STRATEGI REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE MELALUI ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA
YOFI MAYALANDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2013
Yofi Mayalanda NRP. C252090171
ABSTRACT YOFI MAYALANDA. Strategy for Ecosystem of Mangrove Rehabilitation Throughout Damaged Level Analysis at Muara Angke Sanctuary, DKI Jakarta Province. Underdirection of FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. The phenomenon of mangrove degradation that occurred in the last decade at Muara Angke Sanctuary is caused by various factors, such as land conversion to ponds for aquaculture, pollution, sedimentation, and variety of human activities around. Most of rehabilitation conducted in this area to recover mangrove ecosystem. Unfortunately, it had not yet significantly give positive impacts as wishes. The aim of this study are to analyze mangrove damaged level dan damaged rate, evaluate previous rehabilitation, and formulate strategy for mangrove rehabilitation. This study uses a mangrove vegetation analysis method, aquatic environment analysis, quesionaire analysis and interviews, and Landsat Image analysis. The results of this study classifiy mangrove vegetation in this area to very high density (2,82 ha or 37% of mangrove area), rare or damaged (1,23 ha or 16% of mangrove area) and damaged heavily (3,62 ha or 47% of mangrove area). Damaged rate of mangrove vegetation is 0,569 ha/year. Rehabilitation in this area have not yet significantly influence to mangrove ecosystem. Recommended strategy of rehabilitation according to this research are strategy for ecology, policy, sosial and economy. Keywords: mangrove, degradation, damaged analysis, rehabilitation, strategy
RINGKASAN YOFI MAYALANDA. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta. Underdirection of FREDINAN YULIANDA and ISDRADJAD SETYOBUDIANDI. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Provinsi DKI Jakarta, ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Suaka Margasatwa) melalui SK Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/98 pada tanggal 29 Februari 1998. Luas kawasan ini yaitu 25,02 Ha dengan mangrove sebagai ekosistem utama. Kawasan ini mendapatkan tekanan antropogenik yang cukup tinggi, baik dari pemukiman dan perindustrian di sekitarnya, aktivitas masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai, pencemaran oleh limbah cair maupun sampah padat terutama plastik yang dialirkan Sungai Angke, maupun karena putusnya sirkulasi air laut akibat kegiatan pertambakan. Hal ini menyebabkan perairan di dalam kawasan tercemar, akar mangrove tertutup sampah plastik, dan salinitas di kawasan rendah. Invasi enceng gondok di dalam kawasan mengindikasikan bahwa perairan di SMMA cenderung tawar. Salah satu cara untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang rusak adalah dengan rehabilitasi (Perry dan Berkeley 2009). Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan SMMA hingga saat ini belum memberikan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi rehabilitasi yang efektif untuk memulihkan fungsi ekologis dan ekonomi kawasan ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya tersebut yaitu dengan melakukan analisis tingkat kerusakan dan mengevaluasi upaya-upaya rehabilitasi yang selama ini telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baik dalam rangka pemulihan ekosistem mangrove di kawasan. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove, melakukan evaluasi rehabilitasi yang pernah dilakukan, dan membuat rekomendasi strategi rehabilitasi. Penelitian ini dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, DKI Jakarta pada bulan Mei hingga Juli 2011. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data vegetasi mangrove, kualitas perairan, persepsi masyarakat, upaya rehabilitasi yang telah dilakukan di kawasan, data citra, dan data kependudukan di sekitar SMMA. Analisis data vegetasi meliputi persen penutupan relatif, kerapatan relatif dan frekuensi relatif, dan Indeks Nilai Penting (English et al 1994). Kualitas perairan dianalisis secara kualitatif deskriptif, sesuai dengan Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air untuk Biota Laut dan Ekosistem Mangrove. Data hasil kuesioner dan upaya rehabilitasi di kawasan dianalisis secara deskriptif. Penentuan tingkat kerusakan dilakukan berdasarkan
kerapatan (hasil sampling) dan penutupan vegetasi mangrove (hasil pengolahan data citra). Dalam penelitian ini ditentukan 5 kelas kondisi kerapatan mangrove, yaitu: sangat baik, baik, cukup, rusak, dan sangat rusak. Hasil perolehan kondisi mangrove ini dioverlay ke dalam peta kerusakan mangrove, sehingga diperoleh kondisi mangrove secara spasial. Perubahan luasan mangrove diperoleh dengan overlay data citra tahun 2000 dan 2010. Strategi rehabilitasi mangrove di kawasan dirumuskan berdasarkan hasil analisis vegetasi, kualitas perairan, kuesioner, upaya rehabilitasi sebelumnya, dan tingkat kerusakan ekosistem. Setelah itu dilakukan identifikasi permasalahan meliputi akar masalah, dampak ekologi, jenis kerusakan yang ditimbulkan, serta upaya yang telah dilakukan dan kendala yang dihadapi. Kemudian dibuat skala prioritas komponen yang perlu dibenahi, strategi yang perlu dilakukan di kawasan dan stakeholder yang perlu dilibatkan. Kawasan SMMA sebagian besar ditutupi oleh vegetasi berupa tutupan semak (37,47%), lahan terbuka (32,56%), vegetasi mangrove (22,62%) dan nipah (7,35%). Vegetasi mangrove di SMMA didominasi oleh jenis Sonneratia caseolaris dengan Indeks Nilai Penting (INP) 289,21 %. Dalam petak contoh tersebut hanya terdapat 2 tingkat pertumbuhan mangrove, yang terdiri dari 73% pohon dan 27% pancang. Salinitas di semua titik sampling di kawasan tergolong sangat rendah, yaitu berkisar antara 0-0,2 ‰. Kondisi vegetasi mangrove di SMMA berdasarkan penentuan selang kerapatan pohon di dalam kawasan tergolong dalam kriteria sangat rusak, rusak dan sangat baik. Tingkat kerusakan mangrove di dalam kawasan didominasi oleh kelas sangat rusak, yaitu sebesar 47% (3,62 ha), sedangkan persentase kerapatan vegetasi mangrove yang tergolong kelas sangat baik di dalam kawasan SMMA yaitu sebesar 37% (2,82 ha), dan rusak sebesar 16% (1,23 ha). Hasil analisis data citra menunjukkan bahwa luas tutupan mangrove di SMMA mengalami penurunan sebesar 5,69 ha. Laju kerusakan mangrove yang terjadi di kawasan SMMA berdasarkan analisis data citra yaitu sebesar 0,569 ha per tahun. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan saat ini masih bersifat rutinitas, yaitu berupa kegiatan pengamanan kawasan yang dilakukan oleh petugas di kawasan. Kegiatan lain seperti penanaman bibit mangrove, aksi bersih sampah, dan pembersihan enceng gondok dilakukan oleh BKSDA dan stakeholder diantaranya mahasiswa perguruan tinggi, LSM Jakarta Green Monster (JGM) dan Kelurahan Kapuk Muara, serta pihak swasta lainnya. Responden pada umumnya mengetahui tentang keberadaan SMMA sebagai kawasan yang dilindungi yaitu sebesar 76,67% dari mereka, sedangkan 23,33% belum mengetahui tentang SMMA. Responden sebagian besar belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga banyak dari mereka yang belum mengetahui tentang kegiatan tersebut. Namun, banyak dari mereka yang memiliki ketertarikan untuk terlibat apabila diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove. Hasil identifikasi permasalahan di kawasan menunjukkan bahwa akar masalah yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove diantaranya adanya kegiatan MCK, pembuangan limbah kulit kerang hijau di bantaran sungai, Sungai Angke sebagai ujung dari banjir kanal barat mengalirkan berbagai jenis limbah cair dan sampah padat, laju dari sungai yang lebih dominan, serta terjadinya pendangkalan di sekitar pintu masuk air ke kawasan. Hal tersebut menyebabkan dampak ekologi diantaranya pencemaran di kawasan, pendangkalan dan penyempitan badan sungai, penggenangan air tawar lebih dominan dan pasang
surut air laut menuju kawasan menjadi terhambat. Dampak tersebut mengakibatkan jenis kerusakan pada ekosistem mangrove yaitu banjir pada saat curah hujan tinggi dan air pasang, sedimentasi di kawasan, permukaan air berminyak dan berbau tidak sedap, pencemaran oleh sampah khususnya plastik, invasi enceng gondok, pola permudaan mangrove tidak seimbang dan pertumbuhan mangrove menjadi terganggu. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang terjadi di SMMA dan sekitarnya, dapat diketahui beberapa komponen permasalahan yang perlu dibenahi untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove di kawasan. Komponen tersebut diantaranya: komponen ekologi sebagai prioritas pertama, yang meliputi habitat dan lingkungan termasuk didalamnya sumberdaya mangrove; komponen kebijakan sebagai prioritas kedua, yang meliputi rencana pengelolaan kawasan, adaptasi dengan kebijakan regional dan nasional (Kementerian Kehutanan); komponen sosial sebagai prioritas ketiga, yang meliputi penyadartahuan dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan tempat tinggalnya terutama di sekitar kawasan dan pelibatan stakeholder terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta komponen ekonomi, yang meliputi rencana pengusahaan wisata alam terbatas di SMMA untuk meningkatkan pemanfaatan di dalam kawasan. Oleh karena itu, strategi yang perlu dilakukan yaitu perbaikan pada komponen ekologi, kebijakan, sosial dan ekonomi. Keywords: mangrove, degradasi, analisis kerusakan, rehabilitasi, strategi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE MELALUI ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE PROVINSI DKI JAKARTA
YOFI MAYALANDA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS
.I11dul Tesi s
Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke , Provinsi DK! .Jakarta
Nama
Yofi Mayalanda
NRP
C252090171
Pl'Ogral11 Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Di setujlli Komisi Pembimbing
-a Dr. lr. Fredinan Yulianda, M.Sc
M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui.
Keliiil Program Sludi
Prof. Dr. Ir. MennofatriaBoer, DEA
Tanggalujiall : 22 Maret 2013
Tanggal lui us:
2 0 JUN 2013
Judul Tesis
: Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta
Nama
: Yofi Mayalanda
NRP
: C252090171
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. MennofatriaBoer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal ujian : 22 Maret 2013
Tanggal lulus :
PRAKATA Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Melalui Analisis Tingkat Kerusakan di Suaka Margasatwa Muara Angke Provinsi DKI Jakarta dapat diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang kondisi tingkat dan laju kerusakan mangrove di kawasan, kondisi kualitas air, upaya rehabilitasi yang telah dilakukan serta tingkat partisipasi masyarakat. Harapan penelitian ini terutama dari pendekatan ekologi dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan kawasan. Selain itu, dengan adanya identifikasi akar masalah yang terjadi di dalam dan sekitar kawasan, semoga dapat menjadi masukan untuk penetapan rencana pengelolaan selanjutnya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna untuk bisa jadi rujukan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga perlu adanya perbaikan dan pengembangan baik dalam teori dan metodologi. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini dan penulisan karya ilmiah selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bogor, Juni 2013
Yofi Mayalanda
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya penelitian dan tesis ini: 1. Kedua Orang Tua, Kakak, Adik dan Suami tercinta – Ibrahim Sumardi, S.Hut, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis untuk terus belajar dan berusaha. 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing, yang sangat berperan aktif membimbing penulis dalam penyelesaian tugas akhir, memberikan wawasan dan pendidikan selama proses belajar di IPB. 3. Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. 4. Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, seluruh staf dosen dan staf sekretariat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan, sumbangsih IPTEK, bantuan dan kerjasama yang mendukung selama studi. 5. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian di dalam kawasan SMMA dan memberikan bantuan data serta pendampingan selama di lokasi. 6. LPP Mangrove dan LSM Jakarta Green Monster (JGM) yang telah memberikan bantuan baik berupa data mengenai lokasi dan sumberdaya di dalamnya maupun waktu untuk diskusi. 7. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan 16 tahun 2009 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Ita Karlina, James Walalangi, Moch. Idham Shilman, Al Azhar, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Rieke Kusuma Dewi, Moch. Sayuti Djau, Mohamad Akbar, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Andi Chodijah, Fery Kurniawan, Destilawaty dan Aldino Akbar) terimakasih banyak atas saran, kritik dan dorongan selama proses belajar bersama. 8. Teman-teman yang telah membantu penelitian di lapangan dan teman diskusi tesis (Ita, Dijah, Rieke, James, Mas Suryo, Nico, Jatil, Adian Rindang, Anis, Fery, Uie, Ahmad, mb Ita dan Anir). 9. Teman-teman kost Vamdi generasi akhir (Diano, Pipita, Mb Mila, Phyto, Vida, Winda, Lyza, Jatil, Intan, Mega), serta Etoser Aisyah dan Khadijah, terutama pendamping etos putri, atas kebersamaan dan bantuannya. 10. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 12 Januari 1985 dari ayah Dewi Murni dan ibu Sulas Hidayati, BA. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Reffis Jopanka, S.Sos–Kakak dan Morian Sandiago– Adik). Penulis menikah dengan Ibrahim Sumardi, S.Hut pada tahun 2012. Pendidikan penulis diselesaikan di SDN 26 Baturaja tahun 1996, SMPN 2 Baturaja tahun 1999, SMUN 1 Baturaja tahun 2002 dan mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan meneruskan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................................ i DAFTAR TABEL ................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3 1.3. Tujuan ........................................................................................................... 4 1.4. Manfaat ......................................................................................................... 4 1.5. Kerangka Penelitian ..................................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 7 2.1. Definisi Mangrove ........................................................................................ 7 2.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove .............................................................. 7 2.3. Parameter Lingkungan Utama ...................................................................... 9 2.4. Sebaran Ekosistem Mangrove di Indonesia ............................................... 12 2.5. Kerusakan Ekosistem Mangrove ................................................................ 12 2.6. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove .............................................................. 14 2.7. Sistem Informasi Geografis (SIG) .............................................................. 17 3. METODOLOGI ................................................................................................ 19 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 19 3.2. Jenis Data ................................................................................................... 19 3.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 20 3.5. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove .................................................. 26 3.6. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ................................................ 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 29 4.1. Profil Umum Suaka Margasatwa Muara Angke ........................................ 29 4.2. Kondisi Existing Kawasan ......................................................................... 35 4.3. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasa............................... 48 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 78 5.1. Kesimpulan ................................................................................................. 78 5.2. Saran ........................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80
i
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13
Halaman Lokasi dan Luas Hutan Mangrove di Beberapa Provinsi Indonesia pada tahun 1996. ............................................................................................ 12 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data. ................................................... 20 Histori Pengelolaan Kawasan dan Sekitarnya. ..................................... 30 Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara Menurut Mata Pencaharian. ............................................................................................................... 34 Jumlah Penduduk di Kelurahan Pluit Menurut Pendidikan dan Mata Pencaharian. .......................................................................................... 35 Luas Tutupan Lahan di SMMA. ........................................................... 37 Struktur Vegetasi Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke....... 38 Hasil Sampling Kualitas Air di SMMA ................................................ 39 Selang Kerapatan dan Kriteria Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. .. 44 Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. ................................................... 44 Perubahan Luas Tutupan dan Laju Kerusakan Mangrove di SMMA... 48 Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem yang Pernah Dilakukan di Kawasan.52 Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan SMMA. ......... 74
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kerangka Pendekatan Penelitian. .......................................................... 5 Gambar 2 Alternatif Pola Tanam Pada Penanaman Murni Sistem Banjar Harian. ............................................................................................................................... 16 Gambar 3 Pola Tumpang Sari. ............................................................................. 16 Gambar 4 Tahapan Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove. .............................. 21 Gambar 5 Skema metode garis berpetak pada pengambilan data mangrove. ...... 21 Gambar 6 Contoh Peletakan Garis Transek Pada Setiap Zona Mangrove........... 22 Gambar 7 Proses Pengumpulan Data. .................................................................. 24 Gambar 8 Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. ....................................... 29 Gambar 9 Aktivitas Masyarakat di Bantaran Sungai Angke. .............................. 32 Gambar 10 Peta Lokasi Sampling Vegetasi Mangrove. ...................................... 36 Gambar 11 Peta Klasifikasi Tutupan Lahan di SMMA. ...................................... 37 Gambar 12 Tutupan Enceng Gondok di SMMA pada Tahun 2011..................... 38 Gambar 13 Pola Permudaan Vegetasi Mangrove di SMMA. .............................. 39 Gambar 14 Peta Lokasi Sampling Kualitas Air. .................................................. 40 Gambar 15 Pintu Masuk Air di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. ..... 41 Gambar 16 Kondisi Kali Angke yang Tercemar Sampah Plastik. ....................... 42 Gambar 17 Penutupan Semak dan Invasi Enceng gondok di dalam Kawasan. ... 42 Gambar 18 Peta Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove di SMMA. .................. 45 Gambar 19 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove SMMA. ..................................... 46 Gambar 20 Peta Perubahan Tutupan Vegetasi Mangrove di SMMA. ................. 47 Gambar 21 Kondisi Tegakan Sonneratia caseolaris pada tahun 2011 Hasil....... 58 Gambar 22 Pengetahuan Responden Tentang SMMA dan Pihak Pengelola....... 61 Gambar 23 Persepsi Responden Mengenai Mangrove dan SMMA. ................... 61 Gambar 24 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terkait Kegiatan Rehabilitasi . 62 Gambar 25 Identifikasi Permasalahan dan Kegiatan Rehabilitasi di SMMA. ..... 65 Gambar 26 Peta Zona Rehabilitasi Ekosistem Mangrove SMMA. ..................... 75
iii
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6
Hasil Sampling Analisis Vegetasi Mangrove di SMMA. ................. 84 Histori Pengelolaan Kawasan SMMA dan Sekitarnya. .................... 86 Kuesioner Institusi Pengelola SMMA. ............................................. 88 Kuesioner untuk LSM. ...................................................................... 92 Kuesioner untuk Masyarakat. ........................................................... 95 Hasil Analisis Kualitas Air dan Substrat di SMMA. ........................ 99
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Berjalannya fungsi ekologis hutan mangrove secara optimal dapat menjamin keberlangsungan dan ketersediaan populasi ikan, yang terdapat di perairan sekitar ekosistem tersebut. Secara ekonomis, hal ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi masyarakat pesisir yang sebagian besar hidup dari memanfaatkan sumberdaya pesisir, terutama perikanan. Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia, menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya alam dan lahan baik untuk pemukiman maupun mata pencaharian juga meningkat, termasuk di wilayah pesisir. Hal ini menyebabkan tingkat eksploitasi sumberdaya alam dan konversi lahan juga meningkat. Ekosistem mangrove yang dari segi ekonomi sangat potensial, telah banyak dikonversi menjadi lahan pemukiman, tambak dan industri lainnya, sehingga menyebabkan laju degradasi mangrove semakin meningkat. Luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 diperkirakan seluas 3.765.250 ha. Dalam kurun waktu 6 tahun (tahun 1993-1999), luas areal hutan mangrove berkurang sekitar 1,3%. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1995) in (Anonim 2008), diketahui bahwa dalam kurun waktu 11 tahun (antara tahun 1982-1993), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun. Hingga pada tahun 2009, berdasarkan pemetaan oleh BAKOSURTANAL, menunjukkan bahwa tutupan existing mangrove Indonesia mendekati 3,3 juta hektar (Bakosurtanal 2009). Kondisi mangrove yang ada ini juga tidak semua dapat dikatakan dalam kondisi baik. Kerusakan mangrove yang terjadi di berbagai daerah tidak hanya
2
karena adanya konversi lahan, tetapi juga disebabkan oleh tingkat pencemaran yang tinggi di sekitar kawasan, sedimentasi, tertutupnya aliran air laut ke dalam ekosistem mangrove, serta faktor penyebab lainnya yang mengakibatkan ekosistem
mangrove
terdegradasi.
Kerusakan
ekosistem
mangrove
ini
menyebabkan fungsi ekologisnya sebagai suatu ekosistem tidak berjalan secara optimal. Ditjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Pengelolaan Sumberdaya), Departemen
Kehutanan
pada
tahun
1999/2000
in
(Anonim
2008)
menginformasikan bahwa potensi mangrove di Indonesia adalah 9,2 juta ha, dan 5,3 juta ha di antaranya atau sekitar 57,6 % dari luas hutan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak, dimana sebagian besar, yakni sekitar 69,8 % atau 3,7 juta ha terdapat di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 30,2 % atau 1,6 juta ha terdapat di dalam kawasan hutan. Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta, ditetapkan sebagai kawasan konservasi (Suaka Margasatwa) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/98 pada tanggal 29 Februari 1998. Luas kawasan ini yaitu 25,02 Ha dengan mangrove sebagai ekosistem utama. Suaka Margasatwa Muara Angke terletak pada 6o 8' LS dan 106o 47' BT. Di kawasan ini pada mulanya sering terjadi penebangan dan pencurian kayu mangrove, dan terjadinya pencemaran di perairan. Pemutusan sirkulasi air laut menuju kawasan yang diakibatkan oleh kegiatan pertambakan menyebabkan penurunan salinitas perairannya. Hal ini mengakibatkan invasi enceng gondok di kawasan ini, sehingga keberadaan mangrove sebagai vegetasi utama di dalam kawasan ini menjadi semakin berkurang. Rehabilitasi merupakan salah satu solusi dalam rangka memulihkan kondisi ekosistem yang telah rusak. Rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang maksimal. Rehabilitasi ekosistem mangrove Muara Angke selama ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga akademisi maupun organisasi kemasyarakatan. Rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan konservasi ini pernah dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Sejak Desember 1999, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (LPP Mangrove) telah melakukan upaya rehabilitasi. Pada akhir tahun 2002,
3
lembaga ini bersama dengan Standard Chatered Bank melakukan penanaman 3000 bibit tanaman mangrove (Sonneratia sp.) dalam upaya memulihkan ekosistem di kawasan Muara Angke. Namun, bibit tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dikarenakan akar napas tanaman mangrove tersebut tertutup oleh sampah plastik yang terbawa ke sekitar ekosistem mangrove pada saat musim hujan dan air pasang. Berbagai upaya rehabilitasi tersebut hingga saat ini belum memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan strategi rehabilitasi yang efektif untuk memulihkan fungsi ekologis dan ekonomi kawasan ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya tersebut yaitu dengan melakukan analisis tingkat kerusakan dan mengevaluasi upaya-upaya rehabilitasi yang selama ini telah dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang lebih baik dalam rangka pemulihan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke.
1.2. Rumusan Masalah Ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke masih dalam kondisi rusak. Vegetasi mangrove di kawasan konservasi ini belum dapat berkembang dengan baik, akibat dari parameter tumbuhnya yang terganggu. Terhambatnya aliran air laut ke kawasan ini menyebabkan perairan menjadi tawar, sehingga mendorong terjadinya invasi enceng gondok. Selain itu, pencemaran di Suaka Margasatwa Muara Angke tergolong tinggi, baik berupa limbah cair maupun padat, diantaranya minyak dan plastik. Akar nafas tanaman mangrove banyak yang ditutupi oleh sampah plastik. Permukaan perairan di kawasan ini pun ditutupi oleh limbah cair seperti minyak. Hal ini semakin memperburuk keadaan. Melihat kondisi tersebut, pihak pengelola kawasan beserta stakeholder lainnya telah melakukan berbagai upaya rehabilitasi untuk memulihkan ekosistem mangrove. Kegiatan rehabilitasi mangrove ini telah dimulai sejak tahun 1999. Upaya rehabilitasi tersebut hingga saat ini belum dapat memulihkan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Hal ini mungkin disebabkan oleh laju kerusakan ekosistem tersebut lebih cepat dibandingkan dengan upaya rehabilitasinya. Meskipun demikian rehabilitasi mangrove yang secara kontinyu dilakukan oleh berbagai pihak di sekitar kawasan ini mulai menunjukkan hasilnya.
4
Berdasarkan situasi di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, yaitu: 1.
Bagaimana tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke, beserta faktor-faktor penyebabnya?
2.
Bagaimana upaya rehabilitasi yang telah dilakukan sebelumnya?
3.
Bagaimana strategi rehabilitasi mangrove yang efektif untuk kawasan tersebut?
1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
menganalisis tingkat kerusakan dan laju kerusakan beserta faktor-faktor penyebabnya
2.
melakukan evaluasi kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan
3.
membuat rekomendasi strategi rehabilitasi
1.4. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa informasi tingkat kerusakan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke dan rekomendasi upaya rehabilitasi yang efektif.
1.5. Kerangka Penelitian Pada Penelitian ini akan dilakukan kajian aspek ekologi serta sosialekonomi dan kelembagaan. Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap struktur komunitas mangrove, analisis lingkungan baik perairan maupun substrat, analisis persepsi masyarakat, analisis data citra dan evaluasi efektivitas rehabilitasi sebelumnya. Setelah itu, akan diperoleh tingkat dan laju kerusakan ekosistem mangrove dari hasil analisis struktur komunitas mangrove, analisis lingkungan dan analisis data citra. Sedangkan dari analisis terhapda persepsi masyarakat akan diperoleh data mengenai tingkat pengetahuan, kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove dan kawasan. Tingkat keberhasilan dan kendala atau hambatan dalam upaya rehabilitasi akan diperoleh melalui evaluasi
5
efektivitas rehabilitasi sebelumnya. Berdasarkan analisis yang akan dilakukan tersebut, akan dirumuskan rekomendasi strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Secara
skematis,
kerangka
pendekatan
penelitian ini ditampilkan pada gambar 1 berikut:
Ekosistem Mangrove
Kawasan Konservasi
Degradasi
Permasalahan? 1. Kerusakan ekosistem mangrove 2. Rehabilitasi belum signifikan
Kajian Sosial dan Kelembagaan
Kajian Ekologi
Analisis Struktur Komunitas Mangrove
Analisis Lingkungan (Air dan Substrat)
Tingkat dan laju kerusakan
Persepsi
Evaluasi Efektivitas Rehabilitasi
Pengetahuan dan partisipasi
- Tingkat keberhasilan - Kendala/hambatan
Analisis Data Citra
Rekomendasi Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
Gambar 1 Kerangka Pendekatan Penelitian.
6
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Mangrove Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Nybakken (1988) menggambarkan mangrove sebagai suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas, atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Pada dasarnya vegetasi mangrove merupakan vegetasi daratan yang mampu beradaptasi di perairan dengan kadar salinitas tertentu dan kadar oksigen yang rendah. Mangrove dapat tumbuh dengan baik di perairan yang cukup pasokan air tawarnya, adanya pengaruh pasang surut air laut secara berkala, dan pada kondisi perairan yang cukup terlindung dari gelombang (gerakan air minimal). Ekosistem mangrove biasanya ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2000). Mangrove juga lebih banyak dijumpai di wilayah pesisir dengan topografi landai (Dahuri 2003).
2.2. Karakteristik Ekosistem Mangrove Vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerah ini biasanya tergenang air laut secara berkala, baik tiap hari maupun pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan air laut ini menentukan komposisi vegetasi mangrove. Mangrove dapat tumbuh dengan baik salah satunya apabila mendapat pasokan air tawar yang cukup dari darat (Bengen 2000). Oleh karena itu, mangrove dapat tumbuh dengan optimal di daerah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta dengan aliran air yang banyak mengandung lumpur. Sebaliknya, mangrove tidak dapat tumbuh optimal di wilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai. Mangrove juga sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar, dengan arus pasang surut yang kuat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut tidak memungkinkan
8
terjadinya pengendapan lumpur yang merupakan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Dahuri 2003). Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis, antara lain: sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat pemijahan (spawning ground), dan mencari makanan bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di dalamnya (feeding ground) (Bengen 2000). Hal ini dikarenakan ekosistem mangrove merupakan perairan yang kaya nutrien, sehingga terdapat berbagai jenis biota yang hidup di dalamnya, seperti moluska, kepiting, ikan, burung, dan beberapa jenis primata (Nybakken 1988). Rantai makanan yang terbentuk di ekosistem mangrove berasal dari kegiatan mikroorganisme yang menguraikan serasah dari pohon mangrove yang jatuh ke perairan. Serasah yang telah diuraikan tersebut kemudian menjadi bahan organik terlarut atau Dissolved Organic Matter (DOM). Sebagian DOM tersebut langsung digunakan oleh mikroorganisme lainnya, dan mikroorganisme tersebut dimakan oleh konsumen yan lebih besar (Odum dan Held 1975 in Raffaelli dan Hawkins 1996). Kegiatan rantai makanan ini merupakan bentuk transfer energi di dalam ekosistem. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik, yaitu sebagai daerah peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Mangrove dapat diakui resilien selaras dengan perubahan garis pantai. Hal ini didukung dengan bukti bahwa laju akresi tanah pada ekosistem mangrove seiring dengan peningkatan rata-rata muka air laut. komposisi tegakan dan struktur hutan merupakan hasil kompleks dari pengaruh toleransi secara fisiologi dan interaksi kompetitif yang mengarah pada potongan dari rangkaian suksesi, dalam merespon perubahan bentuk lahan dan gradien secara fisik atau kimia. Ekosistem mangrove mungkin hanya memberikan perlindungan yang terbatas dari tsunami, dimana beberapa model menunjukkan bahwa diperlukan luasan mangrove sekitar 100 m untuk dapat mereduksi gelombang tsunami. Besarnya absorpsi energi tergantung pada kerapatan pohon, diameter batang dan akar, kemiringan pantai, batimetri dan karakteristik spektral danri gelombang yang masuk, dan tingkatan pasang surut yang memasuki kawasan. Gangguan akhir, perubahan iklim, dapat mengarah pada kehilangan global maksimum antara 10-15% hutan mangrove, namun harus dipertimbangkan
9
pengaruh sekundernya dibandingkan laju deforestasi tahunan yang mencapai 12% (Alongi 2008).
2.3. Parameter Lingkungan Utama Terdapat tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove (Dahuri 2003), yaitu: a. Ketersediaan air tawar dan salinitas. Ketersediaan air tawar pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh: a). frekuensi dan volume air sistem sungai dan irigasi dari darat, b). Frekuensi dan pertukaran air pasang surut, c). Tingkat evaporasi ke atmosfer. Apabila suplai air tawar tidak tersedia, dapat menyebabkan kadar garam tanah dan air berada dalam kondisi ekstrim, sehingga dapat mengancam keberlangsungan hidupnya. Konversi lahan di daratan sekitar ekosistem mangrove dapat menyebabkan terjadinya modifikasi masukan air tawar. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan kadar garam serta perubahan aliran nutrien dan sedimen di ekosistem mangrove. b. Pasokan nutrien. Pasokan nutrien pada ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, diantaranya ion-ion mineral anorganik, bahan organik dan pendaur-ulangan nutrien secara internal melalui jaring makanan yang berbasis detritus. Pasokan nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove yaitu a). Frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan air asin atau air tawar, b). Dinamika yang kompleks dari sirkulasi internal detritus. c. Stabilitas substrat. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen, diatur oleh pergerakan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi, dan kecepatan aliran air tawar. Kusmana et al. (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan untuk pertumbuhan mangrove terdiri dari beberapa faktor, sebagai berikut: a. Fisiografi pantai, yaitu merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies serta ukuran dan luasan mangrove. Umumnya, semakin datar
10
pantai, akan semakin lebar luasan mangrove, karena semakin besarnya pasang surut. b. Iklim, diantaranya cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. 1) Cahaya. Pada umumnya, tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi dan penuh, dengan kisaran optimal untuk pertumbuhan yaitu 3000-3800 kkal/m2/hari. Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan R. apiculata. Intensitas cahaya 75% dapat mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza. Selain itu, intensitas cahaya 75% juga meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora mucronata, R. apiculata, dan Bruguiera gymnorrhiza. 2) Curah hujan. Mangrove dapat tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun. 3) Suhu udara, merupakan salah satu elemen penting, terutama dalam proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20°C dan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 5°C, kecuali di daerah Afrika Timur yang memiliki perbedaan suhu musiman mencapai 10°C. 4) Angin, yang berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, serta meningkatkan
evapotranspirasi.
Selain
itu,
angin
kuat
dapat
menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis yang abnormal pada tanaman mangrove. c. Pasang surut, yang berpengaruh terhadap zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut ini berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas di daerah mangrove. Perubahan tingkat salinitas inilah yang menjadi salah satu faktor pembatas distribusi spesies, khususnya secara horizontal. Contohnya yaitu Rhizophora mucronata dapat tumbuh dengan baik pada areal yang selalu tergenang, sedangkan Bruguiera gymnorrhiza dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang selalu tergenang.
11
d. Gelombang dan arus. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai dengan gelombang yang tidak terlalu besar, dan arus yang tenang. e. Salinitas. Mangrove dapat tumbuh subur pada kisaran salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh pada estuari dengan salinitas antara 63-74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan saltdemanding, sehingga dapat tumbuh dengan baik pula di habitat air tawar. f. Oksigen terlarut. Menurut Aksornkoae (1978) in Kusmana et al. (2003), konsentrasi oksigen terlarut yang dapat ditemukan di ekosistem mangrove berkisar antara 1,7-3,4 mg/l, lebih rendah dibandingkan di daerah di luar ekosistem mangrove yaitu 4,4 mg/l. g. Tanah, yang dibentuk oleh akumulasi sedimen dari pantai dan erosi hulu sungai. Mangrove biasanya tumbuh pada daerah berlumpur, namun beberapa spesies tumbuh pada daerah berpasir, berkerikil bahkan bergambut. h. Nutrien, yang dibagi menjadi nutrien organik dan inorganik. Nutrien inorganik diantaranya N, P, K, Mg, dan Na. Sumber nutrien inorganik yaitu hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Sedangkan nutrien organik diantaranya detritus organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui tahap-tahap degradasi mikrobial. i. Proteksi. Mangrove dapat berkembang dengan baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang kuat, seperti laguna, estuari, teluk, dan delta. Arus pasang surut dan run off mengontrol pertukaran material yang melalui batas ekosistem estuari-mangrove dan merupakan proses utama yang berasosiasi dengan pertukaran material dengan sistem ini. Jumlah air yang ditransfer diantara mangrove, estuary dan perairan daratan tergantung pada energi hidrologi potensial dan pada geomorfologi daerah tersebut. Odum et al (1979) in Grasso (1998) menyatakan bahwa kedua faktor tersebut yang menentukan luas vegetasi mangrove di daerah intertidal.
12
2.4. Sebaran Ekosistem Mangrove di Indonesia Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, yaitu terdapat 89 jenis vegetasi (35 jenis diantaranya tergolong jenis pohon). Beberapa jenis yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia yaitu Rhizophora spp., Avicennia spp., Sonneratia spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Excoecaria spp. (Yulianda et al. 2009). Indonesia memiliki sebaran ekosistem mangrove yang cukup banyak, seperti ditunjukkan pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Lokasi dan Luas Hutan Mangrove di Beberapa Provinsi Indonesia pada tahun 1996. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Provinsi D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Irian Jaya
Luas (ha) 54.300 136.900 5.600 219.000 5.600 200.700 2.600 48.600 300 4.300 1.600 188.700 61.400 109.600 618.200 26.300 35.200 166.800 82.500 211.000 1.350.600
Sumber: Ditjen Intag, Dephut (1996) in Dahuri (2003)
2.5. Kerusakan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove dikatakan lestari apabila fungsi ekologi dan sosial ekonominya berjalan dengan baik. Fungsi ekologi meliputi kemampuan daya dukung ekosistem mangrove terhadap lingkungan sekitarnya, dan dikatakan baik jika: tutupan area pohon tinggi; siklus energi berjalan dengan baik; dan keseimbangan ekologi terjaga. Sedangkan untuk fungsi sosial ekonomi, dikatakan
13
baik jika ekosistem mangrove masih dapat dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat sekitar (KKP 2007). Ekosistem mangrove di banyak wilayah saat ini berada dibawah tekanan kondisi lingkungan, dimana hubungan antara ekosistem mangrove dengan faktorfaktor fisik sangat sensitif terhadap berbagai perubahan. Begitu juga dengan ekosistem mangrove di DKI Jakarta dan sekitarnya. Tekanan terhadap ekosistem ini lebih cenderung disebabkan oleh aktivitas manusia diantaranya perambahan, dan alih fungsi kawasan terutama untuk pengembangan pemukiman dan tambak (Waryono 2006). Kegiatan penebangan mangrove, baik dalam skala kecil dapat berdampak pada penurunan kualitas dari ekosistem tersebut. Konsentrasi dari kebanyakan partikulat nutrien meningkat di permukaan tanah pada tegakan yang telah dipanen (ditebang), daun, ranting, dan cabang kecil yang terbuang di lantai hutan. Berkurangnya pohon menyebabkan semakin tinggi penetrasi cahaya pada kanopi, sehingga meningkatkan evaporasi, salinitas dan konsentrasi elemen terlarut. Peningkatan konsentrasi karbon total, nitrogen, dan phospor setelah penebangan memperlihatkan besarnya peningkatan pada ranting, cabang kecil, daun dan potongan kecil pohon lainnya, yang terdapat di permukaan lantai hutan setelah penebangan. Konsentrasi intersitisial dari sulfida terlarut, logam, dan amonium juga meningkat karena meningkatnya soil desiccation (yang dibuktikan dengan meningkatnya salinitas), dan penurunan dalam penyerapan solute dan translokasi oksigen di akar. Laju metabolisme anaerobik tanah (reduksi sulfat) menurun setelah terjadinya penebangan (Alongi & de Carvalho 2008). Menurut KKP (2007), tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dibagi dalam tiga kondisi yaitu rusak berat, rusak sedang dan tidak rusak. Kondisi mangrove yang rusak berat ditandai dengan: habisnya hutan mangrove dalam satu wilayah; rusaknya keseimbangan ekologi; intrusi air laut yang tinggi; dan menurunnya kualitas tanah. Kondisi ekosistem mangrove yang rusak sedang yaitu: masih tersisa sedikit hutan mangrove dalam satu wilayah; keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang; intrusi air laut tidak terlalu parah. Sedangkan kondisi yang tidak rusak ditandai dengan ekosistem mangrove yang masih terjaga
14
dengan baik dan lestari, biasanya merupakan wilaya konservasi yang dijaga dengan baik kondisinya oleh masyarakat sekitar.
2.6. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya, disebabkan salah satunya oleh aktivitas manusia yang memberikan tekanan terhadap ekosistem tersebut. Aktivitas tersebut antara lain eksploitasi berlebihan, konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak, penebangan dan pencurian kayu pohon mangrove. Aktivitas tersebut berdampak pada tingginya tingkat erosi dan intrusi air laut. Laju degradasi mangrove yang tinggi seperti di Indonesia sebesar 1% per tahun (Kusmana 1995 in Anonim 2008) dan juga di Malaysia sebesar 1% per tahun (Gong and On 1990 in Hashim et al. 2009) menyebabkan proses pemulihan ekosistem tidak dapat tergantung pada proses rehabilitasi secara alami. Upaya rehabilitasi diperlukan untuk memulihkan ekosistem mangrove. Upaya
rehabilitasi
dapat
sukses
apabila
memperhatikan
kondisi
lingkungan, seperti hidrologi, energi gelombang, salinitas, pH tanah dan air, tekstur tanah, konsentrasi nutrien, dan elevasi, serta dengan menggunakan jenis mangrove alami yang terdapat di sekitar lokasi (Elster 2000; Gilman & Ellison 2007 in Hashim et al. 2009). Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove bertujuan untuk restorasi struktur dan fungsi mangrove yang terdegradasi, stabilisasi garis pantai, memerangkap sedimen, meningkatkan perlindungan garis pantai, menyediakan habitat bagi satwa liar, menyediakan timber dan kayu bakar, dan memberikan nilai estetika kawasan pesisir (Hashim et al. 2009). Keberadaan ekosistem mangrove baik yang alami maupun hasil penanaman kembali (rehabilitasi), bahkan pada area mangrove dengan komposisi tanaman sejenis (homogen), dapat meningkatkan produktivitas dan sumberdaya perikanan di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai kelimpahan relatif kepiting bakau yang hampir sama dijumpai di ekosistem mangrove alami (1.89 kepiting per perangkap per hari) dan di area penanaman mangrove di Filipina (1.71 dan 0.81 kepiting per perangkap per hari). Penanaman mangrove, meskipun dengan
15
tegakan sejenis, efektif dalam memulihkan fungsi ekologinya hingga mendekati kondisi ekosistem mangrove yang alami (Walton et al. 2007). Perry dan Berkeley (2009) menyatakan bahwa kegiatan penanaman dalam rangka rehabilitasi mangrove dapat menjadikan kondisi ekosistem yang rusak kembali pulih, dan terjadi modifikasi substrat intertidal secara cepat. Data yang diperoleh dari hasil penelitian mereka, menunjukkan bahwa pada dua dari tiga lokasi penelitian, terjadi peningkatan kandungan sedimen bahan organik (khususnya fibrous organic matter), dan peningkatan akumulasi sedimen sangat baik dalam mangrove. Terdapat hubungan yang kuat antara besarnya (magnitude) dan dalamnya modifikasi substrat dengan kepadatan mangrove, khususnya kepadatan akar dan anakan. Hasil penelitian Macintosh et al. (2002) menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi mangrove, berpengaruh pada keanekaragaman jenis (biodiversity) di daerah intertidal, dalam hal ini keragaman, kelimpahan, biomassa, dan struktur komunitas dari makrofauna moluska dan krustacea. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove alami, campuran dan telah dikonservasi selama 40 tahun. Kemudian dibandingkan dengan kondisi di lahan mangrove yang terdegradasi karena aktivitas penambangan timah, penebangan hutan, dan budidaya perikanan, dimana kawasan tersebut telah mulai direhabilitasi melalui penanaman monokultur, menggunakan empat jenis spesies lokal. Keanekaragaman moluska dan krustacea terendah terdapat di lokasi bekas tambang timah. Sedangkan keanekaragaman tertinggi terdapat di kawasan penanaman Rhizophora sp. Di hutan alami campuran. Di lahan bekas penambangan timah, struktur komunitas makrofauna didominasi oleh satu jenis kepiting. Dominansi satu jenis makrofauna ini dapat mengindikasikan sebuah lingkungan yang tertekan, sedangkan tingginya keanekaragaman jenis mengindikasikan sebuah kawasan yang relatif lebih stabil (mature forest). Rehabilitasi ekosistem mangrove ini biasanya dilaksanakan melalui kegiatan penanaman, yang terdiri dari sistem penanaman murni (sistem banjar harian) dan tumpang sari tambak (sylvofishery) (Dephut 2004). Pada penanaman murni dengan sistem banjar harian (gambar 2), jarak tanam disesuaikan dengan
16
kondisi lapangan dengan jumlah bibit termasuk untuk sulaman, sebanyak 5.500 batang/ha.
Gambar 2 Alternatif Pola Tanam Pada Penanaman Murni Sistem Banjar Harian. Sumber: Dephut (2004) Pada sistem tumpang sari tambak, dilakukan kombinasi antara kegiatan penanaman dengan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam, juga dapat dilakukan di pematang/pelataran tambak. Jarak tanam biasanya disesuaikan dengan kondisi lapangan, dengan jumlah bibit sebanyak 2.200 batang/ha termasuk untuk sulaman. Pola tumpang sari ini terdiri dari 4 macam (gambar 3), yaitu: pola empang parit tradisional, pola komplangan, empang parit terbuka dan pola kaokao.
Gambar 3 Pola Tumpang Sari. Sumber: Dephut (2004)
17
2.7. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG merupakan salah satu alat manajemen informasi spasial yang dapat digunakan dalam membuat keputusan pengelolaan sumberdaya alam data spasial. SIG dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk manajemen data sapasial dan sebagai sebuah sistem informasi spasial. Sebagai sebuah alat, SIG bersama dengan perangkat non-spasial) memiliki kapasitas storing, retrieving, pengelolaan, analisis, dan visualisasi informasi spasial. Sebagai sebuah sistem, SIG merupakan proses komunikasi informasi spasial diantara anggota masyarakat, termasuk para peneliti, pengelola sumberdaya dan pihak perencana (Gunawan 1998). Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, SIG dapat digunakan untuk menampilkan fakta spasial dasar berkaitan dengan struktur, fungsi dan dinamika dari lingkungan fisik pesisir dan manusia. Data spasial dasar untuk lingkungan fisik pesisir meliputi topografi, batimetri, morfologi, penutupan vegetasi, aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batasan habitat, serta karakteristik lainnya. Data spasial dasar untuk lingkungan manusia, diantaranya batas administrasi, distribusi populasi, transportasi dan distribusi jaringan kerja, serta karakteristik sosial lainnya (Gunawan 1998).
18
19
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke, yang terletak di pesisir Pantai Utara Jakarta, dan berdampingan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk, Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2011.
3.2. Jenis Data a. Data Citra Data citra yang digunakan pada penelitian ini meliputi informasi mengenai penutupan mangrove di kawasan Muara Angke pada dua waktu yang berbeda, untuk mengidentifikasi perubahan luasan penutupan mangrove di kawasan tersebut. Data citra yang digunakan yaitu Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dalam format digital, dengan penutupan awan kurang dari 20%, Quick Bird, dan Peta Rupa Bumi (dengan standar pemetaan dari Bakosurtanal dan format data ArcInfo atau ArcView). Data citra yang digunakan yaitu citra tahun 2000 dan 2010.
b. Data Fisika-Kimia Perairan dan Ekologi Data yang diambil dalam penelitian meliputi data fisika-kimia perairan, biologi dan ekologi, dan oseanografi di sekitar kawasan mangrove. Data biologi dan ekologi di kawasan mangrove, meliputi: luas lahan mangrove, komposisi jenis mangrove, kerapatan mangrove, dan satwa liar yang terdapat di kawasan tersebut. Data fisika-kimia perairan terdiri dari data kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas, substrat (nitrat dan phosphat). Data oseanografi meliputi pasang surut, arus, dan gelombang.
c. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Data yang berhubungan dengan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove terdiri dari jumlah penduduk, struktur umur dan jenis kelamin,
20
mata pencaharian, persepsi terhadap kawasan, mangrove dan kegiatan rehabilitasi mangrove, dan aktivitas yang dilakukan di sekitar kawasan.
d. Data Proses Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Dalam penelitian ini juga diambil data mengenai upaya-upaya rehabilitasi ekosistem mangrove yang pernah dilakukan di lokasi penelitian meliputi: pihakpihak yang pernah melakukan rehabilitasi, waktu pelaksanaan, pola dan jenis kegiatan rehabilitasi yang diterapkan, jenis vegetasi, jumlah bibit, serta hasil kegiatan rehabilitasi tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Tabel 2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data. No Jenis Data Ekologi dan fisika-kimia perairan 1 2 3 4 a.
Teknik Pengumpulan Data Observasi lapang dan studi pustaka Sosial ekonomi masyarakat sekitar dan Wawancara, studi pustaka stakeholder lain Histori upaya rehabilitasi di dalam dan Wawancara, studi pustaka sekitar kawasan Data citra SEAMEO BIOTROP
Data Citra Data citra diperoleh dari SEAMEO BIOTROP. Data citra yang dimaksud
merupakan citra Landsat dengan tutupan awan minimal 20%, yang menampilkan bentang alam Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2000, serta citra Quick Bird tahun 2010. Data citra ini diolah untuk melihat perubahan bentang alam di lokasi penelitian.
b. Data Vegetasi dan Fisika Kimia Perairan 1.
Data Vegetasi Mangrove Metode pengumpulan data vegetasi di lokasi penelitian dilakukan dengan
menggunakan metode Transect Line Plots (Gambar 4).
21
Penentuan Lokasi Sampling dan jumlah stasiun sampling
Peletakan Transek dan Plot Contoh
Penentuan Jumlah Plot Contoh
Jumlah Transek dan Plot Contoh disesuaikan dengan kondisi di lapangan
Tahapan Sampling Ekosistem Mangrove
Pengambilan Contoh
Gambar 4 Tahapan Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove.
Tahapan dalam pengumpulan data vegetasi mangrove, yaitu sebagai berikut: a). Pengumpulan data vegetasi mangrove ini dilakukan pada tingkat pertumbuhan semai (anakan), pancang, dan pohon, yang meliputi: jumlah individu, jenis, dan diameter yang terdapat dalam petak contoh. Petak contoh untuk tingkat pohon berukuran 10 x 10 m, petak contoh untuk tingkat pancang berukuran 5 x 5 m yang diletakkan pada petak contoh pohon, dan untuk tingkat semai berukuran 2 x 2 m yang diletakkan pada petak contoh pancang (Gambar 5).
C B A
10m Arah rintis
A B C
A: Petak pengukuran untuk semai dan tumbuhan bawah (2 x 2m2) B: Petak pengukuran untuk pancang (5 x 5m2) C: Petak pengukuran untuk pohon (10 x 10m2) Gambar 5 Skema metode garis berpetak pada pengambilan data mangrove. b). Penempatan transek dilakukan searah garis pantai di lokasi penelitian (Gambar 6). c). Jumlah stasiun sampling, transek pada tiap stasiun dan petak contoh dalam tiap transek, disesuaikan dengan kondisi mangrove yang ada dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan ekosistem mangrove di lokasi penelitian.
22
Gambar 6 Contoh Peletakan Garis Transek Pada Setiap Zona Mangrove. Sumber: English et al. 1994 Data vegetasi mangrove di SMMA diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan metode Transect Line Plots (English et al. 1994), terdiri dari 6 transek dengan 12 petak contoh. Sampling vegetasi ini ditentukan pada tegakan Sonneratia caseolaris (pidada) yang merupakan tegakan dominan saat ini di dalam kawasan. Penentuan dan peletakan petak contoh berdasarkan pada asumsi keterwakilan kondisi kerapatan vegetasi mangrove di kawasan. Selain itu juga melihat kondisi lingkungan di dalam kawasan yang masih
memungkinkan
untuk
dilakukan
pengambilan
contoh,
seperti
keterjangkauan lokasi maupun kondisi tegakan mangrove. 2.
Data Fisika Kimia Perairan Sampling kualitas air dilakukan pada satu waktu, tanpa ulangan, terdiri
dari 3 transek dengan masing-masing 3 titik pengambilan contoh. Lokasi transek dilakukan di bagian tepi, tengah dan ujung kawasan. Penentuan transek ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi tutupan vegetasi di sekitarnya yang diasumsikan dapat mewakili, yaitu transek 1 di sekitar tutupan vegetasi nipah, transek 2 di sekitar enceng gondok, sedangkan transek 3 di sekitar vegetasi mangrove sejati (Gambar 13). Selain itu, juga dengan mempertimbangkan keterjangkauan lokasi sampling di dalam kawasan. Data yang diukur meliputi: kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas, dan substrat (nitrat dan phosphat).
23
Tahapan dalam pengumpulan data fisika kimia perairan di lokasi penelitian menurut Hariyadi et al. (1992), yaitu sebagai berikut: a)
Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa.
b) Kekeruhan diukur dengan menggunakan Turbidity meter, dan pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan (Analisis) Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB. 1). Prosedur di lapangan yang dilakukan berupa pengambilan sampel dan preservasi untuk mencegah gangguan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan pengangkutan sampel. 2). Sampel air disimpan dalam botol/jerigen, disimpan dalam botol gelap untuk pengawetan, selama 1-2 hari sebelum diamati di laboratorium. c)
DO langsung diukur di lokasi penelitian, dengan menggunakan alat DO meter.
d) pH diukur dengan menggunakan pH meter. e)
Salinitas
diukur
dengan
menggunakan
refraktometer.
Pengoperasian
refraktometer memerlukan contoh air laut antara beberapa tetes sehingga 15 ml, tergantung pada jenis alatnya. Pembacaan dilakukan dengan cara melihat skala pada alat teropong yang telah dilengkapi dengan kaca pembesar. Ketelitian refraktometer berkisar antara 0,5‰ hingga 0,05‰. f)
Pengukuran nitrat dan phosphate dilakukan di laboratorium. Sampel air untuk pengukuran data nitrat dan phosphate akan disimpan dalam botol/jerigen. Sampel nitrat akan disimpan pada suhu 4°C ditambah dengan H2SO4 sampai pH < 2, selama 48 jam hingga maksimal 28 hari. Sedangkan sampel air untuk pengukuran phosphate, disimpan pada suhu 4°C, selama 48 jam atau maksimal hingga 28 hari sebelum dianalisis.
c.
Data Sosial Ekonomi Masyarakat dan Stakeholder Pengumpulan data sosial masyarakat dan stakeholder dilakukan dengan
metode survei. Pengumpulan data ini menggunakan alat pengumpul data pokok kuisioner, yaitu melalui teknik wawancara kepada masyarakat, wawancara kepada stakeholder lainnya dan studi pustaka. Responden pada penelitian ini terdiri dari
24
mahasiswa, karyawan, kelompok peduli mangrove (karang taruna), nelayan, pedagang, dan ibu rumah tangga.
d. Data Rehabilitasi Ekosistem Mangrove yang Pernah Dilakukan Data mengenai kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove ini diperoleh melalui berbagai instansi terkait, seperti pihak pengelola (BKSDA DKI Jakarta), Pemerintah Daerah, dan LSM. Proses pengumpulan data rehabilitasi ini meliputi tahapan pengumpulan data, reduksi data yang dianggap kurang atau tidak relevan dengan penelitian, analisis data dan kemudian menampilkan data (Gambar 7).
Data Collection
Data Reduction
Data Display
Data Analysis
Gambar 7 Proses Pengumpulan Data.
3.4. Analisis Data a.
Analisis Kualitas Perairan dan Substrat Parameter fisika kimia perairan yang dianalisa mengikuti baku mutu air
laut untuk peruntukan kawasan hutan mangrove dan habitat biota air sesuai dengan Kepmen LH No. 51/2004 tentang Baku Mutu Air untuk Biota Laut dan Ekosistem Mangrove. Data kualitas perairan dan substrat ini dianalisis secara deskriptif. Data dan informasi tentang kondisi oseanografi perairan sekitar lokasi penelitian diperoleh melalui data sekunder dari berbagai referensi ilmiah yang berkaitan dengan kondisi oseanografis di sekitar lokasi, antara lain data angin, data perkiraan pasang surut, arus, dan gelombang permukaan. Data sekunder tersebut juga diperoleh dari hasil kajian-kajian terkait sebelumnya.
25
b. Analisis Struktur Komunitas Mangrove Analisis data mangrove ini meliputi luasan mangrove, kerapatan, persen penutupan, vegetasi yang ada, dan kondisi ekosistem secara umum. Persen penutupan dan kerapatan relatif menurut English et al. (1994) termasuk parameter yang menunjukkan kontribusi masing-masing komponen spesies dalam tegakan mangrove. Persen penutupan dan kerapatan relatif ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 1) Persen Penutupan RCi = (Ci/ΣC) x 100 Ci = ΣBA/A dimana, BA = πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH=CBH/π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada. 2) Kerapatan Relatif RDi= (ni/Σn) x 100 dimana, ni adalah jumlah tegakan jenis ke i, sedangkan Σn adalah jumlah tegakan seluruh jenis. 3) Frekuensi Relatif RFi= (Fi/ΣF) x 100 dimana, Fi adalah frekuensi jenis ke I, sedangkan ΣF adalah jumlah frekuensi seluruh jenis. 4) Menentukan INP (Indeks Nilai Penting) INP= RDi + RFi + RCi c.
Analisis Data Citra Data citra landsat tahun 2000 diolah dan dianalisis dengan menggunakan
software Er Mapper 7.0 dan Arc View 3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan di kawasan pada waktu tersebut. Data citra quick bird tahun 2010 dianalisis
26
dengan menggunakan software Arc View 3.3 untuk mengetahui kondisi bentang lahan di kawasan pada waktu tersebut. Data citra Quick Bird digunakan untuk melihat kondisi tutupan lahan baik kerapatan vegetasi mangrove, semak maupun badan air (danau) di kawasan. Berdasarkan kondisi yang ditampilkan oleh data citra tersebut, diketahui kondisi kerapatan vegetasi mangrove di kawasan. Hal ini dijadikan salah satu panduan untuk menentukan lokasi sampling vegetasi. d. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi Evaluasi rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian dilakukan dengan melakukan studi pustaka dan berdasarkan data hasil penyebaran kuesioner dan wawancara. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ditentukan berdasarkan : 1) Persen penutupan 2) Kesesuaian jenis tanaman 3) Persiapan dan Teknik menanam 4) Aspek pemeliharaan dan organisasi pemeliharaan 5) Partisipasi stakeholder.
3.5. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove a.
Analisis Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove Penentuan tingkat kerusakan vegetasi mangrove dilakukan berdasarkan
tingkat kerapatan individu yang ditemukan pada tiap transek. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove ditentukan berdasarkan: a). hasil analisis struktur komunitas mangrove, b). hasil analisis kualitas perairan dan substrat.
b. Kriteria Penentuan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove Penentuan tingkat kerusakan ekosistem mangrove ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove, diantaranya: a)
Kerapatan vegetasi mangrove;
b) Penutupan mangrove; c)
Zonasi;
27
d) Pola permudaan atau tingkat peremajaan, meliputi proporsi jumlah anakan (semai), pancang, dan pohon. Faktor eksternal yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove, yaitu: a)
Salinitas;
b) Arus pasang surut; c)
Tingkat atau periode penggenangan/perendaman;
d) Komposisi substrat; e)
Nutrien, meliputi nitrat dan fosfat;
f)
Pertukaran massa air laut dan tawar. Kriteria baku kerusakan mangrove dapat diterapkan berdasarkan
persentase luas tutupan kerapatan mangrove yang hidup (KLH 2004). Status kondisi mangrove tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria yaitu: a.
Baik (sangat padat), yaitu dengan penutupan mangrove≥75%, dan kerapatan ≥ 1500 pohon/ha.
b.
Baik (sedang), yaitu dengan penutupan mangrove ≥50%
-<75%, dan
kerapatan ≥1000-<1500 pohon/ha. c.
Rusak (jarang), yaitu dengan penutupan mangrove <50%, dan kerapatan <1000 pohon/ha. Kriteria kerusakan yang diterapkan di lokasi penelitian disesuaikan dengan
kondisi lokasi dan modifikasi dari kriteria baku kerusakan mangrove yang telah ditetapkan oleh KLH (2004). Kondisi mangrove di lokasi penelitian ditentukan dengan kelas kerapatan, yang diperoleh berdasarkan batas bawah dan batas atas kelas jumlah pohon yang ditemukan di tiap transek. Setelah dihitung batas atas dan batas bawah jumlah pohon, diperoleh interval berdasarkan beda nilai maksimum dan minimum dengan jumlah kelas yang ditentukan. Dalam penelitian ini ditentukan 5 kelas kondisi kerapatan mangrove, yaitu: 1.
Sangat baik
2.
Baik
3.
Cukup
4.
Rusak
5.
Sangat Rusak
28
Hasil perolehan kondisi mangrove berdasarkan selang kerapatan individu di tiap transek kemudian dioverlay ke dalam peta kerusakan mangrove. Setelah itu akan diperoleh kondisi vegetasi mangrove secara spasial.
c.
Perubahan Luasan Ekosistem Mangrove Perubahan luasan ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara
Angke baik penambahan maupun pengurangan luasan, dianalisis dengan menggunakan software ArcView. Data citra yang diperoleh, merupakan data citra dari dua waktu yang berbeda yaitu data tahun 2000 dan tahun 2010.
3.6. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Strategi rehabilitasi mangrove di kawasan dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan meliputi akar masalah, dampak ekologi, jenis kerusakan yang ditimbulkan; analisis vegetasi; kualitas perairan; upaya rehabilitasi sebelumnya; dan tingkat kerusakan ekosistem. Kemudian dibuat skala prioritas strategi yang perlu dilakukan di kawasan dengan mengidentifikasi komponenkomponen yang perlu dibenahi dan stakeholder yang sebaiknya dilibatkan.
29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Umum Suaka Margasatwa Muara Angke 4.1.1. Sejarah Penetapan Status Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) secara administrasi terletak dalam Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Suaka Margasatwa Muara Angke bersebelahan dengan perumahan Pantai Indah Kapuk di sebelah barat dan selatan, perkampungan nelayan Muara Angke di sebelah timur, serta Hutan Lindung Muara Angke dan Laut Jawa di sebelah utara (Gambar 8).
Gambar 8 Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke pada mulanya berstatus sebagai cagar alam. Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam Muara Angke melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 24 tanggal 18 Juni 1939, dengan luas awal 15,04 ha. Kawasan ini memiliki sejarah pengelolaan yang cukup panjang hingga statusnya ditetapkan menjadi suaka margasatwa (Tabel 3).
30
Tabel 3 Histori Pengelolaan Kawasan dan Sekitarnya. Tahun 1910-an 1939 1960-an 1963 1977 1980 1981
1982
1983
1984 1987
1988
1994 1998
Pengelolaan Dataran Kapuk berupa rawa mangrove, sebagian kecil dibuka tambak Penetapan kawasan Cagar Alam Muara Angke (CAMA), luas 15,04ha Kawasan diperluas menjadi 1.344,62 ha Pembukaan besar-besaran untuk pertambakan Pengaturan fungsi hutan Angke Kapuk dan CAMA, sebagai hutan lindung, CAMA, hutan wisata, Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) Pembangunan break water di tepi barat Muara Angke Sebagian mangrove di utara delta angke ditebang, di bagian timurnya dibangun pelabuhan ikan Muara Angke. Pembuatan Kanal, pengembangan Bandara Soekarno-Hatta dan Tol Prof. Sediatmo Pengurugan sebagian tambak di timur Muara Angke untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Pembuatan Cengkareng Drain Pembentukan Tim Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Hutan Angke Kapuk dalam pengelolaan kawasan hutan tersebut. Alokasi peruntukan pengembangan kawasan: a) kawasan Hutan Angke Kapuk yang tetap dikuasai pemerintah seluas 322,6 Ha (Hutan Lindung, CAMa, Hutan Wisata, Kebun Pembibitan Kehutanan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, Jalur Transmisi); b) kawasan yang diserahkan ke pihak swasta seluas 830,39 Ha untuk pembangunan perumahan, lapangan golf, hotel dan lainnya Pengukuran ulang kawasan Angke Kapuk, menetapkan luas kawasan hutan adalah 1.154,49 Ha, termasuk di dalamnya CAMA seluas 21,45 Ha Sebagian besar rawa mangrove berubah menjadi area pertambakan, yang tersisa CAMA dengan luas 15 Ha dan di sekitar tepi utara berbatasan dengan laut Kawasan Hutan Angke Kapuk yang dipertahankan seluas 333,50 Ha: Hutan Lindung, CAMA (luas 25,00 Ha), Hutan Wisata, Kebun Pembibitan, Jalur Hijau dan Jalan Tol, Cengkareng Drain, Jalur Transmisi PLN Pengukuran ulang batas kawasan, total kawasan yang diukur seluas 1.155, 60 Ha. Area yang dipertahankan seluas 327,88 Ha, areal yang dilepas untuk swasta seluas 827,18 Ha Status kawasan CAMA diubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) dengan luas 25,02 Ha
Sumber: LPP Mangrove (2000a), Santoso (2012) Meningkatnya tekanan dan degradasi lingkungan akibat tingginya aktivitas manusia terutama di sekitar kawasan menyebabkan terjadinya kerusakan dan menurunnya kualitas lingkungan di dalam kawasan. Status cagar alam berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebabkan terbatasnya kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kawasan. Oleh karena itu, pemerintah
31
mengubah status kawasan ini menjadi suaka margasatwa, sehingga dapat dilakukan rehabilitasi kawasan.
4.1.2. Kondisi Fisik Lingkungan dan Perairan Kawasan a.
Iklim Kawasan SMMA termasuk ke dalam tipe iklim A menurut klasifikasi
schmidt dan fergusson. Curah hujan tertinggi yaitu pada bulan Januari sebesar 294 mm, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Juli sebesar 58 mm. Suhu harian terendah adalah 21ºC - 24ºC dan suhu harian tertinggi 29ºC - 33,5ºC dengan ratarata 26ºC - 28ºC. Kelembaban nisbi udara 76 % sampai 86 %. b.
Arus dan Pasang Surut Arus Laut di Laut Jawa sebagian besar dipengaruhi oleh gerakan angin.
Arus akan mengalir dari arah timur selama musim muson Barat (DesemberFebruari) dan dari arah Barat selama musim muson Timur (Juni-Agustus). Arus ini bisa mencapai kecepatan 0,25-0,50 m/det. Kecepatan arus rata-rata harian adalah 0,10-0,13 m/det, dari arah Barat selama musim muson timur. Sifat pasang surut di perairan Kapuk adalah Harian Tunggal, yaitu dalam 24 jam terjadi satu kali pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran Dinas Hidrologi Angkatan Laut RI (1978) in Santoso (2012) dapat diketahui tenggang pada saat pasang surut terendah 0,25 m. Berdasarkan pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Perum Pelabuhan Tanjung Priok adalah:
c.
Air pasang tertinggi (HHWS) 1.80 m + P
Air pasang rata-rata (MHW) 1.40 m + PP
Air rata-rata (MSL) 0.95 m + PP
Air surut rata-rata (MLW) 0.56 m + PP
Air surut terendah (LLWS) 0.23 m + PP
Kualitas Perairan Perairan di kawasan SMMA dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan
sistem aliran Sungai Angke yang langsung bermuara ke perairan Teluk Jakarta. Sungai Angke yang mengalir di sepanjang bagian timur kawasan memiliki sistem aliran sungai, dimana sungai ini menjadi muara bagi 7 sungai diantaranya: Kali Sepak, Pesanggerahan, Mookevart, Sekretaris, Jelambar, Cengkareng Drain, dan
32
Kali Grogol. Pasokan air tawar ke dalam kawasan SMMA sangat dipengaruhi oleh Sungai Angke. Debit Sungai Angke ini yaitu 37-38,5 m3/detik (Santoso 2012). Kualitas air Sungai Angke juga berpengaruh terhadap kualitas perairan di kawasan SMMA. Sungai Angke merupakan ujung dari banjir kanal barat yang mengalirkan air dan berbagai jenis limbah baik padat maupun cair yang berasal dari Sungai Ciliwung. Secara fisik, air Sungai Angke berwarna coklat (keruh), dan berbau tidak sedap. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya limbah hampir di sepanjang badan sungai. Limbah tersebut tidak hanya berasal dari berbagai aktivitas manusia yang dialirkan oleh banjir kanal barat, tetapi juga dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar Sungai Angke. Di pinggiran sungai ini, terutama daerah yang dekat dengan muara, terdapat cukup banyak aktivitas nelayan diantaranya penambatan kapal, kegiatan MCK, dan pembersihan kulit kerang hijau (Perna viridis), dimana limbahnya dibuang ke sungai atau muara (Gambar 9). Pada saat pasang surut, limbah yang mengalir di sepanjang Sungai Angke tersebut akan masuk dan tertinggal di dalam kawasan, terutama sampah berupa plastik, styrofoam dan kaca.
Gambar 9 Aktivitas Masyarakat di Bantaran Sungai Angke.
4.1.3. Kondisi Vegetasi dan Satwa Liar di Kawasan Mangrove merupakan vegetasi utama pembentuk ekosistem di kawasan SMMA. Namun, persentase penutupan mangrove tidak merata di seluruh kawasan. Bahkan, didominasi oleh penutupan semak dan tumbuhan air yaitu enceng gondok Eichornia crassipes. Penutupan Enceng gondok ini terutama di bagian tengah kawasan yang merupakan areal badan air, yang menjadi tempat
33
persediaan air tawar di dalam kawasan. Kelas tutupan vegetasi di kawasan SMMA diklasifikasi menjadi kelas tutupan jarang seluas 1,56 ha, kelas tutupan sedang seluas 6,72 ha, dan kelas tutupan lebat seluas 19,78 ha (Santoso 2012). Kawasan mangrove SMMA memiliki 68 jenis tumbuhan yang sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Vegetasi mangrove yang terdapat di kawasan ini diantaranya Avicennia marina, Rhizophora mucronata, R. apiculata, Excoecaria agallocha, Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza, dan Nypa fruticans (Santoso 2012). Pada tahun 1996 di kawasan ini terdapat 30 jenis tumbuhan dari 23 famili. Tingkat pohon terdapat 3 jenis yaitu Sonneratia alba (pidada), Excoecaria agallocha (buta-buta) dan Ficus spp (beringin). Secara khusus, dari 30 jenis tumbuhan tersebut, yang merupakan jenis mangrove sejati adalah Avicennia marina (api-api), Excoecaria agallocha (buta-buta), Sonneratia caseolaris (pidada) dan Rhizophora mucronata (bakau putih). Hampir seluruh kawasan (100%) tertutup oleh vegetasi. Sekitar 90% tertutup herba (rumput, gelagah dan enceng gondok), dan hanya 10% tertutup oleh vegetasi pohon, terutama di sepanjang tepi barat sampai utara kawasan (LPP Mangrove 2000a). Keberadaan vegetasi mangrove di SMMA sebagai salah satu kawasan bermangrove di pesisir DKI Jakarta, menjadi salah satu alasan perlunya kawasan ini dipertahankan. Potensi satwa liar juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Kawasan SMMA memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang relatif tinggi. Menurut data hasil pengamatan LSM Jakarta Green Monster (JGM) sejak tahun 2008-2010, di dalam kawasan ini terdapat 106 jenis burung yang diantaranya terdapat 22 jenis dilindungi yang tergolong dalam kategori vulnerable, near threatened, dan critical endangered; 11 jenis burung migran; dan 3 jenis burung introduksi. Selain itu, kawasan ini juga memiliki herpetofauna sebanyak 22 jenis.
4.1.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Kawasam SMMA secara administratif terletak di Kelurahan Kapuk Muara. Namun, masyarakat yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan tidak hanya berasal dari Kelurahan Kapuk Muara, melainkan
34
juga dari Kelurahan Pluit. Penduduk Kelurahan Pluit yang erat kaitannya dengan kawasan ini adalah yang tinggal di RW 01 dan RW 11. a. Kelurahan Kapuk Muara Kelurahan Kapuk Muara sebagai daerah administratif tempat kawasan SMMA berada, memiliki luas wilayah 1005,5 Ha dengan peruntukan lahan terdiri dari areal industri, hutan lindung, suaka margasatwa dan pemukiman penduduk. Jumlah penduduk kelurahan ini yaitu 23.364 orang, terdiri dari 23.350 orang Warga Negara Indonesia (WNI) dan 14 orang Warga Negara Asing (WNA), dengan 12.001 orang laki-laki dan 11.363 orang perempuan. Penduduk di kelurahan ini dibagi dalam 9 Rukun Warga (RW) dan 89 Rukun Tetangga (RT). Penduduk di Kelurahan Kapuk Muara memiliki interaksi secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan SMMA. Cukup banyak penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan, yang kegiatan dan penghasilannya erat kaitannya dengan keberadaan mangrove di kawasan. Selain sebagai nelayan dan petani, mata pencaharian penduduk di kelurahan ini cukup beragam (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara Menurut Mata Pencaharian. No
Mata Pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 12.001 11.363
Jumlah Penduduk Jumlah Kepala Keluarga Mata Pencaharian 1 Tani 2 Pedagang/Pengusaha 3 Buruh serabutan 4 PNS 5 TNI 6 Pensiunan 7 Nelayan 8 Pertukangan 9 Buruh tani 10 Karyawan swasta 11 Lain-lain Sumber: Laporan Bulanan Kelurahan Kapuk Muara (2011)
Jumlah (jiwa) 23.364 10.598 9 1.245 4.952 2.151 44 202 56 195 11 4.014 727
b. Kelurahan Pluit Kelurahan Pluit memiliki luas wilayah sekitar 771,19 Ha, dengan peruntukan lahan untuk perumahan, fasilitas umum, fasilitas sosial dan lainnya. Masyarakat yang tinggal bersebelahan dengan kawasan SMMA merupakan
35
nelayan yang tinggal di dekat Sungai Angke hingga muara. Jumlah penduduk di kelurahan ini yaitu 46.709 jiwa, terdiri dari 46.619 orang WNI dan 90 orang WNA, dengan 24.312 orang laki-laki dan 22.397 orang perempuan. Penduduk di Kelurahan Pluit dibagi dalam 20 RW dan 243 RT. Penduduk di Kelurahan Pluit memiliki interaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan kawasan SMMA, khususnya yang tinggal di RW 01 dan RW 11. Di Kelurahan Pluit terdapat penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan tani. Bahkan jumlah nelayan di kelurahan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di Kelurahan Kapuk Muara. Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pluit juga cukup beragam (Tabel 5). Tabel 5 Jumlah Penduduk di Kelurahan Pluit Menurut Pendidikan dan Mata Pencaharian. No
Jenis Pendidikan/ Mata Pencaharian
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 24.312 22.397
Jumlah (jiwa)
46.709 Jumlah Penduduk 16.248 Jumlah Kepala Keluarga Pendidikan 1 Tidak sekolah 973 2 Tidak tamat SD 1.756 9.183 3 SD 14.489 4 SLTP 15.231 5 SLTA 6 Akademi/Perguruan Tinggi 5.418 Mata Pencaharian 1 Karyawan swasta/negeri/TNI 15.469 2 Pedagang/wiraswasta 12.924 2.852 3 Nelayan 1.222 4 Pensiun 129 5 Pertukangan 1.198 6 Pengangguran 862 7 Fakir miskin 8 Lain-lain 5.771 Sumber: Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan Pluit (2011)
4.2. Kondisi Existing Kawasan 4.2.1. Kondisi Vegetasi Mangrove Sampling vegetasi mangrove dilakukan pada tegakan Sonneratia caseolaris, yang merupakan jenis dominan di dalam kawasan (Gambar 10). Jenis
36
ini merupakan hasil kegiatan penanaman yang dilakukan pada bulan Desember 1999 dan tahun 2000.
Gambar 10 Peta Lokasi Sampling Vegetasi Mangrove. Kawasan SMMA sebagian besar ditutupi oleh vegetasi. Namun dari klasifikasi tutupan lahan di kawasan (Gambar 11) terlihat bahwa tutupan semak belukar lebih mendominasi (37,47%), begitu juga dengan lahan terbuka dan badan air/danau (32,56%) dibandingkan vegetasi mangrove Sonneratia caseolaris (22,62%) dan Nypa fruticans (7,35%). Menurut Noor (2002), tutupan lahan di SMMA sebesar 22,38% merupakan areal berpenutupan pohon, sedangkan 77,62% merupakan areal terbuka yang terdiri areal dengan tutupan tumbuhan bawah (71,12%) dan areal perairan terbuka (6,49%). Berdasarkan analisis data citra diperoleh luasan pada masing-masing tutupan lahan di SMMA (Tabel 6).
37
Tabel 6 Luas Tutupan Lahan di SMMA. No 1 2 3 4
Komponen Ekosistem Mangrove Sonneratia caseolaris Nypa fruticans Semak Belukar Lahan Terbuka dan badan air (danau) Total
Luas (Ha) 7,68 2,50 12,72 11,06 33,96
Persentase (%) 22,62 7,35 37,47 32,56 100
Sumber: Analisis data citra tahun 2010 Pada tahun 2011, perairan di kawasan SMMA ditutupi oleh enceng gondok Eichornia crassipes yang menginvasi perairan di kawasan (Gambar 12). Jenis enceng gondok ini memiliki siklus hidup yang singkat. Biasanya pada musim hujan, jenis ini akan tumbuh dengan subur, dan akan mengering pada saat musim panas. Namun, jenis ini termasuk sulit untuk diberantas, terutama pada perairan tawar dan sudah tercemar seperti di SMMA. Enceng gondok mulai menginvasi kawasan sejak tahun 1994 (Santoso 2012).
Gambar 11 Peta Klasifikasi Tutupan Lahan di SMMA.
38
Gambar 12 Tutupan Enceng Gondok di SMMA pada Tahun 2011. Vegetasi mangrove di SMMA didominasi oleh jenis Sonneratia caseolaris dengan Indeks Nilai Penting (INP) 289,21 % (Tabel 7). Di dalam petak contoh juga ditemukan jenis lain seperti Avicennia marina dan Nypa fruticans. Selain itu, di luar petak contoh ditemukan jenis Bruguiera gymnorrhiza di dekat pos polisi hutan, sedangkan jenis Rhizophora mucronata, dan R. apiculata ditemukan di bagian utara kawasan. Tabel 7 Struktur Vegetasi Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. ∑ Transek &Plot 3 transek, 12 plot
Jenis
Sonneratia caseolaris Avicennia marina
Jumlah
∑ Pohon
% Penutupan (RCi)
% Kerapatan Relatif (RDi)
% Frekuensi Relatif (RFi)
INP (%)
58
99,23
98,31
91,67
289,21
1 59
0,77
1,69
8,33
10,79 300
Sumber: Data Primer (2011) Dalam petak contoh tersebut hanya terdapat 2 tingkat pertumbuhan mangrove untuk jenis Sonneratia caseolaris (Pidada), yang terdiri dari 73% pohon dan 27% pancang. Tingkat pertumbuhan ini menunjukkan pola permudaan yang tidak merata di kawasan SMMA, dimana tidak ditemukan tingkat pertumbuhan semai alami (Gambar 13).
39
Pola Permudaan Vegetasi Mangrove 22 Jumlah pohon Jumlah Pancang 59
Gambar 13 Pola Permudaan Vegetasi Mangrove di SMMA. Pola permudaan pada ekosistem yang masih baik biasanya ditandai dengan adanya 3 macam tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang dan pohon. Pola permudaan yang tidak seimbang ini dapat menunjukkan menurunnya kemampuan regenerasi mangrove yang dapat disebabkan oleh kurangnya ketersediaan nutrien akibat gangguan yang terjadi pada ekosistem. Hal ini menyebabkan vegetasi mangrove hanya dapat tumbuh untuk memenuhi metabolismenya sendiri.
4.2.2. Kondisi Kualitas Air Parameter kualitas air yang diteliti meliputi fisik dan kimia perairan, diantaranya suhu air, kekeruhan, nilai pH, salinitas, oksigen terlarut (DO), substrat (nitrat dan fosfat), tekstur sedimen (pasir, debu dan liat) (Tabel 8). Nilai parameter kualitas air tersebut diperoleh secara in situ dan ek situ. Parameter suhu, salinitas, kekeruhan, pH dan DO diperoleh secara in situ di lokasi penelitian, sedangkan yang lainnya diteliti di laboratorium. Tabel 8 Hasil Sampling Kualitas Air di SMMA Param eter Satuan Baku mutu Untuk biota
FISIK
Tekstur (%)
mg/L
mg/L
mg/L
78,5
<34
>5
0,008
0,015
Kekeruh an
pH
Salinit as
DO
NO3P
PO4P
Pasir
28
7,1
7,14
0,0
0,5
0,871
0,633
27,8
6,6
6,9
0,0
0,77
0,206
0,511
4,8 6,167
6,97 7,00
0,2 0,1
2 1,09
0,053 0,377
0,400 0,515
NTU
2832
<5
Suhu Air
1.1 1.2 1.3 Rata-
27,9 27,9
Plot
KIMIA 0/00
C
Debu
Liat
90,36
9,13
0,52
61,33
34,84
3,82
85,54 79,08
5,70 16,56
8,76 4,37
40
Param eter Satuan Baku mutu Untuk biota Plot
FISIK C
NTU
2832
<5
Suhu Air
Kekeruh an
KIMIA mg/L
mg/L
mg/L
78,5
<34
>5
0,008
0,015
pH
Salinit as
DO
NO3P
PO4P
Pasir
Debu
Liat
12,53
rata 2.1
Tekstur (%)
0/00
3 27,9
16,1
6,95
0,0
1,8
0,444
0,268
54,05
33,42
2.2
28
10,3
7,05
0,0
1,73
0,138
0,433
92,22
4,27
3,51
2.3 Ratarata 3.1
27,7
12
7,03
0,0
1,8
0,131
0,216
87,19
1,75
11,06
27,9
12,8
7,0
0,0
1,8
0,238
0,306
77,82
13,15
9,03
28,2
3,1
7,13
0,0
3
0,158
0,357
95,69
0,01
4,30
3.2
28,2
5,5
7,01
0,0
3,2
0,095
0,660
34,80
57,10
8,10
3.3 Ratarata
28,2
4,9
0,0
2,7
0,478
0,560
62,28
23,47
14,25
28,2
4,5
7,11 7,08 3
0,0
2,97
0,244
0,526
64,26
26,86
8,88
Sumber: data primer (2011) Sampling kualitas air ini dilakukan di sepanjang jalur di dalam kawasan SMMA. Transek sampling kualitas air ini diletakkan di sekitar tutupan vegetasi nipah, pidada dan enceng gondok (Gambar 14).
Gambar 14 Peta Lokasi Sampling Kualitas Air.
41
Nilai pH dan suhu air di tiap titik sampling masih berada dalam kisaran baku mutu air laut untuk biota di kawasan mangrove. Sedangkan tingkat kekeruhan, salinitas, DO, kadar nitrat dan fosfat berada di atas baku mutu. Nilai kualitas air yang melebihi baku mutu menunjukkan bahwa kualitas perairan di kawasan telah mengalami perubahan. Perubahan ini dapat disebabkan oleh adanya bahan pencemar yang masuk ke perairan. Kondisi perairan yang tercemar ini juga ditunjukkan oleh warna dan bau air yang tidak sedap di sekitar dan dalam kawasan. Salinitas di semua titik sampling tergolong sangat rendah, yaitu berkisar antara 0-0,2 ‰. Kadar salinitas tersebut menunjukkan perairan di sekitar titik sampling dalam kawasan SMMA sudah tawar. Kondisi perairan yang tawar tidak dapat mendukung pertumbuhan mangrove dengan baik, karena vegetasi mangrove dapat tumbuh dengan baik pada habitat perairan yang mendapat pasokan air laut yang cukup dengan salinitas berkisar antara 10-30 ‰ (Kusmana et al. 2003). Perubahan salinitas ini disebabkan oleh banyak hal. Pengaruh air tawar dari Kali Angke yang mengalir di sepanjang kawasan cukup dominan terhadap ekosistem mangrove. Sedangkan pasokan air laut yang masuk ke dalam kawasan terhambat alirannya karena adanya tanggul tambak yang dibangun di perbatasan antara hutan lindung dan SMMA. Selain itu, juga terjadi pendangkalan di dalam dan sekitar kawasan terutama di pintu masuk air (in let dan out let) (Gambar 15).
Gambar 15 Pintu Masuk Air di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Pendangkalan yang terjadi di dalam kawasan ini disebabkan oleh pencemaran dari sampah, baik organik maupun anorganik khususnya sampah plastik yang menumpuk di sekitar pintu masuk air. Sampah plastik ini juga masuk
42
melalui aliran Kali Angke di sepanjang kawasan pada saat terjadi banjir atau curah hujan yang tinggi. Bahkan tumpukan sampah di sekitar kawasan ini menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga ada yang membentuk daratan dan ditumbuhi oleh semak dan rumput (Gambar 16). Kondisi perairan yang tawar menyebabkan terjadinya invasi enceng gondok. Keberadaan enceng gondok yang menyebar di tengah kawasan SMMA juga menyebabkan terjadinya pendangkalan, karena spesies ini dapat memerangkap sedimen (Gambar 17).
Gambar 16 Kondisi Kali Angke yang Tercemar Sampah Plastik.
Gambar 17 Penutupan Semak dan Invasi Enceng gondok di dalam Kawasan. Kondisi perairan yang tawar di dalam kawasan khususnya di sekitar titik sampling kualitas air, dapat dipengaruhi oleh laju Sungai Angke yang dominan, sehingga pada saat curah hujan tinggi menyebabkan banjir di dalam dan sekitar SMMA. Selain itu, pasokan air tawar ke dalam kawasan dapat berasal dari aktivitas di sekitarnya, seperti perumahan yang berbatasan dengan kawasan. Adanya tumpukan sampah padat menyebabkan pendangkalan di dalam kawasan. Kondisi seperti ini menyebabkan air tawar terperangkap di dalam kawasan,
43
sedangkan air laut tidak dapat masuk ke dalam kawasan karena alirannya terhambat. Hal ini menyebabkan enceng gondok dapat tumbuh dengan subur dan menginvasi kawasan. Di sisi lain, vegetasi mangrove tidak dapat beregenerasi dengan baik. Berat jenis air tawar yang lebih rendah (1,000 g/cm3) dibandingkan dengan air laut (1,025 g/cm3), menyebabkan air tawar berada di atas permukaan air laut, sehingga pada saat propagul mangrove jatuh ke perairan, langsung bertemu dengan air tawar dalam waktu yang cukup lama yang mengakibatkan propagul tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang.
4.2.3. Tingkat dan Laju Kerusakan Ekosistem Mangrove di Kawasan 4.2.3.1. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove SMMA Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan SMMA sejak tahun 1972 hingga 2011 terdapat 68 jenis yang sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Pada tahun 2011 terdapat sebanyak 29 jenis (Santoso 2012). Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan SMMA yang telah mengalami perubahan, terutama salinitas air di dalam kawasan yang rendah. Kondisi kawasan yang pada mulanya merupakan ekosistem mangrove, namun saat ini jenis mangrove tersebut sudah tidak dapat tumbuh dengan baik, menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi atau kerusakan pada ekosistem. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat ditentukan berdasarkan kerapatan dan penutupan vegetasi mangrove di kawasan. Kerapatan vegetasi mangrove di kawasan SMMA berdasarkan hasil analisis vegetasi yaitu 492 pohon/ha. Menurut KLH (2004), vegetasi di kawasan SMMA tersebut tergolong dalam tingkat kerapatan jarang, yaitu < 1000 pohon/ha. Kondisi vegetasi mangrove di SMMA secara spesifik ditentukan dengan menggunakan selang kerapatan individu, yang diperoleh berdasarkan jumlah pohon yang ditemukan di tiap petak contoh dalam transek analisis vegetasi. Batas bawah pada selang kerapatan individu ditentukan berdasarkan jumlah pohon terkecil yang ditemukan pada transek analisis vegetasi (2 pohon/transek), sedangkan batas atas ditentukan berdasarkan jumlah pohon terbanyak pada transek tersebut (30 pohon/transek). Berdasarkan hasil penentuan batas bawah dan batas atas, serta jumlah selang/kelas yang diasumsikan dapat menggambarkan
44
kondisi mangrove, ditentukan kriteria kondisi vegetasi mangrove di kawasan SMMA. Vegetasi mangrove diklasifikasikan dalam 5 kriteria kondisi yaitu sangat rusak, rusak, cukup, baik dan sangat baik. Melalui selang tersebut, diperoleh kriteria kondisi kerapatan mangrove di SMMA (Tabel 9). Tabel 9 Selang Kerapatan dan Kriteria Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. Kerapatan (ind/100 m2) 2-8 9-15 16-22 23-29 30-36
No 1 2 3 4 5
Kriteria Kondisi Vegetasi Mangrove Sangat Rusak Rusak Cukup Baik Sangat baik
Kondisi vegetasi mangrove di SMMA berdasarkan penentuan selang kerapatan pohon di dalam kawasan tergolong dalam kriteria sangat rusak, rusak dan sangat baik. Kriteria kondisi vegetasi mangrove ini spesifik ditentukan untuk kawasan SMMA (Tabel 10). Jumlah individu yang ditemukan di tiap transek beragam, dengan jumlah terkecil yaitu 2 pohon pada transek 5 dan yang terbesar yaitu 30 pohon pada transek 6. Transek 2, 3, 4 dan 6 terletak di satu blok tegakan di sekitar pos polisi hutan, yang masing-masing dipisahkan oleh trek atau jalur papan di dalam kawasan. Vegetasi mangrove pada transek tersebut merupakan hasil kegiatan rehabilitasi (penanaman). Vegetasi pada transek 6 merupakan hasil rehabilitasi yang dilakukan pada bulan Desember tahun 1999 hingga tahun 2000, memiliki kisaran diameter pohon 10,83 cm hingga 33,44 cm. Tabel 10 Kondisi Vegetasi Mangrove SMMA. No. Transek 1 2 3 4 5 6
Jumlah Pohon/100 m2 7 3 11 6 2 30
Kerapatan (ind/100m2) 2-8 2-8 9-15 2-8 2-8 30-36
Kriteria Kondisi Vegetasi Mangrove Sangat Rusak Sangat Rusak Rusak Sangat Rusak Sangat Rusak Sangat baik
Transek untuk sampling vegetasi mangrove ditentukan dengan asumsi mewakili kondisi kerapatan yang berbeda-beda di dalam kawasan SMMA. Secara
45
spasial, tingkat kerusakan vegetasi mangrove berdasarkan kriteria kerapatan tegakan ditunjukkan dengan perbedaan warna poligon mangrove tiap kelas (Gambar 18).
Gambar 18 Peta Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove di SMMA. Tingkat kerusakan mangrove di dalam kawasan didominasi oleh kelas sangat rusak, yaitu sebesar 47% (3,62 ha). Persentase kerapatan vegetasi mangrove yang tergolong kelas sangat baik di dalam kawasan SMMA yaitu sebesar 37% (2,82 ha), dan rusak sebesar 16% (1,23 ha). Menurut KLH (2004), kondisi mangrove di SMMA dengan tingkat kerapatan 492 pohon/ha termasuk dalam kriteria rusak (< 1000 pohon/ha dan penutupan vegetasi mangrove < 50%). Penentuan kondisi kawasan SMMA dilakukan dengan melihat kawasan sebagai satu ekosistem, yaitu ekosistem mangrove. Kondisi tingkat kerusakan vegetasi mangrove dilihat dari kerapatan individu pada tiap transek dan tutupan vegetasinya. Kondisi tingkat kerusakan di dalam kawasan dilihat dari jenis tutupan lahannya. Secara umum, sebaran ekosistem di dalam kawasan terdapat semak belukar, dan mangrove yang didominasi jenis Sonneratia caseolaris dan Nypa fruticans (Gambar 19).
46
Gambar 19 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove SMMA. Penutupan vegetasi mangrove di SMMA sejak tahun 2000 hingga 2010 telah mengalami perubahan. Hal ini dilihat dari hasil analisis citra satelit pada tahun 2000 dan 2010 (Gambar 20). Data citra tahun 2000 dan 2010 di-overlay untuk mengetahui perubahan tutupan vegetasi mangrove di kawasan. Hasil analisis data citra menunjukkan bahwa luas tutupan mangrove pada tahun 2000 yaitu 13,371 ha, sedangkan pada tahun 2010 seluas 7,680 ha. Luas tutupan mangrove di SMMA mengalami penurunan sebesar 5,69 ha. Namun, dilihat dari peta perubahan tutupan vegetasi mangrove, terjadi pengurangan dan penambahan tutupan di beberapa lokasi. Pengurangan ini dapat disebabkan oleh perubahan atau penurunan kualitas lingkungan habitat mangrove tersebut, diantaranya perubahan salinitas perairan di dalam kawasan, maupun pencemaran sampah organik dan anorganik. Sedangkan penambahan tutupan merupakan hasil dari kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan di kawasan.
47
Gambar 20 Peta Perubahan Tutupan Vegetasi Mangrove di SMMA. Perubahan tutupan vegetasi mangrove di kawasan dapat disebabkan oleh perubahan kualitas lingkungan tempat tumbuhnya. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu pasang surut air laut. Frekuensi dan jangkauan pasang surut air laut di Teluk Jakarta saat ini terhambat untuk masuk ke dalam kawasan. Terhambatnya air laut untuk masuk ke dalam kawasan, dan pengaruh Sungai Angke yang lebih dominan, menyebabkan salinitas di dalam kawasan rendah. Salinitas di dalam kawasan yaitu 0-0,2 ‰. Hasil pengukuran kualitas air yang dilakukan oleh LSM Jakarta Green Monster (JGM) (2011) dan Santoso (2012) menunjukkan bahwa salinitas di kawasan dan muara Sungai Angke berada di bawah baku mutu untuk ekosistem mangrove. Pasang surut air laut yang tidak dapat masuk ke dalam kawasan ini disebabkan oleh pendangkalan yang terjadi di dalam kawasan dan Sungai Angke. Hal ini dipengaruhi oleh pencemaran yang terjadi disekitarnya baik berupa limbah organik maupun anorganik.
48
4.2.3.1. Laju Kerusakan Ekosistem Mangrove SMMA Laju kerusakan ekosistem mangrove diperoleh melalui analisis data citra, yaitu data tahun 2000 di-overlay pada data tahun 2010. Laju kerusakan tersebut ditentukan berdasarkan selisih luasan tutupan mangrove antara tahun 2000 dan 2010. Hasil analisis data citra menunjukkan luas tutupan mangrove yang mengalami perubahan sejak tahun 2000 hingga 2010 (Tabel 11). Tabel 11 Perubahan Luas Tutupan dan Laju Kerusakan Mangrove di SMMA. Luas Tutupan Mangrove (tahun) (Ha)
No 1
2000 13,371
2010 7,680
Laju Kerusakan (ha/tahun)
Persentase Kerusakan (%)
0,569
56,9
Laju kerusakan mangrove yang terjadi di kawasan SMMA berdasarkan analisis data citra yaitu sebesar 0,569 ha per tahun. Sejak tahun 2000 telah terjadi kerusakan 56,9% dari luas tutupan mangrove tersebut.
4.3. Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan 4.3.1. Kebijakan Pengelolaan Kawasan SMMA 4.3.1.1. Kebijakan Pengelolaan Menurut Peraturan yang Berlaku Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan ini adalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Wisata terbatas yang dimaksud tersebut yaitu kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam dan keanekaragaman tumbuhan dan satwa di dalamnya. Suaka margasatwa sebagai kawasan suaka alam, mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Pengelolaan seperti ini juga berlaku pada kawasan SMMA yang semula berstatus cagar alam namun kemudian dialihstatuskan sebagai suaka margasatwa. Alih status ini berpengaruh pada
49
perubahan model pengelolaan di dalam kawasan. Hal ini mempermudah pengelola dan stakeholder terkait untuk dapat melakukan upaya pembinaan habitat terhadap SMMA.
4.3.1.2.
Kebijakan Pengelolaan di SMMA untuk Menunjang Berjalannya Fungsi Kawasan sebagai Suaka Margasatwa Penetapan kawasan SMMA sebagai kawasan suaka margasatwa yang pada
mulanya berstatus sebagai cagar alam adalah dalam rangka melindungi keanekaragaman jenis, populasi, dan habitat burung air yang terdapat di kawasan ini, baik jenis yang langka, dilindungi, terancam punah, dan migran, sehingga keberadaan jenis-jenis tersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Perubahan status kawasan ini menjadi suaka margasatwa adalah agar dapat dilakukan upaya pembinaan habitat (rehabilitasi) untuk menjaga dan mendukung keberadaan satwa diantaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan komunitas burung di dalamnya. Upaya pembinaan habitat tersebut merupakan konsekuensi dari keberadaan jenis-jenis satwa penting yang perlu dipertahankan keberadaannya di dalam kawasan ini. Menurut Noor (2002), jenis satwa penting yang dimaksud, sehingga perlu dilakukan pembinaan habitat di kawasan SMMA, adalah jenis-jenis burung yang statusnya dilindungi dan langka. Burung adalah kelompok jenis terbesar yang dapat dijumpai di SMMA. Di kawasan ini terdapat 67 jenis burung yang terdiri dari 29 famili. Sekitar 31 jenis (46%) diantaranya dikategorikan burung air (Noor 2002). Penelitian LSM JGM tahun 2008 hingga 2010 menyatakan terdapat sekitar 106 jenis burung yang terdiri dari 38 suku/famili, 22 jenis diantaranya dilindungi. Banyaknya jenis burung air di kawasan ini berdasarkan Noor (2002), disebabkan kondisi biofisik kawasan yang mendukung keberadaan jenis-jenis tersebut. Kondisi biofisik yang dimaksud yaitu ekosistem mangrove, dengan tipe mangrove belakang (rawa mangrove). Oleh karena habitat di SMMA ini adalah rawa dengan tipe vegetasi mangrove, maka upaya konservasi dalam rangka pembinaan habitatnya perlu diarahkan dengan mempertimbangkan karakteristik khasnya yaitu rawa mangrove, dimana terdapat tutupan vegetasi mangrove sejati dan asosiasinya, serta komunitas burung air di dalamnya.
50
Kawasan SMMA memiliki 15 jenis burung yang dilindungi oleh Undangundang dan terdapat 1 jenis yang masuk dalam daftar Red Data Book IUCN dengan status rentan secara global, yaitu jenis Bubut jawa. Burung ini juga merupakan jenis endemik yang hanya berada di Pulau Jawa (Noor 2002) dan merupakan jenis asli rawa mangrove yang terancam punah akibat habitatnya yang berkurang secara drastis (Birdlife International 2001 in Noor 2002). Namun dari keenam belas jenis burung tersebut, Noor (2002) menyatakan bahwa terdapat 10 jenis burung penting di SMMA (Tabel 12). Sepuluh jenis burung penting tersebut diantaranya kelompok burung kuntul (bangau), Pecuk ular, Raja udang dan jenis Bubut jawa. Tabel 12 Jenis-jenis Burung Penting di Kawasan SMMA. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Daerah/Indonesia Pecuk Ular Kuntul Kerbau Kuntul besar Kuntul perak Kuntul kecil Bubut jawa Raja udang meninting Raja udang biru Raja udang/Cekakak sungai Raja udang/Cekakak suci
Nama Ilmiah Anhinga melanogaster Bubulcus ibis Egretta alba Egretta intermedia Egretta garzeta Centropus nigrorufus Alcedo meninting Alcedo coerulescens Todirhampus chloris Todirhampus sanctus
Keterangan Status Dilindungi UU Dilindungi UU Dilindungi UU Dilindungi UU Dilindungi UU Rentan (Red Data Book) Dilindungi UU Dilindungi UU Dilindungi UU Dilindungi UU
Sumber: Noor (2002) Jenis Pecuk ular dan Kuntul kerbau menjadikan kawasan SMMA sebagai tempat untuk mencari makan dan beristirahat, meskipun kegiatan beristirahat lebih dominan dilakukan di kawasan tersebut. Jenis burung kuntul lainnya hanya menjadikan kawasan sebagai tempat beristirahat. Burung Pecuk ular melakukan aktivitas istirahatnya di tegakan pohon pidada yang paling besar di dalam kawasan, karena pohon tersebut diasumsikan aman dari gangguan aktivitas manusia di sekitarnya. Kelompok burung Kuntul beristirahat di kelompok tumbuhan nipah dan pidada. Jenis Kuntul kerbau juga mencari makan di dalam SMMA, yaitu di lokasi yang terdapat tumbuhan air. Jenis Bubut jawa dan Raja udang merupakan jenis penetap, sehingga semua aktivitasnya dilakukan di dalam kawasan. Kawasan SMMA memiliki arti penting bagi pelestarian semua jenis satwa penting tersebut (Noor 2002).
51
Kebutuhan satwa penting tersebut terhadap habitat di SMMA menjadikan kawasan ini sangat bernilai untuk dipertahankan keberadaanya dan dikelola sesuai dengan kebutuhan komunitas satwa tersebut. Menurut Noor (2002), dari keseluruhan jenis satwa penting yang terdapat di SMMA, jenis Bubut jawa merupakan jenis yang berada pada tingkat kepunahan paling tinggi. Keberadaan jenis ini menjadikan SMMA memiliki nilai yang tinggi dari sudut pandang konservasi keanekaragaman hayati. Populasi jenis ini pada tahun 2002 hanya berkisar 3-5 ekor di dalam kawasan, sehingga sangat mengkhawatirkan mengenai kemampuannya bertahan mengingat tingginya tekanan yang terjadi terhadap SMMA sebagai habitatnya. Hingga tahun 2010, jenis Bubut jawa masih dapat ditemukan di dalam kawasan (JGM 2010), meskipun tidak terdapat catatan mengenai jumlah individunya. Perjumpaan dengan jenis ini menunjukkan bahwa Bubut jawa masih terdapat di dalam kawasan. Hal ini berarti habitat di SMMA masih dapat mendukung kebutuhan hidup jenis tersebut. Menurut Birdlife International (2001) in Noor (2002), habitat Bubut jawa adalah rawa mangrove dengan tipe vegetasi utama yaitu jenis piyai ((Acrostichum), rumput gelagah (Saccharum), alang-alang (Imperata), dan nipah (Nypa frutican). Habitat tersebut tersedia di dalam kawasan, bahkan areal tutupan rumput gelagah dan nipah relatif besar, sedangkan areal tutupan piyai relatif lebih kecil. Oleh karena itu, habitat seperti ini perlu ada di dalam kawasan untuk mempertahankan kelestarian jenis tersebut. Pengelolaan kawasan SMMA perlu direncanakan dengan memperhatikan kebutuhan satwa terhadap habitat di dalamnya, terutama satwa penting seperti 10 jenis burung tersebut (Tabel 12). Oleh karena itu, beberapa tipe habitat seperti areal
terbuka
yang
bertutupan
vegetasi
tumbuhan
bawah
tetap
perlu
dipertahankan. Upaya rehabilitasi dalam hal ini kegiatan penanaman pohon semestinya tidak dilakukan di semua lokasi di dalam kawasan. Namun, mempertimbangkan sebagian habitat yang menunjang kebutuhan satwa penting tersebut.
52
4.3.2. Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove 4.3.2.1. Kegiatan Rehabilitasi yang Pernah Dilakukan Rehabilitasi hutan dan lahan secara umum, menurut Permenhut Nomor 70 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan, adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi mangrove dalam hal ini, merupakan upaya mengembalikan fungsi ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomisnya. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Suaka Margasatwa dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, merupakan kawasan suaka alam yang memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Pembinaan habitat untuk meningkatkan fungsi dan memulihkan ekosistem di suaka margasatwa ini dapat dilakukan salah satunya melalui upaya rehabilitasi. Kawasan SMMA dengan vegetasi utama berupa mangrove, telah mengalami degradasi fungsi ekologi dan ekonominya akibat tekanan antropogenik yang tinggi di sekitarnya. Kawasan ini terletak di sekitar areal industri, pemukiman nelayan, dan perumahan, serta dipengaruhi oleh aliran Sungai Angke yang merupakan ujung dari banjir kanal barat yang mengalirkan banyak limbah baik organik maupun anorganik. Oleh karena itu, diperlukan upaya rehabilitasi untuk memulihkan habitat di dalamnya. Pihak pengelola dan stakeholder hingga saat ini telah berupaya melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi untuk memulihkan kondisi kawasan (Tabel 13). Tabel 13 Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem yang Pernah Dilakukan di Kawasan. No 1
Waktu Kegiatan Rehabilitasi Stakeholder 1999Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat 2000 a. Penanaman mangrove tahap 1 (5 LPP Mangrove, Desember 1999), meliputi: persiapan Yayasan Kehati, (pembersihan lahan, pengadaan bibit Pemerintah DKI dan ajir, sosialisasi kegiatan, dan Jakarta, koordinasi dengan berbagai Pemerintah Kota stakeholder); pelaksanaan penanaman Jakarta Utara,
Keterangan
Tertanam ± 6000 bibit Sonneratia caseolaris dan Bruguiera gymnorrhiza,
53
No
Waktu
Kegiatan Rehabilitasi (pengerahan peserta, pencanangan kegiatan, penanaman, pembagian stiker, leaflet dan poster, pameran fungsi dan manfaat hutan mangrove serta makanan berbahan baku mangrove)
b. Penanaman mangrove tahap 2 (6 Februari 2000) c. Penanaman mangrove, kampanye peduli mangrove, pembuatan buku “Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove” d. Penanaman mangrove, iklan layanan masyarakat di media cetak dan elektronik, pembuatan buku “Hutan Mangrove sebagai suatu Ekosistem”, inventarisasi potensi flora dan fauna di SMMA e. Seminar Pendidikan Konservasi Lingkungan, pelatihan instruktur, pendidikan konservasi lingkungan di hutan mangrove, pembuatan buku “Pendidikan konservasi Lingkungan di Hutan Mangrove” f. Penanaman mangrove, pembuatan buku “Flora dan Fauna di Hutan Mangrove” 2
3
2010
Stakeholder Kepmen LH, Bapedalda DKI Jakarta, Kanwil Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Pelajar dan Pramuka Sakawanabakti, Mahasiswa (IPB, pencinta alam seDKI Jakarta), anggota PKK Muara Gembong dan masyarakat sekitar
Keterangan dengan luas areal tanam 2,5 ha dan jarak tanam 1x1 m.
Mahasiswa Pencinta Alam seJabotabek, Jaringan Interpreter, Pelajar SMU di sekitar SMMA PT. Nike, Pelajar SMU, Pramuka Sakawanabakti dan Saka Bahari, dan Jaringan Interpreter
Dilaksanakan pada 19 Maret 2000
Dilaksanakan pada 23 April 2000
Pencinta Alam seJabotabek, LSM, Karang Taruna dan LKMD
Dilaksanakan pada 11 Juni 2000
Jaringan Interpreter
19 November 2000
Upaya Patroli kawasan: a. Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatan kapal di sekitar kawasan
Petugas BKSDA
b. Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan
Petugas BKSDA
c. Menemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancing dan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan
Petugas BKSDA
Upaya Rehabilitasi Kawasan a. Penanaman mangrove
BKSDA dan 25 media cetak dan radio
50 bibit tertanam
54
No
Waktu
Kegiatan Rehabilitasi
Stakeholder Jakarta Green Monster (JGM) Kelurahan Kapuk Muara
Keterangan 50 bibit tertanam 40 bibit tertanam
d. Aksi bersih sampah di sekitar kawasan
JGM
melibatkan 200 orang
e. Aksi bersih sampah
BKSDA
melibatkan 50 orang
f. Aksi bersih sampah dan pemasangan papan informasi
JGM dan Coca Cola
melibatkan 150 orang
b. Penanaman mangrove c. Penanaman mangrove
4
2011
5
a. Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatan kapal di sekitar kawasan
Petugas BKSDA
b. Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan
Petugas BKSDA
c. Menemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancing dan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan
Petugas BKSDA
Upaya Rehabilitasi Kawasan
6
7
Upaya Patroli kawasan:
a. Pembersihan enceng gondok
BKSDA
b. Pembersihan enceng gondok
Mahasiswa IPB dan Daejaeyan Korea
melibatkan 100 orang Terbukanya badan air di tengah kawasan SMMA sekitar 200m2
Upaya Sosialisasi
2012
a. Seminar Lingkungan "Peran Pemuda dalam Rehabilitasi Mangrove"
BKSDA, Kemenhut
b. Workshop Pengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKI Jakarta
Kementerian Kehutanan dan Pemprov DKI Jakarta
Upaya Patroli kawasan: a. Penyuluhan kepada pemilik kapal yang melakukan penambatan kapal di sekitar kawasan
Petugas BKSDA
b. Membersihkan sampah secara rutin di dalam kawasan
Petugas BKSDA
Peserta 100 orang mahasiswa di DKI Jakarta Peserta 30 orang; pembentukan badan pengelolaan SMMA
55
No
Waktu
Kegiatan Rehabilitasi c. Menemukan dan mengamankan jebakan biawak, alat pancing dan perahu milik pihak yang melakukan pencurian hasil hutan
Stakeholder
Keterangan
Petugas BKSDA
Sumber: Laporan Kegiatan LPP Mangrove tahun 2000b, Laporan Bulanan Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA DKI Jakarta tahun 2010, 2011, 2012. Kegiatan rehabilitasi pada tahun 1999 dan 2000 merupakan hasil kerjasama beberapa stakeholder diantaranya BKSDA DKI Jakarta, Bappedalda DKI Jakarta, Kanwil Kehutanan dan Perkebunan DKI Jakarta, Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove, dan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Kegiatan penanaman ini dilakukan melalui beberapa tahapan mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Kegiatan persiapan meliputi pembersihan lahan, pengadaan bibit dan ajir, serta sosialisasi dan koordinasi kegiatan. Pembersihan lahan di lokasi yaitu SMMA, melibatkan 20 orang selama 22 hari. Lamanya pembersihan lahan disebabkan oleh jenis tanaman yang mendominasi lokasi adalah tanaman berduri serta curah hujan yang cukup tinggi dan air pasang. Bibit yang ditanam sebagian besar jenis Sonneratia caseolaris (pidada) dan Bruguiera gymnorrhiza (tancang). Jenis tersebut dipilih dengan pertimbangan habitat yang sesuai bagi persyaratan tumbuhnya serta buahnya dapat dimakan oleh satwaliar yang terdapat di kawasan. Bibit yang disediakan sebanyak 4000 bibit pidada dan 3500 bibit tancang. Lahan yang akan ditanam dipasang ajir terlebih dahulu sesuai jumlah bibit yang akan ditanam. Ajir tersebut dibuat dari bambu. Pemasangan ajir dilakukan untuk keseragaman jarak tanam dan memudahkan penanaman. Sosialisasi kegiatan dilakukan dengan beberapa kegiatan yaitu penguatan jaringan dan pengenalan program kepada berbagai pihak terkait. Selain itu juga dilakukan pembuatan stiker, leaflet dan poster mengenai fungsi dan manfaat hutan mangrove serta makanan yang berbahan baku mangrove. Koordinasi kegiatan dilakukan kepada stakeholder terkait untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan penanaman, diantaranya pemerintah (Pemda, Kanwil Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kehutanan DKI Jakarta), BKSDA DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup/BAPEDAL, swasta (PT. Pantai Indah Kapuk dan Badan Reklamasi Pantai Utara Jakarta), Bapedalda DKI Jakarta, LPP Mangrove, Yayasan Kehati, Penconta
56
Alam, Kelompok Pramuka dan Karang Taruna, serta Lembaga Kemahasiswaan (BEM Fakultas Kehutanan dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB). Tahapan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ini meliputi pengerahan peserta, pencanangan kegiatan, penanaman, pembagian stiker, leaflet dan poster, serta pameran fungsi dan manfaat hutan mangrove dan makanan berbahan baku mangrove. Peserta yang dilibatkan dalam penanaman mangrove ini sekitar 750 orang yang terdiri dari pelajar SMU, kelompok pramuka, mahasiswa IPB dan mahasiswa pencinta alam se-DKI Jakarta. Pencanangan kegiatan dilakukan melalui penanaman pohon oleh pejabat pemerintah di wilayah DKI Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup, dan perwakilan dari LPP Mangrove dan Yayadan Kehati. Kegiatan penanaman mangrove dilakukan pada areal seluas 2,5 ha dengan jarak tanam 1x1 m, sebanyak sekitar 6000 bibit pidada dan tancang. Sisa bibit sebanyak 1500 dipersiapkan untuk kegiatan penyulaman terhadap tanaman yang mati.pembagian stiker, leaflet dan poster dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat dan fungsi hutan mangrove. Pameran fungsi dan manfaat hutan mangrove serta makanan berbahan baku mangrove dilakukan dengan melibatkan anggota PKK dari Muara Gembong Bekasi dengan menyajikan beberapa jenis makanan yang berbahan baku mangrove. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada tahun 2010 hingga 2012 oleh pihak pengelola yaitu berupa kegiatan pengamanan kawasan yang dilakukan oleh petugas di kawasan. Kegiatan pengamanan atau patroli kawasan ini secara rutin dilakukan apabila terdapat aktivitas tertentu khususnya dari pihak luar yang dapat mengganggu kawasan baik habitat maupun biota yang hidup di dalamnya. Kegiatan lain seperti penanaman bibit mangrove, aksi bersih sampah, dan pembersihan enceng gondok dilakukan oleh BKSDA dan stakeholder diantaranya mahasiswa perguruan tinggi, LSM Jakarta Green Monster (JGM) dan Kelurahan Kapuk Muara, serta pihak swasta lainnya. Umumnya kegiatan berupa penanaman bibit mangrove dan aksi bersih sampah maupun enceng gondok ini diselenggarakan dalam rangka kegiatan pendidikan dan peduli lingkungan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara bekerjasama dengan BKSDA.
57
4.3.2.2. Evaluasi Kegiatan Rehabiltasi yang Pernah Dilakukan Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pemeliharaan tanaman dilakukan pada tahun berjalan (T+0), tahun pertama (T+1) dan tahun kedua (T+2). Penyulaman tanaman dilakukan 15-30 hari setelah penanaman, dan dilakukan penyulaman untuk kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan apabila persentase tumbuh pada tahun berjalan setelah sulaman adalah > 70%, dan penyulaman pada tahun kedua dilakukan apabila persen tumbuh pada tahun pertama > 90%. Pelaksanaan penyulaman pada tahun berjalan dilakukan 15-30 hari setelah penanaman. Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove pada tahun 1999 dan 2000 telah dilakukan dengan menanam bibit pidada dan tancang sebanyak sekitar 6000 bibit. Keberhasilan tumbuh bibit yang ditanam ini setelah 1 bulan pelaksanaan kegiatan yaitu sebesar 95%. Persen tumbuh tanaman pada kegiatan rehabilitasi tahun 1999 sudah > 90%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kegiatan penanaman tersebut cukup baik. Analisis vegetasi yang dilakukan pada tahun 2011 (transek 6), pada tegakan hasil penanaman tahun 1999/2000 tersebut, menunjukkan hasil kerapatan individunya yaitu 1000 pohon/ha. Menurut KLH (2004), tegakan tersebut termasuk dalam kelas baik (sedang) dengan kriteria ≥1000-<1500 pohon/ha. Persiapan kegiatan penanaman pada kegiatan tahun 1999-2000 dilakukan mulai dari penyiapan stakeholder yang akan terlibat mulai dari institusi pemerintah, akademisi, LSM, mahasiswa, dan masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan persiapan ini juga meliputi penyiapan lahan seperti pembersihan lahan dari sampah dan gulma, penyiapan sarana dan prasarana, pemilihan jenis tanaman, penyiapan benih, dan pemasangan ajir. Teknik menanam yang digunakan pada kegiatan penanaman tahun 2000 yaitu penanaman murni dan dengan menggunakan ajir. Jenis bibit yaitu pidada dan tancang, dipilih karena buahnya dapat dimakan oleh satwa liar yang berada di kawasan yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan sesuai dengan persyaratan tumbuhnya. Hal ini dapat dilihat dari persen tumbuh yang tinggi setelah 1 bulan penanaman, khususnya jenis pidada yang saat ini merupakan tegakan mangrove yang dominan di kawasan (Gambar 21 ).
58
Gambar 21 Kondisi Tegakan Sonneratia caseolaris pada tahun 2011 Hasil Penanaman Tahun 1999-2000. Pemeliharaan pasca penanaman dilakukan oleh pihak yang telah ditunjuk dengan diberi gaji setiap bulannya. Petugas tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan penyulaman, membersihkan lahan dari gulma dan melaporkan hasil pemeliharaan secara periodik. Sedangkan kegiatan pemantauan terhadap hasil penanaman dilakukan secara periodik sekali dalam seminggu oleh perwakilan dari pihak LPP Mangrove. Kegiatan penanaman ini ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan penanaman mangrove dan pendidikan lingkungan selama tahun 2000 dengan melibatkan banyak stakeholder (Tabel 13). Kegiatan penanaman ini dilihat dari aspek persen tumbuh, kesesuaian jenis tanaman, teknik menanam, dan aspek pemeliharaan dan organisasi pemeliharaan, telah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008. Kegiatan ini dapat dikatakan cukup baik, terutama apabila dilihat dari hasil penanaman tersebut hingga saat ini (Gambar 21).
4.3.3. Persepsi Masyarakat Terhadap SMMA dan Rehabilitasi Mangrove Santoso (2012) mengklasifikasikan masyarakat di sekitar SMMA menurut kedudukan dan aktivitasnya, terdiri dari: (1) masyarakat bantaran sungai, (2) masyarakat di kampung nelayan, (3) masyarakat umum, dan (4) masyarakat perumahan. Masyarakat di bantaran Sungai Angke berasal dari berbagai daerah diantaranya Indramayu, Brebes, Tangerang, Demak, Surabaya dan Kulon. Kawasan ini merupakan pemukiman liar karena terletak di bantaran sungai. Di dekat muara Sungai Angke terdapat tempat pengolahan kerang hijau, yang merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai.
59
Kegiatan pengolahan kerang hijau ini di sisi lain berdampak kurang baik bagi lingkungan karena limbah cangkang kerang yang dibuang di pinggiran badan sungai. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyempitan badan sungai dan pendangkalan akibat limbah yang terus bertambah tanpa adanya penanganan yang serius. Masyarakat di kampung nelayan bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Mereka merupakan penduduk yang tinggal di Kelurahan Pluit. Sedangkan masyarakat umum dan perumahan yang dimaksud merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan SMMA baik di perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) maupun non-PIK. Persepsi masyarakat terhadap SMMA dan rehabilitasi mangrove diperoleh melalui wawancara dan penyebaran kuesioner ke responden di sekitar kawasan. Responden ini terdiri dari masyarakat umum yang tinggal di sekitar SMMA, pengunjung, pihak pengelola, dan LSM terkait. Masyarakat umum yang diwawancarai
berusia 20-58 tahun, dengan latar belakang pendidikan yang
beragam, yaitu 3% merupakan lulusan D3, 74% lulusan SMA, 13% lulusan SMP, dan 10% lulusan SD. Mata pencaharian mereka diantaranya sebagai nelayan, pedagang, karyawan swasta, pegawai pemerintah, hingga mahasiswa. a.
Persepsi Terhadap SMMA Umumnya responden mengetahui tentang keberadaan SMMA sebagai
kawasan yang dilindungi yaitu sebesar 76,67% dari mereka, sedangkan 23,33% belum mengetahui tentang SMMA. Responden juga cukup banyak yang mengetahui sumberdaya alam yang ada di dalamnya yaitu sekitar 60%, sedangkan 40% tidak mengetahui. Meskipun dari hasil wawancara dan kuesioner banyak yang cukup mengenal SMMA, ternyata 73,33% responden belum pernah masuk ke kawasan tersebut, sedangkan 26,67% sudah pernah. Hal ini sangat mungkin dikarenakan kawasan SMMA yang terletak di pinggir jalan dengan lalu lintas yang padat, dan dekat dengan pusat kota. Selain itu, hampir tiap bulan kawasan ini mendapatkan kunjungan massal dari berbagai pihak, umumnya murid sekolah baik SD, SMP maupun SMA, dan juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Hal ini cukup menarik perhatian masyarakat, sehingga meskipun mereka belum
60
pernah berkunjung ke SMMA, sebagian besar mengetahui tentang SMMA secara umum. Responden yang pernah masuk ke kawasan SMMA biasanya dalam rangka berwisata maupun kegiatan peduli lingkungan yang diadakan oleh LSM tertentu atau komunitas peduli lingkungan lainnya yang melibatkan masyarakat. Kunjungan ke SMMA yang umumnya diterima oleh pihak pengelola sebagian besar merupakan kegiatan observasi seperti pendidikan lingkungan yang diadakan sekolah maupun perguruan tinggi tertentu di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Pendidikan lingkungan saat ini sudah masuk dalam kurikulum di sebagian sekolah, sehingga banyak kegiatan seperti aksi bersih lingkungan, pengenalan mangrove, dan cara menanam mangrove mulai dikenalkan kepada siswa sekolah. Kawasan ini juga banyak menerima kunjungan yang dilakukan oleh para peneliti yang mengadakan penelitian terhadap sumberdaya alam dan ekosistem di dalam dan sekitar kawasan. Selain itu, kawasan ini juga menjadi objek untuk kegiatan fotografi konservasi, pengamatan satwa (burung, primata dan herpetofauna) dan fotografi pre wedding. Banyaknya responden yang mengetahui tentang SMMA ternyata belum sebanding dengan pengetahuan mereka mengenai pihak yang mengelola kawasan. Sebagian besar responden mengetahui bahwa kawasan SMMA dikelola oleh pemerintah, namun pengetahuan mereka masih belum tepat mengenai pengelola kawasan (Gambar 22). Responden sebagian besar beranggapan bahwa pihak pengelola SMMA merupakan Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh masih kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pengelola kepada masyarakat sekitar. Masyarakat masih menganggap bahwa Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan merupakan satu instansi yang sama, dan setiap kawasan hutan berada dibawah pengelolaan pihak Dinas Kehutanan. Sosialisasi pengelolaan kawasan hingga ke level masyarakat perlu untuk dilakukan. Hal ini dapat menjadi salah satu sarana pembelajaran bagi masyarakat sekitar.
61
Pengetahuan tentang Pengelola SMMA
Pengetahuan tentang SMMA 23,33%
3% 30%
Tahu SMMA
Tahu
Tidak Tahu SMMA
Tidak tahu
67%
76,67%
Tahu, tidak tepat
Gambar 22 Pengetahuan Responden Tentang SMMA dan Pihak Pengelola. b. Persepsi Terhadap Rehabilitasi Mangrove Sebagian besar responden sudah mengetahui mangrove dan dapat merasakan manfaat mangrove secara umum, meskipun masih ada yang belum mengetahui (Gambar 23). Responden tersebut mengetahui bahwa mangrove merupakan tanaman yang tumbuh di daerah pesisir, dapat mencegah dan mengurangi banjir, mencegah abrasi, serta menahan gelombang air laut. Pengetahuan dasar yang dimiliki masyarakat seperti ini sangat penting untuk
Persentase
melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove selanjutnya.
100 80 60 40 20 0
83,33 43,33
53,67
16,67
Tahu Tidak tahu Merasakan Tidak tahu mangrove manfaat Persepsi Mengenai Mangrove
Gambar 23 Persepsi Responden Mengenai Mangrove dan SMMA. Hampir 50% responden dapat merasakan manfaat dari keberadaan mangrove dan kawasan SMMA. Mereka dapat merasakan udara sejuk dan nyaman di sekitar SMMA dipengaruhi oleh adanya tutupan vegetasi mangrove di dalam kawasan tersebut. Keberadaan vegetasi mangrove dan sumberdaya lainnya di kawasan menjadi objek wisata yang cukup menarik bagi masyarakat. Selain itu,
62
sebagian responden juga mengetahui bahwa buah mangrove dapat diolah menjadi bahan makanan, terutama buah dari jenis pedada (Sonneratia sp.). Sebagian dari responden yang diwawancarai bermatapencaharian sebagai nelayan, yaitu sebanyak 9 orang. Semua responden ini mengetahui manfaat dari keberadaan mangrove secara umum dalam dunia perikanan. Keberadaan mangrove berpengaruh terhadap ketersediaan jumlah ikan di perairan laut. Mereka merasakan bahwa hasil tangkapan ikan di sekitar perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mengalami penurunan. Dalam kurun waktu setahun ini, ikan yang mereka peroleh dari hasil melaut semakin sedikit, bahkan jarang ditemui. Sebagian besar responden belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, sehingga banyak dari mereka yang belum mengetahui tentang kegiatan tersebut. Namun, banyak dari mereka yang memiliki ketertarikan untuk terlibat apabila diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove (Gambar 24).
Belum pernah berpartisipasi
27% Tertarik dan Mendukung
Pernah berpartisipasi
73,33% 26,67%
Tidak tertarik Tidak tahu
7%
73,33%
Tidak tahu
66%
Gambar 24
Tahu rehabilitasi
26,67%
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terkait Kegiatan Rehabilitasi Mangrove.
Responden memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove dipengaruhi oleh pengetahuan mereka mengenai manfaat dan fungsi dari mangrove bagi lingkungan maupun bagi kehidupan mereka. Mereka cukup menyadari bahwa keberadaan mangrove di pesisir Jakarta khususnya telah semakin berkurang. Begitu juga dengan kondisi mangrove di dalam kawasan SMMA. Tingkat partisipasi yang rendah dapat disebabkan oleh masih kurangnya informasi yang sampai kepada masyarakat mengenai kegiatan rehabilitasi mangrove. Selain itu, juga dapat disebabkan kegiatan rehabilitasi mangrove, khususnya di dalam kawasan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat.
63
Kegiatan rehabilitasi, seperti penanaman mangrove di SMMA, lebih bersifat simbolik untuk kegiatan pendidikan lingkungan. Sehingga jumlah bibit yang ditanam dalam skala kecil. Di sisi lain, kondisi habitat di SMMA saat ini tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman dalam skala besar. Kualitas perairan di SMMA yang sudah tawar dengan kadar salinitas 0‰ belum memungkinkan untuk menopang kelanjutan hidup anakan mangrove. Kegiatan rehabilitasi yang perlu dilakukan di kawasan ini dalam beberapa waktu kedepan adalah perbaikan lingkungan atau habitat mangrove, baik berupa pembersihan kawasan secara berkelanjutan dari sampah dan enceng gondok, serta perbaikan irigasi Sungai Angke untuk mengurangi pendangkalan di dalam kawasan dan pencemaran akibat limbah yang mengalir di sepanjang sungai. Berkurangnya pendangkalan di dalam kawasan, khususnya di pintu masuk air, dapat membantu air laut masuk ke dalam kawasan, sehingga pergantian air tawar dan air laut dapat kembali berjalan normal. c.
Saran untuk Perbaikan SMMA Sebagian besar responden, yaitu 70% berpendapat bahwa pemeliharaan
ekosistem mangrove perlu melibatkan masyarakat. Kegiatan masyarakat di sekitar kawasan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan dan vegetasi mangrove di dalamnya. Keberadaan mangrove tersebut juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang penghasilannya tergantung dari hasil laut.
4.3.4. Analisis Permasalahan dan Kegiatan Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Kegiatan rehabilitasi mangrove di SMMA hingga saat ini belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Kawasan SMMA sebagian besar masih didominasi oleh penutupan semak dan enceng gondok. Meskipun kawasan ini merupakan ekosistem mangrove, namun vegetasi mangrove saat ini tidak dapat tumbuh dengan baik, karena banyaknya faktor pembatas yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan. Terdapat berbagai permasalahan lingkungan khususnya yang menyebabkan pertumbuhan mangrove menjadi tidak sehat (Gambar 25).
64
Dampak ekologi yang terjadi menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap ekosistem mangrove. Dampak ekologi tersebut yaitu: pendangkalan dan penyempitan badan Sungai Angke akibat aktivitas masyarakat di sekitar bantaran sungai seperti kegiatan MCK, pembuangan limbah kulit kerang hijau, dan penambatan kapal nelayan. Adanya pencemaran sampah organik dan anorganik yang masuk ke kawasan pada saat air pasang, baik dari muara maupun yang mengalir di sepanjang aliran sungai, serta menumpuk dan tertinggal di dalam kawasan saat air surut. Hal ini menyebabkan permukaan perairan di dalam dan sekitar kawasan menjadi berminyak, berwarna dan berbau tidak sedap, menyebabkan terjadinya sedimentasi di dalam kawasan. Terhambatnya pasang surut air laut ke dalam kawasan juga menyebabkan pertumbuhan dan pola permudaan mangrove terganggu. Kondisi perairan di dalam kawasan yang tawar, menyebabkan enceng gondok tumbuh dengan subur sehingga menginvasi kawasan.
65
65
Akar Masalah
Dampak Ekologi
Jenis Kerusakan terhadap Ekosistem Mangrove
Rehabilitasi yang pernah dilakukan
Kegiatan MCK di bantaran Sungai Angke
Pendangkalan dan penyempitan Sungai Angke
Banjir pada saat curah hujan tinggi
Aksi bersih sampah oleh LSM JGM dan BKSDA, dalam 3 kegiatan
Limbah kulit kerang hijau yang dibuang di bantaran sungai
Sungai Angke ujung dari banjir kanal barat yang juga mengalirkan limbah organik dan anorganik
Laju aliran Sungai Angke lebih dominan
Pendangkalan di sekitar dan dalam kawasan, khususnya “in let dan out let”
Masuk dan menumpuknya sampah saat pasang, serta tertinggal di dalam kawasan saat surut
Sedimentasi di dalam kawasan, sehingga terjadi pendangkalan Permukaan air di kawasan berminyak, berbau tidak sedap
Pencemaran sampah organik dan anorganik, khususnya sampah plastik
Invasi enceng gondok dan penutupan semak yang tinggi
Penggenangan air tawar menjadi dominan
Pola permudaan mangrove tidak seimbang
Pasang surut air laut terhambat masuk ke kawasan
Pertumbuhan mangrove terganggu
Pembersihan enceng gondok oleh BKSDA melibatkan 100 orang; oleh mahasiswa IPB&Korea (terbukanya badan air 200m2 di dalam kawasan)
Pembuatan saluran air sementara di salah satu bagian ujung kawasan
Penutupan kawasan untuk perbaikan jalur
Gambar 25 Identifikasi Permasalahan dan Kegiatan Rehabilitasi di SMMA.
66
4.3.5. Strategi Rehabilitasi Sebagai kawasan yang pengelolaannya diarahkan untuk tempat pendidikan lahan basah, sudah selayaknya kualitas lingkungan SMMA diperhatikan, agar dapat menjadi contoh dan memberi pengetahuan lebih banyak bagi masyarakat. Kegiatan rehabilitasi bagi SMMA sangat penting dilaksanakan segera dan berkesinambungan,
dengan
perencanaan,
pengaturan,
implementasi,
dan
pengawasan yang baik. Rehabilitasi di SMMA perlu direncanakan berdasarkan hasil evaluasi rehabilitasi yang pernah dilakukan, kebijakan pengelolaan di dalam kawasan (rencana pengelolaan), kondisi lingkungan dan tingkat kerusakan saat ini, partisipasi stakeholder dan kelembagaan pengelolaannya. Selain itu juga perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu akar masalah yang terjadi, dampak ekologi dan jenis kerusakan mangrove yang ditimbulkan, serta komponen yang perlu dibenahi. Melalui berbagai hal tersebut dapat dirumuskan strategi rehabilitasi di SMMA. Beragam masalah menyebabkan terjadinya beberapa jenis kerusakan terhadap ekosistem mangrove dan kawasan. Kerusakan yang terjadi di kawasan SMMA diantaranya pertumbuhan mangrove terganggu, pola permudaan tidak seimbang, terjadinya invasi enceng gondok, permukaan air berminyak dan berbau tidak sedap, terjadinya sedimentasi di kawasan, serta banjir pada saat curah hujan tinggi. Pertumbuhan mangrove di SMMA menjadi terganggu disebabkan oleh kondisi perairan di dalam kawasan yang sudah menjadi tawar. Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi kehidupan mangrove, dimana umumnya vegetasi ini dapat hidup dengan baik pada salinitas 10-30‰. Kondisi salinitas perairan SMMA yang berkisar antara 0-0,2‰ ini, disebabkan pasokan air laut yang seharusnya masuk ke dalam kawasan, alirannya terhambat akibat adanya pendangkalan yang terjadi di sekitar pintu masuk air, baik di sepanjang Sungai Angke maupun di perbatasan antara kawasan dengan hutan lindung. Selain itu, tingkat pencemaran yang cukup tinggi di sepanjang Sungai Angke juga menyebabkan pertumbuhan mangrove terganggu. Sungai Angke sebagai ujung dari banjir kanal barat, dan merupakan muara bagi 7 sungai lainnya
67
yang mengalir di sekitar kawasan, berperan besar dalam mengalirkan berbagai jenis limbah, baik organik maupun anorganik. Limbah organik dan anorganik ini pada saat air pasang, akan terbawa ke dalam kawasan dan tertinggal pada saat surut. Pola permudaan mangrove di SMMA saat ini tidak seimbang, dimana tidak ditemukannya tingkat pertumbuhan semai alami. Pola permudaan yang tidak seimbang ini menunjukkan vegetasi mangrove saat ini tidak dapat tumbuh dengan baik. Vegetasi pada tingkat pancang dan pohon yang terdapat di kawasan merupakan hasil penanaman yang dilakukan pada kegiatan rehabilitasi di SMMA. Begitu juga semai yang ada di kawasan merupakan persemaian yang dibuat oleh pihak petugas di kawasan, sebagai contoh bagi pengunjung. Bahkan ada juga yang sudah sekitar 3 tahun ditanam, namun tidak dapat berkembang dengan baik. Vegetasi mangrove di SMMA dikatakan tetap dapat bermetabolisme, namun tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap pertumbuhannnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan nutrien yang sudah semakin terbatas atau berkurang, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan mangrove untuk bermetabolisme secara sempurna. Enceng gondok menginvasi perairan terutama di bagian tengah kawasan. Enceng gondok sudah ditemukan terdapat di kawasan pada tahun 1994 (Santoso 2012). Invasi enceng gondok ini biasa terjadi pada perairan tawar dan subur. Penggenangan air di SMMA lebih banyak dipengaruhi oleh luapan air Sungai Angke. Sehingga kondisi air di dalam kawasan lebih tawar, yang mendukung pertumbuhan cepat enceng gondok, kangkung dan gelagah. Dominasi air tawar yang masuk ke kawasan juga disebabkan oleh terhalangnya aliran air laut dari arah muara karena adanya tanggul-tanggul tambak. Air laut yang masuk melalui hutan lindung terletak di areal pertambakan, sehingga tidak dapat mengalir ke kawasan SMMA. Sementara itu, pintu air keluar dari tambak hanya mengalirkan air tambak saat pasang tertinggi, kemudian mengalirkannya melalui kanal-kanal yang mengalir kembali ke muara SMMA. Dengan demikian, wilayah tengah kawasan hampir tidak terpengaruh oleh aliran air laut (Pradini 2002). Permukaan air yang berminyak dan berbau tidak sedap menjadi pemandangan yang umum dijumpai di sekitar dan dalam kawasan SMMA.
68
Perairan payau dengan tutupan vegetasi mangrove memang tidak sejernih perairan tawar. Namun adanya indikasi pencemaran di perairan tersebut dapat dilihat secara fisik dari warna, lapisan minyak, maupun bau yang menyebar di sekitarnya, seperti yang terjadi di SMMA. Tidak hanya di dalam kawasan, kondisi serupa juga terjadi di sepanjang aliran Sungai Angke yang berbatasan langsung dengan kawasan. Hal ini terjadi disebabkan oleh pencemaran yang terjadi baik oleh limbah cair maupun sampah padat, baik organik maupun anorganik. Limbah anorganik yang banyak dijumpai di dalam kawasan dan Sungai Angke adalah sampah plastik, styrofoam, dan beling (kaca). Pencemaran yang terjadi ini merupakan dampak ekologi dari kondisi Sungai Angke yang merupakan ujung dari banjir kanal barat, sekaligus sebagai tempat bermuaranya 7 sungai lain di sekitar Jakarta Utara. Sehingga Sungai Angke juga mengalirkan berbagai jenis limbah baik cair maupun padat. Pada saat air sungai pasang, limbah di sungai tersebut akan masuk dan tertinggal di dalam kawasan. Selain itu, kegiatan masyarakat di sekitar bantaran sungai juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pencemaran di kawasan ini, seperti adanya pembuangan limbah kulit kerang hijau di bantaran sungai, serta kegiatan penambatan kapal nelayan dengan berbagai aktivitas di dalam dan sekitarnya. Di SMMA saat ini juga terjadi pendangkalan, terutama di sekitar pintu masuk kawasan yang berbatasan dengan Sungai Angke dan Hutan Lindung, yaitu di sebelah utara kawasan. Sedimentasi yang terjadi di dalam kawasan ini merupakan akibat dari dampak ekologi penumpukan sampah organik dan anorganik. Bahkan, sedimentasi ini ada yang telah membentuk daratan sendiri, yang diistilahkan sebagai “Pulau Sampah” oleh petugas lapangan di kawasan. Pulau Sampah ini telah ditumbuhi oleh semak belukar, yang terletak di sebelah utara kawasan, berbatasan dengan Sungai Angke. Selain berbagai kerusakan tersebut, di dalam kawasan juga biasa terjadi banjir pada saat curah hujan tinggi. Banjir yang terjadi di kawasan ini hingga membuat jalur di dalam kawasan terendam air, dan tidak dapat dilalui. Sehingga petugas lapangan biasanya akan menutup kawasan pada saat terjadi banjir seperti ini. Banjir yang terjadi ini tidak hanya pengaruh dari curah hujan yang tinggi. Namun, akibat dari adanya pendangkalan dan penyempitan badan Sungai Angke.
69
Penyempitan dan pendangkalan badan sungai ini diantaranya disebabkan oleh kegiatan MCK di bantaran sungai, serta pembuangan dan penumpukan sampah. Selain itu pada saat pasang surut air laut, sampah yang menumpuk di muara dan pinggiran pantai juga akan terbawa masuk kembali ke aliran sungai. Diperkirakan, produksi sampah yang berasal dari Provinsi DKI Jakarta secara umum pada tahun 2011 mencapai 5.597,87 ton per hari. Jumlah sampah yang terangkut sebanyak 4.986,31 ton per hari, sisanya sebanyak 611,56 ton per hari dibakar atau dibuang ke sungai. Sedangkan khusus untuk sampah dari sekitar Jakarta Utara, yang terangkut sebanyak 994,75 ton per hari dari total produksi sampah 996,65 ton per hari. Hal ini berarti jumlah sampah yang tidak terangkut dan akan dibuang langsung ke sungai sebanyak 1,90 ton per hari (BPS 2012). Upaya rehabilitasi di kawasan ini khususnya dalam bentuk kegiatan penanaman, telah dilakukan oleh pihak pengelola yang bekerjasama dengan stakeholder baik dari instansi lain, LSM maupun akademisi. Rangkaian kegiatan rehabilitasi mangrove yang hasilnya dapat dilihat dengan baik adalah kegiatan penanaman yang dilakukan pada tahun 1999-2000. Pada kegiatan tersebut dilakukan penanaman mangrove sebanyak 6000 bibit pidada dan tancang dengan persen tumbuh yang tinggi untuk jenis pidada. Kegiatan tersebut melibatkan banyak stakeholder baik dari pemerintah dan instansi terkait, LSM, pelajar, mahasiswa, kelompok pramuka, anggota PKK, dan masyarakat sekitar. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengan kegiatan penanaman dan pendidikan lingkungan selama tahun 2000 dengan melibatkan berbagai stakeholder baik pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa dan masyarakat. Dalam 3 tahun terakhir (2010 hingga 2012), upaya rehabilitasi yang dilakukan pihak pengelola dan stakeholder diantaranya kegiatan penanaman mangrove oleh pengelola dan stakeholder (LSM, swasta, masyarakat), aksi bersih sampah oleh LSM yang bekerjasama dengan pihak pengelola; pembersihan enceng gondok oleh pengelola dan mahasiswa; pembuatan saluran air sementara di salah satu bagian ujung kawasan, serta adanya pemberlakuan penutupan kawasan. Dilihat dari skala dan intensitasnya, kegiatan yang dilakukan tersebut lebih diperuntukkan sebagai pendidikan lingkungan, sesuai dengan arahan pengelolaan kawasan yaitu sebagai kawasan pendidikan lahan basah. Kegiatan
70
penanaman mangrove yang melibatkan berbagai stakeholder dalam 3 tahun terakhir, dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah bibit tertanam sekitar 40 hingga 50 bibit tiap kegiatan. Begitu juga dengan kegiatan aksi bersih sampah yang dilakukan dalam 3 kegiatan, diantaranya melibatkan sekitar 50 hingga 200 orang. Kegiatan ini masih belum menjadi solusi terbebasnya kawasan dari pencemaran sampah plastik dan lapisan minyak di perairannya. Selain itu, kegiatan pembersihan enceng gondok, juga belum menjawab permasalahan yang terjadi di kawasan, dimana kegiatan ini dilakukan sebanyak 2 kali dalam 3 tahun, yang melibatkan pihak pengelola dan stakeholder lainnya. Hal ini dikarenakan enceng gondok tidak dapat dibersihkan hanya dengan mengangkatnya dari perairan. Jenis ini memiliki siklus hidup yang pendek, pada saat musim panas akan kering dengan sendirinya, namun ketika curah hujan tinggi, akan kembali tumbuh dengan subur. Upaya rehabilitasi yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang diharapkan, yaitu meningkatnya kondisi ekosistem mangrove sehingga dapat meningkatkan fungsi kawasan SMMA sebagai suaka margasatwa, yang pada akhirnya dapat mendukung berjalannya fungsi ekologi dan ekonomi kawasan dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kendala diantaranya belum terjawabnya akar masalah di kawasan, dan belum berjalannya perencanaan dengan baik dan berkelanjutan serta melibatkan semua stakeholder. Rencana pengelolaan kawasan dan rencana pengelolaan tapak (site plan) masih dalam proses penyempurnaan oleh pihak pengelola. Secara umum, SMMA diarahkan untuk kawasan pendidikan lahan basah di DKI Jakarta. Selain itu, kawasan SMMA telah ditunjuk sebagai salah satu daerah tujuan wisata alam di pesisir DKI Jakarta oleh pemerintah. Penunjukan kawasan ini perlu ditindaklanjuti dengan kejelasan peran dalam rangka meningkatkan fungsi kawasan. Kegiatan rehabilitasi di SMMA pada 3 tahun terakhir (2010-2012) masih bersifat simbolik, tentatif dan belum menyeluruh. Adanya rencana pembuatan 3 pulau atau pantai baru melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata. Kegiatan reklamasi ini baik langsung maupun tidak langsung dapat mengubah kondisi perairan di sekitarnya. Kegiatan reklamasi
71
pantai dapat berdampak kepada banjir, perusakan ekosistem, berpengaruh pada hasil tangkapan sehingga pekerjaan nelayan akan semakin sulit dan lainnya. Selain itu, kendala upaya rehabilitasi ini juga berasal dari kondisi perilaku masyarakat sekitar yang belum banyak mengerti dan berpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungannya. Upaya rehabilitasi SMMA perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kawasan sebagai suaka margasatwa. Hal ini berarti pengelolaan kawasan dilakukan tetap dengan memperhatikan kelestarian satwa di dalamnya, terutama satwa penting. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang terjadi di SMMA dan sekitarnya, dapat diketahui beberapa komponen permasalahan yang perlu dibenahi untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove di kawasan. Komponen tersebut diantaranya: a)
komponen ekologi sebagai prioritas pertama, yang meliputi habitat dan lingkungan, termasuk di dalamnya sumberdaya mangrove dan biota perairan;
b) komponen kebijakan sebagai prioritas kedua, yang meliputi rencana pengelolaan kawasan (BKSDA) dan kebijakan yang terintegrasi baik skala regional (Provinsi DKI Jakarta) dan skala nasional (Kementerian Kehutanan); c)
komponen sosial sebagai prioritas ketiga, yang meliputi penyadartahuan dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan tempat tinggalnya terutama di sekitar kawasan dan partisipasi stakeholder lainnya; serta
d) komponen ekonomi, yaitu SMMA sebagai kawasan konservasi (kawasan suaka alam) yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam terbatas (ekowisata). Adapun permasalahan pada tiap komponen tersebut yaitu: 1.
Komponen Ekologi Komponen ekologi yang dimaksud ini yaitu habitat dan lingkungan SMMA. Habitat bagi vegetasi mangrove di kawasan saat ini telah mengalami perubahan, yang diindikasikan dengan rendahnya salinitas. Salinitas merupakan faktor penting yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove. Laju aliran Sungai Angke yang lebih dominan dibandingkan pasang surut air laut
72
yang terhambat masuk ke kawasan, menyebabkan penggenangan air tawar lebih dominan, sehingga mengakibatkan rendahnya kadar salinitas. Hal ini ditambah dengan kondisi badan sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan. Kondisi tersebut pada saat curah hujan tinggi, dengan debit air yang besar menyebabkan limpasan air tawar ke dalam kawasan pun tinggi, sehingga dapat menyebabkan banjir di dalam kawasan SMMA. Adanya pencemaran berupa sampah plastik yang dapat menutupi sistem perakaran vegetasi mangrove juga menjadi faktor penting yang perlu diperbaiki. Permasalahan yang muncul pada sumberdaya mangrove sebagai bagian dari komponen ekologi diantaranya pertumbuhan vegetasi mangrove yang terganggu, pola permudaan yang tidak seimbang, serta adanya invasi enceng gondok di dalam kawasan. 2.
Komponen Kebijakan Permasalahan yang menjadi kendala dalam komponen kebijakan diantaranya: rencana pengelolaan kawasan dan juga rencana pengelolaan tapak (site plan) yang
masih
dalam
proses
penyempurnaan,
sehingga
belum
dapat
diimplementasikan secara menyeluruh. Arahan umum pengelolaan SMMA sebagai kawasan dengan peruntukan pendidikan lahan basah, dapat dikatakan belum memadai, terutama dalam pengelolaan kawasan dan sumberdaya di dalamnya. Arahan umum tersebut tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak ditunjang dengan rencana pengelolaan, implementasi dan pengawasan yang baik pula. Selain itu, perlu adanya kejelasan aturan dalam pengelolaan kawasan SMMA sebagai daerah tujuan wisata alam pesisir Jakarta, terutama mengenai wewenang dan kewajiban pemerintah daerah. Pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKI Jakarta melalui SK Gubernur Nomor 1945 pada bulan Desember tahun 2011, perlu ditindaklanjuti dengan perencanaan yang baik pula. 3.
Komponen Sosial Kendala pada komponen sosial ini diantaranya perilaku masyarakat sekitar khususnya yang tinggal di sekitar bantaran Sungai Angke, seperti adanya kegiatan MCK di sekitar sungai, pembuangan kulit kerang hijau di bantaran sungai, dan penambatan kapal nelayan. Selain itu, pencemaran limbah cair
73
dan sampah padat (organik dan anorganik) yang mengalir di sepanjang sungai, tidak hanya disebabkan oleh aktivitas yang terjadi di sekitar muara, melainkan akumulasi dari berbagai pembuangan sampah di sekitar daerah aliran sungai khususnya Sub DAS Sungai Angke. Partisipasi stakeholder lainnya juga perlu ditingkatkan melalui pelaksanaan kegiatan secara berkelanjutan dengan melibatkan stakeholder terkait. 4.
Komponen Ekonomi Menurut PP Nomor 28 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam terbatas. Selain itu, menurut PP Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, usaha pariwisata alam di SMMA dapat dilakukan berdasarkan Rencana Pengelolaan. Kegiatan wisata alam terbatas ini berupa kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam dan keanekaragaman tumbuhan dan satwa di dalamnya. Selain itu, terdapat izin pengusahaan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Kawasan SMMA dapat dipergunakan secara keseluruhan untuk kegiatan wisata alam tersebut, dengan ketentuan hanya dalam bentuk usaha penyediaan jasa wisata alam, sedangkan usaha penyediaan sarana wisata alam seperti wisata tirta, akomodasi dan sarana petualangan, tidak diperbolehkan. Pengusahaan wisata alam ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan terhadap kawasan SMMA. Skala prioritas komponen yang perlu dibenahi ini ditentukan berdasarkan
objek dari upaya rehabilitasi ini yaitu ekosistem mangrove SMMA. Ekosistem mangrove memiliki faktor pembatas yang mendukung keberlangsungan hidupnya, yaitu pada komponen ekologi. Perbaikan komponen ekologi ini tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak didukung oleh kebijakan yang memihak pada perbaikan ekosistem secara menyeluruh. Sehingga komponen kebijakan merupakan prioritas kedua yang perlu dibenahi. Komponen sosial dalam hal ini masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pihak yang mempunyai tingkat kepentingan tinggi terhadap ekosistem mangrove tersebut. Aktivitas masyarakat yang tidak menjaga kualitas
74
lingkungannya dengan baik akan berdampak buruk bagi ekosistem mangrove dan kawasan. Sebaliknya menurunnya kualitas ekosistem mangrove di kawasan akan berdampak negatif pula bagi masyarakat tersebut. Selain itu, upaya rehabilitasi di SMMA dapat berjalan dengan baik apabila ada keterlibatan stakeholder Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut, dapat dirumuskan upaya strategi rehabilitasi ekosistem mangrove di SMMA (Tabel 14). Tabel 14 Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Kawasan SMMA. No
Strategi Rehabilitasi
Komponen yang perlu dibenahi
Stakeholder yang terlibat
1
Strategi pada komponen ekologi, yaitu: Perbaikan habitat dan lingkungan di SMMA dan sekitarnya yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem mangrove di dalam kawasan
a. Perbaikan/pengaturan Sungai Angke, melalui pengurugan untuk mengurangi pendangkalan dan penyempitan badan sungai b. Pengangkutan sampah padat dan enceng gondok c. Pengelolaan limbah secara terpadu baik limbah cair maupun sampah padat, terutama plastik, sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran di sekitar Muara Angke dan Teluk Jakarta. d. Pemilihan jenis yang sesuai dengan habitat di SMMA untuk kegiatan penanaman mangrove, misalnya Sonneratia caseolaris e. Penertiban kapal nelayan yang ditambatkan di bantaran Sungai Angke dan dekat kawasan f. Penertiban aktivitas MCK dan pembuangan kulit kerang hijau di bantaran Sungai Angke untuk mengurangi pendangkalan dan pencemaran di sekitarnya
Pemerintah Daerah, BPDAS, Dinas Pertanian dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, LSM terkait
2
Strategi pada komponen kebijakan, yaitu penerapan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di SMMA secara menyeluruh dan adaptasi kebijakan pada level regional dan nasional (pusat) Strategi pada komponen sosial, yaitu: penyadartahuan dan peningkatan partisipasi masyarakat sekitar terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dan kawasan serta partisipasi stakeholder lainnya
a. Penerapan rencana pengelolaan kawasan dan rencana pengelolaan tapak secara konsisten b. Koordinasi yang baik dan berkesinambungan dengan stakeholder lainnya mengenai pengelolaan kawasan SMMA. Hal ini dapat dilakukan melalui aktivasi dan mengoptimalkan fungsi dari Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKI Jakarta
BKSDA DKI Jakarta, Dinas Pertanian dan Kelautan bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, serta anggota forum lainnya
a. Peningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara rutin dan berkesinambungan mengenai kawasan SMMA, ekosistem mangrove dan rehabilitasinya b. Peningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara rutin dan berkesinambungan mengenai lingkungan bersih dan sehat c. Pelatihan dan penyuluhan mengenai pengolahan limbah domestik d. Pelibatan stakeholder terkait dalam berbagai upaya rehabilitasi
BKSDA DKI Jakarta, Dinas Pertanian dan Kelautan bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, anggota Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi di Provinsi DKI Jakarta, LSM (misalnya, LPP Mangrove, Yayasan Kehati, JGM), lembaga di tingkat masyarakat dan lembaga terkait
Strategi pada komponen ekonomi, yaitu: pemanfaatan kawasan untuk wisata alam terbatas
a. Penyusunan dan penerapan rencana tapak (site plan) b. Perencanaan bentuk usaha penyediaan jasa wisata alam sesuai aturan yang berlaku c. Penawaran izin usaha wisata alam kepada pihak ketiga.
BKSDA bekerjasama dengan stakeholder terkait (Pemerintah daerah, LSM, akademisi, praktisi mangrove, swasta dan masyarakat)
3
4
75
4.3.6. Zona Rehabilitasi Zona rehabilitasi di dalam kawasan SMMA ini merupakan bagian dari komponen ekologi. Pembagian zona rehabilitasi ini dimaksudkan untuk lebih mempermudah pelaksanaan kegiatan rehabilitasi. Melalui penentuan zona ini, dapat diketahui kondisi tiap zona sesuai dengan kualitas vegetasi dan lingkungan perairannya. Penentuan zona rehabilitasi di dalam kawasan SMMA ini berdasarkan pada pertimbangan kondisi ekosistem. Zona rehabilitasi ini menunjukkan skala prioritas zona yang dapat diambil dalam melaksanakan upaya rehabilitasi di kawasan (Gambar 26).
Gambar 26 Peta Zona Rehabilitasi Ekosistem Mangrove SMMA. Rehabilitasi yan perlu dilakukan di kawasan SMMA merupakan kegiatan untuk rehabilitasi pada fungsi kawasan sebagai habitat bagi satwa penting. Di kawasan ini terdapat 10 jenis satwa penting (burung) yang beraktivitas di dalam kawasan, diantaranya burung Pecuk ular (Anhinga melanogaster), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Kuntul besar (Egretta alba), Kuntul perak (Egretta intermedia), Kuntul kecil (Egretta garzeta), Bubut jawa (Centropus nigrorufus), Raja udang meninting (Alcedo meninting), Raja udang biru (Alcedo coerulescens), Cekakak
76
sungai (Todirhampus chloris) dan Cekakak suci (Todirhampus sanctus) (Noor 2002). Zona 1 Zona 1 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi berupa semak belukar, enceng gondok dan perairan terbuka tanpa tutupan vegetasi, dengan kondisi kualitas air yang paling rendah dibanding kedua zona lainnya. Kegiatan rehabilitasi yang perlu segera dilakukan pada zona 1 adalah perbaikan habitat melalui pembukaan saluran air, pengurugan atau pengangkutan sampah padat yang menyebabkan pendangkalan, pengangkutan enceng gondok untuk membuka badan air yang tertutup vegetasi tersebut, sehingga air laut dapat masuk ke dalam kawasan. Kemudian dilakukan penanaman vegetasi mangrove pada site yang telah siap untuk ditanam. Kegiatan rehabilitasi dalam bentuk penanaman tidak perlu dilakukan pada semua kawasan. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan beberapa bagian semak belukar yang menjadi habitat bagi satwa burung penting. Diantara jenis satwa penting tersebut yaitu Bubut jawa yang merupakan burung endemik dan langka di kawasan. Jenis ini memerlukan habitat berupa rawa mangrove dengan jenis tutupan tumbuhan bawah seperti piyai, rumput gelagah, alang-alang dan nipah. Tutupan lahan seperti ini perlu dipertahankan keberadaannya di dalam kawasan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian mengenai kebutuhan habitat masing-masing jenis satwa penting di dalam kawasan.
Zona 2 Zona 2 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi mangrove dengan distribusi terpencar atau areal bekas tambak di bagian ujung kawasan, serta tutupan vegetasi nipah, dengan kondisi kualitas air rata-rata. Kegiatan rehabilitasi yang perlu segera dilakukan pada zona 2 adalah perbaikan habitat melalui pengurugan atau pengangkutan sampah padat. Kemudian dilakukan penanaman vegetasi mangrove pada site yang telah siap untuk ditanam.
77
Zona 3 Zona 3 merupakan site yang memiliki tutupan vegetasi mangrove sejati dengan tingkat pertumbuhan pohon dan pancang, dengan kondisi kualitas air relatif lebih baik dibanding kedua zona lainnya. Upaya rehabilitasi yang dilakukan minimal dengan mempertahankan kondisi vegetasi seperti semula, pembersihan lokasi dari adanya sampah terutama plastik yang dapat menutupi akar nafas mangrove. Membuat persemaian yang diperlukan untuk kebutuhan penanaman skala kecil di dalam kawasan. Selain itu persemaian ini juga dapat digunakan apabila ada kunjungan, sesuai dengan arah pengelolaan kawasan sebagai tempat pendidikan lahan basah di Provinsi DKI Jakarta.
78
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1.
Tingkat kerusakan mangrove di kawasan SMMA tergolong rusak dengan kerapatan 492 pohon/ha (< 1000 pohon/ha) atau penutupan vegetasi mangrove 34% (< 50%). Secara spesifik di kawasan SMMA, terdapat 3 tingkat kerusakan berdasarkan kriteria kerapatan, yaitu sangat baik (2,82 ha atau 37%), rusak (1,23 ha atau 16%) dan sangat rusak (3,62 ha atau 47%). Laju kerusakan di kawasan SMMA sebesar 0,569 ha/tahun atau 56,9%. Adapun faktor-faktor penyebab kerusakan diantaranya: pasang surut air laut yang terhambat masuk ke dalam kawasan; laju aliran Sungai Angke yang lebih dominan; pendangkalan dan penyempitan badan Sungai Angke; serta pencemaran sampah organik dan anorganik di dalam dan sekitar kawasan khususnya sampah plastik.
2.
Kegiatan rehabilitasi mangrove di kawasan saat ini belum maksimal, masih bersifat simbolik, tentatif dan belum menyeluruh, dengan berbagai kendala diantaranya: rencana pengelolaan kawasan yang masih dalam proses penyempurnaan oleh pihak pengelola; dan Masyarakat sekitar kawasan belum banyak yang mengerti dan berpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungan disekitarnya.
3.
Strategi rehabilitasi mangrove yang direkomendasikan untuk kawasan SMMA diantaranya: a. Strategi pada komponen ekologi sebagai prioritas pertama. b. Strategi pada komponen kebijakan sebagai prioritas kedua. c. Strategi pada komponen sosial sebagai prioritas ketiga. d. Strategi pada komponen ekonomi sebagai prioritas keempat.
5.2. Saran 1.
Perlunya penerapan rencana pengelolaan kawasan dan tapak yang sesuai oleh pihak pengelola.
79
2.
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan data citra time series (lebih dari dua tahun) untuk mengetahui laju kerusakan mangrove dan perubahan tutupan vegetasi secara lebih akurat.
3.
Perlu dilakukan kajian terhadap volume sampah yang masuk ke dalam kawasan melalui Sungai Angke.
4.
Sampling kualitas air perlu dilakukan pada waktu yang berbeda dengan beberapa kali ulangan untuk dapat memetakan kondisi kualitas air yang mewakili di dalam kawasan
5.
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui teknik rehabilitasi yang dapat diterapkan di kawasan.
80
DAFTAR PUSTAKA Alongi DM. 2008. Mangrove Forests: Resilience, Protection from Tsunamis, and Responses to Global Climate Change. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76: 1-13. Alongi DM, de Carvalho NA. 2008. The Effect of Small-Scale Logging on Stand Characteristics and Soil Biogeochemistry in Mangrove Forests of Timor Leste. Forest Ecology and Management 255: 1359-1366. [Anonim]. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. www. Imred.org. Diakses pada tanggal 22 Juni 2009. [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2009. Peta Mangroves Indonesia. Bogor: Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL. Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. [BPS]. 2012. Jakarta Dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Dahuri
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-V/2004 Tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Grasso M. 1998. Ecological-Economis Model for Optimal Mangrove Trade off Between Forestry and Fishery Production: Comparing a Dynamic Optimization and a Simulation Model. Ecological Modelling 112: 131150. Gunawan I. 1998. Typical Geographic Information System (GIS) Applications For Coastal Resources Management In Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan 1:7-21. Hariyadi S, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi, Metoda Analisa Kualitas Air. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Hashim R, Kamali B, Tamin NM, Zakaria R. 2009. An Integrated Approach to Coastal Rehabilitation: Mangrove Restoration in Sungai Haji Dorani, Malaysia. Estuarine, Coastal and Shelf Science 86: 118-124. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2007. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta: Direktorat Bina Pesisir, Direktorat
81
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor. 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. [LPP Mangrove] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2000a. Sekilas Informasi Potensi Suaka Margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Bogor: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. [LPP Mangrove] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2000b. Rehabilitasi Hutan Mangrove yang Berbasis Masyarakat di Suaka Margasatwa Muara Angke, DKI Jakarta. Bogor: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S. 2002. Mangrove Rehabilitation and Intertidal Biodiversity: A Study in The Ranong Mangrove Ecosystem, Thailand. Estuarine, Coastal dan Shelf Science 55: 331-345. Noor IY. 2002. Suaka Margasatwa Muara Angke: Evaluasi terhadap Statusnya. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Perry CT, Berkeley A. 2009. Intertidal Substrate Modification as a Result of Mangrove Planting: Impacts of Introduced Mangrove Species on Sediment Microfacies Characteristics. Estuarine, Coastal and Shelf Science 81: 225-237. Pradini S. 2002. Perencanaan Interpretasi Biota Air di Suaka Margasatwa Muara Angke. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Raffaelli D, Hawkins S. 1996. Intertidal Ecology. London SE1 8HN: Chapman & Hall. Boundary Row. Santoso N. 2012. Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
82
Walton ME, Le Vay L, Lebata JH, Binas J, Primavera JH. 2007. Assessment of The Effectiveness of Mangrove Rehabilitation Using Exploited and Non-Exploited Indicator Species. Biological Conservation 138: 180-188. Waryono T. 2006. Konsepsi Manajemen Pemulihan Kerusakan Mangrove di DKI Jakarta. Di Dalam: Kumpulan Makalah Seminar Perencanaan Pemulihan Mangrove, Jakarta, 12 Desember 2006. Bogor: Yayasan Mangrove Indonesia, 2006. hlm 1-9. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani. 2009. Ekologi Ekosistem Perairan Laut Tropis. Bogor: Pusdiklat Kehutanan, Departemen Kehutanan RI- Korea International Cooperation Agency.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1 Hasil Sampling Analisis Vegetasi Mangrove di SMMA. Pohon Transek
1
No. Plot 1
Jenis
Pancang/Anakan
Jumlah
Diameter (cm)
Jenis
Jumlah
Diameter (cm)
1
37,261
Sonneratia caseolaris
1
37,580
Sonneratia caseolaris
1
38,854
Sonneratia caseolaris
1
15,605
Avicennia alba/marina
1
23,885
1
39,809
Sonneratia caseolaris
1
29,936
Sonneratia caseolaris
1
16,879
Rhizophora mucronata
1
Sonneratia caseolaris
1
32,803
Sonneratia caseolaris
3
Sonneratia caseolaris
1
19,427
Sonneratia caseolaris
1
6,369
Sonneratia caseolaris
1
7,006
Sonneratia caseolaris
3
Sonneratia caseolaris
4
Sonneratia caseolaris Nypa frutican
2
Nypa frutican 3
Sonneratia caseolaris Nypa frutican
2
3
1
1
2
3
4
1
Sonneratia caseolaris
1
44,586
Sonneratia caseolaris
1
52,548
Sonneratia caseolaris
1
42,038
Sonneratia caseolaris
1
60,191
Sonneratia caseolaris
1
54,140
Sonneratia caseolaris
1
11,465
Sonneratia caseolaris
1
9,873
Sonneratia caseolaris
1
9,554
Sonneratia caseolaris
1
44,904
Sonneratia caseolaris
1
50,000
Sonneratia caseolaris
1
16,879
Sonneratia caseolaris
1
20,064
Sonneratia caseolaris
1
44,904
Sonneratia caseolaris
1
48,726
Sonneratia caseolaris
1
24,522
Sonneratia caseolaris
1
27,389
Sonneratia caseolaris
1
32,484
Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia caseolaris
3 1
3,185
Sonneratia caseolaris
1
8,280
Sonneratia caseolaris
1
7,006
85
Lampiran 1 (Lanjutan). Pohon Transek
5
6
No. Plot 1
1
2
3
Jenis
Pancang/Anakan
Jumlah
Diameter (cm)
Jenis
Jumlah
Diameter (cm)
Sonneratia caseolaris
1
47,771
Sonneratia caseolaris
1
42,675
Sonneratia caseolaris
1
15,605
Sonneratia caseolaris
1
22,930
Sonneratia caseolaris
1
8,917
Sonneratia caseolaris
1
21,338
Sonneratia caseolaris
1
7,643
Sonneratia caseolaris
1
16,561
Sonneratia caseolaris
1
15,605
Sonneratia caseolaris
1
11,465
Sonneratia caseolaris
1
15,287
Sonneratia caseolaris
1
14,650
Sonneratia caseolaris
1
18,153
Sonneratia caseolaris
1
13,057
Sonneratia caseolaris
1
7,962
Sonneratia caseolaris
1
15,924
Sonneratia caseolaris
1
11,146
Sonneratia caseolaris
1
12,420
Sonneratia caseolaris
1
10,510
Sonneratia caseolaris
1
23,885
Sonneratia caseolaris
1
27,070
Sonneratia caseolaris
1
21,338
Sonneratia caseolaris
1
14,650
Sonneratia caseolaris
1
24,204
Sonneratia caseolaris
1
10,828
Sonneratia caseolaris
1
18,790
Sonneratia caseolaris
1
13,694
Sonneratia caseolaris
1
14,013
Sonneratia caseolaris
1
11,783
Sonneratia caseolaris
1
33,439
Sonneratia caseolaris
1
17,834
Sonneratia caseolaris
1
12,739
Sonneratia caseolaris
1
21,019
Sonneratia caseolaris
1
12,739
Sonneratia caseolaris
1
19,745
Jumlah
59
Jumlah
22
86
Lampiran 2 Histori Pengelolaan Kawasan SMMA dan Sekitarnya. No
1
Tahun
Kondisi Ekologi Kawasan SM Muara Angke dan Sekitarnya
Keterangan
1910-an
Dataran Kapuk masih berupa rawa mangrove dan sebagian kecil yang dibuka untuk tambak
Daratan Pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut dengan laju sekitar 1 m per tahun
2
1939
3
1960-an 1963
1977
Penetapan kawasan menjadi Cagar Alam Muara Angke oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan luas 15,04 ha. Memiliki kekayaan alam dan keunikan yang perlu dilestarikan, dengan vegetasi utama mangrove (Sonneratia sp; Avicennia sp; Rhizophora sp; Bruguiera sp; dan jenis lain). Kawasan diperluas hingga 1.344,62 ha Dibuka secara besar-besaran untuk pertambakan Fungsi hutan Angke Kapuk dan Cagar Alam Muara Angke sebagai: hutan lindung, yaitu areal 5 km sepanjang pantai dengan lebar 100 m, Cagar Alam Muara Angke, hutan wisata, Lapangan dengan Tujuan Istimewa (LDTI) Pembangunan break water di tepi barat Muara Angke dengan maksud menjaga kedalaman muara.
1980
1981
1982
Pada periode yang sama, kondisi pantai di sekitar Kelurahan Kamal mengalami erosi berat dengan laju sekitar 19 m per tahun. Hal ini disebabkan aliran arus sepanjang pantai membawa sedimen tersebut ke arah Timur dan mengendapkannya di sebelah barat pelabuhan tersebut. Sebagian mangrove yang ada di Utara delta angke mulai ditebang dan di bagian Timurnya telah digunakan untuk pelabuhan ikan Muara Angke. Pembuatan kanal tempat pendaratan (pelabuhan) batu dan pasir di Desa Dadap untuk keperluan pengembangan pelabuhan udara Soekarno-Hatta dan jalan tol Prof. Sediatmo. Sebagian tambak yang ada di Timur Sungai Angke mulai diurug untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Bagian tengah daerah pertambakan kapuk dipotong untuk dibangun saluran (Cengkareng Drain). Pemotongan tersebut juga mengenai jalur mangrove yang ada di tepi pantai Utara tersebut.
Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.24 tanggal 18 Juni 1989
Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 10 Juni 1977 No.161/kpts/VIII/6/1 977 Terjadi abrasi dengan laju sekitar 25 m per tahun antara 19801983.
87
Lampiran 2 (Lanjutan) No
Tahun 1983
Kondisi Ekologi Kawasan SM Muara Angke dan Sekitarnya Pembentukan Tim Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Hutan Angke Kapuk dalam rangka pengelolaan kawasan Hutan Angke Kapuk. Tim tersebut mengalokasikan peruntukan pengembangan kawasan yaitu: 1). Kawasan Hutan Angke Kapuk yang tetap dikuasai oleh pemerintah, dengan luas 322,6 Ha, terdiri dari: a) Hutan Lindung 49,25 Ha; b) Cagar Alam Muara Angke 21,45 Ha; c) Hutan Wisata 91,37 Ha; d) Kebun Pembibitan Kehutanan 10,47 Ha; e) Jalur Hijau dan Jalan Tol 91,37 Ha; f) Jalur Transmisi 29,90 Ha. 2). Kawasan hutan yang diserahkan dan dikelola oleh PT. Mandara Permai, dengan luas 830,39 Ha, yang saat itu direncanakan untuk: a) Perumahan 487,25 Ha; b) Lapangan Golf 96,48 Ha; c) Rekreasi dan Olah Raga 72,05 Ha; d) Bangunan Umum 37,55 Ha; e) Olah Raga Air 81,26 Ha; f) Cottage, Hotel dan Condominium 55,80 Ha.
1984
Dilakukan pengukuran ulang kawasan Angke Kapuk, mulai tanggal 17 Maret hingga April 1984, dimana hasilnya menetapkan luas kawasan hutan adalah 1.154,49 Ha, termasuk di dalamnya Cagar Alam Muara Angke dengan luas 21,45 Ha.
1987
Sebagian besar rawa mangrove telah berubah menjadi area pertambakan, yang tersisa hanya Cagar Alam Muara Angke seluas 15 ha dan di sekitar tepi Utara berbatasan dengan laut
1988
Kawasan Hutan Angke Kapuk yang dipertahankan seluas 333,50 Ha, yang terdiri dari: 1) Hutan Lindung 50,80 Ha; 2) Cagar Alam 25,00 Ha; 3) Hutan Wisata 101,60 Ha; 4) Kebun Pembibitan 10,47 Ha; 5) Jalur Hijau dan Jalan Tol 91,37 Ha; 6) Cengkareng Drain 28,36 Ha; 7) Jalur Transmisi PLN 25,90 Ha.
Keterangan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.40/Kpts-II/1983 yang anggotanya terdiri dari unsur di Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan), Pemda DKI Jakarta, dan PT. Mandara Permai.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 25 Februari 1984 No.143/VII4/1984 dan Keputusan Kepala Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tanggal 10 Maret 1984 No.143/Vii4/1984
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.097/Kpts-II/1988
88
Lampiran 2 (Lanjutan)
No
Tahun
1994
1998
Kondisi Ekologi Kawasan SM Muara Angke dan Sekitarnya Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan membentuk Tim Tata Batas untuk melaksanakan pengukuran ulang batas Kawasan Hutan Angke Kapuk. Total kawasan yang diukur yaitu 1155,06 Ha Luasan masing-masing kawasan hutan diantaranya: 1) Areal yang dipertahankan: a) Hutan Wisata 99,82 Ha; b) Hutan Lindung 44,76 Ha; c) Cagar Alam 25,02 Ha; d) Kebun Pembibitan 10,51 Ha; e) Cengkareng Drain 28,39 Ha; f) Jalur Transmisi PLN 23,70 Ha; g) Jalan Tol dan Jalur Hijau 95,50 Ha. 2) Areal yang dilepas untuk PT Mandara Permai: 827,18 Ha Status kawasan diubah menjadi suaka margasatwa, dengan luas 25,02 ha.
Keterangan
Surat Keputusan No.08/Kpts/Vii4/1994 tanggal 13 Januari 1994
SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.097/Kpts-II/1998 29 Feb 1998
89
Lampiran 3 Kuesioner Institusi Pengelola SMMA.
KUESIONER PENELITIAN PROGRAM MAGISTER Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Yang Efektif Melalui Analisis Tingkat Kerusakan Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta Oleh:
Yofi Mayalanda SEKOLAH PASCASARJANA (IPB) Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai No
Pertanyaan
Jawaban
A.
Keterangan Responden
1.
Nama
2.
Jenis kelamin
3.
Umur
a. Laki-laki b. Perempuan [ ][ ] Tahun
4.
Pendidikan terakhir
………….………..
5.
Pekerjaan utama
…………………….
6.
Rata-rata Jumlah Pendapatan
Rp ……………………../bulan
B. 1. 2.
3. 4.
…..........................
Persepsi tentang Mangrove dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. konservasi? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. kawasan konservasi? Salah satunya 2. Tidak tahu Suaka Margasatwa? Apakah bapak/ibu tahu tentang
1. Tahu, artinya : ……………………………. ………………………………………………….. mangrove? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu merasakan 1. Ya, diantaranya: …………………………… ……………………………………………………….. manfaat dari keberadaan 2. Tidak merasakan mangrove, dalam hal ini di SMMA 3. Tidak tahu dan sekitarnya?
5.
Apakah
Bapak/Ibu
mengetahui
aturan
mengenai
pengelolaan
mangrove dan kawasan SMMA?
1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu
90
Lampiran 3 (Lanjutan) No 6.
Pertanyaan Bagaimana
Jawaban
menurut
Bapak/Ibu
mengenai aturan tersebut? 7.
Program apa saja yang pernah, sedang
dan
canangkan
akan
Bapak/Ibu
dalam
rangka
pengelolaan di SMMA? 8.
Bagaimana
menurut
Bapak/Ibu
kondisi SMMA? 9.
Jika kurang baik (rusak), menurut Bapak/Ibu
seperti
apa
dan
apa
kerusakannya
a. Baik b. Sedang c. Kurang baik ……………………………………………………………. …………………………………………………………….
penyebabnya? 10.
Apakah pernah ada konflik antara pihak
pengelola
SMMA
dengan
masyarakat? Apa penyebabnya? 11.
1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu
Bagaimana menurut Bapak/Ibu jika terjadi kerusakan di SMMA?
12.
Bagaimana apabila
menurut
berkembang
Bapak/Ibu isu
untuk
menutup kawasan SMMA? 13.
Bagaimana Bapak/Ibu
menurut kondisi
harapan
SMMA
yang
1. Tidak setuju, alasannya: …………………………………………………… 2. Setuju, alasannya: …………………………………………………… 3. Tidak tahu ……………………………………………………………. …………………………………………………………….
ideal? 14.
Bagaimana
menurut
Bapak/Ibu
menjaga agar SMMA tetap baik? C. 1.
Kepedulian terhadap Rehabilitasi Mangrove Apakah
Bapak/Ibu
mengetahui
tentang rehabilitasi mangrove? 2.
……………………………………………………………. …………………………………………………………….
Apakah institusi Bapak/Ibu pernah menyelenggarakan
kegiatan
rehabilitasi mangrove di SMMA? Kapan dan dimana?
1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu 1. Pernah, sebutkan: ………………………………………………………. 2. Belum pernah
91
Lampiran 3 (Lanjutan) No
Pertanyaan
Jawaban
3
Berapa jumlah bibit yang ditanam? Dan jenis apa saja?
4.
Pola
apa
yang
digunakan?
Bagaimana teknik penanamannya? 5.
Pihak
mana
saja
yang
terlibat
dalam kegiatan tersebut? Berapa besar biaya yang dibutuhkan? 6.
Bagaimana kegiatan monitoring dan evaluasinya? Bagaimana hasilnya?
7.
Apakah
Bapak/Ibu
berpartisipasi
pernah
dalam
kegiatan
rehabilitasi mangrove? Kapan dan
1. Pernah, sebutkan: ………………………………………………………. 2. Belum pernah
dimana? 8.
Bagaimana
pendapat
Bapak/Ibu
jika diadakan kegiatan rehabilitasi mangrove? 9.
Menurut
Bapak/Ibu,
bagaimana
seharusnya keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan
1. Tertarik dan mendukung, alasannya: ……………………………………………………….. 2. Tidak tertarik dan kurang mendukung, alasannya: ……………………………………………………… ……………………………………………………………. …………………………………………………………….
rehabilitasi
mangrove? 10.
Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam
melestarikan
ekosistem
……………………………………………………………. …………………………………………………………….
mangrove yang Bapak/Ibu ketahui? D. 1.
Saran Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat
dalam
pengelolaan
……………………………………………………………. …………………………………………………………….
ekosistem mangrove? 2.
Bagaimana
seharusnya
upaya
perbaikan lingkungan di kawasan SMMA
dan
Muara Angke?
di
sekitar
perairan
……………………………………………………………. …………………………………………………………….
92
Lampiran 4 Kuesioner untuk LSM.
KUESIONER PENELITIAN PROGRAM MAGISTER Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Yang Efektif Melalui Analisis Tingkat Kerusakan Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta Oleh:
Yofi Mayalanda SEKOLAH PASCASARJANA (IPB) Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai No
Pertanyaan
Jawaban
A.
Keterangan Responden
1.
Nama
2.
Jenis kelamin
3.
Umur
a. Laki-laki b. Perempuan [ ][ ] Tahun
4.
Pendidikan terakhir
………….………..
5.
Pekerjaan utama
…………………….
6.
Rata-rata Jumlah Pendapatan
Rp ……………………../bulan
B. 1. 2.
3. 4.
…..........................
Persepsi tentang Mangrove dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. konservasi? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. kawasan konservasi? Salah satunya 2. Tidak tahu Suaka Margasatwa? Apakah
bapak/ibu
tahu
tentang
1. Tahu, artinya : ……………………………. ………………………………………………….. mangrove? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu merasakan 2. Ya, diantaranya: …………………………… ……………………………………………………….. manfaat dari keberadaan mangrove, 2. Tidak merasakan dalam hal ini di SMMA dan 3. Tidak tahu sekitarnya?
5.
Apakah
Bapak/Ibu
mengetahui
aturan
mengenai
pengelolaan
mangrove dan kawasan SMMA?
1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu
93
Lampiran 4 (Lanjutan) No 6.
Pertanyaan Bagaimana
Jawaban
menurut
Bapak/Ibu
mengenai aturan tersebut? 7.
Apakah
Bapak/Ibu
mengadakan
pernah
kegiatan/program
di
SMMA? Apa dan kapan? 8.
Bagaimana
menurut
3. Pernah, sebutkan: …………………………………………………… …. 4. Belum pernah
Bapak/Ibu
pengelolaan SMMA? 9.
Bagaimana
menurut
Bapak/Ibu
kondisi SMMA? 10.
Jika kurang baik (rusak), menurut Bapak/Ibu seperti apa kerusakannya dan apa penyebabnya?
11.
Apakah pernah ada konflik antara pihak
pengelola
SMMA
dengan
masyarakat? Apa penyebabnya? 12.
d. Baik e. Sedang f. Kurang baik ………………………………………………………… …. ………………………………………………………… …. 1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu
Bagaimana menurut Bapak/Ibu jika terjadi kerusakan di SMMA?
13.
Bagaimana apabila
menurut
berkembang
Bapak/Ibu isu
untuk
menutup kawasan SMMA? 14.
15
C. 1.
Bagaimana
………………………………………………………… …. Bapak/Ibu kondisi SMMA yang ideal? ………………………………………………………… …. Bagaimana menurut Bapak/Ibu ………………………………………………………… …. menjaga agar SMMA tetap baik? ………………………………………………………… …. Kepedulian terhadap Rehabilitasi Mangrove Apakah
menurut
Bapak/Ibu
harapan
mengetahui
tentang rehabilitasi mangrove? 2.
4. Tidak setuju, alasannya: …………………………………………………… 5. Setuju, alasannya: …………………………………………………… 6. Tidak tahu
Apakah institusi Bapak/Ibu pernah menyelenggarakan rehabilitasi
mangrove
Kapan dan dimana?
kegiatan di
SMMA?
1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu 1. Pernah, sebutkan: …………………………………………………… …. 2. Belum pernah
94
Lampiran 4 (Lanjutan) No
Pertanyaan
Jawaban
3
Berapa jumlah bibit yang ditanam? Dan jenis apa saja?
4.
Pola apa yang digunakan? Bagaimana teknik penanamannya?
5.
Pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan
tersebut?
Berapa
besar
biaya yang dibutuhkan? 6.
Bagaimana kegiatan monitoring dan evaluasinya? Bagaimana hasilnya?
7.
Apakah berpartisipasi
Bapak/Ibu
pernah
dalam
kegiatan
rehabilitasi mangrove? Kapan dan
3. Pernah, sebutkan: …………………………………………………… …. 4. Belum pernah
dimana? 8.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu jika diadakan
kegiatan
rehabilitasi
Bapak/Ibu,
bagaimana
mangrove?
9.
Menurut
seharusnya keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan
rehabilitasi
3. Tertarik dan mendukung, alasannya: …………………………………………………… ….. 4. Tidak tertarik dan kurang mendukung, alasannya: …………………………………………………… … ………………………………………………………… …. ………………………………………………………… ….
mangrove? 10.
Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam
melestarikan
ekosistem
mangrove yang Bapak/Ibu ketahui? D. 1.
Saran Bagaimana seharusnya keterlibatan masyarakat
dalam
pengelolaan
ekosistem mangrove? 2.
………………………………………………………… …. ………………………………………………………… ….
Bagaimana perbaikan
seharusnya lingkungan
di
upaya kawasan
SMMA dan di sekitar perairan Muara Angke?
………………………………………………………… …. ………………………………………………………… …. ………………………………………………………… …. ………………………………………………………… ….
95
Lampiran 5 Kuesioner untuk Masyarakat.
KUESIONER PENELITIAN PROGRAM MAGISTER Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Yang Efektif Melalui Analisis Tingkat Kerusakan Di Suaka Margasatwa Muara Angke, Provinsi DKI Jakarta Oleh:
Yofi Mayalanda SEKOLAH PASCASARJANA (IPB) Catatan: Mohon dilingkari dan diisi dengan jawaban yang sesuai No
Pertanyaan
Jawaban
A.
Keterangan Responden
1.
Nama
2.
Jenis kelamin
3.
Umur
a. Laki-laki b. Perempuan [ ][ ] Tahun
4.
Pendidikan terakhir
………….………..
5.
Pekerjaan utama
…………………….
6.
Rata-rata Jumlah Pendapatan
Rp ……………………../bulan
B. 1. 2.
3.
…..........................
Persepsi tentang Mangrove dan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. konservasi? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu tahu tentang 1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. kawasan konservasi? Salah satunya 2. Tidak tahu Suaka Margasatwa? Apakah
Bapak/Ibu
mengetahui
tentang keberadaan SMMA? 4.
Apakah
Bapak/Ibu
tahu
tentang
pihak yang mengelola SMMA? 5.
Jika Bapak/Ibu tahu tentang pihak yang mengelola SMMA, bagaimana menurut Bapak/Ibu: -
Bentuk lembaga pengelola SMMA
1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu 1. Tahu, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu a. Baik b. Sedang c. Kurang baik
96
Lampiran 5 (Lanjutan) No
Pertanyaan
Jawaban
6.
Apakah Bapak/Ibu pernah masuk ke
1. Pernah, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Belum pernah
dalam kawasan SMMA? Dalam rangka apa? 7.
Apakah
Bapak/Ibu
tahu
tentang
sumberdaya alam yang ada di SMMA? 8.
Apakah
bapak/ibu
tahu
tentang
mangrove? 9.
Apakah
Bapak/Ibu
merasakan
manfaat dari keberadaan mangrove, dalam
hal
ini
di
SMMA
dan
sekitarnya? 10.
Bapak/Ibu melakukan penangkapan ikan di perairan mana saja? Dan berapa besar frekuensinya?
11.
Bagaimana
hasil
tangkapan
Bapak/Ibu dalam 10 tahun terakhir?
12.
Apakah
Bapak/Ibu
mempunyai
aktivitas lain selain penangkapan ikan di perairan muara angke? 13.
Apakah
Bapak/Ibu
mengetahui
aturan
mengenai
pengelolaan
mangrove dan kawasan SMMA? 14.
Bagaimana
menurut
Bapak/Ibu
kondisi SMMA? 15.
Jika kurang baik (rusak), menurut Bapak/Ibu seperti apa kerusakannya dan apa penyebabnya?
1. Tahu, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu 1. Tahu, artinya : ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu 1. Ya, diantaranya: …………………………… ……………………………………………………….. 2. Tidak merasakan 3. Tidak tahu ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… ……. a. Hasil sekarang: ………………………………. b. Tahun lalu: ……………………………………. c. 5 tahun lalu: ………………………………….. d. 10 tahun lalu: ………………………………… 1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak 1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu a.Baik b.Sedang c.Kurang baik ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… …….
97
Lampiran 5 (Lanjutan) No
Pertanyaan
Jawaban
16.
Apakah pernah ada konflik antara
1. Ya, sebutkan: ……………………………. ………………………………………………….. 2. Tidak tahu
pihak
pengelola
SMMA
dengan
masyarakat? Apa penyebabnya? 17.
Bagaimana menurut Bapak/Ibu jika terjadi kerusakan di SMMA?
18.
19.
20.
C. 1. 2.
Apakah
Bapak/Ibu
7. Tidak setuju, alasannya: …………………………………………………… kawasan SMMA ini ditutup? 8. Setuju, alasannya: …………………………………………………… 9. Tidak tahu Bagaimana menurut harapan ……………………………………………………… ……. Bapak/Ibu kondisi SMMA yang ideal? ……………………………………………………… ……. Bagaimana menurut Bapak/Ibu ……………………………………………………… ……. menjaga agar SMMA tetap baik? ……………………………………………………… ……. Kepedulian terhadap Rehabilitasi Mangrove Apakah
setuju
Bapak/Ibu
apabila
mengetahui
1. Tahu, artinya: ……………………………. ………………………………………………….. tentang rehabilitasi mangrove? 2. Tidak tahu Apakah Bapak/Ibu pernah 3. Pernah, sebutkan: …………………………………………………… berpartisipasi dalam kegiatan …. rehabilitasi mangrove? Kapan dan 4. Belum pernah dimana?
3.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu jika diadakan
kegiatan
rehabilitasi
Bapak/Ibu,
bagaimana
mangrove?
4.
Menurut
seharusnya keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan
rehabilitasi
5. Tertarik dan mendukung, alasannya: …………………………………………………… ….. 6. Tidak tertarik dan kurang mendukung, alasannya: …………………………………………………… … ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… …….
mangrove? 5.
Adakah cara-cara masyarakat lokal dalam
melestarikan
mangrove?
ekosistem
……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… …….
98
Lampiran 5 (Lanjutan) No D. 1.
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana seharusnya keterlibatan
……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… …….
Saran masyarakat
dalam
pengelolaan
ekosistem mangrove? 2.
Bagaimana seharusnya pemerintah dan pengusaha terhadap masyarakat lokal dalam sektor perikanan?
3.
Bagaimana seharusnya pemerintah dan pengusaha terhadap masyarakat lokal dalam hal lapangan kerja?
4.
Bagaimana perbaikan
seharusnya lingkungan
di
upaya kawasan
SMMA dan di sekitar perairan Muara Angke?
……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… ……. ……………………………………………………… …….
99
Lampiran 6 Hasil Analisis Kualitas Air dan Substrat di SMMA.
Param eter Satuan Baku mutu Untuk biota
FISIK
KIMIA
Tekstur (%)
0/00
mg/L
mg/L
mg/L
78,5
<34
>5
0,008
0,015
Kekeruh an
pH
Salinit as
DO
NO3P
PO4P
Pasir
Debu
Liat
28
7,1
7,14
0,0
0,5
0,871
0,633
90,36
9,13
0,52
1.2
27,8
6,6
6,9
0,0
0,77
0,206
0,511
61,33
34,84
3,82
1.3 Ratarata 2.1
27,9
4,8
0,2
2
0,053
0,400
85,54
5,70
8,76
27,9
6,167
0,1
1,09
0,377
0,515
79,08
16,56
4,37
27,9
16,1
6,97 7,00 3 6,95
0,0
1,8
0,444
0,268
54,05
33,42
12,53
2.2
28
10,3
7,05
0,0
1,73
0,138
0,433
92,22
4,27
3,51
2.3 Ratarata 3.1
27,7
12
7,03
0,0
1,8
0,131
0,216
87,19
1,75
11,06
27,9
12,8
7,0
0,0
1,8
0,238
0,306
77,82
13,15
9,03
28,2
3,1
7,13
0,0
3
0,158
0,357
95,69
0,01
4,30
3.2
28,2
5,5
7,01
0,0
3,2
0,095
0,660
34,80
57,10
8,10
3.3 Ratarata
28,2
4,9
0,0
2,7
0,478
0,560
62,28
23,47
14,25
28,2
4,5
7,11 7,08 3
0,0
2,97
0,244
0,526
64,26
26,86
8,88
C
NTU
2832
<5
Plot
Suhu Air
1.1