1.0000 (0.01746) 20.4178 FASIL = 3.1200*PRNPKL, Errorvar.= 2.3607 , R² = 0.8048 (0.1985) (0.4506) 15.7161 5.2386 EDUC = 3.2668*PRNPKL, Errorvar.= 0.7822 , R² = 0.9317 (0.1846) (0.4319) 17.6994 1.8110 ARIFAN = 1.0920*DUKLINGK, Errorvar.= 1.0000, R² = 0.5439 (0.09494) 11.5016
264 Lampiran 2 (sambungan) TOMAS = 1.6529*DUKLINGK, Errorvar.= 2.0000, R² = 0.5774 (0.1372) 12.0439 DUKPEM = 2.1715*PELUANG, Errorvar.= 1.6828 , R² = 0.7370 (0.1884) (0.5675) 11.5251 2.9652 PASAR = 1.3158*PELUANG, Errorvar.= 2.2632 , R² = 0.4334 (0.1447) (0.3010) 9.0943 7.5197 KOMTEK = 5.4590*KMPETNSI, Errorvar.= 15.6856, R² = 0.6552 (0.4063) (2.0789) 13.4347 7.5452 KOMJER = 5.5025*KMPETNSI, Errorvar.= 37.6691, R² = 0.4456 (0.5410) (4.2718) 10.1706 8.8181 KOMSOS = 4.2265*KMPETNSI, Errorvar.= 19.5547, R² = 0.4774 (0.3955) (2.2176) 10.6864 8.8181 MTVDAPAT = 1.5808*MOTIVASI, Errorvar.= 2.5989 , R² = 0.4902 (0.1479) (0.3092) 10.6910 8.4061 MTVAKUAN = 1.1140*MOTIVASI, Errorvar.= 0.9410 , R² = 0.5687 (0.09470) (0.1253) 11.7636 7.5086 MTVLSTRI = 1.6956*MOTIVASI, Errorvar.= 2.6071 , R² = 0.5244 (0.1537) (0.3331) 11.0342 7.8278 LAKSANA = 5.4953*PRTSPASI, Errorvar.= 16.2125, R² = 0.6507 (0.4500) (2.9045) 12.2122 5.5819 MANFAAT = 1.5014*PRTSPASI, Errorvar.= 2.3572 , R² = 0.4888 (0.1448) (0.2995) 10.3711 7.8711 EKO = 1.5728*JUTFAAT, Errorvar.= 2.8510 , R² = 0.4646 (0.1474) (0.3094) 10.6724 9.2146 EKOL = 2.7154*JUTFAAT, Errorvar.= 9.0000, R² = 0.4503 (0.2582) 10.5150 SOS = 2.3742*JUTFAAT, Errorvar.= 4.0659 , R² = 0.5809 (0.1925) (0.4832) 12.3358 8.4154
265 Lampiran 2 (sambungan) Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 148 Minimum Fit Function Chi-Square = 178.5420 (P = 0.04418) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 177.3578 (P = 0.05017) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 29.3578 90 Percent Confidence Interval for NCP = (19.4270 ; 41.1168) Minimum Fit Function Value = 1.4115 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.1446 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0422 ; 0.5626) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.03125 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.01912 ; 0.04317) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.23683 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.2073 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (1.9925 ; 2.4605) ECVI for Saturated Model = 2.2759 ECVI for Independence Model = 22.3111
Lampiran 2 (sambungan) Chi-Square for Independence Model with 210 Degrees of Freedom = 4487.1479 Independence AIC = 4529.1479 Model AIC = 448.0733 Saturated AIC = 462.0000 Independence CAIC = 4619.8284 Model CAIC = 806.4773 Saturated CAIC = 1459.4857 Normed Fit Index (NFI) = 0.9361 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.9540 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.6598 Comparative Fit Index (CFI) = 0.9676 Incremental Fit Index (IFI) = 0.9681 Relative Fit Index (RFI) = 0.9094 Critical N (CN) = 136.2776 Root Mean Square Residual (RMR) = 1.1259 Standardized RMR = 0.05514 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.9201 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.9027 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.5680 Time used:
0.296 Seconds
266 Lampiran 2 (sambungan sambungan)
Gambar 3. Perbaikan Pendugaan Simultan Parameter (CFA)/Model Pengukuran (standardized)
Gambar 4. Perbaikan Pendugaan Simultan Parameter (CFA)/Model Pengukuran (t-value)
267 Lampiran 2 (sambungan) Berdasarkan perbaikan pendugaan simultan parameter (CFA) di atas, dapat dihitung reliabilitas model pengukuran.
X1 X2 X3 X4 X5 Y1 Y2 Y3 Y4
Ringkasan Reliabilitas Model Pengukuran Model Pengukuran Contruct Reliability (CR) Karakteristik individu petani 0,78 Tingkat kekosmopolitan petani 1,00 Intesitas peran penyuluh kehutanan 0,93 Dukungan Lingkungan Sosial Budaya 0,72 Kesempatan/Peluang 0,74 Tingkat Kemampuan (Kompetensi) Petani 0,77 Tingkat Motivasi Petani 0,77 Tingkat Partisipasi Petani 0,73 Keberlanjutan Manfaat Hutan 0,75
Variance Extract (VE) 0,56 1,00 0,88 0,56 0,59 0,53 0,52 0,57 0,50
Merujuk hasil analisis data diperoleh informasi obyektif sebagai berikut: Hasil uji kecocokan model menggunakan ukuran GFT utama memberikan nilai p-value dari statistik uji chi-square = 0,05017 (> 0,05), nilai RMSEA = 0,031 (< 0,08), CFI = 0,9676 (> 0,90), dan GFI = 9201 (> 0,90). Dengan demikian model fit dengan data. Artinya, model mampu diberlakukan bagi populasi, dengan kata lain pendugaan parameter yang diperoleh dari data sampel dapat dijadikan basis untuk membuat generalisasi tentang fenomena yang diteliti. Nilai SLF indikator semuanya lebih besar dari cut off value yang disyaratkan sebesar 0,50, dan t-value dari seluruh SLF > 1,96.
Hal tersebut berariti secara signifikan indikator-indikator
tersebut mampu merefleksikan atau mengukur variabel yang diteliti. Reliabilitas model pengukuran dikatakan baik karena CR dan VE lebih besar dari cut off value yang dipersyaratkan sebsar 0,70 untuk CR dan 0,50 untuk VE. Artinya model tersebut memiliki konsistensi internal yang baik dalam mengukur variabel-variabel penelitian. 2.
Pengujian Model Struktural
Berdasarkan model pengukuran yang telah teruji, analisa data dilanjutkan ke tahap kedua yaitu menguji model struktural. Model struktural yang diuji dalam bentuk lengkap (full) atau model hybrid. Gambar 5 dan Gambar 6 di bawah ini merupakan transformasi model pengukuran menjadi model struktural. Pengujian model struktural meliputi: 1)
Uji kecocokan keseluran model (overall model fit test ) struktural, dilakukan dengan menggunakan ukuran Goodness of Fit Test (GFT) utama.
2)
Analisis pengaruh antar variabel atau uji kebermaknaan koefisien jalur (test of significance), dengan melihat t-value dari koefisien jalur > 1,96. Jika t-value dari koefisien jalur < 1,96, dinyatakan tidak bermakna (tidak signifikan) atau tidak nyata. Dengan demikian jalur tersebut dapat dikeluarkan dari model struktural.
268 Lampiran 2 (sambungan) DATE: 5/30/2010 TIME: 8:14 L I S R E L 8.70 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\Users\TOSHIBA PORTEGE\Documents\ANALISA DATA PENELITIAN\DATAd.Spl: Observed Variables UMUR PGLAMAN DIKFORM DIKNFORM INCOME TANGKEL TUNGSDH KONTAK AKSES DEDAH FASIL EDUC ADVO ARIFAN TOMAS KLPOK STLAHAN LLAHAN DUKPEM DUKNPEM PASAR MODAL KOMTEK KOMJER KOMSOS MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI RENCANA LAKSANA MANFAAT MONEV EKO EKOL SOS Raw Data from Files DATA.PSF Sample Size 204 Latent Variables KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK PELUANG KMPETNSI MOTIVASI PRTSPASI JUTFAAT Relationships PGLAMAN UMUR TUNGSDH = KI AKSES = 1*KOSMO FASIL EDUC = PRNPKL ARIFAN TOMAS = DUKLINGK DUKPEM PASAR = PELUANG KOMTEK KOMJER KOMSOS = KMPETNSI MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI = MOTIVASI LAKSANA MANFAAT = PRTSPASI EKO EKOL SOS =JUTFAAT KMPETNSI = KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK MOTIVASI = KOSMO PELUANG KMPETNSI KI DUKLINGK PRNPKL PRTSPASI = KMPETNSI MOTIVASI PELUANG JUTFAAT =PRTSPASI Set error of LAKSANA and KOMJER free Set error of MTVLSTRI and KOMJER free Set error of KOMSOS and KOMJER free Set error of MTVAKUAN and KOMTEK free Set error of MANFAAT and KOMJER free Set error of MANFAAT and MTVAKUAN free Set error of MTVLSTRI and MANFAAT free
269 Lampiran 2 (sambungan) Set error of PASAR and EDUC free Set error of AKSES and PGLAMAN free Let error of AKSES to 0 Options: AD=OFF ND=4 Path Diagram End of Problems Sample Size = 204 Number of Iterations = 54 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations KOMTEK = 5.5223*KMPETNSI, Errorvar.= 15.4050, R² = 0.6644 (0.04703) (2.1141) 11.7241 7.2867 KOMJER = 5.2417*KMPETNSI, Errorvar.= 44.0000, R² = 0.3844 (0.5754) (5.6532) 9.1093 7.7832 KOMSOS = 4.2713*KMPETNSI, Errorvar.= 18.7100, R² = 0.4937 (0.3970) (2.3585) 10.7579 7.9331 MTVDAPAT = 1.5729*MOTIVASI, Errorvar.= 2.5799 , R² = 0.4895 (0.1925) (0.3084) 8.1723 8.3665 MTVAKUAN = 1.0991*MOTIVASI, Errorvar.= 0.9538 , R² = 0.5588 (0.1184) (0.1260) 9.2804 7.5688 MTVLSTRI = 1.7017*MOTIVASI, Errorvar.= 2.6036 , R² = 0.5266 (0.1899) (0.3351) 8.9614 7.7704 LAKSANA = 5.5743*PRTSPASI, Errorvar.= 15.1312, R² = 0.6725 (0.5406) (2.9158) 10.3113 5.1894 MANFAAT = 1.4649*PRTSPASI, Errorvar.= 2.4299 , R² = 0.4690 (0.1629) (0.3034) 8.9931 8.0098 EKO = 1.6706*JUTFAAT, Errorvar.= 2.5310 , R² = 0.5244 (0.2207) (0.4118) 7.5692 6.1465 EKOL = 2.8562*JUTFAAT, Errorvar.= 9.0000, R² = 0.4755 (0.3636) (1.4266) 7.8559 6.3087
270 Lampiran 2 (sambungan) SOS = 2.1359*JUTFAAT, Errorvar.= 5.1359 , R² = 0.4704 (0.3027) (0.7499) 7.0562 6.8487 UMUR = 7.9456*KI, Errorvar.= 27.2515, R² = 0.6985 (0.5937) (4.8136) 13.3824 5.6613 PGLAMAN = 7.9187*KI, Errorvar.= 35.7986, R² = 0.6366 (0.6322) (5.4684) 12.5254 6.5465 TUNGSDH = 0.8088*KI, Errorvar.= 1.2962 , R² = 0.3354 (0.09595) (0.1404) 8.4297 9.2307 AKSES = 0.3587*KOSMO,, R² = 1.0000 (0.01767) 20.3047 FASIL = 3.1705*PRNPKL, Errorvar.= 2.0427 , R² = 0.8311 (0.1952) (0.4160) 16.2424 4.9103 EDUC = 3.2069*PRNPKL, Errorvar.= 1.1393 , R² = 0.9003 (0.1845) (0.3894) 17.3792 2.9257 ARIFAN = 1.1456*DUKLINGK, Errorvar.= 1.0000, R² = 0.5675 (0.09848) (0.1093) 11.6320 9.1502 TOMAS = 1.3274*DUKLINGK, Errorvar.= 5.0000, R² = 0.2606 (0.1940) (1.0343) 6.8436 4.8342 DUKPEM = 2.2261*PELUANG, Errorvar.= 1.4424 , R² = 0.7746 (0.2045) (0.6830) 10.8868 2.1118 PASAR = 1.2921*PELUANG, Errorvar.= 2.3339 , R² = 0.4170 (0.1514) (0.3232) 8.5331 7.2216 Structural Equations KMPETNSI = 0.2249*KI + 0.2819*KOSMO + 0.5803*PRNPKL + 0.2453*DUKLINGK, Errorvar.= 0.1913 , R² = 0.8087 (0.1140) (0.06925) (0.08489) (0.1107) (0.05635) 1.9719 4.0709 6.8355 2.2169 3.3957
271 Lampiran 2 (sambungan) MOTIVASI = 0.8928*KMPETNSI - 0.02808*KI - 0.2021*KOSMO - 0.1842*PRNPKL + 0.03819*DUKLINGK + 0.2282*PELUANG, .3640 (0.2855) (0.1552) (0.1121) (0.1934) (0.1616) (0.09366) 3.1272 -0.1809 -1.8037 -0.9525 0.2363 2.4364 Errorvar.= 0.3640 , R² = 0.6360 (0.09971) 3.6510 PRTSPASI = 0.2854*KMPETNSI + 0.6692*MOTIVASI - 0.004974*PELUANG, Errorvar.= 0.1953 , R² = 0.8047 (0.1132) (0.1444) (0.08630) (0.09914) 2.5198 4.6348 -0.05764 1.9701 JUTFAAT = 0.2997*PRTSPASI, Errorvar.= 0.9102 , R² = 0.08984 (0.08987) (0.1888) 3.3353 4.8196 Reduced Form Equations KMPETNSI = 0.2249*KI + 0.2819*KOSMO + 0.5803*PRNPKL + 0.2453*DUKLINGK + 0.0*PELUANG, Errorvar.= 0.1913, R² = 0.8087 (0.1140) (0.06925) (0.08489) (0.1107) 1.9719 4.0709 6.8355 2.2169 MOTIVASI = 0.1727*KI + 0.04960*KOSMO + 0.3339*PRNPKL + 0.2572*DUKLINGK + 0.2282*PELUANG, Errorvar.= 0.5166, R² = 0.4834 (0.1463) (0.08605) (0.1074) (0.1426) (0.09366) 1.1806 0.5764 3.1088 1.8034 2.4364 PRTSPASI = 0.1798*KI + 0.1136*KOSMO + 0.3890*PRNPKL + 0.2421*DUKLINGK + 0.1477*PELUANG, Errorvar.= 0.5075, R² = 0.4925 (0.1146) (0.06996) (0.08890) (0.1117) (0.08701) 1.5685 1.6244 4.3760 2.1673 1.6979 JUTFAAT = 0.05388*KI + 0.03406*KOSMO + 0.1166*PRNPKL + 0.07257*DUKLINGK + 0.04428*PELUANG, Errorvar.= 0.9558, R² = 0.04425 425 (0.03772) (0.02312) (0.04292) (0.03954) (0.02902) 1.4285 1.4730 2.7167 1.8356 1.5257 + Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 162 Minimum Fit Function Chi-Square = 236.0908 (P = 0.00013) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 222.6118 (P = 0.00112) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 60.6118 90 Percent Confidence Interval for NCP =(53.3816 ; 68.7918) Minimum Fit Function Value = 2.7610 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.2985 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0114 ; 0.6233) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.04300 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.03251 ; 0.05320) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.06714
272 Lampiran 2 (Sambungan Sambungan) Expected Cross-Validation Cross Index (ECVI) = 2.7826 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.4999 ; 3.1031) ECVI for Saturated Model = 2.2759 ECVI for Independence Model = 22.3111 Chi-Square Square for Independence Model with 210 Degrees of Freedom = 4487.1479 Independence AIC = 4529.1479 Model AIC = 564.8728 Saturated AIC = 462.0000 Independence CAIC = 4619.8284 Model CAIC = 862.8230 Saturated CAIC = 1459.4857 Normed Fit Index (NFI) = 0.8751 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.8792 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.6751 Comparative Fit Index (CFI) = 0.9068 Incremental Fit Index (IFI) = 0.9079 Relative Fit Index (RFI) = 0.8381 Critical N (CN) = 175.8968 Root Mean Square Residual (RMR) = 3.0002 Standardized RMR = 0.1205 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.8287 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.7557 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.5812 Time used:
0.234 Seconds
Gambar 5. Pendugaan Parameter Model Struktural/Hybrid Model (standardized standardized)
273 Lampiran 2 (Sambungan Sambungan)
Gambar 6. Pendugaan Parameter Model Struktural/Hybrid Model (t--values) Path diagram (diagram lintasan) model struktural sebagaimana Gambar 5 dan Gambar 6 memperlihatkan kriteria ukuran GFT utama yaitu nilai p-value = 0,00112 (< 0,05), dan nilai GFI = 0,8287 (< 0,90) belum memenuhi kriteria uji kecocokan keseluruhan model, kecuali nilai CFI = 0, 9068 (< 0,90) dan RMSEA = 0,043 (< 0,08). Artinya, model struktural stru belum fit dengan data atau model belum mampu diberlakukan untuk populasi, dengan demikian model perlu diperbaiki. Analisis statistik untuk melihat pengaruh antar variabel melalui uji kebermaknaan bagi koefisien jalur memperlihatkan terdapat beberapa nilai t-value dari koefisien jalur < 1,96. Berdasarkan kedua hal yang disebutkan maka model perlu diperbaiki. Perbaikan model dilakukan mengeluarkan koefisien jalur yang tidak memenuhi syarat, syarat, sebagaimana proses analisis di bawah ini. Setelah melalui tahapan pan proses perbaikan maka diperoleh hasil akhir dari model struktural sebagaimana Gambar 7 dan Gambar 8. DATE: 5/30/2010 TIME: 8:25 L I S R E L 8.70 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A.
274 Lampiran 2 (Sambungan) Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140 Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-2004 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file C:\Users\TOSHIBA PORTEGE\Documents\ANALISA DATA PENELITIAN\DATAf.Spl: Observed Variables UMUR PGLAMAN DIKFORM DIKNFORM INCOME TANGKEL TUNGSDH KONTAK AKSES DEDAH FASIL EDUC ADVO ARIFAN TOMAS KLPOK STLAHAN LLAHAN DUKPEM DUKNPEM PASAR MODAL KOMTEK KOMJER KOMSOS MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI RENCANA LAKSANA MANFAAT MONEV EKO EKOL SOS Raw Data from Files DATA.PSF Sample Size 204 Latent Variables KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK PELUANG KMPETNSI MOTIVASI PRTSPASI JUTFAAT Relationships PGLAMAN UMUR TUNGSDH = KI AKSES = 1*KOSMO FASIL EDUC = PRNPKL ARIFAN TOMAS = DUKLINGK DUKPEM PASAR = PELUANG KOMTEK KOMJER KOMSOS = KMPETNSI MTVDAPAT MTVAKUAN MTVLSTRI = MOTIVASI LAKSANA MANFAAT = PRTSPASI EKO EKOL SOS =JUTFAAT KMPETNSI = KI KOSMO PRNPKL DUKLINGK MOTIVASI = KMPETNSI PELUANG PRTSPASI = KMPETNSI MOTIVASI JUTFAAT =PRTSPASI Set error of LAKSANA and KOMJER free Set error of MTVLSTRI and KOMJER free Set error of KOMTEK and KOMSOS free Set error of KOMTEK and MTVAKUAN free Let error of AKSES to 0 Set error of DUKPEM and TOMAS free Set error of DUKPEM and ARIFAN free Set error of PASAR and TOMAS free Set error of PASAR and TUNGSDH free Set error of TOMAS and TUNGSDH free Set error of MANFAAT and MTVAKUAN free Set error of EKOL and KOMSOS free Set error of LAKSANA and KOMTEK free Set error of KOMJER and KOMSOS free Set error of ARIFAN and PGLAMAN free Set error of TOMAS and FASIL free Set error of DUKPEM and PGLAMAN free Set error of LAKSANA and MTVLSTRI free Set error of LAKSANA and KOMJER free Set error of MTVLSTRI and KOMJER free Set error of KOMSOS and KOMJER free
275 Lampiran 2 (Sambungan) Set error of MTVAKUAN and KOMTEK free Set error of MANFAAT and KOMJER free Set error of MANFAAT and MTVAKUAN free Set error of ARIFAN and FASIL free Set error of MTVLSTRI and MANFAAT free Set error of PASAR and EDUC free Set error of AKSES and PGLAMAN free Options: AD=OFF ND=4 MI EF Path Diagram End of Problems Sample Size = 204 Number of Iterations = 97 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations KOMTEK = 5.5960*KMPETNSI, Errorvar.= 14.6334, R² = 0.6815 (0.4413) (2.3550) 12.6797 6.2137 KOMJER = 5.2581*KMPETNSI, Errorvar.= 44.0000, R² = 0.3859 (0.5839) (7.3717) 9.0044 5.9687 KOMSOS = 4.2980*KMPETNSI, Errorvar.= 18.0000, R² = 0.5065 (0.3902) (2.9353) 11.0143 6.1323 MTVDAPAT = 1.5797*MOTIVASI, Errorvar.= 2.5731 , R² = 0.4923 (0.1948) (0.3132) 8.1085 8.2154 MTVAKUAN = 1.1075*MOTIVASI, Errorvar.= 0.9236 , R² = 0.5704 (0.1197) (0.1280) 9.2507 7.2155 MTVLSTRI = 1.6844*MOTIVASI, Errorvar.= 2.7062 , R² = 0.5118 (0.1954) (0.3589) 8.6187 7.5407 LAKSANA = 5.5667*PRTSPASI, Errorvar.= 15.3436, R² = 0.6688 (0.5435) (2.9645) 10.2421 5.1758 MANFAAT = 1.4658*PRTSPASI, Errorvar.= 2.4270 , R² = 0.4696 (0.1646) (0.3052) 8.9063 7.9519 EKO = 1.6677*JUTFAAT, Errorvar.= 2.5411 , R² = 0.5226 (0.2191) (0.4092) 7.6085 6.2094
276 Lampiran 2 (Sambungan) EKOL = 2.8462*JUTFAAT, Errorvar.= 9.0000, R² = 0.4737 (0.3612) (1.4213) 7.8798 6.3323 SOS = 2.1341*JUTFAAT, Errorvar.= 5.1444 , R² = 0.4696 (0.3007) (0.7461) 7.0972 6.8954 UMUR = 7.8736*KI, Errorvar.= 28.3903, R² = 0.6859 (0.5995) (4.9504) 13.1346 5.7350 PGLAMAN = 7.9888*KI, Errorvar.= 34.7426, R² = 0.6475 (0.6378) (5.6761) 12.5247 6.1208 TUNGSDH = 0.7949*KI, Errorvar.= 1.3029 , R² = 0.3266 (0.09550) (0.1404) 8.3237 9.2786 AKSES = 0.3585*KOSMO,, R² = 1.0000 (0.01769) 20.2627 FASIL = 3.1569*PRNPKL, Errorvar.= 2.0640 , R² = 0.8284 (0.1941) (0.4183) 16.2612 4.9339 EDUC = 3.2111*PRNPKL, Errorvar.= 1.1201 , R² = 0.9020 (0.1845) (0.3931) 17.4020 2.8495 ARIFAN = 1.1370*DUKLINGK, Errorvar.= 1.0000, R² = 0.5638 (0.09777) (0.1107) 11.6290 9.0342 TOMAS = 1.3184*DUKLINGK, Errorvar.= 5.0000, R² = 0.2580 (0.1946) ( 1.0473) 6.7739 4.7743 DUKPEM = 2.1920*PELUANG, Errorvar.= 1.5397 , R² = 0.7573 (0.1960) (0.6206) 11.1843 2.4809 PASAR = 1.2707*PELUANG, Errorvar.= 2.3901 , R² = 0.4032 (0.1471) (0.3101) 8.6368 7.7067 Structural Equations KMPETNSI = 0.2335*KI + 0.2775*KOSMO + 0.5570*PRNPKL + 0.2511*DUKLINGK, Errorvar.= 0.2140 , R² = 0.7860 (0.1133) (0.06922) (0.08671) (0.1110) (0.06143) 2.0608 4.0086 6.4238 2.2628 3.4844
277 Lampiran 2 (Sambungan) MOTIVASI = 0.5506*KMPETNSI + 0.3272*PELUANG, Errorvar.= 0.4329 , R² = 0.5671 (0.08982) (0.08306) (0.09596) 6.1303 3.9391 4.5112 PRTSPASI = 0.2999*KMPETNSI + 0.6481*MOTIVASI, Errorvar.= 0.2206 , R² = 0.7794 (0.1152) (0.1325) (0.09876) 2.6027 4.8916 2.2343 JUTFAAT = 0.3126*PRTSPASI, Errorvar.= 0.9023 , R² = 0.09774 (0.09078) (0.1875) 3.4437 4.8131 Reduced Form Equations KMPETNSI = 0.2335*KI + 0.2775*KOSMO + 0.5570*PRNPKL + 0.2511*DUKLINGK + 0.0*PELUANG, Errorvar.= 0.2140, R² = 0.7860 (0.1133) (0.06922) (0.08671) (0.1110) 2.0608 4.0086 6.4238 2.2628 MOTIVASI = 0.1286*KI + 0.1528*KOSMO + 0.3067*PRNPKL + 0.1383*DUKLINGK + 0.3272*PELUANG, Errorvar.= 0.4978, R² = 0.5022 (0.06554) (0.04374) (0.06589) (0.06471) (0.08306) 1.9623 3.4926 4.6546 2.1364 3.9391 PRTSPASI = 0.1534*KI + 0.1822*KOSMO + 0.3658*PRNPKL + 0.1649*DUKLINGK + 0.2120*PELUANG, Errorvar.= 0.4948, R² = 0.5052 (0.07655) (0.04904) (0.06960) (0.07536) (0.06235) 2.0037 3.7160 5.2561 2.1882 3.4006 JUTFAAT = 0.04795*KI + 0.05697*KOSMO + 0.1144*PRNPKL + 0.05155*DUKLINGK + 0.06629*PELUANG, Errorvar.= 0.9506, R² = 0.04938 938 (0.02738) (0.02202) (0.03847) (0.02756) (0.02693) 1.7515 2.5869 2.9730 1.8708 2.4610 + Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 154 Minimum Fit Function Chi-Square = 183.3053 (P = 0.05351) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 182.0592 (P = 0.06077) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 28.0592 90 Percent Confidence Interval for NCP = (24.4399 ; 32.1591) Minimum Fit Function Value = 1.9938 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.1382 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.1505 ; 0.7101) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.02996 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.02172 ; 0.03823) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.1253 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.8557 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.5717 ; 3.1773) ECVI for Saturated Model = 2.2759 ECVI for Independence Model = 22.3111
278 Lampiran 2 (sambungan sambungan) Chi-Square Square for Independence Model with 210 Degrees of Freedom = 4487.1479 Independence AIC = 4529.1479 Model AIC = 579.7017 Saturated AIC = 462.0000 Independence CAIC = 4619.8284 Model CAIC = 912.1969 Saturated CAIC = 1459.4857 Normed Fit Index (NFI) = 0.9481 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.9448 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.6440 Comparative Fit Index (CFI) = 0.9782 Incremental Fit Index (IFI) = 0.9794 Relative Fit Index (RFI) = 0.9038 Critical N (CN) = 174.4154 Root Mean Square Residual (RMR) = 3.0258 Standardized RMR = 0.1207 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.9348 Adjusted Goodness Goo of Fit Index (AGFI) = 0.9021 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.5565 Time used:
0.218 Seconds
Gambar 7. Perbaikan erbaikan Akhir Pendugaan P Parameter Model Struktural/Hybrid Hybrid Model (standardized)
279 Lampiran 2 (sambungan sambungan)
Gambar 8. Perbaikan erbaikan Akhir Pendugaan P Parameter Model Struktural/Hybrid Hybrid Model (t-value)
280 Lampiran 3
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KARAKTERISTIK INDIVIDU (X1) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Indicator
Scale Variance if Corrected Item-Total Item Deleted Correlation
GantungSDH1
1.3333
.230
.657
GantungSDH2
3.1000
.300
.657
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 2
.788
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kedelapan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Karakteristik Individu adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,748.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KEKOSMOPOLITAN PETANI (X2) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Kontak
8.7667
10.047
.674
.717
Akses1
8.7333
13.651
.495
.759
Akses2
8.6333
13.757
.405
.772
DedahKoran
9.1667
12.695
.536
.748
DedahTV
9.3667
12.171
.582
.738
281 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
DedahRadio
8.7667
13.633
.495
.759
DedahMjlah
8.5667
12.392
.424
.775
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 7
.781
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketujuh butir pertanyaan adalah valid. Instrument Kekosmopolitan Petani adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,781.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT INTENSITAS PERAN PENYULUH KEHUTANAN (X3) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics Indicator Scale Mean if Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Item Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Fas1
27.7333
30.616
.574
.864
Fas2
27.8667
30.395
.676
.858
Fas3
27.7333
31.720
.480
.870
Fas4
27.8000
31.062
.553
.865
Edu5
27.6333
31.413
.572
.864
Edu6
27.5000
29.776
.620
.861
Edu7
27.7667
30.944
.569
.864
Edu8
27.6667
32.506
.565
.866
Adv9
27.6667
30.575
.555
.866
Adv10
27.6333
31.689
.637
.862
Adv11
28.1000
31.610
.567
.865
Adv12
28.5667
32.806
.452
.871
282 Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 12
.875
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian keduabelas butir pertanyaan adalah valid. Instrument Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,875.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT DUKUNGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA (X4) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Arif1
26.6333
13.413
.543
.836
Arif2
26.8000
13.338
.431
.844
Tomas5
27.0333
12.585
.729
.821
Tomas6
26.7667
12.599
.677
.824
Tomas7
26.9667
12.792
.575
.832
Tomas8
27.1000
12.852
.511
.838
Tomas9
26.5333
13.085
.521
.837
Klpk10
27.1333
12.326
.691
.821
Klpk11
27.3000
12.838
.433
.847
Klpk12 27.4333 12.254 .843 .496 Keterangan: Pertanyaan No 4 dan 5 adalah pertanyaan kualitatif (tidak dianalisis) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 10
.848
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kesepuluh butir pertanyaan adalah valid. Instrument Dukungan Lingkungan Sosial Budaya adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,848.
283 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KESEMPATAN/PELUANG (X5) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Pem1a
26.4000
25.903
.544
.866
Pem1b
26.8667
25.154
.538
.865
Pem1c
28.1333
25.085
.514
.866
Pem2
28.3333
25.885
.516
.867
Pem3
27.1667
22.833
.623
.861
Pem4
27.4000
22.800
.613
.862
Pem5
28.1333
25.775
.522
.866
NonPem6
28.5000
26.121
.580
.866
NonPem7
27.5333
23.430
.606
.861
Pasar8
26.3667
24.309
.607
.861
Pasar9
27.2000
24.097
.618
.860
Pasar10
26.3000
24.355
.535
.865
Modal11
28.0667
25.513
.869 .452 Keterangan: Pertanyaan No 12 dan 13 adalah pertanyaan kualitatif (tidak dianalisis) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 13
.873
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketigabelas butir pertanyaan adalah valid. Instrument Kesempatan/Peluang adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,873.
284 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT KEMAMPUAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI(Y1) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KTKog1
196.3333
678.092
.093
.956
KTKog2
196.3000
670.010
.462
.955
KTKog3
196.3667
667.826
.516
.955
KTKog4
196.4667
668.257
.465
.955
KTKog5
196.4333
667.702
.495
.955
KTKog6
196.6333
666.171
.540
.955
KTKog7
196.4333
670.185
.396
.955
KTKog8
196.4333
665.357
.588
.955
KTKog9
196.6667
666.575
.531
.955
KTKog10
196.5333
669.292
.416
.955
KTKog11
196.5667
666.392
.527
.955
KTKog12
196.4333
666.599
.539
.955
KTAfk13
194.8333
660.420
.562
.955
KTAfk14
193.6000
665.697
.555
.955
KTAfk15
193.8667
665.292
.524
.955
KTAfk16
194.6333
673.068
.117
.957
KTAfk17
193.8333
663.385
.518
.955
KTAfk18
194.7667
660.323
.452
.955
KTAfk19
194.6000
662.524
.463
.955
KTAfk20
194.1333
657.085
.602
.954
KTAfk21
194.0000
666.345
.458
.955
KTAfk22
194.5333
657.706
.557
.955
KTAfk23
193.6667
667.264
.504
.955
KTAfk24
193.6667
666.161
.547
.955
KTAfk25
193.7000
665.666
.576
.955
KTPsik26
193.7667
681.013
-.028
.956
KTPsik27
193.5333
666.878
.509
.955
KTPsik28
195.3667
664.309
.515
.955
285 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KTPsik29
193.6333
665.482
.567
.955
KTPsik30
194.8667
660.189
.504
.955
KTPsik31
193.5333
665.016
.581
.955
KTPsik32
193.5333
666.809
.452
.955
KTPsik33
194.8667
659.292
.471
.955
KTPsik34
194.9667
663.206
.494
.955
KTPsik35
195.1000
664.024
.430
.955
KTPsik36
195.5333
665.085
.462
.955
KTPsik37
193.6000
664.110
.545
.955
KTPsik38
194.0000
657.448
.593
.954
KMKog1
196.6333
669.413
.415
.955
KMKog2
196.8000
678.510
.075
.956
KMKog3
196.6333
679.206
.039
.956
KMKog4
196.2667
671.651
.411
.955
KMKog5
196.3667
668.930
.470
.955
KMKog6
196.3667
667.964
.510
.955
KMKog7
196.3333
670.092
.437
.955
KMKog8
196.3000
683.597
-.147
.956
KMKog9
196.6000
667.421
.488
.955
KMKog10
196.2667
671.099
.437
.955
KMKog11
196.5333
668.809
.435
.955
KMKog12
196.8000
668.510
.506
.955
KMKog13
196.6333
669.482
.412
.955
KMAfk14
193.6667
669.333
.423
.955
KMAfk15
195.1000
666.507
.392
.955
KMAfk16
195.0000
666.621
.407
.955
KMAfk17
195.1667
667.385
.405
.955
KMAfk18
193.8667
666.326
.437
.955
KMAfk19
194.1333
661.706
.479
.955
KMAfk20
194.8000
665.752
.399
.955
KMAfk21
194.0667
663.789
.540
.955
KMPsik22a
195.2333
663.978
.482
.955
KMPsik22b
195.9333
673.720
.370
.955
KMPsik22c
195.9333
671.651
.486
.955
286 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KMPsik22d
195.8333
670.695
.431
.955
KMPsik23a
195.1000
656.231
.569
.955
KMPsik23b
193.8000
668.028
.402
.955
KMPsik23c
195.2000
658.786
.564
.955
KMPsik23d
194.8000
660.993
.498
.955
KMPsik23e
194.8667
660.533
.442
.955
KMPsik23f
194.2000
660.993
.505
.955
KMPsik24
194.7333
658.409
.493
.955
KMPsik25
194.6333
666.033
.435
.955
KMPsik26
194.8000
666.924
.398
.955
KMPsik27
195.7333
668.547
.472
.955
KMPsik28
195.4000
664.662
.494
.955
KSKog1
196.4000
664.386
.642
.955
KSKog2
196.6000
679.766
.017
.956
KSKog3
196.3667
670.999
.384
.955
KSKog4
196.5333
665.499
.562
.955
KSKog5
196.4667
683.568
-.128
.956
KSKog6
196.4667
667.982
.476
.955
KSKog7
196.3667
670.240
.415
.955
KSKog8
196.4000
669.076
.450
.955
KSAfk9
193.6000
669.352
.414
.955
KSAfk10
193.7333
669.857
.419
.955
KSAfk11
194.8333
685.730
-.152
.957
KSAfk12
195.3667
662.930
.414
.955
KSAfk13
193.7667
667.151
.545
.955
KSAfk14
195.3000
691.045
-.309
.957
KSAfk15
193.7333
669.099
.449
.955
KSAfk16
193.7000
669.252
.433
.955
KSAfk17
193.7000
669.321
.430
.955
KSPsik18
193.8000
664.717
.513
.955
KSPsik29
194.3333
664.782
.397
.955
KSPsik20
195.0667
665.168
.385
.955
KSPsik21
195.3333
664.851
.425
.955
KSPsik22
195.7667
669.771
.435
.955
287 Lampiran 3 (sambungan)
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KSPsik23
194.2667
663.857
.409
.955
KSPsik24
194.3667
666.654
.398
.955
KSPsik25
194.4667
663.844
.381
.955
KSPsik26
194.2667
666.409
.397
.955
KSPsik27
194.3667
676.171
.115
.956
KSPsik28
194.1000
664.507
.390
.955
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 102
.955
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Terdapat sebelas butir pertanyaan yang gugur (tidak valid) karena rhitung < 0,361 yaitu: 1. butir KTKog1 (rhitung = 0,093) 2. butir KTAfk16 (rhitung = 0,117) 3. butir KTPsik26 (rhitung = -0,028) 4. KMKog2 (rhitung = 0,075) 5. KMKog3 (rhitung = 0,039) 6. KMKog8 (rhitung = -,147) 7. KSKog2 (rhitung = 0,017) 8. KMKog5 (rhitung = -0,128) 9. KSAfk11 (rhitung = -0,152) 10. KSAfk14 (rhitung = -0,309) 11. KSPsik27 (rhitung = 0,115). Dengan demikian hanya 91 butir pertanyaan dari 102 butir pertanyaan yang valid. Instrument Tingkat Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Kemiri adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,955. Ket: KTKog = Kemampuan Teknis pada aspek Kognitif KTAfk = Kemampuan Teknis pada aspek Afektif KTPsik = Kemampuan Teknis pada aspek Psikomotor KMKog = Kemampuan Manajerial pada aspek Kognitif KSAfk = Kemampuan Sosial pada aspek Afektif KSPsik = Kemampuan Sosial pada aspek Psikomotorik
288 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT MOTIVASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN (Y2) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Pndapatn1
25.5333
8.189
.532
.765
Pndapatn2
25.4000
8.593
.422
.779
Pndapatn3
25.5667
7.978
.547
.762
Pngakuan4
25.5333
8.878
.456
.776
Pngakuan5
25.4667
8.947
.393
.783
Lestari6
25.6000
8.041
.627
.752
Lestari7
25.7000
8.148
.406
.786
Lestari8
25.8000
8.372
.467
.774
Lestari9
25.8000
8.028
.511
.767
Indicator
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 9
.792
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kesembilan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Tingkat Motivasi Petani dalam Pengelolaan Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,792.
289 Lampiran 3 (sambungan)
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN (Y3) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Rcn1a
59.8333
133.385
.445
.953
Rcn1b
59.8000
131.890
.580
.952
Rcn1c
59.6333
129.206
.679
.951
Rcn1d
59.7333
132.547
.417
.953
Rcn2
59.7667
132.254
.484
.952
Rcn3
59.8333
132.557
.564
.952
Klola4
59.8000
132.097
.554
.952
Klola5
59.4667
128.671
.668
.951
Klola6
59.8333
132.695
.544
.952
Klola7
59.6667
129.195
.706
.951
Klola8
59.1000
124.300
.662
.951
Klola9
59.2667
128.340
.524
.952
Klola10
59.0667
128.271
.704
.951
Klola11
59.5000
126.879
.735
.950
Klola12
59.7000
130.976
.554
.952
Klola13
58.7667
126.254
.547
.952
Klola14
59.6000
129.283
.651
.951
Klola15
59.0667
124.823
.690
.951
Klola16
57.9333
127.444
.666
.951
Klola17
57.5667
127.909
.668
.951
Klola18
59.6333
128.999
.699
.951
Klola19
57.9667
126.654
.692
.951
Klola20
58.6333
124.033
.675
.951
Klola21
57.6667
130.506
.491
.952
Manfaat22
58.1333
128.120
.536
.952
Manfaat23
59.7000
131.252
.525
.952
Manfaat24
58.9667
124.309
.646
.951
manfaat25
57.5000
128.741
.666
.951
Indicator
290 Lampiran 3 (sambungan)
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Manfaat26
59.5667
127.151
.730
.950
Monev27
59.4667
127.430
.779
.950
Monev28
59.5000
129.155
.629
.951
Monev29
59.8667
133.430
.533
.952
Monev30
58.6667
124.368
.593
.952
Monev31
58.6000
128.869
.691
.951
Indicator
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 34
.953
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketigapuluhempat butir pertanyaan adalah valid. Instrument Tingkat Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,953.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KEBERLANJUTAN MANFAAT HUTAN (Y4) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Eko1
31.3667
26.723
.474
.805
Eko2
32.9333
26.892
.544
.802
Eko3
32.0333
26.309
.418
.810
Eko4
32.4333
24.047
.549
.799
Ekol5
31.2333
27.633
.384
.812
Ekol6
31.5667
27.082
.401
.811
Ekol7
32.2667
26.340
.403
.812
Ekol8
31.3667
27.206
.405
.810
Ekol9
31.3333
27.609
.374
.812
Sos10
32.9333
26.685
.651
.797
291 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Sos11
31.9000
24.576
.551
.798
Sos12
31.0667
27.651
.529
.805
Sos13
32.3667
26.861
.418
.809
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 13
.819
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kedelapan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Keberlanjutan Manfaat Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,819.
280 Lampiran 3
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KARAKTERISTIK INDIVIDU (X1) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Indicator
Scale Variance if Corrected Item-Total Item Deleted Correlation
GantungSDH1
1.3333
.230
.657
GantungSDH2
3.1000
.300
.657
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 2
.788
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kedelapan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Karakteristik Individu adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,748.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KEKOSMOPOLITAN PETANI (X2) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Kontak
8.7667
10.047
.674
.717
Akses1
8.7333
13.651
.495
.759
Akses2
8.6333
13.757
.405
.772
DedahKoran
9.1667
12.695
.536
.748
DedahTV
9.3667
12.171
.582
.738
281 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
DedahRadio
8.7667
13.633
.495
.759
DedahMjlah
8.5667
12.392
.424
.775
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 7
.781
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketujuh butir pertanyaan adalah valid. Instrument Kekosmopolitan Petani adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,781.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT INTENSITAS PERAN PENYULUH KEHUTANAN (X3) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics Indicator Scale Mean if Scale Variance if Corrected ItemItem Deleted Item Deleted Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Fas1
27.7333
30.616
.574
.864
Fas2
27.8667
30.395
.676
.858
Fas3
27.7333
31.720
.480
.870
Fas4
27.8000
31.062
.553
.865
Edu5
27.6333
31.413
.572
.864
Edu6
27.5000
29.776
.620
.861
Edu7
27.7667
30.944
.569
.864
Edu8
27.6667
32.506
.565
.866
Adv9
27.6667
30.575
.555
.866
Adv10
27.6333
31.689
.637
.862
Adv11
28.1000
31.610
.567
.865
Adv12
28.5667
32.806
.452
.871
282 Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 12
.875
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian keduabelas butir pertanyaan adalah valid. Instrument Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,875.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT DUKUNGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA (X4) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Arif1
26.6333
13.413
.543
.836
Arif2
26.8000
13.338
.431
.844
Tomas5
27.0333
12.585
.729
.821
Tomas6
26.7667
12.599
.677
.824
Tomas7
26.9667
12.792
.575
.832
Tomas8
27.1000
12.852
.511
.838
Tomas9
26.5333
13.085
.521
.837
Klpk10
27.1333
12.326
.691
.821
Klpk11
27.3000
12.838
.433
.847
Klpk12 27.4333 12.254 .843 .496 Keterangan: Pertanyaan No 4 dan 5 adalah pertanyaan kualitatif (tidak dianalisis) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 10
.848
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kesepuluh butir pertanyaan adalah valid. Instrument Dukungan Lingkungan Sosial Budaya adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,848.
283 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KESEMPATAN/PELUANG (X5) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Pem1a
26.4000
25.903
.544
.866
Pem1b
26.8667
25.154
.538
.865
Pem1c
28.1333
25.085
.514
.866
Pem2
28.3333
25.885
.516
.867
Pem3
27.1667
22.833
.623
.861
Pem4
27.4000
22.800
.613
.862
Pem5
28.1333
25.775
.522
.866
NonPem6
28.5000
26.121
.580
.866
NonPem7
27.5333
23.430
.606
.861
Pasar8
26.3667
24.309
.607
.861
Pasar9
27.2000
24.097
.618
.860
Pasar10
26.3000
24.355
.535
.865
Modal11
28.0667
25.513
.869 .452 Keterangan: Pertanyaan No 12 dan 13 adalah pertanyaan kualitatif (tidak dianalisis) Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 13
.873
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketigabelas butir pertanyaan adalah valid. Instrument Kesempatan/Peluang adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,873.
284 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT KEMAMPUAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI(Y1) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KTKog1
196.3333
678.092
.093
.956
KTKog2
196.3000
670.010
.462
.955
KTKog3
196.3667
667.826
.516
.955
KTKog4
196.4667
668.257
.465
.955
KTKog5
196.4333
667.702
.495
.955
KTKog6
196.6333
666.171
.540
.955
KTKog7
196.4333
670.185
.396
.955
KTKog8
196.4333
665.357
.588
.955
KTKog9
196.6667
666.575
.531
.955
KTKog10
196.5333
669.292
.416
.955
KTKog11
196.5667
666.392
.527
.955
KTKog12
196.4333
666.599
.539
.955
KTAfk13
194.8333
660.420
.562
.955
KTAfk14
193.6000
665.697
.555
.955
KTAfk15
193.8667
665.292
.524
.955
KTAfk16
194.6333
673.068
.117
.957
KTAfk17
193.8333
663.385
.518
.955
KTAfk18
194.7667
660.323
.452
.955
KTAfk19
194.6000
662.524
.463
.955
KTAfk20
194.1333
657.085
.602
.954
KTAfk21
194.0000
666.345
.458
.955
KTAfk22
194.5333
657.706
.557
.955
KTAfk23
193.6667
667.264
.504
.955
KTAfk24
193.6667
666.161
.547
.955
KTAfk25
193.7000
665.666
.576
.955
KTPsik26
193.7667
681.013
-.028
.956
KTPsik27
193.5333
666.878
.509
.955
KTPsik28
195.3667
664.309
.515
.955
285 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KTPsik29
193.6333
665.482
.567
.955
KTPsik30
194.8667
660.189
.504
.955
KTPsik31
193.5333
665.016
.581
.955
KTPsik32
193.5333
666.809
.452
.955
KTPsik33
194.8667
659.292
.471
.955
KTPsik34
194.9667
663.206
.494
.955
KTPsik35
195.1000
664.024
.430
.955
KTPsik36
195.5333
665.085
.462
.955
KTPsik37
193.6000
664.110
.545
.955
KTPsik38
194.0000
657.448
.593
.954
KMKog1
196.6333
669.413
.415
.955
KMKog2
196.8000
678.510
.075
.956
KMKog3
196.6333
679.206
.039
.956
KMKog4
196.2667
671.651
.411
.955
KMKog5
196.3667
668.930
.470
.955
KMKog6
196.3667
667.964
.510
.955
KMKog7
196.3333
670.092
.437
.955
KMKog8
196.3000
683.597
-.147
.956
KMKog9
196.6000
667.421
.488
.955
KMKog10
196.2667
671.099
.437
.955
KMKog11
196.5333
668.809
.435
.955
KMKog12
196.8000
668.510
.506
.955
KMKog13
196.6333
669.482
.412
.955
KMAfk14
193.6667
669.333
.423
.955
KMAfk15
195.1000
666.507
.392
.955
KMAfk16
195.0000
666.621
.407
.955
KMAfk17
195.1667
667.385
.405
.955
KMAfk18
193.8667
666.326
.437
.955
KMAfk19
194.1333
661.706
.479
.955
KMAfk20
194.8000
665.752
.399
.955
KMAfk21
194.0667
663.789
.540
.955
KMPsik22a
195.2333
663.978
.482
.955
KMPsik22b
195.9333
673.720
.370
.955
KMPsik22c
195.9333
671.651
.486
.955
286 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KMPsik22d
195.8333
670.695
.431
.955
KMPsik23a
195.1000
656.231
.569
.955
KMPsik23b
193.8000
668.028
.402
.955
KMPsik23c
195.2000
658.786
.564
.955
KMPsik23d
194.8000
660.993
.498
.955
KMPsik23e
194.8667
660.533
.442
.955
KMPsik23f
194.2000
660.993
.505
.955
KMPsik24
194.7333
658.409
.493
.955
KMPsik25
194.6333
666.033
.435
.955
KMPsik26
194.8000
666.924
.398
.955
KMPsik27
195.7333
668.547
.472
.955
KMPsik28
195.4000
664.662
.494
.955
KSKog1
196.4000
664.386
.642
.955
KSKog2
196.6000
679.766
.017
.956
KSKog3
196.3667
670.999
.384
.955
KSKog4
196.5333
665.499
.562
.955
KSKog5
196.4667
683.568
-.128
.956
KSKog6
196.4667
667.982
.476
.955
KSKog7
196.3667
670.240
.415
.955
KSKog8
196.4000
669.076
.450
.955
KSAfk9
193.6000
669.352
.414
.955
KSAfk10
193.7333
669.857
.419
.955
KSAfk11
194.8333
685.730
-.152
.957
KSAfk12
195.3667
662.930
.414
.955
KSAfk13
193.7667
667.151
.545
.955
KSAfk14
195.3000
691.045
-.309
.957
KSAfk15
193.7333
669.099
.449
.955
KSAfk16
193.7000
669.252
.433
.955
KSAfk17
193.7000
669.321
.430
.955
KSPsik18
193.8000
664.717
.513
.955
KSPsik29
194.3333
664.782
.397
.955
KSPsik20
195.0667
665.168
.385
.955
KSPsik21
195.3333
664.851
.425
.955
KSPsik22
195.7667
669.771
.435
.955
287 Lampiran 3 (sambungan)
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Indicator
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
KSPsik23
194.2667
663.857
.409
.955
KSPsik24
194.3667
666.654
.398
.955
KSPsik25
194.4667
663.844
.381
.955
KSPsik26
194.2667
666.409
.397
.955
KSPsik27
194.3667
676.171
.115
.956
KSPsik28
194.1000
664.507
.390
.955
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 102
.955
Bila nilai Alpha > 0.6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Terdapat sebelas butir pertanyaan yang gugur (tidak valid) karena rhitung < 0,361 yaitu: 1. butir KTKog1 (rhitung = 0,093) 2. butir KTAfk16 (rhitung = 0,117) 3. butir KTPsik26 (rhitung = -0,028) 4. KMKog2 (rhitung = 0,075) 5. KMKog3 (rhitung = 0,039) 6. KMKog8 (rhitung = -,147) 7. KSKog2 (rhitung = 0,017) 8. KMKog5 (rhitung = -0,128) 9. KSAfk11 (rhitung = -0,152) 10. KSAfk14 (rhitung = -0,309) 11. KSPsik27 (rhitung = 0,115). Dengan demikian hanya 91 butir pertanyaan dari 102 butir pertanyaan yang valid. Instrument Tingkat Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Kemiri adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,955. Ket: KTKog = Kemampuan Teknis pada aspek Kognitif KTAfk = Kemampuan Teknis pada aspek Afektif KTPsik = Kemampuan Teknis pada aspek Psikomotor KMKog = Kemampuan Manajerial pada aspek Kognitif KSAfk = Kemampuan Sosial pada aspek Afektif KSPsik = Kemampuan Sosial pada aspek Psikomotorik
288 Lampiran 3 (sambungan) VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT MOTIVASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN (Y2) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics Item-Total Statistics Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Pndapatn1
25.5333
8.189
.532
.765
Pndapatn2
25.4000
8.593
.422
.779
Pndapatn3
25.5667
7.978
.547
.762
Pngakuan4
25.5333
8.878
.456
.776
Pngakuan5
25.4667
8.947
.393
.783
Lestari6
25.6000
8.041
.627
.752
Lestari7
25.7000
8.148
.406
.786
Lestari8
25.8000
8.372
.467
.774
Lestari9
25.8000
8.028
.511
.767
Indicator
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 9
.792
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kesembilan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Tingkat Motivasi Petani dalam Pengelolaan Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,792.
289 Lampiran 3 (sambungan)
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN (Y3) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Rcn1a
59.8333
133.385
.445
.953
Rcn1b
59.8000
131.890
.580
.952
Rcn1c
59.6333
129.206
.679
.951
Rcn1d
59.7333
132.547
.417
.953
Rcn2
59.7667
132.254
.484
.952
Rcn3
59.8333
132.557
.564
.952
Klola4
59.8000
132.097
.554
.952
Klola5
59.4667
128.671
.668
.951
Klola6
59.8333
132.695
.544
.952
Klola7
59.6667
129.195
.706
.951
Klola8
59.1000
124.300
.662
.951
Klola9
59.2667
128.340
.524
.952
Klola10
59.0667
128.271
.704
.951
Klola11
59.5000
126.879
.735
.950
Klola12
59.7000
130.976
.554
.952
Klola13
58.7667
126.254
.547
.952
Klola14
59.6000
129.283
.651
.951
Klola15
59.0667
124.823
.690
.951
Klola16
57.9333
127.444
.666
.951
Klola17
57.5667
127.909
.668
.951
Klola18
59.6333
128.999
.699
.951
Klola19
57.9667
126.654
.692
.951
Klola20
58.6333
124.033
.675
.951
Klola21
57.6667
130.506
.491
.952
Manfaat22
58.1333
128.120
.536
.952
Manfaat23
59.7000
131.252
.525
.952
Manfaat24
58.9667
124.309
.646
.951
manfaat25
57.5000
128.741
.666
.951
Indicator
290 Lampiran 3 (sambungan)
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Manfaat26
59.5667
127.151
.730
.950
Monev27
59.4667
127.430
.779
.950
Monev28
59.5000
129.155
.629
.951
Monev29
59.8667
133.430
.533
.952
Monev30
58.6667
124.368
.593
.952
Monev31
58.6000
128.869
.691
.951
Indicator
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 34
.953
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian ketigapuluhempat butir pertanyaan adalah valid. Instrument Tingkat Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,953.
VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMENT KEBERLANJUTAN MANFAAT HUTAN (Y4) ***** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ***** R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Item-Total Statistics
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Eko1
31.3667
26.723
.474
.805
Eko2
32.9333
26.892
.544
.802
Eko3
32.0333
26.309
.418
.810
Eko4
32.4333
24.047
.549
.799
Ekol5
31.2333
27.633
.384
.812
Ekol6
31.5667
27.082
.401
.811
Ekol7
32.2667
26.340
.403
.812
Ekol8
31.3667
27.206
.405
.810
Ekol9
31.3333
27.609
.374
.812
Sos10
32.9333
26.685
.651
.797
291 Lampiran 3 (sambungan)
Indicator
Scale Mean if Scale Variance if Item Deleted Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted
Sos11
31.9000
24.576
.551
.798
Sos12
31.0667
27.651
.529
.805
Sos13
32.3667
26.861
.418
.809
Reliability Coefficients N of Cases = Alpha =
30.0
N of Items = 13
.819
Bila nilai Alpha > 0,6 dan rhitung > rtabel (untuk N of Cases = 30, diperoleh rtabel = 0,361), maka instrument dianggap reliabel dan valid. Semua butir (item) pertanyaan memiliki rhitung > 0,361. Dengan demikian kedelapan butir pertanyaan adalah valid. Instrument Keberlanjutan Manfaat Hutan adalah Reliabel karena mamiliki nilai Alpha = 0,819.