REGENERASI NUTRIEN AKIBAT BIOTURBASI DI KAWASAN REKLAMASI MANGROVE MUARA ANGKE KAPUK – JAKARTA
ANNA IDA SUNARYO P
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi Di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2011
Anna Ida Sunaryo P NRP. C551090011
ABSTRACT ANNA IDA SUNARYO P. Nutrient Regeneration As Bioturbation Result in Muara Angke Kapuk Mangrove Reclamation – Jakarta. Under direction of TRI PRARTONO and ALAN F. KOROPITAN Bioturbation is an activity of digging, crawling, and eating sediment by benthic and able to give the effect of nutrient regeneration with the highest regeneration activity conducted by digging. Those activities presumably as one of water column nutrient sources in mangrove reclaimed of Muara Angke Kapuk which affected by waste and heavy metal from Cengkareng drain. This study aims to investigate the relevance of nutrients regeneration (fluxes) and bioturbation activity that occur in mangrove reclaimed of Muara Angke Kapuk through identifying of benthic bioturbation physical characteristics using resin cast method, measuring the nutrient profile in the pore water of bioturbation and non bioturbation regions, as well as analyzing nutrients fluxes behavior using sensitivity analysis of QUAL2K model. The observations results show the presence of four physical characteristics of the bioturbation burrows: single, Ushaped, Y-shaped, and complex; with the dominance of a single character. The existence of bioturbation burrows play an important role in the sediment, particularly the inversely vertical concentration profile and nutrients fluxes on bioturbation and non bioturbation regions. The fluxes in bioturbation region are mainly controlled by porosity as dominant parameter, followed by phytoplankton (chlorophyll a) abundance, nutrients concentration and DO parameters. Keywords: bioturbation, regeneration, pore water, nutrient fluxes
RINGKASAN ANNA IDA SUNARYO P. Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan ALAN F. KOROPITAN. Bioturbasi merupakan aktifitas biota bentik berupa gerakan menggali, merangkak, dan memakan sedimen, yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan letak dan ciri sedimen, pencampuran partikel sedimen dan perubahan komposisi biota bentik itu sendiri. Hal tersebut mengakibatkan bioturbasi mampu mempengaruhi kondisi nutrien, pada sedimen dan kolom air, melalui pengaruh keberadaan liang terhadap konsentrasi nutrien maupun fluks nutrien dari sedimen menuju kolom air atau sebaliknya. Namun demikian berapa besar kontribusi bioturbasi itu sendiri belum dijelaskan lebih detail, padahal nilai kontribusi bioturbasi ini perlu diperhitungkan dalam mengkaji regenerasi nutrien suatu perairan, khususnya perairan intertidal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan fluks nutrien dan aktifitas biologi di sedimen yang disebabkan oleh proses bioturbasi di ekosistem mangrove melalui identifikasi karakteristik fisik bioturbasi biota bentik yang meliputi bentuk, kedalaman, dan diameter, mengukur profil nutrien yang terdapat di pore water pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi di daerah mangrove, memprediksi fluks nutrien pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi, dan memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi fluks nutrien di daerah bioturbasi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2011 di kawasan reklamasi mangrove Muara Angke Kapuk, Jakarta, melalui lima tahap, yaitu studi pendahuluan, desain penelitian, rancangan alat pengambilan sampel pore water, pengambilan dan analisis sampel, dan pengolahan data. Studi pendahuluan dilakukan secara visual untuk mengetahui kondisi lapangan, termasuk kondisi substrat dan liang bioturbasi. Hasil studi pendahuluan ini digunakan untuk menentukan desain penelitian dan rancangan alat pengambilan sampel. Desain penelitian menentukan beberapa hal, seperti jumlah stasiun sampling, aktifitas bioturbasi, jenis nutrien, dan tahapan pengambilan sampel. Hasil desain penelitian adalah penggunaan dua stasiun sampling, yaitu lokasi bioturbasi dan non bioturbasi, pada ruang areal lingkup penelitian yang sama dengan masingmasing stasiun dibagi menjadi tiga titik berurutan dari darat hingga mendekati laut. Kemudian jenis aktifitas bioturbasi yang akan diamati adalah aktifitas meliang dengan pelaku aktifitas diasumsikan secara global (tidak dibedakan liang berdasarkan spesies biota) dan nutrien yang akan diukur meliputi amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat dengan urutan pengambilan sampel adalah sampel pore water, sampel cetakan liang bioturbasi, dan sampel sedimen. Pengambilan sampel pore water dilakukan menggunakan alat yang dirancang berdasarkan studi pendahuluan dan merupakan modifikasi dari prinsip pore water pepper Buffle dan De Vitre (1994). Pada pelaksanaan sampling, alat ini dibiarkan selama 3 hari untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup sekaligus untuk menghomogenkan kondisi pore water dalam alat. Setelah itu sampel diambil menggunakan syringe 50 ml dan dimasukkan dalam 2 botol sampel yang berbeda. Botol sampel pertama digunakan untuk pengukuran insitu, yaitu pH dan DO, dan botol kedua langsung dimasukkan dalam cool box untuk dibawa ke laboratorium dan dianalisis nutriennya. Sampel cetakan liang bioturbasi diperoleh dengan menggunakan metode resin cast menurut Atkinson dan Chapman (1984) diacu dalam Nickell dan Atkinson (1995), yaitu dengan
mencampurkan resin dan 2% polyester kemudian dituangkan dalam liang-liang bioturbasi dan dibiarkan selama 3 hari. Setelah 3 hari, cetakan tersebut diambil dan diukur morfologi fisiknya berdasarkan metode pengukuran Li et al. (2008) yang meliputi pengukuran SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu diameter shaft dalam), DO (distance opening yaitu jarak antara lubang permukaan satu dengan yang lain), UD (Udepth yaitu kedalaman yang diukur dari lubang permukaan hingga batas percabangan liang yang terbentuk di dalam sedimen), CS (central shaft yaitu kedalaman liang yang diukur dari batas percabangan hingga ujung bawah liang), dan TD (total depth yaitu kedalaman liang secara keseluruhan). Sampel terakhir yang diambil adalah sampel sedimen. Sampel sedimen ini diperoleh dengan 2 metode, yaitu metode sedimen terganggu untuk analisis jenis dan ukuran butir, dan metode sedimen tidak terganggu untuk analisis porositas dan permeabilitas sedimen. Tahapan terakhir dalam metode penelitian adalah analisis data. Data-data yang sudah diperoleh dianalisis secara berbeda. Data ukuran morfologi fisik liang bioturbasi dianalisis secara deskriptif, sedangkan data nutrien digunakan dalam pembuatan profil vertikal nutrien yang terdapat pada pore water lokasi bioturbasi dan non bioturbasi. Kedua profil yang diperoleh dibandingkan dan dianalisis secara deskriptif. Data nutrien juga digunakan dalam prediksi fluks nutrien dan identifikasi faktor dominan yang mempengaruhi fluks yang terjadi pada lokasi bioturbasi, bersama dengan penggunaan data sedimen. Cetakan liang bioturbasi yang diperoleh berjumlah 19 buah cetakan dan menunjukkan adanya 4 tipe liang, yaitu tunggal (menyerupai huruf I), bentuk U, bentuk Y, dan kompleks. Pada 19 cetakan, dominasi karakter fisik liang adalah bentuk tunggal, sehingga tidak semua liang memiliki unsur DO, UD, dan CS. Dominasi karakter tersebut disebabkan karena penggunaan liang yang diduga untuk berlindung dan memenuhi kebutuhan mencari makan organisme secara individu maupun berkelompok. Keberadaan liang-liang tersebut ternyata dapat mempengaruhi konsentrasi nutrien yang terdapat pada pore water. Hal tersebut terlihat dari profil vertikal konsentrasi nutrien yang berbanding terbalik antara lokasi bioturbasi dan non bioturbasi. Pore water lokasi bioturbasi memiliki kandungan DO yang lebih tinggi akibat adanya interaksi antara permukaan sedimen dan bagian dalam sedimen dibandingkan lokasi non bioturbasi. Hal tersebut mengakibatkan adanya domnasi reaksi aerob (reaksi nitrifikasi) pada lokasi bioturbasi, sehingga merubah NH4 menjadi NO2 kemudian NO3 sebagai hasil akhir. Reaksi nitrifikasi tersebut mengakibatkan penurunan NH4 dan peningkatan NO3 seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berkebalikan dengan reaksi tersebut, pada lokasi non bioturbasi yang cenderung anaerob. Pore water mengalami reaksi denitrifikasi yang merubah NO3 menjadi NO2 dan kemudian NH4 sebagai hasil akhir sehingga NO3 justru menurun dan NH4 meningkat. Meski demikian, pada kedua lokasi tidak selalu terjadi reaksi yang berkebalikan. Pada PO4, peningkatan konsentrasinya pada lokasi non bioturbasi lebih disebabkan karena adanya reduksi Fe3+ menjadi Fe 2+ yang memiliki daya ikat lebih rendah, sehingga PO4 yang semula terikat pada partikel sedimen terlepas dan menjadi ion bebas pada pore water. Reduksi Fe tersebut tidak berlaku pada pore water bioturbasi. Hal ini karena adanya kesamaan profil Fe3+ dan Fe2+ pada sedimen bioturbasi dan non bioturbasi (Lagauzére et al., 2011), sehingga perubahan PO4 (peningkatan hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun) lebih disebabkan karena adanya perubahan masukkan PO4 dari permukaan yang seiring dengan perubahan lebar liang, serta adanya pemanfaatan PO4 oleh mikroorganisme dalam liang bioturbasi.
Perbedaan reaksi dan proses di atas ternyata juga mengakibatkan terjadinya perbedaan fluks nutrien yang dihasilkan kedua lokasi, dimana secara umum fluks yang terjadi sesuai dengan profil konsentrasi nutriennya. Pada lokasi bioturbasi, fluks yang dihasilkan lebih besar dengan arah masing-masing nutrien yang berlawanan. NH4 pada lokasi bioturbasi menurun, mengakibatkan adanya aliran fluks dari dalam sedimen keluar menuju kolom air (efflux), NO3 mengalami aliran masuk ke dalam sedimen (influx), dan PO4 mengalami perubahan dari influx menjadi efflux pada kedalaman dimana PO4 mengalami perubahan konsentrasi. NH4 pada lokasi non bioturbasi justru mengalami influx, NO3 mengalami efflux, dan PO4 mengalami influx. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bioturbasi yang terjadi tidak hanya mampu merubah konsentrasi nutrien saja, namun juga mampu mempengaruhi fluks nutrien yang mengakibatkan terjadinya perubahan ketersediaan nutrien, baik di permukaan maupun dalam sedimen. Fluks yang terjadi pada lokasi bioturbasi tersebut di atas tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi merupakan hasil interaksi berbagai faktor. Hasil prediksi pada analisis sensitivitas terhadap faktor dominan yang mempengaruhi fluks tersebut menunjukkan bahwa perubahan porositas yang terjadi memiliki indeks sensitivitas tertinggi dengan rata-rata perubahan fluks NH4 tertinggi pula, diikuti oleh perubahan parameter kelimpahan fitoplankton (klorofil a), konsentrasi nutrien, dan DO.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
REGENERASI NUTRIEN AKIBAT BIOTURBASI DI KAWASAN REKLAMASI MANGROVE MUARA ANGKE KAPUK – JAKARTA
ANNA IDA SUNARYO P
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian Nama NRP
: Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta : Anna Ida Sunaryo P : C551090011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Alan F. Koropitan, M.Si Anggota
Dr. Tri Prartono, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Tanggal Ujian : 12 September 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr.
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Kawasan reklamasi mangrove di Muara Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan reklamasi yang dikelola BKSDA Muara Angke untuk menjaga kestabilan ekosistem khususnya di Teluk Jakarta. Kawasan reklamasi yang terletak di sebelah barat muara saluran Cengkareng ini tidak lepas dari pengaruh limbah sampah dan logam berat yang mencemari saluran Cengkareng. Hal ini terlihat dari tumpukan sampah yang bahkan menutupi permukaan sedimen mangrove. Meski demikian, pada kawasan reklamasi ini masih dapat kita temukan berbagai jenis biota bentik dan satwa burung yang menandakan bahwa kawasan ini masih mampu mensuplai nutrien yang cukup untuk ekosistemnya. Kondisi kawasan mangrove yang cukup tertutup karena adanya batu-batu besar di sekeliling mangrove mengakibatkan adanya dugaan minimnya masukkan nutrien dari luar kawasan dan tingginya sirkulasi nutrien secara internal melalui proses regenerasi terutama akibat akitifitas organisme bentik (bioturbasi). Fokus utama dari penulisan tesis ini adalah mengkaji bagaimana bentuk bioturbasi
(khususnya
meliang)
dan
bagaimana
pengaruhnya
terhadap
konsentrasi dan fluks nutrien yang dihasilkan, serta memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi regenerasi nutrien akibat bioturbasi tersebut. Pada hasil penulisan tesis ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami peran penting organisme bentik pada ekosistem, serta kaitannya dengan fungsi mangrove terhadap efek rumah kaca. Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Bogor, Oktober 2011 Ttd
Anna Ida Sunaryo P
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung terselesaikannya tesis ini. 1. Dr. Tri Prartono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan tentang oseanografi kimia yang sangat membantu dalam proses pembelajaran. 2. Dr. Alan F. Koropitan, M.Si. Selaku anggota komisi pembimbing dan yang banyak
memberikan
masukan,
kritikan,
dan
arahan
dalam
upaya
penyelesaian penulisan tesis ini. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak motivasi dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis. 4. Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi yang banyak memberikan saran dalam penyempurnaan hasil penelitian. 5. BKSDA Muara Angke atas ijin, kerjasama dan arahan yang baik dalam proses pelaksanaan penelitian. 6. Kedua Orang Tua (Ayahanda Sunaryo P dan Ibunda Farida Hanim) dan seluruh keluarga (Mas Eka, Mbak Kristin, Mas Rozak, Mbak Nita, dan si kecil Rasya) yang tidak berhenti memberikan doa restu, dukungan dan motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha. 7. Yulianto Suteja
atas bantuan, dukungan, semangat dan motivasi dalam
penyelesaian studi. 8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang Lumban, Maria, Ai, Wahyu, Kahar, Kapten Toni, Mbak Citra, Cak Roni, Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias), dan teman-teman Lab. Data Processing (Oli, Erlan, Kemal, Kris, Santos, Resni, Risni, Dipo) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta dorongan selama menempuh belajar bersama, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1983 di Waingapu – NTT sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Sunaryo Purwiyanto dan Farida Hanim Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SD PL Santo Yusup Semarang tahun 1994. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah ke SMP PL Domenico Savio Semarang dan lulus tahun 1997. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan tahun 2000 di SMAN 3 Semarang. Penulis kemudian masuk perguruan tinggi melalui program SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2000 di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro dan selesaikan studinya tahun 2005 dengan lama studi 4 tahun 6 bulan. Pada Tahun 2006 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Penulis diberi kesempatan melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun 2009. Selama mengikuti perkuliahan Magister, penulis ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor, turut aktif dalam organisasi kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan (WATERMASS IKL). Untuk menyelesaikan studi, penulis melaksanakan penelitian dan tesis yang berjudul “Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta”
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xxv DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxvii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xxix
1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3 Kerangka Pikiran ............................................................................... 1.4 Tujuan dan Manfaat ..........................................................................
1 1 2 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2.1 Mangrove .......................................................................................... 2.2 Bioturbasi .......................................................................................... 2.2.1 Pengertian dan Proses Bioturbasi ........................................... 2.2.2 Morfometri Bioturbasi............................................................... 2.3 Sedimen............................................................................................ 2.3.1 Sifat Fisik Sedimen.................................................................. 2.3.2 Sifat Kimiawi Sedimen ............................................................. 2.4 Fluks Nutrien ..................................................................................... 2.4.1 Konsep Fluks Nutrien .............................................................. 2.4.2 Pemodelan Fluks Nutrien ........................................................ 2.5 QUAL2K............................................................................................
7 7 8 8 9 11 11 14 15 15 19 21
3 METODE PENELITIAN ............................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 3.2 Alat dan Bahan.................................................................................. 3.3 Prosedur Penelitian ........................................................................... 3.3.1 Studi Pendahuluan .................................................................. 3.3.2 Desain Penelitian..................................................................... 3.3.3 Rancangan Alat ....................................................................... 3.3.4 Teknik Sampling ...................................................................... 3.4 Perolehan Data ................................................................................. 3.4.1 Sedimen .................................................................................. 3.4.2 Morfologi Bioturbasi................................................................. 3.5 Analisis Data ..................................................................................... 3.5.1 Karakteristik Bioturbasi dan Profil Nutrien................................ 3.5.2 Regenerasi (Fluks) Nutrien...................................................... 3.5.3 Analisis Sensitivitas QUAL2K .................................................. 3.6 Asumsi Model QUAL2K.....................................................................
23 23 23 23 23 24 25 25 27 27 28 29 29 29 31 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian .............................................................. 4.2 Karakteristik Fisik Bioturbasi ......................................................... 4.3 Profil Nutrien................................................................................. 4.4 Fluks Nutrien................................................................................. 4.4.1 Fluks Nutrien Pada Lokasi Bioturbasi.................................. 4.4.2 Fluks Nutrien Pada Lokasi Non Bioturbasi .......................... 4.5 Analisis Sensitivitas Model QUAL2K.............................................
33 33 33 42 50 50 53 57
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 65 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 65 5.2 Saran............................................................................................ 65 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 67 LAMPIRAN ................................................................................................... 73
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi bahan organik pada sedimen mangrove R.mangle dan A.schaureiana......................................................................................... 8
2
Ukuran butir berdasarkan Udden-Wentworth .......................................... 13
3
Koefisien difusi ion .................................................................................. 21
4
Alat dan bahan yang digunakan di lapangan........................................... 24
5
Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium ..................................... 24
6
Karakteristik fisik cetakan (cast) liang bioturbasi ..................................... 34
7
Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat penambahan parameter ............................................... 58
8
Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat pengurangan parameter............................................... 60
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Sketsa morfologi liang bioturbasi polychaeta yang menyerupai huruf J... 10
2
Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh bivalvia................................. 10
3
Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh kepiting (Uca pugnax) ......... 11
4
Komponen penyusun sedimen................................................................ 12
5
Proses redoks bahan organik yang terjadi dalam sedimen ..................... 14
6
Profil nutrien dalam porewater yang menunjukkan perubahan konsentrasi yang berbeda akibat keberadaan organisme bioturbasi ....... 18
7
Hubungan positif yang dihasilkan antara fluks nutrien dan kelimpahan bentik ...................................................................................................... 19
8
Lokasi penelitian ..................................................................................... 23
9
Rancangan pore water profiler yang digunakan dalam pengambilan sampel pore water .................................................................................. 26
10 Pengukuran morfologi fisik liang bioturbasi ............................................. 29 11 Skematik model QUAL2K untuk perhitungan fluks nutrien ...................... 30 12 Sistem box model QUAL2K yang mewakili kondisi sedimen dan pore water pada daerah di antara 2 kedalaman ...................................... 30 13 Posisi connection shaft yang berfungsi sebagai tempat terjadinya reproduksi dalam liang bioturbasi............................................................ 41 14 Profil NH4+, pada pore water sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi ....................................... 43 15 Profil NO2-, NO3- dan PO43- pada pore water sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi ...... 44 16 Profil DO (mg/l) pada pore water sedimen menurut kedalaman (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi .............................................. 45 17 pH porewater menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi .................................................................................. 48 18 Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi bioturbasi ... 51 19 Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi non bioturbasi ............................................................................................... 54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kondisi Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk ................. 75
2
Porewater profiler dan Ring sampler ....................................................... 76
3
Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi bioturbasi (B1-B3) ....... 77
4
Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi non bioturbasi (N1-N3)................................................................................................... 79
5
Konsentrasi nutrien (NH4, NO2, NO3, dan PO4) hasil analisis laboratorium............................................................................................ 81
6
Hasil pengukuran pH dan salinitas.......................................................... 84
7
Hasil analisis sedimen............................................................................. 87
8
Grafik hasil analisis sensitivitas NH4+ pada lokasi bioturbasi ................... 88
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nutrien merupakan unsur kimia yang dibutuhkan organisme dalam sistem metabolisme untuk bertahan hidup dan berkembang. Nutrien diperoleh dari lingkungan habitatnya, sehingga keberadaan nutrien dalam suatu ekosistem sangatlah penting untuk mendukung produktifitas primer dan sekunder yang terdapat dalam ekosistem tersebut. Konsentrasi nutrien berbeda-beda pada tiap perairan tergantung dari kondisi perairan, baik debit air sungai yang dipengaruhi oleh musim, kondisi fisika perairan (pasang surut, gelombang), konsumsi secara biologi, dan regenerasi yang terjadi di perairan. Regenerasi secara umum memiliki pengertian kemampuan untuk mengembalikan atau menggantikan sesuatu yang telah hilang atau mengalami kerusakan. Regenerasi nutrien sendiri merupakan lepasnya nutrien yang berupa bahan organik, yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya dekomposisi detritus, fotosintesis fitoplankton, ekskresi organisme, bioturbasi, maupun proses fisik seperti upwelling, sehingga mengakibatkan perubahan konsentrasi nutrien yang cukup signifikan. Penelitian mengenai budget dan nutrien stoikiometri mampu menunjukkan bahwa regenerasi nutrien di perairan cukup besar, baik inorganik menjadi bentuk organik maupun sebaliknya dan berlangsung dengan cepat, mulai hitungan jam, hari hingga bulan (Neilson dan Cronin, 1981). Zimmerman dan Benner (1994) melakukan penelitian untuk melihat konsentrasi nutrien perairan dan fluks regenerasi nutrien akibat proses dekomposisi akibat bentik, yaitu fluks PO43rendah dan secara umum berasal dari sedimen ke kolom air (berkisar antara 0,03,5 µM m-2 h-1), N+N (nitrat dan nitrit) cukup tinggi, umumnya berasal dari air ke sedimen pada estuari bagian atas (berkisar antara 3,0-17,2 µM m-2 h-1) dan dari sedimen ke kolom air pada estuari bagian bawah (antara 0,6-12,7 µM m-2 h-1), sedangkan regenerasi NH4+ berasal dari sedimen dengan fluks yang cukup tinggi, yaitu antara 3,1-45,2 µM m-2 h-1. Regenerasi nutrien terjadi, baik di kolom air maupun di sedimen. Regenerasi pada kolom air terjadi melalui proses fotosintesa fitoplankton dan proses-proses fisik seperti upwelling, pasang surut, dan gelombang, sehingga regenerasi nutrien di kolom perairan terbatas. Hal ini berbeda dengan regenerasi nutrien yang terjadi di sedimen. Proses-proses dekomposisi dan ekskresi yang terjadi di dalam lapisan sedimen menjadi sumber nutrien yang melimpah, namun
2
sulit teregenerasi ke kolom air, sehingga dibutuhkan suatu transpor aktif, misalnya difusi dan bioturbasi. Bioturbasi merupakan aktifitas menggali maupun merangkak (crawling), dan memakan sedimen, yang dilakukan biota bentik (Thibodeaux dan Bierman, 2003). Aktifitas-aktifitas tersebut ternyata mampu mengakibatkan perubahan letak dan ciri sedimen, pencampuran partikel sedimen dan komposisi biota bentik itu sendiri (Le Hir et al., 2007). Difusi yang dilakukan oleh porewater, meskipun menjadi salah satu jalan regenerasi, namun nutrien yang bisa terbawa tidaklah sebanyak regenerasi non difusi, termasuk bioturbasi. Rasheed et al. (2006) menjelaskan bahwa fluks nutrien hasil regenerasi secara total (termasuk bioturbasi) ternyata lebih besar dibandingkan hasil difusi porewater. Namun demikian berapa besar kontribusi bioturbasi itu sendiri terhadap total fluks yang dihasilkan belum dijelaskan, padahal nilai fluks regenerasi nutrien akibat bioturbasi ini perlu diperhitungkan dalam mengkaji kondisi nutrien suatu perairan intertidal, sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Ekosistem mangrove di kawasan reklamasi Muara Angke Kapuk merupakan ekosistem yang terletak di muara saluran Cengkareng. Meski sebagai kawasan reklamasi, namun ekosistem ini tidak lepas dari berbagai macam tekanan dari lingkungan luar, terutama pencemaran sampah dan limbah yang berasal dari pabrik di sekitar Cengkareng. Pencemaran sampah dapat terlihat dari kondisi fisik saluran Cengkareng maupun daerah di sekitar saluran, dimana sampah-sampah yang tidak dapat terdegradasi menumpuk di sepanjang pinggiran saluran. Pencemaran limbah pada saluran Cengkareng ini ditegaskan oleh Rochyatun dan Rozak (2007) dimana saluran Cengkareng merupakan salah satu perairan bagian Barat Teluk Jakarta dengan kadar logam berat (Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni) yang cukup tinggi. Pencemaran yang terjadi di saluran Cengkareng menyebabkan kondisi muara mendapatkan pengaruh cukup besar, diantaranya adalah sedimen yang berwarna abu-abu kehitaman pada daerah mulut muara. Warna kehitaman tersebut menunjukkan rendahnya oksigen yang terkandung pada mulut muara (Helfinalis et al, 1994). Pencemaran yang terjadi di saluran Cengkareng ini tentu saja akan mempengaruhi ekosistem yang berada di sekitarnya, termasuk juga kawasan reklamasi mangrove. Kawasan reklamasi ini merupakan salah satu bagian dari
3
Suaka Margasatwa Muara Angke yang dikelola oleh BKSDA. Meski terkena imbas pencemaran, namun ternyata kawasan reklamasi mangrove tersebut masih dapat memberi kehidupan pada berbagai macam biota, termasuk berbagai jenis bentos. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya bentos (misalnya kepiting) yang hidup di kawasan reklamasi tersebut. Kondisi di atas menimbulkan dugaan bahwa terjadi siklus nutrien yang cukup tinggi, serta didukung oleh tranport aktif, sehingga mampu mendukung kebutuhan nutrien dalam ekosistem. Kedua aktifitas tersebut dilakukan secara internal yang secara dominasi melibatkan biota-biota dalam ekosistem. Siklus nutrien didukung oleh proses dekomposisi aktif dalam sedimen yang mengubah bahan inorganik menjadi organik, sedangkan transpor aktif didukung oleh tingkah laku biota yang secara sengaja maupun tidak sengaja mengakibatkan terjadinya perpindahan bahan organik hasil dekomposisi dari sedimen menuju kolom air (bioturbasi). Berbagai macam aktifitas bioturbasi diduga memberikan efek regenerasi yang berbeda, dengan regenerasi tertinggi ditimbulkan oleh aktifitas meliang atau menggali (Biles et al., 2002). Bioturbasi dalam bentuk menggali mengakibatkan adanya interaksi sedimen dan kolom perairan yang lebih besar, sehingga baik berupa pertukaran oksigen (Karlson, 2007 in Engelsen et al., 2008), perpindahan partikel sedimen, dan lepasnya nutrien di sedimen juga lebih besar. Nickel et al. (2003) menjelaskan bahwa bioturbasi memberikan fluks yang tinggi pada oksigen dan nutrien (amonium, fosfat, silikat dan nitrat). Fluks oksigen hasil bioturbasi mencapai 434,9 mmol m-2 h-1 dengan arah transpor dari kolom air masuk ke sedimen, sedangkan keseluruhan jenis nutrien mengalami transpor dengan nilai fluks yang berbeda-beda, amonium sebesar 96,83 mmol m-2 h-1, fosfat 14,51 mmol m-2 h-1, silikat 7,87 mmol m-2 h-1, dan nitrat 0,70 mmol m-2 h-1. Masuknya oksigen ke dalam sedimen akibat lubang bioturbasi diduga merubah proses redoks yang terjadi dalam sedimen dan menjadi penyebab terjadinya perubahan konsentrasi nutrien yang kemudian mengalami transpor keluar sedimen bersama dengan air dan partikel sedimen yang berpindah. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktifitas bioturbasi bukan hanya aktifitas yang memang bagian dari tingkah laku biota secara alami, namun memiliki kontribusi
yang
penting
bagi
keberlangsungan
ekosistem
mangrove.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan, yaitu :
4
1. Bagaimana bioturbasi yang terjadi di daerah mangrove reklamasi Muara Angke Kapuk 2. Bagaimana kondisi nutrien pada sedimen (porewater) di daerah bioturbasi di mangrove reklamasi Muara Angke Kapuk 3. Berapa besar bioturbasi mampu mempengaruhi nutrien dan sedimen di daerah mangrove 4. Apa faktor dominan yang mempengaruhi nutrien pada daerah bioturbasi di kawasan mangrove
1.3 Kerangka Pikiran Bioturbasi secara alami dilakukan di substrat lunak, terutama di ekosistem mangrove. Hal tersebut terjadi karena mangrove merupakan ekosistem dengan nutrien dan keanekaragaman serta kelimpahan biota yang tinggi, sehingga secara alami mengalami regenerasi nutrien akibat bioturbasi. Apalagi daerah mangrove merupakan daerah yang tenang dan terlindungi, sehingga pengaruh gelombang sangat minim dan diduga tingginya nutrien di daerah mangrove berasal dari dalam mangrove tersebut. Kelimpahan biota bentik yang tinggi mengakibatkan pelaku bioturbasi, khususnya yang menggali, juga tinggi. Penelitian fluks nutrien sebagai bentuk regenerasi akibat bioturbasi, biasanya dilakukan jenis substrat pasir dengan polychaeta sebagai pelaku utama bioturbasi
dan
pada
skala
laboratorium.
Hasil-hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa memang terjadi perubahan proses kimia dalam sedimen yang menyebabkan terjadinya perubahan distribusi nutrien secara vertikal. Selain itu, fluks nutrien yang mengalami transpor dari sedimen menuju kolom air juga tinggi. Meski demikian, pada penelitian tersebut faktor lain seperti siklus nutrien, kondisi nutrien ketika tidak terjadi bioturbasi, kondisi substrat di kedalaman, belum diperhitungkan. Kondisi dan pengaruh bioturbasi yang terjadi secara alami pada ekosistem mangrove tersebut dapat diketahui dengan melakukan pengamatan secara langsung. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat seberapa besar kontribusi bioturbasi dalam mengatur transpor nutrien dalam ekosistem mangrove tanpa mengesampingkan proses alami lain yang menjadi pendukung maupun penghambat peran bioturbasi itu sendiri. Kondisi nutrien secara vertikal pada sedimen hasil bioturbasi dapat diketahui dengan membandingkan kondisi nutrien daerah bioturbasi dan non bioturbasi pada ekosistem yang sama. Pendekatan
5
faktor pendukung bioturbasi, seperti kondisi substrat, bentuk bioturbasi dan kelimpahan liang bioturbasi, juga dapat diperhitungkan. Pendekatan secara langsung tersebut diharapkan mampu benar-benar menggambarkan transpor nutrien oleh bioturbasi di alam.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan fluks nutrien dan aktifitas biologi di sedimen yang disebabkan oleh proses bioturbasi di ekosistem mangrove melalui : 1. Mengidentifikasi karakteristik fisik bioturbasi biota bentik, seperti bentuk, kedalaman, dan diameter 2. Mengukur profil nutrien yang terdapat di porewater pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi di daerah mangrove 3. Memprediksi fluks nutrien pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi 4. Memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi fluks nutrien di daerah bioturbasi Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk pendugaan stok nutrien di perairan, khususnya daerah mangrove. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai informasi dasar mengenai peranan mangrove dalam efek rumah kaca. Keberadaan liang bioturbasi dapat mengakibatkan perubahan redoks pada sedimen akibat perubahan kandungan oksigen sehingga komposisi hasil reaksi juga berubah. Liang bioturbasi ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya transpor N2O yang merupakan salah satu gas rumah kaca, secara aktif dari sedimen menuju kolom air.
6
7
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mangrove Mangrove sebagai ekosistem merupakan hutan di daerah intertidal yang memiliki tingkat produktifitas sangat tinggi, dan tersebar di sepanjang pantai, terutama pantai tropis. Ekosistem mangrove ini juga merupakan zona penyangga yang mampu menstabilkan zonasi pantai dari erosi laut (Prasad dan Ramanthan, 2008). Ekosistem mangrove tidak hanya mencakup tumbuhan mangrove saja, namun juga termasuk organisme di dalamnya, termasuk bakteri, jamur, mikroalaga, invertebrata, burung, dan bahkan mamalia (Hulgoin et al., 2001). Vegetasi mangrove memiliki peran penting dalam menyediakan bahan organik untuk ekosistem melalui serasah yang terjatuh ke sedimen dan mengalami proses oksik-suboksik-anoksik. Serasah-serasah mangrove, baik daun, ranting, maupun patahan yang lain terdekomposisi dalam sedimen dan menghasilkan bahan organik terlarut (dissolved organic matter / DOM), menjadi sumber regenerasi nutrien. Serasah yang jatuh ke dalam sedimen tersebut mengalami pencucian oleh air laut dan mengakibatkan terlepasnya sejumlah unsur sehingga menghasilkan DOM yang cukup tinggi bagi perairan (Benner et al., 1990 in Kathiresan, 2011), misalnya organik karbon, nitrogen (Fell et al.,1975; Newell et al.,1984; Robertson,1988; in Ashton et al., 1999) terutama kandungan potasium yang sangat mudah tercuci dalam waktu sangat singkat, yaitu 95% dari total potasium (Steinke et al., 1993 in Kathiresan, 2011). Persentase hilangnya material pada daun akibat pencucian berbeda-beda, tergantung pada jenis mangrove (Robertson et al., 1992 in Ashton et al., 1999), dengan proses pencucian yang terjadi dalam 3-28 hari (Cundell et al., 1979; Steinke et al., 1993a ; in Ashton et al., 1999) Proses-proses tersebut mengakibatkan bahan organik dalam sedimen ekosistem mangrove sangat tinggi. Schubauer dan Hopkinson (1984) in Day et al. (1989) mengemukakan bahwa tingkat produktifitas primer pada bagian sedimen ekosistem mangrove secara umum
lebih besar
dibandingkan
produktifitas pada bagian atas ekosistem. Tingkat produktifitas primer bagian atas pada jenis mangrove Spartina alterniflora berkisar antara 0,5-6,2 kg m-2 tahun-1, sedangkan produktifitas primer pada bagian bawah (sedimen) antara 0,3-48,9 kg m-2 tahun-1 (Good et al., 1982 in Day et al., 1989).
8
Namun demikian, secara vertikal, distribusi bahan organik tersebut mengalami perubahan. Pada substrat mangrove jenis Avicenia, konsentrasi Corganik dan N mengalami penurunan hingga 40% dari permukaan menuju kedalaman 15 cm, total CHO (hydrosoluble sugars) menurun dari 2,24-1,41 mg g-1 pada kedalaman intermediate kemudian meningkat lagi hingga 3,83 mg g-1. Hal tersebut berbeda dengan Rhizpora yang justru memiliki distribusi vertikal Corganik, N, dan total CHO yang cenderung konstan. Perubahan konsetrasi distribusi vertikal dan perbedaan antara substrat kedua jenis mangrove tersebut juga terjadi pada bahan organik lainnya (Tabel 1) (Lacerda et al., 1995). Tabel 1
Komposisi bahan organik pada sedimen mangrove R.mangle dan A.schaureiana (Lacerda et al., 1995)
Depth (cm) C-org (%) Nitrogen (%) C/N -1 CHO (mg g ) -1 AA (mg g ) -1 AS (mg g ) CHO-C (% C) AA-C (% C) AS-C (% C) AA-N (% N) AS-N (% N)
1-5 2,80 0,16 17,5 2,47 4,37 0,42 0,36 0,70 0,01 3,70 0,23
Rhizopora 5-10 2,70 0,18 15,0 2,44 2,51 0,22 0,36 0,72 0,05 1,95 0,09
10-15 2,70 0,16 16,9 2,50 2,74 0,23 0,37 0,62 0,03 2,34 0,19
1-5 6,10 0,35 17,4 2,24 6,78 0,40 0,23 0,49 0,02 2,68 0,08
Avicennia 5-10 3,80 0,23 16,5 1,41 1,70 0,11 1,49 1,97 0,10 10,2 0,38
10-15 3,80 0,20 19,0 3,83 6,11 0,61 4,28 6,40 0,51 38,1 2,27
CHO, Total sugars: AA, amino acids, AS, amino sugars; CHO-C, contribution of sugars to the C-org pool; AA-C, AS-C, contributions of AA and AS to the C-org pool, respectively; AA-N, AS-N, contributions of AA and AS to the N-pool
2.2. Bioturbasi 2.2.1. Pengertian dan Proses Bioturbasi Bioturbasi merupakan suatu aktifitas yang dilakukan organisme sehingga menyebabkan terjadinya perubahan letak (displacement) sedimen. Aktifitas tersebut dapat berupa gerakan menggali (digging) maupun menggaruk (crawling), dan memakan sedimen (Richter, 1952 in François et al., 2002; Nickell et al., 2003; Meysman et al., 2003). Mekanisme bioturbasi berbeda pada setiap organisme bentik. Pada beberapa organisme, bioturbasi hanya dilakukan dengan cara memakan sedimen dan kemudian mengekskresikannya kembali. Hasil ekskresi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perubahan ikatan kimia akibat adanya
9
metabolism dan kerja enzim dalam tubuh, sehingga ketika sedimen tersebut diekskresikan terjadilah regenerasi. Organisme lain ada juga yang melakukan bioturbasi dengan menggali sedimen. Cara bioturbasi ini mempengaruhi kondisi ekosistem lebih besar dibandingkan aktifitas memakan sedimen. Hal tersebut karena saat penggalian dilakukan, sejumlah besar sedimen yang berada di bawah permukaan akan dibuang menuju ke permukaan sedimen, sehingga proses-proses kimiawi yang terjadi pada lapisan dalam tentu saja akan berbeda. Mulsow dan Boudreau (1998) menjelaskan bahwa aktifitas menggali, seperti yang dilakukan oleh cacing tanah, mampu meningkatkan porositas tanah disamping mengakibatkan pencampuran bahan organik dan anorganik, dan membuat beberapa bahan anorganik menjadi dapat diserap oleh tumbuhan. Selain itu, ada pula bioturbasi yang merupakan gabungan keduanya, yaitu menggali lubang sambil memakan substrat lalu diekskresikan kembali di permukaan sedimen. Mekanisme pergerakan yang mengakibatkan bioturbasi juga bermacammacam. Amoboeid dan ciliary, yang dilakukan oleh meiofauna protozoa. Peristaltic dan crawling, yang menggunakan bagian tubuh organisme yang lunak, drilling yang biasa dilakukan oleh organisme yang hidup di substrat keras (Schäfer, 1972 in Carney, 1981).
2.2.2. Morfometri Bioturbasi Morfometri atau bentuk bioturbasi berbeda setiap biota, terutama pada aktifitas menggali. Tekstur bioturbasi yang dihasilkan polychaeta (misalnya Arenicola marina) memiliki bentuk J (J-shape) (Gambar 1). Carney (1981) menjelaskan, tekstur ini dihasilkan Arenicola dengan melakukan gerak peristaltik. Kemampuan menggali lubang Arenicola ini disebabkan adanya produksi lendir pada permukaan tubuhnya yang mampu mengubah struktur sedimen dan membentuk liang. Gerak persitaltik tersebut dilakukan Arenicola secara vertikal ke bawah sejauh 20-30 cm dan kemudian berbelok secara horizontal, sehingga membentuk huruf J atau L. Pada proses meliangnya, Arenicola juga memakan substrat di depannya sehingga membuat celah sebagai ventilasi air. Hal tersebut menimbulkan tekanan pada permukaan sedimen sehingga sedimen pada sisi lain lubang mengalami penurunan. Arenicola juga mencerna bahan organik pada substrat dan mengekskresikannya di permukaan setiap 40 menit (Ford, 2010). Bioturbasi
10
Gambar 1 Sketsa morfologi liang bioturbasi polychaeta yang menyerupai huruf J (Marinebio, 2010). Arenicola ini dominan terjadi di daerah intertidal berpasir yang sedikit atau bahkan tidak terdapat vegetasi (Reise, 1985 in Volkenborn et al., 2007). Tekstur bioturbasi lain adalah tekstur yang dihasilkan oleh bivalvia dan kepiting. Tekstur bioturbasi kedua bentik ini hanya berbentuk liang yang lurus vertikal maupun horisontal ke dalam sedimen. Aktifitas menggali oleh bivalvia dilakukan dengan menggunakan kaki pada kedalaman bioturbasi yang berbeda setiap jenisnya. Perbedaan kedalaman ini dipengaruhi oleh cara hidup masingmasing jenis bivalvia. Penggalian sedimen diikuti dengan masuknya cangkang secara perlahan ke dalam sedimen dan menjulurkan sifon hingga permukaan sedimen sebagai jalan air, oksigen dan makanan (Gambar 2).
Gambar 2 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh bivalvia (Marinebio, 2010). Tekstur bioturbasi pada kepiting, hampir mirip dengan bivalvia, yaitu lubang vertikal ke dalam sedimen (Gambar 3). Penggalian sedimen oleh kepiting dilakukan oleh kaki jalan dan kaki renang, dimana kaki jalan bagian depan mulai menggaruk dan melempar sedimen ke areal sekitar permukaan hingga terbentuk
11
sedikit lubang. Kepiting lalu mulai memasukkan karapaksnya dengan dibantu kaki jalan bagian belakang yang juga menggaruk sedimen. Kaki renang kepiting mulai melempar sedimen ketika hampir seluruh karapaks mulai masuk dalam sedimen (Carney, 1981). Meski pada umumnya tekstur bioturbasi kepiting vertikal ke dalam sedimen, namun Oberlander (2007) menunjukkan bahwa tekstur tersebut juga dapat berupa L-shape, menyesuaikan kondisi dalam sedimen.
(a)
(b)
Gambar 3 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh kepiting (Uca pugnax). Bentuk liang dapat berupa huruf I yang vertikal hingga mencapai kedalaman 10-20 cm (a) atau berupa huruf L, menyesuaikan kondisi dalam sedimen (b) (Oberlander, 2007).
2.3. Sedimen 2.3.1. Sifat Fisik Sedimen Sedimen merupakan material yang menjadi pembentuk karakter pesisir. Sedimen daerah estuaria berasal dari partikel-partikel yang terbawa oleh aliran sungai dan mengalami pengendapan. Makin besar wilayah estuaria, maka makin banyak partikel yang mengalami pengendapan akibat berkurangnya kecepatan arus. Sedimen wilayah estuaria cenderung memiliki ukuran yang halus dan kaya akan bahan organik. Sifat fisik sedimen sangat tergantung pada partikel dan fluida yang menyusunnya (Gambar 4). Partikel yang menyusun sedimen atau butir sedimen (sediment grain) merupakan penyusun sedimen yang menyebabkan terjadinya
12
Gambar 4 Komponen penyusun sedimen (Schulz dan Zabel, 2006).
pengendapan pada dasar laut, ikatan antar partikel ini semakin erat seiring dengan meningkatnya tekanan lithostatik. Celah yang terdapat di sela-sela butir, disebut pori (pores), biasanya terisi oleh air (porewater). Butir-butir sedimen yang berdekatan dan menyatu membentuk sediment frame. Elastisitas pada frame dan Jumlah pori tersebut mempengaruhi bentuk, distribusi ukuran butir, dan penyusunan partikel sedimen (Schulz dan Zabel, 2006). Butir sedimen memiliki berbagai macam ukuran, yang tentu saja akan memberikan fenomena yang berbeda. Udden-Wentworth mengklasifikasikan ukuran butir sedimen menjadi beberapa kelompok (Tabel 2). Jenis dan ukuran butir sedimen tersebut saling terkait dan berpengaruh pada sifat-sifat sedimen yang
lain,
misalnya
porositas,
serta
permeabilitas.
Porositas
adalah
perbandingan ukuran ruang (space) pada suatu material sedimen dengan volume total sedimen, semakin besar ruang yang terdapat pada material, maka porositasnya akan makin tinggi. Porositas sangat dipengaruhi oleh ukuran butir, bentuk, dan distribusi butir. Distribusi butir menunjukkan tingkat keseragaman ukuran
dan
bentuk
partikel
yang
menyusun
sedimen,
makin
tinggi
keseragamannya maka makin baik distribusi butirnya (well sorted) sehingga makin tinggi porositasnya. Hal ini disebabkan karena poorly sorted sediments memiliki rentang ukuran butir yang lebar, sehingga butir sedimen yang berukuran kecil dapat mengisi ruang kosong (pori) yang ada (Wards, 2007). Contoh sedimen yang memiliki keseragaman butir tinggi adalah well sorted-fine sand, yaitu 41,1 %, medium sand yaitu 40,7 % (Kamann et al., 2007), atau pun sedimen yang diendapkan oleh angin pada daerah sungai.
13
Tabel 2
Ukuran butir berdasarkan Udden-Wentworth (Lewis dan McConchie, 1994 in Selley, 2000)
Sifat fisika sedimen yang lain adalah permeabilitas (kemampuan sedimen untuk mentransfer air). Permeabilitas ditentukan oleh pori dan tingkat keeratan antar butir. Bila interkoneksi antar pori baik, fluida dalam pori akan mudah mengalir dan permeabilitasnya tinggi, misalnya clay dan sand. Clay memiliki porositas yang lebih tinggi, namun porinya tidak terkoneksi dengan baik sehingga tingkat permeabilitasnya lebih rendah dibandingkan sand.
14
2.3.2. Sifat Kimiawi Sedimen Proses-proses kimiawi yang terjadi di sedimen bukanlah proses yang berlangsung secara sederhana, salah satunya adalah proses redoks yang diakibatkan oleh banyak faktor. Secara umum, sedimen memiliki beberapa lapisan, yaitu aerob, reduksi nitrat, reduksi sulfat, dan reduksi karbonat. Lapisanlapisan tersebut memiliki ciri yang berbeda. Lapisan aerob merupakan lapisan yang berada di bawah permukaan sedimen hingga kedalaman ± 4 cm, banyak ditemukan epifauna. Pada lapisan ini, berlangsung proses-proses kimia yang masih menggunakan oksigen sebagai oksidatornya. Lapisan reduksi nitrat, biasanya berwarna kuning, memiliki ketebalan ± 4-10 cm, dan biasanya ditemukan biota infauna. Lapisan reduksi sulfat, biasanya berwarna abu-abu, mempunyai ketebalan ± 10-50 cm. Lapisan reduksi karbonat, biasanya berwarna hitam dan memiliki aroma yang khas karena mengandung banyak gas metena (CH4) dan amonium (NH4) (Sanders, 1978). Proses yang terjadi pada tiap lapisan berbeda satu dengan yang lain, meskipun saling mempengaruhi dimana hasil proses yang terjadi pada lapisan atas merupakan sumber energi bagi proses kimia yang terjadi pada lapisan bawah (Gambar 5).
Gambar 5 Proses redoks bahan organik yang terjadi dalam sedimen (Day et al., 1989).
15
Karakteristik lapisan sedimen tersebut ternyata sangat dipengaruhi oleh aktifitas biota bentik yang hidup di sedimen. Day et al. (1989) menjelaskan beberapa mekanime yang dilakukan biota adalah melalui biotubasi, penurunan karbon organik, produksi agen pengikat seperti lendir, biodeposisi, dan oksigenasi
sedimen anaerobik.
Bioturbasi mengakibatkan ketidakstabilan
sedimen, sedangkan produksi agen pengikat dapat menstabilkan sedimen. Ketidakstabilan akibat bioturbasi terjadi karena adanya perubahan distribusi ukuran butir, porositas dan permeabilitas sedimen. Bioturbasi dengan memakan sedimen dan meregenerasi nutrien melalui fecal pellet ternyata mampu merubah distribusi ukuran butir sedimen dan meningkatkan porositas. Perubahan pada ukuran butir sedimen selanjutnya mengakibatkan perubahan permeabilitas sedimen tersebut (Shull, 2010). Meski demikian, permeabilitas sedimen juga mempengaruhi aktifitas bioturbasi yang dilakukan biota bentik. Arenicola yang memerlukan oksigen dalam sedimen harus memompa air masuk dalam sedimen agar kebutuhan oksigennya terpenuhi, sehingga Arenicola memerlukan sedimen dengan permeabilitas sedimen tinggi (Volkenborn et al., 2007). Selain itu, ventilasi yang dibuat oleh biota yang melakukan aktifitas meliang memberikan kontribusi menambah electron acceptor (seperti oksigen, nitrat dan sulfat) dan mengurangi metabolit inhibitor, seperti ammonium, sulfit (Kristensen, 1988).
2.4. Fluks Nutrien 2.4.1. Konsep Fluks Nutrien Fluks nutrien adalah jumlah nutrien yang mengalami perpindahan melalui berbagai macam transpor pada periode waktu tertentu. Pengertian fluks secara umum dapat digunakan pada perpindahan nutrien secara horizontal, misalnya input dari sungai ke laut yang disebut sebagai konveksi (perpindahan nutrien pada badan air itu sendiri akibat adanya gerakan angin, gelombang permukaan), maupun secara vertikal, dari kolom air ke sedimen atau sebaliknya disebut sebagai difusi. Selain itu fluks juga dapat berarti perubahan konsentrasi suatu bahan organik dari bentuk partikulat menjadi terlarut atau pun sebaliknya. Fluks nutrien yang terjadi pada kondisi sedimen yang stabil (tidak mengalami gangguan dari luar), sangat tergatung pada proses hidrodinamika yang terjadi di bagian permukaan, kondisi sedimen, dan kondisi kimia. Proses hidrodinamika misalnya pasang surut, dan arus permukaan. Kondisi sedimen misalnya mencakup distribusi dan komposisi jenis dan ukuran butir, bulk density,
16
porositas dan permeabilitas, ketebalan sedimen, dan kecepatan aliran porewater, sedangkan kondisi kimia misalnya meliputi temperatur, salinitas, pH, DO, proses adsorpsi-desorpsi dan konsentrasi nutrien di sedimen dan kolom air (Fernandes, 2005). Proses hidrodinamika yang terjadi di permukaan sedimen memberikan pengaruh pada kondisi batas (boundary layer). Arus permukaan dan pasang surut yang terjadi merupakan suatu mekanisme transpor yang membawa partikel sedimen dan bahan terlarut (Berner,1976 dan Vanrees et al.,1996 in Huettel et al., 2003), serta mampu mengontrol gradien konsentrasi bahan terlarut pada sediment-water interface (Jørgensen,1994 dan Golosov & Ignatieva,1999 in Huettel et al., 2003). Proses hidrodinamika tersebut dapat mengakibatkan erosi pada bagian permukaan sedimen maupun mengurangi ketebalan boundary layer, sehingga memungkinkan terjadinya fluks secara vertikal menuju kolom air (Biles et al., 2002). Selain itu, arus lemah pada permukaan sedimen dan adanya pasang surut, mampu mendeposit partikel sedimen yang berukuran kecil dan bahan organik terlarut yang berasal dari kolom air di atasnya (Berner,1980 dan Ignatieva,1996 in Huettel et al., 2003), sehingga terjadi fluks vertikal menuju sedimen. Pengaruh kondisi sedimen terhadap perpindahan nutrien saling terkait satu dengan yang lain. Distribusi dan komposisi jenis dan ukuran butir serta ketebalan sedimen mempengaruhi kemampuan sedimen untuk mentranspor nutrien dari dan menuju kolom air. Sedimen dengan distribusi dan komposisi yang jelek (tersusun atas jenis dan ukuran butir yang berbeda dan tersusun secara acak) mengakibatkan kecepatan aliran porewater menjadi terhambat dan transpor nutrien juga membutuhkan waktu yang lebih lama (Zhou et al., 2011). Porositas mempengaruhi konsentrasi nutrien, yaitu bentuk partikulat dan terlarut. Perubahan porositas mengakibatkan komposisi partikulat dan terlarut nutrien juga mengalami perubahan sehingga memungkinkan terjadinya fluks. Meski demikian, transpor fluks tersebut tidak dapat hanya disebabkan oleh perubahan porositas. Bulk density mempengaruhi porositas dan struktur sedimen (Zhou et al., 2011) sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi fluks yang terjadi. Faktor lain yang juga mempengaruhi fluks adalah permeabilitas. Permeabilitas memiliki pengertian sebagai sifat sedimen dalam meloloskan air. Besar kecil permeabilitas ini dipengaruhi oleh jenis dan ukuran butir yang menyusun sedimen serta porositasnya. Pengaruh permeabilitas ini terlihat pada kecepatan
17
aliran porewater. Meski memiliki pengaruhnya masing-masing, namun pengaruh kondisi sedimen akan terlihat apabila faktor-faktor tersebut saling berkaitan. Keterkaitan faktor lain yang juga penting dalam fluks nutrien adalah kondisi kimia sedimen maupun nutrien. Beberapa penelitian menemukan bahwa fluks nutrien sangat dipengaruhi oleh temperatur, salinitas dan DO, disamping konsentrasi nutrien itu sendiri. Hal ini karena faktor kimia tersebut sangat berperan dalam proses redoks yang berlangsung sehingga mempengaruhi gradien konsentrasi nutrien. Fluks nutrien secara vertikal, baik menuju maupun berasal dari sedimen, akan lebih mudah bila interaksi antara sedimen dan kolom air lebih terbuka, seperti yang terjadi pada lokasi yang mengalami bioturbasi. Bioturbasi merupakan salah satu gangguan dari luar yang terjadi pada sedimen dan mengakibatkan perubahan fluks. Bioturbasi dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi nutrien, meningkatkan fluks oksigen pada lapisan sedimen yang lebih dalam dan aktifitas mikrobial pada sedimen (Yingst dan Rhoads, 1980, Van Duyl et al., 1992 dalam Kure dan Forbes, 1997). Meski demikian, perubahanperubahan yang dihasilkan tidaklah sama, tergantung padapelaku bioturbasi, bentuk bioturbasi dan jenis nutrien yang dipengaruhi. Volkenborn et al. (2007) menjelaskan bahwa pada daerah yang tidak terdapat aktifitas makrobentik (Arenicola marina), konsentrasi sulfit pada porewater di kedalaman 15-20 cm adalah 150-200 µM dan pada daerah yang terdapat Arenicola konsentrasi sulfit menjadi di bawah 100 µM. Hal berbeda terjadi pada konsentrasi nitrat yang justru mengalami peningkatan pada kedalaman di bawah 10 cm dan bahkan mencapai 200 µM pada kedalaman 20 cm akibat adanya Arenicola (Gambar 6). Penelitian lain juga dilakukan menggunakan jenis organisme bioturbasi yang berbeda dan ternyata hasil fluks yang dihasilkan adalah sama. Keberadaan Nereis diversicolor mengakibatkan terjadinya peningkatan fosfat, silikat, dan nitrat pada air antara (porewater), namun amonium mengalami penurunan. Macoma balthica mengakibatkan penurunan amonium dan nitrit, sedangkan Corophium valutator mengakibatkan nitrat meningkat dan amonium menurun (Mortimer et al., 1999). Fluks nutrien tersebut tidak hanya diakibatkan ada atau tidaknya biota bentik, namuun kelimpahan biota itu sendiri juga dapat mempengaruhi konsentrasi nutrien yang terdapat dalam air antara. Secara umum, peningkatan kelimpahan biota bentik mengakibatkan fluks nutrien juga makin meningkat (Gambar 7).
18
Gambar 6
Profil nutrien dalam porewater yang menunjukkan perubahan konsentrasi yang berbeda akibat keberadaan organisme bioturbasi, tanda menunjukkan konsentrasi tanpa Arenicola, dan menunjukkan adanya Arenicola. Kedalaman sedimen secara vertikal dimulai dari kedalaman di bawah 0 cm (Volkenborn et al., 2007).
19
(a)
(b)
(c) Gambar 7 Hubungan positif yang dihasilkan antara fluks nutrien dan kelimpahan bentik, (a) fluks fosfat ( ) dan silikat ( ) vs kelimpahan Nereis, (b) nitrat ( ), nitrit ( ), amonium ( ) vs kelimpahan Nereis, (c) nitrit ( ), dan amonium ( ) vs kelimpahan Macoma (fluks nitrit x 100) (Mortimer et al., 1999).
2.4.2. Pemodelan Fluks Nutrien Fluks nutrien sebagai akibat dari bioturbasi merupakan salah satu bentuk prinsip hukum pertama Fick’s (Berg et al., 2003) dan sebuah proses discrete dimana bioturbator memindahkan partikel pada jarak dan arah tertentu,
20
kemudian menghabiskan beberapa saat tertentu untuk diam (rest period) dan kemudian bergerak lagi dengan jarak yang tetap sama, namun dengan arah yang berbeda dengan pergerakan sebelumnya (Wheatcroft et al., 1990). Bila jarak dan arah pergerakan partikel serta sela waktu pergerakan diketahui, maka percampuran sedimen yang terjadi dapat digambarkan dengan akurat. Secara matematis, proses bioturbasi ini digambarkan sebagai proses difusi dengan kekuatan difusi yang diungkapkan dalam bentuk nilai biodifusi (DB) yang mengakibatkan timbulnya fluks. Nilai fluks hasil bioturbasi dibedakan menjadi fluks sebagai hasil difusi secara molekuler, fluks hasil percampuran (mixing) yang meminimalkan gradien porositas, fluks hasil adveksi dan reaksi kimia yang terjadi (Boudreau, 1997). Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam bentuk box model. Thibodeaux (1996) menjelaskan bahwa bioturbasi sebagai box model merupakan salah satu asumsi aktifitas bioturbasi sebagai suatu percampuran yang terjadi secara acak dan cepat, dimana kondisi antar box merupakan kondisi yang seragam. Perubahan yang terjadi pada sedimen dalam tiap box akan terakumulasi di bagian bawah box akibat adanya proses percampuran. Meski demikian, pada kondisi sebenarnya di alam, perubahan fisika sedimen seperti porositas dan permeabilitas akan tetap terjadi pada kedalaman yang berbeda. Guna menggambarkan kondisi tersebut, diasumsikan percampuran yang terjadi tidak melibatkan percampuran antara padatan dan cairan, sehingga gradient porositas dapat diminimalkan dan asumsi homogen pada box model tetap terpenuhi. Percampuran tersebut disebut dengan intraphase mixing (Boudreau, 1997). Bentuk pemodelan bioturbasi secara umum adalah (Boudreau, 1997) :
Akumulasi
dimana
Fluks Difusi Molekuler
Reaksi Kimia
Fluks Adveksi
Fluks Intraphase Mixing
adalah reaksi denitrifikasi serta kesetimbangan massa nutrien
(Chapra et al., 2008),
adalah porositas,
nutrien terlarut pada porewater porewater, dan melalui persamaan :
,
adalah turtuosity,
kedalaman
koefisien bioturbasi/biodifusitas
,
konsetrasi
adalah velositas .
diperoleh
21
diperoleh dengan menggunakan persamaan Krom dan Berner (1980) in Feuillet et al., (1997) :
dimana Nilai
koefisien difusi tiap nutrien yang diperoleh dari Li dan Gregory (1974). amonia, nitrat, nitrit, dan fosfat dapat dilihat pada Tabel 3.
porositas sedimen rata-rata, dan
dimana
bila
adalah
faktor koreksi viskositas :
dan
bila
Tabel 3 Koefisien difusi ion (Li dan Gregory, 1974) Anion
Do (10-6 cm2 s-1) 0 oC 18 oC 25 oC 9,8 9,78 -
16,8 15,3 16,1 -
19,8 19,1 19,0 7,34
2.5. QUAL2K QUAL2K adalah salah satu model yang dikembangkan oleh Chapra et al. (2008) guna mempermudah analisis kualitas air pada sungai dan badan air, sekaligus melengkapi program pemodelan versi sebelumnya. Pemodelan ini dioperasikan dengan menggunakan sistem operasi Windows ME/2000/XP dengan antarmuka user menggunakan Microsoft Office Excel 2000 atau lebih tinggi. Seluruh program yang digunakan dalam pengoperasian model terdapat pada Microsoft Office macro language : Visual Basic for Applications (VBA). QUAL2K merupakan bentuk pemodelan ekosistem sederhana berupa satu dimensi dengan asumsi terjadi percampuran massa air dengan baik secara vertikal maupun lateral dan kondisi hidrolis yang stabil. Meski tampak sederhana, QUAL2K mampu melakukan simulasi-simulasi, seperti pada aliran hidrolis yang pada kenyataannya tidak seragam, heat budget, suhu, kualitas air, dan masukanmasukan lain yang dapat mempengaruhi kondisi perairan, sebagai fungsi deret waktu, stoikiometri perairan, interaksi sediment-water interface, patogen, dan parameter kinetik. Simulasi-simulasi tersebut dilakukan dalam bentuk box model yang mengakibatkan dapat digunakannya program QUAL2K ini dalam penelitian
22
meskipun peruntukkan spesifik model QUAL2K ini adalah pada sungai dan badan air. Salah satu simulasi yang mampu dilakukan QUAL2K dan berhubungan dengan konteks bioturbasi adalah interaksi sediment-water interface yang menghasilkan fluks, baik fluks SOD (Sediment Oxygen Demand) maupun nutrien. Fluks yang dihasilkan oleh interaksi ini merupakan simulasi sebagai fungsi pengendapan bahan organik, reaksi yang terjadi dalam sedimen, dan konsentrasi bahan organik. Peran bioturbasi dalam fungsi simulasi tersebut terletak pada reaksi dalam sedimen, mengingat bioturbasi sebagai salah satu proses dalam diagenesis yang penting untuk diperhitungkan.
23
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian direncanakan dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2011. Pengambilan sampel dilakukan di daerah hutan lindung yang merupakan hasil reklamasi mangrove Muara Angke, Jakarta (Gambar 8).
Gambar 8 Lokasi penelitian.
3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu alat dan bahan yang digunakan di lapangan dan di laboratorium (Tabel 4 dan Tabel 5)
3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Studi Pendahuluan Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan. Kondisi lapangan yang diamati mencakup kondisi mangrove, substrat, dan liang bioturbasi. Kseluruhan pengamatan tersebut dilakukan secara visual, kecuali bentuk liang bioturbasi yang juga dilakukan pengukuran awal. Hasil studi pendahuluan akan digunakan dalam menentukan lokasi sampling dan rancangan alat yang akan digunakan.
24
Tabel 4 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Alat Porewater profiler Ring sampler Pipe ring Syringe Cubtainer GPS Cool box DO meter pH meter Refraktometer
11 12 13 14 15
Kamera Plastik klip Es batu Polyester resin Sekop
Spesifikasi p = 30 cm, d = 2,5 inchi d = 4,8 cm, t = 5 cm d = 2,5 inchi, p = 10 cm 50 ml 250 ml GPS GARMIN Marina cooler Lovibond OXI200 Jenway Atago Hand Refractometer 0-28 ‰ Digital camera Sony 10 MP -
Fungsi Memperoleh sampel porewater Mengambil sampel sedimen Cetakan resin cast Mengambil sampel porewater Tempat sampel porewater Menentukan posisi stasiun Menyimpan sampel Mengukur DO sampel air Mengukur pH sampel air Mengukur salinitas Dokumentasi Menyimpan sampel sedimen Preservasi sampel air Mencetak liang bioturbasi Menggali sedimen
Tabel 5 Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium No 1 2 3 4 5
Nama Alat Spektrofotometer Gelas beaker Vacuum pump Kertas saring Nitrate reagen
6
Nitrite Reagent
7 8 9
Nessler Reagent Mineral stabilizer Polyvinyl alcohol dispersing agent Phosphate Reagent
10
Spesifikasi HACH DR-2000 Whatman GF/C d = 47 mm NitraVer® 5, Powder Pillows Cat. 14034-99 NitriVer® 3, Powder Pillows Cat. 14065-99 Cat. 21194-49 Cat. 23766-26 Cat. 23765-66
Fungsi Menganalisa nutrien Wadah sampel analisis Menyaring sampel air Menyaring sampel air Analisis nitrat
PhosVer® 3, Powder Pillows Cat. 212599
Analisis phosphat
Analisis nitrit Analisis ammonia Analisis ammonia Analisis ammonia
3.3.2. Desain Penelitian Penelitian dilakukan di daerah mangrove reklamasi, kawasan hutan lindung Muara Angke. Sampling dilakukan pada lokasi yang mengalami bioturbasi dan lokasi
tanpa
bioturbasi,
sebagai
substasiun.
Kondisi
bioturbasi
yang
diperhitungkan dalam sampling adalah bioturbasi yang dilakukan organisme meliang
yang
menyebabkan
diasumsikan terjadinya
sebagai
pelaku
bioturbasi
regenerasi.
Aktifitas
crawling
yang yang
dominan dilakukan
mikrobentik sebagai bentuk bioturbasi tidak diperhitungkan dalam pengambilan sampling. Pada tiap substasiun, diambil masing-masing 3 titik untuk daerah yang mengalami bioturbasi dan tanpa bioturbasi.
25
Sampling dilakukan dengan melakukan penanaman porewater profiler dan pipe ring selama 3 hari agar kondisi porewater dalam profiler menjadi homogen sekaligus untuk memperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan. Setelah 3 hari, dilakukan pengambilan sampel porewater, dilanjutkan dengan pengambilan hasil cetakan pada pipe ring, dan terakhir adalah sampel sedimen menggunakan sekop dan ring sampler. Sampel air yang telah diambil dimasukkan dalam 2 cubtainer, yaitu cubtainer pertama untuk pengukuran DO dan pH secara insitu dan cubtainer kedua untuk disaring kemudian dianalisa nutrien (ammonia, nitrit, nitrat, dan fosfat) di laboratorium, sedangkan sedimen yang tercetak di pipe ring maupun ring sampler dibiarkan tetap berada dalam cetakan dan langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Sedimen pada pipe ring digunakan untuk memperoleh cetakan morfologi liang bioturbasi, sedangkan sedimen pada ring sampler digunakan untuk memperoleh kondisi porositas dan permeabilitas sedimen. Sedimen yang diambil menggunakan sekop langsung dimasukkan dalam plastik klip untuk dianalisa tekstur sedimen di laboratorium.
3.3.3. Rancangan Alat Tahap ini dilakukan untuk merancang dan membuat porewater profiler. Porewater profiler dirancang agar mudah ditanam dan dikeluarkan dari sedimen, memiliki kemampuan dalam memperoleh porewater dalam jumlah yang cukup dan mampu menggambarkan profil vertikal nutrien pada setiap kedalaman sedimen. Profiler diadopsi dari prinsip kerja porewater peeper pada Buffle dan De Vitre (1994) yang kemudian dimodifikasi (Gambar 9). Profiler yang dibuat terdiri dari profiler bertingkat dan profiler tunggal, dimana keduanya terbuat dari bahan yang sama, yaitu pipa dengan diameter 2,5 inchi. Profiler bertingkat merupakan suatu rangkaian profiler yang tersusun memanjang dan bersekat setiap 5 cm, yaitu pada kedalaman 5, 10, dan 15 cm, serta memiliki panjang total 30 cm. Profiler tunggal merupakan profiler yang berfungsi hanya pada 1 kedalaman saja, yaitu untuk kedalaman 2,5 cm, 7,5 cm, dan 12,5 cm.
3.3.4. Teknik Sampling a.
Porewater Pada kedua lokasi titik sampling (bioturbasi maupun non bioturbasi),
pengambilan sampel dilakukan dengan metode penanaman yang sama. Sampel porewater diperoleh dari hasil penanaman profiler selama 3 hari dan kemudian
26
Selang keluar
6,35 cm
6,35 cm
Lubang air masuk
Sekat pipa Per 5 cm
7 cm
(a)
7 cm
(b)
Gambar 9 Rancangan porewater profiler yang digunakan dalam pengambilan sampel porewater, (a). Bertingkat, (b). Tunggal.
sampel diambil dengan menggunakan bantuan syringe. Sampel kemudian dimasukkan dalam 2 cubtainer untuk dilakukan pengukuran insitu (pH dan DO) dan dimasukkan dalam cool box serta langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisa nutriennya. Sampel selama perjalanan dari lapangan menuju laboratorium diberi preservasi menggunakan es batu untuk mencegah terjadinya perubahan kimiawi dalam sampel air. Sampel air yang diperoleh disaring terlebih dahulu sebelum dilakukan analisa nutrien, yaitu amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat.
b.
Sedimen Sampel sedimen yang diambil adalah sampel sedimen terganggu dan tidak
terganggu menurut prosedur pengambilan sampel sedimen Balai Penelitian Tanah (2009). Pengambilan sampel ini menggunakan bantuan sekop dan ring sampler. Sampel yang diperoleh menggunakan sekop adalah sampel sedimen terganggu yang digunakan dalam analisa teksturnya, sedangkan sampel pada
27
ring sampler adalah sampel tidak terganggu yang digunakan dalam analisa porositas dan permeabilitas sedimen. Sampel yang diambil menggunakan sekop merupakan sampel sedimen terganggu yang akan dianalisa teksturnya. Sedimen mula-mula digali hingga kedalaman 0-20 cm kemudian diambil dengan menggunakan sekop dan langsung dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label. Sampel yang diambil dengan ring sampler merupakan sampel sedimen utuh yang diperoleh dengan menekan
dari tinggi ring sampler ke
dalam sedimen, kemudian ring yang lain ditumpangkan di atas ring pertama tadi. Kedua ring tersebut ditekan menggunakan bantuan kayu hingga ± 1 cm tinggi ring kedua masuk ke dalam substrat. Kedua ring tersebut kemudian diangkat menggunakan bantuan sekop dan dipisahkan. Kelebihan sedimen pada permukaan ring pertama dipotong menggunakan pisau/cutter dengan arah sejajar permukaan ring dan ditutup pada kedua sisinya. Setiap ring diberi label dan
langsung
dimasukkan
dalam
peti
untuk
dianalisa
porositas
dan
permeabilitasnya di laboratorium.
c.
Morfologi Bioturbasi Perolehan struktur morfologi bioturbasi menggunakan metode resin casting
menurut Atkinson dan Chapman (1984) in Nickell dan Atkinson (1995). Metode tersebut menggunakan campuran resin polyester dengan katalis peroksida yang berfungsi sebagai pengeras resin sebanyak 2 % dari volume. Pengambilan sampel liang bioturbasi ini dilakukan dengan memasang pipa yang berdiameter 3 inchi dan tinggi 10 cm. Campuran resin kemudian disuntikkan pada lubang bioturbasi dan dibiarkan selama 48 jam. Cetakan resin (resin cast) tersebut kemudian digali dan dibawa ke laboratorium untuk dikeluarkan dari pipa, didokumentasikan dan diukur dimensinya.
3.4. Perolehan Data 3.4.1. Sedimen a. Ukuran dan Jenis Butir Sedimen Ukuran butir dan jenis sedimen ditentukan dengan menggunakan persentase berat kering dari tiap ukuran ayakan yang diperoleh. Hasil penghitungan persentase kemudian digunakan untuk menentukan jenis sedimen dengan bantuan segitiga Shepard.
Persamaan yang
menentukan berat fraksi adalah (Sanders, 1978) :
digunakan dalam
28
b. Porositas Sedimen Nilai porositas sedimen dihitung berdasarkan hasil pengukuran volume air pada sedimen basah dan volume butir sedimen. Volume air dalam sedimen diperoleh dengan melakukan pencucian garam dari sedimen, kemudian dilakukan pengeringan. Berat kering kemudian dikurangkan dengan berat basah sedimen. Porositas dihitung dengan persamaan (Buchanan, 1984) :
dimana
= porositas,
= volume
c. Permeabilitas Sedimen Permeabilitas merupakan rata-rata air yang melewati core sedimen, dihitung dengan menggunakan persamaan (Buchanan, 1984) :
dimana
= permeabilitas
panjang core
,
,
= volume air yang dikumpulkan
= tinggi muka air
,
= diameter core
, ,
=
= waktu
3.4.2. Morfologi Bioturbasi Karakteristik morfologi bioturbasi diperoleh dengan melakukan pengukuran fisik pada cetakan liang bioturbasi menggunakan metode Li et al. (2008). Ukuranukuran pada liang dibedakan menjadi SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu diameter shaft dalam), DO (distance opening yaitu jarak antara lubang permukaan satu dengan yang lain), UD (U-depth yaitu kedalaman yang diukur dari lubang permukaan hingga batas percabangan liang yang terbentuk di dalam sedimen), CS (central shaft yaitu kedalaman liang yang diukur dari batas percabangan hingga ujung bawah liang), dan TD (total depth yaitu kedalaman liang secara keseluruhan). UD, CS, dan TD merupakan jarak yang didasarkan pada kedalaman liang dalam sedimen, bukan panjang liang itu sendiri (Li et al., 2008).
29
. Gambar 10 Pengukuran morfologi fisik liang bioturbasi (Li et al., 2008).
3.5. Analisis Data 3.5.1. Karakteristik Bioturbasi dan Profil Nutrien Karakteristik bioturbasi meliputi bentuk, panjang, diameter liang, dan total panjang liang. Karakteristik tersebut diperoleh dari hasil dokumentasi yang kemudian dilakukan pengukuran langsung pada cetakan resin. Hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif ini juga dilakukan pada konsentrasi nutrien hasil analisa di laboratorium (amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat). Konsentrasi nutrien yangdiperoleh digunakan langsung dalam pembuatan profil distribusi vertikal dalam sedimen. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan nutrien pada sedimen maupun kolom air, pada daerah yang mengalami bioturbasi maupun non bioturbasi. Hasil profil nutrien pada kedua daerah tersebut kemudian dibandingkan.
3.5.2. Regenerasi (Fluks) Nutrien Regenerasi
atau
fluks
nutrien
hasil
bioturbasi
dianalisis
dengan
menggunakan bantuan box model pada program QUAL2K version 2.11. Skematik sistem box model yang berlaku pada program QUAL2K ditunjukkan pada Gambar 11. Fluks nutrien yang dihitung pada program QUAL2K diasumsikan sebagai fluks yang terjadi pada tiap-tiap box yang mewakili daerah antara 2 kedalaman sedimen (kedalaman atas dan bawah), sehingga dari 7 lapisan kedalaman akan diperoleh 6 buah box model. Setiap box model mewakili kondisi sedimen dan porewater pada daerah antara 2 kedalaman (Gambar 12).
30
Gambar 11 Skematik model QUAL2K untuk perhitungan fluks nutrien (Chapra et al., 2008). Kotak merah menunjukkan parameter yang tidak digunakan dalam penelitian. (Ket : na = konsentrasi NH4 di kolom air; o = konsentrasi oksigen; nn = konsentrasi NO3 di kolom air; pi = konsentrasi PO4 di kolom air).
H1 ∆H = 2,5 cm
Sistem box model
H2
Gambar 12 Sistem box model QUAL2K yang mewakili kondisi sedimen dan porewater pada daerah di antara 2 kedalaman. Masing-masing fluks yang dihasilkan merupakan aliran nutrien yang terjadi pada tiap box, baik ke dalam maupun ke luar. Nutrien yang mengalami simulasi pada program QUAL2K meliputi NH4+, NO3-, dan PO43-. Hal ini karena ketiga nutrien tersebut merupakan hasil utama dari proses mineralisasi, sedangkan NO2- dianggap sebagai ion perantara sehingga fluksnya tidak diperhitungkan. Data parameter yang digunakan dalam program merupakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil pengukuran, baik secara insitu (meliputi DO, temperatur) dan hasil analisis laboratorium (konsentrasi nutrien dan porositas). Data sekunder yang digunakan merupakan data hasil penelitian
31
sebelumnya yang telah dipublikasi (koefisien bioturbasi dan kelimpahan klorofil dari fitoplankton). Beberapa parameter yang digunakan dalam menjalankan program QUAL2K untuk memperoleh fluks pada setiap box dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
3.5.3. Analisis Sensitivitas QUAL2K Analisis sensitivitas merupakan suatu cara untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada solusi optimal yang dihasilkan oleh suatu metode jika parameter diubah nilainya. Analisis sensitivitas akan memberikan gambaran yang dapat memperkirakan bagaimana suatu solusi memiliki konsistensi meskipun terjadi perubahan pada parameter-parameter yang mempengaruhinya. Pada penggunaan model QUAL2K juga perlu dilakukan analisa sensitivitas untuk mengetahui kestabilan solusi yang diberikan terhadap fluks nutrien pada proses diagenesis akibat bioturbasi. Analisis sensitivitas dilakukan pada fluks NH4+ yang timbul akibat adanya aktifitas bioturbasi. Hal ini dilakukan karena pada liang bioturbasi yang memiliki kondisi oksik, reaksi redoks pada nitrogen bermula dari perubahan NH4+ menjadi NO2- dan NO3-, sehingga sensitivitas pada NH4+ akan mempengaruhi NO2- dan NO3- yang terbentuk. Analisis sensitivitas ini dilakukan dengan melakukan penambahan dan pengurangan pada nilai DO (± 50%), porositas (± 5%), masing-masing konsentrasi NH4+, NO3-, dan PO43- (± 50%), dan kelimpahan klorofil pada fitoplankton (± 25%) pada sedimen bioturbasi. Misalnya parameter DO pada kedalaman sedimen 0-2,5 cm pada titik sampling B1. Nilai DO awal (hasil pengukuran lapangan) adalah sebesar 3,425 mg l-1. Pada analisis sensitivitas, dilakukan penambahan DO sebesar 50%, sehingga input DO yang dilakukan pada model adalah sebesar 5,138 mg l-1, begitu pula dengan sensitivitas pada pengurangannya, yaitu input DO sebesar 1,713 mg l-1. Penambahan dan pengurangan input nilai tersebut juga belaku bagi parameter-parameter yang lain, namun dengan persentase yang berbeda. Tingkat persentase penambahan dan pengurangan tersebut disesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada hasil analisis sensitivitas. Hal tersebut karena nilai masing-masing penambahan dan pengurangan dilakukan untuk mengetahui titik awal kesensitivan sekaligus tingkat konsistensi hasil pemodelan, sehingga model yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana fluks yang diakibatkan oleh kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terjadi di alam.
32
3.6. Asumsi Model QUAL2K Model QUAL2K merupakan salah satu metode penyederhanaan yang digunakan dalam analisis, sehingga diperoleh solusi regenerasi nutrien yang mampu mendekati kejadian sebenarnya di alam. Oleh karena itu, pada pelaksanaan model ini digunakan beberapa asumsi : 1. Sistem model adalah box model 2. Pelaku bioturbasi adalah organisme meliang secara global. 3. Sumber nutrien yang terdapat di sedimen merupakan hasil pengendapan fitoplankton dan masing-masing nutrien dari kolom air ke dalam sedimen. 4. Fluks yang terjadi merupakan pengembalian bahan organik terlarut dari box model menuju kolom air atau pun pengambilan bahan organik terlarut dari kolom air masuk ke dalam box model. 5. Fluks yang menunjukkan arah positif menunjukkan terjadinya aliran nutrien dari dalam box model menuju ke kolom air, dan arah negatif menunjukkan terjadinya aliran nutrien dari kolom air menuju box model. 6. Jenis, ukuran butir dan komposisi sedimen diasumsikan homogen pada setiap box kedalaman. 7. Koefisien bioturbasi yang digunakan adalah homogen pada setiap box kedalaman dan setiap titik sampling
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kawasan reklamasi mangrove Muara Angke Kapuk merupakan bagian dari BKSDA Muara Angke. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk pada bagian selatan, bagian utara dan barat berhadapan dengan laut, dan bagian timur dibatasi oleh muara saluran Cengkareng. Kawasan reklamasi ini didominasi oleh mangrove jenis Rhizopora sp dan Avicennia sp. Pada sekeliling kawasan reklamasi ini pihak BKSDA memberikan batu-batu besar yang mengitari dan membatasi reklamasi dengan laut. Hal ini dimaksudkan guna mencegah terjadinya abrasi. Batu-batu tersebut ternyata tidak hanya menjadi perangkap bagi sedimen yang terbawa bersama aliran sungai, namun juga sampah-sampah yang masuk ke kawasan reklamasi saat terjadi pasang. Hal tersebut terlihat dari menumpuknya sampah plastik pada sedimen mangrove. Meski demikian, mangrove pada kawasan reklamasi ini masih dapat bertahan, bahkan kawasan ini juga masih memiliki biota-biota bentik yang terlihat dari banyaknya liang bioturbasi maupun bekas-bekas gerakan biota pada permukaan sedimen (crawling). Kawasan reklamasi mangrove ini memiliki substrat permukaan yang didominasi oleh silt (98%) dan kedalaman substrat lunak yang bervariasi. Pada mangrove yang terletak di bagian pinggir (berdekatan dengan batu-batu besar), kedalaman substrat lunak mencapai 10-20 cm, tetapi pada mangrove bagian tengah hanya mencapai 3-4 cm saja dan kedalaman selanjutnya didominasi oleh jenis substrat yang lebih keras . Kondisi tersebut mengakibatkan liang bioturbasi lebih banyak ditemukan pada daerah pinggir dibandingkan bagian tengah mangrove, meskipun mangrove pada bagian tengah lebih tinggi dan lebih rapat. Titik pengambilan sampel pada lokasi bioturbasi dilakukan pada sedimen yang berada di bawah mangrove.
4.2. Karakteristik Fisik Bioturbasi Karakteristik fisik tiap liang bioturbasi yang terdapat di kawasan mangrove tidak sama. Beberapa karakteristik fisik bioturbasi yang ditemukan di 3 titik sampling dapat dilihat pada Tabel 6.
34
Tabel 6 Karakteristik fisik cetakan (cast) liang bioturbasi No
Tipe
Keterangan
Y-shaped
SD AW UD CS TD
: : : : :
1 cm 1,6 cm 6 cm 6,5 cm 12,5 cm
2
Kompleks
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO TD-1 TD-2
: : : : : : :
1,7 cm 1,8 cm 2,3 cm 2,2 cm 11 cm 12 cm 6,5 cm
3
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : : : :
1,2 cm 0,5 cm 2,9 cm 1,8 cm 14,5 cm 5,5 cm 5 cm 13 cm 18,5 cm
1
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
35
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
4
Y-shaped
AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : :
1,2 cm 1 cm 8,5 cm 5 cm 6 cm 14 cm 18 cm
5
Kompleks
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO TD
: : : : : :
1,3 cm 1,5 cm 1,9 cm 1,6 cm 11 cm 4,5 cm
6
Kompleks
SD-1 SD-2 SD-3 AW-1 AW-2 AW-3 DO-1.3 DO-1.2 DO-2.3 TD-1 TD-2 TD-3
: : : : : : : : : : : :
1,3 cm 1,2 cm 1 cm 1,6 cm 1,6 cm 1,3 cm 17 cm 31 cm 20 cm 9 cm 11 cm 6 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
36
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
7
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,5 cm 15 cm
8
Single & U-shaped
SD-1 SD-2a SD-2b AW-1 AW-2a AW-2b DO TD-1 TD-2
: : : : : : : : :
1 cm 1,5 cm 1,5 cm 1,6 cm 1,9 cm 1,9 cm 3,5 cm 16,5 cm 13,5 cm
9
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD CS TD
: : : : : : : :
1 cm 0,8 cm 1,3 cm 1,3 cm 4 cm 5 cm 10,5 cm 15,5 cm
* UD-1 = UD-2 = UD
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
37
Tabel 6 (Lanjutan) No 10
Profil Fisik Liang Bioturbasi Tampak atas
Tipe
Keterangan
Kompleks
SD-1 SD-2 SD-3 SD-4 AW-1 AW-2 AW-3 AW-4 DO-1 DO-2 UD-1 UD-2 CS-1 CS-2
: : : : : : : : : :
1,2 cm 1 cm 0,8 cm 0,9 cm 2,6 cm 2,9 cm 2,9 cm 2,6 cm 13 cm 9,5 cm 7 cm 5 cm 7 cm 5 cm
Y-shaped
SD-1 SD-2 AW-1 AW-2 DO UD-1 UD-2 CS TD
: : : : : : :
0,7 cm 1 cm 1,3 cm 1,2 cm 8 cm 3 cm 5 cm 6,5 cm 11 cm
Tampak bawah
11
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
38
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
12
Single
SD AW TD
: : :
1,5 cm 1,9 cm 17,5 cm
13
Single
SD AW TD
: : :
1,3 cm 1,9 cm 19,5 cm
14
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,6 cm 19 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
39
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
15
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,9 cm 16,5 cm
16
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 2,1 cm 18 cm
17
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,3 cm 19 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth
40
Tabel 6 (Lanjutan) No
Profil Fisik Liang Bioturbasi
Tipe
Keterangan
18
Single
SD AW TD
: : :
1 cm 1,6 cm 16 cm
19
Single
SD AW TD
: : :
0,4 cm 1,1 cm 17 cm
Keterangan: SD : surface diameter, AW : arm width, DO : distance opening, UD : U-depth, CS : central shaft, TD : total depth Pada 19 cast (cetakan liang) terdapat 4 buah karakteristik bentuk, yaitu single (50%), Y-shaped (25%), U-shaped (5%), dan kompleks (20%). Keempat karakteristik tersebut diduga berfungsi untuk berlindung dan memenuhi kebutuhan mencari makan organisme secara individu maupun berkelompok. Namun belum jelas peran liang-liang sebagai tempat reproduksi. Hal ini karena liang bioturbasi untuk reproduksi pada umumnya merupakan 2 buah liang yang masing-masing dibentuk oleh organisme jantan dan organisme betina. Antara kedua buah liang tersebut dihubungkan oleh sebuah shaft horizontal (connection shaft) yang sengaja dibentuk oleh biota jantan dan berfungsi sebagai tempat terjadinya reproduksi (Gambar 13) (Candisani et al., 2001).
41
Gambar 13 Posisi conecction shaft yang berfungsi sebagai tempat terjadinya reproduksi dalam liang bioturbasi (Candisani et al., 2001). Hasil pengukuran 19 cast yang diperoleh menunjukkan nilai SD yang berkisar 0,4-1,8 cm dan AW berkisar 1,1-2,9 cm. Variabel DO, UD, dan CS tidak ditemukan pada seluruh cast, karena 50% dari cast yang diperoleh adalah single burrow yang memiliki morfologi menyerupai huruf I dengan 1 lubang di permukaan sedimen. Berdasarkan karakteristik pada 19 cast, hanya 9 cast yang memiliki DO dengan kisaran antara 3,5-31 cm dan 6 cast yang memiliki UD dan CS dengan kisaran 3-7 cm dan 5-14 cm. Kedalaman liang secara total (TD) dari 19 cast berkisar 4,5-19,5 cm dengan rata-rata kedalaman total adalah 14,3 cm. Ukuran cast tersebut dipengaruhi oleh ukuran karapas kepiting dan jenis substrat. SD yang dibuat oleh kepiting akan menyesuaikan dengan ukuran karapas, dimana biasanya SD akan berukuran sedikit lebih kecil dibandingkan karapas. Hal ini disebabkan liang bioturbasi digunakan sebagai tempat berlindung dari predator, sehingga kepiting diduga akan meminimalkan jalan masuk predator yang umumnya memiliki ukuran lebih besar. Meskipun SD berukuran sedikit lebih kecil, ukuran tersebut akan membesar pada bagian shaft yang terdapat di dalam sedimen (AW). Pada 19 cast yang diperoleh, diameter shaft (AW) mencapai 1,1-3,4 kali diameter lubang permukaan (SD). Candisani et al. (2001) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara diameter shaft (AW) dengan panjang karapas (r2 = 0,8863), namun hubungan yang tidak kuat antara DO, UD, dan TD dengan panjang karapas (r2 = 0,4776, 0,3216, dan 0,0624). Pengaruh jenis substrat pada liang bioturbasi tampak pada kedalaman total liang (TD). Substrat yang menjadi lokasi liang terdiri dari 2 lapisan yang berbeda secara visual, yaitu lapisan yang berwarna coklat kekuningan pada bagian atas dan lapisan berwarna hitam pada bagian bawah. Kedua lapisan tersebut
42
menggambarkan kondisi oksik dan anoksik sedimen, dimana lapisan atas masih berada dalam kondisi oksik dan lapisan bawah berada dalam kondisi anoksik. Panjang total liang bioturbasi juga mampu menggambarkan batas kedalaman oksik, karena umumnya liang bioturbasi dibuat sejauh masih adanya kandungan oksigen yang terkandung dalam sedimen. Hal ini dijelaskan oleh Aller (1988) yang mengemukakan bahwa liang bioturbasi akan terbentuk pada lapisan oksik meskipun lapisan anoksik berada di sekeliling atau di bawah liang. Kedalaman lapisan oksik pada lokasi sampling mencapai kedalaman 10-20 cm dengan kedalaman liang yang paling dalam ditemukan pada 19,5 cm di bawah permukaan sedimen.
4.3. Profil Nutrien Nutrien yang mencakup NH4+, NO2-, NO3-, dan PO43- yang diukur pada porewater lokasi bioturbasi dan non bioturbasi memiliki pola vertikal yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua lokasi terjadi proses kimia yang berbeda pula. Profil keempat nutrien pada kedua lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15, sedangkan data hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada lokasi bioturbasi, NH4+ pada porewater mengalami penurunan dengan kisaran konsentrasi 80,05-86,33 µM, namun NO2- dan NO3mengalami peningkatan dengan kisaran 0,00-1,65 µM dan 57,12-177,09 µM. Peningkatan juga terjadi pada PO43- hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun pada kedalaman selanjutnya. Konsentrasi PO43- ini memiliki kisaran 3,87-17,77 µM. Pada sedimen non bioturbasi justru sebaliknya. Secara umum, pola profil nutrien mengalami peningkatan untuk NH4+ dan PO43- dengan kisaran konsentrasi 84,96-381,67 µM dan 5,17-38,10 µM. NO2- mengalami peningkatan hingga kedalaman 2,5 cm dan kemudian menurun dengan kisaran konsentrasi 0,10-0,83 µM, sedangkan NO3- menurun dengan kisaran 18,47-99,86 µM. Perbedaan profil nitrogen pada lokasi yang mengalami bioturbasi dan non bioturbasi menunjukkan bahwa aktifitas bioturbasi ini memiliki peranan penting dalam ketersediaan nutrien. Adanya liang bioturbasi mengakibatkan terjadinya perbedaan proses kimiawi yang dilakukan oleh mikroorganisme dalam sedimen melalui perubahan kandungan oksigen (Gambar 16). Oksigen pada porewater di liang bioturbasi memiliki konsentrasi yang lebih tinggi (2,44-3,48 mg l-1) dibanding porewater non bioturbasi ( 0,01-2,81 mg l-1). Tingginya DO pada lokasi bioturbasi disebabkan adanya interaksi antara permukaan dan bagian dalam sedimen lebih
43
NH4+ (µM) 0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2 -5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5
(a)
-15
NH₄⁺ (µM) 81
82
83
84
85
86
87
Kedalaman (cm)
0 -2.5 -5
B1 B2
-7.5
B3
-10 -12.5 -15
(b)
Gambar 14 Profil NH4+, pada porewater sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (a), dimana simbol B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling. Profil pada porewater lokasi bioturbasi ditunjukkan dalam kotak hijau pada gambar (a), bila kotak hijau diperbesar maka akan tampak terjadinya penurunan konsentrasi NH4+ (b).
44
NO2- (µM)
0
0.5
1
1.5
2
0 B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2
-5
B3 N1
-7.5
N2
-10
N3
-12.5 -15 NO3- (µM) 0
25
50
75
100
125
150
175
200
0 B1
Kedalaman (cm)
-2.5
B2
-5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5 -15 PO43- (µM)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0
Kedalaman (cm)
-2.5
B1 B2
-5
B3
-7.5
N1 N2
-10
N3
-12.5 -15
Gambar 15 Profil NO2-, NO3- dan PO43- pada porewater sedimen menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling.
45
DO (mg/l) 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0
Kedalaman (cm)
-2.5 -5 B1
-7.5
B2 -10
B3 N1
-12.5
N2 -15
N3
Gambar 16 Profil DO (mg/l) pada porewater sedimen menurut kedalaman (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling). terbuka akibat adanya liang bioturbasi, sehingga pada bagian dalam sedimen tetap berada dalam keadaan oksik. Meski pun demikian, aktifitas mikrobiologi pada lapisan oksik yang menggunakan oksigen mengakibatkan kandungan oksigen mengalami penurunan secara vertikal. Berbeda dengan lokasi non bioturbasi, ketersediaan oksigen terbatas dan tanpa interaksi dengan permukaan sedimen,
sehingga
aktifitas mikrobiologi
yang
terjadi
di
lapisan
oksik
mengkibatkan oksigen menurun dengan cepat. Aktifitas
mikrobiologi yang
terjadi
pada sedimen yang mengalami
bioturbasi disebut dengan dekomposisi aerobik atau nitrifikasi (Sanusi dan Putranto, 2009). Reaksi dekomposisi tersebut adalah sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) :
.......................... (1) ................................................... (2) Pada lokasi bioturbasi, oksigen yang berlimpah mengakibatkan kedua reaksi tersebut berjalan dari kiri ke kanan, sehingga NH4+ menurun namun NO2- dan NO3- meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Pada Gambar 16 terlihat, meskipun oksigen dalam sedimen berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman, namun konsentrasi oksigen (2,44-3,48 mg/l) masih cukup untuk terjadinya proses reaksi dengan oksigen sebagai katalisator, sehingga reaksi aerob terus terjadi selama oksigen masih tersedia. WPC (2010)
46
menjelaskan bahwa proses nitrifikasi akan berlangsung pada kondisi DO sedimen 1,0 mg/l atau lebih, dan pada kondisi DO 0,5 mg/l proses nitrifikasi yang terjadi adalah minimal. Perubahan profil nitrogen di atas, juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di laboratorium. Touminen et al. (1999) memperoleh profil perubahan nitrogen yang sama pada penelitiannya yang menggunakan inkubasi Monoporeia affinis selama 12 hari. Hasil inkubasi menunjukkan bahwa NH4+ juga mengalami penurunan dari hari ke hari, bahkan mendekati 0 µmol/l pada kedalaman sedimen 15 cm, konsentrasi NO3- dan NO2- mengalami peningkatan hingga kedalaman 5-10 cm lalu menurun pada hari ke-12. Pada sedimen non bioturbasi, keterbatasan oksigen (0,01-2,81 mg/l) mengakibatkan mikroorganisme mengubah NO3- yang telah tersedia menjadi NO2- dan akhirnya menghasilkan NH4+. NH4+ yang menjadi hasil akhir reaksi tersebut kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Reaksi perubahan NO3- tersebut merupkan dekomposisi anaerobik atau denitrifikasi (Sanusi dan Putranto, 2009). Dekomposisi anaerobik yang terjadi mengakibatkan kondisi amonium, nitrit dan nitrat pada lokasi non bioturbasi berkebalikan dengan lokasi bioturbasi. Reaksi dekomposisi anaeraobik yang terjadi adalah sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) :
.......................................... (3) ..................................... (4) .............................................. (5) Reaksi (5) tidak selalu terbentuk, sehingga hasil akhir dari proses denitrifikasi ini tidak selalu berupa dinitrogen (N2). Mikroorganisme yang terdapat dalam sedimen, termasuk juga bakteri, memiliki kemampuan untuk mengubah nitrat menjadi amonium dalam pembentukan biomassa. Pembentukan nitrat menjadi amonium terjadi dalam reaksi sebagai berikut (Jørgensen dan Sørensen, 1985; Sørensen, 1987; in Schulz dan Zabel, 2006) :
....................................... (6) Proses dekomposisi anaerobik tersebut terjadi mulai pada kedalaman 2,5 cm, sedangkan pada kedalaman di atas 2,5 cm masih berlangsung dekomposisi aerobik. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 14 yang menunjukkan konsentrasi NH4+ yang mengalami penurunan sebelum kemudian meningkat mulai kedalaman 2,5 cm. Selain itu, pada kedalaman 0-2,5 cm konsentrasi NO3juga mengalami peningkatan dan kemudian menurun setelah kedalaman 2,5 cm.
47
Hal tersebut disebabkan kondisi oksigen yang masih cukup tersedia hingga kedalaman 2,5 cm, sehingga proses yang terjadi pada kedalaman tersebut masih bersifat aerob. Namun setelah melewati kedalaman 2,5 cm oksigen mengalami penurunan yang signifikan sehingga tidak mencukupi untuk terjadinya proses aerob. WPC (2010) menjelaskan bahwa denitrifikasi akan mulai berlangsung pada kondisi oksigen kurang dari 0,5 mg/l. Denitrifikasi akan berlangsung secara ideal pada kondisi oksigen kurang dari 0,2 mg/l. Selain kandungan oksigen yang menurun, proses anaerobik ini juga terjadi karena konsentrasi nitrat yang terbatas, baik nitrat yang secara alami terkandung dalam sedimen, maupun nitrat hasil perombakan nitrit pada proses sebelumnya (Karlson et al., 2007). Penurunan NO3- dan NO2-, serta kenaikan NH4+ juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di wilayah lain. Liu et al. (2003) melakukan penelitian di pantai Laut Bohai, Cina dan memperoleh penurunan NO3- dan NO2- secara tajam sebagai gambaran kecepatan denitrifikasi, terutama pada sediment-water interface. Woulds et al. (2009) dengan lokasi penelitian Pakistan Margin Oxygen Minimum Zone (OMZ) juga memperoleh hasil penelitian yang serupa. Profil yang berlawanan antara lokasi yang mengalami bioturbasi dan non bioturbasi juga ditemukan pada fosfat terlarut (PO43-). Salah satu penyebab peningkatan konsentrasi PO43- pada porewater non bioturbasi adalah proses mineralisasi yang terjadi pada kondisi yang cenderung anaerob. Pada kondisi aerob, PO43- yang terdapat dalam sedimen memiliki sifat yang mudah berikatan, terutama dengan Fe3+ melalui reaksi : ................................................. (7) Namun pada kondisi anaerob, reaksi tersebut sulit terjadi sehingga PO43- yang bebas makin meningkat. Hal tersebut dijelaskan oleh Chester (1990); Chakrabarty dan Das (2007) dan Geurts et al. (2009), dimana pada kondisi anaerob Fe3+ akan mengalami reduksi menjadi Fe2+ dengan reaksi sebagai berikut (Schulz dan Zabel, 2006) : ........................................... (8) Fe2+ memiliki kemampuan mengikat PO43- lebih rendah, sehingga sedimen kehilangan kemampuannya untuk mengikat PO43- (Anschutz et al., 2007). Hal tersebut mengakibatkan PO43- lebih banyak berada dalam kondisi bebas. Selain itu, reduksi yang terjadi juga menyebabkan PO43- yang semula berikatan dengan Fe3+ terlepas (Gerhardt et al., 2010).
48
Reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ yang menghasilkan H+ mengakibatkan pH porewater pada lokasi non bioturbasi mengalami penurunan secara perlahan (Gambar 17). Penurunan pH ini juga ditemukan oleh Reimers et al. (1996) dan Falz et al. (1999) yang kemudian menjelaskan bahwa terjadinya penurunan pH pada kondisi anoksik ini diduga disebabkan oleh efek reduksi Fe yang menghasilkan H+ lebih besar dibandingkan proses redoks lain yang justru memanfaatkan H+. Penurunan pH yang terjadi pada lokasi non bioturbasi mengakibatkan Fe2+ yang terbentuk makin meningkat sehingga PO43- yang terlepas menuju porewater juga makin tinggi.
pH 0
2.5
5
7.5
10
0 Kedalaman (cm)
-2.5 -5
B1
-7.5
B2 B3
-10
N1
-12.5
N2
-15
N3
Gambar 17. pH porewater menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi (B = bioturbasi ; N = non bioturbasi ; 1,2,3 = titik sampling). Proses diagenesis yang terjadi di sedimen di wilayah estuaria tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan Fe2+. Mangan oksida (MnO2) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi mineralisasi PO43-. Kondisi sedimen yang anoksik mengakibatkan MnO2 mengalami reduksi menjadi Mn2+ melalui reaksi sebagai berikut (Chester, 1990) : ...................................................................... (9) Mn2+ yang bertindak sebagai kation memiliki kemampuan untuk mengikat PO 43-. Meski demikian, pada sedimen Mn2+ yang terbentuk kemudian terdifusi ke atas hingga mencapai batas daerah redoks (oxidized zone) akibat adanya gradient konsentrasi dan mengalami oksidasi kembali membentuk MnO2
(s).
Hal tersebut
mengakibatkan pada oxidized zone tidak ditemukannya Mn2+ (Chester, 1990). Terbatasnya wilayah keberadaan Mn2+ dan cepatnya reaksi yang mengubah
49
Mn2+ mengakibatkan Mn2+ pada sedimen estuari yang dangkal tidak banyak berikatan dengan PO43-. Profil konsentrasi PO43- di atas berbeda dengan profil pada pada wilayah yang mengalami bioturbasi. Peningkatan PO43- pada porewater bioturbasi terjadi hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun. Proses yang terjadi pada liang bioturbasi lebih rumit dibandingkan lokasi non bioturbasi. Kondisi oksik pada liang bioturbasi mengakibatkan Fe2+ yang melepaskan PO43- tidak dapat terbentuk. Namun reaksi yang terjadi justru mengakibatkan Fe2+ mengalami oksidasi menjadi Fe3+, begitu pula dengan Mn2+ yang mengalami oksidasi menjadi MnO2 (Chester, 1990). Hal tersebut mengakibatkan PO43- akan mudah berikatan, terutama dengan Fe3+ yang bersifat lebih bebas dibandingkan MnO2. Meski demikian, konsentrasi PO43- pada permukaan (hingga kedalaman 5-7,5 cm) mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena adanya masukkan PO43- dari kolom air yang terbawa bersama aliran air ke dalam liang bioturbasi (Fukuhara & Sakamoto, 1987; Søndergaard, 2003 in Smith, 2009). Selain itu, pembentukan liang bioturbasi juga mengakibatkan terjadinya pengadukan sedimen yang mampu melepaskan PO43- yang terikat pada partikel sedimen. Seiring dengan bertambahnya kedalaman, meskipun DO dalam liang yang masih cukup tinggi namun pH bagian dalam liang meningkat (Gambar 17). Proses perubahan pH yang lebih rumit terjadi pada porewater bioturbasi. Perubahan pH pada liang bioturbasi tersebut juga diperoleh oleh Meadows et al. (2000); Zhu et al. (2006) dan Hakonen et al. (2010) yang kemudian menjelaskan adanya pengaruh lendir dan metabolit yang dikeluarkan oleh organisme sebagai salah satu penyebab terjadinya penurunan pH. Selain itu, kondisi liang bioturbasi yang oksik (Gambar 16) mengakibatkan berlangsungnya proses reaksi aerob yang menghasilkan H+ sehingga pH mengalami penurunan. Peningkatan yang terjadi setelahnya diduga karena adanya pengadukan bagian bawah sedimen yang mengandung oksidan terlarut dengan konsentrasi tinggi. Meski demikian, penyebab peningkatan pH yang terjadi belum diketahui secara jelas (Zhu et al., 2006; Hakonen et al., 2010). Perubahan pH tersebut mengakibatkan PO4 yang berada dalam keadaan bebas akan berkurang. Profil nutrien (Gambar 14 dan 15) di porewater, baik pada lokasi yang mengalami bioturbasi maupun non bioturbasi, secara umum memiliki profil yang konsisten pada setiap titik sampling. Hal ini diduga karena kondisi fisika sedimen yang homogen pada setiap titik di lokasi sampling (bioturbasi dan non bioturbasi),
50
antara lain jenis substrat, porositas dan permeabilitas sedimen. Jenis substrat pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi didominasi oleh fraksi silt (98%), dengan porositas sebesar 88,39-90,57% untuk sedimen bioturbasi dan 80,4083,63% untuk sedimen non bioturbasi, sedangkan permeabilitasnya memiliki kisaran 1,69-1,8 cm/jam untuk sedimen bioturbasi dan 0,93-1,07 cm/jam untuk sedimen non bioturbasi (Lampiran 7). Kisaran porositas dan permeabilitas yang sempit pada masing-masing lokasi sampling dengan substrat yang homogen tersebut, mengakibatkan kemampuan sedimen untuk menyerap dan mengalirkan porewater
juga
homogen.
Kondisi
kimia
pada
porewater
mampu
menggambarkan kondisi kimia yang terjadi dalam sedimen, sehingga bila porewater yang terdapat dalam sedimen sama maka kandungan nutrien yang terdapat di dalamnya tentu akan memiliki profil yang konsisten pula.
4.4. Fluks Nutrien 4.4.1. Fluks Nutrien Pada Lokasi Bioturbasi Fluks nutrien di lokasi bioturbasi dapat dilihat pada Gambar 18. Fluks NH4+ berkisar antara -37,378 sampai -17,941 mmol N m-2 h-1, sedangkan fluks NO3-, dan PO43- berturut-turut 31,778-50,313 mmol N m-2 h-1 ; dan -6,126.10-4 hingga 5,740.10-4 mmol P m-2 h-1. Pada fluks tersebut, tanda negatif dan positif menunjukkan arah fluks, dimana negatif berarti terjadi aliran fluks dari box model menuju kolom air (efflux) sehingga menambah konsentrasi nutrien di kolom air, sedangkan positif menandakan aliran fluks dari kolom air masuk dalam box model (influx) sehingga mengurangi konsentrasi nutrien pada kolom air. Influx NO3- pada lokasi bioturbasi dipicu oleh tingginya aktifitas denitrifikasi yang
terjadi dalam liang. Kandungan oksigen yang lebih tinggi pada liang
memang mengakibatkan nitrifikasi yang menghasilkan NO3- dalam jumlah yang tinggi. Namun pada kenyataannya, liang yang terbentuk justru mengakibatkan mikroorganisme lebih terstimulasi untuk melakukan proses denitrifikasi daripada nitrifikasi. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme dalam liang yang mengakibatkan kebutuhan masukan air dalam liang juga makin tinggi. Peningkatan aliran masukan air tidak hanya meningkatkan kebutuhan oksigen mikroorganisme, tetapi juga mengakibatkan konsentrasi NO3- dalam liang yang juga meningkat akibat terbawa dari kolom air sehingga menghasilkan denitrifikasi yang tinggi dalam sedimen (Svensson, 1998). Stimulasi denitrifikasi yang terjadi dalam liang kemudian mengakibatkan
51
Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) -40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0 0 2.5
Kedalaman (cm)
5 7.5 10 12.5 15
B1
B2
B3 Fluks NO3- (mmol N m-2 h-1)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
B1
B2
B3
Fluks PO43- (mmol P m-2 h-1) -8.E-04
-6.E-04
-4.E-04
-2.E-04
0.E+00
2.E-04
4.E-04
6.E-04
8.E-04
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
B1
Gambar 18
B2
B3
Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi bioturbasi. Arah negatif dan positif pada gambar merupakan arah fluks, dimana arah negatif menunjukkan terjadinya fluks keluar (efflux), dan arah positif menunjukkan fluks masuk ke dalam box model (influx). Simbol 1,2,3 menunjukkan titik sampling.
52
mikroorganisme memerlukan tambahan NO3- yang kemudian diambil dari luar (Binnerup et al., 1992 ; Howe et al., 2004 in Widdicombe dan Needham, 2007). Kenyataan tersebut diperkuat oleh Henrikson et al. (1980) dan Kristensen et al. (1985) in Widdicombe dan Needham (2007) yang menemukan bahwa liang bioturbasi memberikan kontribusi rata-rata sebesar 35% untuk nitrifikasi dan 5079% untuk denitrifikasi. Secara alami, influx yang terjadi pada NO3- ini telah ditunjukkan oleh profil konsentrasinya secara vertikal (Gambar 15). Konsentrasi pada sediment-water interface (0 cm) yang lebih rendah dibandingkan pada sedimen yang lebih dalam mengindikasikan adanya pengambilan NO3- dari kolom air oleh box model. Kondisi NO3- pada 0 cm dapat digunakan untuk mewakili kondisi nutrien pada kolom air hingga 1-2 cm di atas sedimen. Hal tersebut mengacu pada percobaan Zaiko dan Olenin (2004), dimana pada kondisi tenang, resuspensi hasil bioturbasi, baik partikel sedimen maupun bahan terlarut, dapat terdeteksi hingga kedalaman 10 cm di atas permukaan sedimen. Namun, resuspensi tertinggi terdapat pada kolom air 1-2 cm di atas permukaan sedimen. Penjelasan di atas secara tidak langsung dapat menerangkan efflux yang terjadi pada NH4+. Pratihary et al. (2009) mengemukakan bahwa denitrifikasi yang lebih tinggi turut menyumbangkan konsentrasi NH4+ dalam liang selain NH4+ yang berasal dari hasil interaksi dengan kolom air. Konsentrasi NH4+ tersebut kemudian juga ditambah dengan hasil ekskresi organisme dalam liang (Nizzoli et al., 2007) yang mengakibatkan kondisi sedimen menjadi lebih jenuh dan memicu terjadinya efflux NH4+. Fluks NH4+ semakin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman meskipun konsentrasi NH4+ semakin berkurang (Gambar 14). Hal tersebut disebabkan karena makin bertambahnya gradien konsentrasi NH4+ pada kedalaman 0 cm dan 12,5-15 cm (box 6), sehingga NH4+ yang keluar menuju kolom air juga tentu saja akan makin besar. Selain itu, dilihat dari proses internal dalam liang, pada liang bioturbasi terjadi perubahan ukuran liang yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme. Semakin ke dalam sedimen liang bioturbasi mengecil, namun reaksi denitrifikasi mengalami peningkatan. Hal tersebut terjadi karena makin tingginya ketersediaan NO3- pada bagian dalam sedimen dan jumlah mikroorganisme pada dinding liang yang tinggi (Pelegri et al., 1994). Proses denitrifikasi pada liang bioturbasi, sebagian besar merubah NO3- menjadi N2O dan menghasilkan NH4+ dibandingkan N2 (Binnerup et
53
al.,1992), sehingga konsentrasi NH4+ bertambah. Meski demikian, NH4+ yang memiliki sifat tidak stabil (Binnerup et al., 1992) akan terus mengalami perubahan dalam sedimen, sehingga NH4+ hasil denitrifikasi tersebut langsung mengalami reaksi kembali menjadi NO3-. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab meningkatnya efflux NH4+ meskipun konsentrasi pada porewater menurun. Selain itu, pada bagian bawah liang bioturbasi, ekskresi NH4+ diduga mengalami peningkatan dan menjadi salah satu penyumbang efflux NH4+ yang terjadi (Pelegri et al., 1994). Selain faktor reaksi internal dan gradien konsentrasi, peningkatan efflux NH4+ yang terjadi secara vertikal juga disebabkan oleh ukuran liang bioturbasi yang makin kecil pada sedimen bagian dalam. Liang yang makin kecil mengakibatkan porositas juga semakin kecil, sehingga NH4+ yang berikatan dengan partikel sedimen meningkat dan NH4+ terlarut menurun. Namun demikian aktifitas keluar masuk liang yang dilakukan oleh organisme mengakibatkan lebih banyak NH4+ yang berikatan dengan sedimen terlepas (Biles et al., 2002 ; O’Brien et al., 2009) dan menjadi bentuk terlarut pada porewater. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan gradien konsentrasi dan efflux NH4+ menjadi makin besar. Perubahan aliran fluks terjadi pada PO43-, yaitu adanya influx pada box 1 hingga box 3 yang kemudian diikuti dengan efflux pada box selanjutnya. Perubahan ini secara umum sesuai dengan konsentrasi PO43- (Gambar 15) yang juga menunjukkan adanya peningkatan hingga kedalaman 5-7,5 cm dan penurunan pada kedalaman selanjutnya. Box 3 (antara kedalaman 5-7,5 cm) merupakan box transisi yang ditunjukkan oleh yang influx makin menurun. Perubahan-perubahan fluks ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh kelimpahan mikroorganisme (termasuk fitoplankton) dan gradien konsentrasi secara vertikal pada liang bioturbasi, namun pengaruh terbesar diduga diberikan oleh perubahan kelimpahan mikroorganisme tersebut. Dominasi pengaruh pemanfaatan secara biologi terhadap fluks PO43- juga diungkapkan oleh Carlton dan Wetzel (1988).
4.4.2. Fluks Nutrien Pada Lokasi Non Bioturbasi Fluks nutrien pada lokasi non bioturbasi dapat dilihat pada Gambar 19. Fluks NH4+ terjadi dengan kisaran nilai 0,030-0,321 mmol N m-2 h-1, aliran NO3memiliki kisaran antara -0,022 sampai -0,406 mmol N m-2 h-1, dan PO43- dengan
54
Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
N1
N2
N3
Fluks NO3- (mmol N m-2 h-1) -0.45
-0.4
-0.35
-0.3
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0 0 2.5
7.5 10
Kedalaman (cm)
5
12.5 15
N1
N2
N3 Fluks PO43- (mmol P m-2 h-1)
0.0E+00
2.0E-06
4.0E-06
6.0E-06
8.0E-06
1.0E-05
1.2E-05
1.4E-05
0
Kedalaman (cm)
2.5 5 7.5 10 12.5 15
N1
Gambar 19
N2
N3
Profil fluks NH4+, NO3- dan PO43- (mmol m-2 h-1) pada lokasi non bioturbasi. Arah negatif dan positif pada gambar merupakan arah fluks, dimana arah negatif menunjukkan terjadinya fluks keluar (efflux), dan arah positif menunjukkan fluks masuk ke dalam box model (influx). Simbol 1,2,3 menunjukkan titik sampling
55
kisaran 4,199.10-7-1,338.10-5 mmol P m-2 h-1. Sama halnya dengan fluks pada lokasi bioturbasi, tanda negatif dan positif menunjukkan arah fluks, dimana negatif berarti terjadi aliran fluks dari box model menuju kolom air (efflux) sehingga menambah konsentrasi nutrien di kolom air, sedangkan positif menandakan aliran fluks dari kolom air masuk dalam box model (influx) sehingga mengurangi konsentrasi nutrien pada kolom air. Fluks NH4+ pada lokasi non bioturbasi terjadi dengan arah dari kolom air masuk ke dalam box model (influx) dan semakin ke dalam sedimen influx yang terjadi makin besar. NH4+ pada sedimen berasal dari akumulasi pengendapan NH4+ yang berasal dari permukaan, hasil proses denitrifikasi. Apabila dilihat dari profil NH4+ (Gambar 14), maka influx yang terjadi sesuai dengan gradien konsentrasi di lapangan. Hal ini terlihat dari makin bertambahnya konsentrasi NH4+ seiring dengan bertambahnya kedalaman yang menunjukkan terjadinya akumulasi NH4+ pada bagian dalam sedimen. Konsentrasi NH4+ pada sedimentwater interface (kedalaman 0 cm) lebih kecil dibandingkan konsentrasi pada kedalaman sedimen di bawahnya, sehingga menandakan bahwa memang terjadi perpindahan NH4+ dari permukaan sedimen masuk ke dalam sedimen. Konsentrasi NH4+ pada kedalaman 0 cm tersebut dapat mewakili kondisi NH4+ hingga 1 cm di atas permukaan sedimen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Touminen et al. (1999) dimana konsentrasi NH4+ tidak berbeda secara signifikan pada 1 cm di atas permukaan sedimen dan 0 cm, sedangkan pada kolom air yang lebih tinggi dari permukaan sedimen menunjukkan konsentrasi NH4+ yang lebih rendah dibandingkan sediment-water interface. Fluks NH4+ berlawanan arah dengan fluks NO3-. NO3- mengalami efflux yang semakin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman. Konsentrasi NO3yang semakin menurun (Gambar 15) mengakibatkan peningkatan gradien konsentrasi antara NO3- pada box model bagian dalam sedimen dengan permukaan sedimen (kedalaman 0 cm). Hal tersebut mengindikasikan bahwa memang terjadi aliran keluar yang makin besar dari box model menuju kolom air. Proses efflux tersebut tidak hanya dapat diterangkan oleh adanya proses difusi, namun beberapa faktor lain seperti struktur dan komposisi sedimen, bulk density, dan kecepatan aliran (velositas) porewater, juga ikut mempengaruhi transpor vertikal NO3- menuju kolom air (Zhou et al., 2011). Pada penelitian ini, faktor-faktor tersebut masih diasumsikan homogen sehingga proses transpor efflux NO3- belum dapat diterangkan lebih detail.
56
Meski demikian, pelepasan NO3- dapat juga diterangkan sebagai akibat proses
kimia
yang
terjadi.
Penurunan
konsentrasi
NO3-
menunjukkan
penggunaan NO3- untuk denitrifikasi makin besar sehingga pelepasan NO3- juga makin besar. Hal tersebut dijelaskan oleh Fan et al (2006) yang mengemukakan bahwa pada kedalaman dimana konsentrasi NO3- menurun dan sangat terbatas, mikroorganisme yang berperan sebagai denitrifiers berada dalam kelimpahan yang tinggi sehingga denitrifikasi juga makin besar. Namun meningkatnya pelepasan NO3- ini tidak terjadi secara linier melainkan sangat tergantung pada batas ketersediaan bahan organik dan kadar air pada sedimen. PO43- pada sedimen non bioturbasi mengalami influx yang nilainya makin besar seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sama halnya dengan NH4+, pada sedimen non bioturbasi juga terjadi akumulasi PO43- yang menyebabkan konsentrasi PO43- semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 15), sehingga terjadi perpindahan PO43- dari kolom air menuju sedimen (influx). Semakin besar akumulasinya (ditunjukkan oleh semakin tinggi konsentrasi), maka influx yang dihasilkan juga makin besar. Selain itu, proses mineralisasi yang menyebabkan terjadinya pelepasan PO43- dari partikel sedimen juga meningkatkan konsentrasi PO43- sehingga sistem model yang digunakan juga mengasumsikan adanya influx yang meningkat seiring dengan kedalaman sedimen . Kisaran nilai fluks sedimen non bioturbasi jauh lebih rendah dibandingkan fluks pada sedimen non bioturbasi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh pengadukan sedimen oleh bioturbator yang menyebabkan aliran nutrien menjadi lebih tinggi. Selain itu, liang bioturbasi yang terbentuk juga mengakibatkan luas daerah interaksi antara sedimen dan kolom air sepanjang dalamnya liang menjadi lebih luas, sehingga jalan aliran fluks nutrien juga menjadi lebih terbuka dibandingkan sedimen non bioturbasi yang hanya mengandalkan proses difusi sedimen (Nizzoli et al., 2007). Perbedaan kisaran nilai fluks antara sedimen bioturbasi dan non bioturbasi ini juga
diperoleh
dalam
penelitian
yang
dilakukan oleh Pratihary et al. (2009), dimana fluks nutrien pada sedimen non bioturbasi mencapai 2-25 kali lebih kecil dibandingkan fluks yang terjadi pada sedimen non bioturbasi.
57
4.5. Analisis Sensitifitas Model QUAL2K Analisis sensitivitas dilakukan untuk memprediksi faktor dominan yang dapat mempengaruhi fluks NH4+ yang terjadi pada lokasi bioturbasi. Hasil analisis sensitifitas model QUAL2K tersebut ditunjukkan oleh Tabel 7 dan 8. Nilai sensitivitas tersebut ditunjukkan oleh rata-rata perubahan fluks NH4+ dan indeks sensitivitas. Rata-rata perubahan fluks merupakan delta (∆) fluks, yaitu besar rata-rata fluks awal (fluks yang dihasilkan oleh data lapangan) dikurangi dengan fluks akhir (fluks yang dihasilkan setelah data mengalami penambahan atau pengurangan). Tanda negatif yang terdapat pada rata-rata perubahan fluks menunjukkan terjadinya pengurangan pada fluks awal dan tanda positif menunjukkan adanya penambahan pada fluks awal. Tingkat kesensitifan tiap perubahan parameter terhadap fluks awal sendiri ditunjukkan oleh indeks sensitivitas, dimana makin tinggi nilai indeks sensitivitas maka parameter tersebut makin dominan mempengaruhi perubahan fluks yang terjadi. Demikian pula sebaliknya. Tabel 7 merupakan hasil sensitivitas yang diperoleh apabila parameter DO, porositas, konsentrasi masing-masing nutrien, dan kelimpahan fitoplankton mengalami penambahan dari konsentrasi awal. Misalnya penambahan DO (yaitu 50% dari konsentrasi awal), mengakibatkan terjadinya penambahan fluks NH4+ dengan rata-rata sebesar 0,007 mmol N m-2 h-1 dari fluks awal dengan nilai indeks sensitivitas sebesar 0,001. Begitu pula dengan penambahan nilai porositas (yaitu 5% dari nilai porositas awal). Penambahan porositas tersebut mengakibatkan terjadinya pengurangan fluks sebesar 29,650 mmol N m -2 h-1 dari fluks awal dengan nilai indeks sensitivitas sebesar 23,777. Nilai indeks sensitivitas akibat penambahan porositas yang lebih besar dibandingkan indeks sensitivitas akibat penambahan DO mengindikasikan bahwa fluks yang terjadi lebih sensitif terhadap penambahan porositas dibandingkan penambahan DO. Pembacaan indeks pada Tabel 7 tersebut juga berlaku pada Tabel 8 yang merupakan hasil sensitivitas yang dilakukan terhadap pengurangan nilai masingmasing parameter. Grafik hasil analisis sensitivitas pada setiap titik sampling lokasi bioturbasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis sensitivitas model QUAL2K menunjukkan bahwa indeks sensitivitas tertinggi disebakan oleh adanya perubahan nilai porositas (22,94229,330 untuk penambahan porositas dan 6,621-12,690 untuk pengurangan porositas). Tingkat sensitivitas berikutnya berturut-turut diperoleh akibat adanya
58
Tabel 7 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat penambahan parameter Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,007 -29,650 0,611 -12,314
0,001 23,777 0,049 0,987
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,016 -34,311 0,807 -13,027
0,001 25,293 0,059 0,960
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,020 -38,806 0,701 -11,368
0,001 26,461 0,048 0,775
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,022 -42,312 0,794 -11,010
0,001 26,863 0,050 0,699
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,022 -49,951 0,788 -7,554
0,001 28,940 0,046 0,438
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,023 -54,815 0,797 -6,378
0,001 29,330 0,043 0,341
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,311 -28,037 1,611 -7,770
0,025 22,942 0,132 0,636
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,102 -31,325 1,825 -8,230
0,008 23,539 0,137 0,618
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,320 -34,558 2,433 -7,596
0,023 24,611 0,173 0,541
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B1
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
2,5-5
B2
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
59
Tabel 7 (Lanjutan) Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B2
7,5-10
B3
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,176 -40,767 3,374 -6,838
0,012 27,741 0,230 0,465
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,306 -45,904 5,633 -7,278
0,019 28,756 0,353 0,456
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,009 -50,651 6,477 -8,683
0,001 29,186 0,373 0,500
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,311 -22,650 1,111 -11,932
0,035 25,250 0,124 1,330
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,299 -25,409 1,215 -10,271
0,031 26,444 0,126 1,069
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,181 -29,879 1,447 -9,174
0,017 27,919 0,135 0,857
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,025 -34,136 0,746 -7,787
0,002 28,968 0,063 0,661
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,194 -41,197 0,857 -10,396
0,014 28,676 0,060 0,724
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
+ 50% + 5% + 50% + 25%
0,491 -46,951 1,133 -9,826
0,030 29,146 0,070 0,610
60
Tabel 8 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+ pada lokasi bioturbasi akibat pengurangan parameter Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
-50% -5% -50% -25%
-0,041 8,257 -0,615 4,062
0,003 6,621 0,049 0,326
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,016 11,635 -0,770 3,852
0,001 8,577 0,057 0,284
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,020 13,730 -0,777 4,265
0,001 9,362 0,053 0,291
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,022 17,356 -0,789 4,586
0,001 11,019 0,050 0,291
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,022 18,710 -0,782 5,664
0,001 10,840 0,045 0,328
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,023 20,383 -0,791 7,467
0,001 10,906 0,042 0,400
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,293 8,846 -0,615 3,060
0,024 7,239 0,050 0,250
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,148 13,853 -0,581 4,292
0,011 10,410 0,044 0,323
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,180 15,315 -0,366 5,068
0,013 10,907 0,026 0,361
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B1
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
2,5-5
B2
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
61
Tabel 8 (Lanjutan) Rata-rata Perubahan + Fluks NH4 -2 -1 (mmol N m h )
Indeks Sensitivitas (S)
-50% -5% -50% -25%
-0,324 18,649 -0,704 6,367
0,022 12,690 0,048 0,433
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,193 20,258 -1,088 8,182
0,012 12,690 0,068 0,513
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,491 24,571 -0,983 9,771
0,028 14,158 0,057 0,563
0-2,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,193 7,876 -1,615 4,200
0,022 8,780 0,180 0,468
2,5-5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25%
-0,103 9,921 -1,387 4,932
0,011 10,325 0,144 0,513
5-7,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,321 12,816 -1,164 4,772
0,030 11,975 0,109 0,446
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-50% -5% -50% -25% -50% -5% -50% -25%
-0,177 14,777 -1,093 4,243
0,015 12,540 0,093 0,360
10-12,5
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,006 14,035 -1,405 3,551
0,000 9,770 0,098 0,247
12,5-15
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
-0,009 17,322 -1,573 6,661
0,001 10,753 0,098 0,413
Lokasi Bioturbasi
Kedalaman (cm)
B2
7,5-10
DO Porositas Konsentrasi Nutrien Klorofil fitoplankton
10-12,5
B3
Parameter
Rata-rata Perubahan Parameter (%)
-50% -5% -50% -25% -50% -5% -50% -25% -50%
62
perubahan konsentrasi fitoplankton (0,341-1,330 untuk penambahan dan 0,2500,563 untuk pengurangan fitoplankton), perubahan konsentrasi masing-masing nutrien (0,043-0,373 untuk penambahan dan 0,026-0,180 untuk pengurangan konsentrasi), dan perubahan DO (0,001-0,035 untuk penambahan dan 0,0000,030 untuk pengurangan DO). Perubahan
porositas mengakibatkan
perubahan
fluks
yang
cukup
signifikan. Hal ini terjadi karena porositas mempengaruhi ketersediaan nutrien dalam bentuk terlarut dan partikulat. Semakin kecil porositas, maka keberadaan nutrien dalam bentuk terlarut semakin kecil dan nutrien sebagai partikulat akan semakin besar. Hal tersebut mengakibatkan adanya kejenuhan nutrien partikulat dalam sedimen, sehingga kemungkinan untuk terjadinya efflux dari sedimen ke porewater dan meningkatkan konsentrasi NH4+ di porewater. Kemudian efflux menuju kolom air akan mengalami peningkatan, dimana NH4+ di porewater terbawa ke permukaan besama dengan air yang mengalir dalam liang. Selain itu, porositas juga mempengaruhi aktifitas mikrorganisme. Ruang pori yang kecil pada kondisi oksik dapat menstimulasi peningkatan aktifitas mikroorganisme sehingga fluks yang dihasilkan menjadi lebih besar. Selain itu, ruang pori juga berperan dalam distribusi bahan organik sebagai bahan mentah dalam sedimen. Hal tersebut tampak dalam perubahan arah fluks NH4+ yang justru mengalami influx ketika diberi penambahan nilai porositas yang menandakan perlunya tambahan NH4+ pada ruang pori yang besar guna mendukung aktifitas mikroorganisme. Pada analisis sensitivitas model yang dilakukan, peningkatan efflux yang terjadi akibat berkurangnya porositas berlangsung secara linier. Namun menurut Linn dan Doran (1984), peningkatan fluks yang terjadi akibat penurunan porositas tidak berlangsung secara linier, tetapi eksponensial dimana terdapat titik kritis pada porositas yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan besaran fluks. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan bulk density dan ketebalan jenis sedimen, dimana tiap bagian kedalaman dapat berbeda tergantung pada proses yang terjadi di permukaan. Distribusi dan pengendapan jenis dan ukuran butir sedimen pada suatu perairan, dipengaruhi oleh transpor sedimen dan adveksi horizontal pada bagian permukaan. Pada lokasi penelitian, substratnya merupakan hasil pengendapan dari arus yang lemah karena lokasinya yang terlindungi sehingga cenderung memiliki substrat halus. Meski demikian, pada penelitian ini, data jenis dan ukuran butir pada
63
setiap kedalaman 2,5 cm tidak diketahui secara detail, sehingga asumsi (3) digunakan dalam analisis sensitvitas. Perubahan kelimpahan klorofil-a yang
terdapat
dalam
fitoplankton
merupakan faktor dominan kedua yang mempengaruhi fluks yang terjadi. Hal ini karena klorofil-a yang terdapat dalam fitoplankton merupakan salah satu sumber bahan organik yang terdapat di dalam sedimen (asumsi 1). Semakin tinggi kelimpahannya, maka makin banyak bahan organik partikulat yang akan mengendap, sehingga makin tinggi pula sumber bahan organik dalam sedimen. Sama halnya dengan porositas, bila bahan organik partikulat makin jenuh, maka makin tinggi peluang terjadinya fluks dari sedimen ke kolom air. Selain itu, keberadaan organisme fitoplankton pada liang bioturbasi juga terkait dengan tingkat
pemanfaatan nutrien
dalam
liang.
Fitoplankton
yang
berlimpah
mengakibatkan pemanfaatan bahan organik menjadi tinggi. Konsentrasi bahan organik yang sama namun dengan kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi, mengakibatkan
persaingan
dalam
pemanfaatan
bahan
organik
antara
fitoplankton dan mikroogranisme (khusunya bakteri) menjadi lebih tinggi. Box model kemudian memerlukan tambahan (input) bahan organik lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan fitoplankton dan mikroorganisme akan bahan organik, sehingga pada penambahan fitoplankton terjadi influx yang makin tinggi dan efflux yang menurun. Demikian pula sebaliknya. Faktor lain yang cukup mempengaruhi besar kecil fluks bahan organik yang terjadi adalah konsentrasi masing-masing bahan organik. Peningkatan bahan organik yang terjadi mengakibatkan efflux yang makin besar, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan gradien konsentrasi antara sedimen dan kolom air. Bila bahan organik dalam sedimen bertambah, maka sedimen menjadi lebih jenuh sehingga kemungkinan terjadinya aliran bahan organik dari sedimen menuju kolom air makin tinggi. Demikian pula sebaliknya bila bahan organik dalam sedimen berkurang. Perubahan fluks tersebut dijelaskan oleh Wang et al. (2004) dimana besar fluks juga dapat dipengaruhi oleh gradient konsentrasi bahan organik pada sedimen. Berbeda dengan perubahan ketiga faktor sebelumnya, perubahan DO tidak terlalu mempengaruhi perubahan fluks. Hal ini karena sebagian besar bakteri nitrifikasi memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk beradaptasi pada kondisi oksigen, bahkan pada oksigen yang rendah dan terbatas, sehingga perubahan oksigen tidak terlalu mempengaruhi proses yang terjadi (Sliekers et al., 2005).
64
65
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa secara morfologi, liang bioturbasi memiliki 4 karakter yaitu single, U-shaped, Y-shaped, dan kompleks, dengan dominasi pada karakter single. Keberadaan liang bioturbasi tersebut ternyata mempengaruhi konsentrasi nutrien sehingga masing-masing nutrien memiliki profil vertikal yang berbanding terbalik dengan profil vertikal pada lokasi non
bioturbasi.
Pengaruh
keberadaan
liang
bioturbasi
tersebut
juga
mengakibatkan arah fluks nutrien yang berbanding terbalik antara lokasi bioturbasi dan non bioturbasi. Meski demikian, arah fluks NH4+, NO3- dan PO43pada kedua lokasi tersebut sesuai dengan pola konsentrasi vertikal masingmasing nutrien. Selain itu, fluks yang dihasilkan akibat adanya liang bioturbasi memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan fluks pada lokasi non bioturbasi. Faktor dominan yang mempengaruhi fluks pada lokasi bioturbasi diketahui dengan menggunakan analisis sensitivitas QUAL2K yang memperoleh hasil bahwa faktor dominan yang mempengaruhi fluks tersebut adalah perubahan porositas. Kemudian diikuti oleh perubahan kelimpahan klorofil-a pada fitoplankton, konsentrasi masing-masing nutrien dan DO. Penggunaan model QUAL2K ini menghasilkan profil fluks nutrien yang konsisten dan dapat mewakili fluks yang terjadi di lapangan.
5.2. Saran Penelitian yang telah dilakukan ini masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut, terutama dalam penambahan parameter karbon yang berasal dari bahan organik. Mengingat fluks yang dihasilkan pada lokasi bioturbasi secara dominan dipengaruhi oleh porositas, maka perlu juga dilakukan analisis nutrien pada sedimen, sehingga pengaruh porositas terhadap konsentrasi nutrien dapat diterangkan lebih detail. Selain itu juga perlu dilakukan penambahan parameter biologi, baik kelimpahan klorofil fitoplankton, organisme pelaku bioturbasi maupun mikroorganisme sebagai pelaku reaksi redoks pada sedimen, dengan demikian budget nutrien secara internal pada ekosistem mangrove dapat diketahui lebih detail.
66
67
DAFTAR PUSTAKA
Afdal, Riyono SH. 2008. Sebaran klorofil-a dan hubungannya dengan eutrofikasi di perairan Teluk Jakarta. Oseano Limnol Indonesia 34 (3): 333-351. Aller RC. 1988. Benthic fauna and biogeochemical processes in marine sediments : the role of burrow structures. Di dalam : Blackburn TH, Sørensen J. 1988. Nitrogen Cycling in Coastal Marine Environments. Chapter 13. hlm. 301-338. Anschutz P, Chaillou G, Lecroart P. 2007. Phosphorus diagenesis in sediment of the Thau Lagoon. Estuar Coast Shelf Sci 20 : 1-10. Ashton EC, Hogarth PJ, Ormond R. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in managed mangrove forest in Peninsular Malaysia. Hydrobiologia 413 : 7788. Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis : Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Edisi ke-2. Bogor : Balai Penelitian Tanah. Berg P, Rysgaard S, Thamdrup B. 2003. Dynamic modeling of early diagenesis and nutrient cycling : a case study in an Arctic marine sediment. Am J Sci 303 : 905-955. Biles CL, Paterson DM, Ford RB, Solan M, Raffaelli DG. 2002. Bioturbation , ecosystem functioning and community structure. Hydrol Earth Syst Sc 6(6): 999-1005 Binnerup SJ, Jensen K, Revsbech NP, Jensen MH, Sørensent J. 1992. Denitrification, dissimilatory reduction of nitrate to ammonium, and nitrification in a bioturbated estuarine sediment as measured with '5n and microsensor techniques. Appl Environ Microbiol 58 (1) : 303-313 Boudreau BP. 1997. Diagenetic Models and their Implementation : Modelling Transpor and Reactions in Aquatic Sediments. Germany : SpringerVerlag. Buchanan JB. 1984. Sediment analysis. Di dalam : Holme NA, Mclntyre AD, editor. Methods for the Study of Marine Benthos. Ed ke-2. London : Blackwell Scientific Publications. Buffle J, De Vitre RR. 1994. Chemical and Biological Regulation of Aquatic Systems. Florida : CRC Press, Inc. Candisani LC, Sumida PYG, Pires-Vanin AMS. 2001. Burrow morphology and mating behavior of the thalassinidean shrimp Upogebia noronhensis. J Mar Biol Ass UK 81 : 1-5. Carlton RG, RG Wetzel. 1988. Phosphorus flux from lake sediments: Effect of epipelic algal oxygen production. Limnol Oceanogr 33 (4, part I) : 562570.
68
Carney RS. 1981. Bioturbation and Biodeposition. Di dalam : Boucot, AJ, editor. Principles of Marine Benthic Paleoecology. New York : Academic Press. hlm 357-399. Chakrabarty D, Das SK. 2007. Bioturbation-induced phosphorous release from an insoluble phosphate source. BioSystems 90 : 309–313 Chapra S, Pelletier G, Tao H. 2008. QUAL2K : A Modelling Framework for Simulating River and Stream Water Quality (Version 2.11). Documentation. Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London : Unwin Hyman Ltd. Day JW, Hall CAS, Kemp WM, Yañez-Arancibia A. 1989. Estuarine Ecology. New York : John Wiley & Sons Publications. Engelsen A, Hulth S, Pihl L, Sündback K. 2008. Benthic trophic status and nutrient fluxes in shallow-water sediments. Estuar Coast Shelf Sci 78 : 783-795. Falz KZ, Holliger C, Großkopf R, Liesack W, Nozhevnikova AN, Müller B, Wehrli B, Hahn D. 1999. Vertical Distribution of Methanogens in the Anoxic Sediment of Rotsee (Switzerland). Appl Environ Microbiol 65 (6) : 2402– 2408 Fan LF, Shieh WY, Wu WF, Chen CP. 2006. Distribution of nitrogenous nutrients and denitrifiers strains in estuarine sediment profiles of the Tanshui River, northern Taiwan. Estuar Coast Shelf Sci 69 : 543-553 Fernandes LDF. 2005. Modelling of arsenic dynamics in the Tagus estuary [dissertation]. Portugal : Instituto Superior Técnico, Universidade Técnica De Lisboa Ford J. 2010. Annelida (worms and leeches). http://www.bumblebee.org/invertebrates/ANNELIDA.htm 2010].
[29
Oktober
François F, Gerino M, Stora G, Durbec J, Poggiale J. 2002. Functional approach to sediment reworking by gallery-forming macrobenthic organisms : modeling and applications with the polychaete Nereis diversicolor. Mar Ecol Prog Ser 229 : 127-136. Gerhardt S, Boos K, Schink B. 2010. Uptake and release of phosphate by littoral sediment of a freshwater lake under the influence of light or mechanical perturbation. J Limnol 69: 54-63. Geurts JJM, Smolders AJP, Banach AM, Van De Graaf JPM, Roelofs JGM, Lamers LPM. 2009. The interaction between decomposition, net N and P mineralization and their mobilization to the surface water in fens. Water Res 44 : 3487-3495.
69
Hakonen A, Hulth S, Dufour S. 2010. Analytical performance during ratio metric long-term imaging of pH in bioturbated sediments. Talanta 81 : 1393– 1401 Helfinalis, Rositasari R, Sidabutar S. 1994. Distribusi endapan sedimen resen di perairan estuary Teluk Jakarta. Pertemuan Ilmiah Tahunan XXIII. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta, 6-8 Desember 1994. Proceeding I : 540546 Huettel M, Røy H, Precht E, Ehrenhauss S. 2003. Hydrodynamical impact on biogeochemical processes in aquatic sediments. Hydrobiologia 494: 231– 236 Hulgoin G, Vazquez P, Bashan Y. 2001. The role of sediment microorganisms in the productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystem : an overview. Biol Fertil Soils 33 : 265-278. Kamann PJ, Ritzi RW, Dominic DF, Conrad CM. 2007. Porosity and permeability in sediment mixtures. Ground Water 45 : 429-438. Karlson K, Bonsdorff E, Rosenberg R. 2007. The impact of benthic macrofauna for nutrient fluxes from Baltic Sea Sediments. Ambio 36 : 161-167. Kathiresan K. 2011. Methods for studying mangrove. Di dalam : Balasubramanian T, Kathiresan K, Khan SA. 2011. UNU-INWEH Course 1 - Training Course on Mangroves and Biodiversity. India : Annamalai Univeristy Kristensen E. 1988. Benthic fauna and biogeochemical processes in marine sediments : microbial activites and fluxes. Di dalam : Blackburn TH dan Sørensen J, editor. Nitrogen Cycling in Coastal Marine Sediments. New York : John Willey and Sons, Ltd. Kure LK, Forbes TL. 1997. Impact of bioturbation by Arenicola marina on the fate of particle-bound fluoranthene. Mar Ecol Prog Ser. 156 : 157-166. Lacerda LD, Ittekot V, Patchineelam SR. 1995. Biogeochemistry of mangrove soil organic matter : a comparison between Rhizopora and Avicennia soils in South-eastern Brazil. Estuar Coast Shelf Sci 40 : 713-720. Le Hir, P, Monbet Y, Orvain F. 2007. Sediment erodability in sediment transpor modeling : Can we account for biota effects?. Cont Shelf Res 27 : 1116– 1142. Li YH, Gregory S. 1974. Diffusion of ions in sea water and in deep-sea sediments. Geochimica et Cosmochimica Acta 38 : 703-714. Liu SM, Zhang J, Jiang WS. 2003. Porewater Nutrient regeneration in Shallow Coastal Bohai Sea, China. J Oceanogr 59 : 377-385. Li HY, Lin FJ, Chan BKK, Chan TY. 2008. Burrow morphology and dynamics of mudshrimp in Asian soft shores. J Zool 274 : 301-311.
70
Linn DM, Doran JW. 1984. Effect of water-filled pore space on carbon dioxide and nitrous oxide production in tilled and non-tilled soils. Soil Sci Soc Am J 48 : 1267-1272. Marinebio. 2010. Arenicola marina, Lugworm. http://Marinebio.org/species.asp?id=57 [29 Oktober 2010] Meadows A, Meadows PS, West FJC, Murray JMH. 2000. Bioturbation, geochemistry and geotechnics of sediments affected by the oxygen minimum zone on the Oman continental slope and abyssal plain, Arabian Sea. Deep-Sea Res II 47 : 259-280 Meysman FJR, Boudreau BP, Middelburg JJ. 2003. Relations between local, non local, discrete and continuous models of bioturbation. J Mar Res 61 : 391410. Mortimer RJG, Davey JT, Krom MD, Watson PG, Frickers PE, Clifton RJ. 1999. The effect of macrofauna on porewater profiles and nutrient fluxes in the Intertidal Zone of the Humber Estuary. Estuar Coast Shelf Sci 48 : 683699. Mulsow S, Boudreau BP. 1998. Bioturbation and porosity gradient. Limnol Oceanog. 43 : 1-9. Neilson BJ, Cronin LE. 1981. Estuaries and Nutrient. New Jersey : The Human and Press, Inc. Nickell LA, Black KD, Hughes DJ, Overnell J, Brand T, Nickell TD, Breuer E, Harvey SM. 2003. Bioturbation, sediment fluxes and benthic community structure around a salmon cage farm in Loch Creran, Scotland. J Exp Mar Biol Ecol 285-286 : 221-233. Nickell LA, Atkinson RJA. 1995. Functional morphology of burrows and trophic modes of three Thalassinidean shrimp species, and a new approach to the classification of Thalassinidean burrow morphology. Mar Ecol Prog Ser 128 : 181-197. Nizzoli D, M Bartoli, M Cooper, DT Welsh, GJC Underwood, P Viaroli. 2007. Implications for oxygen, nutrient fluxes and denitrification rates during the early stage of sediment colonization by the polychaete Nereis spp. in four estuaries. Estuar Coast. Shelf Sci 75 : 125-134. Oberlander EP. 2007. Drunken crabs. http://www.whoi.edu/page.do?pid=10897&i=2884&x=221 2010]
[29
Oktober
O'Brien AL, Volkenborn N , Van Beusekom J, Morris L, Keough MJ. 2009. Interactive effects of porewater nutrient enrichment, bioturbation and sediment characteristics on benthic assemblages in sandys ediments. J Exp Mar Biol Ecol 371 : 51–59
71
Pelegri SP, Nielsen LP, Blackburn TH. 1994. Denitrification in estuarine sediment stimulated by the irrigation activity of the amphipod Corophium volutator. Mar Ecol Prog Ser 105: 285-290 Prasad MBK, Ramanathan AL. 2008. Sedimentary nutrient dynamics in a tropical estuarine mangrove ecosystem. Estuar Coast Shelf Sci 80 : 60-66. Pratihary A, SWA Naqvi, H Naik, BR Thorat, G Narvenkar, BR Manjunatha, VP Rao. 2009. Benthic fluxes in a tropical estuary and their role in the ecosystem. Estuar Coast Shelf Sci 85 : 387–398. Rasheed M, Al-Rousan S, Manasrah R, Al-Horani F. 2006. Nutrient fluxes from deep sediment support nutrient budget in the oligotrophic waters of the Gulf of Aqaba. J Oceanogr 62 : 83-39.
Reimers CE, Ruttenberg KC, Canfield DE, Christiansen MB, Martin JB. 1996. Porewater pH and authigenic phases formed in the uppermost sedhnents of the Santa Barbara Basin. Geochimica et Cosmochimica Acta 60 (21) : 4037-4057 Rochyatun E, Rozak E. 2007. Pemantauan kadar logam berat dalam sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Makara Sains, 11 (1) : 28-36 Sanders F. 1978. Principles of Sedimentology. Canada : John Willey and Sons. Sanusi HS, Putranto S. 2009. Kimia Laut dan Pencemaran : Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknik Kelautan – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Schulz HD, Zabel M. 2006. Marine Geochemistry. Germany : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Selley RC. 2000. Applied Sedimentology. 2nd edition. USA : Academic Press Shull DH. 2010. Bioturbation. Encyclopedia of Ocean Sciences : 1-6 Sliekers OA, Haaijer SCM, Stafsnes MH, Kuenen JG, Jetten MSM. 2005. Competition and coexistence of aerobic ammonium and nitrite-oxidizing bakteri at low oxygen concentrations. Appl Microbiol Biotechnol 68 (6) : 808-817 Smith LG. 2009. Missisquoi Bay sediment phosphorus cycling : the role of organic phosphorus and seasonal redox fluctuations [thesis]. USA : The Faculty of the Graduate College, The University of Vermont. Svensson JM. 1998. Emission of N2O, nitrification and denitrification in a eutrophic lake sediment bioturbated by Chironomus plumosus. Aquat Microb Ecol 14 : 289-299. Thibodeaux LJ. 1996. Environmental Chemodynamics : Movement of Chemicals in Air, Water, and Soil. Canada : John Wiley & Sons, Inc.
72
Thibodeaux LJ, Bierman VJ. 2003. The bioturbation-driven chemical release process. Environ Sci Tech (Viewpoint) : 252-258. Tuominen L, Mäkelä, Lehtonen KK, Haahti H, Hietanenand S, Kuparinen J. 1999. Nutrient fluxes, porewater profiles and denitrification in sediment influenced by algal sedimentation and bioturbation by Monoporei affinis. Estuar Coast Shelf Sci. 49 : 83–97. Volkenborn N, Hedtkamp SIC, van Beusekom JEE, Reise K. 2007. Effects of bioturbation and bioirrigation by lugworms (Arenicola marina) on physical and chemical sediment properties and implications for intertidal habitat succession. Estuar Coast Shelf Sci 74 : 331-343 Wang H, Hondzo M, Wilson B, Stauffer B. 2004. Phosphorus dynamics in Jessie Lake: mass flux across the sediment-water interface. www.itascaswcd.org [21 Juli 2011] Wards. 2007. Porosity and permeability of soils model. User’s Guide. New York : WARDS Natural Science Establishment, Inc Wheatcroft RA, Jumars PA, Smith CR, Nowell ARM. 1990. A mechanistic view of the particulate biodiffusion coefficient : step lengths, rest periods and transpor directions. J Mar Sci 48 : 177-207. Widdicombe S, Needham HR. 2007. Impact of CO2-induced seawater acidification on the burrowing activity of Nereis virens and sediment nutrient flux. Mar Ecol Prog Ser 341 : 111–122. Woulds C, Schwartz MC, Brand T, Cowie GL, Lawb G, Mowbray SR. 2009. Porewater nutrient concentrations and benthic nutrient fluxes across the Pakistan margin OMZ. Deep-sea Res II 56 : 333–346. [WPC] The Water Planet Company. 2010. Nitrification and Denitrification. http://www.thewaterplanetcompany.com/docs/WPC_Nitrification&Denitrific ation.pdf [27 Juni 2011] Zaiko A, Olenin S. 2004. Impact of invasive benthic crustaceans on the resuspension of bottom sediments : an experimental study approach. Oceanol Hydrobiol St 33 (3) : 99-110. Zimmerman AR, Benner R. 1994. Denitrification, nutrient regeneration, and carbon mineralization in sediments of Galveston Bay, Texas, USA. Mar Ecol Prog Ser 114 : 275-288. Zhu Q, Aller RC, Fan Y. 2006. Two-dimensional pH distributions and dynamic in bioturbated marine sediments. Geochimica et Cosmochimica Acta 70 : 4933–4949 Zhou L, Li X, Yang X, Huang D, Xia W, Cui C. 2011. Nitrate vertical transpor and simulation in soils of rocky desertification in Karstregions, Southwest China. Environ Earth Sci 63 : 273–278
73
LAMPIRAN
74
75
Lampiran 1 Kondisi Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk
76
Lampiran 2 Porewater profiler dan Ring sampler
(a). Hasil rancangan Porewater profiler
(b). Tahapan pengambilan sampel porewater
Penanaman porewater profiler
(c). Ring sampler
Pengambilan sampel menggunakan syringe
Penyimpanan sampel dalam botol sampel
77
Lampiran 3 Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi bioturbasi (B1-B3) NO
Parameter
Unit
Kisaran Nilai
Keterangan
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
3,20-3,48 28 83,33-86,33 57,12-124,28 0,00-0,94 3,87-14,54 89,9 -6 4,6.10 26,03 0 2,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003) Afdal dan Riyono (2008) Data primer Data primer
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
3,18-3,37 28 83,06-84,33 84,96-131,42 0,49-0,98 6,87-17,77 89,9 -6 4,6.10 25,50 2,5 5,0
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003)
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
3,07-3,29 28 82,23-83,30 104,23-142,28 0,5-1,2 7,43-17,77 89,9-89,57 -6 4,6.10 25,00 5,0 7,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003)
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
2,76-3,13 28 82,11-82,46 114,21-142,98 0,61-1,3 4,52-13,56 89,57 -6 4,6.10 24,50 7,5 10
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003)
BOX 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2) BOX 2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
Data primer Data primer
BOX 3 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
Data primer Data primer
BOX 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
Data primer Data primer
78
NO
Parameter
Unit
Kisaran Nilai
Keterangan
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
2,53-2,97 28 81,81-82,25 128,51-149,93 0,73-1,35 1,94-12,27 88,77-89,57 -6 4,6.10 24,00 10 12,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003)
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % 2 m /d 3 mg/m cm cm
2,44-2,88 28 81,34-82,07 142,79-177,09 1,08-1,35 1,61-7,10 88,77 -6 4,6.10 23,50 12,5 15
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Berg et al. (2003)
BOX 5 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
Data primer Data primer
BOX 6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Koefisien Bioturbasi Fitoplankton Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
Data primer Data primer
79
Lampiran 4 Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi non bioturbasi (N1N3) NO
Parameter
Unit
Kisaran Nilai
Keterangan
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
2,04-2,81 28 82,67-92,67 92,76-101,52 0,11-0,83 5,17-12,91 81,1 0 2,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
0,65-2,53 28 82,67-162,07 74,19-101,52 0,62-0,83 9,26-15,93 81,1-82,6 2,5 5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
0,33-0,87 28 128,51-289,00 55,62-92,76 0,37-0,81 12,27-22,60 82,6 5 7,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
0,05-0,37 28 184,10-298,00 49,93-64,17 0,32-0,68 22,26-28,78 82,6-82,87 7,5 10
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
BOX 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2) BOX 2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2) BOX 3
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2) BOX 4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
80
NO
Parameter
Unit
Kisaran Nilai
Keterangan
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
0,07-0,23 28 281,67-328,00 28,51-58,51 0,22-0,44 24,54-30,69 82,87 10 12,5
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
mg/l o C µmol N/l µmol N/l µmol N/l µmol P/l % cm cm
0,01-0,1 28 286,37-381,67 18,47-44,57 0,10-0,37 28,41-38,10 82,87-88,4 12,5 15
Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer
BOX 5 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2) BOX 6
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
DO Temperatur + NH4 NO3 NO2 3PO4 Porositas Kedalaman 1 (H1) Kedalaman 2 (H2)
81
Lampiran 5
Konsentrasi nutrien (NH4, NO2, NO3, dan PO4) hasil analisis laboratorium Kedalaman (cm)
ID Sampel
Nutrien -1 (mg l )
0,00
2,50
5,00
7,50
10,00
12,50
15,00
B1
NH4
1,55
1,51
1,52
1,50
1,49
1,49
1,49
1,55
1,51
1,52
1,50
1,48
1,49
1,49
1,54
1,53
1,52
1,51
1,49
1,49
1,49
Rata
1,55
1,52
1,52
1,50
1,49
1,49
1,49
NO3
3,99
7,71
8,15
8,86
8,86
9,30
10,98
4,00
7,72
8,16
8,87
8,87
9,31
10,99
3,99
7,71
8,15
8,88
8,86
9,30
10,98
Rata
3,99
7,71
8,15
8,87
8,86
9,30
10,98
NO2
0,00
0,04
0,04
0,06
0,06
0,06
0,08
0,01
0,04
0,03
0,07
0,07
0,07
0,09
0,00
0,03
0,03
0,06
0,05
0,05
0,07
Rata
0,00
0,04
0,04
0,06
0,06
0,06
0,08
PO4
0,37
0,65
0,95
1,29
1,17
0,58
0,52
0,38
0,65
0,95
1,30
1,18
0,58
0,52
0,38
0,65
0,95
1,30
1,18
0,58
0,52
Rata
0,37
0,65
0,95
1,29
1,17
0,58
0,52
NH4
1,50
1,50
1,50
1,49
1,49
1,48
1,44
1,49
1,50
1,50
1,48
1,49
1,49
1,43
1,50
1,50
1,50
1,49
1,49
1,48
1,44
Rata
1,50
1,50
1,50
1,49
1,49
1,48
1,44
NO3
3,54
6,64
7,08
7,97
8,41
8,85
10,62
3,55
6,65
7,08
7,98
8,42
8,85
10,62
3,54
6,64
7,08
7,97
8,41
8,85
10,62
Rata
3,54
6,64
7,08
7,97
8,41
8,85
10,62
NO2
0,01
0,02
0,03
0,04
0,04
0,05
0,06
0,01
0,02
0,03
0,04
0,04
0,05
0,06
0,01
0,01
0,03
0,04
0,03
0,04
0,05
Rata
0,01
0,02
0,03
0,04
0,04
0,05
0,06
PO4
0,49
1,38
1,63
0,71
0,67
0,67
0,46
0,49
1,38
1,63
0,71
0,67
0,67
0,46
0,49
1,38
1,63
0,71
0,67
0,67
0,46
0,49
1,38
1,63
0,71
0,67
0,67
0,46
B2
Rata
82
Kedalaman (cm)
ID Sampel
Nutrien -1 (mg l )
0,00
2,50
5,00
7,50
10,00
12,50
15,00
B3
NH4
1,50
1,50
1,49
1,48
1,48
1,47
1,45
1,49
1,49
1,49
1,47
1,48
1,46
1,45
1,50
1,50
1,49
1,48
1,48
1,47
1,45
Rata
1,50
1,50
1,49
1,48
1,48
1,47
1,45
NO3
3,98
5,27
6,46
7,08
7,97
9,12
10,62
3,98
5,28
6,46
7,08
7,97
9,13
10,62
3,98
5,27
6,46
7,08
7,97
9,12
10,62
Rata
3,98
5,27
6,46
7,08
7,97
9,12
10,62
NO2
0,01
0,02
0,02
0,03
0,03
0,06
0,06
0,01
0,03
0,03
0,03
0,03
0,06
0,06
0,01
0,01
0,01
0,03
0,03
0,06
0,06
Rata
0,01
0,02
0,02
0,03
0,03
0,06
0,06
PO4
0,83
1,35
1,69
1,06
0,43
0,18
0,15
0,83
1,35
1,70
1,06
0,43
0,18
0,15
0,83
1,35
1,70
1,06
0,43
0,18
0,15
Rata
0,83
1,35
1,69
1,06
0,43
0,18
0,15
NH4
1,53
1,50
2,31
3,31
5,07
5,15
5,20
1,52
1,49
2,30
3,30
5,06
5,14
5,19
1,53
1,50
2,31
3,31
5,07
5,15
5,20
Rata
1,53
1,50
2,31
3,31
5,07
5,15
5,20
NO3
6,19
6,25
5,75
3,98
3,63
2,76
2,21
6,20
6,26
5,76
3,99
3,64
2,76
2,21
6,19
6,25
5,75
3,98
3,63
2,76
2,21
Rata
6,19
6,25
5,75
3,98
3,63
2,76
2,21
NO2
0,01
0,04
0,04
0,03
0,02
0,02
0,02
0,01
0,04
0,05
0,04
0,03
0,02
0,02
0,01
0,04
0,03
0,02
0,01
0,02
0,02
Rata
0,01
0,04
0,04
0,03
0,02
0,02
0,02
PO4
0,58
0,98
1,17
2,12
2,51
2,73
3,03
0,58
0,98
1,18
2,13
2,52
2,73
3,03
0,58
0,98
1,18
2,13
2,52
2,73
3,03
0,58
0,98
1,17
2,12
2,52
2,73
3,03
N1
Rata
83
Kedalaman (cm)
ID Sampel
Nutrien -1 (mg l )
0,00
2,50
5,00
7,50
10,00
12,50
15,00
N2
NH4
1,53
1,49
2,49
4,60
5,19
5,20
5,30
1,52
1,50
2,50
4,61
5,18
5,19
5,30
1,53
1,49
2,49
4,60
5,19
5,20
5,30
Rata
1,53
1,49
2,49
4,60
5,19
5,20
5,30
NO3
6,20
6,29
5,21
3,77
3,35
2,21
1,77
6,21
6,29
5,22
3,77
3,35
2,21
1,78
6,20
6,29
5,21
3,77
3,35
2,21
1,77
Rata
6,20
6,29
5,21
3,77
3,35
2,21
1,77
NO2
0,01
0,04
0,04
0,03
0,02
0,01
0,01
0,01
0,04
0,04
0,04
0,03
0,01
0,01
0,00
0,05
0,03
0,02
0,01
0,01
0,01
Rata
0,01
0,04
0,03
0,03
0,02
0,01
0,01
PO4
0,49
0,88
1,51
2,15
2,73
2,91
3,31
0,49
0,88
1,51
2,16
2,72
2,91
3,31
0,49
0,88
1,51
2,16
2,73
2,91
3,31
Rata
0,49
0,88
1,51
2,15
2,73
2,91
3,31
NH4
1,67
1,62
2,92
5,20
5,36
5,90
6,87
1,67
1,62
2,92
5,19
5,35
5,89
6,86
1,67
1,62
2,92
5,20
5,36
5,90
6,87
Rata
1,67
1,62
2,92
5,20
5,36
5,90
6,87
NO3
5,75
5,91
4,60
3,45
3,10
1,77
1,15
5,76
5,92
4,61
3,46
3,11
1,78
1,16
5,75
5,91
4,60
3,45
3,10
1,77
1,15
Rata
5,75
5,91
4,60
3,45
3,10
1,77
1,15
NO2
0,01
0,03
0,03
0,02
0,01
0,01
0,00
0,01
0,04
0,03
0,03
0,01
0,01
0,00
0,01
0,02
0,02
0,01
0,00
0,00
0,00
Rata
0,01
0,03
0,03
0,02
0,01
0,01
0,00
PO4
0,92
1,23
1,44
2,15
2,33
2,70
3,62
0,92
1,24
1,44
2,16
2,33
2,70
3,62
0,92
1,24
1,44
2,16
2,33
2,70
3,62
0,92
1,23
1,44
2,15
2,33
2,70
3,62
N3
Rata
84
Lampiran 6 Hasil pengukuran pH dan salinitas (a) pH ID Sampel
Kedalaman (cm)
B1
B2
B3
N1
pH 1
2
3
Rata-rata
0
7,00
7,00
7,00
7,00
2,5
6,00
6,00
6,04
6,01
5
5,71
5,69
5,69
5,70
7,5
6,20
6,20
6,20
6,20
10
6,20
6,20
6,20
6,20
12,5
6,31
6,30
6,30
6,30
15
6,60
6,60
6,60
6,60
0
7,48
7,47
7,48
7,48
2,5
6,30
6,31
6,30
6,30
5
5,50
5,50
5,50
5,50
7,5
5,70
5,70
5,70
5,70
10
6,10
6,10
6,10
6,10
12,5
6,40
6,40
6,41
6,40
15
6,50
6,50
6,49
6,50
0
7,27
7,27
7,26
7,27
2,5
6,00
6,00
6,00
6,00
5
5,60
5,60
5,60
5,60
7,5
6,00
6,00
6,00
6,00
10
6,40
6,41
6,40
6,40
12,5
6,60
6,60
6,61
6,60
15
6,60
6,60
6,60
6,60
0
7,46
7,47
7,47
7,47
2,5
7,34
7,34
7,35
7,34
5
7,04
7,04
7,04
7,04
7,5
6,54
6,54
6,54
6,54
10
6,04
6,04
6,05
6,04
12,5
5,94
5,94
5,94
5,94
15
5,64
5,64
5,64
5,64
85
pH
ID Sampel
Kedalaman (cm)
1
2
3
Rata-rata
N2
0
7,60
7,60
7,59
7,60
2,5
7,40
7,40
7,40
7,40
5
7,40
7,40
7,40
7,40
7,5
6,80
6,80
6,81
6,80
10
6,60
6,59
6,60
6,60
12,5
6,40
6,40
6,40
6,40
15
6,21
6,20
6,20
6,20
0
7,20
7,19
7,20
7,20
2,5
7,00
7,00
7,00
7,00
N3
5
6,80
6,80
6,80
6,80
7,5
6,00
6,00
6,00
6,00
10
5,81
5,80
5,80
5,80
12,5
5,39
5,40
5,40
5,40
15
5,40
5,40
5,40
5,40
(b), Salinitas Salinitas (‰)
ID Sampel
Kedalaman (cm)
1
2
3
Rata-rata
B1
0
0,4
0,4
0,4
0,4
2,5
0,4
0,4
0,4
0,4
5
0,6
0,6
0,6
0,6
7,5
0,6
0,6
0,6
0,6
10
0,8
0,8
0,8
0,8
12,5
0,8
0,8
0,8
0,8
15
0,8
0,8
0,8
0,8
0
0,6
0,6
0,6
0,6
2,5
0,8
0,8
0,8
0,8
5
0,8
0,8
0,8
0,8
7,5
0,8
0,8
0,8
0,8
10
1,0
1,0
1,0
1,0
12,5
1,0
1,2
1,0
1,1
15
1,2
1,4
1,2
1,3
B2
86
ID Sampel
Kedalaman (cm)
B3
N1
N2
N3
Salinitas (‰) 1
2
3
Rata-rata
0
0,6
0,6
0,8
0,7
2,5
0,6
0,8
0,8
0,7
5
1,0
0,8
1,0
0,9
7,5
1,0
1,0
1,0
1,0
10
1,0
1,2
1,2
1,1
12,5
1,2
1,2
1,4
1,3
15
1,4
1,4
1,4
1,4
0
0,4
0,6
0,6
0,5
2,5
0,6
0,6
0,6
0,6
5
0,6
0,6
0,6
0,6
7,5
0,8
0,8
0,6
0,7
10
0,8
1,0
1,0
0,9
12,5
1,0
0,8
1,0
0,9
15
1,0
1,0
1,0
1,0
0
0,8
0,8
0,8
0,8
2,5
0,8
0,8
0,8
0,8
5
1,0
1,0
1,0
1,0
7,5
1,0
1,0
1,0
1,0
10
1,0
1,0
1,2
1,1
12,5
1,2
1,2
1,2
1,2
15
1,2
1,2
1,2
1,2
0
1,0
1,0
1,0
1,0
2,5
1,2
1,0
1,0
1,1
5
1,0
1,0
1,2
1,1
7,5
1,2
1,2
1,2
1,2
10
1,2
1,2
1,2
1,2
12,5
1,2
1,2
1,2
1,2
15
1,4
1,4
1,4
1,4
87
Lampiran 7 Hasil analisis sedimen (a), Jenis dan ukuran butir Sampel ID non bio 0,02 0,03 0,22 0,21 0,23 0,25 0,21 0,18 0,32 0,33 37,85 35,67 45,28 43,75 14,87 18,58 0,45 0,68 0,55 0,32
Jenis substrat Pasir kasar Pasir agak kasar Pasir sedang Pasir agak halus Pasir halus Debu kasar Debu sedang Debu halus Liat kasar Liat halus
1000-2000 u 500-1000 u 200-500 u 100-200 u 50-100 u 20-50 u 10-20 u 2-10 u 0,005-2 u 0-0,005 u
(b), Porositas dan Permeabilitas Ruang Pori
Permeabilitas
Sampel ID
Kedalaman (cm)
Total
Rata-rata
cm/jam
Rata-rata
B1
0-5
90,4
89,33
1,65
1,80
5-10
89,6
2,37
10-15
88
1,37
0-5
89,5
5-10
92,3
2,7
10-15
89,9
1,08
0-5
89,8
B2
B3
N1
N2
N3
90,57
88,33
1,28
2,53
5-10
86,8
1,65
10-15
88,4
1,16
0-5
81,5
5-10
81
82,53
1,59
10-15
85,1
0,79
0-5
81,7
5-10
84,7
1,6
10-15
84,5
0,67
0-5
80,1
5-10
82,1
1,75
10-15
79
0,63
83,63
80,40
0,74
0,95
0,4
1,69
1,78
1,04
1,07
0,93
88
Lampiran 8 Grafik hasil analisis sensitivitas NH4+ pada lokasi bioturbasi Sensitivitas Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) Pada B1 -60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
0 2.5
Kedalaman (cm)
5 7.5 10 12.5 15
Real OM-50%
O2-50% OM+50%
O2+50% CHL-25%
POR-5% CHL+25%
POR+5%
Sensitivitas Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) Pada B2 -60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
0 2.5
Kedalaman (cm)
5 7.5 10 12.5 15
Real OM-50%
O2-50% OM+50%
O2+50% CHL-25%
POR-5% CHL+25%
POR+5%
89
Sensitivitas Fluks NH4+ (mmol N m-2 h-1) Pada B3 -60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
0 2.5
7.5 10 12.5 15
Real
O2-50%
O2+50%
POR-5%
OM-50%
OM+50%
CHL-50%
CHL+50%
POR+5%
Kedalaman (cm)
5