KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (Studi kasus : Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta)
Oleh : RIA ARIYANTI A14204033
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RIA ARIYANTI. “KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN” dibawah bimbingan FREDIAN TONNY NASDIAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapital sosial masyarakat dalam mengatasi konflik pengelolaan sumber daya hutan, yang dapat diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui tentang : (1) Konflik pengelolaan hutan yang terjadi di Desa Taringgul Tengah ; (2) Respons dari masyarakat Desa Taringgul Tengah terhadap konflik pengelolaan sumber daya hutan ; (3) Bentuk-bentuk dan strategi perlawanan masyarakat desa hutan dengan berbekal kapital sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Penelitian ini dilakukan di Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta, wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat fenomena yang sama dengan masalah yang ingin digali oleh peneliti yaitu adanya konflik dalam pengelolaan sumberr daya hutan dan adanya perlawanan dari masyarakat terhadap konflik tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan strategi studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam dengan responden dan informan dengan mengacu pada panduan pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya.
Konflik yang terjadi di Desa Taringgul Tengah disebabkan oleh adanya penebangan pohon di kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat ini terjadi karena masyarakat sudah tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada masa sebelum reformasi dan krisis moneter, masyarakat masih takut untuk masuk ke dalam kawasan hutan. Tetapi ada saja yang memaksa masuk ke hutan dan mengambil hasil hutan secara sembunyi-sembunyi. Selain itu, sebagian penduduk ada yang bermigrasi ke kota untuk menjadi buruh bangunan, karena di desa juga mereka tidak dapat bertani. Setelah terjadi krisis moneter yang berkepanjangan dan reformasi (keadaan politik Negara tidak stabil), buruh-buruh yang berasal dari desa yang diPHK kembali ke desa, sedangkan di desa tidak tersedia lapangan kerja yang banyak. Lapangan kerja yang tersedia di desa adalah bertani. Karena sebagian besar penduduk Desa Taringgul Tengah hanya lulusan SD saja sehingga untuk memperoleh pekerjaan yang baik, mereka bertani berbekal dari ajaran dan pengalaman orang tua mereka. Sedangkan tidak semua memiliki tanah sendiri yang dapat digarap sehingga mereka menjadi buruh tani. Masyarakat semakin anarkis dalam melakukan pencurian kayu, mereka mengorganisasikan diri untuk memperkuat keberadaannya. Bentuk dari perlawanan sebagai respons terhadap konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah dengan cara mengambil hasil hutan tanpa seizin Perhutani dan menanami lahan hutan tanpa izin Perhutani. Mereka membuat spesifikasi tugas, mereka membagi-bagi tugas pada saat menebang kayu. Mereka membagi tugas ke dalam tiga spesifikasi kerja, yaitu sebagai pengintai, penebang dan pengangkut
sehingga kegiatan penebangan ini aman. Pembagian tugas ini akan mempermudah dalam aksi tersebut, aksi penebangan menjadi lebih ringan, lebih efektif dan lebih efisien. Selain itu, tindakan kolektif mereka dalam mengambil hasil hutan di kawasan hutan Perhutani bukan hanya merupakan keinginan mereka saja, tetapi ada pihak lain yang mempengaruhi, yaitu pihak swasta yang mempergunakan kesulitan ekonomi masyarakat untuk membantunya mendapatkan kayu. Selain itu, pihak swasta ini berperan sebagai penampung yang membeli kayu dari masyarakat, distributor yang menyalurkan kayu-kayu tersebut ke pengusaha mebel dan sekaligus sebagai pelindung yang melindungi masyarakat. Masyarakat mengorganisasikan diri dalam melakukan perlawanan, mereka memiliki integrasi dapat dilihat dari kedekatan antaranggota keluarga dan kedekatan dengan tetangga yang kuat dan pertalian yang kuat yang terlihat dari adanya kedekatan dengan komunitas lain selain komunitas asal yaitu dengan masyarakat desa sekitar hutan lainnya (Desa Gurudug, Parakan Salam, Pondok Salam, Sukadami dan Taringgul Tonggoh). Integritas organisasional dalam masyarakat dikatakan kurang, Perhutani kurang tegas, dan integritas organisasional yang lemah ini mempermudah masyarakat untuk menebang hutan, masyarakat juga memiliki hubungan baik dengan pihak swasta, pihak swasta yang terlibat dalam konflik ini memiliki hubungan yang dekat dengan Perhutani. Sehingga pihak swasta ini sebenarnya menyambungkan masyarakat dengan Perhutani.
KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (Studi Kasus Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta, Jawa Barat)
Oleh :
RIA ARIYANTI A14204033
SKRIPSI Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama : Ria Ariyanti Nomor Pokok : A14204033 Judul : KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (Studi kasus : Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. NIP. 131 475 577
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN” (Studi Kasus Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta, Jawa Barat) INI BENARBENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN
DALAM
NASKAH.
DEMIKIAN
PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Agustus 2008
Ria Ariyanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 23 Desember 1986, dari pasangan Toto Heriyanto dan Almh. Mimi Sularmi. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis adalah : 1.
SDN Cijaya (1992-1998), di Purwakarta, Jawa Barat
2.
SLTPN 1 Campaka (1998-2001), di Purwakarta, Jawa Barat
3.
SMUN 2 Purwakarta (2001-2004), di Purwakarta, Jawa Barat
Pada tahun 2004, penulis melanjutkan sekolah ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kedaerahan yaitu Permata, sebagai ketua Departemen Informasi dan Komunikasi.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan keridhoanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain kepada : 1.
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan untuk kelancaran proses penulisan skripsi.
2.
Ir. Nuraini W. P, MS selaku Dosen Penguji Utama, atas kesediaannya dan telah memberikan masukan dan arahan dalam perbaikan penulisan skripsi.
3.
Heru Purwandari, MSi selaku Dosen Penguji Wakil Departemen, atas kesediaannya dan telah memberikan masukan dan arahan dalam perbaikan penulisan skripsi.
4.
Papa, Kakak, Ade-adeku, nenek dan kakek yang selalu mendoakan serta memberikan semangat dan dukungan material dan spiritual kepada penulis.
5.
Almh. Mama di syurga, terima kasih atas segalanya, kau adalah inspirasiku, semangat hidupku.
6.
Kepada para responden dan informan penelitian atas kesediaan dalam memberikan informasi dalam penelitian ini.
7.
Sahabatku, Tri Bekti Winarni atas dukungan dan ketentraman hati yang diberikan serta kesediaannya menemani di saat sedih dan senang.
8.
Eki Nugraha, atas dukungan dan semangat yang luar biasa. Terima kasih untuk sejuta rasa yang diberikan dalam hari-hariku dan untuk pelajaran tentang kehidupan ini. Alles Gute Zum Geburstag.
9.
The Spinkers, Mas Ucup, Mas Tjas, Bang Roya, Om Buyung, Om Jali, Om Bray, Bang Satrio, Om Herman, Hana, om Uki, Om Bob, Utis dan Teh Anna atas hari-hari yang menyenangkan dan canda tawa yang menghapus kelelahanku.
10. Fauzia Herlin dan Dini Andriani, teman satu perjuangan yang saling mendukung. 11. Ayuningtyas dan Rianti atas kebersamaannya selama kuliah. 12. KPMers 41, love you all. 13. Koordinat, Cidta, Icha, Nana, Nia, Irza, Dieto, Adzan, Riza, Fahmi, Wino atas kebersamaan selama kuliah di Bogor, kalian adalah keluargaku. 14. Alaska crew, atas hadiahnya dan dukungan serta semangat yang telah diberikan.
15. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan keridhoanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN” (Studi Kasus Desa Taringgul Tengah Kec. Wanayasa Kab. Purwakarta, Jawa Barat) merupakan prasyarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kapital sosial yang dimiliki oleh masyarakat desa hutan dalam
mengatasi konflik pengelolaan sumber daya
hutan. Konflik ini telah menyeb abkan hutan menjadi gundul, suhu naik, banjir serta longsor. Selain itu, konflik ini juga berpengaruh terhadap hubungan masyarakat dengan Perhutani dan masyarakat sekitar hutan lainnya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan maanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Agustus 2008
Ria Ariyanti
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
i ii iv v vi
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 5 1.4 Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6 BAB 2. PENDEKATAN TEORITIS ............................................................ 2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................ A. KAPITAL SOSIAL..................................................................... Dimensi dan Komponen Kapital sosial........................................ Kapital sosial dalam Konflik........................................................ B. HUTAN DAN MASYARAKAT DESA HUTAN...................... Masyarakat Desa Hutan ............................................................... Tipologi Masyarakat Desa Hutan................................................. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Hutan.................................. C. KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN ......... Sumber Konflik ............................................................................ Intensitas Konflik .......................................................................... Wujud dan Jenis Konflik............................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran....................................................................... 2.3 Hipotesis Pengarah.........................................................................
7 7 7 9 14 15 16 18 19 20 22 23 25 26 29
BAB 3. METODE PENELITIAN................................................................. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... 3.2 Penentuan Responden dan Informan.............................................. 3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 3.4 Metode Analisis Data .....................................................................
31 31 32 33 33
BAB 4. PROFIL KOMUNITAS DESA TARINGGUL TENGAH............ 4.1 Letak dan Keadaan Geografis ........................................................ 4.2 Sarana dan Prasarana...................................................................... 4.3 Kependudukan dan Kondisi Sosial Ekonomi................................. 4.4 Ikhtisar............................................................................................
35 35 36 37 40
BAB 5. KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DAN RESPONS MASYARAKAT TERHADAP KONFLIK ...... 42 5.1 Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan ..................................... 42 5.2 Ikhtisar............................................................................................ 52 BAB 6. BENTUK DAN STRATEGI PERLAWANAN MASYARAKAT SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONFLIK ............................ 6.1 Respons Masyarakat Terhadap Konflik ......................................... 6.2 Bentuk dan Strategi Perlawanan Masyarakat................................. 6.3 Ikhtisar............................................................................................
54 54 55 58
BAB 7. KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN : SUATU ANALISIS ......................................................... 61 BAB 8. PENUTUP.......................................................................................... 66 8.1 Kesimpulan..................................................................................... 66 8.2 Saran............................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Luas Wilayah Desa Taringgul Tengah Menurut Penggunaannya pada Tahun 2007..................................................... Tabel 2. Sarana san Prasarana di Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 ............................................................................... Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007............ Tabel 4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 .............................................................................. Tabel 5. Jenis Pekerjaan Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 ...............
36 37 38 39 40
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka analisis kapital sosial masyarakat desa hutan dalam konflik pengelolaan sumberdaya hutan .............................. Gambar 2. Eskalasi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 ................................ Gambar 3. Peta Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Desa Taringgul Tengah ............................................................. Gambar 4. Pohon Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan............................
28 48 50 51
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel Teknik Pengumpulan Data ................................................ 69 Lampiran 2. Panduan Pertanyaan..................................................................... 72 Lampiran 3. Undang-undang, Peraturan serta Kebijakan Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan ................................................ 76
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, Pemerintah Indonesia terus
berusaha memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun. Konflik dan ketidaksepakatan dalam masyarakat tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan kawasan hutan negara merupakan suatu sumber dari berbagai ketegangan yang mengarahkan para pemangku-pihak bertindak merusak. Akar dari konflik yang terjadi sebagian besar terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan. Misalnya melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1983, seluas + 143 juta hektar atau sekitar 70 persen dari wilayah daratan Indonesia (baik hutan maupun bukan hutan) ditetapkan Pemerintah sebagai Kawasan Hutan negara (Ministry of Forestry dalam Kusworo, 2000). Penetapan ini kemudian menyebabkan masyarakat lokal tidak diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Apapun kegiatan di dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dianggap melanggar peraturan perundang-undangan dan dapat dikenai hukuman. Label-label yang menimbulkan citra negatif, seperti ‘penjarah hutan’, ‘perambah hutan’, ‘pencuri kayu’, ‘ penduduk liar’, ‘suku terasing’, ‘peladang berpindah’ disematkan kepada penduduk yang penghidupannya tergantung pada sumberdaya hutan (Peluso, 2000).
Bagi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari mengelola dan memanfaatkan hutan, tertutupnya akses pemanfaatan kawasan hutan telah menghambat kelangsungan hidup mereka. Kemudian masyarakat tidak menerima dan berupaya memperjuangkan hak untuk tetap dapat memanfaatkan kawasan hutan. Berbagai upaya dilakukan mulai dari penolakan fisik di lapangan, dialog, demonstrasi hingga mengajukan kasus ke pengadilan. Pemerintah bersikukuh dengan kebijakan yang dijalankannya, sementara penduduk terus bertahan dengan tuntutannya. Kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah dianggap terlalu memihak pada pemodal besar sehingga hak-hak masyarakat terabaikan. Pengelolaan sumberdaya hutan cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitif menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis. Sebagai
upaya
menghadapi
permasalahan
struktural
ini,
petani
mengembangkan pengorganisasian terkait dengan tipe masalah yang akan direspons (Purwandari, 2006). Pengorganisasian masyarakat ini merupakan perlambangan kapital sosial yang berupa jaringan hubungan sosial yang dicirikan oleh adanya norma saling percaya dan mengarahkan masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama (Purwandari, 2006). Kapital sosial adalah pemersatu masyarakat dalam bentuk norma, jaringan dan organisasi yang memungkinkan anggota masyarakat mendapatkan akses terhadap sumberdaya (Seralgedin dan Grootaert dalam Saputro, 2006). Kapital sosial ini adalah sesuatu yang harus dipupuk dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan sebagai perekat masyarakat untuk melakukan perlawanan
dalam memperjuangkan hak-haknya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Harus diakui bahwa di Indonesia kapital sosial masih banyak yang menjadi beban Pemerintah. Banyak aturan yang memposisikan masyarakat sebagai boneka yang lemah dan bodoh. Ruang untuk dialog kesetaraan tidak pernah dibangun. Pembangunan terlalu banyak untuk kepentingan politik, partisipasi masyarakat tidak diperhitungkan. Masyarakat harus mempunyai suatu ‘modal’ yang harus diperkuat agar dapat memperjuangkan hak-haknya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dengan keadaan masyarakat yang telah mengalami perubahan sosial karena adanya globalisasi. Untuk itu, sangat penting untuk dikaji bagaimana peran kapital sosial masyarakat dalam mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya hutan ? Untuk dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi, dengan cara mengetahui kapital sosial yang melandasi dan mendukung mereka dalam melakukan tindakan penebangan kayu secara ilegal serta mempelajari bentuk dan strategi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat dalam merespons konflik yang terjadi. 1.2
Perumusan Masalah Penguasaan dan pengelolaan hutan Indonesia mulai dijalankan pada masa
Pemerintahan kolonial Belanda dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Misalnya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1983 menetapkan bahwa seluas + 143 juta ha wilayah daratan Indonesia (baik hutan maupun bukan hutan) ditetapkan Pemerintah sebagai kawasan hutan Negara. Dampaknya adalah masyarakat tidak
diperkenankan untuk mengambil hasil-hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran hukum. Akibatnya muncul konflik dan sengketa yang berkepanjangan dan rumit. Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi di Desa Taringgul Tengah harus segera ditangani karena semakin hari pohon yang ada di kawasan hutan tersebut semakin berkurang, hutan menjadi gundul dan suhu menjadi naik. Konflik ini harus segera diatasi dengan cara mengetahui penyebab konflik itu terjadi, bagaimana konflik itu berlangsung, siapa yang terlibat, kapan dan dimana berlangsungnya konflik tersebut. Konflik ini terjadi dalam masyarakat, antara masyarakat dan Perhutani yang menyangkut kepentingan keduanya atau bahkan pihak lain. Para pelaku yang terlibat dalam konflik ini saling berinteraksi, saling merespons keputusan-keputusan yang diambil oleh lawan konfliknya. Konflik terjadi karena ada keinginan yang tidak sejalan antar pelaku, untuk itu perlu dikaji bagaimana respons dari masyarakat Desa Taringgul Tengah terhadap konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Respons kuat ditandai oleh adanya suatu tindakan perlawanan dari masyarakat dalam arti mereka mengorganisasikan diri untuk mencapai tujuan bersama yaitu mendapatkan kembali hak atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Sedangkan respons masyarakat yang tergolong lemah ditandai oleh ketidakpedulian dari masyarakat tersebut terhadap konflik bahkan melakukan migrasi untuk bekerja di kota.
Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat mulai dari penolakan fisik di lapangan, dialog, demonstrasi hingga mengajukan kasusnya ke pengadilan atau penebangan kayu secara ilegal sebagai ungkapan dari ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana bentukbentuk dan strategi perlawanan masyarakat desa hutan untuk menjadi kerangka dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi agar keputusan yang diambil dapat menyelesaikan konflik yang terjadi secara efektif dan efisien. Respons yang diberikan oleh masyarakat dipengaruhi oleh kapital sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Setelah konflik, respons dan bentuk serta strategi perlawanan maka akan terlihat bagaimana peran kapital sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang melandasi dan mendukung mereka dalam melakukan tindakan tersebut. Apabila respons yang diberikan masyarakat kuat maka mereka diasumsikan memiliki kapital sosial yang kuat pula. Sebaliknya, apabila respons yang diberikan masyarakat lemah maka mereka diasumsikan memiliki kapital sosial yang lemah pula. Point perumusan masalah ini merupakan pertanyaan umum penelitian (research question) . 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan umum
penelitian yaitu bagaimana peran kapital sosial masyarakat dalam konflik pengelolaan sumberdaya hutan dengan menjawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan khusus penelitian yang bertujuan untuk sebagai berikut :
1. Menganalisis konflik pengelolaan hutan yang terjadi di Desa Taringgul Tengah 2. Mengidentifikasi respons dari masyarakat Desa Taringgul Tengah terhadap konflik pengelolaan sumberdaya hutan 3. Mengidentifikasi bentuk-bentuk dan strategi perlawanan masyarakat desa hutan dengan berbekal kapital sosial yang ada dalam masyarakat tersebut 1.4
Kegunaan Penelitian 1.
Penelitian yang diadakan diharapkan dapat memberikan gambaran kapital sosial pada masyarakat desa hutan dalam mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi setelah adanya perubahan sosial dalam masyarakat akibat dari globalisasi.
2.
Menjadi masukan dan tambahan literatur mengenai kapital sosial pada masyarakat
desa
hutan
dalam
mengatasi
konflik
pengelolaan
sumberdaya hutan. 3.
Serta penelitian ini menyumbangkan pemikiran untuk penelitian selanjutnya.
BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
A.
Kapital Sosial Kapital sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota
masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya, didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong suatu kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. Sebagai elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, kapital sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan secara langsung maupun tidak, hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas, social networks ikatan sosial yang ada dalam masyarakat dan norma sangat diperlukan untuk mendorong produktivitas masyarakat. Kapital sosial ini berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif, seperti pertetanggaan, pertemanan atau kekeluargaan, dalam hubungan seperti ini perasaan kewajiban terhadap orang lain sangat terasa. Kapital sosial mempunyai dua ciri, yaitu kapital sosial merupakan suatu aspek struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut, bentuk kapital sosial menurut pengertian ini adalah kewajiban dan harapan, ini dimaksudkan bahwa dalam kapital sosial yang
dibangun dari kepercayaan, jaringan dan norma sosial masing-masing individu mempunyai kewajiban dan harapan dalam melakukan tindakan sosial; potensi informasi, terjalin melalui hubungan sosial yang sifatnya informal yang dapat menyimpan dan menyampaikan informasi; norma dan sanksi yang efektif; hubungan otoritas; dan organisasi sosial. organisasi sosial terbentuk dari tujuan yang spesifik dimana terjadi proses pencapaian tujuan dan didalamnya terdapat mekanisme organisasi yang cukup luas skalanya dalam usaha pencapaian tujuannya “Kapital sosial didefinisikan sebagai pemersatu masyarakat dalam bentuk norma, jaringan dan organisasi yang memungkinkan anggota masyarakat mendapat akses terhadap sumberdaya” (Seralgedin dan Grootaert dalam Saputro, 2006), dengan adanya norma-norma, jaringan dan organisasi dalam masyarakat, maka mereka akan dapat bersama-sama memperjuangkan suatu hak/akses tehadap sumberdaya tertentu. Ada tiga perspektif yang digunakan dalam memahami kapital sosial, yaitu : a.
kapital sosial dilihat sebagai norma dalam menjalin kerjasama yang setara. Norma yang dimaksud adalah perjanjian masyarakat dalam membentuk
sebuah
jaringan,
norma-norma
tersebut
mengatur
hubungan timbal balik diantara masyarakat dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat. b.
Lebih luas lagi, kapital sosial yang ditinjau dari struktur sosial yang memfasilitasi tindakan sosial bersama.
c.
Lebih luas lagi dari keduanya, kapital sosial ditinjau dari lingkungan sosial politik yang mampu mengembangkan norma dan struktur sosial.
Berbagai pandangan dari para pemikir tentang kapital sosial itu bukan sesuatu yang bertentangan. Adanya keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa yang dapat digunakan untuk melihat kapital sosial yang ada dalam masyarakat. Kapital sosial bisa berwujud sebuah mekanisme yang mampu mengolah potensi menjadi sebuah kekuatan riil untuk menunjang pengembangan masyarakat dan sebagai sebuah konsep, definisi mengenai kapital sosial pun mengalami perkembangan. Dimensi dan Komponen Kapital Sosial Kapital sosial memiliki empat dimensi (Cullen dan Culleta, 2000). Pertama adalah integrasi, yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. Kedua adalah pertalian, yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal. Ketiga adalah integritas organisasional, yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Kapital sosial didefinisikan dari pengertian bahwa suatu komunitas dapat bertahan dengan sebuah kapital sosial, dimana modal ini mempunyai komponen penting yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang sudah terinternalisasi dan kepercayaan sosial. Menurut Carrier dan Burren dalam Laban (2007), terdapat tiga komponen utama kapital sosial yaitu : associability yaitu kemampuan untuk
memacu aksi kolektif dalam interaksi sosial. Kemampuan ini harus didasari kepercayaan timbal balik (shared trust) dan tanggung jawab timbal balik (shared responsibility). Selain itu, kapital sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu : 1.
Trust (kepercayaan)
Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis sosial disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari kapital sosial dalam pembangunan yang menjadi ‘ruh’ dari kapital sosial (Dharmawan, 2002). Kepercayaan terbagi dalam tiga klasifikasi aras, yaitu : a.
Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) sesuai yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya nilai mengemban amanah.
b.
Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat grup sosial secara efektif.
c.
Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam menerapkan kepercayaan dalam hubungan masyarakat.
Kapital sosial mencakup kepercayaan sosial yang mendorong adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Trust melandasi kapital sosial dalam terbangunnya ikatan sosial dalam masyrakat. Ikatan-ikatan sosial yang terbentuk dari dibangunnya kepercayaan akan membentuk jaringan ikatan sosial yang merupakan infrastrukttur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama, 1999). kapital sosial dapat terlihat dalam aspek kepercayaan, pemahaman yang kondusif unttuk saling bertukar pengetahuan dan memiliki kekuatan untuk aksi kerjasama. Menurut Dharmawan (2002), ada enam fungsi trust dalam hubungan sosial kemasyarakatan, yaitu : 1. Kepercayaan dalam arti confidence yang bekerja pada ranah psikologis individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resikoresikonya. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehungga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif (diakui bersama). 2. Kerjasama, trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi dengan rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. 3. Penyederhanaan pekerjaan, trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan
yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal jika adanya ketidakpercayaan antar individu. 4. Ketertiban, trust berfungsi menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu mengatur tatanan sosial 5. Pemeliharaan kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan masyarakat dalam suatu komunitas agar tidak bercerai berai. 6. Kapital sosial. Trust adalah aset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin struktur-struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional. 2.
Social Networking (jaringan sosial)
Jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait secara langsung maupun tidak langsung. Jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama. Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran, yaitu : a. Ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan keluarga, pertemanan dan pertetanggaan.
b. Ikatan yang sifatnya lebih umum, seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, masyarakat dalam kesatuan warga Negara. Ikatan ini dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum. c. Ikatan kelembagaan yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya, pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan keluasan. Ukuran lain yang berkaitan dengan jaringan sosial dalam kapital sosial adalah karakteristik jaringan sosial yang terdiri dari tiga karakteristik, yaitu : bentuk dan luas (size and extensiveness), misalnya mengenai jumlah hubungan informal yang terdapat dalam sebuah interaksi sosial, jumlah tetangga mengetahui hubungan pribadi seseorang dalam sebuah sistem sosial dan jumlah kontak kerja; kerapatan dan ketertutupan (density and closure), misalnya dengan seberapa besar sesama anggota keluarga saling mengetahui teman-teman dekatnya, diantara teman saling mengetahui satu sama lainnya, masyarakat setempat saling mengetahui satu sama lainnya dan keragaman (diversity), misalnya dari pencampuran budaya dalam wilayah setempat. 3.
Social Norms (Norma-norma Sosial)
’Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyaryakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang digarapkan’ (Soekanto, 1990). Kapital sosial dibentuk dari normanorma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendorong terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma-norma yang
membentuk kapital sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian menjadi sebuah aturan. Selain terbentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional, misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain. Selain itu, menurut Uphoff (2000) dalam suwartika (2003) dua komponen lagi dalam kapital sosial, yaitu : 1. Solidaritas, terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. 2. Kerjasama, terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendirisendiri.
Sikap-sikap
kooperatif,
keinginan
untuk
membaktikan
diri,
akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama dan keyakinan bahwa kerjasama akan lebih menguntungkan dan menguntungkan. Kapital sosial dalam konflik Kapital sosial dapat mempengaruhi suatu kondisi masyarakat, kapital sosial dapat menyebabkan perdamaian maupun kekerasan juga. Diantara kapital sosial dengan perdamaian dan kekerasan, terdapat variabel antara, yaitu kohesi sosial
(social cohesion). Kohesi sosial adalah terintegrasinya dimensi kapital sosial pada tingkat horizontal dengan vertikal (Nasdian, 2003). Bila kohesi sosial tersebut kuat, maka konflik dan kekerasan dapat dihindari. Sebaliknya, jika kohesi sosialnya lemah maka akan terjadi konflik dan kekerasan. Masyarakat yang tertutup akan menyebabkan kohesi sosial lemah karena mereka menjadi tidak saling mengenal dan mereka jadi saling tidak mempedulikan satu sama lain, sebaliknya dengan keadaan masyarakat yang terbuka. Negara yang demokratis akan membukakan akses dan persamaan terhadap suatu kesempatan sehingga tidak akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat dan hal ini akan memperkuat kohesi sosial masyarakat. B.
Hutan dan Masyarakat Desa Hutan Hutan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon
yang cukup rapat dan luas, biasanya dengan ciri-ciri beragam dalam komposisi jenis, struktur dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan. Hutan adalah ‘rumah’ tempat tinggal dan hidup aneka sumberdaya hayati yang memberikan manfaat kepada manusia. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia. Berdasarkan pengertian diatas dapat dibayangkan betapa hutan memiliki sumberdaya alam yang berlimpah termasuk hutan tropika dan menyimpan berbagai kekayaan alam hayati yang tinggi. Pada tahun 1970 luas penutupan hutannya dilaporkan seluas 144 juta hektar atau 74 persen dari total luas daratan Indonesia. Namun pada akhir tahun 1980-an luas tersebut menurun menjadi 56 persen. Hal ini menunjukkan adanya tekanan perubahan tata guna lahan dari hutan ke
non hutan, seperti perkebunan, pemukiman transmigrasi, perluasan areal pertanian dan perladangan berpindah. Selain itu, ada juga kegiatan pembakaran hutan secara luas, sehingga mengakibatkan menurunnya sumberdaya hutan dan terancamnya kelestarian penyediaan hasil dan jasa hutan. Selanjutnya, degradasi tersebut menjadi sorotan internasional, yang penanggulangannya melibatkan semua pihak termasuk pihak asing. Hutan sekarang mengalami degradasi yang cukup serius, namun diharapkan tetap memberikan manfaat terhadap manusia terutama bagi masyarakat setempat, karena masyarakat setempat merupakan stakeholder pertama dan memiliki akses yang mudah terhadap pemanfaatan hutan. Hutan memberikan tempat kepada masyarakat miskin untuk melakukan kegiatan yang produktif agar petani tidak terlalu tergantung pada upah. Masyarakat Desa Hutan Masyarakat desa hutan adalah sejumlah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan yang menggantungkan diri pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sekitar enam puluh tiga persen penduduk di Jawa tinggal di pedesaan, sepertiga penduduk pedesaan itu digolongkan sebagai penduduk desa hutan. Masyarakat desa hutan memiliki asal usul yang sama; mereka memiliki sistem hukum adat, nilai budaya dan ideologi sendiri; memiliki kelembagaan adat; dan mereka menguasai serta memiliki teritori dan pola pemanfaatan yang diwariskan secara turun temurun. Masyarakat desa hutan saling berinteraksi sesuai dengan sistem adatnya. Dua puluh satu juta orang tinggal dan bekerja di desa-desa di sekitar hutan pinus (Pinus merkusii) dan hutan campuran sehingga hutan berubah menjadi daerah
pemukiman yang tidak beraturan dalam lahan-lahan jati atau tinggal di pesisir hutan bakau. Saat ini, 6.172 desa di Jawa digolongkan sebagai ’desa hutan’, yakni desa yang berada di dalam atau di kawasan negara (Djokonomo dalam Peluso, 2006). Para pendiri desa-desa ini ’mengungsi’ ke wilayah yang tak dikenal atau tak digarap dalam masa prakolonial atau masa kolonial, barangkali untuk menghindar dari penguasa atau mencari lahan pertanian yang baru ketika pemukiman lama sudah padat. Pada pemerintahan kolonial, ditetapkan batas kawasan pemukiman petani dan lahan pertanian, setelah melarang petani mengakses hutan jati yang bernilai tinggi. Petani tidak lagi mempunyai pilihan dan peluang untuk membebaskan diri dari kondisi pemukiman yang padat atau kondisi tertindas. Kemudian dengan semakin berkembangnya pembangunan yang menyebabkan mobilitas penduduk meningkat maka terjadi pembauran penduduk, ditandai oleh semakin bertambahnya penduduk pendatang dari luar. Kemudian terbentuklah suatu masyarakat yang baru yang lebih heterogen, dan tentu dengan karakteristik hidup yang lebih kompleks. Bertambahnya jumlah populasi masyarakat menyebabkan banyak masalah yang timbul salah satunya adalah masalah pemiskinan yang memang sudah lama ada tapi kemudian menjadi mencolok dengan ketidakmerataan akses terhadap sumberdaya oleh masyarakat setempat. Akses terhadap sumberdaya hutan lebih dipegang dan dikuasasi oleh para pengusaha melalui hak pengeksploitasi hutan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Masyarakat sekitar hanya menjadi “penonton”
menyaksikan pembangunan yang dilakukan oleh kaum elit pengusaha. Dampak yang
terjadinya adalah proses pemiskinan yang terstruktural, sumber-sumber penghidupan masyarakat sekitar diambil alih oleh mereka sebagai contoh masyarakat terasing yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, secara turun menurun mendiami wilayah hutan, secara tradisional mereka melakukan pemanfaat hutan dengan meramu, menangkap ikan untuk mempertahankan hidup. Mereka cukup memanfaatkan hasil hutan dengan tidak berlebihan dan keunggulan mereka adalah memiliki kearifan lokal yang perlu dipertahankan seperti pengetahuan mengenai ”ILMU” tentang konservasi alam. Kemudian masuk perusahaan HPH yang mengeksploitasi hutan dan menyebabkan kerusakan hutan serta konflik. Tipologi Masyarakat Desa Hutan Perkembangan berbagai kebijakan dan program pembangunan sosial ekonomi di Indonesia (diikuti dengan perubahan fisik hutan) selama beberapa dasawarsa telah mewarnai sejarah keberadaan suatu komunitas pada suatu wilayah. Menurut von Maydell (1989) dalam Sardjono (2004), masyarakat lokal pada dasarnya cukup bila dibedakan menjadi dua kelompok , yaitu : 1) Pemburu (hunters) dan peramu (gatherers) hasil hutan atau juga diistilahkan dengan penghuni hutan (forest dwellers). Kelompok ini dapat dikatakan sebagai ‘komponen alami‘ dari ekosistem hutan karena mereka sudah turun menurun tinggal di dalam hutan dan berpindah. Interaksi terhadap lingkungan sifatnya marjinal, dikarenakan populasi dan kebutuhannya masih terbatas.
2) Para petani sekitar hutan (forest farmers) yang pada umumnya merupakan penduduk sekitar desa hutan (forest surrounding villagers). Kelompok ini selain bertani, sebagian juga ada yang hidup dari kerajinan/ tukang atau pedagang. Walaupun kehidupannya masih sangat erat berhubungan dengan hutan tetapi juga tergantung dari sumber-sumber lainnya. Hasil yang diperoleh dari hutan ditujukan baik untuk keperluan sendiri atau dijual. Selain itu, masyarakat setempat menurut Simpoha (1997) terdiri dari : 1) Masyarakat hukum adat yaitu kelompok masyarakat yang tinggal menetap yang memiliki kekuasaan baik benda terlihat maupun benda yang tidak terlihat sendiri. 2) Masyarakat adat yaitu masyarakat yang memiliki sosio kultur dan ekonomi sendiri (khas) dengan masyarakat lain dan sebagai bagian dari masyarakat dalam suatu negara. Mereka memiliki status yang diatur sesuai adat dan tradisi masyarakat tersebut yaitu berupa hukum dan peraturan khusus. 3) Masyarakat campuran (termasuk pendatang), karena mobilitas yang meningkat, kemudian memungkinkan penduduk berpindah dari suatu daerah ke daerah lain baik ke dalam atau di sekitar hutan. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Hutan Masyarakat desa hutan adalah sebagian besar sebagai petani yang bermukim dan melakukan aktivitas usaha taninya di hutan. Mereka biasa disebut sebagai peasant. Petani pedesaan sebagian besar merupakan petani yang masih tergantung dengan alam sekitar, mereka melakukan kegiatan pertanian di dalam hutan,
mengambil hasil hutan non kayu (damar, getah, rotan, sarang burung dan tanaman obat-obatan), sebagian yang lain mengambil kayu atau ranting-ranting pohon yang jatuh untuk dijadikan kayu bakar, menyabit rumput untuk pakan ternak atau menggembalakan ternak mereka di hutan. Sebagian hasil pertanian mereka jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kemudian dengan adanya larangan dari Pemerintah kepada masyarakat desa hutan untuk mengakses dan mengelola sumberdaya hutan mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk bekerja ke kota (urbanisasi) sebagai buruh-buruh pabrik atau menjadi buruh bangunan.
C.
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan Konflik menurut Fisher dkk. (2001) adalah hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan yang kemudian menimbulkan ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan dalam masyarakat. Konflik dan kehidupan manusia sangatlah sulit untuk dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama, karena adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan keterbatasan sumberdaya itu memang selalu terjadi. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Kata konflik itu sendiri sering kali bermakna negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama, harmoni dan perdamaian.
Konflik digambarkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pandangan tersebut sulit untuk diubah, walau konflik sebenarnya perlu sebagai suatu gambaran perubahan sosial suatu masyarakat. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola dan diubah menjadi suatu kekuatan untuk melakukan perubahan yang positif. Dengan meningkatnya konflik, maka akan meningkatkan perhatian dari berbagai pihak terhadap konflik tersebut dan akan semakin banyak pula pihak yang melibatkan diri dalam konflik tersebut. Keinginan dari pihak yang berkonflik untuk menang terjadi karena adanya peningkatan keinginan pribadi dari pihak tersebut terhadap obyek yang diperebutkan (objek konflik). Keadaan menjadi semakin rumit dan terdesak dengan meningkanya konflik dan pihak yang terlibat menjadi semakin bertambah sehingga orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain karena setiap orang mempunyai kepentingan yang berbeda dan seseorang dapat menjadi individu ynag berbeda selama berada dalam konflik. Strategi manajemen konfllik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi, karena munculnya masalah-masalah baru yang terjadi. Konflik dengan demikian mengandung pengertian yang sangat cair, cepat berubah dan bermakna ganda. Dari waktu ke waktu pergeseran terjadi dalam hal intensitas, sifat, jenis, penyebab dan lokasi konflik serta pihak ynag terlibat didalamnya. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu konflik dapat mengalami penyederhanaan-penyederhanaan. Pengertian konflik dapat berbeda, konflik dapat merujuk pada suatu debat, ketidaksetujuan, perbedaan argumentasi,
perselisihan, suatu perjuangan, pertikaian atau suatu keadaan yang terganggu, ketidakstabilan, ketidakteraturan atau kekacauan. Sumber Konflik Berdasarkan pemikiran dari Fisher dkk. (2001), terdapat beberapa teori mengenai sebab-sebab konflik yang dapat digunakan untuk memahami cara-cara mengelola konflik, yaitu : a. Teori Hubungan Masyarakat, teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan antara kelompok yang berbeda dalam satu masyarakat. b. Teori Negosiasi Prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. c. Teori Kebutuhan Manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. d. Teori Identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.
e. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. f. Teori Transformasi Konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Intensitas konflik Bila dua pihak atau lebih berinteraksi, maka mereka akan ada dalam suatu kontinum yang terentang dari kondisi ‘tanpa konflik’ sampai dengan ‘ada konflik yang tidak terpecahkan’. Dua kutub ekstrim tersebut, dalam praktek hampir tidak pernah terjadi merujuk pada kontinum tersebut, Robbins dalam Tadjudin (2000) menggolongkan konflik menurut intensitasnya, yaitu sebagai berikut : a. Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Setiap perbedaan itu merupakan sumber konflik. Konflik yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan disini masih tersimpan dalam ingatan setiap individu atau kelompok yang berinteraksi. b. Mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa pihak lain itu keliru atau tidak.
c. Mengajukan serangan-serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak lain itu keliru, tapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap seperti yang diinginkannya. d. Mengajukan ancaman dan ultimatum. Disini koersi verbal sudah mulai muncul. Artinya ada suatu upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya (yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya). e. Melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik. f. Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain. Kategori pertama dan kedua masih merupakan konflik yang terselubung, yaitu suatu ketidaksetujuan dan salah pengertian yang masih tersimpan dalam benak pihak terkait atau pertanyaan-pertanyaan yang tidak koersif. Sedangkan sisanya sudah berupa konfik terbuka, yaitu berbagai bentuk ketidaksetujuan yang tidak diekspresikan secara terbuka oleh pihak terkait yang didalamnya sudah terkandung tindakan koersi dalam segala tingkatannya. Konflik akan dipelihara pada intensitas yang optimum. Jika tidak ada konflik, maka suatu kelompok masyarakat akan statis, tidak memiliki daya perbaikan internal dan tidak kreatif. Sebaliknya jika intensitas konfik terlalu tinggi, maka akan sangat sulit untuk mengendalikannya, sehingga akan mengganggu kinerja kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Wujud dan Jenis konflik Konflik dapat berwujud konfllik tertutup (laten), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). 1. Konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. 2. Konfllik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. 3. Konflik terbuka merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan ynag terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, mungkin pula sudah mencapai jalan buntu. Menurut level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. 1. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. 2. Konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro sulit digambarkan dengan jelas, bahkan sering kali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya.
Jenis-jenis konflik bisa pula dibedakan antara konflik intrapersonal dan konflik interpersonal. Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai yang dihadapinya jauh dari menyenangkan. Konflik interpersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai antara satu individu/kelompok yang lain. 2.2
Kerangka Pemikiran Konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikaitkan
dengan partisipasi masyarakat menurut Tadjudin (2000) terjadi pada tataran tata nilai, hak pemilikan (kelembagaan : institusi) dan pada model pengelolaannya. Pada tataran tata nilai, terdapat ketidaksepakatan dalam pemaknaan hutan maupun masyarakat. Bagi masyarakat setempat, hutan merupakan ‘rumah’ tempat tinggal dan tempat menggantungkan kehidupan ekonomi, budaya dan spiritualnya. Bagi swasta, hutan merupakan komoditas yang dapat memberikan keuntungan yang besar jika pohon yang ada di hutan tersebut ditebang dan dijual. Bagi pemerintah, hutan digambarkan amat ‘relijius’ sebagai ‘rahmat Tuhan’ tapi di sisi lain terjadi tebang habis oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Pihak swasta dan pemerintah menganggap masyarakat tidak mampu menjadi pengelola hutan dan masyarakat juga dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan usaha. Penguasaan dan pengurusan hutan Indonesia mulai dijalankan pada masa Pemerintahan kolonial Belanda dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1983 menetapkan bahwa seluas + 143 juta ha wilayah daratan Indonesia (baik hutan maupun bukan hutan) ditetapkan Pemerintah
sebagai kawasan hutan Negara. Adanya ketidakpastian pada arti istilah ‘Kawasan Hutan’ menyebabkan tumpang tindih dalam hal kepemilikan tanah. Diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan ini menyebabkan masyarakat tidak diperkenankan untuk mengambil hasil-hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal masyarakat desa hutan sudah tinggal di hutan tersebut bahkan sebelum Negara Indonesia diproklamirkan dan masyarakat telah memanfaatkan kawasan tersebut untuk menggantungkan hidup. Bagi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup pada hasil-hasil hutan, tertutupnya akses mereka terhadap hutan itu berarti kelangsungan hidup mereka terhambat. Selain itu terjadi pula pertentangan dalam hal pengelolaan hutan (tentang siapa yang seharusnya mengelola hutan). Pemerintah bersikukuh dengan kebijakan yang dijalankannya, sementara penduduk terus bertahan dengan tuntutannya. Masyarakat tidak dapat menerima keadaan ini, lalu mereka berupaya memperjuangkan hak untuk tetap dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan. Upaya ini tidak akan terealisasi apabila masyarakat desa hutan tidak memiliki ‘modal’. Modal ini adalah kapital sosial. Masyarakat desa dan petani bukanlah masyarakat yang pasif, mereka mampu melakukan perlawanan untuk memperjuangkan hak-haknya atas hasil-hasil hutan. Adanya kepercayaan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan adanya kelembagaan dalam masyarakat yang terorganisir dengan baik, solidaritas dan kerjasama akan merekatkan masyarakat (kohesi sosial yang kuat). Intensitas konflik akan dipengaruhi oleh kohesi sosial yang terjalin dalam masyarakat. Kohesi sosial akan kuat apabila kapital sosial tingkat vertikal dan horizontal terintegrasi dengan
baik. Untuk itu, konsep kapital sosial ini sangat penting untuk dikaji untuk melihat seberapa besar respons masyarakat dalam usaha mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya hutan.
Tata nilai, hak pemilikan dan model pengelolaan menurut pihak swasta
Kebijakan dan tata nilai, hak pemilikan dan model pengelolaan menurut Pemerintah
Tata nilai, hak pemilikan dan model pengelolaan menurut masyarakat
Hutan
Konflik pengelolaan sumberdaya hutan
Kohesi sosial Kapital sosial tingkat horizontal
Kapital sosial tingkat vertikal
Keterangan :
= hubungan timbal balik = menyebabkan kondisi tertentu = Mempengaruhi Gambar 1. Kerangka analisis kapital sosial masyarakat desa hutan dalam konflik pengelolaan sumberdaya hutan
Respons kuat ditandai oleh adanya suatu tindakan perlawanan dari masyarakat dalam artian mereka mengorganisasikan diri untuk mencapai tujuan bersama yaitu mendapatkan kembali hak atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Sedangkan respons masyarakat desa hutan yang tergolong lemah ditandai oleh ketidakpedulian dari masyarakat tersebut terhadap konflik bahkan ada pula warga
yang melakukan migrasi untuk bekerja di kota. Adanya krisis moneter dan reformasi menyebabkan banyak pengangguran karena perusahaan tidak mampu membayar upah pekerja sehingga buruh yang berasal dari desa kembali ke desanya masing-masing. Di desa tidak tesedia banyak lapangan pekerjaan sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat mengolah hutan tetapi karena masyarakat tidak diizinkan memasuki apalagi mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan maka mereka mengambil hasil hutan secara diam-diam. Apabila respons dari masyarakat terhadap konflik dengan berbekal kapital sosial yang dimiliki sudah diketahui maka dapat diketahui pula bagaimana bentuk-bentuk dan strategi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat pada gambar kerangka pemikiran (Gambar 1).
2.3
Hipotesis Pengarah Konflik yang terjadi dalam masyarakat diakibatkan oleh berbagai perbedaan
dan adanya kebijakan pemerintah, seperti adanya penetapan “Kawasan Hutan” (melalui Tata Guna Hak Kepemilikan) maka hak masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya
hutan
terhambat.
Konflik
yang
terjadi
dinilai
memojokkan posisi masyarakat desa hutan. Masyarakat tidak menerima kondisi tersebut karena bagi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup dari mengelola dan memanfaatkan hutan, tertutupnya akses pemanfaatan kawasan hutan telah menghambat kelangsungan hidup mereka. Pemerintah bersikukuh dengan kebijakan yang dijalankannya, sementara penduduk terus bertahan dengan tuntutannya. Lalu mereka (masyarakat desa hutan) berupaya memperjuangkan hak
untuk tetap dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan. Berbagai upaya dilakukan mulai dari penolakan fisik di lapangan, dialog, demonstrasi hingga mengajukan kasus ke pengadilan ataupun dengan cara-cara lainnya. Upaya ini tidak akan terealisasi apabila masyarakat desa hutan tidak memiliki ‘modal’. Modal ini adalah kapital sosial yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan strategi studi kasus, yaitu melakukan penggalian
informasi secara mendalam mengenai
kapital sosial masyarakat desa hutan dalam mengatasi konflik pengelolaan sumberdaya hutan, dalam penelitian ini diperlukan hubungan baik antara peneliti dan tineliti. Hal ini juga tidak terlepas dari keinginan peneliti mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kasus khusus. Strategi studi kasus yang dipilih adalah studi kasus instrumental, yaitu studi kasus yang dilakukan karena peneliti ingin mengkaji atas suatu kasus khusus untuk memperoleh wawasan atas suatu isu atau sebagai pendukung untuk membantu peneliti dalam memahami konsep kapital sosial masyarakat desa hutan. 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab.
Purwakarta, wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat fenomena yang sama dengan masalah yang ingin digali oleh peneliti yaitu adanya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan adanya perlawanan dari masyarakat terhadap konflik tersebut. Peneliti juga mudah masuk ke dalam lingkungan tersebut karena sebagian besar masyarakatnya menggunakan bahasa sunda sehingga memudahkan wawancara karena peneliti juga dapat menggunakan bahasa sunda. Penelitian di lapangan
dilaksanakan pada bulan April-Mei 2008 setelah dilakukan penjajagan lapang pada bulan Maret 2008. 3.2
Penentuan Responden dan Informan Responden merupakan pihak yang memberikan keterangan mengenai diri dan
keluarganya. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat desa hutan yang berpartisipasi dalam
melakukan perlawanan terhadap Perhutani. Pemilihan
responden dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju karena tidak semua anggota masyarakat terlibat langsung dalam perlawanan ini. Jumlah responden adalah empat orang, keempat orang ini memenuhi kriteria sebagai responden karena mereka terlibat langsung dalam melakukan perlawanan ini. Responden pertama dalam penelitian diperoleh dari rekomendasi seorang informan penelitian. Lalu responden tersebut memberitahu nama responden yang dapat diwawancarai. Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungan. Informan kemudian membantu peneliti dalam memilih responden yang sahih atau memberi keterangan tambahan tentang topik kajian. Penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive yaitu memilih orang-orang yang sekiranya memahami konsep yang diteliti. Informan merupakan pemimpin formal (dipilih berdasarkan jabatan dalam kelembagaan) maupun informal (tokoh-tokoh dalam masyarakat), pihak Perhutani, pihak swasta dan pihak diluar pihak yang terlibat (masyarakat, Perhutani dan pihak swasta), misalnya pihak kepolisian yang ikut menangani kasus konflik pengelolaan sumberdaya hutan ini. Pihak swasta dan pihak luar yang terlibat diperoleh dari informasi dari pemimpin formal, pemimpin
informal, Perhutani, kepolisian ataupun dari masyarakat itu sendiri. Informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 orang yang merupakan sekretaris desa, wakil dari Perhutani dan wakil dari pihak luar (Kepolisian). 3.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara mendalam dan
penelusuran dokumen. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam dengan responden dan informan dengan mengacu pada panduan pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya. Wawancara tersebut dilakukan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik pengelolaan sumberdaya hutan dan kapital sosial masyarakat desa hutan. Selain itu informasi lainnya yang dibutuhkan dalam penarikan suatu kesimpulan nantinya juga dapat diperoleh dengan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur seperti buku, laporan hasil penelitian sebelumnya dan sumber-sumber referensi lainnya (misalnya internet). 3.4
Metode Analisis Data Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus
menerus. Penelitian bergerak diantara empat sumbu, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan (Miles & habermas dalam Sitorus, 1998). Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan analisis dokumen
serta
literatur-literatur
direduksi
melalui
proses
pemilihan
dan
pengkategorian data-data yang sesuai. Kemudian dilakukan pengkodean dan penelusuran tema-tema sesuai gugus-gugus outline pada laporan. Setelah mereduksi data, kemudian data disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan langsung maupun tidak dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan. Data disajikan dalam bentuk kutipan dan
deskripsi.
Setelah
penyajian
data,
dilakukan
proses
penarikan
kesimpulan/verifikasi data. Penarikan kesimpulan terhadap sejumlah informasi yang diperoleh, dilakukan secara bertahap bersamaan dengan penyajian data.
BAB 4 PROFIL KOMUNITAS DESA TARINGGUL TENGAH 4.1
Letak dan Keadaan Geografis Desa Taringgul Tengah termasuk salah satu desa di Kecamatan Wanayasa
Kabupaten Purwakarta. Batas-batas Desa Taringgul Tengah adalah sebagai berikut : Sebelah utara
: Kawasan Hutan Perhutani
Sebelah selatan
: Desa Sukadami
Sebelah barat
: Kawasan Hutan Perhutani
Sebelah timur
: Desa Taringgul Tonggoh
Tipologi Desa Taringgul Tengah adalah desa sekitar hutan, Desa Taringgul Tengah berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Perhutani yaitu di sebelah utara dan barat. Luas Desa Taringgul Tengah adalah sekitar ± 561.86Ha. Pengalokasian luas berikut dijelaskan pada Tabel 1. Jarak dari ibukota Kecamatan Wanayasa ke Desa Taringgul Tengah adalah ± 6 Km dengan lama tempuh sekitar 25 menit dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Penggunaan lahan di Desa Taringgul Tengah paling banyak adalah sebagai hutan produksi yaitu sekitar 234.76 Ha atau sekitar 41.78 persen dari luas wilayah desa tersebut. Hutan produksi ini dikelola oleh Perum Perhutani, luas kawasan hutan Perhutani adalah sekitar ± 556 Ha dan seluas 234.76 Ha terdapat di Desa Taringgul Tengah. Tetapi hutan produksi selaus 234.76 Ha itu sekarang dalam kondisi yang rusak.
Tabel 1. Luas Wilayah Desa Taringgul Tengah Menurut Penggunaannya pada Tahun 2007 Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Sawah irigasi ½ teknis 88.54 15.76 Sawah tadah hujan 57 10.14 Tegal/ladang 9.85 1.75 Pemukiman 25.46 4.53 Tanah perkebunan rakyat 140.90 25.08 Kas desa 0.65 0.11 Lapangan 1 0.17 Perkantoran pemerintah 0.7 0.12 Hutan produksi 234.76 41.78 Lainnya 3 0.53 Jumlah 561.86 100 Sumber : Data Monografi Desa Taringgul Tengah, 2007
Topografi Desa Taringgul Tengah dibagi menjadi tiga topografi, yaitu daerah dataran, daerah berbukit dan daerah lereng. Desa Taringgul Tengah berada pada ketinggian 700 mdpl, dengan suhu rata-rata tahunan 25-30ºC dan curah hujan pertahun 5500 mm. 4.2
Sarana dan Prasarana Sarana angkutan umum setiap saat melintasi jalan di desa tersebut tetapi mulai
dari jam 5 sore angkutan umum roda empat sudah jarang melintas tetapi masih ada ojek yang beroperasi 24 jam. Kondisi jalan sudah beraspal tetapi ada juga yang masih jalan tanah dan berbatu. Di Desa Taringgul Tengah sudah tersedia jaringan telepon, listrik dan air bersih dari PDAM. Walaupun sarana-sarana tersebut sudah menjangkau Desa Taringgul Tengah tetapi tidak semua warga menggunakannya. Terutama untuk air bersih dan sambungan telepon. Di desa ini sudah ada warung telekomunikasi (wartel), sehingga masyarakat lebih memilih menelepon di wartel daripada memasang telepon rumah. Selain itu, sudah banyak yang memakai handphone walaupun jaringannya masih kurang bagus. Sebanyak 347 KK sudah menggunakan
fasilitas air bersih dari PDAM tersebut. Sarana dan prasarana lainnya secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sarana dan Prasarana di Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 Jenis Bangunan Jumlah • Sarana pendidikan 3 - SD/Sederajat 2 - Pondok pesantren 1 - Perpustakaan • Sarana Peribadatan 2 - Mesjid 17 - Mushola • Sarana olahraga 1 - Lapangan sepakbola 2 - Lapangan bulutangkis • Sarana kesehatan 1 - Puskesmas pembantu • Sarana komunikasi 1 - Warung telekomunikasi 1 - Kantor pos pembantu Sumber : Data Monografi Desa Taringgul Tengah, 2007
4.3
Kependudukan dan Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Desa Taringgul Tengah adalah sebanyak 3.121 jiwa yang
terbagi ke dalam 897 KK dan terdiri dari 1.524 (48.83 %) laki-laki dan 1.597 (51.17 %) perempuan. Terlihat bahwa jumlah penduduk wanita lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki. Dari Tabel 3 terlihat bahwa komposisi penduduk paling banyak terdapat pada golongan umur 1-6 tahun dan komposisi penduduk paling sedikit terdapat pada golongan umur 49-54 tahun. Jika dirinci menurut pendidikan yang ditamatkan akan diperoleh gambaran mengenai tingkat pendidikan. Gambaran tingkat pendidikan penduduk Desa Taringgul Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Taringgul Tengah pada Tahun 2007 Golongan Umur (Tahun)
<1 1-6 7-12 13-18 19-24 25-30 31-36 37-42 43-48 49-54 >55
Jenis Kelamin Laki-laki Orang Persentase (%) 5.97 91 14.57 222 11.88 181 13.73 209 10.56 161 10.30 157 9.12 139 7.02 107 6.36 97 5.58 85 7.68 117
Jumlah
Perempuan Orang Persentase (%) 5.07 81 12.84 205 11.77 188 11.71 187 10.33 165 10.14 162 8.51 136 7.14 114 6.51 104 5.32 85 4.38 70
Jumlah 1.524 100.00 1.597 Sumber : Data Monografi Desa Taringgul Tengah, 2007
100.00
Orang
Persentase (%)
172 427 369 396 326 319 275 221 201 170 187
5.51 13.68 11.82 12.69 10.44 10.22 8.81 7.08 6.44 5.45 5.99
3.121
100.00
Mata pencaharian penduduk Desa Taringgul Tengah sebagian besar adalah petani. Mereka mengolah sawah dan berladang di lahan sendiri ataupun menjadi buruh tani. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai buruh swasta, pengrajin, pedagang, peternak, montir dan yang menjadi staf desa. Jenis mata pencaharian penduduk dapat dilihat pada Tabel 5. Para buruh tani sangat tergantung pada petani, mereka menggarap sawah milik orang lain yang kemudian dilakukan bagi hasil. Desa Taringgul Tengah merupakan desa yang relijius, penduduk 100persen memeluk agama islam. Setiap hari masyarakat melakukan siskamling untuk menjaga keamanan desa. Selain itu sering juga diadakan gotong royong untuk membersihkan jalan, selokan atau membangun mesjid. Hubungan antar pelapisan sosial-ekonomi di Desa Taringgul Tengah sangat baik karena sebagian besar penduduk memiliki ikatan persaudaraan sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Desa Taringgul Tengah berbatasan langsung dengan kawasan hutan Perhutani, masyarakat memiliki konflilk dengan Perhutani karena adanya aturan dari Perhutani yang menyebutkan bahwa masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Tabel 4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Taringgul Tengah, 2007 Pendidikan Frekuensi (Orang) Persentase (persen) 19.42 606 Belum sekolah Tidak pernah sekolah 7.02 219 Tidak tamat SD 73.70 2.300 Tamat SD 6.89 215 Tamat SLTP 3.43 107 Tamat SLTA Tamat Akademi 0.86 27 1. D1 0.64 20 2. D2 0.67 21 3. D3 Sarjana 0.35 11 1. S1 2. S2 3. S3 Jumlah 3.121 100.00 Sumber : Data Monografi Desa Taringgul Tengah, 2007
Penghasilan sebagai petani dan buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat terpaksa masuk ke dalam hutan dan mengambil sumberdaya hutan. Bukannya masyarakat tidak tahu aturan tetapi keadaan ekonomi masyarakat sangat terpuruk apalagi setelah terjadi krisis moneter dan reformasi. Masyarakat menjadi lebih anarkis dalam mengambil sumberdaya hutan di kawasan hutan Perhutani.
Tabel 5. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Taringgul Tengah, 2007 Jenis Pekerjaan
Jumlah Orang Persentase (persen) 37.31 581 Petani 28.32 441 Buruh tani 18.30 285 Buruh/swasta 3.15 49 Pegawai Negeri Sipil 0.71 11 Pengrajin 6.42 100 Pedagang 3.40 53 Peternak 0.26 4 Montir 2.12 33 Staf desa Jumlah 1.557 100.00 Sumber : Data Monografi Desa Taringgul Tengah, 2007
Masyarakat mengorganisasikan diri bersama-sama masuk ke dalam hutan untuk mengambil hasil hutan yang kemudian mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual lagi. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan antara Perhutani dan masyarakat ini berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan hutan produksi (kawasan hutan Perhutani) rusak. 4.4
Ikhtisar Desa Taringgul Tengah berbatasan langsung dengan kawasan hutan Perhutani,
seluas sekitar 234.76 Ha atau sekitar 41.78 persen dari luas wilayah desa merupakan hutan produksi. Hutan produksi ini dikelola oleh Perum Perhutani, luas kawasan hutan Perhutani adalah sekitar ± 556 Ha dan seluas 234.76 Ha terdapat di Desa Taringgul Tengah. Tetapi hutan produksi seluas 234.76 Ha itu sekarang dalam kondisi yang rusak. Penduduk Desa Taringgul Tengah 100persen memeluk agama Islam, masyarakat sangat rukun dan memiliki toleransi tinggi. Hubungan antar pelapisan
sosial-ekonomi di Desa Taringgul Tengah sangat baik karena sebagian besar penduduk memiliki ikatan persaudaraan. Sebagian besar masyarakat Desa Taringgul Tengah bermatapencaharian sebagai petani yaitu sekitar 37.31 persen atau sekitar 581 orang dan buruh tani sebesar 28.32 persen atau sekitar 441 orang. Para buruh tani ini menggarap sawah milik orang lain, kemudian mereka melakukan bagi hasil. Masyarakat Desa Taringgul Tengah sebagian besar menjadi petani dan buruh tani karena pendidikan mereka rendah, sebanyak 219 orang tidak pernah lulus SD (7.02%) dan sebanyak 2300 orang tamat SD (73.70%). Oleh karena itu, mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani dan menjadi buruh tani, penghasilan dari bertani dan menjadi buruh tani saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari dan untuk membiayai sekolah sehingga mereka mulai merambah hutan. Hal ini menimbulkan konflik karena Perhutani sebenarnya melarang masyarakat mengambil sumberdaya hutan. Konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan antara Perhutani dan masyarakat ini berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan hutan produksi (kawasan hutan Perhutani) rusak.
BAB 5 KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN 5.1
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan Desa Taringgul Tengah memiliki jumlah penduduk sebanyak 3.121 orang.
Masyarakat
Desa Taringgul Tengah sebanyak 37.31 persen bermatapencaharian
sebagai petani dan sebanyak 28.32 persen bekerja sebagai buruh tani. Hal ini dikarenakan sebanyak 73.70 persen penduduk berstatus tamat SD dan sebanyak 7.02 persen penduduk tidak tamat SD. Seperti penuturan dari salah seorang dari responden penelitian yaitu Pak D sebagai berikut : “...bapak bisa apa kecuali bertani yang diajarkan oleh orang tua, bapak cuma lulusan SD, kalau kerja paling menjadi buruh tani atau buruh bangunan saja. Kalau tidak sekolah, hidup di zaman sekarang susah mencari kerja yang enak...”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang berstatus tamat SD dan tidak tamat SD ini hidup miskin dan hanya menggantungkan hidup pada hasilhasil pertanian dan hasil-hasil hutan karena tidak dapat bekerja di pabrik atau tempat lain yang penghasilannya lebih baik. Apabila tidak ada pekerjaan di ladang maka para buruh tani ini menjadi buruh serabutan. Desa Taringgul Tengah berbatasan langsung dengan kawasan hutan Perum Perhutani maka dengan mudah masyarakat masuk ke dalam hutan. Kasus konflik yang terjadi di Desa Taringgul Tengah adalah konflik antara masyarakat Desa Taringgul Tengah dengan Perum Perhutani karena masyarakat tidak diperbolehkan masuk ke kawasan hutan sedangkan masyarakat dari dulu sudah bergantung hidup pada hutan atau dengan kata lain lahan-lahan produktif masyarakat
diklaim oleh Perum Perhutani sebagai hutan negara. Masyarakat lalu memaksa masuk ke kawasan hutan dan mengambil sumberdaya hutan tanpa izin dari Perhutani. Sumberdaya ini adalah kayu, air, ikan dan lainnya yang terdapat di hutan tetapi sumberdayang diperebutkan dalam konflik ini terutama adalah kayu. Selain itu, masyarakat juga memaksa menanami lahan Perhutani dengan pisang, singkong atau nanas di pinggir-pinggir petak Perhutani tetapi tanaman tersebut dibabat habis atau dicabut oleh mandor hutan. Konflik semakin mencuat ketika Indonesia dilanda krisis moneter dan terjadi reformasi, kehidupan ekonomi masyarakat semakin memburuk sehingga masyarakat hanya mengandalkan sumberdaya hutan karena hanya itu saja komoditas yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Seperti pengakuan dari salah satu responden penelitian yaitu Pak I sebagai berikut : “...sebelum reformasi masyarakat tidak diizinkan untuk memasuki kawasan hutan. Mengambil ranting pohon yang sudah jatuh saja tidak boleh. Tidak ada yang berani untuk masuk ke dalam hutan. Jadi dulu bapak mengambil kayu bakar sambil celingukan saking takutnya ketahuan oleh mandor, takut ditangkap. Biasanya bapak ke hutan sekitar jam 4 subuh, kan belum ada mandor yang berpatroli...”. Pada periode sebelum reformasi dan krisis moneter, masyarakat terpaksa masuk ke hutan dan mengambil hasil hutan karena mereka tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Biasanya mereka mengambil ranting pohon jeunjing, mahoni atau jati yang terjatuh, selain itu apabila ranting-ranting sudah tidak ditemukan maka mereka menebang
pohon jengkol yang masih kecil untuk dijadikan kayu bakar sebagai pengganti bahan bakar minyak yang harganya relatif mahal. Selain mereka mengambil ranting kering, mereka juga secara ilegal menanami lahan hutan Perhutani dengan pisang, nanas atau singkong. Masyarakat menanam dipinggir-pinggir petak yang ditanami oleh pohon yang diintruksikan oleh Perhutani seperti jati (Tectona grandis), jeunjing (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) atau mindi (Melia azedarach). Masyarakat menanam tanaman-tanaman tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga sehari-hari, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual lagi dan uang hasil penjualan hasil panen tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan yang lainnya dan untuk membayar sekolah anak-anak mereka. Mereka biasanya menanam pada sore hari ketika malam sudah mulai gelap, mandor hutan sudah tidak berpatroli atau ketika subuh ketika mandor hutan belum berpatroli. Tetapi tetap saja kegiatan penanaman tersebut diketahui oleh mandor lalu tanaman-tanaaman tersebut dicabuti dan dibabat habis oleh mandor hutan. Seperti penuturan dari Pak D dan Pak M berikut ini : “...Bapak pernah menanam singkong di lahan Perhutani tapi tanaman singkong bapak dicabut oleh mandor. Bukan sekali atau dua kali saja bapak mencoba menanami lahan Perhutani, bapak menanam pisang dan singkong...”. “...Dulu pernah bapak menanam pisang di pinggir petak yang ditanami pohon jeunjing oleh Perhutani, bapak menanam pisang pada saat sore hari setelah para mandor hutan pulang berpatroli. Dan ternyata besoknya bapak lihat semua tanaman pisang bapak sudah tdak ada, pohon pisang yang baru bapak tanam dibabat habis oleh mandor hutan...”. Hal inilah yang memicu masyarakat untuk menebang pohon yang ditanam oleh Perhutani, sebenarnya masyarakat tidak akan menebang pohon milik Perhutani
apabila mereka diizinkan untuk menanam tanaman di lahan hutan. Mereka menebang pohon yang ditanam oleh Perhutani karena masyarakat tidak mempunyai komoditas untuk dikonsumsi dan dijual, mereka menebang pohon dan menjualnya untuk mendapatkan uang. Tetapi tidak semua yang melakukan hal ini, seperti Pak M, beliau lebih memilih untuk bekerja ke Jakarta sebagai buruh. Pada tahun 1999, setelah terjadi krisis moneter dan reformasi, keadaan ekonomi semakin memburuk seiring dengan keadaan politik negara yang tidak stabil masyarakat Desa Taringgul Tengah semakin sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Aksi penebangan hutan oleh masyarakat semakin merajalela, bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Taringgul Tengah saja tetapi juga oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan lainnya, seperti dari Desa Gurudug, Parakan Salam, Pondok Salam, Sukadami dan Taringgul Tonggoh. Mereka secara tidak sengaja bertemu ketika sedang mengambil hasil hutan. Mereka menjadi saling mengenal satu sama lain karena sering bertemu di hutan, selain itu mereka menganut suatu paham bahwa apabila sudah bersama-sama berada di hutan maka semua adalah saudara. ”...Karena sering bertemu ketika mengambil kayu maka kami jadi saling mengenal dan sudah seperti saudara sendiri. Kalau ada di hutan ada istilah ‘bertemu di hutan berarti saudara sendiri’, karena kami mempunyai nasib yang sama, jadi ada rasa senasib sepenanggungan...”. Masyarakat semakin anarkis dalam melakukan pencurian kayu, mereka mengorganisasikan diri untuk memperkuat keberadaannya. Tetapi mandor hutan pura-pura tidak tahu, karena takut pada masyarakat. Mereka datang ke hutan dalam jumlah yang besar dan membawa kapak, golok dan gergaji. Tindakan mereka menyebabkan hutan menjadi gundul.
Jumlah pengangguran pun semakin meningkat, hal ini dikarenakan
para
pengusaha sudah tidak mampu berproduksi karena harga bahan baku produksi melambung tinggi sehingga jumlah produksi menjadi sedikit dan pendapatan mnjadi turun. Oleh karena itu, para pengusaha harus mengurangi pengeluaran perusahaan, salah satunya dilakukan dengan cara melakukan pengurangan tenaga kerja tingkat bawah seperti buruhnya. Buruh-buruh ini adalah para migran sirkuler dari desa, lalu mereka kembali ke desanya masing-masing, misalnya Pak M, beliau pulang kembali ke desa Taringul Tengah karena diPHK. Di desa tidak tersedia lapangan kerja yang memadai, maka akhirnya Pak M bekerja sebagai buruh tani. Tetapi penghasilan dengan menjadi buruh tani saja tidak cukup untuk membiayai hidup keluarga sehingga mereka mulai masuk ke kawasan hutan untuk mengambil hasil hutan. Sehingga semakin bertambahlah yang menggantungkan kelangsungan hidupnya pada hutan. (dapat dilihat pada gambar 2). Seperti penuturan dari seorang informan penelitian yaitu Pak N sebagai berikut : “...jumlah pengangguran semakin banyak. Para kuli yang dulu bekerja di kota kembali ke desa. Di desa tidak ada pekerjaan sehingga mereka merambah hutan. Mereka secara spontan merambah huran daripada mereka melihat keluarganya tidak makan...”. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak swasta (Pak P), yang merupakan seorang pengusaha tanaman hias di daerah Garokgek dan mengenal masyarakat Desa Taringgul Tengah karena istri Pak P bekerja sebagai penyuluh pertanian yang memegang
Desa Taringgul Tengah. Pak P mengetahui betul masyarakat
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu pihak swasta ini mendorong mayarakat untuk menebang pohon di kawasan hutan yang kemudian
kayu-kayu tersebut dijual padanya dan hasil penjualan kayu tersebut dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan hidup, masyarakat diperalat untuk mendapatkan keuntungan. Penebangan kayu secara liar oleh masyarakat ini menyebabkan kawasan hutan seluas ± 500 ha yang dulunya ditutupi oleh jati (Tectona grandis), jeunjing (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) atau mindi (Melia azedarach). dan tanaman kehutanan lainnya kini menjadi gundul. Desa Taringgul Tengah yang dulunya sejuk dan berkabut sekarang menjadi panas. Pada konflik ini pernah ada satu orang yang tertangkap basah, yaitu Pak I, sedang mengambil kayu dari pohon yang masih kecil tanpa seizin Perhutani hingga dia ditangkap dan diadili lalu di penjara selama 1.5 tahun tetapi masih tetap saja penebangan kayu terjadi karena kehidupan masih terus berjalan. Konflik yang terjadi melibatkan Perhutani, masyarakat sekitar hutan dan pihak swasta. Konflik vertikal ini terjadi karena adanya aturan-aturan yang membingungkan, adanya peraturan yang menetapkan bahwa masyarakat tidak diperbolehkan memanfaatkan dan mengelola hasil hutan sehingga akses masyarakat terhadap hutan menjadi tertutup. Masyarakat terpaksa menebang pohon secara ilegal, masyarakat Desa Taringgul Tengah bekerjasama dengan masyarakat desa sekitar hutan lainnya dalam ‘misi’ tersebut. Masyarakat Taringgul Tengah juga memiliki hubungan yang baik dengan pihak swasta (Pak P) yang juga memiliki kedekatan dengan petinggi-petinggi Perhutani yang kemudian mempermudah masyarakat memperoleh kayu (tergambar pada gambar 3).
Diberlakukannya TGHK 1983, Kepmenhut No 400/kpts-II/1990, UUPK, RUTR, dan UU lainnya serta banyak peraturan pelaksanaannya yang lain
Masalah tata batas kawasan
Tertutupya akses masyarakat terhadap hutan
Hutan gundul, banjir, longsor, hubungan yang kurang baik antara Perhutani dan masyarakat, masyarakat lebih dekat satu sama lain, Perhutani mengalami kerugian
Masyarakat memaksa masuk kawasan hutan secara individual Konflik dengan Perhutani semakin memanas Konflik dengan Perhutani
Krisis moneter dan reformasi Semakin banyaknya jumlah pengangguran
Para buruh yang berasal dari desa kembali ke desa
Masyarakat memaksa masuk kawasan hutan secara kolektif dan lebih anarkis
Merambah hutan
Tidak mendapatkan penghasilan yang cukup
Gambar 2. Eskalasi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Desa Taringgul Tengah, 2007
Selain itu, masyarakat kurang diikutsertakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta masyarakat dianggap tidak tahu tentang hutan dan tidak tahu aturan. Padahal masyarakat sebenarnya tidak akan menebang pohon yang ada hutan apabila mereka mempunyai tanaman sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
A
C
B D E
Keterangan :
= pihak-pihak yang terlibat dalam situasi
A B C D E
= isu = konflik = hubungan yang agak dekat = hubungan dekat = pihak Perhutani = Masyarakat Desa Taringgul Tengah = pihak swasta = Konflik = Masyarakat desa sekitar kawasan hutan lainnya (desa Gurudug, Parakan Salam, Pondok Salam, Sukadami dan Taringgul Tonggoh).
Gambar 3. Peta Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Desa Taringgul Tengah
Konflik yang terjadi berdampak terhadap kehidupan masyarakat dan juga terhadap ekologi hutan itu sendiri. Masyarakat dengan adanya konflik ini menjadi lebih memiliki ikatan yang kuat satu sama lain, tidak hanya dengan antar tetangga dalam satu desa tetapi juga dengan masyarakat desa sekitar hutan lainnya.
Hubungan yang kurang baik antara masyarakat dengan Perhutani
Suhu naik, gersang
Hutan gundul,banjir, longsor
Masyarakakat semakin dekat satu
Dampak konflik
sama lain
Masyarakat memaksa masuk kawasan hutan, menebang dan menanami lahan Perhutani dengan komoditas yang tidak diintruksikan oleh Perhutani
Migrasi
Konflik Pengelolaan sumberdaya hutan
Tertutupnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan)
Mengklaim hutan sebagai hutan Negara Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin memburuk
Aturan-aturan Kehutanan
Gambar 4. Pohon Konflik Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Isu konflik
Akar konflik
Konflik yang terjadi juga memisahkan Perum Perhutani dengan masyarakat, Perhutani mengalami kerugian karena pohonnya ditebang secara diam-diam oleh masyarakat. Hutan yang dulunya dipenuhi oleh (Tectona grandis), jeunjing (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) atau mindi (Melia azedarach) dan lain-lain sekarang menjadi gundul. Pohon di sekitar sungaipun ditebang sehingga sering terjadi banjir dan longsor. Selain itu, suhu di
Desa
Taringgul Tengah juga naik sehingga daerah Taringgul Tengah sekarang menjadi panas (dapat dilihat pada gambar4).
5.2
Ikhtisar Konflik yang terjadi di desa Taringgul Tengah disebabkan oleh tertutupnya
akses masyarakat terhadap hutan yang kemudian menyebabkan adanya penebangan pohon di kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Konflik yang terjadi melibatkan Perhutani, masyarakat sekitar hutan dan pihak swasta. Akar dari konflik ini adalah adanya penetapan peraturan dari pemerintah dan adanya keadaan ekonomi masyarakat yang memburuk akibat krisis ekonomi dan reformasi Pada masa sebelum reformasi dan krisis moneter, masyarakat masih takut untuk masuk ke dalam kawasan hutan. Masyarakat harus secara sembunyi-sembunyi masuk ke hutan. Masyarakat biasanya mengambil ranting pohon kering yang sudah jatuh. Setelah terjadi krisis moneter yang berkepanjangan dan reformasi (keadaan politik Negara tidak stabil), terdapat peningkatan jumlah pengangguran. Para buruh yang berasal dari desa kembali ke desa dan mulai menggarap sawah atau ladang karena di desa tidak tersedia lapangan pekerjaan yang memadai. Tetapi tidak semua
memiliki tanah sendiri yang dapat digarap sehingga mereka menjadi buruh tani. Tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka mulai merambah hutan. Dampak dari terjadinya konflik ini tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan juga terhadap ekologi hutan itu sendiri. Masyarakat dengan adanya konflik ini menjadi lebih memiliki ikatan yang kuat satu sama lain, tidak hanya dengan antar tetangga dalam satu desa tetapi juga dengan masyarakat desa sekitar hutan lainnya. Konflik yang terjadi juga memisahkan Perum Perhutani dengan masyarakat, Perhutani mengalami kerugian karena pohonnya ditebang secara diam-diam oleh masyarakat. Hutan yang dulunya dipenuhi oleh pohon jati, jeunjing, mahoni, mindi dan lain-lain sekarang menjadi gundul. Pohon di sekitar sungaipun ditebang sehingga sering terjadi banjir dan longsor. Selain itu, suhu di desa Taringgul Tengah juga naik sehingga daerah Taringgul Tengah sekarang menjadi panas.
BAB 6 BENTUK DAN STRATEGI PERLAWANAN MASYARAKAT SEBAGAI RESPONS TERHADAP KONFLIK 6.1
Respons Masyarakat Terhadap Konflik Respons dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu sikap masyarakat
dalam menanggapi konflik sumberdaya hutan yang terjadi antara pihak Perhutani dengan masyarakat. Sikap positif menggambarkan respons yang kuat yaitu menganggap bahwa konflik yang terjadi harus dilawan, sedangkan sikap negatif menggambarkan respons yang lemah yaitu menganggap bahwa masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan. Respons ini diasumsikan dipengaruhi oleh kapital sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kapital sosial masyarakat lemah maka masyarakat merespons konflik dengan lemah juga, yaitu ditandai oleh tidak adanya tindakan yang menggambarkan perlawanan terhadap pihak lain yang berkonflik (Perhutani), misalnya dengan melakukan migrasi untuk bekerja di luar kota. Sedangkan apabila masyarakat memiliki kapital sosial yang kuat maka masyarakat akan merespons konflik dengan kuat juga yang ditandai oleh adanya perilaku yang menggambarkan suatu perlawanan terhadap pihak lain yang berkonflik (Perhutani), misalnya dengan melakukan penebangan kayu secara ilegal, demonstrasi ataupun melakukan pengajuan hukum ke pengadilan. Pada kasus di Desa Taringgul Tengah, pada periode sebelum krisis moneter dan reformasi, masyarakat memberikan respons terhadap konflik dengan cara yang berbeda. Sebagian masyarakat memberikan respons yang kuat yaitu yang
diekspresikan dalam bentuk perlawanan sebagai resistensi mereka terhadap konflik yang terjadi dan terdapat pula yang memberikan respons yang lemah, yaitu yang diekspresikan dengan melakukan migrasi. Orang yang melakukan migrasi ini adalah yang memiliki kesempatan bekerja di kota, mereka biasanya diajak oleh sanak saudaranya yang telah lebih dulu bekerja di kota. Sedangkan pada periode setelah krisis moneter dan reformasi, masyarakat memberikan respons yang sama, yaitu merespons dengan kuat dan mengekspresikan dengan cara menebang pohon milik Perhutani secara ilegal. 6.2
Bentuk dan Strategi Perlawanan Masyarakat Konflik yang terjadi di Desa Taringgul Tengah direspons kuat oleh
masyarakat. Masyarakat merasakan suatu ketidakadilan, mereka tidak diperbolehkan untuk mengelola dan memanfaatkan hasil-hasil hutan. Bentuk respons masyarakat terhadap konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan cara mengambil hasil hutan tanpa seizin Perhutani dan menanami lahan hutan tanpa izin Perhutani. Masyarakat sebagian besar mengambil kayu dan ranting kering yang biasanya digunakan untuk dijadikan kayu bakar. “...Bapak tidak mampu membeli minyak tanah, ya apa boleh buat bapak terpaksa harus mengambil kayu ke hutan untuk jadi bahan bakar...”.
Mereka mengendap-endap masuk ke hutan, dalam aksi penebangan pohon ini masyarakat datang dalam jumlah banyak. Mereka datang ke hutan di saat mandor hutan sedang tidak bertugas (patroli). Mereka membuat spesifikasi tugas dengan membagi-bagi tugas pada saat menebang kayu. Mereka membagi tugas ke dalam tiga
spesifikasi kerja, yaitu sebagai pengintai, penebang dan pengangkut sehingga kegiatan penebangan ini aman. Pembagian tugas ini akan mempermudah dalam aksi tersebut, aksi penebangan menjadi lebih ringan, lebih efektif dan lebih efisien. Aksi penebangan kayu oleh masyarakat ini semakin marak ketika Indonesia dilanda krisis moneter dan adanya reformasi, masyarakat kemudian semakin anarkis dalam melakukan aksinya tersebut. Masyarakat dibantu oleh seorang pengusaha tanaman hias dari desa Garokgek membuat proposal palsu untuk pembangunan mesjid di Desa Taringgul Tengah. Hal ini merupakan strategi masyarakat agar mereka mendapatkan kayu yang banyak.
“...Pak P seorang pengusaha tanaman hias di daerah Garokgek mendapat ide bagaimana cara untuk mendapatkan uang, yaitu dengan membuat proposal untuk pembangunan mesjid kepada Perum Perhutani. Tertuliskan dalam proposal tersebut bahwa pembangunan mesjid ini membutuhkan banyak kayu. Pak P dekat dengan pihak Perhutani hingga petinggi-petinggi kabupaten sehingga kami tidak takut akan ditangkap oleh mandor hutan...”. Pihak swasta (Pak P) mengusulkan pembuatan proposal palsu untuk pembangunan mesjid yang kebetulan pada saat itu sedang dibangun (mesjid AlIkhlas) kepada Perum Perhutani. Pembuatan proposal ini dikerjakan oleh Pak M dan teman-temannya dengan bantuan Pak P. Setelah proposal siap, Pak M segera menyerahkan proposal tersebut dan Pak P yang mengenal petinggi-petinggi di Perhutani juga membantu dengan memberikan pernyataan-pernyataan tentang pembuatan mesjid tersebut. Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya ada pemberitahuan oleh Pak U bahwa proposal diterima dan pihak Perhutani akan
memberikan 10 truk kayu yang terdiri dari kayu jati, jeunjing dan mahoni untuk digunakan sebagai bahan pembangunan mesjid. Tetapi pada faktanya, kayu-kayu tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan mesjid. Sebagian besar dijual kepada pihak swasta (Pak P) dan ada juga yang digunakan oleh yang membuat proposal tersebut untuk memperbaiki rumahnya atau membuat meja atau lemari. Pengawasan dari Perhutani sangat kurang sehingga kayu-kayu tersebut dengan mudah berpindah tangan. Uang hasil penjualan kayu tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan untuk biaya sekolah. Selain itu, tindakan kolektif mereka dalam mengambil hasil hutan di kawasan hutan. Masyarakat juga menanami lahan hutan tanpa izin dari Pehutani, mereka menanam pisang, singkong dan nanas di pinggir-pinggir petak yang ditanami pohon milik Perhutani. Mereka datang ke hutan ketika mandor tidak berpatroli, misalnya subuh seperti yang dilakukan oleh Pak I berikut ini : “...Biasanya bapak ke hutan sekitar jam 4 subuh, kan belum ada mandor yang berpatroli...” Mereka menanami pinggir-pinggir petak yang ditanami oleh pohon Perhutani. Tindakan ini adalah suatu bentuk perlawanan masyarakat tehadap Perhutani yang tidak mengizinkan mereka mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Perlawanan ini dilakukan masyarakat untuk mendapatkan akses kembali pada hutan dan untuk dapat melangsungkan hidup. Masyarakat bukannya tidak tahu aturan tetapi di sisi lain mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi sehingga mereka terpaksa masuk ke kawasan hutan dan mengambil sumberdaya yang terdapat di hutan. Seperti penuturan dari Pak D sebagai berikut :
“...Bapak terpaksa, bukannya bapak tidak tahu aturan tapi bapak tidak tega melihat anak dan istri bapak menangis...”. Selain itu, ada juga yang memilih untuk meninggalkan desa dan bermigrasi ke kota untuk bekerja sebagai buruh. Tetapi dengan terjadinya krisis moneter dan reformasi, keadaan semakin memburuk. Masyarakat menjadi lebih sering menebang pohon di hutan. 6.3
Ikhtisar Respons masyarakat terhadap konflik terbagi dalam dua periode, yaitu periode
sebelum krisis moneter dan reformasi, sebagian masyarakat merespons dengan cara melakukan perlawanan, yaitu dengan melanggar aturan Perhutani. Pada periode sebelum krisis moneter dan reformasi, masyarakat mencuri kayu yang ada di kawasan hutan karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja ke kota dan sebagian lagi bermigrasi untuk bekerja di kota. Pada periode setelah krisis moneter dan reformasi, yang tadinya bermigrasi ke kota kembali ke desa karena mereka diPHK lalu merekapun masuk ke hutan dan menebang pohon di hutan. Bentuk dari perlawanan sebagai respons terhadap konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah dengan cara mengambil hasil hutan tanpa seizin Perhutani dan menanami lahan hutan tanpa izin Perhutani. Perlawanan ini dilakukan masyarakat untuk mendapatkan akses kembali pada hutan dan untuk dapat melangsungkan hidup. Mereka mengorganisasikan diri dalam perlawanan ini. Aksi penebangan pohon ini dilakukan masyarakat dalam jumlah banyak. Mereka membuat spesifikasi tugas, mereka membagi-bagi tugas pada saat menebang kayu. Mereka membagi tugas ke dalam tiga spesifikasi kerja, yaitu sebagai pengintai, penebang dan pengangkut
sehingga kegiatan penebangan ini aman. Pembagian tugas ini akan mempermudah dalam aksi tersebut, aksi penebangan menjadi lebih ringan, lebih efektif dan lebih efisien. Selain itu, mereka membuat proposal palsu untuk pembangunan mesjid dengan bantuan dari pihak swasta. Pada kasus ‘konflik pengelolaan sumberdaya hutan’ yang terjadi di Desa Taringgul Tengah, pihak swasta berperan sebagai penghubung atau perantara. Pihak swasta ini memiliki hubungan dekat dengan pihak Perhutani dan pejabat petinggi di kabupaten dan mempunyai hubungan yang dekat pula dengan masyarakat Desa Taringgul Tengah. Hubungan seperti ini sangat menguntungkan masyarakat dan pihak swasta tersebut, masyarakat dan pihak swasta tersebut sama-sama saling diuntungkan. Selain itu, pihak swasta ini berperan sebagai penampung yang membeli kayu dari masyarakat, distributor yang menyalurkan kayu-kayu tersebut ke pengusaha mebel dan sekaligus sebagai pelindung yang melindungi masyarakat. Selain melakukan aksi penebangan kayu, masyarakat juga menanami lahan hutan tanpa izin dari Pehutani sebagai bentuk perlawanan mereka, mereka menanam pisang, singkong dan nanas di pinggir-pinggir petak yang ditanami pohon milik Perhutani. Mereka datang ke hutan ketika mandor tidak berpatroli, seperti di waktu subuh atau sore hari.
BAB 7 KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN : SUATU ANALISIS Konflik yang terjadi di Desa Taringgul Tengah adalah konflik antara masyarakat Desa Taringgul Tengah dengan Perum Perhutani karena peraturan pemerintah yang menyebutkan bahwa masyarakat tidak diperbolehkan masuk ke kawasan hutan sedangkan masyarakat dari dulu sudah bergantung hidup pada hutan, atau dengan kata lain lahan-lahan produktif masyarakat diklaim oleh Perum Perhutani sebagai hutan negara. Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk ikut menjadi bagian dalam konfllik ini, masyarakat semakin terdesak dengan adanya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi. Desa Taringgul Tengah merupakan desa sekitar hutan, hutan merupakan sumberdaya yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, sebanyak 73.70 persen penduduk berstatus tamat SD dan sebanyak 7.02 persen penduduk tidak tamat SD, sehingga mereka hanya dapat bekerja sebagai petani atau buruh tani saja. Konflik semakin mencuat dengan adanya krisis moneter dan reformasi, masyarakat tidak hanya bergerak secara individual tetapi sudah melakukan tindakan kolektif. Aksi penebangan hutan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Taringgul Tengah saja tetapi juga oleh masyarakat desa sekitar hutan lainnya. Mereka secara tidak sengaja bertemu di hutan, apabila kita berada di hutan maka terdapat prinsip bahwa apabila bertemu di hutan berarti sudah seperti saudara sendiri. Karena mereka
sering bertemu ketika masuk hutan, mereka menjadi saling mengenal. Kedekatan ini menimbulkan rasa saling percaya dan rasa senasib sepenanggungan. Kemudian untuk ‘misi’ berikutnya mereka datang bersama-sama ke dalam hutan. Kebersamaan ini membuat mereka merasa lebih aman dan berani selain itu dengan jumlah yang banyak mereka bisa dengan mudah membagi tugas, ada yang mengintai, menebang dan mengangkut kayunya. Adanya spesifikasi tugas seperti itu mambuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Perhutani kurang tegas dalam penanganan aksi penebangan kayu tersebut. Pihak Perhutani kurang tegas, para mandor hutan tidak berani menghadapi gerombolan orang yang membawa golok, gergaji dan kapak, mereka datang dalam jumlah banyak. Kurangnya ketegasan dari Perhutani ini menjadikan masyarakat lebih mudah mendapatkan kayu-kayu, sehingga sekarang kawasan hutan Perhutani sudah menjadi gundul. Pihak swasta (Pak P) memiliki hubungan yang baik dengan petinggi Perhutani, pejabat daerah dan para pemimpin politik di Purwakarta. Hal ini memudahkan dalam penyetujuan proposal yang diajukan masyarakat. Masyarakat tidak dapat menerima keadaan ini, lalu mereka berupaya memperjuangkan hak untuk tetap dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan. Upaya ini tidak akan terealisasi apabila masyarakat desa hutan tidak memiliki ‘modal’. Modal ini adalah kapital sosial. Berdasarkan pengertian menurut Seralgedin dan Grootaert dalam Saputro (2006), kapital sosial berhubungan dengan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya yang diperjuangkan dalam
konflik di Desa Taringgul Tengah ini adalah sumberdaya hutan di kawasan Perhutani, terutama kayu. Perhutani membuat program pemberdayaan masyarakat melalui dibentuknya LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) sebagai upaya untuk mengatasi konflik yang terjadi. Perhutani berusaha untuk melibatkan masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan. Perhutani membagikan kepada masyarakat lahan-lahan kosong yang harus ditanami oleh jenis pohon yang diinstruksikan oleh Perhutani. Masyarakat yang menjadi anggota LMDH dibagi menjadi 4 kelompok masing-masing terdiri dari 6 orang dan diberi kewenangan untuk mengolah lahan seluas ± 4 Ha. Keuntungan dari hasil penanaman oleh masyarakat ini kemudian diserahkan ¾ bagian kepada Perhutani. Perhutani mengajak masyarakat melalui tokoh masyarakat di Desa Taringgul Tengah. Tetapi program ini belum berhasil, karena penebangan liar masih saja terjadi karena keadaan ekonomi masyarakat masih buruk dan program tersebut juga dinilai top down. Kapital sosial memiliki empat dimensi (Cullen dan Culleta, 2000). Pertama adalah integrasi, yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga, dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. Kedua adalah pertalian, yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal. Ketiga adalah integritas organisasional, yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. Keempat adalah sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Konflik pengelolaan sumber daya yang terjadi direspons dengan kuat oleh masyarakat, hal ini ditandai
oleh adanya aksi penebangan kayu oleh masyarakat. Respons kuat dari masyarakat menunjukkan adanya kapital sosial yang kuat pula. Masyarakat Desa Taringgul Tengah memiliki integrasi yang kuat. Masyarakat Desa Taringgul Tengah memiliki hubungan yang baik antar tetangga, terbukti dengan adanya siskamling untuk menjaga keamanan desa dan adanya gotong royong untuk membersihkan jalan, selokan bahkan untuk membangun mesjid di desanya Masyarakat
sebagian memiliki hubungan saudara, selain itu penduduk Desa
Taringgul Tengah seluruhnya memeluk agama Islam, hal ini akan menimbulkan suatu perasaan khusus karena dalam hubungan seperti ini perasaan kewajiban terhadap orang lain sangat terasa, warga akan merasa saling bertanggung jawab satu sama lain. Selain itu, masyarakat juga memiliki ikatan yang kuat antaranggota keluarganya. Kedekatan ini melandasi perilaku mereka melakukan aksi penebangan hutan dengan harapan bahwa dengan menebang hutan maka mereka akan mendapatkan uang yang kemudian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan dapat membiayai sekolah anak-anak mereka. Kedekatan antar tetangga akan menimbulkan saling percaya yang kemudian masing-masing individu akan saling mengandalkan dan akan timbul rasa aman dan berani untuk bertindak. Selain memiliki integrasi yang kuat, masyarakat juga memiliki pertalian yang kuat. Hal ini terlihat pada adanya hubungan antar komunitas, yaitu dengan desa sekitar hutan lainnya seperti Desa Gurudug, Parakan Salam, Pondok Salam, Sukadami dan Taringgul Tonggoh. Mereka bersama-sama masuk ke hutan untuk mengambil hasil hutan. Mereka yang dulunya tidak saling mengenal menjadi saling
kenal karena sering bertemu di hutan ketika sedang mengambil hasil hutan dan sudah menjadi seperti saudara sendiri. Jika berada di hutan maka ada istilah ‘bertemu di hutan berarti saudara sendiri’, karena yang berada di hutan berarti mereka mempunyai nasib yang sama sehingga timbul rasa tanggung jawab diantara mereka, selain itu tercipta pula rasa senasib sepenanggungan. Kemudian untuk ‘misi’ berikutnya mereka datang bersama-sama ke dalam hutan. Kebersamaan ini membuat mereka merasa lebih aman dan berani. Adanya spesifikasi kerja pada strategi dalam aksi penebangan ini menunjukkan adanya solidaritas dan kerjasama yang baik, terdapat sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya tugas yang diberikan dan mereka tidak bekerja sendiri-sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama dan keyakinan bahwa kerjasama akan lebih menguntungkan. Integritas organisasional dalam masyarakat dikatakan kurang, Perhutani kurang tegas, para mandor hutan tidak berani menghadapi gerombolan orang yang membawa golok, gergaji dan kapak, mereka datang dalam jumlah banyak. Jumlah mandor hutan lebih sedikit daripada jumlah gerombolan masyarakat. Mandor hanya dapat mengintai saja dari jauh. Adanya integritas organisasional yang lemah ini mempermudah masyarakat untuk menebang hutan. Sebagai dampak dari terjadinya konflik antara Perhutani dengan masyarakat maka hubungan masyarakat dengan Perhutani kurang baik. Sedangkan masyarakat juga memiliki hubungan baik dengan pihak swasta, pihak swasta yang terlibat dalam konflik ini memiliki hubungan yang
dekat dengan Perhutani. Sehingga pihak swasta ini sebenarnya menyambungkan masyarakat dengan Perhutani. Kapital sosial berkaitan erat dengan perdamaian maupun konfllik kekerasan, tergantung
pada kapital sosial yang dimiliki. Diantara kapital sosial dengan
perdamaian atau kekerasan terdapat kohesi sosial, yaitu terintegrasinya dimensi kapital sosial pada tingkat horizontal dengan vertikal. Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka diketahui bahwa kohesi sosial tergolong lemah karena kapital sosial tingkat vertikal lemah (integritas organisasional dan sinergi) sedangkan kapital sosial horizontal kuat (integrasi dan pertalian) sehingga tidak menciptakan kohesi sosial yang kuat. Kapital sosial tingkat horizontal dinilai kuat karena masyarakat memiliki hubungan yang baik, baik dengan sesama warga desa maupun dengan warga desa tetangga. Hubungan ini yang kemudian menghasilkan suatu keberanian dan menimbulkan rasa aman pada masyarakat dalam melakukan penebangan pohon Sedangkan kapital sosial tingkat vertikal dinilai lemah karena tidak adanya integrasi antara Perhutani dengan masyarakat. Adanya kohesi sosial yang lemah ini menyebabkan konflik di Desa Taringgul Tengah semakin mencuat karena kapital sosial tingkat vertikal dinilai lemah.
BAB 8 PENUTUP 8.1
Kesimpulan Masyarakat merespons konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan
kuat, respons ini diasumsikan dipengaruhi oleh kapital sosial yang ada dalam masyarakat. Kapital sosial berkaitan erat dengan perdamaian maupun konfllik kekerasan, tergantung
pada kapital sosial yang dimiliki. Berdasarkan hasil dari
penelitian ini maka diketahui bahwa kohesi sosial tergolong lemah karena kapital sosial tingkat vertikal lemah (integritas organisasional dan sinergi) sedangkan kapital sosial horizontal kuat (integrasi dan pertalian) sehingga tidak menciptakan kohesi sosial yang kuat. Adanya kohesi sosial yang lemah ini menyebabkan konflik di Desa Taringgul Tengah semakin mencuat. Kasus konflik yang terjadi di Desa Taringgul Tengah adalah konflik antara masyarakat Desa Taringgul Tengah dengan Perum Perhutani karena masyarakat tidak diperbolehkan masuk ke kawasan hutan sedangkan masyarakat dari dulu sudah bergantung hidup pada hutan atau dengan kata lain lahan-lahan produktif masyarakat diklaim oleh Perum Perhutani. Adanya penetapan kebijakan dan kondisi ekonomi yang semakin memburuk semakin memicu terjadinya konflik. Adanya konflik ini menyebabkan terciptanya kedekatan dalam masyarakat, hubungan Perhutani dan masyarakat kurang baik, Perhutani mengalami kerugian, hutan gundul, banjir, longsor dan suhu semakin naik.
Masyarakat memberikan respons yang kuat terhadap konflik. Secara spontan mereka merespon konflik, karena konflik yang terjadi merupakan konflik yang berhubungan dengan sumber daya, yaitu sumber daya hutan atau hasil-hasil hutan. Respons masyarakat terhadap konflik terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum krisis moneter dan reformasi, sebagian masyarakat merespons dengan cara mencuri kayu yang ada di kawasan hutan karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja ke kota dan sebagian lagi bermigrasi untuk bekerja di kota. Pada periode setelah krisis moneter dan reformasi, yang tadinya bermigrasi ke kota kembali ke desa karena mereka diPHK lalu merekapun masuk ke hutan dan menebang pohon di hutan. Bentuk dari perlawanan sebagai respons terhadap konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah dengan cara mengambil hasil hutan tanpa seizin Perhutani dan menanami lahan hutan tanpa izin Perhutani. Perlawanan ini dilakukan masyarakat untuk mendapatkan akses kembali pada hutan dan untuk dapat melangsungkan hidup. Strategi dalam melakukan aksi penebangan pohon ini adalah masyarakat datang dalam jumlah banyak dan memilih waktu, yaitu ketika mandor hutan tidak sedang berpatroli. Mereka membuat spesifikasi tugas, mereka membagi-bagi tugas pada saat menebang kayu. Mereka membagi tugas ke dalam tiga spesifikasi kerja, yaitu sebagai pengintai, penebang dan pengangkut sehingga kegiatan penebangan ini aman. Pembagian tugas ini akan mempermudah dalam aksi tersebut, aksi penebangan menjadi lebih ringan, lebih efektif dan lebih efisien. Selain itu, mereka membuat proposal palsu untuk pembangunan mesjid dengan bantuan dari pihak swasta.
8.2
Saran Bagi Perhutani, sebaiknya lebih ketat dalam melakukan pengawasan dan
penegakan hukum. Para mandor hutan sebaiknya tidak takut untuk menjalankan tugasnya
dalam
menyosialisasikan
menjaga tentang
hutan.
selain
pentingnya
itu,
Perhutani
melestarikan
hutan
juga untuk
sebaiknya menjaga
keseimbangan ekologi hutan dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan melakukan program pemberdayaan masyarakat, yaitu bersama-sama mengelola hutan. bagi masyarakat dan pihak swasta sebaiknya lebih menyadari arti dan fungsi hutan serta bersedia bekerjasama dengan Perhutani dalam mengelola hutan.
DAFTAR PUSTAKA Colleta, Nat J. and Michelle L. Cullen. 2000. Violent Conflict and the Transformation of Social Capital, Lesson fron Cambodia, Ruanda, Guatemala and Somalia. Washington : The World Bank. Darmawan, Arya H. 2002. Kemiskinan Trust, Stok Modal Sosial dan Integrasi Sosial. Mimbar Sosek : Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian (Bogor : Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Vol 15.No 2. Agustus 2002). Fisher, S dkk. 2000. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Diterjemahkan oleh : S.N Kartikasari dkk. The British Council : Jakarta. Fuad, F. H. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. PUSTAKA LATIN : Bogor. Fukuyama, Francis. 1999. Guncangan Besar : Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Gramedia : Jakarta. ________________. 2001. Social Capital, Civil Society and Development, Third World Quarterly. Vol.22?1.PP.15-25. Hermawanti, Mefi dan Hesti Rinandari. 2003. Penguatan Dan Pengembangan Modal Sosial Masyarakat Adat. http://www.ireyogya.org/adat/modul_modalsosial.htm Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam : Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. PUSTAKA LATIN : Bogor. Laban, B. Y. 2007. Pergolakan Konservasi di Palu, Sulawesi Tengah, Tahun 20002002. Gunung Halimun-Salak National Park Management Project. Nasdian, F. T. 2003. Dipublikasikan.
Materi Kuliah
Pengembangan
Masyarakat. Tidak
Peluso, Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat : Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Penerjemah : Landung Simatupang. KONPHALINDO : Jakarta Selatan. Purwandari, Heru. 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. Jakarta
Saputro, E. G. 2006. Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sardjono, M. Agung. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat lokal, Politik dan Kelestarian Sumber Daya. Debut Press : Yogyakarta. Simpoha, JM. 1997. Masalah Pengakuan Formal Atas Sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Luar Jawa dalam Duta rimba ISSN:0216118213/XXIII. Perum Perhutani Siswiyanti, Yayuk. 2006. Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian Hutan Parung Panjang Kabupaten Bogor. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan, Kelompok Diokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Bogor. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo. Jakarta Susetiyaningsih. 1992. Evaluasi Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan dan Tingkat Keberhasilan Tanaman pada Program Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Tesis. IPB. Bogor Suwartika, Rika. 2003. Struktur Modal Usaha dan Fungsi Modal Sosial dalam Strategi Bertahan Hidup Pekerja Migran di Sektor Informal. Studi Kasus : Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suweno,Endang KI. 1993. Pembinaan Kesejateraan Masyarakat Terasing dan Perambah Hutan dalam Kehutanan Indonesia Edisi No.09 tahun 1993/1994. Tadjudin, Djuhendi. 2000. Manajemen Kolaborasi. PUSTAKA LATIN : Bogor. Trisnawati, Eka. 2007. Implikasi Struktur Agraria Terhadap Potensi Konflik Agraria. Studi Kasus Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Kampung Parigi, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijayanto,Nurheni. 2001. Faktor Dominan Dalam Sistem Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan : Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Teknik Pengumpulan Data Masalah 1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk dan strategi perlawanan masyarakat desa hutan dengan berbekal modal sosial yang ada dalam masyarakat tersebut
Data yang diperlukan a) Bentuk-bentuk dari usaha perlawanan masyarakat desa hutan
b) Strategi perlawanan dari masyarakat
2. Mengetahui konflik pengelolaan hutan yang terjadi antara masyarakat Desa Taringgul Tengah dengan Perhutani maupun dengan pihak swasta
a) Karakteristik masyarakat desa hutan Mata pencaharian Tingkat pendidikan
b) Konflik pengelolaan sumber daya hutan yang pernah atau sedang terjadi • Penyebab konflik, berlangsung berapa lama,siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Sumber Data Wawancara mendalam dengan responden dan informan. Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan. Informan : tokoh masyarakat, pihak Perhutani, Dinas Kehutanan. Catatan kriminal di kepolisian
Wawancara mendalam dengan responden dan informan. Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan. Informan : Pihak Perhutani, Tokoh masyarakat, pihak luar komunitas (kepolisian) Data sekunder Wawancara mendalam dengan informan dan responden. Informan : staf kelurahan, tokoh masyarakat. Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan. Wawancara mendalam dengan informan dan responden serta dengan pihak luar komunitas (pihak kepolisian). Informan : pihak Perhutani (staf Perhutani), Dinas Kehutanan, pihak swasta (pemilik atau staf), tokoh masyarakat, staf kelurahan, kepolisian. Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan, pihak Perhutani (petugas lapang), pihak swasta (pekerja)
3. Mengidentifikasi respons dari masyarakat Desa Taringgul Tengah terhadap konflik pengelolaan sumber daya hutan
4. Mengidentifikasi potensi modal sosial yang ada dalam masyarakat Desa Taringgul Tengah
a) Perlawanan dari masyarakat desa hutan yang pernah terjadi
b) Migrasi
a) Hubungan sosial dalam masyarakat • Kedekatan dengan tetangga • Kepercayaan antar individu dalam masyarakat • Kejujuran antar individu dalam masyarakat • Toleransi dalam masyarakat • Solidaritas masyarakat • kerjasama antar individu dalam masyarakat b) Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat • Aturan yang tertulis yang berlaku dalam masyarakat • Aturan yang tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat • Kesediaan masyarakat desa hutan dalam menaati aturan-aturan
Wawancara mendalam dengan responden dan informan. Responden : Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan, pihak Perhutani (petugas lapang), pihak swasta (pekerja). Informan : pihak Perhutani (staf Perhutani), Dinas Kehutanan, pihak swasta (pemilik atau staf), tokoh masyarakat, staf kelurahan, kepolisian. Catatan kriminal di kepolisian Data sekunder: data kependudukan (data penduduk yang melakukan migrasi ke luar desa) Observasi lapang Wawancara mendalam dengan informan dan responden. Informan : tokoh agama dan tokoh-tokoh formal. Responden : masyarakat yang ikut melakukan perlawanan.
Wawancara mendalam dengan informan dan responden. Informan : tokoh masyarakat, staf kelurahan, dan masyarakat sebagai respnden Data sekunder
tersebut • Sanksi-sanksi hukum apabila terjadi pelanggaran c) Kelembagaan yang ada dalam masyarakat (khususnya yang berhubungan dengan kehutanan) • Tujuan kelembagaan • Visi misi • Kegiatan yang dilakukan • Hubungan dengan kelembagaan atau institusi lain yang memberikan kontribusi pada kelembagaan masyarakat.
Data sekunder Wawancara mendalam dengan informan dan responden. Informan : tokoh masyarakat, tokoh dalam kelembagaan yang ada dalam masyarakat. Responden masyarakat yang ikut melakukan perlawanan dan yang tercatat sebagai anggota kelembagaan tersebut.
Lampiran 2. Panduan Pertanyaan Informan Pemimpin Formal dan Informal 1. Bagaimana hubungan antar warga di Desa Taringgul Tengah? 2. Apakah di desa ini sering diadakan siskamling atau gotong royong (membangun masjid atau membersihkan jalan)? 3. Adakah kepercayaan-kepercayaan tertentu mengenai hutan? Misalnya, pantangan-pantangan untuk menebang pohon atau jenis pohon tertentu yang tidak boleh ditebang? 4. Bagaimana cara masyarakat mengelola hutan? 5. Adakah peraturan-peraturan dalam masyarakat (tertulis maupun tidak tertulis) dalam pengelolaan sumber daya hutan? 6. Adakah sanksi yang diberikan kepada pelanggar peraturan tersebut? 7. Bagaimana sikap masyarakat terhadap peraturan yang berlaku dalam masyarakat ini? 8. Apakah masyarakat diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan atau masyarakat tidak diperbolehkan sama sekali memasuki kawasan hutan? 9. Jika masyarakat desa hutan diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan, apa yang melandasinya? Jika masyarakat desa hutan tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan atau bahkan masyarakat tidak diperbolehkan sama sekali memasuki kawasan hutan, apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap akses pada sumber daya hutan tersebut? 10. Apakah pernah terjadi benturan dengan pihak perhutani? Menurut Anda apa yang menjadi akar konflik tersebut ? 11. Apakah masyarakat melakukan suatu tindakan untuk melawan perhutani untuk memperjuangkan hak akses terhadap sumber daya hutan? 12. Bagaimana pihak perhutani menanggapi hal tersebut?
13. Berapa lama berlangsungnya konflik ini ? apakah sekarang masih terjadi konflik ? 14. Bagaimana
karakteristik
masyarakat
desa
hutan
(pendidikan,
mata
pencaharian, kekerabatan)? 15. Apakah terjadi migrasi (untuk bekerja di kota atau daerah lain) setelah adanya konflik? Atau memang dari sebelum terjadi konflik masyarakat di Desa Taringgul Tengah sudah banyak warga yang bermigrasi? Perhutani 1. Apakah akar konflik yang terjadi ? 2. Berapa lama konfllik ini berlangsung ? 3. Bagaimana tanggapan Anda (Perhutani) terhadap konflik tersebut ? 4. Bagaimana cara Perhutani untuk mengatasi konflik tersebut ? 5. Menurut Anda, apakah masyarakat mampu mengelola sumber daya hutan dengan baik ? Mengapa ? 6. Bagaimana pandangan Anda terhadap hutan ? 7. Adakah pihak-pihak lain yang terlibat dalam konflik ini ? 8. Menurut Anda apa pengaruh adanya pihak-pihak tersebut terhadap konflik ? 9. Bagaimana pandangan Anda terhadap perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat ? 10. Apa yang masyarakat lakukan untuk mendapatkan kembali akses terhadap hutan ? 11. Bagaimana Perhutani mengatasinya ? Pihak Swasta 1. Menurut Anda hutan itu apa ? 2. Menurut Anda apakah keadaan hutan seperti sekarang ini masih pantas untuk ditebang ? 3. Apa yang Anda lakukan untuk mendapatkan kayu ? 4. Apakah Anda mengetahui adanya konflik ? 5. Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat ?
Pihak Kepolisian 1. Apa yang Anda tahu tentang konflik pengelolaan sumber daya hutan yang terjadi di Desa Taringgul Tengah ? 2. siapa saja pihak yang terlibat ? 3. Bagaimana konflik itu terjadi ? 4. Bagaimana pihak kepolisian mengatasi konflik ini ? 5. Berapa lama konflik ini terjadi ? Untuk responden Masyarakat 1. Bagaimana hubungan Anda dengan tetangga dan warga desa lainnya ? 2. Apakah di desa ini sering mengikuti siskamling atau gotong royong (membangun masjid atau membersihkan jalan)? 3. Adakah kepercayaan-kepercayaan tertentu mengenai hutan? Misalnya, pantangan-pantangan untuk menebang pohon atau jenis pohon tertentu yang tidak boleh ditebang? 4. Bagaimana cara masyarakat mengelola hutan dulu? 5. Adakah peraturan-peraturan dalam masyarakat (tertulis maupun tidak tertulis)? 6. Adakah sanksi yang diberikan kepada pelanggar peraturan tersebut? 7. Bagaimana sikap masyarakat terhadap peraturan yang berlaku dalam masyarakat ini? 8. Apakah Anda dan warga yang lainnya diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan atau masyarakat tidak diperbolehkan sama sekali memasuki kawasan hutan? 9. Jika masyarakat desa hutan diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan, apa yang melandasinya? Jika masyarakat desa hutan tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan atau bahkan masyarakat tidak diperbolehkan sama sekali memasuki kawasan hutan, apa yang Anda lakukan untuk tetap akses pada sumber daya hutan tersebut?
10. Apakah Anda bermasalah dengan pihak perhutani? 11. Apakah Anda dan warga lain melakukan suatu tindakan untuk melawan perhutani untuk memperjuangkan hak akses terhadap sumber daya hutan? 12. Bagaimana pihak perhutani menanggapi hal tersebut? 13. Apakah Anda merasakan ketidakadilan dalam hal akses untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan? 14. Apa pendidikan terakhir Anda? 15. Apa pekerjaan Anda sehari-hari? Apakah Anda memiliki pekerjaan sampingan? 16. Apakah di Desa ini Anda mempunyai kerabat atau saudara? 17. Apa pekerjaan dan pendidikan terakhir mereka ? 18. Apakah hubungan Anda dengan mereka sangat dekat? 19. Anda memperoleh pengetahuan untuk mengelola (bertanam, memelihara pohon dan lain-lain) dari siapa? 20. Apa yang diajarkannya? 21. Apakah Anda atau kerabat Anda ada yang melakukan migrasi untuk bekerja di kota ataupun daerah lain? Alasannya?
Lampiran
3.
Undang-Undang, Peraturan Serta Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Kebijakan
Mengenai
Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 : ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pemerintah sudah menyadari agar hutan tidak dipersepsikan sebagai properti terbuka oleh warga negaranya karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Pemerintah juga menegaskan bahwa hutan dan kawasan hutan itu bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi milik pribadi/swasta. Pesan implisit yang terkandung dalam konstitusi tentang sumberdaya hutan yaitu sebagai barang publikyang pada tataran tertentu juga melekat tentang properti masyarakat. Pesan konstitusi itu diterjemahkan dalam UUPK Nomor 5/1967, dalam konteks penguasaan sumberdaya hutan sebagai berikut : 1. Adanya kerancuan logika yang sengaja telah mengarahkan masalah pengelolaan sumberdaya hutan pada hegemoni negara. Pada Pasal 2 disebutkan ”berdasarkan kepemilikannya, menteri menyatakan hutan sebagai hutan negara dan hutan milik”. Hutan negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik. Sedangkan hutan milik adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik. Dengan demikian seharusnya msih terbuka adanya hutan yang tidak dikuasai negara. Namun pada Pasal 5 Ayat 1 disebutkan : ”semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Pasal ini secara tegas meniadakan keberadaan ’hutan milik’ yang tertuang dalam Pasal 2. 2. Sengaja atau tidak sengaja UUPK mengaburkan pengakuan terhadap keberadaan hak adat. Pasal 17 menyebutkan bahwa
pelaksanaan hak-hak
masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak untuk perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuantujuan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini. Kerancuan tentang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia berakar dari kerancuan tata perundang-undangannya. Konstitusi yang secara implisit mengakui keberadaan tanah adat, tanah ulayat dan tanah marga, seharusnya dinyatakan secara eksplisit pada UUPK tetapi hal itu justru secara implisit ditiadakan. UUPK memperjelas hal yang menyangkut garis demokrasi kewenangan negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kepmenhut No 400/Kpts-II/1990 tentang Panitia Tata Batas, sering menimbulkan masalah karena dalam penyelesaian kasus-kasus yang berkenaan dengan pengukuhan hutan diperlukan suatu intervensi dari berbagai sektor, sementara masyarakat lokal bahkan sama sekali tidak disebut apalagi dilibatkan. UUPA 1960 pada Pasal 3 mengatakan : ”Dengan mengingat ketentuanketentuan dalam Pasal 1dan 2 pelaksanaan hak ulayatdan hak-hak yang serupa itu dari Masyarakat-masyarakat Hukum Adat sepanjang kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sementara itu, disebutkan pula bahwa : .......maka pengertian Hutan Negara itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas hutan-hutan tertenttu nyang didasarkan pada Hukum Adat, yang lazimnya disebut Hak Ulayat, diakui dalam undang-undang Pokok Agraria, tetapi sepanjang kenyataannya memang masih ada....” (Penjelasan Umum UUPK tahun 1967). Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1967 menyediakan kerangka prosedur bagi pengakuan atau pemberian berbagai klasifikasi hak atas tanah. Di bawah PP ini, tanah dibagi menjadi tanah adat , dimana pengakuan diberikan pada hak-hak yang sudah ada sebelum pemberlakuan UUPA (Hak Lama) dan tanah negara, yang terbuka untuk dibagikan untuk badan-badan privat (Hak Baru). Meski
pengaturannya tidak terbatas pada perseorangan, namun ’badan-badan privat’ yang menerima sertifikat tanah diberikan tanpa pengecualian kepada perseorangan. PP No. 33/1970 memberikan kewenangan kepada Departemen Kehutanan (yang pada saat itu berada di bawah Departemen Pertanian) untuk mendefinisikan Kawasan Hutan Negara. Peraturan yang mengatur penetapan Kawasan Hutan diterbitkan pada tahun 1974 (SK MenHut No. 85/1974) dan hingga pertengahan tahun 80-an hampir tida perempat wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hunan oleh Departemen Kehutanan. Proses penetapannya dilakukan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada Penjelasan UU Kehutanan Tahun 1999 menyatakan bahwa secara prinsip, semua kawasan yang dikuasai oleh Hukum Adat berada di bawah kategori Kawasan Hutan Negara. Pernyataan ini bertentangan dengan definisi Hutan Hak seperti yang diatur pada UU Kehutanan tahun 1999 dan PP No.24 Tahun 1997, dimana hak-hak privat dapat diklaim dan diakui sesuai dengan UUPA 1960.