PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)
TEGUH SURYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2006 Teguh Suryono NIM P052030171
ABSTRAK TEGUH SURYONO. Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara). Dibimbing oleh CECEP KUSMANA sebagai ketua komisi pembimbing, EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai anggota komisi pembimbing. Adanya konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, telah menurunkan kualitas lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk; 2) Menghitung dan menganalisis Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingness to Accept masyarakat petambak; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingess to Accept masyarakat petambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk pada areal penelitian sebesar Rp. 4.184.566.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378,- per ha per tahun. Nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha, diasumsikan sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. Besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun, dan besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak di lingkungan Angke Kapuk sebesar Rp. 1.329.745.043,-. Kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Sedangkan besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Kesediaan menerima masyarakat petambak untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak dipengaruhi oleh faktor pendapatan, pendidikan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan. Tindakan dan upaya untuk perbaikan lingkungan dan pengelolaan kawasan Hutan Angke Kapuk meliputi : 1) Penanaman kembali tanaman mangrove; 2) Pemasangan tanggul sebagai peme cah ombak; 3) Penanganan limbah sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya; dan 4) Penanganan tambak illegal yang ada di dalam kawasan hutan. Kata kunci : nilai ekonomi total hutan mangrove, kesediaan membayar, kesediaan menerima.
ABSTRACT TEGUH SURYONO. Environmental Economic Assesment to Conversion of Mangrove Forest into Fish Ponds and Settlements (Case Study in Angke Kapuk Forest, North Jakarta). Supervisor : CECEP KUSMANA, Co supervisor : EKA INTAN KUMALA PUTRI. The conversion of the mangrove forest in Angke Kapuk done by government, private sector and the community has degraded the quality of the environment of the mangrove forest. Therefore, the purpose of this research is to 1) calculate the total economic values of the forest mangrove, and analyze the social and economic aspects of the community around the Angke Kapuk; 2) calculate and analyze the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish pond owners ; 3) analyze the factors which have an effect on the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish ponds owners. Results from the research show that the total economic value of the Angke Kapuk mangrove is Rp. 4.184.566.038,- per annum or Rp. 73.418.378,- per hectare per annum. The total economic value of the Angke Kapuk forest, which was as wide as 1154,88 hectares before it was converted by PT. Mandara Permai, was Rp. 84.789.416.385,- per annum. The amount of money willingly paid by the community of Pantai Indah Kapuk is Rp. 165.440.880,- per annum and the amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is Rp. 1.329.745.043,-. The willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community for the improvement of the quality of the environment is affected by the people’s occupations, educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly paid by the Pantai Indah Kapuk community is affected by their ages, educations, incomes, and size of households. The willingness to accept from the community of the fish pond owners for the improvement of the environment is affected by their educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is affected by their incomes, educations, expenditures, and size of households. The actions and efforts done to improve the environment and to manage the Angke Kapuk forest areas include: 1) the replanting of the mangrove plants; 2) the building of embankments as wave breakers; 3) the handling of plastic and household waste; and 3) the handling of illegal fish ponds within the forest areas. Keywords : total economic value of the mangrove, the willingness to pay, the willingness to accept.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)
TEGUH SURYONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara)
Nama Mahasiswa
: Teguh Suryono
Nomor Induk Mahasiswa
: P 052030171
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Tanggal Ujian : 22 Juni 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus : 27 Juli 2006
UCAPAN TERIMA KASIH
ALHAMDULIL LAAHI RABBIL ‘AALAMIIN, berkat rahmat dan karunia Allah SWT maka penulis dapat menyelesaikan studi S2 dengan menyusun tesis berjudul “Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara)”. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan semua pihak.
Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi, masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing,
yang
telah
membimbing
dengan
penuh
kesabaran
dan
meluangkan waktu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.ScF selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan yang bermanfaat bagi kelengkapan tesis. 3. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4. Bupati Lombok Timur yang pada waktu itu dijabat oleh H. Syahdan, dan Ir. Soemantoro selaku kepala Dinas Kehutanan Lombok Timur, atas pemberian kesempatan mengikuti program S2 Pascasarjana IPB. 5. Ibu Murlan di BKSDA DKI Jakarta dan Pak Sukardi di Dinas Kehutanan DKI Jakarta, atas diskusinya selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Aparat Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Pluit, Pengurus rukun warga (RW) dan masyarakat perumahan Pantai Indah Kapuk, yang telah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini. 7. Teman-teman PSL 2002 genap, PSL 2003 ganjil – genap, IPK 2003 dan rekanrekan mahasiswa Pascasarjana IPB lainnya, semoga tali silaturahmi yang sudah terjalan ini tetap terjaga dengan baik. 8. Kedua orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan-keponakanku yang telah mendukung proses studi saya di IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2006
Teguh Suryono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 7 Januari 1976, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Santosa dan Ibu Partini. Menamatkan Sekolah Dasar di Sampit pada tahun 1988, tahun 1991 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 88 Jakarta, dan lulus dari SMAN 16 Jakarta pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis mendapat kesempatan menuntut ilmu di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB melalui jalur USMI, pada tahun 1995 penulis memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 1999. Sejak tahun 2000 – 2001 penulis bekerja di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Barat. Mulai tahun 2001 - sekarang, penulis bekerja di Dinas Kehutanan, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 2003 penulis
mendapat
kesempatan
mengikuti
pendidikan
Program
S2
Pascasarjana IPB, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi I. PENDAHULUAN.............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
3
1.3. Perumusan Masalah ...............................................................................
4
1.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................
6
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
7
2.1. Ekosistem Mangrove ..............................................................................
7
2.1.1. Peranan dan Potensi Fisik Hutan Mangrove .............................. 10 2.1.2. Peranan dan Potensi Biologi Hutan Mangrove........................... 11 2.1.3. Peranan dan Potensi Ekonomi Hutan Mangrove........................ 11 2.1.4. Kerusakan Hutan Mangrove........................................................ 11 2.2. Kerusakan Sumberdaya Alam................................................................ 13 2.3. Nilai ekonomi Hutan Mangrove .............................................................. 15 2.4. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya ............................................... 19 2.5. Persespsi ................................................................................................ 25 2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan .................................................... 27 III. METODE PENELITIAN ................................................................................... 30 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 30 3.2. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 31 3.2.1. Pengumpulan Data Untuk Analisis Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove .......................................................................... 31 3.2.2. Pengumpulan Data Untuk Analisis Contingent Valuation Method (CVM)........................................................................................... 31 3.3. Analisis Data ........................................................................................... 32 3.3.1. Analisis Deskriptif ......................................................................... 32 3.3.2. Analisisis Kuantitatif ...................................................................... 32
3.3.2.1. Analisis Kuantitatif Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove........................................................................ 32 3.3.2.2. Analisis Kuantitatif WTP dan WTA dengan CVM .......... 34 3.3.2.3. Analisis Kuantitatif Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP dan WTA................................................................ 38 3.4. Batasan Penelitian .................................................................................. 39 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ................................................... 40 4.1. Keadaan Umum Kawasan Hutan Angke Kapuk .................................... 40 4.1.1. Sejarah, Status, Luas dan Letak Kawasan................................. 40 4.1.2. Keadaan Fisik dan Biologi Kawasan Hutan Angke Kapuk ......... 42 4.2. Keadaan Umum Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit ...... 46 4.2.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian................................... 46 4.2.2. Penduduk, Mata Pencaharian dan Pendidikan............................ 47 4.3. Keadaan Umum Perumahan Pantai Indah Kapuk................................. 51 4.4. Keadaan Umum Lok asi Petambak......................................................... 53 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 55 5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat .................................................. 55 5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk................................. 55 5.1.2. Karakteristik dan Persepsi Petambak Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk...................................................................... 60 5.1.3. Perbandingan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk dan Petambak...................................................................................... 63 5.1.3.1. Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk ....................................................... 63 5.1.3.2. Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk ................................... 65 5.2. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove .............................................................. 66 5.2.1. Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung)................................ 67 5.2.2. Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) ................... 69 5.2.3. Manfaat Pilihan ............................................................................ 72 5.2.4. Manfaat Pewarisan ...................................................................... 72 5.2.5. Manfaat Keberadaan ................................................................... 73
5.2.6. Estimasi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk..... 75 5.3. Analisis WTP Pantai Indah Kapuk.......................................................... 77 5.3.1. Keragaan WTP Pantai Indah Kapuk........................................... 77 5.3.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Membayar dan Nilai WTP ...................................................................................... 81 5.3.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak Pantai Indah Kapuk................ 83 5.3.4. Model Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk.............. 86 5.4. Analisis WTA Petambak ......................................................................... 89 5.4.1. Keragaan WTA Petambak........................................................... 89 5.4.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Menerima dan Nilai WTA..................................................................................... 91 5.4.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak Petambak............................... 92 5.4.4. Model Regresi Logistik Nilai WTA Petambak ............................. 95 5.5. Potensi dan Keterkaitan Nilai WTP Pantai Indah Kapuk dan Nilai WTA Petambak ................................................................................................ 97
VI. ORIENTASI PERBAIKAN DAN KOSERVASI DI HUTAN ANGKE KAPUK 99 6.1. Masalah Lingkungan dan Kondisi Hutan Angke Kapuk ........................ 99 6.2. Arahan Upaya Perbaikan Lingkungan dan Pengelolaan Kawasan Hutan Angke Kapuk ............................................................................... 100
VII. KESIMPULAN................................................................................................. 103 10.1. Kesimpulan ........................................................................................... 103 10.2. Saran..................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 105 LAMPIRAN ........................................................................................................ 109
DAFTAR TABEL
Tabel
teks
Halaman
1.
Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit .......48
2.
Komposisi Penduduk Kel Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit..............48
3.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ..................................49
4.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................................51
5.
Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk ...........................67
6.
Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk.................71
7.
Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk .............................................................................71
8.
Rata-rata Nilai Keberadaan Hutan Angke Kapuk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................................................................................74
9.
Ringkasan Perhitungan Nilai Manfaat Total Hutan Angke Kapuk.............75
10. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk Yang Bersedia/Tidak Bersedia Membayar ...................................................................................................78 11. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk Yang Tidak Bersedia Membayar Berdasarkan Alasan .................................................................79 12. Distribusi Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk ...............................79 13. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik.................................... 82 14. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Membayar Responden Pantai Indah Kapuk ..........................................................................................................83 15. Hasil Regresi Logistik Besarnya Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk ..........................................................................................................86 16. Jumlah Petambak Yang Bersedia/Tidak Bersedia Menerima ...................90 17. Distribusi Nilai WTA Petambak ..................................................................91 18. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik.................................... 92 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Menerima .............................................93 20. Hasil Regresi Logistik Besarnya Nilai WTA Petambak..............................95
DAFTAR GAMBAR
Gambar 9.
teks
Halaman
Bagan Alir Kerangka Pemikiran ................................................................. 4
10. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan .......................................................29 11. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................ 30 12. Proporsi Hutan Angke Kapuk Yang Dikuasai Pemerintah dan PT. Mandara Permai ..................................................................................42 13. Perbandingan Luas Kelurahan Berdasarkan Persentase ........................ 47 14. Distribusi Jumlah Kepala Keluarga di Tiga Kelurahan ...............................47 7.
Distribusi Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Berdasarkan Tingkat Usia ..........................................................................49
8.
Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...............................50
9.
Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan..............................50
10. Tingkat Pendapatan Responden Pantai Indah Kapuk...............................55 11. Pekerjaan Responden Pantai Indah Kapuk ...............................................56 12. Pendidikan Responden Pantai Indah Kapuk .............................................56 13. Usia Responden Pantai Indah Kapuk........................................................ 57 14. Jumlah Tanggungan Responden Pantai Indah Kapuk ..............................57 15. Tingkat Pengeluaran Responden Pantai Indah Kapuk..............................58 16. Persepsi Responden PIK Terhadap Kualitas Lingkungan.........................59 17. Persepsi Responden PIK Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan......59 18. Tingkat Pendapatan Responden Petambak ..............................................60 19. Tingkat Pendidikan Responden Petambak ................................................ 60 20. Tingkat Usia Responden Petambak...........................................................61 21. Jumlah Tanggungan Responden Petambak..............................................61 22. Tingkat Pengeluaran Responden Petambak.............................................62 23. Persepsi Petambak Terhadap Kualitas Lingkungan ..................................63 24. Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan...............63 25. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan..............64 26. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Perbaikan Lingkungan ..........66 27. Distribusi Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk ..................................................................72 28. Distribusi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk...................76 29. Distribusi Nilai WTP Pantai Indah Kapuk ...................................................81
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
15. Perhitungan Nilai Manfaat Langsung .........................................................109 16. Perhitungan Nilai Tidak Manfaat Langsung ...............................................112 17. Perhitungan Nilai Manfaat Pilihan Dan Manfaat Pewarisan......................114 18. Perhitungan Nilai Manfaat Keberadaan .....................................................115 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTP Pantai Indah Kapuk.....................117 7.
Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk...............................118
8.
Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTA Petambak .................................... 119
9.
Hasil Regresi Logistik Nilai WTA Petambak.............................................120
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari 17.508 pulau besar
dan kecil ya ng secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai puluhan kilometer.
Masing-masing kawasan pantai dan hutan
mangrove pada pulau-pulau tersebut memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia. Menurut Departemen Kehutanan (1997), wilayah Indonesia terbentang dari Pulau Sumatra di bagian barat sampai Irian Jaya di bagian timur sepanjang lebih dari 5000 km.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di
dunia dengan luas daratan dan lautan sebesar 7,7 juta km2. Wilayah pesisir Indonesia terdapat ekosistem hutan mangrove yang sering juga disebut hutan bakau. Hutan mangrove dikenal beberapa jenis antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Di Indonesia mangrove dikenal sebagai hutan pasang surut atau hutan bakau yang umumnya tumbuh pada daerah yang tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Kawasan hutan Angke-Kapuk merupakan salah satu areal kawasan mangrove di Pantai Utara Jawa, tepatnya di Kotamadya Jakarta Utara. Luas hutan yang dipertahankan di kawasan Angke-Kapuk adalah seluas 327,70 ha yang diperuntukkan dan berfungsi sebagai : • Hutan Lindung
:
44,76 ha
• Hutan Wisata
:
99,82 ha
• Cagar Alam Muara Angke
:
25,02 ha
• Hutan Dengan Tujuan Istimewa
:
a. Kebun Pembibitan
:
10,51 ha
b. Transmisi PLN
:
23,07 ha
c. Cengkareng Drain
:
28,93 ha
d. Jalan tol dan Jalur Hijau
:
95,50 ha
Luas areal yang dilepas kepada PT. Mandara Permai seluas 872,18 ha, yang kemudian dikembangkan sebagai pemukiman Pantai Indah Kapuk dengan berbagai sarana dan prasarananya yang tersedia seperti rumah sakit, lapangan golf, pusat pertokoan dan sebagainya (LPP Mangrove 2001).
Keberadaan
perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan, dsb) secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap kawasan ekosistem mangrove di Angke-Kapuk, Jakarta Utara. Konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk selain untuk perumahan, juga terjadi dalam bentuk areal petambakan.
Perubahan areal hutan mangrove
tersebut menyebabkan luas hutan mangrove semakin berkurang. Bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum pesisir mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu daerah dimana mangrove tumbuh kuat dan subur dengan tekanan penduduk dan tuntutan ekonomi terhadap rona pantai cukup tinggi, mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber tempat mencari nafkah.
Namun karena keterbatasan
pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove antara para pengambil kebijakan dan masyarakat umumnya, hutan mangrove dipandang sebagai areal yang boleh digunakan semaunya bahkan pohonnya ditebangi untuk kegunaan lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Akibatnya baru disadari bahwa mangrove
ternyata jauh lebih penting antara lain sebagai pelindung pantai dan bangunanbangunan treatment air, sehingga harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi tempat alami hutan mangrove. Menurut
Keraf
(2002)
dampak
dari
pembangunan
menitikberatkan pada pembangunan ekonomi adalah;
yang
hanya
pertama, terjadinya
kemiskinan yang semakin mendalam di banyak negara berkembang; kedua, timbulnya berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun antara lain merupakan dampak dari pencemaran lingkungan; ketiga, adalah kehancuran sumberdaya alam dari keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat disekitarnya yang
tergantung
hidupnya
keanekaragaman hayati tersebut.
dari
keberadaan
sumberdaya
alam
dan
1.2. Kerangka Pemikiran Kawasan hutan mangrove Angke-Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang terletak di Pantai Utara Jawa, tepatnya di Jakarta Utara. Luasan hutan mangrove Angke-Kapuk yang dipertahankan sekarang sekitar 327,70 ha dan yang dilepas kepada PT. Mandara Permai seluas 872,18 ha (LPP Mangrove 2001).
Kawasan hutan mangrove di sekitar Angke-Kapuk sebagian besar telah
mengalami penurunan kualitas lingkungan. Penyebab penurunan kualitas lingkungan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan manusia terhadap ekosistem hutan mangrove terutama karena melihat nilai ekonominya. Beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan/penurunan kualitas lingkungan
tersebut, antara lain adalah:
(1)
Konversi hutan mangrove untuk tambak; (2) Pemanfaatan kayu mangrove; (3) Konversi hutan mangrove untuk pemukiman; dan (4) Kegiatan pemanfaatan lainnya. Dalam penelitian ini perhitungan nilai ekonomi hutan mangrove didekati dengan melakukan identifikasi dan kuantifikasi manfaat hutan mangrove. Nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai bukan penggunaan (non use value). Selanjutnya nilai penggunaan terbagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai tidak langsung (indirect use value dan nilai pilihan (option value). Nilai bukan penggunaan terbagi menjadi nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Berdasarkan nilai dari manfaat-manfaat tersebut diperoleh nilai total ekonomi hutan mangrove. Adanya penurunan kualitas lingkungan hutan mangrove Angke-Kapuk, dituntut adanya perbaikan kualitas lingkungan tersebut.
Dalam penelitian ini,
metode yang digunakan dalam menilai penurunan kualitas lingkungan adalah Contingent Valuation Method (CVM) dengan pendekatan WTP dan WTA. Dalam penelitian ini, nilai ekonomi kerusakan/penurunan kualitas hutan mangrove AngkeKapuk didekati dengan kesediaan masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk membayar (WTP) dan WTA yang diterima masyarakat petambak. Keterwakilan dari berbagai kelompok masyarakat merupakan prinsip untuk mendapatkan data yang representatif, serta kelengkapan informasi sosial ekonomi. pendekatan penelitian secara rinci disajikan pada Gambar 1.
Kerangka
Hutan mangrove Angke Kapuk Masyarakat petambak
Konversi hutan mangrove Angke Kapuk
PT. Mandara Permai
Areal pemukiman Pantai Indah Kapuk
Ÿ Kemiskinan Ÿ Peningkatan jumlah penduduk
Existence value Indirect use value
Degradasi Kualitas lingkungan
Nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk
Option value direct use value Bequest value
Perbaikan kualitas lingkungan Metode CVM Pendekatan WTP/WTA Rekomendasi WTA Petambak
WTP Pemukiman
Analisis faktor-faktor mempengaruhi WTP/WTA
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
1.3. Perumusan Masalah Beberapa tahun terakhir seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk di suatu wilayah mengalami peningkatan.
Berdasarkan sensus
penduduk tahun 2000 oleh Biro Pusat Statistik, kepadatan penduduk di Indonesia mencapai 109 per km2 dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49% per tahun. Sedangkan untuk Propinsi DKI Jakarta, kepadatan penduduk mencapai 12.635 per km2 dan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta mencapai 0,17% per tahun 1.
Pada tahun 2000, menurut Pemerintah DKI Jakarta di Kotamadya
Jakarta Utara kepadatan penduduknya mencapai 9.317 per km2 dengan laju pertumbuhan sebesar 0,52% per tahun2. Peningkatan jumlah penduduk, maka ruang untuk tempat tinggal, mencari nafkah, dan lain-lain otomatis akan meningkat pula. Kebutuhan pangan, sandang dan papan akan terus bertambah, sementara lahan yang tersedia tidak akan bertambah. Dewasa ini, karena adanya keterbatasan lahan untuk pemukiman, 1 2
http://www.bps.go.id/sector/population/Pop_indo.htm http://www.dki.go.id/bankdata/kesra/kependudukan2.htm
hutan mangrove yang pada dasarnya harus dilestarikan berubah fungsi untuk areal pemukiman , usaha pertambakan dan lain-lain. Perubahan hutan mangrove menjadi areal pemukiman maupun usaha tambak, dilihat dari sisi pelakunya dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun oleh masyarakat sendiri sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan persepsi mereka terhadap keberadaan kawasan hutan mangrove. Data Departemen Pertanian menunjukkan, pada tahun 1990 luas tambak mencapai 269.000 ha dan tahun 1998 sebesar 340.000 ha, yang berarti meningkat sebesar 71.000 ha atau 26,4% (Handayani 2004). Namun demikian luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak diperkirakan lebih dari itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak tahun 1992 sebesar 15.000 ha, tahun 1998 sebesar 40.000 ha dan tahun 1999 sebesar 85.000 ha (Santoso 2002).
Peningkatan tersebut tentunya akan
mengakibatkan terjadinya konversi lahan-lahan mangrove. Di satu sisi konversi hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat pendatang adalah untuk membuka pemukiman maupun untuk mencari nafkah yaitu dengan mengkonversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan. Di sisi lain, konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk juga dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini PT Mandara Permai, yaitu dengan
mengembangkan areal
pemukiman elite Pantai Indah Kapuk yang bertujuan untuk mendapatkan profit/keuntungan. Adanya konversi hutan mangrove tersebut, menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan dan keberadaan hutan mangrove. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa intrusi air laut; abrasi pantai dan banjir, berkurangnya habitat bagi berbagai fauna, serta dampak lainnya akibat kerusakan ekosistem tersebut. Timbulnya konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, telah menurunkan kualitas lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Diperlukan adanya langkah-langkah yang positif untuk merehabilitasi hutan mangrove yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Untuk mengetahui kesediaan mereka terhadap partisipasi dalam merehabilitasi hutan mangrove yaitu dengan menilai dari WTP masyarakat pemukiman Pantai Indah Kapuk yang mereka bayarkan untuk peningkatan kualitas lingkungan, dan menilai WTA
masyarakat
petambak
sebagai
kompensasi
untuk
memungkinkan
adanya
peningkatan
kesejahteraan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa masalah yang perlu dikaji. Masalah-masalah tersebut meliputi : 1. Bagaimana
nilai ekonomi total
ekosistem
mangrove
dan
karakteristik
masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk, Jakarta Utara? 2. Berapa nilai maksimum yang dibayarkan masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk memperbaiki kualitas ekosistem mangrove di kawasan Angke Kapuk? Berapa nilai minimum yang diterima masyarakat petambak di kawasan Angke Kapuk? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat Pantai Indah Kapuk terhadap WTP yang dibayarkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan ekosistem mangrove di kawasan Angke-Kapuk? 4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat petambak terhadap WTA yang diterima
sebagai kompensasi dari penurunan kualitas lingkungan
ekosistem mangrove di kawasan Angke-Kapuk?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk. 2. Menghitung dan menganalisis Willingness to Pay (WTP) masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingness to Accept (WTA) masyarakat petambak. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan WTA masyarakat petambak. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pembuatan perencanaan dan pengambilan keputusan, khususnya untuk menanggulangi
kerusakan
lingkungan
yang
ditimbulkan
akibat
dari
mengkonversi hutan mangrove. 2. Dasar pengembangan studi yang lebih mendalam dan luas, terutama kaitan antara masyarakat disekitar hutan mangrove dengan lingkungannya. 3. Sebagai kajian dan pengkayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2000). Hutan mangrove berkembang di zona intertidal sepanjang garis pantai tropis seperti estuari, laguna, delta, delta estuari dan lagun estuari. Hutan mangrove besar ditemukan sepanjang garis pantai yang berlumpur, terlindung, terbebas dari angin dan arus yang kuat. Hutan mangrove tumbuh subur jika banyak mendapat pesediaan sedimen dan air tawar. Air payau tidak penting namun baik untuk pertumbuhan mangrove. Hutan mangrove juga dapat tumbuh di pantai berpasir dan berbatu, terumbu karang dan pulau. Menurut Winarti (1999), wilayah hutan mangrove merupakan wilayah asuhan bagi berbagai macam organisme bernilai ekonomi tinggi dan organisme lainnya. Mangrove menjadi semakin penting karena fungsinya sebagai pereduksi karbon dan bahkan menjadi pelarut karbon organik.
Sistem hutan mangrove
paling produktif diantara sistem alam di bumi. Sumber-sumber produktifitasnya adalah daun, koloni alga pada permukaan akar, serasah hutan, komunitas lamun, fitoplankton dalam hubungannya dengan teluk dan laguna.
Kombinasi dari
produktivitas yang tinggi dan badan air payau yang dangkal, menyediakan habitat beranekaragam
dan
baik
dalam
mendukung
kehidupan
hewan
yang
beranekaragam dan luas dalam berbagai tingkatan daur hidup. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindungi.
di
Formasi mangrove
merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber ma kanannya dan serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai pendukung substratnya.
Air pasang
memberikan makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sediment dan rawa tempat mangrove tumbuh. Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik.
Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan
daripada ekosistem pantai lainnya. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai
vegetasi yang agak seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas, dan selalu hijau (Irwan 1992). Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur di teluk dan estuaria yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat.
Karena itu hutan mangrove banyak
ditemukan di pantai-pantai yang terlindung (Bengen 2001). Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Ekosistem mangrove terkenal sangat produktif, dan penuh sumberdaya, dan ekosistem ini me ndapat subsidi energi karena arus pasut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara. Soemodihardjo et al (1993) dalam Kusmana (1997) menyatakan di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove.
Jenis-jenis tumbuhan mangrove
tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana, 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis terna. Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di Indonesia terdiri atas 27 jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatra, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di Sulawesi, 28 jenis di Maluku dan 21 jenis di Irian Jaya. Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera dan konsosiasi Nipa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp dengan Rhizophora spp sering ditemukan terutama di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi (peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove.
Keberadaan mangrove berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya populasi zooplankton (mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan. Keberadaannya dapat menghubungkan antara produsen I dengan konsumen I) organisme ini sebagian besar akan tumbuh dewasa menjadi jenis ikan, udang, kepiting dan kerang. Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mentransformasi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah hutan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dsb) Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae atau tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan-memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk jala makanan. Hutan mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi, sehingga
memungkinkan
sebagai
tempat
pemijahan
(spawning
ground),
pengasuhan (nursey ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan air tertentu (Bengen 2001; Supriharyono 2000; Irwan 1992), sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya, yang hidupnya menetap di kawasan hutan.
Namun di antaranya hewan-hewan air
tertentu seperti ikan dan udang-udangan, yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang-surut. Di Indonesia, penelitian mengenai fauna hutan mangrove masih terbatas baik di bidang kajiannya maupun lokasinya.
Sampai saat ini, beberapa hasil
penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung
Karang, Segara Anakan – Cilacap, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatra (Lampung, Sumatra Selatan) dan Kalimantan. Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1997),secara umum fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan fauna laut. Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Crustaceae. sedangkan
Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan
Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, golongan
Crustaceae
didominasi
oleh
Brachyura
Menurut
Soemodihardjo et al (1993) dalam Kusmana (1997) terdapat sekitar 118 jenis fauna laut yang terdiri atas 48 jenis Gastropoda, 9 jenis Bivalvia dan 61 jenis Crustaceae. 2.1.1. Peranan dan Potensi Fisik Hutan Mangrove. Dilihat dari segi fisik dan potensinya hutan mangrove mempunyai peranan antara lain : • Merupakan penyerap gas karbondioksida (CO2) melalui proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan. Semakin sedikit CO2 yang terserap berarti semakin banyak kadar gas tersebut yang ada di udara. • Melindungi pantai yang diakibatkan penggerusan ombak • Dapat mencegah intrusi air asin ke daratan yang dapat merusakkan areal pertanian dan persediaan air tawar di bawah permukaan tanah. • Merupakan penyaring dan pengurai bahan-bahan organic yang datang melalui daratan dialirkan oleh permukaan air hujan dan air sungai. • Pada pantai yang landai, merupakan tempat sungai yang bermuara yang membawa endapan lumpur dalam jumlah besar sehingga hutan mangrove mempunyai fungsi mempercepat perluasan daratan (Tambunan 1994). Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjadi garis pantai tetap stabil dan terhindar dari abrasi. Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari dari rembesan air laut serta penghalang angin (Sugiarto dan Willy 1995; dalam Suhaeb 2000)
2.1.2. Peranan dan Potensi Biologi Hutan Mangrove Dilihat dari segi biologis dan potensinya hutan mangrove mempunyai peranan adalah : • Merupakan sub sistem yang memiliki tingkat produktivitas bahan pelapukan dan organik yang sangat tinggi dan merupakan sumber makanan penting bagi hewan-hewan seperti udang, kepiting, kerang dan termasuk ikan lainnya. • Tempat berpijahnya bermacam jenis biota laut. • Merupakan habitat alami bagi bermacam jenis binatang seperti burung, ular, kera, tikus, dan sebagainya (Tambunan 1994). 2.1.3. Peranan dan Potensi Ekonomi Hutan Mangrove Secara ekonomis hutan mangrove mempunyai peranan dan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat anatar lain : • Sebagai sumber kayu sebagai bahan baker, bahan bangunan, alat-alat rumah tangga dan sebagainya. • Vegetasi dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi berbagai bahan baku industri penyamak kulit, dan pulp. • Merupakan lahan bagi yang dapat dikelola dan dimanfaatkan menjadi tempat pertambakan, perkebunan, pertanian, industri dan rekreasi (Tambunan 1994). Hutan mangrove dari segi ekonomis berfungsi sebagai penyediaan bahan baku industri (kayu chip, kayu arang, kayu bangunan dan lain-lain), juga secara tradisional dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kayu bakar.
Pemanfaatan
hutan mangrove untuk skala komersial (skala besar) adalah untuk menghasilkan kayu, chip dan arang, konversi hutan mangrove untuk kawasan pertanian, pertambakan, pemukiman, pemukiman ladang garam dan daerah transmigrasi; dan manfaat hutan mangrove untuk beberapa jenis obat-obatan (Soemodihardjo dan Soerianegara 1989).
2.1.4. Kerusakan Hutan mangrove Menurut Kusmana (1995) yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove dapat di kategorikan kedalam 3 jenis gangguan : 1. Gangguan biologi § Penebangan pohon mangrove yang tidak memperhatikan azas kelestarian hutan.
§ Perubahan
kawasan
mangrove
menjadi
pemukiman,
pertanian,
pertambakan, dan industri. 2. Gangguan kimia § Adanya hujan asam. § Adanya pencemaran air, udara dan tanah. 3. Gangguan fisik-mekanis § Adanya gempa bumi. § Banjir yang menyebabkan air tawar melimpah. § Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali. § Timbulnya abrasi pantai/pinggir sungai. Berbagai fenomena alam seperti amukan badai, angin topan maupun serangan isopoda memang bisa menimbulkan kerusakan yang serius terhadap hutan mangrove, namun pengaruh dari perilaku manusia cenderung lebih merusak. Pada dasarnya ekosistem hutan mangrove rawan terhadap tekanan lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan parah (akut) maupun kerusakan tahunan (kronis). Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh alam maupun manusia. Menurut Gomez, et al (1984) dalam Winarti (1999) tekanan alami dapat digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu, tekanan fisik-kimiawi yang menyebabkan kerusakan parah, dan tekanan biologis yang menyebabkan kerusakan menahun. Tekanan fisik-kimiawi tersebut meliputi : • Siklon tropis dan topan, yang menghasilkan hujan lebat disertai angin dengan kecepatan 65-120 km/jam. Kerusakannya adalah tumbangnya pohon-pohon besar dan kerusakan geografis. • Tsunami dan gelombang badai (storm surges). Kerusakan yang ditimbulkannya adalah naiknya muka air laut sehingga merendam daerah cukup lama dan gerakan massa air yang menggerus daerah pantai yang dilandanya. • Musim kemarau, fenomena ini banyak mempengaruhi daerah yang relatif tertutup. Karena kemarau panjang, salinitas air laut akan meningkat di perairan tertutup ini, yang akan mempengaruhi transpirasi dari daun mangrove. Akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan pohon mangrove terhenti atau meranggas. • Suhu lingkungan
yang tinggi maupun rendah akan berdampak negative
terhadap tanaman mangrove. Pengaruhnya terutama pada laju evaporasi dari batang tanaman ke lingkungannya.
Selain itu akan menyebabkan laju
evaporasi terhadap lingkungan sekitar, sehingga perairan menjadi bersalinitas tinggi. Suhu antara 39°C-40°C menyebabkan kematian mangrove muda yang belum berzat kayu, sehingga suhu rendah di daerah lintang tinggi akan menyebabkan pembekuan daun (frost). Tekanan biologis perusak hutan mangrove antara lain meliputi : • Penyakit sejenis jamur yangmerambat dari pucuk daun menuju ke akar dapat menyebabkan kematian pada mangrove. • Serangga dan invertebrate, ditemukan jenis kumbang yang menyerang hipokotil (dari jenis Rhizophora) atau yang hidup di dasar batang pohon dewasa (jenis Avicennia) yang menyebabkan kematian.
Ulat dari jenis kupu tertentu
menyerang daun dan tunas daun, dan juga rayap. Jenis invertebrate yang merusak tanaman mangrove adalah kepiting (Sesarma taeniolita) yang memakan kulit kayu bibit mangrove. • Binatang herbivora atau pemakan tumbuhan yang merusak tanaman mangrove adalah monyet, menjangan, kerbau liar dari Australian dan kambing asia (Gomez, et. al 1984 dalam Winarti 1999). 2.2. Kerusakan Sumberdaya Alam Sumberdaya alam mempunyai makna sebagai unsur-unsur lingkungan alam yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi lain dari sumberdaya alam adalah sumberdaya atau faktor produksi. Definisi kerusakan sumberdaya adalah berkurangnya atau tidak berfungsinya suatu sumberdaya alam berdasarkan fungsinya terhadap suatu keseluruhan ekosistem yang ada.
Sebagai contoh dalam hal ini kerusakan
sumberdaya lahan adalah berkurangnya atau tidak berfungsinya lahan sebagai media tumbuh tanaman dan sebagai media pemberi unsur hara bagi pertumbuhan tanaman (Sitorus 2004). Masalah lingkungan yang sekarang ini sering dihadapi timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia, akibat yang ditimbulkan yaitu terganggunya kesejahteraan manusia.
Pertambahan jumlah kelahiran yang
disertai peningkatan kebutuhan per orang dan meningkatnya kemampuan manusia untuk melakukan intervensi terhadap alam menyebabkan semakin besarnya perubahan yang terjadi pada lingkungan (Soemarwoto, 1992).
Penggunaan
sumberdaya alam oleh penduduk semakin banyak memunculkan kebutuhan untuk
meningkatkan ekstraksi dan peningkatan permintaan akan sumberdaya alam. Hal ini memberikan dampak negatif yaitu memburuknya kondisi fisik dunia sementara masyarakat sangat lamban dalam menemukan pemecahan masalah yang timbul tersebut. Beberapa alasan lambannya penyesuaian tersebut, antara lain adalah (Sitorus 2004) : 1. Masyarakat lebih mengakui adanya pemilikan pribadi dan mekanisme pasar sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan perlu dipelihara bersama masih sulit difahami. 2. Tidak diketahui secara pasti apa yangs sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat. Demikian pula tentang teknologi untuk menghasilkan apa yang diinginkan tersebut relatif belum banyak diketahui. 3. Karena adanya eksternalitas, maka biaya produksi barang dan jasa sering menjadi tidak jelas, serta adanya kelambanan mobilitas manusia. Kerusakan sumberdaya alam yang saat ini terjadi itdaklah berdiri sendiri melainkan merupakan hal-hal yang saling terkait. Menurut Soemarwoto (1992) keterkaitan ini berupa : 1. Sebuah faktor merupakan sebab berbagai masalah.
Contohnya adalah
penebangan hutan, pembakaran biomassa dan konversi menjadi tataguna lahan yang lain merupakan sebab terjadinya kerusakan hidrologi, erosi tanah, kepunahan jenis, pemanasan global, dan lubang ozon. 2. Sebuah faktor mempunyai efek yang berbeda. Misalnya, gas metan membantu pembentukan ozon di troposfer dan pada satu pihak menyebabkan perusakan ozon di stratosfer tetapi di lain pihak juga melindungi ozon dari perusakan atom Cl. 3. Interaksi antara berbagai masalah dan dampak yang ditimbulkannya. Misalnya dampak pemanasan global, lubang ozon, dan hujan asam bersifat kumulatif terhadap kepunahan jenis, penurunan produksi pertanian, peternakan dan perikanan, serta kesehatan. Indonesia sebagai negara berkembang, saat ini pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang, baik pertanian, industri, dan perdagangan tidak hanya membawa da mpak social namun juga akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Sebagai negara yang sedang tumbuh maka dampak terhadap
lingkungan seringkali diabaikan dalam usaha peningkatan ekonomi.
Hal ini
diperburuk dengan kondisi peraturan dan penegakan hukum yang lemah.
Sehingga semakin memberikan ancaman terhadap kualitas sumberdaya alam yang baik. Kerusakan sumberdaya alam terjadi pada suatu saat akan menjadi suatu pembatas bagi kegiatan ekonomi. Keadaan ini terjadi ketika suplai sumberdaya alam tidak dapat lagi untuk mencukupi kebutuhan manusia. Sehingga aktifitasaktifitas manusia dalam bidang ekonomi harus juga memperhatikan daya dukung yang dapat diberikan oleh sumberdaya tersebut.
2.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove. Menurut Hanley dan Spash (1993), nilai total suatu sumberdaya terdiri atas beberapa komponen : TV = E(CS) + OV + XV + BV + QOV dimana: • TV = Total Value, yaitu nilai total manfaat dari semua sumberdaya, • E(CS) = Expected Consumer Surplus, yaitu surplus konsumen yang diharapkan (dalam hal ini yang disebut dengan nilai pengguna), • OV = Option Value, yaitu suatu nilai dimana seorang individu yang tidak mempunyai rencana untuk menggunakan jasa lingkungan, terkadang mau membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa mendatang, • XV = Existence Value, yaitu nilai keberadaan yang merupakan nilai yang mengacu pada kesediaan masyarakat untuk membayar biaya pelestarian suatu ekosistem bagi kepentingan masyarakat itu sendiri tanpa memperhatikan nilai pakainya, • BV = Bequest Value, yaitu nilai dimana individu bisa mau membayar bagi ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu seperti obyek, spesies, untuk generasi yang akan datang, • QOV = Quasi option Value, yaitu nilai pilihan untuk menghindari kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan kembali.
Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), penilaian ekonomi hutan mangrove dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (a) identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem, dan (b) mengkuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. pendekatan tersebut :
Berikut disajikan penjelasan mengenai dua
a) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem. Pada tahap ini dilakukan identifikasi segenap manfaat dan fungsi dari ekosistem yang akan diteliti. Manfaat dan fungsi yang diidentifikasi untuk setiap ekosistem tersebut adalah : 1. Direct Use Value (Manfaat Langsung) Manfaat Langsung adalah manfaat yang langsung dapat diperoleh dari suatu ekosistem (Barton 1994 dalam Handayani 2004), misalnya sumberdaya perikanan dalam ekosistem terbuka, kayu bakar dari ekosistem hutan mangrove, ikan dan lain sebagainya. Manfaat Langsung adalah jumlah manfaat langsung ke i sampai ke n yang dimanfaatkan secara langsung dan secara umum dapat dirumuskan : n
ML = ∑ MLi i =1
keterangan : ML = Total Manfaat Langsung MLi = Manfaat Langsung ke-i sampai ke-n n = Jumlah Manfaat Langsung 2. Indirect Use Value (Manfaat Tidak Langsung) Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung (Barton 1994 dalam Handayani 2004). Contoh manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi, manfaat hutan mangrove sebagai daerah pemijahan ikan, fungsi daerah bakau (feeding ground).
Manfaat tidak langsung dirumuskan
sebagai berikut : n
MTL = ∑ MTLi i=1
keterangan : MTL = Total Manfaat Tidak Langsung MTLi = Manfaat Tidak Langsung ke-i sampai ke-n n = Jumlah Manfaat Langsung
3. Option Value (Manfaat Pilihan) Manfaat pilihan adalah suatu nilai yang dapat dinterpretasikan sebagai manfaat sumberdaya alam yang potensial dimasa depan, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. Jika manfaat di masa depan dapat diukur sebagai suatu pemasukan yang pasti, maka nilai pilihan dapat dianggap sebagai pembayaran premi asuransi
untuk
menjamin
pemanfaatan
di
masa
depan
terhadap
sumberdaya dan fungsi ekologis dari ekosistem (Barton 1994 dalam Handayani 2004). Nilai biodiversity (keanekaragaman hayati) merupakan salah satu contoh dari manfaat pilihan. Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), nilai biodiversity ekosistem hutan mangrove di Indonesia sebesar US$ 1500/km2 /tahun atau US$ 15/ha/tahun. Manfaat Pilihan dapat dirumuskan sebagai berikut :
MP = MPB i Keterangan : MP
= Manfaat Pilihan
MPBi
= Manfaat pilihan biodiversity
4. Bequest Value (Manfaat Pewarisan) Manfaat pewarisan adalah suatu manfaat yang dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang. Contoh dari manfaat pewarisan adalah potensi bisnis pembibitan bakau. Manfaat pewarisan dapat dirumuskan sebagai berikut :
MW = MWBi Keterangan : MW = Manfaat Pewarisan MWi = Manfaat Pewarisan dalam penelitian ini adalah manfaat pembibitan bakau.
5. Existence Value (Manfaat Keberadaan) Manfaat keberadaan adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan ekosistem yang diteliti setelah manfaat langsung, tidak langsung dan manfaat pilihan dihilangkan dari analisis. keberadaan (fisik) dari ekosistem. sebagai berikut :
Manfaat ini adalah nilai ekonomis
Manfaat Keberadaan dapat dirumuskan
n ∑ MKi MK = i=1
n
Keterangan : MK = Manfaat Keberadaan MKi = Manfaat Keberadaan dari responden ke-i N = Total responden Selanjutnya Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove dapat dirumuskan sebagai berikut : NMT = ML + MTL + MP + MW + MK, Keterangan : NMT
= Nilai Manfaat Total
ML
= Manfaat Langsung
MTL
= Manfaat Tidak Langsung
MP
= Manfaat Pilihan
MW
= Manfaat Pewarisan
MK
= Manfaat Keberadaan.
b) Mengkuantifikasikan segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Tahap
berikutnya
setelah
tahap
identifikasi
adalah
tahap
mengkuantifikasikan semua manfaat dan fungsi ekosistem tersebut ke dalam nilai rupiah. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah : 1. Nilai Pasar Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang akan diteliti, misalnya nilai kayu, ikan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebagian besar digunakan untuk manfaat langsung. 2. Harga Tidak Langsung Pendekatan ini di gunakan apabila mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komoditas ekositem yang akan diteliti, yaitu manfaat dan fungsi tidak langsung.
2.4. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkan. Adapun penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (David dan Johson 1987 dalam Widada 2004). Pada prinsipnya metode penilaian sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan kesediaan untuk membayar (WTP) (Davis dan Johson 1987 dalam Widada 2004). Dalam kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar. Namun pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna akan terjadi distorsi, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP. Metode yang didasarkan pada pendekatan harga pasar terdiri atas dua metode, yaitu Metode Manfaat Sosial Bersih (Net Social Benefit Method) dan Metode Harga Pasar (Market Price Method). Para ahli ekonomi dewasa ini telah mengembangkan berbagai teknik dan metode valuasi dan perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada kondisi pasar yang tidak sempurna. Hufschmidt et al 1983 dalam Widada 2004, menyimpulkan bahwa metode dan teknik penilaian ekonomi dijabarkan sebagai berikut : a. Teknik penilaian yang berdasarkan pada harga pasar atau produktivitas seperti perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan. b. Teknik penilaian yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi input/substitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan biaya pencegahan. c. Penilaian dengan pendekatan survei yaitu dengan menanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar hipotesis. Tantangan praktis dalam pelaksanaan studi penilaian ekonomi sumberdaya alam adalah menurunkan perkiraan yang dapat dipercaya bagi sumberdaya biologis, baik dalam konteks terdapat harga pasar atau pada pasar tidak sempurna (Dixon dan Sherman 1990 dalam Widada 2004). Menurut Dixon dan Sherman
1990 dalam Widada 2004, ada beberapa teknik atau metode penilaian ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk kawasan konservasi antara lain : 1. Teknik Berdasarkan Pasar (Market-based Techniques) Teknik ini menggunakan harga pasar aktual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai dari barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi. Sebagai contoh, penduduk lokal tidak membayar air yang mereka ambil dari sumber air dalam kawasan konservasi. Suatu teknik yang sederhana untuk menentukan nilai dari air tersebut adalah dengan cara membandingkannya dengan harga air yang di jual di pasar lokal. Selain itu, ,penilaian juga dapat dilakukan dengan melihat pengaruh yang terjadi terhadap produksi atau kesehatan. 2. Teknik Berdasarkan Biaya (Cost-based Techniques) Teknik ini menghitung opportunity cost dari kawasan konservasi, biaya/kerugian
yang
dialami
oleh
masyarakat
akibat
hilangnya
akses
pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam kawasan konservasi dan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan barang dan jasa yang secara alami dikontribusikan oleh kawasan konservasi. a. Biaya Oportunitas (Opportunity Cost) Nilai ekonomi suatu kawasan dapat diketahui melalui nilai bersih sekarang (Net Present Value) dari berbagai alternatif penggunaan lahan. Sebagai contoh, dapat diperkirakan NPV dari kawasan konservasi dengan menghitung manfaat ekonomi yang dapat dikuantifikasikan dan biaya pengelolaannya. Misalnya ada pembukaan areal perkebunan menjadi salah satu alternatif penggunaan lahan. b. Biaya Preventif (Preventive Cost) Kawasan Sebagai
konservasi
contoh,
kawasan
dapat
menghindari
konservasi
kerugian
mempunyai
masyarakat.
fungsi
sebagai
pengendalian banjir. Jika dilakukan penebangan hutan, maka masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan banjir. Biaya tersebut merefleksikan nilai ekonomi hutan tersebut.
c. Biaya Penggantian (Replacemet Cost) Kawasan konservasi siklus nutrisi.
berfungsi mempertahankan kualitas lahan dan
Seandainya terjadi deforestasi, maka hal ini akan
meningkatkan erosi tanah dan hilangnya nutrisi. diganti oleh pupuk.
Nutrisi tersebut dapat
Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk
merefleksikan nilai ekonomi dari kawasan konservasi. 3. Teknik Biaya Perjalanan (Travel Cost) Teknik ini menentukan nilai rekreasi dari kawasan konservasi dengan melihat kesediaan membayar (willingness to pay) para pengunjung. Teknik ini menunjukkan bahwa nilai kawasan konservasi bukan hanya dari tiket masuk saja, tapi juga mempertimbangkan biaya transportasi yang dikeluarkan pengunjung menuju lokasi kawasan konservasi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama kunjungan.
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh
pengunjung selama melakukan perjalanan menuju suatu kawasan konservasi menunjukkan kesediaan membayar pengunjung untuk berekreasi di kawasan tersebut. 4. Teknik Contingent Valuation Metode valuasi adalah cara perhitungan secara langsung dalam hal ini langsung menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) kepada masyarakat dengan titik berat preferensi individu menilai barang publik yang penekanannya pada standar nilai uang ( Hanley dan Spash 1993). Metode ini memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya.
Dengan demikian nilai ekonomi suatu benda
publik dapat diukur melalui WTP. Penawaran WTP dapat diregresikan sebagai hubungan antara tingkat pendapatan (Y), tingkat pendidikan (E), tingkat pengetahuan (K), tingkat usia (A) dan jenis kelamin (G) dengan jumlah dari kualitas lingkungan yang dilakukan penawaran (Q). Jika hal ini beragam pada setiap responden maka : WTPi = f(Y i,E i,Ki,Ai,Gi,Qi) Menurut Pearce (1993), CVM menggunakan pendekatan kepada masyarakat secara langsung.
CVM pada dasarnya menanyakan kepada
masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya Willingness to Accept (WTA)
sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan, dalam penelitian ini digunakan pendekatan WTP. Turner et al. (1994) mengasumsikan bahwa secara rasional preferensi positif terhadap sesuatu akan muncul dalam bentuk keinginan membayar (willingness to pay) sesuatu tersebut. Selanjutnya keinginan untuk membayar dari masing-masing individu tersebut akan berbeda satu sama lain maka kita dapat menjumlahkan keinginan membayar dari masing-masing individu untuk mendapatkan keinginan membayar total konsumen.
Sementara kita bisa
mengasumsikan dengan aman bahwa konsumen tidak akan mau membayar sesuatu yang mereka tidak inginkan, kita tidak bisa yakin bahwa WTP yang terukur oleh harga pasar secara akurat dapat mengukur keuntungan keseluruhan baik dari individu maupun masyarakat. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah adanya kemungkinan kelompok individu yang bersedia membayar lebih dari harga yang berada di pasar. Jika demikian, keuntungan yang mereka terima lebih besar dari harga pasar yang diindikasikan. Keuntungan tersebut dieknal sebagai surplus konsumen. CVM pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, keinginan membayar (WTP)
dari
masyarakat,
dan
kedua,
keinginan
menerima
kompensasi atas (WTA) kerusakan suatu lingkungan perairan. Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak pemilikan (Garrod dan Willis 1999 dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum (maximum Willingness to Pay) untuk memperoleh barang tersebut. Jika individu tersebut memiliki sumberdaya hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima (WTA) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya alam yang dimiliki. Pelaksanaan penelitian dengan pendekatan CVM, terdapat lima tahap dalam pelaksanaannya, yaitu : 1. Membuat hipotesis pasar.
Diasumsikan akan adanya perbaikan terhadapa
kualitas lingkungan oleh pemerintah, adanya perbaikan tersebut akan berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar hutan mangrove, responden diberi kuesioner/pertanyaan mengenai kemampuan masyarakat membayar perbaikan.
2. Mendapatkan nilai lelang. Ini dilakukan dengan survei, baik melalui survei langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik.
Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai
maksimum keinginan membayar (WTP). 3. Menghitung rataan WTP dan WTA. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah). 4. Memperkirakan kurva lelang. Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas dengan variabel bebas. 5. Mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). Hal yang menarik dari CVM adalah secara teknik dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu (1) Seringkali menjadi hanya
satu-satunya
teknik
untuk
mengestimasi
manfaat;
(2)
Dapat
diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan. Hal yang paling penting dari CVM adalah penggunaannya dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara khusus, CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. CVM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna. Dengan CVM, dapat diukur utilitas dari penggunaan keberadaan barang lingkungan, bahkan jika seseorang tidak menggunakannya secara langsung. Menurut Hanley dan Spash (1993), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian CVM, yaitu :
a. Pasar hipotetik harus memiliki kredibilitas dan realistik. b. Alat pembayaran yang digunakan dan/atau ukuran kesejahteraan (WTP) sebaiknya tidak kontroversial dengan etika di masyarakat. c. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang lingkungan yang dimaksudkan dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.
d. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya ditetapkan, karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan. e. Ukuran contoh yang cukup besar, sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas. f. Pengujian kebiasan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategic bias secara khusus. g. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi. h. Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi, dan adanya penyesuaian. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk Radjusted direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson dalam Hanley dan Spash (1993). CVM meskipun diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk valuasi, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.
Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias.
Bias ini
terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai sebenarnya.
Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal
utama, yaitu : 1) Bias strategis : bias ini terjadi bila ditemui fakta bahwa responden mungkin akan menolak memberikan tanggapan atas pertanyaan dalam survey atau tidak mengungkapkan nilai WTP sebenarnya karena alasan strategis. 2) Bias informasi : hasil dari survei tidak terlepas dari informasi yang diberikan kepada responden, sehingga nilai WTP seseorang akan bergantung pada kuantitas dan kualitas seseorang dalam memberikan informasi. Contohnya banyak ditemui perbedaan nilai antara yang diperoleh melalui WTP dan melalui WTA.
Perbedaan yang ditimbulkan karena orang akan
memberikan tanggapan yang berbeda antara bila ditanya “berapa besarnya jumlah yang bersedia dibayar” dengan berapa besarnya ganti rugi yang bersedia diterima”. 3) Bias hipotetik : merujuk dari fakta bahwa dalam survey pasar hipotetik yang diajukan, sesungguhnya tidak benar-benar melakukan transaksi. Selain kelemahan seperti disebutkan diatas terdapat kelebihan dalam menggunakan CVM, yaitu : 1) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu : (a)sering menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, (b)dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks
kebijakan lingkungan. 2) Dapat digunakan dalam berbagi macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.
Secara khusus, CVM
menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. 3) Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitasnya dari penggunaan keberadaan barang lingkungan, bahkan jika digunakan secara langsung. 2.5. Persepsi Menurut Sarwono (1999), persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan lain sebagainya), sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.
Menurut Idris (2002) komponen
kognisi dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pengalaman, pendidikan, umur dan kebudayaan. Menurut Sudradjat dan Yustina (2002) persepsi adalah suatu proses psikologis seseorang yang diartikan sebagai : 1) proses pengamatan/pencarian, penerimaan dan penafsiran sesuatu, 2) merupakan proses berpikir yang menuntut kemampuan otak untuk dapat menafsirkan secara benar, 3) hasil interpretasi seseorang terhadap “sesuatu” yang diterima lewat pancrainderanya dan dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman,
Menurut Sudradjat dan Yustina
(2002) persepsi adalah suatu proses psikologis seseorang yang diartikan sebagai : 1) proses pengamatan/pencarian, penerimaan dan penafsiran sesuatu, 2) merupakan proses berpikir yang menuntut kemampuan otak untuk dapat menafsirkan secara benar, 3) hasil interpretasi seseorang terhadap “sesuatu” yang diterima lewat pancrainderanya dan dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman, peran, situasi serta harapan-harapannya. Selanjutnya Barly (2002) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses penginderaan, penyusunan, dan penafsiran rangsangan suatu objek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga seseorang dapat mengenali, memahami, dan menilai makna rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan dimana dia berada, sehingga ia dapat menentukan tindakannya. Menurut Krech (1975) dalam Idris (2002), persepsi atau pemaknaan individu terhadap suatu objek akan membentuk struktur kognisi di dalam diri. Data yang diperoleh mengenai suatu objek tertentu akan masuk ke dalam kognisi mengikuti organisasi kognitif yang sama; proses ini tidak hanya berkaitan dengan ‘penglihatan’ tetapi juga melalui semua indera manusia. Dalam konteks tersebut,
Sarwono (1995) menganggap persepsi sebagai kumpulan penginderaan. Sebagai ilustrasi kita melihat sebuah benda terbuat dari kayu dan berkaki empat, kumpulan dari hasil penglihatan tersebut akan diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa mengenal, misalnya sebagai kursi. Mengingat bahwa mengenai objek atau benda itu merupakan aktivitas mental maka biasa disebut sebagai aktivitas kognis. Masuknya objek persepsi selalu melalui dua faktor, yaitu faktor struktural dan faktor fungsional (Idris 2002). Faktor struktural berasal dari lingkungan yang berbentuk rangsangan fisik dengan dampak terhadap sistem syaraf manusia secara fisiologik, sedangkan faktor fungsional sangat ditentukan oleh kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan daya ingatnya. Seorang individu akan menangkap berbagi gejala atau rangsangan dari luar dirinya melalui indra yang dimilikinya dan selanjutnya akan memberikan interpretasi terhadap rangsanganrangsangan tersebut.
Hasil interpretasi ini akan menunjukkan bagaimana
pengertian atau pemahaman seseorang terhadap lingkungannya.
Proses
diterimanya rangsangan sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti disebut persepsi (Idris 2002). Menurut Calhoun dan Acocela (1995) dalam Gunawan (1999), persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep diri, yaitu : 1) Pengetahuan: apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain – wujud lahiriah; perilaku; masa lalu; perasaan; motif; dan sebagainya, 2) Pengharapan: gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa, dan 3) Evaluasi: kesimpulan kita tentang seseorang, didasarkan bagaimana seeorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi harapan tentang kita. Menurut Jalaludin (2001) dalam Barly (2002), persepsi antara satu orang dengan orang lain tidak selalu sama. personal situasional.
Perbedaan ini disebabkan oleh faktor
Faktor situasional terdiri dari faktor eksternal (penarik
perhatian) dan internal (penaruh perhatian). Adapun faktor yang mempengaruhi “penaruh perhatian” adalah faktor biologis sosio-psikologis. Sedangkan menurut Sarwono (1995; 1999), perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lain disebabkan antara lain : 1) Perhatian [rangsangan yang ada di sekitar kita, tidak kita tangkap secara sekaligus tetapi kita hanya memfokuskan pada satu atau dua objek saja], 2) Set [harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul,
misalnya seorang pelari siap digaris start terdapat set bahwa akan terdengan pistol pada saat ia harus berlari], 3) Kebutuhan [kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap], 4) Sistem nilai [adat istiadat, kepercayaan, dan budaya], dan 5) Ciri kepribadian [watak, karakter, dan kebiasaan].
2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Keterbatasan sumberdaya alam merupakan faktor yang membatasi manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang semakin lama semakin kompleks. Peningkatan jumlah penduduk dunia tentu saja membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien agar tidak mengorbankan faktor lingkungan sehingga keberlanjutan sumberdaya alam untuk generasi mendatang dapat dipertahankan.
Menurut Palunsu dan Messmer (1997), pengertian
pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pengertian, yaitu : 1. Memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan masa yang akan datang 2. Tidak melampaui daya dukung ekosistem (lingkungan) 3. Mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan menyelaraskan manusia dan pembangunan dengan sumberdaya alam. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dikenalkan oleh Bruntland. Mennurut Bruntland dalam Mitchell, et al. (1997) pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Pembangunan berkelanjutan menuntut bahwa sebelum batas-batas
eksploitasi sumberdaya alam terlampaui, dunia harus menjamin seimbangnya akses ke sumber-sumber yang terbatas jumlahnya serta harus merubah arah teknologi yang dapat mengurangi tekanan-tekanan terhadap sumberdaya alam. Menurut Seragaldin (1996) konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahterannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Soemarwotto 2001) : 1. Terpeliharanya proses ekologi yang esensial 2. Tersedianya sumberdaya yang cukup 3. Lingkungan sosial budaya dan ekonomi yangs sesuai.
Syarat untuk dapat tercapainya pembangunan berkelanjutan tidak hanya fisik saja, yaitu tidak terjadinya kerusakan pada ekosistem tempat kita hidup melainkan juga harus ada pemerataan hasil dan biaya pembangunan yang adil antar negara dan antar kelompok di dalam sebuah negara.
Ini berarti bahwa
kesenjangan sosial ekonomi yang sekarang ada antara negara maju dengan negara berkembang serta kesenjangan antar kelompok masyarkat di masingmasing negara harus dikurangi. Pemerataan itu tidak hanya terjadi di dalam satu generasi melainkan juga antar generasi. Menurut Keraf (2002) pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu paradigma pembangunan berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup.
Paradigma pembangunan
berkelanjutan juga bukan tentang pembangunan ekonomi tapi merupakan suatu etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Tujuan pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin (1996) adalah untuk selalu memperbaiki kualitas hidup manusia atas berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mengintegrasikan tiga aspek kehidupan (ekonomi, sosial, dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis.
Ketiga hubungan tersebut digambarkan sebagai
“A
Triangle Framework” dan didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Dimensi pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin dapat
dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Economics : sustainable growth efficiency
Social : Equity social Cohesion participation Empowerment
Ecological : Ecosistem Integrity Natural Resources Biodiversity Carrying Capacity
Gambar 2. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan (Seragaldin 1996) Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan meliputi aspek ekonomi yang mencakup pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisiensi; aspek sosial mencakup keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; sedangkan aspek ekologi mencakup keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan, dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain, bahwa pembangunan berkelanjutan tercapa i bila pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup mempunyai bobot yang sama dengan pembangunan ekonomi.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan hutan mangrove Angke Kapuk. Penentuan lokasi desa/kelurahan yang akan dijadikan desa contoh penelitian adalah secara purposive sampling. Lokasi yang menjadi penelitian adalah Kelurahan Kapuk Muara. Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Pluit. Pemilihan desa/kelurahan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa desa/kelurahan tersebut berada di dekat hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi areal pemukiman yaitu pada Kelurahan Kapuk Muara, dan areal pertambakan yaitu pada Kelurahan Kamal Muara. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan September 2005 hingga Pebruari 2006.
Lokasi Penelitian
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Pengumpulan Data Untuk Analisis Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : a. Studi data sekunder mengenai kawasan hutan Angke Kapuk yang diperoleh dari instansi-instansi terkait. b. Wawancara dengan responden. Pemilihan responden dilakukan terhadap masyarakat disekitar dan masyarakat lain (pelaku) yang mempunyai akses terhadap hutan mangrove dengan cara
purposive sampling.
Purposive sampling adalah
metode
pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu (Singarimbun 1995). Responden yang dipilih sebanyak 105 orang yang terdiri dari penduduk sekitar yang mengambil manfaat dari hutan mangrove. Wawancara
dilakukan
dengan
masing-masing
responden
untuk
memperoleh perkiraan nilai ekonomi yaitu : manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan dari hutan mangrove Angke Kapuk. 3.2.2. Pengumpulan Data Untuk Analisis Contingent Valuation Method (CVM) Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : a. Studi data sekunder mengenai kawasan hutan Angke Kapuk yang diperoleh dari instansi-instansi terkait. b. Wawancara dengan responden. Pemilihan responden dilakukan terhadap masyarakat Pantai Indah Kapuk yang tinggal disekitar hutan mangrove, yaitu yang berada di Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara. terhadap
masyarakat
petambak
yang
Pemilihan responden juga dilakukan berada
disekitar
hutan
mangrove.
Masyarakat petambak tersebut membuka areal pertambakan di dalam hutan mangrove Angke Kapuk. Pemilihan responden masyarakat Pantai Indah Kapuk dilakukan secara stratified random sampling (Singarimbun 1995). dilakukan secara purposive sampling.
Sedangkan untuk petambak
Jumlah responden untuk Pantai Indah
Kapuk sebanyak 210 dan untuk petambak sebanyak 32. Data yang diperoleh dari responden dilakukan dengan pengisian kuesioner dan wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun.
Dalam CVM dikenal empat macam cara untuk mengajukan pertanyaan kepada responden, yaitu : Metode tawar menawar (bidding games), metode referendum tertutup (dichotomous choice), metode kartu pembayaran (payment card) dan metode pertanyaan terbuka (open-ended questions). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode referendum tertutup (dichotomous choice). Metode ini menggunakan satu alat pembayaran yang disarankan pada responden baik mereka setuju/tidak setuju (jawaban ya/tidak).
Jawaban
“Ya/Tidak” tersebut dianalisa dengan menggunakan teknik respon biner seperti penggunaan regresi logit untuk menentukan WTP/WTA. 3.3. Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. 3.3.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan kondisi hutan mangrove Angke-Kapuk berdasarkan data sekunder yang ada. Analisis deskriptif dilakukan juga untuk menggambarkan macam-macam kegiatan sosial ekonomi masyarakat disekitar hutan Angke-Kapuk. 3.3.2. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung dan menganalisis : a. Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove Angke-Kapuk b. WTP masyarakat Pantai Indah Kapuk dan WTA masyarakat petambak. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP masyarakat Pantai Indah Kapuk dan WTA masyarakat petambak. 3.3.2.1. Analisis Kuantitatif Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Penilaian ekonomi hutan mangrove dalam penelitian menggunakan dua tahap seperti yang dilakukan Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), yaitu : (1) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem; (2) Mengkuantifikasikan segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Berikut uraian masing-masing tahap dalam penelitian tersebut :
a) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem. Langkah pertama dari tahap ini adalah mengidentifikasi segenap manfaat dan fungsi dari ekosistem yang akan diteliti. Manfaat dan fungsi yang diidentifikasi untuk segenap penelitian meliputi : 3. Direct Use Value (Manfaat Langsung) n
ML = ∑ MLi i =1
keterangan : ML = Total Manfaat Langsung MLi = Manfaat Langsung ke-i sampai ke-n n = Jumlah Manfaat Langsung
4. Indirect Use Value (Manfaat Tidak Langsung) n
MTL = ∑ MTLi i =1
keterangan : MTL = Total Manfaat Tidak Langsung MTLi = Manfaat Tidak Langsung ke-i sampai ke-n n = Jumlah Manfaat Langsung
5. Option Value (Manfaat Pilihan)
MP = MPBi Keterangan : MP
= Manfaat Pilihan
MPBi
= Manfaat pilihan biodiversity
6. Bequest Value (Manfaat Pewarisan)
MW = MWBi Keterangan : MW = Manfaat Pewarisan MWi = Manfaat Pewarisan dari responden ke-i N = Total responden
7. Existence Value (Manfaat Keberadaan)
n ∑ MKi MK = i =1
n
Keterangan : MK = Manfaat Keberadaan MKi = Manfaat Keberadaan dari responden ke-i N = Total responden Selanjutnya estimasi Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove dapat dirumuskan sebagai berikut : NMT = ML + MTL + MP + MW + MK Keterangan : NMT
= Nilai Manfaat Total
ML
= Manfaat Langsung
MTL
= Manfaat Tidak Langsung
MP
= Manfaat Pilihan
MW
= Manfaat Pewarisan
MK
= Manfaat Keberadaan.
b) Mengkuantifikasikan segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Tahap
selanjutnya
setelah
tahap
identifikasi
adalah
tahap
mengkuantifikasikan semua manfaat dan fungsi ekosistem tersebut ke dalam nilai rupiah. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah : (1) Nilai pasar, pendekatan nilai
pasar
digunakan untuk
komoditas-komoditas yang langsung dapat
diperdagangkan dari ekosistem yang akan diteliti, misalnya nilai kayu, ikan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebagian besar digunakan untuk manfaat langsung. ; (2) Harga tidak langsung, pendekatan ini digunakan apabila mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komoditas ekositem yang akan diteliti, yaitu manfaat dan fungsi tidak langsung. 3.3.2.2. Analisis Kuantitatif WTP dan WTA dengan CVM CVM adalah metode teknik survei untuk menanyakan masyarakat tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditas yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan (Yakin 1997), jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran seperti pajak diterapkan.
Prinsip yang
mendasar metode ini adalah bahwa bagi orang yang mempunyai preferensi yang benar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan
bahwa
orang
tersebut
mempunyai
kemampuan
untuk
mentransformasikan preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai uang. Dalam hal ini diasumsikan bahwa orang tersebut akan bertindak nantinya seperti yang dia katakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi dasar dari CVM adalah sebagai berikut : (1) bahwa individu-individu memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka
dan bahwa
mereka cukup mengerti atau tahu kondisi lingkungan yang akan dinilai, dan (2) bahwa apa yang dikatakan individu adalah sungguh-sungguh apa yang mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi. Tahapan-tahapan dalam penggunaan CVM : a. Membentuk Pasar Hipotetik Pasar hipotetik yang dibentuk adalah suatu pasar dengan kualitas lingkungan yang berbeda dengan kondisi saat ini. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai persepsinya tentang pentingnya pelestarian peningkatan kualitas lingkungan. Responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan kondisi lingkungan saat ini. Dijelaskan bahwa karena adanya aktifitas berlebihan seperti pembukaan areal tambak dan pemukiman di daerah hutan mangrove telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang lingkungan dengan kondisi yang lebih baik (sebelum merebaknya pembukaan areal tambak dan pemukiman).
Berdasarkan pernyataan tersebut
akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil. Dalam penelitian ini, pasar hipotesis dibentuk dengan menggambarkan luas dan fungsi hutan mangrove yang semakin berkurang karena adanya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan dan areal pemukiman di sekitar hutan mangrove Angke-kapuk. Hal tersebut dapat diatasi dengan program rehabilitasi kawasan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat). sebagai berikut :
Pasar hipotesis yang ditawarkan dibahasakan
Pasar Hipotetis Dalam dekade terakhir ini tekanan terhadap kawasan ekosistem mangrove semakin besar. Berbagai tekanan tersebut menyebabkan luas hutan mangrove semakin berkurang. Misalnya, adanya konversi untuk pemukiman, dibuka untuk tambak, ataupun berbagai kegiatan pengusahaan hutan yang tidak bertanggung jawab, termasuk bagi bahan baku arang.
Kekhawatiran yang timbul adalah
karena semakin meningkatnya degradasi yang berpengaruh terhadap proses pembangunan yang berkelanjutan. Diantaranya adalah kawasan hutan mangrove Angke-Kapuk, yang saat ini kondisinya memprihatinkan yang dicirikan dengan semakin banyak pembukaan areal tambak dan areal/perkampungan nelayan di pinggir sungai maupun areal pemukiman Pantai Indah Kapuk yang memang sudah berdiri sekitar sepuluh tahun terakhir.
Akibat berkurangnya kawasan hutan
mangrove Angke-Kapuk, disinyalir menjadi salah satu penyebab dari adanya banjir yang dalam beberapa tahun terakhir ini melanda Jakarta. Data dari Pemerintah DKI Jakarta menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di Kotamadya Jakarta Utara mencapai 9.317 per km2 dengan laju pertumbuhan sebesar 0,52% per tahun.
Dengan semakin pesatnya kepadatan
dan laju pertumbuhan penduduk, kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan mangrove, dan semakin merosotnya keadaan ekonomi sebagian masyarakat, maka hal ini mendorong masyarakat untuk mengkonversi hutan mangrove menjadi areal pemukiman dan pertambakan. kawasan hutan Angke-Kapuk merupakan salah satu prioritas
Karena itu,
dalam program
rehabilitasi lahan dan hutan agar proses degradasi/penurunan kualitas lingkungan dapat diperkecil sehingga tidak membahayakan kelanjutan pembangunan serta mampu mempertahankan hutan mangrove tersebut sesuai dengan fungsinya. Seiring hal tersebut, pemerintah akan memprioritaskan kawasan mangrove Angke-Kapuk untuk dilakukan rehabilitasi lahan dan hutan guna meningkatkan dan mengoptimalkan fungsi dari hutan mangrove. Selain itu juga diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan petambak. Program rehabilitasi lahan dan hutan tersebut dimaksudkan untuk memulihkan fungsi dari kawasan mangrove dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petambak dan nelayan di sekitar hutan mangrove Angke-Kapuk, selain itu menekan banjir yang sering terjadi akhir-akhir ini.
b. Mendapatkan Nilai Penawaran Responden diberikan beberapa nilai tawaran kesediaan membayar dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk perbaikan kualitas lingkungan.
Susunan nilai yang ditawarkan menggunakan
range atau interval tertentu. c. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP) WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval kelas WTP responden ke-i.
Dari jawaban responden dapat diketahui
bahwa WTPi yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus : n
EWTP = ∑W iPf i i =1
dimana : EWTP = dugaan rataan WTP Wi
= batas bawah kelas WTP
Pf
= frekwensi relatif kelas yang bersangkutan
n
= jumlah kelas
i
= kelas ke-i
d. Menentukan WTP Agregat atau WTP Total WTP agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus : n ni TWTP = ∑ WTP i P i =1 N
dimana : TWTP = kesediaan populasi untuk membayar WTP
= kesediaan responden (sampel) untuk membayar
P
= Populasi
n
= jumlah sampel yang bersedia membayar sebesar WTP
i
= sampel ke-i
N
= jumlah sampel.
3.3.2.3. Analisis Kuantitatif Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP dan WTA Analisis data WTP yang digunakan dalam penelitian ini adalah CVM dengan pendekatan Dichotomous Choice Models. Analisis WTP dan WTA menggunakan regresi logit, karena dalam konsep CVM untuk menentukan besarnya nilai WTP dan WTA, bentuk data yang dikumpulkan adalah data binner.
Data binner
merupakan data yang menggambarkan pilihan “Ya/Tidak” atau kemungkinankemungkinan (probalility) yang disertai dengan pembobotan dari tiap-tiap kemungkinan yang ada. Model umum persamaan regresi logit tersebut (Dielman 2001) :
Y = 1 1 = X i 1 + e − ( β 0 + β 1 X 1 + β 2 X 2 + ... + β kX k )
Pi = E dimana : Pi
= sebuah kemungkinan dengan Yi = 1
â0
= intersep
X1
= persepsi perlunya perbaikan lingkungan
X2
= persepsi kualitas lingkungan
X3
= tingkat pendapatan responden
X4
= tingkat pengeluaran responden
X5
= jumlah tanggungan responden
X6
= tingkat pendidikan responden
X7
= tingkat usia responden
K
= banyaknya peubah bebas (X)
e
= bilangan 2,71828
Li = Ln
Pi = β 0 + β1 X 1 + β2 X 2 + ... + βkXk 1 − Pi
Persamaan disebut dengan persamaan logistik/logit.
Dimana Li dikenal
dengan logit, yang merupakan logaritma dari rasio sebelumnya dan linear dalam variabel independent dan parameter.
3.4. Batasan Penelitian Batasan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Wilayah penelitian meliputi : • hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Wisata Alam Angke Kapuk dan kebun pembibitan. • Komunitas masyarakat Pantai Indah Kapuk • Komunitas petambak didalam hutan mangrove (Hutan Wisata Alam Angke Kapuk) b. Dalam penelitian ini, ada tiga jenis responden, yaitu : • Responden berada dekat dan memanfaatkan hutan mangrove Angke Kapuk • Responden masyarakat Pantai Indah Kapuk • Responden petambak c. Responden adalah individu-individu (rumah tangga) yang berada di dekat hutan mangrove Angke-Kapuk yang telah dewasa. d. Responden telah memiliki pengetahuan dan preferensi yang cukup mengenai kawasan hutan mangrove Angke-Kapuk.
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kawasan Hutan Angke Kapuk 4.1.1. Sejarah, Status, luas dan Letak Kawasan Hutan mangrove Angke Kapuk adalah bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur -
Angke Kapuk di Pantai Utara Jakarta.
Kawasan ini
pertaman kali ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (GB) Nomor 24 tanggal 18 Juni 1939 dengan luas 15,40 ha. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan Angke Kapuk sebagai : • Hutan Lindung, 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m • Cagar Alam Muara Angke • Hutan Wisata • Kebun Pembibitan Kehutanan • Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan tanggal 25 Pebruari 1984 No. 143/VII-4/1984 dan Keputusan Kepala Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tanggal 10 Maret 1984 No. 143/VII-4/1984 telah dilakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang kawasan Hutan Angke Kapuk (17 Maret sampai April 1984) dimana hasil rekonstruksi ini luas kawasan hutan adalah 1.154,49 ha. Selanjutnya dalam rangka pengelolaan Kawasan Hutan Angke Kapuk telah dibentuk Tim Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Hutan Angke Kapuk dengan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 40/Kpts-II/1983 yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur-unsur Departemen Kehutanan, Pemda DKI Jakarta dan PT. Mandara Permai (developer yang mengelola Kawasan Hutan Angke-Kapuk). Hasil-hasil yang telah dicapai tim tersebut tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Kawasan Hutan Angke Kapuk, dengan alokasi peruntukan pengembangan kawasan sebagai berikut : a) Kawasan hutan Angke Kapuk yang tetap dikuasai oleh pemerintah seluas 322,6 ha, terdiri atas : • Hutan Lindung
49,25 ha
• Cagar Alam Muara Angke
21,45 ha
• Hutan Wisata
120,16 ha
• Kebun Pembibitan Kehutanan
10,47 ha
• Jalur Hijau dan Jalan Tol
91,37 ha
• Jalur Transmisi
29,90 ha
b) Kawasan hutan yang diserahkan dan dikelola oleh PT. Mandara Permai seluas 831,63 ha yang direncanakan untuk : • Perumahan/Pemukiman
487,25 ha
• Lapangan Golf
96,48 ha
• Rekreasi dan Olah Raga
72,05 ha
• Bangunan Umum
37,55 ha
• Olah Raga Air
81,26 ha
• Cottage, Hotel dan Condominium
55,80 ha
Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1988 tanggal 29 Pebruari 1988 kawasan hutan Angke Kapuk yang tetap dipertahankan seluas 333,50 ha, yang terdiri atas : • Hutan Lindung
50,80 ha
• Cagar Alam Muara Angke
25,00 ha
• Hutan Wisata
101,60 ha
• Kebun pembibitan Kehutanan
10,47 ha
• Cengkareng Drain
28,36 ha
• Jalur Transmisi PLN
25,90 ha
• Jalan tol dan Jalur Hijau
91,37 ha
Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan melalui Surat Keputusan No. 08/Kpts/VII-4/1994 tanggal 13 Januari 1994 telah membentuk Tim Tata Batas untuk melaksanakan pengukuran dan pemancangan batas Kawasan Hutan Angke Kapuk. Luasan masing-masing peruntukan di Hutan Angke Kapuk lebih jelasnya sebagai berikut : a) Areal yang dipertahankan pemerintah seluas 327, 70 ha, yang terdiri atas : • Hutan Lindung
44,76 ha
• Cagar Alam Muara Angke
25,02 ha
• Hutan Wisata
99,82 ha
• Kebun PembibitanKehutanan
10,51 ha
• Jalur Hijau dan Jalan Tol
95,50 ha
• Jalur Transmisi PLN
23,70 ha
b) Areal yang dilepaskan untuk PT. Mandara Permai seluas 827,18 ha. Pada Gambar 4 dibawah ini, menunjukkan proporsi hutan yang dikuasai pemerintah dan PT. Mandara Permai. Dari total luas hutan Angke Kapuk sebesar 1154,88 ha, 71,62%nya dikuasai PT. Mandara Permai.
Areal yang dikelola pemerintah, 28.38%
PT. Mandara Permai, 71.62%
Gambar 4. Proporsi Hutan Angke Kapuk yang Dikuasai Pemerintah dan PT. Mandara Permai (LPP Mangrove 2001) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts-II/98 status Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa dengan luas areal 25,02 ha. Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke secara geografis terletak pada 6° 06’’ - 6° 10’’ Lintang Selatan dan 106°43’’ - 106°48’’ Bujur Timur. Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke terletak pada 2 kelurahan, yaitu Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Wilayah Kota Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Batas kawasan ini adalah di sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan perkampungan nelayan Muara Angke dan Sungai Angke, sebelah selatan dengan areal PT. Mandara Permai (Pantai Indah Kapuk) dan di sebelah barat dengan Hutan Lindung Angke Kapuk. 4.1.2. Keadaan Fisik dan Biologi Kawasan Hutan Angke Kapuk Kawasan Hutan Angke Kapuk terletak di dataran rendah (mendekati pantai), dengan topografi datar, ketinggian
tempat dari permukaan laut 0 – 2
meter. Topografi kawasan Angke Kapuk ini dahulu merupakan daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta.
Pada umumnya
bagian utara daratan rendah ini merupakan rawa hutan mangrove.
Hutan
mangrove yang ada dewasa ini merupakan jalur disepanjang pantai dari muara Sungai Muara Angke sampai sebelah timur Sungai Kamal. Semakin ke barat daya
ketinggian daratan semakin tinggi.
Di bagian selatan, tinggi pematang pantai
dapat mencapai lima meter, namun semakin ke barat laut tingginya hanya dua meter.
Topografi daerah Jakarta pada umumnya dan pada khususnya untuk
daerah Kapuk ketinggian pantainya kurang dari lima meter. Jenis tanah adalah alluvial kelabu tua dengan tekstur lempung liat berdebu. Berdasarkan struktur geologinya, keadaan tanah di kawasan hutan Angke Kapuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut : • Tanah di bagian utara pantai Laut Jawa tergolong tanah alluvial kelabu tua dan tanah liat berhumus rendah yang mempunyai batuan induk endapan tanah liat dan terdapat pada suatu dataran pantai yang datar. • Tanah di sebelah selatan termasuk tanah regosol coklat yang terjadi dari endapan pasir.
Daerah ini merupakan pantai berpasir yang datar sampai
berombak. • Bagian tenggara kawasan ini, tanahnya tergolong alluvial kelabu tua. Menurut Tim Fahutan IPB (1996) dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (2003), sifat fisik tanah di kawasan hutan Angke Kapuk mengandung debu 39,5%; liat 31,5%; dan pasir 29%. Sedangkan sifat kimianya menunjukkan bahwa kandungan kalium 0,40 me/100g (rendah), magnesium 1,09 me/100g (rendah), C-Organik 2,1% (sedang), N – Organik 0,19% (rendah) dan logam berat Fe 60,15 ppm, Pb 4,04 ppm, Cu 8,01 ppm. Sifat fisik kimia yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusmana (1983) dalam Lembaga
Pengkajian
dan
Pengembangan Mangrove (2003). Berdasarkan penelitian Kusmana (1983) dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (2003), sifat fisik tanah di kawasan hutan Angke Kapuk mengandung debu 32,95 – 40,05% debu; liat 30,40 – 39,00% dan pasir 28,50 – 29,55%, sehingga dikategorikan bertekstur lempung liat berdebu. Untuk sifat kimia tanah menunjukkan bahwa kawasan ini mengandung : • Kalium (K)
: 0,04 – 0,14 me/100g (sedang)
• Natrium (Na)
: 0,45 – 2,93 me/100g (sedang – sedang tinggi)
• Kalsium (Ca)
: 5,37 – 5,58 me/100g (rendah)
• Magnesium (Mg)
: 1,13 – 1,28 me/100g (sedang)
• C – Organik
: 2,23 – 2,39% (sedang)
• N – Organik
: 0,17 – 0,20% (rendah)
• pH
: 5,50 – 5,54 (sedang)
• Logam berat
: Ferrum (Fe) 56,22 – 65,05 ppm; Hg 0,62 – 1,11
ppm; Pb 5,17 -5,31 ppm; Cu 10,32 – 15,24 ppm. Berdasarkan data iklim yang diperoleh yang diperoleh, wilayah Hutan Angke kapuk dipengaruhi oleh iklim tropis dan masuk ke dalam tipe hujan A (menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson). Suhu udara rata-rata maksimum 27,3°C jatuh pada bulan Oktober dan suhu udara minimum rata-rata 25,9°C jatuh pada bulan Pebruari.
Rata-rata kelembaban nisbi adalah 82,96%, dengan kelembaban
tertinggi terjadi pada Bulan Januari sebesar 87% dan kelembaban terendah terjadi pada bulan September sebesar 79%. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 388 mm, dan terendah jatuh pada bulan Oktober sebesar 60 mm. Di tinjau dari aspek hidrologi, kawasan Hutan Angke Kapuk merupakan kawsan hutan mangrove yang masih tersisa di Jakarta. Sebagai kawasan hutan mangrove, kawasan ini merupakan lahan basah ( wet land) yang merupakan muara dari Sungai Angke, S. Cisadane, S. Kamal, Banjir Kanal dan Cengkareng Drain. Kualitas air di kawasan Hutan Angke Kapuk, menurut penelitian Kusmana (1983) maupun Tim Fahutan IPB (1996) dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (2003), menunjukkan pencemaran berat baik yang disebabkan oleh limbah industri maupun oleh limbah-limbah rumah tangga. Ekosistem asli kawasan Hutan Angke kapuk pada waktu lampau adalah ekosistem hutan mangrove.
Namun demikian seiring dengan perkembangan
jumlah penduduk dan kebutuhan manusia lainnya, ekosistem di dalam kawasan terus mengalami perubahan. Di dalam kawasan juga dijumpai aktivitas manusia yang tidak bijaksana, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, seperti adanya aktivitas memasukkan jenis-jenis tumbuhan eksotik dan adanya pembukaan lahan tambak. Penutupan lahan di kawasan ini, didasarkan pada jenis tumbuhan dan tempat tumbuh pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi empat asosiasi (kategori), yaitu asosiasi vegetasi bakau (Rhizophora sp) – Api-api (Avicennia sp), asosiasi nipah (Nypa fruticans) – pidada (Sonneratia caseolaris), asosiasi ketapang (Terminalia catappa) – waru laut (Hibiscus tiliaceus). Hasil analisis vegetasi yang dilakukan Tim Rencana Pengelolaan Suaka Marga Satwa tahun 2000 (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove 2003) dapat disimpulkan bahwa di dalam kawasan terdapat terdapat empat tipe tapak yang berbeda, yaitu (1) tapak yang didominasi Rhizophora, (2) tapak yang didominasi oleh rumput dan semak belukar, (3) tapak yang didominasi oleh vegetasi peralihan rumput dan semak belukar, (4) tapak tanah kering. Secara
keseluruhan ekosistem hutan di kawasan ini masih tergolong ekosistem mangrove, dengan alasan :jenis mangrove aslinya adalah Sonneratia caseolaris, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, sebagian kawasan masih terkena pasang surut, serta jenis semak belukar/tumbuhan bawah masih terdapat jenis tumbuhan bawah seperti jeruju (Acanthus illicifolius). Kawasan Hutan Angke Kapuk, khususnya Suaka Margasatwa dan Hutan Lindung, memiliki potensi burung yang melimpah keanekaragaman jenisnya. Berdasarkan hasil survey ditemukan 74 jenis burung yang masuk ke dalam 26 famili (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove 2003). Dari jenis yang teridentifikasi tersebut, terdapat 17 jenis burung yang dilindungi, 10 jenis burung migran, 50 jenis burung menetap (sebagian besar waktunya berada atau sepanjang tahun di temukan di Suaka Margasatwa Muara Angke). Kelimpahan populasi burung di kawasan Angke Kapuk cukup tinggi dan digolongkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu : (1) Kelompok burung air, dan (2) kelompok bukan burung air. Kelompok burung air yang sering ditemukan di Kawasan Angke Kapuk, terutama di Suaka Margasatwa Muara Angke antara lain, burung pecuk (Phalacrocorax spp), burung pecuk ular (Anhinga melanogaster), burung cangak (Ardea spp), blekok (Ardeola speciosa). Kelompok burung bukan air yang sering ditemukan juga antara lain, burung prenjak jawa (Prinia familiaris), burung sikatan dan cipoh kacat. Selain jenis burung yang diketemukan di kawasan Hutan Angke Kapuk, juga ditemukan jenis-jenis reptil (ular sanca, ular kobra, ular daun, ular kadut, biawak), jenis-jenis ikan (gabus, sepat, batok, lele, julung-julung, nila), dan jenis mamalia berupa monyet ekor panjang (Macaca fasicularis). Jenis mamalia monyet ekor panjang khususnya berada di Suaka Margasatwa Muara Angke. Potensi populasi monyet ekor panjang berkisar antara 42 – 66 ekor (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove 2003).
4.2. Keadaan Umum Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit 4.2.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Kelurahan Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit adalah adalah bagian dari Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Ditinjau dari letaknya, ketiga kelurahan tersebut berada disekitar pesisir utara Jakarta.
Kelurahan Kapuk Mu ara mempunyai luas sekitar 1.005,5 ha dengan batasbatas sebagai berikut : • Sebelah utara :
Pantai Laut Jawa antara Kali Cengkareng Drain mengarah ke timur sampai Kali Angke.
• Sebelah timur :
Kali Angke mengarah ke selatan sampai saluran air Jl. Kapuk Poglar.
• Sebelah selatan :
Jalan Kapuk Kamal antara Cengkareng Drain dengan Kali Angke.
• Sebelah barat :
Kali Cengkareng Drain dari jembatan Jl. Kapuk Kamal kea rah utara sampai Pantai Laut Jawa.
Kelurahan Kamal Muara mempunyai luas sekitar 1.053,6 ha dengan batasbatasnya sebagai berikut : • Sebelah utara :
Pantai Laut Jawa.
• Sebelah timur :
Kali Cengkareng Drain
• Sebelah selatan :
Sepanjang Jalan Kapuk Kamal
• Sebelah barat :
Desa Dadap, Kotamadya Tangerang, Propinsi Banten.
Kelurahan Pluit mempunyai luas sekitar 771,19 ha dengan batas-batas sebagai berikut : • Sebelah utara :
Pantai Laut Jawa.
• Sebelah timur :
Sepanjang tepi Waduk Pluit sebelah barat
• Sebelah selatan :
Jalan Pluit Karang Selatan – Jalan Pluit Selatan
• Sebelah barat :
Kali Muara Angke – Kali Cisadane.
Berikut Gambar 5 yang menggambarkan perbandingan luas ketiga kelurahan tersebut.
Pluit (771.19 ha), Kapuk Muara (1,005.5
27.24%
ha), 35.53%
Kamal Muara (1,053.6 ha), 37.23%
Gambar 5. Perbandingan Luas Kelurahan Berdasarkan Persentase
4.2.2. Penduduk, Mata Pencaharian dan Pendidikan Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit adalah tiga kelurahan yang secara geografis berbatasan dekat dengan Kawasan Hutan Angke Kapuk. Jumlah penduduk di tiga kelurahan tersebut pada tahun 2005 mencapai 64.594 jiwa yang terdiri dari 20.904 Kepala Keluarga dan terdiri dari 33.599 laki-laki dan 30.998 perempuan dengan kepadatan penduduk mencapai 7.710 jiwa/km2. Jika dilihat secara parsial, jumlah penduduk, kepala keluarga (KK) dan kepadatan penduduk, Kelurahan Pluit adalah yang paling tinggi, padahal kelurahan tersebut mempunyai luas wilayah yang terkecil sebesar 7,71 km2. Lebih jelasnya pada Gambar 6 berikut ini. Kapuk Muara (4393 KK), 21.01%
Kapuk Muara (4393, 21.01%
Kamal Muara (1607), 7.69%
Kamal Muara (1607 KK), 7.69%
Pluit (14904 KK), 71.29%
Pluit (14904), 71.29%
Gambar 6. Distribusi Jumlah Kepala Keluarga di Tiga Kelurahan. Hal ini sebaliknya terjadi pada Kelurahan Kamal Muara, dengan luas yang paling besar yaitu 10,53 km2 , tetapi dari segi jumlah penduduk, kepala keluarga dan kepadatan penduduk, kelurahan tersebut tergolong rendah.
Untuk lebih
rincinya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Jumlah Penduduk (jiwa) No
Kelurahan
Luas (km 2)
laki-laki
7.204
Jumlah 15.016
Kepadatan Penduduk
(KK)
(jiwa/km2)
1
Kapuk Muara
10,06
2
Kamal Muara
10,53
3.118
3.022
6.140
1.607
583
3
Pluit
7,71
22.666
20.772
43.438
14.904
5.634
28,3
33.599
30.998
64.594
20.904
7.710
Total
7.815
Perempuan
Kepala Keluarga
4.393
1.493
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Tahun 2005
Pada Tabel 2 memperlihatkan komposisi penduduk di Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit. Pada kisaran usia 31 – 40 tahun menunjukkan
persentase tinggi sebesar 16,33%, diikuti kemudian dengan kisaran usia 41 – 50 tahun sebesar 12,93%. Kisaran usia 11 – 17 tahun dan 18 – 24 tahun dari segi persentase tidak berbeda jauh sebesar 11,98%. Tabel 2. Komposisi Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit No
Kelurahan
Jenis Usia (thn)
Kapuk Muara
Kamal Muara
Pluit
Jumlah
Persentase (%)
1
0-5
2345
604
4131
7080
10,96
2
6 - 10
2492
626
3777
6895
10,67
3
11 - 17
2576
535
3999
7110
11,98
4
18 - 24
2641
447
4024
7112
11,98
5
25 - 30
1225
525
4113
5863
9,88
6
31 - 40
1340
510
7838
9688
16,33
7
41 - 50
1061
510
6094
7665
12,93
8
51 - 60
879
474
3496
4849
8,17
9
61 -70
364
414
1696
2474
4,17
10
70 keatas
183
115
283
581
0,01
15016
6140
43438
64594
100
Total
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Tahun 2005
Lebih jelasnya,berikut Gambar 7 yang menjelaskan jumlah persentase usia penduduk di Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit.
61 -70 thn, 4.17%
70 keatas, 0.01%
0 - 5 thn, 10.96%
51 - 60 thn, 8.17% 6 - 10 thn, 10.67%
41 - 50 thn, 12.93%
11 - 17 thn, 11.98% 31 - 40 thn, 16.33% 25 - 30 thn, 9.88%
Gambar 7.
18 - 24 thn, 11.98%
Distribusi Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Berdasarkan Tingkat Usia
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kelurahan No
Mata Pencaharian
1
Petani
2
Nelayan
3 4
Kapuk Muara
Kamal Muara 9
197
58
607
Buruh
4883
176
1183
425
5
Pedagang/Wiraswasta Karyawan Swasta/PNS/TNI
5481
6 7
Pensiunan Swasta lainnya/lain-lain
9 2910 14533
Total
Jumlah
Pluit
2273
Persentase (%)
206
0,35
2938
4,96
5059
8,55
14018
15626
26,40
583
8398
14462
24,43
34 119
341 17481
384 20510
0,66 34,65
2141
42511
59185
100
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Tahun 2005
Pada Tabel 3 memperlihatkan jenis mata pencaharian kelurahan tersebut sifatnya beragam.
penduduk di tiga
Penduduk yang bekerja sebagai
PNS/TNI/Karyawan Swasta berjumlah 14.462 jiwa atau sekitar 24,43% dari total penduduk yang bekerja. Kemudian penduduk yang bekerja sebagai pedagang dan wiraswasta mencapai 26,43% atau berjumlah 15.626 jiwa, dengan porsi terbanyak di Kelurahan Pluit sebesar 14.018 jiwa dan terendah di Kelurahan Kamal Muara sebesar 425 jiwa. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.
Petani, 0.35%
Nelayan, 4.96% Buruh, 8.55%
Swasta lainnya/lainlain, 34.65%
Pedagang/Wiraswast a, 26.40%
Pensiunan, 0.66%
Karyawan Swasta/PNS/TNI, 24.43%
Gambar 8. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Untuk tingkat pendidikan, di sejumlah tiga kelurahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.
Tamat Akademi/PT, 7.90%
Tidak Sekolah, 7.42% Tidak Tamat SD, 20.57%
Tamat SLTA, 16.32%
Tamat SLTP, 22.90%
Tamat SD, 24.88%
Gambar 9. Distribusi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit ratarata tidak jauh berbeda. Secara umum tingkat pendidikan terendah ada pada tingkatan pendidikan tamat akademi/perguruan tinggi yaitu sebesar 7,90% atau sebanyak 5097 orang. Lulusan akademi/perguruan tinggi sebanyak 5097 orang tersebut, 3924 orang diantaranya berasal dari Kelurahan Pluit, sedangkan sisanya sebesar 743 orang dan 430 orang masing-masing berasal dari Kelurahan Kapuk Muara dan Kamal Muara. Untuk tingkat pendidikan tamat SLTA, tamat SLTP dan tamat SD, persentasenya tidak terlalu jauh berbeda, yaitu sebesar maisng-masing 16,32%, 22,91% dan 24,57%. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan No
Tingkat Pendidikan
Kapuk
Kamal
Muara
Muara
1
Tidak Sekolah
2301
2
Tidak Tamat SD
3
Tamat SD
4 5 6
Tamat Akademi/PT
Jumlah Pluit
Persentase (%)
923
1571
4795
7,42
1538
316
11436
13290
20,57
4141
1525
10408
16074
24,88
Tamat SLTP
3295
1657
9847
14799
22,91
Tamat SLTA
2998
1289
6252
10539
16,32
743
430
3924
5097
7,90
15016
6140
43438
64594
100
Total
Sumber : Monografi Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit Tahun 2005
4.3. Keadaan Umum Perumahan Pantai Indah Kapuk Kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk terletak di wilayah pesisir pantai utara pulau Jawa, termasuk bagian dari daerah pantai DKI Jakarta.
Secara
administrative kawasan ini terletak pada wilayah administratif Kelurahan Kapuk Muara, Kotamdya Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta. Wilayah utara dan timur kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk dibatasi oleh hutan Suaka Margasatwa
Muara Angke dan sungai Angke yang bermuara di laut Jawa. Wilayah selatan kawasan perumahan ini dibatasi oleh kawasan pemukiman dan kawasan perindustrian Cengkareng dan Kapuk Muara. Sedangkan wilayah barat kawasan ini dibatasi oleh jalan bebas hambatan lingkar luar Jakarta yang menuju Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta. Secara astronomis, kawasan ini perumahan Pantai Indah Kapuk terletak pada posisi geografis 6°05’ LS - 6°10’ LS dan 106°45’ BT - 106°50’ BT. Kawasan ini memiliki permukaan tanah terendah 1,5 m dibawah permukaan laut, dan permukaan tanah tertinggi diatas permukaan laut.
Kawasan perumahan ini
memiliki luas total sekitar 800 ha yang terdiri dari lahan kavling, jalan, waduk, area perkantoran, area niaga, lapangan golf, sungai, dan lahan tidak terbangun. Kawasan ini memiliki iklim panas dengan curah hujan diatas 2000 mm per tahun dengan kelembaban rata-rata 74,5% (Dinas Tata Kota DKI Jakarta 1997). Lokasi kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk dapat dicapai melalui jalan darat dengan adanya sarana transportasi berupa jalan aspal. Lokasi perumahan ini memiliki empat jalur akses yaitu melalui Jalan Pantai Utara 2 dengan pintu masuk yang yang terletak dikawasan sekitar Suaka Margasatwa Muara Angke, melalui Jalan Pantai Indah Barat dengan pintu masuk yang terletak di daerah Jembatan Kapuk Muara, pintu masuk yang melalui area perumahan Puri Grisenda di Jalan Pantai Indah Timur, dan melalui jalan marina yang merupakan pintu keluar dari jalan tol lingkar luar Jakarta. Jalur-jalur akses tersebut merupakan sarana akses utama yang terdapat dikawasan perumahan Pantai Indah Kapuk ini. Sarana penunjang fisik yang terdapat dikawasan perumahan Pantai Indah Kapuk ini terdiri dari sarana penunjang untuk bidang sosial, transportasi, listrik, air bersih, air kotor, dan sistem pengendalian drainase. Sebagai sarana sosial, pihak pengembang menyediakan tempat rekreasi keluarga berupa taman lingkungan yang terdapat di setiap blok di perumahan Pantai Indah Kapuk ini. Setiap taman dibangun dengan luas yang berbeda-beda disesuaikan dengan luas blok perumahan yang mengelilinginya. Umumnya taman lingkungan ini berupa lahan kosong yang ditanami dengan tanaman pohon pelindung atau tanaman palem. Sarana transportasi yang dibuat oleh pihak pengembang terutama adalah sarana transportasi berupa jalan, baik jalan dari aspal maupun jalan dari conblok . Sarana jalan ini menghubungkan antar blok dan sektor yang terdapat di seluruh wilayah perumahan Pantai Indah Kapuk.
Sarana air bersih yang dimiliki oleh perumahan Pantai Indah Kapuk merupakan suatu sistem pengolahan dan distribusi air bersih terpadu yang menyediakan keperluan air bersih untuk warga. Sumber air bersih diambil dari sungai Cisadane yang melewati daerah kawasan perumahan ini.
Air tersebut
kemudian disalurkan melalui pipa-pipa air berukuran besar ke instalasi pengolahan air yang terdapat di perumahan Pantai Indah Kapuk. Hasil keluaran dari instalasi ini berupa air bersih yang siap dialirkan ke rumah-rumah warga. Untuk sarana tenaga listrik, pihak pengembang menyediakan jalur-jalur distribusi tenaga listrik yang dipasok oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jalurjalur distribusi ini dibangun mulai dari gardu utama Jaringan Tegangan Tinggi milik PLN sampai ke panel Jaringan Tegangan Rendah untuk kemudian dialirkan ke rumah-rumah warga. Perumahan Pantai Indah Kapuk adalah perumahan elit yang dibangun oleh PT. Mandara Permai. Perumahan Pantai Indah Kapuk secara administrasi masuk pada wilayah Kelurahan Kapuk Muara. Kelurahan Kapuk Muara terbagi menjadi 8 RW, dari 8 RW tersebut terdapat 3 RW yang merupakan rukun warga yang meliputi Perumahan Pantai Indah Kapuk, yaitu RW 06, RW 07, dan RW 08. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Perumahan Pantai Indah Kapuk sebesar 1477 KK, dengan rincian di RW 06 sebanyak 900 KK, RW 07 sebanyak 400 KK, dan RW 08 sebanyak 177 KK. Perumahan Pantai Indah Kapuk hampir seluruhnya didominasi oleh warga keturunan, yang rata-rata berprofesi sebagai wiraswasta. Perumahan Pantai Indah Kapuk terbagi menjadi beberapa blok, dimana nama blok diambil dari nama jalan yang ada di perumahan tersebut. Blok-blok yang ada di perumahan Pantai Indah Kapuk adalah : Blok Pinisi Indah, Pinisi Permai, Mayang Indah, Mayang Permai, Katamaran Indah, Katamaran Permai, Trimaran Indah, Trimaran Permai, Kano Indah, Kano Permai, Layar Permai, Layar Indah, Mediterania, Camar Permai, Camar Indah.
4.4. Keadaan Umum Lokasi Petambak Lokasi para petambak dalam penelitian ini adalah berada di dalam kawasan hutan wisata Angke Kapuk.
Secara administrasi Hutan Wisata Angke Kapuk
masuk kedalam wilayah Kelurahan Kamal Muara. Hutan Wisata Angke Kapuk mempunyai luas 99,82 ha dari total kawasan Hutan Angke Kapuk yang luasnya 327,70 ha yang dikuasai pemerintah pusat dan pemerintah propinsi DKI Jakarta. Hutan Wisata Angke Kapuk yang merupakan bagian dari hutan Angke Kapuk,
dalam rencana pengembangannya akan terdiri dari zona perlindungan dan zona pemanfaatan. Zona perlindungan yang rencananya seluas 38 ha, akan berfungsi melindungi kawasan dari berbagai ancaman, baik dari manusia maupun dari alam (abrasi pantai).
Zona pemanfaatan yang luasnya 61,82 ha, akan berfungsi
sebagai zona pemanfaatan yang akan dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pengusahaan pariwisata alam. Pengembangan dan pengelolaan kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk sampai sekarang terganjal oleh masalah pertambakan illegal. Luas kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk yang sebesar
99,82 ha itu, sekitar 95% adalah areal
pertambakan yang dibuka oleh para petambak illegal. Adanya areal pertambakan pada kawasan tersebut sudah berlangsung sangat lama dan bersifat turun temurun sampai sekarang.
Para petambak umumnya adalah warga disekitar
kawasan tersebut. Adanya penggarapan tambak dalam kawasan tersebut, diduga menjadi penyebab dari berkurangnya hutan mangrove, berkurangnya populasi burung dan satwa lain, serta menghalangi sirkulasi air laut yang mendukung habitat mangrove. Letak Hutan Wisata Angke Kapuk berdekatan dengan Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk, sehingga ketiga kawasan tersebut akan saling menunjang, karena itu pengelolaan ketiga secara bersamaan. Ekosistem satwa liar dengan estetika serta kualitas Hutan Wisata Angke Kapuk akan bergantung pada keberadaan dan kualitas Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk di sepanjang Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan karena ketiga kawasan konservasi ini merupakan suatu unit bentang darat yang secara ekologis saling menunjang.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat 5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk Jumlah responden untuk studi CVM Pantai Indah Kapuk berjumlah 210 responden.
Karakteristik responden dalam penelitian adalah pekerjaan, usia,
pendidikan, pendapatan, tingkat pengeluaran dan jumlah tanggungan.
Dari
karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Pantai Indah Kapuk yang bermukim berdekatan dengan hutan mangrove Angke Kapuk. Berikut penjelasan karakteristik responden Pantai Indah Kapuk. 1) Pendapatan Pendapatan responden Pantai Indah Kapuk per bulan tergolong sangat besar, untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 3.000.000,- – Rp. 6.000.000,mencapai 9,52%. Sedangkan untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 6.000.000,- Rp. 10.000.000,- mencapai 52,85% dan yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 10.000.000,- per bulan mencapai 37,63%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10.
Tingkat responden menunjukkan bahwa responden merupakan
penduduk dengan pendapatan yang tergolong tinggi, hal ini disebabkan sumber utama mata pencaharian atau pekerjaan mereka adalah sebagian besar sebagai wiraswasta (pengusaha) dan karyawan swasta.
Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 9.52% > Rp. 10.000.000,-, 36.63%
Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,-, 52.85%
Gambar 10. Tingkat Pendapatan Responden Pantai Indah Kapuk
2) Pekerjaan Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk pada umumnya adalah sebagai wiraswasta dan karyawan swasta. Responden Pantai Indah Kapuk yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 80,48% dan yang bekerja sebagai karyawan swasta mencapai 19,52%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 beriku t ini.
karyawan swasta, 19.52%
wiraswasta, 80.48%
Gambar 11. Pekerjaan Responden Pantai Indah Kapuk 3) Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimiliki responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, rata-rata responden Pantai Indah Kapuk berpendidikan sarjana dan akademi.
Responden yang berpendidikan SLTA mencapai 2,38%, yang
berpendidikan akademi mencapai 27,14% dan yang berpendidikan sarjana ke atas mencapai 70,48%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, nampak bahwa pendidikan responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, keadaan ini disebabkan karena responden Pantai Indah Kapuk mampu menjangkau pendidikan tinggi didukung dengan tingkat pendapatan mereka yang juga tergolong tinggi.
SLTA, 2.38% Akademi, 27.14%
Sarjana, 70.48%
Gambar 12. Pendidikan Responden Pantai Indah Kapuk
4) Usia Kelompok usia dibagi menjadi lima golongan, yaitu golongan usia dibawah 20 tahun, golongan usia 20 – 30 tahun, golongan usia 30 – 40 tahun, golongan usia 40 – 50 tahun dan golongan usia diatas 50 tahun. Responden yang berumur 20 – 30 tahun mencapai 2,38%, responden berumur 30 – 40 tahun sebesar 41,90%, responden berumur 40 – 50 tahun mencapai 49,05% dan yang berumur di atas 50 tahun sebesar 6,67%. Untuk yang dibawah 20 tahun tidak ada responden, keadaan ini dikarenakan responden yang dipilh adalah yang mempunyai pendapatan dan sebagai kepala keluarga.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 13 berikut ini.
20 - 30 tahun, 2.38% > 50 tahun, 6.67% 30 - 40 tahun, 41.90% 40 - 50 tahun, 49.05%
Gambar 13. Usia Responden Pantai Indah Kapuk 5) Jumlah Tanggungan Tanggungan keluarga
adalah jumlah anggota keluarga yang menjadi
tanggung jawab seorang kepala keluarga yang terdiri dari anak-anak dan isteri. Responden yang memiliki jumlah tanggungan satu orang sebesar 0,95%, jumlah tanggungan dua orang mencapai 15,71%, jumlah tanggungan tiga orang sebesar 37,14%, jumlah tanggungan empat orang mencapai 35,24% dan responden yang memiliki tanggungan lima orang lebih sebesar 10,96% (Gambar 14). satu orang, 0.95% > lima orang, 10.96%
dua orang, 15.71%
empat orang, 35.24% tiga orang, 37.14%
Gambar 14. Jumlah Tanggungan Responden Pantai Indah Kapuk
6) Tingkat Pengeluaran Tingkat pengeluaran atau biaya kebutuhan per bulan responden Pantai Indah Kapuk tergolong tinggi, hal ini diasumsikan juga dengan tingkat pendapatan yang tinggi maka pengeluaran juga cenderung tinggi. Tingkat pengeluaran kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- sebesar 0,47%, pengeluaran Rp. 3.000.000,s/d Rp. 6.000.000,- sebesar 23,33%, sedangkan tingkat pengeluaran yang lebih besar lagi yaitu Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,-
sebesar 68,09% dan
pengeluaran yang diatas Rp. 10.000.000,- sebesar 8,11% (Gambar 15).
Rp. 500.000,- s/d Rp. > Rp. 10.000.000,-,
3.000.000,-, 0.47%
8.11%
Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 23.33%
Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,-, 68.09%
Gambar 15. Tingkat Pengeluaran Responden Pantai Indah Kapuk
7) Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk Persepsi responden Pantai Indah Kapuk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Data mengenai persepsi responden Pantai Indah Kapuk diberi peringkat dengan menggunakan Skala Likert, setiap responden
diminta
menilai
terhadap
pernyataan
yang
diajukan
dengan
kemungkinan jawaban : 1) sangat setuju, 2) setuju, 3) ragu-ragu, 4) tidak setuju, 5) sangat tidak setuju. Masing-masing jawaban tersebut diberi skornya 5, 4, 3, 2, dan 1 (Singarimbun 1995). Seluruh jawaban responden skornya dirata-rata sehingga diperoleh rata-rata persepsi responden Pantai Indah Kapuk. Rata-rata jawaban responden selanjutnya dikategorikan ke dalam tiga kategori Skala Likert yaitu kategori persepsi baik/tinggi (Skala Likert 4,00 – 5,00), persepsi sedang (Skala Likert 3,00 – 3,99), dan kategori rendah/buruk (Skala Likert 1,00 – 2,99). Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk responden Pantai Indah Kapuk sebesar 36,61% persepsi sedang sebesar 33,33% dan persepsi baik sebesar 30,06%.
tinggi, 33.33%
buruk , 36.61%
sedang , 30.06%
Gambar 16. Persepsi Responden PIK Terhadap Kualitas Lingkungan 8) Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk Hasil penelitian menunjukkan, secara umum responden Pantai Indah Kapuk setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 17). Keadaan ini dikarenakan responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan. Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus
mengalami
penurunan,
akan
menimbulkan
bahaya
dan
kerusakan
lingkungan yang semakin parah.
tidak setuju, 4.76%
setuju, 95.24%
Gambar 17. Persepsi Responden PIK terhadap Perlunya Perbaikan lingkungan
5.1.2. Karakteristik Dan Persepsi Petambak Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk 1) Pendapatan Pendapatan responden petambak per bulan tergolong rendah dan sedang, untuk tingkat pendapatan dibawah Rp. 500.000,- sebesar 21,88%. Sedangkan untuk tingkat pendapatan kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp.3000.000,- mencapai 68,75% dan yang tingkat pendapatannya kisaran Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- mencapai 9,37%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 18.
Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,-, 9.37%
< Rp. 500.000,-, 21.88%
Rp. 500.000,- s/d rp. 3.000.000,-, 68.75%
Gambar 18. Tingkat Pendapatan Responden Petambak
2) Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimiliki responden petambak tergolong rendah sampai sedang, untuk pendidikan yang tamat SD, tamat SLTP dan SLTA persentasenya tidak terlalu jauh (Gambar 17). Responden yang berpendidikan tamat SD mencapai 34,37%, yang berpendidikan tamat SLTP mencapai 40,62% dan yang berpendidikan tamat sarjana sebesar 25,01%.
Jika dilihat dari tingkat
pendidikan, nampak bahwa pendidikan responden petambak tergolong rendah sampai sedang.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir responden
tentang informasi dan inovasi. Jika tingkat pendidikan rendah akan menghambat dalam menerima informasi dan inovasi. Tamat SLTA, 25.01% Tamat SD, 34.37% Tamat SLTA, 25.01% Tamat SD, 34.37%
Tamat SLTP, 40.62%
Tamat SLTP, 40.62%
Gambar 19. Ting kat Pendidikan Responden Petambak
3) Usia Kelompok usia dibagi menjadi lima golongan, yaitu golongan usia dibawah 20 tahun, golongan usia 20 – 30 tahun, golongan usia 30 – 40 tahun, golongan usia 40 – 50 tahun dan golongan usia diatas 50 tahun. Responden berumur 30 – 40 tahun sebesar 34,37%, responden berumur 40 – 50 tahun mencapai 46,88% dan yang berumur di atas 50 tahun sebesar 18,75%. Untuk yang dibawah 20 tahun dan golongan usia 20 – 30 tahun tidak ada responden.
> 50 tahun, 18.75% 30 40 tahun, 34.37%
40 - 50 tahun, 46.88%
Gambar 20. Tingkat Usia Res ponden Petambak
4) Jumlah Tanggungan Responden yang memiliki jumlah tanggungan dua orang sebesar 6,25%, responden dengan jumlah tanggungan tiga orang mencapai 28,12%, sedangkan responden dengan jumlah tanggungan empat orang mencapai 34,88% serta responden yang memiliki tanggungan minimal lima orang lebih sebesar 31,25% (Gambar 21).
dua orang, 6.25% > lima orang, 31.25% tiga orang, 28.12%
empat orang, 34.38%
Gambar 21. Jumlah Tanggungan Responden Petambak 5) Tingkat Pengeluaran Untuk responden petambak, tingkat pengeluaran atau biaya per bulan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu pengeluaran dibawah Rp. 500.000,-, pengeluaran kisaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,-, dan pengeluaran kisaran Rp. 3.000.000,- Rp. 6.000.000,-. Tingkat pengeluaran dibawah Rp. 500.000,- mencapai 15,62%, pengeluaran Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- sebesar 75,00% dan tingkat pengeluaran Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,- sebesar 9,38 (Gambar 22).
Rp. 3.000.000,- s/d
< Rp. 500.000,-,
Rp. 6.000.000,-, 9.38%
15.62%
Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,-, 75.00%
Gambar 22. Tingkat Pengeluaran Responden Petambak
6) Persepsi Petambak Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk Persepsi Pe tambak terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik. Data mengenai persepsi responden petambak diberi peringkat dengan menggunakan Skala Likert, set iap responden diminta menilai terhadap pernyataan yang diajukan dengan kemungkinan jawaban : 1) sangat setuju, 2) setuju, 3) ragu-ragu, 4) tidak setuju, 5) sangat tidak setuju. Masingmasing jawaban tersebut diberi skornya 5, 4, 3, 2, dan 1 (Singarimbun 1995). Seluruh jawaban responden skornya dirata-rata sehingga diperoleh rata-rata persepsi responden petambak.
Rata-rata jawaban responden selanjutnya
dikategorikan ke dalam tiga kategori Skala Likert yaitu kategori persepsi baik/tinggi (Skala Likert 4,00 – 5,00), persepsi sedang (Skala Likert 3,00 – 3,99), dan kategori rendah/buruk (Skala Likert 1,00 – 2,99).Berdasarkan hasil olahan data penelitian, persepsi buruk sebesar 33,37% persepsi sedang sebesar 34,35% dan persepsi baik sebesar 32,28%.
tinggi, 32.28%
buruk , 33.37%
sedang , 34.35%
Gambar 23. Persepsi Petambak Terhadap Kualitas Lingkungan
7) Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk Hasil penelitian menunjukkan, secara umum petambak setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 24).
Keadaan ini dikarenakan
responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan.
Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus
mengalami penurunan, akan menimbulkan bahaya dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
tidak setuju, 9.38%
setuju, 90.62%
Gambar 24. Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan
5.1.3. Perbandingan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk dan Petambak 5.1.3.1. Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk Persepsi responden Pantai Indah Kapuk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik.
Berdasarkan hasil olahan data
penelitian, persepsi buruk responden Pantai Indah Kapuk sebesar 36,61% persepsi sedang sebesar 33,33% dan persepsi baik sebesar 30,06%. Persepsi responden petambak terhadap kualitas lingkungan
hutan
mangrove Angke Kapuk dibagi menjadi tiga golongan persepsi, yaitu persepsi buruk, persepsi sedang dan persepsi baik.
Berdasarkan hasil olahan data
penelitian, persepsi buruk responden petambak sebesar 33,37%, persepsi sedang sebesar 34,35% dan persepsi baik sebesar 32,28% (Gambar 25).
40.00% 35.00%
36.61% 33.37%
34.35% 30.06%
33.33% 32.28%
30.00% 25.00%
Pantai Indah Kapuk Petambak
20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% buruk
sedang
tinggi
Persepsi Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Mangrove
Gambar 25. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan Berdasarkan kedua responden tersebut, cenderung memberikan persepsi yang buruk terhadap kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk saat ini. Persentase persepsi terhadap kualitas lingkungan
yang cenderung buruk ini
menunjukkan bahwa responden mema ndang kondisi lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk memang cenderung buruk dan mengalami kerusakan lingkungan. Responden memberikan penilaian bahwa kerusakan lingkungan lingkungan hutan mangrove terlihat dari semakin sedikitnya vegetasi hutan mangrove, kondisi pencemaran air yang semakin buruk, semakin menumpuknya sampah-sampah disekitar hutan mangrove, dan semakin berkurangnya fungsi atau manfaat dari hutan mangrove.
Sehingga jelaslah untuk itu diperlukan upaya-upaya berupa
perbaikan lingkungan hutan mangrove berupa program rehabilitasi hutan mangrove di Angke Kapuk. 5.1.3.2. Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk Terhadap program rehabilitasi hutan mangrove Angke Kapuk untuk perbaikan lingkungan, secara umum responden setuju adanya perbaikan lingkungan hutan mangrove (Gambar 26). Keadaan ini dikarenakan responden melihat kondisi hutan mangrove semakin lama semakin mengalami degradasi lingkungan.
Menurut responden, jika kualitas lingkungan terus mengalami
penurunan, akan menimbulkan bahaya dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Kedua responden umumnya setuju bentuk perbaikan lingkungan di hutan Angke Kapuk adalah dengan tetap melakukan program penanaman kembali tanaman mangrove di areal hutan Angke Kapuk. Responden Pantai Indah Kapuk juga melihat bahwa bentuk perbaikan lingkungan lainnya adalah dengan membersihkan kawasan hutan tersebut dari adanya sampah-sampah plastik dan sampah rumah tangga. Mereka berpendapat, kawasan hutan Angke Kapuk sudah sangat kotor dengan limbah sampah plastik dan sampah rumah tangga khususnya di sekitar Suaka Margasatwa Muara Angke. Responden Pantai Indah Kapuk juga berpendapat perlunya ada tanggultanggul penahan abrasi pantai disekitar pesisir hutan lindung, hal ini dikarenakan memang mereka menyadari tinggal berdekatan dan berdampingan dengan kawasan hutan lindung, mereka sadar dengan kualitas hutan lindung yang semakin baik maka tingkat abrasi dan intrusi air laut bisa dikurangi. Para responden petambak juga berpendapat, bahwa bentuk perbaikan lingkungan di hutan Angke Kapuk adalah dengan menanggulangi pencemaran air di kawasan hutan Angke Kapuk tersebut. Hal ini dapat dimaklumi, jika dilihat dari pengalaman mereka sebagai petambak, dimana banyak ternak ikan-ikan yang mengalami keracunan/mati.
Indikator lainnya dapat dilihat dari tambak udang,
responden petambak berpendapat, bahwa dulu sewaktu tingkat pencemaran air di kawasan tersebut masih sangat kecil, mereka masih dapat bertambak udang, tetapi sekarang udang adalah sangat sensitif terhadap pencemaran air, sehingga tidak dapat hidup lagi dikawasan tambak mereka.
100.00%
95.24%
90.62%
90.00% 80.00% 70.00% Pantai Indah Kapuk
60.00%
Petambak
50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 4.76%
10.00%
9.38%
0.00% setuju
tidak setuju
Persepsi Terhadap Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove
Gambar 26. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Perbaikan Lingkungan 5.2. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang pengelolaannya berada dibawah Departemen Kehutanan dalam hal ini adalah Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan dan Pertanian DKI Jakarta. Areal Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk berada dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan, sedangkan yang masuk dalam pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta adalah Kawasan Hutan Lindung, Areal Pembibitan, Kawasan Jalur Hijau dan Jalan Tol. Hutan mangrove di kawasan Angke Kapuk telah banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitarnya.
Masyarakat sudah turun temurun
mendapatkan manfaat dari hutan mangrove Angke Kapuk jauh sebelum adanya penyerahaan sebagian kepada PT. Mandara Permai. Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa setiap sumberdaya alam harus dikelola berdasarkan wawasan lingkungan, sehingga akan tetap terpeliharanya sistem jaring-jaring ekosistem dan terpeliharanya keanekaragaman hayati.
Diperlukan adanya
penilaian sumberdaya hutan mangrove, tidak hanya nilai pasar dari barang yang dihasilkan, tetapi juga jasa (nilai bukan pakai) yang ditimbulkan oleh sumberdaya hutan mangrove.
Dalam penelitian ini, penilaian sumberdaya hutan mangrove di kawasan Hutan Angke Kapuk dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu direct use value (nilai manfaat langsung), indirect use value (nilai manfaat tidak langsung), existence value (nilai manfaat keberadaan), option value (nilai manfaat pilihan) dan bequest value (nilai manfaat pewarisan). 5.2.1. Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung) Nilai manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove dilapangan, diidentifikasi ada beberapa kegiatan yang dilakukan masyarakat secara langsung sebagai sumber mata pencahariannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat merupakan kegiatan yang dapat memberikan nilai manfaat langsung bagi mereka, diantaranya masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk budidaya tambak bandeng dan mujair, mengambil benih bandeng, mengambil cacing laut, rekreasi memancing. Perhitungan nilai manfaat langsung berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pendekatan ini yaitu dengan menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati masyarakat dikalikan dengan harga pasar. Nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk No
Manfaat
1
Bandeng
2
Mujair
3
Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)
Nilai Manfaat (Rp/thn)
Persentase (%)
7.450.382,-
488.000.000,-
89.600,-
5.600.000,-
0,65
Benih Bandeng
2.978.776,-
133.330.000,-
15,59
4
Cacing Laut
1.957.105,-
87.600.000,-
10,24
5
Rekreasi pemancingan
6
Kayu sebagai kayu bakar Total
57,06
97.051,-
4.344.000,-
0,51
2.605.965,-
136.383.200,-
15,95
15.178.879,-
855.257.200,-
100,00
Sumber : Data Primer Penelitian 2005
Pada Tabel 5 menyajikan hasil pengolahan data primer kegiatan selama penelitian yang menghasilkan nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk sebesar Rp. 855.257.200,-.
Persentase terbesar diberikan dari adanya
pembukaan lahan pertambakan bandeng sebesar 57,06% atau mencapai Rp. 488.000.000,- per tahun atau Rp. 7.450.382,- per ha per tahun (Lampiran 1). Perhitungan bandeng yang dihasilkan dari tambak yang ada di dalam kawasan hutan wisata Angke Kapuk. Areal tambak dalam penelitian ini adalah yang berada di dalam kawasan Hutan Wisata Angke kapuk, yang saat ini berada dalam kondisi konflik antara
petambak dengan pemerintah. Jika dilihat dari hasil tambak yang cukup besar, mungkin itu merupakan salah satu alasan kenapa para petambak tersebut tidak mau meninggalkan lahan kawasan tersebut.
Selain itu juga jika dilihat dari
sejarahnya, memang pembukaan areal tambak tersebut sudah lama dilakukan oleh masyarakat tersebut. Selain tambak bandeng juga terdapat tambak mujair, pada Tabel 6 terlihat persentase nilai tambak mujair untuk nilai manfaat langsung sangat kecil jika dibandingkan dengan tambak bandeng.
Dari hasil wawancara dilapangan,
nampak bahwa tambak mujair sifatnya hanya sampingan saja.
Dari hasil
pengamatan, tambak bandeng dan mujair dalam budidayanya digabung dalam satu tambak.
Karena sifatnya sampingan, benih-benih ikan mujair tersebut
benihnya berasal dari alam atau sengaja tidak disebar. Nilai manfaat langsung berikutnya dari hutan Angke Kapuk adalah pengambilan benih bandeng oleh masyarakat sekitar. Nilai manfaat pengambilan benih bandeng cukup besar jika dilihat dari persentasenya, yaitu sebesar 15,59% dari total manfaat langsung di hutan Angke Kapuk. Nilai manfaat langsung dari pengambilan benih bandeng sebesar Rp. 133.330.000,-per tahun atau Rp. 2.978.776,- per ha per tahun (Lampiran 1).
Pengambilan benih bandeng
umumnya dilakukan oleh para petambak dan penjaga tambak, selain itu juga dilakukan oleh masyarakat yang memang bermatapencaharian mencari benih bandeng.
Satu ekor benih bandeng dihargai Rp. 500,- dengan ukuran benih
bandeng kira-kira panjang 9 – 12 cm. Rata-rata masyarakat bisa mendapatkan benih bandeng sekitar 50 – 100 ekor per hari, tangkapan akan lebih besar lagi disaat air laut sedang pasang. Pengambilan benih bandeng dilakukan didekat Hutan Wisata Angke Kapuk. yaitu disekitar sungai/kanal yang langsung terhubung dengan muara laut. Manfaat berikutnya dari hutan
hutan Angke Kapuk adalah pengambilan
cacing laut ( Polychaeta). Pada Tabel 5 memperlihatkan nilai manfaat langsung dari pengambilan cacing laut adalah sebesar 10,24% dari total nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk yaitu sebesar Rp. 87.600.000, per tahun atau sekiktar Rp. 1.957.105,- per ha per tahun (Lampiran 1). Pengambilan cacing laut dilakukan disekitar hutan lindung.
Cacing laut digunakan sebagai umpan pada saat
memancing ikan disekitar hutan Angke Kapuk.
Harga cacing laut adalah Rp.
2.000,- per cup. Ukuran cup adalah kira-kira 300 ml atau berisi sekitar 15 ekor cacing. Pengambilan cacing laut hampir dilakukan setiap hari, tapi pada umumnya
dilakukan pada hari kamis dan jum’at, hal ini dilakukan untuk dijual pada hari sabtu dan minggu, karena pada hari-hari libur banyak pemancing yang memancing ikan disekitar hutan. Untuk nilai manfaat pemancingan, jika dilihat dari persentasenya tergolong kecil yaitu 0,51% atau hanya Rp. 4.344.000,- per tahun atau Rp. 97.051,- per ha per tahun.
Untuk perhitungan nilai pemancingan, responden
didapatkan yang sedang melakukan rekreasi pemancingan disekitar hutan lindung, sehingga untuk mengestimasi nilai rekreasi pemancingan untuk per hektarnya berdasrkan luasan dari hutan lindung tersebut. Manfaat berikutnya dari hutan Angke Kapuk adalah nilai kayu yang dihasilkan.
Estimasi nilai kayu di hutan Angke Kapuk dalam penelitian ini,
berdasarkan dari potensi tegakan kayu mangrove yang digunakan sebagai sebagai kayu bakar, dan nilai kayu yang dihitung yang berada dalam hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke, karena kedua kawasan tersebut relatif mempunyai vegetasi mangrove yang masih baik. Nilai kayu sebagai kayu bakar yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 136.383.200,- per tahun atau sekitar 15,95% dari total nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk , jika dikonversikan dalam per hektar sekitar Rp. 2.605.965,- per ha per tahun (Lampiran 1). Dalam perhitungan nilai manfaat langsung, nilai budidaya tambak tetap dimasukan, walaupun usaha budidaya tambak yang dibuka oleh masyarakat ini sifatnya illegal.
Nilai yang besar ini, cukup beralasan bagi
masyarakat
memanfaatkannya sebagai areal tambak, seperti yang terjadi pada saat ini. Areal tambak yang dihitung dalam penelitian ini, areal yang berada dalam kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk. Berdasarkan pengamatan dilapangan, nampak jelas dengan luas kira-kira 99,82 ha, sekitar 95% berubah menjadi areal tambak. Konflik-konflik masalah tersebut, memang sudah lama terjadi, dan sekarang masih dalam tahap-tahap penyelesaian dari pihak-pihak terkait. Konflik terjadi karena adanya pembukaan areal tambak yang sifatnya illegal di dalam kawasan hutan wisata. 5.2.2. Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah berupa manfaat fisik, manfaat biologis dan manfaat ekologis. Untuk manfaat fisik, dapat diestimasi atau dinilai dari adanya pembuatan bangunan air, yaitu pemecah gelombang ombak (break water). Manfaat tidak langsung biologis dapat berupa sebagai pemijahan
dan asuhan dan penyediaan bahan organik bagi udang. Seba gai manfaat tidak langsung ekologis, dapat diestimasi dari adanya serapan karbon. Nilai pemecah gelombang sama dengan estimasi dari biaya pembuatan pemecah gelombang (break water). Break water dengan ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp. 4.153.880,- (Aprilwati 2001). Untuk perhitungan nilai pemecah gelombang atau sebagai penahan abrasi pantai diestimasi dari lokasi hutan lindung. Hutan lindung kawasan Angke Kapuk mempunyai panjang 5000 m yang berbatasan langsung dengan laut. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat pemecah gelombang sepanjang 5000 m adalah Rp. 22.778.872.940,- dengan daya tahan 10 tahun, atau per tahunnya adalah Rp. 2.277.887.294,-.
Nilai manfaat tidak langsung berupa manfaat fisik hutan
mangrove Angke Kapuk adalah sebesar Rp. 2.277.887.294, - per tahun. Untuk mendapatkan nilai per hektarnya, didapatkan dari luasan hutan lindung yang ada sekarang, atau sekitar Rp. 50.891.137,- per ha per tahun (Lampiran 2). Nilai manfaat ekologis tak langsung dari hutan mangrove Angke Kapuk adalah sebagai penyerap karbon. Potensi karbon untuk Rhizophora mucronata adalah 3258,34 kg/ha – 3957,44 kg/ha (Hilmi 2003).
Untuk estimasi dalam
penelitian ini, diambil nilai rata-ratanya yaitu 3607,89 kg/ha. Untuk perhitungan nilai serapan karbon dalam penelitian ini, hanya untuk kawasan hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke dengan luas keduanya mencapai 69,68 ha,karena kedua kawasan tersebut vegetasinya relatif lebih rapat dan baik. Didapatkan nilai serapan karbon di hutan Angke Kapuk adalah Rp. 103.722.011,per tahun atau Rp. 1.486.415,- per ha per tahun (Lampiran 2). Untuk manfaat tidak langsung biologis, sebagai penjaga kestabilan siklus makanan pada ekosistem hutan mangrove didekati dengan nilai unsur hara yang dihasilkan serasah mangrove.
Mengutip penelitian Sukardjo (1995), di hutan
mangrove Angke Kapuk setiap hektar hutan mangrovenya menghasilkan gugur serasah sebanyak 13,08 ton/tahun, atau sekitar 4,85 ton berat kering. Berdasarkan hasil analisis, serasah tersebut mengandung unsur hara Nitrogen 10,5 kg/ha atau setara dengan 23,33 kg pupuk Urea, dan Pospor 4,72 kg/ha atau setara dengan 13,11 kg pupuk SP-36. Jika harga pupuk Urea dan SP-36 masingmasing adalah Rp. 1.100,- dan Rp. 1.500,-, maka manfaat tidak langsung biologis penjaga kestabilan siklus makanan pada ekosistem hutan mangrove adalah Rp. 45.328,- per ha per tahun, dengan luas hutan mangrove sebesar 180,11 ha maka manfaat tidak langsungnya sebesar Rp. 8.164.026,- per tahun (Lampiran 2).
Secara lebih rinci nilai manfaat langsung di hutan Angke Kapuk disajikan pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk No
Manfaat
Nilai Manfaat
Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)
1
Penahan abrasi pantai
2
Penyerap karbon
3
Penjaga kestabilan siklus makanan Total
(Rp/thn)
Persentase (%)
50.891.137,-
2.277.887.294,-
95,32
1.486.415,-
103.722.011,-
4,34
45.328,-
8.164.026,-
0,34
52.422.880,-
2.389.773.331,-
100,00
Sumber : Data Primer Penelitian 2005
Pada Tabel 6 menyajikan bahwa total nilai manfaat tidak langsung di hutan Angke Kapuk mencapai Rp. 2.389.773.331,- per tahun atau Rp. 52.422.880,- per ha per tahun. Persentase manfaat tidak langsung terbesar adalah manfaat tidak langsung fisik yaitu manfaat penahan abrasi pantai sebesar 95,32% dari nilai total manfaat tidak langsung, yaitu sebesar Rp.2.277.887.294,- per tahun. Tabel 7.
No
Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk Manfaat
Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)
Nilai Manfaat (Rp/thn)
Persentase (%)
1
Manfaat langsung
15.178.879,-
855.257.200,-
2
Manfaat tidak langsung
52.422.880,-
2.389.773.331,-
26,36 73,64
Total
67.601.759,-
3.245.030.531,-
100,00
Sumber : Data Primer Penelitian 2005
Pada Tabel 7 terlihat perbandingan nilai manfaat tidak langsung dengan nilai manfaat langsung. Persentase nilai manfaat tidak langsung sebesar 73,64% lebih besar jika dibandingkan dengan persentase nilai manfaat langsung dengan nilai 26,36%.
Hal menggambarkan bahwa, keberadaan suatu ekosistem hutan
mangrove dengan manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi pantai, penyerap karbon, dan penjaga kestabilan siklus makanan, memberikan manfaat jauh lebih besar dibandingkan pemanfaatan langsung dari ekosistem hutan mangrove. Terkadang adanya pemanfaatan secara langsung dari hutan mangrove justru merusak ekosistem mangrove tersebut.
26.36%
73.64%
Gambar 27.
Distribusi Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk
5.2.3. Manfaat Pilihan Manfaat pilihan hutan mangrove Angke Kapuk didekati menggunakan nilai manfaat keanekeragaman hayati (biodiversity). Manfaat pilihan ini adalah nilai dari keanekaragaman hayati (biodiversity) yang dapat ditangkap dari keberadaan hutan mangrove. Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), nilai manfaat pilihan keanekaragaman hayati adalah US $ 15/ha/tahun. Nilai tukar rupiah terhadap US $ pada saat penelitian sebesar Rp 9.300,-. Untuk perhitungan nilai pilihan, areal penelitian mencakup hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata, dan kebun pembibitan kehutanan, yang luasnya 180,11 ha, maka nilai manfaat pilihan hutan mangrove Angke Kapuk adalah Rp. 115.744.089,- per tahun atau Rp. 642.630,- per ha per tahun (Lampiran 3). 5.2.4. Manfaat Pewarisan Nilai pewarisan adalah nilai yang didasarkan pada suatu keinginan individu atau masyarakat untuk mewariskan kawasan konservasi kepada generasi yang akan datang. Bagi kawasan hutan Angke Kapuk nilai warisan adalah korbanan yang diberikan masyarakat yang hidup sekarang untuk menjaga kelestarian kawasan hutan Angke Kapuk agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi yang akan datang. Nilai pewarisan dari suatu kawasan hutan, dapat diestimasi dari jumlah bibit bakau yang dihasilkan. Berdasarkan data dan wawancara dengan pegawai dinas kehutanan diketahui bahwa, pembibitan tidak dilakukan lagi di areal kebun pembibitan, tetapi dilakukan didekat hutan lindung. Jumlah bibit yang dihasilkan dari hutan lindung seluas 44,76 ha per tahun tersebut sebanyak 10.000 bibit. Harga bibit bakau dengan ketinggian kira-kira 50 cm adalah Rp. 3.500,-.
Nilai pewarisan yang
dihasilkan adalah Rp. 35.000.000,- per tahun atau Rp. 780.500,- per ha per tahun (Lampiran 3).
5.2.5. Manfaat Keberadaan. Nilai keberadaan adalah nilai yang bukan dihasilkan dari institusi pasar dan tidak ada kaitannya dengan fungsi perlindungan asset prosduktif atau proses produksi secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai keberadaan kawasan
hutan Angke Kapuk adalah nilai yang diberikan masyarakat,baik itu penduduk setempat maupun pengunjung terhadap kawasan tersebut atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove didapatkan dengan wawancara langsung kepada responden, baik itu kepada masyarakat sekitar maupun pengunjung yang mendatangi kawasan Angke Kapuk dalam hal ini adalah kawasan hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke dan Taman Wisata Angke Kapuk. Pemilihan responden berdasarkan lokasi tempat tinggal, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Jumlah responden yang diambil sebanyak 55 orang, yang terdiri dari 15 orang warga Kelurahan Kapuk Muara, 15 orang warga Kelurahan Kamal Muara dan 25 orang warga Pluit. Berdasarkan tingkat pendidikan, responden umumnya terdiri dari pendidikan SD 14 orang, SLTP 12 orang, SLTA 20 orang dan Perguruan Tinggi 9 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Rata-rata Nilai Keberadaan Hutan Angke Kapuk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
SD
Kelurahan
Responden
Rata-rata Nilai Keberadaan
(orang)
(Rp)
Kapuk Muara
1
petambak, buruh,
Kamal Muara
6
dan nelayan
Pluit
7
Jumlah
14
Rata-rata
SMP
Pekerjaan
180,000 13,846
Kapuk Muara
6
wiraswasta,
Kamal Muara
2
staff kelurahan,
Pluit
4
pedagang, buruh bangunan, karyawan pabrik,
Jumlah
12
Rata-rata
288,000 24,000
Kapuk Muara
5
wiraswasta,
Kamal Muara
5
staff kelurahan,
Pluit
10
pedagang,
SMA
buruh bangunan, karyawan pabrik, karyawan
Jumlah
20
Rata-rata
Perguruan Tinggi
942,000 47,100
Kapuk Muara
3
staff kelurahan,
Kamal Muara
3
Wiraswasta,
Pluit
3
karyawan
Jumlah
9
Rata-rata Sumber : Data Primer Penelitian 2005
552,000 61,333
Berdasarkan tingkat pendidikan, nampak bah wa nilai keberadaan yang diberikan oleh masyarakat berbeda.
Pada tingkat pendidikan SD, dari 20
responden rata-rata memberikan nilai keberadaan Rp.13.333,- per ha per tahun. Pekerjaaan responden yang berpendidikan SD umumnya sebagai petambak, nelayan dan buruh. Kisaran nilai yang mereka berikan untuk menilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk yaitu Rp. 12.000, sampai Rp. 18.000,-. Pada kelompok responden yang berpendidikan SLTP, umumnya menilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk rata-rata Rp. 24.000,- per ha per tahun, dengan kisaran antara Rp. 12.000,- sampai Rp. 36.000,- per ha per tahun.
Umumnya mereka bekerja sebagai staff kelurahan, pedagang, buruh, wiraswasta dan karyawan pabrik. Untuk tingkat pendidikan SLTA dan Perguruan tinggi, masing-masing memberikan rata-rata nilai keberadaan hutan mangrove Angke Kapuk sebesar Rp. 47.100,- per ha per tahun dan Rp. 61.333,- per ha per tahun. Berdasarkan luas wilayah penelitian yaitu hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata dan kebun pe mbibitan kehutanan yang luasnya 180,11 ha, dan jumlah populasi (Kepala Keluarga) di tiga kelurahan tersebut, didapatkan nilai keberadaan hutan Angke Kapuk rata-rata sebesar Rp. 4.393.489,- per ha per tahun atau sebesar Rp. 791.311.418,20,- per tahun (Lampiran 4). 5.2.6. Estimasi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk Nilai manfaat total hutan mangrove Angke Kapuk adalah merupakan penjumlahan dari nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai pilihan, nilai pewarisan dan nilai keberadaan.
Perhitungan jumlah nilai manfaat total
didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : • Antara nilai-nilai tersebut tidak terdapat saling tumpah tindih (duplikasi penilaian), • Masing-masing nilai bersifat non rivalry terhadap nilai yang lain sehingga penilaian
terhadap
suatu
nilai
tidak
mempengaruhi
(menambah
atau
mengurangi) nilai yang lain, • Terhadap sebagian kawasan atau seluruh kawasan tersebut tidak dilakukan konversi yang menyebabkan perubahan lahan secara signifikan. Tabel 9. Ringkasan Perhitungan Nilai Manfaat Total Hutan Angke Kapuk No
Manfaat
Nilai Manfaat (Rp/ha/thn)
Nilai Manfaat (Rp/thn)
Persentase (%)
1
Manfaat langsung
15.178.879,-
855.257.200,-
20,43
2
Manfaat tidak langsung
52.422.880,-
2.389.773.331,-
57,07
3
Manfaat pilihan
642.630,-
115.744.089,-
2,76
4
Manfaat pewarisan
5
Manfaat keberadaan Total
Sumber : Data Primer Penelitian 2005
780.500,-
35.000.000,-
0,84
4.393.489,-
791.311.418,-
18,90
73.418.378,-
4.187.086.038,-
100,00
Berdasarkan Tabel 9 di atas, nilai manfaat total hutan mangrove Angke Kapuk sebesar Rp. 4.187.086.038,- per tahun. manfaat
tidak
langsung
memberikan
Dari nilai total tersebut, nilai
sumbangan
terbesar
yaitu
Rp.
2.389.773.331,- dari nilai manfaat total. Nilai-nilai manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi, penyerap karbon, dan penjaga kestabilan siklus makanan.
Penilaian sebagai penahan abrasi
memberikan kontribusi terbesar sebagai nilai manfaat tidak langsung.
Nilai
manfaat kedua terbesar setelah nilai manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat langsung yang memberikan nilai sebesar Rp. 855.257.200,- per tahun, kemudian diikuti oleh nilai manfaat keberadaan sebesar Rp. 791.311.418,-. Berdasarkan
distribusi
persentasenya,
nilai
manfaat
tidak
langsung
memberikan persentase terbesar yaitu 57,07%, kemudian nilai manfaat langsung sebesar 20,43% dan nilai manfaat keberadaan sebesar 18,90%. Lebih jelasnya pada Gambar 28 berikut ini.
Manfaat Pewarisan, 0.84%
Manfaat Keberadaan, 18.90% Manfaat Langsung, 20.43%
Manfaat Pilihan, 2.76% Manfaat Tidak Langsung, 57.07%
Gambar 28. Distribusi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk Nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk yang meliputi hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, hutan wisata dan kebun pembibitan adalah sebesar Rp. 4.187.086.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378,- per ha per tahun. Kawasan hutan Angke Kapuk yang dikelola pemerintah seluas 327,70 ha, dan yang dikelola oleh PT. Mandara Permai seluas 827,18 ha yang dikonversi menjadi pemukiman Pantai Indah Kapuk dengan sarana dan prasarananya. Apabila dihitung nilai ekonomi total sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai, maka nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum
terjadi konversi, hutan mangrove memberikan manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan setelah terjadi konversi menjadi areal pemukiman maupun areal fungsi lahan lainnya. Mengingat fungsi dan nilai hutan mangrove yang sangat strategis, perlu dilakukan upaya aktif bagi perlindungan dan pelestarian bagi kawasan hutan Angke Kapuk yang tersisa. Beberapa aspek yang menunjang dan perlu lebih diperhatikan adalah : (1) Aspek sumber daya manusia berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi aparatur pemerintah dan masyarakat, (2) Aspek kelembagaan,
berupa rancangan
peraturan
perundangan
antar
lembaga
pemerintah tentang bentuk-bentuk pengelolaan dan pelestarian mangrove. (3) Aspek tata ruang, berupa penataan yang sesuai fungsi, peruntukan dan pemanfaatannya, sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas bagi masing-masing instansi di pusat dan daerah dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan penggunaan ruang yang berfungsi sebagai kawasan konservasi. 5.3. Analisis WTP Pantai Indah Kapuk 5.3.1. Keragaan WTP Pantai Indah Kapuk Kegiatan perbaikan lingkungan di hutan mangrove Angke Kapuk dilakukan melalui program rehabilitasi lahan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah departemen kehutanan dan pemerintah daerah setempat. Upaya perbaikan lingkungan tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi dan swadaya dari masyarakat, sehingga perlu adanya informasi mengenai kesediaan membayar (Willingness to Pay) dari masyarakat. Untuk mengetahui berapa kesanggupan masyarakat untuk menyumbang terhadap upaya perbaikan lingkungan tersebut, maka dalam penelitian ini dirancang skenario sebagai berikut :
Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta. Hutan mangrove Angke Kapuk dalam dekade terakhir ini mengalami tekanan degradsi yang cukup kritis. Adanya degradasi lingkungan tersebut lambat laun mengikis luas hutan mangrove yang semakin berkurang. Kekhawatiran yang timbul adalah semakin meningkatnya degradasi yang berpengaruh terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Seiring hal tersebut, pemerintah akan memprioritaskan kawasan mangrove Angke Kapuk untuk dilakukan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Dana rehabilitasi kawasan tersebut selain dari pemerintah juga adanya sumbangan dari pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Pada saat ini, besarnya dana rehabilitasi per satuan luas hektar adalah Rp. 9.000.000,-, tetapi dana tersebut dirasakan tidak mencukupi untuk membiayai program tersebut. Pemerintah hendak melibatkan masyarakat dalam program perbaikan lingkungan. Seandainya skenario program tersebut dilaksanakan : • Apakah masyarakat bersedia membayar/menyumbang untuk membiayai kegiatan perbaikan lingkungan tersebut? • Jika bersedia,berapa besarnya jumlah uang yang bersedia dibayarkan masyarakat?
Penelitian ini menggunakan kuisioner pilihan dikotomis (Dichotomous Choice) untuk mengukur WTP setiap responden dalam survei CVM. Responden diberikan pertanyaan yang jawabannya menerima atau menolak untuk terlibat dalam skenario tersebut. Dengan kata lain jawaban yang diperlukan dari setiap responden adalah “ya” atau “tidak” dengan penawaran yang diberikan. Mudah bagi responden untuk membuat keputusan dalam pertanyaan Dichotomous Choice karena mereka dapat mengenali dengan pilihan diskrit (tidak kontinyu) dalam transaksi pasar. Jumlah responden Pantai Indah Kapuk yang bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang tidak bersedia membayar terhadap perbaikan lingkungan. Tabel 10. Jumlah Responden Pantai Indak Kapuk Yang Bersedia/Tidak Bersedia Membayar. Kesediaan Membayar Untuk Perbaikan Lingkungan Bersedia membayar Tidak bersedia Jumlah Sumber : Diolah dari data penelitian 2005
Respon Responden Pantai Indah Kapuk Frekuensi Persentase (n) (%) 162 77,14 48 22,86 210 100,00
Jumlah responden yang bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan cukup besar, yaitu sekitar 77,14% dari total jumlah responden. Sedangkan jumlah responden yang tidak bersedia membayar untuk perbaikan lingkungan sebesar 22,86% dari total jumlah responden.
Berbagai macam alasan terkemuka,
mengapa mereka tidak mau membayar untuk perbaikan lingkungan (Tabel 11).
Tabel 11. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk yang Tidak Bersedia membayar Berdasarkan Alasan No
Alasan Responden Tidak Bersedia Membayar
Responden Pantai Indah Kapuk Frekuensi Persentase (n) (%)
1
Perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah 2 Perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung jawab PT. Mandara Permai 3 Dana untuk perbaikan lingkungan sudah ada di instansi yang terkait 4 Seharusnya pemerintah bisa menggalang dana dari pihak swasta, LSM dan lembaga donor Jumlah Sumber : Diolah dari data penelitian 2005
14
29,17
7
14,58
17
35,42
10
20,83
48
100,00
Alasan responden Pantai Indah Kapuk tidak bersedia membayar upaya perbaikan lingkungan adalah mereka beranggapan bahwa dana untuk perbaikan lingkungan sudah ada di instansi terkait (35,42%), perbaikan kualitas lingkungan adalah tanggung jawab pemerintah (29,17%), seharusnya pemerintah bisa menggalang dana dengan swasta, LSM dan lembaga donor (20,83%) dan alasan yang memberikan respon bahwa PT. Mandara Permai juga punya tanggung jawab (14,58%). Secara rata-rata nilai uang yang bersedia dibayarkan responden Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 12.067,901,- per bulan atau dibulatkan menjadi Rp. 12.100,- per bulan. Adapun jumlah responden Pantai Indah Kapuk dan nilai WTP yang bersedia dibayarkan disajikan pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Distribusi Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk Respon Responden Pantai Indah Kapuk Nilai WTP Frekuensi Persentase (Rp/bulan) (n) (%) 1 10.000,11 6,79 2 10.500,5 3,09 3 11.000,18 11,11 4 11.500,20 12,34 5 12.000,46 28,39 6 12.500,28 17,28 7 13.000,14 8,64 8 13.500,7 4,32 9 14.000,8 4,94 10 14.500,2 1,23 11 15.000,3 1,87 Jumlah 162 100,00 Sumber : Diolah dari data penelitian 2005 No
Berdasarkan skenario yang dibuat dalam penelitian ini, nilai
WTP yang
ditawarkan kepada responden adalah berkisar dari Rp. 10.000,-per bulan – Rp. 15.000,-per bulan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesulitannya responden dalam memberikan nilai nominal yang mereka berikan.
Kisaran nilai WTP yang
ditawarkan tersebut, berdasarkan dengan membagi dana-dana rehabilitasi di kawasan penelitian dengan luasan kawasan mangrove tersebut, dan kemudian dibagi lagi dengan jumlah kepala keluarga yang ada di Perumahan Pantai Indah Kapuk. Jika dikaitkan dengan pendapatan responden Pantai Indah Kapuk yang ratarata mempunyai pendapatan Rp. 6.000.000,-/bulan, nampak memang nilai WTP kecil dibandingan pendapatan.
Walaupun responden Pantai Indah Kapuk
mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, namun mereka juga mempunyai tingkat pengeluaran yang besar pula.
Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi juga
besarnya nominal yang responden berikan.
Selain itu juga faktor persepsi
responden yang tergolong relatif rendah terhadap lingkungan hutan mangrove. Nilai WTP terbanyak yang disumbangkan responden Pantai Indah Kapuk ada pada nominal Rp. 12.000,- yaitu sebesar 28,39%. Kemudian diikuti dengan Rp. 12.500,- sebesar 17,28% dan Rp. 11.000,- sebesar 12,34%. Lebih jelasnya tentang distribusi penyebaran nilai WTP pada Gambar 29. Rata-rata nilai WTP sebesar Rp. 12.067,901,- yang dibulatkan menjadi Rp. 12.100,-
dan dapat
ditentukan WTP agregat atau WTP total dari masyarakat Pantai Indah Kapuk. Jumlah responden yang bersedia membayar adalah 162 responden dari 210 responden Pantai Indah Kapuk, dan jumlah kepala keluarga masyarakat yang tinggal di perumahan Pantai Indah Kapuk sebanyak 1477 KK, maka didapatkan WTP agregat sebesar Rp. 13.786.740,- per bulan atau sebesar Rp. 165.440.880,per tahun.
30.00%
28.39%
25.00%
Persentase
20.00% 17.28% 15.00% 12.34% 11.11% 10.00%
8.64% 6.79%
5.00%
4.32%
4.94%
3.09% 1.23%
1.87%
0.00% 10.000,-
10.500,-
11.000,-
11.500,-
12.000,-
12.500,-
13.000,-
13.500,-
14.000,-
14500,-
15.000,-
Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk
Gambar 29. Distribusi Nilai WTP Pantai Indah Kapuk 5.3.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Membayar dan Nilai WTP Tahap selanjutnya dari WTP adalah menggunakan regresi logistik untuk dapat melihat keterkaitan antara variabel-variabel penduga terhadap kesediaan membayar dan seberapa besar responden mau membayar kompensasi untuk perbaikan lingkungan. Dengan demikian variabel mana yang paling berpengaruh dan yang paling besar peluangnya dalam menentukan kesediaan dan besarnya responden membayar. Regresi logistik untuk pemodelan WTP ini menggunakan dua model yaitu : • Model yang menunjukkan kesediaan responden (jawaban ya/tidak) untuk ikut berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Dalam hal ini variabel dependent adalah bersedia atau tidaknya responden untuk membayar perbaikan lingkungan. • Model yang menunjukkan besarnya nilai WTP yang dibayar responden untuk perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. dijadikan cut off, dimana besar nilai WTP
Nilai rata-rata WTP
x = 1 (kodenya 1), dan nilai WTP < x
= 0 (kodenya 0). Variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pendapatan, pendidikan, usia, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan, pekerjaan, persepsi tentang perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk, dan persepsi tentang kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk.
Tabel 13. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik Nama Variabel Dependent Independent
Deskripsi
Keinginan untuk membayar terhadap perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk 0 = Tidak bersedia 1 = Bersedia membayar Besarnya nilai WTP responden Pantai Indah Kapuk Y2 0 = < Rp. 12.068,1 = Rp. 12.068,Pekerjaan 1 = Pegawai Negeri/TNI/POLRI X1 2 = Karyawan Swasta 3 = Wiraswasta Usia 1 = < 30 tahun X2 2 = 30 - 50 tahun 3 = > 50 tahun Pendidikan 1 = Tamat SD X3 2 = Tamat SLTP 3 = Tamat SLTA 4 = Tamat Akademi/PT Pendapatan 1 = Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,X4 2 = Rp. 6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,3 = > Rp. 10.000.000,Jumlah Tanggungan 1 = 1 - 2 orang X5 2 = 3 - 4 orang 3 = 5 orang Tingkat Pengeluaran 1 = < Rp. 3.000.000,X6 2 = Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 6.000.000,3 = Rp. 6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,4 = > Rp. 10.000.000,Persepsi mengenai kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk X7 1 = Buruk 2 = Sedang 3 = Baik Persepsi perlunya perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk X8 1 = Rendah 2 = Sedang 3 = Tinggi Sumber : Diolah dari data penelitian 2005 Y1
5.3.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak WTP Pantai Indah Kapuk Untuk mengetahui kesediaan membayar responden maka dilakukan regresi logistik
dengan
memasukkan
variabel-variabel
independent
dan
variabel
dependent. Variabel dependent dikategorikan menjadi 2 yaitu : yaitu bersedia membayar (kode 1) dan tidak bersedia membayar (kode 0). Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat odds ratio.
Odds ratio menggambarkan ukuran asosiasi yang
memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh variable independent terhadap variable dependent. Jika variable independent mempunyai nilai koefisien (â) positif, maka odds rationya akan bernilai lebih dari satu.
Sebaliknya jika
koefisien (â) negatif, maka odds rationya bernilai kurang dari satu. Tabel 14. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Membayar Responden Pantai Indah Kapuk Responden Pantai Indah Kapuk
Variabel Independent Koefisien
Signifikan
Odds Ratio
1.600
0.035**
4.95
1(< 30 thn)
0.109
0.195tn
1.11
2(30 – 50 thn)
0.253
0.288tn
3.50
3(SLTA)
0.601
0.017**
1.82
4(Akademi/PT)
1.281
0.004***
3.60
2(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000)
1.836
0.072**
6.27
3(>Rp.10.000.000,-)
2.170
0.056*
8.76
3(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,-)
-1.140
0.345tn
0.32
4(>Rp.10.000.000,-)
-2.210
0.459tn
0.11
-0.163
0.035**
0.85
1.452
0.267tn
4.27
2(sedang)
1.984
0.126tn
7.27
3(tinggi)
2.507
0.164tn
12.29
Pekerjaan 3(wiraswasta) Usia
Pendidikan
Pendapatan
Pengeluaran
Jumlah tanggungan 2(3 -4 orang) Persepsi kualitas lingkungan 1(Buruk) Persepsi perlunya perbaikan lingkungan
Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 87,14% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 86,63% * **signifikan á 1%
Berikut ini akan diuraikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.
1) Pekerjaan Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk yang sebagian besar sebagai wiraswasta berpengaruh sangat nyata (p< 0,01) terhadap WTP responden. Koefisien yang positif pada variabel pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan responden sebagai wiraswasta berpeluang 4,95 kali dibandingkan pekerjaan yang lain untuk kesediaan membayar dalam perbaikan lingkungan. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. 2) Usia Pada variabel ini koefisiennya bernilai positif, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat usia semakin tinggi pula kesediaaan membayar terhadap perbaikan lingkungan. Pada tingkat usia dibawah 30 tahun berpeluang 1,11 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia dibawahnya. Responden dengan tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 3,5 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia yang lebih rendah. 3) Pendidikan Pendidikan
seseorang
sangat
mempengaruhi
keinginan
membayar
terhadap upaya perbaikan lingkungan. Koefisien yang positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula keinginannya untuk kesediaannya membayar terhadap perbaikan lingkungan.
Responden
dengan tingkat pendidikan SLTA berpeluang 1,82 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendidikannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi, berpeluang 3,60 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden dengan tingakt pendidikan lebih rendah. 4) Pendapatan Variabel pendidikan seseorang berpengaruh dalam keinginan membayar terhadap
upaya
perbaikan
lingkungan.
Dengan
koefisien
yang
positif
menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula keinginannya untuk kesediaannya membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden Pantai Indah Kapuk adalah tergolong masyarakat dengan pendapatan yang tinggi. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 6.000.000,- s/d Rp.
10.000.000,- berpeluang 6,72 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya.
Sedangkan responden dengan
tingkat pendapatan diatas Rp. 10.000.000,- berpeluang 8,76 kali bersedia membayar
dibandingkan
dengan
responden
dengan
tingkat
pendapatan
dibawahnya. 5) Tingkat Pengeluaran Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien negatif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin kecil kesediaan membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pengel uaran diatas Rp 10.000.000,- hanya berpeluang 0,11 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit.
Responden dengan tingkat pengeluaran Rp. 6.000.000,- s/d Rp.
10.000.000,- hanya berpeluang 0,32 kali bersedi a membayar dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit. 6) Jumlah Tanggungan Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi
jumlah tanggungan, maka responden cenderung semakin kecil kesediaanya membayar terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan jumlah tanggungan (3 -4 orang) berpeluang 0,85 kali bersedia membayar dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih kecil. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden tidak akan bersedia membayar. 7) Persepsi Terhadap Kualitas Lingkungan Responden yang beranggapan bahwa kualitas lingkungan disekitar hutan Angke Kapuk buruk, cenderung akan berpeluang kesediaan membayar yang lebih tinggi. Responden yang menganggap kualitas lingkungan buruk, berpeluang 4,32 kali bersedia membayar. 8) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang kesediaannya membayar semakin tinggi.
Responden yang
berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 12,29 kali
bersedia membayar. Sedangkan responden yang berpersepsi sedang berpeluang 7,27 kali bersedia membayar terhadap perlunya perbaikan lingkungan. Berdasarkan Tabel.14 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. 5.3.4. Model Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk Untuk mengetahui besarnya nilai WTP yang dibayarkan maka dilakukan regresi logistik dengan memasukkan variabel-variabel independent dan variabel dependent yang dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1 12.068,-.
Rp. 12.068, - dan 0 < Rp.
Hasil regresi logistik besarnya nilai WTP yang dibayarkan oleh
responden dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini. Tabel 15. Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk Responden Pantai Indah Kapuk
Variabel Independent Koefisien
Signifikan
Odds Ratio
1.847
0.295tn
6.34
2(30 – 50 thn)
1.131
0.030**
3.10
3(> 50 thn)
1.909
0.040**
3.29
1.142
0.078*
3.13
2(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000)
1.778
0.269tn
5.92
3(>Rp.10.000.000,-)
1.942
0.096*
6.97
3(Rp.6.000.000,- s/d Rp.10.000.000,-)
-0.857
0.411tn
0.42
4(>Rp.10.000.000,-)
-1.022
0.290tn
0.36
-0.654
0.082*
0.52
1.631
0.222tn
5.11
2(sedang)
0.897
0.096*
2.45
3(tinggi)
1.161
0.072*
3.19
Pekerjaan 3(wiraswasta) Usia
Pendidikan 3(SLTA) Pendapatan
Pengeluaran
Jumlah tanggungan 2(3 -4 orang) Persepsi kualitas lingkungan 1(Buruk) Persepsi perlunya perbaikan lingkungan
Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 85,56% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 84,80% * **signifikan á 1%
Berikut ini akan diuraikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.
1) Pekerjaan Pekerjaan responden Pantai Indah Kapuk yang sebagian besar sebagai wiraswasta berpengaruh nyata (p< 0,10) terhadap WTP responden.
Koefisien
yang positif pada variabel pekerjaan menunjukkan bahwa pekerjaan responden sebagai wiraswasta berpeluang 6,34 kali lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang lain untuk besarnya nilai yang dibayarkan dalam perbaikan lingkungan. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta cenderung mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. 2) Usia Variabel usia berpengaruh terhadap besarnya nilai yang dibayarkan untuk perbaikan lingkungan.
Pada variabel ini koefisiennya bernilai positif, yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat usia semakin tinggi pula peluang membayar terhadap perbaikan lingkungan. Hal ini diasumsikan, masyarakat yang mempunyai usia lebih tua lebih mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Responden dengan tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 3,10 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan tingkat usia yang lain. Sedangkan responden dengan usia diatas 50 tahun berpeluang 3,29 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan tingat usia dibawahnya. 3) Pendidikan Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang dibayarkan untuk perbaikan lingkungan.
Koefisien yang positif menunjukkan
bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula nilai peluang membayar terhadap perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi, berpeluang 3,13 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lebih rendah. 4) Pendapatan Variabel pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP yang dibayarkan dalam upaya perbaikan lingkungan.
Dengan koefisien yang
positif menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, semakin
tinggi
pula
peluang
membayar
terhadap
perbaikan
lingkungan.
Responden Pantai Indah Kapuk adalah tergolong masyarakat dengan pendapatan yang tinggi. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 6.000.000,- s/d Rp.
10.000.000,- berpeluang 5,92 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya.
Sedangkan responden dengan
tingkat pendapatan diatas Rp. 10.000.000,- berpeluang 6,92 kali lebih tinggi nilai WTPnya
dibandingkan
dengan
responden
dengan
tingkat
pendapatan
dibawahnya. 5) Tingkat Pengeluaran Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien negatif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin kecil nilai WTP yang dibayarkan . terhadap upaya perbaikan lingkungan.
Responden
dengan tingkat pengeluaran diatas Rp 10.000.000,- hanya berpeluang 0,36 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit.
Responden dengan tingkat pengeluaran Rp.
6.000.000,- s/d Rp. 10.000.000,- hanya berpeluang 0,42 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit. 6) Jumlah Tanggungan Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai negatif. Responden dengan jumlah tanggungan (3 - 4 orang) berpeluang 0,52 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan dengan responden yang lain. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden semakin kecil peluang nilai WTPnya. 7) Persepsi Terhadap Kualitas Lingkungan Responden yang beranggapan bahwa kualitas lingkungan disekitar hutan Angke Kapuk buruk, cenderung akan berpeluang nilai WTPnya lebih tinggi. Responden yang menganggap kualitas lingkungan buruk, berpeluang 5,11 kali lebih tinggi nilai WTPnya. 8) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang nilai WTPnya semakin tinggi. Responden yang berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 3,19 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah. Sedangka responden yang
berpersepsi sedang berpeluang 2,45 kali lebih tinggi nilai WTPnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah. Berdasarkan Tabel.15 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. 5.4. Analisis WTA Petambak 5.4.1. Keragaan WTA Petambak Kegiatan perbaikan lingkungan di hutan mangrove Angke Kapuk dilakukan melalui program rehabilitasi lahan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah departemen kehutanan dan pemerintah daerah setempat. Upaya perbaikan lingkungan tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah tetapi sangat diperlukan adanya partisipasi dari masyarakat. Untuk kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk yang digarap oleh para petambak diperlukan adanya informasi mengenai kesediaan menerima kompensasi (WTA) dari masyarakat.
Untuk mengetahui berapa kesanggupan masyarakat untuk
menerima kompensasi terhadap upaya perbaikan lingkungan tersebut, maka dalam penelitian ini dirancang skenario sebagai berikut : Kawasan hutan mangrove Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta. Hutan mangrove Angke Kapuk dalam dekade terakhir ini mengalami tekanan degradasi yang cukup kritis. Adanya degradasi lingkungan tersebut lambat laun mengikis luas hutan mangrove yang semakin berkurang. Kekhawatiran yang timbul adalah semakin meningkatnya degradasi yang berpengaruh terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Seiring hal tersebut, pemerintah akan memprioritaskan kawasan mangrove Angke Kapuk untuk dilakukan rehabilitasi kawasan hutan tersebut. Khusus untuk kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk yang sebagian besar kawasan telah digarap oleh para petambak, pemerintah berencana menghijaukan kembali kawasan tersebut. Untuk hal tersebut, pemerintah akan memberikan kompensasi kepada para petambak untuk meninggalkan kawasan Hutan Wisata Alam Angke Kapuk. Kompensasi yang diberikan pemerintah sebesar Rp. 10.000.000,- per ha – Rp. 13.500.000,- per ha. Pemerintah hendak melibatkan masyarakat dalam program perbaikan lingkungan. Seandainya skenario program tersebut dilaksanakan : • Apakah masyarakat bersedia menerima kompensasi dalam rangka kegiatan perbaikan lingkungan tersebut? • Jika bersedia,berapa besarnya jumlah uang yang bersedia diterima masyarakat petambak?
Penelitian ini menggunakan kuisioner pilihan dikotomis (Dichotomous Choice) untuk mengukur WTP setiap responden dalam survei CVM. Responden diberikan pertanyaan yang jawabannya menerima atau menolak untuk terlibat dalam scenario tersebut. Dengan kata lain jawaban yang diperlukan dari setiap
responden adalah “ya” atau “tidak” dengan penawaran yang diberikan. Mudah bagi responden untuk membuat keputusan dalam pertanyaan Dichotomous Choice karena mereka dapat mengenali dengan pilihan diskrit (tidak kontinyu) dalam transaksi pasar. Jumlah responden petambak yang bersedia menerima untuk perbaikan lingkungan lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang tidak bersedia menerima terhadap perbaikan lingkungan. Jumlah responden yang bersedia menerima untuk perbaikan lingkungan cukup besar, yaitu 87,50% dari total jumlah responden. Sedangkan jumlah responden yang tidak bersedia menrima untuk perbaikan lingkungan sebesar 12,50% dari total jumlah responden (Tabel 16). Tabel 16. Jumlah Petambak Yang Bersedia/Tidak Bersedia Menerima Kesediaan Menerima Untuk Perbaikan Lingkungan Bersedia menerima Tidak bersedia Jumlah Sumber : Diolah dari data penelitian 2005
Respon Responden Petambak Frekuensi Persentase (n) (%) 28 87,50 4 12,50 32 100,00
Namun dari 32 petambak, ada 4 petambak atau 12,50% dari total petambak yang menolak kompensasi yang diberikan. Alasan petambak untuk tidak bersedia menerima kompensasi dalam upaya perbaikan lingkungan adalah mereka beranggapan bahwa dana kompensasi yang ditawarkan terlalu kecil buat mereka. Dengan dana kompensasi sekitar Rp. 10.000.000,- per ha - Rp 13.500.000,- per ha berarti sama dengan kira-kira Rp. 1.000,- per m2 - Rp. 1.350,- per m2, bagi mereka itu terlalu kecil, karena mereka beranggapan selayaknya dana kompensasi sekitar Rp. 10.000,- per m2 . Secara rata-rata nilai uang kompensasi yang bersedia diterima petambak sebesar Rp. 1.332,1429,- per m2 atau Rp. 13.321.429,- per ha. Wisata Angke Kapuk adalah 99,82 ha.
Luas Hutan
Adapun jumlah petambak dan nilai WTA
yang bersedia diterima disajikan pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Distribusi Nilai WTA Petambak Respon Responden Petambak Frekuensi Persentase Nilai WTA (Rp/m2) (n) (%) 1 1.000,0 0,00 2 1.050,0 0,00 3 1.100,0 0,00 4 1.150,0 0,00 5 1.200,0 0,00 6 1.250,2 7,14 7 1.300,6 21,43 8 1.350,20 71,43 Jumlah 28 100,00 Sumber : Diolah dari data penelitian 2005 No
Nilai WTA terbanyak yang diterima responden petambak ada pada nominal Rp. 1.350,- yaitu sebesar 71,43%. Kemudian diikuti dengan Rp. 1.300,- sebesar 21,43% dan Rp. 1.200,- sebesar 7,14%. Nampak bahwa sebagian besar petambak mau menerima kompensasi dengan nilai nominal yang besar. Hal ini diasumsikan wajar saja, karena setiap orang tentu akan memilih atau menerima sumbangan kompensasi dengan nilai nominal yang besar. 5.4.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Menerima dan Nilai WTA Tahap selanjutnya dari WTA adalah menggunakan regresi logistik untuk dapat melihat keterkaitan antara variabel-variabel penduga terhadap kesediaan menerima dan
seberapa besar petambak mau menerima kompensasi untuk
perbaikan lingkungan. Regresi logistik untuk pemodelan WTA ini menggunakan dua model yaitu : • Model yang menunjukkan kesediaan responden (jawaban ya/tidak) untuk ikut berpartisipasi dalam perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. Dalam hal ini variabel dependent adalah bersedia atau tidaknya responden untuk menerima kompensasi perbaikan lingkungan. • Model yang menunjukkan besarnya nilai WTA yang diterima responden untuk perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk. dijadikan cut off, dimana besar nilai WTA
Nilai rata-rata WTA
x = 1 (kodenya 1), dan nilai WTA < x
= 0 (kodenya 0). Variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pendapatan, pendidikan, usia, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan, persepsi tentang perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk, dan persepsi tentang kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk.
Tabel 18. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik Nama Variabel Dependent Independent
Deskripsi
Keinginan untuk menerima terhadap perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk 0 = Tidak bersedia 1 = Bersedia menerima Besarnya nilai WTA Petambak Y2 0 = < Rp. 1.332, 1 = Rp. 1.322,Usia 1 = < 30 tahun X1 2 = 30 - 50 tahun 3 = > 50 tahun Pendidikan 1 = Tamat SD X2 2 = Tamat SLTP 3 = Tamat SLTA 4 = Tamat Akademi/PT Pendapatan 1 = < Rp. 500.000,X3 2 = Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,3 = > Rp. 3.000.000,Jumlah Tanggungan 1 = 1 - 2 orang X4 2 = 3 - 4 orang 3 = 5 orang Tingkat Pengeluaran 1 = < Rp. 500.000,X5 2 = Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,3 = > Rp. 3.000.000,Persepsi mengenai kualitas lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk X6 1 = Buruk 2 = Sedang 3 = Baik Persepsi perlunya perbaikan lingkungan hutan mangrove Angke Kapuk X7 1 = Rendah 2 = Sedang 3 = Tinggi Sumber : Diolah dari data penelitian 2005 Y1
5.4.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak WTA Petambak Untuk mengetahui kesediaan menerima maka dilakukan regresi logistik dengan memasukkan variabel-variabel independent dan variabel dependent. Variabel dependent dikategorikan menjadi 2 yaitu : yaitu bersedia menerima (kode 1) dan tidak bersedia menerima (kode 0). Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat odds ratio.
Odds ratio menggambarkan ukuran asosiasi yang
memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh variabel independent
terhadap variabel dependent. Jika variabel independent mempunyai nilai koefisien (â) positif, maka odds rationya akan bernilai lebih dari satu.
Sebaliknya jika
koefisien (â) negatif, maka odds rationya bernilai kurang dari satu. Tabel 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Menerima Petambak Petambak
Variabel Independent
Koefisien
Signifikan
Odds Ratio
2(30 – 50 thn)
0.993
0.150tn
2.70
3(> 50 thn)
1.092
0.168tn
2.98
-1.171
0.082*
0.31
1(< Rp.500.000,-)
-0.083
0.047**
0.92
2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-)
-1.109
0.031**
0.33
1.963
0.243tn
7.12
2(3 -4 orang)
2.244
0.061*
9.43
3(>5 orang)
2.773
0.082*
16.01
0.399
0.455tn
1.49
2(sedang)
1.191
0.197tn
3.29
3(tinggi)
1.611
0.405tn
3.41
Usia
Pendidikan 3(SLTA) Pendapatan
Pengeluaran 2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-) Jumlah tanggungan
Persepsi kualitas lingkungan 1(Buruk) Persepsi perlunya perbaikan lingkungan
Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 81,74% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 75,40% * **signifikan á 1%
Berikut ini akan diuraikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan. 1) Usia Responden pada tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 2,70 kali bersedia menerima dibandingkan dengan tingkat usia dibawahnya.
Responden dengan
tingkat usia diatas 50 tahun berpeluang 2,98 kali bersedia membayar dibandingkan dengan tingkat usia yang lebih rendah. 2) Pendidikan Pendidikan
seseorang
sangat
terhadap upaya perbaikan lingkungan.
mempengaruhi
keinginan
menerima
Responden dengan tingkat pendidikan
SLTA berpeluang 0,31 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi.
3) Pendapatan Variabel pendidikan seseorang berpengaruh dalam keinginan menerima terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden Petambak adalah tergolong masyarakat dengan pendapatan yang rendah. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- berpeluang 0,33 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp. 500.000,berpeluang 0,92 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendapatan dibawahnya. 4) Tingkat Pengeluaran Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien positif Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin tinggi kesediaan menerima terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pengeluaran Rp 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- berpeluang 7,12 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit. 5) Jumlah Tanggungan Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa, semakin banyak jumlah tanggungan, maka responden cenderung semakin besar kesediaanya menerima kompensasi terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan jumlah tanggungan yang besar (minimal 5 orang) berpeluang 16,01 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih sedik it. Responden dengan jumlah tanggungan 3 - 4 orang berpeluang 9,43 kali bersedia menerima dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih kecil. 6) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang kesediaannya menerima semakin tinggi.
Responden yang
berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 3,41 kali bersedia menerima. Sedangkan responden yang berpersepsi sedang berpeluang 3,29 kali bersedia menerima terhadap perlunya perbaikan lingkungan.
Berdasarkan Tabel.19 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adal ah faktor pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. 5.4.4. Model Regresi Logistik Nilai WTA Untuk mengetahui besarnya nilai WTA yang diterima maka dilakukan regresi logistik
dengan
memasukkan
variabel-variabel
independent
dependent yang dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1
dan
variabel
Rp. 1.322,- dan 0 < Rp.
1.322,-. Hasil regresi logistik besarnya nilai WTA yang diterima oleh responden dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20. Hasil Regresi Logistik Besarnya Nilai WTA Petambak Variabel Independent
Petambak Koefisien
Signifikan
Odds Ratio
2(30 – 50 thn)
1.138
0.150tn
3.12
3(> 50 thn)
1.324
0.168tn
3.76
-0.734
0.082*
0.48
1(< Rp.500.000,-)
-0.020
0.009***
0.98
2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-)
-0.538
0.031**
0.58
2.117
0.057*
8.31
2(3 -4 orang)
2.174
0.054*
8.79
3(>5 orang)
2.524
0.094*
12.48
0.086
0.428tn
1.09
2(sedang)
1.366
0.175tn
3.92
3(tinggi)
1.611
0.305tn
5.01
Usia
Pendidikan 3(SLTA) Pendapatan
Pengeluaran 2(Rp.500.000,- s/d Rp.3.000.000,-) Jumlah tanggungan
Persepsi kualitas lingkungan 1(Buruk) Persep si perlunya perbaikan lingkungan
Sumber : Diolah data primer penelitian 2005 * signifikan á 10% R-Sq = 80,82% * *signifikan á 5% R-Sq(adjust) = 74,11% * **signifikan á 1%
Berikut ini akan diuraikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar terhadap perbaikan lingkungan.
1) Usia Responden pada tingkat usia 30 – 50 tahun berpeluang 3,12 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan tingkat usia lainnya.
Sedangkan
responden dengan usia diatas 50 tahun berpeluang 3,76 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan tingkat usia dibawahnya. 2) Pendidikan Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi besarnya nilai WTA yang diterima untuk perbaikan lingkungan. Koefisien yang negatif menunjukkan bahwa, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula nilai peluang menerima terhadap perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendidikan SLTA, berpeluang 0.91 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan yang lain. 3) Pendapatan Variabel pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTA yang diterima dalam upaya perbaikan lingkungan. Dengan koefisien yang negatif menunjukkan bahwa, semakin rendah tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula peluang menerima terhadap perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pendapatan Rp. 500.000,- s/d Rp. 3.000.000,- hanya berpeluang 0.58 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang lebih rendah pendapatannya. Sedangkan responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp. 500.000,- berpeluang 0.98 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendapatan dibawahnya. 4) Tingkat Pengeluaran Hasil regresi logistik, variabel tingkat pengeluaran berkoefisien positif Hal ini menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat pengeluaran semakin tinggi nilai WTA yang diterima terhadap upaya perbaikan lingkungan. Responden dengan tingkat pengeluaran Rp. 500.000,- s/d Rp 3.000.000,- berpeluang 8,31 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang tingkat pengeluarannya lebih sedikit.
5) Jumlah Tanggungan Sama dengan variabel tingkat pengeluaran, koefisien dari variabel jumlah tanggungan juga bernilai positif.
Responden dengan jumlah tanggungan yang
besar (minimal 5 orang) berpeluang 12,48 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang jumlah tanggungannya lebih sedikit. Sedangkan responden dengan jumlah tanggungan yang lebih kecil (3 - 4 orang) berpeluang 8,79 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan dengan responden yang lain. Dengan nilai koefisien yang negatif, mengindikasikan bahwa semakin tinggi jumlah tanggungan, cenderung responden semakin besar peluang nilai WTAnya. 6) Persepsi Perlunya Perbaikan Lingkungan Persepsi terhadap perlunya perbaikan lingkungan menunjukkan koefisien yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang, maka peluang nilai WTAnya semakin tinggi. Responden yang berpersepsi tinggi terhadap perlunya perbaikan lingkungan berpeluang 5,01 kali lebih tinggi nilai WTAnya dibandingkan yang berpersepsi lebih rendah. Berdasarkan Tabel.20 diatas, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan membayar responden Pantai Indah Kapuk adalah faktor pendidikan, pendapatan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan. 5.5. Potensi Dan Keterkaitan Nilai WTP Pantai Indah Kapuk Dan Nilai WTA Petambak Seperti sudah dijelaskan pada sub bab diatas bahwa dengan rata-rata nilai WTP sebesar Rp. 12.067,901,- yang dibulatkan menjadi Rp. 12.100, - dapat ditentukan WTP agregat atau WTP total dari masyarakat Pantai Indah Kapuk. Jumlah responden yang bersedia membayar adalah 162 responden dari 210 responden Pantai Indah Kapuk, sedangkan jumlah kepala keluarga masyarakat yang tinggal di perumahan Pantai Indah Kapuk sebanyak 1477 KK. Dari data-data tersebut didapatkan WTP agregat sebesar Rp. 13.786.740,- per bulan atau sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun. Untuk nilai WTA, secara rata-rata nilai uang kompensasi yang bersedia diterima petambak sebesar Rp. 1.332,1429,- per m2 atau Rp. 13.321.429,- per ha. Luas Hutan Wisata Angke Kapuk adalah 99,82 ha, dengan demikian dana kompensasi yang sediakan oleh pemerintah untuk para petambak sekitar Rp. 1.329.745.043,-.
Untuk mengelola kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk yang
lebih baik dan berkelanjutan, pemerintah bisa menggunakan dana WTP Pantai Indah Kapuk yang sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun untuk membantu sebagai dana kompensasi bagi pembebasan hutan wisata tersebut. Jika hal ini kontinyu
dan berkelanjutan, paling tidak dalam sepuluh tahun hutan wisata akan bisa dikelola lebih baik. Selain itu pemerintah bisa proaktif untuk menggalang dana dari pihak lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor dan pihak swasta. Dengan pihak swasta, pemerintah bisa melakukan kontrak kerjasama untuk mengelola kawasan Hutan Wisata Angke Kapuk menjadi kawasan hutan wisata alam yang lebih baik.
VI. ORIENTASI PERBAIKAN DAN KONSERVASI DI HUTAN ANGKE KAPUK 6.1. Masalah Lingkungan dan Kondisi Hutan Angke Kapuk Masalah lingkungan dewasa ini adalah dampak dari intervensi manusia terhadap alam (ekologi). Intervensi manusia bertujuan untuk memperoleh hasil dan tenaga yang lebih besar. Semula manusia menggunakan tenaga se derhana untuk memperoleh energi.
Tetapi kemudian dalam perkembangan jaman,
manusia ingin memperoleh energi yang lebih besar lagi.
Demi pemanfaatan
energi itulah bumi dan kekayaan sumberdaya alamnya dikuras sebesar-besarnya, hutan ditebangi. Pembangunan Indonesia saat ini memang sangat diperlukan, namun terkadang dilupakan masalah kelestarian lingkungan hidup.
Di satu sisi laju
pembangunan memang sangat diperlukan, namun di sisi lain dampak yang ditimbulkannya berakibat buruk. Pembangunan sekarang ini lebih mementingkan kepentingan ekonomi dan bisnis semata, adanya perumahan Pantai Indah Kapuk yang tadinya hutan mangrove adalah salah satu contoh. Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya (Rumah Sakit, Lapangan Golf, pertokoan, dsb) secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap kawasan ekosistem mangrove di Angke-Kapuk, Jakarta Utara. Dewasa ini, karena adanya keterbatasan lahan dan kepentingan ekonomis, hutan mangrove Angke Kapuk yang pada dasarnya harus dilestarikan berubah fungsi untuk areal pemukiman , usaha pertambakan dan lain-lain. Perubahan hutan mangrove menjadi areal pemukiman maupun usaha tambak, dilihat dari sisi pelakunya dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun oleh masyarakat sendiri sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan persepsi mereka terhadap keberadaan kawasan hutan mangrove. Menurut Seragaldin (1996), pembangunan harus mengintegrasikan tiga aspek kehidupan yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Jadi dalam pembangunan perlunya adanya keseimbangan pembangunan sosial budaya dan pembangunan ekonomi. Memang pembangunan akan selalu memberikan dampak, baik positif maupun negatif.
Tinggal sekarang bagaimana sinergisitas antara pemerintah sebagai
pembuat kebijakan, masyarakat sebag ai obyek dan subyek serta para kalangan bisnis sebagai pelaku sekaligus pemilik modal saling bekerjasama. Pada jaman sekarang, memang ekonomi menjadi faktor utama dalam perguliran kehidupan,
sehingga mau tidak mau terabaikanlah keseimbangan ekosistem dan ilngkungan hidup. Pesatnya kemajuan teknologi dan industri yang pada akhirnya adalah untuk menunjung kepentingan ekonomi, juga dianggap sebagai salah satu pemicu dari semakin tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik udara, air dan tanah akibat hasil buangan limbah industri. Berdasarkan penelitian UNAS (1982); Kusmana (1983); Tim Fahutan IPB (1996); dalam LPPM (2003) menunjukkan bahwa kualitas air di hutan Angke Kapuk mengalami pencemaran baik yang disebabkan oleh limbah industri maupun oleh limbah rumah tangga. 6.2. Arahan Upaya Perbaikan Lingkungan dan Pengelolaan Kawasan Hutan Angke Kapuk. Mengacu pada kondisi hutan Angke Kapuk sekarang, program rehabilitasi kawasan dan pembinaannya adalah merupakan prioritas dalam pengelolaaan kawasan hutan angke kapuk.
Pihak – pihak terkait yang mengelola kawasan
hutan angke kapuk, yang dalam hal ini adalah pemerintah, untuk melakukan tindakan-tindakan : 1. Perlunya tetap diadakan penanaman kembali tanaman hutan mangrove 2. Perlunya pemasangan tanggul-tanggul sebagai pemecah ombak Abrasi yang terjadi di bibir pantai pada kawasan hutan lindung perlu ditanggulangi.
Karena itu diperlukan adanya pemasangan tanggul-tanggul
sebagai pemecah ombak untuk mengurangi abrasi. 3. Perlunya adanya penanganan limbah sampah terutama sampah plastik. Masalah sampah terutama banyak dijumpai pada kawasan hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke.
Adanya sampah sangat mengganggu
terhadap pertumbuhan bibit tanaman bakau. Akibat banyaknya sampah yang menumpuk di kedua kawasan tersebut, banyak pohon yang sulit tumbuh dengan baik, hal ini disebabkan karena perakaran tanaman bakau tersebut sulit mendapatkan oksigen dengan baik. Tumpukan sampah menyebabkan tersendatnya aliran air ke dalam dua kawasan tersebut, akibatnya banyak tanaman yang mengalami gangguan dalam pertumbuhannya. 4. Masalah tambak. Untuk permasalahan tambak yang muncul, khususnya di areal hutan wisata Angke Kapuk, secara nyata di lapangan, kegiatan pertambakan telah banyak mengkonversi kawasan tersebut menjadi tambak, di kawasan ini lebih dari 90%
kawasannya berubah menjadi areal tambak.
Pada umumnya responden
petambak beranggapan adanya tambak dapat meningkat keuntungan ekonomis bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa, persepsi petambak lebih mengutamakan manfaat ekonomis dibandingkan manfaat ekologisnya. Masalah lingkungan yang sekarang ini sering dihadapi timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia, akibat yang ditimbulkan yaitu terganggunya kesejahteraan manusia.
Penggunaan sumberdaya alam oleh
penduduk semakin banyak memunculkan kebutuhan untuk meningkatkan ekstraksi dan peningkatan permintaan akan sumberdaya alam. Hal ini memberikan dampak negatif yaitu memburuknya kond isi fisik dunia sementara masyarakat sangat lamban dalam menemukan pemecahan masalah yang timbul tersebut. Beberapa alasan lambannya penyesuaian tersebut, antara lain adalah (Sitorus 2004) : (1) Masyarakat lebih mengakui adanya pemilikan pribadi dan mekanisme pasar sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan perlu dipelihara bersama masih sulit difahami,
(2) Tidak diketahui secara pasti apa
yangs sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat,
(3) Demikian pula tentang
teknologi untuk menghasilkan apa yang diinginkan tersebut relatif banyak diketahui. Indonesia sebagai negara berkembang, saat ini pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang, baik pertanian, industri, dan perdagangan tidak hanya membawa dampak social namun juga akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Sebagai negara yang sedang tumbuh maka dampak terhadap
lingkungan seringkali diabaikan dalam usaha peningkatan ekonomi.
Hal ini
diperburuk dengan kondisi peraturan dan penegakan hukum yang lemah. Sehingga semakin memberikan ancaman terhadap kualitas sumberdaya alam yang baik. Kerusakan sumberdaya alam terjadi pada suatu saat akan menjadi suatu pembatas bagi kegiatan ekonomi. Keadaan ini terjadi ketika suplai sumberdaya alam tidak dapat lagi untuk mencukupi kebutuhan manusia. Sehingga aktifitasaktifitas manusia dalam bidang ekonomi harus juga memperhatikan daya dukung yang dapat diberikan oleh sumberdaya tersebut. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus memiliki good will tentang bagaimana melestarikan lingkungan. Walaupun sebenarnya bahwa menjaga dan melestarikan adalah tugas semua individu.
Karena itu perlu adanya pola
penyadaran kepada masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, pengusaha atau kalangan bisnis, agar terjadi pembagian peran dan tanggung jawab yang sama guna mewujudkan kelestarian lingkungan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk yang meliputi hutan lindung, Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Wisata Angke Kapuk dan kebun pembibitan sebesar Rp. 4.184.566.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378, - per ha per tahun. Nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha, apabila sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. 2. Besarnya rata-rata nilai WTP Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 12.068,- per bulan atau Rp. 165.440.880,- per tahun. 3. Besarnya nilai WTA petambak adalah Rp. 1.332,1429,- per m2 atau Rp. 13.321.429,- per ha. Luas Hutan Wisata Alam Angke Kapuk sebesar 99,82 ha, maka dibutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 1.329.745.043,-. 4. Kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Besarnya nilai WTP Pantai Indah Kapuk dipengaruhi faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. 5. Kesediaan menerima kompensasi untuk masyarakat petambak dipengaruhi faktor pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan.
Besarnya nilai WTA
petambak dipengaruhi faktor pendidikan, pendapatan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan.
7.2. Saran 1. Agar hasil penelitian ini dapat mencerminkan nilai ekonomi total yang lebih lengkap, sebaiknya bagi penelitian selanjutnya perlu dikembangkan dan diperhitungkan nilai-nilai ekonomi yang belum masuk dalam penelitian ini, sehingga dapat menghasilkan informasi strategis yang dapat digunakan oleh para stakeholders untuk mendukung upaya pengelolaan kawasan konservasi hutan Angke Kapuk dan secara umum untuk mendukung pembangunan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya di Indonesia. 2. Nilai WTP Pantai Indah Kapuk merupakan potensi yang dapat digunakan untuk mendukung program upaya perbaikan lingkungan hutan Angke Kapuk, melalui sharing dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan
dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sehingga dapat mendukung pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan. 3. Kendala dalam penelitian ini yang menggunakan metode CVM adalah terjadinya hypothetical bias dan information bias, sehingga nilai WTP Pantai Indah Kapuk understate secara sistematis dari nilai sebenarnya, dan nilai WTP Pantai Indah Kapuk jauh lebih kecil jika dibandingan dengan pendapatan responden Pantai Indah Kapuk.
Untuk itulah bagi penelitian selanjutnya
disarankan, dalam pembentukan pasar hipotetik atau skenario harus lebih memiliki kredibilitas dan realistik. Selain itu untuk mengantisipasi information bias, diperlukan pewawancara yang terlatih sehingga bisa memberikan dan mendapatkan informasi yang lebih detail dan akurat.
VIII. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2005. Monografi Kelurahan Kapuk Muara Tahun 2005. Kotamadya Jakarta Utara. DKI Jakarta. ________. 2005. Monografi Kelurahan Kamal Muara Tahun 2005. Kotamadya Jakarta Utara. DKI Jakarta. ________. 2005. Monografi Kelurahan Pluit Tahun 2005. Kotamadya Jakarta Utara. DKI Jakarta. Aprilwati, S. 2001. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Kawasan Batu Ampar Kabupaten Pontianak [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Barly. 2002. Menuju Kelestarian Taman Nasional Gunung Halimun. Program Pascasarjana Universitas Pakuan Bogor. Bogor.
[Tesis].
Bengen, D. G. 1998. Ekosistem dan Sumberdaya Hutan Mangrove. Makalah dalam Pelatihan Singkat Perlindungan Lingkungan Mangrove dan Tambak. 12 – 22 Oktober 1998. Bogor. __________. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Makalah. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. 29 Oktober - 3 Nopember 2001. PKSPL-IPB. Bogor. Dielman, T. E. 2001. Applied Regression Analysis for Business and Economics. Thomson Learning. Duxbury. Dinas Kehutanan DKI Jakarta. 2000. Penataan Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Penjaringan, Jakarta. Utara. Kerjasama Dinas Kehutanan DKI Jakarta dengan Fahutan. IPB. Dinas Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta. Dinas Tata Kota DKI Jakarta. 1997. Jakarta Planning Atlas 1995. Dinas Tata Kota DKI Jakarta. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gunawan, W. 1999. Persepsi dan Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Simarasa Terhadap Pelestarian Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun. Skripsi. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan – Fahutan IPB. Bogor.
Handayani, Y. D. 2004. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hutan mangrove Menjadi Tambak Tumpangsari (Studi Kasus : Desa Muara Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang) [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanley, N. and C.L. Spash. 1993. Cost Benefit Analysis and the Environment. Edward Elgar Publistions Limited. Hants-England. Hilmi, E. 2003. Model Penduga Kandungan Karbon pada Pohon Kelompok Jenis Rhizophora spp dan Bruguiera spp dalam Tegakan Hutan Mangrove. (Studi Kasus di Indragiri Hilir Riau) [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hosmer, D.W. and S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley & Sons. New York. Idris. 2002. Analisis Kebijakan Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Cetakan pertama. Bumi Aksara. Jakarta. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2001. Penyusunan Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Jakarta. ______________________________________________. 2003. Penyusunan Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Jakarta. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Cetakan Pertama. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Kusmana, C. 1995. Teknik Rehabilitasi Kerusakan Ekosistem Mangrove. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Angkatan II tanggal 24 Juli – 24 Nopember 1995. Bogor. __________. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Makalah Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Angkatan I tanggal 18 Agustus – 18 Oktober 1997. Bogor. Mitchell, B., B. Setiawan dan D. H. Rahmi. 1997. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Palunsu, J. P. dan M. Messmer. 1997. Kependudukan. Vocational Education Development Centre PPPGT/VEDC. Malang. Pearce, D. 1993. Economics Values and The Natural World. Earth Scan Publications Limited. England.
Santoso, N. 2002. Strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Jakarta. Sarwono, S. W. 1995. Psikologi Lingkungan. Grasindo. Jakarta. ___________. 1999. Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Seragaldin, I. 1996. Making Development Sustainable : From Concept To Action The International Bank For Reconstruction and Development. The World Bank Washington D. C. USA. Singarimbun, M. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sitorus, S. R. P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Soemodihardjo, S and I. Soerianegara. 1989. Country Report : Indonesia Status for Mangrove Forestry in Indonesia. BIOTROP Special Publication No. 37. Soemarwotto, O. 1992. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ______________. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Sudradjat, A. dan I. Yustina. 2002. Mencari Format Desentaralisasi Kehutanan. Penerbit Nectar Indonesia. Bogor. Suhaeb, A. S. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove di Teluk Kendari [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tambunan, N. 1994. Dampak Sosial Ekonomi dari Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kecamatan Pereut Sei Tuan Deli Serdang Sumatera Utara Terhadap Masyarakat Nelayang di Sekitarnya [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Turner, R. K., D. Pearce, and I. Bateman. 1994. Environmental Economics an Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaf. Widada. 2004. Nilai Manfaat Ekonomi Dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun Bagi Masyarakat [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarti, E. T. 1999. Manfaat hutan mangrove untuk pelestarian lingkungan pantai dan meningkatkan perekonomian masyarakat (Studi Kasus di Desa Ambat, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan). Jurnal Lingkungan & Pembangunan 19(2):120-126. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan; Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Akademi Pressi ndo. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Nilai Manfaat Langsung No 1
Manfaat Tambak Bandeng
Responden
Luas tambak (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah Rata -rata per responden Rata -rata per ha
No
Manfaat - Mujair
Produksi/thn (kg/thn)
2.0 2.5 2.0 3.5 4.0 3.0 3.0 4.0 4.0 5.0 3.0 3.0 3.0 2.5 3.0 3.0 5.0 3.0 3.0 4.0 65.5
1,500 3,500 2,000 2,500 3,500 3,500 3,500 3,500 1,500 3,500 2,500 3,500 3,500 3,500 3,000 3,500 4,000 3,000 3,000 3,000 61,000
Harga (Rp)/kg
Nilai Manfaat (Rp/thn)
8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000 8,000
12,000,000 28,000,000 16,000,000 20,000,000 28,000,000 28,000,000 28,000,000 28,000,000 12,000,000 28,000,000 20,000,000 28,000,000 28,000,000 28,000,000 24,000,000 28,000,000 32,000,000 24,000,000 24,000,000 24,000,000 488,000,000 24,400,000 7,450,382
Luas tambak (ha) 2.0 2.5 2.0 3.5 4.0 3.0 3.0 4.0 2.0 4.0 3.0 3.0 3.0 2.5 3.0 3.0 5.0 3.0 3.0 4.0
Produksi/thn (kg/thn) 45 55 60 85 90 80 75 85 50 90 75 60 65 50 65 60 90 65 75 80
Harga (Rp)/kg 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000
Nilai Manfaat (Rp/thn) 180,000 220,000 240,000 340,000 360,000 320,000 300,000 340,000 200,000 360,000 300,000 240,000 260,000 200,000 260,000 240,000 360,000 260,000 300,000 320,000
Jumlah 62.5 Rata-rata per responden Rata-rata per ha
1,400
4,000
5,600,000 280,000 89,600
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No 2
Manfaat
Responden
Pencari Benih Bandeng
Produksi/hari
Produksi/thn
Harga
(ekor)
(ekor/thn)
(Rp)/ekor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
65 100 85 78 90 95 60 55 72 96
21,775 33,500 28,475 26,130 30,150 31,825 20,100 18,425 24,120 32,160
500 500 500 500 500 500 500 500 500 500
Jumlah 796 266,660 Rata -rata 80 26,666 Rata-rata per ha : Rp. 133.330.000,- dibagi dengan luasan hutan lindung.
Nilai Manfaat (Rp/thn)
10,887,500 16,750,000 14,237,500 13,065,000 15,075,000 15,912,500 10,050,000 9,212,500 12,060,000 16,080,000
133,330,000 13,333,000 Diasumsikan benih bandeng
didapatkan dari perkembangbiakan di hutan lindung, yaitu : Rp. 2.978.776,- per ha per tahun.
No
3
Manfaat
Responden
Pencari cacing
Produksi/hari
Produksi/thn
Harga
(cup)
(cup)
(Rp)/cup
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15 10 8 12 11 15 14 12 10 13
5475 3650 2920 4380 4015 5475 5110 4380 3650 4745
2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000
Nilai Manfaat (Rp/thn) 10,950,000 7,300,000 5,840,000 8,760,000 8,030,000 10,950,000 10,220,000 8,760,000 7,300,000 9,490,000
Jumlah 120 43800 87,600,000 Rata -rata 12 4380 8,760,000 Rata-rata per ha : Rp. 87.600.000,- dibagi dengan luasan hutan lindung, responden mencari cacing laut di sekitar hutan lindung , yaitu : Rp. 1.957.105, - per ha per tahun.
No 4
Manfaat Pemancingan
Resp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Frekuensi
Produksi/frek
Produksi/thn
Harga
per bulan 7 kali 6 kali 8 kali 5 kali 6 kali 4 kali 6 kali 7 kali 6 kali 8 kali
(kg) 1 1 1.5 1 2 1 1 1.5 2 2
(kg/thn) 84 72 144 60 144 48 72 126 144 192
(Rp)/kg 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000 4,000
Nilai Manfaat (Rp/thn) 336,000 288,000 576,000 240,000 576,000 192,000 288,000 504,000 576,000 768,000
Jumlah 14 1086 4,344,000 Ratarata 1.4 60 434,400 Rata-rata per ha : Rp. 2.400.000,- dibagi dengan luasan hutan lindung, responden memancing di sekitar hutan lindung , yaitu : Rp. 97.051,- per ha per tahun.
5. Perhitungan Nilai Kayu Mangrove • Potensi volume kayu didekati dari nilai dominansi tegakan dan rata-rata tinggi tegakan. • Dominansi di hu tan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke rata -rata : 5,87 2
m /ha dan tinggi rata-rata tegakan mangrove : 3,5 m (Dinas Kehutanan DKI Jakarta 2000). 2
3
• Potensi volume kayu didapatkan sebesar : 5,87 m /ha x 3,5 m = 20,545 m /ha. 3
• Berat jenis kayu bakau : 0,84 gr/cm (FAO 1994 dalam Hilmi 2003). • Hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke dengan luas 69,78 ha, diasumsikan 75% ditumbuhi vegetasi mangrove yang baik. 3
3
• Total Volume kayu di kedua kawasan : 20,545 m /ha x 69,78 ha x 840 kg/m x 75% = 903186,963 kg atau 903,2 ton kayu bakau. • Harga kayu bakau sebagai sortimen kayu bakar : Rp. 151.000,- per ton (http://www.dprin.go.id) dibuka 29 Mei 2006. • Nilai kayu sebagai sortimen kayu bakar : 903,2 ton x Rp. 151.000/ton = Rp. 136.383.200,- per tahun atau Rp. 2.605.965,- per ha per tahun.
Lampiran 2. Perhitungan Manfaat Tidak Langsung 1.
Penahan Abrasi Pantai • Panjang pantai di kawasan Hutan Angke Kapuk yaitu sepanjang hutan lindung adalah 5000 m. • Harga break water dengan ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m dan daya tahan 10 tahun 3
adalah Rp. 4.163.880/m (Aprilwati 2001) • Biaya pembuatan break water : Rp. 20.819.400.000,- per 10 tahun, maka biaya per tahunnya adalah Rp. 2.081.940.000,- pada saat nilai dollar tahun 2001 diasumsikan nilainya Rp. 8.500,- (http://www.depkeu.go.id/Ind/currency/ ) dibuka 3 Juli 2006. • Pada saat penelitian, nilai dollar diasumsikan pada level Rp. 9.300, -, maka biaya pembuatan break water per tahun adalah Rp. 2.277.887.294,-. • Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi pantai diestimasi dari biaya pembuatan break water yaitu : Rp. 2.277.887.294,• Nilai manfaat tidak langsung sebagai penahan abrasi pantai dalam satuan ha : Rp. 2.277.887.294,- per tahun di bagi dengan luasan hutan lindung, yaitu : Rp. 50.891.137,- per ha per tahun. 2.
Penyerap Karbon • Potensi karbon Rhizophora mucronata : 3258,34 kg/ha – 3957,44 kg/ha (Hilmi 2003), untuk estimasi penelitian ini diambil rata -ratanya yaitu 3607,89 kg/ha. • Untuk perhitungan karbon diasumsikan hanya pada kawasan hutan lindung dan Suaka Margasatwa Muara Angke (69,78 ha) karena kedua kawasan mempunyai vegetasi mangrove yang relatif masih baik. • Harga satu ton karbon adalah : US $ 10 per ha (ITTO & FRIM 1994 dalam Widada 2004), pada saat tahun 1994 nilai dollar diasumsikan pada level Rp. 2.100 ,(http://www.indonesia.go.id/produk_uu/isi/pp2001/) dibuka 3 Juli 2006. • Saat penelitian, nilai dollar diasumsikan pada level Rp. 9.300,-. Maka harga satu ton karbon sekarang diasumsikan mendekati sebesar US $ 44,3 per ha. • Nilai manfaat tidak langsung sebagai penyerap karbon : 3,60789 ton/ha x 44,3 x Rp. 9.300,- x 69,78 ha = Rp. 103.722.011,- per tahun atau Rp.1.486.415,- per ha per tahun.
3. Pen jaga Kestabilan Siklus Makanan • Unsur hara Nitrogen di Angke Kapuk yaitu 10,5 kg/ha setara dengan 23,33 pupuk urea, dan unsur hara Pospor 4,73 kg/ha atau setara dengan 13,11 kg pupuk SP-36 (Sukardjo 1995). • Harga pupuk urea dan pupuk SP-36 masing-masing Rp. 1.100,-/kg dan Rp. 1.500,/kg (http://www.deptan.go.id/berita/pupuk/puk-subs.htm ) dibuka 28 Februari 2006. • Nilai manfaat tidak langsung sebagai penjaga kestabilan siklus makanan : Rp. 45.328,- per ha per tahun atau Rp. 8.164.026, - per tahun.
Lampiran 3. Perhitungan Nilai Manfaat Pilihan dan Manfaat Pewarisan. Nilai Manfaat Pilihan • Nilai Biodiversity hutan mangrove adalah US $ 15 per ha per tahun (Ruitenbeek 1992 dalam Handayani 2004), pada saat tahun 1992 tersebut nilai dollar diasumsikan pada level Rp. 2.020, - (http://www.pajak.go.id/peraturan/view_doc/) dibuka 3 Juli 2006. • Nilai kurs dollar saat penelitian diasumsikan pada level Rp. 9.300,-, maka nilai bidoversity pada saat sekarang diasumsikan sebesar US $ 69,1 per ha per tahun. • Luas hutan mangrove pada areal penelitian 180,11 ha • Ni lai manfaat pilihan diestimasi dari nilai biodiversity adalah : 69,1/ha/thn x Rp. 9.300,- x 180,11 ha = Rp. 115.744.089,- per tahun. • Nilai manfaat pilihan dalam satuan ha : 69,1/ha/thn x Rp. 9.300,- = Rp. 642.630,per ha per tahun.
Nilai Manfaat Pewarisan • Jumlah bibit bakau yang dihasilkan dari hutan lindung 10.000 bibit per tahun. • Luas hutan lindung 44,76 ha. • Harga bibit bakau : Rp. 3.500, - (bibit dengan tinggi 5 0 cm) • Nilai manfaat pewarisan diestimasi dari harga jumlah bibit yang dihasilkan yaitu : 15.000 x Rp. 3.500,- x 44,76 = Rp. 35.000.000,- per tahun. • Nilai manfaat pewarisan dalam satuan ha : 10.000/44,76 x Rp. 3.500,- = Rp. 780.500,- per ha per tahun.
Lampiran 4. Perhitungan Nilai Manfaat Keberadaan Responden
Alamat
Umur (thn)
Status
Pekerjaan
Pendidikan
Ketersediaan Membayar (Rp/ha/thn)
1
Kamal Muara
30
SMA
staf kelurahan
36000
2
Kamal Muara
45
Sarjana
staf kelurahan
42000
3
Kamal Muara
50
SD
petambak
18000
4
Kamal Muara
34
Tidak Tamat SD
penjaga tambak
12000
5
Kamal Muara
35
SMA
wiraswasta
60000
6
Kamal Muara
47
SMP
wiraswasta
48000
7
Kamal Muara
40
SMA
pedagang
54000
8
Kamal Muara
36
SD
petambak
12000
9
Kamal Muara
27
SMA
staf kelurahan
48000
10
Kamal Muara
46
SMA
pedagang
54000
11
Kamal Muara
38
SD
buruh
18000
12
Kamal Muara
49
SD
petambak
24000
13
Kamal Muara
47
Sarjana
wiraswasta
84000
14
Kamal Muara
52
SD
petambak
18000
15
Kamal Muara
45
Sarjana
staf kelurahan
60000
16
Kapuk Muara
50
SMP
staf kelurahan
18000
17
Kapuk Muara
39
SMP
staf kelurahan
18000
18
Kapuk Muara
45
SMA
wiraswasta
60000
19
Kapuk Muara
39
SMP
karyawan pabrik
36000
20
Kapuk Muara
37
SMP
buruh bangunan
24000
21
Kapuk Muara
50
SMP
pedagang
30000
22
Kapuk Muara
42
SMA
wiraswata
54000
23
Kapuk Muara
51
Sarjana
wiraswata
60000
24
Kapuk Muara
45
Sarjana
staf kelurahan
42000
25
Kapuk Muara
37
SMA
pedagang
36000
26
Kapuk Muara
29
SMP
buruh
12000
27
Kapuk Muara
32
SMA
karyawan pabrik
36000
28
Kapuk Muara
35
SMP
buruh pabrik
24000
29
Kapuk Muara
36
SMA
staf kelurahan
42000
30
Kapuk Muara
48
Sarjana
wiraswasta
60000
31
Pluit
50
SD
nelayan
12000
32
Pluit
49
SD
nelayan
12000
33
Pluit
39
SMA
pedagang
48000
34
Pluit
55
SMP
nelayan
18000
l35
Pluit
47
SMA
pedagang
36000
36
Pluit
51
SMA
pedagang
36000
37
Pluit
36
SMP
buruh
24000
38
Pluit
45
SMA
staf kelurahan
36000
39
Pluit
49
Sarjana
wiraswasta
72000
40
Pluit
38
SMA
staf kelurahan
36000
41
Pluit
31
SMA
karyawan
48000
42
Pluit
55
SD
nelayan
12000
43
Pluit
55
SMA
wiraswasta
60000
44
Pluit
34
SMP
buruh
18000
45 46
Pluit Pluit
46 47
SD SMA
nelayan staf kelurahan
12000 36000
47
Pluit
39
Tidak Tamat SD
nelayan
12000
48
Pluit
41
Sarjana
karyawan
60000
49
Pluit
34
SMA
staf kelurahan
48000
50
Pluit
25
SMP
buruh
18000
51
Pluit
46
SD
nelayan
12000
52
Pluit
38
SMA
staf kelurahan
36000
53
Pluit
43
Sarjana
wiraswasta
72000
54
Pluit
50
SD
nelayan
18000
55
Pluit
40
SMA
staf kelurahan
Jumlah (Rupiah) Rata-rata kesediaan membayar (Rupiah) Populasi (N)Jumlah KK Kelurahan Pluit, Kamal Muara dan Kapuk Muara Nilai Manfaat Keberadaan (N x rata-rata kesediaan membayar) Nilai Manfaat Keberadaan (Rupiah/ha/thn)
42000 2082000 37.854,55,20904 791.311.418,20,4.393.489,64,-
Lampiran 5. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTP Pantai Indah Kapuk Binary Logistic Regression: kesediaan_td versus perspsi ling; perspsi_ku; ... Link Function:
Logit
Response Information Variable kesediaa
Value 1 0 Total
Count 162 48 210
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant perspsi 2 3 prpsi_ku 1 Pekerjaa 3 usia 1 2 pendidik 3 4 pendptan 2 3 pengelu a 3 4 jmlh tan 2
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
2,81 0,126 3,54 0,164
7,27 12,29
0,26 0,44
201,94 341,39
0,801
1,81 0,267
4,27
0,13
137,74
1,600
0,682
2,35 0,035
4,95
0,72
34,14
0,109 0,253
0,923 0,923
0,12 0,195 0,27 0,288
1,11 3,50
0,24 0,77
5,04 15,91
0,601 1,281
1,449 1,448
0,41 0,017 0,88 0,004
1,82 3,60
0,09 0,19
34,34 67,92
1,836 2,170
0,574 0,574
3,20 0,072 3,78 0,056
6,27 8,76
1,94 2,71
20,22 28,26
-1,140 -2,210
0,481 0,481
-2,37 0,345 -4,59 0,459
0,32 0,11
0,11 0,04
0,91 0,31
-0,163
1,261
-0,13 0,035
0,85
0,08
8,58
Coef -6,101
SE Coef 2,901
Z P -2.10 0,043
1,984 2,507
0,707 0,708
1,452
R-Sq = 87,14% R-Sq(adj) = 86,63%
Lampiran 6. Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk Binary Logistic Regression: WTP versus perspsi lingkngn; perspsi_ku; ... Link Function:
Logit
Response Information Variable WTP
Value 1 0 Total
Count 62 100 162
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant perspsi 2 3 prpsi_ku 1 Pekerjaa 3 usia 2 3 pendidik 3 pendapat 2 3 pengelua 3 4 jmlh tan 2
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
Coef -5,011
SE Coef 1,687
Z P - 2,97 0,004
0,897 1,161
0,588 0,588
1,53 0,096 1,97 0,072
2,45 3,19
0,77 1,01
7,77 10,12
1,631
0,621
2,63 0,222
5,11
1,48
17,62
1,847
1,124
1,64 0,295
6,34
0,70
57,44
1,131 1,909
0,647 0,647
1,75 0,030 2,95 0,040
3,10 3,29
1,08 1,14
8,91 9,46
1,142
1,186
0,96 0,078
3,13
0,31
32,03
1,778 1,942
1,521 1,521
1,17 0,269 1,28 0,096
5,92 6,97
0,56 0,66
62,31 73,37
-0,867 -1,022
1,485 1,485
- 0,58 0,411 - 0,69 0,290
0,42 0,36
0,04 0,03
4,33 3,71
-0,654
1,702
- 0,38 0,082
0,52
0,05
5,78
R-Sq = 85,56% R-Sq(adj) = 84,80%
Lampiran 7. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTA Petambak Binary Logistic Regression: bersedia_tdk versus code persepsi; prpsi_ku; ... Link Function:
Logit
Response Information Variable bersedia
Value 1 0 Total
Count 28 4 32
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant code per 2 3 prpsi_ku 1 usia 2 3 pendidik 3 pendapat 1 2 pengelua 2 jmlh tan 2 3
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
Coef -1,775
SE Coef 2,731
Z P - 0,65 0,078
1,191 1,227
1,011 1,800
1,18 0,197 0,68 0,405
3,29 3,41
0,49 0,12
21,93 97,43
0,399
1,621
0,25 0,455
1,49
0,05
41,39
0,993 1,092
1,425 1,603
0,70 0,150 0,68 0,168
2,70 2,98
0,10 0,09
71,05 102,76
-1,171
1,970
- 0,59 0,082
0,31
0,01
12,92
-0,083 -1,109
2,019 2,010
- 0,04 0,047 - 0,55 0,031
0,92 0,33
0,02 0,01
46,00 16,50
1,963
2,237
0,88 0,243
7,12
0,11
474,67
2,244 2,773
2,267 2,264
0,99 0,061 1,22 0,082
9,43 16,01
0,13 0,23
663,35 1126,22
R-sq = 81,78% R-(adj) = 75,40%
Lampiran 8. Hasil Regresi Logistik Nilai WTA Petambak
Binary Logistic Regression: wta versus code persepsi; prpsi_ku; ... Link Function:
Logit
Response Information Variable wta
Value 1 0 Total
Count 20 8 28
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant code per 2 3 prpsi_ku 1 usia 2 3 pendidik 3 pendapat 1 2 pengelua 2 jmlh tan 2 3
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
Coef -1,358
SE Coef 2,969
Z P - 0,46 0,099
1,366 1,611
2,582 1,836
0,53 0,175 0,88 0,305
3,92 5,01
0,04 0,09
349,44 278,33
0,086
1,821
0,05 0,428
1,09
0,02
60,55
1,138 1,324
1,994 2,184
0,57 0,150 0,60 0,168
3,12 3,76
0,06 0,06
149,76 235,00
-0,734
1,975
0,3 7 0,082
0,48
0,01
14,88
-0,020 -0,538
0,672 1,284
- 0,03 0,009 - 0,41 0,031
0,98 0,58
0,14 0,06
6,74 5,31
2,117
1,421
1,49 0,057
8,31
0,31
8,27
2,174 2,524
2,375 2,527
0,91 0,054 0,99 0,094
8,79 12,48
0,13 0,14
611,86 1134,54
R-Sq = 80,82% R-Sq(adj) = 74,11%